Pemanfaatan Citra Satelit Penginderaan Jauh Untuk Pengelolaan Sumber Daya Air Studi Kasus : Daerah Aliran Sungai Dodokan, Prov. NTB Sukentyas Estuti Siwi dan Wawan K. Harsanugraha Kedeputian Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Telp. (021) 8710786; HP. +62-813-20-577877; Faks. (021) 8717715 Email: sukentyas
[email protected] ;
[email protected] Ringkasan Daerah aliran sungai (DAS) merupakan kawasan yang dikelola dalam upaya menjaga kontinuitas ketersediaan air. Keberhasilan pengelolaan suatu DAS diharapkan dapat mencegah terjadinya banjir pada saat musim hujan dan menghindarkan kekeringan pada musim kemarau. Data penginderaann jauh dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengelolaan DAS melalui ekstraksi beberapa jenis informasi tematik yang memberikan gambaran karakteristik DAS. Dalam penelitian ini data satelit penginderaan jauh digunakan untuk mendukung pengelolaan DAS Dodokan di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Tujuan penelitian adalah menyusun data dan informasi karakteristik DAS berbasis data penginderaan jauh sebagai bahan untuk mendukung pengelolaan DAS. Data satelit penginderaan jauh yang digunakan adalah data Landsat-7 (tahun 2001) dan data ALOS AVNIR-2 (tahun 2006). Analisis dan interpretasi citra dilakukan dengan pendekatan multispektral, dan multitemporal yang didukung DEM SRTM Arc30, peta tematik dan data hasil survei lapangan. Data satelit penginderaan jauh digunakan untuk memperoleh informasi penutup/penggunaan lahan, indeks penutup lahan (IPL) dan bentuk lahan. Kajian diarahkan pula untuk memperoleh informasi tentang kondisi DAS. Berdasarkan hasil pengolahan DEM SRTM Arc30 diperoleh batas DAS Dodokan sehingga diperoleh luas DAS, yaitu 560,02 Km2 dan keliling DAS 179,10 Km. DAS Dodokan yang berbentuk lonjong mengindikasikan waktu konsentrasi air hujan yang mengalir menuju outlet relatif lama sehingga fluktuasi banjir juga relatif rendah. Hasil perhitungan nisbah percabangan sungai pada parameter jaringan sungai mendekati nilai 3 (tiga) yang berarti bahwa kenaikan muka air di alur sungai tersebut dapat terjadi dengan cepat dan menimbulkan banjir, sedangkan penurunannya berjalan lambat. Selain itu, DAS Dodokan memiliki kerapatan aliran 2,07 Km/Km? yang berarti termasuk dalam kriteria kerapatan sedang dan pola alirannya yang dentritik rektangular. Elevasi DAS Dodokan berkisar antara 0150 meter di atas permukaan laut dan memiliki 5 macam bentuk wilayah, yakni datar (0-8%), landai (8-15%), agak curam (15-25%), curam (25-40%), dan sangat curam (>40%). Secara teoritis dan praktis, faktor kelerengan lahan yang sangat curam (>40%) tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya pertanian maupun nonpertanian, kecuali diperuntukkan sebagai kawasan konservasi tanah dan air (hutan). Berdasarkan hasil pengolahan citra Landsat-7 dan ALOS AVNIR2 diperoleh informasi penutup lahan dan perubahannya dalam periode 5 tahun (2001-2006). Penutup lahan didominasi oleh sawah yang mencapai luas 33.527 Ha (=59,87%) pada tahun 2001 dan 33.789 Ha (= 60,34%) pada tahun 2006, sehingga dalam kurun waktu 5 tahun luas sawah bertambah 262 Ha. Penutup lahan hutan berkurang 2 Ha dari 1.646 Ha (tahun 2001) menjadi 1.644 Ha (tahun 2006). Penurunan luas penutup lahan diakibatkan adanya alih fungsi lahan hutan menjadi semak/belukar, tegalan/ladang menjadi sawah dan/atau semak/belukar menjadi tegalan/ladang/sawah. Hasil perhitungan indeks penutupan lahan (IPL) untuk DAS Dodokan diperoleh nilai 0,029. IPL merupakan rasio luas lahan yang memiliki vegetasi permanen dengan luas daerah aliran sungai. Nilai IPL yang rendah (0,029) menunjukkan bahwa DAS Dodokan termasuk dalam kriteria DAS yang kritis. Bentuklahan yang teridentifikasi di DAS Dodokan adalah dataran aluvial, lereng kaki, dan pegunungan denudasional. Informasi geologi memberikan gambaran bahwa DAS Dodokan merupakan satuan perbukitan menggelombang dan dibentuk oleh PIT MAPIN XVII, Bandung 10-12-2008
490
berbagai jenis batuan sedimen dan gunungapi yang didominasi oleh perselingan breksi gampingan dan lava penyusun Formasi Kalipalung dan perselingan breksi dan lava penyusun Formasi Kalibabak. Sementara itu, untuk jenis tanah didominasi oleh Komplek Mediteran Coklat & Mediteran Coklat Kemerahan yang memiliki tekstur liat dengan drainase permukaan sedang. Kondisi ini menyebabkan air hujan untuk sementara waktu tinggal di permukaan tanah dan meresap ke dalam tanah secara lambat, kandungan air optimal bagi pertumbuhan tanaman, lereng melandai, dan peresapan tanah baik. Berdasarkan hasil analisis dan interpretasi citra dengan dukungan informasi non penginderaan jauh, menunjukkan bahwa penggunaan citra penginderaan jauh sangat bermanfaat dalam kajian pengelolaan sumber daya air khususnya untuk mendukung pengelolaan suatu DAS. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa DAS Dodokan merupakan DAS dengan kriteria kritis, sehingga diperlukan penanganan dalam pengelolaannya dengan cara perlindungan (proteksi), perbaikan, dan rehabilitasi. Tindakan perlindungan dilakukan untuk menjaga kondisi yang ada (status quo). Teknik perbaikan digunakan untuk memperoleh keuntungan hasil air, sedangkan rehabilitasi DAS diimplemantasikan melalui penggunaan lahan yang sesuai dan tindakan konservasi untuk memperkecil erosi dan secara simultan meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani. Kata kunci : Daerah Aliran Sungai (DAS), Karakteristik DAS, Penginderaan Jauh
1
Pendahuluan
Pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia diarahkan pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam hutan, tanah dan air bagi kepentingan masa sekarang serta menjamin kelangsungan pemanfaatannya di masa yang akan datang. Pengalaman menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan sumber daya alam tersebut seringkali hanya dipandang dalam lingkup batas-batas wilayah administratif, padahal proses-proses alam seperti banjir, tanah longsor dan degradasi lingkungan, seperti erosi dan sedimentasi tidak mengenal batas wilayah administrasi melainkan mengikuti batas-batas Daerah Aliran Sungai (DAS). Kerusakan DAS dapat mengakibatkan hilangnya kemampuan DAS untuk menyimpan air di musim kemarau, meningkatnya frekuensi banjir tahunan, tidak memadai lagi akses pasokan air bersih untuk masyarakat dan tingginya sedimentasi yang semuanya itu menunjukkan bahwa proses daur hidrologi sudah mengalami kerusakan. DAS (watershed atau drainage basin) adalah suatu area di permukaan bumi yang di dalamnya terdapat sistem pengaliran sumber daya air yang terdiri dari satu sungai utama (main stream) dan beberapa anak cabangya (tributaries), yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air dan mengalirkan air melalui satu outlet [Ritter, 2003]. Pada Gambar 1 dapat dilihat visualisasi suatu DAS secara umum. Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi yang dapat mengikuti perkembangan kebutuhan masyarakat akan data yang spasial, faktual dan aktual. Kemampuan penyediaan data dan informasi kebumian yang bersifat dinamik bermanfaat dalam pembangunan di era Otonomi Daerah. Ketersediaan data dan informasi yang diimbangi dengan pengolahan data menjadi informasi wilayah dapat dilakukan dengan sistem informasi geografis (SIG). SIG merupakan suatu sistem yang mengintegrasikan hardware, software dan brainware untuk pengumpulan, pengolahan dan penyajian data yang bereferensi keruangan (spasial). Kemampuan untuk mengintegrasikan data dari berbagai sumber, mengolah dan menganalisis serta menyajikan hasil dalam waktu yang relatif singkat merupakan kelebihan dari SIG sehingga banyak diaplikasikan dalam berbagai pemodelan sumber daya secara keruangan. Tujuan penelitian adalah menyusun data dan informasi karakteristik DAS berbasis data penginderaan jauh sebagai bahan untuk mendukung pengelolaan DAS. Daerah yang menjadi objek 491
Gambar 1: Daerah Aliran Sungai (watershed atau drainage basin) kajian adalah DAS Dodokan di Provinsi Nusa Tenggara Baratt (NTB).
2
Metodologi
Data pokok yang digunakan dalam penelitian ini adalah data satelit penginderaan jauh Landsat7 (tahun 2001) dan data ALOS AVNIR-2 (tahun 2006). Analisis dan interpretasi citra dilakukan dengan pendekatan multispektral dan multitemporal yang didukung DEM SRTM Arc30, peta tematik dan data hasil survei lapangan. Adapun langkah-langkah pengolahan data penginderaan jauh adalah:
2.1
Pengolahan Data DEM SRTM Arc 30
Pengolahan data DEM SRTM Arc30 dilakukan untuk memperoleh informasi batas DAS, kelerengan, ketinggian, dan jaringan sungai. Informasi batas DAS diperoleh secara digital delineation dengan menggunakan modul ArcHydro pada perangkat lunak ArcGIS 9.2. Informasi lereng diperoleh secara otomatis menggunakan modul slope yang ada dalam perangkat lunak ER Mapper 7.0. Secara teknis, tahap-tahap yang dilakukan dalam pembuatan peta lereng secara digital adalah, melakukan proses pemfilteran arah horisontal dengan filter df/dx dan pemfilteran arah vertikal dengan filter df/dy, sehingga menghasilkan dua buah peta raster df/dx dan df/dy. Tahap selanjutnya adalah melakukan proses kalkulasi dengan menerapkan formula: q df 2 df 2 ( dx ) + ( dy ) × 100% (1) ukuran piksel DEM
Hasil akhir yang diperoleh adalah peta raster yang berisi nilai kemiringan lereng dalam satuan persen. Selanjutnya kelerengan DAS tersebut diklasifikasi menurut beberapa kelas lereng yaitu: 0 - 8%, 8 - 15%, 15 - 25%, 25 - 40% dan ¿ 40%. Informasi ketinggian suatu tempat dapat diketahui melalui peta topografi, pengukuran lapangan atau melalui citra DEM SRTM yang kemudian diklasifikasi berdasarkan perbedaan ketinggian. Informasi jaringan sungai diperoleh dari kompilasi data DEM SRTM Arc30 dengan Peta RBI daerah yang dikaji skala 1:50.000. 492
2.2
Analisis Morfometri DAS
Beberapa karakteristik DAS yang penting dapat dikaji berdasarkan hasil analisis morfometri. Karakteristik DAS tersebut adalah: 2.2.1
Luas dan Keliling DAS
Luas dan keliling DAS diperoleh dari hasil penghitungan otomatis batas DAS dengan menggunakan ekstensions Xtools pada perangkat lunak Arcview 3.2. 2.2.2
Bentuk DAS
Koefisien corak/bentuk DAS merupakan perbandingan antara luas DAS dengan panjang sungainya. Beberapa metoda yang digunakan untuk menentukan bentuk DAS antara lain: a. Menurut Schum (1956) dalam Seyhan (1977), faktor bentuk DAS dapat ditentukan dengan menggunakan elongation ratio dengan rumus sebagai berikut:
Re = 1, 129
A1/2 Lb
! (2)
dimana: Re : Faktor bentuk; A : Luas DAS (km2 ) dan Lb : Panjang Sungai Utama (km) a. Menurut Miller (1953) dalam Seyhan (1977), penentuan bentuk DAS dapat menggunakan rumus circularity ratio sebagai berikut: Rc =
4πA p2
(3)
Dimana : A : Luas DAS (km2 ); P : Keliling (perimeter) DAS (km) 2.2.3
Orde Sungai
Metode kuantitatif untuk mengklasifikasikan sungai dalam DAS adalah pemberian orde sungai maupun cabang-cabangnya secara sistematis. Metode pengklasifikasian sungai menggunakan metode Strahler (Gambar 3.) Selanjutnya jumlah alur sungai untuk suatu orde dapat ditentukan angka indeknya yang menyatakan tingkat percabangan sungai (bifurcation ratio), dengan persamaan 4 berikut:
Rb =
Nu Nu+1
(4)
dimana : Rb : Indeks tingkat percabangan sungai; Nu : Jumlah alur sungai untuk orde ke u ; Nu+1 : jumlah alur sungai untuk orde ke u+1 2.2.4
Kerapatan Aliran
Kerapatan sungai adalah suatu angka indeks yang menunjukan banyaknya anak sungai di dalam suatu DAS. Indeks tersebut dapat diperoleh dengan persamaan 6 sebagai berikut:
Dd =
493
L A
(5)
Gambar 2: Sistem Orde Sungai Menurut Strahler Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Arthur Newell Strahler (1:08 wib, 2008) dimana : Dd : indeks kerapatan sungai (km/km2 ); L : jumlah panjang sungai termasuk panjang anak-anak sungai (km) A : luas DAS (km2 ) Adapun klasifikasi indeks kerapatan sungai tersebut adalah: * Dd :< 0, 25km/km2 : rendah * Dd : 0, 25 − 10km/km2 : sedang * Dd : 10 − 25km/km2 : tinggi * Dd :> 25km/km2 : sangat tinggi Berdasarkan indeks tersebut di atas, dapat diperkirakan suatu gejala yang berhubungan dengan aliran sungai, yaitu: - Jika nilai Dd rendah, maka alur sungai melewati batuan dengan resistensi keras sehingga angkutan sedimen yang terangkut aliran sungai lebih kecil jika dibandingkan pada alur sungai yang melewati batuan dengan resistensi yang lebih lunak, apabila kondisi lain yang mempengaruhinya sama. - Jika nilai Dd sangat tinggi, maka alur sungainya melewati batuan yang kedap air. Keadaan ini akan menunjukan bahwa air hujan yang menjadi aliran akan lebih besar jika dibandingkan suatu daerah dengan Dd rendah melewati batuan yang bermeabelitasnya besar. 2.2.5
Pola Aliran Sungai
Sungai dalam suatu DAS mengikuti suatu aturan yaitu bahwa aliran sungai dihubungkan oleh suatu jaringan satu arah dimana cabang dan anak sungai mengalir ke dalam sungai induk yang lebih besar dan membentuk pola tertentu. Pola tersebut tergantung dari pada kondisi topografi, geologi, iklim, vegetasi yang terdapat di dalam DAS yang bersangkutan. Secara keseluruhan kondisi tersebut menentukan karakteristik sungai dalam bentuk polanya. Soewarno (1991) dalam Anonimous (2003) menyatakan bahwa beberapa pola aliran yang ada adalah: a) Dendritrik, pada umumnya terdapat pada daerah dengan batuan sejenis dan penyebarannya luas, misalnya suatu daerah ditutupi oleh endapan sedimen yang luas dan terletak pada suatu bidang horizontal di daerah dataran rendah. b) Radial, pola ini biasanya dijumpai di daerah lereng gunung api atau daerah dengan topografi berbentuk kubah. c) Rektangular,
494
terdapat di daerah batuan kapur. d) Trellis, biasanya dijumpai pada daerah dengan lapisan sedimen di daerah pegunungan lipatan.
2.3
Pengolahan Data Penginderaan Jauh
Data penginderaan jauh yang digunakan, yaitu data Landsat-7 (tahun 2001), data ALOS AVNIR-2 (tahun 2006), dan data Landsat-7 Orthorectified Pansharpen (Tahun 2000). Pengolahan awal data penginderaan jauh adalah koreksi geometrik, yang merupakan proses penempatan kembali posisi piksel sedemikian rupa, sehingga pada citra yang tertransformasi dapat dilihat gambaran obyek dipermukaan bumi yang terekam sensor. Selanjutnya dilakukan pemotongan data (cropping) sesuai dengan batas DAS dan penajaman data (enhancement) agar data lebih representatif untuk diidentifikasi dan diinterpretasi. Data penginderaan jauh yang diidentifikasi dan diintepretasi adalah penutup lahannya, seperti hutan, semak/belukar, perkebunan, sawah, tegalan/ladang, lahan terbuka, permukiman, tambak dan tubuh air. Metode digitasi yang digunakan adalah digitasi on-screen pada layar monitor komputer dengan skala digitasi 1:50.000.
2.4
Pengolahan Data Spasial
Pengolahan data spasial menggunakan metode digitasi, dimana data spasial berupa data raster. Sehingga proses yang dilakukan adalah mengubah data raster menjadi vektor dengan cara digitasi, setelah data spasial tersebut telah berkoordinat. Adapun data spasial yang didigitasi adalah informasi geologi, jenis tanah, dan bentuklahan.
3
Diagram alir penelitian
Alur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
4
Hasil dan pembahasan
DAS yang dikaji dalam penelitian ini adalah DAS Dodokan yang merupakan sub-DAS dari satuan wilayah pengelolaan (SWP) DAS Dodokan. Berdasarkan letak geografisnya DAS Dodokan terletak pada koordinat 116348.97 - 1162142.75 BT dan 8359,3 - 84210.61 LS. Berdasarkan letak administrasi DAS Dodokan terletak di Kabupaten Lombok Tengah dengan luas 476,56 Km? dan di Kabupaten Lombok Barat dengan luas 83,47 Km?. Total luas DAS Dodokan adalah 560,03 Km? dan keliling DAS 179,10 Km (Lampiran Peta 1.). Parameter morfometri DAS perlu diidentifikasi sebagai karakteristik DAS terutama dalam kaitannya dengan proses pengatusan (drainase) air hujan yang jatuh di dalam DAS tersebut. Faktor bentuk DAS dikuantifikasikan menggunakan dua metode yaitu nilai nisbah kebulatan (circularity ratio/Rc) dan nisbah memanjang (Elongation Ratio/RE). Kedua nilai ini sangat terkait dengan waktu konsentrasi air hujan yang mengalir menuju outlet. Tabel 1: Nilai parameter untuk bentuk DAS NAMA DAS DAS DODOKAN Sumber :
LUAS (km2 ) 560,02 Analisis GIS
KELILING (km.) 179,10
PANJANG SUNGAI UTAMA (km.) 63,85
RC 0,22
RE 0,42
Tabel 1 memperlihatkan hasil perhitungan nilai parameter bentuk DAS diperoleh nilai nisbah kebulatan (Circularity Ratio/RC) dan nisbah memanjang (Elongation Ratio/RE) di bawah nilai 0,5. Hal tersebut menunjukkan bahwa bentuk DAS Dodokan adalah lonjong yang berarti waktu
495
Gambar 3: Diagram penelitian konsentrasi air hujan yang mengalir menuju outlet relatif lama sehingga fluktuasi banjir juga relatif rendah. Parameter jaringan sungai dikuantifikasikan dengan menentukan orde (urutan) dari masingmasing alur sungai dengan menggunakan metode Strahler (Lampiran Peta 2 dan 3.). Nisbah percabangan (Bifurcation Ratio/RB) merupakan perbandingan antara jumlah alur sungai orde tertentu dengan orde sungai satu tingkat diatasnya. Tabel 2: Perhitungan nisbah percabangan (RB) sungai berdasarkan orde sungai NAMA DAS DAS DODOKAN Sumber: analisis GIS dan perhitungan
ORDE SUNGAI I-V
RB 1 - 2 1,87
RB 2 - 3 2,08
RB 3 - 4 1,88
RB 4 - 5 2,34
Tabel 2 menunjukan hasil perhitungan nisbah percabangan sungai di DAS Dodokan hampir semuanya mendekati nilai 3 (tiga) yang berarti bahwa alur sungai tersebut akan mempunyai kenaikan muka air banjir dengan cepat, sedangkan penurunannya berjalan lambat. Jika terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi terdapat kemungkinan bahwa alur-alur sungai dibawah tidak dapat menampung air yang berasal dari alur-alur sungai diatasnya, sehingga dapat meng496
akibatkan luapan air sungai dan penggenangan. Menurut Lynsley (1949) dalam Anonimous (2003), jika nilai kerapatan aliran sungai lebih kecil dari 1 mile/mile2 (0,62 km/km2) maka DAS akan mengalami penggenangan, sedangkan jika nilai kerapatan aliran sungai lebih besar dari 5 mile/mile2 (3,10 km/km2), maka DAS akan sering mengalami kekeringan. Kerapatan aliran diperoleh dari jumlah panjang sungai termasuk panjang anak-anak sungai dibagi dengan luas DAS. Berdasarkan perhitungan diperoleh kerapatan aliran DAS Dodokan 2,07 Km/Km? termasuk dalam kriteria kerapatan sedang. Selain itu, kerapatan aliran dapat dihitung dengan cara mengoverlay (tumpang-susun) peta jaringan sungai dengan peta grid bujursangkar dengan ukuran tertentu. Dalam studi ini digunakan peta grid ukuran 1 km x 1 km. Kemudian dihitung panjang aliran dalam setiap grid sehingga diperoleh hasil panjang aliran per km2. Nilai kerapatan aliran yang diperoleh dalam tiap grid kemudian dikelaskan dan grid dengan kelas kerapatan yang sama digabungkan. Dengan cara ini maka akan dapat diperoleh peta kelas kerapatan aliran seperti yang tersaji pada Lampiran Peta 4. Pola aliran (drainage pattern) berpengaruh pada efisiensi sistem drainase dan karakteristik hidrografis. Dari hasil identifikasi DAS dodokan memiliki pola aliran dendritik dan dentritik rektangular. Pola tersebut umumnya terdapat di daerah dengan batuan sejenis dan penyebarannya luas, misalnya suatu daerah ditutupi oleh endapan sedimen yang luas dan terletak pada suatu bidang horizontal di daerah dataran rendah. Elevasi DAS Dodokan berkisar antara 0150 meter di atas permukaan laut dan memiliki 5 macam bentuk wilayah, yakni datar (0-8%), landai (8-15%), agak curam (15-25%), curam (25-40%), dan sangat curam (>40%). Secara teoritis dan praktis, faktor kelerengan lahan yang sangat curam (>40%) tidak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya pertanian maupun nonpertanian, kecuali diperuntukkan sebagai kawasan konservasi tanah dan air (hutan) (Lampiran Peta 5 dan 6). Bentuklahan yang teridentifikasi di DAS Dodokan adalah dataran aluvial, lereng kaki, dan pegunungan denudasional. Informasi geologi memberikan gambaran bahwa DAS Dodokan merupakan satuan perbukitan menggelombang dan dibentuk oleh berbagai jenis batuan sedimen dan gunungapi yang didominasi oleh perselingan breksi gampingan dan lava penyusun Formasi Kalipalung dan perselingan breksi dan lava penyusun Formasi Kalibabak. Sementara itu, untuk jenis tanah didominasi oleh Komplek Mediteran Coklat & Mediteran Coklat Kemerahan yang memiliki tekstur liat dengan drainase permukaan sedang. Kondisi ini menyebabkan air hujan untuk sementara waktu tinggal di permukaan tanah dan meresap ke dalam tanah secara lambat, kandungan air optimal bagi pertumbuhan tanaman, lereng melandai, dan peresapan tanah baik (Lampiran Peta 7, 8 dan 9). Data penginderaan jauh yang digunakan telah terkoreksi radiometriknya secara sistematik. Proses selanjutnya adalah koreksi geometrik, yakni penempatan kembali posisi piksel sedemikian rupa, sehingga pada citra yang tertransformasi dapat dilihat gambaran obyek dipermukaan bumi yang terekam sensor. Adapun data yang dikoreksi geometriknya adalah data Landsat-7 ETM tahun 2001 dan data ALOS AVNIR2 tahun 2006. Sedangkan data yang menjadi acuan untuk koreksi adalah data Landsat-7 Orthorectified Pansharpen. Metode koreksi yang digunakan adalah triangulasi dengan jumlah titik GCP sebanyak 40 titik dan resampling menggunakan neaerest neighbour. Akurasi terhadap proses koreksi dipertimbangkan dengan menggunakan ukuran tingkat ketelitian untuk menguji model transformasi yang digunakan untuk koreksi citra biasanya disajikan
497
dalam bentuk nilai standar deviasi (Rate Mean Square Error = RMSE) per unit piksel pada citra.
Gambar 4: Persebaran titik GPS pada data ALOS AVNIR-2 Tahun 2006
Koreksi geometrik pada data ALOS AVNIR2 tahun 2006 menggunakan 40 titik kontrol, dimana rata-rata RMS error menunjukkan nilai 0,25 yang menyebabkan pergeseran luas sebesar 0,25 x 0,01 Ha = 2,50 x 10-3 Ha atau 25 m2. Nilai 0,01 Ha merupakan luas dari 1 piksel data ALOS AVNIR2. Menurut Jensen (1996), RMS error yang masih diperbolehkan adalah 0.5 x Resolusi data (0.5 x 10m = 5m), sehingga untuk pergeseran luas yang masih diperbolehkan sebesar 0,0025 Ha atau 25 m2. Setelah data dikoreksi, proses selanjutnya adalah mosaik yakni penggabungan beberapa scene citra menjadi satu. Sedangkan pemotongan citra (cropping) dilakukan untuk memotong citra Landsat 7 dan ALOS AVNIR2 berdasarkan batas DAS yang telah diperoleh dan sesuai dengan daerah kajian (Gambar 5.).
Gambar 5: Mosaik dan Pemotongan Citra sesuai dengan batas DAS Hasilnya diperoleh kenampakan citra dua dimensi yang selanjutnya dilakukan proses pembuatan peta citra satelit, dimana citra dilayout seperti peta yang dapat dilihat pada Lampiran Peta 10 dan 11. Overlay data ALOS AVNIR2 dengan DEM SRTM Arc30 dapat menghasilkan kenampakan tiga dimensi yang dapat dilihat pada Lampiran Peta 12. Dimana kenampakan tiga dimensi sangat membantu dalam pengenalan morfologi suatu daerah. Vegetasi memegang peranan penting dalam proses hidrologi suatu DAS, yaitu intersepsi hujan yang jatuh dan transpirasi air yang terabsorpsi oleh akar. Informasi penutup lahan diperoleh dari interpretasi citra Landsat-7 tahun 2001, citra ALOS AVNIR-2 tahun 2006, dan survei lapangan 498
pada bulan Juni tahun 2008. Sebaran spasial penutup lahan dapat dilihat pada (Lampiran Peta 13 dan 14)
Tabel 3: Luas Perubahan Penutup Lahan DAS Dodokan NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Sumber:
PENUTUP LAHAN Perm. Air Bendungan Batujai Perm. Air Bendungan Penggak Hutan Lahan Terbuka Perkebunan Permukiman Sawah Semak/Belukar Setu Tambak Tanaman Air Tegalan/Ladang Dan Lain-Lain TOTAL analisis GIS
TAHUN 2001 633,80 410,52 1.646,02 158,02 34,29 4.234,05 33.526,79 577,72 82,90 56,68 143,03 14.366,46 131,73 56.002,00
TAHUN 2006 663,12 417,84 1.644,12 655,25 30,28 4.234,05 33.788,99 246,82 72,90 53,65 0,00 14.063,26 131,73 56.002,00
PERUBAHAN 2006 - 2001 29,31 7,32 -1,90 497,23 -4,01 0,00 262,20 -330,90 -10,00 -3,03 -143,03 -303,19 0,00
% 2001 1,13 0,73 2,94 0,28 0,06 7,56 59,87 1,03 0,15 0,10 0,26 25,65 0,24 100,00
% 2006 1,18 0,75 2,94 1,17 0,05 7,56 60,34 0,44 0,13 0,10 0,00 25,11 0,24 100,00
Berdasarkan hasil interpretasi citra diperoleh perubahan penutup lahan, seperti yang diperlihatkan Tabel 3 terlihat adanya penurunan dan kenaikan luas dari beberapa obyek. Penambahan luas terjadi pada penutup lahan lahan terbuka yakni sebesar 497,23 Ha. Hal ini disebabkan pada tahun 2006 terjadi pembukaan lahan untuk dijadikan Bandara Internasional NTB. Sehingga dicitra diidentifikasi dan diinterpretasi sebagai lahan terbuka. Sedangkan penambahan luas pada permukaan air bendungan dikarenakan pada tahun 2005 dilakukan program pembersihan bendungan dari tanaman air (eceng gondok). Penurunan luas penutup lahan diakibatkan alih fungsi lahan tegalan/ladang menjadi sawah atau semak/belukar menjadi tegalan/ladang.
Tabel 4: Tingkat Kekritisan DAS Dodokan Berdasarkan IPL Tahun 2006 NAMA DAS DAS DODOKAN
LUAS (km2 ) 56.002
Sumber:
analisis GIS
LVP (Ha) 1.644,12
IPL 0,029
Kriteria Kekritisan Jelek ( Kritis )
Standar Evaluasi *) IPL 0,75 (Baik atau Tidak Kritis) IPL 0,30 0,75 (Sedang atau Agak Kritis IPL 0,30 (Jelek atau Kritis)
Keterangan: LVP : Luas Vegetasi Permanen IPL : Indeks Penutupan Lahan *) Departemen Kehutanan (2000) Kondisi hidrologi daerah aliran sungai juga dipengaruhi oleh faktor penutupan lahan-tutupan vegetasi yang bersifat menahun (permanen), yang diketahui melalui interpolasi kawasan hutan. Indeks Penutupan Lahan (IPL) menunjukkan rasio luas lahan yang memiliki vegetasi permanen dengan luas daerah aliran sungai. Hasil dari perhitungan indeks penutupan lahan pada DAS Dodokan dapat dilihat pada Tabel 4.
499
5
Kesimpulan ◦ Data satelit penginderaan jauh Landsat-TM dan AVNIR-2 ALOS dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengelolaan sumber daya air, khususnya pengelolaan DAS. ◦ Beberapa jenis parameter yang berkaitan dengan karakteristik DAS dapat diekstraksi melalui pengolehan dan analisis data satelit penginderaan jauh, seperti penutup lahan, bentuk DAS, batas dan luas DAS, IPL, orde sungai, kerapatan aliran, pola aliran sungai. ◦ Berdasarkan hasil pengolahan citra Landsat-7 dan ALOS AVNIR2 diperoleh informasi penutup lahan dan perubahannya dalam periode 5 tahun (2001-2006). Penutup lahan didominasi oleh sawah yang mencapai luas 33.527 Ha (=59,87%) pada tahun 2001 dan 33.789 Ha (= 60,34%) pada tahun 2006, sehingga dalam kurun waktu 5 tahun luas sawah bertambah 262 Ha. Sementara itu penutup lahan hutan berkurang 2 Ha dari 1.646 Ha (tahun 2001) menjadi 1.644 Ha (tahun 2006). ◦ DAS Dodokan berbentuk lonjong dengan luas 560,02 km2 dan kelilingnya 176,10 km. DAS Dodokan memiliki nilai IPL rendah (0,029) sehingga termasuk ke dalam kriteria DAS yang kritis. ◦ Kerapatan aliran DAS Dodokan diperoleh 2,07 Km/Km? sehingga DAS Dodokan termasuk ke dalam kriteria kerapatan sedang.
Daftar pustaka Anonimous, 1993. Sistem Informasi Geografis. Diktat Kuliah. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Anonimous, 1998. Sistem Informasi Geografi. LAPAN.Jakarta. Anonimous, 2003. Penyusunan Karakteristik DAS Kampar. BPDAS Provinsi Riau Chay Asdak, 2004, Hidrologi dan Pengelolaan Daerah aliran Sungai, Gadjah Mana University Press, Yogyakarta Danoedoro, P. 1996. Pengolahan Citra Digital. Diktat Kuliah. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Lillesand and Kiefer. 1987. Remote Sensing and Image Interpretation. second edition. John willey and Sons. New York. Prahasta, 2002, Sistem Informasi Geografis : Tutorial Arcview, CV. Informatika, Bandung Purwadhi, F. S. H.,2001. Interpretasi Citra Digital. PT. Grasindo. Jakarta Ritter, Michael, 2003, The Physical Environment, Akses Internet diperoleh dari: http://www.uwsp.edu/geo/faculty/ritter Sabins, F.F.Jr. 1996. Remote Sensing Principales and Interpretation. third edition. W.H. Freeman and Company. New York. Seyhan E., 1990, Dasar-Dasar Hidrologi, Gadjah Mana University Press, Yogyakarta Sutanto, 1984, Penginderaan Jauh Dasar, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Susilo dan Pratomo, 2006, Kajian Karakteristik Daerah Aliran Sungai Berdasarkan Analisis 500
Morfometri, Procceding Pertemuan Ilmiah Tahunan III T. Geomatika ITS, Surabaya Tim Pembimbing KKL II, 1998, Identifikasi Proses dan Pengukuran Hasil Proses Fisis, Sosial Ekonomi, dan Potensi Sumberdaya Wilayah, Buku Panduan KKL II, Fakultas Geografi, Yogyakarta
501