INDUKSI PEMBUNGAAN DAN BIOLOGI BUNGA PADA TANAMAN JAHE PUTIH BESAR (Zingiber officinale Rosc.)
MELATI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN
Dengan ini
saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang
berjudul:
INDUKSI PEMBUNGAAN DAN BIOLOGI BUNGA PADA TANAMAN JAHE PUTIH BESAR (Zingiber officinale Rosc.) merupakan karya saya sendiri di bawah bimbingan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2010
Melati NRP A251080021
ABSTRACT MELATI. Flower Induction and Flowering Biology of Big White Ginger ( Zingiber officinale Rosc) Under direction of ENDAH RETNO PALUPI, and NURLIANI BERMAWIE.
Rhizome is usually used for propagation of large white ginger (Zingiber officinale Rosc). The major restriction of using rhizome as material for propagation is pests and diseases spread through rhizome, such as bacterial wilt, leaf pock, rhizome flea, and rhizome flies. True seed is considered as one of potential alternatives breakthrough to be developed. However, true seed production is hindered by limited flower production. Therefore this research was aimed at studying flower induction and flowering biology of large white ginger var. Cimanggu 1. The research consisted of two steps; first, flower induction with low media water content and use of paclobutrazol as two separate experiments and the second was observation on flowering biology. The experiments for flower induction was arranged in completely randomized block design with one factor, i.e. 1) controlling water content of the media at: 48-49, 45-46, 42-43, 39– 40, 36-37, and 33-34 %; and 2) using paclobutrazol as soil drench: 0, 20, 40, 60, 80, 100 ppm. Observation on flowering biology includes pollen viability and stigma receptivity. Result of experiment indicated that low media water content did not induce flowering, but 100 ppm paclobutrazol as soil drench produced more flowers at earlier stage. Pollen viability was highest at 45 min. after blooming (MAB) and declines sharply after 60 MAB. Stigma receptivity presumably occurred at the time when secretion was produced and the stigma tip was transparant, however the precise time is yet to be investigated further.
Keywords: paclobutrazol, pollen viability, rhizome, stigma receptivity, water content media.
RINGKASAN
MELATI. Induksi Pembungaan dan Biologi Bunga Pada Tanaman Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc.) Dibimbing oleh ENDAH RETNO PALUPI, dan NURLIANI BERMAWIE. Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu tanaman obat dengan klaim khasiat paling banyak. Lebih dari 40 produk OT (obat tradisional) menggunakan jahe sebagai bahan baku. Disamping kebutuhan dalam negeri yang cukup tinggi, jahe juga merupakan salah satu komoditas ekspor. Pasokan jahe dunia saat ini dikuasai oleh India (50% dari kebutuhan dunia). Dalam sepuluh tahun terakhir, ekspor jahe dari Indonesia berupa rimpang jahe segar, jahe kering, acar jahe (pikel), dan minyak atsiri, berfluktuasi sangat tajam. Banyaknya OPT tular benih, menjadi kendala dalam penggunaan rimpang sebagai benih untuk perbanyakan tanaman jahe. Benih yang sudah terinfeksi sulit untuk disterilkan dan hal ini dapat menurunkan produksi benih jahe. Oleh karena itu ketersediaan benih yang bebas dari penyakit dari varietas yang diinginkan pasar dalam jumlah, waktu dan harga yang memadai, sangat terbatas, sehingga menghambat pengembangan tanaman jahe di Indonesia. Disamping itu ukuran rimpang yang besar/voluminous (dibutuhkan benih 2-3 ton/ha) dan tidak tahan disimpan lama (daya tumbuh benih turun sampai 50 % dalam waktu 3–4 bulan) merupakan masalah lain yang perlu dicari jalan keluarnya. Rentang waktu antara panen dan musim tanam kadang-kadang lebih dari 4 bulan, sehingga benih yang tersedia bermutu rendah. Penggunaan biji sebagai benih menjadi alternatife terobosan yang potensial untuk dikembangkan, namun masih menghadapi kendala karena jahe jarang berbunga dan berbiji. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) memperoleh teknik induksi pembungaan jahe, dan (2). mempelajari kendala dalam reproduksi seksual jahe putih besar var Cimanggu 1 terkait dengan biologi pembungaan. Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca, Laboratorium Benih, Kelti Plasma Nutfah dan Pemuliaan, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik di Bogor untuk induksi pembungaan serta pengamatan fenologi dan biologi bunga, dan Laboratorium Zoologi LIPI Cibinong untuk pengamatan morfologi serbuk sari dan kepala putik. Kebun Percobaan Cicurug untuk pengamatan fenologi dan biologi bunga. Penelitian berlangsung pada bulan Agustus 2009 sampai dengan Juni 2010. Untuk mencapai tujuan tersebut telah dilaksanakan penelitian yang terdiri atas dua pecobaan. Percobaan 1: Induksi Pembungaan Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc). Penelitian terdiri atas dua percobaan, yaitu: 1) Induksi pembungaan jahe putih besar (Zingiber officinale Rosc) dengan menggunakan kadar air media yang berbeda yaitu Co : kadar air media (KAM) 48-49 % atau 100 % kapasitas lapang (KL), C1 : KAM 45-46 % atau 83% KL, C2 : KAM 42-43% atau 66% (KL), C3 : KAM 39–40% atau 50% KL, C4 : KAM 36-37% atau 33% KL, C5 : KAM 33-34% atau 16% KL dan
2) Induksi pembungaan jahe putih besar (Zingiber officinale Rosc) dengan menggunakan konsentrasi paclobutrazol yang berbeda. Percobaan 2 : Biologi bunga jahe putih besar (Zingiber officinale Rosc). Percobaan induksi pembungaan disusun dengan rancangan perlakuan satu faktor dalam rancangan lingkungan acak kelompok lengkap dengan empat ulangan. Setiap perlakuan dan ulangan menggunakan lima sampel, sehingga total sampel yang digunakan untuk kedua percobaan induksi pembungaan adalah 240 sampel. Rimpang yang digunakan untuk benih adalah yang sudah tua, minimal berumur 9 bulan. Ciri-ciri rimpang tua antara lain kandungan serat tinggi dan kasar, kulit licin dan keras tidak mudah mengelupas, warna kulit mengkilat menampakkan tanda bernas. Peubah yang diamati dalam percobaan ini meliputi parameter pertumbuhan (tinggi tanaman, diameter batang, luas daun, dan jumlah tunas), produksi rimpang (berat rimpang, dan tebal rimpang) dan parameter pembungaan (awal spika keluar, akhir spika keluar, jumlah spika dan panjang spika). Hasil percobaan 1 menunjukkan bahwa induksi pembungaan dengan kadar air media yang rendah tidak mampu menginduksi pembungaan. Kadar air media yang rendah dapat mengganggu pertumbuhan, dan produksi rimpang. Pemberian paclobutrazol dapat meningkatkan pembungaan. Paclobutrazol dengan kosentrasi 100 ppm memberikan hasil yang terbaik, dimana waktu keluarnya bunga lebih cepat, waktu pembungan yang panjang dan jumlah bunga terbanyak. Spika yang muncul tidak hanya terbentuk langsung dari rimpang tetapi juga berasal dari perubahan tunas vegetatif menjadi tunas generatif (spika). Jahe mempunya masa berbunga yaitu 4–7 BST yang dipengaruhi oleh lingkungan. Lamanya waktu yang dibutuhkan mulai dari insiasi bunga sampai bunga layu 70-80 hari. Waktu bunga mekar hanya beberapa jam dan kemudian layu. Pengamatan terhadap morfologi bunga menunjukkan bahwa posisi kotak sari lebih rendah dari kepala putik dan serbuk sari bersifat lengket. Serbuk sari mempunyai permukaan yang rata dan tidak mempunyai pori. Berdasarkan pewarnaan dengan menggunakan Acetocarmine dan Aniline blue, serbuk sari mempunyai viabilitas tertinggi sekitar 45-60 menit setelah bunga mekar dan setelah itu viabilitas serbuk sari menurun. Media perkecambahan serbuk sari yang digunakan yaitu Pollen Germination Medium, Brewbaker & Kwack, dan sukrosa) belum mampu mendorong perkecambahan serbuk sari sehingga tabungnya tidak terbentuk. Kepala putik mempunyai sekresi terbanyak ± 2,5 jam setelah bunga mekar yang ditandai dengan adanya cairan bening pada kepala putik. Pada saat itu kepala putik melengkung menyentuh labellum (mahkota).
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
INDUKSI PEMBUNGAAN DAN BIOLOGI BUNGA PADA TANAMAN JAHE PUTIH BESAR (Zingiber officinale Rosc.)
MELATI
Tesis sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz
Judul Tesis
:
Induksi Pembungaan dan Biologi Bunga Pada Tanaman Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc.)
Nama NRP
: :
Melati A251080021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Endah Retno Palupi, MSc. Ketua
Dr.Ir.Nurliani Bermawie Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Benih
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 21 Desember 2010
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan izinNya karya ilmiah dengan judul “Induksi Pembungaan Dan Biologi Bunga Pada Tanaman Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc.).)”, yang telah dilaksanakan sejak bulan Agustus 2009 sampai dengan Juni 2010 berhasil diselesaikan. Karya ilmiah ini disusun sebagai sebagai salah satu syarat kelulusan di Sekolah Pascasarjana IPB, yang memuat antara lain, latar belakang dilakukannya penelitian, tinjauan pustaka, bahan dan metode serta hasil dan pembahasan yang didukung oleh literatur yang terkait. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Endah Retno Palupi MSc dan Dr. Ir. Nurlianie Bermawie selaku pembimbing dan Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MSc. selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan dalam penyusunan tesis ini. Terimakasih yang sebesar-besarnya juga penulis tujukan kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan biaya studi, kepada Kepala Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik yang telah mendanai penelitian ini dari dana APBN 2010, kepada staf pengajar mayor ITB yang telah banyak menyumbangkan ilmunya. Ungkapan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Ibunda tercinta atas doa-doanya, suami dan anak-anak
tercinta atas doa, dorongan dan kasih
sayangnya. Semoga dengan telah tersusunnya karya penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pihak yang memerlukannya. Bogor,
Desember 2010
Melati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 16 Mei 1968 dari pasangan Alm. Nazaruddin Latif (ayah) dan Nurleili (ibu). Penulis merupakan putri ke-7 dari sembilan bersaudara. Pada tahun 1987 penulis lulus dari SMAN 2 Padang, dan pada tahun yang sama penulis lulus masuk Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam, Jurusan Biologi Universitas Andalas, melalui ujian seleksi Sipenmaru. Pada tahun 1994 penulis diterima bekerja sebagai Honorer di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan dan diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada tahun 1998. Pada tahun 2003 sampai sekarang penulis diangkat menjadi tenaga peneliti di bidang Teknologi Benih di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, Bogor. Pada tahun 2008 penulis ditugaskan oleh Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 di Mayor Ilmu dan Teknologi Benih, Program Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..............................................................................................
vi
DAFTAR TABEL ......................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
vii
PENDAHULUAN Latar Belakang ............................................................................................. Tujuan Penelitian ........................................................................................ Hipotesisa ...................................................................................................
1 1 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Jahe ...................................................... Perbanyakan Tanaman Jahe ....................................................................... Induksi Pembungaan .................................................................................. Biologi Bunga .............................................................................................
5 5 6 8 10
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ..................................................................... Tahap dan Metode Penelitian...................................................................... Pelaksanaan Penelitian …………………………………………………… Pengamatan ……………………………………………………………….
12 12 12 16 19
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian ……………………………………………….. Induksi Pembungaan Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc ............... Induksi pembungaan dengan kadar air media yang berbeda ....................... Pertumbuhan tanaman dan produksi ........................................................... Pembungaan ................................................................................................ Induksi pembungaan dengan pemberian paclobutrazol .............................. Pertumbuhan tanaman dan produksi ........................................................... Pembungaan ................................................................................................ Korelasi jumlah tunas generatif (spika) dengan jumlah tunas vegetatif …. Biologi Bunga Jahe Putih Besar ………………………………................. Biologi bunga .............................................................................................. Deskripsi bunga ........................................................................................... Pengamatan serbuk sari ............................................................................... Pengamatan kepala putik ............................................................................. Viabilitas serbuk sari ..................................................................................
23 24 24 24 32 34 34 40 43 43 44 55 57 59 60
SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
65
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
66
LAMPIRAN ……………………………………………………………...
71
DAFTAR TABEL No
Halaman Pengaruh kadar air media terhadap luas daun (cm2) pada awal dan akhir perlakuan ...................................................................
29
Pengaruh kadar air media terhadap produksi rimpang dan tebal rimpang .....................................................................................
31
Pengaruh kadar air media terhadap waktu bunga teridentifikasi jumlah bunga dan jumlah rumpun yang berbunga ....................
34
Pengaruh paclobutrazol terhadap luas daun (cm2) pada awal dan akhir perlakuan …………………………………................
38
Pengaruh paclobutrazol terhadap produksi rimpang (berat rimpang, tebal rimpang dan kadar air rimpang ….……….........
38
6
Pengaruh paclobutrazol terhadap panjang tangkai spika ….......
41
7
Pengaruh paclobutrazol tarhadap jumlah spika/rumpun dan panjang spika ......................................................................
42
8
Periode terbentuknya spika di Bogor dan Cicurug ……..……
45
9
Waktu bunga mekar, suhu, dan kelembaban saat bunga mekar
46
10
Fenologi pembungaan tanaman jahe di Bogor dan Cicurug........
50
11.
Deskripsi dan karakteristik spika dan bunga jahe …………....... 55
12.
Pengaruh interaksi antara pewarnaan dengan waktu pengambilan serbuk sari terhadap pendugaan viabilitas serbuk sari …………………………………………………....... .
1
2
3
4
5
61
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1
(A) Kondisi tanaman 8 MST, tanaman mengalami pemanjangan dan tangnya lemah. (B) Daun muda mulai menguning dan kering ungnya. ........................................................................................... 23
2
Tinggi tanaman selama 14 MSP pada kadar air media yang berbeda …………………………..................................................................... 25
3
Kondisi tanaman perlakuan KAM 36-37% dan 33-34% pada 12 MSP ………………………………………………………………… 26
4
Diameter batang selama 14 MSP pada kadar air media berbeda .......
27
5
Jumlah tunas selama 14 MSP pada kadar air media yang berbeda ...
28
6
Tinggi tanaman pada konsentrasi paclobutrazol yang berbeda …….. 35
7
Diameter batang pada kosentrasi paclobutrazol yang berbeda ..........
8
Jumlah tunas pada kosentrasi paclobutrazol yang berbeda ……….... 36
9
(A) Tunas vegetatif dan generatif B). Tunas generatif yang tumbuh dari rimpang, C). Tunas generatif yang muncul pada ujung tunas vegetatif ............................................................................................. 47
10
A) Braktea yang mempunyai 2 bunga, B) Spika dan bunga mengering, C) Bunga mengering sebelum mekar ............................. 48
11
Tunas generatif (spika) yang muncul diujung tunas vegetatif ……...
49
12
Periode perkembangan spika ….. ...……………… .. .....................
51
13
Periode bunga mekar sampai layu ………………………………….
52
14
Bagian bunga jahe dan posisinya .......................................................
56
15
Morfologi serbuk sari dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM) ...…………………………………......................
57
Morfologi kepala putik dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM ) ............................................................................
59
16
36
17
Hasil pewarnaan polen jahe (A) Anilin blue dan (B) Acetocarmin .
61
18
Serbuk sari yang tidak berkecambah ( tidak membentuk tabung) ...
63
DAFTAR LAMPIRAN No 1.
Halaman Kondisi rumah kaca yang terbuka (tidak mempunyai dinding) Sebelum tanam, B) Tanaman 2 BST ……………………………. 71
2.
A) Rimpang siap panen untuk benih B) Rimpang yang sudah direndam dengan dithama ...............................................................
3.
A) Potongan rimpang untuk benih berat 50-60 gr B) Rimpang setelah direndam dithama ................................................................
4.
Rimpang dengan tunas 1-2 cm siap untuk dipindah ke polybag ......
5.
Rimpang yang terserang lalat rimpang. (A) Serangan awal, (B) Serangan lanjut, (C) Rimpang keropos ………………………...
71
71 72
72 6.
Rata-rata suhu dan kelembaban di dalam dan di luar rumah kaca selama penelitian pada bulan September 2009-Mei 2010 ………... 72
7.
Rata-rata suhu dan kelembaban di Cicurug pada bulan September 2009 - Mei 2010) …………………………………………………. 73
PENDAHULUAN
Latar belakang Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu tanaman obat dengan klaim khasiat paling banyak. Lebih dari 40 produk OT (obat tradisional) menggunakan jahe sebagai bahan baku, sehingga jahe merupakan salah satu tanaman yang dibutuhkan dalam jumlah besar untuk IKOT (industri kecil obat tradisional) maupun IOT (industri obat tradisional). Hasil survey Balittro di beberapa IKOT dan IOT di tujuh propinsi utama pengembangan industri OT (Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat) menunjukkan bahwa volume kebutuhan jahe untuk industri OT mencapai lebih dari 47.000 ton setiap tahun, belum termasuk kebutuhan industri OT di pulau Sumatera (Kemala et al. 2003). Produksi jahe nasional pada tahun 2004 sebesar 104.789 ton mengalami penurunan dibandingkan tahun 2003 sebesar 125.386 ton (BPS 2004). Penurunan produksi jahe tersebut disebabkan oleh turunnya produksi di sentra pengembangan jahe utama (Jawa Barat) akibat serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan budidaya yang kurang optimal. Pada tahun 2005 luas areal tanaman jahe mencapai 6.149 ha, dan meningkat menjadi 8.904 ha pada 2006; dengan produksi berturut-turut 125.827 dan 177.137 ton (Statistik Produksi Hortikultura 2006). Kendala utama dalam produksi benih jahe dan temu-temuan lainnya adalah gangguan hama dan penyakit (OPT) utama seperti layu bakteri, bercak daun, kutu rimpang, dan lalat rimpang. Beberapa usaha pengendalian masih belum efektif, terutama karena belum ada nomor-nomor jahe yang tahan terhadap R. solanacearum (Supriadi et al. 2000) dan belum adanya sistem perbanyakan benih jahe yang menghasilkan benih bebas penyakit (Hasanah et al. 2004). Untuk mengantisipasi serangan organisme pengganggu tanaman, petani dan penangkar benih perlu menggunakan bahan tanaman (benih) bermutu dari varietas yang sudah dilepas, bersertifikat, bebas OPT dan penerapan teknik budidaya anjuran yang dapat meningkatkan produktivitas tanaman.
Balai
Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik sudah melepas 1 varietas unggul jahe putih besar (Cimanggu 1) (Hadad et al. 2001) dan 4 varietas jahe putih kecil
2
(Halina 1, Halina 2, Halina 3, dan Halina 4) 2 varietas jahe merah (Jahira 1, dan Jahira 2) (Bermawie et al. 2006). Namun varietas unggul jahe yang telah dilepas semuanya peka terhadap layu bakteri dan penyakit bercak daun. Di tiga propinsi utama penghasil jahe yaitu Bengkulu, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, penyakit bercak daun telah menyerang tanaman jahe. Penyakit yang menyerang tanaman tersebut disebabkan oleh cendawan Pyricularia sp dan Phyllosticta sppertanaman, yang menyebabkan hampir seluruh daun menjadi rusak sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil dan produksi rimpang menurun drastis. Penyakit bercak daun diduga menyebar melalui benih (rimpang jahe), air dan angin sehingga penularan penyakit ini cepat meluas. Varietas unggul jahe yang telah dilepas juga rentan terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Ralstonia solanacearum merupakan OPT utama tular benih yang menyebabkan rimpang menjadi busuk, menggagalkan hasil dan sulit ditanggulangi karena di samping menyerang jahe, juga dapat menyerang tanaman temu-temuan lainnya seperti kunyit dan kencur; sayuran (tomat dan cabe), serta beberapa macam gulma (Supriadi et al. 1995). Adanya OPT tular benih menjadi kendala dalam penggunaan rimpang sebagai benih untuk perbanyakan tanaman jahe. Benih yang sudah terinfeksi sulit untuk disterilkan dan hal ini dapat menggagalkan usaha budidaya dan menurunkan produksi jahe. Oleh karena itu ketersediaan benih varietas yang diinginkan yang bebas dari penyakit dalam jumlah, waktu dan harga yang memadai, sangat terbatas, sehingga menghambat pengembangan tanaman jahe di Indonesia. Ukuran rimpang yang besar/voluminous butuh benih 2-3 ton/ha, tidak tahan disimpan lama (daya tumbuh benih turun sampai 50 % dalam waktu 3–4 bulan) merupakan masalah lain yang perlu dicari jalan keluarnya, karena rentang waktu antara panen dan musim tanam kadang-kadang lebih dari 4 bulan, sehingga benih yang tersedia bermutu rendah. Upaya penyimpanan benih jahe putih kecil pada ruang AC dengan suhu 20-240 C dapat mempertahankan mutu benih dan daya tumbuh yang tinggi yakni 91,66 %. Penggunaan AC dianggap tidak layak untuk diterapkan pada petani jahe. Penyimpanan jahe putih kecil pada suhu ruang
3
dapat mempertahankan viabilitas benih jahe sampai 4 bulan dengan daya tumbuh 88 %, setelah itu jahe akan keriput dengan tingkat viabilitas yang rendah dimana daya tumbuhnya turun sampai 50% (Melati dan Rusmin 2008). Untuk mengatasi kendala penggunaaan rimpang sebagai bahan perbanyakan, perlu dicari alternatif bahan perbanyakan yang lain yang memungkinkan untuk diterapkan di tingkat petani. Penyediaan benih jahe melalui kultur jaringan mengalami kendala dengan induksi tunas langsung maupun fase kalus (Mariska dan Syahid 1992) karena menghasilkan tanaman baru yang berimpang kecil (Syahid dan Hobir 1996). Penggunaan biji sebagai bahan perbanyakan menjadi alternatife terobosan yang potensial untuk dikembangkan. Biji jahe diharapkan akan membantu mengatasi
permasalahan-permasalah pada jahe seperti mengatasi kelangkaan
benih pada saat off season (di luar musim), menghambat penularan penyakit, mempermudah sortasi dan transportasi yaitu dalam pengiriman benih jahe untuk lokasi yang sulit untuk ditempuh.karena biji jauh lebih kecil dan ringan daripada rimpang jahe. Selain hal tersebut, dengan berhasilnya membijikan jahe juga bermanfaat besar dalam bidang pemuliaan tanaman jahe. Selama ini varietasvarietas jahe didapatkan dari hasil eksplorasi bukan merupakan hasil persilangan. Keragaman jahe yang sangat rendah dapat ditingkatkan jika jahe dapat dibijikan, dengan dilakukannya penyerbukan antar varietas tanaman jahe yang ada saat ini. Tetapi hal tersebut belum dapat dilakukan karena jahe jarang berbunga dan tidak berbiji. Kegagalan pembentukan biji pada tanaman jahe diduga disebabkan oleh viabilitas serbuk sari yang rendah (Adaniya dan Shoda 1998) atau fertilitas gamet betina yang rendah seperti yang terjadi pada jahe merah (Rachman 1998). Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut itu perlu dilakukan penelitian induksi pembungaan pada jahe dan kajian fenologi dan biologi bunga untuk mempelajari kendala pembentukan biji. Berdasarkan
permasalahan
tersebut
telah dilaksanakan
suatu
penelitian yang berjudul ” Induksi Pembungaan dan Studi Biologi Bunga pada Tanaman Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc.).”
4
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Memperoleh teknik induksi pembungaan jahe 2. Mempelajari fenologi dan biologi pembungaan jahe sehingga diketahui kendala pembentukan biji pada jahe putih besar var Cimanggu 1
Hipotesa 1. Perlakuan stress kekeringan atau pemberian paclobutrazol yang tepat dapat menginduksi pembungaan jahe.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Tanaman Jahe Zingiberaceae berasal dari bahasa Sanskerta “zingiber” yang artinya berbentuk seperti tanduk. Zingiberaceae berpangkal pada bentuk cabang rimpang yang mulai tumbuh menjadi batang yang bentuknya seperti tanduk. Warga dari famili Zingiberaceae dikenal sebagai penghasil rimpang yang umumnya mempunyai nilai sebagai rempah-rempah, digunakan sebagai campuran bahan makanan (manisan, permen, minuman) maupun sebagai ramuan dalam obat tradisional. Disamping itu ada pula yang menghasilkan malai bunga yang dapat dimakan sebagai sayur dan sebagai tanaman hias yang cukup indah dan harum baunya (Rismunandar 1988). Sebagian besar Zingiberaceae merupakan tumbuhan berumur panjang yang besar, berbatang basah dengan rimpang dan daun yang besar, gundul dan tidak berambut, dengan pelepah yang besar dan tangkai yang nyata dan tidak jarang beralur disisi atasnya. Helai daun biasanya asimetris, bertulang menyirip. Bunga umumnya besar dan berwarna menarik, hemaprodit, zigomorf, berbilangan tiga, mempunyai kelopak dan mahkota. Daun mahkota tiga, pada pangkalnya melekat. Benang sari dalam dua lingkaran, tiap lingkaran terdiri dari tiga benang sari. Bakal buah tenggelam, kebanyakan beruang tiga dengan satu bakal biji dalam tiap ruangannya. Biji banyak dan tidak mempunyai endosperma besar. Tangkai putik sangat langsing, dengan ujung terjepit diantara kedua benang sari. Kepala sari melebar. Buah kotak kebanyakan berkatup tiga, kadang kadang tidak pecah (Steenis et al. 2006). Sebagian besar keluarga Zingiberaceae yang berada di Indonesia digunakan sebagai bahan obat-obatan, kosmetik dan bumbu masak. Di pulau Jawa lebih banyak dikenal dengan tanaman empon-empon. Diantara species penting yang dikomersialkan dari suku ini adalah jahe, kunyit, temulawak dan lengkuas (Rismunandar 1988). Kuntorini (2005) menyatakan bahwa penggunaan lengkuas, temulawak, temu ireng dan temu kunci untuk obat-obatan masih dibawah 20 % dari total temu-temuan, sedangkan kunyit dan jahe yang paling dominan. Jahe
6
digunakan secara luas di Jepang, Timur Tengah, India, Bangladesh, Taiwan, Jamaica and Nigeria (Anon 1999). Jahe merupakan tanaman herba tahunan yang tumbuh pada lahan dataran rendah sampai menengah (300-900 m dpl). Di Indonesia dikenal tiga tipe jahe yang didasarkan atas ukuran dan warna rimpang, yaitu jahe putih besar, jahe putih kecil dan jahe merah.
Jahe putih kecil dan jahe merah sebagian besar
dimanfaatkan dalam industri minuman penyegar dan bahan baku indutri OT, herba terstandar maupun fitofarmaka (Bermawie et al. 2006). Jahe putih besar, di Jawa Barat dikenal dengan nama umum jahe badak tapi di Sumatera disebut jahe gajah. Nama lainnya yaitu jahe ganyong dan jahe lempung di Kuningan, jahe kapur di Jawa Timur. Ukuran jahe ini jauh lebih besar dan bentuknya lebih gemuk, demikian pula aroma dan rasanya kurang tajam dibanding kedua jenis lainnya. Jahe ini banyak digunakan untuk sayur, makanan, minuman, permen dan rempah-rempah (Januwati 1991). Jahe putih besar mempunyai rimpang yang tumbuh bergerombol pada pangkal batangnya, berdaging dan berukuran tebal serta bercabang tidak beraturan. Ukuran panjang dan lebar rimpang jahe putih besar berkisar antara 15.83 – 32.75 cm dan 6.20 – 11.30 cm. Jahe putih kecil 6.13 – 31.70 cm dan 6.38 – 11.10 cm, sedangkan jahe merah 12.33 – 12.60 cm dan 5.26 – 10.40 cm (Rostiana et al. 1991). Berdasarkan pengamatan sitologi, berjumlah 2n=22 (Ajijah et al. 1997)
kromosom jahe
kecuali pada species Zingiber mioga
berjumlah 2n=55 (Peter et al. 2007). Tanaman jahe mempunyai batang semu (pseudostems) yang berbentuk bulat. Tegak, tidak bercabang, berwarna hijau muda, sering kemerahan pada bagian dasar. Setiap batang umumnya terdiri dari 8 -12 helai daun (Rostiana et al. 1991; Sumeru 1995; Peter et al. 2007). Tinggi tanaman ini rata-rata 68.63 ± 12.5 cm.
Perbanyakan Tanaman Jahe Perbanyakan tanaman jahe umumnya dilakukan secara vegetatif, yaitu dengan menggunakan rimpang berukuran 2.5 – 5 cm, dengan bobot 25 – 60 gram. Perbanyakan vegetatif pada tanaman jahe menyebabkan keragaman genetik jahe
7
sangat rendah. Penggunaan rimpang sebagai bahan perbanyakan jahe mempunyai beberapa kendala yaitu: 1) dapat
membawa penyakit tular benih
Ralstonia
solanacearum, dan Fusarium serta nematoda sehingga penyebaran penyakit dan nematoda sulit dihindari; 2) rimpang yang berukuran besar/voluminous mempersulit penanganannya (sortasi, penyimpanan, pengemasan, transportasi dan lain-lain) dan mengakibatkan kebutuhan benih yang cukup tinggi, sekitar 2-3 ton/ha; 3) tidak tahan disimpan lama karena daya berkecambah benih turun sampai 50 % dalam waktu 3 – 4 bulan (Sukarman et al. 2004 ). Apabila tidak dilakukan langkah-langkah penanganan benih yang memadai, maka benih jahe paling lama dapat disimpan 2 – 3 bulan. Penyimpanan lebih dari waktu itu mengakibatkan benih mengkerut dan sudah bertunas. Benih yang sehat, walaupun bertunas, panjang tunasnya tidak lebih dari 1 cm. Untuk menghindari tumbuhnya jamur atau kapang, penyimpanan benih akan lebih baik kalau diberi perlakuan abu dapur yang ditaburkan. Pada kondisi demikian benih dapat disimpan selama 4 bulan (Januwati et al. 1991). Menurunnya kadar air benih setelah penyimpanan erat kaitannya dengan proses penguapan benih/rimpang jahe selama penyimpanan. Karena benih/rimpang bersifat higroskopis maka benih/rimpang tersebut akan menyerap atau melepaskan air sampai kadar airnya mencapai keseimbangan dengan kelembaban udara di sekitarnya (Sukarman et al. 2008). Standar Nasional Indonesia mengenai persyaratan mutu benih (rimpang) JPB yang layak untuk ditanam yakni ≥ 70%, diharapkan dengan kadar air tersebut kemampuan benih (rimpang) untuk tumbuh masih tinggi (Anon 2006). Pada umumnya pengadaan benih masih menggunakan benih dari kebun sendiri, dan belum mengacu kepada standar mutu benih yang berasal dari budidaya untuk produksi benih sehingga mutunya kurang terjamin. Selain itu benih jahe juga rentan terhadap serangan penyakit dan hama gudang. Benih jahe juga akan mudah keriput apabila dipanen tidak cukup umur, dan mudah bertunas apabila kondisi simpannya kurang baik. Kondisi demikian tentu akan berpengaruh kurang baik terhadap produksi dan kualitas jahe yang dihasilkan. Di Jawa Barat petani jahe belum ada yang dikhususkan untuk menanam benih jahe karena resikonya cukup besar (Hasanah et al. 2004).
8
Induksi Pembungaan Proses pembungaan pada dasarnya merupakan interaksi dari pengaruh dua faktor besar, yaitu faktor eksternal /lingkungan (suhu, cahaya, kelembaban, curah hujan, dan unsur hara) dan faktor internal (fitohormon dan genetik). Perubahan lingkungan tersebut dapat mengubah respon pembungaan suatu tanaman (Darjanto dan Satifah 1990). Setiap species tanaman dapat mempunyai respon yang berbeda terhadap lingkungan untuk berbunga (Thomas 1993). Ashari (2006) menyatakan bahwa sedikitnya ada 2 unsur yang mempengaruhi pembungaan yaitu: curah hujan dan distribusi hujan dan tinggi tempat dari permukaan laut. Selain unsur iklim di atas, menurut Guslim dalam Nasution (2009) produksi tanaman juga dipengaruhi oleh radiasi matahari dan suhu. Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Kondisi lingkungan yang sesuai selama pertumbuhan akan merangsang tanaman untuk tumbuh cepat, berbunga dan menghasilkan benih. Kebanyakan spesies tidak akan memasuki masa reproduktif jika pertumbuhan vegetatifnya belum selesai dan belum mencapai tahapan yang matang untuk berbunga. Ada dua rangsangan yang menyebabkan perubahan itu terjadi, yaitu suhu dan panjang hari (Mugnisjah dan Setiawan 1995). Adanya rangsangan ekternal transformasi
menyebabkan akan terjadi
pertumbuhan indeterminat pada ujung pucuk yang dirubah ke
bentuk pertumbuhan determinat yang sama sekali berbeda, yaitu alat reproduktifnya (Harjadi et al. 1988). Pada musim hujan tanaman melakukan aktivitas maksimal untuk menyerap hara dan air, agar dapat mengakumulasikan cadangan makanan dan menyimpan energi sebanyak-banyaknya sehingga pertumbuhan vegetatif lebih dominan. Suhu tinggi hingga batas ambang tertentu dibutuhkan oleh meristem lateral (primordia bunga) untuk mulai membentuk kuncup-kuncup bunga dan melangsungkan proses pembungaan. Selain itu, pada umumnya pembungaan di daerah tropis merupakan respon terhadap turunnya status air dalam tanah. Cekaman (stress) air dapat menginduksi inisiasi bunga, dengan diikuti oleh hujan maka primordia bunga yang terinisiasi akan berkembang pada tanaman tahunan tropika. (Mugnisjah dan Setiawan 1995).
9
Tanaman yang mengalami masa kering menyebabkan pasokan nitrogen pada tajuk tanaman berkurang sehingga jumlah nitrogen pada tajuk tanaman lebih kecil daripada karbon.
Jumlah nitrogen pada tajuk tanaman lebih kecil dari
karbon menyebabkan metabolisme tanaman meningkat sehingga laju fotosintesis bertambah, jumlah karbohidrat yang dihasilkan tentu meningkat. Kondisi itu dapat terjadi bila tanaman mengalami masa kering sehingga pasokan nitrogen berkurang, sehingga pada beberapa tanaman seperti jambu air, perlakuan stres air pada tanaman akan memicu keluar bunga (Sandra 2009). Suhu, curah hujan, cahaya dan keadaan lingkungan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pembungaan. Adanya perbedaan antara suhu maksimum pada siang hari dan suhu minimum di waktu malam dapat merangsang pembentukan bunga yang baik. Pada Zingiberaceae, bunga dapat tumbuh dengan baik pada kondisi yang lembab, karena tidak cepat layu (Darjanto dan Satifah 1990). Paclobutrazol merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang dapat merangsang terjadinya pembungaan. Paclobutrazol adalah salah satu penghambat biosintesa giberelin (Terri dan Millie 2000) yang digunakan pada pengurangan ukuran pohon, peningkatan produksi kuncup bunga, dan peningkatan panenan buah (Sedgley dan Griffin 1989). Paclobutrazol diserap oleh tanaman melalui daun, pembuluh batang atau akar, kemudian ditranslokasikan secara akropetal melalui xylem kebagian tanaman yang lain (Wattimena 1988). Pada meristem sub apikal senyawa ini akan menghambat biosintesis giberelin, yang selanjutnya akan menyebabkan
penurunan
laju
pembelahan
sel
sehingga
mengakibatkan
terhambatnya pertumbuhan vegetatif, dan secara tidak langsung akan mengalihkan fotosintat ke pertumbuhan reproduktif yang diperlukan untuk membentuk bunga. Paclobutrazol juga berperan sebagai zat yang dapat memperlambat pertumbuhan yang mengakibatkan bagian–bagian tanaman akan mengecil dan dapat merangsang tumbuhnya bunga. Aplikasi zat pengatur tumbuh ini diperlukan untuk
mempercepat
keberhasilan
pembungaan
penyilangan
atau
tanaman
hibridisasi.
mangga Aplikasi
dan
meningkatkan
paclobutrazol
dapat
merangsang pembungaan mangga 57-83 hari setelah aplikasi (Husen dan Ishartati 2007). Paclobutrazol dan atonik merupakan zat pengatur tumbuh untuk perbaikan
10
kualitas dan kuantitas bunga. Penggunaan paclobutrazol ternyata efektif terhadap pembungaan mangga, apel, dan melati (Purnomo et al. 1989; Herlina et al. 2001). Pemberian paclobutrazol pada jahe hias ‘ Chiang mai Pink” dengan konsentrasi 20 mg/pot dapat mempercepat keluarnya bunga pertama dari pada tanaman kontrol (Maria et al. 2001). Ashrafuzzaman et al.(2009) menyatakan bahwa perendaman umbi bawang sepanjang malam dengan 80 ppm paclobutrazol tidak dapat meningkatkan jumlah bunga dan mempercepat pembungaan bunga bawang.
Biologi Bunga Sebagian besar famili Zingiberaceae menghasilkan bunga. Bunga pada Zingiber sp berada di ujung tangkai bunga yang muncul secara langsung dari rimpang.
Bunga berbentuk kerucut tertutup oleh rangkaian braktea. Braktea
merupakan kantong tempat munculnya bunga, satu bunga dalam satu braktea. Beberapa species mempunyai braktea berwarna hijau sewaktu muda dan berubah warna menjadi merah setelah terjadi pembuahan. Bunga biasanya mekar pada siang hari dan bertahan hanya beberapa jam saja.
Ciri paling unik adalah
bunganya dapat menyediakan serbuk sari dalam waktu yang lama (Larsen et al. 1999). Berdasarkan penelitian-penelitian yang sebelumnya menyatakan bahwa viabilitas serbuk sari tergolong rendah, walaupun demikian belum ada informasi yang menyatakan lamanya masa viabilitas serbuk sari. Bunga pada genus Zingiber jarang menghasilkan buah. Penyebab kegagalan produksi buah dan biji diduga disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya kegagalan penyerbukan akibat terbatasnya vektor penyerbukan. (Peter et al. 2007). Ramachandra (1982) melaporkan bahwa ratio serbuk sari fertil dan serbuk sari berkecambah tergantung pada banyaknya serbuk sari yng berkecambah pada stigma atau ada tidaknya self incompatibility. Rahman (1998) melaporkan bahwa fertilitas serbuk sari pada jahe merah (Zingiber officinale var Rubrum) sangat bervariasi tetapi cukup tinggi (6-45 %) sehingga menjamin terjadinya pembuahan.
cukup
Fertilitas semacam ini jauh lebih tinggi
daripada fertilitas serbuk sari dari jenis Curcuma yang bersifat steril (2 – 7 %), sehingga tanaman ini tidak menghasilkan biji. Fertilitas yang rendah ini diduga disebabkan oleh ketidaknormalan selama proses miosis .
11
Menurut Bermawie dan Martono (1997) jahe jarang berbunga, bila terjadi bunga mekar pada siang hari, dan gugur pada keesokan harinya, sehingga periode untuk penyerbukan sangat pendek. Bunga tersusun dalam spika yang langsung muncul dari rimpangnya, sama halnya dengan batang semu. Setiap bunga dilindungi oleh braktea (daun pelindung) berwarna hijau, berbentuk bulat telur atau jorong. Setiap braktea akan muncul satu bunga (Purseglove et al. 1981 ). Peter et al. (2007) menambahkan adakalanya terdapat dua bunga, bunga bisexual, tidak beraturan, berwarna kuning dengan bintik-bintik ungu gelap. Pada bunga hermaprodit dengan posisi yang berdampingan, ketika kotak sari pecah tidak dapat menjangkau kepala putik karena posisinya berjauhan dan kotak sari menempel pada pangkal kepala putik. Bunga keluar 2-3 bulan setelah tanam, inisiasi bunga berasal dari pembentukan rhizome- rhizome baru. Ketika bunga gugur dan bagian yang lainnya mengering, rhizome menjadi dorman. Fenologi adalah ilmu tentang periode fase-fase yang terjadi secara alami pada tumbuhan. Fase-fase tersebut berlangsung sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitar, seperti lamanya penyinaran, suhu dan kelembaban udara (Fewless 2006). Fenologi perbungaan suatu jenis tumbuhan adalah salah satu karakter penting dalam siklus hidup tumbuhan karena pada fase itu terjadi proses awal bagi suatu tumbuhan untuk berkembang biak. Suatu tumbuhan akan memiliki perilaku yang berbeda-beda pada pola perbungaan dan perbuahannya, akan tetapi pada umumnya diawali dengan pemunculan kuncup bunga dan diakhiri dengan pematangan buah (Tabla dan Vargas
2004).
Pengamatan
fenologi tumbuhan yang seringkali dilakukan adalah perubahan masa vegetatif ke generatif dan panjang masa generatif tumbuhan tersebut. Ini biasanya dilakukan melalui pendekatan dengan pengamatan umur bunga, pembentukan biji dan saat panen.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Rumah kaca (Lampiran 1) dan Laboratorium Benih, Kelti Plasma Nutfah dan Pemuliaan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik di Bogor untuk percobaaan induksi pembungaan serta pengamatan fenologi dan biologi bunga. Kebun Percobaan Cicurug Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik digunakan untuk pengamatan fenologi dan biologi bunga. Pengamatan morfologi serbuk sari dan kepala putik dilakukan di Laboratorium Zoologi LIPI Cibinong. Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan Juni 2010.
Tahap dan Metode Penelitian Penelitian terdiri atas dua percobaan, yaitu: 1) Induksi pembungaan jahe putih besar (Zingiber officinale Rosc), dan 2) Biologi bunga jahe putih besar
Percobaan 1 Induksi Pembungaan Jahe Putih Besar Suhu udara dan kelembaban udara Kedua data ini diperoleh dengan menggunakan alat termohygrometer. Pengukuran dilakukan setiap hari, tiga kali sehari, pada pukul 07.00, 12.00 dan 16.00 WIB, baik di dalam rumah kaca maupun di luar rumah kaca. Percobaan induksi pembungaan ini terdiri atas dua kegiatan yakni: 1. Induksi pembungaan dengan kadar air media yang berbeda Percobaan ini disusun dalam rancangan acak kelompok satu faktor, yaitu kadar air media. Perlakuan kadar air media (KAM) atau kapasitas lapang (KL) terdiri atas enam taraf yaitu: C0 : KAM 48-49 % atau 100 % KL C1 : KAM 45-46 % atau 83 % KL C2 : KAM 42-43 % atau 66 % KL C3 : KAM 39–40 % atau 50 % KL
13
C4 : KAM 36-37 % atau 33 % KL C5 : KAM 33-34 % atau 16 % KL Tiap perlakuan diulang empat kali, sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Tiap percobaan terdiri atas lima sampel tanaman, maka jumlah benih jahe yang digunakan sebanyak 120 benih jahe. Data yang diperoleh dikonsentrasi dengan uji F menggunakan program SAS (Statistical Analysis System) dan jika berpengaruh nyata secara statistik (pada ά = 0.05) maka dilakukan uji lanjut menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf ά = 0.05 Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Y ij = µ + α i
+
ßj
+
Є ijk , dimana :
Y i j k = Nilai pengamatan pada perlakuan ke i dan kelompok ke j µ
= Nilai rataan umum
αi
=
Perlakuan ke - i
ßj
=
Pengaruh kelompok ke -j
E ijk
=
Pengaruh acak pada perlakuan ke i dan kelompok ke j
2. Induksi pembungaan dengan pemberian paclobutrazol Percobaan ini disusun dalam rancangan acak kelompok satu faktor, yaitu : konsentrasi paclobutrazol. Perlakuan paclobutrazol terdiri atas enam taraf yaitu: P0 : 0 ppm (kontrol) P1 : 20 ppm. P2 : 40 ppm. P3 : 60 ppm. P4 : 80 ppm. P5 : 100 ppm Tiap perlakuan diulang empat kali, sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Tiap percobaan terdiri atas lima sampel tanaman, maka jumlah benih jahe yang digunakan sebanyak 120 benih jahe. Data yang diperoleh dikonsentrasi dengan uji F menggunakan program SAS (Statistical Analysis System) dan jika berpengaruh nyata secara statistik (pada ά = 5%) maka dilakukan uji lanjut menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test).
14
Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Y ij = µ + α i
+
ßj
+
Є ijk ,
Y i j k = Nilai pengamatan pada perlakuan ke i dan kelompok ke j µ
= Nilai rataan umum
αi
=
Perlakuan ke - i
ßj
=
Pengaruh kelompok ke -j
E ijk
=
Pengaruh acak pada perlakuan ke i dan kelompok ke j
Percobaan 2. Biologi Bunga Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc) Percobaan biologi bunga terdiri atas dua kegiatan yakni: 1. Biologi bunga Pengamatan biologi bunga dilakukan terhadap bunga yang terbentuk pada Percobaan 1. Pengamatan dilakukan secara visual dengan mengamati perubahan-perubahan yang terjadi selama tunas generatif terbentuk.
2. Viabilitas serbuk sari Pengamatan viabilitas serbuk sari terdiri atas dua percobaan. a. Pengecambahan serbuk sari. Percobaan ini bertujuan untuk menentukan media perkecambahan serbuk sari yang terbaik bagi jahe. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak lengkap (RAL) dua faktor. Faktor yang diujikan adalah media perkecambahan serbuk sari yang terdiri atas tiga jenis media, yaitu media Brewbaker & Kwack (BK), media PGM (Pollen Germination Medium) dan media sukrosa 10% dan sebagai faktor kedua adalah waktu pengambilan serbuk sari (lima taraf) dengan selang waktu 15 menit yang dimulai pada saat bunga mekar. Pembuatan media BK dilakukan dengan mencampurkan bahan kimia 100 ppm H3BO4 300 ppm Ca(NO3)2.4H2O, 200 ppm MgSO47H2O, dan 100 ppm KNO3 dalam 1000 ml aquabides. Media PGM dibuat dengan mencampurkan 10% sukrosa, 0,005% H3BO3, 10 mM CaCl2, 0.05mM KH2PO4 dan 4% Polyetilene 6000 (PEG), setelah itu disaring dengan menggunakan
15
kertas saring. Media sukrosa 10% dibuat dengan melarutkan 10 gram sukrosa dalam 100 ml aquadest. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F menggunakan program SAS (Statistical Analysis System) dan jika berpengaruh nyata secara statistik (pada ά = 5%) maka dilakukan uji lanjut menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test). Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Y i j = µ + α i + ßj + (άß)ij + Є ijk, Y i j k = Nilai pengamatan pengaruh perlakuan pewarnaan ke-i, waktu ke-j dan ulangan ke-k µ
= Nilai rataan umum
αi
= pengaruh pewarna ke - i
ßj
= pengaruh waktu pengambilan serbuk sari ke -j
(άß)ij = pengaruh interaksi antara pewarna ke-i dan waktu ke-j E ijk = Pengaruh galat percobaan pada pewarna ke i, waktu ke-j, dan ulangan ke-k i
= 1,2
j
= 1,2,3,4,5
b. Pewarnaan serbuk sari. Pengujian viabilitas melalui pewarnaan serbuk sari dilakukan dengan menggunakan Aniline blue 0.2% (0.2 gram Aniline blue dilarutkan dalam 100 ml aquadest) dan Acetocarmine 0.75% (0.75 gram carmine dilarutkan dalam 45 ml asam asetat glacial + 55 ml aquadest, kemudian didihkan, setelah dingin disaring). Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F menggunakan program SAS (Statistical Analysis System) dan jika berpengaruh nyata secara statistik (pada ά = 5%) maka dilakukan uji lanjut menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test). Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut : Y i j = µ + α i + ßj + (άß)ij + Є ijk, Y i j k = Nilai pengamatan pengaruh media perkecambahan ke-i,
16
waktu ke-j dan ulangan ke-k µ
= Nilai rataan umum
αi
= pengaruh media perkecambahan serbuk sari diambil ke - i
ßj
= pengaruh waktu pengambilan serbuk sari ke -j
(άß)ij = pengaruh interaksi antara media ke-i dan waktu ke-j E ijk = Pengaruh galat percobaan pada media ke i, waktu ke-j, dan ulangan ke-k i
= 1,2
j
= 1,2,3,4,5
Pelaksanaan Penelitian Persemaian Benih Rimpang yang digunakan untuk benih adalah yang sudah tua, minimal berumur 9 bulan. Ciri-ciri rimpang tua antara lain kandungan serat tinggi dan kasar, kulit licin dan keras tidak mudah mengelupas, warna kulit mengkilat menampakkan tanda bernas (Lampiran 2). Untuk mencegah infeksi bakteri, dilakukan perendaman di dalam larutan antibiotik Dithama yang merupakan formula Balittro dengan konsentrasi anjuran, kemudian dikering-anginkan (Gambar 14B). Rimpang untuk dijadikan benih adalah yang mempunyai 2-3 mata tunas yang baik dengan bobot sekitar 50-60 g (Lampiran 3). Sebelum ditanam rimpang benih disemai terlebih dahulu dengan cara menanam pada media cocopit di tempat yang teduh. Selama penyemaian dilakukan penyiraman setiap hari sesuai kebutuhan, untuk menjaga kelembaban rimpang. Rimpang yang bertunas dengan panjang 1-2 cm siap ditanam (±1 bulan) (Lampiran 4) dalam polybag diameter 30 cm. Penyiapan Media Tanam Media yang digunakan adalah campuran tanah, pasir, dan pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 1 : 1. Media yang telah dicampur, diaduk sampai rata dan disiram dengan fungisida (Dithane) sebanyak 4 g/l. Untuk perawatan tanaman selanjutnya berdasarkan Standar Operasional Prosedur Budidaya Jahe 2009 (SOP)
17
yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik, dengan cara tanaman dipupuk dengan pupuk kandang sapi kedua pada umur empat bulan sebanyak ± 1,5 kg tiap tanaman. Pemberian pupuk buatan NPK dilakukan tiga kali pada umur 1, 2, dan 3 bulan setelah pindah tanam sebanyak ± 10 g tiap tanaman setiap pemberian. Pemeliharaan tanaman dilakukan agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik yang meliputi: penyiangan gulma, penyulaman, pembubuman, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman. Penentuan Kapasitas Lapang dan Titik Layu Permanen pada Media Tanam Perlakuan kadar air media (KAM) ditentukan dengan menetapkan kapasitas lapang dan titik layu permanen pada media tanam tanpa tanaman dilakukan dengan menggunakan alat “Pressure Plate Apparatus” dan “Pressure Membran Apparatus“ masing-masing pada pF 2.54 dan pF 4.20. Untuk penetapan kapasitas lapang dan titik layu permanen digunakan media tanam kering udara. Contoh tanah untuk penetapan kapasitas lapang (pF 2.54) diletakkan di atas piringan (plate) dalam “Pressure Plate Apparatus “ sedangkan tanah untuk penetapan titik layu permanen
(pF 4.20) diletakkan di atas piringan dalam
“Pressure Membran Apparatus“. Kedua contoh tanah ini disiram air sampai berlebihan dan dibiarkan selama 48 jam. Alat ditutup rapat-rapat, kemudian diberi tekanan sesuai dengan pF yang dikehendaki (untuk pF 2.54 dengan tekanan 1/3 bar dan 1.5 bar untuk pF 4.20). Keseimbangan tercapai kira-kira 48 jam setelah diberi tekanan. Kemudian contoh tanah dikeluarkan dan ditetapkan kadar airnya dengan metode gravimetri, dengan menggunakan rumus : KA = BB - BK x 100 %. BB Dari hasil perhitungan didapatkan kadar air media pada kondisi kapasitas lapang yaitu 47.98 % dan titik layu permanen adalah 32.32 % dengan demikian selang kadar air yang tersedia adalah selisih antara kapasitas lapang dan titik layu permanen yaitu 15.66 %.
Kadar air yang tersedia ini digunakan untuk
menentukan taraf kadar air media dalam penelitian. Hasil penentuan taraf kadar
18
air media diperoleh kapasitas lapang (KL) 100% = kadar air media 48-49% (K1), KL 83% = kadar air media 45-46 % (K2), KL 66% = kadar air media 42-43 % (K3), KL 50% = kadar air media 39-40 % (K4), KL 33%= kadar air media 36-37 % (K5), KL 16%= kadar air media 33-34 % (K6). Perlakuan kadar air media diberikan pada saat tanaman berumur 4 bulan (pertumbuhan vegetatif sudah cukup besar dan pengisian rimpang sudah terjadi) sampai tanaman berumur 6 bulan. Setiap 3 hari dilakukan pengukuran kadar air media sesuai dengan perlakuan, jika kadar air turun dari kadar air perlakuan maka setiap 1% penurunan kadar air dilakukan penyiraman sebanyak 300 ml. Penanaman Benih Bibit dipindahkan pada media tanam berupa tanah : pasir : pupuk kandang (2 : 1 : 1) sebanyak 30 kg pada polybag berukuran 60x60 cm. Media tanam disusun di rumah kaca (yang diatasnya diberi paranet 50%) sesuai perlakuan. Pemberian paranet berfungsi untuk menurunkan suhu di dalam rumah kaca yang cukup tinggi sehinga dikhawatirkan dapat mengganggu pertumbuhan jahe pada awal penanaman dimana benih masih lemah dan dalam masa adaptasi. Benih ditanam dengan cara tunas menghadap ke atas. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman tanaman yang dilakukan 3 kali dalam seminggu, penyiangan dilakukan bila terdapat gulma, penyulaman dilakukan bila terdapat bibit yang mati, penyulaman dilakukan paling lambat 2 bulan setalah tanam. Pengendalian hama penyakit dilakukan jika perlu (jika terdapat serangan yang mengganggu dan melebihi ambang batas) secara mekanik dan menggunakan insektisida serta fungisida. Aplikasi paclobutrazol Perlakuan aplikasi paclobutrazol diberikan pada saat tanaman berumur 4 bulan (pertumbuhan vegetatif sudah cukup besar) sampai tanaman berumur 6.5 bulan. Aplikasi dilaksanakan dengan cara menyiramkan paclobutrazol sesuai perlakuan sebanyak 500 ml pada bagian pinggir rimpang dan diulang setiap 2 minggu sekali selama lima kali selama 2.5 bulan (Thohirah et al.2005).
19
Pengamatan Induksi Pembungaan Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc) Pengamatan Pertumbuhan Pengamatan parameter pertumbuhan diimulai pada saat tanaman berumur 4 bulan setelah tanam (BST) yaitu saat dimulainya perlakuan kadar air media dan perlakuan aplikasi paclobutrazol, dan untuk pengamatan selanjutnya dilakukan dengan interval waktu dua minggu sampai tanaman berumur tujuh bulan. Pengamatan dilakukan terhadap : 1.
Tinggi tanaman. diukur dari pangkal batang (batas antara rimpang batang semu) yang telah ditandai (tunas ke 2) sampai titik tumbuh. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan meteran dan dilakukan pada umur 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14 minggu setelah perlakuan (MSP).
2.
Diameter batang. Pengukuran dilakukan pada batang yang telah ditandai (tunas ke 2) dengan menggunakan jangka sorong dan dilakukan pada umur 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14 MSP.
3.
Jumlah tunas. Total jumlah yang terdapat pada 1 rumpun tanaman dilakukan pada umur 0, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14 MSP
4.
Luas daun. Pengamatan luas daun dilakukan dua kali, pengamatan pertama awal, pengamatan kedua perlakuan pada daun pada saat aplikasi dihentikan yaitu 8 MSP. Sampel daun yang diambil adalah daun yang tidak mengalami pertambahan luas yaitu daun ke dua atau tiga dari atas. Luas daun ditentukan dengan menggunakan leaf area meter
di
Laboratorium
Ekofisiologi
Tanaman,
BALITTRO.
Cimanggu. Pada saat tanaman berumur 9 bulan dilakukan pemanenan dengan cara membongkar rimpang dari dalam tanah. Selanjutnya rimpang dibersihkan dan dilakukan penanganan pasca panen, sesuai dengan parameter yang ingin diamati meliputi : 1. Bobot rimpang per rumpun (g). Pengamatan dilakukan dengan menggunakan timbangan biasa dan dilakukan satu kali pada saat panen.
20
2. Kadar air rimpang (%). Timbang berat basah rimpang (BB) yang baru dipanen dengan menggunakan timbangan analitik, setelah itu rimpang diiris tipis, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 500C sampai berat keringnya konstan dan timbang kembali (BK). Dilakukan penghitungan kadar air rimpang dengan cara : KA (%) = BB – BK x 100 %. BB Pengamatan Pembungaan Pengamatan pembungaan meliputi : 1. Waktu spika pertama keluar (MSP). Pengamatan dilakukan pada saat terjadi perubahan tunas vegetatif menjadi generatif. 2. Waktu spika terakhir keluar (MSP). Pengamatan dilakukan pada saat tidak ada lagi penambahan spika yang terbentuk. 3. Jumlah spika/rumpun. Pengukuran dilakukan berdasarkan total jumlah spika yang terdapat dalam 1 rumpun selama tanaman hidup. 4. Panjang tangkai spika. Pengamatan dilakukan terhadap semua spika yang terbentuk dalam satu rumpun Pengukuran dilakukan pada saat awal terjadinya perubahan vegetatif menjadi generatif. Diukur dari pangkal tunas (batas antara tunas dengan rimpang) sampai ujung spika. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan mistar besi.
Biologi Bunga Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc) Pengamatan biologi bunga Pengamatan biologi bunga mencakup: panjang bunga, panjang dan lebar kelopak bunga , panjang dan lebar kepingan mahkota, panjang dan lebar labellum (lip). Pengamatan biologi dan fenologi bunga bunga yang terbentuk mencakup: 1.
Jumlah braktea/spika, jumlah bunga/spika, lama masa pembungaan/rumpun, lama masa pembungaan/spika.
2.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada individu bunga sejak mekar sampai layu, mencakup jumlah bunga, panjang bunga, panjang dan lebar labelum,
21
panjang dan lebar kepingan mahkota, warna mahkota bunga, panjang pistil, panjang kotak serbuk sari. 3.
Pola perkembangan pembukaan braktea diamati sejak braktea kuncup sampai membuka penuh. Spika yang diamati berjumlah 10 tangkai. Pengukuran braktea terdiri dari panjang dan diameter braktea dan jumlah helaian braktea yang terdapat pada setiap spika.
4.
Struktur serbuk sari dan kepala putik. Serbuk sari diambil dari bunga yang baru mekar di lapang. Struktur serbuk sari dan kepala putik diamati dengan menggunakan
mikroskop
microscope/SEM).
pemindai
elektron
(scanning
elektron
Pengamatan dilakukan terhadap bentuk serbuk sari,
tekstur permukaan dan pori, sedangkan untuk kepala putik diamati tektur permukaaannya. 5.
Prosedur persiapan sampel untuk pengamatan menggunakan SEM: spesimen serbuk sari dan kepala putik difiksasi dalam alkohol 70 % kemudian didehidrasi pada suhu 4
0
C. Spesimen ditempel pada stub dengan
menggunakan double tape, kemudian divakum selama 10 menit untuk mengeluarkan gelembung udara dalam spesimen, dan dilapisi dengan emas selama 5 menit. Spesimen dimasukkan dalam chamber pada SEM untuk diamati. Pengamatan dilakukan pada 20 KV dengan pembesaran 1000 x untuk melihat bentuk serbuk sari dan ada/tidaknya pori, 5000 x
untuk
melihat tekstur permukaan, 150 x untuk mengamati struktur kepala putik. Penentuan Masa Reseptif Kepala Putik Untuk menentukan masa reseptif kepala putik, dilakukan pengamatan morfologi bunga secara visual pada kepala putik. Pengamatan morfologi pada kepala putik ditentukan berdasarkan perubahan yang terjadi pada permukaan kepala putik yang dilakukan pada pukul 13.00, 14.00, 15.00, 16.00, dan pukul 17,00 WIB. Masa reseptif kepala putik ditentukan berdasarkan munculnya sekresi pada permukaan kepala putik. Banyaknya sekresi (nektar) yang muncul dikuantifikasi dengan menggunakan pipet mikro.
22
Viabilitas Serbuk sari Pengamatan
terhadap
viabilitas
serbuk
sari
dilakukan
dengan
pengecambahan serbuk sari. Serbuk sari diambil sesaat setelah bunga mekar, dan setiap 15 menit (5 x pengambilan sampel serbuk sari). Pengamatan perkecambahan serbuk sari dilakukan 24 jam setelah pengecambahan dengan menggunakan mikroskop cahaya. Viabilitas serbuk sari dihitung berdasarkan persentase serbuk sari yang berkecambah (fertil) dengan ciri serbuk sari yang telah kerkecambah membentuk tabung sepanjang minimal sama dengan diameter serbuk sari. Penghitungan viabilitas dengan media perkecambahan menggunakan rumus : Viabilitas = jumlah serbuk sari yang berkecambah dalam bidang pandang x 100% jumlah serbuk sari yang dikecambahkan dalam bidang pandang Pendugaan viabilitas serbuk sari dilakukan dengan metode pewarnaan menggunakan aniline blue 0.2 % dan acetocarmin. Pengamatan dilakukan setelah 24 jam pewarnaan dibawah mikroskop cahaya. Serbuk sari dikategorikan normal apabila serbuk sari sudah 70 % terwarnai menjadi biru tua dengan pewarnaan anile blue dan terwarnai menjadi merah tua dengan pewarnaan acetocarmine. Penghitungan viabilitas denganmetoda pewarnaan menggunakan rumus : Viabilitas = jumlah serbuk sari yang terwarnai dalam bidang pandang jumlah serbuk sari yang diwarnai dalam bidang pandang
x 100%
23
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Penelitian Keadaan pertanaman pada umur 0–7 minggu setelah tanam (MST) menunjukkan pertumbuhan yang sehat tapi cenderung mengalami pemanjangan (etiolasi) dan tingkat serangan hama yang relatif rendah. Hama yang menyerang tanaman yaitu belalang dan ulat tanah. Akibat yang ditimbulkan oleh serangan belalang dan ulat tidak terlalu mengganggu pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Belalang menimbulkan kerusakan dengan meninggalkan bekas gigitan yang berupa lubang-lubang pada daun. Serangan belalang dan ulat tanah dapat diminimalkan dengan pengendalian secara mekanis dan penyemprotan insektisida (Decis). Saat tanaman berumur 8 MST paranet yang menutupi rumah kaca dibuka karena kondisi tanaman mengalami pemanjangan (etiolasi), diameter batang lebih kecil, dan batang tanaman kelihatan agak lemah (Gambar 1A). Setelah paranet dibuka bagian pinggir daun menjadi menguning (Gambar 1 B). Diduga hal tersebut terjadi karena respon tanaman terhadap perubahan kondisi lingkungan setelah paranet dibuka, terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban udara dalam rumah kaca.
A
B
Gambar 1 (A) Kondisi tanaman 8 MST, tanaman mengalami pemanjangan dan batangnya lemah. (B) Daun muda mulai menguning dan kering ujungnya.
24
Suhu dan kelembaban Suhu dan kelembaban udara di dalam dan di luar rumah kaca selama penelitian kerkisar antara 21- 39.50C dan 34.3-88.46% ( Lampiran 6). Suhu udara rataan dalam rumah kaca lebih tinggi dibanding suhu luar rumah kaca, sebaliknya kelembaban udara dalam rumah kaca lebih rendah dibanding keadaan lingkungan di luar rumah kaca selama penelitian dilaksanakan. Suhu dan kelembaban berkaitan dengan besarnya evapotranspirasi dalam rumah kaca dan mempengaruhi kadar air media. Semakin tinggi suhu dan atau semakin rendah kelembaban di dalam rumah kaca, maka kadar air media akan semakin cepat turun karena laju evapotranspirasi akan terus meningkat dengan meningkatnya suhu.
Induksi Pembungaan Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc)
1. Induksi pembungaan dengan kadar air media yang berbeda Pertumbuhan tanaman dan produksi Data pertumbuhan tanaman yang diamati adalah tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah tunas. Tinggi tanaman pada awal pengamatan sampai sampai minggu ke-6 setelah aplikasi tidak berbeda nyata antar perlakuan. Tinggi tanaman secara umum menunjukkan kenaikan setiap pengamatan (2 minggu sekali) (Gambar 2). Perlakuan kadar air media yang diaplikasikan belum menghambat pertumbuhan tinggi tanaman.
Hal ini
diduga disebabkan oleh kelembaban pada pagi hari dan sore hari yang relatif tinggi dalam rumah kaca
karena tingginya curah hujan (Lampiran 6).
Walaupun tanaman ternaungi karena berada dalam rumah kaca tapi lingkungan di luar rumah kaca tetap mempengaruhi keadaan dalam rumah kaca. Intensitas hujan yang cukup tinggi pada awal aplikasi kadar air media menyebabkan
udara dalam rumah kaca menjadi sejuk, sehingga
evapotranspirasi berjalan lambat dan tidak
proses
menghambat pertumbuhan
tanaman . Pada minggu ke-6 setelah aplikasi diberikan mulai terlihat perbedaan tinggi tanaman antar perlakuan. Perlakuan media dengan kadar air (KAM) 4849% menghasilkan tinggi tanaman yang paling tinggi yaitu 67.28 cm dan berbeda nyata dengan perlakuan KAM 39-40 %, 36-37% dan 33-34 %. Hal
25
tersebut menunjukkan bahwa media dengan kadar air sampai 42 % selama 8 minggu tidak mempengaruhi (menghambat) tinggi tanaman jahe, sedangkan kadar air media dibawahnya sudah berpengaruh terhadap tinggi tanaman jahe. Minggu ke-10 setelah aplikasi tinggi tanaman cenderung mengalami penurunan dari pengamatan sebelumnya (8 MSP), karena tanaman mulai memasuki umur 7 bulan setelah tanam. Pada saat pertumbuhan vegetatif tanaman jahe sudah maksimal dan diikuti dengan masa pengisian rimpang. Beberapa tanaman sudah mulai luruh terutama tanaman dengan perlakuan kadar air media rendah. Tanaman dengan kadar air media yang rendah lebih cepat luruh dibandingkan tanaman dengan kadar air tinggi. Tanaman pada KAM 39-40%, 36-37% dan kadar air 33-34% pada 12 MSP telah luruh dan tumbuh tunas baru. Tanaman pada media yang lainnya layu yang merupakan
Gambar 2 Tinggi tanaman selama 14 MSP pada kadar air media berbeda Keterangan : Garis vertikal merupakan batas pemberian aplikasi perlakuan MSP : minggu setelah perlakuan, BST : bulan setelah tanam.
awal dari luruhnya tanaman. Tanaman pada kadar air media 42-43 % pada akhir pengamatan ( 14 MSP) telah luruh dan hanya perlakuan dengan kadar air media 45-46 dan 48-49 % yang belum luruh sampai akhir pengamatan. Menurut Panggabean (1992) perkembangan rimpang jahe mulai meningkat pada saat jahe berumur 7 bulan hingga akhir panen sampai saat umur 9 bulan.
26
Pada saat itu terjadi penumpukan cadangan makanan di rimpang berupa karbohidrat dan hasil metabolisme sekunder berupa minyak atsiri. Tinggi tanaman pada 10 MSP tidak berbeda nyata antar perlakuan kecuali dengan perlakuan KAM 33-34% yaitu 47.31 cm, paling rendah dibanding tinggi tanaman pada perlakuan lainnya. Hal tersebut terjadi sampai akhir pengamatan (14 MSP), dan tidak berbeda nyata dengan tinggi tanaman pada kadar air media dibawah 42-43%. mempengaruhi
pertumbuhan
dan
Rendahnya kadar air media
perkembangan
tanaman
dan
bila
berlangsung dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan luruhnya daun sebelum waktunya (Gambar 3). Hal ini disebabkan oleh peranan air yang begitu besar bagi pertumbuhan tanaman. Air akan meningkatkan tekanan hidrolik internal sel tanaman, sehingga tanaman mengalami pembesaran sel yang akan merenggangkan dindingnya yang menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman berlangsung. Proses tersebut akan terganggu apabila kadar air media dibawah 42-43 % yang menyebabkan tanaman menjadi luruh sebelum waktunya dan ketika dilanjutkan dengan pemeliharaan pada kondisi optimum tunas-tunas baru bermunculan. Penelitian ini sejalan dengan pendapat Khaerana (2007) yang melakukan penelitian cekaman kekeringan pada temu lawak dan menunjukkan hasil bahwa cekaman kekeringan pada umumnya tidak mempengaruhi tinggi tanaman kecuali pada saat tanaman telah berumur diatas 7.5 bulan. Tunas layu Tunas baru
Gambar 3 Kondisi tanaman perlakuan KAM 36-37% dan 33-34% pada 12 MSP Suhu dalam rumah kaca lebih tinggi dibanding suhu di luar rumah kaca. Suhu yang tinggi dengan tingkat kelembaban yang rendah akan
27
menyebabkan tingginya tingkat evapotranspirasi dalam rumah kaca. Peningkatan evapotranspirasi pada tanaman dengan kadar air media yang rendah menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Penanaman dalam polybag semakin menyulitkan tanaman karena suhu media lebih tinggi. Tanaman jahe pada perlakuan kadar air yang rendah 33-34 % tidak menyebabkan tanaman mati karena adanya persediaan air pada rimpang yang dapat dimanfaatkan tanaman. Penelitian Gardner et al. (1991) pada tanaman jagung menunjukkan bahwa perkembangan sel tanaman jagung yang ditanam dalam rumah kaca dengan suhu lebih tinggi dan kelembaban rendah akan terhenti pada potensial air yang lebih tinggi dibandingkan tanaman yang berada di luar rumah kaca, yang perkembangan selnya berhenti pada potensial yang lebih rendah . Pengaruh kadar air media terhadap diameter batang menunjukkan bahwa diameter batang tidak dipengaruhi oleh kadar air media. Peningkatan diameter batang hanya terjadi dua minggu sejak perlakuan, setelah itu diameter batang menurun (Gambar 4). Data ini memberi indikasi bahwa pada kondisi tercekam kekeringan, rimpang jahe yang mengandung air dapat mempertahankan pertumbuhan tanaman selama dua minggu.
(MSP) 4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 (BST)
Gambar 4 Diameter batang pada media tanam dengan kadar air berbeda Keterangan : Garis vertikal merupakan batas pemberian aplikasi perlakuan MSP : minggu setelah perlakuan, BST : bulan setelah tanam.
28
Terjadinya penurunan diameter batang pada beberapa perlakuan diakhir pengamatan disebabkan adanya tunas yang luruh secara keseluruhan terutama perlakuan kadar air media 36-37% dan 33-34%. Pada tanaman yang berbatang semu, batang merupakan pelepah daun yang tersusun rapat dengan kandungan air yang tinggi. Meningkatnya umur tanaman lapisan terluar dari batang semu akan mengering dan mengelupas, hal tersebut sejalan dengan penelitian pendahuluan. Menurut Sumeru 1995; Ajijah et al. 1997; dan Steenis et al. (2006) Zingiberaceae merupakan tumbuhan yang berbatang basah dan merupakan batang semu yang terdiri atas pelepah-pelepah. Pelepah yang mengering dan kemudian mengelupas akan mempengaruhi diameter batang. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
selama 14 MSP
jumlah tunas mengalami fluktuatif, diduga kadar air media yang berbeda belum mempengaruhi jumlah tunas tanaman. Jumlah tunas pada jahe putih besar menunjukkan kenaikan dari awal pengamatan sampai 4 MSP. Penambahan tunas yang tertinggi cenderung terjadi pada 4 dan 6 MSP, dan penambahan tunas yang terbanyak terdapat pada perlakuan kontrol (Gambar 5). Penurunan jumlah tunas mulai terjadi pada 8 MSP, dimana umur tanaman sudah
memasuki bulan ke-7
dan pertumbuhan tanaman sudah optimal.
Berkurangnya jumlah tunas disebabkan oleh fase pertumbuhan dan perlakuan kadar air media. Kadar air media yang rendah pengurangan jumlah tunasnya lebih banyak dibandingkan kadar air media yang lebih tinggi. Berkurangnya air dalam media tanam mengganggu pertumbuhan tunas baru dan akhirnya layu dan mengering.
29
Gambar 5. Jumlah tunas pada media tanam dengan kadar air berbeda Keterangan : Garis vertikal merupakan batas pemberian aplikasi perlakuan MSP : minggu setelah perlakuan, BST : bulan setelah tanam. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa kadar air media pada awal pengamatan (1MSP) belum berpengaruh nyata terhadap luas daun (Tabel 1). Perlakuan kadar air media dibawah kapasitas lapang (kontrol) mempengaruhi luas daun tanaman jahe. Luas area daun tertinggi pada akhir perlakuan terdapat pada perlakuan kontrol (KAM 48-49 %), walaupun pada awal perlakuan luas daun tertinggi terdapat pada perlakuan KAM 45-46 % dengan berjalannya waktu dengan pemberian kadar air media yang berbeda maka luas daun jadi berubah dimana kadar air media rendah luas daun mulai menyempit. Lamanya perlakuan yang diberikan mempengaruhi luas daun, sama halnya dengan tinggi tanaman. Luas area daun terendah terdapat pada perlakuan KAM 33-34 % yaitu 19.74 cm2 berbeda dengan luas daun perlakuan kadar air media yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan luas daun pada perlakuan KAM 45-49%. Tabel 1. Pengaruh kadar air media terhadap luas daun (cm2) pada awal dan akhir perlakuan Luas daun (cm2) KAM(%)
Awal (1MSP)
Akhir (8 MSP)
30
48-49
41.62
25.55 a
45-46
44.83
22.41 ab
42-43
41.38
22.08 ab
39-40
40.95
23.73 ab
36-37
37.95
23.75 ab
33-34
39.88
19.74 b
KK
11.42
11.38
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05
Tanaman dengan perlakuan kadar air rendah menunjukkan respon dimana daunnya menyempit dibandingkan kontrol. Semakin rendah kadar air media maka luas daun semakin mengecil pula. Mengecilnya ukuran luas daun terjadi setelah beberapa lama perlakuan diberikan yang merupakan salah satu respon tanaman terhadap kekurangan air.
Hal ini merupakan mekanisme
penghindaran tanaman untuk menekan kehilangan air karena proses transpirasi pada tanaman. Dengan mengecilnya daun maka traspirasi juga akan semakin berkurang. Semakin mengecilnya daun, maka luas bidang permukaan yang mengalami proses fotosintesa juga semakin menyempit yang menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman. Pada penelitian ini penghambatan pertumbuhan akibat kadar air dibawah kapasitas lapang pada awal perlakuan secara visual tidak terlalu mengganggu pertumbuhan karena perlakuan kadar air media diberikan pada saat jahe berumur 4 bulan dimana sudah terbentuk rimpang baru. Pertumbuhan mulai terganggu pada 8 MSP, beberapa tanaman mulai luruh terutama pada tanaman dengan kadar air rendah (33-37 %). Rimpang mengandung air dan karbohidrat yang dapat digunakan sebagai cadangan makanan dan sumber air bagi tanaman sehingga pada saat air di media sangat rendah sampai 33% (± 15 % kapasitas lapang) tanaman masih mampu mempertahankan hidupnya dan tidak mati. Menurut Lakitan (1995), jika kadar air daun turun (<90 %), maka pembesaran sel daun menjadi terhambat, dan pembesaran sel daun akan terhenti sama sekali jika kadar air turun sampai 70-75 %. Respon tanaman yang mengalami cekaman kekeringan mencakup perubahan ditingkat seluler dan molekuler seperti perubahan pada
31
pertumbuhan tanaman, volume sel menjadi lebih kecil, penurunan luas daun, daun menjadi tebal, adanya rambut pada daun, peningkatan ratio akar-tajuk, sensitivitas stomata, penurunan laju fotosintesis, perubahan metabolisme karbon dan nitrogen, perubahan produksi aktivitas enzim dan hormon (Kramer 1980). Pengamatan berat rimpang, dan tebal rimpang dilakukan setelah panen pada jahe umur 9 bulan setelah tanam (BST) menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan lainnya pada paramater berat rimpang (Tabel 2). Berat rimpang yang dihasilkan menunjukkan bahwa kontrol mempunyai berat rimpang tertinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar air media berpengaruh terhadap produksi rimpang dimana semakin rendah kadar air media semakin rendah Tabel 2. Pengaruh kadar air media terhadap produksi rimpang dan tebal rimpang (9 BST) Berat Tebal Kadar air KAM( rimpang (g) rimpang rimpang %) (mm) (%) 48-49 425.00 a 26.31 a 88.92 a 45-46
261.50 b
24.36 ab
81.96 d
42-43
226.25 bc
24.43 ab
83.19 cd
39-40
192.75 bc
24.71 ab
84.44.cb
36-37
151.00 cd
22.86 b
85.88 b
33-34
113.75 d
22.22 b
85.59 b
21.42
7.64
1.26
KK
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05
produksi rimpang yang dihasilkan. Kadar air media mempengaruhi proses fisiologis tanaman secara keseluruhan. Peranan air yang sangat
penting
tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa secara langsung atau tidak langsung kekurangan air pada tanaman akan mempengaruhi semua proses metaboliknya sehingga dapat menurunkan pertumbuhan tanaman, yang pada akhirnya akan mempengaruhi produksi tanaman. Menurut Lakitan (1995), faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan umbi adalah laju dan
32
kuantitas fotosintat yang dipasok dari tajuk tanaman. Pada tanaman kentang ukuran umbi berbanding lurus dengan pertumbuhan tajuk. Pertumbuhan umbi akan terhenti apabila tajuk tanaman mati, karena pasokan fotosintat yang menopang pertumbuhan umbi berhenti.
Umbi dapat berfungsi sebagai
penyangga parsial untuk penyedia air bagi daun pada kondisi kekurangan air, jika air diangkut dari umbi ke daun, maka pertumbuhan umbi terhambat, pada kondisi ekstrim, pertumbuhan umbi akan terhenti sama sekali. Kehilangan air pada jaringan tanaman akan menurunkan turgor sel, meningkatkan konsentrasi makro molekul serta senyawa-senyawa dengan berat molekul rendah, mempengaruhi membran sel dan potensi aktivitas kimia air dalam tanaman (Mubiyanto 1997). Tebal rimpang menunjukkan bahwa semakin rendah kadar air media maka tebal rimpang yang diproduksi juga semakin kecil (Tabel 4). Perlakuan KAM 48-49 % mempunyai tebal rimpang yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan KAM dengan kadar air 46-39 % dan berbeda nyata dengan kadar air 38-33%. Hal ini menunjukkan bahwa pada kadar air media diatas 50 % kapasitas lapang belum mempengaruhi ketebalan rimpang secara nyata, walaupun sudah mempengaruhi produksi rimpang per rumpun. Kadar air rimpang tertinggi terdapat pada perlakuan KAM 48 -49 % (kontro) dan yang terendah pada kadar air media 45-46%. Perlakuan kadar air media rendah yaitu KAM 36-37 % dan 33-34 % mempunyai kadar air rimpang yang cukup tinggi yaitu 85.88 dan 85.59 %, kadar air rimpang tersebut dibawah kadar air rimpang pada kontrol (88.92 %). Hal ini terjadi karena pada perlakuan kadar air media rendah 36-37 % dan 33-34 % pada 12 MSP telah mengalami luruh tapi pertumbuhan tidak berhenti. Pemeliharaan tanaman secara optimum setelah perlakuan kadar air media dihentikan menyebabkan tumbuhnya tunastunas baru pada tanaman yang sudah luruh. Tumbuhnya tunas-tunas baru pada tanaman jahe menunjukkan bahwa rimpang jahe kembali menjadi muda dan tentu saja mempunyai kadar air yang tinggi. Perlakuan kontrol yang selalu mendapatkan air yang cukup, sampai umur 9 bulan (pada saat panen) belum mengalami luruh total.
33
Pembungaan Perlakuan kadar air media rendah (cekaman) yang diberikan pada tanaman jahe secara umum tidak mampu menginduksi pembungaan (Tabel 5). Tanaman yang berbunga justru yang ditumbuhkan pada kadar air media 4849% mampu berbunga dengan jumlah bunga 0,35 dan waktu bunga terinisiasi pada 9.62 MSP. Tanaman dengan kadar air media 46-47% juga mampu berbunga dengan waktu bunga terinisiasi pada 8.3 MSP. Tanaman dengan kadar air media yang lebih rendah yaitu kecil dari 45 % tidak mampu menginduksi bunga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa induksi pembungaan dengan kadar air media yang rendah yang pada umumnya terjadi pada tanaman buah-buahan tidak terjadi pada tanaman jahe. Jumlah bunga yang terbentuk pada media kontrol 0,35 spika, hal ini menunjukkan bahwa pembungaan jahe secara alami rendah sekali dimana tidak semua sampel yang digunakan dapat menghasilkan bunga dan waktu teridentifikasi lama yaitu 9.62 MSP, yaitu pada saat tanaman berumur 6 bulan. Pada kadar air media < 45 % tanaman jahe tidak berbunga sama sekali. Hal tersebut diduga karena faktor yang menyebabkan jahe berbunga bukanlah kadar air media yang rendah, berbeda dengan beberapa tanaman lain dimana setelah mengalami musim kering yang panjang dan kadar air tanah menjadi rendah sehingga terjadi inisiasi tunas generatif dan tunas tersebut terdiffrensiasi pada saat musim kering berganti menjadi musim hujan, sehingga terbentuk bunga. Pada tanaman jahe setelah mengalami musim kering yang panjang daun akan luruh dan pada saat tanaman mendapatkan air yang cukup, yang terinisiasi bukanlah tunas generatif tetapi tunas vegetatif yang bermunculan. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa pembungaan pada jahe tidak dapat terjadi pada tanaman jahe yang hidup pada kadar air yang rendah. Hal ini disebabkan oleh karena cekaman kekeringan menyebabkan pertumbuhan tanaman terganggu sehingga pertumbuhan dan perkembangan rimpang sebagai jaringan tempat inisiasi bunga, terhambat. Selain itu diduga kadar air media 42-43 % (± 66% kapasitas lapang) sudah merupakan kondisi yang mencekam bagi tanaman jahe, sehingga selain pertumbuhan, produksi rimpang juga mulai terganggu. Hal tersebut berbeda dengan tanaman mangga,
34
jeruk jambu dan banyak tanaman buah lainnya. Dimana kadar air media yang rendah merupakan salah satu cara untuk menginduksi pembungaan. Panjang tangkai spika berbeda nyata antar media yang dapat menginduksi bunga. Perlakuan media dengan kapasitas lapang yaitu 48-49 % mempunyai panjang tangkai spika mencapai 13.35 cm karena bunga terinduksi tidak langsung dari rimpang tetapi terbentuk tunas vegetatif terlebih dahulu. Waktu yang dibutuhkan untuk terinduksi juga lebih lama. Pada perlakuan kadar air media 45-46%, spika yang terbentuk dalam waktu yang lebih pendek. Tabel 3 Pengaruh kadar air media terhadap waktu bunga teridentifikasi, jumlah bunga dan jumlah rumpun yang berbunga
KAM(%)
Waktu spika teridentifikasi (MSP)
Jumlah spika/rumpun
Jumlah rumpun yang berbunga
Panjang tangkai spika (cm)
48-49
9.62
0.35
1
13.35 a
45-46
8.3
0.6
0.25
3.83 b
42-43
0
0
0
0c
39-40
0
0
0
0c
36-37
0
0
0
0c
33-34
0
0
0
0c
2. Induksi Pembungaan Dengan Pemberian Paclobutrazol Pertumbuhan tanaman dan produksi Data pertumbuhan tanaman yang diamati yaitu tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah tunas. Perlakuan paclobutrazol tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman sampai akhir pengamatan (14 MSP). Tinggi tanaman cenderung meningkat sampai 10 MSP dan kemudian menurun. Walaupun tinggi tanaman tidak berbeda nyata antar perlakuan tetapi penambahan tinggi tanaman antar perlakuan berbeda, semakin tinggi konsentrasi paclobutrazol yang diberikan semakin rendah laju pertumbuhan tinggi tanaman (Gambar 6).
35
Gambar 6. Tinggi tanaman pada konsentrasi paclobutrazol yang berbeda Keterangan : Garis vertikal merupakan batas pemberian aplikasi perlakuan MSP : minggu setelah perlakuan, BST : bulan setelah tanam. Pada perlakuan tanpa penambahan paclobutrazol (kontrol) terjadi penambahan tinggi tanaman tertinggi
sampai 19.32 cm dibandingkan
perlakuan lainnya. Penambahan tinggi tanaman terendah terdapat pada perlakuan paclobutrazol 100 ppm yaitu 14.27 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian paclobutrazol dengan dosis yang berbeda belum menghambat tinggi tanaman tetapi memperlambat tinggi tanaman. Paclobutrazol merupakan zat penghambat pertumbuhan vegetatif, hal tersebut tercapai apabila konsentrasi aplikasi retardan sesuai, adakalanya penambahan paclobutrazol meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun dan jumlah cabang. Pengamatan sampai 14 MSP menunjukkan bahwa tanaman jahe belum mengalami luruh walaupun tanaman sudah berumur 7.5 bulan, dapat dilihat dari tinggi tanaman yang masih tinggi. Yadafa (2001) menyatakan bahwa menambahan paclobutrazol 50 dan 100 ppm dapat meningkatkan tinggi tanaman Physalis peruviana L. Menurut Thohirah (2005), penambahan paclobutrazol (20, 40, 60, 80 dan 100 ppm) pada Zingiberaceae (Curcuma alistifolia) dapat menurunkan tinggi tanaman secara nyata antar perlakuan.
Semakin tinggi konsentrasi
paclobutrazol yang diberikan semakin pendek tanaman yang dihasilkan. Diameter batang tidak berbeda nyata antar perlakuan dari awal aplikasi paclobutrazol sampai akhir pengamatan (Gambar 7). Pertambahan diameter
36
batang tetap terjadi sampai 4 MSP setelah itu mengalami penurunan. Penambahan diameter batang tersebut terdapat pada semua perlakuan dan tidak berbeda nyata dengan tanpa aplikasi paclobutrazol. Hal tersebut diduga karena pertumbuhan vegetatif sudah mulai melambat, sehingga tidak terjadi penambahan pada diameter batang. Terjadinya penurunan diameter batang disebabkan oleh mengeringnya lapisan terluar batang semu Diameter batang pada 14 MSP mengalami penurunan dibandingkan awal pengamatan kecuali pada kontrol.
Gambar 7. Diameter batang pada kosentrasi paclobutrazol yang berbeda Keterangan : Garis vertikal merupakan batas pemberian aplikasi perlakuan MSP : minggu setelah perlakuan, BST : bulan setelah tanam. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian paclobutrazol tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas antar perlakuan sampai 14 MSP (Gambar 8). Jumlah tunas mengalami kenaikan dari awal pengamatan sampai 6 MSP. Jumlah tunas terbanyak cenderung terjadi pada 6 MSP pada semua perlakuan dan setelah itu mengalami penurunan. Hal tersebut terjadi pada saat telah dilakukan 4 kali aplikasi penambahan paclobutrazol. Diduga pemberian paclobutrazol mulai berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif yaitu dengan memperlambat tumbuhnya tunas baru.
37
Gambar 8. Jumlah tunas pada kosentrasi paclobutrazol yang berbeda Keterangan : Garis vertikal merupakan batas pemberian aplikasi perlakuan MSP : minggu setelah perlakuan, BST : bulan setelah tanam. Berkurangnya tunas pada 8 MSP sampai akhir pengamatan disebabkan oleh penambahan paclobutrazol yang menghambat pertumbuhan tunas baru dan pengaruh lingkungan rumah kaca terutama suhu. Pada tabel lampiran 1 dapat dilihat bahwa suhu pada rumah kaca cukup tinggi yaitu mencapai 35.48 0
C pada pk 12.00, sehingga tunas-tunas yang baru tumbuh mengalami
kekeringan. Sampai akhir pengamatan 14 MSP jumlah tunas masih cukup tinggi, tertinggi pada perlakuan kontrol dan yang terendah pada perlakuan 100 ppm. Tabel 4 menunjukkan bahwa luas daun sebelum aplikasi paclobutrazol tidak berbeda nyata antar perlakuan demikian juga pada akhir perlakuan. Luas daun tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol, sedangkan pemberian paclobutrazol menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi yang diberikan mempunyai kecendrungan luas daun semakin kecil pada akhir pengamatan. Hasil penelitian ini menunjukkan terjadinya penurunan laju pertumbuhan dengan pemberian paclobutrazol, tetapi belum menyebabkan pertumbuhannya terganggu. Paclobutrazol merupakan zat penghambat pertumbuhan dimana dalam
kondisi
yang
tepat
dapat
menghambat
perpanjangan
batang,
meningkatkan warna hijau pada daun tanpa menyebabkan pertumbuhan
38
tanaman menjadi abnormal. Weaver dalam Mursal (2004) menyatakan bahwa paclobutrazol diserap oleh tanaman melalui daun, akar atau pembuluh batang, kemudian akan ditranslokasikan ke bagian lain. Pada meristem sub apikal senyawa ini akan menyebabkan penurunan laju pembelahan sel sehingga menghambat pertumbuhan vegetatif. Thohirah et al. (2005) melakukan penelitian mengenai pemberian konsentrasi paclobutrazol yang berbeda pada Curcuma roscoeana menunjukkan bahwa dengan meningkatnya konsentrasi paclobutrazol yang diberikan akan menurunkan luas daun. Tabel 4. Pengaruh paclobutrazol terhadap luas daun (cm2) pada awal dan akhir perlakuan Luas daun (cm2) Awal perlakuan Akhir perlakuan (4 BST) (6.5 BST) 41.79 22.14
Konsentrasi PerlakuanP 0 P1
41.57
19.68
P2
44.49
21.07
P3
37.27
20.37
P4
40.07
20.31
P5
40.72
19.73
KK
10.83
13.06
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05
Perlakuan penambahan paclobutrazol tidak berpengaruh nyata terhadap produksi rimpang (berat rimpang) dan tebal rimpang yang dihasilkan saat panen pada dengan umur jahe 9 BST. Berat rimpang tertinggi didapatkan pada perlakuan aplikasi paclobutrazol 80 ppm (Tabel 5), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan 20 ppm.
Data tersebut menunjukkan tidak adanya kecendrungan
terhadap berat rimpang yang dihasilkan. Terjadinya perbedaan berat rimpang pada perlakuan disebabkan oleh adanya rimpang yang keropos karena terkena serangan lalat rimpang sehingga kesulitan untuk menyimpulkan pengaruh perlakuan penambahan paclobutrazol terhadap produksi rimpang pada saat jahe berumur 9 BST (Lampiran 5). Rosita et al. (1993) menyatakan penambahan
39
paclobutrazol 250 ppm dan 500 ppm tidak berpengaruh terhadap produksi rimpang kunyit yang dipanen pada saat 6 BST. Tabel 5 Pengaruh paclobutrazol terhadap produksi rimpang (berat rimpang , tebal rimpang dan kadar air rimpang. Tebal rimpang (mm)
Kadar air rimpang (%)
P0
Berat rimpang (g) 520 ab
24,90 a
83.35 cd
P1
359.59 b
26.05 a
84.18 bcd
P2
450.21 ab
25.39 a
87.14 ab
P3
508.75 ab
25.22 a
85.31 abc
P4
565 a
23.92 a
88.72 a
P5
409 ab
24.33 a
81.27 d
KK
23.25
8.45
2,14
Konsentrasi Perlakuan
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05
Serangan lalat rimpang tersebut biasanya terjadi pada rimpang yang tidak tertutup tanah. Januwati et al. (1991) menyatakan bahwa tanaman jahe dapat terserang lalat rimpang Mimegralla coerulifrons
setelah tanaman berumur 5
bulan pada saat rimpang sudah terbentuk. Rimpang akan rusak, tetapi kulit rimpang terlihat seperti utuh, sementara bagian dalamnya sudah rusak/ keropos. Tebal rimpang tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 5). Pemberian paclobutrazol yang berbeda tidak mempengaruhi ketebalan rimpang jahe. Hal tersebut sama halnya dengan parameter pertumbuhan yang lainnya dimana tidak secara nyata mempengaruhi pertumbuhan. Pemberian pacobutrazol 20-100 ppm belum menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman jahe. Hasil tersebut berbeda dengan penelitian Pinto et al 2006 yang menyatakan bahwa pemberian paclobutrazol 35 ppm pada Curcuma alismatifolia (tulip thai) dapat mengurangi tinggi tanaman, memperkecil daun dan memperpendek tangkai bunga tanpa mempengaruhi panjang perbungaan dan menunda siklus produksi. Kadar air rimpang antar konsentrasi paclobutrazol tidak menunjukkan kecendrungan, kadar air tertinggi didapatkan pada perlakuan paclobutrazol 80 ppm dan yang terendah pada paclobutrazol 100 ppm. Hal tersebut terjadi bukan
40
disebabkan oleh pengaruh paclobutrazol yang diberikan, diduga karena kondisi tanaman di lapang, dimana tanaman yang lebih awal luruh dan belum muncul tunas baru kembali akan mempunyai kadar air yang rendah.
Tanaman yang
mengalami luruh lebih awal yang dipengaruhi oleh kondisi tanaman sendiri (bersifat kondisional). Berdasarkan pengamatan di lapang pada 9 BST ditemukan rumpun yang telah mempunyai tunas baru pada saat panen sehingga pada saat pengamatan kadar air rimpang dilaksanakan tunas-tunas baru cenderung untuk mempunyai kadar air yang tinggi pada rimpangnya, karena rimpang jahe yang bertunas menjadi muda kembali dan tentu saja mengandung kadar air yang tinggi. Selain itu tidak adanya trend dalam kadar air rimpang bisa juga disebabkan karena ketidak seragaman dalam pengambilan sampel untuk pengujian kadar air rimpang. Rosita et.al (2006) menyatakan bahwa penggunaan macam benih jahe ( tunas ke1, tunas ke-2, tunas-3 dan tunas ke-4) akan mempengaruhi produksi rimpang jahe.
Pembungaan Respon pembungaan yang diamati adalah waktu awal munculnya spika, akhir munculnya spika, jumlah spika yang terbentuk per rumpun dan panjang tangkai spika.
Awal dan akhir munculnya bunga Awal munculnya spika dipengaruhi oleh konsentrasi paclobutrazol yang diberikan pada tanaman (Tabel 6) Spika yang paling awal muncul didapatkan pada perlakuan paclubutrazol 100 ppm, yang berbeda nyata dengan perlakuan paclobutrazol 40 ppm. Awal munculnya spika belum menunjukkan perbedaan yang nyata pada paclobutrazol dengan konsentrasi yang lain. Spika terakhir muncul pada perlakuan paclobutrazol 100 ppm dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol ( tanpa penambahan paclobutrazol), tetapi penambahan paclobutrazol konsentrasi lainnya belum menunjukkan perbedaan yang nyata. Spika pertama pada perlakuan paclobutrazol 100 ppm muncul pada 6.33 MSP, hal itu terjadi pada saat aplikasi paclobutrazol telah dilakukan 3 kali. Terjadinya inisiasi bunga tersebut diduga setelah aplikasi paclobutrazol 2 kali, sedangkan pada perlakuan yang lain insiasi bunga terjadi setelah aplikasi
41
paclobutrazol 3 kali. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian paclobutrazol konsentrasi 100 ppm mampu menginduksi bunga lebih awal dan
waktu
pembungaan yang lebih panjang dibandingkan perlakuan yang lainnya. Hasil penelitian Banko dan Birr 1999; Burnett et al., 2000) menunjukkan bahwa penambahan
paclobutrazol
dapat
mempercepat
munculnya
bunga
dan
meningkatkan jumlah bunga bawang. Tabel 6 Pengaruh konsentrasi paclobutrazol terhadap waktu munculnya spika
Awal muncul Spika (MSP)*
Akhir Muncul Spika (MSP)*
P0
7.33 ab
8.00 b
Lama fase pemunculan spika (MSP)** 0.7
P1
7.00 ab
10.00 ab
3.0
P2
7.66 a
9.66 ab
2.0
P3
7.00 ab
9.66 ab
2.7
P4
7.33 ab
9.33 ab
2.0
P5
6.33 b
10.66 a
4.4
KK
7.1
11.56
Konsentrasi Perlakuan
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05 *MSP = Minggu Setelah Perlakuan ** data tidak diolah
Paclobutrazol merupakan zat penghambat tumbuh yang banyak diberikan pada tanaman, diharapkan zat ini dapat memicu munculnya bunga tidak pada waktunya atau munculnya bunga lebih dini dibandingkan jika tanaman tumbuh secara alami. Paclobutrazol diharapkan dapat mengalihkan pertumbuhan vegetatif menjadi pertumbuhan generatif. Hasil penelitian Thohirah et.al (2005) pada
tanaman
Curcuma
roscoeana
menunjukkan
bahwa
pemberian
paclobutrazol 20 ppm dan 40 ppm belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap munculnya spika.
Jumlah Spika/rumpun Tabel 7 menunjukkan bahwa pemberian paclobutrazol dengan konsentrasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah bunga per rumpun jahe secara statistik. Jumlah bunga per rumpun yang paling banyak
42
didapatkan pada perlakuan penambahan paclobutrazol konsentrasi 100 ppm yaitu 3.4. Tidak adanya perbedaan yang nyata antar perlakuan walaupun nilai tengahnya jauh berbeda karena sampel yang berbunga tidak seragam, yang dapat dilihat dari koefisien keragamannya yang cukup tinggi. Tabel 7 Pengaruh konsentrasi paclobutrazol terhadap jumlah spika per rumpun dan panjang spika Konsentrasi ) Spika/rumpun Panjang tangkai spika (cm) P0 1.53 a 7.40 a P1
1.73 a
7.03 a
P2
1.46 a
8.11 a
P3
2.06 a
7.70 a
P4
1.80 a
6.86 a
P5
3.40 a
8.43 a
KK 17.43 21.32 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05
Sampel yang posisinya di tengah rumah kaca cenderung bunganya sedikit dibandingkan sampel yang posisinya di pinggir. Suhu disekitar tanaman yang berada di tengah lebih tinggi dibandingkan suhu disekitar tanaman yang berada di pinggir, sehingga mengganggu
inisiasi bunga yang telah terjadi untuk
berkembang ke tingkat yang lanjut sehingga menyebabkan tunas generatifnya tidak berkembang (mati). Hal ini dapat diamati juga dari pertumbuhan vegetatif tanaman yang posisinya di tengah banyak yang daunnya mengering pada bagian pinggirnya.
Panjang Tangkai Spika Pemberian paclobutrazol dengan konsentrasi yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap panjang tangkai spika (Tabel 7). Perlakuan pemberian paclobutrazol 100 ppm menunjukkan panjang tangkai spika sampai 8.43 cm, paling panjang dibandingkan panjang tangkai spika pada perlakuan yang lainnya. Spika yang terbentuk pada pemberian paclobutrazol 100 ppm
43
diantarnya berasal dari peralihan tunas vegetatif bukan merupakan spika yang tumbuh
langsung dari rimpang seprti biasanya. Hal tersebut tidak
mempengaruhi kualitas bunga jahe, karena bunga jahe tidak dimanfaatkan sebagai jahe hias yang harus kelihatan kompak yaitu dengan tangkai bunga yang pendek. Penelitian ini tidak sesuai dengan yang dilakukan oleh Thohirah et.al (2005) pada tanaman Curcuma alismatifolia bahwa pemberian paclobutrazol 20 – 100 ppm dapat memendekkan tangkai bunga, semakin tinggi konsentrasi paclobutrazol yang diberikan semakin pendek tangkai bunga.
Biologi Bunga Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc) Jahe putih besar merupakan salah satu Zingiberaceae yang dikonsumsi rimpangnya.
Bunganya tidak dapat perhatian khusus karena perbanyakannya
dengan menggunakan rimpang dan bunga tidak dimanfaatkan sebagai tanaman hias karena brakteanya berwarna hijau dan tidak berwarna cerah seperti Zingibereceae lain yang banyak digunakan sebagai “ Ornamental Ginger”. Aspek biologi bunga belum banyak diketahui, terutama dalam hal pembungaan dan reproduksinya. Kajian biologi bunga diperlukan dalam usaha untuk perbanyakan jahe dengan menggunakan benih selain rimpang, benih yang merupakan “true seed”. Selain itu juga diperlukan dalam pemuliaan untuk mendapatkan varietas baru hasil persilangan dan untuk konservasi.
Dengan mengetahui biologi
pembungaan kita dapat mengetahui tingkat kesulitan reproduksi tumbuhan di alam sehingga dapat dipelajari bagaimana cara mengatasinya. Percobaan biologi bunga ini terdiri atas dua kegiatan yakni : 1. Biologi Bunga Periode pembungaan Waktu berbunga jahe putih besar diamati setiap minggu mulai dari awal tanam sampai tanaman luruh. Pengamatan dilakukan terhadap pertanaman jahe yang merupakan kontrol pada percobaan induksi pembungaan sebanyak 40 rumpun di Bogor dan pertanaman jahe yang ditanam tanpa perlakuan di Cicurug
44
sebanyak 250 rumpun. Tipe mekar perbungaaan pada tanaman jahe tidak terjadi secara serentak, sehingga pemekaran bunga berlangsung satu persatu. Tabel 8 menunjukkan bahwa pertanaman jahe yang ditanam di Cicurug lebih cepat berbunga yaitu bulan ke-4 setelah tanam dan masa terbentuknya spika berlangsung sampai bulan ke-7 setelah tanam. Pertanaman jahe yang ditanam di Bogor menunjukkan bahwa masa terbentuknya spika lebih pendek yang diawali pada bulan ke-5 dan berakhir pada bulan ke-6. Masa puncak pembungaan (terbentuknya spika) pada kedua lokasi pada bulan ke-5 setelah tanam. Rata-rata suhu harian pada bulan ke-5 di ke dua lokasi yaitu ±310C. Cepatnya inisiasi bunga di Cicurug diduga karena pengaruh lingkungan yaitu ketinggian tempat, suhu dan kelembaban. Pertanaman jahe di Cicurug ditanam di lapangan terbuka dimana suhu lebih rendah dan kelembabannya lebih tinggi dibandingkan pertanaman jahe yang ditanam di Bogor yang ditanam dalam rumah kaca. Suhu di Bogor selama pengamatan yaitu: 20-26 0C (pk 700), 28-40 0C (pk 1200) dan 23-26 26 0C (pk 1600) (Lampiran 6 ). Suhu di Cicurug selama pengamatan yaitu 21-23 0C (pk 700), 2934 0C (pk 1200) dan 21-23 0C (pk 1600) (Lampiran 7). Suhu dan kelembaban yang tidak ekstrim diduga menyebabkan pembungaan jahe lebih lama. Pembungaan tanaman sangat dipengaruhi oleh iklim terutama suhu udara. Hasil penelitian Adaniya et al. (1989) didapatkan bahwa jahe jarang berbunga tetapi jahe yang ditanam di Jepang dalam rumah kaca yang diberi pemanas pada musim gugur dapat berbunga. Gracie et al. (2003) menyatakan bahwa perkembangan tunas generatif pada Zingiber myoga dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan suhu, sehingga produksi bunga bisa didapatkan di luar musim dengan mengatur lingkungan rumah kaca yang digunakan di Australia. Tabel 8. Periode terbentuknya spika di Bogor dan Cicurug Lokasi Cicurug
4 14.91
Bogor
0
Waktu Bunga Mekar
Persentase terbentuknya spika Bulan ke 5 6 56.45 23.79 83.09
16.90
7 4.83 0
45
Waktu bunga mekar pada kedua lokasi hampir sama berkisar pukul 13.00 – 17.30 (Tabel 9). Bunga mekar di Cicurug paling awal pk 14.05 , pada suhu udara 32-33 0C dengan kelembaban 60-63%, waktu yang dibutuhkan bunga untuk mekar dari bunga telah keluar sempurna dari braktea sampai bunga mekar adalah 15-25 menit dan udara cerah saat bunga mekar. Waktu terlama yang dibutuhkan bunga untuk mekar adalah 25-35 menit dimana pada saat itu hari mendung dan mulai hujan, suhu 27 0C dengan kelembaban 80%. Waktu yang dibutuhkan bunga untuk mekar di Bogor secara keseluruhan lebih lama daripada di Cicurug. Di Cicurug
jahe ditanam di lapangan terbuka sehingga angin dengan bebas
mengenai tanaman yang membantu mempercepat mekarnya bunga. Pengamatan terhadap waktu bunga mekar, ditemukan adanya bunga yang lebih awal mekar yaitu pukul 13.15, dengan suhu 29 0C, kelembaban 80% dan udara cerah pada tanaman di Bogor. Pembungaan suatu tanaman dipengaruhi oleh faktor eksternal Waktu bunga mekar pada jahe putih besar secara keseluruhan secara tidak langsung dipengaruhi oleh stimulasi lingkunga tertentu, baik itu suhu, kelembaban dan angin. Selama pengamatan berlangsung, pada saat kondisi lingkungan konstan waktu yang dibutuhkan bunga untuk mekar sempurna tanaman di Bogor dan di Cicurug 15-30 menit. Pada saat udara mendung dan lalu hujan, waktu yang dibutuhkan untuk bunga mekar sempurna lebih lama dan adakalanya bunga tidak jadi mekar karena lingkungan yang tidak mendukung. Suhu dan kelembaban lingkungan berpengaruh besar terhadap lamanya waktu yang dibutuhkan bunga untuk mekar. Pembungaan suatu tanaman dipengaruhi oleh faktor genetik, hormon, nutrisi dan faktor eksternal (lingkungan), seperti air, cahaya dan suhu. Perubahan lingkungan tersebut dapat mengubah respon pembungaan suatu tanaman (Darjanto dan Satifah 1990). Semakin rendah suhu lingkungan dan makin tinggi kelembaban
maka waktu bunga mekar sempurna lebih lama.
Rahayu et al. 2007 mempelajari perkembangan bunga picis kecil (Hoya lacunosa) mendapatkan bahwa mekarnya bunga picis dipengaruhi oleh lingkungan ( suhu, kelembaban dan intensitas cahaya). Air hujan dapat menyebabkan kuncup bunga membusuk sebelum mekar.
46
Tabel 9. Waktu bunga mekar, suhu, dan kelembaban saat bunga mekar Lokasi
Waktu bunga mekar penuh (pk)
Cicurug
14.05-15.15
28-33
16.15-16.30 Bogor
Suhu (0C)
RH (%)
Waktu yang dibutuhkan untuk bunga mekar B1-B4 (menit)*
Keterangan
60-69
15-25
Udara cerah - mendung
27
80
25-35
Hujan
13.15- 16.00
22-29
80-88
20-30
Udara cerah- mendung
16.55-17.30
20-21
88-89
60-90
Hujan
* Kuncup bunga mulai mekar sampai bunga mekar penuh (anthesis). B1 merupakan fase bunga saat kelopak bunga siap untuk mekar. B4 merupakan fase bunga pada saat bunga mekar penuh. Fenologi dan Perkembangan Bunga Pengamatan tahap pembungaan jahe putih besar hanya meliputi tahap perkembangan bunga, sedangkan pada tahap inisiasi tidak dapat diketahui secara visual karena tidak terlihat perubahan pada morfologis spika. Pembentukan bunga diawali dengan terlihatnya calon tunas generatif berwarna hijau dan agak hijau muda dibagian ujungnya, ujung kuncup bunga membulat lebih besar dan seperti terbelah. Tunas vegetatif lebih ramping dan halus serta ujungnya meruncing dan tunas muncul langsung dari rimpang seperti tunas genetatif (Gambar 9 A dan 9 B) atau tunas bunga muncul setelah tunas vegetatif memanjang dan membentuk Tunas vegetatif
Tunas generatif
Tunas generatif
A
B
C
Gambar 9 A) Tunas vegetatif dan generatif B). Tunas generatif yang tumbuh dari rimpang, C). Tunas generatif yang muncul pada ujung tunas batang semu dan diujungnya terbentuk tunas generatif (Gambar 9 C), biasanya tunas generatif ini dikelilingi oleh daun (3-5 daun). Untuk tunas yang langsung muncul dari rimpang, diawal pertumbuhan tidak bertangkai hanya merupakan
47
kumpulan lapisan-lapisan berwarna hijau yang berkembang membentuk pelindung bunga (braktea), dan tunas akan semakin membesar. Tangkai akan semakin panjang seiring dengan perubahan bentuk tunas generatif, tunas membulat dan membentuk spika (bulir). Sedangkan untuk tunas generatif yang terdapat diujung batang perubahan dari bentuk pipih menjadi membulat dan akhirnya terbentuk spika lebih cepat. Spika terdiri atas kumpulan pelindung bunga (braktea) yang membulat, dari dalam braktea akan keluar mahkota bunga. Munculnya bunga pertama pada braktea menandakan bahwa diameter spika telah maksimal (spika telah dewasa), dan bunga akan muncul bergantian dari tiap helaian braktea. Bunga yang mekar tiap hari berkisar 1-3 bunga, tetapi pada umumnya hanya 1 bunga yang mekar dan tidak selalu ada yang mekar dalam 1 spika setiap harinya. Pada umumnya setiap helaian braktea mempunyai satu bunga, tetapi ada beberapa helaian braktea yang mempunyai dua bunga. (Gambar 10A). Pada Zingiberaceae genus Alpinia ( A. purpurata “Kusuma” dan A. purpurata “Bethari”) juga terjadi hal yang sama dimana pada satu braktea terdapat dua bunga yang mekar tidak bersamaan (Oktaviani, 2009). Hal tersebut berbeda dengan pernyataan Larsen et al. (1999) yang menyatakan bahwa pada famili Zingiberaceae bunga keluar dari braktea, dimana pada setiap braktea hanya terdapat satu bunga. Bunga mekar dari braktea bawah sampai atas dengan cara memutar, adakalanya ditemukan bunga dibagian atas dulu yang mekar baru setelah itu bunga pada braktea bawah, hal ini terjadi pada braktea yang mempunyai dua bunga dimana bunga kedua mekarnya belakangan. Setiap bunga yang ada dalam braktea mempunyai potensi untuk mekar. Tidak ditemukan bunga rudimenter dalam braktea sehingga tidak bisa mekar. Bunga yang tidak bisa mekar biasanya disebabkan karena bunga membusuk sebelum mekar karena curah hujan yang tinggi sehingga braktea penuh air dan bunga membusuk, keadaan ini banyak ditemukan di Cicurug karena jahe ditanam di lapang dan curah hujannya cukup tinggi. Suhu yang terlalu tinggi pada saat perkembangan bunga menyebabkan bunga mengering juga merupakan faktor yang menyebabkan bunga gagal untuk mekar keadaan tersebut banyak ditemukan pada jahe yang ditanam di rumah kaca. Hal tersebut diawali dengan berhentinya
48
A
B
C
Gambar 10 A) Braktea yang mempunyai 2 bunga, B) Spika dan bunga mengering, C) Bunga mengering sebelum mekar perkembangan spika yang ditandai dengan diameter spika yang tidak bertambah lagi walaupun bunga pertama belum ada yang mekar, lalu spika mulai menguning, dan bunga langsung mengering sebelum bunga mekar (Gambar 10 B), atau spika tetap berwarna hijau tetapi bunga berwarna coklat karena membusuk (Gambar 10 C). Hasil pengamatan terhadap fase perkembangan pembungaan jahe yang tumbuh langsung dari rimpang diawali dengan terjadinya perubahan vegetatif menjadi generatif yang diamati secara visual sampai layunya bunga berlangsung selama 70-80 hari.Periode pembungaan terdiri atas 2 yaitu periode perkembangan spika dan periode bunga mekar sampai layu. Pengamatan selengkapnya disajikan dalam Tabel 10, Gambar 12 dan Gambar 13. Untuk tunas generatif yang tumbuh dari ujung tunas vegetatif sulit untuk diamati secara detail perkembangannya, karena berasal dari tunas vegetatif yang telah berkembang dan diujungnya berubah jadi tunas generatif. Biasanya tunas generatif tersebut teridentifikasi setelah spika membesar dan dilindungi oleh daun jahe ( Gambar 11).
49
Gambar 11. Tunas generatif (spika) yang muncul diujung tunas vegetatif Pengamatan fase perkembangan pembungaan jahe yang dimulai dengan muncul tunas generatif yang disebut dengan spika yang dicirikan dengan membesarnya ujung tunas. Ujung tunas yang tadinya meruncing dalam beberapa hari akan membulat, ujungnya seperti terbelah dan warna ujung tunas hijau keputihan yang merupakan ciri awal tunas generatif dan tunas teridentifikasi (Gambar 12 S0).
Ujung kuncup mulai membulat dan kuncup memanjang
(Gambar 12 S1). Kuncup membesar bagian ujungnya dan terbentuk bulir(spika) (Gambar 12 S2). Spika semakin membesar dan dapat dibedakan antara tangkai Tabel 10 Fenologi pembungaan tanaman jahe di Bogor dan Cicurug Fase pembungaan S0
Waktu Ukuran Periode perkembangan spika
S7
Tunas generatif baru keluar dan teridentifikasi Ujung kuncup mulai membulat, kuncup memanjang Spika dapat dibedakan dari tangkai spika Spika semakin membesar, berbeda dari tangkainya Ujung kuncup bunga muncul dari spika Kuncup bunga semakin panjang Kuncup bunga sudah keluar sempurna dari braktea Braktea memerah
S8
Braktea mulai mengering
S1 S2 S3 S4 S5 S6
0 HSMS
1-1.5 cm
5-7 HSMS
2 cm
10 HSMS
4 cm
14-18 HSMS 18-20 HSMS 23-25 HSMS 27-35 HSMS 50-60 HSMS 70-80 HSMS
7-20 cm
Keterangan
Spika pipih, kehijauan-putih, ujungnya seperti terbelah Lapisan-lapisan braktea semakin jelas Warna hijau tua, dengan panjang tangkai bervariasi Braktea membesar, kuncup bunga berkembang didalamnya Ukuran braktea sudah maksimal
6-8 mm 10-15 mm
Kelopak berwarna kuning Terjadi setelah bunga yang terakhir dalam spika mekar Dimulai dari ujung spika , berwarna kecoklatan
Periode bunga mekar sampai layu(terjadi dalam waktu 12-18 jam) Kuncup bunga keluar B0 sempurna B1 Kelopak siap untuk membuka B2 Kelopak mulai terbuka Putik mulai kelihatan Mahkota masih membulat
0 ±72 MSKS ±74 MSKS
B3 Putik kelihatan jelas B4 Mahkota terbuka B5 Kotak sari pecah
±76 MSKS ±87 MSKS ±93 MSKS
B6 Putik mulai melengkung
±112 MSKS
Warna mahkota kelihatan nyata dari luar Kelopak terbagi 3: 1 kelopak besar, 2 kelopak kecil. Warna kelopak kuning muda, mahkota mulai tampak Posisi putik antara mahkota yang besar dan kelopak yang besar Kelopak sudah terpisah Mahkota terbagi 3: 1 besar, 2 kecil Posisi kotak sari di pangkal putik seperti menempel
50
B7 Kepala putik seakan-akan menyentuh mahkota B8 Bunga layu
±232 MSKS Ada cairan bening di kepala putik dan diduga reseptif ±12-18 Bunga layu keesokan harinya JSKS
Ket: HSMS: hari setelah muncul spika MSKS: menit setelah kuncup keluar sempurna JSKS : jam setelah bunga keluar sempurna
spika dengan spika (Gambar 12 S3). Setelah diameter besar spika maksimal, dari balik braktea akan muncul bunga (Gambar 12 S4). Kuncup bunga semakin panjang (Gambar 12 S5). Kuncup bunga sudah keluar sempurna dari braktea dan siap untuk mekar yang ditandai dengan adanya warna semburat merah corolla pada kelopak yang menipis (Gambar 12 S6). Braktea mulai memerah setelah semua bunga yang ada dalam braktea selesai mekar sempurna (Gambar 12 S7). Warna merah pada braktea merupan perubahan dari warna putih braktea. Braktea mulai mengering (Gambar 12 S8). Waktu yang dibutuhkan mulai dari spika teridentifikasi sampai spika layu adalah 70-80 hari.
Periode Perkembangan Spika
Fase Pertumbuhan
Waktu
Ukuran (cm)
Keterangan
(hsmt) Fase munculnya tunas generatif ke kuncup bunga keluar dari braktea - Tunas generatif baru keluar. - Ujung kuncup mulai membulat,kuncup memanjang - Spika mulai kelihatan terpisah dengan tangkai spika - Antara spika dan tangkai semakin nyata - Ujung bunga terlihat keluar dari spika - Bunga sudah keluar sempurna dari braktea Fase bunga mulai mekar-
1-1,5 5-7 hari
2
10 hari
4
14-18 hari
7-20
18-20 27-35
- Kuncup pipih kehijauan ujungnya seperti terbelah dan berwarna keputihan -Lapisan-lapisan bakal braktea semakin jelas -Warna hijau tua, dan panjang tangkai bervariasi -Braktea membesar menandakan adanya bunga didalamnya -Ukuran braktea sudah maksimal
51
bunga layu - Bunga sudah mulai Mekar - Bunga mekar sempurna - Bunga mulai layu - Braktea memerah
27-35 27-35 28-36 50-60 70-80
- Braktea mulai mengering
-Terjadi dalam hitungan jam setelah bunga keluar maksimal -Berlangsung dalam waktu yang pendek (±12 jam) -Terjadi setelah bunga yang terakhir dalam spika mekar -Dimulai dari ujung spika, berwarna kecoklatan
Keterangan: Hsmt = hari setelah muncul tunas pembungaan
A
B
C
52
E
F
Gambar 12. Periode perkembangan spika.
53
S0) Tunas generatif teridentifikasi, S1) Ujung kuncup membulat, S2) Spika dapat dibedakan dengan tangkai spika, S3)Tangkai dan spika semakin berbeda, S4) Kuncup bunga keluar dari spika, S5) Kuncup semakin panjang, S6) Kuncup bunga keluar sempurna dari braktea, S7)Braktea memerah, S8) Braktea mulai mengering Periode Bunga Mekar Sampai Layu
B3 B1
B2
B3
B B4
B7
B5
B6
B8
Gambar 13. Periode bunga mekar sampai layu B0) Kuncup bunga keluar sempurna, B1) Kelopak siap untuk membuka, B2) Kelopak terbagi 3, B4) Mahkota terbuka sempurna,
54
B5)Kotak sari pecah, B6)Putik mulai melengkung, B7) Kepala putik seakan-akan menyentuh mahkota, B8) Bunga layu.
Pada hari bunga akan mekar dapat ditandai dengan keluarnya ujung kuncup bunga yang lebih panjang (6-8 mm) (Gambar 12 B0) dari braktea yang warnanya kuning terang. Dalam waktu jam demi jam berikutnya pada hari yang sama pertumbuhan kuncup bunga sangat pesat dan dapat dilihat dengan kasat mata. Kuncup bunga akan keluar dari braktea (merenggang), setelah kuncup bunga keluar maksimal dari braktea bunga mulai mekar (Gambar 12 B1-B4). Kotak sari pecah (Gambar 12 B5), Putik mulai melengkung (Gambar 12 B6). Kepala putik seakan-akan menyentuh mahkota bunga (Gambar 12 B7). Bunga yang akan mekar ditandai dengan memudarnya warna calix, calix seakan-akan menipis sehingga terlihat semburat warna merah dari corolla, perlahan-lahan calix membuka sehingga corolla kelihatan (Gambar 12 B2), calix membuka penuh dan terbagi menjadi 3 (1 calix yang besar membuka ke atas dan 2 calix kecil membuka ke bawah) (Gambar 12 B4), corolla membuka penuh dengan kepala putik yang reseptif, ditandai dengan melengkungnya kepala putik ke labellum serta ujung kepala putik kelihatan basah dan mengkilat (Gambar 12 B7). Bunga jahe memiliki 3 helai calix dimana 1 helai lebih besar dari 2 helai mahkota yang lainnya, dan berwarna kuning muda transparant, sehingga pada saat bunga mulai mekar akan terlihat semburat warna merah yang merupakan warna labelum(corolla) yang dilindungi oleh calix. Corolla berwarna merah tua dan berbintik kuning, bagian pangkal corolla berwarna kuning. Semakin lama proses pemekaran bunga
maka warna merahnya semakin nyata seakan-akan calix
menipis. Pada saat bunga mekar tangkai putik yang berbentuk melengkung pada bagian ujungnya menyentuh labellum dan bunga mengeluarkan bau yang wangi seperti wangi rimpang jahe. Diduga pada saat itu kepala putik dalam keadaan reseptif. Tangkai putik berupa benang yang sangat halus berwarna putih dan dilindungi lapisan tipis yang berwarna merah tua pada bagian ujungnya (bagian yang melengkung). Lapisan tersebut juga melindungi kotak sari sehingga tangkai putik dan kotak sari seakan-akan menyatu, posisi kotak sari berada dibagian
55
bawah. ( Gambar 13 F) dan serbuk sari lengket. Posisi kepala putik dan kotak sari jahe tersebut hampir sama dengan jahe hias Alpinia. Hasil penelitian Oktaviani (2009) pada Alpinia menyatakan bahwa karakterisasi pada Zingiberaceae genus Alpinia pada berbagai kultivar yang diuji menunjukkan bahwa bunga hanya bertahan 1 hari kemudian layu, dan umumnya pada saat bunga mekar posisi putik lebih tinggi dari benang sari. Diduga posisi kotak sari dan serbuk sari yang bersifat lengket tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum pernah ditemukan biji pada tanaman jahe.
Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa penyerbukan
secara alami tanpa bantuan vektor penyerbuk sulit terjadi dan angin tidak akan mampu berperan sebagai vektor penyerbuk. Sifat serbuk sari jahe yang lengket tersebut menyulitkan untuk diterbangkan oleh angin dan diperlukan vektor penyerbuk lain selain angin. Selama penelitian berlangsung belum ditemukan adanya serangga sebagai vektor penyerbuk jahe, diduga hal tersebut terjadi karena bunga jahe mekar pada siang sampai sore hari ( pk.13.00 – 17.00) dimana serangga penyerbuk sudah jarang ditemukan berterbangan di alam, dan seandainya adapun serangga tersebut bukan merupan vektor penyerbuk Zingiberaceae. Tidak ditemukan adanya vektor pengerbuk berupa serangga atau binatang lainnya pada tanaman jahe juga mempersulit terjadinya penyerbukan dan terbentuknya biji pada tanaman jahe. Sebagian besar serangga penyerbuk beraktifitas
dari pagi sampai sore hari, selama tanaman masih memproduksi penarik (attractant) yang biasanya terjadi pada siang hari. Bhattacharya (2004) menyatakan bahwa persentase pembentukan buah yang tinggi pada tanaman jambu mente dihasilkan oleh serangga yang aktif pada jam 9.00 - 13.00, sedangkan serangga yang aktif pada jam 13.00-17.00
tidak membantu
pembentukan buah jambu mente (bukan serangga penyerbuk). Hal tersebut berbeda dengan beberapa Zingiberaceae yang berfungsi sebagai tanaman hias “ Ornamental Ginger” dan sering ditemukan adanya biji walaupun hidup liar di alam dan tidak dibudidayakan. Ada beberapa serangga yang banyak ditemukan pada “Bornean Gingers” yaitu Halictid, Amegilla dan burung (Spiderhunter) yang berperan sebagi vektor penyerbuk (Shoko Sakai et al. 1999).
Pada Zingiberaceae lainnya juga ditemukan adanya serangga sebagai
56
faktor penyerbuk, selanjutnya Ling (2003) menemukan adanya lebah madu yaitu Apis cerana cerana sebagai vektor penyerbuk utama pada Alpinia blepharocalix dan serangga lainnya yaitu Xylocopa spp sedangkan pada Alpinia kwangsiensis ditemukan adanya burung (Arachnothera longirostra) sebagai vektor penyerbuk. Jiang et al. (2004) menyatakan bahwa pada Curcuma langifolia ditemukan Apis florae sebagai vektor penyerbuk yang datang pada saat hari pertama bunga mekar. Bunga yang mekar sempurna keesokan harinya sudah layu atau gugur. Hal tersebut diduga karena dipengaruhi lingkungan bunga tumbuh (mekar) dimana jika suhu lingkungan tinggi pada saat bunga mekar, maka bunga akan lebih cepat menjadi layu dan kemudian gugur dibandingkan jika suhu lingkungan rendah pada saat bunga mekar. Vektor yang menbantu penyerbukan pada Zingiberaceae diantaranya kupu-kupu dan ngengat, terutama pada genus Alpinia adalah semut dan lebah juga burung pada genus Etlingera (Larsen dan Larsen 2006). Menurut Bermawie dan Martono (1997) jahe jarang berbunga, bila terjadi bunga mekar pada siang hari, dan gugur pada keesokan harinya
Deskripsi Bunga Deskripsi dan karakteristik spika dan bunga dilaksanakan pada dua tempat dengan ketinggian yang berbeda yaitu di Bogor 200 m dpl dan di Cicurug 550 m dpl dan sampel diambil secara acak masing-masingnya 10 bunga dan kemudian dirata-ratakan. Tabel 11. Deskripsi dan karakteristik spika dan bunga jahe Panjang /cm (awal inisiasi)
Diameter tangkai /mm( awal inisiasi bunga)
Spika
3.78 ± 0.47
12,24 ± 1.36
Braktea
Jumlah helaian 17.18 ± 4.24 Panjang /mm (besar)
Panjang tangkai /cm (bunga pertama mekar) 24.95 ± 4.98
Diameter /mm (bunga pertama mekar)
Jumlah bunga pada braktea 14.64 ± 4.01
Panjang/mm
Lebar/mm
24.68 ± 2.30
19.27 ± 1.96
Lebar /mm (besar)
Panjang /mm(kecil)
Lebar/mm (kecil)
18,85 ± 1.97
57
Calix bunga
21.59 ± 0.71
6 ± 0.68
19.37 ± 0.57
3.14 ± 0.78
Panjang/mm (besar) 21.09 ± 1.04
Lebar/mm (besar) 15.14 ± 0.64
Panjang /mm (kecil)
Lebar/mm (kecil)
Labellum (corolla) Spika yang diamati merupakan spika yang tumbuh langsung dari rimpang dan diamati sesaat setelah bunga mekar penuh. Parameter bunga diamati meliputi jumlah helaian braktea, panjang dan lebar braktea, diameter spika, panjang spika, panjang tangkai spika diameter batang. Berdasarkan pengamatan pada 2 tempat yang berbeda di Bogor dan Cicurug, tidak ada pengaruh ketinggian tempat terhadap karakteristik bunga, sehingga hasil yang didapatkan tidak dipisahkan (Tabel 11). Bagian-bagian bunga cepat menjadi layu pada saat sudah dipisahkan dari tanaman induknya, sehingga pada saat diambil gambarnya bunga sudah mulai menciut (Gambar 14). Kepala putik Calix besar
A
Kotak sari
B
Labellum besar
E C
D
Calix kecil
F
Gambar 14. Bagian bunga jahe dan posisinya A) Kotak sari menyatu dengan stilus, B) Stilus, C) Calix, D)Bunga lengkap, E) Labellum (mahkota), F) Bunga jahe dan bagian-bagiannya Hasil utama yang dapat diamati dari Tabel 11 tersebut adalah rata-rata jumlah braktea dalam 1 spika dan rata-rata jumlah bunga yang mekar tidak berbeda jauh. Jumlah braktea terbanyak yaitu dengan rata-rata 21 dengan rata-rata jumlah bunga 18, hal ini menunjukkan bahwa setiap braktea mempunyai potensi untuk mempunyai bunga yang mekar dan hanya sebagian kecil dari braktea yang tidak mekar bunganya. Informasi tersebut sangat bermanfaat untuk kemungkinan
58
didapatkannya biji nantinya. Spika yang terbentuk (tunas generatif) sudah dapat dideteksi saat ukurannya masih kecil yaitu 3.78±0.47 cm. Diameter tangkai spika pada saat awal inisiasi yaitu 12,24 ± 1.36 (mm) tidak bertambah banyak ukurannya dibandingkan dengan tangkai spika pada saat bunga pertama mekar 18,85 ± 1.97 (mm).
Pengamatan serbuk sari Morfologi Serbuk sari Jahe putih besar berukuran 59,1±8.52 µm x 58,25±5.74 µm, mempunyai bentuk serbuk sari yang bulat di satu sisi (Gambar 15A) dan sisi yang lain berbentuk cekung (Gambar 15B), tidak mempunyai ornamen dan tidak berpori (unporate), tekstur permukaan serbuk sari membentuk pola yang teratur seperti jalinan (jala) (Gambar 10 C) dan serbuk sari akan mengalami perubahan bentuk setelah dipisahkan dari tanaman induk (Gambar 10 D) akibat terdehidrasi.
A
B
C
D
59
Gambar11 Morfologi serbuk sari dengan menggunakan scanning electron microscope SEM). A,B) Bentuk serbuk sari dengan perbesaran 1000 x, C) Bentuk serbuk sari dengan perbesaran 5000 x, D) Permukaan serbuk sari perbesaran 350 x Panjang aksis polar yang hampir sama dengan diameter ekuatorial menunjukkan bahwa bentuk serbuk sari mendekati bulat. Ukuran serbuk sari jahe putih besar tergolong besar dibandingkan serbuk sari Zingiberaceae lainnya, demikian
juga
jika
dibandingkan
serbuk
sari
famili
lain
misalnya
(Euphorbiaceae, Solaneceae, Poaceae dan Myrtaceae) tetapi lebih kecil dari serbuk sari Malvaceae kembang sepatu. Piyaporn et al. 2009 menyatakan bahwa diameter
bidang
ekuatorial
serbuk
Cornukaempferia: (Cornukaempferia
sari
famili
Zingiberaceae,
genus
aurantiflora, C. Longipetiolata, dan C.
Larsenii ) berturut-turut adalah : (47,65 µm, 42,47 µm dan 43,75 µm), polen mempunya ornamen berupa duri dengan panjang 4.28 ± 0.35. Hal tersebut juga terdapat Zingiberaceae genus Alpinia dimana diameter serbuk sarinya
50±4.15
μm to 102.50±5.95 μm. Hal tersebut sesuai dengan pernyataaan Erdtman (1972) yang menyatakan bahwa beberapa species dalam famili Solanaceae tidak mempunyai pori sedangkan yang lainnya mempunyai pori, hal tersebut menunjukkan bahwa species-species dalam satu famili tidak selalu mempunyai morfologi yang sama. Warid
(2009)
menambahkan
serbuk
sari
Codiaeum
variegatum
(Euphorbiaceae) yaitu 47,3 ± 1,98 µm; Capsicum annum 46,9 ± 2,89 µm dan Sorghum bicolor (Poaceae) 48,9 ± 1,87 µm. Ni Made dan Eniek (2007) menyatakan bahwa ukuran serbuk sari berbagai varietas kembang sepatu yaitu (90,10 – 102,31 µm ). Ukuran serbuk sari dibedakan dalam enam kelas berdasarkan aksis terpanjang. Pembagian kelas ukuran tersebut adalah: 1) < 10 μm = sangat kecil 2) 10 - 25 μm = kecil 3) 25 - 50 μm = sedang 4) 50 - 100 μm = besar 5) 100 - 200 μm = sangat besar 6) 200 μm = raksasa. ( Anonim 2010 ). Permukaan serbuk sari jahe rata tanpa adanya pori, duri maupun tonjolan yang biasanya terdapat pada permukaan serbuk sari. Pengamatan dengan mikroskop cahaya dengan menggunakan pewarnaan maupun tidak, dapat dilihat bahwa bagian paling luar dari serbuk sari ( exin) tanpa adanya tonjolan berupa duri atau yang lainnya. Permukaan exin terlihat berupa jala (retikulat), dinding sel
60
tebal dan terpisah dengan bagian didalamnya. Tidak adanya pori pada serbuk sari dan ketebalan dinding sel diduga juga dapat mempengaruhi munculnya tabung serbuk sari pada saat serbuk sari dikecambahkan. Pengamatan Kepala Putik Morfologi kepala putik Lebar kepala putik 708 µm, panjang glandula (bulu2 stigma) 312 µm. Permukaan kepala putik polos( tidak berkerut atau bergelombang).
Gambar 16 Morfologi kepala putik dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM). (A) Foto dari samping sesaat setelah bunga mekar, dan (B) Foto dari atas ± 3 jam setelah bunga mekar Pengamatan kepala putik dimulai pada saat bunga mulai mekar sampai sampai pk 17.00. Kuantifikasi
sekresi permukaan kepala putik dengan
menggunakan pipet mikro sulit dilakukan karena cairan sekresi yang terdapat pada permukaan kepala putik terlalu sedikit dan tidak dapat diukur dengan menggunakan pipet mikro sehingga hanya dilakukan secara visual. Sekresi pada permukaan kepala putik terlihat sesaat setelah bunga mekar dan bertambah terus sampai bunga mekar penuh, dimana tangkai kepala putik menyentuh labellum dan mencapai puncaknya saat terlihat seperti ada cairan bening mengkilat pada ujung kepala putik. (Gambar 13J). Hal tersebut berlangsung tidak lama, karena pada umumnya bunga jahe mekar dari pk13.00 – pk 17.00.
Pengamatan
dihentikan pada pk 17.00, karena hari sudah mulai gelap dan sulit untuk melihat
61
secara visual perubahan yang terjadi setelah itu. Keesokan harinya bunga jahe sudah layu dan bahkan ada yang langsung gugur. Bunga yang mekar merupakan tanda bahwa kepala putik reseptif, selain itu terdapat tanda-tanda lain untuk mengetahuninya yaitu dengan melihat ada tidaknya papila, ada tidaknya sekresi dari kelenjar pada dasar bunga dan terdapat aroma pada bunga. Kepala putik yang telah masak biasanya mengeluarkan lendir yang berwarna transparan yang mengandung zat-zat yang diperlukan untuk perlecambahan serbuk sari ( Darjanto dan Satifah 1990).Pada Melaleuca cajuputi masaknya kepala putik ditandai dengan ciri dimana kepala putik tegak, membesarnya diameter kepala putik, dan keluarnya cairan yang berwarna bening sehingga kepala putik terlihat kuning terang dan mengkilap (Baskorowati et al. (2008).
2. Viabilitas Serbuk Sari Fertilitas dan sterilitas serbuk sari merupakan bagian yang paling penting untuk menentukan tanaman dapat menghasilkan biji atau buah. Pada bunga yang mempunyai tingkat fertilitas tinggi, kemungkinan untuk mendapatkan bijinya juga lebih besar. Sebaliknya jika sterilitasntya tinggi maka bunga tersebut tidak dapat menghasilkan
biji
Pendugaan
viabilitas
serbuk
sari
diamati
dengan
mengecambahkan serbuk sari yang diambil sebanyak 5 kali waktu dengan interval waktu selangnya 15 menit, diawali pada saat bunga mekar penuh. Pengamatan serbuk sari yang viabel dilakukan 24 jam setelah pengambilan serbuk sari. Pewarnaan Metode pewarnaan banyak digunakan untuk pendugaan viabilitas serbuk sari karena membutuhkan waktu yang lebih pendek daripada pendugaan dengan menggunakan media perkecambahan polen.
Pendugaan viabilitas serbuk sari
dengan pewarnaan aniline blue menunjukkan serbuk sari akan terwarnai biru tua menunjukkan bahwa serbuk sari viabel dan terwarnai merah tua jika menggunakan pewarnaan acetocarmine (Gambar 17). Pendugaan viabilitas dengan menggunakan pewarnaan menghasilkan viabilitas serbuk sari 31- 57%. Pengujian pendugaan viabilitas serbuk sari dengan pewarnaan aniline blue dan acetocarmine menunjukkan bahwa adanya interaksi antara pewarnaan dan
62
waktu perkecambahan (Tabel 12). Kedua pewarnaan yang digunakan dapat digunakan untuk menduga viabilitas serbuk sari jahe. Pendugaan tertinggi didapatkan pada pewarnaan anilinblue dengan waktu perkecambahan 45 menit setelah bunga mekar. Pewarnaan acetocarmin menunjukkan bahwa viabilitas terendah pada 15 menit setelah bunga mekar dan mencapai puncaknya pada menit ke 60 setelah bunga mekar, setalah itu viabilitas serbuk sari menurun. Diduga makin lama waktu setelah bunga mekar setelah menit ke 60, viabilitas serbuk sari akan semakin turun. Kecendrungan tersebut juga didapatkan pada pewarnaan anilineblue, dimana setelah menit ke-45 setelah bunga mekar viabilitas serbuk sari menurun. Menurut Warid (2009) pewarnaan aniline blue merupakan pewarna yang dapat menduga perkecambahan serbuk sari dengan PGM karena mempunyai korelasi positif sebesar 0,624 pada famili euphorbiaceae, solaneceae, poaceae dan myrtaceae. Adaniya dan Shirai (2001) menggunakan acetocarmin untuk perkecambahan serbuk sari jahe Sanshu dan didapatkan viabilitasnya 40 %. Tabel 12 Pengaruh interaksi antara pewarnaan dengan waktu pengambilan serbuk sari terhadap pendugaan viabilitas serbuk sari (% daya berkecambah) Pewarnaan
Waktu pengambilan sampel (MSM) 15
30
45
60
75
Aniline blue
42.41 cd
42.00 cd
57.18 a
51.41 ab
39.47 d
Acetocarmin
31.47 e
47.92 cb
50.18 b
53.16 ab
51.0 ab
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05
1 2 2
1
A
B
Gambar 17 Hasil pewarnaan polen jahe (A) Anilin blue dan (B)
63
Acetocarmin Ket : 1) Serbuk sari viabel, 2) Serbuk sari tidak viabel Rendahnya fertilitas serbuk sari jahe merupakan salah satu penyebab tidaknya biji jahe yang didapatkan secara alami. Menurut Prana (1983) rendahnya fertilitas serbuk sari yang dihasilkan pada kebanyakan jenis temu-temuan mengakibatkan persilangan alamiah yang terjadi tidak menghasilkan buah. Pengecambahan Media perkecambahan yang diuji yaitu pollen germination medium (PGM), sukrosa 2% dan media Brewbaker & Kwack. Pada media perkecambahan yang digunakan tidak ada serbuk sari yang berkecambah membentuk tabung. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada korelasi antara pendugaan viabilitas serbuk sari dengan menggunakan pewarnaan dengan media perkecambahan. Media perkecambahan yang digunakan belum mampu mengecambahkan serbuk sari jahe pada waktu pengambilan yang berbeda. Hal tersebut ditunjukkan dengan tidak adanya serbuk sari yang membentuk tabung walaupun sudah diamati sampai 72 jam setelah perkecambahan. (Gambar 18). Media yang digunakan untuk perkecambahan yaitu Pollen Growth Media (PGM) merupakan media yang umum digunakan untuk perkecambahan serbuk sari yang terdiri atas senyawa yang lebih lengkap daripada media yang biasa digunakan untuk perkecambahan serbuk sari. Tidak adanya serbuk sari yang berkecambah diduga karena media yang digunakan tidak cocok, atau kondisi lingkungan yang tidak mendukung serbuk sari untuk berkecambah. Kondisi laboratorium dimana penelitian dilakukan tidak sama dengan kondisi lingkungan alami. Walaupun PGM dapat digunakan untuk mempelajari perkecambahan serbuk sari pada banyak species, tetapi media tersebut belum dapat mengecambahkan serbuk sari jahe. Diduga kandungan PGM dan BK yang digunakan perlu dimodifikasi lagi untuk mendapatkan media perkecambahan yang cocok untuk jahe, misalnya dengan menambah konsentrasi sukrosa (gula). Tidak adanya serangga yang ditemukan pada saat bunga mekar diduga karena rendahnya kandungan sukrosa yang merupakan senyawa atraktan penarik serangga pada cairan di kepala putik. Rhidova et al. (1996) menyatakan bahwa viabilitas awal serbuk sari dapat
64
mempengaruhi daya berkecambah, selain itu juga dipengaruhi oleh faktor external, seperti sumber karbon, boron dan kalsium, potensial air, derajat kemasaman media, kerapatan serbuk sari dalam media, dan aerasi dalam media kultur. Malik dalam Warid (2009) menyatakan bahwa sukrosa merupakan senyawa gula sebagai sumber karbon yang mudah diabsorbsi oleh sel tanaman, sehingga sukrosa sering digunakan dalam pembuatan media perkecambahan serbuk sari karena menghasilkan persentase perkecambahan yang lebih tinggi dan perpanjangan tabung serbuk sari
Gambar 18. Serbuk sari yang tidak berkecambah ( tidak membentuk tabung) Morfologi serbuk sari diduga juga mempengaruhi daya berkecambah seperti yang telah dibahas sebelumnya. Dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui kendala utama penyebab sulitnya perkecambahan serbuk sari . Darjanto dan Satifah (1990) menyatakan bahwa untuk melakukan penyerbukan harus dipilih waktu yang tepat dan tidak boleh terlambat. Baik putik maupun benang sari harus dalam keadaan segar, sehat dan telah masak. Pertumbuhan serbuk sari dipengaruhi oleh suhu udara.
Pada suhu rendah (< 150C)
perkecambahan serbuk sari, sedangkan pada suhu tinggi (>350C) terjadi penguapan air sehingga akan menyebabkan bunga dan serbuk sari cepat mengering. Pada umumnya batas suhu optimum untuk perkembangan serbuk sari berkisar 25 0C. Cuaca yang cerah dan udara yang agak lembab merupakan kondisi yang baik untuk penyerbukan, sedangkan pada iklim yang dingin bunganya tidak lekas layu sehingga dapat lebih lama diserbuki.
Disamping itu pada fase
penyerbukan yang mendapat cahaya penuh selama 10 jam per hari merupakan kondisi yang ideal. Kondisi tersebut di daerah tropis dapat ditemui di dataran
65
tinggi, di atas 300 m dpl. Hal tersebut tidak sejalan dengan penelitian Adaniya dan Shoda (1998) yang menyatakan
serbuk sari beberapa strain jahe yang diuji
menunjukkan bahwa persentase fertilitas serbuk sari dengan menggunakan pewarnaan acetocarmin antara 2,2 – 21,4 %, dan pengecambahannya pada media yang terdiri atas 80% sukrosa dan 100 ppm boric acid mampu mengecambahkan serbuk sari walaupun menghasilkan perkecambahan serbuk sari yang sangat rendah 0-0,22 %.
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN Perlakuan cekaman kadar air media yang rendah tidak dapat menginduksi pembungaan. Paclobutrazol dengan konsentrasi 100 ppm meningkatkan jumlah spika/rumpun menjadi 3,4, dimana waktu keluarnya bunga lebih cepat, waktu pembungaan yang panjang dan jumlah bunga terbanyak. Pembungaan akan meningkat jika didukung oleh lingkungan tumbuh yang memicu pembungaan. Jahe mempunyai masa berbunga 4–7 BST yang dipengaruhi oleh lingkungan. Lamanya waktu yang dibutuhkan mulai dari insiasi bunga sampai bunga layu 70-80 hari. Morfologi bunga menunjukkan bahwa posisi kotak sari lebih rendah dari kepala putik. Serbuk sari mempunyai permukaan yang rata dan tidak mempunyai pori. Waktu bunga bunga mekar hanya beberapa jam. Kepala putik reseptif ± 2.5 jam setelah bunga mekar, ditandai dengan sekresi yang maksimal. Viabilitas serbuk sari dengan metode pewarnaan menggunakan Aniline blue dan Acetocarmine mencapai puncaknya pada 45-60 menit setelah bunga mekar dan setelah itu viabilitas serbuk sari mulai menurun. Media perkecambahan serbuk sari yang digunakan yaitu Pollen Germination Medium, Brewbaker & Kwack dan sukrosa belum mampu mengecambahkan serbuk sari sehingga tabungnya tidak terbentuk.
SARAN Paclobutrazol konsentrasi 100 ppm mampu menginduksi pembungaan jahe, untuk konsentrasi yang lebih tinggi perlu dilaksanakan agar mendapatkan jumlah bunga yang lebih banyak. Perlu dilakukan waktu aplikasi paclobutrazol yang tepat untuk menginduksi pembungaan, jika didapatkan pembungaan lebih awal maka waktu pembungaan jahe akan lebih lama. Penambahan hormon pada
67
tanaman yang dapat
meningkatkan viabilitas serbuk sari. Modifikasi media
perkecambahan serbuk sari agar serbuk sari jahe mampu berkecambah.
DAFTAR PUSTAKA
Adaniya S, Shoda M, Fujieda K. 1989. Effect of Day Length on Flowering and Rhizome Swelling in Ginger (Zingiber officinale Rosc). J Jpn So. Hort. Sci 58(3) : 649-656. Adaniya S, Shoda M. 1998. Variation in Pollen Fertitity and Germination in Ginger (Zingiber officinale Roscoe). J Jpn Soc Hort Sci.67 (6) : 872 – 874. Ajijah N, Martono B, Bermawie N, Hadad EA. 1997. Botani dan Karakteristik. Mong Jahe. No.3. Balittro.Bogor. Gracie AJ, Brown PH, Clark RJ. 2004. Study Of Some Factors Affecting The Growth and Development of Myoga (Zingiber mioga Roscoe). Sc .Hortc. 100, 267-278. Anon. 1999. Zingiber officinale. Natural Remedies Research Centre. MD\Zo\1199. Anon. 2006. Standar Nasional Indonesia Benih jahe (Zingiber officinale L.). Badan Standarisasi Nasional. 22p Anonim.2010.PengantarPaleobotani. http://www.google.co.id/search?source=ig&hl=id&rlz=1G1GGLQ_IDI D351&=&q=aksis+polar+polen&meta=lr%3D&aq=f&aqi=&aql=&oq= &gs_rfai. Diakses 5 April 2010. Ashari S.1998. Pengantar Biologi Reproduksi Tanaman, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta Ashrafuzzaman M, Nasrul Millat, Ismail MR, Uddin MK, Shahidullah SM dan Meon S 2009. Paclobutrazol and Bulb Size Effect on Onion Seed Production. Int. J. Agric. Biol. 11 ( 3) :245-250. Badan Pusat Statistik. 2004. Statistik Tanaman Obat-Obatan dan Hias. Badan Pusat Statistik, Jakarta.P36 Baskorowati R. Umiyati N. Kartikawati A. Rimbawanto, Susanto M. 2008 Pembungaan Dan Pembuahan Melaleuca Cajuputi Subsp. Cajuputi Powell Di Kebun Benih Se. mai Paliyan, Gunungkidul, Yogyakarta. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 2 (2). Banko, TJ, Bir RE. 1999. Use of Growth Retardants to Promote Flowering of Mountain Laurel, Kalmia latifolia. J. Environ. Hort., 17: 11–17
69
Bermawie N, Hadad EA, Martono B, Ajijah N, 1997. Plasma nutfah dan Pemuliaan. Mong Jahe No.3. Balittro. Bogor. Bermawie N. Syahid SF, Ajijah N , Purwiyanti P, Martono B. 2006. Usulan Pelepasan Varietas Jahe. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor, tidak dipublikasikan. Bhattacharya A. 2004. Flower Visitor and Fruit Set of Anacardium occidentale. Ann Bot fennici 41: p 385-392. Darjanto, Satifah S. 1990. Pengetahuan Dasar Biologi Bunga dan Teknik Penyerbukan Buatan. Penerbit PT Gramedia Jakarta. 156 hal. Fewless G. 2006. Phenology. hhtp://www.uwgb.edu/biodiversity/phenology /index.htm. (Diakses 9 Desember 2010) Gardner FP, Pearce RB, Mitchell RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Herawati Susilo, Penerjemah. Jakarta: Universitas Indonesia. Terjemahan dari Physiology of Crops Plants. Harjadi SS, Yahya S.1988. Fisiologi Stress Lingkungan.PAU.Bioteknologi Institut Hasanah M. Sukarman, Supriadi, Januwati M, Balfas R. 2004. Keragaan perbenihan jahe di Jawa Barat. Jurnal penelitian tanaman industri 10(3):118-125. Herlina D, Hatmini KD, Masyhudi MF. 2001. Peran paklobutrazol dan pupuk KNO3 terhadap induksi pembungaan melati. J. Sains Edisi Khusus Oktober 21. p : 189-200. Husen S, Ishartati E. 2007. Induksi Pembungaan, Kompatibilitas, dan Karakterisasi Semai, Hibrida Persilangan Antar Kultivar Mangga (Mangifera indica.L). Jurnal Akta Agrosia Edisi Khusus No1.html 77 - 85. 2007 Januwati, Rostiana ), Rosita SMD, Sitepu. 1991. Pedoman Pengadaan Rimpang Jahe Bebas Penyakit Untuk Bibit.balai penelitian Tanaman Rempah Dan Obat.18p Jiang YG, Ling Z, Xiao BD, Yu R, Ji JK, Qing JL. 2004. The Floral Biology of Curcuma longifolia (Zingiberaceae): a ginger with Two Day . Am J Bot 91(2): 289–293. 2004. Jimenez VM. 2001. Regulation of in Vitro Somatic Embryogenesis With Emphais on The Role Of Endogenous Hormones. R.Bras. Fisiol.Veg 13 (2) : 196 – 223. Kemala S et al. 2003. “Studi Serapan dan Pasokan Tanaman Obat”. Balittro, Laporan Hasil Penelitian, tidak dipublikasikan.
70
Khaerana. 2007. Pengaruh Cekaman kekeringan dan umur panen terhadap Pertumbuhan dan kandungan Xanthorrhizol Tanaman temulawak. Thesis Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Kramer PJ. 1980. Plant and Soil Water Relationship. A Modern synthesis. Tata Mc Graw-Hill Publ. Co. Ltd., New York. 449 p. Kuntorini EM. 2005. Botani Ekonomi Suku Zingiberaceae Sebagai Obat Tradisional Oleh Masyarakat di Kotamadya Banjarbaru. BIOSCIENTIAE 2(1): 25-36 Lakitan B. 2005. Dasar-Dasar Fisiologi Tumbuhan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Maria, Patricia C. Branch and Kuehny JS, 2001. Effect of Light Intensity and PGR application on Growth and Flowering of Ornamental Ginger. Louisiana State University, Dept. of Horticulture, 137 Julian C. Miller Hall, Baton Rouge, LA 70803-2120. Mariska I, Syahid SF. 1992. Perbanyakan Vegetatif Melalui Kultur Jaringan Pada Tanaman Jahe. Buletin Littri (4) : 1 - 5 Melati, Rusmin D. 2008. Pengaruh Perlakuan Penyimpanan Terhadap Viabilitas Rimpang Jahe Putih Kecil. Laporan Penelitian Mandiri Balittro T.A 2007.Tidak Dipublikasikan Mubiyanto BM. 1997. Tanggapan Tanaman Kopi Terhadap Cekaman Air. Warta Puslit Kopi dan Kakao 13(2): 83-95. Mugnisjah WQ, Setiawan A. 1995. Produksi Benih, Penerbit Bumi Aksara Jakarta, bekerjasama dengan Pusat antar Universitas-Ilmu Hayat, Institut Pertanian, Bogor. Mursal.
2004. Studi Pemacuan Pembungaan dan Pembuahan pada Tanaman Lengkeng Untuk Produksi Buah di Luar Musim. Thesis Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Nasution A S, Gusli. 2009. Hubungan Faktor Iklim Dengan Pertumbuhan dan Produksi Tanaman . Budidaya Hutan Usu. http://sanoesi.wordpress.com/2009/01/29/hubungan-faktor-iklimdengan-pertumbuhan-dan-produksi-tanaman/ Panggabean G. 1992. Pengaruh Kekeringan Terhadap Pertumbuhan dan Jumlah Per Rumpun Beberapa Jenis Tanaman Jahe (Zingiber spp). Prosiding Seminar Hasil Litbang SDH 6 Mei 1992. p 311-315.
Peter KV, Ravindran, Babu PN, Divakaran M. 2007. Breeding of Spice Crops . Hort. Veg Scin
71
Prana MS 1983. Pembungaan beberapa jenis temu (Curcuma Spp.) Pemb Littri. Vol VII. No 46. Hal 33-36. Pinto, Ana CR, Graziano T T, Barbosa, Carlos J and Lasmar FB. 2006. Growth Retardants On Production Of Flowering Potted Thai Tulip . Bragantia [online]. 2006, vol.65, n.3, pp. 369-380. Piyaporn S, Chantaranothai P dan Theerakulpisut P, 2009. Pollen Morphology of the genus Cornukaempferia (Zingiberaceae) in Thailand. Thld J of Sys and Evot 47 (2): 139–143 (2009 Purbiati T, Endarto O, Retnaningtyas E, Suryadi A dan Prahardini PER. 2002. Respon Perlakuan ZPT dan Pengendalian Hama Pada Tanaman Bunga Mawar. Purnomo S dan Prahardini PER 1989. Perangsangan Pembungaan Dengan Paklobutrasol Dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Dan Buah Mangga (Mangifera indica L) Hort 27 : 16 – 24. Purseglove JW, Brown EG, Green Cl, Robbins SRJ. 1981. Spic.Long Inc, New York.: 447 – 527 Rachman E. 1998. Biologi Perbungaan Jahe Merah (Zingiber officinale Rosc. Var Rubra). Berita Biol 4(4) Puslibang Biologi-LIPI, : p. 163 – 167. Rhidova L,. Hrabetova, and Tupy J. 1996. Optimization of conditions for in vitro pollen growth in potatoes. Int. J.Nat. Scin. (20): 30-33. Rismunandar.1988. Rempah-Rempah Komoditi Ekspor Indonesia. Sinar Baru Bandung. Rosita SMD, Darwati I, dan Moko 2006. Pengaruh Pupuk Kasting dan Macam Benih Terhadap Pertumbuhan, Produksi dan Mutu Jahe Muda. Jurnal Littri 12 (1). P 7-14. Rostiana O dan Syahid SF. 2007. Karakteristik Rimpang Tanaman Jahe (Zingiber officinale Rosc.) Varietas Cimanggu – 1 hasil Embriogenesis Somatik In Vitro. Prosiding Seminar Nasional Dan Pameran. Buku 1. Balittro. Rostiana. O dan Syahid SF. 2007. Pengaruh Media Dasar MS dan N6 Terhadap Perkembangan Embrio Somatik pada Kultur meristem Jahe (Zingiber officinale Rosc). Berita Biol. 9 (2) . (Inpress) Rostiana. O, Abdullah A, Taryono, Hadad EA. 1991. Jenis-Jenis Tanaman Jahe. LITTRO.7 (1) : 7-16. Rostiana. O, Bermawie N dan Rahardjo M. 2009. Standar Prosedur Operasional Budidaya Jahe. Budidaya Jahe, Kencur, Kunyit dan Temu Lawak Circ no 16.2009. Rostiana O, Sitinjak RR, Syahid SF.2006. Regeneration of ginger meristem in vitro through somatic embryogenesis (Unpublish)
72
Sandra E. 2008. Sembilan Bulan Petik Mangga. http://moonraise.blogspot.com/. Diakses 12 Mei 2009. Seeno S dan Isoda A. 2003. Effect Paclobutrazol on Podding and Photosynthetic Characteristic in Peanut. Plant Production Science Vol.6. P 190-194. Japan Sakai S, Kato M dan Inoue T. 1999. Three Pollination Guilds and Variation in Floral Characteristics of Bornean Gingers (Zingiberaceae and Costaceae). Am J of Bot 86(5): 646–658 Statistik Produksi Hortikultura. 2006. “Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2006 (Angka tetap)”. Dirjen Hortikultura, Dept. Pertanian. Steenis CGJ, Bloembergen S, Eyma PJ. 2006. Flora.M.Surjowinoto (penerjemah). PT Pradnya Pramita. Jakarta Sukarman, Rusmin D, Melati. 2004. Pengaruh Asal Sumber Benih dan Cara Penyimpanan Terhadap Viabilitas Benih Jahe. Buku II. Pros Simp IV Hasil Penelitian Tanaman Perkebunan. Sukarman, Rusmin D, Melati 2008; Pengaruh Lokasi Produksi dan Lama Penyimpanan Terhadap Mutu Benih Jahe (Zingiber officinale ). Jurnal littri 14(3), hlm. 119 – 124. Sumeru A. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya, Jogyakarta : UI. Press. Supriadi JG, Elphinstone SJ, Edengreen and Hartati SY. 1995. Physiological, Serological, And Pathological Variation Amongst Isolates Of Pseudomonas Solanacearum From Ginger And Other Host In Indonesia. J Pen Tan Ind 1(2):88-89. Supriadi, Mulya K, Sitepu D, 2000. Strategy For Controlling Wilt Disease Of Ginger Caused by Pseu-domonas solanacearum. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 19 (3): 106-111. Tabla VP, Vargas CF. 2004. Phenology and Phenotypic Natural Selection on The Flowering Time of A Deceit-Pollinated Tropical Orchid, Myrmecophila Christinae. Annals of Botany,94(2):243-250. Thohirah LA, Ramlan MF, Kamalakshi. 2005. The Effect of Paclobutrazol ang Flurprimidol on The Growth and Flowering of Cuccuma roscoeana and Curcuma alismatifolia. Malay App Biology .34-2.P 1-5. Thomas B. 1993. Internal and external Control of Flowering in: Jordan BR (Ed) Molecular biology of Flowering. Sussex. CAB International. Warid. 2009. Korelasi Metode Pengecambahan In Vitro Dengan Pewarnaan Dalam Pengujian Viabilitas Polen. Skripsi. Program Studi Pemuliaan dan Teknologi Benih Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
73
A
B
Lampiran 1: Kondisi rumah kaca yang terbuka (tidak mempunyai dinding) A) Sebelum tanam, B) Tanaman 2 BST
A
B
Lampiran 2 A) Rimpang siap panen untuk benih B) Rimpang yang sudah direndam dengan dithama
A
B
Lampiran 3 A) Potongan rimpang untuk benih berat 50-60 gr B) Rimpang setelah direndam dithama
74
Lampiran 4. Rimpang dengan tunas 1-2 cm siap untuk dipindah ke polybag
Lampiran 5. Rimpang yang terserang lalat rimpang. (A) Serangan awal, (B) Serangan lanjut, (C) Rimpang keropos
Lampiran 6. Rata-rata suhu dan kelembaban di dalam dan di luar rumah kaca selama penelitian pada bulan September 2009-Mei 2010 Pengamatan Suhu
Dalam
Luar
Kelembaban
Dalam
Luar
Pukul
Sep
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
07.00
26.1
26.1
25.4
23.5
23.5
23.1
21.38
22.75
19.76
12.00
37.1
37.9
40.8
36.89 31.9
35.4
32.10
28.00
28.81
16.00
25.8
26.0
25.1
24.0
24.0
23.6
23.43
26.78
24.88
07.00
27.3
27.3
26.9
25.12 24.7
23.0
22.10
25.50
23.06
12.00
39.5
38.2
40.9
37.96 31.9
35.4
33.57
34.00
37.00
16.00
27.5
27
27.1
26
24.3
23.5
23.71
28.56
25.65
07.00
82.7
82.3
84.7
85.7
85.7
87.1
84.52
80.00
88.47
12.00
44.2
43.1
34.3
57.64 57.5
44.9
47.40
60.00
51.81
16.00
85.3
83.9
85.0
84.14 84.1
83.9
79.82
60.44
72.29
07.00
84.5
87.5
86.76
76.75
83.59
12.00
64.4
48.8
48.50
48.00
38.75
16.00
87.1
87.4
83.43
55.44
69.12
75
Lampiran 7. Rata-rata suhu dan kelembaban di Cicurug pada bulan September 2009 - Mei 2010) Pengamatan
Pukul
Sep
Suhu
07.00 21.2
Okt
Nov
Des
Jan
Feb
Mar
Apr
21.51 23.10 22.90 21.78 22.14 21.04 22.87
12.00 29.56 29.80 29.80 29.75 30.53 30.53 29.80 34.84 16.00 23.63 23.75 23.63 23.38 21.43 22.01 21.70 23.65 Kelembaban
07.00 82.76 84.16 84.35 84.03 84.26 86.92 89.10 85.25 12.00 51.71 57.85 65.23 62.61 65.03 64.71 68.90 64.33 16.00 72.30 81.14 80.80 77.72 87.22 83.46 87.00 85.45