PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (Carcharinus falciformis) DAN IKAN PARI KELAPA (Trygon sephen) TERHADAP KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN
Oleh :
Ade Wiguna Nur Yasin C34101063
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
RINGKASAN ADE WIGUNA NUR YASIN. C34101063. Pengaruh Pengkomposisian dan Penyimpanan Dingin Daging Lumat Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) dan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen) terhadap Karakteristik Surimi yang Dihasilkan. Dibimbing Oleh JOKO SANTOSO dan SANTOSO Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh frekuensi pencucian, pengaruh pengkomposisian daging lumat ikan, serta pengaruh penyimpanan dingin daging lumat tersebut terhadap karakteristik surimi ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa yang dihasilkan. Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengevaluasi karakteristik kimia dan fisika daging lumat, mencari frekuensi pencucian dan kombinasi komposisi daging lumat terbaik. Penelitian utama bertujuan untuk mempelajari pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan. Pengkomposisian tersebut adalah A (cucut 100 %), B (pari 100 %), A1B1 (cucut 50 %:50 %), A2B1 (cucut 75%: pari 25%), dan A1B2 (cucut 25%: pari 75%). Diperoleh hasil dari penelitian pendahuluan bahwa ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa termasuk kedalam golongan ikan yang memiliki kadar protein tinggi (berturut-turut sebesar 19,08 dan 18,98 %) dan kadar lemak yang rendah (berturut-turut sebesar 1,60 dan 1,36 %). Ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa memiliki kadar urea yang tinggi, dimana kadar urea tersebut adalah 1,98 % (cucut pisang) dan 2,33 % (pari kelapa). Frekuensi pencucian daging lumat terbaik ditentukan berdasarkan kadar protein larut garam (PLG) dan urea. Frekuensi pencucian sebanyak tiga kali mampu mereduksi urea hingga 88 % (cucut pisang) dan 100 % (pari kelapa), dimana bau sudah tidak terdeteksi lagi. Kadar PLG pada frekuensi pencucian tersebut adalah 13,52 % (cucut pisang) dan 13,24 % (pari kelapa). Komposisi daging lumat A1B2 adalah komposisi daging lumat terbaik yang mampu menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi (sebesar 209,290 g.cm) dibandingkan dengan komposisi daging lumat lainnya. Selama masa penyimpanan dingin daging lumat terjadi proses kemunduran mutu yang ditandai dengan perubahan pada nilai pH, senyawa basa volatil (TVBN dan TMA), urea dan PLG. Kemunduran mutu daging lumat tersebut mempengaruhi karakteristik surimi yang dihasilkan. Pada hari ke-0 kekuatan gel surimi komposisi A, B dan A1B2 berturut-turut sebesar 276,32 g.cm, 335,375 g.cm, dan 364,327 g.cm dengan grade AA pada ketiga komposisi tersebut. Terjadi penurunan nilai hingga hari terakhir penyimpanan, nilai tersebut berturutturut menjadi sebesar 162,867 g.cm, 77,525 g.cm, 73,523 g.cm dengan grade B, D, B. Kemunduran mutu tersebut juga mempengaruhi penurunan nilai terhadap derajat putih dan daya ikat air surimi yang dihasilkan. Pencampuran daging lumat dengan komposisi A1B2 dapat meningkatkan karakteristik mutu surimi pada kekuatan gel-nya, namun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan dingin daging lumat maka kualitas surimi (kekuatan gel, derajat putih, dan daya ikat air) yang dihasilkan akan ikut menurun pula.
PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (Carcharinus falciformis) DAN IKAN PARI KELAPA (Trygon sephen) TERHADAP KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : Ade Wiguna Nur Yasin C34101063
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
SKRIPSI Judul Penelitian : PENGARUH PENGKOMPOSISIAN DAN PENYIMPANAN DINGIN DAGING LUMAT IKAN CUCUT PISANG (Carcharinus falciformis) DAN IKAN PARI KELAPA (Trygon sephen) TERHADAP KARAKTERISTIK SURIMI YANG DIHASILKAN
Nama
: Ade Wiguna Nur Yasin
NRP
: C34101063
Menyetujui, Pembimbing I
Pembimbing II
Dr.Ir. Joko Santoso, MSi. NIP 131 999 592
Ir. Santoso, MPhill. NIP 080 064 814
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi. NIP 130 805 031
Tanggal lulus :
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada keluargaku Ir. Bustami Mahyuddin, MM (papa), Ny. Yartini (mama), Adli dan Anita (adik) atas semua bantuan, restu dan doa kepada penulis. Dosen pembimbing Dr.Ir. Joko Santoso, MSi dan Ir. Santoso, Mphill yang telah membimbing dan menasehati penulis dalam melakukan penelitian. Dosen penguji tamu Ir. Djoko Poernomo BSc dan Ir. Heru Sumaryanto, MSi atas arahan yang begitu berharga. Dr.Ir. Mita Wahyuni, MS atas ide yang telah diberikan. Kepada seluruh staf BPPMHP Jakarta, Laboratorium Pengujian Mutu Hasil Perikanan, dinas perikanan propinsi DKI Jakarta, Laboratorium Pusat Riset Kelautan dan Perikanan, DKP Jakarta atas sinergisitas yang telah tercipta dengan penulis. Mahasiswa Akafarma Caraka (Okta, Dwi dan Astri) atas bantuan dan kerjasamanya yang tidak terlupakan di BPPMHP. Nugroho J.S, Teddy K, serta semua temanku (FPIK 34, 35, 36, 37, 38, 39, & 40) atas semangat dan kerjasamanya. The gorgeous friend “Esti Fitri Lestari” atas kesabaran dan curahan hati kepada penulis. Last but not least ” research is fun”. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat kepada pihak yang memerlukan.
Bogor, 30 Desember 2005
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan cucut dan ikan pari adalah jenis ikan non-ekonomis yang kurang diminati untuk dikonsumsi di Indonesia. Kedua jenis ikan ini biasa tertangkap sebagai ikan target ataupun ikan hasil tangkapan samping (HTS). Masalah pada kedua ikan tersebut adalah timbulnya aroma pesing ketika dikonsumsi. Tingginya kadar urea adalah penyebab utama masalah tersebut. Menurut Musick (2005) bau tersebut disebabkan karena kedua ikan tersebut mengandung urea dalam jumlah yang tinggi (1-2,5 %) di dalam darah dan jaringannya, sebagai bagian dalam kemampuannya untuk mempertahankan tekanan tubuhnya dari tekanan air laut (aktivitas osmoregulasi). Rendahnya minat konsumen untuk mengkonsumsinya berdampak terhadap harga jual dari kedua daging ikan HTS tersebut. Ironis sekali jika harga jual daging tersebut dibandingkan dengan harga jual dari sirip atau kulitnya (khususnya cucut) yang dapat dijual mencapai puluhan bahkan jutaan rupiah. Perbandingan harga tersebut selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis dan harga produk hasil olahan ikan cucut di Pelabuhanratu, Jawa barat tahun 2004 (Mahyuddin 2005) Hasil olahan Kerupuk kulit hitam Kerupuk kulit putih Sirip super Sirip biasa Daging
Jenis
Ukuran (cm) kering -
Harga (Rp) 70.000
Jenis -
Ukuran (cm) -
Harga (Rp) -
kering
-
80.000
-
-
-
kering kering kering
41 35 -
41 35 -
420.000 300.000 5.000/kg
1.100.000 basah 1.000.000 basah basah
Harga jual daging yang rendah pada kedua ikan tersebut memicu nelayan untuk mengambil bagian tubuh tertentu saja, yang terbatas pada sirip (cucut) dan kulitnya saja (cucut dan pari), sedangkan dagingnya dibuang kembali ke laut atau diolah tradisional (sebagian besar menjadi ikan asin). Sangat disayangkan bahwa besarnya kandungan gizi yang terdapat pada kedua ikan tersebut hanya dibuang percuma atau hanya sedikit yang dimanfaatkan, disamping itu hal ini tidak sejalan dengan program yang dicanangkan oleh Food and Agriculture Organization (FAO) yang menegaskan untuk memanfaatkan seluruh bagian tubuh ikan elasmobranchii
yang tertangkap, khususnya pada ikan cucut yang populasinya semakin berkurang. Program tersebut disusun dalam International Plan of Action for Conservation and Management of Shark (IPOA-Shark) (Musick 2005). Dari penjabaran diatas, maka diperlukan adanya suatu upaya untuk meningkatkan minat konsumen untuk mengkonsuminya dan meningkatkan nilai tambah serta harga jual daging dari kedua ikan tersebut. Salah satu alternatif upaya yang tepat untuk dikembangkan adalah melakukan diversifikasi pengolahan surimi. Tingginya kadar urea pada daging dapat diminimalisasikan dalam proses pengolahan surimi, sehingga masalah bau dapat diatasi. Selain itu daging ikan tersebut memiliki nilai tambah yang tinggi dan harga jualnya akan lebih tinggi dibandingkan dengan pemasaran dalam bentuk segar. Menurut Fis (2005) harga surimi pada bulan Oktober 2005 adalah USD 2/kg, atau setara dengan Rp. 20.000/kg (1 USD = Rp.10.000). Surimi adalah produk antara (intermediate product) yang siap untuk diolah menjadi produk lanjutan. Salah satu produk lanjutan yang digemari di dunia adalah produk analog dari ikan dan kepiting. Okada (1992) menjabarkan keunggulan dari surimi adalah sebagai berikut: 1.
Dapat memanfaatkan ikan yang sering digunakan (ekonomis) dan ikan yang jarang digunakan (non-ekonomis) sebagai bahan baku.
2.
Surimi beku dapat disimpan lama dan memiliki kandungan protein fungsional yang tinggi.
3.
Variasi dari produk berbahan dasar surimi dapat diproduksi dengan alternatif dari bentuk dan kualitas rasanya dengan cara mengaplikasikan berbagai macam teknologi pengolahan dan bumbu-bumbu.
4.
Teknologi terkini sanggup menghasilkan surimi dalam jumlah besar dengan kualitas yang konsisten. Pengolahan surimi memiliki prospek yang besar untuk dikembangkan, dimana
permintaan akan surimi di dunia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 1990 saja permintaan akan surimi di dunia mencapai 173.000 ton, yang tercatat bahwa mengalami peningkatan dari dekade sebelumnya (Kim et al 1996). Dilaporkan oleh globefish (2005) bahwa pada tahun 2004 produksi surimi secara global diperkirakan mencapai angka 550.000 hingga 600.000 ton, dimana pasar surimi terbesar adalah Jepang (400.000 ton) dan Korea Selatan (100.000 ton). Tak heran maka kedua negara tersebut adalah tujuan utama
eksportir surimi, namun Eropa khususnya Perancis mengalami pertumbuhan pasar surimi yang cepat pada beberapa tahun belakangan ini. 1.2 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pencucian terhadap pengurangan kadar urea, mempelajari pengaruh pengkomposisian kedua jenis daging ikan elasmobranchii tersebut, serta pengaruh penyimpanan dingin daging lumat terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Klasifikasi, Deskripsi, dan Pemanfaatan Ikan Cucut Pisang (Carcharinus falciformis) Ikan cucut pisang dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Lagler et al. 1977):
Phylum: Vertebrata Sub phylum: Craniata Super kelas: Gnathustomata Kelas: Chondrichthyes (cartilaginous fishes) Sub kelas: Elasmobranchii Ordo: Squaliformes Famili: Carcharinidae Genus: Carcharinus Spesies: Carcharinus falciformis Ikan cucut pisang adalah jenis ikan yang biasa hidup di daerah pantai. Ikan ini termasuk kedalam jenis ikan pelagis. Ikan cucut merupakan ikan bertulang rawan (chondricthyes) hidup di perairan sub-tropis sampai tropis tepatnya pada daerah pantai sampai lepas pantai (Ditjen Perikanan 1990). Dilaporkan oleh BRPL (2004) bahwa ikan cucut di Indonesia tertangkap sebagai hasil tangkapan samping dari tuna long line (rawai tuna) dan drift gillnet (jaring insang permukaan). Menurut elasmo-research (2005) Carcharinus falciformis adalah spesies yang sering tertangkap sebagai ikan hasil tangkapan samping pada perikanan tuna di utara pasifik tropis. Gambar ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1 Carcharinus falciformis (FAO 2005) Daerah perairan pantai di Indonesia yang menghasilkan ikan cucut yaitu: perairan pantai barat Sumatera, Selat Malaka, timur Sumatera, selatan dan utara Jawa, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan/Barat, timur Kalimantan, selatan dan utara Sulawesi, Maluku dan
Papua (Nahumury 1994). Berdasarkan data statistik perikanan tangkap hingga tahun 2003 yang dikeluarkan oleh DKP (2005), daerah penangkapan cucut terbesar berada di pulau Sumatera dengan total penangkapan sebesar 21.870 ton. Data hasil penangkapan cucut pada tahun 2003 di Indonesia selengkapnya disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Produksi perikanan cucut di Indonesia tahun 2003 (DKP 2005) Propinsi Sumatera Jawa Bali-Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku-Papua Total
Produksi tangkapan (ton) 21.870 14.499 3.148 6.280 5.935 6.368 58.100
Keterangan: jumlah produksi dihitung berdasarkan tempat pendaratan ikan
Menurut Camhi et al. (1998) ikan cucut memiliki sejarah hidup dengan karakteristik fekunditas yang rendah, pertumbuhan yang lambat, tingkat kedewasaan yang lambat, hidupnya panjang dan tingkat bertahan hidup yang tinggi. Ikan cucut dimanfaatkan hampir semua bagian tubuhnya. Kulit ikan cucut dimanfaatkan untuk industri tas dan sepatu, siripnya diolah menjadi bahan pencampur sup (banyak diekspor ke Hongkong, Singapura, dan Malaysia), hatinya diolah menjadi minyak ikan dan giginya digunakan untuk perhiasan (Nahumury 1994). Menurut Musick (2005) bagian tubuh cucut yang dapat dimanfaatkan adalah sirip, kulit, tulang, dan hati sebagai bahan baku sup, industri kulit, suplemen anti tumor, sumber skualen dan vitamin A, dagingnya dimanfaatkan sebagai makanan di wilayah pesisir pantai sudah sejak 5000 tahun yang lalu. Pemanfaatan daging ikan cucut saat ini belum optimal sebagai bahan konsumsi masyarakat. Meskipun kandungan protein daging ikan cucut cukup tinggi (15-25 %bb). Kadar urea yang tinggi yang mudah mengalami penguraian dan menimbulkan aroma pesing selama penanganannya adalah salah satu penyebab mengapa daging ikan cucut kurang diminati untuk dikonsumsi (Wahyuni 1992). Hal serupa juga diungkapkan oleh Lagler et al. (1977) bahwa faktor penghambat dalam pemanfaatan daging ikan bertulang rawan (elasmobranchii) adalah aroma pesing yang cukup tajam dimana aroma pesing ini timbul karena tingginya kadar urea dalam daging, yaitu sebesar 1-2 %. Masalah aroma tersebut dapat dicegah dengan mudah, yaitu dengan cara mengeluarkan darah segera pada saat cucut baru tertangkap, dan segera
mencuci daging tersebut dengan air laut, lalu menyimpannya pada es atau pada suhu beku (Musick 2005). 2.2 Klasifikasi, Deskripsi, dan Pemanfaatan Ikan Pari Kelapa (Trygon sephen) Ikan pari yang digunakan pada penelitian ini adalah ikan pari kelapa yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Ridwan dan Murniarti 1985) : Kingdom: Animalia Sub kingdom: Metazoa Phylum: Chordata Sub phylum: Vertebrata Kelas: Chondrichtyes Sub kelas: Elasmobranchii Ordo: Batoidei Famili: Trigonidae Genus: Trygon Spesies: Trygon sephen Ikan pari (batoid) adalah jenis ikan demersal yang mempunyai ciri tubuh berbentuk belah ketupat, ekor seperti cambuk, bersirip ekor yang kecil ujungnya, kulit licin dan berduri. Pada punggungnya yang berwarna merah sawo matang mengkilap terdapat duri-duri beracun dan selaput kulit bagian bawah yang menonjol berwarna biru (Kamallan 1988). Menurut Musick (2005) pada beberapa jenis batoid seperti skates (Rajidae), stingray (Dasyatidae), dan eagle ray (Myliobatidae) tubuhnya didominasi oleh sirip pektoral yang menyerupai sayap, yang berbeda dengan tubuh cucut yang berbentuk tebal dan berisi. Gambar ikan pari kelapa dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Trygon sephen (Fishbase 2005)
Beberapa jenis batoid adalah sangat mirip dengan cucut pada morfologinya dan pengolahan dagingnya-pun sama seperti cucut (Musick 2005). Ikan pari termasuk ikan bertulang rawan, yang memiliki kadar urea yang lebih tinggi daripada ikan bertulang keras (Manik 2003). Manik (2003) melaporkan bahwa di Indonesia daging ikan pari dimanfaatkan sebagai bahan makanan manusia dan pakan ternak. Minyaknya dapat digunakan sebagai obat-obatan. Ikan pari yang dijual di pasaran biasanya dalam keadaan segar atau sudah dikeringkan. Ikan tersebut merupakan ikan hasil tangkapan samping. Ikan pari tertangkap diseluruh perairan Indonesia, dimana daerah penangkapan terbesar berada di pulau Sumatera (23.262 ton) (DKP 2005). Selengkapnya data statistik penangkapan ikan pari di Indonesia tahun 2003 disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Produksi perikanan pari di Indonesia tahun 2003 (DKP 2005) Propinsi
Produksi tangkapan (ton)
Sumatera Jawa Bali-Nusatenggara Kalimantan Sulawesi Maluku-Papua Total
23.262 22.651 1.919 6.333 4.071 1.223 59.459
Keterangan: jumlah produksi dihitung berdasarkan tempat pendaratan ikan
2.3
Ikan Cucut dan Pari sebagai Ikan Hasil Tangkapan Samping (HTS) Menurut (Camhi et al. 1998) ikan elasmobranchii memiliki tingkat produksi yang
rendah di dunia dibandingkan dengan jenis ikan target (teleostei). Jenis ikan ini memiliki nilai yang rendah dan dalam jumlah yang besar tertangkap sebagai ikan HTS. Jenis ikan ini biasa tertangkap pada alat tangkap jenis pukat, jaring insang, pukat cincin, dan rawai. Menurut Francis dan Grigs (1997) diacu dalam Camhi et al. (1998) dalam penangkapan ikan teleostei laut (misalnya tuna dan billfishes) justru cucut tertangkap lebih banyak sebagai ikan HTS dibandingkan dengan ikan target penangkapan utama. Bonfill (1994) diacu dalam Camhi et al. (1998) melaporkan bahwa hingga akhir tahun 1980 terdapat 12.000 ton bahkan hingga 300.000 ton elasmobranchii tertangkap sebagai HTS setiap tahunnya. Sekitar 4.000 ton tertangkap oleh alat tangkap rawai permukaan dan lebih dari 8.000 ton tertangkap oleh rawai tuna (pada perikanan tuna di Jepang, Korea dan Taiwan).
Sangat disayangkan sekali bahwa dari 10.000 ton ikan cucut yang tertangkap setiap tahunnya hanya diambil siripnya saja dan dagingnya dibuang kembali ke laut (Musick 2005). Dalam FAO International Plan of Action for the Conservation and Management of Shark (IPOA-Shark) mewajibkan untuk memanfaatkan seluruh bagian tubuh cucut yang telah mati, termasuk juga pada cucut yang telah dihilangkan siripnya (Musick 2005). 2.4 Kemunduran Mutu Ikan selama Masa Penyimpanan Suhu Dingin Kualitas daging ikan yang disimpan selama suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia yang dipengaruhi oleh aktivitas mikrobiologis dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain itu karakteristik biologi, kondisi ikan saat ditangkap dan penanganan setelah ditangkap juga dapat mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan dingin (Sikorski dan Sun Pan 1994). Kemunduran mutu terjadi sesaat setelah ikan mati. Menurut Amlacher (1961) ketika suplai oksigen terhenti, maka akan terjadi peristiwa glikolisis pada jaringan otot ikan. Akibat dari peristiwa tersebut maka pH akan turun, dimana glikogen akan dihidrolisis menjadi asam laktat yang menyebabkan turunnya nilai pH (Connell 1980; Suvanich dan Marshall 1996). Selanjutnya kreatin-fosfat (CP) (gudang dari energi ikatan fosfat) secara normal akan hilang dari jaringan otot. Setelah kehilangan sekitar 60 % CP, penguraian terhadap adenosin trifosfat (ATP) dimulai. Menurut Botta (1994) penguraian secara enzimatis pada daging ikan akan menyebabkan terurainya ATP menjadi hipoksantin. Setelah ikan mati, ATP akan mengalami penguraian secara cepat melalui reaksi defosforilasi dan deaminasi menjadi adenosin monofosfat (AMP) dan akan terurai lagi menjadi inosin monofosfat (IMP). IMP akan terurai dengan lambat secara defosforilasi dan hidrolisasi oleh enzim atau mikroba menjadi hipoksantin. Hipoksantin akan teroksidasi menjadi xantin dimana xantin juga akan terurai oleh proses oksidasi menjadi asam urat. Hipoksantin dapat menyebabkan rasa pahit pada daging ikan. Skema proses penguraian ATP menjadi asam urat dapat dilihat pada Gambar 3.
Adenosin trifosfat (ATP) defosforilasi
2 Pi
Adenosin monofosfat (AMP) deaminasi
NH3
Inosin monofosfat (IMP) 2 Pi
defosforilasi
Inosin hidrolisis Hipoksantin oksidasi
Xantin oksidasi
Asam urat Gambar 3 Degradasi nukleotida pada saat fase rigormortis ikan (Botta 1994) Menurut Clucas dan Ward (1996) mikroorganisme yang ada pada kulit, insang, dan alat pencernaan pada kondisi ikan mati akan segera menggandakan diri untuk menyerang daging ikan karena didukung oleh kondisi lingkungan yang baik untuk tumbuh. Selanjutnya Connell (1980) menyatakan bahwa selama ikan hidup, tubuh ikan akan terjaga tetap steril dari mikroorganisme
pembusuk
karena
tubuh
ikan
memiliki
kemampuan
diri
untuk
mempertahankan hidupnya. Menurut Connell (1980) penguraian tingkat lanjut oleh enzim terjadi setelah proses rigormortis selesai yang dimulai dengan meningkatnya nilai pH. Menurut Amlacher (1961) setelah rigor, enzim proteolisis aktif. Enzim ini akan menguraikan protein. Tingkat akhir dari hasil penguraian ini adalah terbentuknya senyawa amonia. Kemunduran mutu ikan setelah mati disebabkan karena aktivitas enzimatis dan mikrobiologis yang sudah ada secara alami pada tubuh ikan ketika hidup. Menurut Clucas dan Ward (1996) pada suhu di bawah 4 ºC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat. Pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan
lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah. 2.5
Surimi Surimi adalah salah satu jenis produk perikanan yang telah dikenal di seluruh dunia.
Surimi sangat potensial untuk dikembangkan. Pembuatan surimi dapat menggunakan berbagai jenis ikan. Salah satu keunggulan dari surimi adalah kemampuannya untuk diolah menjadi berbagai macam variasi produk-produk lanjutannya dalam berbagai bentuk dan ukuran (Okada 1992). Pengolahan surimi dari jenis ikan HTS dapat membantu nelayan untuk meningkatkan nilai tambah dari ikan HTS tersebut, misalnya ikan cucut dan pari. 2.5.1 Pengertian surimi Menurut Pipatsattayanuwong et al. (1995) surimi adalah protein miofibril ikan yang telah distabilisasikan dan diproduksi melalui tahap proses secara kontinu yang meliputi penghilangan kepala, penghilangan tulang, pelumatan daging, pencucian, penghilangan air, dan pembekuan dengan cryoprotectant, juga dapat diartikan sebagai suatu proses pencucian dan penghilangan air pada daging lumat ikan dari protein sarkoplasma, lemak, dan bahanbahan yang tak diinginkan seperti kulit dan tulang. Kata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional untuk menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai proses yang diperlukan untuk mengawetkannya (Surimithailand 2005). Surimi adalah produk antara, yang dapat diolah menjadi berbagai macam produk lanjutan (fish jelly product) seperti: bakso ikan, sosis ikan, siomay, otak-otak, fish cake, kamaboko, dan sebagainya yang spesifikasinya menuntut kelenturan (spinginess) yang merupakan kriteria mutu utama produk tersebut (BPPMHP 1987). 2.5.2 Pengolahan surimi Pengolahan surimi yang telah umum dilakukan terdiri dari beberapa tahapan, yaitu: persiapan bahan baku, pencucian, penghilangan tulang, pencucian daging lumat, pengurangan kadar air, penambahan bahan tambahan, pengepakan, pembekuan dan penyimpanan. Diagram alir pengolahan surimi yang umum dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4.
Ikan Pencucian Pemfiletan Pemisahan tulang dan pelumatan
Meat-bone separator
Daging Lumat Pencucian
Pengurangan air
Pertama: air dingin Kedua: air dingin Ketiga: air dingin + NaCl 0,2-0,3 % Screwpress
Penambahan cryoprotectant
Silent cutter
Pengepakan dan pembekuan Surimi beku Gambar 4 Proses pengolahan surimi (Shimizu et al. 1992) Pada dasarnya semua jenis ikan dapat diolah menjadi produk surimi. Jenis ikan yang ideal untuk produk surimi beku adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik, sebab kemampuan pembentukan gel ini akan mempengaruhi elastisitas tekstur. Untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik, sebaiknya menggunakan ikan yang masih segar, karena elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan yang segar (BBPMHP 1987). Kualitas dari surimi beku dinilai dari kekuatan gelnya dan warna dari surimi tersebut. Menurut Winarno (1993) kualitas surimi yang baik adalah yang berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel. Faktor penting yang mempengaruhi proses pembuatan surimi yang berkualitas baik antara lain adalah: cara penyiangan (pemotongan kepala, fillet), besarnya partikel dari daging lumat, kualitas air, temperatur ikan, peralatan yang digunakan, dan cara pencucian (Lee 1994). Menurut Bertak dan Karahadian (1995) faktor utama yang harus diperhatikan selama proses pembuatan surimi adalah suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan. Suhu air yang lebih tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut garam. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10-15 °C.
Menurut Benjakul et al. (1996) pencucian adalah tahap kritis dalam proses pembuatan surimi. Pencucian dapat menghilangkan materi yang dapat larut air, seperti darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan, garam inorganik, dan senyawa organik berberat molekul rendah seperti trimetilamin oksida. Pencucian juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma, serta meningkatkan kekuatan gel surimi. Menurut Lee (1986) diacu dalam Benjakul et al. (1996) komponen utama yang dapat larut dalam air akan hilang dalam jumlah yang banyak pada siklus pencucian pertama kali. Secara umum agitasi selama lima menit dalam setiap kali pencucian untuk pencucian sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai cukup. Lin et al. (1996) diacu dalam Benjakul et al. (1996) melaporkan bahwa 27 % dan 38 % protein hilang berturut-turut pada pencucian sebanyak dua kali dan tiga kali dalam proses pengolahan surimi. 2.5.3 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa (Winarno et al. 1980). Dalam proses pembuatan surimi sering digunakan bahan-bahan tambahan yang ditambahkan dengan maksud dan tujuan tertentu. Bahan tambahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan surimi bertujuan untuk meningkatkan kualitas surimi. Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan surimi antara lain adalah garam dan cryoprotectant (gula dan polifosfat). 2.5.3.1 Garam Garam terdiri dari 34,39 % Na dan 60,69 % Cl. Garam biasa digunakan dalam pengolahan ikan sebagai pemberi rasa dan bahan pengawet. Menurut Zaitsev et al. (1969) garam memiliki tekanan osmosis yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan terjadinya proses osmosis dengan sel daging ikan dan sel-sel mikroorganisme. Akibat plasmolisis sel mikroorganisme akan turun kadar airnya sehingga mikroorganisme akan mati karena kekurangan air sebagai media untuk hidup. Pada pembuatan surimi penambahan garam sebanyak 0,2-0,3 % selama proses pencucian akan memudahkan penghilangan air dari daging ikan yang telah dilumatkan (Ditjen Perikanan 1990). Menurut KIFTC (1992) bahwa dalam pembuatan produk fish jelly, NaCl
digunakan lebih utama sebagai agen pelarut bagi protein miofibril daripada sebagai penambah cita rasa. Penambahan NaCl pada konsentrasi dibawah 2 % akan menyebabkan protein miofibril tidak dapat larut, namun penambahan NaCl pada konsentrasi diatas 12 % akan menyebabkan daging terdehidrasi dan menyebabkan efek salting-out dari NaCl. Penambahan NaCl terbaik dalam pembentukan ashi adalah dengan menggunakan kadar garam tinggi (5-10 %), tetapi selang kadar garam 2-3 % biasa digunakan pada beberapa spesies dan produk, karena untuk menghindari rasa asinnya (Niwa 1992). 2.5.3.2 Anti denaturan (cryoprotectant) Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Fungsi cryoprotectant adalah sebagai zat anti denaturan. Penyimpanan surimi dalam waktu yang lama bertujuan untuk menjaga stok daging ikan di pasaran. Penambahan cryoprotectant dalam pembuatan surimi dapat mencegah denaturasi protein selama masa pembekuan (Nielsen dan Piegott 1994). Menurut Pipattasatayanuwong et al. (1995) cryoprotectant dibutuhkan untuk meminimalisasikan denaturasi protein selama masa penyimpanan beku. Sukrosa (4 %) dan sorbitol (4-5 %) sering digunakan bersamaan dengan 0,3 % sodium fosfat. Penambahan polifosfat dapat menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu tahun (Lee 1984). Menurut Peranginangin et al. (1999) penambahan cryoprotectant dapat meningkatkan tingkat N-aktomiosin dari 350 mg% menjadi 520 mg% dan meningkatkan kekuatan gel dari 400 g menjadi 489 g, artinya sama dengan meningkatkan nilai pelipatan. Jenis polifosfat yang digunakan sebagai bahan tambahan makanan antara lain adalah dinatrium fosfat, natrium heksametafosfat dan natrium tripolifosfat (STPP). Menurut Matsumoto dan Noguchi (1992) fosfat digunakan pertama kali oleh Nishiya’s Group (industri surimi di Jepang). Pirofosfat dan tripolifosfat dilaporkan memiliki efek untuk melindungi protein. Nishiya’s Group melaporkan bahwa pirofosfat dan tripolifosfat adalah lebih efektif dibandingkan dengan tetrapolifosfat dan heksametafosfat. Peranginangin et al. (1999) melaporkan bahwa polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler. Polifosfat dapat
menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat dapat memperbaiki daya ikat air (water holding capacity) dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi. Matsumoto dan Noguchi (1992) melaporkan dari beberapa studi bahwa aktivitas utama polifosfat adalah untuk meningkatkan efek cryoprotective dari gula, dengan efek buffer dari polifosfat pada pH otot dan dengan mengkelatkan ion metal. Penambahan bahan tambahan makanan menurut Codex Alimentarius Abridged Version (1990) diacu dalam Matsumoto dan Noguchi (1992) ditetapkan bahwa penggunaan sodium tripolifosfat yang diizinkan penggunaanya adalah 3 g/kg daging ikan. Apabila ditinjau dari komposisinya ternyata sodium tripolifosfat terdiri dari natrium dan fosfat yang keduanya tidak mengganggu kesehatan bahkan fosfat dapat digunakan sebagai sumber mineral. Surimi bebas fosfat dapat diproduksi dengan maksud menyingkirkan masalah konsumen yang kawatir terhadap keseimbangan nutrisi dari kalsium dan fosfat (Matsumoto dan Noguchi 1992). 2.5.4 Mekanisme terbentuknya gel Mutu surimi yang baik ditentukan oleh kemampuan dari surimi tersebut untuk membentuk gel. Kemampuan membentuk gel ini berpengaruh terhadap elastisitas dari produk lanjutan yang diolah dari surimi tersebut. Zayas (1997) menyatakan bahwa proses gelasi tergantung pada kemampuan protein untuk membentuk jaringan tiga dimensi sebagai hasil dari interaksi antara protein-protein dan protein-air. Interaksi ini berlangsung cepat pada kandungan protein yang tinggi karena akan sering terjadi kontak intermolekul. Air berfungsi untuk mencegah hancurnya matriks tiga dimensi menjadi massa yang kompak. Pembentukan gel adalah hasil dari ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik, dan ikatan kovalen disulfida. Menurut Jaczynski dan Park (2004) gelasi adalah hasil dari denaturasi protein, yang dimulai dengan interaksi intermolekul dan intramolekul kovalen dan nonkovalen, termasuk ikatan disulfida (SS) dan interaksi hidrofobik. Menurut Baier dan Mc Clements (2005) karakteristik fisikokimia dari pembentukan gel adalah hasil akhir dari interaksi antara pelarut, zat terlarut dan protein yang membentuk jaringan. Kemampuan pembentukan gel berdasarkan atas kemampuan sebuah polimer penyusun protein untuk membentuk ikatan silang (cross linking) dalam bentuk tiga dimensi dari protein. Kombinasi yang unik ikatan kovalen pada umumnya adalah ikatan disulfida, ikatan intermolekul non-kovalen oleh ikatan hidrogen dan elektrostatik dan interaksi
hidrofobik secara signifikan dapat mempengaruhi terbentuknya gel. Besarnya interaksi nonkovalen dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti pH dan konsentrasi zat terlarut. Sedangkan ikatan hidrogen dan kekuatan hidrofobik tergantung kepada jumlah air sebagai zat pelarut (Baier dan Mc Clements 2005). 2.5.4.1 Pengaruh garam terhadap protein miofibril Proses gelasi daging ikan adalah peristiwa dimana daging ikan membentuk gel karena pemberian perlakuan khusus yaitu dengan penambahan garam dan seiring dengan peningkatan suhu tertentu (BPPMHP 1987). Niwa (1992) melaporkan bahwa dalam proses pembentukan gel surimi, miofibril akan hilang karena larut dalam air yang telah ditambahkan garam. Ketika garam masuk, maka ion garam secara individu terhidrasi dengan air, kemudian akan berikatan dengan grup yang berlawanan pada permukaan protein. Ikatan garam intermolekul diantara protein miofibril akan melemah dan protein akan terlarut di dalam air karena peningkatan afinitasnya terhadap air. Secara simultan miosin yang larut akan berkombinasi dengan aktin untuk membentuk struktur makromolekul aktomiosin. Proses pembentukan aktomiosin dari miofibril dapat dilihat pada Gambar 5. M
A
M
A
NaCl
Keterangan: A = aktin M = miosin
Gambar 5. Pembentukan aktomiosin dari miofibril (Niwa 1992) Garam tidak hanya berpengaruh terhadap kelarutan protein miofibril, tetapi juga dapat menstabilisasikan molekulnya terhadap denaturasi panas. Keduanya dari miosin dan aktomiosin memiliki peranan yang penting dalam gelasi surimi. Massa ini disebut dengan sol yang bersifat sangat adesif.
2.5.4.2 Perubahan sol menjadi gel Menurut Hudson (1992) gel protein didefinisikan sebagai jaringan tiga dimensi dimana polimer-polimer dan polimer-pelarut berinteraksi yang menghasilkan imobilisasi dari sejumlah besar air dari proporsi protein yang kecil. Niwa (1992) menyatakan bahwa ada empat tipe ikatan utama yang berkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi, yaitu: ikatan garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik. Menurut Baier dan Mc Clements (2005) protein akan segera bereaksi karena adanya aktifitas dari air. Hal ini dapat terjadi karena sifat yang unik dari air. Air adalah ligan terbanyak yang mengelilingi molekul protein. Niwa (1992) melaporkan bahwa asam-asam amino tirosin, serin, hidroksiprolin, dan treonin tergabung dalam grup hidroksil, dan prolin dan hidroksiprolin yang tergabung dalam grup imino, keduanya bertindak sebagai donor dan akseptor proton, sedangkan glutamin dan aspargin yang keduanya mengandung grup karbonil bertindak sebagai akseptor proton. Ikatan intermolekul hidrogen terbentuk diantara grup imino dan karbonil. Ikatan garam bertanggung jawab terhadap peningkatan energi yang akan memisahkan molekul air. Ikatan hidrogen akan melemah ketika dipanaskan. Hudson (1992) membagi proses gelasi dari protein menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi dari protein utuh dari bentuk terlipat menjadi tidak terlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Menurut Niwa (1992) ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Pembentukan interaksi hidrofobik diketahui sebagai hadirnya dari beberapa poliol dan asam amino, seperti gliserin, sukrosa, sorbitol, asam glutamat dan lisin. Interaksi hidrofobik terjadi ketika tahap inkubasi surimi pada suhu mendekati 40 ºC. Menurut Jaczynski dan Park (2004) interaksi hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilisasikan sistem protein. Tahap kedua adalah oksidasi sulfihidril (Hudson 1992). Pada tahap ini menurut Niwa (1992) pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80 ºC).
Tahap ketiga adalah tahap peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992). Menurut Suzuki (1981) ketika pasta surimi yang dibuat dengan mencampurkan daging dengan garam dipanaskan, maka pasta daging tersebut berubah menjadi gel suwari. Dilaporkan bahwa gel suwari tidak hanya terbentuk oleh hidrasi molekul protein, tetapi juga oleh pembentukan jaringan oleh ikatan hidrogen pada molekul protein miofibril. Gel suwari terbentuk dengan cara menahan air di dalam ikatan molekul yang terbentuk oleh ikatan hidrofobik dan ikatan hidrogen. Pembentukan gel suwari terjadi pada pemanasan dengan suhu mencapai 50 °C. Ketika pemanasan gel ditingkatkan hingga di atas suhu 50 °C, maka struktur gel tersebut akan hancur. Fenomena ini disebut dengan modori. Modori akan terjadi apabila pasta surimi dipanaskan pada suhu 50-60 °C selama 20 menit. Pada rentang suhu tersebut enzim alkali proteinase akan aktif. Enzim tersebut dapat menguraikan kembali struktur jaringan tiga dimensi gel yang telah terbentuk. Berkaitan dengan fenomena diatas, maka dibuat sebuah metode untuk membuat gel kamaboko yang kuat dengan melewatkan secara cepat pasta surimi tersebut pada zona rentang suhu dimana modori dapat terjadi. Menurut
Suzuki (1981) gel kamaboko yang elastis
terbentuk ketika pasta daging dipanaskan dengan melewati zona suhu modori. Dengan cara pemanasan ini terbentuk jaringan dengan dimensi yang lebih besar yang disebut gel ashi. Proses pembentukan gel kamaboko dapat dilihat pada Gambar 6.
2-3% NaCl ~50°C
Daging Ikan
Sol Aktomiosin (pasta daging)
~60°C
Suwari Gel
90°C~
Modori
Gel Kamaboko
Gambar 6 Proses pembentukan gel kamaboko (Suzuki 1981) 2.5.5 Mutu surimi Karakteristik kesegaran bahan baku surimi menurut SNI (01-2694.1-1992) secara organoleptik sekurang-kurang sebagai berikut: a)
rupa dan warna
: bersih, warna daging spesifik jenis ikan
b)
aroma
: segar spesifik jenis
c)
daging
: elastis, padat dan kompak
d)
rasa
: netral agak manis
Untuk mempertahankan mutu, bahan baku harus segera diolah. Apabila terpaksa harus menunggu, maka bahan baku harus disimpan dengan es atau air dingin (0-5°C), kondisi saniter dan higienis (SNI 01-2694.1-1992). Syarat mutu surimi beku berdasarkan SNI 012693-1992 dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992) Jenis Uji
Satuan
Persyaratan Mutu
a) Organoleptik - Nilai min
koloni/g
7
b) Cemaran mikroba - ALT, maks - Escherichia coli - Coliform - Salmonella *) - Vibrio cholerae *)
AMP/g per 25 g per 25 g
5 x 105 <3 3 negatif negatif
% b/b % b/b % b/b
1 0,5 15
ºC
-18 ºC grade A 300
c) Cemaran kimia - Abu total, maks - Lemak, maks - Protein, maks d) Fisika - Suhu pusat, maks - Uji lipat, min - Elastisitas, min
g/cm2
*) jika diminta importir
Keterangan : ALT = Angka Lempeng Total AMP = Angka Paling Memungkinkan
2.6
Non Nitrogen Protein (NNP) Senyawa NNP memegang peranan penting dalam proses metabolisme binatang laut dan
juga berperan dalam proses pembusukan serta membentuk flavor makanan hasil laut. Pada elasmobranchii, non nitrogen protein berjumlah sekitar 30 %, sedangkan pada teleostei yang ditangkap di India kandungan NNP-nya adalah sekitar 10 %, dan pada golongan krustasea mengandung NNP sekitar 23 % dari total nitrogen (Govindan 1985). Ikan elasmobranchii (tulang rawan) mempunyai kandungan NNP yang lebih tinggi daripada ikan bertulang keras. Menurut Simidu (1961) kandungan NNP pada ikan bertulang
keras berkisar antara 9,2–18,3 % dari total nitrogen, dan pada ikan bertulang rawan berkisar antara 33-38,6 %. Menurut Simidu (1961) senyawa yang terdapat pada fraksi NNP dapat dikelompokkan sebagai berikut: (a) basa volatil (amonia, mono, di-, dan trimetilamin); (b) basa trimetilamonium (trimetilamin oksida dan betain); (c) turunan guanidin (kreatin dan arginin); (e) variasi (urea, asam amino, dan turunan purin). Kandungan NNP dari setiap spesies ikan adalah berbeda. Kandungan NNP dari berbagai jenis ikan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Distribusi dari senyawa NNP (%) pada beberapa spesies ikan (Shahidi 1994) Spesies
Asam Amino Bebas
Peptida
Nukleotida
Kreatin/ Kreatinin
Betain
Lainnyaa
Mackarel Hiu Udang Kepiting Cumi-cumi Kerang
25 5 65 75 50 35
5 5 5 5 5 5
10 5 5 15 15 35
35 10 -
5 5 10 15
25 75b 20 20c 10
Keterangan : a) amonia, urea, trimetilamin oksida dan amida, b) kandungan utamanya urea, c) mengandung 10 % oktopin
Govindan (1985) menyatakan bahwa senyawa NNP secara umum terkandung di dalam otot ikan. Senyawa tersebut mempengaruhi kualitas serta berkontribusi terhadap flavor. NNP memainkan peranan yang penting dalam proses metabolisme dari hewan laut, dan juga dalam proses kebusukan (Simidu 1961). Urea merupakan sumber amonia, dimana senyawa ini merupakan karakteristik dari daging ikan bertulang rawan. Urea terdapat baik pada ikan bertulang rawan, maupun ikan bertulang keras. Perbedaannya, ikan bertulang keras mengeluarkan urea dengan cepat, sedangkan pada ikan bertulang rawan urea tetap tinggal di dalam darah dan cairan tubuh. Keberadaan urea di dalam ikan bertulang rawan adalah sebagai pengatur tekanan osmosis atau sebagai osmoregulator tubuh ikan dengan lingkungannya (Musick 2005). Tekanan osmosis laut memiliki perbedaan kurang lebih sebesar 100 kali dibandingkan dengan air tawar (Govindan 1985). Kandungan urea pada elasmobranchii cukup bervariasi sesuai dengan spesiesnya, yang berkisar antara 1,4–2,0 % (Lagler et al. 1977; Govindan 1985). Urea terbentuk karena adanya
enzim arginase. Enzim arginase berperan mengubah arginin menjadi ornitin dan urea di seluruh tubuh. Urea memiliki sifat tidak berwarna, mudah larut dalam air dan alkohol, asam asetat dan pirimidin, tidak berbahaya namun dapat menghasilkan aroma yang spesifik dan rasa sour bitter (Kreuzer dan Ahmed 1978). Menurut Simidu (1961) sintesis senyawa ini terjadi pada seluruh organ tubuh ikan elasmobranchii, karena dilaporkan bahwa enzim arginase terdapat di seluruh tubuhnya. Mekanisme pembentukan urea secara biokimia terjadi melalui siklus Krebs yang diperlihatkan dalam Gambar 7. 1) CO2 + NH3
Karbamilfosfat
2) Karbamilfosfat + Ornitin 3) Sitrulin + Aspartat 4) Arginosuksinat 5) Arginin
Arginase
Sitrulin Arginosuksinat Arginin
Urea + Ornitin
Gambar 7 Mekanisme pembentukan urea (Simidu 1961) Musick (2005) menyatakan bahwa setelah ikan mati, urea akan diuraikan menjadi amonia yang dapat menghasilkan aroma yang kuat dimana pada konsentrasi yang tinggi dapat menimbulkan toksik. Selanjutnya Simidu (1961) melaporkan bahwa terjadi pembentukan amonia dalam jumlah yang besar selama masa penyimpanan daging ikan elasmobranchii, yang secara jelas diindikasikan bahwa urea sebagi prekursornya. Enzim urease bertanggung jawab terhadap proses dekomposisi ini, akan tetapi aksi dari bakteri juga dapat menyebabkan dekomposisi urea. Tidak ada periode inaktif yang ditemukan pada daging yang disimpan pada suhu tinggi maupun rendah atau ketika dilumatkan terhadap dekomposisi urea menjadi amonia. Menurut Walser (1981) konversi dari N-urea menjadi N-amonia disebabkan oleh bakteri yang memproduksi enzim urease. Dorn (2005) menjelaskan tentang konversi urea menjadi amonia. Hasil dari uraian urea adalah amonia dan karbondioksida. Proses konversi tersebut berlangsung dalam dua tahap. Ketika urea (CO(NH2)2) bertemu dengan air (hidrolisis) akan membentuk ammonium karbonat (NH4)2CO3. Amonium sangat tidak stabil dan akan terurai untuk membentuk gas amonia (NH3) dan karbondioksida (CO2). Menurut Camberato (2001) hidrolisis urea adalah peristiwa konversi urea menjadi amonia oleh enzim urease.
3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Juli 2005. Penelitian utama dan penelitian pendahuluan dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Organoleptik Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP), Muara Baru, Jakarta Utara. Pengujian kadar urea pada penelitian pendahuluan dilakukan di Laboratorium Kimia Pengujian Mutu Hasil Perikanan Dinas Perikanan DKI Jakarta, Pluit, Jakarta Utara. Pengujian kadar urea dan derajat putih pada penelitian utama dilakukan di Laboratorium Kimia Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, Jl. KS. Tubun Petamburan VI, Jakarta Pusat dan pengujian daya ikat air (WHC) pada penelitian utama dilakukan di Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan dan Gizi, Pusat Antar Universitas (PAU-Pangan dan Gizi), Institut Pertanian Bogor. 3.2
Bahan dan Alat
3.2.1 Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi: bahan-bahan untuk pembuatan surimi dan analisis karakteristik surimi. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan surimi adalah: ikan cucut pisang, ikan pari kelapa, garam, sukrosa, sodium tripolifosfat (STPP), dan es curai. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan untuk analisis karakteristik surimi meliputi bahan-bahan yang diperlukan untuk analisis protein, lemak, total volatil basa nitrogen (TVBN), trimetilamin (TMA), urea, dan protein larut garam (PLG)). 3.2.2 Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian dapat dibagi menjadi: peralatan yang digunakan untuk pembuatan surimi (cool box, wadah air (teris), pisau, talenan, mesin pemisah daging-tulang (meat-bone separator) Muika Equipment MS-120, pelumat daging (grinder) elektrik, food processor, pres hidraulik, kain kasa saring, plastik polyetilen (PE), show case cabinet (suhu 4-5 ºC), termokopel digital, timbangan digital, water bath, dan peralatan yang digunakan untuk analisis mutu surimi (proksimat (kjeltec system, oven, tanur, desikator), pH (pH meter digital merek: InoLab), TVBN dan TMA (cawan conway), urea (spektrofotometer uv-vis merek: Perkin Elmer), PLG (sentrifus dingin, kjeltec system),
kekuatan gel, WHC (pengepres hidraulik), dan derajat putih (Whiteness meter merek: Kett electric). 3.3
Metode Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
1)
Penelitian pendahuluan, yaitu analisis karakteristik fisika-kimia bahan baku (rendemen daging lumat, proksimat, pH, dan TVBN), penentuan frekuensi pencucian dan komposisi daging lumat terbaik). Penentuan frekuensi pencucian terbaik ditentukan berdasarkan jumlah penurunan kadar urea dan jumlah peningkatan kadar protein larut garam daging lumat, sedangkan komposisi daging lumat terbaik ditentukan berdasarkan nilai kekuatan gel daging lumat tertinggi.
2)
Penelitian utama, yaitu mempelajari pengaruh pengkomposisian dan penyimpanan dingin daging lumat terhadap karakteristik mutu fisika-kimia surimi (kekuatan gel, uji lipat, uji gigit, derajat putih, dan daya ikat air).
3.3.1 Penelitian pendahuluan Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisika dan kimia ikan, mencari jumlah pencucian terbaik yang mampu mereduksi kadar urea daging lumat serta meningkatkan kadar protein larut garam, dan mencari kombinasi komposisi pencampuran daging lumat terbaik antara ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa. Kombinasi pengkomposisian daging lumat dapat dilihat pada Tabel 6. Diagram alir penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 8. Tabel 6 Rasio pengkomposisian daging lumat ikan cucut dan ikan pari Jenis ikan Cucut Pari
A 100 % 0%
Kombinasi komposisi daging lumat B A1B1 A2B1 0% 50 % 75 % 100 % 50 % 25 %
A1B2 25 % 75 %
Keterangan : A adalah daging lumat cucut 100 %, B adalah daging lumat pari 100 %, A1B1 adalah daging lumat cucut 50 % : pari 50 %, A2B1 adalah daging lumat cucut 75 % : pari 25 %, dan A1B2 adalah daging lumat lumat cucut 25 % : pari 75 %.
Cucut
Pari
Ditimbang kepala, sirip, ekor, isi perut dan kulit
Disiangi
Dicuci
Dilumatkan
Daging Lumat
Rendemen berat
Dikomposisikan
A
B
A1B1
A1B2
A2B1
Analisis kadar proksimat, pH, dan TVBN
Pencucian 0,1,2,3,4 X
Penentuan komposisi terbaik dari kelima komposisi
Analisis PLG dan Urea
Dilarutkan pada larutan garam, dan dipanaskan dua tahap (40 dan 90 °C) selama 20 menit Gel
Analisis kekuatan gel
Jumlah pencucian dan kombinasi komposisi terbaik Gambar 8 Diagram alir penelitian pendahuluan
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis ikan elasmobranchii yaitu ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa. Ikan tersebut diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke, Jakarta Utara pada pagi hari. Ikan diangkut ke Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan BPPMHP Muara Baru, Jakarta Utara dengan jarak kurang lebih 10 km, waktu tempuh kurang lebih 30 menit. Ikan terlebih dahulu dimasukkan kedalam cool box yang ditambahkan dengan es curai dan ditutup rapat. Setelah sampai di Laboratorium pengolahan hasil perikanan BPPMHP, kedua ikan tersebut masing-masing ditimbang untuk mengetahui berat utuh ikan tersebut. Kemudian ikan disiangi untuk membersihkan kulit, kepala dan isi perut. Selanjutnya daging ikan tersebut dibersihkan dengan air dingin untuk menghilangkan darah dan kotoran-kotoran. Kemudian daging ikan tersebut dimasukkan kedalam mesin meat-bone separator secara bergantian untuk memisahkan daging dengan tulang, yang akhirnya didapatkan daging lumat dari hasil pemisahan tersebut. Daging ikan akan terjepit diantara sabuk berjalan (belt conveyor) dan silinder berpori. Daging ikan hancur (menjadi daging lumat) karena terjepit dan masuk kedalam pori-pori, kulit dan tulang terpisah dan dibuang melalui pembuangan. Dihitung nilai rendemen berat daging lumat dari kedua jenis ikan tersebut. Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap karakteristik kimia dari kedua jenis daging ikan tersebut. Pengamatan yang dilakukan adalah analisis proksimat (kadar air, abu, lemak dan protein kasar), dan analisis kesegaran (nilai pH dan kadar TVBN). Pada kedua jenis daging ikan tersebut dilakukan proses pencucian sebanyak empat kali. Perbandingan air (PAM) dan daging yang digunakan adalah 4:1, dilakukan selama 10 menit, suhu dingin (suhu < 10 ºC). Pada setiap tahap frekuensi pencucian, dimulai dari tahap tanpa pencucian hingga pencucian empat kali dilakukan pengamatan terhadap kadar urea dan PLG daging lumat kedua jenis ikan tersebut. Frekuensi pencucian yang terbaik dinilai berdasarkan besarnya penurunan kadar urea, dan peningkatan kadar PLG. Frekuensi pencucian terbaik tersebut akan digunakan dalam proses pembuatan surimi pada penelitian utama. Pencucian berulang kali diharapkan dapat menurunkan kadar urea dan meningkatkan PLG dari daging lumat. Penggunaan frekuensi pencucian sebanyak empat kali mengacu pada penelitian Fitrial (2000), yang menentukan frekuensi pencucian terbaik pada daging lumat ikan cucut lanyam (Carcharinus limbatus) berdasarkan kadar PLG-nya.
Setelah mengetahui frekuensi pencucian terbaik maka daging lumat ikan cucut pisang dan pari kelapa dikomposisikan dengan jumlah pengkomposisian yang telah ditetapkan pada Tabel 6. Selanjutnya pada masing-masing kombinasi pengkomposisian tersebut dievaluasi kekuatan gelnya, dengan tahapan proses sebagai berikut: pertama-tama daging dilarutkan pada larutan garam 3 % (b/b) dan air dingin 30 % (b/v), kemudian dilakukan pemanasan (setting) pada suhu 40 ºC selama 20 menit, kemudian perebusan (cooking) pada suhu 90 ºC selama 20 menit. Pengukuran kekuatan gel menggunakan alat texture analyzer tipe TA-XT2i, dengan probe berdiameter 2,5 inchi. Satu kombinasi komposisi daging lumat terbaik berdasarkan nilai maksimum kekuatan gel yang dihasilkan dipilih untuk dipelajari pengaruh penyimpanan pada suhu dingin. Tiga komposisi, yaitu komposisi daging lumat A, B, serta kombinasi komposisi terpilih akan digunakan pada tahap penelitian utama. 3.3.2 Penelitian utama Daging lumat komposisi A, B, dan komposisi terbaik pertama-tama ditimbang sebanyak 600 g, kemudian dimasukkan kedalam plastik polyethilene (PE) dan ditutup rapat. Kemudian semua daging tersebut disimpan pada show case cabinet (suhu 4-5 °C) selama sembilan hari. Dilakukan pengamatan berupa analisis pH, TVBN, TMA, urea dan PLG terhadap semua komposisi daging lumat pada hari ke-0, 3, 6, dan 9. Bersamaan dengan itu dilakukan proses pengolahan surimi, yang diawali dengan proses pencucian yang menggunakan frekuensi terbaik. Pencucian menggunakan air PAM yang ditambahkan es balok, dengan perbandingan air dan daging adalah 4:1. Pada proses pencucian terakhir ditambahkan NaCl sebanyak 0,3 %. Selanjutnya dilakukan proses pengurangan kadar air dengan mengepres daging lumat pada alat pengepres hidraulik, hingga mencapai kadar air kurang-lebih sebesar 80 %. Daging akan tertekan oleh dua besi pengepres (berada pada sisi atas dan bawah), karena adanya tekanan air akan keluar dari daging. Kemudian daging dicampurkan merata dengan sukrosa 2 % dan STPP 0,3 % sebagai cryoprotectants, hingga terbentuk surimi. Diagram alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 9.
Komposisi terbaik
B
A
Pembungkusan dengan plastik polyethilen (PE) Penyimpanan suhu dingin (4-5 °C) selama sembilan hari
Pengamatan pada hari ke-0
Pengamatan pada hari ke-3
Pengamatan pada hari ke-6
Pengamatan pada hari ke-9
Analisis pH, kadar TVBN, TMA, urea, dan PLG
Pencampuran dengan cryoprotectant (sukrosa 2%, dan STPP 0,3 %)
Surimi
Pengurangan kadar air
Pres hidraulik
Pencucian terbaik
Pengolahan daging lumat dari tiap-tiap hari penyimpanan menjadi surimi
Dengan air PAM dingin (4:1), pada tahap pencucian terakhir ditambahkan NaCl 0,3 %
Kekuatan gel, uji lipat, uji gigit, WHC, dan derajat putih
Gambar 9 Diagram alir penelitian utama 3.4
Perlakuan Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini dilakukan pada tahap penelitian utama.
Terdapat dua perlakuan yang diberikan, yaitu perlakuan pengkomposisian daging lumat sebagai faktor satu dan penyimpanan dingin daging lumat sebagai faktor dua.
Faktor pengkomposisian daging lumat terbagi menjadi tiga taraf perlakuan yaitu: (1)
A (komposisi cucut 100%)
(2)
B (komposisi pari 100%)
(3)
Komposisi terbaik Faktor penyimpanan dingin daging lumat terbagi menjadi empat taraf perlakuan yaitu :
(1)
0 (penyimpanan pada hari pertama)
(2)
3 (penyimpanan pada hari ketiga)
(3)
6 (penyimpanan pada hari keenam)
(4)
9 (penyimpanan pada hari kesembilan)
3.5 Pengamatan Hal yang diamati selama proses penelitian ini akan dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu: pengamatan pada penelitian pendahuluan, pengamatan pada daging lumat, dan pengamatan pada surimi. 3.5.1 Pengamatan pada penelitian pendahuluan Pada
penelitian
pendahuluan
dilakukan
beberapa
pengamatan
yang
sangat
mempengaruhi penelitian selanjutnya. Pengamatan yang dilakukan pada penelitian pendahuluan adalah: rendemen berat daging, analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, dan protein kasar), pH, TVBN, urea, PLG dan pengamatan terhadap kekuatan gel daging lumat. 3.5.2 Pengamatan pada daging lumat Pada daging lumat yang disimpan pada suhu dingin selama sembilan hari dilakukan pengamatan terhadap pH, TVBN, TMA, protein larut garam dan urea, masing-masing pada hari penyimpanan ke-0, 3, 6, dan 9 hari. 3.5.3 Pengamatan pada surimi Pengamatan terhadap karakteristik mutu surimi dilakukan dengan menghitung nilai kekuatan gel, uji lipat, uji gigit, derajat putih dan daya ikat air. 3.6
Uji Fisik Uji fisik meliputi perhitungan terhadap nilai rendemen berat daging lumat, evaluasi
kekuatan gel, dan derajat putih surimi.
3.6.1 Rendemen berat (SNI-19-1705-2000 diacu dalam Pranira 2003) Rendemen berat daging dihitung menggunakan rumus : % Rendemen = berat daging lumat x 100 % berat ikan utuh 3.6.2 Kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 yang telah dimodifikasi) Pertama kali dilakukan persiapan sampel surimi. Sebanyak 300 g surimi ditambahkan NaCl sebesar 3 % (b/b) dari berat surimi dan 30 % air dingin (b/v). Adonan tersebut diaduk hingga merata pada food processor, sampai dihasilkan pasta surimi. Pasta surimi selanjutnya dimasukkan kedalam stuffle dan dicetak pada selongsong dengan diameter 25-35 mm untuk direbus dengan dua tahap perebusan yaitu tahap pertama direbus pada suhu 40 ºC selama 20 menit dan tahap kedua direbus pada suhu 90 ºC selama 20 menit. Selanjutnya sampel didinginkan pada suhu dingin (4-5 ºC) selama lima menit lalu didiamkan pada suhu ruang (30 ºC) selama 12-24 jam sebelum diuji, dengan maksud untuk mendapatkan suhu yang sama dengan suhu ruang karena pengujian kekuatan gel dilakukan pada suhu ruang. Pengukuran kekuatan gel dilakukan dengan menggunakan alat texture analyzer jenis TA-XT2i Texture Analyzer (Texture Technologist Corp., Scarsdale NY/Stable Microsystem, Godalmin, Surrey, UK). Sampel dipotong dengan panjang 2,5 cm. Nilai kekuatan gel diukur menggunakan probe dengan diameter ¼ inchi yang terbuat dari bahan baja stainless dan kecepatan pengukuran sebesar 10 mm/detik. Nilai kekuatan gel yang dihasilkan adalah hasil perkalian antara daya tekan (force) (g) dan jarak pecah (distance) (cm). Nilai kekuatan gel dapat dihitung dengan rumus: Kekuatan gel (g.cm) = force (g) x distance (cm). 3.6.3 Analisis derajat putih (Kett Electric Laboratory 1981) Pengujian terhadap derajat putih surimi dilakukan dengan menggunakan alat KETT Digital Whiteness Meter, model C-100. Prinsip pengujian menggunakan alat ini adalah membandingkan derajat putih sampel dengan derajat putih standar yang telah ditentukan berdasarkan jenis sampel yang diuji. Pertama kali dilakukan kalibrasi alat. Kalibrasi dilakukan dengan cara meletakkan lempengan kalibrasi yang berwarna putih kedalam wadah berbentuk piring kecil, lempeng kalibrasi yang berwarna putih menghadap keatas. Selanjutnya dimasukkan kedalam kotak sampel dan ditutup dengan penutup. Kotak sampel yang berisi lempeng kalibrasi dimasukkan
kedalam alat whiteness meter. Tombol “on” ditekan dan ditunggu hingga enam menit sampai tanda peringatan “wait” berhenti. Setelah itu akan terbaca pada layer (LED) nilai kalibrasi dari lempeng kalibrasi tersebut. Nilai akan terbaca 100 %. Perhitungan sampel dilakukan setelah proses kalibrasi selesai. Dilakukan persiapan sampel sama seperti proses kalibrasi, namun yang diletakkan pada wadah berbentuk piring kecil adalah sampel berupa surimi. Kemudian sampel yang telah diisikan pada wadah berbentuk piring kecil tersebut dimasukkan kedalam kotak sampel dan ditutup dengan kover penutup. Tombol “on” ditekan dan akan muncul pada LED waktu pengujian dan nilai derajat putih dari surimi. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali ulangan. 3.7
Uji sensori
3.7.1 Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) Pertama kali dilakukan persiapan sampel (cara persiapan sampel sama seperti cara persiapan sampel pada pengukuran kekuatan gel), namun menggunakan tebal sampel sebesar 4-5 mm. Tingkat kualitas uji lipat menurut Suzuki (1981) adalah sebagai berikut : 1.
Tidak retak jika dilipat seperempat lingkaran, kualitas “AA” dengan nilai adalah 5
2.
Tidak retak jika dilipat setengah lingkaran, kualitas “A” dengan nilai adalah 4.
3.
Retak jika dilipat menjadi setengah lingkaran, kualitas “B” dengan nilai 3.
4.
Putus menjadi dua bagian jika dilipat setengah lingkaran, kualitas “C” dengan nilai 2.
5.
Pecah menjadi bagian-bagian kecil jika ditekan dengan jari-jari tangan, kualitas “D” dengan nilai 1.
3.7.2 Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981) Persiapan sampel sama seperti pada kekuatan gel, namun menggunakan ukuran tebal/tinggi 1 cm. Pengujian dilakukan dengan cara memotong (menggigit) sampel antara gigi seri atas dan gigi seri bawah. Tingkat kualitas uji gigit adalah sebagai berikut : 10 : daya lenting amat sangat kuat 9 : daya lenting amat kuat 8 : daya lenting kuat 7 : daya lenting agak kuat 6 : daya lenting diterima
5 : daya lenting agak diterima 4 : daya lenting agak lemah 3 : daya lenting lemah 2 : daya lenting amat lemah 1 : tidak ada daya lenting, seperti bubur 3.8
Analisis Kimia Analisis kimia yang dilakukan meliputi pengujian terhadap: kadar proksimat, urea, PLG,
pH, TMA, dan TVBN daging lumat serta daya ikat air surimi. 3.8.1 Analisis proksimat 3.8.1.1 Analisis kadar air (AOAC 1995) Cawan porselin dikeringkan di dalam oven selama satu jam dengan suhu 105 °C, lalu didinginkan didalam desikator selama 30 menit dan ditimbang hingga mendapatkan berat konstan (A). Ditimbang sampel sebanyak 2 g (B), dimasukkan kedalam cawan porselin kemudian dikeringkan di dalam oven 105 °C selama lima jam atau hingga berat konstan. Setelah itu cawan yang berisi sampel itu didinginkan didalam desikator selama 30 menit, lalu ditimbang (C). Apabila belum didapatkan berat konstan, cawan porselin dipanaskan lagi kedalam oven (105 °C) selama 30 menit, kemudian didinginkan selama 30 menit. Jika perlu, hal tersebut dilakukan berulang kali hingga didapatkan berat konstan. Penentuan kadar air menggunakan rumus: Kadar air = (A + B) - C x 100 % (B) 3.8.1.2 Analisis kadar abu (AOAC 1995) Cawan porselin dikeringkan di dalam oven selama satu jam dengan suhu 105 °C, lalu didinginkan selama 30 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat konstan (A). Ditimbang sampel sebanyak 2 g, dimasukkan kedalam cawan porselin dan dipijarkan di atas nyala api pembakar bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan kedalam tanur listrik (furnace) dengan suhu 650 °C selama kurang lebih 5-24 jam. Selanjutnya cawan didinginkan selama 30 menit pada desikator, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat konstan (B).
Penentuan kadar abu menggunakan rumus: Kadar abu =
B-A x 100 % berat sampel
3.8.1.3 Analisis kadar lemak total (AOAC 1995) Labu lemak yang telah dikeringkan di dalam oven (105 ºC) ditimbang hingga didapatkan berat konstan (A). Sebanyak 2 g daging (C) dibungkus dengan kertas saring bebas lemak kemudian dimasukkan kedalam selongsong lemak. Selongsong tersebut dimasukkan kedalam tabung soxhlet. Sebanyak 150 ml kloroform dimasukkan kedalam labu lemak. Sampel direfluks selama delapan jam, dimana pelarut sudah terlihat jernih yang menandakan lemak sudah terekstrak semua. Selanjutnya pelarut yang ada pada labu lemak dievaporasi untuk memisahkan pelarut dan lemak, kemudian labu lemak dikeringkan dalam oven 105 °C selama 30 menit. Setelah itu ditimbang hingga didapatkan berat konstan (B). Penentuan kadar lemak menggunakan rumus: Kadar lemak = (B - A) x 100 % C 3.8.1.4 Analisis protein kasar (AOAC 1995) Penentuan kadar protein kasar ini menggunakan metode semi mikro Kjeldahl. Daging sebanyak 0,75 g dimasukkan kedalam labu Kjeldahl. Kedalam labu tersebut ditambahkan 6,25 g K2SO4 dan 0,6225 g CuSO4 sebagai katalisator. Sebanyak 15 ml H2SO4 pekat dan 3 ml H2O2 secara perlahan-lahan ditambahkan kedalam labu dan didiamkan selama 10 menit dalam ruang asam. Tahap selanjutnya adalah proses destruksi pada suhu 410 ºC selama ± 2 jam atau hingga didapatkan larutan jernih, didiamkan hingga mencapai suhu kamar dan ditambahkan 50-75 ml akuades. Disiapkan erlenmeyer berisi 25 ml larutan H3BO3 4 % yang mengandung indikator (bromcherosol green 0,1 % dan methyl red 0,1 % (2:1)) sebagai penampung destilat. Labu Kjeldahl dipasang pada rangkaian alat destilasi uap. Ditambahkan 50 ml Na2(SO4)3 (alkali). Dilakukan destilasi dan destilat ditampung dalam erlenmeyer tersebut hingga volume destilat mencapai 150 ml (hasil destilat berwarna hijau). Destilat dititrasi dengan HCl 0,2 N, dilakukan hingga warna berubah menjadi abu-abu natural. Blanko dikerjakan seperti tahapan contoh. Pengujian contoh dilakukan duplo.
Kadar protein dihitung dengan rumus : Kadar protein = (A-B) x N HCl x 14,007 x 6,25 x 100 % W (g) x 1000 Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel, B = ml titrasi HCl blanko
3.8.2 Kadar urea (AOAC 1995) Persiapan larutan standar : Dilarutkan 5 gram urea pro analyst grade kedalam akuades dan diencerkan sampai 1 liter dengan akuades. Disiapkan larutan kerja 0,2; 0,4; 0,6; 0,8; 1,0; 1,2; 1,4; 1,6; 1,8 dan 2,0 mg/ml, dengan cara memipet 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, 16, 18, dan 20 ml larutan stok kedalam setiap labu ukur 250 ml, kemudian diencerkan sampai tanda tera dengan buffer fosfat. Kurva standar dibuat dengan cara memipet 5 ml masing-masing larutan kerja kedalam tabung reaksi 25 ml dan ditambahkan 5 ml p-dimetil amino benzaldehid (DMAB) kedalam masing-masing tabung. Disiapkan pula pereaksi blanko yang terdiri dari 5 ml larutan buffer dan 5 ml larutan DMAB. Semua tabung reaksi dikocok mekanik selama 10 menit dalam bak air bersuhu 25 ○C. Masing-masing larutan standar dilakukan pengukuran nilai absorbansi pada panjang gelombang 420 nm. Pengukuran Sampel : Sampel sebanyak 1 g ditimbang dalam labu ukur 500 ml. Kemudian ditambahkan 100 g charcoal, 250 ml akuades, 5 ml Zn(OAc)2 dan 5 ml K4Fe(CN)6. Kemudian distirer selama 30 menit dengan kecepatan tinggi dan volumenya ditempatkan sampai tanda tera. Larutan didiamkan sampai terjadi endapan, kemudian disaring dengan kertas Whatmann no. 40 dan diambil filtratnya yang bening. Setelah itu filtrat dipipet sebanyak 5 ml ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 5 ml DMAB dan dikocok sampai merata. Bersama-sama dengan larutan blanko 5 ml, kedua tabung tersebut dibiarkan selama 10 menit dalam bak air 25 ○C. Absorbansi dibaca pada panjang gelombang 420 nm. 3.8.3 Kadar protein larut garam (PLG) (Saffle dan Galbraeth 1964 diacu dalam Wahyuni 1992) Sampel sebanyak 5 g ditambahkan 50 ml larutan NaCl 5 % kemudian dihomogenkan dengan waring blender selama 2-3 menit, suhu dijaga agar tetap rendah. Setelah itu disentrifus pada 3400 x G selama 30 menit dengan suhu 10 °C. Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Whatmann no. 1, filtrat ditampung dalam Erlenmeyer, disimpan
pada suhu 4 °C. Sebanyak 25 ml filtrat dianalisis kandungan proteinnya dengan menggunakan metode semi mikro Kjeldahl. Perhitungan kadar protein larut garam adalah: Kadar PLG = (A-B) x N HCl x 14,007 x FP x 6,25 x 100 % W (g) x 1000 Keterangan : A = ml titrasi HCl sampel; B = ml titrasi HCl blanko
3.8.4 Nilai pH (Suzuki 1981) Sebelum melakukan pengukuran, pH meter harus dikalibrasi terlebih dahulu, dengan cara mencelupkan batang probe pada buffer pH 4 lalu dicelupkan kembali pada buffer pH 7. Perhitungan sampel dilakukan dengan cara menimbang 5 g sampel kemudian dihomogenkan dalam 45 ml akuades dingin. Setelah homogen diukur pH-nya dengan pH-meter. Pengukuran menggunakan pH meter digital merk inoLAB. Pengujian dilakukan sebanyak dua kali ulangan. 3.8.5 Total volatil basa nitrogen (TVBN) (SNI-01-4495-1998 yang telah dimodifikasi) Prinsip dari pengujian terhadap kadar TVBN contoh adalah: senyawa-senyawa basa volatil (amonia, mono-, di-, trimetilamin, dll) yang terdapat dalam sampel yang bersifat basa diuapkan. Senyawa-senyawa tersebut diikat oleh asam borat dan dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N Penentuan TVBN dilakukan dengan Metode Conway, dimana pertama-tama 25 g sampel diblender selama 1 menit dengan 75 ml larutan TCA 7 %, lalu disaring untuk mendapatkan filtrat yang bening. Sebanyak 2 ml H3BO3 2 % dimasukkan ke dalam inner chamber cawan Conway dan 1 ml filtrat ke outer chamber sehingga kedua macam larutan bercampur di outer chamber. Sebelum cawan ditutup, pinggir cawan diolesi vaselin agar penutupan sempurna. Pada posisi hampir menutup ditambahkan K2CO3 1:1 (b/v) ke dalam outer chamber sebanyak 1 ml kemudian cawan Conway segera ditutup. Blanko dikerjakan dengan mengganti filtrat dengan 7 % TCA dengan prosedur yang sama seperti di atas. Setelah itu, diinkubasi pada suhu 35 °C selama jam. Selanjutnya larutan asam borat yang mengandung sampel atau tidak (blanko) ditetesi 2 tetes indikator (methyl red 0,1 % dan bromthymol blue 0,1 % (2:1)), kemudian dititrasi dengan larutan HCl sambil diaduk sehingga warnanya berubah menjadi pink. Kadar TVBN kemudian dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Kadar TVBN (mg N/100 g) = (i-j) x N HCl x 14,007 x FP x 100 berat sample (g) Keterangan : i = volume titrasi sampel (ml) j = volume titrasi blanko (ml) FP = faktor pengenceran
3.8.6 Trimetilamin (TMA) (BPPMHP 2001) Prinsip pengerjaan analisis TMA hampir sama dengan pengujian kadar TVBN, namun pada analisis TMA ditambahkan formaldehid. Sampel dicacah hingga halus, kemudian ditimbang sebanyak 25 g sampel, ditambahkan 75 ml TCA 7 % dan dihaluskan dengan waring blender dan disaring dengan kertas Whatmann no.1 hingga didapat filtrat bening. Filtrat dapat disimpan pada suhu
4 ºC apabila belum dilakukan analisis.
Cawan Conway disiapkan dengan mengolesi bagian pinggir cawan dengan vaselin sehingga diperoleh penutup yang rapat. Dipipet 2 ml H3BO3 2 % kedalam inner chamber Conway. Filtrat sampel dipipet sebanyak 1 ml kebagian outer chamber Conway (misal: bagian kanan). Sebanyak 1 ml K2CO3 jenuh ditambahkan kebagian outer chamber Conway (misal: bagian kiri). Ditambahkan 0,5 ml formaldehid kebagian tengah outer chamber Conway dan segera cawan Conway ditutup dengan rapat. Blanko dikerjakan sama seperti pada tahap pengerjaan sampel, namun filtrat diganti dengan larutan TCA 7 %. Kemudian cawan digoyangkan perlahan-lahan hingga larutan pada bagian kanan dan kiri outer chamber menyatu. Setelah itu diinkubasikan pada suhu 35 ºC selama 2 jam atau pada suhu kamar selama 24 jam. Blanko dan contoh ditetesi dengan indikator (methyl red 0,1 % dan bromtimol blue 0,1 % (2:1)). Kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna menjadi pink. Perhitungan kadar TMA adalah sama dengan perhitungan kadar TVBN. 3.8.7 Daya ikat air (Water Holding Capacity (WHC))(Dagbjartsson dan Solberg 1972 diacu dalam Wahyuni 1992) Contoh surimi sebanyak 0,5 g direbus dalam air panas selama 15 menit dengan suhu 70 ºC, ditiriskan sampai seluruh permukaannya kering dan diletakkan di antara dua kertas saring Whatmann no.4 dan ditekan dengan pengepres hidraulik selama 2 menit dengan tekanan 200 kg/cm2. Luas air yang tergambar pada kertas saring diukur dan diduga sebagai daya ikat air protein contoh.
3.9
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL)
dengan interaksi (faktorial), yaitu faktor komposisi (faktor A) yang terdiri dari tiga taraf perlakuan dan faktor penyimpanan dingin (faktor B) yang terdiri dari empat taraf perlakuan. Pemilihan rancangan ini disebabkan karena peneliti ingin melihat respon dari taraf masingmasing faktor serta interaksi antara kedua faktor tersebut. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2002): Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk Keterangan : Yijk
= nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j dan ulangan ke k
µ
= komponen aditif dari rataan
Ai
= pengaruh utama faktor A
Bj
= pegaruh utama faktor B
(AB)ij = komponen interaksi dari faktor A dan faktor B, masing-masing pada taraf kei dan ke-j εijk
= pengaruh acak yang menyebar normal (0, σ2)
Analisis data menggunakan analisis ragam General Linear Model. Jika hasil analisis ragam menunjukkan hasil yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey. Data hasil uji sensori uji lipat dan uji gigit dilakukan uji statistika non-parametrik Kruskal-Wallis. Menurut Steel dan Torrie (1989) rumus uji berikut: H = 12 Σ Ri2 – 3(n+1) n(n+1) ni H’ = H Pembagi Pembagi = Keterangan : n
= jumlah data
1- ΣT (n-1)(n(n+1)
Kruskal-Wallis adalah sebagai
ni = banyaknya pengamatan dalam perlakuan ke-i Ri2 = jumlah rangking dalam perlakuan ke-i T = banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H’ = H terkoreksi Jika hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata, selanjutnya dilakukan uji Multiple Comparison dengan rumus sebagai berikut:
Ri − R j x Z
α /2p
Keterangan : Ri = Rata-rata rangking perlakuan ke-i Rj = Rata-rata rangking perlakuan ke- j k
= Banyaknya ulangan
N = Jumlah total data
( N + 1)k 6
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu:
(1)
Analisis proksimat, TVBN, pH, dan kandungan urea daging ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa.
(2)
Pembuatan daging lumat dari kedua jenis ikan tersebut dengan menggunakan meatbone separator dan menghitung nilai rendemen dagingnya.
(3)
Mencari frekuensi pencucian yang mampu mereduksi kadar urea maksimum, tetapi mampu meningkatkan kadar protein larut garam (PLG).
(4)
Mencari komposisi campuran antara daging lumat ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa yang menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi.
4.1.1 Komposisi kimia daging ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa Parameter kimia yang dianalisis terhadap daging ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa segar meliputi: analisis proksimat (kadar air, abu, lemak, dan protein kasar), TVBN, pH, dan kadar urea. Hasil analisis terhadap parameter kimia selengkapnya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Analisis kimia daging ikan cucut pisang dan pari kelapa segar Parameter Analisis Air (%) Abu (%) Lemak (%) Protein kasar (%) Urea (%) TVBN (mg N/100 g) pH
Cucut Pisang 77,91 1,15 1,60 19,08 1,98 5,97 5,62
Pari Kelapa 75,84 3,10 1,36 18,98 2,32 6,55 6,98
Keterangan : Data merupakan rata-rata dari dua kali ulangan
Kedua jenis ikan yang digunakan dalam penelitian ini termasuk jenis ikan berprotein tinggi dan lemak rendah. Menurut Stansby (1963) ikan yang tergolong berlemak rendah dan berprotein tinggi memiliki kandungan protein 15-20 % dan kandungan lemak lebih kecil dari 5 %. Jenis ikan ini sangat cocok untuk diolah menjadi surimi karena tingginya kadar protein dan rendahnya kadar lemak yang diharapkan mampu menghasilkan kekutan gel terbaik. Kekuatan gel berkorelasi positif dengan kandungan protein, terutama protein miofibril (aktin dan miosin) yang merupakan faktor utama penentu kekuatan gel. Selain itu lemak adalah
salah satu faktor penghalang komponen pembentuk gel dalam daging, dimana dengan rendahnya kandungan lemak maka nilai kekuatan gel yang dihasilkan akan tinggi. Kadar urea dari kedua jenis ikan tersebut adalah tinggi. Kadar urea yang tinggi adalah ciri khas dari ikan elasmobranchii. Daging ikan elasmobranchii memiliki kadar urea dalam daging sekitar 1-2 % yang mudah sekali terurai sehingga menimbulkan aroma pesing yang tajam (Lagler et al. 1977). Ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa yang digunakan dalam penelitian ini termasuk kedalam kelompok ikan yang masih segar. Rupa dan warna daging dari kedua jenis ikan ini masih cemerlang, berwarna putih kemerahan. Belum tercium bau amonia pada kedua ikan ini. Tekstur daging kedua ikan ini terlihat masih kompak dan elastis. Hasil pehitungan terhadap analisis kesegaran ikan (pH dan TVBN) menunjukkan nilai yang masih rendah (jauh berada dibawah ambang kebusukan). Nilai-nilai pH dan TVBN pada daging ikan cucut pisang dapat dilihat pada Tabel 7. Berdasarkan nilai pH dan TVBN tersebut menandakan bahwa belum terjadi adanya penguraian daging yang menyebabkan terbentuknya senyawa basa volatil yang dapat meningkatkan nilai pH dan TVBN. Indeks kebusukan ikan untuk nilai TVBN adalah 30 mg N/100 g (Ozogul dan Ozogul 1999). Nilai pH bagi ikan segar berada pada kisaran pH dibawah netral hingga pH netral, kisaran pH tersebut menandakan bahwa ikan berada dalam kondisi rigormortis (Almacher 1961). 4.1.2 Rendemen daging lumat ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa Daging lumat ikan diperoleh dengan cara memasukkan ikan yang telah difilet kedalam mesin pemisah daging dan tulang (meat-bone separator) merek Muika Equipment, tipe MS120 buatan Jepang (Gambar 10). Rendemen dari kedua ikan tersebut dihitung berdasarkan berat daging lumat (kg) yang dihasilkan setelah melalui alat meat-bone separator yang dibandingkan dengan berat utuh ikan (kg). Rata-rata perhitungan dari tiga kali ulangan, menunjukkan bahwa nilai rendemen daging lumat ikan cucut pisang lebih besar dibandingkan dengan rendemen daging lumat dari ikan pari kelapa. Nilai tersebut secara berturut-turut adalah 43,99 % dan 27,23 %. Perbedaan tesebut disebabkan karena kedua ikan ini memiliki bentuk tubuh yang berbeda. Cucut pisang memiliki badan memanjang dan langsing, badan didominasi oleh daging dibandingkan tulang. Menurut FAO (2005) bahwa spesies Carcharinus falciformis memiliki ciri tubuh yang besar dan ramping, dengan panjang dapat mencapai 3,3 m, sedangkan pari kelapa memiliki badan picak (depressed), didominasi oleh tulang-tulang rawan yang menyokong daging. Daging
hanya banyak terdapat pada badannya yang menyerupai sayap. Bentuk tubuh cucut lebih tebal dan berisi dibandingkan dengan bentuk tubuh pari, sehingga jumlah daging yang mengisi tubuhya-pun lebih banyak.
Gambar 10
Tampak samping mesin meat-bone separator tipe MS-120 Muika Equipment
4.1.3 Penentuan frekuensi pencucian terbaik Penelitian tahap ini bertujuan untuk mendapatkan frekuensi pencucian daging lumat yang mampu menghilangkan kadar urea maksimum, tetapi mempunyai kandungan PLG yang cukup tinggi. Menurut Matsumoto dan Noguchi (1992) pencucian adalah salah satu tahap dalam pembuatan surimi. Pencucian bertujuan untuk meningkatkan kekuatan gel dimana akan meningkatkan kandungan protein miofibril dan akan menurunkan jumlah protein sarkoplasma. Pencucian juga dapat meningkatkan kualitas warna, selain itu juga dapat melarutkan urea dan meningkatkan kualitas aromanya. Hasil pengamatan terhadap penentuan frekuensi pencucian terbaik selengkapnya disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Kadar protein larut garam (PLG) dan urea daging lumat ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa yang diamati pada setiap tahap frekuensi pencucian Frekuensi pencucian 0 1 2 3 4
PLG (%) Cucut Pari 9,96 9,12 11,54 11,23 15,67 15,43 13,52 13,24 10,34 10,56
Urea (%) Cucut Pari 1,98 2,33 0,85 1,54 0,61 0,35 0,23 0 0 0
Dari Tabel 8 terlihat bahwa pencucian dapat meningkatkan jumlah kelarutan PLG dari kedua jenis daging lumat ikan tersebut. Pencucian sebanyak dua kali pada daging lumat mampu menghasilkan nilai PLG tertinggi, akan tetapi ketika frekuensi pencucian ditingkatkan menjadi tiga dan empat kali menyebabkan turunnya nilai PLG. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian daging lumat terhadap kadar PLG memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 2). Uji lanjut Tukey pada kadar PLG cucut pisang dan pari kelapa menunjukkan bahwa pencucian sebanyak dua kali adalah frekuensi pencucian terbaik yang mampu menghasilkan kadar PLG tertinggi, dimana frekuensi pencucian tersebut memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan frekuensi pencucian lainnya. Meningkatnya nilai PLG daging lumat dari kedua jenis daging ikan ini hingga frekuensi pencucian sebanyak dua kali disebabkan karena protein sarkoplasma larut dengan mudah dan hanyut pada air pencucian. Hal ini diikuti dengan meningkatnya jumlah kelarutan protein miofibril (PLG) hingga frekuensi pencucian sebanyak dua kali. Lin dan Park (1996) melaporkan bahwa protein sarkoplasma mudah larut dalam air (0 % NaCl) dan terbuang pada saat pencucian pertama, sedangkan protein miofibril terbuang paling banyak setelah tahap pencucian kedua dari tiga atau empat kali ulangan pencucian. Pada pencucian pertama komponen utama yang larut dalam air (darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan, garam anorganik dan senyawa organik berberat molekul rendah seperti TMAO) akan terbuang banyak (Benjakul et al. 1996). Menurunnya nilai kelarutan PLG pada frekuensi pencucian ketiga dan keempat diduga karena protein miofibril tersebut menjadi terlarut dan hanyut dalam air pencuci pada saat proses pencucian. Hal serupa juga dilaporkan oleh Fitrial (2000) bahwa penurunan kadar PLG daging ikan cucut lanyam pada frekuensi pencucian ketiga dan keempat disebabkan karena PLG tersebut terlarut dalam air pencuci karena pengaruh pencucian yang berulang-ulang.
Pencucian dengan air dingin sebanyak tiga kali mampu mengurangi kadar urea hingga 100 % (bb) pada daging ikan pari kelapa, sedangkan pada ikan cucut pisang terjadi pada frekuensi pencucian ke-empat. Hasil analisis ragam pengaruh frekuensi pencucian daging lumat terhadap kadar urea memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 3). Uji lanjut Tukey pada kadar urea cucut pisang menunjukkan bahwa frekuensi pencucian sebanyak empat kali adalah frekuensi pencucian terbaik yang mampu mereduksi kadar urea terendah, dimana frekuensi pencucian tersebut memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan frekuensi pencucian sebanyak tiga kali. Sedangkan uji lanjut Tukey pada kadar urea pari kelapa menunjukkan bahwa pencucian sebanyak tiga kali adalah frekuensi pencucian terbaik, dimana frekuensi pencucian tersebut memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan frekuensi pencucian sebanyak empat kali. Wahyuni (1992) melaporkan bahwa daging ikan cucut lanyam yang telah dilumatkan, direndam dan dicuci dalam air dingin pada suhu 5 ºC sebanyak tiga kali mampu mereduksi kadar urea dari rata-rata sebesar 5 % (bk) menjadi tidak terdeteksi lagi. Dari hasil pengamatan tersebut, frekuensi pencucian sebanyak tiga kali akan digunakan dalam proses pengolahan surimi pada tahap penelitian utama. Walaupun pencucian sebanyak dua kali mampu menghasilkan nilai PLG maksimum, namun kadar urea dari masing-masing daging masih tinggi. Hal ini ditandai dengan bau urea yang masih terdeteksi kuat pada pencucian sebanyak dua kali. Bau urea hampir tidak terdeteksi lagi pada pencucian sebanyak tiga kali, selain itu kandungan PLG yang menurun dari jumlah pencucian sebanyak dua kali tidak terlalu banyak jika dibandingkan dengan pencucian sebanyak empat kali. 4.1.4 Penentuan komposisi daging lumat terbaik Mengacu pada hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Nugroho (In press) yang melaporkan bahwa pengkomposisian daging lumat dari berbagai jenis ikan hasil tangkapan samping ternyata mampu meningkatkan kualitas dari kekuatan gel-nya dibandingkan dengan kekuatan gel masing-masing. Oleh karena itu dilakukan penelitian dengan melakukan pengkomposisian daging lumat ikan dari elasmobranchii (cucut dan pari) yang akan dievaluasi pengaruhnya terhadap kualitas kekuatan gel yang dihasilkan. Nilai kekuatan gel kelima jenis variasi komposisi daging lumat ikan cucut pisang dan pari kelapa disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Nilai kekuatan gel daging lumat dari masing-masing variasi komposisi daging lumat Perlakuan komposisi A
Kekuatan gel (g.cm) 64,420
B
145,319
A1B1
187,436
A2B1
177,915
A1B2
209,290
Keterangan: Data merupakan rata-rata dari dua kali ulangan. Simbol A, B, A1B1, A2B1, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.
Dapat dilihat dari Tabel 9 bahwa kelima komposisi dari ikan cucut pisang dan pari kelapa tersebut memberikan nilai kekuatan gel yang beragam. Perlakuan pencampuran dua jenis ikan cucut pisang dengan pari kelapa terbukti mampu meningkatkan nilai kekuatan gel, dibandingkan dengan nilai kekuatan gel masing-masing (tanpa dikomposisikan). Komposisi A1B2 menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi. Hal ini diduga karena kekuatan gel yang dihasilkan dipengaruhi oleh pH. Nilai pH dari ikan pari kelapa mendekati pH netral, sedangkan nilai pH dari cucut pisang cenderung bersifat asam. Menurut Matsumoto dan Noguchi (1992) ikan pelagis memiliki nilai pH yang lebih kecil (sering di bawah 6), dimana dengan rendahnya nilai pH maka otot daging ikan akan banyak kehilangan fungsi gelnya. Selanjutnya Suzuki (1981) menyatakan bahwa rendahnya pH menyebabkan konsentrasi garam meningkat. Konsentrasi garam yang tinggi menyebabkan protein tidak akan larut, yang akan mencegah terbentuknya gel kamaboko. Walaupun cucut pisang memiliki nilai PLG yang lebih tinggi dibandingkan pari kelapa (Tabel 7), namun pH dari cucut pisang tersebut berada pada pH yang tidak optimum bagi PLG untuk membentuk struktur jaringan tiga dimensi protein. Berdasarkan hasil tersebut, maka dipilih komposisi A1B2 sebagai komposisi daging lumat terbaik yang akan dilihat pengaruh penyimpanan dingin terhadap karakteristik mutu surimi yang dihasilkan. Tingginya nilai kekuatan gel daging lumat diharapkan dapat menghasilkan kualitas surimi yang tinggi.
4.2
Penelitian Utama Setelah diketahui frekuensi pencucian dan komposisi daging lumat terbaik, maka
dilakukan penelitian utama. Penelitian tersebut dibagi menjadi dua tahap, yang dilakukan secara bersamaan, yaitu: (1)
Penyimpanan dingin daging lumat komposisi terbaik (A1B2), dan komposisi daging lumat pembanding (A dan B) selama sembilan hari, dimana akan dilakukan beberapa analisis kimia (pH, TVBN, TMA, urea dan PLG) pada penyimpanan dingin hari ke-0, 3, 6, dan 9.
(2)
Pengolahan surimi pada hari ke-0, 3, 6, dan 9 dari ketiga jenis komposisi daging lumat tersebut, untuk dievaluasi karakteristik mutu fisika-kimia (kekuatan gel, uji lipat, uji gigit, WHC, dan derajat putih).
4.2.1 Penyimpanan dingin daging lumat selama sembilan hari Dilakukan evaluasi karakteristik kimia daging lumat komposisi A1B2 dan komposisi daging lumat pembanding (A dan B). Evaluasi yang dilakukan meliputi analisis pH, TVBN, TMA, urea, dan PLG. 4.2.1.1 Derajat keasaman (pH) Secara umum nilai pH daging lumat A, B, dan A1B2 yang dihasilkan selama penyimpanan dingin mengalami kenaikan. Peningkatan nilai pH tersebut dapat dilihat pada
pH
Gambar 11. 10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
A
B
A1B2
0
3
6
9
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan:
Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.
Gambar 11
Nilai rata-rata pH daging lumat selama penyimpanan dingin
pH berpengaruh terhadap kelarutan dari PLG. pH yang optimum bagi kelarutan PLG adalah pH yang berada pada kisaran pH sedikit dibawah netral hingga pH netral (Suzuki 1981). pH yang berada diluar kisaran tersebut menggambarkan rendahnya kekuatan ion bagi terekstraknya PLG daging. Pada penyimpanan hari ke-0, nilai pH dari daging lumat A, B, dan A1B2 berturut-turut sebesar 5,81, 6,75, dan 6,54, sedangkan pada hari terakhir penyimpanan nilai tersebut terus meningkat, masing-masing menjadi 8,80, 8,97, dan 8,88. Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan penyimpanan pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai pH memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 5). Uji lanjut Tukey pada faktor komposisi dan penyimpanan dingin daging lumat secara statistik memberikan pengaruh yang berbeda nyata antara satu dengan lainnya. Pada penyimpanan dingin hari ke-0 dari komposisi daging lumat A, B, dan A1B2 secara statistik saling memberikan pengaruh yang berbeda nyata antara satu dengan lainnya, dan pada penyimpanan dingin hari terakhir (ke-9) dari masing-masing komposisi daging lumat tersebut secara statistik memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata antara satu dengan lainnya terhadap nilai pH. Pada kondisi segar nilai pH daging lumat A1B2 tidak jauh berbeda dengan nilai pH daging lumat B. Hal ini disebabkan karena pada komposisi A1B2 terdiri dari komposisi daging lumat B berlebih dibandingkan komposisi daging lumat A, sehingga pH dari komposisi daging lumat B lebih berpengaruh terhadap nilai pH. Nilai pH daging lumat A yang lebih rendah dibandingkan dengan kedua jenis komposisi daging lumat tersebut disebabkan karena pengaruh cucut sebagai ikan pelagis aktif. Ikan pelagis cenderung lebih aktif dalam hidupnya sehingga akan menyebabkan rendahnya kandungan glikogen dalam dagingnya. Kandungan glikogen yang rendah akan menyebabkan proses glikolisis berlangsung cepat dengan hasil akhir adalah cepatnya pembentukan asam laktat. Asam laktat ini akan menyebabkan pH daging ikan akan turun. Setelah glikolisis, terjadi proses autolisis yang dapat menguraikan protein sehingga tercipta kondisi yang optimum bagi tumbuhnya mikroflora pembusuk yang dapat menghasilkan senyawa amin sehingga nilai pH akan naik (Suvanich dan Marshall 1996). Menurut Connell (1980) penguraian terhadap senyawa basa nitrogen seperti TMA dan amonia pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya nilai pH. Pada beberapa spesies ikan nilai pH dapat mencapai 7,5 atau hingga 8.
Hal ini menjelaskan fenomena yang terjadi pada pH daging lumat pada semua jenis komposisi (A, B, A1B2) selama masa penyimpanan dingin, dimana pada penyimpanan daging lumat hari ke-0 nilai pH tersebut mengalami penurunan akibat proses glikolisis, dan naik hingga hari terakhir penyimpanan karena terjadinya proses autolisis pada komposisi daging lumat tersebut. 4.2.1.2 Total volatil basa nitrogen (TVBN) Analisis TVBN merupakan salah satu metode pengujian kimia yang digunakan untuk menghitung nilai total dari senyawa volatil basa dimana pada umumnya mengandung amonia, trimetilamin (TMA), dan dimetilamin (DMA). Nitrogen basa volatil termasuk kedalam golongan senyawa nitrogen non protein dimana komponen terbesarnya adalah amonia (Govindan 1985). Menurut Ozogul dan Ozogul (1999) konsentrasi TVBN pada daging ikan digunakan sebagai indeks dari kualitas kesegaran ikan. Nilai TVBN sebesar 30 mg N/100 g adalah batas kelayakan ikan untuk dapat dikonsumsi. Hasil pengujian kadar TVBN daging lumat selama
TVBN (mg N/100 g)
penyimpanan dingin disajikan pada Gambar 12. 480 440 400 360 320 280 240 200 160 120 80 40 0
A
B
A1B2
0
3
6
9
Lam a Penyim panan (hari)
Keterangan:
Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.
Gambar 12
Nilai rata-rata kadar TVBN daging lumat selama penyimpanan dingin
Dari Gambar 12 terlihat jelas bahwa terjadi peningkatan kadar TVBN dari semua perlakuan komposisi daging lumat (A, B, A1B2) selama penyimpanan dingin. Nilai TVBN komposisi daging lumat A, B, A1B2 pada penyimpanan hari ke-0 berturut-turut sebesar 10,51, 8,18, dan 13,64 mg N/100 g. Dalam kondisi segar (hari ke-0) kadar TVBN pada semua komposisi daging lumat sudah terdeteksi. Hal ini adalah wajar karena basa volatil nitrogen itu
terdapat
pada
setiap
jenis
ikan
walaupun
dalam
kondisi
segar
sekalipun
(Ozogul dan Ozogul 1999). Pada penyimpanan hari ke-3 nilai TVBN merangkak naik masingmasing menjadi 24,97, 42,77, dan 41,37 mg N/100 g. Penyimpanan hari ke-3 adalah titik kritis daging lumat mengalami kebusukan. Pada penyimpanan hari ini komposisi daging lumat B dan A1B2 sudah dapat dikategorikan sebagai daging ikan yang sudah tidak layak dikonsumsi lagi karena nilai TVBN sudah berada diatas nilai maksimum yang ditetapkan (30 mg N/100 g). Pada penyimpanan hari ke-6 terjadi peningkatan kadar TVBN yang sangat signifikan yang ditandai dengan aroma pesing (bau amonia) yang kuat dari masing-masing perlakuan tersebut yaitu menjadi 267,19, 330,04, dan 325,54 mg N/100 g dan terus meningkat hingga hari terakhir penyimpanan, yang masing-masing mencapai 282,08, 350,24, dan 461,29 mg N/100 g. Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan penyimpanan pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai TVBN memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 6). Uji lanjut Tukey pada faktor komposisi, menunjukkan bahwa komposisi A berbeda nyata dengan tiap-tiap komposisi lainnya, sedangkan komposisi B tidak berbeda nyata dengan komposisi A1B2. Penyimpanan dingin hari ke-6 dan ke-9 berbeda nyata dengan tiap-tiap hari penyimpanan dingin lainnya, sedangkan penyimpanan dingin hari ke-0 tidak berbeda nyata dengan hari ke-3. Pada penyimpanan dingin hari ke-0, komposisi daging lumat A, B, dan A1B2 secara statistik tidak berbeda nyata antara satu dengan lainnya, kemudian pada penyimpanan dingin hari terakhir komposisi A1B2 berbeda nyata dengan tiap-tiap interaksi perlakuan lainnya, sedangkan komposisi A tidak berbeda nyata dengan komposisi B. Pada proses autolisis terjadi peristiwa pemecahan protein yang akan membebaskan senyawa alkohol dan gas seperti karbondioksida, metana, hidrogen dan amonia (dilepaskan dalam jumlah tinggi) (Fardiaz 1992). Meningkatnya kadar TVBN selama proses penyimpanan dingin disebabkan karena telah terjadi proses autolisis yang dimulai segera setelah ikan mati dimana aktivitas enzim dan mikroorganisme akan memecah protein menjadi senyawasenyawa yang lebih sederhana yang mengandung basa menguap seperti amonia dan trimetil amin (TMA). Pada awal penyimpanan dingin hingga memasuki hari ke-3 penyimpanan, mikroba yang ada pada daging lumat diduga mengalami fase adaptasi. Pada fase ini enzim lebih berperan terhadap proses autolisis. Akan tetapi setelah hari ke-3 penyimpanan, mikroba yang terdapat pada semua komposisi daging lumat tersebut memasuki fase log, yaitu fase
pertumbuhan mikroba dimana mikroba yang tumbuh akan semakin banyak dan akan mempercepat terbentuknya senyawa basa volatil oleh hasil penguraian terhadap protein. Hal ini terjadi hingga hari ke-9 penyimpanan dingin. Hal serupa juga diungkapkan oleh Ozogul dan Ozogul (1999) yang menyatakan bahwa kenaikan nilai TVBN disebabkan oleh aktivitas bakteri dan aktivitas enzimatis. Penguraian urea juga berpengaruh terhadap nilai TVBN. Urea akan mudah terdegradasi oleh mikroba menjadi amonia yang termasuk kedalam senyawa basa volatil. Menurut Amlacher (1961) amonia dapat juga terbentuk oleh penguraian bakteri terhadap urea. Ikan cucut pisang dan pari kelapa termasuk kedalam ikan dari sub kelas elasmobranchii, yaitu jenis ikan yang mengandung kadar urea tinggi (1-2 %) pada dagingnya. Selama ikan hidup urea berperan dalam proses metabolisme, yaitu sebagai pengatur tekanan cairan tubuhnya. Akan tetapi setelah mati, urea yang terurai akan lebih berpengaruh terhadap aroma dan flavor. 4.2.1.3 Trimetil amin (TMA) Senyawa TMA bersifat volatil. Perhitungan nilai TMA digunakan untuk mengukur tingkat kesegaran ikan terutama pada ikan yang disimpan pada suhu dingin (Connell 1979). Hasil analisis kimia terhadap kadar TMA daging lumat dengan berbagai komposisi selama penyimpanan suhu dingin diperlihatkan pada Gambar 13.
TMA (mg N/100 g)
25,000 20,000
A
15,000
B 10,000
A1B2
5,000 0,000 0
3
6
9
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan:
Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.
Gambar 13
Nilai rata-rata kadar TMA daging lumat selama penyimpanan dingin
Menurut Ozogul dan Ozogul (1999) pola perubahan kadar TMA daging ikan selama proses kebusukan hampir mirip dengan pola perubahan kadar TVBN daging ikan. Dari Gambar 13 terlihat bahwa terjadi pola peningkatan kadar TMA yang hampir mirip dengan pola peningkatan kadar TVBN.
Nilai TMA pada hari ke-0 untuk perlakuan komposisi A, B, dan A1B2 berturut-turut sebesar 1,69, 2,54, dan 2,41 mg N/100 g. Nilai TMA tersebut terus meningkat hingga hari terakhir penyimpanan yang mencapai nilai sebesar 13,76, 22.70, dan 22.44 mg N/100 g berturut-turut untuk komposisi daging lumat A, B dan A1B2. Sama seperti pola peningkatan nilai TVBN, pada hari ke-3 penyimpanan dingin adalah titik kritis bagi kadar TMA daging lumat. Pada hari penyimpanan ini daging lumat B dan A1B2 dapat dikategorikan busuk berdasarkan nilai TMA-nya. Pada daging lumat komposisi A hampir memasuki ambang kebusukan. Menurut Erlina et al. (1984) indeks kebusukan ikan untuk uji TMA adalah 1-5 mg N/100 g. Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan penyimpanan pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai TMA memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 7). Uji lanjut Tukey pada faktor komposisi komposisi daging lumat, menunjukkan bahwa komposisi A berbeda nyata dengan tiap-tiap komposisi lainnya, sedangkan komposisi B tidak berbeda nyata dengan komposisi A1B2. Semua faktor penyimpanan dingin memberikan pengaruh yang berbeda nyata antara satu dengan lainnya. Pada hari ke-0 penyimpanan dingin, komposisi daging lumat A, B, dan A1B2 secara statistik tidak berbeda nyata antara satu dengan lainnya, sama halnya pada penyimpanan dingin hari terakhir (ke-9), dimana masing-masing komposisi daging lumat saling memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Senyawa TMAO hanya terdapat pada ikan air laut. Menurut Clucas (1981); Hui (1992) kebanyakan ikan air tawar tidak mengandung senyawa yang disebut trimetilamin oksida (TMAO) seperti yang terdapat pada ikan air laut. Fungsi dari TMAO ini adalah sebagai pengatur kestabilan tekanan tubuh ikan dengan lingkungannya dalam jaringan otot pada organisme laut (Seibel dan Walsh 2001). Kandungan TMAO pada ikan laut bebeda-beda tergantung dari kedalaman hidupnya di laut (Bennion dan Daggett 2004). Menurut Hui (1992); Botta (1994) TMA dibentuk oleh aksi dari bakteri pembusuk yang akan menyebabkan penguraian dari TMAO menjadi TMA pada suhu dingin. TMA terbentuk oleh aktivitas bakteri fakultatif yang mereduksi TMAO. Keberadaan TMA juga dipengaruhi oleh hadirnya bakteri yang memproduksi TMA seperti jenis Pseudomonas. Peningkatan nilai TMA daging lumat selama penyimpanan dingin disebabkan karena aktivitas mikroba yang menguraikan bagian tubuh ikan setelah ikan mati. Mikroba tersebut menguraikan senyawa
TMAO menjadi TMA. Penguraian TMAO menjadi TMA setelah ikan mati pada ikan air laut akan memproduksi amonia yang akan mempengaruhi aroma dan flavor ikan (Clucas 1981). 4.2.1.4 Urea Pengamatan terhadap kadar urea sangat penting dilakukan, mengingat ikan elasmobranchii mengandung kadar urea dalam tubuhnya dengan jumlah yang besar. Hasil pengamatan terhadap kadar urea daging lumat A, B, dan A1B2 selama penyimpanan suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 14. 2,50
Urea (%)
2,00
A
1,50
B 1,00
A1B2
0,50 0,00 0
3
6
9
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan:
Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.
Gambar 14
Nilai rata-rata kadar urea daging lumat selama penyimpanan dingin
Karena tubuhnya memiliki tekanan yang lebih rendah dari air laut, maka pada cairan tubuhnya mengandung kadar urea berlebih yang berfungsi sebagai pengatur tekanan tubuh (Seibel dan Walsh 2001; Smith dan Wright 1999). Selain berfungsi sebagai pengatur tekanan tubuh, urea juga memiliki peranan penting terhadap aroma, flavor dan rasa pada surimi yang dihasilkan. Urea akan mudah terurai menjadi senyawa lain dengan bentuk uraiannya adalah senyawa amonia dan karbondioksida. Pada hari ke-0 penyimpanan dingin rata-rata nilai kadar urea pada daging lumat komposisi A, B dan A1B2 berturut-turut adalah 1,98, 2,33, dan 2,34 %. Kandungan urea tersebut terus menurun dan pada hari ke-9 penyimpanan dingin berturut-turut menjadi sebesar 0,42, 0,61, dan 0,33 %. Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan penyimpanan pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap kadar urea memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 8). Uji lanjut Tukey pada faktor komposisi daging lumat, menunjukkan bahwa komposisi A tidak berbeda nyata dengan komposisi A1B2, sedangkan komposisi B memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap
komposisi lainnya. Faktor penyimpanan dingin hari ke-0 dan ke-3, masing-masing memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap faktor penyimpanan dingin lainnya. Pada hari ke-0 penyimpanan dingin, komposisi daging lumat A secara statistik berbeda nyata dengan tiap-tiap interaksi perlakuan lainnya. Namun pada hari tersebut, komposisi B tidak berbeda nyata dengan komposisi A1B2. Pada hari ke-9 penyimpanan dingin, komposisi A tidak berbeda nyata dengan komposisi daging lumat A pada hari ke-6 penyimpanan dingin, dan pada hari ke-9 komposisi daging lumat B tidak berbeda nyata dengan komposisi daging lumat A1B2. Penurunan kadar urea selama masa penyimpanan dingin disebabkan karena terjadi penguraian oleh aksi enzimatis (enzim urease) atau oleh bakteri yang memproduksi enzim urease menjadi amonia dan karbondioksida. Urea akan dihidrolisis oleh enzim urease menjadi amonium karbonat. Amonium karbonat memiliki sifat yang tidak stabil dan akan mudah terdekomposisi menjadi amonia dan karbondioksida. Penurunan terhadap kadar urea ditandai dengan timbulnya aroma pesing (aroma khas amonia) yang semakin kuat hingga hari terakhir penyimpanan dingin pada semua komposisi daging lumat. Saleh et al. (1979) melaporkan bahwa penurunan kadar urea pada daging cucut yang disimpan dengan beberapa perlakuan dan kondisi penyimpanan diduga karena adanya aktivitas mikroorganisme yang mengurai urea menjadi amonia sehingga kadar urea menurun yang diikuti dengan peningkatan jumlah basa volatil pada daging ikan cucut. Walaupun dalam penelitian ini tidak dilakukan perhitungan secara spesifik terhadap kadar amonia, namun dengan terjadinya peningkatan terhadap nilai TVBN dan TMA dapat pula dianalogikan, karena amonia adalah salah satu komponen terbesar dari basa volatil pada ikan. 4.2.1.5 Protein larut garam (PLG) PLG adalah kelompok protein miofibril yang tersusun oleh aktin dan miosin sebagai penyusun utamanya. Menurut Suzuki (1981) sifat dari miofibril adalah mudah larut dalam garam dengan konsentrasi 2-3 % (0,4-0,6 M) dari berat daging. PLG bertanggung jawab terhadap kualitas surimi, karena memiliki kemampuan untuk membentuk struktur tiga dimensi gel. Hasil pengamatan terhadap kadar PLG pada semua komposisi daging lumat yang disimpan selama sembilan hari pada suhu dingin dapat dilihat pada Gambar 15.
10,00
P LG (% )
8,00 A
6,00
B A1B2
4,00 2,00 0,00 0
3
6
9
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan:
Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.
Gambar 15
Nilai rata-rata kadar PLG daging lumat selama penyimpanan dingin
Menurut Tamarkin (2004) miofibril tersusun oleh dua mikrofilamen utama yaitu aktin yang berbentuk globular atau menyerupai bola yang disusun oleh protein aktin dan miosin berbentuk filamen tebal terdiri atas bagian kepala dan buntut yang disusun oleh protein miosin. Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa nilai PLG dari semua komposisi daging lumat yang disimpan selama sembilan hari pada suhu dingin mengalami penurunan. Pada tahap awal penyimpanan dingin (hari ke-0) nilai rata-rata kadar PLG daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 berturut-turut sebesar 9,75, 9,19, dan 10,05 %. Selanjutnya kandungan PLG pada semua komposisi daging lumat tersebut mengalami penurunan nilai hingga hari terakhir penyimpanan dingin, yaitu berturut-turut menjadi sebesar 4,87, 2,16, dan 3,54 %. Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan penyimpanan pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai PLG memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 9). Uji lanjut Tukey pada faktor komposisi daging lumat dan penyimpanan dingin memberikan pengaruh yang berbeda nyata masing-masing antara satu dengan lainnya. Pada penyimpanan dingin hari ke-0, dimana komposisi daging lumat A secara statistik memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap interaksi perlakuan lainnya, sedangkan komposisi daging lumat B tidak berbeda nyata dengan komposisi daging lumat A1B2. Pada penyimpanan dingin hari ke-9, dimana komposisi daging lumat B secara statistik memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap interaksi perlakuan lainnya, sedangkan komposisi daging lumat A secara statistik tidak berbeda nyata dengan
interaksi antara komposisi daging lumat A1B2 pada hari ke-6 penyimpanan dingin. Begitu pula dengan komposisi daging lumat A1B2 yang secara statistik tidak berbeda nyata dengan interaksi antara komposisi daging lumat B pada hari ke-6 penyimpanan dingin. Penurunan kadar PLG selama penyimpanan dingin disebabkan oleh banyak faktor. Enzim proteinase adalah faktor utama yang menyebabkan protein terdegradasi. Enzim tersebut banyak terdapat pada protein sarkoplasma daging ikan (Sikorski 1996). Enzim proteinase yang terdapat dalam jaringan otot ikan meliputi katepsin D, kalpain, dan alkali proteinase (Benjakul et al. 1996). Dalam proses pembuatan daging lumat hanya dilakukan satu kali pencucian dengan air dingin saja, dengan maksud untuk membersihkan daging dari darah dan kotoran-kotoran, sehingga diduga bahwa pada daging lumat tersebut masih terdapat enzim proteinase yang aktif dan akan mendegradasi protein. Menurut Lin et al. (1980) diacu dalam Kim et al. (1996) pencucian daging lumat tidak dapat menghilangkan semua enzim proteinase tetapi hanya menurunkan jumlahnya saja. Penguraian yang terjadi pada senyawa PLG menyebabkan tingkat kelarutannya akan semakin menurun hingga hari terakhir penyimpanan dingin. Pada rentang pH tinggi (alkali) enzim alkali proteinase akan aktif dan menyebabkan degradasi protein. Nilai pH dari komposisi daging lumat B dan A1B2 pada hari ke-3 penyimpanan dingin (Gambar 11) berada pada pH alkali. Pada kondisi ini nilai PLG dari komposisi daging lumat B dan A1B2 mengalami penurunan yang cepat dibandingkan nilai PLG komposisi daging lumat A. Hal ini disebabkan oleh pengaruh dari pH yang menyebabkan aktifnya enzim alkali proteinase. Suhu lingkungan adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi stabilitas protein miofibril. Menurut Lanier dan Lee (1992) suhu adalah faktor utama terhadap perubahan bentuk dari molekul protein. Miosin, komponen utama dari protein miofibril ikan memiliki tingkat toleransi terhadap suhu yaitu: kestabilan pada suhu di atas titik beku, yang tergantung kepada kualitas kesegaran ikan dan stabilitas dibawah titik beku. Pada suhu dingin aktivitas enzimatis tidak dapat dihambat secara signifikan yang menyebakan proses degradasi protein masih dapat berjalan. Faktor lain yang menyebabkan turunnya nilai PLG selama penyimpanan adalah keberadaan senyawa organik larut air (TMA) yang masih terdapat pada daging lumat tersebut. Menurut Reynolds et al. (2002) senyawa TMA dan DMA dapat menurunkan kandungan PLG pada daging ikan. Penguraian TMAO menjadi TMA dan oksigen oleh aktivitas bakteri dapat
menurunkan kandungan protein pada ikan selama penyimpanan dalam es (suhu dingin) (Connell 1979). Suhu dingin tidak dapat menghambat secara signfikan aktivitas enzim dan mikroba sehingga menyebabkan kenaikan nilai TMA selama penyimpanan dingin pada semua komposisi daging lumat yang diamati. Kenaikan nilai TMA ini berkorelasi negatif dengan nilai PLG pada semua komposisi daging lumat, yang berarti bahwa dengan semakin tingginya kadar TMA pada daging lumat, akan menyebabkan laju penguraian PLG yang semakin cepat. Dilaporkan juga oleh Bennion dan Dagget (2004) bahwa urea adalah senyawa denaturan protein. Konsentrasi garam, pH, kekuatan ion, tegangan permukaan, dan efek fisik dari es dan dehidrasi juga dapat mempengaruhi denaturasi protein (Reynolds et al. 2002). 4.2.2 Karakteristik mutu surimi Komposisi daging lumat A, B, dan A1B2 yang disimpan pada suhu dingin selama sembilan hari diolah menjadi surimi untuk dipelajari pengaruh penyimpanan dan komposisi daging lumat terhadap karakteristik mutu surimi yang dihasilkan. 4.2.2.1 Kekuatan gel Menurut Park (2004) diacu dalam Sakaguchi (2004) ada dua metode yang disarankan dalam Codex Code for Frozen Surimi (FAO/WHO) yang dikembangkan oleh pemerintah Amerika Serikat dan Jepang. Metode tersebut adalah the Japanese punch test (penekanan) dan the US torsion test (peregangan). Pada penelitian ini digunakan metode punch untuk mengukur kekuatan gel dari surimi. Hasil dari pengamatan nilai kekuatan gel surimi dapat dilihat pada Gambar 16.
Gel S trength (g.cm )
600 500 400
A
300
B A1B2
200 100 0 0
3
6
9
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan :
Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6. Nilai kekuatan gel diukur setelah surimi diolah menjadi gel kamaboko.
Gambar 16
Nilai rata-rata kekuatan gel surimi yang dihasilkan dari daging lumat selama penyimpanan dingin
Kualitas surimi yang baik secara umum ditentukan oleh kemampuan daging untuk membentuk gel dengan cara mencampurkan surimi tersebut dengan larutan garam, mencetak adonan kedalam casing yang sesuai, dan merebusnya (Reppond dan Babbit 1997). Pada awal penyimpanan daging lumat nilai kekuatan gel surimi dari ketiga jenis daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 yang disimpan pada suhu dingin berturut-turut sebesar 276,32, 335,75, dan 364,27 g.cm. Perlakuan pencampuran daging lumat dengan komposisi A1B2 terbukti dapat menghasilkan nilai kekuatan gel surimi yang lebih baik dibandingkan dengan surimi dari daging lumat tanpa pencampuran (komposisi A dan B). Namun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan dingin daging lumat, nilai kekuatan gel surimi dengan komposisi daging lumat A1B2 mengalami penurunan. Bahkan pada pada hari penyimpanan ke3 nilai kekuatan gel dari surimi komposisi A1B2 (167,39 g.cm) justru lebih rendah dibandingkan dengan surimi dengan komposisi daging lumat jenis A (260,20 g.cm) dan B (181,49 g.cm). Nilai tersebut terus menurun hingga hari ke-9 penyimpanan dingin, nilai kekuatan gel surimi yang dihasilkan berturut-turut adalah 162,87, 77,53 dan 73,52 g.cm masing-masing untuk surimi dengan komposisi daging lumat A, B, dan A1B2. Hasil analisis ragam hubungan pengaruh pengkomposisian daging lumat dan penyimpanan pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai kekuatan gel surimi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 10). Uji lanjut Tukey terhadap nilai kekuatan gel pada surimi dengan faktor komposisi daging lumat, menunjukkan bahwa
surimi komposisi daging lumat A berbeda nyata dengan tiap-tiap surimi komposisi daging lumat lainnya. Sedangkan surimi komposisi daging lumat B tidak berbeda nyata dengan surimi komposisi daging lumat A. Sementara itu hasil uji lanjut Tukey dari faktor penyimpanan dingin daging lumat, menunjukkan bahwa surimi dengan penyimpanan dingin daging lumat hari ke-0 dan ke-3 masing-masing memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap hari penyimpanan dingin daging lumat lainnya. Interaksi keduanya, yaitu hari penyimpanan dingin daging lumat ke-0 pada surimi dengan komposisi daging lumat A1B2 menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi, yang secara statisitk berbeda nyata dengan surimi komposisi daging lumat B penyimpanan dingin ke-0. Akan tetapi pada hari terakhir penyimpanan dingin daging lumat, surimi dengan komposisi daging lumat terebut mengalami penurunan nilai kekuatan gel bahkan memiliki nilai kekuatan gel terendah yang secara statistik berbeda nyata dengan tiap-tiap interaksi perlakuan lainnya. Surimi dari daging lumat dengan komposisi A1B2 dan B mengalami penurunan nilai kekuatan gel yang lebih cepat dibandingkan dengan surimi dari daging lumat dengan komposisi A. Hal ini menandakan bahwa daging lumat komposisi tersebut lebih tidak stabil ketika disimpan pada suhu dingin. Proses kemunduran mutu daging lumat yang dapat mempengaruhi kualitas kekuatan gel dari surimi adalah degradasi senyawa protein miofibril selama penyimpanan dingin. Menurut Yoon et al. (2004) protein miofibril ikan memiliki kemampuan untuk membentuk jaringan tiga dimensi gel yang stabil. Miosin lebih berperan dalam mekanisme terbentuknya gel surimi dibandingkan dengan aktin. Berdasarkan hasil pengamatan kandungan PLG daging lumat (Gambar 15), telah terjadi proses denaturasi protein miofibril yang menyebabkan turunnya kemampuan kelarutan protein tersebut didalam larutan NaCl 5 % selama penyimpanan dingin daging lumat. Menurut Gomez-Guillen et al. (1998) segera setelah ikan ditangkap maka protein otot ikan akan mengalami peristiwa proteolisis yang hebat dan akan mengakibatkan hilangnya kemampuan membentuk gel. Penurunan terhadap kelarutan PLG ini berkorelasi positif terhadap nilai kekuatan gel surimi, yang berarti bahwa semakin rendah nilai PLG tersebut maka akan semakin rendah pula nilai kekuatan gel surimi yang dihasilkan. Menurut Reynolds et al. (2002) karena menurunnya konsentrasi protein larut garam, ketegangan akan menurun dan kemampuan untuk membentuk gel juga akan ikut menurun pula. Degradasi senyawa PLG selama penyimpanan dingin daging lumat menyebabkan hilanganya kemampuan PLG terhadap daya ikat air (WHC). Turunnya WHC tersebut
menyebabkan protein kehilangan viskositasnya dan kemampuan untuk mengembang. Terjadi penurunan nilai WHC surimi (Gambar 19). Nilai ini berkorelasi positif terhadap kekuatan gel. Nilai pH daging lumat juga dapat mempengaruhi kemampuan surimi untuk membentuk gel. Terjadi peningkatan nilai pH yang mencapai pH alkali pada semua komposisi daging lumat hingga hari terakhir penyimpanan dingin daging lumat. Menurut Benjakul et al. (1996) pada rentang pH 7-8 enzim proteinase alkali lebih stabil terhadap panas. Enzim proteinase alkali dilaporkan sebagai faktor yang menyebabkan turunnya mutu gel daging ikan (Cheng et al. 1979; Makinodan et al. 1985 diacu dalam Benjakul et al. 1996). 4.2.2.2 Uji lipat (folding test) Uji lipat berhubungan dengan nilai kekuatan gel yang diukur dengan alat texture analyzer yang digunakan untuk mengukur kekuatan gel secara kuantitatif. Uji lipat adalah penilaian sensori terhadap kekuatan gel. Metode uji lipat digunakan untuk memisahkan gel yang bermutu tinggi dan bermutu rendah (Matsumoto dan Noguchi 1992). Skor hasil nilai uji lipat surimi selama penyimpanan dingin daging lumat dari semua
Rata-rata Skor Uji Lipat
komposisi A, B, dan A1B2 selama sembilan hari mengalami penurunan (Gambar 17).
5,0 4,0
A 3,0
B
A1B2
2,0 1,0 0,0 0
3
6
9
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan :
Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6. Nilai uji lipat diukur setelah surimi diolah menjadi gel kamaboko.
Gambar 17
Nilai rata-rata uji lipat surimi yang dihasilkan dari daging lumat selama penyimpanan dingin
Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa surimi dengan komposisi daging lumat A, B, dan A1B2 yang disimpan dingin selama sembilan hari (diamati pada hari ke-0, 3, 6, dan ke-9) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai uji lipat
(Lampiran 13). Dari hasil tersebut diketahui bahwa surimi dengan komposisi daging lumat B dan A1B2 pada penyimpanan dingin hari ke-0 memiliki nilai mean rank tertinggi. Kedua surimi tesebut memiliki kualitas AA. Nilai mean rank terkecil diperoleh pada surimi dengan komposisi daging lumat B pada hari ke-9 penyimpanan dingin dengan kualitas surimi D. Uji lanjut Tukey terhadap nilai uji lipat pada surimi menunjukkan bahwa surimi dengan komposisi daging lumat B, A1B2, dan A pada penyimpanan dingin hari ke-0 secara berturutturut memiliki nilai uji lipat tertinggi, yang secara statistik saling memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Akan tetapi pada hari ke-9 penyimpanan dingin daging lumat, nilai uji lipat surimi yang dihasilkan mengalami penurunan. Surimi dengan komposisi daging lumat B memiliki nilai terendah, yang secara statistik memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap perlakuan lainnya terhadap nilai uji lipat. Seiring dengan semakin lama masa penyimpanan dingin daging lumat, akan menyebabkan hilangnya kemampuan daging untuk membentuk gel akibat proses kemunduran mutunya. Kemunduran mutu terhadap senyawa protein miofibril selama penyimpanan dingin sangat mempengaruhi kemampuan daging untuk membentuk gel. Menurut Lee (1984) diacu dalam Berlyanto (2004) menyatakan bahwa uji pelipatan dengan nilai tiga (B) menunjukkan tingkat elastisitas cukup baik dan nlai empat (A) elastisitasnya baik. Hasil uji lipat surimi dari daging lumat selama penyimpanan dingin menunjukkan bahwa surimi dengan komposisi daging lumat A dan A1B2 hingga hari terakhir penyimpanan masih memiliki kualitas mutu cukup baik (B), sedangkan surimi dengan komposisi daging lumat B hingga hari ke-3 penyimpanan sudah memiliki kualitas yang buruk. Berdasarkan syarat mutu SNI (SNI 012693-1992) surimi komposisi daging lumat A masih diperbolehkan hingga hari ke-6 penyimpanan dingin. Surimi dengan komposisi daging lumat A1B2 diperbolehkan hingga hari ketiga penyimpanan dingin daging lumat. Sedangkan surimi dengan komposisi daging lumat B diperbolehkan hanya pada hari ke-0 penyimpanan dingin. Surimi yang diizinkan untuk diproduksi berdasarkan syarat mutu SNI adalah surimi dengan grade A. Namun seiring dengan proses kemunduran mutu daging lumat sebagai bahan baku surimi yang terjadi pada hari ke-3 penyimpanan dingin, maka hingga hari penyimpanan ke-3 disarankan sebagai batas maksimum pengolahan surimi.
4.2.2.3 Uji gigit (teeth cutting test) Uji gigit adalah uji sensori terhadap kekenyalan surimi. Skor uji gigit surimi dari komposisi daging lumat A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin mengalami penurunan nilai (Gambar 18). Surimi dari komposisi daging lumat A dan B pada penyimpanan dingin hari ke-0 memiliki daya lenting yang kuat, kemudian mengalami penurunan hingga hari terakhir penyimpanan masing-masing menjadi daya lenting agak diterima dan lemah, untuk surimi dari komposisi daging lumat A dan B. Surimi dari komposisi daging lumat A1B2 pada hari ke0 penyimpanan memiliki daya lenting amat kuat, kemudian mengalami penurunan kelentingan hinggga hari terakhir penyimpanan.
Rata-rata Skor Uji Gigit
10,0 8,0
A
6,0
B 4,0
A1B2
2,0 0,0 0
3
6
9
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan :
Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6. Nilai uji gigit diukur setelah surimi diolah menjadi gel kamaboko.
Gambar 18
Nilai rata-rata uji gigit surimi yang dihasilkan dari daging lumat selama penyimpanan dingin
Hasil analisis Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa daging lumat (komposisi A, B, dan A1B2) yang disimpan dingin selama sembilan hari (diamati pada hari ke-0, 3, 6, dan ke-9) memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap nilai uji gigit (Lampiran 14). Dari hasil tersebut diketahui bahwa surimi dengan komposisi daging lumat A1B2 pada penyimpanan dingin hari ke-0 memiliki nilai mean rank tertinggi. Nilai mean rank terkecil diperoleh pada surimi dengan komposisi daging lumat B pada hari ke-9 penyimpanan. Uji lanjut Tukey terhadap nilai uji gigit pada surimi menunjukkan bahwa surimi dengan komposisi daging lumat A1B2, A, dan B pada penyimpanan dingin hari ke-0 secara berturutturut memiliki nilai uji gigit tertinggi, yang secara statistik saling memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata. Akan tetapi pada hari ke-9 penyimpanan dingin daging lumat, nilai uji
gigit surimi yang dihasilkn mengalami penurunan. Surimi dengan komposisi daging lumat B memiliki nilai terendah, yang secara statistik memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan surimi dari komposisi daging lumat A dan A1B2 terhadap nilai uji gigit. Penurunan nilai uji gigit selama penyimpanan dingin tersebut menunjukkan berkurangnya tingkat elastisitas surimi yang dihasilkan. Keelastisan ini berhubungan dengan kekuatan gel surimi. Oleh Karena itu hal yang dapat menyebabkan turunnya nilai uji lipat berhubungan dengan hal yang dapat menurunkan kekuatan gel surimi. 4.2.2.4 Daya ikat air (Water Holding Capacity) Water holding capacity (WHC) adalah kemampuan daging untuk menyerap dan menahan air selama perlakuan mekanis (pengadukan, pelumatan, pencampuran bumbubumbu, dan pencetakan), perlakuan suhu, dan pengaruh penyimpanan dan transportasi (Zayas 1997). Sejumlah besar air dalam otot terdapat pada miofibril, pada ruang antara filamen tebal dari miosin dan filamen tipis dari aktin/tropomiosin (Lawrie 1991). Terjadi penurunan nilai WHC pada surimi dari semua komposisi daging lumat yang disimpan selama sembilan hari pada suhu dingin. Hasil pengamatan terhadap nilai WHC tersebut dapat dilihat pada Gambar 19.
40,00 35,00 WHC (% )
30,00 25,00
A
20,00
B
15,00
A1B2
10,00 5,00 0,00 0
3
6
9
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan :
Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.
Gambar 19
Nilai rata-rata WHC surimi yang dihasilkan dari daging lumat selama penyimpanan dingin
Menurut Wahyuni (1992) daya ikat air sangat berpengaruh pada kemampuan protein untuk membentuk gel selama proses pengolahan, besarnya viskositas dan kemampuan untuk mengembang. Interaksi antara protein daging dan air secara signifikan akan mempengaruhi
karakteristik tekstur dari daging (Zayas 1997). Selama proses pembentukan gel, air diikat oleh matriks protein, yang akan diikat bersamaan dengan ikatan hidrogen dan ikatan hidrofobik (Venugopal 1992). Jaringan tiga dimensi pada miofibril menyediakan sebuah tempat terbuka bagi air yang terikat. Penurunan terhadap jumlah air terikat akan menghasilkan penyusutan tempat antara jaringan miofibril yang disebabkan oleh denaturasi protein (Zayas 1997). Menurut Pipatsattayanuwong et al. (1995) deteorasi protein berhubungan dengan penurunan yang tajam terhadap kemampuan membentuk gel, daya ikat air dan kapasitas emulsi lemak. Dari Gambar 19 terlihat bahwa nilai WHC surimi dari daging lumat pada semua komposisi (A, B, A1B2) selama penyimpanan suhu dingin mengalami penurunan nilai. Nilai tersebut (berturut-turut) pada hari ke-0 penyimpanan dingin daging lumat adalah sebesar 31,15, 33,60, 35,53 %, kemudian terus mengalami penurunan hingga hari terakhir penyimpanan, yaitu (berturut-turut) menjadi sebesar 20,53, 24,00, dan 28,08 %. Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan penyimpanan pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai WHC surimi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 11). Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa baik faktor komposisi dan faktor penyimpanan dingin daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap taraf perlakuan lainnya pada masing-masing faktor tersebut. Penyimpanan dingin daging lumat hari ke-0 menghasilkan nilai WHC surimi tertinggi dibandingkan dengan hari penyimpanan lainnya, baik pada surimi dengan komposisi A, B, ataupun A1B2. Pada hari penyimpanan tersebut, surimi komposisi B dan A1B2 secara statistik memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap interaksi perlakuan lainnya, sedangkan surimi komposisi A secara statistik berbeda nyata dengan interaksi surimi komposisi B3, A1B23, dan A1B26. Seiring dengan lamanya penyimpanan, nilai WHC surimi yang dihasilkan mengalami penurunan, dimana surimi komposisi A pada hari penyimpanan dingin daging lumat hari ke-9 secara statistik berbeda nyata dengan tiap-tiap interaksi perlakuan lainnya. Sedangkan surimi komposisi B pada hari penyimpanan tersebut secara statistik tidak berbeda nyata dengan interaksi perlakuan A6, dan surimi komposisi A1B2 secara statistik tidak berbeda nyata dengan interaksi perlakuan A3. Dengan adanya pengkomposisian daging lumat (A1B2) mempengaruhi peningkatan nilai WHC surimi yang berkorelasi positif terhadap nilai kekuatan gel yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena jumlah protein miofibril (PLG) daging lumat A1B2 lebih besar
dibandingkan dengan daging lumat komposisi A dan B. Semakin besarnya jumlah PLG maka akan semakin besar kemampuannya dalam mengikat air diantara filamennya. Semakin lama waktu penyimpanan dingin daging lumat menyebabkan turunnya nilai WHC surimi. Hal ini berkorelasi positif dengan kandungan PLG daging lumat. Selama penyimpanan dingin, protein miofibril akan semakin terdegradasi. Degradasi dari protein miofibril tersebut menyebabkan ruang diantara jaringan akan semakin sempit sehingga jumlah air yang terikat (terperangkap) akan semakin berkurang. Menurut Zayas (1997) interaksi antara protein dan air memainkan peranan penting dalam pembentukan gel, terutama selama fase perubahan sol menjadi gel. Menurut Suzuki (1981) gel suwari terbentuk dengan cara protein mengikat air di dalam ikatan molekul yang membentuk ikatan hidrofobik dan interaksi hidrogen. Rendahnya kandungan air yang terikat pada protein akan mempengaruhi reaksi antara protein-air dalam proses pembuatan gel kamaboko. Menurut Zayas (1997) pembentukan gel disebabkan karena reaksi antara proteinprotein dan protein-air. Apabila reaksi antara protein-protein yang terjadi lebih banyak dibandingkan dengan protein-air, maka akan menghasilkan gel yang rapuh. Turunnya nilai WHC surimi akibat proses kemunduran mutu miofibril daging lumat menyebabkan kekuatan gel surimi ikut menurun. Hal ini disebabkan karena dalam proses pembentukan gel, reaksi antar protein-air akan semakin berkurang seiring dengan lamanya penyimpanan yang menyebabkan kualitas gel semakin memburuk. 4.2.2.5 Derajat Putih (Whiteness) Pengujian terhadap derajat putih dilakukan pada sampel surimi yang dibuat dari daging lumat yang disimpan pada suhu dingin selama sembilan hari. Pada empat titik pengamatan yaitu pada penyimpanan dingin hari ke-0, 3, 6, dan 9 dilakukan pengolahan daging lumat menjadi surimi. Hasil pengamatan terhadap rata-rata dua kali ulangan evaluasi nilai derajat putih surimi dapat dilihat pada Gambar 20.
Derajat Putih (% )
45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00
A
B
A1B2
10,00 5,00 0,00 0
3
6
9
Lama Penyimpanan (hari)
Keterangan:
Simbol A, B, dan A1B2 merujuk keterangan pada Tabel 6.
Gambar 20
Nilai rata-rata derajat putih surimi yang dihasilkan dari daging lumat selama penyimpanan dingin
Dari Gambar 20 terjadi pola penurunan nilai derajat putih pada surimi dari daging lumat yang disimpan dingin hingga hari terakhir masa penyimpanan. Pada hari ke-0 penyimpanan dingin daging lumat, nilai derajat putih surimi komposisi daging lumat A, B, dan A1B2 yang dihasilkan berturut-turut adalah 41,10, 32,50, dan 36,45 %. Nilai tersebut terus mengalami penurunan seiring dengan lama waktu penyimpanan dingin daging lumat. Hingga hari terakhir, nilai tersebut berturut-turut menjadi sebesar 38,30, 29,35, dan 32,75 %. Hasil analisis ragam hubungan pengaruh komposisi daging lumat dan penyimpanan pada suhu dingin serta interaksi keduanya terhadap nilai derajat putih surimi memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) (Lampiran 12). Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa baik faktor komposisi dan faktor penyimpanan dingin daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan tiap-tiap taraf perlakuan lainnya pada masing-masing faktor tersebut. Surimi dengan komposisi A, penyimpanan dingin daging lumat hari ke-0 memiliki nilai derajat putih tertingi. Secara statistik nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan nilai derajat putih surimi komposisi A, penyimpanan dingin daging lumat hari ke-3. Sedangkan surimi dengan komposisi B, penyimpanan dingin daging lumat hari ke-9 memiliki nilai derajat putih terendah. Secara statistik nilai tersebut berbeda nyata dengan nilai derajat putih dari tiap-tiap interaksi perlakuan lainnya. Reaksi pencoklatan yang terjadi pada makanan, disebabkan oleh aktivitas enzimatis dan aktivitas non enzimatis (Hutchings 1994). Penurunan nilai derajat putih surimi dari tiga jenis komposisi daging lumat (A, B, dan A1B2) diduga lebih disebabkan oleh reaksi non-enzimatis.
Reaksi non-enzimatis utama yang terjadi selama proses pengolahan dan penyimpanan makanan adalah (Hutchings 1994): 1
Maillard, reaksi antara karbohidrat dan asam amino, reaksi ini biasa terjadi pada makanan atau buah yang disimpan pada suhu yang tinggi;
2
karamelisasi, yang disebabkan oleh degradasi senyawa gula tanpa partisipasi senyawa amin (reaksi antara senyawa gula-gula); dan
3
efek dari oksidasi lemak yang menghasilkan dekomposisi pada protein. Selama proses penyimpanan dingin daging lumat, diduga telah terjadi oksidasi terhadap
senyawa lemak. Oksidasi terhadap senyawa lemak ini dapat memacu laju penguraian protein, yang pada akhirnya menyebabkan reaksi pencoklatan. Tingkat pencoklatan surimi dipengaruhi oleh waktu penyimpanan daging lumat, yang berarti bahwa dengan semakin lamanya waktu penyimpanan maka proses oksidasi semakin hebat dan warna coklat yang terbentuk akan semakin nyata. Selain itu dalam proses pembuatan surimi terjadi pula reaksi pencoklatan non-enzimatis lain, yaitu reaksi Maillard. Menurut Bertak dan Karahadian (1995) perubahan nilai derajat putih pada surimi lebih disebabkan karena terjadinya reaksi pencoklatan Maillard. Reaksi Maillard didefinisikan sebagai urutan peristiwa yang dimulai dengan reaksi gugus amino pada asam amino, peptida, atau protein dengan gugus hidroksil glikosidik pada gula yang diakhiri dengan pembentukan polimer nitrogen berwarna coklat atau melanoidin (deMan 1997). Pada proses pembuatan surimi ditambahkan sukrosa sebanyak 2 %. Sukrosa tersebut bertindak sebagai gula pereduksi yang akan bereaksi dengan gugus amino dari protein yang akan membentuk senyawa melanoidin yang berwarna coklat. Hutchings (1994) menjelaskan mekanisme reaksi pencoklatan non-enzimatis (Maillard dan oksidasi lemak). Mekanisme reaksi Maillard dimulai dengan terjadinya proses kondensasi yang melibatkan senyawa aldosa dan karbonil heksosa, yang dipecahkan dari reduksi gula dan grup asam amino bebas dari asam amino protein. Air hilang dari proses kondensasi ini untuk membentuk schiff base, dan memulai proses siklikasi menjadi aldosilamin. Hal ini dimulai dengan proses pengaturan kembali senyawa amadori menjadi ketosamin. Pada tahap tidak terdapat perubahan pencoklatan serta aroma dan flavor. Walaupun nilai nuritif makanan dilporkan menurun. Tahap akhir dari reaksi ini adalah terbentuknya senyawa melanoidin yang berwarna coklat gelap.
Sedangkan mekanisme dari oksidasi lemak disebabkan oleh oksidasi pada senyawa asam lemak tak jenuh yang dapat bereaksi dengan protein untuk membentuk pigmen coklat. Faktor yang dapat mempercepat laju reaksi pencoklatan adalah sifat asam amino dan sifat karbohidrat. Menurut Hutchings (1994) pencoklatan pada makanan tergantung pada pH, suhu, dan aktivitas air (aw). Makanan yang tinggi kandungan gulanya memiliki sifat mereduksi yang sangat reaktif (deMan 1997). Reaksi Maillard cenderung terjadi pada pH lebih besar dari 6 (deMan 1997). Terdapat korelasi negatif antara pH daging lumat dan nilai derajat putih surimi. Selama penyimpanan dingin daging lumat, terjadi peningkatan nilai pH hingga mencapai pH alkali pada hari terakhir penyimpanan (Gambar 11). Peningkatan nilai pH dapat mempercepat laju reaksi Maillard pada surimi yang dihasilkan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1
Kesimpulan Pencucian mampu meningkatkan kadar PLG dan menurunkan kadar urea pada daging
lumat ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa yang diteliti. Frekuensi pencucian sebanyak tiga kali adalah frekuensi terbaik, yang mampu mengurangi kadar urea hingga 88 % pada ikan cucut pisang dan 100 % pada ikan pari kelapa. Sedangkan kadar PLG daging ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa yang dihasilkan pada frekuensi pencucian tersebut berturut-turut sebesar 13,52 % dan 13,24 %. Dari hasil pengamatan nilai kekuatan gel terhadap pengkomposisian daging lumat ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa, dengan lima macam komposisi (A, B, A1B1, A2B1, dan A1B2) diperoleh hasil bahwa komposisi A1B2 memiliki nilai kekuatan gel tertinggi, yaitu sebesar 209,290 g.cm. Pengkomposisian dengan mencampurkan kedua daging ikan tersebut mampu meningkatkan kekuatan gel-nya. Hal ini menandakan bahwa terjadi sinergisitas antara kedua daging ikan tersebut yang dicampurkan, sehingga dapat meningkatkan kekuatan gelnya. Komposisi daging lumat A1B2 dan dua komposisi pembanding (A dan B) akan dilihat pengaruh dari proses penyimpanan dingin daging lumat terhadap karakteristik surimi yang dihasilkan. Selama sembilan hari penyimpanan dingin daging lumat, telah terjadi proses kemunduran mutu. Kemunduran mutu tersebut mempengaruhi karakteristik surimi, dimana seiring dengan semakin lamanya masa penyimpanan dingin daging lumat, karakteristik surimi yang dihasilkan akan semakin buruk pula. Kemunduran mutu daging lumat ditandai dengan adanya perubahan terhadap nilai pH, TVBN, TMA, urea dan PLG yang semakin buruk hingga masa penyimpanan terakhir. Kemunduran mutu yang terjadi pada daging lumat menyebabkan karakteristik surimi yang dihasilkan ikut menurun pula. Secara umum penurunan terhadap karakteristik fisikakimia surimi yang telah dievaluasi (kekuatan gel, uji gigit, uji lipat, WHC, dan derajat putih) disebabkan karena selama proses penyimpanan dingin terjadi peristiwa yang menyebabkan mundurnya mutu daging tersebut. Aktivitas dari bakteri diduga lebih berperan dalam proses kemunduran mutu pada suhu dingin. Masa penyimpanan yang baik pada suhu dingin bagi kedua jenis daging lumat ikan ini adalah kurang dari tiga hari masa penyimpanan. Mengingat tingginya kadar urea pada kedua
jenis ikan ini, dimana akan mudah sekali mengalami penguraian, sehingga proses kebusukan dagingnya akan berlangsung cepat. 5.2 Saran Dari hasil penelitian ini dapat disarankan bahwa perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi cemaran mikroba (ALT, Escherichia coli, Coliform, Salmonella, dan Vibrio cholerae) dan cemaran kimia (kadar abu, lemak, dan protein) sesuai ketentuan yang disyaratkan oleh SNI surimi beku. Penelitian lebih lanjut untuk memperpanjang umur simpan daging lumat kedua ikan tersebut, seperti: pengaruh penambahan bahan pengawet (gula dan sodium tripolifosfat (STPP)), teknik penyimpanan beku daging lumat, serta teknik pengemasan yang tepat. Penelitian lebih lanjut untuk mengolah surimi yang dihasilkan menjadi berbagai macam produk lanjutannya, khususnya produk-produk tradisional seperti bakso dan siomay agar dapat langsung diaplikasikan didalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysis of the Association of Official Analytical Chemists. Edisi ke-14. Washington, D.C. Amlacher E. 1961. Rigormortis in Fish. Di dalam. Borgstrom G, Editor. Fish as Food. Volume 1. New York: Academic Press. Baier KS, McClements DJ. 2005. Influence of cosovalent systems on the gelation mechanism of globular protein: thermodynamic, kinetic, and structural aspects of globular protein gelation. Comperhesive Reviews in Food Science and Food Safety 4: 43-54. Benjakul S, Seymour TA, Morrissey MT, Haejung AN. 1996. Proteinase in pacific whiting surimi wash water: identification and characterization. J. Food Sci. 61 (6): 11651170. Bennion BJ, Daggett V. 2004. Counteraction of urea-induced protein denaturation by trimethylamine N-oxide: A chemical chaperone at atomic resolution. PNAS 101 (17): 6433-6438. Berlyanto BS. 2004. Pengaruh lama waktu penyimpanan beku daging lumat ikan kurisi (Nemiphterus nematophorus) terhadap mutu fisiko-kimia surimi [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Bertak JA, Kahardian C. 1995. Surimi-based imitation crab characteristic affected by heating method and end point temperature. J. Food Sci. 60 (2): 292-296. Botta JR. 1994. Freshness quality of seafoods: a review. Didalam. Shahidi and R.Bota, Editors. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. London:Blackie Academic & Professional. [BBPMHP] Balai Bimbingan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 1987. Petunjuk Praktis Pengolahan Surimi. Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. Jakarta. [BPPMHP] Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan. 2001. Instruksi Kerja Pengujian Contoh Hasil Perikanan. Laboratorium Kimia BPPMHP. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta: Tidak Diterbitkan. [BRPL] Balai Riset Perikanan Laut. 2004. Musim Penangkapan Ikan Di Indonesia. Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Camberato JJ. 2001. Nitrogen in Soil and Fertilizer. SC Trufgrass Foundation. 8(1): 6-10. Camhi M, Fowler S, Musick J, Barutigam A, Fordham S. 1998. Shark and their relatives ecology and conservation. Occasional Papper of the IUCN Species Survival Commission 20.
Clucas IJ. 1981. Fish Handling, Preservation and Processing in the Tropics:Part 1.London:Tropical Products Institute. Clucas IJ, Ward AR. 1996. Post-Harvest Fisheries Development: A Guide to Handling, Preservation, Processing and Quality. Natural Research Institute. Codex Alimentarius Abridged Version. 1990. Joint FAO/WHO Food Standards Programs. Food Additive no. Codex 452 a. Food and Agricultural Organization of the United Nation World Health Organization. Di dalam: Lanier TC, Lee CM, Editors. 1992. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc. Connell JJ. 1979. Advance in Fish Science and Technology. Farnham: Fishing News Books Ltd. . 1980. Control of Fish Quality. Farnham: Fishing News Books Ltd. deMan JM. 1997. Kimia Makanan. Edisi ke-2. Panduwinata K, penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Food Chemistry. Direktorat Jenderal Perikanan. 1990. Buku Pedoman Pengenalan Sumber Perikanan Laut. Jakarta: Departemen Pertanian. [DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2005 Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2003. Jakarta: DKP. Dorn T. 2005. Nitrogen sources. Facts 288(01): 444-447. Elasmo-research. 2005. Biologi of shark and ray. Homepage: http://www.elasmoresearch.org. [8 Desember 2005]. Erlina MD, Tazwir, Aryani F. 1984. Studi pembuatan bakso dari campuran daging cucut (carcharinus limbatus) dan jangilus (Istiophorus gladius) I (penyimpanan suhu rendah). Laporan Penelitian Teknologi Perikanan. 31: 31-39. [FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2005. A world overview of species of interest to fisheries Carcharinus falciformis. Homepage: http://www. fao. org/ figis/ Serulet/ fsSearchSerulet. [8 Desember 2005]. Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Polusi Udara. Bogor: PAU-Pangan dan Gizi, IPB. Fis. 2005. Surimi. Homepage: http:// www. fis. Com // samples / fis /newfis2005 /index_files/fis.css/. [8 Desember 2005] Fishbase. 2005. Fishbase. Homepage: http://www.fishbase.org/. [8 Desember 2005]. Fitrial Y. 2000. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka, suhu dan lama perebusan terhadap mutu gel daging ikan cucut lanyam (Carcharinus limbatus) [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Globefish. 2005. homepage: http:// www.globefish.org. [8 Desember 2005]. Gomez-Guillen MC, Montero P, Solas MT, Borderias AJ. 1998. Thermally induced aggregation of giant squid (Dosidicus gigas) mantle proteins: physicochemical contribution of added ingredients. J.Agric.Food Chem. 46: 3440-3446. Govindan TK. 1985. Fish Processing Technology. New Delhi: Oxford & IBH Publishing Co.Pvt.Ltd. Hudson BJF. 1992. Biochemistry of Food Proteins. London: Elsevier Applied Sci. Hui YH. 1992. Encyclopedia of Food Science and Technology Volume 2. New York: John Wiley & Sons, Inc. Hutchings JB. 1994. Food Colour and Appearance. London: Blackie Academic and Proffesional. Jaczynski J, Park JW. 2004. Physicochemical changes in alaska pollock surimi and surimi gel as affected by electron beam. J. Food Sci. 69 (1) : C53-C57. Kamallan MT. 1988. Pengaruh konsentrasi bahan pengikat dan sodium tripolifosfat terhadap mutu dan daya awet kamaboko ikan pari kelapa (Trygon sephen) [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kett Electric Laboratory. 1981. Operating Instruction Kett Digital Whiteness Meter. Unpublished. [KIFTC] Kanagawa International Fisheries Training Centre. 1992. Science of Processing Marine Food Products. Volume II. Japan. Kim JM, Liu CH, Eun JB, Park JW, Oshimi R, Hayashi K, Ott B, Aramaki T, Sekine M, Horikita Y, Fujimoto K, Aikawa T, Welch L, Long R. 1996. Surimi from fillet of channel catfish. J. Food Sci. 61 (2): 428-432. Kreuzer R., Ahmed R. 1978. Shark Utilization and Marketing. Rome: Food and Agriculure Organization of The United Nations. Lagler KF, Bardach JE, Miller RR, Passino DRM. 1977. Ichtiology. Edisi ke-2. New York: John Willey and Sons Inc. Lawrie RA. 1991. Meat Science. Edisi ke-5. Oxford: Pergamon Press. Hlm 54-60, 190-191. Mahyuddin B. 2005. Pengeloaan ikan cucut di Palabuhanratu. Apresiasi Pengelolaan Cucut dalam Rangka Penyiapan NPOA Shark Management; Bali, 5 Januari 2005. Tidak diterbitkan Manik N. 2003. Beberapa catatan mengenai ikan pari? Oseania: XXVIII (4); Hlm 17 – 23,
Matsumoto JJ, Noguchi SF. 1991. Cryostabilization of Protein in Surimi. Di dalam. Lanier TC, Lee CM, Editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2002. Perancangan Percobaan. Jilid I, Edisi ke-2. Bogor: IPB Press. Musick JA. 2005. Shark Utilization. Paper 14: 323-336. Nahumury M. 1994. Reduksi urea secara enzimatis pada file daging ikan cucut (Carcharinus falciformis) segar dengan biji durian [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nielsen RG, Piggot GM. 1994. Gel strength increased in low grade heat set surimi with blended phospates. J. Food Sci. 59(2): 285-298. Niwa E. 1992. Chemistry of surimi gelation. Di dalam. Lanier TC, Lee CM, Editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc. Okada M. 1992. History of Surimi Technology in Japan. Di dalam. Lanier TC, Lee CM, Editor. Surimi Technology. New York: Marcel Dekker Inc. Ozogul F, Ozogul Y. 1999. Comparision of methods used for determination of total volatile base nitrogen (TVB-N) in Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). Turk J. Zool 24(2000): 113-120. Pipatsattayanuwong S, Park JW, Morrissey MT. 1995. Functional properties and shelf life of fresh surimi from pacific whitting. J. Food Sci. 60(6): 1241-1244. Peranginangin R, Wibowo S, Nuri Y, Fawza. 1999. Teknologi Pengolahan Surimi. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut Slipi. Pranira S. 2003. Pemanfaatan ikan pelagis ekonomis rendah sebagai bahan baku surimi [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Ridwan A, Murniati B. 1985. Ikhtiologi Sistematika. Bogor: Fakultas Perikanan IPB. Reppond KD, Babbit JK. 1997. Gel properties of surimi from various fish species as affected by moisture content. J. Food Sci. 62(1): 33-36. Reynolds J, Park JW, Choi YJ. 2002. Physicochemical properties of Pacific Whiting surimi as affected by various freezing and storage conditions. J. Food Sci. 67(6): 2072-2078. Saleh M, Bukit T, Wikanta T. 1979. Studi kemunduran mutu daging cucut segar pada berbagai kondisi penyimpanan. Laporan Penelitian Teknologi Perikanan. 56: 1-14. Park JW. 2004. Surimi gel preparation and texture analysis for better quality control. Didalam. Sakaguchi M, Editor. 2004. More Efficient Utilization of Fish and Fisheries Products. Editor. Proceedings of the International Symposium on the
Occasion of the 70th Anniversary of the Japanese Society of Fisheries Scienc; Kyoto, 7-10 October 2001. Amsterdam: Elsevier. Seibel BA, Walsh PJ. 2001. Trymethilamine oxide accumulation in marine animals: relationship to acylglycerol storage. J. Experimental Biol. 205: 297-306. Shahidi F. 1994. Seafoods Proteins and Preparation of Protein Concentrates. Didalam. Shahidi and R.Bota, Editors. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. London: Blackie Academic & Professional. Sikorski ZE. 1999. Seafood: Resources, Nutritional Compositio, and Preservation. Florida: CRC Press. Sikroski ZE, Sun Pan B. 1994. Preservation of Seafood quality. Didalam. Shahidi and R.Bota, Editors. 1994. Seafoods: Chemistry, Processing Technology and Quality. London: Blackie Academic & Professional. Simidu W. 1961. Non Protein Nitrogenous Compounds. Di dalam. Borgstrom G, Editor. Fish as Food. Volume 1. New York: Academic Press. Smith CP, Wright PA. 1999. Molecular characterization of an elasmobranch transporter. The American Sociological Society 0363-6119/99: R622-R626. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Syarat mutu bahan baku surimi. 01-2693-1992. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. .
. 1992. Syarat mutu bahan baku surimi. 01-2694-1992. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional. . 1998. SNI-01-4495-1998. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Stansby M. 1963. Industry Fishery Technology. Washington: Reinhold Publishing Corp. Surimithailand. 2005. Surimi (all about surimi FAQ). http://www.surimithailand.com/surumi.html. [8 Desember 2005].
Homepage:
Suzuki T. 1981. Fish and Krill Protein in Processing Technology. London: Applied Science Publishing. Ltd. Tamarkin AD. 2004. Myofibril composition. STCC Foundation Press. Di Dalam. Distance. 2005. Homepage: http:// distance.stcc.edu. [8 Desember 2005]. Van Hoeve W. 1992. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna ikan. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve: 256 hlm. Di dalam. Manik N. 2003. Beberapa catatan mengenai ikan pari? Oseania: XXVIII (4). Hlm 17 - 23. Venugopal V. 1992. Mince from low-cost fish species. Trend in Food Science Technology. January (3): 2-5.
Wahyuni M. 1992. Sifat kimia dan fungsional ikan hiu lanyam (Charcarinus limbatus) serta penggunaanya dalam pembuatan sosis [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, IPB. Waterlow JC, Stephen JML. 1981. Nitrogen Methods in Man. London: Applied Science Publish. Winarno FG., Fardiaz S, Fardiaz D. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta: PT. Gramedia. Winarno FG. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Yoon WB, Gunasekaran S, Park JW. 2004. Evaluating viscosity of surimi paste at different moisture content. Applied Rheology 14(2004): 133-139. Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Makarova T, Minder L, Podsevalov V. 1969. Fish Curing and Processing. Moscow: MIR. Publishing. Translated from the Russian by: De Merindol A. Zayas JF. 1997. Functionality of Proteins in Food. Springer. Valey.
.
.
Lampiran 1 Lembar penilaian sensori surimi beku Nama Panelis: ............................ Tanggal: ............................. 1.
Cantumkan kode contoh pada kolom yang tersedia sebelum melakukan pengujian.
2.
Berilah tanda √ pada nilai yang dipilih sesuai kode contoh yang diuji. Spesifikasi
Kode Contoh
Nilai 1
1. Uji Lipat
Tidak retak bila dilipat 4
5
Sedikit retak bila dilipat 4
4
Sedikit retak bila dilipat 2
3
Retak tetapi masih menyatu bila dilipat 2
2
Patah seluruhnya bila dilipat 2
1
2. Uji Gigit
Amat sangat kuat kekenyalannya
10
Sangat kuat kekenyalannya
9
Kuat kekenyalannya
8
Agak kuat kekenyalannya
7
Kekenyalannya masih dapat diterima
6
Agak lunak
5
Lunak
4
Sangat lunak
3
Hancur
1
2
3
4
5
Lampiran 2 Nilai PLG, analisis ragam dan uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pencucian daging lumat ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa terhadap kadar PLG Lampiran 2a Nilai PLG (%) daging ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa dari setiap frekuensi pencucian PLG (%) Cucut Pari 9,85 9,00 10,07 9,24 11,32 11,32 11,76 11,14 15,46 15,46 15,88 15,40 13,02 13,33 14,03 13,15 10,50 10,60 10,18 10,52
Frekuensi Pencucian 0 1 2 3 4
Lampiran 2b Analisis ragam frekuensi pencucian daging lumat ikan cucut pisang terhadap kadar PLG ANOVA
plg cucut
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 45,418 ,770 46,189
df 4 5 9
Mean Square 11,355 ,154
F 73,688
Sig. ,000
Lampiran 2c Analisis ragam frekuensi pencucian daging lumat ikan pari kelapa terhadap kadar PLG ANOVA plg pari
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 48,456 6,620E-02 48,522
df 4 5 9
Mean Square 12,114 1,324E-02
F 914,959
Sig. ,000
Lampiran 2d Uji lanjut Tukey frekuensi pencucian daging lumat ikan cucut pisang terhadap kadar PLG plg cucut a
Tukey HSD PLG leaching 0 leaching 4 leaching 1 leaching 3 leaching 2 Sig.
N 2 2 2 2 2
1 9,9600 10,3400
Subset for alpha = .05 2 3
4
10,3400 11,5400 13,5250
,859
,128
15,6700 1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 2e Uji lanjut Tukey frekuensi pencucian daging lumat ikan pari kelapa terhadap kadar PLG plg pari
Tukey HSD PLG leaching 0 leaching 4 leaching 1 leaching 3 leaching 2 Sig.
a
N 2 2 2 2 2
1 9,1200
Subset for alpha = .05 2 3 4
5
10,5600 11,2300 13,2400 1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
1,000
1,000
15,4300 1,000
Lampiran 3 Nilai kadar urea, analisis ragam dan uji lanjut Tukey pengaruh frekuensi pencucian daging lumat ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa terhadap kadar urea. Lampiran 3a Nilai kadar urea (%) daging ikan cucut pisang dan ikan pari kelapa dari setiap frekuensi pencucian Urea (%) Cucut Pari 1,87 2,38 2,09 2,26 0,66 1,62 1,04 1,46 0,60 0,32 0,62 0,38 0,31 0,00 0,15 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Frekuensi Pencucian 0 1 2 3 4
Lampiran 3b Analisis ragam frekuensi pencucian daging lumat ikan cucut pisang terhadap kadar urea ANOVA urea cucut
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 4,748 ,109 4,858
df 4 5 9
Mean Square 1,187 2,188E-02
F 54,253
Sig. ,000
Lampiran 3c Analisis ragam frekuensi pencucian daging lumat ikan pari kelapa terhadap kadar urea ANOVA urea pari
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 8,663 2,180E-02 8,685
df 4 5 9
Mean Square 2,166 4,360E-03
F 496,752
Sig. ,000
Lampiran 3d Uji lanjut Tukey frekuensi pencucian daging lumat ikan cucut pisang terhadap kadar urea urea cucut a
Tukey HSD urea leaching 4 leaching 3 leaching 2 leaching 1 leaching 0 Sig.
N 2 2 2 2 2
1 ,0000 ,2300
Subset for alpha = .05 2 3 ,2300 ,6100
,575
4
,6100 ,8500
,212
,543
1,9800 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
Lampiran 3e Uji lanjut Tukey frekuensi pencucian daging lumat ikan pari kelapa terhadap kadar urea urea pari a
Tukey HSD urea leaching 3 leaching 4 leaching 2 leaching 1 leaching 0 Sig.
N 2 2 2 2 2
1 ,0000 ,0000
Subset for alpha = .05 2 3
4
,3500 1,5400 1,000
1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000.
2,3200 1,000
Lampiran 4 Nilai kekuatan gel daging lumat komposisi A, B, A1B1, A1B2, dan A2B1. Lampiran 4a Nilai kekuatan gel (g.cm) komposisi daging lumat A Ulangan Komposisi Force (g) Distance (cm) 1
A
77.948
14.383
2
A
89.349
8.490
3
A
73.929
5.693
4
A
75.149
5.668
5
A
87.361
5.655
Lampiran 4b Nilai kekuatan gel (g.cm) komposisi daging lumat B Ulangan Komposisi Force (g) Distance (cm) 1
B
120.326
14.870
2
B
123.332
9.640
3
B
122.456
8.630
4
B
136.775
9.960
5
B
125.872
14.680
Lampiran 4c Nilai kekuatan gel (g.cm) komposisi daging lumat A1B1 Ulangan Komposisi Force (g) Distance (cm) 1
A1B1
154.054
14.990
2
A1B1
140.093
13.825
3
A1B1
149.707
12.700
4
A1B1
132.109
10.910
5
A1B1
149.244
12.190
Lampiran 4d Nilai kekuatan gel (g.cm) komposisi daging lumat A2B1 Ulangan Komposisi Force (g) Distance (cm) 1
A2B1
93.721
13.850
2
A2B1
99.42
13.240
3
A2B1
87.748
9.370
4
A2B1
79.446
7.440
Lampiran 4e Nilai kekuatan gel (g.cm) komposisi daging lumat A1B2 Ulangan Komposisi Force (g) Distance (cm) 1
A1B2
227.452
7.558
2
A1B2
191.438
14.220
3
A1B2
274.541
8.128
4
A1B2
259.802
8.053
5
A1B2
281.537
8.018
6
A1B2
223.406
6.973
7
A1B2
220.944
8.128
Lampiran 5 Nilai pH, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai pH daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Lampiran 5a Nilai pH daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin pH Selama Penyimpanan 0 3 6 9 5,84 7,84 8,49 8,70
Komposisi A B A1B2
5,78
7,91
8,36
8,70
6,73
8,64
8,87
8,98
6,76
8,58
8,87
8,95
6,55
8,62
8,76
8,88
6,52
8,63
8,77
8,88
Lampiran 5b Analisis ragam nilai pH daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai pH Source Corrected Model Intercept FAKT1 FAKT2 INTER Error Total Corrected Total
Type I Sum of Squares 25.920a 1561.868 1.632 23.933 .355 1.595E-02 1587.804 25.936
df 11 1 2 3 6 12 24 23
Mean Square 2.356 1561.868 .816 7.978 5.925E-02 1.329E-03
F 1772.823 1175073 613.959 6001.892 44.576
Sig. .000 .000 .000 .000 .000
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .999)
Lampiran 5c Uji lanjut Tukey nilai pH terhadap faktor komposisi daging lumat nilai pH a,b
Tukey HSD Komposisi A A1B2 B Sig.
N 8 8 8
1 7.7025
Subset 2
3
8.2013 1.000
1.000
8.2975 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.329E-03. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b. Alpha = .05.
Lampiran 5d Uji lanjut Tukey nilai pH terhadap faktor penyimpanan dingin daging lumat nilai pH a,b
Tukey HSD
Subset Penyimpanan 0 hari 3 hari 6 hari 9 hari Sig.
N 6 6 6 6
1 6.3633
2
3
4
8.3700 8.6867 1.000
1.000
1.000
8.8483 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.329E-03. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.
Lampiran 5e Uji lanjut Tukey nilai pH terhadap interaksi kedua faktor tersebut nilai pH a,b
Tukey HSD komposisi v penyimpana A0 A1B20 B0 A3 A6 B3 A1B23 A9 A1B26 B6 A1B29 B9 Sig.
N
Subset 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 5.8100 2 6.5350 2 6.7450 2 7.8750 2 8.4250 2 8.6100 2 8.6250 8.6250 2 8.7000 8.7000 2 8.7650 8.7650 2 8.8700 8.8700 2 8.8800 8.8800 2 8.9650 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 .433 .061 .174 .367
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.329E-03. a.Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b.Alpha = .05.
Lampiran 6 Nilai TVBN, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai TVBN daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Lampiran 6a Nilai TVBN (mg N/100 g) daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin
0
3
6
9
A
B
A1B2
10,51
8,18
12,03
10,51
8,18
15,24
24,61
42,37
42,96
25,34
43,17
39,78
284,09
309,16
315,3
250,28
350,92
335,77
281,27
344,97
416,41
282,89
355,51
506,18
Lampiran 6b Analisis ragam nilai TVBN daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai tvbn Source Corrected Model Intercept FAKT1 FAKT2 INTER Error Total Corrected Total
Type I Sum of Squares 635663.023a 776027.596 16630.426 597592.921 21439.676 5749.996 1417440,6 641413.019
df 11 1 2 3 6 12 24 23
Mean Square 57787.548 776027.596 8315.213 199197.640 3573.279 479.166
a. R Squared = .991 (Adjusted R Squared = .983)
F 120.600 1619.537 17.353 415.717 7.457
Sig. .000 .000 .000 .000 .002
Lampiran 6c Uji lanjut Tukey nilai TVBN terhadap faktor komposisi daging lumat nilai tvbn a,b
Tukey HSD Komposisi A B A1B2 Sig.
N 8 8 8
Subset 1 2 146.1875 182.8075 210.4588 1.000 .064
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 479.166. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b. Alpha = .05.
Lampiran 6d Uji lanjut Tukey nilai TVBN terhadap faktor penyimpanan dingin daging lumat nilai tvbn a,b
Tukey HSD
Penyimpanan 0 hari 3 hari 6 hari 9 hari Sig.
N 6 6 6 6
1 10.7750 36.3717
Subset 2
3
307.5867 .232
1.000
364.5383 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 479.166. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.
Lampiran 6e Uji lanjut Tukey nilai TVBN terhadap interaksi kedua faktor tersebut nilai tvbn a,b
Tukey HSD
komposisi vs penyimpanan B0 A0 A1B20 A3 A1B23 B3 A6 A9 A1B26 B6 B9 A1B29 Sig.
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 8.1800 10.5100 13.6350 24.9750 41.3700 42.7700
Subset 2
3
267.1850 282.0800 325.5350 330.0400 350.2400 .887
.066
461.2950 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 479.166. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.
Lampiran 7 Nilai TMA, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai TMA daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Lampiran 7a Nilai TMA (mg N/ 100 g) daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin
0
3
6
9
A
B
A1B2
1,610
2,620
2,410
1,770
2,450
2,410
4,840
6,390
7,160
4,840
8,790
7,950
12,070
19,270
17,190
13,680
22,480
18,840
13,760
21,080
23,240
13,760
24,320
21,640
Lampiran 7b Analisis ragam nilai TMA daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai TMA Source Corrected Model Intercept FAKT1 FAKT2 INTER Error Total Corrected Total
Type I Sum of Squares 1433.714a 3141.195 121.697 1253.637 58.381 17.557 4592.467 1451.272
df 11 1 2 3 6 12 24 23
Mean Square 130.338 3141.195 60.848 417.879 9.730 1.463
a. R Squared = .988 (Adjusted R Squared = .977)
F 89.082 2146.914 41.588 285.608 6.650
Sig. .000 .000 .000 .000 .003
Lampiran 7c Uji lanjut Tukey nilai TMA terhadap faktor komposisi daging lumat nilai TMA a,b
Tukey HSD Komposisi A A1B2 B Sig.
N 8 8 8
Subset 1 2 8.2913 12.6050 13.4250 1.000 .393
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.463. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b. Alpha = .05.
Lampiran 7d Uji lanjut Tukey nilai TMA terhadap faktor penyimpanan dingin daging lumat nilai TMA a,b
Tukey HSD
Subset Penyimpanan 0 hari 3 hari 6 hari 9 hari Sig.
N 6 6 6 6
1 2.2117
2
3
6.6617 17.2550 1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.463. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.
4
1.000
19.6333 1.000
Lampiran 7e Uji lanjut Tukey nilai TMA terhadap interaksi kedua faktor tersebut nilai TMA a,b
Tukey HSD
komposisi vs penyimpanan A0 A1B20 B0 A3 A1B23 B3 A6 A9 A1B26 B6 A1B29 B9 Sig.
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 1.6900 2.4100 2.5350 4.8400
Subset 3
2
.535
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.463. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.
5
4.8400 7.5550 7.5900 12.8750 13.7600
.368
4
1.000
13.7600 18.0150
.101
18.0150 20.8750 22.4400 22.7000 .058
Lampiran 8 Nilai kadar urea, analisis ragam dan uji lanjut Tukey kadar urea daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Lampiran 8a Nilai kadar urea (%) daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin
0
3
6
9
A
B
A1B2
1,98
2,32
2,33
1,99
2,35
2,35
1,03
0,97
0,64
1,00
0,99
0,64
0,46
0,76
0,33
0,48
0,78
0,32
0,42
0,61
0,59
0,44
0,59
0,62
Lampiran 8b Analisis ragam kadar urea daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: urea Source Corrected Model Intercept FAKT1 FAKT2 INTER Error Total Corrected Total
Type I Sum of Squares 12.176a 26.021 .203 11.593 .380 2.650E-03 38.200 12.179
df 11 1 2 3 6 12 24 23
Mean Square 1.107 26.021 .101 3.864 6.337E-02 2.208E-04
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
F 5012.588 117830,2 459.226 17499.390 286.975
Sig. .000 .000 .000 .000 .000
Lampiran 8c Uji lanjut Tukey kadar urea terhadap faktor komposisi daging lumat urea a,b
Tukey HSD Komposisi A A1B2 B Sig.
Subset 1 .9750 .9775
N 8 8 8
.940
2
1.1712 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 2.208E-04. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b. Alpha = .05.
Lampiran 8d Uji lanjut Tukey kadar urea terhadap faktor penyimpanan dingin daging lumat urea a,b
Tukey HSD
Penyimpanan 6 hari 9 hari 3 hari 0 hari Sig.
N 6 6 6 6
1 .5217 .5450
Subset 2
3
.8783 .077
1.000
2.2200 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 2.208E-04. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.
Lampiran 8e Uji lanjut Tukey kadar urea terhadap interaksi kedua faktor tersebut urea a,b
Tukey HSD
komposisi vs penyimpanan A1B26 A9 A6 B9 A1B29 A1B23 B6 B3 A3 A0 B0 A1B20 Sig.
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 .3250
2
3
5
6
7
.4300 .4700 .6000 .6050 .6400 .7700 .9800 1.0150 1.9850
1.000
.330
.330
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 2.208E-04. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b. Alpha = .05.
Subset 4
1.000
.491
1.000
2.3350 2.3400 1.000
Lampiran 9 Nilai PLG, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai PLG daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Lampiran 9a Nilai PLG (%) daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin
0 3 6 9
A
B
A1B2
9,15
9,97
10,12
9,22
9,52
9,97
7,52
5,34
5,44
7,60
5,38
5,23
6,33
3,28
4,69
6,65
3,32
4,81
4,87
2,14
3,51
4,87
2,17
3,57
Lampiran 9b Analisis ragam nilai PLG daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilia plg Source Corrected Model Intercept FAKT1 FAKT2 INTER Error Total Corrected Total
Type I Sum of Squares 150.025a 872.059 14.378 125.159 10.488 .202 1022.286 150.227
df 11 1 2 3 6 12 24 23
Mean Square 13.639 872.059 7.189 41.720 1.748 1.687E-02
a. R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .997)
F 808.415 51690.316 426.122 2472.886 103.610
Sig. .000 .000 .000 .000 .000
Lampiran 9c Uji lanjut Tukey nilai PLG terhadap faktor komposisi daging lumat nilia plg a,b
Tukey HSD Komposisi B A1B2 A Sig.
N 8 8 8
1 5.1400
Subset 2
3
5.9175 1.000
7.0263 1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.687E-02. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.000. b. Alpha = .05.
Lampiran 9d Uji lanjut Tukey nilai PLG terhadap faktor penyimpanan dingin daging lumat nilia plg a,b
Tukey HSD
Subset Penyimpanan 9 hari 6 hari 3 hari 0 hari Sig.
N 6 6 6 6
1 3.5217
2
4
4.8467 6.0850 1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.687E-02. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6.000. b. Alpha = .05.
3
1.000
9.6583 1.000
Lampiran 9e Uji lanjut Tukey nilai PLG terhadap interaksi kedua faktor tersebut nilia plg a,b
Tukey HSD komposisi vs penyimpanan B9 B6 A1B29 A1B26 A9 A1B23 B3 A6 A3 A0 B0 A1B20 Sig.
Subset N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 2.1550
2
3
4
6
7
8
3.3000 3.5400 4.7500 4.8700
4.8700 5.3350 5.3600 6.4900 7.5600 9.1850
1.000
.769
.997
.068
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.687E-02. a.Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b.Alpha = .05.
5
1.000
1.000
9.7450 10.0450 1.000 .516
Lampiran 10 Nilai kekuatan gel, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai kekuatan gel surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Lampiran 10a Analisis ragam nilai kekuatan gel surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: nilai Gel Strength Source Corrected Model Intercept FAKT1 FAKT2 INTER Error Total Corrected Total
Type I Sum of Squares 1321132,9a 5544426,5 100628,811 1020220,6 200283,489 592858,942 7458418,3 1913991,9
df 11 1 2 3 6 132 144 143
Mean Square 120102,994 5544426,463 50314,406 340073,543 33380,582 4491,356
F 26,741 1234,466 11,202 75,717 7,432
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
a. R Squared = ,690 (Adjusted R Squared = ,664)
Lampiran 10b Uji lanjut Tukey nilai kekuatan gel surimi terhadap faktor komposisi daging lumat nilai Gel Strength
a,b
Tukey HSD Komposisi B A1B2 A Sig.
N 48 48 48
Subset 1 2 173,2030 182,2198 233,2423 ,787 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4491,356. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 48,000. b. Alpha = ,05.
Lampiran 10c Uji lanjut Tukey nilai kekuatan gel surimi terhadap faktor penyimpanan dingin daging lumat nilai Gel Strength a,b
Tukey HSD
Penyimpanan 9 hari 6 hari 3 hari 0 hari Sig.
N 36 36 36 36
1 106,1478 145,6818
Subset 2
3
204,1358 ,059
1,000
328,9215 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4491,356. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 36,000. b. Alpha = ,05.
Lampiran 10d Nilai kekuatan gel (g.cm) surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Komposisi Surimi
Hari Penyimpanan
0
3
6
9
A
A1B2
B
Force
Distance
Force
Distance
Force
298,441
8,598
310,431
10,798
379,837
7,825
310,412
9,227
318,632
10,327
344,981
13,525
277,024
8,158
297,125
8,158
264,281
10,420
246,769
8,735
346,769
15,000
502,519
15,000
290,799
8,893
320,899
9,993
346,098
7,135
290,625
8,153
390,625
11,453
456,022
9,083
331,074
8,950
325,484
9,990
415,901
8,840
308,258
8,980
409,654
7,980
427,541
10,438
329,232
8,123
229,265
7,255
368,399
8,225
272,677
9,262
252,777
9,463
247,791
9,608
Distance
336,995
14,890
366,785
14,090
377,900
8,620
322,473
8,108
334,679
9,219
351,829
8,300
240,262
11,573
141,341
14,614
166,531
11,265
223,981
13,942
132,771
12,681
172,981
15,000
247,635
9,148
147,547
13,426
161,222
7,541
231,689
15,000
131,748
14,892
155,218
6,981
220,751
11,193
129,841
10,253
100,992
11,664
256,761
11,168
160,652
13,669
151,982
13,250
244,458
10,990
144,698
14,990
163,718
12,771
209,364
8,990
133,742
13,765
152,851
5,647
269,571
9,463
172,950
11,572
164,890
13,739
241,220
9,985
121,522
10,722
155,916
9,293
261,885
15,000
162,778
14,000
189,965
8,858
190,725
5,558
125,159
8,722
171,285
10,350
185,624
14,637
101,733
9,284
122,847
14,325
163,782
14,249
80,921
5,172
100,251
9,394
197,851
14,261
93,283
11,810
104,725
10,765
182,673
10,882
98,550
8,888
108,628
12,642
172,445
12,764
94,282
8,573
144,921
13,257
164,725
14,000
100,000
10,821
99,764
7,359
183,829
15,000
96,760
7,000
106,528
9,370
166,998
9,280
96,758
10,329
114,358
10,036
168,726
10,641
120,537
10,565
110,649
11,212
175,827
11,999
92,332
12,357
97,472
9,948
191,565
13,750
91,629
9,830
100,758
10,725
200,326
10,000
90,473
8,716
101,226
9,116
106,768
11,425
110,149
8,247
80,362
7,500
99,001
11,251
88,000
7,981
87,947
7,233
117,650
13,662
93,476
5,220
83,277
9,480
115,733
12,981
105,827
10,473
99,810
7,105
124,852
13,920
103,225
6,920
93,540
8,210
172,150
15,000
94,220
7,472
94,220
7,650
104,320
11,450
108,452
8,229
82,681
6,359
139,429
10,828
100,210
7,992
95,532
9,356
144,984
14,662
94,722
6,850
98,040
9,425
100,750
10,750
90,350
5,100
82,480
6,903
125,863
13,821
100,645
7,642
85,700
6,982
164,365
14,963
121,422
10,265
101,694
11,371
Lampiran 10e Uji lanjut Tukey nilai kekuatan gel surimi terhadap interaksi kedua faktor tersebut nilai Gel Strength
a,b
Tukey HSD
komposisi vs penyimpanan A1B29 B9 B6 A1B26 A9 A1B23 B3 A6 A3 A0 B0 A1B20 Sig.
N 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
Subset 1 2 3 4 5 6 7 8 74,1157 78,6986 78,6986 91,7616 91,7616 118,4758 118,4758 118,4758 165,6291 165,6291 165,6291 167,3803 167,3803 167,3803 182,5354 182,5354 182,5354 226,8081 226,8081 226,8081 262,4917 262,4917 262,4917 278,0403 278,0403 339,8166 339,8166 368,9077 ,902 ,054 ,447 ,523 ,133 ,777 ,169 ,996
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4491,356. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 12,000. b. Alpha = ,05.
Lampiran 11 Nilai WHC, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai WHC surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Lampira 11a Nilai WHC (%) surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin
0
3
6
9
A
B
A1B2
31,30
33,70
35,55
31,00
33,50
35,50
29,05
30,50
30,70
29,10
30,00
30,60
24,35
29,25
30,40
25,50
29,50
30,50
20,15
24,00
28,05
20,90
24,00
28,10
Lampiran 11b Analisis ragam nilai WHC surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: WHC Source Corrected Model Intercept FAKT1 FAKT2 INTER Error Total Corrected Total
Type I Sum of Squares 378,331a 20137,627 91,871 264,972 21,487 1,177 20517,135 379,508
df 11 1 2 3 6 12 24 23
Mean Square 34,394 20137,627 45,936 88,324 3,581 9,812E-02
a. R Squared = ,997 (Adjusted R Squared = ,994)
F 350,509 205224,2 468,135 900,119 36,496
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
Lampiran 11c Uji lanjut Tukey nilai WHC surimi terhadap faktor komposisi daging lumat WHC Tukey HSD
a,b
Komposisi A B A1B2 Sig.
N 8 8 8
Subset 2
1 26,4188
3
29,3063 1,000
31,1750 1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 9,812E-02. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,000. b. Alpha = ,05.
Lampiran 11d Uji lanjut Tukey nilai WHC surimi terhadap faktor penyimpanan dingin daging lumat WHC a,b
Tukey HSD
Subset Penyimpanan 9 hari 6 hari 3 hari 0 hari Sig.
N 6 6 6 6
1 24,2000
2
3
28,2500 29,9917 1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 9,812E-02. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. b. Alpha = ,05.
4
1,000
33,4250 1,000
Lampiran 11e Uji lanjut Tukey nilai WHC surimi terhadap interaksi kedua faktor tersebut WHC a,b
Tukey HSD komposisi vs penyimpanan A9 B9 A6 A1B29 A3 B6 B3 A1B26 A1B23 A0 B0 A1B20 Sig.
N
Subset 1 2 3 4 5 6 7 8 2 20,5250 2 24,0000 2 24,9250 2 28,0750 2 29,0750 29,0750 2 29,3750 29,3750 2 30,2500 30,2500 30,2500 2 30,4500 30,4500 2 30,6500 2 31,1500 2 33,6000 2 35,5250 1,000 ,232 ,165 ,071 ,115 ,259 1,000 1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 9,812E-02. a.Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b.Alpha = ,05.
Lampiran 12 Nilai derajat putih, analisis ragam dan uji lanjut Tukey nilai derajat putih surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Lampiran 12a Nilai derajat putih (%) surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin
0
3
6
9
A
B
A1B2
41,20
32,40
36,4
41,00
32,60
36,5
40,9
30,9
36,00
41,1
31,4
36,20
38,50
30,50
34,10
38,20
30,60
34,00
38,3
29,5
32,8
38,3
29,2
32,7
Lampiran 12b Analisis ragam nilai derajat putih surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: whiteness Source Corrected Model Intercept FAKT1 FAKT2 INTER Error Total Corrected Total
Type I Sum of Squares 354,341a 29631,454 310,840 40,498 3,003 ,315 29986,110 354,656
df 11 1 2 3 6 12 24 23
Mean Square 32,213 29631,454 155,420 13,499 ,501 2,625E-02
a. R Squared = ,999 (Adjusted R Squared = ,998)
F 1227,156 1128817 5920,762 514,259 19,069
Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000
Lampiran 12c Uji lanjut Tukey nilai derajat putih surimi terhadap faktor komposisi daging lumat whiteness a,b
Tukey HSD Komposisi B A1B2 A Sig.
N 8 8 8
Subset 2
1 30,8875
3
34,8375 1,000
39,6875 1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 2,625E-02. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 8,000. b. Alpha = ,05.
Lampiran 12d Uji lanjut Tukey nilai derajat putih surimi terhadap faktor penyimpanan dingin daging lumat whiteness a,b
Tukey HSD
Subset Penyimpanan 9 hari 6 hari 3 hari 0 hari Sig.
N 6 6 6 6
1 33,4667
2
3
34,3167 36,0833 1,000
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 2,625E-02. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. b. Alpha = ,05.
4
1,000
36,6833 1,000
Lampiran 12e Uji lanjut Tukey nilai derajat putih surimi terhadap interaksi kedua faktor tersebut whiteness a,b
Tukey HSD
komposisi vs penyimpanan B9 B6 B3 B0 A1B29 A1B26 A1B23 A1B20 A9 A6 A3 A0 Sig.
N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
1 29,3500
2
3
5
6
7
30,5500 31,1500 32,5000 32,7500 34,0500 36,1000 36,4500 38,3000 38,3500
1,000
,076
,901
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 2,625E-02. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b. Alpha = ,05.
Subset 4
1,000
,598
1,000
41,0000 41,1000 1,000
Lampiran 13 Uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Tukey terhadap uji lipat surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Lampiran 13a Uji Kruskal-Wallis terhadap uji lipat surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Kruskal-Wallis Test Test Statisticsa
Ranks KOMPOSISI VS A0 A3 A6 A9 B0 B3 B6 B9 A1B20 A1B23 A1B26 A1B29 Total
uji gigit
N 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 72
Mean Rank 56,83 54,00 40,25 20,50 57,67 33,75 22,92 6,83 66,67 43,00 27,33 8,25
Chi-Square df Asymp. Sig.
uji gigit 61,094 11 ,000
a. Kruskal Wallis Test
Lampira 13b Uji lanjut Tukey terhadap uji lipat surimi uji lipat a,b
Tukey HSD
komposisi vs penyimpanan B9 B6 B3 A1B29 A9 A1B26 A6 A3 A0 A1B23 B0 A1B20 Sig.
N 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
1 1,3333
Subset 3
2 2,6667 2,8333 3,0000 3,3333 3,5000
1,000
,209
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,267. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. b. Alpha = ,05.
3,0000 3,3333 3,5000 4,0000
,056
4
5
3,5000 4,0000 4,5000
,056
4,0000 4,5000 4,6667 4,8333 5,0000 5,0000 ,056
ampiran 14 Uji Kruskal-Wallis dan uji lanjut Tukey terhadap uji gigit surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Lampiran 14a Uji Kruskal-Wallis terhadap uji gigit surimi dari daging lumat komposisi A, B, dan A1B2 selama penyimpanan dingin Kruskal-Wallis Test Test Statisticsa
Ranks
uji gigit
KOMPOSISI VS A0 A3 A6 A9 B0 B3 B6 B9 A1B20 A1B23 A1B26 A1B29 Total
N
Mean Rank 56,83 54,00 40,25 20,50 57,67 33,75 22,92 6,83 66,67 43,00 27,33 8,25
6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 72
uji gigit 61,094 11 ,000
Chi-Square df Asymp. Sig.
a. Kruskal Wallis Test
Lampiran 14b Uji lanjut Tukey terhadap uji gigit surimi uji gigit a,b
Tukey HSD KOMPOSISI PENYIMPAN B9 A1B29 A9 B6 A1B26 B3 A6 A1B23 A3 B0 A0 A1B20 Sig.
Subset N 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
1 3,3333 3,5000 4,6667
,099
2 3,5000 4,6667 4,8333
,099
3
4,6667 4,8333 5,1667 5,6667
,456
4
4,8333 5,1667 5,6667 6,1667
,099
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type I Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,544. a.Uses Harmonic Mean Sample Size = 6,000. b.Alpha = ,05.
5
5,1667 5,6667 6,1667 6,3333
,233
6
6,1667 6,3333 7,3333
,233
7
6,3333 7,3333 7,6667 7,6667 ,099
8
7,3333 7,6667 7,6667 8,6667 ,099
Lampiran 15 Contoh perhitungan 15a. Kadar urea Misal: Kadar urea cucut tanpa Pencucian (penentuan frekuensi pencucian) Absorbent (abs) Standar Konsetrasi (ppm) 50
Abs Standar 0.1246 0.1137 0.2342 0.2414 0.4764 0.4781 0.8741 0.8682
100 200 400
Abs Standar 1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
y = 0.0021x + 0.0247 R2 = 0.9974
0
100
200
300
400
Gambar Kurva standar % Urea = Abs Standar x B x V sampel x 10-6 x 100 Abs Sampel V pengenceran = 0.1090 x 250 x 500 x 100 x 10-6 = 1,98 % 0.1189 5 Keterangan: B= Abs sampel yang berada pada range Abd standar (ppm)
500
15b. Kadar TVBN dan TMA Misal kadar TVBN cucut (A) penyimpanan dingin hari ke-0 TVBN (mg N/100g) = Vspl – Vblk x N HCl x 14.007 x FP x 100 g sampel Keterangan = Vspl = volume titrasi sampel Vblk = volume titrasi blanko FP = faktor pengenceran
Diketahui: Vblk = 0a 0b
Vspl = 0.13a 0.13b
NHCl= 0.0195N
g sampel = 25.3696
TVBN = (0.13-0) x 0.0195 x 14.007 x (75/1) x 100 = 10.51 mg N/100g 25.3696 15c. Kadar protein % Protein = V.spl – V.Blk x N HCl x 14.007 x 6.25 x 100 mg sampel Misal kadar protein pada ikan cucut pisang Diketahui : V.Blk = 0
V. Sampel = 22.60
N HCl = 0.2015
% Protein = 22.60 – 0 x 0.2015 x 14.007 x 6.25 x 100 2022.1 = 19.72 % 15d. Kadar lemak % Lemak = (B - A) x 100 C Keterangan: A = berat labu awal (g) B = berat labu akhir (g) C = berat sampel (g)
Misal kadar lemak pada ikan cucut pisang Diketahui: A = 115.7441 108.7794
B = 115.7791 C = 2.0220 108.8079 2.0136
% Lemak = 112.2935 - 112.2617 x 100 = 1.57 % 2.0178
g sampel = 2.0221
15e. Kadar protein larut garam (PLG) Misal kadar PLG cucut (A) penyimpanan dingin hari ke-0 % PLG = V.Spl – V.Blk x N HCl x 14.007 x 6.25 x FP x 100 mg sampel Keterangan = Vspl = volume titrasi sampel Vblk = volume titrasi blanko FP = faktor pengenceran
Diketahui: V.Blk = 0.1a 0.1b
V.Sampel = 13.17a 13.27b
N HCl = 0.2001
g.sampel = 15.0125
% PLG = (13.22 – 0.1) x 0,2001 x 14.007 x 6.25 x (150/25) x 100 15012.5 = 9.18 %
Lampiran 16. Foto-foto kegiatan penelitian
Balai Pengembangan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan, Jakarta
Proses pemfiletan ikan pari kelapa
Proses pencucian daging lumat
Proses pengurangan kadar air
Texture Analyzer TA-XT2i
Surimi