PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL (UN) DI LIHAT DARI PERSPEKTIF CIVIC EDUCATION (Studi Kasus di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur)
SKRIPSI
Oleh : LIA PUTIKASARI K6404005
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL (UN) DI LIHAT DARI PERSPEKTIF CIVIC EDUCATION (Studi Kasus di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur)
Oleh : LIA PUTIKASARI K6404005
Skripsi Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 2
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Dra. Hj.CH Baroroh, M. Si. NIP. 19520706 198004 2 001
Pembimbing II
Drs. H. Utomo, M.Pd NIP. 19491108 197903 2 001
3
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan
Pada hari
:
Tanggal
:
Tim Penguji Skripsi: Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua
: Dr. Sri Haryati, M. Pd
Sekretaris
: Drs. Machmud AR, S.H, M. Si
Anggota I
: Dra. Ch Baroroh, M. Si
Anggota II
: Drs. H. Utomo, M. Pd
Disahkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. NIP 19600727 198702 1 001
4
ABSTRAK Lia Putikasari. PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL (UN) DI LIHAT DARI PERSPEKTIF CIVIC EDUCATION (Studi Kasus di SMK PGRI 4 NGAWI JAWA TIMUR). Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Februari 2010. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) Terjadinya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur, (2) Bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila dilihat dari perspektif civic education, (3) Cara mencegah pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan obyek penelitiannya adalah Wakil kepala sekolah, Guru, Karyawan, Mantan para siswa dan Orang tua mantan para siswa SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. Tehnik pengumpulan data yang di gunakan melalui wawancara secara mendalam untuk mengetahui jawaban yang lengkap dan mendalam ditambah dengan observasi langsung dan mencatat dokumen. Kesimpulan yang di dapat dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa (1) pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN terjadi akibat standar kelulusan siswa yang tinggi alasan lain yang mengakibatkan banyaknya pelanggaran hingga terjadinya kejahatan karena adanya kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama baik sekolah yang bersangkutan akan turun jika banyak di antara siswanya yang tidak lulus, (2) Bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur berupa Penggelapan Naskah Ujian Nasional, apabila dilihat dari perspektif civic education maka telah menyimpang dari kompetensi dasar dalam civic education yaitu pertama civic knowledge bahwa oknum-oknum yang melakukan tindakan kejahatan adalah oknum pejabat sekolah yang kedudukannya sebagai pendidik menunjukkan kurangnya pengertian mengenai pengetahuan kewarganegaraan seharusnya seorang pendidik memiliki atau membekali dirinya dengan pengetahuan kewarganegaraan, kedua civic dispositions tindakan yang dilakukan pendidik tersebut karena rendahnya pengertian arti nilai-nilai yang terkandung dalam civic education, misalnya tidak adanya kesadaran secara pribadi untuk bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan karena seharusnya pendidik mampu memberikan contoh, panutan, rujukan dan keteladanan yang baik bagi para peserta didiknya, ketiga civic skills yaitu seharusnya guru mampu berpartisipasi dalam menyukseskan anak didiknya dengan banyak mengadakan tanya jawab, diskusi tentang UN, (3) Cara mencegah pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN yaitu dengan membenahi mutu guru dan peserta didik, meninjau kembali alat ukurnya, membenahi teknik penyelenggaraan dan pengawasan, sangsi tegas kepada si pelanggar, tim-tim independen UN harus betul-betul menjalankan tugas dan fungsinya dengan jujur dan bertanggung jawab.
5
ABSTRACT Lia Putikasari. THE VIOLATION AND CRIME IN THE NATIONAL EXAMINATION (UN) IMPLEMENTATION VIEWED FROM THE CIVIC EDUCATION PERSPECTIVE (A CASE STUDY ON THE SMK PGRI 4 NGAWI EAST JAVA). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, February 2010. The objective of research is to find out: (1) the occurrence of violation and criminal action in the national examination (UN) implementation in SMK PGRI 4 Ngawi East Java, (2) the form of violation and criminal action in the national examination (UN) implementation in SMK PGRI 4 Ngawi East Java, and (3) the way of coping with the violation and criminal action in the national examination (UN) implementation in SMK PGRI 4 Ngawi East Java. This research employed a descriptive qualitative method and the research objects were the vice Principal, Teachers, Employees, former students and former students’ parents in SMK PGRI 4 Ngawi East Java. Techniques of collecting data used were in-depth interview for finding out the complete and in-depth answer with direct observation and document recording. The conclusion obtained from the result of research shows that (1) the violation and criminal action in the national examination (UN) implementation is due to the students’ high passing standard, another reason underlying many violations leading to the criminal action is the school’s concern that the school’s reputation will decline if many students does not pass through the UN, (2) the form of criminal action in the national examination (UN) implementation in SMK PGRI 4 Ngawi East Java constitutes the National Examination text abuse viewed from the civic education perspective has violated the basic competence in civic education including firstly the civic knowledge that the persons committing the criminal action or the school officials whose occupation is as an educator showing the lack of understanding about the citizenship knowledge, he/she should have or equip him/herself with citizenship knowledge, secondly, the civic disposition, the action committed by the educator is because the lack of understanding of the meaning of values containing in the civic education, such as the absence of personally awareness of being responsible corresponding to the provision because the educator should give good exemplar, model, reference and precedent for his/her pupil, thirdly civil skills, the teacher should participate in make his/her students successful by debriefing and discussing about UN, (3) the ways of coping with the violation and criminal action in the implementation of UN include to improve the quality of teacher and students, to review the parameter, to improve the organization and supervision technique, to give firm sanction to the violator, the UN’s independent team really undertakes its task and function fairly and responsibly, to improve the examination system and standard minimum graduation, and to use the education mapping.
6
MOTTO
“Ikhlas disetiap kejadian yang diberikan-NYA, bersyukur atas nikmatNYA, bersabar atas ujian-NYA, ridho akan keputusan-NYA” ( aa’ gym )
7
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada: ·
Allah SWT yang telah memberi karunia, jalan kemudahan serta rahmad Nya bagi penulis untuk selalu berusaha menjadi yang terbaik
·
Bapak dan Ibu terimakasih atas doa, semangat dan kasih sayangnya
·
M.dwi dan Azza, Suami dan Putra Tercinta
·
Rike dan Ridwan, Adik tersayang
·
Teman-teman PKn angkatan 2004
·
Almamater.
8
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Kewarganegaraan. Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-kesulitan yang timbul dapat diatasi. Untuk itu, atas segala bentuk bantuannya penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat: 1.
Dr.rer.nat.Sajidan, M. Si., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin penyusunan skripsi.
2. Drs. Saiful Bachri, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP UNS yang telah memberikan izin penyusunan skripsi. 3. Dr. Sri Haryati, M. Pd., Ketua Program Pendidikan Kewaganegaraan yang telah memberikan izin penyusunan skripsi kepada penulis serta membantu penulis dalam menyelesaikan studi. 4. Dra. Hj. CH Baroroh, M. Si., Pembimbing I yang telah membimbing penulis selama ini dengan penuh perhatian dan kesabaran. 5. Drs. H. Utomo, M. Pd., Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis. 6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, khususnya Program Pendidikan Kewaganegaraan yang telah memberikan sebagian ilmunya kepada penulis dengan tulus ikhlas selama ini. 7. Wakil Kepala Sekolah SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian. 8. Semua pihak yang telah membantu penulis demi lancarnya penulisan skripsi ini. Semoga amal kebaikan semua pihak mendapatkan imbalan dari Allah SWT. 9
Penyusunan skripsi ini telah berusaha semaksimal mungkin, namun penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan penulis. Dengan segala rendah hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan juga dunia pragmatika.
Surakarta, Februari 2010
Penulis
10
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .......................................................................................
i
HALAMAN PENGAJUAN.............................................................................
ii
HALAMAN PERSETUJUAN.........................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................
iv
HALAMAN ABSTRAK..................................................................................
v
HALAMAN ABSTRAC....................................................................................
vi
HALAMAN MOTTO .....................................................................................
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN .....................................................................
viii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ix
DAFTAR ISI....................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL............................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah.................................................................
1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................
6
C. Tujuan Penelitian ...........................................................................
6
D. Manfaat Penelitian .........................................................................
6
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka ............................................................................
8
1. Ujian Nasional dalam Konteks Pendidikan Nasional .............
8
a. Hakekat Pendidikan Nasional ...........................................
8
b. Tinjauan tentang Ujian Nasional .......................................
12
2. Tinjauan tentang Tindak Pidana ..............................................
16
a. Pengertian Tindak Pidana ..................................................
16
b. Penggolongan Tindak Pidana ............................................
17
c. Jenis-Jenis Tindak Pidana .................................................
19
d. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang termasuk dalam Kelompok Kejahatan .........................................................
19 11
e. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang termasuk dalam Kelompok Pelanggaran .....................................................
20
f. Tinjauan tentang Pencurian................................................
21
g.
Tinjauan tentang Penggelapan ..........................................
24
3. Konsep Civic Education ..........................................................
26
a. Pengertian Civic Education ..............................................
26
b. Kompetensi Dasar Civic Education ..................................
28
c. Tujuan Civic Education ....................................................
28
4. Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN ..
29
5. Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN di lihat dari Perspektif Civic Education ..................................
32
B. Kerangka Berpikir..........................................................................
33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................
36
B. Bentuk dan Strategi Penelitian.......................................................
37
C. Sumber Data Penelitian .................................................................
38
D. Teknik Sampling (cuplikan) ..........................................................
39
E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................
40
F. Validitas Data ................................................................................
42
G. Analisis Data ..................................................................................
43
H. Prosedur Penelitian .......................................................................
44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian ..........................................................
46
B. Deskripsi Hasil Penelitian..............................................................
49
C. Temuan Studi .................................................................................
71
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan ...................................................................................
75
B. Implikasi.........................................................................................
76
C. Saran ..............................................................................................
78
12
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
80
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
82
13
DAFTAR TABEL Tabel 1: Jadual Kegiatan Penelitian.................................................................
36
14
DAFTAR GAMBAR Gambar 1: Bagan Kerangka Pemikiran ..........................................................
35
Gambar 2: Model Analisis Interaktif ...............................................................
44
15
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 : Data Informan.............................................................................
82
Lampiran 2 : Surat Putusan Pengadilan Ngawi ..............................................
84
Lampiran 3 : Pedoman Wawancara .................................................................
88
Lampiran 4 : Hasil Wawancara........................................................................
89
Lampiran 5 : Noda di Ujian Nasional .............................................................
96
Lampiran 6 : Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada Dekan FKIP UNS ......................................................................
102
Lampiran 7 : Surat Keputusan Dekan FKIP UNS Tentang Ijin Penyusunan Skripsi/ Makalah...................................................
103
Lampiran 8 : Surat Permohonan Ijin Research/ Try Out Pada Rektor UNS .........................................................................................
104
Lampiran 9: Surat Permohonan Ijin Penelitian Kepada Kepala SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur .....................................................................
105
Lampiran 10: Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian dari SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur
……………………………
106
16
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keputusan pemerintah melalui Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional, dengan menghapuskan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional) kemudian menggantinya dengan UAN (Ujian Akhir Nasional) dan lalu menjadi Ujian Nasional (UN) mendapat banyak sorotan dari berbagai kalangan. Pemerintah sendiri khususnya Departemen Pendidikan Nasional mempunyai alasan tersendiri, yaitu ingin mengetahui keadaan yang sesungguhnya atas pendidikan Berdasarkan kajian terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional,
Koalisi
Pendidikan
menemukan
beberapa
kesenjangan.
Mereka menilai UAN hanya mengukur satu aspek kompetensi kelulusan yakni aspek kognitif. Padahal menurut penjelasan pasal 35 ayat 1 UU Sisdiknas (Pasal 35 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Dalam kaitannya dengan mutu pendidikan, UAN hanya melakukan evaluasi terhadap peserta didik. Padahal, menurut pasal 57 UU Sisdiknas (Pasal 57 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional), mutu pendidikan seharusnya didasarkan pada evaluasi yang mencakup peserta didik, lembaga, dan program pendidikan. Mereka juga menilai bahwa UAN mengabaikan muatan kurikulum yang menganut prinsip kemajemukan potensi daerah dan peserta didik. Sebab menurut pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, kurikulum harus dikembangkan dengan menggunakan prinsip kemajemukan (diversifikasi) potensi daerah dan potensi peserta didik. UAN juga telah merampas kewenangan pendidik/ guru dan sekolah untuk melakukan evaluasi hasil belajar dan menentukan kelulusan peserta didik. Menurut pasal 58 ayat 1 dan pasal 61 ayat 2 UU Sisdiknas, evaluasi hasil belajar
17
dan penentuan kelulusan peserta didik dilakukan oleh pendidik/ guru dan satuan pendidikan/ sekolah. Terlepas dari pro dan kontra seputar UAN (Ujian Akhir Nasional) yang tahun 2005 ini berubah nama menjadi UN (Ujian Nasional), pemerintah tetap teguh pada kebijakannya untuk memberlakukan Ujian Nasional di tahun-tahun mendatang. Berikut ini, informasi singkat sejak UN mulai diberlakukan dan rencana pemerintah di tahun 2006 mendatang. Dinamika pelaksanaan Ujian Nasional berkembang dari tahun ke tahun. Pada awal April 2003, pemerintah menetapkan kebijakan baru tentang Ujian Akhir Nasional (UAN). Siswa SMP dan SMA atau sekolah sederajat peserta UAN 2003 yang memiliki nilai ujian kurang dari tiga dinyatakan tidak lulus. “Ketentuan tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah,” demikian kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Depdiknas Indra Djati Sidi di tengah-tengah maraknya pro dan kontra berkaitan dengan UAN ini. Pada tahun-tahun sebelumnya, ujian yang diselenggarakan dinamakan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Siswa dinyatakan lulus jika nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan dalam EBTANAS adalah enam, meski terdapat satu atau beberapa mata pelajaran bernilai di bawah tiga. Namun, mulai 2003, siswa kelas 3 SMP dan 3 SMA harus belajar lebih keras agar nilai murni UAN tidak kurang dari angka tiga karena soal Ujian Akhir Nasional dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak bisa mengatrol nilai UAN. Para siswa yang tidak lulus UAN masih diberi kesempatan untuk mengikuti ujian ulangan UAN selang satu minggu sesudahnya. Jika dalam ujian ulangan UAN siswa tetap memiliki nilai kurang dari angka tiga, maka dengan terpaksa mereka dinyatakan tidak lulus atau hanya dinyatakan tamat sekolah. Hal ini bisa dilihat dari fakta di lapangan. Tiga persen (828 siswa) dari 26.252 siswa SMA/MA di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dinyatakan tidak lulus. Sedangkan untuk jenjang SMP/MTs, 1.700 siswa (sekitar 3,7 persen) dari total peserta Ujian Akhir Nasional sebanyak 46.475 siswa, dinyatakan tidak lulus.
18
Dalam rangka untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan nasional, pada tahun 2004 Departemen Pendidikan Nasional kembali menaikkan standar kelulusan dari 3,01 menjadi 4,01. Sebenarnya angka nilai minimal 4,01 ini terbilang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang lebih maju yang mempunyai batas minimal nilai enam. Depdiknas juga mengeluarkan keputusan ‘berani’ dengan ditiadakannya Ujian Ulang UAN bagi siswa yang tidak mencapai batas minimal kelulusan. Artinya, bagi siswa yang gagal meraih angka lebih dari 4,01 maka siswa yang bersangkutan harus mengulang tahun depan atau dinyatakan tidak lulus. Reaksi terhadap keputusan tentang Ujian Nasional ini sampai saat ini belum berhenti. Namun pada dasarnya, Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Ujian Nasioanal Tahun Pelajaran 2005/2006 pasal 4 menyebutkan bahwa “Ujian Nasional bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran yang ditentukan dari kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan” (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 3). Lebih lanjut dalam Permendagri tersebut dijelaskan tentang manfaat dari Ujian Nasional tersebut sebagaimana disebutkan berikut : 1. 2. 3. 4.
Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan; seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; akreditasi satuan pendidikan;
5. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 3). Berkaitan dengan nilai penting tentang hasil Ujian Nasional ini, maka pengawasan di ruang ujian dilakukan oleh tim pengawas ujian nasional dengan sistem silang murni antarsekolah/madrasah. Lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasionall Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006) Pasal 13 bahwa : 1.
Sekolah penyelenggara ujian nasional harus melibatkan dua orang unsur independen dalam pelaksanaan ujian.
19
2.
Tugas unsur independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah memantau penerimaan dan penyimpanan soal, pelaksanaan pengawasan ujian nasional, pengumpulan lembar jawaban, pengiriman lembar jawaban ke penyelenggara ujian nasional kabupaten/kota (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 7).
Akibat standar kelulusan siswa yang tinggi ini menyebabkan terjadinya berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di hampir seluruh daerah di Indonesia. Alasan lain yang mengakibatkan banyaknya pelanggaran dalam UN ini adalah kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama baik sekolah yang bersangkutan akan turun jika banyak diantaranya siswanya yang tidak lulus. Sebagian masyarakat masih berpendapat jika keberhasilan suatu sekolah dilihat dari banyaknya siswa yang berhasil lulus, apabila banyak yang tidak lulus otomatis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut akan berkurang dan bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan murid. Kekhawatiran juga melanda sekolah apabila banyak siswa yang tidak lulus adalah adanya demonstrasi dari orang tua yang tidak lulus dan tindakan anarkis dari siswa yang tidak lulus tersebut. Selain itu reputasi Dinas Pendidikan Kota akan turun dan dianggap tidak berhasil menyelenggarakan pendidikan karena prosentase kelulusan yang kecil. Berbagai pelanggaran pada UN terjadi ketika bahan UN telah didistribusikan ke sekolah atau madrasah pada hari terjadinya UN, bukan pada tahap pendistribusian dari tingkat pusat, percetakan, propinsi hingga ke kabupaten/kota. Pelanggaran terjadi ketika bahan UN dijemput oleh sekolah penyelenggara. Soal- soal Ujian diambil sekitar pukul 05.00 subuh, waktu yang tersedia antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 07.30 digunakan oleh oknum guru atau kepala sekolah untuk membuka amplop soal UN, mengerjakannya, serta menutup kembali amplop tersebut. Jawaban inilah yang nanti beredar dalam bentuk SMS dan contekan kecil yang dibawa masuk ke ruang ujian oleh guru sekolah penyelenggara atau ditulis di papan tulis di ruang ujian. Pelanggaran lain yang ditemukan adalah ada sekolah yang sengaja mendesain kelasnya hanya berjumlah kurang dari 20 orang sehingga ada sisa soal di kelas itu. Padahal menurut Prosedur Operasional Standar (POS), sisa soal
20
harus segera disimpan. Namun sisa soal tersebut dikerjakan dan jawabannya diedarkan dalam bentuk SMS dan contekan kecil ke seluruh peserta ujian. Selain bentuk pelanggaran-pelanggaran di atas, ada pula kasus penggelapan naskah soal UN oleh oknum kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur (Seputar Indonesia, 15 Juni 2007 Hal 5). Kasus ini termasuk dalam tindak pidana kejahatan, dimana telah disidangkan di Pengadilan Negeri Ngawi, Jawa Timur. Selain kepala sekolah tersebut, yang ikut menjadi terdakwa adalah, Guru dan
Kepala Staff Tata Usaha. Dalam sidang tersebut diketahui motif
terdakwa melakukan penggelapan naskah soal UN karena ingin meluluskan semua siswanya dan bukan untuk menjual soal tersebut. Karena sebagai kepala sekolah, dia ditargetkan untuk meluluskan sebanyak 96% dari seluruh siswa. Siswa SMK yang menjadi peserta UN adalah sebanyak 484 siswa. Niat menggelapkan naskah ujian muncul pada saat mereka mendapat tugas mengambil naskah ujian dari Dinas Pendidikan Jawa Timur untuk kemudian diamankan di Polres Ngawi. Seluruh terdakwa saat itu adalah rombongan yang berada dalam satu mobil. Karena saat itu tidak ada polisi yang ikut dalam rombongan, lalu timbullah niat untuk menggelapkan. Mengenai pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan ujian nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat menyimpang atau sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari, ternyata dalam pelanggaran ujian nasional ada kasus oknum pejabat sekolah yang kedudukannya sebagai pendidik seharusnya menunjukkan kelakuan yang layak sesuai harapan masyarakat, dan seorang guru di harapkan berperan sebagai teladan dan rujukan dalam masyarakat, khususnya bagi anak didik yang dia ajar. Bahwa seorang guru yang memiliki kewajiban sebagai pendidik bagi anak didiknya dan seharusnya memberikan contoh yang baik, dalam hal ini telah melakukan perbuatan yang tidak patut di contoh yaitu menggelapkan naskah Ujian Nasional hal ini termasuk dalam tindak kejahatan, menyangkut dengan tindakan tersebut berarti guru itu telah melanggar nilai kode etik seorang guru dimana nilai-nilai moral telah di langgar selain itu telah melanggar ketentuan hukum pidana yang telah termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu perbuatan 21
Penggelapan barang, dalam kasus ini yang di gelapkan adalah Naskah Ujian Nasional. Penggelapan barang tergolong dalam tindak Kejahatan yang melanggar pasal 372 KUHP. Tindakan tersebut telah menjatuhkan harkat
dan martabat
seorang guru sebagai pendidik. Jika dilihat dari kasus tersebut maka tidak mencerminkan adanya sikap yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang individu dan sosial selain itu tindakan tersebut tidak mencerminkan peranan warga negara yaitu salah satunya Kewajiban yang sama bagi setiap warga negara untuk menjunjung/ mematuhi hukum dan pemerintahan. Berdasarkan
uraian
di
atas,
penulis
tertarik
untuk
meneliti
PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL DI LIHAT DARI PERSPEKTIF CIVIC EDUCATION (Studi Kasus di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan
uraian latar belakang masalah di atas, maka agar
permasalahan dapat di bahas secara operasional dan sesuai dengan sasaran penelitian yang diharapkan maka dapat di rumuskan
beberapa permasalahan
sebagai berikut : 1.
Mengapa terjadi pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur?
2.
Bagaimanakah bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila di lihat dari perspektif Civic Education?
3.
Bagaimana cara mengatasi pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional yang terjadi di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur?
C. Tujuan Penelitian Dalam melakukan sebuah penelitian, pasti mempunyai tujuan yang hendak di capai. Demikian pula dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian dengan tujuan penelitian sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui terjadinya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur.
2.
Untuk mengetahui bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila di lihat dari perspektif Civic Education. 22
3.
Untuk mengetahui cara mengatasi pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional yang terjadi di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur.
D. Manfaat Penelitian Dalam melakukan sebuah penelitian, di harapkan hasil penelitian dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : 1.
Manfaat teoritis
Manfaat teoritis yang dapat diambil yaitu: a.
Penelitian yang dilaksanakan diharapkan berguna untuk memberikan kontribusi terhadap pengembangan
ilmu
pendidikan,
khususnya
Civic
Education
atau
Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) yang berkaitan dengan pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional. b.
Bagi perguruan tinggi, diharapkan dapat digunakan untuk menambah khazanah kekayaan literatur di bidang pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional.
c.
Sedangkan bagi peneliti, dapat digunakan untuk memperluas wawasan dan pengalaman nyata di bidang ilmu pendidikan. 2.
Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang dapat diambil yaitu:
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para praktisi (termasuk penegak hukum) maupun para pengambil kebijakan sebagai bahan masukan guna memperbaharui peraturan perundang-undangan sehingga implementasi dan penerapannya dapat berjalan lebih baik sesuai dengan Hak dan Kewajiban Warga Negara. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan ilmiah dalam penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang. BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. a.
Ujian Nasional dalam Konteks Pendidikan Nasional
Hakekat Pendidikan Nasional
Pada hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional mempunyai fungsi sebagai : pemersatu bangsa, penyamaan kesempatan dan pengembangan potensi diri. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, memberi kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan 23
memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan ayat (3) menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan Undang-Undang. Untuk itu seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia. Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjujung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu pengetahuan dan teknologi, berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Tuntutan
tersebut
menyangkut
pembaharuan
sistem
pendidikan,
diantaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat, penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas secara profesional, penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan, pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi, serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna. Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara
24
pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Sementara itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang
Sistem
Pendidikan
Nasional
merupakan
dasar
hukum
penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional. Undang-undang tersebut memuat visi, misi, fungsi dan tujuan pendidikan nasional, serta strategi pembangunan pendidikan nasional, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, relevan dengan kebutuhan masyarakat dan berdaya saing dalam kebutuhan global. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional visi, misi, fungsi dan tujuan pendidikan nasional adalah sebagai berikut: Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas serta mampu dan proaktif menjawab tantangan jaman yang selalu berubah (Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 24).
1) 2) 3) 4)
5) 6)
7)
Misi pendidikan nasional adalah : Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia Meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat nasional, regional, dan internasional Meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global Membantu memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Negara Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 24). Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan
nasional memiliki fungsi dan tujuan yaitu : Mengembankan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, 25
dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 25). Terkait dengan visi dan misi pendidikan nasional tersebut di atas reformasi pendidikan meliputi hal-hal sebagai berikut : Pertama: Penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, dimana dalam proses tersebut harus ada pendidik yang mampu memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentrasformasikan pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta ketrampilan yang dibutuhkan bagi dirinya masyarakat bangsa dan negara. Kedua: Adanya perubahan pandangan tentang peran manusia dari paradigma manusia sebagai sumberdaya pembangunan, menjadi paradigma manusia sebagai subyek pembangunan secara utuh. Pendidikan harus mampu membentuk manusia seutuhnya, dimana proses pendidikan harus mencakup : (1) Penumbuhkembangan keimanan dan ketakwaan (2) Pengembangan wawasan kebangsaan (3) Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (4) Pengembangan, penghayatan, apresiasi, dan ekspresi seni serta (5) Pembentukan manusia yang sehat jasmani dan rohani. Proses pembentukan manusia di atas pada hakekatnya merupakan proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Ketiga: Adanya pandangan terhadap keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosial kulturalnya dan pada gilirannya akan menumbuhkan individu 26
sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya. Hal ini sejalan dengan proses pentahapan aktualisasi intelektual, emosional dan spiritual peserta didik dalam memahami sesuatu, mulai dari tahapan paling sederhana dan bersifat eksternal, sampai tahapan yang paling rumit dan bersifat internal, yang berkenaan dengan pemahahaman dan dirinya dan lingkungan kulturalnya. Keempat: Dalam rangka mewujudkan visi dan menjalani misi pendidikan nasional, diperlukan suatu acuan dasar oleh setiap penyelenggara dan satuan pendidikan, yang antara lain meliputi kriteria dan kriteria minimal berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. dalam kaitan ini kriteria dan kriteria penyelenggaraan pendidikan dijadikan pedoman untuk mewujudkan : (1) Pendidikan yang berisi muatan yang seimbang (2) Proses pembelajaran yang demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas dan dialogis (3) Hasil pendidikan yang bermutu dan terukur (4) Berkembangnya profesionalisme pendidik dan tenaga kepedidikan (5) Tersedianya sarana dan prasarana belajar yang memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik secara optimal (6) Berkembangnya pengelolaan pendidikan yang memberdayakan satuan pendidikan dan (7) Terlaksananya evaluasi, akreditasi dan sertifikasi yang berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan. Pendidikan Nasional adalah Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan
perubahan
jaman.
Pendidikan
Nasional
sendiri
merupakan
pengembangan dari arti kata Pendidikan, dimana dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 dan 3 menyebutkan pengertian, fungsi dan tujuan pendidikan yaitu : “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk menambah kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, ketrampilan pada dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka 27
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 1-3). b. Tinjauan tentang Ujian Nasional Pada hakekatnya Pendidikan bermuara pada Sistem Pendidikan Nasional yang telah dicanangkan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional melalui Sistem Pendidikan Nasional yang berarti keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Di dalam pendidikan nasional itu sendiri terdapat peserta didik selaku anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu. Selain peserta didik sudah tentu harus tersedia tenaga kependidikan yang merupakan anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan seperti guru, dosen, konselor, instruktur, pamong belajar, fasilitator dan lainnya yang turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dilakukan evaluasi terhadap peserta didik, lembaga dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan. Hal ini dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Dalam rangka melaksanakan ketentuan pada pasal-pasal yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan 28
Nasional dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional yang berbunyi : Pengertian standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Indonesia. Standar nasional pendidikan ini berhubungan erat dengan standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan (Anonim, 2005: 150). Standar-standar ini bermacam-macam jenisnya, seperti standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian. Untuk memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan pemerintah tersebut maka dikeluarkanlah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Mengenai Ujian Nasional untuk Tahun Pelajaran 2006/2007 yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006. Peraturan tersebut dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan dari Pasal 67 ayat 3 dan Pasal 72 ayat 2 tentang peraturan pelaksanaannya. Ujian Nasional tersebut merupakan wujud dari penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Penilaian hasil belajar tersebut bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk Ujian Nasional. Ujian Nasional tersebut harus dilaksanakan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Sedangkan untuk pelaksanaannya dapat dilakukan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran. Hasil Ujian Nasional yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006 Pasal 4 digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: 1) Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan 2) Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya 3) Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan 4) Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 3). 29
Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri yaitu Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006 maka Ujian Nasional (UN) yang dilakukan untuk pengukuran standar kompetensi peserta didik dapat dilaksanakan. Dalam pelaksanaan UN ini dan dalam rangka pengembangan, pemantauan dan pelaporan pencapaian standar nasional pendidikan dibentuklah sebuah Badan yang disebut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) yang berkedudukan di ibukota wilayah Negara Republik Indonesia dan menjalankan tugas dan fungsinya dengan mandiri dan profesional. BSNP bertugas membantu Menteri dalam mengembangkan, memantau, dan mengendalikan standar pendidikan nasional. Standar yang dikembangkan oleh BSNP berlaku efektif dan mengikat semua satuan pendidikan secara nasional setelah ditetapkan oleh peraturan menteri. Anggota-anggota BSNP ini terdiri dari ahli-ahli di bidang psikometri, evaluasi pendidikan, kurikulum dan manajemen pendidikan yang memiliki wawasan, pengalaman, dan komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tugas dari BSNP ini adalah menyelenggarakan UN tahun pelajaran 2006/2007, untuk mata pelajaran tertentu yang diikuti oleh peserta didik SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMALB dan SMK. Selain menyelenggarakan ujian, BSNP juga berwenang untuk mengembangkan standar pendidikan
nasional,
memberikan
rekomendasi
kepada
pemerintah
dan
pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan, serta merumuskan kriteria kelulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Ujian tersebut dilaksanakan sesuai dengan hasil pelajaran yang telah diterima oleh siswa-siswa dalam jenjang pendidikan seperti yang tersebut diatas berdasarkan Kurikulum 1994 yaitu adalah kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang sudah berlaku secara nasional sejak tahun pelajaran 1994/1995 berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan sudah diterapkan secara terbatas mulai tahun ajaran 2001/2002. Untuk standar kelulusan peserta didik seperti tercantum dalam Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan,
30
yaitu : Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan dasar dan menengah setelah : 1) 2)
3) 4)
Menyelesaikan seluruh program pembelajaran Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan. Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi Lulus ujian nasional (Anonim, 2005: 197).
Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh BSNP dan ditetapkan dalam peraturan menteri. Setiap peserta didik jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan pendidikan jalur nonformal kesetaraan berhak untuk mengikuti ujian nasional dan berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan pendidikan. Dan hal tersebut dapat dilakukan tanpa dipungut biaya. Sedangkan menurut peraturan Menteri Pendidikan Nasional ukuran kelulusan peserta didik adalah jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai berikut : memiliki nilai rata-rata minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau memiliki nilai minimal 4,00 pada salah satu mata pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran lainnya minimal 6,00. Pengertian Ujian Nasional Menurut Peraturan
Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006 Tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007 menyebutkan bahwa: “ Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah” (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 2). Sedangkan Tujuan Ujian Nasional Menurut Peraturan
Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006 Tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007 menyebutkan bahwa:
31
“ Ujian Nasional bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu penegetahuan dan teknologi” (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 3). 2. a.
Tinjauan tentang Tindak Pidana
Pengertian Tindak Pidana Seperti halnya untuk memberikan definisi terhadap istilah hukum, maka tidaklah mudah
untuk memberikan perumusan atau definisi terhadap istilah “tindak pidana”. Masalah tindak pidana dalam Ilmu Hukum Pidana merupakan bagian yang paling pokok dan sangat penting. Perumusan atau definisi tentang tindak pidana disamping ada persamaan terdapat juga perbedaannya. Menurut J.E Jonkers (1987: 135) merumuskan peristiwa pidana ialah “perbuatan yang melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”. Wirjono Prodjodikoro (1981: 50) menyatakan bahwa “tindak pidana itu adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana’’. Menurut Moeljatno (1980: 1) memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan “Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar larangan tersebut”. Beliau mengemukakan bahwa menurut ujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil. Dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perbuatan akan jadi suatu tindak pidana apabila perbuatan itu: 1) melawan hukum 2) merugikan masyarakat 3) dilarang oleh aturan pidana 4) pelakunya diancam dengan pidana Butir 1 dan 2 menunjukkan sifat perbuatan, sedangkan yang memastikan perbuatan itu menjadi suatu tindak pidana adalah butir 3 dan 4. Jadi, suatu perbuatan yang bersifat 1 dan 2 belum tentu merupakan tindak pidana, sebelum dipastikan adanya 3 dan 4. Untuk mengetahui, apakah suatu perbuatan itu merupakan tindak pidana atau bukan, maka haruslah di lihat pada ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada dan berlaku (hukum positif). Ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah: 1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 2) Peraturan-peraturan atau Undang-undang Pidana lainnya yang
merupakan
ketentuan hukum pidana di luar KUHP. 32
b.
Penggolongan atau Pembagian Tindak Pidana Pembentuk Undang-undang membuat penggolongan tindak pidana dari berbagai
undang-undang hukum pidana, yaitu penggolongan kejahatan dan pelanggaran. Menurut Moeljatno, Pertama-tama penggolongan ini terlihat dalam KUHP yang terdiri dari: Buku I, memuat tentang Aturan Umum, mulai pasal 1-103. Buku II, memuat tentang Kejahatan, pasal 104-488. Buku III, memuat tentang Pelanggaran, pasal 489-569. Sebenarnya arti kata dari kedua istilah “kejahatan” dan “pelanggaran “ ini adalah sama, yaitu suatu perbuatan yang melanggar sesuatu dan berhubungan dengan hukum, yang tidak lain yaitu perbuatan melanggar hukum. Maka dari arti kata tersebut diatas tidak dapat dilihat perbedaan antara dua golongan tindak pidana itu. Untuk menemukan perbedaan itu terdapat dua cara yang di pergunakan, yaitu: 1) Dengan cara meneliti maksud dari pembentuk undang-undang, 2) Dengan cara meneliti sifat-sifat yang berbeda antara tindak-tidak pidana yang termuat dalam Buku II dan Buku III dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam Surat Penjelasan di jelaskan bahwa Pembentuk Undang-undang Pidana mengatakan bahwa: 1) Ada perbuatan-perbuatan yang oleh hukum dan oleh undang-undang dinyatakan merupakan tindak pidana. 2) Adakalanya diadakan ancaman pidana terhadap suatu perbuatan yang sudah merupakan pelanggaran hukum, sebelum pembentuk undang-undang membicarakannya. Atau yang kita anggap baik, meskipun pembentuk undang-undang tidak membicarakannya. 3) Adakalanya suatu perbuatan dalam arti kata filsafat hukum baru menjadi pelanggaran hukum, karena dinyatakan demikian oleh undang-undang. Jadi perbuatan tersebut tidak baiknya hanya di kenal dari bunyi undang-undang. Maka dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa penggolongan Kejahatan adalah tindak pidana berdasarkan hukum sedangkan Pelanggaran adalah tindak pidana berdasarkan undang-undang. Akan tetapi Menurut Wirjono Prodjodikoro (1981: 26) ”penggolongan ini tidak tepat karena semua tindak pidana, baik yang di masukkan ke dalam Buku II KUHP sebagai tindak pidana Kejahatan, maupun yang dimasukkan dalam Buku III KUHP sebagai Pelanggaran, merupakan tindak pidana berdasarkan hukum maupun berdasarkan undang-undang”. Semua perbuatan itu adalah tindak pidana berdasarkan undang-undang, oleh karena kenyataannya untuk kedua golongan perbuatan itu undang-undanglah yang menjadikan si pembuat dapat di hukum. Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa tidak ada perbedaan “kualitatif” melainkan hanya ada perbedaan “kuantitatif” saja, yaitu Kejahatan pada umumnya di ancam dengan hukuman lebih berat daripada Pelanggaran. Dan ini berdasarkan pada sifat lebih berat dari kejahatan.
33
Kalau diteliti pasal-pasal mengenai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) ternyata bahwa:
c.
1) Apa yang termasuk dalam kelompok Kejahatan adalah merupakan perbuatanperbuatan yang “berat” dan diberi ancaman hukuman yang tinggi sedangkan yang termasuk dalam kelompok Pelanggaran merupakan perbuatan yang “ringan” dengan ancaman hukuman yang rendah; 2) Macam perbuatan dalam Kejahatan jauh lebih banyak jumlahnya dari pada apa yang termasuk dalam kelompok Pelanggaran (Wantjik Saleh, 1983: 20). Jenis-Jenis Tindak Pidana Mengenai jenis-jenis tindak pidana seperti diungkapkan oleh M. Sudrajat Bassar
(1986: 10) adalah sebagai berikut: “(1) Tindak Pidana Materiil (materieel delict), (2) Tindak Pidana Formil (formeel delict), (3) Commiissie Delict, (4) Ommissie Delict, (5) Gequalifieceerd Delict, (6) Voortdurend Delict”. Adapun penjelasan diatas adalah sebagai berikut Tindak pidana materiil dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan ujud dari perbuatan itu. Tindak pidana formil dirumuskan sebagai ujud perbuatannya, tanpa mempersoalkan akibat yang di sebabkan oleh perbuatan itu. Commiissie Delict adalah tindak pidana yang berupa melakukan suatu perbuatan positif, umpamanya membunuh, mencuri dan lainlain. Jadi hampir meliputi semua tindak pidana. Ommissie Delict adalah melalaikan kewajiban untuk melakukan sesuatu, umpamanya tidak melalukan pemberitahuan dalam 10 hari hal kelahiran atau kematian kepada Pengawas Jawatan Catatan Sipil (pasal 529 KUHP). Gequalifieceerd Delict istilah ini di gunakan untuk suatu tindak pidana tertentu yang bersifat istimewa, umpamanya pencurian (pasal 363 KUHP), apabila pencurian dilakukan dengan di ikuti perbuatan yang lain, misalnya dengan merusak pintu. Voortdurend Delict adalah tindak pidana yang tidak ada hentihentinya. d.
Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang termasuk dalam Kelompok Kejahatan Bentuk-bentuk tindak pidana yang termasuk dalam kelompok kejahatan, seperti
diungkapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada tiga puluh dua bentuk kejahatan yaitu: “Kejahatan terhadap keamanan negara, Kejahatan terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden, Kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat serta wakilnya, Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan, Kejahatan terhadap ketertiban umum, Perkelahian tanding, Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang, Kejahatan terhadap penguasa umum, Sumpah palsu dan keterangan palsu, Pemalsuan mata uang dan uang kertas, Pemalsuan materai dan merek, Pemalsuan surat, Kejahatan terhadap asal-usul dan perkawinan, Kejahatan terhadap kesusilaan, Meninggalkan orang yang perlu ditolong, Penghinaan, Membuka rahasia, Kejahatan terhadap kemerdekaaan orang, Kejahatan terhadap nyawa, Penganiayaan, Menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan, Pencurian, Pemerasan dan pengancaman, Penggelapan, Perbuatan curang, Merugikan pemihutang atau orang yang mempunyai hak, Menghancurkan atau merusakkan barang, Kejahatan jabatan, Kejahatan pelayaran, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap sarana/prasarana
34
penerbangan, Penadahan penerbitan dan percetakan, Aturan tentang pengulangan kejahatan yang bersangkutan dengan berbagai-bagai bab” (Anonim, 2005: vii). e.
Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang termasuk dalam Kelompok Pelanggaran Bentuk-bentuk tindak pidana yang termasuk dalam kelompok pelanggaran, seperti
diungkapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada sembilan bentuk pelanggaran yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Tentang Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan kesehatan Pelanggaran Ketertiban Umum Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum Pelanggaran Mengenai Asal-Usul dan Perkawinan Pelanggaran Terhadap Orang yang memerlukan Pertolongan Pelanggaran Kesusilaan Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman, dan Pekarangan Pelanggaran Jabatan Pelanggaran Pelayaran (Anonim, 2005: ix)
Apabila suatu perbuatan tidak termasuk ke dalam salah satu dalam golongan kelompok tersebut diatas, Maka berarti perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, terkecuali kalau ada suatu peraturan atau Undang-Undang yang dengan tegas menyatakan bahwa perbuatan itu merupakan tindak pidana. Umpamanya di negara Indonesia, sejak merdeka telah banyak di undangkan peraturan atau Undang-Undang yang menyatakan suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana, sehubungan timbulnya berbagai perbuatan yang tidak disebut dalam KUHP sebagai tindak pidana, akan tetapi masyarakat merasakannya sebagai suatu perbuatan yang masyarakat anggap melawan hukum. Untuk hal ini maka pemerintah dapat mengeluarkan suatu peraturan atau Undang-Undang yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tersebut menjadi suatu tindak pidana. Oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu telah terkodifisir dan tidak mungkin peraturan-peraturan atau Undang-Undang tindak pidana yang baru dimasukkan ke dalam KUHP, maka peraturan atau Undang-Undang yang di buat kemudian tidak dapat dimasukkan kedalam KUHP dan berada di luar KUHP sehingga hal ini biasa disebut sebagai “tindak pidana di luar KUHP” atau disebut “tindak pidana khusus”. f.
Tinjauan tentang Pencurian Yang dimaksud dengan pencurian menurut hukum pidana, ialah perbuatan mengambil
sesuatu barang yang semuanya atau sebagiannya kepunyaaan orang lain disertai maksud untuk memiliki dan dilakukan dengan melawan hukum (Gerson W. Bawengan 1983: 147). Menurut Pasal 362 KUHP, Pencurian berbunyi: Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah (Anonim, 2005: 121).
35
Jika diteliti rumusan tindak pidana pencurian tersebut, perbuatan itu terdiri dari unsurunsur:
1) 2) 3) 4)
barang siapa, mengambil barang sesuatu, barang kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum (Suharto, 1996: : 38).
Dalam bukunya (Gerson W. Bawengan 1983: 147), Unsur-unsur yang harus dipenuhi bahwa pencurian sebagai tindak pidana adalah: 1) 2) 3) 4)
adanya perbuatan mengambil; yang diambil adalah suatu barang; seluruhnya atau sebagiannya barang itu adalah kepunyaan orang lain; pengambilan disertai maksud untuk memiliki dengan melawan hukum.
Dapat dijelaskan mengenai Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP tersebut adalah: 1) Unsur barang siapa, yang dimaksud dengan barang siapa ialah “orang” , subjek hukum yang melakukan perbuatan. Yang dimaksud dengan barang, tidak sekedar berupa benda belaka, tetapi telah diperluas dengan termasuk hewan, tenaga listrik ataupun gas. 2) Yang dimaksud dengan mengambil ialah sebelum perbuatan dilakukan. Barang itu belum berada didalam kekuasaan pengambil, Perbuatan mengambil dapat dipandang telah terwujud, bilamana barang yang diambil itu telah berpindah ke dalam lingkungan kekuasaan pengambil. 3) Mungkin pula bahwa yang mengambil itu mempunyai hak atas sebagian dari pada barang yang diambilnya, dan sehubungan dengan hal demikian itu maka unsur ke 3 menyebut tentang pengambilan atas barang yang seluruhnya atu sebagiannya adalah milik orang lain. 4) Pengambilan, harus disertai maksud untuk memiliki dengan melawan hukum. Bila mana kita kembali meneliti bentuk pencurian sebagaimana diancam dalam KUHP, maka akan kita jumpai : 1) 2) 3) 4) 5)
pencurian biasa, pasal 362 KUHP; pencurian berkualipikasi, pasal 363 KUHP; pencurian dengan kekerasan, pasal 365 KUHP; pencurian enteng, pasal 364 KUHP; pencurian dalam lingkungan keluarga, pasal 367 KUHP (Gerson W. Bawengan 1983: 148).
Pasal 362 KUHP berbunyi: Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah (Anonim, 2005: 121).
36
Menurut Pasal 363 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) “Pencurian dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun antara lain pencurian ternak, pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang, pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak, pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu” (Anonim, 121-122).
Pasal 364 KUHP berbunyi: Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah (Anonim, 2005: 122). Menurut Pasal 365 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) “Pencurian dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun antara lain pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun antara lain jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu, jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat. Jika perbutan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal“ (Anonim, 2005: 122-123). g.
Tinjauan tentang Penggelapan Jika dalam pencurian perbuatan mengambil itu dilakukan dengan jalan mengambil
sesuatu barang dan keadaan barang itu masih terletak di luar kekuasaan pengambil, maka perkara penggelapan, barang sebagai obyek sudah berada di dalam tangan pengambil.
37
Menurut M. Sudrajat Bassar (1986: 76) mengartikan “Penggelapan (verduistering) adalah : Memiliki barang yang sudah ada di tangannya”. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggolongkan penggelapan atas bentuk-bentuk sebagai berikut: 1) 2) 3) 4)
penggelapan biasa, pasal 372 KUHP; penggelapan enteng, pasal 373 KUHP; penggelapan dengan pemberatan, pasal 374 KUHP; penggelapan berat, pasal 375 KUHP (Suharto, 1996: 40).
Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan yang berbunyi : Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah (Anonim, 2005: 125). Menurut Suharto (1996: 41) Unsur-unsur pasal 372 KUHP sebagai berikut : 1) 2) 3) 4) 5)
barang siapa melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri barang sesuatu milik orang lain barang yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.
Memiliki adalah suatu perbuatan mengalihkan hak orang lain menjadi hak yang berkehendak memiliki dan tentulah dalam hal ini dilakukan tanpa izin pemilik asli. Dengan pengalihan hak yang demikian itu, maka sipengambil hak itu bertindak seolah-olah pemilik asli, dan tindakan-tindakan dapat berbentuk menjual, menggadaikan atu menyewakan dan sebagainya. Pasal 373 KUHP berbunyi : Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372 KUHP, apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah (Anonim, 2005: 125). Penggelapan enteng sebenarnya tak lain daripada penggelapan biasa denga kondisi peringanan sehubungan dengan nilai yang rendah lagi pula bukan hewan. Sebagai penggelapan enteng, maka pasal 373 KUHP hanya memberikan ancaman hukuman maximal tiga bulan penjara atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 250.Pasal 374 KUHP berbunyi : Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun (Anonim, 2005: 126). Penggelapan dengan pemberatan menurut pasal 374 KUHP mengancam dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Pertimbangan pemberatan dalam pasal itu adalah
38
bahwa orang yang memegang barang itu adalah berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannya atau karena memperoleh upah. Pasal 374 KUHP itu akan lebih banyak dibahas dalam bidang pidana khusus yaitu korupsi, teristimewa bilamana dikaitkan dengan pasal 415 dan 417 KUHP. Pasal 375 KUHP berbunyi : Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, dianca dengan pidana penjara peling lama enam tahun (Anonim, 2005: 126). Penggelapan berat sebagaimana diatur dengan pasal 375 KUHP, mengancam hukuman penjara setingi-tingginya enam tahun. Pemberatan itu dihubungkan dengan keadaan terpaksa untuk menyimpan barang, misalnya karena malapetaka atau bencana alam, namun kemudian sipenyimpan melakukan penggelapan. Termasuk dalam kondisi penggelapan berat ialah mereka yang merupakan wali, kurator atau pengurus dan sebagainya.
Unsur pokok dari penggelapan ialah bahwa barang yang di gelapkan harus ada di bawah kekuasaan si pelaku, dengan cara lain daripada dengan melakukan kejahatan. Jadi barang itu oleh yang punya di percayakan atau dapat dianggap di percayakan kepada si pelaku. Pada pokoknya, dengan perbuatan penggelapan si pelaku tidak memenuhi kepercayaan yang dilimpahkan atau dapat dianggap dilimpahkan kepadanya oleh yang berhak atas suatu barang. 3. Konsep Civic Education a. Pengertian Civic Education Secara bahasa istilah Civic Education oleh sebagian pakar di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan Kewarganegaraan. Istilah Pendidikan Kewargaan di wakili oleh Azyumardi Azra dan Tim ICCE (Indonesian Center for Civic Education) UIN Jakarta sebagai Pengembang Civic Education di Perguruan Tinggi yang pertama. Sedangkan istilah Pendidikan Kewarganegaraan di wakili oleh Zamroni, Muhammad Numan Soemantri, Udin S. Winataputra dan Tim CICED (Center Indonesian for Civic Education), Merphin Panjaitan, Soedijarto dan pakar lainnya. Menurut Zamroni berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru kesadaran bahwa
39
demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat (Azyumardi Azra, 2002: 7). Menurut Civitas Internasional bahwa Civic Education adalah pendidikan yang mencakup pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya, pemahaman tentang rule of law, hak asasi manusia, penguatan ketrampilan partisipatif yang demokratis, pengembangan budaya demokrasi dan perdamaian (Azyumardi Azra, 2002: 8). Adapun menurut Landon E. Beyer (1999: 4) mengatakan bahwa “Civic Education is the fundational course work in school designed to prepare young citizenship for an active role in their comunicaties in their adult lives”. PKn adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga muda agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakat (http: // Journal Article Excerpt. com). Pendapat lain menurut Steven E. Finkel (2002: 64) mengatakan bahwa “The results suggest that civic education and other group mobilization processes are highly complementary in both cuntries; civic education training stimulates individual political behavior in much the same way as does participation in other kinds of secondary groups activities” (http: // Journals Cambridge. org). Dari definisi diatas, semakin mempertegas pengertian Civic Education karena bahannya meliputi pengaruh positif dari pendidikan sekolah, pendidikan di rumah, dan pendidikan di luar sekolah. Unsur-unsur ini harus dipertimbangkan dalam menyusun program Civic Education yang diharapkan akan menolong para peserta didik untuk (a) mengetahui, memahami dan mengapresiasi cita-cita nasional, (b) dapat membuat keputusan-keputusan yang cerdas dan bertanggung jawab dalam berbagai masalah seperti masalah pribadi, masyarakat dan negara. Jadi, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) adalah program pendidikan yang memuat bahasan mengenai kebangsaan, kewarganegaraan dalam hubungannya dengan negara, demokrasi, HAM dan masyarakat madani (Civil Society) yang dalam implementasinya menerapkan prinsip-prinsip pendidikan demokratis dan humanis. b. Kompetensi Dasar Pendidikan Kewargaan ( Civic Education ) Dalam pembelajaran Pendidikan Kewargaan, kompetensi dasar, atau sering di sebut kompetensi minimal, yang akan ditrasformasikan dan ditransmisikan pada peserta didik terdiri dari tiga jenis : 1) kompetensi pengetahuan kewargaan (civic knowledge), yaitu kemampuan dan kecakapan yang terkait dengan materi inti Pendidikan Kewargaan (Civic Education), yaitu demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani 2) kompetensi sikap kewargaan (civic dispositions), yaitu kemampuan dan kecakapan yang terkait dengan kesadaran dan komitmen warga negara antara lain komitmen
40
akan kesetaraan gender, toleransi, kemajemukan, dan komitmen untuk peduli serta terlibat dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang terkait dengan pelanggaran HAM 3) kompetensi keterampilan kewargaan (civic skills), yaitu kemampuan dan kecakapan mengartikulasikan keterampilan kewargaan seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara dan pemerintahan (A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2008: 9). Menurut Margaret S. Bronson (1999: 8), Komponen-Komponen dalam Civic Education sebagai berikut : 1) Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge) 2) Kecakapan-Kecakapan Kewarganegaraan (Civic Skills): Intelektual dan Partisipatoris 3) Watak-Watak Kewarganegaraan (Civic Dispositions): Sifat-Sifat Publik dan Privat yang Utama c. Tujuan Civic Education Menurut Azyumardi Azra (2002: 10). Pendidikan Kewargaan (Civic Education) bertujuan untuk : 1) membentuk kecakapan partisipatif yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global; 2) menjadikan warga yang baik dan mampu menjaga persatuan integritas bangsa guna mewujudkan Indonesia yang kuat, sejahtera dan demokratis; 3) menghasilkan mahasiswa yang berpikir komprehensif, analitis dan kritis dan bertindak demokratis; 4) mengembangkan kultur demokasi yaitu kebebasan, persamaan, kemerdekaan, toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan mengambil keputusan serta kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan politik kemasyarakatan; 5) mampu membentuk mahasiswa menjadi good and responsible citizen (warga negara yang baik dan bertanggung jawab) melalui penanaman moral dan ketrampilan sosial (social skills) sehingga kelak mereka mampu memahami dan memecahkan persoalan-persoalan aktual kewarganegaraan seperti toleransi, perbedaan pendapat, bersikap empati, meghargai pluralitas, kesadaran hukum dan tertib sosial, menjunjung tinggi HAM, mengembangkan demokratisasi dalam berbagai lapangan kehidupan dan menghargai kearifan lokal (local wisdom).
4. Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional Karena tingginya standar kelulusan siswa dalam UN tahun ini dimana nilai kelulusan peserta UN tingkat SMP/SM-PLB/MTs dan di tingkat SMA/SMK/MA tidak bisa diganggu gugat dan ditawar-tawar. Untuk lulus nilai rata-rata UN harus 5,00 dan nilai satu mata pelajaran minimal 4,25. Bila salah satu mata ujian nilainya 4,00 maka dua mata ujian lainnya harus minimal 6,00. Walaupun kurang nol koma nol sekian, tapi nilainya tidak 41
sampai 4 (empat), tetap tidak bisa lulus UN, hal ini dinyatakan oleh Yunan Yusuf, ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (Warta Kota, Sabtu, 5 Mei 2007, Hal 3). Bila nilai ujian lainnya tinggi dan akhlaknya baik tetapi nilai UN-nya dibawah 4 (empat) tetap tidak lulus. Begitu juga sebaliknya, bila UN tinggi, tapi nilai ujian sekolah di bawah standar kelulusan, siswa bisa tetap tidak lulus. Akibat standar kelulusan siswa yang tinggi ini menyebabkan terjadinya berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan
dalam
pelaksanaan UN di hampir seluruh daerah di Indonesia. Alasan lain yang mengakibatkan banyaknya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam UN ini adalah kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama baik sekolah yang bersangkutan akan turun jika banyak diantaranya siswanya yang tidak lulus. Sebagian masyarakat masih berpendapat jika keberhasilan suatu sekolah dilihat dari banyaknya siswa yang berhasil lulus, apabila banyak yang tidak lulus otomatis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut akan berkurang dan bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan murid. Kekhawatiran juga melanda sekolah apabila banyak siswa yang tidak lulus adalah adanya demonstrasi dari orang tua yang tidak lulus
dan
tindakan anarkis dari siswa yang tidak lulus tersebut. Selain itu reputasi Dinas Pendidikan Kota akan turun dan dianggap tidak berhasil menyelenggarakan pendidikan karena prosentase kelulusan yang kecil. Berbagai pelanggaran pada UN terjadi ketika bahan UN telah didistribusikan ke sekolah atau madrasah pada hari terjadinya UN, bukan pada tahap pendistribusian dari tingkat pusat, percetakan, propinsi hingga ke kabupaten/kota. Pelanggaran terjadi ketika bahan UN dijemput oleh sekolah penyelenggara. Biasanya soal diambil pada pukul 05.00 subuh, waktu yang tersedia antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 07.30 digunakan oleh oknum guru atau kepala sekolah untuk membuka amplop soal UN, mengerjakannya, serta menutup kembali amplop tersebut. Jawaban inilah yang nanti beredar dalam bentuk SMS dan contekan kecil yang dibawa 42
masuk ke ruang ujian oleh guru sekolah penyelenggara atau ditulis di papan tulis di ruang ujian. Pelanggaran lain yang ditemukan adalah ada sekolah yang sengaja mendesain kelasnya hanya berjumlah kurang dari 20 orang sehingga ada sisa soal di kelas itu.
Padahal menurut Prosedur Operasional Standar
(POS), sisa soal harus segera disimpan. Namun sisa soal tersebut dikerjakan dan jawabannya diedarkan dalam bentuk SMS dan contekan kecil ke seluruh peserta ujian (Republika, Sabtu, 5 Mei 2007, Hal 4). Selain itu, sekolah-sekolah yang tidak ingin muridnya gagal dalam UN telah membentuk tim sukses untuk meluluskan para muridnya. Tim Sukses ini beranggotakan guru-guru yang mata pelajarannya menjadi mata pelajaran yang diujikan dalam UN. Sebelum UN dilaksanakan, pihak sekolah telah mengundang tim pengawas yang akan mengawasi UN di sekolah tersebut. Mereka diberi pengarahan agar tidak terlalu ketat dalam mengawasi UN dan segala bentuk pelanggaran yang terjadi tidak perlu dicatat. Karena sewaktu UN berjalan, para murid akan saling memberitahukan jawaban ujian yang berasal dari guru yang telah mendapatkan jawaban dari soal ujian yang telah dibuka terlebih dahulu sebelum UN dimulai. Para guru pengawas tersebut, pada saat UN berjalan hanya duduk di depan kelas sambil membaca saja dan seolah tidak peduli akan segala sesuatu yang berjalan pada waktu ujian. Tidak lupa para pengawas ini pun diberi amplop yang berisi uang sogokan (Tempo, 4 Mei 2007, Hal 5). Apabila setelah UN berakhir masih ada siswa yang belum selesai mengisi lembar jawaban dengan jawaban yang benar, maka waktu yang tersedia digunakan oleh pihak sekolah untuk membetulkan jawaban sebelum semua jawaban dikumpulkan ke rayon masing-masing. Siswa juga diminta hadir lebih awal ke sekolah sebelum pengawas datang dan siswa tersebut diberi tahu kunci jawaban oleh tim sukses dan guru yang telah mengerjakan soal-soal UN pada hari itu.
43
Jadi berbagai kecurangan itu justru berlangsung di ruang-ruang kelas sekolah, bukan di luar kelas. Karena dari mulai penyelenggara UN Pusat ke percetakan yang ditetapkan Gubernur sebagai pemenang tender, master copy dijaga ketat oleh Kepolisian dan tim pemantau independen. Soal-soal UN itu dicetak dan dipak dengan menggunakan tiga gembok berbeda yang kuncinya masing-masing dipegang pihak percetakan, tim pemantau independen dan Kepolisian. mendistribuskan
bahan
kabupaten/kota
dan
kabupaten/kota,
di
UN
kepada
menyimpannya kantor
Ketika perusahaan percetakan
kepolisian
penyelenggara di
kantor
dan
di
UN
dinas sub
tingkat
pendidikan
rayon
sekolah
penyelenggara, seluruhnya juga dijaga ketat kepolisian, tim pemantau independen
dan penyelenggara UN kabupaten/kota hingga sampai ke
sekolah. Akan tetapi dalam kasus di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur terjadi tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian nasional yaitu penggelapan naskah soal UN yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi (Seputar Indonesia, 15 Juni 2007, Hal 5). Kasus ini termasuk dalam tindak pidana kejahatan, dimana telah disidangkan di Pengadilan Negeri Ngawi, Jawa Timur. Selain kepala sekolah tersebut, yang ikut menjadi terdakwa adalah, Guru dan Kepala Staff Tata Usaha. Dalam sidang tersebut diketahui motif terdakwa melakukan penggelapan naskah soal UN karena ingin meluluskan semua siswanya dan bukan untuk menjual soal tersebut. Karena sebagai kepala sekolah, dia ditargetkan untuk meluluskan sebanyak 96% dari seluruh siswa. Siswa SMK yang menjadi peserta UN adalah sebanyak 484 siswa. Niat menggelapkan naskah ujian muncul pada saat mereka mendapat tugas mengambil naskah ujian dari Dinas Pendidikan Jawa Timur untuk kemudian diamankan di Polres Ngawi. Seluruh terdakwa saat itu adalah rombongan yang berada dalam satu mobil. Karena saat itu tidak ada polisi yang ikut dalam rombongan, lalu timbullah niat untuk menggelapkan. Pelanggaran dalam UN yang terjadi di mana-mana ini, adalah juga hasil Survey yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 44
Poros Pendidikan (Republika, Selasa, 8 Mei 2007, Hal 5). Investigasi mengenai pelanggaran dalam UN ini seharusnya menjadi tanggung jawab dari pihak independen dan bukan Inspektorat Jendral Depdiknas. Karena, bisa saja ada temuan yang ditutup-tutupi. LSM tersebut menilai, kecurangan yang terjadi pada pelaksanaan UN merupakan tindakan kejahatan sistematis untuk mencapai target standar kelulusan.
5. Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional dilihat dari Perspektif Civic Education Pelaksanaan Ujian Nasional masih menyisakan masalah yang cukup besar dan harus diantisipasi pada pelaksanaan UN tahun-tahun berikutnya. Pelaksanaan UN yang menyamaratakan kualitas anak didik secara nasional, bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Sehingga mau tidak mau kebijakan ini harus di evaluasi lagi. Karena faktanya masih ada perbedan standar mutu pendidikan antara daerah yang satu dengan yang lain. Penyamarataan
penerapan
kebijakan
UN
sangat
melemahkan
pengembangan pendidikan di Indonesia. UN kurang mempertimbangkan berbagai faktor obyektif di daerah seperti perbedaan kualitas ajar mengajar, dan fasilitas pendidikan. Sistem UN harus segera di evaluasi karena bisa mengancam disitegrasi bangsa. Bayangkan saja, tingkat kelulusan siswa-siswa di Papua misalnya, hanya sekitar 20%, tidak bisa disamakan dengan tingkat kelulusan siswa-siswa di DKI Jakarta. Karena kondisi di masing-masing daerah tentu berbeda. Berdasarkan pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, Ujian Nasional (UN) menghabiskan anggaran sekitar Rp 300 miliar. Alokasi dana sebesar itu tentu lebih bermakna jika digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan dan memperkecil disparitas kualitas pendidikan di tanah air. Maraknya pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian Nasional baik yang dilakukan sekolah, guru dan siswa bertentangan dengan Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan). Karena Civic Education merupakan pembelajaran yang dimaksudkan sebagai wahana pendidikan umum yang bertujuan memfasilitasi peserta didik agar dapat mengembangkan diri menjadi warga negara 45
yang kritis, cerdas, dan berkeadaban atau smart and good citizens. Oleh karena itu, dalam intrumentasi dan praksis
pendidikannya secara progmatik di kembangkan civic intelligence
(kecerdasan warga negara) yang mencakup tiga hal yaitu: (1) civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan), (2) civic skills (keterampilan kewargaan), dan (3) civic dispositions (sikap kewargaan) melaui berbagai interaksi pembelajaran yang bersifat partisipasif; kajian individual dan kelompok, yang diakhiri dengan penilaian belajar yang berlandaskan pada penguasaan keseluruhan kompetensi kewargaan secara proporsional. Dalam Civic Education di harapkan para peserta didik memiliki kreativitas tinggi, memiliki kemandirian, dan sikap toleransi yang tinggi. Di samping itu agar peserta didik dapat menemukan jati dirinya sebagai manusia yang sadar akan tanggung jawab individu dan sosial.
B. Kerangka Berpikir Ujian Nasional merupakan wujud dari penilaian hasil belajar oleh pemerintah. Penilaian hasil belajar tersebut bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk Ujian Nasional. Ujian Nasional tersebut harus dilaksanakan secara obyektif, berkeadilan, dan akuntabel. Sedangkan untuk pelaksanaannya dapat dilakukan sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun pelajaran. Hasil Ujian Nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan, Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Perbuatan akan jadi suatu tindak pidana apabila perbuatan itu,melawan hukum, merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana, pelakunya diancam dengan pidana. Pembentuk Undang-undang membuat penggolongan tindak pidana dari berbagai undang-undang hukum pidana, yaitu penggolongan kejahatan dan pelanggaran. Apa yang termasuk dalam kelompok Kejahatan adalah merupakan perbuatan-perbuatan yang “berat” dan diberi ancaman hukuman yang tinggi sedangkan yang termasuk dalam kelompok Pelanggaran merupakan perbuatan yang “ringan” dengan ancaman hukuman yang rendah, Macam perbuatan dalam Kejahatan jauh lebih banyak jumlahnya dari pada apa yang termasuk dalam kelompok Pelanggaran.
46
Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.
Pelaksanaan Ujian Nasional
Dilaksanakan dengan Baik (Sesuai hak dan kewajiban)
Terjadi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan
Dilihat dari KUHP
Dilihat dari perspektif Civic Education
Alternatif penyelesaian masalah
47
Gambar : 1 Bagan Kerangka Pemikiran
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Metodologi Penelitian merupakan alat untuk mencari data dari obyek yang menjadi sasaran dari penelitian. Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Kualitas dari suatu penelitian tidak tergantung oleh luas tidaknya masalah dan besar kecilnya populasi tetapi ditentukan oleh ketajaman didalam menganalisa data atau permasalahannya. Sehingga perlu adanya suatu pembatasan tempat penelitian yang jelas. Dalam penelitian kualitatif memandang permasalahan yang ada secara menyeluruh dan terkait dengan yang lainnya. Tempat penelitian merupakan suatu lokasi dimana penelitian akan dilakukan untuk memperoleh data sesuai dengan permasalahan yang diajukan. Tempat yang akan dipakai dalam melaksanakan penelitian ini adalah di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di lapangan dari di setujuinya judul pada bulan Mei sampai selesainya penelitian. Berikut ini gambar alokasi waktu kegiatan penelitian yang penulis lakukan :
48
Tabel 1. Jadual Kegiatan Penelitian No
Jenis Kegiatan
1.
Pengajuan Judul
2.
Penyusunan Proposal
3.
Pengajuan Ijin
4.
Pengumpulan Data
5.
Analisis Data
6.
Laporan Penelitian
Tahun 2009 Mei
Juni
Juli
Agust
Sept
Okt
Nov
Surat
B. Bentuk dan Strategi Penelitian 1.
Bentuk Penelitian
Dalam penelitian ini bentuk yang akan digunakan adalah bentuk penulisan deskriptif kualitatif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata, kalimat, pencatatan dokumen maupun arsip yang gemlike arti yang sangat lebih dari sekedar angka atau frekuensi. Menurut Lexy J. Moleong (2005: 4) yang mengutip dari pendapat Bogdan dan Taylor. Penelitian kualitatif adalah sebagai berikut: “Metodologi Kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.” Penelitian ini diperoleh dengan mempertimbangkan kesesuaian obyek dari studi, sehingga penggunaan metode penelitian secara mendalam agar sesuai dengan metode tersebut yaitu menggunakan metode deskriptif. Hal tersebut sesuai dengan pendapat dari Winarno Surakhmad (2004: 139) bahwa : Penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang. Karena banyak sekali ragam penyelidikan demikian metode penyelidikan deskriptif diantaranya ialah penyelidikan yang menuturkan, menganalisa, dan mengklasifikasi. Sehingga menurutnya metode deskriptif adalah menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, satu hubungan kegiatan, pandangan, sikap yang menampak, atau tentang satu proses yang sedang berlangsung pengaruh yang sedang bekerja, kelainan yang sedang
49
Des
muncul, kecenderungan yang menampak, pertentangan yang meruncing, dan sebagainya. 2. Strategi Penelitian
Strategi penelitian yang digunakan adalah strategi penelitian tunggal terpancang. Mengenai model ini seperti yang diungkapkan HB. Sutopo (2002: 4142) menjelaskan sebagai berikut: “Dalam penelitian kualitatif ditemui adanya bentuk penelitian terpancang (Embeded Research) yang memiliki pengertian penelitian kualitatif yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel utamanya yang akan dikaji berdasarkan tujuan dan minat penelitiannya sebelum peneliti kelapangan studinya. Dalam proposal peneliti sudah menentukan terlebih dahulu fokus dari pada variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik sehingga bagian-bagian yang diteliti tetap diusahakan pada posisi yang saling berkaitan dengan bagian-bagian dari konteks secara keseluruhan guna menemukan makna yang lengkap. Untuk itu maksud dari strategi tunggal terpancang dalam penelitian ini, dapat mengandung pengertian sebagai berikut: tunggal yang artinya hanya ada satu lokasi yaitu di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. Sedang terpancang artinya hanya pada tujuan untuk mengetahui Pelanggaran dan Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional dilihat dari Perspektif Civic Education (Studi Kasus di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur). C. Sumber Data
Menurut HB. Sutopo (2002: 50-54) menyatakan bahwa “sumber data dalam penelitian kualitatif dapat berupa manusia, peristiwa, atau aktivitas, tempat atau lokasi, benda, beragam gambar dan rekaman, dokumen atau arsip”. Pendapat lain tentang sumber data dalam penelitian kualitatif adalah yang diungkap oleh Lofland yang dikutip oleh oleh Lexy J. Moleong (2005: 157) menjelaskan bahwa “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah katakata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainlain”.
50
Berdasarkan pendapat di atas peneliti menggunakan sumber data yang berupa informan, tempat, dan peristiwa serta arsip dan dokumen, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: 1. Informan Jenis sumber data ini dalam penelitian pada umumnya dikenal sebagai responden. Manusia sebagai sumber data perlu dipahami, bahwa mereka terdiri dari beragam individu dan memiliki beragam posisi. Oleh karena itu di dalam memilih siapa yang akan menjadi informan, peneliti wajib memahami posisi dengan beragam peran serta yang ada sehingga dapat diperoleh informasi pernyataan maupun kata-kata yang diperoleh dari informan yang disebut data primer atau sering disebut sebagai informan kunci (key informan). Adapun informan dalam penelitian ini antara lain: a. Wakil kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial SH. b. Dua orang guru SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial BS dan AS. c. Dua orang karyawan SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial DV dan KW. d. Tiga orang alumni siswa SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial TH, AH, dan LPS. e. Dua orang tua mantan siswa SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial SP dan ST. (Lihat Lampiran I halaman 82) 2. Tempat dan Peristiwa Tempat sebagai obyek penelitian merupakan sumber data yang tidak dapat ditinggalkan, maka penelitian ini dilakukan di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. Peristiwa yang dimaksud adalah Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional dilihat dari Perspektif Civic Education (Studi Kasus di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur). 3. Dokumen Sumber data yang kedua atau sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen. Dokumen di sini dapat berupa Surat dan agenda yang berkaitan dengan suatu peristiwa tertentu.
51
Macam-macam dokumen yang digunakan di sini meliputi seluruh dokumen resmi tentang hal-hal yang terkait dengan Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional dilihat dari Perspektif Civic Education (Studi Kasus di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur). Yaitu berupa : Dokumen yang terdapat di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur berupa Surat Putusan dari Pengadilan Negeri Ngawi tentang Identitas Pelaku Tindak Kejahatan Penggelapan Naskah Ujian Nasional dan hukuman pidana atas para pelaku. (Lihat Lampiran 2 halaman 84) D. Teknik Sampling (Cuplikan)
Karena penelitian ini berbentuk kualitatif, maka teknik pengambilan sampelnya harus disesuaikan dengan kebutuhan, maka pengambilan sample yang paling tepat dalam penelitian adalah menggunakan purpossive sampling (sampel bertujuan). Menurut Lexy. J. Moleong (2005: 165), sampel bertujuan maksudnya: 1. Untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya 2.
Menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul.
Dalam penelitian kualitatif lebih cenderung menggunakan teknik cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan konsep teoritis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, karakteristik empiris dan lain-lain. “Oleh karena itu cuplikan yang akan digunakan dalam penelitian bersifat Purpossive Sampling, dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informasi dan masalahnya secara lebih mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap” (HB. Sutopo, 2002: 56). Apabila yang menjadi populasi adalah Wakil Kepala Sekolah, Guru, Karyawan , Mantan Siswa (Alumni Siswa SMK PGRI 4 Ngawi) dan Orang tua Alumni Siswa Sekolah yang berjumlah 100 orang. Maka sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah Wakil Kepala Sekolah, dua orang Guru, dua orang Karyawan sekolah, tiga orang Mantan siswa (alumni siswa SMK PGRI 4 Ngawi) dan dua orang tua Alumni siswa sekolah tersebut yang berjumlah 10 orang. E. Teknik Pengumpulan Data
52
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : 1.
Wawancara Mendalam
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam atau in depth interviewing. “Wawancara ini bersifat lentur dan terbuka, serta tidak terstruktur ketat dalam suasana formal dan bisa dilakukan berulang pada informan yang sama” (HB. Sutopo, 2002: 56). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban yang lebih lengkap dan mendalam tentang Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. Wawancara mandalam ini peneliti lakukan pada informan kunci.
Adapun informan dalam penelitian ini antara lain: a. Wakil kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. b. Guru dan karyawan SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. c. Mantan para siswa SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. d.
Orang tua mantan para siswa SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur Adapun pedoman wawancara lihat lampiran 3 halaman 88 dan hasilnya dapat
dilihat pada dan lampiran 4 halaman 89. 2.
Observasi Langsung
Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, dan benda, serta rekaman gambar. Observasi dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada observasi langsung dapat dilakukan dengan mengambil peran atau tak berperan. Spradley (1980) menjelaskan “bahwa pelaksanaan teknik dalam observasi dapat di bagi menjadi (1) tak berperan sama sekali, (2) observasi berperan, yang terdiri dari, (1) berperan pasif, (2) berperan aktif, dan (3) berperan penuh, dalam arti peneliti benar-benar menjadi warga (bagian) atau anggota kelompok yang sedang diamati” (HB Sutopo, 2002: 64). Teknik observasi yang digunakan dengan pengamatan secara langsung maupun tidak langsung terhadap suatu gejala peristiwa yang terjadi dilapangan dengan mengkaji, serta mengungkap fenomena-fenomena yang ada hubungannya dengan penelitian baik secara nyata maupun secara mendalam yaitu mengenai pelaksanaan ujian nasional di sekolah SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. Untuk penelitian ini peneliti berperan secara pasif dengan cara melakukan pengamatan, meliputi segala aspek aktivitas di obyek yang diteliti, baik aktivitas yang didengar maupun yang dilihat mengenai pelaksanaan ujian nasional yang dilakukan oleh para siswa dan siswi SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. 3. Analisis Dokumen
53
Dokumen tertulis dan arsip merupakan sumber data yang sering memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif. Dokumen bisa memiliki beragam bentuk, dari tertulis sederhana sampai lengkap, dan bahkan bisa berupa benda-benda lainnya sebagai peninggalan masa lampau. Demikian pula arsip yang ada umumnya berupa catatan-catatan yang lebih formal bila dibanding dengan dokumen. Sebagai catatan formal arsip sering memiliki peran sebagai sumber informasi yang sangat berharga bagi pemahaman suatu peristiwa. Sumber data berupa arsip dan dokumen biasanya merupakan sumber data pokok dalam penelitian kesejarahan, terutama untuk mendukung proses interprestasi dari setiap peristiwa yang diteliti (H.B Sutopo 2002 :69). Dalam teknik dokumentasi peneliti melakukan telaah kepustakaan dan content analysis. Menurut H.B Sutopo (2002 :69) “mencatat dokumen disebut juga content analysis dan yang dimaksud peneliti bukan hanya sekedar mencatat isi penting yang tersurat dalam dokumen atau arsip tetapi juga tentang maknanya yang tersirat”. Dokumen atau arsip yang digunakan peneliti dalam penelitian ini berupa Surat Putusan dari Pengadilan Negeri Ngawi tentang Identitas Pelaku Tindak Kejahatan Penggelapan Naskah Ujian Nasional dan hukuman pidana atas para pelaku. F.
Validitas Data
Agar hasil penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka di perlukan adanya validitas data untuk menjaga keabsahan data yang dikumpulkan, validitas data merupakan sarana untuk membuktikan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian yang ilmiah. Didalam bukunya H.B Sutopo (2002: 78) menyebutkan ada empat macam trianggulasi data yaitu : 1. 2. 3. 4.
Trianggulasi data atau disebut trianggulasi sumber adalah penelitian dengan menggunakan berbagai sumber data yang berbeda untuk mengumpulkan data yang sejenis. Trianggulasi penelitian yaitu cara yang mana hasil penelitian baik data maupun kesimpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhan diuji validitasnya dari berbagai peneliti. Trianggulasi metodologis yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan data yang sejenis tetapi dengan teknik pengumpulan data yang berbeda. Trianggulasi teori yaitu melakukan penelitian dengan topik yang sama dan datanya dianalisis dengan menggunakan beberapa perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang di kaji.
Menurut (HB.Sutopo, 2002: 77) “Guna menjamin dan mengembangkan validitas data yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif maka menggunakan teknik trianggulasi data atau sumber”.
Dalam hal ini peneliti
mengumpulkan data tentang Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur dari
54
sumber data yang berbeda, yang digali dari sumber data informan, arsip dan peristiwa selama kegiatan berlangsung. G. Analisis Data
Menurut Lexy J. Moleong (2005: 280) “Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan tempat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”. Sedangkan menurut HB. Sutopo (2002: 91) berpendapat bahwa “Dalam proses analisis data terdapat 4 komponen utama yang harus dipahami oleh setiap peneliti kualitatif. Empat komponen utama tersebut adalah : (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) sajian data, (4) penarikan kesimpulan/ verifikasi”. 1. Pengumpulan Data Kegiatan ini digunakan untuk memperoleh informasi yang berupa kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan observasi, wawancara, dan dokumen. Data yang diperoleh masih berupa data yang mentah yang tidak teratur, sehingga diperlukan analisis agar data menjadi teratur. 2. Reduksi Data Merupakan suatu proses seleksi, pengfokusan penyederhanaan dan abstraksi dari field note (data mentah). HB. Sutopo (2002: 92) berpendapat bahwa: “Reduksi data adalah bagian dari proses analisis, yang mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan”. 3. Sajian Data Merupakan rakitan dari organisasi informasi yang memungkinkan kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat berupa matriks, gambar atau skema, jaringan kerja kegiatan dan tabel. Semuanya dirakit secara teratur guna mempermudah pemahaman informasi. 4.
Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan akhir akan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir pengumpulan data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa
55
pengulangan dengan melihat kembali field note (data mentah) agar kesimpulan yang di ambil lebih kuat dan bisa dipertanggung jawabkan. Keempat komponen utama tersebut merupakan suatu rangkaian dalam proses analisis data yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan, dimana komponen yang satu merupakan langkah menuju komponen yang lainnya, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak bisa mengandung salah satu komponen. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam bagan berikut ini: 1. Pengumpulan Data
2. Reduksi Data
3. Sajian Data Data
GambarSimpulan 2. 4. Penarikan /verifikasi Verifikasi Data Model Analisis Interaktif ( HB. Sutopo, 2002 : 96 )
Pada penelitian ini peneliti memfokuskan pengumpulan data pada Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur, baru kemudian peneliti menyajikan data tersebut dalam bentuk narasi yang didalamnya
menggambarkan
Pelanggaran
dan
Tindak
Kejahatan
dalam
Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. Dari data yang telah diuraikan tersebut akan ditarik suatu kesimpulan. H. Prosedur Penelitian
Kegiatan penelitian ini direncanakan melalui beberapa tahapan yaitu: “(1) Persiapan, (2) Pengumpulan data, (3) Analisis data, dan (4) Penyusunan laporan penelitian” (HB. Sutopo, 2002: 187-190). Untuk lebih jelasnya, masing-masing akan diuraikan sebagai berikut: 1. Persiapan a. Mengurus perijinan penelitian 56
b. Menyusun protokol penelitian, pengembangan pedoman pengumpulan data dan menyusun jadwal kegiatan penelitian. 2. Pengumpulan Data a. Mengumpulkan data di lokasi studi dengan melakukan wawancara mendalam dan mencatat serta merekam dokumen b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul c. Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan. 3. Analisis Data a. Menentukan teknik analisa data yang tepat sesuai proposal penelitian b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di cross check kan dengan temuan lapangan c. Setelah dapat data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan proses verifikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan dengan orang yang dianggap lebih ahli d. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian. 4. Penyusunan Laporan Penelitian a. Penyusunan laporan awal b. Review laporan: pertemuan diadakan dengan mengundang kurang lebih 2 orang yang cukup memahami penelitian untuk mendiskusikan laporan yang telah disusun sementara c. Perbaikan laporan sesuai dengan rekomendasi hasil diskusi d. Penyusunan laporan akhir.
57
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Lokasi Penelitian 1.
Sejarah Singkat Berdirinya SMK PGRI 4 Ngawi
Pasca kemerdekaan, sejarah dunia pendidikan di Kabupaten Ngawi cukup berkembang. Ini ditandai dengan sudah berdirinya sekolah tingkat atas/ Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) yaitu SMA Negeri Ngawi pada tahun 1963. Seiring dengan terus berkembangnya dunia pendidikan dengan ditandai dengan semakin banyaknya lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) maka daya tampung SMA Negeri Ngawi tidak mampu menyerap semua lulusan SLTP yang ingin melanjutkan ke SLTA. Akhirnya dalam kurun waktu 16 tahun kemudian berdirilah SMA Negeri kedua di Ngawi. Melihat amino masyarakat yang demikian besar, akhirnya kedua sekolah negeri tersebut tidak mampu menampung lulusan SLTP. Untuk mengatasi hal itu maka pada tahun 1979 berdirilah SMK PGRI 4 Ngawi sebagai SMK swasta keempat di Kabupaten Ngawi. SMK PGRI 4 Ngawi berdiri di bawah naungan Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan Dasar dan Menengah (YPLP Dasmen) PGRI Ngawi. Ijin operasional dari Departemen Pendidikan Nasional dengan nomor SK: 60/U/PC/PGRI/1979 tanggal 18 Mei 1979. Sejak momentum berdirinya SMK PGRI 4 Ngawi itulah dunia pendidikan khususnya tingkat Sekolah Menengah Sangat bergairah terbukti semakin banyak bermunculan sekolahsekolah swasta baru, antara lain: SMA PGRI Widodaren, SMK PGRI 4 Geneng, SMA Santo Thomas Ngawi, SMK Muhammadiyah Ngawi, SMA Soerjo Ngawi, dan lain-lain. Pada rintisan awal SMK PGRI 4 Ngawi pada Tahun ajaran 1979/1980 membuka 3 kelas dengan daya tampung 147 siswa. Karena Belum memiliki gedung sendiri maka meminjam gedung SD Negeri Grudo Ngawi dengan cara masuk siang karena pagi hari digunakan untuk proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) siswa SD. Tahun ajaran 1981/1982 jumlah siswa keseluruhan mencapai 715 anak, karena SD Grudo tidak mampu menampung, maka pihak sekolah mengambil langkah meminjam gedung SD Cupo Ngawi sebagai gedung kedua. Tahun ajaran 1982/1983 SMK PGRI 4 Ngawi harus kembali meminjam gedung sekolah lain karena jumlah siswa yang semakin bertambah mencapai 906 anak. Akhirnya dipilihlah SD Jururejo Ngawi untuk dipinjam sebagai gedung ketiga. Kebetulan ketiga SD tersebut berlokasi tidak berjauhan hanya sekitar ±1000 meter. Momentum berikutnya terjadi pada tahun ajaran 1987/1988, yaitu ketika untuk pertama kalinya SMK PGRI 4 Ngawi berhasil menempati gedung milik sendiri, yang berlokasi di Jl. Raya Ngawi Madiun Klitik Geneng Ngawi. Gedung ini ditempati hingga Sekarang dan sudah banyak sekali perkembangannya.
58
2.
Profil Aktual SMK PGRI 4 Ngawi
Data lengkap SMK PGRI 4 Ngawi adalah sebagai berikut : NPSN
20508446
Nama Sekolah
SMK PGRI 4 NGAWI
Tingkat Sekolah
SMU/SMK/MA
Status
Swasta
Alamat
Jalan A. Yani (Timur Terminal Bus) Ngawi
Kode Pos
63271
Kelurahan
Klitik
Kecamatan
Geneng
Propinsi
Jawa Timur
Kab/Kota
Ngawi
Telepon
(0351) 749676
Fax
(0351) 749676
Email Sekolah
[email protected]
Nama lengkap dari sekolah ini adalah Sekolah Menengah Kejuruan Persatuan Guru Republik Indonesia 4 Ngawi (SMK PGRI 4 Ngawi). Nomor Statistika Sekolah/ Madrasah (NSSM): 304050901003 dan Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN): 20508446. Alamat: Jl. A. Yani Klitik Geneng Ngawi Jawa Timur, Kode Pos: 63271 Telepon: 0351-749676 e-mail:
[email protected]. SMK PGRI 4 Ngawi berstatus sekolah swasta klasifikasi sekolah mandiri. Status ini tertuang dalam SK No: 420/11/404.109 tertanggal : 28/02/2007. dalam akreditasi sekolah yang terakhir tahun 2007 mendapat status terakreditasi dengan nilai “A” tertuang dalam SK Badan Akreditasi Sekolah No: 036/5/BASDA/TU tertanggal: 19/07/2007. Visi dari SMK PGRI 4 Ngawi adalah Terwujudnya sumber daya manusia bertaraf dunia yang dilandasi iman dan taqwa serta keunggulan lokal, sedangkan misinya adalah : a.
Memberdayakan potensi yang ada dalam bentuk sarana prasarana, dana, teknologi dan informasi.
b.
Meningkatkan manajemen pelayanan dan kepuasan kerja.
c.
Menciptakan iklim organisasi yang sehat.
d.
Meningkatkan sumber daya manusia tenaga kependidikan terus menerus Tahun pelajaran 2008/2009 SMK PGRI 4 Ngawi mengelola 15 kelas dengan jumlah
siswa sebanyak 654 orang. Tinjauan terhadap sarana fisik, sekolah ini sudah menempati gedung milik sendiri dan meyelenggarakan sekolah di pagi hari. Memiliki 16 ruang kelas, 1 ruang laboratorium, 1 ruang laboratorium komputer yang sudah terkoneksi jaringan internet, 1 ruang laboratorium bahasa, 1
59
ruang perpustakaan, 1 ruang multimedia, 1 ruang kepala sekolah, 1 ruang guru, 1 ruang tata usaha, masjid, ruang osis, WC, lapangan basket, lapangan voli, lapangan futsal, kantin dan tempat parkir. Semua sudah berstatus milik sendiri dan berdiri di atas tanah hak milik bersertifikat. SMK PGRI 4 NGAWI didukung oleh tenaga pendidik dan kependidikan muda yang profesional dan inovatif serta memiliki fasilitas gedung milik sendiri, laboratorium komputer, laboratorium bahasa, laboratorium penjualan, sistem pembelajaran menggunakan sistem multi media. SMK PGRI 4 NGAWI memiliki Bursa Kerja Khusus (BKK) yang telah mengantarkan lulusan bekerja di dalam negeri (Batam, Jakarta, Surabaya, Semarang dan Palembang) serta ke luar negeri (Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Taiwan dan Hongkong). Jumlah tenaga pendidik (guru) di SMK PGRI 4 Ngawi seluruhnya 53 orang, terdiri dari Guru Tetap sejumlah 6 orang, Guru Tidak Tetap sejumlah 44 orang, Guru Bantu Pusat sejumlah 1 orang dan Guru Bantu Daerah sejumlah 2 orang. Latar belakang pendidikannya mayoritas sudah S1 sejumlah 50 orang, D3 sejumlah 2 orang dan D2 sejumlah 1 orang.
B. Deskripsi Permasalahan Penelitian 1. Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur
a. Pelaksanaan Ujian Nasional Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat kompleks di Indonesia, mulai dari robohnya bangunan sekolah yang terjadi di manamana, kekurangan guru, mahalnya biaya pendidikan, putus sekolah, korupsi di bidang pendidikan, kontroversi Ujian Nasional, kecurangan penerimaan siswa baru, kurikulum pendidikan yang sering berubah tanpa jelas arah dan tujuannya, tidak merata dan rendahnya kualitas pendidikan, sampai pada ketidaknyamanan anak belajar di sekolah. Menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2003 mengenai Sistim Pendidikan Nasional, Pendidikan Nasional adalah Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan jaman. Pendidikan Nasional sendiri merupakan pengembangan dari arti kata Pendidikan sendiri yang berarti: usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik 60
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk menambah kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, ketrampilan yang dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dan mempunyai fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Semua itu bermuara pada Sistem Pendidikan Nasional yang telah dicanangkan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional melalui Sistem Pendidikan Nasional yang berarti keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Di dalam pendidikan nasional itu sendiri terdapat peserta didik selaku anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.
Selain peserta didik sudah tentu harus tersedia tenaga
kependidikan yang merupakan anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan seperti guru, dosen, konselor, instruktur, pamong belajar, fasilitator dan lainnya yang turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dilakukan evaluasi terhadap peserta didik, lembaga dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan dan jenis pendidikan. Hal ini dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Evalusi peserta didik, satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Di tengah kondisi sosial masyarakat yang memprihatinkan, sektor pendidikan masih menghadapi persoalan besar. Selain rendahnya mutu pendidikan dan terbatasnya komponen
61
instrumental yang mendukung pendidikan, ketidaksiapan masyarakat dalam mendukung setiap kebijakan pendidikan terus-menerus menghantui di tiap tahunnya.
Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN atau pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Hanya, sementara Ebtanas berlaku pada semua level sekolah, UN hanya pada sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah menengah umum (SMU), madrasah aliyah (MA), dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Untuk sekolah dasar (SD), sekolah dasar luar biasa (SDLB), sekolah luar biasa setingkat SD (SLB), dan madrasah ibtidaiyah (MI), Ebtanas diganti dengan ujian akhir sekolah. Perdebatan muncul tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen Pendidikan Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tapi lebih pada hal yang bersifat fundamental secara yuridis dan paedagogis. Selain itu, pada penyelenggaraan UN tahun ajaran 2003/2004, Koalisi Pendidikan menemukan berbagai penyimpangan, dari teknis hingga finansial. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi secara teknis hingga finansial pada penyelenggaraan Ujian Nasional tahun ajaran 2003/2004 Dari Hasil Kajian Koalisi Pendidikan (Koran Tempo, 4 Februari 2005, hal 5) yaitu: Pertama, teknik penyelenggaraan. Perlengkapan ujian tidak disediakan secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Pada prakteknya, penyelenggara ujian tidak memiliki persiapan peralatan penunjang yang baik. Kedua, pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UN untuk memastikan tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru dengan sistem silang pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Tapi, pada kenyataannya, terjadi kerja sama antarguru untuk
62
memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek. Kasus di beberapa sekolah, guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawabanjawaban siswa. Ketiga, pembiayaan. Dalam dua kali UN, penyelenggaraannya dibebankan pada pemerintah pusat dan daerah melalui APBN dan APBD. Artinya, peserta ujian dibebaskan dari biaya mengikuti UAN. Tapi, pada tingkatan sekolah, tidak jelas bagaimana sistem penghitungan dan distribusi dana ujian (baik APBN maupun APBD). Posisi sekolah hanya tinggal menerima alokasi yang sudah ditetapkan oleh penyelenggara di atasnya. Akibatnya, walau menerima dana untuk menyelenggarakan UN, sekolah menganggap jumlahnya tidak mencukupi, sehingga kemudian membebankannya pada peserta ujian. Caranya dengan menumpangkan pada biaya SPP atau biaya acara perpisahan. Dari
penyimpangan-penyimpangan
dalam
pelaksanaan
penyelenggaraan UN menimbulkan ketidakadilan bagi para peserta didik yang telah mengikuti UN. UN seharusnya didahului dengan pemerataan standar baik di kota-kota besar maupun di daerah dan daerah-daerah terpencil sehingga para peserta UN mempunyai bekal yang sama sebelum mengikuti UN tersebut. Sebagai contoh, ada lulusan SD di Papua yang belum bisa membaca tetapi harus disamakan dengan lulusan SD di DKI Jakarta yang sudah sangat lancar membaca. Fasilitas di Papua jelas sangat berbeda dengan di Jakarta, sehingga perbedaan tersebut jelas ada. Apabila dibandingkan dengan sistem pendidikan di luar negeri, misalnya negara tetangga Malaysia dan Singapura, jelas berbeda. Karena di negara-negara tersebut sudah mempunyai standar mutu yang sama di setiap wilayahnya sedangkan di Indonesia terjadi kesenjangan yang sangat mencolok di dalam bidang pendidikan.
63
Ujian Nasional itu sendiri juga bertentangan dengan prinsip Kurikulum Berbasis Kompetensi, sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu: bahwa kedalaman muatan kurikulum pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam dasar kompetensi dan kompetensi dasar pada setiap tingkat dan/atau semester sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pendidik-lah yang mengetahui kompetensi siswa yang bersangkutan. Karena setiap hari telah melakukan proses belajar dan mengajar terhadap siswa tersebut otomatis yang lebih mengetahui perkembangan siswa tersebut adalah pendidik itu sendiri. Dan penilaian kelulusan itu ditentukan pendidik dengan memperhatikan 3 (tiga) unsur yaitu afektif, psikomotorik dan kognitif. Karena itu tidak mungkin kelulusan seorang siswa hanya ditentukan oleh tiga mata pelajaran dan dalam waktu satu hingga dua jam saja. b. Pelanggaran-Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) Karena tingginya standar kelulusan siswa dalam UN tahun ini dimana nilai kelulusan peserta UN tingkat SMP/SM-PLB/MTs dan di tingkat SMA/SMK/MA tidak bisa diganggu gugat dan ditawar-tawar. Untuk lulus nilai rata-rata UN harus 5,00 dan nilai satu mata pelajaran minimal 4,25. Bila salah satu mata ujian nilainya 4,00 maka dua mata ujian lainnya harus minimal 6,00. Walaupun kurang nol koma nol sekian, tapi nilainya tidak sampai 4 (empat), tetap tidak bisa lulus UN, hal ini dinyatakan oleh Yunan Yusuf, ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (Warta Kota, Sabtu, 5 Mei 2007, Hal. 3). Bila nilai ujian lainnya tinggi dan akhlaknya baik tetapi nilai UN-nya dibawah 4 (empat) tetap tidak lulus. Begitu juga sebaliknya, bila UN tinggi, tapi nilai ujian sekolah di bawah standar kelulusan, siswa bisa tetap tidak lulus. Pihak
sekolah
tidak
bisa
mengintervensi
nilai
UN
untuk
mendongkrak nilai UN siswa sehingga lulus sekolah. Karena, seluruh hasil UN itu diperiksa dan dikeluarkan oleh Puspendik Depdiknas. Skor UN 64
disampaikan oleh BSNP ke propinsi dan dilanjutkan ke sekolah-sekolah. Supaya tidak terjadi dongkrak mendongkrak nilai harus ada batas nilai kelulusan. Dibandingkan dengan tahun lalu, nilai kelulusan yang diterapkan saat ini telah diturunkan batas minimalnya. Tahun lalu, standar lulus satu nilai mata ujian minimal 4,25. Tahun ini, peserta UN yang nilainya 4,00 bisa lulus UN asalkan nilai dua ujian lainnya minimal 6,00. Tetapi walaupun demikian masih banyak siswa yang gagal dalam UN. Akibat standar kelulusan siswa yang tinggi ini menyebabkan terjadinya berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan
dalam
pelaksanaan UN di hampir seluruh daerah di Indonesia. Alasan lain yang mengakibatkan banyaknya pelanggaran dalam UN ini adalah kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama baik sekolah yang bersangkutan akan turun jika banyak diantaranya siswanya yang tidak lulus. Sebagian masyarakat masih berpendapat jika keberhasilan suatu sekolah dilihat dari banyaknya siswa yang berhasil lulus, apabila banyak yang tidak lulus otomatis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut akan berkurang dan bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan murid. Kekhawatiran juga melanda sekolah apabila banyak siswa yang tidak lulus adalah adanya demonstrasi dari orang tua yang tidak lulus dan tindakan anarkis dari siswa yang tidak lulus tersebut. Selain itu reputasi Dinas Pendidikan Kota akan turun dan dianggap tidak berhasil menyelenggarakan pendidikan karena prosentase kelulusan yang kecil. Berbagai pelanggaran pada UN terjadi ketika bahan UN telah didistribusikan ke sekolah atau madrasah pada hari terjadinya UN, bukan pada tahap pendistribusian dari tingkat pusat, percetakan, propinsi hingga ke kabupaten/kota. Pelanggaran terjadi ketika bahan UN dijemput oleh sekolah penyelenggara. soal diambil pada pukul 05.00 subuh, waktu yang tersedia antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 07.30 digunakan oleh oknum guru atau kepala sekolah untuk membuka amplop soal UN, mengerjakannya, 65
serta menutup kembali amplop tersebut. Jawaban inilah yang nanti beredar dalam bentuk SMS dan contekan kecil yang dibawa masuk ke ruang ujian oleh guru sekolah penyelenggara atau ditulis di papan tulis di ruang ujian. Pelanggaran lain yang ditemukan adalah ada sekolah yang sengaja mendesain kelasnya hanya berjumlah kurang dari 20 orang sehingga ada sisa soal di kelas itu.
Padahal menurut Prosedur Operasional Standar
(POS), sisa soal harus segera disimpan. Namun sisa soal tersebut dikerjakan dan jawabannya diedarkan dalam bentuk SMS dan contekan kecil ke seluruh peserta ujian (Republika, Sabtu, 5 Mei 2007, Hal 4). Selain itu, sekolah-sekolah yang tidak ingin muridnya gagal dalam UN telah membentuk tim sukses untuk meluluskan para muridnya. Tim Sukses ini beranggotakan guru-guru yang mata pelajarannya menjadi mata pelajaran yang diujikan dalam UN. Sebelum UN dilaksanakan, pihak sekolah telah mengundang tim pengawas yang akan mengawasi UN di sekolah tersebut. Mereka diberi pengarahan agar tidak terlalu ketat dalam mengawasi UN dan segala bentuk pelanggaran yang terjadi tidak perlu dicatat. Karena sewaktu UN berjalan, para murid akan saling memberitahukan jawaban ujian yang berasal dari guru yang telah mendapatkan jawaban dari soal ujian yang telah dibuka terlebih dahulu sebelum UN dimulai. Para guru pengawas tersebut, pada saat UN berjalan hanya duduk di depan kelas sambil membaca saja dan seolah tidak peduli akan segala sesuatu yang berjalan pada waktu ujian. Tidak lupa para pengawas ini pun diberi amplop yang berisi uang sogokan (Republika, Sabtu, 5 Mei 2007, Hal 4). Apabila setelah UN berakhir masih ada siswa yang belum selesai mengisi lembar jawaban dengan jawaban yang benar, maka waktu yang tersedia digunakan oleh pihak sekolah untuk membetulkan jawaban sebelum semua jawaban dikumpulkan ke rayon masing-masing. Siswa juga diminta hadir lebih awal ke sekolah sebelum pengawas datang dan siswa tersebut diberi tahu kunci jawaban oleh tim sukses dan guru yang telah mengerjakan soal-soal UN pada hari itu. 66
Selain bentuk pelanggaran-pelanggaran di atas, ada pula kasus penggelapan naskah soal UN oleh oknum kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi (Seputar Indonesia, 15 Juni 2007 Hal 5). Kasus ini termasuk dalam tindak pidana kejahatan, dimana telah disidangkan di Pengadilan Negeri Ngawi, Jawa Timur. Selain kepala sekolah tersebut, yang ikut menjadi terdakwa adalah, Guru dan Kepala Staff Tata Usaha. Dalam sidang tersebut diketahui motif terdakwa melakukan penggelapan naskah soal UN karena ingin meluluskan semua siswanya dan bukan untuk menjual soal tersebut. Karena sebagai kepala sekolah, dia ditargetkan untuk meluluskan sebanyak 96% dari seluruh siswa. Siswa SMK yang menjadi peserta UN adalah sebanyak 484 siswa. Niat menggelapkan naskah ujian muncul pada saat mereka mendapat tugas mengambil naskah ujian dari Kantor Diknas Ngawi untuk kemudian diamankan di Polres Ngawi. Seluruh terdakwa saat itu adalah rombongan yang berada dalam satu mobil. Karena saat itu tidak ada polisi yang ikut dalam rombongan, lalu timbullah niat untuk menggelapkan. Jadi berbagai kecurangan itu justru berlangsung di ruang-ruang kelas sekolah, bahkan di luar kelas. Karena dari mulai penyelenggara UN Pusat ke percetakan yang ditetapkan Gubernur sebagai pemenang tender, master copy dijaga ketat oleh Kepolisian dan tim pemantau independen. Soal-soal UN itu dicetak dan dipak dengan menggunakan tiga gembok berbeda yang kuncinya masing-masing dipegang pihak percetakan, tim pemantau independen dan Kepolisian. mendistribuskan
bahan
kabupaten/kota
dan
kabupaten/kota,
di
UN
kepada
menyimpannya kantor
Ketika perusahaan percetakan
kepolisian
penyelenggara di
kantor
dan
di
UN
dinas sub
tingkat
pendidikan
rayon
sekolah
penyelenggara, seluruhnya juga dijaga ketat kepolisian, tim pemantau independen
dan penyelenggara UN kabupaten/kota hingga sampai ke
sekolah. Ada informasi yang sedang diselidiki oleh pihak LSM tersebut karena diperoleh kabar bahwa pengelola Bimbingan Belajar tersebut bisa membeli soal seharga Rp. 20 juta sampai Rp 25 juta. Bimbingan Belajar 67
tersebut akan membahas soal UN tersebut dua minggu sebelum UN dilaksanakan. Semua informasi survey ini diperoleh dari pengakuan peserta UN, karena sepertinya ada kesepakatan bersama untuk menutupi kecurangan
UN
antara
sekolah
dan
guru,
jadi
sulit
untuk
mengungkapkannya (Republika, Selasa 8 Mei 2007, Hal 5). c.
Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur
Sebagaimana di Sekolah lain, SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur juga melaksanakan UN. Pada prakteknya, dalam pelaksanaan UN di Sekolah tersebut terdapat banyak pelanggaran bahkan sampai terjadi tindak kejahatan, ini terlihat dengan adanya oknum pejabat di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang telah menggelapkan naskah Ujian Nasional. (Harian Seputar Indonesia, 15 Juni 2007, Hal 5). Hal ini dikarenakan pada UN mulai tahun 2006 sampai 2008 selain persyaratan kelulusan sulit juga jumlah mata pelajaran yang diujikan pada UN juga bertambah dari tahun ketahun. Tidak hanya siswa saja yang khawatir dalam menghadapi ujian tahun ini tetapi juga orang tua, sekolah, pemerintah daerah masing-masing juga mengkhawatirkan. Hal ini sesuai dengan wawancara dengan (CL nomor 1), Salah satu guru pada sekolah SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. (Wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal 21 Juli 2008, pukul 10.00 WIB). “Wah..gimana ya..? tahun lalu saja kita merasa kesulitan untuk memenuhi nilai standar kelulusan yang diterapkan..e..malah sekarang dinaikkan standar kelulusannya. Akhirnya kita melakukan berbagai upaya, agar anak-anak kita bisa mencapai nilai yang diharapkan...Kalau tidak kita bantu, wah, ya sulit”
Selain karena tingginya standar kelulusan yang ditetapkan, salah satu sebab terjadinya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam UN adalah karena siswa merasa malu jika tidak lulus ujian, seolah-olah mereka belajar 3 tahun tidak ada hasilnya, mau mengulang malu, takut pada orangtua dan secara psikologis menjadi rendah diri. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan lulusan SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang saat ini bekerja sebagai karyawan toko (CL nomor 2), (Wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal 20 Juli 20008, pukul 12.05 WIB). 68
“Gimana ya Mbak, kalau ingat waktu ujian dulu, kita kerjasama, sms an, buat contekan agar bisa lulus..Habis kalau sampai tidak lulus, saya malu banget, sama tetangga, apalagi sama orang tua..”
Perasaan malu juga dialami orangtua jika anaknya tidak lulus, uang yang telah mereka gunakan untuk membiayai anaknya seolah-olah tidak ada hasilnya. Hal ini sesuai dengan wawancara dengan, Orang tua mantan siswa SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. (CL nomor 3).(Wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal 21 Juli 2008, pukul 14.40 WIB) “Wah..kalau sampai anak saya nggak lulus, mau ditaruh dimana muka saya ini Mbak..sudah lah bayar sekolahnya mahal..eh, ujiannya nggak lulus pula” Kekhawatiran tersebut, tidak saja dialami oleh siswa, guru maupun orang tua siswa. Kekhawatiran juga dialami oleh sekolah. Kekhawatiran sekolah adalah persentase kelulusan ujian nasional yang diperoleh kecil. Jika persentase kelulusan kecil maka sekolah akan menanggung beban moral terhadap masyarakat karena merasa gagal dalam melakukan proses pembelajaran di sekolah. Kegagalan tersebut juga sebagai indikator mutu sekolah, walaupun sebenarnya angka kelulusan hanya merupakan salah satu indikator keberhasilan sekolah. Namun selama ini masyarakat menilai bahwa mutu sekolah dapat dilihat dari angka kelulusan yang dicapai.
Hal ini seperti hasil wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur.(CL nomor 4). (Wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal 21 Juli 2008, pukul 10.30 WIB). “UN ini memang menjadi beban moral kami. Bagaimana tidak, kalau sampai banyak siswa sekolah kami yang tidak lulus, pasti masyarakat akan mempertanyakan mutu sekolah ini. Padahal sebagai sekolah swasta, mutu tersebut menjadi tolok ukur perolehan siswa pada tahun ajaran berikutnya”
Bahkan usaha penolakan pelaksanaan ujian nasional juga dilakukan oleh sebagian dari kalangan pendidik. Mereka merasa bahwa penilaian adalah merupakan hak pendidik, jadi kurang pas bila dievaluasi selain pendidik, begitulah yang terjadi di tahun sebelumnya. Kekhawatiran yang dimiliki oleh siswa, sekolah maupun pemerintah daerah, baik tingkat kabupaten maupun propinsi menumbuhkan semangat untuk melakukan usaha untuk meraih sukses dalam ujian nasional. Bentuk upaya itu bisa berupa tambahan pelajaran, try out ujian nasional, supervisi persiapan ujian nasional dan bentuk-bentuk lain yang serupa.
69
2. Bentuk Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila dilihat dari Perspektif Civic Education Bentuk pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur berupa Membuat contekan jawaban Ujian Nasional (UN) hal ini dapat di kemukakan sebagai berikut: Selain Tindak Kejahatan yang sudah terkena sanksi hukum sebagaimana uraian yang akan di paparkan di bawah, tidak sedikit bentuk kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional. Kecurangan ini terjadi pada siswa, guru, sekolah sampai di tingkat daerah. Yang telah terjadi ditemui banyak tulisan-tulisan jawaban di tempat tertentu seperti WC dan kamar mandi, banyak siswa yang izin ke belakang saat ujian berlangsung, bahkan ada juga guru pada suatu sekolahan yang secara terang-terangan memberikan jawaban di ruang ujian. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan salah seorang guru di SMK 4 PGRI Ngawi (CL nomor 1), (Wawancara ini dilakukan pada hari selasa 22 Juli 2008, pukul 08.05 WIB). “Yaa.. kita mesti pinter-pinter cari kesempatan mbak..ya nanti kita buatkan contekan jawaban, trus diam-diam kita berikan pada siswa. Trus, kita juga pura-pura tidak tau kalau ada siswa yang saling bertukar jawaban di WC atau dimana saja”
Berbagai macam pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional dapat di lihat sesuai hasil wawancara dengan salah seorang alumni siswa SMK PGRI 4 Ngawi (CL nomor 2), (Wawancara ini dilakukan pada hari pada hari Senin tanggal 20 Juli 20008, pukul 12.05 WIB). “Pelanggaran?..ya macem-macem mbak..sms an, mengambil soal sebelum digunakan, membuat contekan, ngasih tau jawaban kalau pas siswa keluar…itu semua termasuk pelanggaran Mbak” Ya itu tadi Mbak…ada yang buat contekan..ada yang sms an nyocokkan jawabannya..ada yang pura-pura ke WC trus disana sms atau cari jawaban di buku yang ditinggalkan di luar…pokoknya banyak deh cara yang dilakukan siswa itu…ha..ha..ha.. Uraian di atas, menggambarkan bentuk-bentuk pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian Nasional. Ketika pelaksanaan UN cara-cara curangpun dilakukan agar bisa lulus mulai pencurian soal, saling contek, joki soal atau modus lain mewarnai UN. Memang bagi siswa yang siap mungkin UN tidak menjadi masalah. Tapi, siswa yang tidak siap UN menjadi permasalahan besar, tindakan nekatpun dilakukan.
Bentuk Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI Ngawi Jawa Timur berupa Penggelapan Naskah soal Ujian Nasional (UN), hal ini dapat di kemukakan sebagai berikut :
70
Sehubungan dengan akan dilaksanakannya Ujian Nasional SMK Tahun Pelajaran 2006/2007 yang akan dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 17 April 2007, maka Pemerintah melalui Diknas Kabupaten Ngawi pada hari Sabtu tanggal 14 April 2007 telah membagikan Naskah Ujian Nasional kepada masing-masing sekolah di seluruh Wilayah Kabupaten Ngawi termasuk Sekolah SMK PGRI-4 yang kepala sekolahnya adalah Drs. H. Ma’mun Effendi. Kejadian dalam tindak kejahatan pelanggaran pelaksanaan Ujian Nasional berawal dari
pada hari Sabtu tanggal 14 April 2007 Drs. H.
Ma’mun Effendi Bin Muhadi, Drs. Fusi Santoso Bin Wiro Diharjo, Bambang Sugeng Winarno, SH Bin Soenardi dan Agus Sulaiman Bin Karto Diharjo Pardi selaku Panitia Pelaksanaan Ujian Nasional dari sekolah SMK PGRI-4 Ngawi telah menerima pembagian berkas Naskah Ujian Nasional di Kantor Diknas Ngawi berupa : 26 Amplop terdiri dari 24 Amplop Besar dan 2 Amplop Kecil Mata Ujian Matematika, 26 Amplop terdiri dari 24 Amplop Besar dan 2 Amplop Kecil Mata Ujian Bahasa Inggris dan 26 Amplop terdiri dari 24 Amplop Besar dan 2 Amplop Kecil Mata Ujian Bahasa Indonesia, ditambah 25 buah Kaset LC Bahasa Inggris. Drs H. Ma’mun Effendi sebagai Pihak ke-II (Penerima) dan Pihak ke-I : Drs. Djarot Nugroho – selaku Ketua Sub Rayon 62 dengan disaksikan oleh Drs. Fusi Santoso dan Drs. M. Fathoni telah menandatangani Berita Acara Serah Terima Naskah Ujian Nasional. Setelah Serah Terima Naskah selesai, sedianya Naskah untuk Sekolah SMK PGRI-4 dititipkan di Polsek Geneng. Namun setelah diadakan musyawarah antara pihak Diknas, Guru dan Petugas Polsek Geneng disepakati bahwa Naskah tersebut akan dititipkan di Polsek Ngawi. Kemudian Mahmud sebagai Petugas Pengawal dan Pengamanan Barang menginstruksikan bahwa untuk pengangkutannya dilakukan bersama-sama dengan pengangkutan Naskah Sekolah MAN dan SMKN-1 Ngawi yang akan dikawal oleh Purwo dan Toeran juga sebagai Petugas Pengawal dan Pengamanan Barang.
71
Pada saat Purwo dan Toeran sedang menyelesaikan pengecekan dan penyusunan Naskah Sekolah MAN dan SMKN-1 Ngawi, para pelaku selaku Panitia Pelaksanaan Ujian Nasional di Sekolah SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur yaitu : (Drs.H.a’mun Effendi Bin Muhadi yang berkedudukan sebagai Kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi , Drs. Fusi Santoso Bin Wiro Diharjo sebagai salah satu guru SMK PGRI 4 Ngawi, Bambang Sugeng Winarno, SH Bin Soenardi juga sebagai guru SMK PGRI 4 Ngawi, dan Agus Sulaiman Bin Karto Diharjo Pardi berkedudukan sebagai Kepala Tata Usaha SMK PGRI 4 Ngawi ). Tanpa sepengetahuan dan seijin
Purwo dan Toeran yang
berkedudukan sebagai Petugas Pengawal dan Pengamanan Barang berangkat terlebih dahulu dengan menggunakan Kendaraan Kijang no Pol AE-2825-HB milik Drs. H. Ma’mun Effendi menuju ke Polsekta Ngawi. Dalam perjalanan menuju Polsekta Ngawi, karena didukung adanya kesempatan maka timbullah niat untuk mengambil sebagian dari Naskah Ujian Nasional tersebut untuk diberikan kepada para Siswa. Agus Sulaiman yang duduk di jok belakang mobil di sebelah Naskah Ujian Nasional mengambil 1 (satu) buah Amplop Kecil berisi Naskah soal Bahasa Indonesia dan 1 (satu) buah Kaset LC Bahasa Inggris dan mencoret atau mengganti jumlah kaset yang tertera dalam Berita Acara Serah Terima Barang yang semula tertulis 25 diganti menjadi 24, lalu diberikan kepada Drs. Fusi Santoso yang kemudian diserahkan kepada Drs. H. Ma’mun Effendi dan diletakkan di bawah kakinya. Kemudian Bambang Sugeng Winarno, SH yang lalu memasukkan ke dalam tas Drs. H. Ma’mun Effendi. Sesampainya di Polsekta Ngawi Drs. H. Ma’mun Effendi menyerahkan Naskah Ujian Nasional dan kaset tersebut beserta Berita Acara Serah Terima kecuali Naskah dan Kaset yang telah di ambil para pelaku yang menerima adalah Mahmud sebagai Petugas Pengawal dan Pengamanan Barang, lalu para pelaku kembali ke Sekolah SMK PGRI 4 Ngawi. Sesampainya di Sekolah ternyata Mahmud telah menunggu Drs. H. Ma’mun Effendi dan menanyakan masalah jumlah Naskah yang tidak sesuai dengan Berita Acara Serah Terima Barang dan Mahmud mengatakan agar segera dikembalikan. Saat itu juga Drs. H. Ma’mun Effendi mengakui bahwa telah mengambil Naskah tersebut bersama-sama dengan para pelaku lainnya.
72
Perbuatan yang dilakukan oleh para oknum pejabat Sekolah di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. Dapat dilihat atau di tinjau dari dua aspek yaitu segi hukum dan perspektif civic education, yaitu: Pertama, Apabila dilihat atau di tinjau dari segi hukum, maka termasuk tindakan Kejahatan, dimana telah melakukan tindak pidana “ Penggelapan yang dilakukan secara bersama” sebagaimana diatur dalam surat dakwaan melanggar Pasal 372 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan yang berbunyi : Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dan yang ada padanya bukan karena kejahatan, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah. Kejahatan ini dinamakan penggelapan biasa. Penggelapan adalah kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362, hanya bedanya kalau dalam pencurian barang yang diambil untuk dimiliki itu belum berada di tangan pelaku, sedang dalam kejahatan penggelapan, barang yang diambil untuk dimiliki itu sudah berada di tangan pelaku tidak dengan jalan kejahatan atau sudah dipercayakan kepadanya. Sedangkan Pasal 55 KUHP berbunyi : a.
Dipidana sebagai si pembuat sesuatu tindak pidana : ke-1, orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu; ke-2, orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan, ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
b.
Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub-2 itu, yang boleh dipertanggung jawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.
Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP tersebut adalah : a.
Unsur Barang siapa Yang dimaksud dengan barang siapa disini adalah siapa saja atau setiap orang selaku
Subyek Hukum atau Pendukung hak dan kewajiban yang terhadap dirinya berlaku dan/atau dapat diterapkan Ketentuan Hukum Pidana Indonesia serta atas perbuatannya tersebut dapat 73
dipertanggungjawabkan secara hukum. Yang dimaksud Subyek Hukum dalam Keputusan ini adalah para Terdakwa yaitu : Drs. H. Ma’mun Effendi Bin Muhadi, Drs. Fusi Santoso Bin Wiro Diharjo, Bambang Sugeng Winarno, SH Bin Soenardi dan Agus Sulaiman Bin Karto Dharjo Pardi. Semuanya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, sehingga dapat dimintakan pertanggungan jawab atas perbuatannya. b.
Unsur Dengan Sengaja dan Melawan Hukum Memiliki Barang Yang dimaksud Dengan Sengaja dan Melawan Hukum Memiliki Barang adalah suatu
perbuatan itu telah dilakukan dengan disadari atau telah ada niat dari Pelaku, baik untuk melakukan perbuatan itu sendiri atau untuk timbulnya suatu akibat dari perbuatan yang akan dilakukannya, dimana perbuatan tersebut dilakukan tanpa seijin ataupun sepengetahuan pihak yang berwenang dengan cara menganggap ataupun memperlakukan sesuatu benda seolah-olah miliknya sendiri, padahal para Terdakwa mengetahui bila Naskah Ujian Nasional tersebut merupakan Dokumen Rahasia Negara yang hanya boleh diambil, disimpan dan dibuka melalui prosedur yang telah ditentukan Pemerintah. c.
Unsur Seluruhnya atau Sebagian Milik Orang Lain Sehubungan dengan akan dilaksanakannya Ujian Nasional SMK Tahun Pelajaran
2006/2007 yang akan dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 17 April 2007, maka Pemerintah melalui Diknas Kabupaten Ngawi pada hari Sabtu tanggal 14 April 2007 telah membagikan Naskah Ujian Nasional kepada masing-masing sekolah di seluruh Wilayah Kabupaten Ngawi termasuk Sekolah SMK PGRI-4 yang kepala sekolahnya adalah Terdakwa I Drs. H. Ma’mun Effendi. Berdasarkan penjelasan diatas Unsur Yang Seluruhnya atau Sebagian Milik Orang Lain telah terbukti secara sah dan meyakinkan. d.
Unsur Dan Yang Ada Padanya Bukan Karena Kejahatan Perbuatan para Terdakwa menerima penyerahan Naskah Ujian Nasional tersebut
memang dikehendaki ataupun seijin dari Diknas Kabupaten Ngawi oleh karenanya jelas menurut hukum bahwa penguasaan barang berupa Naskah Ujian Nasional tersebut oleh para Terdakwa bukan karena kejahatan melainkan sesuai dengan kewenangannya yang untuk selanjutnya diserahkan dan disimpan di Polsek Ngawi untuk pengamanan. Berdasarkan penjelasan di atas Unsur Yang Seluruhnya atau Sebagian Milik Orang Lain telah terbukti secara sah dan meyakinkan. e.
Unsur Dilakukan Oleh Dua Orang atau Lebih Secara Bersama-sama
Dapat disimpulkan bahwa perbuatan menyisihkan sebagian Naskah Ujian Nasional dan Kaset tersebut adalah dikehendaki bersama-sama oleh para Terdakwa sesuai perannya masing-masing, hal mana dapat diketahui dari tidak adanya salah satu dari para Terdakwa yang menyatakan keberatan dengan
74
kejadian tersebut dengan melaporkan pada yang berwajib, sehingga dapat diartikan bahwa para Terdakwa setuju dan bersepakat untuk melakukan Perbuatan tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut Unsur Dilakukan oleh Dua Orang atau Lebih Secara Bersama-sama telah terbukti secara sah dan meyakinkan. Bahwa dengan telah terpenuhinya semua unsur tindak pidana tersebut maka para Terdakwa telah pula terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penggelapan Yang Dilakukan Secara Bersama-sama. Terdapat hal-hal yang memberatkan perbuatan para Terdakwa ini yaitu: Perbuatan para Terdakwa telah merusak citra dunia Pendidikan hal mana bertentangan dengan Program Pemerintah yang sedang giat-giatnya meningkatkan mutu Pendidikan di Indonesia dan para Terdakwa sebagai Pendidik seharusnya menjadi panutan bagi anak didiknya namun justru melakukan perbuatan yang sebaliknya. Sedangkan hal-hal yang meringankan para Terdakwa yaitu : Perbuatan para Terdakwa belum sampai mengakibatkan kebocoran dan mengganggu kelancaran jalannya Ujian Nasional, para Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga memperlancar jalannya Persidangan, para Terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya tersebut, para Terdakwa telah cukup lama mengabdi di dunia Pendidikan tanpa cela dan para Terdakwa belum pernah dihukum. Sehingga sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, penjatuhan pidana terhadap para Terdakwa bukanlah didasarkan atas tindakan balas dendam atau rasa benci melainkan sebagai tindakan hukum yang bersifat mendidik yang didasarkan atas nilai-nilai keadilan hukum dan keadilan masyarakat.
Kedua, Apabila dilihat dari Perspektif Civic Education, Mengenai tindak kejahatan dan pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat menyimpang atau sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari, ternyata dalam pelanggaran ujian nasional ada kasus oknum pejabat sekolah yang kedudukannya sebagai pendidik seharusnya menunjukkan kelakuan yang layak sesuai harapan masyarakat, dan seorang guru di harapkan berperan sebagai teladan dan rujukan 75
dalam masyarakat, khususnya bagi anak didik yang dia ajar. Bahwa seorang guru yang memiliki kewajiban sebagai pendidik bagi anak didiknya dan seharusnya memberikan contoh yang baik, dalam hal ini telah melakukan perbuatan yang tidak patut di contoh yaitu menggelapkan naskah Ujian Nasional hal ini termasuk dalam tindak kejahatan, menyangkut dengan tindakan tersebut berarti guru itu telah melanggar nilai kode etik seorang guru dimana nilai-nilai moral telah di langgar selain itu telah melanggar ketentuan hukum pidana yang telah termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu perbuatan Penggelapan barang, dalam kasus ini yang di gelapkan adalah Naskah Ujian Nasional. Penggelapan barang tergolong dalam tindak Kejahatan yang melanggar pasal 372 KUHP. Tindakan tersebut telah menjatuhkan harkat
dan martabat
seorang guru sebagai pendidik. Jika dilihat dari kasus tersebut maka tidak mencerminkan adanya sikap yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang individu dan sosial selain itu tindakan tersebut tidak mencerminkan peranan warga negara yaitu salah satunya Kewajiban yang sama bagi setiap warga negara untuk menjunjung/ mematuhi hukum dan pemerintahan. Selain itu maraknya tindak kejahatan dan
pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian
Nasional baik yang dilakukan sekolah, guru dan siswa bertentangan dengan Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan). Karena Civic Education merupakan pembelajaran yang dimaksudkan sebagai wahana pendidikan yang bertujuan memfasilitasi seorang pendidik, agar dapat membentuk kepribadian, mengembangkan diri menjadi warga negara yang kritis, cerdas, dan berkeadaban atau smart and good citizens. Oleh karena itu, dalam intrumentasi dan praksis pendidikannya secara progmatik di kembangkan Komponen-komponen atau Kompetensi dasar Civic Education yang mencakup tiga hal yaitu: (1) civic knowledge (kompetensi pengetahuan kewargaan), (2) civic dispotions (kompetensi sikap kewargaan) dan (3) civic skills (kompetensi keterampilan kewargaan). Menurut Ketiga Kompetensi dasar yang dimiliki
Civic Education yaitu (1) civic
knowledge (kompetensi pengetahuan kewargaan), (2) civic dispotions (kompetensi sikap kewargaan) dan (3) civic skills ( kompetensi keterampilan kewargaan) yang ada diatas maka Tindakan Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional
apabila dilihat dari perspektif Civic
Education sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari, hal ini dapat dilihat yang pertama kompetensi civic knowledge (kompetensi pengetahuan kewarganegaraan) bahwa oknum-oknum yang melakukan tindakan kejahatan adalah oknum pejabat sekolah yang kedudukanya sebagai pendidik menunjukkan kurangnya pemahaman mengenai pengetahuan kewarganegaraan 76
seharusnya
seorang
pendidik
memiliki
atau
membekali
dirinya
dengan
pengetahuan
kewarganegaraan sehingga tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian nasional tidak terjadi. Komponen atau kompetensi esensial kedua Civic Education adalah civic dispositions (kompetensi sikap kewargaan) disini tindakan yang dilakukan pendidik tersebut karena rendahnya pemahaman atau kurang memahami arti nilai-nilai yang terkandung dalam Civic Education, misalnya tidak adanya kesadaran secara pribadi untuk bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan karena seharusnya pendidik mampu memberikan contoh, panutan, rujukan dan keteladanan yang baik bagi para peserta didiknya tapi dengan tindakan yang dilakukan oknum para pejabat sekolah selaku para pendidik tidak mencerminkan atau mencontohkan hal yang baik sehingga nilai rasa tanggung jawab selaku pendidik rendah, seharusnya pula pendidik mampu menerima tanggung jawab akan konsekuensi dari tindakan yang diperbuat dan mampu memenuhi kewajiban moral yang demokratis. Kompetensi yang mendasar ketiga
civic skills (kompetensi ketrampilan
kewargaan) dalam hal ini sebagai pendidik dan peserta didik juga kurang memahami adanya civic skills karena tidak mampu mempraktekkan hak-haknya dan menunaikan tanggung jawabnya sebagai seorang pendidik, Seorang pendidik seharusnya memiliki kecakapan-kecakapan intelektual yang sangat penting pada dirinya yaitu mampu berpikir kritis, berpikir kritis disini yaitu berpengetahuan, efektif dan bertanggung jawab. Karena rendahnya kecakapan intelektual yang dimiliki oleh para oknum pejabat sekolah di mana mereka merasa takut apabila para siswanya banyak yang tidak lulus Ujian Nasional sehingga mereka bertindak gegabah yaitu dengan cara melakukan tindak kejahatan menggelapkan naskah ujian dengan tindakan tersebut skills atau kecakapan seorang pendidik sangat rendah karena pendidik tersebut tidak mampu berpikir kritis tapi sebaliknya mereka berpikir sempit dengan menghalalkan segala cara supaya para peserta didiknya atau siswanya mampu untuk dapat lulus ujian dengan nilai yang sempurna. kompetensi ketrampilan kewargaan Dalam Civic Education di harapkan para pendidik dan peserta didik mampu membekali dirinya dengan ketiga kompetensi yang dimiliki dalam civic education yaitu memiliki civic knowledge (pengetahuan kewarganegaraan) yang tinggi, civic dispositions (sikap kewargaan) yang tinggi dan civic skills (keterampilan kewargaan yang tinggi),
selain itu pula harus memiliki
kreativitas tinggi, memiliki kemandirian, dan sikap toleransi yang tinggi. Di samping itu agar pendidik dan peserta didik dapat menemukan jati dirinya sebagai manusia yang sadar akan tanggung jawab baik individu maupun sosial. Maka dengan bekal ilmu yang telah dimiliki itu semua seyogianya Tindakan kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional tidak akan terjadi. 3. Cara Mengatasi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN yang terjadi di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur a.
Dengan membenahi mutu pendidik (guru) dan peserta didik (siswa). Dalam hal ini Guru harus memiliki skills atau keterampilan yang tinggi supaya mampu
menjadikan peserta didiknya menjadi warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam
77
segala aspek kehidupan, mampu bertindak lebih aktif dalam memberikan pendalaman materi ataupun masukan kepada para peserta didik untuk lebih giat belajar karena Ujian Nasional (UN) merupakan Kegiatan penilaian hasil belajar siswa yang menentukan lulus atau tidaknya para siswa. Bagi para peserta didik sebagai harapan masa depan bangsa, seharusnya para siswa atau anak didik mengetahui benar tanggung jawab dan kewajiban besar yang dibebankan di bahu mereka yaitu memiliki kecakapan partisipasif dan bertanggung jawab terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara jadi sebagai peserta didik tidak hanya diharapkan cerdas, aktif dan kritis tetapi juga memiliki komitmen kuat menjaga persatuan dan integritas bangsa selain itu kewajiban untuk dapat belajar dan menuntut ilmu maka dari itu para siswa untuk bisa rajin belajar, giat membaca buku sehingga tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam Ujian Nasional. Pada Intinya ketiga kompetensi dasar pada Civic Education harus dimiliki oleh para pendidik dan peserta didik yaitu memiliki pengetahuan mengenai kewarganegaraan, memiliki kecakapan-kecakapan
intelektual
dan
memiliki
nilai-nilai
yang
terdapat
dalam
ilmu
kewarganegaraan. b.
Dengan meninjau kembali alat ukurnya (Naskah Ujian). Sebetulnya pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional semacam ini sudah
melanggar tata tertib, namun hal yang semacam ini tidak muncul dalam permukaan walaupun ada tim pengawas independen. Dengan kecurangan seperti itu maka tidak aneh jika sekolah yang betul-betul taat pada tata tertib malah gagal dalam ujian nasional. Dengan kecurangan-kecurangan tersebut menjadikan ujian nasional tidak dapat digunakan sebagai fungsi yang sebenarnya seperti tersebut dalam Permendiknas No 34 yaitu “Ujian Nasional bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi”. Untuk itulah agar ujian nasional betul-betul dapat digunakan sebagai alat guna mengukur ketercapaian kompetensi lulusan secara nasional, maka setiap komponen yang terkait dalam pelaksanaan ujian nasional harus berpegang pada ketentuanketentuan yang telah dibuat. Adapun jika hasilnya buruk secara nasional maka yang perlu ditinjau kembali adalah alat ukurnya. Mungkin alat ukur (naskah ujian) terlalu sulit dan belum pas untuk mengukur siswa kita secara nasional. Bisa juga terjadi terlalu mudah sehingga perlu dinaikkan tingkat kesulitannya. Adapun untuk mengatasi sementara jika terjadi angka kelulusan sangat rendah secara nasional maka bisa dilaksanakan ujian ulangan perbaikan seperti yang telah dilakukan. c.
Dengan memperbaiki teknik penyelenggaraan. Menyediakan perlengkapan pelaksanaan ujian yang memadai.Misalnya, dalam mata
pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Maka tape dan earphone seharusnya sudah tersedia di sekolah-sekolah yang akan menyelenggarakan ujian.
78
d.
Dengan memperbaiki teknik pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UN untuk
memastikam tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru dengan sistem silang pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Maka dengan hal tersebut agar dijalankan sesuai dengan kesepakatan yang telah di tentukan dan agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan dalam mengawasi para siswa. e.
Adanya sangsi yang tegas kepada si pelanggar tanpa terkecuali dan apabila terjadi pelanggaran harus dapat ditindak sampai tuntas. Apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional sudah seharusnya
ditindak sampai tuntas. Sudah sedemikianlah semestinya aturan itu dibuat, jika terjadi pelanggaran maka sangsi harus diterima. Sehingga oknum-oknum yang melanggar dan yang belum melanggar tidak akan melakukan pelanggaran pada ujian nasional berikutnya. f.
Tim-tim independen dalam pelaksanaan ujian nasional harus betul-betul menjalankan tugas dan fungsinya dengan jujur dan bertanggung jawab. Adapun tim independen juga harus betul-betul menjalankan fungsinya, tidak malah memberikan iklim untuk terjadinya kecurangan. Sudah semestinya jika mengetahui terjadinya kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional maka tim independen membuat laporan sehingga dapat ditindaklanjuti. Bagaimanapun juga keberadaan ujian nasional sangat kita perlukan untuk mengetahui standar mutu secara nasional. Dengan mengetahui kekurangan dan kelebihan baik pada siswa, guru, sekolah, instansi yang terkait dalam pelaksanaan ujian nasional, maka sudah ada arah langkah apa yang seharusnya dilakukan.
g.
Dengan cara membenahi sistem ujian dan standar minimum kelulusan.
Kenyataan ini, suka atau tidak, makin memperjelas sikap sense of belonging masyarakat kita yang sebenarnya rendah atau kurang sama sekali terhadap sektor pendidikan. Padahal, salah satu jalan untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional ke arah yang lebih baik, diperlukan keberanian untuk mengambil kebijakan strategis dan perubahan cara pandang yang terlalu formal. Salah satunya adalah dengan cara membenahi sistem ujian sekaligus standar minimum kelulusan. h.
Dengan pemetaan pendidikan.
Jika tidak ada pemetaan sulit dilakukan evaluasi terhadap perkembangan pendidikan di suatu daerah. Tidak adanya pemetaan sangat berisiko terhadap arah kebijakan maupun program dari pemerintah pusat dan daerah. Sebagai pemakai tenaga guru, sudah sewajarnya daerah punya gambaran sekolah mana yang perlu 79
perhatian khusus. Dalam hal penempatan guru, misalnya, pemerintah daerah bisa menggunakan peta tersebut. Guru bukanlah satu-satunya faktor utama dalam pencapaian mutu pendidikan. Kendati demikian, kompetensi guru tetap merupakan faktor penentu. Karena itu, penyebaran guru jangan sampai sembarangan. Oleh karena itulah, kebijakan menaikkan standar kelulusan yang akan diterapkan media tahun ini mudah-mudahan bisa dipahami secara wajar oleh masyarakat kita. Ke depan, standar kelulusan bagi siswa diharapkan makin lama makin tinggi. Konsekuensinya, jika seorang siswa belum mencapai standar minimum tersebut, ia tidak boleh diluluskan. Justru dengan cara tersebut seluruh komponen pendidikan, terutama guru dan orangtua, benar-benar ikut terpacu kesadarannya untuk menyekolahkan anak-anaknya bukan untuk sekadar mendapatkan ijazah, melainkan kecerdasan, daya kritis, dan etika moral. C. Temuan Studi Berdasarkan data penelitian yang telah dipaparkan diatas dalam penelitian ini, peneliti menemukan beberapa temuan studi yaitu: 1. Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur Akibat standar kelulusan siswa yang tinggi menyebabkan terjadinya berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di hampir seluruh daerah di Indonesia. Alasan lain yang mengakibatkan banyaknya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam UN ini adalah kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama baik sekolah yang bersangkutan akan turun jika banyak diantaranya siswanya yang tidak lulus. Sebagian masyarakat masih berpendapat jika keberhasilan suatu sekolah dilihat dari banyaknya siswa yang berhasil lulus, apabila banyak yang tidak lulus otomatis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut akan berkurang dan bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan murid. 2.
Bentuk Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN di SMK PGRI Ngawi Jawa Timur bila dilihat dari Perspektif Civic Education
80
Bentuk Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI Ngawi Jawa Timur berupa Penggelapan Naskah Ujian nasional.
Perbuatan yang dilakukan oleh para oknum pejabat Sekolah di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. Dapat dilihat atau di tinjau melalui dua aspek yang pertama dari segi hukum dan kedua perspektif civic education, maka dapat dilihat sebagai berikut : Pertama, Apabila dilihat atau di tinjau dari segi hukum, maka termasuk tindakan Kejahatan, dimana telah melakukan tindak pidana “ Penggelapan yang dilakukan secara bersama” sebagaimana diatur dalam surat dakwaan melanggar Pasal 372 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan yang berbunyi : Barang siapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dan yang ada padanya bukan karena kejahatan, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah. Kedua, Apabila dilihat dari Perspektif Civic Education, Maraknya pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian Nasional baik yang dilakukan sekolah, guru dan siswa bertentangan dengan Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan). Karena Civic Education merupakan pembelajaran yang dimaksudkan sebagai wahana pendidikan umum yang bertujuan memfasilitasi seorang pendidik, mahasiswa atau peserta didik agar dapat mengembangkan diri menjadi warga negara yang kritis, cerdas, dan berkeadaban atau smart and good citizens. Oleh karena itu, dalam intrumentasi dan praksis pendidikannya secara progmatik di kembangkan Komponen-komponen atau Kompetensi dasar dalam Civic Education yang mencakup tiga hal yaitu: (1) civic knowledge (kompetensi pengetahuan kewargaan), (2) civic dispotions (kompetensi sikap kewargaan) dan (3) civic skills (kompetensi keterampilan kewargaan). Maka mengenai
tindak kejahatan dan
pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat menyimpang atau sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari terutama pada
tiga
kompetensi dasar yang dimiliki Civic Education seperti yang telah di sebutkan di atas. 3. Cara mengatasi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN yang terjadi di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur a. Dengan membenahi mutu pendidik (guru) dan peserta didik (siswa) Dalam hal ini Guru harus memiliki skills atau keterampilan yang tinggi supaya mampu menjadikan peserta didiknya menjadi warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam
81
segala aspek kehidupan. Pada Intinya ketiga kompetensi dasar pada Civic Education harus dimiliki oleh para pendidik dan peserta didik yaitu memiliki pengetahuan mengenai kewarganegaraan, memiliki kecakapan-kecakapan intelektual dan memiliki nilai-nilai yang terdapat dalam ilmu kewarganegaraan. b.
Dengan meninjau kembali alat ukurnya (Naskah Ujian) Untuk itulah agar ujian nasional betul-betul dapat digunakan sebagai alat guna mengukur
ketercapaian kompetensi lulusan secara nasional, maka setiap komponen yang terkait dalam pelaksanaan ujian nasional harus berpegang pada ketentuan-ketentuan yang telah dibuat. Adapun jika hasilnya buruk secara nasional maka yang perlu ditinjau kembali adalah alat ukurnya. Mungkin alat ukur (naskah ujian) terlalu sulit dan belum pas untuk mengukur siswa kita secara nasional. Bisa juga terjadi terlalu mudah sehingga perlu dinaikkan tingkat kesulitannya. Adapun untuk mengatasi sementara jika terjadi angka kelulusan sangat rendah secara nasional maka bisa dilaksanakan ujian ulangan perbaikan seperti yang telah dilakukan. c.
Dengan memperbaiki teknik penyelenggaraan. Menyediakan perlengkapan pelaksanaan ujian yang memadai.Misalnya, dalam mata
pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Maka tape dan earphone seharusnya sudah tersedia di sekolah-sekolah yang akan menyelenggarakan ujian. d.
Dengan memperbaiki teknik pengawasan Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UN untuk
memastikam tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru dengan sistem silang pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Maka dengan hal tersebut agar dijalankan sesuai dengan kesepakatan yang telah di tentukan dan agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan dalam mengawasi para siswa. e.
Adanya sangsi yang tegas kepada si pelanggar tanpa terkecuali dan apabila terjadi pelanggaran harus dapat ditindak sampai tuntas Apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional sudah seharusnya ditindak
sampai tuntas. Sudah sedemikianlah semestinya aturan itu dibuat, jika terjadi pelanggaran maka sangsi harus diterima. Sehingga oknum-oknum yang melanggar dan yang belum melanggar tidak akan melakukan pelanggaran pada ujian nasional berikutnya. f.
Tim-tim independen dalam pelaksanaan ujian nasional harus betul-betul menjalankan tugas dan fungsinya dengan jujur dan bertanggung jawab Adapun tim independen juga harus betul-betul menjalankan fungsinya, tidak malah
memberikan iklim untuk terjadinya kecurangan. Sudah semestinya jika mengetahui terjadinya kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional maka tim independen membuat laporan
82
sehingga dapat ditindaklanjuti. Bagaimanapun juga keberadaan ujian nasional sangat kita perlukan untuk mengetahui standar mutu secara nasional. g. Dengan cara membenahi sistem ujian dan standar minimum kelulusan
Melihat persoalan standar kelulusan tidak bisa setengah-setengah dan cukup sekali gebrakan. Apalagi untuk mengubah cara pandang lama, yaitu kebijakan semua siswa naik kelas atau tamat belajar yang diterapkan di hampir semua sekolah. Untuk itu, ada beberapa pendapat yang melatar belakangi munculnya keinginan kuat tersebut, dan kemudian bisa juga dijadikan acuan bagi masyarakat di masa mendatang. h. Dengan pemetaan pendidikan
Dalam upaya menciptakan sinergisitas antara pemerintah pusat dan daerah, pemetaan pendidikan merupakan hal mutlak, terutama menyangkut kompetensi tenaga pengajar. Pemerintah tidak serta-merta mampu memenuhi kebutuhan tenaga guru untuk ditempatkan di daerah-daerah. Sementara tuntutan akan mutu pendidikan tidak bisa ditawar-tawar lagi.
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Terjadinya
Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian
Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional terjadi akibat standar kelulusan siswa yang tinggi sehingga hal ini menyebabkan terjadinya berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bahkan
hampir di seluruh daerah di 83
Indonesia. Alasan lain yang mengakibatkan banyaknya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam UN ini adalah kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama baik sekolah yang bersangkutan akan turun jika banyak diantaranya siswanya yang tidak lulus. Sebagian masyarakat masih berpendapat jika keberhasilan suatu sekolah dilihat dari banyaknya siswa yang berhasil lulus, apabila banyak yang tidak lulus otomatis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut akan berkurang dan bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan murid. Kekhawatiran juga melanda sekolah apabila banyak siswa yang tidak lulus adalah adanya demonstrasi dari orang tua yang tidak lulus dan tindakan anarkis dari siswa yang tidak lulus tersebut. Selain itu reputasi Dinas Pendidikan Kota akan turun dan dianggap tidak berhasil menyelenggarakan pendidikan karena prosentase kelulusan yang kecil 2. Bentuk Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila di lihat dari perspektif Civic Education Bentuk Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI Ngawi Jawa Timur berupa Penggelapan Naskah Ujian nasional. Mengenai tindak kejahatan dan pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat menyimpang atau sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari. Maraknya pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian Nasional baik yang dilakukan sekolah, guru dan siswa bertentangan dengan Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan). Karena Civic Education merupakan pembelajaran yang dimaksudkan sebagai wahana pendidikan umum yang bertujuan memfasilitasi seorang pendidik, mahasiswa atau peserta didik agar dapat mengembangkan diri menjadi warga negara yang kritis, cerdas, dan berkeadaban atau smart and good citizens. Oleh karena itu, dalam intrumentasi dan praksis pendidikannya secara progmatik di kembangkan Komponen-komponen atau Kompetensi dasar dalam Civic Education yang mencakup tiga hal yaitu: (1) civic knowledge (kompetensi pengetahuan kewargaan), (2) civic dispotions (kompetensi sikap kewargaan) dan (3) civic skills (kompetensi keterampilan kewargaan. Maka mengenai tindak kejahatan dan pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat menyimpang atau sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari terutama pada tiga kompetensi dasar yang dimiliki Civic Education seperti yang telah di sebutkan di atas. 3. Cara mengatasi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN yang terjadi di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur a.
Dengan membenahi mutu pendidik (guru) dan peserta didik (siswa).
84
b.
Dengan meninjau kembali alat ukurnya (naskah ujian).
c.
Dengan membenahi teknik penyelenggaraan.
d.
Dengan membenahi teknik pengawasan
e.
Adanya sangsi yang tegas kepada si pelanggar
f.
Tim-tim independen dalam pelaksanaan ujian nasional harus betul-betul menjalankan tugas dan fungsinya dengan jujur dan bertanggung jawab.
g.
Dengan cara membenahi sistem ujian dan standar minimum kelulusan.
h.
Dengan pemetaan pendidikan.
B. IMPLIKASI Berdasarkan kesimpulan yang telah di kemukakan di atas, maka implikasi yang dapat di sampaikan sebagai berikut: 1. Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur Karena standar kelulusan siswa yang tinggi mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di hampir seluruh daerah di Indonesia maka dari itu dengan cara membenahi sistem ujian sekaligus standar minimum kelulusan dan pemerintah lebih meninjau, menimbang, meneliti, dan mengukur apakah kebijakan yang telah dibuat berdampak baik atau malah beresiko buruk terhadap kemajuan pendidikan. 2. Bentuk Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila dilihat dari Perspektif Civic Education Karena ketakutan dan beban moral apabila anak didiknya gagal dalam Ujian nasional
terjadilah Penggelapan Naskah Ujian Nasional yang telah
dilakukan oknum pejabat sekolah, salah satunya adalah seorang guru maka dari itu tindakan tersebut tidak terjadi karena Para pelaku yang berprofesi sebagai seorang pendidik adalah tidak etis dan tidak terpuji melakukan perbuatan tercela seperti tersebut, seperti arti kata “guru” dalam bahasa Jawa, yaitu “digugu” dan “ditiru” yang artinya semua ucapan dan tingkah lakunya akan dijadikan panutan bagi Siswa didiknya dalam bertindak, seorang guru lebih bertindak positif seperti memperbaiki kualitas guru, memotivasi guru untuk
memberikan jam-jam
tambahan kepada para anak didiknya untuk membahas materi-materi yang di
85
ujikan dalam Ujian Nasional atau memberikan semangat kepada anak didiknya untuk lebih giat belajar dalam menghadapi Ujian Nasional. 3.
Cara mengatasi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN yang terjadi di SMK PGRI 4 Ngawi jawa Timur Karena cara mengatasi pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan ujian
nasional tidak dapat dilakukan sendiri maka dari itu
semua pihak dalam hal ini perlu ada
kerjasamanya dan harus ada sangsi yang tegas kepada si pelanggar dan para pelaku tindak kejahatan tanpa terkecuali dan apabila terjadi pelanggaran bahkan sampai terjadi tindak kejahatan harus dapat ditindak sampai tuntas.
C. SARAN Berdasarkan kesimpulan yang peneliti ajukan serta pengalaman selama penelitian ini dilaksanakan, maka peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut: 1.
Dengan cara membenahi sistem ujian dan standar minimum kelulusan
Kenyataan ini, suka atau tidak, makin memperjelas sikap sense of belonging masyarakat kita yang sebenarnya rendah atau kurang sama sekali terhadap sektor pendidikan. Padahal, salah satu jalan untuk mendongkrak mutu pendidikan nasional ke arah yang lebih baik, diperlukan keberanian untuk mengambil kebijakan strategis dan perubahan cara pandang yang terlalu formal. Salah satunya adalah dengan cara membenahi sistem ujian sekaligus standar minimum kelulusan. Melihat persoalan standar kelulusan tidak bisa setengah-setengah dan cukup sekali gebrakan. Apalagi untuk mengubah cara pandang lama, yaitu kebijakan semua siswa naik kelas atau tamat belajar yang diterapkan di hampir semua sekolah. Untuk itu, ada beberapa pendapat yang melatar belakangi munculnya keinginan kuat tersebut, dan kemudian bisa juga dijadikan acuan bagi masyarakat di masa mendatang. 2. Bagi Pendidik (Guru) Pertama, memperbaiki kualitas guru kita yang kurang membanggakan. Hal ini disinyalir karena faktor kualitas guru berbanding lurus dengan kewibawaan guru di negeri ini yang juga mengalami keadaan serupa. Diakui, banyaknya lembaga pendidikan guru di negeri ini sudah tidak lagi mendapatkan input calon guru bermutu. Beramai-ramai calon mahasiswa mulai enggan memilih 86
jalur keguruan. Akibatnya, bisa diterka, input guru dari lembaga-lembaga pencetak guru bukanlah mereka yang memang profesional dan terpilih sebagai penyemai intelektualitas bangsa ini, melainkan mereka yang ikut-ikutan dan asal memilih. Ke depan, kualitas guru kita diharapkan dapat memainkan perannya dengan optimal, yaitu mencerdaskan kehidupan siswa dan mau menanamkan budi pekerti kepada siswa. Kedua, memotivasi guru untuk mau mengikuti kegiatan-kegiatan, seperti studi lanjut, seminar, lokakarya, penataran, semiloka, srawung ilmiah, latihan, dan simposium di bidang pendidikan, terutama bagi mereka yang belum memenuhi kualifikasi sesuai aturan pemerintah. Sebab, kendatipun secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, secara kualitas mutu guru di negeri ini masih rendah karena mereka jarang dilibatkan dalam serangkaian kegiatan tersebut, yang justru lebih bisa mendongkrak tingkat profesionalismenya dari keadaan sebelumnya. 3.
Adanya sangsi yang tegas kepada si pelanggar tanpa terkecuali dan apabila terjadi pelanggaran harus dapat ditindak sampai tuntas Apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional sudah seharusnya
ditindak sampai tuntas. Sudah sedemikianlah semestinya aturan itu dibuat, jika terjadi pelanggaran maka sangsi harus diterima. Sehingga oknum-oknum yang melanggar dan yang belum melanggar tidak akan melakukan pelanggaran pada ujian nasional berikutnya.
87
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta : Sinar Grafika Anonim. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta : Pustaka Merah Putih A. Ubaedillah, Abdul Rozak. 2008. Pendidikan Kewarganegaan (Civic Education) Demokrasi Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta : Tim ICCE UIN Azra Azyumardi. 2002. Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta : Tim ICCE UIN Bassar M Sudrajat. 1986. Tindak-Tindak Pidana tertentu di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Bandung : Remaja Karya Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006. Jakarta : Biro Organisasi dan Hukum Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006 Tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007. Jakarta : Biro Organisasi dan Hukum Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: : Biro Organisasi dan Hukum Lexy J. Moleong. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : P.T Remaja Rosda Karya Margaret S. Bronson.1999. Belajar Civic Education dari Amerika. Yogyakarta : Lkis Prodjodikoro Wirjono. 1981. Tindak- Tindak Pidana tertentu di Indonesia. Jakarta : Eresco Suharto. 1996. Hukum Pidana Materiil. Jakarta: Sinar Grafika Sutopo Hb. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press
88
Wantjik Saleh. 1983. Hukum Pidana. Jakarta : Raja Grafindo Persada W Bawengan Gerson. 1983. Hukum Pidana di dalam Teori dan Praktek. Jakarta : P.T Pradnya Paramita Winarno Surakhmad. 2004. Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah. Bandung : Tarsito Slamet Widodo. 2007. Mei 5 ”BSNP Evaluasi Pelanggaran Ujian”. Warta Kota. 3. Solihin. 2007. Mei 4 ” Noda di Ujian Nasional”. Tempo Interaktif. 4. Solihin. 2007. Juni 15 ” Noda di Ujian Nasional”. Seputar Indonesia. 1. Tya Eka. 2007. Mei 5 ”Pelanggaran Ujian Nasional Karena Alasan Hati”, Republika. 4. ”Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan Banyak di minati”. 2007. Mei. Republika. 5. http: // Journal Article Excerpt. com. Landon E. Beyer. Journal of Teacher Education. Vol. 4 Tahun 1999. 20 Juni 2009 http: // Journals Cambridge. Org. Steven E. Finkel. The Journal of Politics. 15 Agustus 2002
89