PEMANFAATAN KARAGENAN DAN KITOSAN DALAM PEMBUATAN BAKSO IKAN KURISI (Nemipterus nematophorus) PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN DAN BEKU
Oleh : Ira Wiraswanti C34103051
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN IRA WIRASWANTI. C34103051. Pemanfaatan Karagenan dan Kitosan dalam Pembuatan Bakso Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) pada Penyimpanan Suhu Dingin dan Beku. Dibimbing oleh ANNA C ERUNGAN dan WINARTI ZAHIRUDDIN. Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang sangat potensial untuk memenuhi kebutuhan protein. Tetapi sifatnya yang mudah rusak menyebabkan ikan kurang diminati masyarakat, untuk itu perlu diupayakan pengolahan daging ikan menjadi produk yang dapat tahan lama. Salah satu produk olahan daging ikan adalah bakso ikan. Issue yang berkembang akhir-akhir ini mengenai penggunaan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan manusia. Oleh karena itu dilakukan usaha untuk mencari alternatif pengganti bahan pengawet sintetik dengan bahan pengawet alami seperti kitosan. Penggunaan sodium tripolifosfat (STPP) dalam pembuatan bakso sudah dibatasi. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha untuk mengurangi penggunaan bahan kimia dan menggantinya dengan bahan alami yaitu karagenan. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan kitosan yang digunakan sebagai pengawet dan karagenan sebagai pembentuk gel pada bakso ikan kurisi (Nemiptrus nematophorus) selama penyimpanan suhu beku dan suhu dingin. Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap, tahap pertama penentuan konsentrasi karagenan dan kitosan yang ditambahkan pada bakso ikan kurisi. Konsentrasi karagenan yang digunakan yaitu 0 %; 0,5 % dan 1 %, sedangkan konsentrasi kitosan yang digunakan yaitu 0 %; 0,1 %. Tahap kedua yaitu membandingkan bakso ikan kurisi yang terpilih dengan bakso ikan yang ditambahkan STPP menurut tingkat kesukaan panelis (uji sensori), uji fisik (uji lipat, uji gigit, uji dan uji kekuatan gel), analisis kimia (uji proksimat), dan dilakukan penyimpanan pada suhu dingin dan beku. Selama penyimpanan dilakukan analisis terhadap nilai pH dan analisis mikrobiologi (setiap satu minggu sekali). Hasil penelitian tahap I diperoleh kombinasi konsentrasi karagenan dan kitosan terpilih perlakuan A2B2 yang kemudian digunakan pada penelitian tahap II. Bila dibandingkan dengan STPP 0,15 %, A2B2 lebih unggul dalam membentuk gel dan daya awet. Perlakuan A2B2 umumnya memiliki nilai rata-rata lebih tinggi dibandingkan perlakuan penambahan STPP 0,15 %, seperti uji organoleptik (penampakan, tekstur dan aroma), uji fisik (uji lipat, uji gigit dan uji kekuatan gel), analisis kimia (kadar abu, kadar protein dan kadar karbohidrat). Analisis mikrobiologi bakso ikan yang dihasilkan masih di bawah SNI 01-3819-1995 selama penyimpanan 3 minggu pada suhu dingin, dan 8 minggu pada suhu beku. Nilai pH bakso ikan pada perlakuan A2B2 selama penyimpanan suhu dingin dan suhu beku mengalami penurunan (semakin asam). Nilai pH pada penyimpnan suhu dingin lebih cepat menurun dibandingkan dengan nilai pH bakso ikan yang disimpan pada suhu beku.
PEMANFAATAN KARAGENAN DAN KITOSAN DALAM PEMBUATAN BAKSO IKAN KURISI (Nemipterus nematophorus) PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN DAN BEKU
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Ira Wiraswanti C34103051
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul
:
PEMANFAATAN KARAGENAN DAN KITOSAN DALAM PEMBUATAN BAKSO IKAN KURISI (Nemipterus nematophorus) PADA PENYIMPANAN SUHU DINGIN DAN BEKU
Nama
:
Ira Wiraswanti
NRP
:
C34103051
Menyetejui, Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Anna C. Erungan, MS. 131 601 219
Ir. Winarti Zahiruddin, MS 130 422 706
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 131 578 799
Tanggal Lulus : 29 Januari 2008
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pemanfaatan Karagenan dan Kitosan dalam Pembuatan Bakso Ikan Kurisi Nemipterus nematophorus) pada Penyimpanan Suhu Dingin dan Beku adalah karya saya sendiri belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2008 Ira Wiraswanti C34103051
RIWAYAT HIDUP Ira Wiraswanti. Lahir di Bogor pada tanggal 8 Juli 1985, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, putri pasangan Bapak Adiel Suryadi dan Ibu Yusneti,
adik dari
Fetria Herlina, SE dan Ibrahim Teguh, Amd serta kakak dari Ezra Wira Ramadhan dan Teguh Wira Maulana. Pada tahun 1990-1991 penulis mengenyam pendidikan awal di Taman Kanak-kanak Anggraeni Bogor, tahun 1991-1997 menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN Panaragan III Bogor. Tahun 1997-2000 penulis melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 6 Bogor dan tahun 2000-2003 menyelesaikan pendidikan lanjutan tingkat atas di SMU Negeri 5 Bogor, Jawa Barat. Pada tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Teknologi Hasil Perairan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama perkuliahan penulis aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiwa Hasil Perikanan (HIMASILKAN) periode 2004/2005 dan 2005/2006, pengurus Food Processing Club (FPC) – Himasilkan 2005-2006. Pada Juli 2006 penulis mengikuti magang pada perusahaan pembekuan ikan tuna PT. Arabikatama Khatulistiwa Fishing Industry Denpasar, Bali. Penulis juga aktif menjadi Asisten Praktikum mata ajaran Teknologi Pengolahan Tradisional Hasil Perikanan (TPTHP) pada tahun akademik 2006/2007, Teknologi Proses Thermal Hasil Perairan
pada tahun akademik
2006/2007, Teknologi Refrigerasi Hasil Perairan tahun akademik 2006/2007, Dasar-dasar Teknologi Hasil Perairan pada tahun akademik 2006/2007 dan 2007/2008.
Penulis
juga
pernah
mengikuti
pelatihan
ISO-22000
yang
diselenggarakan oleh Departemen Teknologi Hasil Perairan. Dalam menyelesaikan tugas akhir, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul “Pemanfaatan Karagenan dan Kitosan dalam Pembuatan Bakso Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) pada Penyimpanan Suhu Dingin dan Beku”, dibimbing oleh Ir. Anna C Erungan, MS dan Ir. Winarti Zahiruddin, MS.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
yang berjudul
“Pemanfaatan Karagenan dan Kitosan dalam Pembuatan Bakso Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) pada Penyimpanan Suhu Dingin dan Beku”. Pembuatan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Ir. Anna C Erungan, MS dan Ibu Ir. Winarti, MS sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahannya serta dukungan selama penelitian sampai penulisan skripsi. 2. Bapak Uju S.Pi, M.Si dan Bapak Ir. Dadi R Sukarsa sebagai dosen penguji atas kebaikan, saran dan bimbingan yang sangat berharga. 3. Ayah Adiel Suryadi dan Ibu Yusneti atas doa, cinta dan kasih sayang serta dukungan baik moril maupun materiil yang tak terhingga. 4. Kakakku
Fetria
Herlina
dan
Ibrahim
Teguh
serta
Adikku
Ezra Wira Ramadhan dan Teguh Wira Maulana atas kasih sayang dan dukungan semangatnya. 5. DIKTI Program SP4 yang telah memberi dukungan materiil kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian. 6. Ibu Emma, Mas Zacky, Mas Saeful, Ibu Yati, Ibu Rubiah, Pak Sobirin yang telah membantu penulis selama penelitian. 7. Sahabatku tercinta Ayu, Euis, Atik, Amy, Dedeh, Risma, Laksmi, Irawati dan Eris yang setia mendengarkan keluh kesah serta memberikan dukungan dan semangat kepada penulis selama penelitian. 8. Lianny, Almira dan Pisuko yang tak bosan mendengarkan keluh kesah penulis dan memberikan perhatian, dukungan, semangat yang tak terhingga serta persahabatan yang tulus dan indah kepada penulis. 9. Gami, Setyo, Andri, Rahadian, Aris, Angling, Rhama, Rudy, Putri, Oryssa, Finda, Windo, Tomy, Indra, Johan, Fikri, Bangun, Ditya, Fitria, Helda,
Tari, Toby, Taufik, Noerhoeri atas persahabatan yang indah dan tak terlupakan serta dukungan kepada penulis selama penelitian. 10. Temen-temen THP 40 atas kebersamaannya. THP 39, 41, 42 serta semua pihak yang telah banyak membantu penulis selama penelitian. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sebagai masukan dan bahan pertimbangan untuk perbaikan pada penulisan selanjutnya. Akhir kata semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi penulis khususnya dan bagi pihak-pihak yang berkepentingan pada umumnya.
Bogor, Februari 2008 Ira Wiraswanti
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xi
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xii
1. PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2 Tujuan ................................................................................................
2
2. TINJAUAN PUSTAKA ...........................................................................
4
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Kurisi .................................................
4
2.2 Bakso Ikan .......................................................................................... 5 2.2.1 Bahan pembuatan bakso ............................................................ 6 2.2.1.1 Bahan utama .................................................................. 6 2.2.1.2 Bahan tambahan ............................................................ 8 2.2.2 Proses pembuatan bakso ........................................................... 11 2.3 Karagenan .......................................................................................... 13 2.4 Cryoprotectant .................................................................................... 16 2.5 Kitosan ............................................................................................... 17 2.6 Pemanasan .......................................................................................... 18 2.7 Pengemasan......................................................................................... 18 2.8 Penyimpanan suhu dingin dan beku ................................................... 19 3. METODOLOGI ....................................................................................... 21 3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................. 21 3.2 Bahan dan Alat ................................................................................... 21 3.2.1 Bahan ........................................................................................ 21 3.2.2 Alat ............................................................................................ 21 3.3 Metode Penelitian .............................................................................. 22 3.3.1 Penelitian tahap I ....................................................................... 22 3.3.2 Penelitian tahap II ...................................................................... 23 3.4 Pengujian Mutu Bakso Ikan ............................................................... 3.4.1 Uji sensori (Soekarto 1985) ...................................................... 3.4.2 Analisis fisik ............................................................................. 3.5.2.1 Uji gel strength (Faridah et al. 2006)............................. 3.5.2.2 Uji gigit (Suzuki 1981) ................................................. 3.5.3.3 Uji pelipatan (Folding Test) (Suzuki 1981) .................. 3.4.3 Analisis kimia ........................................................................... 3.4.3.1 Kadar air (AOAC 1995) ................................................
24 25 25 25 25 26 26 26
3.4.3.2 Kadar lemak (AOAC 1995) .......................................... 3.4.3.3 Kadar protein dan total nitrogen (AOAC 1995) ........... 3.4.3.4 Kadar abu (AOAC 1995) .............................................. 3.4.3.5 Kadar karbohidrat (by difference) ................................. 3.4.3.6 Analisis pH .................................................................... 3.4.4 Analisis mikrobiologi (Fardiaz 1987) .......................................
26 27 27 28 28 28
3.5 Analisis Data ...................................................................................... 29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 32 4.1 Penelitian tahap I ................................................................................ 4.1.1 Rendemen daging lumat ............................................................ 4.1.2 Uji sensori ................................................................................. 4.1.2.1 Penampakan .................................................................. 4.1.2.2 Warna ............................................................................ 4.1.2.3 Tekstur .......................................................................... 4.1.2.4 Aroma ............................................................................ 4.1.2.5 Rasa ............................................................................... 4.1.3 Analisis fisik .............................................................................. 4.1.3.1 Uji lipat .......................................................................... 4.1.3.2 Uji gigit ...........................................................................
32 32 32 32 34 35 36 37 38 38 40
4.2 Penelitian tahap II .............................................................................. 4.2.1 Rendemen bakso ....................................................................... 4.2.2 Hasil uji sensori ......................................................................... 4.2.2.1 Penampakan .................................................................. 4.2.2.2 Warna ............................................................................ 4.2.2.3 Tekstur .......................................................................... 4.2.2.4 Aroma ............................................................................ 4.2.2.5 Rasa ............................................................................... 4.2.3 Hasil analisis fisik ..................................................................... 4.2.3.1 Uji lipat ......................................................................... 4.2.3.2 Uji gigit ......................................................................... 4.2.3.3 Uji kekuatan gel ............................................................ 4.2.4 Hasil analisis kimia .................................................................... 4.2.4.1 Kadar air ........................................................................ 4.2.4.2 Kadar abu ...................................................................... 4.2.4.3 Kadar protein ................................................................. 4.2.4.4 Kadar lemak .................................................................. 4.2.4.5 Kadar karbohidrat .......................................................... 4.2.4.6 Nilai pH ......................................................................... 4.2.5 Hasil analisis mikrobiologi ........................................................
42 42 43 43 44 44 45 46 47 47 47 48 50 50 51 52 53 53 54 56
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 61 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 63 LAMPIRAN ................................................................................................... 69
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Ikan kurisi (Nemipterus nematophorus).....................................................
4
2. Diagram alir proses pembuatan bakso ikan pada penelitian tahap I .......... 23 3. Diagram alir proses pembuatan bakso ikan pada penelitian tahap II......... 24 4. Histogram uji organoleptik skala hedonik penampakan tahap I ................ 33 5. Histogram uji organoleptik skala hedonik warna tahap I........................... 34 6. Histogram uji organoleptik skala hedonik tekstur tahap I ......................... 35 7. Histogram uji organoleptik skala hedonik aroma tahap I .......................... 36 8. Histogram uji organoleptik skala hedonik rasa tahap I.............................. 37 9. Histogram uji lipat penelitian tahap I ........................................................ 39 10. Histogram uji gigit penelitian tahap I ........................................................ 41 11. Histogram uji organoleptik skala hedonik penampakan tahap II............... 43 12. Histogram uji organoleptik skala hedonik warna tahap II ......................... 44 13. Histogram uji organoleptik skala hedonik tekstur tahap II ........................ 45 14. Histogram uji organoleptik skala hedonik aroma tahap II ........................ 46 15. Histogram uji organoleptik skala hedonik rasa tahap II............................. 46 16. Histogram uji lipat bakso ikan tahap II ...................................................... 47 17. Histogram uji gigit bakso ikan tahap II...................................................... 48 18. Histogram uji kekuatan gel bakso ikan tahap II......................................... 49 19. Histogram uji proksimat kadar air tahap II ................................................ 50 20. Histogram uji proksimat kadar abu tahap II............................................... 51 21. Histogram uji proksimat kadar protein tahap II ........................................ 52 22. Histogram uji proksimat kadar lemak tahap II.......................................... 53 23. Histogram uji proksimat kadar karbohidrat tahap II .................................. 53 24. Nilai pH selama penyimpanan suhu dingin ............................................... 55 25. Nilai pH selama penyimpanan suhu beku.................................................. 56 26. Grafik logaritmik bakteri selama penyimpanan suhu beku........................ 57 27. Grafik logaritmik bakteri selama penyimpanan suhu dingin ..................... 59
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Komposisi kimia ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) ........................
5
2. Syarat penggunaan bahan tambahan makanan pada produk pangan .........
11
3. Syarat mutu bakso ikan .............................................................................
14
4. Standar mutu karagenan ............................................................................
15
5. Daya kestabilan karagenan terhadap perubahan pH .................................
15
6. Hasil uji lipat produk bakso ikan kurisi ....................................................
39
7. Hasil uji gigit produk bakso ikan kurisi ..................................................
40
8. Rendemen bakso ikan kurisi .....................................................................
42
9. Kekuatan gel (g cm) bakso ikan kurisi .....................................................
49
10. Nilai pH selama penyimpanan suhu dingin ..............................................
54
11. Nilai pH selama penyimpanan suhu beku.................................................
55
12. Jumlah koloni mikroorganisme selama penyimpanan suhu beku .............
57
13. Jumlah koloni mikroorganisme selama penyimpanan suhu dingin ..........
58
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Tabel scoresheet uji organoleptik skala hedonic bakso ikan kurisi (Nemipterus nematophorus).......................................................................
69
2. Tabel scoresheet uji lipat bakso ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) ......................................................................
69
3. Tabel scoresheet uji gigit bakso ikan kurisi (Nemipterus nematophorus).......................................................................
70
4. Rekapitulasi hasil uji organoleptik skala hedonik penelitian tahap 1 .......
71
5. Rekapitulasi hasil uji organoleptik skala hedonik penelitian tahap 1 (lanjutan) ....................................................................................................
72
6. Rekapitulasi hasil uji organoleptik skala hedonik penelitian tahap 1 (lanjutan) ....................................................................................................
73
7. Rekapitulasi data hasil uji gigit penelitian tahap I ....................................
74
8. Rekapitulasi data hasil uji lipat penelitian tahap I ....................................
75
9. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey organoleptik skala hedonik Penelitian tahap I .......................................................................................
76
10. Rekapitulasi data hasil uji organoleptik skala hedonik penelitian tahap II.......................................................................................
77
11. Rekapitulasi data hasil uji lipat dan gigit penelitian tahap II ...................
78
12. Rekapitulasi data hasil uji proksimat penelitian tahap II .........................
79
13. Rekapitulasi data hasil uji kekuatan gel penelitian tahap II .....................
80
14. Rekapitulasi data hasil uji pH penyimpanan suhu dingin penelitian tahap II ..........................................................................
80
15. Rekapitulasi data hasil uji pH penyimpanan suhu beku penelitian tahap II .............................................................................
80
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sebagai negara maritim yang memiliki perairan yang luas, konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih sangat memprihatinkan. Konsumsi ikan di Indonesia pada tahun 2005 masih rendah yaitu sebesar 26 kg/kapita/tahun bila dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN lain contohnya Malaysia sebesar 45 kg/kapita/tahun (Numberi 2006). Salah satu kemungkinan penyebab rendahnya tingkat konsumsi ikan ini adalah minimnya keragaman hasil olahan ikan yang memiliki "daya tarik" bagi konsumen lintas usia, suku, dan tingkat sosial. Oleh karena itu perlu dilakukan terobosan-terobosan dalam upaya melakukan diversifikasi
pengolahan
komoditas
perikanan
yang
diharapkan
mampu
memanfaatkan sumber daya perikanan menjadi optimal dan meningkatkan minat masyarakat untuk mengkonsumsi ikan. Salah satu usaha diversifikasi produk perikanan yang dapat dikembangkan dan berpeluang menambah nilai tambah (added value) adalah bakso ikan. Dengan kebiasaan mengkonsumsi bakso ini diharapkan mampu membantu memenuhi kebutuhan protein sehingga dapat meningkatkan gizi masyarakat pada umumnya. Ikan yang sering digunakan dalam pembuatan bakso ikan adalah ikan kurisi (Nemipterus nematophorus). Ikan ini merupakan hasil tangkapan samping dari ikan-ikan demersal seperti ikan kakap. Ikan kurisi mempunyai kandungan protein yang cukup tinggi yaitu sekitar 16,85 % dan kandungan lemak yang rendah yaitu sekitar 2,2 % (Sedayu 2004). Pada tahun 2005 volume produksi ikan ini mencapai 55.262 ton dengan nilai Rp. 2,9 triliun (Departemen Kelautan dan Perikanan 2007). Isu yang berkembang akhir-akhir ini adalah penggunaan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan manusia. Seperti pada produk olahan daging lainnya, bakso mempunyai masa simpan yang relatif singkat. Salah satu usaha untuk memperpanjang masa simpan bakso adalah dengan penambahan bahan pengawet suhu beku
alami
seperti
kitosan
yang
dipadukan
dengan
penyimpanan
(-18 °C) dan suhu dingin (0-5 °C). Dengan penambahan bahan
pengawet seperti kitosan selain dapat meningkatkan daya simpan juga dapat
memperbaiki sifat fisik dari produk yang dihasilkan. Pengawet makanan termasuk dalam kelompok zat tambahan makanan yang bersifat inert secara farmakologik (efektif dalam jumlah kecil dan tidak toksis). Kitosan adalah produk alami yang diekstrak dari kulit udang tidak beracun dan merupakan polisakarida tidak larut air. Disamping tidak beracun senyawa ini merupakan biopolimer kationik yang dapat didegradasi (Johnson dan Peniston 1982). Kitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal antara produk dan lingkungannya (Hadwiger dan Adams 1978; Hadwiger dan Loschke 1981 diacu dalam Hardjito 2006). Penggunaan sodium tripolifosfat (STPP) dalam pembuatan bakso sudah umum dilakukan, namun telah diketahui bahwa penggunaan bahan kimia dalam produk makanan sudah dibatasi. Jumlah penggunaan STPP yang diizinkan adalah 3 gram untuk setiap kilogram daging atau 0,3 % dari berat daging yang digunakan (Codex Alimentarius Abridged Version 1990). Oleh karena itu perlu dilakukan usaha untuk mengurangi penggunaan bahan kimia dan menggantinya dengan bahan alami. Salah satu bahan tambahan makanan alami yang fungsinya hampir sama dengan sodium tripolifosfat yaitu karagenan. Karagenan berfungsi sebagai stabilisator (pengatur keseimbangan), thickner (bahan pengental) dan pembentuk gel dalam bidang industri pengolahan makanan (Winarno 1990). Dalam teknologi pangan, khususnya bidang teknologi pengawetan, freezeburn yakni suatu perubahan citra rasa, perubahan warna, kehilangan zat gizi serta perubahan tekstur dari bahan pangan beku akan cepat terjadi jika bahan pangan disimpan pada suhu di atas -9 °C. Untuk memperoleh hasil yang terbaik dari bahan pangan yang dibekukan, suhu penyimpanan harus dijaga agar konstan dan tidak boleh lebih tinggi dari -17 °C, serta harus diikuti dengan pengemasan yang baik atau memenuhi standar pengemasan untuk bahan pangan beku.
1.2 Tujuan Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan kitosan dan karagenan dalam pembuatan bakso ikan kurisi (Nemiptrus nematophorus) yang
disimpan pada suhu dingin dan beku. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah : (1) Mengetahui kombinasi karagenan dan kitosan yang menghasilkan bakso ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) terbaik, (2) membandingkan sifat fisik, kimia dan mikrobiologi bakso ikan yang ditambahkan karaginan dan kitosan dengan bakso ikan yang ditambahkan STPP, serta (3) mengetahui daya awet bakso ikan dengan penambahkan kitosan dan karagenan yang disimpan pada suhu dingin dan beku.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Kurisi (Nemipterus nematophorus) Klasifikasi ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) menurut Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap (2001) adalah sebagai berikut : Ordo
: Percomorphi
Subordo
: Percoidea
Famili
: Nemipteridae
Genus
: Nemipterus
Spesies
: Nemipterus nematophorus
Sumber: Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap (2001)
Gambar 1. Ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) Ikan kurisi memiliki sirip punggung berjari-jari keras 10, dan 9 lemah. Jari-jari keras pertama dan kedua tumbuh memanjang seperti serabut (cambuk), demikian juga jari-jari teratas lembaran sirip ekornya (Gambar 1). Sirip dubur berjari-jari keras 3, dan 7 jari-jari lemah. Warna kepala dan
punggung
kemerahan. Ban-ban warna kuning diselang-seling ban warna merah mawar membujur pada badan ikan ini sampai batang ekornya. Satu totol kuning terdapat pada awal garis rusuk. Ikan ini hidup di dasar, karang-karang, dasar lumpur atau lumpur pasir pada kedalaman 10-50 m (Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap 2001).
Ikan yang tergolong berlemak rendah dan berprotein tinggi memiliki kandungan protein 15-20 % dan kandungan lemaknya kurang dari 5 % (Stansby 1963). Ikan kurisi mengandung protein sebesar 16,85 % dan lemak sebesar 2,2 % (Sedayu 2004), sehingga ikan ini tergolong dalam ikan berprotein tinggi dan berlemak rendah. Adapun komposisi kimia ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) menurut Sedayu (2004) dapat dilihat pada Tabel 1 : Tabel 1. Komposisi kimia ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) Komposisi
% Berat basah
Kadar air
79,55
Kadar abu
0,97
Kadar protein
16,85
Kadar lemak
2,2
Sumber : Sedayu (2004)
Daerah penyebaran ikan kurisi meliputi hampir di seluruh perairan Indonesia. Adapun nama lokal ikan ini antara lain : kurisi (Pelabuhan Perikanan Samudra Cilacap), kerisi (Pelabuhan Perikanan Nusantara Tanjung Pandan), krese (Pelabuhan Perikanan Nusantara Brondong), juku eja (Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon), kurisi, tuyul (Pelabuhan Pendaratan Perikanan Banjarmasin) (Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap 2001). 2.2 Bakso Ikan Bakso merupakan produk olahan ikan atau daging yang telah dihaluskan kemudian diberi bumbu dan tepung lalu di bentuk bulat (Sudarisman dan Elvina 1996). Bakso ikan dapat didefinisikan sebagai produk makanan berbentuk bulatan atau lain, yang diperoleh dari campuran daging ikan dengan kadar daging ikan tidak kurang dari 50% dan pati atau serealia dengan atau tanpa penambahan bahan makanan yang diizinkan (BSN 1995a). Daging yang akan dibuat harus sesegar mungkin. Daging yang telah mengalami penyimpanan akan menghasilkan bakso yang rendah, baik mutu maupun rendemennya (Winarno dan Rahayu 1994). Bakso dibuat dari daging yang digiling halus ditambah bahan pengisi pati atau tepung terigu dan
bumbu-bumbu. Daging yang baik untuk membuat bakso adalah daging segar yang belum mengalami rigor mortis karena daya ikat air pada ikan segar lebih tinggi dibanding daging rigor mortis maupun pasca rigor (Pearson dan Tauber 1984). Umumnya bakso memiliki masa simpan maksimal satu hari (12-24 jam) apabila disimpan pada suhu kamar dan maksimal dua minggu apabila disimpan pada suhu (-1)-5 ºC. Bakso mengandung protein tinggi, memiliki kadar air tinggi (aw >0,9), serta pH netral (6,0-6,5) sehingga rentan terhadap kerusakan. Tandatanda kerusakan bakso adalah rasa agak asam atau asam; tekstur lunak dan mengelupas, mudah hancur dan berlendir, aroma busuk (www.republika.co.id 2007). 2.2.1 Bahan pembuatan bakso Bahan yang diperlukan untuk membuat bakso ikan yaitu bahan utama (daging ikan) dan bahan tambahan (bahan pengisi, es atau air, dan bumbubumbu). 2.2.1.1 Bahan utama Bahan utama adalah bahan yang digunakan dalam jumlah besar dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh bahan lain (Winarno 1987 diacu dalam Damuringrum 2002). Lumatan daging ikan (minced fish) adalah kumpulan daging ikan yang telah atau belum mengalami pencucian (washing). Sedangkan surimi adalah campuran dari lumatan daging ikan dengan karbohidrat tertentu (sorbitol dan gula) sehingga teksturnya dapat diperbaiki dan dipertahankan pada suhu beku karena ditambahkan zat tambahan makanan (food additive) berupa polifosfat (Sunarya 1996). Persyaratan daging yang akan dibuat bakso harus sesegar mungkin, dengan kata lain daging yang belum mengalami penyimpanan. Komponen daging yang berperan dalam produk bakso adalah protein, khususnya protein yang bersifat larut dalam garam, terutama aktin dan myosin. Fungsi protein dalam bakso adalah sebagai bahan pengikat hancuran daging dan sebagai emulsifier (Winarno dan Rahayu 1994)
Berdasarkan sifat kelarutannya protein ikan dibagi menjadi tiga kelas, yaitu protein larut air, protein larut garam dan fraksi protein yang tidak larut. Protein yang tidak larut umumnya berupa jaringan ikat. Protein ini bersifat tidak larut walaupun pada cairan dengan kekuatan ion yang tinggi (Watanabe 1990). Komposisi ketiga jenis protein pada daging ikan terdiri dari 65-75 % miofibril, 20-30 % sarkoplasma, 1-3 % stroma (Junianto 2003). a. Protein sarkoplasma Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut air dan secara normal ditemukan di plasma sel dimana protein tersebut berperan sebagai enzim yang diperlukan dalam metabolisme anaerob sel otot dan pembawa oksigen. Protein sarkoplasma tidak berperan dalam pembentukan gel dan kemungkinan akan menghambatnya, misalnya beberapa protease yang merusak miofibril (Hall dan Ahmad 1992). Protein sarkoplasma yang mengandung berbagai protein yang larut dalam air disebut miogen (Suzuki 1981). Protein tersebut terdiri dari mioglobin, enzim dan albumin lainnya (Shahidi 1994). Kandungan miogen dalam otot ikan tergantung spesiesnya, namun lebih tinggi pada ikan pelagis dibandingkan dengan ikan demersal (Suzuki 1981). Protein sarkoplasma dapat dihilangkan dengan cara mengekstrak daging ikan dengan menggunakan air dingin. Pencucian dengan menggunakan suhu dingin bertujuan untuk mempertahankan supaya protein, khususnya protein miofibril, tidak mengalami perusakan seperti denaturasi (Santoso et al. 1997). b. Protein miofibril Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan ikan, dimana protein ini bersifat larut dalam larutan garam (Hall dan Ahmad 1992). Protein ini terdiri dari miosin, aktin, dan protein regulasi (tropomiosin, troponin dan aktinin). Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel dan proses koagulasi terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981). Myosin merupakan komponen protein myofibril terbesar di dalam daging ikan, yaitu sekitar 80 % dari total protein miofibril (Shahidi 1994). Pada umumnya protein yang larut dalam larutan garam lebih efisien sebagai pengemulsi dibandingkan dengan protein yang larut dalam air (Junianto 2003).
c. Protein jaringan ikat (stroma) Stroma merupakan bagian terkecil dari protein yang membentuk jaringan ikat. Protein ini tidak bisa diikat dengan air, larutan asam, larutan alkali atau larutan garam pada konsentrasi 0,01-0,1 M. Stroma terdiri dari kolagen dan elastin yang merupakan protein yang terdapat di bagian luar sel otot (Junianto 2003). Protein stroma penting dalam industri pengolahan pangan karena stroma dapat mengganggu sifat fungsional daging, yaitu menyebabkan menurunnya kapasitas emulsi dan mengganggu water holding capacity. Disamping itu protein stroma memiliki nilai gizi yang rendah karena mengandung sedikit asam amino esensial (Pomeranz 1991). 2.2.1.2 Bahan tambahan Bahan tambahan adalah bahan yang secara sengaja ditambahkan atau diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa (Winarno et al. 1980). Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan yaitu : a. Bahan pengisi Bahan pengisi merupakan fraksi bukan daging yang biasa ditambahkan dalam pembuatan bakso. Bahan pengisi yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung berpati, misalnya tapioka, tepung gandum atau tepung aren. Bahan pengisi memiliki kemampuan dalam mengikat air tetapi tidak bisa mengemulsikan lemak. Jumlah tepung yang ditambahkan akan mempengaruhi harga jual dan mutu bakso. Para pengolah bakso di Indonesia pada umumnya menggunakan tepung dalam jumlah yang cukup tinggi sehingga kandungan proteinnya pun rendah. Bakso yang bermutu, kadar patinya kira-kira 15% (Winarno dan Rahayu 1994). Menurut Forrest et al. (1975), penambahan bahan pengisi dimaksudkan untuk mereduksi penyusutan selama pemasakan, memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan cita rasa, memperbaiki sifat irisan dan mengurangi biaya produksi. Tapioka merupakan pati yang berasal dari ekstraksi umbi ketela pohon (Manihot utilissima Pohl) yang telah dicuci dan dikeringkan (Haryanto 1981 diacu dalam Febrianata 2006). Besar granula pati tapioka berkisar antara
3-3,5 mikron (Radly 1976 diacu dalam Febrianata 2006) dengan suhu gelatinisasi berkisar antara 52-64 °C (Osman 1967 diacu dalam Febrianata 2006). Tapioka memiliki sifat yang sangat mirip dengan amilopektin karena tapioka sebagian besar terdiri atas amilopektin. Sifat–sifat amilopektin yaitu: a) dalam bentuk pasta amilopektin menunjukkan penampakan yang sangat jernih sehingga dapat meningkatkan mutu penampilan produk akhir, b) pada suhu normal pasta dari amilopektin tidak mudah menggumpal dan kembali menjadi keras, c) mempunyai daya
perekat
yang
tinggi
sehingga
pemakaiaan
pati
dapat
dihemat
(Tjocroadikosoemo 1986). b. Bumbu Bumbu-bumbu yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso adalah garam dapur, bawang merah, bawang putih, lada sehingga dapat memberikan rasa yang sesuai pada produk bakso. Sebaiknya tidak digunakan penyedap masakan monosodium glutamate atau vetsin (Wibowo 1999a). Bumbu-bumbu yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Garam Garam berfungsi sebagai pemberi rasa, pelarut protein dan pengawet (Wibowo 1999a). Selain berfungsi untuk memberikan flavor, garam juga berfungsi terutama untuk melarutkan protein myosin yang berperan sebagai emulsifier utama dan meningkatkan daya ikat air (Forrest et al. 1975). 2. Gula Gula lebih banyak berperan memberikan citarasa dari pada mengawetkan produk. Meskipun demikian pemakaian gula akan menyebabkan bakteri-bakteri asam berkembang, terutama bakteri-bakteri yang dapat memfermentasi gula menjadi asam dan alkohol. Dengan timbulnya asam dan alkohol diharapkan akan dapat memperbaiki citarasa produk (Hadiwiyoto 1993). 3. Bawang merah dan bawang putih Bawang merah sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85 %, protein 1,55 %, lemak 0,3 % dan karbohidrat 9,2 %. Selain itu dalam umbi bawang merah juga terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan asam
amino yang tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut dalam air. Ikatan asam amino ini disebut dengan alliicin (Wibowo 1999b). Bawang merah mengandung cukup banyak vitamin B dan vitamin C dan biasanya bawang merah digunakan sebagai bumbu dan obat-obatan tradisional (Ashari 1995 diacu dalam Jauharti 1997). Bawang putih termasuk salah satu familia Liliaceae yang popular di dunia ini dengan nama ilmiahnya Allium sativum L. Kandungan bawang putih antara lain air mencapai 60,9-67,8%, protein 3,5-7%, lemak 0,3%, karbohidrat 24,0-27,4% dan serat 0,7%, juga mengandung mineral penting dan beberapa
vitamin dalam jumlah tidak besar (Wibowo 1999 b).
Bawang putih dikenal sebagai bumbu maupun obat-obatan (Ashari 1995 diacu dalam Jauharti 1997). 4. Lada Lada (Piper nigrum L) merupakan tanaman serba guna dimana buahnya dapat dimanfaatkan sebagai bumbu dalam berbagai masakan. Tujuan penambahan lada adalah sebagai pemberi aroma sedap, menambah kelezatan, dan memperpanjang daya awet makanan (Sarpian 1999). c. Air dan es Bahan penting lainnya dalam pembuatan bakso adalah es atau air es. Es yang digunakan sebaiknya berupa es batu. Bahan ini berfungsi membantu pembentukan adonan dan membantu memperbaiki tekstur bakso. Penggunaan es yang berfungsi membantu pembentukan adonan dan memperbaiki tekstur bakso. Dengan adanya es, suhu dapat dipertahankan tetap rendah sehingga protein daging tidak terdenaturasi akibat gerakan mesin penggiling dan ekstraksi protein berjalan dengan baik. Untuk itu dapat digunakan es sebanyak 10-15 % dari berat daging (Wibowo 1999a). d. Sodium tripolifosfat Bahan pengawet yang biasa ditambahkan ke dalam adonan bakso ikan adalah STPP (sodium tripolifosfat). Konsentrasi STPP yang dapat ditolerir oleh tubuh tanpa gangguan fisiologis adalah 0,5 % (Person dan Tauber 1984). Penambahan sodium tripolifosfat dengan konsentrasi 0,1 % sampai 0,2 % saja sudah
cukup
bagus
untuk
mengenyalkan
bakso
(Anang
2006).
Sodium tripolifosfat merupakan garam yang efektif untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Pada produk hasil perikanan, garam STPP biasanya digunakan
pada
proses
pendinginan,
pencucian
atau
pembekuan
(Hadiwiyoto 1993). Adapun syarat penggunaan bahan tambahan makanan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Penggunaan bahan tambahan makanan pada produk pangan. Nama bahan makanan tambahan
Jenis/ bahan makanan
Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris
Sodium
Sodium Tripoliphosphat
Tripolifosfat Asam asetat
Acetic acid
Batas maksimum penggunaan
Daging olahan, daging hewan
3 g/kg, tunggal atau campuran dengan fosfat lain Sardin, ikan sejenis secukupnya Sardin kalengan, kaldu
Sumber : SNI 01-0222-1995
Alkali fosfat berguna untuk meningkatkan pH daging dan daya mengikat air protein otot, menurunkan penyusutan selama pemasakan, meningkatkan keempukan dan memudahkan pengirisan, menstabilkan warna dan keseragaman, menghambat
reaksi
oksidasi
serta
meningkatkan
mutu
produk
daging
(Ockerman 1983). 2.2.2
Proses pembuatan bakso Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri dari empat tahap, yaitu
penghancuran daging, pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan. (1) Penghancuran daging Tujuan penghancuran daging adalah untuk memperluas permukaan daging, sehingga protein yang larut dalam garam mudah terekstrak keluar, kemudian
jaringan
lemak
akan
berubah
menjadi
mikropartikel
(Wong 1989 diacu dalam Damuringrum 2002). Pada proses pencincangan perlu ditambahkan es atau air sebanyak 20 % dari berat adonan agar menghasilkan emulsi yang baik dan mencegah kenaikan suhu akibat gesekan (Winarno dan Rahayu 1994). Suhu yang tinggi hingga lebih dari
22 °C akan mengakibatkan pecahnya emulsi sehingga lemak dan air akan terpisah selama pemasakan akibat ternaturasinya protein (Wilson 1981 diacu dalam Damuringrum 2002). (2) Pembuatan adonan Pembuatan adonan dapat dilakukan dengan mencampurkan seluruh bahan, lalu menghancurkannya atau dengan menghancurkan daging giling kemudian mencampurkannya dengan seluruh bahan (Anonim 1994 diacu dalam Damuringrum 2002). Agar bakso yang dihasilkan bagus, daging lumat digiling lagi bersama-sama es batu dan garam, baru kemudian ditambahkan bahan lain. Garam dapur dapat pula ditambahkan bersama-sama bumbunya. Kemudian tepung tapioka ditambahkan sambil dilumatkan hingga diperoleh adonan yang homogen. Untuk membuat adonan ini dapat digunakan tangan, alat pengaduk yang digerakkan dengan tangan atau dengan mesin bertenaga listrik (Meat stirrer atau mixer atau silent cutter). Makin tinggi kecepatan mesin, makin bagus adonan yang terbentuk. Jika alat yang digunakan berkecepatan rendah, sebaiknya jumlah es yang digunakan sedikit lebih banyak (Wibowo 1999a). (3) Pencetakan Pencetakan dilakukan dengan cara dibentuk bulatan-bulatan dengan ukuran yang dikehendaki. Bagi mereka yang sudah mahir, maka dalam membuat bola bakso ini cukup dilakukan dengan mengambil segengganm adonan lalu diremas-remas dan ditekan kearah ibu jari. Adonan yang keluar dari ibu jari dan telunjuk membentuk bulatan lalu diambil dengan sendok (Wibowo 1999a). (4) Pemasakan Pemanasan menyebabkan molekul protein terdenaturasi dan mengumpul membentuk suatu jaring-jaring. Kondisi optimum untuk pembentukan gel adalah pada kadar garam 0,6 M, pH 6 dan suhu 65 °C (Pomeranz 1991). Untuk mendapatkan kekuatan gel yang maksimum, bakso harus dijendalkan dengan cara direndam dalam air dengan suhu 28-30 °C selama 1-2 jam atau pada suhu air 40-45 °C selama 20-30 menit (Anonim 1994 diacu dalam Damuringrum 2002).
Pemasakan bakso umumnya dilakukan dengan air yang mendidih (Tarwotjo et al. 1971) dan dapat pula dilakukan dengan cara “blanching” dengan uap air panas atau air panas pada suhu 85-90 °C. Pengaruh pemasakan ini terhadap adonan bakso adalah terbentuknya struktur produk yang kompak. Wibowo (1999a) menyatakan bahwa bakso yang sudah mengapung di permukaan air berarti bakso sudah matang dan perebusan dapat dihentikan. Setelah cukup matang, bakso diangkat dan ditiriskan sambil didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, bakso di kemas dalam kantong plastik dan sebaiknya disimpan dalam ruang dingin yaitu sekitar 5 °C (Wibowo 1999a). Syarat mutu bakso ikan dapat dilihat pada Tabel 4. 2.3 Karagenan Karagenan adalah polisakarida linier yang tersusun atas unit-unit galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktosa dengan ikatan glikosidik alfa-1,3 dan beta 1,4 secara bergantian. Pada beberapa atom hidroksil, terikat gugus sulfat dengan ikatan ester (Angka dan Suhartono 2000). Karagenan berfungsi sebagai stabilisator (pengatur keseimbangan), thickner (bahan pengental) dan pembentuk gel dalam bidang industri pengolahan makanan. Karagenan dapat diperoleh melalui proses pengendapan rumput laut yang dihancurkan menggunakan alkohol, lalu dikeringkan menggunakan drum dryer dan dilanjutkan dengan proses pembekuan. Alkohol yang digunakan terbatas pada methanol, etanol dan isopropanol (Winarno 1990). Menurut Glicksman (1983), karagenan sangat stabil pada pH 7 atau lebih tinggi dari 7, sedangkan pada pH yang lebih rendah dari 7 maka stabilitas kareganan menurun khususnya dengan adanya peningkatan suhu. Winarno (1990) menyatakan hidrasi karagenan terjadi lebih cepat pada pH rendah, dan hidrasi menjadi lebih lambat pada pH 6 atau kurang. Standar mutu untuk produk karagenan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 3. Syarat mutu bakso ikan No
Kriteria uji
Satuan
Persyaratan
1.
Keadaan
1.1
Bau
-
Normal, khas ikan
1.2
Rasa
-
Gurih
1.3
Warna
-
Normal
1.4
Tekstur
-
Kenyal
2.
Air
% b/b
Maks 80,0
3.
Abu
% b/b
Maks 3,0
4.
Protein
% b/b
Min 9,0
5.
Lemak
-
Maks 1,0
6.
Boraks
-
Tidak boleh ada
7.
Bahan tambahan makanan
8.
Cemaran logam
8.1
Timbal (Pb)
Mg/kg
Maks 2,0
8.2
Tembaga (Cu)
Mg/kg
Maks 20,0
8.3
Seng (Zn)
Mg/kg
Maks 100,0
8.4
Timah (Sn)
Mg/kg
Maks 40,0
8.5
Raksa (Hg)
Mg/kg
Maks 0,5
9.
Cemaran Arsen (As)
Mg/kg
Maks 1,0
10.
Cemaran mikroba : Koloni/g
Maks 1x107
AMP/g
Maks 4x102
-
Negatif
Koloni/g
Maks 5x102
-
Negatif
10.1 Angka lempeng total 10.2 Bakteri bentuk koli 10.3 Salmonella 10.4 Staphylococcus aureus 10.5 Vibrio cholerae Sumber : SNI 01-3819-1995
Tabel 5. Standar Mutu Karagenan Spesifikasi
FAO
FCC
EEC
Zat volatile/kadar air (%)
Maks 12
Maks 12
Maks 12
Sulfat (%)
15-40
18-40
15-40
Viskositas pada larutan 1,5 %
Min 5 cps
Min 5 cps
Min 5 cps
Kadar abu (%)
15-40
Maks 35
15-40
Logam As (ppm)
Maks 3
Maks 3
Maks 3
berat
Cu+Zn(ppm)
-
-
Maks 50
Zn (ppm)
-
-
Maks 25
Sumber : A/S Kobenhvsn pektifabrik (1978) diacu dalam Febrianata (2006).
Karagenan tidak dapat digunakan dalam pengolahan pangan pada pH yang rendah (<3,5). Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas dan potensi untuk membentuk gel. Hidrolisis dipercepat oleh panas pada pH yang rendah (Glicksman 1983). Potensi membentuk gel dan viskositas larutan karagenan akan menurun dengan menurunnya pH karena adanya ion H+ membantu proses hidrolisis ikatan glikosidik pada molekul karagenan (Angka dan Suhartono 2000). Daya kestabilan karagenan terhadap perubahan pH dalam berbagai media pelarut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Daya kestabilan karagenan terhadap perubahan pH dalam berbagai media pelarut Fraksi (Jenis) Karagenan Stabilitas
Kappa
Iota
Lamda
Pada pH alkali
Stabil
Stabil
Stabil
Pada pH netral
Stabil
Stabil
Stabil
Pada pH asam
terhidrolisis dalam larutan
Terhidrolisis dalam
terhidrolisis
jika dipanaskan, stabil
larutan, stabil dalam
dalam bentuk gel
bentuk gel
Sumber: Thomas (1992)
Karagenan banyak mengandung ester sulfat, sehingga untuk mempengaruhi pembentukan gel diperlukan kation seperti K, Ca, Na dan lain-lainnya. Dalam pembentukan gel agar-agar murni tidak dibutuhkan kation atau anion sebagaimana
dalam pembentukan gel karagenan. Jumlah sulfat pada karagenan berkisar antara 18 % sampai 40 %.
Karagenan merupakan suatu jenis galaktan yang umum
digunakan pada industri makanan, khususnya sebagai emulsifier pada industri minuman. Karagenan juga dimanfaatkan pada industri kosmetik, tekstil, obat-obatan, cat dan juga sebagai materi dasar dari aromaticdiffuser (Chapman dan Chapman 1980). Pada umumnya, karagenan dapat berinteraksi dengan makromolekul bermuatan, misalnya protein sehingga mampu menyebabkan berbagai pengaruh seperti peningkatan viskositas, pembentukan gel, pengendapan dan stabilisasi. Hasil interaksi dari karagenan dan protein sangat tergantung pada pH larutan dan pH protein. Struktur kappa dan iota karagenan memungkinkan bagian dari molekul menjadi bentuk jaringan tiga dimensi atau gel, sedangkan lambda karagenan tidak mampu membentuk double helix (Winarno 1990). Penggunaan karagenan dimaksudkan untuk memperbaiki tekstur dan kekenyalan gel produk. Karagenan dapat meningkatkan daya mengikat air, memperbaiki daya iris produk akhir, meningkatkan juiceness serta melindungi produk dari efek pembekuan dan thawing. Karagenan dapat dicampurkan bersama daging, larutan garam, tepung dan bahan tambahan pangan lainnya dalam mixer, blender atau tembler. Umumnya karagenan digunakan pada konsentrasi kurang dari 1 % dan dilarutkan dengan cara pemanasan (Keeton 2001). 2.4 Cryoprotectant Cryoprotectant digunakan untuk menghambat proses denaturasi protein selama pembekuan dan penyimpanan beku. Bahan yang dapat menghambat kondensasi dengan cara mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen disebut dengan cryoprotectant. Cryoprotectant meningkatkan kemampuan air sebagai energi pengikat, mencegah pertukaran molekul-molekul air dari protein, dan menstabilkan protein. Cryoprotectant meningkatkan stabilitas protein, mencegah pertukaran molekul air dari protein (Zhou et al. 2006). Kebanyakan mono, disakarida dan beberapa polisakarida dengan bobot molekul rendah seperti halnya banyak asam amino dan karboksilat yang ditemukan sebagai komponen cryoprotectant. Selain itu juga cryoprotectant
digunakan untuk melindungi sel pada pendinginan lambat pada saat terjadi efek larutan yang dapat merusak struktur sel (Peranginangin et al. 1999) 2.5 Kitosan Kitosan merupakan serbuk putih yang larut dalam asam, tidak dapat dicerna atau didegradasi di dalam saluran pencernaan, tetapi dapat diuraikan secara biologis di lingkungan (tanah dan air) oleh enzim kitinase dan kitonase yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Kitosan adalah bahan alam yang tidak beracun dengan nilai Lethal Dosage (LD 50) sebesar 16 g/kg berat badan pada mencit (Hirano 1996 diacu dalam Hardjito 2006). Kitosan termasuk salah satu jenis polisakarida yang dapat bersifat sebagai penghalang (barrier) yang baik karena pelapis polisakarida dapat membentuk matrik yang kuat dan kompak (Grenner dan Fennema 1994 diacu dalam Anityoningrum 2005). Kitosan memiliki sifat reaktivitas kimia tinggi yang menyebabkan mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya gugus polar dan nonpolar yang dikandungnya. Oleh karena itu, kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur (Brzeski 1987). Larutan kitosan yang dicampur dengan asam asetat dari kitosan berbentuk serbuk berfungsi sebagai antibakteri yang bersifat bakteriostatik. Efek hambatan pertumbuhan bakteri karena adanya proses deasetilasi yang baik. Semakin banyak gugus asetil yang hilang maka akan semakin kuat juga ikatan gugus aminonya. Gugus amino (NH2) dalam keadaan asam akan menjadi polimer kationik dengan struktur linier. Gugus NH2 yang bersifat kationik ini mampu mengikat bakteri sehingga metabolisme bakteri terhambat dan berangsur-angsur bakteri tidak tumbuh lagi (Pelczar dan Chan 1988). Keunggulan lain dari kitosan adalah sebagai pengawet yang dapat menghambat pertumbuhan berbagai mikroba perusak makanan. Kitosan juga dapat menghambat pertumbuhan berbagai mikroba penyebab tifus yang telah mengalami resistensi terhadap antibiotik yang ada (Yadaf dan Bhise diacu dalam Hardjito 2006). Kitosan dapat digunakan sebagai pengawet karena sifat-sifat yang dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal
antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa yang sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai pengawet adalah kitosan memiliki afinitas yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu mRNA dan sintesa protein (Hadwiger dan Adams 1978; Hadwiger dan Loschke 1981 diacu dalam Hardjito 2006). 2.6 Pemanasan Pengolahan daging yang disertai pemanasan akan menyebabkan perubahan dalam penampakan, flavor, tekstur dan kandungan nutrien. Perubahan drastis selama pemanasan seperti pengkerutan dan pengerasan jaringan disebabkan oleh perubahan protein otot. Pemanasan sampai 40 ˚C tidak memberikan pengaruh yang berarti pada sifat mekanik daging. Pemanasan dibawah 60 ˚C secara perlahan dimana kolagen dapat menyusut, tidak meningkatkan keempukan. Pada suhu yang lebih tinggi dapat terjadi koagulasi yang hebat sehingga kehilangan berat yang mencolok (Schmidt 1988). Pengolahan dengan panas mengakibatkan kehilangan beberapa zat gizi. Semua perlakuan pemanasan harus dioptimasi untuk mempertahankan nilai gizi dan mutu produk serta menghancurkan mikroba (Buckle 1987). 2.7 Pengemasan Pengemasan merupakan suatu cara dalam memberikan kondisi sekeliling yang tepat bagi bahan pangan (Buckle 1987). Pengemasan bertujuan untuk melindungi produk selama penyimpanan dan pendistribusian. Kemasan yang digunakan harus disesuaikan dengan jenis makanannya, sehingga diperlukan syarat-syarat tertentu, yaitu melindungi kandungan air dan lemak, mencegah masuknya bau dan gas, melindungi makanan dari sinar matahari, serta tahan terhadap tekanan atau benturan (Hambali et al. 2004). Pengemasan merupakan salah satu proses dalam industri permen yang memegang peranan penting dalam upaya mencegah terjadinya penurunan mutu produk, karena perlindungan atau pengawetan produk dapat dilakukan dengan mengemas produk yang bersangkutan. Kemasan juga berfungsi untuk menarik pembeli (Mustain 2002).
Salah satu bahan pengemas yang sering digunakan adalah plastik tipis fleksibel jenis polietilen. Plastik ini merupakan plastik tipis yang murah dengan kekuatan tegangan yang sedang dan terang, dan merupakan penahan air yang baik tetapi jelek terhadap oksigen sehingga masih memungkinkan bahan teroksidasi dan mengalami kerusakan (Buckle 1987). 2.8 Penyimpanan suhu dingin dan suhu beku Penyimpanan merupakan usaha untuk melindungi bahan pangan dari kerusakan yang disebabkan
berbagai hal antara lain serangan hama seperti
mikroorganisme, serangga, tikus dan kerusakan fisiologis atau biokimia (Damayanthi dan Moeljajanto 1995). Penyimpanan dengan menggunakan suhu kurang dari 5-7 °C dapat memperlambat kerusakan yang disebabkan oleh mikroba dan mencegah pertumbuhan mikroba patogen. Kecepatan perubahan biokimia oleh aktivitas mikroorganisme maupun enzim merupakan suatu fungsi logaritmik terhadap suhu (Fellows 1990). Tujuan penyimpanan atau pengawetan ikan menggunakan suhu chilling (-1 sampai 5 °C) adalah untuk menghambat kegiatan mikroorganisme dan proses-proses kimia serta fisis lainnya yang dapat mempengaruhi atau menurunkan kesegaran (mutu) ikan (Moeljanto 1992). Moeljanto (1992) menyatakan bahwa selama penyimpanan beku beberapa proses seperti biokimia, kimia, dan fisik masih dapat berlangsung. Membekukan produk sampai pada suhu -18 °C merupakan perlakuan baku dalam industri pendinginan ikan. Pada suhu -10 °C kegiatan mikrobiologi terhenti, namun pada suhu ini reaksi kimia masih berjalan dan dalam beberapa minggu produk dapat mengalami perubahan-perubahan yang merugikan. Suhu -18-(-20) °C cukup baik untuk penyimpanan, sedangkan untuk penyimpanan yang lebih lama disarankan memakai suhu -25 sampai -30 °C. Tujuan
penyimpanan
di
bawah
kondisi
beku
adalah
untuk
mempertahankan nilai bahan pangan dan melindungi produk dari kerusakan dalam jangka waktu yang lama. Suhu penyimpanan beku yang dipakai dalam perdagangan modern kira-kira -30 °C atau bahkan di bawah suhu -60 °C (Sikorski dan Pan 1994). Faktor yang mempengaruhi stabilitas penyimpanan bahan pangan meliputi jenis dan kualitas bahan baku yang digunakan, metode dan keefektifan
pengolahan, jenis dan keadaan pengemasan, perlakuan mekanis yang cukup berat terhadap produk yang dikemas dalam ruang penyimpanan dan distribusi, juga pengaruh
yang
ditimbulkan
oleh
suhu
dan
kelembaban
penyimpanan
(Desrosier 1988). Pembekuan hanya menyebabkan sedikit perubahan terhadap nilai gizi protein,
namun
dimungkinkan
terjadinya
proses
denaturasi
protein
(Desrosier 1988). Denaturasi adalah proses yang mengubah struktur molekul tanpa memutuskan ikatan kovalen (Deman 1997). Terjadinya denaturasi protein selama penyimpanan beku disebabkan karena terjadi peningkatan konsentrasi garam mineral dan substansi organik terlarut pada akhir fase sebelum terjadi pembekuan di dalam sel (Suzuki 1981). Penyimpanan beku dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan berbagai perubahan sifat fungsional protein otot dengan adanya denaturasi atau agregasi protein miofibril. Pembekuan dapat memberikan efek merugikan pada sel, karena pembentukan kristal es baik pada bagian dalam maupun luar. Komponen yang digunakan untuk memperlambat denaturasi tersebut adalah cryoprotectant (Zhou et al. 2006).
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Oktober 2007 bertempat di Laboratorium Unit Produksi, Laboratorium Mikrobiologi, dan Laboratorium
Organoleptik
Departemen
Teknologi
Hasil
Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan serta Laboratorium Kimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. 3.2 Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut : 3.2.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam pembuatan bakso antara lain berupa bahan utama yaitu ikan kurisi. Ikan ini diperoleh dari Muara Baru Jakarta, rata-rata ukuran ikan kurisi adalah 13-15 cm dan berat 120-150 gram. Bahan tambahan seperti
bahan
pengisi
(tepung
tapioka),
kitosan,
karagenan,
STPP
(sodium tripolifosfat), es atau air es dan bumbu-bumbu (bawang merah, bawang putih, garam, gula, dan merica), sedangkan bahan yang digunakan dalam analisis bakso ikan antara lain akuades, alkohol, bahan analisis kimia (pelarut heksana, K2SO4, HgO, H2SO4, HCl, NaOH, KBr, tablet Kjeldahl, H3BO3, merah
metil
dan
biru
metil)
dan
bahan
analisis
mikrobiologi
(media Plate Count Agar dan NaCl). 3.2.2 Alat Alat yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan yaitu grinder, food processor, freezer, cool box, timbangan, talenan, pisau, baskom, sendok, panci, kompor, piring, mangkuk, saringan, lap, sealer, termometer. Seperangkat peralatan laboratorium untuk analisis kimia (uji proksimat) seperti labu kjeldahl, alat ekstraksi soxhlet, alat destilasi, oven, desikator, tanur pengabuan, cawan porselin dan tutup cawan, kertas saring whatman, pH meter, magnetic
stirrer.
Seperangkat
alat
untuk
analisis mikrobiologi
seperti
timbangan analitik, gelas ukur, cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer, pipet 1 ml,
tissue,
semprotan alcohol, vortex, autoklaf, bunsen. Alat untuk analisis fisik
berupa Rheoner jenis RE-3305. 3.3 Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap, tahap pertama penentuan konsentrasi karagenan dan kitosan yang ditambahkan pada bakso ikan kurisi, tahap kedua yaitu membandingkan bakso ikan kurisi terpilih dengan bakso ikan yang ditambahkan sodium tripolifosfat, kemudian disimpan pada suhu dingin dan beku. 3.3.1
Penelitian tahap I Konsentrasi karagenan yang digunakan yaitu 0 %; 0,5 % dan 1 %,
sedangkan konsentrasi kitosan yang ditambahkan yaitu 0 %; 0,1 %. Pembuatan bakso diawali dengan proses pembuatan daging lumat. Pertama ikan kurisi segar ditimbang kemudian disiangi dan difillet (skinless), dipisahkan daging
dari
tulang
dengan
menggunakan
mesin
pemisah
daging
(meat bone separator) atau secara manual. Daging tersebut dipotong dan dihaluskan menggunakan meat grinder sehingga diperoleh daging lumat. Setelah diperoleh daging lumat kemudian dilakukan perhitungan rendemen. Proses pembuatan bakso ikan adalah sebagai berikut: daging lumat digiling menggunakan food processor, ditambahkan garam, tepung tapioka, bumbu-bumbu seperti bawang merah yang sudah digoreng sampai warna kekuningan dan dihaluskan, bawang putih yang sudah dihaluskan, gula pasir, lada dan ditambahkan es atau air es ke dalam adonan tersebut dari berat daging lumat ikan kurisi. Perlakuan yang diberikan adalah penambahan kitosan konsentrasi 0 % dan 0,1 % serta karagenan 0 %, 0,5 % dan 1 % (pemilihan konsentrasi karagenan di dapat setelah dilakukan trial and error terhadap produk bakso ikan, sedangkan pemilihan konsentrasi kitosan didapat dari penelitian sebelumnya yakni konsentrasi 0,1 % merupakan konsentrasi terbaik dalam pembuatan bakso ikan). Setelah itu adonan dicetak dengan menggunakan tangan sehingga membentuk bulatan atau bola-bola. Adonan yang sudah dicetak direndam dalam air hangat (40-45 °C, selama 20-30 menit), kemudian dimasak pada suhu 85-100 °C atau sampai bakso mengapung. Bakso tersebut ditiriskan sampai dingin.
Bakso yang dihasilkan kemudian dilakukan uji organoleptik (penampakan, warna, tekstur, aroma dan rasa) dan uji fisik (uji lipat dan gigit) oleh 30 orang panelis untuk mendapatkan bakso dengan mutu terbaik menurut tingkat kesukaan indera manusia. Prosedur penelitian tahap 1 disajikan pada Gambar 2.
Ikan Kurisi
Daging lumat Garam Tepung tapioka Gula Bawang merah Bawang putih Lada
Pengadonan
Kitosan 0% & karagenan 0% Kitosan 0,1% & karagenan 0% Kitosan 0% & karagenan 0,5% Kitosan 0,1% & karagenan 0,5% Kitosan 0% & karagenan 1%
Pengadukan dan pencetakan dengan tangan
Perendaman air hangat (40-45 °C) Pemasakan (85-100 °C sampai bakso mengapung) Bakso Pengujian 1. Organoleptik (penampakan, warna, tekstur, aroma, rasa) 2. Fisik (lipat dan gigit) Gambar 2. Diagram alir proses pembuatan bakso ikan pada penelitian tahap I 3.3.2 Penelitian tahap II Membandingkan bakso ikan kurisi terbaik pada tahap 1 dengan bakso ikan kurisi yang dibuat dengan penambahan sodium tripolifosfat, dan dilakukan penyimpanan pada suhu dingin dan beku Selama penyimpanan suhu beku (-18 °C) dan suhu dingin (0-5 °C) dilakukan analisis terhadap perubahan nilai pH
dan analisis mikrobiologi (setiap satu minggu sekali). Prosedur penelitian tahap II disajikan pada Gambar 3.
Ikan Kurisi
Daging lumat
Garam Tepung tapioka Gula Bawang merah Bawang putih Lada
Pengadonan
Kitosan 0% & karagenan 0,5% Sodium tripolifosfat 0,15 %
Pengadukan dan pencetakan dengan tangan Perendaman air hangat (40-45 °C) Pemasakan (85-100 °C sampai bakso mengapung) Pengujian : 1. Sensori (penampakan, warna, tekstur, aroma, rasa) 2. Fisik (uji lipat dan gigit serta uji kekuatan gel) 3. Proksimat (kadar air, abu, protein, lemak dan karbohidrat)
Penyimpanan pada suhu beku (-18 °C) dan chilling (0-5 °C), setiap 1 minggu sekali dilakukan uji : 1. Analisis mikrobiologi (TPC) 2. Uji pH Keterangan :
= proses,
= masukan
= hasil proses
Gambar 3. Diagram alir proses pembuatan bakso ikan pada penelitian tahap II
3.4 Pengujian mutu bakso ikan Uji mutu bakso ikan meliputi analisis fisik (gel strength, lipat, gigit), kimia (uji proksimat dan pH), organoleptik dan mikrobiologi.
3.4.1 Uji sensori Uji organoleptik terhadap produk bakso ikan meliputi uji penampakan, aroma, tekstur, warna dan rasa. Pengamatan dilaksanakan dengan skala hedonik bernilai satu sampai sembilan yang bertujuan untuk mengetahui tanggapan panelis terhadap produk (Soekarto 1985). Pelaksanaan uji ini adalah dengan menyajikan bakso ikan kurisi yang telah dikukus dan diberi kode sesuai perlakuannya dan panelis diminta untuk memberikan penilaian pada scoresheet yang telah disediakan. Penilaian dilakukan oleh 30 orang panelis untuk penelitian tahap I dan 15 orang untuk penelitian tahap II. Pengujian organoleptik ini dilakukan secara hedonik (berdasarkan tingkat kesukaan panelis). 3.4.2 Analisis fisik Analisis fisik yang dilakukan terhadap produk bakso ikan ini adalah uji gel strength, uji lipat dan uji gigit. 3.4.2.1 Uji gel strength Pengujian kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan alat Rheoner jenis RE-3305. Prinsipnya adalah dengan memberikan gaya kepada bahan dengan besaran tertentu sehingga kekuatan gel bahan pangan tersebut dapat diukur. Jenis bahan yang dianalisis berpengaruh pada jenis probe yang digunakan. Pada anlisis kekuatan gel bakso ikan, sampel diletakkan diatas meja sampel, probe yang sesuai dipasang lalu tekan tombol start untuk memulai pengukuran. Evaluasi hasil pengukuran dilakukan dengan membaca grafik yang dihasilkan. Gaya tekan maksimal (gel force) dapat dibaca pada recorder. Nilai kekuatan gel dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Kekuatan gel (g cm) = gel force (gf) x distance (cm) 3.4.2.2 Uji gigit (Suzuki 1981) Uji gigit dilakukan untuk mengukur kekuatan produk bakso. Pengujian dilakukan dengan cara memotong atau menggigit sampel antara gigi seri atas dan bawah. Sampel yang diuji memiliki ketebalan 5 mm dan berdiameter 12 mm.
3.4.2.3 Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) Uji pelipatan merupakan salah satu pengujian mutu bakso yang dilakukan dengan cara memotong sampel dengan ketebalan 4-5 milimeter. Potongan sampel tersebut diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk, kemudian dilipat untuk diamati ada tidaknya retakan pada bakso. 3.4.3 Analisis Kimia Analisis kimia yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak serta kadar karbohidrat. 3.4.3.1 Kadar air (AOAC 1995) Penentuan kadar air didasarkan pada perbedaan berat contoh sebelum dan sesudah dikeringkan. Mula-mula cawan kosong yang akan digunakan dikeringkan dalam oven selama 15 menit atau sampai didapat berat tetap, kemudian didinginkan selama 30 menit dalam desikator, setelah dingin beratnya ditimbang. Sampel sebanyak 5 g ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dalam oven selama 6 jam pada suhu 100 ºC sampai 102 ºC. Kemudian dikeringkan dalam desikator selama 30 menit dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air (berat basah) dapat dihitung dengan rumus : Kadar air basis basah (%) =
W1 − W 2 x 100 % W1
Keterangan : W1 = berat contoh awal (gram) W2 = berat contoh setelah dikeringkan (gram)
3.4.3.2 Kadar lemak (AOAC 1995) Contoh sebanyak 5 g ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring dan diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang diatas kondensor serta labu lemak dibawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan reflux selama minimal 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak. Pelarut didalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven suhu 105 ºC selama 5 jam.
Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung dengan menggunakan rumus : Kadar Lemak (%) = Berat lemak (g) x 100 % Berat sampel (g) 3.4.3.3 Kadar protein dan total nitrogen (AOAC 1995) Penentuan total nitrogen dan kadar protein menggunakan metode mikro kjeldal. Contoh sebanyak 0,2 g dimasukkan ke dalam tabung kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1,9 g K2SO4 40 mg HgO dan 2,5 ml H2SO4, serta beberapa tablet kjeldahl. Contoh dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih kemudian didinginkan. Isi labu dituangkan ke dalam alat destilasi, labu dibilas sebanyak 5-6 kali dengan aquades (20 ml). Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan ditambahkan larutan NaOH 40 % sebanyak 20 ml. Cairan yang berasal dari ujung tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi larutan 5 ml H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (campuran merah metil 0,2 % dalam alkohol dan biru metil 0,2 % dalam alkohol 2:1) yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh kira-kira 200 ml destilat yang bercampur dengan H3BO3 dan indikator dalam erlenmeyer. Destilat dititrasi dengan HCL 0,02 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah. Hal yang sama juga dilakukan terhadap balnko, yaitu dengan mengganti sampel dengan akuades. Kadar protein dapat dihitung berdasarkan kadar N : %N % protein
=
(ml HCL − ml blanko) x NHCl x 14,007 x 100% mg sampel
= %N x faktor konversi (6,25)
3.4.3.4 Kadar abu (AOAC 1995) Cawan kosong dipanaskan dalam oven didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang beratnya. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dan diletakkan dalam cawan, kemudian dibakar dalam kompor listrik sampai tidak berasap. Cawan kemudian dimasukkan dalam tabung tanur. Pengabuan dilakukan dalam dua tahap yaitu pada suhu 450 ºC dan pada suhu 550 ºC, pengabuan
dilakukan sekitar 2-3 jam. Cawan kemudian didinginkan dalam desikator, setelah dingin cawan kemudian ditimbang. Persentase dari kadar abu dapat dihitung menggunakan rumus :
Kadar abu (%) =
Berat abu (g) x 100% Berat sampel(g)
3.4.3.5 Kadar karbohidrat Perhitungan kadar karbohidrat dilakukan secara by difference, yaitu dengan menggunakan rumus: Kadar karbohidrat = 100 % - kadar lemak - kadar protein - kadar air - kadar abu 3.4.3.6 Analisis pH Sebanyak 5 gram sampel dihomogenkan dalam 45 ml aquades. Pengukuran pH dilakukan dengan mecelupkan batang probe dalam larutan. Sebelumnya
pH meter dikalibrasi dengan cara mencelupkan batang probe pada
buffer pH 4,0 lalu mencelupkannya pada buffer pH 7,0. 3.5.4 Analisis mikrobiologi (Fardiaz 1987) Analisis
mikrobiologi
yang
dilakukan
adalah
penentuan
TPC
(Total Plate Count) dengan metode tuang. Prinsip metode ini adalah sel bakteri dalam sampel ditumbuhkan pada medium agar dan diinkubasi selama 24-48 jam. Sel bakteri akan tumbuh membentuk koloni yang dapat dlihat secara visual, sehingga dapat langsung dihitung. Mula-mula cawan petri, tabung reaksi dan pipet disterilisasi dalam oven pada suhu 180 ºC selama 2 jam. Media Plate Count Agar (PCA) dibuat dengan cara melarutkan 8 gr PCA dalam 400 ml aquades. Media dibuat sebanyak jumlah yang diperlukan. Media tersebut disterilkan dalam autoklaf suhu 121ºC selama 15 menit dengan tekanan 1 atm. Setelah disterilisasi, suhu media dipertahankan 45-55 ºC dalam penangas air untuk menjaga agar media tidak membeku. Pembuatan larutan pengencer dengan cara melarutkan 8,5 g NaCl dalam 1 liter aquades yang kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit. Sebanyak 10 g sampel dihaluskan lalu dilarutkan dalam 90 ml larutan pengencer steril sehingga didapatkan pengenceran 10-1. Dari larutan tersebut
dipipet 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah berisi 9 ml larutan pengencer steril untuk memperoleh pengenceran 10-2. demikian seterusnya sampai diperoleh pengenceran 10-7, sesuai dengan pendugaan tingkat kebusukan bakso ikan pada saat pengamatan. Dari tiap pengenceran, dipipet 1 ml dan dimasukkan ke dalam cawan petri steril (dilakukan secara duplo). Lalu ke dalam setiap cawan petri ditambahkan media sebanyak 1/3 bagian. Kemudian cawan petri tersebut digerakkan di atas meja dengan gerakan melingkar agar media PCA merata. Setelah PCA membeku, cawan petri diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator pada suhu 30 ºC selama 48 jam. Setelah waktu inkubasi, koloni yang tumbuh pada cawan petri dapat dihitung dengan jumlah koloni yang diterima 30-300 koloni per cawan. Nilai TPC produk bakso ikan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
Koloni per cawan =
jumlah koloni 1 x cawan faktor pengenceran
3.5 Analisis data Analisis non parametrik yang dilakukan untuk pengujian organoleptik skala hedonik dan skala mutu hedonik menggunakan model matematika Kruskal Wallis yang dilanjutkan dengan dengan uji lanjut Tukey untuk melihat perbedaan dan hubungan antar perlakuan. Panelis yang digunakan tergolong ke dalam panelis semi terlatih.
Model matematika uji Kruskal-Wallis sebagai
berikut : 2 ⎤ ⎡ R 12 i ⎥ -3(n+1) H= ⎢ ∑ ⎢ n ( n + 1) ni ⎥ ⎦⎥ ⎣⎢
H´ = Pembagi = 1Keterangan : n
H Pembagi
∑T dengan T = (t − 1)( t + 1) (n − 1)(n + 1)n
= jumlah data
ni
= banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i
Ri2
= jumlah rangking dalam perlakuan ke-i
T
= banyaknya pengamatan seri dalam kelompok
H´
= H terkoreksi
H
= simpangan baku
t
= banyaknya pengamatan yang seri
Untuk mendapatkan keputusan, x2 hitung dibandingkan dengan x2 tabel. Cara mencari x2 tabel adalah sebagai berikut : 1) Mencari derajat bebas dengan rumus db = (p-1) dimana db = derajat bebas p = banyaknya perlakuan 2) Untuk mendaptkan nilai x2 rabel digunakan data tabel Jika hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata selanjutnya dilakukan uji lanjut Tukey dengan rumus sebagai berikut (Steel dan Torrie 1991) : Rumus Uji Multiple Comparison :
Ri − Rj >< Zα/2p
k (n + 1) 6
p= k(k+1)/2
Keterangan : Ri
: rata-rata rangking perlakuan ke-i
Rj
: rata-rata rangking perlakuan ke-j
k
: banyaknya ulangan
n
: jumlah total data Analisis data yang digunakan pada penelitian adalah
lengkap (RAL) dengan dua faktor.
rancangan acak
Faktor yang pertama adalah konsentrasi
karagenan, yang terdiri dari tiga taraf yaitu 0%, 0,5%, 1% sedangkan faktor yang kedua adalah konsentrasi kitosan yang terdiri dari dua taraf, yaitu dari 0 % dan 0,1 %. Adapun rumusan matematikanya menurut Steel dan Torrie (1989) adalah sebagai berikut:
Yij = μ + αi + β j + (αβ)ij + εij Keterangan: i
= 1, 2, 3
j
= 1, 2, 3
Yij
= Hasil pengamatan dari faktor ke-1 ulangan ke-i, faktor ke-2 ulangan ke-j
µ
= Rata-rata sebenarnya
αi
= Pengaruh faktor pertama (konsentrasi karagenan) dan ulangan ke-i
βj
= Pengaruh faktor kedua (konsentrasi chitosan) dan ulangan ke-j
(αβ)ij = Pengaruh dari interaksi faktor ke-1 dengan faktor ke-2 εij
= Galat dari percobaan
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Tahap I Pada penelitian tahap I dilakukan uji fisik berupa uji lipat dan uji gigit sedangkan uji organoleptik berupa uji skala hedonik terhadap lima parameter yaitu penampakan, aroma, rasa, warna dan tekstur. 4.1.1 Rendemen daging lumat Rendemen daging ikan sangat bervariasi tergantung jenis ikan, bentuk
tubuh
dan
umur
(Suzuki
1981).
Rendemen
digunakan
untuk
memperkirakan bagian tubuh ikan yang dapat digunakan sebagai bahan makanan (Hadiwiyoto 1993). Rendemen
daging
lumat ikan
kurisi berkisar
antara 33,3 - 35,24 %. 4.1.2 Hasil uji sensori Selain mempunyai sifat mutu objektif, produk pangan juga mempunyai sifat mutu subjektif yang menonjol. Sifat mutu subjektif pangan lebih umum disebut sifat organoleptik atau sifat indrawi karena penilaiannya menggunakan organ indra manusia, kadang-kadang disebut juga sifat sensorik karena penilaiannya
didasarkan
pada
rangsangan
sensorik
pada
organ
indra
(Soekarto 1995). Analisis sensori yang dilakukan pada penelitian ini meliputi uji skala hedonik terhadap warna, aroma, rasa, tekstur dan penampakan bakso ikan. 4.1.2.1 Penampakan Penampakan merupakan karakteristik pertama yang dinilai panelis dalam mengkonsumsi suatu produk. Bila kesan penampakan baik atau disukai, maka konsumen baru akan melihat karakteristik lainnya (aroma, rasa dan seterusnya). Meskipun penampakan tidak menentukan tingkat kesukaan konsumen secara mutlak, tetapi penampakan juga mempengaruhi penerimaan konsumen. Produk dengan bentuk yang rapi, bagus dan utuh, pasti lebih disukai konsumen dibandingkan dengan produk yang kurang rapih dan tidak utuh (Soekarto 1985). Data hasil uji sensori skala hedonik untuk parameter penampakan bakso ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 4.
Nilai organoleptik
6.80 6.70 6.60 6.50 6.40 6.30 6.20 6.10 6.00 5.90 5.80 5.70
6.67 6.53 6.43 6.20 6.07
A1B1
6.03
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi perlakuan
Gambar 4. Histogram uji sensori skala hedonik penampakan Dari hasil penelitian, kisaran fluktuasi nilai sensori skala hedonik penampakan bakso ikan adalah 5,0 – 8,0 dengan spesifikasi produk ”agak suka” sampai ”amat sangat suka”. Hasil sensori menunjukkan bahwa penurunan mutu seiring dengan penambahan konsentrasi karagenan dan penurunan konsentrasi kitosan. Nilai rata-rata tertinggi uji sensori penampakan terdapat pada bakso ikan dengan perlakuan A2B2 (penambahan konsentrasi karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,67 dengan spesifikasi produk ”sangat suka”. Hal ini diduga karena kitosan memiliki kemampuan yang sama dengan pembentuk tekstur sintesis seperti CMC (Carboxy Metil Cellulose) dan MC (Metil Cellulose) yang dapat memperbaiki penampakan suatu produk karena memiliki daya mengikat air dan minyak yang kuat dan tahan panas (Brzeski 1987). Sedangkan nilai rata-rata terendah uji sensori terdapat pada bakso ikan perlakuan A3B2 (penambahan konsentrasi karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,03. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 9), pengaruh perlakuan penambahan karagenan dan kitosan berbeda nyata terhadap produk bakso ikan yang dihasilkan. Setelah dilakukan uji lanjut Tukey, perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) berbeda nyata dengan perlakuan A1B1 (penambahan karagenan 0 % dan kitosan 0 %) dan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %). Hal ini berarti bakso ikan perlakuan A2B2 mempunyai penampakan berbeda dengan bakso ikan perlakuan A1B1 dan A3B2.
4.1.2.2 Warna Warna merupakan salah satu sifat visual yang pertama kali dilihat oleh konsumen. Warna mempunyai arti dan peranan yang sangat penting pada komoditas pangan. Di antara sifat-sifat produk pangan yang paling cepat menarik perhatian konsumen dan paling cepat memberi kesan disukai atau tidak disukai adalah warna. Arti dan peranan warna pada produk pangan antara lain sebagai perinci jenis, tanda-tanda kerusakan, petunjuk tingkat mutu dan pedoman proses pengolahan (Soekarto 1985). Data hasil uji sensori skala hedonik untuk parameter warna bakso ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 5.
7.00
6.70
Nilai organoleptik
6.80 6.60
6.70
6.80 6.57
6.50
6.40 6.20
6.07
6.00 5.80 5.60
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi perlakuan
Gambar 5. Histogram uji sensori skala hedonik warna Kisaran nilai uji sensori warna bakso ikan kurisi berada pada 5,0-8,0 dengan spesifikasi produk ”agak suka” sampai ”amat sangat suka”. Nilai rata-rata tertinggi uji sensori warna terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,80 dengan spesifikasi produk ”sangat suka”. Sedangkan nilai rata-rata terendah uji sensori warna terdapat pada bakso ikan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,07. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 9), pengaruh perlakuan penambahan karagenan dan kitosan tidak berbeda nyata terhadap produk bakso ikan yang dihasilkan. Hal ini menunjukan bahwa perlakuan penambahan karagenan dan kitosan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap warna bakso ikan. Hal ini diduga karena produk bakso yang dihasilkan (dari semua perlakuan) memiliki warna yang tidak jauh berbeda. Menurut Elviera (1988),
pada saat pemasakan warna bahan pangan atau produk pangan dapat mengalami perubahan, misalkan menjadi lebih cerah. Hal ini disebabkan oleh hilangnya sebagian pigmen akibat pelepasan cairan sel pada saat pemasakan atau pengolahan, sehingga intensitas warna semakin menurun. 4.1.2.3 Tekstur Pada umumnya tekstur makanan ditentukan oleh kandungan air, lemak, protein dan karbohidrat (Fellows 1992). Kisaran nilai uji sensori skala hedonik untuk parameter tekstur berada pada 4,0-8,0 dengan spesifikasi produk ”biasa” sampai ”amat sangat suka”. Nilai rata-rata tertinggi uji sensori tekstur terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,67 dengan spesifikasi produk ”sangat suka”. Karagenan dapat meningkatkan daya mengikat air sehingga dapat memperbaiki tekstur produk (Keeton 2001). Selain itu kitosan memiliki sifat reaktivitas kimia tinggi yang menyebabkan mampu mengikat air dan minyak sehingga dapat digunakan sebagai pembentuk tekstur (Brzeski 1987). Sedangkan nilai rata-rata terendah uji sensori tekstur terdapat pada bakso ikan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 5,53. Hal ini diduga karena penggunaan karagenan yang terlalu tinggi (konsentrasi 1%) mengakibatkan panelis kurang menyukai tekstur bakso yang dihasilkan. Menurut Keeton (2001), umumnya karagenan digunakan pada konsentrasi kurang dari 1 %. Data hasil uji sensori skala hedonik parameter tekstur dapat dilihat pada Gambar 6.
7.00
6.50
6.33
6.47
6.67
6.20 5.53
Nilai organoleptik
6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi perlakuan
Gambar 6. Histogram uji sensori skala hedonik tekstur
Berdasarkan
analisis
ragam
(Lampiran
9),
pengaruh
perlakuan
penambahan karagenan dan kitosan berbeda nyata terhadap produk bakso ikan yang dihasilkan. Setelah dilakukan uji lanjut Tukey, perlakuan A1B1 (penambahan karagenan 0 % dan kitosan 0 %), A1B2 (penambahan karagenan 0 % dan kitosan 0,1 %), A2B1 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0 %) dan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) berbeda nyata dengan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %). Penambahan karagenan dan kitosan memberikan pengaruh terhadap tekstur bakso ikan yang dihasilkan. Hal ini diduga karena karagenan dan kitosan memiliki kemampuan menghasilkan tekstur yang cukup baik. Penggunaan karagenan dimaksudkan untuk memperbaiki tekstur dan kekenyalan gel produk (Keeton 2001) dan kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik karena berfungsi sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur (Brzeski 1987). Karagenan mampu melakukan interaksi dengan makromolekul yang bermuatan misalnya protein, sehingga mempengaruhi peningkatan
viskositas,
pembentukan
gel,
pengendapan
dan
stabilisasi
(Winarno 1990).
4.2.2.4 Aroma Pembauan disebut juga pencicipan jarak jauh karena manusia dapat mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium bau atau aroma makanan tersebut dari jarak jauh (Soekarto 1985). Data uji sensori skala hedonik aroma yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 7. 6.50
Nilai organoleptik
6.40
6.40 6.30
6.30
6.17
6.20
6.03
6.10 6.00
6.00 5.90
5.90 5.80 5.70 5.60 A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi perlakuan
Gambar 7. Histogram uji sensori skala hedonik aroma
Hasil uji sensori skala hedonik terhadap aroma berada pada kisaran 4,0-7,0 dengan spesifikasi produk ”biasa” sampai ”sangat suka”. Nilai rata-rata tertinggi uji sensori aroma terdapat pada bakso ikan perlakuan A1B1 (penambahan karagenan 0 % dan
kitosan
0 %) sebesar 6,40 dengan spesifikasi produk
”suka”. Nilai rata-rata terendah uji sensori aroma terdapat pada bakso ikan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 5,90. Aroma pada produk bahan pangan sebagian besar berasal dari bumbu-bumbu yang ditambahkan pada adonan. Semakin banyak bumbu yang ditambahkan maka aroma yang dihasilkan semakin kuat (Zaika et al. 1978). Penggunaan tepung karbohidrat yang terlalu banyak akan mengurangi aroma daging pada bakso. Bakso seperti ini kurang disukai oleh konsumen (Purnomo 1990). Berdasarkan
analisis
ragam
(Lampiran
9),
pengaruh
perlakuan
penambahan karagenan dan kitosan tidak berbeda nyata terhadap produk bakso ikan yang dihasilkan. Hal ini menunjukan bahwa perlakuan penambahan karagenan, kitosan dan STPP tidak memberikan pengaruh nyata terhadap aroma bakso ikan yang dihasilkan. 4.2.2.5 Rasa Rasa sangat menentukan penerimaan konsumen terhadap produk pangan. Menurut Winarno (1997), indra pencicip dapat membedakan empat macam rasa yang utama, yaitu asin, asam, manis dan pahit. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, senyawa kimia, konsentrasi dan interaksinya dengan komponen yang lain. Data hasil uji sensori skala hedonik parameter rasa dapat dilihat pada Gambar 8. 7.00
Nilai organoleptik
6.80
6.67
6.63
6.60
6.73
6.37
6.40
6.23
6.20 6.00
5.80
5.80 5.60 5.40 5.20 A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi perlakuan
Gambar 8. Histogram uji sensori skala hedonik rasa
Kisaran nilai uji sensori skala hedonik terhadap rasa antara 5,0 – 8,0 dengan spesifikasi produk ”agak suka” sampai ”amat sangat suka”. Nilai rata-rata tertinggi uji sensori rasa terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,73 dengan spesifikasi produk ”sangat suka”. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, konsentrasi dan interaksinya dengan komponen yang lain (Winarno 1997). Nilai rata-rata terendah uji sensori rasa terdapat pada bakso ikan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0 %) sebesar 5,33. Hal ini diduga karena terlalu tingginya konsentrasi karagenan yang diberikan pada bakso ikan sehingga penerimaan panelis terhadap bakso tersebut menjadi turun. Menurut Food Chemicals Codex (1980), karagenan merupakan tepung berwarna putih atau kekuningan yang memiliki rasa getah (mucilaginous). Berdasarkan
analisis
ragam
(Lampiran
9),
pengaruh
perlakuan
penambahan karagenan dan kitosan berbeda nyata terhadap produk bakso ikan yang dihasilkan. Berdasarkan uji lanjut Tukey, perlakuan A1B1 (penambahan karagenan 0 % dan kitosan 0 %), A2B1 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0 %), A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) berbeda nyata dengan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %). Hal ini berarti bakso ikan perlakuan A1B1, A2B1, A2B2 memiliki rasa yang berbeda dengan bakso ikan perlakuan A3B2. 4.1.3 Hasil analisis fisik Analisis fisik yang dilakukan pada penelitian tahap I ini berupa uji lipat dan uji gigit. Uji lipat dan uji gigit diuji secara subjektif dilakukan oleh 30 orang panelis. Uji lipat dan gigit dilakukan untuk mengetahui karakteristik mutu gel dari bakso ikan kurisi yang dihasilkan. 4.1.3.1 Uji lipat Hasil uji lipat menunjukkan bahwa mutu gel terbaik dihasilkan oleh bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) yaitu dengan nilai 5,0 yang artinya elastisitas gel produk bakso ikan sangat baik dan mempunyai kemampuan untuk dilipat menjadi seperempat lingkaran. Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %
lebih baik dalam membentuk gel bakso ikan dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Nilai hasil uji lipat dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil uji lipat produk bakso ikan kurisi Jenis sampel A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
mutu 4 4 4 5 4 4
Keterangan Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran Tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran
Berdasarkan Gambar 9, diperoleh bahwa perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) mempunyai nilai rata-rata tertinggi uji lipat sebesar 4,73 yang berada pada kisaran 4 - 5 dengan spesifikasi produk ”tidak retak jika dilipat setengah lingkaran” sampai dengan ’tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran”. Sedangkan nilai rata-rata terendah uji lipat pada perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 3,87 yang berada pada kisaran 3,0-4,0 dengan spesifikasi produk ”retak jika dilipat setengah lingkaran” sampai dengan tidak retak jika dilipat setengah lingkaran”. Hasil ini menunjukkan bahwa bakso ikan yang diperoleh memiliki tekstur gel yang baik sehingga tidak
Nilai uji lipa
mudah retak bila dilipat. Hasil rata-rata uji lipat dapat dilihat pada Gambar 9.
4.80 4.60 4.40 4.20 4.00 3.80 3.60
4.73 4.40
4.60
4.53
4.47
4.10
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi karaginan
Gambar 9. Histogram uji lipat penelitian tahap I Penurunan mutu gel pada bakso ikan perlakuan A3B1 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0 %) serta bakso ikan perlakuan A3B2 (penambahan
karagenan 1 % dan
kitosan 0,1 %) diduga karena jumlah atau konsentrasi
karagenan yang ditambahkan lebih besar sehingga menurunkan kekenyalan gel pada bakso ikan. Karagenan dapat dicampurkan bersama daging, larutan garam, tepung dan bahan tambahan pangan lainnya dan umumnya karagenan digunakan pada konsentrasi kurang dari 1 % (Keeton 2001). Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 10), perlakuan penambahan karagenan dan kitosan tidak berpengaruh nyata terhadap uji lipat produk bakso ikan yang dihasilkan. Menurut panelis bakso ikan dengan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) merupakan produk terbaik karena memiliki nilai rata-rata uji lipat tertinggi dibanding perlakuan lain. 4.1.3.2 Uji gigit Hasil uji gigit pada Tabel 7 menunjukkan bahwa mutu produk bakso ikan terbaik adalah perlakuan A1B1 (penambahan karagenan 0 % dan kitosan 0 %), perlakuan A1B2 (penambahan karagenan 0 % dan kitosan 0,1 %), perlakuan A2B1 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0 %), perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %). Perlakuan A1B1, A1B2, A2B1, A2B2 memiliki kekenyalan yang ”cukup kuat”. Sedangkan perlakuan A3B1 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0 %) memiliki kekenyalan yang ”dapat diterima” serta perlakuan A3B2 (karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) memiliki kekenyalan ”lemah”. Hasil uji gigit bakso ikan pada perlakuan A3B2
(penambahan
karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) lebih rendah dibanding dengan perlakuan lain. Hal ini diduga akibat penambahan karagenan yang terlalu tinggi dan juga penambahan kitosan yang mengakibatkan bakso tersebut terlalu keras. Menurut Keeton (2001), umumnya karagenan digunakan pada konsentrasi kurang dari 1 % Tabel 7. Hasil uji gigit produk bakso ikan kurisi Jenis sampel A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
Mutu 7 7 7 7 6 4
Keterangan Kekenyalan cukup kuat Kekenyalan cukup kuat Kekenyalan cukup kuat Kekenyalan cukup kuat Kekenyalan dapat diterima Kekenyalan lemah
Sama halnya dengan uji lipat, nilai pada uji gigit bakso ikan dengan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) menunjukkan nilai rata-rata tertinggi uji gigit yaitu sebesar 7,40 (Gambar 10) dengan sifat kekenyalan ”cukup kuat”. Sedangkan rata-rata terendah uji gigit terdapat pada bakso ikan perlakuan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 5,97 dengan sifat kekenyalan ”dapat diterima”. Hasil ini diduga akibat tekstur bakso ikan yang dihasilkan cukup baik sehingga apabila di gigit produk tersebut terasa kenyal. Selain itu dapat pula disebabkan karena produk bakso ikan yang dihasilkan memiliki protein pembentuk gel (protein miofibril) sehingga tekstur produk juga menjadi lebih baik. Protein miofibil memiliki kemampuan mengikat air dan lemak sehingga berperan penting dalam pembentukan gel, proses koagulasi dan peningkatan kekenyalan produk daging olahan (Wilson et al. 1981). Hasil rata-rata uji gigit dapat dilihat pada Gambar 10.
Nilai u ji g ig i
8.00
7.23
7.27
7.23
7.40
6.53
6.00
5.97
4.00 2.00 0.00 A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
Konsentrasi perlakuan
Gambar 10. Histogram uji gigit penelitian tahap I Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 10), perlakuan penambahan karagenan dan kitosan memberikan pengaruh yang nyata terhadap uji gigit bakso ikan yang dihasilkan. Setelah dilakukan uji lanjut Tukey, perlakuan A1B1 (penambahan karagenan 0 % dan kitosan 0 %), A1B2 (penambahan karagenan 0 % dan kitosan 0,1 %), A2B1 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0 %), A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) berbeda nyata dengan perlakuan A3B1 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %) dan A3B2 (penambahan karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %). Kitosan memiliki sifat reaktivitas kimia tinggi yang menyebakan mampu mengikat air dan minyak. Hal ini didukung oleh adanya gugus polar dan nonpolar
yang dikandungnya. Oleh karena itu, kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengental atau pembentuk gel yang sangat baik sebagai pengikat, penstabil dan pembentuk tekstur (Brzeski 1987). Pada umumnya, karagenan dapat berinteraksi dengan
makromolekul
bermuatan,
misalnya
protein
sehingga
mampu
menghasilkan berbagai pengaruh seperti peningkatan viskositas, pembentukan gel, pengendapan dan stabilisasi (Winarno 1990). Menurut Keeton (2001), penggunaan
karagenan
dimaksudkan
untuk
memperbaiki
tekstur
dan
kekenyalan gel produk. Umumnya karagenan digunakan pada konsentrasi kurang dari 1 % dan dilarutkan dengan cara pemanasan. 4.2 Penelitian tahap II Berdasarkan hasil penelitian tahap I, diperoleh produk terpilih yaitu bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %). Pada penelitian ini bakso ikan dengan perlakuan A2B2 (penambahan konsentrasi karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) dibandingkan dengan bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 %. 4.2.1 Rendemen bakso Rendemen bakso adalah berat bakso yang diperoleh dibandingkan dengan berat daging. Rendemen sangat dipengaruhi oleh protein yang dapat mengikat air. Semakin banyak air yang ditahan oleh protein, semakin sedikit air keluar sehingga rendemen semakin bertambah (Ockerman 1978). Daya mengikat air merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas bakso yang dihasilkan. Kemampuan daya mengikat air yang rendah akan menghasilkan rendemen bakso yang rendah (Sunarlim 1992). Rendemen bakso yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Rendemen bakso ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) Jenis sampel A2B2 STPP 0,15 %
Berat daging lumat (gr) 300 300
Berat bakso yang dihasilkan (gr) 484 477
Rendemen (%) 161,33 159
Berdasarkan Tabel 8, dapat dilihat bahwa nilai rendemen terbesar pada perlakuan A2B2
sebesar 161,33 %, yaitu pada bakso dengan penambahan
karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %. Hal ini terjadi karena kitosan memiliki sifat molekul
higrokopis
dan
banyak
diketahui
dapat
menyerap
air
(Suptijah et al. 1992). Selain itu karagenan juga dapat meningkatkan daya mengikat air (Keeton 2001). 4.2.2 Hasil uji sensori Analisis sensori yang dilakukan pada penelitian tahap II ini adalah uji skala hedonik terhadap warna, penampakan, tekstur, rasa dan aroma. Analisis organoleptik adalah uji dengan menggunakan indera manusia, kadang-kadang disebut uji sensorik karena penilaiannya didasarkan pada rangsangan sensori organ indera (Soekarto 1985). 4.2.2.1 Penampakan Penampakan merupakan karakteristik pertama yang dinilai panelis dalam mengkonsumsi suatu produk (Soekarto 1995). Data hasil uji sensori skala hedonik
Nilai organoleptik
untuk parameter penampakan dapat dilihat pada Gambar 11.
8,00
6,07
5,40
6,00 4,00 2,00 0,00 A2B2
STPP 0,15 %
Konsentrasi perlakuan
Gambar 11. Histogram uji sensori skala hedonik penampakan Hasil uji sensori menunjukkan bahwa penampakan bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) memiliki nilai rata-rata uji sensori lebih tinggi dibandingkan dengan bakso ikan dengan perlakuan penambahan STPP 0,15 % sebesar 6,07. Dari hasil ini, dapat disimpulkan panelis lebih menyukai produk bakso ikan pada perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %). Hal ini diduga karena kitosan memiliki kemampuan yang sama dengan pembentuk tekstur sintesis seperti CMC (Carboxy Metil Cellulose) dan MC (Metil Cellulose) yang dapat memperbaiki
penampakan suatu produk karena memiliki daya mengikat air dan minyak yang kuat serta tahan panas (Brzeski 1987). 4.2.2.2 Warna Sifat produk yang paling menarik perhatian konsumen dan memberikan kesan disukai atau tidak adalah warna (Soekarto 1995). Data hasil uji sensori skala
Nilai o rg an o lep tik
hedonik untuk parameter warna dapat dilihat pada Gambar 12.
8,00
6,07
6,13
A2B2
STPP 0,15 %
6,00 4,00 2,00 0,00 Konsentrasi perlakuan
Gambar 12. Histogram uji sensori skala hedonik warna Nilai rata-rata tertinggi uji sensori warna terdapat pada perlakuan penambahan STPP 0,15 % sebesar 6,13. Perlakuan penambahan STPP 0,15 % lebih tinggi dari bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %). Hal ini diduga karena kandungan senyawa yang terdapat di dalam sodium tripolyphosphat. Alkali fosfat berguna untuk menstabilkan warna dan keseragaman, serta menghambat reaksi okasidasi (Ockerman 1983). Menurut Elviera (1988), pada saat pemasakan warna bahan pangan atau produk pangan dapat mengalami perubahan, misalkan menjadi lebih cerah. Hal ini disebabkan oleh hilangnya sebagian pigmen akibat pelepasan cairan sel pada saat pemasakan atau pengolahan, sehingga intensitas warna semakin menurun. 4.2.2.3 Tekstur Pada umumnya tekstur makanan ditentukan oleh kandungan air, lemak, protein dan karbohidrat (Fellows 1992). Nilai rata-rata tertinggi uji sensori tekstur terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,33, sedangkan nilai rata-rata terendah uji sensori tekstur terdapat pada bakso ikan perlakuan STPP 0,15 % sebesar 5,67. Hal ini karena
karagenan dapat meningkatkan daya mengikat air sehingga dapat memperbaiki tekstur produk (Keeton 2001). Selain itu kitosan memiliki sifat reaktivitas kimia tinggi yang menyebabkan mampu mengikat air dan minyak sehingga dapat digunakan sebagai pembentuk tekstur (Brzeski 1987). Data hasil uji sensori skala hedonik parameter tekstur dapat dilihat pada
Nilai o rg an o lep tik
Gambar 13.
8,00
6,33
5,67
6,00 4,00 2,00 0,00 A2B2
STPP 0,15 %
Konsentrasi perlakuan
Gambar 13. Histogram uji sensori skala hedonik tekstur Menurut Anang (2006), penambahan sodium tripolifosfat dengan konsentrasi 0,1 % sampai 0,2 % saja sudah cukup bagus untuk meningkatkan kekenyalan bakso. 4.2.2.4 Aroma Rasa enak suatu makanan banyak ditentukan oleh aroma makanan tersebut. Dengan pembauan manusia dapat mengenal enak atau tidaknya suatu makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium bau makanan tersebut dari jarak jauh (Soekarto 1995). Data hasil uji sensori skala hedonik aroma yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 14.
Nilai o rg an o lep tik
8,00
6,27
5,93
A2B2
STPP 0,15 %
6,00 4,00 2,00 0,00 Konsentrasi perlakuan
Gambar 14. Histogram uji sensori skala hedonik aroma Nilai rata-rata tertinggi uji sensori aroma terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,27. Nilai terendah rata-rata uji sensori aroma terdapat pada bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % sebesar 5,93. 4.2.2.5 Rasa Rasa merupakan faktor yang sangat menentukan pada keputusan akhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan, walaupun parameter yang lain baik, tetapi jika rasanya tidak enak atau tidak disukai maka akan ditolak (Soekarto 1995). Data hasil
uji sensori
skala hedonik
untuk rasa dapat dilihat pada
Nilai organoleptik
Gambar 15.
8,00 6,00
5,93
6,07
A2B2
STPP 0,15 %
4,00 2,00 0,00 Konsentrasi perlakuan
Gambar 15. Histogram uji sensori skala hedonik rasa Nilai rata-rata uji sensori rasa pada perlakuan penambahan STPP 0,15 % lebih tinggi (6,07) dibandingkan dengan bakso ikan perlakuan A2B2
(penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 5,93. Perbedaan tingkat kesukaan panelis pada produk bakso ikan ini diduga karena rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu senyawa kimia, konsentrasi dan interaksinya dengan komponen yang lain (Winarno 1997). 4.2.3 Hasil analisis fisik Analisis fisik yang dilakukan pada produk bakso ikan ini meliputi uji lipat, gigit dan kekuatan gel. 4.2.3.1 Uji lipat Nilai rata-rata uji lipat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan penambahan STPP 0,15 % yaitu sebesar 4,73. Hal ini diduga karena karagenan dapat berikatan secara baik dengan protein dan air, sehingga
memiliki
kemampuan menahan tekanan dari luar dan kembali ke bentuk semula setelah tekanan dihilangkan. Sifat ini disebut sifat kenyal. Nilai rata-rata terendah uji lipat terdapat pada bakso perlakuan penambahan STPP 0,15 % sebesar 4,67. Data hasil uji lipat bakso ikan penelitian tahap II dapat dilihat pada Gambar 16.
Nilai u ji lip at
5,00
4,73
4,67
A2B2
STPP 0,15 %
4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 Konsentrasi perlakuan
Gambar 16. Histogram uji lipat bakso ikan penelitian tahap II
4.2.3.2 Uji gigit Menurut Purnomo (1990), sifat gigitan pada sensor panel bersesuaian dengan daya potong atau daya iris. Data hasil uji gigit bakso ikan penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 17.
Nilai u ji g ig it
10,00 8,00
7,67
7,60
A2B2
STPP 0,15 %
6,00 4,00 2,00 0,00 Konsentrasi perlakuan
Gambar 17. Histogram uji gigit bakso ikan penelitian tahap II Nilai rata-rata tertinggi uji gigit terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 7,67. Hal ini diduga karena sifat reaktivitas kimia kitosan yang tinggi yang menyebabkan mampu mengikat air dan minyak sehingga mampu membentuk gel dan membentuk tekstur yang sangat baik (Brzeski 1987)
dan penambahan karagenan dapat
memperbaiki daya potong atau daya iris produk akhir daging olahan (Keeton 2001). Nilai rata-rata terendah uji gigit terdapat pada bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % sebesar 7,60. Menurunnya kandungan air dalam bakso menyebabkan struktur matriks semakin kuat, sehingga kekerasan bakso semakin meningkat dan daya potong atau kemampuan menggigit bakso juga semakin meningkat. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Indrarmono (1987) yang menyatakan bahwa kekerasan bakso ditentukan oleh tingkat kerapatan struktur matriks yang terbentuk. Jika semakin tinggi kerapatan struktur matriks maka semakin tinggi nilai kekerasan bakso.
4.2.3.3 Uji kekuatan gel Kekuatan gel merupakan beban maksimum yang dibutuhkan untuk memecahkan matriks polimer pada daerah yang dibebani (Whyte 1980 diacu dalam Suheti 2000). Data uji kekuatan gel bakso ikan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Kekuatan gel (g cm) bakso ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) jenis sampel A2B2
ulangan 2 337,5 350 412,5 366,67 250 225 225 233,33
1 325 350 312,5 329,16 200 200 175 191,67
rata-rata STPP 0.15% rata-rata
3 287,5 312,5 325 308,33 200 287,5 250 212,5
rata-rata
334.72
212.5
Secara umum, kekuatan gel dari setiap ulangan mengalami fluktuasi nilai dalam tiap perlakuan. Nilai rata-rata tertinggi uji kekuatan gel terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan kitosan 0.1 %) sebesar
0,5 % dan konsentrasi
334,72 g cm dan nilai terendah pada
perlakuan
penambahan STPP 0,15 % sebesar 212,5 g cm. Data hasil uji kekuatan gel bakso
K e k u a ta n g e l (g c m )
ikan dapat dilihat pada Gambar 18.
400,00
334,72
300,00
212,50
200,00 100,00 0,00 A2B2
STPP 0,15 %
Konsentrasi perlakuan
Gambar 18. Histogram uji kekuatan gel bakso ikan penelitian tahap II Bakso dengan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) memiliki nilai rata-rata kekuatan gel tertinggi. Hal ini diduga karena kitosan mampu mengikat air dan lemak. Oleh karena itu kitosan dapat digunakan sebagai pembentuk gel yang sangat baik (Brzeski 1987). Selain itu juga disebabkan oleh interaksi antara karagenan dan protein pada daging ikan yang berpengaruh pada proses pembentukan gel. Menurut Winarno (1990), karagenan mampu melakukan interaksi dengan makromolekul yang bermuatan, misalnya
protein sehingga mampu mempengaruhi peningkatan viskositas, pembentukan gel, pengendapan dan stabilisasi. Cryoprotectant digunakan untuk menghambat proses denaturasi protein selama pembekuan dan penyimpanan beku. Cryoprotectant meningkatkan kemampuan air sebagai energi pengikat, mencegah pertukaran molekul-molekul air dari protein, dan menstabilkan protein. Cryoprotectant meningkatkan stabilitas protein, mencegah pertukaran molekul air dari protein (Zhou et al. 2006). 4.2.4 Analisis kimia Untuk mengetahui komposisi kimia bakso ikan pada perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) dan perlakuan penambahan STPP 0,15 % maka dilakukan uji proksimat berupa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat. 4.2.4.1 Kadar air Air merupakan bagian penting dari zat gizi yang baik (Harris dan Karmas 1989). Air dapat mempengaruhi tekstur, rupa maupun cita rasa bahan makanan. Kadar air merupakan faktor yang besar pengaruhnya terhadap daya awet suatu bahan olahan. Semakin rendah kadar air, semakin lambat pertumbuhan mikroba sehingga bahan pangan tersebut dapat tahan lama (Winarno 1997). Data hasil uji proksimat kadar air yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 19.
Kad ar air (% )
80,00
66,95
68,76
A2B2
STPP 0,15 %
60,00 40,00 20,00 0,00 Konsentrasi perlakuan
Gambar 19. Histogram hasil uji proksimat kadar air penelitian tahap II Nilai rata-rata tertinggi kadar air terdapat pada bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % sebesar 68,76 %. Nilai ini lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %). Nilai rata-rata
kadar
air
bakso
ikan
pada
perlakuan
A2B2
(penambahan
karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) lebih rendah dibandingkan dengan bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15%. Hal ini diduga karena kitosan memiliki sifat reaktivitas kimia tinggi yang menyebabkan mampu mengikat air dan minyak (Brzeski 1987). Selain itu penambahan kitosan dapat menghambat aktivitas kerja mikroorganisme dalam menguraikan protein yang menyebabkan pembebasan air terikat dari suatu produk. Jika kadar air pada produk bakso ikan terlalu tinggi akan mengurangi keawetan produk karena bakteri dan jamur mudah berkembang biak (Fardiaz 1989). 4.2.4.2 Kadar abu Sebagian besar bahan makanan (96 %) terdiri dari bahan organik dan air. Dalam proses pembakaran sampai suhu 600°C bahan organik mudah terbakar, sedangkan zat anorganik tidak terbakar. Zat anorganik yang tidak terbakar disebut abu. Abu yang terbentuk berwarna abu-abu, berpartikel halus dan mudah dilarutkan (Winarno 1997). Data hasil uji proksimat kadar abu yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 20.
Kad ar ab u (% )
2,00
1,63
1,58
A2B2
STPP 0,15 %
1,50 1,00 0,50 0,00 Konsentrasi perlakuan
Gambar 20. Histogram hasil uji proksimat kadar abu penelitian tahap II Nilai rata-rata tertinggi kadar abu terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 1,63. Banyaknnya karagenan dan kitosan yang digunakan dalam pembuatan bakso ikan akan mempengaruhi besar kecilnya kadar abu. Hal ini diduga karena sifat kitosan
yang memiliki kemampuan untuk menarik ion-ion logam yang tergolong mineral (Knorr 1984). Selain itu diduga akibat adanya unsur mineral yang terkandung dalam kitosan yang berupa CaCO3 dan Ca(PO4)2 yang tidak larut dalam air (Suptijah et al. 2002). Semakin tinggi karagenan yang diberikan maka kadar abu produk akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena rumput laut memberikan sumbangan zat mineral yang cukup tinggi. Rumput laut Eucheuma cottonii mengandung mineral antara lain kalium, kalsium, fosfor, zat besi dan iodium (Arasaki et al. 1984 diacu dalam Anggadiredja 1992).
4.2.4.3 Kadar protein Protein merupakan komponen terpenting dalam produk bakso ikan. Salah satu tujuan memproduksi bakso ikan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan protein hewani, khususnya dari hasil perikanan. Pengolahan dapat menaikan dan menurunkan daya cerna protein (Harris dan Karmas 1989). Protein mempunyai kegunaan yang sangat penting dalam tubuh, diantaranya adalah pembongkaran molekul protein untuk mendapatkan energi atau unsur senyawa nitrogen atau sulfur untuk reaksi metabolisme lainnya (Buckle 1987). Data hasil uji proksimat
K a d a r p ro te in (% )
kadar protein yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 21.
12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
10,85
A2B2
9,92
STPP 0,15 %
Konsentrasi perlakuan
Gambar 21. Histogram uji proksimat kadar protein penelitian tahap II Nilai rata-rata tertinggi kadar protein terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 10,85 %, sedangkan nilai rata-rata terendah kadar protein terdapat pada bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % sebesar 9,92 %. Tingginya kadar protein pada bakso ikan perlakuan penambahan kitosan diduga oleh unsur nitrogen dalam
gugu amina kitosan yang ikut terhitung sebagai kadar N total, yang dugunakan untuk menentukan kadar protein produk (Knorr 1992). 4.2.4.4 Kadar lemak Lemak merupakan pangan yang berenergi tinggi, karena setiap gramnya mengandung lebih banyak energi daripada karbohidrat atau protein (Buckle 1987). Kadar lemak terutama bergantung pada musim, letak geografis, pakan yang tersedia, umur dan jenis kelamin serta faktor yang tidak diketahui lain (Harris dan Karmas 1989). Berdasarkan Gambar 22, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata tertinggi kadar lemak terdapat pada bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % sebesar 0,24 %, sedangkan nilai rata-rata terendah kadar lemak terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1) yaitu sebesar 0,16 %. Kerusakan bahan pangan berlemak disebabkan oleh absorbsi bau oleh lemak, aktivitas enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak, aktivitas mikroba, oksidasi oleh oksigen, kombinasi dari dua atau lebih penyebab kerusakan tersebut (Ketaren 1986). Rendahnya kadar lemak diduga karena kitosan memiliki daya pengikat minyak yang kuat dan tahan panas (Breszki 1987). Data
K a d a r le m a k (% )
hasil uji proksimat kadar lemak yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 22.
0,30 0,25 0,20 0,15 0,10 0,05 0,00
0,24 0,16
A2B2
STPP 0,15 %
Konsentrasi perlakuan
Gambar 22. Histogram uji proksimat kadar lemak penelitian tahap II 4.2.4.5 Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat diperoleh dengan menghitung selisih dari empat komponen yaitu kadar air, kadar abu, kadar lemak dan akadar protein
(Winarno 1992). Gambar 23 merupakan hasil uji kadar karbohidrat bakso ikan
K ad ar k arb o h id rat (% )
yang dihasilkan.
25,00
20,41
19,49
A2B2
STPP 0,15 %
20,00 15,00 10,00 5,00 0,00
Konsentrasi perlakuan
Gambar 23. Histogram uji proksimat kadar karbohidrat penelitian tahap II Dari
Gambar
23
dapat
dilihat
bahwa
nilai
rata-rata
kadar karbohidrat terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 20,54 %
tertinggi
(penambahan
sedangkan rata-rata
terendah kadar karbohidrat terdapat pada bakso ikan perlakuan STPP 0,15 % sebesar 19,49. 4.2.4.6 Nilai pH Pengukuran pH bertujuan untuk mengetahui sifat suatu produk pangan apakah bersifat asam, netral atau basa. Pengamatan terhadap pH adonan bakso penting dilakukan karena perubahan pH bakso ikan dapat menentukan kualitas bakso yang dihasilkan. Nilai pH selama penyimpanan suhu dingin dan beku dapat dilihat pada Tabel 10 dan Tabel 11. Tabel 10. Nilai pH selama penyimpanan suhu dingin Minggu ke0 1 2 3
A2B2 6,67 6,12 5,94 5,68
STPP 0,15 % 6,81 6,48 6,33 5,56
Nilai pH bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin pada perlakuan A2B2 dan STPP 0,15 % mengalami penurunan (semakin asam). Pada minggu ke-0, nilai pH bakso ikan dengan perlakuan A2B2 sebesar 6,67 dan terus
mengalami penurunan hingga minggu ke-3 menjadi 5,68. Nilai pH bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % pada minggu ke-0 sebesar 6,81 dan terus mengalami penurunan hingga minggu ke-3 menjadi 5,56. Nilai pH selama penyimpanan suhu dingin bakso ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 24. 8 7 Nilai pH
6 5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
Minggu keA2B2
STPP 0,15 %
Gambar 24. Nilai pH selama penyimpanan suhu dingin Tabel 11. Nilai pH selama penyimpanan suhu beku Minggu ke0 1 2 3 4 5 6 7 8
A2B2 6,67 6,67 6,65 6,63 6,61 6,60 6,58 6,51 6,42
STPP 0,15 % 6,81 6,78 6,76 6,71 6,69 6,62 6,55 6,49 6,38
Selama penyimpanan suhu beku nilai pH bakso ikan dengan perlakuan A2B2, pada minggu ke-0 sebesar 6,67 dan terus mengalami penurunan hingga minggu ke-8 sebesar 6,42. Sedangkan nilai pH bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % minggu ke-0 sebesar 6,81 dan terus mengalami penurunan hingga minggu ke-8 sebesar 6,38. Nilai pH bakso ikan dengan perlakuan A2B2 dan STPP 0,15 % dapat dilihat pada Gambar 25.
8 7 Nilai pH
6 5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu keA2B2
STPP 0,15 %
Gambar 25. Nilai pH selama penyimpanan suhu beku Penurunan nilai pH pada bakso ikan diduga karena dilakukannya penyimpanan. Nilai pH pada penyimpanan suhu dingin lebih cepat menurun dibandingkan dengan nilai pH bakso ikan yang disimpan pada suhu beku. Hal ini terjadi karena perbedaan suhu yang digunakan. Suhu beku lebih rendah dibandingkan dengan suhu dingin, sehingga pada suhub beku aktivitas bakteri merusak produk bakso ikan dapat ditekan. Penurunan pH menyebabkan terjadinya hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas dan potensi untuk membentuk gel (Glicksman 1983). 4.2.5 Hasil analisis mikrobiologi (Total plate count) Penyebab pembusukan yang paling utama adalah mikroorganisme dan berbagai perubahan enzimatis maupun non enzimatis yang terjadi setelah panen, penyembelihan atau pengolahan (Buckle 1987). Tujuan penyimpanan di bawah kondisi beku adalah untuk mempertahankan nilai bahan pangan dan melindungi produk dari kerusakan dalam jangka waktu yang lama (Sikorski dan Pan 1994). Tujuan penyimpanan atau pengawetan ikan menggunakan suhu dingin (-1 sampai 5 °C) adalah untuk menghambat kegiatan mikroorganisme dan prosesproses kimia serta fhisis lainnya yang dapat mempengaruhi atau menurunkan kesegaran (mutu) ikan (Moeljanto 1992). Jumlah mikroorganisme pada bakso ikan kurisi selama penyimpanan suhu beku ditunjukkan oleh Tabel 12.
Tabel 12. Jumlah koloni mikroorganisme pada bakso ikan kurisi selama penyimpanan suhu beku Lama penyimpanan
Perlakuan A2B2 (koloni/cawan) 5 X 101 1,8 X 102 2,1 X 102 2,9 X 102 4,05 X 102 5,05 x 102 1,3 X 103 1,5 X 103 2,65 X 103
(minggu) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Keterangan : A2B2 STPP 0,15 %
STPP 0,15 % (koloni/cawan) 10 X 101 1,92 X 102 2,8 X 102 3,25 X 102 3,55 X 102 9 x 102 1,45 X 103 1,57 X 104 2,06 X 104
: Karagenan 0,5 % dan Kitosan 0,1 % : Sodium tripoliphosphat 0,15 %
Laju pertumbuhan bakteri bakso ikan kurisi selama penyimpanan
Logaritmik bakter
suhu beku dapat dilihat pada Gambar 26.
5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 0
1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu keA2B2
Gambar 26. Jumlah
STPP 0,15 %
Grafik logaritmik bakteri pada bakso ikan kurisi selama penyimpanan suhu beku
koloni mikroorganisme
pada bakso ikan
perlakuan A2B2
(penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) dan perlakuan penambahan STPP 0,15 % pada suhu beku dari minggu ke-0 sampai minggu ke-8 cenderung mengalami peningkatan. Pertumbuhan mikroorganisme pada bakso ikan
perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) dari minggu ke-0 sampai minggu ke-4 cenderung stabil tetapi pada minggu ke-5 sampai minggu ke-8 cenderung meningkat (Gambar 26). Pertumbuhan mikroorganisme pada bakso ikan dengan perlakuan penambahan STPP 0,15 % selama penyimpanan suhu beku dari minggu ke-0 sampai minggu ke-4 cenderung stabil tetapi pada minggu ke-5 sampai minggu ke-8 cenderung meningkat (Gambar 26). Secara umum kenaikan jumlah koloni bakteri yang terjadi selama penyimpanan, karena pertumbuhan mikroorganisme ini dipengaruhi oleh waktu (Gaman dan Sherington 1992). Tabel 13. Jumlah koloni mikroorganisme bakso ikan kurisi selama penyimpanan suhu dingin Lama penyimpanan (minggu) 0 1 2 3 Jumlah
Perlakuan A2B2 (koloni/cawan) 5 X 101 3,15 X 102 1,49 X 103 2,1 X 104
koloni mikroorganisme
STPP 0,15 % (koloni/cawan) 10 X 101 3,0 X 103 3,35 X 103 2,19 X 104
pada bakso ikan
perlakuan A2B2
(penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) dan perlakuan penambahan STPP 0,15 % pada suhu dingin dari minggu ke-0 sampai minggu ke-3 cenderung mengalami peningkatan (Gambar 27). Jumlah mikroorganisme bakso ikan dengan perlakuan penambahan STPP 0,15 % selama penyimpanan suhu dingin cenderung lebih besar dibandingkan dengan bakso ikan
yang ditambahkan karagenan 0,5 % dan
kitosan 0,1 %. Hal ini terjadi karena kitosan mampu menghambat kerja bakteri pembusuk. Penggunaan kitosan efektif dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Mekanisme kerja larutan kitosan yang bersifat bakteriostatik diduga hanya menghambat metabolisme kerja sel bakteri sehingga dapat menghambat pertumbuhannya (Hardjito 2006). Laju pertumbuhan bakteri selama penyimpanan suhu beku bakso ikan kurisi dapat dilihat pada Gambar 27.
Logaritmik bakter
5.00 4.50 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 0
1
2
3
4
Minggu keA2B2
STPP 0,15 %
Gambar 27. Grafik logaritmik bakteri pada bakso ikan kurisi selama penyimpanan suhu dingin Menurut Hadwiger dan Adams (1978), Hadwiger dan Loschke (1981) diacu dalam Hardjito (2006), kitosan dapat digunakan sebagai bahan pengawet karena sifat-sifat yang dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai pengawet adalah kitosan memiliki afinitas yang sangat kuat dengan DNA mikroba sehingga dapat berikatan dengan DNA yang kemudian mengganggu rmRNA dan sintesis protein. Dari Tabel 12 dan Tabel 13, dapat dilihat perbedaan lama penyimpanan produk bakso ikan baik pada perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) dan perlakuan penambahan STPP 0,15 %. Bakso ikan kurisi yang disimpan pada suhu beku masih layak dikonsumsi hingga minggu ke-8, karena memiliki angka lempeng total yang lebih rendah dari angka lempeng total menurut SNI 01-3819-1995 yaitu maksimal 1 x 107 koloni/g. Pada minggu ke-8 jumlah
mikroorganisme
bakso
ikan
perlakuan
A2B2
(penambahan
karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 2,65 x 104 koloni/g, dan jumlah mikroorganisme bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % pada minggu ke-8 sebesar 2,06 x 106 koloni/g. Sedangkan jumlah mikroorganisme bakso ikan yang disimpan pada suhu dingin masih layak dikonsumsi hingga minggu ke-3 karena memiliki angka lempeng total yang lebih rendah dari angka lempeng total menurut
SNI 01-3819-1995 yaitu maksimal 1 x 107 koloni/g. Bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) mempunyai jumlah mikroorganisme pada minggu ke-3 sebesar 2,1 x 106 koloni/g, dan jumlah mikroorganisme bakso ikan perlakuan penambahan STPP 0,15 % pada minggu ke-3 sebesar 2,19 x 106 koloni/g. Mikroorganisme yang terdapat pada bakso ikan selama penyimpanan suhu dingin lebih cepat tumbuh dibandingkan dengan penyimpanan suhu beku, hal ini terjadi karena penggunaan suhu beku (suhu 0º C atau lebih rendah) dapat menghambat pertumbuhan dan kegiatan metabolisme mikroorganisme untuk jangka waktu lama (Pelczar dan Chan 1988).
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tahap I, diperoleh produk terpilih yaitu bakso ikan dengan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %). Pada
penelitian
karagenan
tahap
II,
bakso
ikan
perlakuan
A2B2
(penambahan
0,5 % dan kitosan 0,1 %) umumnya memiliki nilai rata-rata lebih
tinggi dibandingkan perlakuan penambahan STPP 0,15 %. Nilai rata-rata uji sensori penampakan bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,07, nilai rata-rata uji sensori tekstur bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,33, nilai rata-rata uji sensori aroma pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 6,27. Nilai rata-rata uji lipat
pada
bakso ikan perlakuan
A2B2 (penambahan
karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 4,73. Nilai rata-rata uji gigit pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 7,67. Nilai rata-rata uji kekuatan gel pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0.1 %) sebesar 334,72 g cm. Nilai rata-rata kadar air pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 66,95 %. Nilai rata-rata kadar abu terdapat pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 1,63. Nilai rata-rata kadar protein pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 10,85 %. Nilai rata-rata kadar lemak pada bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1) sebesar 0,16 %. Nilai rata-rata kadar
karbohidrat
pada
bakso
ikan
perlakuan
A2B2
(penambahan
karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) sebesar 20,54 % Nilai pH bakso ikan pada perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) selama penyimpanan suhu dingin dan beku mengalami penurunan (semakin asam). Penurunan nilai pH pada bakso ikan yang dihasilkan diduga karena dilakukannya penyimpanan. Nilai pH pada penyimpnan suhu
dingin hingga minggu ke-3 sebesar 5,68 dan nilai pH pada penyimpanan suhu beku sebesar 6,42. Hasil analisis mikrobiologi bakso ikan perlakuan A2B2 (penambahan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %) selama penyimpanan suhu dingin dan suhu beku masih di bawah SNI 01-3819-1995. Pada penyimpanan suhu dingin jumlah mikroorganisme hingga minggu ke-3 sebesar 2,1x 104 koloni/cawan dan pada penyimpanan suhu beku hingga minggu ke-8 sebesar 2,65x103 koloni/cawan. Berdasarkan uji mikrobiologi pada produk bakso ikan dapat disimpulkan bahwa penggunaan karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 % dapat menghambat aktivitas kerja mikroorganisme selama penyimpanan.
5.2 Saran Disarankan untuk melakukan pengujian lebih lanjut terhadap (1) elastisitas bakso ikan kurisi selama penyimpanan suhu dingin dan beku, (2) derajat putih bakso
ikan
kurisi
selama
penyimpanan
suhu
dingin
dan
beku,
dan
(3) uji mikrobiologi terhadap kapang maupun khamir selama penyimpanan suhu dingin dan beku.
DAFTAR PUSTAKA Anang. 2006. Kenalkan Pengenyal Bakso. www. Suaramerdeka.com [16 mei 2006]. Anggadiredja, TJ. 1992. Etnobotany and Etnopharmacology Study of Indonesian Marine Macro Algae. Jakarta: Study Report BPP Technology. Angka SL, Suhartono MT. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Bogor : Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Anityoningrum H. 2005. Pengaruh edible coating kitosan terhadap mutu organoleptik ikan asin kering di Muara Angke, Jakarta Utara [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. [AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysis. Ed ke-14. Washington Dc: Association of Official analytical Chemist Inc. [BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2006. Hantu Formalin Gentayangan. http://suarapembaharuan.com [5 Juni 2007]. Brzeski MM. 1987. Chitin and chitosan putting waste to good use. Infofish Vol 5. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995a. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-3819-1995. Bakso Ikan. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995b. Standar Nasional Indonesia. SNI 01-0222-1995. Bakso Ikan. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. Buckle, KA, Edward RA, Fleet GH, Wootton M. 1987. Ilmu Pangan.Di dalam: Purnomo H, Adiono, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Chapman, VJ dan Chapman DJ. 1980. Seaweed and Their Uses. New York: Chapman and Hall in Assosiation with Metheun, Inc. Codex Alimentarius Abridged Version. 1990. Joint FAO/WHO Food Standarts Programme Codex Alimentarius commission Food Aditive no. Codex 452 a Food an Agriculture Organization of the United Nation World health Organization. Damuningrum AA. 2002. Mempelajari karakteristik ikan nila (Oreochromis niloticus) dengan penambahan bubuk flavor dari ekstrak kepala udang windu [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi ke-2. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Food Chemistry. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2006. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2004. Jakarta: Direktorat Jendral Perikanan Tangkap. Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap. 2001. Nemipterus nematophorus. www.pelabuhanperikanan. co.id [10 Juni 2007]. Desrosier NW. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Di dalam: M.Muljohardjo, penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Fardiaz S. 1987. Petunjuk Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor: Lembaga Sumber Daya Informasi (LSI), IPB. Fardiaz. 1989. Hidrokoloid. Bogor: Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Faridah DN, Kusumaningrum HD, Wulandari N, Indrasti D. 2006. Penuntun Praktikum Analisis Pangan. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB. Febrianata E. 2006. Pengaruh campuran kappa dan iota karagenan terhadap kekuatan gel dan viskositas karagenan campuran [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Fellows PJ. 1990. Food Processing Technology Principles and Practice. New York: Ellis Horwood Limited. Food Chemicals Codex. 1980. Carrageenan. 3rd Edit. Rome: FAO. Forrest J.C.M., E.D. Aberle, H.B., M.D. Judge dan M.A. Merrel. 1975. Principle of Meat Science. San Francisco: Will. Freeman. Gaman PM, Sheringthon KB. 1992. Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi Edisi kedua. Di dalam: Gardjito M, Naruki S, Murdiati A, Sardjono, (eds). Terjemahan dari: The Science of Foof, An Introduction ti Food Science, Nutrition and Microbilogy. Yogyakarta: UGM Press. Glicksman M. 1983. Food Hidrocolloids. Florida: CRC Press Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid I. Yogyakarta: Liberty. Hall GM, Ahmad NH. 1992. Surimi and fish mince products. Dalam Hall GM (ed.). Fish Processing Technology. New York: Blackie Academic & Professional.
Hardjito L. 2006. Aplikasi kitosan sebagai bahan tambahan makanan dan pengawet. Di dalam: Santoso J, Trilaksani W, Nurhayati T, Suseno SH, (eds). Prospek produksi dan aplikasi kitin-kitosan sebagai bahan alami dalam membangun kesehatan masyarakat dan menjamin keamanan produk. Prosiding seminar nasional kitin-kitosan 2006; Bogor, 16 Maret 2006. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Harris RS, Karmas E. 1989. Evaluasi Gizi pada Pengolahan Bahan Pangan. Di dalam: Achmadi S, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Nutritional Evaluation of Food Processing Third Edition. Hirano S. 1989. Production and application of chitin nd chitosan in Japan. Di Dalam: Chitin and Chitosan Sources, Chemistry, Physicall Properties and Application, Gudmad (ed). New York: Elsevier Science Published Ltd. Hal 56-58. Jauharti. 1997. Pengaruh waktu pemberokan dan konsentrasi kunyit (Curcuma domestica) terhadap organoleptik ikan mas (Cyprinus carpio) presto selama penyimpanan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, FPIK, IPB. Johnson EL, Peniston QP. 1982. Utilization of shelfish waste for production of chitin and chitosan production. Di dalam: Stanford P, Thorlief A, Gudmund jak-Break, (eds). Chemistry and Biochemistry of Marine Food product. Wesport, Conecticut: The AVI Pun. Co. Inc. Keeton JT. 2001. Formed and Emulsion Product. Di dalam: A. R. Sham (Ed). Poultry Meat Processing. Botta Raton: CRC Press. Ketaren S. 1986. Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Moeljanto. 1992. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. PT. Penebar Swadaya. Numberi
F. 2006. Ikan Menyehatkan http://www.indonesia.go.id. [23 Januari 2008].
dan
Jakarta:
Menverdaskan.
Ockerman, H. W. 1983. Chemistry of Meat Tissue, 10th Ed. Dept. of Animal Science. Ohio: The Ohio State University and the Ohio Agricultural Reserch and Development Center. Pearson AM dan FW Tauber. 1984. Processed Meats. Westport, Connecticut: The Avi Publishing Co. Inc.
Pelczar WJ, Chan ECS. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. Volume 1 dan 2. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari : Elements of Microbiology. Peranginangin R, Wibowo S, Fawzya YN. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. Pomeranz Y. 1991. Functional Properties of Food Components. Second Edition. Departement of Food Science and Human Nutrition. Washington University. Washington: Academic Press, Inc. Purnomo H. 1990. Kajian mutu bakso daging, bakso urat dan bakso aci di Bogor. [skripsi]. Bogor: FATETA, IPB. Pustaka Iptek. 2007. Pengaruh Penggunaan sodium tripoliphosphat Terhadap Daya Simpan Bakso Sapi dalam Berbagai Suhu Penyimpanan. (http://www.republika.co.id) [10 Juni 2007]. Santoso J, Trilaksani W, Nurjanah, Nurhayati T. 1997. Perbaikan mutu gel ikan mas (Cyprinus carpio) melalui modifikasi proses [laporan penelitian]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perikanan, FPIK, IPB. Sarpian T. 1999. Lada Mempercepat Berbuah, Meningkatkan Produksi, Memperpanjang Umur. Jakarta: Penebar Swadaya. Sedayu BB. 2004. Pengaruh lama penyimpanan baku daging lumat ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) terhadap mutu fisiko kimia surimi [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, FPIK, IPB. Shahidi F, Botta JR. 1994. Seafood: Chemistry, Processing, Technology and Quality. Glasgow: Publish by Blackie Academic and Professional and imprint of Chapman & Hall. Sikorski ZE dan BS Pan. 1994. Preservation of seafood quality. F Shahidi and JR Botta (eds). Di dalam Seafood, Chemistry, Processing, Technology and Quality. London: Chapman and Hall. Schmidth GR. 1988. Processing. Di dalam Meat meat product. New York: Soekarto S. 1985. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta: Bharata Karya Aksara. Stansby ME. 1963. Industry Fishery Technology. New York: Reinhold Publishing Corp. Steel RGD dan Torrie JH. 1993. Prinsip prosedur Statistika. Soemantri B, Penerjemah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Suheti, E. 2000. Pengaruh penambahan KCK (Kalium Klorida) terhadap Mutu Dodol Rumput Laut. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Sunarlim R. 1992. Karakteristik mutu bakso daging sapi dan pengaruh penambahan natrium klorida dan natrium tripoliposfat terhadap perbaikan mutu. [disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Sunarya. 1996. Prospek Pengembangan Pasca Panen Perikanan di Indonesia. Dalam Seminar Pengembangan Produk dan Mutu Mikrobiologi Hasil Perikanan. Jakarta: BBPMHP. Suptijah P, Salamah E, sumaryanto H, Santoso J, Purwaningsih S. 1992. Pengaruh Berbagai Metode Isolasi Khitin Kulit Udang terhadap Kadar dan Mutunya. Laporan Penelitian. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein in Processing Technology. London: Applied Science Publishing. Ltd. Thomas WR. 1992. Carrageenan. Di dalam: Whistler RL and JN BeMiller. (Eds). Industrial Gums. New York: Academic Press Tjokroadikosoemo, P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Jakarta: PT. Gramedia, Watanabe S. 1990. The chemistry of protein from marine animal. Dalam Science of Processing Marine Food Product. Tokyo: Japan International Agency. Wibowo S. 1999a. Pembuatan Bakso Ikan dan Bakso Daging. Jakarta: Penebar Swadaya. _________. 1999b. Budidaya Bawang Putih, Merah dan Bombay. Jakarta: Penebar Swadaya. Wilson NRP, EJ Dyett, RB Hughes and CRV Jones. 1981. Meat and Meat Product. London: Applied Science Publisher. Winarno FG dan TS Rahayu. 1994. Bahan Tambahan untuk Makanan dan Kontaminan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Winarno FG. 1990. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia.
Zaika LL, Tatiana EZ, Palumbo SA and Smith SL. 1978. Effect of spices and salt on fermentation of Lebanon bologna-type sausage. J. Food Sci. 43: 186-189. Zhou A, Benjakul S, Pan K, Ging J, Liu X. 2006. Cryoprotective effects of trehalose and sodium lactate on tilapia (sarotherodon nilotica) surimi during frozen storage. Journal Food Chemistry. 96:96-103.
Lampiran 1. Tabel scoresheet uji organoleptik skala hedonic bakso ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) SCORESHEET ORGANOLEPTIK SKALA HEDONIK Nomor Tanggal Panelis Nama Produk Instruksi
: : : : Bakso ikan kurisi (Nemapterus nematophorus) : Nyatakan penilaian anda pada kolom yang tersedia kode sampel 301
speisifikasi 101
201
401
501
601
Aroma Rasa Warna Tekstur Penampakan Sumber : Soekarto (1985) Ket : 9. amat sangat suka sekali 8. amat sangat suka 7. sangat suka 6. suka 5. agak suka
4. biasa 3. agak tidak suka 2. tidak suka 1. sangat tidak suka
Lampiran 2. Tabel scoresheet uji lipat bakso ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) SCORESHEET UJI LIPAT Tanggal Nama Jenis contoh Instruksi
: : : Bakso ikan kurisi (Nemapterus nematophorus) : Beri tanda (√ ) pada kolom yang sesuai dengan pilihan anda
penilaian 101 5 = tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran 4 = tidak retak jika dilipat setengah lingkaran 3= retak jika dilipat setengah lingkaran 2 = putus menjadi dua bagian jika jika dilipat setengah lingkaran 1 = pecah menjadi bagianbagian kecil jika ditekan dengan jarijari tangan sumber :Suzuki (1981)
201
kode sampel 301 401
501
601
Lampiran 3. Tabel scoresheet uji gigit bakso ikan kurisi (Nemipterus nematophorus) SCORESHEET UJI GIGIT Tanggal Nama Jenis contoh Instruksi nilai
: : : Bakso ikan kurisi (Nemapterus nematophorus) : Beri tanda (√ ) pada kolom yang sesuai dengan pilihan anda
sifat kekenyalan 101
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1
amat sangat kuat sangat kuat kuat cukup kuat dapat diterima dapat diterima, sedikit kuat lemah cukup lemah sangat lemah tekstur seperti bubur, tidak ada kekuatan sumber :Suzuki (1981)
201
kode sampel 301
401
501
601
Lampiran 4. Rekapitulasi hasil uji organoleptik skala hedonik penelitian tahap I Warna
panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 jumlah rata-rata
Penampakan
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
7 7 5 6 6 6 7 6 7 6 6 5 9 7 7 6 8 7 9 6 5 8 7 5 5 7 7 7 6 5 195 6.50
7 7 7 7 7 7 7 7 7 5 6 5 8 7 7 7 7 8 8 7 5 6 6 6 6 7 7 7 7 6 201 6.70
7 6 7 7 7 7 6 7 8 6 7 7 8 7 7 6 8 7 7 6 5 6 7 7 7 6 7 7 5 6 201 6.70
8 7 6 7 7 8 6 7 6 7 6 8 7 8 7 7 6 7 7 6 5 7 8 8 6 8 6 7 5 6 204 6.80
7 6 7 7 7 6 6 7 8 5 6 7 8 7 6 6 8 8 5 7 5 7 6 7 6 7 7 7 5 6 197 6.57
7 7 5 7 7 7 6 7 6 5 6 5 7 8 6 5 7 7 5 6 5 5 5 5 5 7 7 7 5 5 182 6.07
7 7 5 6 6 5 7 5 6 7 6 6 7 6 7 6 7 6 6 6 5 7 6 5 6 7 5 7 5 5 182 6.07
7 6 7 7 7 7 6 6 7 6 6 5 6 7 7 6 8 8 8 5 5 6 6 6 6 7 6 7 6 6 193 6.43
7 6 7 7 6 6 6 6 8 6 7 7 7 8 7 6 7 7 7 5 5 6 7 6 7 6 7 7 7 5 196 6.53
7 7 7 7 7 7 7 7 6 6 6 7 7 8 7 7 7 7 7 7 5 6 7 6 6 7 7 7 6 5 200 6.67
7 5 6 6 6 6 6 7 7 5 6 7 7 7 6 6 7 6 5 5 5 7 6 7 6 7 7 7 6 5 186 6.20
7 6 5 7 6 6 6 7 6 5 6 5 7 7 6 5 7 8 5 5 5 6 5 5 5 7 7 7 6 6 181 6.03
Keterangan : A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
: Karagenan 0 % dan kitosan 0 % : Karagenan 0 % dan kitosan 0,15% : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0 % : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 % : Karagenan 1 % dan kitosan 0 % : Karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %
Lampiran 5. Rekapitulasi hasil uji organoleptik skala hedonik penelitian tahap I (lanjutan) Tekstur
panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 jumlah rata-rata
Aroma
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
7 7 5 6 5 6 7 5 6 7 6 6 8 7 7 7 8 6 7 6 6 8 6 6 7 6 8 7 6 6 195 6.50
7 6 6 7 7 7 7 5 7 6 5 5 7 8 7 6 8 6 6 5 6 7 5 6 6 6 8 7 5 6 190 6.33
7 5 8 7 6 5 7 5 8 6 6 7 5 8 6 7 5 6 5 5 7 7 6 7 7 7 8 8 8 5 194 6.47
7 6 7 7 7 7 8 7 6 7 7 7 8 7 7 5 6 7 6 9 6 6 6 7 6 6 6 7 7 5 200 6.67
7 6 6 5 6 5 6 6 7 5 5 7 7 6 6 6 7 7 5 5 6 7 6 7 5 8 8 7 7 5 186 6.20
7 7 4 4 6 4 4 7 5 4 5 5 4 6 6 5 6 6 4 6 5 8 5 5 5 8 5 6 8 6 166 5.53
7 6 5 7 5 6 6 6 6 7 6 6 7 7 7 7 8 5 8 6 7 7 5 5 6 7 8 7 7 5 192 6.40
7 5 5 7 6 6 6 7 7 6 6 6 7 7 6 7 6 5 6 5 7 6 5 5 6 7 8 7 6 5 185 6.17
7 5 7 7 7 6 7 7 8 6 6 6 6 7 6 6 6 6 5 5 7 5 5 5 7 7 8 7 7 5 189 6.30
7 6 6 7 7 7 7 5 6 6 5 7 6 7 7 5 5 5 6 5 7 5 5 5 6 6 7 7 5 6 181 6.03
7 5 5 5 5 7 6 5 7 6 5 7 7 6 6 6 7 7 5 6 6 7 5 5 5 6 7 7 6 6 180 6.00
7 6 6 5 6 6 6 7 5 5 5 6 5 6 6 5 5 5 5 6 7 6 5 5 6 6 8 7 8 6 177 5.90
Keterangan : A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
: Karagenan 0 % dan kitosan 0 % : Karagenan 0 % dan kitosan 0,15% : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0 % : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 % : Karagenan 1 % dan kitosan 0 % : Karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %
Lampiran 6. Rekapitulasi hasil uji organoleptik skala hedonik penelitian tahap I (lanjutan) Rasa
panelis 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 jumlah rata-rata
A
B
C
D
E
8 7 5 6 6 6 7 6 6 7 7 5 8 8 7 6 8 5 8 6 7 8 6 5 6 7 7 8 7 6 199 6.63
6 6 7 6 6 7 6 5 7 6 6 6 7 8 6 7 7 5 7 6 7 7 6 6 6 6 6 7 8 5 191 6.37
8 6 8 7 5 6 6 5 8 6 6 6 8 8 7 5 8 5 7 6 7 7 6 5 7 7 8 8 7 7 200 6.67
7 6 8 6 7 7 6 7 6 8 5 7 6 7 8 6 7 5 8 6 7 7 8 6 7 7 6 8 6 7 202 6.73
7 5 7 5 5 7 6 6 7 5 5 7 8 7 6 6 8 7 5 7 6 5 5 6 5 7 8 8 5 6 187 6.23
Keterangan : A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
F
7 7 7 5 8 7 5 5 5 5 5 6 6 6 6 5 5 5 5 5 5 7 5 5 6 8 5 7 5 6 174 5.80
: Karagenan 0 % dan kitosan 0 % : Karagenan 0 % dan kitosan 0,15% : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0 % : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 % : Karagenan 1 % dan kitosan 0 % : Karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %
Lampiran 7. Rekapitulasi data hasil uji gigit penelitian tahap I panelis A1B1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Jumlah ratarata
Keterangan : A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
A1B2
Gigit A2B1
A2B2
A3B1
A3B2
6 6 7 8 7 7 8 8 7 8 7 7 8 7 7 7 8 6 8 6 8 6 8 8 7 6 8 8 8 7 217
6 6 8 7 8 8 8 6 7 8 7 6 8 8 8 6 8 8 7 6 7 8 8 6 6 9 8 8 8 6 218
7 8 8 7 8 8 8 8 8 7 7 6 6 7 7 6 8 8 7 6 7 6 8 7 8 8 8 6 7 7 217
8 7 8 6 7 6 8 8 7 7 6 7 7 6 7 7 8 7 6 7 8 8 8 8 7 7 8 7 8 8 217
8 7 7 3 6 6 7 8 7 6 6 8 7 7 6 6 8 6 6 6 8 6 7 6 6 6 8 6 6 6 196
6 6 6 3 6 6 6 6 6 6 6 7 6 6 6 6 7 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 179
7.23
7.27
7.23
7.40
6.53
5.97
: Karagenan 0 % dan kitosan 0 % : Karagenan 0 % dan kitosan 0,15% : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0 % : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 % : Karagenan 1 % dan kitosan 0 % : Karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %
Lampiran 8. Rekapitulasi data hasil uji lipat penelitian tahap I panelis A1B1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Jumlah ratarata
Keterangan : A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2
A1B2
A2B1
Lipat A2B2
A3B1
A3B2
5 5 4 5 5 3 3 4 5 5 5 4 5 5 3 5 5 4 5 4 5 3 4 3 5 5 5 3 5 5 132
5 5 5 5 5 4 5 5 5 4 5 4 5 4 3 4 5 4 5 5 5 3 3 4 5 5 5 3 5 4 134
4 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5 4 5 3 4 4 5 4 5 5 3 5 3 5 5 5 4 136
5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5 4 4 5 5 4 5 4 5 4 5 4 5 5 5 5 4 5 5 142
5 5 3 3 5 5 5 5 5 4 5 4 5 4 5 5 5 4 5 5 5 5 3 3 5 5 5 5 5 5 138
5 5 4 3 3 3 5 5 3 4 5 4 4 4 5 5 5 3 3 5 5 3 3 3 5 5 4 4 3 5 123
4.40
4.47
4.53
4.73
4.60
4.10
: Karagenan 0 % dan kitosan 0 % : Karagenan 0 % dan kitosan 0,15% : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0 % : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 % : Karagenan 1 % dan kitosan 0 % : Karagenan 1 % dan kitosan 0,1 %
Lampiran 9. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey organoleptik skala hedonik penelitian tahap I Test Statistics(a,b) Warna Tekstur Penampakan Chi-Square 10.816 18.740 15.327 df 5 5 5 Asymp. Sig. .055 .002 .009 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Perlakuan
Aroma 6.966 5 .223
Uji lanjut Tukey Tekstur Tukey HSD Subset for alpha = .05 1 2 A3B2 30 5.53 A3B1 30 6.20 6.20 A1B2 30 6.33 A2B1 30 6.47 A1B1 30 6.50 A2B2 30 6.67 Sig. .105 .459 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. Perlakuan
N
Penampakan Tukey HSD Subset for alpha = Perlakuan N .05 1 2 A3B2 30 6.03 A1B1 30 6.07 A3B1 30 6.20 6.20 A1B2 30 6.43 6.43 A2B1 30 6.53 6.53 A2B2 30 6.67 Sig. .140 .198 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000.
Rasa 18.208 5 .003
Rasa Tukey HSD Subset for alpha = .05 1 2 A3B2 30 5.80 A3B1 30 6.23 6.23 A1B2 30 6.37 6.37 A1B1 30 6.63 A2B1 30 6.67 A2B2 30 6.73 Sig. .212 .345 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. Perlakuan
N
Lampiran 10. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey uji lipat dan gigit penelitian pendahuluan Test Statistics(a,b) Uji lipat Uji gigit Chi-Square 10.6 51.047 10 df 5 5 Asymp. Sig. .060 .000 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: Perlakuan Uji gigit Tukey HSD Subset for alpha = .05 1 2 A3B2 30 5.97 A3B1 30 6.53 A1B1 30 7.23 A2B1 30 7.23 A2B2 30 7.23 A1B2 30 7.27 Sig. .089 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. Perlakuan
N
Lampiran 10. Rekapitulasi data hasil uji organoleptik skala hedonik penelitian tahap II panelis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah Rata-rata
Warna A2B2 7 6 6 7 6 6 4 7 4 7 6 6 5 7 7 91 6.07
STPP 0,15 % 7 6 6 7 6 6 5 6 4 7 6 6 5 8 7 92 6.13
tekstur A2B2 5 6 5 8 6 6 7 8 7 7 6 6 5 7 6 95 6.33
STPP 0,15 % 7 6 6 7 6 6 4 6 4 4 6 5 5 7 6 85 5.67
Keterangan : A2B2 : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1%
rasa A2B2 6 5 6 7 6 6 4 6 7 5 5 6 6 7 7 89 5.93
STPP 0,15 % 7 5 5 7 7 6 5 6 5 5 7 6 6 7 7 91 6.07
Penampakan A2B2 STPP 0,15 % 7 6 5 5 6 6 7 7 6 6 6 6 6 4 5 4 7 4 6 4 6 6 6 5 5 5 7 7 6 6 91 81 6.07 5.4
Aroma A2B2 STPP 0,15 % 5 7 5 5 6 5 7 6 9 9 6 6 5 5 7 6 7 4 5 5 6 6 6 6 6 5 7 7 7 7 94 89 6.27 5.93
Lampiran 11. Rekapitulasi data hasil uji lipat dan gigit penelitian tahap II panelis A2B2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Jumlah Ratarata
lipat STPP 0,15 %
A2B2
gigit STPP 0,15 %
4 5 5 5 5 5 4 4 5 4 5 5 5 5 5 71
5 5 5 5 5 5 4 3 5 3 5 5 5 5 5 70
6 7 9 9 6 6 8 9 8 8 8 7 8 9 7 115
7 7 8 8 6 6 8 6 8 7 9 7 9 9 9 114
4.73
4.67
7.67
7.60
Keterangan : A2B2 : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 %
Lampiran 12. Rekapitulasi data hasil uji proksimat penelitian tahap II jenis uji
kadar air (%)
ulangan
1 rata-rata 2 rata-rata 3
kadar abu (%)
rata-rata 1 rata-rata 2 rata-rata 3
kadar protein (%)
rata-rata 1 rata-rata 2 rata-rata 3
kadar lemak (%)
rata-rata 1 rata-rata 2 rata-rata 3 rata-rata
kadar karbohidrat (%)
1 rata-rata 2 rata-rata 3 rata-rata
A2B2 67.572 66.1467 66.86 65.99 65.72 65.855 67.9437 68.329 68.14 1.7138 1.6289 1.67 1.5927 1.5338 1.56325 1.6705 1.6268 1.65 10.5462 10.7589 10.65255 10.5498 10.4589 10.50435 11.7243 11.0633 11.39 0.1891 0.1914 0.19 0.2671 0.2546 0.26 0.017 0.0239 0.02
perlakuan STPP 0.15% 69.3487 69.5698 69.45925 69.881 66.7718 68.31 68.4893 68.5505 68.52 1.4289 1.4793 1.45 1.4314 1.3999 1.42 1.8644 1.8666 1.87 8.9652 9.2014 9.0833 10.5687 10.4791 10.5239 10.2815 10.033 10.16 0.2258 0.2191 0.22 0.1837 0.2048 0.19 0.3029 0.3281 0.32
27.4409 28.6652 28.0531 21.6004 22.0327 21.81655 20.33888 20.26075 20.29981
25.927 26.3221 26.1246 16.868 20.4294 18.6487 20.234525 20.19455 20.2145375
Lampiran 13. Rekapitulasi data hasil uji kekuatan gel penelitian tahap II jenis sampel A2B2
rata-rata STPP 0,15 %
rata-rata
1 325 350 312.5 329.1667 200 200 175 191.67
ulangan 2 337.5 350 412.5 366.67 250 225 225 233.33
3 287.5 312.5 325 308.33 200 287.5 250 212.5
rata-rata
334.7222
212.5
Keterangan : A2B2 : Karagenan 0,5 % dan kitosan 0,1 % Lampiran 14. Rekapitulasi data hasil uji pH penyimpanan suhu chilling penelitian tahap II Minggu ke0 1 2 3
A2B2 6,67 6,12 5,94 5,68
STPP 0,15 % 6,81 6,48 6,33 5,56
Lampiran 15. Rekapitulasi data hasil uji pH penyimpanan suhu freezing penelitian tahap II Minggu ke0 1 2 3 4 5 6 7 8
A2B2 6,67 6,67 6,65 6,63 6,61 6,60 6,58 6,51 6,42
STPP 0,15 % 6,81 6,78 6,76 6,71 6,69 6,62 6,55 6,49 6,38