Prinsip Kehati-hatian Bank Dalam Kegiatan Reksadana1 Dr. Agus Sugiarto2 Perkembangan penjualan reksadana yang sangat pesat dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini tidak terlepas dari besarnya peran perbankan beserta jaringan kantornya di seluruh Indonesia. Dari total Rp68,35 triliun reksadana yang terjual sampai dengan Juni 2003, diperkirakan sekitar 85% atau Rp58 triliun penjualannya dilakukan melalui jalur distribusi perbankan, yang melibatkan sekitar 15 bank. Apabila dilihat dari angka penjualan reksadana tersebut maka distribusi penjualan reksadana yang dilakukan lembaga lain baik itu manajer investasi, perusahaan asuransi maupun lembaga lain tidak begitu besar. Mengingat cukup besarnya peran perbankan dalam mendukung pertumbuhan industri reksadana di tanah air maka tidaklah berlebihan apabila industri perbankan nsional khususnya bagi bank-bank yang terlibat dalam distribusi penjualan reksadana perlu memperhatikan beberapa aspek kehatihatian (prudential) yang berkaitan dengan bank itu sendiri. Aspek prudential yang perlu dilihat disini bukanlah yang terkait dengan fungsi bank sebagai
custodian bank (bank
penyimpan/penata usaha surat-surat berharga), melainkan fungsi bank sebagai agent of sales dari produk reksadana itu sendiri. Dalam Tabel 1 terlihat bagaimana mekanisme penjualan reksadana tersebut melibatkan bank sebagai agen penjual reksadana. Walaupun pengaturan reksadana sepenuhnya merupakan kewenangan Bapepam mengingat reksadana tersebut merupakan suatu instrumen investasi jangka panjang, namun bank yang bertindak sebagai agent of sales dari reksadana tetap perlu harus memperhatikan beberapa prinsip kehati-hatian yang berhubungan dengan penyelenggaraan reksadana. Bank Indonesia sendiri, meskipun bukan lembaga yang berwenang untuk mengatur dan mengawasi penyelenggaraan
reksadana,
tetap
saja
memiliki
keterkaitan
yang
erat
apabila
penyelenggaraan reksadana tersebut melibatkan bank-bank. Bank-bank yang ikut terlibat dalam penjualan reksadana sedikit banyak akan memiliki risk exposures yang berasal dari reksadana tersebut, apakah itu risiko reputasi, risiko hukum maupun risiko-risiko lainnya. Oleh karena itu, bagi bank-bank yang menjadi agent of sales reksadana harus senantiasa menjunjung tinggi prinsip-prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasional reksadana sebagaimana prinsip kehati-hatian dalam kegiatan usaha bank yang yang telah digariskan oleh Bank Indonesia. Keterlibatan Bank Indonesia tersebut sejalan dengan amanat Undang1 2
Tulisan ini telah dimuat di harian Kompas, 11 September 2003. Peneliti Bank Senior, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia.
2
Undang Perbankan No.10 tahun 1998 pasal 29 dan pasal 30 yang menegaskan fungsi dan peran Bank Indonesia sebagai lembaga pembina dan pengawas perbankan di Indonesia. Di dalam Tabel 2, terdapat beberapa kewenangan Bank Indonesia yang menyangkut aspek prudential yang harus diperhatikan oleh bank sebagai agen penjual reksadana, serta aspekaspek reksadana lainnya yang menjadi kewenangan Bapepam.
Tabel 1. Mekanisme penjualan reksadana yang melibatkan bank.
Menyampaikan order
Nasabah
Bank Membeli reksadana
Manajer Investasi
Konfirmasi Mentransfer uang
Bank Kustodian
Tujuan prinsip kehati-hatian Perlunya bank-bank memegang prinsip kehati-hatian dalam penjualan reksadana adalah untuk memastikan bahwa peran bank sebagai agent of sales reksadana tersebut tidak mengganggu operasional kegiatan usaha perbankan yang dilakukan oleh bank itu sendiri. Jangan sampai fungsi bank yang terbatas sebagai agent of sales reksadana tersebut dapat merusak citra bank sendiri atau bank justeru memperoleh risiko-risiko baru yang tidak dapat dikontrol oleh bank tersebut. Selain dari pada itu, perlunya bank menerapkan prinsip kehatihatian adalah untuk melindungi investor yang membeli produk reksadana tersebut, terlepas apakah investor tersebut adalah nasabah bank yang bersangkutan atau bukan. Nasabah pembeli reksadana perlu dilindungi hak-haknya dan mengingat bank bertindak sebagai agen penjual reksadana maka nasabah tersebut akan selalu berkomunkasi dengan bank penjualnya
3
bukan dengan manajer investasi sebagai pihak yang mengelola portofolio reksadana. Hubungan antara bank dengan investor reksadana bukan hanya terjadi pada saat pembelian reksadana melainkan sampai investor melakukan redemption (penagihan) dari reksadana yang telah dibelinya.
Tabel 2. Kewenangan Bapepam dan Bank Indonesia yang terkait dengan bank sebagai agent of sales reksadana
KEWENANGAN BAPEPAM
KEWENANGAN BI
Antara lain :
Antara lain :
?? Code of conduct reksadana ?? Mekanisme transaksi ?? Hubungan manajer investasi dan bank kustodian ?? Aspek prudential manajer investasi ?? Bentuk dan jenis kontrak ?? Persyaratan dan prosedur ?? Bentuk dan jenis portofolio
?? Bank sebagai sponsor ?? Batas tanggung jawab bank ?? Larangan bank sebagai penjamin reksadana ?? Larangan bank sebagai stand-by buyer ?? Masalah liquidity back-up ?? Konsolidasi risiko apabila manajer investasi bagian dari bank
Jenis reksadana yang dijual oleh bank Reksadana yang dijual melalui distribusi perbankan biasanya dilakukan dalam dua bentuk. Bentuk pertama, bank menjual produk reksadana yang bersifat independen yang juga dijual sendiri oleh manajer investasi atau melalui agen penjual lain. Dalam bentuk seperti ini tidak ada exclusif product yang khusus hanya boleh dijual oleh bank tersebut sehingga pada umumnya bank penjual reksadana tersebut tidak ikut serta menjadi sponsor dalam penerbitan reksadana. Dengan demikian, bank hanya mendapatkan komisi dari manajer investasi sebesar jumlah yang berhasil dijual oleh bank tersebut. Bentuk yang kedua adalah reksadana yang dijual secara khusus oleh bank tersebut (exclusif product) sehingga investor yang ingin membeli produk reksadana tersebut harus melalui bank yang menerbitkannya. Produk reksadana yang bersifat khusus tersebut, pada umumnya memiliki features tersendiri, antara lain biasanya memakai nama bank dalam reksadana tersebut, portofolio reksadana yang dijual
4
menggunakan obligasi rekap yang dimiliki atau atau dijual oleh bank, bank ikut serta sebagai sponsor dan dalam beberapa kasus produk reksadana tersebut dicampur menjadi produk invetasi yang dikeluarkan oleh bank (product mix).
Sponsor Sesuai dengan ketentuan Bapepam, dalam hal penerbitan produk reksadana baru, bank dimungkinkan untuk menjadi sponsor reksadana minimal 1% dari total nilai reksadana yang akan diterbitkan. Apabila bank bertindak sebagai sponsor berarti bank harus memperhatikan faktor kecukupan modalnya karena bank harus menyediakan dana tunai guna disetorkan dalam portofolio reksadana yang dibentuk oleh manajer investasi tersebut. Semakin besar nilai obligasi yang akan diterbitkan, semakin besar pula dana yang harus disetorkan untuk sponsor, sehingga bagi bank-bank kecil atau mereka yang memiliki modal nominal kecil harus benar-benar memperhitungkan faktor kecukupan modalnya agar tetap memiliki capital adequacy ratio (CAR) diatas 8%. Selain faktor kecukupan modal, bank juga tidak diperbolehkan untuk menjadi sponsor produk reksadana yang underlying assets-nya berupa saham karena sampai saat ini Bank Indonesia masih melarang bank untuk melakukan transaksi jual beli saham.
Tidak ada jaminan “return” tertentu Semangat investasi pada reksadana adalah market-based retun yang berarti mekanisme pasarlah yang akan menentukan besar kecilnya rate of return yang akan diperoleh oleh seorang investor. Investor harus sadar dan mengetahui bahwa investasi yang ditanamkannya pada reksadana akan berfluktuasi sesuai dengan perkembangan pasar sehingga uang yang telah disetorkan tersebut juga dapat berkurang. Perubahan suku bunga atau perubahan nilai tukar yang terjadi dapat mempengaruhi rate of return yang akan diperoleh oleh investor. Apabila underlying assets dari reksadana tersebut berupa obligasi dengan suku bunga tetap, maka penurunan suku bunga akan menaikkan rate of return yang diterima investor dan begitu juga sebaliknya apabila suku bunga mengalami kenaikan maka keuntungan yang diperoleh menjadi berkurang. Dengan mekanisme seperti ini reksadana tidak bisa dipastikan berapa rate of return– nya
dan oleh karenanya bank-bank yang menjual reksadana juga dilarang memberikan
5
jaminan rate of return tertentu kepada investor yang membelinya. Apabila reksadana ingin memberikan rate of return yang bersifat tetap maka hal tersebut harus didasarkan atas struktur portofolionya, kalau
rate of return dari portofolio tersebut bersifat market
mechanism maka hasil yang diperoleh juga didasarkan atas market return. Saat ini kita masih belum memiliki pasar dan instrumen derivatif yang bagus sehingga dapat menunjang tersedianya reksadana dengan guaranted rate of return seperti halnya di Hongkong. Dengan melihat kondisi seperti ini bank akan menghadapi kesulitan apabila ikut serta menjamin rate of return yang akan diberikan kepada investor pembeli reksadana. Sebagai contoh, apabila bank menjamin rate of return pada level tertentu untuk reksadana berbasis obligasi dengan bunga tetap, katankanlah 12% dan ternyata kemudian suku bunga mengalami kenaikan yang cukup besar, maka rate of return dari reksadana tersebut akan menurun dan bisa dibawah 12%. Konsekuensinya, bank harus mampu membayar selisihnya sesuai dengan rate of return yang telah dijanjikan kepada investor reksadana. Dengan cara seperti ini, bank tidak hanya terekspos dengan market risk yang cukup besar tetapi juga dapat mengalami liquidity risk yang membahayakan kondisi keuangan bank tersebut.
Larangan buy-back portofolio reksadana Sebagian besar obligasi rekap yang dipergunakan sebagai underlying assets untuk portofolio reksadana ternyata hampir seluruhnya berasal dari bank-bank yang menjadi agen penjualnya, khususnya bank-bank rekap. Bank rekap sebagai pemilik obligasi rekap harus menjual secara putus (outright) obligasi tersebut kepada manajer investasi tanpa ada kewajiban membeli kembali oleh bank penjualnya pada saat terjadi penarikan (redemption) reksadana atau pada saat obligasi tersebut jatuh waktu (maturity). Dengan kondisi seperti ini berarti bank juga tidak boleh menjadi stand-by buyer yang bersifat mandatory untuk membeli portofolio aset reksadana. Alasan bank tidak diperkenankan membeli kembali portofolio aset reksadana khususnya obligasi rekap adalah bank yang terikat untuk melakukan buy back akan memiliki liquidity risk yang sangat tinggi dalam hal terjadi redemption besar-besaran yang terjadi secara bersamaan. Apabila bank wajib menjadi stand-by buyer berarti bank harus menyediakan dana yang cukup besar setiap saat yang akan dialokasikan untuk membeli kembali obligasi yang dijual oleh manajer investasi. Keadaan seperti ini akan membahayakan likuiditas bank yang bersangkutan, karena apabila tidak mampu bank tersebut harus mencari
6
pinjaman lain untuk menutup kekurangannya. Namun demikian, bank memiliki hak untuk membeli kembali obligasi rekap yang dijualnya kepada manajer investasi sesuai dengan mekanisme pasar seperti halnya dengan pembeli-pembeli lainnya. Dengan demikian apabila terjadi redemption, manajer investasi dapat menjual portofolio aset reksadana tersebut kepada siapa saja tanpa adanya kewajiban dari bank penjualnya untuk membeli kembali.
Tranparansi dan kejelasan Transparansi dan kejelasan kepada calon investor reksadana yang umumnya nasabah bank itu sendiri harus dijunjung tinggi. Nasabah perlu dijelaskan bahwa produk reksadana tersebut bukan merupakan produk bank melainkan suatu produk investasi yang diatur dengan ketentuan pasar modal. Satu hal penting yang perlu disampaikan kepada calon investor reksadana yang membeli lewat bank adalah reksadana tidak sama dengan simpanan deposito. Investasi yang dilakukan oleh nasabah dengan membeli reksadana tidak termasuk dalam program penjaminan pemerintah (blanket guarantee) sebagaimana yang diberikan oleh pemerintah
untuk simpanan pihak ketiga di bank. Selain itu, bank dalam melakukan
penjualan reksadana kepada nasabahnya harus jelas-jelas menegaskan bahwa risiko dalam berinvestasi pada reksadana tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh investor sendiri. Peran bank hanya sebagai penjual saja dan sebaliknya peran manajer investasi hanya sebagai pengelola portofolio aset reksadana. Naik turunnya rate of return akan sesuai dengan mekanisme pasar (market risk) sehingga bank tidak bertanggung jawa dan tidak memberikan jaminan berapa tingkat pengembalian yang akan diterima oleh investor nantinya. Oleh karena itu edukasi kepada calon investor reksadana mutlak harus diberikan oleh petugas bank yang menjualnya sehingga bank akan terhindar dari risiko reputasi (reputational risk) maupun risiko hukum (legal risk) apabila tejadi tuntutan dari investor kepada bank di kemudian hari.
Hubungan bank dengan manajer investasi Mekanisme penjualan reksadana yang melibatkan bank sebagai agen penjual telah memunculkan hubungan baru antara perbankan dengan para manajer investasi. Untuk itu bank harus melakukan seleksi (due diligence) untuk memilih manajer investasi yang bagus dari sisi kinerja maupun reputasinya sehingga
kerjasama antara bank dengan manajer
7
investasi tersebut tidak akan merugikan bank penjual reksadana. Dalam hal manajer investasi itu adalah anak perusahaan (subsidiary atau affiliated party) dari bank penjual reksadana maka kerjasama diantara mereka harus transparan. Dalam praktek sering dijumpai bank sebagai penjual reksadana melakukan penjualan reksadana yang bersifat exclusif (exclusif product) dengan manajer investasi yang merupakan pihak terkait dari bank tersebut. Reksadana yang bersifat exclusif dan diterbitkan oleh subsidiary bank tersebut biasanya menggunakan obligasi rekap sebagai underlying assets-nya. Dengan demikian, penjualan obligasi rekap dari bank kepada manajer investasi yang merupakan anak perusahaan dari bank tersebut tetap harus dilakukan secara transparan. Transparansi penjualan obligasi rekap diantara mereka harus didasarkan pada prinsip marked-to-market sehingga dapat dihindari pembentukan harga jual obligasi rekap yang merugikan atau menguntungkan salah satu pihak. Keadaan ini kemungkinan dapat terjadi dengan menurunkan harga obligasi rekap sehingga akan menguntungkan manajer investasi sebagai pembeli.
Konsolidasi risiko Pengelolaan reksadana yang dilakukan oleh manajer investasi dapat menghasilkan suatu keuntungan atau kerugian bagi manajer investasi tersebut sebagaimana dengan kegiatan usaha yang dilakukan oleh suatu badan usaha lain. Kerugian atau risiko yang dialami oleh manajer investasi yang merupakan affiliated party dari bank penjual reksadana nantinya akan menjadi tanggungan perusahaan induknya. Oleh karena itu, bank yang melakukan penjualan reksadana yang dikelola oleh anak perusahaannya sebagai manajer investasi harus memperhatikan segala faktor risiko yang dihadapi oleh anak perusahaan tersebut. Dengan demikian, bagi bank yang melibatkan anak perusahaan sebagai manajer investasi dalam penjualan reksadana maka bank tersebut harus memperhatikan konsolidasi risiko keseluruhan baik risiko dari bank itu sendiri maupun risiko yang dihadapi subsidiary. Dalam praktek, bank yang melakukan penjualan reksadana yang berasal dari anak perusahaannya harus dilakukan secara berhati-hati sesuai dengan kemampuan bank tersebut mengendalikan risiko yang mungkin terjadi. Pendek kata, liquidity management untuk bank maupun subsidiary tersebut harus benar-benar diperhatikan dan dikelola dengan baik. Bank tidak seharusnya menjual reksadana terlalu ekspansif apabila nantinya tidak mampu mengontrol risiko yang akan terjadi pada anak perusahaan yang bertindak sebagai manajer investasi. Misalnya saja karena suatu sebab tertentu terjadi penarikan (redemption) reksadana secara besar-besaran
8
dalam waktu bersamaan, maka manajer investasi harus mampu menjual portofolio aset reksadana secara cepat untuk mendapatkan uang tunai guna membayar redemption tersebut. Apabila tidak ada pembeli yang mampu menyerap penjualan seluruh aset reksadana tersebut maka bank sebagai induk perusahaan dari manajer investasi harus ikut campur tangan untuk membeli aset-aset reksadana. Untuk itu, bank harus benar-benar memperhatikan kondisi dan kemampuan bank itu sendiri maupun subsidiary–nya khususnya dalam mengelola risiko apabila subsidiary tersebut bertindak sebagai manajer investasi.