PEMANFAATAN JAHE (Zingiber officinale Rosc.) DAN TEH HIJAU (Camellia sinensis) DALAM PEMBUATAN SELAI RENDAH KALORI DAN SUMBER ANTIOKSIDAN
Oleh : ANITA KARINA A54103901
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
RINGKASAN Anita Karina. A54103901. Pemanfaatan Jahe (Zingiber officinale Rosc.) dan Teh Hijau (Camellia sinensis) dalam Pembuatan Selai Rendah Kalori dan Sumber Antioksidan. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MSi. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari pembuatan selai jahe-teh hijau rendah kalori dan sumber antioksidan. Tujuan khusus penelitian ini adalah 1) mempelajari pembuatan selai jahe-teh hijau dengan proporsi jahe dan ekstrak teh hijau yang optimal, 2) mempelajari pengaruh proporsi jahe : ekstrak teh hijau terhadap sifat kimia dan fisik selai jahe-teh hijau, 3) mempelajari pengaruh proporsi jahe : ekstrak teh hijau terhadap daya terima selai jahe-teh hijau, 4) menganalisis kadar senyawa antioksidan (gingerol dan katekin) yang terkandung dalam selai jahe-teh hijau terbaik, 5) mempelajari pengaruh lama penyimpanan terhadap sifat kimia, fisik, dan mikrobiologis selai jahe-teh hijau, dan 6) mempelajari pengaruh lama penyimpanan terhadap daya terima selai jahe-teh hijau. Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan selai jaheteh hijau, penentuan formula selai jahe-teh hijau, analisis sifat kimia (kadar air, pH, total asam tertitrasi, serat makanan, kadar gula total, dan total energi) dan sifat fisik (viskositas) selai jahe-teh hijau, serta penentuan formula (produk) terbaik. Sementara penelitian lanjutan bertujuan untuk menganalisis kadar senyawa antioksidan (gingerol dan katekin) yang terkandung dalam selai jaheteh hijau terbaik dan untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap sifat kimia, fisik, mikrobiologis, dan daya terima selai jahe-teh hijau. Analisis kadar gingerol dilakukan dengan metode TLC (Thin Layer Chromatography) scanner, sementara analisis kadar katekin dilakukan dengan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Sifat kimia selai yang dianalisis selama penyimpanan meliputi kadar air, pH, total asam tertitrasi, dan aktivitas air (Aw), sementara sifat fisik yang dianalisis adalah viskositas. Analisis mikroba dilakukan dengan metode TPC (Total Plate Counts). Proses pembuatan selai jahe-teh hijau terdiri dari beberapa tahap, yaitu persiapan bahan (pembuatan bubur jahe, ekstrak teh hijau, dan larutan CMC), pencampuran bubur jahe-ekstrak teh hijau-larutan CMC, penambahan asam sitrat dan pewarna makanan, pemasakan, uji spoon test, penambahan natrium benzoat dan sukralosa setelah pemasakan, homogenisasi, dan pewadahan selai. Penentuan proporsi jahe : ekstrak teh hijau (ETH) dilakukan secara trial and error sehingga dihasilkan tiga formula selai, yaitu 100 g:20 g, 90 g:30 g, dan 80 g:40 g. Kadar air selai yang dihasilkan berkisar antara 91,99-93,22%. Nilai pH selai jahe-teh hijau berkisar antara 4,335-4,481. Total asam selai jahe-teh hijau berkisar antara 32,79-42,96 ml NaOH 0,1 N/100 g. Selai jahe-teh hijau mengandung serat makanan total sebesar 1,91-2,43 g/100 g, serat makanan tidak larut sebesar 1,06-1,28 g/100 g, dan serat makanan larut sebesar 0,85-1,15 g/100 g. Kadar gula total selai pada semua taraf proporsi jahe : ETH adalah kurang dari 1%. Kisaran total energi selai jahe-teh hijau adalah 24,14-29,05 Kal/100 g selai. Hasil sidik ragam menunjukkan proporsi jahe : ETH tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kadar air, pH, total asam, serat makanan total, serat makanan tidak larut, serat makanan larut, dan total energi selai jahe-teh hijau. Viskositas selai jahe-teh hijau berkisar antara 735010750 cp. Proporsi jahe : ETH juga tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap viskositas selai.
Modus penerimaan panelis terhadap warna selai berada pada kisaran 3-4 (biasa-suka), sementara modus warna selai pada semua taraf proporsi jahe : ETH adalah cerah (4). Modus penerimaan aroma berkisar antara 3-4 (biasasuka), sementara modus aroma selai pada semua taraf proporsi jahe : ETH adalah harum (4). Modus penerimaan panelis terhadap rasa selai pada semua taraf proporsi jahe : ETH adalah tidak suka (2), sementara modus rasa selai pada semua taraf proporsi jahe : ETH adalah pedas (4). Modus penerimaan panelis terhadap tekstur selai berada pada kisaran 3-4 (biasa-suka), sementara modus tekstur selai pada semua taraf proporsi jahe : ETH adalah halus (4). Modus penerimaan panelis terhadap daya oles selai pada semua taraf proporsi jahe : ETH adalah suka (4), sementara modus daya oles selai pada semua taraf proporsi jahe : ETH adalah mudah dioleskan (4). Modus penerimaan umum panelis terhadap selai jahe-teh hijau berkisar antara 2-3 (tidak suka-biasa). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan proporsi jahe : ETH tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap daya terima warna, aroma, rasa, tekstur, daya oles, dan penerimaan umum selai jahe-teh hijau. Proporsi jahe : ETH juga tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik warna, aroma, rasa, tekstur, dan daya oles selai jahe-teh hijau. Berdasarkan persentase penerimaan umum panelis terbesar, selai dengan proporsi jahe : ETH 100 g : 20 g terpilih sebagai produk terbaik yang digunakan dalam penelitian lanjutan. Selai jahe-teh hijau terbaik memiliki kadar gingerol sebanyak 114,39 ppm. Sementara kadar katekin, epikatekin, dan epikatekin galat dalam selai jahe-teh hijau berturut-turut sebanyak 12,45 ppm, 3,85 ppm, dan 4,3 ppm. Kadar air selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf lama penyimpanan (0 minggu, 2 minggu, dan 4 minggu) berkisar antara 89,80-90,36%. Total asam selai selama penyimpanan berkisar antara 42,29-50,18 ml NaOH 0,1 N/100 g. Kisaran pH selai selama penyimpanan adalah 4,194-4,436. Nilai Aw selai jaheteh hijau selama penyimpanan berkisar antara 0,903-0,912. Hasil sidik ragam menunjukkan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kadar air, total asam, pH, dan Aw selai. Viskositas selai jaheteh hijau selama penyimpanan berkisar antara 14000-15000 cp. Lamanya penyimpanan memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap viskositas selai. Kisaran total mikroba selai selama penyimpanan adalah 4,3 x 101 hingga 4,9 x 107 CFU/g. Hasil sidik ragam menunjukkan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap total mikroba selai. Daya terima panelis terhadap warna selai selama penyimpanan memiliki skor modus 2 (tidak suka) dan 4 (suka), sementara modus warna selai pada semua taraf lama penyimpanan adalah cerah (4). Daya terima panelis terhadap aroma selai pada semua taraf lama penyimpanan memiliki skor modus 4 (suka), sementara modus aroma selai pada semua taraf lama penyimpanan adalah harum (4). Penerimaan panelis terhadap tekstur selai selama penyimpanan memiliki skor modus antara 2-4 (tidak suka-suka), sementara modus tekstur selai pada semua taraf lama penyimpanan adalah halus (4). Modus penerimaan panelis terhadap daya oles selai pada berbagai taraf lama penyimpanan adalah suka (4) dan modus daya oles selai pada semua taraf lama penyimpanan adalah mudah dioleskan (4). Modus penerimaan umum panelis terhadap selai pada semua taraf lama penyimpanan memiliki skor 4 (suka). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap daya terima warna, aroma, tekstur, daya oles, dan penerimaan umum selai jaheteh hijau. Lama penyimpanan juga tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik warna, aroma, tekstur, dan daya oles selai.
ABSTRACT ANITA KARINA. Source of Antioxidant and Low Calorie Jam Made of Ginger (Zingiber officinale Rosc.) and Green Tea (Camellia sinensis) Extract. Supervised by Dr. Ir. LILIK KUSTIYAH, MSi.
The objective of this study was to learn how to make ginger-green tea jam, which is a low calorie and as source of antioxidant jam. The specific objectives were to learn how to make ginger-green tea jam with the optimum proportion of ginger and green tea extract; to learn the impact of different proportion of ginger : green tea extract on chemical and physical characteristic of jam, and its acceptance; to analyze antioxidant compounds content (gingerol and catechin) in the best of ginger-green tea jam; to learn the impact of storage time on chemical, physical, and microbiological characteristic of jam, and its acceptance. Ginger-green tea jam was a modified jam, which was a food product as a jam made from the mixture of ginger poridge and green tea extract without sugar and pectin content, so the gel forming in this product was formed by using hydrocolloid (i.e. Carboxy Methyl Cellulose / CMC) in the jam formula. To determine the proportion of ginger : green tea extract was made by trial and error method. The result of this are three formulas of jam, which proportion of ginger : green tea extract were 100 g : 20 g, 90 g : 30 g, and 80 g : 40 g, respectively. Result showed that ginger : green tea extract proportion didn’t give significant impact on water content, pH, total acid, dietary fiber, total energy, and viscosity of jam. Ginger-green tea jam was a low calorie jam because the calorie content was under 40 Kal/100 g as a standard of low calorie product, with the range of calories were 24,14-29,05 Kal/100 g. Based on the highest of panelist acceptance to jam with proportion of ginger : green tea extract was 100 g : 20 g, so it was choosen as the best jam. The best of ginger-green tea jam contained gingerol, catechin, epicatechin, and epicatechin gallate as antioxidant compounds. The content of gingerol, catechin, epicatechin, and epicatechin gallate on the best jam was 114,39 ppm, 12,45 ppm, 3,85 ppm, and 4,3 ppm, respectively. Ginger-green tea jam was stored at room temperature with the storage time was 0 week, 2 weeks, and 4 weeks. Result showed that storage time didn’t give significant impact on water content, pH, total acid, water activity, and total microbial of jam. The amount of total microbial of jam at the first storage (0 week) was under maximum limit which is permitted (SNI 01-3746-1995), that was under 5 x 102 colony. But, the amount of total microbial of jam at storage time 2 weeks and 4 weeks had already exceeded to maximum limit of total microbial standard. The storage time gave a very significant impact on viscosity of jam. The Kruskal Wallis test showed that storage time didn’t give significant impact on panelist acceptance.
Keywords : jam, ginger, green tea, low calorie, antioxidant
PEMANFAATAN JAHE (Zingiber officinale Rosc.) DAN TEH HIJAU (Camellia sinensis) DALAM PEMBUATAN SELAI RENDAH KALORI DAN SUMBER ANTIOKSIDAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: ANITA KARINA A54103901
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
JUDUL
: PEMANFAATAN JAHE (Zingiber officinale Rosc.) DAN
TEH
HIJAU
(Camellia
sinensis)
DALAM
PEMBUATAN SELAI RENDAH KALORI DAN SUMBER ANTIOKSIDAN Nama Mahasiswa
: Anita Karina
Nomor Pokok
: A54103901
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MSi. NIP 131 669 945
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP 131 124 019
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 16 November 1984. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Jasni Setjo (Alm.) dan Jantini Tjandra. Jenjang pendidikan formal penulis dimulai pada tahun 1991 di SD Don Bosco 1. Penulis melanjutkan pendidikan di SLTP Don Bosco 1 pada tahun 1997. Pada tahun 2000, penulis melanjutkan pendidikan di SMU Don Bosco 2. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Program Studi Hama dan Penyakit Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Pada tahun 2005, penulis pindah program studi ke program studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama di IPB, penulis menjadi pengurus organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) pada tahun 2005 dan mengikuti kegiatan organisasi GMSK English Club. Selain itu, penulis menjadi asisten praktikum mata kuliah Analisis Zat Gizi Mikro, Biokimia Gizi, dan Manajemen Jasa Makanan dan Gizi pada tahun ajaran 2007/2008.
PRAKATA Puji dan syukur ke hadirat Allah Bapa atas kasih karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ’Pemanfaatan Jahe (Zingiber officinale Rosc.) dan Teh Hijau (Camellia sinensis) dalam Pembuatan Selai Rendah Kalori dan Sumber Antioksidan’ yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Lilik Kustiyah, MSi. selaku dosen pembimbing atas masukan, dukungan, nasehat, dan bimbingan yang telah diberikan. 2. Prof. Dr. Ir. Faisal Anwar, MS. selaku dosen pemandu seminar atas masukan dan sarannya. 3. Dr. Ir. Budi Setiawan, MS. selaku dosen penguji atas masukan dan perbaikan yang diberikan untuk kesempurnaan karya tulis ini. 4. Papa (Alm.), mama, adik, om dan tante Sianti, serta seluruh keluarga besar atas doa, dukungan, dan kasih sayang yang tiada henti. 5. Pak Mashudi atas bantuan, masukan, saran, dan motivasi yang telah diberikan, serta kepada Bu Rizky dan Bu Nina. 6. Pak Ugan dan Mas Rena atas bantuan dalam masalah akademik. 7. Teman-teman MP, khususnya Tintin, Nana, Nining, Mulki, dan Intan atas bantuannya. 8. Teman-teman HPT’40 (khususnya Irene) atas kebersamaanya sampai saat ini, serta kepada teman-teman GMSK’40 dan GMSK’41. 9. Teman-teman sekosan (Wisma Srikandi), khususnya Rika, Ursula, Fre, Lusi, dan Retha atas bantuan, dukungan, dan kebersamaan yang kalian berikan. 10. Mbak Nisa atas dukungan, saran dan cerita-cerita yang mengibur penulis. 11. Kak Herold atas buku dan jurnalnya yang sangat membantu penulis dalam menyusun karya tulis ini, tonie atas dukungan yang pernah diberikan dan bantuannya dalam memperbaiki komputer. 12. Semua pihak yang telah memberikan bantuan hingga karya tulis ini selesai. Bogor, Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ........................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................
vi
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................
1
Tujuan ...............................................................................................
3
Kegunaan ..........................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
4
Autooksidasi .....................................................................................
4
Antioksidan Alami .............................................................................
5
Jahe ................................................................................................... Botani dan Morfologi .............................................................. Komposisi Kimia .................................................................... Khasiat Jahe .........................................................................
6 6 7 9
Teh Hijau ..........................................................................................
9
Air ......................................................................................................
12
CMC (Carboxy Methyl Cellulose) ......................................................
13
Sukralosa...........................................................................................
13
Asam ................................................................................................. Asam Benzoat ....................................................................... Asam Sitrat ............................................................................
14 14 16
Selai...................................................................................................
17
METODE ....................................................................................................
19
Waktu dan Tempat ............................................................................
19
Bahan dan Alat ..................................................................................
19
Metode............................................................................................... Penelitian Pendahuluan ......................................................... Penelitian Lanjutan ................................................................
19 19 23
Pengolahan dan Analisis Data ..........................................................
24
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
26
Penelitian Pendahuluan..................................................................... Pembuatan Selai Jahe-Teh Hijau .......................................... Penentuan Formula Selai Jahe-Teh Hijau ............................. Sifat Kimia Selai Jahe-Teh Hijau ........................................... Sifat Fisik Selai Jahe-Teh Hijau ............................................. Mutu Organoleptik Selai Jahe-Teh Hijau ............................... Penentuan Formula (Produk) Terbaik ...................................
26 26 28 30 39 40 49
Penelitian Lanjutan ............................................................................ Kadar Gingerol dan Katekin dalam Selai Jahe-Teh Hijau ..... Perubahan Mutu Selai Selama Penyimpanan ....................... Sifat Kimia Selai Selama Penyimpanan ................................ Sifat Fisik Selai Selama Penyimpanan .................................. Sifat Mikrobiologis Selai Selama Penyimpanan .................... Mutu Organoleptik Selai Selama Penyimpanan ....................
49 49 50 51 56 57 59
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
66
Kesimpulan ........................................................................................
66
Saran ...............................................................................................
67
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
68
LAMPIRAN .................................................................................................
73
DAFTAR TABEL Halaman 1
Komposisi kimia jahe segar per 100 g berat basah...........................
8
2
Komposisi kimia ekstrak teh hijau .....................................................
11
3
Pengaruh pH pada penguraian asam benzoat ..................................
15
4
Komposisi bahan dalam pembuatan selai jahe-teh hijau ..................
30
5
Modus penerimaan panelis terhadap aroma selai.............................
43
6
Modus penerimaan umum panelis terhadap selai jahe-teh hijau ......
49
7
Modus penerimaan panelis terhadap warna selai selama penyimpanan ........................................................................
60
Modus penerimaan panelis terhadap tekstur selai selama penyimpanan ........................................................................
62
8
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Mekanisme autooksidasi ...................................................................
4
2
Struktur bangun senyawa gingerol ....................................................
8
3
Struktur bangun senyawa katekin, epikatekin, dan epikatekin galat .
11
4
Proses ekstraksi teh hijau..................................................................
20
5
Pembuatan selai jahe-teh hijau .........................................................
21
6
Selai jahe-teh hijau yang dihasilkan ..................................................
28
7
Kadar air selai jahe-teh hijau .............................................................
31
8
Nilai pH selai jahe-teh hijau ...............................................................
32
9
Total asam selai jahe-teh hijau ..........................................................
33
10
Kadar serat makanan total selai jahe-teh hijau .................................
34
11
Kadar serat makanan tidak larut selai jahe-teh hijau.........................
35
12
Kadar serat makanan larut selai jahe-teh hijau .................................
36
13
Total energi selai jahe-teh hijau.........................................................
38
14
Viskositas selai jahe-teh hijau ...........................................................
40
15
Persentase penerimaan panelis terhadap warna selai pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau ........................
41
Persentase penerimaan panelis terhadap aroma selai pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau ........................
43
Persentase penerimaan panelis terhadap rasa selai pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau .......................
44
Persentase penerimaan panelis terhadap tekstur selai pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau ........................
46
Persentase penerimaan panelis terhadap daya oles selai pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau ........................
47
Persentase penerimaan umum panelis terhadap selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau ........................
48
21
Selai jahe-teh hijau selama penyimpanan .........................................
51
22
Kadar air selai jahe-teh hijau selama penyimpanan ..........................
52
23
Total asam selai jahe-teh hijau selama penyimpanan.......................
53
24
Nilai pH selai jahe-teh hijau selama penyimpanan ............................
54
25
Nilai Aw selai jahe-teh hijau selama penyimpanan ...........................
55
26
Viskositas selai jahe-teh hijau selama penyimpanan ........................
56
27
Total mikroba selai jahe-teh hijau selama penyimpanan...................
58
28
Persentase penerimaan panelis terhadap warna selai pada berbagai taraf lama penyimpanan ............................................
60
16 17 18 19 20
29 30 31 32
Persentase penerimaan panelis terhadap aroma selai pada berbagai taraf lama penyimpanan ............................................
62
Persentase penerimaan panelis terhadap tekstur selai pada berbagai taraf lama penyimpanan ............................................
63
Persentase penerimaan panelis terhadap daya oles selai pada berbagai taraf lama penyimpanan ............................................
64
Persentase penerimaan umum panelis terhadap selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf lama penyimpanan ............................................
65
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Kuesioner organoleptik selai jahe-teh hijau ..........................................
73
2
Kuesioner organoleptik selai jahe-teh hijau selama penyimpanan.......
75
3
Prosedur analisis sifat kimia, fisik, dan mikrobiologis selai ..................
77
4
Hasil uji Kruskal Wallis terhadap warna selai .......................................
81
5
Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik warna selai ................
81
6
Hasil uji Kruskal Wallis terhadap aroma selai.......................................
81
7
Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik aroma selai ................
82
8
Hasil uji Kruskal Wallis terhadap rasa selai ..........................................
82
9
Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik rasa selai ...................
82
10 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap tekstur selai ......................................
83
11 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik tekstur selai ...............
83
12 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap daya oles selai .................................
83
13 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik daya oles selai ...........
84
14 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap penerimaan umum selai ...................
84
15 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap warna selai selama penyimpanan ....
84
16 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik warna selai selama penyimpanan ........................................................................................
85
17 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap aroma selai selama penyimpanan ...
85
18 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik aroma selai selama penyimpanan ........................................................................................
85
19 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap tekstur selai selama penyimpanan ...
86
20 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik tekstur selai selama penyimpanan ........................................................................................
86
21 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap daya oles selai selama penyimpanan
86
22 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik daya oles selai selama penyimpanan ........................................................................................
87
23 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap penerimaan umum selai selama penyimpanan ........................................................................................
87
24 Hasil sidik ragam kadar air selai jahe-teh hijau ....................................
87
25 Hasil sidik ragam pH selai jahe-teh hijau..............................................
87
26 Hasil sidik ragam total asam selai jahe-teh hijau..................................
88
27 Hasil sidik ragam serat makanan total selai jahe-teh hijau...................
88
28 Hasil sidik ragam serat makanan tidak larut selai jahe-teh hijau ..........
88
29 Hasil sidik ragam serat makanan larut selai jahe-teh hijau ..................
88
30 Hasil sidik ragam total energi selai jahe-teh hijau ................................
88
31 Hasil sidik ragam viskositas selai jahe-teh hijau...................................
88
32 Hasil sidik ragam kadar air selai selama penyimpanan........................
89
33 Hasil sidik ragam total asam selai selama penyimpanan .....................
89
34 Hasil sidik ragam pH selai selama penyimpanan .................................
89
35 Hasil sidik ragam nilai Aw selai selama penyimpanan .........................
89
36 Hasil sidik ragam viskositas selai selama penyimpanan ......................
89
37 Hasil sidik ragam total mikroba selai selama penyimpanan .................
90
38 Hasil analisis kadar gingerol .................................................................
91
39 Hasil analisis kadar katekin ..................................................................
95
PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman jahe merupakan salah satu tanaman rempah-rempah yang tumbuh baik dan tersebar luas di wilayah Indonesia. Jahe (Zingiber officinale Rosc.) termasuk komoditas yang diperdagangkan secara luas di dunia. Masyarakat Indonesia umumnya telah mengenal dan memanfaatkan jahe untuk berbagai kepentingan, misalnya sebagai campuran bahan makanan dan minuman mulai dari tingkat tradisional sampai tingkat modern. Adanya peningkatan
kebutuhan
masyarakat
terhadap
jahe,
maka
perlu
dibuat
penganekaragaman produk olahannya. Jahe yang mengandung senyawa antioksidan digunakan sebagai bahan obat tradisional untuk penanggulangan maupun pengobatan beberapa penyakit, misalnya radang tenggorokan, demam, gangguan lambung, dan kurang darah. Jahe mengandung senyawa gingerol yang mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi. Menurut Rajalakshmi dan Narasimhan (1996), gingerol dari ekstrak jahe mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada α-tokoferol. Gingerol sebagai komponen bioaktif utama dalam jahe merupakan senyawa yang tahan panas (Zakaria, Wiguna & Hartoyo 1999), sehingga jahe dapat dikembangkan menjadi berbagai macam produk olahan selain dibuat minuman. Teh merupakan minuman fungsional yang berguna bagi kesehatan karena mengandung senyawa antioksidan serta vitamin dan mineral. Berdasarkan pengolahannya, teh dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu teh hijau, teh oolong, dan teh hitam. Teh hijau adalah teh yang berasal dari pucuk daun teh yang pembuatannya tidak melalui proses fermentasi sehingga warnanya masih hijau dan masih mengandung tanin (katekin) yang relatif tinggi. Katekin merupakan substansi utama pada teh yang menyebabkan teh memenuhi persyaratan sebagai minuman fungsional. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi teh berperan dalam menurunkan resiko penyakit kanker. Hal ini dikarenakan senyawa antioksidan dalam teh yakni katekin mampu mencegah kerusakan DNA oleh radikal bebas (Pambudi 2000). Masyarakat mulai menyadari akan pentingnya kualitas hidup yang tinggi. Oleh karena itu, masyarakat dewasa ini dalam mengkonsumsi makanan tidak hanya menilai dari lezat tidaknya suatu produk makanan saja, tetapi juga mempertimbangkan kandungan gizi dan pengaruh makanan tersebut terhadap
kesehatan. Hal ini dapat dilihat dari semakin meningkatnya permintaan masyarakat terhadap produk pangan yang mempunyai klaim gizi dan kesehatan, seperti produk pangan rendah kalori, tinggi zat antioksidan, dan sebagainya. Selain itu, perhatian masyarakat terhadap antioksidan alami semakin meningkat karena dianggap lebih baik daripada antioksidan sintetik, khususnya ditinjau dari keamanan pangan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rempah-rempah dan tanaman herbal mempunyai aktivitas antioksidan, contohnya jahe dan teh hijau yang mengandung senyawa antioksidan alami (Fardiaz et al. 1992). Jahe dan teh hijau yang memiliki khasiat bagi kesehatan karena mengandung senyawa antioksidan seharusnya dikembangkan menjadi berbagai macam produk olahan, salah satunya dengan pembuatan selai jahe-teh hijau. Selai jahe-teh hijau merupakan selai modifikasi, yaitu produk pangan menyerupai selai yang dibuat dari campuran bubur jahe dan ekstrak teh hijau tanpa adanya kandungan gula dan pektin, sehingga pembentukan gel dalam produk ini dibantu oleh hidrokoloid (bahan pembentuk gel). Selai sebagai makanan komplementer dari roti sudah menjadi produk pangan yang umum dikonsumsi di kalangan masyarakat, karena roti dengan olesan selai banyak dikonsumsi oleh masyarakat untuk sarapan ataupun untuk kudapan. Menurut Imeson (1992), permintaan roti akan meningkat setiap tahunnya dan peningkatan permintaan terhadap roti diperkirakan akan meningkatkan permintaan terhadap selai. Agar selai jahe-teh hijau dapat dikonsumsi oleh siapa saja, terutama bagi orang yang menderita penyakit diabetes mellitus dan bagi orang yang sedang menjalani diet energi rendah, maka dalam pembuatan selai ini ditambahkan pemanis buatan yang bebas kalori, yaitu sukralosa. Sukralosa yang digunakan sebagai bahan pemanis pada selai jahe-teh hijau berfungsi untuk menggantikan sukrosa (gula pasir) yang biasanya digunakan dalam pembuatan selai pada umumnya, dimana sukrosa mengandung kalori yang tinggi sedangkan sukralosa merupakan pemanis tanpa nilai kalori. Sukralosa mempunyai tingkat kemanisan yang tinggi, yaitu 600 kali kemanisan gula (Subagio 2007), sehingga jumlah sukralosa yang diperlukan untuk mencapai tingkat kemanisan yang diinginkan sangat sedikit. Jahe dan teh hijau sebagai bahan utama dalam pembuatan selai dan penggunaan sukralosa sebagai bahan pemanis akan menghasilkan selai dengan kandungan senyawa antioksidan dan rendah kalori. Pembuatan selai jahe-teh hijau diharapkan dapat menambah keragaman pangan yang memiliki manfaat
bagi kesehatan, yaitu khasiat jahe dan teh hijau dalam mencegah beberapa penyakit karena mengandung senyawa antioksidan serta dapat memberikan alternatif pilihan makanan terhadap diet dan penderita penyakit tertentu. Tujuan Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pembuatan selai jahe-teh hijau rendah kalori dan sumber antioksidan. Tujuan Khusus 1. Mempelajari pembuatan selai jahe-teh hijau dengan proporsi jahe dan ekstrak teh hijau yang optimal. 2. Mempelajari pengaruh proporsi jahe : ekstrak teh hijau terhadap sifat kimia dan fisik selai jahe-teh hijau. 3. Mempelajari pengaruh proporsi jahe : ekstrak teh hijau terhadap daya terima selai jahe-teh hijau. 4. Menganalisis kadar senyawa antioksidan (gingerol dan katekin) yang terkandung dalam selai jahe-teh hijau terbaik. 5. Mempelajari pengaruh lama penyimpanan terhadap sifat kimia, fisik, dan mikrobiologis selai jahe-teh hijau. 6. Mempelajari pengaruh lama penyimpanan terhadap daya terima selai jahe-teh hijau. Kegunaan Penelitian masyarakat
ini
mengenai
diharapkan
dapat
pemanfaatan
jahe
memberikan dan
teh
informasi hijau
yang
kepada dapat
dikembangkan menjadi produk selai rendah kalori dan sumber antioksidan yang aman dikonsumsi bagi orang yang sedang menjalani diet tertentu atau menderita penyakit tertentu. Produk ini juga diharapkan dapat digunakan sebagai alternatif produk pangan yang memiliki khasiat bagi kesehatan.
TINJAUAN PUSTAKA Autooksidasi Radikal bebas adalah suatu atom karbon yang kehilangan atom hidrogen karena disingkirkan oleh suatu kuantum energi dan letaknya di sebelah atom karbon lain yang mempunyai ikatan rangkap. Senyawa radikal yang terdapat di dalam tubuh bukan hanya berasal dari luar tubuh, tetapi juga berasal dari dalam tubuh sebagai hasil metabolisme zat gizi yang normal (Deshpande, Deshpande & Salunkhe 1996). Radikal bebas yang dihasilkan secara in vivo (superoxide radicals, singlet oxygen, hydrogen peroxide, lipid peroxide, hypochlorous acid, alkoxyl radicals, peroxyl radicals, nitric oxide, nitrogen dioxide, peroxynitrite, nitrous oxide, dan hydroxyl radicals) merusak lipid, protein, DNA, dan molekulmolekul kecil. (Aggarwal, Ahmad & Mukhtar 2002). Timbulnya senyawa radikal dalam tubuh (prooksidan) dalam proses fisiologis
akan
diimbangi
oleh
mekanisme
pertahanan
tubuh
dengan
menggunakan senyawa yang mempunyai kemampuan sebagai anti radikal bebas (antioksidan). Senyawa ROS (Spesies Oksigen Reaktif) memberikan efek merusak bila keseimbangan antara oksidan dan antioksidan terganggu. Keseimbangan ini tergantung pada konsumsi pangan yang mengandung asamasam amino esensial dalam jumlah yang diperlukan untuk sintesis protein, vitamin-vitamin antioksidan (vitamin A, B2, C, dan E), serta zat-zat gizi lain yang diperlukan, misalnya untuk sintesis berbagai kofaktor enzim-enzim seperti glutation tereduksi dan antioksidan oligoelemen (tembaga, seng, dan selenium) yang dapat mendegradasi senyawa-senyawa ROS (Muchtadi et al. 2001). Reaksi autooksidasi lemak seperti reaksi berantai lainnya. Mekanisme reaksinya terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap inisiasi (terjadi pembentukan radikal bebas), tahap propagasi (radikal bebas diubah menjadi radikal yang lain), dan tahap terminasi (terjadi penggabungan dua radikal membentuk formasi yang stabil). Mekanisme autooksidasi tersebut disajikan pada Gambar 1. Inisiasi
Propagasi
ROOH
→
ROO* + H*
ROOH
→
RO* + OH*
2 ROOH
→
RO* + H2O + ROO*
R* + O2
→
ROO*
ROO* + R’H
→
ROOH + R’*
Terminasi
ROO* + R’OO* →
ROOR’ + O2
RO* + R’
ROR’
→
Gambar 1 Mekanisme autooksidasi (Gordon 1990) Tahap inisiasi dapat terjadi karena reaksi langsung antara molekul lipida dengan katalis logam atau karena dekomposisi hidroperoksida. Ikatan O-O di dalam hidroperoksida bersifat relatif lemah, sehingga logam dapat mengkatalis dekomposisi
hidroperoksida
menghasilkan
radikal
bebas.
Radikal
lipida
mempunyai spesies yang sangat reaktif sehingga dapat bereaksi dengan molekul lipida lain atau dengan triplet oksigen membentuk radikal yang baru. Tahap propagasi berjalan sangat cepat, dimana radikal yang terbentuk dapat bereaksi dengan lipida lagi membentuk hidroperoksida yang kemudian dapat mengambil bagian dalam tahap inisiasi. Pada akhirnya terjadi reaksi terminasi yang ditandai oleh rendahnya konsentrasi radikal-radikal (Gordon 1990). Antioksidan Alami Bahan pangan mengandung senyawa-senyawa yang mempunyai sifat sebagai antioksidan. Menurut Bellville dan Nabet (1996), diacu dalam Muchtadi et al. (2001), antioksidan alami yang terdapat dalam bahan pangan dapat diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu : 1. Tergolong zat gizi : vitamin A dan karotenoid, vitamin E, vitamin C, vitamin B2, seng (Zn), tembaga (Cu), selenium (Se), dan protein. 2. Tergolong zat non gizi : biogenik amin; senyawa fenol misalnya tirosol, hidroksitirosol, valilin, asam vanilat, gingerol, zingeron; senyawa polifenol misalnya flavonoid, flavon, flavonol, biflavonoid; tanin misalnya asam galat, asam elagat, proantosianin; dan komponen tetrapirolik misalnya klorofil dan feofitin. Sebagian besar rempah-rempah yang biasa digunakan sebagai flavor makanan merupakan sumber senyawa fenol yang menunjukkan aktivitas antioksidan yang baik (Zheng & Wang 2001, diacu dalam Hinneburg, Dorman & Hiltunen 2006). Wang et al. (1996), diacu dalam Kaur dan Kapoor (2002) mengemukakan bahwa aktivitas antioksidan sebagian besar berasal dari senyawa seperti flavonoids, isoflavone, flavones, anthocyanin, catechin, dan isocatechin daripada dari vitamin C, vitamin E, dan β-karoten.
Aktivitas antioksidan dari senyawa fenol terutama disebabkan oleh sifat redoksnya yang memungkinkan fenol berfungsi sebagai senyawa pereduksi, pendonor hidrogen, pengikat logam, dan singlet oxygen quenchers (Rice-Evans et al. 1997, diacu dalam Kaur & Kapoor 2002). Mekanisme kerja antioksidan yang mempunyai gugus fenol adalah dengan cara berintegrasi dengan radikal bebas yang terdapat dalam sistem. Reaksi ini terjadi jika radikal antioksidan yang dihasilkan cukup stabil atau secara sterik dicegah dari reaksi berikutnya, sehingga tidak merupakan inisiator bagi reaksi berikutnya (Renney 1979, diacu dalam Fardiaz et al. 1992). Antioksidan fenolik seringkali kehilangan aktivitasnya pada konsentrasi yang tinggi bahkan dapat bertindak sebagai prooksidan dengan melibatkan diri dalam reaksi inisiasi (Gordon 1990). Antioksidan dari rempah-rempah dan tanaman herbal mempunyai aplikasi potensial yang luas dengan efektifitas yang berbeda pada substrat dan pelarut yang berbeda. Penggunaan kombinasi antioksidan alami telah terbukti mampu meningkatkan aktivitas antioksidan dibandingkan bila dipergunakan secara terpisah (Junita et al. 2001). Jahe Botani dan Morfologi Tanaman jahe (Zingiber officinale Rosc.) termasuk dalam famili temutemuan. Berdasarkan taksonomi tanaman, jahe termasuk divisi Pteridophyta, subdivisi Angiosperma, kelas Monocotyledoneae, ordo Scitamineae, famili Zingiberaceae, dan genus Zingiber. Jahe merupakan tanaman berbatang semu, tinggi 30 cm sampai dengan 1 m, tegak, tidak bercabang, tersusun atas lembaran pelepah daun, berbentuk bulat, berwarna hijau pucat dengan warna pangkal batang kemerahan. Akar jahe berbentuk bulat, ramping, berserat, berwarna putih sampai coklat terang. Tanaman ini berbunga majemuk berupa malai muncul di permukaan tanah, berbentuk tongkat atau bulat telur yang sempit, dan sangat tajam (Wardana et al. 2002). Tanaman jahe membentuk rimpang yang ukurannya tergantung pada jenisnya. Bentuk rimpang pada umumnya gemuk agak pipih dan tampak berbuku-buku Rimpang jahe berkulit agak tebal yang membungkus daging rimpang, dimana kulitnya mudah dikelupas (Rismunandar 1988). Jahe dapat dibudidayakan terutama pada daerah tropis dengan ketinggian tempat 0-1.700 m di atas permukaan laut. Umumnya jahe ditanam pada daerah
dengan curah hujan 2.500-4.000 mm. Iklim ideal yang dikehendaki tanaman jahe adalah panas sampai sedang. Tanaman jahe memerlukan tanah yang mudah diolah, gembur, banyak mengandung bahan organik atau humus, dan subur (Wardana et al. 2002). Adapun kisaran suhu optimum untuk pertumbuhan jahe adalah 25-300C dan tingkat keasaman (pH) optimumnya adalah 6,8-7,0 (Herlina et al. 2004). Jahe ada tiga jenis berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya, yaitu jahe putih atau kuning sering juga disebut jahe badak atau jahe gajah, jahe putih kecil atau emprit, dan jahe merah. Menurut Koswara (1995), jahe badak atau jahe gajah mempunyai aroma dan rasa yang kurang tajam serta kandungan minyak atsirinya rendah. Umumnya jahe jenis ini digunakan dalam keadaan segar, dikeringkan menjadi jahe kering, sebagai sayur, acar, dan manisan. Jahe putih kecil mempunyai kadar minyak atsiri relatif tinggi dan kandungan resinnya cukup besar sehingga rasanya tajam, umumnya digunakan untuk pembuatan atau isolasi minyak atsiri dan oleoresin. Sementara jahe merah mempunyai rasa dan aroma yang tajam dan kandungan minyak atsirinya tinggi, umumnya digunakan sebagai obat. Komposisi Kimia Komposisi kimiawi rimpang jahe menentukan tinggi rendahnya nilai aroma dan pedasnya rimpang jahe. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi komposisi kimiawi rimpang jahe antara lain jenisnya, umur rimpang jahe saat dipanen, perlakuan terhadap hasil rimpang setelah panen, dan pengolahan rimpang jahe (Rismunandar 1988). Komposisi kimia jahe segar per 100 g berat basah dapat dilihat pada Tabel 1. Minyak atsiri jahe termasuk jenis minyak yang mudah menguap dan merupakan suatu komponen yang memberi bau harum khas jahe. Minyak atsiri jahe terdiri dari zingiberol, zingiberen, n-nonyl aldehida, d-camphen, d-bphellandren, methyl heptanon, sineol, stral, borneol, linalool, asetat, kaprilat, phenol, dan chavicol. Jahe juga mengandung oleoresin yang lebih banyak mengandung komponen-komponen non volatil yang merupakan zat pembentuk rasa pedas pada jahe. Umumnya oleoresin jahe tersusun oleh gingerol, zingeron, shogaol, dan resin. Semakin tua umur rimpang jahe, semakin besar pula kandungan oleoresinnya (Koswara 1995).
Tabel 1 Komposisi kimia jahe segar per 100 g berat basah (Koswara 1995) Komponen Kadar Energi (KJ) 184,0 Protein (g) 1,5 Lemak (g) 1,0 Karbohidrat (g) 10,1 Serat kasar (g) 7,53 Total abu (g) 3,70 Vitamin A (SI) 30 Thiamin (mg) 0,02 Niasin (mg) 0,8 Vitamin C (mg) 4 Kalsium (mg) 21 Magnesium (mg) Natrium (mg) 6,0 Kalium (mg) 57,0 Besi (mg) 4,3 Fosfor (mg) 39 Seng (mg) Rimpang jahe beraroma harum dan berasa pedas karena adanya komponen 6-gingerol dan 6-shogaol yang memiliki aktivitas antioksidan. Pada rimpang jahe segar, gingerol merupakan komponen aktif terbesar dan [6]gingerol sebagai unsur dengan jumlah terbanyak dalam senyawa gingerol (Govindarajan 1982, diacu dalam Bhattarai, Tran & Duke 2001). Adapun struktur bangun senyawa gingerol dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2 Struktur bangun senyawa gingerol Reaksi-reaksi perubahan gingerol menjadi senyawa-senyawa lain yang kurang pedas terjadi selama proses pengeringan jahe ataupun ekstraksi oleoresinnya. Gingerol akan berubah menjadi zingeron pada pemanasan di atas 2000C melalui reaksi retroaldol dengan membentuk senyawa aldehid alifatik. Reaksi lain yang dapat merusak gingerol adalah reaksi dehidrasi yang menghasilkan shogaol. Reaksi ini berlangsung cepat sekali dalam suasana alkalis pada suhu kamar, sedangkan dalam suasana asam lambat sekali, tetapi pada suhu yang lebih tinggi akan berlangsung lebih cepat (Purseglove et al. 1979). Untuk penyimpanan jangka pendek, gingerol relatif stabil tanpa adanya katalis seperti
asam atau basa kuat. Gingerol paling stabil pada pH 4 dan pada suhu 370C (Bhattarai, Tran & Duke 2001). Gingerol,
shogaol,
dan
zingeron
dilaporkan
mempunyai
aktivitas
antioksidan yang tinggi (Yanishlieva, Sofia & Heinonen 2001). Penelitian terbaru mengenai ekstrak jahe menunjukkan bahwa gingerol, shogaol, zingeron, dan diarilheptanoid mempunyai aktivitas antioksidan yang lebih tinggi daripada αtokoferol (Rajalakshmi & Narasimhan 1996). Aktivitas antioksidan senyawa gingerol dimulai pada konsentrasi 50 sampai 200 μM. Pada konsentrasi 50 μM, aktivitas antioksidan 6-gingerol lebih kecil dari 6-shogaol dan 6-gingerdiol (Kikuzaki & Nakatani 1993). Menurut Lee et al. (1992), diacu dalam Yusuf (2002), komponen jahe cukup stabil terhadap efek pemanasan, dimana aktivitas antioksidan pada jahe masih dua pertiganya setelah pemanasan 1000C. Gingerol sebagai komponen bioaktif utama dalam jahe merupakan senyawa yang tahan panas sehingga produk dari jahe tidak selalu harus berupa minuman. Bentuk produk lain yang menggunakan jahe juga dapat memberikan khasiat yang sama, yang penting adalah jumlahnya harus cukup banyak untuk mampu bekerja (Zakaria, Wiguna & Hartoyo 1999). Khasiat Jahe Rhizoma jahe efektif untuk pengobatan nausea, salah pencernaan, kehilangan nafsu makan, dan pencegahan gejala motion sickness. Jahe meningkatkan sekresi saliva dan cairan lambung serta meningkatkan gerak peristaltik saluran pencernaan. Aktivitas jahe tersebut disebabkan oleh minyak volatilnya yang mengandung sesquiterpenes zingiberene dan bisabolene serta gingerol. Jahe mempunyai kegunaan untuk pengobatan karminatif, antiemetik, antinausea, dan anti-inflammatory. [6]-gingerol memiliki aktivitas analgesik, antipiretik, gastroprotektif, kardiotonik, dan antihepatotoksik. Gingerol juga mempunyai efek penghambatan yang potensial pada biosintesis prostaglandin (Kiuchi et al. 1982, diacu dalam Bhattarai, Tran & Duke 2001). Teh Hijau Tanaman teh termasuk dalam genus Camellia, famili Theaceae. Tanaman teh tumbuh di daerah tropis dan subtropis dengan curah hujan sepanjang tahun tidak kurang dari 1500 mm. Tanaman ini memerlukan kelembaban tinggi dan suhu udara antara 13-29,50C. Oleh karena itu, tanaman ini tumbuh baik di dataran tinggi dan pegunungan yang berhawa sejuk (Sutejo 1972). Ada dua
varietas yang ditemukan dalam Camellia sinensis, yaitu varietas sinensis dan varietas assamica. Berdasarkan pengolahannya, teh dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu teh hijau (tidak mengalami fermentasi), teh oolong (semi fermentasi), dan teh hitam (fermentasi penuh). Teh hijau adalah jenis teh tanpa fermentasi yang proses pengolahannya terdiri dari tiga tahap, yaitu pemanasan, penggulungan, dan pengeringan. Tahap pemanasan berupa pelayuan daun dengan cara penguapan maupun penyangraian. Kandungan katekin dalam teh hijau tidak boleh mengalami perubahan akibat terjadinya oksidasi enzimatis sebelum maupun
selama
proses
pengolahan.
Oleh
karena
itu
perlu
dilakukan
penginaktifan enzim polifenol oksidase dengan cara memanaskan daun teh pada proses pelayuan. Suhu yang digunakan berkisar antara 250-3000C selama 10-15 menit dengan pengadukan 4-5 kali per menit agar daun tidak hangus. Proses pelayuan juga dapat mengurangi kadar air sampai sekitar 60-70% dan menyiapkan daun untuk digulung. Proses penggulungan bertujuan untuk membentuk mutu secara fisik dan harus segera dilakukan setelah proses pelayuan. Sementara proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air, memekatkan cairan sel daun, serta memperbaiki bentuk gulungan (Takeo 1992). Ketiga jenis teh (teh hijau, teh oolong, dan teh hitam) mempunyai perbedaan yang cukup berarti dalam kandungan polifenolnya walaupun berasal dari tanaman yang sama (Camellia sinensis)
karena perbedaan cara
pengolahan. Kandungan polifenol sebagai senyawa antioksidan tertinggi terdapat pada teh hijau, kemudian teh oolong, lalu disusul teh hitam. Teh hijau mengandung lebih dari 36% polifenol yang memberikan rasa sepat dan pahit, walaupun jumlah ini masih dipengaruhi oleh cuaca, jenis tanah, varietas, dan tingkat kemasakan (Sibuea 2003). Komposisi kimia dari daun teh menurut Robertson (1992) dapat dilihat pada Tabel 2. Daun teh mengandung polifenol terutama flavan-3-ols (katekin, epikatekin, dan turunan galatnya) dalam jumlah 20-30% berat kering (Goldberg 2003). Senyawa polifenol berperan sebagai penangkap radikal bebas hidroksil sehingga tidak mengoksidasi lemak, protein, dan DNA dalam sel. Kemampuan polifenol menangkap radikal bebas 100 kali lebih efektif dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih efektif dari vitamin E. Katekin teh mengalami banyak perubahan kimia seperti oksidasi dan epimerisasi saat proses pengolahan dan penyeduhan. Perubahan ini mengurangi kadar antioksidan pada teh (Rohdiana 2006).
Tabel 2 Komposisi kimia pucuk muda daun teh (Robertson 1992) Komponen % berat kering (bk) Karbohidrat 4 Polisakarida Pati 2-5 Lainnya 12 Selulosa 7 Lignin 6 Protein 15 Lemak 3 Abu 5 Asam amino Teanin 2 Lainnya 2 Asam organik 0,5 Kafein 3-4 Komponen volatil 0,01 Asam fenolik Teogalin 2 Lainnya 2 Leukoantosianin 2-3 Flavanol Epigalokatekin galat 9-13 Epigalokatekin 3-6 Epikatekin galat 3-6 Epikatekin 1-3 Galokatekin 1-2 Katekin 1-2 Flavanol dan glikosidanya 3-4 Adanya katekin mengindikasikan bahwa ekstrak teh mempunyai aktivitas antioksidan. Matsuzaki dan Hara (1985), diacu dalam Shahidi dan Naczk (1995) melaporkan efisiensi antioksidatif katekin yang diisolasi dari daun teh hijau. Ekstraknya mengandung epikatekin (EC), epigalokatekin (EGC), epikatekin galat (ECg), dan epigalokatekin galat (EGCg). Aktivitas katekin dalam sistem model adalah : EC < ECg < EGC < EGCg. Adapun struktur bangun senyawa katekin, epikatekin, dan epikatekin galat dapat dilihat pada Gambar 3.
Katekin
Epikatekin
Epikatekin galat
Gambar 3 Struktur bangun senyawa katekin, epikatekin, dan epikatekin galat Beberapa studi epidemiologi menunjukkan konsumsi teh hijau dapat menurunkan kolesterol darah dan tekanan darah serta memberikan perlindungan terhadap penyakit kardiovaskular. Hal ini mungkin disebabkan oleh kapasitas katekin teh hijau dan galat ester untuk menurunkan absorpsi kolesterol dalam usus. Katekin pada daun teh hijau juga menghambat oksidasi LDL. Ekstrak teh hijau secara signifikan menghambat leukemia dan sel tumor hati (Craig 2001). Menurut Kajimoto et al. (2005), katekin teh hijau mempunyai pengaruh dalam penurunan lemak tubuh dan dinilai aman bagi kesehatan pria dan wanita dewasa untuk intik jangka panjang. Idealnya, setiap orang mengkonsumsi minimal 125 mg katekin per hari yang diperoleh dari 5 g teh hijau (Rohdiana 2006). Air Air berfungsi sebagai bahan yang dapat mendispersikan berbagai senyawa yang ada dalam makanan. Air dapat melarutkan berbagai bahan seperti garam, vitamin yang larut dalam air, mineral, dan senyawa citarasa (Winarno 1997). Air yang digunakan dalam industri pangan pada umumnya harus mempunyai syaratsyarat, antara lain tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa, jernih,
tidak mengandung besi dan mangan, serta dapat diterima secara bakteriologis (tidak mengganggu kesehatan dan tidak menyebabkan kebusukan bahan pangan yang diolah). Air yang tidak jernih dapat mengganggu warna, aroma, dan rasa yang tidak diinginkan pada produk hasil olahannya (Winarno, Fardiaz & Fardiaz 1973). CMC (Carboxy Methyl Cellulose) Carboxy Methyl Cellulose merupakan polisakarida linear, berantai panjang, larut dalam air, anionik, dan merupakan gum alami yang dimodifikasi secara kimia. CMC merupakan turunan selulosa yang sering dipakai dalam industri pangan untuk meningkatkan sifat fisik, sifat instan apabila diapikasikan pada substrat yang mudah larut, dan viskositas produk tanpa memberikan kontribusi kalori. CMC yang telah dimurnikan berwarna putih hingga kuning muda, tidak berasa, tidak berbau, dan bubuknya mengalir bebas. CMC murni yang digunakan sebagai bahan untuk makanan sering disebut gum selulosa dan yang banyak digunakan pada industri pangan adalah garam Na-carboxymethylcellulose. Larutan CMC stabil pada pH 4-10, pada pH di bawah 4 terjadi peningkatan viskositas. Kekentalan larutan CMC akan turun jika dipanaskan. Kenaikan konsentrasi CMC dalam larutan akan menyebabkan kenaikan kekentalan. CMC juga berpengaruh terhadap intensitas aroma (Glicksman 1986). CMC bersifat higroskopis, mudah larut dalam air, dan membentuk koloid. CMC memiliki kemampuan memperbaiki dan menstabilkan tekstur, menstabilkan emulsi, mencegah kristalisasi, mencegah retrogradasi, dan mencegah sineresis. Kekentalan larutan CMC dipengaruhi oleh pH karena CMC mempunyai gugus karboksil. Larutan CMC berfungsi maksimum pada pH 5 dan di bawah pH 3 tidak dapat berfungsi karena mengendap (Koswara 1995). Sukralosa Sukralosa adalah triklorodisakarida dengan rumus kimia C12H19Cl3O8. Sukralosa berbentuk kristal berwarna putih; tidak berbau; mudah larut dalam air, metanol, dan alkohol; sedikit larut dalam etil asetat, dan berasa manis seperti gula sukrosa tanpa mempunyai rasa yang tidak diinginkan (after taste). Sukralosa memiliki tingkat kemanisan relatif sebesar 600 kali tingkat kemanisan sukrosa tanpa mempunyai nilai kalori (Anonim 2005). Salah satu keunggulan sukralosa adalah tahan panas sehingga tingkat kemanisan yang diperoleh tidak menurun. Selain itu, karena tingkat kemanisannya yang sangat tinggi, jumlah
sukralosa yang diperlukan untuk mencapai tingkat kemanisan yang diinginkan sangat sedikit (Anonim 2006). Sukralosa merupakan pemanis berintensitas tinggi dari sukrosa, terhidrolisis dalam cairan, tahan terhadap asam dan panas yang tinggi sehingga aplikasinya sangat luas (Subagio 2007). Sukralosa tidak digunakan sebagai sumber energi oleh tubuh karena tidak terurai. Sukralosa tidak dapat dicerna dan langsung dikeluarkan oleh tubuh tanpa perubahan. Hal tersebut menempatkan sukralosa dalam golongan Generally Recognized as Safe (GRAS). Sukralosa tidak menyebabkan karies gigi, perubahan genetik, cacat bawaan, dan kanker. Oleh karena itu, sukralosa sangat bermanfaat sebagai pengganti gula bagi penderita diabetes baik tipe I maupun II. JECFA menyatakan sukralosa merupakan bahan tambahan pangan yang aman untuk dikonsumsi dengan Adequate Daily Intake (ADI) sebanyak 10-15 mg/kg berat badan. CAC mengatur maksimum penggunaan sukralosa pada berbagai produk pangan sebanyak 120-5.000 mg/kg produk (Anonim 2005). Asam Asam terdapat secara alamiah baik dalam bentuk asam organik maupun anorganik. Asam dapat digunakan di dalam makanan maupun di dalam pengolahan pangan dan mempunyai peranan luas. Peranan asam dalam pengolahan pangan antara lain sebagai bahan pengawet karena pengaruhnya terhadap pH dan sifat keracunan yang khas dari asam-asam yang tidak terurai. Asam juga digunakan untuk menambah rasa, untuk mengurangi rasa manis, memperbaiki sifat koloidal dari makanan yang mengandung pektin, memperbaiki tekstur dari jelly dan selai, dan membantu ekstraksi pektin dan pigmen dari buah (Winarno, Fardiaz & Fardiaz 1980). Keasaman (pH) yang rendah mengakibatkan suhu sterilisasi yang dibutuhkan juga akan lebih rendah dan kemungkinan tumbuhnya mikroba berbahaya akan lebih kecil. Adanya gula dan rempahrempah menurunkan kebutuhan akan asam, karena kadar air yang tersedia dalam produk telah diturunkan dan bahan tersebut mempunyai sifat-sifat antimikroorganisme (Buckle et al. 1987). Asam Benzoat Asam benzoat (C6H5COOH) merupakan bahan pengawet yang luas penggunaannya. Menurut Winarno, Fardiaz dan Fardiaz (1980), asam benzoat kurang kelarutannya di dalam air. Oleh karena itu lebih sering digunakan dalam bentuk garamnya, yaitu natrium benzoat. Bentuk natrium benzoat lebih efektif
dalam medium asam daripada medium netral. Natrium benzoat merupakan kristal putih yang dapat ditambahkan secara langsung ke dalam makanan atau dilarutkan terlebih dahulu di dalam air atau pelarut-pelarut lainnya. Garam benzoat dalam bahan terurai menjadi bentuk efektif, yaitu bentuk asam benzoat yang tidak terdisosiasi (Belitz & Grosch 1999). Asam benzoat dalam keadaan tidak terdisosiasi mudah masuk ke dalam sel dan di dalam sel akan terdisosiasi menjadi ion H+ dan radikal asam. Ion H+ tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ion di dalam sel mikroba sehingga mikroba akan berusaha mengeluarkannya. Untuk mengeluarkan ion H+ tersebut diperlukan energi dalam jumlah besar sehingga mikroba akan kekurangan energi untuk pertumbuhannya (Fardiaz, Suliantari & Dewanti 1988). Aktivitas optimum asam benzoat pada kisaran pH 2,5-4,0 dengan konsentrasi maksimum adalah 0,1%. Asam benzoat efektif melawan bakteri dalam media asam pada konsentrasi 0,1% dan dapat mencegah pertumbuhan kapang dan khamir. Bakteri penyebab keracunan makanan dan bakteri pembentuk spora umumnya dihambat dengan konsentrasi asam benzoat tidak terdisosiasi sebesar 0,01-0,02%, tetapi bakteri pembusuk kebanyakan lebih resisten (Chipley 1993). Menurut Desrosier (1988), benzoat efektif terhadap kapang dan khamir daripada bakteri pada konsentrasi ≤ 0,1%. Bila produk mengalami kontaminasi mikroba rendah, maka penggunaan asam benzoat sangat efektif bahkan sampai pada konsentrasi 0,05%. Produk yang mengandung benzoat jika dikombinasikan dengan penyimpanan dingin (32°F) dapat dipertahankan dalam kondisi yang acceptable selama 1 bulan atau 6 minggu. Benzoat pada konsentrasi 0,1% dalam bahan pangan dapat menghasilkan rasa pedas yang tidak diinginkan. Hal ini terutama dirasakan pada produk berbasis sari buah yang ditambah benzoat. Pengaruh pH pada penguraian asam benzoat terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Pengaruh pH pada penguraian asam benzoat (Buckle et al. 1987) pH Asam benzoat yang tidak terurai (%) 3 94 4 60 5 13 6 1,5 7 0,15 Asam benzoat sering digunakan dalam kombinasi dengan bahan pengawet lainnya, dan aktivitasnya yang tinggi pada pH asam digunakan untuk
pengawetan bahan pangan asam (pH 4-4,5 atau lebih rendah) (Belitz & Grosch 1999). US FDA (United States Food and Drug Administration) menggolongkan natrium benzoat ke dalam bahan tambahan makanan yang umumnya dikenal aman (GRAS) dan mengijinkan batas penggunaan natrium benzoat sebesar 0,1%. Adapun batas penggunaan benzoat di Indonesia pada produk selai sebesar 1000 mg/kg (Fardiaz, Suliantari & Dewanti 1988). Intik harian sebanyak < 0,5 g natrium benzoat diperbolehkan untuk manusia. Akumulasi asam benzoat dalam tubuh tidak berbahaya pada dosis tetap sebanyak 4 g/hari. Asam benzoat dikeluarkan dari tubuh melalui ekskresi dalam urine sebagai asam hipurat, bahkan pada intik yang tinggi, turunan asam glukuronat juga diekskresikan (Belitz & Grosch 1999). Asam Sitrat Asam sitrat dengan rumus molekul C6H8O7 adalah asam trikarboksilat berbentuk kristal atau serbuk putih. Asam sitrat merupakan asam organik kuat yang memiliki sifat-sifat kimia antara lain mudah larut dalam air, kelarutannya dalam alkohol sedang, dan sedikit larut dalam eter (Branen, Davidson & Salminen 1990). Asam sitrat banyak digunakan pada makanan sebagai asidulan atau zat pengasam. Asidulan dapat bertindak sebagai penegas rasa dan warna atau menyelubungi after taste yang tidak disukai. Sifat asam senyawa ini dapat mencegah pertumbuhan mikroba dan bertindak sebagai bahan pengawet. Keasaman (pH) rendah buffer yang dihasilkannya mempermudah proses pengolahan. Salah satu tujuan utama penambahan asam pada makanan adalah untuk memberikan rasa asam karena asam dapat mengintensifkan penerimaan rasa-rasa lain. Unsur yang menyebabkan rasa asam adalah ion H+ atau ion H3O+ (Winarno 1997). Asam sitrat digunakan dalam industri makanan karena kelarutannya yang tinggi, memberi rasa asam yang enak, dan tidak bersifat racun. Asam sitrat di dalam selai digunakan untuk membantu mengatur pH terutama untuk buahbuahan yang tidak mengandung asam yang cukup sehingga diperoleh pH yang diinginkan. Asam sitrat mencegah kristalisasi gula, sebagai penjernih gel yang dihasilkan, dan berperan sebagai sumber ion hidrogen yang akan memperkuat struktur gel (Naidu 2000). Penggunaan asam sitrat juga memberikan rasa dan aroma yang sangat penting pada selai, mempertahankan kemanisan, menekan pencoklatan buah atau mencegah pecoklatan nonenzimatik, dan sebagai
komponen sinergis antioksidan (Belitz & Grosch 1999). Adapun batas penggunaan asam sitrat pada makanan seperti jam, jelly, dan marmalade sesuai keperluan atau secukupnya (Sulaeman 1990). Selai Selai adalah bahan pangan setengah padat yang dibuat dari campuran tidak kurang dari 45 bagian berat zat penyusun dan 55 bagian berat gula. Campuran ini dikentalkan sampai mencapai total padatan terlarut tidak kurang dari 65% (Desrosier 1988). Sementara selai rendah kalori adalah jenis selai dimana sebagian atau seluruh komponen gula (sukrosa) diganti dengan bahan pemanis sintetik baik yang bernilai gizi maupun yang tidak bernilai gizi (Kurniasari 1997). Standar total padatan terlarut untuk jenis selai rendah kalori berkisar antara 30-55% atau lebih rendah. Bahan pengawet diizinkan penggunaannya untuk selai rendah kalori, karena rendahnya kadar gula dalam selai yang tidak cukup untuk mengawetkan selai (Cross 1984, diacu dalam Kurniasari 1997). Adapun sifat-sifat penting dari produk selai adalah kestabilannya terhadap mikroorganisme dan struktur fisiknya. Stabilitas selai terhadap mikroorganisme dikendalikan oleh sejumlah faktor (Buckle et al. 1987), yaitu : 1. Kadar gula yang tinggi biasanya dalam kisaran padatan terlarut antara 6573%. 2. Keasaman rendah biasanya dalam kisaran pH antara 3,1-3,5. 3. Aw biasanya dalam kisaran antara 0,75-0,83. 4. Suhu tinggi selama pemasakan (105-1060C). 5. Ketersediaan oksigen yang rendah selama penyimpanan. Struktur khusus dari produk selai disebabkan terbentuknya kompleks gel pektin-gula-asam. Menurut Buckle et al. (1987), kelainan utama dari produk selai adalah : 1. Kristalisasi yang disebabkan oleh padatan telarut yang berlebihan, sukrosa yang tidak cukup, atau gula tidak cukup terlarut. 2. Keras (gel kenyal) akibat kurangnya gula atau pektin yang berlebihan. 3. Kurang
masak
(gel
berbentuk
sirup)
karena
hubungannya dengan kadar pektin. 4. Sineresis atau meleleh karena asam yang berlebihan.
kelebihan
gula
dalam
Pemasakan selai dilakukan pada tekanan atmosfer pada suhu sampai 0
106 C atau sama dengan kira-kira 68% padatan. Minimum pemanasan untuk bahan pangan asam sulit diperinci terutama karena sel vegetatif mikroorganisme cepat diinaktifkan pada suhu mendekati 900C dan pertumbuhan spora dihambat oleh keasaman produk. Pemanasan yang digunakan untuk kebanyakan produk asam biasanya lebih dari cukup untuk memberikan sterilisasi komersial, maka biasanya pemanasan sering didasarkan pada kebutuhan untuk meningkatkan mutu makannya (Buckle et al. 1987).
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2007. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah di Laboratorium Percobaan Makanan dan Laboratorium Kimia dan Analisis Makanan Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor; Laboratorium Pengolahan Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor; Laboratorium Mikrobiologi SEAFAST, Institut Pertanian Bogor; Laboratorium Balai Penelitian Pascapanen Bogor; serta Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Tropis Bogor. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah rimpang jahe segar dan teh hijau kering komersial. Bahan pendukung yang digunakan adalah air, Carboxy Methyl Cellulose (CMC), sukralosa, asam sitrat, natrium benzoat, dan pewarna makanan (tartrazine CI 19140). Selain itu juga digunakan bahan kimia yang dipakai untuk analisis sifat kimia selai jahe-teh hijau. Alat-alat yang digunakan untuk pembuatan selai jahe-teh hijau adalah timbangan, baskom, talenan, pisau, blender, saringan, wajan, pengaduk, dan homogenizer. Alat-alat lain yang digunakan adalah alat-alat untuk melakukan analisis kimia. Metode Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi empat tahap, yaitu pembuatan selai jaheteh hijau, penentuan formula selai jahe-teh hijau, analisis sifat kimia dan sifat fisik selai jahe-teh hijau yang dihasilkan, dan penentuan formula (produk) terbaik melalui uji organoleptik.
1.
Pembuatan Selai Jahe-Teh Hijau Selai jahe-teh hijau merupakan selai modifikasi, yaitu produk pangan
menyerupai selai yang dibuat dari campuran bubur jahe dan ekstrak teh hijau tanpa adanya kandungan gula dan pektin, sehingga pembentukan gel dalam produk ini dibantu oleh hidrokoloid yaitu CMC. Pembuatan selai jahe-teh hijau diawali dengan persiapan bahan meliputi pembuatan bubur jahe, ekstrak teh hijau, dan larutan CMC. Jenis jahe yang digunakan dalam pembuatan selai jaheteh hijau adalah jahe gajah. Jahe gajah tersebut kemudian disortasi untuk mendapatkan jahe berkualitas baik (rimpang tidak ada yang busuk dan tidak ada luka). Pembuatan bubur jahe dimulai dari pencucian jahe dengan cara disikat sampai bersih, pemotongan jahe, kemudian penghancuran potongan-potongan jahe dengan blender. Proses penghancuran jahe dengan blender dibantu dengan air, dimana perbandingan jahe dan air sebesar 1 : 1,5. Penghancuran jahe dilakukan sampai didapatkan bubur jahe yang cukup halus. Ekstrak teh hijau dibuat dari teh hijau kering yang diekstraksi dengan air panas kemudian disaring. Teh hijau yang digunakan adalah teh hijau kering yang dijual secara komersial. Proses ekstraksi teh hijau dilakukan selama 3 menit dengan air bersuhu 900C. Hal ini didasarkan pada hasil penelitian Nurharini (1997), dimana berdasarkan hasil uji organoleptik, teh dengan waktu ekstraksi 5 menit dan 7 menit mempunyai rasa yang lebih pahit dan sepat dibandingkan teh dengan waktu ekstraksi 3 menit. Oleh karena itu, waktu ekstraksi 3 menit dipilih sebagai waktu ekstraksi dalam pembuatan ekstrak teh dengan suhu air untuk ekstraksi berkisar antara 90-95°C. Adapun perbandingan teh hijau dengan air yang digunakan dalam pembuatan ekstrak teh hijau adalah 1 : 20. Penentuan perbandingan tersebut berdasarkan pada konsentrasi yang digunakan dalam ekstraksi bahan secara umum yang berkisar antara 1 : 5 sampai 1 : 20. Untuk efisiensi ekstraksi (agar lebih banyak tanin/katekin yang terlarut), maka konsentrasi yang digunakan dalam ekstraksi teh hijau adalah 1 : 20. Proses ekstraksi teh hijau dapat dilihat pada Gambar 4. Teh hijau kering ↓ Ekstraksi dengan air panas ↓ Penyaringan dengan saringan ↓ Ekstrak teh hijau Gambar 4 Proses ekstraksi teh hijau
Dalam pembuatan selai ini ditambahkan hidrokoloid, yaitu CMC. CMC merupakan turunan selulosa yang sering dipakai dalam produk pangan untuk meningkatkan viskositas (kekentalan) produk tanpa memberikan kontribusi kalori (Glicksman 1986). Larutan CMC dibuat dengan cara melarutkan CMC dalam air dengan perbandingan CMC dan air sebesar 1 : 43,5 yang kemudian ditim sampai seluruh CMC larut dalam air. Adapun prosedur pembuatan selai jahe-teh hijau dapat dilihat pada Gambar 5. Jahe
Ekstrak Teh Hijau
CMC
Disikat sampai bersih
Ditambah air
Dipotong kecil-kecil
Ditim sampai CMC larut
Ditambah air dan diblender
Ditambah asam sitrat dan pewarna makanan Dipanaskan (880C, ± 30 menit) Spoon test Ditambah Na-benzoat dan sukralosa Homogenisasi Selai Gambar 5 Pembuatan selai jahe-teh hijau 2.
Penentuan Formula Selai Jahe-Teh Hijau Penentuan formula selai jahe-teh hijau dilakukan setelah semua bahan
yang diperlukan untuk membuat selai tersedia. Formulasi selai jahe-teh hijau dilakukan dengan cara mencampurkan bubur jahe, ekstrak teh hijau, larutan CMC, serta bahan-bahan lainnya yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Pencampuran bubur jahe dan ekstrak teh hijau dalam pembuatan selai ini dilakukan dengan proporsi tertentu. Penentuan proporsi jahe : ekstrak teh hijau dilakukan secara trial and error, yaitu mencari perbandingan proporsi jahe dan ekstrak teh hijau yang tepat, sehingga diperoleh selai jahe-teh hijau yang dapat diterima oleh panelis. Penelitian pendahuluan ini menghasilkan tiga formula selai, yaitu 100 g jahe : 20 g ekstrak teh hijau, 90 g jahe : 30 g ekstrak teh hijau, dan 80 g jahe : 40 g ekstrak teh hijau. Masing-masing formula dibuat selai dengan jumlah yang cukup untuk analisis sifat kimia dan fisik selai serta untuk uji organoleptik. Penentuan jumlah CMC, sukralosa, asam sitrat, natrium benzoat, dan pewarna makanan yang ditambahkan dalam pembuatan selai juga dilakukan pada penelitian pendahuluan. Banyaknya CMC dan pewarna makanan yang ditambahkan ke dalam adonan selai dilakukan secara trial and error sampai didapatkan selai dengan kekentalan optimal dan berwarna cerah. Jumlah sukralosa ditentukan berdasarkan persentase gula dalam selai (55-60%) dan dengan mempertimbangkan tingkat kemanisan sukralosa (600 kali kemanisan sukrosa). Penentuan jumlah asam sitrat berdasarkan pada hasil penelitian sebelumnya (Kurniasari 1997), sementara banyaknya natrium benzoat yang digunakan ditentukan berdasarkan batas minimal penggunaan natrium benzoat yaitu sebesar 0,05% (Sulaeman 1990). 3.
Analisis Sifat Kimia dan Fisik Selai Jahe-Teh Hijau yang Dihasilkan Selai jahe-teh hijau dengan berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau
dianalisis secara kimia dan fisik. Sifat kimia yang dianalisis meliputi kadar air metode oven biasa (AOAC 1984), pH (Apriyantono et al. 1988), total asam tertitrasi (Sulaeman & Mudjajanto 1991), serat makanan metode enzimatis (Asp et al. 1983, diacu dalam Sulaeman et al. 1995), kadar gula total metode refraktofotometri (Sulaeman et al. 1995), dan total energi dengan alat bombcalorimeter (AOAC 1984). Sementara sifat fisik selai yang dianalisis adalah kekentalan atau viskositas dengan alat viskometer (Anonim 1990). Prosedur analisis sifat kimia dan fisik selai disajikan pada Lampiran 3. 4.
Penentuan Formula (Produk) Terbaik Penentuan formula terbaik dilakukan dengan cara uji organoleptik. Uji
organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji hedonik kepada 25 orang panelis agak terlatih (mahasiswa). Menurut Syarief (1989), jumlah anggota panel
agak terlatih berkisar antara 15-25 orang. Uji hedonik dilakukan untuk mengetahui daya terima panelis terhadap produk selai yang dihasilkan. Skala hedonik terdiri dari lima skala penilaian, yaitu 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (biasa), 4 (suka), dan 5 (sangat suka). Parameter yang dinilai meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, daya oles, dan penerimaan umum. Hasil uji hedonik digunakan untuk menentukan satu formula (produk) terbaik, dimana produk terbaik tersebut kemudian digunakan dalam penelitian lanjutan. Selain itu juga dilakukan uji mutu hedonik terhadap selai jahe-teh hijau yang dihasilkan. Uji mutu hedonik menyatakan tentang kesan baik atau buruk suatu produk (Soekarto 1985). Parameter yang dinilai meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan daya oles. Adapun skala penilaian mutu hedonik dari masingmasing parameter yang dinilai adalah sebagai berikut : 1. Warna : 1 (sangat tidak cerah), 2 (tidak cerah), 3 (biasa/netral), 4 (cerah), 5 (sangat cerah). 2. Aroma : 1 (sangat tidak harum), 2 (tidak harum), 3 (biasa/netral), 4 (harum), 5 (sangat harum). 3. Rasa : 1 (sangat tidak pedas), 2 (tidak pedas), 3 (biasa/netral), 4 (pedas), 5 (sangat pedas). 4. Tekstur : 1 (sangat kasar), 2 (kasar), 3 (biasa/netral), 4 (halus), 5 (sangat halus). 5. Daya oles : 1 (sangat sulit dioleskan), 2 (sulit dioleskan), 3 (biasa/normal), 4 (mudah dioleskan), 5 (sangat mudah dioleskan). Formulir uji organoleptik yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1. Penelitian Lanjutan Penelitian
lanjutan
bertujuan
untuk
menganalisis
kadar
senyawa
antioksidan (gingerol dan katekin) yang terkandung dalam selai jahe-teh hijau terbaik dan untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap sifat kimia, fisik, mikrobiologis, dan daya terima selai jahe-teh hijau terbaik. Selai jahe-teh hijau terbaik diperoleh dari hasil penelitian pendahuluan. Analisis kadar gingerol dilakukan dengan metode TLC (Thin Layer Chromatography) scanner dan analisis kadar katekin dilakukan dengan metode HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Penyimpanan selai jahe-teh hijau dilakukan pada suhu ruang (28-30°C) dengan taraf lama penyimpanan 0 minggu, 2 minggu, dan 4 minggu. Penentuan
taraf lama penyimpanan selai berdasarkan pada penelitian
Sumayong (1992), dimana perlakuan lama penyimpanan terhadap selai ubi jalar terdiri dari 3 taraf, yaitu 0 minggu, 2 minggu, dan 4 minggu dengan suhu penyimpanan selai pada suhu ruang. Adapun sifat kimia selai yang dianalisis selama penyimpanan meliputi kadar air, pH, total asam tertitrasi, dan aktivitas air (Aw), sementara sifat fisik yang dianalisis adalah viskositas (kekentalan). Selain itu juga dilakukan uji total mikroba terhadap selai jahe-teh hijau selama penyimpanan dengan metode TPC (Total Plate Count). Prosedur analisis sifat kimia, fisik, dan mikrobiologis selai jahe-teh hijau disajikan pada Lampiran 2. Uji organoleptik juga dilakukan pada tahap penelitian lanjutan yang meliputi uji hedonik dan uji mutu hedonik. Panelis yang digunakan adalah panelis agak terlatih dengan jumlah 15 orang. Jumlah anggota panel ini berkisar antara 15-25 orang (Syarief 1989). Penerimaan panelis terhadap selai jahe-teh hijau selama penyimpanan dapat diketahui dari hasil uji hedonik. Parameter yang dinilai meliputi warna, aroma, tekstur, daya oles, dan penerimaan umum. Parameter rasa tidak dinilai karena uji organoleptik ini menyangkut masa simpan yang dikhawatirkan ada mikroorganisme penyebab penyakit yang tumbuh pada selai. Uji mutu hedonik terhadap selai jahe-teh hijau yang dilakukan selama penyimpanan meliputi warna, aroma, tekstur, dan daya oles. Formulir uji organoleptik yang digunakan disajikan pada Lampiran 2. Pengolahan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian pendahuluan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan dua kali ulangan. Unit percobaan yang diamati adalah selai jahe-teh hijau. Perlakuan yang diberikan pada unit percobaan adalah proporsi jahe : ekstrak teh hijau yang terdiri dari tiga taraf, yaitu 100 g : 20 g, 90 g : 30 g, dan 80 g : 40 g. Peubah respon yang diamati adalah sifat kimia dan fisik dari selai jahe-teh hijau. Model matematisnya (Sudjana 1995) adalah sebagai berikut : Yij = µ + Ai + εij Keterangan : Yij
=Nilai pengamatan respon karena pengaruh taraf ke-i proporsi jahe : ekstrak teh hijau pada ulangan ke-j
µ
= Nilai rata-rata pengamatan
Ai
= Pengaruh proporsi jahe : ekstrak teh hijau pada taraf ke-i
εij
=Galat percobaan karena pengaruh taraf ke-i dari proporsi jahe : ekstrak teh hijau pada ulangan ke-j
i
= Banyaknya taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau (i = 100 g : 20 g, 90 g : 30 g, 80 g : 40 g)
j
= Banyaknya ulangan (j = 2) Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian lanjutan adalah
RAL dengan dua kali ulangan (Sudjana 1995). Unit percobaan yang diamati adalah selai jahe-teh hijau terbaik. Perlakuan yang diberikan pada unit percobaan adalah lama penyimpanan yang terdiri dari tiga taraf, yaitu 0 minggu, 2 minggu, dan 4 minggu. Peubah respon yang diamati adalah sifat kimia, fisik, dan mikrobiologis dari selai jahe-teh hijau terbaik. Model matematisnya adalah sebagai berikut : Yij = µ + Ai + εij Keterangan : Yij
=Nilai pengamatan respon karena pengaruh taraf ke-i lama penyimpanan pada ulangan ke-j
µ
= Nilai rata-rata pengamatan
Ai
= Pengaruh lama penyimpanan pada taraf ke-i
εij
=Galat percobaan karena pengaruh taraf ke-i dari lama penyimpanan pada ulangan ke-j
i
= Banyaknya taraf lama penyimpanan (i = 0 minggu, 2 minggu, 4 minggu)
j
= Banyaknya ulangan (j = 2) Data hasil uji organoleptik pada penelitian pendahuluan dan penelitian
lanjutan dianalisis secara deskriptif berdasarkan skor modus dan persentase penerimaan panelis dari masing-masing taraf perlakuan. Persentase penerimaan panelis dihitung dengan menjumlahkan persentase panelis yang memberikan kriteria biasa (3), suka (4), dan sangat suka (5). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan (proporsi jahe : ekstrak teh hijau dan lama penyimpanan) terhadap daya terima panelis dilakukan analisis statistik non-parametrik Kruskal Wallis. Jika hasil uji Kruskal Wallis berbeda nyata di antara perlakuan, maka dilanjutkan dengan Multiple Comparison Test (Damayanthi et al. 1997). Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program Microsoft Excell 2003, SPSS 13.0 for Windows, dan SAS 6.12.
HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan 1.
Pembuatan Selai Jahe-Teh Hijau Proses pembuatan selai jahe-teh hijau terdiri dari beberapa tahap. Tahap
pertama adalah persiapan bahan yang meliputi pembuatan bubur jahe, ekstrak teh hijau, dan larutan CMC. Proses penghancuran jahe dengan blender dalam pembuatan bubur jahe bertujuan untuk menghasilkan bubur jahe dengan ukuran yang homogen. Dalam pembuatan selai jahe-teh hijau ini digunakan rimpang jahe bukan ekstrak jahe, karena produk selai biasanya mengandung serat buah dimana rimpang jahe segar mengandung serat kasar sebesar 7,53 g/100 g berat basah (Koswara 1995). Kulit jahe tidak dikupas untuk mengurangi hilangnya senyawa gingerol sebagai senyawa antioksidan, karena diduga antara kulit dan rimpang jahe banyak mengandung senyawa gingerol. Jenis jahe yang digunakan dalam pembuatan selai jahe-teh hijau adalah jahe badak atau jahe gajah karena jenis jahe ini mempunyai rasa yang kurang tajam (Koswara 1995), sehingga selai yang dihasilkan rasanya tidak terlalu pedas. Pembuatan ekstrak teh hijau dilakukan melalui proses ekstraksi teh hijau kering dengan air panas (900C) selama 3 menit. Menurut Winarno (1997), waktu ekstraksi yang terlalu lama akan melarutkan banyak tanin sehingga menimbulkan rasa sepat yang berlebihan. Proses penyaringan yang dilakukan dalam pembuatan ekstrak teh hijau bertujuan untuk memisahkan ampas dengan filtratnya. CMC sebagai bahan pembentuk gel dan pengental pada selai perlu dilarutkan terlebih dahulu sebelum ditambahkan ke dalam adonan selai, sehingga didapatkan larutan CMC. Pelarutan CMC bertujuan untuk melarutkan CMC secara sempurna dan untuk menghindari pembentukan gel yang tidak homogen (Kurniasari 1997). Adapun salah satu keuntungan dari penambahan larutan CMC ke dalam adonan selai, yaitu waktu pemasakan selai dapat dikurangi. Setelah semua bahan yang digunakan dalam pembuatan selai tersedia, selanjutnya dilakukan pencampuran bubur jahe, ekstrak teh hijau, dan larutan CMC. Asam sitrat dan pewarna makanan tartrazine CI 19140 kemudian ditambahkan ke dalam campuran bubur jahe, ekstrak teh hijau, dan larutan CMC. Adonan selai tersebut kemudian dimasak selama ± 30 menit pada suhu 880C.
Waktu pemasakan selai ditentukan melalui uji spoon test. Uji spoon test adalah uji dimana selai tidak segera tumpah jika sendok yang berisi selai dimiringkan. Semua selai yang dihasilkan (tiga formula/produk) mempunyai waktu pemasakan yang hampir sama, yaitu ± 30 menit. Pemasakan yang terlalu lama selain dapat mereduksi aroma dan flavor juga dapat menyebabkan selai menjadi sangat kental, sedangkan jika pemasakannya kurang akan dihasilkan selai yang encer (Cruess 1958, diacu dalam Kurniasari 1997). Suhu rata-rata yang digunakan dalam pemasakan selai adalah 88°C. Suhu pemasakan selai dijaga kurang dari 1000C dengan tujuan untuk mencegah berkurangnya aktivitas antioksidan senyawa gingerol dan katekin. Menurut Lee et al. (1992), diacu dalam Yusuf (2002), gingerol cukup stabil terhadap efek pemanasan, dimana aktivitas antioksidan gingerol masih dua pertiganya setelah pemanasan 1000C. Sementara kadar katekin menurun sebesar 20% jika dipanaskan pada suhu 98°C selama 20 menit (Rohdiana 2006). Pemasakan selai dihentikan sampai didapatkan selai dengan kekentalan optimal yang didasarkan pada hasil uji spon test. Tahap selanjutnya adalah penambahan natrium benzoat dan sukralosa ke dalam selai setelah pemasakan. Penambahan natrium benzoat bertujuan untuk mengawetkan selai mengingat tidak adanya kandungan gula dalam selai yang berfungsi untuk mengawetkan. Natrium benzoat ditambahkan setelah pemasakan selai karena jika ditambahkan sebelum pemasakan dimana penambahannya bersamaan dengan penambahan asam sitrat akan menyebabkan natrium benzoat mengendap. Menurut Kurniasari (1997),
untuk
menghindari
pengendapan
natrium
benzoat,
maka
penambahannya tidak dilakukan bersamaan dengan penambahan asam sitrat. Selai
jahe-teh
pembuatannya
hijau
merupakan
ditambahkan
selai
sukralosa
rendah sebagai
kalori, bahan
sehingga pemanis
dalam yang
menggantikan sukrosa (gula). Sukralosa merupakan pemanis sintetis tanpa nilai kalori dengan derajat kemanisan 600 kali kemanisan sukrosa (Subagio 2007). Setelah dilakukan penambahan natrium benzoat dan sukralosa, tahap berikutnya adalah homogenisasi selai dengan alat homogenizer yang bertujuan untuk mencampurkan natrium benzoat dan sukralosa ke dalam selai secara merata. Tahap terakhir adalah memasukkan selai yang sebelumnya dibiarkan agak dingin ke dalam botol jar yang sudah disterilkan. Selai jahe-teh hijau yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 6.
Keterangan : 169 = jahe : ekstrak teh hijau =100 g : 20 g 241 = jahe : ekstrak teh hijau = 90 g : 30 g 547 = jahe : ekstrak teh hijau = 80 g : 40 g
Gambar 6 Selai jahe-teh hijau yang dihasilkan 2.
Penentuan Formula Selai Jahe-Teh Hijau Penentuan taraf penambahan proporsi jahe : ekstrak teh hijau dilakukan
secara trial and error, sehingga diperoleh selai jahe-teh hijau yang dapat diterima oleh panelis. Proporsi jahe : ekstrak teh hijau yang ditambahkan terdiri dari tiga taraf, yaitu 100 g : 20 g, 90 g : 30 g, dan 80 g : 40 g sehingga dihasilkan tiga formula selai. Selai jahe-teh hijau rendah kalori adalah selai yang seluruh komponen gulanya (sukrosa) diganti dengan pemanis buatan yang bebas kalori yaitu sukralosa. Subagio (2007) menyatakan sukralosa adalah pemanis berintensitas tinggi dari sukrosa dengan tingkat kemanisan 600 kali kemanisan sukrosa tanpa mempunyai nilai kalori. Banyaknya sukralosa yang digunakan ditentukan berdasarkan persentase gula di dalam selai, dimana selai dibuat dari campuran tidak kurang dari 45% berat buah dan 55% berat gula dan dengan mempertimbangkan tingkat kemanisan sukralosa, yaitu sebesar 600 kali tingkat kemanisan sukrosa. Dari hasil perhitungan yang didasarkan pada persentase gula yang harus ada di dalam selai dan tingkat kemanisan sukralosa, maka jumlah sukralosa yang harus ditambahkan ke dalam 1 kg selai adalah sebanyak 1 g. Adapun pertimbangan dalam pemilihan sukralosa sebagai bahan pemanis pada selai jahe-teh hijau adalah karena sukralosa tidak mempunyai nilai kalori,
memiliki tingkat kemanisan yang tinggi sehingga jumlah sukralosa yang diperlukan untuk mencapai tingkat kemanisan yang diinginkan sangat sedikit, tahan terhadap asam dan panas yang tinggi sehingga aplikasinya sangat luas, dan tidak berdampak negatif terhadap tubuh. Sukralosa tidak dapat dicerna dan langsung dikeluarkan oleh tubuh tanpa perubahan, sehingga aman dikonsumsi oleh wanita hamil dan menyusui serta anak-anak. Hal tersebut menempatkan sukralosa ke dalam golongan GRAS (Anonim 2006). Penggunaan sukralosa yang menggantikan seluruh gula dalam pembuatan selai jahe-teh hijau akan mempengaruhi pembentukan gel pada selai. Tidak adanya penambahan gula (sukrosa) ke dalam adonan selai menyebabkan gel sulit terbentuk. Oleh karena itu, dalam pembuatan selai ini ditambahkan bahan pembentuk gel yaitu CMC. Salah satu fungsi dasar CMC adalah untuk mengikat air sehingga memberikan kekentalan pada produk (Klose dan Glicksman 1981, diacu dalam Dreher 1987). Penentuan konsentrasi CMC yang digunakan dilakukan secara trial and error sampai diperoleh selai yang memiliki kekentalan yang optimal dan stabil. Berdasarkan hasil trial and error, konsentrasi CMC yang digunakan adalah 1,18%. Penentuan banyaknya pewarna makanan yang ditambahkan ke dalam adonan selai juga dilakukan secara trial and error sampai didapatkan warna selai yang cerah. Adanya penambahan zat pewarna dikarenakan warna selai kurang menarik seperti warna bumbu dapur dan tidak cerah. Zat pewarna makanan yang digunakan adalah tartrazine CI 19140 yang berwarna kuning muda. Alasan pemilihan warna tersebut adalah karena bahan utama dengan konsentrasi terbesar dalam pembuatan selai ini adalah jahe, dimana rimpang jahe berwarna kekuningan. Banyaknya pewarna yang ditambahkan ke dalam adonan selai berdasarkan hasil trial and error adalah 0,5 ml (4 tetes). Penambahan asam sitrat bertujuan untuk menurunkan pH sehingga didapatkan pH optimum bagi pembentukan gel, meningkatkan flavor, dan membantu mencegah pertumbuhan mikroba. Winarno (1997) menyatakan asam sitrat dapat bertindak sebagai penegas rasa dan warna atau menyelubungi after taste yang tidak disukai, dapat mencegah pertumbuhan mikroba, dan mempermudah proses pengolahan karena menghasilkan pH rendah buffer. Konsentrasi asam sitrat yang digunakan dalam pembuatan selai ini adalah 0,1% yang ditentukan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya. Adapun kisaran konsentrasi asam sitrat yang digunakan pada produk selai rendah kalori
berdasarkan hasil penelitian Kurniasari (1997) adalah 0,1-0,5%. Konsentrasi natrium benzoat yang digunakan ditentukan berdasarkan batas penggunaan natrium benzoat. Konsentrasi benzoat yang diizinkan maksimum 0,05-0,1% (Sulaeman 1990). Pada pembuatan selai jahe-teh hijau ditambahkan natrium benzoat sebesar 0,05%. Komposisi bahan yang digunakan dalam pembuatan selai jahe-teh hijau rendah kalori dan sumber antioksidan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi bahan dalam pembuatan selai jahe-teh hijau Bahan Jahe Ekstrak teh hijau CMC Air Asam sitrat Natrium benzoat Pewarna Sukralosa 3.
169 100 g 20 g 1,18% 77,65% 0,1% 0,05% 0,5 ml
Komposisi 241 547 90 g 80 g 30 g 40 g 1,18% 1,18% 77,65% 77,65% 0,1% 0,1% 0,05% 0,05% 0,5 ml 0,5 ml 1 g sukralosa dalam 1 kg selai
Sifat Kimia Selai Jahe-Teh Hijau
Kadar Air Air merupakan komponen utama dalam bahan pangan karena dapat mempengaruhi tekstur, penampakan, dan citarasa makanan. Kadar air sangat menentukan masa simpan bahan pangan karena kadar air mempengaruhi sifatsifat fisik dan sifat-sifat fisiko-kimia, perubahan kimia (browning non-enzimatis), perubahan enzimatis, dan kerusakan mikrobiologis (Winarno, Fardiaz & Fardiaz 1980). Air yang terdapat dalam produk selai ini berasal dari air yang ditambahkan dalam pembuatan bubur jahe, air untuk melarutkan CMC, dan air yang berasal dari ekstrak teh hijau serta sebagian kecil air yang berasal dari rimpang jahe. Hasil analisis kadar air menunjukkan bahwa kadar air selai jahe-teh hijau yang dihasilkan berkisar antara 91,99-93,22%. Kadar air tertinggi terdapat pada selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g, sedangkan kadar air terendah terdapat pada selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 90 g : 30 g (Gambar 7). Namun berdasarkan hasil sidik ragam, proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kadar air selai jahe-teh hijau. Hasil sidik ragam disajikan pada Lampiran 24. Selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 90 g : 30 g memiliki kadar air yang paling rendah. Hal ini diduga karena ada faktor lain selain perlakuan yang
berpengaruh terhadap kadar air selai, yaitu waktu pemasakan. Waktu pemasakan selai ditentukan melalui uji spoon test yang bersifat subyektif, dimana jika selai kekentalannya sudah optimal maka pemasakan dihentikan. Waktu pemasakan selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 90 g : 30 g sedikit lebih lama (2-5 menit) jika dibandingkan selai lainnya, sehingga air bebas
kadar air (%)
yang teruapkan lebih banyak yang menyebabkan kadar airnya paling rendah. 93.40 93.20 93.00 92.80 92.60 92.40 92.20 92.00 91.80 91.60 91.40 91.20
93.22
100 g : 20 g
91.99
92.04
90 g : 30 g
80 g : 40 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 7 Kadar air selai jahe-teh hijau Selai yang dihasilkan memiliki kadar air yang tinggi melebihi standar kadar air makanan semi basah. Menurut Winarno, Fardiaz dan Fardiaz (1980), makanan semi basah seperti selai adalah makanan yang mempunyai kadar air tidak terlalu tinggi juga tidak terlalu rendah, yaitu kira-kira 15-50%. Tingginya kadar air selai jahe-teh hijau disebabkan oleh adanya penambahan air dalam jumlah yang besar saat proses pembuatan selai, yaitu sebesar 77,65%. Air yang ditambahkan tersebut digunakan untuk membantu menghancurkan jahe dan melarutkan CMC. Air yang teranalisis pada penetapan kadar air adalah air bebas dan air yang terikat secara fisik karena adanya CMC. Sifat CMC yang dapat mengikat air menyebabkan jumlah air bebas yang terkandung dalam selai menurun. CMC mempunyai kapasitas pengikatan air yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam produk pangan dietetik (Dreher 1987). pH Nilai pH larutan menunjukkan keasaman atau sifat basa dalam larutan. pH erat hubungannya dengan total asam, sehingga penurunan pH menunjukkan kenaikan total asam. Nilai pH sering digunakan sebagai indikator kerusakan
bahan pangan karena pH mempengaruhi laju pertumbuhan mikroba. Pengukuran pH penting untuk dilakukan karena pH mempengaruhi tekstur selai, sifat koloidal selai, serta retensi flavor dan warna produk (Kurniasari 1997). Nilai pH selai jahe-teh hijau yang dihasilkan berkisar antara 4,335-4,481. Nilai pH selai jahe-teh hijau cenderung mengalami penurunan dengan semakin kecilnya konsentrasi jahe dan dengan semakin besarnya konsentrasi ekstrak teh hijau yang ditambahkan (Gambar 8). Selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 80 g : 40 g memiliki pH paling rendah, yaitu sebesar 4,335. Namun berdasarkan hasil sidik ragam, proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap nilai pH selai jahe-teh hijau. Hal ini diduga karena jahe dan ekstrak teh hijau memiliki pH yang hampir sama. Hasil sidik ragam disajikan pada Lampiran 25. 4.5
4.481 4.439
4.45
pH
4.4 4.35
4.335
4.3 4.25 100 g : 20 g
90 g : 30 g
80 g : 40 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 8 Nilai pH selai jahe-teh hijau Total Asam Total asam merupakan salah satu parameter yang penting dalam menentukan mutu produk pangan yang diolah dengan asam. Total asam tertitrasi produk dihitung sebagai volume NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan sejumlah asam dalam 100 g produk. Total asam produk yang teranalisis adalah asam-asam organik yang terkandung dalam selai. Asam-asam organik tersebut berasal dari jahe, ekstrak teh hijau, asam sitrat, dan natrium benzoat. Total asam selai jahe-teh hijau yang dihasilkan berkisar antara 32,79-42,96 ml NaOH 0,1 N/100 g. Gambar 9 menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan total asam dengan semakin kecilnya konsentrasi jahe dan dengan semakin besarnya konsentrasi ekstrak teh hijau yang ditambahkan. Namun berdasarkan
hasil sidik ragam, proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap total asam selai jahe-teh hijau. Hasil sidik ragam
TAT (ml NaOH 0.1 N/100 g)
disajikan pada Lampiran 26.
50.00 40.00
41.50
42.96
32.79
30.00 20.00 10.00 0.00 100 g : 20 g 90 g : 30 g
80 g : 40 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 9 Total asam selai jahe-teh hijau Total asam berhubungan erat dengan nilai pH, dimana kenaikan total asam menunjukkan penurunan nilai pH (Wijaya 2002). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 80 g : 40 g memiliki total asam paling tinggi dan memiliki pH paling rendah. Serat Makanan Total Serat makanan adalah zat non-gizi yang berguna untuk diet sebagai salah satu jenis polisakarida yang sukar dicerna oleh enzim pencernaan. Serat makanan tidak dapat diserap oleh dinding usus halus, namun akan dilewatkan menuju usus besar dengan gerakan peristaltik usus. Serat makanan dapat digolongkan menjadi dua berdasarkan jenis kelarutannya, yaitu serat tidak larut dalam air dan serat yang larut dalam air (Sulistijani 2005). Serat makanan total merupakan penjumlahan dari serat makanan tidak larut dan serat makanan larut. Selai jahe-teh hijau yang dihasilkan mengandung serat makanan total sebesar 1,91-2,43 g/100 g. Pada Gambar 10 dapat dilihat kadar serat makanan total tertinggi terdapat pada selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g, yaitu sebesar 2,43 g/100 g, sementara selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 80 g : 40 g mengandung serat makanan total paling rendah. Kadar serat makanan total cenderung mengalami penurunan dengan semakin kecilnya konsentrasi jahe yang ditambahkan. Namun berdasarkan hasil sidik ragam,
proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kadar serat makanan total selai jahe-teh hijau. Hasil sidik ragam disajikan pada Lampiran 27.
serat makanan total (%)
3.00 2.43
2.50
2.24 1.91
2.00 1.50 1.00 0.50 100 g : 20 g
90 g : 30 g
80 g : 40 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 10 Kadar serat makanan total selai jahe-teh hijau Serat makanan yang terkandung dalam selai berasal dari rimpang jahe dan ekstrak teh hijau. Menurut Sulistijani (2005), serat makanan dikelompokkan sebagai polisakarida non-pati yang umumnya disebut karbohidrat kompleks. Jahe segar mengandung karbohidrat sebesar 10,1 g/100 g berat basah (Koswara 1995). Sementara daun teh mengandung selulosa sebesar 7 g/100 g bk, lignin sebesar 6 g/100 g bk, dan polisakarida lainnya (non-pati) sebesar 12 g/100 g bk (Robertson 1992). Selulosa dan lignin merupakan serat makanan yang tergolong serat tak larut. Serat makanan terutama jenis serat larut yang terkandung dalam daun teh akan terlarut dalam air ketika diekstrak dengan air panas, sehingga ekstrak teh hijau yang dihasilkan mengandung serat makanan namun kadarnya lebih rendah dibandingkan kadar serat makanan dalam daun teh. Menurut Aggarwal, Ahmad dan Mukhtar (2002), rempah-rempah mempunyai kandungan serat makanan antara 14-53 g/100 g. Serat Makanan Tidak Larut Serat makanan tidak larut adalah serat yang tidak dapat larut dalam air panas. Selulosa, hemiselulosa, dan lignin merupakan jenis serat tak larut (Sulistijani 2005). Sebagian besar serat makanan total dalam bahan pangan berupa serat makanan tidak larut (Muchtadi et al. 2001).
Kadar serat makanan tidak larut selai jahe-teh hijau berkisar antara 1,061,28 g/100 g. Kadar serat makanan tidak larut cenderung mengalami penurunan dengan semakin kecilnya konsentrasi jahe yang ditambahkan. Selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g mengandung serat makanan tidak larut paling tinggi, yaitu sebesar 1,28 g/100 g. Kadar serat makanan tidak larut selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau dapat dilihat pada Gambar 11.
serat makanan tidak larut (%)
1.40
1.28
1.21
1.20
1.06
1.00 0.80 0.60 0.40 0.20 100 g : 20 g
90 g : 30 g
80 g : 40 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 11 Kadar serat makanan tidak larut selai jahe-teh hijau Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kadar serat makanan tidak larut selai jahe-teh hijau. Hasil sidik ragam disajikan pada Lampiran 28. Serat Makanan Larut Serat makanan larut adalah serat yang dapat larut dalam air panas. Pektin, gum, dan musilase merupakan jenis serat larut (Sulistijani 2005). Sebagian dari serat makanan total dalam bahan pangan merupakan serat makanan yang larut dalam air (Muchtadi et al. 2001). Serat makanan larut berperan dalam penyerapan lemak dan kolesterol serta dapat menyerap gula yang dapat menurunkan kadar glukosa darah. Selai jahe-teh hijau yang dihasilkan mengandung serat makanan larut sebesar 0,85-1,15 g/100 g. Kadar serat makanan larut tertinggi terdapat pada selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g, sementara kadar serat makanan larut paling rendah terdapat pada selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 80 g : 40 g yaitu sebesar 0,85 g/100 g (Gambar 12). Kadar serat
makanan larut cenderung mengalami penurunan dengan semakin kecilnya konsentrasi jahe yang ditambahkan. Namun berdasarkan hasil sidik ragam, proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kadar serat makanan larut selai jahe-teh hijau. Hasil sidik ragam disajikan pada Lampiran 29. 1.40 serat makanan larut (%)
1.20
1.15 1.04
1.00
0.85
0.80 0.60 0.40 0.20 100 g : 20 g
90 g : 30 g
80 g : 40 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 12 Kadar serat makanan larut selai jahe-teh hijau Kadar Gula Total Kadar
gula
total
selai
jahe-teh
hijau
ditentukan
dengan
metode
refraktofotometri. Metode refraktofotometri didasarkan pada total padatan terlarut yang ada dalam larutan gula, karena total padatan terlarut pada dasarnya merupakan kadar gula total dalam suatu bahan (Sulaeman et al. 1995). Gula yang teranalisis adalah gula-gula sederhana yang terdapat dalam selai. Menurut Almatsier (2002), gula sederhana atau karbohidrat sederhana terdiri atas monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa), disakarida (sukrosa, maltosa, laktosa), oligosakarida (rafinosa, stakiosa, verbaskosa), dan gula alkohol (sorbitol, manitol). Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar gula total selai jahe-teh hijau pada semua taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau adalah kurang dari 1% (tidak terdeteksi). Kadar gula total selai tidak dianalisis secara statistik karena kandungan gula ketiga formula selai tidak terdeteksi. Rendahnya kadar gula total selai jahe-teh hijau disebabkan oleh karbohidrat dari jahe dan ekstrak teh hijau sebagian besar berupa karbohidrat kompleks yang tidak terlarut, tidak adanya gula (sukrosa), dan tingginya kadar air selai.
Jahe mengandung karbohidrat sebesar 10,1 g/100 g berat basah (Koswara 1995). Namun karbohidrat dari jahe sebagian besar berupa pati yang tidak terlarut, dimana pati terdapat dalam umbi-umbian sebanyak 20-30% (Almatsier 2002), sedangkan gula yang teranalisis oleh refraktofotometer adalah gula yang terlarut. Menurut Robertson (1992), daun teh mengandung polisakarida sebesar 28,5 g/100 g bk. Ekstrak teh hijau yang dihasilkan dari proses ekstraksi daun teh juga mengandung polisakarida, tetapi kadarnya lebih kecil daripada kadar polisakarida dalam daun teh. Polisakarida merupakan karbohidrat kompleks (Almatsier 2002) sehingga tidak dapat teranalisis, dimana gula yang teranalisis adalah jenis gula (karbohidrat) sederhana yang bersifat larut. Sebagian kecil karbohidrat jahe merupakan karbohidrat sederhana dan karbohidrat daun teh sebesar 4 g/100 g bk yang merupakan karbohidrat sederhana (Robertson 1992) dapat mempengaruhi kadar gula total selai. Namun, kadar air selai yang tinggi menyebabkan gula (karbohidrat) sederhana dari jahe dan ekstrak teh hijau hanya memberikan sedikit pengaruh penambahan pada kadar gula total selai yang dihasilkan. Selain itu, tidak adanya penambahan sukrosa dalam pembuatan selai juga mempengaruhi rendahnya kadar gula total selai, dimana sukrosa sebagai bahan pemanis digantikan oleh sukralosa (pemanis buatan). Sukrosa merupakan gula sederhana yang termasuk dalam golongan disakarida, dimana disakarida biasanya bersifat larut dalam air (Winarno 1997). Sukrosa dapat teranalisis oleh refraktofotometer karena merupakan gula sederhana yang bersifat larut. Jadi, kadar gula total selai yang sangat rendah disebabkan oleh gula yang terlarut dalam selai sangat sedikit. Total Energi Total energi selai jahe-teh hijau ditentukan dengan bombcalorimeter. Energi yang ditentukan melalui bombcalorimeter adalah nilai energi kasar makanan dan mewakili energi kimia total dari makanan tersebut. Tidak seluruh makanan dapat dimanfaatkan oleh tubuh, sehingga nilai energi kasar makanan harus dikoreksi dengan nilai makanan yang tidak dimanfaatkan (Almatsier 2002). Kalori merupakan unit standar pengukur energi yang sering digunakan dalam pengertian energi potensial yang terkandung dalam makanan (Wilson et al. 1979, diacu dalam Kurniasari 1997). Pengukuran total energi bertujuan untuk mendapatkan gambaran umum mengenai jumlah kalori per 100 gram selai.
Kisaran total energi selai jahe-teh hijau yang dihasilkan adalah 24,14-29,05 Kal/100 g selai. Gambar 13 menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan total energi selai dengan semakin kecilnya konsentrasi jahe dan dengan semakin besarnya konsentrasi ekstrak teh hijau yang ditambahkan. Selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g mengandung total energi paling rendah, yaitu sebesar 24,14 Kal/100 g selai. Namun berdasarkan hasil sidik ragam, proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap total energi selai jahe-teh hijau (Lampiran 30). 35.00
total energi (Kal/100 g)
30.00 25.00
28.95
29.05
90 g : 30 g
80 g : 40 g
24.14
20.00 15.00 10.00 5.00 100 g : 20 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 13 Total energi selai jahe-teh hijau Kandungan energi jahe dan ekstrak teh hijau memberikan kontribusi terhadap total energi selai, dimana jahe segar mengandung energi sebesar 43,96 Kal/100 g berat basah (Koswara 1995). Sementara kandungan energi ekstrak teh hijau berasal dari karbohidrat, protein, dan lemak yang terdapat dalam ekstrak teh hijau, dimana kadar karbohidrat (karbohidrat sederhana dan polisakarida), protein, dan lemak dalam daun teh masing-masing sebesar 32,5 g/100 g bk, 15 g/100 g bk, dan 3 g/100 g bk (Robertson 1992). CMC yang ditambahkan ke dalam adonan selai merupakan polisakarida linier, namun penambahannya tidak mempengaruhi total energi selai. Menurut Glicksman (1986), CMC dapat meningkatkan kekentalan produk tanpa memberikan kontribusi kalori. Selain itu, penambahan sukralosa sebagai bahan pemanis yang menggantikan sukrosa juga tidak mempengaruhi total energi selai. Sukralosa merupakan pemanis buatan yang bebas kalori (Subagio 2007), sehingga sukralosa tidak memberikan kontribusi energi pada selai jahe-teh hijau.
Berdasarkan hasil analisis total energi, selai jahe-teh hijau yang dihasilkan merupakan selai rendah kalori. Suatu produk dapat diklaim rendah kalori jika produk tersebut memiliki energi kurang dari 40 Kal per 100 g atau 40 Kal per saji (Nutrition Labelling of Singapore 1999, diacu dalam Wijaya 2002). Total energi selai yang dihasilkan berkisar antara 24,14-29,05 Kal/100 g, dimana kisaran energi tersebut kurang dari 40 Kal per 100 g yang merupakan standar besarnya energi produk rendah kalori. Dalam penelitian ini, selai per saji diasumsikan sebesar 20 g. Jadi, besarnya energi selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g, 90 g : 30 g, dan 80 g : 40 g per saji berturut-turut adalah 4,83 Kal, 5,79 Kal, dan 5,81 Kal. 4.
Sifat Fisik Selai Jahe-Teh Hijau
Viskositas Viskositas adalah derajat kekentalan suatu produk pangan. Viskositas dipengaruhi oleh banyaknya padatan yang terkandung dalam suatu campuran dan besarnya konsentrasi bahan pengental yang ditambahkan. Kekentalan dinyatakan sebagai daya tahan yang diberikan oleh suatu cairan terhadap gerakan-gerakan yang dikenakan pada cairan tersebut. Kekentalan selai jahe-teh hijau diukur dengan viskometer yang dinyatakan dalam satuan cp (centipoise) (Anonim 1990). Selai jahe-teh hijau yang dihasilkan mempunyai nilai viskositas yang berkisar antara 7350-10750 cp. Pada Gambar 14 dapat dilihat viskositas terendah terdapat pada selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g, sementara selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 90 g : 30 g dan 80 g : 40 g mempunyai viskositas yang sama yaitu sebesar 10750 cp. Selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 90 g : 30 g dan 80 g : 40 g lebih kental daripada selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g, dimana semakin tinggi nilai viskositas maka selai semakin kental. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap viskositas selai jahe-teh hijau (Lampiran 31). Selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 90 g : 30 g dan 80 g : 40 g memiliki viskositas yang sama. Hal ini diduga karena waktu pemasakan juga berpengaruh terhadap viskositas selai selain pengaruh perlakuan. Waktu pemasakan ditentukan dengan uji spoon test, dimana pemasakan dihentikan setelah didapatkan selai dengan kekentalan yang optimal. Untuk mendapatkan
kekentalan selai yang optimal, waktu pemasakan selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 90 g : 30 g dan 80 g : 40 g hampir sama dengan perbedaan waktu pemasakan sekitar 2 menit, sehingga kedua formula selai tersebut setelah dianalisis dengan viskometer menunjukkan nilai viskositas yang sama. 12000
10750
10750
90 g : 30 g
80 g : 40 g
viskositas (cp)
10000 8000
7350
6000 4000 2000 0 100 g : 20 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 14 Viskositas selai jahe-teh hijau Selai jahe-teh hijau tidak mengandung gula (sukrosa), sehingga kekentalan selai disebabkan oleh CMC yang ditambahkan ke dalam adonan selai. Klose dan Glicksman (1981), diacu dalam Dreher (1987) menyatakan fungsi dasar CMC adalah untuk mengikat air sehingga meningkatkan kekentalan produk dan mencegah sineresis (keluarnya air dari struktur gel pada suhu kamar). Penambahan CMC tidak mempengaruhi perbedaan viskositas selai yang dihasilkan karena ditambahkan dalam jumlah yang sama untuk masing-masing formula selai. 5.
Mutu Organoleptik Selai Jahe-Teh Hijau Uji organoleptik adalah cara menilai mutu suatu produk dengan
menggunakan kepekaan alat indera manusia seperti penglihatan dengan mata, penciuman dengan hidung, dan pencicipan dengan lidah. Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap selai jahe-teh hijau yang dihasilkan. Uji hedonik dan uji mutu hedonik dilakukan dalam penelitian ini. Uji hedonik merupakan uji kesukaan terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, daya oles, dan penerimaan umum dari selai jahe-teh hijau. Sementara uji mutu hedonik yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui kesan baik atau buruk dari selai jahe-teh hijau yang meliputi uji mutu hedonik terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan daya oles dari selai jahe-teh hijau. Menurut Soekarto (1985), uji
mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak suka melainkan menyatakan tentang kesan baik atau buruk suatu produk. Warna Penilaian secara subyektif dengan penglihatan sangat menentukan dalam penilaian suatu produk (Soekarto 1985). Warna biasanya lebih menarik perhatian dibandingkan rasa karena warna paling cepat dan mudah dalam memberikan kesan suatu produk pangan. Kesukaan terhadap warna merupakan penilaian pertama yang akan menentukan kesukaan panelis terhadap selai jahe-teh hijau. Hasil uji hedonik terhadap warna selai menunjukkan modus penerimaan panelis pada selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g dan 90 g : 30 g adalah suka (4), sementara pada selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 80 g : 40 g adalah biasa (3). Persentase penerimaan panelis terhadap warna selai pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau adalah berkisar antara 68-92%. Penerimaan panelis terhadap warna selai jahe-teh hijau tertinggi pada selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g, sementara selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 90 g : 30 g memiliki penerimaan yang paling rendah yaitu sebesar 68%. Persentase penerimaan panelis terhadap warna selai disajikan pada Gambar 15. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan warna selai jahe-teh hijau (Lampiran 4). 100
92
88
penerimaan warna (%)
90 80
68
70 60 50 40 30 20 10 0 100 g : 20 g
90 g : 30 g
80 g : 40 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 15 Persentase penerimaan panelis terhadap warna selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau Hasil uji mutu hedonik terhadap warna selai menunjukkan modus warna selai pada semua taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau adalah cerah (4). Selai
yang dihasilkan berwarna cerah karena adanya penambahan zat pewarna. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik warna selai jahe-teh hijau (Lampiran 5). Warna selai harus menarik, seragam, dan dapat mewakili citarasa yang ditimbulkan. Adonan selai jahe-teh hijau berwarna kecoklatan seperti warna bumbu dapur. Oleh karena itu, adonan selai tersebut ditambah pewarna makanan berwarna kuning muda (tartrazine CI 19140) agar warnanya lebih cerah dan menarik. Tartrazine (CI Food Yellow 4) merupakan zat pewarna makanan sintetis yang diizinkan di Indonesia dengan batas maksimum penggunaan secukupnya (Syarief 1989). Pemilihan zat pewarna makanan berwarna kuning muda yang digunakan dalam pembuatan selai ini berdasarkan pada warna jahe yang berwarna kekuningan, dimana jahe merupakan bahan utama dengan konsentrasi terbesar dari selai jahe-teh hijau. Warna selai yang dihasilkan adalah kuning kecoklatan. Warna kuning pada selai karena adanya penambahan zat pewarna, sedangkan warna kecoklatan berasal dari warna kulit jahe dan adanya penambahan ekstrak teh hijau yang membuat warna selai menjadi gelap. Aroma Aroma atau bau suatu makanan menentukan kelezatan makanan tersebut. Penilaian aroma suatu makanan tidak terlepas dari fungsi indera pembau. Menurut Winarno (1997), bau yang diterima oleh hidung dan otak umumnya merupakan campuran empat bau utama, yaitu harum, asam, tengik, dan hangus. Hasil uji hedonik menunjukkan aroma selai jahe-teh hijau disukai oleh panelis yang dapat dilihat dari nilai modus penerimaan panelis terhadap aroma yang berkisar antara 3 (biasa) sampai 4 (suka). Modus penerimaan panelis terhadap aroma selai disajikan pada Tabel 5. Persentase penerimaan panelis terhadap aroma selai pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau adalah berkisar antara 84-92%. Gambar 16 menunjukkan aroma selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 90 g : 30 g cenderung lebih diterima daripada aroma selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g dan 80 g : 40 g. Namun berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan aroma selai jahe-teh hijau (Lampiran 6).
Tabel 5 Modus penerimaan panelis terhadap aroma selai jahe-teh hijau Perbandingan Konsentrasi Jahe dengan Skor Modus Keterangan Ekstrak Teh Hijau 100 g : 20 g 4 Suka 90 g : 30 g 4 Suka 80 g : 40 g 3 Biasa Hasil uji mutu hedonik terhadap aroma selai jahe-teh hijau menunjukkan modus aroma selai pada semua taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau adalah harum (4). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik aroma selai jahe-teh hijau (Lampiran 7).
penerimaan aroma (%)
94
92
92 90
88
88 86
84
84 82 80 100 g : 20 g
90 g : 30 g
80 g : 40 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 16 Persentase penerimaan panelis terhadap aroma selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau Aroma dalam suatu sistem pangan tidak hanya ditentukan oleh satu komponen saja tetapi oleh beberapa komponen tertentu serta perbandingan jumlah komponen bahan (Susanti 1993, diacu dalam Budiayu 2002). Aroma selai yang dihasilkan merupakan hasil interaksi antara asam sitrat yang ditambahkan dalam pembuatan selai dengan asam organik dari jahe dan teh hijau yang terbentuk selama pemasakan. Menurut Belitz dan Grosch (1999), asam sitrat memberikan aroma yang penting pada selai. Namun, aroma selai didominasi oleh aroma jahe. Jahe mempunyai aroma atau bau harum yang khas dan kuat karena adanya komponen minyak atsiri yang bersifat volatil (Koswara 1995). Aroma jahe masih terasa kuat meskipun jahe sudah diolah menjadi selai. Selain itu, adanya penambahan CMC juga mempengaruhi aroma selai. Glicksman (1986) menyatakan CMC berpengaruh terhadap intensitas aroma produk.
Rasa Rasa makanan merupakan campuran dari tanggapan cicip dan bau. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain senyawa kimia, konsentrasi, suhu, dan interaksi dengan komponen rasa lainnya (Winarno 1997). Rasa selai yang dihasilkan adalah campuran rasa jahe, teh hijau, dan sukralosa. Sukralosa yang ditambahkan dalam pembuatan selai memberikan kontribusi terhadap rasa selai, dimana sukralosa memberikan rasa manis pada selai. Hasil uji hedonik terhadap rasa selai menunjukkan modus penerimaan panelis pada semua taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau adalah tidak suka (2). Hal ini disebabkan oleh adanya rasa pedas dan aftertaste berupa rasa pahit pada selai yang dihasilkan. Persentase penerimaan panelis terhadap rasa selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau adalah berkisar antara 24-40% (Gambar 17). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan rasa selai jahe-teh hijau (Lampiran 8). 45
40
penerimaan rasa (%)
40 35 28
30
24
25 20 15 10 5 0 100 g : 20 g
90 g : 30 g
80 g : 40 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 17 Persentase penerimaan panelis terhadap rasa selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau Hasil uji mutu hedonik terhadap rasa menunjukkan modus rasa selai pada semua taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau adalah pedas (4), sehingga tidak disukai oleh panelis. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik rasa selai jahe-teh hijau (Lampiran 9). Rasa pedas pada selai berasal dari oleoresin jahe. Adanya rasa pedas menunjukkan bahwa selai ini mengandung senyawa antioksidan. Koswara
(1995) menyatakan jahe mengandung oleoresin yang lebih banyak mengandung komponen-komponen non volatil yang merupakan zat pembentuk rasa pedas pada jahe. Gingerol yang memiliki aktivitas antioksidan merupakan salah satu komponen penyusun oleoresin jahe. Menurut Kikuzaki et al. (1991), diacu dalam Junita et al. (2001), rimpang jahe berasa pedas karena adanya komponen 6gingerol dan 6-shogaol yang memiliki aktivitas antioksidasi. Sementara aftertaste berupa rasa pahit pada selai berasal dari kulit dan rimpang jahe serta dari teh hijau. Rasa pahit dari kulit dan rimpang jahe lebih dominan dibandingkan dari teh hijau. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya rasa sepat yang berasal dari teh hijau pada selai yang dihasilkan. Rasa selai tidak dijadikan parameter standar karena selai jahe-teh hijau merupakan produk pangan untuk kesehatan, dimana produk pangan yang memiliki klaim kesehatan umumnya kurang enak untuk dikonsumsi, contohnya jamu. Tekstur Tekstur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pilihan konsumen terhadap suatu produk pangan. Tekstur yang baik akan mendukung citarasa suatu bahan pangan. Hasil uji hedonik terhadap tekstur selai menunjukkan modus penerimaan panelis pada selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g adalah suka (4), sementara pada selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 90 g : 30 g dan 80 g : 40 g adalah biasa (3). Kisaran persentase penerimaan panelis terhadap tekstur selai pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau adalah 84-92%. Pada Gambar 18 dapat dilihat selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g dan 90 g : 30 g memiliki persentase penerimaan tekstur yang sama, yaitu sebesar 84%. Sementara selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 80 g : 40 g memiliki persentase penerimaan tekstur paling tinggi. Hal ini diduga karena selai tersebut memiliki tekstur yang lebih halus jika dibandingkan dengan selai lainnya yang disebabkan oleh rendahnya konsentrasi jahe (padatan) yang ditambahkan jika dibandingkan dengan selai lainnya. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan tekstur selai jahe-teh hijau (Lampiran 10). Hasil uji mutu hedonik terhadap tekstur menunjukkan modus tekstur selai pada semua taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau adalah halus (4). Tekstur selai yang halus disebabkan oleh halusnya bubur jahe yang ditambahkan ke dalam
adonan selai. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik tekstur selai jaheteh hijau (Lampiran 11).
penerimaan tekstur (%)
94
92
92 90 88 86
84
84
100 g : 20 g
90 g : 30 g
84 82 80 80 g : 40 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 18 Persentase penerimaan panelis terhadap tekstur selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau Tekstur produk selai ditentukan oleh padatan yang terdapat dalam selai dan kekentalan. Bubur jahe yang ditambahkan dalam pembuatan selai mempengaruhi tekstur selai, dimana bubur jahe yang halus akan menghasilkan tekstur selai yang halus pula. Selain itu, adanya penambahan hidrokoloid ke dalam adonan selai akan mempengaruhi tekstur selai yang dihasilkan. Hidrokoloid adalah bahan pembentuk gel yang berfungsi untuk memodifikasi tekstur selai sehingga mendapatkan rasa cicip yang disukai (Fardiaz 1988). Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan selai ini adalah CMC. Koswara (1995) menyatakan CMC memiliki kemampuan memperbaiki dan menstabilkan tekstur. Semakin kental selai maka semakin banyak molekul air yang terperangkap dalam struktur gel yang dibentuk oleh CMC, sehingga tekstur selai yang dihasilkan lebih stabil. Daya Oles Daya oles dinyatakan sebagai kemudahan produk menyebar pada permukaan bila produk dioleskan. Jika suatu bahan pangan terlalu keras atau terlalu cair maka akan sulit dioleskan (Budiayu 2002). Daya oles selai berhubungan dengan kekentalan relatif selai. Selai yang memiliki kekentalan yang tinggi menyebabkan sulitnya penyebaran selai pada permukaan yang
dioles, sedangkan selai dengan kekentalan yang rendah (encer) akan meleleh pada permukaan yang dioles. Hasil uji hedonik terhadap daya oles selai menunjukkan modus penerimaan panelis pada semua taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau adalah suka (4). Persentase penerimaan panelis terhadap daya oles selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau adalah berkisar antara 92-96%. Gambar 19 menunjukkan selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g dan 90 g : 30 g memiliki persentase penerimaan daya oles yang sama. Persentase penerimaan daya oles terendah terdapat pada selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 80 g : 40 g, yaitu sebesar 92%. Namun berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan daya oles selai jahe-teh hijau (Lampiran 12).
penerimaan daya oles (%)
97
96
96
96 95 94 93
92
92 91 90 100 g : 20 g
90 g : 30 g
80 g : 40 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 19 Persentase penerimaan panelis terhadap daya oles selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau Hasil uji mutu hedonik terhadap daya oles menunjukkan modus daya oles selai pada semua taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau adalah mudah dioleskan (4). Mudah dioleskan berarti selai saat dioleskan di atas permukaan roti tidak putus-putus dan dapat diratakan. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik daya oles selai jahe-teh hijau (Lampiran 13). Penerimaan Umum Penerimaan umum adalah penilaian secara keseluruhan terhadap produk yang berkaitan dengan tingkat kesukaan dan bukan mengukur penerimaan terhadap sifat sensorik tertentu yang bertujuan untuk mengetahui apakah produk
dapat diterima atau tidak (Soekarto 1985). Penerimaan umum terhadap selai jahe-teh hijau yang dihasilkan berdasarkan pada kesukaan panelis terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan daya oles selai. Hasil uji hedonik terhadap penerimaan umum selai menunjukkan modus penerimaan panelis berkisar antara tidak suka (2) sampai biasa (3). Modus penerimaan umum panelis terhadap selai jahe-teh hijau disajikan pada Tabel 6. Persentase penerimaan umum panelis terhadap selai jahe-teh hijau berkisar antara 28-56%, artinya semua aspek yang dinilai meliputi warna, aroma, rasa, tekstur, dan daya oles dari selai jahe-teh hijau kurang dapat diterima oleh panelis. Rendahnya persentase penerimaan umum panelis terhadap selai yang dihasilkan kemungkinan utama disebabkan oleh ketidaksukaan panelis terhadap rasa selai yang pedas dan mempunyai aftertaste. Gambar 20 menunjukkan persentase penerimaan umum terhadap selai jahe-teh hijau cenderung mengalami penurunan dengan semakin kecilnya konsentrasi jahe dan dengan semakin besarnya konsentrasi ekstrak teh hijau yang ditambahkan. Hal ini diduga karena aroma jahe yang mendominasi aroma selai semakin menurun. Umumnya panelis menyukai selai dengan aroma jahe yang kuat dan rasa selai yang tidak pedas dan tidak pahit. Namun berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap penerimaan umum selai jahe-teh hijau (Lampiran 14).
penerimaan umum (%)
60
56
50 40 40 28
30 20 10 0 100 g : 20 g
90 g : 30 g
80 g : 40 g
proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Gambar 20 Persentase penerimaan umum panelis terhadap selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau
Tabel 6 Modus penerimaan umum panelis terhadap selai jahe-teh hijau Perbandingan Konsentrasi Jahe dengan Skor Modus Keterangan Ekstrak Teh Hijau 100 g : 20 g 3 Biasa 90 g : 30 g 2 Tidak suka 80 g : 40 g 2 Tidak suka 6.
Penentuan Formula (Produk) Terbaik Penentuan formula terbaik berdasarkan pada persentase penerimaan
panelis terbesar terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, daya oles, dan penerimaan umum selai jahe-teh hijau. Selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g memiliki persentase penerimaan warna, rasa, daya oles, dan penerimaan umum terbesar. Namun berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, parameter warna, rasa, daya oles, dan penerimaan umum tidak berbeda nyata (p > 0,05) antar taraf proporsi jahe : ekstrak teh hijau. Berdasarkan persentase penerimaan umum panelis terbesar terhadap selai jahe-teh hijau, maka selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g terpilih sebagai produk terbaik yang kemudian digunakan dalam penelitian lanjutan. Penelitian Lanjutan 1.
Kadar Gingerol dan Katekin dalam Selai Jahe-Teh Hijau Terbaik Selai jahe-teh hijau terbaik yang diperoleh dari hasil penelitian pendahuluan
dianalisis kadar senyawa antioksidannya, yaitu kadar gingerol dan kadar katekin. Senyawa antioksidan yang terkandung dalam selai jahe-teh hijau berasal dari jahe dan ekstrak teh hijau yang merupakan bahan utama dalam pembuatan selai ini. Jahe mengandung senyawa gingerol yang memiliki aktivitas antioksidan. Menurut Yanishlieva, Sofia dan Heinonen (2001), gingerol, shogaol, dan zingeron dilaporkan mempunyai aktivitas antioksidan yang tinggi. Aktivitas antioksidan senyawa gingerol dimulai pada konsentrasi 50-200 μM atau 21,987,6 mg (Kikuzaki & Nakatani 1993). Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar gingerol dalam selai jahe-teh hijau adalah sebesar 114,39 ppm. Berdasarkan konsentrasi gingerol yang memiliki aktivitas antioksidan, maka kontribusi gingerol per konsumsi selai adalah sebesar 2,6-10,4%. Selai jahe-teh hijau mengandung senyawa gingerol karena senyawa gingerol pada jahe tahan terhadap panas
walaupun jahe telah mengalami pengolahan. Menurut Lee et al. (1992), diacu dalam Yusuf (2002), gingerol cukup stabil terhadap efek pemanasan, dimana aktivitas antioksidan senyawa gingerol masih dua pertiganya setelah pemanasan 1000C. Ekstrak teh hijau mengandung senyawa katekin yang mempunyai aktivitas antioksidan. Komponen katekin terdiri dari katekin, epikatekin, epikatekin galat, epigalokatekin, dan epigalokatekin galat dengan daya antioksidan masingmasing sebesar 2,40; 2,50; 4,93; 3,82; dan 4,75 (Tuminah 2004). Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar katekin, epikatekin, dan epikatekin galat dalam selai jahe-teh hijau berturut-turut sebesar 12,45 ppm, 3,85 ppm, dan 4,3 ppm. Rohdiana (2006) menyatakan untuk mendapatkan khasiat bagi kesehatan, idealnya setiap orang mengkonsumsi minimal 125 mg katekin per hari. Jadi, kontribusi katekin per konsumsi selai per hari adalah sebesar 0,2 %. 2.
Perubahan Mutu Selai Jahe-Teh Hijau Selama Penyimpanan Umur simpan suatu bahan pangan berhubungan erat dengan populasi
mikroorganisme dalam bahan pangan itu sendiri. Mikroorganisme yang tumbuh pada kebanyakan bahan pangan berasal dari lingkungan, misalnya dari udara, air, tanah, dan debu (pencemar). Namun, hanya sebagian saja dari berbagai pencemar tersebut yang berperan sebagai pencemar mikroba awal yang akan berkembang pada bahan pangan sampai jumlah tertentu, artinya populasi mikroorganisme yang berada pada suatu bahan pangan umumnya bersifat sangat spesifik dan tergantung pada jenis bahan pangan dan kondisi tertentu dari penyimpanan (Buckle et al. 1987). Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat bersifat fisik, kimia, atau biologis. Faktor-faktor tersebut diklasifikasikan oleh Mossel (1971), diacu dalam Syarief (1989) sebagai berikut : intrinsik (sifat bahan pangan itu sendiri), pengolahan (perubahan dari mikroflora awal sebagai akibat dari cara pengolahan bahan pangan), ekstrinsik (kondisi lingkungan dari penanganan dan penyimpanan bahan pangan), implisit (sifat organisme itu sendiri). Selai jahe-teh hijau selama penyimpanan 0 minggu, 2 minggu, dan 4 minggu dapat dilihat pada Gambar 21.
Keterangan : L0.2 = penyimpanan 0 minggu L2.2 = penyimpanan 2 minggu L4.2 = penyimpanan 4 minggu
Gambar 21 Selai jahe-teh hijau selama penyimpanan 3.
Sifat Kimia Selai Jahe-Teh Hijau Selama Penyimpanan
Kadar Air Kadar air sangat penting dalam menentukan daya awet suatu bahan pangan
karena
mempengaruhi
sifat
fisik,
perubahan
kimia,
perubahan
mikrobiologi, dan perubahan enzimatis (Buckle et al. 1987). Kadar air dalam bahan pangan akan berubah-ubah sesuai dengan lingkungannya. Kadar air selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf lama penyimpanan berkisar
antara
89,80-90,36%.
Dari
Gambar
22
dapat
dilihat
adanya
kecenderungan kenaikan kadar air selai selama penyimpanan. Selai pada penyimpanan minggu ke-0 memiliki kadar air terendah, yaitu sebesar 89,80% dan mengalami peningkatan kadar air pada penyimpanan minggu ke-2 dan minggu ke-4. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kadar air selai jahe-teh hijau. Hasil sidik ragam disajikan pada Lampiran 32. Adanya aktivitas mikroba yang mendegradasi makromolekul-makromolekul bahan penyusun selai sehingga menghasilkan air bebas serta adanya air yang dilepaskan oleh mikroba sebagai hasil metabolismenya menyebabkan kadar air selai selama penyimpanan mengalami sedikit peningkatan. Frazier dan Westhoff (1978) menyatakan mikroba mengubah substrat dan melepaskan air hasil metabolismenya sehingga jumlah air bebas dalam substrat meningkat. Adapun air yang teranalisis pada penetapan kadar air adalah air bebas dan air yang terikat secara fisik, dimana jika jumlah air bebas meningkat maka kadar air juga
meningkat. Kadar air selai pada awal penyimpanan yang tinggi menyebabkan selai mudah terkontaminasi oleh mikroba. 90.50 90.40
90.36
90.31
kadar air (%)
90.30 90.20 90.10 90.00 89.90
89.80
89.80 89.70 89.60 89.50 0 minggu
2 minggu
4 minggu
m asa sim pan
Gambar 22 Kadar air selai jahe-teh hijau selama penyimpanan Total Asam Total asam adalah konsentrasi ion hidrogen terdisosiasi maupun tidak terdisosiasi. Total asam berhubungan erat dengan nilai pH yang sering dijadikan parameter untuk melihat daya awet suatu produk pangan. Total asam selai jahe-teh hijau selama penyimpanan berkisar antara 42,2950,18 ml NaOH 0,1 N/100 g (Gambar 23). Total asam selai cenderung meningkat dengan semakin lamanya waktu penyimpanan, dimana selai pada penyimpanan minggu ke-4 memiliki total asam paling tinggi, yaitu sebesar 50,18 ml NaOH 0,1 N/100 g. Namun berdasarkan hasil sidik ragam, lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap total asam selai jahe-teh hijau. Hasil sidik ragam disajikan pada Lampiran 33. Peningkatan total asam selai selama penyimpanan disebabkan oleh adanya pertumbuhan mikroba yang melakukan aktivitasnya. Buckle et al. (1987) menyatakan
selama
penyimpanan
bahan
pangan,
mikroba
melakukan
aktivitasnya yang dapat menimbulkan kerusakan bahan pangan dengan menghasilkan asam. Karbohidrat yang terkandung dalam selai digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya karena mikroba memerlukan zat gizi untuk hidup, sehingga karbohidrat dalam selai mengalami degradasi menjadi gula sederhana dan pemecahan lebih lanjut dari gula menjadi asam. Asam yang terbentuk akibat adanya aktivitas mikroba menyebabkan total asam selai meningkat. Bakteri, kapang, dan khamir mempunyai daya perusak terhadap
bahan pangan dengan cara menghidrolisis makromolekul-makromolekul yang menyusun bahan pangan menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil, misalnya karbohidrat menjadi gula sederhana atau pemecahan lebih lanjut dari gula menjadi asam-asam (Syarief 1989).
TAT (ml NaOH 0.1 N/100 g)
52.00
50.18
50.00 48.00 46.00 44.00
42.29
42.93 ..
42.00 40.00 38.00 0 minggu
2 minggu
4 minggu
m asa sim pan
Gambar 23 Total asam selai jahe-teh hijau selama penyimpanan pH Nilai pH diperoleh dari pengukuran konsentrasi ion hidrogen yang ada di dalam larutan, yaitu dalam bentuk asam terdisosiasi. Nilai pH menunjukkan derajat keasaman atau kebasaan suatu sampel. Semakin rendah nilai pH sampel maka derajat keasaman sampel tersebut semakin tinggi. pH berkaitan dengan umur simpan bahan pangan, sehingga nilai pH suatu bahan pangan perlu diketahui karena mempengaruhi jumlah dan jenis jasad renik yang dapat tumbuh dalam bahan pangan tersebut (Fardiaz 1988). Kisaran pH selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf lama penyimpanan adalah 4,194-4,436. Nilai pH selai jahe-teh hijau selama penyimpanan cenderung mengalami penurunan dengan semakin lamanya waktu penyimpanan (Gambar 24). Selai pada penyimpanan minggu ke-4 memiliki pH paling rendah yaitu sebesar 4,194. Namun berdasarkan hasil sidik ragam, lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap nilai pH selai jahe-teh hijau. Hasil sidik ragam disajikan pada Lampiran 34.
4.500 4.450
4.436
4.400 4.322
pH
4.350 4.300 4.250
4.194
4.200 4.150 4.100 4.050 0 minggu
2 minggu
4 minggu
m asa sim pan
Gambar 24 Nilai pH selai jahe-teh hijau selama penyimpanan Penurunan
pH
selai
selama
penyimpanan
dikarenakan
adanya
pertumbuhan mikroba yang melakukan aktivitasnya dengan mendegradasi karbohidrat yang terkandung dalam selai menjadi gula sederhana dan pemecahan lebih lanjut dari gula menjadi asam. Asam yang terbentuk karena adanya aktivitas mikroba menyebabkan pH selai menurun. pH berhubungan erat dengan total asam, dimana kenaikan total asam menunjukkan penurunan pH. Syarief (1989) menyatakan asam yang terbentuk sebagai hasil pemecahan karbohidrat oleh mikroba dapat menurunkan pH. Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba adalah pH. Bahan pangan pada umumnya mempunyai kisaran pH antara 3-8. Khamir dan sebagian besar kapang pada umumnya tumbuh lebih baik pada suasana asam, sementara hanya ada beberapa bakteri yang tumbuh baik pada suasana asam. Menurut Syarief (1989), khamir yang tahan asam sering dikaitkan dengan kerusakan selai. Aw (Aktivitas Air) Air dalam substrat yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba biasanya dinyatakan dengan istilah water activity (Aw), yaitu perbandingan antara tekanan uap air dari larutan (P) dengan tekanan uap air murni pada suhu yang sama (Po) (Syarief 1989). Nilai Aw dapat mengontrol laju dan jenis perusakan bahan pangan dan merupakan suatu indeks bagi stabilitas dan kerusakan pangan, sehingga pengukuran Aw penting untuk dilakukan. Aw selai jahe-teh hijau selama penyimpanan berkisar antara 0,903-0,912. Gambar 25 menunjukkan selai pada awal penyimpanan memiliki nilai Aw
tertinggi, yaitu sebesar 0,912. Nilai Aw selai mengalami penurunan sebesar 0,009 pada penyimpanan minggu ke-2 dan pada penyimpanan minggu ke-4 nilai Aw selai mengalami peningkatan kembali menjadi 0,908. Namun berdasarkan hasil sidik ragam, lamanya penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap Aw selai jahe-teh hijau. Hasil sidik ragam disajikan pada Lampiran 35. 0.914 0.912
0.912
0.910 0.908
Aw
0.908 0.906 0.903
0.904 0.902 0.900 0.898 0 minggu
2 minggu
4 minggu
m asa sim pan
Gambar 25 Aw selai jahe-teh hijau selama penyimpanan Aw selai mengalami peningkatan kembali pada penyimpanan minggu ke-4. Hal ini diduga karena ada aktivitas mikroba yang meningkatkan jumlah air bebas dalam selai, sehingga Aw selai juga mengalami peningkatan. Mikroba dapat meningkatkan nilai Aw dengan mengubah substrat atau melepaskan air hasil metabolismenya sehingga diperoleh air bebas (Frazier & Westhoff 1978). Menurut Buckle et al. (1987), stabilitas selai terhadap mikroorganisme dikendalikan oleh sejumlah faktor, antara lain Aw dalam kisaran antara 0,750,83. Nilai Aw selai jahe-teh hijau pada awal penyimpanan yang tinggi melebihi standar nilai Aw selai (0,75-0,83) menyebabkan selai mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme. Adapun jenis mikroorganisme perusak spesifik pada kisaran Aw 0,87-0,91 adalah kebanyakan khamir, sementara mikroorganisme perusak pada kisaran Aw 0,91-0,95 adalah kebanyakan koli, laktobasili, sel vegetatif Bacillaceae, dan beberapa kapang (Mossel 1975, diacu dalam Syarief 1989).
4.
Sifat Fisik Selai Jahe-Teh Hijau Selama Penyimpanan
Viskositas Kestabilan produk semi basah seperti selai dapat dilihat dari perubahan kekentalannya. Jika terjadi perubahan kekentalan yang nyata, kemungkinan besar produk tersebut sudah mengalami penurunan mutu. Viskositas selai jahe-teh hijau selama penyimpanan berkisar antara 1400015000 cp. Dari Gambar 26 dapat dilihat selai pada awal penyimpanan memiliki viskositas terendah, yaitu sebesar 14000 cp. Viskositas selai mengalami peningkatan menjadi 15000 cp pada penyimpanan minggu ke-2 dan tetap stabil atau tidak mengalami perubahan viskositas pada penyimpanan minggu ke-4. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lamanya penyimpanan memberikan pengaruh yang sangat nyata (p<0,01) terhadap viskositas selai jahe-teh hijau. Uji lanjut Duncan menunjukkan viskositas selai pada penyimpanan minggu ke-0 berbeda sangat nyata dengan viskositas selai pada penyimpanan minggu ke-2 dan minggu ke-4, sedangkan viskositas selai pada penyimpanan minggu ke-2 tidak berbeda nyata dengan viskositas selai pada penyimpanan minggu ke-4. Hasil sidik ragam disajikan pada Lampiran 36. 15200
15000
15000
2 minggu
4 minggu
15000 viskositas (cp)
14800 14600 14400 14200
14000
14000 13800 13600 13400 0 minggu
m asa sim pan
Gambar 26 Viskositas selai jahe-teh hijau selama penyimpanan Viskositas selai jahe-teh hijau selama penyimpanan minggu ke-2 dan minggu ke-4 tidak berbeda nyata. Hal ini disebabkan oleh adanya penambahan CMC dalam pembuatan selai yang dapat memberikan kekentalan pada produk. Kemampuan CMC dalam mengikat air yang dapat meningkatkan kekentalan produk tidak berkurang selama penyimpanan, karena CMC stabil pada kisaran
pH selai selama penyimpanan, yaitu antara 4,194-4,436. Menurut Glicksman (1986), larutan CMC stabil pada pH 4-10. Selain itu, penambahan asam sitrat dapat mempertahankan kekentalan selai. Asam sitrat berperan sebagai sumber ion hidrogen yang akan memperkuat struktur gel (Naidu 2000). 5.
Sifat Mikrobiologis Selai Jahe-Teh Hijau Selama Penyimpanan
Total Mikroba Bahan pangan jarang dijumpai dalam keadaan steril, dimana hampir semua bahan pangan tercemar oleh berbagai mikroorganisme dari lingkungan sekitarnya (Buckle et al. 1987). Oleh karena itu, analisis kuantitatif mikrobiologi pada bahan pangan sangat penting dilakukan untuk mengetahui mutu bahan pangan. Analisis mikrobiologi yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode Total Plate Counts (TPC). TPC adalah suatu metode untuk menentukan jumlah mikroorganisme dalam bahan pangan tetapi metode tersebut tidak bisa menentukan jenis mikroorganisme spesifik lebih lanjut. Prinsip metode hitungan cawan (TPC) adalah jika sel jasad renik yang masih hidup ditumbuhkan pada medium agar, maka sel jasad renik tersebut akan berkembangbiak dan membentuk koloni yang dapat dilihat dan dihitung langsung tanpa menggunakan mikroskop (Fardiaz 1988). Kisaran nilai logaritma total mikroba selai selama penyimpanan adalah 1,63-7,69 Log 10 CFU/g atau total mikroba selai selama penyimpanan berkisar antara 4,3 x 101 - 4,9 x 107 CFU/g. Gambar 27 menunjukkan nilai logaritma total mikroba
selai
cenderung
meningkat
dengan
semakin
lamanya
waktu
penyimpanan. Namun berdasarkan hasil sidik ragam, lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap total mikroba selai jahe-teh hijau. Hasil sidik ragam disajikan pada Lampiran 37. Selai pada awal penyimpanan mengandung total mikroba paling rendah dan total mikroba semakin meningkat selama penyimpanan selai. Hal ini menunjukkan ada pertumbuhan mikroba selama penyimpanan selai. Adanya pertumbuhan
mikroba
dikarenakan
nilai
Aw
selai
yang
tinggi
selama
penyimpanan, yaitu dengan kisaran 0,903-0,912. Aw adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya, dimana mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik dalam media dengan nilai Aw yang cukup tinggi. Menurut Buckle et al. (1987), bakteri umumnya tumbuh dan berkembangbiak hanya dalam media dengan nilai Aw
tinggi (0,91), khamir membutuhkan nilai Aw lebih rendah (0,87-0,91) dan kapang lebih rendah lagi (0,80-0,87). Penyimpanan selai pada suhu ruang menyebabkan mikroorganisme tumbuh dengan baik, dimana suhu ruang merupakan suhu optimum bagi pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme. Suhu optimum adalah suhu dimana pertumbuhan mikroorganisme paling cepat (Buckle et al. 1987). Selain itu, kadar air selai pada awal penyimpanan yang tinggi menyebabkan selai mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme.
total mikroba (Log 10 CFU/g)
9
7.69
8 7 6
4.83
5 4 3 2
1.63
1 0 0 minggu
2 minggu
4 minggu
m asa sim pan
Gambar 27 Total mikroba selai jahe-teh hijau selama penyimpanan Selai jahe-teh hijau cepat mengalami kerusakan yang ditandai dengan adanya pertumbuhan mikroba yang cukup tinggi selama penyimpanan. Hal ini dikarenakan selai tercemar kembali oleh udara selama pendinginan sebelum selai dimasukkan ke dalam gelas jar dan ditutup. Menurut Jenie (1991), makanan yang diolah dengan panas bila tercemar kembali akan cepat mengalami kerusakan. Selain itu, penirisan wadah selai (gelas jar) setelah disterilisasi menyebabkan wadah terkontaminasi ulang. Hal ini menyebabkan cemaran awal pada selai. Pengolahan selai dengan pemanasan selama ± 30 menit pada suhu 880C (pasteurisasi) memungkinkan spora bakteri tahan panas masih hidup. Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan dengan suhu yang relatif cukup rendah (umumnya di bawah 100°C) dengan tujuan untuk mengurangi populasi mikroorganisme pembusuk, sehingga bahan pangan yang dipasteurisasi mempunyai daya awet beberapa hari sampai beberapa bulan. Jenie (1991) menyatakan pasteurisasi dengan panas ringan (760C, 30 menit) masih memungkinkan spesies termodurik seperti Micrococcus dan Streptococcus serta spesies pembentuk spora (Bacillus dan Clostridium) tetap hidup.
Adanya penambahan natrium benzoat sebanyak 0,05% ternyata tidak mampu menekan pertumbuhan mikroba selama penyimpanan selai. Hal ini diduga karena adanya cemaran awal yang cukup tinggi, sehingga diperlukan konsentrasi natrium benzoat yang lebih tinggi. Desrosier (1988) menyatakan makanan yang mempunyai kontaminasi awal rendah cukup menggunakan natrium benzoat dengan konsentrasi 0,05%, sedangkan makanan yang kontaminan awalnya sudah tinggi sebaiknya diberikan natrium benzoat sampai 0,1%. Selai jahe-teh hijau mengandung senyawa antimikroba, yaitu senyawa fenol yang berasal dari jahe dan ekstrak teh hijau. Fenol konsentrasi tinggi dapat merusak sel mikroorganisme dengan cara menyebabkan koagulasi protein serta menyebabkan kebocoran membran dan dinding sel, sedangkan fenol pada konsentrasi rendah akan menyebabkan inaktivasi enzim-enzim yang penting dalam metabolisme sel mikroorganisme (Fardiaz, Suliantari & Dewanti 1988). Gingerol (senyawa turunan fenol) yang terkandung dalam jahe dan katekin (senyawa polifenol) yang terkandung dalam teh hijau disamping berfungsi sebagai
antioksidan,
juga
berfungsi
sebagai
antimikroba
yang
dapat
menghambat pertumbuhan kapang, khamir, maupun bakteri. Namun menurut Syarief (1989), senyawa antimikroba tersebut bekerja spesifik, sehingga bahan pangan yang mengandung penghambat tersebut masih tetap dapat rusak oleh mikroorganisme yang tahan terhadap antimikroba tersebut. Menurut SNI 01-3746-1995, angka lempeng total mikroba pada selai buah maksimum sebesar 5 x 102 koloni. Berdasarkan hasil uji mikrobiologi, total mikroba selai pada awal penyimpanan berada di bawah batas maksimum angka lempeng total mikroba yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional, sehingga selai aman untuk dikonsumsi. Total mikroba selai pada penyimpanan minggu ke-2 dan minggu ke-4 sudah melebihi batas maksimum angka lempeng total mikroba standar. 6.
Mutu Organoleptik Selai Jahe-Teh Hijau Selama Penyimpanan
Warna Bahan pangan yang enak, bertekstur baik, dan mempunyai nilai gizi tidak akan dikonsumsi jika memiliki warna yang tidak enak dipandang atau memberikan kesan telah menyimpang dari warna seharusnya. Penilaian suatu produk berupa warna dilakukan oleh indera mata (Damayanthi et al. 1997).
Daya terima panelis terhadap warna selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf lama penyimpanan memiliki skor modus 2 (tidak suka) dan 4 (suka). Modus penerimaan panelis terhadap warna selai disajikan pada Tabel 7. Adapun kisaran persentase penerimaan panelis terhadap warna selai pada berbagai taraf lama penyimpanan adalah 53,33-73,33%. Gambar 28 menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan persentase penerimaan panelis terhadap warna selai dengan semakin lamanya waktu penyimpanan selai, dimana persentase penerimaan warna tertinggi terdapat pada selai yang disimpan pada minggu ke-4 yaitu sebesar 73,33%. Tabel 7 Modus penerimaan panelis terhadap warna selai selama penyimpanan Penyimpanan Skor Modus Keterangan 0 minggu 2 Tidak suka 2 minggu 2 Tidak suka 4 minggu 4 Suka Namun berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, lamanya penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan warna selai jahe-teh hijau (Lampiran 15). Hal ini diduga karena adanya penambahan zat pewarna ke dalam adonan selai yang menyebabkan warna selai tetap stabil selama penyimpanan, sehingga warna selai dapat diterima oleh panelis sampai penyimpanan minggu ke-4. 80.00
73.33
penerimaan warna (%)
70.00 60.00
60 53.33
50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0 minggu
2 minggu
4 minggu
m asa sim pan
Gambar 28 Persentase penerimaan panelis terhadap warna selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf lama penyimpanan Hasil uji mutu hedonik terhadap warna menunjukkan modus warna selai pada semua taraf lama penyimpanan adalah cerah (4). Selai tetap berwarna cerah sampai penyimpanan minggu ke-4 dikarenakan adanya zat pewarna yang
ditambahkan dalam pembuatan selai, dimana zat pewarna bersifat stabil dalam sistem pangan. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lamanya penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik warna selai jahe-teh hijau (Lampiran 16). Aroma Aroma makanan berperan sangat penting dalam menentukan daya terima konsumen. Penilaian aroma dilakukan oleh indera pembau. Pembauan disebut juga pencicipan jarak jauh karena seseorang dapat mengetahui enak tidaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium baunya dari jauh (Soekarto 1985). Secara umum, aroma selai jahe-teh hijau selama penyimpanan dapat diterima oleh panelis. Daya terima panelis terhadap aroma selai untuk semua taraf lama penyimpanan memiliki skor modus 4 (suka). Persentase penerimaan panelis terhadap aroma selai pada berbagai taraf lama penyimpanan berkisar antara 86,67-100%. Dari Gambar 29 dapat dilihat persentase penerimaan aroma selai cenderung meningkat sejalan dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Hal ini diduga karena aroma jahe yang mendominasi aroma selai semakin kuat, dimana panelis menyukai selai dengan aroma jahe yang kuat. Selai pada penyimpanan minggu ke-4 dengan persentase penerimaan aroma sebesar 100% cenderung lebih diterima daripada selai yang disimpan pada minggu ke-0 dan minggu ke-2. Namun berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan aroma selai jaheteh hijau (Lampiran 17). Hasil uji mutu hedonik terhadap aroma selai jahe-teh hijau pada semua taraf lama penyimpanan menunjukkan modus aroma selai adalah harum (4). Aroma selai yang harum berasal dari aroma jahe yang berbau harum dan khas, dimana aroma jahe tetap tercium sampai penyimpanan minggu ke-4. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lamanya penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik aroma selai jahe-teh hijau (Lampiran 18).
100
penerimaan aroma (%)
100.00
95.00
93.33
90.00 86.67 85.00
80.00 0 minggu
2 minggu
4 minggu
m asa sim pan
Gambar 29 Persentase penerimaan panelis terhadap aroma selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf lama penyimpanan Tekstur Tekstur adalah sekelompok sifat fisik yang ditimbulkan oleh elemen struktural bahan pangan yang dapat dirasa oleh perabaan. Berdasarkan hasil uji hedonik, panelis masih dapat menerima tekstur selai jahe-teh hijau sampai penyimpanan minggu ke-4. Penerimaan panelis terhadap tekstur selai pada berbagai taraf lama penyimpanan memiliki skor modus antara 2 sampai 4. Modus penerimaan panelis terhadap tekstur selai (Tabel 8) menunjukkan bahwa panelis
semakin
menyukai
tekstur
selai
dengan
bertambahnya
waktu
penyimpanan selai. Tabel 8 Modus penerimaan panelis terhadap tekstur selai selama penyimpanan Penyimpanan Skor Modus Keterangan 0 minggu 2 Tidak suka 2 minggu 3 Biasa 4 minggu 4 Suka Persentase penerimaan panelis terhadap tekstur selai pada berbagai taraf lama penyimpanan berkisar antara 60-80%. Dari Gambar 30 dapat dilihat adanya kecenderungan kenaikan persentase penerimaan panelis terhadap tekstur selai dengan semakin lamanya waktu penyimpanan, dimana persentase penerimaan tekstur tertinggi terdapat pada selai yang disimpan pada minggu ke-4 yaitu sebesar 80%. Namun berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan tekstur selai jaheteh hijau (Lampiran 19).
90 73.33
penerimaan tekstur (%)
80 70
80
60
60 50 40 30 20 10 0 0 minggu
2 minggu
4 minggu
m asa sim pan
Gambar 30 Persentase penerimaan panelis terhadap tekstur selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf lama penyimpanan Semakin lama penyimpanan maka panelis semakin menyukai tekstur selai jahe-teh hijau. Hal ini diduga karena tekstur selai semakin halus dengan bertambahnya waktu penyimpanan. Adanya mikroorganisme yang tumbuh pada selai menyebabkan tekstur selai menjadi halus selama penyimpanan. Syarief (1989) menyatakan mikroba mempunyai daya perusak terhadap bahan pangan dengan cara mendegradasi makromolekul-makromolekul yang menyusun bahan pangan menjadi fraksi-fraksi yang lebih kecil sehingga bahan dapat mengalami pelunakan. Karbohidrat yang terkandung dalam selai didegradasi oleh mikroba menjadi gula sederhana dan dengan terpecahnya karbohidrat (pati, selulosa) maka selai mengalami pelunakan atau menjadi semakin halus. Hasil uji mutu hedonik terhadap tekstur selai jahe-teh hijau pada semua taraf lama penyimpanan menunjukkan modus tekstur selai adalah halus (4), dimana hal ini disukai oleh panelis. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik tekstur selai jahe-teh hijau (Lampiran 20). Daya Oles Pengamatan terhadap daya oles dilakukan dengan cara mengoleskan selai dengan menggunakan pisau roti ke permukaan roti. Daya oles selai dinilai baik jika selai dapat teroles secara merata dan halus pada permukaan roti. Dari hasil uji hedonik terhadap daya oles dapat diketahui bahwa daya oles selai jahe-teh hijau selama penyimpanan disukai oleh panelis. Hal ini dapat dilihat dari modus
penerimaan panelis terhadap daya oles selai pada semua taraf lama penyimpanan adalah suka (4). Persentase penerimaan panelis terhadap daya oles selai pada semua taraf lama penyimpanan adalah sebesar 100% (Gambar 31), artinya daya oles selai selama penyimpanan sangat diterima oleh panelis dan panelis tetap menyukai daya oles selai sampai penyimpanan minggu ke-4. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan daya oles selai jahe-teh hijau (Lampiran 21).
penerimaan daya oles (%)
100
100
100
100
0 minggu
2 minggu
4 minggu
80 60 40 20 0 m asa sim pan
Gambar 31 Persentase penerimaan panelis terhadap daya oles selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf lama penyimpanan Hasil uji mutu hedonik terhadap daya oles menunjukkan modus daya oles selai pada semua taraf lama penyimpanan adalah mudah dioleskan (4). Selai tetap mudah dioleskan ke permukaan roti sampai penyimpanan minggu ke-4. Hal ini dikarenakan adanya CMC yang ditambahkan dalam pembuatan selai, dimana CMC dapat memberikan kekentalan yang mantap pada produk sehingga daya oles selai tidak mengalami perubahan selama penyimpanan. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lamanya penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik daya oles selai jahe-teh hijau (Lampiran 22). Penerimaan Umum Penerimaan umum terhadap selai jahe-teh hijau yang disimpan selama 0 minggu, 2 minggu, dan 4 minggu berdasarkan pada kesukaan panelis terhadap warna, aroma, tekstur, dan daya oles selai selama penyimpanan. Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa penerimaan umum panelis terhadap selai jahe-teh hijau selama penyimpanan sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari modus
penerimaan umum panelis pada semua taraf lama penyimpanan memiliki skor modus 4 (suka). Persentase penerimaan umum panelis terhadap selai jahe-teh hijau selama penyimpanan berkisar antara 80-86,67%. Persentase penerimaan umum tertinggi terdapat pada selai yang disimpan pada minggu ke-0, sementara selai yang disimpan pada minggu ke-2 dan minggu ke-4 memiliki besar persentase penerimaan umum yang sama yaitu 80%. Gambar 32 menunjukkan selai yang disimpan pada minggu ke-0 cenderung lebih diterima oleh panelis daripada selai yang disimpan pada minggu ke-2 dan minggu ke-4. Hal ini dikarenakan selai yang disimpan pada minggu ke-0 belum mengalami perubahan secara fisik dan kimia pada awal penyimpanan yang dapat mempengaruhi organoleptik. Namun berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, lamanya penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap penerimaan umum selai jahe-teh hijau (Lampiran 23).
penerimaan umum (%)
88.00
86.67
86.00 84.00 82.00 80
80
2 minggu
4 minggu
80.00 78.00 76.00 0 minggu
m asa sim pan
Gambar 32 Persentase penerimaan umum panelis terhadap selai jahe-teh hijau pada berbagai taraf lama penyimpanan
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Proses pembuatan selai jahe-teh hijau terdiri dari beberapa tahap, yaitu persiapan bahan (pembuatan bubur jahe, ekstrak teh hijau, dan larutan CMC), pencampuran bubur jahe-ekstrak teh hijau-larutan CMC, penambahan asam sitrat dan pewarna makanan ke dalam adonan selai, pemasakan selama ± 30 menit pada suhu 880C, uji spoon test, penambahan natrium benzoat dan sukralosa setelah pemasakan, homogenisasi, dan tahap terakhir adalah pewadahan selai. Penentuan proporsi jahe : ekstrak teh hijau dilakukan secara trial and error sehingga dihasilkan tiga formula selai, yaitu 100 g jahe : 20 g ekstrak teh hijau, 90 g jahe : 30 g ekstrak teh hijau, dan 80 g jahe : 40 g ekstrak teh hijau. Berdasarkan hasil sidik ragam, proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kadar air, pH, total asam, serat makanan total, serat makanan tidak larut, serat makanan larut, dan total energi selai jahe-teh hijau. Sementara kadar gula total tidak dianalisis secara statistik karena ketiga formula selai mengandung gula < 1% (tidak terdeteksi). Proporsi jahe : ekstrak teh hijau juga tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap viskositas selai jahe-teh hijau. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa proporsi jahe : ekstrak teh hijau tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan warna, aroma, rasa, tekstur, daya oles, dan penerimaan umum selai jahe-teh hijau. Proporsi jahe : ekstrak teh hijau juga tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik warna, aroma, rasa, tekstur, dan daya oles selai jahe-teh hijau. Berdasarkan persentase penerimaan panelis terbesar terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, daya oles, dan penerimaan umum selai jahe-teh hijau, selai dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g terpilih sebagai produk terbaik yang digunakan dalam penelitian lanjutan. Selai jahe-teh hijau terbaik dengan proporsi jahe : ekstrak teh hijau 100 g : 20 g mengandung gingerol sebanyak 114,39 ppm, katekin sebanyak 12,45 ppm, epikatekin sebanyak 3,85 ppm, dan epikatekin galat sebanyak 4,3 ppm. Berdasarkan hasil sidik ragam, lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap kadar air, pH, total asam, dan aktivitas air (Aw) selai jahe-teh hijau. Namun, lama penyimpanan memberikan pengaruh yang
sangat nyata (p<0,01) terhadap viskositas selai jahe-teh hijau. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05) terhadap total mikroba selai jahe-teh hijau. Total mikroba selai pada awal penyimpanan berada di bawah batas maksimum angka lempeng total mikroba yang ditetapkan oleh Badan Standardisasi Nasional (SNI 01-37461995), yaitu di bawah 5 x 102 koloni. Namun, total mikroba selai pada penyimpanan minggu ke-2 dan minggu ke-4 sudah melebihi batas maksimum angka lempeng total mikroba standar. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan warna, aroma, tekstur, daya oles, dan penerimaan umum selai jahe-teh hijau. Lamanya penyimpanan juga tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap mutu hedonik warna, aroma, tekstur, dan daya oles selai jahe-teh hijau. Saran Berdasarkan hasil penelitian, rasa selai jahe-teh hijau kurang disukai oleh panelis sehingga perlu diperbaiki, misalnya dengan penambahan essence. Selain itu, agar daya simpan selai jahe-teh hijau lebih lama maka sebaiknya selai ditambahkan natrium benzoat dengan konsentrasi 0,1% dan perlu dilakukan teknik pengemasan selai, misalnya dengan kemasan yang ditutup hampa. Penelitian ini perlu dilanjutkan untuk melihat masa simpan selai jahe-teh hijau pada suhu dingin. Uji aktivitas antioksidan selama penyimpanan selai juga perlu dilakukan untuk melihat pengaruh penyimpanan terhadap perubahan aktivitas senyawa antioksidan yang terkandung dalam selai.
DAFTAR PUSTAKA Aggarwal, BB, N Ahmad & H Mukhtar. 2002. Spices as Potent Antioxidants with Therapeutic Potential. Di dalam : E Cadenas & L Packer, editor. Handbook of Antioxidants. New York : Marcel Dekker, Inc. Almatsier, S. Utama.
2002.
Prinsip Dasar Ilmu Gizi.
Jakarta : Gramedia Pustaka
Anonim. 1990. Introduction Manual Rotavisco Rv-20. Jerman : Haake Mess Technic Gmbh Co. Anonim. 2005. Kajian Keamanan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan. www.pom.go.id (5 Juni 2007). Anonim. 2006. Sukralosa (Sucralose). www.info-sehat.com (5 Juni 2007). AOAC. 1984. Official Methode of Analysis. Washington D.C. : Association of Official Agriculture Chemists. Apriyantono, A, D Fardiaz, NL Puspitasari, Sedarnawati & S Budiyanto. 1988. Analisis Pangan. Bogor : IPB Press. Balentine, DA, I Paetau & Robinson. 2000. Tea as a Source of Dietary Antioxidants with a Potential Role in Prevention of Chronic Diseases. Di dalam : G Mazza & BD Oomah, editor. Herbs, Botanicals and Teas. USA : Technomic Publishing Company, Inc. Belitz, HD & W Grosch. 1999. Food Chemistry. Germany : Springer. Bhattarai, S, VH Tran & CC Duke. 2001. Stability of Gingerol and Shogaol in Aqueous Solutions. Journal of Pharmaceutical Sciences, Vol. 90, 1658-1664. Branen, AL, PM Davidson & S Salminen. 1990. Food Additives. New York : Marcel Dekker, Inc. Buckle, KA, RA Edwards, GN Fleet & M Wootton. 1987. Ilmu Pangan. (H Purnomo & Adiono, penerjemah). Jakarta : UI Press. Budiayu, Y. 2002. Daya terima dan kandungan zat gizi selai campuran tempe dan pisang raja bulu (Musa paradisiaca L.). [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Chipley, JR. 1993. Sodium Benzoate and Benzoic Acid. Di dalam : PM Davidson & AL Branen, editor. Antimicrobials in Foods. New York : Marcel Dekker, Inc. Craig, WJ. 2001. Herbal Remedies that Promote Health and Prevent Disease. Di dalam : RR Watson, editor. Vegetables, Fruits, and Herbs in Health Promotion. New York : CRC Press.
Damayanthi, E, SA Marliyati, H Syarief & D Sukandar. 1997. Percobaan Makanan. [Diktat]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Deshpande, SS, US Deshpande & DK Salunkhe. 1996. Nutritional and Health Aspects of Food Antioxidants. Di dalam : DL Madhavi, SS Deshpande & DK Salunkhe, editor. Food Antioxidants. New York : Marcel Dekker. Desrosier, NW. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. penerjemah). Jakarta : UI Press.
(M Muljohardjo,
Dreher, ML. 1987. Handbook of Dietary Fiber An Applied Approach. New York : Marcel Dekker, Inc. Fardiaz, D. 1988. Hidrokoloid. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fardiaz, D, E Anwar, NL Puspitasari, CH Wijaya & S Santausa. 1992. Kajian Karakteristik Komponen Aktif Bahan Pangan : Antioksidan Rempah-Rempah. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fardiaz, S. 1988. Petunjuk Laboratorium Analisis Mikrobiologi Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fardiaz, S, Suliantari & R Dewanti. 1988. Senyawa Antimikroba. [Bahan Pengajaran]. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Frazier, WC & DC Westhoff. 1978. Food Microbiology. 4th edition. New York : McGraw Hill Book. Fri. 2006. Aplikasi Hidrokoloid pada Jelly Drink. Majalah Food Review Indonesia Referensi Industri dan Teknologi Pangan edisi April 2006, Vol. 1, 17. Glicksman, M. 1986. Food Hydrocolloids Vol. III. Florida : CRC Press. Goldberg, G. 2003. Plants : Diet and Health. Britain : Blackwell Science. Gordon, MH. 1990. The Mechanism of Antioxidant Action In Vitro. Di dalam : BJF Hudson, editor. Food Antioxidants. London : Elsevier Applied Science. Herlina, R, Murhananto, J Endah, T Listyarini & ST Pribadi. 2004. Khasiat dan Manfaat Jahe Merah Si Rimpang Ajaib. Depok : Agromedia Pustaka. Hinneburg, I, HJD Dorman & R Hiltunen. 2006. Antioxidant Activities of Extracts from Selected Culinary Herbs and Spices. Journal of Food Chemistry, Vol. 97, 122–129. Imeson, A. 1992. Thickening and Gelling Agent for Food. New York : Marcell Dekker. Jenie, BSL. 1991. Mikrobiologi Pengendalian Mutu Pangan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Junita, et al. 2001. Formulasi Minuman Fungsional Tradisional dari RempahRempah Menggunakan Konsep Optimasi Sinergisme Antioksidan. Di dalam : L Nuraida & RD Hariyadi, editor. Prosiding Seminar Nasional ‘Pangan Tradisional Sebagai Basis Industri Pangan Fungsional dan Suplemen’. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kajimoto, O, et al. 2005. Tea Catechins with a Galloyl Moiety Reduce Body Weight and Fat. Journal of Health Science, Vol. 51, 161-171. Kaur, C & HC Kapoor. 2002. Antioxidant Activity and Total Phenolic Content of Some Asian Vegetables. Journal of Food Science and Technology, Vol. 37, 153-161. Kikuzaki, H & N Nakatani. 1993. Antioxidant Effects of Some Ginger Constituents. Journal Food Science, Vol. 58, 1407. Koswara, S. 1995. Harapan.
Jahe dan Hasil Olahannya.
Jakarta : Pustaka Sinar
Kurniasari, R. 1997. Penentuan jenis dan konsentrasi hidrokoloid dan bahan pemanis untuk pembuatan selai nenas rendah kalori. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Muchtadi, D, et al. 2001. Kajian terhadap serat makanan dan antioksidan dalam berbagai jenis sayuran untuk pencegahan penyakit degeneratif. [Laporan Penelitian]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Naidu, AS. 2000. Natural Food Antimicrobial System. London : CRC Press. Nurharini, D. 1997. Pembuatan teh (Camellia sinensis L.) effervescent sebagai alternatif diversifikasi produk teh. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pambudi, J. 2000. Potensi Teh sebagai Sumber Zat Gizi dan Perannya dalam Kesehatan. Di dalam : Prosiding Seminar ‘Teh untuk Kesehatan’. Bandung : Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung. Purseglove, JW, EG Brown, CL Green & SRJ Robbins. 1979. Spices Vol. II. New York : Tropical Agriculture Series. Rajalakshmi, D & S Narasimhan. 1996. Sources and Methods of Evaluation. Di dalam : DL Madhavi, SS Deshpande & DK Salunkhe, editor. Food Antioxidants. New York : Marcel Dekker. Rismunandar. 1988. Rempah-Rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Bandung : Penerbit Sinar Baru. Robertson, A. 1992. The Chemistry and Biochemistry of Black Tea ProductionThe Non Volatiles. Di dalam : KC Willson & MN Clifford, editor. Tea Cultivation to Consumption. London : Chapman & Hall. Rohdiana, D. 2006. Ritual Demi Katekin. trubus-online.com (15 Januari 2008).
Shahidi, F & M Naczk. 1995. Food Phenolics. USA : Technomic Publishing Company, Inc. Sibuea, P. 2003. Minuman Teh dan Khasiatnya bagi Kesehatan. www.sinarharapan.co.id (15 Februari 2007). SNI [Standar Nasional Indonesia] 01-3746-1995. Selai Buah. Jakarta : Badan Standardisasi Nasional. Soekarto, S. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Jakarta : Bhratara Karya Aksara. Subagio, A. 2007. Pemanis dan Kesehatan Anak. Majalah Food Review Indonesia Referensi Industri dan Teknologi Pangan edisi Februari 2007, Vol. 2, 35. Sudjana. 1995. Desain dan Analisis Eksperimen. Bandung : Tarsito. Sulaeman, A. 1990. Bahan Tambahan Makanan (Food Additives) Jenis dan Petunjuk Penggunaannya. [Diktat]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sulaeman, A & ES Mudjajanto. 1991. Uji-Uji dan Percobaan dalam Kimia Makanan. [Diktat Praktikum]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sulaeman, A, F Anwar, Rimbawan & SA Marliyati. 1995. Metode Analisis Zat Gizi dan Komponen Kimia Lainnya dalam Makanan. [Diktat]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sulistijani, DA. Agriwidya.
2005.
Sehat dengan Menu Berserat.
Jakarta : Trubus
Sumayong, M. 1992. Pengaruh varietas ubi jalar (Ipomoea batatas), penambahan natrium benzoat, dan lama penyimpanan terhadap sifat fisiko kimia selai ubi jalar yang dihasilkan. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sutejo, R. 1972. Teh. Jakarta : Penerbit Surungan. Syarief, H. 1989. Percobaan-Percobaan Makanan. [Petunjuk Laboratorium]. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Takeo, T. 1992. Green and Semi-Fermented Teas. Di dalam : KC Willson & MN Clifford, editor. Tea Cultivation to Consumption. London : Chapman & Hall. Tuminah, S. 2004. Teh [Camellia sinensis O.K. var. Assamica (Mast)] sebagai Salah Satu Sumber Antioksidan. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran, No. 144, 52-54. Wardana, HD, et al. 2002. Budi Daya secara Organik Tanaman Obat Rimpang. Jakarta : Penebar Swadaya.
Wijaya, APH. 2002. Pembuatan sirup teh hijau (green tea) rendah kalori. [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Winarno, FG. 1990. Bahan Tambahan Makanan. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Winarno, FG. Utama.
1997.
Kimia Pangan dan Gizi.
Jakarta : Gramedia Pustaka
Winarno, FG, D Fardiaz & S Fardiaz. 1973. Air untuk Industri Pangan. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Winarno, FG, D Fardiaz & S Fardiaz. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
1980.
Pengantar Teknologi Pangan.
Yanishlieva, NV, Sofia & IM Heinonen. 2001. Antioxidants from Herbs, Spices, and Teas. Di dalam : J Pokorny, N Yanishlieva & M Gordon, editor. Antioxidants in Food. England : Woodhead Publishing Limited. Yusuf, RR. 2002. Formulasi, karakterisasi kimia, dan uji aktivitas antioksidan produk minuman fungsional tradisional sari jahe (Zingiber officinale Rosc.) dan sari sereh dapur (Cymbopogon flexuosus). [Skripsi]. Bogor : Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Zakaria, FR, J Wiguna & A Hartoyo. 1999. Konsumsi Minuman Jahe (Zingiber officinale Roscoe) Meningkatkan Aktivitas Sel Natural Killer Mahasiswa Pesantren Ulil Albab di Bogor. Buletin Teknologi dan Industri Pangan Vol. X No. 2.
Lampiran 1 Kuesioner organoleptik selai jahe-teh hijau UJI HEDONIK Nama Panelis : Jenis Kelamin : L / P Tanggal Pengujian: Nama Produk : Selai Jahe-Teh Hijau Di hadapan Saudara terdapat beberapa produk selai jahe-teh hijau. Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap warna, aroma, rasa, tekstur, dan daya oles dari produk selai ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini : 1 : Sangat tidak suka 2 : Tidak suka 3 : Biasa 4 : Suka 5 : Sangat suka Keterangan : Jangan membandingkan antar sampel Kode Sampel 169 241 547
Warna
Aroma
Rasa
Tekstur
Daya Oles
UJI MUTU HEDONIK Beri tanda (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan penilaian Anda. Penilaian 169 241 Sangat tidak cerah Tidak cerah Warna Biasa (netral) Cerah Sangat cerah Sangat tidak harum Tidak harum Aroma Biasa (netral) Harum Sangat harum Sangat tidak pedas dan sangat tidak pahit Tidak pedas dan tidak pahit Rasa Biasa (netral) Pedas dan pahit Sangat pedas dan sangat pahit Sangat kasar Kasar Teksur Biasa (netral) Halus Sangat halus Sangat sulit dioleskan Sulit dioleskan Daya Oles* Biasa (normal) Mudah dioleskan Sangat mudah dioleskan Sangat tidak suka Kesukaan Tidak suka secara Biasa keseluruhan Suka Sangat suka * Daya oles → saat dioleskan tidak putus-putus dan dapat diratakan
547
Komentar / saran : ................................................................................................................................. .................................................................................................................................
TERIMA KASIH
Lampiran 2 Kuesioner organoleptik selai jahe-teh hijau selama penyimpanan Uji Hedonik (Kesukaan) Nama Panelis : Jenis Kelamin : L / P Tanggal Pengujian: Nama Produk : Selai Jahe-Teh Hijau Di hadapan Saudara terdapat beberapa produk selai jahe-teh hijau. Anda diminta untuk memberikan penilaian terhadap warna, aroma, tekstur, dan daya oles dari produk selai ini berdasarkan skala yang diberikan berikut ini : 1 : Sangat tidak suka 2 : Tidak suka 3 : Biasa 4 : Suka 5 : Sangat suka Keterangan : Jangan membandingkan antar sampel Kode Sampel 171 516
Warna
Aroma
Tekstur
Daya Oles
UJI MUTU HEDONIK Beri tanda (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan penilaian Anda. Penilaian Warna
171
516
Sangat tidak cerah Tidak cerah Biasa (netral) Cerah Sangat cerah
Aroma
Sangat tidak harum Tidak harum Biasa (netral) Harum Sangat harum
Teksur
Sangat kasar Kasar Biasa (netral) Halus Sangat halus
Daya Oles*
Sangat sulit dioleskan Sulit dioleskan Biasa (normal) Mudah dioleskan Sangat mudah dioleskan
Kesukaan
Sangat tidak suka
secara
Tidak suka
keseluruhan Biasa Suka Sangat suka * Daya oles → saat dioleskan tidak putus-putus dan dapat diratakan Komentar / saran : ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. TERIMA KASIH
Lampiran 3 Prosedur sidik sifat kimia, fisik, dan mikrobiologis selai 1. Kadar Air Metode Oven (AOAC 1984) Cawan aluminium yang akan digunakan sebagai tempat bahan dikeringkan pada suhu 1050C selama sekitar ½ jam, kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang (W1). Sejumlah 5 g bahan ditempatkan di dalam cawan aluminium dan ditimbang (W2), kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 1050C sampai berat konstan. Setelah itu bahan didinginkan di dalam desikator dan ditimbang (W3). Kadar air dihitung dengan rumus :
Kadar Air =
W2 −W3 × 100% W 2 − W1
Keterangan : W1 = bobot cawan kosong (g) W2 = bobot cawan dengan contoh (g) W3 = bobot cawan dengan contoh setelah dikeringkan (g) 2. pH (Apriyantono et al. 1988) Mula-mula sensor pH meter dibilas dengan aquades dan keringkan dengan tissue. Selanjutnya pH meter dikalibrasi dengan larutan buffer pH 4 dan pH 7. Sampel yang akan diukur dimasukkan ke dalam wadah gelas dan masukkan pH meter yang telah dikalibrasi ke dalam sampel sampai muncul nilai yang stabil pada pH meter. Pengukuran dilakukan duplo untuk masingmasing ulangan. 3. Total Asam (Sulaeman & Mudjajanto 1991) Pengukuran total asam dimulai dengan mengkalibrasi pHmeter dengan larutan buffer pH 4 dan pH 7 serta standarisasi larutan NaOH 0,1 N dengan asam oksalat. Sampel kurang lebih 10 g ditambah dengan aquades 100 ml, kemudian dicelupkan pHmeter yang sudah dikalibrasi sebelumnya. Titrasi sampel dengan larutan NaOH 0,1 N yang sudah distandarisasi sampai mencapai pH 7. Total asam dihitung dengan rumus :
ml NaOH × N Total Asam =
g sampel
0,1
× 100
4. Serat Makanan Secara Enzimatis (Asp et al. 1983, diacu dalam Sulaeman et al. 1995) Sebanyak 1 gram sampel ditimbang dan ditambahkan 25 ml 0,1 M buffer fosfat pH 6 dan 0,1 ml enzim termamyl, kemudian dipanaskan selama 15 menit pada suhu 1000C. Setelah itu didinginkan dan turunkan pHnya
menjadi 1,5 dengan HCl, lalu tambahkan 100 mg pepsin dan panaskan dengan penangas bergoyang pada suhu 400C selama 1 jam. Naikkan pHnya menjadi 6,8 dengan menggunakan NaOH. Tambahkan 100 mg pankreatin dan panaskan kembali dengan penangas bergoyang pada suhu 400C selama 1 jam. Atur pHnya menjadi 4,5 dengan menggunakan HCl dan saring dengan menggunakan kertas saring Whatman 41 yang sudah diketahui beratnya, kemudian pisahkan residu dengan filtratnya. Residu (Serat Tidak Larut) Kertas saring yang berisi residu dicuci dengan 20 ml etanol 95% dan 20 ml aseton. Keringkan dalam oven sampai berat konstan dan timbang (D1). Abukan pada suhu 5500C dan ditimbang kembali (I1). Filtrat (Serat Larut) Filtrat ditambah 400 ml etanol 95% hangat dan biarkan mengendap. Setelah mengendap saring menggunakan buchner funnel yang diberi kertas saring yang sudah dikeringkan dalam oven dan diketahui beratnya, kemudian cuci dengan 20 ml etanol 95% dan 20 ml aseton. Keringkan dalam oven sampai berat onstan dan timbang (D2). Abukan pada suhu 5500C dan ditimbang kembali (I2). Blanko Blanko untuk serat larut dan tidak larut diperoleh dengan cara seperti prosedur untuk sampel tetapi tanpa sampel (B1 dan B2).
% Serat Makanan Tidak Larut = % Serat Makanan Larut =
D1 − I 1 − B × 100 W
D2 − I 2 − B × 100 W
Keterangan : W = berat sampel (g) D = berat setelah pengeringan (g) I = berat setelah pengabuan (g) B = berat blanko bebas abu (D-I)Blanko 5. Kadar Gula Total Metode Refraktofotometri (Sulaeman et al. 1995) Total gula ditentukan dengan metode refraktofotometri. Mula-mula kaca obyek refraktometer dibersihkan dengan kertas tissue yang telah dibasahi alkohol 70% dan didiamkan hingga kering. Setelah itu, satu tetes sampel diletakkan di atas kaca obyek dengan menggunakan pipet lalu kaca obyek
tersebut
ditutup.
Selanjutnya
tombol
putar
refraktometer
(pengatur
pembacaan kasar dan halus) diputar sedemikian rupa sehingga pada kaca okuler terlihat batas antara gelap dan terang, lalu nilai total gula sampel dibaca. 6. Total Energi (AOAC 1984) Sebanyak 1,6 gram sampel ditimbang, lalu dijadikan pelet dan dipres kemudian sampel ditimbang kembali (w gram). Masukkan kawat nikel krom ke dalam lubang elektrode sedalam 5 cm. Kawat dikencangkan bagian tengahnya dan ikat dengan benang katun yang berukuran sama panjang dengan ikatan simpul mati. Sampel yang telah ditimbang (w gram) dimasukkan ke dalam alat bomb dan ditutup rapat serta masukkan gas dengan menggunakan medical oxygen pada tekanan 25 atm. Bomb dimasukkan ke dalam ember yang berisi air suling sebanyak 3 kg dan bomb tidak boleh tenggelam, kemudian semuanya dimasukkan ke dalam bomb kalorimeter. Catat suhu awal (t1) dan bakar, kemudian catat suhu akhir (t2) sampai suhu tersebut konstan. Lakukan standar dengan menggunakan asam benzoat (tablet) dan lakukan blanko dengan cara kerja seperti contoh.
GE ( kal / g ) =
(b − a ) × 2524 − ( k + t ) berat sampel
Keterangan : b = suhu akhir bomb kalorimeter a = suhu awal bomb kalorimeter k = kawat bomb 20 cm t = hasil titrasi dengan Na2SO3 atau Thio 7. Nilai Aw (AOAC 1984) Pengukuran nilai Aw menggunakan Aw meter merk Shibaura type Wa360, dengan cara kerja sebagai berikut : Tekan tombol power untuk menghidupkan alat, tekan tombol start dan tunggu sampai tampak tulisan ’ready to start’ di monitor. Standarisasi dengan NaCl sampai nilai stabil. Tekan tombol start kemudian masukkan selai dan tunggu sampai muncul nilai Aw. Pengukuran dilakukan duplo untuk masing-masing ulangan. 8. Viskositas (Anonim 1990) Sampel dimasukkan ke dalam tabung silinder berdiameter 1 cm dan tinggi 5 cm sebanyak ¾ dari volume tabung. Tabung kemudian dimasukkan
ke dalam alat viskometer yang dilengkapi dengan spindel. Viskometer dijalankan, kemudian dibaca kekentalan sampel yang dinyatakan dalam satuan cp (centipoise). 9. Uji Total Mikroba Metode standar total plate count mikroba (TPC) digunakan untuk mengetahui
kandungan
mikroba
pada
bahan
pangan.
Metode
ini
menggunakan media PCA (Plate Count Agar). Sampel diencerkan sebanyak lima kali, lalu dari kelima tingkat pengenceran tersebut dilakukan pemupukan pada cawan steril (duplo) kemudian ke dalam cawan tersebut ditambahkan medium PCA cair steril sekitar 15 ml. Setelah agar membeku, cawan diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 370C selama 2-3 hari. Koloni pada PCA dinyatakan sebagai CFU/ml (Ferizal 2005).
1 ml
1 ml sampel
1 ml
100
-1
10 1 ml 10-1
1 ml -2
10 1 ml 10-2
1 ml -3
10 1 ml 10-3
Gambar 8 Diagram alir pelaksanaan uji total mikroba
0.1 ml -4
10 1 ml 10-4
10-5
Lampiran 4 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap warna selai jahe-teh hijau Ranks kode perlakuan N Mean Rank warna jahe : ETH = 100 : 20 25 43.90 jahe : ETH = 90 : 30 25 31.78 jahe : ETH = 80 : 40 25 38.32 Total 75 Test Statistics(a,b) warna Chi-Square 4.373 df 2 Asymp. Sig. .112 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode perlakuan Lampiran 5 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik warna selai jahe-teh hijau Ranks kode perlakuan N Mean Rank WARNA jahe:ETH=100:20 25 41.14 jahe:ETH=90:30 25 33.88 jahe:ETH=80:40 25 38.98 Total 75 Test Statistics(a,b) WARNA Chi-Square 1.729 df 2 Asymp. Sig. .421 Lampiran 6 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap aroma selai jahe-teh hijau Ranks kode perlakuan N Mean Rank aroma jahe : ETH = 100 : 20 25 41.96 jahe : ETH = 90 : 30 25 38.08 jahe : ETH = 80 : 40 25 33.96 Total 75 Test Statistics(a,b) aroma Chi-Square 2.030 df 2 Asymp. Sig. .362
Lampiran 7 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik aroma selai jahe-teh hijau Ranks kode perlakuan N Mean Rank AROMA jahe:ETH=100:20 25 40.30 jahe:ETH=90:30 25 37.70 jahe:ETH=80:40 25 36.00 Total 75 Test Statistics(a,b) AROMA Chi-Square .756 df 2 Asymp. Sig. .685 Lampiran 8 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap rasa selai jahe-teh hijau Ranks kode perlakuan N Mean Rank rasa jahe : ETH = 100 : 20 25 41.92 jahe : ETH = 90 : 30 25 36.88 jahe : ETH = 80 : 40 25 35.20 Total 75 Test Statistics(a,b) rasa Chi-Square 1.618 df 2 Asymp. Sig. .445 Lampiran 9 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik rasa selai jahe-teh hijau Ranks kode perlakuan N Mean Rank RASA jahe:ETH=100:20 25 32.72 jahe:ETH=90:30 25 38.72 jahe:ETH=80:40 25 42.56 Total 75 Test Statistics(a,b) RASA Chi-Square 3.291 df 2 Asymp. Sig. .193
Lampiran 10 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap tekstur selai jahe-teh hijau Ranks kode perlakuan N Mean Rank tekstur jahe : ETH = 100 : 20 25 40.42 jahe : ETH = 90 : 30 25 37.82 jahe : ETH = 80 : 40 25 35.76 Total 75 Test Statistics(a,b) tekstur Chi-Square .692 df 2 Asymp. Sig. .707 Lampiran 11 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik tekstur selai jahe-teh hijau Ranks kode perlakuan N Mean Rank TEKSTUR jahe:ETH=100:20 25 44.82 jahe:ETH=90:30 25 32.12 jahe:ETH=80:40 25 37.06 Total 75 Test Statistics(a,b) TEKSTUR Chi-Square 5.494 df 2 Asymp. Sig. .064 Lampiran 12 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap daya oles selai jahe-teh hijau Ranks kode perlakuan N Mean Rank daya jahe : ETH = 100 : 20 25 42.46 oles jahe : ETH = 90 : 30 25 36.52 jahe : ETH = 80 : 40 25 35.02 Total 75 Test Statistics(a,b) daya oles Chi-Square 2.496 df 2 Asymp. Sig. .287
Lampiran 13 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik daya oles selai jaheteh hijau Ranks kode perlakuan N Mean Rank DAYA jahe:ETH=100:20 25 41.98 OLES jahe:ETH=90:30 25 38.06 jahe:ETH=80:40 25 33.96 Total 75 Test Statistics(a,b) DAYA OLES Chi-Square 2.382 df 2 Asymp. Sig. .304 Lampiran 14 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap penerimaan umum selai jahe-teh hijau Ranks kode perlakuan N Mean Rank penerimaan jahe : ETH = 100 : 20 25 44.60 umum jahe : ETH = 90 : 30 25 36.54 jahe : ETH = 80 : 40 25 32.86 Total 75 Test Statistics(a,b) penerimaan umum Chi-Square 4.706 df 2 Asymp. Sig. .095 Lampiran 15 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap warna selai selama penyimpanan Ranks kode penyimpanan N Mean Rank warna penyimpanan 0 minggu 15 20.90 penyimpanan 2 minggu 15 22.93 penyimpanan 4 minggu 15 25.17 Total 45 Test Statistics(a,b) warna Chi-Square .881 df 2 Asymp. Sig. .644 a Kruskal Wallis Test b Grouping Variable: kode penyimpanan
Lampiran 16 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik warna selai selama penyimpanan Ranks kode penyimpanan N Mean Rank WARNA penyimpanan 0 minggu 15 19.50 penyimpanan 2 minggu 15 22.60 penyimpanan 4 minggu 15 26.90 Total 45 Test Statistics(a,b) WARNA Chi-Square 2.821 df 2 Asymp. Sig. .244 Lampiran 17 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap aroma selai selama penyimpanan Ranks kode penyimpanan N Mean Rank aroma penyimpanan 0 minggu 15 20.60 penyimpanan 2 minggu 15 24.73 penyimpanan 4 minggu 15 23.67 Total 45 Test Statistics(a,b) aroma Chi-Square 1.515 df 2 Asymp. Sig. .469 Lampiran 18 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik aroma selai selama penyimpanan Ranks kode penyimpanan N Mean Rank AROMA penyimpanan 0 minggu 15 22.13 penyimpanan 2 minggu 15 24.53 penyimpanan 4 minggu 15 22.33 Total 45 Test Statistics(a,b) AROMA Chi-Square .695 df 2 Asymp. Sig. .706
Lampiran 19 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap tekstur selai selama penyimpanan Ranks kode penyimpanan N Mean Rank tekstur penyimpanan 0 minggu 15 22.17 penyimpanan 2 minggu 15 21.40 penyimpanan 4 minggu 15 25.43 Total 45 Test Statistics(a,b) tekstur Chi-Square .892 df 2 Asymp. Sig. .640 Lampiran 20 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik tekstur selai selama penyimpanan Ranks kode penyimpanan N Mean Rank TEKSTUR penyimpanan 0 minggu 15 22.50 penyimpanan 2 minggu 15 23.37 penyimpanan 4 minggu 15 23.13 Total 45 Test Statistics(a,b) TEKSTUR Chi-Square .044 df 2 Asymp. Sig. .978 Lampiran 21 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap daya oles selai selama penyimpanan Ranks kode penyimpanan N Mean Rank daya penyimpanan 0 minggu 15 25.03 oles penyimpanan 2 minggu 15 20.63 penyimpanan 4 minggu 15 23.33 Total 45 Test Statistics(a,b) daya oles Chi-Square 1.774 df 2 Asymp. Sig. .412
Lampiran 22 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap mutu hedonik daya oles selai selama penyimpanan Ranks kode penyimpanan N Mean Rank DAYA penyimpanan 0 minggu 15 23.13 OLES penyimpanan 2 minggu 15 25.33 penyimpanan 4 minggu 15 20.53 Total 45 Test Statistics(a,b) DAYA OLES Chi-Square 1.386 df 2 Asymp. Sig. .500 Lampiran 23 Hasil uji Kruskal Wallis terhadap penerimaan umum selai selama penyimpanan Ranks kode penyimpanan N Mean Rank penerimaan penyimpanan 0 minggu 15 22.77 umum penyimpanan 2 minggu 15 22.93 penyimpanan 4 minggu 15 23.30 Total 45 Test Statistics(a,b) penerimaan umum Chi-Square .016 df 2 Asymp. Sig. .992 Lampiran 24 Hasil sidik ragam kadar air selai jahe-teh hijau Sumber db JK KT F hit Keragaman Perlakuan 2 1.93853333 0.96926667 1.01 Galat 3 2.87895000 0.95965000 Total 5 4.81748333 Lampiran 25 Hasil sidik ragam pH selai jahe-teh hijau Sumber db JK KT Keragaman Perlakuan 2 0.02259733 0.01129867 Galat 3 0.08926600 0.02975533 Total 5 0.11186333
Pr > F 0.4620
F hit
Pr > F
0.38
0.7128
Lampiran 26 Hasil sidik ragam total asam selai jahe-teh hijau Sumber db JK KT F hit Keragaman Perlakuan 2 120.9981 60.49905 2.02 Galat 3 89.72005 29.90668333 Total 5 210.71815
Pr > F 0.2778
Lampiran 27 Hasil sidik ragam serat makanan total selai jahe-teh hijau Sumber db JK KT F hit Pr > F Keragaman Perlakuan 2 0.27223333 0.13611667 0.30 0.7627 Galat 3 1.37565 0.45855 Total 5 1.64788333 Lampiran 28 Hasil sidik ragam serat makanan tidak larut selai jahe-teh hijau Sumber db JK KT F hit Pr > F Keragaman Perlakuan 2 0.05053333 0.02526667 1.84 0.3010 Galat 3 0.0412 0.01373333 Total 5 0.09173333 Lampiran 29 Hasil sidik ragam serat makanan larut selai jahe-teh hijau Sumber db JK KT F hit Pr > F Keragaman Perlakuan 2 0.09163333 0.04581667 0.08 0.9210 Galat 3 1.62565 0.54188333 Total 5 1.71728333 Lampiran 30 Hasil sidik ragam total energi selai jahe-teh hijau Sumber db JK KT F hit Keragaman Perlakuan 2 63.81 31.905 0.36 Galat 3 265.01 88.33666667 Total 5 328.82 Lampiran 31 Hasil sidik ragam viskositas selai jahe-teh hijau Sumber db JK KT F hit Keragaman Perlakuan 2 15413333.33 7706666.666667 2.43 Galat 3 9495000.00 3165000.00 Total 5 24908333.33
Pr > F 0.7235
Pr > F 0.2354
Lampiran 32 Hasil sidik ragam kadar air selai selama penyimpanan Sumber db JK KT F hit Keragaman Perlakuan 2 0.37703333 0.18851667 1.69 Galat 3 0.33445 0.11148333 Total 5 0.71148333 Lampiran 33 Hasil sidik ragam total asam selai selama penyimpanan Sumber db JK KT F hit Keragaman Perlakuan 2 76.81613333 38.40806667 4.96 Galat 3 23.2516 7.75053333 Total 5 100.06773333 Lampiran 34 Hasil sidik ragam pH selai selama penyimpanan Sumber db JK KT F hit Keragaman Perlakuan 2 0.05839233 0.02919617 2.41 Galat 3 0.03637450 0.01212483 Total 5 0.09476683 Lampiran 35 Hasil sidik ragam nilai Aw selai selama penyimpanan Sumber db JK KT F hit Keragaman Perlakuan 2 0.00007233 0.00003617 0.35 Galat 3 0.00031100 0.00010367 Total 5 0.00038333 Lampiran 36 Hasil sidik ragam viskositas selai selama penyimpanan Sumber db JK KT F hit Keragaman Perlakuan 2 1333333.33 666666.67 99999.99 Galat 3 0.00 0.00 Total 5 1333333.33 Hasil uji lanjut Duncan pengaruh penyimpanan terhadap viskositas selai Duncan Mean N Perlakuan Grouping A 15000 2 Minggu 4 A 15000 2 Minggu 2 B 14000 2 Minggu 0
Pr > F 0.3223
Pr > F 0.1120
Pr > F 0.2378
Pr > F 0.7308
Pr > F 0.0001
Lampiran 37 Hasil sidik ragam total mikroba selai selama penyimpanan Sumber db JK KT F hit Pr > F Keragaman Perlakuan 2 3229614822123408 1614807411061704 1.11 0.4361 Galat 3 4371133951220012 1457044650406671 Total 5 7600748773343420
Lampiran 38 Hasil analisis kadar gingerol
Lampiran 39 Hasil analisis kadar katekin