NAMA : HARLO PONGMERRANTE BIANTONG NRS
: 094
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA SEHUBUNGAN DENGAN PERDAGANGAN MANUSIA (ANAK)
Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan bahwa “Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan
serta
perlindungan
harkat
dan
martabat
manusia.
Dalam Konvensi Hak-Hak Anak di Jenewa (Convention On The Right of The Child) hak asasi anak terdiri atas beberapa poin antara lain: 1. Setiap anak berhak mendapat jaminan perlindungan dan perawatan yang dibutuhkan untuk kesejahteraan anak; 2. Setiap anak memiliki hak yang merupakan kodrat hidup: 3. Negara menjamin kelangsungan hidup dan pengembangan anak; 4. Bagi anak yang terpisah dari orangtuanya, berhak mempertahankan hubungan pribadi dan kontak langsung secara tetap; 5. Setiap anak berhak mengembangkan diri, menyatakan pendapatnya secara bebas, kemerdekaan berpikir dan beragama; 6. Setiap anak berhak mendapat perlindungan dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, perlakuan salah, termasuk penyalahgunaan seksual: 7. Setiap anak berhak mendapat pelayanan kesehatan, perawatan dan pemulihan kesehatan, dengan sarana yang sebaik-baiknya: 8. Setiap anak berhak mendapat pendidikan dasar secara Cuma-cuma, yang dilanjutkan pendidikan menengah, umum, kejuruan, pendidikan tinggi sesuai sarana dan kemampuan, 9. Setiap anak berhak mendapat pemeliharaan, perlindungan atau perawatan kesehatan rohani dan jasmani secara berkala dan semaksimal mungkin;
10. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan bersantai, bermain dan turut serta dalam rekreasi yang sesuai dengan usia anak.
Anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Anak mempunyai peran yang strategis dalam menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, oleh karena itu setiap anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial dan berahlak mulia. Pembinaan tumbuh kembang anak adalah hak anak yang harus dipenuhi oleh semua pihak, baik orangtua, tenaga kesehatan, serta anggota masyarakat dengan baik, utuh, dan optimal sejak anak berusia dini dan bahkan sejak dalam kandungan, sehingga anak benar-benar menjadi generasi masa depan bangsa yang diharapkan. Selain pemenuhan hak untuk tumbuh kembang anak, segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak dasarnya dalam berbagai bentuk pemanfaatan dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan, harus segera dihentikan tanpa kecuali. Namun dalam kenyataannya masih ada sekelompok orang yang dengan teganya telah memperlakukan anak, termasuk bayi, untuk kepentingan bisnis yakni melalui perdagangan orang (trafficking in persons), dan berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan. Perdagangan anak dapat diartikan sebagai segala bentuk tindakan dan percobaan tindakan yang melibatkan rekruitmen, transportasi, baik di dalam maupun antar negara, pembelian, penjualan, pengiriman, dan penerimaan orang (dalam hal ini anak) dengan menggunakan tipu daya, kekerasan, atau pelibatan hutang, untuk tujuan pemaksaan pekerjaan domestik, pelayanan seksual, perbudakan, buruh ijon, atau segala kondisi perbudakan lain, baik anak tersebut mendapat bayaran atau tidak, di dalam sebuah komunitas yang berbeda dengan komunitas dimana anak tersebut tinggal ketika penipuan, kekerasan, atau pelibatan hutang itu pertama kali terjadi. Perdagangan (trafficking) orang, pada hakekatnya adalah pemisahan perempuan dan anak dari sistem pendukung utamanya, dengan cara-cara ’‘penipuan’ atau memanfaatkan posisi rentan perempuan dan anak dalam keluarga. Salah satu faktor yang dianggap sebagai pendorong perdagangan anak, terutama perdagangan anak-anak perempuan, adalah ketidakmampuan sistem pendidikan yang ada
maupun masyarakat untuk mempertahankan anak supaya tidak putus sekolah dan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Perdagangan anak dan perempuan di Indonesia sudah sangat sering terjadi. Hal ini mengakibatkan Indonesia menjadi negara yang dianggap buruk dalam hal perdagangan manusia, khususnya anak-anak dan wanita. Bila dilihat secara aturan legal, terdapat banyak ‘jaminan’ perlindungan bagi anak dari perdagangan. Selain dalam Konvensi Hak Anak (CRC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, terdapat sedikitnya 4 instrumen internasional lain yang mengatur tentang trafficking atau perdagangan anak (dan perempuan), dan 4 instrumen nasional yaitu UU Kesejahteraan Anak, UU Hak Asasi Manusia, UU Perlindungan Anak, dan UU Hukum Pidana. Tetapi sekali lagi, terutama menyangkut instrumen nasional, persoalannya adalah seputar substansi, interpretasi, dan implementasi. Beberapa dokumen dan Konvensi mengenai Hak anak yang disetujui oleh negara-negara luar dan Indonesia sendiri sebenarnya sudah sangat banyak. Misalnya: Konvensi PBB tentang hak anak, Perjanjian Opsional untuk Konvensi tentang Hak anak tentang Penjualan Anak, Pelacuran Anak dan Pornografi Anak, Konvensi ILO 182 mengenai Larangan dan Tindakan Langsung untuk menghapus Bentuk Terburuk Pekerja Anak, Perjanjian untuk mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang terutama Wanita dan Anak-anak yang menambahkan Konvensi PBB terhadap Kejahatan yang diorganisir Lintas Bangsa dan Konvensi PBB untuk Menghapus Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW). Selain itu, komitmen masyarakat mengenai perdagangan anak juga sudah banyak dibuat, antara lain: Deklarasi Stockholm dan Agenda Kerja untuk mengatasi Ekploitasi Seks Komersial pada Anakanak, Komitmen Global Yokohama dan Komitmen Regional Asia Timur dan Pasifik serta Rencana Kerja untuk mengatasi Ekploitasi Seks Komersial pada Anak-anak.
Kasus-kasus perdagangan anak-anak untuk dijadikan sebagai pekerja sex di Indonesia jarang terungkap karena licinnya sindikat perdagangan perempuan masih lemah dan korupnya lembaga penegakan hukum di negri ini serta masih lemah dan korupnya lembaga penegakan hukum di negri ini. Sehingga tidaklah terlalu mengejutkan kalau selama dua tahun berturutturut Komisi Hak Asasi Manusia PBB memasukkan Indonesia dalam daftar hitam sebagai negara
yang tidak melakukan tindakan apa-apa untuk menghapuskan perbudakan dan perdagangan manusia. Selain itu kasus perdagangan anak-anak tidak dianggap sebagai sebuah kejahatan besar di Indonesia.Pasal 297 KUHP yang mengatur masalah ini hanya mengancam dengan vonis maksimal 4 tahun. Padahal di sejumlah negara termasuk Amerika Serikat kasus seperti ini dianggap sebagai sebuah kejahatan besar dimana pelakunya bisa mendapat vonis penjara di atas 15 tahun. Salah satu contoh nyata kasus mengenai perdagangan anak adalah yang terjadi di Medan yaitu Tony (52), terdakwa kasus perdagangan orang (trafficking), pada hari kamis tanggal 22 Feb 2007 akhirnya divonis 3 tahun 7 bulan potong masa tahanan oleh majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan. Tony dinyatakan bersalah melanggar Pasal 83 UU No 23 Th 2002 tentang Perlindungan Anak. Menjawab pertanyaan majelis hakim pimpinan Ahmad Sharif, SH, Tony mengaku baru terlibat dalam masalah ini ketika kurang lebih dua tahun lalu dikarenakan terlilit hutang. Dalam melakukan aksinya, Tony bekerja sama dengan Sum, germo dari Batam yang hingga kini Sum masih buron Selama tiga bulan, Tony sempat menjadi buron dan pada akhirnya ditangkap oleh Polda Sumatera Utara. Tony ditangkap dan kemudian diadili berdasarkan laporan Linda (15) yang dijanjikan oleh Tony lapangan pekerjaan sebagai baby
sitter. Akan tetapi kenyataannya ia malah dipekerjakan sebagai purel diskotek di kawasan Jl. A Yani Medan. Keterkaitan masalah perdagangan anak dengan undang-undang keimigrasian tertuang dalam pasal 89 undang-undang keimigrasian nomor 6 tahun 2011. Imigrasi dalam hal ini melalui Menteri atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk melakukan upaya preventif dan represif dalam rangka mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang dan penyeludupan manusia. Upaya preventif yang dimaksud adalah melakukan pertukaran informasi dengan negara lain dan instansi terkait di dalam negeri tentang modus operandi yang dilakukan oleh pelaku, melakukan kerja sama teknis dan pelatihan dengan Negara lain meliputi perlakuan yang berdasarkan perikemanusian terhadap korban, memberikan penyuluhan hukum terhadap masyarakat, menjamin bahwa Dokumen perjalanan atau identitas yang dikeluarkan berkualitas dan memastikan bahwa integritas dan pengamanan dokumen perjalanan yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh atau atas Negara untuk mencegah pembuatan dokumen tersebut secara melawan hukum dalam hal penerbitan dan pengunaannya.
Upaya represif yang dimaksud adalah dilakukan dengan melakukan penyelidikan keimigrasian terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dan penyeludupan manusia, Tindakan administratif keimigrasian terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang dan penyeludupan manusia dan kerja sama dalam bidang penyidikan dengan instansi penegak hukum lainnya. Dalam hal ini korban perdangangan orang dan penyeludupan manusia yang berada di Indonesia ditempatkan di dalam Rumah Detensi Imigrasi atau tempat lain yang ditentukan dana setiap korban perdangangan orang atau penyeludupan orang mendapatkan perlakuan khusus yang berbeda dengan deteni yang melakukan pelanggaran imigratoir sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang keimigrasian nomor 6 tahun 2011 pasal 87. Menteri atau pejabat imigrasi yang ditunjuk mengupayakan agar korban perdagangan orang dan penyeludupan manusia yang berkewarganegaraan asing segera dikembalikan ke Negara asalnya dan diberikan surat perjalanan apabila mereka tidak memilikinya. Ketentuan administratif keimigrasian tidak diberlakukan terhadap korban perdagangan orang dan penyeludupan manusia. Para pelaku tindak pidana perdagangan orang dan penyeludupan manusia dapat dikenakan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.500.000.000 (Satu Miliar Lima Ratus Juta Rupiah) sesuai dengan undang-undang keimigrasian no. 6 tahun 2011 pasal 120. Kesimpulan yang dapat diambil dari permasalahan di atas adalah bahwa perdagangan anak khususnya di Indonesia semakin marak yang disebabkan kurangnya pengawasan dari orang tua. Untuk mencegahnya adalah dengan meningkatkan pengawasan terhadap anak dan memberikan penyuluhan-penyuluhan dan bimbingan terhadap masyarakat tentang bahaya perdagangan anak dan upaya-upaya pencegahannya. Imigrasi dalam hal ini berusaha memberikan perlindungan terhadap warga negaranya maupun warga Negara asing yang menjadi korban perdagangan manusia dengan memberikan hukuman yang berat bagi para pelakunya agar mendapatkan efek jera serta tidak mengulangi lagi perbuatannya.