Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8
PELAKSANAAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI SEKOLAH (STUDI DESKRIPTIF DI SMAN 1 PURWOKERTO) IMPLEMENTATION EDUCATION OF MULTICULTURAL IN SCHOOL (DESCRIPTIVE STUDY IN SMAN 1 PURWOKERTO) Wildan Nurul Fajar1, Banani Ma’mur2 1,2
Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Jl Raya Dukuh Waluh, PO BOX 202 Purwokerto 53182 Telp. (0281) 636751
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran secara faktual mengenai realitas pelaksanaan pendidikan multikultural di SMAN 1 Purwokerto. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini memperoleh beberapa hasil yaitu; 1) keberagaman yang terdapat di SMA Negeri 1 Purwokerto merupakan suatu modal keberagaman yang harus terus dibina melalui pelaksanaan pendidikan multikultural. 2) Persepsi warga sekolah terhadap pelaksanaan pendidikan multikultural akan sangat menentukan kesanggupan mereka untuk terlibat dan berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan pendidikan multikultural secara berkesinambungan. 3) Penerapan pendidikan multikultural di sekolah harus dapat melibatkan seluruh elemen sekolah dan dapat dilaksanakan melalui pengkondisian kebijakan sekolah yang mengarah pada penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif bagi terlaksananya pendidikan multikultural. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pendidikan multikultural sangat penting untuk dilaksanakan di sekolah baik melalui pembelajaran di kelas maupun diluar kelas dengan dukungan kebijakan dan seluruh elemen sekolah. Kata Kunci : Pendidikan Multikultural, Sekolah. ABSTRACT The objective of the research to description of the reality of the implementation of multicultural education at SMAN 1 Purwokerto. The Methodsis descriptive qualitative analytic approach.The results of studyshowed 1)The diversity contained in SMA Negeri 1 Purwokerto a diversity of sources that must be continuously developed through the implementation of multicultural education. 2) The perception of the school community on the implementation of multicultural education will be determine their ability to engage and participate actively in the implementation of multicultural education continuously. 3) The application of multicultural education in schools should be able to involve all elements of the school and can be implemented through the conditioning of school policies that led to the creation of a school environment that is conducive to the implementation of multicultural education.Multicultural education is very important to implemented in schools through both classroom and outside the classroom with the support of all elements of the policy and the school. Keywords : Multicultural Education, School. PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia.Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.Jumlah pulau di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar 13.000 pulau yang meliputi pulau besar dan kecil. Populasi
147
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 penduduknya mencapai lebih dari 200 juta jiwa, terdiri dari 300 suku bangsa yang menggunakan hampir 200 bahasa yang berbeda. Selain itu juga bangsa Indonesia menganut agama yang beragam seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu serta berbagai aliran kepercayaan lain (Yakin, 2005:3). Sejak zaman dahulu bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang majemuk.Hal ini tercermin dari semboyan “Bhinneka tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu.Kemajemukan yang ada terdiri atas keragaman suku bangsa, budaya, ras, dan bahasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa keanekaragaman yang ada pada bangsa Indonesia pada satu sisi dapat menjadi potensi Integrasi tetapi disisi lain dapat menyebabkan disintegrasi bangsa. Kerusuhan yang disebabkan permasalahan agama, perang antar kampung, tauran pelajar maupun perlakuan diskriminatif yang masih sering terjadi dalam masyarakat Indonesia merupakan benih-benih disintegrasi bangsa. Kondisi keberagaman masyarakat dan budaya, secara positif menggambarkan kekayaan potensi sebuah masyarakat yang bertipe pluralis, namun secara negatif orang merasa tidak nyaman karena tidak saling mengenal budaya orang lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekpresikan sebagai perasaan.Prasangka juga diarahkan kepada sebuah kelompok secara keseluruhan, atau kepada seseorang hanya karena itu adalah anggota kelompok tertentu. Dengan demikian, prasangka memiliki potensi dalam mengambinghitamkan orang lain melalui stereotipe, diskriminasi dan penciptaan jarak sosial (Bennet dan Janet, 1996). Pendidikan dibutuhkan untuk mengenalkan keragaman di negeri ini.Ini dikarenakan pendidikan menyediakan ruang bagi penanaman dan pengimplementasian nilai-nilai etika dan kebajikan. Pendidikan bukan hanya sekedar transfer knowledge tetapi juga transfer of value. Transfer of value dimaksudkan untuk pewarisan nilai-nilai etis-religius-humanis dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire ( Kiftiah, 2011), pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya.Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Sekolah merupakan lembaga yang tepat dalam membumikan pendidikan multikultural ditengahtengah kekhawatiran akan bahaya disintegrasi bangsa. Dalam pendidikan multikultural yang diselenggarakan disekolah, seluruh elemen sekolah memiliki peran yang cukup sentral. Seorang guru tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran yang diajarkan.Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa.Selain guru, kepala sekolah juga mempunyai peranan yang cukup vital dalam pendidikan multikultural dimana kebijakan-kebijakan yang dihasilkannya dapat menuntun kedalam suatu kondisi yang sangat menuntut pemahaman kepada perbedaan dan keragaman yang ada. Melalui pendidikan multikultural disekolah, subjek belajar dapat mencapai kesuksesan dalam mengurangi prasangka dan diskriminasi (Banks, 1996). Pada beberapa kondisi, sekolah belum mampu menerapkan pendidikan multikultural dengan seutuhnya. Wulandari (2013), dalam desertasinya menyimpulkan bahwa setelah menggali kehidupan di kedua sekolah dari perspektif pendidikan multikultural, baik kepala sekolah, guru, siswa, dan orangtua siswa diperoleh gambaran bahwa pihak-pihak tersebut pada dasarnya telah memiliki kesadaran dan pemahaman akan perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap orang. Pemikiran dan praktik kepala sekolah sudah sesuai dengan nilai-nilai multikultural, namun terdapat beberapa hal yang praktiknya tidak sesuai, diantaranya tidak menyediakan guru agama non-Katolik. Pemikiran dan praktik guru tentang pendidikan multikultural sudah sesuai, namun pemikiran siswa tidak sesuai dengan konsep pendidikan multikultural.Tetapi dalam kesehariannya keduanya telah mampu untuk menerapkan nilai-nilai multikultural dalam praktik kehidupan disekolah. Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran secara faktual mengenai realitas pelaksanaan pendidikan multikultural di SMAN 1 Purwokerto.
148
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian non experimetal yaitu deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif.Teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah teknik pengumpulan data kualitatif, yang meliputi studi dokumentasi, wawancara, dan observasi. Dalam penelitian ini analisis data terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Keberagaman berdasarkan Jenis Kelamin Kondisi keberagaman siswa berdasarkan jenis kelamin yang ada di SMA Negeri 1 Purwokerto pada setiap tingkatan semuanya didominasi oleh siswa perempuan. Pada kelas X terdapat 129 (seratus dua puluh sembilan) siswa berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 217 (dua ratus tujuh belas) siswa berjenis kelamin perempuan.Sedangkan di kelas XI terdapat 138 (seratus tiga puluh delapan) siswa berjenis kelamin laki-laki dan 179 (seratus tujuh puluh sembilan) siswa berjenis kelamin perempuan.Demikian pun pada kelas XII, siswa berjenis kelamin perempuan masih mendominasi dengan 217 (dua ratus tujuh belas) orang siswa sedangkan siswa laki-laki hanya 134 (seratus tiga puluh empat) orang saja.Dengan demikian, secara keseluruhan di SMA Negeri 1 Purwokerto terdapat 401 (empat ratus satu) siswa berjenis kelamin laki-laki dan 613 (enam ratus tiga belas) siswa berjenis kelamin perempuan. Kondisi Keberagaman Siswa berdasarkan Agama Kondisi keberagaman siswa berdasarkan Agama yang ada di SMA Negeri 1 Purwokerto dari enam agama yang diakui di Indonesia, lima diantaranya terdapat di SMA Negeri 1 Purwokerto. Persebarannya antara lain pada kelas X (sepuluh) ditemukan 1 (satu) siswa beragama hindu, 26 (dua puluh enam) siswa beragama protestan dan 21 (dua puluh satu) siswa beragama katolik serta 298 (dua ratus sembilan puluh delapan) siswa beragama Islam. Pada kelas XI, persebaran keberagaman siswa berdasar agama tidak jauh berbeda. Siswa muslim masih mendominasi dengan 267 (dua ratus enam puluh tujuh) siswa, sedangkan untuk siswa yang beragama protestan yaitu sebanyak 31 (tiga puluh satu) siswa, dan yang beragama katolik hanya 19 (sembilan belas) orang siswa.Selanjutnya, pada kelas XII ditemukan 2 (dua) siswa beragama budha, 23 (dua puluh tiga) siswa beragama protestan, 34 (tiga puluh empat) siswa beragama katolik dan 292 (dua ratus sembilan puluh dua) siswa beragama Islam.Persebaran keberagaman siswa pada masing-masing kelas tersebut dimaksudkan agar dapat mempermudah kelompok siswa yang seiman untuk mendapat mata pelajaran pendidikan agamanya dikarenakan terdapat kelas khusus bagi pendidikan agama tertentu. Kondisi Keberagaman Siswa berdasarkan Suku dan Etnis Kekayaan Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa juga sebagian dimiliki oleh SMA Negeri 1 Purwokerto dengan keberagaman siswanya yang berasal dari berbagai suku bangsa di Indonesia. Keberagaman tersebut antara lain 871 (delapan ratus tujuh puluh satu) siswa yang berasal dari suku jawa, 17 (tujuh belas) siswa berasal dari suku sunda, 4 (empat) orang siswa berasal dari suku betawi, 4 (empat) orang siswa berasal dari suku melayu dan 4 (empat) siswa lagi dari suku batak. Disamping itu ada 17 (tujuh belas) siswa lainnya yang berasal dari suku-suku lainnya di Indonesia seperti bali, minangkabau, ambon, sasak, padang, bangka, aceh, dayak, gorontalo, toraja dan minahasa.Disamping itu, ditambah dengan siswa-siswa dari etnis Tionghoa dan Arab juga terdapat di SMA Negeri 1 Purwokerto. Siswa dari etnis Tionghoa berjumlah 92 (sembilan puluh dua) orang siswa yang tersebar di kelas X, XI dan XII. Serta siswa dari etnis Arab berjumlah 6 (enam) orang siswa.Kondisi keberagaman yang ada di SMA Negeri 1 Purwokerto, merupakan imbas dari kondisi keberagaman yang ada di Purwokerto. Walaupun pada dasarnya kondisi keberagaman ini tidak seberagam seperti di sekolah yang terdapat pada kota besar, tetapi hal ini dapat dijadikan sebagai suatu modal keberagaman di sekolah yang harus terus dibina dan di pupuk melalui pelaksanaan pendidikan multikultural dalam rangka menanamkan kesadaran siswa mengenai keberagaman. Keberagaman yang dimiliki harus menjadi potensi integrasi dan menjauhkannya dari potensi disintegrasi.
149
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 Persepsi Kepala Sekolah, Guru dan Siswa Mengenai Pendidikan Multikultural di Sekolah Pendidikan multikultural oleh guru PKn diartikan sebagai pendidikan yang memperlakukan setiap siswa sama rata, tanpa memandang etnis, agama, suku dan lain-lain. Sedangkan Kepala Sekolah memberikan pernyataan bahwa pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang mengakomodir keberagaman.Sementara itu dari sudut pandang siswa dapat diperoleh informasi bahwa beberapa diantara siswa tidak mengetahui konsep pendidikan multikultural.Namun siswa lainnya sebagian besar menjawab bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang diberikan kepada siswa mengenai keberagaman yang ada seperti keberagaman agama, suku, etnis, jenis kelamin dan lain-lain. Terkait dengan pentingnya pendidikan multikultural, guru memberikan pernyataan bahwa dengan ideologi kita, yakni Pancasila dimana keberagaman merupakan hal yang menopang persatuan, maka di sekolah pun harus ditanamkan nilai-nilai tersebut.Disamping itu, pendidikan multikultural penting untuk dilaksanakan agar siswa mengerti dan memahami tentang keanekaragaman yang ada di Indonesia.Dengan keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia tidak menghalangi Indonesia untuk bersatu.Lebih lanjut disampaikan bahwa dengan pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah maka dapat dijadikan sebagai sarana untuk mengenalkan kekayaan bangsa Indonesia.Dari sudut pandang siswa diperoleh informasi bahwa siswa memandang penting untuk melaksanakan pendidikan multikultural. Alasan yang mendasarinya adalah bahwa pendidikan multikultural dapat memberikan pengenalan terhadap siswa atas budaya-budaya lain sehingga akan terpelihara rasa saling menghormati, menghargai, toleransi dan lain lain sehingga tidak akan terjadi disintegrasi bangsa. Pertanyaan lain yang diajukan adalah mengenai pentingnya pendidikan multikultural dilaksanakan di sekolah. Berbeda dengan pernyataan sebelumnya yang menekankan pada pentingnya pendidikan multikultural secara umum, maka dalam pertanyaan ini penekanan adalah pada pentingnya pendidikan multikultural dilaksanakan disekolah. Menurut pendapat kepala sekolah, pendidikan multikultural harus dilaksanakan di sekolah meskipun tidak ada mata pelajaran khusus mengenai pendidikan multikultural, tapi nilai-nilainya terintegrasi dengan mata pelajaran yang sudah ada.Menurut sudut pandang guru, pendidikan multikultural wajib untuk dilaksanakan disekolah, karena itu merupakan amanat Ideologi.Jika kita tidak memaknainya utamanya sila ketiga, maka Indonesia bisa terpecah belah secara keseluruhan. Lebih lanjut disampaikan bahwa pelaksanaan pendidikan multikultural bukan hanya PKn saja yang harus memberikan pendidikan tersebut, tetapi juga mata pelajaran lainnya dituntut untuk melaksanakan pendidikan multikultural di sekolah baik secara tersurat maupun tersirat.Sama halnya dengan pendapat kepala sekolah maupun guru, siswa pun memberikan pendapat bahwa dengan ideologi Pancasila yang mengajarkan rasa saling menghormati dan menghargai, maka pendidikan multikultural harus dilaksanakan di sekolah. Merespon pertanyaan yang diajukan dalam wawancara mengenai siapa yang harusnya terlibat dalam pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah, kepala sekolah maupun guru memberikan jawaban bahwa semua unsur dalam sekolah harus terlibat.Mulai dari siswa, guru, pimpinan di sekolah, orang tua, pegawai tata usaha sampai satpam dan petugas kebersihan pun harus ikut serta dalam pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah. Lebih lanjut disampaikan oleh guru PKn, seperti siswa dalam pergaulan sehari-hari di sekolah dengan teman-temannya yang lain jangan sampai ada rasa ke-akuan yang membeda-bedakan diantara mereka. Guru dalam menjalankan tugasnya jangan pernah menyinggung hal-hal yang sangat sensitif. Bukan hanya guru PKn atau Agama saja yang punya tanggung jawab tersebut melainkan semua guru, bahkan Tata Usaha dan pendukung kegiatan sekolah lainnya pun harus terlibatSementara itu, siswa berpendapat bahwa semua pihak terkait yang ada di sekolah, seperti Guru sebagai pihak yang memberikan pemahaman multikultural kepada siswa, dan siswa sebagai pihak yang melaksanakan pendidikan multikultural, sampai pada orang tua harus dapat mendukung terwujudnya lingkungan sekolah yang kondusif dalam melaksanakan pendidikan multikultural. Dalam kajian ini, persepsi warga sekolah yaitu siswa, guru, maupun kepala sekolah terhadap pelaksanaan pendidikan multikultural di SMA Negeri 1 Purwokerto, tidak hanya dilihat sebagai proses penerimaan stimulus dari luar dirinya, tetapi juga sikap batin yang mengarahkan seseorang mampu melihat hakekat yang terdalam dari urgensi pelaksanaan pendidikan multikultural di SMA Negeri 1 Purwokerto.
150
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 Persepsi positif siswa, guru dan kepala sekolah terhadap pelaksanaan pendidikan multikultural di SMA Negeri 1 Purwokerto, akan sangat menentukan kesanggupan mereka untuk terlibat dan berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan pendidikan multikultural di SMA Negeri 1 Purwokerto secara berkesinambungan. Terlebih kepala sekolah yang memiliki kewenangan disekolah untuk dapat memformulasikan bagaimana pelaksanaan pendidikan multikultural dan juga guru yang dapat mengimplementasikan pendidikan multikultural terutama pada tataran pembelajaran, akan membawa dampak pada seberapa optimal pendidikan multikultural dapat dilaksanakan di sekolah. Jika warga sekolah memiliki persepsi negatif dan menganggap tidak penting terhadap pelaksanaan pendidikan multikultural, maka mustahil pendidikan multikultural dapat dilaksanakan di sekolah tersebut. Sebaliknya jika warga sekolah memandang bahwa pendidikan multikultural baik dan penting serta mendesak untuk dilaksanakan disekolah maka hal tersebut akan mendorong pada terkondisikannya sebuah sekolah yang didalamnya kondusif untuk melaksanakan pendidikan multikultural. Misalnya persepsi kepala sekolah terhadap konsep pendidikan multikultural. Jika kepala sekolah memandang salah terhadap arti pendidikan multikultural, maka konsep yang dibuat oleh sekolah kaitannya dengan pelaksanaan pendidikan multikulturalpun akan keliru dan tidak akan tepat sasaran. Kesalahan persepsi dan pemahaman mengenai apa itu nilai-nilai multikultural dapat menjadi hambatan tersendiri dalam implementasi pendidikan multikultural. Namun jika kepala sekolah memahami pemahaman yang benar tentang konsep pendidikan multikultural, maka dapat dipastikan bahwa hal ini akan memudahkannya dalam merangcang sebuah desain pendidikan multikultural yang tepat untuk dilaksanakan di sekolah serta memudahkannya dalam mengimplementasikan desain tersebut. Penerapan Pendidikan Multikultural di Sekolah Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh informasi mengenai hal-hal apa saja yang telah dilaksanakan oleh sekolah dalam rangka pelaksanaan pendidikan multikultural. Menurut kepala sekolah ketika menjalankan peran sebagai kepala, selama ini dalam setiap kesempatan dirinya selalu memberikan himbauan-himbauan kepada siswa, guru, wali murid dan pendukung kegiatan belajar lainnya agar tidak menjadikan keberagaman yang ada di SMA Negeri 1 Purwokerto sebagai penghalang maupun sumber perpecahan di sekolah. Menurut guru bahwa selama ini SMAN 1 Purwokerto sudah memfasilitasi keberagaman yang ada diantaranya dengan menyediakan fasilitas kesenian dari daerah-daerah siswa.Selain itu pihak sekolahpun telah menyediakan guru Agama yang sesuai dengan keyakinan siswa beserta kelas khusus untuk pelajaran Agama tersebut. Lebih lanjut disampaikan bahwa ketika pada hari-hari besar keagamaan jika ada sekelompok siswa yang menginginkan diadakan perayaan hari besar keagamaan maka pihak sekolah akan memfasilitasinya. Sedangkan penerapan pendidikan multikultural di dalam pembelajaran, setiap guru selalu memberi kesempatan yang sama bagi semua siswa untuk berperan aktif di kelas tanpa membedabedakan latar belakang suku, ras, gender maupun agama. Menurut siswa selama ini pihak sekolah telah memfasilitasi pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah.Hal yang dilakukan oleh sekolah adalah dengan tidak membeda-bedakan siswanya, memberikan wadah dalam aspirasi kerohanian sesuai agama masing masing, menyediakan kelas khusus pendidikan agama, dan mengatur penyebaran kelompok siswa minoritas supaya merata di setiap kelas.Hal ini memang terlihat ketika peneliti melaksanakan observasi.Ketika melaksanakan observasi peneliti melihat pengkondisian kelas didasarkan pada penyebaran siswa berdasarkan keanekaragaman, baik keanekaragaman suku, etnis, jenis kelamin, maupun agama.Artinya tidak ada kelas yang khusus diisi oleh satu kelompok agama saja ataupun suku bangsa saja.Selain itu peneliti pun menemukan data bahwa ada jadwal khusus yang diperuntukan bagi pelaksanaan pembelajaran agama yang bukan menjadi mayoritas disekolah tersebut.Misalnya saja mata pelajaran agama katolik maupun protestan yang dikhususkan jadwalnya.Hal ini menjadi suatu pertanda bahwa pihak sekolah sudah mengakomodir hak siswa untuk mendapatkan pembinaan kerohanian berdasarkan agama yang dianut masing-masing. Salah satu langkah penting dalam pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah yaitu pihak sekolah pada awal tahun pembelajaran melakukan proses identifikasi terhadap karakteristik keberagaman siswa baik dari ditinjau dari perbedaan suku bangsa, etnis, jenis kelamin maupun agama. Hal ini cukup penting untuk dilakukan agar dapat memberikan gambaran kepada pihak sekolah mengenai strategi
151
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 pendidikan multikultural seperti apa yang akan dilaksanakan di sekolah. Di SMA Negeri 1 Purwokerto proses identifikasi diawal tahun pembelajaran kepada siswa, baru sebatas pada keanekaragaman jenis kelamin dan agama. Menurut kepala sekolah selama ini pihak sekolah mendapatkan data tersebut dari rekapitulasi identitas siswa baru yang diisi oleh setiap siswa ketika mendaftar masuk sekolah.Namun mengenai keberagaman siswa berdasarkan suku bangsa dan etnis sampai dengan sekarang belum mempunyai data base-nya. Sementara menurut guru proses identifikasi terkait keberagaman siswa tidak dilakukan di awal tahun pelajaran kepada siswa baru. Tetapi pada dasarnya pihak sekolah telah mendapatkan informasi mengenai keberagaman siswa itu dari data siswa yang dimiliki sekolah.Ditambah lagi dalam menyebar siswa di kelas telah diatur agar dapat mengakomodir keberagaman yang ada. Guru mencontohkan, di kelas Mia 1 dan 2 Islam dicampur Katolik, Mia 3 dan 4 Islam dibaurkan dengan Kristen. Berdasarkan observasi yang dilakukan memang telah tampak pembagian kelas berdasarkan latar belakang agama yang dianut siswa.Itu terbukti dalam satu kelas terdapat siswa yang memiliki latar belakang agama yang berbeda. Namun ketika peneliti mencoba meminta data mengenai kondisi keanekaragaman siswa, pihak sekolah menjawab bahwa selama ini pihak sekolah belum memiliki data tersebut sehingga untuk mendapatkan data mengenai kondisi keberagaman siswa berdasarkan agama, jenis kelamin, maupun suku bangsa atau etnik peneliti harus melakukan pendataan sendiri dari kelas ke kelas. Terkait dengan usaha sekolah untuk memfasilitasi kelompok siswa untuk berinteraksi dengan seluruh siswa yang berbeda etnis dan agama dalam upaya menciptakan budaya akademik di sekolah, Kepala Sekolah memberikan pernyataan bahwa sekolah sudah melakukan apa yang bisa sekolah lakukan dan berikan, seperti menyediakan guru agama yang sesuai dengan agama siswa, selain itu ruangan khusus pendidikan agama mereka pun disediakan demi kenyamanan siswa. Disamping itu, sekolah membentuk wadah untuk kelompok siswa berkegiatan keagamaan juga.Sementara itu dari wawancara yang dilakukan dengan guru diperoleh informasi bahwa selama ini sekolah selalu membuat kegiatan yang melibatkan seluruh siswa tanpa membeda-bedakan latar belakang jenis kelamin, suku bangsa, etnis maupun agama, seperti kegiatan perlombaan antar kelas setelah ujian semester dilakukan. Kegiatan lainnya adalah melakukan kegiatan wisata atau study tour pada setiap tahunnya. Disampaikan oleh guru bahwa hal ini merupakan suatu upaya yang bertujuan untuk membaurkan seluruh siswa agar latar belakang suku bangsa, etnis, jenis kelamin, maupun agama tidak menjadi penghambat mereka dalam bergaul. Berdasarkan observasi yang dilakukan, peneliti melihat bahwa dalam pergauan sehar-hari di dalam sekolah tidak nampak ada pengelompokan siswa berdasarkan jenis kelamin, suku bangsa, maupun agama.Seluruh siswa dapat berbaur dengan siswa lainnya tanpa memandang perbedaan diantara mereka. Ketika dikonfirmasi kepada perwakilan siswa, mereka memberikan pernyataan bahwa selama ini mereka dibiasakan untuk berbaur dengan siswa lainnya melalui kegiatan-kegiatan yang difasilitiasi oleh sekolah termasuk oleh guru di dalam kelas sehingga satu sama lain tidak canggung lagi untuk bergaul dalam keseharian. Terkait dengan program khusus yang dibuat dalam rangka pelaksanaan pendidikan multikultural, berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan kepala sekolah diperoleh keterangan bahwa selama ini tidak ada program khusus yang dibuat.Kegiatan pelaksanaan pendidikan multikultural di SMA Negeri 1 Purwokerto sudah terintegrasi dalam pergaulan sekolah, sehingga tidak perlu kegiatan khusus untuk melaksanakan pendidikan multikultural.Namun disampaikan oleh guru bahwa Pendidikan kewarganegaraan merupakan program khusus yang dipersiapkan oleh kurikulum dalam rangka memberikan kesadaran mengenai keberagaman. PKn merupakan benteng pertama dalam pendidikan multikultural, meskipun nilai-nilai multikultural ada di semua mata pelajaran namun tetap motor penggeraknya adalah PPKn. Pernyataan yang sama disampaikan oleh siswa bahwa PPKn disebut-sebut sebagai mata pelajaran yang memberikan pemahaman kepada siswa mengenai pendidikan multikultural, terkait toleransi, tenggang rasa, saling menghormati dan menghargai dan lain-lain. Namun siswa menambahkan bahwa selain PKn, Pendidikan Agama dan Sosiologi merupakan mata pelajaran yang memiliki muatan pendidikan multikultural.
152
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 Terkait dengan tindakan diskriminatif yang dilakukan sekolah dalam kaitan dengan keberagaman, siswa menyatakan bahwa selama ini tidak pernah ditemukan tindakan diskriminatif terkait keberagaman yang ada di SMA Negeri 1 Purwokerto, jika pun ada hal itu hanya merupakan gurauan antar siswa saja yang saling dimaklumi dan tidak menyinggung siswa yang lain. Menurut kepala sekolah dan guru bahwa tindakan diskriminatif yang mengatas namakan perbedaan siswa harus dihilangkan dari sekolah.Tidak ada alasan bagi sekolah untuk melakukan tindakan diskriminatif terhadap siswanya. Menurut hasil observasi yang dilakukan di SMA Negeri 1 Purwokerto, selama melakukan penelitian tim peneliti belum pernah mendapati tindakan-tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh sekolah kepada siswa. Mengenai pengambilan kebijakan yang dibuat oleh sekolah, kepala sekolah menjelaskan bahwa pada dasarnya pengambilan kebijakan yang selama ini dilakukan oleh sekolah selalu didasari pada kondisi sekolah, siswa dan guru. Seperti misalnya penerimaan siswa baru, sekolah tidak menentukan agama, suku atau etnis apa yang boleh dan tidak boleh bergabung bersama SMA 1 Purwokerto tapi siswa siswa yang memang memenuhi persyaratan akademiklah yang bisa bergabung bersama kami. Terkait dengan pengaturan tempat duduk siswa ketika pelaksanaan pembelajaran, melalui wawancara yang dilakukan dengan guru, diperoleh pernyataan bahwa hal ini tidak diatur oleh guru.Siswa diberikan kebebasan untuk mengatur tempat duduknya sendiri.Namun terkait dengan pembagian kelompok dalam kelas, guru biasanya memberikan kriteria pembagian kelompok pada siswa sesuai dengan kebutuhan kelompoknya.Atau juga sengaja membuat kelompok yang didalamnya memenuhi unsur keragaman.Menurut guru hal ini dilakukan karena dalam pembelajaran biasanya ada kelompok siswa yang kurang bersosialisasi akibat merasa kelompoknya minoritas.Siswa memiliki kecenderungan untuk memilih teman-teman dekatnya saja dalam membuat kelompok, sehingga perlu ditentukan kriteria dalam setiap kelompok, bahwa tiap kelompok harus mengakomodasi keberagaman kelas yang ada. Tapi hal ini juga tidak dilakukan oleh semua guru karena sebagian guru menentukan pembagian kelompok didasari atas materi yang akan disampaikan, bukan atas keberagaman siswa. Berdasarkan observasi yang dilakukan pada pembelajaran, memang pada dasarnya guru tidak melakukan pengaturan seorang siswa harus duduk dimana dan dengan siapa ia duduk. Hanya saja pada saat pembagian kelompok guru membagi kelompok berdasarkan keanekaragaman siswa.Karena pada saat itu pengkajian materi membutuhkan keanekaragaman siswa pada setiap kelompoknya.selain itu harapannya untuk membiasakan siswa untuk berbaur dengan teman lainnya. Jangan sampai siswa hanya mengelompokan diri dengan teman yang hanya itu-itu saja. Sementara itu terkait dengan pemberiaan pemahaman oleh guru kepada siswa tentang pentingnya suatu keberagaman, melalui wawancara yang dilakukan dengan guru PKn diperoleh informasi bahwa guru biasanya memberikan penjelasan tentang keberagaman tidak selalu secara eksplisit dalam pembelajaran, kadang dimasukkan disela pembelajaran atau ketika sedang berinteraksi diluar kegiatan belajar mengajar. Hal ini dianggap wajar karena ketika peneliti mencoba mengkaji muatan kajian pada setiap materi yang diajarkan pada tingkat SMA, peneliti menemukan bahwa tidak setiap materi yang diajarkan memiliki keterikatan dengan bahasan mengenai keberagaman.Bahkan menurut guru PKn hanya Bab tentang Pancasila dan Bab mengenai Pendidikan HAM serta Hak dan Kewajiban Warga Negara saja yang didalamnya terkandung muatan tentang pendidikan multikultural. Namun pada materi-materi yang tidak terkait langsung dengan pendidikan multikultural, guru mencoba mengilustrasikan keberagaman budaya di masyarakat ketika menyampaikan suatu teori atau membuat kesimpulan. Contohnya budaya demokrasi dimana budaya-budaya berdemokrasi di Indonesia sangat beragam sehingga pemahaman akan keberagaman dibahas disitu. Lebih lanjut disampaikan oleh guru bahwa sebagai pengajar bukan hanya menyampaikan materi tapi juga membekali siswa agar memiliki wawasan kenegaraan sehingga perlu disisipkan pemahaman multikultural meski tidak berkorelasi dengan materi yang disampaikan. Kemudian terkait dengan bagaimana proses pembelajaran dilakukan agar dapat mengarah pada pendidikan multikultural. Menurut guru PKn sebaiknya guru berhati-hati dalam membawakan suatu pembahasan di kelas, supaya siswa yang dianggap minoritas tidak merasa tersinggung dengan apa yang disampaikan oleh guru. Berdoa dan salam sebelum belajar pun dilakukan sesuai dengan kenyamanan dari
153
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 masing-masning individu. Perlakuan terhadap siswa juga merata agar tidak terjadi kecemburuan diantara siswa. Memang pada saat melakukan observasipun peneliti melihat bahwa pengucapan salam dilakukan oleh guru dengan menggunakan bahasa nasional, misalnya selamat pagi atau selamat siang. Ketika menggunakan salam berdasarkan kebiasaan agamapun, semisal “Assalamu Alaikum” yang ditujukan kepada siswa muslim, guru tidak lupa mengucapkan “salam sejahtera untuk kita semua” yang ditujukan untuk siswa yang beragama Kristen. Terkait dengan metode pembelajaran seperti apakah yang tepat diterapkan dalam kaitannya dengan pengembangan kesadaran multikultural, guru menyatakan bahwa tidak ada metode yang secara khusus ditujukan untuk itu karena apapun metodenya bisa digunakan dalam pengembangan kesadaran multikultural asal harus variatif supaya siswa tidak bosan dengan suatu metode pembelajaran. Tetapi menurut guru jika pemilihan metode pembelajaran yang akan digunakan, ditentukan dengan mempertimbangkan karakteristik keberagaman siswa itu sangat baik sekali. Terkadang guru menyesuaikan metode pembelajaran dengan cara belajar siswa yang beragam. Guru memvariasikan metode dan model pembelajaran sehingga siswa yang beragam itu dapat tersentuh semua. Tidak melulu menggunakan suatu metode yang cocok dengan siswa yang sukanya mendengarkan, tapi juga harus menerapkan metode yang cocok dengan siswa yang lebih suka mencari sendiri. Selain itu pembelajaran pendidikan multikultural juga tidak hanya dilaksanakan di dalam kelas saja.Pendidikan multikultural bisa dilaksanakan diluar kelas seperti saling tolong menolong tanpa melihat perbedaan, saling menghargai, toleransi dan lain sebagainya. Disamping itu, kegiatan ekstrakulikuler juga dapat dijadikan wadah melaksanakan pendidikan multikultural seperti perayaan hari besar keagamaan yang dihormati oleh umat lain yang tidak merayakannya. Berdasarkan temuan-temuan penelitian yang didapatkan melalui wawancara, observasi, dan penelaahan dokumentasi, peneliti mencoba melakukan pembahasan mengenai hal apa saja yang dirasakan perlu untuk menjadi bahan perhatian dalam usaha untuk menjadikan sekolah sebagai wahana pendidikan multikultural. Pada dasarnya, pendidikan multikultural dikembangkan untuk mengakomodasi keberagaman budaya yang dimiliki oleh anak didik baik secara kelompok maupun individual.Untuk lebih memahami dan mendalami konsep pendidikan multikultural ini, perlu kiranya diperhatikan beberapa prinsip dasar dalam penerapan pendidikan multikultural di sekolah. Pertama, pendidikan multikultural adalah suatu proses yang didalamnya harus melalui tahapantahapan, sehingga pengembangan pendidikan multikultural pada dasarnya dilakukan dalam periode waktu yang cukup lama. Pembangunan kesadaran multikultural di sekolah merupakan bagian dari pembudayaan sehingga pemahaman mengenai pendidikan multikultural harus dapat diinternalisasi oleh seluruh warga sekolah dan pada akhirnya dapat diwujudkan dalam perilaku sehari-hari siswa. Proses internalisasi seperti ini membutuhkan waktu yang tidak singkat karena dibutuhkan pembiasaan. Kedua, pengembangan pendekatan multikultural dalam pendidikan hendaknya komprehensif, lengkap, dan melibatkan semua partisipan dalam komunitas sekolah.Dalam hal ini seluruh warga sekolah harus dapat terlibat dalam pendidikan multikultural. Kepala sekolah sebagai pemegang kebijakan, guru sebagai pendidik, dan siswa sebagai orang yang di didik, maupun elemen warga sekolah lain harus bahu membahu dalam terlaksananya proses pendidikan multikultural. Oleh karenanya komitmen warga sekolah rangka penciptaan lingkungan yang kondusif dan mendukung terhadap pelaksanaan pendidikan multikultural menjadi hal penting yang harus di bangun sejak awal oleh seluruh warga sekolah. Ketiga, perlunya diberikan pelatihan dan pendidikan bagi para staf, guru-guru, orang tua murid, dan komunitas pimpinan merupakan hal yang esensial dalam pendidikan multikultural.Pelatihan dan pendidikan yang dimaksud adalah untuk memberikan pemahaman mengenai pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah. Pelatihan dan pendidikan ini dapat dilakukan dengan mengundang pembicara yang kompeten ke sekolah untuk menjelaskan kepada seluruh warga sekolah mengenai apa itu pendidikan multikultural.
154
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 Keempat, pendidikan multikultural diawali dengan memperhatikan secara sungguh-sungguh tentang latar belakang murid yang terlibat dalam proses. Seperti disampaikan pada temuan hasil penelitian, bahwa pada dasarnya melakukan proses identifikasi terhadap karakteristik keberagaman siswa baik dari ditinjau dari perbedaan suku bangsa, etnis, jenis kelamin maupun agama pada setiap awal tahun pembelajaran menjadi salah satu langkah penting dalam pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah karena agar dapat memberikan gambaran kepada pihak sekolah mengenai strategi pendidikan multikultural seperti apa yang akan dilaksanakan di sekolah berdasarkan karakteristik keanekaragaman yang ada tersebut. Kelima, komponen pembelajaran pendidikan multikultural harus diintegrasikan secara teliti dalam kurikulum.Artinya pendidikan multikultural harus dimasukan dan menjadi bagian dalam kurikulum, baik berdiri sendiri dalam satu mata pelajaran yang khusus maupun terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran yang ada.Dalam hal ini pendidikan multikultural dapat menjadi bagian dari mata pelajaran PKn, matematika, agama, mata pelajaran dalam rumpun IPS dan IPA, maupun mata pelajaran lainnya.
Pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda suku bangsa/etnis atau agama secara langsung.Pelaksanaan pendidikan multikultural perlu dirancang dalam suatu pembelajaran yang bernuansa multikultural. Hal ini dapat dilakukan melalui lima tahapan utama, yaitu : Pertama, analisis isi yaitu proses untuk melakukan identifikasi, seleksi, dan penetapan materi pembelajaran. Proses ini bisa ditempuh dengan berpedoman atau menggunakan rambu-rambu materi yang ada, antara lain mengenai standar minimal materi yang harus disampaikan, urutan dan keluasan materi, kompetensi dasar yang dimiliki, serta ketrampilan yang akan dikembangkan. Kedua, analisis latar kultural yang dikembangkan dari pendekatan kultural dan siklus kehidupan.Di dalamnya mengandung dua konsep, yaitu konsep wilayah atau lingkungan (lokal, regional, nasional dan global); dan konsep manusia beserta aktivitasnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan.Selain itu, analisis latar juga mempertimbangkan nilai-nilai kultural yang tumbuh dan berkembang serta dijunjung tinggi oleh suatu masyarakat serta kemungkinan kemanfaatannya bagi kehidupan siswa. Ketiga, pemetaan materi pembelajaran yang berkaitan erat dengan prinsip yang harus dikembangkan dalam mengajarkan nilai dan moral, yaitu prinsip: dari yang mudah ke sukar; dari yang sederhana ke sulit; dari konkrit ke abstraks; dari lingkungan sempit/dekat menuju lingkungan yang meluas. Keempat, pengorganisasian materi pembelajaran dengan pendekatan multikultural yang dilakukan dengan memperhatikan prinsip “4 W dan 1 H”, yaitu: What (apa), Why (mengapa), When (kapan), Where (di mana) dan How (bagaimana). Dalam rancangan pembelajaran, kelima prinsip ini harus diwarnai oleh ciri-ciri pembelajaran multikultural, dalam menuju pelakonan nilai-moral yang berlandaskan pada asas empatisitas tinggi dan kejujuran serta saling menghargai keunggulan masing-masing. Kelima, menuangkannya ke dalam tahapan model atau pendekatan pembelajaran berbasis multikultural. Pendekatan yang bisa dipakai dalam proses pembelajaran di kelas multikultural adalah pendekatan kajian kelompok tunggal (Single Group Studies) dan pendekatan perspektif ganda (Multiple Perspektives Approach). Pendidikan multikultural dengan pendekatan kajian kelompok tunggal dirancang untuk membantu siswa dalam mempelajari pandangan-pandangan kelompok tertentu secara lebih mendalam.Sedangkan pendekatan perspektif ganda merupakan pendekatan yang terfokus pada isu tunggal yang dibahas dari berbagai perspektif kelompok-kelompok yang berbeda. Solusi yang dianggap baik oleh suatu kelompok, sering tidak dianggap baik oleh kelompok lainnya karena tidak cocok dengan nilai yang diikutinya. Keunggulan pendekatan perspektif ganda ini terletak pada proses berpikir kritis terhadap isu yang sedang dibahas sehingga mendorong siswa untuk menghilangkan prasangka buruk.
155
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 Selain prinsip-prinsip diatas ada hal penting lain yang peril diperhatikan dalam pelaksanaan pendidikan multikultutural. Banks (1996), mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan siswa, yaitu : Pertama, dimensi integrasi isi/materi (content integration).Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbedabeda. Secara khusus, guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural. Kedua, dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction).Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri. Ketiga, dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti.Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus.Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap perbedaan yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain. Keempat, dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar. Kelima, dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial sekolah yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah. Kelima dimensi tersebut akan menentukan keberhasilan pendidikan multikultural yang dilaksanakan di sekolah. Dimensi-dimensi pendidikan multikulutral itu akan mewarnai sistem pembelajaran dan pendidikan yang berlangsung di sekolah, baik yang terkait dengan susbtansi atau isi pendidikan atau kurikulum, metode, fasilitas termasuk media, maupun kerangka kerja pelibatan komponen-komponen sekolah. Oleh karena itu, jika pendidikan multikultural di sekolah ingin berhasil, maka semua komponen sekolah, terutama guru, hendaknya konsisten dalam mengimplementasikan lima dimensi secara simultan dan komprehensif dalam kegiatan kurikuler maupun ekstrakurikuler.
156
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 Untuk menjamin implementasi lima dimensi pendidikan multikultural secara konsisten dan komprehensif, perlu didukung dengan manajemen sekolah yang efektif sesuai dengan local culture sekolah dan masyarakat sekitarnya. Manajemen yang demikian dapat diakomodasi dengan menerapkan langkah-langkah dalam rangka pelaksanaan pendidikan multikultural kedalam kebijakan yang dibuat sekolah. Dalam hal pencapaian suatu tujuan diperlukan suatu perencanaan dan tindakan nyata untuk dapat mewujudkannya, secara umum bisa di katakan bahwa Visi dan Misi adalah suatu konsep perencanaan yang di sertai dengan tindakan sesuai dengan apa yang di rencanakan untuk mencapai suatu tujuan. Visi merupakan wawasan yang menjadi sumber arahan bagi sekolah dan digunakan untuk memandu perumusan misi sekolah. Visi yaitu gambaran masa depan yang diinginkan oleh sekolah, agar sekolah yang bersangkutan dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangannya. Bagi sekolah visi adalah imajinasi moral yang menggambarkan profil sekolah yang diinginkan di masa datang. Imajinasi ke depan seperti itu akan selalu diwarnai oleh peluang dan tantangan yang diyakini akan terjadi di masa datang. Penetapan visi harus didasari oleh landasan yuridis yaitu undang-undang pendidikan nasional dan sejumlah peraturan pemerintah. Dengan kata lain penetapan visi bisa berbeda untuk setiap sekolah tetapi harus tetap dalam koridor kebijakan pendidikan nasional dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik serta masyarakat yang dilayani. Misi adalah tindakan untuk mewujudkan atau merealisasikan visi. Misi dapat diartikan sebagai tindakan untuk memenuhi kepentingan masing-masing kelompok yang terkait dengan sekolah.Dalam merumuskan misi harus mempertimbangkan tugas pokok sekolah dan kelompok-kelompok kepentingan yang terkait dengan sekolah. Dengan kata lain misi merupakan bentuk layanan untuk memenuhi tuntutan yang dituangkan dalam visi dengan berbagai indikatornya. Penetapan visi dan misi yang didalamnya terkandung pendidikan multikultural menjadi hal yang sangat penting untuk menjadi dasar dan kerangka acuan dalam pelaksanaan pendidikan multikultural disekolah karena didalam visi dan misi tersebut terkandung beberapa kebijakan sekolah utama yang menjadi landasan absolut pelaksanaan pendidikan multikultural di sekolah yang berlaku bagi semua warga sekolah. Kelak visi dan misi tersebut akan diterjemahkan kedalam tujuan dan sasaran sekolah. Keduanya juga menjadi sangat penting dalam merealisasikan pendidikan multikultural di sekolah. Selain visi dan misi penting untuk mengakomodir pendidikan multicultural di sekolah dalam penjabaran program kerja sekolah.Program kerja adalah rancangan dasar tentang satu pekerjaan, mengenai panduan pelaksanaan, tenggang waktu, pembagian tugas tanggung jawab, fasilitas prasarana dan semua perihal penting mencakup semua unsur untuk keberhasilan program.Program kerja ini memiliki sifat menyeluruh, merangkum semua manfaat dari satu lembaga.Program kerja ini akan menjadi pegangan bagi organisasi dalam menjalankan rutinitas roda organisasi. Program kerja juga digunakan sebagai sarana untuk mewujudkan cita-cita organisasi. Dalam hal ini, program sekolah dapat disesuaikan dengan kekhasan kondisi, potensi daerah, sosial budaya masyarakat, potensi sekolah dan kebutuhan peserta didik. Penetapan program kerja sekolah yang didalamnya memuat pendidikan multikultural akan memudahkan sekolah menyusun apa saja kegiatan yang akan dilaksanakan dalam rangka implementasi pendidikan multikultural. Hal ini menjadi sangat penting karena jika kegiatan-kegiatan yang diarahkan pada pendidikan multikultural diakomodir dalam program kerja sekolah maka akan memudahkan pihak sekolah mengimplementasikannya dalam kegiatan sekolah. Selain itu pelaksanaan pendidikan multikultural tersebut akan mudah untuk disinkronisasikan dengan kegiatan lain dan dengan seluruh unitunit yang ada disekolah. Sebaliknya jika dalam program kerja sekolah tidak terdapat kegiatan yang diarahkan pada pengembangan pendidikan multikultural maka bisa dipastikan tidak akan ada realisasi apapun yang mengarah pada pendidikan multikultural. Selain itu sekolah juga harus memiliki budaya sekolah yang kondusif, yang dapat memberi ruang dan kesempatan bagi terlaksananya pendidikan multikultural. Pada dasarnya kualitas sebuah lembaga
157
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 pendidikan bisa dilihat dari sejauh mana keberhasilannya dalam meningkatkan kualitas mulai dari kultur organisasi atau institusi. Peran kultur di sekolah akan sangat mempengaruhi perubahan sikap maupun perilaku dari warga sekolah. Kultur sekolah yang positif akan menciptakan suasana kondusif bagi tercapainya visi dan misi sekolah, demikian sebaliknya kultur yang negatif akan membuat pencapaian visi dan misi sekolah mengalami banyak kendala. Pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Demikian pula dalam proses membangun kesadaran mengenai keberagaman, salah satu strateginya dapat dilakukan melalui proses pembudayaan di lingkungan sekolah atau melalui budaya sekolah. Kultur sekolah yang dibentuk oleh nilai-nilai multikulturalisme ini dapat direalisasikan melalui beberapa kegiatan seperti berikut : 1. Penyediaan rumah ibadah dan pendopo yang terletak di kawasan sekolah. 2. Perayaan hari-hari besar agama dan Malam Bhinneka Tunggal Ika. 3. Berdoa menurut agama dan kepercayaan masing-masing sebelum pelajaran pertama dimulai dan seusai pelajaran terakhir, atau meminta perwakilan siswa pada setiap agama untuk memimpin doa berdasarkan agamanya yang dilakukan secara bergiliran. 4. Pengaturan tempat duduk untuk interaksi dan pertukaran budaya yang optimal. Selain kegiatan formal di dalam kelas, kegiatan siswa mulai dari kegiatan intra-kurikuler dan ekstra-kurikuler juga harus direncanakan sedemikian rupa sehingga ajaran toleransi dan nilai-nilai terkait lainnya dapat juga dikembangkan dengan baik di luar kegiatan formal, seperti: klub olahraga, seni, musik, sains dan bahasa; radio keberagaman; simpul siswa; kegiatan keagamaan: pesantren kilat, retreat, dan lain-lain; dan seminar dan workshop. KESIMPULAN Merujuk pada hasil temuan dan pembahasan penelitian yang telah diuraikan terdahulu, maka dapat dirumuskan beberapa butir kesimpulan sebagai berikut. 1) Keberagaman yang terdapat di SMA Negeri 1 Purwokerto meliputi keberagaman suku bangsa, etnis, agama, maupun jenis kelamin. Walaupun pada dasarnya kondisi keberagaman ini tidak seberagam seperti di sekolah yang terdapat pada kota besar, tetapi hal ini dapat dijadikan sebagai suatu modal keberagaman di sekolah yang harus terus dibina dan dipupuk melalui pelaksanaan pendidikan multikultural dalam rangka menanamkan kesadaran siswa mengenai keberagaman. 2) Persepsi siswa, guru, kepala sekolah maupun elemen lainnya di SMA Negeri 1 Purwokerto terhadap pelaksanaan pendidikan multikultural, akan sangat menentukan kesanggupan mereka untuk terlibat dan berpartisipasi secara aktif dalam pelaksanaan pendidikan multikultural di SMA Negeri 1 Purwokerto secara berkesinambungan. Terlebih kepala sekolah yang memiliki kewenangan disekolah untuk dapat memformulasikan bagaimana pelaksanaan pendidikan multikultural dan juga guru yang dapat mengimplementasikan pendidikan multikultural terutama pada tataran pembelajaran, akan membawa dampak pada seberapa optimal pendidikan multikultural dapat dilaksanakan di sekolah. 3) Penerapan pendidikan multikultural disekolah dapat dilaksanakan melalui pembelajaran dikelas ataupun melalui pengkondisian kebijakan-kebijakan sekolah yang mengarah pada penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif bagi terlaksananya pendidikan multikultural. Yang terpenting pelaksanaan pendidikan multicultural harus dapat melibatkan dan mendapat dukungan dari seluruh elemen sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, siswa dan warga sekolah lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Banks, J. A., (1996). Multikultural Educatian: Historical Development, Dimentions and Practrice. In Review of Research in Education, vol. 19, edited by L. Darling- Hammond. Washington, D.C : American Educational Research Association. Bennet & Janet. (1996). Reading for Summer institute for intercultural Communication. Forest Grove, OR: SIIC
158
Seminar Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015 ISBN : 978-602-14930-3-8 Kiftiah, Paulo Freire dan Pemikirannya, dalam http://mariatulkiftiah.blogspot.com/2011/06/paulo-Freiredan-pemikirannya. html diakses pada 25 Oktober 2014. Wulandari. (2013). (http://pps.uny.ac.id/berita, diakses tanggal 25 Oktober 2014). Yaqin. M., (2005). Pendidikan multikultural: cross-cultural understanding untuk demokrasi dan keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.
159