PELUANG UNTUK BERMITRA (PARTNERSHIP) ANTAR LEMBAGA PERPUSTAKAAN DENGAN LEMBAGA LABA : SEBUAH HARAPAN DAN PEMIKIRAN Oleh : H. Rohanda, Drs., M.Si. (Dosen pada Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fikom Unpad)
PENDAHULUAN Seiring dengan kondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang sedang mengalami “krisis moneter” sejak tahun 1997 dan sampai sekarang, dampaknya masih sangat dirasakan. Sehingga perpustakaan dan puat-pusat informasi mengalami berbagai kendala dan kesulitan dalam usaha pengembangan koleksi dan layanannya (collection development and users services) Peluang untuk mengatasi tantangan tersebut cukup signifikan untuk dilakukan karena : a. Adanya kemauan politik yang kuat dari pemerintah, dan tuntutan dari masyarakat yang demokratis yang dengan sendirinya melibatkan dunia usaha b. Pertumbuhan dunia industri dan perdagangan termasuk dunia penerbitan dan jasa informasi yang mulai pulih c. Berlangsungnya transformasi dan globalisasi ekonomi semakin meluas dan merambah pada sektor-sektor lain termasuk dalam bidang penanganan dan pengelolaan sumbersumber informasi d. Perpustakaan sebagai pengelola sumber informasi dan pengetahuan (knowledge management) keberadaannya sangat dipentingkan oleh semua pihak, namun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan baik ditinjau dari anggaran, fasilitas, SDM dan koleksinya. Ia sulit berkembang karena sebagai lembaga nirlaba. Beranjak dari kondisi diatas maka perpustakaan dan pusat-pusat informasi perlu untuk melakukan kemitraan dengan dunia industri dan bisnis karena pada konsep kemitraan memperhatikan prinsip-prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua belah pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membersarkan. Agak sedikit berbeda dengan konsep kerjasama perpustakaan saat ini seperti yang biasa disebut istilah Library Cooperation, atau Library Networking, kedua kegiatan tersebut lebih bersifat sukarela tidak saling mengikat dan kadang-kadang saling ketergantungan, tidak saling menguntungkan. Pembentukan kemitraan antar pelaku pengelola informasi dan knowledge management (manajemen pengetahuan) setidaknya akan melibatkan tiga unsure yaitu : (1) Pengusaha Besar/Menengah, (2) Perpustakaan/Pusat Informasi dan Manajemen Pengetahuan, dan (3) Pemerintah atau Pembina, dengan peran masing-masing : (1) Pengusaha : • Memberikan bimbingan dalam rangka peningkatan kuantitas dan kualitas SDM • Membantu dalam penyusunan rencana pengembangan koleksi dan fasilitas • Bertindak sebagai penyandang dana • Memberikan bimbingan, penyediaan, pembelian, dan penggunaan teknologi informasi. (2) Perpustakaan/Pusat Informasi/Manajemen Pengetahuan • Mempromosikan hasil produksi untuk medapatkan pasar yang baik • Menyediakan sumber-sumber informasi bagi perusahaan terutama kaitannya dengan pembuatan keputusan/kebijakan perusahaan baik kaitannya dengan konsumen (pasar), produksi, ketenagaan, dan pemodalan. • Menyediakan fasilitas atau alat bantu akses informasi bagi para manajemen perusahaan • Menyediakan katalog induk • Menyediakan berbagai jasa informasi bagi anggota mitra (3) Pembina/Pemerintah : • Menjadi fasilitator diantara para pelaku kemitraan, kaitannya dengan perundangan kedua belah pihak
• • •
Membantu penyediaan fasilitas seperti komputer, kursi meja baca, fasilitas penyimpanan dokumen, dan mebelair lainnya Mebantu menyediakan tenaga instruktur, pengajar, dosen untuk melatih dan membimbing staf kekhususan dalam penggunaan informasi teknologi Membantu dalam perlindungan hokum kepada semua pihak.
Bentuk-Bentuk Kemitraan 1. Ditinjau Dari Jenisnya : a. Inti Plasma – Pola kemitraan seperti ini perusahaan berperan sebagai INTI, artinya ia penyokong baik dana, fasilitas, dan SDM bagi plasma – dalam hal ini adalah Perpustakaan. Namun kewajiban dari plasama adalah menyediakan produk dan jasa bagi INTI yang dalam hal ini perusahaan. Produk dimaksud adalah kemasan-kemasan informasi berupa paket informasi, database, dan sumber informasi lain seperti : buku, bahan rujukan, majalah/jurnal, dan lainlain. Sedangkan jasa berbagai jenis layanan perpustakaan b. Keagenan – daalm hal ini perpustakaan berperan sebagai agen atau distributor suatu produk, yang dalam hal ini adalah buku, jurnal, majalah, surat kabar, dan lain-lain. Terutama produk informasi. c. Kontrak Kerja atau Subkontrak – Perpustakaan menjalin kemitraan dengan perusahaan tertentu dengan bentuk kontrak kerja, atau subkontrak dalam rangka mempromosikan suatu produk tertentu kepada masyarakat, sebagai contoh Perpustakaan Umum melalui Perpustakaan Keliling mempromosikan produk terbitan, makanan, obat-obatan, atau alat-alat pertanian, alat-alat rumah tangga, dan sebagainya kepada masyarakat. Hal ini dilakukan karena PUSLING dapat menjangkau kepada masyarakat nun jauh disana, di pedalaman, di lembah gunung, di tengah kepulauan, dan lain-lain yang kadangkadang masyaraka itu tidak terjangkau oleh siaran TV. Ia dikontrak oleh perusahaan untuk melakukan itu, atau ia merupakan bagian dari kontrak kerja promosi produk sebuah perusahaan. Dengan kegiatan ini perpustakaan mendapatkan income dari perusahaan. d. Vendor – Penjaja atau penjual keliling suatu produk. Dalam hal ini perpustakaan khusunya perpustakaan keliling memperkenalkan sekaligus penjualan produk-produk dari perusahaan, misalnya : buku, majalah, atau bahan cetakan lain. Asal jangan melupaka tugas pokonya sebagai pemberi jasa perpustakaan yang nirlaba. Pada bagian ini lembaga induknya, BAPUSDA bermitra dengan salah satu perusahaan dalam periode tetentu mengadakan kontrak kerja dengan imbalan untuk penjajakan atau menawarkan produknya, sebatas promosi produk-produk perdana. e. Perdagangan Umum – Pola dagang umum artinya perpustakaan menyediakan tempat seperti toko, atau lahan untuk dibangun tempat atau pusat penjualan produk dan jasa. Pada bagian ini, tidak menutup kemungkinan di area perpustakaan, atau pada bagian samping, dan dimana saja di luar area perpustakaan ada supermarket, atau toko milik perpustakaan selama tidak mengganggu eksistensi perpustakaan. Tentunya perpustakaan sebagai lembaga nirlaba bermitra dengan beberapa perusahaan untuk mengisi supermarketnya, demikian juga dengan Perbankan sebagai penyokong dana dan produknya diisi oleh koperasi, usaha kecil/menengah atau home industri. Mereka mengisi toko atau supermarket untuk mendapat keuntungan demikian juga perpustakaan dapat paro-laba dari mereka, dengan perjanjian 30 % : 70 % dan sebagainya. 2. Ditinjau Dari Segi Waktunya a. Kemitraan insidental – dilakukan sewaktu-waktu apabila diperlukan dalam jangka pendek. Kegiatannya dihentikan apabila telah selesai diselenggarakan b. Kemitraan jangka menengah – dilakukan dengan janghka waktu tertentu, 1 – 5 tahun. Atau dalam jangka waktu tetentu selama musim atau produksi tertentu c. Kemitraan jangka panjang – waktunya 5 – 10 tahun atau dalam jangka waktu yang tidak terbatas selama masih diperlukan oleh kedua belah pihak dan masih saling menguntungkan .
Sebetulnya masih ada beberapa pola kemitraan yang dapat dijalani oleh kedua belah pihak namun menurut pemikiran-pemikiran penulis beberapa yang disebut diatas dianggap yang paling efektif. KONSEPSI KERJASAMA Konsepsi dasar kerjasama perpustakaan berkembang seiring dengan tradisi kerjasama antar perpustakaan seperti ; pembuatan katalog induk, silang layan, dan sebagainya. Beberapa aspek perlu disebutkan disini untuk dipertimbangkan dalam merancang sistem jaringan kemitraan tersebut. Saling Ketergantungan Bahwa tidak ada satu pun perpustakaan yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak yang mendasari pembentukan kemitraan perpustakaan. Pangkalan Data Bibliografi Skala Besar Pengembangan suatu pangkalan data bibliografi dalam skala besar serta penggunaannya secara bersama-sama merupakan salah satu aspek terpenting dari konsepsi sistem kemitraan perpustakaan. Standar dan Kualitas Sangat erat hubungannya dengan pengkalan data bibliografi diatas. Tanpa adanya standar yang disepakati, tidak akan tercapai kualitas yang tinggi dari pangkalan data bibliografi yang dibangun. Bahkan dapat dikatakan, sistem otomatis tidak akan jalan tanpa standar. Sistem Otomatis Terpasang Merupakan sarana penting dalam setiap kemitraan perpustakaan. Merupakan hasil perkembangan teknologi komputer yang mengubah konsepsi dasar kemitraan. Telekomunikasi Sangat erat hubungannya dengan teknologi komputer dalam menyelenggarakan sistem terpasang (online). Merupakan sarana penghubung dari satu perpustakaan ke perpustakaan lain atau ke pusat komputer yang melayani sistem kemitraan. Memory of Understanding (MoU) Dalam setiap kerjasama perlu adanya keputusan bersama (memory of understanding). Kemerdekaan tiap anggota janringan untuk bertindak sendiri-sendiri memang sedikit berkurang. Namun, ini konsekuensi bergabung dalam sistem kemitraan. Yang perlu direncanakan secara rapi adalah mekanisme pengambilan keputusan bersama. Semua Jasa Perpustakaan Dalam konsepsi kemitraan, diinginkan semua fungsi dan jasa perpustakaan dilaksanakan secara otomatis. Keinginan ini berdasar pula atas berkembangannya konsepsi otomasi perpustakaan secara terpadu. Hal ini mengingat bahwa adanya kesinambungan fungsi perpustakaan (akuisisi, proses, dan diseminasi) yang dapat dilaksanakan secara lebih menguntungkan dari pemakaian satu pangkalan data bibliografi dalam skala yang besar. Akses Kepada Semua Anggota Dengan sistem kemitraan diharapkan tiap anggota dapat saling berkomunikasi. Tujuan akhir yang diinginkan adalah pemerataan informasi bagi semua golongan pemakai. Namun juga masih harus selalu dipertimbangkan apakah memang semua pemakai mempunyai hak yang sama. Integrasi dan Koordinasi Konsepsi kuno sistem kemitraan mengusulkan adanya integrasi dan koordinasi dari jasa yang sekarang ada untuk pembangunan suatu jaringan. Pada kenyataannya justru integrasi dan koordinasi ini sukar sekali dilaksanakan karena tiap perpustakaan/pusat informasi mempunyai kecenderungan utnuk mempertahankan identitasnya. Bahkan, meningkatkan derajat spesialisasinya. Yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan sistem kemitraan adalah kemampuan untuk membuat “perangkat antara” hingga pemakai menggunakan cara yang seragam untuk berbagai jenis sumber informasi. Satu Jaringan Untuk Semua Pada kenyataannya, masih sukar untuk diwujudkan walaupun ide ini secara logis telah diterima. Beberapa lembaga bahkan mempertahankan untuk mengembangkan kemitraan sendiri-sendiri, walaupun mereka sadar suatu saat nanti akan bergabung. Sentralisasi Sentralisasi atau desentralisasi merupakan pendapat yang selalu muncul dalam pembicaraan tentang kemitraan atau jaringan kerjasama. Pada awal pemikiran tentang jaringan sentralisasi merupakan faham desentralisasi. Yang menjadi sentral dalam hal ini
bukan salah satu perpustakaan atau lembaga, namun kemitraan itu sendiri. Namun perkembangan teknologi mendatang masih akan mempengaruhi aspek ini. Pengembangan Dari Bawah Secara teori sangat dimungkinkan pengembangan kemitraan dari tingkat atas (nasional). Namun sistem kemitraan yang kokoh dalam praktiknya berkembang dari bawah, berdasar kebutuhan masing-masing perpustakaan dan kemauan mereka untuk bermitra/bekerjasama. Perlunya Payung Yang dimaksud disini adalah lembaga pada tingkat nasional yang bertanggung jawab atas pengembangan dan koordinasi sistem kemitraan. Kesepakatan perlunya payung ini tak terbantahkan, hanya lembaga mana yang ditunjuk perlu disepakati. Kemitraan Internasional Merupakan ajakan yang selalu muncul dalam setiap kegiatan pustakawan dalam tingkat internasional. Penting dipertimbangkan dalam merencanakan sistem agar kompatibel dengan sistem internasional bila diinginkan kerjasama dalam tingkat tersebut. Biaya dan Produktivitas Kemauan bergabung dalam sistem jaringan selalu dipengaruhi dengan kemampuan kemitraan itu dalam menekan biaya dan menaikkan produksi. Kerjasama antar perpustakaan dapat dikembangkan untuk mencapai berbagai tujuan, antara lain saling meminjamkan koleksi (silang layan atau interlibrary loan), mengadakan pembelian buku bersama, book hunting, saling meminjam, mendongeng (story telling), dan lain-lain. Dalam bentuk jaringan kerjasama, perpustakaan akan lebih efektif dalam melaksanakan layanan untuk mencapai tujuannya. Mengingat perpustakaan berfungsi menunjang pelaksanaan kurikulum (untuk perpustakaan sekolah/perpustakaan perguruan tinggi) dan pelaksanaan tugas kantor/instansi (perpustakaan khusus), koleksi bahan pustaka harus diupayakan memenuhi kebutuhan pembaca dan pengunjung. Perlu diupayakan agar koleksi perpustakaan mencakup segala bentuk karya cetak dan karya rekam serta karya yang tidak tercetak maupun tidak terekam. Karya cetak seperti buku, majalah, surat kabar, brosur, booklet, dan lain-lain. Karya rekam seperti kaset audio, kaset video, film, slide, filmstrip, dan lainlain. Koleksi yang tidak tercetak maupun terekam adalah model (misalnya model tubuh manusia, model jantung, paru-paru, hati, dan kerangka manusia), herbarium, aquarium, insektarium, terrarium, alat-alat permainan, dan lain sebagainya. Koleksi perpustakaan terdiri atas buku-buku yang dikelompokkan atas sepuluh kelas dan buku-buku rujukan seperti kamis, ensiklopedi, almanak, buku tahunan, buku petunjuk, terbitan pemerintah, dan lain-lain, serta buku tahunan (agenda), buku petunjuk, terbitan pemerintah dan lain-lain, serta buku bacaan fiksi, surat kabar dan majalah, serta koleksi pandang dengar. BENTUK KERJASAMA Bentuk kemitraan peprustakaan yang lazim dilakukan antara lain adalah : 1. Kemitraan/kerjasama pengadaan (akuisisi) Kemitraan ini dilakukan oleh beberapa perpustakaan, dan saling bekerjasama dalam pengadaan bahan pustaka (buku). Masing-masing perpustakaan bertanggung jawab atas kebutuhan informasi pemakainya dengan memilih buku atas dasar permintaan pemakainya atau berdasarkan dugaan pengetahuan pustakawan atas keperluan pemakainya. Buku-buku kebutuhan pemakai tadi pengadaannya dilakukan bersama oleh perpustakaan yang ditunjuk sebagai koordinator kerjasama. Penempatan koleksi dilakukan di masing-masing perpustakaan yang memesan buku tersebut dapat digunakan secara bersama oleh pemakai masing-masing perpustakaan. Kita tahu bahwa terbitan dalam berbagai bentuk dan disiplin ilmu pengetahuan semakin berkembang dan semuanya merupakan kebutuhan informasi bagi pemakai. Dengan pengadaan gabungan atau pengadaan terkoordinasi maka perpustakaan mampu mengakses semua bahan pustaka yang mungkin perlu dibeli dan menjamin bahwa sumber telah ditelusur. Sulitnya impor buku dalam jumlah judul dan eksemplar yang terbatas, kemitraan dalam bidang akuisisi menjadi alternatif.
Ada dua metode untuk melaksanakan kerjasama akuisisi, yaitu spesialisasi subyek dan pengadaan khusus untuk bahan pustaka tertentu. Metode pertama, masing-masing perpustakaan mengkhususkan diri dalam subyek pilihannya. Misalnya, subyek pertanian, sosial politik, perpustakaan dan sebagainya. Metode kedua, perpustakaan meninjau buku yang belum dipesan oleh kelompok perpustakaan atau bersepakat menentukan perpustakaan yang bersedia membeli buku untuk kepentingan bersama. Keuntungan spesialisasi subyek adalah penentuan lokasi subyek yang dimiliki masingmasing perpustakaan menjadi sangat mudah. Terbuka kemungkinan antar pinjam dan pengarahan yang lebih cepat kepada pembaca ke koleksi khusus, kemandirian regional makin besar dan masing-masing perpustakaan mampu menerbitkan bibliografi khusus. Namun alokasi bidang subyek yang kurang jelas dan bersifat arbriter serta kurangnya akses untuk subyek tertentu menjadi catatan untuk metode ini. Sedangkan pada metode kedua kemungkinan pengembangan koleksi yang komprehensif atas dasar basis nasional. 2. Pertukaran dan Redistribusi Kemitraan pertukaran dilakukan dengan cara penukaran publikasi badan induk perpustakaan tersebut dengan perpustakaan lain tanpa harus membeli. Cara ini biasa juga dilakukan untuk mendapatkan publikasi yang tidak dijual atau publikasi yang sulit dilacak di toko-toko buku. Pertukaran ini biasanya dilakukan dengan prinsip satu lawan satu artinya satu publikasi ditukar dengan satu publikasi yang tidak memandang jumlah halaman, tebal tipis publikasi ataupun harga publikasi tersebut. Kemitraan redistribusi adalah kerjasama yang dilakukan oleh dua perpustakaan atau lebih dalam hal penempatan kembali buku-buku yang tidak lagi diperlukan di suatu perpustakaan atau berlebih di suatu perpustakaa. Buku-buku tersebut dapat ditawarkan kepada perpustakaan lain yag mungkin lebih membutuhkan buku tersebut. Intinya, kerjasama ini dibutuhkan untuk meningkatkan dan memperluas sumber koleksi yang telah ada dengan biaya sekecil mungkin. Mirip dengan bentuk pertama diatas, namun lebih menekankan untuk menghindari kegiatan weeding. Jadi hasil weeding masih dapat dimanfaatkan untuk pertukaran koleksi. Dengan asumsi bahwa yang tidak sesuai untuk perpustakaan A belum tentu juga tidak sesuai untuk perpustakaan B. Kemitraan ini dilakukan atas dasar kebutuhan, jadi nilai tukar 1 banding 1, tidak memandang deskripsi fisiknya. Kemitraan ini sangat bermanfaat terutama untuk melestarikan koleksi yang tidak sudah tidak ada dipasaran, padahal masih diperlukan untuk perpustakaan lain. Diluar negeri sudah banyak yang menyediakan buku atau jurnal “gratisan”. Biasanya ini diminati oleh perpustakaan-perpustakaan yang sedang berkembang. 3. Pengolahan Bersama Dalam bentuk kemitraan ini, perpustakaan bekerjasama untuk mengolah bahan pustaka. Biasanya pada perpustakaan universitas dengan berbagai cabang atau perpustakaan umum dengan cabang-cabangnya, pengolahan bahan pustaa (pengkatalogan, pengklasifikasian, pemberian label buku, kartu buku dan lain-lain) dikerjakan oleh satu perpustakaan yang menjadi koordinator kerjasama. Perpustakaan lainnya cukup menerima buku dalam keadaan siap di shelving dan digunakan. Dalam hal ini Perpustakaan Nasional menerbitkan bibliografi atau diwujudkan dalam Katalog Dalam Terbitan (KDT) atau Cataloguing in Publication (CIP). 4. Penyediaan Fasilitas Bersama Bentuk kemitraan ini mungkin terasa janggal bagi perpustakaan di negara maju karena perpustakaan mereka umumnya selalu terbuka untuk dipakai oleh umum. Dalam bentuk ini, perpustakaan bersepakat bahwa koleksi mereka terbuka bagi pengguna perpustakaan lainnya. Perpustakaan biasanya menyediakan fasilitas berupa kesempatan menggunakan koleksi, menggunakan jasa perpustakaan seperti penelusuran, informasi kilat, penggunaan mesin fotokopi, namun tidak peminjam bukan anggota dilakukan dengan menggunakan fasilitas pinjam antar perpustakaan. 5. Pinjam Antar Pustakawan Bentuk kemitraan ini dilakukan karena pengguna perpustakaan lain tidak boleh meminjam koleksi perpustakaan lain. Sebagai gantinya maka perpustakaan yang memunjamkan buku dari perpustakaan lain kemudian perpustakaan tersebut
meminjamkannya kepada pemakainya, sudah pasti yang bertanggungjawab terhadap peminjaman buku tersebut adalah perpustakaan yang meminjam. 6. Pinjam Antar Pustakawan Kemitraan ini merupakan kerjasama profesi. Contohnya IPI (Ikatan Pustakawan Indonesia) atau Forum-forum komunikasi antar perpustakaan dan pustakawan seperti FPPTI (Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia), FPUI (Forum Perpustakaan Umum Indonesia), FPK (Forum Perpustakaan Khusus), dan FPSI (Forum Perpustakaan Sekolah Indonesia). Kemitraan ini dilakukan antar pustakawan untuk memecahkan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh para pustakawan. Bentuk kemitraan ini berupa peningkatan keterampilan atau kualitas pelayanan sampai kegiatan ilmiah atau penelitian. Bahkan bias juga dengan penerbitan buku panduan untuk pustakwan, pertemuan antar pustakawan, kursus penyegaran untuk pustakawan dan lain-lain. Ini sangat penting karena pustakawan adalah SDM penggerak utama jalannya perpustakaan. 7. Penyusunan Katalog Induk Dua perpustakaan atau lebih menuyusun katalog perpustakaan secara bersama-sama. Katalog tersebut berisi keterangan tentang buku yang dimiliki oleh perpustakaan peserta kemitraan disertai dengan keterangan mengenai lokasi buku tersebut. Kemitraan seperti ini bukan hal baru di Indonesia. Bahkan beberapa katalog induk sudah banyak yang diterbitkan secara nasional, antara lain beberapa diterbitkan oleh PDII-LIPI. 8. Pemberian Jasa dan Informasi Bentuk kemitraan ini adalah dilakukan oleh dua atau lebih perpustakaan yang sepakat untuk bekerjasama saling memberikan jasa informasi. Salah satu bentuk kemitraan ini adalah pinjam antar perpustakaan, jasa penelusuran, dan jasa fotokopi. Kerjasama seperti ini melibatkan semua sumber daya yang ada di perpustakan. Jadi tidak terbatas pada pinjam antar perpustakaan saja. SYARAT-SYARAT KEMITRAAN PERPUSTAKAAN Dalam mengadakan kemitraan menurut Arlinah (2002) ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh masing-masing anggota kemitraan agar kemitraan dapat berjalan dengan langgeng dan membawa manfaat yang maksimal bagi semua pihak yang terlibat, yaitu antara lain :
Kesadaran, kesediaan, dan tanggung jawab untuk memberi meupun menerima permintaan serta menaati setiap peraturan, mekanisme maupun harga yang dibuat bersama, yang dituangkan baik dalam bentuk perjanjian tertulis maupun lisan ; Memiliki koleksi pustaka yang terorganisir dengan baik dan siap pakai ; Memiliki katalog perpustakaan ; Memiliki penanggungjawab dan tenaga yang dapat membimbing pengguna dalam mendayagunakan pustaka secara bersama ; Memiliki peraturan/tata tertib perpustakaan ; Memiliki mesin fotokopi maupun peralatan lain yang dibutuhkan sebagai sarana dalam reproduksi dan telekomunikasi
Selanjutnya, Arlinah juga mengatakan bahwa dalam menuangkan kesepakatankesepakatan, baik tertulis maupun lisan perlu diperhatikan faktor-faktor penting sebagai berikut :
Alasan dan tujuan kemitraan/kerjasama ; Ruang lingkup kemitraan/kerjasama ; Siapa saja yang ikut terjaring ; Kapan kemitraan mulai dilaksanakan dan diakhiri ; Bagaimana hubungan antar anggota yang ikut dalam kemitraan ; Bagaimana pembagian kerjanya supaya tidak terjadi duplikasi ; Bagaimana prosedur kerjasama serta perlengkapan apa saja yang diperlukan ; Bagaimana pembiayaannya ; Kemungkinan penggunaan teknologi canggih.
Kemitraan juga perlu diperhatikan beberapa hambatan yang dihadapi oleh perpustakaan dalam mengadakan kemitraan antar perpustakaan, beberapa hal seperti : Sarana dan prasarana
Salah satu kelemahan dalam perpustakaan adalah kurang tersedianya sarana dan prasarana yang baik yang dapat menunjang kelancaran komunikasi diantara anggota peserta jaringan kemitraan. Dianjurkan bagi tiap perpustakaan anggota kemitraan dapat meyakinkan pimpinan lembaga induk masing-masing untuk secara bertahap melengkapi perpustakaan dengan sarana komunikasi seperti telepon, komputer, faksimil, mesin fotokopi, modem, dan sebagainya. Bila belum ada, untuk sementara waktu, perpustakaan dapat mencari jalan untuk ikut mengguankan fasilitas dari unit lain yang memiliki. Koleksi Anggaran yang terbatas dari perpustakaan, membuat pepustakaan tak dapat membangun koleksi yang memadai. Beberapa usaha yang dilakukan dalam mengatasi masalah ini adalah dengan jalan menggalakkan sumbangan alumni, atau mendesak pimpinan lembaga induk untuk mengeluarkan peraturan wajib simpan karya cetak dilingkungan sendiri. Lalu secara bertahap, perpustakaan dapat meyakinkan pimpinan untuk – paling tidak – menyediakan anggaran untuk dapat memenuhi kebutuhan koleksi pustaka inti dari lembaga yang bersangkutan. Ketenagaan Kurangnya tenaga profesional baik dalam keahlian maupun sikap mental, dapat menghambat lancarnya kerjasama. Untuk mengatasi hal ini, perlu adanya programprogram pembinaan kualitas tenaga perpustakaan melalui pengiriman tenaga untuk mengikuti pendidikan formal, magang, studi banding, pertemuan-pertemuan ilmiah, dan sebagainya. Kurang dipahaminya manfaat kemitraan Banyak perpustakaan maupun pimpinan lembaga induk yang kurang menyadari manfaat kemitraan atau kerjasama ini, sehingga kurang mendukung dalam pelaksanaannya. Menjadi kewajiban pustakawan untuk dapat memberikan informasi dan menunjukkan keuntungan dari kemitraan, sehingga dapat memperoleh dukungan dari pimpinan. Dana Dana yang terbatas dan tidak menentu menjadi suatu masalah yang umum diantara banyak perpustakaan, terutama di Indonesia, sehingga perpustakaan tak dapat mengembangkan perpustakaan, termasuk pelayanan dan koleksi bahan ustaka yang dapat menunjang program lembaga induknya. Dengan meyakinkan pimpinan lembaga induk untuk dapat diikutsertakan dalam penyusunan anggaran, diharapkan perpustakaan dapat memperoleh jaminan adanya dana yang cukup untuk pengembangan perpustakaannya. Kurang adanya informasi antar perpustakaan Walaupun perpustakaan adalah lembaga yang bergerak di bidang informasi, justru seringkali pertukaran informasi jarang terlaksana sehingga masing-masing perpustakaan tidak mengetahui keadaan dan perkembangan perpustakaan lain, sehingga kurang dapat memanfaatkan potensi dari perpustakaan-perpustakaan lain. Untuk mengatasi masalah ini, perlu adanya pertemuan-pertemuan berkala secara rutin, agar dapat membina hubungan, serta berbagi pengalaman dan informasi. Penerbitan publikasi resmi seperti majalah, buletin, daftar peroleh pustaka baru, katalog induk pustaka, baik yang diterbitkan secara bersama ataupun diterbitkan dan disebarkan oleh masing-masing perpustakaan juga dapat membantu meningkatkan komunikasi dan pertukaran informasi antar perpustakaan. Perbedaan peraturan tentang fotokopi yang berkaitan dengan hak cipta Ketidakjelasan tentang peraturan hak cipta, banyak menimbulkan perbedaan penafsiran dalam memberikan ijin fotokopi. Perlu adanya seminar khusus untuk membahas hal ini, sehingga ada keseragaman dalam memberikan pelayanan yang menyangkut reproduksi pustaka yang dibutuhkan. Kurang adanya sinkronisasi peraturan/sistem Kecenderungan perpustakaan untuk membuat peraturan-peraturan serta sistem sendiri dalam pengelolaan perpustakaan, sering menimbulkan kesulitan dalam melaksanakan kerjasama. Untuk itu perlu diadakan usaha-usaha sinkronisasi, baik melalui pertemuanpertemuan ilmiah secara rutin maupun pembuatan pedoman standardisasi agar dapat diikuti oleh masing-masing peserta kemitraan. MANAJEMEN JARINGAN KEMITRAAN Merencanakan dan menyelenggarakan jaringan kemitraan merupakan juga masalah manajemen. Kelompok-kelompok informasi yang mengorganisasikan diri, menemukan visi, misi dan tujuan-tujuan yang sama, serta kemudian bergabung dan mengerahkan sumber-sumber tenaga, dana, mesin, metode, kecakapan-kecakapan manajemen
(management skills) untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan jaringan yang disepakati. Jaringan kemitraan dan organisasi-organisasi jaringan yang disepakati. Jaringan kemitraan dan organisasi-organisasi jaringan memunculkan kebutuhan baru akan tenaga, yaitu mereka yang harus bertindak sebagai pembahas sistem, perantara, manajer jaringan atau fasilitator. Tak terdapat aturan-aturan dari luar yang menentukan siapa yang dapat memulai dan siapa yang dapat mengoperasikan jaringan kemitraan. Prasyarat intrinsiknya adalah kompetisi, keterlibatan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi kebutuhan utama pemakai jasa informasi. Selain itu, dedikasi yang sungguh-sungguh terhadap permintaanpermintaan masyarakat informasi akan adanya pelayanan jaringan terpadu. Baik itu yang datang dari tingkat lokal, regional, nasional atau internasional. Komponen-komponen jaringan kemitraan dapat juga menjadi acuan dalam membentuk jaringan informasi yang lebih fleksibel. Ada dua belas komponen kritis yang telah diidentifikasi sebagai hal-hal yang penting dalam pengembangan suatu jaringan secara berurutan dan terencana, yaitu : Struktur organisasi yang dapat menyelenggarakan pertanggungjawaban perpajakan dan hukum, perencanaan, dan perumusan kebijaksanaan. Hal ini membutuhkan keterikatan, persetujuan operasional dan tujuan yang sama. Pengembangan sarana-sarana secara bekerjasama termasuk kemitraan pengadaan bahan pustaka dan memperkuat sarana-sarana lokal untuk materi yang digunakan. Pengembangan sarana multimedia juga dianggap penting dalam hal ini. Identifikasi simpul-simpul guna penentuan spesialisasi peranan maupun pengaturan bentuk jaringan berdasar pertimbangan geografis. Identifikasi kelompok-kelompok pemakai primer dan penentuan tanggung jawab pelayanan informasinya diantara seluruh peserta jaringan. Identifikasi tingkat-tingkat pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar dari kelompok-kelompok pemakai maupun kebutuhan-kebutuhan khusus, dan penyebaran tiap jenis pelayanan diantara simpul-simpul. Dalam hal ini seyogyanya tersedia pelayanan untuk rujukan maupun meneruskan dan pelayanan untuk penyaluran dokumen maupun data atau informasi. Penciptaan sistem komunikasi yang memungkinkan terselenggaranya “percakapan” dan yang dirancang untuk menyalurkan jumlah pesan/dokumen yang diinginkan pada setiap tingkat operasi. Kode-kode pesan yang standard an berlaku umum yang memungkinkan adanya kesamaan pengertian diantara simpul-simpul dalam jaringan. Suatu rekaman bibliografik terpusat yang memungkinkan dapat diketahui \nya tempat disimpannya butir-butir yang dibutuhkan dalam jaringan. Kemampuan mengubah diri yang memungkinkan terselenggaranya hubungan dengan jaringan-jaringan lain dan dapat ditentukan jalur komunikasi yang optimum dalam jaringan. Kriteria-kriteria dan prosedur evaluasi untuk memungkinkan terselenggaranya umpan balik dari pemakai dan penyelenggara dan merupakan sarana bagi penelitian dan modifikasi jaringan guna penyesuaiannya dengan perlengkapan operasional yang telah ditetapkan. Program-program latihan untuk penyediaan bimbingan kepada pemakai dan penyelenggara sistem, termasuk tentang kebijaksanaan dan prosedur-prosedur.
PENGEMBANGAN KERJASAMA KOLEKSI DAN BERBAGI SUMBERDAYA DI PERPUSTAKAAN NASIONAL RI Berbicara mengenai jaringan kemitraan, kerjasama pengembangan koleksi, atau jaringan informasi lainnya, tidak lengkap kalau tidak menyebut perkembangan jaringan kerjasama yang dilaksanakan lembaga induk perpustakaan di Indonesia, yaitu Perpustakaan Nasional RI. Konsep jaringan informasi untuk bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora, telah muncul semenjak tahun 1971 pada Workshop Sistem Jaringan Dokumentasi dan Informasi Indonesia. Workshop yang berlangsung di Bandung itu diprakarsai oleh Dewan Riset Nasional (DRN). Untuk beberapa tahun kegiatan jaringan ini tidak terdengar kiprahnya, hungga muncul Jaringan Informasi, Dokumentasi dan Kerjasama Perpustakaan (Jarindo) yang dimotori oleh Sub Direktorat Kerjasama Perpustakaan, Direktorat Pengembangan
Tenaga dan Kerjasama Perpustakaan (Ditbangga), Perpustakaan Nasional RI. Hal ini sesuai dengan amanat Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 1989, tentang Perpustakaan Nasional RI. Jarindo dalam kegiatannya beberapa kali mengadakan pertemuan, menerbitkan bulletin Jarindo, menerbitkan direktori anggota Jarindo dan magang ketenagaan antar perpustakaan anggota jaringan. Merujuk pada tipologi kerjasama yang diajukan oleh Michael Sinclair (dalam Evans, 2000), draft pedoman Jarindo mengusulkan model kerjasama perpustakaan tipe D, Service Center Model, dalam hal ini Perpustakaan Nasional RI memposisikan dirinya sebagai center. Namun posisioning sebagai center itu pada gilirannya seringkali menjadi artikulasi dari kepentingan Perpustakaan Nasional RI dalam rangka tugas pokok dan fungsinya dalam pembinaan. Sebuah konsep yang didasarkan pada pendekatan sentralistik dimana Perpustakaan Nasional RI sebagai sebuah lembaga formal pemerintah memposisikan dirinya selaku koordinator dari jaringan, dengan justifikasi Keppres 11 Tahun 1989 tersebut. Sebuah Keppres yang mengamanatkan fungsi pembinaan segala jenis perpustakaan, namun banyak dipertanyakan. Pertanyaan yang bermula dari perbandingan dengan perpustakaan nasional di banyak negara yang tidak mengamanatkan fungsi pembinaan. Dengan demikian pendekatan sentralistik Keppres 11 tahun 1989 dan dilestarikan dengan keputusan-keputusan selanjutnya hingga terakhir Keppres Nomor 67 Tahun 2001, dimana Perpustakaan Nasional RI didominankan dalam pengambilan peran pengembangan perpustakaan merupakan sebuah kasus unik, khas Indonesia. Pendekatan ini diduga menjadi pemicu kegagalan salah satu Direktorat Perpustakaan Nasional waktu itu (baca : Ditbangga) yang membawa Jaringan Informasi dan Dokumentasi (baca : Jarindo) dalam bentuk sebuah jaringan formal dengan kerangka kerja yang jelas dan implementatf dalam bentuk collective activities yang disepakati seluruh anggota jaringan. Hal ini nampak saat draft Pedoman Jaringan yang dibawa pada saat lokakarya yang diselenggarakan di Semarang tahun 1996 gagal disepakati. Kegagalan ini bermula dari munculnya dua arus pemikiran yang sulit dipersatukan, diantara mereka yang menghendaki tidak diformalkannya jaringan tersebut. Alasan mereka yang menentang bentuk formal jaringan ini ialah merujuk pada telah terjadinya perubahan paradigma perpustakaan dari kepemilikan ke akses. Hal yang dipicu oleh merebaknya aplikasi teknologi informasi, utamanya internet di perpustakaan. Setelah sekian lama tenggelam dalam ambiguitas, kemudian muncul lagi upaya Perpustakaan Nasional RI untuk menghidupkan kembali jaringan ini dengan mengadakan pertemuan pada tanggal 20 Agustus 1999 di Jakarta, dilanjutkan dengan beberapa pertemuan nama Jarindo menjadi Jaringan Informasi Bidang Ilmu Sosial dan Humaniora atau disingkat JIBIS-Humaniora. Hal ini seiring dengan berubahnya struktur organisasi Perpustakaan Nasioanal RI dibawah Keppres No. 50 Tahun 1977, dimana Sub Direktorat Kerjasama Perpustakaan yang semula berada di bawah Direktorat Pengembangan Tenaga dan Kerjasama Perpustakaan berpindah dibawah Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi, Deputi Bidang Pengembangan Bahan Pustaka dan Jasa Informasi. Perpindahan ini cukup melegakan, karena dengan demikian substansi tugas pokok dan fungsi kerjasama perpustakaan dapat bersenyawa dengan tugas pokok dan fungsi layanan perpustakaan dan informasi. Namun, kesepakatan diatas menyisakan beberapa persoalan. Diantaranya Prof. Dr. Sulistyo-Basuki menyatakan bahwa istilah “Humaniora” sudah tidak dipergunakan lagi dilingkungan DIKTI. Namun demikian, untuk sementara nama jaringan ini masih menggunkan istilah diatas, meskipun telah diusulkan perubahan istilah “humaniora” menjadi kemanusiaan” sebagaimana dikemukakan Kepala Pusat Layanan Informasi, Perpusnas RI, yang pada waktu itu dijabat oleh Dady P. Rachmananta, MLIS. Persoalan yang lebih besar lagi ialah terputusnya mata rantai jaringan yang telah dirintis oleh Jarindo, dengan memulai segala sesuatunya sebagai seolah-olah babakan baru dan meninggalkan tingkat kemajuan yang telah dibuat oleh Jarindo sebelumnya, termasuk pedoman kerja jaringan informasi, dokumentasi dan kerjasama perpustakaan bidang ilmu sosial yang telah disusun dengan beberapa kali pertemuan dan biaya yang tidak sedikit dimuka.
Sehubungan dengan semakin majunya teknologi informasi, keanekaragaman kebutuhan masyarakat terhadap informasi, perpustakaan dituntut untuk mampi meningkatkan sumberdaya dan pelayanannya secara proaktif. Namun, kenyataannya tidak ada satupun perpustakaan dan pusat informasi dapat melayani penggunanya dengan hanya mengandalkan kemampuannya sendiri. Pemenuhan kebutuhan informai tersebut data terlaksana secara optimal, hanya bila dilakukan kerjasama antar perpustakaan atau pusat informasi. Kerjasama yang disusun berdasarkan prinsip saling membantu, saling membutuhkan dan saling memanfaatkan dalam mekanisme kerja yang jelas, transparan dan bersinergi dalam paham kemitraan tersebut, diyakini mampu menghasilkan apa yang disebut sebagai Jaringan Informasi. Jaringan Informasi Bidang Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora dikembangkan dalam lingkup perpustakaan dan pusat informasi, yang bergerak di bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Kerjasama yang ingin dicapai meliputi kerjasama sumberdaya manusia, koleksi, sistem, prasarana dan lain-lain. Pada saat dicetuskan tujuan dibentuknya JIBISHumaniora adalah : 1) Meningkatkan pendayagunaan informasi masyarakat secara cepat, tepat, dan akurat dengan sistem layanan berbasis jaringan ; 2) Memanfaatkan sumber daya bersama (resource sharing) ; 3) Memanfaatkan prasarana teknologi informasi atau media lain yang dimiliki untuk menyediakan sarana akses jasa informasi dan komunikasi diantara pemasok dan pengguna ; 4) Saling membina kemampuan sumber daya (manusia, koleksi dan sarana) antar anggota jaringan. Jika kita lihat tujuan tersebut butir 3, seharusnya hal itu menjadi salah satu kesepakatan mengenai sarana yang digunakan dalam jaringan, bukan tujuan. Merujuk gagasan Evans dalam Developing Library and Information Center Collection (2000), tujuan dibentuknya JIBIS tersebut masih minimal. Evans menyebutkan bahwa : “Jaringan dan kerjasama perpustakaan dapat memetik 6 keuntungan umum berupa : meningkatkan akses dalam pendayagunaan koleksi atau menambah kedalaman subjek, melonggarkan pembatasan sumber-sumber dengan membagi pekerjaan dan hasilnya, menciptakan spesialis subjek untuk meningkatkan performa layanan yang lebih baik, mengurangi duplikasi dalam pengadaan koleksi, mengurangi jumlah tempat yang harus disediakan bagi pengguna layanan perpustakaan dan perspektif yang lebih baik tentang masalah-masalah yang dihadapi dengan melakukan diskusi dan kerjasama”. Kriteria dan Administrasi Kriteria keanggotaan JIBIS-Humaniora adalah sebagai berikut : (1). Unit perpusdokinfo formal (memiliki organisasi dan manajemen resmi) ; (2). Mempunyai kesediaan secara sukarela dan komitmen dari institusi dan / atau induk lembaga yang bersangkutan untuk menjadi peserta jaringan ; (3). Memiliki unit kerja yang mempunyai tugas pokok memberikan jasa informasi ; (4). Mempunyai fasilitas jaringan di bidang ilmu sosial dan humaniora dan sudah didayagunakan ; (5). Mempunyai misi yang sinergis dengan misi jaringan ; (6). Mengajukan permintaan menjadi anggota jaringan ke sekretariat jaringan ; (7). Proaktif antar anggota melakukan kerjasama melalui penggunaan infrastruktur jaringan yang ada. Kriteria diatas menampakkan butir-butir prasyarat keanggotaan yang saling bertabrakan, misalnya antara butir 2 dengan butir 5 dan 6, antara butir 1 dan 4 yang menyatakan mempunyai fasilitas jaringan di bidang ilmu sosial dan humaniora dan sudah didayagunakan, sangat tidak fair dan mengingkari kredo Perpusnas untuk membina semua jenis perpustakaan sebagaimana telah diungkap diawal tulisan ini. Dalam sistem keanggotaan JIBIS ini tidak diberikan batasan pada jenis perpustakaan tertentu, pembatasan hanya terdapat pada subjek ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Menurut Evans (2000) hal demikian ini menimbulkan persoalan sendiri, ialah ketika perpustakaan yang berbeda jenis bersatu dalam sebuah sistem jaringan, mka akan muncul persoalan tentang prosedur yang disepakati, persepsi dan jenis teknologi yang dipakai, standardisasi yang dipergunakan dalam lingkungan sistem, peraturan yang dirujuk dalam pembuatan
kebijakan, penentuan batas jurisdiksi jaringan dan otoritas internal perpustakaan, sistem pengawasan dan pelaporan dan lain-lain. Perpustakaan nasional sebagai koordinator JIBIS dalam homepage-nya mengemukakan pernyataan terbuka tentang beberapa prinsip dasar Jaringan Informasi Bidang Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora berupa hal-hal sebagai berikut : (1) Saling Memerlukan. Unsur saling memerlukan antar perpustakaan adalah hal yang mutlak bagi suatu perpustakaan dan pusat infoamasi dewasa ini, karena tidak ada satupun diantara lembaga ini yang dapat memenuhi kebutuhannya dari koleksi yang dimiliki sendiri ; (2) Konfigurasi Jaringan. Konfigurasi jaringan yang dibentuk mengacu pada kesamaan posisi, sehingga masing-masing anggota jaringan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama ; (3) Organisasi Jaringan. Model organisasi yang disarankan adalah berbentuk sarang laba-laba dimana Perpusnas RI sebagai titik tumpu koordinasi dalam penyelengaraan kegiatan ; (4) Prasarana / Sarana Jaringan. Sarana pendukung yang dimanfaatkan, dalam koneksitas jaringan adalah : a. Sistem otomasi terpasang ; b. Telekomunikasi ; c. Jaringan pos dan sebagainya. Pada butir 3 diatas pada kenyataannya peranan apa yang diambil oleh koordinator belum terlihat nyata, dugaan awal bahwa jangan-jangan JIBIS-Humaniora adalah artikulasi kepentingan Perpusnas sebagai sebuah hegemoni terhadap pembinaan pada semua jenis perpustakaan kembali merebak dalam hal ini. Di lain pihak meskipun dinyatakan bahwa jaringan bersifat informal, tetapi JIBISHumaniora menyatakan Hak dan Kewajiban Anggota sebagai berikut. Kewajiban anggota peserta jaringan : (1) Taat azas terhadap peraturan dan kesepakatan yang telah ditetapkan ; (2) Menyajikan, menyampaikan anggaran operasional sendiri untuk masing-masing anggota peserta jaringan ; (3) Menyediakan / mengupayakan anggaran operasional sendiri untuk masing-masing anggota peserta jaringan baik dari usaha atau institusi yang bersangkutan ; (4) Secara berkesinambungan mempersiapkan data perkembangan pusdokinfo dari masing-masing jaringan ; (5) Mempersiapkan data peta kekuatan koleksi perpustakaan yang sudah dimutakhirkan. Sedang hak anggota peserta jaringan adalah : (1) Memperoleh informasi tentang perkembangan masing-masing anggota jaringan ; (2) Mengajukan pendapat dan saran dalam rangka pengembangan jaringan Ilmu Sosial dan Humaniora ; (3) Bergerak pro aktif dan harmonis dalam melakukan kerjasama antar anggota. Adapun mekanisme diatur sebagai berikut : (a) Bidang mencakup kegiatan-kegiatan penyajian, penyampaian, dan pemasaran informasi kepada anggota jaringan misalnya di dalam kegiatan penelusuran informasi, pinjam antar perpustakaan, pemasaran jasa informasi dan konsultasi informasi ; (b) Bidang pengembangan koleksi mencakup kegiatan-kegiatan pengidentifikasian sumber-sumber bahan pustaka dan penyaluran bahan pustaka ke anggota jaringan, misalnya pertukaran daftar tambahan koleksi, pertukaran koleksi dan penerbitan daftar induk tambahan dan katalog induk majalah. Mekanisme kerja jaringan ini sangat ditentukan oleh jenis jasa informasi yang akan diberdayakan bersama. Sebagaimana dikemukakan oleh Evans (2000) bahwa jika manfaat kerjasama perpustakaan dalam pengembangan koleksi tidak dapat dirasakan, maka ia hanya akan menambah beban biaya yang harus ditanggung oleh perpustakaan. Dan harapan terhadap munculnya kemungkinan penghematan biaya tidak selalu dapat dipastikan, misalnya dalam hal ini adalah biaya pemeliharaan sistem.
Hingga saat ini telah terdaftar anggota JIBIS dan Humaniora sebagai beikut : Unit Perpustakaan Setjen DPR-RI Perpustakaan Balitbang Deparlu Perpustakaan Fisip UI Biro Kepustakaan dan Dokumentasi Komnas HAM Unit Perpustakaan LAN Perpustakaan Institut Pengembangan Manajemen Indonesia Perpustakaan FE UI Pusat Dokumentasi Kompas The ASEAN Secretariat Library Perpustakaan Dokumentasi dan informasi – LP3ES The British Council Direktorat Dokumentasi dan Informasi BSN Perpustakaan Yayasan LIA Pusat Informasi Lembaga Manajemen PP Pusat data Tempo CSIS (Center for Strategic and International Studies) Perpustakaan BKKBN Direktorat Jaringan Teknologi Informasi dan Dokumentasi Perpustakaan Umum DKI Jakarta Dan selaku koordinator Perpustakaan nasional RI Masalah Sosiologi dan Teknologi Jaringan Putu Laxman Pendit, dalam satu kesempatan pertemuan JIBIS-Humaniora di Sekretariat ASEAN, 21 Mei 2002, mengemukakan bahwa model jaringan semacam ini sangat memerlukan modal sosial (social capital). Istilah sosial kapital pertama kali muncul dalam kajian masyarakat (community studies) untuk membuktikan pentingnya jaringan hubungan pribadi yang kuat dan bersilangan, yang berkembang perlahan-lahan sebagai landasan bagi saling percaya, kerjasama dan tindakan kolektif dari sebuah komunitas. Jaringan ini menentukan bertahan dan berfungsinya city neighbourhoods. (J. Javobs, The Death and Life of Great American Cities, London : Penguin Books, 1965). Masih menurut Pendit unsur-unsur modal sosial ini mengandung aspek sebagai berikut : 1. Merupakan sebuah sumberdaya berupa hubungan sosial sehari-hari, sebagai bagian dari struktur sosial yang tertanam di dalam hubungan antar anggota, dan sebuah credential atau previllage yang dapat dimanfaatkan anggota jaringan ; 2. Dimiliki bersama, hal ini memungkinkan tidakan anggota secara individual di dalam struktur yang memungkinkan pencapaian suatu tujuan yang tidak bias, atau sulit sekali dicapai tanpa modal sosial tersebut ; 3. Sebagian besar dari modal ini tertanam di dalam jaringan dimana anggotanya saling mengenal dan saling menghargai. Adapun dimensi modal sosial ini meliputi beberapa 3 aspek. Pertama, Dimensi struktural berupa hubungan-hubungan antar anggota sebagai aktor sosial ; Kedua, Dimensi relasional berupa sifat hubungan antar anggota, misalnya rasa aspek persahabatan dan kebersamaan ; Ketiga, Dimensi kognitif berupa berbagai simbol, representasi, interpretasi dan sistem bahasa yang dipakai bersama oleh anggota-anggotanya. Dalam hubungan ini JIBISHumaniora perlu melakukan evaluasi kinerjanya selama ini. Agar jaringan ini tetap eksis harus mampu memanfaatkan modal sosial sebagai berikut : (1) meningkatkan efisiensi tindakan dan difusi informasi ; (2) menghapuskan kemungkinan oportunisme ; (3) mengurangi kebutuhan monitoring ; (4) Mengurangi biaya transaksi ; (5) Membantu adaptasi ; (6) Mengembangkan kreatifitas lewat pembelajaran bersama ; (7) Mendorong perilaku koperatif yang memfasilitasi organisasi yang inovatif. Agar kegiatan jaringan informasi ini dapat berjalan secara lebih implementatif perlu dibuat pedoman, protokol komunikasi, standardisasi dan sebuah portal pada world wide web. Namun perlu dipahami bahwa jaringan bukan merupakan persoalan teknologi. Dimensi teknologi dalam jaringan mengacu pada struktural resources dan general spirit. Dua hal tersebut dapat hidup dan berkembang apabila jaringan memiliki roh berupa resource
sharing dan standar atau protocol. Dengan demikian teknologi tidak layak dipasang dalam jaringan sebelum ada komitmen tentang resource sharing. Mengacu pada persoalan JIBISHumaniora resource sharing dapat dikatakan baru dalam tingkat wacana. Pemakaian teknologi pada jaringan akan sangat membantu mengimplemetasikan hal-hal yang semula masih bersifat wacana tersebut. Namun hal ini perlu mempertimbangkan kesinambungan, jenis teknologi yang dipakai, sikap yang sama antar anggota terhadap teknologi yang digunakan, dan adanya konsensus tentang pemakaian teknologi tersebut. Jaringan informasi dan kerjasama perpustakaan mungkin dilakukan untuk beberapa jenis perpustakaan yang berbeda, dan sangat mungkin untuk perpustakaan yang sejenis, misalnya perpustakaan perguruan tinggi. Mengacu pada pengalaman Amerika, perpustakaan umum dan perpustakaan komunitas dapat melakukan kerjasama dengan perpustakaan sekolah dan perguruan tinggi. Meskipun pada kenyataannya jaringan ini berjalan karena telah dikembangkannya pangkalan data bibliografis yang dapat diakses secara online, namun penerapan teknologi informasi ini bukan satu-satunya alasan, karena sebagaimana diungkap Pendit bahwa koordinasi dan kepercayaan terhadap keuntungan lebih besar yang dapat dipetik bersama dengan kerjasama perpustakaan merupakan pokok persoalan yang harus mendapat perhatian yang sama besar dengan pokok persoalan teknologi informasi sebagai infrastruktur pendukung jaringan informasi dan kemitraan perpustakaan. PENUTUP Dalam sejarah perpustakaan tidak pernah ada perpustakaan yang dapat berdiri sendiri dalam memenuhi semua kebutuhan penggunanya. Betapapun besarnya dana yang tersedia, tak akan pernah ada perpustakaan yang dapat mengumpulkan sumber informasi secara menyeluruh dalam jumlah maupun jenisnya. Oleh karena itu setiap perpustakaan akan memerlukan perpustakaan lain dalam memenuhi kebutuhan pemakainya. Dengan kesadaran ini, usaha-usaha kemitraan antar satu perpustakaan dengan perpustakaan lain perlu semakin digalakkan dengan harapan kelemahan dari satu perpustakaan dapat dilengkapi oleh perpustakaan lain. Dengan demikian masing-masing pihak dapat memberi dan mendapatkan keuntungan dari pihak lain, dengan tujuan utama memberikan pelayanan yang maksimal untuk memenuhi kebutuhan pengguna akan informasi. Jadi bila satu perpustakaan membutuhkan dan memanfaatkan pelayanan perpustakaan lain tidak berarti perpustakaan tersebut dalam kondisi kekurangan, tetapi sebaliknya, kesempatan untuk dapat memanfaatkan perpustakaan lain tak boleh pula menjadi alasan untuk tidak mengembangkan atau memperbaiki kondisi perpustakaan sendiri. Sebagai contoh, lihat gambar berikut ini :
PEMAKAI
Perpustakaan
Umum
P E M A K A I
Perpustakaan Khusus
PUSAT JARINGAN (PERPUSNAS)
Perpustakaan Sekolah
Perpustakaan PT
P E M A K A I
PEMAKAI
Pada akhirnya, marilah mengambil sikap positif dalam pengembangan koleksi bahan pustaka antar perpustakaan, yang lebih universal kemasannya, karena pengembangan koleksi itu tidak melulu pada bahan pustaka tetapi lebih mengarah pada penyediaan informasi secara konkrit yang dibutuhkan pemakai. Pada saat ini masalah utama dari setiap perpustakaan adalah ketersediaan koleksi yang sangat terbatas. Karena itu kemitraan yang paling relevan dilakukan diantara perpustakaan – berbagai jenis perpustakaan tentunya – adalah kerjasama pemanfaatan bersama koleksi (resource sharing) dan pinjam antar perpustakaan. Beberapa perpustakaan dapat saling berkomunikasi dan membuat kesepakatan bekerjasama (bermitra). Salah satu perpustakaan yang dianggap paling kuat dapat ditujuk menjadi focal point yang merupakan pusat jaringan. Secara periodik setiap perpustakaan dapat saling bertukar koleksi yang kemudian dipinjamkan kepada pemakainya. Keamanan koleksi yang dipinjamkan kepada pemakai berada dibawah tanggung jawab perpustakaan yang bersangkutan. Dengan cara bertukar koleksi ini maka sebagian pemakai tidak bosan datang ke perpustakaan. Bila kemitraan ini berjalan dengan baik, maka kerjasama selanjutnya dapat dikembangkan bersama sesuai dengan kebutuhan.****
REFERENSI Arlinah (2002). Manajemen Kerjasama Antar Perpustakaan. http://incuvl.petra.ac.id /forums/file1/htm. Evans, G. Edward (2002). Developing Library and Information Centre Collection. Pendit, Putu Laxman. Jaringan Sosial and Modal Sosial. (makalah pengantar diskusi JIBIS-Humaniora). Jakarta : 21 Mei 2002. Ratnawati, Sintha (2002). Kumpulan Artikel Alumni dan Mahasiswa Program Studi Ilmu Perpustakaan Program Pasca Sarjana FIB-UI. Hal. 143. Rohanda. Analisis Pola Kerjasama jaringan Informasi TTG. Universitas Indonesia, 1994. ----------. Analisis Model komunikasi TTG Bidang Kesehatan, Pertanian dan Peternakan. Lemlit- Unpad, 2003. ----------. Kajian Tentang Pola Kemitraan Antar Pelaku Ekonomi, Studi di Kawasan Timur Indonesia. Jakarta : Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan timur Indonesia, 2004. Saleh, A.R. (2003). Membangun jaringan Kerjasama dalam Rangka Pemberdayaan Perpustakaan Umum. Makalah pada Seminar dan Rapat Kerja Forum Perpustakaan Umum Indonesia 16-17 Juni 2003. Sulistyo-Basuki. Information Networks and Library Cooperation in Indonesia (paper), 2002, diturunkan dari http://www.goethe.de/so/jak/inindex.htm. Sutoyo, agus dan Joko Santoso (2001). Strategi dan Pemikiran Perpustakaan : Visi Hernandono. Jakarta : CV. Sagung Seto.