PEMANFAATAN FOLKLOR SEBAGAI PEMBELAJARAN BERMAKNA DALAM PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
Dwi Sulistyorini
[email protected] Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang Abstrak: Setiap daerah tentunya memiliki folklor. Folklor yang ada di daerah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan bahan ajar bahasa dan sastra. Dengan memanfaatkan folklor yang ada di daerah, maka siswa merasa dekat dengan lingkungannya. Pembelajaran tersebut dapat bermakna karena siswa dapat memahami materi lebih dalam dan tidak hanya sekedar tahu saja. Pemanfaatan lagu daerah, tarian daerah, cerita rakyat dalam belajar bahasa dan sastra dapat mengarah pada pembelajaran yang bermakna dan kontekstual. Kata Kunci: folklor, pembelajaran bermakna, pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Folklor sebagai warisan nenek moyang tentunya dimiliki oleh setiap daerah. Apabila ditelusuri banyak folklor yang ada di Indonesia. Indonesia kaya akan tradisi dan budaya yang tercermin pada folklor dimiliki oleh suku bangsanya. Tradisi dan budaya tersebut tersebar dari Sabang sampai dengan Merauke. Tradisi dan budaya yang ada dalam folklor tentunya menyimpan makna yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup manusia. Selain itu, dalam folklor banyak tersirat nilai moral, etika, maupun pendidikan karakter yang dapat ditauladani. Folklor yang ada di Indonesia ini ada berbagai macam bentuk. Menurut Danandjaja, (1986:21-22), Folklor digolongkan dalam tiga kelompok, yaitu folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan folklor bukan lisan. Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya murni lisan. Folklor lisan, meliputi bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, cerita prosa fiksi (mite, legenda, dan dongeng), dan nyanyian rakyat. Sedangkan folklor sebagian lisan
adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Folklor sebagian lisan, meliputi kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, pesta rakyat, dan lain-lain. Adapun folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk folklor bukan lisan dibagi menjadi dua, yaitu material dan bukan material. Folklor bukan lisan yang berbentuk material, antara lain arsitektur rakyat (rumah asli daerah), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang bukan material, antara lain gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan), dan musik rakyat. Bentuk-bentuk folklor tersebut banyak ditemukan di Indonesia ini. Folklor lisan yang berupa bahasa rakyat tentunya dimiliki oleh setiap suku yang ada di Indonesia. Misalnya di Minahasa Utara mengatakan selamat
119
120, J-TEQIP, Tahun IV, Nomor 2, November 2013
jumpa lagi menggunakan bahasa daerah selamat bakudapa, besok bertemu lagi digunakan bahasa besok bakudapa, di Halamahera Barat mengatakan terima kasih banyak menggunakan bahasa daerah ohu dofu-dofu, makan besar atau pesta menggunakan bahasa daerah oho lamo, di Natuna mengatakan tiketnya habis menggunakan bahasa daerah endok isik dok tiket. Selain contoh tiga daerah tersebut tentunya masih banyak lagi bahasa daerah yang digunakan oleh daerah yang lain. Adapun yang berupa cerita prosa fiksi (mite, legenda, dan dongeng) juga banyak dimiliki oleh setiap daerah yang ada di Indonesia. Misalnya di Minahasa Utara ada cerita legenda Gunung Kelabat, di Ternate ada legenda Danau Tolire, gunung Maitara dan pulau Tidore, di Natuna ada legenda batu Sindu, di Kepulauan Riau ada legenda Batu Rantai Dilanda Todak, dan di daerah lain juga masih banyak cerita legenda dimilikinya. Sedangkan nyanyian rakyat juga dimiliki oleh setiap daerah, misalnya di Jawa Timur ada lagu Rek Ayo Rek, di Irian Jaya ada lagu Apuse, di Menado ada lagu Poco-Poco, di Kalimantan ada lagu Ampar-ampar Pisang, dan masih banyak lagu daerah yang lain. Foklor sebagian lisan yang berupa kepercayaan rakyat dapat dilihat dari sikap dan perilaku masyarakat yang masih mempercayai objek. Misalnya di Maluku Utara anggota masyarakat tidak diperkenankan menangkap ikan pada musim-musim tertentu. Mereka beranggapan bahwa dengan adanya tradisi ini diharapkan memberi kesempatan pada ikan untuk berkembangbiak. Kalau di Talaud Sulawesi Utara ada tradisi Manee. Tradisi ini menangkap ikan besar-besaran atau panen raya ikan di laut. Adapula di Kalimantan Selatan dari Banjarmasin menuju Tabalong, ketika melintasi hutan maka harus menabur beras kuning. Kepercayaan masyarakat yang disebutkan hanya
sebagian kecil saja, tentunya masih banyak keoercayaan masyarakat yang ada di daerah-daerah. Folklor sebagian lisan yang berbentuk teater rakyat, misalnya seni Mendu yang ada di Natuna, kethoprak, ludruk yang ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Adapun bentuk tari rakyat, misalnya di Aceh ada tari Saman, di Bali tari Kecak, tari Perang di Irian Jaya, di Sulawesi Utara ada Popopalo, tari Bedaya di Jawa Tengah, tari Remo di Jawa Timur, tari Gantar, tari Gong di Kalimantan Timur, tari Sekapur Sirih di Jambi, dan masih banyak lagi di berbagai daerah. Folklor bukan lisan yang berupa arsitektur rakyat (rumah asli daerah) dapat dilihat pada rumah adat yang ada di Indonesia, seperti rumah Honai (Irian Jaya), rumah Balileo (Maluku Utara), Bolaang Mangondow (Sulawesi Utara), rumah Lamin (Kalimantan Timur), Sao Ata Mosa Lakitana (Nusa Tenggara Timur), Dalam Loka (Nusa Tenggara Barat), rumah Joglo (Jawa Timur, Kajang Lako (Jambi), Balai Batak Toba (Sumatera Utara), rumah Gadang (Sumatera Barat). Adapun alat music tradisional, antara lain Talempong, Saluang (Kepulauan Riau), Serunai, Sondi (Nusa Tenggara Barat), Tifa (Irian Jaya), Kolintang (Sulawesi Utara), Rifai, Rapa-ii (Aceh), Tuma (Kalimantan Barat), Sampe (Kalimantan Timur), dan Gambus (Jambi). Folklor bukan lisan yang disebutkan di atas hanya sebagian saja, tentunya masih banyak lagi yang dimiliki oleh setiap daerah di Indonesia. Bentuk-bentuk folklor yang telah disebutkan di atas menunjukkan kekayaan keberagaman tradisi dan budaya yang ada di Indonesia. Folklor tersebut tentunya dapat dimanfaatkan untuk pengembangan bahan ajar Bahasa dan Sastra Indonesia maupun bahan ajar mata pelajaran lain. Pemanfaatan folklor yang ada di daerah dapat mengarah pada pembelajaran
Sulistyorini, Pemanfaatan Folklor, 121
bermakna. Pembelajaran bermakna sangat penting karena dekat dengan lingkungan siswa, sehingga siswa mudah untuk memahaminya. PEMBELAJARAN BERMAKNA Pembelajaran bermakna ini sebaiknya diterapkan di sekolah. Guru menggali pengetahuan siswa untuk mengaitkan dengan pengetahuan yang baru. Hal ini tentunya perlu mengontruksi pengetahuan baru dengan mengaitkan pengetahuan yang lama agar bermakna bagi siswa. Dalam hal ini siswa dapat memahami materi lebih dalam tidak hanya sekedar tahu saja. Apabila mereka dapat memahami dengan baik tentunya selalu teringat dalam benaknya. Pemahaman materi sangat penting bagi siswa, hanya saja bagaimana cara guru menyampaikannya. Pembelajaran bermakna sangat tepat jika diterapkan. Salah satu ciri pembelajaran bermakna adalah siswa dapat menjawab apa, mengapa, dan bagaimana. Apabila siswa dapat menjawab apa, mengapa, dan bagaimana tentang materi yang diajarkan oleh guru, maka siswa dapat memahami materi pembelajaran dengan baik. Oleh karena itu, sebaiknya materi pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik siswa, lingkungan siswa, dan kontekstual. Dengan adanya pembelajaran bermakna tersebut, maka siswa berani mengungkapkan pendapat, percaya diri, tanggung jawab karena mereka merasa mampu untuk menjawab apa, mengapa, dan bagiamana. Siswa berani mengungkapkan pendapat, percaya diri, dan tanggung jawab tersebut tentunya berpengaruh pada pembentukan karakter siswa. Hal itu secara tidak langsung dapat membentuk perilaku siswa menjadi karakter diri yang baik. Karakter diri yang baik juga berpengaruh terhadap pembentukan perilaku. Mereka menjadi tanggung jawab, santun, disiplin,
dan berani. Selain itu, apabila materi dalam pembelajaran dikaitkan dengan lingkungan sekitar tentunya terbentuk rasa cinta lingkungan. Pemanfaatan lingkungan dalam pembelajaran dapat mengenalkan siswa terhadap lingkungannya. Sebagai contoh dalam pembelajaran sastra hendaknya siswa dikenalkan terlebih dahulu dengan budaya lokal yang ada di daerahnya. Misalnya para siswa di Jawa Timur terlebih dahulu dikenalkan dengan cerita legenda Tengger (Gunung Bromo) daripada mereka mengenal cerita Sangkuriang. Guru hendaknya pandai memilih materi sastra yang terkait dengan budaya lokal untuk dijadikan sumber belajar. Sumber belajar yang memanfaatkan budaya lokal di daerahnya tentunya sangat mendukung pemahaman siswa terhadap materi pembelajaran. Budaya lokal yang dimanfaatkan untuk bahan ajar pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah folklor. Setiap daerah tentunya memiliki folklor yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Pemanfaatan folklor tersebut dimaksudkan untuk mengenalkan siswa terhadap budaya lokal yang ada di daerahnya. Selain itu, folklor juga mengandung nilai-nilai yang luhur yang tersirat di dalamya. Dalam cerita rakyat, baik berupa legenda, mite, sage, maupun dongeng apabila dikaji mengandung nilai kearifan lokal yang dapat diajarkan pada siswa. Dalam hal ini sebaiknya guru mengajak siswa untuk memahami nilai-nilai yang terkandung pada cerita-ceria rakyat tersebut. Berdasarkan hasil penelitian (Sulistyorini, 2003), dalam cerita rakyat mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dilestarikan. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat itu dapat dijadikan sebagai bahan ajar sastra di sekolah. Dengan memanfaatkan budaya lokal yang ada di daerahnya tersebut
122, J-TEQIP, Tahun IV, Nomor 2, November 2013
tentunya dalam pembelajaran sudah mengarah pada pembelajaran bermakna. PEMANFAATAN FOLKLOR SEBAGAI BAHAN AJAR Folklor yang ada di daerah sebaiknya dilestarikan dengan cara mengenalkannya kepada generasi muda. Pelestarian folklore tersebut agar budaya lokal yang ada di daerah tidak hilang. Pemanfaatan folklor sebagai bahan ajar ini tentunya sebagai upaya untuk menanamkan rasa cinta para siswa kepada budaya lokal daerahnya. Selain itu, agar pembelajaran dapat lebih bermakna karena kontekstual dekat dengan lingkungan siswa. Pengembangan bahan ajar Bahasa dan Sastra Indonesia dengan memanfaatkan budaya lokal tentunya diperlukan strategi tertentu. Strategi yang diperlukan dalam pemanfaatan budaya lokal tersebut tentunya perlu ada pemandu dalam membaca. Ketika guru memanfaatkan cerita rakyat yang ada di daerahnya tentunya perlu mengubah dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia. Selain itu, perlu ada panduan jika ada penggunaan bahasa daerah yang sulit diIndonesiakan. Demikian pula, ketika memanfaatkan kesenian rakyat maupun ungkapan rakyat. Pemanfaatan folklor sebagai bahan ajar ini, diharapkan guru juga menelusuri nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Setelah ditelusuri nilai-nilainya, maka dilihat apakah sudah sesuai dengan karakteristik siswa. Nilai-nilai yang ada dalam folklor tidak sekedar disampaikan begitu saja, tetapi juga perlu dimaknai dan dimengerti oleh siswa. Pemilihan folklor yang berupa cerita rakyat pun juga harus hati-hati, karena ada cerita rakyat yang tidak sesuai dengan karakteristik anak. Contohnya cerita Sangkuriang, cerita Dewi Sumbi yang berisi tentang percintaan orang dewasa. Dalam hal ini, guru sebelum memilih cerita rakyat yang digunakan
sebagai bahan ajar maka perlu dicermati dan dipahami isi ceritanya terlebih dahulu. Pengembangan bahan ajar yang memanfaatkan budaya lokal ini tentunya disesuaikan dengan topik yang akan diajarkan. Pemanfaatan budaya lokal yang ada di daerah sebagai bahan ajar sastra bertujuan sebagai pengenalan budaya bangsa kepada generasi muda melalui pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Dengan pengenalan budaya lokal tersebut diharapkan siswa semakin cinta pada tanah airnya dan melestarikan budaya lokal warisan nenek moyangnya. Budaya lokal tersebut agar tidak hilang, tetapi terus dilestarikan dan dipertahankan. Adanya pemanfaatan budaya lokal tersebut, tentunya siswa juga merasa bangga dan mempunyai rasa memiliki kekayaan budaya daerahnya. PEMANFAATAN FOLKLOR DALAM PENGEMBANGAN BAHAN AJAR BAHASA Indonesia terdiri dari berbagai wilayah kepulauan yang mempunyai suku bangsa tentunya kaya akan budaya. Kekayaan budaya bangsa yang ada di daerah hendaknya diperkenalkan kepada siswa agar kebudayaan tersebut tidak hilang. Budaya daerah yang digunakan sebagai pengembangan materi pembelajaran sebaiknya memanfaatkan budaya daerah yang ada di sekitarnya. Guru-guru di wilayah Menado maupun Minahasa Utara dapat memanfaatkan lagu PocoPoco untuk mengembangkan materi bahasa petunjuk. Gerakan senam PocoPoco tersebut dipraktekkan siswa dengan menggunakan bahasa petunjuk. Misalnya gerakkan kaki kanan dua kali ke kanan, gerakkan kaki kiri dua kali ke kiri, gerakkan kaki mundur dua kali, dan gerakkan kaki maju dua kali, dan seterusnya sesuai dengan gerakkan PocoPoco. Apabila hal ini dilakukan tentunya
Sulistyorini, Pemanfaatan Folklor, 123
siswa merasa senang dan senam PocoPoco tidak asing bagi dirinya. Hal itu merupakan pembelajaran dapat bermakna. Pembelajaran yang bermakna juga tersirat dalam kurikulum 2013. Pada buku teks SMP kelas VII Semester I, ada materi pokok Teks Tanggapan Deskriptif dengan tema Pengenalan Budaya Indonesia. Subtema yang tertulis adalah tari Saman. Pemanfaatan tari Saman dalam materi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia ini menunjukkan adanya pemanfaatan folklor. Apabila hal tersebut terus dilakukan, maka siswa dapat mengenal budaya daerah yang dimiliki bangsa Indonesia. Rasa cinta tanah air dan rasa memiliki seni budaya yang luhur dapat tertanam pada siswa. Pemanfaatan seni budaya daerah, seperti tari Saman tersebut dapat menginformasikan kepada siswa tentang asal tari Saman, pakaian yang digunakan penari saman, dan fungsi tari Saman. Namun dalam pengembangan materi, guru dapat mencari budaya daerah yang berasal dari daerahnya. Dalam pemilihan untuk pengembangan materi tersebut tentunya disesuaikan dengan karakteristik siswa. Hal itu sangat penting sebagai pertimbangan untuk memilih teks bacaan tentang budaya daerah yang akan diberikan kepada siswa. Para guru di daerah Jambi dapat memanfaatkan tari Sekapur Sirih dan kesenian lain yang ada di daerahnya. Apabila di Malang dapat memanfaatkan teks tari Topeng Malangan. Topeng Malangan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengajar materi Teks Tanggapan Deskriptif yang bertemakan Pengenalan Budaya Indonesia. Dalam belajar Teks Tanggapan Deskriptif tersebut siswa diajak untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi, dan mendeskripsikan bagian. Pada bagian identifikasi, siswa menemukan ciri, benda, tanda yang ada pada teks tari Topeng
Malangan tersebut. Pada bagian klasifikasi, siswa dapat mengelompokkan tari Topeng Malangan berdasarkan jenisnya. Adapun pada bagian deskripsi, siswa menggambarkan tari Topeng Malangan dengan jelas sesuai dengan apa yang dilihat pada teks tersebut. Pemanfaatan folklor yang ada di daerah sekitar siswa belajar, maka siswa pun merasa dekat dengan lingkungannya. Selain itu, dapat memudahkan siswa memahami materi yang diberikan.. Adanya pemanfaatan folklor tari Topeng Malangan tersebut, siswa mudah untuk mendeskripsikan tentang tari Topeng Malangan. Mereka dapat menggambarkan tari Topeng Malangan dengan mudah dan jelas. Oleh karena itu, pemanfaatan folklor untuk pengembangan materi pembelajaran sangat baik karena pembelajaran dapat lebih bermakna. Teks tari Topeng Malangan, tari Saman, tari Gambyong, tari Remo, tari Kecak, maupun teks bacaan yang terkait budaya Indonesia dapat dimanfaatkan untuk mengajar materi yang terkait dengan kebahasaan. Pada kurikulum 2013 kelas VII semester I, ketika mengajarkan mengidentifikasi unsur kebahasaan (kata rujukan, kata berimbuhan, kelompok kata, dan konjungsi). Selain itu, juga dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi kalimatkalimat yang berupa deskripsi bagian. Guru dapat memanfaatkan teks bacaan yang terkait budaya daerah sekitarnya. Siswa dapat memahami isi teks bacaan dan menemukan unsur kebahasaan pada teks yang telah dibaca. Unsur kebahasaan tersebut, meliputi kata rujukan, kata berimbuhan, frasa, kata baku dan tidak baku, dan konjungsi. Kata rujukan yang dipelajari pada unsur kebahasaan adalah kata yang dipakai untuk merujuk atau menunjukkan pada sesuatu yang dijelaskan sebelumnya. Katakata yang biasa digunakan sebagai kata
124, J-TEQIP, Tahun IV, Nomor 2, November 2013
rujukan, antara lain ini, itu, di sini, di sana, hal ini, hal itu, di atas. Berikut ini contoh kata rujukan yang ada pada teks Topeng Malangan. Tari Topeng Malangan adalah kesenian khas Malang yang sudah ada sejak abad XX. Tarian ini merupakan hasil perpaduan antara budaya Jawa Tengahan, Jawa Kulonan dan Jawa Timuran. Tokoh Ksatria yang selalu bertindak tenang, suara halus, gerakan halus. Hal itu berbeda dengan tokoh putri yang cenderung sangat halus, feminin, tutur kata sangat pelan. Visualisasi gerak di atas bisa menjadi pembeda antar satu karakter dengan yang lain. Kata ini, itu pada kalimat yang ada dalam teks Topeng Malangan di atas menunjukkan adanya kata rujukan. Kata tersebut digunakan untuk merujuk pada kalimat sebelumnya. Pada unsur kebahasaan juga dipelajari kata berimbuhan. Kata berimbuhan pada unsur kebahasaan adalah kata yang mengalami proses penggabungan kata imbuhan pada bentuk dasar (kata dasar). Menurut Keraf (1987:94), urutan kata-kata berimbuhan yang lebih berhubungan satu dengan yang lain, yaitu prefiks, sufiks kemudian konfiks, dan akhirnya infiks. Prefiks atau awalan, sufiks atau akhiran, konfiks atau gabungan dari dua macam imbuhan atau lebih yang bersama-sama membentuk satu arti (per - an, ke – an, di – kan, me – kan, ber – kan), dan infiks atau morfem terikat yang disisipkan pada sebuah kata (-el,-er,em). Berikut ini contoh kata berimbuhan pada teks Topeng Malangan. a. Prefiks atau awalan Tari topeng Malangan ini dulunya dipakai sebagai ritual dan adat. Grebeg Sabrang, yaitu adegan pengenalan raja Klono bersama para
patih untuk mencari putri yang akan dinikahi. Kemenarikan tarian ini terlihat dari unsur gerakan, keluwesan penari dalam membawakan tariannya. b. Sufiks atau akhiran Gambaran wajah pada topeng yang ditampilkan menunjukkan nilai yang memilah sisi positif-negatif suatu karakter. Pembedaan atribut kostum yang lain adalah tingginya irah-irahan yang dipakai Panji. Kemenarikan tarian ini terlihat dari unsur gerakan, keluwesan penari dalam membawakan tariannya c. Konfiks atau gabungan dari dua macam imbuhan atau lebih yang bersama-sama membentuk satu arti Tarian ini diciptakan oleh Raja Airlangga dari Kediri. Kemenarikan tarian ini terlihat dari unsur gerakan keluwesan penarinya. Gambaran wajah pada topeng yang ditampilkan menunjukkan nilai yang memilah sisi positif-negatif suatu karakter. d. Infiks atau morfem terikat yang disisipkan pada sebuah kata (-el,-er,em) Topeng yang digunakan penarinya berbeda-beda agar dapt menampilkan karakter tokoh dengan gemilang. Selain kata berimbuhan yang dijelaskan di atas, unsur kebahasaan lainnya adalah frasa. Frasa atau kelompok kata adalah gabungan dua kata atau lebih
Sulistyorini, Pemanfaatan Folklor, 125
yang membentuk kata baru. Frasa juga dapat ditemukan pada teks tari Topeng Malangan. Berikut ini contoh frasa pada teks Topeng Malangan. Panji dan para pendampingnya digambarkan dengan wajah yang berwarna cerah, mata sempit, kumis tipis, jenggot tipis. Tata laku tokoh dari kerajaan Sabrang bisa dibedakan dengan
golongan kerajaan Jawa atau Ksatria dan tokoh putri. Mata sempit, tata laku yang dicontohkan di atas sebagai gabungan dua kata atau lebih yang membentuk kata baru. Adapun unsur kebahasaan lainnya adalah kata baku dan tidak baku. Tabel 1 berikut ini merupakan contoh kata baku dan tidak baku yang terdapat dalam teks tari Topeng Malangan.
Tabel 1: Kata Baku dan Tidak Baku
Kata Baku
Kata tidak Baku
dulu
dahulu
jaman
zaman
ijin
izin
Kata baku dan tidak baku dalam unsur kebahasaan perlu dipahami oleh siswa, agar dalam penulisan pada karangan ilmiah tidak menggunakan kata yang tidak baku. Hal ini sangat penting diajarkan karena sebagai dasar untuk menulis dengan memperhatikan tata bahasa yang benar. Selain kata baku dan tidak baku, juga dipelajari kata konjungsi dalam unsur kebahasaan. Kata konjungsi adalah kata yang menghubungkan dua kata atau lebih dalam satu kalimat, dua kalimat, atau kata yang menghubungkan antar paragraf. Kata konjungsi tersebut, antara lain kata dan, tetapi, namun, oleh karena itu, oleh sebab itu. Berikut ini contoh kata konjungsi pada teks tari Topeng Malangan. Tokoh negeri Sabrang digambarkan memiliki wajah merah, memiliki taring, mata melotot, beralis, dan berkumis tebal.
Tarian ini juga perlambang dari sifat manusia. Oleh karena itu, dalam tarian ini digambarkan dalam banyak model topeng yang berbedabeda seperti gembira, sedih, tertawa, dan menangis. Berdasarkan contoh di atas, maka folklor yang ada di daerah sekitar lingkungan siswa belajar dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan bahan ajar materi kebahasaan. Dalam hal ini, pembelajaran kontekstual dan dekat dengan lingkungan siswa. Siswa pun mengerti akan kekayaan budaya yang ada di daerahnya. Tari Topeng Malangan sudah dikenal di mancanegara, sehingga para siswa yang belajar di daerah Malang hendaknya dikenalkan pula dengan tari Topeng Malangan. Hal ini menjadi aneh jika siswa daerah Malang tidak mengetahui keberadaan tari Topeng Malangan. Dengan adanya contoh tersebut, diharapkan para guru juga dapat memanfaatkan budaya di
126, J-TEQIP, Tahun IV, Nomor 2, November 2013
daerahnya sebagai pengembangan bahan ajar dalam pembelajaran bahasa. PEMANFAATAN FOLKLOR DALAM PENGEMBANGAN BAHAN AJAR SASTRA Folklor tentunya telah dimiliki oleh setiap daerah. Folklor sangat baik dimanfaatkan dalam pembelajaran sastra, terutama memanfaatkan cerita rakyat yang ada di daerahnya. Pemanfaatan cerita rakyat tersebut tentunya berfungsi untuk menginformasikan pada siswa bahwa di daerahnya ada cerita rakyat, baik berupa legenda maupun mite. Apabila guru mengambil cerita legenda yang ada di daerahnya dan menunjukkan ada artefaknya, maka siswa mudah untuk memahami materi yang disampaikan karena merasa dekat dengan lingkungannya. Pemahaman materi tersebut sangat penting karena berindikasi pada indikator yang akan dicapai dalam pembelajaran. Hal ini telah terbukti ketika penulis melaksanakan on going di Minahasa Utara. Guru memanfaatkan legenda Gunung Kelabat yang ada di daerahnya. Dalam pembelajaran tersebut, siswa aktif dan semangat untuk mengikuti pembelajaran. Mereka mengerti keberadaan Gunung Kelabat yang ada di daerah Minahasa. Ketika diberikan teks bacaan Gunung Kelabat, mereka antusias untuk membacanya dan memahami isi ceritanya. Hal itu terbukti ketika mengerjakan latihan yang diberikan oleh guru, para siswa dapat menyelesaikan dengan baik dan mendapatkan nilai 85 sampai dengan 100. Fakta di atas menunjukkan bahwa pemanfaatan folklor yang ada di daerahnya dapat mendukung proses pembelajaran dengan baik untuk mecapai tujuan yang diinginkan. Dalam pengembangan bahan ajar terkait materi sastra, khususnya cerita rakyat sebaiknya mengambil cerita dari daerahnya masing-masing. Namun, cerita
rakyat yang ada di daerah tersebut perlu diseleksi terlebih dahulu. Cerita rakyat yang dipilih disesuaikan dengan karakteristik siswa, hindari cerita yang bernuansa kekejaman, balas dendam, cinta kasih erotis, perselingkuhan, dan kekerasan. Berdasarkan hasil penelitian Sulistyorini, dkk (2009) ditemukan 35 cerita rakyat yang ada di 3 kecamatan wilayah Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Namun, setelah dikaji hanya ada 13 cerita rakyat yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan ajar sastra. Cerita yanga ada pada 13 cerita rakyat tersebut sesuai dengan karakteristik sastra anak. Pemilihan cerita rakyat perlu diperhatikan karena akan diungkapkan nilai-nilai luhur yang ada dalam cerita. Dalam cerita rakyat banyak mengandung kearifan lokal yang dapat diajarkan kepada siswa. Nilai moral, etika, dan ajaran yang luhur dalam cerita dapat disampaikan kepada siswa. Sikap dan perilaku tokoh dalam cerita rakyat yang menunjukkan nilai moral yang baik dapat dicontohkan kepada siswa. Dalam cerita Anak yang Dibuang, cerita rakyat dari Sumatera Utara mencontohkan sikap yang baik pada tokoh kakak. Tokoh kakak selalu setia menemani adiknya sepanjang sungai tempat adiknya dibuang oleh orang tuanya. Namun, setelah besar dan sukse, mereka tidak dendam kepada orang tuanya. Demikian pula dalam cerita Batu yang Menangis dari Kalimantan. Dalam cerita tersebut diceritakan anak yang durhaka pada orang tuanya karena tidak mengakui ibunya. Akhirnya ibunya marah dan mengutuknya menjadi batu. Hal yang dapat disampaikan kepada siswa, bahwa sebagai anak seharusnya tetap menyayangi, menghormati orang tuanya apapun keadaannya. Nilai-nilai luhur yang ada dalam cerita rakyat tersebut sangat baik untuk dikaji dan disampaikan kepada siswa. Siswa tidak sekedar menganalis unsur
Sulistyorini, Pemanfaatan Folklor, 127
intrinsiknya saja, tetapi penanaman etika perlu diperhatikan melalui contoh para tokoh yang ada dalam cerita rakyat tersebut. Sebelum guru memberikan cerita rakyat kepada siswa sebaiknya dikaji terlebih dahulu dan menemukan nilai etika yang ada dalam cerita rakyat tersebut untuk disampaikan kepada siswa. Ketika menyampaikan materi pembelajaran sastra terkait cerita rakyat tentunya perlu strategi yang menarik agar siswa tidak bosan. Pembelajaran sastra yang menarik dapat merangsang siswa untuk berpikir kritis dan menyenangkan Sebaiknya guru tidak hanya membaca teks cerita, tetapi guru dapat menggunakan media yang membuat siswa tertarik. Sebagai contoh, guru dapat menggunakan media audio visual atau menggunakan wayang tokoh. Oleh karena itu, perlu ada penyiapan media dan strategi yang menarik ketika mengajar sastra. Penggunaan media pembelajaran yang menarik dalam menyampaikan cerita rakyat sangat mendukung pembelajaran sastra. Pemanfaatan folklor sebagai pengembangan bahan ajar sastra dapat ditulis dalam berbagai bentuk jenis sastra, yaitu prosa, puisi, dan drama. Folklor yang berupa cerita rakyat dapat ditulis kembali dalam bentuk prosa yang mudah dipahami oleh siswa. Selain itu, cerita rakyat yang digunakan sebagai pengembangan bahan ajar tersebut dapat diubah menjadi bentuk puisi atau drama. Hal itu tentunya dapat memperkaya bahan ajar sastra yang digunakan di sekolah. Selain itu, materi DAFTAR RUJUKAN Dananjaja, James. 1986. Folklor Indonesia. Jakarta:Graffiti Press. Keraf, Gorys. 1987. Tata Bahasa Indonesia. Cetakan XI. Ende: Nusa Indah.
yang diajarkan kontekstual dekat dengan lingkungan siswa. PENUTUP Setiap daerah tentunya mempunyai folklor yang sudah disepakati oleh pemiliknya. Folklor tersebut ada tiga kelompok, yaitu folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan folklor bukan lisan. Keberadaan folklor tersebut hendaknya dilestarikan agar tidak hilang. Pelestarian tersebut dengan cara mengenalkan folklor kepada siswa. Folklor tersebut dimanfaatkan sebagai pengembangan bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia. Hal itu tentunya dapat mengarah pada pembelajaran bermakna, karena siswa merasa dekat dengan lingkungannya. Folklor dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan bahan ajar bahasa dan sastra. Teks tarian rakyat, seperti tari Saman, tari Gambyong, tari Kecak, tari Topeng Malangan dapat dimanfaatkan untuk mengajar materi pokok teks tanggapan deskriptif. Sedangkan gerakan senam Poco-poco yang diiringi lagu Pocopoco pula dapat dimanfaatkan untuk mengajar materi melakukan sesuatu dengan bahasa petunjuk. Adapun cerita rakyat dapat dimanfaatkan sebagai pengembangan bahan ajar sastra. Cerita rakyat dapat dimanfaatkan untuk mengajar materi menemukan unsur intrinsik cerita rakyat yang dibaca. Selain itu, cerita rakyat yang ada dapat diubah menjadi puisi dan naskah drama.
Sulistyorini, Dwi.2003. Mitos Masyarakat terhadap Legenda di Kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulungagung. Malang: Lemlit UM.
128, J-TEQIP, Tahun IV, Nomor 2, November 2013
Sulistyorini, Dwi, Rohman, Moch. Abdul, Siswanto, Wahyudi. 2009. Pembelajaran Sastra Melalui Pembelajaran Visual Cerita Bergambar Cerita
Rakyat sebagai Upaya Penanaman Etika Siswa SD di Kabupaten Tulungagung. Malang: Lemlit UM.