REVITALISASI PEMBELAJARAN BERMAKNA DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA SEKOLAH Subanji Jurusan Matematika Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Revistalisasi pembelajaran bermakna dimaksudkan sebagai upaya memperbaharui dan merumuskan kembali konsep pembelajaran bermakna. Rekonseptualisasi pembelajaran bermakna menjadi suatu proses sistematis dan terencana yang dirancang oleh guru untuk membelajarkan siswa secara bermakna. Penerapan pembelajaran bermakna dalam matematika sekolah mampu mendorong siswa: (1) mengonstruksi pengetahuan (materi) baru melalui pengaitan dengan pengetahuan lama, (2) memahami materi lebih dari sekedar tahu, (3) menjawab apa, mengapa, dan bagaimana; (4) menginternalisasi pengetahuan ke dalam diri sedemikian hingga membentuk perilaku, dan (5) mengolah perilaku menjadi karakter diri. Kata kunci: revitalisasi, pembelajaran bermakna, matematika sekolah
Pembelajaran matematika di sekolah masih banyak yang dilakukan dengan langkahlangkah: guru menjelaskan materi, memberi contoh soal dan penyelesaiannya, memberikan soal yang “mirip” dengan contoh, memberikan latihan soal di buku, dan kuis/tes. Dari waktu ke waktu pembelajaran seperti ini yang dilakukan oleh guru, sehingga siswa merasakan matematika sebagai pelajaran yang monoton, menuntut banyak hafalan prosedur atau rumus, dan matematika menjadi pelajaran yang membosankan. Banyak rumus-rumus matematika yang diberikan tanpa adanya penjelasan kenapa rumusnya seperti itu, bagaimana terbentuknya rumus tersebut, dan apakah ada syarat berlakunya rumus tersebut. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru tersebut dapat dikatakan sebagai pembelajaran “kurang” bermakna. Dampaknya adalah menculnya berbagai kesalahan matematika siswa, siswa mengalami kesulitan ketika soal “diubah” meskipun hanya sedikit, dan siswa kesulitan bila menghadapi problem solving. Terjadinya kesulitan dan kesalahan matematika siswa sebagai akibat pembelajaran “kurang bermakna” telah dikaji oleh banyak peneliti (Subanji, 2013; Brodie, 2010; Shein, 2012; Gal & Linchevski, 2010; Bingolbali, dkk, 2010). Subanji (2013) menemukan bahwa kesalahan matematika siswa, antara lain terjadi dalam bentuk kesalahan mengosntruksi konsep, kesalahan dalam bentuk berpikir pseudo benar atau pseudo salah, kesalahan dalam proses analogi, kesalahan dalam bernalar logis, dan kesalahan dalam menetapkan prosedur. Pseudo benar terjadi ketika siswa memperoleh jawaban benar tetapi sebenarnya penalarannya salah. Pseudo salah terjadi ketika jawaban siswa salah, tetapi sebenarnya siswa tersebut mampu bernalar secara benar. Brodie (2010) menjelaskan bahwa kesalahan siswa dalam membangun penalaran matematika meliputi: basic error, appropriate error, missing information, partial insight. Shein (2012) mengkaji pemanfaatan gesture untuk memperbaiki kesalahan matematika siswa. Gal & Linchevski (2010) menemukan bahwa kesulitan siswa dalam representasi geometri mencakup: (1) perceptual organization: Gestalt principles, (2) recognition: bottom-up and top-down processing; and (3) representation of perception-based knowledge: verbal vs. pictorial representation, mental images and hierarchical structure of images. Sedangkan Bingobali, dkk (2010) mengeksplorasi penyebab terjadinya kesulitan matematika siswa berdasarkan pandangan guru, yang meliputi: Epistemological causes, Psychological causes, Pedagogical cause. Lebih lanjut ditemukan bahwa kesulitan siswa antara lain terjadi karena kesulitan memahami konsep, kesulitan mengabstraksi konsep, kesulitan mengaitkan matematika dengan kehidupan seharihari. Salah satu bentuk kesalahan siswa adalah ketika siswa diberi pernyataan 4 x 2 + 3 = 4 x (2 + 3), siswa menyatakan bahwa pernyataan tersebut benar karena sifat komutatif. Kesalahan seperti ini dialami oleh 94 orang dari 391 siswa SMP.
685
Kesalahan siswa tersebut merupakan berpikir pseudo, dia hanya ingat secara samarsamar ada hukum komutatif dalam operasi perkalian. Tetapi tidak tahu persis bagaimana berlakunya sifat komutatif tersebut. Dia hanya ingat bahwa ada sifat komutatif dalam operasi penjumlahan atau perkalian. Namun konteks yang ada kurang sesuai jika digunakan sifat komutatif, karena sifat komutatif menyatakan bahwa a + b = b + a. Kesalahan yang lain terjadi ketika siswa diberikan pernyataan: “suatu segitiga siku-siku dengan sisi-sisi seperti pada gambar di bawah ini,
maka rumus phytagoras yang sesuai adalah a2 + b2 = c2. Sebanyak 154 orang dari 391 siswa menjawab benar dengan alasan rumus phytagoras memang seperti itu. Hal ini menunjukkan bahwa sisw hanya hafal rumus phytagoras tetapi tidak bermakna. Konteks yang seharusnya dipenuhi tidak menjadi perhatian, sehingga terjadi kesalahan. Kesalahan seperti ini terjadi karena siswa salah dalam mengonstruksi konsep phytagoras. Kesalahan lain yang banyak terjadi adalah ketika siswa diberi pernyataan + = , sebagian besar (174 orang dari 391 siswa) SMP kelas IX menjawab benar dengan alasan sama dengan menjumlahkan 3 + 3. Beberapa alasan dari siswa disajikan seperti berikut.
Alasan siswa: karena
Alasan siswa: karena
sama halnya 3 + 3 = 6
karena
Alasan siswa: karena jenisnya sama maka
dapat dijumlahkan dan hasilnya
Kesalahan konstruksi operasi akar bilangan terjadi karena siswa menganalogikan sifat bilangan akar dengan sifat bilangan biasa. Proses berpikir siswa cukup sederhana, menstranformasi sifat operasi bilangan bulat. Hal ini menunjukkan adanya kesalahan konsep operasi bilangan akar kuadrat. Kesalahan juga terjadi pada operasi bentuk aljabar. Siswa menjawab salah pernyataan 2x + 3y = 5xy. Namun alasan yang diberikan bahwa kesalahan terjadi karena 2x + 3y belakangnya tidak sama jadi harus dijumlah menjadi 2x + 3y = 5x + y. 686
Siswa menjawab secara benar, namun alasan yang diberikan salah. Hal ini menunjukkan bahwa proses berpikir siswa adalah pseudo benar. Siswa menjawab benar tetapi sesungguhnya berpikir siswa tersebut adalah salah. Kenyataannya masih sangat banyak siswa yang mengalami kesalahan matematika. Kesalahan matematika siswa perlu mendapatkan perhatian serius, karena kalau tidak segera diatasi, kesalahan tersebut akan berdampak secara beruntun ke masalah matematika berikutnya. Untuk memperbaiki kesalahan siswa perlu menelusuri sumber kesalahannya dan mengubah pembelajaran “kurang” bermakna menjadi “pembelajaran yang bermakna”. Karena pembelajaran bermakna akan membawa situasi terjadinya belajar bermakna pada diri siswa. Belajar bermakna (meaningful learning) pada awalnya dikembangkan oleh Ausubel. Dalam hal ini, Ausubel menjelaskan bahwa seorang siswa dikatakan belajar secara bermakna apabila siswa tersebut dapat mengaitkan antara apa yang dipelajari (pengetahuan baru) dengan apa yang sudah diketahui (pengetahuan lama). Belajar bermakna menggambarkan proses seseorang dalam mengonstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan akan terbentuk secara baik apabila ada kaitan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. Sedangkan pembelajaran bermakna merupakan upaya menciptakan terjadinya belajar bermakna dan melanjutkan proses internalisasi pengetahuan menjadi perilaku dan karakter diri. Pembelajaran bermakna tidak hanya berhenti pada terbentuknya pengetahuan, tetapi lebih jauh membentuk pengetahuan menjadi perilaku dan karakter diri siswa. Karena itu perlu revitalisasi terhadap konsep pembelajaran bermakna. Dalam hal ini belajar bermakna terjadi pada proses pembelajaran bermakna. REVITALISASI PEMBELAJARAN BERMAKNA Revitalisasi pembelajaran bermakna dimaksudkan untuk memberikan kekuatan baru, atau memperbaharui konsep pembelajaran bermakna. Makna dari “pembelajaran bermakna” dirumuskan kembali dengan memperluas jangkauan keterlibatan komponen-komponen dalam proses pembelajaran. Suatu pembelajaran tentunya melibatkan siswa sebagai pebelajar dan guru sebagai pembelajar. Berkaitan dengan hal tersebut, pembelajaran bermakna tidak hanya mengaitkan materi baru dengan pengetahuan lama, tetapi diperluas dengan melihat peran dari masing-masing komponen, yakni guru dan siswa. Pembelajaran bermakna dipandang dari sisi guru, terkait dengan bagaimana peran guru agar terjadi belajar bermakna bagi siswa. Dipandang dari sisi siswa, terkait dengan “bagaimana proses siswa belajar, mulai dari mengonstruksi pengetahuan baru sampai terbentuknya karakter dalam diri siswa. Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses sistematis dan terencana yang dirancang oleh pembelajar (guru) untuk membelajarkan siswa sehingga siswa mampu: (1) mengonstruksi pengetahuan (materi) baru melalui pengaitan dengan pengetahuan lama, (2) memahami materi lebih dari sekedar tahu, (3) mampu menjawab apa, mengapa, dan bagaimana; (4) menginternalisasi pengetahuan ke dalam diri sedemikian hingga membentuk perilaku, dan (5) mengolah perilaku menjadi karakter diri. Dalam hal ini peranan guru adalah (1) mengaitkan materi yang diajarkan dengan pengetahuan lama yang dimiliki oleh siswa, (2) menjadi pembangkit belajar, (3) memberikan scaffolding ketika dibutuhkan oleh siswa, dan (4) menjadi pemicu berpikir bagi siswa. Revitalisasi pembelajaran bermakna yang dikembangkan dalam Teachers Quality Improvement Program (TEQIP) disajikan pada Diagram 1.
687
Diagram 1. Revitalisasi Pembelajaran Bermakna
Pembelajaran bermakna yang dikembangkan di TEQIP sebagai perluasan dari meaningfull learning yang dicetuskan oleh Ausubel. Selain bisa mengaitkan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru, juga sangat penting bahwa dalam belajar siswa harus paham lebih dari sekedar tahu sehingga bisa menjawab apa-mengapa-bagaimana. Sebagai akhir dari tahapan proses belajar adalah pengetahuan yang sedang dipelajari oleh siswa harus bisa terinternalisasi menjadi perilaku dan akhirnya terbentuk karakter diri yang baik. Dalam pembelajaran, tidak cukup jika guru hanya menjadi pengajar atau penyampai informasi. Karena guru bukan merupakan satu-satunya sumber belajar yang mengetahui segala hal yang dibutuhkan oleh siswa. Begitupula guru tidak cukup jika hanya “memfasilitasi” siswa untuk belajar. Peran sebagai fasilitator berarti pemberi fasilitas (LKS, Buku, soal latihan, dan sebagainya) sehingga siswa bisa belajar. Peran guru perlu berkembang dari sekedar pengajar atau fasilitator menjadi pembangkit belajar, pemicu berpikir, dan pemberi scafollding. Sebagai pembangkit belajar, disamping memfasilitasi siswa untuk belajar, guru juga perlu menyusun suatu strategi sehingga siswanya bisa bangkit dan aktif untuk belajar. Sebagai pemicu berpikir, guru harus menyediakan masalah yang menantang dan menarik untuk dipecahkan tetapi terjangkau oleh pemikiran siswa. Untuk bisa mewujudkan pembelajaran bermakna, maka tidak cukup jika siswa hanya mendengarkan informasi dari guru atau hanya melihat tayangan yang diberikan oleh guru. Siswa perlu melakukan aktifitas yang mendukung terjadinya proses belajar. Sehingga harapan agar pembelajaran bisa menjadi perilaku dan karakter diri bisa diwujudkan. Peran guru berubah dari “memberi/mengajar” menjadi “fasilitator, pendiagnosis, pendorong, pengarah, dan pembentuk inisiator” . Guru juga menjadi pembangkit belajar dan pemicu berpikir. Hal ini sesuai dengan penjelasan Ticha dan Alena (2006). This means, in a very simplified way, that education should move from the mere transmission of information, instructions and algorithms in the teaching/learning process to cognising, experiencing, acting, communicating... and developing a thirst for self-education. This approach requires changes in the teacher‟s role that promote new dimensions and become more demanding. The teacher becomes a facilitator, diagnostician, promoter, guide to knowledge and initiator. 688
Telah banyak hasil penelitian (Bray, 2011; David S. Bolden, dkk, 2010; Eva Thanheiser, 2010; Hill, 2010; Kim Agatha, 2009; Janson & Spitzer, 2009; Marsigit, 2007; Yoshida,1999; Lin & Cooney, 2001; Mason, 1998; Silver, Mills, Castro, Ghousseini, & Stylianides, 2005; Spilkova´ , 2001) yang menunjukkan bahwa perlu adanya upaya keras untuk bisa mengubah perilaku guru dari penyampai atau pemberi pengetahuan menjadi pembangkit belajar bagi siswa. Praktik Pembelajaran Bermakna pada Matematika Sekolah Praktik pembelajaran bermakna pada matematika sekolah disajikan di tiga contoh praktik ongoing kegiatan Teachers Quality Improvement Program (TEQIP) 2013 di Sabang, Pidie dan Manggarai Barat. Praktik pembelajaran matematika di sabang dan pidie dilaksanakan di sekolah dasar. Sedangkan praktik pembelajaran matematika di Manggarai Barat dilakukan di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Pembelajaran bermakna bidang studi matematika sekolah dasar di Sabang Guru membelajarkan siswa tentang materi jaring-jaring kubus. Pembelajaran diawali dengan menggali pengetahuan awal siswa dengan mengadakan tanya jawab dengan siswa. G: anak-anak masih ingatkah, apa yang dibawa oleh ibu guru ini? (guru membawa bangun ruang kubus dan balok). S: balok dan kubus bu. Yang di kiri kubus dan yang di kanan balok G: Apa bedanya bangun kubus dan balok? (guru berperan sebagai pemicu berpikir) S: Kalau kubus semua sisinya sama berbentuk persegi, kalau balok ada sisinya yang berbentuk persegi panjang. G: sekarang kita coba membuka kubus ini. Ayo bu guru minta tolong, salah satu membuka kubus ini! (Guru sudah mendesain kubus yang dibawa bisa dibuka menjadi jaring-jaring kubus). Salah satu siswa maju membuka kubus sehingga membentuk jaring-jaring. Dalam kegiatan ini siswa mengaitkan pengetahuan lama (kubus dan sisi pembentuknya) dengan pengetahuan baru (jaring-jaring kubus). Dari dialog tersebut, terlihat bahwa pengetahuan lama siswa sudah cukup untuk membangun pengetahuan baru. Guru melanjutkan kegiatan pembelajaran dengan membentuk siswa dalam beberapa kelompok, masing-masing kelompok 4-5 orang. Masing-masing kelompok diberi lembar kerja dan satu model kubus. Guru mengulang kembali kegiatan memodelkan jaring-jaring kubus dari hasil kubus yang dibuka oleh siswa dan dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan. G: mungkinkah bisa dibuat jaring-jaring kubus bentuk lain? Dengan kubus yang sudah kalian terima, buatlah jaring-jaring kubus berbeda sebanyak-banyaknya! Pengajuan pertanyaan tersebut menunjukkan bahwa guru berperan sebagai pembangkit belajar dan pemicu berpikir bagi siswa. Dengan pemberian pertanyaan dan pembagian lembar tugas tersebut dapat memicu siswa berpikir dan dilanjutkan dengan melakukan percobaan-percobaan yang mengarah pada model-model jaring-jaring kubus. Dalam hal ini siswa terkondisikan dalam kegiatan belajar sambil mengalami atau sering disebut learning by doing. Dengan melakukan percobaan dan menemukan sendiri jaring-jaring kubus, siswa menjadi paham (lebih dari sekedar tahu) dan akan mampu menjawab apa, mengapa, dan bagaimana terbentuknya “jaring-jaring kubus”. Di sela-sela kegiatan belajar siswa, guru memonitoring dan memberi schaffolding dengan mengarahkan siswa untuk menemukan bermacam-macam jaring-jaring kubus. Dalam kegiatan diskusi terjadi sharing, berdebat, bernegosiasi antar siswa dan membuat keputusan jawaban yang harus diajukan sebagai hasil kerja kelompok. Hal ini menunjukkan adanya internalisasi nilai-nilai 689
pengetahuan ke dalam perilaku dan menjadi karakter diri, yakni siswa menjadi orang yang bersifat terbuka, menghargai pendapat orang lain, dan mengambil keputusan berdasarkan kesepakatan. Di akhir pembelajaran guru meminta siswa menyajikan hasil kerjanya dan mendiskusikan secara klasikal. Diskusi dilakukan dengan membandingkan hasil kerja berbagai kelompok. Dan akhirnya siswa memperoleh berbagai model jaring-jaring kubus.
Pembelajaran bermakna bidang studi matematika sekolah dasar di Pidie Pembelajaran luas daerah persegi dan persegi panjang dilakukan dengan praktik menutup suatu daerah dengan persegi satuan. Di kegiatan awal guru menggali pengetahuan siswa terkait dengan persegi dan persegi panjang. G: Anak-anak, bangun apa yang dibawa oleh bu Guru ini? (Guru membawa bangun persegi dan persegi panjang) S: di tangan kiri persegi, di tangan kanan persegi panjang G: siapa yang tahunapa yang membedakan kedua bangun ini? S: kalau persegi semua sisinya sama, persegi panjang sisi panjang dan lebarnya tidak sama panjang. Dialog tesebut menunjukkan adanya aktifitas guru menggali pengetahuan awal siswa untuk dijadikan sebagai bahan membangun pengetahuan baru, yakni luas daerah. Guru juga berperan sebagai pemicu berpikir dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa perbedaan persegi dan persegi panjang. Kegiatan guru berlanjut dengan memodelkan luas daerah dengan mempraktikkan menutup daerah persegi dan persegi panjang dengan menggunakan persegi satuan. Kegiatan ini digunakan untuk membangun pengetahuan siswa tentang luas daerah, bahwa hakekatnya luas daerah adalah banyaknya persegi satuan yang menutup suatu daerah. Siswa menjadi paham lebh sari sekedar tahu. Kegiatan berlanjut dengan guru memfasilitasi siswa untuk belajar dengan praktik (learning by doing). Guru memberi bahan-bahan media untuk praktik menemukan luas daerah persegi dan persegi panjang. Siswa bebas berkreasi untuk menempelkan persegi satuan ke persegi dan persegi panjang dan dilanjutkan dengan menentukan luasnya dengan menghitung banyaknya persegi satuannya. Dalam hal ini peran guru sebagai pembangkit belajar bagi siswanya. Guru memfasilitasi siswa supaya terjadi proses belajar secara bermakna. Dalam kegiatan ini siswa bisa berkreasi dengan menyusun persegi satuan secara bebas di papan yang sudah disediakan. Guru juga berperan sebagai pemberi scaffolding ketika terjadi proses diskusi. Beberapa siswa yang mengalami kesulitan dibimbing oleh guru sampai bisa memperoleh jawaban yang diinginkan. Kegiatan akhir pembelajaran, guru meminta siswa untuk menampilkan hasil kerja kelompoknya dan menjelaskan berapa luas daerah persegi dan persegi panjang. Berbagai bentuk persegi panjang dihasilkan oleh siswa. Ini menunjukkan bahwa guru memberi kesempatan kepada siswa untuk berbeda pendapat dalam menyelesaikan suatu masalah. Perbedaan jawaban siswa dijadikan sebagai bahan untuk memperkuat konsep luas daerah persegi panjang dan 690
mendorong terjadinya internalisasi pengetahuan menjadi perilaku. Siswa akan terbiasa dan menghargai perbedaan pendapat. Dengan kegiatan praktik menyusun luas daerah, siswa menjadi benar-benar memahami hakekat luas daerah dan bisa menjawab apa luas daerah, mengapa luas daerah menggunakan satuan persegi, dan bagaimana membangun konsep (rumus) luas daerah persegi panjang. Kegiatan pembelajaran dengan praktik menemukan luas daerah mencerminkan terjadinya learning by doing. Pembelajaran Bermakna bidang studi Matematika SMP di Manggarai Barat Praktik pembelajaran matematika di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Manggarai Barat mencerminkan terjadinya pembelajaran bermakna. Guru membelajarkan materi “menggambar grafik fungsi linear”. Kegiatan dimulai dengan memodelkan titik dan garis menggunakan media kreatif. Guru juga melakukan tanya jawab dengan siswa untuk mengungkap pengetahuan awal untuk dikaitkan dengan pengetahuan yang akan dikonstruksi oleh siswa. G: anak-anak kalau kita ingin meletakkan titik A(1,2) di bidang koordinat ini, di mana letaknya? Siswa belum menjawab, karena masih berpikir dan kelihatannya masih bingung. Sehingga guru melanjutkan pertanyaan. G: kalau kita memiliki titik A(1,2), apa maksud dari bilangan 1 dan 2 di sini. Karena siswa masih diam, maka guru melanjutkan dengan memberikan scaffolding. G: perhatikan! A(1,2) berarti posisi A berada pada satu satuan dari titik pusat ke arah kanan dan dilanjutkan dengan dua satuan ke atas. G: sekarang tentukan letak titik B(4,6) dan C(-1,3). Siapa yang mau menunjukkan? Dengan pernyataan guru tersebut, seorang siswa maju mencoba menunjukkan letak titik B dan C. Jawaban siswa sudah tepat dan guru memberi penguatan sekaligus mengecek pengetahuan siswa yang lain. Karena dirasa siswa sudah bisa menentukan koordinat titik, maka kegiatan bisa dilanjutkan mendemonstrasikan grafik fungsi linear. G: Perhatikan! Kalau kita punya titik D(3,-4) dan titik E(2,0), maka kita bisa meletakkan titik D dan E dimana? Kalau kita sudah menetapkan letak titik tersebut, selanjutnya kita bisa menghubungkan menjadi garis seperti ini. Untuk memperkuat pemodelan yang sudah dilakukan, guru melanjutkan dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa untuk digambarkan grafiknya. Setelah siswa bisa menggambarkan grafik dari dua titik yang sudah ditentukan, kegiatan dilanjutkan dengan menggambar grafik dengan fungsi yang sudah ditentukan. G: misalkan kita memiliki fungsi y = 2x – 6. Coba tebak apakah titik (1,-4) dilalui oleh fungsi tersebut? Ingat bahwa titik (1,-4) artinya x = 1 maka nilai y harus -4. Kalau x = 1 disubstitusikan diperoleh y = 2.1 – 6 = -4. Ini berarti (1,-4) dilalui oleh grafik fungsi y = 2x – 6. Guru mempertanyakan lagi apakah titik (2,4) dilalui oleh kurva y = 2x – 6. Siswa mencoba menjawab dengan mensubstitusikan nilai x = 2 dan diperoleh y = -2. Ini berarti (2,4) tidak dilalui oleh kurva y = 2x – 6. Setelah siswa memahami makna suatu titik dilalui atau tidak oleh suatu fungsi, kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan menegaskan bahwa suatu titik dilalui oleh suatu kurva jika titik tersebut memenuhi persamaan kurva. Untuk mempermudah mencari titik yang dilalui oleh 691
suatu kurva biasanya ditetapkan x = 0 dan y = 0. Sebenarnya tidak harus demikian, bisa saja ditentukan dua nilai x dan disubstitusikan sehingga memperoleh dua titik. Namun demikian guru memilih cara menentukan dua titik yang dilalui oleh kurva dengan menetapkan x = 0 an y = 0. G: misalkan kita memiliki fungsi y = 2x – 6. Kita bisa menggambarkan grafik fungsinya dengan menentukan terlebih dahulu dua titik yang dilalui oleh fungsi tersebut. Perhatikan jika x = 0, maka apa yang terjadi dengan nilai y? Guru memodelkan jika x = 0, maka y = 2.0 – 6 = -6. Jadi titiknya (0,-6). Jika y = 0, maka 0 = 2x – 6 dan diperoleh x = 3. Ini berarti titiknya (3,0). Dengan ditentukan dua titik tersebut, guru memodelkan menggambarkan garis dalam koordinat kartesius. Kegiatan selanjutnya guru meminta siswa untuk membuat grafik dari fungsi yang sudah diberikan. Guru memfasilitasi siswa dengan lembar kerja dan media yang berupa keras manila, benang, dan malem (untuk menempel benang). Begitu diberikan lembar kerja, siswa langsung merespon dengan mempelajari masalah yang ada di Lembar Kerja Siswa (LKS). Siswa memahami apa yang diinginkan dalam lembar kerja dan merencanakan penyelesaian. Mereka mencoba mengerjakan secara bersama-sama. Ketika siswa sudah memahami maksud dari masalah di LKS, mereka mencoba melanjutkan mengambil media kertas karton. Karena diminta menggambar grafik fungsi, sementara dalam media kertas karton belum ada skalanya, maka siswa mencoba membuat skala dengan memanfaatkan penggaris yang dimilikinya. Ada satu kelompok yang tidak memiliki penggaris, sementara meraka harus membuat skala yang sama pada kertas karton. Ada seorang siswa yang mencoba membuat inisiatif dengan menggunakan tutupnya ballpoin untuk membuat skala. Setelah menyusun skala, siswa melanjutkan dengan menentukan dua titik yang dilalui oleh grafik fungsi yang diberikan. Siswa ternyata lebih menyukai menentukan dua titik dengan mencati titik potong sumbu-X dan titik potong sumbu-Y. Di akhir pembelajaran, guru meminta semua kelompok menyajikan hasil kerjanya di papan tulis. Guru memantapkan konsep yang dipelajari hari itu dengan mengajak siswa untuk membandingkan hasil kerja masing-masing kelompok. Dalam hal ini guru berperan sebagai pembangkit belajar dan pemicu berpikir. Hal yang menarik bahwa hampir semua kelompok menyajikan grafik yang berbeda, padahal masalahnya sama. Hanya satu kelompok yang memperoleh jawaban tepat. Kesalahan ini terjadi karena siswa lebih menangkap prosedur menentukan titik potong sumbu-X dan sumbu-Y. Sehingga ketika menentukan nilai x dengan y = 0, siswa banyak mengalami kesalahan prosedural menghitung. Pengaruh guru yang menekankan bahwa mencari titik yang dilalui oleh kurva lebih mudah dilakukan dengan menentukan nilai y dengan x = 0 dan menentukan nilai x dengan y = 0. Padahal bentuk fungsinya tidak mudah untuk ditentukan nilai x ketika nilai y = 0. Meskipun pembelajaran sudah dilakukan secara bermakna, namun ada sedikit yang menjadi masalah dalam proses pembelajaran tersebut, yakni penekanan guru yang “agak berlebihan” dalam menentukan 2 titik yang paling mudah adalah itik potong sumbu-X dan titik potong sumbu-Y. 692
KESIMPULAN Dari pembahasan dapat disimpulkan: (1) revitalisasi konsep pembelajaran bermakna menjadi hal penting agar dapat secara utuh memandang pembelajaran dari sisi guru dan siswa. (2) dalam proses pembelajaran guru perlu membelajarkan murid dengan memodelkan sehingga mempermudah pengaitan pengetahuan lama dengan pengetahuan baru, guru sebagai pembangkit belajar, pemicu berpikir, dan pemberi scaffolding. (3) Penerapan pembelajaran bermakna dalam matematika sekolah mampu mendorong siswa: (a) mengonstruksi pengetahuan (materi) baru melalui pengaitan dengan pengetahuan lama, (b) memahami materi lebih dari sekedar tahu, (c) menjawab apa, mengapa, dan bagaimana; (d) menginternalisasi pengetahuan ke dalam diri sedemikian hingga membentuk perilaku, dan (e) mengolah perilaku menjadi karakter diri. DAFTAR RUJUKAN Amanda Jansen & Sandy M. Spitzer, 2009. Prospective middle school mathematics teachers‟reflective thinking skills: descriptions of their students‟thinking and interpretations of their teaching. J Math Teacher Educ (2009) 12:133–151 Bingobali, dkk, 2010. Pre-Service and In-Service Teachers‟ Views of the Sources of Students‟ Mathematical Difficulties. International Electronic Journal of Mathematics Education. Vol 6 no 1. Bray, W.S., 2011. A Collective Case Study of the Influence of Teachers' Beliefs and Knowledge on Error-Handling Practices During Class Discussion of Mathematics. Journal for Research in Mathematics Education. Number 1 Vol 42: 2 - 38 Brodie, karin, 2010. Teaching Mathematical Reasoning in Secondary School Classrooms. Springer New York Dordrecht Heidelberg London David S. Bolden & Tony V. Harries & Douglas P. Newton, 2010. Pre-service primary teachers‟ conceptions of creativity in mathematics. Educ Stud Math (2010) 73:143–157 Eva Thanheiser, 2010. Investigating further preservice teachers‟ conceptions of multidigit whole numbers: refining a framework. Educ Stud Math (2010) 73 Gal & Linchevski, 2010. To see or not to see: analyzing difficulties in geometry from the perspective of visual perception. Educ Stud Math (2010) 74:163–183 Hill H.C., 2010. The Nature and Predictors of Elementary Teachers' Mathematical Knowledge for Teaching. Journal for Research in Mathematics Education. Number 5 Vol 41: 513 545 Kim A.R., 2009. Provision of in-service training of mathematics and science teachers in Botswana: teachers‟ perspectives. J Math Teacher Education. No 12: 153-159. Mason, J., 1998. Enabling teachers to be real teacher: Necessary levels of awareness and structure of attention. Journal of Mathematics Teacher Education, 1, 243–267. Spilkova´ , V. 2001. Professional development of teachers and student teacher through reflection of practice. The New Hampshire Journal of Education, 4, 9–14. Subanji, 2006. Pseudo Penalaran Kovariasi dalam Mengkonstruksi Grafik Fungsi Kejadian Dinamik: Sebuah Analisa Berdasarkan Kerangka Kerja VL2P dan Implikasinya pada Pembelajaran Matematika. Jurnal Ilmu Pendidikan Jilid 13 Nomor 1, Februari 2006
PENINGKATAN INTERAKSI MULTI ARAH PADA PEMBELAJARAN KOOPERATIF DALAM KEGIATAN LESSON STUDY SUATU UPAYA MELALUI KONFERENSI KASUS BERSIKLUS Hendro Permadi Jurusan Matematika Universitas Negeri Malang Abstrak: Salah satu upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru, dapat dilakukan dengan kegiatan lesson study, dari berbagai kegiatan pendampingan lesson study diberbagai kabupaten penulis selalu menemukan adanya kondisi dimana siswa kehilangan konsentrasi belajarnya (tidak memperhatikan temannya ketika melakukan presentasi kelompok, diam
693
saja/tidak berinteraksi dengan temannya atau sumber belajar ketika diskusi kelompok, asyik bekerja lain, dan lain lain). Kondisi semacam ini bukan 100 % karena kesalahan pada model pembelajaran yang diterapkan oleh guru yang umumnya menggunakan cooperatif learning, ataupun karena guru kurang menguasai kelas. Penulis mengamati dalam model pembelajaran kooperatif memang ada celah bagi siswa untuk kehilangan kesempatan untuk berinteraksi multiarah (interaksi dengan teman satu kelompok, teman antar kelompok, interaksi dengan sumber belajar, interaksi dengan guru). Pada makalah ini, akan mencoba memberikan wacana alternatif bagaimana strategi yang harus dilakukan guru dalam pembelajaran untuk meminimalisir siswa tidak berinteraksi. Alternatif tersebut dengan menggunakan Strategi Pembelajaran Konferensi Kasus Bersiklus. Diharapkan dengan strategi ini siswa lebih banyak berinteraksi multiarah seperti harapan pada kurikulum 2013 yang menuntut perlunya peningkatan efektivitas pembelajaran, yaitu: (1) efektivitas interaksi, (2) efektivitas pemahaman, dan (3) efektivitas penyerapan. Kata kunci: Lesson study, kooperatif, konferensi kasus bersiklus
PENDAHULUAN Lesson study (dalam bahasa Jepang Jugyokenkyu) merupakan salah satu bentuk upaya pengembangan profesional. Jika dipandang sepintas lesson study tampak sederhana, namun jika dipelajari lebih dalam akan ditemui kerumitan kerumitannya. Pada mulanya lesson study dikembangkan di Jepang, dimana sekelompok guru mengkaji secara sistematis dan kolaboratif praktek-praktek pembelajaran mereka, agar diperoleh pemahaman yang lebih baik (daripada disajikan definisi). Selama ini pembina terlibat dalam pendampingan lesson study di beberapa kabupaten hampir sebagian besar mengacu pada bagaimana tujuan pembelajaran yang telah dibuat pada RPP dapat terlaksana, padahal seharusnya Tim lesson study memilih suatu fokus tertentu tentang keterampilan guru yang ingin ditingkatkan. Kemudian mereka memilih satu pokok bahasan untuk dipelajari secara seksama. Mereka harus sepakat tentang apa yang akan mereka inginkan dari pelajaran ini. Pertanyaan inti yang harus diajukan adalah “What do we want students to know and be able to do when this lesson is concluded? yang kalau diterjemahkan menjadi “KALAU PELAJARAN INI SUDAH BERAKHIR, KITA BERHARAP SISWA KITA BISA DAN MAMPU MELAKUKAN APA?” Hal ini serupa dengan proses assessment pada produk dari sebuah pembelajaran di kelas, dimana ketika pembelajaran selesai dilakukan, kompetensi siswa dinilai berdasarkan pengalamannya selama belajar, informasinya dapat dinilai atau di ases melalui produknya. Fokus yang bisa diangkat dalam lesson study misalnya: (a) Kemampuan bertanya yang menggiring, (b) Kemampuan mengajukan pertanyaan High Order Thinking Skill (HOTS), (c) kemampuan pengelolaan siswa yang efisien, (d) kemampuan meningkatkan interaksi multiarah. (e) kemampuan pemilihan strategi yang bervariasi, (f) kemampuan memanfaatkan media atau lainnya. Sedangkan pokok bahasan yang dipilih adalah salah satu topik matapelajaran yang sedang atau akan diajarkan dalam semester itu. Hal terpenting dalam lesson study adalah dampaknya pada siswa sebagai akibat meningkatnya profesionalisme guru setelah lesson study. Misal kita menginginkan siswa kita mempunyai kompetensi mengungkapkan secara tertulis alasan mengapa suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara, maka dalam lesson study harus dipilih suatu focus tertentu tentang keterampilan guru mana yang harus dikembangkan agar siswa memiliki kemampuan seperti di atas dan bagaimana secara teknis kemampuan ini diterapkan dalam pembelajaran di kelas, HAL INILAH YANG JARANG ATAU BAHKAN TIDAK TERSENTUH SAMA SEKALI. Pada makalah ini ada sedikit ide yang akan diungkapkan fokus yang mestinya dapat diambil yaitu : Kemampuan pengelolaan siswa yang efisien dan kemampuan meningkatkan interaksi multiarah. Pada pihak lain sering terjadi dalam pembelajaran kooperatif ketika salah seorang siswa melakukan presentasi didepan atau menempel karya kelompoknya, siswa dalam kelompok lain baik secara individu maupun kelompok tidak memperhatikan (asyik dengan pekerjaan sendiri). Siswa memiliki model tersendiri dalam kelompok kecil bagaimana situasi, aktifitas hubungan metakognisi antara anggota kelompok satu dengan lainnya dalam mengatasi masalah yang diberikan Marta T. Magiera Marquette & Judith S. (2011). Sedangkan dalam kurikulum 2013 dituntut perlu ditingkatkan efektivitas pembelajaran, yaitu: (1) efektivitas interaksi, (2) efektivitas pemahaman, dan (3) efektivitas penyerapan. Untuk meningkatkan efektivitas interaksi, perlu diciptakan iklim akademik, budaya sekolah, serta 694
manajemen dan kepemimpinan yang baik. Untuk meningkatkan efektivitas penyerapan, pembelajaran yang mengedepankan pengalaman personal melalui observasi (menyimak, melihat, membaca, mendengar), bertanya, asosiasi, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan perlu dikedepankan. Di samping itu, diperlukan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap kemampuan proses, nilai dan pengetahuan serta kemampuan menilai diri sendiri. Coutney A. Suzanne M. Wilson. Traci Higgins (2010) melakukan penelitian, bagaimana guru sebagai fasilitator dan isu tentang bagaimana interaksi diterapkan dalam pengembangan kemampuan guru matematika untuk mengajar. Ellen E.Kr, Jerry L.B, L. Adams, Anthony Rickard etc, (2012) menyatakan bahwa suplement kurikulum memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pemahaman banyak konsep, kelompok-kelompok sekolah dan nilai ujian siswa. Berdasarkan uraian di atas betapa pentingnya strategi pembelajaran untuk membantu calon guru matematika meningkatkan dalam meningkatkan interaksi siswa dalam setiap tahapan skenario pembelajaran, sehingga proses penyerapan atau penguasaan konsep suatu materi pelajaran lebih mudah di terima oleh pebelajar. Salah satu upaya tersebut adalah dengan mengembangkan strategi pembelajaran konferensi kasus bersiklus untuk meningkatkan interaksi multi arah dalam pembelajaran. HASIL OBSERVASI Dalam kegiatan lesson study yang diikuti penulis pada On going I, di Kecamatan Tabukan Tengah Kabupaten Sangihe Sulawesi Utara dengn Kompetensi dasar Memahami Pengertian dan Notasi himpunan, serta penyajiannya, Kelas VII (tujuh) di Sekolah SMP Negeri I Tabukan Tengah dengan Indikator yang ingin dicapai adalah siswa mampu : 1. Menyatakan masalah sehari-hari dalam bentuk himpunan 2. Menyebutkan anggota himpunan dan bukan anggota himpunan 3. Menggunakan notasi anggota himpunan dan notasi bukan anggota himpunan 4. Membedakan antara kumpulan yang merupakan himpunan dan kumpulan yang bukan himpunan Temuan dikemukakan oleh Leonard Bensuil, S.Pd terjadinya interaksi karena siswa mendapat lembaran kegiatan sehingga menyebabkan hampir keseluruhan siswa dalam kelompok terlibat bekerja (aktif) kecuali siswa no. 25 dan Siswa no. 28 sedang temannya aktif. guru memancing siswa dengan pertanyaan SBY presiden ke beberapa. Sedangkan penulis menemukan Siswa no 26 tersebut masih belum mengetahui konsep himpunan dan bukan himpunan dari soal no 3 yang ditanyakan. Sedangkan siswi no 10 tersebut membersihkan kuku karena yang presentasi ada dibelakang, (ketika presentasi hanya berdiri saja dari tempat semula, ada kemungkinan siswi no 10 malas melihat kebelakang, lebih baik membersihkan kuku. Ini dilakukan sampai presentasi 3 kelompok
Dari gambar terlihat bahwa ketika satu kelompok presentasi, kelompok yang lain tidak memperhatikan, sehingga tidak ada interaksi antar kelompok dan pengelolaan yang dilakukan oleh guru dalam mengelolah siswa kurang efisien. Pada kegiatan lesson study yang diikuti penulis pada On going 3, di Kecamatan Bunguran Timur Kabupaten Natuna dengan Kompetensi dasar Mengidentifikasi bangun – bangun datar yang sebangun dan kongruen. Kelas VII (tujuh) di SMP Negeri I Bunguran 695
Timur dengan Indikator yang ingin dicapai adalah siswa mampu : Mampu menentukan syarat dua bangun datar yang sama dan sebangun atau kongruen. Rencana pembelajaran yang disusun oleh Tim Lesson Study meliputi: (1) kegiatan pendahuluan, (2) kegiatan inti, (3) dan kegiatan penutup. (1) Dalam kegiatan pendahuluan guru: Membuka pelajaran dengan salam, (b) guru mengkondisikan peserta didik untuk belajar (c) apersepsi: Apersepsi : Guru menyampaikan tujuan pembelajaran kepada peserta didik untuk dicermati oleh seluruh peserta didik adapun tujuan pembelajaran sebagai berikut. 1. Peserta didik dapat mendiskusikan dua bangun yang sama dan sebangun atau kongruen melalui model bangun datar 2. Peserta didik dapat mendiskusikan dua bangun datar sama dan sebangun atau kongruen 3. peserta didik menemukan dan dapat menyebutkan syarat-syarat dua bangun datar yang kongruen (d) guru memberikan pretes untuk mengingatkan siswa tentang perbandingan. (2) Dalam kegiatan inti guru: Eksplorasi: (a) Peserta didik dibagi menjadi 6 kelompok sesuai komposisi gender, masingmasing kelompok terdiri dari 5 siswa hanya ada kelompok yang terdiri atas 7 siswa. (b). Selanjutnya kelompok-kelompok yang ada diminta membuat satu bidang datar pada kertas manila yang telah disediakan oleh guru dan mengguntingnya kemudian ditempel pada kertas manila lain untuk membuat satu lagi. (c). Langkah selanjutnya kelompok-kelompok siswa diminta untuk menempel 2 bangun datar tersebut apakah tepat saling menutupi atau saling berimpit. (d). Masing-masing kelompok berusaha menjawab pertanyaan yang diberikan guru yaitu: (1) unsur-unsur apa sajakah yang sama jika dua bangun yang sama dan sebangun. (2) sebutkan dua buah syarat agar dua bangun datar sama dan sebangun atau kongruen. (e) Masing-masing perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusinya, kelompok yang lain memperhatikan dengan seksama dan menanggapi apabila ada hasil diskusi kelompok yang belum benar karakter tanggung jawab (e). Peserta didik mengkomunikasikan secara lisan mengenai apa itu kongruen, dua bidang datar yang mempunyai 2 sudut yang sama dan 2 sisi yang sama, tetapi siswa kesulitan untuk menyatakan “yang bersesuaian” (f). Guru menginformasikan kepada siswa bahwa dua bidang datar dikatakan kongruen jika memiliki sudut yang bersesuaian sama besar dan sisi yang bersesuaian sama panjang. Temuan pada kegiatan pendampingan lesson studi oleh penulis 1. Siswa pada kelompok 4 ada satu siswa yang hanya melihat saja. Kelompok tiga, dua siswa perempuan yang mengobrol dan main-main. Ketika kelompok lain presentasi masih ada anak yang main sisa kertas. Kelompok 3 mengobrol masalah diluar pelajaran ketika kelompok 6 presentasi 2. Hampir semua kelompok dapat menyatakan besar sudut sama besar dan sisi-sisinya sama panjang tetapi belum bisa menemukan bahasa “ yang bersesuaiaan “ sehingga ketika 3 kelompok melakukan presentasi semua kurang sempurna. Baru dengan adanya penguatan dari guru mereka mengerti tentang hal tersebut.
Pada kegiatan lesson study yang diikuti penulis pada On going 3, di Kecamatan Bodok Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat dengan Kompetensi dasar Melakukan operasi hitung bilangan pecahan. Kelas VII (tujuh) di SMP Yos Sudarso Panindu Kec Bodok dengan 696
Indikator yang ingin dicapai adalah siswa mampu : Menyelesaikan operasi hitung tambah, kurang, kali, dan bagi pada bilangan pecahan. Temuan pada kegiatan pendampingan lesson studi oleh penulis, 1. Interaksi terjadi ketika guru memberikan pertanyaan kepada siswa contoh bilangan pecahan. Sebagian ada 4 orang yang menjawab masih salah (8, 6, 12, 9) ada yang menjawab bilangan yang dapat dibagi 2. Baru ada yang menjawab ½, ¼. Ketika dibagikan LKS dan spidol interaksi sebagian terjadi pada masing-masing kelompok (1 kel 2 siswa), ada 2 kelompok yang diam saja tidak tahu apa yang harus dilakukan. 2. Ada seorang siswa yang terganggu dalam belajar, padahal dia duduk pada deretan kedua dari depan, siswa ini tidak melakukan interaksi baik dengan teman, sumber belajar maupun guru.
ALTERNATIF PEMECAHAN Pada kegiatan lesson studi On going I, Penulis menyarankan guru seharusnya menyuruh kelompok yang akan menyajikan hasil dilakukan didepan kelas sehingga kelompok yang lain lebih fokus, dan jawaban didata dan ditulis dipapan, kemudian dikonfrontasi kekelompok lainnya, barangkali ada jawaban dari kelompok lain yang berbeda, dan dapat ditemukan ketika ditulis didepan, sehingga 6 presiden Indonesia dapat ditemukan. Demikian pula tidak perlu semua kelompok menyajikan hasil diskusi semuanya. Pada kegiatan lesson studi On going III, penulis menyarankan seharusnya guru model cepat tanggap, mestinya yang duduk sendirian cepat-cepat digabung dengan kelompok lainnya. Kelompok yang tidak kebagian spidol dapat diatasi dengan satu kelompok hanya satu spidol dikombinasi dengan pencil atau fullpen. Melakukan tutor sebaya kelompok yang bisa dapat membantu kelompok yang masih kesulitan. Demikian pula meskipun guru sudah melakukan pendekatan kepada kelompok yang terganggu dengan memberikan bimbingan tetapi hanya yang bagian depan saja dari 18 kelompok, dan waktu terlalu cepat tidak diberikan kesempatan kelompok yang belum bisa untuk berpikir, atau mencoba memecahkan. Guru model seperti ditarget untuk menyelesaikan semua materi operasi bilangan pecahan (penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian), seharusnya guru model hanya fokus untuk penjumlahan dan pengurangan pecahan. Suatu alternatif strategi pemyampaian dan pembagian kelompok dapat dilakukan dengan Strategi Pembelajaran Konferensi Kasus Bersiklus (Strategi ini masih dikaji oleh penulis sendiri) dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Saat awal pembelajaran guru membuka pembelajaran dengan menyampaikan maksud dan tujuan dilaksanakan konferensi kasus dan permintaan komitmen dari para siswa untuk membantu menyelesaikan kasus yang diberikan, serta menyampaikan pendapatnya menyelesaikan setiap kasus yang diberikan. siswa diberi kasus/tugas oleh guru, dimana setiap kelompok siswa mendapatkan masalah yang berbeda sesuai dengan jumlah siswa dalam kelompok. Misalkan ada 4 siswa dalam setiap kelompok maka guru memberi 4 kasus yang berbeda (ada 4 kasus, misalnya kasus no 1,2,3,dan 4) mereka diminta untuk mengerjakan sendiri, kemudian mendiskusikannya dalam kelompok tersebut. Seperti nampak pada Gambar 1. berikut:
697
Gambar 1. Menyelesaikan Kasus dengan Berdiskusi dikelompok Asal
2. langkah selanjutnya setiap siswa yang menyelesaikan kasus no 1. untuk setiap kelompok berpindah ke kelompok lain berputar searah jarum jam dan memaparkan hasil pekerjaan dari kelompok asal sementara siswa lain mendiskusikan dan memberi tangggapan, masukan dan kontribusi persetujuan Setelah berdiskusi atau mungkin juga berdebat, maka selanjutnya konferensi menyimpulkan beberapa rekomendas/keputusan berupa alternatif-alternatif penyelesaiaan, seperti Gambar 2.
Gambar 2. Berpindah secara Berputar searah Jarum jam menyampaikan Penyelesaian Kasus di kelompok Kecil Lain
3. Apabila ada perbedaan pendapat pada kasus no 1 tersebut maka masing-masing siswa yang mengerjakan kasus no 1 membentuk kelompok baru (sementara) untuk mencari penyelesaian dibawah bimbingan guru, sementara itu siswa lain yang bekerja untuk kasus no 2 melakukan hal yang sama seperti siswa sebelumnya. Jika permasalahan memperoleh kata sepakat maka mereka bisa kembali kekelompoknya lagi (kelompok hasil perpindahan), seperti Gambar 3
698
Gambar 3. Berkumpul-Berputar membentuk kelompok lain (sementara)
4. Langkah berikutnya dengan perpindahan kekelompok lainya, maka akan terjadi berinteraksi antar siswa dengan kelompok yang baru ditempati. Pada tahap ini diharapkan timbul rasa percaya diri, keberanian mengemukakan pendapat, dan tanggung jawab untuk menyampaikan hasil penyelesaian kasu dari kelompok asal pada kelompok kecil lainnya, dan ini dilakukan oleh semua mahasiwa secara bergantian sesuai dengan no kasusnya, seperti Gambar 4.
Gambar 4. Berinteraksi dikelompok kecil lain 5. Di akhir pembelajaran akan terbentuk kelompok asal lagi, dan pembelajaran selanjutnya dapat
ditukar kelompoknya ( kelompok II ditukar dengan kelompok III, kelompok IV menjadi kelompok V ) agar proses interaksinya berganti siswa.
699
“Konferensi kasus bersiklus”
Gambar 5. Kondisi akhir model pembelajaran
KESIMPULAN Umumnya dalam kegiatan lesson study dalam menyampaikan materi guru menggunakan model pembelajaran kooperatif, model ini memang ada celah bagi siswa untuk kehilangan kesempatan untuk berinteraksi multiarah (interaksi dengan teman satu kelompok, teman antar kelompok, interaksi dengan sumber belajar, interaksi dengan guru). Kondisi semacam ini bukan 100 % karena kesalahan pada model pembelajaran yang diterapkan oleh guru yang umumnya menggunakan cooperatif learning, ataupun karena guru kurang mampu mengelola kelas, sehingga yang terjadi siswa kehilangan konsentrasi belajarnya (tidak memperhatikan temannya ketika melakukan presentasi kelompok, diam saja/tidak berinteraksi dengan temannya atau sumber belajar ketika diskusi kelompok, asyik bekerja lain, dan lain lain). Salah satu wacana alternatif bagaimana strategi yang harus dilakukan guru dalam pembelajaran untuk meminimalisir siswa tidak berinteraksi. Alternatif tersebut dengan menggunakan Strategi Pembelajaran Konferensi Kasus Bersiklus. Diharapkan dengan strategi ini siswa lebih banyak berinteraksi multiarah seperti harapan pada kurikulum 2013 yang menuntut perlunya peningkatan efektivitas pembelajaran, yaitu: (1) efektivitas interaksi, (2) efektivitas pemahaman, dan (3) efektivitas penyerapan. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Preparation of Effective Teachers in Mathematics, National Comprehensive Center for Teacher Quality. Beth A. Herbel-Eisenmann and Samuel Otten. 2011. Mapping Mathematics in Classroom Discourrse . JMRE Journal for Research in Mathematics Education 2011, Vol 42 no 5 451-485. Michigan State University Coutney A , Suzanne M. Wilson & Traci Higgins . 2010. Measuring the Effect of Profesional development on Teacher Knowledge: The case of Developping Matematical Ideas. JMRE Journal for Research in Mathematics Education, Vol 41 no 5 : 479-512. Michigan State University Ellen Eliason Kisker, Jerry Lipka Barbara L. Adams, Anthony Rickard, Dora Andrew-Ihrke, Eva Evelyn Yanez, and Ann Millard 2012. The Potential of a Culturally Based Supplemental Mathematics Curriculum to Improve the Mathematics Performance of alaska Native and Other Students. JMRE Journal for Research in Mathematics Education, Vol 43 no 1: 73-113. University of alaska Fairbanks 700
Joa˜o Pedro da Ponte 2011. Teachers‟ knowledge, practice, and identity:essential aspects of teachers‟ learning. J Math Teacher Educ (2011) 14:413–41 , DOI 10.1007/s10857011-9195-7. Published online: 11 November 2011. ©Springer Science+Business Media B.V. Margaret Walshaw. 2012. Teacher knowledge as fundamental to effective teaching practice. J Math Teacher Educ 15:181–185, DOI 10.1007/s10857-012-9217-0 Published online: 6 May 2012. ©Springer Science+Business Media B.V. Marta T. Magiera & Judith S. Zawojewski. 2011. Characterizations of Sosial-Based and Selfbased Contexs Associated With Student‟ Awareness, Evaluation, and`regulation of their Thinking During small-Group mathematical Modeling. JMRE Journal for Research in Mathematics Education , Vol 42 no 5: 486-520 Marquette University & Illionis Institute of Tecnology Roza Leikin & Anat Levav-Waynberg, 2007. Exploring mathematics teacher knowledge to explain the gap between theory-based recommendations and school practice in the use of connecting tasks. Educ Stud Math (2007) 66:349–371. DOI 10.1007/s10649-0069071-z Published online: 3 May 2007. # Springer Science + Business Media B.V. Wendy S. Bary 2011. A Collective case Study of the Influence of Teachers‟ Beliefs and Kowledge on Error-Handling Practices During Class Discussion of mathematics JMRE Journal for Research in Mathematics Education , Vol 42 no 1 ; 2-38 . Unversity of Central Florida
PEMBELAJARAN PEMBULATAN DAN PENAKSIRAN DI SEKOLAH DASAR Tri Hapsari Utami Matematika FMIPA UM Abstrak: Di lapangan masih banyak ditemukan pembelajaran pembulatan dan penaksiran yang membebani siswa dengan hanya menghafal, dan siswa belum tahu manfaat belajar materi tersebut. Kemampuan memecahkan masalah adalah muara tujuan pembelajaran matematika sekolah. Kemampuan berkomunikasi, kemampuan berpikir jernih dan kritis, senantiasa mempertimbangkan moral, dan memahami perbedaan pandangan/pendapat merupakan kemampuan yang menunjang tercapainya kompetensi masa depan agar siswa mampu menyesuaikan dan menyelesaikan masalah yang terjadi. Terkait dengan hal tersebut, akan dibahas soal atau masalah yang dapat mendukung proses pembelajaran agar tercapainya kompetensi terkait pembulatan dan penaksiran di kelas IV Sekolah Dasar. Kata kunci: Pembulatan dan Penaksiran
Hasil pengamatan di lapangan dan persepsi masyarakat kita menunjukkan bahwa pembelajaran Matematika di sekolah menitikberatkan kepada aspek kognitif dan cenderung mengabaikan aspek afektifnya. Pada tingkat Sekolah Dasar masih banyak ditemukan pembelajaran yang membebani siswa dengan belajar berhitung dan menghafal rumus. Siswa tidak tahu manfaat belajar, khususnya Matematika. Sebagian siswa terpacu belajar untuk memperoleh nilai yang baik agar supaya nilai rapornya bagus. Apakah hanya semata-mata hal tersebut yang menjadi tujuan pembelajaran Matematika di sekolah? Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun 2006 disempurnakan Kurikulum Pendidikan tahun 2013 telah menyebutkan beberapa kompetensi masa depan yang diharapkan dipunyai oleh siswa yaitu kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih dan kritis, mempertimbangkan moral, dan memahami perbedaan pandangan/pendapat. Oleh karena itu, semua mata pelajaran harus berkontribusi dalam pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Selanjutnya, karakterisitik proses pembelajarannya adalah menggunakan pendekatan saintifik melalui mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikan; menuntun siswa untuk mencari tahu dan bukan diberitahu; menekankan 701
kemampuan berbahasa sebagai alat komunikasi pengetahuan dan berfikir logis, sistematis, dan kreatif (Kemendiknas, 2013:84) Kompetensi yang terkait dengan kemampuan membulatkan dan menaksir untuk siswa kelas IV diformulasikan dalam Kompetensi Inti: Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan benda-benda yang dijumpainya di rumah, di sekolah dan tempat bermain; dan Kompetensi Dasar 3.2: Menerapkan penaksiran dalam melakukan penjumlahan, perkalian, pengurangan, dan pembagian untuk memperkirakan hasil penghitungan; Kompetensi Dasar 3.3: Memahami aturan pembulatan dalam membaca hasil pengukuran dengan alat pengukuran (Kemendiknas, 2013:91). Kompetensi tersebut merupakan penyempurnaan Kompetensi Dasar 1.5 yaitu melakukan penaksiran dan pembulatan, yang termuat dalam Kurikulum 2006. Kompetensi lebih diperjelas dengan menekankan kepada memperkirakan hasil dan membaca hasil pengukuran. Sehingga akan memudahkan guru untuk menentukan kegiatan belajar yang dapat menunjang tercapainya kompetensi tersebut. Dari hasil pengamatan beberapa buku atau Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang digunakan dalam pembelajaran, masih ditemukan pembelajaran yang bersifat prosedural, menghafal, diberitahu, sehingga cara berpikir siswa tidak berkembang. Berikut ini akan dibahas soal atau masalah yang dapat lebih meningkatkan kualitas pembelajaran terkait kompetensi tersebut di atas. PEMBAHASAN Agar pembelajaran dapat menghasilkan para siswa yang tangguh dan dapat menyesuaikan sekaligus menyelesaikan masalah di masa depan. Proses pembelajaran perlu ada perubahan atau pergeseran. Perubahan pola pikir dalam memandang proses pembelajaran adalah belajar yang berpusat pada siswa, lebih interaktif, lebih membentuk jejaring komunikasi tidak hanya dengan guru tetapi juga antar siswa, lebih aktif menyelidiki, lebih menuju konteks dunia nyata, berbasis tim (belajar kooperatif), pemberian tanggungjawab yang lebih kepada siswa, belajar sesuai kebutuhan, dan penggunaan pengetahuan yang terintregasi (Kemendiknas, 2013: 73). Pada bagian ini akan dikaji kesesuaian soal atau masalah dalam proses pembelajaran yang tertuang dalam suatu buku dengan proses pembelajaran yang diharapkan oleh kurikulum 2013. Berikut ini salah satu contoh tahapan pembelajaran dalam membelajarkan penaksiran dan pembulatan di Sekolah Dasar. I. Menaksir hasil operasi hitung Menaksir ke puluhan terdekat Perhatikan! 14+17=10+10=20 (taksiran rendah) 14+17=20+20=40 (taksiran tinggi) 10+20=10+20=30 (taksiran mendekati) Jadi: taksiran rendah adalah menaksir bilangan ke puluhan di bawah bilangan itu taksiran tinggi adalah . . . . . . . . . . . . . II. Berkelompoklah dan diskusikan! Operasi hitung 28+14 22+37 56-22 27-14
rendah
tinggi
mendekati
III. Pemecahan Masalah Diskusikan! Jangan lupa menulis dalam kalimat matematika. Lalu taksir ke puluhan yang mendekati! Seorang pedagang kelontong membeli 33 batang pensil. Telah laku 18 pensil. Kira-kira berapa batang yang belum laku? Dengan memperhatikan sajian tersebut, tampak bahwa pembelajaran prosedural, menghafal, memberitahu dikemas dalam baju pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan 702
kurikulum 2013. Pada bagian I, siswa diajak untuk menyimpulkan sendiri berdasarkan pengamatannya. Apakah sesuai dengan pembelajaran berpusat pada siswa? Bagian II, siswa difasilitasi untuk berbagi ide dan mengkomunikasikanpemahamannya dengan teman satu kelompok. Apakah sesuai dengan membuat jejaring komunikasi dan berbasis tim? Bagian III, bagian yang mengajak siswa untuk memecahkan masalah. Benarkah hal tersebut pemecahan masalah? Tidakkah soal tersebut hanya soal rutin? Apakah soal tersebut dapat menfasilitasi siswa untuk berpikir tingkat tinggi? Apakah sudah sesuai menuju konteks dunia nyata? Agar dapat menjawab pertanyaan tersebut, diperlukan analisis terhadap materi matematika yang dibelajarkan dalam aktifitas-aktifitas tersebut. Sesuai dengan prosedur dalam merencanakan suatu pembelajaran, pertama kali yang perlu dianalisis adalah Kometensi Inti dan Kompetensi Dasar (KD) yang ingin dicapai. Dalam hal ini KD yang terkait adalah KD 3.2: Menerapkan penaksiran dalam melakukan penjumlahan, perkalian, pengurangan, dan pembagian untuk memperkirakan hasil penghitungan; dan KD 3.3: Memahami aturan pembulatan dalam membaca hasil pengukuran dengan alat pengukuran. Perhatikan materi yang ada dalam sajian bagian I, II, dan III. Apakah pengalaman memperkirakan hasil terfasilitasi? Apakah pengalaman aturan pembulatan hasil pengukuran terfasilitasi? Mengapa perlu perkiraan? Mengapa perlu pembulatan? Apakah siswa sudah mengalami pengalaman tersebut? Apakah siswa sudah mempunyai pengalaman untuk menggunakan kemampuan menaksir dan membulatkan dalam konteks dunia nyata? Perhatikan KD 3.2. Menerapkan penaksiran dalam melakukan penjumlahan, perkalian, pengurangan, dan pembagian untuk memperkirakan hasil penghitungan. Contoh soal atau masalah yang dapat menunjang tercapainya kompetensi tersebut adalah sebagai berikut. Soal 1: Cecep akan belanja 5 sabun mandi dan 3 pasta gigi. Harga satu sabun Rp. 1.645,00 dan harga satu pasta gigi Rp. 5.785,00. Ia kesulitan untuk menghitung dengan cepat, agar uang yang dibawa cukup untuk belanja kebutuhan tersebut. Dapatkah kamu membantu Cecep? Berapa lembar uang yang harus dibawa? Soal tersebut terkait dengan masalah konteks dunia nyata; guru tidak perlu memberi tahu bagaimana cara menaksir atau membulatkan untuk menyelesaikan masalah tersebut, siswa sendiri yang mencoba atau menyelidiki berapa lembar uang yang harus dibawa, berarti pembelajaran telah berpusat pada siswa.. Jika tersedian lembar uang duaratusan, limaratusan, seribuan, duaribuan, atau campuran dari beberapa jenis uang tersebut, maka banyaknya lembar uang juga akan berbeda. Jika aktifitas dilaksanakan berbasis tim, maka antar siswa dapat lebih interaktif karena ada kesempatan untuk mencoba-coba, sehingga memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat Perhatikan model matematika yang terkait ), dengan asumsi bahwa siswa kelas IV belum terampil (cepat) dalam mengalikan bilangan-bilangan tersebut, diharapkan siswa menyadari pentingnya kemampuan menaksir untuk memperkirakan hasil. Siswa tidak perlu secara langsung diberitahu bahwa dia telah melakukan penaksiran untuk memperkirakan berapa lembar yang harus dibawa, tetapi siswa langsung mengalami pengalaman belajar menaksir untuk memperkirakan. Perhatikan KD 3.3: Memahami aturan pembulatan dalam membaca hasil pengukuran dengan alat pengukuran. Aktifitas yang dapat menfasilitasi tercapainya kompetensi tersebut dapat melalui aktifitas mengukur ukuran kertas dengan penggaris satuan terkecilnya mm dan mengukur ukuran meja dengan penggaris satuan terkecilnya cm. Mengapa kita tidak perlu penggaris dengan satuan terkecilnya mm untuk mengukur ukuran lapangan bola? Mengapa lebih cocok dengan alat pengukur panjang dengan satuan terkecilnya m? Mengapa kalau kurang dari 0,5 cm dibulatkan 0? Mengapa kalau lebih dari 0,5 dibulatkan 1? Melalui aktifitas-aktifitas tersebut, siswa memperoleh pengalaman belajar mengetahui aturan pembulatan untuk mengukur sesuatu. Pembulatan dilakukan untuk keperluan tertentu, bisa pembulatan ke atas atau pembulatan ke bawah, seperti masalah berikut ini. Soal 2: Edi akan membuat pigura berbentuk persegi, sedangkan foto yang akan dipigura ukuran sisi-sisinya adalah 32 cm dan 37 cm. Ukuran potongan kayu yang tersedia di toko adalah 30 cm dan 40 cm. Harga setiap potongnya berturut-turut adalah Rp. 15.000,00 dan Rp. 17.500,00. Agar sisa kayu atau kurangnya kayu tidak terlalu banyak, ukuran kayu manakah yang dipilih Edi? Agar biaya yang dikeluarkan sehemat mungkin, berapakah uang yang harus dibayarkan? 703
Soal 3: Selama tahun ajaran 2012, tabungan di kelas IVA dan IVB terkumpul Rp. 131.500,00. Menjelang liburan akan dibagi sama rata kepada 50 siswanya. Ketua kelas memutuskan untuk memberikan Rp. 2.600,00. sedangkan wakilnya ingin memberikan Rp. 2.650,00. Adilkah ketua kelas? Setujukah kamu dengan wakil ketua kelas? Soal tersebut di atas, memungkinkan munculnya jawaban beragam, yang dapat menfasilitasi siswa untuk berpikir kreatif atau berpikir tingkat tinggi. Jawaban beragam dapat memaksa siswa untuk beradu argumentasi, dan secara tidak langsung siswa dilatih untuk berkomunikasi secara lisan maupun tulis dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jadi kemampuan memecahkan masalah dunia nyata lebih tampak dibandingkan dengan sekedar kemampuan membulatkan ke atas ke bawah, ke puluhan terdekat atau ratusan terdekat secara prosedural. Melalui aktifitas seperti tersebut di atas, siswa belajar melalui mencoba-coba, bertukar pendapat dalam perbedaan, sehingga terjadi pengolahan informasi yang diterima dari guru, teman, maupun sumber belajar yang lain. Hal tersebut sesuai dengan pandangan belajar menurut teori sosio-kognisi dari Vygotsky dkk yaitu belajar merupakan hasil pengaruh pemikiran di sekitar lingkungan siswa, pemerolehan pengetahuan terbentuk ketika siswa berinteraksi dalam berpikir dengan individu di sekitarnya (Subanji, 2012: 74). Siswa secara aktif dapat mengkomuniksikan iden-idenya terkait penyelesaian masalah nyata yang muncul di sekitarnya, sehingga pembelajaran yang menggunakan jenis soal seperti soal-soal di atas diharapkan mampu menfasilitasi kebutuhan dan tujuan dari masing-masing individu. Terciptanya lingkungan yang menyenangkan karena berinteraksi dengan individu di sekitarnya, juga diharapkan mampu memunculkan motivasi belajar dalam diri siswa. Pembelajaran yang demikian itu adalah pandangan humanisme yang dipelopori oleh Maslow dkk yang perwujudannya berupa pembelajaran active learning dan pembelajaran contextual (Subanji, 2012:72). PENUTUP Dengan memperhatikan suatu Kompetensi Inti dan Kompetensi dasar yang menuntut siswa untuk belajar dengan mengamati, menanya yang didorong dengan rasa ingin tahu tentang penaksiran dan pembulatan yang ada dilingkungannya; hendaknya aktifitas atau kegiatan belajar yang direncanakan senantiasa menekankan kepada proses pembelajaran mengamati, menanya, mencoba, menalar, dan mengkomunikasikannya dengan logis, sistematis, dan kreatif. Menuntun siswa untuk mencari tahu dan melatih untuk dapat berpikir tingkat tinggi. DAFTAR RUJUKAN Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. 2013. Materi Pelatihan Guru Implementasi Kurikulum 2013 SD Kelas I. Modul Pelatihan Implementasi Kurikulum 2013. Jakarta; Kementerian Pendidikan Nasional. Subanji, 2012. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Kerjasama PT. Pertamina dengan Universitas Negeri Malang
ANALISA LEMBAR OBSERVASI RIIL TEACHING PEMBELAJARAN MATEMATIKA DALAM KEGIATAN LESSON STUDY Askury Jurusan Matematika Universitas Negeri Malang Abstrak: Orientasi pembelajaran perlu berubah dari pemberian doktrin yang biasanya menekankan ”pokoknya” rumus, prosedur, dan cara yang digunakan ”harus itu” menjadi
704
pembelajaran yang mengembangkan proses berpikir siswa dengan menekankan pada mengapa prosedur/cara/rumus itu yang digunakan. Kegiatan lesson study dapat mendatangkan banyak manfaat, meliputi peningkatan pengetahuan guru tentang materi ajar dan pembelajaraanya, meningkatnya pengetahuan guru tentang cara mengobservasi aktivitas belajar siswa, menguatnya hubungan kolegalitas baik antar guru maupun dengan observer selain guru, menguatnya hubungan antara pelaksanaan pembelajaran sehari-hari dengan tujuan pembelajaran jangka panjang, meningkatnya motivasi guru untuk senantiasa berkembang, dan meningkatnya kualitas rencana pembelajaran dan strategi pembelajaran. Merencanakan pembelajaran secara kolaboratif/bersama-sama, melaksanakan pembelajaran, dengan seorang guru ditunjuk sebagai guru model yang lain sebagai pengamat., Melakukan diskusi refleksi tentang pembelajaran yang diamati, merevisi rencana pembelajaran, melaksanakan pembelajaran di masing-masing kelas berdasar hasil revisi, melakukan sharing tentang hasil pembelajaran masing-masing.Tiga tahap utama dalam Studi Pembelajaran yaitu: 1) Perencanaan (Plan), 2) Pelaksanaan (Do), 3) Melihat kembali/ Refleksi (See). Ketiga tahapan tersebut dilakukan secara berulang dan terus menerus sehingga merupakan siklus yang tak pernah berakhir, artinya selama guru ingin terus meningkatkan kemampuan dan kwalitas mengajarnya, studi pembelajaran lesson study adalah jawabanya. Salah satu kegiatan open class (do) adalah mengamati kegiatan pembelajaran, dimana dalam lembar pengamatan tertulis kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, kegiatan penutup dan hikmah pembelajaran. Dalam tulisan ini akan dianalisa hasil pengamatan kebanyakan pengamat yang mengikuti pembelajaran di kelas terkait dengan. Kata kunci: Analisa , lembar observasi, Lesson Study
Analisa arahan yang dimaksud adalah arahan yang bisa ditulis pengamat pada saat mengamati temannya menjadi guru model di depan kelas. Fokus tulisan adalah apa yang dilakukan siswa dari hal yang sederhana sampai pada hal yang lebih berdasarkan fakta di kelas, mulai dari kegiatan awal, kegiatan inti sampai kegiatan penutup dalam proses pembelajaran di kelas. Berikut adalah beberapa hasil pengamatan guru di kelas pada saat pembelajaran dengan kegiatan Lesson Study. HASIL PENGAMATAN GURU A. Kegiatan Pendahuluan A.1.Bagaimana kesiapan belajar siswa? Hasil pengamatan. Kebanyakan pengamat hanya menuliskan bahwa siswa benar-benar sudah menyiapkan diri untuk mengikuti pembelajaran. Analisa yang diperlukan adalah, apakah siswa sudah menyiapkan diri secara lengkap, bagaimana buku ajar/buku pegangan atau rujukan yang harus dibawa, alat bantu sekolah misalnya kelengkapan alat tulis supaya nanti tidak mengganggu temannya, konsentrasi menerima penjelasan guru, kesiapan fisik juga perlu misalnya pada saat jam pelajaran masih sering siswa keluar kekamar kecil. Hal ini juga mengganggu konsentrasi teman sekitar. A.2 Bagaimana kondisi/respon siswa ketika guru menyampaikan kegiatan apersepsi/motivasi/ pemanasan berpikir/advance organizer? Hasil pengamatan : Kebanyakan pengamat menuliskan belum optimal, walaupun siswanya antusias menjawab pertanyaan, ketika guru bertanya apakah anak-anak sudah mengerti, jawabab anak-anak “iya” Analisa bahwa kondisi siswa apakah memang sudah bisa diajak untuk berpikir, apakah siswa sudah dapat mengikuti pembelajaran? Hal ini akan terlihat jika siswa sudah dapat mengikuti pembelajaran berarti pertanyaan guru yang berkaitan dengan apersepsi bisa dijawab dan tidak hanya sebagian siswa tetapi harapanya adalah semua siswa bisa menjawab apersepsi. Karena apersepsi biasanya terkait dengan pembelajaran yang kemarin atau sekedar mengingat pelajaran kemarin.
705
B. KEGIATAN INTI B.1 Bagaimana interaksi yag terjadi dalam pembelajaran, siswa dengan siswa, siswa dengan guru.? Hasil pengamatan Kebanyakan interaksi siswa dengan siswa terjadi pada saat diskusi dalam kelompok, siswa mendapatkan pengetahuan dari guru tentang materi dan selanjutnya saling berbagi tugas. Analisa. Interaksi disini harus jelas apakah siswa dalam kelompok hanya membagi tugas, selanjutnya pengerjaan masing-masing tugas dikerjakan sendiri, atau setelah selesai mengerjakan tugas kemudian siswa bekerja kelompok lagi untuk berdiskusi membicarakan hasil pekerjaanya? Siswa dengan guru Hasil pengamatan. Interaksi siswa dengan guru pada saat guru menyampaikan materi pembelajaran, siswa memperhatikan dan saat guru bertanya siswa menjawab. Analisa. Interaksi yang dimaksud adalah interaksi dua arah, bukan hanya dari pertanyaan guru tetapi harus diperhatikan pertanyaan siswa kepada gurunya, apakah pertanyaan siswa sesuai dengan materi pembelajaran dan dapat mewakili permasalahan yang dihadapi sebagian siswa yang kurang mengerti penjelasan guru? Dari tugas kelompok apakah siswa menanyakan materi tugas kelompok yang tertuang dalam LKS? Apakah guru juga mengilingi kelas/mendatangi tiap kelompok dan menanyakan pekerjaan tiap kelompok serta menanyakan tugas mana yang sulit dikerjakan?. Kalau hal ini bisa terjadi, interaksi siswa dengan guru sesuai dengan harapan pembelajaran yang direncanakan. B.2. Siswa mana yang tidak bisa mengikuti pembelajaran secara baik pada hari ini? Hasil pengamatan. Ada beberapa, kelompok kerucut, siswa kebingungan dalam menggunakan alat, ada yang melamun saat guru mengajar. Analisa. Beberapa disini harus jelas siswa mana yang memang tidak bisa mengikuti, siswa tersebut harus dipantau terus mengapa dia tidak mengikuti, catatan ini sebagai bahan untuk laporan saat refleksi pembelajaran. Kebingungan yang dimaksud menggunakan alat mungkin perlu diselidiki apakah kebingungan karena alatnya asing, tidak bisa mengoperasikan atau minta diperhatikan oleh guru model. Perlu diketahui bahwa siswa tidak mengikuti pembelajaran belum tentu siswa tersebut tidak bisa, mungkin siswa tersebut minta diprhatikan oleh teman kelompoknya, oleh gurunya atau mungkin sekedar menggangu temannya. B.3. Mengapa siswa tersebut tidak dapat belajar dengan baik, apa penyebabnya? Hasil pengamatan. Pada saat guru menjelaskan siswa tersebut antara memperhatikan dan melamun, masih kurangnya kemampuan siswa untuk menggunakan alat bantu pembelajaran, karena teman sebelahnya ngobrol sendiri. Analisa. Melamun disini perlu diperhatikan apakah siswa tersebut tidak dilibatkan dalam diskusi kelompok, kurang komunikasinya, atau memang dia sulit menerima pelajaran. Apakah alat bantu yang berupa media asing bagi siswa tersebut atau tidak diberi kesempatan untuk menggunakan media oleh teman sekelompoknya atau dia sudah mengetahui sehingga acuh-tak acuh. Karena teman sebelahnya ngobrol sendiri sehingga dia tidak bisa mengikuti pembelajaran dengan baik akibatnya pembelajaran terganggu. Hal demikian perlu digali lebih dalam supaya nantinya tidak akan terulang pada pembelajaran berikutnya. B.4.Bagaimana upaya guru untuk mengatasi gangguan belajar tersebut? Kapan gangguan belajar tersebut teratasi? Hasil pengamatan. Guru menjelaskan ulang ke beberapa kelompok yang belum paham dalam menjawab LKS dan menggunakan alat bantu. Menertibkan siswa dengan cara menegur atau mendekati dan menanyakan paham tidaknya pembelajaran kali ini. Gangguan belajar dapat teratasi setelah guru menjelaskan ulang di beberapa kelompok. Analisa: Guru menanyakan kepada siswa bagian mana yang belum jelas dan bagian mana yang sulit diterima siswa atau contoh soal mana yang masih perlu penjelasan. Kalau sebagian siswa yang kurang paham penjelasan bisa perkelompok dilakukan teman sebaya supaya interaksi siswa dengan teman lebih akrab dan kalau sebagian besar siswa tidak paham, penjelasan guru 706
harus klasikal, supaya diulangi atau siswa lain disuruh mengerjakan dengan caranya sendiri. Kalau masih ada waktu bisa diberi soal lain yang bisa menambah wawasan siswa. B.5. Bagaimana usaha guru dalam mendorong siswa yang tidak aktif belajar supaya aktif belajar? Hasil pengamatan. Dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan hasil diskusinya. Memberikan motivasi, bimbingan , semangat kepada semua siswa bahwa apabila dihadapkan pada suatu masalah pasti ada solusinya. Guru terus membantu dalammenyelesaikan tugas di LKS dan member semngat. Melakukan tindakan-tindakan positif misalnya bertanya kepada siswa, diberi perhatian secara lebih. Analisa: Dari hasil pengamatan hampir sesuai dengan apa yang diharapkan, guru tetap pegang peranan dalam mengaktifkan siswa, memberikan penguatan dorongan, motivasi serta contohcontoh konkrit bagaimana nanti kalau kalian tidak bisa naik kekas, dapat nilai pas-pasan akan berakibat tidak bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, atau sulit mencari sekolah favorit, akibatnya juga sulit beradaptasi dengan lingkungan pendidikan. Tetapi jika nilai kalian selalu baik kedepan dapat bersaing di sekolah yang lebih baik dan nantinya bisa kuliah di Perguruan Tinggi yang favorit dan akhirnya masa depan akan lebih baik. C. Penutup C.1. Bagaimana siswa terlibat dalam kegiatan penting (melakukan refleksi, merangkum dan sebagainya) Hasil pengamatan: Cukup aktif, namun guru masih lebih mendominasi kegiatan. Siswa dibimbing oleh guru untuk menyimpulkan pelajaran hari ini. Siswa aktif dan dapat menyimpulkan bersama materi yang baru diajarkan. Analisa. Dari hasil pengamatan siswa cukup aktif merangkum, namun apakah kesimpulan yang dirangkum siswa sudah sesuai dengan kesimpulan yang diharapkan oleh guru model, ataukah kesimpulan harus dibimbing oleh guru. Hal ini sangat penting untuk diketahui bahwa menyimpulkan merupakan kesatuan pembelajaran mulai dari awal sampai akhir, untuk itu dalam kegiatan ini masing-masing siswa diberi kesematan untuk menyimpulkan dan dari hasli kesimpulan tiap siswa, guru model dapat menilai kesimpulan siapa yang mendekati benar. Kalau kesimpulan yang dilakukan siswa benar guru harus member penguatan dan kalau masih kurang guru harus membimbing lagi sehingga kesimpulan siswa yang kurang benar menjadi benar, dan ini adalah suatu motivasi bagi siswa tersebut. C.2.Bagaimana respon siswa, ketika guru menyampaikan tindak lanjut pembelajaran (seperti memberikan arahan, member tugas sebagai bagian dari remidi)? Hasil pengamatan: Siswa menerima pelajaran dengan baik, siswa diberikan pekerjaan rumah sebagai tndak lanjut dari pembelajaran kali ini. Siswa dengan senang hati menerima tugas. Sebagian besar siswa menerima pekerjaan rumah namun ada beberapa siswa yang perlu mendapat bimbingan lebih lanjut agar dapat mengerjakan tugas dengan baik dan dengan cara member motivasi kalau terlalu banyak siswa bisa bosan dengan tugas matematika dan dampaknya menjadi tidak senang dengan pelajaran matematika. HIKMAH PEMBELAJARAN Pelajaran berharga apa yang dapat Anda petik dari pengamatan pembelajaran hari ini? Membuka pengetahuan tentang kelebihan dan kekurangan kita dalam mengajar didepan kelas.Dapat memperbaiki kompetensi guru khususnya dalam bidang pendidikan. Saya mendapat pengalaman baru. Pembelajaran denga menggunakan LKS dapat mengaktifkan cara berpikir siswa. Analisa. Membuka wawasan guru dalam hal mengajar didepan siswa, dapat meningkatkan pengetahuan baik pendalaman materi, cara mengajar, membagi kelompok, model pembelajaran, menambah koleksi RPP, merasa bahwa antar teman guru sebagai satu kesatuan dan saling mendapatkan masukan, bukan saling menyalahkan. Dapat saling mengkoreksi diri dalam arti bahwa dalam mengajar guru bukan segala-galanya, tetapi guru hanyalah sebagai teman siswa untuk menambah ilmu yang nantinya dapat digunakan dikemudian hari.
707
KESIMPULAN Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh guru-guru dalam pembelajaran dengan kegiatan Lesson Study mulai dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti dan kegiatan penutup masih kurang menyentuh permasalahan, misalnya dalam kegiatan awal “bagaimana respon siswa” isiannya “cukup baik” interaksi antar siswa dengan siswa dan siswa dengan guru isiannya “cukup baik”. Hampir semua isian adalah jawaban singkat, isian pengamat belum menjawab mengapa bisa terjadi seperti itu. DAFTAR PUSTAKA Askury, 2013, Kumpulan lembar observasi OnGoing I,II,III, TEQIP UM. Askury,dkk 2009 Pengembangan perangkat pembelajaran inquiry untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa dalam belajar Kajian Matematika Sekolah Lesson Study. Laporan Penelitian Imhere. Askury, 2013, Seputar Pembeljaran Matematika Sekolah dan Permasalahan, makalah Seminar KNPM Jur. Mat UM. Istamar Syamsuri dkk, 2011, Lesson Study (Studi Pembelajaran) , UM Press.
PEMBELAJARAN PENERAPAN OPERASI HITUNG BILANGAN BULAT DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA TAKARAN UNTUK SISWA KELAS VII SMP Sukoriyanto Dosen Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang Abstrak: Penerapan operasi bilangan bulat untuk siswa SMP kelas VII diharapkan memberikan pengalaman yang terintegrasi mulai dari pengetahuan, keterampilan dan sikap kepada siswa. Pengalaman yang terintegrasi akan dicapai oleh siswa apabila mereka memperoleh pembelajaran yang melibatkan siswa untuk berfikir dan melakukan. Media pembelajaran berbentuk takaran akan dapat memberikan pembelajaran pada siswa yang menutut kemampuan berfikir dan melakukan, sehingga diharapkan siswa akan memperoleh pengalaman yang terintegrasi mulai dari pengetahuan, sikap dan keterampilan. Kata kunci: Operasi hitung, bilangan bulat, media takaran.
Pembelajaran penerapan operasi hitung bilangan bulat di SMP sebagian besar didominasi oleh pemberian soal yang melibatkan operasi hitung campuran, salah satu contohnya adalah jika p = -3, q =-4, dan r = -5, Hitunglah nilai dari opersi 5(p – q) + 3(p + r) (Wagiyo, A. 2008 : 13). Dari contoh ini siswa diminta untuk menerapkan operasi hitung bilangan dengan menggunakan sifat distributive, opersasi pengurangan, dan operasi penjumlahan yang sudah dipelajarinya, dan siswa tidak diajak untuk mengenal konteks nyata yang ada disekitarnya. Menurut Permendikbud no 65 tahun 2013 bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Dengan demikian pembelajaran matematika harus dilaksanakan secara interaktif, menyenangkan dan menantang. Belajar matematika bukan hanya mempelajari rumus dan cara menyelesaikan soal dengan benar dan sempurna melainkan didalamnya juga ada ketrampilan memecahkan suatu permasalahan yang dapat dikaitkan dengan fakta-fakta yang terjadi secara konstekstual. Dengan demikian perlu adanya suatu apresiasi belajar matematika yang benar sesuai dengan tuntutan kurikulum. (Badan Standart Nasional Pendidikan. 2007). Untuk itu dalam pembelajaran penerapan operasi hitung bilangan bulat juga perlu ada ketrampilan memecahkan suatu permasalahan yang dapat dikaitkan dengan fakta-fakta yang terjadi secara konstekstual. Untuk dapat memunculkan fakta kontekstual dalam pembelajaran penerapan operasi hitung bilangan bulat maka perlu digunakan media yang dapat membantu memunculkan fakta atau konteks 708
nyata dalam pembelajaran. Takaran untuk menakar air/minyak adalah alat takar yang biasa dijumpai oleh siswa. Karena apabila siswa tersebut dimintai bantuan orang tuanya untuk membeli minyak curah maka siswa tersebut akan terlibat proses penakaran dengan pembeli. Berdasarkan uraian di atas, pada tulisan ini akan dibahas pembelajaran penerapan operasi hitung bilangan bulat dengan menggunakan takaran untuk siswa kelas VII SMP. Sifat-sifat operasi hitung bilangan bulat Pada operasi penjumlahan bilangan bulat terdapat beberapa sifat diantaranya sifat tertutup, komutatif, asosiatif, ada unsur identitas penjumlahan, dan setiap bilangan bulat memiliki lawan atau invers. Demikian juga untuk operasi perkalian bilangan bulat juga memiliki sifat-sifat sebagai berikut, tertutup, komutatif, asosiatif, dan adanya unsur identitas perkalian. Salah satu contoh pembelajaran penerapan operasi hitung bilangan bulat untuk operasi tambah adalah sebagai berikut; soal no 8a. hitunglah -9 + 2 + (-8) =… (Bornok, dkk. 2013: 76). Contoh pemberian soal ke siswa seperti di atas masih menekankan kemampuan siswa pada aspek kognitif saja, hal ini belum sesuai dengan jiwa kurikulum 2013 yang menyeimbangkan atara pengetahuan, sikap dan keterampilan, Ini didukung oleh permendikbub no 54 tentang standar proses yang mengatakan bahwa sasaran pembelajaran mencakup pengembangan ranah sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang dielaborasi untuk setiap satuan pendidikan. Pengajaran penerapan opersi hitung bilangan bulat dapat juga memanfaatkan soal soal cerita yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh soal yang terdapat pada buku pegangan siswa untuk matapelajaran SMP kelas V dengan menggunakan kurikulum 2013 berikut ini; Sebuah kapal selam, mula-mula menyelam 120 m di bawah permukaan laut, kemudian kapal bergerak ke bawah sejauh 60 m. Coba nyatakan posisi kapal selam dari permukaan laut dengan penjumlahan bilangan bulat! (Bornok, dkk. 2013: 76). Untuk menyelsaikan soal tersebut diperlukan penerapan operasi hitung bilangan bulat. Pemanfaatan Media Takaran untuk pengajaran penerapan operasi bulangan bulat Jika kita cermati pada Standar Isi di Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan matapelajaran matematika kelas VII, untuk standar kompetensi no 1 dan kompetensi dasar no 1.2 berbunyi “ Menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan bulat dan pecahan untuk pemecahan masalah”. Sedangkan kalau kita cermati kurikulum 2013 untuk matapelajaran matematika SMP kelas VII di Kompetensi Inti no 3 dan Kompetensi Dasar no 3.1 berbunyi “ Membandingkan dan mengurutkan beberapa bilangan bulat dan pecahan serta menerapkan operasi hitung bilangan bulat dan bilangan pecahan dengan memanfaatkan berbagai sifat operasi”. Oleh karena itu dalam pembahasan bilangan bulat perlu untuk memberikan juga topiktopik yang berkaitan dengan penerapan operasi hitung bilangan bulat. Salah satu media pembelajaran yang digunakan untuk membahas penerapan operasi hitung bilangan bulat adalah dengan menggunakan takaran. Media takaran yang dimaksud pada tulisan ini adalah takaran minyak berbentuk canting yang digunakan untuk mengukur besaran minyak pada ukuran tertentu. Biasanya satuan ukuran untuk takaran minyak yang digunakan adalah liter. Namun apabila kondisi di lapangan tidak ada takaran minyak, maka media tersebut dapat diganti dengan menggunakan bekas botol minuman yang terbuat dari plastik yang dipotong sesuai dengan ukuran yang diperlukan. Contoh permasalahan penerapan operasi hitung bilangan bulat adalah sebagai berikut; Seorang pedagang minyak hanya mempunyai takaran-takaran untuk 5 liter dan 7 liter untuk menakar minyak bagi langganannya dari drum minyaknya. Pedagang tersebut tidak melayani pembelian minyak dalam bentuk pecahan. a. Bagaimana caranya agar ia dapat menakar 2 liter tanpa membuang setetes minyakpun? b. Bagaimana caranya agar ia dapat menakar 3 liter tanpa membuang setetes minyakpun? c. Bagaimana caranya agar ia dapat menakar 4 liter tanpa membuang setetes minyakpun? d. Bagaimana caranya agar ia dapat menakar 1 liter tanpa membuang setetes minyakpun? Untuk membelajarkan permasalah tersebut kita siapkan media berupa takaran minyak yang berukuran 5 liter dan takaran minyak yang berukuran 7 liter serta satu tong yang berisi minyak, namun apabila kondisi dilapangan tidak memungkinkan takaran tersebut bisa kita ganti dengan bekas botol minum mineral yang terbuat dari plastik yang kita potong dengan ukuran tingginya 5 cm dan yang satunya dengan ketinggian 7 cm. Sedangkan untuk tong minyak dapat 709
kita ganti dengan ember yang kita isi dengan air. Bentuk media yang kita siapkan adalah sebagai berikut;
Untuk menjawab permasalahan di atas, misalkan permasalahan d). mintalah siswa untuk memanfaatkan media yang ada untuk menakar 1 liter, mintalah mereka menerapkan operasi hitung bilangan bulat untuk mendapatkan hasil 1 apabila ada bilangan 7 dan 5, kemudian mitalah pada siswa untuk mempraktekkan penakaran tanpa membuang setetes minyakpun. Dengan melaksanakan pembelajaran penerapan operasi hitung bilangan bulat dengan memanfaatkan media takaran seperti di atas diharapkan siswa memperoleh pengalaman yang terintegrasi mulai dari pengetahuan, sikap dan ketrampilan. Kemampuan pengetahuan yang diperoleh siswa adalah mereka mampu melakukan opersai hitung bilangan untuk mendapatkan hasil tertentu apabila disediakan dua bilangan. Siswa juga akan terbiasa untuk melakukan pemikiran secara terbuka(open ended) dengan demikian wawasan siswa untuk melakukan perhitungan bilangan bulat akan bertambah. Sedangkan kemampuan keterampilan yang diperoleh siswa adalah mereka akan mampu menakar dengan ukuran tertentu hanya berbantuan dua takaran saja, yaitu takaran 5 liter dan takaran 7 liter. Untuk kemampuan sikap yang akan diperoleh siswa diantaranya adalah siswa akan memiliki sikap jujur pada saat menakar, dia tidak akan melakukan kebohongan dalam menakar, sedangkan sikap lain yang akan diperoleh adalah mereka akan menjadi memiliki kemampuan teliti dan hati-hati dalam melakukan penakaran, karena dalam pelaksanaan penakaran diharapkan tidak ada satu tetes minyakpun yang terbuang. KESIMPULAN Pemberian pengalaman pada siswa dalam belajar penerapan operasi hitung bilangan bulat sebaiknya tidak hanya pengalaman pengetahuan saja, sebaiknya juga diberikan pengalaman keterampilan dan pengalaman sikap yang mendukung terintegrasinya kemampuan siswa. Dengan menggunakan media takaran untuk menentukan hasil operasi bulangan bulat dapat memberikan pengalaman yang terintegrasi mulaai dari pengalaman pengetahuan, pengalaman keterampilan dan pengalaman sikap. Pemberian pengalaman yang mengintgrasikan pengetahuan, sikap dan keterampilan kepada siswa adalah tujuan yang diharapkan oleh kurikulum 2013. Oleh karena itu dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran sebaiknya guru merancang aktifitas yang memberikan pengalaman pada siswa mulai dari pengetahuan, sikap dan keterampilan. DAFTAR RUJUKAN Badan Standar Nasional Pendidikan. 2007. Model Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran: Mata Pelajaran Matematika. Jakarta Bornok Sinaga. 2013. Matematika SMP?MTs Kelas VII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 65 tahun 2013 tentang standar proses. 2013. Jakarta: Depdikbud Wagiyo. A, dkk. 2008. Pegangan Belajar matematika 1. Untuk SMP/MTs Kelas VII. Jakarta: Pusat Perbukuan
710
PENINGKATAN HASIL BELAJAR LUAS BANGUN DATAR MELALUI PENDEKATAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) PADA SISWA KELAS III SDN 200514 LABUHAN LABO 200514 LABUHAN LABO KOTA PADANGSIDIMPUAN Sofyan SD Negeri 200514 Labuhan Labo Kota Padangsidimpuan Sumatera Utara
[email protected] Abstrak: Kegiatan membelajarkan luas bangun datar pada siswa SDN 200514 Labuhan Labo masih bersifat konvensional berpusat kepada guru, sehingga membosankan bagi siswa. Untuk itu peneliti tertarik untuk memperbaiki proses pembelajaran matematika khususnya pembelajaran luas bangun datar melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL). Penelitian ini menggunakan penelititan tindakan kelas yang dikenakan pada 30 siswa SDN 200514 Labuhan Labo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan hasil belajar dari 80% pada siklus I menjadi 97% pada siklus II. Kesimpulan dari penelitiaan ini adalah pendekatan CTL dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi luas bangun datar yaitu tentang luas bangun datar. Kata kunci: Hasil belajar, Luas bangun datar, CTL
Selama ini pembelajaran materi mencari luas bangun datar di SD Negeri 200514 Labuhan Labo masih bersifat konvensional yaitu masih berpusat pada guru dan siswa kurang dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran sehingga ketika siswa melaksanakan uji kompetensi materi ini, perolehan nilai siswa masih rendah. Sedangkan luas bangun datar merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa Sekolah Dasar (SD) khususnya kelas III untuk mendukung materi berikutnya. Menurut Indriyastuti (2008:175l) “Luas bangun datar adalah daerah bidang datar yang dibatasi oleh garis yang mengelilinginya”. Selama ini untuk membelajarkan luas bangun datar, guru memberikan rumus terlebih dahulu kemudian memberikan soal-soal latihan. Akibatnya siswa menjadi bingung apabila dihadapkan kepada permasalahan - permasalahan yang tidak rutin. Agar pembelajaran luas bangun datar berhasil diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Salah satu pendekatan yang dapat membantu siswa untuk dapat meningkatkan pengetahuannya sesuai dengan situasi konkrit sehingga dapat meningkatkan hasil belajar luas bangun datar adalah pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL. Menurut Nasar (2006:109) ”CTL adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan kaitan antara materi yang dipelajari dengan kehidupan siswa, sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkan dalam kehidupan mereka”. Pada Pendekatan pembelajaran ini selain melihat hasil belajar juga melihat proses belajar. Oleh sebab itu hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Dalam pembelajaran luas bangun datar terlebih dahulu siswa harus memahami konsep luas bangun datar melalui benda-benda konkrit yang ada di lingkungan siswa. Kemudian siswa diajak menemukan rumus luas bangun datar dengan melkukan aktivitas yang sudah dirancang guru. Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1. Perencanaan pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar luas bangun datar melalui pendekatan CTL di kelas III SDN 200514 Labuhan Labo 2. Pelaksanaan pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar luas bangun datar melalui pendekatan CTL pada siswa kelas III SDN 200514 Labuhan Labo, 3. Peningkatan hasil belajar luas bangun datar melalui pendekatan CTL di kelas III SDN 200514 Labuhan Labo
711
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan penlitian tindakan kelas (PTK) model Kemmis & Mc Taggart. Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research) yang terfokus pada upaya untuk mengubah kondisi riil sekarang kearah yang diharapkan (Improvement Oriented). Penelitian dilaksanankan dalam dua siklus yang masingmasing melalui empat tahapan pokok yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan pembelajaran dan refleksi. Setiap siklus dilaksanakan 4 pertemuan dengan alokasi waktu masing-masing 2 x 35 menit setiap pertemuan. Setiap pertemuan diberikan post-tes. penelitian ini dilaksanakan di kelas III SDN 200514 Labuhan Labo Sebagai subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas III SDN 200514 Labuhan Labo dengan jumlah siswa 29 orang yaitu perempuan 15 orang dan 14 orang laki-laki. Waktu melakukan tindakan adalah pada bulan Mei sampai Juni 2009, semester Januari-Juni 2008/2009 yang terdiri dari siklus I dan II. Lama penelitian adalah dua bulan. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi kegiatan pembelajaran, dan tes tertulis. Instrumen penelitian yang digunakan adalah butir soal tes, lembar observasi pembelajaran, diskusi observer, dan dokumentasi. Data penelitian berupa hasil pengamatan pelaksanaan pembelajaran dianalisis secara kualitatif dan data penelitian berupa hasil tes dianalisis dengan perhitungan persentese. Indikator keberhasilan penelitian ini adalah jika nilai diakhir kegiatan penelititan rata-rata kelas sudah mencapai KKM ( 60 ) dan rata-rata anak yang mencapai KKM tersebut sebesar 80 persen dari siswa. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan penelitian ini pada siswa kelas III SDN 200514 Labuhan Labo Kota Padangsidimpuan, tentang pembelajaran luas persegi dan persegi panjang semester II tahun ajaran 2008/2009. Dalam pelaksanaan tindakan pembelajaran, peneliti bertindak sebagai guru (praktisi) sedangkan guru kelas III sebagai pengamat atau observer. Pada tahap awal, dalam kegiatan inti, guru menyampaikan informasi tentang pembelajaran yang disampiakan adalah tentang luas bangun datar, guru menyampaikan materi dengan menggambar persegi dan persegi panjang, siswa diajak untuk memperhatikan kedua gambar tersebut dan memancing siswa untuk menyebutkan perbedaan ukuran bangun datar, yakni sisi-sisi kedua bangun datar tersebut. Kemudian guru menjelaskan unsur-unsur kedua bangun datar tersebut sampai pada menghitung keliling dan luas bangun datar tersebut. Pada pembelajaran ini siswa belum di beri kebebasan untuk memanipulasi cara mengukur dan menghitung keliling dan luas bangun keduanya. Berdasarkan pengalaman pada pembelajaran awal sebelum pembelajaran luas bangun datar melalui pendekatan CTL dilaksanakan, terlebih dahulu disusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dan instrumen penunjang penelitian. Perencanaan pembelajaran ini disusun secara kolaboratif antara peneliti dengan guru kelas III SDN 200514 Labuhan Labo Kota Padangsidimpuan. Perencanan ini disusun dan dikembangkan berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan matematika kelas III semester II. Perencanaan pembelajaran disajikan dalam waktu 1 x pertemuan yaitu 2 x 35 menit. Standar kompetensi yang diambil adalah menghitung keliling, luas persegi dan persegi panjang, serta penggunaannya dalam pemecahan masalah. Kompetensi dasar: menghitung luas persegi dan persegi panjang. Indikator: menemukan rumus luas persegi, menemukan rumus luas persegi panjang, menghitung luas persegi, menghitung luas persegi panjang, menggunakan rumus luas persegi dalam penyelesaian masalah, menggunakan rumus luas persegi panjang dalam penyelesaian masalah. Untuk mencapai indikator tersebut, perencanaan pembelajaran dibagi dalam tiga tahap pembelajaran yaitu tahap awal 10 menit, tahap inti 45 menit dan akhir 15 menit. Proses pembelajaran Siklus I Berdasarkan pengalaman pada pembelajaran awal, maka dilaksanakan perbaikan pembelajaran siklus I, pertemuan 1 dilaksanakan pada hari Selasa 26 Mei 2009 mulai pukul 07.00-08.10 WIB. Pembelajaran untuk siklus I pertemuan 1 berlangsung selama 70 menit. Pelaksanaan proses pembelajaran ini adalah dengan menggunakan pendekatan CTL, dengan tahapan sebagai berikut: Pembelajaran diawali dengan mengucapakan salam dan memperhatikan kondisi kelas untuk memulai pelajaran kemudian berdoa, mengambil absen, 712
menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu: menghitung luas persegi, menemukan dan menggunakan rumus luas persegi dalam pemecahan masalah. Pada langkah mengembangkan pemikiran siswa yang dilakukan adalah meminta siswa mengamati lingkungan sekitar untuk mengelompokkan bangun. Guru menanyakan benda-benda di lingkungan sekitar dan mengelompokkan benda-benda yang termasuk bangun datar. Dalam menyebutkan nama bangun yang termasuk bangun datar siswa masih ragu mana yang termasuk bangun datar dan mana yang termasuk bangun ruang. Sehingga guru menjelaskan yang termasuk bangun datar dan bangun ruang. Dari jawaban yang diberikan siswa, guru menyamakan persepsi tentang konsep bangun datar dan bangun ruang. Kemudian siswa di beri soal mencari luas persegi yang diketahui sisinya 2 cm dengan mengambil contoh benda yang dekat dengan siswa. Pada langkah melaksanakan kegiatan inkuiri, guru membagikan bangun persegi dan potongan-potongan kecil persegi. Dengan media yang diberikan siswa menemukan sendiri rumus luas persegi dengan menggunakan menghitung satuan kecil persegi yang menutupi bangun persegi. Kemudian guru membimbing siswa menuliskan rumus luas persegi yang sisinya s, luasnya (L) = s2.
Luas = Sisi (s)² 2 satuan
Gambar 2.1. Persegi
Pada langkah mengembangkan sifat ingin tahu siswa, yaitu siswa diminta menemukan rumus luas persegi panjang dengan menggunakan persegi satuan. Untuk mengetahui apakah siswa sudah menemukan apa yang diketahui, ditanya, dan penyelesaian dari soal guru memberikan pertanyaan kepada siswa. Susunlah persegi satuan pada bangun persegi panjang yang tersedia, ternyata pada sisi panjangnya ada 4 persegi satuan dan pada sisi lebarnya ada 3 satuan. Berapakah banyaknya persegi satuan yang dapat menutup daerah persegi panjang tersebut? Siswa mendapatkan hasil luasnya adalah 12 persegi satuan.
Siswa diminta untuk melakukan percobaan serupa untuk persegi panjang dengan berbagai macam ukuran dengan menggunakan persegi-persegi satuan. Guru bertanya pada siswa apakah mereka sudah mendapatkan rumus persegi panjang jika diketahui panjang sisinya p dan lebar sisinya l. Siswa mendapatkan rumus luas persegi panjang yang ukuran sisinya p dan l adalah L = p × l Pada langkah menciptakan masyarakat belajar, guru membagi siswa dalam 6 kelompok (kelompok 1 sampai 6). Siswa memecahkan permasahan tentang persegi dalam kehidupan sehari-hari dalam kelompok dengan bimbingan guru. Guru membagikan LKS yang berisi soalsoal tentang luas persegi dan persegi panjang kepada masing-masing kelompok. Kegiatan diskusi belum berjalan dengan baik karena siswa masih belum terbiasa. Kemudian masingmasing kelompok melaporkan tugas kelompoknya. Disini masih terlihat siswa yang belum berani ke depan kelas. Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran, guru meminta perwakilan kelompok melaporkan tugas kelompok. Guru dapat membedakan siswa yang berani ke depan kelas dengan 713
yang tidak. mengoreksi tugas kelompok secara klasikal dengan menggunakan media yang dimiliki. Lakukan refleksi di akhir pertemuan, Meminta siswa mencatat di buku catatan tentang pelajaran materi luas persegi dan persegi panjang. Kegiatan akhir pelaksanaan tindakan ini adalah membimbing siswa menyimpulkan pelajaran. Pada langkah melakukan penilaian sebenarnya dengan berbagai cara, yaitu dengan memberikan soal latihan berupa essay sebanyak 4 buah dan memberikan penilaian terhadap tugas yang dikerjakan. Kegiatan pada siklus I rangkaian belajar melalui pendekatan CTL diakhiri dengan perhitungan nilai masing-masing siswa mendapatkan kriteria Hasil tes yang diperoleh pada siklus I pertemuan 1 mencapai rata-rata penguasaan 80%. Akan tetapi masih ada 12 anak yang belum mencapai ketuntasan 75, (Kriteria keberhasilan menurut BSNP (2006:12)). Penyebabnya adalah kurangnya bimbingan guru dalam penanaman konsep bangun datar, kurang memotivasi siswa pada tahap inkuiri saat penguasaan materi mencari luas bangun datar sehingga siswa kurang antusias dalam menguasai materi tersebut. Proses Pembelajaran Siklus II Karena pada siklus I masih terdapat permasalan tentang kurangnya bimbingan terhadap siswa dalam melakukan inkuiri dan kurangnya memotivasi siswa, maka dipandang perlu untuk melaksanakan siklus II. Pertemuan 1 pada siklus II dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 4 Juni 2009 mulai pukul 07.00-08.10 WIB. Pembelajaran berlangsung selama 70 menit. Pelaksanaan proses pembelajaran ini adalah dengan menggunakan pendekatan CTL, dengan tahapan sebagai berikut: Proses pembelajaran diawali dengan memberikan salam dan memperhatikan kesiapan untuk memulai pelajaran, berdoa sebelum memulai pelajaran, mengambil absen, menyampaikan tujuan pembelajaran sesuai dengan indikator dalam RPP. Langkah pertama mengembangkan pemikiran siswa dengan cara bekerja sendiri, yaitu siswa mengamati lingkungan sekitar sekolah untuk menentukan luas ruangan kelas, meja, papan tulis, dan sebagainya. Pada langkah melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri, siswa menentukan luas dengan mengukur dan menggunakan rumus luas persegi atau persegi panjang. Siswa melakukannya dengan cara langsung, melakukan aktivitas mengukur dan menghitung dengan cara kelompok. Pada langkah mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya, siswa diberikan permasalahan tentang luas permukaan yang berbentuk persegi dan persegi panjang secara perseorangan, siswa diminta untuk mengidentifikasi apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan bagaimana menjawabnya. Pada langkah menciptakan masyarakat belajar adalah dengan mengajukan, secara kelompok. Guru membagikan LKS pada masing-masing kelompok yang berisi permasalahan tentang pembelian sebidang tanah dan membimbing siswa diminta untuk menentukan mana tanah yang lebih luas dan harga yang relatif murah, dan permasahan tentang persegi dan persegi panjang dalam kehidupan sehari-hari lainnya. Pada langkah menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran. Setelah melakukan diskusi kelompok perwakilan kelompok melaporkan hasil diskusi ke depan kelas dan menuliskan di papan tulis. Guru mengoreksi tugas kelompok secara klasikal dengan menggunakan media yang dimiliki. Selanjutnya melakukan refleksi di akhir pertemuan, siswa mendengarkan penjelasan guru dan meminta siswa mencatat di buku catatan tentang apa yang telah dipelajari. Pada setiap kegiatan diatas pada siklus II guru mengingatkan siswa tentang pentingnya mempelajari luas bangun datar dan kaitannya dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan akhir pelaksanaan tindakan ini adalah membimbing siswa menyimpulkan pelajaran tentang luas persegi dan persegi panjang. Langkah yang terakhir adalah melakukan penilaian sebenarnya, peneliti memberikan latihan berupa essay sebanyak 5 buah soal dan memberikan penilaian terhadap tugas siswa. Berikut ini hasil belajar yang diperoleh siswa. Hasil tes yang diperoleh pada siklus II pertemuan 2 mencapai persentase 98%. Terlihat pada tabel siklus I dan Siklus II
714
Tabel Hasil Tes Siklus Siklus I No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Nama S.D A.S.D R.A S A A D.S E F.G F.U H I.P.S L.P.P M P.D.A R.S S.Z S.A S.A T.PA T.D.A V.A Z.H.M I.P.P M.E N.P.M F.M.Z F.H R
Siklus II Nilai
No
5,0 8,0 10 9,0 10 7,0 10 8,0 10 7,5 5,0 8,0 7,0 6,0 10 7,0 8,0 10 10 9,0 7,5 10 6,0 7,0 7,0 10 7,0 7,0 6,0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
Nama
Tes
S.D A.S.D R.A S A A DS E F.S F.U H I.P.S L.P.P M P.D.A R.S R.S S.Z S.A T.P.A T.D.A V.A Z.H.M I.P.P M.E N.P.M F.M.Z F.H R
10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Jumlah
232
Jumlah
289
Rata-rata
8,0
Rata-rata
9,8
Persentase
80%
Persen
98%
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Perencanaan pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar luas bangun datar melalui pendekatan CTL di kelas III SDN 200514 Labuhan Labo melalui tahapan 1). Mengembangkan pemikiran siswa dengan cara bekerja sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya, 2) Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri, 3) Mengembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya, 4) Menciptakan masyarakat belajar, 5) Hadirkan model sebagai contoh pembelajaran, 6) Melakukan refleksi di akhir pertemuan, 7) Melakukan penilaian penilaian sebenarnya dengan berbagai cara. 2. Pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan CTL dilaksanakan sesuai dengan tahapan pada perencanaan pembelajaran. 3. Peningkatan hasil belajar dapat dilihat dari hasil persentase ketuntasan dan aktivitas belajar siswa melalui pendekatan CTL mencapai 98%. 715
Saran 1. Bagi guru hendaknya pendekatan CTL dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam pembelajaran luas bangun datar. 2. Bagi peneliti lain, yang merasa tertarik dengan pendekatan CTL agar dapat melakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan CTL dengan menggunakan materi lain. DAFTAR RUJUKAN Indriastuti. 2008. Dunia Matematika untuk Kelas III SD dan M. Solo: PT Tiga Serangkai Mandiri. Kunandar. 2007. Guru Professional Implementasi Kurukulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Nasar. 2006. Merancang Pembelajaran Aktif dan Kontekstual Berdasarkan SISKO 2006. Jakarta: Grasindo.
PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN METODE PENEMUAN PADA MATERI KELILING PERSEGI PANJANG DI KELAS III A SD NEGERI INPRES KARTIKA Sunaryatin SDN Inpres Kartika Sentani
[email protected] Abstrak: Materi keliling persegi panjang di kelas III pertama kali diperkenalkan pada siswa, materi ini penting untuk mempelajari materi geometri berikutnya. Oleh karena itu alangkah baiknya apabila kita membekali siswa untuk memahami materi keliling persege panjang ini. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melaksanakan kegiatan pembelajaran kooperatif dengan metode penemuan. Tulisan ini adalah merupakan pengalaman yang dilakukan penulis saat membelajarkan materi keliling persegi panjang. Dengan menggunakan pembelajaran kooperatif dengan metode penemuan ini siswa belajar dengan senang, mengasyikkan, dan tidak membosankan. Kata Kunci: keliling persegi panjang, pembelajaran kooperatif, metode penemuan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat cepat memberikan dampak pada perubahan tuntutan hidup masyarakat. Pembelajaran yang berorientasi pada pemberdayaan berfikir siswa, nampaknya merupakan keharusan yang tidak dapat ditunda lagi. Karena hakikat pembelajaran adalah mengembangkan berfikir siswa sehingga mampu memecahkan masalahmasalah dalam kehidupan yang cukup dinamis. Untuk itu perlu upaya meningkatkan kualitas pendidikan matematika. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, sebagai guru di SDN Inpres Kartika sering menghadapi masalah di antaranya siswa tidak aktif dalam belajar dan kurangnya motivasi dalam belajar. Dampak dari gejala ini adalah hasil belajar siswa kurang memuaskan. Dalam belajar banyak siswa yang tidak aktif dan hanya pasif sebagai penerima pelajaran. Selain itu, banyak siswa yang beranggapan belajar matematika itu sulit dan menjenuhkan. Belajar matematika adalah belajar dengan rumus dan soal-soal. Dalam satu minggu pelajaran matematika biasanya diisi 6-8 jam. Siswa merasa belajar matematika banyak berpikir dan tentunya kurang mengasyikkan dan menarik bagi siswa. Ketidakberhasilan dalam pembelajaran tidak hanya disebabkan karena kurangnya motivasi dan peran aktif siswa saja, tetapi mungkin juga oleh pihak pengajar yaitu guru. Hal ini disebabkan oleh model pembelajaran yang dilakukan oleh guru monoton misalnya hanya dengan metode ceramah. Model pembelajaran seperti itu kurang menarik bagi siswa dan tidak melibatkan siswa secara aktif. Akibatnya siswa menjadi cepat jenuh dan malas untuk belajar. Apabila hal ini terus dibiarkan, akan berakibat adanya anggapan pelajaran matematika merupakan monster yang menakutkan, kurang disenangi siswa dan dianggap paling sulit dan hasil belajar matematika masih tetap kurang memuaskan. Untuk itu, guru harus mampu 716
menciptakan model pembelajaran yang bervariasai, suatu metode yang efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Disamping itu, penguasaan materi sangat diperlukan dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Hal itu ditegaskan oleh Asmara (2007) bahwa dalam proses pembelajaran guru harus mampu menciptakan situasi atau interaksi belajar mengajar. Interaksi dalam proses belajar yang menarik dan menyenangkan akan menumbuhkan minat yang tinggi bagi siswa. Interaksi antara guru dengan siswa tersebut untuk menumbuhkan rasa nyaman bagi siswa ketika mengikuti pembelajaran. Pembelajaran konsep keliling persegi dan persegi panjang di kelas 3 dari pengalaman guru agak sulit dipahami siswa apabila tidak menggunakan alat peraga. Siswa terpaksa belajar dalam suasana pasif yang pada akhirnya siswa merasa bosan. Materi pelajaran tidak seharusnya dipersepsi anak sebagai tugas atau sesuatu yang dipaksakan oleh guru, melainkan sebagai alat yang dibutuhkan dalam kehidupan anak. Pada saat proses pembelajaran berlangsung hendaknya juga melibatkan aktifitas anak dan bersifat bermain, serta bekerja sama dengan orang lain yang menyenangkan, meskipun sebenarnya mereka dituntut target untuk menyelesaikan materi pelajaran. Pembelajaran mencari keliling persegi dan persegi panjang ini akan lebih bermakna bila disampaikan dengan media yang konkrit. Dalam pembelajaran matematika sangat penting untuk menekankan media (peraga) untuk mengembangkan pemahaman siswa. Inovasi-inovasi baru dalam bidang pendidikan yang harus dimiliki guru adalah menerapkan model pembelajaran inovatif dan penggunaan media pembelajaran yang kreatif. Salah satu penerapan pembelajaran inovatif yang dapat memberikan pengalaman belajar pada siswa secara langsung adalah pembelajaran kooperatif (cooperativ learning). Dengan pembelajaran kooperatif diharapkan akan menjadi siswa yang kuat, tangguh, berkembang secara maksimal, dan mampu berkompetisi. Menurut Slavin (1997) pembelajaran kooperatif merupakan suatu metode dimana siswa belajar bersama-sama dalam kelompok dan anggota dalam kelompok tersebut saling bertanggung jawab satu dengan yang lain. Menurut Artzt dan Newman dalam Subanji (2012) bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pendekatan dimana para siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok kecil untuk memecahkan suatu masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif dengan menggunakan metode penemuan yang dipilih untuk materi keliling persegi dan persegi panjang. Menurut Sanjaya (2011: 197) Ada beberapa hal yang menjadi karakteristik utama dalam metode pembelajaran penemuan, yaitu: a. Metode penemuan menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan. Dalam proses pembelajaran, siswa tidak hanya berperan sebagai penerima pelajaran melalui penjelasan guru secara verbal, tetapi mereka berperan untuk menemukan sendiri inti dari materi pelajaran itu sendiri. b. Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahkan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapkan dapat menumbuhkan sikap percaya diri (self belief). Dengan demikian, metode pembelajaran penemuan menempatkan guru bukan sebagai sumber belajar akan tetapi sebagai fasilitator dan motivator belajar siswa. c. Tujuan dari penggunaan metode penemuan dalam pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis dan kritis atau mngembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental. Dengan demkian, dalam metode penemuan siswa tidak hanya dituntut agar menguasai materi pelajaran, akan tetapi bagaimana mereka dapat menggunakan kemampuan yang dimilikinya secara optimal. Seperti yang dapat disimak dari penjelasan di atas, maka metode penemuan merupakan bentuk dari pendekatan pembelajaran yang berorientasi kepada siswa. Adapun langkah-langkah rencana pelaksanaan pembelajaran akan diuraikan pada pembahasan berikut: Langkah-langkah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan di SD Negeri inpres Kartika Sentani tentang pembelajaran matematika dengan konsep keliling persegi dan persegi panjang guru menyusun rancangan RPP yang akan digunakan dalam melakukan kegiatan pembelajaran. Berikut ini rancangan RPP yang digunakan sebagai berikut: 717
A. Tahap pendahuluan Pada tahapan ini guru melakukan kegiatan sebagai berikut: Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai, yaitu siswa dapat menentukan keliling bangun persegi dan persegi panjang. Kemudian guru menunjukkan dua lembar kertas yang berbentuk persegi dan persegi panjang dan menanyakan kepada siswa apa perbedaan dari persegi dan persegi panjang. Kemudian menanyakan lagi ciri-ciri persegi dan persegi panjang. B. Kegiatan Inti pembelajaran Pada tahap ini Guru memberikan pertanyaan-pertanyaan sederhana, misalnya: bagaimana cara menghitung keliling bangun persegi dan bangun persegi panjang yang ibu pegang? Sehingga diharapkan siswa memunculkan permasalahan dari konsep keliling tersebut. Adapun permasalahan yang akan dibahas pada pelajaran ini yaitu: Bagaimana cara mencari keliling bangun persegi dan bangun persegi panjang? Berikut ini adalah contoh fasilitas yang diberikan oleh guru agar siswa melakukan eksplorasi untuk menemukan keliling bangun persegi panjang. Persegi Panjang
l
p 1. Ambil bangun persegi panjang dan sedotan yang telah disiapkan. 2. Tempatkan sedotan pada keliling persegi panjang. Ada berapa sedotan yang diperlukan untuk mengelilingi bangun persegi panjang?
Banyaknya sedotan yang diperlukan untuk mengelilingi bangun persegi panjang disebut Keliling persegi panjang Jadi rumus keliling persegi panjang adalah ….
Persegi Tunjukkan panjang dan lebar bangun persegi di samping! Apakah ukuran panjang dan lebarnya sama? Bagaimana cara kamu mencari keliling persegi tersebut? Apakah sama dengan mencari keliling bangun persegi panjang?
Setelah melakukan kegiatan, masing-masing kelompok melakukan presentasi dan kelompok yang lain menanggapinya. Kemudian bersama-sama siswa, guru menyimpulkan hasil percobaan yang telah dilakukan siswa. Guru bertanya kembali tentang permasalahan yang muncul saat pembelajaran dimulai. Guru memberikan kesempatan yang seluas-lusanya kepada siswa untuk bertanya, menyampaikan pendapatnya atau pengalaman-pengalaman siswa selama mereka praktek mencari keliling persegi dan persegi panjang. Guru melakukan konfirmasi bahwa mencari keliling persegi sama dengan keliling persegi panjang hanya panjang dan lebar ukurannya sama.
718
Sebagai tindak lanjut guru memberikan soal sebagai berikut: 1. Hitunglah keliling bangun persegi di samping! 8 cm
2. 5 cm
Hitunglah keliling bangun persegi panjang di samping!
8 cm 3. Diketahui keliling bangun persegi adalah 20 cm. Berapakah panjang sisi bangun persegi tersebut? 4. Diketahui keliling bangun persegi panjang 24 cm. Berapakah panjang sisi bangun persegi panjang tersebut? Ada berapa bangun persegi panjang yang kamu temukan? PENUTUP Pembelajaran matematika di SD tidak terlepas dari karakteristik siswa dan hakekat matematika. Siswa SD belum dapat berpikir deduktif aksiomatik, sedangkan matematika adalah ilmu yang abstrak dan deduktif aksiomatik. Untuk menjembatani antara matematika yang deduktif dan siswa yang belum dapat berpikir deduktif, maka pembelajaran matematika di SD hendaknya menggunakan alat peraga atau media. Pembelajaran mencari keliling persegi dan persegi panjang dengan model pembelajaran kooperatif dengan metode penemuan dapat menciptakan suasana belajar yang bermakna. Dengan menggunakan metode penemuan, diharapkan siswa belajar dengan senang, mengasyikkan, dan tidak membosankan DAFTAR RUJUKAN Slavin. 1997. ”Synthesis of research on cooperative learning” dalam Educational Leadership,Tahun XL(5):71-82. Asmara, Husna. 2007. Penulisan Karya Ilmiah. Pontianak : Fahruna Bahagia. Sanjaya, w. 2009. Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Subanji. 2012. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif, TEQIP.Malang: Kerjasama PT.Pertamina (Persero) dengan Universitas Negeri Malang (UM).
PENERAPAN KOOPERATIF STAD DALAM MENEMUKAN RUMUS LUAS TRAPESIUM SISWA KELAS V SD 071 TANJUNG MOMPANG Khairani Abstrak: Selama ini pembelajaran Matematika merupakan pembelajaran yang membosankan bagi siswa Kelas V pada SD 071 Tanjung Mompang, siswa merasa pembelajaran tidak bermakna dan tidak menyenangkan, sehingga siswa tidak antusias belajar. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan dalam proses pembelajarannya agar lebih bermakna. Pembelajaran menemukan rumus luas bangun datar dilakukan melalui penerapan kooperatif STAD dengan media bangun datar (trapesium dan persegi panjang). Hasilnya menunjukkan lebih dari 50% siswa antusias dalam belajar. Kata kunci: Kooperatif STAD, luas trapesium
719
Dalam usaha meningkatkan kualitas pembelajaran matematika di SD khususnya kelas V, perlu kiranya guru berani mecoba untuk menerapkan model pembelajaran yang lebih bervariatif daripada sekedar melakukan ceramah tanya jawab. Model pembelajaran merupakan suatu pola yang dapat kita gunakan untuk mendesain pola-pola kita mengajar secara tatap muka di dalam kelas dan untuk menentukan material dan perangkat pembelajaran, seperti yang diungkapkan Joice dan Weil (Subanji, 2012:9) setiap model mengarahkan kita dalam merancang pembelajaran untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran. Slavin menyatakan belajar kooperatif adalah siswa belajar bersama dalam kelompok dan anggota kelompok bertanggung jawab terhadap satu dengan yang lain (Subanji, 2012:7). Belajar kooperatif memungkinkan siswa belajar dalam kelompok yang heterogen. Kenyataan di kelas V SD 071 Tanjung Mompang.menunjukkan tingkat kemampuan dan minat siswa bervariasi. Oleh karena itu, pembelajaran kooperatif STAD diduga dapat meningkatkan antusiasme belajar siswa. Penguasaan guru terhadap materi yang akan dibelajarkan dan karakteristik siswanya dapat membantu guru dalam menentukan model pembelajaran termasuk pemilihan media yang relevan., agar pembelajaran bermakna dan menyenangkan. Sehingga diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami materi pelajaran yang disampaikan. Dalam membelajarkan juga diperlukan media, seperti yang diungkapkan Mutikasari (2009) bahwa manfaat media pembelajaran adalah penyampaian materi pelajaran yang dapat diseragamkan ,proses pembelajaran menjadi jelas dan menarik, menjadi lebih interaktif, efisiensi dalam waktu, tenaga, dan meningkatkan kualitas hasil belajar siswa. LANGKAH-LANGKAH PEMBELAJARAN Kompetensi Dasar yang terkait dengan luas trapesium adalah: menghitung luas trapesium dan layang-layang. Indikatornya adalah sebagai berikut: 1. menentukan rumus luas trapesium; 2.menentukan ukuran sisi sejajar trapesium; 3. menghitung luas bangun trapesium. Sebelum dilakukan pembelajaran, dikembangkan sebuah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang dilengkapi dengan Lembar Kegiatan Kelompok (LKK) termasuk soal kuis dan media yang terkait. Media atau peraga yang digunakan adalah model persegi panjang dan trapesium yang terbuat dari karton berwarna. Pembelajaran dilaksanakan selama 2 jam pelajaran diawali dengan berdoa, memeriksa kehadiran siswa, dan menanyakan kesiapan siswa. Pembagian kelompok telah dilaksanakan sebelum pembelajaran dimulai. Setiap kelompok terdiri dari siswa dengan kemampuan yang heterogen. Pada kegiatan awal, guru melaksanakan apersepsi dengan menanyakan rumus luas persegi panjang, dan melalui peragaan guru mengingatkan beberapa jenis trapesium yaitu trapesium siku-siku,trapesium sama kaki, dan trapesium sembarang, kemudian meminta siswa menunjukkan sisi sejajar pada trapesium dan tinggi trapesium. Selanjutnya, pada kegiatan inti, melalui kegiatan tanya jawab guru memotong trapesium siku siku menjadi 2 bagian berdasarkan tinggi trapesium. Kemudian potongan-potongan yang terjadi disusun menjadi persegi panjang. Guru bertanya, apakah luas persegi panjang yang terbentuk sama dengan luas trapesium semula? Dilanjutkan dengan menanyakan kepada siswa, ukuran panjang persegi panjang sama dengan ukuran trapesium bagian mana? Apakah ukuran lebar persegi panjang sama dengan ukuran tinggi trapesium? Pada kegiatan ini, siswa merasa senang dan antusias dalam menjawab pertanyaan yang diajukan. Berikutnya, setiap kelompok diberikan LKK yang berisi tentang aktifitas mencari ukuran sisi sejajar trapesium dan menentukan sisi mana yang ditetapkan sebagai alas trapesium dengan menggunakan penggaris, dilanjutkan dengan mengukur tinggi trapesium. Aktifitas
720
berikutnya adalah menghitung luas trapesium. Pada tahapan ini, siswa tampak aktif bertukar pendapat dalam mengerjakan tugas kelompok. Kemudian dilanjutkan dengan mempresentasikan hasil kerja kelompok. Pada tahapan ini, semua kelompok berlomba-lomba untuk tampil mempresentasikan. Dengan mempertimbangkan waktu dan variasi jawaban kelompok, hanya 2 kelompok yang diminta untuk presentasi. Tetapi sebagian besar siswa tetap antusias untuk menanggapi jawaban kelompok yang presentasi. Jika dibandingkan dengan pembelajaran sebelumnya, keantusiasan siswa untuk terlibat dalam pembelajaran tampak berbeda. Biasanya hanya satu atau dua siswa saja yang terlibat dalam tanya jawab di kelas. Kegiatan berikutnya adalah berupa kuis secara lisan. Siswa tetap tampak antusias dengan berlomba lomba tunjuk tangan untuk menjawab. Dan hampir semua pertanyaan yang diberikan dapat terjawab dengan benar. Pada kegiatan akhir, guru memberikan penguatan dengan menanyakan kembali bagaimana menghitung luas trapesium jika diketahui ukuran alas dan tingginya. Pembelajaran ditutup dengan memberikan pekerjaan rumah. PENUTUP Pembelajaran dengan model kooperatif STAD dilengkapi dengan media bangun datar (trapesium dan persegi panjang) dapat meningkatkan antusiasme belajar siswa untuk tercapainya kompetensi dasar yang telah ditetapkan. Dengan pembelajaran bermakna, yaitu menemukan luas trapesium melalui luas persegi panjang yang sebelumnya telah dikuasai siswa; dapat mempertahankan ingatan siswa tentang luas trapesium. Untuk teman sejawat disarankan untuk berani mencoba metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik materi maupun karakteristik siswa, dan tidak hanya menggunakan metode ceramah tanya jawab. DAFTAR RUJUKAN Subanji, 2012. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Kerjasama PT. Pertamina dengan Universitas Negeri Malang Murtikasari, A.2009. Mengenal media pembelajaran.Penerbit tidak diketahui
DEFRAGMENTING BERPIKIR PSEUDO SISWA DALAM MEMECAHKAN MASALAH LIMIT FUNGSI Kadek Adi Wibawa Subanji Tjang Daniel Chandra Pendidikan Matematika PPS UM
[email protected] Abstrak: Dalam memecahkan suatu masalah kemungkinan siswa mengalami berpikir pseudo-salah, artinya siswa memberikan jawaban yang salah tetapi mampu memperbaikinya menjadi jawaban yang benar setelah melakukan refleksi (Defragmenting). Defragmenting merupakan proses penataan struktur berpikir siswa yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah dibuat. Hasil penelitian yang disajikan adalah mengenai proses berpikir siswa yang berpikir pseudo dalam memecahkan masalah limit fungsi serta defragmenting yang dilakukan, mulai dari siswa berkemampuan rendah, sedang dan tinggi. Proses berpikir pseudo siswa dikaji berdasarkan aktivitas problem solving. Kata kunci: Berpikir Pseudo, Defragmenting, Limit Fungsi
721
Beberapa tahun terakhir telah banyak peneliti yang mengkaji tentang upaya meningkatkan pemahaman siswa dalam memecahkan masalah limit fungsi (Pons, Valls, & Llinares, 2011; Hariyono, 2010; Juter, 2007; Huillet, 2005). Berdasarkan hasil kajian tersebut, diperoleh beberapa temuan, antara lain: siswa kesulitan dalam memahami nilai suatu limit fungsi jika tidak diberikan tabel yang menghubungkan antara domain (daerah asal) dan range (daerah hasil). Siswa masih memberikan jawaban yang salah dalam menentukan nilai suatu limit fungsi aljabar yang mengharuskan adanya manipulasi-manipulasi dalam menyelesaikannya, menyatakan definisi suatu limit fungsi, dan menjelaskan makna dari nilai suatu limit fungsi. Hasil observasi yang dilakukan di kelas XI IPA 4 SMAN 1 Malang juga menunjukkan bahwa kurangnya pemahaman siswa mengenai prosedur-prosedur yang harus ia gunakan dalam memecahkan masalah limit fungsi. Hal ini terlihat pada ekspresi siswa ketika diminta mengerjakan soal dengan tipe yang sedikit berbeda, siswa tampak kebingungan untuk memilih prosedur yang harus ia gunakan sehingga guru harus menjelaskan kembali apa yang harus dilakukan siswa agar dapat menyelesaikannya. Kesulitan yang dialami siswa ini disebabkan karena guru kurang memberikan penekanan pada tujuan mengapa prosedur–prosedur pada proses memecahkan masalah limit fungsi dilakukan, seperti: mengapa harus mensubstitusi nilai suatu variabel ke aturan limit fungsi yang diketahui, mengapa harus memfaktorkan, mengalikan sekawan, atau membagi setiap suku dengan variabel tertentu. Keadaan seperti ini di ungkapkan oleh Vinner (1997) sebagai pemecahan masalah-pseudo, suatu keadaan dimana siswa tidak benar-benar menggunakan pikirannya untuk menyelesaikan suatu masalah. Pemecahan masalah merupakan proses penyelesaian suatu situasi yang dihadapi siswa, yang memerlukan solusi baru dan jalan/cara untuk menuju solusi tersebut tidak segera diketahui (Posamentier & Krulik, 1998:1). Dalam hal ini masalah yang diberikan kepada siswa berupa masalah yang bersifat menantang, sehingga siswa merasa tertarik untuk mampu memecahkannya dan menemukan solusinya. Masalah yang diberikan harus sesuai dengan kondisi kognitif siswa, artinya masalah yang diberikan dapat dimengerti oleh siswa hanya saja solusinya belum segera diketahui. Dalam menyelesaikan masalah, terdapat beberapa kemungkinan jawaban yang terjadi pada siswa. Untuk siswa yang memberikan jawaban benar dan mampu memberikan justifikasi, berarti jawabannya “benar sungguhan”, hal ini sudah wajar. Sebaliknya, siswa yang menunjukkan jawaban benar, tetapi tidak mampu memberikan justifikasi terhadap jawabannya, maka kebenaran jawabannya hanya “kebenaran semu”. Sedangkan siswa yang menunjukkan jawaban salah dan setelah refleksi tetap menghasilkan jawaban salah, berarti proses berpikir siswa tersebut memang “salah sungguhan”. Perilaku lain yang mungkin adalah siswa memberikan jawaban salah, tetapi setelah melakukan refleksi mampu memperbaikinya sehingga menjadi jawaban benar, menurut Vinner (1997) siswa tersebut berada pada posisi berpikir pseudo-salah. Selanjutnya dalam penelitian ini hanya dikaji proses berpikir siswa yang pseudosalah. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa pseudo-salah akan merugikan siswa, karena sebanarnya siswa mampu menyelesaikan, tetapi karena proses refleksinya tidak maksimal, sehingga jawaban yang dihasilkan masih salah. Selanjutnya penataan (defragmenting) proses berpikir dikaji berdasarkan peta kognitif (cognitive maps) untuk memperbaiki berpikir pseudo siswa dalam memecahkan masalah. Wundt (dalam Suyono & Hariyanto, 2011:73) menyatakan bahwa kognitif adalah sebuah proses aktif dan kreatif yang bertujuan membangun struktur melalui pengalaman-pengalaman. Wundt percaya bahwa pikiran adalah hasil kreasi para siswa yang aktif dan kreatif yang kemudian disimpan di dalam memori. Hasil kreasi yang aktif dan kreatif inilah yang selanjutnya akan membentuk suatu jaringan yang saling terhubung. Jaringan-jaringan yang terbentuk merupakan struktur berpikir siswa dalam memecahkan suatu masalah. Struktur berpikir siswa akan tampak melalui peta kognitif yang dibuatnya. Melalui peta kognitif inilah peneliti melakukan penataan (defragmenting) untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang muncul pada proses berpikir siswa. Penelitian tentang upaya meningkatkan kemampuan pemecahan masalah limit fungsi telah dikaji oleh banyak peneliti, seperti Pons, Valls, & Llinares (2011); Hariyono (2010); Juter (2007); Huillet (2005), namun kajian tersebut belum sampai pada pengkajian proses berpikir siswa ketika memecahkan masalah limit fungsi. Dalam memecahkan suatu masalah kemungkinan siswa mengalami berpikir-pseudo, dimana jawaban yang benar belum tentu 722
dihasilkan dari proses berpikir yang benar, artinya kemungkinan siswa tidak mampu memberikan justifikasi pada jawaban yang diberikan. Begitu pula jawaban yang salah, belum tentu dihasilkan dari proses berpikir yang salah, artinya kemungkinan siswa akan mampu memperbaiki kesalahannya melalui refleksi yang dilakukan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, dikaji defragmenting berpikir pseudo siswa dalam memecahkan masalah limit fungsi. METODE Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data yang bersifat deskriptif karena menjelaskan tentang proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah limit fungsi dan defragmenting yang dilakukan peneliti untuk memperbaiki berpikir pseudo siswa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu dilakukan pada kondisi yang alamiah (langsung ke sumber data) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Malang pada semester ganjil tahun 2013/2014 pada siswa yang “sudah” mempelajari materi limit fungsi. Dipilihnya siswa yang “sudah” mempelajari materi limit fungsi, karena pada materi limit fungsi siswa sudah diajarkan mengenai pengertian limit fungsi, mencari nilai dari suatu limit fungsi, dan sebagainya sehingga materi tentang limit fungsi masih tersimpan di dalam memori siswa. Subjek yang dipilih sebanyak 3 orang, yaitu siswa yang berkemampuan rendah, sedang dan tinggi. Data yang dikumpulkan dari penelitian ini adalah data: 1) hasil validasi lembar tugas 2) jawaban siswa sebelum dilakukan defragmenting 3) peta kognitif yang dibuat siswa ketika dilakukan defragmenting 4) jawaban siswa setelah dilakukan defragmenting 5) hasil wawancara dengan siswa (subjek) yang di rekam menggunakan voice recorder dan handycam. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan teknik analisis data kualitatif deskriptif. Dalam hal ini peneliti menggunakan analisis data model Milles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2011:246253) yaitu mereduksi data, penyajian data, dan menarik kesimpulan. HASIL Penelitian ini mendeskripsikan proses berpikir pseudo dan defragmenting yang dilakukan oleh peneliti dalam upaya memperbaiki berpikir pseudo siswa dalam memecahkan masalah limit fungsi. Untuk itu dipaparkan 3 subjek penelitian yang memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu subjek 1 (S1) adalah siswa yang berkemampuan rendah, subjek 2 (S2) siswa yang berkemampuan sedang, dan subjek 3 (S3) siswa yang berkemampuan tinggi. Ketiga subjek ini digunakan untuk mengeksplorasi terjadinya proses berpikir pseudo siswa dalam memecahkan masalah limit fungsi dan defragmenting yang dilakukan. 1. Deskripsi Berpikir Pseudo Siswa dalam Memecahkan Masalah Limit Fungsi a. Deskripsi Proses Berpikir Pseudo Subjek 1 (S1): Siswa Berkemampuan Rendah (i) Memahami Masalah Dalam memahami masalah S1 menceritakan bahwa yang diketahui dari masalah yang diberikan adalah titik sudut-titik sudut segiempat N dan segiempat M diperoleh dari titik tengah sisi-sisi segiempat N. S1 juga menceritakan bahwa yang ditanyakan adalah gambar dari dua segiempat yang diketahui pada koordinat kartesius dan limit mendekati tak hingga keliling M dibagi keliling N. (ii)Merencanakan cara penyelesaian Dalam wawancara yang dilakukan S1 mengatakan bahwa ia tidak memiliki strategi untuk memecahkan masalah yang diberikan tetapi S1 menceritakan bahwa ia harus menggambar segiempat N dan M dalam koordinat kartesius, kemudian mencari keliling M dan N. (iii) Melaksanakan rencana Pertama, S1 menempatkan koordinat-koordinat yang diketahui pada diagram kartesius, kemudian menghubungkan keempat koordinat tersebut sehingga membentuk segiempat N. S1 menghubungkan titik tengah sisi-sisi segiempat N dan memperoleh segiempat M. Setelah menggambar, S1 menuliskan kemudian S1 menghitung keliling segiempat M menggunakan rumus sisi + sisi + sisi + sisi. Melalui asumsi bahwa setengah dari sisi-sisi segiempat M adalah setengah dari panjang titik pangkal ke titik sudut segiempat N, S1 menemukan bahwa panjang sisi segiempat M berturut-turut adalah dan . Kemudian S1 menghitung 723
keliling segiempat M menggunakan rumus sisi + sisi + sisi + sisi. S1 menghitung masing-masing sisi menggunakan konsep Pythagoras dan menemukan sisi-sisi segiempat M adalah , , , dan . Kemudian S1 menyederhanakan masing-masing perhitungan dan menuliskan hasil dari penyederhanaan yang dilakukan. (iv) Melakukan Pengecekan Kembali Dalam wawancara yang dilakukan S1 mengatakan bahwa ia belum melakukan pengecekan kembali terhadap jawaban yang is tuliskan. b. Deskripsi Proses Berpikir Pseudo Subjek 2 (S2): Siswa Berkemampuan Sedang (i) Memahami Masalah Dalam memahami masalah S2 menceritakan bahwa yang diketahui dari masalah yang diberikan adalah titik sudut-titik sudut segiempat N, titik tengahnya dihubungkan diperoleh segiempat M. S2 juga menceritakan bahwa yang ditanyakan adalah limit tak hingga keliling M per keliling N. (ii) Merencanakan cara penyelesaian S2 menceritakan rencananya adalah mencari keliling M dan keliling N. (iii) Melaksanakan rencana Pertama, S2 menempatkan koordinat-koordinat yang diketahui pada diagram kartesius, kemudian menghubungkan keempat koordinat tersebut sehingga membentuk segiempat N. S2 menghubungkan titik tengah sisi-sisi segiempat N dan memperoleh segiempat M. Setelah menggambar S2 menuliskan kemudian S2 menghitung keliling segiempat N. Pertama ia memisalkan panjang salah satu sisi segiempat N adalah , kemudian mencari menggunakan konsep Pythagoras dan ditemukan bahwa dan keliling N = . Kemudian S2 mencari keliling M dengan memisalkan panjang salah satu sisi segiempat M adalah , kemudian S2 mencari dengan menggunakan Pythagoras dan di temukan bahwa . Dengan manipulasi aljabar diperoleh
12−141/2 dan diperoleh keliling M = 4214 2+12−141/2 . Kemudian S2 menghitung
=
.
(iv) Melakukan Pengecekan Kembali Dalam wawancara yang dilakukan S2 melakukan pengecekan kembali terhadap jawaban yang ia tuliskan. Ia melakukan perbaikan pada bentuk pangkat yang sebelumnya pangkat setengah diganti menjadi bentuk akar. c. Deskripsi Proses Berpikir Pseudo Subjek 3 (S3): Siswa Berkemampuan Tinggi (i) Memahami Masalah Dalam memahami masalah, S3 menceritakan bahwa yang diketahui dari masalah yang diberikan adalah segiempat N yang titik sudut-titik sudutnya dan , ada kata-kata segiempat berarti nya sama dengan 1 dan sama dengan . Di perjelas bahwa kalau segiempat sisinya harus sama. Segiempat M diperoleh dengan menghubungkan titik tengah sisi-sisi N. S3 menceritakan juga bahwa yang ditanyakan yang pertama gambarkan kedua segiempat pada koordinat kartesius, kedua menentukan limit tak hingga dari keliling M per keliling N dan memberikan deskripsi serta alasan. (ii) Merencanakan cara penyelesaian S3 menceritakan rencananya adalah mencari keliling. Untuk mencari keliling butuh sisi. (iii) Melaksanakan rencana Pertama, S3 menempatkan koordinat-koordinat yang diketahui pada diagram kartesius, kemudian menghubungkan keempat koordinat tersebut sehingga membentuk segiempat N. S3 menghubungkan titik tengah sisi-sisi segiempat N dan memperoleh segiempat M. Kemudian S3 memberikan nama pada masing-masing titik sudut. Selanjutnya S3 menghitung keliling N menggunakan rumus . Dengan 724
memperhatikan segitiga ABO dan menggunakan teorema Pythagoras S3 menemukan sehingga diperoleh keliling N sama dengan . Kemudian S3 mencari keliling M menggunakan rumus . Dengan memperhatikan segitiga AEF dan menggunakan teorema Pythagoras S3 menemukan sehingga diperoleh keliling M sama dengan . Selanjutnya S3 menentukan . (iv) Melakukan Pengecekan Kembali Dalam wawancara yang dilakukan S3 melakukan pengecekan kembali terhadap jawaban yang ia tuliskan. Ia melengkapi jawaban yang dituliskan dengan memberikan deskripsi, artinya limit dengan batasn tak hingga. 2. Defragmenting Berpikir Pseudo Siswa dalam Memecahkan Masalah Limit Fungsi Tahapan defragmenting (penataan struktur berpikir) yang dilakukan oleh peneliti adalah (i) meminta siswa untuk membuat peta kognitif yang dibantu oleh peneliti (ii) memberikan pertanyaan yang menuntut siswa untuk berpikir dan mengingat kembali materi atau konsep yang pernah dipelajari (iii) meminta siswa menjelaskan hubungan antar konsep yang dibuat dalam peta kognitif (iv) meminta siswa untuk mengerjakan kembali masalah yang diberikan sesuai dengan peta kognitif yang telah dibuat. Hasil defragmenting berpikir pseudo siswa dalam memecahkan masalah limit fungsi tersaji sebagai berikut: a. Subjek 1 (S1): Siswa Berkemampuan Rendah S1 mengawali peta kognitif yang dibuat dengan menuliskan Limit Fungsi sebagai masalah utama dalam lembar tugas yang diberikan. Kemudian S1 menuliskan yang diketahui dan ditanyakan. Berdasarkan yang diketahui, yaitu titik sudut segiempat N, S1 mampu menjelaskan bahwa gambar yang terbentuk adalah belah ketupat dan keliling belah ketupat adalah 4 kali sisi, untuk mencari panjang sisi S1 menggunakan teorema Pythagoras. Melalui hubungan dari titik tengah sisi-sisi segiempat N, S1 mengetahui bahwa itu membentuk segiempat M dan segiempat yang terbentuk adalah persegi panjang dengan keliling . Untuk mencari panjang dan lebar, S1 menggunakan konsep kesebangunan dua segitiga. Berdasarkan kedua keliling ini, S1 membuat hubungan terfokus pada yang ditanyakan, yaitu . Setelah melakukan perhitungan, S1 mampu menemukan keliling N dan M, serta membuat strategi menyelesaikan masalah limit fungsi untuk mendekati tak hingga, yaitu membagi setiap suku dengan variabel yang sama. Dan S1 memperoleh hasil bahwa . S1 juga mampu memberikan deskripsi yaitu ketika
mendekati tak hingga,
mendekati . (gambar peta kognitif siswa
berkemampuan rendah, terlampir) b. Subjek 2 (S2): Siswa Berkemampuan Sedang S2 mengawali peta kognitif yang dibuat dengan menuliskan Limit Fungsi sebagai masalah utama dalam lembar tugas yang diberikan. Kemudian S2 menuliskan yang diketahui dan ditanyakan. Berdasarkan yang diketahui, yaitu titik sudut pada segiempat N dan , S2 mampu menjelaskan bahwa gambar yang terbentuk adalah belah ketupat dan keliling belah ketupat adalah 4 kali sisi, untuk mencari panjang sisi S2 menggunakan teorema Pythagoras. Melalui hubungan dari titik tengah sisi-sisi segiempat N, S2 mengetahui bahwa itu membentuk segiempat M dan segiempat yang terbentuk adalah persegi panjang dengan keliling . Untuk mencari panjang dan lebar, S2 menggunakan konsep kesebangunan. Berdasarkan kedua keliling ini, S2 membuat hubungan terfokus pada yang ditanyakan, yaitu . S2 mampu mengingat bahwa cara untuk menyeseikan soal limit fungsi ada 4 cara, yang pertama substitusi, kemudian memfaktorkan, mengalikan sekawan dan terakhir membagi setiap suku dengan variabel. Setelah melakukan perhitungan, S2 mampu menemukan keliling N dan M, serta mimilih strategi menyelesaikan masalah limit fungsi untuk mendekati tak hingga, yaitu membagi 725
setiap suku dengan variabel yang sama. Dan S2 memperoleh hasil bahwa . S2 juga mampu memberikan deskripsi yaitu ketika
mendekati
maka
mendekati . (gambar peta kognitif siswa
berkemampuan sedang, terlampir) c. Subjek 3 (S3): Siswa Berkemampuan Tinggi S3 mengawali peta kognitif yang dibuat dengan menuliskan Limit Fungsi sebagai masalah utama dalam lembar tugas yang diberikan. Kemudian S3 menuliskan yang diketahui dan ditanyakan. Berdasarkan yang diketahui, yaitu titik sudut segiempat N, S3 mampu menjelaskan bahwa gambar yang terbentuk adalah belah ketupat dan keliling belah ketupat adalah sisi + sisi + sisi + sisi. Untuk mencari panjang sisi S3 menggunakan teorema Pythagoras. Melalui hubungan dari titik tengah sisi-sisi segiempat N, S3 mengetahui bahwa itu membentuk segiempat M dan segiempat yang terbentuk adalah persegi panjang dengan keliling panjang + panjang + lebar + lebar. Untuk mencari panjang dan lebar, S3 menggunakan konsep kesebangunan. Berdasarkan kedua keliling ini, S3 membuat hubungan terfokus pada yang ditanyakan, yaitu . S3 mampu mengingat bahwa cara untuk menyeseikan soal limit fungsi ada 3 cara, yang pertama substitusi, mengalikan sekawan dan terakhir membagi setiap suku dengan variabel. Setelah melakukan perhitungan, S3 mampu menemukan keliling N dan M, serta mimilih strategi menyelesaikan masalah limit fungsi untuk mendekati tak hingga, yaitu membagi setiap suku dengan variabel yang sama. Dan S3 memperoleh hasil bahwa . S3 juga mampu memberikan deskripsi yaitu ketika
mendekati tak hingga maka
mendekati .
(gambar peta kognitif siswa berkemampuan tinggi, terlampir) PEMBAHASAN Pembahasan tentang proses berpikir siswa dalam memecahkan masalah limit fungsi menggunakan empat langkah akvitas problem solving yang di gagas oleh Polya (2004) Empat langkah tersebut adalah memahami masalah, merencanakan cara penyelesaian, melaksanakan rencana, dan melakukan pengecekan kembali. Pada masing-masing langkah berisi beberapa deskriptor yang harus tampak pada proses pemecahan masalah yang dilaukan oleh siswa. Salah satu deskriptor pada langkah memahami masalah adalah siswa mampu menceritakan kembai apa yang diketahui dan ditanyakan pada masalah yang diberikan. Kedua, hal-hal yang diketahui dan ditanyakan haruslah jelas, artinya dapat dipahami dengan baik. Subjek 1 (S1) merupakan siswa yang berkemampuan rendah. Berdasarkan hasil penelitian, dalam memahami masalah S1 mampu menceritakan kembali apa yang diketahui dan ditanyakan. Hanya saja hal yang ditanyakan belum lengkap dipahami oleh S1. Setelah dilakukan defragmenting, S1 mampu melengkapi pemahamannya mengenai masalah yang diberikan. Dalam merencanakan cara penyelesaian, S1 menyatakan tidak memiliki strategi dalam memecahkan masalah yang diberikan akan tetapi S1 mengetahui hal pertama yang harus dilakukan, yaitu menggambar dan menentukan keliling segiempat N dan M. Setelah dilakukan defragmenting S1 memiliki gambaran yang lebih luas mengenai rencana yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah. Pada saat melaksanakan rencana, S1 mampu menggambar dengan benar dan membentuk segiempat sesuai dengan masalah yang diberikan. Akan tetapi S1 tidak mampu menemukan keliling segiempat dengan benar. S1 menyatakan panjang sisi dengan tanda negatif. Asumsi yang disampaikan S1 mengenai panjang setengah sisi segiempat M adalah panjang setengah dari titik pangkal ke titik sudut N tidak tepat sehingga berakibat pada hasil yang salah. Setelah dilakukan defragmenting, S1 mampu menjelaskan bentuk segiempat M dan N dan rumus keliling dari masing-masing segiempat sehingga S1 mampu memperbaiki kesalahannya. S1 juga mampu menyelesaikan masalah utama, yaitu limit fungsi dengan memanfaatkan keliling segiempat yang ditemukan dan dipandu dengan strategi membagi setiap suku dengan variabel yang sama. Dengan menjelaskan perbedaan fungsi dan limit fungsi akhirnya S1 mampu memberikan deskripsi dari jawaban yang ditemukan. Terakhir, dalam melakukan pengecekan kembali S1 menyatakan belum melakukan pengecekan. 726
Subjek 2 (S2) merupakan siswa yang berkemampuan sedang. Berdasarkan hasil penelitian, dalam memahami masalah S2 mampu menceritakan kembali apa yang diketahui dan ditanyakan. Hanya saja hal yang ditanyakan belum lengkap dipahami oleh S2. Setelah dilakukan defragmenting, S2 mampu melengkapi pemahamannya mengenai masalah yang diberikan. Dalam merencanakan cara penyelesaian, S2 masih terfokus pada mencari keliling M dan keliling N, belum memiliki rencana pada pengerjaan limit untuk mendekati tak hingga. Setelah dilakukan defragmenting S2 memiliki gambaran yang lebih luas mengenai rencana yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah dan mampu menjelaskan bahwa ada empat strategi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal limit fungsi.. Pada saat melaksanakan rencana, S2 mampu menggambar dengan benar dan membentuk segiempat sesuai dengan masalah yang diberikan. Akan tetapi S2 tidak mampu menemukan keliling segiempat dengan benar. S2 menggunakan panjang sisi yang belum dijamin benar dalam perhitungan menggunakan teorema Pythagoras yang berakibat pada hasil yang salah dan mengasumsikan bahwa segiempat M merupakan persegi, menurut Vinner (1997) S2 tidak benar-benar melalukan kontrol terhadap apa yang ia pikirkan sehingga menemukan hasil yang salah. Setelah dilakukan defragmenting, S2 mampu menjelaskan bentuk segiempat M dan N serta rumus keliling dari masing-masing segiempat, melalui pengerjaan ulang yang dilakukan, S2 mampu memperbaiki kesalahannya. S2 juga mampu menyelesaikan masalah utama, yaitu limit fungsi dengan memanfaatkan keliling segiempat yang ditemukan dan dipandu dengan strategi membagi setiap suku dengan variabel yang sama. Dengan menjelaskan perbedaan fungsi dan limit fungsi akhirnya S2 mampu memberikan deskripsi dari jawaban yang ditemukan. Pada saat memecahkan masalah S2 melakukan pengecekan kembali dengan memperbaiki beberapa konsep yang dinilainya salah. Subjek 3 (S3) merupakan siswa yang berkemampuan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, dalam memahami masalah S3 mampu menceritakan kembali apa yang diketahui dan ditanyakan secara lengkap. Namun ia belum memahami masalah dengan jelas. S3 mengasumsikan bahwa segiempat memiliki empat sisi yang sama panjang. Setelah dilakukan defragmenting, S3 mampu memperjelas dan memperbaiki pemahamannya, mengenai masalah yang diberikan. Dalam merencanakan cara penyelesaian, S3 masih terfokus pada mencari keliling M dan keliling N, belum memiliki rencana pada pengerjaan limit untuk mendekati tak hingga. Setelah dilakukan defragmenting S3 memiliki gambaran yang lebih luas mengenai rencana yang akan dilakukan untuk memecahkan masalah dan mampu menjelaskan bahwa ada tiga strategi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan soal limit fungsi.. Pada saat melaksanakan rencana, S3 mampu menggambar dengan benar namun tidak membentuk segiempat sesuai dengan masalah yang diberikan. Akibatnya S3 tidak mampu menemukan keliling segiempat dengan benar. S3 menggunakan panjang sisi yang belum dijamin benar dalam perhitungan menggunakan teorema Pythagoras yang berakibat pada hasil yang salah dan mengasumsikan bahwa segiempat M merupakan persegi, menurut Vinner (1997) S2 tidak benar-benar melalukan kontrol terhadap apa yang ia pikirkan sehingga menemukan hasil yang salah. Setelah dilakukan defragmenting, S3 mampu menjelaskan bentuk segiempat M dan N serta rumus keliling dari masing-masing segiempat, melalui pengerjaan ulang yang dilakukan, S3 mampu memperbaiki kesalahannya. S3 juga mampu menyelesaikan masalah utama, yaitu limit fungsi dengan memanfaatkan keliling segiempat yang ditemukan dan dipandu dengan strategi membagi setiap suku dengan variabel yang sama. Dengan menjelaskan perbedaan fungsi dan limit fungsi akhirnya S3 mampu memberikan deskripsi dari jawaban yang ditemukan, menurut Subanji (2011) siswa yang seperti ini merupakan siswa yang berpikir pseudo-salah. Pada saat memecahkan masalah S3 melakukan pengecekan kembali dengan melengkapi jawaban mengenai deskripsi nilai limit yang ditemukan. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, dalam memahami masalah siswa yang berkemampuan rendah lebih terfokus pada membaca soal yang diberikan dan tidak teliti dalam memahami apa yang ditanyakan. Siswa yang berkemampuan sedang memahami masalah dengan singkat dan menggunakan bahasanya sendiri akan tetapi masih belum lengkap dalam memahami yang ditanyakan dari masalah yang diberikan. Siswa yang berkemampuan tinggi memahami masalah dengan membaca soal yang diberikan kemudian memberikan asumsi-asumsi yang bertujuan untuk memperjelas yang diketahui, hanya saja asumsi yang diberikan salah. Setelah dilakukan 727
defragementing ketiga siswa mampu melakukan refleksi dan memahami masalah secara lengkap. Kedua, siswa yang berkemampuan rendah tidak menyadari telah membuat strategi untuk memecahkan masalah. Siswa yang berkemampuan sedang dan tinggi mampu menceritakan strategi yang digunakan, hanya saja belum lengkap. Setelah dilakukan defragmenting, siswa yang berkemampuan rendah mampu menceritakan strategi yang akan digunakan untuk memecahkan masalah. Bagi siswa yang berkemampuan sedang dan tinggi mampu melengkapi strategi yang digunakan dalam memecahkan masalah yang diberikan. Ketiga, siswa yang berkemampuan rendah melaksanakan rencana berangkat dari asumsi dan strategi yang dipikirkan. Beberapa asumsi yang dibuat membuat dirinya menjadi kebingungan dalam memecahkan masalah sehingga tidak dapat menyelesaikan masalah hingga tuntas. Setelah dilakukan defragmenting, ia memperbaiki asumsi yang telah dibuat dan mampu memecahkan masalah yang diberikan. Siswa yang berkemampuan sedang melaksanakan rencana berangkat dari strategi yang dipikirkan dan mampu menentukan salah satu tujuannya. Kesalahan dalam penggunaan teorema dan pemberian makna pada mendekati tak hingga membuatnya menghasilkan jawaban yang salah. Setelah dilakukan defragmenting, ia menyadari kesalahan penggunaan teorema yang dilakukan dan segera memperbaikinya dan menghasilkan jawaban yang benar sesuai dengan yang ditanyakan. Siswa yang berkemampuan tinggi melaksanakan rencana berangkat dari strategi yang dipikirkan. Ia tidak mampu memberikan jawaban yang benar karena asumsi yang salah ketika memahami masalah. Setelah dilakukan defragmenting, ia menyadari kesalahannya dengan mampu memberbaiki hingga menemukan jawaban yang benar. Keempat, siswa yang berkemampuan rendah tidak melakukan pengecekan kembali terhadap jawaban yang ditemukan. Siswa yang berkemampuan sedang melakukan pengecekan kembali pada konsep-konsep dasar yang digunakan. Dan siswa yang berkemampuan tinggi melakukan pengecekan kembali secara keseluruhan dan menyadari adanya kekurangan dalam jawaban yang harus dibuat. Saran dari peneliti, yang pertama adalah perlu adanya penelitian defragmenting berpikir pseudo siswa dalam menyelesaikan soal limit fungsi. Kedua, perlu adanya penelitian tambahan mengenai peta kognitif yang dibuat siswa sebelum dilakukan defragmenting. Ketiga, perlu adanya penelitian yang sama dengan materi yang berbeda untuk melihat proses defragmenting yang dilakukan. Diharapkan melalui penelitian ini, mampu memberikan gambaran tentang berpikir pseudo siswa dalam memecahkan masalah limit fungsi dan defragmenting yang dilakukan sehingga berdampak pada penentuan model pembelajaran yang tepat digunakan dalam kegiatan belajar mengajar. DAFTAR RUJUKAN Hariyono, S. 2010. Metode Pembelajaran Penemuan (Learning by Discovery) untuk Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Kelas XI IPA 1 MAN Gondanglegi Tahun Pelajaran 2009/2010 pada Materi Limit Fungsi Trigonometri. Malang: Universitas Negeri Malang Huillet, D. 2005. Mozambican teachers‟ professional knowledge about limits of functions. Psychology of Mathematics Education. Vol. 3, pp, 169-176. Juter, K. (2007). Students‟ Conceptions of Limits: High Achievers versus Low Achievers. The Montana Mathematics Enthusiast, ISSN 1551-3440, Vol. 4, no.1, pp. 53-65 Polya, G. How to Solve; A New Aspect of Mathematical Method. USA: Princeton University Press. Pons, J., Valls, J., Llinares, S. 2011. Coordination of Aproximations in Secondary School Students‟ Understanding of Limit Concept. Psychology of Mathematics Education. Vol 3, pp. 393-400. Posamentier, A. S. & Krulik, S. 1998. Problem Solving Strategies for Efficient and Elegant Solutions; A Resource for the Mathematics Teacher. USA: Corwin Press, Inc. Subanji. 2011. Teori Berpikir Pseudo Penalaran Kovariasional. Malang: Universitas Negeri Malang Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta Suyono dan Hariyanto. 2011. Belajar dan Pembelajaran; Teori dan Konsep Dasar. Surabaya: Rosda. 728
Vinner, S.1997. The Pseudo-Conceptual and the Pseudo-Analytical Thought Processes in Mathematics Learning. Educational Studies in Mathematics 34, pp. 97-129.
IDENTIFIKASI BERPIKIR KRITIS SISWA DALAM MENYELESAIKAN MASALAH MATEMATIKA Sutini Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Berpikir merupakan suatu proses yang berjalan secara berkesinambungan mencakup interaksi dari suatu rangkaian pikiran dan persepsi. Sedangkan berpikir kritis merupakan konsep dasar yang terdiri dari konsep berpikir yang berhubungan dengan proses belajar dan kritis itu sendiri berbagai sudut pandang selain itu juga membahas tentang komponen berpikir kritis dalam pembelajaran matematika yang di dalamnya dipelajari karakteristik, sikap dan standar berpikir kritis, analisis pertanyaan kritis, hubungan pemecahan masalah, pengambilan keputusaan dan kreatifitas dalam berpikir kritis serta faktor-faktor yang mempengaruhi berpikir kritis. Melalui pemecahan masalah-masalah itu siswa dilatih berpikir kritis melalui latihan.Hasil penelitian ini bahwa belum ditemukan berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan Kata kunci: Berpikir kritis, kemampuan berpikir kritis, siswa, dan pemecahan masalah
Berpikir kritis merupakan keterampilan penting bagi siswa, akademisi dan mereka yang berpikir membentuk aspek penting daripekerjaan mereka. Berpikir kritis adalah sebuah cara untuk melihat hal-hal dan istilah deskriptif untuk set metode yang digunakan untuk mempertimbangkan masalah. Kemampuan berpikir kritis sangat diperlukan oleh siswa mengingat bahwa dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat dan memungkinkan siapa saja bisa memperolah informasi secara cepat dan mudah dengan melimpah dari berbagai sumber dan tempat manapun di dunia. Hal ini mengakibatkan cepatnya perubahan tatanan hidup serta perubahan global dalam kehidupan. Jika para siswa tidak dibekali dengan kemampuan berpikir kritis maka mereka tidak akan mampu mengolah menilai dan megambil informasi yang butuhkannya untuk menghadapi tantangan tersebut. Oleh karena itu kemampuan berpikir kritis adalah merupakan kemampuan yang penting dalam mata pelajaran matematika. Sejalan dengan pernyataan di atas, penelitian – penelitian yang sudah yaitu R. Saurino dalam jurnal Concept Journaling to Increase Critical Thinking Dispositionsand Problem Solving Skills in Adult Education (2008) “ konsep jurnal meningkatkan disposisi berpikir kritis dan keterampilan dalam pemecahan masalah pendidikan tinggi” dan Einav Aizikovitsh-Udi dalam” Developing Critical Thinking Skill in Mathematics Education “(2009) “Strategi pengajaran berorientasi pada pengembangan keterampilan berpikir tingkat tinggi dipengaruhi kemampuan berpikir kritis siswa. Alasan bahwa membimbing pekerjaan dalam pengajaran tersebut dapat menumbuhkan keterampilan siswa dan disposisi terhadap berpikir kritis.” Berpikir kritis menerima peningkatan penekanan dari pendidik yang ingin menanamkan keterampilan berpikir analitis ke dalam kurikulum. Banyak pendidik tergoda untuk menyamakan pemikiran kritis dengan keterampilan berpikir tingkat tinggi dalam langkahlangkah terakhir dari taksonomi Bloom: analisis, sintesis dan evaluasi.Bloom menunjukkan bahwa taksonomi itu dimaksudkan "sebagai metode klasifikasi tujuan, pengalaman, proses belajar, pertanyaan evaluasi dan masalah pendidikan, tetapi tidak bermaksud untuk memberikan kendala pada filsafat pendidikan, metode pengajaran, atau pengembangan kurikulum." (Paul, 1985, 39.) Upaya telah dilakukan untuk mendefinisikan berpikir kritis (Ennis, 1981; Paul, 1985; Lipman, 1988). Berpikir kritis digambarkan sebagai pemikiran rasional tercermin dalam tindakan dan keputusan (Ennis, 1981; Hitchcock, 1983). Hal ini digunakan untuk memecahkan masalah, memilih antara alternatif, dan membuat penilaian (Beyer, 1995). Ini saham pertalian 729
dengan pemikiran kreatif dan pengambilan keputusan (Innabi dan El Sheikh, 2007). Lipman mendefinisikan berpikir kritis sebagai skillfull, pemikiran bertanggung jawab memfasilitasi keputusan yang baik karena 1) bergantung pada kriteria di buat, 2) Mengoreksi diri, dan 3) sensitif terhadap konteks. Selanjutnya, Ennis (1985: 55-56), mengidentifikasi 12 indikator berpikir kritis, yang dikelompokkannya dalam lima besar aktivitas sebagai berikut: a. Memberikan penjelasan sederhana, yang berisi: memfokuskan pertanyaan, menganalisis pertanyaan dan bertanya, serta menjawab pertanyaan tentang suatu penjelasan atau pernyataan. b. Membangun keterampilan dasar, yang terdiri atas mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya atau tidak dan mengamati serta mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi. c. Menyimpulkan, yang terdiri atas kegiatan mendeduksi atau mempertimbangkan hasil deduksi, meninduksi atau mempertimbangkan hasil induksi, dan membuat serta menentukan nilai pertimbangan. d. Memberikan penjelasan lanjut, yang terdiri atas mengidentifikasi istilah-istilah dan definisi pertimbangan dan juga dimensi, serta mengidentifikasi asumsi. e. Mengatur strategi dan teknik, yang terdiri atas menentukan tindakan dan berinteraksi dengan orang lain. Strategi yang paling sering dilakukan guru untuk mengaktifkan siswa adalah melibatkan siswa dalam diskusi dengan seluruh kelas, yaitu dari guru ke siswa dan dari siswa ke guru. Berdasarkan kondisi kegiatan pembelajaran tersebut, siswa tidak terlatih berpikir kritis. Padahal salah satu tujuan jangka panjang pembelajaran matematika adalah mengembangkan pemikiran yang kritis. Seperti dikatakan Fruner dan Robinson (2004) bahwa untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis matematis pembelajaran harus difokuskan pada pemahaman konsep dengan berbagai pendekatan daripada keterampilan prosedural. Berpikir mengarah ke masalah, menyadari informasi, pendekatan sistemik, dianggap dan logis untuk memutuskan apa yang harus percaya ataulakukan, dengan argumen dan kesimpulan yang lebih mungkin berlaku, dibuktikan, tahan terhadap kritik danwakil dari situasi.Berpikir kritis dapat muncul kapanpun dalam peroses penilaian, keputusan, atau penyelesaian masalah secara umum. Kapan pun seseorang berusaha untuk mengetahui apa yang perlu dipercaya, apa yang perlu diketahui alasannya. Proses pengolahannya melalui usaha dan reflektif seperti membaca, menulis, berbicara dan mendengar. Semua dapat dilakukan secara kritis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah pemikiran rasional yang tercermin dalam tindakan untuk memecahkan masalah dengan memahami penjelasan sederhana, mempertimbangkan sumber, menyimpulkan dan mengatur strategi dan teknik penyelesaian. Dalam penelitian ini akan dibahas tentang identifikasi berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika sehingga peneliti dapat memperoleh informasi apakah dalam kelas matematika terjadi berpikir kritis dalam memecahkan masalah. TINJAUAN PUSTAKA A. Berpikir Berpikir adalah aktivitas yang sifatnya mencari idea atau gagasan dengan menggunakan berbagai ringkasan yang masuk akal. Tri Rusmi dalam Perilaku Manusia (1996), mengatakan berpikir adalah suatu proses sensasi, persepsi, dan memori/ ingatan, berpikir mengunakan lambang (visual atau gambar), serta adanya suatu penarikan kesimpulan yang disertai proses pemecahan masalah. Berpikir merupakan suatu proses yang berjalan secara berkesinambungan mencakup interaksi dari suatu rangkaian pikiran dan persepsi. Sedangkan berpikir kritis merupakan konsep dasar yang terdiri dari konsep berpikir yang berhubungan dengan proses belajar dan kritis itu sendiri berbagai sudut pandang selain itu juga membahas tentang komponen berpikir kritis dalam pembelajaran matematika yang di dalamnya dipelajari karakteristik, sikap dan standar berpikir kritis, analisis pertanyaan kritis, hubungan pemecahan masalah, pengambilan keputusaan dan kreatifitas dalam berpikir kritis serta faktor-faktor yang mempengaruhi berpikir kritis.
730
B. Berpikir Kritis Menurut Desmita (2009: 153) berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpikir secara logis, reflektif, dan produktif yang diaplikasikan dalam menilai situasi untuk membuat pertimbangan dan keputusan yang baik. Martes (dalam Syaima, 2011: 18) mendefinisikan berpikir kritis sebagai suatu proses kesadaran dan kesengajaan yang digunakan untuk menginterpretasikan atau mengevaluasi informasi dan pengalaman dengan seperangkat kemampuan dan bakat reflektif yang menuntun kepada keyakinan dan tindakan. Berpikir kritis adalah proses intelektual dengan melakukan pembuatan konsep, penerapan, melakukan sintesis dan atau mengevaluasi informasi yang diperoleh dari observasi, pengalaman, refleksi,pemikiran, atau komunikasi sebagai dasar untuk meyakini dan melakukan suatu tindakan (Michael Seriven dan Richard Paul). Berpikir kritis adalah suatu proses dimana seseorang atau individu dituntut untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi informasi untuk membuat sebuah penilaian atau keputusan berdasarkan kemampuan,menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman. ( Pery & Potter,2005). Menurut Bandman dan Bandman (1988), berpikir kritis adalah pengujian secara rasional terhadap ide-ide, kesimpulan, pendapat, prinsip, pemikiran, masalah, kepercayaan dan tindakan. Menurut Strader (1992), bepikir kritis adalah suatu proses pengujian yang menitikberatkan pendapat tentang kejadian atau fakta yang mutakhir dan menginterprestasikannya serta mengevaluasi pandapat-pandapat tersebut untuk mendapatkan suatu kesimpulan tentang adanya perspektif/ pandangan baru. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa berpikir kritis adalah kegiatan menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji dan mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna. Dengan berpikir kritis suatu masalah dapat direfleksikan secara mendalam dan terbuka terhadap berbagai pendekatan dan perspektif yang berbeda serta tidak mudah mempercayai informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber. C. Aspek Perilaku Berpikir Kritis Kegiatan berpikir kritis dapat dilakukan dengan melihat penampilanpendidikmaupunsiswa dari beberapa perilaku selama proses berpikir kritis itu berlangsung. Perilaku berpikir kritis seseorang dapat dilihat dari beberapa aspek: 1. Relevance 2. Importance 3. Novelty 4. Outside material 5. Ambiguity clarified 6. Linking ideas 7. Justification 8. Critical assessment 9. Practical utility 10. Width of understanding Secara garis besar, perilaku berpikir kritis diatas dapat dibedakan dalam beberapa kegiatan: a. Berpusat pada pertanyaan (focus on question) b. Analisa argument (analysis arguments) c. Bertanya dan menjawab pertanyaan untuk klarifikasi (ask and answer questions of clarification and/or challenge) d. Evaluasi kebenaran dari sumber informasi (evaluating the credibility sources of information) D. Pemecahan Masalah Proses pembelajaran di kelas pada hakikatnya adalah proses komunikasi, baik komunikasi antara siswa dengan pendidik, komunikasi antar siswa, atau bahkan komunikasi antara siswa dengan lingkungan belajar. Namun belum tentu proses komunikasi yang terjadi bisa berlangsung efektif. Komunikasi dikatakan berjalan efektif apabila terdapat pemahaman yang sama terhadap sebuah informasi antara sumber pesan dengan penerima pesan. Selanjutnya akan terjadi umpan balik atau komunikasi dua arah apabila penerima pesan bisa berubah fungsi menjadi sumber pesan. 731
Dalam proses pembelajaran di kelas, isi pesan perupa bahan ajar yang tertuang dalam kurikulum. Sumber pesan adalah pendidik, buku ajar, sesama siswa, bahkan lingkungan belajar. Sedangkan penerima pesan adalah siswa. Pesan, sumber pesan, saluran/media, dan penerima pesan adalah komponen-komponen dalam proses komunikasi. Isi pesan yang berupa bahan ajar, disampaikan pendidik melalui simbol-simbol komunikasi, baik simbol verbal berupa kata-kata atau tulisan, maupun simbol non-verbal atau visual. Arif mengungkapkan (2006:13) bahwa proses penuangan pesan kedalam simbol-simbol disebut encoding. Selanjutnya penerima pesan menafsirkan simbol-simbol komunikasi tersebut sehingga diperoleh pesan. Proses penafsiran simbol-simbil tersebut disebut decoding. Sering terjadi, pesan yang disampaikan tidak bisa diterima dengan utuh oleh penerima pesan. Hal ini terkait dengan adanya hambatan-hambatan yang terjadi pada proses komunikasi yang berjalan yang dikenal dengan istilah barriers atau noises. Beberapa hal yang bisa menjadi penghambat efektifnya komunikasi diantaranya bisa berupa hambatan psikologis, seperti minat, sikap, kepercayaan, intelegensi, pengetahuan dan hambatan fisik seperti kelelahan, sakit, cacat tubuh. Berkaitan hal ini, Arsyad (2006:8) menyarankan agar pendidik merancang proses pembelajaran yang melibatkan semua indera siswa. Pendidik berupaya untuk menampilkan rangsangan yang dapat diproses dengan berbagai indera. Semakin banyak indera yang terlibat, semakin besar kemungknan informasi yang disampaikan bisa dimengerti siswa. Disinilah peran media pembelajaran sebagai salah satu sumber belajar akan mampu mengatasi noises dalam proses komunikasi dalam pembelajaran. Hal ini juga disampaikan Levie dalam Arsyad (2006:9) tentang banyaknya hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa stimulus visual mampu memberikan hasil belajar yang lebh baik dari stimulus verbal. E. Model Berpikir Kritis Kataoka-Yahiro dan Saylor (1994) telah mengembangkan sebuah model berpikir kritis bagi penilaian pembelajaran matematika. Model ini mendefinisikan hasil dari berpikir kritis sebagai penilaian pembelajaran matematika yang relevan atau sesuai dengan masalah-masalah pembelajaran matematika dalam kondisi yang bervariasi. Model ini dirancang untuk penilaian pembelajaran matematika ditingkat pelayanan, pengelolaan dan pendidikan. Ketika seorang pendidik berada di pelayanan, model ini mengemukakan 5 komponen berpikir kritis yang mengarahkan pendidik untuk membuat rencana tindakan agar pembelajaran matematika aman dan efektif. Berpikir kritis melalui pembelajaran melibatkan aktivitas sebagai berikut : a. Interprestasi b. Analisis c. Evaluasi d. Inferensi. e. Self regulation Sehingga dalam berpikir kritis melalui pembelajaran matematika diperlukan syarat supaya dapat berpikir kritis baik pendidik maupun siswa yaitu : a. Berpikiran Terbuka b. PercayaDiri c. Skeptis d. Kreatif e. RendahHati f. BerpikiranBebas g. Memilikimotivasi yang tinggi Langkah – langkah sederhana ini telah dideskripsikan dalam beberapa tahap seperti yang dijelaskan oleh Wolcott dan Lynch. Jika proses ini digunakan di sekolah , maka siswa memulai mengembangkan kemampuan berpikir kritis dengan mengikuti langkah-langkah pengembangan pada setiap tahap seperti di bahwa ini, mulailah dari langkah 1, lanjutkan pada langkah 2 dan terus mengikuti langkah selanjutnya.
732
Langkah 1
Langkah 2 Langkah 3
langkah 4
Mengidentifikasi masalah, informasi yang relevan dan semua dugaan tentang masalah tersebut. Ini termasuk kesadaran akan kemungkinan adanya lebih dari satu solusi. Mengeksplorasi interpretasi dan mengidentifikasi hubungan yang ada. Ini termasuk mengenali bias/prasangka yang ada, menghubungkan alasan yang terkait dengan berbagai alternatife pandangan dan mengorganisir informasi yang ada sehingga menghasilkan data yang berarti. Menentukan prioritas alternatif yang ada dan mengkomunikasikan kesimpulan. Ini termasuk proses menganalisis dengan cermat dalam mengembangkan panduan yang dipakai untuk menentukan faktor, dan mempertahankan solusi yang terpilih. Mengintegrasikan, memonitor dan menyaring strategi untuk penanganan ulang masalah. Ini termasuk mengetahui pembatasan dari solusi yang terpilih danmengembangkan sebuah proses berkelanjutan untuk membangkitkan dan menggunakan informasi baru.
METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan tujuan untuk mengidentifikasi berpikir siswa SMA dalam menyelesaikan masalah aljabar. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI-IPA 2 SMA Negeri 1 Manyar Gresik yang berjumlah 29 siswa. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah pengamatan atau observasi, tes pemecahan masalah matematika dan studi dokumentasi. Pengamatan atau observasi yang dimaksud adalah pengamatan yang sistematis tentang kejadian dan tingkah laku dalam setting sosial yang dipilih untuk diteliti. Tes pemecahan masalah matematika merupakan tes yang diberikan untuk mengidentifikasi berpikir siswa pada matematika. Sedangkan studi dokumentasi adalah pengumpulan data melalui dokumentasi yaitu catatan peristiwa yang sudah berlalu. Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi siswa saat menyelesaikan masalah pada tes pemecahan masalah pada matematika. Selain itu, metode observasi digunakan sebagai salah satu sumber informasi. Dari pemecahan masalah yang diselesaikan siswa kemudian dianalisis apakah siswa sudah berpikir kritis dengan tahapan yang ada . Pada penelitian kualitatif, pemeriksaan keabsahan data salah satunya bisa dilakukan dengan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Triangulasi dalam penelitian ini adalah triangulasi metode, yaitu dengan membandingkan data hasil tes kemampuan penalaran analogi matematika yang diverifikasi dengan observasi dan wawancara. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil tes penyelesaian masalah matematika di kelas XI- IPA 2 SMA Negeri 1 Manyar Gresik bahwa secara keseluruhan siswa belum melakukan berpikir kritis hal itu dikarenakan dari 29 siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan semua menyelesaikan dengan cara prosedural tanpa memahami masalah kemudian tidak mempertimbangkan dengan sumber ( kehidupan sehari – hari ) sehingga penyelesaian yang didapat sesuai dengan prosedur matematika, jadi yang diharapkan peneliti belum ditemukan. Berikut ini adalah salah satu contoh jawaban siswa :
733
KESIMPULAN Hasil penelitian ini bahwa belum ditemukan berpikir kritis siswa dalam menyelesaikan masalah yang diberikan. Hal ini terjadi dikarenakan siswa tidak dilatih untuk berpikir kritis dalam proses belajar mengajar, siswa selalu menyelesaikan masalah secara rutin dan prosedural sehingga untuk memahami, menganalisis ide atau gagasan ke arah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji, mengevaluasi dan mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna dalam mengambil keputusan tidak sesuai dan siswa kurang serius dalam menyelesaikan masalah karena dianggap bukan untuk penilaian. SARAN Untuk mengidentifikasi berpikir siswa perlu diadakan latihan dan wawancara guna mengali apa yang ada dalam pikiran siswa sehingga perlu penelitian lebih lanjut 734
DAFTAR PUSTAKA Annis, L. F., Ennis, D. B. (1974). The Impact of Philosophy on Students' Critical thinking Ability. Contemporary Educational Psychology, 4, 219-226. Aiken, L. R. (1974). Two Scales of Attitude Towards Mathematics. Journal for Research in Mathematics Education, 5, 2, 67-71. AieniahRindah, 2012, Analisisketerampilanberpikirkritissiswakelas XI PadapembelajaranHidrolisisGarammenggunakan Problem Solving, SkripsijurusanpendidikanKimia ,FMIPA,UPI:tidakditerbitkan. Aizikovitsh-Udi, E., & Amit, M. 2010. Is It Possible to Improve the Students Critical Thinking Dispositions Through Teaching a Course In Probability Brief Research Report. In P. Brosnan, P., Erchick, D. B., and Flevares, L. Beyer, B.K. 1987.Critical thinking: What is it? "Social Education," 49, 270-276. Beyer, B. K. (1995). Critical thinking. Phi Delta Kappa Educational Foundation, (pp. 8). Indiana: Bloomington. Ennis .Robert. H (
[email protected]),2011, The Nature of Critical Thinking: An Outline of Critical Thinking Dispositions and Abilities :Emeritus Professor, University of Illinois Ennis, R. H. 1985. “Goals for a Critical Thinking Curriculum”. Costa, A. L. (ed). 1988. Developing Minds: A Resource Book For Teaching Thinking. Virginia: ASCD Http://www.psb-psma.org/content/blog/proses-berpikir Http://Ismyaisyah.Blogspot.Com/2012_10_01_Archive.Html Http://Makalahmajannaii.Blogspot.Com/2012/07/Makalah-Pembelajaran-Matematika.Html Http://File.Upi.Edu/Direktori/Dualmodes/Model_Pembelajaran_Matematika/Metode__Pembelajaran__Matematika,_Berm ain__Sambil__Belajar.Pdf Maryam Siti R. dkk (2007) Buku Ajar Proses Berpikir Kritis dalam Proses Pembelajaran matematika, Jakarta: EGC
INTUISI PADA PENYELESAIAN MASALAH MATEMATIKA DIVERGEN TOPIK SEGITIGA Sofia Sa’o Edy B. Irawan Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika UM Dosen Pendidikan Matematika UM
[email protected] Abstrak: Intuisi merupakan pemikiran seseorang yang dilakukan secara spontan dalam menjawab ataumenyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Intuisi adalah pemikiran atau proses mental bawah sadar yang mencapaikesadaran dengan tiba-tiba. Intuisi dianggap sebagai kecerdasan yang tak tertandingi dan berperan penting dalam penyelesaian masalah matematika. Fokus masalah dalam tulisan ini adalah Intuisi yang terjadi pada pemecahan masalah matematika divergen tentang segitiga. Kata kunci: Intuisi, Penyelesaian Masalah, Matematika Divergen, Segitiga.
Intuisi merupakan pemikiran seseorang yang dilakukan secara spontan dalam menjawab atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.Menurut Hersh (2013) intuisi adalah pemikiran alam bawah sadar. Alam bawah sadar kurang menghambat, lebih imajinatif, lebih kreatif daripada alam sadar. Pengertian intuitif mungkin mustahil untuk dijelaskan, dan sering tidak ada kebutuhan untuk penalaran verbal. Beres (Piha 2000) menyatakan bahwa intuisi adalah hasil dari proses mental bawah sadar yang mencapai kesadaran dengan tiba-tiba. Fisbein (1987) membagi dua jenis intuisi; yaitu intuisi afirmatory dan intuisi antisipatory. Intuisi afirmatory adalah intuisi sebagai kognitif yang secara subjektif kebenaran yang terkandung di dalamnya dapat diterima dengan sendirinya dan secara langsung. Sedangkan intuisi anticipatory yaitu intuisi yang terkait dengan usaha dalam menyelesaikan masalah. 735
Tulisan ini mengkaji: (1) penyelesaian masalah matematika menggunakan intuisi dari setiap siswapada matematika divergen khususnya dalam segitiga, (2) Meningkatkan kesadaran guru akan pentingnya intuisi dari setiap siswa agar merekaterlatih untuk bersaing dalam penyelesaian masalah selain cara analitik formal dan dapat menemukan dengan cara mereka sendiri. PEMBAHASAN. 1. Definisi Intuisi Istilah Intuisi adalah salah satu istilah dengan berbagai interpretasi (Kustos, 2010). Definisi intuisi secara khusus belum ada ketunggalan sampai saat ini, namun banyak kemungkinan kata intuisi seperti; firasat, insting, menebak, atau pengalaman sebelumnya, bahkan mungkin termasuk konsep persepsi ekstra sensorik atau indra keenam. Namun pada umumnya, intuisi sebagai alat kognitif prediksi, yang digunakan secara efektif menemukan strategi yang paling pragmatis ketika melakukan suatu tugas tertentu (Kustos, 2010). Kognisi intuitif berbeda dengan kognisi analitik. Penjelasan kebenaran suatu pernyataan dengan harus membuktikan merupakan kognisi yang bersifat analitik, tetapi kebenaran yang munculnya secara subjektif dan diterima secara langsung (tanpa pembuktian formal) merupakan kognisi intuitif. Menurut Hersh (2013) Intuisi adalah pikiran alam bawah sadar yang lebih asosiatif dan divergen. Sedangkan Rodin (Hersh 2013) intuisi memainkan peran sangat sentral dalam geometri non-Euclidean.Pengalaman intuitif mungkin mustahil untuk menjelaskan, dan seringtidak ada kebutuhan untuk penalaran verbal. Selanjutnya Beres (Piha 2000) menyatakan bahwa intuisi adalah hasil dari proses mental bawah sadar yang mencapaikesadaran dengan tibatiba. Sedangkan Wikipedia (2013) mengungkapkan bahwa Intuisididasarkan pada"konstelasi luaspengalaman masa lalu, pengetahuan, keterampilan, persepsidan perasaan." Simmons dan Nelson (2006) membagi intuisis dalam dua definisi, yaitu Pertama; intuisi sebagai "jawaban pertama yang muncul di pikiran ketika salah satu diperlukan untuk membuat keputusan dan kedua intuisi sebagai "representasi mental fakta yang muncul jelas." Filosof Plato dan Aristoteles (Henden,2004) membedakan antara jenis berpikir inferensial yang disebutnya discursivethought dan jenis berpikir non-discursive atau intuisi. Keduanya merumuskan perbedaan tersebut dengan menganggap bahwa intuisi merupakan proses berpikir yang serupa dengan proses berpikir Tuhan (God's though).Intuisi dicirikan sebagai hasil berpikir yang: (l) bersifat tidak temporal (a-temporal) yaitu memiliki keputusan yang sulit berubah, (2) memandang lebih pada keseluruhan objek dibandingkan dengan bagianbagian objek (grasps all at once),(3) tidak bersifat proposisional (non-propositional), (4) tidak bersifat representasional (non-representational) dan (5) karena intuisi dipandang serupa dengan proses berpikir Tuhan (God's thought) maka intuisi dianggap tidak pernah salah (infallible). Pada sisi lain, berpikir discursive dicirikan sebagai hasil berpikir yang (l) bersifat temporal, (2) memandang lebih pada bagian objek dibandingkan dengan keseluruhan objek, (3) bersifat proposisional, (4) bersifat representasi dan (5) dapat menghasilkan simpulan yang tidak salah (infallible). Menurut Immanuel Kant (Henden,2004) pengertian intuisi dengan membedakan antara pertimbangan analitik dan pertimbangan sintetik. Pertimbangan analitik membutuhkan konfirmasi logis serta bersifat a priori (tidak membutuhkan konfirmasi empiris) untuk menjelaskan mengapa sesuatu benar. Dapat dikatakan bahwa pertimbangananalitik berelasi dengan discursive thinkingyang dikarakterisasikan oleh Plato dan Aristoteles, yaitu: inferential, temporal, grasps object piecemeal, propositional, representational, danfallible. Kant juga menyatakan bahwa pertimbangan sintetik berelasi dengan intuisi, dan dikatakan bahwa hasil pertimbangan sintetik dikarakterisasikan oleh tidak adanya kontradiksi dalam diri orang yang menyatakannya. Selain itu Kant membagi pertimbangan sintetik atas dua jenis, yaitu pertimbangan sintetikyang bersifat a prioriyang disebutnya intuisi rasional dan pertimbangan sintetik yang bersifat a posterioriyang disebutnya sebagai intuisi empiris. Terlepas dari definisi yang berbeda, ada dua elemen kuncidefinisi intuisi memiliki kesamaan: (a) jawaban langsung secara spontan dengan tanpa penalaran,dan (b) persepsi kejelasan yang dihasilkan dari proses berpikir dipekerjakan melalui keyakinan diri. Dengan demikian, intuisi sering digambarkan sebagai jenis berpikir kognitif. 736
2. Jenis-Jenis Intuisi Menurut Fisbein (1987) intuisi Intuisi terbagi atas 2 jenis yaitu Intuisi afirmatorydan intuisi antisipatory. Intuisi afirmatoryadalahintuisi sebagai kognitif yang secara subjektif kebenaran yang terkandung didalamnya dapat diterima dengan sendirinya dan secara langsung. Intuisi ini terdapat 5 ciri kognisi untuk memahami matematika yaitu: (l) direct, self evident cognition (kognisi langsung, terbukti dengan sendirinya), (2) intrinsic certainty (kepastian intrinsik), (3) coerciveness (penggiringan), (4) extrapolativeness (pemerkiraan), (5) globality (global). Berikut jenis intuisi antisipatory adalah intuisi yang terkait dengan usaha dalam menyelesaikan masalah. Jenis ini mencakup: a) Intuisi yang menyajikan ide global, dan b) Intuisi yang bertentangan dengan dugaan pada umumnya. Kajian tentang jenis intuisi juga disampaikan oleh Poincare (2007). Poincare membagi intuisi menjadi 3 jenis, yaitu: (1) intuisi yang didasarkan pada indera dan imajinasi, (2) intuisi yang didasarkan pada generalisasi dengan induksi, seperti prosedur pada ilmu pengetahuan eksperimental, (3) intuisi yang didasarkan pada penggunaan pemikiran matematika secara nyata. 3. Penyelesaian Masalah Manusia yang hidup pasti bermasalah. Setiap manusia sering berhadapan dengan masalah dan hampir setiap hari dialaminya. Suatu masalah dapat bersumber dari dalam diri atau dari lingkungan sekitar. Persoalan yang dihadapi bisa mudah, sedang dan sukar serta ada yang bersifat tegas dan ada pula yang besifat kabur (tidak jelas). Menurut Polya (1973) Menyelesaikan masalah berarti mencari jalan keluar dari kesulitan, cara menghindari hambatan, mencapai tujuan yang tidak segera dicapai.Penyelesaian masalah adalah pencapaian spesifik kecerdasan , dan kecerdasan adalah spesifik karunia Tuhan bagi manusia. Penyelesaian masalah dapat dianggap sebagai kekhasanaktivitas manusia. Dalam matematika, masalah adalah sesuatu yang lebih dari sekedar perhitungan. Polyamembagi empat langkah pokok penyelesaian masalah, yaitu (1) memahami masalah, (2) merencanakan penyelesaian masalah, (3) melaksanakan rencana penyelesaian masalah, dan (4) melihat kembali hasil penyelesaian masalah. Empat langkah pemecahan masalah oleh Polya tersebut merupakan konsep dasar bagi para ahli dalam mengembangkan langkah-langkah penyelesaian masalah yang yang dihadapi. 4. Masalah Matematika Divergen Masalah matematika dibedakan atas dua jenis yaitu: masalah tertutup yang penyelesaiannya bersifat konvergen dan jenis masalah matematika terbuka (open-ended) yang penyelesaiannya bersifat divergen. Contoh masalah matematika konvergen adalah berapa derajat besar sudut siku-siku? siswa menjawab 900 dan merupakan satu-satunya jawaban yang mungkin. Contoh masalah matematika divergen dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: masalah matematika yang penyelesaiaanya divergen pada jawaban, contohnya x + y = 7.Menurut Motta (2010), Berpikir divergen dalam penyelesaian masalah matematika melibatkan beberapa stimulus dalam pengambilan keputusan penyelesaian masalah dengan tes terbuka untuk memperoleh berbagai jawaban, ataupun satu jawaban dengan berbagai cara Masalah matematika divergen merupakan bentuk masalah yang memerlukan jawaban benar lebih dari satu cara penyelesaiannya. Untuk menyelesaikan masalah divergen tersebut, memerlukan kemampuan berpikir divergen atau kemampuan untuk memperoleh jawaban yang lebih dari satu. Hal ini sesuai dengan pendapat Munandar (1991) bahwa berpikir divergen adalah kemampuan memberikan bermacam-macam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada keragaman kuantitas dan penyesuaian. Menurut Wikipedia (2012) berpikir divergen identik dengan masalah-masalah terbuka dan senantiasa rnemotivasi siswa untuk menghasilkan solusi-sulusinya sendiri pada suatu masalah (divergent thinking presents open-ended problems and encourages students to develop their own solutions to problems). Berpikir divergen dalam dunia pendidikan sangat erat kaitannya dengan adanya masalah-masalah terbuka dan senantiasa memerlukan gagasan-gagasan berbedabeda. Berikut merupakan rangkaian pemahaman secara skematis tentang pemecahan masalah matematika divergen atau pemecahan yang memerlukan kemampuan berpikir divergen. Skema 737
tersebut menggambarkan adanya suatu masalah matematika atau sering disebut sebagai masalah matematika yang open-endid. Alternatif jawaban (1)
Alternatif penyelesaian (1) Masala Matematika Divergen
Alternatif jawaban (2)
Alternatif penyelesaian (2)
.............. .................
Gambar 2.2. Diagram gagasan berpikir divergen
Berdasarkan uraian di atas, maka masalah matematika divergen dalamtulisan ini adalah diambil contoh salah satu soal segitiga yang memiliki jawaban benar lebih darisatu cara untuk mendapatkan jawabannya. 5. Intuisi Dalam Pembelajaran Segitiga Pemberian contoh pada tulisan ini adalah soal segitiga dengan penyelesaian divergen untuk memperoleh jawabanya, sebagai sajian dalam pembelajaran bermakna. Sebagai contoh, Jika diketahui Sebuah persegi sesuai gambar berikut: Misalkan Sebuah segitiga berikut
E
Perhatikan gambar di samping! //
= 650.
Tentukan besar
D
C
= 350 dan
,
B A Penyelesaian Masalah 1. Alternatif pertama: Penyelesaian
C
E Perhatikan gambar di samping!
D
Untuk
EAB
Karena
//
,
= 350 dan
Maka dicari besar
B A Karena // Perhatikan
, maka EAB
=
650. (sifat-sifat sudut-sudut sehadap) 738
= 650.
+ 65 +
= 1800 = 1800 = 1800 = 1800 - 1000 = 800
+ 35 + 1000 +
0
0
= 800
Jadi besar 2). Alternatif ke dua Penyelesaian
E Perhatikan gambar di samping!
D
C
Untuk
ECD
Karena
//
= 350 dan
,
Maka dicari besar
= 650.
=
B A Dari
ECD = 1800 = 1800 = 1800 = 1800 - 1000 = 800 = 800 =
+ + 65 + 350 + 1000 + 0
Karena // Jadi besar
, maka = 800
= 800 (sifat sudut-sudut sehadap)
3). Alternatif ke tiga Penyelesaian
E
Perhatikan gambar di samping! Untuk Trapesium CABD
C
D
Karena
//
,
Maka dicari besar
= 350 dan =
B A Dari gambar trapesium CABD Karena // , maka = = 650 (sifat sudut-sudut sehadap) 0 = 180 (sifat sudut-sudut berpelurus) 0 0 = 180 - 65 = 1150 Kemudian perhatikan ECD + + = 1800 650 + 350 + = 1800 739
= 650.
1000 +
= 1800 = 1800 - 1000 = 800 (sifat sudut-sudut berpelurus)
= 1800 = 1800 - 800 = 1000 Pada trapesium CABD berlaku sifat + + + = 3600 (jumlah besar sudut pada trapesium) 0 0 0 65 + 115 + 100 + = 3600 0 280 + = 3600 = 3600 - 2800 = 800 Jadi besar = 800 4). Alternatif ke empat Penyelesaian
E Perhatikan gambar di samping!
C
D
Untuk
ECD
Karena
//
,
Maka dicari besar
B
= 350 dan
= 650.
=
F
A Perhatikan + 650 + 350 1000
ECD + + +
= 1800 = 1800 = 1800 = 1800 - 1000 = 800 0 = 180 (sifat sudut-sudut berpelurus) = 1800 - 800 = 1000 Karena // , maka = = 1000 (sifat sudut-sudut berseberangan dalam) Sehingga = 1800 (sifat sudut-sudut berpelurus) 0 = 180 - 1000 = 800 Jadi besar = 800 PENUTUP Simpulan Intuisi adalah suatu pikiran yang muncul secara spontan saat seseorang menghadapi masalah. Intuisi dianggap selalu benar oleh setiap orang yang mengalaminya, dan dinilai oleh orang lain masuk akal sesuai logika sipengamat. Intuisi pada setiap orang berbeda-beda, intuisi yang digunakan dapat menghasilnya berbagaimacam cara oleh setiap orang untuk mendapatkan jawaban benar dari permasalahan yang diberikan. Saran Menyadari pentingnya intuisi maka disarankan bagi guru disekolah agar dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri dengan menggunakan intuisi mereka dalam proses penyelesaiannya. Desamping itu guru sebaiknya selalu memberikan soal-soal yang memunculkan kreatif berpikir siswa dalam 740
penyelesaian masalah matematika yang divergen atau paling tidak memunculkan jawaban permasalahan yang divergen. DAFTAR RUJUKAN Fisbein, E. (1987). Intuition in science and mathematics An educational approach,. Reidel, The Netherlands Henden, G. (2004). “Intuition and Its Role in Srategi Thingking” Unpublished Dissertation. BI Norwegian School of Management. Hersh Reuben. (2013), Mathematical Intuition: Poincaré, Pólya, Dewey. Department of Mathematics and Statistics, University of New Mexico, Albuquerque, USA Kustos, P.N., (2010). “ Trens Concerning Four Misconception In Students‟ Intuitively-Based Probabilistic Reasoning Sourced In The Heuristic Of Representativeness” Submitted in artial fulfillment of the requirements for the degree of Doctor of Philosophy in the Department of Curriculum and Instruction in the Graduate School of The University of Alabama. Motta, M.J. (2010).How to Understand Divergent Thinking and Convergent Thinking. Share your voice on Yahoo! websites. Start Here, Ags. 2010 Munandar U. (1991). Kreativitas dan Keberbakatan. Penerbit PT. Gramedia Pustaka utama. Jakarta. Poliy, G. (1973). How To Solve It. Princenton NJ: Princenton University Press. Piha. (2000). Intuition: A Bridge To The Coenesthetic World of Experience.Training and Supervising Analyst, Finnish Psychoanalytical Society. Japa. Rahman, Abdul. (2007). Deskripsi pengajuan masalah matematika berdasarkan gaya kognitif pada siswa SMA. Makalah Seminar Program Pascasarjana UNESA. Roh Hah K. (2005). College Students‟ Intuitive Understanding of the concept of limit and Their Level of reverse Thingking. Dissertation, The Ohio State University. Sak, U. & Maker J. (2005). Divergence and Convergence of Mental Force of Children in Open and Closed Mathematical Problems. International education Journal, 6(2), 252-260. Wikipedia. (2012), Convergent and Divergent Production. Registered Trademark Of the Wikipedia Foundation, Inc. Wikipedia. (2013), Intuition and decision-making. It has been suggested that this article be merged into Intuition (psychology).
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA MATERI BANGUN RUANG MELALUI MODEL KOOPERATIF TIPE NUMBERED HEAD TOGETHER (NHT) SISWA KELAS IV SDN 001 KUARO KAB. PASER TAHUN PELAJARAN 2012/2013 Risliana SDN 001 Kec. Kuaro Kab. Paser Kalimantan Timur Abstrak: Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar matematika kelas IV SDN 001 Kec. Kuaro Kabupaten Paser melalui kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pada materi bangun ruang dan jaring-jaring kubus dan balok. Subjek penelitian adalah siswa kelas IV pada semester II tahun pelajaran 2012/2013 dengan jumlah 35 siswa. Penelitian tindakan kelas ini dilakukan dengan dengan melalui siklus yang tahapannya adalah perencanaan, pelakasanaan, observasi dan refleksi. Rata-rata hasil belajar yang diperoleh siswa pada siklus I adalah 68,28 sedangkan rata-rata pada siklus II adalah 76,13. Pada siklus II siswa yang tuntas sebanyak 31 orang (88,57%) sedangkan siswa yang tidak tuntas sebanyak 4 orang (11,43%). Selain terjadi peningkatan hasil belajar siswa yaitu dari 68,28 menjadi 76,13 juga terjadi peningkatan jumlah siswa yang mencapai ketuntasan yaitu dari 51,43% menjadi 88,57%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran dengan kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT)
741
dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IV SDN 001 Kec. Kuaro Kab. Paser. Kata Kunci: Kooperatif tipe NHT, Hasil belajar, Bangun ruang
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dipelajari siswa di jenjang pendidikan formal mulai dari tingkat SD sampai SMA bahkan pada perguruan tinggi tidak terlepas dari matematika. Hal ini menunjukkan bahwa matematika memegang peranan yang penting dalam upaya peningkatan mutu sumber daya manusia. Pentingnya matematika dalam upaya peningkatan mutu sumber daya manusia tidak diimbangi oleh pemahaman siswa terhadap mata pelajaran matematika. Pada SDN 001 Kuaro Kab. Paser hasil belajar matematika siswa masih rendah. Rendahnya nilai hasil belajar siswa menjadi tantangan serius bagi guru yang ada di SDN 001 Kuaro Kab. Paser dan semua pihak yang ada di sekolah. Dari hasil refleksi yang dilakukan guru, model pembelajaran yang diterapkan oleh guru dalam pembelajaran matematika belum tepat sehingga kurangnya minat belajar siswa terhadap mata pelajaran matematika. Hal tersebut menuntut guru untuk kreatif dalam membangkitkan minat belajar siswa. Oleh karena itu, salah satu teknik dalam mengembangkan minat belajar siswa yaitu dengan menggunakan berbagai model dan strategi pembelajaran yang bervariasi sehingga pembelajaran terkesan lebih bermakna. Dalam pembelajaran kooperatif dikenal berbagai tipe. Salah satunya adalah pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT). NHT merupakan sebuah variasi diskusi kelompok yang ciri khasnya adalah guru hanya menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya tanpa memberitahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompok tersebut. Cara ini dapat meningkatkan tanggungjawab individual dalam diskusi kelompok, dengan adanya keterlibatan semua anggota kelompok tentunya akan berdampak positif terhadap minat belajar siswa (Lie, 2008:32). Suprijono (2009:37) menyatakan bahwa model pembelajaran kooperatif meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Secara umum, pembelajaran kooperatif dianggap lebih diarahkan oleh guru, di mana guru menetapkan tugas dan pernyataan-pernyataan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk membantu peserta didik menyelesaikan masalah yang dimaksud. Kelompok bukanlah semata-mata sekumpulan orang. Kumpulan disebut kelompok apabila ada interaksi, mempunyai tujuan, berstruktur, groupness. Interaksi adalah saling mempengaruhi individu satu dengan yang lain. Interaksi dapat berlangsung secara fisik, non verbal, emosional dan sebagainya. Numbered Head Together (NHT) atau penomoran berfikir bersama adalah salah satu jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Numbered Head Together (NHT) pertama kali dikembangkan oleh Spenser Kagen (1993:57) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran. NHT merupakan sebuah variasi diskusi kelompok yang ciri khasnya adalah guru hanya menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya tanpa memberitahu terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompoknya tersebut. Sehingga cara ini menjamin keterlibatan total semua siswa dan upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggung jawab individual dalam diskusi kelompok. Dengan adanya keterlibatan total semua siswa tentunya akan berdampak positif terhadap motivasi belajar siswa (Lie, 2008:32). Oleh karena itu tujuan pada pada penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar matematika kelas IV SDN 001 Kec. Kuaro Kabupaten Paser melalui kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) pada materi bangun ruang dan jaring-jaring kubus dan balok METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Menurut Hopkins (dalam Trianto, 2010:15) bahwa penelitian tindakan kelas adalah penelitian yang mengkombinasikan prosedur penelitian dengan tindakan substansif, suatu tindakan yang dilakukan dalam disiplin inkuri, atau suatu usaha seseorang untuk memahami apa 742
yang sedang terjadi, sambil memperhatikan dalam sebuah proses perbaikan dan perubahan yang terjadi pada yang terdiri siswa. Model rancangan penelitian tindakan kelas yang digunakan dalam penelitian ini adalah model rancangan yang dikembangkan oleh Kemmis dan Mc Taggart (1992). Model ini mengikuti alur 4 komponen pokok, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Berdasarkan permasalahan dan hasil temuan tersebut disusun rencana tindakan siklus I yang diwujudkan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP I). Penelitian ini direncanakan dalam dua siklus dan setiap siklus dilaksanakan selama dua jam pelajaran (2x35 menit) pada setiap siklus dilakukan dua kali pertemuan. Setiap pertemuan dalam pembelajaran terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Selanjutnya rencana tindakan siklus I diaplikasikan dalam pelaksanaan tindakan pembelajaran yang nyata di kelas dengan melibatkan teman sejawat sebagai observer dan peneliti bertindak sebagai guru model. Proses pembelajaran pada tindakan siklus I diamati oleh dua orang observer yang bertugas mencatat seandainya perlu tindakan selanjutnya. Hasil pengamatan observer dijadikan dasar penyusunan rencana tindakan siklus II. Siklus I materi yang disajikan adalah contoh-contoh bangun ruang dalam kehidupan sehari-hari. Pelaksanaan siklus I ini diawali dengan pengidentifikasi masalah awal yang menuntut adanya tindakan perbaikan dalam proses pembelajaran. Untuk tindakan perbaikan itu peneliti menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Hasil pelaksanaan siklus I ini kemudian direfleksi bersama observer untuk menentukan tindakan perbaikan pada siklus selanjutnya jika masih perlu perbaikan. Siklus II materi yang disajikan adalah jaring-jaring kubus dan balok, sedangkan pertemuan kedua mencoba membuat jaring-jaring kubus dan balok dengan karton. Pelaksanaan siklus II ini berdasarkan RPP dan hasil refleksi pada siklus I. tindakan perbaikan yang dilakukan masih dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Hasil pelaksanaan siklus II ini kemudian direfleksi bersama observer untuk menentukan tindakan perbaikan selanjutnya jika masih perlu perbaikan. Apabila telah mencapai target yang diharapkan, maka tindakan perbaikan dalam penelitian ini dihentikan. HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus I Perencanaan Adapun kegiatan yang dilaksanakan pada tahap perencanaan ini adalah: 1. Merencanakan pembagian siswa dalam kelompok kooperatif berdasarkan data yang dimiliki oleh guru kelas yaitu rata-rata nilai tes matematika semester 1 tahun ajaran 2012/2013 kelas IV. 2. Mengelompokkan siswa berdasarkan nilai dasar (nilai tes matematika semester 1 tahun ajaran 2012/2013 kelas IV) menjadi kelompok-kelompok kooperatif yang setiap kelompok terdiri dari 4-5 orang dengan cara membuat kode siswa secara berurutan dari A hingga J untuk peringkat satu hingga sepuluh, selanjutnya untuk peringkat sebelas hingga dua puluh diberi kode sebaliknya yaitu J hingga A. Pengkodean dilakukan hingga peringkat terakhir dengan aturan yang sama. Siswa yang memiliki kode yang sama dikelompokkan menjadi satu kelompok. 3. Membuat lembar observasi untuk melihat kondisi belajar mengajar di kelas pada waktu pengajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. 4. Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) pada materi bangun ruang dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. 5. Membuat lembar kerja siswa (LKS) pada materi bangun ruang 6. Membuat soal tugas (pekerjaan rumah) langsung pada materi bangun ruang 7. Membuat alat evaluasi hasil belajar matematika siswa pada materi bangun ruang yang dilaksanakan pada setiap akhir siklus. Pelaksanaan Tindakan Pada penelitian ini, setiap siklus terdiri dari 2 kali pertemuan yang masing-masing berlangsung selama 2 jam pelajaran atau 70 menit. Pada pertemuan I dan II, guru melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah dibuat dengan alokasi waktu masingmasing selama 2 jam pelajaran atau 70 menit. 743
Nilai hasil belajar siswa diperoleh dari nilai tugas kelompok, tugas individu atau pekerjaan rumah dan nilai tes akhir siklus. Nilai hasil belajar siswa pada siklus I adalah 68,28. Siswa yang tuntas 18 orang (51,43%) sedangkan siswa yang tidak tuntas sebanyak 17 orang (48,57 %). Tampak bahwa telah terjadi peningkatan hasil belajar siswa pada siklus I jika dibandingkan dengan rata-rata nilai dasar yaitu 61,29. Meskipun hasil belajar siswa pada siklus 1 belum optimal tetapi telah terjadi peningkatan rata-rata hasil belajar siswa dari nilai dasar ke siklus I sebesar 11,40%. Hal ini dikarenakan adanya keterlibatan siswa selama proses pembelajaran terutama dalam melakukan diskusi untuk mengerjakan tugas yang diberikan. Nilai hasil belajar tiap kelompok diperoleh dari nilai-nilai semua anggota dalam satu kelompok, yaitu diperoleh dari skor tugas kelompok, skor tugas pekerjaan rumah, dan skor tes akhir siklus masing-masing anggota kelompok. Proses pelaksanaan pembelajaran pada siklus I dinilai cukup. Hal ini dikarenakan siswa dan guru masih melakukan penyesuaian pada proses pembelajaran kooperatif tipe NHT, sehingga diperlukan perbaikan-perbaikan pada siklus berikutnya untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui model pembelajaran kooperatif tipe NHT untuk mencapai nilai ketuntasan belajar. Walaupun masih menemui beberapa kendala dalam pelaksanaan pembelajaran tetapi hasil belajar matematika siswa pada siklus I mengalami peningkatan dibandingkan nilai dasar matematika yang dilakukan sebelum menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT. Setelah pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT didapatkan nilai rata-rata hasil belajar matematika siswa meningkat dari nilai dasar sebesar 61,29 naik menjadi 68,28 dengan besar persentase selisih rata-rata hasil belajar siswa dari nilai dasar ke siklus I sebesar 11,40 %. observasi Observasi dilakukan untuk mengetahui perkembangan aktivitas siswa (meliputi perhatian, partisipasi, pemahaman, dan kerjasama siswa) dan aktivitas guru (meliputi penyajian materi, kemampuan memotivasi siswa, pengelolaan kelas, dan pembimbingan guru terhadap siswa). Tahap pengamatan peneliti sebagai guru, sedangkan untuk mengobservasi tindakan yang dilaksanakan oleh guru dilakukan oleh guru kelas dengan menggunakan pedoman observasi. Observasi hasil belajar siswa dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan nilai tugas dan tes setiap akhir siklus kegiatan pembelajaran. Jadi, pada tahap obeservasi ini data penelitian yang diambil adalah: (1) Nilai tugas dan nilai tes akhir siklus (2) Hasil pengamatan tindakan yang dilakukan guru dan aktivitas siswa di kelas. Dari hasil observasi, terlihat bahwa aktivitas guru dan siswa serta nilai hasil belajar siswa belum mencapai indikator keberhasilan sehingga tindakan dilanjutkan ke siklus II. Peneliti harus melakukan beberapa perbaikan pada siklus II agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Refleksi Tahap refleksi peneliti bersama observer mendiskusikan hasil tindakan yang telah dilakukan, berdasarkan data yang telah terkumpul, kemudian dilakukan evaluasi guna menyempurnakan tindakan berikutnya. Hasil analisis data yang dilakukan pada tahap ini akan digunakan sebagai acuan untuk merencanakan siklus berikutnya, apakah perlu dilanjutkan atau tidak. Siklus II Perencanaan Berdasarkan hasil diskusi pada siklus pertama, peneliti bersama observer mempersiapkan rencana yang akan dilakukan pada siklus II. Sama dengan halnya pada siklus I, peneliti menyiapkan rencana pembelajaran, tugas kelompok, tugas individu (pekerjaan rumah), soal tes akhir siklus II. Pelaksanaan Secara umum pelaksanaan pembelajaran siklus II sama halnya dengan pelaksanaan pembelajaran pada siklus I. Pada siklus II, guru melaksanakan rencana pembelajaran. Selain 744
berpatokan pada rencana pembelajaran yang telah dibuat, guru juga melaksanakan beberapa tindakan perbaikan yang telah direncanakan. Observasi Bila dibandingkan dengan siklus I, pada siklus II juga telah terjadi peningkatan aktivitas guru. Guru telah membimbing semua kelompok secara merata dan memberikan penghargaan kepada kelompok yang berhasil mempresentasikan jawaban kelompoknya dengan benar. Nilai hasil belajar siswa diperoleh dari nilai tugas kelompok, tugas individu atau pekerjaan rumah (PR) dan nilai tes akhir siklus. Nilai hasil belajar siswa pada siklus II adalah 76,13. Siswa yang tuntas sebanyak 31 orang (88,57%) sedangkan siswa yang tidak tuntas sebanyak 4 orang (11,43%). Selain terjadi peningkatan hasil belajar siswa yaitu dari 68,28 menjadi 76,13 juga terjadi peningkatan jumlah siswa yang mencapai ketuntasan yaitu dari 51,43% menjadi 88,57%. Refleksi Berdasarkan hasil onservasi belajar pada siklus II, terdapat beberapa hal yang telah dicapai pada siklus II yaitu: 1) Rata-rata aktivitas guru telah dinilai sangat baik dan aktivitas siswa baik. Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe NHT juga sangat baik. 2) Nilai rata-rata hasil belajar matematika siswa mengalami 68,28 pada siklus I menjadi 76,13 pada siklus II. Persentase siswa yang mencapai ketuntasan juga mengalami peningkatan yaitu pada siklus I hanya sebesar 51,43% sedangkan pada siklus II siswa yang mencapai ketuntasan sebesar 88,57%. Proses pelaksanaan pembelajaran pada siklus II dinilai sudah baik. Pada siklus II ini siswa telah terbiasa untuk melaksanakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan siswa sudah aktif dalam kelompoknya masing-masing. Sedangkan untuk guru juga mengalami peningkatan terutama dalam penguasaan pengelolaan kelas dan membimbing siswa pada saat proses pembelajaran serta pada saat kerja kelompok. Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II mengalami perubahan menjadi lebih baik dibandingkan siklus I. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan rata-rata hasil belajar matematika siswa pada siklus I sebesar 68,28 naik menjadi 76,13 pada siklus II dan besar persentase selisih rata-rata hasil belajar siswa dari siklus I ke siklus II sebesar 11,56 %. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pembelajaran matematika melalui model pembelajaran kooperatif NHT dapat meningkatkan nilai rata-rata hasil belajar siswa mencapai 76,13 dan memenuhi semua indikator pembelajaran dengan baik pada siklus II, sehingga peneliti bersama observer memutuskan untuk menghentikan pembelajaran sampai siklus II. Grafik peningkatan menggambarkan peningkatan nilai hasil belajar matematika siswa mulai dari nilai dasar, nilai hasil belajar siklus I dan nilai hasil belajar siklus II. Grafik peningkatan hasil belajar matematika siswa setelah pembelajaran kooperatif dengan tipe Numbered Head Together (NHT) dapat dilihat pada gambar berikut. 35 30 25 20 Tuntas
15
Belum Tuntas
10 5 0 Prasiklus
Siklus I
Siklus II
Gambar 1: Grafik Peningkatan Hasil Belajar Matematika Siswa
(Sumber: Hasil Penelitian, 2013) 745
Berdasarkan grafik tersebut dapat diketahui bahwa banyaknya siswa yang hasil belajarnya telah tuntas pada siklus I adalah 17 orang dan yang belum tuntas 18 orang, sedangkan pada siklus II siswa yang tuntas telah mencapai 31 orang dan hanya 4 orang siswa yang belum tuntas. Berdasarkan banyaknya siswa yang telah tuntas pada siklus II, maka ketuntasan belajar siswa pada siklus II 88,57% artinya telang mengalami peningkatan hasil belajar, maka tidak dilakukan lagi pada siklus selanjutnya. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa data yang dikumpulkan adalah hasil observasi aktivitas guru dan siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe NHT . Sebelum melaksanakan pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together pada siklus I terlebih dahulu pembelajaran ini diperkenalkan kepada siswa, bahwa pembelajaran yang akan dilaksanakan berbeda dengan pembelajaran yang biasa dilaksanakan. Pembelajaran kooperatif tipe NHT dimulai dengan penyajian materi singkat, pengerjaan LKS secara berkelompok, menuliskan jawaban di papan tulis, kemudian pemberian tugas rumah yang dikerjakan secara individu oleh siswa. Penelitian ini dilakukan selama II siklus. Setelah dilakukan tindakan sebanyak dua siklus, terjadi peningkatan hasil belajar matematika siswa yang dapat dilihat dari peningkatan nilai hasil belajar siswa atau rata-rata kelas. Menurut Dimyati dan Mudjiono (1999:37), peningkatan hasil belajar berarti perubahan kemampuan ke arah yang lebih baik dan bermutu. Pembelajaran yang berlangsung selama penelitian berhasil meningkatkan hasil belajar siswa, jika telah terjadi peningkatan nilai rata-rata siswa pada akhir setiap siklus. Pembahasan pada setiap siklusnya diuraikan sebagai berikut. Siklus I Nilai rata-rata ujian matematika pada ujian semester 1 tahun ajaran 2012/2013 pada siswa kelas IV adalah 61,29 akan dijadikan sebagai nilai dasar bagi siklus 1. Pada siklus pertama diperoleh rata-rata nilai tugas kelompok sebesar 74,00, rata-rata nilai tugas individu adalah 69,14 dan rata-rata nilai tes akhir siklus sebesar 66,63. Berdasarkan nilai tugas (tugas kelompok dan tugas individu) dan nilai tes akhir siklus diperoleh nilai hasil belajar siswa sebesar 68,28. Siswa yang tuntas sebanyak 18 orang (51,43 %) sedangkan siswa yang tidak tuntas sebanyak 17 orang (48,57 %). Persentase peningkatan rata-rata hasil belajar siswa dari nilai dasar ke nilai hasil belajar siklus I sebesar 11,40 %. Siklus II Pada siklus II, diperoleh rata-rata nilai tugas kelompok sebesar 74,29, rata-rata nilai tugas individu adalah 71,29 dan rata-rata nilai tes akhir siklus sebesar 77,80. Berdasarkan nilai tugas (tugas kelompok dan tugas individu) dan nilai tes akhir siklus diperoleh nilai hasil belajar siswa sebesar 76,13. Siswa yang tuntas sebanyak 31 orang (88,57%) sedangkan siswa yang tidak tuntas sebanyak 4 orang (11,43%). Persentase peningkatan rata-rata hasil belajar siswa dari nilai hasil belajar siklus I ke nilai hasil belajar siklus II sebesar 11,56%. Berdasarkan hasil pembahasan pada setiap siklus, peneliti menyatakan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa di kelas IV SDN 001 Kuaro. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IVA SDN 001 Kuaro tahun ajaran 2012/2013 pada materi bangun ruang. Kegiatan aktivitas guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran dapat meningkatkan minat dan kreatifitas belajar siswa semakin baik di setiap pertemuan. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil observasi, pada siklus I aktivitas siswa secara keseluruhan dinilai cukup. Pada siklus II aktivitas siswa secara keseluruhan dinilai baik, yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Pada pembelajaran matematika hendaknya seorang guru menggunakan berbagai model pembelajaran salah satunya adalah kooperatif tipe NHT (Numbered Head Together) sebagai 746
salah satu alternatif untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran di kelas dan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Agar siswa lebih aktif dan kreatif dalam belajar dengan membiasakan diri bekerjasama dalam kelompok belajar. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suhardjono, dan Supardi. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Burhan Mustaqim, Ary Astuty. 2008. Ayo Belajar Matematika Kelas IV.: bse Depdiknas. 2005. Pedoman Pembuatan Laporan Hasil Belajar SMP. Jakarta: Balai Pustaka Ibrahim, M, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.. Lie, A. 2008. Cooperatif Learning Mempraktikkan Cooperatif Learning di Ruang-Ruang Kelas. Jakarta: Grasindo. Slavin, R.E. 2009. Cooperative Learning Teori, Riset, dan Praktik. Bandung: Nusamedia. Suprijono, A. 2009. Cooperative Learning (Teori dan Aplikasi Paikem). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wahyuni, F.R. 2008. Peningkatan Hasil Belajar Matematika Siswa Melalui Pembelajaran Kooperatif tipe NHT (Number Head Together) Pada Pokok Bahasan Bentuk Pangkat, Akar, dan Logaritma di kelas X SMA Negeri 3 Samarinda. Samarinda: FKIP Unmul. Skripsi Tidak Diterbitkan.
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MEMAHAMI PERKALIANCARA SUSUN PADA SISWA KELAS IV MI ALIHSAN TANAH GROGOT DENGAN METODE DEMONTRASI Siti Barisah Guru MI AL-IHSAN Kec.Tanah Grogot Kabupaten Paser Abstrak: Hasil belajar matematika pada materi perkalian dengan cara bersusun untuk siswa kelas IV MI al-ihsan selama ini masih sangat rendah dari yang diharapkan. Masih banyak siswa yang kurang aktif serta tidak memahami materi perkalian dengan cara bersusun. Untuk mengatasi permasalahan tersebut perlu dilakukan penelitian tindakan kelas. Hasil dari penelitian tindakan kelas diperoleh langkah-langkah yang dapat memperbaiki pembelajaran, yaitu (1) Kegiatan Pendahuluan, dilakukan dengan memberikan motivasi kepada siswa dengan memunjukkan manfaat perkalian dengan cara bersusun (2) Kegiatan inti guru memberikan soal-soal latihan yang berkaitan dengan perkalian dengan cara bersusun dan melakukan demontrasi (3) Pada Kegiatan Penutup guru mereview materi yang sudah dipelajari. Hasil belajar siswa mengalami peningkatan dari rata-rata 5,60 menjadi 8,21, sedangkan Ketuntasan meningkat dari 54,17% menjadi 83,33%. Kata kunci: Meningkatkan kemampuan, Perkalian cara bersusun, Metode Demonstrasi
Masalah rendahnya hasil belajar siswa sudah sangat sering dikeluhkan masyarakat. Peran guru merupakan salah satu unsur yang dianggap sangat menentukan. Dengan kata lain, rendahnya hasil belajar siswa dipandang mempunyai kaitan langsung dengan rendahnya mutu guru. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan pembelajaran matematika di kelas IV di MI Al-Ihsan Kecamatan Tanah Grogot dalam satu tahun terakhir terbukti bahwa penguasaan materi perkalian tergolong masih sangat rendah. Hasil belajar materi perkalian menunjukkan bahwa 60% lebih siswa mendapatkan hasil belajar yang masih kurang dari KKM. Kemampuan memahami materi perkalian adalah salah satu tujuan penting dalam pembelajaran matematika untuk anak SD, karena pemahaman materi perkalian akan berguna untuk pembahasan materi matematika yang lain, oleh karena itu pemberian materi perkalian untuk anak SD bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan pemahaman siswa dapat lebih mengerti akan konsep perkalian itu sendiri. Hal ini sesuai dengan Hudoyo.2003 yang menyatakan: “Tujuan mengajar adalah agar pengetahuan yang disampaikan dapat 747
dipahami peserta didik“. Pendidikan yang baik adalah usaha yang berhasil membawa siswa kepada tujuan yang ingin dicapai yaitu agar bahan yang disampaikan dipahami sepenuhnya oleh siswa. Oleh karena itu metode pembelajaran yang diterapkan harus mencerminkan pencapaian pemahaman siswa dalam belajar perkalian bilangan. Kemampuan pemahaman matematis adalah salah satu tujuan penting dalam pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan pemahaman siswa dapat lebih mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri(herdy07. 2010). Model pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam belajar perkalian bilangan adalah metode demontrasi. Menurut Budimansyah, Dasim. 2002 metode demonstrasi adalah cara pembelajaran dengan meragakan, mempertunjukkan atau memperlihatkan sesuatu di hadapan murid di kelas atau di luar kelas. Dengan metode demonstrasi siswa akan terlibat aktif dalam pembelajaran perkalian bilangan, siswa tidak hanya sekedar mendengarkan penjelasan dari guru namun siswa dapat melakukan dan meperagakan langsung dalam melakukan perkalian bilangan. Dengan melihat paparan yang sudah dijelaskan di atas, penulis mencoba melakukan penelitian untuk meningkatkan kemampuan memahami perkalian cara susun pada siswa kelas IV MI Al-Ihsan Tanah Grogot Kabupaten Paser dengan metode Demontrasi. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian ini adalah Penelitian tindakan Kelas yang dikenakan pada siswa kelas IV MI Al-Ihsan Tanah Grogot. Subjek Penelitian adalah siswa Kelas IV MI Al-Ihsan Tanah Grogot Tahun Pelajaran 2013-2014 dengan jumlah siswa 24 siswa. Penelitian tindakan kelas ini terdiri dari 2 siklus, tiap-tiap siklus dilaksanakn melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi dan refleksi. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hasil belajar siswa yang dibandingkan antara siklus 1 dan siklus 2. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Kegiatan yang dilakukan pada siklus I meliputi 4 tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan/observasi, dan refleksi. Berikut ini merupakan penjabaran dari 4 tahapan tersebut: a. Siklus I 1) Perencanaan tindakan I Pada kegiatan ini beberapa hal yang dilakukan oleh peneliti yaitu merancang instrumen penelitian yang meliputi: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, Soal tes untuk siklus 1 2) Pelaksanaan Tindakan Pelaksanaan pembelajaran materi perkalian cara susun dengan metode demontrasi diawali dengan Tanya jawab tentang materi yang telah dipelajari sebelumnya. Selanjutnya guru mengajukan pertanyaan pengantar tentang perkalian cara susun dan contohnya serta menyampaikan tujuan pembelajaran. Metode berikutnya adalah kerja berpasangan. Pembentukan pasangan adalah dengan cara berhitung mulai dari 1 sampai dengan bilangan hasil bagi antara jumlah siswa dengan dua. Siswa yang mendapatkan nomor yang sama bergabung membentuk pasangan. Setiap pasangan mendiskusikan topik yang sama yaitu perkalian dengan cara bersusun. Setelah berdiskusi, salah satu kelompok dipilih untuk menjelaskan topik yang didiskusikan di depan kelas. Kemudian melalui tanya jawab, guru medemontrasikan cara mengalikan dua bilangan dengan cara bersusun, keudian guru meminta siswa untuk mendemonstrasikan cara mengalikan dua bilangan dengan cara bersusun. Kegiatan berikutnya dilakukan Tanya jawab dan memberikan latihan pada siswa. Pada kegiatan penutup guru mengajak siswa membuat kesimpulan tentang materi yang sudah dipelajari hari ini, kemudan dilanjutkan dengan memberikan tindak lanjut untuk mempelajari materi berikutnya . Berdasarkan teknik analisis data yang tentang pelaksanaan pembelajaran maka diperoleh bahwa secara umum pelaksanaan pembelajaran perkalian cara bersusun dengan metode demontrasi pada pertemuan 1 terlaksana dengan baik.. 748
Pertemuan berikutnya pada siklus I dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah pembelajaran sebagaimana pada pertemuan 1. Pada akhir siklus 1 diadakan tes untuk mengukur pemahaman siswa terhadap materi perkalian dengan cara bersusun dengan menggunakan metode demonstrasi. Hasil tes siklus 1 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1: Rekapitulasi Nilai Hasil belajar Siklus I Matematika
No. Nama Siswa 1. Ahmad arsyi 2. Ahmad melani 3. Dela Juniarti 4. Dina Nur afkariah 5. Faiz Faturrahman 6. Herman 7. Lusiana 8. Marhamah Annisa 9. M.ebiet Sardani 10. M. salman 11. Nurul Maulida 12. Putri Aminah 13. Rahmatullah 14. Rizky Rahman 15. Vivi Nurhayati 16. Siti radiyah 17. Ahmad Saifullah 18. Usman Daud 19. sigit riyadi 20. Mazhar 21. Raul Reza 22. Reza Trisna 23. Rahayu 24. M.Rizky Budy Santoso Jumlah Rata-rata
Nilai Sesudah Perbaikan 5 5 6 5 6 5 7 8 6 5 5 5 6 5 5 6 5 8 5 6 6 5 5 6 136 5,6
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa persentase banyaknya siswa yang belum mencapai ketuntasan dalam mengerjakan soal tes I adalah 54,17 %. Hal ini berarti baru ada 45,83% siswa yang sudah memiliki pemahaman. 3) Refleksi Tindakan I Kekurangan dan kelemahan selama dilaksanakan pembelajaran dengan metode demonstrasi pada siklus I ini adalah sebagai berikut: a. Guru terlalu cepat dalam mencapaikan pembelajaran. b. Guru kurang menguasai dalam penggunaan alat peraga. c. Guru kurang menyampaikan tujuan pembelajaran. d. Guru kurang memberikan penguatan kepada siswa. e. Tidak adanya diskusi antara siswa dan guru Tindakan perbaikan yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: a) Guru berupaya untuk menyesuaikan waktu dengan ketercapaian pembelajaran b) Guru mempelajari terlebih dahulu penggunaan alat peraga sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran c) Guru selalu mempertegas tujuan pembelajaran setiap melaksanakan kegiatan pembelajaran. d) Guru berupaya selalu memberikan penguatan pada siswa setelah melakukan presentasi. e) Guru selalu memberikan kesempatan pada siswa untuk bertanya kepada guru. 749
b. 1)
Siklus II Perencanaan tindakan II Pada kegiatanini, yang dilakukan oleh peneliti adalah merancang instrumen penelitian yang meliputi: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang didasarkan pada hasil refleksi pada siklus 1. 2) Pelaksanaan Tindakan II Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II didasarkan pada usulan perbaikan dari kegiatan refleksi siklus I. Pada akhir siklus 2 diadakan tes untuk mengukur pemahaman siswa. Data hasil belajar siswa pada siklus II dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 2: Rekapitulasi Nilai Hasil Belajar Siklus II
No. Nama Siswa 1. Ahmad arsyi 2. Ahmad melani 3. Dela Juniarti 4. Dina Nur afkariah 5. Faiz Faturrahman 6. Herman 7. Lusiana 8. Marhamah Annisa 9. M.ebiet Sardani 10. M. salman 11. Nurul Maulida 12. Putri Aminah 13. Rahmatullah 14. Rizky Rahman 15. Vivi Nurhayati 16. Siti radiyah 17. Ahmad Saifullah 18. Usman Daud 19. sigit riyadi 20. Mazhar 21. Raul Reza 22. Reza Trisna 23. Rahayu 24. M.Rizky Budy Santoso Jumlah Rata-rata
Nilai Sesudah Perbaikan 8 8 8 7 8 8 9 9 9 7 9 7 8 7 8 9 9 9 8 8 9 9 8 8 197 8,21
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa persentase banyaknya siswa yang belum mencapai ketuntasan adalah 16%, namun rata-rata nilai yang diperoleh siswa adalah 8,21. Sehingga terjadi kenaikan rata-rata hasil belajar siswa sebesar 2,61 dari rata-rata 5,6 menjadi 8,21. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan pemahaman siswa dalam belajar perkalian dengan cara bersusun dengan menggunakan metode demonstrasi. Peningkatan hasil belajar siswa ini dikarenakan keberhasilan guru dalam melaksanakan pembelajaran dengan metode domontrasi dengan langkah sebagai berikut (1) Kegiatan Pendahuluan ,dilakukan dengan memberikan motivasi kepada siswa dengan memnunjukkan manfaat perkalian dengan cara bersusun (2) Kegiatan inti guru memberikan soal-soal latihan yang berkaitan dengan perkalian dengan cara bersusun dan melakukan demontrasi (3) Pada Kegiatan Penutup guru mereview materi yang sudah dipelajari. KESIMPULAN Berdasarkan paparan data dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bebrapa hal sebagai berikut: 750
1.
2.
Pembelajaran perkalian cara susun dengan metode demontrasi yang dilaksanakan adalah (1) Kegiatan Pendahuluan ,dilakukan dengan memberikan motivasi kepada siswa dengan memnunjukkan manfaat perkalian dengan cara bersusun (2) Kegiatan inti guru memberikan soal-soal latihan yang berkaitan dengan perkalian dengan cara bersusun dan melakukan demontrasi (3) Pada Kegiatan Penutup guru mereview materi yang sudah dipelajari. Terjadi peningkatan hasil belajar siswa dalam belajar perkalian dengan cara susun dengan metode demontrasi sebesar 2,61 dari rata-rata 5,6 menjadi 8,21. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar dari sikulus 1 ke siklus 2.
DAFTAR RUJUKAN Hudojo, Herman. (2003). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. JICA. Malang: Universitas Negeri Malang Budimansyah, Dasim. 2002 Model Pembelajaran dan Penilaian. Bandung: Siliwangi HDB Http://herdy07.wordpress.com/2010/05/27/kemampuan-pemahaman-matematis/
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN LANGSUNG (DIRECT INSTRUCTION) DAN PEMBELAJARAN BERMAKNA DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA ENAM BIDANG SISI KUBUS DALAM PEMBELAJARAN MENEMUKAN JARING – JARING KUBUS Sindar Jannes SD Gmist Zoar Bungalawang Abstrak: Pembelajaran menemukan jaring-jaring kubus untuk siswa SD diharapkan tidak hanya sekedar dihafal oleh siswa namun dapat diperoleh melalui pengalaman yang dilakukan siswa itu sendiri. Upaya untuk tidak menghafal dan dapat memperoleh pengalaman dalam mempelajari materi menemukan jaring-jaring kubus akan dicapai oleh siswa apabila mereka memperoleh pembelajaran secara langsung dan bermakna. Media pembelajaran enam bidang sisi kubus akan dapat memberikan pembelajaran pada siswa untuk dapat melakukan aktivitas secara langsung dan dapat memberikan makna dalam pembelajaran yang dilakukan siswa.. kata kunci: Pembelajaran langsung dan bermakna, Media enam bidang sisi kubus, jaring-jaring kubus.
Matematika adalah ilmu yang abstrak dan deduktif. Karena bersifat abstrak dan deduktif tersebut maka untuk pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) harus disesuaikan dengan karakteristik umumnya anak usia SD. Matematika adalah ilmu yang abstrak dan deduktif. Karena bersifat abstrak dan deduktif tersebut maka untuk pembelajaran matematika di Sekolah Dasar harus disesuaikan dengan karakteristik umumnya anak usia SD. Hal ini juga berlaku untuk pembelajaran matematika di SD Gmist Zoar Bungalawang. Pembelajaran matematika di SD Gmist Zoar Bungalawang tampaknya kurang diminati siswa. Hal ini dikarenakan adanya anggapan pelajaran matematika merupakan matapelajaran yang bersifat kaku, menakutkan, dan cepat membosankan. Pada saat pembelajaran terlihat siswa tampak tegang dan suasana pembelajaran pasif tidak menyenangkan. Hal ini terjadi karena umumnya pembelajaran masih berpusat pada guru, pemberian contoh soal, dan berujung dengan latihan soal secara individu. Untuk membuat siswa terlibat aktif dalam pembelajaran maka guru harus memiliki inovasi baru dalam menerapkan model pembelajaran inovatif dan bermakna dengan penggunaan media pembelajaran yang kreatif. Salah satu penerapan pembelajaran inovatif dan bermakna yang dapat memberikan pengalaman belajar pada siswa secara langsung adalah pembelajaran langsung (directin instruction ). Dengan pembelajaran langsung (directin instruction ) diharapkan akan menjadi siswa yang kuat, tangguh, berkembang secara maksimal, dan mampu 751
berkompetisi karena pengetahuan, menjadi perilaku dan karakter diri.Menurut Kardi dan Nur ( 2000) pembelajaran langsung dilakukan dengan dengan lima tahap aktivitas: (1) oriantasi, (2) oprosentasi, (3) Praktik yang terstruktur,(4) praktik dibawah bimbingan guru, dan(5) praktik mandiri. Sedangkan pembelajaran bermakna ( meaningful learning) pertama dikembangkan oleh Ausubel. Seorang siswa dikatakan belajar secara bermakna apabila siswa dapat mengaitkan antara apa yang dipelajari (pengetahuan baru) dengan apa yang diketahui (pengetahuan lama). Belajar bermakna terjadi pada proses pembelajaran bermakna . Belajar bermakna menggambarkan proses seseorang mengonstruksi pengetahuan. Konstruksi pengetahuan akan terbentuk secara baik apabila ada kaitan dengan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. Sedangkan pembelajaran bermakna merupakan upaya menciptakan terjadinya belajar bermakna dan melanjutkan proses internalisasi pengetahuan menjadi perilaku dan karakter diri. Pembelajaran bermakna tidak hanya berhenti pada terbentuknya pengetahuan tetapi lebih jauh membentuk pengetahuan, menjadi perilaku dan karakter diri siswa.(Muchlas Samani.2007) Langkah Kegiatan dalam Pembelajaran Langsung dan Bermakna. Guru membuka pembelajaran diawali dengan mengkondisikan siswa untuk berdo‟a dan dilanjutkan dengan pengecekan kehadiran siswa. Kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan yang menyangkut pelajaran matematika yang pernah diterima oleh siswa sebelumnya, selanjutnya guru bertanya jawab dengan siswa tetang materi yang akan diajarkan yaitu tentang bangun jarring-jaring kubus. Guru memajang gambar bangun ruang dan bangun datar dan menunjuk siswa untuk menjawab nama bangun ruang yang dipajang.. Guru menggambil kotak dan memanggil salah satu siswa untuk membuka kotak tersebut serta menunjukkan jaring-jaring hasil membuka kotak tersebut dihadapan semua siswa. Seperti pada gambar di bawah. Kotak
Kotak yang dibuka
Gambar 1: Jaring-jaring kubus
Guru menanyakan nama kotak yang dibuka untuk memancing kesiapan siswa untuk memasuki pembelajaran. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai yaitu: 1. Siswa dapat membuat berbagai macam jaring-jaring kubus 2. Siswa dapat menggambar bentuk-bentuk jaring-jaring kubus Guru melanjutkan kegiatan dengan memperkenalkan alat yang digunakan untuk membuat jaring – jaring kubus yaitu: (1) 6 bibang sisi kubus (2) silotip (3) gunting (4) spidol warna. Guru bersama siswa mendemonstrasikan cara membuat jaring- jaring kubus.
752
Gambar 2: Enam bidang sisi kubus
Kegiatan guru berikutnya membagi 15 siswa yang hadir menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok kubus, kelompok balok, kelompok prisma,. Masing-masing kelompok terdiri dari 5 orang. Pembagian kelompok ini dilakukan secara heterogen, baik jenis kelamin maupun prestasinya. Masing- masing kelompok akan bekerja sama untuk mendiskusikan permasalahan yang diberikan guru. Adapun setting kelas dalam pembelajaran dapat dilihat pada gambar berikut. SETTING KELAS
GURU
KELOMPOK BALOK
KELOMPOK KUBUS KELOMPOK PRISMA Gambar 3: Setting Kelas
Kegiatan guru berikutnya membagi Lembar Kerja Kelompok (LKK) pada tiga kelompok. Lembar Kerja Kelompok yang dibagikan kepada siswa dapat dilihat di bawah ini. LKK ( Lembar Kerja Kelompok ) Mata Pelajaran : Matematika. Kelas/Semester : IV (Empat) / Genap Materi : Jaring - Jaring Balok Langkah-langkah kegiatan: 1. Aturlah 6 bidang / sisi menjadi jaring - jaring kubus. 2. Rekatkan dengan menggunakan selotip. 3. Rangkaikan/susun menjadi bangun kubus. 4. Jika menjadi bentuk kubus utuh, gambarlah jaring – jaring yang dibentuk tersebut pada kertas berpetak yang disediakan. 5. Atur lagi 6 bidang/sisi menjadi jaring-jaring dengan posisi yang berbeda. 6. Lanjutkan seperti pada kegiatan 3 dan 4. 7. Lakukan kegiatan di atas sampai kalian menemukan macam-macam model jaring-jaring yang berbeda-beda. KERTAS BERPETAK Gambarlah hasil berja kelompokmu yang terbentuk jaring-jaring kubus dengan menggunakan spidol warna pada kerta berpetak ini
753
Siswa secara berkelompok menyelesaikan tugas dengan bekerja sama membentuk jaring –jaring kubus dengan dipantau oleh guru. Kubus yang terbentuk digambar pada kertas berpetak yang disediakan. Guru berkeliling memperhatikan dan mengarahkan siswa dalam mengerjakan LKK. Setelah LKK selesai dikerjakan setiap kelompok mengutus salah seorang anggota kelompok untuk untuk menggambar pada karton bergaris yang terpajang dipapan tulis secara bergantian. Setelah semua model digambar, guru memberikan respon terhadap hasil kerja siswa dan memberikan penghargaan serta penguatan terhadap hasil kerja siswa. Dari hasil Lembar Kerja Kelompok yang dikumpulkan menunjukan hasil yang sangat memuaskan karena ketiga kelompok semuanya dapat menemukan jaring –jaring kubus sekalipun ada jaring-jaring kubus yang terulang. Guru bersama siswa menyimpulkan hasil kerja siswa yaitu banyaknya jaring-jaring kubus yang dihasilkan siswa dan memperbaiki hal –hal yang kurang tepat. Untuk memberikan keterampilan siswa dalam menemukan jarring-jarin kubus, siswa melaksanakan praktik dalam sebuah kelompok dan secara bergantian menulis jawaban atau menyusun 6 bidang sisi kubus untuk membentuk jaring-jaring baru. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melaksanakan praktik dengan kemauan mereka sendiri. Praktik dibawah bimbingan guru memudahkan guru mempersiapkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menampilkan tugas pembelajaran. Hal ini dilakukan dengan cara membantu meminimalisir jumlah dan ragam kesalahan yang dilakukan siswa . Peran guru dalam hal ini adalah mengontrol kerja siswa dan jika dibutuhkan memberikan respon yang korektif. Siswa juga diberikan kesempatan untuk menguji pemahaman terhadap praktik yang dilakukan secara kelompok melalui pratik mandiri yaitu melakukan pratik dengan caranya sendiri tanpa bantuan dan respon dari guru dan teman. Ini dilakukan untuk mengukur kedalaman pehaman siswa dengan praktik membentuk dan menemukan sendiri jaring- jaring kubus. Untuk menguji pemahaman siswa dalam menemukan jaring- jaring kubus, siswa diminta untuk menyelesaikan tugas sebagai berikut. Lingkarilah (O) angka pada gambar yang dapat dibentuk menjadi kubus ! Silanglah (X) angka pada gambar yang tidak dapat dibentuk menjadi kubus.!
3 1
2
4
5
7
8 754
6
9
10
12
13
11
14
Pada bagian akhir pembelajaran siswa dan guru merangkum materi pelajaran untuk menemukan jarring-jaring kubus sebagai berikut: Pola 1-4-1 sebanyak 6 macam
Pola 2 – 3 – 1 sebanyak 3 macam
Pola 2 – 2 – 2 sebanyak 1 dan pola 3 – 3 sebanyak 1
Jadi jaring –jaring kubus sebanyak 11. Guru memberikan tindak lanjut dengan memberikan tugas kepadasiswa untuk mempelajari materi berikutnya. Guru mengakiri pelajaran dengan memberikan pengguatan dan nasihatnasihat agar siswa belajar dengan lebih giat. Hasil Pelaksanaan Observasi dan Refleksi Berdasarkan hasil pengamatan teman guru, kepala sekolah dan pengawas yang bertugas sebagai observer bahwa siswa senang menerima pelajaran. Anak – anak kelihatan antusias menerima pelajaran dan hasil yang diperoleh sangat memuaskan. Pembelajaran yang sudah terlaksana adalah pembelajaran yang kreatif dan inovatif yang perlu disebarluaskan ke tementeman guru agar semua guru diwilayah Sangihe termotivasi untuk merencanakan pembelajaran yang bermakna dan berorientasi pada siswa. Namun masih ada masukan yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pembelajaran ini yaitu kelengkapan alat dan bahan yang diperlukan dalam kerja kelompok agar dilengkapi karena masi ada kelompok yang bergantian menggunakan alat dan bahan seperti: silotip dan gunting agar tidak bergantian menggunakannya . PENUTUP Pemberian pengalaman pada siswa dalam belajar menemukan jaring-jaring kubus sebaiknya tidak hanya meminta siswa untuk menghafal berapa banyak jaring-jaring kubus saja, 755
sebaiknya juga diberikan pengalaman pembelajaran langsung dan bermakna. Dengan menggunakan media enam bidang sisi kubus dalam pembelajaran menemukan jaring-jaring kubus dapat memberikan pengalaman langsung dan bermakna pada siswa dalam belajar menemukan jaringjaring kubus. Pemberian pengalaman secara langsung dan bermakna kepada siswa adalah tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran untuk anak Sekolah Dasar yang belum mampu berfikir secara deduktif dalam belajar matematika. DAFTAR RUJUKAN Kardi, S, dan Nur, M. 2000. Pengajaran Langsung. Surabaya: UNESA University Press. Muchlas Samani. 2007. Pendidikan Bermakna: integrasi Life Skill-KBK-CTL-MBS. Surabaya: SIC Surabaya BSNP. 2006. Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Badan Nasional Pendidikan
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR Zainuddin & Sadri
[email protected] Abstrak: Penelitian ini mendeskripsikan pembelajaran pecahan berbantuan Media Kertas Transparan Bergaris (Maktab) yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa materi penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian ini dilakukan dalam dua siklus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan media Maktab yang dapat meningkatkan hasil belajar dilakukan dengan langkah-langkah guru: (1) menjelaskan pecahan senilai dengan media maktab, (2) mengubah pecahan berpenyebut tidak sama menjadi berpenyebut sama dengan pecahan senilai, dan (3) meminta siswa praktik memecahkan masalah dengan media maktab. Pembelajaran dengan media maktab dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Kata kunci: Hasil Belajar, Media Maktab, Pecahan.
Dalam belajar matematika, siswa perlu memahaminya secara bermakna. Tidak cukup jika siswa hanya memahami matematika secara prosedural, sebaliknya siswa harus memahami secara konseptual. Agar siswa bisa memahami secara konseptual, dalam belajar matematika perlu dibantu dengan media pembelajaran. Media pembelajaran sering menjadikan materi lebih mudah dipahami oleh siswa. Proses siswa membanbun koneksi antar materi matematika dan antara matematika dengan kehidupan juga akan terbangun secara baik, bila belajarnya dilakukan secara bermakna. Karena itu media pembelajaran matematika sangat penting untuk mengembangkan pemahaman siswa. Benda-benda fisik atau manipulatif untuk memodelkan konsep-konsep matematika merupakan alat-alat yang penting untuk membantu siswa belajar matematika (Subanji, 2011). Media pembelajaran sebagai bagian dari instrumental pembelajaran memiliki peranan penting, bahkan dalam hal tertentu akan menentukan keberhasilan dalam proses pembelajaran itu sendiri. Peranan media pembelajaran dalam keseluruhan sistem lingkungan belajar harus mendapat perhatian para pendidik secara mendalam. Mengajar dapat diartikan sebagai upaya untuk menciptakan suatu sistem lingkungan belajar supaya proses belajar dapat berlangsung dengan baik. Pembelajaran di sekolah dasar haruslah diciptaqkan suasana belajar yang menarik dan menyenangkan, dinamis dan terarah dalam mencapai tujuan pembelajaran. Untuk tujuan tersebut diperluukan strategi, metode serta media yang tepat sehingga menunjang keefektifan proses pembelajaran.Semakin banyak variasi pembelajaran dan media akan semakin memberi kesan kepada siswa bahwa matematika merupakan pelajaran yang menyenangkan. Pandangan 756
positif terhadap matematika bisa meningkatkan motivasi dan pada akhirnya membawa dampak meningkatnya hasil belajar siswa. Tujuan umum pendidikan matematika pada jenjang pendidikan dasar diantaranya: (1) mempersiapkan peserta didik agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif. (2) mempersiapkan peserta didik agar dapat menggunakan matematika dan poola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Dengan demikian tujuan tersebut memberikan tekanan pada penataan nalar dan pembentukan sikap peserta didik serta memberi tekanan pada ketrampilan dalam penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan tersebut, guru perlu didorong menjadi agen pembelajaran untuk menciptakan pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan dengan tugas sebagai fasilitator, motivator, pemicu, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik. Peran ini kurang disadari oleh guru sehingga di dalam melaksanakan proses pembelajaran dikelas kurang menarik dan peserta didik pasif. Salah satu faktornya kurang menggunakan media pembelajaran bahkan tidak sama sekali menggunakan media dalam pembelajaran. Situasi pembelajaran seperti ini berdampak pada berkurangnya keaktifan dan kreatifitas peserta didik selama kegiatan proses pembelajaran berlangsung. Kondisi demikian dapat menyebabkan siswa pasif dan cenderung untuk menghafal konsep tanpa disertai pemahaman yang memadai. Semua ini terjadi karena selama ini nuansa pelaksanaan pembinaan pendidikan secara operasional oleh kebanyakkan guru lebih menitik beratkan pada proses pengajaran dari pembelajaran. Paradigma demikian dipegang erat oleh guru sehingga banyak guru yang terjebak pada keyakinan yang keliru, yakni mengajar selalu menghasilkan belajar. Salah satu materi matematika yang masih sering dirasakan sulit oleh siswa adalah penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Dalam pembelajaran materi pecahan masih sering menjadi masalah. Siswa sulit memahami materi pecahan karena pembelajaran yang dilakukan hanya menekankan pada prosedur. Guru sering memberikan rumus atau prosedur menjumlahkan bilangan pecahan dengan menyamakan penyebut. Namun guru tidak memberikan penekanan kenapa dalam menjumlahkan pecahan harus disamakan penyebutnya. Sehingga mereka hanya hafal “cara” menjumlahkan pecahan tetapi tidak bermakna. Akibatnya ketika siswa dihadapkan pada pemecahan masalah pecahan, siswa mengalami kesulitan. Penelitian ini menawarkan pembelajaran berbantuan Media Kertas Transparan Bergaris “Maktab” untuk meningkatkan hasil belajar siswa materi penjumlahan pecahan berpenyebut berbeda. Dalam pelaksanaannya dikembangkan media maktab untuk membelajarkan penjumlahan pecahan berpenyebut berbeda. Dengan penerapan media maktab ini diharapkan siswa dapat belajar lebih mudah, mengalami langsung, mengadakan komunikasi, berintraksi dengan lingkungannya,sehingga siswa dituntut untuk belajar secara aktif, kreatif, berpikir kritis, dan menemukan sendiri konsep yang dipelajarinya. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action Research), dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan memperbaiki pembelajaran yang dilakukan. Penelitian dilakukan dalam dua siklus, masing-masing terdiri dari tahap perencanaan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi (Dasna, 2013). Tindakan yang digunakan pada siklus kedua merupakan hasil refleksi siklus satu. Subjek penelitiaan ini adalah siswa kelas IV (empat) SDN 3 Gunungsari Lombok Barat. Penelitian dilakukan pada semester genap TA 2012/2013. Penelitian ini dilakukan dengan cara memberikan pembelajaran pokok bahasan operasi penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Untuk penelitiaan ini di bantu oleh seorang guru sebagai observer. Penulis sebagai peneliti dan sekaligus sebagai seorang guru bekerjasama dengan observer dalam pelaksanaan pembelajaran sehinnga diperoleh kesepakatan dan pemahaman yang sama terhadap masalah yang dihadapi. Penelitian dilakukan dalam dua siklus dan tiap siklus terdiri dari empat tahapan sebagai berikut: (1) tahap perencanaan dengan menyiapkan RPP, menyiapkan alat peraga Maktab (media kertas transparan bergaris), latihan soal dengan praktik, menyiapkan lembar observasi. PENYIAPAN MEDIA MAKTAB 757
Media maktab terdiri dari kertas transparan berbentuk persegi panjang, yang berjumlah empat lembar dengan warna yang berbeda dan di atas permukaan kertas – kertas itu diberi nomor 1, 2, 3, dan 4. Kertas nomor 1 menunjukkan bilangan pecahan pertama. Kertas nomor 2 menunjukkan bilangan pecahan kedua dengan penyebut berbeda dengan bilangan pecahan pertama. Kertas nomor 3 menunjukkan bagian yang merupakan gabungan pecahan pertama dengan pecahan kedua. Kertas nomor 4 menunjukkan penyebut baru dari gabungan bilangan pecahan berpenyebut tidak sama yang kita cari.
1
2
3
4
Prosedur Penerapan Maktab Prosedur penerapan Maktab dalam operasi penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama dilakukan dengan menggunakan contoh penjumlahan 1. Meletakkan kertas nomor 1 yang menyatakan bilangan pecahan
di permukaan yang
rata
2. Mengambil kertas transparan yang menyatakan
lalu gabungkan pada kertas pertama
3. Mengambil kertas nomor 3 kemudian letakkan di atas gabungan kertas transparan 1 dan 2
758
4. Menandai dan menggaris bagian yang dibentuk pada kertas ketiga sesuai dengan arsiran kertas 1 dan 2
5. Untuk bisa diberi nama, ambillah kertas nomor 4 dan letakkan di atas gabungan kertas 1, 2, dan 3 lalu bagilah bagian – bagian tersebut seperti bagian yang paling kecil.
6. Menghitung bagian yang terbentuk pada kertas nomor 4 dan itu merupakan penyebut baru dari pecahan yang dijumlahkan. Hasil yang diperoleh HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan pembelajaran dilakukan dalam dua siklus dengan pembagian materi seperti pada Tabel 1 berikut.
I
II
Tabel 1: Pembagian Materi Berdasarkan Pertemuan Siklus Pertemuan Materi 1 Arti pecahan sebagai bagian dari keseluruhan Konsep penjumlahan pecahan penyebut tidak sama Memperkenalkan Maktab Menyelesaikan contoh soal 2 Memantapkan cara penggunaan maktab dalam menyelesaikan soal Mengadakan evaluasi 1 Pemecahan masalah berkaitan dengan penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama Pemecahan masalah berbentuk soal cerita materi pecahan berpenyebut tidak sama Pemantapan penggunaan maktab Mengadakan evaluasi
Siklus I Pelaksanaan tindakan pada siklus I dilaksanakan dua kali pertemuan, pertemuan pertama membahas tentang arti pecahan dengan gambar. Pertemuan kedua tentang konsep penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama dengan maktab. Pada siklus ini diikuti oleh 35 siswa. Pada pertemuan pertama, siswa kelihatan bingung dan belum mengerti tentang penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Keaktifan siwa dalam proses pembelajaran 759
masih kurang. Sebagian besar siswa masih belum mau bertanya walaupun belum mengerti, masih malu dan ragu mengerjakan contoh soal bahkan tidak mau maju kedepan kelas walaupun disuruh. Hal ini disebabkan karena siswa belum mengerti betul tentang materi pembelajaran dan cara penggunaan maktab. Oleh karena itu guru memberikan semangat untuk memacu dan memotivasi agar siswa belajar dengan bimbingan dan melatih serta berulang – ulang memperagakan alat peraga maktab. Sedangkan pada pertemuan kedua siswa mulai tertarik dengan proses pembelajaran yang ditandai banyaknya siswa mengajukan pertanyaan jika belum mengerti dan memperagakan media maktab tersebut. Bahkan sebagian siswa dapat memberikan pernyataan bahwa penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama tidak bisa diselesaikan secara langsung; maksudnya menambahkan pembilang dengan pembilang sebelum penyebutnya sama. Pernyataan ini sebagai modal bagi guru untuk mengeksplorasi pengetahuan siswa. Selama proses pembelajaran semua kegiatan guru dan siswa diamati oleh observer dengan berpedoman pada lembar observasi. Dari lembar observasi yang diisi pengamat diperoleh sebagai berikut: Berdasakan hasil observasi kegiatan guru didapat bahwa kegiatan guru berkatagori baik, dimana langkah yang harus terlaksana 30 item sedangkan yang terlaksana 26 item sehingga prosentase keterlaksanaan langkah pembelajaran 86,67 % dan berkatagori baik. Sedangkan hasil observasi siswa tentang keaktifannya dalam proses pembelajaran masih berkatagori kurang, dari jumlah siswa 35, yang sering bertanya dan mau menjawab pertanyaan 10 siswa, atau 28,57 %. Hasil evaluasi pada siklus I menunjukkan ketuntasan secara klasikal belum tercapai. Siwa yang tuntas belajar 27 orang atau 77,14 %, sedangkan siswa yang belum tuntas 8 orang atau 22,86 %, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada siklus I ketuntasan belajar siswa belum tercapai. Karena ketuntasan secara klasikal belum mencapai 85% maka pembelajaran dikatakan belum berhasil sesuai rencana. Dari hasil observasi dari siklus I diatas maka peneliti bersama pengamat merefleksikan kedalam rencana dan persiapan pelaksanaan tindakan pada siklus II dan hasilnya sebagai berikut: (1) mengoptimalkan bimbingan guru secara individu atau kelompok dalam penanaman konsep menggunakan Maktab serta menyelesaikan soal – soal latihan (2) dalam menjelaskan materi guru hendaknya memberikan contoh yang cukup dan cara menyelesaikan soal dari yang sederhana (3) memaksimmalkan pemberian umpan balik kepada siswa agar termotivasi untuk berperan aktif dalam pembelajan. Siklus II Siklus II dilaksanakan dua kali pertemuan yang terdiri dari satu kali pertemuan untuk pembelajaran dan satu kali pertemuan untuk pemantapan dan evaluasi. Proses pembelajaran siklus II merupakan merupakan perbaikan proses pembelajaran pada siklus sebelumnya, yang disesuaikan dengan hasil refleksi. Pada pelaksanaan tindakan siklus II , siswa mulai tertarik dengan Media Kertas Transparan Bergaris (Maktab) dalam menemukan konsep penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama, hal ini ditandai dengan sebagian besar siswa terlibat aktif dalam pembelajaran sehingga pembelajaran menjadi lebih ceria dan menyenangkan. Dengan mengoptimalkan langkah-langkah pembelajaran dalam RPP siklus II, keaktifan dan kreativitas belajar siswa meningkat seperti banyaknya siswa mecoba maktab dalam menyelesaikan soal secara berulang – ulang, siswa mengajukan pertanyaan, berebut mengerjakan soal di depan kelas dan dapat menjawab pertanyaan dengan benar saat tanya jawab, serta pemahan siwa dalam menyelesaikan soal meningkat dengan banyaknya siswa yang perotes jika ada langkah pengerjaan atau jawaban temannya yang masih keliru. Hasil observasi kegiatan guru menujukkan bahwa kegiatan belajar mengajar berjalan baik sesuai dengan apa yang direncanakan. Hal ini terlihat dari pengelolaan kelas yang baik dengan memperhatikan pemerataan bimbingan baik secara individu atau kelompok, pemberian contoh yang cukup dan pemberian umpan balik yang segera kepada siswa agar berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran. Adapun keterlaksanaan langkah pembelajaran yang direncanakan ada 30 item, yang terlaksana 28 item atau 93,33 % dari rencana maka keterlaksanaan langkah pembelajaran dikatagorikan baik sekali.Keaktifan siswa dalam proses pembelajara secara umum sangat baik. Hal ini terlihat dari keberaniaan siswa bertanya atau menjawab pertanyaan,berebut maju kedepan kelas untuk menyelesaikan soal, minta diberikan soal latihan lagi dan sebagian besar siswa berperan aktif dalam tanya jawab antar guru dan siswa. 760
Hasil evaluasi pada siklus II menunujkkan bahwa ketuntasan secara klasikal telah tercapai pada operasi penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama. Jumlah siswa yang belajar 35 orang, tuntas belajar 32 orang dan yang tidak tuntas 3 orang. Sehingga kalau diprosentasekan menjadi 91,43 % yang tuntas, maka dapat disimpulkan bahwa pada siklus II pada pembelajaran operasi penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama ketuntasan siswa secara klasikal telah tercapai. Bagi siswa yang belum tuntas diberiakan perbaikan secara individu. Hasil penelitian yang didapat pada proses pembelajaran operasi penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama dengan alat peraga media kertas trasparan bergaris (maktab), baik dari hasil observasi dan evaluasi belajar siswa menunjukkan ada pemahaman konsep dalam menyelesaikan penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama serta menunjukkan peningkatan prestasi belajar siswa dari tiap siklus. Pembelajaran yang sebelumnya kurang dimengerti menjadi mudah untuk diselesaikan, kurang menarik menjadi menarik dan penuh keceriaan dan semangat untuk belajar. Karena itu guru perlu mendorong, mengaktifkan, dan memotivasi siswa, sedemikian sehingga siswa bisa belajar dan mengembangkan pola pikirnya. Hal ini dapat terlaksana jika guru mampu mengembangkan model pembelajaran matematika yang lebih menarik dan mudah dipahami. Konsep matematikan akan mudah dipaham dengan baik oleh siswa apabila disajikan dalam bentuk kongkrit dan beragam (Dienes, dalam Karso,2006). Temuan di atas menggambarkan bahwa dengan menggunakan alat peraga „Media kertas trasparan bergaris (Maktab) pada operasi penjumlahan pecahan berpenyebut tidak sama akan memudahkan siswa memahami konsep penjumlahan pecahan yang pada akhirnya dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Karena benda–benda fisik atau manipulatif untuk memeodelkan konsep matematika merupakan alat penting untuk membantu siswa belajar matematika. Benda – benda fisik yang dimaksud adalah media pembelajaran yang turut serta membantu siswa dalam memahami konsep matematika yang dipelajari (Subanji, 2011). Lebih jauh, Subanji (2013) menjelaskan bahwa media pembelajaran sangat penting bagi siswa dalam memahami konsep matematika terutama untuk tingkat sekolah dasar. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan media Maktab yang dapat meningkatkan hasil belajar dilakukan dengan langkah-langkah guru: (1) menjelaskan pecahan senilai dengan media maktab, (2) mengubah pecahan berpenyebut tidak sama menjadi berpenyebut sama dengan pecahan senilai, dan (3) meminta siswa praktik memecahkan masalah dengan media maktab. Pembelajaran dengan media maktab dapat meningkatkan hasil belajar siswa. DAFTAR RUJUKAN Dasna, Wayan, I, 2013. Penelitian Tindakan Kelas. UM Press. Malang Karso, 2006. Pendidikan Matematika I. Universitas Terbuka. Jakarta Subanji, 2011. Matematika Sekolah dan Pembelajarannya. J-TEQIP.Jurnal Peningkatan Kualitas Guru, Tahun II, Nomor 1, pp 1-11. Subanji, 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. UM Press. Malang
761
PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA TERHADAP POKOK BAHASAN PENGURANGAN PECAHAN DESIMAL MELALUI PENERAPAN METODE PEMBERIAN TUGAS INDIVIDUAL PADA SISWA KELAS IV SDN 023 TANAH GROGOT TAHUN 2013 Hairul Subihadi SDN 023 Tanah Grogot Kec. Tanah Grogot Kab. Paser Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar Matematika dikelas IV pokok bahasan bilangan pecahan di SDN 023 Tanah Grogot. Metode penelitian ini Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Tindakan yang dilakukan terdiri dari dua tindakan dalam dua siklus. Tiap siklus terdiri dari empat tahapan yaitu, Planning, Acting, Observing, dan Reflecting. Adapun kelas yang diteliti adalah siswa kelas IV SDN 023 Tanah Grogot dengan jumlah siswa 20 orang. Berdasarkan penelitian tindakan yang dilaksanakan melalui dua siklus, diperoleh peningkatan yang sangat berarti, yaitu dari rata-rata kelas 56,00 menjadi 71,00 sehingga dapat disimpulkan bahwa metode pemberian tugas individual dapat meningkatkan hasil belajar Matematika di kelas IV Pokok Bahasan Pengurangan Pecahan. Kata kunci: metode pemberian tugas, individual, hasil belajar, matematika.
Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pelajaran matematika yang berorientasi pada kurikulum tingkat satuan pendidikan yang lebih menekankan pada output siswa yang kritis dan bernalar logika, maka pelajaran matematika sangat di perlukan dan harus di kuasai siswa di berbagai jenjang pendidikan baik formal maupun non formal. Matematika sebagai salah satu ilmu dasar, dewasa ini telah berkembang amat pesat, baik materi maupun kegunaanya. Pelajaran matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol – simbol serta ketajaman penalaran yang dapat membantu memperjelas dan menyelesaikan permasalahan sehari – hari. Materi matematika di sekolah dasar sangat luas salah satu materi yang harus dikuasai adalah Pengurangan Pecahan Desimal. Namun selama ini penulis melihat tingkat penguasaan siswa terhadap materi tersebut di atas sangat rendah. Hal ini dapat penulis lihat dari hasil nilai yang di perolah siswa pada waktu evaluasi yang penulis laksanakan pada akhir pembelajaran.dari pembelajaran materi matematika “Pengurangan Pecahan Desimal” pada pembelajaran yang penulis laksanakan banyak siswa yang kesulitan dalam mengerjakan soal – soal yang diberikan oleh guru. Dari 20 siswa kelas IV SDN 023 Tanah Grogot hanya 8 orang siswa yang mencapai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Sedangkan KKM yang di tentukan untuk pelajaran metematika di SDN 023 Longikis kelas IV adalah 6,0. Nilai rata – rata belajar siswa hanya 56,0. Dari permasalahan di atas penulis melaksanakan perbaikan. Dalam pembelajaran matematika bagaimana cara menanamkan pemahaman tentang pecahan, pengertian pecahan, operasional pacahan bilangan bulat, sifat – sifat bilangan pecahan untuk operasi hitung penjumlahan dan pengurangan pecahan desimal sangat memerlukan strategi penyampaian materi kepada siswa dengan menggunakan media pendekatan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa agar dapat memperkuat bekal pengetahuan matematika yang dimiliki guru dan siswa. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaran matematika materi Pengurangan Pecahan Desimal, maka dilaksanakan perbaikan melalui penelitian tindakan kelas (PTK), dan diharapkan melalui PTK ini mampu meningkakan keberhasilan dalam pembelajaran tersebut, sehingga membantu siswa dalam mencapai ketuntasan dalam materi yang di berikan. Hasil belajar menurut (Sudjana, 2006) adalah kemampuan yang di miliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya yang mengalami perubahan kemampuan yang di capai oleh siswa yaitu perubahan yang mengacu pada asfek kognitif dalam memecahkan atau menyelesaikan soal – soal tes materi yang di nyatakan dalam bentuk nilai. Guru bertanggungjawab penuh untuk mencari solusi dari setiap permasalahan yang terjadi di kelasnya. Penulis mencoba menggunakan metode pemberian tugas individual dalam 762
pembelajaran matematika. Metode pembelajaran individual adalah pengetahuan tentang caracara mengajar yang di gunakan guru untuk mencapai proses pembelajaran pada diri individu siswa (Hamalik, 2001). Dengan bimbingan per individu diharapkan siswa lebih memahami materi pembelajaran sehingga hasil belajar akan meningkat. Berdasarkan uraian di atas penulis mengadakan penelitian dengan judul” Peningkatan hasil belajar siswa terhadap pokok bahasan pengurangan pecahan desimal melalui penerapan metode pemberian tugas individual pada siswa kelas IV SDN 023 Tanah Grogot Tahun 2013. Penulis melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan tujuan untuk menerapkan suatu model perbaikan pembelajaran, agar hasil belajar siswa dapat meningkat sesuai dengan hasil yang di harapkan. Secara rinci bertujuan : a) untuk meningkatkan ketuntasan pembelajaran matematika di SDN 023 longikis pada kelas IV khususnya materi menghitung bilangan pecahan b) untuk mengeahui hasil belajar siswa telah di beri metode tugas individual secara merata. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan subyek siswa kelas IV (empat) Sekolah Dasar Negeri 023 Tanah Grogot. Penelitian ini dilaksanakan pada semester II tahun pembelajaran 2012/2013 antara bulan Februari sampai April dan dilaksanakan sebanyak 2 siklus. Tempat penelitian di SDN 023 tanah Grogot dengan jumlah siswa 20 orang terdiri dari 12 lak-laki dan 8 perempuan dengan karakteristik yang berbeda. Dalam penelitian ini penulis adalah sebagai observer dan di bantu oleh teman sejawat . Deskripsi Per Siklus Penelitian ini menerapka penelitian Tindakan kelas yang dikembangkan oleh Kemiss taggart dengan 4 langkah yaitu perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi., 1. Rencana Dengan di bantu oleh teman sejawat sebagai observator, penulis melaksanakan perbaikan pembelajaran yang dilaksanakan sebanyak dua siklus, dan dari hasil diskusi dengan teman sejawat bahwa perlu di lakukan perbaikan pembelajaran sesuai dengan jadwal dan langkah – langkah yang sesuai dengan Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Dengan demikian perlu di susun kegiatan siklus I dan II yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Adapun prosedur pelaksanaan perbaikan pembelajaran matematika pada materi Pengurangan Pecahan Desimal pada siswa kelas IV SDN 023 Tanah Grogot adalah dengan melakukan pelaksanaan perbaikan sebanyak dua siklus dengan menggunakan metode pemberian tugas individual. 2. Pelaksanaan Pelaksanaan perbaikan pembelajaran dengan menggunakan metode pemberian tugas individual pada siklus pertama belum menunjukan kemajuan yang berarti terhadap kemajuan siswa. Hal ini di tunjukan dari 20 siswa hanya 8 siswa yang mencapai KKM, masih 12 siswa yang belum mendapat nilai baik. Langkah selanjutnya melaksanakan perbaikan pembelajaran siklus kedua, kemampuan siswa menyelesaikan soal meningkat, jadi total siswa yang memperoleh nilai baik meningkat menjadi 18 siswa. Dengan demikian perbaikan pembelajaran yang dilakukan guru berhasil sesuai dengan tujuan penilaian yang di inginkan oleh guru. 3. Observasi Setelah melaksanakan pembelajaran selanjutnya mengobservasi di dalam kegiatan belajar mengajar, adapun tujuan observasi adalah : a. Apakah penggunaan waktu seefektif mungkin b. Melaksanakan pembelajaran apakah sesuai RPP c. Perubahan kelas menjadi hening ketika guru pengamat memasuki kelas yang sebelumnya gaduh d. Siswa lebih bersemangat saat guru menggunakan meode bervariasi e. Dengan adanya teman sejawat yang menjadi pengamat, anak lebih serius dan tenang saat pembelajaran.
763
Dengan di bantu oleh teman sejawat yang bertindak sebagai observator telah berhasil mengetahui masalah yang ada di kelas dengan cepat dan tepat melalui teknik pengumpulan data berupa tes tertulis dengan menggunakan metode pemberian tugas individual. Dari pengamatan ini penulis berhasil mengumpulkan data yang sesuai dengan permasalahan yang sudah penulis ungkapkan di dalam latar belakang penelitian ini.berdasarkan data yang ada penulis dapat menentukan alat dan metode pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan siswa, yaitu dengan metode pemberian tugas individual. 4. Refleksi Dari hasil pengamatan setelah melaksanakan perbaikan pembelajaran, guru mempunyai refleksi diri antara lain : a. Guru dalam menjelaskan materi pembelajaran lebih jelas b. Guru dalam menjelaskan materi pembelajaran menggunakan metode yang bervariatif c. Guru dalam menjelaskan materi pembelajaran member contoh yang cukup d. Guru dalam menjelaskan materi pembelajaran tidak terlalu cepat e. Guru dalam pembelajaran member latihan dan PR Selain itu penulis juga berusaha melakukan refleksi untuk mengingat kembali apa masalah yang telah terjadi di dalam kegiatan pembelajaran, karena itu dengan di bantu oleh teman sejawat penulis melakukan pelaksanaan perbaikan pembelajaran melalui dua siklus dengan menggunakan metode pemberian tugas individual. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Per Siklus 1. Deskripsi nilai awal Nilai yang di peroleh siswa pada siklus 1 sangat tidak memuaskan yaitu nilai rata – rata hanya 5,60 dan di nyatakan belum tuntas. Dinyatakan tuntas apabila hasil penguasaan siswa pada materi pelajaran sudah mencapai 70 %. Penulis sebagai seorang pendidik merasa terpanggil dan bertanggung jawab untuk berusaha memperbaiki hasil yang di peroleh siswa yang masih di bawah standar ketuntasan dan belum memuaskan agar segera di adakan perubahan. Tabel 4: Hasil belajar siswa pada perbaikan pembelajaran matematika materi pengurangan pecahan desimal, dengan strategi pembelajaran tugas individual pada siswa kelas IV SD Negeri 023 longikis pada siklus 1 Jawaban No. Nama Siswa Nilai Persentase ( % ) Ket. yang benar 1. Ningsih 8 80 80 Tuntas 2. Andi 7 70 70 Tuntas 3. Mardiana 4 40 40 Belum Tuntas 4. Arianto 7 70 70 Tuntas 5. Widiastuti 8 80 80 Tuntas 6. Sri Mauliani 4 40 40 Belum Tuntas 7. Sadina 4 40 40 Belum Tuntas 8. Muhammad 5 50 50 Belum Tuntas 9. Lina 6 60 60 Tuntas 10 Putri A 5 50 50 Belum Tuntas 11. Sumina 8 80 80 Tuntas 12. Maria 6 60 60 Tuntas 13. Wahyu 9 90 90 Tuntas 14. Wahyudin 5 50 50 Belum Tuntas 15. Yovita 4 40 40 Belum Tuntas 16. Budi 5 50 50 Belum Tuntas 17. Yuli 5 50 50 Belum Tuntas 18. Saputra 4 40 40 Belum Tuntas 19. Haekal 4 40 40 Belum Tuntas 20 Masitah 4 40 40 Belum Tuntas 764
112 5,60
JUMLAH NILAI RATA-RATA
1120 56,0
1120 56,0
Belum tuntas
Tabel 5: Rekapitulasi Hasil Belajar siswa pada perbaikan pembelajaran Matematika materi Pengurangan Pecahan Desimal menggunakan strategi tugas individual siswa kelas IV SDN. 023 Tanah Grogot pada siklus I No. Nilai Jumlah siswa Jumlah Nilai Persentase 1. 0 0 0% 2. 10 0 0% 3. 20 0 0% 4. 30 0 0% 5. 40 7 280 35% 6. 50 5 250 25% 7. 60 2 120 10% 8. 70 2 140 10% 9. 80 3 240 15% 10. 90 1 90 5% 20 1.120 56.0
10 9 8 7
JUMLAH SISWA
6 5 4 3 2 1 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Nilai Diagram batang I: Rekapitulasi Hasil belajar siswa pada perbaikan pembelajaran matematika materi Pengurangan Pecahan Desimal menggunakan strategi tugas individual siswa kelas IV SDN. 023 Tanah Grogot pada siklus I.
765
Tabel 6: Hasil belajar siswa pada perbaikan pembelajaran matematika materi Pengurangan Pecahan Desimal, dengan strategi pembelajaran Tugas Individual pada siswa kelas IV SD Negeri 023 longikis pada siklus II No
Nama siswa
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Ningsih Andi Mardiana Arianto Widiastuti Sri mauliani Sadina Muhammad Lina Putri A Sumina Maria Wahyu Wahyudin. Yovita Budi Yuli Saputra Haekal Masitah JUMLAH NILAI RATA - RATA
Jawaban yang benar 10 9 7 7 8 8 8 9 8 8 8 6 9 5 7 7 7 7 8 5 142 7,10
Nilai
Persentase(%)
Keterangan
100 90 70 70 80 80 80 90 80 80 80 60 90 50 70 70 70 70 80 50 1420 71,00
100 90 70 70 80 80 80 90 80 80 80 60 90 50 70 70 70 70 80 50 1420 71,00
Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Belum tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Tuntas Belum tuntas Tuntas
Tabel 7 : Rekapitulasi hasil belajar siswa pada perbaikan pembelajaran matematika materi Pengurangan Pecahan Desimal menggunakan strategi tugas individual siswa kelas IV SDN 023 longikis siklus II No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Nilai 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Jumlah siswa 2 1 6 7 2 1 20
Jumlah nilai 0 0 0 0 0 100 60 420 560 180 100 1.420
766
Persentase 0% 0% 0% 0% 0% 10 % 5% 30 % 35 % 10 % 5% 90,0
10 9 8 7 6
JUMLAH SISWA
5 4 3 2 1 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Nilai Diagram Batang 2: Rekapitulasi hasil belajar siswa pada perbaikan pembelajaran matematika materi Pengurangan Pecahan Desimal menggunakan strategi tugas individual siswa kelas IV SDN 023 longikis pada siklus II. Tabel 8: Data kelompok siswa yang di nyatakan tuntas belajar mata pelajaran matematika kelas IV semester 1 pokok bahasan : Pengurangan Pecahan Desimal pada siklus I No Kelompok Nilai Siswa Keterangan 1. < 70 % 12 orang Belum tuntas 2. ≥ 70 % 8 orang Tuntas JUMLAH 20 orang Berdasarkan data di atas di peroleh 12 orang yang belum tuntas, dan 8 orang yang dinyatakan sudah tuntas dengan nilai rata – rata kelas 5,60 sehingga penulis mengadakan perbaikan pada siklus ke II. Tabel 9: Data kelompok siswa yang di nyatakan tuntas belajar mata pelajaran matematika kelas IV semester 2 pokok bahasan : Pengurangan Pecahan Desimal siklus II. No Kelompok nilai Siswa Keterangan 1. < 70 % 2 orang Belum tuntas 2. ≥ 70 % 18 orang Tuntas JUMLAH 20 orang Berdasarkan data di atas di peroleh 2 orang yang belum tuntas, dan 8 orang yang dinyatakan sudah tuntas dengan nilai rata – rata kelas 71,0 sehingga di simpulkan tidak perlu di adakan siklus ke III. Tabel 10: Rekapitulasi hasil belajar siswa pada perbaikan pembelajaran matematika kelas IV SDN 023 Tanah Grogot Siklus I dan Siklus II Siswa Siswa Siswa Jumlah Jumlah Jumlah No Nilai sebelum pada pada nilai nilai nilai perbaikan siklus I siklus II 1. 10 0 0 0 2. 20 2 40 0 0 767
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10
30 40 50 60 70 80 90 100 JUMLAH Rata - rata
3 3 4 1 2 3 2 20
90 120 200 60 140 240 180 0 1070 53,5
7 5 2 2 3 1 20
0 280 250 120 140 240 90 0 1120 56,00
2 1 6 7 2 1 20
0 0 100 60 420 560 180 100 1420 71,00
Rekapitulasi Hasil Belajar Siswa Pada Penelitian Pembelajaran Matematika
10
F
9
R
8
E
7
K
6 5
U
4
E
3
N
2 1
S I
0 10
20
30
40
50
60
70
0
90
100
Nilai
Nilai Ulangan sebelum perbaikan
Siklus I
Siklus II
Diagram batang 3: Rekapitulasi hasil belajar siswa pada perbaikan pembelajaran matematika materi Pengurangan Pecahan Desimal dengan menggunakan srategi tugas individual siswa kelas IV SDN 023 longikis pada siklus I dan siklus II. Deskripsi Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Sesuai dengan standar ketuntasan belajar maka pembelajaran ini di anggap berhasil apabila mencapai nilai standar minimal ≥ 70 %. Berdasarkan hasil diskusi dengan teman sejawat dan supervisor, dari data yang di peroleh, pembelajaran yang di laksanakan sudah menunjukan kemajuan. Hal ini di tunjukan demgan adanya siswa yang sudah mencapai nilai rata – rata, bahkan ada siswa yang bersikap kritis dari beberapa siswa dalam mengajukan pertanyaan. Dari hasil pengamatan teman sejawat pada pembelajaran matematika pada siklus pertama terdapat 8 siswa yang telah dapat menuntaskan materi Pengurangan Pecahan Desimal dengan nilai ≥ 70 % yang rata – rata kelas 56,0. Hasil yang di peroleh pada siklus kedua terdapat 18 siswa yang memperoleh nilai ≤ 70 % dengan rata – rata kelasnya 71,00. Artinya 768
terjadi peningkatan yang sangat signifikan baik dari jumlah siswa yang mencapai nilai ketuntasan belajar maupun nilai rata – rata kelas. Pembahasan Per Siklus Hasil pembelajaran siswa secara bertahap dalam perbaikan pembelajaran siklus I ke siklus II terdapat hasil - hasil pembelajaran yang meningkat yaitu siklus I terdapat 8 siswa dari 20 siswa yang sudah tuntas dengan nilai rata – rata 56,0. Tapi pada siklus II terjadi peningkatan yang sangat signifikan sekali yaitu dari 20 siswa hanya 2 siswa yang belum tuntas dengan nilai rata – rata kelas 71,0. Hal ini karena adanya perbaikan – perbaikan yang di lakukan pada setiap siklus. Penulis mengharapkan kepada semua rekan – rekan guru agar senantiasa berusaha untuk melakukan tindakan – tindakan kemajuan dalam mencapai prestasi belajar siswa meskipun tugas dan tanggung jawab kita semakin kompleks. Pembelajaran akan lebih baik dan meningkat apabila para guru sebagai pendidikmenampaikan dan menyajikan materi pembelajaran dengan cara berencana, penuh kesabaran dan dengan semangat yang tinggi dan bertanggungjawab, sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan. Guru juga harus memperhatikan penyajian, materi harus sistematis dan mudah di pahami oleh setiap siswa.keberhasilan dalam proses pembelajaran sangat terkait dengan keharmonisan guru dengan siswa keterlibatan secara langsung dan kesesuaian setrategi serta alat bantu yang di gunakan guru. Seiring dengan pengupasan penulis dalaam bab awal bahwa sudah banyak kemudahan – kemudahan yang dapat membantu guru untuk dapat mengembangkan diri agar dapat meningkattkan hasil belajar untuk membekali siswa menjadi manusia yang sukses, cakap, kritis, terampil, dan bertanggung jawab. PENUTUP Kesimpulan Dari perbaikan pembelajaran matematika materi Pengurangan Pecahan Desimal pada siswa SDN 023 Tanah Grogot tahun pembelajaran 2012/2013 semester dua dapat di simpulkan sebagi berikut: a. Penggunaan metode pemberian tugas individual dan tanya jawab merangsang siswa untuk lebih kreatif dalam bertanya dan cukup membuat siswa lebih semangat dalam mengikuti pelajaran b. Pemberian tugas secara individual sangat mempermudah guru dalam mengidentifikasi kesulitan belajar siswa terhadap materi pelajaran Saran Berdasarkan kesumpulan di atas, untuk dapat meningkatkan hasil belajar siswa guru di harapkan : a. Guru memberikan metode yang bervariasi dalam proses pembelajaran di setiap peremuan. b. Guru sebaiknya menggunakan metode yang sesuai dengan materi pembelajaran. c. Guru harus membantu mengatasi kesulitan belajar siswa dalam menyelesaikan tugasnya sesuai tujuan pembelajaran secara individual. DAFTAR RUJUKAN Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar, Jakarta : Bumi Aksara. Sudjana, Nana. 2006. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
769
PEMBELAJARAN KOOPERATIF THINK PAIR SHAREDENGAN MEDIA BANGUN DATAR PADA MATERI SIMETRI LIPAT DI KELASV-A SDN 338 BATAHAN MANDAILING NATAL Adi Sukarmin Zulkifli Guru SDN No.338 Batahan, Mandailing Natal SDN. 087 Panyabungan,Mandailing Natal
[email protected] [email protected] Abstrak: Dari hasil pengamatan terhadap pembelajaran yang dilakukan di sekolah nampak guru-guru sudah mulai menggunakan model kooperatif. Hanya saya masih terlihat dominasi dari beberapa siswa atau ada beberapa siswa yang tidak aktif dalam diskusi. Hal ini dapat terjadi karena beberapa siswa yang tidak aktif tersebut tidak mengerti permasalahan yang dibicarakan. Untuk mengatasi hal tersebut penulis mencoba melaksanakan pembelajaran model kooperatif Think-Pair-Share.Pada tahap awal masingmasing siswa secara individu diberi kesempatan untuk berpikir, dari hasil pemikiran yang diperoleh siswa bertukar pikiran dengan pasangannya, baru dilakukan diskusi secara klasikal. Untuk lebih mendapatkan hasil yang maksimal maka pembelajaran Simetri Lipat ini menggunakan media bangun datar dari kertas yang berbentuk segitiga samasisi, segitiga samakaki, persegi, persegi panjang, jajargenjang, lingkaran, layang-layang, dan trapesium. Untuk bisa mendapatkan hasil pengamatan dan refleksi yang lebih akurat maka penulis bersama teman-teman guru melakukan Lesson Study. Kata kunci: Pembelajaran kooperatif, Think-Pair-Share, Media Pembelajaran
Matematika adalah ilmu yang abstrak dan deduktif. Karena bersifat abstrak dan deduktif tersebut maka untuk pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) harus disesuaikan dengan karakteristik anak usia SD. Hal ini juga berlaku untuk pembelajaran matematika di Kelas V-a SDN No. 338 Batahan.Pembelajaran matematika di SDN 338 Batahantampaknya kurang diminati siswa. Hal ini dikarenakan adanya anggapan pelajaran matematika merupakan matapelajaran yang bersifat kaku, menyeramkan, dan cepat membosankan. Respon siswa tersebut, terlihat pada saat menyimak penjelasan materi karena umumnya pembelajaran masih berpusat pada guru, pemberian contoh soal, dilanjutkan dengan latihan soal secara individu oleh karena itu guru perlu melakukannya. Siswa tampak tegang dan suasana pembelajaran pasif. Selama ini pembelajaran simetri lipat diajarkan dengan secara abstrak tanpa menghadirkan media sehingga siswa kurang akuti pembelajarannya. Penggunaan media akan menumbuhkan pembelajaran yang bermakna. Subanji (2013) mengatakan bahwa suatu pembelajaran dikatakan bermakna apabila struktur masalah dengan struktur berpikir siswa.Salah satu penerapan pembelajaran inovatif yang dapat memberikan pengalaman belajar bermakna adalah pembelajaran dengan menggunakan media. Menurut Slavin (Mahanal, 2011) pembelajaran kooperatif merupakan suatu model dimana siswa belajar bersama-sama dalam kelompok dan anggota dalam kelompok tersebut saling bertanggung jawab satu dengan yang lain. Pembelajaran kooperatif yang dipilih untuk materi simetri lipat bangun datar.Menurut Artzt dan Newman (Mahanal, 2011) Bahwa pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran dimana para siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok kecil untuk memecahkan suatu masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mencapai tujuan bersama. Berdasarkan dua pendapat tersebut, dapat dirumuskan ciri-ciri pembelajaran kooperatifThink Pair Share (TPS) yang dikembangkan oleh Frank Lyman(Mahanal, 2011) sebagai berikut : 1. Siswa dibentuk dalam beberapa kelompok, kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok kecil. 2. Siswa di dalam kelompok melakukan kegiatan belajar bersama bukan sama-sama belajar. 3. Masing-masing anggota kelompok bertanggungjawab terhadap keberhasilan anggotanya 4. Yang dipelajari bisa masalah, tugas atau hal-hal yang menjadi tujuan bersama 5. Guru menyampaikan inti materi dan kompetensi yang ingin dicapai. 770
6. Siswa diminta berfikir tentang materi/permasalahan yang disampaikan oleh guru. 7. Siswa diminta berpasangan dengan teman sebelahnya (berkelompok 2 orang) dan mengutarakan hasil pemikiran masing-masing. Dalam hal ini siswa saling sharing terhadap apa yang sudah dikerjakan. 8. Guru memimpin pleno, setiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya. 9. Guru mengarahkan pembicaraan dan menambah materi yang belum berhasil diungkap oleh siswa. 10. Guru bersama siswa membuat kesimpulan dari masalah yang dipelajari Untuk mengoptimalkan penerapan pembelajaran kooperatif Think Pair Share (TPS)digunakan media pembelajaran.Dengan menggunakan media pembelajaran ini dapat lebih mengembangkan pemahaman siswa. Benda–benda fisik atau manipulative untuk memodelkan konsep-konsep matematika dapat membantu siswa belajar matematika.Pembelajaran kooperatif Think Pair Share (TPS) dapat diterapkan untuk pembelajaran simetri lipat dengan menggunakan media (peraga). Dalam pembelajaran model ini, media ditampilkan pada saat setelah kelas menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dua orang siswa dalam satu kelompok yang berpasangan mengerjakan tugas kelompoknya (Lembar Kerja Kelompok/LKK). Langkah-langkah Kegiatan dalam Pelaksanaan Pembelajaran a. Tahap Perencanaan (Plan) Pada tahap perencanaan (Plan)guru melakukan kegiatan sebagai berikut : 1) Menentukan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang akan diajarkan (pada kegiatan Open Class). 2) Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). a. Penggunaan model kooperatif Think-Pair-Share melalui tahapan di bawah ini : b. Guru melakukan apersepsi dengan cara menanyakan kembali tentang bangun-bangun datar yang diketahui siswa, seperti: persegi, persegi panjang, segitiga, trapesium, layang-layang, belah ketupat, jajargenjang dan lingkaran. Selanjutnya guru menyampaikan tujuan pembelajarannyahendak dicapai yaitu: mengetahui simetri lipat, menentukan banyaknya simetri lipat pada suatu bangun datar dan dapat membedakan mana bangun simetris dan tidak simetris, Setelah itu siswa diajak berfikir tentang simetri lipat dari bangun datar terlebih dulu selama 5 menit kemudian siswa diminta berpasangan dengan teman sebangkunya, dan apabila tidak ada temannya sebangkunya boleh berpindah tempat duduk mencari teman yang lainnya. Kemudian siswa saling mengemukakan pendapatnya (sharing) dengan pasangannya. c. Tugas guru dalam kegiatan ini memimpin pleno dan meminta masing-masing kelompok mengemukakan hasil diskusinya, serta guru mengarahkan pembicaraan pada permasalahan simetri lipat yang tidak terungkap pada diskusi siswa. Dalam kegiatan akhir, guru mengajak siswa menyimpulkan permasalahan yang berhubungan dengan simetri lipat. d. Adapun media yang dipakai dalam pembelajaran simetri lipat adalah bangun-bangun datar seperti : persegi panjang, persegi, jajar genjang, belah ketupat, layang-layang, trapesium, segi tiga dan lingkaran seperti yang tertera di bawah ini :
Persegi
Lingkaran
Segitiga
Jajar genjang
Belah ketupat
Layang-layang 771
Persegi panjang
Trapesium
i. Pembelajaran yang biasa dilakukan guru selama ini memberikan langsung banyaknya simetri lipat dari bangun-bangun datar tersebut, siswa hanya membayangkan simetri lipat dari bangun-bangun datar tersebut tanpa mencari tahu sendiri dari mana simetri lipat itu didapat. ii.Pembelajaran yang bermakna adalah pembelajaran yang mengkaitkan apa yang akan dipelajari dengan apa yang telah dipelajari (atau apa yang dipunyai) oleh siswa. Pembangunan pengetahuan baru dapat terjadi apabila apa yang dipelajari ada sebagian yang sama dengan yang dimiliki siswa sebelum belajar dalam kelasnya. Dalam pembelajaran bermakna seorang guru harus mampu memiih materi pokok dan materi prasyarat untuk menjadikan pembelajaran itu lebih bermakna. Apabila dalam pembelajaran dilakukan dengan cara siswa hanya menghapal apa yang diberikan guru dan tanpa memahaminya atau dengan kata lain hanya memberikan ingatan pengetahuan sementara, ini termasuk pembelajaran yang kurang bermakna. 3) Memilih Strategi pembelajaran / model pembelajaran yang sesuai. 4) Menentukan alat peraga/media pembelajaran yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. 5) Menentukan guru model, moderator, notulen dan siapa-siapa yang menjadi Observer. b. Tahap Pelaksanaan Pembelajaran (Do) Guru membuka pelajaran yang diawali dengan mengkondisikan siswa yaitu berdo‟a,mengabsen siswa dan dilanjutkan dengan pemberian motivasi yang sekaligus mengadakan apersepsi dengan mengajukan pertanyaan kepada siswa, bagi siswa yang menjawab diberikan penghargaan berupa tepuk tangan dari seluruh siswa yang ada dikelas. Siswa dengan antusias menjawab pertanyaan yang diajukan guru karena merasa bangga mendapat penghargaan yang berupa tepung tangan dari penghuni kelas. Selanjutnya guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai dalam proses pembelajaran itu.”Siswa dapat mengidentifikasi bangun yang simetris dan tidak simetris, siswa dapat menentukan banyak simetri lipat dari beberapa bangun datar”. Dalam Kegiatan inti guru membagi kelas menjadi 15 kelompok, setiap kelompok menerima lembar kerja dan beberapa bangun ruang (persegi panjang, trapesium siku-siku, segitiga sembarang, layang-layang dan segitiga sama kaki). Kegiatan berikutnya siswa mengerjakan lembar kerja kelompok, sementara guru berkeliling membimbing kelompok yang mengalami kesulitan. Siswa disuruh berpasangan membicarakan masalahnya. Setelah selasai diskusi kelompok, utusan kelompok mempresentasekan hasil diskusi kelompoknya, lalu guru memberikan penguatan atau penegasan dari hasil diskusi tersebut. Di akhir kegiatan pembelajaran guru mengajak siswa bersama-sama menyimpulkan materi pelajaran.
Persegi
Lingkaran
Segitiga
Jajar genjang
Belah ketupat
Layang-layang 772
Persegi panjang
Trapesium
No. 1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Banyaknya simetri lipat dari bangun datar : Bangun Datar Banyaknya simetri lipat Persegi 4 Segitiga samakaki 1 Jajargenjang 0 Persegipanjang 2 Lingkaran Takhingga Belahketupat 2 Layang-layang 1 Trapesium samakaki 1
c. Tahap Refleksi (See) Pada tahap refleksi para observer yang terdiri dari teman sejawat dan guru kelas yang ikut mengadakan pengamatan/mengobservasi pada pembelajaran menyampaikan hasil pengamatannya.Kegiatan refleksi diawali oleh moderator yang mengenalkan team Lesson Study,yang dilanjutkan dengan memberikan ucapan selamat dan pemberian aplaus kepada guru model yang telah melaksanakan open class. Kegiatan selanjutnya moderator mempersilahkan guru model menyampaikan kesan-kesan dan perasaannya dalam melaksanakan pembelajaran di kelas V-a dengan materi simetri lipat bangun datar. Guru model menyampaikan kesannya ketika mengadakan pembelajaran adalah saat guru model memberikan lembar kerja kelompok (LKK) dan memberikan media pembelajaran (bangun-bangun datar seperti persegi, segitiga, tarpesium, jajargenjang, belahketupat, layang-layang, persegi panjang dan lingkaran) merasa peserta didik sangat antusias ingin membaca dan mempergunakan media yang telah dibagikan oleh guru. Kegiatan berikutnya moderator mempersilahkan para guru yang menjadi obsever membacakan hasil pengamatannya satu persatu dengan ketentuan yang diobservasi adalah kegiatan siswanya bukan kegiatan guru model melaksanakan pembelajaran. HASIL PENGAMATAN Berdasarkan kegiatan pengamatan dan kegiatan refleksi ditemukan hal-hal sebagai berikut : 1. Kesiapan siswa dalam belajar. Pada awal pembelajaran siswa sudah siap menerima pelajaran. Kesiapan belajar ini ditandai dengan sudah adanya interaksi antara siswa siswa, interaksi guru dengan siswa, interaksi siswa dengan bahan ajar. Saat pembelajaran berlangsung menurut para observer siswa sudah sangat bersemangat dan sangat bergairah menerima pembelajaran yang dibawakan oleh guru model, ditandai dengan adanya keaktifan siswa dalam menjawab pertanyaan yang diberikan guru. 2. Siswa yang tidak belajar. Siswa yang tidak aktif belajar/siswa yang mengalami gangguan dalam belajar adalah siswa yang bernama Muhammad Faisal Tanjung asyik mengganggu temannya, siswa yang bernama Rio Nofriyan asyik bermain pulpen, siswa yang bernama Mauria, Ariful Hamdi tidak mau dikelompokkan dengan teman yang tidak sebangku. 3. Alasan siswa tersebut tidak belajar. Alasan mengapa siswa tersebut tidak belajar dengan baik atau mengalami gangguan belajar dikarenakan kurangnya perhatian dan motivasi dari guru model, pelaksanaan pembelajaran pada jam siang dan suasana yang kurang kondusif untuk pembelajaran 4. Upaya guru mengatasi siswa yang tidak belajar. Dalam mengatasi siswa yang tidak belajar, upaya guru adalah dengan mendatangi siswa tersebut dan memberikan motivasi dan bimbingan agar tidak terganggu dan mengganggu pembelajaran. Pada kegiatan penutup siswa yang terganggu dalam pembelajaran dilibatkan bersama siswa yang lain untuk menyimpulkan pembelajaran. 5. Alternatif yang dilakukan untuk mengatasi siswa yang terganggu dalam belajar. 773
Alternatif untuk mengatasi siswa yang terganggu dalam belajar adalah: a. Perlunya penguasaan kelas sebelum melaksanakan pembelajaran. b. Mendekati/mendatangi siswa yang mengalami gangguan dalam belajar. c. Member motivasi atau dorongan semangat kepada siswa supaya lebih giat dan semangat lagi untuk belajar. 6. Keterlibatan siswa dalam kegiatan penutup. Pada kegiatan penutup guru mengajak siswa untuk membuat rangkuman agar tidak terjadi kesalah pemahaman serta dapat memberikan penguatan dan tindak lanjut agar pembelajaran lebih mantap. 7. Pengalaman berharga yang dapat diperoleh dari pembelajaran. Setelah mengadakan open class, pengalaman berharga yang diperoleh adalah : a. Menambah perbendaharaan model-model pembelajaran, dalam hal ini model pembelajaran “Think Pair Share (TPS)”. b. Dapat mengetahui penggunan media pembelajaran c. Dapat menambah wawasan bagaimana memotivasi siswa dalam belajar. d. Dengan penerapan berbagai model pembelajaran yang kooperatif dapat meningkatkan hasil belajar. e. Untuk meningkatkan hasil belajar siswa, guru harus memberikan bimbingan secara intensif. PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan dari para observer yang merupakan perpanjangan tangan, mata dan telinga dari guru model, dengan diterapkannya pembelajaran kooperatif TPS siswa sangat berminat mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan. Minat siswa ini dikarenakan adanya motivasi dan media pembelajaran yang ditampilkan oleh guru serta adanya kesempatan yang diberikan guru untuk saling sharing/curah pendapat berdua dengan teman kelompoknya sehingga siswa lebih berani mengungkapkan bagaimana cara mengerjakan/menyelesaikan masalah yang dibebankan pada kelompoknya. Modelcooperative Think Pair Share (TPS) menekankan siswa dapat menyampaikan /menjelaskan kepada teman sekelompoknya (Tahapan pair) sehingga siswa lebih berani mengungkapkan ide-idenya. Tahap selanjutnya (tahapan share), dalam pleno tiap kelompok mengemukakan hasil diskusinya sehingga siswa dituntut lebih berani lagi/motivasinya lebih meningkat.Semaksimal mungkin untuk kemajuan nilai kelompoknya dan termotivasi untuk meningkatkan pencapaian nilainya dibandingkan dengan nilai sebelumnya. Selanjutnya Slavin (2008 dalam Mahanal,2011) berpendapat bahwa siswa yang termotivasi akan dengan mudah diarahkan, diberi penugasan, cenderung memiliki rasa ingin tahu yang cukup besar, aktif dalam mencari informasi tentang materi yang dijelaskan guru serta menggunakan proses kognitif yang lebih tinggi untuk mempelajari dan menyerap pelajaran yang diberikan. Tugas guru pada tahapan ini adalah memimpin pleno dan mengarahkan pembicaraan pada pokok permasalahan dan menambah materi yang belum berhasil diungkap oleh siswa dalam sharing tersebut. Penggunaan media berbagai bangun datar untuk membelajarkan simetri lipat merupakan suatu strategi agar siswa lebih memahami materi yang diajarkan dan memudahkan siswa untuk menguasai materi pelajaran, sehingga siswa berminat untuk mencoba menggunakan media yang telah diberikan guru yang akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar sesuai dengan harapan guru.Penggunaan media pembelajaran sangat diperlukan dalam memperjelas dan memperluas pengetahuan siswa. Melalui hasil refleksi terungkap bahwa guru model mengalami peningkatan dalam menyampaikan materi dan lebih percaya diri. Hal ini karena guru model telah berhasil menerapkan strategi belajar kooperatif Think Pair share (TPS) dengan dibantu media pembelajaran berbagai bangun datar sehingga minat belajar siswa dapat meningkat. KESIMPULAN Penerapan cooperative learning TPS dalam pembelajara Matematika kelas V-a SDN 338 Batahan Mandailing Natal dengan Materi Pelajaran Simetri Lipat dapat disimpulkan sebagai berikut :
774
1. Dengan memberi kesempatan pada siswa di awal untuk berpikir terlebih dulu, nampak semua siswa mempunyai persiapan untuk kegiatan diskusi secara berpasangan. Pada diskusi klasikal semua siswa terlihat antusias. 2. Dengan mengunakan media yang terbuat dari kertas dan siswa melakukan kegiatan dengan melipat-lipat, siswa mendapatkan pengalaman langsung menentukan simetri lipat, tidak hanya membayangkan saja. Hal ini ternyata menimbulkan kesenangan pada siswa dan juga meningkatkan pemahaman siswa. DAFTAR RUJUKAN Arif. S, 2008, Media pendidikan, Raja Grafindo Persada,Jakarta. Mahanal, S. 2011.Pembelajaran Kooperatif: apa, mengapa, dan bagaimana?Makalah disampaikan pada training of trainer pengembangan profesionalismeguru Yayasan Pendidikan Cendana Riau, Riau 7-13 Januari 2011. Subanji, 2013.Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif,TEQIP Malang : Kerjasama PT.Pertamina (Persero) dengan Universitas Negeri Malang.
PENGGUNAAN MEDIA SEDERHANA DALAM PEMBELAJARAN PERKALIAN BERBASIS LESSON STUDY UNTUK SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR Lusia Irma Lesomar SD YPPK St.Fransiskus Xaverius I Abstrak: Lesson Study di SD YPPK Domande untuk mata pelajaran matematika, di laksanakan melalui tahapan plan, do, dan see. Plan untuk materi perkalian bilangan bulat untuk bagi siswa kelas IV, dirancang dengan menggunakan alat bantu media sederhana berupa sedotan. Kegiatan do di laksanakan di SD YPPK Domande yang di hadiri oleh para observer dan expert dari Malang. Setelah kegiatan do selesai, langsung di lakukan kegiatan refleksi yang membahas temuan-temuan pada saat melakukan observasi pembelajaran di kelas. Hasil refleksi di gunakan untuk perbaikan perencanaan kegiatan pembelajaran berikutnya. Kata Kunci: Media sederhana, perkalian bilangan bulat, lesson study
Ada beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas hasil belajar siswa SD Domande yaitu (1) sarana dan prasarana pembelajaran yang masih kurang, (2) kualitas para pendidik yang masih belum memenuhi standar nasional, dan jumlah guru yang menguasai matematika masih dipandang kurang. Fenomena tersebut tentu berdampak pada rendahnya kualitas pembelajaran karena minimnya pengetahuan yang di miliki guru terhadap inovasiinovasi baru dalam bidang pendidikan. Padahal menurut Permendikbud no 65 tahun 2013 tentang Standar Proses di ungkapkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan di selenggarakan secara interaktif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif. Hasil pengamatan pengalaman dan pengamatan penulis menunjukkan bahwa pembelajaran yang diperoleh siswa cenderung rendah, tidak terkecuali terhadap pembelajaran tentang perkalian, dan hal ini sungguh menyebabkan penulis merasa tidak puas. Selama pengamatan terlihat bahwa siswa sulit memahami perkalian. Di samping itu ternyata banyak sekali ditemukan siswa yang masih belum mahir dalam perkalian. Untuk masalah ini sebaiknya guru model berusaha untuk melatih siswa di luar pembelajaran. Artikel ini menguraikan tentang keterlaksanaan Lesson Study (LS) berbantuan media sederhana yang dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran perkalian bilangan bulat. PEMBAHASAN Menurut Lewis (2002) dalam( Ibrohim. 2013: 13) di Jepang lesson study tidak hanya memberikan sumbangan terhadap pengetahuan keprofesionalan guru, tetapi juga terhadap 775
peningkatan system pendidikan yang lebih luas. Lewis (2002) menguraikan ada lima jalur yang dapat di tempuh lesson study, yakni : (1) membawa tujuan standar pendidikan kea lam nyata di dalam kelas, (2) menggalakan perbaiakan dengan dasar data, (3) mentargetkan pencapaian berbagai kualitas siswa yang mempengaruhi kegiatan belajar, (4) menciptakan tuntutan mendasar perlu peningkatan pembelajaran, (5) menjunjung tinggi nilai guru. . Hasil dari semua itu adalah dengan Kegiatan Lesson Study sangat baik karena dapat meningkatkan kinerja guru dalam melaksanakan pembelajaran Setelah penulis mendapat kesempatan mengikuti program Teqip, dan pada saat TOT penulis mendapat wawasan tentang lesson study dan pada saat kegiatan ongoing ke dua penulis mendapat kesempatan untuk terlibat pada kegiatan lesson study mulai dari tahapan plan, do, sampai tahap see. Menurut Lewis (2002) dalam( Ibrohim. 2013: 7) ide yang terkandung di dalam Lesson study sebenarnya singkat dan sederhana, yakni seorang guru ingin meningkatkan pembelajaran, salah satu cara yang paling jelas adalah melakukan kolaborasi dengan guru lain untuk merancang, mengamati dan melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang di lakukan. Pada kegiatan tersebut materi yang di susun untuk open class adalah materi perkalian yang akan di ajarkan pada siswa kelas IV. Uraian untuk masing-masing tahap adalah sebagai berikut ; Tahap Perencanaan (Plan) Tahap plan guru beserta tim melakukan kegiatan berikut: Menentukan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi dasar (KD), dan menyusun RPP secara bersama-sama, memilih strategi pembelajaran yang sesuai, menentukan alat peraga yang sesuai pula. Mata pelajaran yang di pilih adalah Matematika untuk siswa kelas IV. Standar Kom petensi yang di pilih yaitu memahami dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah dengan kompetensi dasar yaitu melakukan operasi perkalian. Indikator yaitu Mengalikan bilangan satu angka dengan bilangan dua angka dan mengalikan bilangan satu angka dengan bilangan tiga angka. Tujuan pembelajaran adalah setelah melakukan pembelajaran ini siswa dapat mengalikan bilangan satu angka dengan bilangan dua angka serta mengalikan bilangan satu angka dengan bilangan tiga angka. Strategi pembelajaran yang di pilih adalah diskusi kelompok dan Tanya jawab. Dalam kegiatan awal ada apersepsi serta Tanya jawab materi sebelumnya, dalam kegiatan inti guru menjelaskan materi di sertai dengan menggunakan alat peraga yaitu berupa sedotan, serta memberikan kesempatan untuk berdiskusi mengerjakan latihan soal perkalian Sehingga di harapkan agar siswa yang tidak mampu bisa di bantu dengan siswa yang mampu dan di perlukan pendamping dari guru sendiri, serta mengecek pemahaman bagi siswa dan memberikan umpan balik untuk latihan lanjutannya. Pada kegiatan penutup guru beserta siswa bersama-sama menyimpulkan materi dan mengevaluasi pembelajaran apakah sudah berhasil atau tidak. Penilaian di lakukan secara tertulis dengan alat penilaian berupa lembar kerja siswa. Tahap Pelaksanaan (DO) Setelah selesai menyusun persiapan (RPP) maka tibalah saatnya pelaksanaan pembelajarannya (Do) yang dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 2013. Kegiatan ini di laksanakan di SD YPPK Domande dan di hadiri oleh para trainer dan guru-guru para peserta desiminasi II, serta para guru dari sekolah itu sendiri. Adapun pelaksanaan kegiatan pembelajaran sesuai dengan RPP yang sudah dirancang pada saat Plan. Dalam pelaksanaan pembelajaran guru model banyak memperoleh pengalaman baru yang sebagian besar hampir tidak terbayangkan pada saat merancang persiapan. Misalnya; pada saat guru menjelaskan materi perkalian ada anak yang tidak menghiraukan sama sekali apa yang di ajarkan oleh guru model dan tidak mempedulikan bahkan sering mengganggu teman yang lain dan harus diselesaikan dengan cara apa. Kemudian pada saat Tanya jawab muncul hal yang tak terduga yaitu siswa belum bisa memahami perkalian dengan baik. Hal-hal seperti ini sering membuat guru model serta merta menjelaskan sehingga waktu tidak bisa dimanfaatkan secara efisien. Observer melakukan pengamatan dengan menuliskan hal-hal atau temuan-temuan baru pada lembar pengamatan tanpa menggangu proses pembelajaran. Tahap Refleksi (SEE) Kegiatan refleksi dimulai dengan para observer menyampaikan hasil pengamatannya. Refleksi di pandu oleh seorang moderator. Kegiatan refleksi ini merupakan tahapan yang mendebarkan dan sekaligus menyenangkan karena dari kegiatan ini guru model dapat memperoleh 776
gambaran keberhasilan dalam pelaksanaan pembelajaran yang sudah dilakukan. Demikian juga, guru pengamat akan bisa memberikan masukan terkait dengan kekurangan dan keberhasilan dari guru model dalam menjalankan skenario pembelajaran yang sudah dibuat bersama-sama tersebut. Dalam kegiatan refleksi hasil dapat ditemukan fakta sbb: 1. Sebagian besar siswa masih kurang memahami materi perkalian. 2. Siswa yang benar-benar mendengarkan penjelasan guru bisa menjawab pertanyaan yang di berikan dengan benar, sedangkan bagi siswa yang tidak mendengarkan penjelasan guru tidak bisa menjawab pertanyaan dengan benar . 3. Dengan membawa benda berupa sedotan , siswa dapat di bawa dari hal-hal yang abstrak ke halhal yang kongkret dan dapat menyelesaiakan soal-soal yang di berikan oleh guru model. Usaha Perbaikan Dari hasil kegiatan refleksi ini ternyata banyak sekali ditemukan hal-hal yang tidak diduga oleh penulis. Temuan-temuan tersebut sangat berharga untuk perbaikan-perbaikan selanjutnya. Usaha-usaha yang perlu dilakukan adalah: 1. Dalam memberikan penjelasan tentang materi perkalian, guru jangan tergesa-gesa, agar siswa yang masih sulit dalam perkalian bisa dapat mengikutinya. 2. Pemberian media sedotan dan lembar kerja perlu di sesuaikan dengan jumlah anggota dalam kelompok, agar semua anggota kelompok dapat berpartisipasi dalam diskusi kelompok. 3. Guru sebaiknya lebih memperhatikan dan memberikan bantuan kepada siswa yang kurang dalam perkalian agar bisa memahami dan menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan perkalian bilangan. 4. Guru harus lebih sabar dalam membimbing siswa pada kegiatan diskusi kelompok ataupun kegiatan klasikal karena siswa masih belum terbiasa diskusi kelompok dan mendengarkan penjelasan guru secara klasikal menanggapi siswa dalam perkalian 5. Karena guru masih tergesa-gesa dalam melaksanakan apersepsi, siswa masih belum terkondisikan dengan baik, guru sudah melangkah ke tahap berikutnya maka untuk pembelajaran berikutnya kegiatan apersepsi harus di rancang lebih baik agar siswa benar-benar siap untuk belajar. 6. Guru harus lebih teliti dalam menanggapi jawaban-jawaban siswa serta bisa mengendalikan konsentrasi siswa terutama pada saat penghitungan tidak hanya hasil penghitungannya saja yang diperhatikan tetapi situasi dan sikap siswa juga perlu mendapat perhatian, sehingga tidak muncul kesan hanya siswa yang bisa saja di perhatikan dan mendapat bimbingan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pelaksanaan Lesson Study ini ternyata bagi penulis merupakan pengalaman yang sangat berharga, terbukti adanya perubahan yang baik dalam pembelajaran di kelas. Dari tahapan Plan yang bertujuan untuk menghasilkan rancangan pembelajaran yang di yakini mampu membelajarkan peserta didik secara efektif serta membangkitkan partisipasi aktif peserta didik dalam pembelajaran. Perencanaan yang baik tidak dapat di lakukan secara sendirian, mengedepankan kolegalitas dengan melibatkan minimal guru rumpun yang ada untuk bisa memberi masukan guna kesempurnaan persiapan sehingga guru model bisa percaya diri. Pada saat Do, untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah di rumuskan pada tahap sebelumnya, sedangkan yang lain bertindak sebagai observer fokus di arahkan kepada peserta didik dengan berpedoman pada instrument pengamatan. Guru model tertantang untuk tampil sebaik mungkin dan merasa yakin para observer kelak akan bisa menemukan kelemahan dan kelebihan dalam pembelajaran ini. Saran Kegiatan Lesson Study ini perlu terus digalakkan tidak hanya pada tingkat MGMP Kabupaten saja melainkan sudah harus dilaksanakan di masing-masing sekolah, bahkan lebih jauh lagi sampai pada keseharian dalam pembelajaran-pembelajaran di semua tingkatan kelas. Semua harus optimis dengan banyak melakukan refleksi maka pembelajaran selanjutnya yakin akan lebih baik lagi. Semoga dan terima kasih.
777
DAFTAR RUJUKAN Permendikbud no 65 tahun 2013. Standar Proses. Ibrohim. 2013. Panduan Pelaksanaan Lesson Stady. Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang.
PEMBELAJARAN KOOPERATIF TYPE NHT UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MENGHITUNG LUAS PERMUKAAN KUBUS DAN BALOK PADA SISWA KELAS 6 SD Natsir Lumban Tobing Guru Sd N. No.359 Patluban Natal – Mandailing Natal Abstraks: Rendahnya hasil belajar matematika siswa dikarenakan pembelajaran masih berpusat pada guru, siswa hanya menerima secara pasif dan cenderung menhafalkan prosedur atau rumus. Salah satu usaha untuk membangkitkan minat belajar siswa melalui penerapan pembelajaran Kooperatif tipe Numbered Heads Together (NHT) dalam meningkatkan hasil belajar siswa menghitung luas permukaan kubus dan balok siswa kelas VI. Melalui pembelajaran kooperatif tipe NHT, diharapkan siswa dapat lebih termotivasi dan mampu mengkonstruksi pengetahuan melalui diskusi kelompok, dipadukan dengan penggunaan LKK pada pembelajaran matematika untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian ini dilaksanakan dengan rancangan PTK dua siklus dan masing-masing siklus diimplementasikan tahapan lesson study. Kata kunci: Kooperatif Tipe NHT,luas permukaan bangun ruang, hasil belajar.
Banyak faktor yang mempengaruhi belajar siswa, antara lain adanya sarana yang tersedia di sekolah dan di rumah. Penggunaan metode,pendekatan, dan alat peraga yang kurang dari guru dapat menimbulkan kebosanan belajar bagi siswa. Untuk mengatasi hal tersebut, guru harus berusaha agar dapat meningkatkan kemampuan dan menghilangkan rasa kebosanan siswa dalam belajar terutama pelajaran matematika. Umumnya siswa SD membutuhkan dorongan dan perhatian, khususnya dari guru yang secara langsung memberikan pelajaran di sekolah. Pembelajaran matematika di SD N 359 Patiluban pada umumnya ini kurang diminati siswa. Siswa beranggapan pelajaran matematika sangat sulit dan seram. Hal ini terlihat dari respon siswa ketika materi pelajaran matematika ,khususnya di kelas 6 SD N 359 Patiluban. Karena selama ini pembelajaran masih berpusat pada guru dan pemberian contoh soal, dan dilanjutkan dengan tugas secara individu dan PR. Dengan demikian siswa merasa bosan dan pasif. Dengan demikian untuk merubah kebosanan siswa, guru harus mencari inovasi baru dengan cara menggunakan media pembelajaran yang kreatif dan model pembelajaran yang inovatif agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu penerapan pembelajaran inovatif yang dapat memberikan pengalaman belajar bermakna adalah pembelajaran kooperatif dengan model NHT. Dengan pembelajaran kooperatif diharapkan siswa menjadi tangguh dan berkembang secara maksimal serta mampu berkompetensi terutama dalam pelajaran matematika guna mencapai tujuan yang diharapkan. Purwanto (1984) menegaskan bahwa untuk mencapai suatu tujuan atau tindakan ada semacam titik tolak yang mendahului tindakan itu yaitu motivasi. Semakin besar motivasi semakin kuatlah tindakan itu dan hasilnya semakin baik. Seberapapun besarnya kemampuan siswa untuk belajar, apabila tidak didorong atau digerakkan oleh motivasi yang tinggi maka tujuan yang kita inginkan tidak akan tercapai. Dalam pelajaran matematika guru harus mampu memahami materi, membimbing siswa untuk memahami materi tersebut untuk mencapai tujuan yang telah kita tentukan. Namun hasil yang diperoleh ternyata tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Pada hari ini kita mengajarkan satu materi, siswa telah mampu dan mengerti. Namun, tiga hari kemudian setelah materi tersebut kita tanyakan, ternyata siswa tidak dapat lagi menjawabnya karena siswa tersebut telah lupa dengan pelajaran yang dipelajari beberapa hari yang lalu. 778
Salah satu permasalahan yang dihadapi pada mata pelajaran matematika di kelas 6 SD N No.359 Patiluban adalah yang berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menghitung luas permukaan bangun ruang kubus dan balok. Hasil nilai ulangan harian siswa rendah, yaitu dibawah KKM 60. Siswa yang meperoleh ilai ulangan harian di atas KKM hanyalah 8 orang dari 32 orang siswa dan selebihnya dibawah KKM 60. Untuk mengatasi permasalahan di atas, guru haruslah menemukan strategi pembelajaran yang tepat agar siswa dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Salah satu model pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa untuk meningkatkan hasil belajar adalah melalui model pembelajaran Kooperatif. Susento dan Rudhito (2009) menyatakan cara yang dapat digunakan melalui model ini aalah guru memanfaatkan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam mencapai sasaran belajar dan memungkinkan siswa memaksimalkan proses pembelajaran satu sama lain. Pembelajaran Kooperatif ini menekankan pada kesadaran siswa untuk perlu belajar dalam mengaplikasikan pengetahuan, konsep, keterampilan kepada siswa yang membutuhkan dan saling menguntungkan antara siswa yang pintar dan kurang pintar. Salah satu model pembelajaran kooperatif adalah tipeNHT (Numbered Heads Together). Dalam pelaksanaan model pembelajaran tipe NHT, dibentuk kelompok yang beranggotakan 4 – 5 orang secara hiterogen. Setiap orang memiliki satu nomor. Selanjutnya, guru mengajukan pertanyaan untuk didiskusikanbersama kelompoknya.Guru menunjuk salah satu nomor untuk mengwakili kelompoknya. Inilah sebagai cirri khas tipe NHT. Dengan cara ini menjamin keterlibatan semua siswa. Cara ini merupakan upaya yang baik, untuk meningkatkan tanggung jawab setiap siswa dalam diskusi kelompok. METODE PENELITIAN Karena penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki hasil pembelajaran, maka penelitian ini dirancang dengan menggunakan rancangan Penelitian Tindakan Kelas model Kemmis dan Taggart yang dilaksanakan dalam dua siklus. Masing-masing siklus terdiri atas tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi (Dasna, 2013). Subyek penelitian ini adalah siswa kelas 6 SD Negeri Nomor 359 Patiluban Kecamatan Natal, Kabupaten Mandailing Nataldengan jumlah 32 orang. Dalam pelaksanaan penelitian tindakan dilakukan tahapan lesson study meliputi : a) Perencanaan, b) Pelaksanaan, c) Observasi, dan d) Refleksi. Setelah perencanaan dibuat, pembelajaran dilakukan sesuai dengan perencanaan ( RPP), kemudian diadakan refleksi. Apabila dalam refleksi masih belum memenuhi kriteria keberhasilan, yaitu KKM 60, maka kemudian diadakan perencanan ulang atau revisi untuk memperbaiki kekurangan dalam pelaksanaan sebelumnya. Perencanaan ulang tersebut dilaksanakan dalam bentuk perbaikan untuk pelaksanaan berikutnya. Pada pelaksanaan kedua ini dibuat lembar observasi meliputi : (1) aktifitas guru, (2) aktifitas siswa, dan (3) efektifitas penggunaan media dan sumber pembelajaran. Data penelitian berupa penilaian hasil belajar matematika pada materi luas permukaan kubus dan balok. Instrumen yang digunakan untuk mendapatkan hasil belajar adalah berupa lembar evaluasi post test untuk melihat sejauh mana pengetahuan siswa yang berjumlah 32 orang . HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Proses pembelajaran sebelum perbaikan Seperti biasanya setelah selesai senam pagi, siswa memasuki kelas diikuti oleh guru kelas dan satu orang teman sejawat sebagai observer. Salah seorang siswa memimpin do‟a seperti biasanya dan member salam kepada guru.Kemudian guru mengabsen siswa dan pada hari itu siswa hadir semuanya. Guru menanyakan siswa apakah sudah siap untuk belajar. Dengan serentak siswa menjawab siap. Selanjutnya guru menyampaikan tujuan pembelajaran dengan singkat dan dilanjutkan dengan memberikan apersepsi dalam bentuk pertanyaan. Pertanyaan yang diajukan guru adalah tentang macam-macam bidang sisi datar. Beberapa siswa menjawab serentak menyebut: persegi, persegi panjang, jajar genjang, belah ketupat, dan lingkaran. Pada tahap inti, guru mulai menyampaikan materi pelajaran dengan media jaring-jaring kubus dan jaring-jaring balok yang ditempelkan di papan tulis.
779
Jaring – jaring kubus
Jaring – jaring balok
Dengan menunjuk bagian-bagian dari jaring - jaring tersebut guru menanyakan bentuknya. Kemudian guru membentuk jaring-jaring tersebut menjadi bangun ruang kubus dan balok. Pada tahap akhir guru memberikan catatan kepada siswa sebagai kesimpulan dari pembelajaran, bahwa bangun ruang kubus dan balok terbentuk dari bangun datar persegi dan persepanjang. Pada pembelajaran ini siswa belum diberikan kebebasan untuk mengkonstruksi dan menemukan sendiri fakta bangun ruang tersebut. Guru mengikatkan siswa bahwa unutu mencari luas permukaan kubus adalah dan Luas permukaan balok, . Setelah selesai kegiatan inti guru memberikan beberapa soal yang berhubungan dengan luas permukaan kubus dan balok. Ternyata, hanya 5 siswa yang dapat memperoleh nilai diatas KKM 60, dan 27 siswa memperoleh nilai dibawah KKM. Setelah selesai proses pembelajaran diadakan refleksi dan mendapatkan beberapa perbaikan dan masukan dari teman sejawat sebagai observer. Proses Pembelajaran siklus I Dari hasil pembelajaran awal diadakan perbaikan pada pembelajaran siklus I, sebagai berikut: Guru mengkondisikan kelas untuk mempersiapkan siswa mengikuti pembelajaran. Guru memberikan apersepsi dengan contoh bangun ruang yang ada dalam kelas, seperti: kotak kapur tulis, lemari, ruang kelas, kotak pensil siswa, dan lain-lain. Guru membimbing siswa bahwa ruang kelas berbentuk kubus. Permukaan dindingnya berbentuk persegi. Kemudian kotak kapur tulis berbentuk kubus, bidang sisinya ada 6 yang berbentuk persegi. Sambil berjalan, guru mengambil satu kotak pensil siswa, kemudian menjelaskan bahwa kotak tersebut berbentuk balok, sisi-sisi yang berhadapan sama dan berbentuk bidang datar persegi panjang. Kemudian, guru menanyakan secara acak kepada siswa tentang rumus luas persegi dan persegi panjang. Siswa yang ditanyakan menjawab dengan benar, yaitu rumus luas persegi adalah sisi x sisi, dan rumus luas persegi panjang adalah panjang x lebar atau p x l. Setelah apersepsi ,kemudian guru membagikan kartu yang berwarna merah, putih, hijau, kuning, biru, dan coklat yang sudah diberi nomor. Kemudian, guru mempersilahkan siswa bergabung dengan temannya yang mempunyai warna kartu yang sama. Maka terdapat 6 kelompok yang beranggotakan 5 – 6 orang. membagi siswa menjadi 6 kelompok, masingmasing kelompok terdiri dari 5 orang dengan susunan nomor berturut (1, 2, 3, dan 4). Setiap kelompok diberi kebebasan untuk membuat nama kelompoknya dari nama bunga. Di dalam satu kelompok guru mengatur dengan menempatkan 1 orang siswa yang berkemampuan lebih dari teman yang lain. Tujuannya adalah agar dapat membimbing teman satu kelompoknya. Kemudian guru memberikan Lembar Kerja Kelompok (LKK) untuk didiskusikan setiap kelompok. Soal dalam LKK tersebut adalah tentang materi pelajaran mencari luas permukaan kubus dan balok, dimana gambar kubus dan balok terdapat di LKK. Siswa berdiskusi, dan guru secara berkeliling memperhatikan siswa yang sedang berdiskusi. Ternyata saat diskusi, suasana keaktifan masih terlihat didominasi oleh siswa yang berkempuan lebih baik. Kebanyakan siswa masih asik ngobrol, sehingga suasana kelas sedikit rebut. Guru belum memberikan bimbingan secara maksimal dan merata. Dengan selesai waktu yang sudah ditentukan, guru memanggil salah satu nomor dari kelompok bunga mawar, untuk membacakan jawaban soal nomor 1. Demikian juga untuk kelompok yang lain secara bergantian namun nomor yang berbeda. Pada saat membacakan hasil diskusi masing-masing kelompok terjadi lagi kegaduhan, karena masing-masing kelompok saling mempertahankan hasil diskusinya walaupun belum benar. Menurut mereka kelompoknyalah yang benar. 780
Beberapa hal yang masih kurang dalam pembelajaran siklus I ini adalah: 1. Guru belum memberikan bimbingan kepada siswa dalam berdiskusi kelompok. 2. Peningkatan hasil belajar siswa belum maksimal, terlihat dari hasil evaluasi, hanya 55 % siswa yang mendapat nilai di atas KKM 60. 3. Penggunaan media alat peraga sebagai pemodelan belum memadai. 4. Siswa belum dapat menghubungkan pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan baru. Setelah selesai proses pembelajaran, guru memberikan tugas kepada masing-masing kelompok untuk membawa kotak yang berbentuk kubus dan balok untuk pertemuan berikutnya. Gunanya untuk perbaikan pada siklus II. Proses Pembelajaran Siklus II Berdasarkan hasil pembelajaran siklus I, dilaksakan perbaikan untuk mengatasi kelemahan-kelemahan yang dijumpai. Namun tetap menggunakan model kooperatif tipe NHT dan dilengkapi dengan media bangun kubus dan balok. Juga dengan mempergunakan LKK. Seperti biasanya, setelah siswa masuk ruangan kelas guru mengkondisikan untuk mempersiapkan siswa mengikuti pelajaran. Guru mengapersepsi dengan mengajukan pertanyaan kepada beberapa siswa secara acak materi pelajaran pada pertemuan sebelumnya. Yaitu tentang bangun ruang kubus dan balok. Secara klasikal guru menyampaikan materi pelajaran dengan media yang sudah disediakan guru yaitu bangun ruang kubus dan balok yang terbuat dari plastik kaca tebal transparan. Proses pembelajaran ini juga melibatkan seorang teman sejawat sebagai observer, dan diberikan lembar observasi yang berisi tentang kegiatan guru dan siswa. Guru memanggil seorang siswa untuk mengukur salah satu bidang sisi bangun kubus dengan menggunakan rol. Guru memberikan penjelasan tentang hasil pengukuran siswa. Setelah selesai, guru mempersilahkan siswa untuk membentuk kelompok sesuai dengan kelompoknya pada pertemuan siklus I. Pada proses pembelajaran ini guru mempersilahkan siswa menunjukkan kotak yang telah mereka bawa dari rumah. Sambil berkeling guru memeriksa kotak yang mereka bawa masing-masing bangun kubus dan balok. Sambil berkeliling, guru membagikan LKK kepada setiap kelompok. Pembelajaran ini tetap mempergunakan model pembeelejeran kooperatif tipe NHT. Selanjutnya siswa mulai berdiskusi sesama kelompok dan terlihat asik. Masing-masing anggota kelompok telah aktif mengukur kotak dan menjawab soal LKK dan saling bertanya. Beberapa kelompok yang mengalami kesulitan sudah berani bertanya kepada guru. Guru menjelaskan kepada kelompok yang mengajukan pertanyaan sambil membimbingnya. Berikut LKK yang digunakan dalam kerja kelompok. LEMBAR KERJA KELOMPOK 1. Kotak yang ada pada kelompokmu berbentuk . . . . 2. Bidang sisinya berbentuk . . . . 3. Banyaknya bidang sisinya adalah . . . . 4. Bidang sisi yang sama pada kubus ada . . . . 5. Bidang sisinya balok berbentuk . . . . 6. Pada balok terdapat bidang sisi yang sama ,yaitu . . . . 7. Rumus Luas persegi adalah . . . . 8. Rumus Luas persegi panjang adalah . . . . 9. Hitunglah luas permukaan kubus, dengan ukuran yang ada pada kelompokmu ! 10. Hitunglah luas permukaan balok, dengan ukuran yang ada pada kelompokmu ! Setelah selesai waktu diskusi sesuai dengan kesepakatan guru dan siswa, selanjutnya guru memanggil nomor salah satu anggota kelompok untuk mempresentasekan hasil kelompoknya. Kegiatan ini dilakukan guru untuk semua kelompok dengan nomor anggota yang berbeda. Setelah semua kelompok selesai mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya,guru dan siswa mengadakan refleksi dan menyimpulkan materi pelajaran. Kemudian siswa disuruh menuliskan kesimpulan dibuku masing-masing, dan setelah selesai siswa dipersilahkan kembali ke tempat duduknya masing-masing. Selanjutnya, untuk membuktikan pemahaman siswa tentang materi pelajaran ini, guru mengadakan test dengan memberikan LKS, seperti berikut. 781
LEMBAR KERJA SISWA Hitunglah luas permukaan gambar di bawah ini ! 15 cm 15 cm 6 cm
15 cm
8 cm 15 cm Setelah selesai dikerjakan siswa, guru mengumpulkan LKS dan memeriksanya. Ternyata 28 orang siswa memperoleh nilai diatas KKM 60. Dan hanya 4 orang siswa yang mendapat nilai dibawah KKM. Setelah proses pembelajaran tinggal 3 menit, guru menanyakan kepada siswa tentang situasi belajar saat itu, ternyata jawabnya mereka senang dan meminta untuk materi yang lain dibuat seperti itu. Beberapa hal yang dapat dipetik dari perbaikan siklus II ini setelah diadakan refleksi bersama teman sejawat yang bertugas sebagi observer adalah: 1. Hasil belajara siswa dapat meningkat walaupun belum sampai 100 %. 2. Penyampaian tujuan pembelajaran sudah baik karena siswa aktif dalam berdiskusi. 3. Siswa sudah mulai dapat mengkonstruksi fakta bangun ruang kubus dan balok melalui media. 4. Alat peraga yang dibuat guru melalui benda nyata sebagai pemodelan dapat membantu siswa untuk menjawab permasalahan pada pertemuan sebelumnya. 5. Diskusi sudah aktif sesama anggota kelompok, dan siswa sudah berani bertanya ke sesame teman satu kelompok dan kepada guru. 6. Guru sudah membimbing siswa yang mengalami kesulitan. 7. Siswa dan guru bersama-sama membuat kesimpulan. Setelah selesai jam pelajaran siswa memajangkan hasil diskusi masing – masing (LKK) ditempat yang sudah disediakan. Kemudian guru membagikan LKS yang sudah dinilai, untuk ditunjukkan kepada orang tua masing-masing siswa. KESIMPULAN Dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT dalam pelajaran Matemati di SD N No.359 Patiluban Mandailing Natal dengan materi pelajaran menghitung luas permukaan bangun ruang kubus dan balok, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Terjadi peningkatan minat siswa untuk mata pelajaran matematika. 2. Siswa kelas 6 SD N No.359 Patiluban dapat berinteraksi dengan siswa yang lain dalam belajar. 3. Siswa kelas 6 SD N No.359 Patiluban percaya diri dan termotivasi untuk belajar matematika secara berkelompok dan menyenangkan. 4. Guru menjadi aktif membimbing siswa dalam berdiskusi,juga terjadi interaksi belajar mengajar melalui diskusi dan Tanya jawab. Dengan keberhasilan pembelajaran ini, disarankan untuk mencoba pembelajaran kooperatif NHT ini untuk materi yang berbeda, atau juga dapat dicoba untuk melaksakan pembelajaran kooperatif tipe lainnya. DAFTAR RUJUKAN Dasna, I.W. 2013. Penelitian Tindakan Kelas. Malang. Universitas Negeri Malang. Purwanto, N. 1984. EDUCATIONESIA : Psikologi Belajar. Susento dan Rdhito,M.A. 2009. Pendidikan Matematika. Yogyakarta: FKIP Universitas Sanata Dharma. Subanji, 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif,TEQIP Malang : Kerjasama PT.Pertamina (Persero) dangan Universitas Negeri Malang.
782
PENGGUNAAN MEDIA TABEL PENJUMLAHAN DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA BERBASIS LESSON STUDY DI KELAS V SEKOLAH DASAR Rini M. Lintong SD Negeri Ponto Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara
[email protected] Abstrak: Kegiatan Lesson study yang dilaksanakan di SD Negeri Lantung dilakukan melalui tiga tahap yaitu plan (perencanaan), do (pelaksanaan) dan see (refleksi). Tahap Plan dilaksanakan di Batu Malang, tahap do dan see dilaksanakan di sekolah tempat pembelajaran. Ternyata LS memberikan pengalaman baru dan berharga, bagi guru dan siswa. Guru lebih berani dan percaya diri dalam memberikan pelajaran. Siswa lebih termotivasi, aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran. Dengan adanya media tabel penjumlahan, siswa menjadi senang dalam belajar karena mereka lebih cepat memahami materi tentang penjumlahan dua bilangan bulat dan menggunakan sifat komutatif. Hasil belajar siswapun juga lebih meningkat. Kata kunci: Lesson study, Media tabel penjumlahan, Hasil belajar
Saat ini di Indonesia sedang dikembangkan dan diimplementasikan upaya peningkatan profesionalisme guru melalui suatu kegiatan yang di sebut Lesson Study (LS). LS bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan kompetensi guru melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan. LS juga merupakan salah satu bentuk pelatihan guru dalam jabatan. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan tentang pelaksanaan LS di Kelas V SDN Ngantung, Kecamatan Wori, Kabupaten Minahasa Utara. PEMBAHASAN LS bukan metode pembelajaran, juga bukan pendekatan pembelajaran. Sebetulnya, LS adalah model pembinaan (pelatihan) profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berdasarkan prinsip kolegalitas yang saling membantu komunitas belajar untuk membangun komunitas belajar (Ibrohim, 2012). Program TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) adalah kegiatan peningkatan kualitas guru Sekolah Dasar (SD) melalui in-servise training dengan pola Training Of Trainer (TOT). Salah satu kegiatan pada TEQIP adalah melaksanakan Ongoing di daerah masing – masing, dengan menerapkan Lesson study. Ongoing II dilaksanakan di SD Negeri Lantung, kecamatan Wori kabupaten Minahasa Utara. Sebelum adanya TEQIP, penulis mengalami kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran untuk materi penjumlahan dua bilangan bulat dengan menggunakan sifat komutatif yang membuat siswanya belum terlibat aktif dan belum termotivasi didalam pembelajaran. Selama ini guru dalam melakukan pembelajaran, masih mengedepankan metode ceramah (monoton) dan belum pernah melibatkan media pembelajaran. Disini penulis merencanakan untuk membuat media tabel penjumlahan berupa kartu bilangan yang ditempel pada tabel penjumlahan. Model atau maket (alat peraga) pembelajaran adalah bahan ajar tiga dimensi atau tiruan benda nyata untuk menjembatani berbagai kesulitan yang biasa ditemui, agar pembelajaran lebih bermakna. Hasil belajar siswa sebelum LS dilaksanakan masih rendah, rata – rata masih dibawah KKM. Hal ini membuat penulis merasa tidak puas dan berkeinginan untuk memperbaiki kegiatan pembelajaran. Menurut Permendikbud no. 65 tahun 2013 tentang standar proses diungkapkan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif. Sampai saatnya ada program TEQIP dan penulis mendapat kesempatan terpilih menjadi peserta TOT dan memperoleh wawasan tentang lesson study. Akhirnya pada pelaksanaan Ongoing II, penulis mendapat kesempatan untuk menjadi guru model pada Open class untuk materi tentang penjumlahan dua bilangan bulat dengan menggunakan sifat komutatif. Penulis berupaya untuk merancang kegiatan Plan bersama – sama dengan teman sejawat untuk menyusun rencana 783
pelaksanaan pembelajaran yang dapat mengaktifkan siswa dengan menggunakan media tabel penjumlahan. Langkah-Langkah Kegiatan LS Sebelum melakukan On-going, guru model melakukan persiapan bersama tim. Kegiatan dalam persiapan mencakup tahap Plan, Do, dan See. 1) Tahap Perencanaan (PLAN) Pada tahap ini saya selaku guru model dan teman sejawat yang tergabung dalam tim lesson study menyusun perencanaaan pembelajaran secara lengkap dengan melakukan kegiatan sebagai berikut : (a) menentukan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang akan dipakai; (b) menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) secara kolaboratif; dan (c) menentukan alat peraga (media) yang cocok dengan materi. Kegiatan ini kami lakukan pada saat TOT II di Batu Malang. Dalam rencana pelaksanaan pembelajaran, standar kompetensi yang dipilih adalah melakukan operasi hitung dalam pemecahan masalah. Kompetensi dasar yang sesuai yaitu melakukan operasi hitung bilangan bulat termasuk penggunaan sifat – sifatnya, pembulatan dan penafsiran. Indikator yang ditetapkan adalah membuat penjumlahan dua bilangan bulat dengan menggunakan sifat komutatif. Selanjutnya, tujuan pembelajaran adalah: dengan menggunakan tabel penjumlahan, siswa dapat membuat penjumlahan dua bilangan bulat dengan berdasarkan sifat komutatif dengan benar. 2) Tahap Pelaksanaan (DO) Tahap pelaksanaan pembelajaran disebut Open Class. Open Class dilaksanakan pada tanggal 18 Juli 2013 di SD Negeri Lantung, Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara. Kegiatan ini melibatkan guru kelas, kepala sekolah, teman guru dan expert untuk menjadi observer. Pada kegiatan awal guru model menyapa siswa, mengkondisikan dan memusatkan perhatian, serta memotivasi siswa untuk siap mengikuti pelajaran . Kemudian guru model memberikan apersepsi berupa pertanyaan yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari siswa. Selanjutnya guru model menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai yaitu dengan menggunakan tabel penjumlahan siswa dapat membuat penjumlahan 2 bilangan bulat dengan benar. Kegiatan inti dimulai dengan (a) guru model menjelaskan materi tentang penjumlahan 2 bilangan bulat dengan menggunakan sifat komutatif melalui contoh – contoh yang ada pada tabel penjumlahan, (b) siswa dibagi dalam beberapa kelompok secara heterogen yang terdiri dari 3 orang, (c) kemudian setiap kelompok diberi lembar kerja kelompok untuk dikerjakan secara bersama-sama; sebelum mengerjakan lembar kerja kelompok, siswa diajak bermain kartu bilangan untuk ditempelkan pada tabel penjumlahan yang belum lengkap yang dipajang di papan tulis secara berebutan, mereka kelihatan sangat senang, (d) selesai mengerjakan lembar kerja kelompok, masing – masing kelompok mempresentasikan hasil didepan kelas secara bergantian dan hasil kelompok dipajang di papan tulis. Kegiatan dari guru model adalah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada kelompok yang mengalami kesulitan belajar. Ternyata, dengan arahan dan bimbingan guru, siswa merasa senang dan mereka dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Di kegiatan akhir siswa diajak guru model untuk menarik kesimpulan dari materi yang sudah dipelajari. Kemudian guru memberikan soal evaluasi untuk dikerjakan siswa. Siswa mengerjakan LKS sesuai dengan petunjuk guru model. Setelah itu guru model menanyakan pesan dan kesan dari siswa tentang pembelajaran yang sudah berlangsung. Ternyata siswa sangat senang atau gembira karena mereka bisa terlibat langsung dalam penggunaan media (alat peraga) yaitu menempelkan kartu bilangan pada table penjumlahan. Sehingga mereka lebih mudah memahami dan mengerti materi tentang penjumlahan dua bilangan bulat dengan menggunakan sifat komutatif. Sebagai guru model, penulis merasa senang dan bangga karena pembelajaran yang berlangsung sangat menyenangkan bagi siswa, siswa kelihatan aktif dan antusias dalam menjawab setiap pertanyaan yang diberikan guru model. Suasana belajarpun menjadi kondusif dan efektif. Sehingga jelas terlihat bahwa ada perubahan dari cara belajar siswa yang dulunya pasif menjadi aktif dari hari – hari sebelumnya. 784
Selama proses pembelajaran berlangsung, ada beberapa guru yang terlibat menjadi observer, dimana mereka memposisikan diri di bagian belakang dan samping kelas. Para observer bertugas mengamati semua yang terjadi dalam proses pembelajaran yang berlangsung dari awal sampai akhir kegiatan. Yang menjadi pokok pengamatan adalah kegiatan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Dan hasil pengamatan dari para observer ditulis pada lembar observasi yang sudah ada. 3) Tahap Refleksi (SEE) Kegiatan refleksi dilakukan setelah proses pembelajaran selesai dilaksanakan dengan melibatkan guru model bersama – sama dengan expert dan guru – guru yang menjadi observer. Kegiatan refleksi bertujuan untuk mengevaluasi proses dan hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan terutama pada kegiatan siswa dalam proses pembelajaran, dengan cara membahas kekurangan dan kelebihan dari proses pembelajaran yang telah dilaksanakan. Kegiatan refleksi ini dipimpin oleh seorang moderator. Moderator dalam refleksi adalah expert dari Malang. Guru model diberi kesempatan pertama untuk menyampaikan kesan ketika membelajarkan siswa di kelas V SD Negeri Lantung. Adapun hasil refleksi dari catatan para observer adalah sebagai berikut : 1. Kegiatan awal (Kesiapan belajar siswa, apersepsi, dsb) Pada awal kegiatan sebagian besar siswa sudah siap belajar, mereka sangat antusias dalam menjawab pertanyaan – pertanyaan yang diberikan oleh guru modelnya. Awal kegiatan sebagian siswa kelihatan pasif / diam, mungkin karena guru modelnya bukan guru kelasnya dan lesson study adalah hal baru bagi siswa. Siswa kelihatan senang ketika diajak bermain kartu bilangan pada tabel penjumlahan. Waktu apersepsi terlalu singkat. 2. Kapan terjadi interaksi siswa dan guru, serta siswa dan siswa? Interaksi antara siswa dengan guru mulai terjadi dari kegiatan awal sampai kegiatan akhir, seperti contoh ketika guru mengajukan pertanyaan langsung dijawab oleh siswa. 3. Siswa yang tidak bisa belajar Siswa yang bernama Valen tidak aktif dalam kegiatan kelompok. Karena siswa Valen hanya duduk sambil bermain tanpa merespon kegiatan kelompok yang sedang berlangsung. Siswa tersebut tidak mendapat perhatian khusus. 4. Upaya guru mengatasi siswa yang tidak belajar Upaya yang dilakukan guru model sudah sangat baik, karena guru model mendekati siswa Valen dan memberikan arahan dan motivasi sehingga siswa Valen bisa terlibat aktif pada kegiatan kelompok. 5. Bagaimana siswa terlibat dalam kegiatan penutup? Siswa diajak guru untuk merangkum materi yang sudah dipelajari. Siswa mengerjakan evaluasi dan siswa menyampaikan kesan tentang pembelajaran yang dialaminya. 6. Pengalaman harga yang diperoleh dari pengamatan? Ternyata dengan menggunakan tabel penjumlahan dengan pendekatan lesson study, siswa termotivasi untuk lebih aktif dan kreatif, siswa juga senang dalam proses pembelajaran. Upaya Perbaikan Dengan adanya masalah dalam hasil refleksi di atas, maka penulis mengupayakan perbaikan untuk pembelajaran, diantaranya : 1. Siswa yang bermasalah harus selalu diberi pendekatan khusus, siswa diberi semangat/motivasi untuk belajar serta diberi penguatan seperti pujian terutama bagi siswa yang dapat menjawab dengan benar pertanyaan yang diberikan guru model. 2. Guru model harus mengoptimalkan dalam mengkondisikan kelas sebelum pembelajaran berlangsung. 3. Waktu apersepsi harus disesuaikan dengan waktu yang ada pada RPP, jangan terlalu singkat 4. Guru model harus memberikan perhatian yang sama kepada semua kelompok siswa, agar siswa tidak merasa dikucilkan dan pasti mereka akan senang jika diperhatikan.
785
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penggunaan media tabel penjumlahan pada pembelajaran Matematika di kelas V pada pelaksanaan Lesson study di SD Negeri Lantung ternyata sangat memberikan perubahan besar pada proses pembelajaran, sehigga dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Umumnya Siswa menjadi sangat antusias, aktif, kreatif dalam proses pembelajaran karena termotivasi dengan adanya media pembelajaran. Siswa juga senang dengan kegiatan kelompok. Dengan kata lain siswa memperoleh pengalaman yang berharga. 2. Selain pengalaman belajar, hasil belajar siswa juga meningkat jika di lihat dari hasil evaluasi. 3. Terjadi peningkatan kemampuan guru model dalam mengajarkan Matematika, dalam hal ini kemampuan untuk lebih berani dan lebih percaya diri. 4. Lesson study memberikan pengalaman baru baik bagi guru model maupun siswa. Saran Sebaiknya penggunaan media dalam pembelajaran Matematika terus dikembangkan lagi di sekolah- sekolah terutama di sekolah dasar dengan model Lesson study. Dengan mengembangkan LS, guru – guru SD harus lebih optimis bahwa proses dan hasil pembelajaran akan jauh lebih baik dari sebelumnya. DAFTAR RUJUKAN Permendikbud no. 65 tahun 2013. Standar Proses Pendidikan Ibrohim. (2013). Panduan Pelaksanaan Lesson Study. Malang : Universitas Negeri Malang. Prastowo, Andi. (2011). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Yogyakarta : Diva Press.
UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SD NEGERI BULO MINAHASA UTARA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA MELALUI METODE BERMAIN PERAN Humada Derek Pengawas TK/SD Kabupaten Minahasa Utara Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri Bulo Minahasa Utara dalam menyelesaikan soal cerita melalui metode bermain peran. Penelitian ini menggunakan PTK yang diterapkan pada siswa kelas IV SD Negeri Bulo Minahasa Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada siklus 1 hanya 53,3 % siswa yang berhasil mencapai ketuntasan belajar dan dan pada siklus II ada 84,6% siswa yang mencapai ketuntasan belajar, dengan demikian dapat disimpulkan adanya peningkatan hasil belajar siswa pada materi menyelesaikan soal cerita dengan menggunakan metode bermain peran pada siswa kelas IV SD Negeri Bulo Minahasa Utara. Kata kunci: bermain peran, sola cerita, hasil belajar
Pada umumnya kualitas pendidikan matematika di kabupaten Minahasa Utara masih rendah. Banyak siswa yang beranggapan bahwa belajar matematika sulit dan membosankan. Hal tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain kurangnya sarana yang tersedia baik di rumah maupun di sekolah, penguasaan bahasa yang masih rendah, cara mengajar guru yang masih konvensional, penggunaan metode yang kurang tepat dan kurang bervariasi mengakibatkan kebosanan dan kurang tertariknya siswa belajar matematika. Jika hal ini terjadi berlarut-larut maka lambat laun siswa kurang berminat belajar matematika dan prestasi yang dicapai tidak maksimal. Untuk mengatasi hal tersebut di atas diperlukan suatu upaya guru utnuk menciptakan suasana belajar kondusif yang dapat menuntun siswa belajar aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan. Salah satu tujuan pembelajaran matematika di SD adalah peserta didik mampu 786
memecahkan masalah meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. Sesuai dengan tujuan pembelajaran tersebut di atas maka siswa kelas IV SD harus mampu memecahkan masalah seperti yang tercantum dalam kompetensi dasar 1-6 yaitu memecahkan masalah yang melibatkan uang. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan penulis di SD Negeri Bulo bahwa ternyata siswa kelas IV masih kurang mampu menyelesaikan soal-soal cerita dalam kehidupan sehari-hari. Itulah sebabnya banyak orang tua yang merasa kecewa dengan hasil belajar matematika di SD. Setelah dilakukan pretes terhadap soal matematika termasuk soal cerita maka dari hasil analisis nilai pretes hanya 4 siswa dari 15 siswa yang dapat menyelesaikan soal cerita dengan baik sedangkan 11 siswa tidak dapat menyelesaikan dengan baik. Fenomena ketidak berhasilan siswa disebabkan karena siswa berasal dari keluarga yang pada umumnya kurang mampu, menggunakan bahasa daerah dalam pergaulan sehari-hari sehingga penggunaan bahasa Indonesia di kelas menjadi kurang efektif. Juga diperoleh hasil analisis oleh penulis bahwa pembelajaran yang dilakukan guru lebih banyak menggunakan satu jenis maetode, kurang variatif, serta kurang memperhatikan disiplin ilmu yang diperoleh secara teori. Pembelajaran merupakan upaya seseorang untuk membantu orang lain belajar (menurut Gagne dan Brigs (dalam Aisyah, dkk:2008). Selanjutnya menurut Gagne mendefinisikan bahwa pembelajaran adalah seperangkat peristiwa eksternal yang dirancang untuk mendukung terjadinya beberapa proses belajar yang sifatnya internal. Sementara Corey (dalam Aisyah, dkk:2008) mengemukakan, pembelajaran adalah suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respon terhadap situasi tertentu. Kedua pendapat tersebut di atas menjelaskan bahwa pembelajaran berpusat pada bagaimana siswa belajar dan bukan menjelaskan pada bagaimana guru mengajar. Oleh sebab itu, pengertian pembelajaran matematika di sekolah adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan menciptakan suasana lingkungan kelas yang memungkinkan siswa belajar (Aisyah, dkk:2008). Menurut Bruner (Hudoyo:2001) belajar matematika adalah belajar mengenai konsepkonsep dan struktur-struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan konsep-konsep dan struktur-struktur matematika. Belajar matematika biasanya ditandai dengan perubahan pada diri siswa seperti yang tidak mengerti menjadi mengerti, tau dan paham tentang pemecahan masalah. Metode bermain peran adalah suatu kegiatan permainan pendidikan yang digunakan untuk menjelaskan peranan, sikap, perilaku dan nilai dengan tujuan menghayati perasaan, sudut pandang dan cara berpikir orang lain. Dengan bermain peran siswa diharapkan dapat menghayati dan merefleksi peran dalam berbagai figure khayalan atau figure sesungguhnya dalam berbagai situasi. Melalui metode bermain peran dapat ditumbuhkan kepada siswa aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Aspek kognitif adalah kemampuan siswa melakukan pemecahan masalah, aspek afektif adalah sikap memahami nilai-nilai, perasaan orang lain, mengembangkan rasa empati atas dasar tokoh yang diperankan, sedangkan aspek psykomotorik adalah siswa bermain peran diantara sesame (Semiawan : 2002). Pembelajaran yang dilakukan tentang kompetensi dasar pemecahan masalah yang melibatkan uang terdapat kelemahan dan keunggulan. Kelemahannya adalah siswa belum mampu mengoperasikan pengurangan, perkalian dan pembagian yang terkandung dalam soal cerita. Sedangkan keunggulannya adalah sebetulnya siswa dapat mengoperasikan penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian dalam bilangan cacah. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masalah dan kesulitan yang dihadapi oleh siswa maupun guru di kelas, maka penulis mengumpulkan 3 guru untuk diajak kolaboratif melaksanakan penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri Bulo Minahasa Utara dalam menyelesaikan soal cerita melalui metode bermain peran. METODE Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian tindakan kelas yang terdiri dari siklus 1 dan siklus 2. Setiap siklus terdiri dari kegiatan perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, pengamatan dan refleksi. Adapun rincian alur dalam tahapan Tindakan Penelitian Kelas adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan 787
Pada tahap ini peneliti membuat perencanaan yang meliputi: a. Membuat skenario pembelajaran b. Membuat alat evaluasi c. Membuat lembar observasi 2. Pelaksanaan Tindakan Tindakan yang dilaksanakan guru dalam setiap tahap ini adalah melaksanakan skenario pembelajaran yang telah direncanakan. Untuk setiap tindakan dilakukan 2 (dua) kali pertemuan 3. Pengamatan/observasi Observasi dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan tindakan. Observasi dilakukan untuk mengetahui: a. Kesesuaian tindakan guru dengan skenario pembelajaran b. Hasil Belajar siswa 4. Refleksi Refleksi dilakukan pada setiap akhir siklus dengan tujuan untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan yang terjadi pada setiap siklus. Sehingga kekurangan pada satu siklus dapat diperbaiki pada siklus berikutnya. Hasil refleksi merupakan dasar dalam membuat perencanaan siklus selanjutnya. Pelaksanaan penelitian tindakan kelas ini dilakukan di SD Negeri Bulo Minahasa Utara khususnya kelas IV sebagai pilihan dengan pertimbangan kemudahan dalam pengambilan data. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilaksanakan di kelas IV SD Negeri Bulo Minahasa Utara mulai tanggal 11 sampai 16 september 2013 dalam 2 siklus, siklus 1 dilaksanakan tanggal 11 sampai 13 September 2013 dan siklus 2 dilaksanakan tanggal 14 sampai 16 September 2013. Pelaksanaan penelitian pada siklus 1 dipeoleh hasil bahwa metode bermain peran dengan contoh-contoh dan soal latihan belum memperlihatkan hasil yang diharapkan penulis, dimana pada tahapan refleksi baik penulis maupun pengamat berkesimpulan bahwa masih perlu ada perbaikan dan pembenahan pada hal-hal tertentu baik ditinjau dari pihak guru mapun siswa. Perbaikan dari pihak guru dalam penerapan metode bermain peran masih perlu perbaikan pada aspek kognitifnya, sedangkan dari pihak siswa kekurangan tersebut adalah masih ada siswa yang semata-mata hanya bermain (bukan belajar) dan masih ada siswa yang acuh tak acuh dalam kegiatan pembelajaran serta masih ada siswa yang sulit melakukan komunikasi (bertanya) tentang kesulitan yang dihadapi dalam proses pembelajaran baik kepada teman maupun guru. meskipun masih ada kekurangan-kekurangan yang ditemui, ada juga keberhasilan yang dicapai pada siklus 1 yakni dari 15 siswa ada 8 siswa yang dapat menjawab soal cerita dengan benar prosentasi keberhasilan 53,3%. Dari hasil pembahasan pada refleksi antara pengamat, guru dan pengawas sekolah (penulis) pada siklus 1 kegiatan pembelajaran masih perlu dilakukan penelitian perbaikan pada siklus 2. Setelah dilakukan kegiatan pembelajaran pada siklus 2 telah diperoleh hasil sebagai berikut, mayoritas siswa aktif dan mampu melakonkan bermain peran serta berkomunikasi antara siswa dengan siswa, siswa dan guru sudah terbangun melalui saling bertanya. Dari hasil menjawab soal cerita terutama tentang nilai mata uang yang diberikan guru model diperoleh hasil sebagai berikut, 13 dari 15 siswa dapat menjawab dengan benar dengan hasil prosentasi 84,6%. Setelah dilakukan refleksi antara guru, pengamat dan pengawas sekolah (penulis) pada siklus 2 dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan telah menunjukkan kemajuan dan keberhasilan apabila dibandingkan dengan pelaksanaan pembelajaran pada siklus 1. Perbaikan-perbaikan pembelajaran yang dilakukan pada siklus 2, memberi gambaran bahwa penelitian yang dilakukan penulis telah memperoleh hasil maksimal sesuai yang diharapkan. Bila dilihat siklus 1 dan siklus 2 pada pembelajaran tersebut bahwa kemampuan menjawab pertanyaan dan menyelesaikan soal-soal cerita mempunyai peningkatan sejalan dengan pendapat Bruner (dalam Hudoyo: 2001), perubahan tingkah laku siswa kelas IV SD Minahasa Utara dialami setelah dilaksanakan kegiatan pembelajaran matematika, kompetensi dasar pemecahan masalah yang melibatkan uang, metode bermain peran dapat menyelesaikan soal cerita yang melibatkan nilai mata uang. Ternyata siswa kelas IV SD Negeri Bulo dapat belajar matematika setelah diterapkan metode bermain peran untuk menyelesaikan soal-soal cerita yang melibatkan nilai mata uang. 788
PENUTUP Berdasarkan hasil kajian dalam penelitian tindakan kelas ini, penulis berkesimpulan bahwa: a. kemampuan penguasaan kompetensi dasar memecahkan masalah yang melibatkan uang pada pembelajaran matematika siswa kelas IV SD Negeri Bulo Minahasa Utara mengalami peningkatan setelah dilaksanakan pembelajaran dengan pendekatan metode bermain peran; b. kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal cerita dan menjawab pertanyaan meningkat setelah dilaksanakan pembelajaran dengan pendekatan metode bermain peran. Melalui hasil penelitian tindakan kelas ini penulis menyadari akan segala keterbatasannya dengan harapan bagi para guru, pemerhati pendidikan dan para pembaca semoga dapat melakukan perbaikan pembelajaran matematika maka metode bermain peran dapat digunakan sebagai alternative pada materi-materi tertentu yang sesuai. DAFTAR RUJUKAN Aisyah, dkk 2008. Pengembangan Matematika SD. Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Hudoyo, dkk 2001.Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika.Common Texbook.JICA.Malang : FMIPA UM. Sekolah Dasar. Jakarta : PT Indeks Semiawan, C.R.2002. Belajar dan Pembelajaran dalam Taraf Usia Dini Pendidikan Prasekolah dan Sekolah Dasar. Jakarta: PT Prenhallindo.
PENERAPAN MODEL KOOPERATIVE LEARNING TIPE TWO STAY TWO STRAY (TSTS) UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA DALAM MENEMUKAN RUMUS LUAS TRAPESIUM DI KELAS V SD Siti Sopiah SD Negeri No. 137 Longat Abstrak: Materi luas trapesium adalah pembahasan materi setelah membahas luas persegipanjang. Materi ini sangat penting karena berguna untuk pembahasan penentuan luas bangun datar selanjutnya. Oleh karena itu kita perlu membekali siswa untuk memahami luas trapesium dengan cara siswa diminta untuk menemukan rumus luas trapesium, supaya pemahaman yang diperoleh bertahan lama. Upaya untuk memahami luas trapesium dengan cara menemukan akan dapat dilakukan oleh siswa dengan mudah apabila metode pembelajaran yang dilakukan adalah kooperatif learning model Two Stay Two Stray(TSTS). Kata kunci: Model TSTS, Media pembelajaran, Rumus trapesium.
Masalah yang dihadapi oleh guru selama ini adalah rendahnya pemahaman siswa terhadap materi yang harus dipelajari. Usaha untuk meningkatkan pemahaman siswa dalam mempelajari materi pelajaran, guru perlu kreatif dalam menerapkan strategi pembelajaran, tidak hanya menggunakan metode ceramah saja, tetapi harus dicari metode dan model pembelajaran yang paling sesuai untuk digunakan. Apalagi pada pelajaran matematika, dalam penanaman konsep harus menggunakan media atau alat peraga sehingga pembelajaran menjadi lebih menarik dan bermakna bagi siswa. Pengalaman penulis mengajar di kelas V SD Negeri No.137 Longat untuk mata pelajaran matematika diperoleh gambaran bahwa siswa cenderung diam, pasif dan tidak termotivasi. Sudah banyak upaya yang dilakukan guru untuk membangkitkan motovasi siswa dalam belajar, namun siswa masih cenderung diam dan pasif. Setelah penulis merefleksi diri ditemukan permasalahannya bahwa guru masih sering melaksanakan pembelajaran dengan ceramah kemudian dilanjutkan dengan latihan soal. Dengan model pembelajaran ceramah seperti ini ternyata membuat siswa cenderung diam dan pasif. Oleh karena itu perlu dicari upaya 789
penerapan metode pembelajaran yang dapat meningkatkan motivasi, membuat anak tidak diam dan tidak pasif. Untuk dapat membuat siswa tidak diam, tidak pasif dan memiliki motivasi yang tinggi dalam belajar perlu dipilih metode pembelajaran yang melibatkan interaksi antara satu siswa dengan siswa lain. Oleh karena itu perlu dicari metode mengajar yang membuat siswa kreatif dan inovatif seperti pendapat Subanji. 2013. Siswa akan beljar secara kreatif dan inovatif apabila ada interaksi antar siswa. Interaksi antar siswa akan terjadi kalau siswa dipaksa untuk melakukan diskusi kelompok dan dua orang anggota kelompok diminta untuk menjelaskan ke kelompok lain. Model pembelajaran yang meminta siswa mendiskusikan permasalahan dan kemudian dua anggota klompoknya diminta untuk menjelaskan ke kelompok lain disebut dengan Two Stay Two Stray (TSTS). Menurut Anita (2010:61) model pembelajaran TSTS dikembangkan oleh Spencer kagan pada tahun 1992, teknik ini bisa digunakan pada semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan anak didik. Struktur two stay two stray memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lain. Langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray menurut Anita (2010:62) bahwa penerapan pembelajaran kooperatif tipe two stay two stray ada enam langkah yaitu: (a) persiapan, (b) pembentukan kelompok, (c) diskusi masalah, (d) bertamu ke kelompok lain, (e) berbagi informasi dengan kelompok lain, (f) kembali ke kelompok asal dan mencocokkan hasil kerja. Kelebihan tipe two stay two stray yaitu (1) Terdapat pembagian kerja kelompok yang jelas, (2) Siswa dapat bekerjasama dengan temannya, dan (3) Dapat mengatasi kondisi siswa yang ramai dan susah diatur saat proses belajar mengajar. Kelemahan tipe two stay two stray yaitu memerlukan waktu yang lama jika tidak dapat mengontrol waktu dengan baik dan guru tidak dapat mengetahui kemampuan siswa masing-masing dalam proses memberi dan mencari informasi materi (sebelum postes). Materi geometri untuk topik trapesium adalah materi yang dipandang sulit oleh siswa SD kelas V, karena itu dalam pembelajaran topik trapesium khususnya menentukan luas trapesium perlu dilakukan dengan melibatkan siswa dan diupayakan siswa dapat menemukan sendiri cara menentukan luas trapesium. Berikut akan disampaikan idea atau gagasan untuk membelajarkan menemukan luas trapesium dengan menggunakan metode kooperatif tipe TSTS. Ide penggunaan media menemukan luas trapezium diadopsi dari Utami, Tri Hapsari,Dkk. 2013. Langkah-langkah pembelajaran model TSTS adalah sebagai berikut : a. Siswa dibentuk ke dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 4 orang dalam satu kelompok. b. Guru memberikan tugas kepada masing-masing kelompok disertai pemberian media dan LKK yang dibutuhkan oleh tiap kelompok. Setiap kelompok bekerja berdasarkan LKK yang diberikan oleh guru, yakni sebagai berikut : 1. Ambillah bangun trapesium, lalu perhatikan! Sisi atas disebut a , sisi bawah atau alas disebut b , dan garis yang tegak lurus disebut tinggi (t). a t
b 2. Guntinglah tinggi trapesium tepat di tengah-tengahnya. Sekarang tingginya sudah terbagi a dua ( )
b 3. Gabungkanlah sisi a dengan sisi b dan bentuklah menjadi bangun persegi panjang! 790
a
b
a
b 4. Tuliskanlah rumus luas trapesium berdasarkan rumus luas persegi panjang! 5. Hitunglah luas trapesium dan hitung pula luas persegi panjang! Apakah luas trapesium sama dengan luas persegi panjang? c. Siswa menyelesaikan tugas di kelompok masing-masing dibimbing oleh guru. d. Setelah kegiatan diskusi di kelompok selesai, dua orang dari masing-masing kelompok menjadi tamu di kelompok lain. e. Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan menjelaskan kepada tamu mereka. f. Tamu mohon diri, kembali ke kelompok dan melaporkan temuannya kepada anggota kelompoknya. g. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerjanya. h. Setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya. i. Hasil diskusi dibahas bersama. j. Guru memberikan penguatan atas jawaban siswa. k. Guru bersama siswa menyimpulkan materi pelajaran yang telah dipelajari. l. Guru menekankan kembali tentang rumus luas trapesium. m. Guru memberikan pekerjaan rumah sebanyak tiga soal. KESIMPULAN Dalam belajar luas trapeium pengalaman belajar siswa sangatlah penting. Pengalaman tersebut akan membentuk pemahaman apabila ditunjang dengan media pembelajaran yang sesuai. Media pembelajaran menemukan luas trapesium adalah media yang mudah digunakan oleh siswa dan akan memperoleh pemahaman konsep yang lam karena siswa terlibat langsung dalam pembelajaran. Model TSTS dapat menjadikan siswa berbagi ilmu antara siswa yang pandai kepada siswa yang kurang pandai (sharing). Dengan penerapan model TSTS siswa menjadi lebih aktif dan interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru terjalin dengan baik, DAFTAR RUJUKAN Anita, Sri. Dkk. 2008. Strategi Pembelajaran Di SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang : Universitas Negeri Malang. Utami Tri Hapsari, Askury, Nusantara Toto. 2013. Petunjuk dan Penggunaan Media Pembelajaran Matematika. Malang : Universitas Negeri Malang.
791
PENGGUNAAN METODE DEMONSTRASI UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA TENTANG PENYEDERHANAAN PECAHAN BAGI SISWA KELAS VI SDK TABANG Suryo Widu Elvis Buntaa SDK Tabang SDK Bukit Moria Tule Abstrak: Dari pengamatan penulis membelajarkan pecahan senilai dan menyederhanakan pecahan, ditemui masalah dalam pembelajaran yang harus segera diadakan perbaikannya. Berdasarkan hasil evaluasi pada akhir pembelajaran di kelas terdapat banyak siswa yang tidak mencapai ketuntasan dalam belajar.Berdasarkan hasil pengamatan, penulis mencoba melaksanakan penelitian tindakan kelas yang bertujuan meningkatkan hasil belajar dengan menggunakan metode demonstrasi pada materi menyederhanakan pecahan. Dari siklus I ternyata hasil ulangan yang diperoleh siswa belum mencapai nilai standar minimal angka 6. Maka dengan memperhatikan secara seksama catatan dan diskusi bersama teman sejawat serta, disusunlah rencana perbaikan pada siklus II.Hasil yang dicapai pada siklus ke-II menunjukkan diatas nilai standar minimal yang ditetapkan sekolah. Sehingga dapat dikatakan metode demonstrasi dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada materi menyederhanakan pecahan bagi siswa kelas VI SDK Tabang. Kata kunci: Metode Demonstrasi,Hasil belajar, Pecahan
Berdasarkan pengalaman mengajar selama ini penulis biasanya menggunakan pembelajaran langsung tanpa menggunakan media atau melakukan demonstrasi. Dari hasil pembelajaran siswa sering kali belum mencapai ketuntasan minimal. Menurut Piaget ( Suherman, Erman, 2003) anak usia SD masih berada pada operasi Konkrit. Sehingga dalam mempelajari matematika hendaknya guru menggunakan benda-benda konkrit untuk memahamkan konsep-konsep matematika yang abstrak. Dengan melihat karakter dari siswa yang pendiam, dan penakut penulis belum berani melakukan perubahan kegiatan pembelajaran secara drastis. Penulis ingin siswa lebih tertarik dengan matematika. Salah satu upaya yang penulis lakukan adalah dengan menggunakanmetode demonstrasi. Menurut ( Suherman, Erman, 2003) , metode demonstrasi sejenis dengan metode ceramah dan ekspositori . Kegiatan belajar mengajar berpusat pada guru, akan tetapi pada metode demonstrasi aktivitas siswa lebih banyak dilibatkan. Penyajian bahan ajar yang menarik bagi anak akan sangat mendorong minat anak untuk belajar. Ketertarikan anak akan sesuatu itulah yang menimbulkan rasa ingin mencoba atau berbuat. Slamet (1987;128) mengemukakan bahwa minat adalah rasa suka pada suatu hal atau aktivitas tanpa adanya kesungguhan untuk memperoleh hasil yang baik, bila dia memiliki minat berhitung prestasi belajarnya pasti baik. Berdasarkan fakta yang penulis dapati di sekolah saat melaksanakan observasi, banyak siswa yang mengalami kesulitan (kurang memahami) dalam pembelajaran penyederhanaan pecahan, siswa kurang berminat dalam belajar matematika karena model pembelajaran yang dipakai oleh guru kurang pas dalam menerapkan matematika kepada siswa sekolah dasar. Salah satu model yang memungkinkan bagi anak untuk tertarik dengan bahan ajar pentederhanaan pecahan ialah dengan menggunakan model pembelajaran demonstrasi. Model Demonstrasi merupakan salah satu alternatif dalam pembelajaran matematika, karena dengan model ini, siswa dapat mengamati sendiri dan hal ini membuat siswa lebih mudah memahami bahan ajar. Mulyani Sumantri, Johar Poernama (1998:154) mengemukakan bahwa model Demonstrasi adalah suatu cara penyajian pelajaran dengan memperagakan kepada siswa suatu proses atau situasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari baik dalam bentuk sebenarnya maupun dalam bentuk tiruan yang dipertunjukkan oleh guru yang memahami atau ahli dalam topik bahasan yang harus didemonstrasikan. Susan Santi Arbi, dkk (1993:28) mengemukakan bahwa model demonstrasi, guru memperlihatkan suatu proses atau gejala didepan kelas bukan hanya melalui kata-kata. Disini murid tidak aktif melakukan sendiri tetapi mengamati apa yang dilakukan oleh guru langkah demi langkah. Jadi, model demonstrasi merupakan format interaksi 792
belajar mengajar yang sengaja mempertunjukkan atau memperagakan tindakan, proses, atau prosedur yang dilakukan oleh guru kepada seluruh siswa. Langkah-langkah: 1).Guru menyampaikan Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK); 2). Guru menyajikan gambar sekilas materi yang akan disampaikan; 3). Siapkan bahan atau alat yang diperlukan; 4). Menunjuk salah seorang siswa untuk mendemonstrasikan sesuai skenario yang telah disiapkan; 5). Seluruh siswa memperhatikan demonstrasi dan menganalisa. 6). Tiap siswa atau kelompok mengemukakan hasil analisanya dan juga pengalaman siswa didemonstrasikan. 7).Guru membuat kesimpulan. Berdasarkan hal di atas dirumuskan tujuan penelitian yaitu meningkatkan hasil belajar matematika dengan menggunakan metode demonstrasi untuk materi menyederhanakan pecahan. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan model Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dari Kemmis dan Mc Taggart (dalam Aqib Zainal,dkk 2007: 176), dengan menggunakan empat langkah, yaitu sebagai berikut :1) Perencanaan; 2) Pelaksanaan/Tindakan; 3) Observasi/Pengamatan; 4) Refleksi.Perbaikan Pembelajaran Matematika dilaksanakan di kelas VI SDK Tabang.Pelaksanaan Perbaikan Pembelajaran Matematika (RPP I).Bulan Maret 2012 minggu pertama.Pelaksanaan Perbaikan Pembelajaran Matematika (RPP II) pada bulan Maret minggu ketiga. Penelitian ini dilaksanakan pada siswa kelas VI SDK Tabang, dengan jumlah siswa 15 orang, dengan perincian siswa laki-laki 8 orang dan 7 orang perempuan.Pengumpulan data dengan teknik observasi/pengamatan oleh guru dan pemberian LKS.Setelah melaksanakan observasi dan pengumpulan hasil LKS maka penulis mengambil kesimpulan hasil penelitian telah menunjukkan hasil yang memuaskan. HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus I Perencanaan Tahap ini dilakukan setelah peneliti mengetahui karakteristik siswa dan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Hal-hal yang perlu dilakukan peneliti sebagai berikut: 1) membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan media pembelajaran, instrument penilaian, lembar observasi, Lembar Kegiatan Siswa (LKS) beserta lembar jawabnya, 2) menyiapkan buku panduan untuk siswa. Pelaksanakan Dalam pelaksanaan guru melakukan sesuai dengan langkah-langkah dari metode demonstrasi, sebagai berikut : 1. Guru menjelaskan materi tentang penyederhanaan pecahan 2. Guru mendemonstrasikan bagaimana menyederhanakan pecahan dengan menggunakan alat peraga dari kertas manila 3. Guru melibatkan siswa untuk melakukakan demonstrasi penyederhanaan pecahan dengan menggunakan alat peraga kertas manila. 4. Guru membagikan LKS pada siswa untuk mengetahui kemampuan siswa dalam materi penyederhanaan pecahan. Observasi 1. Pada waktu Guru mendemonstrasikan bagaimana menyederhanakan pecahan dengan menggunakan alat peraga dari kertas manila, semua siswa nampak memperhatikan. 2. Pada waktu siswa dilibatkan melakukan demonstrasi penyederhanaan pecahan dengan menggunakan alat peraga kertas manila siswa nampak senang. Hanya saja masih ada beberapa siswa yang mengalami kebingungan. 3. Pada waktu siswa mengerjakan LKS, beberapa siswa nampak bingung tidak tahu apa yang harus dituliskan. 4. Siswa nampak malu-malu tidak berani bertanya kepada guru. Refleksi Pada tahap ini peneliti merefleksi hal-hal penting yang terjadi dalam proses pembelajaran yang mungkin penyebab ketidak berhasilan siswa dalam menguasai materi. Dari hasil Refleksi pada tahap pertama diketahui walau menggunakan media siswa tidak tahu apa dilakukannya.Guru perlu memberi bimbingan terhadap siswa yang masih kebingungan dengan 793
medianya, sehingga perlu dilanjutkan pada siklus ke dua, dengan menggunakan 4 langkah seperti pada siklus I. Di bawah ini hasil pengolahan data berdasarkan perolehan nilai pada pelajaran Matematika. Dari jumlah 15 orang siswa yang ikut serta dalam pembelajaran matematika, 10 orang yang mencapai nilai standar minimal >6, sedangkan 5 orang siswa yang lain dianggap gagal dalam pembelajaran. Dari hasil pengamatan teman sejawat dan supervisor, pada pembelajaran matematika siklus pertama terdapat 10 siswa yang dapat menjawab pertanyaan denan benar, sedangkan siswa yang lainnya belum ada reaksi walaupun kelihatan ada pemahaman.Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka dibuatlah perbaikan pembelajaran siklus kedua (RP II) dengan pengamat teman sejawat (guru). Siklus II Berdasarkan hasil diskusi dengan teman sejawat dan supervisor, ternyata perbaikan pembelajaran yang dilaksanakan sudah menunjukkan kemajuan.Hal ini terlihat dengan adanya siswa yang mau menjawab pertanyaan dengan mengacungkan tangan, bahkan terlihat ada siswa yang sudah berani mengajukan pada materi yang belum dipahami. Siswa yang bingung dengan medianya didampingi guru. Pada pertemuan siklus ke II pembelajaran Matematika, semua siswa mencapai nilai ketuntasan minimal >6, bahkan ada 7 orang siswa mencapai nilai maksimal angka 9 dalam pembelajaran ini.Dari hasil pengamatan ternyata sudah dapat diatasi permasalahannya yaitu dari 15 siswa kelas VI dapat memahami dan menjawab semua pertanyaan dengan benar (85% berhasil). KESIMPULAN Berdasarkan hasil perbaikan pembelajaran yang telah dilaksanakan selama dua siklus pembelajaran serta hasil pengamatan dari teman sejawat selama proses pembelajaran berlangsung dapat ditarrik kesimpulan sebagai berikut : “ Dengan menggunakan metode demonstrasi hasil belajar siswa pada materi menyederhanakan pecahan meningkat”. DAFTAR RUJUKAN Surakhman, Winarno (2002). Strategi Belajar Mengajar.Jakarta: PT.Bintang Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1985.pedoman EYD, Jakarta: Depdikbud Muliono, Anton, 2004. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka Suherman, Erman, 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung,UPI. Wahyudin,IG. A. K,dkk. (2007). Pemantapan Kemampuan Profesional.(panduan). Jakarta: Universitas Terbuka. Zainul a, Mulyono A. (2004).Tes Dan Asesmen di SD. Jakarta: Universitas Terbuka.
Peningkatan Aktivitas dan Hasil Belajar Matematika pada Materi Sistem Koordinat di Kelas VI SDN 13 Kepahiang Melalui Diskusi Kelompok Suwarni Abstrak: Penelitian dilakukan di Kelas VI SD Negeri 13 Kepahiang melalui penerapan pembelajaran dengan diskusi kelompok. Subyek penelitian adalah siswa Kelas VI SDN 13 Kepahiang semester II tahun pembelajaran 2013/2014 yang berjumlah 20 orang. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini dilaksanakan dalam dua siklus, setiap siklus dilaksanakan sebanyak tiga kali pertemuan. Data penelitian menunjukkan adanya peningkatkan aktifitas dan hasil belajar matematika siswa Aktivitas siswa meningkat dari 51,6% pada siklus I menjadi 83,9% pada siklus II, sedangkan rata-rata hasil belajar pada siklus I sebesar 67,4 dengan 64,5% siswa tuntas, pada siklus II rata hasil belajar menjadi 82,4 dan 87,1% siswa tuntas. Langkah-langkah pembelajaran dengan diskusi kelompok yang dapat meningkatkan aktifitas dan hasil belajar adalah pertama guru memberikan contoh melalui tanya jawab,
794
kemudian memberikan tugas latihan untuk dikerjakan secara berkelompok, hasil kerja kelompok dipresentasikan agar mendapat tanggapan dari kelompok yang lain, diakhiri penguatan dan refleksi. Kata kunci: Diskusi kelompok, Aktivitas, Hasil Belajar
Peningkatan daya serap atau kemampuan pemahaman matematika seorang siswa sangat dipengaruhi oleh pengalaman siswa dalam proses belajar. Sedangkan pembelajaran matematika merupakan usaha membantu siswa mengkonstruksi pengetahuan melalui proses. Bruner menyatakan mengetahui adalah suatu proses, bukan suatu produk. Proses tersebut dimulai dari pengalaman, sehingga siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan yang harus dimiliki (Subanji, 2012:53) Penerapan metode ceramah dalam pembelajaran sebagaimana menjadi kebiasaan umum para guru selama ini menyebabkan siswa cenderung pasif dan keadaan kelas menjadi membosankan. Aktivitas siswa selama proses pembelajaran terbatas pada mendengarkan penjelasan guru, mencatat, kemudian dilanjutkan dengan latihan soal. Hal ini tentunya berkontribusi negatif yaitu rendahnya minat siswa dalam pembelajaran yang akhirnya berdampak pada rendahnya penguasan konsep matematika. Pilar-pilar belajar yang ada dalam kurikulum pendidikan kita adalah belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan disingkat PAKEM (Permendiknas no 22 th 2006). Untuk itu, dalam pembelajaran Matematika harus mampu mengaktifkan siswa dan mengurangi kecenderungan guru untuk mendominasi proses pembelajaran tersebut. Melalui pembelajaran seperti ini diharapkan ada perubahan dalam hal pembelajaran matematika yaitu pembelajaran yang berpusat pada guru diubah menjadi berpusat pada siswa. Guru memilih strategi belajar yang memungkinkan siswa memperoleh pengalaman belajar sehingga indikator kompetensi dalam pembelajaran dapat tercapai. Salah satu pengalaman belajar yang melibatkan siswa secara langsung sehingga dapat membangkitkan aktivitas dalam pembelajaran yaitu dengan pembelajaran melalui diskusi kelompok. Pada diskusi kelompok guru membimbing siswa untuk mendorong berpikir sendiri sehingga dapat menemukan pengetahuan yang diperlukan berdasarkan bahan yang disediakan oleh guru. Peran siswa cukup besar karena pembelajaran tidak lagi terpusat pada guru tetapi pada siswa. Paparan di atas membuat penulis selaku guru matematika di SD N 13 Kepahiang sangat tertarik untuk menerapkan pembelajaran denga diskusi kelompok. Ketertarikan ini didorong pula oleh kerisauan penulis selaku guru atas rendahnya daya serap siswa Kelas VI. Rendahnya daya serap ini kemungkinan besar disebabkan oleh rendahnya keaktifan siswa dalam pembelajaran yang selama ini menggunakan metode ceramah, latihan soal dan PR. Untuk itulah permasalahan ini akan dicoba diatasi dengan penerapan pembelajaran dengan diskusi kelompok khususnya pada materi sistem koordinat. Sehubungan dengan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui langkah-langkah pembelajaran dengan diskusi kelompok yang dapat meningkatkan aktifitas dan hasil belajar matematika siswa kelas VI SD N 13 Kepahiang pada materi sistem koordinat. METODE Penelitian Tindakan Kelas ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 semester I Tahun 2013/2014 pada siswa kelas VI di SDN 13 Kepahiang yang berjumlah 20 orang. Sedangkan yang menjadi objek penelitian ini adalah peningkatan aktivitas dan hasil belajar. Penelitian tindakan ini dilaksanakan dalam 2 (dua) siklus, dan masing masing siklus terdiri dari 3 pertemuan. Untuk mengamati aktifitas siswa saat pembelajaran berlangsung digunakan lembar observasi, sedangkan untuk melihat hasil belajar melalui tugas kelompok berupa soal essay. Hasil belajar dilihat pada setiap akhir pertemuan. Adapun pada setiap akhir siklus diberikan tes hasil belajar untuk mengetahui peningkatan hasil belajar. Penelitian ini dilaksanakan secara kolaboratif oleh 2 orang yaitu peneliti (guru pengajar) dan observer. Tugas observer adalah membantu peneliti dalam mengamati baik aktivitas guru maupun siswa di dalam proses pembelajaran yang berlangsung. Teknik analisis data bersifat deskriptif yang berarti hanya memaparkan data, disusun, dijelaskan, dan akhirnya dianalisis dengan cara mendeskripsikan 795
atau menggambarkan dengan menyajikan untuk setiap siklus. Analisis data dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: reduksi data, paparan data, penyajian data, dan penyimpulan data. Kriteria yang ditetapkan untuk melihat keberhasilan tindakan melalui pembelajaran dengan diskusi kelompok adalah jika rata-rata hasil belajarnya minimal 75 dan banyak siswa yang memenuhi kriteria tersebut sebanyak minimal 75% Adapun tahapan pembelajarannya dimulai dengan menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu menentukan posisi titik pada sistim koordinat, dilanjutkan dengan apersepsi yaitu meminta siswa untuk menentukan suatu bilangan termasuk bilangan positif, nol, atau negatif. Pada tahap kegiatan inti, siswa secara berkelompok mengerjakan tugas dalam LKS, kemudian salah satu kelompok yang dipilih mempresentasikan hasil kerja kelompoknya dan kelompok lainnya memberikan tanggapan. Guru hanya mengarahkan dan memberikan penguatan terhadap temuan atau hasil yang telah diperoleh siswa. Pemberian soal latihan dilakukan agar siswa terampil dalam menggunakan temuannya. Saat menutup pembelajaran, dengan tanya jawab guru menggali tentang hal-hal yang belum dipahami, dan menanyakan perasaan atau kenyamanan siswa ketika belajar. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada siklus I, pembelajaran dimulai dengan mengenal koordinat sebuah benda melalui media gambar karton yang ditempelkan di depan kelas, guru menunjukkan posisi atau koordinat beberapa benda, selanjutnya siswa secara kelompok diminta menentukan koordinat benda-benda lainnya. Kemudian guru memberikan penjelasan arah ke kanan atau ke kiri sepanjang sumbu x disebut absis. Arah ke atas atau ke bawah sepanjang sumbu y disebut ordinat. Absis suatu titik dapat diperoleh dengan menghitung jarak berarah titik tersebut terhadap sumbu y, dan ordinat suatu titik dapat diperoleh dengan menghitung jarak berarah titik tersebut terhadap sumbu x. Jadi koordinat suatu titik adalah (absis, ordinat) atau (x, y). Aktivitas guru pada saat pembelajaran dengan menggunakan diskusi kelompok terbimbing dinilai observer sudah sangat baik, guru sudah sangat maksimal dalam memberikan bimbingan kepada siswa baik secara individu maupun kelompok. Hal yang sedikit masih kurang menurut observer adalah kemampuan guru untuk memancing pikiran siswa untuk membuat kesimpulan. Pada pertemuan pertama, karena siswa belum terbiasa dengan kegiatan pembelajaran dengan diskusi kelompok terbimbing sehingga masih banyak siswa yang pasif selama pembelajaran, tidak berani dalam mengemukakan jawaban dari pertanyaan guru, masih banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam menemukan kesimpulan dari jawaban atas soal-soal yang diberikan guru. Namun, pada pertemuan selanjutnya siswa mulai terbiasa dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan. Siswa mulai aktif dan mulai berani dalam mempresentasikan jawaban. Pemahaman mengenai materi yang diajarkan juga cukup baik. Beberapa siswa sudah mulai bisa menemukan jawaban sendiri atas bimbingan yang intensif dari guru. Nilai tugas siswa yang diberikan sebanyak dua kali mencapai nilai rata-rata sebesar 72,5. Sedangkan nilai tes siklus I mencapai rata-rata 62,5. Oleh karena itu nilai hasil belajar siswa pada siklus I sebesar (2x72,5 + 62,5)/3 = 69,17. Ketuntasan belajar pada siklus I mencapai 65%. Pengamatan terhadap aktifitas belajar siswa menunjukkan 51,6% siswa telah cukup aktif. Kendala-kendala yang dihadapi pada siklus I antara lain: (i) Sebagian siswa masih pasif dan cenderung untuk bermain-main dalam kegiatan belajar mengajar, (ii) Ada beberapa siswa yang belum dapat memahami mengenai materi yang telah dijelaskan oleh guru, (iii) Bentuk kerjasama kelompok masih kurang, masih terdapat beberapa siswa yang bersifat individualistis, (iv) siswa masih ragu-ragu untuk mengemukakan kesimpulan dari jawaban-jawaban mereka. Berdasarkan beberapa kendala yang terjadi pada siklus ini, maka peneliti merencanakan beberapa tindakan perbaikan yang akan dilaksanakan pada siklus kedua, yaitu (i) memusatkan perhatian siswa pada materi yang disampaikan oleh guru, (ii) memotivasi siswa untuk lebih aktif lagi dalam pembelajaran, (iii) memberikan bimbingan yang menyeluruh kepada siswa baik secara individual maupun berkelompok, (iv) menekankan kepada siswa pentingnya bekerjasama dengan kelompoknya masing-masing, (v) memotivasi siswa untuk bertanya mengenai materi yang belum dimengerti, (vi) membuat siswa agar lebih nyaman dengan kegiatan pembelajaran yang dilakukan, (vii) meminta siswa untuk lebih berani lagi dalam mengemukakan pendapatnya. 796
Pembelajaran pada siklus II adalah pembelajaran tentang menggambar bangun datar pada Koordinat Cartesius. Guru meminta siswa menggambarkan titik-titik K(l,1), L(5,1), dan M(3,5) pada koordinat Cartesius, kemudian meminta menghubungkan titik-titik tersebut, gambar apakah yang terbentuk? Dilanjutkan dengan latihan menggambar berbagai bentuk bidang datar pada Koordinat Cartesius. Setelah dilakukan tindakan perbaikan pada pertemuan kedua maka hasil yang diperoleh setelah perbaikan sangat baik, tampak beberapa perubahan yang dialami siswa, yaitu semangat, pemahaman siswa terhadap pelajaran, keberanian siswa mengemukakan pendapat dan keaktifan siswa mengalami peningkatan. Hasil observasi menunjukkan aktivitas siswa semakin meningkat. Dimana pada siklus ini perhatian siswa dalam kegiatan pembelajaran termasuk kategori baik. Sebagian besar siswa sudah mulai berani bertanya tanpa ragu-ragu saat pelajaran berlangsung, maupun dalam mengemukakan jawaban secara lisan. Solidaritas siswa dalam tiaptiap kelompok meningkat, hal ini tampak pada bentuk kerjasama mereka yang aktif selama diskusi berlangsung. Siswa dapat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dengan tepat dan benar. Pengamatan terhadap aktifitas belajar siswa menunjukkan 83,9% siswa telah aktif belajar. Berarti terjadi peningkatan dibanding siklus I. Nilai tugas siswa yang diberikan sebanyak dua kali mencapai nilai rata-rata sebesar 83,5. Sedangkan nilai tes siklus II mencapai rata-rata 78,5. Oleh karena itu nilai hasil belajar siswa pada siklus II sebesar (2x83,5 + 78,5)/3 = 81,8. Ketuntasan belajar pada siklus II mencapai 85%. Dari hasil tersebut yang telah memenuhi kriteria terjadinya peningkatan, maka dapat disimpulkan langkah-langkah pembelajaran pada siklus II telah berhasil meningkatkan aktifitas dan hasil belajar siswa. PENUTUP Pembelajaran dengan diskusi kelompok efektif untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika khususnya pada pokok bahasan sistem koordinat. Adapun langkahlangkahnya adalah pertama guru memberikan contoh melalui tanya jawab, kemudian memberikan tugas latihan untuk dikerjakan secara berkelompok, hasil kerja kelompok dipresentasikan agar mendapat tanggapan dari kelompok yang lain, diakhiri penguatan dan refleksi. DAFTAR RUJUKAN Subanji, 2012. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Kerjasama PT. Pertamina dengan Universitas Negeri Malang Depdiknas, 2006. Permendiknas 2006: Standar Isi. Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional.
PENINGKATAN HASIL BELAJAR SISWA MATERI FPB DAN KPK MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL STUDENTS TEAM ACHIEVEMENTS DIVISION (STAD) DI KELAS IV MIN TANAH GROGOT TAHUN PEMBELAJARAN 2012/2013 Sudarto MIN Tanah Grogat Abstrak: Rendahnya hasil belajar matematika siswa, berkenaan erat dengan metode pembelajaran yang digunakan guru. Dari pengamatan peneliti dalam pembelajaran matematika siswa kelas IV MIN Tanah Grogot, nampak bahwa siswa dalam berlajar cendrung pasif, karena pembelajaran cendrung searah dan berpusat pada guru. Dari hasil bellajar yang dicapai masih dibawah KKM. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka diterapkan metode STAD. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa melalui STAD pada materi pokok FPB dan KPK di kelas IV MIN Tanah Grogot tahun Pembelajaran 2012/2013. Penelitian ini dilakukan di MIN Tanah Grogot Tahun pembelajaran 2012/2013 dengan subjek penelitian siswa kelas IV berjumlah 27 orang. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga sikulus sampai mencapai kriteria keberhasilan yaitu terjadi peningkatan hasil belajar. Kata kunci: Peningkatan hasil belajar, Model STAD, FPB dan KPK
797
PENDAHULUAN Ilmu pengetahuan dan teknologi telah mempercepat banyak hal dalam segala aspek kehidupan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tentunya tidak terlepas dari kemajuan bidang pendidikan. Pelaksanaan pendidikan yang terencana, teratur dan berkesinambungan memberikan manfaat dalam perubahan dan pembaharuan dalam dunia pendidikan. Pendidikan itu sendiri berfungsi membimbing siswa ke arah suatu tujuan yang bernilai tinggi, dan hendaknya apa yang diajarkan nantinya akan dipahami sepenuhnya oleh semua siswa. Matematika memiliki peranan penting dalam kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Diharapkan dengan belajar matematika dapat meningkatkan produktivitas siswa, baik secara kualitas maupun kuantitas. Usaha untuk belajar matematika dengan baik tentunya tidak terlepas dari proses mengajar dan belajar itu sendiri. Berdasarkan hasil pengamatan pembelajaran matematika yang dilaksanakan di kelas IV MIN Tanah Grogot, rendahnya pencapaian hasil belajar matematika siswa berkenaan dengan pembelajaran yang dilakukan di kelas. Guru melakukan pembelajaran dengan cara menjeleskan materi, kemudisn memberi contoh soal dan kemudisn memberikan latihan soal. Dengan cara ini, siswa cendrung pasif dalam belajar. Siswa hanya bisa meniru apa yang dicontohkan oleh guru. Kadangkala, siswa tidak mengerti dengan apa yang dicontohkan guru. Sehingga siswa hanya menghafal prosedur penyelesaian masalah. Apabila siswa diberi soal yang sedikit berbeda dengan contoh yang diberikan, maka kebanyak dari mereka mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya. Akibat dari pembelajaran ini, tentu sudah dapat ditebak, yaitu rendahnya hasil belajar yang dicapai siswa. Seorang guru memiliki peranan penting di dalam proses mengajar dan belajar matematika. Guru harus memiliki kemampuan dalam menyampaikan materi dan menguasai materi dalam pelaksanaan proses mengajar dan belajar tersebut (Ibrahim, 2000). Salah satu upaya dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa adalah menggunakan metode pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mengutamakan adanya kelompok-kelompok serta di dalamnya menekankan kerjasama (Anita, 2007). Tujuan model pembelajaran kooperatif adalah hasil belajar akademik siswa meningkat dan siswa dapat menerima berbagai keragaman dari temannya serta mengembangkan keterampilan sosial. Beberapa tipe pembelajaran adalah tipe Jigsaw, tipe NHT (Number Heads Together), tipe TAI (Team Assited Individualization), dan tipe STAD (Student Teams Achievement Divisions). Peneliti memilih pembelajaran kooperatif tipe STAD karena pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Selain itu, dapat digunakan untuk memberikan pemahaman konsep materi yang sulit kepada siswa dimana materi tersebut telah dipersiapkan oleh guru melalui lembar kerja atau perangkat pembelajaran yang lain. Pembelajaran kooperatif tipe STAD dikembangkan oleh Slavin dkk. Widyantini (2008) memberikan langkah-langkah penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah sebagai berikut. a. Guru menyampaikan materi pembelajaran kepada siswa sesuai kompetensi dasar yang akan dicapai. b. Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individu sehingga akan diperoleh nilai awal kemampuan siswa. c. Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4 – 5 anggota, dimana anggota kelompok mempunyai kemampuan akademik yang berbeda-beda (tinggi, sedang, dan rendah). d. Guru memberikan tugas kepada kelompok berkaitan dengan materi yang telah diberikan, mendiskusikannya secara bersama-sama, saling membantu antaranggota lain, serta membahas jawaban tugas yang diberikan guru. e. Guru memberikan tes/kuis kepada setiap siswa secara individu. f. Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari. g. Guru memberi penghargaan kepada kelompok berdasarkan perolehan nilai peningkatan hasil belajar individual dari nilai awal ke nilai kuis berikutnya. 798
Berdasarkan uraian tersebut penulis terdorong untuk mengungkap tentang metode pembelajaran kooperatif dalam usaha meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IV MIN Tanah Grogot pada materi FPB (Faktor Persekutuan Terbesar) dan KPK (Kelipatan Persekutuan Terkecil). METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakuka adalah Penelitian tindakan kelas. Karena penilitian ini bertujuan untuk memperbaiki pembelajaran, sesuai dengan karakteristik penelitian tindakan kelas. Dalam penelitian ini prosedur penelitian tindakan kelas ini terdiri dari tiga siklus. Tiaptiap siklus dilaksanakan sesuai dengan perubahan yang ingin dicapai. Alur kegiatan penelitian tindakan kelas ini digambarkan sebagai berikut: Permasalahan Terselesaikan
Refleksi
Permasalahan Terselesaikan
Refleksi
Alternatif Pemecahan
Pelaksanaan
(Rencana Tindakan I) Analisis Data Observasi
Alternatif Pemecahan
Siklus I
Pelaksanaan
(Rencana Tindakan II) Analisis Data Observasi
Siklus II
II II
(Sumber: Tim Pelatihan PGSM, 1999)
Belum Terselesaikan
Siklus Selanjutnya
Gambar 3.1. Alur Penelitian Tindakan Kelas
Langkah awal dalam penelitian ini mengidentifikasi berbagai permasalahan dalam proses pembelajaran matematika di Kelas IV MIN Tanah Grogot. Berdasarkan temuan masalah, dilakukan analisis masalah yaitu suatu upaya untuk menemukan akar penyebab masalah. Pelaksanaan tindakan sebagai alternatif pemecahan masalah ditetapkan berdasarkan hasil analisis masalah. Langkah berikutnya adalah melakukan perencanaan tindakan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan antara lain: 1. Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) beserta skenario pembelajaran STAD dengan materi pembelajaran FPB dan KPK. 2. Membuat soal evaluasi untuk dikerjakan di kelas 3. Membuat lembar observasi untuk melihat kondisi belajar mengajar di kelas pada waktu pembelajaran dengan pembelajaran FPB dan KPK. Setelah perencanaan selesaian, kemudian dilakukan tindakan pembelajaran. Pada tahap pelaksanaan tindakan kegiatan yang dilaksanakan adalah melaksanakan skenario pembelajaran yang telah direncanakan. Dalam pelaksanaan tindakan ini, penulis bertindak sebagai guru, sedangkan yang bertindak sebagai observatory adalah guru kelas yang bersangkutan. Penelitian tindakan kelas dilaksanakan dalam 3 siklus dan setiap siklus dilaksanakan dalam tiga pertemuan. Pada pertemuan terakhir pada masing-masing siklus diberi tes hasil belajar. Waktu pertemuan selama 2 jam pelajaran atau 70 menit. Dalam pelaksanaan tindakan dilakukan observasi. Peneliti sebagai guru pengajar melakukan tindakan pembelajaran dengan pembelajaran soal FPB dan KPK, sedangkan untuk mengobservasi tindakan yang sedang dilakukan oleh guru kelas. Aktivitas siswa di dalam kelas diobservasi oleh guru kelas dengan menggunakan lembar observasi. Setelah pelaksanaan tindakan dilakukan refleksi. Refleksi ini bertujuan untuk melihat keberhasilan tindakan yang dilakukan. Pada tahap refleksi, peneliti bersama guru mendiskusikan kembali segala sesuatu yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dan hasil-hasilnya, dengan melihat data hasil observasi setiap siklus apabila terdapat kekurangan maka akan diperbaiki pada siklus berikutnya. Selain itu apakah soal FPB dan KPK dengan pembelajaran kooperatif 799
model STAD dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa? Hasil analisis data yang dilakukan dalam tahap ini digunakan sebagai acuan untuk merencanakan tindakan berikutnya. Penelitian ini dilaksanakan di MIN Tanah Grogot tahun pembelajaran 2012/2013. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa dan guru kelas IV MIN Tanah Grogot. Sedangkan objek penelitian adalah peningkatan hasil belajar siswa kelas IV melalui pembelajaran kooperatif model Students Team Achievement Division (STAD) pada materi FPB dan KPK. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui tes awal (pra tindakan), tugas, tes akhir siklus dan observasi. Tes awal ditetapkan sebagai skor dasar. Tugas berupa tugas individu dan tugas kelompok untuk mengetahui hasil belajar matematika siswa pada setiap siklus. Tugas individu berupa tugas yang dikerjakan di rumah. Sedangkan tugas kelompok berupa lembar kegiatan siswa yang dikerjakan di kelas. Tes hasil belajar tiap akhir siklus untuk mengetahui peningkatan hasil belajar tiap siklus. Bentuk soal pada tes yang diberikan kepada siswa adalah soal uraian. Data yang diperoleh kemudian disusun, dijelaskan dan dianalisis dengan cara menggambarkan atau mendeskripsikan data tersebut ke dalam bentuk yang sederhana. Secara rinci analisis dilakukan dalam tiga tahap: (i) reduksi data. Pada tahap reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan yang diperoleh di lapangan. (ii) Penyajian data; data yang diperoleh melalui observasi dan tes hasil belajar dipaparkan secara lebih sederhana dalam bentuk paparan naratif, yaitu disajikan dalam bentuk tabel dan beri keterangan berupa kalimat sederhana. Untuk mengetahui hasil belajar siswa dapat dilakukan dengan menganalisis data berupa nilai tugas kelompok, nilai tugas individu dan nilai tes pada setiap siklus menggunakan rumus: NK =
Tg 2UH Tg Individu Tg Kelompok dan Tg = 3 2
Keterangan: NK = Nilai hasil belajar siswa dalam setiap siklus UH = Skor tes akhir siswa Tg = Skor tugas Setelah data diperoleh, kemudian diolah secara sistematis dan berdasarkan data tersebut diambil kesimpulan apakah sudah memenuhi kriteria keberhasilan tindakan atau masih belum. Indikator keberhasilan tindakan pada penelitian ini adalah apabila nilai hasil belajar siswa telah mencapai KKM 75 dan aktivitas guru dan siswa dalam katagori baik. Apabila telah mencapai KKM, berati telah terjadi peningkatan hasil belajar siswa. Ibrahim (2000) memberikan tolok ukur untuk peningkatan tugas individu dan kelompok sebagai berikut. Nilai peningkatan individu Tabel 1. Nilai Peningkatan Individu Nilai Tes Nilai Peningkatan Lebih dari 10 poin nilai di bawah skor dasar 0 poin 10 poin di bawah sampai 1 poin di bawah nilai dasar 10 oin Skor dasar sampai 10 poin di atas skor dasar 20 poin Lebih dari 10 poin di atas nilai dasar 30 poin Pekerjaan sempurna 30 poin Tabel 2. Nilai Kelompok Kriteria (nilai rata-rata poin kelompok) 15 ≤ x < 20 20 ≤ x < 25 x > 25
Penghargaan Cukup baik Baik Terbaik
Muhibinsyah (1995) memberikan tolak ukur kuantitas hasil belajar sebagai berikut. Tabel 3. Nilai Peningkatan Hasil Belajar Rata-rata hasil belajar siswa (Nilai kuantitas) Nilai Kuantitas 0 < x ≤ 49 Sangat kurang 49 < x ≤ 59 Kurang 800
59 < x ≤ 69 69 < x ≤ 79 79 < x ≤ 100
Cukup baik Baik Sangat baik
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga siklus (putaran) dimana siklus pertama terdiri atas empat pertemuan, siklus kedua terdiri atas tiga pertemuan dan siklus ketiga terdiri atas tiga pertemuan. Pada pertemuan pertama sampai ketiga untuk siklus pertama, pertemuan pertama sampai kedua untuk siklus kedua dan siklus ketiga dilakukan pembelajaran dengan menerapkan model STAD. Pada akhir setiap siklus, dilakukan evaluasi berbentuk tes tertulis untuk melihat hasil belajar setiap siklus. Secara garis besar, hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah hasil observasi dan hasil belajar. Secara keseluruhan hasil belajar matemátika siswa setelah mendapatkan penerapan model STAD dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Rata-rata Nilai Dasar dan Nilai Akhir Setiap Siklus No Dokumentasi Nilai Nilai Rata-rata 1 Nilai Dasar 60,24 2 Nilai Siklus I 65,71 3 Nilai Siklus II 72,22 4 Nilai Siklus III 75,76 Hasil rekapitulasi observasi yang menunjukkan modus aktivitas guru dan siswa beserta kriterianya pada siklus I, siklus II, dan siklus III disajikan pada tabel 4.2. Tabel 4.2 Modus Aktivitas Siswa dan Guru pada Setiap Siklus Modus Kriteria Pelaksanaan Aktivitas siswa Aktivitas Guru Aktivitas Guru Aktivitas Siswa Siklus I Pertemuan I 3 3 Cukup Cukup Pertemuan II 4 3 Baik Cukup Pertemuan III 3 4 Cukup Baik Siklus II Pertemuan I Pertemuan II
4 3
4 4
Baik Cukup
Baik Baik
Siklus III Pertemuan I Pertemuan II
4 4
4 4
Baik Baik
Baik Baik
B. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian terlihat jelas bahwa data yang dikumpulkan telah memenuhi dan sesuai dengan indikator dan format panduan observasi. Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan STAD pada siklus I terlebih dahulu guru mempelajari tehnik STAD. Hal yang paling penting dalam STAD adalah pembagian kelompok harus heterogen dan bagaimana membuat kelompok menjadi lebih aktif dan saling bekerja sama dengan anggota kelompok. Dalam pembelajaran STAD, siswa belajar melalui kerjasama menyelesaikan persoalan atau tugas materi pembelajaran yang telah mereka peroleh. Hasil penelitian pada setiap siklus secara rinci diuraikan sebagai berikut: 1. Siklus I Dari kondisi hasil belajar ini dapat dianalisis bahwa, ternyata pembelajaran yang berlangsung selama ini hanya berpusat pada penjelasan yang diberikan guru saja dan belum mendekatkan pengajaran dengan kehidupan sehari-hari (pembelajaran konvensional). Sehingga tidak ada muncul kebermaknaan dalam memahami apa yang disampaikan dalam proses pembelajaran. 801
Berdasarkan hasil observasi, aktivitas guru tergolong cukup baik. Guru mampu menyajikan materi dengan cukup yaitu menggunakan bahan pembelajaran yang sesuai dengan kurikulum, merumuskan indikator sesuai dengan materi yang telah dijelaskan, pengorganisasian materi pelajaran dengan memperhatikan respon/tanggapan yang berkembang pada diri siswa. Guru mampu mengorganisasikan siswa untuk belajar aktif dalam seluruh kegiatan pembelajaran, serta memberikan bimbingan diberikan pada anak yang mengalami kesulitan dalam soal latihan. Dengan adanya pembinaan dan bimbingan dari guru sehingga tercipta pengelolaan kelas yang baik. Selain penyajian materi, aktivitas guru dalam membimbing siswa sangat diperlukan dalam pengawasan kelompok karena banyak yang diam dan cerita yang tidak berkaitan dengan materi yang dijadikan bahan diskusi. Aktivitas siswa selama kegitan pembelajaran terlaksana dengan cukup baik. Perhatian siswa diskor baik karena siswa dapat memahami indikator ketercapaian, mencatat atau mendengarkan penjelasan guru, mengumpul informasi dari berbagai sumber, serta memperhatikan penjelasan guru serta bertanya apabila ada penjelasan yang kurang jelas. Partisipasai dan pemahaman siswa diskor baik karena siswa sebagian besar siswa mampu menyelesaikan yang diberikan dengan baik. Sub materi pokok yang digunakan pada siklus ini adalah FPB dan KPK pada mata pelajaran matematika. Untuk memunculkan STAD guru mengkondisikan setiap pertemuan agar siswa dapat berpartisipasi dalam kelompok. Selain itu guru juga menyiapkan rencana pembelajaran, tes formatif siklus, lembar pekerjaan rumah, serta mempersiapkan pedoman observasi. Dari hasil nilai rata-rata siklus I (65,71) belum memenuhi KKM. Dari hasil aktivitas guru, siswa dan nilai hasil belajar siswa dapat disimpulkan bahwa kriteria keberhasilan tindakan belum terpenuhi. Sehingga dilanjutkan pada siklus berikutnya. Beberapa kendala yang dihadapi pada siklus I yaitu siswa belum mengerti bagaimana maksud dari pembagian kelompok sehingga terjadi keributan. Hal ini terjadi karena siswa kurang memahai penjelasan yang disampaikan oleh guru. Selain itu, siswa masih belum pernah dibentuk kelompok dalam belajar di kelas. Sebagian siswa sudah paham maksud dari dibentuknya kelompok untuk memecahkan masalah-masalah berupa soal-soal yang dijawab didalam kelompok. STAD melibatkan kinerja dua belahan otak kanan dan kiri sedangakan tidak semua siswa mampu menggunakan kedua otak tersebut secara bersamaan dalam waktu yang singkat. Cara mengatasi kendala yaitu menjelaskan kembali maksudnya dibentuk kelompokkelompok yang beranggotakan 5 siswa. Serta dijelaskan bahwa dalam kelompok terdapat siswa yang berbeda antara siswa satu dengan yang lainnya karena pemikiran dan kreatifitasnya. Serta memotivasi siswa untuk tetap bergabung dalam kelompok dengan demikian siswa terbiasa. 2. Siklus II Aktivitas guru pada siklus II tergolong cukup baik. Guru mampu menyajikan materi dengan baik yaitu menggunakan bahan pembelajaran sesuai dengan kurikulum, merumuskan indikator sesuai dengan materi pelajaran dengan memperhatikan respon/tanggapan yang berkembang pada diri siswa, serta menyampaikan materi pelajaran dengan tepat dan jelas dan memberikan kesempatan bertanya pada siswa. Pada saat pembelajaran berlangsung guru telah mampu mengorientasikan siswa untuk mengerjakan soal-soal dalam LKS serta memotivasi siswa untuk tetap dalam kelompok. Dengan STAD dapat membuat siswa mulai mengalami peningkatan dan sudah bervariasi. Hal tersebut tentu saja akan mempengaruhi hasil belajar matematika siswa. Aktivitas siswa dalam pembelajaran tergolong baik karena dapat memahami indikator ketercapaian, mendengarkan penjelasan dan pengarahan dari guru serta memecahkan soal-soal latihan dalam kelompok. Siswa mulai terbiasa menggunakan metode STAD dalam pembelajaran materi walaupun tidak dirahkan lagi. Siswa sudah mampu menampilkan kreasinya pada kelompok tentu saja sangat bermanfaat dalam pembelajaran. Sub materi pokok yang digunakan pada siklus ini adalah FPB dan KPK pada mata pelajaran matematika. Sama hal yang dilakukan pada siklus I guru mengkondisikan setiap pertemuan kepada siswa. Selain itu guru juga menyiapkan rencana pembelajaran, tes formatif siklus, lembar tugas, mempersiapkan pedoman observasi serta lebih memperhatiakan dalam pengelolaan kelas agar kegiatan pembelajaran berlangsung dapat lebih ditingkatkan pada siklus II ini. Kendala yang dihadapi pad siklus II ini tidak begitu berarti kerana dapat diatasi dengan baik. Pelaksanaan pembelajaran siklus II mengalami perubahan menjadi lebih baik jika 802
dibandingkan dengan siklus I. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan rata-rata skor tes hasil belajar dari rata-rata skor tes hasil belajar siklus I sebesar 65,71 naik menjadi 72,22. Tetapi hasil belajar siswa ini belum memenuhi KKM 75. Secara keseluruhan siswa sudah mengalami kemajuan dan lebih bersemangat dalam belajar karena dalam kelompok siswa bisa menampilkan kreasi dan membuat penyelesaian dengan sendiri yang lebih dimengerti atau sesuai dengan kemampuan siswa mencerna kata-kata yang disampaikan oleh guru sehingga siswa lebih mudah mengingat materi yang diterima dari guru. Dari hasil aktivitas guru, siswa, dan hasil belajar siswa, maka tindakan yang dilaksanan belum dikategorikan berhasil walaupun sudah mengalami perbaikan. Oleh karena itu dilaksanakan tindakan pada siklus berikutnya. 3. Siklus III Aktivitas guru pada siklus II tergolong baik. Guru mampu menyajikan materi dengan baik, yaitu menggunakan bahan pambelajaran sesuai denagn kurikulum, merumuskan indikator sesuai dengan materi yang telah dijelaskan, pengorganisasian materi pelajaran dengan tepat dan jelas dan memberikan kesempatan bertanya pada siswa. Pada saat pembelajaran berlangsung guru mampu mengorientasikan siswa untuk mengerjaknan soal-soal LKS serta memotivasi siswa untuk tetap dalam kelompok. Aktivitas siswa dalam pembelajaran tergolong baik karena dapat memahami indikator ketercapaian, mendengarkan penjelasan dan pengarahan dari guru untuk memecahkan soal-soal latihan dalam kelompok. Dengan STAD membuat siswa semakin baik dan bervariasi dalam kelompok. Hal ini mempengaruhi hasil belajar siswa yang semakin meningkat. Siswa sudah terbiasa menggunakan STAD dan merasakan manfaatnya. Siswa tidak memerlukan waktu yang banyak dalam mempelajari buku meraka saat tiba waktu ujian. STAD yang membuat siswa dapat memecahkan soal-soal dengan sendiri dengan menggunakan kata-kata sendiri. Pelaksanaan pembelajaran siklus III mengalami peningkatan yang baik jika dibandingkan dengan siklus II. Hal ini berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Rata-rata skor tes dan rata-rata skor hasil akhir hasil belajar siswa mengalami peningkatan. Terjadi peningkatan rata-rata skor tes hasil belajar dari rata-rata skor tes siklus II sebesar 72,22 naik menjadi 75,76. Hasil ini telah memenuhi KKM. Hasil belajar siswa sudah maksimal dan materi FPB dan KPK sudah selesai serta siswa sudah terbiasa dalam pemecahan soal-soal dalam kelompok yang lebih menarik dan bervariasi sehingga peneliti bersama obsevator memutuskan untuk menghentikan pembelajaran sampai siklus III. Peningkatan hasil belajar menggunakan metode STAD ini sesuai dengan yang telah dilakukan Fitriyah (2011). KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa proses penerapan pembelajaran STAD dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa. Pada siklus I dilaksanakan pembelajaran STAD dari nilai dasar sebesar 60,24 menjadi 65,71. Pembelajaran STAD yang dilakukan pada siklus I sudah cukup baik dan membuat siswa menyukai materi yang diajarkan. Pada siklus II terjadi peningkatan yang signifikan yaitu rata-rata hasil belajar matematika siswa meningkat dari nilai hasil belajar siklus I sebesar 65,71 menjadi 72,22. Pada siklus II ini dilakukan memiliki kriteria baik dan membuat proses pembelajaran matematika lebih bermakna. Selanjutnya, pada siklus III dilaksanakan kembali dengan kriteria yang baik namun dengan pengelolaan kelas yang baik oleh peneliti sebagai guru sehingga siswa dapat benar-benar aktif dan saling bekerja sama dan menanyakan yang kurang dimengertinya pada saat proses pembelajaran berlangsung. Nilai hasil belajar matematika siswa meningkat dari hasil belajar siklus II sebesar 72,22 menjadi 75,76 dan telah mencapai standar ketuntasan minimal yang ditetapkan oleh sekolah yaitu 75,00. Hasil penelitian yang menunjukan peningkatan hasil belajar matematika siswa melalui diskusi dengan menggunakan metode STAD tidak lepas dari kontribusi yang baik antara guru dan siswa. Karena guru sebagai motivator sehingga memotivasi siswa agar tetap menggunakan kelompok dalam penyelesaian soal-soal dan siswa menerima dengan baik motivasi yang diberikan guru karena sudah merasakan manfaatnya, sehingga peningkatan hasil belajar siswa selalu terjadi setiap siklusnya dan menunjukkan hasil yang maksimal. 803
B. Saran 1. Bagi guru : Guru matematika, terutama sebagai informasi tentang alternative pembelajaran untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. 2. Bagi pengembang atau penyusun kurikulum, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi dalam merencanakan kurikulum matematika SD. 3. Bagi siswa: dalam mempelajari suatu materi perhatikan urutan–urutan pokok bahasan agar lebih mudah mengerti dalam penguasaan suatu materi pada setiap pokok bahasan dan diharapkan dapat saling meningkatkan kerja sama dalam proses pembelajaran yang sedang berlangsung. DAFTAR RUJUKAN Anita Lie. 2007. Cooperative Learning. Jakarta: Grasindo. Ibrahim, M. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya : University Press. Fitriyah, C. 2011. Penerapan Metode Student Team Achievement Division (STAD) dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Pokok Bahasan Geometri Siswa Kelas V A Madrasah Ibtidaiyah Sunan Kalijogo Karangbesuki Malang. Skripsi, Jurusan Pendidikan Guru madrash Ibtidaiyah, Fakultas Tarbiyah, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Muhibinsyah. 1995. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Kanisius.
PENGGUNAAN METODE RESITASI UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS, DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA DI SDN 029 PENAJAM Tri Sunarsih SDN 029 Penajam Kabupaten Penajam Paser utara Abstraks: Kecenderungan rendahnya hasil belajar siswa dalam mata pelajaran matematika, khususnya di Sekolah Dasar juga terjadi di SDN 029 Penajam Paser Utara. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari. Selain itu dari hasil pengamatan pada pembelajaran, siswa cenderung pasif dan bersifat individu dalam belajar. Hal ini dikarenakan pembelajaran yang dilakukan guru cenderung monoton dan searah. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah di atas, dilakukan pembelajaran dengan metode resitasi. Dengan pembelajarn ini, Setelah dilakukan penjelasan materi, siswa diberi tugas untuk bekerja secara kelompok dan mempresentasikan hasil pekerjaannya di depan kelas. Dari hasil pembelajaran yang dilakukan diperoleh hasil bahwa metode resitasi dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika. Tetapi ketidakmandirian atau ketidakjujuran siswa dalam melaksanakan tugas yang diberikan masih perlu menjadi perhatian guru. Kata kunci:
Metode Resitasi, Aktivitas, Kerjasama, Hasil Belajar
Pendidik adalah sosok pekerja profesional yang sangat menentukan keberhasilan pembelajaran. Tenaga pendidik yang professional akan terukur dari sejauh mana dia menguasai kelas yang diasuhnya dan mampu mengantarkan peserta didiknya mencapai hasil belajar yang optimal. Sardiyo dan Pannen (2005), mengatakan bahwa dalam pandangan psikologi belajar, keberhasilan belajar itu lebih banyak ditentukan oleh tenaga pengajarnya. Hal ini terjadi karena tenaga pengajar selain sebagai orang yang berperan dalam proses belajar-mengajar, juga memandu segenap proses pembelajaran. Ditangan guru sebuah peristiwa belajar dapat berlangsung dan pembelajaran diarahkan dengan baik. Seorang pemikir pendidikan bernama Gagne (1989) berpendapat bahwa justru aspekaspek ini yang menjadi entry point bagi keberhasilan sebuah pembelajaran. Hasil belajar (achievement/performance) yang optimal sangat ditentukan dari kompetensi dan profesionalitas seorang guru di kelas. Indikasi sederhana kompetensi dan profesionalitas ini dapat dilihat dari kesiapan dan kematangan seorang guru di kelas dan tanggung jawabnya dalam menunaikan 804
tugas profesi. Guru memegang peranan yang sangat menentukan bagi keberhasilan pembelajaran di kelas. Cooper (1990) mengidentifikasi sepuluh jenis kecakapan yang menjadi persyaratan dasar jika seorang akan berdiri di depan kelas. Pertama, guru harus dapat berperan sebagai pembuat keputusan. Kedua, guru harus dapat bertindak sebagai perencana pembelajaran. Ketiga, guru harus berperan sebagai penentu tujuan pembelajaran. Keempat, guru harus memiliki kecakapan menyampaikan pelajaran. Kelima, guru harus cakap bertanya untuk mendinamikakan kelas. Keenam, guru harus memahami konsep pengajaran dan pembelajaran. Ketujuh, guru harus cakap berkomunikasi. Kedelapan, guru harus mampu mengendalikan kelas. Kesembilan, guru harus dapat mengakomodir seluruh kebutuhan peserta belajar. Kesepuluh, guru harus dapat melakukan evaluasi. Dewasa ini sudah banyak dikenal bermacam-macam "metode mengajar" dan setiap metode ada kelebihan-kelebihannya, tetapi ada pula kelemahan-kelemahannya. Lagi pula setiap jenis bahan pelajaran dan setiap tingkatan umur memerlukan metode tertentu yang sesuai. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan metode mengajar ialah harus selalu bervariasi. Hal ini untuk menghilangkan sifat "monoton" di dalam kelas, yang pada hakekatnya menimbulkan kebosanan. Guru harus selalu mencoba metode-metode, teknik-teknik baru agar supaya dapat menemukan hasil yang lebih baik. Dengan penguasaan metode-metode mengajar, selalu mengadakan variasi di dalam penggunaan teknik-teknik penyajian serta selalu mencoba metode-metode dan teknik-teknik baru, maka guru ini akan efektif, sukses serta memuaskan. Bukan saja guru yang puas dengan tugasnya, tetapi lebih-lebih adalah anak didiknya, karena merasa berhasil dan memenuhi keinginan belajar, dan hasrat ingin tahu anak. Menurut Suparman (1997), di dalam strategi pembelajaran terkandung empat pengertian sebagai berikut: 1. Urutan pelaksanaan pembelajaran, yaitu urutan kegiatan pengajar dalam menyampaikan muatan pelajaran kepada anak didik. 2. Metode pembelajaran, yaitu cara yang dilakukan oleh pendidik dalam mengorganisasikan materi pelajaran dan anak didik yang memungkinkan terjadinya suatu proses belajar secara kondusif. 3. Media pembelajaran, yaitu peralatan dan bahan pembelajaran yang digunakan pendidik dan anak didik dalam kegiatan pembelajaran. 4. Waktu yang digunakan oleh pendidik dan anak didik dalam menyelesaikan setiap langkah dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian, strategi pembelajaran merupakan perpaduan urutan kegiatan, metode pembelajaran yaitu pengorganisasian materi pelajaran dan anak didik, media (peralatan dan bahan ajar), serta waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditentukan. Dengan kata lain, strategi pembelajaran dapat pula disebut sebagai prosedur yang sistematik dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada anak didik untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Rumusan strategi pembelajaran tidak hanya sekadar urutan kegiatan dan metode pembelajaran saja. Di dalam terkandung pula media pembelajaran dan alokasi waktu untuk setiap langkah kegiatan tersebut. Dari salah satu komponen strategi pembelajaran adalah metode pembelajaran. Menurut Nana Sudjana (2005) “Metode pembelajaran ialah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran”. Sedangkan menurut Daryanto (2009) metode pembelajaran merupakan cara pembentukan atau pemantapan pengertian siswa terhadap suatu penyajian bahan ajar. Metode pembelajaran merupakan bagian inti instruksional, metode pembelajaran mempunyai fungsi sebagai cara menyajikan, menguraikan materi, memberi contoh dan memberi latihan kepada siswa untuk mencapai tujuan tertentu. Dari uraian di atas metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara atau strategi yang digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Salah satu metode pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika adalah metode resitasi atau pemberian tugas. Menurut Syaiful Bahri dan Aswan Zain (2006) metode resitasi (penugasan) adalah metode penyajian dimana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Pendapat lain diberikan oleh Mulyasa (2007), bahwa metode resitasi atau metode penugasan merupakan cara penyajian bahan pelajaran, dimana guru memberikan seperangkat tugas yang harus dikerjakan siswa, baik secara individual 805
maupun secara kelompok. Dari kedua pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa metode resitasi adalah metode pembelajaran dimana dalam kegiatan pembelajaran terdapat seperangkat tugas yang harus dikerjakan secara individu atau kelompok dan hasilnya harus dipertanggung jawabkan kepada guru yang meberi tugas. Dengan demikian dalam metode resitasi terdiri atas tiga tahap, yaitu guru memberi tugas, siswa mengerjakan tugas, dan siswa mempertanggung jawabkan pekerjaannya. Metode pemberian tugas atau resitasi diduga mampu meningkatkan aktivitas siswa, kerja sama, dan hasil belajar siswa. Menurut Syaiful Bahri dan Aswan Zain (2006 ) menyebutkan bahwa: 1) Kelebihan Metode Resitasi a) Lebih merangsang siswa dalam melakukan aktivitas belajar individual maupun kelompok. b) Dapat mengembangkan kemandirian siswa di luar pengawasan guru. c) Dapat membina tanggung jawab dan disiplin siswa. d) Dapat mengembangkan kreativitas siswa. 2) Kelemahan Metode Resitasi a) Siswa sulit dikontrol, apa benar ia mengerjakan tugas atau orang lain. b) Khusus untuk tugas kelompok, tidak jarang yang mengerjakannya dan menyelesaikannya adalah anak tertentu saja, sedangkan anggota lainnya tidak berpartisipasi dengan baik. c) Tidak mudah memberikan tugas yang sesuai dengan perbedaan individu siswa. d) Sering memberikan tugas yang monoton (tidak bervariasi) dapat menimbulkan kebosanan siswa. Dalam pelaksanaan metode resitasi, diharapkan apabila guru memberikan tugas pada siswa, maka guru harus mencek apakah sudah dikerjakan atau belum. Kemudian perlu dievaluasi karena akan memberikan motivasi belajar siswa. Tugas dapat juga berupa perintah, kemudian siswa mempelajari bersama teman atau sendiri dan menyusun laporan. Penggunaan metode pembelajaran yang tidak tepat dapat mempengaruhi aktivitas, hasil pemahaman dan nilai hasil belajar siswa. Hal ini tersebut terjadi dalam pembelajaran matemamatika pada pokok bahasan Operasi Hitung Bilangan Pecahan di SDN 029 Panajam. Nilai rata-rata hasil belajar siswa hanya mencapai 63,71. Nilai rata-rata siswa tersebut masih belum memuaskan guru. Menanggapi permasalah di atas maka penulis selaku guru Matematika di SD Negeri 029 Penajam ingin menerapkan pembelajaran menggunakan metode resitasi untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dengan penelitian Tindakan Kelas, sebab tujuan penelitian ini adalah untuk menyelesaian masalah pembelajaran yang dialami di kelas. Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa siklus dengan kriteria keberhasilan siklus adalah rata-rata keaktifan siswa dalam kategori baik, dan 85% siswa mencapai ketuntasan. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas VI SDN 029 Panajam Paser Utara. HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan metode resitasi ini dilakukan pada siswa kelas VI, pada pokok bahasan “Operasi Hitung Bilangan Pecahan” di mana siswa dibimbing guru melalui materi pembelajaran dengan metode yang sudah disiapkan. Kemudian setelah pembelajaran selesai siswa akan diberi tugas yang akan dikerjakan secara berkelompok dan perorangan tergantung pada tugas yang akan diberikan oleh guru. Selanjutnya guru mengadakan evaluasi, apakah dalam pembelajaran terjadi perubahan yaitu peningkatan hasil belajar. Pembelajaran dilaksanakan dalam 3 pertemuan. Soal yang diteskan adalah soal yang berbentuk uraian sebanyak 5 soal essay, tujuannya untuk mengetahui hasil belajar siswa terhadap materi yang telah disampaikan oleh guru. Hasil observasi awal menunjukkan bahwa keaktifan siswa dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran sebelumnya masih kurang. Hal ini dapat terlihat dari nilai rata-rata hasil belajar pada pokok bahasan tersebut sebesar 61,37. Sehingga nilai rata-rata hasil belajar siswa belum memuaskan guru. Begitu juga pada motivasi siswa untuk belajar masih kurang. Oleh sebab itu dilaksanakan pembelajaran dengan metode resitasi pada pokok bahasan Pengerjaan Hitung Bilangan Pecahan. Berikut merupakan hasil observasi yang dilakukan oleh teman sejawat pada 806
pertemuan pertama. Tabel 1. Pengamatan pertemuan 1 Aspek pengamatan 1. Aktivitas siswa Perhatian siswa Partisipasi siswa Pemahaman siswa Kreativitas siswa 2. Aktivitas Guru Penyajian materi Menyajikan contoh Memotivasi siswa Membimbing siswa Mengelola kelas
Pertemuan I 1 2
2 2 2 2 2 3 3 2 2
Rata-rata
Keterangan
3 3 3 3
2,5 2,5 2,5 2,5
Cukup Cukup Cukup Baik
3 3 3 3 3
3 3 2,5 2,5 3
Baik Baik Cukup Cukup Baik
Rata-rata
Keterangan.
Tabel 2. Pengamatan Pertemuan 2 Aspek pengamatan 1. Aktivitas siswa Perhatian siswa Partisipasi siswa Pemahaman siswa Kreativitas siswa 2. Aktivitas Guru Penyajian materi Menyajikan contoh Memotivasi siswa Membimbing siswa Mengelola kelas
Pertemuan 2 1 2 3 3 3 3
4 4 3 4
3,5 3,5 3 3,5
Baik Baik Baik Baik
4 3 3 3 4
4 4 3 3 3
4 3,5 3 3 3,5
Baik Baik Baik Baik Baik
Rata-rata
Keterangan
Tabel 3. Pengamatan Pertemuan 3 Aspek pengamatan 1. Aktivitas siswa Perhatian siswa Partisipasi siswa Pemahaman siswa Kreativitas siswa 2. Aktivitas Guru Penyajian materi Menyajikan contoh Memotivasi siswa Membimbing siswa Mengelola kelas
Pertemuan 3 1 2 4 4 3 4
4 3 3 3
4 3,3 3 3,3
Baik Baik Baik Baik
4 4 3 4 4
4 3 4 4 4
4 3,3 3,3 3 4
Baik Baik Baik Baik Baik
Hasil observasi di kelas pada setiap proses pembelajaran berlangsung, menunjukkan terjadinya peningkatan keaktifan siswa baik secara perorangan maupun dalam berkelompok. Dalam hal ini aktivitas siswa dinilai baik sejak pertemuan kedua. Sedangkan hasil belajar siswa I yang mengalami ketuntasan adalah 43,75% untuk pertemuan pertama, 65,65 % pada pertemuan kedua, dan 87,5% pada pertemua ketiga. Dari hasil ini maka criteria keberhasilan dicapai pada pertemuan ketiga. Secara detail hasil penelitian ini dipaparkan sebagai berikut. Pada pertemuan 1, hasil pengamatan menunjukkan sebagian besar siswa sudah mampu menyederhanakan dan mengurutkan pecahan, aktivitas siswa mengalami peningkatan pada saat proses pembelajaran di dalam kelas maupun pada saat kerja kelompok dari pertemuan sebelumnya maupun pada proses pembelajaran sebelumnya, penjelasan yang diberikan sudah 807
bisa diterima oleh siswa, kerjasama antar kelompok masih kurang, masih ada siswa yang suka membuat keributan di dalam kelas maupun pada saat belajar kelompok, sebagian besar siswa masih takut untuk bertanya mengenai materi yang belum dimengerti. Hasil tes belum memenuhi standar ketuntasan belajar yang telah disepakati yaitu sebesar 85% karena persentase ketuntasan belajar siswa secara keseluruhan pada siklus I adalah 43,75%, sehingga dilakukan perbaikan untuk pembelajaran berikutnya. Beberapa aspek yang perlu diperbaiki dalam pembelajaran berikutnya adalah memusatkan perhatian pada siswa yang suka membuat keributan, memotivasi siswa untuk lebih aktif lagi dalam pembelajaran khususnya dalam kegiatan pada kelompoknya, menekankan kepada siswa agar tidak ribut dan tetap bekerjasama dengan kelompoknya masing-masing, memotivasi siswa untuk bertanya mengenai materi yang belum dimengerti. Pada pertemuan 2 dengan pokok bahasan Mengubah Bentuk Pecahan dan Menentukan Nilai Pecahan. Kegiatan yang dilakukan guru adalah memusatkan perhatian siswa pada materi dengan menyajikan materi yang lebih menarik dari sebelumnya, memberikan bimbingan yang menyeluruh kepada siswa baik secara individual maupun kelompok, menekankan kepada siswa untuk bekerjasama dalam kelompoknya untuk meningkatkan hasil belajar. Pada pertemuan ini, siswa memperhatikan, mencatat, dan mendengarkan penjelasan guru dengan baik. Guru terus mendorong siswa untuk lebih aktif baik dalam melakukan tugas baik yang diberikan secara perorangan maupun secara berkelompok berdasarkan metode resitasi. Untuk meningkatkan pemahaman siswa, maka guru memberikan banyak contoh soal dengan penjelasan yang rinci. Guru memberikan tuntunan agar interaksi siswa dengan siswa ataupun siswa dengan guru terpelihara dengan baik. Hasil yang dicapai pada siklus ini cukup memuaskan, yakni dengan nilai hasil tes rata-rata kelas adalah 65,63%. Meskipun hasil yang dicapai cukup memuaskan, namun masih terdapat beberapa siswa yang bersifat pasif, dan belum memahami materi. Masih ada beberapa siswa yang bersifat individual, bahkan siswa yang mampu kurang memperhatikan teman sekelompoknya yang berkemampuan rendah. Untuk menangani masalah ini maka guru perlu menyadarkan siswa pentingnya kerjasama kelompok, karena selain dapat meningkatkan solidaritas, kerjasama kelompok juga mempengaruhi nilai akhir mereka. Hasil pengamatan juga menunjukkan penjelasan yang diberikan sudah dapat diterima oleh siswa, siswa sudah tidak malu-malu lagi dalam bertukaran informasi dan siswa terlihat lebih semangat, siswa sudah mampu mengubah bentuk desimal menjadi bentuk bilangan pecahan walaupun masih terlihat beberapa siswa yang masih bingung mengkonversi bilangan bentuk desimal ke bentuk pecahan. Oleh karena itu, guru dan teman sekelompok yang memberikan bantuan penjelasan pada langkah-langkah yang masih dibingungkan oleh siswa tersebut. Siswa mampu membimbing siswa lain pada kelompoknya yang belum mengerti terhadap materi yang telah disampaikan oleh guru. Walaupun terjadi peningkatan nilai hasil belajar siswa tetapi persentase ketuntasan belajar siswa belum mencapai harapan yakni 85% sehingga perlu perbaikan proses pembelajaran untuk agar proses pembelajaran dan hasil belajar meningkat. Pada pertemuan 3 dengan materi operasi Hitung Bilangan Pecahan dan Memecahkan Masalah Perbandingan dan Skala. Hasil observasi selama proses pembelajaran berlangsung pada siklus ketiga ini, adalah aktivitas siswa semakin meningkat. Pada siklus ini perhatian siswa dalam kegiatan pembelajaran termasuk kategori baik. Indikator kategori ini dapat dilihat dari aktivitas siswa saat pembelajaran yang mulai berani bertanya tanpa ragu-ragu saat pelajaran berlangsung. Solidaritas siswa dalam tiap-tiap kelompok meningkat hal ini tampak pada bentuk kerjasama mereka yang aktif selama pemberian tugas kelompok berlangsung. Tingkat pemahaman siswapun meningkat, mereka dapat mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dengan tepat dan benar. Hasil belajar yang dicapai dalam siklus ini memuaskan yakni nilai ratarata kelas adalah 71,56. Pada siklus ini pencapaian hasil belajar telah diperoleh dengan nilai yang memuaskan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian metode resitasi pada mata pelajaran Matematika telah dapat meningkatkan partisipasi, kemampuan bekerjasama dan hasil belajar siswa. Dari keseluruhan pembelajaran yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan siswa mampu meningkatkan aktivitas belajarnya sehingga dapat meningkatkan hasil belajar materi yang diajarkan oleh guru, sebagian besar siswa sudah mampu memahami materi pelajaran yang disampaikan oleh guru pada stiap siklus. Hal ini dapat dilihat dari persentase ketuntasan siswa 808
pada pembelajaran yang ke 3 dimana persentase ketuntasan belajar siswa mencapai 87,5%. Peningkatan aktivitas siswa dalam belajar yang dihasilkan dalam penelitian ini sesuai dengan kelebihan dari metoe resitasi sebagaimana dijelaskan oleh Syaiful Bahri dan Aswan Zain (2006). Sedangkan peningkatan hasil belajar siswa ini sesuai dengan apa yang diteliti oleh Siti Masruroh (2006) dimana penggunaan tugas dan resitasi berpengaruh secra signifikan terhadap hasil belajar matematika siswa kelas 2 Semester 2 pokok bahasan sistem persamaan linear dua variabel SMP Islam Sultan Agung I Semarang Tahun Pelajaran 2005/2006”. Meskipun demikian, dari hasil pengamatan masih menunjukkan hal-hal yang perlu diperhatikan guru dalam pembelajaran, yaitu: terkadang anak didik melakukan penipuan dimana anak didik hanya meniru hasil pekerjaan temannya tanpa mau bersusah payah mengerjakan sendiri, terkadang tugas dikerjakan oleh orang lain tanpa pengawasan, sukar memberikan tugas yang memenuhi perbedaan individual. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian ini, maka diperoleh kesimpulan bahwa penggunaan metode resitasi dalam pembelajaran matematika dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa SDN029 Panajam Paser Utara. Selain itu siswa lebih meningkat dalam bekerjasama dalam menyelesaikan tugas. Disamping metode resitasi mampu mengatasi permasalahan pembelajaran, tetapi ada hal-hal yang perlu diperhatikan dalam metode ini yakni masih ditemukan siswa yang belum bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya sendiri. DAFTAR RUJUKAN Cooper, M. James.(ED). 1990. Classroom Teaching Skill. USA : Healt and Company. Daryanto. (2009). Panduan Proses Pembelajaran Kreatif & Inovatif . Jakarta: Publisher. Gagnee, R.M. 1989. Essentials Learning For Instruction. The Dryden press. Ilinois. Masruroh, S . 2006. Pengaruh Penggunaan Tugas Dan Resitasi Terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas 2 Semester 2 Pokok Bahasan Sistem Persamaan Linear Dua Variabel Smp Islam Sultan Agung I Semarang Tahun Pelajaran 2005/2006, Skripsi Jurusan Matematika Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang 2006. Mulyasa. E. 2007. Menjadi Guru Profesional (Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan) Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Nana Sudjana. (2005). Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar . Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sardiyo dan Pannen. 2005. Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Suparman, A. (ed.). 1997. Model-Model Pembelajaran Interaktif. Jakarta: STIA LAN Press. Djamarah, S.B dan Zain, A (2006). Strategi belajar mengajar (Edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta
PENGGUNAAN PENDEKATAN PEMBELAJARAN REALISTIK UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN SISWA MENGURUTKAN BILANGAN DI KELAS I SDN 2 MEKARSARI KEC. GUNUNGSARI KAB. LOMBOK BARAT NTB TAHUN PELAJARAN 2012/2013 Muhadjirin Danial Abstraks: Dari hasil observasi kelas dan refleksi guru, diperoleh kenyataan bahwa siswa kelas I SDN 2 Mekarsari belum memahami pokok bahasan mengurutkan bilangan. Penyebab kurangnya pemahaman siswa diantaranya selama proses belajar mengajar berlangsung banyak siswa yang malas, tidak senang belajar, apabila siswa ditanya ada saja alasan yang mereka kemukakan untuk menghindari pertanyaan tersebut, atau siswa tidak peduli akan pentingnya pengetahuan mengurutkan bilangan dan sebagainya. Dalam hal ini
809
faktor yang sangat mempengaruhi adalah guru. Dimana, profesionalisme guru yang kurang berkembang sehingga pembelajaran didominasi dengan belajar menghafal fakta atau prosedur-prosedur yang akibatnya motivasi belajar siswa sulit di tumbuhkan karena pola pembelajaran cenderung menghafal sehingga berdampak minimnya pemahaman siswa. Salah satu pendekatan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan melaksanakan tindakan pembelajaran realistic, yaitu siswa harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali (reinvention) konsep dengan bimbingan guru. Tindakan ini dirancang dengan PTK yang dilaksanakan dalam dua siklus Kata kunci: Pembelajaran Realistik, Pemahaman, Bilangan
Salah satu permasalahan pendidikan kita adalah minimnya mutu pendidikan, khususnya pada pendidikan dasar, padahal perkembangan ilmu dan teknologi, menuntut peningkatan mutu pendidikan, agar dapat memberikan kemudahan bagi anak didik dalam mengikuti kemajuan ilmu dan telekomunikasi. Oleh karena itu, usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia perlu ditingkatkan yaitu dengan melakukan perbaikan-perbaikan dan pembaharuan di segala aspek yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan. Dengan demikian, upaya penyempurnaan kurikulum perlu mempertimbangkan berbagai perkembangan-perkembangan tersebut, pengalaman masa lalu dan kemungkinan masa depan. Tematik matematika merupakan pelajaran yang sering dikatakan sulit dipelajari oleh sebagian siswa bahkan sering dikatakan pelajaran yang membosankan. Isu ini tumbuh dan berkembang sehingga sering membuat keraguan, keacuhan siswa menekuninya. Namun ditengah isu itu tidak menutup kemungkinan para siswa sangat senang mempelajari matematika, bahkan baginya merupakan pelajaran yang istimewa. Kenyataan ini menunjukkan bahwa matematika merupakan hal yang tidak mustahil untuk menjadi pelajaran yang mudah dan menyenangkan. Selain itu, Dalam Abdurrahman (2003: 251) dijelaskan beberapa pendapat tentang tematik matematika antara lain: Menurut Johnson dan Myklebust (1967) tematik matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan- hubungan kuantitatif dan keruangan, sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berfikir. Lerner (1988) mengemukakan bahwa tematik matematika merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat, mengkomunikasikan ide mengenai kuantitas. Berdasarkan berbagai pendapat diatas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa hakekat tematik matematika adalah suatu bahasa simbolis yang memungkinkan manusia menemukan jawaban dari masalah yang dihadapi dalam melihat dan menggunakan hubunganhubungan kuantitatif dan karuangan. Salah satu materi tematik matematika yang diajarkan di kelas I SDN 2 Mekarsari adalah pokok bahasan mengurutkan bilangan. Materi ini sangat bermanfaat jika melanjutkan pendidikan ke sekolah yang lebih tinggi karena materi ini merupakan dasar dari materi yang ada di kelas II dan seterusnya. Agar materi ini dapat dipahami dengan baik oleh siswa, maka seorang guru harus pandai memilih metode atau pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa dan materi yang akan diajarkan, karena jika menggunakan metode yang tidak sesuai akan menciptakan suasana relajar yang tidak kondusif sehingga banyak siswa yang merasa bosan dan tidak senang. Dari hasil observasi kelas dan refleksi guru, diperoleh kenyataan bahwa siswa belum memahami pokok bahasan mengurutkan bilangan. Kemungkinan yang menjadi penyebab kurangnya pemahaman siswa. Diantaranya selama proses belajar mengajar berlangsung banyak siswa yang malas, tidak senang belajar, apabila siswa ditanya ada saja alasan yang mereka kemukakan untuk menghindari pertanyaan tersebut, atau siswa tidak peduli akan pentingnya pengetahuan mengurutkan bilangan dan sebagainya. Dalam hal ini faktor yang Sangat mempengaruhi adalah guru. Dimana, profesionalisme guru yang kurang berkembang sehingga pembelajaran di dominasi dengan belajar menghafal fakta atau prosedur-prosedur yang akibatnya motivasi belajar siswa sulit di tumbuhkan karena pola pembelajaran cenderung menghafal (Depdiknas, 2002) sehingga berdampak pemahaman siswa minim. Mengajar tematik matematika merupakan suatu kegiatan pengajar (guru) agar siswanya belajar untuk mendapatkan matematika, yaitu kemampuan, kefahaman, dan keterampilan tentang matematika itu sendiri. 810
Terdapat beberapa macam metode mengajar yang sekiranya dapat digunakan dalam mengajar tematik matematika, antara lain: a. Metode Ekspositori Metode ini merupakan suatu cara menyampaikan informasi dengan lisan atau tulisan. Apabila dengan lisan, pengajar berbicara terus didepan kelas, sedangkan siswa terus mendengarkan. Pada umumnya metode ini berlangsung satu arah, pengajar memberi gagasan atau informasi dan siswa menerimanya. Materi pengajaran sudah disusun oleh pengajar secara sistematis dan hierarkis namun bermakna (Ausubel dalam Hudojo, 1998: 131) b. Metode Penemuan Metode ini merupakan suatu cara menyampaikan ide/gagasan melalui penemuan. Siswa menemukan sendiri pola- pola struktur matematika melalui sederetan pengalaman siswa. Fungsi guru disini bukan menyelesaikan masalah bagi siswa, melainkan membuat peserta didiknya mampu menyelesaikan masalah itu sendiri (Hudojo, H. 1998: 132). c. Metode Lapangan Bekerja untuk matematika ini seyogyanya disuatu tempat yang cocok. Tempat itu adalah lapangan. Siswa bekerja dengan objek-objek yang kemudian digeneralisasikan. Metode ini memang khusus untuk mengabaikan keabstrakan hakekat tematik matematika, Namun dapat menarik minat siswa terhadap matematika yang abstrak itu. Metode-metode di atas dapat dilaksanakan dengan suatu pendekatan pembelajaran. Salah satu pendekatan untuk mengatasi masalah pembelajaran mengurutkan bilangan adalah dengan menerapkan pembelajaran realistik yang telah dikembangkan di beberapa negara maju. Ide utama pendekatan pembelajaran Realistik adalah siswa harus di beri kesempatan untuk menemukan kembali (reinvention) konsep dengan bimbingan guru. Pembelajaran dengan pendekatan realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang difahami siswa untuk memperlancar proses pembelajaran secara lebih baik. Realita yang dimaksud adalah hal- hal nyata yang dapat diamati dan difahami siswa lewat membayangkan. Sedangkan lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan yang dapat difahami peserta didik yang berada dalam kehidupan sehari- hari (Soedjadi dalam Turmuzi, 2004: 184). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran tematik matematika yang berorientasi pada pendekatan relistik harus dekat dengan kehidupan sehari- hari dan sesuai dengan pengalaman siswa dan siswa. Pendekatan Pembelajaran Realistik mempunyai karakteristik: 1. Menggunakan masalah kontekstual Konteks adalah kaseharian lingkungan siswa yang nyata. Dalam matematika tidak selalu diartikan konkrit, dapat juga suatu yang telah difahami siswa dapat di bayangkan. 2. Menggunakan model Model diarahkan pada model konkret meningkat keabstrak atau model dari situasi nyata. 3. Interaktivitas Terdapat interaksi yang terus menerus antar siswa yang satu dengan lainnya dan antar guru dan siswa. 4. Terkait dengan topik yang lain Dalam pembelajarannya menggunakan pendekatan holistik artinya bahwa topik- topik belajar dapat dikaitkan sehingga memunculkan suatu pemahaman konsep secara terpadu. Sedangkan langkah- langkah pembelajaran realistik adalah sebagai berikut. Guru memberikan masalah yang konkrit dan memberikan kesempatan pada siswa untuk memahami masalah tersebut. Guru menjelaskan situasi soal dengan memberikan petunjuk seperlunya terhadap bagian yang belum difahami siswa.Guru memberi kesempatan dan mendorong siswa dalam melakukan proses belajar. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan jenis penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian tindakan merupakan kelas merupakan suatu usaha yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan atau memecahkan masalah yang sedang dihadapi. Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa penelitian tindakan kelas adalah kegiatan untuk mendapatkan kebenaran dan manfaat praktis dengan cara melakukan tindakan secara kolaboratif dan partisipatif. Kolaboratif dalam hal ini 811
adalah adanya kerja sama antara berbagai disiplin ilmu, keahlian dan profesi dalam memecahkan masalah. Sedangkan partisipatif adalah dilibatkannya khalayak sasaran dalam mengidentifikasi masalah, merencanakan, melaksanakan kegiatan dan melakukan penilaian akhir (Mulyana, 2005: 98). Subyek dalam penelitian ini adalah siswa kelas I SDN 2 Mekarsari semester genap tahun pelajaran 2012/2013. Kelas I SDN 2 Mekarsari berjumlah 45 siswa, terdiri dari 20 putera dan 25 puteri. Penelitian tindakan ini mengambil pokok bahasan mengurutkan bilangan dan direncanakan dalam 2 siklus. Dalam setiap siklus terdiri dari empat tahapan yaitu : (1) perencanaan tindakan, (2) Pelaksanaan tindakan dan observasi, (3) pengumpulan data dan analisis data, dan (4) refleksi. Namun Perlu juga diketahui bahwa tahap Pelaksanaan Tindakan dan Observasi, Pengumpulan dan analisis Data sesungguhnya dilakukan secara bersamaan. Berikut ini akan dijelaskan dibawah ini mengenai tahapan- tahapan tersebut.
Perencanaan Tindakan Pada penelitian ini melibatkan observer untuk mengamati apakah kegiatan penelitian tindakan ini sesuai dengan yang di rencanakan atau tidak. Untuk memudahkan observer melakukan pengamatan maka peneliti membuat alat observasi. Pada tahap ini kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan meliputi: Menyusun RPP dan Membuat skenario pembelajaran menggunakan pendekatan pembelajaran realistik. Menyiapkan lembar observasi. Menyiapkan lembar kerja siswa dan soal latihan. Menyusun tes hasil belajar siswa untuk mengetahui hasil belajar siswa. Pelaksanaan Tindakan dan Observasi Pada tahap ini merupakan pelaksanaan dari semua hal yang telah di rencanakan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Siklus I dimulai dengan pembukaan, kemudian tanya jawab mengenai banyak benda yang ada dikelas, seperti: meja, bangku, dan sebagainya serta memberi motivasi kepada siswa. Selanjutnya menjelaskan tentang cara mengurutkan bilangan, dan menyuruh siswa keluar kelapangan untuk mencari benda sebanyak-banyaknya, kemudian siswa menyebutkan berapa 812
banyak benda yang mereka dapat secara bergiliran dan menuliskan lambang bilangannya secara urut. Kemudian, siswa mengerjakan soal-soal mengenai mengurutkan bilangan pada LKS yang telah disediakan. Siklus I ini ditutup dengan pretes dan penguatan oleh guru tentang materi yang sudah dibahas. Siklus dua dilaksanakan tidak jauh beda dengan siklus 1. untuk siklus 2, Pembelajaran ditutup dengan postes dan rangkuman oleh guru tentang mengurutkan bilangan. Pengumpulan Data dan Analisis Data Data dikumpulkan dari hasil observasi dan dari data tes hasil belajar (Pre-Tes dan PostTest) pada saat pelaksanaan tindakan selama 2 siklus. Analisis data dilakukan terhadap 2 jenis data, yaitu data kualitatif berupa catatan hasil observasi serta catatan refleksi, dan data kuantitatif berupa skor pretes dan postes hasil belajar siswa. Cara pengumpulan data adalah sebagai berikut: a. Data hasil belajar siswa diambil dengan memberikan tes kepada siswa. Tes diberikan kepada siswa pada tiap akhir siklus sebagai bahan untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran. b. Data tentang situasi pembelajaran, keterkaitan antara perencanaan dengan pelaksanaan pada saat dilaksanakannya perbaikan dengan menggunakan lembar observasi. Setelah memperoleh data tes hasil belajar, data tersebut kemudian dianalisis dengan mencari ketuntasan belajar secara individu. siswa dikatakan tuntas didalam belajar apabila hasil belajar yang dicapai oleh siswa ( ) 55. Nilai ini diambil berdasarkan kriteria ketuntasan minimal di SDN2 Mekarsari. Refleksi Refleksi dilakukan pada akhir siklus. Pada tahap ini dikaji hasil analisis data kualitatif dan kuantitatif beserta kesimpulannya didiskusikan dengan teman sejawat untuk mengilas balik tentang hal-hal yang sudah terjadi, kendala dan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegiatan belajar mengajar yang telah dilaksanakan. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Siklus I dimulai dengan pembukaan, kemudian tanya jawab mengenai banyak benda yang ada dikelas, seperti: meja, bangku, dan sebagainya serta memberi motivasi kepada siswa. Selanjutnya menjelaskan tentang cara mengurutkan bilangan, dan menyuruh siswa keluar kelapangan untuk mencari benda sebanyak-banyaknya, kemudian siswa menyebutkan berapa banyak benda yang mereka dapat secara bergiliran dan menuliskan lambang bilangannya secara urut. Kemudian, siswa mengerjakan soal-soal yang diberikan mengenai mengurutkan bilangan pada LKS (Lembar Kerja Siswa) yang telah disediakan. Siklus I ini ditutup dengan pre-test dan penguatan oleh guru tentang materi yang sudah dibahas dan refleksi. Siklus dua dilaksanakan tidak jauh beda dengan siklus 1. untuk siklus 2, Pembelajaran ditutup dengan post-test dan rangkuman oleh guru tentang mengurutkan bilangan serta refleksi. Hasil penelitian pada siklus I dan siklus 2 diperoleh dari 3(tiga) kelompok data, yaitu data hasil observasi rekan sejawat, data refleksi guru, dan data hasil belajar siswa yang difokuskan pada situasi kelas dan prestasi belajar. a. Situasi diluar dan didalam kelas Selama pembelajaran, dengan mengacu pada RPP dibandingkan dengan hasil observasi, dicatat beberapa kejadian antara lain: - Pada saat pada saat dilapangan ada sebagian siswa tidak segera melaksanakan tugas tapi malah membuat bermain, mondar-mandir, sehingga menyita waktu 15 menit. - Setelah siswa masuk kedalam kelas dan pelasksanaan kegiatan pembelajaran dimulai siswa yang bermain, dan mondar-mandir mulai berkurang tetapi masih ada kekurangan yaitu masih ada siswa yang pasif. Hasil observasi kelas menyatakan bahwa ada kelebihan dari tindakan perbaikan ini, antara lain: siswa mulai termotivasi untuk belajar, siswa aktif dan bersungguh-sungguh mengerjakan tugas, siswa mulai berani tampil didepan kelas, siswa mulai berani mengajukan pertanyaan, saran dan usul. b. Hasil Evaluasi belajar siswa pada siklus I dan siklus II
813
Hasil pretes untuk siklus I diperoleh rata-rata pemahaman siswa adalah 52,3, sedangkan hasil postes diperoleh rata-rata pemahaman siswa adalah 62, 4. Dari data hasilm postes juga diperoleh 100% siswa memenuhi KKM yaitu lebih atau sama dengan 55. Refleksi Dilihat dari hasil yang diperoleh pada siklus II, dapat dikatakan telah tuntas karena telah mencapai ketuntasan belajar yaitu banyaknya siswa yang tuntas 100% 88 % dan aktivitas belajar siswa sudah memenuhi katagori aktif. Dengan demikian, pembelajaran realistik dapat dikatakan berhasil dan efektif digunakan dalam proses belajar mengajar terutama pada pokok bahasan mengurutkan bilangan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Metode mengajar dengan menerapkan pembelajaran realistik ternyata dapat meningkatkan pemahaman siswa dalam pokok bahasan mengurutkan bilangan. Terjadi peningkatan hasil nilai siswa setelah dilakukan perbaikan pembelajaran. Saran Dalam melakukan pembelajaran realistik perlu diberikan porsi latihan yang cukup, sehingga dapat meningkatkan perolehan nilai siswa dengan mencapai ketuntasan belajar. Pengelolaan waktu untuk pendahuluan dan hal-hal administratif, perlu memperoleh perhatian, sehingga waktu belajar tidak habis untuk hal-hal administratif DAFTAR RUJUKAN Abdurrahman, M. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta Depdiknas, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta. Pusat Kurikulum.Balitbang Depdiknas. Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud Mulyana, E. 2005. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif Dan Menyenangkan. Jakarta: PT. Rineka Cipta Soedjadi. 2004. Implementasi Pembelajaran Realistik. Jakarta: Intan Pariwara. Turmuzi, M. 2004. Pembelajaran Matematika Realistik Pada Pokok Bahasan Perbandingan. LPPM IKIP Mataram. Vol. 3 No. 2.
PENGGUNAAN MEDIA GARIS BILANGAN DAN SETENGAH LINGKARAN BERMUATAN POSITIF-NEGATIF UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR PENJUMLAHAN BILANGAN BULAT PADA SISWA KELAS V SD INPRES 36 SOWI MANOKWARI Agussalim Syamsuddin SD Inpres 36 Sowi Manokwari Papua Barat Abstraks: Salah satu permasalahan yang menyangkut proses belajar mengajar mata pelajaran matematika di sekolah dasar adalah kurangnya pengetahuan bagi guru menggunakan media pembelajaran yang tepat dalam pembelajaran matematika. Untuk itu perlu dipertimbangkan kapan dan jenis media pembelajaran mana yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Banyak sekali media pembelajaran yang telah ditemukan oleh pakar pendidikan, tetapi guru perlu kreatif dalam menggunakannya. Salah satunya adalah penggunaan media garis bilangan dan setengah lingkaran yang bermuatan positif-negatif dalam penjumlahan bilangan bulat untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Penelitian ini dilaksanakan dengan rancangan PTK dua siklus. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas V SD Inpres 36 Sowi Manukwari dengan
814
jumlah 23 siswa. Hasil yang diperoleh adalah penggunaan media garis bilangan dan setengah lingkaran bermuatan positif dan negatif dapat meningkatkan hasil belajar penjumlahan bilangan bulat. Kata kunci: Media, operasi bilangan, hasil belajar siswa.
Alat peraga merupakan media pengajaran yang mengandung atau membawakan ciri-ciri dari konsep yang di pelajari (Elly Estiningsih, 1994). Fungsi utama alat peraga adalah: 1. Sebagai media dalam menanamkan konsep-konsep matematika 2. Sebagai media dalam memantapkan pemahaman konsep 3. Sebagai media untuk menunjukkan hubungan antara konsep matematika dengan dunia di sekitar kita serta aplikasi konsep dalam kehidupan nyata. Dari fungsi alat peraga tersebut maka satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah tenik penggunaan alat peraga dalam pembelajaran matematika secara tepat. Guru harus memiliki kemampuan dalam menyampaikan materi dan menguasai materi dalam proses belajar mengajar. Materi matematika yang obyeknya abstrak memaksa guru untuk menggunakan media pembelajaran (alat peraga) yang dapat membantu guru untuk menjelaskannya. Telah banyak alat peraga yang ditemukan oleh guru namun dalam penggunaan alat peraga tersebut untuk materi yang akan diajarkan belum tepat pada sasaran yang akan dicapai, salah satunya adalah penggunaan media garis bilangan dan setengah lingkaran bermuatan positif-negatif dalam penjumlahan bilangan bulat positif-negatif dan bilangan bulat negatifnegatif. Dalam proses pembelajaran yang dilakukan guru di kabupaten Manokwari sebagian besar guru belum menggunakan media dalam membelajarkan konsep matematika kepada siswa Sekolah dasar. Padahal siswa sekolah dasar taraf berfikirnya masih dalam taraf berfikir konkrit. Dalam Subanji (2013), sebagai mana tahap perkembangan peserta didik menurut pendapat Bruner yang mengatakan bahwa untuk memahami pengetahuan matematika yang baru, diperlukan tahapan-tahapan yaitu: 1. Tahap enaktif Siswa belajar dengan menggunakan atau memanipulasi objek-objek kongkrit secara langsung. 2. Tahap ikonik Kegiatan siswa mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek kongkrit. Siswa tidak memanipulasi langsung objek kongkrit, melainkan sudah dapat memanipulasi dengan memahami gambaran objek-objek yang di maksud. 3. Tahap simbolik Siswa belajar dengan memanipulasi symbol-symbol secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan objek-objek kongkrit dan gambarannya. Sebelum siswa mengenal hal-hal yang abstrak, terlebih dahulu guru mengkongkritkannya dengan menggunakan alat peraga. Jika tidak mengikuti tahapan tersebut, dikhwatirkan anak tidak akan bisa mengikuti pelajaran dengan baik karena mereka merasa dipaksakan dan pada akhirnya pembelajaran tidak bermakna dan tidak berhasil. Berdasarkan data awal di SD Inpres 36 Sowi Manokwari terutama di kelas V semester 1, nilai evaluasi matematika untuk materi penjumlahan bilangan bulat positif-negatif dan bilangan bulat negatif-negatif masih tergolong rendah dan belum mencapai nilai yang diharapkan. Fakta ini ditunjukkan oleh hasil belajar (evaluasi) untuk materi penjumlahan bilangan bulat positif-negatif atau penjumlahan bilangan negatif-negatif, dari jumlah murid kelas V sebanyak 23 siswa hanya 10% siswa saja yang mencapai nilai di atas nilai 5 dengan nilai rata-rata 4,5. Ini berarti materi yang diajarkan oleh guru belum dikuasai sepenuhnya oleh siswa. Hal ini disebabkan karena guru belum menggunakan media pembelajaran yang tepat untuk menjelaskan materi tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut peneliti mencoba mengajarkan kembali materi penjumlahan bilangan bulat tersebut dengan menggunakan media garis bilangan. Penggunaan media media garis bilangan ini didasarkan kepada beberapa pertimbangan, di antara pertimbangan tentang sifat siswa sekolah dasar. Anak sekolah dasar pada umumnya mempunyai karakteristik (i) suka bermain, (ii) senang bergerak, (iii) senang bekerja dalam kelompok, dan (iv) senan/memperagakan sesuatu secara langsung. Alasan lain adalah karena fungsi dari media itu sendiri, sebagaimana disampaikan oleh M. Djauhar Siddiq (2008), 815
beberapa fungsi dari media pembelajaran dalam proses komunikasi pembelajaran diantaranya sebagai berikut (a) Berperan sebagai komponen yang membantu mempermudah / memperjelas materi atau pesan dalam proses pembelajaran; (b) Membuat pembelajaran menjadi lebih menarik; (c) Membuat pembelajaran lebih realistis / objektif; (d) Menjangkau sasaran yang luas; (e) Mengatasi keterbatasan jarak dan waktu, karena dapat menampilkan pesan yang berada di luar ruang kelas dan dapat menampilkan informasi yang terjadi pada masa lalu, mungkin juga pada masa yang akan dating; (f) Mengatasi informasi yang bersifat membahayakan, gerakan rumit, objek yang sangat besar dan sangat kecil, semua dapat disajikan menggunakan media yang telah dimodifikasi; (g) Menghilangkan verbalisme yang hanya bersifat kata-kata. Dari uraian ini, maka penggunaan media garis bilangan dan setengah lingkaran bermuatan positif-negatif dapat membantu meningkatkan hasil belajar penjumlahan bilangan bulat siswa kelas V SN Inpres 36 Sowi manokwari. METODE PENELITIAN Penelitian ini dirancang dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas dengan model Kemmis & Taggart yang dilaksanakan dalam dua siklus. Masing-masing siklus mengandung tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi (Dasna, 2013). Pada tahapan perencanaan, peneliti menyusun rancangan tindakan yang akan dilaksanakan. Kegiatan yang dilakukan pada tahap perencanaan antara lain: a. Membuat rencana pembelajaran dan lembar penilaian. b. Membuat Lembar Kerja Siswa (LKS). c. Membuat media pembelajaran. d. Membuat nomor peserta sebagai pengganti nama siswa. e. Membuat nama kelompok siswa. Pada tahapan pelaksanan penelitian , guru mengimplementasikan rancangan yang dibuata dalam pembelajaran. Adapun kegiatan inti pembelajaran yaitu : a. Guru menjelaskan materi pelajaran menggunakan sifat komutatif dengan media garis bilangan untuk menentukan penjumlahan bilangan bulat, seperti contoh soal sebagai berikut : 1. 3 + (-5) = . . . . 2. (-2) + (-4) = . . . . b. Siswa ditunjuk secara bergantian memperagakan media garis bilangan untuk menentukan penjumlahan bilangan bulat positif-negatif dan penjumlahan bilangan bulat negatif-negatif dengan diberikan beberapa contoh soal dari guru. c. Siswa dibentuk dalam 5 kelompok ( tiap kelompok 4-5 anak ). d. Guru membagikan Lembar Kerja Siswa ( LKS ). e. Guru membimbing siswa dalam tiap kelompok untuk mengerjakan LKS. f. Tiap perwakilan kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di papan tulis,kelompok lain menanggapi. g. Tanya jawab antara guru dan siswa dalam menyamakan pendapat (persepsi) dari hasil kerja kelompok. Dalam kegiatan penutup hal-hal yang dilakukan adalah sebagai berikut Siswa menarik kesimpulan dari materi yang dipelajari dengan bimbingan dari guru. Siswa menyelesaikan soal evaluasi yang diberikan oleh guru. Siswa menyampaikan kesan dari pembelajaran yang telah dilakukan. Dalam tahap pelaksanaan dilakukan pengamatan oleh teman sejawat. Dari hasil pembelajaran dan pengamatan, dilakukan refleksi untuk melihat keberhasilan pembelajaran. HASIL DAN PEMBAHASAN Siklus I Pada kegiatan siklus 1 proses pembelajaran dilaksanakan seperti biasanya, guru menjelaskan materi pelajaran dengan menggunakan media pembelajaran garis bilangan, dengan memberikan beberapa contoh soal yang berhubungan dengan penjumlahan bilangan bulat positif- negatif dan penjumlahan bilangan bulat negatif-negatif namun masih dijumpai beberapa 816
kelemahan dalam penelitian, di antaranya guru masih belum sempurna dalam menggunakan media garis bilangan. Penggunaan media pembelajaran sederhana yang digunakan dalam penelitian ini, diambil dari (Utami, dkk. 2013), dapat diperlihatkan pada gambar berikut: -6
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
6
Pada garis bilangan di atas bilangan bulat digambarkan sebagai tanda panah yang pangkalnya di titik nol (0) dan arahnya ke kanan (untuk bilangan bulat positif). Sebaliknya jika bilangannya berupa bilangan bulat negatif maka arahnya ke kiri. Aturan operasi tambah dan kurang pada bilangan bulat diberikan sebagai berikut: Bilangan positif negatif nol
maju mundur diam
Operasi Tambah Kurang
arah ke kanan arah ke kiri
Bermula dari titik pangkal nol dan menghadap ke kanan. Contoh . 1) 3 + (-5) = . . . Jawab: Berawal dari titik asal (pangkal) nol dan menghadap ke kanan 3 + (-5) = dari nol menghadap ke kanan, maju 3 langkah , arah tetap ke kanan.
Kemudian mundur 5 langkah
Jadi 3 + (-5) = (-2). Jika gunakan sifat komutatif dari contoh di atas (-5) + 3 = . . .
817
Jadi (-5) + 3 = (-2). 2) (-2) + (-4) = . . . Jawab: Berawal dari titik nol dan menghadapi ke kanan (-2) + (-4) = dari titik nol menghadap ke kanan, mundur 2 langkah, arah ke kanan.
818
Jadi (-2) + (-4) = (-6). Jika gunakan sifat komutatif dari contoh soal di atas (- 4) + (-2) = . . . Jawab: Berawal dari titik pangkal nol dan menghadap ke kanan (- 4 ) + ( - 2 ) = dari titik nol menghadap ke kanan, mundur 4 langkah, arah tetap ke kanan.
Ternyata hasil akhirnya (-6). Jadi (-4) + ( -2) = (-6) Sifat komutatif berlaku juga untuk penjumlahan bilangan bulat positif – negatif dan negatif – negatif. 1) (-5) + 3 = 3 + (-5) (-2 ) = (-2 ) 2) (-2) + (-4) = (-4) + (-2) (-6 ) = (-6 ) Selain penggunaan alat peraga yang belum sempurna, dalam mengelompokkan siswa guru belum menggunakan dasar yang baik (gender, kemampuan) sehingga masih dijumpai siswa yang kurang aktif. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil evaluasi dengan rata-rata 4,8 dari 23 siswa. Dari hasil belajar pada siklus I di atas dapat dilihat bahwa belum adanya peningkatan hasil belajar bila dibandingkan dengan hasil belajar sebelum peneliti melakukan kegiatan proses belajar mengajar pada sekolah tersebut. Hal ini terlihat dengan adanya perbedaan nilai rata-rata evaluasi hasil belajar untuk materi penjumlahan bilangan bulat pada siswa kelas V SD Inpres 36 Sowi Manokwari yaitu pada pembelajaran sebelumnya yang dilakukan oleh wali kelas SD tersebut nilai rata-ratanya (4,5) dan pada siklus I yang dilakukan oleh peneliti nilai rata-ratanya (4,8), untuk itu peneliti merasa perlu suatu tindakan perbaikan melalui siklus II. Siklus II Pembelajaran pada siklus II dilakukan berdasarkan hasil refleksi siklus I, peneliti melakukan perbaikan pembelajaran untuk menjalankan siklus II ini merupakan tindak lanjut dari kegiatan pembelajaran siklus I. Pembelajaran dilakukan dengan menggunakan media pembelajaran yang berbeda yaitu media setengah lingkaran yang bermuatan positif dan negatif untuk materi penjumlahan bilangan bulat posisif-negatif maupun penjumlahan bilangan bulat negatif-negatif. Dari media tersebut peneliti merasa yakin bahwa siswa lebih mudah memahami materi yang diberikan. Adapun urutan pembelajaran adalah sebagai berikut. Untuk tahap perencanaan dilaksanakan berdasarkan hasil refleksi siklus I yang mencakup: a. Menyusun rencana perbaikan pembelajaran matematika. b. Menyiapkan media pembelajaran. c. Menyusun Lembar Kegiatan Siswa (LKS). 819
d. Menyusun lembar Evaluasi. Selanjutnya adalah pelaksanaan tindakan kelas. Kegiatan yang akan dilakukan pada tahap pelaksanaan yaitu melaksanakan pembelajaran yang telah disiapkan. Adapun kegiatan inti dari pembelajaran yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: a. Guru menjelaskan materi pelajaran menggunakan sifat komutatif dengan media setengah lingkaran yang bermuatan positif dan negatif untuk menentukan penjumlahan bilangan bulat dengan memberikan contoh soal sebagai berikut : b. 1. 5 + ( -6 ) = . . . . 2. (-4) + (-1) = . . . . c. Siswa ditunjuk secara bergantian memperagakan media setengah lingkaran tersebut untuk menentukan penjumlahan bilangan bulat positif-negatif dan penjumlahan bilangan bulat negatif-negatif dengan diberikan beberapa contoh soal dari guru. d. Siswa mengelompok berdasarkan kelompok yang telah ditentukan sebelumnya. e. Guru memberikan Lembar Keja Siswa (LKS). f. Guru membimbing siswa dalam mengerjakan LKS. g. Tiap perwakilan kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di papan tulis,kelompok yang lain menanggapi. h. Tanya jawab antara guru dan siswa dalam menyamakan pendapat (persepsi) dari hasil kerja kelompok. Dalam kegiatan penutup hal-hal yang dilakukan adalah sebagai berikut : Siswa membuat kesimpulan dari materi yang telah dipelajari dengan bimbingan guru. Siswa menyelesaikan soal-soal sebagai evaluasi. Siswa menyampaikan kesan dari pembelajaran yang telah dilakukan. Dari kegiatan perbaikan pembelajaran pada siklus II, penggunaan media setengah lingkaran yang dilakukan peneliti dalam menentukan penjumlahan bilangan bulat positif-negatif dan penjumlahan bilangan bulat negatif-negatif dapat diperlihatkan pada penjelasan gambar berikut ini (diambil dari Utami, dkk, 2013): Terdapat 2 jenis model setengah lingkaran yang mewakili bilangan positif dan bilangan negatif yang berbeda warna.
Positif Negatif Jika model setengah lingkaran bermuatan positif dipasang dengan setengah lingkaran bermuatan negatif maka nilainya adalah bilangan nol (0) atau netral. Modal setengah lingkaran tersebut digunakan dalam bentuk soal sebagai berikut : 1. 5 + (-6) = . . .
digabung dengan 5
+
hasil + (-6)
=
(-1)
Ket : 5 buah model setengah lingkaran bermuatan positif jika dipasangkan dengan 6 buah model setengah lingkaran yang bermuatan negatif maka akan terdapat 1 model setengah lingkaran yang bermuatan negatif yang tidak mempunyai pasangan sehingga 5 + (-6) = (-1) Jika kita gunakan sifat komutatif dari contoh soal di atas (-6) + 5 =
(-6)
digabung dengan +
hasil 5
= 820
(-1)
maka hasilnya tetap (-1) 2. (-4) + (-1) = . . .
digabung dengan (-4)
+
hasil (-1)
=
(-5)
Ket: 4 model setengah lingkaran bermuatan negatif digabung dengan 1 model setengah lingkaran bermuatan negatif maka tidak terdapat model yang mempunyai pasangan tetapi terdapat 5 model yang bermuatan negatif sehingga (-4) + (-1) = (-5) Jika kita gunakan sifat komutatif dari soal tersebut di atas (-1) + (-4) = . . .
digabung dengan (-1)
+
hasil (-4)
=
(-5)
Maka (-1) + (-4) hasilnya tetap sama yaitu (-5). Sifat komutatif berlaku juga untuk penjumlahan bilangan bulat positif – negatif dan bilangan negatif – negatif (-4) + (-1) = (-1) + (-4) (-5) = (-5) Dengan penggunaan media setengah lingkaran di atas, aktifitas siswa semakin meningkat. Solidaritas siswa dalam tiap kelompok meningkat, bentuk kerjasama mereka yang aktif selama mengerjakan soal LKS, bahkan dalam mengerjakan soal evaluasi yang dilakukan secara individu sebagian besar siswa mengerjakan soal dengan baik sehingga memperoleh nilai yang memuaskan, yaitu ratanya menjadi 7,6. Dilihat dari hasil ini, berarti terjadi peningkatan rata-rata kelas dan peningkatan ketuntasan belajar yang signifikan, angka ketidakberhasilan pada pembelajaran sebelumnya yang dilakukan oleh wali kelasnya dilihat pada rata-rata kelas hanya 4,5. Pada siklus I pembelajaran yang dilakukan oleh peneliti nilai rata-rata kelasnya 4,8 sedangkan pada siklus II nilai rata-rata kelasnya mengalami peningkatan menjadi 7,6, di atas KKM 5. Jadi pada siklus II ini penerapan perbaikan pembelajaran telah menunjukkan hasil yang positif meningkat. Adanya kenaikan penguasaan materi tersebut karena guru menggunakan media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dengan baik dan melibatkan siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar tersebut. Dengan penggunaan media pembelajaran yang baik maka pembelajaran semakin asyik. Strategi seperti ini ternyata dapat merubah perilaku belajar siswa yang semula minat belajar matematika yang mereka anggap sulit menjadi siswa tertarik, menentang dan menarik yang pada akhirnya dapat menyelesaikan tugas dengan tepat dan memperoleh hasil belajar yang dicapainya. PENUTUP Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah disampaikan sebelumnya, maka kesimpulan dari peneliti ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk meningkatkan keaktifan belajar siswa pada pembelajaran matematika maka seorang guru harus pandai menggunakan media pembelajaran yang baik. 2. Peningkatan hasil belajar siswa terhadap materi yang diajarkan tidak terlepas dari penggunaan media pembelajaran yang menarik dan pemberian tugas latihan. Untuk bahan penelitian berikutnya, disarankan mencoba mengguna media konrit lain untuk pembelajaran materi yang lain.
821
DAFTAR RUJUKAN Dasna Wayan I, 2013. Penelitian Tindakan Kelas (PTK), TEQIP. Malang : Kerjasama PT. Pertamina (Persero) dengan Universitas Negeri Malang. Elly Estiningsih, 1994. Fungsi utama alat peraga. M. Djauhar Siddiq, dkk. 2008. Pengembangan Bahan Pembelajaran SD. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas. Subanji, 2012. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif, TEQIP. Malang : Kerjasama PT. Pertamina (Persero) dengan Universitas Negeri Malang. Utami Hapsari T, dkk. 2013. Petunjuk dan Penggunaan Media Pembelajaran matematika, TEQIP. Malang : Kerjasama PT. Pertamina (Persero) dengan Universitas Negeri Malang.
PENERAPAN PEMBELAJARAN BILANGAN KUADRAT DENGAN MEDIA BANGUN PERSEGI PADA SISWA KELAS IV SDN 006 BUKIT LIMAN NATUNA Muslimin SDN 006 Bukit Liman Kabupaten Natuna Kepulauan Riau Abstrak: Tulisan ini memaparkan praktik pembelajaran bilangan kuadrat dengan media bangun persegi. Media bangun persegi digunakan untuk menanamkan konsep bilangan kuadrat. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembelajaran dengan media bangun persegi dapat dilakukan dengan: memodelkan bilangan kuadrat dengan bangun persegi, siswa praktik menyusun bilangan kuadrat dengan media bangun persegi, dan menyelesaikan masalah berkaitan dengan bilangan kuadrat. Pembelajaran dengan media bangun persegi dapat memahamkan siswa tentang bilangan kuadrat siswa kelas IV SDN 006 Bukit Liman Natuna. Kata kunci: Bilangan kuadrat, media bangun persegi.
Pembelajaran matematika sangat penting untuk selalu dikaji, terutama terkait dengan bagaimana seorang guru mempraktikkan pembelajaran yang menarik bagi siswanya. Menurut Subanji (2013), penerapan suatu pembelajaran akan berpengaruh besar terhadap kemampuan siswa dalam mendidik diri mereka sendiri. Lebih jauh ditegaskan Subanji (2013) bahwa terdapat hal-hal penting yang perlu dilakukan oleh guru dalam mengembangkan pembelajaran adalah (1) bagaimana guru merencanakan tahapan-tahapan pembelajaran yang akan dilakukan di kelas, (2) bagaimana guru merencanakan interaksi guru-siswa dan siswa-siswa sehingga terjadi proses belajar yang optimal, (3) bagaimana guru merencanakan suatu stimulus sehingga siswa belajar, (4) bagaimana perilaku belajar siswa dalam suatu sistem pengelolaan kelas, (5) bagaimana menyiapkan bahan pendukung (antara lain: buku, lembar kerja siswa, media, dan assesmen), dan (6) dampak apa yang diharapkan pada siswa dengan pelaksanaan pembelajaran tersebut. Banyak faktor yang mempengaruhi belajar siswa. Faktor-faktor itu antara lain proses pembelajaran yang disampaikan oleh guru yaitu berupa media atau alat peraga yang membantu mempermudah proses pembelajaran. Media juga berfungsi membangkitkan motivasi belajar siswa, mengubah dari abstrak menjadi kongkrit. Objek matematika yang abstrak harus dipelajari siswa SD yang masih dalam tahap berpikir kongkrit. Karena itu guru perlu memfasilitasi pembelajaran matematika dengan media pembelajaran. Media yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan pembelajaran merupakan salah satu alat perangsang berpikir kreatif pada anak didik. Salah satunya adalah media bangun persegi untuk menentukan perpangkatan kuadrat. Untuk menggunakannya diperlukan Lembar Kerja Kelompok inovatif yang dapat membuat siswa berpikir lebih tinggi agar siswa dapat menemukan sendiri konsep pembelajaran yang disampaikan guru. Subanji (2011) menegaskan bahwa dalam pembelajaran matematika sangat penting untuk menekankan media (peraga) untuk mengembangkan pemahaman siswa. Benda-benda 822
fisik atau manipulatif untuk memodelkan konsep-konsep matematika merupakan alat-alat yang penting untuk membantu siswa belajar matematika. Dalam hal ini konsep matematika berisi hubungan-hubungan logis yang dikonstruksi di dalamnya dan yang ada dalam pikiran sebagai bagian dari jaringan ide. Media akan mempermudah pemahaman konsep matematika secara bermakna. Salah satu penerapan media dalam pembelajaran matematika adalah penerapan konsep konsep bilangan kuadrat. Bilangan kuadrat atau pangkat dua di SD merupakan materi yang dirasakan sulit oleh siswa. Hal ini tercermin dari hasil tes yang diberikan guru masih dibawah KKM. Selain itu berdasarkan pengalaman peneliti didapati masih banyak siswa yang kurang berminat untuk belajar matematika. Oleh karena itu untuk membuat siswa senang dan berminat untuk belajar matematika, seorang guru dituntut untuk dapat menggunakan berbagai metode dan model pembelajaran yang sesuai dan dapat membuat anak menyukai pembelajaran matematika. Permasalahan yang sering terjadi pada pembelajaran matematika adalah, siswa tidak berani menjawab pertanyaan guru dan siswa berbicara sendiri ketika proses pembelajaran. Hal ini disebabkan cara mengajar guru masih menggunakan metode ceramah dari awal pembelajaran sampai diakhir pembelajaran akibatnya proses pembelajaran tidak menyenangkan dan membosankan bagi siswa. Oleh karena itu guru perlu membuat terobosan-terobosan baru yang berupa metode, model, dan media yang sesuai agar pembelajaran matematika dapat menyenangkan dan bermakna. Pemanfaatan media pembelajaran sangat penting untuk memfasilitasi siswa belajar tentang konsep matematika. Menurut Bruner (dalam Subanji, 2013), pembelajaran matematika perlu mempertimbangkan tahapan berpikir siswa, yang meliputi: (1) tahap enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik. Pada tahap enaktif, siswa belajar dengan menggunakan atau memanipulasi objek-objek kongkrit secara langsung. Tahap ikonik, siswa sudah dapat memahami gambaran objek-objek belajar. Tahap simbolik, siswa belajar dengan memanipulasi simbol-simbol secara langsung. Pada awalnya media hanya berfungsi sebagai alat bantu dalam kegiatan belajar mengajar yakni berupa sarana yang dapat memberikan pengalaman visual kepada siswa dalam rangka mendorong motivasi belajar, memperjelas, dan mempermudah konsep yang kompleks dan abstrak menjadi lebih sederhana, konkrit, serta mudah dipahami. Dengan demikian media dapat berfungsi untuk mempertinggi daya serap dan retensi anak terhadap materi pembelajaran. Dalam suatu proses belajar mengajar, dua unsur yang amat penting adalah metode mengajar dan media pembelajaran. Kedua aspek ini saling berkaitan. Pemilihan salah satu metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis media pembelajaran yang sesuai, meskipun masih ada berbagai aspek lain yang harus diperhatikan dalam memilih media, antara lain tujuan pengajaran, jenis tugas dan respon yang diharapkan siswa kuasai setelah pengajaran berlangsung, dan konteks pembelajaran termasuk karakteristik siswa. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa salah satu fungsi utama media pembelajaran adalah sebagai alat Bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru. Fungsi atensi media visual merupakan fungsi inti, yaitu menarik dan mengarahkan perhatian siswa untuk berkonsentrasi kepada isi pelajaran yang berkaitan dengan makna visual yang ditampilkan atau menyertai teks materi pelajaran. Sering kali pada awal pelajaran siswa tidak tertarik dengan materi pelajaran atau mata pelajaran itu merupakan salah satu mata pelajaran yang tidak disenangi oleh mereka sehingga tidak memperhatikan. Media gambar, khususnya gambar yang diproyeksikan melalui overhead projector dapat menenangkan dan mengarahkan perhatian mereka kepada pelajaran yang akan mereka terima. Dengan demikian, kemungkinan untuk memperoleh dan mengingat isi pelajaran semakin besar. Untuk tujuan informasi, media pembelajaran dapat digunakan dalam rangka penyajian informasi di hadapan sekelompok siswa. Isi dan bentuk penyajian bersifat umum, berfungsi sebagai pengantar, ringkasan laporan atau pengetahuan latar belakang. Media berfungsi untuk tujuan instruksi di mana informasi yang terdapat dalam media itu harus melibatkan siswa baik dalam benak atau mental maupun dalam aktivitas yang nyata sehingga pembelajaran dapat terjadi. Rivai, Ahmad (1991) mengemukakan manfaat media pembelajaran dalam proses belajar siswa, yaitu: (1) pengajaran akan lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar, (2) bahan pengajaran akan lebih jelas maknanya sehingga dapat difahami oleh siswa dan memungkinkannya menguasai dan mencapai tujuan pengajaran, (3) metode mengajar 823
akan lebih bervariasi, tidak semata-mata komunikasi verbal melalui penuturan kata-kata oleh guru, sehingga siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, apalagi kalau guru mengajar pada setiap jam pelajaran, dan (4) siswa dapat lebih banyak melakukan kegiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru, tetapi juga beraktivitas lain seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, memerankan, dan lain-lain. Sebelum siswa mengenal hal-hal yang abstrak, terlebih dahulu guru harus mengkonkritkannya dengan menggunakan media. Jika guru tidak mengikuti tahapan tersebut, dikhawatirkan anak tidak akan bisa mengikuti pelajaran denga baik karena mereka merasa dipaksakan dan pada akhirnya pembelajaran tidak bermakna. Oleh karena itu seorang guru dituntut untuk membuat media dalam menyampaikan pembelajaran, agar pembelajaran yang disampaikan guru menyenangkan dan lebih bermakna. METODE Penelitian ini dilakukan secara terintegrasi dengan kegiatan lesson study. Rancangan pembelajaran disusun secara bersama oleh sekelompok guru (termasuk peneliti) dalam praktik lesson study. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran, dilakukan praktik pembelajaran oleh guru model, sedangkan guru lain berperan sebagai observer. Di akhir pembelajaran dilakukan refleksi, yang mana hasilnya digunakan untuk memperbaiki pembelajaran pada praktik lesson study berikutnya. Penelitian ini mendeskripsikan praktik pembelajaran dalam kegiatan lesson study. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini memaparkan kegiatan pembelajaran berdasarkan tahapatan lesson study, yaitu kegiatan perencanaan pembelajaran ( PLAN), pelaksanaan pembelajaran (DO), dan refleksi pembelajaran (SEE). Perencanaan Pembelajaran Penyusunan rencana pembelajaran dilaksanakan melalui kegiatan lesson study dengan pesertanya adalah guru peserta real teaching TEQIP bidang studi matematika dari Natuna dan dosen pembimbing dari Universitas Negeri Malang. Peserta lesson study mendiskusikan tentang bahan dan cara pembuatan media bangun persegi dan cara menggunakannya. Menyusun RPP dan media secara bersama-sama serta menentukan guru model yang akan tampil dalam praktik lesson study. Praktik Pembelajaran Kegiatan awal pembelajaran dilakukan dengan mengungkap pengetahuan awal siswa dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada siswa terkait dengan perkalian dua bilangan. Guru : anak-anak masih ingat perkalian? Siswa : masih pak! Guru : Ya ! kalau begitu berapa dua kali empat”? Siswa : delapan pak” Guru : Ya, sekarang lima kali enam berapa? Siswa : dua puluh lima, tiga puluh pak”, Guru : ya, yang benar berapa? Siswa : tiga puluh pak Guru : ya, benar! Dari dialog tersebut, terlihat bahwa siswa sudah memiliki pengetahuan awal, sudah bisa mengalikan dua bilangan secara benar. Kegiatan dilanjutkan dengan memberikan pertannyaan tentang bangun datar persegi.. Guru : nah, sekarang anak-anak kenal apa ini? (guru menampilkan gambar persegi didepan kelas) Siswa : persegi panjang pak, persegi empat pak Guru : nah.. ini adalah persegi Selanjutnya guru menjelaskan perbedaan persegi dan persegi panjang, penekanannya adalah siswa mengenal bangun persegi yang terdiri dari beberapa bangun. Dilanjutkan dengan 824
mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan perpangkatan, contoh dua dikali dua adalah empat, contoh selanjutnya satu kali satu sama dengan satu. Secara keseluruhan siswa mulai termotivasi untuk belajar dengan adanya berbagai pertanyaan yang diajukan guru untuk menarik perhatian siswa ke depan. Siswa yang tadinya tidak memperhatikan sekarang pandangannya mengarah ke depan atau ke arah guru. Siswa mulai antusias dalam mengikuti pelajaran yang disampaikan guru, respon siswa semangat dan cepat tanggap. Motivasi dan pemanasan berpikir yang disampaikan oleh guru dapat membuat siswa mulai berani dan semangat dalam belajar, terlihat siswa dan siswi lebih rileks dan lebih nyaman dalam proses pembelajaran. Selanjutnya guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan disampaikan tentang materi perpangkatan. Kegiatan awal yang dilakukan oleh guru sudah sesuai harapan bahwa siswa sudah memiliki pengetahuan prasyarat yang cukup untuk belajar bilangan kuadrat. Karena itu kegiatan dilanjutkan dengan melaksanakan inti pembelajaran (kegiatan inti). Tahapan yang dilakukan, pertama menjelaskan perpangkatan dengan menggunakan bangun-bangun yang disusun menjadi sebuah persegi, kedua menghitung berapa banyak bangun-bangun dalam sebuah persegi yang disusun. Guru memodelkan pembelajaran dengan menyebutkan satu contoh bilangan misalnya 22 dan menyusun bangun tersebut menjadi empat mendatar dan empat menurun. Selanjutnya disusun dan dipenuhi bangun-bangun yang belum terisi dan menjadi sebuah bangun datar persegi. Guru meminta bantuan siswa untuk menempelkan bangun-bangun secara bergantian didepan kelas. Selanjutnya siswa dibimbing guru menghitung jumlah bangun-bangun yang susun menjadi persegi dipapan tulis. Untuk berikutnya jumlah bangun yang dihitung pada bangun persegi itulah hasil dari perpangkatan dari 22.
Jadi 22 adalah 4 Dari bangun yang disusun menjadi persegi diatas dapat menyatakan 22, karena bangun yang ada adalah dua yang mendatar dan dua vertikal. Jumlah bangun persegi itu merupakan hasil dari pangkat 2. Apabila dihitung banyak bangun-bangun pada bangun persegi maka didapati bahwa 22 adalah 4. Selanjutnya guru mengulangi contoh diatas dengan menggunakan bilangan lain sampai siswa terampil dalam menentukan perpangkatan dua atau bilangan kuadrat. Pada tahap berikutnya menghitung jumlah bangun-bangun yang sudah disusun menjadi persegi. Dengan menghitung jumlah berapa bangun pada bangun persegi artinya dua persegi mendatar dan dua persegi vertikal melambangkan bilangan pangkat dua. Bilangan pangkat dua adalah perkalian dua buah bilangan yang sama. Siswa diminta untuk menyusun persegi bentuk lain dan menunjukkan bilangan kuadrat yang dibentuk.
22 =
32 =
Jadi, 22 = 2 x 2 =4
Jadi, 32 = 3 x 3 = 9
Dari gambar diatas dapat dijelaskan bahwa dari sebuah persegi besar yang dibagi menjadi beberapa persegi kecil menandakan hasil dari perpangkatan dari suatu bilangan. Lebih jelasnya dua pangkat dua sama dengan empat atau tiga pangkat dua hasilnya sembilan. Jumlah persegi-persegi kecil yang disusun menjadi sebuah persegi tersebut adalah hasil dari perpangkatan dua, yang disebut bilangan kuadrat. Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan membentuk kelompok, siswa dengan dibimbing guru dibagi menjadi beberapa kelompok heterogen dengan jumlah masing-masing 825
kelompok 3 atau 4 orang. Masing-masing kelompok dibagikan Lembar Kerja Siswa yang berisi masalah menentukan kuadrat dari bilangan 5, 6, 7, dan 8. Pada kegiatan ini siswa menyusun kertas bangun-bangun dengan benar, seperti yang telah disampaikan guru. Siswa menyususun bangun-bangun tersebut berdasarkan soal-soal yang diberikan, selanjutnya melengkapi bangun-bangun tersebut sehingga menjadi sebuah persegi. Setelah selesaikan mengerjakan tugas kelompoknya, masing-masing kelompok persentasikan hasil kerja kelompoknya di depan kelas. Kelompok yang lain menanggapi hasil kerja kelompok teman yang lain. Masing-masing kelompok menyimpulkan materi pelajaran yang telah disampaikan. Setiap kelompok membacakan hasil kesimpulannya tentang materi yang disampaikan guru. Selanjutnya guru bersama-sama siswa menyimpulkan materi yang telah diajarkan sesuai dengan hasil kesimpulan yang disampaikan dari setiap kelompok. Pada kegiatan ini masing-masing kelompok untuk tetap menggunakan bangun-bangun berwarna yang disusun menjadi bangun untuk menentukan pangkat dua. Berikutnya dilanjutkan dengan soal yang melatih siswa dalam menentukan hasil dari pangkat dua. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Nurhakiki, dkk (2013), bahwa media pembelajaran dapat membantu siswa untuk memahami makna. Media juga berfungsi membantu guru untuk menanamkan konsep kepada siswa. Kegiatan selanjutnya siswa mengerjakan latihan yang diberikan guru kemudian latihan yang sudah dikerjakan diperiksa oleh guru satu persatu. Dari latihan yang diberikan guru hampir dari keseluruhan siswa mendapatkan hasil yang berada di atas KKM, dan penulis beranggapan pembelajaran pangkat dua dengan menggunakan kertas bangun persegi berwarna dapat meningkatkan hasil belajar siswa. KESIMPULAN Pembelajaran dengan media bangun persegi yang dapat memahamkan siswa terhadap materi kuadrat suatu bilangan dapat dilakukan dengan langkah-langkah: memodelkan bilangan kuadrat dengan bangun persegi, siswa praktik menyusun bilangan kuadrat dengan media bangun persegi, dan menyelesaikan masalah berkaitan dengan bilangan kuadrat. Pembelajaran dengan media bangun persegi dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang bilangan kuadrat siswa kelas IV SDN 006 Bukit Liman Natuna. Hal ini ditandai dengan meningkatnya jumlah siswa yang memperoleh nilai di atas KKM. DAFTAR RUJUKAN Nurhkiki, dkk, 2013. Media Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. UM Press. Malang. Rivai, Ahmad. 1991. Media Pembelajaran. Bandung : Sinar Baru. Subanji, 2011. Matematika Sekolah dan Pembelajarannya. J-TEQIP Jurnal Peningkatan Kualitas Guru. Tahun II No 1 pp: 1-12. Subanji, 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. UM Press. Malang
UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS V SDI RAI MATERI PENJUMLAHAN BILANGAN BULAT DENGAN MEDIA PAPAN BILANGAN Metodius Makul Guru SDI Rai, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, NTT Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan papan bilangan untuk meningkatkan hasil belajar dan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran pada konsep penjumlahan bilangan bulat siswa kelas V semester I SDI Rai tahun pelajaran 2012/2013. Jenis Penelitian yang digunakan adalah penelitian tindakan kelas dengan pelaksanaannya dua siklus. Penerapan pembelajaran dengan media papan bilangan meningkatkan rata-rata ulangan harian pada siklus I 58,97 meningkat menjadi 70,29 pada siklus II. Persentase ketuntasan belajar klasikal pada siklus I 62% menjadi meningkat 94%
826
pada siklus II. Hasil observasi siklus I berada dalam kategori cukup meningkat menjadi sangat baik pada siklus II. Kata kunci: Alat peraga papan bilangan, konsep penjumlahan bilangan bulat, hasil belajar siswa.
Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 mengamanatkan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdas kan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pendidikan merupakan suatu kegiatan yang berintikan interaksi antara peserta didik dengan para pendidik serta berbagai sumber pendidikan. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik dan sumber-sumber pendidikan tersebut dapat berlangsung dalam situasi pergaulan (pendidikan), pengajaran, latihan, serta bimbingan (Sukmadinata, 2010:24-25). Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama (Depdiknas, 2008: 134). Matematika berkenaan dengan ide-ide/konsep-konsep abstrak yang tersusun secara hirarkis dan penalarannya deduktif. Hal yang demikian tentu akan membawa akibat pada terjadinya proses pembelajaran matematika. Menurut Piaget (Subarinah, 2008:3), umumnya anak Sekolah Dasar (SD) berumur 6/7 – 12 tahun berada pada periode operasi konkrit. Oleh karenanya sebaiknya pembelajaran matematika di SD dibuat konkrit, mengingat matematika lahir sebagai ilmu deduktif aksiomatis yang bersifat abstrak. Pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang melibatkan seseorang dalam upaya memperoleh pengetahuan, keterampil an dan nilai-nilai positif dengan memanfaat kan berbagai sumber. Pembelajar an dapat melibatkan dua pihak yaitu siswa sebagai pembelajar dan guru sebagai fasilitator. Yang terpenting dalam kegiatan pembelajar an adalah terjadinya proses belajar (Susilana dan Riyana, 2009: 1). Demikian halnya dalam pembelajar an matematika Sekolah Dasar (SD) sangat penting untuk menekankan maedia (peraga) untuk mengembangkan pemahaman siswa. Benda-benda fisik atau manipulatif untuk memodelkan konsep-konsep matematika merupakan alat-alat penting untuk membantu siswa belajar matematika. Dalam hal ini konsep matematika berisi hubungan-hubungan logis yang dikonstruksi didalamnya dan yang ada dalam pikiran sebagai bagian dari jaringan ide. Model untuk sebuah konsep matematika merujuk kapada sebarang objek atau gambar yang menyatakan konsep tersebut atau yang padanya hubungan konsep dapat dikaitkan. secara tekhnis, semua yang dilihat oleh siswa adalah objek fisik dan hanya otak siswa yang dapat mengaitkan hubungan matematika dengan objek tersebut (Thompson dalam Subanji, 2011: 102). Kenyataan yang dihadapi peneliti dalam pembelajaran Matematika di kelas V SDI Rai memperlihatkan sebagian besar hasil belajar siswa rendah. Hal ini ditandai dengan rendahnya perolehaan nilai rata-rata kelas dalam ulangan harian untuk Materi Pokok Operasi Hitung Penjumlahan Bilangan Bulat, kurang dari 60. Dari jumlah siswa 34 orang yang terdiri atas siswa laki-laki berjumlah 19 orang dan siswa perempuan berjumlah 15 orang, terdapat 26 orang yang mendapatkan nilai kurang dari 60 atau dapat dipersentasekan 76% siswa belum mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM). KKM mata pelajaran matematika kelas V di SDI Rai adalah 60. Dengan demikian pencapaian siswa terhadap mata pelajaran matematika, materi pokok Penjumlahan Bilangan Bulat adalah 8 orang atau dapat dipersentasekan 24 %. Dari hasil refleksi dan kajian terhadap permasalahan di atas ditemukan faktor penyebabnya yaitu: Guru kurang menggunakan media atau alat peraga pembelajaran yang efektif dan efisien dalam membelajarkan konsep-konsep yang abstrak dan rendahnya aktivitas siswa selama proses pembelajaran, yang mengakibatkan hasil belajar siswa rendah. Alat peraga yang cocok untuk permasalahan di atas adalah papan bilangan. Oleh karena itu dalam penelitian ini, peneliti menggunakan papan bilangan sebagai salah satu alternatif tindakan untuk mengatasi permasalahan tersebut. 827
Menurut Schramm (Susilana dan Riyana, 2009:6), media atau alat peraga pembelajaran adalah tekhnologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran. Media pembelajar an adalah media yang dapat digunakan untuk membantu siswa dalam memahami dan memperoleh informasi yang dapat didengar atau dilihat oleh pancaindera sehingga pembelajaran dapat berhasil guna dan berdaya guna (Prihatin, 2008:50). Jadi alat peraga merupakan alat bantu pembelajaran yang dapat menghantarkan pesan pembelajaran kepada siswa agar tidak terjadi verbalisme. Tujuan penggunaan alat peraga dalam pembelajaran matematika, (Sukayati dan Suharjana, 2009:6), antara lain: Memberikan kemampuan berpikir matematika secara kreatif, Mengembangkan sikap yang menguntungkan kearah berpikir matematika, Menunjang matematika di luar kelas yang menunjukkan penerapan matematika dalam keadaan sebenarnya, Memberikan motivasi dan memudahkan abstraksi. Manfaat penggunaan media atau alat peraga dalam pembelajaran (Susilana dan Riyana, 2009:9), antara lain: Memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis, Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, tenaga dan daya indera, Menimbulkan gairah belajar, interaksi lebih langsung antara murid dengan sumber belajar., peserta didik mempunyai pengalaman belajar, Memungkinkan anak belajar mandiri sesuai dengan bakat dan kemampuan visual, auditori dan kinestetiknya, dan Memberi rangsangan yang sama, mempersamakan pengalaman dan menimbulkan persepsi yang sama. Selain itu, kontribusi media pembelajaran menurut Kemp dan Dayton (Susilana dan Riyana, 2009:9-10), antara lain: Penyampaian pesan pembelajaran dapat lebih terstandar, Pembelajaran lebih menarik, Pembelajaran lebih interaktif dengan menerapkan teori belajar, Waktu pelaksanaan pembelajaran dapat diperpendek, Kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan, Proses pembelajaran dapat berlangsung kapanpun dan dimanapun diperlukan, Sikap positif siswa terhadap materi pembelajaran serta proses pembelajaran dapat ditingkatkan, dan Peran guru berubah ke arah yang positif. Demikian halnya penggunaan papan bilangan dalam membelajarkan konsep operasi hitung penjumlahan bilangan bulat siswa kelas V semester I di SDI Rai tahun pelajaran 2012/2013, akan memberikan kontribusi yang besar bagi pengalaman belajar siswa. Papan bilangan adalah alat yang digunakan untuk memperagakan atau membantu pembelajaran operasi hitung penjumlahan bilangan bulat sehingga lebih memperjelas fakta, konsep, prinsip agar tampak lebih nyata. Dengan demikian, penggunaan papan bilangan dapat meningkatkan minat belajar siswa, serta pembelajaran akan menjadi menarik dan tidak membosankan. Yang dimaksudkan dengan papan bilangan dalam penelitian ini adalah alat peraga matematika yang dibuat dari papan kayu untuk membelajarkan konsep operasi hitung penjumlahan bilangan bulat. Bentuk (gambar) alat peraga papan bilangan, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Bentuk papan bilangan
Adapun manfaat penggunaan papan bilangan sebagai alat peraga pembelajaran bagi siswa antara lain: Materi yang disajikan lebih sederhana dan konkrit, Siswa lebih mudah memahami materi pembelajaran, Siswa dapat melakukan percobaan sendiri (siswa mengalami belajar), Pembelajaran lebih menarik dan menyenangkan , dan Hasil belajar siswa dapat ditingkatkan. Contoh Pembelajaran Operasi Hitung Penjumlahan Bilangan Bulat dengan menggunakan Papan Bilangan Penjumlahan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif. Contoh soal: Hitunglah hasil dari 8 + (-12) = Penyelesaian: 1. Ikan akan bergerak melangkah maju sebanyak 8 langkah.
Gambar 2.Penjumlahan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif
828
2. Pada posisi diangka 8, ikan akan bergerak mundur sebanyak 12 langkah. Seperti pada gambar di bawah ini:
Gambar 3. Ikan berada pada posisi angka -4
3. Ikan sekarang berada pada posisi diangka -4, dan merupakan hasilnya. 4. Jadi, 8 + (-12) adalah -4. Tujuan penelitian ini untuk Mendeskripsikan penggunaan papan bilangan dalam meningkatkan aktivitas dan hasil belajar pada konsep operasi hitung penjumlahan bilangan bulat siswa kelas V semester I SDI Rai tahun pelajaran 2012/2013. METODE Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas dengan menggunakan desain PTK model Kemmis & Mc Taggart seperti pada gambar dibawah ini: Plan Revised Plan
Reflection Plan
Action/Observation
tion Reflection
Revised Plan Action/Observation Plan
Gambar 4. Desain PTK Model Kemmis & Mc Taggart Maryaeni dan Sunoto, (2011:15).
Tempat berlangsungnya penelitian ini di SDI Rai, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai. Subjek penelitian ini siswa kelas V Semester I tahun pelajaran 2012/2013 yang berjumlah 34 orang dengan rincian laki-laki berjumlah 19 orang dan siswa perempuan berjumlah 15 orang. Alokasi Waktu penelitian selama 3 (tiga) bulan, yaitu dari bulan Januari sampai dengan bulan Maret tahun 2013. Tekhnik pengumpulan data yang dilakukan adalah data hasil belajar siswa dan data hasil observasi . Data hasil belajar diperoleh melalui tes dari setiap siklus. Hasil tes siklus I dibandingkan dengan hasil tes pada siklus II. Pengumpulan data melalui observasi dilakukan peneliti dan dibantu oleh guru lain sebagai observer. Tekhnik Analisis Data yang dilakukan adalah analisis data hasil tes dan analisis data hasil observasi. Data hasil tes dianalisis menggunakan kuantitatif deksriptif untuk mengetahui ketuntasan belajar secara individu maupun secara klasikal. Seorang siswa (individu) dikatakan telah tuntas belajar apabila telah mencapai ketuntasan belajar dengan perolehan nilai minimum 60. Sedangkan ketuntasan belajar secara klasikal tercapai apabila paling sedikit 85% siswa di kelas tersebut telah tuntas belajar. Untuk melihat ketuntasan belajar secara individu dan klasikal menggunakan rumus: Ketuntasan belajar individu:
829
Ketuntasan belajar klasikal:
Data hasil observasi dianalisis dengan menggunakan kuantitatif deksriptif untuk mengetahui peningkatan aktivitas siswa secara berkelompok, dengan kriteria penilaian yang mengacu pada rumus yang dikembangkan oleh Azwar, (2007: 108). HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Ketuntasan belajar siswa Kondisi ketuntasan belajar siswa pada kegiatan pra tindakan menunjukkan bahwa dari jumlah keseluruhan siswa 34 orang, terdapat 8 orang yang tuntas dengan Nilai rata-rata kelas 47, 35. Persentase ketuntasan belajar secara klasikal 24%. Setelah tindakan siklus I, hasil belajar siswa terjadi peningkatan yaitu, dari jumlah keseluruhan siswa 34 orang, terdapat 21 orang yang tuntas dengan Nilai rata-rata kelas 58,97. Persentase ketuntasan belajar secara klasikal 62%. Ketuntasan belajar klasikal pada siklus I belum sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan. Pada siklus II hasil belajar siswa mengalami peningkatan yang signifikan, yaitu dar jumlah seluruh siswa 34 orang terdapat 32 siswa yang tuntas belajar dan 2 orang siswa lainnya belum tuntas, nilia rata-rata kelas mencapai 70,29 dan persentase ketuntasan belajar klasikal 94%. Terhadap hasil belajar siswa yang diuraikan di atas, dibawah ini akan disajikan dalam bentuk tabel nilai rata-rata hasil belajar dan digram persentase ketuntasan belajar secara klasikal mulai dari kegiatan pra tindakan sampai tindakan siklus II. Tabel 1.Perolehan nilai rata-rata hasil belajar siswa Nilai Rata-Rata Hasil Tes Siklus I
47, 35
58,97
Persentase
Pra Tindakan
Siklus II 70,29
100.00% 90.00% 80.00% 70.00% 60.00% 50.00% 40.00% 30.00% 20.00% 10.00% 0.00%
Pra Tindakan
Pra Tinda kan 24.00%
Siklus I
Siklu sI
Siklu s II
62.00%
Siklus II
94.00%
Gambar 5. Diagram hasil persentase ketuntasan belajar klasikal kegiatan pra tindakan, siklus I dan siklus II
830
2. Aktivitas siswa dalam kelompok Hasil observasi menunjukkan bahwa pada siklus I, aktivitas siswa secara kelompok berada dalam kategori cukup dan meningkat menjadi amat baik pada siklus II. Hasil observasi aktivitas siswa pada siklus II telah mencapai atau lebih tinggi dari kriteria aktivitas siswa yang telah ditentukan yaitu minimum barada dalam kategori baik. Data hasil observasi akan disajikan seperti pada tabel di bawah ini: Tabel 2. Hasil Observasi Aktivitas Kelompok Siklus I Aspek yang dinilai Kerja Keberanian Nama Keaktifan Sama bertanya kelompok 1–4 1–4 1–4 Klp. I 2 2 2 Klp. II 3 3 2 Klp. III 2 3 2 Klp. IV 3 2 2 Klp. V 2 3 1 Klp. VI 3 2 2 Klp. VII 3 2 2 Total 18 17 13 Rata-Rata
Pemahaman Prosedural 1–4 2 2 3 2 2 2 3 16
Tabel 3. Hasil Observasi Aktivitas Kelompok Siklus II Aspek yang dinilai Kerja Keberanian Pemahaman Nama Keaktifan Sama bertanya Prosedural kelompok 1–4 1–4 1–4 1–4 Klp. I 3 3 3 3 Klp. II 4 3 3 3 Klp. III 3 3 3 3
Jumlah
Kategori
8 10 10 9 8 9 10 64 9,14
Kurang Cukup Cukup Kurang Kurang Kurang Cukup
Jumlah
Kategori
12 13 12
Baik Baik Baik Sangat Baik Baik Sangat Baik Sangat Baik
Klp. IV
4
4
4
4
16
Klp. V
3
3
3
3
12
Klp. VI
4
3
4
3
14
Klp. VII
4
4
3
3
14
Total
25
23
23
22
93
Rata-Rata
13,28
831
Cukup
Sangat Baik
14 12 10 8
13.28
6
9.14
4 2 0 Siklus I
Siklus II
Gambar 6. Diagram Data hasil observasi aktivitas kelompok siklus I dan II
Kegiatan Siklus I Siklus II
Rata-Rata 9,14 13,28
Kategori Cukup Sangat Baik
KESIMPULAN Dengan memperhatikan hasil dan pembahasan di atas maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa: 1) Penggunaan papan bilangan sebagai salah satu alternatif tindakan sangat efektif dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada konsep operasi hitung penjumlahan bilangan bulat siswa kelas V semester I di SDI Rai tahun pelajaran 2012/2013. Kondisi ini dinyatakan melalui peningkatan hasil belajar siswa pada setiap siklus yaitu Kondisi ketuntasan belajar siswa pada kegiatan pra tindakan menunjukkan hasil 24%, meningkat menjadi 62% pada siklus I dan meningkat menjadi 94% pada siklus II. 2) Penggunaan papan bilangan juga sangat bermanfaat bagi peningkatan aktivitas siswa selama proses pembelajaran. Hal ini ditandai dengan meningkatnya aktivitas siswa secara berkelompok selama pelaksanaan tindakan, yaitu aktivitas siswa secara kelompok pada siklus I berada dalam kategori cukup dan meningkat menjadi amat baik pada siklus II. DAFTAR RUJUKAN Azwar, S., 2007. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka belajar Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2008. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 Tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Depdiknas. Maryaeni dan Sunoto, 2011. Penelitian Tindakan Kelas. Malang : Universitas Negeri Malang. Prihatin, E., 2008. Guru Sebagai Fasilitator. Bandung: Karsa Mandiri Persada. Susilana, Rudi dan Cepi Riyana, 2009. Media pembelajaran. Bandung: Wacana Prima. Subanji, 2011. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Universitas Negeri Malang. Subarinah, S., 2008. “Inovasi Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar”. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta: Departeman Pendidikan Nasional. Sukmadinata Nana S.,2010. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sukayati dan Agus Suharjana, 2009. “Pemanfaatan Alat Peraga Matematika Dalam Pembelajaran Di SD”, Jakarta: Depdiknas. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, FIP-UPI, 2009. Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imperial Bhakti Utama. Saputra, R., 2009. Seri Matematika Untuk Anak-Anak Mengenal Bilangan. Bandung: Graha Bandung Kencana. 832
PEMBELAJARAN BILANGAN KUADRAT PADA SISWA KELAS V SD Harianinovita Surya Hidayat Guru SD Negeri 1 Sabang Guru SD Negeri 5 Sabang
[email protected] Abstrak: Untuk menentukan suatu bilangan kuadrat dibawah sepuluh dapat dilakukan dengan menggunakan pola petak persegi. Sedangkan untuk menentukan bilangan kuadrat diatas sepuluh dapat kita lakukan dengan membulatkan bilangan kepuluhan dan kelipatan sepuluh agar memudahkan siswa dalam melakukan perkalian. Strategi menemukan pola dalam kegiatan matematika berkaitan dengan proses menemukan suatu pola dari sejumlah data yang diberikan dapat mulai dilakukan melalui sekumpulan gambar atau bilangan. Sedangkan strategi menebak dan menguji yang dimaksud di sini adalah menebak yang didasarkan pada alasan tertentu secara kehati – hatian. Selain itu, untuk dapat melakukan tebakan dengan baik seseorang perlu memiliki pengalaman cukup yang berkaitan permasalahan yang dihadapi. Cara menentukan kuadrat suatu bilangan dapat dilakukan dengan mengalikan bilangan yang sama, atau juga bisa kita lakukan dengan membuat pola terutama bilangan kurang dari sepuluh. Kata kunci: bilangan kuadrat,bilangan berpola, menebak, menguji.
Peningkatan kualitas pendidikan di sekolah dapat ditempuh melalui berbagai cara, antara lain peningkatan bekal awal siswa baru, peningkatan kompetensi guru, peningkatan isi kurikulum, peningkatan kualitas pembelajaran dan penilaian hasil belajar siswa, penyediaan bahan ajar yang memadai dan penyediaan sarana belajar. Dari semua cara tersebut peningkatan kualitas pembelajaran melalui peningkatan kualitas pendidik menduduki posisi yang sangat strategis dan akan berdampak positif. Dampak positif tersebut berupa: (1) Peningkatan kemampuan menyelesaikan masalah pendidikan dan masalah pembelajaran yang dihadapi secara nyata. (2) Peningkatan kualitas masukan proses dan hasil belajar. (3) Peningkatan keprofesionalan pendidik. (4) Penerapan prinsip pembelajaran berbasis penelitian (Taniredjo, dkk. 2013: 1-2). Ketrampilan mengajar merupakan kompetensi professional yang cukup kompleks sebagai integrasi dari berbagai kompetensi guru secara utuh dan menyeluruh. Menurut Turney (dalam Taniredjo, dkk. 2013: 2) mengungkapkan adanya delapan ketrampilan mengajar yang sangat berperan dan menentukan kualitas pembelajaran yang meliputi ketrampilan bertanya, memberi penguatan, mengadakan variasi, menjelaskan dan menutup pembelajaran, membimbing diskusi kelompok kecil, mengelola kelas serta mengajar kelompok kecil dan perorangan. Pembelajaran bermakna merupakan suatu proses sistematis dan terencana yang dirancang oleh pembelajar (guru) untuk membelajarkan siswa sehingga siswa mampu : (1) mengkonstruksi pengetahuan baru melalui pengaitan dengan pengetahuan lama. (2) memahami materi lebih dari sekedar tahu. (3) mampu menjawab apa, mengapa, dan bagaimana. (4) menginternalisasi pengetahuan kedalam diri sedemikian sehingga membentuk prilaku. (5) mengolah prilaku menjadi karakter diri. Dalam hal ini peran guru adalah mengaitkan materi yang diajarkan dengan pengetahuan lama yang dimiliki. PEMBAHASAN Untuk mengetahui pengalaman belajar yang dibutuhkan siswa, tentunya guru perlu mengkaji Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang telah ditetapkan oleh Kemnediknas, memilih materi yang menunjang tercapainya kompetensi, mengetahui karakterisrik siswa, dan sarana dan prasarana yang tersedia di lingkungan belajar siswa. 833
Pelajaran matematika sering membosankan bagi siswa, karena dalam penyampaiannya guru melakukan langkah – langkah pembelajaran yang monoton. Biasanya guru melakukan pembelajaran dengan menjelaskan konsep pembelajaran yang ada didalam buku penunjang pembelajaran tanpa mencari tekhnik dan cara penyelesaian yang menarik bagi siswa. Pembelajaran tentang bilangan kuadrat memanglah dianggap suatu materi yang sangat mudah. Tetapi dalam menyelesaika soal masih ada siswa yang mengalami kesalahan terhadap hasil perkalian dua bilangan yang sama. Untuk itu pada tulisan akan dibicarakan bagaimana cara menentukan bilangan kuadrat dari suatu bilangan yang mudah dipahami oleh siswa. Materi tersebut diajarkan pada siswa kelas 5 SD. Untuk mengajarkan perkalian bilangan kudrat dapat dimulai dengan mengalikan bilangan itu dengan dirinya sendiri. Sebagai contoh dapat ditulis sebagai berikut 12 = 1 x 1 = 1 22 = 2 x 2 = 4 32 = 3 x 3 = 9 42 = 4 x 4 = 16 52 = 5 x 5 = 25 62 = 6 x 6 = 36 72 = 7 x 7 = 49 82 = 8 x 8 = 64 92 = 9 x 9 = 81 102 = 10 x 10 = 100 Untuk mengajarkan bilangan kuadrat dengan cara pembulatan dapat dmulai dengan menyusun rencana dan strategi – strategi penyelesaian, diantaranya adalah menebak dan menguji serta mencari pola. Strategi menemukan pola dalam kegiatan matematika berkaitan dengan proses menemukan suatu pola dari sejumlah data yang diberikan dapat mulai dilakukan melalui sekumpulan gambar atau bilangan. Sedangkan strategi menebak dan menguji yang dimaksud di sini adalah menebak yang didasarkan pada alasan tertentu secara kehati – hatian. Selain itu, untuk dapat melakukan tebakan dengan baik seseorang perlu memiliki pengalaman cukup yang berkaitan permasalahan yang dihadapi. (Yusriati: 2012 ) Dalam pembelajaran bermakna, untuk mengenalkan konsep bilangan kuadrat dapat digunakan pola petak persegi seperti berikut ini. IV III II I
Berdasarkan pola petak persegi tersebut selanjutnya guru dapat membuat pertanyaan sebagai berikut: Berapa banyak persegi ke … Ada berapa lapis?. Jawab … lapis. Lapisan paling atas ada berapa?. Jawab … Total isi seluruhnya ada berapa? Jawab ……. Strategi pola ini dapat di cari dengan menentukan jumlah deret n bilangan ganjil pertama (Subanji, 2013 ). Langkah – langkahnya yaitu dengan memahami masalah untuk n = 1, berarti jumlahnya = 1.ntuk n = 2, berarti 1 + 3 = 4, untuk n = 3, berarti 1 + 3 + 5 = 9. Selanjitnya diarahkan pada kesimpulan bahwa yang dicari adalah 1 + 3 + 5 + 7 + … + 2n – 1 =… 834
Dari pola yang sudah dicari tadi Selanjutnya kita tuliskan penyelesaian masalahnya yaitu 1 + 3 = n2 n=2 1 + 3 + 5 = n2 n=3 2 1+3+5+7=n n=4 1 + 3 + 5 + 7 + 9 = n2 n=.... 1 + 3 + 5 + 7 + 9 + 11 = n2 n=.... 1 + 3 + 5 + 7 + 9 + 11 + 13 = n2 n=.... 1 + 3 + .................................. + 15 = n2 n=.... (diambil dari Soenarjo, 2008 ) Untuk menentukan pola bilangan diperlukan ketrampilan berhitung selain kemampuan menentukan polanya. Contoh diatas merupakan bilangan dasar yang mudah diselesaiankan oleh siswa. Untuk menghitung selama ini guru mengajarkan bilangan kuadrat dilakukan dengan mengalikan bilangan yang sama, misalnya 112 = 11 x 11 = 121 hasil ini dapat di cari dengan cara bersusun kebawah seperti berikut ini 11 11 x 11 11 + 1 2 1 Banyak cara yang dapat digunakan dalam menyelasaikan soal matematika. Untuk itu guru harus mencari teknik yang memudahkan bagi siswa. Salah satu cara perkalian bilangan kuadrat adalah dengan cara membulatkan bilangan kebentuk puluhan agar mudah menghitungnya. Untuk menjawab pertanyaan ini dapat dilakukan sebagai berikut. Sebagai contoh berapakah bilangan kuadrat dari 11? 112 = (11 – 1 ) (11 + 1) + 12 112 = (10 x 12) + 12 x 112 =
10
11
-1
12
+1 112
= 10 x 12 + 12 = 120 + 1 = 121
Pada contoh diatas dapat diambil suatu ketentuan berapa bilangan kelipatan 10 yang terdekat dengan 11, jadi dapat dilihat bahwa bilangan 11 terdekat dengan 10. Perhatiakan contoh berikutnya x 122 =
10
-2
12
14
+2
122 = 10 x 14 + 22 = 140 + 4 = 144 Bilangan kelipatan 10 yang terdekat dengan 12 adalah 10 maka 12 dinaikkan 2 angka ke atas menjadi 12 dan 12 dikurangkan 2 ke bawah menjadi 10 maka 122 = ( 12 – 2 ) ( 12 + 2 ) + 22 835
Berapakah bilangan kelipatan 10 yang terdekat dengan 25. 25 dapat kita bulat kan keatas menjadi 30 dan ke bawah menjadi 20, 20 dan 30 merupakan bilangan kelipatan 10 sehingga dapat kita tulis 252 = (25 – 5 ) ( 25 + 5 ) + 52 = 20 x 30 + 25 = 600 + 25 = 625 x 252 =
20
25
-5
30
+5
122 = 20 x 30 + 52 = 600 + 25 = 625 Bilangan – bilangan berikut dapat digunakan untuk mengukur kemampuan siswa. Berapakah bilangan kuadrat dari 17? Maka disini guru dapat memberikan bantuan penyelesaian sebagai berikut. 17 2 = 17 x 17 = (17 - 3 ) ( … + 3 ) + 32 . siswa diajak untuk mengisi titik – titik yang masih kosong. Siswa akan dapat menemukan jawaban yang tepat yaitu 17, karena apabila 17 ditambah dengan 3 maka akan menghasilkan 20. Nah, 20 merupakan bilangan kelipatan 10 yang dekat dengan bilangan 17. Maka selisihnya 3 dikuadrat kan menjadi 32 = 9. Selanjutnya siswa akan mencari 14 x 20 + 32 = 280 + 9 = 289 Tentukan bilangan kelipatan 10 yang mendekati angka 22.maka ada alternative jawaban siswa akan menjawab 20 dan 30.Nah, disini kita dapat meminta siswa menguji apabila kita menggunakan 20 akan menghasilkan jawaban 484 dan menggunakan 30 akan menghasilkan jawaban 484 maka disini kita dapat mengajak siswa berfikir dan menganalisa untuk dapat menemukan hasil yang tepat. 222 = 22 x 22 = (… - 8 ) (… + 8) + 82 272 = 27 x 27 = (…-…) (… + … ) + … 322 = 32 x 32 = (…-…) ( … + …) + … Dengan mengajak siswa berlatih mulai dari mengamati pola dan seterusnya akan menjadikan siswa lebih trampil dalam menyelesaikan soal. Terjadinya perubahan tingkah laku pada siswa dapat dijadikan sebagai indikasi telah terjadinya kegiatan belajar. Ciri – ciri belajar dalam pandangan behaviorisme salah satunya adalah mementingkan pembentukan kebiasaan dan pemecahan masalah dengan „trial and error‟ (mencoba dan gagal ).belajar dengan pandangan behaviorisme sering terjadi pada siswa saat siswa mengikuti pembelajaran matematik. Siswa sering menemukan kegagalan dalam menemukan jawaban yang tepat. Oleh karena itu siswa sering diberika soal – soal yang sejenis sehingga siswa lebih paham dan berhasil dalam menyelesaikan masalah. Dalam menentukan pola siswa juga mengkonstruksikan fikirannya sehingga dapat menumbuhkan sikap positif, termotivasi dan mempunyai tujuan terhadap diri sendiri Dalam pandangan konstruktivisme terdapat dua pandangan yang berbeda : konstruksi individual dan konstruksi sosial. Proses instruksi dapat terjadi dan diawali dari proses interaksi sosial. Dalam pandangan lain siswa akan lebih berhasil dalam belajar apabila didukung dengan situasi yang dapat menumbuhkan sikap positif, kebutuhan, motivasi, dan siswa mempunyai tujuan diri sendiri. Guru berperan mengkondisikan situasi yang nyaman bagi siswa untuk belajar. (Subanji, 2013 :48 – 49 ) PENUTUP Dalam pembelajaran matematika diharapkan siswa bukan hanya terampil berhitung, tetapi siswa juga dapat menemukan pola, menebak dan menguji dan menemukan jawaban dengan berbagai macam cara penyelesaiannya. Dengan menggunakan strategi menemukan pola 836
serta strategi tebakan dan menguji siswa dapat dengan mudah menghitung kuadrat bilangan yang kurang dari sepuluh maupun yang lebih dari sepuluh. Seringnya siswa diberikan soal – soal latihan akan meningkatkan kreatifitas siswa, motivasi terhadap kegiatan pembelajaran khususnya matamatika dan dapat menumbuhkan rasa percaya dri siswa. DAFTAR RUJUKAN Subanji, 2013. Pembelajaran matematika kreatif dan inovatif. TEQIP kerjasama PT.Pertamina dan Universitas Negeri Malang. Soenarjo.RJ. 2008. Matematika 5 SD dan MI kelas 5. Jakarta : Pusat perbukuan Departemen Pendidikan Nasional. Tanireja, T., Faridli, E.M., & Harmianto, S. 2013. Model – Model Pembelajaran Inovatif dan Efektif. Bandung : Alfabeta. Yusriati.I, 2012. Pemecahan masalah matematika. ihyayusriati.blogspot.com/2012/08/p… (diakses tanggal 4 november 2013).
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF MODEL STAD BERBASIS LESSON STUDY DALAM PEMBELAJARAN SIFAT KOMUTATIF PENJUMLAHAN DAN PERKALIAN Herman Mau SDI Tanah Merah I Abstrak: Salah satu masalah yang sering dihadapi di sekolah untuk mata pelajaran matematika adalah siswa selalu beranggapan bahwa matematika merupakan pelajaran yang sangat sulit.. Hal ini berpengaruh terhadap hasil belajar siswa. Salah satu faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah guru, karena guru selalu memegang peranan penting dalam proses belajar mengajar atau guru selalu memonopoli pada setiap proses pembelajaran. Untuk mengatasi kurangnya peran aktif siswa dalam belajar guru harus memiliki kompetensi merancang kegiatan belajar agar pelaksanaan kegiatan belajar mengajar berjalan dengan baik, menarik, mudah dipahami dan sesuai urutan yang logis dengan memilih model pembelajaran yang tepat. Salah satu pembelajaran yang dapat dijadikan alternatif adalah pembelajaran kooperatif model STAD. Kata Kunci: pembelajaran, kooperatif STAD
Belajar merupakan proses memperoleh informasi yang diwujudkan dalam proses mengonstruksi informasi menjadi skema-skema pengetahuan yang ada dalam kognitif siswa. (Subanji,2013 ) Belajar juga dapat diartikan sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh informasi yang baru secara keseleruhan sebagai hasil pengalaman dalam interaksi dengan lingkungan. Proses pencarian informasi dapat menyebabkan perubahan pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotor) maupun efektif. Dalam proses belajar mengajar akan terjadi interaksi antara siswa dan guru. Guru berperan sebagai pengelola kegiatan belajar mengajar yang efektif. Dalam kegiatan belajar mengajar melibatkan beberapa komponen seperti siswa, guru, tujuan pembelajaran, materi, metode, media dan evaluasi. Keberhasilan proses belajar mengajar itu dipengaruhi oleh berbagai aspek, antara lain metode mengajar, sarana-prasarana, dan materi pembelajaran. Peran guru sangat penting dalam mengelola pembelajaran matematika. Guru tidak hanya menguasai teori-teori dan materi matematika saja. tetapi juga harus memiliki kompetensi merancang kegiatan pembelajaran agar pelaksanaan kegiatan belajar mengajar berjalan dengan baik, menarik, mudah dipahami dan sesuai urutan yang logis dengan memilih model pembelajaran yang tepat. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, penulis sebagai guru matematika di SDI Tanah Merah I sering menghadapi masalah di antaranya siswa tidak aktif dalam belajar, kurangnya motivasi dalam belajar dan yang sangat memprihatinkan ada siswa yang tidak masuk sekolah bila ada pelajaran matematika. Dampak dari gejala ini adalah hasil belajar siswa kurang 837
memuaskan. Dalam belajar banyak siswa yang tidak aktif dan hanya pasif sebagai penerima pelajaran. Ketika diskusi seringkali didominasi oleh siswa yang pandai dan yang cepat menerima pelajaran sedangkan yang kurang pandai hanya diam, dan mendengarkan. Ketika pembahasan hasil diskusipun siswa yang maju hanyalah siswa yang aktif tadi saja. Sedangkan yang lain tidak mau berpartisipasi. Selain itu banyak siswa yang beranggapan belajar matematika itu sulit dan membosankan. Belajar matematika adalah belajar dengan rumus dan soal-soal. Dalam satu minggu pelajaran matematika biasanya diisi 6 jam Siswa merasa belajar matematika banyak berpikir dan tentunya kurang mengasyikkan dan menarik bagi siswa. Ketidakberhasilan dalam pembelajaran tidak hanya disebabkan karena kurangnya motivasi dan peran aktif siswa saja, tetapi mungkin juga oleh pihak pengajar yaitu guru. Pembelajaran yang dilakukan oleh guru monoton hanya dengan metode ceramah. Model pembelajaran seperti itu kurang menarik bagi siswa dan tidak melibatkan siswa secara aktif. Akibtanya siswa menjadi cepat jenuh dan malas untuk belajar. Apabila hal ini terus dibiarkan, akan adanya anggapan bahwa pelajaran matematika merupakan pelajaran yang dianggap sulit dan menakutkan. Semuanya ini akan berdampak pada hasil belajar siswa yang kurang memuaskan. Untuk itu, guru harus mampu menciptakan, merancang model pembelajaran yang bervariasai, dan efektif untuk mencapai tujuan pembelajaran. Selain merancang model pembelajaran, penguasaan materi oleh seorang guru sangat diperlukan dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut di atas. Karena pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk bekerja secara kolaboratif dalam mencapai tujuan. Pembelajaran kooperatif merupakan suatu metode dimana siswa belajar bersama-sama dalam kelompok dan anggota dalam kelompok tersebut saling bertanggung jawab satu dengan yang lain (Slavin, 1997). Dalam pembelajaran kooperatif peranan guru adalah mendorong dan mengkondisikan kelas sedemikian hingga siswa bekerja sama dalam suatu tugas bersama dan mereka harus mengkoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas bersama. Karena itu pembelajaran koperatif memiliki unsur-unsur dasar sebagai berikut. 1. Setiap individu harus beranggapan bahwa mereka”sehidup sepenanggungan bersama” 2. Setiap individu bertanggung jawab terhadap segala sesuatu di kelompoknya 3. Setiap individu di dalam kelompok harus memiliki tujuan yang sama 4. Setiap anggota kelompok membagi tugas dan bertannggung jawab sama 5. Penghargaan menjadi milik bersama 6. Adanya berbagi kepemimpinan antar sesama anggota kelompok 7. Individu bertanggungjawab kepada kelompoknya,terhadap tugas yang diberikan. Dengan melihat unsur-unsur tersebut pembelajaran kooperatif yang dipilih adalah kooperatif model STAD. Pembelajaran kooperatif model STAD melatih siswa untuk menyampaikan ide atau gagasan dalam kelompok. Dalam penerapan model pembelajaran kooperatif model STAD ini guru membagi kelompok dengan anggota siswa yang hetoregen. Kelompok dibentuk guru dengan mempetimbangkan kecerdasan, keakraban, persahabatan dan minat siswa. Model pembelajaran kooperatif model STAD memberikan kesempatan kepada siswa terlibat aktif, berkomunikasi dengan teman dalam kelompok, lebih giat dalam belajar dan selalu dalam keadaan siap. Adapun langkah-langkah model pembelajaran STAD adalah: (1) guru menyajikan materi pelajaran (2) guru membentuk kelompok dengan maksimal 4 orang secara heterogen, (3) guru memberikan tugas kepada kelompok, (4) guru memberikan kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa secara individu, (5) guru memberikan evaluasi (6) guru memberikan kesimpulan. Untuk kali ini penulis menerapkan model pembelajaran kooperatif model STAD berbasis Lesson Study dengan langkah-langkah sebagai berikut. Rencana Pelaksanaan Kegiatan (Plan) Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (plan) kami lakukan bersama dengan mengadakan diskusi . Dengan memilih mata pelajaran matematika kelas IV ( empat ) semester I (satu) dengan alokasi waktu 2 x 35 menit. Dalam diskusi tersebut disepakati memilih standar kompetensi: Memahami dan menggunakan sifat-sifat operasi hitung bilangan dalam pemecahan masalah. Sedangkan Kompetensi Dasarnya: Mengidenfikasi sifat operasi hitung. Selanjutnya 838
dikembangkan indikator: Menentukan sifat komutatif pada penujmlahan dan perkalian dengan Tujuan pembelajaran : 1. Siswa dapat menentukan sifat komutatif penjumlahan. 2. Siswa dapat menentukan sifat komutatif pada perkalian . Materi : Sifat komutattif. Metode: Tanya jawab, diskusi , penugasan. Menyusun RPP : secara kolaboratif, Model pembelajaran : kooperatif model stad, Menetukan guru model dan moderator, Media : tabel penjumlahan dan perkalian. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar (Do) Pertama, pada awal pembelajaran guru memberikan apersepsi, Guru bertanya materi sebelumnya, “ Anak-anak masih ingat kalian tentang penjumlahan dan perkalian ? Jawab anakanak masih pa guru ! Kalau begitu anak-anak berapa hasil penjumlahan dari 24 + 32 ? Semua siswa dalam mengacungkan tangan berebutan untuk menjawab pertanyaan yang ditanyakan oleh guru. Kemudian guru mempersilakan siswa yang bernama Rangga untuk menjawab dan jawabannya 56. Guru semua siswa memberikan penghargaan kepada rangga dengan tepukan tangan. Terlihat siswa mulai bersemangat untuk menjawab pertanyaan apersepsi, guru melanjutkan dengan pertanyaan berikutnya berapa hasil 8 x 7 ? Semua siswa berebutan mengacungkan tangan, guru mennujuk siswa yang bernama Medy dan jawaban Medy adalah 56. Guru bersama siswa memberikan tepukan tangan untuk Medy. Setelah melakukan kegiatan apersepsi guru menyampaikan motivasi pada siswa bahwa materi yang dipelajari anak-anak pada hari ini akan dipelajari lagi pada pelajaran kelas V nanti. Kedua, Pada kegiatan inti guru menjelaskan materi secara singkat tentang sifat komutatif penjumlahan dan perkalian kemudian membagi siswa dalam lima kelompok, setiap kelompok terdiri dari 4 orang siswa dan setiap kelompok diberi namanya masing-masing.Setelah membagi kelompok guru membagi LKK kepada setiap kelompok. Guru menyuruh siswa untuk memperhatikan LKK yang dibagi. Sebelum memulai diskusi guru memberikan sebuah yel kepada siswa yaitu fine, fresh, fokus . Setelah itu guru menyuruh setiap kelompok untuk mendiskusikan LKK yang sudah dibagi. Berikut adalah contoh fasilitas yang didiskusikan oleh siswa mengenai sifat komutatif peenjumlahan dan perkalian. Kegiatan 1. Lengkapilah tabel penjumlahan di bawah ini ! + 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 5 3 5 4 9 5 9 6 13 7 13 8 17 9 17 10 Perhatikan tabel di atas ! @ Apakah 6 + 8 hasilnya sama dengan 8 + 6 ? Jawab : . . . . Jadi, 6 + 8 hasilnya . . . . 8 + Kegiatan 2. Lengkapilah tabel perkalian berikut ! x
1 2 1 2 3 4 5 6
3
3
4
5
6
7
8
9 10
6 6
12 12 30 30 839
7 8 9 10
56 56
Perhatikan tabel di atas ! @ Apakah 4 x 7 hasilnya sama dengan 7 x 4 ? Jawab : . . . . Jadi, 4 x 7 hasilnya . . . 7 x 4 Dari hasil kegiatan 1 dan 2 dapat kamu simpulkan bahwa pada sifat komutatif . . . dan sifat komtatif . . . walalupun kedua bilangan ditukar tempat hasil tetap . . . . Pada kegiatan diskusi semua siswa pada setiap kelompok kelihatan sangat aktif dalam mengisi lembar diskusi. Guru berkeliling dan mengamati setiap kelompok serta mengarahkan kelompokyang mengalami kesulitan dalam mengisi LKK. Hanya ada seorang siswa pada kelompok anggrek yang bernama aditia yang sangat usil. Anak tersebut sering mengganggu teman lain akan tetapi siswa tersebut didekati dan di beri nasihat oleh guru akhirnya siswa tersebut mulai aktif dalam diskusi kelompok. Setelah semua kelompok berdikusi sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh guru. Setiap kelompok dipersilakan untuk mempresentasikan hasil diskusi dengan mengisi tabel penjumlahan dan perkalian yang telah ditempelkan oleh guru pada papan tulis. Semua anak dalam kelompok diberi kesempatan oleh guru untuk maju ke depan untuk mengisi tabel yang telah disediakan. Pada pengisian tabel setiap kelompok mengisi tabel yang dengan benar. Pada model pembelajaran ini akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan membuat siswa yang pasif akan menjadi aktif. Siswa terlihat murung pada setiap proses pembelajaran akan kelihatan ceria, senang, dengan demikian dapat melatih mental siswa untuk siap pada kondisi dan situasi apapun. Meskipun ada beberapa siswa yang kelihatan agak grogi, merasa deg-degan, dalam mengisi tabel pada papan tulis, tetapi semua siswa dapat mengisi dengan benar. Ketiga. Pada kegiatan akhir kesimpulan materi pelajaran hari ini dilakukan bersama-sama dengan siswa, guru membimbing siswa untuk membuat kesimpulan pelajaran. Evaluasi akhir diberikan oleh guru sesuai dengan tujuan pembelajaran. Dalam waktu yang disepakati 15 menit sebagian besar siswa sudah selesai mengerjakannya, hanya ada beberapa orang siswa yang belum selesai dikarenakan murid tersebut sedikit lambat dalam belajar dan siswa siswa tersebut mengulang kelas atau tidak naik. Kemudian soal tersebut dibahas bersama-sama ternyata hasilnya cukup memuaskan dari 32 siswa keseluruhan yang tidak sempurna nilainya hanya 5 orang, sedangkan yang lainnya memperoleh nilai sempurna. Sebagai tindak lanjut guru memberikan arahan kepada siswa untuk tetap belajar dan siswa yang tidak sempurna nilai untuk mengerjakan kembali di rumah. Suasana belajar ini cukup menyenangkan karena semua siswa terlihat aktif dan bersemangat. Refleksi (See) Setelah kegiatan pembelajaran selesai maka diadakan refleksi yang dihadiri olek guru model, observer (rekan sejawat, kepala sekolah dan exspert dari UM). Beberapa catatan hasil observasi diantanya adalah: (1) Siswa diajak bernyanyi untuk mengantar ke pelajaran. (2) Kondisi dan respon siswa sangat baik ketika guru memberikan apersepsi, (3) Interaksi siswa dengan siswa mulai terjadi pada mengerjakan lembar kerja kelompok yakni (4) Interaksi dengan guru dari awal pelajaran sampai akhir pembelajaran, (5) Satu siswa laki-laki bernama aditya kurang aktif, (6) Membentuk kelompok dan membagi lembar kerja kelompok, (7) Guru mengamati dengan berkeliling untuk melihat semua kelompok pada saat diskusi, (8) Siswa terlibat dalam merangkum materi pelajaran, (9) Respon siswa sangat baik, yakni mengerjakan soal evaluasi, dan (10) Strategi pembelajaran yang tepat membuat suasana belajar menjadi menarik dan media pembelajaran yang tepat sangat membantu pemikiran siswa memahami konsep sifat komutatif penjumlahan dan perkalian.
840
PENUTUP Berdasarkan kegiatan pembelajaran di atas: 1. Guru harus memiliki kompetensi merancang kegiatan belajar agar pelaksanaan kegiatan belajar mengajar berjalan dengan baik, menarik, mudah dipahami dan sesuai urutan yang logis dengan memilih model pembelajaran yang tepat tepat membuat suasana dalam pembelajaran menjadi menarik sehingga siswa termotivasi dan aktif dalam belajar dan hasil belajar menjadi memuaskan. 2. Model pembelajaran stad membuat anak didik mampu menyampaikan gagasan ,dan melatih mental anak didik untuk berbicara pada kondisi dan situasi apapun. 3. Jika strategi pembelajaran dan media pembelajaran yang dipilih telah membuat kegiatan belajar menjadi menarik, efektif dan efisien dalam pemahaman konsep yakni siswa dapat menentukan sifat komutatif maka pembelajaran yang dilaksanakan bermakna. 4. Pembelajaran yang baik membutuhkan persiapan yang bagus pula (plan). DAFTAR RUJUKAN Slavin. 1997. ”Synthesis of research on cooperative learning” dalam Educational Leadership,Tahun XL(5):71-82. Subanji, dkk. 2013. Pembelajaran Kreatif dan Inovatif. Malang: Universitas Negeri Malang dan Pertamina.
UPAYA MENINGKATKAN DISIPLIN KERJA GURU SD GUGUS 2 DAN 3 DALAM MENGELOLA PEMBELAJARAN YANG BERMUTU DAN BERMAKNA DI KECAMATAN TAHUNA KABUPATEN KEPULAUAN SANGIHE Apolos Seba Pengawas TK/SD Kabupaten Kepulauan Sangihe Sulut Abstrak: Komponen pendidikan di Indonesia saat ini masih terus bergelut pada satu masalah pokok yakni masih rendahnya mutu pendidikan di negeri ini. Hal ini dibuktikan dengan masih rendahnya mutu sumber daya manusia (SDM). Masalah ini diduga karena belum optimalnya disiplin kerja para guru di sekolah. Salah satu faktor urgen yang menentukan mutu pendidikan adalah mutu pengelolaan dan proses pembelajaran di sekolah. Peningkatan mutu prestasi belajar siswa banyak dipengaruhi oleh kemampuan profesional guru dalam mengelola penyajian materi, metode dan media dalam kegiatan pembelajaran. Kehadiran pengawas diperlukan untuk memberikan bantuan kepada kepala sekolah dalam upaya meningkatkan disiplin kerja guru Sekolah Dasar di Kecamatan Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe. Kata kunci: Disiplin kerja guru, mengelola pembelajaran bermutu.
Peningkatan mutu prestasi belajar siswa banyak ditentukan oleh kemampuan guru dalam mengelola dan menyajikan materi pelajarannya. Pada sisi lainnya, kemampuan profesional guru dalam mengelola pembelajaran yang efektif sangat dipengaruhi oleh iklim manajerial yang diciptakan oleh pemimpin sekolah, yakni kepala sekolah. Kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan, menggerakkan, dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia di sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat mewujudkan visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. Karena itulah seorang kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan manajerial dan kepemimpinan yang memadai agar mampu mengambil inisiatif dan prakarsa untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya. Tenaga pendidik atau guru sebagai salah satu bidang garapan dalam sistem manajemen sekolah, perlu dikelola secara efektif, efisien, dan produktif oleh 841
manajer sekolah atau kepala sekolah. Pengelolaan yang baik terhadap para guru dapat berdampak positif bagi peningkatan mutu hasil belajar siswa, sekaligus meningkatkan mutu pendidikan di sekolah yang bersangkutan. Belum optimalnya disiplin kerja para guru di sekolah dalam upaya mengelola pembelajaran bermutu dan bermakna, berdampak cukup kompleks dan menyentuh nasib dan masa depan anak didiknya. Bagaimana mungkin siswa menjadi „anak baik‟ dalam pengertian berdisiplin, jika gurunya tidak memberikan contoh yang baik, terutama dalam bertindak disiplin? Kondisi ini perlu diubah diperbaiki oleh pengawas sekolah melalui pembinaan kepada para kepala sekolah, sekaligus pembimbingan dan pendampingan kepada guru-guru binaannya. Semakin tinggi prestasi belajar siswa, merupakan indikator semakin profesional gurunya. Dalam hal ini, rendahnya prestasi belajar siswa tidak harus menjadikan siswa sebagai kambing hitam, tetapi gurunya yang tidak profesional. Menurut Rice dan Bishoprick (dalam Bafadal, 2003:5) bahwa guru profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam me-laksanakan tugasnya sehari-hari. Peran dan tanggung jawab guru sangat dibutuhkan dalam meningkatkan mutu hasil belajar siswa khususnya dan mutu pendidikan pada umumnya. Hal tersebut sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Pasal (4) “Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dalam pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional”. Menurut Sanjaya (2006:21-32), guru dalam proses pembelajaran mempunyai peran yang sangat penting. Bagaimanapun hebatnya kemajuan teknologi, peran guru akan tetap diperlukan. Selanjutnya dikemukakan bahwa peran guru dalam kaitannya dengan proses pembelajaran, yang secara garis besar sebagai berikut. Sebagai pengelola atau manajer pembelajaran (learning manajemen), guru berperan dalam menciptakan iklim belajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman. Melalui pengelolaan kelas yang baik guru dapat menjaga kelas agar tetap konduksif untuk terjadinya proses belajar seluruh siswa. Tugas pertama yang harus dilakukan guru sebagai pengelola atau manajer pembelajaran adalah menyusun rencana pembelajaran. Dalam PP nomor 19 tahun 2005 pasal 20 dinyatakan bahwa perencanaan proses pembelajaran meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran yang memuat sekurang-kurangnya tujuan pembelajaran, materi ajar, metode pengajaran, sumber belajar, dan penilaian hasil belajar.Dengan demikian, dalam menyusun rencana pembelajaran (RPP), seorang guru harus melakukan hal-hal sebagai berikut; (1) Menetapkan tujuan pembelajaran (sesuai dengan indikator dalam silabus); (2) Menetap-kan materi pembelajaran yang tepat dengan sumber pustaka yang tepat; (3) Menetapkan alokasi waktu secara tepat; (4) Mempertimbangkan pemberdayaan semua fasilitas pembelajaran, alat dan sumber belajar (lingkungan kelas, lingkungan sekitar, prabotan, buku dan sumber belajar, papan tulis, alat-alat tulis, media, alat peraga. dsb); (5) Memperhitungkan situasi, kondisi, dan potensi siswanya; (6) Menetapkan langkah-langkah pembelajaran yang baik, efektif, dan produktif guna mencapai hasil belajar yang bermutu; (7) Mempersiapkan teknik, alat, atau instrumen penilaian yang objektif, adil, dan efektif. Sebagai demonstrator guru harus dapat menunjukan bagaimana cara agar setiap materi pelajaran bisa lebih dipahami dan dihayati oleh siswa, juga dapat menghubungkan materi yang satu dengan lainnya. Oleh karena itu, sebagai demostrator erat kaitannya dengan pengatur strategi pembelajaran yang lebih efektif. Sebagai pembimbing, guru perlu memperhatikan hal-hal berikut. 1) Guru harus memiliki pemahaman tentang anak yang sedang dibimbingnya. Misalnya gaya dan kebiasaan belajar, potensi dan bakat yang dimiliki anak. 2) Guru harus memahami dan terampil dalam merencanakan, baik merencanakan tujuan dan kopetensi yang akan di capai maupun proses pembelajaran. Evaluasi yang dilakukan bukan hanya untuk menentukan keberhasilan siswa, tetapi juga digunakan untuk menilai kinerja guru itu sendiri, apakah guru telah melaksanakan proses pembalajaran sesuai dengan perencanaan atau belum, apa sajakah yang perlu diperbaiki. Evaluasi untuk menentukan keberhasilan guru tentu saja tidak sekompleks untuk menilai keberhasilan siswa, baik dilihat dari aspek waktu pelaksanaan maupun dilihat dari aspek pelaksanaan pembelajaran, dan pada umumnya evaluasi dilaksanakan setelah proses pembelajaran selesai atau berakhir. Peningkatan mutu atau keberhasilan siswa, sangatlah 842
ditentukan oleh peran seorang guru dalam proses pembelajan. Dalam hal ini guru harus profesional dalam tugasnya sebagai seorang pendidik. Pendapat ini memberikan tekanan bahwa disiplin merupakan sikap atau perilaku yang sudah mendarah daging dalam diri seseorang. Sikap ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, dan sebagainya, benar-benar tumbuh dari dalam diri seseorang (disiplin positif). Disiplin itu lahir, tumbuh, dan berkembang dari sikap seseorang di dalam sistem nilai budaya yang telah ada di dalam masyarakat. Dengan kata lain, unsur pokok yang membentuk disiplin tergantung pada sikap dalam diri seseorang, dan sistem nilai budaya yang ada dalam masyarakat. Salah satu syarat menjadi guru profesional adalah bersikap dan bertindak disiplin baik di sekolah maupun di tengah keluarga dan masyarakat. Selanjutnya Suryadi (dalam Alma, 2009:133) menegaskan bahwa guru yang berdisiplin dan sekaligus profesional antara lain memiliki lima hal, yaitu (1) mempunyai komitmen pada siswa dan PBM, (2) menguasai secara mendalam materi pelajaran yang disajikannya, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar melalui berbagai teknik evaluasi, (4) mampu berpikir sistematika, (5) merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya. Sikap mental sebagai aspek utama disiplin guru dalam melaksanakan tugas di sekolah seharusnya dibina dan dikembangkan secara positif oleh guru itu sendiri dengan bimbingan dan pembinaan pengawas dan kepala sekolahnya. Dalam kaitan ini Raka (dalam Rahman, dkk., 2006:44-45) menyatakan bahwa bagaimana kesejahteraan tetap terwujud sementara modal fisik telah berkurang jauh, jawabannya adalah mengembangkan modal maya. Modal maya adalah modal atau potensi manusia yang tidak berwujud, seperti modal intelektual, modal sosial, kredibilitas, dan semangat. Guru yang mampu mengembangkan potensi atau modal maya ini akan menjadi guru yang berdisiplin dan profesional. Sebaliknya, guru yang berdisiplin dan profesioanl akan selalu mengembangkan dan mengasah modal mayanya sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah atau siswa di mana ia bekerja. Seorang guru yang berdisiplin adalah pribadi yang kreatif dan inovatif. Tidak mungkin seorang guru, termasuk kepala sekolah, mampu berkreativitas dan berinovasi dalam mengelola sekolah atau mengelola pembelajaran jika tidak bersikap dan bertindak disiplin. Dalam kaitan ini Sagala (2008:180) menyatakan bahwa orang-orang kreatif adalah kaya akan ide dan orang itu mempunyai pendapat mengenai masalah dan peluang yang ada. Sedangkan inovasi adalah kemampuan untuk mengubah ide menjadi barang, jasa, atau proses untuk memecahkan masalah dan memanfaatkan peluang yang dihadapinya. Dapat dikatakan bahwa guru yang disiplin akan mampu menciptakan situasi pembelajaran yang bermutu dan bermakna, yang dapat berdampak pada peningkatan mutu proses dan mutu hasil belajar siswanya, mutu pendidikan pada umum, dan akhirnya akan berkontribusi pada peningkatan mutu sumber daya manusia. Dalam organisasi manapun di dunia ini, disiplin merupakan suatu perangkat yang patut ada jika ingin tujuan yang ditetapkan tercapai secara efektif dan efisien. Disiplin dimaksud akan membuat pengembangan karakter, pengendalian diri, keadaan teratur, efektif, dan efisien. Dalam hal ini seorang guru harus berusaha mengembangkan karakter yang mampu mengendalikan diri, patuh, taat, dan setia terhadap aturan profesi guru, aturan sekolah, dan peraturan perundang-undangan tentang pegawai negeri dan/atau guru. Sikap mengendalikan diri bersangkut paut dengan moral seseorang. Guru yang bermoral adalah dambaan bagi setiap orang yang memerlukan pendidikan. Guru bermoral, tidak hanya diperlukan siswa di kelas, tetapi juga diperlukan oleh masyarakat. Salah satu hal yang sangat tidak diharapkan masyarakat ialah adanya penyimpangan moral oleh guru. Menurut Coles (dalam Muktar & Priambodo, 2004:82) menyatakan bahwa kecerdasan moral merupakan kemampuan yang tumbuh pelahan-lahan untuk merenungkan mana yang benar dan mana yang salah, dengan menggunakan sumber emosional maupun intelektual manusia. Paling tidak masyarakat menghendaki agar guru memiliki kecerdasan moral yang tinggi sehingga memperkecil kemungkinan adanya pelanggaran disiplin yang dilakukannya, tidak saja yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengelolaan pembelajaran di kelas, tetapi juga dalam interaksi guru dengan masyarakat. Guru yang memiliki kecerdasan moral, pasti memiliki moral kerja yang terandalkan. Namun kenyataannya, guru bukanlah manusia super, yang bebas dari kesalahan dan/atau kekeliruan. „corruptio atau corruptus‟ berarti kebusukan, keburukan, kebejatan, 843
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpang-an dari kesucian, dari kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Prijodarminto (2004:35), menyatakan bahwa jika dikaitkan dengan disiplin pegawai negeri sipil, maka makna korupsi tidak selalu harus berkaitan dengan uang, tetapi dapat dikaitkan dengan waktu (jam kerja), barang/perlengkapan dinas (kendaraan), gedung atau bangunan dinas (rumah dinas), atau pelaksanaan pekerjaan (termasuk tidak melaksanakan pekerjaan). Jelaslah bahwa tidak melaksanakan tugas sesuai dengan ketepatan atau jumlah waktu yang ditentukan tergolong dalam tindakan korupsi waktu. Korupsi waktu yang sering dilakukan guru adalah terlambat tiba di sekolah. Keterlambatan guru ini sangat krusial jika dibandingkan dengan keterlambatan seorang staf administrasi di kantoran. Jika terlambat, seorang pegawai kantoran hanya ditunggu tumpukan kertas, atau paling tidak masyarakat yang membutuhkan pelayanannya. Tetapi bagi seorang guru, terlambat berarti menelantarkan anak didiknya yang „haus‟ akan pendidikan dari gurunya. Biasanya, jika guru terlambat, siswa cenderung mengobrol, bercanda, atau berlari,dan berkejaran ke sana kemari dalam kelas. Situasi kelas seperti ini akan rawan sekali terjadinya keributan atau perkelahian antar siswa dan dapat berakibat fatal. Berbagai alasan yang dikemukakan guru berkaitan dengan keterlam-batannya, seperti macet, mengurus anak, anak atau suami/istri sakit, ter-lambat bangun karena kegiatan kemasyarakatan semalam, dan sebagainya. Padahal, bagi seorang guru yang memiliki kecerdasan moral kerja tinggi, semua itu tidak pantas dijadikan alasan untuk tiba terlambat di sekolah. Bentuk korupsi waktu lainnya yang sering dilakukan guru adalah pulang lebih awal atau sebelum jam sekolah usai. Sama halnya dengan terlambat, pulang cepat dapat berdampak negatif bagi kelas khususnya bagi anak didik. Apalagi jika tidak ada guru pengganti. Memang, biasanya guru telah meninggalkan tugas yang harus diselesaikan siswanya. Namun, dasar anakanak, kelas tanpa guru paling rawan menjadi tidak tertib. Bentuk korupsi waktu ketiga yang serng dilakukan guru adalah mengisi waktu dengan mengobrol bersama teman guru, duduk membaca atau asyik dengan telepon genggam, serta meninggalkan kelas atau sekolah sebentar untuk urusan pribadi, atau tanpa tujuan yang jelas. Kelas tanpa guru cenderung berpotensi ketidaktertiban. Kelas tanpa guru, membuat siswa telantar dan cenderung santai daripada belajar.Korupsi waktu yang dilakukan guru tidak saja berdampak negatif pada penyelesaian tugas pengelolaan pembelajaran secara efektif dan efisien, tetapi juga berdampak pada perkembangan kepribadian siswa. Dalam hal ini Muktar & Priambodo (2004:84) menegaskan bahwa guru memang dituntut harus bijak, adil, dan memiliki nilai-nilai moral sebagai pedoman hidup. Artinya, dapat dipercaya dan dijadikan panutan oleh siswanya, tidak egois, dan tidak arogan dalam mempertahankan sikap. Segala gerak gerik langkah seorang guru akan dinilai oleh lingkungan, terutama oleh anak didiknya, sebagai ciri-ciri khas kepribadian yang dimilikinya. Bentuk pelanggaran disiplin yang kedua oleh guru adalah tidak hadir atau tidak datang ke sekolah, baik ada pemberitahuan lisan atau tertulis, maupun tanpa berita. Biasanya alasan yang disampaikan guru bermacam-macam, namun yang sering dikemukakan adalah kurang sehat atau sakit, anak sakit, istri/suami sakit, atau ada kegiatan sosial di kampung. Orang yang paling repot jika ada gurunya yang tidak hadir di kelas adalah kepala sekolah. Jika tak ada guru pengganti, terpaksa sang kepala sekolah wajib masuk dan mengajar. Nah, masalah makin rumit, jika pada saat bersamaan si kepala sekolah harus menghadiri rapat dinas. Dapat diduga, siswa akan terlantar seharian. Pelanggaran disiplin yang juga sering dilakukan guru adalah tidak bekerja secara maksimal. Guru mengajar tidak bersemangat, kurang motivasi, dan acuh tak acuh, sehingga cenderung berakibat tidak optimalnya hasil belajar siswa, sekaligus tidak tuntasnya program kerja si guru. Ketidakoptimalan guru mengajar antara lain karena kecerdasan moral kerjanya rendah. Orientasinya cenderung tidak pada bagaimana meningkat-kan mutu hasil belajar siswa, tetapi bagaimana menghabiskan waktu meng-ajarnya secepat mungkin agar dapat melakukan „bisnis‟ lain di luar sekolah. Dalam kaitan ini Mukhtar & Priambodo (2004:85) menyatakan bahwa adalah kewajiban seorang guru untuk mengetahui secara pasti apa yang dipahaminya sebagai etika mengajar yang berlaku pada suatu komunitas dan profesi tertentu. Sesuai dengan keputusan MENPAN RI Nomor 84 tahun 1993, maka seorang guru di sekolah mempunyai lima tugas pokok yang wajib dilaksana-kannya di kelas. Kelima tugas guru itu ialah menyusun program pembelajaran, melaksanakan program pembelajaran, melakukan 844
evaluasi hasil belajar, menganalisis hasil evaluasi belajar, serta melakukan perbaikan/remidial dan perbaikan. Di lapangan, banyak sekali guru yang tidak menyiapkan program atau rencana pembelajaran, terutama rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) atau persiapan mengajar. Mereka masuk kelas tanpa mempersiapkan diri secara optimal. Akibatnya, guru mengajar hanya mengikuti urutan materi dalam buku teks. Parahnya lagi, buku teks itu terbitan perusahaan swasta yang mutunya masih dipertanyakan. Lebih parah lagi, selama bertahun-tahun, siswa hanya belajar pada satu buku sumber tersebut. Guru hanya berbicara sepuluh sampai lima belas menit, selanjutnya siswa disuruh mengerjakan soal-soal dalam buku teks dan guru duduk santai tanpa merasa bersalah. Seharusnya guru menyadari bahwa RPP adalah pedoman atau penuntun baginya selama mengelola pembelajaran. Jika guru menyiapkan RPP yang baik, dia tidak akan kehabisan bahan ketika menyajikan materi pelajaran. Dengan RPP yang baik, guru juga pasti dapat menggunakan waktu seefisien mungkin selama pembelajaran. Lebih jauh lagi, jika guru menyiap-kan RPP dengan baik, dia akan menggunakan metode dan media yang ber-variasi, sehingga menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dialogis, dan bermakna. Guru yang tidak bekerja (mengelola pembelajaran) secara optimal, tidak saja melanggar disiplin kerja di sekolah, atau sebagai pegawai negeri sipil, tetapi juga dapat berakibat fatal bagi anak didiknya. Siswa bisa ketinggalan pelajaran, atau pun salah memahami konsep. Dapat diperkirakan bahwa situasi seperti itu akan sangat berpengaruh pada mutu hasil belajar siswa dan mutu pendidikan pada umumnya. Sebagai manusia biasa, tentu saja guru tidak akan terlepas dari kesa-lahan baik dalam berperilaku maupun dalam melaksanakan tugas pokoknya mengajar. Namun, jika kesalahankesalahan itu disadari dan disengaja guru, tentu saja itu merupakan tindak indisipliner dalam tugas. Guru seharusnya memahami bahwa tugas utamanya adalah mengelola pembelajaran, dalam pengertian menata lingkungan agar terjadi kegiatan belajar pada peserta didik. Dalam kaitan ini guru juga perlu menyadari bahwa pengelolaan pembelajaran memiliki sifat yang sangat kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis, dan didaktis secara bersamaan. Perbedaan sebagaimana diuraikan di atas, menuntut model pembelajaran yang berbedabeda. Aspek didaktis menunjuk pada pengaturan belajar siswa yang menuntut berbagai prosedur didaktis, berbagai cara pengelom-pokan siswa, serta beraneka ragam media pembelajarannya. Dalam kenyataannya di lapangan, banyak guru yang sama sekali tidak memperhatikan aspek pedagogis, psikologis, dan didaktis tersebut. Mereka tidak perduli dengan kekuatan dan kelemahan, minat dan perhatian yang berbeda-beda pada siswa. Mereka cenderung tidak perduli dengan perbedaan individual siswa itu selama proses pembelajaran, yang seharusnya membutuhkan variasi materi pembelajaran, model pembelajaran, serta alat/media pembelajaran. Akhirnya, supaya dapat bekerja secara maksimal, hendaknya guru mencamkan apa yang dikemukakan oleh Mulyasa (2007:37) berikut ini.Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh, panutan, dan identifikasi bagi peserta didik, dan lingkungannya. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri, dan disipin.Berkaitan dengan tanggung jawab, guru harus mengetahui serta memahami nilai, norma moral, dan sosial, serta berusaha berperilaku dan berbuat sesuai dengan nilai dan norma tersebut. Guru juga harus bertanggung jawab terhadap segala tindakannya dalam pembelajaran di sekolah, dan dalam kehidupan bermasyarakat. PEMBAHASAN MASALAH Keterpurukan pendidikan di Indonesia dewasa ini disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor yang berkaitan dengan kemauan politik para pengambil keputusan di tingkat pusat maupun di daerah, juga karena faktor-faktor internal sekolah seperti iklim manajerial yang kurang kondusif, kurangnya perhatian dan peran orang tua, dan kurang maksimalnya guru dalam melaksanakan tugas. Dalam kaitan ini Soedarsono (2006:19) menyatakan bahwa bertindak atau bekerja secara profesional adalah tuntutan yang selalu ada dalam bidang apa pun. Menjadi seorang profesional tidak disyaratkan oleh tingkat pendidikan tertentu sebab profesionalisme tidak ditentukan oleh tinggi rendahnya pendidikan yang diperoleh seseorang, tetapi oleh kompetensi dan karakter yang dimilikinya, yaitu usaha yang dilandasi dan dituntun oleh sikap dan tindak disiplin melalui nilai-nilai keberanian, semangat, dan pengabdian sejati. 845
Guna meningkatkan disiplin kerja dan profesionalisme para guru, pengawas sekolah perlu menyiapkan berbagai bahan dan strategi untuk diberikan kepada kepala sekolah dalam upayanya mengotimalkan disiplin kerja guru melalui kompetensi dan karakter keberanian, semangat, dan pengabdian sejati. Berikut ini beberapa hal yang dapat dijadikan bahan binaan pengawas sekolah kepada para kepala sekolah untuk berupaya meningkatkan disiplin kerja para guru sekolah dasar gugus 2 dan 3 di kecamatan Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe. Menyusun Tata Tertib Sekolah Secara Bersama Pengawas sekolah perlu mendorong dan membimbing kepala sekolah dan semua perangkat sekolah untuk bekerja secara tertib dan teratur, dengan mengacu pada tata tertib sekolah. Tata tertib menjadi aturan yang mengikat semua guru dan siswa, bahkan semua orang yang terkait dengan sekolah. Dharma (2007:215) menyatakan bahwa di setiap sekolah ada aturan yang berfungsi sebagai kode etik yang harus dijunjung tinggi para pendidik dan peserta didiknya. Supaya tata tertib dipatuhi, maka sebaiknya para pengawas memotivasi kepala sekolah untuk mengikutsertakan guru-guru dan perwakilan siswa. Dengan pendekatan seperti itu, para guru dan siswa merasa bahwa peraturan sekolah itu merupakan keputusan yang dibuatnya sendiri, dan tentu saja mereka wajib melaksanakan dan menaatinya. Menciptakan Disiplin Positif Pengawas sekolah perlu mengingatkan kepala sekolah bahwa upaya peningkatan disiplin hendaknya bertolak pada prinsip kepatuhan para guru adalah atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri. Artinya, sikap dan tindak disiplin para guru seharusnya bertumbuh atas kesadaran mereka sendiri. Sikap ini akan lebih murni dan lestari, sekaligus dapat menunjang peningkatan produktivitas kerja guru. Memberi Pembinaan Secara Berkala Guna peningkatan disiplin guru, pengawas sekolah mendorong para kepala sekolah untuk selalu memberikan pembinaan dan pembimbingan tentang tugas dan tanggung jawab para guru agar dalam diri mereka secara sadar tumbuh sikap disiplin untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (tupoksinya) mengelola pembelajaran yang efektif, efisien, produktif, dan bermakna secara bersungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Tidak Bertindak Otoriter Pengawas sekolah selalu mengingatkan para kepala sekolah dasar binaannya bahwa untuk menegakkan disiplin guru dan siswanya tidak harus secara otoriter, karena hal seperti itu akan menciptakan disiplin negatif yang kaku dan tidak lestari. Ratag dan Lengkong (1996:17) menegaskan bahwa : ”Disiplin negatif menunjuk kepada suatu keadaan disiplin karena takut pada hukuman atau sanksi.” Dengan kata lain, guru yang disiplin kaku sesungguhnya guru yang hanya berpura-pura bersikap dan bertindak disiplin, padahal sikap dan moralnya cenderung tidak baik. Memberi Teladan Pengawas sekolah selalu mengingatkan bahwa dalam meningkatkan disiplin kerja para gurunya, seorang kepala sekolah harus memberi teladan bagaimana menaati tata tertib atau kode etik sekolah secara konsisten dan bertanggung jawab. Roosevelt menyatakan: “Tidaklah adil meminta orang lain melakukan sesuatu yang kita sendiri tidak melakukannya”. Pembinaan Moral Kerja Pengawas sekolah perlu selalu menjelaskan dan meyakinkan para kepala sekolah binaannya bahwa upaya peningkatan disiplin di sekolah merupakan bagian dari pembinaan moral kerja dalam rangka meningkatkan produktivitas kerja. Nawawi Hadari (2003) menegaskan bahwa moral kerja dan disiplin kerja merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Personel yang memiliki moral kerja tinggi adalah personel yang berdisiplin tinggi dalam bekerja. Disiplin kerja pada dasarnya merupakan salah satu wujud moral kerja yang tinggi. Memberikan Hukuman / Sanksi Dalam kasus-kasus tertentu dan khusus, pengawas sekolah perlu mengingatkan para kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin sekolah dapat memberikan sanksi atau hukuman kepada guru, karyawan, dan juga siswanya yang telah melanggar disiplin dan/atau tata tertib sekolah, atau pun peraturan kepegawaian lainnya. Hal ini dilakukan jika segala upaya pembinaan, arahan, pendekatan, dan motivasi tidak membuat sang guru berubah sikap ke arah 846
yang positif. Pengawas sekolah perlu mengarahkan bahwa sanksi atau hukuman kepada para guru sebagai Pegawai negeri Sipil hendkanya merujuk pada Peraturan Pemerintah tentang hukuman disiplin PNS. Hukuman atau sanksi yang diberikan itu dapat berupa hukuman psikhis, maupun hukuman dinas sesuai peraturan yang berlaku. Menjadi Diri Sendiri Pengawas sekolah perlu mensosialisasikan dan menjelaskan pendapat yang dikemukakan oleh Soedarsono (2006:57-71) tentang empat hal yang dapat menumbuhkan perilaku disiplin kerja, termasuk para guru di sekolah, yang secara ringkas dan aplikatif dijelaskan berikut ini. Memercayai diri sendiri secara berlebihan menimbulkan disharmoni Bagi kebanyakan orang, kesuksesan identik dengan pangkat, jabatan, uang, dan fasilitas. Karena itu mereka mencurahkan seluruh kekuatan yang dimilikinya hanya demi „kekayaan duniawi itu. Apakah rasa percaya diri yang berlebihan karena selalu merasa sukses meraih pangkat, jabatan, dan penghasilan besar, merupakan cermin kedisiplinan seseorang? Kalau begitu, apakah lebih baik menjalani hidup tanpa melakukan apa pun dengan resiko tidak ada apa-apa yang diraih? Ataukah lebih baik mencoba meraih mimpi, meskipun taruhannya adalah mengalami kegagalan di balik kemungkinan bisa meraih mimpi kesuksesan? Dalam kaitan ini Roosevelt menyatakan: “Lebih baik berani melakukan sesuatu untuk memenangkan piala kejayaan meskipun harus dihiasi dengan kegagalan, daripada dibebani dengan semangat lemah, yang tidak senang, juga tidak menderita, karena mereka hidup dalam cahaya kelabu yang tidak mengenal kemenangan dan kekalahan.” Melengkapi IQ dan EQ Kecenderungan ketidakdisiplinan seseorang, termasuk guru, antara lain karena ketidakseimbangan antara intelligence quotient (IQ) dan emotional quotient (EQ). Goleman (dalam Rahman, 2006) menyatakan bahwa orang yang ber-IQ tinggi tetapi EQ-nya rendah, cenderung mengalami kegagalan yang lebih besar dibandingkan dengan orang yang IQ-nya rata-rata, tetapi EQ-nya tinggi. Untuk kasus ini, kepala sekolah, perlu memiliki kemampuan mencermati bawahannya, para guru, apakah tindak indisipliner mereka disebabkan oleh ketidakseimbangan IQ dan EQ? Memegang teguh prinsip ”knowledge is power but character is more” Soedarsono (2006:63,64) menceritakan seorang temannya yang berkunjung di Jepang sebagai berikut.... meskipun kunjungannya hanya dalam bilangan hari, ia dapat merasakan betapa masyarakat Jepang memiliki karakter yang prima dalam hal kedisiplinan. Awalnya tentu hanya merupakan imbauan, tatacara, atau tuntunan etika. Namun, ketika hal itu dipatuhi, diteladani, dan disemai oleh seluruh lapisan masyarakat (bangsa), apa yang semula hanya berupa imbauan, tatacara, atau tuntunan etika itu akan mengalami kristalisasi dalam kehidupan bermasyarakat dan bermetamorfosis menjadi suatu karakter bangsa. Agaknya pengawas sekolah perlu menjelaskan bahwa makna cerita pengalaman yang dikemukakan di atas tentang pembinaan karakter bermoral oleh bangsa Jepang, perlu menjadi bahan pembelajaran bagi para kepala sekolah dalam kaitannya dengan meningkatkan disiplin kerja guru-gurunya. Pengetahuan penting bagi guru, terutama dalam mengadaptasi diri dan kerja dengan kemajuan IPTEK yang kian pesat, tetapi tanpa karakter dan moral yang kuat, ia tak berarti apa-apa, dan bahkan berpotensi bertindak tidak disiplin. Membuka mata hati Pengawas sekolah perlu selalu mendorong para kepala sekolah agar perlu selalu mengajukan pertanyaan, mengapa guru-guru saya sering melakukan korupsi waktu atau tidak melaksanakan tugas secara maksimal? Salah satu jawaban dilihat dari aspek sosiologis dan juga psikologis ialah karena guru yang bersangkutan tidak membuka mata hatinya. Soedarsono (2006:68) menyatakan bahwa saya sangat tertarik untuk mencoba mendalami tentang hati, sebab dalam hati nurani itulah terdapat sifat-sifat dasar manusia yang telah ditanamkan Tuhan. Sifatsifat dasar inilah yang disebut jati diri manusia. Kerusakan manusia terjadi karena hatinya yang kotor, tertutup oleh segala macam penyakit dan kotoran sehingga sifat dasar yang telah diberikan Tuhan tidak bisa ditampilkan, apalagi ditumbuhkembangkan atau dibangun. Tidaklah heran kalau negara ini dikenal sebagai negara paling korup di di dunia, terutama di kawasan Asia.Selanjutnya dikatakan, kita patut malu sebab korupsi yang merajalela di negeri ini bukan 847
dilakukan oleh orang-orang bodoh, melainkan oleh orang-orang yang punya akal (otak) cerdas, serta bergelar akademis tinggi, namun tidak diawasi atau dikendalikan oleh hati nurani yang bersih. PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil bahasan terhadap permasalahan, maka dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut. Bahan binaan pengawas sekolah terhadap para kepala sekolah dalam upayanya meningkatkan disiplin kerja guru sekolah dasar gugus 2 dan 3 Kecamatan Tahuna Kabupaten Kepulauan Sangihe adalah: (1) menyusun tata tertib sekolah, (2) menciptakan disiplin positif, (3) memberi pembinaan secara berkala, (4) tidak bertindak otoriter, (5) memberi teladan, (6) pembinaan moral kerja, (7) memberi hukuman/sanksi, (8) memberi motivasi, dan (9) menjadi diri sendiri. Saran Berdasarkan bahasan dan kesimpulan sebagaimana dikemukakan di atas, perkenankan penulis mengajukan saran-saran sebagai berikut. 1. Guna memperkecil tindak pelanggaran disiplin guru, pengawas sekolah perlu selalu mendorong para kepala sekolah untuk wajib menciptakan manajemen terbuka dan transparan. 2. Guna peningkatan disiplin, maka pengawas sekolah mengingatkan para kepala sekolah agar perlu segera menertibkan para guru yang indisipliner, baik melalui pendekatan informal, maupun pendekatan sanksi/hukuman. DAFTAR RUJUKAN Alma. Buchari. H. 2009. Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil Mengajar. Bandung: Alfabeta. Bafadal, Ibrahim. 2003. Peningkatan Profesionalisme Guru SD. Jakarta: Bumi Aksara. Dharma, Agus. 2007. Manajemen Sekolah. Jakarta: Pusdiklat Depdiknas. Ratag.A.C. & Lengkong.J.F.J. 1996. Manajemen Pendidikan. Manado: IKIP. Mukhtar & Priambodo Ervin.A. 2004. Mengukir Prestasi. Jakarta: Misaka Galiza. Mulyasa. E. 2007. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nawawi Hadari. 2003. Administrasi Pendidikan. Jakarta : Gunung Agung. Prijodarminto, Soegeng. 2004. Disiplin Kiat Menuju Sukses. Jakarta: Pradnya Paramita. Rahman. H.,dkk. 2006. Peran Strategis Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan. Jatinangor: Alqaprint. Sagala, Syaiful.H. 2008. Administrasi Pendidikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta. Sanjaya. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Soedarsono, Soemarno. 2006. Hasrat untuk Berubah. Jakarta: Gramedia.
848
IMPLEMENTASI LESSON STUDYUNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN GURU MATEMATIKA SMP PADA MATERI MELUKIS GARIS SUMBU PADA SEGITIGA Anita Windarini Smp Negeri 1 Sanggau
[email protected] Abstrak: Berbagai cara dilakukan untuk mengembangkan kualitas dan keprofesionalan guru,satu di antaranya adalah dengan melakukan kegiatan Lesson Study. LessonStudy ini telah diterapkan di SMP, baik di SMP Negeri maupun di SMP Swasta di wilayah kabupaten Sanggau. Berbagai topik matematika dirasakan olehpara guru sebagai topik yang sulit untuk diajarkan, kadang juga sulit untuk dimengerti ataudipahami secara konsep, sehingga dengan belajar secara kolaboratif permasalahan guru itu akandapat diselesaikan. Melalui Lesson Study ini wawasan guru pengajar menjadi berkembang, karenaberbagai saran dan kritik yang membangun disampaikan kepada guru pengajar untuk memperbaiki pembelajarannya. SMP Negeri 1 Sanggau, salah satu SMP Negeri di kabupaten Sanggau. Telah melaksanakan Open Class (ongoing 1) pada tanggal 27 Mei 2013, dengan materi melukis garis sumbu pada segitiga yang dihadiri oleh satu orang expert UM, satu orang pengawas Dinas Pendidikan, dua orang kepala sekolah dan tiga orang guru mata pelajaran.KegiatanLesson Study ini dilakukan selain untuk meningkatkan ketrampilan guru dalampembelajaran, juga untuk meningkatkan kemampuan dan kejelian fasilitator dalam mengamatikegiatan selama proses pembelajaran. Dengan melaksanakan Lesson Study ini diharapkan guruakan dapat membenahi, memperbaiki, dan mengevaluasi dirinya tentang kegiatan yang telahdilakukan di kelas sehingga ke depan guru akan menjadi lebih baik dibanding dengan sebelumnya Kata kunci: Lesson Study, Kualitas Pembelajaran Guru, Pembelajaran Matematika
Peningkatan mutu pendidikan secara fungsional sangat tergantung pada tindakan operasional di lapangan, dalam hal ini sangat ditentukan oleh guru sebagai ujung tombak pendidikan. Dengan demikian makaprofesional guru harus ditingkatkan agar para guru dalam melaksanakan tugasnya dapat bertanggung jawab. Proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran, setiap guru perlu membuat persiapan pembelajaran seperti membuat program tahunan, program semester, silabus, pemetaan Standar kompetensi, kompetensi dasar, dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Dalam persiapan tersebut sudah terdapat materi pokok dan tujuan pembelajaran yang akan dilaksanakan, metode mengajar, bahan pelajaran, alat peraga dan teknik evaluasi yang digunakan. Karena itu setiap guru harus memahami memilih dan menentukan metode mengajar sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, cara memilih, menentukan dan menggunakan alat peraga, cara membuat tes dan menggunakannya, dan pengetahuan tentang alat-alat evaluasi. Kenyataan dilapangan menunjukan bahwa penampilan dan kompetensi para guru dalammelaksanakan proses pembelajaran masih banyak yang mengalami kesulitan. Berdasarkan hasil observasi dan refleksi dari kegiatan open class yang dilaksanakan di MTs Surya Buana, pada hari Kamis tanggal 16 Mei 2013, walaupun siswa sudah terlibat dalam pembelajaran tetapi masih ditemukan hal-hal yang tidak sesuai dengan perencanaan seperti pembagian LKS yang tidak sesuai dengan banyaknya siswa, rencana pembelajaran yang tidak sesuai dengan pelaksanaan. Hal ini menyebabkan siswa tidak bisa berkonsentrasi dalam pembelajaran. Hal ini diduga penyebabnya adalah kurangnya kesiapan guru dalam menyiapkan pembelajaran. Demikian juga yang terjadi di SMP Negeri 1 Sanggau, masih belum tercipta pembelajaran yang bermakna. Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan belum bisa melibatkan siswa untuk mendapatkan pengalaman belajar. “Peran guru perlu berkembang dari sekedar pengajar atau fasilitator menjadi pembangkit belajar, pemicu berpikir, pemberi scafollding”. (Subanji: 100-101). Oleh karena itu perlu adanya perbaikan-perbaikan pembelajaran oleh guru mata pelajaran supaya tercipta guru yang profesional. 849
Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban: a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. c. Pengembangan profesi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi social dan kompetensi profesional. Dalam rangka meningkatkan kualitas guru (khususnya guru peserta TEQIP dan peserta diseminasi), di Kabupaten Sanggau telah dilaksanakan open class (ongoing) sebanyak empat kali yaitu tanggal 27 Mei 2013, 24 Juni 2013, 9 September 2013, dan 7 Oktober 2013. Dengan kegiatan ini diharapkan para peserta dapat memahami dan mengerti konsep Lesson Study, untuk selanjutnya dapat ditularkan kepada teman-teman guru,salah satunya melalui MGMP di wilayah masing-masing, sehingga ke depannya diharapkan hampir semua guru SMP di wilayah Kabupaten Sanggau akan memahami Lesson Study, dengan begitu harapannya kualitas guru dapat diperbaiki. Garfield mengatakan Lesson Study adalah suatu proses sistematis yang digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan pengajarannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran ( Ibrohim, 2013). Proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran, melakukan observasi, refleksi, dan revisi rencana pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus. Menurut Walker(Ibrohim,2013) Lesson study adalah suatu metode pengembangan profesional guru. Menurut lewis (Ibrohim, 2013) ide yang terkandung didalam Lesson Study sebenarnya singkat dan sederhana, yakni jika seorang guru ingin meningkatkan pembelajaran, salah satu cara yang paling jelas adalah melakukan kolaborasi dengan guru lain untuk merancang, mengamati dan melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang dilakukan. METODE Dalam penyusunan makalah ini dengan menggunakan metode diskriptif berupa hasil pengalaman dan observasi di lapangan. Tulisan ini memberikan informasi tentang kondisi keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran, demikian pula tingkat pemahaman dan kemampuan guru merancang (plan), melaksanakan open klas (do) dan merefleksi (see) pembelajaran yang telah dilakukan serta komitmennya untuk melakukan perbaikan. Pengamatan dilakukan kepada seorang guru model mengenai kualitas kolaborasi, collegialitas, mutu learning, learning community, perkembangan inovasi dan aktivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran berbasis Lesson study. Dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. a. Tempat : SMP Negeri 1 Sanggau. b. Subyek : siswa kelas VII F c. Waktu: Kamis, 27 Mei 2013 2. Melakukan observasi pada kegiatan pembelajaran open class. 3. Melakukan Analisis Data. HASIL Dari kegiatan ongoing yang dilaksanakan di SMP Negeri 1 Sanggau pada tanggal 27 Mei 2013 diperoleh hasil sebagai berikut: SEBELUM SETELAH PADA SAAT DILAKSANAKAN LESSON DILAKSANAKAN DILAKSANAKAN STUDY LESSON STUDY LESSON STUDY RPP dirancang Merancang(Plan): - RPP, LKS, dan sendiri dan belum - RPP, LKS, dan media pembelajaran dirancang media menggambarkan bersama guru satu kabupaten dan sudah pembelajaran pembelajaran dilaksanakan pada peer teaching, pada saat dirancang sendiri bermakna. Sehingga TOT 1 (TEQIP). tetapi sudah siswa belum punya - Ditunjuk 6 orang observer yang terdiri dari 1 menggambarkan pengalaman belajar. orang pengawas, 2 orang kepala sekolah, 3 pembelajaran orang guru mata pelajaran matematika. bermakna. Melaksanakan(Do): Dilaksanakan pembelajaran sesuai dengan RPP 850
yang sudah dirancang bersama, tetapi masih terdapat kendala-kendala yang ditemui pada saat pembelajaran berlangsung. Merefleksi(See): - Siswa sudah dapat terlibat dalam kegiatan pembelajaran, dengan melakukan kegiatan yang sudah dirancang pada LKS. Walaupun demikian masih ada siswa yang belum dapat belajar (belum memahami pembelajaran yang disajikan). - Alokasi waktu tidak sesuai dengan yang direncanakan. - Masih ada beberapa siswa yang masih kesulitan menggambar garis sumbu menggunakan jangka dan penggaris. - Siswa sudah terlibat pada kegiatan pembelajaran, sehingga siswa punya pengalaman belajar.
Berikut adalah kegiatan siswa yang menampilkan hasil kerjanya pada kegiatan pembelajaran open class. Kegiatan pembelajaran pada Standar Kompetensi: 6. Memahami konsep segiempat dan segitiga serta menentukan ukurannya, Kompetensi Dasar: 6.4 Melukis segitiga, garis tinggi, garis bagi, garis berat dan garis sumbu dengan Indikator: Melukis garis sumbu. Metode pembelajaran yang digunakan adalah Diskusi kelompok, demonstrasi, dan penemuan. Pada kegiatan inti guru mendemonstrasikan cara melukis salah satu garis sumbu, siswa melakukan kegiatan seperti yang didemonstrasikan oleh guru. Setelah itu siswa mempresentasikan hasil kerjanya, kelompok lain menanggapi. PEMBAHASAN Lesson Study perlu untuk dilakukan oleh guru pengajar, sehingga dengan Lesson Study kualitas gurumenjadi lebih baik. Lesson Study merupakan model pembinaan (pelatihan) profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas yang saling membantu dalam belajar untuk membangun komunitas belajar (Ibrohim, 2013). Implementasi Lesson Study di Indonesia yang dimulai saat para tenaga ahli Jepang dalam program IMSTEP JICAmengenalkan Lesson Study di tiga universitas (UPI, UNY, dan UM) pada akhir tahun 2004. Dalam tahap awal pengenalan Lesson Study tersebut Saito (2005) mengenalkan ada tiga tahap utama lesson study, yakni: (1) Perencanaan (plan), (2) Pelaksanaan (do) dan Refleksi (see). (Ibrohim,2013).
851
Pelaksanaan Open Lesson Seiring dengan diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dikembangkanpula berbagai metode pembelajaran untuk matematika di sekolah, baik di SMP maupunSMA. Pendekatan pembelajaran yang telah dilakukan untuk bidang studi matematika meliputicooperative learning (pembelajaran kooperatif). Kegiatan Lesson Study di SMP Negeri 1 Sanggau ini dilakukan pada hari Senin, tanggal 27Mei 2013, dimulai dari pukul 08.00 sampai dengan jam 09.20 dengan materi melukis garis sumbudi kelas 7F semester 1(satu). Untuk mengimplementasikan Lesson Study ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahappersiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap refleksi. Tahap persiapan yang dimaksudkan adalah penentuantujuan dan rancangan yang dilakukan oleh guru-guru, yang meliputi mengidentifikasi tujuanbelajar siswa, merancang pembelajaran (dalam LS kali ini dilakukan oleh guru model saja, tetapimenjelang pembelajaran didiskusikan dengan pendamping) untuk mewujudkan pencapaian tujuan,termasuk yang akan diamati. Pada tahap kedua, berupa pelaksanaan, yaitumengimplementasikan open class di kelas. Pada tahap ini ada bagian yang perlu diperhatikan, yaitumeneliti pembelajaran (research lesson); guru model (Anita Windarini) membelajarkan siswa, dan guru-guruyang lain (termasuk dosen pendamping) mengamati pembelajaran (mengumpulkan data tentangkegiatan siswa selama pembelajaran, seperti siswa benar-benar belajar atau tidak, berpartisipasi atautidak, bagaimana perilaku siswa selama pembelajaran). Hal ini perlu dilakukan karena data yangdiperoleh nantinya akan digunakan sebagai bahan refleksi, untuk perbaikan pembelajaran oleh gurumodel (guru model adalah guru kelas VII di SMP Negeri 1 Sanggau ). Tahap berikutnyaadalah refleksi tentang pembelajaran, yang dimaksudkan adalah diskusi mengenai pembelajaranyang telah berlangsung dan diamati oleh observer (guru-guru, dosen pendamping). Pada tahap inididiskusikan tentang data-data pengamatan yang telah dikumpulkan selama pembelajaranberlangsung, sekaligus perbaikan apa saja yang perlu dilakukan dalam pembelajaran. Pada tahap inidilakukan revisi terhadap rancangan dan dilakukan pembelajaran ulang di kelas lain karena disamping untuk melihat kemajuan dalam melaksanakan Lesson Study, juga untuk menerapkan rancangan hasilrevisi saat kegiatan refleksi. Secara singkat proses pembelajaran sampai dengan kegiatan Lesson Studydijabarkan sebagai berikut. Tahap Pendahuluan Model pembelajaran yang digunakan adalah model belajar kooperatif yang meliputi penjelasan secara singkat oleh guru tentang pembelajaran yang akandilakukan, membentuk kelompok diskusi yang masing-masing kelompok terdiri dari 5 siswa,presentasi kelas yang dilakukan oleh wakil dari kelompok, dan yang terakhir melakukan kesimpulanhasil belajar secara bersama-sama.Penjelasan singkat yang dilakukan oleh guru berupa materi pelajaran yang akan disajikan saatitu, yaitu tentang melukis garis sumbu pada segitiga (termasuk prasarat untuk belajar materi tersebut), tujuan pembelajaranyang ingin dicapai, tatacara melaksanakan diskusi kelompok, termasuk mengatur pelaksanaanpresentasi kelas, serta diakhiri dengan pembagian LKS. Proses Pembelajaran Selama siswa melaksanakan kegiatan pembelajaran, termasuk mengerjakan tugas yang ada padaLembar Kerja Siswa, guru model berkeliling kelas memonitor kegiatan siswa, memfasilitasi belajar siswa, membantu kesulitan belajar siswa bila diperlukan, memberi motivasi agar siswa jadi antusias dan bersemangat dalam belajarnya. Pada saat proses pembelajaran ini parapengamat (observer) melakukan tugas mengamati kegiatan (kinerja) siswa. Dari pengamatan inilahpara pengamat mengumpulkan data-data pengamatan yang nantinya digunakan untuk kegiatanrefleksi di akhir pembelajaran. Perlu ditegaskan di sini bahwa tugas observer adalah mengamatikinerja siswa, bukan kinerja guru. Bila pengamat menemukan kejanggalan/kekeliruan yangdilakukan oleh siswa, maka pengamat segera melaporkan kepada guru pengajar, dan guru pengajarini yang akan mendatangi siswa yang bermasalah tersebut, bukan pengamat yang membenarkan kekeliruanyang dilakukan oleh siswa. Jadi, tidak dibenarkan seorang pengamat melakukan diskusi, tanya jawab, menegur siswa secara langsung dalam kegiatan pembelajaran.
852
Tahap Refleksi Tahap berikutnya adalah kegiatan refleksi yang dilaksanakan segera setelah kegiatan pembelajaranselesai dilakukan. Agar dalam kegiatan ini diskusi yang dilakukan bisa berjalan dengan baik danterarah, perlu dibentuk moderator dan penulis. Seorang moderator (dalam kegiatan ini salah satupengamat yaitupengawas dari Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga) memimpin jalannya diskusi dari awal sampai selesai, dibantuseorang penulis yang merekam segala aktivitas, tanya jawab, saran yang berguna untuk pengajar.Kegiatan ini dibagi dalam tiga sesi; sesi pertama berupa hasil refleksi diri oleh guru pengajar (GuruModel), yaitu meliputi apa saja yang telah dilakukan, dirasakan, dan ditemukan oleh pengajar selamakegiatan pembelajaran. Sesi kedua berupa kegiatan diskusi atau tukar pendapat mengenai hasilpengamatan yang telah dilakukan oleh para observer selama kegiatan pembelajaran yang langsungditanggapi oleh guru pengajar, dan sesi ketiga berupa paparan, saran (masukan) dari pendamping,dan expert dari Universitas Negeri Malang (Slamet, M.Pd). Pembahasan Hasil Open Class Dalam kegiatan refleksi dilakukan diskusi sekitar hasil open class yang telah dilaksanakan. Diskusi dilakukan mulai dari uraian singkat tentang pengalaman, perasaan, kesan dan pesandari guru model (Anita windarini), pemaparan dari pengamat disertai tanggapan guru model, dan yangterakhir dilanjutkan pemaparan atau saran dan masukan dari pendamping dan expert dari Universitas Negeri Malang, danterakhir kegiatan revisi hasil refleksi untuk pembelajaran ulang di hari kedua untuk kelas yangberbeda. Selengkapnya dijabarkan berikut ini: Sesi Pertama Guru model menyampaikan walaupun sudah mempersiapkan pembelajaran ini pada saat TOT 1 (TEQIP) di Malang, tetapi masih terdapat kekurangan yang dirasakan selama proses pembelajaran yang meliputi pengelolaankelas kurang optimal mengingat jumlah siswa dalam satu kelas sebanyak 32 siswa, waktu yang diperlukan dalam pembelajaran melebihi dari yang ditargetkan, sehingga guru merasa dalam pembelajaran seperti tergesa-gesa karena target materi, juga guru melihat beberapa siswa kurang aktif dalam belajarnya, kegiatan monitor yang dirasakan guru juga kurang optimal. Namun, guru juga merasa senang karenabisa melihat siswa-siswanya memiliki pengalaman baru dalam belajar, dan begitu bersemangatdalam melaksanakan pembelajaran dengan model belajar kooperatif. Sesi Kedua Sesi kedua ini diisi dengan pemaparan hasil mengamati pembelajaran dari observer (pengamat) dan tanggapanguru model. - Pengamat Kelompok pertama mengungkapkan bahwa kelompok yang diamati bekerja kurangoptimal, karena terdapat anggota kelompok yang tidak aktif, tidak ikut belajar dalam menyelesaikanmasalah, karenanya kelompok pengamat pertama ini menyarankan agar guru lebih mengoptimalkandalam memandu belajar siswa. - Pengamat Kelompok kedua menyampaikan tentang modelpembelajaran yang digunakan oleh guru tidak sesuai dengan materi yang disajikan. Namun, pengamat kedua ini juga memuji guru dalam halmenyampaikan wawasan kepada siswa. - Pengamat Kelompok ketiga menyampaikan masukan kepada guru tentang belajar kooperatif. Pengamat ini mengatakan bahwa belajar kooperatif tidak sama dengan belajar kelompok yang selamaini dilakukan. Yang ditemukan pengamat ketiga ketika mengamati kelompok adalah dalamkelompok yang bekerja satu orang (mungkin ditunjuk sebagai ketua kelompok), sedangkan lainnyahanya melihat kerja ketua kelompok saja. Sehingga pengamat ini memberikan saran agar fungsi gurusebagai fasilitator, motivator, dan pemandu belajar lebih dioptimalkan. Kelompok pengamat ini jugamenanyakan model pembelajaran yang digunakan oleh guru. Namun, pengamat ketiga ini jugamemberikan pujian kepada guru, karena berbagai pertanyaan atau permasalahan yang dilontarkansiswa dapat dijawab dengan baik dan benar. - PengamatKelompok keempat menyampaikan diskusi kelompok siswa yang diamati berjalan dengan baik, mereka bersama-sama berkerja, saling tanya jawab, memberi masukan kepada temansekelompok, menjelaskan kepada teman kelompoknya yang belum memahami, walaupun kelompokini terlepas dari pantauan guru. Saat anggota kelompok ini presentasi di depan kelas juga diperhatikan oleh pengamat, pengamat memuji guru model karena dapat menyajikan pembelajaran dengan baikdan benar. 853
- Pengamat Kelompok kelimamenyampaikan diskusi kelompok siswa yang diamati berjalan dengan baik, mereka bersama-sama berkerja, walaupun ada satu orang siswa yang belum memahami materi yang disampaikan - Pengamat Kelompok keenam menyampaikan siswa terlalu lama menyelesaikan tugas yang diberikan, maka perlu adanya manejemen waktu supaya pembelajaran bisa lebih efektif. Tanggapan guru model (pengajar) Berbagai komentar oleh pengamat yang dipaparkan telah disampaikan, selanjutnyaditanggapi olehguru (pengajar), seperti materi pembelajaran yang mengacu kontekstual, model pembelajaran yangbelum baik, dan peran guru sebagai fasilitator yang belum optimal. Berbagai saran dicatat, diperhatikan,ditampung untuk selanjutnya digunakan sebagai bahan perbaikan untuk pembelajaranhari berikutnya. Hal ini dilakukan oleh guru karena demi perbaikan kualitas pembelajaran yang akandatang. Sesi Ketiga Pada sesi ini kegiatan diisi dengan berbagai komentar, saran dari pakar (ahli) yang uraian selengkapnya sebagai berikut. - Expert UM menyampaikan ucapan selamat dan terima kasih kepada guru pengajaryang telah berani mengajar dengan diamati oleh banyak guru selama 80 menit lebih, dan salut ataskeberaniannya menerima kritik dari para pengamat. Pendamping ini juga menyampaikan bahwa gurutelah menyiapkan perangkat pembelajaran dengan baik, termasuk membuat skenario tempat duduk,sehingga memudahkan siswa belajar kelompok, walaupun masih ditemukan kelompok yang belumaktif dalam pembelajaran. Pendamping juga menyampaikan walaupun waktu diskusi kelas cukuplama, tetapi siswa umumnya tetap antusias dan tetap konsentrasi dalam diskusi. Secara umum, pendamping mengatakan bahwa pembelajaran berlangsung dengan sukses. Namun, disamping menyampaikan hal-hal yang baik yang telah dilakukan oleh guru, pendamping jugamenyampaikan berbagai masukan untuk perbaikan pembelajaran selanjutnya. Saran yang dimaksudkan meliputirancangan pembelajaran, khususnya materi pembelajaran dan modelnya, lembar kerja siswa,pelaksanaan pembelajaran, dan bagaimana peraan pengamat dalam pembelajaran. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Dengan Lesson Study kemampuan guru dalam membuat RPP meningkat, karena mereka membuat RPP bersama terlebih dulu sebelum melaksanakan pembelajaran, dan mereka melakukan refleksi setelah pembelajaran sehingga mereka dapat melakukan perbaikan sebelum mereka melaksanakan di sekolahnya masing-masing. 2. Guru-guru dapat melihat kekurangan di dalam suatu pembelajaran dalam kegiatan Refleksi, sehingga dari hasil refleksi ini dapat digunakan untuk memperbaiki pembelajaran mereka masing-masing. Saran Diharapkan kegiatan yang baik ini dapat diteruskan pelaksanannyake sekolah-sekolah lain, sehingga dengan melaksanakan ini pemerataan pengembanganpembelajaran dapat berjalan dengan baik. Selama ini pengembangan pembelajaran yang ada barulahdinikmati oleh sebagian kecil guru yang ada di kota saja, yang harapannya guru-guru yang dipelosok daerah juga bisa mengembangkan sesuai yang diharapkan. Dengan begitu peningkatan kualitas pembelajaran sekarang ini benar-benar dapat dilaksanakan secara optimal oleh guru. DAFTAR RUJUKAN Ibrohim. 2013. Panduan Pelaksanaan Lesson Study. Malang: Universitas Negeri Malang. Subanji.2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Universitas Negeri Malang. Mulyono.2012.Strategi Pembelajaran Menuju Efektivitas Pembelajaran di Abad Global. Malang: UIN-MALIKI PRESS (Anggota IKAPI). R. Sulaiman, Kusrini, Endah Budi Rahayu,C. Yakob, Atik Wintarti. 2008. Matematika SMP kelas VII, Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas. Wagiyo, Surati, Irene Supradiarini. 2008. Pegangan Belajar Matematika. Jakarta. Pusat Perbukuan Depdiknas. 854
Tri Wahyuni & Dewi Nurharini. 2008. Matematika Konsep dan Aplikasinya, SMP kelas VII, Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas. Dosen FKIP UNTAN. 2008. Modul Umum Untuk PLPG. Pontianak: UNTAN. Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: IPA Abong. Urai Husna Asmara. 2003. Penulisan Karya Ilmiah. Pontianak: Fahruna Bahagia.
PENERAPAN SCAFFOLDING UNTUK MEMAHAMKAN KESEBANGUNAN DAN KONGRUENSI BANGUN DATAR SISWA KELAS IX A SMP NEGERI 2 TABUKAN TENGAH Velix Meyfy Pontororing Guru SMP di Kab. Kepulauan Sangihe, Prov. Sulawesi Utara
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk memahamkan kesebangunan dan kongruensi bangun datar dengan menerapkan scaffolding. Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilaksanakan dalam 3 siklus, di mana setiap siklus dilakukan dengan tahapan: perencanaan, pelaksanaan, observasi dan refleksi. Penerapan scaffolding dilakukan dengan memberikan masalah selanjutnya guru membantu siswa menghubungkan pengetahuan awal siswa dengan materi yang akan dipahami siswa lewat pertanyaan, instruksi, petunjuk, peringatan ataupun memberikan contoh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan scaffolding dapat memahamkan kesebangunan dan kongruensi bangun datar siswa kelas IX SMP Negeri 2 Tabukan Tengah. Tingkat pemahaman mengalami peningkatan dari 60%(sebelum perlakuan) menjadi 68,75% (siklus I) menjadi 75% (siklus II) dan menjadi 93,75% (siklus III) siswa yang memperoleh nilai lebih dari 75 Kata kunci: Scaffolding, kesebangunan dan kongruensi
Guru yang berkualitas adalah guru yang sanggup, dan terampil dalam melaksanakan tugasnya. Tugas utama guru adalah bertanggung jawab membantu anak didik dalam hal belajar. Dalam proses belajar peran guru sangatlah menentukan. Untuk memainkan peranannya, seorang guru diharapkan memiliki kemampuan professional yang tinggi. Dalam hubungan ini guru perlu memiliki kemampuan untuk melakukan diagnosis serta mengenal dengan baik caracara yang paling efektif untuk membantu siswa tumbuh sesuai dengan potensinya masingmasing. Menurut pendapat Vygotsky dalam St Suwarsono (2002), bahwa interaksi seseorang dengan orang-orang lain merupakan faktor terpenting yang mendorong perkembangan kognitif anak bersangkutan. Vygosky dalam St Suwarsono (2002) juga berpendapat bahwa dalam proses perkembangan kemampuan kognitifnya, setiap anak memiliki apa yang disebut zona perkembangan proksimal yaitu jarak antara tingkat perkembangan anak yang aktual dengan tingkat perkembangan potensial yang lebih tinggi yang bisa dicapai sianak jika ia mendapat bimbingan atau bantuan dari seseorang yang lebih dewasa atau lebih kompeten. Keberhasilan kegiatan pembelajaran tentu saja diketahui setelah diadakan evalusi dengan berbagai faktor yang sesuai dengan rumusan tujuan pembelajaran. Sejauh mana tingkat keberhasilan pembelajaran, dapat dilihat dari daya serap anak didik dan persentase keberhasilan anak didik dalam mencapai tujuan pembelajaran. Jika hasil yang diperoleh belum mencapai target yang ditetapkan maka proses pembelajaran berikut hendaknya ditinjau kembali. Setiap akan melaksanakan pembelajaran, guru perlu membuat persiapan pembelajaran dalam rangka melaksanakan sebagian dari rencana bulanan dan rencana tahunan. Dalam persiapan itu sudah terkandung tentang, tujuan pembelajaran, metode pembelajaran, bahan pembelajaran, alat peraga dan teknik evaluasi yang digunakan. Karena itu setiap guru harus memahami benar tentang tujuan pembelajaran, secara khusus memilih dan menentukan metode pembelajaran sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, cara memilih, menentukan dan menggunakan alat peraga, cara membuat tes dan menggunakannya, dan pengetahuan tentang alat-alat evaluasi. 855
Salah satu materi yang sering menjadi persoalan dalam pembelajaran matematika adalah kesebangunan dan kongruensi bangun datar. Dua bangun datar dikatakan sebangun jika perbandingan sisi-sisi yang bersesuaiannya sama dan sudut-sudut yang bersesuaian besarnya sama. Dua bangun datar dikatakan kongruen jika perbandingan sisi-sisi yang bersesuaiannya sama dengan satu dan sudut-sudut yang bersesuaian sama besar. Materi kesebangunan dan kongruensi merupakan salah satu materi mata pelajaran matematika yang dibelajarkan kepada anak-anak SMP kelas IX sesuai dengan Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan. Kesebangunan dan kongruensi bangun datar merupakan materi yang sangat berperan aktif bagi siswa untuk mempelajari materi-materi selanjutnya di SMP dan juga materi-materi pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dalam memahamkan kesebangunan dan kongruensi bangun datar di kelas IX, selama ini hasil belajar yang diperoleh belum memuaskan. Hal ini bisa dilihat dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh peneliti selama tiga tahun terakhir ternyata nilai rata-ratanya masih sekitar 60% siswa yang memperoleh nilai lebih dari 75. Hal ini, tidak sesuai dengan KKM yang ditetapkan oleh sekolah sebesar 80% siswa memperoleh nilai di atas 75. Dalam kasus seperti ini kami sebagai guru harus memikirkan bagaimana caranya agar proses pembelajaran dapat menciptakan kebebasan kepada siswa untuk berpikir dan menuangkan ide-idenya dan sejauh mana dapat memberikan dorongan atau bantuan untuk mendukung siswa agar lebih proaktif dalam belajar sehingga target yang ditetapkan bisa tercapai. Pembelajaran selama ini yang umumnya digunakan dalam pembelajaran materi kesebangunan dan kongruensi bangun datar seakan-akan hanya sekedar mentransfer pemahaman kesebangunan dan kongruensi bangun datar dari guru ke siswa tanpa melibatkan peran aktif dari siswa. Suwarsono (2002) menjelaskan bahwa konstruktivisme merupakan suatu teori atau faham yang menyatakan bahwa setiap pengetahuan atau kemampuan hanya bisa diperoleh atau dikuasai oleh seseorang apabila orang itu secara aktif mengkonstruksi kemampuan itu di dalam pikirannya. Hal ini mengindikasikan bahwa pengetahuan dibangun oleh peserta didik itu sendiri dan bukan sekedar dipindahkan dari guru ke siswa selain keaktifan siswa itu sendiri untuk menalar. Peserta didik tersebut harus aktif mengkonstruksi secara terusmenerus apa yang dialaminya sehingga terjadi perubahan konsep yang ilmiah. Dengan demikian tugas guru harus menginisiasi dalam memberi bantuan dan menyediakan sarana serta situasi agar proses konstruksi belajar siswa menjadi lancar. Menurut kamus Inggris Indonesia oleh Andreas Halim (2000), scaffold diterjemahkan sebagai mimbar sementara atau panggung. Dalam kamus inggris indonesia oleh John M. Echols dan Hasan Shadily (2002), scaffold diterjemahkan dengan tangga-tangga, perancah, tempat penggantung, sedangkan kata scaffolding diterjemahkan dengan perancah. Perancah ataupun mimbar sementara biasanya dibuat dari papan, bambu dan lain sebagainya yang dipasang sebagai tumpuan untuk membangun rumah atau sejenisnya dengan tujuan memudahkan pekerjaan pembangunan tersebut. Pemahaman ini yang digunakan oleh kita sebagai pendidik dengan kata scaffolding sebagai bagaimana cara guru memberikan bantuan kepada siswa agar terbentuk pemahaman yang diharapkan dari siswa. Bantuan yang diberikan tujuannya untuk mempermudah siswa agar dia lebih mudah memahami materi pembelajaran. Agar siswa mudah memahami materi pembelajaran maka kita sebagai guru harus bisa menjadi penghubung yang baik antara kemampuan awal siswa dengan masalah yang berhubungan dengan materi pembelajaran. Menurut Pramudyo Kuswara dan Prih Hardianto (2009), penerapan scaffolding dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. Berdasarkan uraian diatas, peneliti melakukan penelitian dengan menerapkan schafollding untuk memahamkan kesebangunan dan kongruensi bangun datar. Penelitian tersebut berjudul “Penerapan schafollding untuk memahamkan kesebangunan dan kongruensi bangun datar siswa kelas IX SMP Negeri 2 Tabukan Tengah”. METODE Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (classroom action research). Penelitian dilakukan di kelas IXA SMP Negeri 2 Tabukan Tengah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Propinsi Sulawesi Utara tahun pelajaran 2013/2014 yang berjumlah 16 siswa terdiri dari 7 siswa laki-laki dan 9 siswa perempuan. Penelitian dilakukan dengan menggunakan beberapa siklus yang diadopsi dari metode Kemmis & Taggart.seperti pada gambar 1. 856
Gambar 1. Alur Penelitian Tindakan Kelas
Permasalahan Permasalahan
Perencanaan 1
Pelaksanaan 1
REFLEKSI 1
Pengamatan 1
Perencanaan 2
Pelaksanaan 2
Refleksi 2
Pengamatan 2
Siklus I
Siklus II
Dilanjutkan ke siklus berikutnya Gambar 1. Alur Penelitian Tindakan Kelas
Tiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, refleksi. Apabila pada siklus tertentu belum 80% siswa mendapat nilai lebih dari 75 maka akan dilanjutkan dengan siklus berikutnya, sebaliknya jika pada siklus tertentu sudah 80% atau lebih siswa mendapat nilai lebih dari 75 maka dikatakan proses pembelajaran sudah berhasil. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Tindakan dalam penelitian ini dilakukan melalui 3 siklus: Siklus I Penelitian ini dilakukan melalui 3 siklus yaitu siklus I, siklus II dan siklus III. Masingmasing siklus terdiri 4 tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Pada tahap perencanaan guru merancang instrumen pembelajaran berupa Silabus, RPP, LKS, chart dan alat evaluasi. Pada tahap pelaksanaan tindakan guru melakukan pembelajaran sesuai dengan RPP yang disusun. Kompetensi dasar yang dilaksanakan pada tahap ini adalah kompetensi dasar 1.1 yaitu mengidentifikasi bangun-bangun datar yang sebangun dan kongruen, yang dilakukan dengan empat kali pertemuan dengan alokasi waktu 8 jam pelajaran. Adapun langkah-langkah pelaksanaan tindakan, yaitu peneliti membagi siswa menjadi empat kelompok siswa yang masing-masing kelompok beranggotakan 4 siswa, guru menugaskan masing-masing kelompok untuk mendiskusikan LKS yang diberikan, guru membantu kelompok siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS dengan cara mengajukan pertanyaan, instruksi, petunjuk, peringatan ataupun memberikan contoh, masing-masing kelompok siswa mempresentasekan hasil diskusi mereka, guru memberikan umpan balik dan pekerjaan rumah. Pada tahap pengamatan dilakukan sejalan dengan tahap pelaksanaan, di mana yang diamati adalah apakah ada tidaknya perubahan yang terjadi pada siswa dengan diterapkannya scaffolding teristimewa partisipasi siswa dalam mengikuti pembelajaran seperti terlihat pada peran siswa dalam kelompok antara lain mengerjakan tugas-tugas, kerjasama dalam kelompok, menjawab pertanyaan guru maupun teman, bahkan memberikan pertanyaan. Observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi yang berupa check list. Pada tahap refleksi guru membuat analisis data untuk mengetahui keberhasilan tindakan pada siklus I sebagi acuan untuk menyusun rencana tindak lanjut. Ternyata, setelah guru 857
melakukan evaluasi untuk kompetensi dasar yang dibelajarkan diperoleh 68,75% siswa yang nilainya lebih dari 75. Dengan melihat fakta yang ada pada siklus I ternyata sudah 68,75% siswa yang memperoleh nilai lebih dari 75 yang selama ini hanya sekitar 60%. Namun demikian hasil yang diperoleh belum mencapai target yang ditetapkan. Hal ini dikarenakan tingkat kerjasama siswa dalam kelompok masih tergolong rendah yaitu hanya sekitar 70%, hal ini disebabkan karena proses pembentukan anggota-anggota kelompok yang tidak konsisten setiap kali pertemuan yaitu setiap pertemuan dibentuk kelompok baru. Siklus II Pada siklus II ini dilakukan dengan empat tahapan seperti pada siklus sebelumnya yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Pada tahap perencanaan guru merencanakan program perbaikan pada strategi pengelompokan, yaitu jika pada siklus pertama setiap pertemuan dibentuk kelompok yang baru peneliti mencoba untuk mengubah strategi yang dipakai pada pembagian kelompok, yaitu kalau pada siklus I setiap pertemuan dibentuk kelompok baru, maka pada siklus II ini diubah dengan mempertahankan anggota kelompok yang sudah terbentuk pada pertemuan sebelumnya. Peneliti berharap kelompok yang sudah terbentuk sudah semakin solid sehingga kerjasama mereka semakin tinggi dan bantuan-bantuan yang diberikan guru dalam kelompok semakin mudah dipahami. Pada tahap pelaksanaan tindakan guru melakukan pembelajaran sesuai dengan RPP yang disusun. Kompetensi dasar yang dilaksanakan pada tahap ini adalah kompetensi dasar 1.2 yaitu mengidentifikasi sifat-sifat dua segitiga sebangun dan kongruen yang dilakukan dengan empat kali pertemuan dengan alokasi 8 jam pelajaran. Adapun langkah-langkah pelaksanaan tindakan, yaitu peneliti menginstruksikan siswa untuk duduk secara berkalompok dengan anggota setiap kelompok sama dengan anggota kelompok pada pertemuan sebelumnya, guru menugaskan masing-masing kelompok untuk mendiskusikan LKS yang diberikan, guru membantu kelompok siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS dengan cara mengajukan pertanyaan, instruksi, petunjuk, peringatan ataupun memberikan contoh, masingmasing kelompok siswa mempresentasekan hasil diskusi mereka, guru memberikan umpan balik dan pekerjaan rumah. Pada tahap pengamatan dilakukan sejalan dengan tahap pelaksanaan, di mana yang diamati adalah apakah ada tidaknya perubahan yang terjadi pada siswa dengan diterapkannya scaffolding teristimewa partisipasi siswa dalam mengikuti pembelajaran seperti terlihat pada peran siswa dalam kelompok antara lain mengerjakan tugas-tugas, kerjasama dalam kelompok, menjawab pertanyaan guru maupun teman, bahkan memberikan pertanyaan. Observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi yang berupa check list. Pada tahap refleksi guru membuat analisis data untuk mengetahui keberhasilan tindakan pada siklus II sebagi acuan untuk menyusun rencana tindak lanjut. Ternyata, setelah guru melakukan evaluasi untuk kompetensi dasar yang dibelajarkan diperoleh 75% siswa yang nilainya lebih dari 75, berarti sudah terjadi peningkatan dibandingkan dengan siklus sebelumnya 68,75%. Namun demikian hasil yang diperoleh belum mencapai target yang ditetapkan yaitu 80%. Hal ini dikarenakan tingkat kerjasama siswa dalam kelompok masih belum maksimal walaupun sudah 80% sedikit peningkatan dibanding siklus sebelumnya, hal ini disebabkan karena meja yang digunakan siswa dalam kelompoknya terlalu banyak sehingga cara duduk siswa dalam kelompok saling menjauh sehingga koordinasi antar anggota kelompok tidak maksimal. Siklus III Pada siklus III ini dilakukan dengan empat tahapan seperti pada siklus sebelumnya yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Pada tahap perencanaan guru merencanakan program perbaikan pada cara duduk siswa dalam kelompok dengan mengubah posisi duduk siswa didalam kelompok yaitu jika pada siklus sebelumnya posisi duduk siswa dalam kelompok menggunakan empat meja siswa, pada siklus ini diubah menjadi dua meja siswa. Dengan harapan semua peserta kelompok terfokus pada masalah yang dibicarakan dan bantuan-bantuan yang diberikan guru dapat dipahami dengan jelas oleh seluruh peserta dalam kelompok. Pada tahap pelaksanaan tindakan guru melakukan pembelajaran sesuai dengan RPP yang disusun. Kompetensi dasar yang dilaksanakan pada tahap ini adalah kompetensi dasar 1.3 858
yaitu menggunakan konsep kesebangunan segitiga dalam pemecahan masalah dilakukan dengan empat kali pertemuan dengan alokasi 8 jam pelajaran. Adapun langkah-langkah pelaksanaan tindakan, yaitu peneliti menginstruksikan siswa untuk duduk secara berklompok dengan anggota setiap kelompok sama dengan anggota kelompok pada pertemuan sebelunmnya, guru menginstruksikan bahawa setiap kelompok hanya boleh menggunakan dua meja siswa, guru menugaskan masing-masing kelompok untuk mendiskusikan LKS yang diberikan, guru membantu kelompok siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS dengan cara mengajukan pertanyaan, instruksi, petunjuk, peringatan ataupun memberikan contoh, masingmasing kelompok siswa mempresentasekan hasil diskusi mereka, guru memberikan umpan balik dan pekerjaan rumah. Pada tahap pengamatan dilakukan sejalan dengan tahap pelaksanaan, dimana yang diamati adalah apakah ada tidaknya perubahan yang terjadi pada siswa dengan diterapkannya scaffolding teristimewa partisipasi siswa dalam mengikuti pembelajaran seperti terlihat pada peran siswa dalam kelompok antara lain mengerjakan tugas-tugas, kerjasama dalam kelompok, menjawab pertanyaan guru maupun teman, bahkan memberikan pertanyaan. Observasi dilakukan dengan menggunakan lembar observasi yang berupa check list. Pada tahap refleksi guru membuat analisis data untuk mengetahui keberhasilan tindakan pada siklus III sebagi acuan untuk menyusun rencana tindak lanjut. Ternyata, setelah guru melakukan evaluasi untuk kompetensi dasar yang dibelajarkan diperoleh Ternyata hasil yang diperoleh pada siklus ini terjadi peningkatan yang signifikan dibanding dengan hasil pada siklus sebelumnya yaitu sudah mencapai 93.75% siswa yang memperoleh nilai lebih dari 75 bahkan nilai rata-rata siswa bisa mencapai 85,47. Dengan hasil tersebut maka PTK yang dilakukan oleh guru sudah berhasil bukan hanya mencapai target tetapi melebihi dari target yang ditetapkan bahkan kerjasama dalam kelompok menunjukkan angka 100% PEMBAHASAN Hasil belajar dari siswa dimulai dari siklus I, siklus II, sampai siklus III terlihat adanya peningkatan prosentase siswa yang memiliki nilai lebih dari 75, dimana pada siklus I ada 68,75%, siklus II ada 75% dan siklus III menjadi 93,75% siswa yang nilai lebih dari 75, dimana pada siklus III siklus ini terjadi peningkatan yang signifikan dibanding dengan hasil pada siklus sebelumnya yaitu sudah mencapai 93.75% siswa yang memperoleh nilai lebih dari 75 bahkan nilai rata-rata siswa bisa mencapai 85,47. Hal ini menunjukkan bahwa scaffolding dapat memahamkan kesebangunan dan kongruensi bangun datar, hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Gusti Putu Suharta dalam Pramudyo Kuswara dan Prih Hardianto (2009), bahwa scaffolding learning dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran ekonomi. Pembentukan kelompok yang paten dalam pembelajaran serta posisi duduk siswa di dalam kelompok sangat berpengaruh pada penerapan scaffolding untuk memahamkan pembelajaran seperti terlihat pada peran siswa dalam kerjasama kelompok prosentase mencapai 100%. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Dengan melihat hasil pada siklus I, siklus II dan siklus III dan pembahasan dapat diambil kesimpulan bahwa: “Penerapan scaffolding dapat memahamkan kesebangunan dan kongruensi siswa kelas IXA SMP Negeri 2 Tabukan Tengah”. Saran Guru matematika SMP disarankan untuk menggunakan scaffolding untuk memahamkan kesebangunan dan kekongruenan bangun datar di kelas IX. DAFTAR RUJUKAN Echols, J. M. dan Shadily, H. (1990). Kamus Inggris Indonesia. PT. Gramedia Jakarta Halim, A. 2000. Kamus Lengkap 50 Milyar Inggris-Indonesia Untuk SMP, SMA dan Umum. Surabaya: Sulita Jaya
859
Pramudyo, K. dan Hardianto, P. 2009. Efektivitas Penerapan Pendekatan Pembelajaran Scaffolding Dalam Ketuntasan Belajar Ekonomi Siswa Kelas X SMA Laboratorium Universitas Negeri Malang. JPE-Volume 2, 2009 halaman 74-89 Suwarsono, St. 2002. Teori-Teori Perkembangan Kognitif Dan Proses Pembelajaran Yang Relevan Untuk Pembelajaran Matematika. Jakarta: Dirjen SLTP. Dirjen Dikdasmen. Depdiknas.
PEMBELAJARAN STATISTIKA MATERI UKURAN PEMUSATAN MENGGUNAKAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) DI KELAS IX SMPN 2 TUREN BERBASIS LESSON STUDY Hidayah Susatri Khusnul Khotimah Sumartinem SMPN 1 Ampelgading SMPN 3 Sumbermanjing SMPN 2 Ampelgading Abstrak: Pembelajaran dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) diterapkan dalam pembelajaran melalui kegiatan Lesson Study MGMP Matematika SMP Kabupaten Malang. Materi yang diajarkan pada saat Lesson Study adalah Statistika tentang ukuran Pemusatan. Berdasarkan hasil refleksi terungkap bahwa motivasi dan keaktifan belajar siswa meningkat karena pada proses pembelajaran siswa dihadapkan dengan masalah realistik dan media yang menarik bagi siswa. Pembelajaran menjadi bermakna bagi siswa yang berakibat lebih kuatnya konsep yang diterima siswa. Penerapan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dapat dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas pembelajaran. Kata kunci: Pembelajaran Statistika, RME, Lesson Study
Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah, guru bekerjasama dengan sekolah mencoba berbagai macam cara dengan tujuan memperoleh perubahan yang lebih baik sesuai harapan bersama. Namun demikian berbagai cara tersebut terkendala dengan berbagai macam faktor baik yang berasal dari siswa ataupun dari guru itu sendiri. Kurikulum 2013 mengharuskan guru sebagai tenaga pendidik yang berperan langsung dalam proses pencapaian kualitas belajar dituntut untuk terus meningkatkan profesionalisme. Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti mengikuti pelatihan, melaksanakan PTK dan Lesson Study. Lesson study sendiri merupakan salah satu cara guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yang dititik beratkan pada proses pembelajaran siswa yang dilaksanakan bersama dalam tim. Lesson Study merupakan salah satu strategi pengembangan profesi guru. Kelompok guru mengembangkan pembelajaran secara bersama-sama, Salah seorang guru ditugasi melaksanakan pembelajaran, guru lainnya mengamati belajar siswa. Proses ini dilaksanakan selama pembelajaran berlangsung. Pada akhir kegiatan guru-guru berkumpul dan melakukan tanya jawab tentang pembelajaran yang dilakukan. Merevisi dan menyusun pembelajaran berikutnya berdasarkan hasil diskusi. Disamping melibatkan guru sebagai kolaborator dalam LS juga melibatkan dosen LPTK dan pihak lain yang relevan dalam mengembangkan program dan pelaksanaan pembelajaran yang efektif (Santyasa, 2009) Menurut (Lewis, 2004) Lessson Study merupakan suatu proses dimana guru-guru berkolaborasi membuat perencanaan, melakukan observasi, menganalisis dan memperbaiki pembelajaran di kelas nyata. Lesson study merupakan suatu alat bagi guru untuk mengetahui kualitas proses pembelajaran serta mengevaluasi ketercapaian dalam penggunaan strategistrategi mengajar yang diterapkan dalam pembelajaran itu sendiri. Keistimewaan dalam Lesson 860
Study adalah sebagai wahana bagi guru untuk bisa berkolaborasi baik dalam perencanaan pembelajaran maupun pelaksanaan dan evalusi pembelajaran. Lessson study yang dilaksanakan di SMPN 2 Turen ini menggunakan pendekatan pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME). Pendekatan ini dipilih bertujuan agar siswa lebih termotivasi, senang belajar matematika dan mempunyai sikap positif terhadap matematika sehingga pembelajaran menjadi menyenangkan dan menarik bagi siswa. RME adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang nyata bagi siswa, menekankan ketrampilan process of doing mathematics, berdiskusi dan berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri strategi atau cara penyelesaian masalah (student inventing sebagai kebalikan dari teacher teaching) dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individual maupun kelompok (Zulkardi, 2002). Pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah-masalah nyata atau kontekstual yaitu siswa mempelajari konsep matematika melalui hal-hal nyata terlebih dahulu sebelum memasuki wilayah matematika yang abstrak. Hal nyata yang dimaksud adalah situasi sehari-hari yang dikenal siswa atau hal-hal yang nyata dalam benak siswa (Gravemeijer, 1999). Dengan demikian matematika akan lebih mudah dipahami siswa. Dengan pembelajaran ini diharapkan siswa dapat memahami kegunaan dan kaitan matematika dalam kehidupannya. Masalah sehari-hari yang dimaksud dalam pembelajaran ini adalah masalah yang menarik bagi siswa atau ada keterlibatan langsung dengan kehidupan siswa, sehingga diharapkan menarik minat siswa untuk belajar matematika yang pada akhirnya aktifitas dan partisipasi siswa dalam proses pembelajaran dapat meningkat. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN Kegiatan Lesson Study yang dilaksanakan di SMP Negeri 2 Turen melaui beberapa langkah kegiatan bersama tim yaitu tahap plan, dilanjutkan dengan tahapan do dan see. Plan (Perencanaan) Pada tahap ini guru tim Lesson Study yang telah terbentuk melakukan tahapan plan yang meliputi : (1) menentukan guru model, moderator serta notulen yang akan melaksanakan open class, (2) Menentukan SMP sasaran yang akan di-open claass-kan,(3) Mengidentifikasi kondisi siswa SMP sasaran, (4) Menentukan materi yang meliputi Standar Kopetensi (SK), Kopetensi Dasar (KD) serta indikator pembelajaran yang akan di sampaikan pada kegiatan Lesson Study, (5) Menentukan model pembelajaran serta media yang sesuai dengan pokok bahasan yang akan di-open class-kan. Pada saat tahapan plan telah didiskusikan dan disepakati bahwa guru model yang akan melaksanakan open class adalah Hidayah Susatri (SMPN 1 Ampelgading) dengan moderator Lisno (SMPN 1 Poncokusumo) dan notulen Khusnul Khotimah (SMPN 3 Sumbermanjing) dan akan dilaksanakan di SMP Negeri 2 Turen kelas IX-D dengan banyak siswa 32. Berdasarkan informasi dari guru matematika SMP Negeri 2 Turen diperoleh keterangan bahwa sebagian besar siswa kurang aktif dalam kegiatan proses belajar mengajar dan kecenderungan siswa perempuan lebih tekun dari siswa laki-laki, sedangkan siswa laki-laki malas berfikir dan lebih menggantungkan diri pada siswa perempuan dalam hal penyelesaian tugas. Masalah yang paling mendasar adalah kemampuan siswa dalam memahami soal relatif kurang sehingga hal ini sangat mempengaruhi kelancaran proses pembelajaran dan pencapaian hasil belajar yang kurang memuaskan. Materi yang sesuai pada saat itu adalah dengan Standar Kopetensi : Melakukan pengelolaan dan penyajian data, Kopetensi dasar: Menentukan rata-rata , median dan modus data tunggal serta penafsirannya, Indikator: Menentukan rata-rata, median dan modus data tunggal serta penafsirannya. Pendekatan yang dipilih pada Lesson Study ini adalah Realistic Mathematics Education dengan menggunakan media permen. Media ini dipilih karena mudah didapat, murah dan selalu ada dalam keseharian kehidupan siswa. Do (Pelaksanaan) Open Class dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 31 Oktober 2013 pukul 09.55 – 11.15 WIB dengan materi Statistika tentang Ukuran Pemusatan. Guru model mengimplementasikan pembelajaran sesuai skenario yang dibuat yaitu pembelajaran dengan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME). 861
Pada kegiatan pendahuluan guru menyampaikan salam, mengecek kehadiran siswa dan menyampaikan tujuan pembelajaran. Pada saat apersepsi guru model mengajukan masalah kontekstual atau realistik tentang ukuran pemusatan yakni membandingkan nilai ulangan matematika yang diperoleh oleh dua kelompok siswa dalam kelas berbeda, yang penyelesaiannya dilakukan dalam kegiatan inti pembelajaran. Pada kegiatan inti, siswa dikelompokkan dalam 4 kelompok dengan anggota 7 – 9 siswa. Kelompok dengan anggota yang cukup besar ini diharapkan dapat menghasilkan data banyak permen yang diterima siswa lebih bervariasi. Guru memberikan Lembar Aktifitas Siswa (LAS) kepada tiap siswa. Tahapan dalam kegiatan inti yaitu: (1) Guru memberikan kesempatan pada siswa untuk mengamati dengan membagikan sekantong permen kepada tiap kelompok, (2) Guru mengarahkan siswa untuk menemukan median dan modus dari data hasil pembagian permen, (3) Guru mengarahkan siswa bagaimana cara menentukan rata-rata permen yang diterima siswa, (4) Beberapa kelompok perwakilan menuliskan hasil diskusinya, (5) Guru memberikan penjelasan dan pemantapan tentang hasil diskusi siswa dan membimbing siswa untuk menuliskan dalam simbol matematika, (6) Guru memberikan soal latihan kepada siswa dengan melibatkan kreativitas siswa melalui Open Ended Problem. Pada kegiatan penutup guru mengarahkan siswa untuk membuat kesimpulan dan memberikan satu masalah sebagai pekerjaan rumah (PR). Dalam kegiatan pelaksanaan (do) ini, guru-guru yang lain berperan sebagai observer yang mengamati bagaimana siswa belajar. See (Refleksi) Pada tahap refleksi para observer yang terdiri dari teman sejawat (guru-guru yang tergabung dalam MGMP Matematika) menyampaikan hasil pengamatannya. Refleksi dipimpin oleh moderator, diawali dengan memperkenalkan kelompok Lesson Study yang dilanjutkan dengan memberi kesempatan kepada guru model untuk menyampaikan pengalamannya dalam open class yang dilaksanakan. Guru model merasa sebenarnya dalam Rencana Pelaksaanaan Pembelajaran (RPP) yang telah disusun bersama ada langkah kegiatan yang terlewatkan, hal ini disebabkan karena waktu penyusunan Plan yang hanya berjarak beberapa hari dengan pelaksanaan (Do). Guru merasa kurang akrab dikarenakan siswa yang di-open class-kan bukan siswanya sendiri dan baru mengenal saat pelaksanaan Lesson Study. Seluruh observer bergantian menyampaikan hasil pengamatannya. HASIL Berdasarkan hasil pengamatan dan refleksi ditemukan hal – hal sebagai berikut : 1. Tahap kegiatan pendahuluan Pada tahap ini sebagian besar siswa telah siap mengikuti kegiatan pembelajaran yang akan disampaikan oleh guru model. Begitu pula respon siswa cukup baik ketiga guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan melakukan apersepsi dan memberi motivasi dengan menyajikan masalah realistik tentang konsep rata-rata, namun demikian masih ada saja beberapa siswa yang kurang siap, asyik dengan kegiatannya masing-masing, bahkan ada salah satu siswa yang terlambat masuk kelas, beruntung siswa tersebut dengan cepat dapat menyesuaikan diri untuk mengikuti proses belajar mengajar yang berlangsung. Seiring berjalannya waktu akhirnya siswa-siswa yang kurang antusias tadi tertarik dan termotivasi dengan pembelajaran yang disampaikan guru model. 2. Tahap kegiatan inti. Pada kegiatan inti siswa berdiskusi dalam kelompok masing-masing untuk menyelesaikan tugas sesuai instruksi yang disampaikan guru model melalui LAS. Kegiatan diskusi ini menyebabkan interaksi antar siswa hidup walaupun beberapa siswa dalam kelompok masih pasif. Begitu pula interaksi guru dan siswa, melalui tanya jawab interaksi tersebut berjalan dengan baik tetapi masih ada saja siswa yang tetap pasif dan hanya mendengarkan dan mencatat saja. Pada tahap ini aktifitas siswa sangat beragam, pada masing-masing kelompok ada saja kejadian yang menarik. Misalnya pada kelompok 1 siswa nomer 17 kurang percaya diri sehingga selalu ragu kalau mengerjakan soal dan jika ada komentar dari teman siswa ini menjadi bingung. Lain halnya dengan kelompok 2 jalannya diskusi kelompok dimotori oleh siswa no 18 dan yang lain mengikuti. Pada kelompok 3 ada satu siswa yang lebih pandai dari teman sekelompoknya sehingga teman lain hanya bergantung pada pekerjaan siswa tersebut , 862
namun demikian siswa tersebut tidak mau tampil ke depan untuk menjawab walaupun sebenarnya dia bisa mengerjakan, tapi teman sekolompoknya yang mewakili. Sedangkan pada kelompok 4 siswa nomer 22 sebenarnya mempunyai kemampuan yang cukup bagus, tetapi kemampuan tersebut tidak dibarengi oleh kerajinan dalam mencatat hasil jawabannya. Siswa tersebut selalu menjawab pertanyaan hanya dengan berfikir secara cepat dan menjawab secara spontan pada waktu diskusi berlangsung. 3. Tahap kegiatan penutup Sebelum pelajaran berakhir guru bersama siswa membuat rangkuman melalui tanya jawab, sebagian besar siswa sudah faham tentang materi pembelajaran yang disampaikan guru model. Hal ini terlihat dari jawaban-jawaban siswa saat guru model memberikan pertanyaan yang menggiring siswa untuk membuat rangkuman materi yang dipelajari hari itu. Namun pada kelompok 2 terlihat bahwa masih banyak anggotanya yang tidak terlibat langsung dalam membuat rangkuman bersama guru , melainkan hanya mendengarkan saja tanya jawab tersebut dan kemudian mencatatnya. 4. Hikmah Pembelajaran Hal positif yang dapat kita ambil dari Lesson Study ini adalah bahwa dalam proses belajar mengajar ada baiknya kita jangan memulai pembelajaran sebelum semua siswa benar-benar siap belajar. Pembelajaran yang melibatkan hal-hal yang nyata atau benda-benda yang sudah dikenal siswa lebih menarik bagi siswa dan sangat efektif untuk membantu siswa dalam memahami konsep yang ingin disampaikan oleh guru. Begitu pula dengan penggunaan media dan IT sangat membantu dalam proses pembelajaran. Sebagai guru sebaiknya kita mengamati dengan teliti satu persatu siswa karena di sanalah kita dapat menemukan permasalahan siswa ataupun sebaliknya kadang kita tidak tahu bahwa sebenarnya siswa dapat menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan dari para observer, diperoleh respon siswa dalam menjawab pertanyaan dari LAS juga sangat beragam dan menarik contohnya pada saat menjawab tentang median dari data permen yang diterima pada kelompok 2 masing-masing siswa pada kelompok itu langsung menentuan median tanpa mengurutan data terlebih dahulu. Dan karena urutan data yang diperoleh dari soal sebelumnya ditulis dalam urutan yang berbeda oleh masing-masing anggota tersebut maka mengakibatan median yang diperoleh masingmasing anak juga berbeda. Kejadian ini mengakibatkan siswa pada kelompok tersebut merasa bingung. Sedangkan pada kelompok 4 awalnya penulisan data sudah mereka sepakati untuk ditulis dari banyak permen yang terkecil sehingga data yang diperoleh menjadi terurut dan median yang didapat juga tidak ada perbedaan. Hal ini menjadikan kelompok 4 merasa tidak terjadi kesalahan pada jawabannya. Pada kelompok 3 ada salah satu siswa yang sudah menemukan cara yang cepat untuk menentukan median yaitu dengan cara dicoret data kiri dan kanan secara bergantian dan kemudian sisa yang ada ditengah itulah mediannya. Pada kegiatan inti terjadi sedikit kesalahan yang dilakukan tim Lesson Study pada tahap plan pada waktu tim menyediakan permen dalam kantong. Pada awalnya tim LS menginginkan rata-rata pada masing-masing kelompok adalah 5 sehingga seharusnya permen yang diterima kelompok 4 adalah 45. Pada waktu PBM, permen yang diterima kelompok 4 adalah 46. Hal ini berakibat pada saat kelompok tersebut mencari rata-rata permen yang diterima, permen bersisa satu. Menurut observer kelompok ini kebingungan untuk membagikan sisa permen tersebut sampai siswa no 32 menemukan cara yaitu dengan cara mengepruk atau memecahan permen itu menjadi sembilan agar banyak permen yang diterima masing-masing anggota sama. Tetapi setelah guru model berkeliling dan mengetahui kejadian itu , maka guru model meralat bahwa seharusnya permen yang diterima adalah 45, sehingga masalah itu menjadi terselesaikan. Hal yang tak kalah menarik dari kegiatan ini adalah pada waktu mencari rata-rata. Ada satu kelompok yang langsung spontan membagikan permen itu sama banyak pada masingmasing anggota. Ada pula yang mengumpulkan permen itu lebih dulu kemudian membagikan permen itu satu demi satu pada tiap anggota sampai habis. Akhirnya banyak permen yang diterima masing-masing anggota itu adalah rata-ratanya. Pembelajaran dengan pendekatan RME pada kegiatan inti ini terlihat dari cara siswa menjawab pertanyaan terakhir dalam LAS tentang bagaimana cara untuk menentukan rata-rata 863
dari data banyak permen dalam kelompoknya. Ada beberapa siswa yang menjawab pertanyaan tersebut secara deskriptif menceritakan langkah-langkah yang diperoleh pada waktu mencari rata-rata, ada juga yang menggunakan rumus walaupun belum sempurna yaitu dengan menjumlahkan data kemudian dibagi dengan banyaknya anggota. Dari kejadian di atas semua masalah telah terselesaikan baik untuk mencari median modus maupun rata-rata melalui diskusi dan tanya jawab guru bersama siswa, dan pada akhirnya diperoleh rumus untuk mencari ukuran pemusatan tersebut. Setelah siswa memahami konsep, guru model menayangkan kembali masalah yang tadi ditampilkan saat apersepsi dan meminta siswa untuk menyelesaikannya. Dari hasil pengamatan para observer dan jawaban siswa terpilih di papan tulis menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mampu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Selanjutnya siswa diberikan dua masalah lagi yaitu pertama menyusun data yang banyak bilangan dan rata-ratanya diketahui dan yang kedua meyusun data yang banyak bilangan, modus dan rata-ratanya diketahui. Masalah open ended ini dimunculkan dengan harapan muncul kreativitas siswa dan semakin memperkuat konsep yang mereka terima. Walaupun pada awalnya banyak siswa bingung tidak mengerti maksudnya dan apa yang harus dilakukan setelah membaca soal. Hal ini mungkin juga terjadi karena selama ini siswa tidak pernah dikenalkan dengan masalah open ended. Dengan sedikit arahan dari guru model akhirnya siswa paham dan mampu menyelesaikan soal dengan berbagai jawaban yang berbeda meskipun masih ada kesalahan penulisan. Akan tetapi dari jawaban siswa menunjukkan bahwa mereka telah memahami konsep yang sudah dipelajari. Bahkan dari rekaman observer beberapa siswa sempat berucap pembelajaran kali ini terasa sebentar. Demikian pula dari hasil angket setelah pembelajaran diketahui bahwa sebagian besar siswa sangat senang dan antusias dengan pembelajaran dengan pendekatan RME dalam Lesson Study ini. Berdasarkan hasil pengamatan para observer diketahui bahwa pembelajaran matematika khususnya materi Ukuran Pemusatan dengan pendekatan Realistic Mathematics Education ( RME ) pada Lesson Study ini sangat menarik bagi siswa. Siswa lebih antusias dan termotivasi. Hal ini dikarenakan apa yang mereka hadapi bukan sesuatu yang asing tetapi nyata ada dan terjadi dalam kehidupan siswa sehari-hari. Kebermaknaan konsep matematika merupakan konsep utama dari Pendidikan Matematika Realistik. Proses belajar siswa hanya akan terjadi jika pengetahuan yang dipelajari bermakna bagi siswa. Suatu pengetahuan akan bermakna bagi siswa jika proses pembelajaran dilaksanakan dalam suatu konteks atau pembelajaran menggunakan permasalahan realistik. Suatu masalah realistik tidak harus selalu berupa masalah yang ada di dunia nyata dan bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari siswa. Suatu masalah disebut realistik jika masalah tersebut dapat dibayangkan atau nyata dalam pikiran siswa. Dalam Pendidikan Matematika Realistik, permasalahan realistik digunakan sebagai fondasi dalam membangun konsep matematika atau sebagai sumber untuk pembelajaran (Wijaya, 2012). Seperti halnya pembelajaran Statistik dalam Lesson Study ini, siswa memperoleh konsep ukuran pemusatan (mean, median dan modus) dengan diawali proses matematisasi/horisontal menggunakan media permen yang akhirnya siswa digiring ke arah proses vertikal dengan menuliskan bagaimana simbol dan rumus konsep tersebut. Hal ini merupakan cerminan dari pendekatan RME yang digunakan. Pendidikan Matematika Realistik merupakan suatu model atau pendekatan pembelajaran yang jika dilakukan sebagai upaya sadar dan terencana melalui pembiasaan dengan konsisten, kontinu dan konsekuen diyakini akan dapat menumbuhkan dan memahatkan karakter-karakter seperti kemandirian (self reliance), demokrasi, toleransi, humanisme dan kejujuran.(Prabowo dan Sidi, Pramono, 2010) Melalui hasil refleksi terungkap bahwa Lesson Study ini banyak memberikan masukan bagi para guru terlebih guru model sebagai salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pembelajaran, bagaimana seharusnya dalam membelajarkan siswa, menyusun dan melaksanakan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Melalui Lesson Study guru dapat menerapkan berbagai strategi, metode dan pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi siswa. Lesson Study penting dilakukan para guru untuk saling berbagi, belajar untuk mengembangkan pembelajaran matematika yang inovatif, kreatif dan menyenankan bagi siswa.
864
PENUTUP Dari penerapan Realistic Mathematics Education (RME) dalam pembelajaran Statistika, pada materi Ukuran Pemusatan di kelas IX-D SMP Negeri 2 Turen berbasis Lesson Study , didapatkan hal-hal sebagai berikut : 1. Siswa menjadi senang dan termotivasi dengan pembelajaran Realistics Mathematics Education (RME), dengan masalah realistik dan media yang menarik bagi siswa menjadikan pembelajaran lebih bermakna bagi siswa yang bisa berakibat lebih kuatnya konsep yang diterima siswa. 2. Sebagai guru sebaiknya kita mengamati dengan teliti satu persatu siswa karena disanalah kita dapat menemukan permasalahan siswa ataupun sebaliknya kadang kita tidak tahu bahwa sebenarnya siswa dapat memecahkan masalah dengan cara mereka sendiri. 3. Penerapan Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) perlu diterapkan guru untuk pembelajaran materi-materi yang lain agar kualitas pembelajaran menjadi lebih baik. DAFTAR RUJUKAN Gravemeijer. Koeno, and Michiel Doorman.1999 "Context Problems in Realistic Mathematics Education: A Calculus Course as an Example." Educational Studies in Mathematics. Lewis, Catherine C. 2004. Lesson study. RBS. Prabowo, Agus, and Purnomo Sidi. 2010 "Memahat Karakter Melalui Pembelajaran Matematika." Proceedings of The 4 th International Conference on Teacher Education, Join Conference UPI & UPSI, Bandung, Indonesia. Santyasa, I. Wayan. 2009 "Implementasi Lesson study dalam pembelajaran."Universitas Pendidikan Ganesha. Wijaya, Ariyadi. 2012. Pendidikan Matematika Realistik Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika.Yogyakarta : Graha Ilmu. Zulkardi.2002. Developing a learning environment on realistic mathematics education for Indonesian student teachers. University of Twente.
PENERAPAN MEDIA DALAM PEMBELAJARAN LUAS PERMUKAAN BANGUN RUANG DI KELAS V SEKOLAH DASAR Jacoba Leuwol Agussalim Syamsudin SDN 13 Arfai Manokwari Papua Barat Abstrak: Media Pembelajaran telah banyak ditemukan oleh para pakar pendidikan, tetapi guru perlu kreatif dalam mengimplementasikannya sesuai dengan materi pembelajaran yang telah ditetapkan. Salah satu media yang dapat digunakan pada materi pembelajaran luas permukaan kubus dan balok adalah bentuk bangun kubus dan balok. Untuk menggunakan media tersebut diperlukan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dapat memfasilitasi siswa untuk berfikir lebih tinggi agar siswa mampu menemukan bukan sekedar menirukan contoh atau prosedur yang telah ada. Penggunaan media pembelajaran yang tepat sesuai dengan materi dan tujuan pembelajaran dapat meningkatkan pemahaman anak terhadap konsep luas permukaan bangun ruang. Penggunaan media kubus dan balok pada materi luas permukaan kubus dan balok diterapkan dalam kegiatan lesson study yang di lakukan dalam rangka ongoing I TEQIP 2013 dalam tiga tahapan yaitu; Plan (perencanaan), Do (pelaksanaan), See (refleksi) Kata kunci: media, luas, bangun ruang, lesson study
Proses belajar mengajar pada hakekatnya merupakan komunikasi antara guru dan murid.Dalam proses komunikasi guru menyampaikan materi pelajaran agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah di tetapkan. Tujuan pembelajaran yang dilakukan kali ini di titikberatkan pada pemahaman konsep serta lebih jauh agar mereka mampu memecahkan masalah. Namun dari hasil pengalaman yang kami peroleh bahwa pembelajaran 865
matematika merupakan mata pelajaran yang sangat tidak diminati oleh siswa. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan bahwa pelajaran matematika sangat kaku,menyeramkan dan membosankan. Para siswa tampak pasif karena pola pembelajaran yang diterapkan oleh guru hanya berpusat pada guru itu sendiri, melalui ceremah ,pemberian contoh soal, lalu dilanjutkan dengan latihan soal secara individu.Guru yang berperan sebagai pengelola kegiatan belajar mengajar tidak hanya terfokuspada siswa itu sendiri melainkan hendaklah melibatkan beberapa komponen seperti tujuanpembelajaran, materi, metode, media dan evaluasi . Guru tidak hanya menguasai teori-teoridan materi matematika saja, tetapi juga harus memiliki kompetensi merancang kegiatan pembelajaran agar pelaksanaan kegiatan belajar mengajar berjalan dengan baik, menarik, mudahdipahami dan sesuai urutan yang logis dengan memilih media pembelajaran yang tepat. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa untukbekerja Secara kolaboratif dalam mencapai tujuan. Pembelajaran kooperatif merupakan suatumetodedimana siswa belajar bersama-sama dalam kelompok dan anggota dalam kelompok tersebutsaling bertanggung jawab satu dengan yang lain. Pembelajaran kooperatif di landasi oleh teori konstruktivisme Vygotsky mengungkapkan dua konsep penting yang perlu dipertimbangkan dalam proses belajar siswa, yakni Zona Proximal Development (ZPD) danScaffolding. Pada dasarnya setiap siswa memiliki potensi untuk bisa mengonstruksi pengetahuan Secara individu (tanpa bantuan orang lain) dan mengonstruksi pengetahuan karena adanyabantuan orang lain (adanya interaksi dengan orang lain).Siswa dapat mengonstruksi pengetahuansecara mandiri menunjukan adanya Zona Actual. Sebenarnya siswa dapat mengembangkan potensinya sampai kondisi maksimal, bila dibantu oleh orang lain. Zona yang masih bisa dikembangkan secara optimal dengan adanya bantuan orang lain disebut Zona Proksimal Development . Lebih jauh Vygotsky menyarankan agar bantuan kepada siswa tidak terlalu banyaktetapi secukupnya. Bantuan secukupnya kepada siswa untuk bisa mengembangkankemampuannya secara optimal di sebut Scaffolding.Pada dasarnya setiap pembelajaran yang di lakukan cenderung dan berorientasi dalam membentuk perilaku belajar siswa. Silver,Stong, dan Perini orientasi interpersonal(hubungan sosial) siswa dengan siswa (relationship) dengan membentuk kelompok ,persekutuan, latihan bersama. Bentuk kegiatan yang mengarah ke interpersonal antara lain ; diskusi, aktifitaskooperatif ( Subanji, 2013 : 36). Menurut Suryosubrotokeuntungan metode diskusi antara lain; (1) melibatkansemua siswa secara langsung dalam proses belajar, (2) setiap siswa dapat menguji tingkat pengetahuan dan penguasaan bahan pelajarannya masing–masing, (3) dapat menumbuhkan dan mengembangkan cara berpikir dan sikap ilmiah, (4) dengan mengajukan dan mempertahankan pendapatnya dalam diskusi diharapkan para siswaakan dapat memperoleh kepercayaan akan (kemampuan) diri sendiri, (5) dapat menunjukan usaha-usaha pengembangan sikap sosial dan sikap demokratis para siswa ( Tanireja,dkk 2013: 24). Seaman dan Fellenz mengemukakan bahwa diskusi dan berbagi akan memberikan kesempatan bagi siswa untuk memberikan reaksi terhadap ide-ide, pengalaman, wawasan dan pengetahuan dari guru atau sesama siswa untuk menghasilkan alternatif dalam cara berfikir dan merasakan (Subanji,2013:23). Pembelajaran interaktif menurut Vygostky, bisa di lakukan dengandiskusi kelompok.Dalam pembelajaran matematika sangat penting untukmenekankan media (peraga) untuk mengembangkan pemahaman siswa. Benda – benda fisik atau manipulative untuk memodelkan-konsep-konsep matematika merupakan alat-alat yang penting untuk membantu siswa belajar matematika yang abstrak menjadi konkret (Subanji 2013). Dalam pembelajaran ini yang menjadi bagianterpenting adalah bagaimana siswa dapat memahami dan mengerti informasiyang disampaikan oleh guru tentunya informasi yang di pelajari bermakna bagi siswa. Belajar bermakna (meaningful learning) pada awalnya di kembangkan oleh Ausubel yangmenjelaskan bahwa seorang siswa dikatakan belajar secara bermakna apabila siswa tersebut dapat mengaitkan antara apa yangdipelajari (pengetahuan baru) dengan apa yang sudah di ketahui (pengetahuan lama).Pembelajaran bermakna tidak hanya berhenti pada terbentuknya pengetahuan tetapi lebih jauh membentuk pengetahuan menjadi perilaku dan karakter diri siswa (Subanji. 2013).Pembelajaran akan lebih bermakna bagi siswa apabila dalam proses pembelajaran materi yang di terapkan guru ditunjang media serta metode yang sesuai. Program TEQIP (Teacher Quality Improvement Program) adalah kegiatan peningkatan kualitas guru Sekolah Dasar melalui in-service training dengan pola Training Of Trainer 866
(TOT) yang telah dilaksanakan dari tahun 2010 dengan tujuan agar dapat membentuk guru-guru bermutu yangdapat menjalankan tugas-tugas secara profesional . Melalui pelatihan ini kamimendapatkan pembelajaran matematika yang kreatif dan inovatif, termasuk modelmodelpembelajaran bermakna berbasis Lesson Study. Serta mampu merancang mediamediapembelajaran, memilih metode dan menentukan strategi yang sesuai dengan materi pembelajaran sesuai situasi dan kondisi sekolah yang ada. Kegiatan pembelajaran yang di lakukan dengan media kubus dan balok pada materi pembelajaran luas permukaan kubus dan balok, dilaksanakan dalam 3 tahapan sebagai berikut ; Perencanaan (Plan), Pelaksanaan(Do), Refleksi(See).Pembelajaran ini di lakukan pada kegiatan Ongoing TOT I TEQIP 2013 di SD 13 Arfai, Manokwari kelas V yang berbasis Lesson Study tannggal 27 Mei 2013. Tahap Perencanaan (Plan) Penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran (Plan) kami lakukan bersama dengan mengadakan diskusi dalam satu tim guru matematika. Kami memilih pelajaran matematika kelas V (lima) semester II (dua) dengan alokasi waktu 2 x 35 menit. Dalam diskusi tersebut di sepakati untukmemilih standar kompetensi: Memahami sifat-sifat bangun dan hubungan antar bangun. Sedangkan Kompetensi dasarnya : Menyelesaikn masalah yang berkaitan dengan bangun datardanbangun ruang sederhana. Selanjutnya di kembangkan Indikator yang diharapkan siswa dapat: (1) Menemutunjukan jaring -jaring kubus dan balok, (2) menghitung luas masing masing sisinya, (3) Menjumlahkan semua luas sisinya, (4) menemukan rumus luas permukaan kubus dan balok.Pada materi pembelajaran ini tujuan yang diharapkan guru adalah: (1) Denganmemanipulasi(mengiris) model bangun ruang kubus dan balok siswa dapat menemukan jaring-jaring kubusdan balok yang berbentuk bangun datar. (2) Setelah menemukan jaring-jaring kubus dan balok yang berbentuk bangun datar, siswa dapat menghitung luas masing-masing sisi bangun kubus dan balok. (3) Dari luas masing-masing sisi tersebut, siswa dapat menentukan jumlah semua luas sisipada bangun kubus dan balok. (4) Dari jumlah semua luas sisi-sisi tersebut, siswa dapat menemukan rumus luas permukaan bangun kubus dan balok. (5) Dengan rumus yang telah ditemukan, siswa dapat menghitung luas permukaaan kubus dan balok. PEMBAHASAN Tahap Pelaksanaan (Do) Dalam proses pembelajaran guru mengelompokan dalam tiga langkah kegiatan yaitu: kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Langkah Pertama Ketika pembelajaran dimulai kesiapan belajar siswa terlihat sedikit tegang,namun saat guru memberikan respon kepada siswa tentang materi pembelajaran yang akan diajarkan maka semua konsentrasi siswa mulai tertuju pada guru. Pada saat apersepsi kondisi siswa sudah siap ketika guru meminta siswa menyebutkan bentuk –bentuk bangun ruang yang telah disiapkan guru maupun bangun –bangun ruang yang ada di kelas dan lingkungan tempat tinggal siswa. Siswa lebih antusias lagi ketika guru menunjuk beberapa siswa maju ke depan memilih nama bangun ruang sesuai permintaan guru, misalnya siswa di suruh memilih kubus, balok tabung prisma, limas maka dengan sportif siswa – siswa mengambil sesuai perintah guru.
KUBUS
TABUNG
867
BALOK
KERUCUT
LIMAS
PRISMA
Setelah siswa mengenal beberapa bentuk bangun ruang dengan menyebutkan nama bangun ruang sesuai dengan bentuknya, maka guru menginformasikan materi pembelajaran disertai dengan tujuan yang akan dicapai yaitu menghitung luas permukaan kubus dan balok. Langkah Kedua Pada kegiatan inti guru membagi 25 siswa dalam 5 kelompok yang tiap kelompok terdiri dari 5 siswa yang heterogen sesuai dengan jenis kelamin maupun prestasinya. Masing – masing kelompok diberi nama; Kubus, Tabung, Limas, Kerucut dan balok. Masing-masing kelompok akan berdiskusi untuk menyelesaikan Lembar Kerja Siswa (LKS). Selanjutnya lembar kerja siswa yang dibagikan guru kepada siswa sebagai berikut : LKS Kelompok : ...................... 1. ................... 2. ...................
3. ......................... 4. .........................
5. ........................... 6. ...........................
Petunjuk Penyelesaian LKS: 1. Dengan menggunakan media bangun kubus yang ada pada kelompokmu, jawablah pertanyaan di bawah ini melalui diskusi bersama! a. Jika kubus tersebut diiris sesuai bidang sisi hingga terbuka maka akan membentuk . . . b. Jika kubus tersebut diiris sesuai bidang sisi hingga terbuka maka akan membentuk . . . c. Hitunglah luas masing-masing sisi sesuai dengan ukuran yang sudah ditentukan d. Jumlahkan semua luas sisinya! e. Temukanlah rumus luas permukaan kubus!
10 cm 2. Dengan menggunakan media bangun balok yang ada pada kelompokmu Jawablah pertanyaan di bawah ini melalui sdiskusi bersama! a. Jika balok tersebut diiris sesuai bidang sisihingga terbuka maka akan membentuk … b. Salah satu bidang sisi bangun tersebut merupakan bangun … c. Hitunglah luas masing – masing sisi sesuai ukuran yang telah di tentukan ! d. Jumlahkan semua luas sisinya ! e. Temukan luas permukaan balok! 6cm 8 cm 4 cm
868
Semua siswa sangat antusias berdiskusi pada masing – masing kelompoknya untuk menyelesaikanLKS dengan menggunakan media kubus dan balok yang telah di siapkan oleh guru.Proses diskusi berlangsung selama 30 menit, guru sebagai fasilitator selalu mengawasi Setiap kelompok. Ada kelompok yang kurang memahami sehingga tidak berdiskusi untuk menyelesaikan LKS tetapi hanya bercerita saja, maka kelompok tersebut di datangi guru untukmemberikan penjelasan dan memotivasi siswa tersebut agar mau mengikuti diskusi dengan baik.Dalam waktu 20 menit diskusi kelas dilaksanakan. Semua materi diskusi dapat di presentasikan oleh masing–masing kelompok. Jika salah satu kelompok sedang mempresentasikan hasil diskusinya maka kelompok lain dapat menanggapi. Guru sebagai fasilitator memberikan penguatan dan meluruskan ketidaksamaan pendapat dari masing – masing kelompok. Pada diskusi kelas ini siswa sangat merasa senang karena dengan tuntunan guru, siswa dapat menemukan rumus luas permukaan kubus dan balok sebagai berikut :Luas permukaan kubus yaitu: 6 x r x r atau 6 x r2Luas permukaan balok yaitu : (2 x p x l) +(2 x p x t ) + (2 x l x t ) Langkah Ketiga Guru melakukan evaluasi yang bertujuan untuk mengukur ketercapaian indikatorpembelajaran sesuai materi luas permukaan kubus dan balok. Bentuk soal evaluasi sebagai berikut ; 1. Hitunglah luas permukaan bangun kubus dan balok di bawah ini! a. b. 3 cm
12 cm
5cm
10 m
2. Selesaikanlah soal-soal di bawah ini ! a. Sebuah kubus panjang rusuknya 8 cm. Berapakah luas permukaan kubus tersebut ? b. Sebuah balok dengan panjang 15 cm, lebar 7 cm dan tinggi 5 cm. Berapakah luas permukaan balok tersebut ? Hasil evaluasi dari pekerjaan siswa diperoleh bahwa lebih dari 70% dari keseluruhan siswa dapat menjawab dengan baik.Hal itu terlihat dari 36 siswa sebanyak 27 siswa dapat menjawab pekerjaan dengan benar. Proses pembelajaran di akhiri guru dengan memberikan motivasi dan penguatan kepada siswa untuk lebih banyak berlatih agar materi yang telah di pelajari dapat lebih di pahami lagi. Terutama bagi siswa yang belum tuntas sesuai hasil evaluasi yang telah diperoleh. Tahap Refleksi (See) Setelah kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru model di kelas, maka di lanjutkan dengan kegiatan refleksi yang dihadiri oleh guru model, observer (rekan sejawat, kepala sekolah dan expert dari UM ). Tujuan dari refleksi tersebut adalah untuk mengevaluasi pembelajaran yang di lakukan oleh guru model dan keaktifan siswa dalam belajar. Dari catatan beberapa observer ditemukan hasil abservasi antara lain ; (1) Siswa di minta guru menyebutkan bentuk-bentuk bangun ruang yang ada di meja guru dan di lingkungannya.Kegiatan apersepsiguru diresponi baik oleh siswa. (2) Interaksi siswa dengan siswa terjadi ketika guru membagikan LKS dengan media untuk tiap kelompok, maka siswa mulai berdiskusi untuk menyelesaikan LKS tersebut. (3) Ada 2 siswa pada kelompok 4 yang bercerita sendiri dan kelompok 5 tidak dapatbekerja karena tidak mengerti. (4). Guru mendatangi siswa maupun kelompok yang mengalami permasalahan dalam menyelesaikan LKS dan memberikan motivasi serta mengarahkan siswa dan kelompok tersebut untuk bekerja bersama. (5) Interaksi guru dengansiswa terjadi dari awal hingga akhir pembelajaran berlangsung. (6) Guru mendatangi tiap-tiap kelompok saat siswa berdiskusi.(7) Siswa di libatkan saat mempresentasikan hasil diskusi. Suasana ini sangat menyenangkan bagi siswa 869
karena terjadi perdebatan karena perbedaan pendapat, maka guru sebagai fasilitator dapat memberikan bantuan kepada siswa dengan menggunakan media yang ada. (8) Siswa dapat meresponi dan aktif dalam pembelajaran karena walauppun menjawab salah siswa tersebut tetap diberikan apresiasi. (9) Siswa tetap aktif dalam menyimpulkan pembelajaran bersama guru. (10) Dalamkegiatan evaluasi siswa mengikuti dengan baik walaupun masih ada beberapa siswa yang memang kurang dan tdk bisa karena latar belakang siswa tersebut tidak mampu atau lemah dalam belajar. (11) Dengam model dan media pembelajaran yang tepat dapat menciptakan suasana belajar yang aktif, kreatif dan menyenangkan terutama bagi siswa dalam meningkatkan kemampuan dan daya berpikir yang kritis. Melalui hasil refleksi terungkap bahwa guru model merasakan mengalami peningkatan dalammenyampaikan materi pelajaran dan lebih percaya diri dengan menggunakan media yang tepat. KESIMPULAN Guru hendaknya berperan sebagai pemberi bantuan yang secukupnya dan penuntun dalam menggunakan media sebagai sarana bantu bagi siswa dalam belajar. Pembelajaran di katakan bermakna bagi siswa apabila siswa tersebut dapat belajar untuk menemukan melalui konsep dari pengetahuan yang lama ke pengetahuan yang baru. Khususnya dalam materi pembelajaran menghitung Luas, Keliling dan Volum bangun datar maupun bangun ruang hendaknya sebagai guru, kita tidak memberikan rumus kepada siswa tetapi denganmedia pembelajaran maka anak didik kita dapat menemukan rumus tersebut. Penggunaan media kubus dan balok dalam proses pembelajaran luas permukaan kubus dan balok dapat menciptakan suasana belajar siswa yang aktif, kreatif, menyenangkan, dan tidak membosankan. Diskusi kelompok membuat siswa dapat berkolaborasi dalam memecahkan masalah yang diberikan guru dengan ditunjang dengan media pembelajaran yang tepat sebagai sarana bantu belajar.Sehingga siswa tidak lagi beranggapan bahwa matematika merupakan pelajaran yang menyeramkan tetapi matematika menyenangkan . DAFTAR RUJUKAN Subanji.2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif . J-TEQIP: Jurnal Peningkatan Kualitas Guru, IV(1):39 Tanireja,T,H., Faridli,E.M., & Harmianto,S. 2013. Model-Model Pembelajaran Inovatif dan Kreatif. Bandung: Alfabeta. .
MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU SD DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA MELALUI SUPERVISI PENGAJARAN DI SDN 200212 PADANGSIDIMPUAN Ismail Harahap Pengawas SD Kota Padangsidimpuan Abstrak: Artikel ini merupakan hasil penelitian tindakan. Tindakan dilakukan terhadap 3 orang guru yang mengajar matematika di SDN 200212 Padangsidimpuan. Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, peneliti melaksanakan observasi pembelajaran terhadap ketiga guru mata pelajaran matematika sebanyak dua siklus. Data yang dikumpulkan pada Siklus I dan II dianalisis secara deskriftif untuk memberikan gambaran umum peningkatan kemampuan guru matematika dalam pembelajaran. Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa terdapat peningkatan kualitas pembelajaran yang sekaligus peningkatan kemampuan guru matematika yakni dari 2,37 pada pra tindakan menjadi 2,95 pada siklus I dan menjadi 3,53 pada siklus II. Kata kunci: kemampuan guru, matematika, supervisi, sekolah dasar
Kondisi proses belajar-mengajar khususnya pembelajaran Matematika di SDN 200212 Padangsidimpuan belum seperti yang diharapkan. Kemampuan guru dalam merancang dan 870
melaksanakan pembelajaran, belum maksimal. Hal ini dapat dilihat pada hasil Uji Kompetensi Guru, hasil Sertifikasi Guru, dan hasil Ujian Nasional yang masih di bawah Standar. Agar kondisi proses belajar-mengajar sesuai dengan harapan, kemampuan profesional guru di Padangsidimpuan mutlak harus ditingkatkan. Pengawas satuan pendidikan berupaya membina dan merangsang guru agar mereka senantiasa mengembangkan kemampuan profesionalismenya, sehingga proses pembelajaran lebih berkualitas yang akhirnya hasil belajar siswa akan lebih baik. Penelitian tindakan ini bertujuan untuk mendeskripsikan tindakan supervisi terhadap kualitas pembelajaran matematika dari tiga guru SD. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimanakah gambaran kemampuan guru dalam pembelajaran ? 2. Bagaimanakah peningkatan kemampuan guru dengan adanya supervisi ? 3. Apakah kegiatan supervisi yang dilaksanakan pengawas sekolah dapat meningkatkan kemampuan guru dalam pembelajaran ? Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Bahan masukan bagi guru dalam mencari alternatif yang tepat untuk merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran. 2. Bahan masukan bagi pengawas sekolah dan kepala sekolah untuk memotivasi guru dalam usaha meningkatkan kemampuan para guru. 3. Bahan masukan bagi guru, pengawas sekolah dan kepala sekolah untuk menyusun program sekolah. Sagala(2005) mengemukakan sebagai berikut : “ Guru adalah ujung tombak pendidikan yang secara langsung berintegrasi dengan anak didik, karena itu sesungguhnya guru adalah penentu masa depan.” 1) Lebih lanjut Syaiful Bahri Djamarah(2000) menyebutkan bahwa ‟Guru figur manusia sumber yang menempati posisi dan memegang peran penting dalam pendidikan. Dari kedua pendapat di atas dapatlah dipahami bahwa guru adalah merupakan salah satu faktor penentu dalam mencapai keberhasilan pendidikan. Artinya guru merupakan sentral dan sangat sterategis untuk meningkatkan mutu pendidikan. Guru harus ahli dan mempunyai pengetahuan yang luas dan dalam tentang materi pelajaran yang akan diajarkan, ahli merancang pembelajaran, ahli melaksanakannya dan ahli pula dalam melaksanakan penilaian pembelajaran. Selanjutnyanya, arti Supervisi adalah sebagai berikut :“Supervisi adalah usaha menstimulir, mengkoordinir dan membimbing secara kontiniyu pertumbuhan guru – guru di sekolah baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran dengan demikian mereka dapat menstimulir dan membimbing pertumbuhan tiap murid secara kontiniyu, sehingga dengan demikian mereka mampu dan lebih cakap berpartisipasi dalam masyarakat demokrasi moderen . 3) Berdasarkan pendapat – pendapat di atas penulis berkesimpulan bahwa supervisi adalah pemberian bantuan profesional kepada guru dan staf sekolah lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan untuk meningkatkan Proses Belajar Mengajar yang efektif, efisien, dan relevan sehingga tercapai tujuan pendidikan yang lebih baik. Pengawas bertanggungjawab dan bertugas serta dapat berperan sebagai penasehat profesional untuk mengatasi hambatan dalam melaksanakan pembelajaran. METODE PENELITIAN Yang menjadi objek tindakan pada penelitian ini adalah untuk menguji sejauh mana perubahan kemampuan guru Matematika dalam merencanakan pembelajaran, menetapkan tujuan pembelajaran, mengatur prosedur pembelajaran, serta berintegrasi dengan siswa dalam menyampaikan materi pokok pembelajaran setelah dilaksanakan supervisi. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan tepatnya mulai bulan Agustus sampai bulan Oktober 2013. Adapun tempat penelitian dilaksanakan di SDN 200212 yang beralamat di Padangsidimpuan Provinsi Sumatera Utara. Lokasi ini dipilih dan dijadikan penulis sebagai tempat penelitian disebabkan sekolah tersebut merupakan sekolah binaan penulis pada tahun pelajaran 2013/2014. Kemudian yang menjadi subjek penelitian ini adalah guru – guru Matematika, tepatnya guru-guru yang mengajar Matematika pada kelas IV,V dan VI tahun 2013 / 2014 yang berjumlah 3 orang. Untuk mendapatkan tingkat kemampuan guru dalam pembelajaran penulis 871
melaksanakan supervisi dalam dua siklus yang didahului dengan pelaksanaan siklus awal kemudian dilaksanakan siklus I dan siklus II. Tahapan lain yang penulis lakukan adalah tahapan perencanaan, tahapan pelaksanaan dan tahapan refleksi untuk siklus I dan siklus II. Rincian tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Tahap Perencanaan Tindakan a. Menetapkan materi observasi (pengamatan) yaitu aspek – aspek yang akan diamati pada saat kegiatan observasi pembelajaran di kelas. b. Menyusun rencana tindakan yang dilakukan dengan penekanan terhadap merumuskan indikator hasil belajar, menentukan cara dan langkah-langkah mencapai tujuan pembelajaran, menentukan pengelompokan anak dalam pembelajaran, menentukan media pembelajaran, cara memulai pembelajaran, menjelaskan isi kegiatan, strategi dan cara penerapan metode, mengembangkan interaksi dalam proses pembelajaran, memberikan penguatan, kesimpulan dan cara memberikan penilaian. c. Menyusun instrumen pengamatan (observasi) dengan melihat kondisi awal yaitu kemampuan guru dalam melaksanakan proses pembelajaran semester-semester sebelumnya. 2. Tahap Pelaksanaan Tindakan Penelitian ini dilaksanakan dua siklus. Tindakan diawali dengan observasi awal untuk melihat dan mengetahui kondisi awal dari subjek penelitian. Kondisi awal inilah yang menjadi basis untuk menyusun pelaksanaan teknis tindakan berikutnya. a. Siklus Pertama Pada minggu ketiga bulan Agustus 2013 pengawas memberikan bimbingan terhadap ketiga orang guru Matematika. Bimbingan ditekankan kepada perencanaan pembelajaran tepatnya merancang pembelajaran pada RPP. Pengawas mendiskusikan cara merumuskan indikator, merancang langkah-langkah pembelajaran, menjelaskan cara memulai pembelajaran, cara mengembangkan indikator dalam pembelajaran, cara memanfaatkan lingkungan sebagai media pembelajaran, cara melaksanakan penilaian dalam proses belajar, cara memberikan penghargaan, cara memberikan penguatan, cara menutup pembelajaran dan sebagainya. Pada minggu keempat bulan Agustus 2013 pengawas akan melaksanakan observasi pengajaran terhadap ketiga orang guru tersebut. Direncanakan untuk satu orang guru dilaksanakan 70 menit di kelas yang di masukinya sesuai dengan jadwal pelajaran masing-masing. Dalam observasi kelas ini pengawas akan mengamati kemampuan guru dalam melaksanakan pembelajaran melalui format pengamatan baik yang menyangkut perencanaan pembelajaran maupun pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan yang sudah dijelaskan pada minggu terdahulu. b. Siklus Dua Pada siklus kedua ini pengawas dan guru mengidentifikasi masalah – masalah yang timbul pada pelaksanaan siklus I. Pengawas berdiskusi dengan ketiga orang guru tersebut untuk melihat kelemahan-kelemahan pada pelaksanaan siklus pertama. Hal itulah yang dibahas dan dicarikan solusi pemecahan-pemecahannya melalui tindakan. Seterusnya pada pertemuan itu guru akan melaksanakan peer teaching sebelum pelaksanaan pembelajaran yang sebenarnya. Kemudian pengawas menjelaskan kepada ketiga orang guru tersebut bagaimana caranya agar setiap aspek pengamatan dapat memperoleh skor maksimal. Pada minggu berikutnya pengawas akan melaksanakan observasi kelas terhadap ketiga orang guru tersebut. Pelaksanaan observasi akan berlangsung selama 70 menit untuk setiap guru yang pelaksanaannya di kelas masing-masing. Pengawas akan mengikutsertakan guru yang lain (subjek penelitian) sebagai observer. Pengawas dan dua guru observer akan mengamati dan membuat catatan-catatan aktual yang terjadi saat proses pembelajaran sampai pembelajaran ditutup sesuai dengan format instrumen supervisi. 3. Tahap Refleksi Selanjutnya setelah selesai pengamatan pembelajaran, guru yang diobservasi dan para observer akan berdiskusi kembali untuk menyampaikan komentar dan memberikan masukan-masukan untuk perbaikan pembelajaran berikutnya. Pada tahap refleksi ini pengawas menganalisis hasil yang didapatkan pada tahap pelaksanaan apakah ada perobahan kemampuan kearah yang lebih baik. Pada saat ini pulalah pengawas menyampaikan 872
penghargaan terhadap hal-hal yang sudah memuaskan dan memberikan masukan-masukan terhadap hal-hal yang masih dirasakan kurang. Hasil analisis data pada tahap ini akan dijadikan sebagai acuan untuk merencanakan siklus berikutnya. Selanjutnya untuk menjaring pengumpulan data yang akurat tentang peningkatan kemampuan guru Sekolah Dasar dalam pembelajaran digunakan instrumen observasi. Menyangkut penggunaan observasi, Suharsimi Arikunto(2002) mengatakan sebagai berikut: “Dalam menggunakan metode observasi cara yang paling efektif adalah melengkapinya dengan format atau blanko pengamatan sebagai instrumen. Format yang disusun berisi item– item tentang kejadian tingkah laku yang digambarkan akan terjadi “.4) Untuk mengukur peningkatan Kemampuan guru dalam pembelajaran adalah skor prestasi kerja yang dicapai seorang guru dalam: 1). merancang pembelajaran yang sesuai, 2) melaksanakan proses belajar secara efektif, 3) melaksanakan penilaian yang tepat. Dari ketiga indikator di atas disusunlah instrumen observasi yang memuat 25 aspek yang akan diamati dan dinilai. Adapun kisi – kisi instrumen observasi dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Kisi – Kisi Kemampuan Guru dalam Melaksanakan Pembelajaran No. Indikator Nomor Soal Banyak Soal 1 2 3
Penyusunan Proggram Pembelajaran
1, 2 , 3 , 4 ,5,6,7,8,9,10
10
Pelaksanaan Program Pembelajaran
11,12,13,14,15,16,17,18, 19,20,21,22,25
13
23,24
2
Pelaksanaan Penilaian Jumlah …….
25
Aspek yang akan diamati sebanyak 25 aspek dan rentang skor tiap aspek antara 1 – 4. Skor 4 apabila keterampilan guru sudah sesuai dengan kaidah – kaidah pedagogis, skor 3 apabila keterampilan guru sudah sesuai dengan kaidah – kaidah pedagogis, walaupun masih ada yang perlu diperbaiki, skor 2 apabila keterampilan guru masih banyak perbaikan, skor 1 apabila keterampilan guru tidak sesuai dengan kaidah pedagogis. Seterusnya ditentukan nilai rata – ratanya dan dikonsultasikan dengan klasifikasi penilaian dengan menggunakan tabel berikut ini: Tabel 2. Perbandingan nilai angka dan huruf SIMBOL – SIMBOL NILAI ANGKA DAN HURUF ANGKA HURUF 8 – 10 = 80 – 100 = 3,1 – 4 A 7 – 7,9 = 70 – 79 = 2,1 – 3 B 6 – 6,9 = 60 – 69 = 1,1 – 2 C 5 – 5,9 = 50 – 59 = 1 D 0 – 4,9 = 0 – 49 = 0 E
PREDIKAT Sangat Baik Baik Cukup Kurang Gagal
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan 1. Pelaksanaan Siklus Awal (Pra Tindakan) Observasi awal dilaksanakan bulan Agustus minggu kedua untuk melihat dan mengumpulkan data hasil observasi yang sudah dilaksanakan. Kondisi ini menunjukkan bahwa kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran masih lemah. Pelaksanaan observasi terdahulu hanya memperoleh nilai rata-rata : 2,37 2. Pelaksanaan Siklus I a. Pertemuan Pertama : Pada bulan Agustus minggu ketiga pengawas mengadakan pertemuan dengan ketiga guru Matematika,menyampaikan hal yang akan dipersiapkan seperti perangkatperangkat pembelajaran dan pelaksanaan observasi di kelas masing – masing . serta 873
aspek-aspek yang akan observasi yaitu yang menyangkut perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. Tuntutan indikator harus menimbulkan perobahan pada anak didik, baik perobahan kognitif, afektif dan psikomotorik ke arah yang lebih baik, langkah-langkah pembelajaran kegiatan dilaksanakan dengan sistemik melalui proses eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi. Hal-hal seperti itulah yang mendapat penekanan dalam kegiatan atau langkah-langkah pembelajaran baik pada kegiatan awal, kegiatan inti maupun pada kegiatan penutup. Guru harus mempersiapkan format-format penilaian sebelum pembelajaran dimulai jika indikator menuntut psikomotor maka format penilaian (aspek yang dinilai) harus psikomotorik siswa, kalau indikator menuntut aspek afektif maka format penilaian harus menilai sikap siswa dan kalau kognitif yang dituntut indikator maka yang dinilaipun harus kognitif. b. Pertemuan Kedua : Pada minggu keempat bulan Agustus 2013 sesuai dengan jadwal yang disusun pada minggu sebelumnya pengawas melaksanakan observasi kelas terhadap ketiga orang guru tersebut. Pada saat observasi pengawas bersama guru yang lain mengamati dan menilai guru yang mengajar berdasarkan aspek-aspek yang sudah disusun dalam instrumen pengamatan. Observasi dilaksanakan 70 menit untuk setiap orang guru. Setiap selesai observasi kelas untuk setiap orang guru dilaksanakan refleksi (diskusi) tentang hal-hal yang baik dan yang dirasakan kurang selama berlangsungnya observasi kelas. Menyangkut hasil observasi, berdasarkan pengamatan pengawas dan sesuai dengan format pengamatan terdapat peningkatan Kemampuan guru bila dibandingkan dengan hasil pengamatan pada tahap ( siklus ) awal. 3. Pelaksanaan Siklus II a. Pertemuan Pertama : Setelah menganalisis hasil observasi siklus pertama pengawas mengumpulkan ketiga guru Matematika tersebut. Kegiatan ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 tepatnya pada minggu pertama. Pada pertemuan ini pengawas memberikan penjelasan terhadap hal-hal yang masih dirasakan kurang pada siklus pertama. Dalam hal perencanaan, guru masih memerlukan bimbingan dari pengawas. Indikator penncapaian, langkah – langkah pembelajaran, media pembelajaran yang seharusnya dirancang pada RPP para guru yang akan diobservasi sudah lebih baik bila dibandingkan dengan siklus I, tinggal masalah penerapan RPP tersebut dalam pembelajaran. Selanjutnya RPP yang sudah disusun ini lebih dahulu dipraktekkan ( Peer Teaching ), sebelum dilaksanakan di dalam kelas. Pada saat Peer Teaching ini pengawas mengarahkan guru kepada tindakantindakan yang positif, baik sewaktu memulai pembelajaran, cara mengelompokkan siswa, memberikan penguatan, memberikan penilaian pada saat pembelajaran dan mengakhiri pembelajaran. Setelah Peer Teaching dilaksanakan diskusi untuk membahas hal-hal yang dirasakan kurang dan dicari solusinya. Pada saat ini disusun pula jadwal observasi kelas untuk pelaksanaan selanjutnya. b. Pertemuaan Kedua : Pada bulan Oktober 2013 tepatnya pada minggu kedua sesuai jadwal observasi pengawas melaksanakan observasi kelas terhadap ketiga orang guru tersebut. Pengawas melaksanakan pengamatan dan penilaian sesuai dengan format pengamatan ( instrumen pengamatan ). Pada saat observasi guru yang diobservasi tersebut selain diobservasi juga ikut serta sebagai observer pada saat temannya diobservasi. Setelah selesai observasi kelas diadakan diskusi (refleksi). Pada kegiatan ini pengawas tidak lagi terlalu banyak memberikan penjelasan. Pengawas hanya sekedar memberikan penguatan terhadap komentar rekan-rekan guru yang mengobserver. Analisis Data Melihat sikap guru yang kurang senang terhadap observasi kelas seperti yang sudah digambarkan di atas, maka pada siklus I dan siklus II pengawas mengikutsertakan semua guru mulai dari tahap perencanaan sampai terhadap pasca supervisi. Supervisi dilaksanakan sesuai dengan butir-butir yang dibutuhkan mereka, kesulitan – kesulitan yang mereka hadapi selama 874
ini diidentifikasi dan dijadikan objek pengamatan dalam observasi. Selain itu yang menjadi observer tidak hanya pengawas tetapi diikutkan juga dua orang guru Matematika. Demikianlah sampai tahap pasca supervisi peran guru sangat dominan sedangkan peran pengawas hanya sebagai pasilitator dan memberikan penguatan. Berdasarkan hasil analisis data observasi kelas yang dilaksanakan terhadap ketiga orang guru Matematika di SDN 200212 Padangsidimpuan pada Siklus Awal, siklus I maupun siklus II maka berikut ini penulis gambarkan melalui tabel berikut ini : Tabel 3. Rekapitulasi Nilai Hasil Observasi Kelas Guru – guru Matematika Pada Semester Ganjil Tahun 2013/2014 Nilai
No. 1. 2. 3.
Nomor Subjek 01 02 03 Jumlah Rata – rata
Siklus Awal 2,40 2,36 2,36 7,12 2,37
Siklus I 2,96 2,92 2,96 8,84 2,95
Keterangan Siklus II 3,48 3,52 3,60 10,6 3,53
Observasi 1. Observasi Tindakan Siklus Awal Berdasarkan data pada tabel 3, nilai terendah kemampuan awal adalah 2,36 dan nilai tertinggi adalah 2,40 sedangkan nilai maksimal yang mungkin dicapai adalah 4,00 . Nilai rata – rata adalah 2,37 dan median adalah 2,0. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut : 2,37
0
2,0Kemampuan Guru Siklus Awal Gambar 1. Letak Nilai Rata – rata
4,0
Kemudian gambaran Kemampuan guru Matematika tersebut penulis gambarkan pula lewat distribusi frekuensi berikut ini: Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kemampuan Guru Pada Siklus Awal No. Interval Frekuensi Persentase 1 2,36 – 2,38 2 66,67 2 2,39 – 2,41 1 33,33 Jumlah 3 100 Selanjutnya penulis paparkan pula pengelompokan skor 4, skor 3, skor 2 dan skor 1 dari setiap aspek pengamatan yang dinilai pada saat observasi kelas. Kemampuan guru merumuskan indikator adalah 2,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 2. Menyangkut menggunakan kompetensi dasar dan kesesuaiannya dengan KTSP nilai rata-rata adalah 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3. Selanjutnya kesesuaian materi pokok dengan KTSP adalah nilai 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3. Sedangkan kemampuan menentukan cara mencapai tujuan pembelajaran nilai 2,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 2. Kemampuan untuk menentukan langkah-langkah kegiatan adalah 2,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 2. Kompetensi guru menentukan alokasi waktu nilai rata-ratanya 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3. Selanjutnya kemampuan guru menentukan pengelompokan siswa nilainya 3,00 dengan rincian ketiga orang guru tersebut memperoleh skor 3. Selanjutnya kemampuan guru menentukan media pembelajaran nilainya 3,00 dengan rincian ketiga orang guru tersebut memperoleh skor 3. Sementara kemampuan guru menentukan tehnik 875
penilaian memperoleh nilai 2,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 2. Kemudian cara menentukan alat penilaian memperoleh nilai rata-rata 2,00 dengan rincian ketiga orang guru tersebut memperoleh skor 2. Seterusnya aspek membuka pembelajaran nilainya 2,00 dengan rincian ketiga orang guru tersebut memperoleh skor 2. Kompetensi guru membantu siswa mengenali kompetensi dasar nilainya 2,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 2. Kompetensi berikutnya membantu siswa mengamati materi pokok nilainya 2,00 dengan rincian ketiga orang guru tersebut memperoleh skor 2. Cara menjelaskan isi kegiatan kepada siswa nilainya 2,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 2. Kemudian menggunakan ekspresi dalam berkomunikasi dengan siswa nilainya 3,00 dengan ketiga orang guru tersebut memperoleh skor3. Memanfaatkan respons siswa dalam menyelenggarakan pembelajaran nilai rata-rata adalah 3,00 dengan ketiga orang guru tersebut memperoleh skor 3. Menyangkut kemampuan menggunakan media pembelajaran nilai rata-rata adalah 2,00 dengan ketiga orang guru tersebut memperoleh skor 2. Kemampuan mengatur dan urutan pembelajaran nilainya 2,00 dengan rincian ketiga orang guru tersebut memperoleh skor 2. Kompetensi mengenai penggunaan berbagai macam variasi sewaktu menjelaskan pelajaran nilainya adalah 2,00 dengan rincian ketiga orang guru tersebut memperoleh skor 2. Selanjutnya dalam hal memberikan bimbingan kelompok atau individu nilainya 2,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 2. Mengenai kesempatan siswa untuk berpartisipasi nilainya 2,00 dengan rincian ketiga orang guru tersebut memperoleh skor 2. Memberikan penguatan nilainya adalah 2,67 dengan rincian dua orang guru tersebut memperoleh skor 3 dan satu orang guru memperoleh skor 2. Menyangkut penilaian pada saat pembelajaran nilainya 2,33 dengan rincian satu orang guru memperoleh skor 3 dengan rincian dua orang guru memperoleh skor 2. Kemudian penilaian akhir nilainya adalah 3,00 dengan rincian ketiga orang guru tersebut memperoleh skor 3. Terakhir menutup pembelajaran nilainya 2,33 dengan rincian satu orang memproleh skor 3 dan dua orang memperoleh skor 2. 2. Observasi Tindakan Siklus I Berdasarkan tabel 3 di atas nilai berada antara 2,92 (terendah) sampai 2,96 (tertinggi) sedangkan nilai yang maksimal mungkin tercapai adalah 4,00 . Nilai rata – rata adalah 2,95 dan median adalah 2,0. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut : 2,95
0
2,0
4,0
Gambar 2. Letak Nilai rata – rata Kemampuan Guru Siklus I
Selanjutnya bila nilai rata-rata Kemampuan Guru dikonsultasikan dengan koefisien penilaian yang sudah ditetapkan pada (Tabel 2), maka posisi Kemampuan guru Matematika SDN 200212 Padangsidimpuan masuk kategori baik. Kemudian gambaran Kemampuan guru Matematika tersebut penulis gambarkan pula lewat distribusi frekuensi berikut ini: Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kemampuan Guru Pada Siklus I No Interval Frekuensi Persentase 1 2,92 – 2,94 1 33,33 2 2,95 – 2,97 2 66,67 Jumlah 3 100
876
Selanjutnya penulis sajikan pengelompokan skor 4, skor 3, skor 2 dan skor 1 untuk setiap aspek yang dinilai/diamati sekaligus penulis bandingkan dengan hasil siklus awal. Kemampuan guru merumuskan indikator adalah 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Menyangkut menggunakan kompetensi dasar dan kesesuaiannya dengan KTSP nilai rata-rata adalah 3,33 dengan rincian satu orang guru memperoleh skor 4 (33,33 %) dan dua orang memperoleh skor 3 (66,67 %). Selanjutnya kesesuaian materi pokok dengan KTSP adalah nilai 3,00 dengan rincian ketiga orang memperoleh skor 3 (100 %). Sedangkan kemampuan menentukan cara mencapai tujuan pembelajaran nilai 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Kemampuan untuk menentukan langkahlangkah kegiatan adalah 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Kompetensi guru menentukan alokasi waktu nilai rata-ratanya 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Selanjutnya kemampuan guru menentukan pengelompokan siswa nilainya 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Selanjutnya kemampuan guru menentukan media pembelajaran nilainya 3,00 dengan rincian ketiga orang skor 3 (100 %). Sementara kemampuan guru menentukan tehnik penilaian memperoleh nilai 3,00 dengan rincian ketiga orang memperoleh skor 3 (100 %). Kemudian cara menentukan alat penilaian memperoleh nilai 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Seterusnya aspek membuka pembelajaran nilainya 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Kompetensi guru membantu siswa mengenali kompetensi dasar nilainya 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Kompetensi berikutnya membantu siswa mengamati materi pokok nilainya 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Cara menjelaskan isi kegiatan kepada siswa nilainya 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Kemudian menggunakan ekspresi dalam berkomunikasi dengan siswa nilainya 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Memanfaatkan respons siswa dalam menyelenggarakan pembelajaran nilai rata-rata adalah 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Menyangkut kemampuan menggunakan media pembelajaran nilai rata-rata adalah 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Kemampuan mengatur dan urutan pembelajaran nilainya 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Kompetensi mengenai penggunaan berbagai macam variasi sewaktu menjelaskan pelajaran nilainya adalah 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Selanjutnya dalam hal memberikan bimbingan kelompok atau individu nilainya 2,33 dengan rincian satu orang guru memperoleh skor 3 (33,33 %) dan dua orang memperoleh skor 2 (66,67 %). Mengenai kesempatan siswa untuk berpartisipasi nilainya 2,33 dengan rincian satu orang guru memperoleh skor 3 (33,33 %) dan dua orang memperoleh skor 2 (66,67 %). Memberikan penguatan nilainya adalah 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Menyangkut penilaian pada saat pembelajaran nilainya 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Kemudian penilaian akhir nilainya adalah 3,00 dengan rincian ketiga orang guru tersebut memperoleh skor 3 (100 %). Terakhir menutup pembelajaran nilainya 2,67 dengan rincian dua orang memperoleh skor 3 dan satu orang guru memperoleh skor 2 (33,33 %). 3. Observasi Tindakan Siklus II Berdasarkan gambar pada tabel 4, nilai terendah hasil observasi kelas pada saat siklus II adalah 3,48 dan nilai tertinggi adalah 3,60 sedangkan nilai maksimal yang mungkin tercapai adalah 4,00 . Nilai rata – rata adalah 3, 53 dan median adalah 2,0. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut : 3,53
0
2,0
Gambar 3. Letak Nilai Rata – rata Kemampuan Guru Siklus II 877
4,0
Kemudian gambaran Kemampuan guru Matematika tersebut penulis gambarkan pula lewat distribusi frekuensi berikut ini : Tabel 6. Distribusi Frekuensi Kemampuan Guru Pada Siklus II No 1 2 3 4 5
Interval
Frekuensi
3,48 – 3,50 3,51 – 3,53 3,54 – 3,56 3,57 – 3,59 3,60 – 3,62 Jumlah
1 1 0 0 1 3
Persentase 33,33 33,33 0 0 33,33 100
Pengelompokan skor 4, skor 3, skor 2 dan skor 1 untuk setiap aspek yang dinilai/diamati kemudian bandingkan dengan hasil siklus satu. Kemampuan guru merumuskan indikator adalah naik dari 3,00 menjadi 4,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 4 (100 %). Menyangkut menggunakan kompetensi dasar dan kesesuaiannya dengan KTSP nilai rata-rata adalah naik dari 3,33 menjadi 4,00 dengan rincian satu orang guru memperoleh skor 4 (100 %). Selanjutnya kesesuaian materi pokok dengan KTSP adalah naik dari nilai 3,00 menjadi 3,33 dengan rincian satu orang memperoleh skor 4 (33,33 %) dan dua orang guru memperoleh skor 3 (66,67 %). Sedangkan kemampuan menentukan cara mencapai tujuan pembelajaran nilai rata-ratanya naik 3,00 menjadi 3,33 dengan rincian satu orang memperoleh skor 4 (33,33 %) dan dua orang guru memperoleh skor 3 (66,67 %). Kemampuan untuk menentukan langkah-langkah kegiatan nilai rata-ratanya adalah naik dari 3,00 menjadi 3,33 dengan rincian satu orang memperoleh skor 4 (33,33 %) dan dua orang guru memperoleh skor 3 (66,67 %). Kompetensi guru menentukan alokasi waktu nilai rata-ratanya naik dari 3,00 menjadi 3,33 dengan rincian satu orang memperoleh skor 4 (33,33 %) dan dua orang guru memperoleh skor 3 (66,67 %). Selanjutnya kemampuan guru menentukan pengelompokan siswa nilainya naik dari 3,00 menjadi 3,33 dengan rincian satu orang memperoleh skor 4 (33,33 %) dan dua orang guru memperoleh skor 3 (66,67 %). Selanjutnya kemampuan guru menentukan media pembelajaran nilainya naik dari 3,00 menjadi 3,33 dengan rincian satu orang memperoleh skor 4 (33,33 %) dan dua orang guru memperoleh skor 3 (66,67 %). Sementara kemampuan guru menentukan tehnik penilaian memperoleh nilai naik dari 3,00 menjadi 4,00 dengan rincian ketiga orang memperoleh skor 4 (100 %). Kemudian cara menentukan alat penilaian memperoleh nilai rata-ratanya naik dari 3,00 menjadi 4,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 4 (100 %). Aspek membuka pembelajaran nilai rata-ratanya naik dari 3,00 menjadi 4,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 4 (100 %). Kompetensi guru membantu siswa mengenali kompetensi dasar nilai rata-ratanya naik dari 3,00 menjadi 4,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 4 (100 %). Kompetensi berikutnya membantu siswa mengamati materi pokok nilai rata-ratanya naik dari 3,00 menjadi 4,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 4 (100 %). Cara menjelaskan isi kegiatan kepada siswa nilai rata-ratanya naik dari 3,00 menjadi 4,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 4 (100 %). Kemudian menggunakan ekspresi dalam berkomunikasi dengan siswa nilainya naik dari 3,00 menjadi 3,67 dengan rincian dua orang guru memperoleh skor 4 (66,67 %) dan satu orang guru memperoleh skor 3 (33,33 %). Memanfaatkan respons siswa dalam menyelenggarakan pembelajaran nilai rata-rata adalah naik dari 3,00 menjadi 3,67 dengan rincian dua orang guru memperoleh skor 4 (66,67 %) dan satu orang guru memperoleh skor 3 (33,33 %). Menyangkut kemampuan menggunakan media pembelajaran nilai rata-rata adalah naik dari 3,00 menjadi 3,67 dengan rincian dua orang guru memperoleh skor 4 (66,67 %) dan satu orang guru memperoleh skor 3 (33,33 %). Kemampuan mengatur dan urutan pembelajaran nilainya adalah naik dari 3,00 menjadi 3,67 dengan rincian dua orang guru memperoleh skor 4 (66,67 %) dan satu orang guru memperoleh skor 3 (33,33 %). Kompetensi mengenai penggunaan berbagai macam variasi sewaktu menjelaskan pelajaran nilainya adalah naik dari 3,00 menjadi 3,33 dengan rincian satu orang 878
guru memperoleh skor 4 (33,33 %) dan dua orang guru memperoleh skor 3 (66,67 %). Selanjutnya dalam hal memberikan bimbingan kelompok atau individu nilainya naik dari 2,33 menjadi 3,33 dengan rincian satu orang guru memperoleh skor 4 (33,33 %) dan dua orang memperoleh skor 3 (66,67 %). Kesempatan siswa untuk berpartisipasi nilainya naik dari 2,33 menjadi 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Memberikan penguatan nilainya adalah tetap 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Menyangkut penilaian pada saat pembelajaran nilainya tetap 3,00 dengan rincian ketiga orang guru memperoleh skor 3 (100 %). Kemudian penilaian akhir nilainya adalah tetap 3,00 dengan rincian ketiga orang guru tersebut memperoleh skor 3 (100 %). Terakhir menutup pembelajaran nilainya naik dari 2,67 menjadi 3,00 dengan rincian ketiga orang memperoleh skor 3 (100 %). PEMBAHASAN Sejalan dengan hasil penelitian tindakan supervisi ini, ada beberapa hal yang perlu dilihat terutama yang menyangkut tujuan pertama adalah untuk mengetahui Kemampuan guru Matematika dalam pembelajaran di SDN 200212 Padangsidimpuan dan tujuan kedua adalah untuk mengetahui peningkatan Kemampuan guru Matematika di SDN 200212 Padangsidimpuan setelah dilaksanakan supervisi pengajaran. Gambaran Kemampuan guru dalam pembelajaran dan peningkatannya menunjukkan bahwa dengan menerapkan strategi supervisi pengajaran dengan cara mengikutsertakan para guru sejak persiapan atau perencanaan supervisi, menjelaskan aspek-aspek yang akan dinilai dan diamati kepada guru serta terlebih dahulu melaksanakan peer teaching ada peningkatan. Peningkatannya adalah 2,37 pada tahap awal menjadi 2,95 pada siklus I dan 2,53 pada siklus II. PENUTUP Kesimpulan Disimpulkan bahwa ada peningkatan Kemampuan guru Matematika dalam pembelajaran di SDN 200212 Padangsidimpuan dengan dilaksanakannya supervisi pengajaran oleh pengawas sekolah. Hal ini dilihat dari nilai rata – rata pada tahap awal yaitu : 2,37 (baik),pada siklus I menjadi 2,95 (baik). Sementara nilai rata– rata pada siklus II adalah : 3,53 (Sangat baik ). Untuk itu pengawas sekolah hendaknya dapat melaksanakan supervisi pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan guru, sehingga supervisi itu dapat menimbulkan kesan – kesan yang positif bagi guru. Saran 1. Supervisi Pengajaran dapat juga digantikan dengan penerapan Lasson Study 2. Kevalidan instrumen dalam penelitian ini masih rendah untuk itu penelitian berikutnya hendaknya menggunakan instrumen yang lebih standar. DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek . Jakarta Rineka Cipta Bahri, D.S. 2000. Guru dan Anak Didik. Jakarta : Rineka Cipta Syaiful, S. 2005. Administrasi Pendidikan Kontenmporer. Bandung : Alfabet.
879
:
PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MEDIA DI KELAS IV SDN 03 KAUR SELATAN BENGKULU Midi Abstrak: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pembelajaran dengan media yang dapat meningkatkan hasil belajar Matematika pada Siswa Kelas IV SD Negeri 3 Kaur Selatan. Penelitian Tindakan Kelas dilaksanakan dalam 2 siklus, setiap siklus terdiri dari 4 tahap yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan tindakan, tahap observasi,dan tahap refleksi. Instrumen yang digunakan terdiri dari lembar observasi guru dan siswa serta lembar tes tertulis. Pembelajaran dengan menggunakan media yang dapat meningkatkan hasil belajar adalah pembelajaran yang menggunakan media kongkrit, secara khusus adalah media “uang-uangan” dan tidak hanya gambar uang. Kata kunci: Media, hasil belajar
Pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, peningkatan kualitas sumber daya manusia tak lepas dari dunia pendidikan. Dalam kaitannya dengan dunia pendidikan, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Matematika dibelajarkan di sekolah mulai tingkat dasar maupun tingkat lanjut. Penanaman konsep yang baik dan benar mutlak diperlukan, karena penguasaan konsep Matematika di tingkat dasar menentukan penguasaan konsep Matematika ditingkat yang lebih tinggi. Mata pelajaran Matematika sebagai salah satu ilmu yang dianggap sangat penting dalam pembelajaran bertujuan agar siswa mengenal angka-angka yang berhubungan dengan semua mata pelajaran yang ada di sekolah. Kline dalam Subarina (2006: 1) menyatakan bahwa Matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri tetapi adanya Matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan ekonomi dan alam. Berdasarkan hasil observasi pada pembelajaran Matematika di kelas IV SD Negeri 03 Kaur Selatan pada mata pelajaran Matematika, menunjukkan bahwa nilai rata-rata kelas ulangan Matematika bulan Maret 2011 adalah 5,25. Persentase siswa yang tuntas belajar adalah 46%. Nilai tersebut belum menunjukkan ketuntasan belajar siswa yang telah ditetapkan sekolah yaitu jika siswa memperoleh nilai 6,5 ke atas sebanyak 85%. Diduga penyebabnya adalah pembelajarannya dominan menggunakan ceramah-tanya jawab, disertai pemberian tugas, media yang digunakan adalah media gambar sehingga siswa kurang dilibatkan secara langsung dengan objek yang lebih kongkrit. Daya ingat siswa terhadap materi akan dapat diingat lebih lama karena siswa ikut terlibat langsung dalam memanipulasi objek yang dikaji. Hal ini sesuai dengan teori perkembangan kognitif Piaget dalam Subarina (2006:3) yang menyatakan bahwa perkembangan kognitif siswa SD berada pada tingkat operasi kongkrit (usia 7-11 tahun), yakni siswa akan mampu memahami suatu konsep jika mereka memanipulasi benda-benda konkrit. Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak dari kata “medium”, yang secara harfiah berarti “perantara atau pengantar”. Dengan demikian, media merupakan wahan penyalur informasi belajar atau penyalur pesan. (Djamarah, 2002: 136). Penggunaan suatu media dalam pelaksanaan pembelajaran bagaimanapun akan membantu kelancaran, efektivitas, dan efesiensi pencapaian tujuan dari pembelajaran itu sendiri. Menurut Briggs dalam Sumantri (1999: 176) mengatakan bahwa media pengajaran adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta perangsang peserta didik untuk belajar. 880
Secara umum media pengajaran berfungsi sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif, sebagai bagian integral dari keseluruhan situasi mengajar, meletakkan dasar-dasar yang kongkrit dari konsep yang abstrak sehingga dapat mengurangi pemahaman yang verbalisme, dan membangkitkan motivasi belajar peserta didik, serta meningkatkan mutu pembelajaran. Dengan mempertimbangkan hasil pengamatan yang menunjukkan rendahnya hasil belajar yang pembelajarannya menggunakan ceramah tanya-jawab; dan penggunaan media kongkrit yang diduga dapat membantu siswa dalam belajar matematika, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui langkah-langkah pembelajaran dengan media kongkrit yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk memecahkan masalah dan memperbaiki proses pembelajaran Matematika di kelas secara reflektif guna meningkatkan mutu pembelajaran dan hasil belajar siswa. (Wardani, 2004: 24). Pelaksanaan penelitian telah dilaksanakan di kelas IV SD Negeri 03 Kaur Selatan pada semester I yaitu awal September sampai dengan Oktober 2013. Fakta yang menunjukkan rendahnya nilai yang diperoleh siswa maupun rendahnya persentase ketuntasan belajar klasikal pada pembelajaran Matematika, melatarbelakangi peneliti bersama guru kelas bekerja sama untuk memperbaiki pola pembelajaran yang selama ini telah dilakukan, yaitu dengan menggunakan media kongkrit. Pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan sebanyak 2 siklus, masing-masing siklus terdiri dari beberapa tahapan antara lain : (1) Tahap perencanaan, (2) Tahap tindakan, (3) Tahap observasi, dan (4) Tahap refleksi. Pada tahap tindakan akan dilakukan proses pembelajaran yang sudah direncanakan pada tahap perencanaan. Pada saat proses pembelajaran berlangsung akan diadakan tahap observasi yang bertujuan untuk melihat/menilai bagaimana proses pembelajaran yang sedang berlangsung, apakah sudah berjalan dengan baik atau belum. Pada akhir pembelajaran akan dilakukan postes dalam bentuk soal isian. Postes yang diberikan guru berguna untuk mengetahui sejauh mana siswa sudah memahami materi yang baru diterimanya atau untuk mengetahui apakah suatu pembelajaran tersebut tuntas secara klasikal. Setelah proses pembelajaran berlangsung maka akan diadakan refleksi atau evaluasi terhadap proses pembelajaran yang sudah dilakukan. Kriteria peningkatan hasil belajar yaitu rata-rata nilai hasil belajar mencapai minimal 7,5 dan kriteria persentase siswa yang telah mencapai ketuntasan belajar adalah 75%. Keberhasilan pembelajaran ini juga memperhatikan aktifitas guru dan siswa yang harus termasuk dalam kategori baik. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada saat proses pembelajaran berlangsung, diadakan observasi terhadap proses pembelajaran sesuai dengan aspek-aspek penilaian yang ada pada lembar observasi. Berdasarkan analisa data yang diperoleh dari lembar observasi guru dan siswa pada siklus I dan siklus II dinyatakan bahwa aktivitas guru dan siswa dalam pembelajaran Matematika dengan menggunakan media kongkrit mengalami peningkatan. Dimana pada siklus I diperoleh rata-rata skor adalah 13,5 dengan kriteria cukup dan pada siklus II mengalami peningkatan dengan perolehan skor menjadi 18,5 dengan kriteria baik, dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses pembelajaran dengan menggunakan media kongkrit sudah berjalan dengan baik. Meningkatnya aktivitas guru dan siswa sehingga pembelajaran yang dilakukan sudah berjalan dengan baik dikarenakan adanya perbaikan-perbaikan berdasarkan kelemahan-kelemahan yang ada pada siklus I, sehingga aspek-aspek kelemahan yang ada pada siklus I diperbaiki pada siklus II.
881
Terjadi peningkatan rata-rata nilai hasil belajar pada siklus I ke siklus II yaitu 6,4 menjadi 8,5. Juga ketuntasan belajar pada siklus I adalah 46,42% dan mengalami peningkatan disiklus II menjadi 89,28%. Berarti sudah memenuhi kriteria peningkatan hasil belajar yaitu rata-rata nilai hasil belajar mencapai minimal 7,5 dan kriteria persentase siswa yang telah mencapai ketuntasan belajar adalah 75% Meningkatnya hasil belajar belajar siswa karena diterapkan pembelajaran dengan menggunakan media kongkrit, dimana siswa dilibatkan secara langsung dalam proses pembelajaran. Apabila proses pembelajaran melibatkan siswa secara aktif maka siswa lebih memahami materi tersebut. Dengan menggunakan media kongkrit dalam proses pembelajaran, siswa akan lebih mudah memahami materi yang sedang mereka pelajari. Pembelajaran dengan menggunakan media kongkrit akan meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar. Sehingga pembelajaran yang mereka alami akan lebih bermakna karena mereka terlibat langsung dalam proses pembelajaran dan mereka akan lebih mudah memamahami konsep-konsep yang abstrak dan rumit. Hal ini akan berpengaruh positif terhadap pembelajaran yang sudah dilakukan dan juga berdampak terhadap hasil belajar siswa, dengan demikian proses pembelajaran akan berjalan dengan baik, hal ini sesuai dengan pendapat Djamarah, dkk, (2002:136) yang menyatakan penggunaan media dalam pelaksanaan pembelajaran bagaimanapun akan membantu kelancaran, efektivitas, dan efesiensi pencapaian tujuan dari pembelajaran itu sendiri. KESIMPULAN Fakta menunjukkan bahwa penggunaan media “uang-uangan” dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IV SD Negeri 03 Kaur Selatan. Oleh karena itu pembelajaran untuk siswa di kelas IV perlu memperhatikan penggunaan media kongkrit dalam pembelajarannya, tidak cukup dari gambar saja. DAFTAR RUJUKAN Djamarah, Bahri, S dan Aswan Zain. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:Rineka Cipta. Subarina, S. 2006. Inovasi Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas. Sumantri, M dan Johar Permana. 1999. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud. Wardani, dkk. 2004. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka.
BERPIKIR ARITMETIKA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA Erry Hidayanto Jurusan Matematika UM
[email protected] Abstrak: Berpikir aritmetika merupakan pola berpikir yang mengutamakan masalah menghitung bilangan, terutama tentang hasil dari operasi-operasi pada bilangan dan hanya fokus pada menghitung (calculating). Pada tulisan ini dibicarakan berpikir aritmetika pada Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang diperoleh dari hasil survey dari beberapa siswa SMP di Malang. Dari hasil survey diketahui bahwa pada siswa SMP tersebut masih berada pada tahap berpikir aritmetika, walaupun seharusnya mereka sudah berada pada tahap berpikir aljabar. Kata kunci: Berpikir aritmetika, operasi, bilangan.
Aritmetika merupakan bagian dari matematika yang mengkaji masalah bilangan, terutama tentang hasil dari operasi pada bilangan (Math, 2003). Demikian juga Soedjadi (2000) menyatakan bahwa aritmetika lebih menekankan kepada sifat-sifat tentang bilangan. Sementara menurut Carraher (2006), aritmetika berurusan dengan operasi-operasi pada bilangan secara 882
khusus. Operasi yang digunakan adalah operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Sedangkan bilangan yang digunakan terutama bilangan asli, pecahan, dan desimal beserta sifat-sifat operasinya pada bilangan itu, yaitu komutatif, assosiatif, dan distributif. Selain itu juga dikaji pemakaiannya dalam kehidupan sehari-hari. Aritmetika berasal dari bahasa Yunani Arithmos yang berarti bilangan. Aritmetika ini merupakan bagian tertua dan paling dasar dari matematika. Aritmetika digunakan oleh hampir semua orang. Aritmetika digunakan orang dalam kehidupan sehari-hari dari yang sederhana misalnya menghitung sampai digunakan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan perhitungan bisnis. Ketrampilan secara aritmetik (arithmetical skills) merupakan hal yang esensial (essential) sebagai latihan yang efektif bagi siswa dalam masyarakat. Bagaimana ketrampilan ini diperoleh atau gagal diperoleh merupakan suatu hal yang penting tidak hanya anak-anak secara individu tetapi juga secara organisasi dari suatu pendidikan formal maupun masyarakat (Butterwoth, 2005). Contoh-contoh operasi yang dibicarakan pada aritmetika: 18 + 14 = 32, ( 5) (7) = 35, (1990 1991) (1989 1990) = 3980, 8 2 = 4, (4 10 x 49) (2 5 7) = 28, 7 + 5 = 5 + 7, (12 + 10) + 20 = 12 + (10 + 20), dan 2 (3 + 5) = (2 3) + (2 5). Menurut Butterwoth (2005), menghitung (counting) merupakan dasar dari aritmetika untuk sebagian besar anak. PEMBAHASAN Berpikir aritmetika merupakan pola berpikir yang mengutamakan masalah menghitung bilangan, terutama tentang hasil dari operasi-operasi pada bilangan. Dalam aritmetika pendekatan yang dilakukan siswa dapat dimulai dari kondisi yang diketahui ke menemukan jawaban antara untuk sampai pada jawaban dari masalah yang diberikan. Menurut Kieran (2004) dalam kerangka aritmetika, operasi yang dilakukan siswa cenderung tidak melihat aspek relasional dari operasi tetapi mereka hanya fokus pada masalah menghitung (calculating). Jadi menurut pendapat Kieran, berpikir aritmetika itu hanya fokus pada masalah perhitungan jawaban numerik (numerical answer) saja. Bukan pada relasi antar bilangan tetapi hanya pada bilangan itu sendiri, bukan fokus pada bilangan dan huruf. Pola berpikir dengan hanya mengutamakan masalah menghitung jumlah pada masing-masing sisi itulah yang dinamakan berpikir aritmetika. Jika diberikan suatu masalah dalam matematika maka masalah itu akan dibawa ke dalam bentuk-bentuk perhitungan (komputasi) serta hasil operasi-operasi pada bilangan, yaitu operasi penjumlahan pada bilangan, operasi pengurangan pada bilangan, operasi perkalian pada bilangan atau operasi pembagian pada bilangan. Pola berpikir di sini masih belum mengenal bentuk bilangan secara umum yang diwujudkan bentuknya dalam huruf sebagai simbolnya. Tall dkk (2001) menyatakan bahwa pada level formal proses-proses untuk memaknai secara formal suatu konsep adalah melalui pengkonstruksian secara formal dari konsep-konsep dan proses-proses berpikir logis. Tall dkk (2001) menggambarkan bahwa dalam matematika untuk menuju definisi dan bukti formal dimulai dari aritmetika kemudian aljabar, kalkulus, lalu ke definisi dan bukti formal.
883
Gambar . Tipe-tipe berbeda dari proses dan konsep dalam Matematika (sumber Tall dkk, 2001)
Berikut disajikan contoh siswa dalam tahap berpikir aritmetika. Untuk mengetahui kebenaran tanda sama dengan ini siswa menggunakan pola berpikir aritmetika yaitu dengan menghitung jumlah pada masing-masing sisi tanda ”sama dengan”. Contoh ini diberikan penulis kepada siswa 1 kelas VII suatu SMP di Malang, berinisial AD. P: Perhatikan biji-bijian pada kedua tempat tekel yang berbeda ini.
Apakah biji-bijian di kedua tempat itu sama? AD lalu menghitung biji-bijian pada kedua tempat itu. Setelah selesai menghitung bijibijian pada kedua tempat berbeda itu, AD mengatakan itu sama. AD saat itu menghitung bijibijian satu persatu di sisi kiri hingga mencapai jumlah 12. Juga pada saat menghitung jumlah biji-bijian pada sisi kanan juga dihitung satu persatu hingga mencapai jumlah 12. Artinya AD belum memanfaatkan adanya dua kelompok pada masing-masing sisi. Pada sisi kiri kelompok 1 berjumlah 7 dan kelompok 2 berjumlah 5. Sementara pada sisi kanan kelompok 1 berjumlah 5 sedangkan kelompok 2 berjumlah 7. AD belum memanfaatkan 7 ditambah 5 di sisi kiri dan juga belum memanfaatkan 5 ditambah 7 pada sisi kanan tetapi menghitung biji-bijian tersebut satu persatu di kedua ruas hingga mencapai jumlah 12. Pola berpikir demikian masih berada dalam pola berpikir aritmetika, karena hanya fokus pada perhitungan jumlah biji-bijian, belum mengkaitkan antar jumlah pada masing-masing kelompok. Sebagai contoh lain misalnya peralihan pola berpikir tentang sifat komutatif pada penjumlahan dua bilangan, yaitu apakah 14 + 16 = 16 + 14? Pada aritmetika siswa menggunakan pola berpikir aritmetika yaitu dengan menghitung jumlah bilangan pada masingmasing sisi tanda ”sama dengan”. Akan tetapi bagaimana jika pertanyaannya diganti apakah a + b = b + a untuk sebarang bilangan a dan b? Ketika dihadapkan persoalan seperti ini siswa tidak bisa lagi menghitung jumlah bilangan pada masing-masing sisi tanda ”sama dengan”. Tentunya siswa harus menggunakan pola berpikir yang berbeda dengan ketika menyelesaikan soal yang masih bisa diselesaikan secara aritmetika. Berikut contoh berpikir aritmetika siswa dalam menyelesaikan soal cerita. Andi mempunyai dua kantong kosong, yaitu kantong A dan kantong B seperti pada gambar berikut ini kosong
kosong
884
Kantong-kantong tersebut akan diisi kelereng berjumlah 24 butir , seperti pada gambar berikut 24
a. Menurut pendapatmu berapa saja banyaknya kelereng yang mungkin dapat diisikan masingmasing ke kantong A dan ke kantong B tersebut? b. Jika banyaknya kelereng di kantong A tertentu, tentukan banyaknya kelereng yang dapat dimasukkan ke kantong B? Dalam menyelesaikan masalah tersebut siswa masih berpikir aritmetika. Berikut contoh cara berpikir dari dua siswa, yaitu siswa SS1 dan SS2, dalam menyelesaikan masalah tersebut. Berikut cara berpikir siswa SS1 dalam menyelesaikan masalah. a. Menurut pendapatmu berapa saja banyaknya kelereng yang mungkin dapat diisikan masingmasing ke kantong A dan ke kantong B tersebut? Dalam menyelesaikan masalah ini, pada awalnya siswa SS1 memperhatikan jumlah kantong yaitu 2 (dua). Selanjutnya memperhatikan jumlah kelereng yaitu 24. Berikutnya SS1 menghubungkan dua bilangan ini dengan cara membagi 24 dengan 2. Hal ini dilakukan karena untuk mendapatkan bilangan yang sama untuk mengisikan kelereng ke dalam dua kantong. Pola berpikir seperti ini, yaitu hanya fokus pada masalah menghitung merupakan pola berpikir aritmetika. b. Jika banyaknya kelereng di kantong A tertentu, tentukan banyaknya kelereng yang dapat dimasukkan ke kantong B? Dalam menyelesaikan masalah ini, pada awalnya siswa SS1 memperhatikan jumlah kantong. Jumlah kantong yang ada adalah 2. Selanjutnya memperhatikan jumlah kelereng. Jumlah kelereng yanag ada adalah 24. Karena masalahnya adalah memasukkan banyaknya kelereng di kantong dengan jumlah tertentu (belum diketahui pasti jumlahnya), berikutnya SS1 menghubungkan dua bilangan ini dengan cara memisalkan kelereng yang masuk ke salah satu kantong, yaitu dengan memilih jumlah kelereng yang masuk kantong A adalah 20 butir. Hal ini dilakukan karena untuk bisa membagi kelereng ke dalam dua kantong harus diketahui jumlah salah satu kelereng dalam satu kantong. Untuk keperluan ini SS1 memisalkan jumlah kelerengnya yang masuk kantong A ada 20 butir. Selanjutnya dengan melakukan suatu operasi pengurangan pada dua bilangan ini yaitu 24 – 20 = 4. Sehingga diperoleh jumlah kelereng yang dimasukkan ke kantong B adalah 4 butir. Pola berpikir seperti ini yaitu hanya fokus pada masalah menghitung masih merupakan pola berpikir aritmetika. Berikut cara berpikir siswa SS2 dalam menyelesaikan masalah. a. Menurut pendapatmu berapa saja banyaknya kelereng yang mungkin dapat diisikan masingmasing ke kantong A dan ke kantong B tersebut? Dalam menyelesaikan masalah ini, Pada awalnya siswa SS2 memperhatikan jumlah kantong yaitu 2 (dua). Selanjutnya memperhatikan jumlah kelereng yaitu 24. Berikutnya SS2 menghubungkan dua bilangan ini dengan cara membagi 24 dengan 2. Hal ini dilakukan karena untuk mendapatkan bilangan yang sama untuk mengisikan kelereng ke dalam dua kantong. Pola berpikir seperti ini, yaitu hanya fokus pada masalah menghitung merupakan pola berpikir aritmetika. b. Jika banyaknya kelereng di kantong A tertentu, tentukan banyaknya kelereng yang dapat dimasukkan ke kantong B? Dalam menyelesaikan masalah ini, Pada awalnya siswa SS2 memperhatikan jumlah kantong. Selanjutnya memperhatikan jumlah kelereng. Berikutnya SS2 menghubungkan dua bilangan ini dengan cara memisalkan kelereng yang masuk ke salah satu kantong. Hal ini dilakukan karena untuk bisa membagi kelereng ke dua kantong diperlukan sejumlah kelereng tertentu untuk dimasukkan ke salah satu kantong. Selanjutnya dengan melakukan suatu operasi pada dua bilangan diperoleh jumlah kelereng yang dimasukkan ke kelereng satunya. Akhirnya diperolehlah hasil yang diinginkan. Pola berpikir seperti ini, yaitu hanya fokus pada masalah menghitung masih merupakan pola berpikir aritmetika. 885
PENUTUP Tahap berpikir aritmetika umumnya dimiliki oleh siswa Sekolah Dasar. Akan tetapi berdasarkan survey yang penulis lakukan, ternyata siswa SMP juga masih berada pada tahap berpikir aritmetika. Padahal seharusnya mereka sudah berada pada tahap berpikir aljabar. Untuk itu kepada para pendidik, hendaknya memperhatikan kondisi berpikir siswa sebelum diberi masalah yang menuntut siswa untuk berpikir aljabar. Karena pada kondisi ini siswa masih berada pada tahap transisi dari berpikir aritmetika ke berpikir aljabar. Hal ini penting dilakukan, karena pada aritmetika yang dikenal oleh siswa baru tentang bilangan, sedangkan pada aljabar sudah dikenal huruf sebagai suatu simbol pengganti bilangan atau biasa disebut variabel. Kelancaran pada masa transisi dari aritmetika ke aljabar ini akan mempengaruhi siswa pada saat belajar tentang matematika pada masa mendatang. DAFTAR RUJUKAN Butterwoth, Brian. 2005. The development of arithmetical abilities. Journal of Child Psychology and Psychiatry, 46:1, pp. 3-18. Malden, USA: Blackwell Publishing. Carraher, David W. 2006. Arithmetic and Algebra in Early Mathematics Education. Journal for Research in Mathematics Education, Vol. 37, No.2, 87- 115. Math, The Math Forum. 2003. Dr. Math Gets You Ready for Algebra. p01.qxd. 15 Juni. Soedjadi, R. 2000. Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Konstatasi keadaan masa kini menuju harapan masa depan. Jakarta: Dirjen Dikti. Kieran, C. 2004. Algebraic Thinking in the Early Grades: What Is It? The Mathematics Educator. Vol. 8, No. 1, 139-151.
PELAKSANAAN LESSON STUDY PADA PEMBELAJARAN BANGUN DATAR DI SDN 7 SINGKAWANG BARAT KABUPATEN SINGKAWANG Rini Nurhakiki Dosen Matematika Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak: Pelaksanaan Lesson Study tahun 2012 di Kabupaten Singkawang merupakan salah satu kegiatan dari serangkaian kegiatan TEQIP. Kegiatan ini meliputi kegiatan Plan, Do, dan See. Kegiatan Plan dilakukan oleh guru-guru sebelum pelaksanaan pembelajaran, dan untuk lebih memantapkan rencana pembelajaran sehari sebelumnya guru model berdiskusi dengan expert dari UM.Adapun permasalahan-permasalahan yang masih ada pada pembelajaran adalah:Guru mendominasi kelas, untuk membelajarkan geometri guru hanya menggambar di papan tulis, Siswa kurang tertarik belajar matematika. Berdasarkan permasalahan tersebut disusunlah suatu pembelajaran bangun datar dengan menggunakan metode NHT yang digabung dengan metode TGT Kata kunci: Lesson Study, bangun datar, metode NHT
Selama ini pembelajaran yang dilakukan di sekolah masih berpusat pada guru, siswa kurang dilibatkan pada proses pembelajaran, sehingga siswa tidak terlatih untuk berbicara, mengemukakan pendapat, menemukan suatu konsep. Untuk membelajarkan bangun datar guru hanya menggambar di papan tulis. Akibatnya siswa kurang tertarik pada matematika. Menurut Piaget (Suherman, Erman, 2003) perkembangan intelektual siswa SD berada pada tahap operasi konkrit, di mana pada tahap ini untuk memahami konsep matematika yang abstrak siswa memerlukan benda-benda konkrit yangbisa dilihat, dimanipulatif atau diotak-atik. Dienes (Suherman, Erman, 2003) memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajarannya terhadap anak, Dienes mengatakan melalui permainan dapat dikembangkan suatu pembelajaran matematika sehingga anak menyukai matematika. Salah satu metode yang 886
digunakan di pembelajaran ini adalah menggunakan Metode Numbered Heads Together (NHT) yang digabung dengan Teams Game Tournamens (TGT). Langkah-langkah pembelajaran NHT yang dikembangkan Spencer Kagan (Subanji,2011) sebagai berikut: a). Siswa dibagi kelompok setiap siswa dalam kelompok mendapat nomor. b). Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakan. c) Kelompok berdiskusi dan dipastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakan. d) Guru memanggil salah satu nomor dari siswa untuk mengerjakan e). Meminta tanggapan dari kelompok lain dengan cara menunjuk nomor lain f). Membuat kesimpulan. Sedangkan langkah-langkah pembelajaran dengan metode TGT adalah: a). Siswa dibentuk kelompok-kelompok heterogen, b). disediakan meja tournamens, c). siswa yang kemampuannya seimbang mengambil soal dari meja yang sama, d). skor akhir dikumpulkan darimasing-masing anggota kelompok. Bagaimana guru dapat belajar dari suatu pembelajaran, dirancanglah ,suatu pembelajaran melalui Lesson Study. Dalam tahap awal pengenalan Lesson Study tersebut Saito (2005) mengenalkan ada tiga tahap utama lesson study, yakni: (1) Perencanaan (plan), (2) Pelaksanaan (do) dan Refleksi (see). (Ibrohim,2013). Kegiatan Plan adalah kegiatan merencanakan pembelajaran, Do adalah kegiatan pembelajaran yang sekaligus dapat dilakukan observasi, dan kegiatan See adalah kegiatan melakukan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut di atas dirancanglah suatu kegiatan Lesson Study oleh guruguru SD Singkawang Barat, pada materi luas bangun datar dengan menggunakan metode NHT yang digabung dengan TGT. Setelah ditetapkan guru model, sekolah tempat pelaksanaannya, barulah disepakati tanggal pelaksanaannya yaitu tanggal 5 Desember 2012 di SDN 07 Singkawang Barat. PELAKSANAAN LESSON STUDY 1. Membuat Rencana Pembelajaran Kompetensi dasar yang ingin dicapai adalah menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan bangun datar. Indikatornya adalah siswa mampu memecahkan masalah berkaitan dengan luas jajar genjang. Rencana pembelajaran yang disusun oleh Tim Lesson Study meliputi:(a) kegiatan pendahuluan, (b) kegiatan inti, dan (c) kegiatan penutup. a. Dalam kegiatan pendahuluan guru melakukan aktifitas: memotivasi siswa dengan bernyanyi bersama kemudian memberikan pertanyaan tentang berbagai macam bangun datar. Selanjutnya guru menunjukkan kue lapis legit yang berbentuk jajar genjang. Guru mengatakan bahwa masalah-masalah yang berkaitan dengan jajargenjang akan dapat diselesaikan dengan memahami luas daerah jajargenjang. b. Dalam kegiatan inti guru: (1). memberikan media berupa kertas karton yang berbentuk jajargenjang yang berkotak-kotak, (2).salah satu siswa diminta menggunting jajargenjang sepanjang garis tingginya, kemudian siswa tersebut diminta untuk membentuk persegi panjang, (3). guru bertanya bagaimana luas jajargenjang dan persegi panjang yang terbentuk, (4) guru meminta siswa untuk menentukan luas persegi panjang yang terbentuk, (5) diharapkan siswa menyimpulkan bahwa luas jajargenjang dan persegi panjang tersebut adalah sama, (6) guru meminta siswa untuk membentuk kelompok sesuai dengan nama yang ada pada topinya, (7) guru memberikan lembar kerja siswa yang berisi tugas-tugas menemukan luas jajargenjang dan soal-soal menentukan luas jajargenjang, (8) guru menggunakan model turnamen dengan membuat soal yang berbeda pada masing-masing meja turnamen. (9). Masing-masing siswa wakil kelompok diminta mengambil satu soal yang sesuai dengan nama yang ada ditopinya kemudian masing-masing siswa mengerjakan soal. Setelah selesai setiap kelompok mengumpulkan, menukar dengan kelompok lain, setelah dicocokkan dan dijumlahkan diperoleh skor masing-masing kelompok. c. Dalam kegiatan penutup guru menekankan kembali bahwa luas jajargenjang yang panjang alasnya a dan tingginya t adalah L= a x t.
887
2. Melaksanakan Pembelajaran Pembelajaran ini dilakukan dalam waktu 2 x 35 menit. Selama proses pembelajaran siswa aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, dan aktif memecahkan masalah yang berkaitan dengan luas jajar genjang yang dikaitkan dengan pesegi panjang. Siswa dibentuk dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 5 anak. Dalam hal ini satu kelas terdiri 6 kelompok. Masing-masing kelompok diberikan nama matematika pada topinya, adapun nama-nama kelompok siswa adalah kelompok SEGITIGA, JAJARGENJANG, PERSEGI, PERSEGI PANJANG, TRAPESIUM, dan LINGKARAN. Dalam melaksanakan pembelajaran ini guru sudah menyiapkan media dan alat yang akan digunakan oleh siswa untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru. Siswa sangat antusias, aktif, dan kreatif dalam mengerjakan soal-soal. Semua kelompok bisa menuntaskan tugas secara baik. Pada waktu kegiatan pembelajaran berlangsung dilakukan kegiatan oleh 4 observer yaitu 4 observer guru, dan seorang observer dari Expert UM yaitu penulis sendiri. Pada awal pembelajaran guru memberikan motivasi kepada siswa dengan bernyanyi bersama kemudian dilanjutkan dengan memberikan pesan-pesan moral yang baik. Siswa memberikan perhatian yang baik terhadap pesan-pesan dari guru. Pada menit kelima guru melakukan apersepsi menanyakan nama bangun-bangun datar yang sudah dikenal anak dengan memperlihatkan bangun-bangun tersebut, siswa dapat menjawab dengan baik. Pada menit ke-10 siswa mulai penasaran dengan kue lapis legit yang yang diperlihatkan guru, guru menanyakan bangun apa yang dipegang bu guru, siswa dapat mengenalinya sebagai bangun jajargenjang. Pada menit ke-12 menunjukkan guru membagikan Lembar Kerja Siswa (LKS), Siswa mulai berpikir setelah membaca LKS. Pada menit ke-20, ada seorang siswa dikelompok jajargenjang yang hanya memperhatikan temannya menyelesaikan LKS. Sebenarnya siswa yang melihat temannya bekerja tersebut juga ingin mengerjakan LKS, tetapi karena lembar kerja hanya satu dan sudah dibawa oleh temannya yang jarak dari tempat duduknya cukup jauh, maka siswa tersebut hanya melihat temannya bekerja. Kejadian serupa juga terjadi di kelompok lingkaran. Di kelompok persegi, trapesium dan persegi panjang siswa sudah saling berinteraksi membahas luas trapesium. Untuk mengetahui apakah semua siswa benar-benar telah belajar tentang topik pembelajaran hari ini dan bagaimana proses mereka belajar, dilakukan observasi terhadap siswa. Adapun hasilnya dapat dilihat sebagai berikut: a. Pada waktu guru meminta salah seorang siswa meragakan bagaimana menemukan rumus luas jajargenjang dengan memotong jajargenjang sepanjang garis tingginya kemudian membentuknya menjadi persegi panjang. Tidak semua anak dapat melihat peragaan yang dilakukan temannya. Ada yang berusaha mendekat, ada yang tidak memperhatikan. b. Pada waktu salah siswa yaitu dari kelompok jajargenjang no. 3 melakukan peragaan menggunting jajargenjang menjadi persegi panjang kelompok persegi no.1 dan persegi panjang no.5 tidak memperhatikan karena tempatnya agak jauh, sehingga tidak nampak apa yang dilakukantemannya di depan. Kelompok lingkarantopinyaseringkalidicopotdibuat main-main, dan dari kelompok jajar genjang nomor 3 topinya tidak cukup sehingga ia bingung mau diletakkan di mana. Siswa kelompok jajargenjang no.1 kelompok persegi no. 4 tidak ikut aktif mengerjakan LKS. Sebenarnya siswa yang melihat temannya bekerja tersebut juga ingin mengerjakan LKS, tetapi karena lembar kerja hanya satu dan sudah dibawa oleh temannya yang jarak dari tempat duduknya cukup jauh, maka siswa tersebut hanya melihat temannya bekerja dari jauh. 3. Melakukan Refleksi Setelah pembelajaran selesai, dilakukan refleksi. Karena keterbatasan observer, maka yang berperan sebagai moderator salah satu guru matematika dari kelompok lain. Diskusi refleksi diawali dengan memberikan kesempatan pertama kepada Lizawati selaku guru model untuk menyampaikan pengalaman dalam melaksanakan pembelajaran sekaligus refleksi apakah yang dilakukannya sudah seperti yang direncanakan. Dikemukakan oleh Lizawati bahwa upaya untuk melakukan pembelajaran sudah dilakukan secara optimal, namun juga masih ada kekurangan, terkait dengan terbatasnya bahan dan waktu, sehingga percobaan dengan menggunting jajargenjang sehingga membentuk persegi panjang diberikan kepada satu siswa saja. Hasil positif yang diperoleh adalah ternyata untuk memecahkan masalah yang biasanya sulit bias dilakukan dengan sangat mudah menggunakan gambar. 888
Kesempatan kedua diberikan kepada Nurlinda, mengungkapkan bahwa ketika dibagikan LKS, siswa aktif dan kegiatan berlanjut pada usaha mencari luas jajargenjang yang diberikan. Di kelompok lingkaran ada siswa dengan no.3 dia tidak ikut aktif dalam kegiatan kelompok , ternyata dia siswa yang terlemah dalam kelas. Kesempatan ketiga diberikan kepada Khairul Maqdis. Hasil catatannya mengungkapkan bahwa pada awalnya ada beberapa siswa yang kurang aktif, tetapi sudah dikunjungi oleh guru sehingga menjadi aktif. Siswa dapat menentukan luas daerah jajaran genjang yang sudah ada kotak satuannya. Ada saran bahwa media perlu ditambah, supaya semua siswa belajar secara aktif. Beberapa siswa dari kelompok lingkaran sering memainkan topi mereka. Kesempatan keempat diberikan kepada Fransiska Wulansari. Pada awalnya siswa tegang karena ditunggui oleh banyak orang. Siswa yang belum aktif berubah menjadi aktif ketika guru memotivasinya dengan mendekati siswa tersebut. Siswa bias mencari sendiri luas bangun jajargenjang. Pada kegiatan individu siswa kelompok persegi no.3 tidak bisa mengerjakan, ternyata ada kendala ia tidak bisa mengalikan bilangan yang terdiri 2 angka. Ia dibantu temannya untuk bisa menyelesaikannya. Saran Perubahan langkah pembelajaran: Memperbanyak media sehingga masingmasing siswa atau masing-masing kelompok memegang media dan mengguting jajargenjang dan membentuk persegipanjang. Dengan menggunakan topi siswa nampak senang, tetapi mereka harus melihat-lihat dulu supaya setelah dipakai tidak dibuat main-main. PENUTUP Pelajaran berharga yang dapat diambil dari pelaksanaan Lesson Study di atas adalah: 1. Guru sudah dapat menerapkan suatu pembelajaran yang inovatif yang bisa membuat siswa senang, dapat bekerjasama, dan siswa dapat menemukan rumus dengan melalui aktivitas gunting-menggunting. Hanya saja untuk menggabungkan 2 metode ini ternyata tidak mudah. Perlu latihan untuk menyempurnakan. 2. Dengan memakai topi yang sama dalam satu kelompok, siswa merasa senang, siswa menjadi kompak bekerja dalam kelompoknya. 3. Lembar kerja yang diberikan kepada siswa hendaknya sesuai dengan banyaknya siswa, sehingga semua siswa dapat mengerjakan soal dengan baik. DAFTAR RUJUKAN Ibrohim. 2013. Panduan Pelaksanaan Lesson Study. Malang: Universitas Negeri Malang. Subanji, 2011. Modul Pengembangan Model Pembelajaran MIPA. Malang:Kementerian pendidikan Nasional Universitas Negeri Malang. Suherman, Erman, 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Bandung: UPI.
PENERAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME UNTUK MENEMUKAN LUAS BANGUN DATAR MELALUI PENDEKATAN LUAS PERSEGI PANJANG DALAM KEGIATAN LESSON STUDY TEQIP 2013 DI KELAS V SD Aulia Rahman Guru SDN 200304 Padangsidimpuan Abstrak: Matematika adalah ilmu yang bersifat abstrak dan untuk pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) harus disesuaikan dengan karakteristik umumnya anak usia SD. Piaget (dalam Muchtar, 1997:20) menjelaskan bahwa pada saat seorang anak berusia 6 s.d 12 tahun, mereka mengembangkan konsep dengan benda-benda konkrit untuk menyelidiki hubungan dan model-model media abstrak (tahap operasional konkrit). Sri (2006:128) mengemukakan bahwa “konsep mencari luas suatu bangun geometri dapat ditanamkan kepada siswa SD melalui kegiatan siswa”. Hal ini dilakukan untuk mencegah
889
siswa memahami konsep luas secara verbal atau hanya dengan menghafal rumus mencari luas bangun datar.Pembelajaran konstruktivisme merupakan salah satu penerapan pembelajaran inovatif yang dapat memberikan pengalaman belajar secara langsung pada siswa. Tulisan ini didasarkan pada pengalaman dan hasil pengamatan penulis selama mengikuti kegiatan praktik mengajar(ongoing) berbasis lesson study yang tertuang dalam program TEQIP 2013. Kegiatan lesson study ini mencakup tiga langkah kegiatan, yaitu kegiatan plan (perencanaan), do (pelaksanaan) dan see (refleksi). Kata kunci: pembelajaran konstruktivisme, luas bangun datar, lesson study
Belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Belajar juga dapat diartikan sebagai suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman dalam interaksi dengan lingkungan. Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam hal menumbuhkembangkan minat siswa untuk meraih prestasi dalam bidang pelajaran tertentu termasuk matematika. Untuk itu seorang guru perlu mencari strategi alternatif dalam menumbuhkan minat siswa agar mau belajar dengan gembira (tanpa merasa dipaksa), sehingga dapat menimbulkan percaya diri pada siswa, yang pada akhirnya mereka dapat mengembangkan kemampuan yang telah ada tanpa mereka sadari. Zulfa, dkk. (2012) menjelaskan bahwa secara garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam pembelajaran adalah : 1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri; 2) pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk menalar; 3) murid aktif megkonstruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah; 4) guru sekedar membantu menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar; 5) menghadapi masalah yang relevan dengan siswa; 6) struktur pembalajaran seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan; 7) mencari dan menilai pendapat siswa; 8) menyesuaikan kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa. Sejalan dengan pembelajaran konstruktivisme, pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa apabila dimulai dengan pemberian masalah yang terjadi dalam kehidupan siswa. Seperti dijelaskan oleh Depdiknas (2006:416) “pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sering ditemui siswa dalam kehidupan sehari-hari”. Hal tersebut berguna agar nantinya siswa mengetahui manfaat matematika tersebut dalam kehidupannya dan mereka dapat mengaplikasikan matematika dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Materi geometri pada pembelajaran matematika di kelas V SD adalah menemukan luas bangun datar seperti Trapesium dan Layang-layang. Penyampaian materi ini sangat tepat apabila memanfaatkan sumber belajar dan pengalaman yang berasal dari kehidupan keseharian siswa. Guru harus membantu siswa dalam mengkonstruk konsepsi tersebut supaya lebih matang. Siswa akan lebih termotivasi mengikuti proses pembelajaran tersebut karena pembelajaran yang dimaksud langsung mereka alami. Sri (2006:128) mengemukakan bahwa “konsep mencari luas suatu bangun geometri dapat ditanamkan kepada siswa SD melalui kegiatan siswa”. Hal ini dilakukan untuk mencegah siswa memahami konsep luas secara verbal atau hanya dengan menghafal rumus mencari luas bangun datar.Dalam pembelajaran luas bangun datar terlebih dahulu siswa harus memahami konsep luas bangun datar beranjak dari benda-benda konkrit yang ada di lingkungan siswa. Kemudian siswa dapat memahami konsep luas bangun datar dari rumus luas bangun datar yang diajarkan guru. Agar pembelajaran luas bangun datar berhasil diperlukan suatu pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Sejalan dengan hal di atas, pembelajaran luas bangun datar di kelas V SD bisa dilaksanakan dengan pendekatan luas persegi panjang. Hal ini sangat beralasan sekali, karena luas persegipanjang merupakan konsep dan pengetahuan awal yang diterima siswa pada jenjang kelas sebelumnya (kelas III SD). Luas persegi panjang merupakan konsep paling sederhana yang dipelajari siswa di antara konsep luas bangun datar yang lainnya. Hal ini juga terlihat pada pembelajaran matematika di SD dalam kegiatan praktik mengajar (Real Teaching/Ongoing). Berdasarkan hasil pengamatandan pengalaman penulis selama mengikuti praktik mengajar matematika berbasis Lesson Stusy TEQIP 2013 di SD,tampaknya cukup bermakna, tetapi belum maksimal. Hal ini dikarenakan penyampaian 890
materi kepada siswa belum terstruktur dan sistematis. Siswa sebagian besar belum memahami langkah-langkah kinerja dalam Lembar Kerja Kelompok (LKK). Siswa masih memberikan penafsiran yang salah dalam memahami petunjuk kerja dalam LKK. Hal ini terlihat dari proses dan hasil diskusi siswa. Dari hasil pengamatan dan refleksi yang dilakukan oleh teman sejawat selaku peserta TEQIP 2013 dan tim expert TEQIP 2013 menyampaikan bahwa masih ada siswa yang bermain dan tidak menyimak guru selama proses pembelajaran berlangsung.Pada awal pembelajaran siswa sangat antusias untuk mengikuti pembelajaran. Ketika berdiskusi kelompok dan pemberian tugas, banyak siswa yg kurang paham dan ribut. Banyak siswa yang berkeliaran di kelas dan bertanya ke kelompok lain tentang cara kerja diskusi sehingga kegiatan diskusi kelompok dalam proses pembelajaran tidak berjalan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa siswa yang kurang paham dalam memanipulasi alat peraga dan memahami petunjuk kegiatan diskusi dalam LKK. Petunjuk langkah-langkah kinerja siswa dalam LKK belum menunjukkan proses konstruksi berfikir siswa dalam menemukan luas lingkaran dengan pendekatan luas peregi panjang. Saito (dalam Ibrohim, 2013:9) mengemukakan ada 3 tahap utama lesson study, yaitu: (1) prencanaan (plan), (2) pelaksanaan (do), dan (3) refleksi (see). Penerapan pembelajaran bermakna yang terintegrasi dengan lesson study diharapkan dapat meningkatkan profesionalisme guru dan mutu pembelajaran yang muaranya meningkatkan prestasi belajar siswa. Langkah-langkah pembelajaran konstruktivisme menurut Nurhadi (2003:39) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (Activating Knowledge). Pada langkah ini sebaiknya guru mengetahui pengetahuan awal yang sudah dimiliki siswa, karena akan menjadi dasar untuk mempelajari dan mendapatkan informasi baru. Pengetahuan awal tersebut perlu diaktifkan atau dibangun sebelum informasi yang baru diberikan oleh guru. Dalam hal ini, untuk menemukan luas bangun datar di kelas V SD dapat berangkat dari luas persegipanjang yang sebelumnya sudah dipelajari siswa di kelas III SD. 2. Pemerolehan pengetahuan baru (Acquiring Knowledge) Pemerolehan pengetahuan baru dilakukan secara keseluruhan, tidak terpisah-pisah. Setelah mengaktifkan pengetahuan yang ada, selanjutnya guru menuangkan konsep baru pada siswa dan menghubungkan dengan konsep yang sudah ada pada siswa sehingga pemahaman tentang konsep sudah lebih tinggi. 3. Pemahaman pengetahuan (Understanding Knowledge) Dalam memahami pengetahuan, siswa perlu menyelidiki dan menguji semua hal yang memungkinkan dari pengetahuan baru itu. Siswa harus membagi-bagi pengetahuannya dengan siswa lain agar semakin jelas dan benar dengan cara: a) menyusun, b) konsep sementara, c) melakukan sharing kepada siswa lain agar mendapat tanggapan, d) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan. 4. Menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh (Applying Knowledge). Siswa memerlukan waktu untuk memperluas dan memperhalus struktur pengetahuannya dengan cara menggunakannya secara otentik melalui problem solving. 5. Melakukan Refleksi (Reflecting on Knowledge) Jika pengetahuan harus sepenuhnya dipahami dan diterapkan secara luas, maka pengetahuan itu harus dikontekstualkan dan hal ini memerlukan refleksi. Refleksi disini dilakukan di akhir pembelajaran. Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam konstruktivisme, Hanbury (dalam Nuriana 2009:3) memaparkan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan matematika dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) matematika menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan dengan temannya. 891
PEMBAHASAN Pembelajaran Luas Bangun Datar Seperti dijelaskan oleh Depdiknas (2006:416) bahwa “pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sering ditemui siswa dalam kehidupan sehari-hari”. Hal tersebut berguna agar nantinya siswa mengetahui manfaat matematika tersebut dalam kehidupannya dan mereka dapat mengaplikasikan matematika dalam memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Materi geometri pada pembelajaran matematika di kelas V SD adalah menemukan luas bangun datar seperti Trapesium dan Layang-layang. Penyampaian materi ini sangat tepat apabila memanfaatkan sumber belajar dan pengalaman yang berasal dari kehidupan keseharian siswa. Guru harus membantu siswa dalam mengkonstruk konsepsi tersebut supaya lebih matang. Siswa akan lebih termotivasi mengikuti proses pembelajaran tersebut karena pembelajaran yang dimaksud langsung mereka alami. Sejalan dengan hal di atas, pembelajaran luas bangun datar di kelas V SD bisa dilaksanakan dengan pendekatan luas persegi panjang. Hal ini sangat beralasan sekali, karena luas persegipanjang merupakan konsep dan pengetahuan awal yang diterima siswapada jenjang kelas sebelumnya (kelas III SD). Luas persegi panjang merupakan konsep paling sederhana yang dipelajari siswa di antara konsep luas bangun datar yang lainnya. Pembelajaran menemukan luas bangun datar di kelas V SD, seperti trapesium dan layang-layang bisa dilakukan dengan memanipulasi media konkrit bangun datar trapesium atau layang-layang sehingga membentuk bangun datar persegipanjang yang baru. Pelaksanaan Lesson Study 1. Tahap perencanaan (plan) Pada tahap perencanaan disusunlah RPP bersama-sama bagaimana membelajarlan luas bangun datar dengan menggunakan luas persegi panjang. Pada tahap ini ditetapkan siapa yang menjadi guru model dan siapa yang menjadi observer. 2. Tahap pelaksanaan (do) Rancangan pembelajaran yang telah dirancang pada tahap sebelumnya diterapkan pada tahap ini. Fokus pengamatan diarahkan pada aktivitas belajar siswa dengan berpedoman pada prosedur dan instrumen pengamatan. Pengamat tidak dibolehkan mengganggu atau mengintervensi proses pembelajaran. Pengamat juga dapat mendokumentasikan proses pembelajaran untuk keperluan refleksi atau juga untuk kegiatan penelitian. Pada kegiatan TEQIP 2013, tahap ini dilaksanakan pada saat real teacing diongoing.
892
3. Tahap refleksi (see) Tahap ini merupakan kegiatan penyampaian hasil pengamatan kegiatan pembelajaran dari masing-masing pengamat setelah proses pembelajaran selesai. Kesempatan pertama diberikan kepada guru model untuk menyampaikan kesan-kesan selama melaksanakan pembelajaran. Kesempatan selanjutnya diberikan kepada pengamat untuk menyampaikan hasil pengamatannya selama proses pembelajaran berlangsung. Pada tahap refleksi ini diharapkan adanya kritikan dan saran membangun dari masing-masing pengamat. Tulisan ini didasarkan pada pengalaman dan hasil pengamatan penulis selama mengikuti kegiatan praktik mengajar (Real Teaching dan Onging) berbasis Lesson Study yang tertuang dalam program TEQIP 2013. Praktik mengajar berbasis Lesson Study ini dilaksanakan di sekolah yang telah ditunjuk untuk melaksanakan Ongoing. Sekolah yang telah penulis ikuti selama Ongoing yang mengajarkan tentang menemukan luas bangun datar dengan pendekatan persegipanjang anatara lain SD Surya Buana Malang, SDN 200311PadangsidimpuanSDN 200101 Padangsidimpuan, SDN 200208 Padangsidimpuan, SDS Xaverius Padangsidimpuan, SDN 200122 Padangsidimpuan, dan SDN 200509 Padangsidimpuan. Subyek yang terdiri dari siswa SD kelas 5 dimana dilaksanakan Ongoing beserta guru modelnya. Pengumpulan data berasal dari pengamatan tindakan siswa dan guru serta dokumentasi selama praktik mengajar berlangsung. Pengamatan tindakan berupa lembar observasi kegiatan lesson study yang terdiri dari kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, kegiatan penutup dan hikmah pembelajaran yang telah dilaksanakan. Dokumentasi terhadap proses pembelajaran dilakukan dengan mempergunakan kamera digital. PENUTUP Pembelajaran luas bangun datar dengan pendekatan konstruktivisme sangat tepat sekali diterapkan dalam pembelajaran menemukan rumus luas bangun datar. Siswa mengalami sendiri pembelajaran dalam menemukan rumus luas bangun datar. Guru hanya berfungsi sebagai fasilitator dan sekedar memberikan bimbingan terhadap siswa yang mengalami kesulitan belajar. Kegiatan lesson study sangat mendukung untuk melihat proses pembelajaran, karena gurukesulitan untuk melihat kekurangan diri sendiri. DAFTAR RUJUKAN Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas. Ibrohim. 2013. Panduan Pelaksanaan Lesson Study. Malang: Universitas Negeri Malang. Indriastuti. 2008. Dunia Matematika untuk Kelas III SD dan M. Solo:PT Tiga Serangkai Mandiri. Muchtar A. Karim, dkk. 1997. Pendidikan Matematika I. Jakarta: Depdikbud. Nuriana. 2009. Pembelajaran Matematika dengan Teori Belajar Konstruktivisme.(online) http://www.mathematic.transdigit.com/mathematic-article/pembelajaran-matematikadengan-teori-belajar-konstruktivisme.html. Diakses 7 April 2009. Nurhadi. 2003. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang. Sri, Subarinah. 2006. Inovasi Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas. Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Filsafat. Zulfa, Nur Lailatul, dkk. 2012. Menerapkan Metode Pembelajaran Konstruktivisme Dalam Pembelajaran Matematika. Semarang: FMIPA-IKIP Semarang.
893
PEMBELAJARAN KPK DALAM PELAKSANAAN ON GOING II DI SD YPPK St FRANSISKUS XAVERIUS I MERAUKE DENGAN MENGGUNAKAN TABEL KPK Salmon Devis Guru SD YPPK St Fransiskus Xaverius I Merauke Abstrak: Pelatihan Lesson Study di TEQIP Malang yang melibatkan guru-guru dari berbagai daerah di seluruh Indonesia sungguh merupakan suatu berkat bagi guru itu sendiri, yaitu bagaimana meningkat tingkat kepercayaan tinggi dari guru, dalam melakukan pembelajaran di dalam kelas. Melalui tahapan tahapan dalam Lesson Study yaitu Plan, Do, dan Seeterlihat dari keberhasilan guru dalam membelajarkan materi KPK dengan menggunakan alat peraga tabel KPK, hal ini dapat dilihat dari hasil tes yang diberikan pada akhir pembelajaran. Pada waktu pembelajaran berlangsung, terlihat anak senang dan tidak takut lagi dengan pelajaran Matematika. Kata kunci: Lesson study, TEQIP, tabel KPK
Lesson study adalah suatu proses sistematis yang awalnya digunakan oleh guru-guru Jepang untuk menguji keefektifan pembelajarannya dalam rangka meningkatkan hasil pembelajaran (Garfield, pada Ibrohim, 2013). Proses sistematis yang dimaksud adalah kerja guru-guru secara kolaboratif untuk mengembangkan rencana dan perangkat pembelajaran secara bersiklus dan terus menerus (Walker, pada Ibrohim, 2013). Adapun tahapan lesson study meliputi perencanaan (Plan), pelaksanaan (Do), dan refleksi (See). Kegiatan Plan bertujuan menghasilkan rancangan pembelajaran yang diyakini mampu membelajarkan peserta didik secara efektif serta membangkitkan partisipasi aktif peserta didik dalam pembelajaran. Pentingnya beberapa guru dalam berkolaborasi untuk saling memberikan masukan sehingga memperkaya ide terkait dengan rancangan pembelajaran yang akan dihasilkan baik dalam pengorganisasian,bahan ajar, maupun dalam penyiapan alat peraga kemudian simulasikan. Tahapan Do (pelaksanaan ) penerapannya rancangan pembelajaran yang telah dibuat bersama pada tahap plan. Salah satu peserta lesson study berperan sebagai guru model dan yang lainnya menjadi observer, sasaran pengamatan adalah pada keaktifan belajar siswa. Pengamat sebaiknya mendokmentasikan berupa foto atau video. Berikut adalah kegiatan Do. Tahapan yang terakhir adalah refleksi ( see ) yaitu mendiskusikan hasil yang diperoleh dari pengamatan saat open class. Diskusi ini membahas temuan-temuan, masalah-masalah, untuk dicarikan solusinya. Dalam tahap ini para observer yang terdiri dari teman sejawat dan guru kelas menyampaikan hasil pengamatannya. Refleksi dipimpin oleh moderator. Di mana moderator mengawali kegiatan dengan memperkenalkan kelompok lesson study yang dilanjutkan dengan memberi ucapan selamat pada guru model, dan memberikan kesempatan pada guru model untuk menyampaikan perasaannya ketika melaksanakan pembelajaran di kelas IV. Bagaimana perasaannya melaksanakan pembelajaran. Berikut ini adalah kegiatan See. PEMBAHASAN Tulisan ini didasarkan pada pelaksanaan ongoing ke II di kabupaten Merauke yang dilakukan di SD YPPK St Fransiskus Xaverius I dalam rangka pelaksanaan lesson study yang dibawakan oleh guru model hasil didikan TEQIP Malang ( Irma Lusia ) dengan anggota yaitu dua guru pamong dan satu guru teman sejawat dari TEQIP Malang pada sekolah SD YPPK St Fransiskus Xaverius Merauke I khususnya Pada kelas IV A yang berjumlah 20 orang siswa. Kegiatan Plan Pada awal kegiatan perencanaan pembelajaran (plan) dilakukan kesepakatan tentang materi yang diajarkan, penyusunan langkah-langkah pembelajaran serta bagaimana strategi dalam pelaksanaannya nanti yaitu terkait dengan pelasanaan peer teaching dan ongoing di SD YPPK St Fransiskus Xaverius I Merauke. Disepakati peer teaching dilakukan oleh guru model (Devis Salmon) dan pada pelaksanaan kegiatan on going oleh guru model (Irma Lusia). Berikut adalah kegiatan Plan 894
Kegiatan Do Pada waktu awal pembelajaran di kelas guru mencoba menggali dan menghubungkan dengan pengalaman anak sebelumnya. Berupa perkalian dasar 3 x 2 dan anak menjawabnya 6, kemudian guru menanyakan kenapa bisa 6, ada seorang anak (Wotor) menjelaskan dengan bahasanya sendiri bahwa 2 x 3 hasilnya juga 6. Guru menanyakan selain 3 x 2, = 6 dapat dinyatakan sebagai perkalian 3 x 2. Berarti 6 merupakan kelipatan dari2 dan 3. Ini berguna untuk mengetahui akan pemahaman anak pelajaran matematikasebelum mempelajari KPK ( kelipatan Persekutuan Terkecil pada anak kelas IV SD Fransiskus ). Setelah melakukan kegiatan tadi guru menampilkan alat peraga tabel KPK dengan bahan dasar dari karton manila yang telah didesain sedemikian rupa guna, sehingga anak tertarik untuk mempelajarinya. Berikut ini adalah media yang akan digunakan untuk mempelajari KPK 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 3 5 Kolom 1 : angka Kolom 2: digunakan untuk meletakkan kertas berbentuk persegi kolom3: digunakan untuk meletakkan kertas berbentuk segitiga Setelah guru menyampaikan tujuan pembelajaran, siswa dibagi menjadi empat kelompok dengan setiap kelompok terdiri atas 4 dan 5 orang. Kebetulan satu orang absen sehingga ada kelompok yang beranggotakan empat orang. Pada tahap berikutnyaguru membagikan LKK kepada setiap kelompok dengan petunjuk tentukan KPK dari 3 dan 5 dengan menggunakan tabel KPK. Siswa meletakkan persegi pada kelipatan 3 dan segitiga pada kelipatan 5 ternyata persegi dan segitiga berhimpit pada bilangan 15. Sehingga diperoleh KPK dari 3 dan 5 adalah 15. Setelah siswa menyelesaikan pekerjaannya kemudian salah satu kelompok mempresentasikan hasil kerjanya dan diperhatikan oleh kelompok lain. Hal unik yang terjadi pada saat siswa mengerjakan LKK ada siswa yang menjawab soal pada LKK pertama siswa dari kelompok 2 menjawab bahwa menentukan kelipatan tiga mereka menjawab benar dengan meletakkan kertas persegi pada angka 3, 6, 9, 12, ...tetapi mereka mengatakan bahwa kelipatan 3 meloncat 4 kali, karena mereka membilang banyaknya angka bukan jarak satuan. Demikian juga pada waktu menentukan kelipatan 5, mereka meletakkan kertas segitiga pada angka 5, 10, 15, 20,... tetapi mereka mengatakan bahwa kelipatan 5 adalah meloncat 6 kali, karena mereka mereka membilang banyaknya angka bukan jarak satuan. Setelah guru menjelaskan kembali yang dimaksud dengan membilang loncat ternyata anak memahami dan ada anakmengatakan YES..... Permasalahan yang terjadi pada kegiatan inti yaitu siswa tidak fokus pada penjelasan materi yang diberikan guru saat memberikan penguatan, dimana masih ada siswa yang bercerita dan bermain – main saja. Juga ada siswa yang cuek terlihat dari cara dia mengerjakan soal LKK yang baginya terasa mudah sehingga seenaknya saja dalam mengerjakannya. LKK yang diberikan guru kurang proposional yaitu hanya satu untuk kelompok yang terdiri dari 5 orang yang sebaiknya 2 sampai 3 LKK sehingga siswa lebih fokus dalam membahasnya tidak saling berebutan. 895
Kegiatan refleksi Tahapan yang terakhir adalah refleksi ( see ) yaitu mendiskusikan hasil yang diperoleh dari pengamatan saat open class. Diskusi ini membahas temuan-temuan, masalah-masalah, untuk dicarikan solusinya. Dalam tahap ini para observer yang terdiri dari teman sejawat dan guru kelas menyampaikan hasil pengamatannya. Refleksi dipimpin oleh moderator. Di mana moderator mengawali kegiatan dengan memperkenalkan kelompok lesson study yang dilanjutkan dengan memberi ucapan selamat pada guru model, dan memberikan kesempatan pada guru model untuk menyampaikan perasaannya ketika melaksanakan pembelajaran di kelas IV. Bagaimana perasaannya melaksanakan pembelajaran. Pada tahapan refleksi (see) guru yang menjadi obsever memberikan tanggapan berupa saran, siswa nampak antusias dan bersemangat dalam pembelajaran terlepas dari permasalahan yang terjadi, siswa merasa enjoy tidak tegang, terungkap dari celoteh siswa bahwa pelajaransekarang beda, guru tidak marah-marah lagi melainkan lebih bersahabat murah senyum. Siswa termotivasi dalam menyelesaikan soal-soal walaupun masih terasa sulit bagi siswa yang lain. Tahapan yang terakhir adalah refleksi ( see ) yaitu mendiskusikan hasil yang diperoleh dari pengamatan saat open class. Diskusi ini membahas temuan-temuan, masalah-masalah, untuk dicarikan solusinya. Dalam tahap ini para observer yang terdiri dari teman sejawat dan guru kelas menyampaikan hasil pengamatannya. Refleksi dipimpin oleh moderator. Dimana moderator mengawali kegiatan dengan memperkenalkan kelompok lesson study yang dilanjutkan dengan memberi ucapan selamat pada guru model, dan memberikan kesempatan pada guru model untuk menyampaikan perasaannya ketika melaksanakan pembelajaran di kelas IV. Bagaimana perasaannya melaksanakan pembelajaran. Berikut ini adalah gambar kegiatan See.
Alat peraga merupakan sarana yang penting dalam menunjang pembelajaran di dalam kelas dimana anak-anak tingkat SD masih dalam tahap kongkrit sehingga dalam pembelajarannya dibutuhkan sarana untuk membawa anak pada konteks nyata. Lewat pengamatan yang dilakukan observer ditemukan bahwa:
896
1. Pada awal pembelajaran siswa merasa aneh dengan banyaknya guru yang masuk di dalam kelasnya. Lambat laun siswa mulai bisa tenang dalam mengikuti pembelajaran dengan semangat 2. Siswa mampu berinteraksi dengan temannya dan bisa menjawab walau masih takut salah 3. Pada saat guru menyampaikan tujuan pembelajaran ada beberapa siswa yang menjawab secara serempak (koor) 4. Guru mampu mengkondisikan kelas dengan baik ditandai dengan siswa antusian dalam mengerjakan LKK tentang KPK 5. Siswa yang mengalami kesulitan : yaitu siswa yang bernama Yulita dimana ia hanya tidurtiduran di atas meja kadang menggulung-gulung rambutnya dengan jemari tangannya. penyebab Dia mengalami kesulitan dalam belajar, setelah diamati sebenarnya ia sudah selesai mengerjakan tugas. Karena tugas yang diberikan terlalu mudah sehingga begitu cepat selesai dan mengambil kesempatan tidur dan bermain. 6. Upaya guru yaitu mengajak siswa tersebut untuk mengerjakan di papan tulis sehingga dia merasa tersalurkan dan mulai tidak cuek karena diberi penguatan atas hasil pekerjaannya yang benar 7. Hikmah yang bisa didapat adalah alat peraga tabel KPK yang menarik dan intonasi guru yang tidak monoton mampu memotivasi anak dalam belajarnya. Dalam refleksi guru model merasa percaya diri dalam menyampaikan pembejaran di kelas IV walaupun sebenarnya guru model adalah guru mata pelajaran IPS pada kelas VI. Pembelajaran lebih menyenangkan dibanding dengan pelajaran biasanya yang monoton karena sifatnya ceramah terus.Siswa tidak merasa capek karena anak menemukan sendiri dan guru tidak menjadi pusat melainkan lebih terpusat pada siswa.Guru hanya sebagai pemicu pembelajaran dan anak menemukan sendiri KESIMPULAN 1. Dengan menggunakan tabel KPK keberhasilan siswa dalam memahami KPK lebih baik. Terlihat dalam kegiatan belajar mengajar siswa senang lebih menikmati dan tidak merasa takut lagi. 2. Dengan Lesson Study guru mendapatkan pengalaman pembelajaran menggunaan media dalam pembelajaran KPK. DAFTAR RUJUKAN Ibrohim. 2013, Panduan Pelaksanaan Lesson Study, Universitas Negari Malang. Mardiatun, Rosnah. 2012, Penerapan Cooperatif Stad dalam Pembelajaran IPA Di Kelas SDN 012 Tanjungpinang Barat: Pengalaman Lesson Study Pada Kegiatan Ongoing TEQIP 2012. Malang: PT. Pertamina dan Universitas Negeri Malang. Sentot Kusari, 2013, Pembelajaran Materi Lensa Cembung: kasus Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Berbasis Lesson Study. Malang: PT. Pertamina dan Universitas Negeri Malang.
PENINGKATAN HASIL BELAJAR MATERI BALOK DAN KUBUS PADA SISWA KELAS IV-SDN 2 TIJUE PERCONTOHAN KABUPATEN PIDIE DENGAN MENGGUNAKAN ALAT PERAGA BALOK DAN KUBUS BONGKAR PASANG Yulia Ekawati Guru SDN 2 Tijue Percontohan Pidie-Aceh
[email protected] Abstrak: Penelitian ini bertujuan meningkatkan hasil belajar siswa dalam materi balok dan kubus di kelas IV SD, dengan menggunakan media kubus dan balok bongkar pasang. Penelitianini menggunakan PTK yang diterapkan pada 26 siswa SDN 2 Tijue Percontohan kabupaten Pidie. Penelitian dinyatakan berhasil jika terdapat peningkatan keaktifan siswa
897
dan 80% siswa mencapai ketuntasan belajar.Hasil penelitian menunjukkan bahwa 80,77 % siswa telah mencapai ketuntasan belajar dan keaktifan siswa juga meningkat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat peningkatan hasil belajar siswa pada materi bangun ruang kubus dan balok dengan menggunakan alat peraga balok dan kubus bongkar pasang pada siswa kelas IV B di SD Negeri 2 Tijue Percontohan Sigli. Kata kunci: Hasil belajar, alat peraga balok dan kubus bongkar pasang
Banyak siswa yang kurang memperhatikan saat guru menjelaskan materi pembelajaran, bahkan tidak mengerjakan tugas-tugas yang harus diselesaikannya.Untuk itulah, sebagai guru yang baik harus mampu mengubah keadaan tersebut, bagai mana caranya agar siswa dapat menganggap bahwa matematika itu mudah, dan belajar matematika itu menyenangkan.Seorang guru harus mampu menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan.Suasana pembelajaran yang menyenangkan dapat tercipta apabila guru menggunakan metode pembelajaran yang bervariasi dan media pembelajaran yang relevan dengan materi yang diajarkan. Selain itu, seorang guru juga harus mampu memahami karakteristik siswa.Dimana setiap individu atau siswa memiliki kecepatan berfikir dalam menerima materi yang sangat bervariasi.Seorang guru perlu memahami pola berfikir siswa Sekolah Dasar yaitu dari hal yang bersifat kongkrit menuju hal yang bersifat abstrak.Untuk itulah guru perlu berfikir dan membuat jembatan yang dapat menghubungkan antara hal yang konkrit ke hal yang abstrak.Salah satunya adalah guru menanamkan konsep materi dengan menggunakan alat peraga.Sehingga materi pelajaran mudah diterima siswa secara nyata atau kongkrit. Begitu juga dengan materi bangun ruang kubus dan balok pada siswa kelas IV Sekolah Dasar, guru harus dapat menghadirkan satu alat peraga yang dapat dilihat secara kongkrit oleh siswa dan mewakili seluruh bagian-bagian dari kubus dan balok, juga dapat menggambarkan sifat-sifat yang ada pada kubus dan balok. Oleh karenanya, guru mencoba membawa sebuah media kubus dan balok bongkar pasang dalam pembelajaran matematika di kelas IV SDN 2 Tijue dalam materipengenalan bangun ruang balok dan kubus. Untuk melihat peningkatan hasil belajar siswa dilakukan Penelitian Tindakan Kelas guna memperbaiki hasil belajar siswa dan penyempurnaan media kubus dan balok bongkar pasang. Dengan balok dan kubus bongkar pasang diharapkan akan membantu siswa dalam memahami konsep materi bangun ruang balok dan kubus dengan optimal. Selain itu juga dapat menciptakan pembelajaran metematika yang aktif dan menyenangkan karena siswa dapat belajar metematika sambil bermain membongkar dan menyusun. Subanji (2013:43) menyatakan bahwa belajar merupakan kegiatan mengontruksi atau menginterprestasikan sesuatu, sehingga tambah jaringan pengetahuan di dalam diri pembelajar yang bisa menyebabkan terjadinya perubahan tingkah laku. Trianto (2011) menyatakan bahwa belajar sebagai perubahan pada individu yang terjadi melalui pengalaman dan bukan karena pertumbuhan atau perkembangan tubuhnya atau karekteristik seseorang sejak lahir. Jadi proses yang terjadi dalam suatu pembelajaran sangatlah menentukan perobahan tingkah laku atau pengetahuan siswa dalam belajar. Kegiatan membongkar dan menyusun kubus dan balok bongkar pasang ini salah satu kegiatan yang menyenangkan bagi siswa, hingga siswa dapat belajar sambil bermain. Balok bongkar pasang adalah sebuah model atau maket balok yang dapat di bongkar ke enam sisisisinya, namun rusuk yang merupakan tempat pertemuan antar dua sisi tetap utuh. Peneliti dalam hal ini merancang balok bongkar pasang ini dengan menggunakan bahan kayu, seperti tergambar di bawah ini.
898
Andi prastowo (2011:228) model (maket) atau alat peraga pembelajaran adalah bahan ajar tiga dimensi atau tiruan benda nyata untuk menjembatani berbagai kesulitan yang bisa ditemui, agar pembelajaran lebih bermakna. Begitu pula dengan alat peraga ini,guru dapat dengan mudah menjelaskan kepada siswa tentang banyaknya sisi yang ada pada balok, karena semua sisi dapat dibongkar, hingga yang tertinggal hanya rusuk-rusuknya sehingga guru dan siswa juga dapat menghitung banyaknya rusuk yang ada pada balok. Balok bongkar pasang ini juga dapat memperjelas bahwa rusuk merupakan tempat pertemuan antara dua sisi. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas yang terdiri dari 2 siklus.Setiap siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan refleksi.Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri 2 Tijue Percontohan,Jln. Prof. A. Majid Ibrahim Kompleks Pelajar Tijue-Lampeudeu Tunong, Kecamatan Kota Sigli, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh.Penelitian ini dilakukan pada awal bulan Mei tahun 2013.Sebagai subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV SDN 2Tijue Percontohan Kabupaten Pidie,yang berjumlah 26 siswa. Alasan dipilih kelas ini adalah peneliti menemukan adanya permasalahan yang menarik yang ditemui di kelas ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah,tes hasil belajar, wawancara dan observasi. Kegiatan analisis berikutnya adalah penyajian data yang diartikan sebagai kumpulan data yang terorganisasikan, sehingga memungkinkan adanya kesimpulan.Kegiatan analisis data meliputi ketuntasan hasil belajar siswa dan observasi. Dengan kriteria : 0% < PHB < 70% Belum tuntas belajar PHB 70% Telah tuntas belajar PHB = Penilaian Hasil Belajar Secara individu seorang siswa dikatakan tuntas dalam belajar jika PHB siswa tersebut telah mencapai 70%. Selanjutnya persentase siswa yang telah tuntas dalam belajar secara klasikal dapat dirumuskan sebagai berikut: Keterangan : PKK = Persentase Ketuntasan Klasikal Kriteria ketuntasan belajar secara klasikal akan diperoleh jika didalam kelas tersebut terdapat 80% siswa yang telah mencapai nilai ≥ 70% Dalam penelitian ini suatu indikator dipandang tercapai apa bila paling sedikit 80% siswa telah tuntas indikator belajar untuk semua butir soal yang berkaitan dengan indikator tersebut. Penelitian ini terdiri dari 2 siklus, Setiap siklus melalui tahapan sebagai berikut: a. Perencanaan, sebelum melaksanakan tindakan dilakukan perencanaan dengan membuat rencana pelaksanaan pembelajaran ( RPP-1 ) yang berisikan upaya-upaya guru dalam rangka pelaksanaan tindakan, lengkap dengan LKS dan juga mempersiapkan instrument untuk kuis 1 ( tes hasil belajar ) serta mempersiapkan lembar observasi dan lembar pengamatan . b. Pelaksanaan tindakan dilakukan dengan pembelajaran menggunakan media alat peraga balok bongkar pasangdan menggunakan LKS sebagai alat Bantu pengajaran, dimana peneliti bertindak sebagai guru. Kegiatan pembelajaran yang dilakukan merupakan pengembangan dari rencana pelaksanaan pembelajaran ( RPP ) yang telah dibuat pada tahap perencanaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Perencanaan tindakan dalam siklus I dapat diuraikan sebagai berikut: a. Penyusunan RPP yang sesuai dengan proses pembelajaran. b. RPP diberikan alokasi waktu sebanyak 2 x 35 menit, artinya setiap RPP disampaikan dalam 1 kali tatap muka. Pelaksanaan pada siklus I dapat dideskripsikan sebagai berikut. pada awal kegiatan inti guru secara klasikal menjelaskan materi pembelajaran dengan menggunakan balok bongkar pasang. Kemudian guru membagi siswa dalam 5 kelompok, dan masing-masing anggota kelompok terdiri dari 5 siswa. Siswa diminta untuk mengerjakan LKS, kemudian 899
mempresentasikan hasil LKS tersebut, dan memberi tindak lanjut dari hasil pembelajaran pada siklus I. Proses pembelajaran pada siklus I guru tidak lagi hanya mentransfer materi pada siswa melalui buku paket, tetapi telah membawa sebuah alat peraga ke dalam kelas. Siswa ditugaskan bekerja sama dengan kelompoknya untuk mencari dan mengerjakan tugas yang diberikan guru mengenai materi bangun ruang balok dan kubus dengan pengawasan guru. Pada siklus I siswa masih terlihat belum terlalu aktif dalam belajar, Hal ini dikarenakan mereka baru pertama kali melakukan pembelajaran seperti ini, dan lagi pula yang menggunakan alat peraga ini hanya guru di depan kelas. Pada waktu guru mendemonstrasikan, siswa hanya memperhatikan. Walaupun pada awal kegiatan inti siswa terlihat senang, namun secara keseluruhan masih sangat banyak kekurangan-kekurangan, tidak seluruh siswa dapat melihat dengan jelas apa yang dilakukan guru pada saat guru mendemonstrasikan penggunaan media di depan kelas. Observasi dilakukan oleh observer yaitu teman guru dan kepala sekolah pada SD Negeri 2 Tijue Percontohan. Observasi dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala dalam proses pembelajaran. Hasil observasi digunakan sebaagai bahan refleksi dan untuk merencanakan rencana tindakan pada siklus II. Pada pertemuan pertama siklus I terlihat, siswa yang berminat dan termotivasi dengan alat peraga ini hanya mereka yang duduk di kelompok depan, sedang kelompok lain hanya satu dua yang perhatian terhadap pembelajaran, berarti yang berminat terhadap pembelajaran lebih kurang hanya 14 orang. Hasil tes pada siklus I diperoleh nilai tertinggi 80 dan terendah yaitu 40 dengan hasil rata-rata siswa yaitu 54,81, Dengan persentasi: siswa yang mencapai nilai A (tinggi sekali) 0 siswa (0%), yang mendapat nlai B (tinggi) adalah 8 siswa (30,77 %), sedangkan yang mendapat nilai C (cukup) adalah 7 siswa (26,92%), dan yang mendapat nilai D (rendah) adalah 11 siswa (42,30%). Ini terlihat pada diagram berikut ini
nilai A 0% nilai B 31%
nilai D 42%
nilai C 27%
Berdasarkan hasil pengamatan dan juga test kemampuan siswa siklus I dapat dilihat masih ada siswa yang di bawah kriteria ketuntasan minimal sebanyak 11 siswa (42,30%). Jumlah siswa yang telah mencapai kriteria ketuntasan minimal sebanyak 15 siswa (57,69 %). Maka dapat dikatakan nilai rata-rata belum cukup dan belum optimal. Oleh karena itu perlu upaya perbaikan pada siklus II. Menurut para observer berdasarkan temuan-temuan ketika pembelajaran di laksanakan, perbaikan yang perlu dilakukan adalah, guru jangan hanya berpusat di depan kelas untuk mendemonstrasikan balok bongkar pasang, alangkah lebih baik jika semua siswa juga dapat menggunakan balok dan kubus tersebut, agar pembelajaran lebih menyenangkan dan siswa semangat serta termotivasi untuk terus terlibat selama proses pembelajaran selama berlangsung. Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I maka pelaksanaan tindakan pada siklus II dapat di uraikan sebagai berikut : 1. Perencanaan Tindakan Perencanaan tindakan pada siklus II dapat didefinisikan sebagai berikut: a) Pemilihan materi dan penyusunan RPP dalam siklus II. Pada hakekatnya merupakan perbaikan atas kondisi siklus I. Materi pembelajaran pada siklus II masih bangun ruang kubus dan balok . 900
b) Pada siklus II kegiatan lebih pada keaktifan siswa, alat peraga balok bongkar pasang tidak hanya satu buah di depan kelas, tapi setiap kelompok memiliki alat peraga masingmasing. siswa diminta untuk bekerja sama mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Pelaksanaan tindakan pada siklus II, dapat dideskripsikan sebagai berikut. Kegiatan siklus kedua dengan RPP tentang penjelasan materi bangun ruang kubus dan balok. Adapun langkah-langkah sebagai berikut,Siswa diminta membuat lima kelompok namun pembagian kelompok dipilih secara heterogen, Tiap kelompok terdiri dari 5 orang siswa, lalu Guru membimbing siswa menggunakan balok bongkar pasang yang ada di kelompok mereka, selanjutnya siswa bekerja sama dalam bereksplorasi dengan balok bongkar pasang yang ada di kelompoknya, kemudian siswa mengerjakan LKS dan mempresentasikan ke depan kelas, selanjutnya guru memberi penguatan, dan siswa bersama guru menyimpulkan hasil pembelajaran, Kemudian dilanjutkan dengan evaluasi. Proses pembelajaran pada siklus I, guru menugaskan siswa untuk bekerjasama dan aktif dalam menggunakan balok bongkar pasang. Dalam hal ini terlihat secara langsung situasi belajar yang aktif, kreatif, antusias siswa dalam belajar dan memperhatikan serta menyampaikan hasil kerjanya sangat baik.
3. Hasil Pengamatan (Observasi) Pelaksanaan observasi pada kegiatan siklus II sama dengan kegiatan pada siklus I. Dalam hal ini observasi dilakukan oleh teman sejawat yaitu guru sebagai observer. Observasi dilakukan untuk mengetahui keaktifan siswa, kerjasama, kecepatan dan ketepatan siswa dalam memahami materi. Hasil pengamatan pada siklus II terlihat semakin membaik. Perhatian siswa sudah semakin terfokus, hampir semua siswa aktif dikelompoknya, mereka merasa senang dengan alat peraga bongkar pasang, hal ini meningkatkan keaktifan dan minat belajar siswa.Hanya dua siswa yang terlihat tidak begitu antusias, menurut pengamatan observer keduanya nampak kurang sehat. Hasil tes rata- rata siswa pada siklus kedua ini juga meningkat dari siklus I yaitu nilai tertinggi 100 dan terendah yaitu 40 dengan hasil rata-rata siswa yaitu 76,46. Dengan persentasi : siswa yang mencapai nilai A (tinggi sekali) 9 siswa (34,61%), yang mendapat nilai B (tinggi) adalah 7 siswa (26,92%), sedangkan yang mendapat nilai C (cukup) adalah 6 siswa (23,07%), dan yang mendapat nilai D (rendah) adalah 4 siswa (15,38%) seperti terlihat pada grafik di bawah. Nilai A
Nilai B
Nilai C
Nilai D
15% 35% 23% 27%
Berdasarkan hasil test kemampuan siswa siklus II dapat dilihat hanya 4 orang siswa yang mendapat nilai dibawah kriteria ketuntasan minimal (KKM) 70. Dengan kata lain jumlah siswa yang telah mencapai kriteria ketuntasan minimal sebanyak 22siswa (80,77 %) . 901
Berdasarkan hasil siklus I, dan siklus II dapat dilihat bahwa pembelajaran dengan menggunakan media alat peraga balok dan kubus bongkar pasang dapat meningkatkan hasil belajar siswa terhadap materi bangun ruang balok dan kubus bongkar pasang. Keaktifan siswa juga bertambah di kelas, pada siklus I hanya 14 siswa yang berminat dan memperhatikan pembelajaran, namun pada siklus ke II meningkat hingga 24 siswa turut aktif belajar, hanya dua siswa yang tidak ikut aktif, hal inipun karena mereka kurang sehat. Peningkatan ini dapat kita lihat pada diagram di bawah ini.
PENINGKATAN KEAKTIFAN SISWA 30 20 10 0 siklus I
siklus II
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan ada peningkatan hasil belajar siswa pada materi bangun ruang kubus dan balok denganmenggunakan alat peraga kubus dan balok bongkar pasng di SD Negeri 2 Tijue Percontohan.Selain itu siswa terlihat sangat aktif saat bekerjasama. Hal tersebut terbukti dengan diperolehnya nilai rata-rata pada siklus I yaitu sebesar 54,81 naik pada siklus II menjadi 76.46 maka diperoleh selisih nilai rata-rata sebesar 21,65 Saran Untuk meningkatkan hasil belajar, para guru hendaknya menggunakan alat peraga pada saat proses belajar mengajar agar dapat meningkatkan hasil belajar matematika khususnya materi bangun ruang kubus dan balok, kubus dan balok bongkar pasang dapat menjadi salah satu alternatif pilihan sebagai alat peraga yang di gunakan dalam pembelajaran materi kubus dan balok. DAFTAR KEPUSTAKAAN Prastowo, Andi. (2011). Panduan Kreatif Membuat Bahan ajar Inovatif. Yogyakarta: Diva Press. Subanji. (2013). Pembelajaran Matematika kreatif dan Inovatif. Malang: Universitas Negri Malang. Trianto, (2011)Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif, Jakarta: Prenada Media Group.
902
MENGGAGAS PEMBELAJARAN VOLUME BALOK UNTUK SISWA KELAS V SDK LEOB DENGAN BANTUAN MEDIA KUBUS SATUAN SERTA MENERAPKAN COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD Ema Th, Nenoliu SDK LEOB Abstrak: Rendahnya nilai matematika siswa SDK Leob,dikarenakan materi pembelajaran masih terpusat pada guru. Demikian juga untuk materivolume balok di kelas v(lima), siswa hanya menerima secara pasif dan cenderung belajar sendiri dengan berusaha keras menghafalkan semuamateri yang diterima. Dengan demikian materi volume balok masih identik dengan mata pelajaran yang menakutkan, sulit, kurang menyenangkan, dan membosankan. Usaha untuk membangkitkan minat belajar tersebut adalah menggunakan model dan media pembelajaran satuan kubus, sehingga mudah di mengerti siswa. Penerapan pembelajaran kooperatif tipe STAD merupakan model sederhana yang menekankan pemahaman konsep dan memiliki potensi lebih, dalam meningkatkan kemampuan berpikir. Dengan media kubus satuan , siswa terlibat aktif bahkan kreatif sehingga dapat mengembangkan penalaran siswa pada tingkat yang tertinggi dari pada sekedar mencontoh atau berpikir menggunakan prosedur yang baku. Kata kunci: Pembelajaran kooperatif, STAD, media kubus satuan
Matematika adalah ilmu yang abstrak dan deduktif. Karena bersifat abstrak dan deduktif tersebut maka untuk pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) harus disesuaikan dengan karakteristik umumnya anak usia SD. Hal ini juga berlaku untuk pembelajaran matematika di SDK Leob.Untuk materi volume balok siswa kelas V(lima) SDK Leob, sangat mengalami kesulitan dalam pembelajaran, karena mereka tervokus hanya menghafal rumus, dan model pembelajaran hanya terpusat pada guru. Pembelajaran matematika di SDK Leob, tampaknya kurang diminati siswa, sehingga nilai matematika, pada pembelajaran volume balok kurang maksimal. Hal ini dikarenakan adanya anggapan pelajaran matematika, pada pembelajaran volume balok merupakan mata pelajaran yang bersifat kaku, menyeramkan, dan cepat membosankan. Respon siswa tersebut, terlihat pada saat menyimak penjelasan materi volume balok. Karena umumnya pembelajaran masih berpusat pada guru, dengan metode berceramah, pemberian contoh soal, dan berujung dengan latihan soal, secara individu. Selama proses pembelajaran berlangsung. Siswa tampak duduk tenang ,mendengarkan cerama guru, sehingga suasana pembelajaran pasif. Inovasi-inovasi baru dalam bidang pendidikan yang harus dimiliki guru adalah menerapkan model pembelajaran inovatif dan penggunaan media pembelajaran yang kreatif. Salah satu penerapan pembelajaran inovatif yang dapat memberikan pengalaman belajar pada siswa secara koloboratf adalah pembelajaran kooperatif (cooperatve learning). Dengan pembelajaran kooperatif diharapkan siswa akan bekerja sama dan mampu menyelesaikan masalah. Menurut Slavin(1997) pembelajaran kooperatif merupakan suatu metode dimana siswa belajar bersama-sama dalam kelompok dan anggota dalam kelompok tersebut saling bertanggung jawab satu dengan yang lain. Pembelajaran kooperatif yang dipilih untuk materi volume balok adalah tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD), yang dilengkapi dengan media satuan kubus. Dalam pembelajaran tipe STAD, bagian terpenting adalah bagaimana siswa dapat memahami dan mengerti informasi yang disampaikan guru. Untuk bisa mencapai tujuan itu tentunya informasi yang dipelajari harus bermakna bagi siswa. Suatu pembelajaran dikatakan bermakna apabila struktur masalah (apa yang akan dipelajari) terkait dengan struktur berpikir siswa (apa yang sudah diketahui). Konstruksi pengetahuan dapat terjadi karena dalam struktur masalah yang sedang dipelajari ”ada sebagian” yang sama dengan skema yang sudah dimiliki oleh siswa , sehingga dapat membentuk jaringan skema berpikir yang terkait secara kuat. (Subanji, 2012) Selama ini peserta didik hanya menghafalkan informasi atau materi pelajaran baru tanpa menghubungkannya dengan konsep-konsep atau hal lainnya yang ada dalam struktur 903
kognitifnya. Jika ini terjadi maka yang terjadi hanyalah belajar hafalan. Pembelajaran materi volume balok yang merupakan lanjutan materi yang sudah diajarkan di kelas 4, untuk siswa kelas 5 SDk Leob pada umumnya lebih cepat lupa. Sebagai contoh, guru kelas 5 membelajarkan volume balok dengan cara menghafal rumus, yaitu: volume balok =panjang x lebar x tinngi. Setelah siswa menghafal rumus maka, siswa langsung menyelesaikan soal secara perorangan. Pada kegiatan pembelajaran seperti ini, siswa merasa bosan dan menganggap bahwa belajar matematika adalah sesuatu yang menakutkan, dimana siswa hanya menyelesaikan tugas yang di berikan oleh guru.Siswa terpaksa belajar dalam suasana pasif yang pada akhirnya siswa merasa bosan. Materi pelajaran tidak seharusnya anggap anak sebagai tugas atau sesuatu yang dipaksakan oleh guru, melainkan sebagai alat yang dibutuhkan dalam kehidupan anak. Pada saat proses pembelajaran berlangsung hendaknya juga melibatkan aktifitas anak dan bersifat bermain, serta bekerja sama dengan orang lain yang menyenangkan, meskipun sebenarnya mereka dituntut target untuk menyelesaikan materi pelajaran. Pembelajaran volume balok ini akan lebih bermakna bila disampaikan dengan media yang konkrit. Oleh karena itu penulis akan membahas penerapan cooperative learning tipe STAD dengan media kubus satuan. Media kubus satuan pada pembelajaran volume kubus ini adalah merupakan contoh suatu media dengan pendekatan open ended yang dapat digunakan untuk meningkatkan keaktifan dan penalaran siswa (Subanji,2010), sehingga diharapkan tidak menumbuhkan proses berpikir pseudo. Siswa diarahkan untuk menyelesaikan soal yang memiliki jawaban tidak tunggal dan jawaban yang diperoleh logis serta rasional. Pembelajaran dengan media kubus satuan ini merupakan balikan dari pembelajaran yang biasa dilakukan di kelas, terutama dalam latihanlatihan soal yang diberikan. Media ini baru dikenal oleh guru-guru SD di Kabupaten Timor Tengah Utara, khususnya guru SDk Leob pada saat kegiatan ongoing TOT tahap 2 TEQIP tahun ke-4 2013. Langkah-langkah Pembelajaran Adapun langkah-langkah pembelajarannya adalah sebagai berikut. Guru membuka pelajaran diawali dengan mengkondisikan siswa yaitu berdo‟a dan dilanjutkan dengan presensi. Guru melanjutkan kegiatannya dengan mengajak bernyanyi bersama- sama lagu ” Matematika tidaklah sulit”. Dengan bernyanyi bersama sama siswa di harapkan antusias dan bersemangat.Sepertinya belajar matematika yang selama ini menyeramkan tidak tampak lagi di raut wajah para siswa. Selanjutnya guru mengingatkan materi volume balok, yang sudah dipelajari di kelas 4, dengan pertanyaan sebagai berikut: ”Bagaimana cara kalian menentukan volume dari sebuah balok ?” Beberapa siswa menjawab dengan memasang rumus. Guru melanjutkan pertanyaannya sebagai berikut: ”Sebutkan rumus untuk menentukan volume kubus. Semua siswa diam, karena lupa akan hafalan yang di berikan guru, ketika di kelas 4, lalu 5 menit kemudian, ada yang membuka buku cetak untuk mencari jawabannya. Selanjutnya guru meyakinkan, bahwa pembelajaran hari ini siswa akan dapat mengingat rumus untuk menentukan volume kubus, menyelesaikan soal dengan tepat, dengan cara yang asyik, gampang, dan menyenangkan.. Kegiatan di lanjutkan dengan bernyanyi bersama- sama antara guru dan siswa, pemberian pertanyaan- pertanyaan, maupun penyampaian manfaat mempelajari materi yang akan dibahas merupakan penyampaian kegiatan apersepsi dan motivasi pada indikator menentukan volume dari sebuah balok. Kegiatan guru berikutnya guru membagi 32 siswa yang hadir menjadi 6 kelompok, Yaitu kelompok Jajar Genjang, kelompok Lingkaran, kelompok Persegi, kelompok Persegi Panjang, kelompok Trapesium dan kelompok layang layang.Masing-masing kelompok terdiri dari 5atau 6 orang. Pembagian kelompok siswa ini dilakukan secara heterogen, baik jenis kelamin maupun prestasinya. Dengan susunan tempat duduk seperti ini, siswa dapat belajar dari teman sebaya dan guru untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan sosial, mengorganisasikan pikiran mereka, dan mengembangkan argumen rasional. Dalam pembelajaran peran guru juga mengalami perubahan dari yang semula ”memberi ” pengetahuan menjadi ”memfasilitasi” siswa untuk belajar. Model pembelajaran yang dilaksanakan adalah kooperatif STAD. Secara rinci langkahlangkah nya sebagai berikut: Membentuk kelompok, dengan anggota secara heterogen; masingmasing kelompok diberi Lembar Kerja Kelompok (LKK); anggota yang sudah mengerti diminta 904
untuk menjelaskan kepada anggota yang lain sampai semua anggota mengerti; Guru mengamati kerja kelompok siswa dan mengkondisikan kelas agar siswa bekerja sama dalam suatu tugas bersama (guru sebagai motivator dan mediator); Guru menentukan secara acak 1 atau 2 kelompok untuk menyajikan hasil diskusi kelompoknya; Seorang dari wakil kelompok terpilih mempresentasikan hasil diskusi kelompok di depan kelas. Kelompok lain memberikan tanggapan; Guru mengoreksi hasil diskusi kelompokdan mengumumkan pemenangnya; Siswa dengan bimbingan guru menyimpulkan hasil diskusi. Pada kegiatan inti, siswa mengerjakan Lembar Kegiatan Kelompok, dan media yang telah disediakan (yaitu:kotak yang berbentuk balok dan kubus satuan). Media ini dibuat dengan karton berpetak yang telah dilapisi plastik, kemudian di gunting membentuk jaring jaring kubus lalu dibentuk menjadi kubus. Pada media tersebut balok yang terisi penuh di anggap sebagai pokok bahasan yaitu menentukan volume dari sebuah balok. Sebelum mengisi balok tersebut maka siswa harus paham mana yang merupakan panjang , lebar, dan tinggi dari balok. Selanjutnya siswa mengitung banyaknya kubus satuan yang mewakili panjang, lebar, dan tinggi pada balok tersebut. Lalu siswa menghitung jumlah kubus satuan secara keseluruhan di dalam kotak tersebut. Berikut ini, Lembar Kegiatan Kelompok yang digunakan. Berdasarkan hasil kegiatan mengisi balok dengan kubus satuan, jawablah pertanyaan berikut 1. Amatilah kotak yang terisi kubus satuan, apakah kotak tersebut berbentuk balok? 2. Banyaknya kubus satuan yang mewakili panjang pada balok tersebut adalah ....... 3. Banyaknya kubus satuan yang mewakili lebar pada kotak tersebut adalah ........... 4. Banyaknya kubus satuan yang mewakili tinggi pada kotak tersebut adalah .......... 5. Jumlah keseluruhan kubus satuan yang terisi pada kotak tersebut adalah ....... 6. Apabila jumlah keseluruhan kubus satuan pada kotak mewakili volume kubus, maka volume balok adalah……. Setelah selesai berdiskusi langkah berikutnya siswa di minta menyelesaikan soal soal yang di siapkan guru untuk menentukan pemahaman. 1. Diketahui ukuran rusuk-rusuk balok adalah a.Panjang = 8cm lebar = 5cm tinggi = 6 cm, b.Panjang = 12cm lebar = 4 cm tinggi = 10 cm Tentukan volume baloknya. Apabila yang di ketahui adalah volume nya, tentukanlah panjang, lebar atau tinggi yang belum di ketahui pada balok tersebut. 2. a. Panjang=.... lebar= 3cm tinnggi =5cm, volume = 90 cm kubik b. Panjang = 8cm, lebar= 4cm tinggi = ......,volume = 160 cm kubik c. Panjang = 12 cm lebar=...... tinggi= 8cm, volume= 488cm. 3. Buatlah sebuah soal yang ada kaitan dengan volume balok Setelah menyelesaikan latihan yang di berikan ,guru perwakilan dari dua kelompok yang di tunjuk,maju untuk mempresentasikan hasil diskusi nya di depan kelas. Untuk memberi semangat dan motivasi, maka guru memilh pemenangnya berdasarkan hasil prestasi terbaik Kegiatan penutup, Siswa bersama guru melakukan refleksi terhadap materi yang telah dipelajari. Untuk mengetahui pemahaman siswa secara individu terhadap materi yang telah dipelajari, guru memberikan 2 buah soal sebagai evaluasi. Evaluasi dilaksanakan dalam waktu 5 menit. Hasil pekerjaan siswa sangat surprise, 30 siswa mendapat nilai 10, hanya 2 siswa mendapat nilai 5. Guru menjelaskan bahwa materi volume balok ini sangat bermanfaat dan memudahkan untuk materi volume bangun gabung. Selanjutnya guru bertanya kepada siswa sebagai berikut: Masih perlukah kalian belajar mengenai volume balok? Hampir serempak dan semangat siswa menjawab ”perlu‟. Guru memberikan soal-soal mengenai volume balok untuk pekerjaan rumah Untuk kegiatan tindak lanjut guru meminta siswa untuk mempelajari ulang materi volume balok, dan membaca materi volume bangun gabung. PENUTUP Pembelajaran volume balok yang bermakna dapat melalui media satuan kubus dengan model pembelajaran kooperatiftipe. STAD. Selama pembelajaran berlangsung siswa belajar tidak hanya merasa senang,tetapi juga mengasyikan, dan tidak membosankan, namun siswa 905
berpikir lebih kreatif dengan penalaran mencapai tingkat yang tertinggi serta tidak sekedar mencontoh prosedur. Penerapan diskusi kelompok yang merupakan bagian dari pembelajaran kooperatif tipe STAD mempermudah siswa dalam memahami dan memecahkan penyelesaian soal-soal yang berhubungan dengan volume balok. Siswa merasa tidak dibebani dengan pelajaran matematika yang selama ini dianggap menyeramkan. DAFTAR RUJUKAN Slavin. 1997. ”Synthesis of research on cooperative learning” dalam Educational Leadership,Tahun XL(5):71-82. Subanji. 2010.J-TEQIP.Jurnal Peningkatan Kualitas Guru, Tahun 1,Nomor 1:101.Malang: Kerjasama PT. Pertamina (Persero) dengan Universitas Negeri Malang (UM). Subanji. 2012.Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif, TEQIP.Malang: Kerjasama PT.Pertamina (Persero) dengan Universitas Negeri Malang (UM). Latheru, John d, 1989.Media pembelajaran. Jakarta:Depdikbud Dikti –PPLPTK.
PENINGKATAN KEMAMPUAN SISWA KELAS II SDN KOTA BARU DALAM MELAKUKAN OPERASI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA DENGAN BANTUAN BENDA-BENDA KONKRIT Erny Oktavia Sonbay SDN Kota Baru Kecamatan Bikomi Selatan Kabupaten Timor Tengah Utara Abstrak: Tujuan guruan ini adalah bagaimana meningkatkan kemampuan melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada mata pelajaran matematika untuk siswa kelas II SDN Kota Baru. Untuk menjawab permasalahan tersebut dilakukan guruan tindakan kelas terhadap siswa kelas II SDN Kota Baru sebanyak 27 siswa sebanyak dua siklus. Data yang diperoleh dalam guruan ini melalui observasi, pengamatan, diskusi dan evaluasi. Hasil guruan ini menunjukkan peningkatan kemampuan siswa dalam mengoperasikan penjumlahan dan pengurangan yaitu dari 35% naik menjadi 65%, sehingga dapat disimpulkan bahwa benda-benda konkrit dapat membantu siswa dalam mengoperasikan penjumlahan dan pengurangan pada pembelajaran matematika kelas II. Kata kunci: Operasi penjumlahan dan pengurangan, benda konkrit.
PENDAHULUAN Pendidikan merupakan usaha manusia untuk menyiapkan diri dalam peranannya dimasa akan datang. Pendidikan dilakukan tanpa ada batasan usia, ruang dan waktu yang tidak dimulai atau diakhiri di sekolah, tetapi diawali dalam keluarga dilanjutkan dalam lingkungan sekolah dan diperkaya oleh lingkungan masyarakat, yang hasilnya digunakan untuk membangun kehidupan pribadi agama, masyarakat, keluarga dan keluarga. Merupakan suatu kenyataan bahwa pemerintah dalam hal ini diwakili lembaga yang bertanggung jawab didalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia, akan tetapi pendidikan menjadi tanggung jawab keluarga, sekolah dan masyarakat yang sering disebut dengan Tri Pusat Pendidikan. Pelaksanaan pembelajaran matematika di kelas II SDN Kota Baru selama ini belum berjalan secara maksimal. Hal ini dibuktikan melalui hasil ujian tengah semester I tahun 2013/2014. Dari 27 orang siswa kelas II SDN KOTA BARU hanya 35% siswa yang menguasai materi operasi penjumlahan dan pengurangan.K ondisi di atas diduga terjadi karena beberapa faktor, yaitu: Metode yang digunakan oleh guru belum efektif; Media belajar yang tersedia di sekolah kurang memadai atau kurang dimanfaatkan;Sumber belajar materi ini masih terfokus pada buku paket; Padahal, penguasaan materi atau kompetensi operasi penjumlahan dan pengurangan dalam pembelajaran matematika di SD merupakan salah satu hal yang penting. Penguasaan kompetensi tersebut dapat membantu siswa untuk menyelesaikan operasi 906
penjumlahan dan pengurangan dengan tepat (hubungkan dengan konsep learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be). Salah satu usaha alternatif untuk memperbaiki kelemahan pembelajaran an meningkatkan kebermaknaan pembelajaran bagi siswa dengan bantuan benda-benda konkrit. Masalah dalam guruan ini adalah ”apakah penggunaan benda-benda konkrit dalam mengoperasikan penjumlahan dan pengurangan pada mata pelajaran matematika dapat meningkatkan hasil belajar siswa?” Selama ini guru sudah menggunakan berbagai macam metode untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, tetapi hasilnya masih belum memuaskan. Agaknya memang strategi/pendekatan-pendekatan saja belum cukup untuk menghasilkan perubahan. Meier mengatakan bahwa belajar adalah berkreasi bukan mengkonsumsi. Pengetahuan bukanlah suatu yang diserap oleh pembelajaran, melainkan sesuatu yang diciptakan oleh pembelajar (Subanji, 2012:54). Pembelajaran terjadi ketika seseorang pembelajar memadukan pengetahuan dan keterampilan baru kedalam struktur dirinya sendiri yang telah ada. Belajar berharfiah adalah menciptakan makna baru, sejauh ini pendidikan kita didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan. Kemudian ceramah menjadi pilihan utama strategi belajar. Untuk itu diperlukan strategi belajar baru yang memberdayakan siswa sebuah strategi belajar tidak mengharuskan siswa menghafalkan fakta-fakta tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri. Dalam upaya itu siswa perlu guru sebagai pengarah dan pembimbing. Dalam kelas tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuan. Maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi dengan alat bantu yang dikenal siswa disekitarnya, dari pada memberi informasi. Memang pendidikan siswa kelas II Sekolah Dasar masih identik dengan dunia bermain, karena itu benda-benda disekitar sekolah sangat membantu proses pembelajaran siswa. Bertitik tolak dari masalah di atas guru ingin meningkatkan kemampuan siswa kelas II Sekolah Dasar dalam melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada mata pelajaran Matematika dengan bantuan benda-benda konkrit. Bagaimana penggunaan benda-benda konkrit mampu meningkatkan kemampuan siswa kelas II Sekolah Dasar Negeri Kota Baru Kecamatan Bikomi Selatan Kabupaten Timor Tengah Utara dalam melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan pada mata pelajaran Matematika. Alat bantu pembelajaran tidak harus membeli dengan harga-harga yang mahal dan moderen, tetapi dapat menggunakan benda-benda konkrit disekitar sekolah untuk sarana pembelajaran. Pendapat lain juga mengatakan, dalam pembelajaran pelajaran Matematika kelas II Sekolah dasar konsep dasar yang digunakan adalah benda-benda konkrit disekitar sekolah. (Wardhani, 2004:3). Dengan benda-benda konkrit disekitar sekolah di gunakan sebagai alat pembelajaran akan tercipta suasana pendidikan yang PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif efektif dan Menyenangkan. Melakukan operasi suatu kegiatan tidaklah mudah, guru sebagai pendidik harus mampu memilih strategi dan metode yang tepat untuk membelajarkannya Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Hamalik (2002:11): metode merupakan komponen yang mengandung unsur substantif atau program kurikulum, metode penyajian bahan dan media pendidikan. Tiap jenjang pendidikan guru memiliki programnya sendiri, sesuai dengan tujuan institusionalnya yang membutuhkan metode penyampaian dan metode tepat guna, demi tercapainya mutu lulusan yang baik. METODE GURUAN Guruan Tindakan Kelas dilaksanakan di kelas II SDN Kota Baru Kecamatan Bikomi Selatan Kabupaten Timor Tengah Utara. Tujuannya adalah untuk mengetahui pembelajaran dengan menggunakan benda kongkrit yang dapat meningkatkan kemampuan siswa kelas II dalam mengoperasikan penjumlahan dan pengurangan bilangan. Guru dibantu 2 Orang pengamat senantiasa hadir dan kehadirannya mutlak diperlukan karena guruan ini menggunakan pendekatan kualitatif. Kedudukan guru dalam guruan ini adalah sebagai perencana, pelaksana, pengumpul, penganalisa, penafsir data dan akhirnya sebagai pelaporan hasil guruan. 907
Ketika pelaksanaan guruan, kehadiran guru di lapangan berperan sebagai guru sekaligus pelaksana pembelajaran, pengobservasi dalam rangka pengumpulan data. Guruan ini dilakukan dalam 2 siklus untuk siklus I dua pertemuan dan siklus II tiga pertemuan. Pada setiap akhir tindakan, guru bersama pengamat melakukan refleksi terhadap pelaksanaan tindakan. Dalam guruan ini, guru bertindak sebagai Guru Matematika kelas II, jadi disamping bekerja mengumpulkan dan menganalisis data di lapangan, guru berperan langsung dalam proses pembelajaran dari perencanaan, pelaksanaan pengajaran sampai dengan penilaian. Lokasi guruan tindakan kelas ini adalah SDN Kota Baru Kecamatan Bikomi Selatan Kabupaten Timor Tengah Utara. SDN Kota Baru memiliki 6 kelas masing-masing kelas ratarata terdiri dari 20 siswa, hanya kelas I yang berjumlah 27 siswa .Alasan dipilihnya SDN Kota Baru adalah: (1) SDN Kota Baru merupakan tempat guru berdinas. (2) Guru sebagai Guru Kelas II (3) Di sekitar sekolah banyak tersedia benda-benda konkrit yang digunakan sebagai alat pembelajaran. (4) SDN Kota Baru adalah sekolah di pinggiran kota yang memiliki latar belakang kondisi siswa, pendidikan Orang Tua siswa, kondisi sosial ekonomi yang sangat heterogen. (5) Kemampuan akademik siswa kelas II yang beragam ada yang pandai dan cepat tanggap dalam menyelesaikan soal, ada yang sedang dan bahkan ada yang lambat sekali. Sumber data dalam guruan ini, barasal siswa kelas II SDN Kota Baru Kecamatan Bikomi Selatan Kabupaten Timor Tengah Utara 2013/2014 yang berjumlah 27 siswa terdiri dari 13 siswa laki-laki dan 14 siswa perempuan. Jenis data yang dihimpun adalah data yang kualitatif, berupa hasil Observasi, diskusi dan penilaian. Observasi dilakukan terhadap kegiatan pembelajaran Matematika tentang operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan. Dari hasil Observasi ini guru banyak menemukan masalah–masalah pada siswa kelas II di antaranya siswa sebagian besar belum bisa melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan. Akhirnya guru mencoba untuk mengatasi masalah yang dialami siswa kelas II dalam mengoperasikan penjumlahan dan pengurangan bilangan dengan alat bantu benda-benda konkrit di sekitar sekolah. Benda konkrit di sekitar sekolah yang guru gunakan adalah kerikil, biji jagung, dan lidi. Sedangkan penilaian dilakukan setiap pada setiap akhir pertemuan dalam pembelajaran yang berfungsi untuk menguji sejauh mana keberhasilan pembelajaran Matematika dengan menggunakan alat bantu benda-benda konkrit di sekitar sekolah. Prosedur pengumpulan data dilakukan berdasarkan bentuk data yang diperoleh . Untuk memperoleh data yang diinginkan dalam pembelajaran Matematika khususnya mengopersikan penjumlahan dan pengurangan bilangan dilakukan dengan teknik Observasi, diskusi dan evaluasi hasil belajar yang hasilnya akan dilaksanakan dalam bentuk skor. Sebelum dilaksanakan pelaksanaan tindakan kelas guru mengidentifikasi masalah pembelajaran Matematika Kelas II dilanjutkan dengan upaya pemecahan masalah yang dihadapi Guru dan siswa. Diskusi dilaksanakan bersama 2 orang pengamat yang membantu pelaksanaan kegiatan guruan, pengamat melakukan pencatatan terhadap semua kegiatan siswa, kreatifitas siswa, perhatian siswa terhadap pelajaran, penggunaan alat-alat bantu pembelajaran, kedisiplinan siswa, keberanian siswa dalam menyelesaikan masalah, keberanian dalam mengemukakan pendapat, penilaian terhadap siswa. Dari hasil catatan pengamat ini kemudian didiskusikan bersama guru agar dalam kegiatan selanjutnya berjalan lebih efektif. Kegiatan penilaian dilakukan dengan penilaian proses dan evaluasi akhir pelajaran. Penilaian proses dilaksanakan pada saat pembelajaran berlangsung dengan menguji siswa maju ke depan kelas untuk menyelesaikan soal . Ketika maju ke depan kelas guru memberi kesempatan yang sama antara siswa yang memiliki kemampuan yang lebih dengan siswa yang memiliki kemampuan yang cukup, sedangkan siswa yang memiliki kemampuan lebih lambat dari teman yang lainnya diberi kesempatan yang lebih besar agar siswa tersebut dapat mengejar ketinggalannya dari siswa yang lain. Kegiatan akhir pembelajaran berupa penilaian yang ditentukan dengan skor dengan tujuan untuk mengukur keberhasilan pembelajaran dalam 1 pertemuan, dari masing–masing pertemuan kemudian diakumulasikan dalam bentuk tabel untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pembelajaran Matematika dalam setiap pertemuan. Data hasil guruan yang terkumpul berasal dari data observasi, diskusi dan evaluasi. Tehnik analisis yang digunakan dalam guruan mengikuti langkah Hopkins (1993:151) dengan tiga tahap analisis yaitu tahap kategorisasi, validasi dan intepretasi data. 908
Kategorisasi data dilakukan dengan memilih-milih data yang terkumpul berdasarkan kategori tertentu yang di tetapkan. Kategori yang dimaksud meliputi konsepsi awal siswa, jenis pertanyaan siswa, eksplorasi siswa, aktivitas siswa, penilaian akhir siswa. Validasi merupakan data yang kedua, dalam kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengelola data yang betul-betul objektif, valid dan diakui kebenarannya, validasi data dilakukan dengan observasi lapangan untuk mengetahui masalah-masalah yang terjadi. Melakukan diskusi dengan pengamat tentang hasil-hasil catatan yang ada di lapangan, kemudian diakhiri dengan penilaian baik penilaian proses maupun penilaian akhir kegatan. Dari penilaian akhir kegiatan data yang diperoleh disusun secara sistematis, dibedakan antara penilaian sebelum pelaksanaan guruan tindakan kelas dengan sesudah dilaksanakan guruan tindakan kelas, agar dapat digunakan untuk menarik satu kesimpulan, sehingga kesimpulan yang diperoleh benar-benar valid, sahih dan objektif. Pengecekan Keabsahan Data dilakukan dengan memadukan hasil observasi, hasil-hasil catatan dari pengamat beserta evaluasi yang dilakukan untuk menjaga keabsahan data perlu dilakukan diskusi-diskusi dengan pengamat sehingga kesimpulan yang diperoleh sangat tepat sesuai dengan hasil guruan. HASIL DAN PEMBAHASAN Guruan tindakan kelas dilakukan dalam dua siklus. setiap siklus diawali dengan perencanaan penerapan tindakan dan observasi, serta diakhiri dengan refleksi. Tahap-tahap guruan dirinci sebagai berikut: Observasi awal (Pra Tindakan): Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah yang dihadapi oleh siswa kelas II yang berkaitan dengan pembelajaran Matematika. Kegiatan tersebut diantaranya : a. Observasi terhadap pembelajaran Matematika kelas II, buku-buku yang digunakan dan alatalat bantu pembelajaran yang digunakan. b. Meneliti siswa-siswa kelas II secara individual dan mencatat semua kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh siswa. c. Melakukan diskusi dengan para pengamat kemudian menentukaan alat bantu pembelajaran yang tepat, mudah didapat dan tidak memerlukan biaya yang mahal untuk mendapatkannya. d. Memilih dan menentukan topik dari pelajaran Matematika kelas II yang kan digunakan untuk Guruan Tindakan Kelas. e. Menentukan waktu pelaksanaan Guruan Tindakan Kelas. Pelaksanaan Pertemuan I Apersepsi dengan alokasi waktu 10 menit digunakan untuk mengulas materi penjumlahan dan pengurangan bilangan secara singkat sambil melakukan tanya jawab. Guru mengulas kembali pelajaran yang lalu dengan mengembangkan pola tanya jawab mengenai penjumlahan dan pengurangan bilangan tanpa menggunakan alat bantu benda kongkrit untuk mengukur sejauh mana penguasaan anak-anak tentang penjumlahan dan pengurangan bilangan. Pada kegiatan inti, Guru mengajak menghitung kerikil dan menggunakannya untuk membelajarkan cara menjumlahkan dan mengurangkan dua bilangan dengan alat bantu kerikil. Contoh : 6 + 4 = ..... berarti :Ambil kerikil 6, ambil lagi kerikil 4. Berapa banyak kerikil semuanya? 18 – 9 =...... berarti :Sediakan kerikil 18 ambil 9. Berapa sisa kerikil ? Beberapa siswa diberi kesempaatan mendemonstrasikan penjumlahan dan pengurangan bilangan dengan alat bantu kerikil didepan kelas diikuti oleh seluruh siswa dalam kelas. Kemudian siswa mengerjakan Lembar Kegiatan Siswa secara Pertemuan II Apersepsi dengan mengulas penjumlahan dan pengurangan bilangan, memberi kesempatan kepada siswa untuk tampil didepan kelas menyelesaikan soal materi yang lalu dengan alat bantu benda kerikil. Dilanjutkan dengan penjumlahan dan pengurangan bilangan 3 angka dengan hasil kurang dari 20 dengan alat bantu benda kerikil. Contoh : 6 + 4 + 5 =....... berarti : Ambil kerikil 6, ambil lagi 4, ambil lagi 5. Berapakah banyak kerikil semuanya ? 19 – 5 – 4 =......berarti : Sediakan kerikil 19, ambil 5, ambil lagi 4. Berapakah sisa kerikilnya ? 909
Guru mengajak siswa bersama-sama melakukan penjumlahan dan pengurangan 3 angka dengan alat bantu benda kerikil. Lalu guru mendemonstrasikan penjumlahan dan pengurangan bilangan 3 angka didepan kelas diikuti seluruh siswa. Siswa diberi kesempatan untuk tampil didepan kelas menyelesaikan soal soal latihan dibawah bimbingan guru. Kemudian Siswa mengerjakan LKS secara individual di bawah bimbingan guru. Pada siklus berikutnya perlu diadakan penggantian alat bantu, misalnya abakus atau sempoa. Materi pembelajaran ditingkatkan taraf kesulitannya, bila perlu soal-soal cerita disampaikan untuk mengetahui sejauh mana anak memahami bacaan . Nilai yang diperoleh selama evaluasi oleh siswa telah memenuhi standar terendah yaitu minimal 75 sebagai tolak ukur ketuntasan belajar. Pada siklus II, pembelajaran dikembangkan dengan mencari suku yang belum diketahui, Contoh: 1. 18 - ……= 9 , 2. ……- 8 = 18; 14+……= 19. Dilanjutkan dengan soal berikut. Sediakan biji jagung sebanyak 17, ambil 8. Berapa sisa biji jagungnya? Siswa mendemonstrasikan di depan kelas tentang pengoperasian penjumlahan dan pengurangan bilangan dengan biji jagung. Setelah kegiatan siklus I dan siklus II berakhir, guru membandingkan hasil evaluasi dari tes awal, evaluasi tindakan siklus I dan dilanjutkan dengan hasil evaluasi tindakan siklus II. Dari tes awal pratindakan menunjukkan siswa yang mengalami ketuntasan belajar berkisar 35%. Untuk siklus I setelah tindakan dilaksanakan ketuntasan belajar siswa mengalami kenaikan menjadi 97% sedangkan hasil evaluasi siklus II seluruh siswa mengalami ketuntasan dalam belajar. Dari data yang diuraikan diatas menunjukkan bahwa dengan alat bantu benda-benda kongkrit dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam penjumlahan dan pengurangan bilangan. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan tentang upaya meningkatkan kemampuan siswa kelas II dalam melakukan operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan pada pembelajaran Matematika dengan bantuan benda-benda kongkrit dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Siswa yang pada awalnya merasa takut dan bingung dengan pembelajaran Matematika, melalui alat bantu benda-benda konkrit rasa percaya diri siswa timbul dan merasa senang terhadap pembelajaran Matematika terutama tentang mengoperasionalkan penjumlahan dan pengurangan bilangan. 2. Siswa dapat menggunakan benda-benda konkrit dengan baik dalam mengoperasionalkan penjumlahan dan pengurangan bilangan pada pembelajaran Matematika. 3. Pembelajaran dengan menggunakan alat bantu benda-benda kongkrit di sekitar sekolah dapat meningkatkan kemampuan siswa kelas I dalam mengoperasionalkan penjumlahan dan pengurangan bilangan dengan hasil sampai 20. Hal ini dibuktikan dengan hasil evaluasi siklus I menunjukkan standart ketuntasan belajar mencapai 97 % dan siklus II seluruh siswa mengalami ketuntasan belajar. 4. Kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan menjadi lebih menarik dan menyenangkan bagi siswa. 5. Beban Orang tua siswa menjadi lebih ringan karena benda-benda disekitar sekolah tidak harus dibeli dan mudah mendapatkannya. Saran Untuk memperbaiki dan meningkatkan pembelajaran di kelas II SD, khususnya pembelajaran Matematika saran-saran yang dikemukakan sebagai berikut : 1. Pendidikan yang dilakukan harus berwawasan lingkungan, karena lingkungan banyak menyediakan alat bantu pembelajaran. 2. Alat bantu pembelajaran tidak harus dibeli dengan harga yang mahal, benda-benda lingkungan sekitar dapat diperoleh dengan mudah dan dikenal oleh siswa. 3. Hendaknya siswa diberi kesempatan sendiri untuk mencari alat bantu benda-benda kongkrit disekitar sekolah sesuai dengan keinginannya. 4. Karena alat bantu benda-benda kongkrit bersifat hanya sementara ajaklah siswa sekali waktu mengoperasionalkan penjumlahan dan pengurangan tanpa alat bantu. 910
5. Hendaknya siswa diberi kesempatan yang lebih banyak untuk tampil didepan kelas menyelesaikan soal-soal latihan, agar siswa terlatih dan timbul rasa percaya diri. DAFTAR RUJUKAN Subanji, 2012. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Kerjasama PT. Pertamina dengan Universitas Negeri Malang Wardani, dkk. 2004. Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka
PENERAPAN MODEL STAD PADA MATERI BANGUN RUANG DALAM MENINGKATKAN MOTIVASI SISWA BELAJAR MENGGUNAKAN MEDIA PEMBELAJARAN (Kajian Pelaksanaan Lesson Study) Mastiarma Elsionora Siti Suharika SMP Negeri 12 Muaro Jambi SMP Negeri SATAP Kebun Kelapo Abstrak: Model pembelajaran STAD telah diterapkan dalam kegiatan lesson study program teqip. Kegiatan ini melalui tahapan plan, do dan see. Tahap plan dilakukan pada kegiatan Desiminasi I. Tahap do dan see dilakukan sebanyak 2 kali. Materi yang diajarkan pada saat lesson study adalah menemukan rumus luas permukaan Tabung pada on going I dan menemukan rumus volume tabung pada on going II. Berdasarkan hasil refleksi terungkap bahwa guru model merasakan manfaat dari lesson study yaitu terjadi peningkatan motivasi dalam pembelajaran, menambah pengetahuan tentang materi pembelajaran dan guru lebih percaya diri dalam membuat, menggunakan dan mengaplikasikan media pembelajaran. Siswa yang kelasnya dilaksanakan lesson study menunjukkan semangat belajar yang tinggi, karena pembelajaran tersebut menggunakan media pembelajaran yang menarik. Kata kunci: Model STAD, Motivasi, Media Pembelajaran, lesson study
Globalisasi dunia pendidikan menuntut guru untuk lebih kreatif dalam mengembangkan metode pembelajaran yang menarik. Agar siswa termotivasi untuk belajar sehingga mereka senang dan aktif dalam pembelajaran. Pembelajaran demikian seharusnya pembelajaran yang berpusat berpusat pada siswa. Saat ini dunia pendidikan di Indonesia sedang berupaya mengembangkan dan mengimplementasikan upaya peningkatan profesionalisme guru melalui suatu kegiatan yang disebut lesson study. Lesson Study adalah suatu pendekatan peningkatan kualitas pembelajaran yang awal mulanya berasal dari Jepang. Lesson study bukan metode pembelajaran, juga bukan pendekatan pembelajaran. Sebenarnya secara operasional lesson study adalah suatu model pembinaan profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip kolegialitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru serta meningkatkan kualitas pembelajaran (Ibrohim,2013). Pelaksanaan Lesson Study ditekankan pada 3 tahap yaitu Plan (merencanakan atau merancang), Do (melaksanakan), dan See (mengamati, dan sesudah itu merefleksikan hasil pengamatan) (Sutopo dan Ibrohim, 2006). Tahap perencanaan (Plan) bertujuan untuk menghasilkan rancangan pembelajaran yang diyakini mampu membelajarkan siswa secara efektif serta membangkitkan partisipasi siswa dalam pembelajaran. Perencanaan ini dilakukan secara kolaboratif oleh beberapa orang pendidik yang termasuk dalam suatu kelompok Lesson Study (jumlah bervariasi 6-10 orang). Biasanya ditetapkan dulu siapa pendidik yang akan menjadi Pengajar (Guru Model), kemudian guru model menyusun RPPnya. Kelompok study ini kemudian bertemu dan berbagi ide menyempurnakan rancangan pembelajaran yang sudah disusun guru model untuk menghasilkan cara pengorganisasian bahan ajar, proses 911
pembelajaran, maupun penyiapan alat bantu pembelajaran yang dianggap paling baik. Semua komponen yang tertuang dalam rancangan pembelajaran ini kemudian disimulasikan sebelum dilaksanakan dalam kelas dalam bentuk peer teaching. Pada tahap ini juga ditetapkan prosedur pengamatan dan instrumen yang diperlukan dalam pengamatan. Tahap pelaksanaan (Do) dimaksudkan untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah direncanakan. Salah satu anggota kelompok berperan sebagai guru model dan anggota kelompok lainnya mengamati. Fokus pengamatan diarahkan pada kegiatan belajar siswa dengan berpedoman pada prosedur dan instrumen yang telah disepakati pada tahap perencanaan, bukan pada penampilan pendidik yang sedang bertugas mengajar. Dalam pelaksanaan pembelajaran, pengamat tidak diperkenankan membantu siswa dalam pelaksanaan pembelajaran. Tugas pengamat adalah merekam apa yang dilakukan siswa, bukan apa yang dilakukan guru. Tahap refleksi (See) dimaksudkan untuk menemukan kelebihan dan kekurangan pelaksanaan pembelajaran. Pendidik yang bertugas sebagai guru model mengawali diskusi dengan menyampaikan kesan dan pemikirannya mengenai pelaksanaan pembelajaran. Kesempatan berikutnya diberikan kepada pendidik yang bertugas sebagai pengamat. Selanjutnya pengamat dari luar juga mengemukakan apa Lesson Learned yang dapat diperoleh dari pembelajaran yang baru berlangsung. TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) merupakan suatu kegiatan pelatihan peningkatan kompetensi profesionalisme guru berbasis Lesson Study. Program ini diselenggarakan UM bekerjasama dengan PT. Pertamina dengan peserta guru SD dan SMP dari berbagai daerah di Indonesia. Salah satu bentuk kegiatan TEQIP ini adalah On Going. Kegiatan On Going ini bertujuan untuk memberikan pengalaman kepada peserta TEQIP untuk mengimplementasikan pembelajaran berbasis lessosn study di kelas real di daerah. Pelaksanaan pembelajaran yang dirancang dalam implemtasi lesson study salah satunya dilaksanakan di Kabupaten Muara jambi. Rancangan pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam kegiatan On Going adalah penerapan metode cooperative model STAD (Student Teams Achievement Division) pada materi bangun ruang untuk meningkatkan motivasi siswa dengan menggunakan media pembelajaran. Rancangan ini dirumuskan berdasarkan hasil refleksi terhadap pembelajaran yang selama ini dilakukan cendrung siswanya bersifat pasif dan kurang termotivasi untuk belajar. Pemilihan pembelajaran cooperative STAD karena metode ini merupakan salah satu metode atau pendekatan dalam pembelajaran kooperatif yang sederhana dan baik untuk guru yang baru mulai menggunakan pendekatan kooperatif dalam kelas, STAD juga merupakan suatu metode pembelajaran kooperatif yang efektif. Pembelajaran kooperatif tipe STAD terdiri lima komponen utama, yaitu penyajian kelas, belajar kelompok, kuis, skor pengembangan dan penghargaan kelompok. Metode Pelaksanaan Pelaksanaan pembelajaran ini mengimplementasikan tahapan lesson study, yaitu plan, do, dan see. Plan (perencanaan) Pada tahap plan guru tim lesson study melakukan kegiatan berikut: (1) Menentukan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang akan di openclass kan, (2) Menyusun RPP secara kolaboratif, (3) memilih strategi pembelajaran yang sesuai, (4) menentukan guru model dan moderator, (5) menentukan alat peraga dan media pembelajaran yang sesuai. Standar kompetensi yang dipilih yaitu memahami sifat–sifat tabung, kerucut dan bola serta menentukan ukurannya dengan kompetensi dasar menghitung luas permukaan dan volume tabung, kerucut dan bola dengan indikator yang dipilih yaitu menentukan rumus luas permukaan tabung. Strategi pembelajaran yang dipilih adalah cooperative STAD. Cooperative STAD dipilih dengan pertimbangan merupakan strategi cooperative yang paling sederhana sehingga cukup baik digunakan para guru yang pertama kali menggunakan pembelajaran kooperatif. Pada tahap ini disepakati guru model pada on going I adalah bapak Rohamin dan tempat open class di SMP Negeri 46 Muaro Jambi pada tanggal 7 September 2013 sedangkan pada on going II adalah ibu Mastiarma Elsionora dan tempat open class di SMP Negeri 5 Muaro Jambi pada tanggal 12 September 2013. 912
Do (Pelaksanaan) Open class I dan Open class II guru model mengimplementasikan pembelajaran sesuai dengan skenario yang dibuat yaitu mengacu pada langkah – langkah strategi cooperative STAD. Open class I dilaksanakan tanggal 7 September 2013 dengan materi menemukan rumus luas permukaan tabung. Pada awal pembelajaran guru model memberi salam, mengkondisikan dan memusatkan perhatian siswa untuk siap memulai pembelajaran. Pada tahap apersepsi guru model mengingatkan kembali materi pelajaran yang sudah dipelajari yaitu tentang luas lingkaran dan luas persegi panjang. Pada kegiatan inti guru model membagi kelompok siswa secara heterogen yang berjumlah 3 – 4 siswa. Sebelum lembar kerja kelompok dibagikan guru model menjelaskan langkah kerja yang harus dilakukan. Selesai melakukan diskusi setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusi kelompok. Guru model memberikan penjelasan akhir untuk pemantapan. Pada kegiatan akhir guru model melakukan evaluasi dengan memberikan kuis secara individu. Open class II dilaksanakan tanggal 12 September 2013 dengan materi menemukan rumus volume tabung. Pada awal pembelajaran guru model memberi salam, mengkondisikan dan memusatkan perhatian siswa untuk siap memulai pembelajaran. Pada tahap apersepsi guru model mengingatkan kembali materi pelajaran yang sudah dipelajari yaitu luas lingkaran dan volume prisma. Pada kegiatan inti guru model membagi kelompok siswa secara heterogen yang berjumlah 3 – 4 siswa. Guru model membagi lembar kerja kelompok dan menjelaskan langkah kerja yang harus dilakukan. Selesai melakukan diskusi setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya. Guru model memberikan penjelasan akhir untuk pemantapan. Pada kegiatan akhir guru model melakukan evaluasi dengan memberikan kuis secara individu. Para guru yang lain sebagai observer yaitu mengamati siswa belajar bukan guru mengajar. See (Refleksi) Pada tahap see para observer yang terdiri dari teman sejawat dan guru model menyampaikan hasil pengamatannya. Refleksi dipimpin oleh moderator. Moderator mengawali kegiatan dengan memperkenalkan kelompok lesson study yang dilanjutkan dengan memberi ucapan selamat pada guru model. Berikutnya moderator memberi kesempatan pada guru model untuk menyampaikan perasaan ketika melaksanakan proses pembelajaran di kelas IX materi tentang menemukan rumus luas permukaan tabung pada on going I dan materi tentang menemukan rumus volume tabung pada on going II. Guru model pada on going I merasakan suatu kemajuan dalam mengajar yaitu menerapkan pembelajaran dengan strategi kooperatif STAD dengan media pembelajaran menggunakan kertas karton untuk membuat jaring – jaring tabung sehingga siswa dapat paham dan ingat bagaimana cara menentukan rumus luas permukaan tabung dan masing – masing kelompok diberikan LKS yang menarik sehingga siswa dengan semangat mengisi kolom – kolom yang kosong tersebut. Penggunaan strategi cooperative STAD dengan media pembelajaran ternyata dapat meningkatkan motivasi siswa yaitu siswa lebih antusias dalam belajar. Kekurangan yang dirasakan oleh guru model adalah penggunaan waktu yang masih kurang. Observer mencatat seluruh hasil pengamatan dan menyampaikan hasil pengamatannya. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil pengamatan dan refleksi ditemukan hal – hal berikut. 1. Kesiapan belajar a. Pada ongoing I Pada awal pelajaran siswa sudah siap menerima pelajaran dengan baik, sudah terjadi interaksi antara siswa dengan baik, sudah terjadi interaksi antara siswa dengan siswa, dan guru dengan siswa. Pada kegiatan belajar mengajar berlangsung, menurut observer siswa sangat bersemangat dan gairah menerima pelajaran dari guru model, siswa aktif menjawab pertanyaan dari guru. b. Pada ongoing II Pada awal pelajaran hanya sebagian kecil siswa yang siap menerima pelajaran dengan baik, hal ini dilihat dari sebagian besar siswa tidak menyiapkan buku yang berkaitan dengan pelajaran matematika.Sehingga guru model yang aktif dalam menggali prasyarat 913
siswa dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari waktu yang telah ditentukan dari perencanaan. 2. Siswa yang tidak belajar beserta alasannya mengapa siswa tersebut tidak belajar a. Pada ongoing I Dalam kelompok Kubus ada satu siswa yang mula – mula tidak aktif belajar. Hal ini dikarenakan lembar kerja kelompok dikuasai oleh satu siswa sehingga siswa tersebut tidak dapat berbaur dengan teman sekelompoknya. Sementara dengan Prisma ada satu siswa yang tidak aktif belajar, dilihat dari sifat siswa tersebut memliki sifat pemalu sehingga sulit untuk berbaur dalam kelompok b. Pada ongoing II Sebagian besar siswa banyak yang tidak mau belajar pada awal pelajaran. Dikarenakan materi yang akan dipelajari belum sampai pada menemukan rumus luas bangun ruang sisi lengkung. Jika dilihat dari catatan siswa, materi yang terakhir dipelajari adalah kesebangunan. Sehingga tidak ada tindak lanjut untuk pertemuan yang akan datang. Pada saat guru model langsung memberi materi tentang menemukan rumus volume tabung banyak siswa yang bingung. 3. Upaya guru mengatasi siswa yang tidak belajar Pada ongoing I maupun ongoing II upaya yang dilakukan guru model sudah bagus dengan mendekati siswa tersebut memberi motivasi dan dorongan supaya tidak terganggu dalam proses belajar. Pada kegiatan penutup siswa sudah dilibatkan dalam merangkum pelajaran, siswa merespon arahan atau tindak lanjut dengan baik 4. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi siswa yang terganggu dalam belajar. Perlunya penguasaan kelas, mendekati siswa yang bermasalah, memberikan motivasi kepada siswa yang bermasalah, memberi dorongan atau semangat kepada siswa supaya lebih semangat lagi untuk belajar. 5. Bagaimana siswa terlibat dalam kegiatan penutup? Pada kegiatan ongoing I dan ongoing II guru bersama siswa membuat rangkuman, memberikan penguatan dan pemantapan. 6. Pengalaman berharga yang diperoleh. Pada ongoing I, para siswa memiliki akhlak yang sangat baik, sopan. Hal ini dapat dilihat pada mulai proses pembelajaran hingga akhir proses pembelajaran siswa dengan tertib dan sopan dalam hal bertanya, mengajukan pendapat serta mempresentasikan hasil diskusi kelompok. Berbeda dengan ongoing II, siswa terkesan cuek dan selalu ingin menang sendiri dan suka menyalahkan teman yang lain. Ini dilihat dari awal pembelajaran yang siswa banyak yang tidak siap dalam pembelajaran dan ada beberapa siswa yang asyik mengobrol pada saat awal pembelajaran. Serta dalam mempresentasikan hasil diskusi dengan cara menempel hasil diskusi terkesan siswa merebut tempat untuk menemperl hasil diskusi kelompok. Dari kedua ongoing tersebut dapat disimpulkan guru model pada ongoing harus kerja keras untuk membangkitkan motivasi siswa di awal pembelajaran yang hasilnya dapat dilihat dari hasil akhir pembelajaran. Siswa banyak yang aktif dalam membuat rangkuman.Selain itu, penerapan pembelajaran cooperative STAD dapat meningkatkan hasil belajar matematika di Sekolah Menengah Pertama. Peningkatan hasil belajar siswa tersebut didukung oleh pemberian bimbingan intensif dari guru terhadap siswa pada saat siswa diskusi kelompok. Media pembelajaran sangat menentukan keberhasilan belajar siswa. PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan dari para observer, dengan diterapkannya pembelajaran cooperative STAD pada ongoing lesson study siswa antusias mengikuti pembelajaran. Hal ini dapat dilihat sebagian besar siswa semangat dalam menggunakan media pembelajaran sesuai dengan petunjuk kerja. Peningkatan motivasi ini disebabkan dalam pembelajaran model STAD siswa didorong lebih bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sehingga siswa terlibat aktif dan memiliki motivasi yang besar untuk belajar. Selain itu, pembelajaran cooperative STAD menekankan pada adanya aktivitas dan interaksi diantara siswa untuk saling memotivasi dan saling membantu dalam menguasai materi pelajaran guna mencapai prestasi yang maksimal (Isjoni,2004). Menurut Ngalimun (http://herdy07.wordpress.com/2009), model STAD memiliki dua dampak sekaligus pada diri para siswa yaitu dampak instruksional dan dampak sertaan. 914
Dampak instruksional yaitu penguasaan konsep dan ketrampilan, kebergantungan positif, pemrosesan kelompok, dan kebersamaan. Dampak sertaan yaitu kepekaan sosial, toleransi atas perbedaan, dan kesadaran akan perbedaan. Penggunaan media pembelajaran merupakan faktor yang mendukung keberhasilan dalam proses pembelajaran.Media pembelajaran secara khusus berfungsi untuk menarik perhatian siswa serta memperjelas sajian dan mengilustrasikan fakta yang mungkin cepat terlupakan. Perhatian adalah salah satu unsur motivasi. Manfaat media menurut Martinis (2010) yaitu; penyampaian materi pelajaran dapat diseragamkan, proses pembelajaran menjadi lebih menarik, proses belajar siswa menjadi lebih interaktif, jumlah waktu belajar dapat dikurangi, kualitas belajar siswa dapat ditingkatkan, proses belajar dapat terjadi dimana saja dan kapan saja, sikap positif siswa terhadap bahan pelajaran maupun terhadap proses belajar itu sendiri dapat ditingkatkan dan peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif dan produktif. Melalui hasil refleksi terungkap bahwa guru model merasakan mengalami peningkatan dalam menyampaikan materi pelajaran dan lebih percaya diri. Hal ini karena guru model telah berhasil menerapkan strategi cooperative STAD yang dibantu dengan media lembar kerja kelompok. Peningkatan keterampilan mengajar ini disebabkan guru model telah beberapa kali mengikuti lesson study. Melalui lesson study dapat dikembangkan pembelajaran yang inovatif, kreatif dan menyenangkan yang membentuk karakter peserta didik belajar aktif dan mandiri. Lesson study bukan merupakan metode atau strategi pembelajaran. Lesson study merupakan kegiatan untuk menerapkan berbagai macam metode dan strategi pembelajaran yang disesuaikan dengan situasi, kondisi kemampuan komunitas pembelajaran. Jadi, lesson study merupakan suatu model pembinaan profesi pendidik (guru) melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan, berlandaskan prinsip-prinsip colleagues and mutual learning untuk membangun komunitas belajar (Ratna Wulandari, 2013). KESIMPULAN Penerapan cooperative STAD dalam pembelajaran Matematika di kelas IX SMP Negeri 46 dan SMP Negeri 5 Muaro Jambi pada pengalaman lesson study kegiatan ongoing TEQIP 2013, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Terjadinya peningkatan kemampuan guru model dalam mengajarkan materi Matematika 2. Guru model lebih percaya diri dalam menerapkan model pembelajaran cooperative STAD dengan bantuan media lembar kerja kelompok 3. Siswa kelas IX SMP Negeri 46 Muaro Jambi dan SMP Negeri 5 Muaro Jambi lebih termotivasi dalam mengikuti proses pembelajaran Matematika 4. Terjadi peningkatan hasil belajar Matematika siswa kelas IX di SMP Negeri 46 Muaro Jambi dan SMP Negeri 5 Muaro Jambi. DAFTAR RUJUKAN Http://herdy07.wordpress.com/2009/04/22/model-pembelajaran-stad-student-teamsachievement-division/ Http://ratnamizan.blogspot.com/2013/02/pengertian-lesson-study.html Isjoni,(2004). Cooperative learning: efektivitas pembelajaran kelompok. Jakarta, Alfabeta Ibrohim.2013.Panduan Pelaksanaan Lesson Study. Malang: Universitas Negeri Malang Kerjasama dengan Pertamina. Sutopo dan Ibrohim. 2006. Pengalaman IMSTEP dalam Implementasi Lesson Study. Makalah disajikan dalam Pelatihan Pengembangan Kemitraan LPTK-Sekolah dalam rangka Peningkatan Mutu Pembelajaran MIPA di Yogyakarta, 27-29 Juli 2006. Yamin,Martinis,(2010). Desain Pembelajaran Berbasis Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta, Penerbit Gaung Persada Press.
915
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IX.6 PADA MATERI KESEBANGUNAN DAN KEKONGRUENSI DENGAN MENERAPKAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD DENGAN BANTUAN MEDIA POWERPOINT Bumiselan
[email protected] SMP Negeri 1 Bunguran Timur Kabupaten Natuna Abstrak: Hasil belajar matematika kelas IX.6 SMPN 1 Bunguran Timur masih rendah. Rendahnya hasil belajar kelas IX.6 dapat disebabkan oleh faktor proses pembelajaran yang kurang berkualitas, siswa kurang aktif, kurang kreatif, dan belajar tidak menyenangkan. Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran yaitu pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement Division). STAD merupakan model pembelajaran kooperatif untuk mengelompokkan kemampuan siswa secara heterogen yang melibatkan pengakuan tim dan setiap kelompok bertanggung jawab untuk pembelajaran individu dengan banyak anggota 4-5 orang. Langkah-langkah STAD antara lain: 1) persiapan, 2) penyajian kelas, 3) kegiatan kelompok, 4) evaluasi dan 5) penghargaan kelompok. Penyajian kelas dibantu dengan media powerpoint. Model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan bantuan media ini dikemas dalam penelitian tindakan kelas (PTK). Kata Kunci: Hasil belajar, STAD, media powerpoint.
Menurut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Tahun 2006 tujuan pembelajaran matematika adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: (1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antara konsep atau algoritma secara luwas, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah. (2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dari pernyataan matematika. (3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsir solusi yang diperoleh. (4) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. (5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, minat dalam mempelajari matematika dan sikap ulet serta percaya diri dalam pemecahan masalah (BSNP, 2006). Matematika sebagai The Queen Of Science memegang peranan penting dalam upaya peningkatan IPTEK. Segala produk yang dihasilkan dengan menggunakan IPTEK sebenarnya merupakan hasil pengaplikasian perhitungan matematika. Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika Fathani (2008) mengatakan bahwa negara yang mengabaikan pendidikan matematika sebagai prioritas utama akan tertinggal dari segala bidang, dibanding dengan negara-negara lainnya yang memberikan tempat bagi matematika sebagai subjek yang sangat penting. Mengingat pentingnya peranan matematika dalam upaya peningkatan IPTEK dan pembangunan suatu negara, maka peningkatan hasil belajar matematika pada setiap jenjang pendidikan perlu mendapatkan perhatian khusus. Banyak faktor yang mempengaruhi hasil belajar seseorang. Menurut Slameto (2003), ada dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor eksternal yang dimaksud salah satunya adalah model dan metode mengajar. Tujuan pembelajaran matematika tersebut memberi makna bahwa pentingnya pembelajaran matematika bagi siswa sehingga peningkatan hasil belajar matematika di setiap jenjang pendidikan perlu mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh. Keberhasilan siswa mempelajari matematika sangat ditentukan oleh ketercapaian proses pembelajaran matematika. Dengan kata lain apabila proses pembelajaran baik maka diharapkan siswa akan mencapai hasil belajar matematika yang baik. Berdasarkan pengalaman penulis selaku guru matematika dikelas IX.6 SMP Negeri 1 Kecamatan Bunguran Timur pada tahun pelajaran 2013/2014 semester ganjil dengan jumlah siswa 32 orang, menunjukkan bahwa hasil belajar siswa masih tergolong rendah khususnya 916
pada materi Luas dan Volume Bangun Ruang Sisi Lengkung. Artinya sebagian besar siswa belum mencapai Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM) yang ditetapkan yaitu 70. Dari 32 siswa hanya 15 orang siswa yang mencapai KKM atau 41,67% siswa yang tuntas. Sedang siswa yang belum tuntas sebanyak 17 orang siswa atau 58,33%. Faktor-faktor penyebab rendahnya nilai di atas antara lain disebabkan oleh pembelajaran masih berpusat pada guru. Hal tersebut dapat ditandai dari perilaku siswa yang hanya menunggu penjelasan materi yang disajikan guru tanpa mau membaca dan mempelajarinya terlebih dahulu. Sehingga siswa terbiasa pasif, tidak mempelajari materi yang ada di buku, mereka hanya menunggu materi yang disampaikan oleh guru pada setiap pertemuan tanpa mempelajari terlebih dahulu materi yang akan diajarkan. Hal tersebut mengakibatkan siswa tidak memahami dan bosan dengan materi yang diajarkan oleh guru. Guru hanya menyajikan materi secara singkat dengan menggunakan media powerpoint, menunjukkan rumus yang digunakan. Siswa cenderung menghapal rumus yang diberikan guru dan tidak memahaminya dengan benar. Jika diberikan soal yang berbeda dengan contoh, maka siswa sulit untuk menyelesaikan soal. Di dalam proses pembelajaran siswa malas terlibat aktif ini terlihat pada saat guru meminta pendapat siswa, hanya satu atau dua orang siswa yang berani mengeluarkan pendapatnya, sedangkan siswa lain hanya mendengar pendapat yang disampaikan oleh temannya tanpa memberikan pendapatnya sendiri. Siswa yang berani mengeluarkan pendapat atau bertanya adalah siswa yang sama. Sedangkan siswa yang aktif dalam proses pembelajaran juga siswa yang sama dari hari ke hari. Dalam proses pembelajaran guru sudah berusaha melakukan perbaikan untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas IX.6 SMP Negeri 1 Kecamatan Bunguran timur antara lain: memberikan soal-soal tugas untuk dikerjakan di rumah dan remedial bagi siswa yang belum mencapai KKM. Remedial yang dilakukan guru dengan memberi soal bukan pembelajaran ulang pada materi yang tidak dimengerti oleh siswa. Namun, dalam menyelesaikan tugas yang diberikan siswa yang kurang mengerti materi pelajaran tidak mengerjakan sendiri tugasnya, melainkan menyalin pekerjaan temannya sehingga usaha ini belum membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkan yaitu meningkatkan hasil belajar siswa. Selain itu, guru juga pernah membuat kelompok. Namun kelompok yang dibentuk belum bisa membuat suasana belajar efektif. Tidak ada presentasi kelompok ataupun penilaian kinerja siswa dalam kelompok. Juga tidak memberikan penghargaan pada kelompok. Rendahnya hasil belajar matematika siswa merupakan suatu pertimbangan bagi guru mengubah proses pembelajaran yang dilakukan selama ini. Guru harus mampu melihat kembali apa yang telah dilakukan selama ini maka guru dituntut dapat memilih salah satu model pembelajaran yang tepat sebab dengan memilih model pembelajaran yang tepat mendukung proses pembelajaran. Salah satu cara yang dapat meningkatkan keaktifan siswa adalah dengan menerapkan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD, siswa berperan cukup besar karena pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru melainkan pada siswa itu sendiri. Student Teams Achievement Division (STAD) adalah model pembelajaran kooperatif untuk mengelompokkan kemampuan siswa secara heterogen yang melibatkan pengakuan tim dan setiap kelompok bertanggung jawab untuk pembelajaran individu (anggota kelompok) (Slavin, 2008). Gagasan utama dari STAD adalah untuk memotivasi siswa supaya dapat saling mendukung dan membantu satu sama lain dalam menguasai kemampuan yang diajarkan oleh guru (Slavin,2008). Berdasarkan pendapat Slavin dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD terdapat tanggung jawab setiap anggota kelompok kepada anggota yang lain dalam proses pembelajaran. Siswa belum selesai belajar sebelum mereka yakin setiap anggota dalam kelompok itu benar-benar telah menguasai materi yang dibahas kelompok. Dengan cara ini kelemahan-kelemahan yang ada pada individu dalam pembelajaran dapat tertutupi. Dalam memahami materi dalam penulisan ini guru menggunakan bantuan media powerpoint. Media powerpoin ini dimaksud untuk mempermudah siswa memahami materi secara singkat dan agar lebih menarik. 917
Menurut Gagne belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas yang meliputi informasi verbal, keterampilan intelek, keterampilan motorik, sikap dan siasat kognitif. Jadi, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru (Dimyati, 2002). Dengan demikian, hasil belajar siswa dapat diketahui setelah siswa melakukan suatu kegiatan belajar. Hasil belajar matematika dalam penulisan ini adalah kemampuan siswa dalam menguasai materi pelajaran dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes belajar matematika setelah pembelajaran dengan penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan batuan media powerpoint. Pembelajaran kooperatif pada dasarnya mengaktifan siswa untuk bekerja sama atau mendiskusikan penyelesaian suatu permasalahan, saling membantu dalam membangun pengetahuan baru dengan mengintegrasikan pengetahuan lam masing-masing individu. Slavin mendefenisikan pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dimana siswa dalam kelompok kecil yang terdiri dari 4-6 orang, siswa belajar dan bekerja sama secara kolaboratif dengan struktur kelompok heterogen. Pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa tipe, salah satunya adalah STAD ( Student Teams Achievement Divission). STAD dikembangkan oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas John Hopkin. STAD merupakan salah satu metode atau pendekatan dalam pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Dalam metode ini siswa belajar berkelompok, yang beranggotakan 4 – 5 orang yang memiliki tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang yang berbeda. Menurut Slavin STAD merupakan metode pembelajaran yang efektif, karena dalam pelaksanaan kegiatan pembelajarannya melalui beberapa tahap yaitu: 1) Persiapan, mempersiapkan materi yang akan disajikan dalam pembelajaran. Menentukan skor dasar individu. Membagi siswa dalam kelompok-kelompok kooperatif, kooperatif dibentuk bersifat heterogen secara akademik (siswa pandai, sedang, kurang) dan jenis kelamin. 2) Penyajian kelas, penyajian kelas dimulai dengan pendahuluan, penjelasan materi yang akan dipelajari. 3) Kegiatan kelompok, selama kegiatan kelompok guru bertindak sebagai fasilitator dan memonitor kegiatan setiap kelompok. 4) Evaluasi, evaluasi dikerjakan setiap individu dalam waktu 45 sampai 60 menit. Pada saat evaluasi ini siswa harus menunjukkan apa yang telah dipelajari saat bekerja dengan kelompoknya. Skor yang diperoleh siswa dalam evaluasi diproses untuk menentukan nilai perkembagan individu yang akan disumbangkan sebagai skor kelompok. 5) Penghargaan kelompok, untuk menentukan penghargaan kelompok dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : a) Menghitung skor individu dan skor kelompok. b) Memberi penghargaan.Berdasarkan nilai per-kembangan individu yang diperoleh, terdapat 3 tingkatan penghargaan kelompok: Kelompok dengan rata – rata skor 5 < x 11,75 sebagai kelompok baik. Kelompok dengan rata – rata skor 11,75 < x 23,25 sebagai kelompok hebat. Kelompok dengan rata – rata skor 23,25 < x 30 sebagai kelompok super. Setelah satu priode penilian, dilakukan perubahan kelompok dan perhitungan skor dasar baru individu untuk setiap siswa. Perubahan kelompok ini memberi kesempatan kepada siswa untuk bekerja sama dengan teman yang lain dan memelihara suasana pembelajaran kooperatif tipe STAD agar tidak membosankan. Kata media berasal dari bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata medium. Secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Dengan demikian, media adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan (Sadiman, dkk, 2002:6) Pembelajaran adalah usaha-usaha belajar agar terjadi proses belajar dalam diri siswa (Sadiman dkk, 2007:7). Jadi media pembelajaran adalah segala sesuatu yang dapat menanggung pikiran, perasaan, perhatian dan minat siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. Penggunan media pada waktu berlangsung pengajaran setidaknya digunakan guru pada situasi berikut : a) Bahan pengajaran yang dijelaskan guru kurang dipahami siswa. b) Terbatasnya sumber pengajaran yang tidak semua sekolah mempunyai buku sumber atau tidak semua bahan pengajaran dalam buku sumber tersebut dalam bentuk media. c) Perhatian siswa terhadap pengajaran berkurang akibat kebosanan mendengarkan uraian guru. Ratna Sari (2007) dalam penulisannya ” Pengembangan media pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi disekolah menengah pertama”. Suatu media pembelajaran 918
sangat berpengaruh pada kemampuan dan keberhasilan siswa dalam menerima materi pelajaran khususnya bagi siswa yang kurang menyukai bahan pelajaran yang disampaikan guru. Media memungkinkan suatu objek atau kejadian ditransportasikan melaui ruang dan secara bersamaan kejadian tersebut dijadikan tersebut disajikan kepada sejumlah siswa dengan stimulus pengalamn yang relatif sama mengenai kejadian itu. Microsoft powerpoint merupakan salah satu produk unggulan Microsoft corporation dalm program aplikasi presentasi yang paling banyak digunakan saat ini. Menurut Ouda Teda Ena (2013) powerpoint adalah program pengolah presentasi yang menggabungkan teks dan angka yang sudah dikumpulkan dan memasang gambar dan slide dengan sentuhan professional yang memenuhi tuntutan audiens berselera tinggi. Fasilitas yang dimiliki powerpoint diharapkan mampu menghilangkan kebosanan siswa saat proses belajar mengajar berlangsung. Selain itu powerpoint membuat tampilan materi lebih menarik. Sehingga siswa lebih mudah memahami materi pembelajaran dengan mudah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas IX.6 pada materi kesebangunan dan kekongruensi dengan menerapkan model pembelajaran koopetatif tipe STAD dengan bantuan media powerpoint. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Tindakan yang dimaksud dengan menerapkankan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan bantuan media untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada materi kesebangunan dan kekongrunan. Pada penelitian ini dilaksanakan dua kali siklus. Data dalam penelitian ini berupa data nilai perkembangan siswa dan data hasil belajar. Data nilai perkembangan diperoleh dari hasil pengamatan selama proses pembelajaran berlangsung dengan menggunakan lembar pengamatan. Sedangkan data hasil belajar siswa diperoleh dari kuis dan tes ujian blok siswa. Adapun langkah-langkah pelaksanaan PTK ini yaitu: 1) Tahap Persiapan. Pada tahap ini peneliti membuat perangkat pembelajaran yang berupa: RPP, LKS, Lembar Pengamatan, soal kuis, dan soal ujian blok. 2) Tahap Pelaksanaan Tindakan. Tindakan dilasksanakan sesuai dengan RPP yang dibuat. 3) Pengamatan, melakukan observasi dengan lembar pengamatan terhadap proses pembelajaran. 4) Refleksi. Yaitu melaksanakan penilaian hasil tindakan, mengevaluasi dan memperbaiki proses yang kurang. PEMBAHASAN DAN HASIL Hasil Tindakan Pelaksanaan tindakan pada penelitian ini terdiri dari lima kali pertemuan, dengan menggunakan 4 kali pertemuan dengan RPP dan satu kali ulangan harian. Pelaksanaan ulangan harian dilaksanakan pada pertemuan kelima. Selain nilai ulangan harian, penilaian juga dilaksanakan pada saat proses pembelajaran berlangsung yang berupa nilai kuis, penilaian sikap, dan penilaian kinerja dalam kelompok. Proses pelaksanaan tindakan dalam penulisan ini melalui dua siklus, yaitu: Siklus I Siklus I dilakukan sebanyak dua kali pertemuan. Pada pertemuan pertama kegiatan pembelajaran membahas kesebangunan dengan spesifikasi materi tentang materi prasyarat yaitu perbandingan dan skala, mengidentifikasi bangun-bangun yang sebangun dalam kehidupan sehari-hari, syarat-syarat bangun yang sebangun, dan menentukan panjang sisi bangun yang sebangun. Pada proses pembelajaran diawali dengan guru menjelaskan mengenai teknis model pembelajaran kooperatif tipe STAD. Selanjutnya guru menyampaikan tujuan yang ingin dicapai setelah pembelajaran. Kemudian memotivasi siswa agar lebih bersemangat untuk belajar dan menjelaskan manfaat belajar kesebangunan dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh untuk memasang jendela harus sesuai dengan kusen. Jendela dan kusen harus sebangun, kalau tidak jendelanya tidak bisa dipasang di kusen atau tidak bisa ditutup jendelanya. Guru menyajikan materi pelajaran tentang kesebangunan secara singkat dengan bantuan media powerpoint, dilanjutkan menjelaskan langkah-langkah kegiatan kelompok. Guru mengorganisasikan siswa kedalam kelompok-kelompok yang beranggota-kan 4 orang. Pengelompokkan berdasarkan tingkat kemampuan akademis, tidak membedakan latar belakang 919
suku, agama, sehingga kelompok yang terbentuk heterogen. Pada waktu perpindahan tempat duduk keadaan kelas ribut. Setelah siswa duduk berdasarkan kelompoknya masing-masing, guru membagikan LKS-1. Siswa bekerja dalam kelompok sesuai petunjuk LKS-1. Hampir seluruh kelompok mengalami kesulitan dalam memahami dan mengerjakan LKS. Guru membimbing siswa yang mengalami kesulitan secara bergantian. Setelah selesai bekerja kelompok, guru meminta utusan kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Sedangkan kelompok lain mencermati dan memberikan tanggapan. Guru memandu jalannya presentasi dengan mengarahkan siswa untuk merumuskan jawaban yang benar dan menberikan penghargaan berupa pujian pada kelompok berdasarkan hasil kerja kelompoknya. Diakhir pelajaran guru dan siswa menyimpulkan materi pelajaran . Selanjutnya siswa diberi tes formatif untuk mengukur ketercapaian pembelajaran dan PR untuk latihan di rumah. Berdasarkan hasil diskusi penulis dengan pengamat pada pertemuan pertama, bahwa diskusi belum berjalan sesuai dengan harapan, karena pada saat diskusi kelas masih ribut dan masih banyak siswa yang belum mengerti dan berpartisipasi dalam kelompoknya. Dalam bekerja masih ada siswa yang mendominasi diskusi dalam kelompoknya. Guru masih banyak memberikan bimbingan dan siswa yang ber-kemampuan rendah masih malu-malu bertanya pada temannya. Pertemuan kedua diawali dengan pembahasan PR, karena masih ada beberapa siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal tersebut. Kegiatan pembelajaran membahas materi tentang segitiga-segitiga yang sebangun yang berpedoman pada RPP-2 dan LKS-2. Proses pembelajaran diawali dengan guru menjelaskan teknis pembelajaran kooperatif tipe STAD, seperti cara berdiskusi dalam kelompok harus didasari sikap senasib sepenanggungan dan harus percaya diri bekerja dalam kelompok. Kemudian guru menyampaikan tujuan yang ingin dicapai setelah pembelajaran. Guru memotivasi siswa dengan mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari–hari dan mengingatkan siswa tentang materi sebelumnya yaitu syarat-syarat bangun yang sebangun. Guru menyajikan materi pelajaran tentang segitiga yang sebangun dengan bantuan media powerpoint. Guru meminta siswa duduk di kelompok belajar menurut kelompok yang telah diorganisasikan pada pertemuan pertama. Selanjutnya membagikan LKS-2. Siswa bekerja dalam kelompok menyelesaikan permasalahan yang ada di LKS. Ada beberapa kelompok yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKS-2. Guru membimbing siswa yang mengalami kesulitan dalam menyelesai-kan permasalahan di LKS. Permasalahan dalam LKS ini yaitu menemukan perbandingan panjang sisi pada segitiga. Seperti pada gambar berikut: L O
K N
M
Pada gambar siswa diminta menentukan rumus perbandingan sisi jika sis ON // LM dan segitiga KNO sebangun dengan segitiga KML. Ada jawaban 3 kelompok siswa seperti pada gambar berikut:
920
Berdasarkan gambar terlihat jawaban siswa sudah benar. Siswa sudah dapat menemukan rumus perbandingan sisi pada segitiga yang sebangun. Guru meminta salah seorang siswa dari kelompok yang ditunjuk, untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya, sedangkan kelompok lain mencermati dan memberikan tanggapan. Guru memandu jalannya presentasi dengan mengarahkan siswa untuk merumuskan jawaban yang benar dan memberikan pujian pada semua kelompok terutama kelompok yang sudah mempresentasikan hasil kerjanya, serta memotivasi siswa supaya penyajian berikutnya agar lebih baik lagi. Guru bersama siswa menyimpulkan materi yang telah dipelajari. Pada akhir pelajaran siswa diberikan satu soal untuk dikerjakan di sekolah dan dua soal untuk dikerjakan dirumah (PR). Berdasarkan hasil diskusi penulis dengan pengamat pada pertemuan kedua, aktivitas guru dan siswa sudah ada peningkatan. Pada diskusi kelompok, sudah mulai terlihat ada kerja sama diantara siswa dalam kelompok, walaupun masih ada dijumpai beberapa siswa yang kurang peduli terhadap kelompoknya, dan hanya melihat temannya bekerja. Pada saat presentasi, masih ada siswa yang belum mau memberikan tanggapan, terutama siswa yang jarang berbicara. Siklus II Siklus kedua dilakukan sebanyak 2 kali pertemuan dengan satu kali ulangan harian. Yaitu pertemuan 3 dan 4. Pada pertemuan ketiga terjadi perubahan kelompok baru yang disusun berdasarkan hasil lembar pengamatan, dan bertujuan untuk penyegaran. Hal ini terjadi karena salah satu ciri dari pembelajaran kooperatif menurut Ibrahim dalam Mahlinar (2013) kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah, Selain itu menurut Slavin (2008) salah satu langkah pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah perhitungan ulang skor dan perubahan kelompok. Beberapa siswa keberatan dengan perubahan kelompok, karena sudah merasa cocok dengan kelompok sebelumnya. Guru menjelaskan per-ubahan kelompok dalam pembelajaran ini dilakukan agar siswa dapat merasakan suasana baru, dan biasa menyesuaikan diri dengan perubahan, agar siswa merasa dekat dengan semua teman sekelasnya. Perubahan ini akan menjadi dasar bagi siswa agar biasa bertahan dengan perubahan kehidupan yang tantangannya lebih besar jika dibandingkan dengan perubahan kelompok belajar. Setelah guru men-jelaskan pentingnya perubahan kelompok belajar tersebut siswa akhirnya menerima pembentukan kelompok baru. Kegiatan pembelajaran pada pertemuan ini membahas materi tentang kesebangunan pada segitiga siku-siku yang berpedoman pada RPP-3 dan LKS-3. Proses pembelajaran diawali dengan menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu siswa dapat menemukan panjang garis tinggi pada segitiga siku-siku dengan menggunakan konsep kesebangunan. Guru memotivasi siswa dengan mengaitkan materi pelajaran dengan materi sebelumnya. Guru menyajikan materi pelajaran tentang kesebangunan pada segitiga siku-siku dengan bantuan media powerpoint. Selanjutnya meminta siswa duduk didalam kelompok belajar menurut kelompok yang baru. Setelah siswa duduk berdasarkan kelompok masing-masing guru membagikan LKS-3. Siswa bekerja dalam kelompok sesuai petunjuk LKS, dalam bekerja masih ada beberapa orang siswa yang bertanya kepada temannya di kelompok lain. Guru menasehati siswa tersebut, agar bisa ikut bekerja dengan teman-teman sekelompoknya. Dalam melakukan kegiatan pembelajaran guru membim-bing siswa dan selalu memberi motivasi agar siswa aktif dalam kegiatan kelompok. Pada kegiatan ini siswa diberikan permasalahan menentukan rumus garis tinggi pada segitiga siku-siku seperti pada gambar. K N
M
L 921
Pada gambar siswa diminta menentukan rumus panjang garis tinggi (LN), KL, dan LM. Dengan diwakili oleh salah seorang siswa kelompok yang ditunjuk oleh guru, siswa tersebut mempresentasikan hasil kerja kelompoknya, sedangan kelompok lain mencermati dan memberikan tanggapan. Guru memandu jalannya presentasi dengan mengarahkan siswa untuk merumuskan jawaban yang benar. Setelah kegiatan presentasi berakhir, guru memberikan penghargaan berupa pujian kepada kelompok berdasarkan hasil kerja kelompoknya. Guru bersama siswa menyimpulkan materi pelajaran. Pada akhir pelajaran siswa diberikan tes individu dan PR. Pada pertemuan ini sebagian besar kelompok siswa (5 kelompok) sudah mampu menemukan rumus garis tinggi pada segitiga siku-siku dan panjang rumus panjang sisi di samping sudut siku-siku, sedangkan tiga kelompok lagi hanya bisa menemukan rumus garis tinggi saja. Berdasarkan hasil diskusi penulis dengan pengamat, bahwa untuk setiap kegiatan yang dilakukan ada peningkatan dalam perbaikan. Aktivitas siswa sudah meningkat, walaupun masih ada yang diam. Pertemuan keenam diawali dengan membahas PR. Pada pertemuan ini membahas materi kekongruensi. Proses pembelajaran diawali dengan menyam-paikan tujuan pembelajaran, memotivasi siswa supaya lebih semangat dan giat dalam belajar, dan mengingatkan siswa tentang materi yang telah dipelajatri sebelumnya yang mendukung materi yang akan dipelajari dalam hal ini adalah syarat-syarat kesebangunan. Guru menyajikan materi pelajaran tentang kekongruensi pada RPP-4 dengan bantuan media powerpoint dan langkah-langkah pembelajaran ke-lompok. Guru meminta siswa duduk didalam kelompok belajar menurut kelompok yang telah diorganisasikan pada pertemuan ketiga. Setelah siswa duduk pada kelompok nya, guru membagikan LKS-4. Siswa bekerja dalam kelompok sesuai petunjuk LKS. Kegiatan kelompok sudah aktif. Semuanya sudah terlibat dalam diskusi kelompok. Kegiatan ini adalah menemukan syarat-syarat kekongruensi geometri pada gambar.
M
Q
x 800
600
3
L
50
0
P 5 4
z
y
40
0
R
400
K
B 60
500
z
x
A
F 0
800
6 400
10
400
C D 8 E y Dengan diwakili oleh salah seorang siswa, kelompok yang ditunjuk oleh guru, siswa tersebut mempresentasikan hasil kerja kelompoknya, sedangkan kelompok lain mencermati dan memberikan tanggapan. Dalam presentasi kali ini ada jawaban siswa yang berbeda dengan kelompok lain, sehingga menimbulkan berbagai tanggapan. Siswa yang mempresentasi akhirnya bisa menerima jawaban dari kelompok lain. Guru memandu jalannya presentasi dengan mengarahkan siswa untuk merumuskan jawaban yang benar. Setelah kegiatan presentasi berakhir, guru memberikan penghargaan berupa pujian kepada kelompok berdasarkan hasil kerja kelompoknya. Guru bersama siswa menyimpulkan materi pelajaran. Pada akhir pelajaran siswa diberikan tes individu dan PR untuk latihan di rumah, serta mengingatkan bahwa pada pertemuan selanjutnya aakan diadakan ulangan harian (ujian blok) 922
Berdasarkan hasil diskusi penulis dengan pengamat, aktivitas guru dan siswa dalam model pembelajaran ini sudah terlaksana sesuai rencana. Siswa tampak sudah mulai terbiasa dan menikmati langkah pembelajaran yang diikutinya. Pada pertemuan kelima guru melaksanakan ulangan harian selama 70 menit dengan memberikan tes hasil belajar pada materi kesebangunan dan kekongruensi. Dalam pelaksanaan ulangan harian, semua siswa bekerja dengan tertib, guru mengingatkan agar siswa bekerja keras dan jujur dalam mengikuti ulangan. Soal tes ini berupa soal dengan jawaban pilihan ganda dengan alasan jawaban. Untuk menghindari siswa yang melihat kerja teman, maka soal dibuat berbeda dan pengawasan yang ketat. Lima menit sebelum waktu berakhir, semua lembar jawaban dikumpulkan. PEMBAHASAN Dari hasil di atas, maka hasil dari siklus I dan siklus II dapat ditunjukan pada pembahasan berikut. Berdasarkan nilai perkembangan siklus pertama dan kedua dapat disimpulkan pada tabel 1. Tabel 1. Nilai Perkembangan Siswa pada Siklus Pertama dan Kedua
Nilai Perkembangan 5 10 20 30 JLH
Siklus Pertama Jumlah % Siswa 2 6,25 9 28,125 12 37,50 9 28,125 32 100%
Siklus Kedua Jumlah % siswa 1 3,125 8 25,00 11 34,375 12 37,50 32 100%
Dari tabel di atas terlihat bahwa persentasi siswa yang menyumbangkan nilai perkembangan 30 pada siklus kedua lebih banyak dibandingkan dengan siklus pertama. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai perkembangan individu yang berdampak pada peningkatan nilai perkembangan kelompok. Hal ini dapat dilihat pada diagram berikut. 14 Jumlah Siswa
12 10 8 6
Siklus I
4
Siklus II
2 0 Nilai 5 Nilai 10Nilai 20Nilai 30 Nilai Perkembangan Gambar 1: Grafik Perkembangan Nilai Siswa dari Siklus I ke Siklus II
Dari diagram nilai perkembangan untuk kelompok super meningkat, yaitu dari 9 orang siswa pada siklus I menjadi 12 orang pada siklus II. Berdasarkan skor ujian blok yang diperoleh siswa dapat dinyatakan jumlah siswa yang mendapat skor (KKM) sebanyak 25 orang atau 78,125%. Ini menunjukkan bahwa ada peningkatan hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan bantuan media ditinjau dari hasilbelajar sebelum tindakan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Edy Syarifudin dan Sugiyarni (2011) yang menyatakan bahwa peningkatan hasil belajar mate-matika siswa melalui pembelajaran kooperatif STAD. Selain menunjukkan bahwa kolaborasi yang baik antara guru dan siswa juga menjadi faktor yang mendukung keberhasilan. Guru sebagai fasilitator dan motivator selalu berupaya mendampingi 923
siswa agar tetap menggunakan kelompok dalam belajar. Siswa juga sudah merasakan manfaat untuk senantiasa memberikan bantuan kepada teman dalam satu kelompok jika memerlukan bantuan dalam belajar Berdasarkan hasil penulisan dan analisis hasil belajar diperoleh bahwa, dalam proses pembelajaran setiap siswa sudah dapat mengikuti dengan cukup baik. Siswa mulai percaya diri dengan kemampuannya menyelesaikan LKS sesuai petunjuk dan dan secara individu sebagian besar dapat menyelesaikan soal dengan baik. Siswa sudah mulai terbiasa dalam mengerjakan LKS. Hal ini sesuai dengan pendapat Slavin (2008) dalam Mahlinar (2013) yang menyatakan bahwa pembelajaran koopertif dapat meningkatkan prestasi belajar siswa sekaligus dapat meningkatkan kemampuan hubungan sosial, menumbuhkan sikap menerima kekurangan diri dan orang lain serta dapat meningkatkan harga diri. Berdasarkan pembahasan di atas terjadi peningkatan hasil belajar siswa setelah dilakukan penulisan. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah siswa yang mencapai KKM. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas bahwa aktifitas belajar siswa meningkat dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan bantuan media powerpoint sehingga dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IX.6 SMP Negeri 1 Bunguran Timur pada materi kesebangunan dan kekongruensi. DAFTAR RUJUKAN BSNP. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Depdiknas. Jakarta. Dimyati dan Mudjiono. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta. Fathani, Halim Abdul. 2008. Ensiklopedi Matematika, Ar-Ruzz Media. Yogyakarta. Mahlinar. 2013. Penerapan Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V SDN 001 Khairiah Mandah. Skripsi. Tidak dipublikasikan. Ouda Teda Ena. 2013. Membuat Media Pembelajaran Interaktif dengan Piranti Lunak Presentasi. www.ialf.edu/kipbipa/papers/OudaTedaEna.doc (diakses tanggal 4 November 2013) Sari, Ratna. 2007. Pengembangan media pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi disekolah menengah pertama. www.academia.edu (diakses tanggal 4 November 2013). Slameto. 2003. Belajar dan Faktor – Faktor yang Mempengaruhi., Rineka Cipta. Jakarta. Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Universetas Negeri Malang. Malang. Slavin, R. E. 2010, Cooperatif Leaarning Theory Researh and Practice., Terjemahan Narulita Yusron., Nusa Media., Bandung. Syarifuddin, Edi. Sugiyarni. 2011. Pembelajaran Bermakna Faktorisasi Prima Melalui Model Kooperatif STAD Pada Siswa Kelas IV SDN 08 Curup. J-TEQIP. Jurnal Peningkatan Kualitas Guru hal: 89-93
PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE STAD PADA OPERASI ALJABAR BERBANTUAN MEDIA “UBIN ALJABAR” BERDASARKAN PENGALAMAN KEGIATAN LESSON STUDY Erna Gunawati SMPN 6 Penajam Paser Utara Abstrak: Penelitian ini mendeskripsikan penerapan pembelajaran kooperatif STAD berbantuan Media “Ubin Aljabar”. Penerapanan pembelajaran kooperatif Tipe STAD berbantuan media pembelajaran dilaksanakan berbasis lesson study. Kegiatan lesson study dilaksanakan dari plan (perencanaan), do (pelaksanaan) dan see (refleksi). Dari kegiatan refleksi diketahui bahwa penggunaan media pembelajaran sangat bermanfaat bagi guru
924
dalam menghadirkan hal yang abstrak menjadi konkrit sehingga siswa dapat mudah memahami konsep matematika. Metode pembelajaran kooperatif memberikan guru peran sebagai motivator dan fasilitator serta menghadirkan kegiatan belajar secara kerja kelompok dan kerja sama dalam menyelesaikan tugas bersama. Kata Kunci: Media Ubin Aljabar, STAD dan lesson study
Matematika bagi siswa sampai dengan saat ini masih dikategorikan sebagai mata pelajaran yang sulit, seringkali dalam kehidupan sehari-hari siswa mengeluh mengenai kesukaran dalam memahami suatu materi seperti memahami aljabar, aritmatika sosial, fungsi dan materi lain. Guru mempunyai peranan yang penting dalam memberi pemahaman pada siswa mengenai suatu materi yang akan diajarkan serta mempunyai tanggung jawab terhadap proses belajar mengajar beserta hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa sebagai salah satu indikator tercapai tidaknya proses belajar mengajar dapat dijadikan sebagai umpan balik bagi guru khususnya untuk merefleksi kekurangan yang terjadi selama proses belajar mengajar berjalan. Sejauh ini banyak kalangan yang beranggapan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih tergolong rendah dan menurun, pemikiran ini muncul berdasarkan hasil ujian nasional tahun 2013 seperti yang disampaikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bahwa persentase kelulusan UN SMP mencapai 99,55 persen ini berarti persentase kelulusan tahun ajaran 20122013 mengalami penurunan 0,02 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 99, 57 persen. Rendahnya hasil belajar siswa bisa dikarenakan minat belajar siswa yang kurang, metode guru yang masih menggunakan metode konvensional tanpa menggunakan inovasi dan kurangnya kreatifitas seperti metode ceramah menyebabkan siswa menjadi bosan, malas belajar dan pada akhirnya ketuntasan belajar siswa tidak tercapai. Proses belajar mengajar yang baik adalah dimana siswa dapat membangun pengertian dan pemahamannya sendiri terhadap materi yang disampaikan guru melalui pengalamannya. Ini sesuai dengan Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang standar isi bahwa pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer, alat peraga, atau media lainnya (Depdiknas, 2006:345). Matematika sebagai mata pelajaran yang abstrak, menjadikannya sulit dipahami siswa. Guru sebagai penyampai infomasi hendaknya mempunyai innovasi dan kreasi untuk memudahkan siswa dalam mengerti dan memahami. Media pembelajaran sebagai salah satu alat bantu dalam memahamkan dan membangun pengertian siswa terhadap suatu konsep mempunyai peran penting dalam menghadirkan objek secara nyata sehingga siswa melakukan pengalamannya secara langsung sehingga siswa dapat dengan mudah memahami konsep yang diberikan. Menurut Iswadji (2003) media pembelajaran matematika adalah seperangkat benda konkret yang dirancang, dibuat, dihimpun atau disusun secara sengaja yang digunakan untuk membantu menanamkan atau mengembangkan konsep-konsep atau prinsip-prinsip dalam matematika. Melalui media pembelajaran, hal-hal yang yang abstrak dapat disajikan dengan model-model berupa benda konkrit yang bisa dilihat, dipegang sehingga lebih mudah dipahami siswa seperti buku, pensil, buah-buahan, model bangun datar, bangun ruang dll. Secara umum fungsi alat peraga adalah: 1. Sebagai media dalam menanamkan konsep-konsep matematika 2. Sebagai media dalam memantabkan pemahaman konsep 3. Sebagai media untuk menunjukkan hubungan antara konsep matematika dengan dunia di sekitar kita serta aplikasi konsep dalam kehidupan nyata (Pujiati, 2004). Berdasarkan pengalaman penulis selama mengajar sebelum mengikuti kegiatan pelatihan TEQIP, penulis dalam setiap proses belajar mengajar menggunakan metode ceramah di mana siswa tidak dilibatkan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Guru mempunyai peran utama dalam tersampainya sutu konsep dan siswa lebih cenderung sebagai pendengar, penonton dan penerima informasi. Kemudian guru menyajikan contoh-contoh soal dan terakhir siswa mengerjakan soal latihan. Hal ini yang sering menyebabkan suatu konsep yang tersampaikan tidak melekat lama dalam siswa. Padahal yang seharusnya terjadi dalam kegiatan 925
pembelajaran adalah bagaimana siswa bisa memahami dan mengerti informasi yang disampaikan oleh guru (Subanji, 2013). Materi aljabar adalah satu contoh materi matematika SMP yang masih menjadi materi yang ditakuti dan tidak disukai siswa dengan munculnya variabel x, y dan variabel lainnya. Diharapkan dengan menghadirkan media pembelajaran berupa media pembelajaran ubin, siswa mampu menyelesaikan operasi hitung pada aljabar. Hal inilah yang mendasari penulis untuk mengubah metode mengajar dari metode ceramah menjadi kegiatan pembelajaran kreatif yaitu metode pembelajaran kooperatif tipe STAD. Menurut Slavin pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 5 orang dengan struktur dan kolaboratif (Isjoni, 2009). Adapun poin penting dalam pembelajaran kooperatif adalah kemampuan siswa berkomunikasi dengan siswa lain dalam satu kelompok dalam menyelesaikan suatu masalah. berdasarkan Rusmiyah (Ramon, 2012) STAD dikembangkan untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran penting yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman atau perbedaan individu dan pengembangan keteram-pilan sosial Metode pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah salah satu perkembangan dari metode pembelajaran kooperatif. Menurut Slavin (Subanji, 2013) langkah-langkah pelaksanaan STAD adalah: 1. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku dan sebagainya) 2. Guru menyajikan materi pelajaran 3. Guru memberikan tugas kepada kelompok. Anggota yang sudah mengerti diminta untuk menjelaskan kepada anggota lain sampai semua anggota mengerti 4. Guru memberikan kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa secara individu 5. Guru mengumumkan hasil kuis dan pemenangnya 6. Kesimpulan Upaya peningkatan profesioanalisme pendidik saat ini sedang dikembangkan, salah satunya adalah dengan kegiatan lesson study. Seringkali kita salah mengartikan bahwa Lesson Study adalah metode pembelajaran, bahwa lesson study adalah suatu model pembinaan profesi pendidik melalui peng-kajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkelanjutan berlandaskan prinsip kolegialitas dan mutual learning untuk membangun komunitas belajar dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru serta meningkatkan kualitas pembelajaran (Ibrohim, 2013). Langkah-langkah kegiatan lesson study yaitu plan (perencanaan), do (pelaksanaan) dan see (refleksi). Dimana pada kegiatan do (pelaksanaan) ketika guru model melaksanakan proses belajar mengajar terdapat observer yaitu rekan guru mata pelajaran matematika yang akan mengamati aktifitas siswa selama proses pembelajaran dan pada saat kegiatan refleksi terjadi diskusi, guru model menyampaikan kesan dan pesan selama mengajar dan kemudian rekan observer menyampaikan wahasil observasinya melalui pengamatan terhadap siswa. Diharapkan hasil refleksi ini sebagai umpan balik untuk memperbaiki kegiatan belajar mengajar selanjutnya. METODE PENELITIAN Penelitian ini mendeskripsikan pelak-sanaan pembelajaran dalam praktik lesson study. Dalam setiap praktik pembelajaran dilakukan observasi oleh anggota lesson study. Hasil observasi digunakan untuk refleksi dan perbaikan pembelajaran. PELAKSANAAN LESSON STUDY Kegiatan awal plan (perencanaan) dimulai dari guru model bersama dengan rekan satu tim mempersiapkan rencana pembelajaran dan penyiapan media pembelajaran berupa ubin aljabar. Standar kompetensi yang ingin dicapai yaitu memahami bentuk aljabar, relasi, fungsi, dan persamaan garis lurus dengan kompetensi dasar operasi aljabar. Metode pembelajaran yang dipilih adalah metode kooperatif tipe STAD. Menurut Zubaidah (Mardiatun, 2013) metode kooperatif STAD dipilih dengan pertimbangan merupakan strategi kooperatif yang paling sederhana sehingga cukup baik digunakan para guruyang pertama kali menggunakan pembelajaran kooperatif. Pada kegiatan ongoing ini yang bertindak sebagai guru model adalah Erna Gunawati dan tempat open class di SMPN 4 Penajam Paser Utara Kelas VIII-4 tanggal 17 Oktober 2013 Kegiatan kedua do (pelaksanaan), guru model melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai dengan skenario pembelajaran dengan menyesuaikan langkah-langkah pada metode 926
pembelajaran Kooperatif STAD. Pertama guru model menyampaikan salam dan perkenalan, kemudian guru model membagikan nomor saku kepada siswa untuk mempermudah observer melakukan kegiatan observasi terhadap siswa. Guru model membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen dan menyampaikan materi prasyarat yaitu mengingatkan kembali bentuk umum Aljabar, variabel, koefisien, konstanta dan suku. Kemudian guru menjelaskan operasi aljabar dengan menggunakan ubin aljabar. Kegiatan ketiga yaitu see (refleksi), guru bersama-sama observer dan expert melakukan diskusi yang bertujuan merefleksi kegiatan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Dalam kegiatan refleksi dipilih salah satu dari observer sebagai moderator. Untuk selanjutnya moderator membuka kegiatan diskusi dan mempersilahkan guru model untuk menyampaikan kesan perasaan terhadap jalannya proses kegiatan belajar mengajar yang telah dilaksanakan. Guru model menjelaskan bahwa tidak mudah menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan menarik bagi siswa tanpa bantuan media pembelajaran, terbukti ketika diawal pembelajaran guru belum terhubung dengan siswa secara baik, siswa masih merasa kebingungan dan cenderung lupa walau pun materi ini sebenarnya sudah disampaikan ketika di kelas VII. Namun ketika siswa diberikan tugas kelompok dan mulai menggunakan media berupa media pembelajaran ubin aljabar, siswa terlihat aktif dan tercipta kegiatan diskusi yang baik dengan penggunaan metode kooperatif tipe STAD. Terlihat dari aktifitas kelompok yang menggunakan ubin secara bersama-sama dalam memahami materi operasi aljabar. Siswa dengan mudah memahami konsep operasi aljabar ketika siswa diberikan media pembelajaran berupa ubin aljabar. Sebagian dari anggota kelompok terlihat sudah memahami materi dan menginsformasikan ke teman anggota dengan mempraktekkannya pada ubin aljabar. Guru model juga menyampaikan bahwa penggunaan metode kooperatif tipe STAD ini semakin memudahkan siswa dalam berinteraksi dengan anggota dalam kelompoknya dan mendiskusikannya. Ini untuk mengantisipasi rasa malu siswa ketika bertanya dengan guru, menjadi tidak ragu bertanya dengan anggota kelompoknya. Adapun kekurangan yang masih dirasakan guru model adalah penguasaan kelas yang masih kurang dari guru model karena siswa yang dihadapi adalah siswa sekolah yang bukan anak didiknya dan penggunaan alokasi waktu yang tidak sesuai rencana pelaksanaan pembelajaran dikarenakan masih adanya toleransi waktu dari guru model untuk menunggu hasil kerja kelompok siswa yang belum terselesaikan. Selanjutnya moderator member-kan kesempatan kepada observer pertama untuk menyampaikan hasil observasinya. Berdasarkan hasil observasi pada kegiatan pendahuluan siswa telah terkondisikan dengan baik karena sebelumnya kemungkinan ada himbauan dari guru sekolah yang bersangkutan, kegiatan apersepsi respon siswa terlihat antusias dengan perkenalan guru model. Pada kegiatan inti terutama pada saat diskusi kelompok dengan menggunakan metode kooperatif tipe STAD berjalan dengan baik terjadi interaksi siswa dengan siswa semenjak pembentukan kelompok dan pada kegiatan diskusi, sedangkan siswa dengan guru interaksi terjadi saat guru menyampaikan materi prasyarat dan ketika guru memberikan contoh soal. Siswa yang masuk anggota kelompok kubus nomor 21 masih terlihat bermain sendiri dan siswa nomor 29 anggota kelompok prisma terlihat mengantuk di kelas. Upaya guru sudah bagus dan terlihat keliling membimbing siswa melalui pendampingan kelompok. Upaya guru sudah maksimal dan memberikan motivasi terhadap siswa yang tidak aktif, kemudian pada kegiatan penutup siswa terlibat aktif dalam penarikan kesimpulan. Pembelajaran yang bisa diambil bahwa media pembelajaran mempunyai peran yang penting dalam mengenalkan siswa terhadap aljabar, membantu siswa mengkonstruksi pemahaman dan menyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan aljabar. Observer kedua juga menyampaikan hal sama ketika proses pembelajaran baru dimulai terlihat siswa masih sedikit bingung dan belum tercipta suatu hubungan antara guru dengan siswa, namun setelah guru model memberikan tugas kelompok dan membagikan media pembelajaran. Suasana kelas terlihat hidup, ketika siswa dibagi menjadi kelompok kecil dan masing-masing kelompok terlihat antusias dengan media pembelajaran yang diberikan guru model dan terlihat setiap anggota berebut ingin menggunakannya. Penggunaan media pembelajaran dapat membangun pemahaman siswa terutama media pembelajaran ubin pada konsep aljabar. kemudian observer ketiga menyampaikan bahwa hampir semua hasil observasinya telah disampaikan rekan-rekan observer sebelumnya dan mengenai pelajaran berharga yang bisa diambil adalah penggunaan media pembelajaran ubin aljabar memudahkan siswa dalam memahami operasi aljabar, dan menginspirasi observer untuk menggunakan media pem927
belajaran dalam kegiatan pembelajarannya yang akan datang. Dan terakhir expert memberikan masukan berharga kepada guru model bahwa perlu adanya mencairkan suasana ketika proses belajar dimulai, bahwa perlu mengkondisikan siswa yang ada sama dengan siswa anak didiknya. Siswa terlihat aktif dan bekerja ketika proses diskusi, siswa tertarik menggunakan media pembelajaran dan dari sini penting bagi guru membuat kreatifitas-kreatifitas media pembelajaran berupa media pembelajaran yang dapat membantu guru dalam menyampaikan suatu konsep. Memudahkan siswa terjun langsung terhadap materi dan mengkonstruksi pemahamannya. Oleh karena itu guru harus menyediakan waktu luang dalam membuat media pembelajaran yang akan membantu siswa memahami konsep matematika danm menghadirkan suatu kenyataan yang dialami langsung oleh siswa. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil diskusi dari kegiatan refleksi, dengan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa terlihat aktif dalam kegiatan diskusi kelompok. Adanya rasa ingin tau dari anggota dalam kelompok dan kerjasama yang berjalan baik mengindikasikan bahwa adanya motivasi yang kuat dari siswa untuk bisa. Menurut Johnson dan Johnson (Mardiatun, 2013) Peningkatan motivasi siswa ini disebabkan dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD siswa didorong lebih bertanggungjawab terhadap proses belajarnya sehingga siswa terlibat aktif dan memiliki usaha yang besar untuk belajar dan memperoleh hasil belajar yang lebih baik lagi. Ini sejalan dengan Putrama, R.S (2012) yang menyatakan bahwa metode pembelajaran kooperatif STAD dapat meningkatkan hasil belajar pada saat kegiatan diskusi dan menurut Mardiatun dan Rosnah (2013) bahwa penerapan metode kooperatif STAD meningkatkan hasil belajar siswa. Pembelajaran kooperatif STAD mengarahkan siswa untuk bekerjasama dan saling membantu antar anggota dalam satu kelompok, dimana siswa yang sudah mampu bisa memberikan informasi kepada rekan satu anggota kelompoknya. Ini menjadi menarik karena masih sering kita jumpai siswa malu bertanya kepada guru dan lebih nyaman ketika bertanya kepada rekan atau temannya. Pembelajaran kooperatif tipe STAD mempunyai beberapa keunggulan (Slavin, 1995) diantaranya: 1. Siswa bekerja sama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok. 2. Siswa aktif membantu dan memotivasi semangat untuk berhasil bersama. 3. Aktif berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok. 4. Interaksi antar siswa seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat. Pada kegiatan diskusi kelompok, guru menggunakan media pembelajaran berupa media pembelajaran ubin aljabar. Ada beberapa keuntungan bila media pembelajaran digunakan untuk kelompok, antara lain: (1) adanya tutor sebaya dalam kelompok, akan dapat membantu guru dalam menerangkan pemanfaatan media pembelajaran kepada temannya, (2) kerjasama yang terjadi dalam penggunaan media pembelajaran kelompok akan membuat suasana kelas lebih menyenangkan, (3) banyaknya anggota kelompok yang relatif kecil akan memudahkan peserta didik untuk berdiskusi dan bekerjasama dalam pemanfaatan alat (Sudarto, 2013) Media pembelajaran dalam kegiatan proses belajar mengajar mempunyai peran yang penting untuk membantu siswa dalam membangun pemahaman sutu konsep. Menurut pengertiannya media pembelajaran adalah segala sesuatu (piranti fisik dan non fisik) yang dapat dimanfaatkan oleh guru dalam membelajarkan dan dapat dimanfaatkan siswa dalam belajar (Sukoriyanto, 2013). Media pembelajaran sebagai salah satu media pembelajaran terbukti bisa memberikan kemudahan siswa dalam mengkonstruksi pemahaman terhadap suatu konsep matematika. Penggunaan ubin aljabar sebagai media pembelajaran matematika ternyata bisa diterima siswa dan siswa merasa terbantu dalam memahami materi konsep operasi aljabar. Ini sejalan dengan pendapat Erlina (2011) manfaat dari penggunaan media pembelajaran dalam pengajaran Matematika, di antaranya: 1. Dengan adanya media pembelajaran, siswa akan lebih banyak mengikuti pelajaran dengan gembira, sehingga minatnya dalam mempelajari Matematika semakin besar. Siswa akan senang, terangsang, tertarik dan bersilap positif terhadap pengajaran Matematika. 2. Dengan disajikannya konsep abstrak Matematika dalam bentuk konkret, maka siswa pada tingkat-tingkat yang lebih rendah akan lebih mudah memahami dan mengerti.
928
3. Media pembelajaran dapat membantu daya tilik ruang, karena tidak membayangkan bentukbentuk geometri terutama bentuk geometri ruang, sehingga dengan melalui gambar dan benda-benda nyatanya akan terbantu daya tiliknya sehingga lebih berhasil dalam belajarnya. 4. Siswa akan menyadari adanya hubungan antara pengajaran dengan benda-benda yang ada di sekitarnya, atau antara ilmu dengan alam sekitar dan masyarakat. 5. Konsep-konsep abstrak yang tersajikan dalam bentuk konkret, yaitu dalam bentuk model Matematika dapat dijadikan objek penelitian dan dapat pula dijadikan alat untuk penelitian ide-ide baru dan relasi-relasi baru. 6. Media pembelajaran dapat membantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif. KESIMPULAN Berdasarkan pengalaman lesson study pada kegiatan ongoing II di SMPN 4 Penajam Paser Utara kelas VIII-4, bahwa metode pembelajaran kooperatif tipe STAD efektif digunakan dalam pembalajaran matematika. Penggunaan media pembelajaran ubin aljabar dapat memudahkan guru dalam penyampaian konsep aljabar dan dapat membantu siswa untuk lebih aktif dan kreatif dalam membangun pemahamannya terhadap materi matematika operasi aljabar. DAFTAR RUJUKAN Agus, N.A. 2008. Mudah Belajar Matematika untuk SMP/MTs Kelas VIII. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Depdiknas. 2006. Pengembangan Silabus dan Kurikulum Matematika SMP. Jakarta: Depdiknas. Ibrohim. 2013. Pandun Pelaksanaan Lesson study. Malang: Universitas Negeri Malang Kerja Sama dengan Pertamina. Mardiatun dan Rosnah. Penerapan Cooperative STAD dalam Pembelajaran IPA di Kelas V SDN 012 Tanjungpinang Barat: Pengalaman Lesson Study pada Kegiatan Ongoing Teqip 2012. J-Teqip. Tahun IV, Nomor 1, Mei 2013 Muksar, M, Purwanto dan I Made Sulandra. Matematika SMP Pendekatan Konseptual. Malang: Universitas Negeri Malang Kerja Sama dengan Pertamina. Nurhakiki, R, Susi Kuspambudi dan Tri Hapsari Utami. Media Pembelajaran Matematika SMP. Malang: Universitas Negeri Malang Kerja Sama dengan Pertamina. Putrama, R.S. 2012. Penerapan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Metode Eksperimen untuk Meningkatkan Hasil Belajar IPA Kelas IV/A SD Negeri 08 Kepahing. J-Teqip. Tahun III, Nomor 1, Mei 2012. Rahaju, EB dkk. 2008. Contextual Teaching and Learning Matematika SMP Kelas VIII. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Subanji. 2013. Pembelajaran Matematika Kreatif dan Inovatif. Malang: Universitas Negeri Malang Kerja Sama dengan Pertamina. Sukoriyanto, 2013. Assesmen Pembel-ajaran Matematika. UM Press. Malang
PENERAPAN COOPERATIVE LEARNING TIPE STAD UNTUK MENINGKATKAN MOTIVASI DAN HASIL BELAJAR PADA MATERI PECAHAN SENILAI MELALUI PENGGUNAAN PITA BILANGAN Marlina Guru SD Negeri Kp. Blang Iboih Kabupaten Pidie
[email protected] Abstrak: Salah satu masalah yang sering dihadapi di sekolah untuk mata pelajaran matematika adalah siswa tidak aktif serta kurangnya minat dan motivasi dalam belajar. Rendahnya minat dan motivasi belajar siswa terhadap materi pelajaran dikarenakan sampai saat ini pembelajaran masih terpusat pada guru, sedangkan siswa hanya menerima secara pasif dan cenderung belajar sendiri dengan berusaha keras menghafalkan semua materi
929
yang diterima. Dengan demikian matematika masih identik dengan mata pelajaran yang kaku, sulit, kurang menyenangkan, dan membosankan. Motivasi sangat memengaruhi keberhasilan dalam belajar, oleh karena itu untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar maka diterapkan metode pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan menggunakanmedia pita bilangan Kata kunci: kooperatif, STAD, motivasi dan hasil belajar , pita bilangan
Pembelajaran adalah upaya untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan peserta didik yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dan siswa (Suyitno, 2004: 1). Memahami teori tentang bagaimana orang belajar serta kemampuan menerapkannya dalam pembelajaran matematika merupakan persyaratan penting untuk menciptakan proses pengajaran matematika yang efektif. Pandangan guru tentang proses belajar matematika sangat berpengaruh terhadap bagaimana mereka melakukan pembelajaran di kelas. Menurut Brownell (dalam Ali, 2003: 163) bahwa matematika dapat dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas ide, prinsip, dan proses sehingga keterkaitan antara aspek-aspek tersebut harus dibangun dengan penekanan bukan pada memori atau hafalan melainkan pada aspek penalaran atau intelagensi anak. Upaya guru dalam mengatur dan memberdayakan berbagai variable pembelajaran, merupakan bagian penting dalam keberhasilan siswa mencapai tujuan yang direncanakan. Dalam hal ini Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Matematika Yogjakarta tahun 2004 memberikan gambaran bahwa pemilihan metode, strategi dan pendekatan dalam mendesain model pembelajaran guna tercapainya iklim pembelajaran aktif yang bermakna adalah tuntutan yang mesti dipenuhi bagi para guru. Mengingat akan karakteristik pelajaran matematika yang lebih merupakan deductive reasoning, maka akan lebih baik jika pembelajaran matematika tetap dibimbing dan difasilitasi oleh guru agar pembelajarannya dapat berlangsung secara efektif dan efisien, tidak menghabiskan waktu berlama-lama pada satu masalah saja. Berkat dari kelemahan-kelemahan inilah muncul istilah penemuan terbimbing yang pada akhirnya menjadi salah satu metode dalam pembelajaran. Matematika adalah ilmu yang abstrak dan deduktif. Karena bersifat abstrak dan deduktif tersebut maka untuk pembelajaran matematika di Sekolah Dasar (SD) harus disesuaikan dengan karakteristik umumnya anak usia SD. Hal ini juga berlaku untuk pembelajaran matematika di SD Negeri Kp. Blang Iboih. Pembelajaran matematika di SD Negeri Kp. Blang Iboih tampaknya kurang diminati siswa. Hal ini dikarenakan adanya anggapan pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang bersifat kaku, membingungkan, dan cepat membosankan. Respon siswa tersebut terlihat pada saat menyimak penjelasan materi karena umumnya pembelajaran masih berpusat pada guru, pemberian contoh soal, dan berujung dengan latihan soal secara individu selama proses pembelajaran berlangsung. Siswa tampak tegang dan suasana pembelajaran menjadi pasif. Dalam kegiatan belajar mengajar, motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 2006: 54). Siswa yang memiliki motivasi belajar akan memperhatikan pelajaran yang disampaikan, membaca materi sehingga bisa memahaminya, dan menggunakan strategi-strategi belajar tertentu yang mendukung. Selain itu, siswa juga memiliki keterlibatan yang intens dalam aktivitas belajar tersebut, rasa ingin tahu yang tinggi, mencari bahan-bahan yang berkaitan untuk memahami suatu topik, dan menyelesaikan tugas yang diberikan. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis selama mengajar di kelas V SD Negeri Kp. Blang Iboih terliihat bahwa pelajaran matematika kurang diminati siswa, terutama menyangkut materi pecahan senilai. Kurangnya motivasi siswa untuk mempelajari pokok bbahasan ini terlihat dari rendahnya tanggung jawab siswa terhadap tugas yang diberikan guru. Banyak siswa yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR). Bahkan ada siswa yang hanya menyalin pekerjaan temannya di sekolah. 930
Jika ditinjau dari cara belajar yang dilakukan siswa, diketahui bahwa mereka kurang termotivasi untuk belajar. Saat guru menerangkan pelajaran, sebagian besar siswa tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Mereka hanya mencatat meskipun tidak memahami apa yang mmereka catat. Tugas-tugas yang diberikan tidak dikerjakan atau tidak sempurna diselesaikan dengan alasan tidak mengerti, karena soalnya tidak sama dengan contoh soal yang diberikan oleh guru. Berdasarkan pengalaman inilah penulis mencoba menerapkan model pembelajaran Cooperative Learning tipe STAD dengan menggunakan alat peraga yang disebut pita bilangan. Pembelajaran ini lebih banyak melibatkan siswa, yaitu siswa belajar secara berkelompok mencocokkan sendiri bilangan-bilangan tersebut untuk mendapatkan konsep pecahan senilai. Diharapkan dengan pembelajaran seperti ini siswa lebih banyak berpikir, berbuat, dan berbagi dengan sesama siswa lain di kelas tersebut. Penulis mengangkat topik ini menjadi bahan kajian karena teridentifikasi bahwa siswa sangat jenuh dan sangat kurang minatnya dalam mempelajari matematika. Terutama pada materi pecahan senilai yang konsepnya cukup abstrak. Sehingga penulis berpikir untuk menerapkan suatu pendekatan pembelajaran yang bisa merubah konsep abstrak tersebut menjadi lebih konkret. Salah satu upaya penulis untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning). Menurut Slavin (1997) pembelajaran kooperatif merupakan suatu metode dimana siswa belajar bersama-sama dalam kelompok dan anggota dalam kelompok tersebut saling bertanggung jawab satu dengan yang lain. Pembelajaran kooperatif yang dipilih untuk materi pecahan senilai adalah tipe Student Teams Achievement Divisions (STAD). Slavin (2005) mengatakan bahwa STAD merupakan pembagian siswa dalam tim belajar yang terdiri atas tiga atau empat orang yang berbeda-beda kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran. Selanjutnya semua mengerjakan kuis mengenai materi secara sendiri-sendiri, dimana saat itu mereka tidak diperbolehkan untuk saling bantu. Dalam pembelajaran tipe STAD, yang terpenting adalah bagaimana siswa dapat memahami dan mengerti informasi yang disampaikan guru. Untuk bisa mencapai tujuan itu tentunya informasi yang dipelajari harus bermakna bagi siswa. Memahami teori tentang bagaimana orang belajar serta kemampuan menerapkannya dalam pembelajaran matematika merupakan persyaratan penting untuk menciptakan proses pengajaran matematika yang efektif. Pandangan guru terhadap proses belajar matematika sangat berpengaruh terhadap bagaimana mereka melakukan pembelajaran di kelas. Mengingat matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki objek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, maka sudah sepatutnya penulis mencoba membuat suatu alat peraga/media yang dapat membantu siswa menemukan konsep pembelajaran melalui pemahaman yang konkret. Terutama dalam mempelajari konsep pecahan senilai. Pecahan yang dipelajari anak ketika di SD, sebetulnya merupakan bagian dari bilangan rasional yang dapat ditulis dalam bentuk dengan a dan b merupakan bilangan bulat dan b tidak sama dengan nol. Memang terdengar mudah. Namun, kenyataannya hal tersebut masih sulit dipahami siswa mengingat konsep kelipatan bilangan bulat belum dikuasai. Guru mengatakan kepada siswa bahwa , sampai di sini masih memungkinkan bagi siswa untuk memahaminya karena masih menggunakan angka kelipatan sederhana. Kemudian guru menanyakan pecahan senilai dari . Beberapa siswa bisa menjawab karena mereka memahami konsep kelipatan yang telah mereka pelajari, namun kebanyakan siswa masih bingung dengan konsep tersebut bahkan di antara mereka masih bingung darimana penyebut 14 itu ada. Oleh karena itu penulis akan membahas materi pecahan senilai dengan menerapkan metode cooperative learning tipe STAD melalui media pita bilangan. Media pita bilangan pada pembelajaran pecahan senilai ini merupakan sebuah media pembelajaran matematika yang terbuat dari seutas pita yang ada bilangannya yang dalam penelitian ini media ini berfungsi untuk mempermudah peserta didik dalam menyesaikan soalsoal tentang pecahan senilai. Pita bilangan merupakan salah satu media konkret yang dapat digunakan guru untuk membantu siswa dalam memahami materi pecahan senilai. Pita bilangan 931
ini dapat dibuat menggunakan kertas. Pada pita tertulis lambang bilangan kelipatan 1 sampai 10. Dengan pita bilangan penulis melakukan percobaan untuk melihat sejauh mana efektifitas pemanfaatannya dalam pembelajaran dan sejauh mana peningkatan hasil belajar dapat dicapai siswa. Dalam penerapan media tersebut penulis merujuk pada beberapa pendapat ahli yang mengupas tentang belajar dan pembelajaran. Salah satunya adalah teori belajar menurut Engkoswara (2008: 2) adalah suatu proses perubahan tingkah laku, yaitu dalam bentuk prestasi yang telah direncanakan terlebih dahulu. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu pola penguasaan terhadap suatu pengetahuan. Langkah-langkah Kegiatan dalam Pelaksanaan Pembelajaran Guru memasuki kelas dengan mengucapkan salam, siswa menjawab secara serentak. Selanjutnya siswa memberi penghormatan kepada guru dengan tujuan agar semua siswa dapat mengonsentrasikan pikirannya pada pelajaran yang akan diterrima pada saat itu. Guru mengajukan beberapa pertanyaan secara terbuka, dengan menggunakan media kertas berbentuk persegi guru mengajak siswa untuk mengulang kembali tentang konsep pecahan senilai . Secara acak guru meminta 3 orang siswa ke depan untuk mendemontrasikan kembali konsep pecahan senilai. Guru meminta masing masing siswa untuk memotong kertas menjadi 2 bagian ,4 bagian ,dan 6 bagian. Selanjutnya guru mengajukan pertanyaan berapa bagian tiap tiap potongan harus diambil agar luas daerahnya sama ?.dari hasil peragaan tadi apa yang dapat anak anak simpulkan ? Terrnyata .untuk mengenal pecahan senilai lainnya marilah kita perhatikan tabel kelipatan satu sampai sepuluh berikut ini! 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
4
8
12
16
20
24
28
32
36
40
5
20
15
20
25
30
35
40
45
50
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
7
14
21
28
35
42
49
56
63
70
8
16
24
32
40
48
56
64
72
80
9
18
27
36
45
54
63
72
81
90
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Bila kelipatan satu dianggap sebagai pembilang dan kelipatan dua sebagai penyebut maka akan kita temukan beberapa pecahan senilai lainnya. Hal ini dilakukan guru untuk mendapatkan informasi atau masukan tentang pengetahuan yang dimiliki siswa tentang materi Pecahan Senilai. Dengan sedikit bercanda, guru menegur siswa yang kelihatan kurang fokus menanggapi pertanyaan guru. Selanjutnya secara klasikal guru menjelaskan strategi pembelajaran yang harus dilaksanakan siswa. Kegiatan guru berikutnya membagi 32 siswa yang hadir menjadi 8 kelompok; Mawar, Melati, Dahlia, Anggrek, Jeruk, Apel, Anggur, dan Semangka. Masingmasing kelompok terdiri dari 4 orang. Pembagian kelompok ini dilakukan secara heterogen, baik jenis kelamin maupun prestasinya. Masing-masing kelompok akan mendiskusikan penyelesaian soal yang diberikan guru. Hal ini dilakukan untuk melihat sejauh mana siswa bisa memahami tentang konsep pecahan senilai. Pembelajaran ini menekankan pada diskusi dan berbagi antarsiswa dalam menyelesaikan soal. Pengaturan posisi kelompok dapat dibuat berjajar seperti berikut ini: 932
Guru Kelompok Mawar
Kelompok Melati
Kelompok Dahlia
Kelompok Anggrek
Kelompok Jeruk
Kelompok Apel
Kelompok Anggur
Kelompok Semangka
Berikutnya guru memulai pelajaran inti dengan memberikan pita bilangan kelipatan 1 sampai 10 kepada setiap kelompok sebagai berikut: 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
4
8
12
16
20
24
28
32
36
40
5
20
15
20
25
30
35
40
45
50
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
7
14
21
28
35
42
49
56
63
70
8
16
24
32
40
48
56
64
72
80
9
18
27
36
45
54
63
72
81
90
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Media ini dibuat di atas kertas manila atau karton yang mudah digunting. Ukuran disesuaikan dengan kebutuhan atau bahan yang ada, untuk klasikal lebih besar dari individual. Beri warna yang berbeda pada setiap barisnya untuk memudahkan siswa membedakan setiap kelipatannya. Terakhir gunting menurut barisnya. Dengan demikian membentuk pita-pita bilangan.
933
Langkah 1: membuat tabel kelipatan 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
4
8
12
16
20
24
28
32
36
40
5
20
15
20
25
30
35
40
45
50
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
7
14
21
28
35
42
49
56
63
70
8
16
24
32
40
48
56
64
72
80
9
18
27
36
45
54
63
72
81
90
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Langkah 2:mewarnai tabel kelipatan dengan warna yang Variatif 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
4
8
12
16
20
24
28
32
36
40
5
20
15
20
25
30
35
40
45
50
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
7
14
21
28
35
42
49
56
63
70
8
16
24
32
40
48
56
64
72
80
9
18
27
36
45
54
63
72
81
90
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
934
Langkah 3: menggunting tiap-tiap tabel menjadi pita bilangan 1
2
2
4
3
6 8
3 6 9 12
4
5
8
10
12
15
6
7
12
16
20
18 24
8
9
10
14
16
18
20
21 28
24 32
27 36
30 40
5
20
15
20
25
30
35
40
45
50
6
12
18
24
30
36
42
48
54
60
7
14
21
28
35
42
49
56
63
70
8
16
24
32
40
48
56
64
72
80
9
18
27
36
45
54
63
72
81
90
10
20
30
40
50
60
70
80
Selanjutnya guru menyuruh siswa untuk mengambil sepasang pita bilangan. Contoh: 1 2 3 4 5 6 7 8 3 6 9 12 15 18 21 24
90
100
9 27
10 30
Menyejajarkan pita tersebut hingga membentuk pecahan-pecahan senilai dengan pembilang 1 sampai 10. Contoh: pembilang 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
Siswa memerhatikan nilai pecahan yang terbentuk dan menulis pecahan-pecahan senilai tersebut di buku tulisnya.
Jika tiap kelompok hanya 1 atau 2 orang yang paham akan pecahan senilai yang terbentuk dari pita bilangan, maka masing-masing kelompok harus bekerja keras agar teman kelompoknya paham. Kemudian untuk menambah keterampilan dan pemahaman siswa terhadap pecahan senilai, guru menyuruh siswa untuk menyejajarkan pita-pita yang lainnya secara variatif dan menulis pecahan-pecahan senilai baru yang terbentuk dari pita-pita bilangan tersebut. Contoh: 1. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 2. 1
2
3
4
5
6 935
7
8
9
10
4
8
12
16
20
24
28
32
36
40
3. 4 5
8 10
12 15
16 20
20 25
24 30
28 35
32 40
36 45
40 50
4. 7 8
14 16
21 24
28 32
35 40
42 48
49 56
56 64
63 72
70 80
5. 7 10
14 20
21 30
28 40
35 50
42 60
49 70
56 80
63 90
70 100
Pembelajaran dengan media pita bilangan dapat membuat siswa merasakan kelas sebagai lingkungan yang mengasyikkan dan tidak membosankan karena media ini sangat menyenangkan bagi siswa. Dalam berdiskusi menyelesaikan soal siswa ditanamkan kerja sama (kooperatif). Sesuai dengan model pembelajaran yang dilaksanakan, selanjutnya guru membagikan lembaran kerja kelompok sebagai berikut
LKK Kelompok … 1……………………… 2……………………… 3……………………… 4……………………… 1. Perhatikan pita bilangan di bawah ini dan bekerjalah dengan dengan kelompok untuk menyelesaikan soal-soal!
3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
2. Pecahan senilai yang terbentuk dari pita bilangan tersebut adalah … 3. Susunlah pita pecahan senilai secara variasi dan diskusikan dengan teman kelompok pecahan senilai yanag terbentuk. 4. Bekerjalah dengan kelompokmu untuk menyelesaikan soal di bawah ini dengan pita bilangan ataupun tidak. a. Tentukan 5 pecahan senilai yang senilai dengan b. Tentukan 5 pecahan senilai yang senilai dengan
936
Pelaksanaan diskusi kelompok dilaksanakan selama 25 menit. Salah seorang siswa dari kelompok terpilih mempresentasikan hasil LKK di depan kelas. Sedangkan kelompok yang lain menanggapi kemudian guru bersama siswa meluruskan kesalahpahaman dari jawaban yang diinginkan, sehingga siswa dapat menyimpulkan bahwa 2 pecahan dikatakan senilai dapat ditentukan bila penyebut dan pembilangnya merupakan kelipatan bilangan yang sama. Selanjutnya guru menentukan 2 kelompok sebagai pemenang. Untuk memotivasi siswa agar lebih giat belajar, guru memberikan hadiah. Pada menit ke-60 kegiatan penutup, siswa bersama guru melakukan refleksi terhadap materi yang telah dipelajari. Untuk mengetahui pemahaman siswa secara individu, guru memeberikan 2 buah soal sebagai evaluasi. Terakhir guru menjelaskan bahwa materi pecahan senilai sangat bermanfaat dan memudahkan untuk materi penjumlahan dan pengurangan pecahan yang berpenyebut tidak sama. Kemudian guru memberikan soal-soal mengenai pecahan senilai untuk pekerjaan rumah (PR). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sesuai dengan hasil pengkajian dan pembahasan oleh penulis dapat disimpulkan bahwa pembelajaran pecahan senilai dapat dilakukan dengan menggunakan pita bilangan Pecahan Senilai. Ternyata pembelajaran matematika dengan pita bilangan dan STAD dapat tmeningkatkan motibasi dan hasil belajar/ ketuntasan belajar siswa. Keberhasilan ini dapat kita buktikan dari hasil evaluasi yang diperoleh siswa yaitu sebanyak 35 siswa yang mengikuti tes, 15 siswa memperoleh nilai 85 yang memperoleh nilai 80 sebanyak 13 siswa, dan yang mendapat nilai 65 sebanyak 4 siswa, sementara yang memperoleh nilai di bawah KKM yang telah ditetapkan guru yaitu 55 hanya 3 siswa. Disamping itu penerapan konsep Pecahan Senilai melalui Pita Bilangan dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika sehingga hasil belajarnyapun meningkat. Penerapan diskusi kelompok yang merupakan bagian dari pembelajarran kooperatif tipe STAD mempermudah siswa dalam memahami dan memecahkan penyelesaian soal-soal yang berhubungan dengan pecahan senilai. Siswa merasa tidak terbebani dengan pelajaran matematika yang selama ini dianggap menakutkan. Saran Dalam pembelajaran pecahan senilai, media pita bilangan dan model pembelajaran STAD dapat menjadi salah satu alternatif yang di gunakan guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa. DAFTAR RUJUKAN Ali, Muhammad. 2003. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar. Engkoswara. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Rosda. Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) Matematika. 2004. Buku Panduan Guru. Yogjakarta. Sardiman, A. M. 2006. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Slavin, Robert E. 1997. “Synthesis of Research on Cooperative Learning” dalam Educational Leadership, Tahun XL (5): 71-82. Slavin, Robert E. 2005. Cooperative Learning: theory, research and practice. London: Allymand Bacon. Suyitno, Amin. 2004. Dasar-Dasar dan Proses Pembelajaran Matematika I. Hand Out Perkuliahan Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Matematika FMIPA UNNES.
937
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN STAD UNTUK MEMOTIVASI BELAJAR SISWA DALAM MENEMUKAN JARING-JARING KUBUS KELAS V SD INPRES 55 KLAMONO ( Pengalaman pada kegiatan on going 1 di Kabupaten Sorong) Nur Azami Dwi Haryadi Beatriks Simori Guru SD Inpres 139 Wariyau Kabupaten Sorong Guru SD YPK Eucharistia Klamono Kabupaten Sorong nurazamidwiharyadi@ yahoo.co.id
[email protected] Abstrak: Model pembelajaran Kooperatif STAD adalah salah satu model pembelajaran Kooperatif yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menyerap pelajaran yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Dalam membelajarkan matematika di Sekolah Dasar akan lebih cepat dipahami oleh siswa,jika siswa diberikan kesempatan yang cukup untuk menelaah pelajaran yang diberikan oleh guru dan diberikan contoh yang nyata. Pelaksanaan pembelajaran pada saat kegiatan on going I pada tanggal 1 Juni 2013. Praktik pembelajaran tersebut dilakukan untuk memberikan pengalaman baru bagi siswa kelas V di SD Inpres 55 Klamono, dan sekaligus mempraktikkan pengalaman peserta kegiatan Lesson study yang dilaksanakan di kota Batu Malang Jawa Timur. Kata kunci: STAD, Matematika, Lesson Study
Negara Indonesia yang tercinta ini memperoleh predikat yang cukup memprihatinkan dalam hal pendidikan, hal itu karena kita dipandang tertinggal dari Negara tetangga yang serumpun ASIA. Pandangan tersebut merupakan suatu tamparan bagi para pendidik yang mendapatkan hadiah yang pahit untuk ditelan. Menurut Robert W Richey (dalam Djaman Santori (2007) ”Para guru dituntut untuk memiliki pemahaman serta ketrampilan yang tinggi dalam hal bahan ajar, metode, anak didik dan landasan kependidikan Berbagai upaya ditempuh untuk menyelamatkan wajah pendidik. “ Padahal pada kenyataannya pendidikan di tanah air tidak semua buruk, terbukti pada akhir-akhir ini ada anak bangsa yang mampu meraih prestasi di Olimpiade ASIA dalam bidang Matematika dan Sains. Hanya saja persoalan yang dihadapi adalah kualitas pendidikan yang bermutu tidak menyebar keseluruh pelosok Nusantara yang terdiri atas ribuan pulau dengan berbagai kendala geografisnya. Untuk mencapai proses dan hasil belajar yang optimal perlu mengenal beberapa Tipe Belajar. Menurut Gagne (1970) dalam Sri Anitah, dkk (2008) “Belajar melalui konsep (Concept Learning) dapat membentuk perilaku melalui pemahaman terhadap suatu benda, peristiwa, katagori, golongan dan suatu kelompok “. Selanjutnya konsep itu adalah karakteristik, atribut, atau definisi suatu obyek. Konsep yang kongkrit dapat ditunjukkan bendanya, sedangkan konsep yang abstrak adalah definisi. Dalam kegiatan pembelajaran di SD diperlukan contoh yang nyata untuk mempercepat pemahaman siswa dalam menyerap bahan ajar. Hal itu karena siswa di tingkat SD masih dalam tahap berfikir konkrit, sesuai dengan teori belajar yang di kemukakan (Piaget,1972) dalam Sri Anitah, dkk (2008) “ Umumnya anak-anak pada tahap ini telah memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrik. Kemampuan ini terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklarifikasi dan serasi, mampu memandang suatu obyek dari sudut pandang yang berbeda secara obyektif, dan mampu berfikir verbal. Walaupun secara teori, bahwa media dapat membantu dalam memahamkan suatu konsep yang abstrak, akan tetapi media itu tidak akan banyak bermanfaat kalau tidak dapat digunakan secara baik dan efektif. Oleh sebab itu, tentu dibutuhkan guru yang mampu menggunakan media secara efektif, yang kita sebut guru professional. TEQIP (Teachers Quality Improvement Program) merupakan suatu kegiatan pelatihan peningkatan kompetensi profesionalisme guru berbasis Lesson Study. Program ini diselenggarakan UM bekerjasama dengan PT. Pertamina dengan peserta guru SD dan SMP dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam kegiatan TEQIP, peserta dilatih untuk meningkatkan 938
ketrampilannya agar menjadi guru yang lebih professional. Salah satu kegiatan TEQIP adalah mempraktikkan pembelajaran secara kolaboratif antara teman sejawat sesuai bidang studi masing–masing. Praktik pembelajaran ini dikemas dalam bentuk tahapan implementasi Lesson Study, yaitu PLAN (perencanaan) kemudian DO (pelaksanaan) dan SEE (Refleksi) (Sutopo dan Ibrohim, 2006). Tahap perencanaan (Plan) bertujuan untuk menghasilkan rancangan pembelajaran yang diyakini mampu membelajarkan siswa secara efektif serta membangkitkan partisipasi siswa dalam pembelajaran. Tahap pelaksanaan (Do) dimaksudkan untuk menerapkan rancangan pembelajaran yang telah direncanakan. Salah satu anggota kelompok berperan sebagai guru model dan anggota kelompok lainnya mengamati. Tahap refleksi (See) dimaksudkan untuk menemukan kelebihan dan kekurangan pelaksanaan pembelajaran. Pendidik yang bertugas sebagai guru model mengawali diskusi dengan menyampaikan kesan dan pemikirannya mengenai pelaksanaan pembelajaran. Salah satu bentuk kegiatan TEQIP di daerah adalah kegiatan On Going. Kegiatan On Going ini bertujuan untuk memberikan pengalaman kepada peserta TEQIP untuk mengimplementasikan pembelajaran berbasis lessosn study di kelas real di daerah. Pelaksanaan pembelajaran yang dirancang dalam implemtasi lesson study salah satunya dilaksanakan di Kabupaten Sorong. Rancangan pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam kegiatan On Going adalah penerapan metode cooperative model STAD (Student Teams Achievement Division) pada materi bangun ruang untuk meningkatkan motivasi siswa dengan menggunakan media pembelajaran. Rancangan ini dirumuskan berdasarkan hasil refleksi terhadap pembelajaran yang selama ini dilakukan cendrung siswanya bersifat pasif dan kurang termotivasi untuk belajar. Pemilihan pembelajaran cooperative STAD karena metode ini merupakan salah satu metode atau pendekatan dalam pembelajaran kooperatif yang sederhana dan baik untuk guru yang baru mulai menggunakan pendekatan kooperatif dalam kelas, STAD juga merupakan suatu metode pembelajaran kooperatif yang efektif. METODE PELAKSANAAN Pelaksanaan pembelajaran ini mengimplementasikan tahapan lesson study, yaitu plan, do, dan see: Plan (perencanaan) Sebelum melaksanakan praktek mengajar guru model yang ditugaskan bersama teman sejawat bersepakat menyusun Rencana Pembelajaran. Kegiatan Plan ini dilaksanakan pada kegiatan TOT di Malang. Pertama disepakati Nur Azami Dwi Haryadi sebagai guru model. Selanjutnya bersama teman sejawat, merancang pembelajaran pada materi jaring-jaring kubus yang dikaitkan dengan model pembelajaran STAD. Pada kegiatan ini juga disusun media dan penilaian yang akan digunakan pada pelaksanaan pembelajaran. Do ( pelaksanaan) Pelaksanaan pembelajaran dilaksanakan pada kegiatan On going I yang di laksanakan pada tanggal 1 Juni 2013 di SD Inpres 55 Klamono Kabupaten Sorong dengan subyek 23 siswa. See ( refleksi ) Setelah kegiatan pembelajaran berakhir, langsung diadakan refleksi kegiatan belajar yang telah di laksanakan dengan ekspert dari Universitas Negeri MalangH. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Dalam kegiatan pembelajaran mengimplementasikan lesson study, hasil kegiatan yang diuraikan dengan tahapa lesson study, yaitu dimulai dari kegiatan Plan, kemudian Do, dan terakhir See. Plan (perencanaan) Sebelum melaksanakan praktek mengajar guru model yang ditugaskan bersama teman sejawat bersepakat menyusun Rencana Pembelajaran dengan Standar Kompetensi: Geometri dan Pengukuran, Memahami sifat-sifat bangun dan hubungan antar bangun. 939
Kompetensi Dasar: Menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan volume kubus dan balok. Selanjutnya Materi yang di pilih; Siswa dapat membuat jaring-jaring kubus. Penulis bersama teman sejawat, merancang pembelajaran pada materi jaring-jaring kubus yang dikaitkan dengan model pembelajaran STAD. Pembelajaran yang akan dilakukan dengan setting dalam diskusi kelompok, yang masing masing kelompok 4 siswa, agar siswa bekerjasama untuk menemukan sebanyak mungkin jaring-jaring kubus yang dibuat. Media yang dipersiapkan berupa kertas yang di buat garis berpetak dengan ukuran yang sisi-sisinya 10 cm, dan di bentuk jaring-jaring kubus sebagai contoh. Tujuannya agar dapat terlihat dengan jelas dari bangku kelompok siswa yang paling belakang. Untuk masing–masing kelompok siswa, di persiapkan sebanyak 4 lembar kertas berpetak, 1 gunting dan 1 selotip ( isolasi plastik transparan ) 1 penggaris plastik. Dalam Penilaian, di persiapkan 2 jenis penilaian, yaitu: Penilaian proses dan Penilaian Hasil. Kriteria penilaian Proses berfokus pada kerjasama kelompok, dan penilaian hasil, berfokus pada produk yang di hasilkan pada kelompok dari ketepatan bentuk jaring-jaring kubus, kerapihan pembuatannya dari bentuk guntingan, bentuk lipatan dan membentuknya menjadi sebuah kubus. Do ( pelaksanaan) Pada saat melaksanakan kegiatan On going I yang di laksanakan pada tanggal 1 Juni 2013 di SD Inpres 55 Klamono Kabupaten Sorong, Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, Nur Azami Dwi Haryadi disepakati sebagai guru model. Dalam kegiatan pembelajaran, dipilih materi matematika tentang jaring-jaring bangun ruang sederhana, dengan menggunakan model pembelajaran STAD. Sebelum dilaksanakan pembelajaran siswa dikelompokkan dalam 6 kelompok diskusi, karena jumlah siswanya 23 anak. Metode diskusi kelompok dipilih karena guru ingin melatih siswa untuk bekerjasama dalam hal ini membuat jaring-jaring kubus. Harapan yang ingin di capai adalah siswa akan dapat membuat jaring-jaring kubus dengan mudah dan tepat. Pada awal pembelajaran guru memberi salam kepada siswa dan mengkondisikan kelas agar siap melaksanakan pembelajaran. Kemudian guru model bertanya kepada seluruh siswa tentang bangun ruang yang sudah mereka ketahui. Jawaban yang diharapkan dari siswa ternyata masih belum mengarah kepada jawaban yang di butuhkan, maka guru model memberikan stimulus berfikir dengan menunjukkan bangunan yang di gunakan sebagai tempat belajar (kelas) mereka. Dengan menunjukkan kelas yang mereka gunakan dan memberikan keterangan tentang bangun tersebut merupakan bangun ruang maka siswa kemudian mengerti maksud dari pertanyaan yang di sampaikan oleh guru. Selanjutnya guru model menyampaikan kepada siswa tujuan pembelajaran yang akan dilaksanakan, yaitu siswa mampu membuat jaring–jaring kubus dengan benar. Guru model memberi contoh dengan menampilkan sebuah kubus yang dibuat dari kertas manila warna merah, kemudian di buka sisi-sisinya sehingga membentuk sebuah jaring-jaring kubus yang di tempelkan di papan tulis, kemudian guru model membagikan perangkat praktek kepada seluruh kelompok diskusi, berupa 4 buah kertas berpetak, sebuah gunting, sebuah penggaris plastik, dan sebuah isolasi plastik, untuk membuat jaring-jaring kubus. Seluruh kelompok di tugaskan untuk membuat jaring-jaring kubus yang sebanyak-banyaknya selama 45 menit.Setelah sampai pada waktu yang ditentukan, setiap kelompok diskusi di beri tugas untuk mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan kelompok diskusi yang lain. Dari hasil yang kerja yang di kumpulkan ternyata terdapat hasil yang bervariasi. Kelompok 3 yang dapat membuat 4 buah jaring –jaring kubus dengan benar tanpa kesalahan dalam memotong kertas berpetak tersebut. Sedangkan kelompok 1 ada yang hanya mendapat 1 buah jaring –jaring kubus dengan 2 kesalahan memotong kertas berpetak, dan pada kelompok 4 membuat 2 buah jaring –jaring kubus dengan 2 kesalahan memotong pada garis berpetaknya. Pada kelompok 5 mendapat 3 jaring-jaring kubus yang benar dan 2 kesalahan bentuk potongan, kelompok 2 hanya mendapatkan 2 jaring jaring kubus dengan 1 kesalahan dan kelompok 6 hanya mendapat 2 jaring jaring kubus dan belum memotong lagi untuk mencoba membuatnya. Pada akhir pembelajaran guru model memberikan kesempatan bertanya kepada siswa terhadap hal yang ingin di tanyakan. Selanjutnya guru model memberi penguatan akhir dengan memberikan gambar sebanyak 11 bentuk-bentuk lain jaring –jaring kubus, termasuk yang 940
sudah di praktekkan oleh siswa. Sebelum menutup pembelajaran guru model siswa diberikan tugas untuk mempraktekkan sendiri sebagai tugas kelompok dengan bimbingan wali kelasnya. See ( refleksi ) Setelah kegiatan pembelajaran berakhir maka guru model dan seluruh observer berkumpul untuk merefleksi kegiatan belajar yang telah dilaksanakan. Sebagai moderator adalah Ekspert yang ditunjuk dari Universitas Negeri Malang, menyampaikan selamat kepada guru model dan selanjutnya diberikan kesempatan untuk menyampaikan tentang kesannya mengajar kelas V di SD Inpres 55 Klamono. Kemudian guru model menyampaikan kesannya bahwa segala persiapan yang dilakukan mulai dari RPP, media pembelajaran, perangkat pembelajaran, sampai dengan metode mengajarnya, sudah di persiapkan dengan sebaik-baiknya. Namun guru model merasa bahwa pembelajaran yang dilakukan belum memuaskan maupun hasil pembelajaran yang di capai. Ketika moderator memberikan kesempatan kepada observer untuk memberikan pendapatnya, salah satu observer yang merupakan guru kelas dari kelas V, mengungkapkan bahwa lesson study yang dilaksanakan ini merupakan pengalaman baru bagi siswanya, sehingga menjadi kecanggungan bagi siswa karena bukan guru kelasnya yang mengajar sehingga mempengaruhi secara psikologis, tetapi sebenarnya siswa bersemangat untuk mengikuti proses pembelajaran yang disampaikan. Teman sejawat yang juga sebagai observer memberikan informasi bahwa; gunting yang diberikan kepada kelompok diskusi siswa ukurannya kurang panjang, sehingga siswa menggunting kertas berpetak menjadi agak lama. Hal itu menyebabkan hambatan waktu sehingga hanya mendapatkan sedikit jaring-jaring kubus yang dihasilkan. Dari informasi tersebut kemudian ekspert memberikan motivasi kepada guru model dan observer bahwa; seluruh pembelajaran yang dilakukan sudah cukup bagus dan menarik namun apa yang kita lakukan saat ini menjadi suatu pengetahuan yang sangat berharga untuk dikembangkan. Yang menjadi catatan menarik, bahwa selama ini untuk jaring- jaring kubus bukan suatu hal yang menarik untuk didalami. Tenyata ada sebanyak 11 kali untuk menciptakan jaring-jaring kubus dengan media kertas berpetak. Keberhasilan dalam melaksanakan pembelajaran bukan hanya faktor guru sebagai sentral pendidikan dan metode belajar yang dilakukan tetapi bisa jadi dari pengalaman siswa didiknya. Ketika guru model diberikan kesempatan untuk berbicara kembali, guru model menyampaikan bahwa alokasi waktu yang diberikan bagi siswa untuk mempelajari pembelajaran ini masih kurang. Pengamatan Hasil pengamatan yang dilakukan oleh observer terhadap siswa yang mengikuti pembelajaran ditemukan informasi sebagai berikut ; 1. Kesiapan Belajar Pada awal pembelajaran, siswa sudah siap menerima pelajaran dengan baik. 2. Siswa yang tidak belajar Pada kelompok 5, terdapat seorang siswa yang diam dan tidak ikut terlibat dalam kerja kelompok. 3. Mengapa siswa tersebut tidak belajar? Siswa tersebut kurang bersemangat untuk bekerjasama karena didominasi oleh salahsatu teman dalam kelompok yang bersangkutan. 4. Upaya yang dilakukan guru mengatasi siswa yang tidak belajar? Memberikan perhatian kepada kelompok yang bersangkutan dan member nasehat agar bekerjasama lagi untuk melakukan tugas kelompok secara bersama-sama 5. Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi siswa yang terganggu dalam belajar. Siswa yang terganggu dalam belajar hendaknya menjadi perhatian yang khusus bagi pendidik, dan diberikan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi, serta diberikan motivasi untuk belajar dengan baik. 6. Bagaimana siswa terlibat dalam kegiatan penutup? Dalam kegiatan penutup guru memberikan penguatan akhir, dan siswa masih menunjukkan perhatian yang cukup baik karena masih penasaran dengan bentuk –bentuk lain dari jaringjaring kubus yang belum ditemukan oleh siswa. 941
7. Pengalaman berharga dapat diperoleh. Pembelajaran yang dilakukan dengan menerapkan model pembelajaran STAD dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar. Hal itu terbukti pada saat dilaksanakan pembelajaran, siswa kelas V masih bersemangat untuk melaksanakan tugas yang diberikan sampai pada akhir batas waktu yang diberikan. PEMBAHASAN Saat akan dilaksanakan pembelajaran pada on going 1, guru model bersama teman sejawat mempersiapkan dengan membuat gambar jaring-jaring kubus , sehingga akan jelas seberapa banyak yang dapat dibuat untuk membentuk suatu kubus dengan jaring-jaring kubus. Dari pembuatan jaring-jaring secara bersama dengan teman sejawat mendapatkan sebanyak 11 seperti pada gambar berikut.
1
2
5
6
3
4
7
8
1 1
10
9 Saat diskusi berlangsung siswa bekerjasama dengan semangat tinggi saling bersaing ingin secepatnya menemukan jaring-jaring kubus dan terlihat keseriusan mereka untuk mendapatkan hasil paling banyak dari tugas yang diberikan kepada kelompoknya. Persaingan tersebut menimbulkan sedikit kegaduhan tetapi masih dalam batas yang wajar. Pada akhir waktu yang ditentukan ternyata hasil yang diperoleh sangat bervariasi sebagaimana yang sudah diterangkan pada proses pelaksanaan pembelajaran. Penilaian yang di ambil dari proses dan hasil pembelajaran.
942
Penilaian A. Penilaian Proses Kerjasama kelompok Nama Tidak ada siswa 1 siswa 2 siswa 3 siswa Semua siswa No Kelompok aktif aktif aktif aktif aktif 1 2 3 4 5 6 7 1 Satu √ 2 Dua √ 3 Tiga √ 4 Empat √ 5 Lima √ 6 Enam √ Keterangan penskoran skor penilaian pada tiap kolom: 3 skor nilai = 0 4 skor nilai = 10 5 skor nilai = 20 6 skor nilai = 40 7 skor nilai = 60 B.
skor 8 40 60 60 60 60 60
Penilaian Produk
No
Nama Kelompok
Jumlah jaring-jaringkubus yang diperoleh dengan benar
Skor yang didapat
1 1 2 3 4 5 6
2 Satu Dua Tiga Empat Lima Enam
3 1 2 4 3 2 2
4 2 4 12 6 4 4
Jika jumlah jaring –jaring kubus yang dihasilkan dalam diskusi kelompok, dalam bentuk berbeda: 11 buah maka nilai skornya 20 9 buah maka nilai skornya 15 6 buah maka nilai skornya 10 3 buah maka nilai skornya 6 1 buah maka nilai skornya 2 PENILAIAN AKHIR : Penilaian Proses + Penilaian Produk 10 Penilaian Akhir : No
Nama Kelompok
1 1 2 3 4 5 6
2 Satu Dua Tiga Empat Lima Enam
Penilaian (2 P) Proses
Produk
3 40 60 60 60 60 60
4 2 4 12 6 4 4 943
Jumlah 5 42 62 72 66 64 64
Nilai Akhir 10 6 4,2 6,2 7,2 6,6 6,4 6,4
KESIMPULAN Upaya untuk menghasilkan siswa didik yang berkualitas harus selalu berkesinambungan. Peningkatan hasil belajar siswa yang selalu menjadi harapan pelaku pendidikan, yang pada akhir akan meningkatkan kualitas pendidikan. Seperti yang penulis lakukan untuk menyiapkan media pembelaajaran tersebut di atas, agar menjadi acuan yang jelas seberapa banyak yang dapat dilakukan untuk membentuk jaring –jaring kubus yang menggunakan kertas berpetak.Pada tahap pelaksanaan pembelajaran on going 1 ternyata penggunaan media meningkatkan menjadikan siswa termotivasi untuk melaksanakan tugastugas yang di berikan. Hal itu tergambar pada akhir proes pembelajaran siswa masih merasa waktunya belum cukup untuk menyelesaikan tugasnya. DAFTAR RUJUKAN Djaman Santori, dkk.2007. Profesi Keguruan.Universitas Terbuka, Jakarta. Sri Anitah, dkk 2008, Strategi Pembelajaran di SD, Universitas Terbuka, Jakarta. Sutopo dan Ibrohim. 2006. Pengalaman IMSTEP dalam Implementasi Lesson Study. Makalah disajikan dalam Pelatihan Pengembangan Kemitraan LPTK-Sekolah dalam rangka Peningkatan Mutu Pembelajaran MIPA di Yogyakarta, 27-29 Juli 2006. Erman Suherman, dkk, ( 2003)Common Text Book, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung : JICA.
944