1
PEMANFAATAN 15-DEOXYSPERGUALIN (DSG) SEBAGAI PfHsp 70 BINDING, APICOPLAST DISTURBING, NFκB DAN MAPK INHIBITOR DALAM ERADIKASI INFEKSI P. falciparum
Firman Adi Prasetyo* * Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Solo
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Malaria masih merupakan salah satu dari penyakit tropis yang paling penting pada manusia (Aunpad, 2009). Malaria merupakan penyebab utama kematian pada penyakit tropis, diperkirakan satu juta penduduk dunia meninggal setiap tahunnya dan terjadi kasus malaria baru 200-300 juta per tahun (Harjanto, 2006). P falciparum merupakan parasit malaria yang memberikan dampak paling serius pada sel inang (Pribadi, 1998). Hal ini dikarenakan keterlibatan molekul pro inflamasi dalam terjadinya severe malaria (Harjanto, 2006). Berbagai penemuan obat berguna untuk mengatasi patogenesis parasit malaria terutama pada kondisi stress oxidatif atau suhu febris. Obat anti malaria dapat diklasifikasikan sebagai Cell cycle target (Quinolon), Apicoplast target (Fosidomycin, Triclosan), Food Vacuole dan Natural component (Curcumin) (Padmanaban, 2007). Heat shock protein (hsp) merupakan mediator dari sitoprotektif dan pemacu pertumbuhan tak hanya pada kondisi normal, namun juga pada kondisi stress. PfHsp 70 melindungi parasit dari stress oxidatif selama suhu tinggi (Shonhai, 2007). Kwiatkowski (1989) menyatakan bahwa suhu tinggi tak mampu membunuh parasit malaria, bahkan perkembangan trofozoit menjadi skizon terjadi pada suhu 41oC
(Aunpad, 2009). Sehingga perlu
diupayakan obat yang mampu membunuh parasit terutama dalam kondisi stress tersebut.
2
Berbagai Obat anti malaria yang digunakan telah mengalami resistensi, misalnya penggunaan klorokuin (Aunpad, 2009). Obat anti malaria yang saat ini direkomendasikan pada Multi Drug Resistance (MDR) khususnya pada kondisi suhu tinggi adalah Artemisin, namun obat ini berdampak pada neurotoksisitas, dan teratogenik (Chiang, 2006). Salah satu molekul
15-
Deoxyspergualin dapat dimanfaatkan sebagai alternatif dalam upaya eradikasi patogenitas malaria. Molekul ini relatif stabil pada suhu tinggi dan mampu membentuk ikatan dengan Pfhsp 70, sehingga protein yang berperan penting dalam kelangsungan hidup malaria dapat dihambat. Hal ini juga diperankan melalui Apicoplast Disturbing, bahkan molekul ini juga berperan menurunkan derajat anti inflamasi pada malaria melalui efek NFk B dan MAPK Inhibitor (Ramya, 2007). Berdasarkan fakta tersebut penulis tertarik untuk mengkaji mengenai Pemanfaatan 15-Deoxyspergualin (DSG) sebagai PfHsp 70 Binding, Apicoplast Disturbing, NFk B dan MAPK Inhibitor dalam Eradikasi Infeksi P. falciparum.
B. Rumusan Masalah Bagaimanakah Pemanfaatan 15-Deoxyspergualin (DSG) sebagai PfHsp 70 Binding, Apicoplast Disturbing, NFk B dan MAPK Inhibitor dalam Eradikasi Infeksi P. falciparum?
C. Tujuan Penulisan Untuk mengetahui dan memahami Pemanfaatan 15-Deoxyspergualin (DSG) sebagai PfHsp 70 Binding, Apicoplast Disturbing, NFk B dan MAPK Inhibitor dalam Eradikasi Infeksi P. falciparum.
3
D. Manfaat Penulisan 1. Manfaat Teoritis Kami berharap hasil penulisan ini dapat memberi informasi dan menambah pengetahuan tentang Pemanfaatan 15-Deoxyspergualin (DSG) sebagai PfHsp 70 Binding, Apicoplast Disturbing, NFk B dan MAPK Inhibitor dalam Eradikasi Infeksi P. falciparum.
2. Manfaat Aplikatif Kami berharap dari hasil penulisan ini dapat memberi ide baru dalam dunia kedokteran dalam mengembangkan teori pencegahan, diagnosis, dan pengobatan penyakit.
4
TELAAH PUSTAKA A. Struktur 15-Deoxyspergualin (DSG) 15-Deoxyspergualin (DSG), analog spergualin diisolasi dari kultur kaldu dari Bacillus laterosporus (Ramya, 2007). Orlova (1998) meneliti bahwa Bacillus laterosporus mampu berperan sebagai anti insektisida pada Anopheles. Mekanisme ini terjadi oleh adanya metabolit spergualin yang dihasilkan oleh Bacillus laterosporus. DSG juga mengandung struktur polyamin spermidin, sehingga dapat juga digunakan sebagai kandidat analog spermidin. DSG memiliki amin primer pada ujung molekulnya dan gugus guanidine pada ujung lainnya. Plasma steady state concentration dari obat ini tercapai dua jam setelah infus dan dipertahankan konsentrasinya selama lima hari tanpa adanya kejadian akumulasi (Muindi, 1991).
Gambar 1. Struktur Molekul DSG (Ramya, 2007)
B. Siklus Hidup Plasmodium falciparum Parasit P. falciparum merupakan parasit yang paling berbahaya karena dapat mengakibatkan severe malaria (Pribadi, 1998). Pada manusia, infeksi P falciparum dimulai ketika
nyamuk Anopheles yang terinfeksi menggigit
manusia dan menyalurkan sporozoit ke sirkulasi perifer. Sporozoit migrasi dan invasi ke hepatosit dan mengalami multiplikasi aseksual, memproduksi merozoit (Matambo, 2003). Bentuk awal yang dapat dilihat dalam hati adalah
5
skizon dengan ukuran 30μ pada hari ke empat post infeksi. skizon matang mengandung kurang lebih 40.000 merozoit (Pribadi, 1998). Setelah itu parasit mengalami replikasi dalam sel darah merah, melalui intra-erythrocytic developmental cycle (IDC) yang memproduksi parasit dengan waktu 48 jam(Foth, 2008). Bozdech (2003) menyatakan bahwa proses transkripsi gen secara aktif pada saat IDC. Berdasarkan morfologi, IDC dibedakan menjadi tiga stadium perkembangan yaitu cincin, trofozoit dan skizon. Ketika menginvasi sel darah merah, merozoit membentuk cincin hingga 16 sampai 24 jam post invasi (HPI). Setelah periode perkembangan, parasit berada dalam stadium trofozoit (selama 16 hingga 32 HPI), selama ini replikasi DNA dimulai. Setelah terjadi pembelahan sel, dihasilkan sel gamet dan skizon (selama 32 hingga 28 HPI) dan diakhiri dengan pelepasan multiple merozoit (Foth., et. al, 2008). Pembentukan gametosit berlangsung dalam kapiler organ dalam, namun gametosit muda kadang-kadang ditemukan pada kapiler darah tepi. Gametosit muda mempunyai bentuk agak lonjong dan menjadi lebih panjang berbentuk elips (Pribadi, 1998).
Gambar 2. Siklus Hidup Malaria (Chiang, 2006)
6
C. Patogenitas Malaria Berbagai macam patogenesis terjadi pada malaria. Sitoadherensi merupakan perlekatan Erythrocyte Parasit (EP) stadium matur dalam permukaan endotel. Perlekatan ini terjadi oleh adanya molekul adhesive yang terdapat pada EP yaitu P. falciparum Erythrocyte Membrane Protein 1 (PfEMP 1). Molekul ini akan berikatan dengan molekul adhesif endotel yakni CD38, trombospondin, Intracelullar Adhesion Molecul-1 (ICAM-1), Vascular Cell Adhesion Molecul-1 (VCAM-1), Endothel Leucovyte Adhesion Molecule-1 (ELAM-1) dan glycosaminoglycan chondroitin sulfat A (Harijanto, 2006; Harrisons, 2007). Sekuestrasi diakibatkan olah adanya sitoadherensi. P. falciparum merupakan satu-satunya yang mengalami sekuestrasi. Sekuestrasi ini biasanya terjadi pada organ vital terutama pada otak. Sedangkan rosetting adalah berkelompoknya EP matur yang dikelilingi oleh eritrosit yang tidak terinfeksi (Harijanto, 2006). Sitokin yang berperan dalam patogenitas malaria adalah Tumor Necrosis Factor α (TNFα), Interleukin 1 (IL 1), Interleukin 6 (IL 6), Interleukin 3 (IL 3), Lymphotoxin (LT), dan Interferon γ (IFN γ). Penelitian terkini menunjukkan bahwa Nitrit Oxide (NO) juga berperan dalam severe malaria (Harijanto, 2006). D. Peran PfHsp 70, Apicoplast, NFк B dan MAPK pada Patogenitas Malaria PfHsp 70 Sel memiliki protein yang memfasilitasi proses pelipatan. Protein tersebut adalah cis-trans prolyl isomerase, protein disulfide isomerase, dan protein chaperone. cis-trans prolyl isomerase berikatan pada residu prolin. protein disulfide isomerase mengkatalisis pembentukkan disulfide cystine linkages. Chaperone ditemukan sebagai heat shock protein (hsp), golongan protein yang mengalami peningkatan sintesis pada temperatur tinggi. chaperone hsp 70 kDa mengikat polypeptide ketika disintesa dalam ribosom,
7
melindungi bagian hidrofobik. Hal ini berfungsi untuk melindungi dari penggumpalan sampai terbentuknya rantai secara penuh (Delvin, 2006). Hsp 70 memiliki dua domain yaitu 45 kDa N-terminal yang mengikat ATP dan 25 kDa yang mengikat peptide (Wang et. al., 1993 in Shonhai, 2007).
Gambar 3. Proteostasis: Homeostasis protein dalam sel diregulasi pada multipel level. Biosintesa (transkripsi dan translasi) dan pelipatan, agregasi dan degradasi. chemical chaperon berperan dalam proses pelipatan (Hatahet, et. al, 2009).
Plasmodium juga memproduksi beberapa protein stress. Teknik rekombinan DNA telah dilakukan untuk hsp malaria. Lima gen mengkode Hsp dari Plasmodium falciparum telah diidentifikasi yang terletak dalam kromosom yang berbeda. Gen tersebut adalah tiga gen untuk Hsp 70 dari Plasmodium falciparum yang telah dikloning. Gen tersebut diklasifikasikan sebagain PfHsp 70-I, PfHsp 70-II. Peran protein tersebut belum diketahui pasti namun diduga sebagai proteksi terhadap stress pada parasit (Sharma, 1992 in Matambo, 2003).
8
Gambar 4. Representatif struktur tertier PfHsp70 (Matambo, 2003)
P. falciparum Hsp70 (PfHsp70) memiliki berat molekul 70 kDa. PfHsp70 ini disintesis pada semua stadium asexual. PfHsp70 terdeteksi dalam kelenjar air liur sporozoit. Ekspresi PfHsp70 meningkat pada sel hati (stadium exoeritrosit) dan diinduksi oleh panas. PfHsp70 terletak pada nucleus dan sitoplasma dari parasit (Kumar and Zeng, 1992 in Matambo, 2003). Hasil penelitian menunjukkan paparan panas dari parasit sebesar 39o C selama 30 menit, sejumlah PfHsp70 dalam lima isolate meningkat secara signifikan sinergis dengan jumlah parasitemia (Biswas and Sharma, 1994 in Matambo, 2003). Ekspresi PfHsp70 ini membuat parasit mampu bertahan dalam kondisi panas. Beberapa antibodi melawan hsp yang diproduksi oleh parasit. Spesifik antibody beraksi pada PfHsp70 telah dideteksi pada serum penderita malaria (Kumar et al, 1990 in Matambo, 2003). Gen telah dikloning yang mengkode protein, beberapa mirip susunan the Gly – Gly – Met – Pro (GGMP) bagian pengulangan didekat terminal gugus karboksil dari Hsp70 dari P. falciparum (Uparanukraw et al., 1993 in Matambo, 2003). Hsp70 dari P. falciparum menunjukkan respon pada imunitas alami. Antibodi mendeteksi epitop spesifik pada PfHsp70 dan sel T yang berperan dalam antibody – dependent cell-mediated cytotoxicity.
9
Kloning PfHsp70 yang memiliki berat molekul 75kDa dan 72kDa ditunjukkan melalui kesamaan sekuen dengan Hsp eukariotik. Molekul ini mengandung 3 domain, N terminal ATP ase seberat 45kDa, central substrat binding domain seberat 15kDa dan domain C terminal seberat 10kDa. Pada C terminal mengandung CGMP yang menunjukkan respon imun pada mencit. PfHsp70 juga mengandung motif EEVD sebagaimana pada eukariota yang berikatan pada motif TPR dari HOP (Shonhai, 2007). Berbagai jenis PfHsp 70 tersebut adalah PfHsp 70-1, PfHsp70-2, PfHsp 70-3, PfHsp 70-x, PfHsp70-y dan PfHsp 70-z. Jenis yang paling banyak adalah PfHsp 70-1 dan PfHsp 70-x, dimana PfHsp 70-1 terdapat dalam stadium ekso eritrosit dan memiliki C terminal motif EEVD (Shonhai, 2007).
Tabel 1. Jenis PfHsp 70 (Shonhai, 2007)
Apicoplast Apicoplast dimiliki oleh filum apicomplexa, yang memiliki struktur complex pada bagian apical. Plasmodium merupakan salah satu naggota filum ini (Sherman, 1998). Transpor protein pada P. falciparum diperankan oleh banyak faktor termasuk dari organel parasit maupun dari sel hospes. Faktor tersebut mencakup mitokondria, apicoplast, rhoptries dan micronem. Apicoplast dan mitokondria merupakan faktor terpenting yang bertanggung jawab 10 % terjadinya transportasi protein (Rao, 2008).
10
Penelitian tentang transport protein ke dalam kloroplas dan plastid sekunder dapat dijadikan contoh dalam mempelajari transport protein dalam apicomplexan. Sebagian besar protein kloroplas dikode dalam inti sel dan disintesis pada sitosol. Protein terikat pada membrane ganda kloroplas setelah translasi. Transit ini dipacu oleh Hsp 70 (Parsons, 2007). Apicoplast ini terdapat dalam jumlah yang sama pada gametosit jantan maupun betina, sedangkan mitokondria hanya terdapat banyak pada gametosit betina. Hal ini memungkinkan adanya penemuan obat berdasar fungsi apicoplast (Deitsch, 2007).
Gambar 5. Model Protein Traficking pada Apicoplast. Pada gambar, vesikel terikat pada apicoplast (hijau) berasal dari ER (cokelat) dan berbeda pada vesikel target yang berasal dari golgi (ungu). Molekul yang terlibat dari ER dijadikan sebagai protein coat (C), GTP ase (G) dan transit peptide reseptor (Tr). Molekul yang menghubungkan dengan apicoplast (biru), yakni apicoplast-specific Rab (R), vSNAREs (v-Sn) dan t-SNAREs (t-Sn). Vesikel yang bergabung dengan apicoplast akan berikatan pada dua lapisan terluar dan melepaskan isinya ke celah di antara kedua lapisan tersebut. Sedangkan molekul yang berperan dalam translokasi adalah Toc (oranye heksagonal), kompleks Tic (kuning oval) dan ER-derived atau mitochondria derived translocator (persegi biru). protein yang mencapai lumen terjadi melalui proses pemotongan oleh protease (Parsons, 2007).
11
Transpor protein dari Retikulum endoplasma ke apicoplast tidak berlangsung pada fase awal stadium eritrosit (Cheresh, 2002 in Parsons, 2007). Protein tersebut menembus lapisan membran apicoplast melalui molekul Toc 34, Tic 22 dan ER derived atau mitochondria derived translocator. Beberapa protein melewati membran melalui sistem import pada umumnya, namun sebagian melewatinya melalui pemotongan N terminal transit peptide (Parsons, 2007). NFκB dan MAPK Infeksi P. falciparum mengaktifkan jalur TLR (Toll Like Receptor). Aktifasi ini menyebabkan produksi sitokin yang berlebihan dan berpengaruh pada patogenitas malaria. Toksin P. falciparum GlycosylPhosphatidylInisitol (GPI) ini dikenali oleh TLR 2 dan TLR 4 sedangkan TLR 9 memberikan respon pada kompleks DNA parasit dan hemozoin (Hartgers, 2008).. Ikatan ini akan menstimuli transkripsi NFκB yang memacu produksi sitokin Interleukin 1 (IL1) dan Tumor Necrosis Factor (TNF). Protozoa Plasmodium cenderung memanfaatkan immunocompromise ini untuk berkembang biak pada sel hati dan kemudian melakukan invasi pada pembuluh darah. Transkripsi NFκB ini terjadi oleh adanya faktor transkripsi MyD88. Selain itu faktor transkripsi ini juga memacu Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK) yang kemudian akan mengaktifasi C-Jun-NH2-terminal Kinase (JNK) dan akhirnya terpacu molekul AP-1. Molekul AP-1 bersama dengan NFκB ini akan menyebabkan terbentuknya molekul sitokin pro inflamasi (Harrisons, 2007). Sitokin pro inflamasi TNF akan meningkatkan suhu hospes hingga 41oC, dan keadaan ini dimanfaatkan oleh protozoa malaria untuk bereplikasi di dalam eritrosit (Shonhai, 2007).
12
Gambar 6. Jalur TLR yang mengaktifkan MAPK dan NFкB (Harrisons, 2007)
E. Penatalaksanaan Malaria World Health Organization (WHO) merekomendasikan Artemisin sebagai obat anti malaria utama karena efektif dalam penanganan resistensi malaria dan mampu membunuh plasmodium pada semua stadium (Harjanto, 2006). Perkembangan penelitian tingkat biomolekuler berusaha menemukan obat anti malaria yang tepat, Niemand (2007) membagi obat malaria berdasar target pada sitosol, apicoplast, lisosom, membran plasma dan mitokondria.
13
Gambar 7. Beberapa target obat anti malaria (Niemand, 2007)
1. Pengobatan ACT (Artemisin base Combination Therapy) Artemisin diisolasi dari Artemisi annua, dan derivatnya artemether, arteether dan artesunat mampu membasmi malaria. Namun obat ini berdampak pada neurotoksisitas, dan teratogenik (Chiang, 2006). 2.
Pengobatan Non ACT a. Klorokuin difosfat Obat ini bekerja melalui haeme induced toxicity pada parasit. Namun pada tahun 1957 dilaporkan telah terjadi resistensi oleh adanya gen pfcrt (P. falciparum chloroquin resistance transporter) dan pfmdr1 (P. falciparum multi drug resistance 1) (Niemand, 2007). b. Sulfadoksin-Primetamin (SP) Obat ini bekerja melalui hambatan terhadap dihydrofolat reductase, namun point mutation juga terjadi pada target enzim menyebabkan resistensi juga terjadi pada kombinasi obat ini (Niemand, 2007). c. Primakuin Primakuin membunuh semua stadium gametosit pada Plasmodium falciparum. Obat ini memiliki efek samping terjadinya hemolisis (Harrisons, 2007).
14
Kerangka Pemikiran
NEAT DSG
TLR 2 dan 4 + GPI
Apicoplast
MyD88 + IRAK
DSG MAPK
NFкB + Hsp 70
JNK
DSG
AP-1
IL-1, TNF
Gambar 8. Kerangka Pemikiran
Keterangan :
: Makrofag : P. falciparum
: apicoplast : menghambat
PfHsp 70
15
ANALISIS DAN SINTESIS A. Mekanisme Kerja 15-Deoxyspergualin (DSG) sebagai PfHsp 70 Binding, Apicoplast Disturbing, NFк B dan MAPK Inhibitor PfHsp 70 Binding DSG diketahui berperan dalam ikatan dengan chaperone, PfHsp 70 melalui pengaturan C terminal motif EEVD (Oackley, 2007; Hatahet, et. al, 2009). DSG tidak menghambat aktifitas chaperone, DSG memacu aktifitas ATP-ase dari heat shock proteins yang mempunyai motif C-terminal EEVD dan berperan dalam modulasi fungsi protein yang mengikat motif EEVD dari heat shock protein (hsp). Hal ini ditunjukkan melalui regulasi translasi (Ramya, 2007). Hsp 70 memiliki respon suhu pada siklus hidup plasmodium khususnya DNaJ domain. Protein ini dikenali dengan adanya domain C terminal. Bagian ini diprediksikan sebagai ikatan multiheliks yang berperan dalam beberapa ikatan protein. Protein DnaJ domain juga mengandung sinyal hidrofonik N terminal dan motif Pexel, kedua molekul ini disekresikan ke dalam sel host (Oackley, 2007). Translasi mRNA membutuhkan pembentukkan kompleks methyonyl tRNA, mRNA dan 40 S subunit ribosom, dan dapat dicapai melalui ikatan GTP melalui inisiasi faktor eIF2. Fosforilasi eIF2 pada Ser 51 menghambat sintesa protein melalui pencegahan daur ulang eIF2 dan membersihkan sel dari eIF2-GTP yang diperlukan untuk inisiasi translasi. Beberapa kondisi stress sel memacu fosforilasi eIF2 melalui aktifasi empat macam molekul eIF kinase yaitu PERK (PKR like endoplasmic reticulum associated kinase), GCN-2 (General Control Nondepressing kinase 2) dan HRI (Heme Regulated Inhibitor atau Heme Regulated eukaryotic Initiation factor 2 kinase). Heme
16
regulated eIF2 kinase, HRI, secara normal dipertahankan inaktif, tidak terfosforilasi dengan hsp 70 dan sekuestrasi hsp melalui DSG pada sel mamalia menyebabkan hambatan sintesa dan kematian sel melalui autofosforilasi dari HRI dan eIF2. Heme regulated eIF2 kinase, HRI ini diketahui
terdapat
pada
Plasmodium
falciparum.
Autofosforilasi
ini
menyebabkan kematian parasit (Ramya, 2007). Apicoplast Disturbing Plasmodium dan kelompok protozoa lain, Apicomplexa ditandai dengan adanya empat membrane plastid tunggal, apicoplast yang diperoleh melalui endosimbiosis sekunder. 35 kb apicoplast genom mengkode hampir untuk gen-gen yang berperan dalam translasi. Proteom apicoplast dilengkapi dengan 550 nucleus encoded protein. Protein tersebut termasuk enzim yang berperan dalam sintesa asam lemak, sintesa hem dan sintesa isoprenoid (Parsons, 2007). N terminal dari protein Nucleus Encoded Apicoplast Target (NEAT) mempunyai dua bagian N terminal Plastid Targeting Sequence (PTS). Penelitian pada parasit malaria menggunakan PTS-GFP protein fusi merupakan model pengangkutan protein. Semua protein tersebut memasiki sistem endo membrane dan dikirimkan dalam bentuk vesikel kemudian berakhir pada apicoplast. Apicoplast sangat esensial bagi kehidupan parasit dan berbagai molekul dapat digunakan untuk mengganggu biosintesa yang terjadi dalam apicoplast. 15 deoxyspergualin membunuh parasit malaria melalui gangguan terhadap protein NEAT pada apicoplast pada awal fase asexual (Ramya, 2007). Mekanisme apicoplast disturbing ini juga diakibatkan oleh adanya pengaruh PfHsp 70. Protein yang ditranspor ke apicoplast sebagian besar mengandung PfHsp 70 binding, sehingga ikatan DSG terhadap PfHsp 70 mampu mengganggu transpor protein ke apicoplast (Ramya, 2006 in Shonhai 2007).
17
Golgi inhibitor terbukti tidak mampu menghentikan transport protein NEAT (Parsons, 2007). Hal ini dikarenakan apicoplast merupakan organel terpenting dalam mekanisme protein NEAT tersebut (Rao, 2008). Nishimura et. al (2002) menunjukkan bahwa Deoxyspergualin menghambat Biosintesa Polyamin. Hambatan ini akan berdampak pada stabilitas mRNA (Veres, 2000 in Nishimura, 2002). Hasil Penelitian Ramya (2007) menunjukkan bahwa DSG
mampu
menurunkan
pembentukkan
apicoplast
lebih
efektif
dibandingkan dengan klorokuin dan klindamisin. Hal ini pun terlihat secara uji in vitro menunjukkan bahwa jumlah parasit berkurang setelah pemberian DSG pada 48 jam dan 96 jam pasca infeksi. Dosis DSG yang diberikan ini adalah sebesar satu mikro molar.
Gambar 9. DSG dan penghambatan kematian parasit: (A) parasit dikultur in vitro pada 96 plate yang mengandung 2-3 % hematokrit dan inisial parasitemia sebesar 1-2 %, penambahan 1μM DSG pada medium setiap 24 jam selama 48 jam. Jumlah parasit mengalami penurunan pada pemberian DSG setelah 96 jam; (B) Kurva penurunan parasitemia setelah 96 jam pemberian DSG; (C) jumlah apicoplast pada pemberian 100nM klorokuin, 100nM klindamisin dan 1μM DSG (Ramya, 2007).
18
NFκB dan MAPK Inhibitor DSG menghambat transport nucleus dari faktor transkipsi NFkB. DSG juga berperan dalam penghambatan IL 6 dan TNF, serta perkembangan sel T dan sel B (Holcombe, 2010; Aggarwal, 2006). DSG menghambat produksi IFNγ melalui aksi langsung pada sel CD4 tanpa penghambatan progresivitas sel. Hsp 70 berperan secara pada pengikatan NF κ B, sehingga pengikatan molekul DSG pada hsp 70 dapat menghambat transport NF κB pada inti sel. hsp 90 berperan dalam ikatan dengan benzoquinoid ansamycins, geldanamycin dan herbimycin A, dan menunjukkan
adanya hambatan terhadap Protein
Tyrosine Kinase (PTK). PTK berperan dalam tranduksi sinyal intraselular termasuk aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase pathway. Dua MAP kinase kinase (MKK), MKK4 dan MKK7 mengaktivasi c-Jun NH2terminal kinase (JNK1 dan JNK2) dan molekul tersebut mempengaruhi diferensiasi sel Th dan produksi sitokin (Holcombe, 2010). Hank dan Quinn membagi ePK (eukaryotic Protein Kinase) menjadi empat bagian yaitu: a.
cyclic-nucleotide- and calcium/phospholipiddependent kinases
b.
CMGC group, constituted of the cyclin-dependent-kinase (CDK), mitogen-activated- (MAPK), glycogen-synthase-(GSK) and CDK-like kinases;
c.
calmodulin-dependent kinases (CaMK), and
d.
tyrosine kinases (TyrK).
19
P. falciparum kinase (Pfmap-1 dan Pfmap-2) dilaporkan sebagai grup ERK. Pfmap-2 terletak pada grup MAPK (Ward P., 2004). Pada sel mamalia, regulasi ekspresi gen merupakan faktor kunci dalam merespon stress oxidatif. Stress Activated Protein Kinase (SAPKs), terutama JNKs dan p38kinase adalah subfamily dari mitogen activated protein kinase (MAPK) yang diekspresi pada sebagian besar sel eukariotik dan berrespon pada kondisi stress. Meskipun kinom parasit termasuk dalam MAPK homolog, tak satupun diantaranya yang termasuk anggota dari SAPK subfamily. Kinom P. falciparum homolog dengan eukaryotic Initiation Factor 2α (eIF2α) yang pada organisme lain berperan dalam regulasi stress (Fennel C., et. al, 2009). B. Pemanfaatan
15-Deoxyspergualin
(DSG)
dalam
Penatalaksanaan
Penderita Malaria Pemberian imunosupressan 15-Deoxyspergualin (DSG) dapat dilakukan pada semua stadium plasmodium. Hal ini didasarkan pada prinsip kerja 15Deoxyspergualin (DSG). 1.
Pemberantasan Plasmodium pada fase pre eritrosit. Pada fase ini skizon merangsang pembentukkan TNF (Pribadi, 1998). DSG dapat digunakan sebagai penghambat molekul pro inflamasi melalui efek NFκB dan MAPK Inhibitor (Holocamba, 2010). Dan Pemberantasan skizontisid juga masih dapat dilakukan melalui PfHsp 70 dan PfHsp 90 Binding (Ramya, 2007). Hal ini dikarenakan PfHsp 70 terutama tipe yang terbanyak adalah PfHsp 70-1 terletak pada stadium pre eritrosit (Shonhai, 2007). Dengan demikian PfHsp 70 merupakan target utama DSG dalam eradikasi P. falciparum dan Perbaikan imunocompromise ini juga mencegah perkembangan plasmodium malaria dari sel hati ke invasi pembuluh darah (Pavithra et. al, 2004 in Shonhai, 2007).
20
2.
Pemberantasan Plasmodium pada fase eritrosit. Hal ini dilakukan melalui mekanisme Apicoplast Disturbing, dimana apicoplast diekspresikan secara aktif pada fase eritrosit (Parsons, 2007). Apicoplast target drug juga berfungsi membunuh pada fase gametosid, dimana apicoplast gamet jantan dan betina terdapat dalam jumlah yang sama banyak (Deitsch, 2007). Makanisme ini pun ditambah dengan aktifitas PfHsp 70 dan PfHsp 90 binding, NFκB dan MAPK Inhibitor. Berdasarkan tiga mekanisme (PfHsp 70 & 90 Binding, Apicoplast
Disturbing, NFк B dan MAPK Inhibitor) tersebut, 15-Deoxyspergualin (DSG) mampu berperan dalam eradikasi patogenitas malaria. Selain bermanfaat dalam penghancuran plasmodium falciparum dalam berbagai stadium, molekul ini juga memiliki efek anti inflamasi melalui NFк B dan MAPK Inhibitor dan bertahan pada suhu tinggi melalui PfHsp 70 & 90 Binding sehingga resistensi dapat dihindari. Belum ada data klinis perihal pemanfaatan 15-Deoxyspergualin (DSG) sebagai anti malaria, namun eksperimen in vitro dengan konsentrasi mikro molar terbukti efektif menurunkan parasitemia (Ramya, 2007).
21
KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 15-Deoxyspergualin (DSG) dapat dimanfaatkan sebagai PfHsp 70 Binding, Apicoplast Disturbing, NFk B dan MAPK Inhibitor dalam Eradikasi Infeksi P. falciparum. B. SARAN 1.
Perlu diadakan studi lebih lanjut mengenai keamanan, imunogenitas, dan efektivitas pemberian Imunosupressan 15-Deoxyspergualin (DSG) dalam penatalaksanaan penderita malaria.
2.
Penulis menyarankan dilakukan penelitian dan kajian ilmiah untuk mengkonfirmasikan
lebih
lanjut
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi terjadinya patogenitas malaria. 3.
Perlu diadakan penelitian klinis dan penetapan dosis DSG yang tepat untuk eradikasi Plasmodium falciparum.
22
DAFTAR PUSTAKA
Aggarwal B. B., et. al. 2006. Nuclear Factor-κ B: A Holy Grail in Cancer Prevention and Therapy. Current Signal Transduction Therapy, 2006, 1, 25-52 Aunpad R., et. al. 2009. The effect of mimicking febrile temperature and drug stress on malarial development. Annals of Clinical Microbiology and Antimicrobials 2009, 8:19 doi: 10.1186/1476-0711-8-19 Bozdech Z., et. al. 2003. The Transcriptome of the Intraerythrocytic Developmental Cycle of Plasmodium falciparum. journal.pbio. Vol. 1. Issue 1. pp: 85-100 Chiang P. K., et. al. 2006. Malaria: Therapy, Genes and Vaccines. Current Molecular Medicine 2006, 6, 309-326 Deitsch K., et. al. 2007. Mechanisms of Gene Regulation in Plasmodium. Am. J. Trop. Med. Hyg., 77(2), 2007, pp. 201–208 Delvin T. M., et. al. 2006. Text Book Of Biochemistry with Clinical Correlations. United States of America: John Wiley & Sons Inc. Fennel C., et. al, 2009. PfeIK1, a eukaryotic initiation factor 2α kinase of the human malaria parasite Plasmodium falciparum, regulates stress-response to amino-acid starvation. Malaria Journal 2009, 8:99 doi:10.1186/14752875-8-99 Foth., et. al. 2008. Quantitative protein expression profiling reveals extensive post-transcriptional regulation and post-translational modifications in schizont-stage malaria parasites. Genome Biology 2008, 9:R177 (doi:10.1186/gb-2008-9-12-r177) Harijanto P. N. 2006. Malaria dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Harrisons. T. R., et. al. 2007. Principal of Internal Medicine. Mc Graw Hill: New York. Hartgers F. C., et. al. 2008. Enhanced TLR responsiveness associated with MAPK activation in Plasmodium falciparum infected children. Department of Parasitology Leiden University Medical Center. Netherlands. Hatahet., et. al. 2009. Modulating Proteostasis: Peptidomimetic Inhibitors and Activators of Protein Folding. Current Pharmaceutical Design, 2009, 15, 2488-2507 Holcombe H., et. al. 2010. The Immunosuppressive Agent 15-Deoxyspergualin Functions by Inhibiting Cell Cycle Progression and Cytokine Production Following Naive T Cell Activation. J. Immunol. 2002;169;4982-4989 Matambo C. S. 2003. Biochemical Characterization Of Plasmodium falciparum Heat Shock Protein 70. Thesis. Department of Biochemistry, Microbiology and Biotechnology, Faculty of Science. Rhodes University. Muindi J. F., et. al. 1991. Clinical Pharmacology of Deoxyspergualin in Patients with Advanced Cancer. CANCER RESEARCH 51, 3096-3101. June 15. 1991
23
Niemand J. 2007. A phage Display Study of Interracting Peptide Binding Parters of Malarial S-Adenosylmethionine decarboxylase (Ornithine decarboxylase). Dissertation. Faculty of Natural and Agricultural Science. University of Pretoria. Nishimura K., et. al. 2002. Inhibition of Cell Growth Inactivation Of Eucaryotic Translation Initiation Factor 5A (eIF 5A) by Deoxyspergualin. Biochem. J. (2002) 363, 761±768. Oackley M. S. M., et. al. 2007. Molecular Factors and Biochemical Pathways Induced by Febrile Temperature in Intraerythrocytic Plasmodium falciparum Parasites. INFECTION AND IMMUNITY, Apr. 2007, Vol. 75, No. 4 , p. 2012–2025 Orlova P. M., et. al. 1998. Insecticidal Activity of Bacillus laterosporus. APPLIED AND ENVIRONMENTAL MICROBIOLOGY, July 1998, p. 2723–2725 Vol. 64, No. 7 Padnamaban G., et. al. 2007. Drugs and drug targets against malaria. CURRENT SCIENCE, VOL. 92, NO. 11, 10 JUNE 2007 Parsons M., et. al. 2007. Protein Traficking To Apicoplast : Deciphering the Apicomplexan Solution to Secondary Endosymbiosis. EUKARYOTIC CELL, July 2007, p. 1081–1088 Pribadi W. 1998. Parasit malaria dalam Parasitologi kedokteran. Jakarta: Gaya Baru Ramya T. N. C., et. al. 2007. 15 Deoxyspergualin Primaly Target the Trafficking of Apicoplast Proteins in Plasmodium falciparum. THE JOURNAL OF BIOLOGICAL CHEMISTRY VOL. 282, NO. 9, pp. 6388–6397, March 2, 2007 Rao A., et. al. 2008. Localization of Heme Biosynthesis Pathway Enzymes in Plasmodium falciparum. Indian Journal of Biochemistry and biophysic Vol. 45. December 2008. pp: 365-373. Sherman I. W. 1998. Malaria: Parasite Biology, Pathogenesis, and Protection. ASM Press: Washington D. C. Shonhai A., et. al. 2007. The structural and functional diversity of Hsp70 proteins from Plasmodium falciparum. Protein Sci. 2007 16: 1803-1818 Ward P., et. al. 2004. Protein Kinase of The Human malaria parasite Plasmodium falciparum: the kinome of a divergent eukaryote. BMC Genomics 2004, 5:79 doi:10.1186/1471-2164-5-79
24