PELEMBAGAAN HUBUNGAN ANTARA PEMER.INTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DAN PEMER.INTAH KABUPATEN SLEMAN DALAM PENATAAN KEWENANGANIURUSAN Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Peuyaratan Mencapai Derajat Sarjana s-2
Program Studi Magister Administrasi Publik Konsentrasi Kebijabn Dan Manajemen Otonomi Daerah
diajukan oleh Harl Edi Tri Wahyu Nugroho
11857/PS/MAP/03 kepada
PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2005
l
Tesis elembagaan Hubungan Antara Pemerintah Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta Dan Pemerintah Kabupaten Sleman Dalam Penataan Kewenangan I Urusan dipersiapkan dan disusun oleh
Hari Edi Tri Wahyu Nugroho telah dipertahankan eli depan Dewan Penguji pada tanggal 28 Maret 2005
Su sunan Dewan Penguji
Pembimbing Utama
~f_ta'-Dewan Drs. Haryanto, MA
Penguji Lain
·························-····································-···················
Drs. Ratminto, MPA
Tesis ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan eli suatu Perguruan Tinggi,
dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Y ogyak.arta,
Maret 2005
Nugroho
Ill
MOTIO
tiQBS id<111 i~ib ktdUU1<111 {orang "gila" masih kebagian)
Asu gede menang kerahe. (Af)jit)_9 hesar fl)ef)af)_9 herkela~it)Ja) Manusia zaman ini tidak laik dimintai bantuan untuk menegakkan amal kebajikan, dan tidak pula untuk meninggalkan kejahatan. Demikian itulah kesimpulan secara umum. Sedangkan mengenai rinciannya dimengerti oleh manusia dari pengalaman dirinya sendiri.
(..A t-
g{Uf'61A~~ kp~: .Jlyaliantfa dan I6untfa tercinta yang sefa{u mentfo'a R.§Cuarga untuk._.R.§sefatrULtan aunia aan aRfierat Sauaara-sautfarak._.u. I strif...u yang sedang mengantfung.
lV
KATA PENGANTAR
Bismillahir-Rahmanir-Rahim. Al-hamdu lillah. Shalawat dan salam kepada junjungan Nabi Besar Muhammad saw. beserta segenap keluarganya dan semua sahabatnya. Tesis yang berjudul "Pelembagaan Hubungan antara Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam Penataan Kewenangan/Urusan" telah diselesaikan. Penulisan tesis ini sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam menempuh studi pada Pasca Sarjana S2 Program Studi Magister Administrasi Publik (MAP) Universitas Gadjah Mada. Ide penulisan tesis ini berawal secara kebetulan saat mengikuti mata kuliah Hubungan antar Kelembagaan yang diampu Prof. Riswanda atas kompleksitas hubungan yang mungkin terjadi ketika semakin banyak unit (satuan) yang terlibat dalam suatu hubungan. Provinsi DIY relatif kecil wilayahnya dengan enam pemerintah daerahnya, hubungan yang terjadi temyata kompleks, saling keterkaitan dan ketergantungan antarsatuan pemerintah daerah satu dengan yang lainnya.
Implementasi
kewenangan/urusan
menunjukkan
banyak
terjadi
permasalahan/konflik dan bukan rnerupakan hal rnudah untuk dilakukan penataan, harus ada kebijakan yang mengerangkainya. Pemahaman dan penerapan pola atau mekanisme resolusi dibutuhkan dalam upaya penataan kewenangan/urusan. Kewenangan/urusan merupakan hal dinamis dan dipahami sebagai hal positif, bahkan ketika terjadi konflik atau kompetisi antardaerah. Selama menjalani proses hidup dan pembelajaran hingga penyusunan tesis ini, penulis menyadari banyak pihak yang telah berperan dan banyak membantu untuk itu kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pihak-pihak sebagaimana tersebut di bawah ini.
v
1. Badan
Perencanaaan
Pembangunan
Nasional
(Bappenas)
melalui
Pusbindiklatren yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi di MAP-UGM dan Pemerintah Provinsi DIY yang telah memberikan izin studi. 2. Pengelola MAP-UGM beserta staf MAP-UGM atas proses stud.i yang baik dengan fasilitas yang dised.iakan serta keramahannya. Para karyawan/ti MAP, Perpustakaan, dan Wamet-nya. Semoga dapat terjaga kualitas dan tidak terlalu kental dengan image kampus untuk birokrat. 3. Para dosen yang telah memberikan pengetahuan dan wawasan dalam proses pembelajaran. Para dosen senior atas kasepuhan-nya dan para dosen muda dengan semangamya. 4. Prof. Riswandha Imawan, Ph.D. selaku Dosen Pembimbing Utama yang d.i selasela kesibukan beliau masih sempat membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini dan Drs. H. Suharyanto, M.Si. Dosen Pembimbing Pendamping yang memberikan wawasan baru dalam melakukan penelitian. 5. Dosen Penguji: Drs. Haryanto, MA, Drs. Agus Pramusinto, MDA dan Drs. Ratminto, MP A, yang telah meluangkan waktu dan pemikiran dalam upaya memperbaiki tesis ini. 6. Para informan/responden baik dari Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman, focus group discussion Hotel Matahari, dan forum-forum rapat, sehingga tesis ini dapat disusun. 7. Keluarga Basyaiban: Ayahanda R. Muh. Pramana, lbunda Sri Haryanti atas d.id.ikan, ridho dan doanya. Kakak dan adik (Muhammad Haeri, SH; Ana Kusumawati, M.Pd.; Prastiti Nilasari,A.Md.) beserta suami/istri (Mbak Aan, Kang Rohmat, Wiwid) dan putra/putrinya (Syarifah Mudaim, Sayyidah Fatimah, Muh. Qadli Zaka, Nabila Nur Asy-Syifa) atas kekeluargaan, perhatian, dan doanya selama ini. Allahummaghfirlahum wardho 'anhum. 8. Keluarga dari istriku: Ayahanda (Ahn.) Muh. Assa'at, lbunda Musniah, Mas Efend.i, Mas Opang, mBak Yeni, H. Muh. Yusuf, Simbah Marso, mBak Bud.i dan Dia-Tita. Allahummaghfirlahum wardho imhum.
Vl
9. Dan tentu saja kepada istriku, Yulia Setiawati, SH yang sedang rnengandung, atas rnotivasi, translate-nya dan doanya. Allahummaghfirh" war ridho wa
barokatihi. 10. Guru-guruku atas birnbingan, rnanfaat dan cucuran ilrnmtya dari sanad yang sahih. Wa min Allah at-tawfiq bi hurmat al-Fatiha. 11. Kepala Biro Tata Pernerintahan Setda Provinsi DIY Bpk. Drs. Siswanto, MM, Bu Endang K. (tentor saya sejak rnenjadi PNS), Bu Endar Hidayati, Mbak Ismintarti, Mas Kmt, rekan-rekan Sub. Bag. Pengembangan Otonomi, Sub.Bag. Pertanahan pada Bagian Otonorni, rekan eks-Pernerintahan Desa dan lainnya yang telah memberikan support dan perhatian serta keleluasannya. 12. Rekan-rekan MAP-UGM Angkatan XXXV:
M'Ririn,
P'Za~
P'Hendri,
P'Hendro, P'Agmtg, M'Ning, M'Ida atas diskusi dan salLng nyurrumgati. Ternanternan dari Sabang sarnpai Nabire, B1dris (madman of Angk.35), B'Defril, B'Roy, Kristin, Silfi, B'Didih Polokda, B'Marzoochi, Laskar Mataram, feuww. ... Angkatan 35 paling rarne. Appreciate to ternan-ternan yang rnenghargai proses belajar dan menomorduakan hasil; salut terhadap ternan-ternan yang dapat rneraih keduanya. Tiada ungkapan lain yang dapat disampaikan, semoga segala kebaikan yang diberikan rnendapat pahala yang setimpal dari Allah SWT. Karni rnenyadari tulisan ini masih kurang dalam mernenuhi persyaratan akademis sebagai suatu karya tulis,
semoga dapat rnenjadi tambahan bahan diskusi dalarn terna hubungan antar pernda dan menjadi bahan telaahan dan rnasukan dalarn proses penataan kewenangan/
urusan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta,
Maret 2005
Hari Edi Tri Wahyu Nugroho
Vll
DAFfARISI
JUDUL......................................................................................................................
1
HALAMAN PEN"GESAHAN ...................................................................................
ii
PERNYATAAN ....................................................................................................... iii MOTIO DAN PERSEMBAHAN ............................................................................ 1v KA.TA PENGANTAR ... ...........................................................................................
v
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii DAFTAR TABEL ... .................................................................................................. xi DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xii DAFTAR KOTAK .................................................................................................... xiii INTISARI ................................................................................................................. xi.v ABSTRACT ... ··········································································································· BAB I
XV
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
A. Latar Belakang .............................. ......................................................
1
B. Perumusan Perm.asalahan ..................................................................
7
C. Tujuan Penelitian ..................................... ..........................................
8
D. Tinjauan Pustaka ................................................................................
8
E. Kerangka Teori ................................................................................... 11 1. Hubungan Antar Jenjang Pemerintah ........................................ 11
a. Interdependensi Antar Pemerintah Daerah .................... .... 14 b. Kesetaraan/Kesejajaran Antar Pemerintah Daerah ............ 17 c. Kompleksitas Hubungan ...................................................... 19 2. Konflik dan Pola-pola Resolusinya ............................................. 20 a. Fasilitasi ....... ....... .. ... ..... ..... ....... .. ..... ..... .. ..... .. ..... .. ..... ........ .. .. ..
Vlll
~2
b. Negosiasl ................................................................................ 23
c. Mediasi ...................... ;............................................................ 24 d. Arbitrase ... ........ .. .. ........ .. .. .......... .. ... ..... .. ....... .. ... .. ... .. .......... .. . 25 3. Kekhususan pada Penyelenggaraan Pernerintahan Daerah....... 26 F. Metode Penelitian ..............................................................................
28
1. Jenis Penelitian ...........................................................................
28
2. Lokasi Penelitian ........................................................................
32
3. Teknis Pengumpulan Data ........................................................
32
4. Tahapan Analisis Data ...................... ........................................
34
BAB II PEMERINTAH PROVINSI DIY DAN KABUPATEN SLEMAN .......
37
A. Pemerintah Provinsi DIY ........................ .......................................
37
B. Pernerintah Kabupaten Sleman .......................................................... 40 C. Sejarah Singkat Hubungan Pemerintah Provinsi Provinsi dan Kabupaten Sleman ............. ............ ................... ................. .............. ..
44
D. Keistimewaan Provinsi DIY................................................................ 50 BAB III HUBUNGAN ANTARA PEMERINTAH PROVINSI DIY DAN PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN ................................................ 53 A. Dinamika Hubungan dalarn Penataan Kewenangan/Urusan............ 53
B. Interdependensi Antar Pemerintah Daerah ..................................... 62 C. Kesetaraan/Kesejajaran Antar Pemerintah Daerah ....................... .... 72 D. Kompleksitas Hubungan .................................................................... 77 E. Dinamika Lokus Kewenangan/Urusan .............................................. 85 BAB IV RESOLUSI PERSEUSIHAN/KONFUK DALAM PENATAAN KEWENANGANIURUSAN .................................................................... 95 A. Fasilitasi ............................................................................................ 98
lX
B. Negosiasi ........................................................................................... 105 C. Mediasi ... ............... .. .. ... .. ........................... ................... ............ .. ....... 112 D. Arbitrase .......................................................................................... 120 BAB V REALITAS OBYEKTIF DAN MONARKHI KONSTITUSIONAL ...... 126
A. Realitas Obyektif ..........................................................•................... 128
B. Monarkhl Konstitusional ................................................................. 135 BAB VI PENUTUP ... ... .. ........ .. ..... .. .. ... .. .. ... ..... .. .. ..... ... ....... .. ... .. .. . .. .. ... ....... .. ... .. .. . 143 A. Kesimpulan .................... ............ .. .......... ........................ ................. .. 143
B. Saran .................................................................................................. 152 BIBUOGRAFI PEDOMANWAW ANCARA
X
DAFfAR TABEL
Tabel 1 Perbandingan Kelembagaan PemerintahProvinsi DIY dan Kabupaten Sleman ................................................................................
41
Tabel 2 Perbandingan Perincian Kelembagaan PemerintahProvinsi DIY dan Ka bupaten Sleman ... ... .... .. ... ... .. .. ... ..... .. .. ... ... .. .. .. .... .... .. .. ... .. ..... ... .. .. .....
41
Tabel3 Perbandingan Urusan Wajib Pemerintah Provinsi DIY dan Kabupaten Sleman berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 ..............
Xl
57
DAITAR GAMBAR
Gambar 1
Interpenetrasi Pelaksanaan Kewenangan/Urusan ...................... .
Gambar 2
Tingkat Kerumitan Hubungan antara Provinsi-Kabupaten/Kota
68
di Provinsi DIY ........................................................................... .
80
Gambar 3
Timpang Tindih Kewenangan/Urusan .......................................
81
Gambar 4
Pendulum Kewenangan/Urusan .................................................
90
Gam.bar 5
Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Kerangka Realitas Obyektif ........................................................
Gambar 6
130
Hubungan Antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Kerangka Monarkhi Konstitusional ...........................................
Xll
139
DAFTAR KOTAK
Kotak 1
Duduk Bersama .... ... .... ............... .......... ..... .... .......... .. .. ... ..... .... ... ..
74
Kotak 2
Urusan Kowar .............................................................................
89
Kotak 3
Dari Media Pembelajaran Menuju Negosiasi .............................
107
Xlll
INTISARI
Irnplernentasi kewenangan/urusan antara Pernerintah Provinsi Daerah Istirnewa Yogyakarta dan Pernerintah Kabupaten Slernan rnenunjukkan turnpang tindih atau terjadi tarik-rnenarik, rnisalnya kehutanan, surnber daya air, obyek wisata Kaliurang dan lainnya. Irnplernentasi kewenangan/urusan juga menirnbulkan permasalahan, misal pemeliharaan dan penataan Selokan Matararn. Realita hubungan yang terjadi bukan merupakan hubungan tunggal, sebab terkait dengan pernerintah daerah lain. Penataan kewenangan/urusan belum ada proses penyelesaian tuntas, padahal situasi dan kondisi yang melingkupi suatu kewenangan/urusan senantiasa berubah. Penelitian kualitatif ini bertujuan rnengetahui perrnasalahan dan kendala dan mengetahui pelembagaan hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Slernan dalam penataan kewenangan/urusan. Tujuan tersebut diraih melalui penelitian yang dilakukan dalam situasi yang wajar dengan mengurnpulkan data kualitatif. Teknis pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan partisipan, wawancara mendalam, diskusi kelompok dan mengurnpulkan data yang relevan. Hasil penelitian dipilih dan dipilah kemudian diolah untuk analisis dan interpretasi. Pelaksanaan kewenangan/urusan terjadi interdependensi antara pemerintah daerah yang satu dengan lainnya. Kompleksitas implementasi kewenangan/urusan terjadi karena sulit atau tidak ada batasan tepat antara kewenangan/kekuasaan satu dari yang lainnya secara empiris. Upaya penyelesaian berbagai permasalahan harus berorientasi kesetaraan, di mana tiap pihak siap memberi dan menerima. Penataan kewenangan merupakan dinarnika positif dalarn hubungan antara jenjang pernerintahan. Hasil penelitian menyimpulkan permasalahan dan kendala penataan kewenangan terjadi karena tidak ada pelernbagaan hubungan yang rnantap, kurangnya penerapan dan efektifitas pola-pola resolusi atas permasalahan kewenangan/urusan (antara lain fasilitasi, mediasi, negosiasi, dan atau arbitrasi), tidak ada peraturan pendukung dan perbedaan persepsi atau subyektivitas. Sifat dinarnis kewenangan/urusan menjadi kendala tersendiri dalam penataan kewenangan/urusan tersebut. Terdapat dua kerangka dasar hubungan yang dapat diterapkan dalam pelernbagaan hubungan, yaitu monarkhi-konstitusional atau realitas-obyektif yang berpengaruh pada rnekanisme, proses dan prosedur penataan kewenangan/urusan berikut konflik/permasalahannya. Dalarn tataran teknis perlu pemahaman dan penerapan pola-pola resolusi konflik/ permasalahan, melalui fasilitasi, negosiasi, mediasi atau arbitrase. Draft RUU Keistirnewaan DIY diarahkan pada pada kekhususan dalam sistern penyelenggaraan pemerintahan daerah.
XlV
ABSTRACI' There is an overlap or struggle in the implementation of authority/affairs between Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta and Kabupaten Sleman, for example in the field of forestry, water resource, the resort of tourist in Kaliurang etc. It seems that implementation of authority/ affairs also arise some problems, e.g. conservancy and settlement of Selokan Mataram. Relation between Pemerintah Provinsi and Sleman is not such a single relation, because it is related to other local governments. The authority/affairs structuring has not been a complete solution process about meanwhile the condition and situation embosoming authority/affairs always change. This qualitative research is aimed to find out the problems and obstacles within authority structuring and to find patterns of ideal relations between province and regency/municipal. The research was done in a natural situation by collecting qualitative data. Technical of data collecting through observation participant, in-depth interviewing, group discussion, and collecting relevant document. Result of the research was selected and processed for the analysis of interpretation and according to target of research which have been specified. Interdependence between local government and the others cannot be avoided in the implementation of authority/affairs. Complexity of authority/ affairs happens when there is no exact of sphere limitations from one authority and the others (it is very hard to demarcate empirically). Problem solving of various problems must have to an equal-oriented where every party is ready to give and take. Structuring of authority/ affairs represent positive dynamics of intergovernmental relations. The research concludes that problems and obstacles in authority structuring happened because there is no institutionalization of relationship within structuring of authority/affairs, lack of understanding and consciousness to implement resolution pattern facilitation, mediation, negotiation, and or arbitration, no rules to contribute/support institutionalization of intergovernmental relations, and difference of perception or subjectivity. Dynamic nature of authority becomes a constraint/dispute in structuring of authority/ affairs. There are two frameworks of intergovermental relations in Provinsi DIY which are be able to be institutionalize the relation. These frameworks are constitutional-monarchy and objective-reality. These frameworks might influence mechanism, process, and procedure of structuring authority/affairs. In technical level there should be a comprehension and implementation of relationship patterns by facilitation, mediation, negotiation, and or arbitration. Reexamining draft of RUU Keistimewaan DIY and lead it to a specific characteristic of regional government system.
XV
BABI PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Hubungan antar JenJang pemerintah (intergovernmental relations) memberikan dinamika tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini dikarenakan mengandung beberapa hal pokok, yaitu interdependensi, adanya kesejajaran/kesetaraan antar berbagai jenjang pemerintah dan hubungan yang terjadi antar berbagai jenjang pemerintah terse but bersifat kompleks. Interdependensi, adanya saling keterkaitan dan saling ketergantungan antar jenjang pemerintah daerah untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih mendasar, yaitu pelayanan publik, merespon tuntutan dan harapan masyarakat yang semakin tinggi, pencapaian pemerintah yang efektif dan efisien dan demokratisasi pada lingkup lokal. Menurut Wright hal tersebut terjadi disebabkan tidak adanya pembatasan yang tegas atau rentang pengaruh yang jelas, karena memang batas-batas kekuasaan/kewenangan dari suatu unit terhadap unit pemerintah yang lain tidak dapat ditentukan secara tepat 1• Hubungan antara berbagai jenjang pemerintahan dipandang sebagai dinamika
Dell S.Wright, "Local and Regional Governments", Regional Workshop on: Consolidating the Gains in Decentralization Reforms and Win-win Policy Analysis, African Training and Research Centre in Administration for Development, Windhoek, Namibia, 1999, p. 4. Diambil dari http://www .cafrad.org. 1
2
positif dalam pelaksanaan otonomi daerah, bahkan ketika terjadi kompetisi dan konflik antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten!Kota. Batas-batas yurisdiksi dan tentorial menjadi titik tolak terjadinya interaksi dan inter-relasi antar pemerintah daerah. Hubungan dan interdependensi antara pemerintah daerah menjadi kebutuhan dan tuntutan dari perubahan dunia yang semakin modem. Ketugasan dan permasalahan terlalu besar untuk ditangani sendiri dari satu jenjang pemerintah atau bahkan oleh hanya pemerintah sendiri. Volkova menulis perlunya modemisasi hubungan antar berbagai jenjang pemerintah di Rusia melalui penerapan Dialogue Programme di North-Western Rusia. Walaupun mengalami hambatan yang disebabkan antara lain para pemegang jabatan cenderung untuk tidak mau menyerahkan kewenangan, namun program tersebut merupakan upaya bagus untuk peningkatan interaksi antar jenjang pemerintah2 • Newham, Parker dan Spall berkaitan dengan pengalaman di Negara Bagian Victoria membahas mengenai Land Victoria (suatu divisi dari Departemen Sumber Daya Alam dan Lingkungan) yang bekerja sama dengan Pemerintah
Daerah
untuk
mencapai
reformasi
manajemen
informasi
pertanahan. Dalam kajian tersebut dijelaskan perlunya manajemen hubungan antara berbagai strata pemerintahan yang ada dalam suatu negara karena aspekAnna Volkova, "Modernizing the Relationship between Levels of Governance: the Experience of Russia, 2003, p. 1. Diambil dari htt;p://www.unpanl.un.org/intradoc/groupslpublic/ documents/ nispacee/unpan009033.pdf. 2
3
aspek perubahan penting yang terjaeli dan memberi dampak besar, yaitu paraeligma bisnis dan teknologi baru, gerakan menuju orgamsas1 jaringan
(network organizations), keterkaitan organisasi, perubahan peran pemerintah (steering not rowing), dan perubahan harapan masyarakat, masyarakat yang lebih terelielik dan berani menyuarakan kehendaknya mengharapkan suatu pemerintahan yang lebih terbuka dan transparan yang mengidentifikasi strategi-strateginya secara jelas untuk meraih sasaran dan tujuan eli masa depan. 3 Perkembangan atas kompleksitas yang dihadapi telah menciptakan interdependensi antara pemerintah yang eliperluas dan diintegrasikan melintasi batas-batas secara organisasional, baik itu antar pemerintah daerah atau antar
stakeholder. Demikian pula, pemerintah dalam melaksanakan kewenangannya dalam pembangunan dan implementasi kebijakan seringkali tumpang tinelih antara berbagai level pemerintahan. Situasi dan konelisi eli atas memantapkan keberadaan hubungan antar pemerintah sebagai suatu kebutuhan. Kesejajaran!kesetaraan merupakan prinsip lain dalam konsep hubungan antar jenjang pemerintah. Wright menegaskan bentuk negara, baik federal maupun kesatuan merupakan bentuk bersifat hierarkhis, namun hubungan antar jenjang pemerintah (intergovernmental relations) lebih berorientasi pada
Leonie Newnham, John Parker, and Adrian Spall, "Managing The Relationship between Local Government and State Government-The Victorian Experience", Federation Internationale des Geometres, Prague, 2002. Diambil dari http://www.fi~.net/publproceedings/prague-final-papers/ newnham-parker-spall.htm. 3
4
kesetaraan/kesejajaran. Dalam sistem atau negara yang demokratis, hubungan antar jenjang pemerintah merupakan istilah yang paling tepat untuk digunakan, di mana tiap-tiap unit pemerintah dapat memberi dan menerima.4 Di Republik Indonesia bias ketentuan pasal 4 ayat 2 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dalam desentralisasi dan otonomi daerah masih mengesankan independensi dan belum terjalinnya pelembagaan hubungan pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah provinsi. Penerapan Undangundang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan peluang besar bagi pelembagaan hubungan khususnya dalam penataan kewenangan/urusan secara sinergis walaupun disadari juga ditariknya kembali pendulum ke arah penguatan keberadaan provinsi. Hubungan antar jenjang pemerintah ini melampaui batas-batas yang melingkupinya, sehingga hubungan ini dapat terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota, antar pemerintah provinsi atau antar pemerintah kabupaten/kota. Hal ini dilakukan karena kebutuhan untuk dapat melaksanakan dan mencapai berbagai urusan atau kepentingan, di mana tidak ada suatu jenjang pemerintah yang mampu untuk berdiri sendiri tanpa membutuhkan yang lain. Wright menjelaskan hubungan antar jenjang pemerintah (intergovernmental relations) berarti terjadi inter-relasi atau interaksi antar berbagai unit/bidang pemerintah • Wright, Op.Cit. p. 3.
5
bahkan mungkin terjadi tumpang tindih. Hubungan antar jenjang pemerintah merupakan aspek perilaku yang dinamis dan menunjukkan unit mana melakukan apa dan kepada siapa dan juga menunjukkan alur/aliran serta arah informasi dan sumber daya.5 Dengan demikian terjadi hubungan yang bersifat kompleks. Oleh karena itu pemahaman dan kompetensi pemerintah daerah disandarkan pada pemikiran positif bahwa dalam hubungan antar pemerintah tidak ada istilah menang atau kalah dalam upaya penataan kewenangan. Ada kewenangan yang tidak bisa dibatasi oleh batasan yurisdiksi, seperti diungkapkan Santoso untuk pengelolaan air sebagai sumber daya alam yang tidak mengenal ruang dan batasan wilayah hukum, sehingga kewenangan pengelolaan
air
tidak
bisa
dipecah
berdasarkan
batasan
yurisdiksi
kabupaten/kota6 • Adanya batasan yurisdiksi dan tentorial sebenamya justru dapat menjadi pangkal tolak interaksi antar pemerintah daerah, walaupun juga seringkali yang terjadi dan mengemuka adalah konflik atau perebutan kewenangan atau pelaksanaan urusan. Pelembagaan
hubungan
dalam
problematika
kewenangan
antar
pemerintah daerah di Provinsi DIY masih belum dapat ditangani secara baik, aspek kewilayahan yang relatif kecil kurang dapat dikelola secara sinergis. Banyak permasalahan urusan yang dihadapi dalam hubungan antara Pemerintah
5 6
Ibid, p. 2. Purwo Santoso dalam Kompas Edisi Jogja, 3 November 2004, hal. B.
6
Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman. Pengelolaan dan konservasi air di Sleman tidak sepenuhnya menjadi kewenangan/urusan Pemerintah
Kabupaten Sleman, karena terkait dengan ketersediaan air bersih di pemerintah daerah lain, misalnya Kota Yogyakarta dan Bantul. Kewenangan/urusan sumber daya air juga terkait erat dengan pengelolaan dan konservasi hutan yang menjadi tarik menarik antara Provinsi dan Sleman. Kasus penataan kawasan Selokan Mataram dan pemeliharaan rutin tahunan memunculkan permasalahan dan gejolak sosial. Permasalahan sedikitnya alokasi proyek pembangunan di Sleman dibandingkan dengan kontribusi masyarakat Sleman yang besar melalui pemungutan dari BKB/BBNKB serta BBHTB. Permasalahan-permasalahan tersebut menimbulkan persepsi adanya konflik antara Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman. Permasalahan
kewenangan/urusan
ternyata
memang
belum
ada
tindaklanjut kebijakan atau keputusan bersama untuk penataan, menetapkan letak atau lokus berbagai kewenangan/urusan yang diperdebatkan berada Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten Sleman atau diurusi keduanya. Telaah
dan
rekomendasi
telah
dibuat
untuk
beberapa
permasalahan
kewenangan/urusan sebagaimana rekomendasi Tim Mediasi Implementasi Otonomi Daerah (Tim MIOD) yang telah disampaikan kepada Gubernur DIY pada tahun 2003. Pada tataran operasional atau pelaksana teknis kejelasan dan
7
ketegasan uru.san sebagai hal yang mendesak untuk diputuskan, karena berkaitan erat dengan ketugasan dan kegiatan di masing-masing unit pemerintah daerah. Keadaan tersebut hila tidak segera dapat direspon melalui pelembagaan hubungan yang mantap dan kesepakatan antar pemerintah daerah akan menjadi permasalahan yang semakin menumpuk dan rumit. Kondisi masyarakat yang semakin terdidik dan kritis menuntut pelayanan publik dengan kuantitas dan kualitas yang semakin tinggi. Oleh karena itu hubungan tersebut memerlukan pelembagaan yang meru.pakan mekanisme atau saluran untuk proses penataan kewenangan/urusan
dan
perm.asalahan
dalam
implementasinya
antara
Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten Sleman.
B. Perumusan PermasaJaban Penelitian ini akan membatasi pada hubungan antara Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten!Kota dalam penataan kewenangan/ urusan, sehingga peru.musan perm.asalahan dalam penelitian adalah bagaimana
pelembagaan hubungan antara Pemerintah Provinsi Daerah lstimewa Yogyakarta
dan
kewenangan/urusan?
Pemerintah
Kabupaten
Sleman
dalam
penataan
8
C. Tujuan Penelitian Sesuai pertanyaan penelitian di atas, tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui permasalahan dan kendala yang dihadapi penataan kewenangan/urusan dalam konteks hubungan antar Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman. 2. Untuk mengetahui pelembagaan hubungan antara Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam penataan kewenangan/urusan.
D. Tinjauan Pustaka Penelitian dan kajian mengenai hubungan antar jenjang pemerintah
(intergovernmental relations) telah relatif banyak dilakukan namun hanya terfokus pada hubungan antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yang lebih sering/terbatas dalam aspek finansial, apalagi mengenai hubungan antar pemerintah daerah, khususnya antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota sangat jarang dilakukan atau hanya sekadar "menempel" pada suatu pembahasan atau kajian pada topik yang lebih luas. Penelitian Hidayat dan Firdausy di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Kalimantan Barat (2002-2003) memfokuskan otonomi daerah pada dua hal, yaitu dalam konteks pandangan elit politik daerah dan tanggapannya atas
setting kewenangan pemerintah daerah dan hubungan finansial antara pemerintah daerah dengan pusat. Hasil penelitian tersebut menyinggung sedikit
9
hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota, yaitu tidak adanya hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota terlepas satu sama lain dan menimbulkan arogansi terkait pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 19997 • Paparan akhir dari hasil penelitian selama tiga tahun Hidayat dan Firdausy menyatakan pemerintah provinsi kehilangan daya koordinasi dan pengawasan (hubungan fungsional) dan pemerintah kabupaten menilai provinsi setengah hati dalam mendukung penerapan otonomi daerah. Tidak ada titik temu antara keduanya, karena tidak ada suatu pelembagaan hubungan antar pemerintah daerah8 • Kumorotomo mengemukakan secara umum hubungan antara jenjang pemerintahan yang terbatas pada pembagian kewenangan, justru mengabaikan masalah-masalah lebih penting yang menyangkut tujuan dari kebijakan desentralisasi, yaitu menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis dan mendorong kualitas pelayanan yang lebih baik. Pertimbangan rasional obyektif terlupakan untuk mengatasi tarik-menarik pelaksanaan kewenangan dan urusan pada pemerintah daerah9 •
Syarif Hidayat dan Carunia Mulya Firdausy, "Beyond Regional Autonomy: Local State-Elites's Perspectives on the Concept and Practice of Decentralisation in Contemporary Indonesia", Pustaka Q].Iantum, Jakarta, 2003. 8 Paparan hasil penelitian Syarif Hidayat dan Carunia Firdausy yang berjudul "Eksplorasi Perspektif Elite Penyelenggara Pemerintahan Daerah tentang Otonomi Daerah" di Jakarta pada tanggal23 April2004 atas penelitian yang dilakukan pada tahun 2001-2003. Tahun pertama dan ketiga dilakukan di Jawa Barat dan Sumatera Barat, sedangkan tahun kedua di Kalimantan Timur dan Nusa Tenggara Timur. Diambil dari http://www.kompas.com/kompas-cetak/0404/24/ Politikhukurn1987585.htm. 9 Wahyudi Kumorotomo, "Pertimbangan Rasional-Objektif dalam Implementasi Pembagian Kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jogjakarta", makalah disampaikan pada 7
10
Penelitian tentang DIY, seperti penelitian Sumardjan yang berfokus pada perubahan sosial mendeskripsikan Sultan Hamengku Buwono IX mengadakan perubahan birokrasi pemerintahan dengan berpijak pada rumusan "suatu perubahan sosial yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh pelopor yang berlawanan dengan kepentingan pribadi (vested interest) cenderung untuk berhasil". Konsep ini juga dijadikan dasar pijakan Suwamo yang menguraikan perjuangan Yogyakana/Sultan dalam proses integrasi birokrasi pemerintahan Yogyakana ke pemerintah pusat10• Selanjutnya penelitian yang dilakukan Wahyukismoyo memberikan kajian aspek demokratisasi dengan pengaruh besar dati faktor-faktor pijakan, yaitu sosio-spiritual, sosio-kultural, sosio-politik dan sosio-historis yang membentuk karakter masyarakat di Provinsi DIY. Wahyukismoyo memberikan pemikiran perlu adanya aturan yang menjembatani antara kepentingan aristokrasi dan demokratisasil 1• Dalam beberapa penelitian dan tulisan tersebut, belum ada suatu kajian yang membahas secara khusus hubungan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, lebih khusus lagi hubungan antara Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam penataan kewenangan. Lokakarya Pengembangan Otonomi Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jogjakarta pada 7 Oktober 2004. 10 P.J. Suwamo, "Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 19421974, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hal. 35. 11 Heru Wahyukismoyo, "Keistimewaan v.s. Demokratisasi", Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2004, hal. 174.
11
E. Kerangka Teori 1. Hubungan Antar Jenjang Pemerintah
Hubungan antar jenjang pemerintah (intergovernmental relations) melampaui batas-batas yang melingkupinya, terlebih dalam zaman modem pola-pola hubungan antar pemerintah, swasta dan atau masyarakat merupakan kebutuhan yang semakin meningkat. Ada batas suatu pemerintah daerah dapat menyelesaikan sendiri kebutuhan dan atau permasalahannya, namun juga ada batas awal untuk terbangunnya hubungan dengan pemerintah lainnya atau bahkan dengan stakeholders yang ada secara keseluruhan (co-operative
governance). Intergovernmental relations memberikan kerangka tersendiri mengenai interaksi atau inter-relasi antar pemerintah tanpa memandang bentuk negara baik federal maupun kesatuan 12 • Pendapat para ilmuwan di periode awal, salah satunya Anderson, mendefinisikan hubungan antar pemerintah sebagai "badan aktivitas yang penting atau interaksi yang terjadi di antara unit-unit pemerintah dari semua jenis dan jenjang dalam sistem federal, 13 • Berbeda dengan Wright yang mewakili ilmuwan periode berikutnya dalam bukunya terbit tahun 1974 berjudul Intergovernmental Relations: an Analytical Review mengemukakan
Wright., Op.Cit.p.3. Anderson dalam R.A.W. Rhodes, "Intergovernmental Relations: Unitarys Systems", Mary Hawkesworth and Maurice Kogan (eds.), Encyclopedia of Govemment and Politics, Volume I, Roucledge,London, 1992,p.316. 12
13
12
terdapat lima karakteristik yang menonjol dari hubungan antar pemerintah.
Pertama, hubungan antar pemerintah memperkenalkan keberagaman hubungan antara semua pemerintah. Kedua, hubungan menekankan interaksi di antara individu, khususnya pegawai negeri. Ketiga, hubungan berlangsung terusmenerus/kontinyu dan bersifat informal.
Keempat, hubungan tersebut
menegaskan peran penting yang dimainkan oleh semua pejabat publik, yang menjadikan mereka politisi atau administrator. Kelima, hubungan antar jenjang pemerintah menekankan hubungan yang bersifat politis dan bermuara pada kebijakan mendasar, terutama isu keuangan seperti siapa menghasilkan berapa banyak dan siapa membelanjakannya untuk keuntungan siapa dengan hasil apa. 14 Atas dasar hal tersebut Wright memberikan kesimpulan sebagai berikut. "Istilah hubungan antar pemerintah (intergovernmental relations) membuat kita hati-hati karena adanya pertukaran yang bersifat beragam, perilaku, terns menerus dan dinamis yang terjadi antar berbagai pejabat di dalam sistem politik yang bersangkutan. Mungkin saja dibandingkan dengan suatu konsep atau filter yang berbeda, hal tersebut bersifat tidak biasa (novel) dan visual yang dapat diletakkan pada lanskap politik Amerika 15". Wright memberikan fokus pemerintah,
perwakilan
dari
pada perilaku-perilaku pegawai/pejabat
berbagai
unit
pemerintah,
sebagaimana
pegawai/pejabat pemerintah tersebut mencapai tujuan dan menerapkan kebijakan. Lain halnya dengan Reagan dan Sanzone yang menyatakan
14 15
Wright dalam Rhode, Ibid. Ibid.
13
intergovernmental relations memfokuskan pada hubungan perilaku pemerintah yang bersama-sama melaksanakan fungsi-fungsi yang diperluas. 16 Wright memfokuskan konteks pelaku dalam pemerintah, sedangkan Reagan dan Sanzone lebih memfokuskan hubungan pada konteks kelembagaan. Pandangan Wright sendiri berkembang seiring dengan proses perjalanan pemikirannya. Dalam suatu tulisannya yang lain di kemudian hari, Wright mengungkapkan pengertian intergovernmental relations sepeni di bawah ini. "Dalam suatu negara dengan dua atau lebih jenjang pemerintah, ada keharusan untuk terdapatnya interaksi di antara pemerintah nasional dan daerah sebaik interaksi yang terjadi di antara pemerintah daerah. Oleh karena itu, hubungan antar jenjang pemerintah merupakan hubungan antara berbagai tingkatan pemerintah di suatu negara. Hal ini juga berani terjadi inter-relasi atau interaksi antar berbagai unit/ bidang pemerintah. Hubungan an tar pemerintah merupakan aspek perilaku yang dinamis, atau tindakan dari berbagai jenjang pemerintah dari suatu negara. Hubungan antar jenjang pemerintah menunjukk.an unit mana melakukan apa dan kepada siapa. Hal ini menunjukkan alur/aliran sena arah informasi dan sumber daya 17".
Intergovernmental relations tidak dipandang sebagai akhir dalam intergovernmental relationsitu sendiri tetapi dinilai sebagai alat atau cara untuk mencapai akhir, dan ditetapkan untuk meningkatkan tujuan-tujuan, seperti
nation building. Hal-hal yang dilakukan secara cermat dan penuh ketelitian dalam hubungan antar jenjang pemerintah hanyalah signifikan, jika dipandang dari segi kontribusi hubungan tersebut terhadap pencapaian tujuan-tujuan yang Robert Agranoff, "Managing Intergovernmental Processes", James L.Perry (ed.), Handbook of PubHc Administration, Jossey-Bass Publishers, San Francisco, California, 1990, p. 132. 17 Wright. Op.Cit., p. 2. 16
14
lebih mendasar atau tidak. Oleh karena itu, perlu mempertimbangkan juga pentingnya kultur dan orientasi potitik yang mendukung pemerintah daerah yang kooperatif sebagai suatu pondasi hubungan antar pemerintah yang efektif. Terdapat beberapa karakter atau prinsip dasar dari hubungan antar jenjang pemerintahan (intergovernmental relations): a. adanya interdependensi (sating keterkaitan dan sating ketergantungan) antar berbagai jenjang pemerintahan sehingga menuntut terciptanya
organizational networks. b. hubungan berorientasi pada kesejajaran atau kesetaraan antar berbagai jenjang pemerintahan dalam arti kesejajaran dalam meraih peluang dan dalam memberi dan menerima. c. hubungan terjadi antar berbagai jenjang pemerintah yang berlangsung secara bersamaan, kontinyu dan kompleks. a. Interdependensi antar Pemerintah Daerah Dalam hubungan antar jenjang pemerintah karakteristik interdependensi dipandang sebagai akibat tidak adanya batasan yang jelas atau tepat antar jenjang pemerintah, sebagaimana dikemukakan Watts di bawah ini. "Interdependensi antar jenjang pemerintah dan kebutuhan hubungan antar pemerintah serta kerja sama yang efektif adalah suatu karakteristik dari semua bentuk apakah hal tersebut disebut dengan istilah multisphere, multi-tier atau multi-level pemerintah, baik di dalam bentuk pemerintah federal atau kesatuan secara konstitusional. Hal ini karena
15
dalam sistem tersebut tidak pemah mungkin untuk dipisahkan yurisdiksi di antara pemerintah ke dalam bentuk yang kaku dan benar-benar terpisah (watertight exclusive compartments). Tumpang tindih dan inter penetrasi yurisdiksi sebagai suatu hal yang tidak dapat diacuhkan (inevitable) 18". Karakter interdependensi ini menghadirkan suatu unsur atau aspek potensial melalui konsep jaringan (networks). Menurut Jarillo networking merupakan topik yang modem (fashionable) 19, maksudnya suatu kebutuhan atas 'desakan' perubahan dan kondisi yang terjadi. Hal ini disebabkan networks menyediakan suatu bentuk yang unggul dati organisasi dalam kondisi di mana tidak ada sesuatu yang dapat secara terus-menerus terjadi (diskontinyuitas). Dengan adanya networking, organisasi dapat bertahan dalam situasi dan kondisi ketidakpastian yang merupakan ciri akselerasi dunia modem atau bentuk respon atas tuntutan dinamika perubahan yang terjadi. Suatu networks tersusun atas suatu rangkaian poin tertentu yang dalam ilmu-ilmu sosial poin-poin ini mungkin mewakili setiap atau seluruh poin, yaitu individu, kelompok, organisasi, kepercayaan, peran, dan lain lain20 • Dalam pandangan behavioral networks adalah suatu pola hubungan sosial
atas
sekelompok orang, posisi, grup, atau organisasi. O'Toole memandang networks
18 Ronald L. Watts, "Intergovernmental Relations", The Department of Constitutional Development and Provincial Affairs and National Democratic Institute for International Affairs, Canada, 1999, p. 7. 19 Jarilla (1988:31) dalam David Limerick and Bert Cunnington, "Managing the New Organisation", Business & Profressional Publishing, New South Wales, Australia, 1993, p. 60. 20 ''Transformative Approaches to Social Organization Project - Notes and Commentaries", Union of International Associations. Diambil dari http://www.uia.be/trapproachesltrappcom bodies. php?kap=6.
16
sebagai "struktur interdependensi yang melibatkan berbagai komponen atau organisasi, di mana satu unit tidak semata-mata subordinat secara formal dari yang lain dalam beberapa pengaturan yang secara hierarkhis lebih besar''2I. Dalam administrasi publik, networks dipandang sebagai rangkaian kebijakan yang kompleks dan para aktor berinteraksi untuk memastikan hasil-hasil kebijakan akan sesuai dengan kepentingan mereka. Selanjutnya networks mempunyai empat ciri sebagaimana dikemukakan di bawah inF2 •
1. Jaringan-jaringan
muncul
dari
para
aktor
karena
adanya
sifat
interdependensi dalam proses kebijakan yang dibuat untuk memperoleh sumber daya yang diperlukan (seperti sumber daya manusia, informasi, dan pengetahuan profesional) dan implementasinya yang bersifat spesifik, karena para aktor memiliki keterbatasan sumber daya dan kapasitas. 2. Networks dengan berbagai aktor antar pemerintah daerah, masing-masing memilik kepentingan sendiri. 3. Interdependensi yang mewujud dalam networks memunculkan pola-pola pertukaran lateral atau horisontal, bukan vetikal secara eksklusif. Para aktor menolak proses pembuatan keputusan secara hierarkhis di mana pemerintah
O'Toole dalam Seok-Eun Kim, "Networks, Organizational", Jack Rabin (ed.), Encyclopedia of Public Administration and Public Policy, Marcel Dekker,Inc., New York, 2003, p. 803. 22 Kim, Seok-Eun, "Network, Organizational" dalam Jack Rabin (ed.), Encyclopedia of Public Administration and Public Policy, Volume 2, New York, p. 803. 21
17
nasional bertindak sebagai otoritas yang berkuasa (authoritative ruler), sedangkan pemerintah dengan jenjang lebih rendah, warga negara, dan partisipan swasta sebagai obyek pasif dari interaksi networks. Para aktor memiliki kekuasaan yang relatif sejajar, bertukar sumber daya dan informasi di saat mereka merasakan keuntungan timbal balik dari interaksi tersebut. Pengaruh pertukaran yang spesifik dapat tergantung pada siapa yang memiliki posisi yang lebih berkenaan dengan sumber daya dan informasi. 4. Teritori/wilayah dari networks tampak tak terbatas. Tidak ada pemerintah daerah yang membatasi untuk menjalin hubungan dengan satu atau dua pemerintah daerah yang berdekatan misalnya, sebab pada realitanya
networks adalah suatu kebutuhan yang tidak dapat dibatasi perwujudannya.
b. Kesetaraan/K.esejajaran antar Pemerintah Daerah Hubungan antar jenjang pemerintah merupakan hubungan lebih memberikan peluang adanya kesejajaran di antara jenjang pemerintah dengan persyaratan kesiapan untuk memberi dan menerima. Lebih lanjut Wright menjelaskan sebagai berikut. pemerintah jenjang antar hubungan konteks dalam "Di (intergovernmental relations), ada gagasan interaksi antar berbagai tingkatan pemerintah. Bentuk pemerintahan federal merupakan bentuk yang bersifat hierarkhis. Hubungan antar jenjang pemerintah lebih berorientasi pada kesetaraan/kesejajaran. Desentralisasi juga merupakan hubungan yang bersifat hierarkhi, di mana yang satu lebih tinggi dan memberikan bantuan kepada yang lebih rendah. Di dalam sistem atau negara yang demokratis, hubungan antar pemerintah rnerupakan istilah
18
yang paling tepat untuk digunakan, di mana tiap-tiap jenjanglunit pemerintah dapat memberi dan menerima23,. Hubungan ini memerlukan kapasitas pemerintah daerah sebagai unsur krusial
yang
merupakan
kemampuan
yurisdiksi
pemerintah
untuk
mengantisipasi dan mempengaruhi perubahan; membuat keputusan-keputusan kebijakan yang informed dan cerdas; mengembangkan program-program dan implementasikan kebijakan; menarik, menyerap dan mengelola sumber-sumber daya dan mengevaluasi aktivitas yang berjalan yang dipakai untuk memberikan arahan tindakan di masa mendatang24 • Kapasitas merupakan hal yang ada dan dimiliki suatu organisasi, sistem, kemitraan (partnership), orang dan proses untuk melakukan agenda atau rencana tertentu. Pengembangan kapasitas (capacity building) merupakan konsep populer sebagai
upaya
mengembangkan
meningkatkan struktur,
kemampuan
sistem,
orang,
dan
suatu
organisasi
keterampilannya
untuk untuk
melakukan strategi-strategi bisnis yang efektif. 25 • Pengembangan tingkat kapasitas terdiri dari pengembangan kapasitas institusional, organisasional dan individual. Kesenjangan kapasitas (capacity gap) muncul ketika pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas (baik itu berupa kapasitas dalam hal mandat, Wright, Op.Cit. p. 3. Honadle dalam Robert Agranoff, Op. Cit., p. 138. 25 Anonim, "Capacity Building in Local Government - Research on Capacity Building Needs: Final Report", Office of the Deputy Prime Minister United Kingdom, London, 2003, p. 10. Diarnbil dari http://www.odpm.gov.uk/stellentlgrolJlls/odpm localgov/documents/pdf/odpm locgov pdf 023535.pdf 23
24
19
hukum, organisasional, teknis, keuangan, prosedural ataupun networking) yang eliperlukan bagi pelaksanaan dan pemeliharaan untuk dapat dilakukan pelayanan yang efektif26 • c. Kompleksitas Hubungan
Sebagaimana telah eliungkapkan eli depan dalam sistem hubungan ini rumit atau kompleks, karena memungkinkan terjadinya interaksi, interkoneksi dan tumpang tinelih antar jenjang pemerintah. Batasan dan rentang atau ruang pengaruh tidak jelas, antar jenjang pemerintah saling mempengaruhi dan tidak ada batasan kekuasaan secara tepat antara satu dengan yang lainnya. Dalam
mengurangi
kerumitan
atau
kompleksitas
ini
diperlukan
penyederhanaan kelembagaan yang simpel dan bersifat integral sebagaimana elikemukakan Watts: "... adalah keinginan untuk mengurangi kebingungan dan untuk menetapkan satu struktur integral yang lebih simpel bagi hubungan antar pemerintah. Hal ini akan memberikan sumbangan baik klarifikasi tugas dan tanggung jawab komponen-komp onen kelembagaan dalam sistem antar pemerintahan maupun meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dan dengan demikian legitimasi politik dari hubungan ini. Namun demikian, eli bidang hubungan antar pemerintah sangat penting untuk mewaspadai terjaelinya penyederhanaan yang berlebihan. Untuk permasalahan yang berbeda dengan bentuk yang berbeda dari hubungan
Anonim, "The Capacity Gap In Local Government", Department of Water Affairs and Forestry, Praetoria, 2001, p. 10. Diambil dari http://www.dwaf.gov.za/.. ./Dense/docs/ Technical%20Supporting%20Documents/CAPACITY%20GAP%20IN%20LOCAL%20GOVERN M.PDF.
u
20
antar pemerintah mungkin diperlukan dan memerlukan struktur dan proses yang berbeda...27". Untuk dapat menjalankan fungsinya antar jenjang pemerintah bemegosiasi dan melakukan bargaining serta membangun kesepakatan dan kerja sama, sehingga kerja sama dapat dilakukan dan dapat dihindarkan kompetisi dan konflik antar jenjang pemerintahan dalam melakukan program-program atau tindakan-tindakan tertentu. Negosiasi adalah kerja sama pencarian resolusi atau pemecahan suatu masalah, bukan untuk memenangkan argumentasi. Negosiasi sebagai proses mengkombinasikan posisi-posisi yang berbeda ke dalam keputusan bersama secara tunggal dan bulat. Negosiasi juga merupakan proses pembuatan keputusan ketika tidak ada aturan mengenai bagaimana keputusan dapat dibuat atau ketika satu-satunya aturan yang ada adalah keputusan yang merupakan keharusan diterima dengan bulat 28 •
2. Konflik dan Pola-pola Resolusinya Hubungan antar jenjang pemerintah memunculkan adanya pemahaman bahwa konflik dan ketegangan pasti timbul dalam proses dan perjalanan hubungan antar jenjang tersebut. Namun hal itu perlu dimaknai secara positif sebagai suatu dinamika interaksi yang terjadi. Konflik dapat terjadi dalam rentang secara horisontal (antar pemerintah kabupaten!k.ota) atau secara
Watts, Op.Cit. p.l2 Zanman dalam ''Theory of Negotiation", UNITAR. Diambil dari http://www.unitar.org/dfm/ Resource Center/TrainingPackage/Multilateral/NegoTheory/Theory l.htm.
27
28
21
vertikal antar jenjang yang lebih tinggi dan jenjang yang lebih rendah. Ketegangan dan konflik merupakan hal alami yang seringkali terjadi dalam jalannya suatu hubungan, termasuk hubungan antar jenjang pemerintah. Dalam konsep organisasi, konflik dapat berasal atau timbul dari hal-hal, seperti perbedaan budaya organisasi, nilai, tujuan, struktur, tugas dan fungsi, kewenangan dan proses kepemimpinan, dan tekanan-tekanan lingkungan. Perbedaan dalam kekuasaan, status, reward, dan sumber daya antar orang-orang dan kelompok dapat mendorong ke arah rasa ketidakadilan, atau kebutuhan yang sederhana untuk bersaing atau berkompetisi dengan yang lain dapat menyebabkan konflik. Dua kelompok tugas atau proses pengambilan keputusan yang tumpang-tindih, benar-benar sating tergantung, atau secara alami akan terjadi persaingan yang dapat memunculkan ketegangan secara terbuka29 • Tidak adanya kesesuaian atau kesepakatan dapat terjadi satu pihak terhadap pihak yang lain dan hal ini berdasarkan pada waktu dan isu-isu yang diperdebatkan. Menurut Burton ketidaksesuaian atau tidak adanya kesepakatan
(disagreement) atas suatu permasalahan dalam jangka pendek dan relatif mudah dipecahkan disebut sebagai suatu perselisihan (dispute), namun apabila permasalahan tersebut berjangka panjang, bersifat mendasar, adanya sikap
Hal G Rainey, ''Understanding and Managing Public Organizations", Jossey-Bass Publishers, San Francisco, 1997, p. 305-306. 29
22
resisten dari masing-masing pihak serta konteksnya lebih besar maka hal terse but menjadi suatu konflik.30 • Dengan demikian hila suatu perselisihan tidak segera dapat ditangani, maka lambat laun akan menjadi suatu konflik. Konflik dapat merupakan suatu kontinum, yaitu antara sifat konflik yang sangat pelik (intractability) dan konflik yang dapat diatasi (tractability). Suatu konflik yang pelik atau sulit diatasi (intractable)
dalam konteks hubungan antar jenjang pemerintah
melibatkan adanya polarisasi persepsi yang menimbulkan pertentangan. Oleh karena itu, dalam upaya resolusi atau pemecahan perselisihan atau konflik dapat dilakukan dengan beberapa pola atau mekanisme, yaitu fasilitasi, negosiasi, mediasi dan arbitrase.
a. Fasilitasi Fasilitasi (atau fasilitasi kelompok) merupakan suatu proses di mana suatu pihak yang netral membantu suatu kelompok untuk bekerja bersama supaya lebih efektif dalam proses melakukan kerja sama atau pencapaian consensus31 • Fasilitator dapat berasal dari dalam atau luar organisasi yang bersangkutan, tetapi keberadaannya harus diakui oleh semua pihak. Fasilitator hanya memimpin proses, tidak berwenang untuk mengambil keputusan, demikian pula mencampuri substansi dari permasalahan yang didiskusikan. Burton dalam Brad Spangler and Heidi Burgess, "Conflict an Disputes". Diambil dari http://www.beyondintractability.org/m/con:flicts disputes.jsp 30
31
Brad Spangler, "Facilitation". Diambil dari http://www.intractableconflict.org/rnlfacilitation.jsp
23
Fasilitasi penting dalam hal mempertemukan banyak orang yang berkepentingan dalam suatu hal atau permasalahan. Fasilitasi dilakukan untuk memimpin atau mengarahkan pertemuan dengan memfokuskan energi dan pikiran pada suatu permasalahan atau ketugasan yang diperselisihkan. Pola fasilitasi ini dilakukan bukan semata karena ketertarikan pada hasil dari suatu pertemuan, tetapi untuk menjadikan pihak-pihak yang terlibat agar ikut aktif bekerja bersama dan mencapai tujuan, atau bahkan mengembangkan konsensus atau kesepakatan atas isu-isu yang sedang berkernbang dan dihadapi bersarna.
b. Negosiasi Negosiasi terjadi untuk salah satu dari dua pertimbangan yang ada, yaitu untuk rnenciptakan sesuatu yang baru yang dapat dilakukan oleh para pihak yang terlibat atau untuk memecahkan suatu rnasalah atau perselisihan para pihak yang terlibat. Menurut Lewicki, negosiasi adalah suatu proses yang lebih formal (daripada bargaining) yang terjadi ketika para pihak sedang berusaha untuk rnenernukan suatu solusi untuk bisa diterirna rnengenai suatu konflik yang rumit32 • Dalam negosiasi, kedua belah pihak saling rnernbutuhkan, terjadi situasi ketergantungan tirnbal balik yang disebut interdependensi. Hubungan ini lebih kompleks dari situasi dengan satu pihak tidak tergantung oleh pihak lain atau
Roy J. Lewicki, David M. Saunders, and John W. Minton, "Negotiation", The McGraw-Hill Companies, Inc. Singapore, 1999, p. 6. 32
24
satu tergantung pada pihak lain. Pihak yang tidak tergantung dapat, jika mereka menginginkan, tidak berurusan dengan pihak yang tergantung padanya. Pihak yang tergantung pada pihak lain harus menerima dan mengakomodasi tuntutan dan keistimewaan pihak lain tersebut. Sedangkan jika para pihak yang terkait saling tergantung,
hal tersebut akan membuka kesempatan untuk saling
mempengaruhi dan banyak pilihan terbuka bagi keduanya. Pengelolaan dan kesepakatan atas pilihan-pilihan yang ada bisa menjadi sulit. Hubungan saling ketergantungan dicirikan sebagai interlocking goals (tujuan satu pihak terkait dengan tujuan pihak lain), para pihak saling memerlukan untuk mencapai tujuan mereka.
c. Mediasi Menurut Honeyman mediasi adalah suatu proses dengan variasi yang tinggi dan fleksibel, mencakup berbagai situasi di mana seseorang dilibatkan dalam suatu konflik/permasalahan antara dua pihak atau lebih untuk membantu memecahkan permasalahan/konflik tersebut, tetapi mediator tidak mempunyai wewenang untuk membuat pihak tertentu melakukan sesuatu secara khusus31• Dengan demikian, mediasi secara luas dapat digunakan dalam semua jenis perselisihan, termasuk dalam tarik-menarik pelaksanaan kewenangan dan atau urusan di pemerintah daerah.
Christopher Honeyman, "Mediation-overview". Diambil dari: www.beyondintractability.org/ ml mediation.jsp 33
25
Sebagaimana fasilitator, mediator sebenamya juga merupakan process person, tidak memiliki kewenangan untuk membuat keputusan, keputusan
sepenuhnya berada di tangan para pihak yang terlibat, termasuk apabila keputusan untuk tidak memutuskan atau menyelesaikan konflik atau permasalahan yang diperselisihkan. Demikian pula, apabila terjadi kesepakatan, maka implementasinya tergantung pada kemauan (goodwill) para pihak.
d. Arbitrase Leb mengemukakan arbitrase sebagai suatu mekanisme di luar pengadilan yang melaluinya konflik dapat diselesaikan, adanya proses timbal balik, di mana masing-masing pihak mempunyai kebebasan (otonom) dan berhak menentukan perselisihan untuk diselesaikan melalui arbitrase atau tidak34 • Arbitrator memperoleh otoritas semata-mata dari para pihak yang berselisih. Para pihak bebas memilih susunan arbitrator, dan sering juga melakukannya melalui ketentuan yang telah disepakati sebelumnya sebelum suatu perselisihan muncul dan arbitrase bersidang secara ad-hoc (sementara). Arbitrator, sesuai dengan kewenangan diberikan, dalam menyelesaikan perselisihan berhak membuat keputusan yang sifatnya konklusif, final dan mengikat para pihak yang terlibat, sehingga solusinya cenderung win-Jose solution. Namun demikian, para pihak menentukan ketentuan prosedur atau
:WC:hristina Leb, "Arbitration". Diambil dari http://www.intractableconflict.org/m/arbitration.jsp.
26
aturan mainnya sebagaimana telah disepakati bersama dan dituangkan dalam ketentuan kontraktual dari arbitrase.
3. Kekhususan pada Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dimungkinkan terdapatnya suatu kekhususan atau keistimewaan dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Sujamto dengan mendasarkan pada ketentuan dalam Undang-undang Dasar 1945 menekankan kemungkinan adanya suatu daerah yang bersifat khusus/ istimewa dengan mengemukakan makna kata "asal-usul" (sejarah terjadinya) yang dijamin dalam undang-undang dasar tersebut. Keberadaan suatu daerah tidak terlepas dari asal-usul eksistensi daerah yang bersangkutan. Dari makna kata "asal-usul" ini dapat dibedakan menjadi dua jenis hak, yaitu hak yang dimiliki berdasarkan pemberian dari pemerintah dan hak yang telah dimiliki sejak semula (hak yang bersifat autochtoon), atas hak yang dimilikinya sejak sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia35 • Perwujudan dan hak-hak asal-usul dan hak yang bersifat autochtoon itu bisa bermacam-macam, antara lain hak untuk mengatur dan mengurus urusanurusan pemerintahan tertentu, hak memberikan beban kewajiban tertentu kepada masyarakat, atau hak menentukan sendiri cara pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah.
Ir. Sujamto, "Daerah Istimewa dalam Negara Republik Indonesia", Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 12-13. 35
27 Bila perwujudan autochtoon tersebut dengan adanya hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tenentu, hal ini sejalan dengan konteks hak yang bersifat inheren dengan eksistensi suatu pemerintah daerah itu sendiri. Suatu wilayah/daerah yang telah eksis sebelum suatu negara terbentuk, maka negara atau pemerintah pusat tidak dapat mengambilnya keseluruhan dari hak-hak penyelenggaraan pemerintahan yang melekat pada suatu daerah36 • Sedangkan perwujudan dalam hal penentuan cara pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah bila dihadapkan dengan paham demokrasi yang mekanistik, maka penentuan cara pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah secara khusus bukanlah hal demokratis. Rotasi kekuasaan dalam paham demikian adalah terlembagakannya berbagai mekanisme termasuk mekanisme pemilihan umum untuk rotasi kekuasaan37 • Pemberian sifat, sebutan dan atau kedudukan istimewa atau kekhususan atas suatu daerah, pada dasamya juga mempenimbangkan supaya daerah yang bersangkutan dapat menjadi alat yang lebih baik untuk pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini dikarenakan kondisi spesifik bagi daerah-daerah tersebut yang menghendaki penyelenggaraan pemerintahan daerah yang khusus atau istimewa38 • Kekhususan atau keistimewaan daerah
GeorgeS. Blair, "Government at the Grass-Roots", Palisades Publishers, California, 1986, p.21. 37 Purwo Santoso, "Memperjuangkan Ruang Ekspresi Lokal ala Jogja", Pengantar dalam Keistimewaan vs. Demokratisasi, Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2004, hal. vii. 38 Op.Cit., hal. 88-89. 36
28
sebagai suatu struktur dan sifat organisasi yang spesifik, suatu saat dapat pula ditiadakan bila perkembangan keadaan me:rp.ang menghendaki demikian. Hal ini disebabkan antara lain karena perubaha:q faktor-f~lqor historis, politik, sosial dan kultural yang menciptakan kondisi spesifif yang istimewa dan menjadikannya berbeda dengan daerah lainnya (!.tau terjadi perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah secara nasionaP9 • F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian Penelitian yang mengambil topik hubungan Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten Sleman berupaya memahami lebih mendalam, menyelidiki
dan
mengintepretasikan untuk
mendapatkan
pelembagaan
hubungan yang dapat diterapkan dalam penataan kewenangan/penanganan suatu urusan. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dilakukan dalam situasi yang wajar dan dengan mengumpulkan data yang bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif menekankan kenyataan alami yang dibangun, adanya hubungan erat antara peneliti dan apa yang dipelajari, dan batasan situasional yang terbentuk pada saat penelitian sebagaimana dinyatakan oleh Preissle di bawah ini. "Penelitian kualitatif adalah suatu kategori desain atau model penelitian yang didefinisikan secara longgar, di mana semua data verbal, visual, sentuhan (tactile), rasa (olfactory), dan bahasa tubuh (gustatory) 39
Op.Cit., hal. 97
29
diwujudkan dalam bentuk narasi deskriptif seperti catatan lapangan, rekaman, atau bentuk rekaman lain dari audio dan videotape dan rekaman tulisan lain dan gambar atau film40". Model penelitian menggunakan model grounded research, khususnya model intepretif naturalistik. Muhadjir menyatakan grounded theory sebagai upaya menemukan teori berdasar data empiris, bukan membangun teori secara deduktif logis dan model penelitiannya disebut grounded research.
Lebih
lanjut, Muhadjir menjelaskan penelitian naturalistik merupakan penelitian yang layak dan reprentatif sebagai suatu penelitian kualitatif dalam model grounded
research untuk mencari sosok kualitatif intepretatifH. Strauss dan Corbin memberikan batasan bahwa pendekatan grounded theory menggunakan suatu rangkaian prosedur yang sistematis untuk mengembangkan suatu secara induktif yang berdasarkan grounded theory mengenai suatu peristiwa. Prosedur tersebut didasarkan pada pemunculan sistematis teori dari data, yang secara sistematis diperoleh dari penelitian sosial, dan menawarkan suatu panduan teliti, yang rapi untuk pengembangan teori, di mana setiap langkah terintegrasi secara erat dengan suatu metodologi dari riset sosial42 • Pengumpulan data pada hakikatnya berpedoman pada usaha untuk mengembangkan suatu teori. Dengan Judith Preissle, "Q.talitative Design: An Introduction", University of Georgia, Georgia, 2002. Diambil dari http://www.vanguard.edu/u:ploadedFiles/faculty/dratcliff/qualresources/judeoutline.:pdf atau www .don.ratcliff.net/quallexpq l.html. 41 Noeng Muhadjir, "Metodologi Penelitian Kualitatif', Rake Sarasin, Yogyakarta, 2000, hal. 120-121. 42 Brown, Stevens, Toriano, and Schneider, "Exploring Complex Phenomena: Grounded Theory in Student Affairs Research", Journal of College Student Development, March/April, 2002, Vol. 43, No.2, p. 1-2. 40
30
menggunakan istilah metode kualitatif dan metode naturalistik dalam arti yang sama, Nasution menyatakan penelitian kualitatif pada hakikatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitamya43 • Penelitian naturalistik merupakan penelitian yang bersifat induktif, fleksibel dan berkembang dalam proses penelitian dan peneliti sebagai instrumen utama penelitian dan menggunakan penalaran induktif dimulai dari pengamatan empiris (lapangan) yang menghasilkan banyak data (premis minor). Dari banyak data tersebut diupayakan dicari makna yang sama (premis mayor)-yang merupakan teori sementara (hipotesis), yang perlu diuji dengan logika deduktif dengan tujuan dapat dicapai teori yang grounded, yakni berlandaskan atau berdasarkan data. Grounded research dengan mengacu pada penjelasan Nasution mempunyai kerakteristik sebagai berikut«. a. Sumber data adalah situasi yang waJar, menyiratkan penekanan pada maksud dan proses yang tidaklah diuji secara kaku, atau diukur dalam kaitan dengan kuantitas, jumlah, intensitas, atau frekwensi. Sedangkan sampel yang digunakan kecil, tidak representatif dan bersifat purposive atau dipilih sesuai tujuan penelitian.
43
44
S. Nasution, "Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif', Tarsito,Bandung,l988, hal. 5 dan 12. Ibid., hal. 9-12.
31
b. Peneliti
sebagai
instrumen
penelitian.
lincoln
dan
Guba
yang
mengidentifikasi karakteristik. yang menjadikan manusia sebagai "instrum.en pilihan", yaitu manusia responsif terhadap isyarat-isyarat lingkungan, mampu berinteraksi dengan situasi yang dihadapi, kemampuan untuk mengumpulkan informasi pada berbagai tingkatan secara serempak (sekaligus), bisa merasakan situasi secara holistik, dapat memproses data menjadi sesuatu yang bermanfaat dengan cepat, dapat memberikan umpan batik segera, dan meminta verifikasi data dan dapat menyelidiki tanggapan tidak terduga atau tidak lazim45 • c. Deskriptif, walaupun tidak menolak data kuantitatif. Analisis dilakukan sejak awal penelitian dan desain penelitian tampil dalam proses penelitian. d. Mementingkan proses dan produk, mencari makna di belakang kelakuan/ perbuatan serta data langsung dan terinci, sehingga memahami masalah atau situasi. Mementingkan pandangan atau tafsiran responden/informan atas suatu permasalahan atau situasi yang dihadapi. e. Data dicek kebenarannya dan tingkat kepercayaannya, melalui triangulasi dan verifikasi.
Bill Weldon, "Q!J.alitative Research", Charles University, Prague, 2002, p.6. Diambil dari http://www.pedf.euni.cz/kppg/documents/qrs.doc atau www.scholar.lib.vt.edu/ejournals!ITE/ v9n 1/#lincoln. 45
32
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Yogyakarta karena beberapa hal. Pertama, Provinsi DIY merupakan suatu entitas yang sudah memiliki pemerintahan secara teratur sejak berkembangnya kerajaan Mataram dan hingga sekarang mempunyai status daerah yang istimewa. Kedua, wilayah Provinsi DIY relatif kecil dengan jumlah satuan pemerintah daerah yang relatif sedikit, sedangkan Kabupaten Sleman merupakan kabupaten yang relatiftelah maju dengan adanya daya dukung sumber pendapatan dan sumber daya manusia yang memadai. Ketiga, peneliti bertempat tinggal di Yogyakarta dan memiliki akses untuk
melakukan penelitian, sehingga diharapkan dapat mendukung proses penelitian yang akan dilakukan (observation participant). Sedangkan yang menjadi obyek penelitian adalah aparatur pemerintah daerah pada Pemerintah Provinsi DIY dan Kabupaten Sleman, yaitu khususnya aparatur yang menangani mengenai penyusunan bahan perumusan kebijakan dan melaksanakan koordinasi permasalahan kewenangan/urusan, namun juga aparatur/pegawai yang dipandang mengetahui permasalahan tersebut. 3. Teknis Pengumpulan Data
Penelitian ini menempatkan peneliti sebagai instrumen penelitian dan metode pengumpulan data mengikuti pendapat Maykut dan Morehouse: "Cara yang paling bermanfaat untuk mengumpulkan bentuk-bentuk data ini adalah pengamatan partisipan, wawancara mendalam, interview
33
kelompok, dan mengumpulkan dokumen yang relevan. Pengamatan dan data wawancara dikumpulkan oleh peneliti dalam bentuk catatan lapangan (field notes) dan wawancara dengan audio-taped, yang kemudian ditulis untuk digunakan dalam analisis data. Terdapat juga beberapa penelitian yang dilakukan dengan menggunakan foto dan pengamatan melalui videotapedsebagai sumber data yang utama46". Ketiga metode pengumpulan data dijelaskan sebagai berikut. a. Observasi Pengamatan merupakan kegiatan yang mudah tetapi rumit dan merupakan proses yang aktif, peneliti mengamati dengan memilih obyek yang diamati. Tidak ada pengamatan yang lengkap karena pengamatan adalah kegiatan selektif, tidak mungkin segala sesuatu dapat diamati, sekalipun telah berusaha mengamati sebanyak mungkin. b. Wawancara. Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth
interviewing) dengan responden yang dapat diwawancarai (informan) yang dipilih secara purposive atau sesuai dengan tujuan penelitian, tidak banyak dan tidak representatif. W awancara mendalam adalah suatu tipe wawancara yang digunakan peneliti untuk memperoleh informasi untuk mencapai pemahaman yang bersifat holistik menyangkut sudut pandang atau situasi orang yang diwawancarai dengan memberikan pertanyaan yang bersifat terbuka kepada
Maykut & Morehouse dalam Rita S.Y. Berry, "Collecting Data by In-depth Interviewing", British Educational Research Association Annual Conference, University of Sussex, Brighton,1999. Diambil dari http://www.leeds.ac.uk/educol/documents/000001172.htm. 46
34
informan, dan penyelidikan diperluk.an untuk memperoleh data yang dianggap bermanfaat oleh peneliti47• Penelitian ini juga dilakukan dengan mengamati dan mengikuti diskusi kelompok yang membahas mengenai tarik ulur kewenangan/urusan yang difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi c.q. Biro Tata Pemerintahan. c. Dokumentasi Dokumen-dokumen yang dapat diperoleh selama penelitian berupa tulisan pribadi (buku kerja/harian, surat-surat, atau memo), dokumen resmi seperti peraturan perundang-undangan, daftar pegawai, makalah, hasil penelitian, foto, dan data statistik yang mendukung penelitian. Nasution menjelaskan, "dokumen berguna karena memberikan latar belakang lebih luas mengenai pokok-pokok penelitian, dapat dijadikan bahan triangulasi mengecek kesesuaian data, dan merupakan bahan utama dalam penelitian historis 48".
4. Tahapan Analisis Data Analisis
data
merupakan
proses
menyusun
data
dengan
menggolongkannya dalam pola, tema atau kategori agar dapat ditafsirkan/ diinterpretasikan, yaitu diberikan makna dari analisis, menjelaskan pola atau kategori, mencari hubungan antara berbagai konsep dengan hasilnya bukan
47 48
Rita S.Y.Berry, Ibid. Nasution, Op. Cit., hal. 86.
35
merupakan generalisasi. Analisis data dimulai sejak awal penelitian dengan langkah-langkah sebagai berikut. a. Reduksi data Dilakukan dengan memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal penting, mencari tema dan polanya. Laporan lapangan sebagai bahan mentah direduksi, disusun secara sistematis dengan menonjolkan pokokpokok yang penting sehingga lebih mudah dikendalikan. b. Penyajian data (data display) Hal ini dilakukan dengan membuat berbagai macam matrik, grafik, jaringan (network) dan tabel,
sehingga data dapat dikuasai dan tidak
tenggelam dalam tumpukan detil dan membuat display inipun juga merupakan analisis. c. Mengambil kesimpulan dan verifikasi Dari awal penelitian senantiasa dicari makna data untuk mendapatkan pola, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan sebagainya kemudian diambil kesimpulan yang semula masih bersifat sementara (tentatif) dan kabur. Seiring dengan bertambahnya data, maka diharapkan akan didapatkan kesimpulan yang lebih grounded. Verifikasi dapat singkat dengan mencari data baru.
l. nt u k memperoleh ti ngkat kepercayaan hasil hasil peneliuan \ validitas \ dengan menggunakan triangulasi, yaitu mengecek kebenaran data tertentu dengan membandingkannya dengan data yang diperoleh dari sumber lain, pada berbagai fase penelitian lapangan, pada waktu yang berlainan dan sering dengan menggunakan metode yang berlainan. Teknik yang digunakan untuk saling mengecek kebenaran melalui metode observasi, wawancara dan dokumen.
BABll
PEMERINTAH PROVINSI DIY DAN KABUPATEN SLEMAN
A. Pemerintah Provinsi Daerah lstimewa Y ogyakarta
Daerah
Istime~a
Yogyakarta memiliki wilayah seluas 3.185,81 km2 • Pada
akhir tahun 2002, berdasarkan hasil registrasi, diketahui jumlah penduduk mencapai 3.374.968 jiwa, dengan demikian maka tingkat kepadatan penduduk mencapai 1.059 jiwa/km2 • Bila daerah tempat tinggal dikorelasikan dengan jumlah penduduk, penduduk wilayah perkotaan tercatat lebih banyak dibanding pedesaan, yaitu sebanyak 1.875.755 jiwa atau 55,58%, sedangkan pedesaan mencapai 1.499.213 jiwa atau 44,42%. Dalam POLDAS Provinsi DIY Tahun 2001-2005 dan PROPEDA Provinsi DIY Tahun 2001-2005 ditetapkan Visi Pembangunan Daerah yang akan dicapai pada tahun 2020 sebagai berikut. "Terwujudnya Pembangunan Regional sebagai wahana menUJU pada kondisi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun 2020 sebagai pusat Pendidikan, Budaya dan Daerah Tujuan Wisata Terkemuka, dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri, sejahtera lahir batin didukung oleh nilai-nilai kejuangan dan pemerintah yang bersih dalam pemerintahan yang baik dengan mengembangkan Ketahanan Sosial Budaya dan sumberdaya berkelanjutan".
Visi tersebut pada hakikatnya merupakan visi jangka panjang yang disepakati untuk dicapai pada tahun 2020. Penekanan ketiga bidang 37
38
(pendidikan, budaya dan pariwisata) tidak menghilangkan peran dari bidangbidang lain, karena justru diperlukan untuk mendukung penyelenggaraan kegiatan dari ketiga bidang andalan dan unggulan terse but. Sejalan dengan visi tersebut Pemerintah Daerah Provinsi DIY telah menyusun Visi Misi Pemerintah Daerah ProvinsiDIY yang menjadi gambaran ideal dalam RENSTRA pada tahun 2004 - 2008: "Mantapnya Pemerintah Daerah yang katalistik dan mendukung terbentuknya masyarakat kompetitif': Untuk mewujudkan visi ini salah satu misi Pemerintah Provinsi DIY adalah "Membentuk jejari.nglnetworking dengan kabupaten/kota dan stakeholders dalam rangka meningkatkan masyarakat berdaya-saing yang kuat 1". Mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih merupakan prioritas bagi penyelenggaraan pemerintahan ke depan yang identik dengan pembaharuan tata pemerintahan. Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Provinsi DIY sampai bulan April 2003
sebanyak 13.007 orang, terdiri dari
pejabat struktural 693 orang, pejabat fungsional 1.101 orang dan staf sebanyak 11.213 orang.
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 tentang Rencana Strategis Daerah Propinsi Daerah lstimewa Yogyakarta Tahun 2004 - 2008 yang disusun berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi DIY Tahun 2001-2005. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 3 Tahun 2002 tentang Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2001-2005 jo Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2002. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2003 tentang Rencana Strategis Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2004 - 2008. 1
39
Strategi terpenting dalam menyikapi perubahan tersebut, terutama dengan berubahnya kewenangan provinsi adalah dengan melakukan restrukturisasi organisasi dan penataan pegawai berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 2003 tentang Tata Kerja dan Struktur Organisasi Pemerintah Daerah. Bersamaan dengan itu, evaluasi terhadap struktur dan penempatan pegawai dalam suatu jabatan terns dilakukan, agar tetap berada pada kondisi yang sesuai dengan tuntutan peningkatan kinerja. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 ditindaklanjuti dengan penataan kelembagaan dan aparatur pemerintah daerah yang dituangkan dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi DIY, Perda Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Lembaga Teknis Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi DIY, dan Perda Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi DIY.
40
B. Pemerintah Kabupaten Sleman Luas wilayah Kabupaten Sleman lebih kurang 574,82 km2 (atau sekitar 57.482 hektar) atau sekitar 18% dari luas Provinsi DIY, terdiri dari 15 kecamatan dan 86 Desa. Kelembagaan pemerintahan dengan berdasarkan PP Nomor 8 Tahun 2003 ditindaklanjuti dengan terbitnya Perda Nomor 12 tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 Tahun 2000 tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman, terjadi perubahan satuan organisasi menjadi Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, 9 Dinas, 5 Badan, dan 5 Kantor. Jumlah penduduk Kabupaten Sleman pada akhir 2003 tercatat 880.109 jiwa terdiri dari 435.632laki-laki dan 444.447 perempuan. Dengan luas wilayah 574,82km2 , maka tingkat kepadatan penduduknya 1.531 jiwa per km2 • Potensi PNS daerahnya, sebelum menjadi daerah percontohan Otonomi daerah jumlah pegawai Pemda Sleman 2.220 orang setelah menjadi daerah percontohan menjadi 9.115 orang, kemudian bertambah menjadi 14.627 setelah pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2000. Data terakhir pada tahun 2002 jumlah pegawai Kabupaten Sleman sebanyak 13.502 orang, terdiri 7.163 orang pegawai laki-laki dan 6.339 orang pegawai perempuan. Perbandingan kelembagaan antara Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman sebagai berikut.
41
Tabell Perbanclinpn Kelembapan Pemerintab PJ:orinsi DIY dan Kabupaten S1eman
No. lrrlembapan
Pem.Pmv. DIY
Pem.Kab. S1Pman
1 1 1. Sekretariat Dewan 2. Sekretariat Daerah 9 6 (Biro- ~oi~n) 5 8 3. Badan 5 4. Kantor 3 9 12 5. Dinas Jum]ah 29 30 Sumber: - Perda Provinsi DIY No.1/2004, No.2/2004, dan No.3/2004. - Per
Tabel2 Perbandingan Perincian Kelembagaan Pemerintah Pmvinsi DIY dan Kabupaten Sleman ,_.
Xe)embapan
No. 1n 2
'
.. '
.
Pem lrab. SJeman
Pem Prov. DIY
Dewan 1
. tDaenah Sekda: a. Asisten Pemerintahan. b. Asisten Fasilitasi dan Investasi c. Asisten Pemberdayaan Masyarakat.
5 Biro: 1. Biro Tata Pemerintahan. 2. Biro Huku.m.. 3. Biro Ketjasama. 4. Biro Umum. 5 . Biro Organisasi. 6. Biro Kepegawaian.
1
Sekda: a. Asisten Bidang Pemerintahan. b. Asisten Bidang Pembangunan. c. Asisten Bidang Administrasi. 9Bagian· AsistenBid.P~merinrnhan
membawahi: 1. Bagian Tata Pemerintahan. 2. Bagian Pemerintahan Desa. 3. Bagian Hukum.
42
A~nan"Rid.Pem'--
uilllD
membawahi: 4. Bagian Perekonomian 5. Bagian Administrasi Pembangunan 6. Bagian K.esejahteraan Rakyat. Asist~n Bid.Adminisnasi membawahi: 7. Bagian Organisasi 8. Bagian Umum. 9. Bagian Hubungan Masyam.kat. 3 Badan
4 Kantor
8Badan·
SBadm~
1. Badan Perencanaan Daerah (Ba~). 2. Badan Pengawas Daerab. 3. Badan Pendidikan dan Latihan. 4. Badan Perpustakaan Daerah. 5. Badan Pengendalian Dampak lingkungan Daerah. 6. Badan lnformasi Daerah. 7. Badan Pariwisata Daerah 8. Badan Pengelolaan Keuangan Daerah. 3Kantor. 1. Kantor Perwakilan. 2. Kantor Arsip Daemh. 3. Kantor Pemberdayaan Perempuan.
1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). 2. Badan Pengawasan Daerah. 3. Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah. 4. Badan Pengendalian Pertanahan Daerah. 5. Badan Kepegawaian Daerah.
SKantor. 1. Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah. 2. Kantor Telekom. dan Informatika. 3. Kantor PengendaHan Dampak Lingkungan 4. Kantor Pengelolaan Pasar. 5. Kantor Pendaft.Pend, dan Catatan Sipil.
43
5. Kantor
12 Dinas: 1. Dinas Pertanian. 2. Dinas Perikanan dan Kelautan. 3. Dinas Kehutanan dan Perkebunan. 4. Dinas Pendidikan. 5. Dinas Kebudayaan. 6. Dinas Sosial. 7. Dinas Kesehatan. 8. Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 9. Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah. 10. Dinas Perhubungan. 11. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi. 12. Dinas Ketenteraman dan Ketertiban Umum.
9Dinas: 1. Dinas Pennukiman, Prasarana Wilayah, dan Perhubungan. 2. Dinas Pengairan. Pertambangan, dan Penanggulangan Bencana Alam. 3. Dinas Pertanian dan Kehutanan. 4. Dinas Perdagangan, Perindustrian, Koperasi, dan Penanaman Modal. 5. Dinas Kesehatan. 6. Dinas Pendidikan. 7. Dinas Tenaga Kerja, Sosial dan Keluarga Berencana. 8. Dinas Polisi Pamong Praja dan Ketertiban Masyarakat. 9. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
29Instansi 30 Instansi Jumlah Sumber: - Perda Provinsi DIY No.l/2004, No.2/2004, dan No.3/2004. - Perda Kabupaten Sleman No. 12/2003.
44
C. Sejarah Singkat Hubungan Pemerintah Provinsi DIY dan Kabupaten Sleman Pada masa setelah reorganisasi tahun 1916 hingga 1946 hubungan antara Provinsi DIY dan Kabupaten Sleman merupakan hubungan Pemerintahan Kraton Kasultanan (Sultanaat) dengan Kabupaten Sleman (regentschap) sebagai bagian daripada pemerintahan karaton yang melaksanakan tugas dan bertanggung jawab kepada Pepatih Dalem. Masa permulaan pasca kemerdekaan Kabupaten Sleman masih menjadi pelaksana administratif saja bagi Pemerintah Provinsi DIY (Kasultanan dan Pakualaman). Namun demikian telah ada upaya pembagian ketugasan di kabupaten dengan Petunjuk Jawatan Praja Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2/D.P.-'46 hal Susunan Baru di Pusat Daerah yang menjadi pedoman dalam pembagian pekerjaan baik di tingkat Pemerintah Pusat Daerah Yogyakarta, Kabupaten dan Kapanewon serta hila dimungkinkan diterapkan pada Kalurahan. Peraturan ini menunjukkan adanya jenjang pemerintahan yang bersifat hierarkhi monokratis dari pusat daerah hingga pada kalurahan (Desa). Petunjuk jawatan tersebut merupakan pengaturan lebih lanjut dengan adanya Maklumat No. 18/1946 tentang tentang Dewan-Dewan Perwakilan Rakyat di Daerah Istimewa Yogyakarta (Kasultanan dan Pakualaman) dan Maklumat No. 7 dan Maklumat No. 16/1946 mengenai Dewan Perwakilan Kalurahan dan susunan baru Pamong Kalurahan. Kepala Pemerintahan adalah
45
Sultan dan Paku Alam dengan ketugasan yang dibagi habis menjadi lima jawatan, yaitu Jawatan Praja, Jawatan Umum, Jawatan Kemakmuran, Jawatan Sosial, dan Jawatan Keamanan. Pembagian lebih lanjut mengenai pekerjaan pemerintahan di Kabupaten dan Kapanewon
dia~r
dengan dikeluarkannya Petunjuk Jawatan Praja daerah
Istimewa Yogyakarta No.3/D.P.-'46 hal Kerja Bersama antara Kepala Daerah dan Jawatan-jawatan Wakilnya Kepala Daerah. Dalam petunjuk ini Bupati Anom dimasukkan dalam staf Jawatan Praja dan bertindak mewakili Bupati bila berhalangan. Maklumat 18 tahun 1946 diimplementasikan dengan pembentukan DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD) sebagai badan legislatif dan badan eksekutif kabupaten di DIY, namun semua kabupaten belum mempunyai kewenangan otonomi. Untuk dapat melaksanakan otonomi harus ada penyerahan kekuasaan/k.ewenangan terlebih dahulu dari Pemerintah DIY dan maklumat tersebut tidak mengatur, mewajibkan atau membolehkan tuntutan adanya penyerahan tersebut. Dalam maklumat tersebut juga diatur bahwa DPRD dan DPD berhak membuat peraturan dan menjalankan pemerintahan secara bersama-sama. Walaupun Kabupaten Sleman belum mempunyai otonomi daerah, namun dengan dikeluarkannya Maklumat 18 Tahun 1946 di Kabupaten Sleman dan kabupaten lainnya telah mulai dilaksanakan demokratisasi.
46
Menurut sejarah Kabupaten Sleman dan kabupaten lainnya memang belum pemah menjadi daerah otonom. Hal ini berbeda dengan Provinsi DIY yang telah mempunyai otonomi melaksanakan pemerintahan sendiri, sehingga ketika dibentuk DIY sebagai satuan setingkat provinsi telah mempunyai hak otonomi yang ditegaskan oleh Pemerintah Pusat dalam pengaturan kewenangan sebagaimana tersebut dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 19502 • Menurut Sumardjan, Maklumat Nomor 18 Tahun 1946 memang tidak dimaksudkan mendelegasikan lebih banyak kekuasaan dari pemerintah daerah kepada kabupaten-kabupaten, dengan kata lain kabupaten hanya bersifat administratif, tidak bersifat otonom atau dijadikan otonom. Kabupaten diberi hak menjalankan kekuasaan legislatif maupun eksekutif atas masalah-masalah mereka sendiri, tetapi kabupaten tetap saja seperti dulu sebagai daerah administratif. DPRD kabupaten hanya diberi kesempatan untuk membicarakan masalah-masalah pemerintahan, tetapi keputusan mereka tidak mempunyai kekuatan hukum3 • Sedangkan menurut Poerwokoesoemo, kabupaten-kabupaten baru akan mempunyai kekuasaan otonom apabila telah ada peraturan yang mengenai pembentukannya4 •
KPH. Soedarisman Poerwokoesoemo, "Daerah Istimewa Yogyakarta", Gadjah Marla University Press, Yogyakarta, 1984, hal. 11 0-114 3 Selo Sumardjan, "Perubahan Sosial rli Yogyakarta, Gadjah Marla University ress, Yogyakarta, 1991, hal. 64-65. 4 KPH. Soedarisman Poerwokoesoemo, Op.Cit., hal. 112.
2
47
Pada bulan Agustus 1950 dikeluarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1950 tentang Pembentukan Kabupaten-Kabupaten dalam Lingkungan Daerah Istimewa Yogyakana yang menetapkan terdapat 5 Kabupaten di DIY, yaitu Bantul, Sleman, Gunungkidul, Kulonprogo, dan Adikano. Undang-undang ini keluar setelah
terle~ih
dulu dikeluarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950
tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakana sebagai daerah setingkat provinsi. Pengaturan menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 1950 menurut Poerwokoesoemo barulah mengatur tentang kekuasaan otonomi secara de jure, secara de facto masih berada di tangan Pemerintah Provinsi DIY. Kabupaten harus menerima kewenangan terlebih dahulu dari Pemerintah Provinsi DIY secara berangsur-angsur sebagai daerah otonom5 • Pada tanggal 17-18
Juli 1953
diselenggarakan Konferensi Pengembangan Otonomi Kabupaten dan Kotapraja yang menghasilkan kesimpulan sebagai berikut. 1. Pelaksanaan otonomi daerah kabupaten-kabupaten dan kotapraja menurut UU RI No.15/l950 dan PP No.32/1950. 2. Cara menjalankannya menurut kesanggupan dan kemampuan kabupatenkabupaten/kotapraja. 3. Pelaksanaan penyerahan otonomi diatur dalam Peraturan Daerah menurut isi prasaran yang telah diterima dan saran yang telah diajukan dalam 5
Ibid., hal. 112-114.
48
konferensi, Peraturan daerah itu hendaknya dalam bulan September 1953 sudah dapat pengesahan dari DPRD Istimewa Yogyakarta. 4. Penyerahan otonomi selambatnya pada bulan Desember 1955. 5. Sebelum dimulainya penyerahan dibentuk suatu Panitia Penyerahan Otonomi yang susunannya dapat menjamin kelancaran penyerahan itu. 6. Membentuk panitia untuk meninjau peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai dengan pertumbuhan/perkembangan otonomi. 7. Untuk menyempurnakan proses otonomi dan demokratisasi pemerintahan kabupaten dianjurkan kepada Pemerintah DIY untuk mengusahakan terbentuknya DPR Kabupaten yang sampai sekarang belum ada6 • Setelah
pembentukan
kabupaten/kota,
selanjutnya
Provinsi
DIY
mengalami proses pengintegrasian pemerintahan ke dalam Pemerintahan Nasional Republik Indonesia hingga tahun 1974. Terbitnya Undang-undangundang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah menjadi babak baru bagi pemerintahan daerah di DIY, di mana Pemerintah DIY benar-benar menjadi kepanjangan tangan pemerintah pusat dengan penekanan pada asas dekonsentrasi dan sistem pemerintahan lebih bersifat sentralistis. Penerapan
undang-undang
ini
menyebabkan
struktur
pemerintahan
mempunyai hierarkhi yang kuat dati Pemerintah Pusat, Provinsi dan
6
PJ Suwamo, "Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974", Kanisius, Yogyakarta, 1994, hal. 297.
49
Kabupaten!Kota. Dengan demikian, walaupun Kabupaten Sleman secara peraturan memiliki otonomi, namun penyelenggaraan pemerintahannya sangat bergantung pada pemerintah yang lebih atas. Konstelasi ini berubah atau terjadi pembalikan ketika pemberlakuan Undang-undang No~or Nomor 22 Tahun 1999, yaitu Kabupaten!Kota memiliki otonomi yang seluas-luasnya dan tidak adanya hubungan hierarkhi antara Provinsi dan Kabupaten memberikan bias otonomi daerah yang mengarah pada independensi antar Kabupaten/Kota dan atau Provinsi. Namun dalam praktek, konstelasi yang demikian tidak kondusif bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sating terkait, tergantung dan sinergis. Saling keterkaitan dan saling ketergantungan atau interdependensi ini ditekankan
dalam
Undang-undang
Nomor
32
Tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah sebagai perubahan mendasar dalam tata hubungan Pemerintah Provinsi DIY dan Kabupaten!Kota. Satu hal yang menarik dalam Penjelasan Umum dari undang-undang ini, yaitu aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini akan membuka ruang yang luas bagi pengembangan pola-pola hubungan yang produktif dan sinergis antar pemerintah daerah di DIY dengan memperhatikan kekhususan di DIY sebagai daerah yang istimewa dan suatu entitas sosial, budaya, dan politik.
50
D. Keistimewaan Provinsi DIY
Sebagai suatu entitas politik Provinsi DIY mempunyai aspek politis-yuridis berkaitan dengan sejarah berdirinya sebagai wujud pengintegrasian diri dari sebuah "negara" (kerajaan) ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia secara sadar melalui
aman~t
Sultan HB IX dan Pakualam VIII dan direspon dengan
pengakuan atas keistimewaan DIY dengan terbitnya Undang-undang Nomor 3 tahun 1950 yang juga merupakan pengakuan kewenangan untuk menangani segala urusan pemerintahan. Sumardjan menyatakan Yogyakarta memiliki keunikan pengalaman -merupakan salah satu fakta yang menjadikannya daerah istimewa- dalam proses perkembangan pemerintahan dari tipe pemerintahan yang paling feodal dan tradisional menjadi suatu pemerintahan dengan struktur dan penyelenggaraannya lebih dekat dengan demokrasi Barat di banding dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Perkembangan ini berlangsung dalam waktu yang relatif sangat cepae. Berkaitan dengan pembentukan daerah-daerah sebagaimana ketentuan pasal 18 UUD 1945 (yang juga dipertahankan dalam amandemennya), Mariun menjelaskan dalam undang-undang dasar tersebut mengandung konsep pembentukan daerah terutama daerah-daerah otonom dan dalam menentukan susunan pemerintahannya harus mengingat permusyawaratan dalam sistem 7 Selo Sumardjan, "Perubahan Sosial di Yogyakarta", Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991, hal. 6. Lihat juga P.J. Suwarno, "Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974", Kanisius, Yogyakarta, 1994.
51
pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat Istimewa (asli)8 • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakomodir keberadaan DIY melalui pasal2 ayat (8) sebagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa dan pengakuan keberadaan
Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya menurut pasal2 ayat (9). Perkembangan penyelenggaraan pemerintahan daerah juga memberikan dampak politis yuridis dengan munculnya berbagai peraturan pemerintahan daerah yang berpengaruh besar terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi DIY. Perubahan dan perkembangan memang tidak dapat dielakkan namun berkaitan dengan keberadaan kraton layak mempertimbangkan sebagaimana diungkapkan Wahyukismoyo: "Apabila penataan pemerintahan hanya mengacu pada aspek politisyuridis tanpa menghormati nilai-nilai tradisi, sejarah dan hak-hak kasultanan yang sudah menjadi identitas bersama, akan melahirkan konflik kepentingan dan menimbulkan ketegangan sosial. Demikian juga sebaliknya apabila mengedepankan nilai-nilai demokrasi akan muncul tantangan keras dati kalangan aristokrat9". Ikatan historis yang terbentuk di DIY merupakan relasi-relasi sosial yang berperan dalam membentuk karakter masyarakat DIY yang dapat dikategorikan
Mariun dalam Josef Riwu Kaho, "Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik. Indonesia", Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan kelima, 2001, hal. 4. 9 Heru W ahyukismoyo, "Demokrasi dan Keistimewaan, Proses Perubahan Tata Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Tesis, Program Pasca Sarjana, Konsentrasi Politik :f.,okal dan Otonomi Daerah, UGM, Yogyakarta, 2003. 8
52
sebagai hubungan emosional yang berpijak pada sosio-spiritual, sosio-kultural, sosio-politik dan sosio-historis10 • Penyelenggaraan pemerintahan maupun hubungan antar pemerintah daerah di DIY masih ada kecenderungan kurang terbuka sebagaimana hasil penelitian Dwiyanto sebagai berikut. "Konsep dan tatanan kemasyarakatan yang terdapat pada masyarakat dan budaya politik Jawa adalah pencegahan konflik yang direkayasa melalui kekuatan figur sultan. Harmoni sosial dalam budaya politik Jawa bermuara pada tidak adanya kontrol politik dari bawah kepada sultan. Sultan dan kekuasaan yang dimilikinya merupakan sumber legitimasi hukum dan politik yang tak terbantahkan. Pemahaman budaya dan konsep politik tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan aparat birokrasi tidak dapat bersikap kritis terhadap pimpinan 11 ". Sifat keistimewaan ini tidak stagnan, tetapi dapat senantiasa berkembang tanpa harus meninggalkan DIY sebagai entitas sosial, budaya, dan politik yang istimewa serta berpeluang besar dalam menyelenggarakan segala urusan pemerintahan termasuk dalam membangun hubungan antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. Provinsi DIY dapat menyesuaikan dengan perubahan atau dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang terjadi tanpa meninggalkan keaslian atau entitasnya.
Ibid., hal. 33. Agus Dwiyanto, dkk. "Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia", Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan-UGM, 2002, hal. 104. 10
11
BABill
HUBUNGAN ANTARA PEMERlNTAH PROVINSI DIY DAN PEMERINTAH KABUPATEN SLEMAN
A. Dinamika Hubungan dalam Penataan Kewenangan/Urusan
Hubungan antar jenjang pemerintah sebenamya dapat menjadi titik tolak dalam
implementasi
otonomi
daerah
dalam
percepatan
perwujudan
kesejahteraan dan optimalisasi pelayanan publik. Paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dari hubungan yang sangat tergantung dan hierarkhis menjadi otonom dan demokratis memberikan ruang besar untuk pengelolaan daerah. Bias pelaksanaan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 memupuk kesadaran kebutuhan hubungan antara Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Pada saat sebelum pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Gubernur DIY pada tanggal 29 November 2000 mengadakan penemuan dengan seluruh bupati dan walikota se-DIY berikut para pejabat di jajaran Pemda DIY maupun kabupaten/kota untuk mencapai kesamaan visi sebelum melaksanakan otonomi daerah, sehingga dapat memberikan harapan berbagai
53
54
kewenangan/uru san
pemerintah
kabupaten/kota,
lintas
kabupaten/kota
maupun pemerintah provinsi dapat diatur dengan baik1• Otonomi daerah bukan alasan untuk tidak adanya hubungan provinsi dan kabupaten!kota, justru harus mendapatkan penekanan dan pengembangan untuk mendukung akselerasi keberhasilan otonomi daerah. Demikian pula perlu pemahaman yang realistis dan sehat dalam memaknai otonomi daerah. Hal ini terungkap dalam wawancara Kedaulatan Rakyat dengan Sultan sebagai Gubernur DIY sebagai berikut. "Ya mestinya dengan kewenangan, pada aspek tingkat dua itu punya kewenangan dan tanggung jawab baik administrasi maupun kebijakan dan pengelolaan wilayah. Pengertian pengelolaan wilayah itu tidak identik dengan menguasai wilayah. Jadi kalau semua itu akhirnya merasa tidak ada hubungan, kita kan bukan bicara negara dalam negara. Jadi membuat Perda pun tingkat dua harus mengacu pada tingkat satu, karena tingkat satu juga mengacu pada Undang-undang. Iya kan? Jadi pengelolaan wilayah itu tidak identik dengan penguasaan wilayah. Tapi kalau kita bicara soal penguasaan wilayah, ya dia merasa punya kewenangan sendiri, tidak ada kewenangan yang bisa diintervensi. Kesalahan kita itu di situ, anggapan kita bukan pengelolaan. Kalau pengelolaan kan masih melihat hierarkhi biarpun antara tingkat satu dan tingkat dua tidak ada lagi hubungan hierakhis. Tapi dalam aspek-aspek administrasi birokrasi kan tetap ada mekanismenya jalan, bukan berarti tidak ...2". Pandangan
gubernur
untuk
memaknai
otonomi
daerah
sebagai
pengelolaan wilayah dan melalui pengelolaan wilayah berarti ada peran yang
Rapat Koordinasi Persiapan Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 di Gedung Pracimosono, tanggal 9 November 2000. 2 Pengelolaan Wilayah Tidak Identik dengan Menguasai Wilayah, Soal Kesiapan Daerah Istimewa Yogyakarta Menghadapi Otonomi (2). Kedaulatan Rakyat, 5 Desember 2000. 1
55
harus dilaksanakan bersama antara provinsi dan kabupaten/kota.
Namun
pandangan ke depan seorang Sultan sebagai Gubemur DIY temyata merupakan kekhawatiran yang menjadi kenyataan setelah pemberlakuan secara efektif undang-undang tersebut. Sosialisasi rancangan Pola Dasar Pembangunan Daerah (POLDAS)3 dari Pemerintah Provinsi DIY sebagai dasar dan menjamin adanya keterpaduan arah kebijakan dan strategi pembangunan di
Provinsi
DIY
banyak
mendapat
tantangan/resistensi
Pemerintah
Kabupaten/Kota karena ditafsirk.an sebagai upaya intervensi atas kemandirian atau otonomi daerah. Permasalahan tersebut jelas disebabkan adanya pemahaman yang tidak tepat atau kurangnya kearifan atas pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah merupakan aspek politik-kekuasaan negara (political aspect), sedangkan desentralisasi lebih cenderung pada aspek administrasi publik (administration aspect). Namun keduanya tidak dapat dipisahkan atau dibedakan, sehingga antar pemerintah daerah sating membutuhkan dalam penyelenggaraan roda pemerintahan, bukan justru menek.ankan independensi daerah. Otonomi daerah sebagaimana pendapat Fesler dan Leemans bukanlah tujuan tetapi instrumen untuk mencapai tujuan4 • Sebagai instrumen,
Ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Provinsi DIY Tahun 2001-2005. ' Fesler dan Leemans dalam Kaloh, 2002, "Mencari Bentuk Otonomi Daerah", Rineka Cipta, Jakarta, hal. 7. 3
56
keterampilan
dan
kreativitas
memanfaatkannya
instrumen
tersebut
dibutuhkan tanpa harus menimbulkan konflik antar provinsi dengan kabupaten!kota. Tiap jenjang pemerintah bukanlah berdiri sendiri atau independen, untuk itu diperlukan sikap dan tindakan sating mempercayai (trust) dan bekerja sama.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan dasar kebutuhan hubungan antar jenjang pemerintah sepeni tersirat dalam konsideran menimbang huruf b dan ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (2) yang berbunyi: "Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang sating terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan". Dalam undang-undang ini perbedaan pengaturan urusan provinsi dan kabupaten tidaklah mempunyai batasan yang jelas, daftar urusan wajib yang menjadi kewenangan keduanya sama, perbedaannya pada tambahan keterangan lintas kabupaten/kota untuk kewenangan provinsi. Sedangkan peraturan lama sebagaimana diatur pada ketentuan penutup undang-undang tersebut masih berlaku, sehingga PP Nomor 25 Tahun 2000 yang mengatur kewenangan provinsi dan Kepmendagri Nomor 130-67 Tahun 2002 mengenai pengakuan rincian kewenangan
57
kabupaten!kota masih berlaku. Padahal kedua peraturan ini dalam prakteknya semakin menimbulkan tumpang tindi.h.
Tabel3 Perbandingan Urusan Wajib Provinsi DIY dan Kabupaten Sleman berdasubn UU Nomor 32 Tahun 2004 No.
1.
Urusan Wajib PnMnsi DIY a. perencanaan dan pengendalian
pembangunan;
Urusan Wajib Xabupaten Sleman a. perencanaan dan pengendalian
pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan keterriban umum dan ketenteraman masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan;
b. perencanaan, pernanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan keterriban umum dan ketenterarnan masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesebatan; f. penyelenggaraan pendidikan d;m alobsi sumber tbya manusia potensi;Jl, g. penanggulangan masa]ab sosial; g. penanggulangan masalah sosiallintas kahupaten/kota, h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lin.J:3s h.buparen/kota, i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; keciL dan menengah termasuk lintas kabupatenlkota, j. pengendalian lingkungan hidup; j. pengendalian lingkungan hidup; k. pe1a.yanan penanahan; k. pe1a.yanan pertanahan terJJJ3Sl1k lintas bbuparen/kota, l. pelayanan kependudukan, dan catatan L pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; sipil; m. pelayanan administrasi umum m. pe1a.yanan ad.ministrasi umum pemerintahan; pemerintahan; administrasi peoaoaman pelayanan n. n. pelayanan administrasi penanaman modal; modal termasuk lintas kabupatenlkota, pelayanan dasar penyelenggaraan o. o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; lainnya y;mg belum tbpar dihbanalcm oleh kabupatenlkota; p. urusan wajib lainnya yang p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan diamanatkan oleh peraturan perundang-undanga n. perundang-undanga n.
58
2
Urosan pemerintahan provinsi yang bers.ifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyara.kat sesuai dengan kondisi. kekhasan. dan potensi unggu1an daerah yang bersangkutan.
Urusan pemerintahan .kabupatenlkota yang bersifat pilihan me1iputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyara.kat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi ungguian daerah yang bersanglwtan.
Penje1am: Yang dimaksud dengan "urosan pemerintahan yang secara nyata
Penjelas;m: Yang dimaksud dengan "urosan pemerintahan yang secara nyata
ada" dalam ketentuan ini sesuai dengan kondisi,kekhasan dan potensi yang dimiliki antara lain penambangan, perikanan. pertanian, perkebunan. kehutanan, pariwisata.
ada" dalam ketentuan ini sesuai dengan kondisi.kekhasan dan potensi yang dimiliki antara lain pertam.bangan, perikanan, pert.anian. perkebunan. kehutanan. pariwisata.
Sumber: Undang-undang No. 3211004. Melihat tabel memang urusan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten adaJab
~
kabupaten/kota.
Pemerintah
berbeda pada beberapa urusan terkait dengan lintas Provinsi
dan
Kabupaten
dapat
saling
mempengarohi dan tidak ada secara tepat batasan kewenangan. Hal ini dapat menimbulkan perbedaan penafsiran dan persepsi, bahkan pada peraturan pelaksanaannya. Supaya dapat berjalan pemerintah provinsi dan kabupaten harus bemegosiasi dan melakukan bargaining serta membangun kesepakatan dan kerja sama, sehingga dapat dihindarkan kompetisi dan konflik
kewenangan/urusan yang berkepanjangan dan mengakibatkan fungsi utama pemerintah terabaikan5•
'Deils S. Wright, "'Local and Regional Governments, Regional Workshop on: Consolidating the Gains in Decentralization Reforms and Wm-Win Policy Analysis'", African Training and
59
Kewenangan menjadi permasalahan sttategis karena pada dasarnya otonomi daerah merupakan pemberian kewenangan yang seluas-luasnya kepada daerah. Strategisnya kewenangan perlu diikuti dengan pendekatan pengutamaan kepentingan masyarakat atau rakyat Yogyakarta, namun apabila pendekatan ini digunakan, maka faktor kewenangan dalam otonomi daerah menjadi dinomorduakan. "Hubungan Provinsi dan Kabupaten memang cenderung lebih dikaitkan dengan aspek kewenangan paling tidak dalam jangka pendek atau menengah. Kami pun memandang kewenangan merupakan hal yang strategis dalam pelaksanaan otonomi daerah, sehingga pada tahun anggaran 2004 ini dianggarkan penelitian/pengkajian pengembangan otonomi daerah tetapi penekanannya pada permasalahan kewenangan. Namun demikian, memang ada hal mendasar berkaitan dengan kewenangan yang disampaik.an oleh Gubernur pada tanggal13 November 2003 berkenaan dengan MIOD. Gubernur menyampaikan kewenangan bukanlah unsur utama, tetapi yang perlu ditekankan adalah kewenangan mana yang menguntungkan bagi rakyat atau masyarakat. Jadi yang diutamakan rakyat atau masyarakat" (EK, Provinsi, 8 September 2004). Dalam tarik ulur kewenangan terjadi pergeseran pendekatannya, karena pada akhirnya kewenangan menjadi perdebatan panjang antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten berujung pada peluang meraih dana dan atau aset yang di.serahkan atau didapatkan dari kewenangan atau penanganan suatu urusan. Dengan demikian, permasalahan atau konflik kewenangan yang meruncing sebenarnya bukan semata-mata karena soal pemilahan kewenangan yang belum jelas tetapi lebih disebabkan karena perebutan aset atau dana yang dapat Research Centre in Administration for Development, Windhoek, Namibia. Diambil dari htq>://www.cafrad.org
60
diraih. Dalam focus group discussion masalah kewenangan, pengelolaan hutan diakui masing-masing pemerintah daerah eli DIY akan mempertahankan argumennya untuk mengelola, sebab ada dana besar dari pusat untuk mengelolanya, misal program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) yang memberikan dana yang besar bagi daerah6 • Perbedaan persepsi dan subyektivitas merupakan sisi lain dalam dinamika dalam menilai suatu kewenangan. Perbedaan persepsi dan subyektivitas ini menyebabkan penataan kewenangan/urusan memakan waktu yang panjang dan pada akhirnya deadlock. Namun sebenarnya kemacetan atau kebuntuan tersebut hanya merupakan persepsi, bukan suatu karakteristik permasalahan yang bersifat kaku, sehingga aparatur pemerintah daerah dapat memandang secara berlainan. Hal ini seperti ditegaskan Burges bahwa persepsi bersifat penting karena mempengaruhi tindakan7 • Tindakan biasanya diwujudkan dengan
mempertahankan
pendapat
atau
penolakan
terhadap
suatu
kewenangan/urusan dan apabila tidak dikelola secara baik, pada akhir masing-masing pihak dapat bersifat kaku dan emosional. "Persepsi praktek-praktek pemerintahan masih menganut function follow money (fungsi mengikuti uang), dan bukan money follow function (uang mengikuti fungsi). Demikian pula, praktek adanya Parkinson s Law birokrat kalau punya uang atau kewenangan yang gede lebih senang, karena lebih gagah dan juga memunculkan peluang adanya FGD tanggal 7 Oktober 2004 di Hotel Matahari Yogyakarta. Heidi Burges, Guy M.Burgess, "Meaning of Intractability". Diambil dari http://www.intractable conflict.org/m /meaning intractability.jsp
6
7
61
praktek-praktek seperti korupsi dan sebagainya. Sedangkan pada sisi peraturan pun diambil mana yang menguntungkan, sehingga pembahasan kewenangan menjadi macet" (TAR, Provinsi, 30 November 2004).
Jadi jelas, bila suatu kewenangan/urusan mendatangkan keuntungan atau pemasukan bagi suatu pemerintah daerah akan cenderung ditarik untuk menjadi kewenangan/urusannya. Lain halnya apabila suatu urusan hanya membelanjakan anggaran saja akan cenderung ditolak atau dilepaskan, misalnya penanganan anak jalanan, gelandangan/pengemis atau pengurusan panti-panti sosial. Dalam suatu wawancara Gubemur DIY memberikan tahapan dalam pembicaraan masalah kewenangan, yaitu perlunya kesamaan visi dalam penataan kewenangan, karena masing-masing kabupaten/k.ota maupun provinsi memiliki subyektivitas dalam menilai suatu kewenangan. Apabila visi ini dapat dibangun bersama, maka pembagian kewenangan dapat diatur
dengan baik tanpa menimbulkan konflik yang berkepanjangan8 • Melalui visi kuat dan disepakatai bersama akan mampu mendorong dan memotivasi adanya nilai-nilai positif, yaitu adanya sasaran yang jelas, komunikasi yang akurat dan hubungan efektif dalam proses penataan kewenangan. Dalam paparan Workshop Implementasi Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten
8
Wawancara Kedaulatan Rakyat dengan Gubemur DIY dimuat pada tanggal 6 Desember 2000.
62
tanggal 14 Juli 2004, Asisten Sekda Bidang Pemerintahan Kabupaten Sleman menyampaikan sebagai berikut. "Banyak sekali permasalahan dalam implementasi kewenangan-seperti yang telah saya sampaikan tadi- yang perlu diatasi bersama dengan Pemerintah Provinsi. Kita harapkan dengan adanya hubungan yang sinergis antara Sleman dengan Provinsi ak.an tercapai pelaksanaan kewenangan yang efektif, sehingga kita dapat memberikan pelayanan publik yang produktif, efektif dan efisien9". Hubungan antar jenjang pemerintahan sebagai dasar atau kerangka dalam upaya penataan kewenangan merupakan suatu proses interkoneksi dan interaksi yang terus-menerus.
Jadi intergovernmental relations tidak
dipandang sebagai akhir dalam intergovernmental relations itu sendiri tetapi dinilai sebagai alat atau cara untuk mencapai akhir, dalam hal ini penataan kewenangan untuk tujuan-tujuan yang lebih mendasar, yaitu pemberdayaan, regulasi, dan pelayanan publik yang optimal dalam situasi perubahan harapan masyarakat yang semakin terdidik dan tuntutan yang semakin meningkat.
B. Interdependensi antar Pemerintah Daerah Tarik-menarik atau pennasalahan implementasi kewenangan/urusan yang terjadi antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Sleman justru menunjukkan adanya interdependesi, saling terkait dan tergantung
sec~ra
implikatif atas fungsi pelayanan yang dilakukan pemerintah daerah. Misalnya 9 Paparan yang disampaikan Pemda Sleman oleh Asisten Bidang Pemerintahan p. . Workshop Implementasi Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten!Kota, Gedung Radyo Suyoso, Kompleks Kepatihan Danurejan Yogyakarta, 14 Juli 2004. Pada workshop ini masing-masing Pemerintah Kabupaten, Kota maupun Provinsi memberikan paparannya.
63
permasalahan pemeliharaan rutin tahunan Selokan Mataram menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi menimbulkan permasalahan, pertama pengeringan selokan selama satu bulan memberikan dampak kerugian bagi masyarakat Sleman karena tidak bisa mengairi lahan pertaniannya dan krisis air bersih. Kedua, pemeliharaan itu sendiri yang hanya menyediakan anggaran yang terlalu kecil dari nilai selokan itu sendiri. Dalam pertemuan atas kunjungan anggota DPRD Provinsi DIY pada hari Selasa, tanggal28 Desember 2004 eli Aula Lantai Til Pemerintah Kabupaten Sleman, Bupati Sleman menjelaskan permasalahan pemeliharaan Selokan Mataram dan Vanderwicjk lebih terkait dengan persoalan teknis. "Pembuatan Sungai Ciliwung saja dilakukan dengan tidak menghentikan aliran karena memang tidak bisa dihentikan, namun ternyata bisa juga membuat talud tanpa menghentikan aliran air. Kenapa selokan mataram saja tidak bisa. Anggaran maintenance Selokan Mataram terlalu kecil, hanya sekitar Rp.700 juta. Padahal perkiraan nilai Selokan Matararn sekitar 3 triliun ditambah saluran Van der Wick sekitar 3 triliun. Jika dihitung 1% saja seharusnya anggaran perneliharaan Selokan Matararn sebesar 30 rnilyar. Namun kenyataannya hanya Rp.700 juta. Oleh karenanya jika tidak bisa rnengendalikan akan terjadi kerusakankerusakan yang sangat fatal ... bahkan selokan mataram ak.an pecah lagi. Kalan Selokan Mataram sudah pecah pengorbanannya menjadi sangat luar biasa".
Pengeringan
Selok.an
Mataram
dan
Vanderwicjk
tahun
2004
dilaksanakan pada tanggal 1 s.d 30 November dan penetapan bulan ini berdasarkan rnasukan dari Sleman dan telah rnelalui sosialisasi terlebih dahulu
64
serta memberikan surat pemberitahuan kepada Pemerintah Kabupaten Sleman, Kota dan Bantul. W alaupun November sudah masuk musim penghujan, namun kenyataannya tetap juga menimbulkan krisis air bersih di sepanjang selokan. Sedangkan pada tahun sebelumnya dilaksanakan tanggal 10 Juli s.d. 10 Agustus 2003 dan menimbulkan masalah karena dilaksanakan pada musim kemarau, padahal petani pada musim kemarau biasanya mengalami kesulitan pengairan untuk pertanian, apalagi ketika aliran air selokan dihentikan. Pada satu sisi pemeliharan dan perbaikan sangat diperlukan, namun teknis penghentian aliran/pengeringan menjadi masalah utama.
Tujuan pengeringan dan
pemeliharaan, pertama untuk menjaga debit air (idealnya 25m3/detik, September 2004 debit air hanya 15m3 /detik) supaya ada ketersediaan air terhadap pertanian seluas 36.000 hektar, kedua penggelontoran saluran air, dan
ketiga memutus siklus hama dan menjaga biota sungai. Kewenangan pemeliharaan berada pada Pemerintah Provinsi, karena bersifat lintas Kabupaten/Kota (Kabupaten Sleman, Kota dan Bantul), namun dampak atau efek yang dirasakan merugikan bagi masyarakat petani di Sleman. Penataan kawasan Selokan Mataram dengan penggusuran PKL di sepanjang Selokan Mataram dari daerah Pogung hingga Babarsari telah sosial.
menimbulkan
gejolak
kewenangan
K.abupaten,
Penataan
sehingga
kawasan
untuk
tersebut
penataan
merupakan
kawasan
dan
65
perbaikan/perluasan sarana jalan, Pemkab Sleman berwenang menertibkan kawasan dan penggunaan lahan di sepanjang selokan oleh para PKL yang tidak memiliki izin. PKL melakukan aksi demo dan mengadukan permasalahan tersebut kepada Gubemur DIY. Gubemur dalam menanggapi aksi demo para PKL, meminta Pemerintah Kabupaten Sleman menunda penggusuran, hingga terjadi kesepakatan dengan para pedagang terlebih dahulu. Namun rupanya penggusuran tetap dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sleman bersama jajaran aparat kepolisian dengan menggunakan alat-alat berat10• Untuk menghindari dampak sosial yang meluas,
maka
Pemerintah Sleman
merencanakan relokasi dan Pemerintah Provinsi berencana menganggarkan lewat APBD untuk membantu dana relokasi tersebut. Permasalahan tersebut dapat menjelaskan implementasi kewenangan atau penanganan suatu urusan,
walaupun
memiliki
dasar
peraturan dan
pengakuannya pada lokus pemerintah daerah tertentu, dalam prakteknya memungkinkan mempunyai dampak pada ketugasan atau fungsi pemerintah daerah lainnya. Adanya sating keterkaitan dan ketergantungan sebagai suatu karakter yang perlu disadari dalam menjalankan kewenangan/urusan, sehingga dialog antar pemerintah daerah perlu dijalin secara baik dan kontinyu. Sebagaimana ditekankan Watts bahwa setiap jenjang pemerintah ada Berita yang dimuat dalam surat kabar Kedaulatan Rakyat, Bemas dan Pikiran Rakyat tanggal 12-13 Januari 2004. 10
66
interdependensi dan kebutuhan hubungan sena kerja sama efektif, karena pada kenyataannya tidak mungkin dipisahkan secara
yurisdiksi, terjadi
tumpang tindih dan ada interpenetrasi 11 • Hal ini diklarifikasi oleh responden sebagai berikut. "Memang pada kenyataannya suatu kewenangan/urusan tidak begitu saja 'dikuasai' sepenuhnya oleh suatu pemerintah daerah. Ada kemungkinan efek atau dampak dari pelaksanaan kewenangan/urusan bagi pemerintah daerah lain. Jadi sebetulnya ada keterkaitan, tidak bisa hanya memikirkan dirinya sendiri tanpa memikirkan dampaknya pada yang lain. Kasus PKL Selokan Mataram yang mengadu kepada Gubemur, ya pada akhirnya Pemerintah Provinsi juga ikut cawe-cawe (campur tangan)". (EK, Provinsi, 12 Oktober 2004) Dalam APBD 2005 Provinsi DIY direncanakan anggaran sebesar tiga milyar rupiah untuk relokasi PKL yang menurut rencana lokasinya berada di dusun Manggung dan Condong Catur untuk menampung para PKL dari wilayah Pogung hingga Babarsari. Kewenangan/urusan mempunyai sifat interpenetrasi, adanya sifat interpenetrasi ini menimbulkan tindakan intervensi antara pemerintah daerah satu terhadap pemerintah daerah lainnya. Pengeringan selokan menjadi masalah krusial bagi Sleman, karena manfaat terbesar dari selokan dirasakan oleh masyarakat Sleman dan kemungkinan kalkulasi biaya perbaikan dengan kerugian sebagai akibat pengeringan tidak sebanding, misal pada pangeringan 11 Ronald L. Watts, "Intergovernmental Relations", The Department of Constitutional Development and Provincial Affairs and National Democratic Institute for International Affairs, Canada, 1999, p. 7.
67
pada bulan Juli 2003 ditaksir kerugian petani sebesar 20 milyar rupiah 12 • Hal ini menjadi perhatian besar bagi Pemerintah Kabupaten Sleman, sehingga mendesak Pemerintah Provinsi untuk menganggarkan lebih besar untuk pemeliharaannya dan mengurangi masa waktu pengeringannya. Pemerintah Provinsi juga melakukan interpenetrasi sehubungan dengan upaya panataan kawasan dan pelebaran jalan yang merupakan kewenangan Sleman supaya tidak menimbulkan
gejolak sosial dan permasalahan baru,
sehingga
Pemerintah Provinsi menganggarkan bantuan 3 milyar rupiah untuk relokasi. Pemerintah Provinsi tidak bisa mengabaikan Pemerintah Sleman, begitu pula Pemerintah Sleman membutuhkan peran dari Pemerintah Provinsi. Selokan Mataram maupun vanderwicjk pada satu sisi pemeliharaan karena lintas kabupaten/kota
menjadi urusan provinsi dan
sisi penataan menjadi
kewenangan Sleman. Hal ini membuktikan tiap jenjang dapat melakukan tindakan intervensi, provinsi dapat melakukan intervensi terhadap Kabupaten Sleman, demikian sebaliknya Sleman dapat melakukan intervensi atas implikasi pelaksanaan kewenangan/urusan.
Namun hal tersebut tetap
diletakkan dalam kerangka menghormati wewenang dan fungsi serta institusi antar
jenjang
pemerintah.
Interpenetrasi
digambarkan secara sederhana di bawah ini.
12
Kompas 17 Mei 2004.
kewenangan/urusan
dapat
68
Gambarl Interpenetrasi Pelaksanaan Kewenangan/Urosan A dan B merupakan titik perpotongan, titik dari batas-batas fungsional pelaksanaan kewenangan/urusan. Hal ini dijelaskan sebagai berikut. -
A merupakan penetrasi kewenangan/pemerintah Pemerintah Sleman terhadap pelaksanaan kewenangan/urusan yang dilakukan pemerintah provinsi atau merupakan resistensi atas pelaksanaan kewenangan/urusan Pemerintah Provinsi.
-
B merupakan penetrasi kewenangan/pemerintah Pemerintah Provinsi terhadap pelaksanaan kewenangan/urusan yang dilakukan Pemerintah Sleman atau merupakan resistensi atas pelaksanaan kewenangan/urusan Pemerintah Kabupaten Sleman.
Sedangkan adanya area/bidang perpotongan dua lingkaran di tengah tersebut menjelaskan area dengan tidak ada kewenangan/urusan yang benar-benar penuh terpisah secara yurisdiksi atau kewilayahan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Sleman.
69
Networks (jejaring/jaringan) antar Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Sleman merupakan jawaban adanya interdependensi tersebut, karena adanya sating ketergantungan sumber daya (finansial, aparatur dan lainnya). Networks pada sebagian aparatur antar pemda telah dapat dibangun dengan baik. Lawrence dan Lorsch menyatakan "organisasi dijalankan dan akan selalu dijalankan oleh orang-orang. Organisasi diisi dengan tujuan dan maksud semata-mata lewat imajinasi dan kehendak orang-orangnya ..."13 Hal ini dibuktikan dengan setiap rapat koordinasi yang selalu dihadiri oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, demikian juga adanya rekomendasi Tim MIOD 2003 dan Pedoman SPM yang merupakan hasil kerja bersama antar aparatur antar pemerintah daerah. Kondisi ini sangat baik dalam menghilangkan batasbatas formal dan perbedaan kepentingan antar pemerintah daerah yang dapat menjadi bias dan mengurangi integritas penyelenggaraan pemerintahan. ''Rakor yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi DIY melalui Biro Tapem dapat dikatakan sering dan pihak Kabupaten/Kota dapat dikatakan hampir selalu menghadiri undangan, kalaupun tidak mereka biasanya konfirmasi dulu. Secara personal atau katakankah itu dianggap jaringan personal sudah baik, jadi secara orang-perorang telah tahu dan saling membantu. Sehingga apabila ditarik pada tingk.atan lebih tinggi yaa hal seperti itu membantu ketugasan kita. Yaa memang sebenamya itu juga kembali pada diri kita masing-masing, sikap kita atau pribadi masing-masing. Penyusunan SPM yang merupakan kegiatan provinsi kita sebagai orang provinsi salut atas apresiasi kabupaten, menguras energi dan waktu yang panjang, kita sangat menghargai kerjasama personal dari ternan-ternan dari pemerintah kabupaten/kota. Ya... walaupun Marshall Van Alstyne, 'The State Of Network Organization: A Survey In Three Frameworks". Diambil dari http://www.ccs.mit.edu/papers/CCSWP192/CCSWP192.html 13
70
sebenarnya kita ngewangi (membantu) kabupaten dan tindak lanjutinya terserah kabupaten/kota." (EK, Provinsi, 1 November 2004) Namun demikian, pada pelaksana teknis lainnya, rupanya belum dapat dibangun dengan baik, yaitu antar dinas antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Sleman sebagaimana informasi yang didapat dari responden Sleman di bawah ini. "Permasalahan utama memang komunikasi, apakah selama ini dinas melakukan komunikasi, saya melihat -dan banyak teman-teman dari dinas ngomong (berbicara) ke saya- mengeluhkan tidak ada komunikasi/koordinasi antar instansi provinsi dan kabupaten. Kabupaten sering tidak tahu dengan kegiatan provinsi, untung selama ini tidak terjadi dumpyuk (berbenturan) pelaksanaan kegiatan di lapangan. Masyarakat tidak tahu-menahu untuk rnasalah ini, tapi sebagai penyelenggara pelayanan atau tugas-tugas pemerintahan sebaiknya ya ada komunikasi atau koordinasi. Seringkali kegiatan pihak Pemkab tidak tahu"(Sus, Sleman, 10 Desember 2004) Hal ini juga dikemukakan dalam penemuan antara 16 orang anggota DPRD Provinsi DIY asal daerah pemilihan Kabupaten Sleman yang dipirnpin oleh H. Sukamto dengan Bupati Sleman pada 28 Desember 2004 di Aula Lantai III Pemkab Slernan. Bupati Sleman merasa tidak nyarnan dengan adanya keluhan masyarakat kelompok temak tentang bantuan kambing yang diterima. Masyarakat diberikan kambing, namun ternyata cempe (karnbing anakan). Masyarakat mengira bantuan tersebut dari Pemerintah Sleman, namun sebenamya merupakan bantuan penguatan modal dari Provinsi DIY (Dinas Sosial) dan pembagiannya pihak kabupaten juga tidak diberi tahu, bahkan
71
pihak kecamatan yang bersangkutan juga tidak pemah diberikan informasi atau diberi tembusan surat adanya bantuan kambing tersebut. Lembaga
teknis,
seperti dinas-dinas
tersebut
akan memberikan
permasalahan serius bila tidak direspon dengan baik dengan adanya koordinasi antar dinas antar pemerintah daerah. Sebab lembaga teknis daerah mempunyai sasaran yang lebih cenderung langsung berhadapan dengan masyarakat, sehingga kekhawatiran tanggapan negatif dan komplain dari masyarakat atas suatu program!kegiatan suatu pemda yang tumpang tindih dapat dihindarkan. Permasalahan di atas menunjukkan pentingnya networks sebagai kebutuhan
tidak
hanya
karena
pelaksanaan
program-program
antar
pemerintah yang membuat proporsi yang cukup besar dalam aktivitas pemerintah secara keseluruhan, tetapi juga karena rangkaian interaksi kolektif yang sulit dipisahkan.
72
C. Kesetaraan!Kesejajaran antar Pemerintah Daerah
Kesetaraan secara eksplisit diakui pada Pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, yakni adanya sating tergantung, terkait, dan sinergi dalam pelaksanaan hubungan kewenangan. Kesetaraan ini memberikan keleluasaan dalam memberi dan menerima, keterbukaan dan peluang yang sama dalam penataan kewenangan/urusan. "Apabila provinsi mengundang kabupaten/kota bukan dalam kapasitas kita seperti zaman Orba dulu. Kita sebatas sesuai dengan aturan provinsi untuk memberikan fasilitasi. Dan dengan peran itu masing-masing kabupaten/ kota d.apat bertemu dan bertukar informasi. Kita sendiri dapat menjaring masukan bagi pengembangan otonomi di DIY. Kita hila diundang kabupaten juga berusaha untuk selalu datang" (EK, Provinsi, 14 Oktober 2004). Penyelenggaraan pemerintahan telah berubah tidak seperti zaman Orde Baru, jenjang pemerintah yang lebih tinggi dapat mendikte pada satuan pemerintah yang lebih rendah. Penggunaan istilah untuk kegiatan pun hatihati, istilah seperti pembinaan sangat dihindari sebab mengingatkan pada polapola Orde Baru. Dalam Seminar Hasil Kajian Pengembangan Otonomi Daerah 30 November 2004 yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi,
istilah
'pengembangan' pada kajian dipertanyakan oleh peserta seminar dan menyarankan lebih baik diganti dengan istilah 'penataan'. Namun komentar tersebut ditanggapi dengan argumentasi kalau istilah 'penataan' seolah-olah Provinsi mendikte dan mengesankan pola Orba. Bila dicermati, kata penataan
73
memiliki makna positif, dengan pengertian penataan kewenangan merupakan proses dinamis dan interaksi yang melibatkan semua pihak yang terlibat. Pada rapat intern Biro Tata Pemerintahan pada 28 Januari 2005, mengenai usulan rencana kegiatan 2005 terkait dengan adanya usulan kegiatan penelitian
indikator
kinerja
penyelenggaraan
otonomi
daerah
provinsi/kabupaten/kota, tampak sekali ada kehati-hatian dalam brainstrooming usulan kegiatan tersebut. Hal ini menjadi sensitif, walaupun
terdapat peraturan sebagai dasar kegiatannya terlebih dengan penguatan provinsi berdasarkan Undang-undang 32 Tahun 2004, namun dalam rapat tersebut juga diungkapkan perlunya ada sosialiasi dan kesepemahaman atas rencana kegiatan apabila kegiatan penelitian ini disetujui. Kegiatan tersebut dipandang juga akan memberikan implikasi jauh ke depan, yaitu kemungkinan adanya
campur
tangan
langsung
Pemerintah
Provinsi
terhadap
Kabupaten!Kota hila tersusun suatu indikator kinerja penyelenggaraan otonomi daerah. Kesetaraan atau kesejajaran dapat memberikan kemudahan dalam pelaksanaan kegiatan atau program dari masing-masing pemerintah daerah, sebab akan timbul sating menghargai dan tidak ada yang merasa ditinggalkan atau diabaikan. Dalam serangkaian kegiatan berkenaan dengan permasalahan kewenangan/urusan sejak tahun anggaran 2003 sampai dengan 2004, baik
74
melalui berbagai rakor, workshop, fasilitasi, seminar maupun kajian terdapat masukan atau saran yang perlu dibangun dan dikembangkan, yaitu komunikasi, kerjasama, kemitraan antara para pelaksana kegiatan antara pemerintah provinsi dengan jajaran kabupaten sejak proses perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan, sehingga apa hila ada permasalahan dapat diselesaikan secara bersama dan jelas pertanggungjawabannya, sehingga terhindar sikap saling menyalahkan atau menang-kalah.
Kotak1
Duduk Bersama ~duk bersama, kata sederhana bermakna bertemu membahas dan menyelesaikan masalah. Istilah ini sering kali muncul dalam setiap pertemuan antar pemerintah daerah, misalnya rakor, workshop, atau diskusi kelompok. Istilah ini muncul secara tidak disadari ketika diskusi menyiapkan bahan kajian implementasi Otda oleh Tim MIOD yang pada akhimya pegawai provinsi dan kabupaten/kota, akrab akan istilah ini, sehingga istilah ini seringkali dipakai dalam kesimpulan pertemuan, seakan mafhum sembari kadang tersenyum ketika mendengar •duduk bersama'. }stilah tersebut mungkin kurang lazim, sebab bemuansa sosio-kultural Jawa, berasal dari istilah 'lungguh bareng' yang bermakna sama dengan 'duduk bersama'. Lungguh bareng tersirat nilai bahwa kedudukannya sama, sifatnya terbuka dalam membicarakan suatu masalah dengan diliputi suasana damai, sehingga hasilnya dapat diterima semua pihak.
~anya saja staf pelaksana yang sudah sering 'duduk bersama' dan telah memberikan rekomendasi menunggu para kepala daerah duduk bersama, sehingga segera jelas dan tegas berbagai permasalahan kewenangan/urusan.
Penataan kewenangan apabila dipandang sebagai konflik, maka kunci untuk mengubah konflik adalah dengan membangun hubungan kuat yang setara/adil,
di
mana
dulunya
hubungan
yang
terjadi
diliputi
oleh
75
ketidakpercayaan dan ketakutan. Hal ini membutuhkan adanya suatu mekanisme atau prosedur yang disetujui bersama, melalui pola-pola yang memungkinkan semua pihak dapat terlibat secara penuh dan mempunyai kesempatan atau peluang yang sama dalam memperjuangkan kepentingan atas kewenangan yang clipermasalahkan. Dengan berdasarkan pendapat Kriesberg yang mengemukakan terdapat 3 cara yang dapat membangun suatu dasar penyelesaian permasalahan bagi hubungan-hubungan yang tanpa gejolak, hubungan yang setara sebagai berikut 14 • a. Sifat penyelesaian harus sesuai dengan konclisi konflik yang terakhir. Dalam konteks demikian penyelesaian penataan kewenangan/urusan harus sesuai dengan kajian terakhir. Rekomendasi Tim MIOD 2003 saja menjacli tidak relevan lagi mengingat hingga saat ini belum ada political will atau kebijakan yang cliambil. Keberadaan Tim MIOD memang clibutuhkan, namun karena pendanaan kerja dari Tim MIOD clianggarkan melalui Pemerintah Provinsi, maka sempat juga menimbulkan kekhawatiran atau kecurigaan. Belum ada keputusan yang diambil memberikan penilaian negatif atas rekomendasi penataan kewenangan atau sikap pasrah pada apapun keputusan yang akan diambil. Kondisi riil yang terjadi memang semua mengharapkan Gubemur segera mengambil keputusan, padahal
14
Kriesberg dalam Eric Brahm, "Peacebuilding and Reconciliation Stage". Diambil dari http://www.intractableconflict.org/m/ peacebuilding.jsp.
76
rekomendasi Tim MIOD tersebut sebenarnya membutuhkan forum pertemuan antara Gubernur dan Bupati/W"alikota. Rekomendasi tersebut memang tidak mengikat dan lebih merupakan bahan masukan dalam menegosiasikan kewenangan/urusan. "Kelihatannya dari Kabupaten Sleman tidak menjadi masalah mengenai tarik ulur kewenangan. Sebab andaipun misalnya hasil MIOD tersebut ditindaklanjuti dengan suatu SK Gubernur pada umumnya tidaklah masalah. Lha wong itu secara sepihak diputuskan saja kecenderungan Kabupaten/Kota akan menerima. Namun yang perlu diperhatikan adalah masalah bagaimana implementasi dari keputusan tersebut" (Sus, Sleman, 7 Desember 2004). b. Adanya pemakaian suatu cara atau alat untuk merekonsiliasi kedua belah pihak. Cara ini bisa ditempuh dengan adanya forum pertemuan atau mempersilahkan hadirnya pihak ketiga untuk memberikan asistensi. Cara rekonsiliasi ini diupayakan dapat menjaga adanya kapasitas bargaining dan peluang yang sama dalam penataan kewenangan antar pemerintah daerah sehingga tidak ada kekhawatiran sebagai berikut. "Akses provinsi dengan Undang-undang 32 lebih kuat dibanding 22, maka ini akan menjadikan kemampuan bargaining provinsi semakin lebih kuat dibanding kabupaten. Artinya bargaining position/power lebih kuat, maka ilmu ngeyel akan lebih menonjol. Oleh karena itu, dari pemikiran saya harus ada fungsi-fungsi arbitrase. Fungsi yang menjembatani perbedaan kepentingan, karena ini yang berkepentingan antara provinsi dengan kabupaten kalau ini hanya di-cu/-kan tidak ada yang meng-arbitrase ya ...buntu karena saya punya pengalaman ngurus P3D dua tahun nggak selesai-selesai karena provinsi menganggap bener dengan regulasi-regulasi yang ada juga perspektif yang disampaikan thirik-thirik, kabupaten juga punya" (TAR, Provinsi, 6 Desember 2004).
77
c. Intervensi konstruktif yang bermanfaat untuk mengarahkan para pihak ke arah yang lebih baik. Hal ini dilakukan oleh pihak ketiga yang telah disepakati untuk membantu ataupun memonitoring persetujuan yang telah dibuat bersama tersebut.
D. Kompleksitas Hubungan Kompleksitas hubungan sebagaimana dikemukakan Wright terjadi dikarenakan dalam sistem intergovemmental relations terjadi interaksi, interkoneksi dan tumpang tindih (overlapping) antar jenjang pemerintahan15 • Demikian pula hal ini terjadi antara Pemerintah Provinsi dan Sleman, sebab hubungan yang terjadi bukanlah hubungan tunggal saja, yaitu bukan hanya antara Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten. Seperti halnya pemeliharaan Selokan Mataram seperti dikemukan di atas, tidak hanya menyangkut hubungan Provinsi dengan Sleman, namun juga terkait dengan Pemerintah Kota dan Pemerintah Bantul. Demikian pula secara administratif wilayah Sleman berbatasan langsung dengan Kota Yogyakana dan Kabupaten Bantul yang realitanya banyak juga permasalahan perbatasan, misal mengenai administrasi penduduk, penarikan pajak (misal Pajak Bumi dan Bangunan) atau ketimpangan pembangunan antar daerah. Sebagaimana dikemukakan mengenai permasalahan PBB diungkapkan "masalah PBB Panti Rapih, secara riil sebenarnya Panti Rapih tersebut masuk sebagian Sleman dan 15
Wright, Op.Cit., p.2.
78
sebagian Yogyakana, namun pada kenyataannya PBB dibayarkan semuanya ke Kota" (Sus, Sleman, 10 Desember 2004). PBB tersebut sebenamya dapat memberikan sumber pendapatan bagi Pemerintah Kabupaten, namun demikian bisa saja Pemerintah Desa Catur Tunggal mempertanyakan penarikan PBB Panti Rapih tersebut sebab Pemerintah Desa juga memiliki hak
sharing atas pemungutan PBB tersebut. Permasalahan kewenangan/urusan lainnya, misalnya pengelolaan atau konservasi air, sebab bagaimanapun air merupakan masalah lingkungan sebagai sumber daya lama yang tidak bisa dibatasi dengan ruang atau yurisdiksi kabupaten/kota. Oleh karena itu, urusan penanganan pengelolaan atau konservasi air antar pemerintah daerah harus ada kerja sama dan hal ini didukung dengan regulasi dari pemerintah ·Provinsi. W alaupun secara wilayah administratif, sumber air berada di Sleman namun apabila pengelolaan tidak baik akan berdampak pada pasokan air bersih di Provinsi DIY. Konservasi air
di Sleman juga terkait dengan kewenangan atau penanganan urusan konservasi atau pengelolaan hutan yang ada di Kabupaten Sleman. Pengelolaan hutan masih menjadi tarik ulur antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Sleman. Berdasarkan PP. 25 Tahun 2002 merupakan kewenangan Provinsi, namun Kepmendagri 130-67 Tahun 2002 mengakui kewenangan Kabupaten atas pengelolaan hutan. Namun dengan
79
Surat Menteri Kehutanan No. 1717/Menhut-11/01 tanggal 24 Maret 2003 pengakuan atas kewenangan Kabupaten berdasarkan Kepmendagri dianulir atau tidak berlaku lagi. Dengan demikian berdasarkan peraturan yang berlaku pengelolaan hutan di Sleman menjadi kewenangan provinsi.
Dalam
rekomendasai dari Tim MIOD 2003 disebutkan "Dalam pengelolaan hutan tersebut dilakukan bersama dan atau shanng dengan kabupaten!kota sesuai dengan tugas yang dibebankan menurut perundangan yang berlaku". Dalam kenyataan sekarang pengelolaan hutan, baik Provinsi dan Kabupaten Sleman masih melaksanakan kewenangan hutan, sehingga mengingat situasi tersebut Pemerintah Sleman lebih menekankan pada pemeliharaan hutan dalam bentuk pembinaan masyarakat penyanggga hutan. Permasalahan tumpang tindih kewenangan/urusan dalam pelayanan benih sebar kepada masyarakat. Pemerintah Kabupaten mengelola dan melayani penjualan benih sebar kepada masyarakat dan Pemerintah Provinsi melalui Balai Benih Induk Ikan Sentral (BBIS) juga melakukan pelayanan benih sebar. Padahal BBIS sesuai dengan ketugasan utamanya adalah menghasilkan induk pokok dan juga sebagai konservasi plasma nutfah. Mengenai hal ini salah seorang pejabat eselon III di Biro Tata Pemerintahan mengemukakan sebagai berikut. "Beberapa waktu lalu saya ikut rapat yang dipimpin Bapak Gubernur, arahan beliau bahwa otonomi adalah yang penting mana yang lebih
80
bermanfaat bagi masyarakat. Mengenai benih sebar, lha memang Cangkringan itu melakukan pelayanan benih sebar, karena memang masyarakat di situ membutuhkan dan secara produksi pun cu.kup besar. Pelayanan tersebut bisa saja diserahkan namun BBI sebagai aset tidak harus diserahkan pula, sebab Pemerintah Provinsi juga berkepentingan da1am pengembangan rekayasa benih ikan apalagi adanya program fogja Seed Center" (EH, Provinsi, 10 Desember 2004). Kompleksitas
dengan
adanya
interaksi
dan
interkoneksi
dapat
digambarkan sebagaimana di bawah ini.
Gambar2 Tingbt Kerumitan Hubungan antara Provinsi-Kabupaten/Kota di Pro-vinsi DIY Dari gambar terlihat jelas interaksi dan interkoneksi yang dapat terjadi serta kerumitan tingkat hubungan/k.oordinasi atau kohesi dalam mensinergikan pencapaian tujuan utama penyelenggaraan pemerintahan dalam pelayanan publik (core competence to public services), pemberdayaan dan pembangunan. Pola yang terjadi akan semakin rumit dan tidak bisa terlihat jelas apabila dalam
81
lingkup regional (provinsi) terdapat puluhan kabupaten/kota. Dengan demikian, kompleksitas di DIY masih dapat diupayakan untuk dikelola secara bersama, walaupun rumit. Jadi sebenamya tidak ada suatu daerah pun atau level pemerintah yang sanggup untuk melakukan otonomi secara sendirian, persinggungan, keterkaitan ataupun bahkan dampaknya akan mempengaru.hi daerah otonom lainnya.
Gambar3 Tumpang Tindih Kewenangan/Umsan
Pada Gambar 6 tampak ada area/bidang perpotongan antara Pemerintah Kabupaten Sleman dan Pemerintah Provinsi DIY, yaitu area C. Area C merupakan area tumpang tindih peJaksanaan kewenangan/urusan sebagaimana diungkapkan data di atas. A dan B merupakan titik dari batas fungsional pelaksanaan kewenangan/u.rusan yang dapat diintepretasikan di bawah ini.
82
A menunjukkan Pemetintah Sleman lebih dominan dalam pelaksanaan kewenangan/urusan. Misalnya dalam hal pelayanan benih sebar lebih dominan atau lokus kewenangannya pada Pemetintah Kabupaten Sleman B menunjukkan Pemetintah Provinsi lebih dominan dalam pelaksanaan kewenangan/urusan. Misal pengelolaan hutan berdasarkan rekomendasi Tim MIOD menjadi kewenangail Provinsi. Area C akan tetap menjadi urusan yang tumpang tindih -yaitu suatu kewenangan/urusan yang dalam prakteknya dilaksanakan oleh dua atau lebih pemetintah daerah di DIY- apabila tidak dicatikan solusi bersama. Paling tidak perlu dipetakan lokus suatu urusan, sehingga akan jelas sebagaimana titik A atau B (mana yang lebih dominan/kecenderungan lokusnya). Namun tumpang tindih atau interaksi pelaksanaan kewenangan akan menjadi semakin rumit ketika ada pemetintah daerah lain yang mempunyai kepentingan atau kebutuhan atas suatu kewenangan/urusan sebagaimana gambar di atas· pada sebelah kanan, yaitu munculnya area D dan E. Area C menjadi pusat area perpotongan interaksi dan interkoneksi antara banyak unit pemerintah daerah, di samping area D dan E. Contoh hal ini, adalah urusan pengelolaan dan pemeliharaan sarana Instalasi Pengolahan Limbah di Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul. Pada realitanya merupakan rilasalah limbah dati masing-masing kabupaten/kota, namun dati konteks
83
sifatnya lintas kabupaten/k.ota merupakan kewenangan pemerintah provinsi. Hal tersebut bukan hanya dalam pengelolaan limbah, namun juga pennasalahan sampah, transportasi dan ketersediaan air. Akhimya area C dalam konteks ini direspon dengan pembentukan Sekretariat Bersama Kartamantul (Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul). Sedangkan Pemerintah Provinsi dilibatkan dalam hal pemeliharaan dan koordinasi. Area D danE merupakan interaksi antara Pemerintah Provinsi DIY dan Sleman dengan melibatkan satu pemerintah daerah lain, artinya terdapat 3 pemerintah daerah yang interaksi dan interkoneksi. Sebagai contoh, terkait dengan kawasan perkotaan atau pertumbuhan daerah urban yang selama ini memandang kawasan di sekitar jalan lingkar utara sebagai pertumbuhan/ perkembangan kawasan perkotaan yang relatif cepat. Sleman mempunyai kepentingan
sendiri
dengan
kemajuan
wilayahnya
sebagai
akibat
perkembangan kawasan perkotaan dati Kota Yogyakarta yang merupakan yusrisdiksi Pemerintah Kota Yogyakarta. Pemerintah Provinsi berwenang terhadap pembangunan secara keseluruhan atas wilayah DIY, sehingga tidak terjadi ketimpangan antar daerah, dan tata batas antar kabupaten/kota merupakan kewenangan/urusan Pemerintah Provinsi. Perkembangan kawasan urban telah disikapi oleh Pemerintah Sleman dengan rencana pemekaran
84
Kecamatan Depok dan penataan wilayah sekitar jalan lingkar utara. Lebih lanjut mengenai perbatasan, pada kondisi lapangan Kabupaten Sleman memiliki perbatasan langsung dengan Kabupaten Kulon Progo, Kota Yogyakarta dan Kabupaten Gunung Kidul. Permasalahan perbatasan, seperti ketimpangan antar Desa perbatasan antar kabupaten juga merupakan permasalahan tersendiri bagi perkembangan atau dinamika penyelenggaraan pemerintahan desa. Dari gambar dan uraian di atas, dapat diklasifikasikan di mana terdapat area yang hanya merupakan perpotongan antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Sleman, namun ada juga perpotongan dari interaksi dan interkoneksi yang melibatkan pemerintah daerah lainnya. Untuk itu dapat dibagi 3 bentuk interaksi/interkoneksi sebagai berikut. a. Hubungan tunggal, yaitu antara Pemerintah Provinsi DIY dengan Pemerintah Sleman. b. Hubungan kelompok, yaitu hubungan antara Provinsi dengan Pemerintah Sleman dan pemerintah daerah lainnya. Dalam hubungan ini peran provinsi dapat sebagai fasilitator. c. Hubungan silang, yaitu hubungan antara Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten/Kota, Kabupaten dengan Kabupaten dan atau hubungan antara Kabupaten dengan Kota, di mana masing-masing mewakili dirinya sendiri.
85
E. Dinamika Lokus Kewenangan/Urusan Kewenangan atau urusan yang dilaksanakan oleh Pernerintah Provinsi atau Kabupaten Slernan mempunyai sisi dinamis, dalam pengenian bahwa kewenangan atau urusan rnempunyai kecenderungan atau kernungkinan tidak bersifat "diarn" atau "menetap" dalarn suatu lokus, baik itu pada Pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi atau dilakukan bersarna-sarna antara Pernerintah Provinsi dan Kabupaten!Kota. Hal ini dapat dipahami, misalnya Instalasi Pengolahan Air Limbah (IP AL) Sewon yang beroperasi sejak tahun 1992, rnerupakan instalasi pengolahan air lirnbah yang rnelayani/rnenarnpung lirnbah dari 3 daerah kota/kabupaten, yaitu Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta dan Bantul, yang pada awalnya dikelola dan didanai oleh provinsi hingga tahun 2001. Sejak Tahun 2002, biaya operasionalnya ditanggung bersarna antara Sekber (Slernan, Kota dan Bantul) sebesar 100 juta dan provinsi rnenganggarkan sebesar 450 juta, Tahun 2004 Pemerintah Provinsi sudah tidak menganggarkan lagi sehingga ketiga kabupaten/kota berkeberatan dengan pernbiayan pengelolaan IPAL tersebut. Berdasarkan hasil kerja Tim MIOD rnerekomendasikan kepada Pernerintah Kabupaten dan Pernerintah Kota untuk rnenyerahkan kernbali kewenangan pengelolaannya kepada Provinsi dan Gubemur mencabut surat Nomor 658/0640 tanggal 28 Februari 2001 tentang Penyerahan Pengelolaan IPAL
86
kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota 16 • Untuk mengatasi permasalahan tersebut dibentuk forum kerja sama antar pemerintah Kabupaten Sleman, Kota Yogyakana dan Bantul yang kemudian dikenal dengan Sekber Kanamantul (Sekretariat Bersama Yogyakarta, Sleman dan Bantul) dengan tetap adanya koordinasi dengan Pemerintah Provinsi DIY. Dalam bidang penambangan, kegiatan pengelolaan air bawah tanah (ABT) diatur melalui mekanisme perizinan dan pungutan pajak ABT. Tujuan Pemungutan Pajak ABT adalah untuk pengendalian, pengambilan dan atau
bawah
air
pemanfaatan
tanah/air
permukaan
dalam
rangka
konservasi sumberdaya air sekaligus untuk menggerakkan peran sena masyarakat
dalam
membiayai
penyelenggaraan
pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan. Implementasi pengaturan/pengelolaan ABT berdasarkan Keputusan Gubemur DIY Nomor 100 Tahun 2002 tentang Petunjuk
Pelaksanaan
Peraturan
Daerah
Provinsi
Daerah
Istimewa Yogyakana Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pajak Daerah Khusus Pajak
Pengambilan
dan
Pemanfaatan
Air
Bawah
Tanah
dan
Air
Permukaan. Kewenangan pemberian izin pengeboran dan pengambilan ABT merupakan kewenangan/urusan Sleman dan fungsi pemungutan pajak dilakukan Pemerintah Provinsi DIY. Sedangkan hasil penerimaan bersih ABT
Tim Mediasi Implementasi Otonomi Daerah, Kajian Impelemntasi Otonomi Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, 2003, hal. 22. 16
87
ditetapkan
70%
untuk
Kabupaten/Kota
dan
30%
Provinsi
dengan
memperhatikan aspek pemerataan dan potensi antar daerah. Pemerintah Sleman mengalami penurunan perolehan bagi hasil pendapatan dari ABT. Tahun 2001 pengelolaan masih berada di tangan Pemerintah Sleman ABT memberikan kontribusi pemasukan sebesar 1,17 milyar rupiah, namun ketika pemungutan tersebut menjadi wewenang Provinsi pemasukan dari bagi hasil (70%), Sleman memperoleh 687,01 juta rupiah dan menurun lagi tahun 2003 menjadi 48,37 juta rupiah. Melihat nominal tersebut terjadi penurunan tajam dalam 2 tahun. Oleh karena itu, sebagaimana dikemukakan Asisten Bidang Pemerintah Sekda Sleman Pemerintah Sleman mengharapkan adanya koordinasi intensif pada tataran operasional supaya tetap optimalnya fungsi pengaturan
dan
pengendalian
usaha
dan
tidak
penampungan
untuk
swasta/masyarakat
mengakibatkan dampak penurunan hasil pemungutan pajak ABT 17• Selanjutnya
dalam
penanganan
khususnya
gelandangan dan pengemis, dahulu Panti Sosial untuk gelandangan dan Pengemis dikelola Provinsi, namun kemudian diserahkan kepada Pemerintah Kota. Hal ini mengakibatkan Pemerintah Sleman harus memberikan kompensasi kepada Pemerintah Kota. Padahal permasalahan gelandangan dan pengemis tidak saja dialami oleh Sleman. Untuk itu Pemerintah Provinsi dapat 17 Setya Budi, "Implementasi Kewenangan Pemerintahan di Pemerintah Kabupaten Sleman dalam Konteks Hubungan dengan Pemerintah Provinsi DIY", makalah disampaikan dalam Workshop dalam rangka Pengkajian Pengembangan Otonomi Daerah, Kepatihan, 14 Juli 2004.
88
mengelola kembali Panti Sosial tersebut. Hal ini juga diungkapkan Bupati Sleman dalam pertemuan Penjaringan Aspirasi DPRD DIY di Sleman tanggal 26 Desember 2004 ,yang mengharapkan supaya kewenangan penanganan masalah kesejahteraan sosial (PMKS), seperti penanganan anak jalanan, gelandangan, wanita terlantar (PSK) dan anak terlantar memang seharusnya pada Pemerintah Provinsi DIY. Di samping itu terdapat permasalahan kewenangan/urusan sehubungan tidak jelasnya pemerintah daerah yang berwenang atau menanganinya. Misalnya izin kerja tenaga kerja asing di Kabupaten Sleman dikeluarkan oleh Provinsi,
namun
dengan
rekomendasi
Kabupaten
Sleman
padahal
pengawasannya ada di kabupaten. Kabupaten tidak merasa memiliki kewenangan dan hanya mengawasi saja, sebaliknya Pemerintah Provinsi juga merasa bahwa urusan tersebut seharusnya kabupaten yang menangani. Apabila hal ini tidak ada yang mengurusi secara intensif akan menimbulkan implikasi sosial secara tidak langsung, misalnya mengawini warga lokal, padahal tenaga kerja asing tersebut bekerja dalam suatu rentang waktu atau dengan lain menetapnya bersifat sementara.
89
Kotak2
Urusan Kowar /( owar merupakan istilah Jawa yang bermakna tidak
I
Hal lainnya masalah
:s
perbatasan antar Kabupaten/
I
Kota
ada yang mengurusi. Kowar dapat disamakan maknanya dengan wilayah abu-abu (grey area), area/wilayah yang tidak ada yang menguasai. Tapi dalam konteks ini istilah lebih tepat jika urusan abuabu artinya urusan tersebut tidak jelas atau tidak ada yang menangani. Urusan kowar atau urusan abu-abu terjadi karena sebagai berikut. 1. Tidak ada pengaturan yang dapat menjadi dasar untuk menangani urusan dimaksud, padahal dalam ~ pelaksanaan ketugasan pemerintahan harus mempunyai dasar hukum. Pengambilan resiko dengan mengurusi akan berakibat tidak bisa meraih anggaran, kemungkinan digugat ketika urusan yang ditangani bermasalah dalam Misalnya ~ lainnya. atau penanganannya kewenangan penanganan tenaga kerja asing di ~ Sleman, belum jelasnya perijinan tetap misal untuk ~ pengesahan dan penggunaan bejana uap, motor ~ ~ diesel. 2. Ketidakjelasan lokus suatu kewenangan/ urusan ~ yang dibiarkan berlarut-larut sebagai akibat tarik-~ menarik antar jenjang pemerintah berakibat adanya kevakuman penanganan suatu urusan atau hilangnya fungsi pelayanan, karena masing-masing ~ pihak mengambil jarak dan memilih jalan 'aman' ~ atau penangan urusan menjadi tidak optimal. ~ Misalnya penanganan urusan pengelolaan obyek ~ dan sarana wisata di Kaliurang menjadi tidak . · optimal dan ketidakbebasan untuk mengelola. 3. Belum teridentifikasikannya permasalahan urusan,~~ namun sebenarnya di lapangan benar-benar permasalahan terjadi permasalahan. Misalnya perbatasan antar kabupaten/ kota seperti ~ administrasi kependudukan, pungutan pajak, ketimpangan antar desa antar kabupaten/antar provinsi, regulasi sumber daya air, pencemaran lingkungan.
tidak
II
misalnya
mengurusinya,
perbatasan
yang
ada
Sleman
an tara
atau
dan
dengan
Kota
Bantul.
Padahal
wilayah banyak
perbatasan
permasalahan bersifat latent seperti kependudukan,
administrasi pungutan
pajak dan lainnya. Hal ini teridentifikasi
ketika
ada
I
kegiatan pemasangan pilar
batas antara Sleman, Kota/ Bantul di wilayah
barat,
hampir kegiatan yang menjadi urusan provinsi tersebut tidak dapat dilaksanakan sebab perdebatan mengenai titik batas tersebut dan dampak yang menyenainya. Melalui uraian persoalan di atas dapat dipahami ada persoalan yang belum atau tidak diurusi karena belum ada pembicaraan atau tidak dapat
90
diidentifikasi permasalahannya. Kondisi ini dapat disebut sebagai wilayah abuabu (grey area) atau di Iapangan sering disebut dengan istilah .kowar. (Uhat Kotak 2: Urusan Kowal).
Uraian di atas memperlihatkan adanya sisi dinamis kewenanganlurusan yang dapat dianalogikan atau digambarkan ibarat pendulum yang senantiasa bergerak ke kanan dan ke kiri (sebagaimana gambar di bawah ini). Ada saat pendulum berada di lokus terjauh ke kanan atau ke kiri dan ada saat berada di tengah-tengah yang mereprentasikan titikllokus kiri maupun kanan. D dan E merupakan posisi suatu urusan kowaratau tidak ada yang menangani.
I I I
,
I
I
,
I I
I
,'
'
' \ \ \
. '
\ ' \
I
,'
\
I
'
I
'
I
,'
\
I
'
I
I
I
,
I
,,
I
,
'
\
'
\
.. \
. \
~/~ Kabupaten Sleman
',, \
I
,
A
,.._ \
I
/\,4
E
D Provinsi DIY dan Kab. Sleman Gambar4
Pendulum Kewenangan/Urusan
'
B Provinsi DIY
91
Dengan mencermati uraian atau penjelasan di atas dapat melalui gambar
di atas, dapat diberikan contoh, misalnya mengenai pengelolaan air bawah tanah (ABT). Sebagaimana telah dikemukakan di atas, semula merupakan kewenangan/urusan Pemerintah Kabupaten Sleman (titik A). Kemudian pada saat ini kewenangan berayun menuju titik B yang berani merupakan kewenangan/urusan Pemerintah Provinsi DIY. Namun dalam berbagai rapat koordinasi dan disampaikan secara terbuka dalam workshop (14
Juli 2004)
diharapkan adanya sharing pengelolaan ABT, karena setelah dikelola oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Sleman mengalami penurunan pendapatan dari ABT yang drastis dalam waktu 2 tahun. Dengan demikian terjadi 'tarikan' ayunan pendulum menuju pada titik tengah (C) yang berarti dikelola bersama oleh Pemerintah Sleman dan Provinsi. Sedangkan titik D dan E merupakan titik-titik tidak adanya kejelasan atau ketegasan suatu urusan (lebih dapat untuk disebut urusan kowa_zJ, misalnya sebagaimana telah diuraikan di atas, mengenai penanganan masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang telah menjadi urusan Kabupaten Sleman karena dalam prakteknya banyak kendala '8tau permasalahan, sehingga penanganan tidak dapat secara optimal. Oleh karena itu, pihak kabupaten berharap hal tersebut ditangani kembali oleh provinsi. Dengan demikian, pendulum diayunkan ke arah titik B.
92
Pendulum kewenangan/penanganan urusan telah mengajarkan, apabila dalam pelaksanaan kewenangan atau penanganan urusan bersifat dinamis dalam perkembangannya; suatu urusan tidak akan bersifat tetap dalam lokus pelaksananya. Pendulum terse but juga menunjukkan ada ketidakpastian dalam penanganan
urusan,
sehingga
diperlukan
networks,
sebab
networks
menyediakan suatu bentuk yang unggul dari organisasi dalam kondisi di mana tidak ada sesuatu yang dapat secara terus-menerus terjadi (diskontinyuitas). Seok-Eun menyatakan networks muncul dari para aktor karena adanya sifat interdependensi dalam proses kebijakan yang dibuat untuk memperoleh sumber daya yang diperlukan (seperti sumber daya manusia, informasi, dan pengetahuan profesional) dan interdependensi yang mewujud dalam networks memunculkan pola-pola pertukaran lateral atau horisontal, bukan vetikal secara eksklusif18 • ·Masing-masing pemerintah daerah di sini memiliki kekuasaan yang relatif sejajar, bertukar sumber daya dan informasi di saat mereka merasakan keuntungan timbal balik dari interaksi tersebut. Dengan
networking, dinamika kewenangan/urusan dapat dikelola dan menjadi tanggung jawab bersama. Penataan urusan/k.ewenangan tidak secara tegas dilakukan, tidak menggunakan positive list atau daftar rincian kewenangan. Namun demikian,
Kim, Seok-Eun, "Network, Organizational" dalam Jack Rabin (ed.), Encyclopedia of Public Administration and Public Policy, Volume 2, New York, p. 803. 18
93
positive
list
diperlukan
untuk
dapat
diawasinya
penyelenggaraan
pemerintahan dengan kata lain dapat dipenangungjawabkan. Pengaturan kewenangan/urusan daerah otonom dengan pendekatan general competence,
di mana pemerintah daerah tidak diberikan batasan yang kaku, daerah dibiarkan menangani urusan apapun yang dianggap perlu untuk memenuhi kepentingan masyarakat setempat, asal tidak benentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Tentu daftar positif mempunyai keuntungan juga dalam mempedomani daerah; daftar kewenangan/urusan yang jelas dan tegas memberikan kepastian dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya pemerintah daerah didukung oleh kerangka hukum yang berlaku, sehingga apabila suatu pemerintah daerah menjalankan kegiatan yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam daftar tersebut, pemerintah daerah dapat digugat ultra vires (bergerak di luar mandatnya). Adapun pendekatan hybrid di mana
pendekatan
general
competence
seiring
dengan
penetapan
kewenangan/urusan yang wajib dilaksanakan oleh daerah otonom. Pendekatan
hybrid sesuai dengan kenyataan penyelenggaraan pemerintahan sepeni di Indonesia, yaitu sesuai dengan konsep overlapping-authority dari Wright. Selanjutnya dalam proses penataan kewenangan/urusan dalam penelitian di lapangan cenderung diselesaikan dengan memandang penataan kewenangan/ urusan sebagai suatu konflik. Pada kenyataannya pembicaraan, diskusi,
94
koordinasi
atau
forum-forum yang ditempuh lebih cenderung pada
penyelesaian konflik dalam penataan kewenangan/urusan. Forum rapat koordinasi dapat dipandang sebagai forum negosiasi pada level staf pelaksana. Pembentukan Tim Mediasi Implementasi Otonomi Daerah (Tim MIOD) dan hasilnya merupakan rekomendasi atas pemetaan kewenangan/urusan yang dipermasalahkan antar pemerintah daerah di Provinsi DIY (Agustus 2003). Pelembagaan pola-pola negosiasi dan intermediasi (pelibatan pihak ketiga) merupakan langkah maju sebagai bagian dati proses penataan. Secara konseptual hubungan antar jenjang pemerintah lebih mengedepankan negosiasi dalam proses penataan kewenangan, namun realitasnya hal tersebut sangat sulit diterapkan. Untuk itu pola-pola ini harus dapat secara sadar dipahami dan dapat terlembagakan dengan mantap, sehingga penataan atau permasalahan implementasi kewenangan/urusan dapat teridentifikasi secara
dini dan melibatkan antar pemerintah daerah di Provinsi DIY, sehingga hasilnya menjadi tanggung jawab secara kolektif. Selanjutnya dalam bah berikut akan dilakukan pembahasan mengenai upaya penyelesaian atau resolusi perselisihan/konflik yang terjadi dalam proses penataan kewenangan atau penanganan urusan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Sleman.
BABIV RESOLUSI PERSEUSlliAN/KONFLIK DALAM PENATAAN KEWENANGANIURUSAN
Pada bah terdahulu diuraikan hubungan antara Pemerintah Provinsi dan pemerintah Kabupaten Sleman dalam penataan kewenangan atau penanganan suatu urusan yang menunjukkan banyak kendala atau permasalahan tarik ulur atau permasalahan sehubungan dengan implementasinya. Permasalahan atau konflik kewenangan/urusan harus dicari resolusi atau penyelesaiannya sehingga tidak berlarut-larut, sehingga menyebabkan terganggunya fungsifungsi
pemerintah,
seperti
pelayanan
masyarakat
dan
pelaksanaan
pembangunan. Dalam bah sebelumnya juga dapat diberikan penilaian bahwa kesadaran akan sating keterkaitan dan ketergantungan perlu ditindaklanjuti dengan pelembagaan hubungan yang bersifat sinergis. Hal ini telah menjadi pemahaman dan kesadaran bersama antar aparatur Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Sleman. Pelembagaan hubungan yang baik, sebenamya telah dapat dirintis sejak pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, misalnya kegiatan dalam proses penyusunan pedoman pemerintahan desa yang melibatkan semua pemerintah daerah, walaupun tidak semua materi pedoman tersebut dijadikan materi pengaturan di masing-masing pemda. 95
96
Demikian pula, pembicaraan mengenai kewenangan/urusan secara khusus sebenamya juga telah dilakukan antar pemerintah daerah, namun macet tidak ada tindak lanjut final. Pemberlakuan
Undang-undang
Nomor
32
Tahun
2004
dinilai
menguatkan kembali posisi provinsi, namun hal tersebut tidak ditanggapi tetap dalam konteks wajar, tidak berlebihan sebagaimana pemah terjadi pada (transisi) pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999. Jadi kesepahaman sebenamya
telah dapat terjalin.
Urusan yang menjadi
kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 antara urusan provinsi dan kabupaten tidaklah mempunyai batasan yang jelas, daftar urusan yang menjadi kewenangan wajib kedua jenjang adalah sama, perbedaannya pada tambahan keterangan lintas kabupaten/kota untuk kewenangan provinsi. Namun diberikan penegasan dibutuhkannya hubungan yang sinergis, sebab adanya ketergantungan antara daerah satu dengan yang lainnya sebagai satu sistem pemerintahan. Demikian pula urusan atau kewenangan pemerintah daerah mempunyai sisi yang bersifat dinamis. Urusan yang semula dinilai stasioner menjadi wewenang suatu pemerintah daerah dalam implementasi dan seiring waktu dapat cenderung bergerak bagai gerakan ayunan pendulum.
97
Sebagaimana dikemukakan Wright, model hubungan antar jenjang pemerintah ini merupakan overlapping-authority model, yaitu tidak terdapat kejelasan batasan rentang atau ruang pengaruh, sehingga kadang terjadi kompetisi dan konflik kewenangan/urusan. Dalam sistem ini diperlukan tingkat pemahaman dan kompetensi yang tinggi di antara Pemerintah provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman (atau Pemerintah Kabupaten!Kota). Hubungan antar jenjang pemerintah sebenamya lebih mengedepankan negosiasi dalam penyelesaian tarik-menaik kewenangan/urusan sebagai akibat adanya dan dampak dari permasalahan, konflik atau kompetisi yang terjadi secara bersama, dalam hal ini antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Sleman. Dari uraian di atas dan pada bab terdahulu muncul dasar pijak atau gagasan
utama
untuk
melembagakan
mekanisme
atau
nola ~
resolusi
permasalahan/konflik dalam proses penataan kewenangan/urusan. Hubungan ini dapat merupakan pola yang melibatkan secara langsung antar pemerintah
daerah melalui negosiasi maupun melibatkan pihak luar (intermediasi: fasilitasi, mediasi, dan atau arbitrase) untuk membantu penyelesaian permasalahan.
Deils S. Wright, "Local and Regional Governments", Regional Workshop on: Consolidating The Gains in Decentralization Reforms and Win-Win Policy Analysis, Windhoek, Namibia 28th June- 2nd July 1999, p. 4. 1
98
A. Fasilitasi Fasilitasi atau fasilitasi kelompok merupakan suatu proses di mana pihak yang dinilai netral membantu suatu kelompok untuk bekerja bersama supaya lebih efektifl. Fasilitasi melibatk.an penggunaan teknik untuk meningkatkan aliran informasi melalui pertemuan-pertemuan antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Sleman, yaitu untuk mencari penyelesaian atas urusan yang di lapangan memunculkan permasalahan. Fasilitasi ini sebenamya dapat dilakuk.an oleh salah satu pihak yang terlibat, dalam hal ini dapat berasal dari pemerintah provinsi melalui unit pelaksana teknisnya, misal Biro Tata Pemerintahan Setda Provinsi DIY. Fasilitator bekerja dengan semua partisipan, baik dari pemerintah provinsi maupun Kabupaten Sleman untuk melakuk.an serangkaian pertemuan dan menyediakan arah mengenai cara supaya pembicaraan dapat berjalan secara efisien melalui langkah-langkah pemecahan masalah dan mencapai tujuan yang disetujui bersama. Fasilitator memfokuskan pada asistensi dan bertindak tidak berat sebelah atas topik atau isu kewenangan/urusan yang sedang dibicarak.an. Penggunaan pola atau mekanisme fasilitasi dilakukan untuk kondisi: intensitas perhatian dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Sleman atas urusan yang diperdebatkan rendah,
2
Brad Spangler, "Facilitation". Diambil dari http://www.intractableconflict.org/m/facilitation.jsp.
99
Pemetintah
Provinsi
maunun .L
Kabupaten
Sleman
tidak
mempertentangkan atas isu-isu urusan/kewenangan secara ekstrem, Pemetintah Provinsi dan Kabupaten Sleman memiliki cukup sating kepercayaan untuk dapat bekerja bersama mengembangkan solusi yang dapat ditetima bersama, dan lingkup hal atau permasalahan yang dikemukakan berupa lintas Kabupaten/Kota atau terkait dengan urusan dengan Pemerintah Pusat. Ketiga kondisi di atas dijelaskan pada uraian di bawah ini. 1. Intensitas perhatian dati Pemetintah Provinsi dan Kabupaten Sleman atas suatu urusan yang diperdebatkan rendah. Hal ini lebih disebabkan karena, permasalahan tidak dapat tetidentifikasi atau karena sifatnya dianggap 'hal yang kecil', sehingga perhatian dati salah satu atau kedua pihak rendah atau cenderung membiarkan. Permasalahan-permasalahan di perbatasan (perbatasan antara Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta atau dengan kabupaten yang lain) kurang mendapat perhatian, padahal penyelenggaraan urusan itu ada atau urusan tersebut hila dibiarkan berlarut suatu saat akan menimbulkan gejolak. Misalnya mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Rumah Sakit Panti Rapih, walaupun pada kenyataannya rumah sakit tersebut berada di wilayah Sleman dan Kota Yogyakarta, namun PBB-nya masuk pada Kota
100
Yogyakana. Padahal kontribusi pendapatan pada pelaksanaan otonomi daerah walaupun kecil tetap akan diperhitungkan. Mengenai hal ini sikap yang diambil oleh Pemerintah Provinsi cenderung tidak netral dan mencampuri substansi perdebatan yang seharusnya sepenuhnya keputusan berada pada pihak yang bersangkutan. Hal ini terungkap sebagaimana dikemukakan informan berikut ini. "Permasalahan sehubungan dengan implementasi urusan terkait dengan pemerintah lain yaa ada. Misal masalah Pajak Bumi dan Bangunan Rumah Sakit Panti Rapih, secara riil sebenarnya Panti Rapih tersebut masuk sebagian Sleman dan sebagian Yogyakarta, namun pada kenyataannya PBB dibayarkan semuanya ke Kota. Dan ini yang memutuskan Provinsi pada waktu itu" (Sus, Sleman, 10 Desember 2004). Urusan lainnya, seperti perizinan tetap untuk pengesahan dan penggunaan bejana uap, ketel uap, motor diesel, penangkal petir, mesin produksi tangki pendam, alarm, hidrant, instalasi listrik dan forklift. Padahal peralatan tersebut benar-benar telah banyak digunakan di wilayah Kabuoaten Sleman. Perizinan tersebut belum ada keseoakatan!keielasan .1
..1
.
"
antara ditangani provinsi atau kabupaten. Sebenarnya hal tersebut dapat difasilitasi dengan menghadirkan pihak-pihak dari unit teknis yang menangani antara provinsi dan kabupaten, untuk mencari kejelasan dan ketegasan perizinan terse but. Demikian pula mengenai kewenangan pengelolaan aset-aset produksi berupa hasil proyek pembangunan obyek dan sarana wisata (meliputi kios
101
kerajinan, toilet, taman parkir). Padahal aset telah diserahkan provinsi melalui Berita Acara 20 Oktober 1994, namun semua aset tersebut berada di atas lahan/tanah milik PD Anindya yang merupakan aset daerah yang telah dipisahkan (Perda DIY No.4/1987). Pemerintah Sleman berharap supaya pengelolaan Kaliurang berada dalam satu manajemen (Pemerintah Kabupaten Sleman). Sebenamya persoalannya telah bergeser, yaitu persoalan antara Pemerintah Kabupaten Sleman dan PD Anindya. Melihat berita acara tersebut sejak 1994, persoalan telah berlarut-larut dan mengindikasikan kurangnya perhatian untuk menuntaskan hal tersebut. Permasalahan tersebut dapat dibilang jelas, sehingga Pemerintah Provinsi DIY dapat ikut menuntaskannya dengan bertindak sebagai fasilitator dari proses resolusi antara Pemerintah Kabupaten Sleman dan PD Anindya. Hal pertama dan utama yang harus dilakukan, misalnya bila pemerintah provinsi bertindak sebagai fasilitator adalah membantu pihak yang terlibat (pemerintah kabupaten/kota) berusaha memahami satu sama lain dan berupaya membangun kerja sama di antara para pihak, yaitu membantu mendesain pertemuan yang konsisten dan menjaga tidak ada pihak yang diperbolehkan untuk mendominasi suatu diskusi atau mempunyai perlakuan khusus.
102
2. Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Sleman tidak mempertentangkan atas isu-isu urusan/kewenangan secara ekstrem. Hal ini disehahkan masing-masing pemerintah daerah dengan instansi teknis yang melaksanakan memang tidak mempermasalahkan, masingmasing dapat herjalan senditi-senditi, meskipun pada kenyataannya hila dilihat secara ohyektif terjadi tumpang tindih. Kondisi ini kemungkinan besar disehahkan masing-masing unit pelaksana teknis dati tiap pemda semata-mata melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi {tupoksi) dati instansi teknisnya pada suatu pemetintah daerah. Misalnya pelaksanaan pelayanan sarana dan prasarana pemukiman, yaitu pembangunan, perbaikan. dan pemeliharaan jalan dan drainase. Tidak ada pemhagian yang jelas antara kewenangan provinsi maupun kahupaten. Pelaksanaan fungsi pembinaan terhadap industri kecil sebenamya juga tidak jelas, masing-masing haik provinsi dan kahupaten menjalankan fungsi sendiri-sendiri walaupun sama-sama menjalankan fungsi pembinaan. yaitu pembetian himhingan teknis, pengadaan pelatihan, magang, hantuan peralatan, atau bantuan/stimulan modal. Masyarakat sendiri cenderung tidak akan sampai untuk mencermati adanya tumpang tindih tersehut, apalagi hila kegiatan dati masing-masing pemda membetikan keuntungan atau bermanfaat bagi masyarakat.
103
3. Pemerintah Provinsi DIY dan Kabupaten Sleman memiliki cukup sating kepercayaan untuk dapat bekerja bersama mengembangkan solusi yang dapat diterima bersama. Kondisi terkait dengan hal-hal yang bersifat operasional pelaksanaan urusan!k.ewenangan,
sehingga yang dibutuhkan
adanya koordinasi.
Koordinasi merupakan satu bentuk fasilitasi yang dilakukan secara internal, dan untuk hal-hal yang demikian biasanya dapat berubah untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan kesepakatan antara pihak instansi yang berkaitan langsung dengan urusan!k.ewenangan. Misalnya pengadaan rapor SD, SLTP dan SLTA merupakan sarana prasarana pendidikan yang seharusnya menjadi kewenangan Kabupaten Sleman, namun berdasarkan kesepakatan (antar instansi
yang berkaitan langsung dengan urusan
tersebut, yaitu Dinas Pendidikan) dilaksanakan oleh provinsi. Melihat alasan pengadaan tersebut karena telah ada kesepakatan, maka bisa terjadi karena
perkembangan yang
ada
akan terjadi
kesepakatan untuk
pengadaannya akan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sleman (Dinas Pendidikan Sleman). 4. Ungkup
hal atau permasalahan yang dikemukakan berupa lintas
Kabupaten/Kota atau terkait dengan urusan dengan Pemerintah Pusat.
104
Dalam kondisi ini sebenamya merupakan fungsi yang inheren yang harus dilakukan oleh Pemerintah Provinsi, namun belum dapat dilakukan dengan optimal.
Permasalahan antar kabupaten/kota
belum dapat
diidentifikasikan atau terpetakan dengan baik, terutama dalam pelaksanaan kewenangan/urusan dari masing-masing pemda. Apabila dilihat dalam konteks kewenangan provinsi yang lintas kabupaten/kota, gambaran umum permasalahan yang terjadi, yaitu mengenai ketimpangan pembangunan telah terjadi dan membutuhkan perhatian serius. Peranan urbanization
economies dan localization economies membawa dinamika aktivitas ekonomi di DIY pada konsentrasi aktivitas ekonomi di Kota Yogyakana dan Kabupaten Sleman. Pertumbuhan ekonomi kedua daerah tersebut melebihi daerah lainnya.
Kabupaten Gunung Kidul walaupun pertumbuhan
ekonominya ternyata melebihi rata-rata kabupaten!kota di DIY, namun tingkat kemiskinan tergolong paling tinggi dengan jumlah penduduk miskin 173.000 orang3. Dalam diskusi kelompok yang dilakukan di Hotel Matahari muncul salah satu kesimpulan: "Pemerintah Provinsi kurang dalam menjalankan peran sebagai fasilitator baik hila terjadi permasalahan kewenangan antara pemerintah Kabupaten/Kota atau sebagai fasilitator pemerintah kabupaten/kota dengan pemerintah pusat, misal mendesak pemerintah Mudrajat Kuncoro, ''Transformasi Ekonomi dan Ketimpangan di DIY", Kompas, 13 desember 2004, hal. D. 3
105
pusat mengeluarkan peraturan pelaksanaan otda sebagaimana diamanatkan undang-undang. Penyerahan aset-aset pusat yang ada di Kabupaten. Untuk penyerahan personil provinsi kepada kabupaten, misal Sleman ada 15 pegawai Kimpraswil dengan gaji ada di provinsi namun bekerja lama bagi Pemerintah Kabupaten Sleman, sehingga terhambat karirnya karena statusnya sebagai pegawai provinsi" (FGD, 7 Oktober 2004). Dati kutipan di atas, masing-masing dati pemerintah daerah kabupaten/kota menginginkan adanya peranan pemerintah provinsi untuk bertindak sebagai fasilitator dengan pemerintah pusat. Bila dicermati, hal tersebut memiliki tendensi karena terkait dengan aset-aset yang bisa didapat bagi masing-masing pemerintah daerah. Namun kesimpulan tersebut juga dapat memberikan suatu dasar atas peran provinsi untuk bertindak mewakili keseluruhan pemda di DIY dengan kepentingankepentingan yang ada untuk diperjuangkan hila berhadapan dengan Pemerintah Pusat.
B. Negosiasi Negosiasi sebagai pencanan resolusi yang bersifat kooperatif, bukan memenangkan argumentasi terhadap pihak yang lain. Tanggung jawab negosiator membangun atmosfer, sehingga negosiasi dapat tercapai. Negosiasi merupakan proses mengkombinasikan posisi-posisi yang berbeda ke dalam suatu keputusan bersama yang bulat. Negosiasi adalah proses pembuatan
106
keputusan ketika tidak ada aturan mengenai bagaimana keputusan harus dibuat atau ketika satu-satunya aturan yang ada adalah bahwa keputusan harus bulat4 • Pola atau mekanisme negosiasi merupakan hal yang direkomendasikan dari Wright atas konsepnya mengenai hubungan antar jenjang kelembagaan, karena dalam hubungan ini tidak ada batasan ruang atau rentang pengaruh antara satu satuan pemerintah yang satu dengan yang lainnya. Pembatasan atau batas-batas kekuasaan antara satu unit terhadap yang lainnya tidak dapat diidentifikasikan secara tepat5• Walaupun para aparatur pemerintah daerah di Provinsi DIY seringkali melakukan rapat koordinasi yang dapat saja dikategorikan sebagai proses negosiasi, namun pada kenyataannya pada tataran pengambil kebijakan negosiasi belum pemah dilakukan. Perdebatan yang dilakukan antar aparatur antar pemerintah
daerah dipandang sebagai media pembelajaran. (Uhat
Kotak 3: Dari Media Pembelajaran Menuju Negosias1).
4
Zartman dalam Unitar, "Theory of Negotiation". Diambil dart http://www.unitar.org/
dfm/Resource Center/ TrainingPackage/Multilateral/NegoTheory/Theor.yl.htm. s Wright, O.Gt., p.4
107
Kotak 3:
Dari Media Pembelajaran Menuju Negosiasi (Beberapa hadirin mengernyitkan dahinya ketika disampaikan pandangan Gubernur DIY bahwa perdebatan kewenangan sebagai media pembelajaran. Hal ini sampaikan Sekretaris Bapeda Provi.nsl DIY sebagal pembahas dalam Seminar .Kajian Otda (Hotel Sapr.ier, 30-11-2004) di hadapan sekitar 8o orang peserta yang terdiri dari aparatur pemda se-DIY, tokoh masyara¥..at dan LSM serta para wartawan. Forum ini tidak jadi dibuka o1eh Sekda, tetapi o1eh Kepa1a Badan Pariwisata Daerah.
Sebagaimana telah dikemukan di atas, negosiasi pada tataran aparatur pelaksana teknis telah dapat dilakukan, paling tidak dalam memetakan permasalahan. Munculnya Tim MIOD pun dapat dipandang sebagai tindak lanjut dari kebuntuan proses diskusi (negosiasi) antar partisipan dati masingmasing pemda. Negosiasi sebagai pola atau mekanisme yang baik dan menunjukkan panisipasi aktif dati masing-masing pihak, namun prospek
108
terjadinya pola atau mekanisme negosiasi diragukan sebagaimana diungkapkan responden di bawah ini. "Semangat negosiasi baik akan tetapi melihat kondisi masyarakat yang sedang belajar demokrasi juga ada implikasi negatifnya, sebab menurut saya negosiasi akan dipengaruhi bargaining position/bargaining power. Akses provinsi dengan Undang-undang 32lebih kuat dibanding 22, maka ini akan menjadikan kemampuan bargaining provinsi semakin lebih kuat dibanding kabupaten. Arrinya bargaining position/power lebih kuat, maka ilmu ngeyel (keras kepala dalam mempertahankan pendapat) akan lebih menonjol" (TAR, Provinsi, 1 Desember 2004). Pendapat serupa juga disampaikan dalam Seminar Pengembangan Otonomi Daerah Provinsi dan Kabupaten!Kota pada tanggal 30 November 2004. Negosiasi merupakan upaya pencapaian resolusi secara kooperatif, bukanlah upaya pemenangan argumen atau penambahan poin perdebatan; negosiasi merupakan suatu proses mengkombinasikan posisi yang berbeda ke dalam suatu keputusan yang bulat secara berkesinambungan6 • Lewicki menjelaskan dalam negosiasi diharapkan adanya give and take. Para pihak dalam proses negosiasi dapat mengurangi pernyataan, permintaan atau tuntutan awalnya. Meskipun para pihak pada awalnya berdebat kuat mengenai keinginan masing-masing, saling menekan satu sama lain untuk memperoleh konsesi, namun biasanya para pihak akan mengubah posisinya dan masingmasing akan saling mendekati untuk mencapai kesepakatan. Lebih lanjut
Zartman dalam "Theory of Negotiation", UNLTAR. Diambil dari http://www.unitar.org/ dim/Resource Center I TrainingPackage/ Multilateral/N egoTheory(fheory l.htm. 6
109
Lewicki menyatakan negosiasi jarang dilakukan oleh para pihak yang sedang berselisih, padahal negosiasi merupakan strategi yang diikuti dengan adanya pilihan-pilihan7 • Berdasarkan dasar pemikiran pada paragraf di atas, negosiasi mempunyai kemungkinan untuk diterapkan justru mempunyai alasan lebih kuat ketika para pihak mempunyai posisi berbeda. Hubungan antar jenjang pemerintah menunjukkan tingkat intedependensi yang tinggi, negosiasi menunjukkan kedua belah pihak saling membutuhkan. Situasi ketergantungan timbal balik inilah yang disebut interdependensi yang merupakan hal kompleks dan memiliki tantangan tersendiri. Hubungan ini lebih kompleks pada situasi satu pihak tidak tergantung oleh pihak lain atau adanya satu pihak yang tergantung pada pihak lain. Pihak-pihak yang tidak tergantung (posisinya lebih unggul) dapat, jika mereka mau, tidak mau berurusan dengan pihak yang tergantung padanya. Pihak yang tergantung pada pihak lain harus menerima dan mengakomodasi tuntutan dan keistimewaan pihak lain terse but. Konflik tarik-menarik atau perdebatan permasalahan kewenangan/ urusan dapat dicarikan resolusinya melalui negosiasi apabila kondisinya menunjukkan hal-hal sebagai berikut.
7
Lewicki, Roy J. et.al., 1999, Negotiation, The McGraw-Hill Companies, Inc. Singapore.
110
1. Tarik ulur urusanlkewenangan terkait dengan aset. Penyerahan aset-aset terkait dengan penyerahan urusan/ kewenangan dapat dikatakan selalu menjadi perhatian atau pembicaraan dalam setiap forum pertemuan. Sebab aset-aset dapat dipandang sebagai sesuatu yang mempunyai nilai investasi atau mempunyai nilai nominal yang besar. Dalam wawancara dengan informan didapatkan penjelasan pelaksanaan Penyerahan P3D tidak selesai sejak tahun 2002 karena sebenarnya provinsi hanyalah sebagai fasilitator/mediator, sebab kebijakan atau otoritas aset-aset berada pada pemerintah pusat, sedangkan dari kabupaten/kota memandang provinsi terkesan lambat atas penyelesaian P3D tersebut. Di samping itu dalam perkembangannya pemerintah provinsi muncul pula wacana bahwa setiap kewenangan yang diserahkan tidak harus disertai asetnya. Hal ini disebabkan, provinsi mempunyai kewenangan atau urusan yang mungkin saja memerlukan aset yang diserahkan tersebut, sehingga jika aset diserahkan
maka
bila
suatu
saat
provinsi
memerlukannya
harus
menyediakan anggaran besar untuk pelaksanaannya (TAR, Provinsi, 6 Desember 2004). Lebih lanjut mengenai hal ini dapat disampaikan informasi dari responden/informan berikut ini. "Beberapa waktu lalu saya ikut rapat yang dipimpin Bapak Gubernur, arahan beliau bahwa otonomi adalah yang penting mana yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Mengenai benih sebar, lha memang Cangkringan itu melakukan pelayanan benih sebar, karena memang
111
masvarakat di situ membutuhkan dan secara nroduksi nun cukun besar. Pelayamm tersebut bisa saja diserahkan namun BBI sebagai aset tidak harus diserahkan pula, sebab Pemerintah Provinsi juga berkepentingan dalam pengembangan rekayasa benih ikan apalagi adanya program fogja Seed Center"(EH, Provinsi, 10 Desember 2004). .1.
J
.1.
.1.
2. Penanganan atau pelaksanaan urusan/k.ewenangan mempunyai dampak pada pendapatan dan pengeluaran/pembelanjaan anggaran daerah. Contoh dari hal ini jelas tampak pada Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) di Kecamatan sewon yang telah beroperasi sejak 1996. Pengelolaan diserahkan kepada Kabupaten!Kota pada tahun 2001 melalui Surat Gubernur No. 658/0640 tanggal 28 Februari 2001 dan provinsi ikut menanggung biaya hingga tahun 2003. Tahun 2004 Provin.si atas keputusan DPRD tidak ikut membiayai operasionalnya. IP AL mempunyai sifat lintas kabupaten!kota,
sehingga
provinsi
berkewajiban
ikut
memberikan
kontribusi biaya operasional, terlebih lagi pengelolaan IPAL merupakan salah satu bagian dari kerja sama Sekber Kartamantul yang mempunyai struktur tersendiri yang dapat dikatakan mempunyai sifat yang otonom (kuasi pemerintah). Kewenangan/urusan pengelolaan hutan juga mempunyai kaitan dengan dana dari pusat untuk pemeliharaan hutan (misal Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lingkungan). Demikian juga dalam makalah yang disampaikan Sleman pada Workshop Pengembangan Otonomi Daerah pada
112
tanggal 14 Juli 2004 bahwa dana dekonsentrasi semestinya untuk melaksanakan tugas dekonsentrasi, temyata untuk membiayai kegiatan yang bersifat operasional, sehingga mempunyai potensi dalam tumpang tindih kegiatan pelaksanaan urusan di lapangan. Urusan pengelolaan air bawah tanah (ABT) dilakukan melalui mekanisme perizinan dan pengenaan pajak ABT. Pemerintah Kabupaten Sleman menilai telah mengalami penurunan pendapatan dati tahun 2001 sebesar 1,17 milyar rupiah menjadi 48,37 juta rupiah pada tahun 2003 yang dikelola oleh Pemetintah Provinsi dengan bagi hasil 70% dati hasil pemungutan pajak ABT tersebut. C. Mediasi
Menurut Honeyman mediasi adalah suatu proses dengan variasi yang
tinggi dan fl.eksibel, mencakup berbagai situasi di mana mediator dilibatkan dalam suatu konflik/permasalahan antara dua pihak atau lebih untuk membantu memecahkan permasalahan/konflik tersebut, tetapi mediator tidak mempunyai wewenang untuk membuat pihak tertentu melakukan sesuatu secara khusus8 • Dengan demikian, mediasi secara luas dapat digunakan dalam semua
jenis
perselisihan,
termasuk
dalam
tarik-menarik pelaksanaan
kewenangan dan atau urusan di pemerintah daerah.
Christopher Honeyman, "Mediation-Overview". Diam.bil dari: www.beyondintractability.org/ m/ mediation.jsp 8
113
Mediasi merupakan intervensi ke dalam suatu perselisihan atau negosiasi dari pihak ketiga yang netral, tidak memihak, dan diterima para pihak namun tidak memiliki kewenangan pembuatan keputusan. Tujuan dari intervensi ini adalah asistensi para pihak untuk secara sukarela mencapai resolusi yang dapat diterima bersama atas isu-isu yang diperdebatkan. Mediasi dilakukan untuk kondisi atas upaya penataan kewenangan/urusan sebagai berikut. 1. Mediasi berguna dalam perselisihan dengan tingkat penentangan yang tinggi di mana para pihak tidak mampu memulai satu dialog yang produktif. Hal ini terjadi karena, dasar pemikiran atau dasar hukum sebagai pijakan yang berbeda dan menimbulkan multitafsir. Kenyataan memang demikian, banyak peraturan yang dinilai menimbulkan perbedaan penafsiran dan pemahaman. Dalam Focus Group Discussion 7 Oktober 2004 juga memberikan kesimpulan selama ini memang terjadi perbedaan persepsi atas suatu urusan/kewenangan yang lebih disebabkan karena peraturannya memang menimbulkan multi tafsir. Dalam Workshop Implementasi Kewenangan pada 14
Juli 2004 dari materi yang disampaikan oleh Asisten
Bidang Pemerintahan Kabupaten Sleman menyatakan terdapat 2 penyebab terjadinya permasalahan impelementasi kewenangan, yaitu faktor peraturan perundang-undangan dan faktor persepsi aparat.
114
Misal mengenai kewenangan/urusan bidang kehutanan, terjadi karena perbedaan dasar argumen, yaitu banyak peraturan menjadi dasar mencermati pengelolaan kehutanan (hutan di wilayah Sleman, lereng Merapi), yaitu UU Nomor 3/1950 mengenai Pembentukan DIY, PP No. 34/2002, Kepmendagri No.130-67, UU No. 41/2002 tentang Kehutanan, Surat Menhut No. 171/Menhut-11/01 tanggal 24 Maret 2003. Banyaknya pengaturan ini seolah satu peraturan saling menimpali peraturan yang lain, sehingga pada tataran praktis menimbulkan tumpang tindih dan tarik menarik. Dalam hasil kerja Tim MIOD, direkomendasikan kewenangan pengelolaan hutan berada pada Pemerintah Provinsi namun pelaksanaan pengelolaan hutan tersebut dilakukan bersama dan atau sharing dengan kabupaten/kota
sesua1
dengan
tugas
yang
dibebankan
menurut
perundangan yang berlaku (Hasil Tim MIOD, 30 Agustus 2003). Namun implementasinya juga belum jelas dan tegas penyelesaiannya, sebab misal praktek di lapangan dalam pengelolaan hutan lindung berdasarkan UU No. 41/2002 merupakan kewenangan kabupaten termasuk pemeliharaan tata batas yang selama ini dilakukan oleh provinsi.
115
2. Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Sleman telah sating bertemu, namun menemui jalan buntu yang tidak dapat ditanggulangi. Kondisi ini menjadi latar belakang dibentuknya Tim MIOD, yaitu Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Sleman telah mendiskusikan beberapa urusan (bidang pariwisata, pertanian, lingkungan hidup, kehutanan), namun terjadi kebuntuan. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pengelolaan kawasan wisata Kaliurang merupakan permasalahan sejak diserahkannya aset provinsi (sarana wisata) kepada Kabupaten Sleman melalui Berita Acara 20 Oktober 1994. Hal lainnya seperti pemeliharaan Selokan Mataram dan Vanderwijck yang dilakukan setiap tahun dan selalu menimbulkan permasalahan dan pemeliharaan selokan dinilai tidak profesional dan mengakibatkan kerugian bagi masyarakat petani di Sleman. Mediasi yang pernah dibentuk dan membuahkan hasil ternyata juga tidak mampu menjadi masukan produktif dan bahan tindak lanjut kebijakan. Dalam setiap kesempatan pada forum pertemuan antar pemda, tindak lanjut hasil Tim MIOD selalu dipertanyakan. Kondisi ini sebenarnya juga membuat tidak nyaman bagi aparatur pelaksana teknis pada Pemerintah Provinsi DIY, sebab pembentukan dan proses mediasi yang dilakukan merupakan kegiatan pemerintah provinsi, di samping adanya anggapan dalam suatu forum rapat hasil Tim MIOD terkesan menguntungkan provinsi karena dibiayai dari
116
anggaran Provinsi. Dan hal ini memang diakui pula oleh aparatur pemerintah provinsi bahwa anggapan ketidaknetralan mediasi tersebut pemah muncul. Mediator -seperti halnya fasilitator- terutama merupakan "process
person", membantu para pihak menentukan agenda, mengidentifikasi dan melakukan reframf! terhadap isu-isu yang ada, melakukan proses komunikasi secara lebih efektif, mencari kesamaan pandangan dari masing-masing pemerintah daerah, menegosiasikan secara fair, dan paling utama, mencapai suatu persetujuan. Mediator adalah orang -pejabat atau non pejabat- yang dilibatkan dalam suatu perselisihan untuk membantu para pihak dalam menyelesaikan perselisihan tersebut 10 • Dengan kalimat lain mediator hanyalah sebagai katalisator, sehingga hasil Tim Mediasi Implementasi Otonomi Daerah (Tim MIOD) yang telah membahas pembagian kewenangan/urusan pada lima bidang (bidang pariwisata, lingkungan hidup, pertanian, kehutanan dan bidang perikanan dan kelautan) 11 , apabila dinyatakan tidak memiliki kekuatan hasil yang mengikat, menurut pengenian di atas telah tepat sesuai dengan porsi atau kewenangan mediator tersebut.
Framing mengacu pada cara-cara menguraikan suatu konflik yang diungkapkan dengan katak.ata. Reframing adalah proses mengubah cara mengemukakan suatu pemikiran sedemikian, 9
sehingga maksud atau makna pokoknya tetap terpelihara, namun hal itu lebih memungkinkan untuk mendukung upaya-upaya mencapai resolusi. 10 Heidi Burgess, "Mediators". Daimbil dari http:Uwww.beyondintractability.org/m/mediators.jsp 11 Tim MIOD terdiri dari 14 orang termasuk ketua dan sekretaris tim, terdiri dari kalangan akademisi dan tokoh masyarakat (mantan pejabat pemerintah daerah}, yang disepakati bersama untuk membantu dalam memetakan kewenangan/urusan.
117
Pemilihan lembaga mediasi atau mediator dilakukan dengan persetujuan antar pemerintah daerah dan dibiayai melalui pendanaan bersama. Jumlah dan komposisi anggota dari mediasi ini menurut kebutuhan atau dapat menyesuaikan bidang permasalahan yang dihadapi. Mediasi dalam penataan kewenangan/urusan antara pemerintah daerah di DIY mempunyai ketugasan sebagai berikut. a. Membangun kondisi yang sesuai bagi pelaksanaan negosiasi. Mediasi tidak hanya dihadirkan ketika suatu konflik kewenangan atau penanganan suatu urusan telah menemui jalan buntu, namun dapat dihadirkan saat setelah dapat diidentifikasikannya urusan oleh pemerintah daerah yang betpeluang menimbulkan konflik antar pemerintah daerah. b. Mendorong keterlibatan para pihak, yaitu pihak...:pihak (instansi dari masing-masing pemda) yang tugas pokok fungsinya memiliki keterkaitan langsung dengan tema urusan/kewenangan yang diperdebatkan. c. Membantu menyiapkan aturan dasar dan hal ini melibatkan secara langs-ung perwakilan/partisipan dari masing-masing pemerintah daerah. Aturan dasar ini harus ada pada semua bentuk intermediasi yang mungkin dijalankan,
yaitu standar perilaku, metode/proses atau substansi untuk pola mediasi, arbitrase, negosiasi atau fasilitasi. Serangkaian aturan ini dirundingkan sebelum atau sepanjang pertemuan awal. Aturan dasar dalam penataan
118
kewenangan ini misalnya masing-masing pemerintah daerah untuk bersikap terbuka atau membuka diri dan memberikan kontribusi masukan informasi serta partisipasi aktif dalam diskusi selama proses mediasi. P~rmasalahan
yang sering dijumpai adanya partisipan yang berbeda-beda
dan tidak ada estafet informasi pada aparatur yang hadir dalam setiap forum pertemuan, sehingga terputus atau tidak dipahaminya perkembangan pembicaraan yang dilakukan. d. Membantu para pihak menentukan agenda pembahasan. e. Membantu mengidentifikasi dan menyusun ulang (reframe) isu-isu yang terjadi. Identifikasi isu kewenangan merupakan hal yang seringkali sulit dilakukan, sebab kadangkala data lapangan atau permasalahan sendiri berkembang, sehingga dalam pertemuan pembahasan menjadi berkembang. Misal mengenai urusan pemeliharaan jalan dan penerangan jalan dalam penyusunan pedoman standar minimal, pembahasan draftnya diatur kewenangan/urusan kabupaten dalam menyediakan sarana jalan. Muncul data bahwa misalnya jenis jalan, sebab dalam istilah umumnya dijumpai terdapat jenis jalan provinsi, kabupaten, jalan desa. Kemudian pemeliharaan penerangan jalan, selama ini Sleman merasa ikut memelihara penerangan jalan, padahal pemeliharan penerangan jalan menjadi urusan provinsi.
119
f. Mendorong para pihak untuk mengkomunikasikan secara lebih efektif. Penyampaian argumen atau dasar pemikiran diletakkan pada kerangka yang obyektif dan jujur. Sebagaimana yang terjadi masing-masing pemerintah daerah akan menggunakan argumen dan dasar hukum yang mendukung kepentingannya. Mencari hal-hal di mana para pihak memiliki kesamaan pandangan (common ground) bisa ditekankan bahwa implementasi kewenangan atau penanganan suatu urusan dikembalikan kepada fungsi utama pemerintah, yaitu untuk melayani kepentingan masyarakat (core
competence to public services). Kewenangan mungkin sekali terbagi atas kewenangan provinsi atau kewenangan kabupaten/kota. Namun penting bagi semua jenjang pemerintah menyadari bahwa semuanya melayani
customer yang sama, yaitu masyarakat/penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta. Situasi yang seringkali terjadi masyarakat hanya melihat bahwa pemerintahlah yang menyediakan pelayanan publik, tidak melihat apakah pelayanan itu merupakan kewenangan provinsi, kabupaten atau kota. Hal inilah yang patut disadari oleh antar jenjang pemerintah daerah di DIY. g. Mendorong tercapainya negosiasi yang fair dan efektif. Maksud fair bahwa negosiasi dilakukan dengan kondisi masing-masing pihak kompeten dan mampu untuk melakukan negosiasi.
120
h. Mediator dapat menyusun suatu kesepakatan, berdasarkan hal-hal yang telah disampaikan dan disetujui oleh perwakilan/partisipan dari masingmasing pemerintah daerah menjadi suatu draft kesepakatan untuk ditandatangani, jadi lebih dari sekedar rekomendasi.
D. Arbitrase Arbitrase merupakan mekanisme terakhir yang dapat diterapkan dalam proses penyelesaian berbagai permasalahan dalam penataan kewenangan, sebab arbitrase mempunyai kecenderungan win-lose solution dan berwenang dalam memutuskan serta bersifat mengikat, dibanding mekanisme lain atau pola lain yang dapat diterapkan di mana masih melibatkan secara aktif para partisipan dari pihak-pihak yang bersengketa. Arbitrase dilakukan pada kondisi sebagaimana di bawah ini. 1. Perundingan secara kolektif antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Sleman tidak mampu mencapai persetujuan atas isu kewenangan/urusan yang dirundingkan. 2. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Sleman telah melakukan upaya-upaya penyelesaian yang dapat dipertanggungjawabkan,
termasuk dengan
mekanisme atau pola fasilitasi, mediasi, atau negosiasi, untuk mengatasi konflik kewenangan/urusan .
121
3. Masing-masing pemerintah daerah telah dapat menetapkan secara tertulis yang menjadi perselisihan kewenangan. Maksudnya terdokumentasikannya data dan proses penyelesaian serta pilihan-pilihan yang telah dilakukan atas suatu urusan/k.ewenangan yang diperdebatkan. Leb berpendapat arbitrase adalah suatu mekanisme penyelesaian konflik dengan adanya proses timbal balik, arbitrator memperoleh otoritas semata-mata dari para pihak yang berselisih12 • Para pihak bebas memilih susunan arbitrator,
dan sering juga melakukannya melalui ketentuan yang telah disepakati sebelumnya sebelum suatu perselisihan muncul. Arbitrase bersidang secara ad-
hoc (sementara), dan para wakil dari pemda mempengaruhi komposisi panel arbitrase dan atau menyeleksi suatu arbitrator secara khusus. Para pihak menentukan "aturan main", baik dengan mendesain proses sendiri atau memilih susunan arbitrase. Keanggotaan arbitrase berjumlah ganjil dan tidak lebih dari 5 orang dengan mernpertimbangkan arbitrase tidak rnemerlukan jumlah yang banyak, sebab merupakan tahapan kegiatan lanjutan (fasilitasi yang tidak mencapai .kesepakatan, mediasi yang tidak ada tindak lanjut atau negosiasi yang deadlock)
di mana segala bentuk masukan informasi dan data telah tersedia. Rekruitmen arbitrator rnenjadi tanggung jawab bersarna antar pemerintah daerah, ditentukan jumlah dan orangnya, kemudian dituangkan nota kesepakatan '12Christina Leb, "Arbitration". Diambil dari http://www.intractableconflict.org/m/arbitration.jsp.
122
bersama. Proses dan segala hal sehubungan dengan kerja dari arbitrator menjadi tanggung jawab dan didanai bersama antara pemerintah daerah di Provinsi DIY. Arbitrator mempunyai otoritas (karena diberikan otoritas oleh para pihak yang menyerahkan permasalahan), sehingga arbitrator berwenang meminta keterangan dan penjelasan atau hearing
dari pemerintah daerah atas
kewenangan/urusan yang menjadi permasalahan. Pola arbitrase masih merupakan hal yang asing dalam proses penyelesaian konflik/perselisihan antar pemerintah daerah, lebih khusus lagi dalam penataan kewenangan/urusan. Namun sangat mungkin diterapkan mengingat kompleks/rumitnya permasalahan kewenangan/urusan yang mendesak untuk segera diselesaikan. Telah dikemukakan di depan, mekanisme penyelesaian permasalahan terkait tarik-menarik urusan tidak ada tindak lanjut dan dikeluhkan oleh aparatur pemda dari kabupaten!kota. Hal ini dikarenakan hasil kerja Tim Mediasi tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat, hanyalah sekedar rekomendasi dan tingkat perhatian dari pengambil kebijakan (gubemur dan bupati) kurang atau tidak menjadi prioritas sebagaimana dikemukakan responden/informan berikut ini. "Sayangnya Tim Mediasi itu kan independen yang tidak mempunyai otoritas, hanya rekomendasi saja. Rekomendasi sudah jadi, sudah diberikan kepada Gubemur tetapi yaa itu terserah Gubernur. Saya pun telah memberikan masukan terkait dengan perlunya tindak lanjut hasil
123
MIOD tersebut. Namun .... Gubemur masih menganggap hal itu biarlah menjadi media pembelajaran. Yaa.. sudah macet lagi. Ini persoalan di situ. Lain halnya hila dengan arbitrase, hasilnya akan final dan mengikat" (TAR, Provinsi, 6 Desember 2004). Aparatur pelaksana dari Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Sleman menginginkan adanya kejelasan dan ketegasan, paling tidak tindak lanjut dari apa yang telah direkomendasik.an atas bebeberapa permasalahan kewenangan/ urusan
sebagaimana
telah
diajukan
kepada
Gubemur
melalui
Biro
Pemerintahan Setda Provinsi DIY. Penerapan pola atau mekanisme mediasi atau mediator sebenamya belum mempunyai dasar pemahaman yang sama, belum ada kesepakatan mendasar antar pemda atas pelibatan pihak ketiga (intermediasi) dalam penyelesaian konflik, misalnya mengenai pendanaan proses, pemilihan anggota pihak ketiga tersebut, sebab misalnya pendanaan oleh Pemerintah Provinsi saja akan memberikan pemikiran tidak netral atas hasil intermediasi. Salah satu jalan untuk solusi mekanisme atau pola yang dapat diterapkan adalah mediated arbitration (arbitrase yang dimediasi). Mediated arbitration yang dikenal dengan sebutan "med-arb," merupakan suatu variasi prosedur arbitrase di mana pihak ketiga yang netral dan tidak memihak diberikan wewenang oleh pihak yang bersengketa untuk menengahi (memberikan mediasi) perselisihannya sampai pembicaraan menemui jalan buntu. Sebagai bagian dari proses, ketika kebuntuan ditemui, pihak ketiga diberi hak oleh para
124
pihak untuk memberikan suatu opini yang mengikat berdasarkan sebab-sebab dari kebuntuan atau isu yang diperselisihan tersebut. Penyelesaian permasalahan urusan dengan "med-arb" menggunakan dua pihak luar, satu dengan mediator yang menengahi atas isu kewenangan/urusan yang diperdebatkan dan satu pihak ketiga lagi untuk arbitrase atas isu-isu yang masih ada atau menemui jalan buntu setelah proses penyelesaian melalui mediasi telah selesai. Mediated arbitration bermanfaat dalam membatasi isu dengan cepat dibanding di bawah arbitrase sendiri dan membantu para pihak memfokuskan sumber daya mereka pada isu yang benar-benar sulit yang terdapat pada suatu perselisihan dalam suatu cara yang efektif dan efisien. Pelibatan intermediasi (pihak ketiga) mengenai jumlah, komposisi, kriteria, dan individu yang dilibatkan harus disepakati dan disetujui oleh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten Sleman. Pendanaan proses penyelesaian juga merupakan dana bersama dari masing-masing pemda. Komposisi intermediasi dapat diberikan sebagai berikut. a. Unsur akademisi/praktisi dengan latar belakang pendidikan/profesi yang berkaitan
erat
dengan
permasalahan
kewenangan/urusan
yang
diperdebatkan. Salah satu kelebihan DIY adalah banyaknya perguruan tinggi dengan sumber daya manusianya yang mempunyai kompetensi yang relatif tinggi dan tersedia.
125
b. Unsur lembaga swadaya masyarakat ini dipilih dari yang bergerak di bidang pengawasan pemerintahan dan atau pelayanan masyarakat. c. Unsur tokoh masyarakat; tokoh masyarakat di sini lebih diutamakan mantan pejabat di lingkungan pemerintah daerah yang mempunyai kapasitas dan kompetensi dalam hal ini mengenai penataan kewenangan. Unsur ini diharapkan pengalaman dan wawasannya dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tersebut dapat memberikan masukan dan melihat secara cermat mengenai permasalahan kewenangan!urusan. d. Unsur dari pemerintah pusat, apabila dibutuhkan, sebagai unsur yang kompeten atas referensi berbagai peraturan perundangan-undangan dan pengalaman atas permasalahan kewenangan!urusan pada daerah lainnya. Penerapan pola atau mekanisme penyelesaian konflik/perselisihan kewenangan/urusan penyelenggaraan
tersebut
pemerintahan
juga
akan
daerah
di
tergantung Provinsi
pada
Daerah
bentuk Istimewa
Yogyakarta. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang khusus atau istimewa dari Provinsi DIY tentu mengkerangkai atas penerapan pola-pola atau mekanisme penyelesaian konflik/perdebatan atas kewenangan/urusan antar pemerintah daerah di DIY. Dalam bab berikut akan diulas kerangka atau bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah.
BABY REALITAS OBYEK.TIF DAN MONARKHI KONSTITUSIONAL
Penerapan mekanisme atau pola-pola resolusi konflik/perselisihan sebagai suatu wujud pelembagaan hubungan antara Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman. Penataan kewenangan/urusan merupakan proses yang berkelanjutan mengingat hubungan antar jenjang pemerintah (interrelasi dan interkoneksi) sebagai suatu yang selalu terjadi dengan dinamika yang melekat erat di dalamnya. Penerapan pola atau mekanisme resolusi konflik akan terkait dengan bentuk atau sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah pada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bila dirunut ke belakang, DIY merupakan suatu sistern
pemerintahan
tersendiri
dan
menjalankan
fungsi-fungsi
pemerintahannya (sultanaat) sejak sebelum berdirinya Republik Indonesia, kemudian mengintegrasikan diri ke dalam negara kesatuan.
Sujamto
menekankan kemungkinan adanya suatu daerah yang bersifat khusus/ istimewa dengan mengemukakan makna kata "asal-usul" (sejarah terjadinya) yang dijamin dalam undang-undang dasar. Keberadaan suatu daerah tidak terlepas dari asal-usul eksistensi daerah yang bersangkutan. Dari makna kata "asal-usul" ini dapat dibedakan menjadi dua jenis hak, yaitu hak yang dimiliki berdasarkan
pemberian dari pemerintah dan hak yang telah dimiliki sejak semula (hak yang 126
127
bersifat autochtoon), atas hak yang dimilikinya sejak sebelum daerah itu merupakan bagian dati Negara Republik Indonesia 1• Perwujudan autochtoon tersebut dengan adanya hak untuk mengatur dan mengurus urusan-urusan tertentu, hal ini sejalan dengan konteks hak yang bersifat inheren dengan eksistensi suatu pemerintah daerah itu sendiri. Adanya eksistensi suatu daerah sebelum suatu negara terbentuk, maka negara atau pemerintah pusat tidak dapat mengambilnya keseluruhan dati hak-hak penyelenggaraan pemetintahan yang melekat pada suatu daerah tersebut2 • Pengaturan mengenai Provinsi DIY baik pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 maupun Nomor 32 Tahun 2004 adalah sama, yaitu pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah pengangkatan Gubemur dengan mempertimbangkan calon dati keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubemur dengan mempertimbangkan calon dati keturunan Paku Alam. Adapun penyelenggaraan Pemetintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Dati hasil penelitian, terdapat dua kerangka yang menjadi pijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di DIY, khususnya terkait dengan Ir. Sujamto, "Daerah lstimewa dalam Negara Republik Indonesia", Bina Aksara, Jakarta, 1988, hal. 12-13. 1
2
GeorgeS. Blair, "Government at the Grass-Roots", Palisades Publishers, California, 1986, p.21.
128
hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten!Kota dan pada gilirannya berdampak pada penerapan pola atau mekanisme resolusi konflik/perselisihan dalam penataan kewenangan/urusan. Dua kerangka dasar tersebut adalah kerangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang realitas obyektif dan monarkhi konstitusional. Realitas obyektif mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan
daerah
dan
realitas
implementasi
kewenangan/urusan,
sedangkan monarkhi konstitusional merupakan bentuk pengaturan khusus atas penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi DIY. Kedua kerangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diuraikan di bawah ini.
A. Realitas-Obyektif Kerangka realitas obyektif merupakan pelembagaan hubungan dengan mendasarkan atau mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memperhatikan realita implementasi kewenangan/urusan. Penataan kewenangan/urusan antara Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten Sleman
didasarkan pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2004. Dalam undang-undang tersebut diatur seperti tersirat dalam konsideran menimbang huruf b dan ditegaskan
dalam
menyelenggarakan
Pasal urusan
2
ayat
(4):
pemerintahan
"Pemerintahan merniliki
daerah
hubungan
dalam dengan
Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya" dan Pasal 11 ayat (2)
129 yang
berbunyi:
"Penyelenggaraan urusan
pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang sating terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan". Jadi jelas dan tegas, walaupun pengaturan tersebut dinilai telah terjadi pergeseran dengan adanya penguatan (kembali) keberadaan pemerintah provinsi tetapi peraturan tersebut juga mengatur dan memberikan dasar hukum keperluan dan kebutuhan untuk melembagakan hubungan yang serasi dan sinergis antara pemerintah provinsi dan kabupaten!k.ota dalam proses penataan kewenangan/urusan. Namun apabila hal tersebut diterapkan di DIY juga akan menimbulkan konstelasi hubungan yang tidak seimbang, yaitu terjadi penumpukan otoritas pada lingkup pemerintah provinsi. Lebih jelasnya terlihat pada gambar di bawah ini.
130
GambarS Hubtmgan antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam Kenmgb Realitas-Qbyektif
~pala ~erah
R!memtah Aovinsi (lY
Seman
Gunung l
Melihat Gambar 5 menjelaskan kondisi sekarang, pada kotak paling kiri terlihat pada Pemerintah Provinsi DIY terdapat 3 otoritas/legitimasi, yaitu Kepala Daerah Provinsi DIY, Gubernur DIY dan Sultan. Tiga otoritas karena merupakan wakil pemerintah pusat di daerah, kepala daerah (jabatan politis) dan Sultan sebagai otoritas sosio-kultural di DIY. Komposisi atau konstelasi
tersebut tidak seimbang, maka posisi atau daya tawar yang terjadi juga tidaklah seimbang. Padahal pola-pola atau mekanisme resolusi konflik sebagaimana dimaikan dalam Bah N
harus dilakukan sebagai respon perubahan dan
dinamika hubungan antar jenjang pemerintah dalam proses penataan kewenangan/urusan.
131
Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan adanya tumpang tinelih
atau
terjaeli
tarik
menarik
kewenangan/urusan
sebagaimana
dikemukakan Wright membutuhkan tingkat pemahaman dan kompetensi yang tinggi dari masing-masing jenjang pemerintah3 • Upaya mensikapi konelisi seperti ini sebenamya pemah dilakukan sesaat sebelum penerapan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999, Gubemur DIY pada tanggal29 November 2000 mengadakan pertemuan dengan seluruh bupati dan walikota se-DIY berikut para pejabat eli jajaran Pemda DIY maupun kabupaten!kota untuk mencapai kesamaan visi sebelum melaksanakan otonomi daerah, sehingga dapat memberikan harapan berbagai kewenangan/urusan pemerintah kabupaten/ kota. lintas kabupaten!kota maupun pemerintah provinsi dapat eliatur dengan
baik4 • Visi yang sama atau kesepemahaman inilah sebenamya kunci hubungan yang baik dan sinergis antar pemda eli DIY dan upaya untuk hal tersebut telah ada dan terjadi, namun hasil konkretnya tidak ada, misalnya mengenai Poldas Pembangunan Provinsi tidaklah menjaeli acuan bagi Kabupaten!Kota eli DIY. Tidak
ada
hierarkhi
peraturan
perundang-undangan
pada
JenJang
penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten!Kota.
Dells S. Wright, "Local and Regional Governments, Regional Workshop on: Consolidating the Gains in Decentralization Reforms and Win-Win Policy Analysis", African Training and Research Centre in Administration for Development, Windhoek, Namibia, p. 4. Diambil dari http://www.cafrad.org 4 Rapat Koordinasi Persiapan Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 di Gedung Pracimosono, tanggal 9 November 2000. 3
132
Forum pertemuan antar kepala daerah secara rutin tidak terlembagakan sejak pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 hingga saat pemberlakuan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Hal ini dibenarkan oleh responden/informan sebagai berikut. "Memang pertemuan rutin antara Gubemur dan Bupati atau Walikota sejak pemberlakuan UU 22/99 saya melihat tidak seperti pada masa Undang-Undang 5/74. Yaa saya pikir forum-forum pertemuan rutin antar kepala daerah perlu, ada koordinasi atau komunikasi antar kepala daerah. Bisa jadi karena forum seperti ini, maka persoalan-persoalan kewenangan/urusan tidak selesai atau tidak ada tindak lanjutnya." (TAR, Provinsi 5 Desember 2004) Pada masyarakat dan kultur yang melekat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sudah menjadi hal jamak atau sulit dibedakan antara keberadaan Gubernur dan Sultan, Gubernur adalah Sultan atau sebaliknya Sultan adalah Gubemur. Hal ini membawa pengaruh kultur hubungan atau komunikasi antar pejabat dengan gubemur, paling tidak dalam keberanian dalam mengemukakan pendapat dalam forum-forum pertemuan yang dipimpin atau dihadiri oleh Gubernur (Sultan). "Kalan ini sekarang kadang-kadang kalau Gubemur pidato kadang rancu, beliau itu bicara sebagai Sultan atau sebagai Gubemur. Yaa itu dari dimensi penyelenggaraan pemerintahannya .... Kalau sekarang ini kan Gubemur cenderung ini saya katakan aja konkretnya Gubemur cenderung subyektif. Saya kemarin rapat MIOD paparan dengan Gubernur itu cenderung subyektif. Membela untuk kepentingan provinsi karena Gubemur sekaligus kepala daerah provinsi masalahnya. Beda kalau sekarang Gubemur di satu s1s1 menyelenggarakan manajemen pemerintahan. Di satu sisi Sultan jadi beliau tahu jeroannya (maksudnya isi/seluk beluk pemerintah provinsi), kebijakannya lalu cenderung
133
kebijakan menguntungkan provinsi daripada kabupaten!kota" (TAR, Provinsi, 6 Desember 2004). Dari penjelasan responden/informan tersebut, Gubemur dalam kenyataannya juga sulit untuk dapat bertindak netral, sebab sebagai Gubernur tentu saja juga harus memperhatikan kepentingan pemerintah provinsi dan hal tersebut dapat dipandang sebagai sesuatu yang wajar atau alami. Pada kenyataan memang sulit dibedakan berkaitan dengan keberadaan dan peran Sultan, misalnya masyarakat PKL melakukan demo karena penggusuran rnengadukan kepad.a Gubemur selaku pemerintah yang lebih atas atau sebagai Sultan yang mengayomi dan menampung aspirasi rakyatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada Kedaulatan Rakyat yang secara rutin memuat kolom
Sabda Sri Sultan Hamengku Buwono IX, namun pada akhir artikel tersebut tercantum data penulis sebagai Gubemur DIY. Hal tersebut menjadi bukti sudah menjadi hal yang jamak, sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Sultan adalah Gubernur dan Gubemur adalah Sultan. Kerangka realitas obyektif ini menjelaskan, walaupun konstelasi hubungan antar pemerintah daerah dirasakan tidak seirnbang, namun pola-pola atau mekanisme resolusi konflik dalam penataan kewenangan/urusan harus tetap diterapkan atau dijalankan. Rekomendasi Tim MIOD merupakan bukti kondisi tidak adanya pelembagaan hubungan yang baik dan partisipatif dari para pengambil kebijakan, rekomendasi mengalami kemacetan dan tidak ada
134
tindak lanjut suatu kebijakan. Padahal rekomendasi Tim MIOD mendesak untuk segera diambil kebijakan, sehingga pelaksanaan pelayanan tidak terganggu dan masing-masing pelaksana teknis (aparatur) dari pemerintah daerah tidak diliputi kebimbangan, karena menanti terbitnya suatu kebijakan. Hal ini dapat menimbulkan sikap pasrah atau pesimis atas tindak lanjut rekomendasi Tim MIOD bagi aparatur pemda, sebagaimana diungkapkan di bawahini. "Kelihatannya dari Pemerintah Kabupaten Sleman tidak menjadi masalah mengenai tarik ulur kewenangan. Sebab andaipun misalnya hasil MIOD tersebut ditindaklanjuti dengan suatu SK Gubemur pada umumnya tidaklah masalah. Lha wong itu secara sepihak diputuskan saja kecenderungan Kabupaten/Kota akan menerima,. (Sus, Sleman,2004) Rekomendasi Tim MIOD telah disampaikan sejak Agustus 2003 hingga ditulisnya laporan studi ini belum ada tindak lanjut. Hal ini juga muncul sebagai salah satu kesimpulan dalam suatu forum sebagai berikut. "Tidak adanya tindakan kebijakan yang diambil, misalnya tindakan kebijakan konk.ret atas hasil Tim MIOD, namun rupanya hal ini tidaklah menjadikan prioritas para kepala daerah. Diharapkan pemerintah provinsi dapat memberikan masukan dan memantau atas hasil kerja Tim MIOD tersebut" (FGD, 7 Oktober-2004). Tampaknya dalam konteks atau kerangka realitas-obyektif, peranan Sultan sangat besar untuk melembagakan hubungan antar jenjang pemerintah (antar pemerintah daerah) di Provinsi DIY. Dalam tataran pemikiran, Sultan telah memiliki konsep hubungan antar pemerintah daerah dalam proses
135
penataan kewenangan, namun dalam tataran implementasi pemikiran tersebut diperlukan langkah-langkah konkret, paling tidak nantinya dengan melihat tindak lanjut atas berbagai masukan atas penataan kewenangan/urusan yang telah disampaikan kepada Gubemur.
B. Monarkhi-Konstitusional Kerangka
Monarkhi
Konstitusinal
lebih
mendasarkan
diri
pada
kemungkinan adanya bentuk penyelenggaraan pemerintahan daerah secara khusus di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam pengertian bahwa kekhususan diberikan kemungkinannya dengan diatur dalam suatu undangundang. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengakomodir keberadaan DIY melalui pasal 2 ayat (8) sebagai satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa dan pengakuan keberadaan Karaton Kasultanan Ngayogyakarta Hacliningrat sebagai kesatuan masyarakat
hukum adat beserta hak tradisionalnya menurut pasal 2 ayat (9). Dengan demikian Provinsi DIY mempunyai peluang untuk mempunyai bentuk penyelenggaraan pemerintahan tersendiri yang akan mempengaruhi dalam pelembagaan hubungan antar pemda, di samping selama ini yang dikemukakan keistimewaan yang terkait dengan pengisian Gubernur dan W akil Gubernur DIY, terutama dalam draft RUU Keistimewaan DIY yang telah disampaikan kepada DPR-RI.
136
Monarkhi konstitusional merupakan wacana memisahkan antara jabatan Gubemur dan Kepala Daerah yang juga digulirkan dalam perdebatan mengenai draft RUU Keistimewaan DIY. Dalam kerangka ini diharapkan lebih menjadikan dasar yang kuat dan jangka panjang bagi kelestarian dan pemantapan keistimewaan DIY. Sistem pemerintahan monarkhi-konstitusional merupakan sistem yang rasional obyektif, mempertimbangkan aspek demokratisasi dan aspek asal-usul dan historis Provinsi DIY sebagai daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Maksud monarkhi-konstitusional ini dapat dipahami sebagaimana dikatakan informan sebagai berikut. "Sebetulnya kita pemah memikirkan khususnya di RUU Keistimewaan kalau setingkat negara disebut pemerintahan yang model monarkhi konstitusional. Hampir mirip kerajaan tetapi ada juga unsur pemerintahan modem-nya. Artinya mengakomodir demokratisasi juga mengakomodir aspek-aspek dimensi sejarah. Intinya bahwa kepala itu ada dua, seperti kalau kepala pada tingkat negara adalah kepala negara dan kepala pemerintahan. Yang satu dipilih secara langsung oleh masyarakat. Itu nanti sebagai yang menyelenggarakan eksekutifnya gitu, jadi manajemen pemerintahan dilaksanakan oleh itu. Itu oleh pemilihan langsung sehingga aspek demokratisnya di situ siapa pun jadi. Lalu yang satu ada kepala negara (maksudnya kepala daerah DIY), yang fungsinya adalah wakil pemerintah yang ada di daerah. Jadi Gubemur fungsinya wakil Presiden yang ada di daerah" (TAR, Provinsi, 1 Desember 2004).
Enoca Encylopedia mendefinisikan monarkhi konstitusional sebagai su~
bentuk pemerintah yang dibentuk eli dalam sistem konstitutional yang mengakui adanya mekanisme turun-temurun atau memilih raja sebagai
k~pala
137
negara (dalam hal ini kepala daerah). Monarkhi konstitutional modern pada umumnya menerapkan konsep dan mempunyai raja sebagai simbol kepala eksekutif5. Jadi sebenarnya sistem ini dapat diterapkan di Provinsi DIY justru berpijak pada penguatan eksistensi Karaton dan Pakualaman sebagai simbol pemangku adat, pemersatu dan pengayom DIY untuk kemaslahatan masyarakat DIY secara keseluruhan sebagaimana nilai yang terkandung dalam Tahta Untuk
Rakyat mengenai masa depan DIY. Isu kepemimpinan di DIY selalu menjadi titik sentral dalam perdebatan mengenai keistimewaan DIY. Hal ini pun sebenarnya juga telah menjadi pemikiran dari Sultan Hamengku Buwana IX. "Tetapi apakah Sultan itu sekaligus Gubernur Kepala Daaerah Istimewa Yogyakana sebagaimana tercantum dalam Undang-undang tentang daerah istimewa, itu terserah nanti, demikian Hamengku Buwono IX. Menurut pendapatnya hal ini biasanya dibicarakan bersama pemerintah pusat, sementara selalu harus dilihat pula apakah rakyat setempat juga menyetujuinya6 ". Demikian pula pemyataan Sultan HB IX dalam Tempo, "Gelar Sultan Hamengku Buwono akan tetap ada turon temurun. Hanya saja, menurut ancer-
ancer Sultan, fungsinya tidak harus sebagai kepala daerah7". Dari pernyataan tersebut
Sultan HB
IX sangat
menyadari
kedudukan
Sultan dalam
5 Anoca Encyclopedia, "Constitutional Monarchy". Diambil dari http:Uwww.anoca.org/monarch/ Q,Ueen/constitutional monarchy.html 6 Atmakususmah (penyunting), "Tahta Untuk Rakyat", Gramedia, Jakarta, 1982, hal. 123. 7 Majalah Tempo 17 Oktober 1987 dalam Ir. Sujamto, "Daerah Istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia", Bina Aksara, jakarta, 1988, hal. 257.
138
pemerintah daerah tergantung kebijakan pusat dan mengakomodasi aspirasi yang berkembang dari masyarakat Yogyakarta. Keistimewaan merupakan tekad untuk selalu dipertahankan sebagaimana dalam
Keputusan
Dewan
Perwakilan
Rakyat
Daerah
DIY
Nomor
4/K/DPRD/1980 tentang Sebutan dan Kedudukan Daerah Istimewa Yogyakana. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 bukan merupakan peraturan yang mengatur secara khusus, hanya pembentukan DIY setingkat provinsi. Menurut Wahyukismoyo peraturan tersebut sudah final karena merupakan a Generous Act atau Act of Faitlf3. Apabila keistimewaan terlalu ditekankan pada pengisian
Gubemur dan Wakil Gubernur adalah Sultan dan Paku Alam (Pasal 127 RUU Keistimewaan), maka kemungkinan dikritisi atau mendapatkan hambatan karena dianggap tidak menangkap perubahan situasi dan kondisi yang terjadi. "Mengenai keistimewaan hila sekarang ditekankan pada pasal 17 RUU Keistimewaan mungkin akan mengalarni hambatan. Bisa dilihat bagaimana dengan proses pemilihan tersebut pada 2003 kemarin, hal ini akan dianggap tidak 'menangkap' perubahan yang terjadi ila Gubernur is Sultan. Dengan kapasitas Sultan sekarang, tidak ada masalah, namun ke depan perlu ada pertimbangan. Di sini mestinya hati-hati dalam menyikapi RUU ini yang telah menghabiskan anggaran rnilyaran itu .... Sebagai orang Jawa kita tetap harus menjaga eksistensi kraton ... itu harus. Saya setuju dan berpendapat bahwa Sultan dan Pak.u Alam harus menempati posisi sentral di Provinsi DIY. Bagaimanapun karena bermula dari kedua lembaga ini DIY istimewa. Namun kita juga harus cermat, hati-hati dalam meletakkan keistimewaan DIY untuk jauh ke depan" (AP, Provinsi, 4 Desember 2004).
8 Heru Wahyukismoyo, "Keistimewaan Jogja vs. Demokratisasi", Bigraf Publishing, Y ogyakarta, 2004, ha1.174.
139
Monarkhi konstitutional mengkombinasikan demok.rasi perwakilan, menghadirkan
kompromi antara
teori
kedaulatan yang
menempatkan
kedaulatan rakyat dan melihat adanya suatu peranan bagi ttadisi di dalam teori pemerintahan. Hal ini kondusif untuk terciptanya pelembagaan hubungan yang demok.ratis dan modem, adanya peluang partisipasi aktif dan akses yang sama antar pemerintah daerah. di mana tiap jenjang pemerintah dapat memberi dan menerima secara proporsional.
Gambar6 Hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota daJam Monarkhi-Konstitusional
Pemerintah Pusat
140
Dalam kerangka monarkhi-konstitu.sional, adanya pemisahan antara gubemur dan kepala daerah, sehingga susunan pemerintahan daerah di Provinsi DIY sebagai berikut. a. Pemerintah Kabupaten/Kota dengan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/ Wakil Walikota yang dipilih secara langsung. b. Pemerintah Provinsi DIY dengan Kepala Daerah dan W akil Kepala Daerah yang dipilih secara langsung. c. Sultan dan Pakualam sebagai Gubemur dan Wakil Gubernur yang benanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Pada Gambar 6 di atas tiap pemerintah daerah mempunyai kedudukan dan kapasitas atau peluang yang sejajar/setara untu.k melakukan negosiasi dan tawar menawar penataan kewenangan/urusan atau mungkin permasalahan sehubungan dengan implikasi pelaksanaannya. Pelembagaan forum yang mempenemukan kepentingan antar pemerintah daerah bisa secara langsung melalui negosiasi atau didahului dengan mediasi. Dengan kerangka demikian, kekahawatiran adanya
bargaining power yang tidak seimbang untuk
melaksanakan negosiasi sebagaimana diungkapkan responden di bawah ini dapat diminimalisir. "Semangat negosiasi baik akan tetapi melihat kondisi masyarakat yang sedang belajar demolcrasi juga ada implikasi negatifnya, sebab menurut saya negosiasi akan dipengaruhi bargaining position/bargaining power. Akses provinsi dengan Undang-undang 32 lebih kuat dibanding 22, maka
141
ini akan menjadikan kemampuan bargaining provinsi semakin lebih kuat dibanding kabupaten. Artinya bargaining position/power lebih kuat, maka ilmu ngeyel (keras kepala dalam mempertahankan pendapat) akan lebih menonjol" (TAR, Provinsi, 1 Desember 2004). Selanjutnya
pelembagaan hubungan dalam
kerangka monarkhi-
konstitusional dapat diprakarsai atau difasilitasi oleh Sultan dan Pakualam selaku wakil pemerintah pusat dan juga sebagai pengayom/penjaga yang mengedepankan kemaslahatan masyarakat Yogyakarta. Sultan dan Pakualam juga sebagai pihak yang dapat melakukan arbitrase atas konflik kewenangan atau tarik-menarik urusan yang tidak kunjung usai atau kemungkinan memberikan dampak negatif pada pelayanan publik secara luas dan para pihak hams tunduk terhadap keputusan hasil atau keputusan dari pola arbitrase ini. Hal inilah sebagai salah satu hak prerogatif Sultan/Paku Alam atas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat di DIY. Hal ini didukung dari pemyataan reponden sebagai berikut. "Kalau dengan tata pemerintahan tadi (maksudnya monarkhi konstitusional) fungsi Gubernur menjembani dan nanti kepala daerah duduk dengan kepala daerah kabupaten/k.ota merumuskan kewenangan .... Nah fungsi-fungsi itulah yang sebenamya fungsi-fungsi yang dimainkan oleh Gubernur dalam hal ini Sultan yang mewakili Pemerintah Pusat untuk arbitrase. Sehingga Sultan bisa mempengaruhi bukan pada konteks beliau pada posisi provinsi tetapi kondisi mewakili kepentingan makro" (TAR, Provinsi, 1 Desember 2004). Dengan
demikian
kerangka
monarkhi-konstitusional
memberikan keuntungan sebagai berikut.
ini
akan
142
a. Terbentuknya tata pemerintahan yang unik, yaitu penggabungan bentuk demokrasi dan mengakomodasi nilai tradisional yang berpengaruh kuat di Yogyakarta. Hal ini akan memberikan landasan keistimewaan yang kuat bagi DIYpada masa-masa mendatang. b. Tidak ada rangkap otoritas yang melekat pada suatu lembaga, dengan demikian pemerintah daerah mempunyai kedudukan setara secara legalformal maupun dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini sesuai dengan karakteristik intergovernmental relations. c. Dapat dibangun dan dikembangkan pelembagaan forum dan penggunaan forum negosiasi maupun mediasi. Hal ini mengingat dari segi kewilayahan Provinsi DIY yang relatif kecil dan relatif dapat terjaga integritasnya sehubungan dengan keuntungan sebagaimana pada huruf a. d. Sultan dan Paku Alam yang benanggung jawab langsung kepada Presiden dan
diakui
memiliki
otoritas
sosial-budaya
yang
mengedepankan
kemaslahatan rakyat Yogyakarta, mempunyai royal prerogatif dalam penyelenggaraan pemerintahan, salah satunya arbitrator
yang
mempunyai
keputusan
kewenangan sebagai
mengikat
dan
final
atas
permasalahan di DIY, termasuk dalam hal penataan kewenangan/urusan antara pemerintah daerah di Provinsi DIY.
BABVI PENUTUP
A. Kesimpulan
Hubungan antar jenjang pemerintahan menjadi penting sebab inilah salah satu perubahan mendasar dari pembalikan sistem sentralisasi menjadi desentralisasi. Transisi awal pelaksanaan otonomi seluas-luasnya melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menjadi pembelajaran yang sangat berarti bahwa hubungan antara Pemerintah Provinsi dan atau antar Pemerintah Kabupaten/Kota terjadi interdependensi (saling keterkaitan dan saling ketergantungan) bukan independensi, berorientasi pada kesejajaran atau kesetaraan dan terjadi kompleksitas hubungan. Hal ini semakin ditegaskan dalam pengaturan keberadaan hubungan antar pemerintah daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dalam Pasal 2 ayat (4): "Pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan Pemerintah dan dengan pemerintahan daerah lainnya" dan Pasal 11 ayat (2) yang berbunyi: "Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistern pemerintahan". 143
144
Pembahasan pada bab-bab di depan memberikan kesimpulan masingmasing Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Sleman melalui aparatur pelaksananya telah tumbuh pemahaman adanya saling keterkaitan dan perlunya menjalin hubungan antar jenjang pemerintahan yang sinergis, terutama
dalam
penyelesaian
atas
isu-isu
kewenangan/urusan
yang
dipermasalahkan. Dengan demikian, hubungan antar jenjang ini telah dapat dirintis dengan baik, baik dalam konteks masih dalam pelaksanaan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 atau dengan telah diberlakukannya Undangundang
Nomor
kewenangan/urusan
32
Tahun diatur
2004. dalam
Hal
ini
disebabkan,
walaupun
beserta
peraturan
undang-undang
pelaksanaannya, namun pada tataran implementasinya sangat dibutuhkan kesepahaman dan kompetensi yang tinggi antar pemerintah daerah, mengingat hubungan yang terjadi bersifat rumitlk.ompleks, tidak ada pembatasan atau batas-batas yang pasti antar yurisdiksi atau kewenangan antara suatu pemerintah daerah dengan pemerintah daerah lainnya. Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten Sleman saling mempengaruhi dan tidak mungkin secara tepat menentukan batasan antara satu terhadap lainnya; tidak pernah mungkin juga untuk dipisahkan yurisdiksi di antara pemerintah daerah ke dalam bentuk yang kaku dan benar-benar terpisah. Tumpang tindih dan interpenetrasi yurisdiksi sebagai suatu hal yang tidak dapat diabaikan.
145
Suatu pemerintah daerah tidak dapat menangani dan memecahkan permasalahan dalam implementasi kewenangan/urusan sendirian. Ada batas suatu pemerintah daerah dapat melaksanakan sendiri kewenangan/urusan beserta permasalahan yang mungkin sek.ali timbul, namun juga ada batas awal untuk terbangunnya hubungan dengan pemerintah daerah lainnya atau bahkan dengan stakeholders yang ada secara keseluruhan (co-operative governance) dengan semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap kuantitas dan kualitas pelayanan publik. Tekad mensinergikan hubungan dalam penataan kewenangan/urusan antara Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman telah ada, namun mekanisme, proses dan prosedur yang disetujui bersama sebagai landasan dalam pelembagaan hubungan antar pemerintah daerah di Provinsi DIY belum ada kesepakatan dan dasar hukum pelaksanaannya. Permasalahan dan kendala dalam penataan kewenangan dalam konteks hubungan antara Pemerintah Provinsi DIY dan Kabupaten Sleman dapat dismpulkan sebagai berikut. 1. Tidak adanya forum antar kepala daerah (Gubemur dan Bupati) untuk menentukan kebijakan bersama. Padahal dialog antar aparatur antar pemerintah daerah dapat dikatakan telah dilakukan dan telah memberikan 'satu kotak' rekomendasi untuk penataan kewenangan/urusan terdiri dari 5
146
bidang yang dikenal dengan Rekomendasi Tim MIOD 2003. Rekomendasi ini bila tidak segera diambil keputusan atau kebijakan atau berlarut-larut, maka kemungkinan situasi atau kondisi urusan/k.ewenangan berubah dan rekomendasi menjadi tidak relevan lagi, sehingga perlu rekomendasi baru melalui hasil kajian yang lebih up to date supaya kebijakan sesuai dengan kondisi terakhir yang terjadi. Hal ini terjadi karena tidak menjadikannya sebagai prioritas antar pemerintah daerah terhadap penuntasan proses penataan kewenangan di Provinsi DIY. Dampak yang dapat timbul sebagai akibat belum adanya tindak lanjut pada level pengambil kebijakan (Gubemur-Bupati) akan menyebabkan: a. kemungkinan
akan
bertambah
rumitnya
atau
kompleksnya
permasalahan kewenangan/urusan. Sebagaimana telah disebutkan di atas rekomendasi atau masukan mungkin akan menjadi tidak relevan. b. terganggunya
fungsi
pelayanan
yang
melekat
pada
suatu
kewenangan/urusan, bahkan bisa bergeser menjadi urusan abu-abu atau tidak ada yang mengurusi. c. kegiatan/operasionalisasi tataran teknisnya akan terganggu dan tidak optimal, karena adanya tumpang tindih, sehingga fungsi ketugasan tidak dapat optimal dan juga terjadi friksi antar aparatur teknis pada tataran operasionalnya.
147
d. mengendurkan perhatian dan sikap partisipatif antar aparatur antar pemda untuk "duduk bersama" dalam menyikapi isu-isu mengenai implementasi kewenangan/urusan. 2. Belum terlembagakannya dengan baik hubungan antar Pemerintah Provinsi dengan Kabupaten!Kota dalam penyelesaian permasalahan atau konflik kewenangan/urusan dam hal ini disebabkan a. belum dikenal dan dipahami secara penuh atas pola-pola dalam resolusi/penyelesaian atas konflik/perselisihan isu-isu dalam proses penataan kewenangan/urusan melalui pola atau mekanisme fasilitasi, mediasi, negosiasi, atau arbitrase, dan b. tidak adanya forum pertemuan yang mempertemukan para pengambil kebijakan, sehingga proses penyelesaian yang dimulai dari pertemuan yang telah dibangun pada level staf pelaksana menjadi macet, tidak sampai final atau tuntas. 3. Belum adanya aturan yang mendukung pelembagaan hubungan di Provinsi DIY atau kesepakatan-kesepakatan bersama yang mengikat dan menjamin proses penataan kewenangan secara proporsional dan rasional-obyektif. 4. Sifat dinamis dari kewenangan/urusan itu sendiri, mengingat suatu urusan dapat bergerak, misal dari menjadi urusan Pemerintah Kabupaten Sleman menjadi urusan Pemerintah Provinsi, sebaliknya atau dikelola oleh kedua
148
belah
pihak.
Dinamis
merupakan
sifat
kewenangan/urusan,
yaitu
kewenangan/urusan yang ada pada Pemerintah Provinsi atau Kabupaten berkecenderungan tidak bersifat tetap atau stasioner atau dengan kata lain cenderung bergerak bagai suatu pendulum, yang memberikan kemungkinan lokusnya pada pemerintah provinsi, kabupaten atau dilaksanakan secara bersama-sama. Di samping itu sifat interpenetrasi kewenangan/urusan juga menjadi permasalahan sehubungan dengan implikasi dari pelaksanaan kewenangan atau penanganan suatu urusan pada suatu pemerintah daerah. 5. Perbedaan persepsi atau subyektivitas masing-masing (aparatur) pemerintah daerah. Permasalahan atau kendala ini sebenarnya merupakan sesuatu yang khas dalam perdebatan dan penyelesaian masalah, namun pada tataran praktek hal ini menguras tenaga dan membutuhkan waktu yang panjang untuk mencapai kesepakatan bersama. Sedangkan pelembagaan hubungan antara Pemerintah Provinsi DIY dan Pemerintah Kabupaten Sleman dalam penataan kewenangan/urusan dapat ditempuh melalui dua hal sebagai berikut.
1. Penerapan pola-pola atau mekanisme resolusi konflik/perselisihan untuk isu-isu yang terjadi dan berkembang dalam proses penataan kewenangan/ urusan. Pelembagaan hubungan melalui penerapan pola resolusi ini meliputi fasilitasi, mediasi, negosiasi dan arbitrase, di mana masing-masing
149
untuk penerapan suatu pola akan tergantung dari kondisi yang berkembang dari isu-isu kewenangan/urusan yang diperselisihkan/diperdebatkan. 2. Pelembagaan hubungan dengan mengaitkan atau mendasarkan pada kerangka penyelenggaraan pemerintahan daerah di DIY, yaitu kerangka realitas obyektif dan monarkhi konstitusional. a. Realitas obyektif lebih mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memperhatikan realita implementasi kewenangan/ urusan, maksudnya berdasarkan pada undang-undang dan peraturan pelaksanaan yang mengatur kewenangan/urusan. Walaupun dalam peraturan, misalnya dalam peraturannya telah diatur, namun pada tataran implementasinya di daerah perlu terdapat proses penataan yang dikelola secara bersama dari masing-masing pemerintah daerah. Dalam konteks yang demikian, yang dikedepankan bukan kalah menang atau siapa
lebih
dominan
terhadap
yang
lain
dalam
penyelesaian
permasalahan kewenangan/urusan, namun kerelaan dan keterbukaan untuk bersikap memberi dan menerima dengan menerapkan pola-pola resolusi konflik sebagaimana disebutkan pada nomor 1 eli atas. b. Monarkhi
konstitusional
lebih
mengacu
dan
memperhatikan
keistimewaan atau kekhususan Provinsi DIY untuk diterapkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersifat khusus. Kerangka
150
ini akan mempengaruhi tata hubungan antar pemda di DIY termasuk dalam proses penataan kewenangan/urusan melalui pola-pola resolusi konflik/perselisihan sebagaimana disebutkan pada nomor 1 di atas. Dalam kerangka ini dibutuhkan dasar pengaturan tersendiri, misalnya melalui materi pengaturan dalam suatu Undang-undang Keistimewaan DIY yang mendukung tata hubungan antar pemerintah daerah yang lebih modem dan demolaatis, di samping menjaga dan melestarikan keberadaan laaton/puro dengan menempatkan posisi Sultan dan Paku Alam dalam posisi sentral di Provinsi DIY. Sultan dan Paku Alam mempunyai royal prerogatif(bukan sekedar simbol pemerintahan) atas jalannya
pemerintahan
dengan
mengutamakan
kemaslahatan
masyarakat atau rakyat Yogyakarta secara keseluruhan ( Tahta Untuk
Rakyat). Ketika proses penataan suatu kewenangan/urusan menemui jalan buntu, pemerintah daerah di DIY dapat menyerahkan dan diputuskan melalui arbitrase, di mana hak sebagai arbitrator berada pada Sultan/Paku Alam sebagai lembaga yang mempunyai royal prerogati[ Sultan/Paku Alam sebagai pihak yang memiliki netralitas dan tidak turut campur langsung/aktif dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah atau condong pada satuan pemerintahan tertentu (Pemerintah Provinsi DIY). Dengan demikian monarkhi di Provinsi DIY akan
151
menjamin adanya perdamaian dan stabilitas sosial yang terpelihara berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi dan adanya akses yang teratur terhadap implementasi kekuasaan/kewenangan dengan memperhatikan kehendak masyarakat/rakyat Yogyakarta. Di Yogyakana Sultan masih dipandang sebagai figur yang kuat, sehingga
transformasi penyelenggaraan pemerintahan maupun inovasi dalam pola penataan kewenangan/urusan menunggu sikap dari Sultan. Hal ini sesuai dengan dalil yang diberikan Sumardjan dan Suwamo bahwa perubahan akan tampak nyata begitu dipelopori dan dilakukan oleh tokoh dari karaton atau
puro, bahkan untuk hal-hal yang berlawanan dengan kepentingan-kepentingan pribadi (vested interests) cenderung untuk berhasil. Dan bagaimana pola hubungan ini ke depan, Sultan berperan besar mewujudkan DIY di masa mendatang, yaitu menuju tata pemerintahan daerah yang modem dan demokratis tanpa harus mengabaikan situasi dan kondisi sosial budaya masyarakat di DIY. Hubungan antar jenjang pemerintah (intergovernmental-relations) sebagai suatu konsep dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menawarkan adanya komunikasi, koordinasi dan kerja sama yang lebih baik. Konsep ini apabila dipahami dan diterapkan secara baik, maka hubungan antar jenjang pemerintah ini menjadi perubahan yang mendasar di Provinsi DIY,
152
yaitu perwujudan pemerintahan daerah yang modern dengan adanya proses demokratisasi dan sinergis antar daerah. Dengan demikian entitas DIY sebagai pelopor proses demokratisasi dan modernisasi penyelenggaraan pemerintahan sejak masa setelah kemerdekaan dapat terjaga dengan baik dan lebih maju dibandingkan daerah lainnya.
B. Saran 1. Untuk membangun dan mengembangkan hubungan antara Pemerintah Provinsi
dan
Pemerintah
Kabupaten
Sleman
dalam
penataan
kewenangan/urusan harus ada mekanisme, proses dan prosedur yang menjadi landasan bagi hubungan tersebut. Hal ini memerlukan kesepakatan kesepahaman mendasar antar kepala daerah yang dituangkan secara tenulis dan mengikat sena menjadi pedoman bagi hubungan antar pemerintah daerah di Provinsi DIY, khususnya dalam penataan kewenangan/urusan. Hal ini dapat dilakukan dengan membuat regulasi tingkat provinsi yang mengikat seluruh pemerintah daerah di Provinsi DIY mengenai hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, kemudian dilanjutkan dengan persetujuan bersama antara Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Persetujuan ini untuk menjamin adanya praktek-praktek komunikasi, konsultasi dan hubungan yang lebih produktif dan kolaboratif.
153
2. Perlu dirintisnya pelembagaan hubungan antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Sleman. Belum adanya pelembagaan ini dapat diatasi dengan pembentukan lembaga (institution) yang mewadahi hubungan yang merupakan forum komunikasi, konsultasi atau pengambil keputusan bersama. Misalkan melalui pembentukan Forum Sad Praja Provinsi DIY yang merupakan forum terdiri atas Pemerintah Provinsi DIY, Pemerintah Kabupaten Bantul, Gunung Kidul, Kulon Progo, Sleman dan Pemerintah Kota Yogyakarta. Forum ini merupakan pertemuan para kepala daerah
untuk
penyeengggaraan
membahas
persoalan
pemerintahan
dan
secara
umum
memberikan
mengenai penyelesaian
permasalahan melalui berbagai kebijakan yang dianggap perlu. Forum ini dapat didukung oleh forum atau komite teknis yang terdiri aparatur/ birokrasi antar pemerintah daerah yang berperan sebagai advokat kebijakan, memberikan masukan dan data atas permasalahan yang diperdebatkan. Pelembagaan ini akan berhasil mengingat: a. Provinsi DIY lingkup kewilayahannya relatif kecil dengan 6 pemerintah daerah; b. Provinsi DIY mempunyai kesamaan latar belakang sosial, budaya dan politik yang sama (entitas DIY).
154
Pelembagaan melalui pembentuk.an suatu forum paling tidak memiliki 3 hal pokok sebagai berikut. a. Aspek legal, yaitu regulasi yang mengerangkai hubungan antar jenjang pemerintah daerah di Provinsi DIY yang dapat dituangkan dalam Peraturan Gubemur DIY selaku wakil dari Pemerintah Pusat. Kemudian ditindaklanjuti
dengan
understanding)
antar
persetujuan pemerintah
bersama daerah
(memorandum
(pemerintah
of
provinsi,
kabupaten dan kota di Provinsi DIY). b. Aspek formal, yaitu adanya sekretariat forum atau komite yang mengurusi agenda acara dan administrasi forum/komite. c. Aspek durasi, yaitu forum atau komite merupakan kegiatan yang permanen dan kontinyu dengan adanya pertemuan periodik atau mungkin bersifat ad hoc permasalahan
atau
konflik
sebagai bentuk respon cepat terhadap yang
timbul
sehubungan
dengan
impelementasi kewenangan/ urusan. 3. Seiring dengan pelembagaan hubungan sebagaimana tersebut nomor 2, dilakukan dengan penerapan dan atau pengembangan pola-pola resolusi konflik/perselisihan atas isu-isu yang berkembang dalam implementasi kewenangan/urusan, yaitu fasilitasi, negosiasi, mediasi, dan arbitrase.
155
4. Kebutuhan adanya tingkat pemahaman dan kompetensi yang tinggi di antara satuan pemerintahan, mengingat hubungan antara pemerintah daerah akan semakin kompleks, terjadi interaksi, interkoneksi dan tumpang tindih, di samping tuntutan pelayanan publik yang semakin meningkat baik secara kualitas maupun kuantitasnya. 5. Pencermatan ulang atas draft RUU Keistimewaan DIY yang mengarah pada kekhususan penyelenggaraan pemerintahan daerah di DIY dengan menggabungkan nilai demokratisasi dan nilai-nilai tradisional yang semakin mantap dan menopang kelestarian keistimewaan DIY pada masa-masa mendatang. Keberadaan atau eksistensi Karaton Ngayogyakarta dan Puro
Palrualaman sebagai titik pandang keistimewaan DIY, senantiasa dijaga dan berorientasi ke depan tanpa meninggalkan semangat demokratisasi yang digelorakan dan bersumber dari dua lembaga adat tersebut sejak masa setelah kemerdekaan. Tahta Untuk Rakyat sebagai konsep dan tata nilai yang universal yang tidak dapat dikerangkai atau diletakkan dalam 'tempat terbatas' atau oleh sesuatu yang bersifat sementara. Terbentuknya tata pemerintahan yang modern dan demokratis tanpa mengabaikan nilai-nilai tradisional merupakan sesuatu yang mungkin, terlebih lagi adanya figur daerah yang kuat dan mumpuni serta mendapatkan legitimasi sosial-budaya dan politik dari masyarakat atau rakyat Yogyakarta.
BIBUOGRAFI
Agranoff, R., 1990, "Managing Intergovernmental Processes", Perry, J.L. (ed.),
Handbook of Public Administration, Jossey-Bass Publishers, San Francisco. Anonim, 2003, "Capacity Building in Local Government - Research on Capacity Building Needs: Final Report", Office of the Deputy Prime Minister United Kingdom, London, Diambil dari: http:/Lwww.odpm.goy.uk/ stellent/groups/odpm localgov/documents/pdf/odpm locgov pdf 02353 5.pdf Anonim, 2001, "The Capacity Gap In Local Government", Department of Water Affairs and Forestry, Praetoria. Diambil dari: http://www.dwaf.gov.za/.. ./ Dense/docs/Technical%20Supporting%20Documents/CAPAOTY%20G AP%20IN%20LOCAL%20GOVERNM.PDF. Berry, R.S.Y., 1999, "Collecting Data by In-depth Interviewing", British Educational Research Association Annual Conference September 2 - 5 1999, University of Sussex, Brighton. Diambil dari: http://www.leeds.ac.
ukl educol!documents/ 00000 1172.htm. Blair, George S., 1986, "Government at the Grass-Roots", Palisades Publishers, California. Borland Jr., Kenneth W., 2001, "Qualitative and Quantitative Research: A Complementary Balance", New Directions for Institutional Research No. 112., John Wiley & Sons, Inc. Guion, L.A., 2001, "Conducting an In-depth Interview", Institute of Food and Agricultural Sciences, University of Florida, Gainesville, Florida. Diarnbil dari: http://www .edis.ifas.ufl.edu/ BODY FY393-4k.
Hale, K., 2003, "State Government, Management of Complex Policy Network in", Rabin, Jack (eel), Encyclopedia ofPublic Administration and Public
Policy, Marcel Dekker,Inc., New York. Hidayat, S. dan Firdausy, C. M., 2003, "Beyond Regional Autonomy: Local State-Elite's
Perspectives
on
the
Concept
and
Practice
Decentralisation in Contemporary Indonesia", Pustaka
of
~antum,
Jakarta. Kim,
Seok-Eun,
2003,
"Networks, Organizational", Jack Rabin (eel),
Encyclopedia of Public Administration and Public Policy, Marcel Dekker,Inc., New York. Kumorotomo, Wahyudi, 2004, "Pertimbangan Rasional-Obyektif dalam Implementasi
Pembagian
Kewenangan
antara
Provinsi
dan
Kabupaten/Kota di Jogjakarta", Lokakarya Pengembangan Otonomi Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Jogjakarta, Yogyakarta. Lewicki, R.J., Saunders, D.M, and Minton, J.W., 1999, "Negotiation", The
McGraw-Hill Companies, Inc. Singapore. Meek, J.W., 2003, "Policy Networks", Rabin, Jack (ed.), Encyclopedia of Public
Administration and Public Policy, Marcel Dekker,Inc., New York. Minichiello, V., Aroni, R., Timewell, E., and Alexander, C.,1995, "In-Depth Interviewing,
Principles, Techniques, Analysis", Second Edition,
Longman Australia Pty Ltd., Melbourne, Australia. Muhadjir, Noeng, 2000, "Meodologi Penelitian Kualitatif',
Rake Sarasin,
Yogyakarta. Nasution,S, 1988, "Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif', Tarsito, Bandung. Newnham, L., Parker, J., and Spall, A., 2002, "Managing The Relationship between Local Government and State Government - The Victorian
Experience". Diambil dari: htq>://www .fig.net/pub/proceedin.gs/prague/ newnham-abs.hon. Preissle,
J., 2002, "Q}l.alitative Design: an Introduction", University of Georgia.
Georgia. Diambil dari: hey:Uwww .van.guard.edu/uploadedFiles/facultyl dratcliff/qualresourcs/judeoutline.pdf atau htt,p:l/www.don.ratcliff.net/ qual/expq1.html. Poerwokoesoemo, S., 1984, "Daerah Istimewa Yogyakarta", Gadjah Mada University Press, Yogyakana. Rhodes, R.A.W., 1992, "Intergovernmental Relations: Unitarys Systems" dalam Hawkeswonh, M. and Kogan, M. (eds.), Encyclopedia of Government and Politics, Volume I, Routledge, London.
Kaho, J.W., 2001, "Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. Sujamto, 1988, "Daerah Istimewa Yogyakana Dalam Negara kesatuan Republik Indonesia', Bina Aksara, Jakarta. Sumardjan, S., 1991, "Perubahan Sosial di Yogyakarta", Gadjah Mada University Press, Yogyakana. Suwarno,
P.J.,
1994, "Hamengku
Buwono
IX dan
Sistem
Birokrasi
Pemerintahan Yogyakana 1942-1974", Kanisius, Yogyakana. Tim Mediasi Implementasi Otonomi Daerah, 2003, "Kajian Implementasi Otonomi Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakana, Pemda Propinsi DIY, Yogyakarta. Watts, RL., 1999, "Intergovernmental Relations", The Department of Constitutional Development and Provincial Affairs and National Democratic Institute for International Affairs, Canada. Wahyukismoyo, H., 2004, "Keistimewaan DIY vs. Demokratisasi", Bigraf Publishing, Yogyakarta.
Weldon, Bill, 2002, "~alitative Research", Charles University, Prague. Diambil dari: http://www.pedf.euni.cz/kppg/documents/qrs.doc atau http://www. scholar .lib .vt. edu/ejoumals/JTE/v9nl/#lincoln Wright, D.S., 1999, "Local and Regional Governments", Regional Workshop on: Consolidating the Gains in Decentralization Reforms and Win-Win Policy
Analysis,
African
Training
and
Research
Centre
m
Administration for Development, Windhoek, Namibia. Diambil dari: http:Uwww.cafrad.org. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25
Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 130-67 Tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota dan Daftar Kewenangan Kabupaten dan Kota per Bidang dari Departemen!LPND. Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor
6
Tahun
2003 tentang Rencana
Strategis Daerah (Renstrada) Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2004 - 2008. Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 12 tahun 2003 tentang Perubahan Pertama Atas Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nornor 12 Tahun 2000 tentang Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 1 Tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Sekretariat Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ProvinsiDIY.
Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi. Lembaga Teknis Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi DIY. Peraturan Daerah Propinsi DIY Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan dan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Pemerintah Provinsi DIY. Sumber-Sumber Lain
Kedaulatan Rakyat, tanggal4-6 Desember 2000; 12-13 Januari 2004. Kompas, tanggal 17 Mei 2004; 3 November 2004, 13 Desember 2004.
PEOOMAN WAWANCARA
1. Bagaimana pelaksanaan kewenangan/urusan pada Pemerintah Provinsi DIY!Kabupaten Sleman? 2. Permasalahan-permasalahan apakah yang muncul dalam implementasi kewenangan
antara
Pemerintah Provinsi
dan
Kabupaten Sleman?
Sebenamya apakah yang menjadi pangkal perdebatan? 3. Upaya apa yang dilakukan sehubungan dengan permasalahan tersebut, misal tarik ulur terjadi? 4. Selama ini adakah kebijakan yang dapat dijadikan pijakan dalam membangun atau melembagakan hubungan antar pemerintah daerah
di
Provinsi DIY. Kalau ada bagaimana kebijakan tersebut dan respon dari pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. 5. Adakah pertemuan rutin antar kepala daerah sebagaimana penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, misal adanya Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah yang menjadi wadah rutin bagi tiap Pemda untuk bertemu. 6. Bagaimana peran provinsi sehubungan dengan kemungkinan terjadi permasalahan antar kabupaten/k.ota? 7. Seberapa jauh pembahasan RUU Keistimewaan DIY? Bagaimana dengan kekhususan penyelenggaraan pemerintah daerah di DIY. 8. DIY sebagai suatu entitas sosial, budaya maupun politik, bagaimana pengaruh hal ini bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah di DIY? 9. Bagaimana pandangan Gubemur sehubungan dengan permasalahan kewenangan ini. Apa dampaknya pandangan Gubernur tersebut bagi aparatur pelaksana.
2
10. Sultan memiliki otoritas rangkap, sebagai Gubemur dan seorang raJa, bagaimana pengaruh hal tersebut dalam hubungan antar pemerintah daerah? Menurut responden bagaimana figur Sultan dalam selama ini? 11. Bagaimana respon kabupaten/k.ota dalam menanggapi kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi? 12. Bagaimana tanggapan Bupati Sleman mengenai kewenangan/urusan, terutama kewenangan yang telah dibahas melalui Tim MIOD tersebut. Mohon diberikan contoh-contoh permasalahan yang dapat diidentifikasi leh Pemerintah abupaten Sleman terkait implemtasi kewennagan/urusan 13. Bagaimana hubungan antar pegawai antar pemda selama ini? Bagaimana komunikasi yang dibangun antar aparatur antar pemda? Bagaimana apresiasi, tanggapan dan partisipasinya dalam setiap pembahasan atau rapatrapat koordinasi? 14. Contoh nyata dari upaya penyelesaian penataan kewenangan/urusan adalah adanya Kajian Tim MIOD, Bagaimana hasil Kerja Tim MIOD seberapa jauh telah diakomodir atau ditindaklanjuti dari masing-masing pemda? 15. Harapan apakah dan bagaimana tindak lanjut yang semestinya dilakukan dengan berbagai rekomendasi dari staf pelaksana? 16. Pemahkah pola negosiasi ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan dalam implementasi kewenangan/urusan? Adakah political will antar Pemda untuk melakukan negosiasi? Apakah hal ini disadari pentingnya negosiasi oleh pemerintah daerah dan atau aparatur pemda? 17. Menurut informan bagaimana posisi atau daya tawar yang dimiliki bila melakukan negosiasi dengan pemerintah kabupaten/k.ota. 18. Menurut responden adakah pola lain yang dapat diterapkan untuk segera dapat menyelesaikan penataan secara fmal dan mengikat Pemerintah Provinsi dan Kabupaten?
3
19. Salah satu misi pernerintah Provinsi DIY adalah mernbentuk jejaring/ networking dengan kabupaten/kota dan stakeholders dalam rangk.a meningkatkan masyarakat berdaya-saing yang kuat. Bagaimana sebenarnya maksud misi ini? Bagaimana pola-pola seharusnya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan tarik ulur kewenangan. 20. Bagaimana misi ini disampaikan kepada pemerintah Kabupaten/Kota? Apakah mereka secara kelembagaan menyadari akan networkinglni? 21. Menurut Sleman bagaimana pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah
Provinsi?
Sejauh
ini
dalam
pelaksanaan
tugas-tugas
pemerintahan, pembangunan atau pelayanan masyarakat ditangani., terutama hila hal tersebut menyangkut pemerintah daerah lainnya, bagaimana seharusnya dalam tataran operasional yang harus dilak.ukan. 22. Bagaimana hubungan yan seharusnya dibangun antara Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Sleman? 23. Forum apa yang paling tepat untuk dapat memberik.an sarana dalam perumusan kebijakan atau implementasi kebijakan, sehingga kebijakan dapat berjalan dengan baik, diterima oleh semua pihak.