Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 PELAKSANAAN PRINSIP KEHATI- HATIAN PERBANKAN DALAM TRANSAKSI MENGGUNAKAN KARTU DI INDONESIA Rex Andrew Djohan PT. Raharja Anugrah Dharma
[email protected] Abstract Prudent banking principle is one of the most important principle in Indonesia banking system. The principles represent important factor to make a healthy and strong banking system. This principle is written at the banking act No 10 year 1998 jo No 7 year 1992 that by doing all banking services use prudent banking principles base on economic democracy. Although it is written, it does not have the exact meaning. Therefore the implementation of this principle becomes miss-interpreted and by majority understanding it is strongly interpreted only for bank to use and run the banking activities with it. Nowadays, banking costumers become less careful and also assume that just only bank that have to be noticed. The principles made to force not only bank or regulator such as central bank and Financial Services Authority (OJK), but also costumer of the bank itself. Key Words: Bank, Prudent principle, bank card Abstrak Prinsip kehati- hatian merupakan salah satu prinsip penting dalam sistem hukum perbankan di Indonesia. Sistem ini sangat penting guna mendukung perbankan yang sehat dan kuat. Prinsip kehati- hatian tertuang dalam Undang- Undang Perbankan No. 10 tahun 1998 jo. No. 7 tahun 1992 dimana dalam menjalankan kegiatan perbankan harus memakai prinsip kehatihatian berdasarkan demokrasi ekonomi. Prinsip kehati- hatian dalam peraturan tidak diartikan dengan jelas, maka dari itu prinsip ini menjadi dilema dan banyak disalah- artikan oleh bank dan khalayak umum dalam prakteknya. Sekarang konsumen perbankan menjadi kurang berhati- hati dalam menjalankan roda perbankan dimana mereka berpikir bahwa bank lah yang harus berhati- hati dalam menjalankan roda sistem perbankan. Dengan adanya prinsip ini, jelas mengamantkan bukan hanya bank atau pun OJK sebagai regulator melainkan seluruh elemen dalam sistem perbankan seperti konsumen atau nasabah untuk menjalankan sistem kehati- hatian. Kata Kunci : Bank, Prinsip kehati- hatian, kartu bank A.
Pendahuluan Secara sederhana bank adalah suatu wadah untuk menyimpan uang. Di tempat yang
dinamakan “bank” inilah uang disimpan dan dipinjamkan.117 Dalam Black’s Law Dictionary, kata “bank” diartikan sebagai:118
117
Djoni S. Gazali & Rachmadi Usman. Hukum perbankan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 134 Bryan A. Garner. Black’s Law Dictionary, ninth edition, (St. Paul: West, a Thomson Business, 1999), hal. 164 118
375
Rex Andrew Djohan : Pelaksanaan Prinsip Kehati- Hatian Perbankan Dalam Transaksi … “A financial establishment for the deposit loan, exchange, or issue of money and for the transmission of fund; esp., a member of the federal reserve system.” Secara hukum, dalam Undang -Undang No. 10 Tahun 1998 jo No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) pada Pasal 1 ayat 1, bank didefinisikan sebagai berikut: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” Sebagai suatu badan usaha yang menghimpun dana dari pemilik dana dan nantinya menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan pembiayaan lainnya, bank dikategorikan sebagai suatu lembaga intermediasi. Aktifitas perbankan yang pertama adalah menghimpun dana dari masyarakat yang dikenal sebagai kegiatan funding.119 Kegiatan menghimpun yang dimaksudkan adalah kegiatan yang secara tidak langsung membeli dana dari masyarakat luas120. Pembelian dana dari masyarakat ini dilakukan oleh bank dengan berbagai strategi agar masyarakat mau menanamkan dananya dalam bentuk simpanan.121 Setelah bank mendapatkan dana melalui proses funding tersebut, dimulai tahap selanjutnya yang dikenal dengan proses lending. Proses ini merupakan proses di mana dana tersebut diputarkan kembali atau dijual ke masyarakat dalam bentuk pinjaman atau lebih dikenal dengan istilah kredit.122 Pemilik dana terdiri dari rumah tangga, korporasi, ataupun badan usaha/ lembaga yang sesuai dengan karakteristiknya tergolong sebagai unit yang surplus dana dan mencari instrumen untuk penempatan surplus dana yang dimilikinya.123 Demikian juga halnya dengan pengguna dana, mereka terdiri dari rumah tangga, korporasi, dan badan usaha/ lembaga yang merupakan unit yang membutuhkan dana untuk membiayai kegiatan usahanya.124 Dalam perekonomian suatu negara, bank memiliki peran yang sangat penting atau vital akan maju-mundurnya perekonomian negara tersebut. Bank berfungsi menjadi tonggak penggerak bagi suatu negara untuk mencapai titik kesejahteraan. Negara-negara di dunia yang maju seperti Amerika Serikat, Singapura, Tiongkok, dan lain-lain mempunyai basis perbankan yang kuat. Hal ini dibuktikan dari kinerja bank-bank nasional mereka yang sangat
119
Ibid, hal. 136 Ibid. 121 Kasmir. Dasar- Dasar Perbankan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 24 122 Djoni S. Gazali & Rachmadi Usman. Op. cit., hal. 137 123 Jonker Sihombing, Butir- butir Hukum Perbankan, (Jakarta:Red Carpet Studio, 2011), hal. 1 124 Ibid. 120
376
Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 produktif. Seperti contoh, Singapura dengan jumlah penduduk yang terbilang hanya minim akan tetapi Pendapatan Domestik Bruto (PNB) per kapita Singapura saat ini sudah di atas US$ 24.218 sejak 1991125. Ini lah hasil atas kontribusi bank-bank di Singapura yang menjadi tonggak majunya industri di negara tersebut. Di Indonesia, banyak bermunculan bank dengan segala nama dan merk masingmasing. Puncak dari keberadaan bank terjadi sampai pada tahun 1998 di mana banyak sekali bank yang mengalami krisis dan sampai harus dilakukan likuidasi oleh Bank Indonesia. Setelah tahun 1998 banyak bank yang tutup dan ada juga yang menyatukan diri (merger) ataupun dibeli kepemilikan nya oleh pihak asing atau investor lain. Seperti contoh Bank Lippo yang merger dengan Bank Niaga menjadi Bank CIMB Niaga. Lalu penggabungan dari empat bank pemerintah, yaitu Bank Bumi Daya(BBD), Bank Dagang Negara(BDN), Bank Ekspor Impor Indonesia(Exim), dan Bank Pembagunan Indonesia(Bapindo) yang menjadi Bank Mandiri. Dengan perkembangan zaman yang sangat cepat, bank dituntut untuk mengedepankan profesionalitas yang tinggi agar masyarakat yang menjadi nasabah bank menjadi percaya dan mempunyai minat yang tinggi atas jasa-jasa perbankan yang ditawarkan. Bank harus menerapkan prinsip-prinsip yang tepat dalam dunia perbankan seperti: 126 a) Prinsip kemitraan ( kesejajaran ); b) Prinsip kepercayaan ( fiduciary principle ); c) Prinsip kehati-hatian ( prudential principle ); d) Prinsip kerahasiaan ( confidential principle ); e) Prinsip mengenal nasabah ( know your customer principle ). Salah satu dari prinsip di dunia perbankan yang penting dalam menjalankan usahanya adalah prinsip kehati-hatian. Prinsip ini harus dijalankan perbankan dengan baik dan benar guna menjaga hubungan antara bank dengan nasabahnya. Prinsip kehati-hatian ini menjadi sangat penting mengingat prinsip ini akan menimbulkan perlindungan baik bagi nasabah perbankan maupun bagi bank itu sendiri. Rista Rama Dhany , “RI Mau Jadi Negara Maju, Bank Dunia Sebut Syaratnya”, http://finance.detik.com/read/2014/06/23/124000/2616250/4/ri-mau-jadi-negara-maju-bank-dunia-sebutsyaratnya, diakses pada 20 Juni 2014. Pendapatan Nasional Bruto (PNB) adalah jumlah pendapatan yang diterima oleh seluruh rumah tangga keluarga (RTK) di suatu negara dari penyerahan faktor-faktor produksi dalam satu periode. Prathama Rahardja & Mandala Manurung. Pengantar Ilmu Ekonomi, edisi ketiga, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Indonesia, 2008), hal. 235 126 Djoni S. Gazali & Rachmadi Usman. Op. cit., hal. 26 125
377
Rex Andrew Djohan : Pelaksanaan Prinsip Kehati- Hatian Perbankan Dalam Transaksi … Prinsip kehati-hatian dimuat secara tegas dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat 2 UU Perbankan, yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 2: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian.” Pasal 29 ayat 2: “Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.” Prinsip kehati-hatian dikenal juga dengan istilah prudential banking principles. Prudent itu sendiri jika diartikan dalam bahasa Indonesia merupakan ‘bijaksana’. Istilah prudent yang dipakai pada hukum perbankan lebih mengacu kepada prinsip kehati-hatian yang sangat terkait dengan pengawasan dan managemen bank. 127 Melihat dari undangundang perbankan, maka prinsip kehati-hatian itu adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan kegiatan usahanya harus sangat berhati-hati terhadap tindakan/ langkah yang akan diambilnya supaya tidak terjadi sesuatu yang merugikan baik kepada nasabah maupun kepada bank itu sendiri. Dalam praktek perbankan sekarang ini, dunia perbankan terus menerus berkembang dengan tingkat kompleksitas yang tinggi yang menawarkan jasa-jasa kepada masyarakat, guna mendukung kegiatan bank demi kelancaran penghimpunan dan penyaluran dana untuk masyarakat. Dengan banyak nya jasa- jasa yang ditawarkan bank, perlu adanya suatu sikap hatihati dari pihak perbankan akan jasa-jasa tersebut, jangan sampai niat dari jasa yang diberikan untuk memperlancar dunia usaha, ternyata menjadi momok untuk memundurkan dunia perbankan. Prinsip kehati-hatian lah yang menjadi pegangan penting bagi dunia perbankan untuk mendukung segala bentuk ekspansi perbankan yang ada ini, namun sering kali disalah artikan oleh orang awam pada umumnya. Prinsip ini dianggap hanya merupakan suatu kewajiban hukum bagi bank saja dan dengan serta merta meniadakan kewajiban hukum bagi nasabah bank itu sendiri. Nasabah bank yang notabene adalah konsumen perbankan dan pihak dalam dunia perbankan seakan-akan tidak ikut bertanggung jawab untuk berhati-hati.
127
Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasaan Bank,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 21
378
Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Prinsip kehati-hatian secara luas memiliki makna bagi kalangan perbankan untuk melakukan segala bentuk kegiatan secara hati- hati. Dengan perkembangan zaman modern saat ini tercipta berbagai hal-hal baru dalam dunia perbankan, salah satunya adalah penggunaan automated teller machine/ Anjungan Tunai Mandiri, atau yang lebih dikenal dengan ATM. Sistem dalam penggunaan ATM itu sendiri didasarkan kepada penggunaan kartu yang akan menjadi jendela awal dalam proses bertransaksi. Kartu berbentuk plastik dikeluarkan oleh pihak bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang diberikan kepada nasabah untuk dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran dan pengambilan uang tunai.128 Di Indonesia sudah dikenal penggunaan kartu sejak tahun delapan puluhan129 di mana penggunaan fasilitas mesin ATM dari berbagai bank menjadi hal yang sangat lumrah dan sering kita temukan di lingkungan kita berada. Setiap sudut kota pasti dengan gampangnya kita dapat temukan mesin ATM, baik di mall, hotel, supermarket, ataupun di jalan dengan sistem drive-through . Hal ini menjadi kebutuhan pokok bagi setiap orang yang sekarang ini sudah sebagian besar telah memiliki kartu ATM untuk mendukung hidup ataupun untuk kegiatan-kegiatan usaha. Kartu yang menjadi identitas bagi nasabah dalam bertransaksi memberi perhatian khusus bagi pelaku jasa perbankan untuk melakukan dan mengedepankan prinsip kehati-hatian, akan tetapi prinsip kehati-hatian ini seakan-akan menjadi suatu tugas yang hanya berlaku untuk pihak bank saja. Nasabah yang notabane merupakan pelaku dalam dunia perbankan dan sebagai konsumen perbankan seakan-akan menjadi kurang peduli terhadap prinsip kehati-hatian ini. Prinsip kehati-hatian yang menjadi pedoman bagi dunia perbankan dimaksudkan untuk menjaga kegiatan usaha nya agar tetap sehat dan prudent ( prudential banking system ) dan merupakan kewajiban bagi setiap pihak yang berada di dalam lingkup dari dunia perbankan itu sendiri, termasuk bank dan nasabah secara timbal balik.
B.
Pembahasan Sebelum dibentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI)
berdasarkan Pasal 8 UU BI
mempunyai tugas untuk menetapkan dan melaksanakan
kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; serta mengatur
128 129
Kasmir. op. cit., hal. 170 Ibid, hal. 171
379
Rex Andrew Djohan : Pelaksanaan Prinsip Kehati- Hatian Perbankan Dalam Transaksi … dan mengawasi bank. Kemudian dengan eksistensi OJK yang secara efektif telah berlaku pada tahun 2014, maka untuk tugas pengaturan dan pengawasan bank beralih dari BI kepada OJK. OJK sebagai lembaga independen melaksanakan tugasnya
untuk mengatur dan
mengawasi sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan jasa keuangan lainnya. Pengalihan yang terjadi dari BI kepada OJK tentang pengaturan dan pengawasan khususnya kepada sektor perbankan hanya mencakup ruang lingkup di bidang microprudential saja. Pada Pasal 7 UU OJK, OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor perbankan yang mempunyai wewenang untuk mengatur dan mengawasi bank yang berkaitan dengan aspek kehati-hatian bank. Aspek kehati- hatian yang dimaksud, meliputi: 1. Manajemen risiko; 2. Tata kelola bank; 3. Prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang; dan 4. Pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan; Untuk peraturan pelaksanaan yang lebih spesifik khususnya dalam penggunaan kartu ATM, tetap memakai ketentuan yang masih berlaku saat ini yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang dikeluarkan oleh otoritas perbankan sebelumnya sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti dengan peraturan baru yang dikeluarkan oleh OJK. Prinsip kehati-hatian merupakan salah satu prinsip yang penting dalam isi UU Perbankan. Secara tegas dalam UU Perbankan mewajibkan perbankan Indonesia dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan demokrasi ekonomi yang menggunakan prinsip kehati- hatian.130 Kegiatan usaha yang dimaksudkan tersebut antara lain memelihara kesehatan bank sesuai dengan kecukupan modal, kualitas asset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank.131 Ini menandakan bahwa bank sebagai salah satu pihak atau pemain dalam industri perbankan di Indonesia dituntut untuk menerapkan prinsip kehati-hatian tersebut dengan baik dan benar. Prinsip ini harus dipegang teguh guna menjaga kestabilan dan kesehatan di dunia perbankan. Prinsip kehati-hatian dalam UU Perbankan sendiri mempunyai makna yang luas dan tidak ada penyeragaman definisi. UU Perbankan tidak menjabarkan secara jelas prinsip kehati-hatian, dimana seharusnya prinsip ini tidak hanya dijalankan oleh pihak bank saja 130
Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan No. 10 Tahun 1998 Pasal 2 131 Ibid. Pasal 29 (2)
380
Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 melainkan seluruh pihak yang memiliki kepentingan dalam industri perbankan. Seluruh pihak terkait harus ikut turut serta dalam menjalankan dan menerapkan prinsip kehati-hatian yang telah diamanatkan oleh UU Perbankan. Melihat dan membandingkan kepada Banking Act 1959 yang terdapat pada common law, khususnya Australia, tidak pula ditemukan definisi yang secara eksplisit menjelaskan tentang prinsip kehati- hatian. Pada undang- undang tersebut hanya menjelaskan mengenai standard atau persyaratan bagaimana bank bisa dikatakan prudent. Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi antara lain mengenai batas minimal modal ( Prudential Capital Requirement ), keterbukaan ( Prudential Disclosure ), likuiditas ( Liquidity ), manajemen resiko pada kegiatan menggunakan kartu ( Risk Management of Credit Card Activities ). Khusus untuk manajemen resiko pada kegiatan menggunakan kartu (Risk Management of Credit Card Activities ) diatur lebih jelas prinsip berhati- hati yang dilakukan dengan cara pengawasan oleh pengurus bank (Board and Management supervision), tata kelola manajemen resiko kredit (Credit Risk), likuiditas (Liquidity Risk), dan operasi (Operational Risk). Ke empat hal ini mirip dan dapat ditemukan pula dalam PBI yang merupakan peraturan pelaksana dari UU Perbankan mengenai transaksi Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK). Prinsip kehati-hatian harus diterapkan dalam semua kegiatan perbankan termasuk dalam penerbitan dan pengelolaan APMK. Transaksi di bidang APMK, khususnya untuk penggunaan kartu debet atau kartu ATM sangat memberikan kemudahan bagi nasabah bank. Dengan kartu ATM nasabah akan lebih diuntungkan dengan segala kelebihan dan kenyamanan yang diberikan. Adapun pelayanan yang diberikan dari mesin ATM tersebut antara lain adalah:132 a) Penarikan uang tunai. Nasabah dapat menarik uang tunai di berbagai ATM yang memiliki hubungan dengan bank penerbit. Besarnya jumlah penarikan tergantung dari limit yang diberikan atau dari sisa saldo yang tersedia dalam ATM yang bersangkutan. b) Dapat digunakan sebagai tempat untuk memesan buku cek dan bilyet giro. c) Dapat digunakan sebagai tempat untuk meminta rekening koran. d) Dapat digunakan sebagai tempat untuk melihat atau mengecek saldo rekening nasabah. e) Pelayanan lainnya seperti pembayaran listrik, telepon, dan pembayaran lainnya.
132
Kasmir. op. cit., hal 182
381
Rex Andrew Djohan : Pelaksanaan Prinsip Kehati- Hatian Perbankan Dalam Transaksi … Sedangkan manfaat lain yang dapat diberikan oleh ATM disamping hal- hal yang disampaikan di atas adalah: a) Praktis dan mudah dalam pengoperasian mesin ATM. b) Melayani keperluan nasabah 24 jam termasuk pada hari libur. c) Menjamin keamanan dan privacy. d) Memungkinkan untuk mengambil uang tunai lebih dari satu kali dalam sehari. e) Terdapat di berbagai tempat yang strategis. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam hal penggunaan kartu pada transaksi APMK, bank sebagai prinsipal diwajibkan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dengan benar dan sesuai kaidah- kaidah yang berlaku. Untuk berhati- hati, bank dapat melakukannya dalam banyak hal. Untuk berhati-hati bisa dilakukan dalam bidang perizinan, memberikan kredit, mengawasi penggunaan kartu, meminimalisir risiko yang dapat terjadi, memantau setiap jasa yang berhubungan dengan teknologi yang bersangkutan agar selalu terjaga keamanannya, menjalankan setiap standard operating procedure (SOP) bank dengan benar, mematuhi kaidah- kaidah hukum yang berlaku, dan lain-lain. Sebelumnya, Bank Indonesia sebagai bank sentral memegang fungsi regulasi, perizinan, dan pengawasan perbankan. Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian ini bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Mengingat pentingnya tujuan mewujudkan sistem perbankan yang sehat, maka peraturan di bidang perbankan yang ditetapkan Bank Indonesia harus didukung dengan sanksi-sanksi yang adil. Pengaturan bank berdasarkan prinsip kehati-hatian tersebut disesuaikan pula dengan standar yang berlaku secara internasional.133 Sama halnya dengan konsumen sebagai nasabah perbankan harus juga menerapkan dan memposisikan diri mereka untuk selalu berhati-hati dalam menggunakan kartu sebagai alat bertransaksi agar terhindar dari bahaya dan kerugian yang mungkin saja timbul. Oleh karena itu Bank Indonesia menghimbau perbankan untuk meningkatkan kewaspadaan dan
133
Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia No. 6 Tahun 2009 Penjelasan Pasal 25 ayat 1
382
Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 kehati-hatian dalam bertransaksi yang menggunakan sarana ATM. Isi dari himbauan tersebut sebagai berikut:134 “Peristiwa kejahatan atau penipuan di ATM (Automated Teller Machine) sudah seringkali terjadi dengan berbagai modus dan motif. Dengan demikian, untuk menghindari kerugian dan kehilangan dana pada saat bertransaksi di ATM, nasabah perbankan sebaiknya memiliki kewaspadaan dan kehati-hatian dalam melakukan transaksi melalui layanan jasa perbankan, khususnya melalui mesin ATM.“ Adapun beberapa modus penipuan yang terjadi di ATM yaitu (1) pelaku penipuan berpura-pura memberikan bantuan pada saat kartu ATM tertelan/tersangkut mesin ATM, (2) modus lain dengan cara memanipulasi nomor call center atau customer service yang tertera pada mesin ATM (3) bahkan memberikan alat tambahan yang menyebabkan kartu ATM nasabah menjadi tersangkut. Dengan demikian, pada saat nasabah mencoba menghubungi call center atau customer service, akan tersambung kepada nomor telepon pelaku penipuan yang pada akhirnya akan meminta PIN (Personal Identification Number) kartu ATM nasabah tersebut. Oleh karena itu, Bank Indonesia (BI) menghimbau beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh nasabah perbankan dan perbankan di antara lain: Memperhatikan lingkungan sekitar sebelum Anda masuk ke ruang ATM Lihat dan amati sekitar Anda, apakah ada hal atau orang yang mencurigakan atau sedang mengamati Anda bahkan berdiri terlalu dekat dengan Anda. 1. Bertransaksi di lokasi ATM yang sudah Anda kenali (familiar) Untuk memperkecil resiko penipuan atau kejahatan di ATM. 2. Amati mesin ATM sebelum memasukkan kartu ATM, apabila terdapat sesuatu yang tampak asing/janggal disarankan untuk mencari ATM lain dan melaporkan kepada Bank bersangkutan. 3. Jaga keamanan PIN kartu ATM. Jangan meminjamkan kartu ATM dan memberikan PIN kepada orang lain (petugas bank tidak pernah meminta PIN dari nasabah). Gantilah PIN ATM Anda secara berkala. 4. Tetap waspada di dalam ruangan ATM Apabila kartu ATM tertelan/tersangkut di dalam mesin ATM. Segera hubungi call center bank untuk memblokir kartu tersebut. Jangan
134
Himbauan BI dalam Meningkatkan Kewaspadaan dan Kehati-hatian Bertransaksi Menggunakan ATM, penerbit Bank Indonesia, tanpa tahun.
383
Rex Andrew Djohan : Pelaksanaan Prinsip Kehati- Hatian Perbankan Dalam Transaksi … melayani pihak yang menawarkan bantuan di ruang ATM. Oleh sebab itu, diupayakan selalu memiliki nomor call center bank yang didapat langsung dari bank. Kepada Perbankan beberapa himbauan yang dapat diinformasikan antara lain: 1. Pastikan selalu bahwa mesin ATM berfungsi dengan baik. 2. Periksa secara rutin kondisi mesin ATM agar tidak terdapat benda-benda asing di mesin ATM yang membuat kartu ATM tidak berfungsi/tertelan/lengket. 3. Periksa nomor-nomor telepon/HP yang ditempel di ruang/mesin ATM, pastikan bahwa nomor-nomor tersebut benar nomor kepunyaan bank. 4. Aktifkan Kamera Pengawas/CCTV di setiap mesin ATM.” Dari himbauan yang diberikan oleh Bank Indonesia ini tidak hanya menitikberatkan kepada kewajiban untuk berhati-hati kepada bank saja. Prinsip kehati-hatian ini juga ditunjukan secara seimbang untuk bank dan nasabah. Tidak hanya bank yang diwajibkan untuk menerapkan prinsip kehati-hatian, akan tetapi nasabah juga diminta untuk berhati-hati dalam melakukan transaksi APMK. Struktur perbankan yang sehat akan terbentuk sesuai dengan amanat UU Perbankan jika prinsip kehati-hatian ini dijalankan secara bersama- sama baik oleh pihak bank, maupun nasabah sebagai konsumen perbankan. Dilain sisi, kegiatan yang terjadi antara bank dan konsumen pada praktek di dunia perbankan menciptakan suatu hubungan keperdataan antara kedua pihak tersebut. Ke dua pihak saling membutuhkan satu sama lain di mana ke dua pihak dimaksud saling menguntungkan satu sama lain. Bank mendapat dana dari konsumen/ masyarakat, kemudian dana tersebut disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk lain yang menguntungkan dan memudahkan masyarakat dalam melakukan kegiatan ekonomi sehari- hari. Hubungan keperdataan ditandai dengan adanya perjanjian antara kedua belah pihak, di mana dalam melakukan perjanjian ke dua belah pihak dilarang untuk melanggar undang- undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.135 Dalam praktek kegiatan perbankan yang menciptakan hubungan keperdataan antara nasabah dengan bank, maka dapat dilihat pula dari sisi perlindungan konsumen melalui UU Perlindungan konsumen yang ada. Pada UU Perlindungan Konsumen, bank dikategorikan sebagai pelaku usaha dan nasabah perbankan sebagai konsumen. Ke dua belah pihak samasama memiliki hak dan kewajiban yang setara dan seimbang. Dalam UU Perlindungan
135
KUHPerdata Pasal 1337
384
Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Konsumen dijabarkan hak dan kewajiban bagi ke dua belah pihak yang memiliki relevansi terhadap transaksi APMK dalam kegiatan perbankan. Konsumen mempunyai hak antara lain:136 a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa. b. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. c. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan. d. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Konsumen secara bebas berhak atas segala bentuk kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam menggunakan produk atau jasa yang diberikan oleh bank dengan mendapatkan segala bentuk informasi yang benar dan terpercaya akan jasa yang diberikan tersebut. Terhadap jasa yang diberikan terdapat juga perlakuan khusus yang diberikan berupa customer service jika terdapat keluhan- keluhan akan jasa perbankan yang bermasalah. Tidak hanya hak- hak saja yang didapatkan oleh konsumen, akan tetapi terdapat kewajiban yang harus dilakukan dan dipatuhi oleh konsumen. Kewajiban konsumen antara lain:137 a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan. b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. c. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Kewajiban di atas dimaksudkan agar bank dan konsumen sama- sama mendapatkan perlindungan sesuai dengan koridor hukum dan peraturan yang mereka telah sepakati bersama pada saat mereka melakukan perjanjian pembukaan rekening hingga perjanjian menggunakan fasilitas kartu milik bank. Hak yang secara UU Perlindungan konsumen kurang lebih mirip dengan ketentuan yang diberlakukan pada perjanjian baku yang dibuat dan disepakati oleh nasabah Bank Mandiri. Dalam hal ini melekat kewajiban mutlak bagi nasabah untuk mengikuti peraturan yang ada, termasuk untuk merahasiakan PIN kepada orang lain tanpa terkecuali. Jika kewajiban ini dilanggar, maka secara mutlak bank tidak
136 137
Undang- Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 4 Ibid. Pasal 5
385
Rex Andrew Djohan : Pelaksanaan Prinsip Kehati- Hatian Perbankan Dalam Transaksi … dapat dipersalahkan oleh nasabah dengan dasar membuat nasabah merugi akibat jasa perbankan. Sama halnya seperti konsumen, bank sebagai pelaku usaha juga memiliki hak yang diberikan oleh undang- undang, antara lain:138 a. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik. b. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen. c. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan. Kemudian kewajiban bank antara lain:139 a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya. b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan pcnggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. Dari substansi UU Perlindungan Konsumen tersebut, jelaslah tentang hal- hal yang merupakan hak dan kewajiban antara konsumen dan pelaku usaha atau bank. Bank dan nasabah dituntut untuk tidak hanya mendapatkan haknya saja, melainkan juga menjalankan kewajiban yang diamanatkan oleh undang- undang. Dari hal tersebut, dapat dilihat bahwa baik konsumen maupun bank memiliki kesetaraan yang diakui oleh undang- undang. Tentunya tidak serta merta UU Perlindungan Konsumen diciptakan oleh regulator hanya untuk melindungi konsumen saja, akan tetapi jika memang pelaku usaha atau bank telah melakukan kewajiban nya dengan benar dan sesuai dengan ketentuan dan rambu- rambu yang ada, maka secara mutlak bank tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban atas kerugian yang diderita oleh konsumen. Bank sudah layak dan semestinya diberikan ruang untuk membela diri untuk membuktikan bahwa memang secara nyata dan tegas tidak melakukan kesalahan.
138 139
Ibid. Pasal 6 Ibid. Pasal 7
386
Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Upaya untuk melakukan pembelaan bagi bank dan tuntutan ganti rugi oleh nasabah juga diatur dalam UU Perlindungan Konsumen. Penyelesaian sengketa konsumen diatur juga pada Bab X UU Perlindungan Konsumen.
Konsumen yang merasa dirugikan dapat
menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Selain melalui peradilan umum, penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah dapat juga dilakukan melalui luar pengadilan. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan tersebut dilakukan melalui BPSK. BPSK dalam menjalankan proses penyelesaian sengketa tersebut memiliki tugas dan wewenang, antara lain:140 a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; c. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; d. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini; e. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; f. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini. Lebih spesifik merujuk kepada PBI tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 11/11/PBI/ 2009 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu No.14/2/PBI/2012 (PBI APMK) bank diklasifikasikan sebagai prinsipal sekaligus sebagai penerbit kartu. Bank harus memiliki izin terlebih dahulu sebelum melakukan kegiatan transaksi AMPK. Sebagai prinsipal, bank berkewajiban untuk menetapkan prosedur dan persyaratan yang objektif dan transparan bagi pengguna. Hal ini dilakukan sejalan dengan peraturan perundang- undangan lain yang berlaku seperti UU Perlindungan Konsumen. Nasabah perbankan atau konsumen harus mendapatkan informasi- informasi yang jelas, benar, akurat, dan terpercaya dibarengi dengan peraturan yang jelas dan seimbang
140
Ibid. Pasal 52
387
Rex Andrew Djohan : Pelaksanaan Prinsip Kehati- Hatian Perbankan Dalam Transaksi … antara nasabah dan bank itu sendiri. Bank wajib memberikan informasi secara tertulis kepada nasabah paling kurang meliputi:141 a. Prosedur/ tata cara penggunaan kartu ATM, fasilitas yang melekat pada Kartu ATM, dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan Kartu ATM. b. Hak dan kewajiban nasabah. c. Tata cara pengajuan pengaduan permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan Kartu ATM. Kemudian bank juga dituntut untuk melakukan pengawasan terhadap pengamanan dan keandalan dari sistem dan/ atau jaringan yang ada. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan karena keamanan menjadi prioritas dari pelaksanaan transaksi APMK, sehingga perlu dijaga agar tidak merugikan pihak yang menggunakannya. Sebagai Penerbit, khusus nya untuk APMK berupa Kartu ATM dan/ atau Kartu Debet, bank diwajibkan untuk menerapkan manajemen risiko. Managemen resiko yang dimaksudkan meliputi: 1) Manajemen risiko likuiditas; 2) Manajemen risiko operasional; 3) Manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi. Disamping ketiga hal di atas, bank juga diharuskan untuk memiliki kesiapan finansial untuk memenuhi kewajiban pembayaran yang bisa saja timbul dalam hal terjadi kejahatan Kartu ATM dan/ atau Kartu Debet. Dalam rangka menerapkan manajemen risiko, bank sebagai penerbit Kartu ATM dan/ atau Kartu Debet wajib untuk menerapkan persyaratan yang paling kurang meliputi:142 1) Penetapan batas maksimum nilai transaksi; 2) Penetapan batas minimum penarikan uang tunai. Pada PBI tentang Manajemen Risiko, bank diwajibkan untuk melakukan pengawasan yang efektif dalam hal penggunaan teknologi informasi seperti halnya kartu ATM.143 Bank melalui Dewan Komisaris dan Direksi diharuskan untuk melakukan pengawasan secara optimal agar tercukupi proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko
141
Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 14/2/PBI/2012 tentang Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu Pasal 23 142 Ibid. Pasal 22(2) 143 Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.9/15/PBI/2007 tentang Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum
388
Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 penggunaan teknologi tnformasi. Sesuai dengan isi dari PBI Manajemen Resiko tersebut, maka dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa: 1. Bank yang merupakan badan usaha berbentuk perseroan terbatas, harus menggunakan organ perusahaan, yakni: Komisaris dan Direksi sesuai jabatan masing- masing untuk mengarahkan, memantau, dan mengevualuasi kebijakan bank terkait dengan penggunaan teknologi informasi. 2. Bank wajib memiliki kebijakan, prosedur, atau peraturan baku yang dapat dipakai sebagai tolok ukur dalam menjalankan kegiatan jasa perbankan untuk transaksi APMK. 3. Bank dalam melakukan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko penggunaan teknologi informasi harus sudah siap dengan segala hal ketika dijalankannya kegiatan transaksi APMK. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengawasi, memantau, melakukan pengendalian internal yang efektif, dan melakukan koreksi jika terjadi penyimpangan atau kesalahan. Peraturan yang ada ini, secara mutlak harus dijalankan oleh pihak bank. Bank dalam kapasitasnya sebagai prinsipal yang menjalankan kegiatan usaha perbankan dalam bidang transaksi APMK terbukti sudah mengikuti arahan dan ketentuan yang berlaku tersebut. Dalam hal meyelenggarakan transaksi APMK sebagaimana telah diatur dalam PBI APMK, maka juga pada surat edaran No. 14/ 17/ DASP Tanggal 7 Juni 2012 (SE APMK) diatur secara lebih rinci dan teknis tentang prosedural dari transaksi APMK tersebut. SE APMK dibuat dalam rangka mendukung kelancaran dan efektifitas penyelenggaraan kegiatan alat pembayaran dengan menggunakan kartu. Beberapa hal penting yang diatur dalam SE APMK antara lain: a) Prinsip Perlindungan Nasabah b) Prinsip Kehati-hatian c) Standar Keamanan APMK d) Pengelolaan Risiko Operasional
ad. a) Prinsip Perlindungan Nasabah Prinsip perlindungan nasabah yang wajib dilakukan oleh bank dalam rangka menjalankan kegiatan transaksi APMK adalah dengan cara menyampaikan informasi tertulis kepada calon pemegang kartu. Informasi tersebut wajib menggunakan Bahasa Indonesia yang
389
Rex Andrew Djohan : Pelaksanaan Prinsip Kehati- Hatian Perbankan Dalam Transaksi … jelas dan mudah dimengerti, ditulis dalam huruf dan angka yang mudah dibaca oleh calon pemegang kartu. Khusus untuk transaksi APMK berupa kartu ATM dan/ atau kartu debet, maka terdapat kewajiban khusus yang harus dilakukan oleh penerbit guna memberikan informasi yang benar. Informasi tersebut paling kurang harus meliputi: a. Prosedur/ tata cara penggunaan kartu ATM, fasilitas yang melekat pada kartu ATM, dan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan kartu ATM. b. Hak dan kewajiban nasabah. c. Tata cara pengajuan pengaduan permasalahan yang berkaitan dengan penggunaan kartu ATM.
ad. b) Prinsip Kehati-hatian Prinsipal dalam menjalankan usahanya harus tetap menjaga prinsip kehati-hatian agar terhindar dari risiko yang bisa saja terjadi pada saat penyelenggaraan kegiatan APMK. Untuk meningkatkan keamanan, penerbit diharuskan untuk menjaga likuiditasnya. Oleh karena itu bank menetapkan batas maksimum nominal dana untuk penarikan tunai melalui mesin ATM baik menggunakan Kartu ATM atau Kartu Kredit, yakni sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) tiap rekening dalam satu hari. Untuk batas maksimum nominal dana yang dapat ditransfer antar penerbit kartu ATM melalui mesin ATM adalah sebesar Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
ad. c) Standar Keamanan APMK Transaksi APMK merupakan suatu transaksi yang tidak terlepas dengan penggunaan teknologi. Penggunaan teknologi tersebut merupakan bagian yang penting dan di sisi lain dapat pula menjadi penyebab kerugian jika tidak dijaga dan dilakukan pengawasan dengan baik. Maka dari itu dengan teknologi yang ada, perlu diatur tentang standar keamanan bagi transaksi APMK. Bank wajib meningkatkan keamanan APMK guna mencegah dan mengurangi tingkat kejahatan di bidang APMK, serta sekaligus untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap APMK. Peningkatan keamanan dilakukan terhadap seluruh infrastruktur teknologi yang terkait dengan penyelenggaraan APMK, yang meliputi pengamanan pada kartu dan seluruh sistem yang digunakan untuk memproses transaksi APMK, yaitu dengan menerapkan
390
Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 teknologi chip dan PIN paling kurang enam digit. Penggunaan teknologi PIN paling kurang enam digit sebagai sarana verifikasi dan autentikasi kartu ATM dan/atau kartu Debet.
ad. d) Pengelolaan Risiko Operasional Risiko merupakan suatu hal yang sangat dimungkinkan dalam penyelenggaraan transaksi APMK. Dalam PBI APMK dan PBI Manajemen Risiko diatur tentang bagaimana cara agar bank berhati-hati terhadap risiko-risiko yang mungkin dapat muncul sehingga dapat dihindarkan. Pada SE APMK diatur tentang tata kelola risiko operasional di mana prinsipal atau penerbit atau bank diwajibkan untuk melakukan pengelolaan risiko melalui penggunaan proven technology. Secara teknis, proven technology yang dimaksudkan di atas paling kurang mencakup pemenuhan aspek- aspek: 1. Adanya sistem keamanan teknologi informasi yang paling kurang memenuhi prinsipprinsip sebagai berikut: a. dua faktor otentikasi yang akan digunakan (two factors authentication); b. kerahasiaan data (confidentiality); c. integritas sistem dan data (integrity); d. otentikasi sistem dan data (authentication); e. pencegahan terjadinya penyangkalan transaksi yang telah dilakukan (nonrepudiation); dan/atau f. ketersediaan sistem (availability), yang dilakukan secara efektif dan efisien dengan memperhatikan kepatuhan terhadap ketentuan yang berlaku; 2. Adanya sistem dan prosedur untuk melakukan audit trail; 3. Adanya kebijakan dan prosedur internal untuk sistem dan Sumber Daya Manusia (SDM); 4. Adanya Business Continuity Plan (BCP) yang dapat menjamin kelangsungan penyelenggaraan APMK. BCP tersebut meliputi tindakan preventif maupun contingency plan (termasuk penyediaan sarana back-up) jika terjadi kondisi darurat atau gangguan yang mengakibatkan sistem utama penyelenggaraan APMK tidak dapat digunakan. SE APMK ini memberi banyak ketentuan dan peraturan secara teknis yang harus dilakukan oleh bank sebagai prinsipal dalam melakukan kegiatan transaksi APMK. Peraturan- peraturan yang ada ini harus dipatuhi oleh pihak bank guna menciptakan kegiatan perbankan yang sehat dan terpercaya. Hal ini berkaitan dengan perintah UU Perbankan di
391
Rex Andrew Djohan : Pelaksanaan Prinsip Kehati- Hatian Perbankan Dalam Transaksi … mana bank dalam menjalankan kegiatan usahanya harus memperhatikan prinsip kehatihatian dengan benar. Bank yang sudah menjalankan dengan baik dan benar terhadap apa yang diatur, maka secara tidak langsung pula telah mengindahkan prinsip kehati-hatian tersebut. Selanjutnya dalam praktek yang terjadi, bank tidak dapat serta merta menjalankan roda kegiatan perbankan terutama jasa di bidang transaksi APMK sendiri. Diperlukan hubungan baik dan seimbang antara bank dan nasabah yang dapat menunjang kegiatan tersebut. Nasabah juga perlu untuk menempatkan posisi mereka sebagai nasabah yang ikut berhati- hati dalam melakukan transaksi di bidang APMK. Sederhananya adalah, dengan mengikuti peraturan yang ada dengan baik dan benar maka hal itu sudah serta-merta berhati-hati dan membuat kegiatan transaksi APMK menjadi baik dan berkualitas. Dalam menyelenggarakan APMK, penerbit APMK dapat bekerjasama dengan Perusahaan Penyedia Jasa di bidang sistem dan teknologi seperti perusahaan pencetakan kartu, personalisasi kartu, switching dan/atau penyedia sarana pemrosesan transaksi APMK. Dalam bekerjasama dengan Perusahaan Penyedia Jasa tersebut, Penerbit APMK wajib memastikan bahwa: a. Tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan oleh pihak lain yang menyediakan jasa penunjang di bidang sistem dan teknologi informasi tersebut sesuai dengan tata cara, mekanisme, prosedur, dan kualitas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Penerbit APMK itu sendiri. b. Sistem yang digunakan oleh Perusahaan Penyedia Jasa aman dan andal. c. Pengelolaan data/informasi dilakukan dengan menjaga aspek keamanan dan kerahasiaan data/informasi. d. Pelaksanaan kerjasama memperhatikan dan memenuhi ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi Bank Umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain (alih daya). e. Perusahaan pencetakan kartu dan/atau personalisasi kartu telah memiliki sertifikasi dari Prinsipal APMK atau lembaga yang berwenang melakukan sertifikasi. Sesuai dengan peraturan yang ada di atas, maka tidak dapat dikatakan bahwa bank dengan pihak turut tergugat memiliki hubungan khusus dan melakukan kerjasama untuk merugikan pihak nasabah. Kerja sama yang terjadi antara pihak bank dengan pihak
392
Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 perusahaan penyedia jasa ini sudah diatur dalam SE APMK dan Bank Mandiri telah menjalankannya sebagaimana mestinya. Selanjutnya, sesuai dengan ketentuan hak dan kewajiban pada UU Perlindungan Konsumen, bahwa setiap konsumen memiliki hak dan juga melekat kewajiban untuk diindahkan, sama halnya dengan bank, yang memiliki hak dan kewajiban. Secara seimbang hak dan kewajiban tersebut harus dijalankan dengan baik dan benar, tidak bisa hanya menginginkan hak dan mengabaikan kewajiban. UU Perlindungan Konsumen mengatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Perjanjian baku yang dilarang tersebut, jika:144 a. menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung, maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli olch konsumen secara angsuran.
144
Undang- Undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999 Pasal 18
393
Rex Andrew Djohan : Pelaksanaan Prinsip Kehati- Hatian Perbankan Dalam Transaksi … Perjanjian baku yang telah dibuat dan mengikuti aturan yang berlaku menjadikan tidak adanya larangan bagi bank dalam membuat perjanjian baku tersebut. Perjanjian baku justru menjadi jawaban atas kebutuhan para pelaku usaha khususnya bank dan nasabah yang menginginkan suatu kepraktisan dan efisiensi dalam pelayanan perbankan. Perjanjian baku ini pun sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan di Indonesia, yang kita kenal dengan “take or leave it contract”.145
C.
Kesimpulan Pengaturan prinsip kehati-hatian dalam penggunaan kartu ATM dalam peraturan
perundang- undangan perbankan sekarang ini masih sangat abstrak. Tidak ada penyeragaman definisi dan tidak ada pengertian secara tegas terhadap definisi dari prinsip kehati-hatian tersebut. Hal ini menyebabkan prinsip kehati-hatian tersebut dimaknai hanya untuk diterapkan oleh bank dan tidak berlaku untuk nasabah bank. Seharusnya prinsip kehati-hatian merupakan suatu prinsip yang mutlak dilakukan dan diterapkan oleh semua pihak secara seimbang dan proporsional dalam kegiatan perbankan, antara lain oleh bank, nasabah, dan pihak-pihak terkait lainnya yang memiliki kepentingan
agar tercipta suatu kegiatan
perbankan yang baik dan sehat. DAFTAR PUSTAKA Buku Gandapradja, Permadi. Dasar dan Prinsip Pengawasaan Bank. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004 Gazali Djoni S., dan Rachmadi Usman. Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar Grafika, 2010 Kasmir. Dasar- Dasar Perbankan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000 Sihombing, Jonker. Butir- Butir Hukum Perbankan. Jakarta: Red Carpet Studio, 2011 Kamus Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary, cetakan kesembilan. St. Paul: West, a Thomson Business, 1999 Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Cetakan 36. Terj. Subekti, R. Jakarta: PT.Pradnya Paramita, 2005
145
Miriam Darus Badrulzaman. Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Penerbit Alumni, 2005), hal. 46
394
Law Review Volume XIV, No. 3 – Maret 2015 Undang-Undang tentang Bank Indonesia Undang- Undang No. 6 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4901 Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3821 Undang-Undang tentang Perbankan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang No.7 Tahun 1992, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3790 Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Penerapan Manajemen Risiko Dalam Penggunaan Teknologi Informasi Oleh Bank Umum No.9/15/PBI/2007, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 144 DPNP, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4785 DPNP Surat Edaran Bank Indonesia tentang Penyelenggaraan Kegiatan Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu No. 14/ 17/ DASP Tanggal 7 Juni 2012 Website Dhany, Rista Rama. “RI Mau Jadi Negara Maju, Bank Dunia Sebut Syaratnya”.
395