Laporan Teknis Penelitian Tahun Anggaran 2010 Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik
INDUKSI PEMBUNGAAN DAN STUDI FENOLOGI BUNGA PADA TANAMAN JAHE PUTIH BESAR (ZINGIBER OFFICINALE ROSC.) VAR CIMANGGU 1 ABSTRAK Jahe (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu tanaman obat dengan klaim khasiat paling banyak. Lebih dari 40 produk OT (obat tradisional) menggunakan jahe sebagai bahan baku. Disamping kebutuhan dalam negeri yang cukup tinggi, jahe juga merupakan salah satu komoditas ekspor. Pasokan jahe dunia saat ini dikuasai oleh India (50% dari kebutuhan dunia). Dalam sepuluh tahun terakhir, ekspor jahe dari Indonesia berupa rimpang jahe segar, jahe kering, acar jahe (pikel), dan minyak atsiri, berfluktuasi sangat tajam. Sampai saat ini kebutuhan akan jahe baik untuk tujuan ekspor (Jepang, Singapura, Philiphina, Brunei, India, Pakistan, Saudi Arabia, Mesir, Belanda, Inggris dan Amerika) maupun kebutuhan dalam negeri cukup besar. Banyaknya OPT tular benih, menjadi kendala dalam penggunaan rimpang sebagai benih untuk perbanyakan tanaman jahe. Benih yang sudah terinfeksi sulit untuk disterilkan dan hal ini dapat menurunkan produksi benih jahe. Oleh karena itu ketersediaan benih yang bebas dari penyakit dari varietas yang diinginkan pasar dalam jumlah, waktu dan harga yang memadai, sangat terbatas, sehingga menghambat pengembangan tanaman jahe di Indonesia. Ukuran rimpang yang besar/voluminous (dibutuhkan benih 2-3 ton/ha), tidak tahan disimpan lama (daya tumbuh benih turun sampai 50 % dalam waktu 3–4 bulan) merupakan masalah lain yang perlu dicari jalan keluarnya. Rentang waktu antara panen dan musim tanam kadang-kadang lebih dari 4 bulan, sehingga benih yang tersedia bermutu rendah. Tidak tersedianya benih dengan varietas yang diinginkan pasar dalam jumlah, waktu dan harga yang memadai, sangat berpengaruh dalam pengembangan komoditas tanaman jahe di Indonesia. Penggunaan biji sebagai benih menjadi alternative terobosan yang potensial untuk dikembangkan, namun masih menghadapi kendala karena jahe jarang berbunga dan berbiji. Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Memperoleh teknik induksi pembu-ngaan jahe. (2). Mempelajari kendala dalam reproduksi seksual jahe putih besar var Cimanggu 1 terkait dengan biologi pembungaan. Penelitian dilaksanakan di Semi Rumah Kaca, Laboratorium Benih, Kelti Plasma Nutfah dan Pemuliaan Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik di Bogor untuk induksi pembungaan serta pengamatan fenologi dan biologi bunga, dan Laboratorium Zoologi LIPI Cibinong untuk pengamatan morfologi serbuk sari dan kepala putik. Kebun Percobaan Cicurug untuk pengamatan fenologi dan biologi bunga. Penelitian berlangsung pada bulan Agustus 2009 sampai dengan Juni 2010. Untuk mencapai tujuan tersebut telah dilaksanakan penelitian yang terdiri dari dua pecobaan. Percobaan 1 : Induksi Pembungaan Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc). Penelitian terdiri dari dua percobaan, yaitu: 1) Induksi pembungaan jahe putih besar (Zingiber officinale Rosc), dengan menggunakan kadar air media yang berbeda yaitu Co : kadar air media(KAM) 48-49 % (kapasitas lapang/ kontrol), C1 : KAM 45-46 %, C2 : KAM 42-43 %, C3 : KAM 39–40 %, C4 : KAM 36-37 %, C5 : KAM 33-34 %. dan 2) Induksi pembungaan jahe putih besar (Zingiber officinale Rosc), dengan menggunakan kosentrasi paclobutrazol yang berbeda. Percobaan 2 : Studi biologi bunga jahe putih besar (Zingiber officinale Rosc). Percobaan induksi pembungaan disusun dengan rancangan perlakuan satu faktor dalam rancangan lingkungan acak kelompok lengkap dengan empat ulangan . Setiap perlakuan dan ulangan menggunakan 5 sampel, sehingga total sampel yang digunakan untuk kedua percobaan induksi pembungaan adalah 240 sampel. Rimpang yang digunakan untuk benih adalah yang sudah tua, minimal berumur 9 bulan. Ciri-ciri rimpang tua antara lain kandungan serat tinggi dan kasar, kulit licin dan keras tidak mudah mengelupas, warna kulit mengkilat menampakkan tanda bernas.peubah yang diamati
281
Nurliani Bermawie, dkk.
dalam percobaan ini meliputi parameter pertumbuhan ( tinggi tanaman, diameter batang , luas daun, dan jumlah tunas), produksi rimpang ( berat rimpang, tebal rimpang kadar serat dan kadar pati) dan parameter pembungaan ( awal spika keluar, akhir spika keluar, jumlah spika dan panjang spika). Hasil percobaan menunjukkan bahwa induksi pembungaan dengan kadar air yang berbeda tidak mampu menginduksi pembungaan. Kadar air media yang rendah dapat mengganggu pertumbuhan, dan produksi rimpang. Induksi pembungaan dengan penambahan paclobutrazol dengan kosentrasi berbeda mampu meningkatkan pembungaan. Paclobutrazol dengan kosentrasi 100 ppm memberikan hasil yang terbaik, dimana waktu keluarnya bunga lebih cepat, waktu pembungan yang panjang dan jumlah bunga terbanyak. Pembungaan akan meningkat jika didukung oleh lingkungan tumbuh yang memicu pembungaan. Jahe mempunya masa berbunga yang pendek yaitu 4 BST – 7 BST yang dipengaruhi oleh lingkungan. Lamanya waktu yang dibutuhkan mulai dari insiasi bunga sampai bunga layu 70-80 hari. Morfologi bunga menunjukkan bahwa posisi kotak sari lebih pendek dari kepala putik dan serbuk sari bersifat lengket. Serbuk sari mempunyai permukaan yang rata dan tidak mempunyai pori dengan dinding sel yang tebal. Waktu bunga bunga mekar hanya beberapa jam dan kemudian layu. Pada saat bunga mekar tidak ditemukan adanya vektor penyerbuk berupa serangga.Waktu serbuk sari dalam keadaan viabel cukup pendek, 60 menit setelah bunga mekar viabilitas serbuk sari mulai menurun. Kepala putik reseptif sangat pendek hanya beberapa jam. Media perkecambahan serbuk sari yang digunakan (PGM, BK dan sukrosa) belum mampu mengecambahkan serbuk sari sehingga tabungnya tidak terbentuk. Pendugaan viabilitas tepung sari menunjukkan pewarnaan aniline blue yang lebih baik, dengan waktu pengambilan serbuk 60 menit setelah bunga mekar. ABSTRACT Rhizome is usually used for propagation of large white ginger (Zingiber officinale Rosc). The major restriction of using rhizome as material for propagation is pests and diseases spread through rhizome, such as bacterial wilt, leaf pock, rhizome flea, and rhizome flies. True seed is considered as one of potential alternatives breakthrough to be developed. However, true seed production is hindered by limited flower production. Therefore this research was aimed at studying flower induction and flowering biology of large white ginger var. Cimanggu 1. The research consisted of two steps; first, flower induction with low media water content and use of paclobutrazol as two separate experiments and the second was observation on flowering biology. The experiments for flower induction was arranged in completely randomized block design with one factor, i.e. 1) controlling water content of the media at: 48-49, 45-46, 42-43, 39– 40, 36-37, and 33-34 %; and 2) using paclobutrazol as soil drench: 0, 20, 40, 60, 80, 100 ppm. Observation on flowering biology includes pollen viability and stigma receptivity. Result of experiment indicated that low media water content did not induce flowering, but 100 ppm paclobutrazol as soil drench produced more flowers at earlier stage. Pollen viability was highest at 45 min. after blooming (MAB) and declines sharply after 60 MAB. Stigma receptivity presumably occurred at the time when secretion was produced and the stigma tip was transparant, however the precise time is yet to be investigated further. Keywords: Paclobutrazol, pollen viability, rhizome, stigma receptivity, water content media.
282
Induksi pembungaan dan studi fenologi bunga pada tanaman jahe putih besar (zingiber officinale rosc.) Var cimanggu 1
PENDAHULUAN Jahe merupakan tanaman herba tahunan yang tumbuh pada lahan dataran rendah sampai menengah (300-900 m dpl). Di Indonesia dikenal tiga tipe jahe yang didasarkan atas ukuran dan warna rimpang, yaitu jahe putih besar, jahe putih kecil dan jahe merah. Jahe putih kecil dan jahe merah sebagian besar dimanfaatkan dalam industri minuman penyegar dan bahan baku indutri OT, herba terstandar maupun fitofarmaka (Bermawie et al.,2006). Jahe putih besar, di Jawa Barat dikenal dengan nama umum jahe badak tapi di Sumatera disebut jahe gajah. Jahe putih besar mempunyai rimpang yang tumbuh bergerombol pada pangkal batangnya, berdaging dan berukuran tebal serta bercabang tidak beraturan tetap secara normal hanya pada arah vertikal. Ukuran panjang dan lebar rimpang berkisar antara 15,83 – 32,75 cm dan 6,20 – 11.30 cm.Jahe putih kecil ukuran rimpangnya relatif lebih kecil 6,13 – 31,70 cm dan 6,38 – 11,10 cm sedangkan jahe merah 12,33 – 12 60 dan 5,26 – 10,40 (Rostiana et al., 1991). Berdasarkan sitologi, kromosom jahe berjumlah 2n=22 (Ajijah el al., 1997) kecuali pada species Zingiber mioga (Peter et al.,2007). Perbanyakan tanaman jahe umumnya dilakukan secara vegetatif, yaitu dengan menggunakan rimpang berukuran 2,5 – 5 cm, dengan bobot 25 – 60 gram. Perbanyakan vegetatif pada tanaman jahe menyebabkan keragaman genetik jahe sangat rendah. Perbanyakan benih pada jahe secara vegetatif menggunakan rimpang sering menjadi kendala karena masalah penyakit tular benih (Ralstonia solanacearum, nematoda, Fusarium). Selain itu rimpang ukuran besar/ voluminus membutuhkan benih sampai 2-3 ton/ ha, tidak tahan disimpan lama karena vigor dan daya berkecambah benih turun sampai 50 % dalam waktu 3 – 4 bulan (Sukarman et al., 2004 ) juga mengalami kendala pada saat sortasi, pengemasan. Penyediaan benih melalu kultur jaringan mengalami kendala dengan induksi tunas langsung maupun fase kalus (Mariska dan Syahid , 1992) karena menghasilkan tanaman baru yang berimpang kecil (Syahid dan Hobir, 1996). Proses pembungaan pada dasarnya merupakan interaksi dari pengaruh dua faktor besar, yaitu faktor eksternal /lingkungan (suhu, cahaya,kelembaban, curah hujan, unsur hara) dan faktor internal (fitohormon dan genetik). Selanjutnya Ashari (2006) menambahkan bahwa sedikitnya ada 2 unsur yang mempengaruhi pembungaan yaitu : curah hujan dan distribusi hujan dan tinggi tempat dari permukaan laut. Selain unsur iklim di atas, menurut Guslim dalam Nasution (2009) produksi tanaman juga dipengaruhi oleh radiasi matahari dan suhu. Pada musim hujan tanaman melakukan aktivitas maksimal untuk menyerap hara dan air, agar dapat mengakumulasikan cadangan makanan dan menyimpan energi sebanyak-banyaknya sehingga pertumbuhan vegetatif lebih dominan. Suhu tinggi hingga batas ambang tertentu dibutuhkan oleh meristem lateral (primordia bunga) untuk mulai membentuk kuncup-kuncup bunga dan melangsungkan proses pembungaan. Pembungaan di daerah tropis merupakan respon terhadap turunnya status air dalam tanah. Cekaman (stress) air yang diikuti oleh hujan sering merangsang pembungaan tanaman tahunan tropika. (Mugnisjah dan Setiawan,1995). Metabolisme tanaman meningkat sehingga laju fotosintesis bertambah, jumlah karbohidrat yang dihasilkan tentu meningkat. Hal ini dapat terjadi jika jumlah nitrogen pada tajuk tanaman lebih kecil dari karbon. Kondisi itu mungkin terjadi bila tanaman mengalami masa kering sehingga pasokan nitrogen berkurang, sehingga pada beberapa tanaman seperti jambu air, cukup dengan perlakuan stres air tanaman terpacu keluar bunga.(Sandra, 2009). Faktor internal juga berpengaruh besar dalam inisiasi pembungaan, diantaranya yaitu genetik dan fitohormon. Paclobutrazol merupakan salah satu zat pengatur tumbuh yang dapat merangsang terjadinya pembungaan . Paclobutrazol adalah salah satu penghambat biosistesis giberelin, yang digunakan pada pengurangan ukuran pohon, peningkatan produksi kuncup bunga, dan peningkatan panenan buah (Sedgley dan
283
Nurliani Bermawie, dkk.
Griffin, 1989). Paklobutrazol juga berperan sebagai zat perlambat tumbuh yang mengakibatkan bagian–bagian tanaman akan mengecil dan dapat merangsang tumbuhnya bunga. Aplikasi zat pengatur tumbuh ini diperlukan utntuk mempercepat pembungaan tanaman mangga agar mempercepat pembungaan dan meningkatkan keberhasilan penyilangan atau hibridisasi. Aplikasi paclobutrazol dapat merangsang pembungaan mangga 57-83 hari setelah aplikasi (Husen dan Ishartati, 2007). Paclobutrazol dan Atonik merupakan zat pengatur tumbuh untuk perbaikan kualitas dan kuantitas bunga. Penggunaan paclobutrazol ternyata efektif terhadap pembungaan mangga, apel, dan melati (Purnomo et al., 1989 ; Herlina et al., 2001). Pemberian paclobutrazol pada jahe hias „ Chiang mai Pink” dengan dosis 20 mg/pot dapat mempercepat keluarnya bunga pertama dari pada tanaman kontrol (Maria et al, 2001). METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian direncanakan dilakukan mulai bulan Januari 2010 sampai Desember 2010 di rumah kaca, Laboratorium Benih, Kelti Plasma Nutfah dan Pemuliaan, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik di Bogor, dan Laboratorium Zoologi LIPI Cibinong. Tahap dan Metode Penelitian Penelitian terdiri dari dua percobaan, yaitu percobaan 1: Induksi Pembungaan Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc), dan percobaan 2 : Studi Fenologi Bunga Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc) Percobaan 1. Induksi Pembungaan Jahe Rimpang yang akan digunakan untuk benih harus sudah tua minimal berumur 9 bulan. Ciri-ciri rimpang tua antara lain kandungan serat tinggi dan kasar, kulit licin dan keras tidak mudah mengelupas, warna kulit mengkilat menampakkan tanda bernas. Rimpang yang terpilih untuk dijadikan benih, sebaiknya mempunyai 2 - 3 bakal mata tunas yang baik dengan bobot sekitar 50- 60 g untuk jahe putih besar. Untuk mencegah infeksi bakteri, dilakukan perendaman didalam larutan antibiotik (pasta dithama) dengan dosis anjuran, kemudian dikering anginkan. Sebelum ditanam rimpang benih ditunaskan terlebih dahulu dengan cara menyemaikan dengan menggunakan media tanam cocopit. di tempat yang teduh. Selama penyemaian dilakukan penyiraman setiap hari sesuai kebutuhan, untuk menjaga kelembaban rimpang. Benih rimpang bertunas dengan tinggi tunas yang seragam 1 - 2 cm siap ditanam (± 1 bulan). Jahe ditanam dalam polybag diameter 30 cm kapasitas 30 kg. Media yang digunakan yaitu : campuran tanah: pasir: pupuk kandang dengan perbandingan 2 : 1 : 1. Media yang telah dicampur, diaduk sampai rata dan disiram dengan fungisida (dithane). Untuk perawatan tanaman selanjutnya berdasarkan Standar Operasional Prosedur Budidaya Jahe, 2009 (SOP) yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik. Pupuk kandang kedua sebanyak 2 kg per tanaman diberikan pada saat tanaman berumur 2 bulan. Pemupukan anorganik dengan menggunakan KCl, Urea dan SP 36 diberikan sebanyak 3x masing – masingnya ± 10 gr per tanaman, pada saat tanaman berumur 1 bulan, 2 bulan dan 3 bulan. Percobaan induksi pembungaan ini terdiri atas 2 kegiatan yakni : 1.
Induksi pembungaan dengan kadar air media yang berbeda
Perlakuan kadar air media ditentukan dengan menetapkan kapasitas lapang dan titik layu permanen media tanam dilakukan dengan menggunakan alat “ Pressure Plate Apparatus” dan “Pressure Membran Apparatus “ masing-masing pada pF 2,54 dan pF
284
Induksi pembungaan dan studi fenologi bunga pada tanaman jahe putih besar (zingiber officinale rosc.) Var cimanggu 1
4.20. Dari hasil perhitungan didapatkan kadar air media pada kondisi kapasitas lapang yaitu 47,98 % dan titik layu permanen adalah 32,32 %. Kadar air tersedia adalah selang antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Kadar air tersedia digunakan untuk menentukan level kadar air media dalam penelitian. Induksi pembungaan (cekaman kekeringan) diberikan pada saat tanaman berumur 4 bulan dimana pertumbuhan vegetatif jahe sudah baik sampai tanaman berumur 6 bulan Percobaan ini disusun dalam rancangan acak kelompok satu faktor dengan 4 ulangan dan masing-masingnya terdiri dari 5 sampel. Faktor merupakan perlakuan kadar air media (KAM) yang terdiri atas enam taraf yaitu kadar air kapasitas lapang (K1) yaitu 48-49 % sebagai kontrol, K2= kadar air media 45-46 %, K3 = kadar air media 42-43 %, K4 = kadar air media 39 – 40 %, K5 = kadar air media 36-37 %, K6 = kadar air media 33-34 %.. Dengan demikian seluruhnya terdapat 6 perlakuan sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Total populasi tanaman 150 polybag dengan tanaman pinggir Pengamatan dilakukan terhadap ; waktu bunga pertama keluar (HST), jumlah bunga, lamanya bunga bertahan, panjang tangkai bunga (spika), panjang spika , jumlah braktea/spika,jumlah bunga /bractea ,jumlah tunas, tinggi tanaman, diameter batang, dan biomas. Pengamatan terhadap parameter pertumbuhan ( jumlah tunas, tinggi tanaman dan diameter batang) dilakukan setiap 2 minggu setelah aplikasi diberikan. Pengamatan mutu rimpang jahe pada saat panen umur 9-10 bulan (kadar pati dan serat) bobot rimpang per rumpun, kadar air rimpang. Data hasil percobaan 1 dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam dengan taraf kepercayaan 95%. Uji nilai tengah dilakukan dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) jika hasil uji F menunjukkan perbedaan yang nyata 2.
Induksi pembungaan dengan pemberian retardan paclobutrazol Induksi pembungaan mulai diberikan pada saat tanaman berumur 4 bulan dimana pertumbuhan vegetatif jahe sudah baik. Aplikasi perlakuan dilaksanakan yaitu dengan cara menyiramkan retardan (paclobutrazol) sesuai perlakuan sebanyak 500 ml pada bagian pinggir rimpang dan diulang setiap 2 minggu sekali selama 5 kali. Percobaan ini disusun dalam rancangan acak kelompok satu faktor dengan 4 ulangan dan masing-masingnya terdiri dari 5 sampel. yaitu 0(kontrol), 20 ppm, 40 ppm, 60 ppm, 80 ppm dan 100 ppm. . Dengan demikian seluruhnya terdapat 6 perlakuan sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Total populasi tanaman 150 polybag dengan tanaman pinggir Pengamatan dilakukan terhadap ; waktu bunga pertama keluar (HST), jumlah bunga, lamanya bunga bertahan, panjang tangkai bunga (spika), panjang spika, jumlah braktea/spika, jumlah bunga/bractea, tinggi tanaman ,jumlah tunas, tinggi tanaman, diameter batang dan biomas. Pengamatan mutu rimpang jahe pada saat panen umur 910 bulan (kadar pati dan serat), bobot rimpang per rumpun, kadar air rimpang. Data hasil percobaan 2 dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam dengan taraf kepercayaan 95%. Uji nilai tengah dilakukan dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) jika hasil uji F menunjukkan perbedaan yang nyata Percobaan 2. Studi Fenologi Bunga Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc) Pengamatan dilakukan sejak inisiasi bunga (spika/kuntum) mulai terjadi, bunga mekar sampai bunga layu. Pengamatan meliputi : 1. Pertumbuhan tanaman, biologi bunga dan struktur braktea Pengamatan pertumbuhan tanaman, dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan kadar air media terhadap tinggi tanaman, diameter batang, dan jumlah tunas. Pengamatan biologi bunga untuk mengetahui HSP (hari setelah perlakuan) bunga muncul, dimulai dari inisiasi bunga, bunga setengah mekar, bunga mekar penuh dan bunga layu. Karakteristik bunga dilakukan pengamatan dengan parameter adalah jumlah bunga, panjang bunga, panjang dan lebar labelum, panjang dan lebar kepingan mahkota, panjang dan lebar kelopak bunga, warna mahkota bunga, panjang pistil, panjang kotak
285
Nurliani Bermawie, dkk.
polen. Pola perkembangan pembukaan bractea diamati sejak braktea kuncup sampai membuka penuh. Spika yang diamati berjumlah 10 tangkai. Pengukuran braktea terdiri dari panjang dan diameter braktea dan jumlah helaian braktea yang terdapat pada setiap spika. 2. Struktur tepung sari dan kepala putik Tepung sari diambil dari bunga yang baru mekar dilapang. Struktur polen dan kepala putik diamati dengan menggunakan mikroskop pemindai elektron (scanning elektron microscope/SEM). Pengamatan dilakukan terhadap bentuk tepung sari, tekstur permukaan dan pori, sedangkan untuk kepala putik diamati tektur permukaaannya. Prosedur persiapan sampel untuk pengamatan menggunakan SEM : spesimen polen dan stigma (bunga segar ) disimpan dalam alkohol 70 % sebelum diproses selanjutnya ( pembersihan, prefiksasi, fiksasi, dehidrasi, pengeringan) yang dilakukan pada suhu 40C, spesimen ditempel pada stub dengan menggunakan double tape, spesimen divakum selama 10 menit untuk mengeluarkan gelembung udara dalam spesimen, spesimen dilapisi dengan emas selama 5 menit, spesimen dimasukkan dalam chamber pada SEM untuk diamati, Pengamatan dilakukan pada 20 KV dengan pembesaran 1000 x untuk melihat bentuk tepung sari dan ada/tidaknya pori, 5000 x untuk melihat tekstur permukaan , 150 x untuk kepala putik 3. Penentuan Masa Reseptif Kepala Putik Untuk menentukan masa reseptif kepala putik, dilakukan pengamatan morfologi bunga secara visual pada kepala putik. Pengamatan morfologi pada kepala putik ditentukan berdasarkan perubahan yang terjadi pada permukaan kepala putik yang dilakukan pada pukul 13.00, 14.00, 15.00, 16.00, dan pukul 17,00 WIB. Masa reseptif kepala putik ditentukan berdasarkan perubahan – perubahan yang terjadi pada permukaan kepala putik yaitu dengan warna dan perubahan permukaan kepala putik 4. Viabilitas tepung sari Pengamatan terhadap viabilitas tepung sari dilakukan dengan pengecambahan tepung sari. Media pengecambahan yang digunakan adalah larutan PGM, sukrosa, aceto carmin dan aniline blue 2% Tepung sari yang diambil merupakan sampel dari tiap kotak sari pada bunga yang berbeda–beda. Pengamatan perkecambahan tepung sari dilakukan 24 jam setelah pengecambahan. Viabilitas tepung sari dihitung berdasarkan persentase tepung sari yang berkecambah (fertil) dengan ciri tepung sari yang telah kerkecambah membentuk tabung sepanjang minimal sama dengan diameter tepung sari. Persentase tepung sari yang tidak berkecambah (steril), periode viabilitas tepung sari ditentukan berdasarkan penurunan viabilitas(tepung sari fertil) Persentase tepung sari fertil : jumlah tepung sari yang berkecambah x 100 % total polen yang diamati Persentase tepung sari steril : jumlah tepung sari yang tidak berkecambah x 100 % total polen yang diamati Data hasil percobaan 2 dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam engan taraf kepercayaan 95%. Uji nilai tengah dilakukan dengan DMRT (Duncan Multiple Range Test) jika hasil uji F menunjukkan perbedaan yang nyata. HASIL DAN PEMBAHASAN Induksi Pembungaan Jahe Putih Besar (Zingiber officinale Rosc) 1. Induksi pembungaan dengan kadar air media yang berbeda Pertumbuhan Tanaman dan Produksi
286
Induksi pembungaan dan studi fenologi bunga pada tanaman jahe putih besar (zingiber officinale rosc.) Var cimanggu 1
Minggu ke-8 setelah aplikasi diberikan mulai terlihat perbedaan tinggi tanaman antar perlakuan (Gambar 1). Perlakuan media dengan kadar air (KAM) 48-49% menghasilkan tinggi tanaman yang paling tinggi yaitu 67.28 cm dan berbeda nyata dengan perlakuan media pada kadar air 39-40 %, 36-37% dan 33-34 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa media dengan kadar air sampai 42 % selama 8 minggu tidak mempengaruhi (menghambat) tinggi tanaman jahe, sedangkan kadar air media dibawahnya sudah berpengaruh terhadap tinggi tanaman jahe. Minggu ke-10 setelah aplikasi tinggi tanaman cenderung mengalami penurunan dari pengamatan sebelumnya (8 MSP), hal ini disebabkan karena tanaman mulai memasuki umur 7 bulan setelah tanam, dimana secara fisiologis pertumbuhan vegetatif tanaman jahe sudah mencapai optimal dan pada masa tersebut terjadi pengisian rimpang (pertumbuhan generatif) dan beberapa tanaman sudah mulai luruh terutama tanaman dengan perlakuan kadar air media rendah. Tanaman dengan kadar air media yang rendah lebih cepat luruh dibandingkan tanaman dengan kadar air tinggi. Tunas pada media kadar air 39-40%, 36-37% dan kadar air 33-34% pada 12 MSP telah luruh dan tumbuh tunas baru. Sedangkan tinggi tanaman pada media yang lainnya mengalami penurunan yang disebabkan oleh mulai layunya tunas, yang merupakan awal dari luruhnya tanaman. Tanaman pada kadar air media 42-43 % pada akhir pengamatan ( 14 MSP) telah luruh dan hanya perlakuan dengan kadar air media 45-46 dan 48-49 yang belum luruh sampai akhir pengamatan. Menurut Panggabean (1992) perkembangan rimpang jahe mulai meningkat pada saat jahe berumur 7 bulan hingga akhir panen sampai saat umur 9 bulan. Pada saat itu terjadi penumpukan cadangan makanan di rimpang berupa karbohidrat dan hasil metabolisme sekunder berupa minyak atsiri. 80
Tinggi Tanaman (cm)
70 60
48-49 45-46
50
42-43
40
39-40 36-37
30
33-34
20 10 0 0
2
4
6
8
10
12
14
MSP
Gambar 1 Tinggi tanaman selama 14 MSP pada kadar air media yang berbeda Pengaruh kadar air media terhadap diameter batang menunjukkan bahwa pada 4 MSP terlihat adanya perbedaan diameter batang walaupun tidak nyata antar perlakuan (Tabel 1). Tabel 1. Pengaruh kadar air media terhadap diameter batang selama 14 MSP
KAM(%) 48-49 45-46 42-43
0 9.08 9.00 9.00
Diameter batang (mm) Waktu perlakuan (MSP) Setelah perlakuan (MSP) 2 4 6 8 10 12 14 9.66 9.27 9.22
9.53 a 9.27 ab 8.93 ab
9.19 ab 9.43 a 8.37 bc
8.41 a 8.39 a 7.90 ab
8.05ab 8.56a 8.00ab
7.83 8.39 8.02
7.06 6.81 6.43
287
Nurliani Bermawie, dkk.
39-40 36-37 33-34 KK
9.21 8.46 8.46 7.75
8.58 9.07 9.47 8.01
8.90 ab 8.34 b 8.6 ab 6.92
8.49 bc 7.88 c 7.94 c 6.51
7.84 ab 7.39 ab 7.29 ab 9.32
7.89ab 7.89ab 7.23b 9.31
7.96 7.67 7.07 11.37
6.57 6.19 5.87 9.53
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05 Pada perlakuan kontrol didapatkan diameter tertinggi yaitu 8,41 mm dan setelah itu menurun terus sampai akhir pengamatan, sedangkan diameter terendah terdapat pada perlakuan KAM (36-37%) yaitu 7,29 mm. Diameter batang secara umum menunjukkan penurunan dibandingkan dengan awal pengamatan. Pada 2 MSP diameter batang masih bertambah tapi setelah itu mengalami penurunan. Hal tersebut terjadi karena respon fase pertumbuhan dari tanaman dimana pada umur 4 bulan setelah tanam (BST) pertumbuhan vegetatif mulai membaik, laju pertambahan tinggi tanaman dan jumlah tunas melambat. Pertumbuhan tanaman lebih ditujukan pada pengisian rimpang dan pembungaan. Rendahnya kadar air media mempercepat terjadinya pengurangan pada diameter batang. Mengeringnya batang jahe yang merupakan batang semu dan kemudian mengelupas sehingga mengurangi diameter batang. Pada akhir pengamatan diameter batang antar perlakuan tidak berbeda nyata dan mengalami penurunan diameter yang besar dibandingkan awal perlakuan. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa selama 14 MSP jumlah tunas mengalami fluktuatif, diduga kadar air media yang berbeda belum mempengaruhi jumlah tunas tanaman. Jumlah tunas pada jahe putih besar menunjukkan kenaikan dari awal pengamatan sampai 14 MSP. Penambahan tunas yang tertinggi cenderung terjadi pada 4 MSP dan 6 MSP, dan penambahan tunas yang terbanyak terdapat pada perlakuan kontrol (Tabel 2). Penurunan jumlah tunas mulai terjadi pada 8 MSP, dimana umur tanaman sudah memasuki bulan ke-7 dan pertumbuhan tanaman sudah optimal. Berkurangnya jumlah tunas disebabkan oleh fase pertumbuhan dan perlakuan kadar air media. Kadar air media yang rendah pengurangan jumlah tunasnya lebih banyak dibandingkan kadar air media yang lebih tinggi. Berkurangnya air dalam media mengganggu pertumbuhan tunas baru dan akhirnya layu dan mengering. Tabel 2. Pengaruh kadar air media yang berbeda terhadap jumlah tunas tanaman selama 14 MSP KAM (%) 48-49 45-46 42-43 39-40 36-37 33-34 KK
0 10.61 10.85 8.45 11.45 10.80 11.02 20.01
Jumlah tunas Waktu perlakuan (MSP) 2 4 6 8 12.77 ab 16.45 a 17.45 a 17.03 a 13.70 a 15.83 ab 15.60 ab 14.25 ab 10.25 b 11.50 b 12.05 b 10.72 b 14.50 a 15.40 ab 15.15 ab 14.86 ab 13.50 a 15.0 ab 14.25 ab 13.31 ab 14.07 b 16.30 a 16.25 ab 13.60 ab 15.92 17.72 18.86 19.15
Setelah perlakuan (MSP) 10 12 14 14.11 a 11.70 a 9.75 a 11.28 ab 9.8 ab 6.95 ab 8.98 b 6.88 b 5.32 ab 11.43 ab 7.58 b 7.02 ab 9.20 b 6.40 b 4.80 ab 10.32 ab 6.36 b 4.31 b 25.18 29.96 19.73
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05 Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa kadar air media pada awal pengamatan ( 1 MSP) belum berpengaruh nyata terhadap luas daun (Tabel 3). Perlakuan kadar air media dibawah kapasitas lapang (kontrol) mempengaruhi luas daun tanaman jahe. Luas area daun tertinggi pada akhir perlakuan terdapat pada perlakuan kontrol (KAM 48-49 %), walaupun pada awal perlakuan luas daun tertinggi terdapat pada perlakuan KAM 45-46 % dengan berjalannya waktu dengan pemberian kadar air media yang berbeda maka luas daun jadi berubah dimana kadar air media rendah luas daun mulai menyempit. Lamanya perlakuan yang diberikan
288
Induksi pembungaan dan studi fenologi bunga pada tanaman jahe putih besar (zingiber officinale rosc.) Var cimanggu 1
mempengaruhi luas daun, sama halnya dengan tinggi tanaman. Luas area daun terendah terdapat pada perlakuan KAM 33-34 % yaitu 19.74 cm2 berbeda dengan luas daun perlakuan kadar air media yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan luas daun pada perlakuan KAM 45-49%. Tabel 3. Pengaruh kadar air media terhadap produksi rimpang dan tebal rimpang (9 BST) KAM Berat Tebal rimpang Kadar air rimpang (%) rimpang (gr) (mm) (%) 48-49 425.00 a 26.31 a 88.92 a 45-46 261.50 b 24.36 ab 81.96 d 42-43 226.25 bc 24.43 ab 83.19 cd 39-40 192.75 bc 24.71 ab 84.44.cb 36-37 151.00 cd 22.86 b 85.88 b 33-34 113.75 d 22.22 b 85.59 b KK 21,42 7,64 1.26 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05 Pengamatan berat rimpang, dan tebal rimpang dilakukan setelah panen pada jahe umur 9 bulan setelah tanam (BST) menunjukkan hasil yang berbeda nyata antara kontrol dengan perlakuan lainnya pada paramater berat rimpang (Tabel 3). Berat rimpang yang dihasilkan menunjukkan bahwa kontrol mempunyai berat rimpang tertinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar air media berpengaruh terhadap produksi rimpang dimana semakin rendah kadar air media semakin rendah produksi rimpang yang dihasilkan. Kadar air media mempengaruhi proses fisiologis tanaman secara keseluruhan. Peranan air yang sangat penting tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa secara langsung atau tidak langsung kekurangan air pada tanaman akan mempengaruhi semua proses metaboliknya sehingga dapat menurunkan pertumbuhan tanaman, yang pada akhirnya akan mempengaruhi produksi tanaman. Menurut Lakitan (1995), faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan umbi adalah laju dan kuantitas fotosintat yang dipasok dari tajuk tanaman. Pada tanaman kentang ukuran umbi berbanding lurus dengan pertumbuhan tajuk. Pertumbuhan umbi akan terhenti apabila tajuk tanaman mati, karena pasokan fotosintat yang menopang pertumbuhan umbi berhenti. Tebal rimpang menunjukkan bahwa semakin rendah kadar air media maka tebal rimpang yang diproduksi juga semakin kecil (Tabel 3). Perlakuan KAM 48-49 % mempunyai tebal rimpang yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan KAM dengan kadar air 46-39 % dan berbeda nyata dengan kadar air 38-33%. Hal ini menunjukkan bahwa pada kadar air media diatas 50 % kapasitas lapang belum mempengaruhi ketebalan rimpang secara nyata, walaupun sudah mempengaruhi produksi rimpang per rumpun. Kadar air rimpang tertinggi terdapat pada perlakuan KAM 48 -49 % (kontro)l dan yang terendah pada kadar air media 45-46%. Perlakuan kadar air media rendah yaitu KAM 36-37 % dan 33-34 % mempunyai kadar air rimpang yang cukup tinggi yaitu 85.88 dan 85.59 %, kadar air rimpang tersebut dibawah kadar air rimpang pada kontrol (88.92 %). Pembungaan Perlakuan kadar air media rendah (cekaman) yang diberikan pada tanaman jahe secara umum tidak mampu menginduksi pembungaan (Tabel 4). Tanaman yang berbunga justru yang ditumbuhkan pada kadar air media 48-49% mampu berbunga dengan jumlah bunga 0,35 dan waktu bunga terinisiasi pada 9.62 MSP. Tanaman dengan kadar air media 46-47% juga mampu berbunga dengan waktu bunga
289
Nurliani Bermawie, dkk.
terinisiasi pada 8.3 MSP. Sedangkan tanaman dengan kadar air media yang lebih rendah yaitu kecil dari 45 % tidak mampu menginduksi bunga. Hasil tersebut menunjukkan bahwa induksi pembungaan dengan kadar air media yang rendah yang pada umumnya terjadi pada tanaman buah-buahan tidak terjadi pada tanaman jahe. Panjang tangkai spika berbeda nyata antar media yang dapat menginduksi bunga. Perlakuan media dengan kapasitas lapang yaitu 48-49 % mempunyai panjang tangkai spika mencapai 13.35 cm karena bunga terinduksi tidak langsung dari rimpang tetapi terbentuk tunas vegetatif terlebih dahulu. Waktu yang dibutuhkan untuk terinduksi juga lebih lama. Pada perlakuan kadar air media 45-46%, spika yang terbentuk dalam waktu yang lebih pendek. Tabel 4 Pengaruh kadar air media terhadap waktu bunga teridentifikasi, jumlah bunga dan jumlah rumpun yang berbunga KAM(%) 48-49 45-46 42-43 39-40 36-37 33-34
Waktu spika teridentifikasi (MSP) 9.62 8.3 0 0 0 0
Jumlah spika/rumpun 0.35 0.6 0 0 0 0
Jumlah rumpun yang berbunga 1 0.25 0 0 0 0
Panjang tangkai spika (cm) 13.35 a 3.83 b 0c 0c 0c 0c
2. Induksi pembungaan dengan pemberian paclobutrazol Data pertumbuhan tanaman yang diamati yaitu tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah tunas. Perlakuan paclobutrazol tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman sampai akhir pengamatan (14 MSP). Tinggi tanaman cenderung meningkat sampai 10 MSP dan kemudian menurun. Walaupun tinggi tanaman tidak berbeda nyata antar perlakuan tetapi penambahan tinggi tanaman antar perlakuan berbeda, semakin tinggi kosentrasi paclobutrazol yang diberikan semakin rendah laju pertumbuhan tinggi tanaman (Gambar 2). Pada perlakuan tanpa penambahan paclobutrazol (kontrol) terjadi penambahan tinggi tanaman tertinggi sampai 19.32 cm dibandingkan perlakuan lainnya. Penambahan tinggi tanaman terendah terdapat pada perlakuan paclobutrazol 100 ppm yaitu 14.27 cm. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian paclobutrazol dengan dosis yang berbeda belum menghambat tinggi tanaman tetapi memperlambat tinggi tanaman. Paclobutrazol merupakan zat penghambat pertumbuhan vegetatif, hal tersebut tercapai apabila kosentrasi aplikasi retardan sesuai, adakalanya penambahan paclobutrazol meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah daun dan jumlah cabang. Pengamatan sampai 14 MSP menunjukkan bahwa tanaman jahe belum mengalami luruh walaupun tanaman sudah berumur 7.5 bulan, dapat dilihat dari tinggi tanaman yang masih tinggi. Yadafa (2001) menyatakan bahwa menambahan paclobutrazol 50 ppm dan 100 ppm dapat meningkatkan tinggi tanaman Physalis peruviana L. Menurut Thohirah (2005), penambahan paclobutrazol (20, 40, 60, 80 dan 100 ppm) pada Zingiberaceae (Curcuma alistifolia) dapat menurunkan tinggi tanaman secara nyata antar perlakuan. Semakin tinggi kosentrasi paclobutrazol yang diberikan semakin pendek tanaman yang dihasilkan.
290
Induksi pembungaan dan studi fenologi bunga pada tanaman jahe putih besar (zingiber officinale rosc.) Var cimanggu 1
80
Tinggi tanaman (cm)
70 60
0 20
50
40
40
60 80
30
100
20 10 0 0
2
4
6
8
10
12
14
MSP
Gambar 2. Tinggi tanaman pada konsentrasi paclobutrazol yang berbeda Diameter batang tidak berbeda nyata antar perlakuan dari awal aplikasi paclobutrazol sampai akhir pengamatan (Tabel 5). Pertambahan diameter batang tetap terjadi sampai 4 MSP setelah itu mengalami penurunan. Penambahan diameter batang tersebut terdapat pada semua perlakuan dan tidak berbeda nyata dengan tanpa aplikasi paclobutrazol. Hal tersebut diduga karena pertumbuhan vegetatif sudah mulai melambat, sehingga tidak terjadi penambahan pada diameter batang. Terjadinya penurunan diameter batang disebabkan oleh mengeringnya lapisan terluar batang semu Diameter batang pada 14 MSP mengalami penurunan dibandingkan awal pengamatan kecuali pada kontrol. Tabel 5. Pengaruh kosentrasi paclobutrazol yang berbeda terhadap diameter batang tanaman selama 14 MSP Diameter batang (mm) Kosentrasi Paclobutrazol Minggu Setelah Perlakuan (MSP) (ppm) 0 2 4 6 8 10 12 14 0 7.86 9.27 9.40 9.15 8.56 8.50 8.39 8.33 20 7.92 9.66 9.55 9.21 8.94 8.44 8.20 7.19 40 7.75 9.22 9.37 8.58 8.93 8.66 7.98 7.05 60 7.23 8.58 8.66 8.27 7.98 8.52 8.53 7.49 80 7.51 9.07 9.06 8.34 8.24 8.53 8.29 7.34 100 7.89 9.47 9.42 8.77 8.57 8.10 7.69 7.55 KK 8.11 8.01 7.88 7.88 17.00 8.95 8.21 20.01 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05 Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian paclobutrazol tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas antar perlakuan sampai 14 MSP (Tabel 6). Jumlah tunas mengalami kenaikan dari awal pengamatan sampai 6 MSP. Jumlah tunas terbanyak cenderung terjadi pada 6 MSP pada semua perlakuan dan setelah itu mengalami penurunan. Hal tersebut terjadi pada saat telah dilakukan 4 kali aplikasi penambahan paclobutrazol. Diduga pemberian paclobutrazol mulai berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif yaitu dengan memperlambat tumbuhnya tunas baru.
291
Nurliani Bermawie, dkk.
Tabel 6. Pengaruh kosentrasi paclobutrazol yang berbeda terhadap jumlah tunas selama 14 MSP Jumlah tunas Kosentrasi Paclobutrazol Minggu Setelah Perlakuan (MSP) (ppm) 0 2 4 6 8 10 12 14 0 10.95 15.0 17.10 20.45 19.58 18.98 18.85 a 16.65 a 20 10.85 13.65 16.30 17.65 17.55 16.15 13.25 ab 11.60 a 40 9.45 13.35 15.11 16.93 16.23 14.68 13.25 ab 11.15 a 60 9.05 13.10 15.05 16.75 16.58 15.05 14.32 ab 12.70 a 80 8.75 12.25 14.95 16.35 17.62 16.21 12.35 b 11.37 a 100 9.5 12.50 10 15.28 14.75 13.05 11.76 b 10.91 a KK 22.53 18.69 24.56 20.14 20.87 22.58 26.09 28.99 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05 Perlakuan penambahan paclobutrazol tidak berpengaruh nyata terhadap produksi rimpang (berat rimpang) dan tebal rimpang yang dihasilkan pada saat panen 9 BST. Berat rimpang tertinggi didapatkan pada perlakuan aplikasi paclobutrazol 80 ppm (Tabel 7), sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan 20 ppm. Data tersebut menunjukkan tidak adanya kecendrungan terhadap berat rimpang yang dihasilkan. Terjadinya perbedaan berat rimpang pada perlakuan disebabkan oleh adanya rimpang yang keropos karena terkena serangan lalat rimpang sehingga kesulitan untuk menyimpulkan pengaruh perlakuan penambahan paclobutrazol terhadap produksi rimpang pada saat jahe berumur 9 bulan. Tabel 7.
Pengaruh paclobutrazol terhadap produksi rimpang (berat rimpang , tebal rimpang dan kadar air rimpang.
Kosentrasi Berat rimpang Tebal rimpang (mm) Kadar air rimpang Paclobutrazol(ppm) (g) (%) 0 520 ab 24,90 a 83.35 cd 20 359.59 b 26.05 a 84.18 bcd 40 450.21 ab 25.39 a 87.14 ab 60 508.75 ab 25.22 a 85.31 abc 80 565 a 23.92 a 88.72 a 100 409 ab 24.33 a 81.27 d KK 23.25 8.45 2,14 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05 Serangan lalat rimpang tersebut biasanya terjadi pada rimpang yang tidak tertutupi tanah. Januwati et.al (1991) menyatakan bahwa tanaman jahe dapat terserang lalat rimpang Mimegralla coerulifrons setelah tanaman berumur 5 bulan dimana rimpang sudah terbentuk. Rimpang yang dihasilkan akan menjadi rusak, tetapi kulit rimpang terlihat seperti utuh, sementara dalamnya sudah rusak/ keropos. Kadar air rimpang antar kosentrasi paclobutrazol tidak menunjukkan kecendrungan, kadar air tertinggi didapatkan pada perlakuan paclobutrazol 80 ppm dan yang terendah pada paclobutrazol 100 ppm. Hal tersebut terjadi bukan disebabkan oleh pengaruh paclobutrazol yang diberikan, diduga karena kondisi tanaman di lapang, dimana tanaman yang lebih awal luruh dan belum muncul tunas baru kembali akan mempunyai kadar air yang rendah. Tanaman yang mengalami luruh lebih awal yang dipengaruhi oleh kondisi tanaman sendiri (bersifat kondisional).
292
Induksi pembungaan dan studi fenologi bunga pada tanaman jahe putih besar (zingiber officinale rosc.) Var cimanggu 1
Pembungaan Respon pembungaan yang diamati adalah waktu awal munculnya spika, akhir munculnya spika, jumlah spika yang terbentuk per rumpun dan panjang tangkai spika. Awal dan akhir munculnya bunga Awal munculnya spika dipengaruhi oleh kosentrasi paclobutrazol yang diberikan pada tanaman (Tabel 8) Spika yang paling awal muncul didapatkan pada perlakuan paclubutrazol 100 ppm, yang berbeda nyata dengan perlakuan paclobutrazol 40 ppm. Awal munculnya spika belum menunjukkan perbedaan yang nyata pada paclobutrazol dengan kosentrasi yang lain. Spika terakhir muncul pada perlakuan paclobutrazol 100 ppm dan berbeda nyata dengan perlakuan kontrol ( tanpa penambahan paclobutrazol), tetapi penambahan paclobutrazol kosentrasi lainnya belum menunjukkan perbedaan yang nyata. Tabel 8 Pengaruh kosentrasi paclobutrazol terhadap waktu inisiasi bunga Kosentrasi Awal Akhir Muncul Lama fase Paclobutrazol munculSpika Spika (MSP)* pemunculan (ppm) (MSP)* spika (MSP)** 0 7.33 ab 8.00 b 0.7 20 7.00 ab 10.00 ab 3.0 40 7.66 a 9.66 ab 2.0 60 7.00 ab 9.66 ab 2.7 80 7.33 ab 9.33 ab 2.0 100 6.33 b 10.66 a 4.4 KK 7.1 11.56 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05 *MSP = Minggu Setelah Perlakuan ** data tidak diolah Paclobutrazol merupakan zat penghambat tumbuh yang banyak diberikan pada tanaman, diharapkan zat ini dapat memicu munculnya bunga tidak pada waktunya atau munculnya bunga lebih dini dibandingkan jika tanaman tumbuh secara alami. Paclobutrazol diharapkan dapat mengalihkan pertumbuhan vegetatif menjadi pertumbuhan generatif. Hasil penelitian Thohirah et.al (2005) pada tanaman Curcuma roscoeana menunjukkan bahwa pemberian paclobutrazol 20 ppm dan 40 ppm belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap munculnya spika. Jumlah Spika/rumpun Tabel 9 menunjukkan bahwa pemberian paclobutrazol dengan kosentrasi yang berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah bunga per rumpun jahe secara statistik. Jumlah bunga per rumpun yang paling banyak didapatkan pada perlakuan penambahan paclobutrazol kosentrasi 100 ppm yaitu 3.4. Tabel 9 Pengaruh kosentrasi paclobutrazol terhadap jumlah bunga/spika per rumpun dan panjang spika Kosentrasi Paclobutrazol (ppm) 0
Spika/rumpun
Panjang tangkai spika (cm)
1.53 a
7.40 a
20 40 60 80 100
1.73 a 1.46 a 2.06 a 1.8 a 3.4 a
7.03 a 8.11 a 7.7 a 6.86 a 8.43 a
293
Nurliani Bermawie, dkk.
KK 17.43 21.32 Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05 Sampel yang posisinya ditengah rumah kaca cenderung bunganya sedikit dibandingkan sampel yang posisinya di pinggir. Suhu disekitar tanaman yang berada ditengah lebih tinggi dibandingkan suhu disekitar tanaman yang berada di pinggir, sehingga mengganggu inisiasi bunga yang telah terjadi, yang menyebabkan tunas generatifnya tidak berkembang (mati). Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan vegetatif tanaman yang posisinya ditengah banyak yang daunnya mengering pada bagian pinggirnya. Panjang Tangkai Spika Tabel 9 menunjukkan bahwa pemberian paclobutrazol dengan kosentrasi yang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap panjang tangkai spika. Pada perlakuan pemberian paclobutrazol 100 ppm menunjukkan Hal tersebut tidak mempengaruhi kualitas bunga jahe, karena bunga jahe tidak dimanfaatkan sebagai jahe hias yang harus kelihatan kompak yaitu dengan tangkai bunga yang pendek. Penelitian ini tidak sesuai dengan yang dilakukan oleh Thohirah et.al (2005) pada tanaman Curcuma alismatifolia bahwa pemberian paclobutrazol (20 ppm – 100 ppm) dapat memendekkan tangkai bunga, semakin tinggi kosentrasi paclobutrazol yang diberikan semakin pendek tangkai bunga. BIOLOGI BUNGA Periode pembungaan Waktu berbunga jahe putih besar diamati setiap minggu mulai dari awal tanam sampai tanaman luruh. Pengamatan dilakukan terhadap pertanaman jahe yang merupakan kontrol pada percobaan induksi pembungaan sebanyak 40 rumpun di Bogor dan pertanaman jahe yang ditanam tanpa perlakuan di Cicurug sebanyak 250 rumpun. Tipe mekar perbungaaan pada tanaman jahe tidak terjadi secara serentak, sehingga pemekaran bunga berlangsung satu persatu. Tabel 10 menunjukkan bahwa pertanaman jahe yang di tanam di Cicurug lebih cepat berbunga yaitu bulan ke-4 setelah tanam dan masa terbentuknya spika berlangsung sampai bulan ke-7 setelah tanam. Tabel 10. Periode terbentuknya spika di Bogor dan Cicurug Lokasi Cicurug Bogor
4 14.91 0
Persentase terbentuknya spika Bulan ke 5 6 56.45 23.79 83.09 16.90
7 4.83 0
FENOLOGI PEMBUNGAAN JAHE Pada hari bunga akan mekar dapat ditandai dengan keluarnya ujung kuncup bunga yang lebih panjang (6-8 mm) dari braktea yang warnanya kuning terang. Dalam waktu jam demi jam berikutnya pada hari yang sama pertumbuhan kuncup bunga sangat pesat dan dapat dilihat dengan kasat mata. Kuncup bunga akan keluar dari braktea (merenggang), setelah kuncup bunga keluar maksimal dari braktea bunga mulai mekar, lalu kotak sari pecah, putik mulai melengkungdan kepala putik seakan-akan menyentuh mahkota bunga yang menandakan bahwa kepala putik dalam keadaan reseptif. Keesokan harinya bunga mulai layu, hal ini terjadi 12-18 jam setelah bunga mekar sempurna. Periode bunga mekar sampai layu(terjadi dalam waktu 12-18 jam) B Kuncup bunga keluar 0
294
Induksi pembungaan dan studi fenologi bunga pada tanaman jahe putih besar (zingiber officinale rosc.) Var cimanggu 1
0 B 1 B 2
sempurna Kelopak siap untuk membuka Kelopak mulai terbuka Putik mulai kelihatan Mahkota masih membulat
±72 MSKS
Warna mahkota kelihatan nyata dari luar
±74 MSKS
Kelopak terbagi 3: 1 kelopak besar, 2 kelopak kecil. Warna kelopak kuning muda, mahkota mulai tampak Posisi putik antara mahkota yang besar dan kelopak yang besar Kelopak sudah terpisah
B Putik kelihatan jelas ±76 MSKS 3 B Mahkota terbuka ±87 MSKS Mahkota terbagi 3: 1 besar, 2 kecil 4 B Kotak sari pecah ±93 MSKS Posisi kotak sari di pangkal putik seperti 5 menempel B Putik mulai melengkung ±112 6 MSKS B Kepala putik seakan-akan ±232 Ada cairan bening di kepala putik dan 7 menyentuh mahkota MSKS diduga reseptif B Bunga layu ±12-18 Bunga layu keesokan harinya 8 JSKS Ket: MSKS:menit setelah kuncup keluar sempurna JSKS : jam setelah bunga keluar sempurna
Pengamatan serbuk sari Morfologi Serbuk sari Jahe putih besar berukuran 59,1±8.52 µm x 58,25±5.74 µm, mempunyai bentuk serbuk sari yang bulat di satu sisi dan sisi yang lain berbentuk cekung (Gambar 3 B), tidak mempunyai ornamen dan tidak berpori.(unporate), tekstur permukaan serbuk sari membentuk pola yang teratur seperti jalinan (jala) (Gambar 3 C) dan serbuk sari akan mengalami perubahan bentuk setelah dipisahkan dari tanaman induk (Gambar 3 D) akibat terdehidrasi. Pengamatan Kepala Putik Morfologi kepala putik Lebar kepala putik 708 µm, panjang glandula (bulu2 stigma) 312 µm. Permukaan kepala putik polos( tidak berkerut atau bergelombang). Pengamatan kepala putik dimulai pada saat bunga mulai mekar sampai sampai pk 17.00. Kuantifikasi sekresi permukaan kepala putik dengan menggunakan pipet mikro sulit dilakukan karena cairan sekresi yang terdapat pada permukaan kepala putik terlalu sedikit dan tidak dapat diukur dengan menggunakan pipet mikro sehingga hanya dilakukan secara visual. Sekresi pada permukaan kepala putik terlihat sesaat setelah bunga mekar dan bertambah terus sampai bunga mekar penuh, dimana tangkai kepala putik menyentuh labellum dan mencapai puncaknya saat terlihat seperti ada cairan bening mengkilat pada ujung kepala putik. (Gambar 3 J). Hal tersebut berlangsung tidak lama, karena pada umumnya bunga jahe mekar dari pk13.00 – pk 17.00. Pengamatan dihentikan pada pk 17.00, karena hari sudah mulai gelap dan sulit untuk melihat secara visual perubahan yang terjadi setelah itu. Keesokan harinya bunga jahe sudah layu dan bahkan ada yang langsung gugur. 2. Viabilitas Serbuk Sari Pewarnaan Metode pewarnaan banyak digunakan untuk pendugaan viabilitas serbuk sari karena membutuhkan waktu yang lebih pendek daripada pendugaan dengan menggunakan media perkecambahan polen. Pendugaan viabilitas serbuk sari dengan
295
Nurliani Bermawie, dkk.
pewarnaan aniline blue menunjukkan serbuk sari akan terwarnai biru tua menunjukkan bahwa serbuk sari viabel dan terwarnai merah tua jika menggunakan pewarnaan acetocarmine (Gambar 5). Pendugaan viabilitas dengan menggunakan pewarnaan menghasilkan viabilitas serbuk sari 31- 57%. Pengujian pendugaan viabilitas serbuk sari dengan pewarnaan aniline blue dan acetocarmine menunjukkan bahwa adanya interaksi antara pewarnaan dan waktu perkecambahan (Tabel 11). Kedua pewarnaan yang digunakan dapat digunakan untuk menduga viabilitas serbuk sari jahe. Pendugaan tertinggi didapatkan pada pewarnaan anilinblue dengan waktu perkecambahan 45 menit setelah bunga mekar. Pewarnaan acetocarmin menunjukkan bahwa viabilitas terendah pada 15 menit setelah bunga mekar dan mencapai puncaknya pada menit ke 60 setelah bunga mekar, setalah itu viabilitas serbuk sari menurun. Diduga makin lama waktu setelah bunga mekar setelah menit ke 60, viabilitas serbuk sari akan semakin turun. Tabel 11 Pengaruh interaksi antara pewarnaan dengan waktu pengambilan serbuk sari terhadap pendugaan viabilitas serbuk sari (% daya berkecambah) Waktu pengambilan sampel (MSM) 15 30 45 60 75 Aniline blue 42.41 cd 42.00 cd 57.18 a 51.41 ab 39.47 d Acetocarmin 31.47 e 47.92 cb 50.18 b 53.16 ab 51.0 ab Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf ά =0.05 Pewarnaan
Pengecambahan Media perkecambahan yang diuji yaitu pollen germination medium (PGM), sukrosa 2% dan media Brewbaker & Kwack. Pada media perkecambahan yang digunakan tidak ada serbuk sari yang berkecambah membentuk tabung. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada korelasi antara pendugaan viabilitas serbuk sari dengan menggunakan pewarnaan dengan media perkecambahan. KESIMPULAN Perlakuan cekaman kadar air media tidak dapat menginduksi pembungaan. Tanaman jahe pada kadar air media 45-46 % mampu berbunga, dan pertumbuhan tanaman jahe sudah terhambat dengan kerkurangnya kadar air media. Induksi pembungaan dengan penambahan paclobutrazol dengan kosentrasi berbeda mampu meningkatkan pembungaan. Paclobutrazol dengan kosentrasi 100 ppm memberikan hasil yang terbaik, dimana waktu keluarnya bunga lebih cepat, waktu pembungan yang panjang dan jumlah bunga terbanyak. Pembungaan akan meningkat jika didukung oleh lingkungan tumbuh yang memicu pembungaan. Jahe mempunya masa berbunga 4 BST – 7 BST yang dipengaruhi oleh lingkungan. Lamanya waktu yang dibutuhkan mulai dari insiasi bunga sampai bunga layu 70-80 hari. Morfologi bunga menunjukkan bahwa posisi kotak sari lebih rendah dari kepala putik dan serbuk sari bersifat lengket. Kondisi ini mengharuskan adanya penyerbukan silang diantara tanaman jahe. Serbuk sari mempunyai permukaan yang rata dan tidak mempunyai pori dengan dinding sel yang tebal. Waktu bunga bunga mekar hanya beberapa jam dan kemudian layu. Pada saat bunga mekar tidak ditemukan adanya vektor penyerbuk berupa serangga.Waktu serbuk sari dalam keadaan viabel cukup pendek, 60 menit setelah bunga mekar viabilitas serbuk sari mulai menurun. Kepala putik mempunyai sekresi yang terbanyak ± 2.5 jam setelah bunga mekar . Media perkecambahan serbuk sari yang digunakan (PGM, BK dan sukrosa) belum mampu mengecambahkan serbuk sari sehingga tabungnya tidak terbentuk. Viabilitas tepung sari menunjukkan bahwa setelah 60 menit bunga mekar, viabilitas serbuk sari menurun.
296
Induksi pembungaan dan studi fenologi bunga pada tanaman jahe putih besar (zingiber officinale rosc.) Var cimanggu 1
DAFTAR PUSTAKA Adaniya.S dan Shoda,M, 1998. Variation in Pollen Fertitity and Germination in Ginger (Zingiber officinale Roscoe). J.Japan.Soc.Hort.Sci.67 (6) : 872 – 874, 1998. Ashari,S.1998, Pengantar Biologi Reproduksi Tanaman, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta Bermawie N, Hadad EA, Martono B, Ajijah M, 1997. Plasma nutfah dan pemuliaan. Monograf Jahe No.3. Balittro. Bogor. Bermawie, N., SF Syahid, Nur Ajijah, Susi Purwiyanti, B Martono. 2006. Usulan Pelepasan Varietas Jahe. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor, tidak dipublikasikan. (BPS) Badan Pusat Statistik, 2004. Statistik Tanaman Obat-Obatan dan Hias.Badan Pusat Statistik, Jakarta.36 halaman. Herlina D, K.D. Hatmini dan M.F. Masyhudi. 2001. Peran paklobutrazol dan pupuk KNO3 terhadap induksi pembungaan melati. J. Sainteks Edisi Khusus Oktober 21. p : 189-200. Husen,S dan E Ishartati, 2007. Induksi Pembungaan , Kompatibilitas, dan Karakterisasi Semai, Hibrida Persilangan AntarKultivar Mangga (Mangifera indica.L). Jurnal Akta Agrosia Edisi Khusus No1.html 77 - 85. 2007 Maria del Pilar Paz, Patricia C. Branch and Jeff S. Kuehny,2001. Effect of Light Intensity and PGR application on Growth and Flowering of Ornamental Ginger. Louisiana State University, Dept. of Horticulture, 137 Julian C. Miller Hall, Baton Rouge, LA 70803-2120. Mariska I, Syahid SF. 1992. perbanyakan vegetatif melalui kultur jaringan pada tanaman jahe. Buletin Littri (4) : 1 - 5 Melati dan D.Rusmin.2008. Pengaruh Perlakuan Penyimpanan Terhadap Viabilitas Rimpang Jahe Putih Kecil. Laporan Penelitian Mandiri Balittro T.A 2007.Tidak Dipublikasikan Mugnisjah,W.Q. dan Setiawan, A. 1995, Produksi Benih, Penerbit Bumi Aksara Jakarta, bekerjasama dengan Pusat antar Universitas-Ilmu Hayat, Institut Pertanian, Bogor. Peter,K.V, Ravindran,P.N,Babu,K.N,dan Divakaran,M.2007. Breeding of Spice Crops . Horticulture. Vegetable Science Purnomo S dan P.E.R. Prahardini. 1989. Perangsangan pembungaan dengan paklobutrasol dan pengaruhnya terhadap hasil dan buah mangga (Mangifera indica L) Hortikultura 27 : 16 – 24. Purseglove JW, Brown EG, Green Cl, Robbins SRJ.1981.Spices.Longman Inc, New York.vol II: 447 – 527 Rachman,E. 1998.Biologi Perbungaan Jahe Merah (Zingiber officinale Rosc. Var Rubra). Berita Biologi vol 4, NO 4. Puslibang Biologi-LIPI, : p. 163 - 167 Rostiana O, Abdullah A, Taryono, Hadad EA. 1991. Jenis-jenis Tanaman Jahe. LITTRO.7 (1) : 7-16. Statistik Produksi Hortikultura. 2006. “Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2006 (Angka tetap)”. Dirjen Hortikultura, Dept. Pertanian. Sumeru A. 1995. Hortikultura Aspek Budidaya, Jogyakarta : UI. Press.
297