PELAKSANAAN OUTSOURCING DALAM KAITANNYA DENGAN PERLINDUNGAN HAK PEKERJA Oleh : Retno Kusumayanti NPM : 5207220001 Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang begitu cepat telah membawa banyak perubahan di berbagai sektor, sehingga menimbulkan persaingan usaha yang begitu ketat disemua sektor usaha. Kondisi yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dirinya dengan tuntutan pasar yang memerlukan respon yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan kepada pelanggan. Perubahan di berbagai sektor tersebut juga menjadi sebagai salah satu penyebab terjadinya perubahan sosial, termasuk di bidang hukum ketenagakerjaan. Menurut Robert A. Nisbet dalam bukunya: Social Change and History., bahwa timbul perubahan di dalam susunan masyarakat salah satu disebabkan oleh munculnya golongan buruh. Pengertian hak milik yang semula mengatur hubungan yang langsung dan nyata antara pemilik dan barang juga mengalami perubahan karenanya. Sifat-sifat kepemilikan menjadi berubah, oleh karena sekarang “ barang siapa yang memiliki alat-alat produksi” bukan lagi hanya menguasai barang, tetapi juga menguasai nasib ribuan manusia yang hidup sebagai buruh. Dalam perspektif hukum, menurut Satjipto Rahardjo, bahwa: Pemilik barang hanya terikat kepada barangnya saja. Ia hanya mempunyai kekuasaan atas barang yang dimilikinya, tetapi apa yang semula merupakan penguasaan serta kontrol atas barang, atas pekerja upahan. Perubahan ini terjadi setelah barang itu berubah fungsinya menjadi kapital. Orang yang disebut sebagai pemilik, membebani orang lain dengan tugas-tugas, menjadikan orang itu sebagai sasaran dari perintahperintahnya dan setidak-tidaknya pada masa awal-awal kapitalisme mengawasi sendiri pelaksanaan dari perintah-perintahnya, sekarang bisa “memaksakan” kehendaknya kepada personae. Dari dua pernyataan di atas, akan mengingatkan kita kepada: pertama, jiwa dari Pembukaan UUD 1945 dan pasal 27 (2) UUD 1945. Kedua, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UUK). Dalam Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa: Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila. Kemudian dalam pasal 27(2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “. Dari amanat para pendiri Republik dapat kita pahami bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Kedua, UUK sebagai penjabaran dari UUD 1945 dan TAP MPR, telah mengatur perlindungan terhadap hak-hak pekerja, antara lain: 1. perlindungan PHK; 2. jamsostek; 3. upah yang layak dan tabungan pensiun. Dalam praktek outsourcing, hak-hak tersebut merupakan sesuatu sangatlah mahal untuk didapat oleh para pekerja
outsourcing. Karena status pekerja outsourcing adalah pekerja pada PT.A, tapi harus bekerja pada PT.B dengan waktu kerja: 6 bulan, 1 tahun atau 2 tahun. Sementara itu, Undang – undang Ketenagakerjaan belum menyebutkan secara tegas mengenai istilah dari outsourcing. Tetapi pengertian dari outsourcing ini sendiri dapat dilihat dalam ketentuan pasal 64 UUK ini, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, outsourcing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu. Outsourcing berasal dari kata out yang berarti keluar dan source yang berarti sumber. Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B. Outsourcing adalah alternatif dalam melakukan pekerjaan sendiri. Tetapi outsourcing tidak sekedar mengontrakkan secara biasa, tetapi jauh melebihi itu. Maurice F. Greaver II memberikan definisi outsourcing sebagai berikut : “Outsourcing is the act of transferring some of a company’s recurring internal activities and decision rights to outside provider, as set forth in a contract. Because the activities are recurring and a contract is used, outsourcing goes beyond the use of consultants. As a matter of practise, not only are the activities transferred, but the factor of production and decision rights often are, too. Factors of production are the resources that make the activities occur and include people, facilities, equipment, technology, and the other asset. Decision rights are the responsibility for making decisions over certain elements of the activities transferred.” Menurut Shreeveport Management Consultancy, outsourcing adalah “ The transfer to a third party of the continuous management responsibility for the provision of a service governed by a service level agreement “. Patut juga dikutip pendapat Rohi Senangun, bahwa pola perjanjian kerja dalam bentuk outsourcing secara umum adalah ada beberapa pekerjaan kemudian diserahkan ke perusahaan lain yang telah berbadan hukum, dimana perusahaan yang satu tidak berhubungan secara langsung dengan pekerja tetapi hanya kepada perusahaan penyalur atau pengerah tenaga kerja. Pendapat lain menyebutkan bahwa outsourcing adalah pemberian pekerjaan dari satu pihak kepada pihak lainnya dalam 2 (dua) bentuk,yaitu : 1. Mengerahkan dalam bentuk pekerjaan. Misalnya : PT. Pusri sebagai pemberi kerja, menyerahkan pekerjaanya kepada PT. HAR untuk melaksanakan pekerjaan pengantongan pupuk. 2. Pemberian pekerjaan oleh pihak I dalam bentuk jasa tenaga kerja.
Misalnya : PT. Jimmigo yang menyediakan jasa tenaga kerja yang ahli untuk dapat bekerja di PT. Conocophilips. Model outsourcing dapat dibandingkan dengan bentuk perjanjian pemborongan bangunan walaupun sesungguhnya tidak sama. Perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan sistem kontrak biasa sedangkan outsourcing sendiri bukanlah suatu kontrak. Pekerja/buruh dalam perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan pekerja harian lepas seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja NR : PER . 06 / MEN / 1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas PHL). PHL adalah pekerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan dapat berubah-ubah dalam hal waktu maupun volume pekerjaan dengan menerima upah yang didasarkan atas kehadiran pekerja secara harian. Sebagai contoh adalah kuli panggul yang mengangkat barang di pelabuhan Tanjung Priok. Perjanjian pemborongan bangunan akan berakhir antara pengusaha dengan pekerja apabila obyek perjanjian telah selesai dikerjakan. Misalnya pembangunan jembatan, dalam hal jembatan telah selesai maka masa bekerjanya pun menjadi berakhir kecuali jembatan tersebut belum selesai dikerjakan. Sedangkan dalam outsourcing masa bekerja akan berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati antara pengusaha dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Ditinjau dari segi pengusaha adanya pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa tenaga kerja, menguntungkan karena pengusaha dapat mengkonsentrasikan pemikirannya untuk menangani core bisnisnya sedangkan pekerjaan-pekerjaan penunjang dapat diserahkan kepada pemborong. Dengan demikian pengusaha tidak perlu memiliki organisasi yang besar dengan jumlah tenaga kerja yang banyak. Demikian juga permasalahan ketenagakerjaan dapat dieliminir dengan adanya perusahaan lain yang menangani pekerjaan penunjang, dimana hubungan kerja pekerja langsung ditangani pemborong atau penyedia jasa tenaga kerja. Ditinjau dari segi kepentingan pekerja, adanya pekerjaan pemborongan atau penyedia jasa tenaga kerja perlu adanya ketegasan hubungan kerja yang jelas sehingga pemenuhan hak-hak pekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan jelas penanggungjawabnya. Untuk itu pekerja harus diikat dengan perjanjian kerja dengan perusahaan yang memperkerjakannya. Hal ini penting karena dalam beberapa tahun terakhir ini pelaksanaan outsourcing banyak dilakukan dengan sengaja untuk menekan biaya pekerja (labor cost) dengan perlindungan dan syarat kerja yang diberikan jauh dibawah dari yang seharusnya diberikan sehingga sangat merugikan pekerja. Pelaksanaan outsourcing yang demikian dapat menimbulkan keresahan pekerja dan tidak jarang diikuti dengan tindakan mogok kerja, sehingga maksud diadakannya outsourcing seperti apa yang disebutkan diatas menjadi tidak tercapai, oleh karena terganggunya proses produksi barang dan jasa. Oleh karena itu, baik perusahaan maupun pekerja agar senantiasa dapat hidup bersama tanpa terjadi pertentangan kepentingan sebagai akibat dari pendapat ataupun pemikiran yang berbeda-beda, diperlukan pelaksanaan outsourcing yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai pedoman untuk berperilaku secara formal. Pedoman tersebut yang dikenal sebagai kaidah hukum bertujuan untuk agar tercapai kedamaian didalam kehidupan bersama, dimana kedamaian berarti
keserasian antara ketertiban dan ketentraman, atau keserasian antara keterikatan dan kebebasan. Itulah yang menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah tidak lain daripada mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Pelaksanaan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFavre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit). Atas dasar tersebut diatas, bahwa gangguan pelaksanaan outsourcing yang melindungi hak pekerja mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai, kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma didalam kaidah-kaidah bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu pelaksanaan tersebut diatas. Oleh karena itu, apakah pelaksanaan outsourcing melindungi hak pekerja bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan (law enforcement), namun juga ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi, antara lain: a. Faktor hukumnya sendiri; b. Faktor pelaksana atau yang menerapkan hukum; yaitu perusahaan dan pekerja c. Faktor kebudayaan, sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. Ketiga faktor di atas perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan outsourcing. Hal ini dimaksudkan agar pekerja benar – benar mendapatkan perlindungan yang layak sesuai dengan hak yang mereka miliki. Disamping itu perlindungan bagi pekerja merupakan faktor yang sangat penting di dalam rangka menciptakan keseimbangan dalam hubungan kerja, sehingga terwujudlah keadilan sosial yang merata di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan landasan pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Salah satu bentuk perlindungan dan kepastian hukum terutama bagi pekerja tersebut adalah melalui pelaksanaan dan penerapan perjanjian kerja. Perjanjian Kerja adalah perjanjian yang dibuat antara pengusaha dan pekerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, termasuk syarat-syarat kerja, pengupahan, dan cara pembayaran. Dengan adanya perjanjian kerja diharapkan para pihak yang sepakat melakukan hubungan kerja lebih mengetahui hak dan kewajiban masing-masing pihak dan mengetahui sendiri apakah ia sudah melaksanakan perjanjian tersebut dengan baik atau ia melanggar perjanjian tersebut. Perjanjian dibuat berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu mengenai syarat sahnya perjanjian, yaitu: 1. sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal. Walaupun demikian di dalam pembuatan perjanjian kerja selain tetap berpedoman pada ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, ternyata masih ada unsur-unsur lain yang harus mereka penuhi, menurut seorang pakar Hukum Perburuhan dari negri Belanda, yaitu Prof, Mr. M.G. Rood, beliau menyebutkan bahwa suatu perjanjian kerja baru ada, manakala di dalam perjanjian kerja tersebut memenuhi 4 (empat)
syarat, yaitu berupa unsur-unsur yang terdiri dari: 1. Ada unsur work atau pekerjaan; 2. Adanya unsur service atau pelayanan; 3. Adanya unsur time atau waktu tertentu; 4. Adanya unsur pay atau upah. Hal tersebut semuanya dipersiapkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang para pihak. Pada saat ini telah banyak perusahaan di Indonesia menggunakan pekerja outsourcing dalam menjalankan aktivitas-aktivitas perusahaan, dan dalam hubungan kerjanya juga menggunakan perjanjian kerja. Bertitik tolak pada pemaparan yang telah dikemukakan, maka penulis tertarik dan bermaksud mengkaji lebih dalam lagi mengenai perlindungan hak pekerja di dalam pelaksanaan outsourcing serta menuangkannya dalam tesis yang berjudul: “Pelaksanaan Outsourcing Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Pekerja” Identifikasi Masalah Adapun permasalahan pokok yang ingin diteliti dalam Tesis ini adalah tentang keberadaan bentuk hubungan kerja yang dikenal dengan istilah “outsourcing”, khususnya tentang hak dan kewajiban Pengusaha (Perusahaan) yang menyediakan tenaga kerja “outsourcing,” maupun yang mempergunakannya. Dalam praktek sehari-hari, “outsourcing” selama ini diakui lebih banyak merugikan hak pekerja. Hal tersebut dapat terjadi karena sebelum adanya UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, tidak ada satupun peraturan perundangundangan dibidang ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan terhadap pekerja dalam pelaksanaan outsourcing. Jikapun ada, barangkali Permen Tenaga Kerja No. 2 Tahun 1993 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang hanya merupakan salah satu aspek dari outsourcing. Sedangkan jiwa dari hukum ketenagakerjaan menganut azas persamaan hak dan tidak mengenal diskriminasi, tidak membedakan antara tenaga kerja pria dan wanita, melainkan mempunyai kedudukan hak dan kewajiban yang sama termasuk hak atas upah (untuk pekerjaan yang sama nilainya). Hal ini sesuai argumen bahwa pada hakikatnya keberadaan hukum adalah untuk menyelesaikan benturan kepentingan antar sesama manusia (conflict of human interest) yang terjadi dimasyarakat melalui proses distribusi keadilan (dispensing justice). Walaupun demikian, pengaturan outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 belum dapat menjawab semua permasalahan “outsourcing”, namun setidak-tidaknya dapat memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja terutama yang menyangkut syarat-syarat kerja, kondisi kerja serta jaminan sosial dan perlindungan kerja lainnya serta dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah apabila terjadi permasalahan. Rumusan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah di atas, yang dipaparkan secara ringkas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Mengapa bentuk hubungan kerja “outsourcing” banyak dilakukan oleh perusahaan? Dan bagaimana kedudukan hukum perusahaan penyedia jasa kerja
2.
“outsourcing”menurut UU No. 13/ 2003”? Bagaimana bentuk perjanjian antara perusahaan yang menyediakan dan mempergunakan tenaga kerja “outsourcing” ini? Dalam hal ada sengketa antara buruh/pekerja dengan majikan, bagaimana sikap Pengadilan Hubungan Industrial?
Kerangka Berpikir Outsourcing merupakan perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja / buruh karena semua kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan maupun tenaga kerja yang seharusnya menjadi urusan dan ditangani langsung oleh perusahaan pengguna dialihkan kepada perusahaan penyedia jasa untuk kemudian ditangani dan menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa, maka itu perjanjian outsourcing sebagai perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja / buruh. Perjanjian outsourcing dilakukan dengan kesepakatan kedua pihak, yaitu perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia jasa. Perusahaan pengguna sepakat bahwa akan melakukan pengalihan tenaga kerja dan / atau pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa. Setelah ada kesepakatan antara kedua belah pihak, baru outsourcing tersebut dapat dilakukan. Perjanjian outsourcing diawali dengan adanya kesepakatan antara perusahaan pengguna dengan perusahaan penyedia jasa, kesepakatan tersebut dibuat dalam bentuk perjanjian kerjasama pemborongan penyediaan tenaga kerja. Setelah itu perusahaan penyedia jasa melakukan perjanjian dengan pekerja. Pekerja adalah bagian dari rakyat Indonesia yang perlu dilindungi. Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia menurut Philipus, adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan Pancasila. Perlindungan hukum bagi pekerja didasarkan pada ketentuan Pasal 27 (1) dan ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), dan ayat (2), Undang – Undang Dasar 1945. Pasal 27 (1) UUD’45, yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 ayat (2) UUD’45, yaitu tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu jaminan perlindungan atas pekerjaan, dituangkan pula dalam ketentuan Pasal 28 D ayat (1) UUD’45, yaitu setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal 28 D ayat (2) UUD’45, yaitu setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Ketentuan tersebut, menunjukkan bahwa di Indonesia hak untuk bekerja telah memperoleh tempat yang penting dan dilindungi oleh UUD 1945. Dibidang ketenagakerjaan, perlindungan hukum bagi pekerja didasarkan pada UU No. 13 Tahun 2003, UU No. 2 Tahun 2004 dan UU No. 21 Tahun 2000, beserta peraturan pelaksanaannya. Pengaturan perlindungan hukum bagi pekerja di dalam UU No. 13 Tahun 2003 diatur dalam Pasal 67 – 101. Berdasarkan ketentuan Pasal 3 dalam UU No. 13 Tahun 2003, pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan
dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan merupakan salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan. Perlindungan hukum bagi pekerja pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. Pada perlindungan hukum prefentif, tujuannya adalah menghindari sengketa. Salah satu wujudnya adalah dengan peran serta masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang belum disahkan atau melalui dengar pendapat untuk mencegah terjadinya sengketa. Dalam perlindungan hukum yang bersifat preventif, sangat penting peran dari pegawai pengawas perburuhan / ketenagakerjaan. Pengawasan perburuhan diatur lebih lanjut dalam Pasal 176 – Pasal 181 UU No. 13 Tahun 2003. Pengaturannya masih bersifat umum dan akan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan perUndangUndangan. Selama belum ada peraturan perUndang-Undangan maka ketentuan UU No. 23 Tahun 1948 menjadi alternatif pemecahannya. Bentuk perlindungan hukum hak pekerja lainnya adalah perlindungan hukum yang represif. Tujuannya adalah untuk menyelesaikan sengketa. Berangkat dari konsep hukum pada rumusan norma hukum yang terdapat dalam Pasal-Pasal UU No. 13 Tahun 2003, dapat dimungkinkan timbulnya sengketa sehingga melahirkan claim. Prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap hak pekerja berasal dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Inti yang terkandung di dalam hak, yaitu adanya suatu tuntutan (claim). Claim dapat terjadi apabila terdapat hak yang tidak dilaksanakan. Merupakan suatu upaya hukum apabila ada pelanggaran hak. Antara hak dan kewajiban haruslah mengandung kesetaraan atau keseimbangan. Analisa Perlindungan Hak Pekerja menurut Undang – undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Perlindungan hukum bagi pekerja pada dasarnya mengandung dua unsur yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. Pada perlindungan hukum prefentif, tujuannya adalah menghindari sengketa. Salah satu wujudnya adalah dengan peran serta masyarakat terhadap peraturan perundang-undangan yang belum disahkan. Sayangnya hal ini belum berjalan di Indonesia, bahkan seringkali terjadi suatu Undang-Undang yang telah disahkan tidak pernah mempunyai naskah akademis. Kita kurang menganggap penting penerapan teori hukum dan filsafat hukum dalam suatu peraturan perundang-undangan. Peraturan sering hanya untuk memenuhi kebutuhan pragmatis dan hanya dianggap sebagai suatu proyek yang patut untuk diperebutkan dananya. Pada UU No. 13 Tahun 2003, mengenai konsep hukum hubungan kerja apabila ditinjau dari teori hukum mengandung banyak kesalahan. Pengertian hubungan kerja, berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003 adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Lebih lanjut berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003, hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Hubungan kerja adalah hubungan hukum. Pasal 1 angka 15 jo Pasal 50 - Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 menjadi dasar hukumnya hubungan kerja. Dengan adanya dasar hukum itu maka timbullah peristiwa hukum.
Peristiwa hukum merupakan terjemahan dari kata rechtsfeit yaitu peristiwa yang oleh kaidah hukum diberi akibat hukum, yakni berupa timbulnya atau hapusnya hak dan/atau kewajiban tertentu bagi subyek hukum tertentu bagi subyek hukum tertentu yang terkait pada peristiwa tersebut. Hubungan kerja yang merupakan hubungan hukum menimbulkan peristiwa hukum yang mempunyai akibat hukum berupa hak dan kewajiban bagi subyek hukumnya. Berdasar ketentuan Pasal 1 angka 15 jo Pasal 50 - Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003 subyek hukum dari hubungan kerja adalah pengusaha dengan pekerja/buruh. Ketentuan subyek hukum berdasarkan ketentuan di atas sangat sempit. Batasan subyek hukum akan berbeda apabila didasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003, yaitu Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Apabila dilakukan perbandingan antara ketentuan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 dengan ketentuan Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003, maka terdapat perbedaan akibat hukumnya. Unsur-unsur dari ketentuan Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003 adalah : 1. Subyek hukum perjanjian kerja terdiri dari pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja. 2. Obyek perjanjian kerja adalah syarat syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. Unsur- unsur itu berbeda dengan ketentuan Pasal 1 angka 15 jo Pasal 50- Pasal 66 UU No. 13 Tahun 2003, yaitu : 1. Subyek hukum perjanjian kerja adalah pengusaha dengan pekerja/buruh. 2. Obyek hukum perjanjian kerja adalah pekerjaan, upah, dan perintah. Batasan pengusaha berbeda dengan pemberi kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 13 Tahun 2003 Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian tenaga kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat Dari ketentuan di atas, dapat dianalisis adanya perbedaan penafsiran mengenai batasan pengertian pekerja, apabila ketentuan Pasal 1 angka 3 jo Pasal 1 angka 15 jo Pasal 1 angka 5 jo Pasal 1 angka 6 UU No. 13 Tahun 2003 dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 jo Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003. Batasan pengertian pekerja, apabila mendasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 3 jo Pasal 1 angka 15 jo Pasal 1 angka 5 jo Pasal 1 angka 6 UU No. 13 Tahun 2003, sangat sempit dan terbatas. Hanya meliputi orang yang bekerja pada pengusaha saja, bukan pada pemberi kerja. Pengertian pemberi kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 13 Tahun 2003 adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengertian tenaga kerja berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pengertian pemberi kerja lebih luas dari pada pengusaha, demikian juga pengertian tenaga kerja lebih luas dari pada pekerja.
UU No. 13 Tahun 2003 pada hakekatnya adalah suatu undang-undang yang memberikan perlindungan pada tenaga kerja bukan pada pekerja. Dasar filosofi itu dijelaskan lebih lanjut mengenai pembangunan ketenagakerjaan dalam penjelasan umum UU No. 13 Tahun 2003. Dari konsiderans huruf a – c UU No. 13 Tahun 2003, dapat diketahui bahwa pembentuk undang-undang menghendaki dibuatnya suatu aturan hukum yang memberikan perlindungan hukum kepada tenaga kerja. Perlindungan hukum itu diberikan mengingat peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan. Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiil maupun spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pembangunan nasional ini sesuai dengan tujuan negara yang terdapat di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yaitu membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Perlindungan hukum bagi tenaga kerja merupakan perwujudan dari usaha untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tetapi, dasar filosofi yang ditetapkan oleh pembuat UU No. 13 Tahun 2003 ini, ternyata tidak konsisten. Hal ini tampak dalam konsiderans huruf d UU No. 13 Tahun 2003, yaitu : perlindungan terhadap tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Konsiderans huruf d UU No. 13 Tahun 2003 yang membatasi pengertian tenaga kerja hanya mencakup pekerja saja bukan tenaga kerja. Hal ini menunjukkan adanya pertentangan antara konsiderans huruf a-c dengan konsiderans huruf d UU No. 13 Tahun 2003. Lebih lanjut, dasar filosofi yang ada pada konsiderans huruf a- c tidak diterapkan dalam pasal-pasal UU No. 13 Tahun 2003, khususnya hanya membatasi pekerja yang bekerja pada pengusaha saja. Bukan pekerja yang bekerja pada pemberi kerja. Lebih lanjut dikatakan oleh Wijayanto Setiawan, unsur perintah dalam hubungan kerja antara buruh dan majikan harus kita tinggalkan, sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila kita wajib dan mampu menempatkan buruh pada kedudukan yang terhormat (sederajat dengan majikan / pengusaha). Hubungan antara buruh dengan majikan /pengusaha bukan atas dasar perintah tetapi merupakan partner atau mitra kerja untuk menghasilkan barang atau jasa. Pendapat Wijayanto Setiawan, didukung oleh Laica Marzuki , yang menyatakan bahwa buruh selaku subyek hukum penerima kerja (werknemer) adalah
tidak berada di bawah perintah majikan, tapi justru berkedudukan hukum sama dan sederajat dengan kedudukan hukum majikan sebagai layaknya pihak-pihak yang mengikat diri pada suatu perjanjian timbal balik. Subyek hukum dalam perjanjian kerja pada hakekatnya adalah subyek hukum dalam hubungan kerja. Yang menjadi obyek dalam perjanjian kerja adalah tenaga yang melekat pada diri pekerja. Atas dasar tenaga telah dikeluarkan oleh pekerja / buruh maka ia akan mendapatkan upah. Hubungan kerja dilakukan oleh pekerja / buruh dalam rangka untuk mendapatkan upah. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 30 UU No. 13 Tahun 2003 Upah adalah : hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Analisa Perlindungan hak pekerja outsourcing menurut Undang – undang No13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Di dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu menurut Pasal 64 – 66 UU No. 13 Tahun 2003 dikenal pemborongan pekerjaan dan outsourcing. Berdasarkan ketentuan Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003, perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Menurut pendapat penulis terdapat kekeliruan dalam pasal 64 berkaitan dengan pengertian outsourcing. Kalimat terakhir keliru, yaitu “… penyerahan penyedia jasa pekerja buruh yang dibuat secara tertulis “ atau penyedia jasa buruh seharusnya ditiadakan diganti dengan perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Outsourcing di dalam Pasal 64 menunjukkan bahwa ada 2 macam outsourcing yaitu outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong, dan outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh perusahaan jasa pekerja. Outsourcing yang pertama mengenai pekerjaan, konstruksi hukumnya yaitu ada main contractor yang mensubkan pekerjaan pada sub kontraktor. Sub kontraktor untuk melakukan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor yang membutuhkan pekerja. Di situlah sub kontraktor merekrut pekerja untuk mengerjakan pekerjaan yang disubkan oleh main contractor. Sehingga ada hubungan kerja antara sub kontraktor dengan pekerjaannya; Perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh harus memenuhi syarat sebagaimana dalam ketentuan Pasal 65 UU No. 13 Tahun 2003, yaitu : a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama; b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan; c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Keberadaan ketentuan Pasal 57 – 66 UU No. 13 Tahun 2003 ini, mempunyai dampak yang negatif dalam perlindungan pekerja. Banyak perusahaan yang merubah sistim kerjanya dari pekerja tetap yang mendasarkan pada perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu menjadi pekerja kontrak yang didasarkan pada perjanjian kerja untuk waktu tertentu, yaitu outsourcing atau pemborongan kerja. Ketentuan ini menjadi salah satu pertimbangan pada permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan telah diputus oleh Mahkamah konstitusi tanggal 17 Nopember 2004 , melalui Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 Dimuat Dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2004, yaitu : Sistem outsourcing, konstruksi hukumnya yaitu adanya suatu perusahaan penyedia jasa pekerja merekrut calon pekerja untuk ditempatkan di perusahaan pengguna. Diawali suatu hubungan hukum atau suatu perjanjian antara perusahaan penyedia jasa pekerja dengan perusahaan pengguna pekerja. Perusahaan penyedia jasa pekerja mengikatkan dirinya untuk menempatkan pekerja di perusahaan pengguna, dan perusahaan pengguna mengikatkan dirinya untuk menggunakan pekerja tersebut. Berdasarkan perjanjian penempatan tenaga kerja, perusahaan penyedia jasa pekerja akan mendapatkan sejumlah uang dari pengguna. Untuk 100 orang misalnya Rp 10.000.000,00, kemudian perusahaan penyedia jasa pekerja akan mengambil sekian persen, sisanya dibayarkan kepada pekerja yang bekerja di perusahaan pengguna. Jadi konstruksi hukum semacam ini merupakan perbudakan, karena pekerja-pekerja tersebut dijual kepada pengguna dengan jumlah uang. Hal ini merupakan perbudakan modern. Di lain pihak outsourcing juga menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu. Perjanjian kerja waktu tertentu jelas tidak menjamin adanya job security, adanya kelangsungan pekerjaan seorang pekerja, karena seorang pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu pasti tahu bahwa pada suatu saat hubungan kerja akan putus dan tidak akan bekerja lagi di situ, akibatnya pekerja akan mencari pekerjaan lain lagi. Sehingga kontinuitas pekerjaan menjadi persoalan bagi pekerja yang di outsource dengan perjajian kerja waktu tertentu. Kalau job security tidak terjamin, jelas bertentangan dengan Pasal 27 yaitu hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Sayangnya putusan MK terhadap outsourcing bersifat kabur, tidak dikabulkan atau menolak karena dipandang tidak cukup beralasan. Berdasarkan pertimbangan MK, Pasal 64 - 66 undang-undang a quo, mendapat perlindungan kerja dan syaratsyarat yang sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya, terlepas dari jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syarat perjanjian kerja demikian dalam kesempatan yang tersedia, maka perlindungan hak-hak buruh sesuai dengan aturan hukum dalam UU Ketenegakerjaan, tidak terbukti bahwa hal itu menyebabkan sistem outsourcing merupakan modern slavery dalam proses produksi
Tidak semua hakim MK, sependapat dengan putusan itu, terdapat dissenting opinion (pendapat berbeda) dari hakim konstitusi Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H. Kebijakan “outsourcing” yang tercantum dalam Pasal 64 – 66 UU Ketenagakerjaan telah mengganggu ketenangan kerja bagi buruh/pekerja yang sewaktu-waktu dapat terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) dan mendowngrading-kan mereka sekedar sebagai sebuah komoditas, sehingga berwatak kurang protektif terhadap buruh/pekerja. Artinya, UU Ketenagakerjaan tidak sesuai dengan paradigma proteksi kemanusiaan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa perjanjian kerja merupakan dasar terjadinya hubungan kerja. Perjanjian kerja yang dialakukan oleh pekerja dengan pengusaha / pemberi kerja harus memenuhi ketentuan asas-asas hukum kontrak dan syarat-syarat perjanjian kerja baik yang materiil maupun yang formil. Perjanjian kerja harus memenuhi ketentuan asas- asas hukum kontrak, yang meliputi asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikatnya perjanjian. Pada asas kebebasan berkontrak, terdapat kebebasan kehendak yang mengimplikasikan adanya kesetaraan minimal. Di sini antara pekerja dengan pemberi kerja harus mempunyai kedudukan yang sama tidak dalam kedudukan subordinasi (di bawah perintah) harus sebagai mitra kerja. Pada asas kekuatan mengikatnya kontrak, ditentukan oleh isi kontrak itu sendiri, kepatutan atau iktikad baik, kebiasaan dan peraturan perundang-undangan. Saran Saran penulis dalam meningkatkan perlindungan bagi pekerja outsourcing, yaitu : 1. Penulis berharap agar peraturan mengenai ketenagakerjaan dapat diperbaharui guna melindungi kepentingan pekerja maupun pengusaha. 2. Bilamana pelaksanaan outsourcing harus dilakukan, maka penulis menyarankan agar bentuk outsourcing mengenai pekerjaannya yang dilakukan oleh pemborong dapat dipertimbangkan, namun bukanlah outsourcing mengenai penyediaan jasa pekerja. 3. Penulis juga berharap agar Pengawas Perburuhan dari Departemen Tenaga Kerja lebih aktif dan independen dalam mengawasi perusahaan dan pelaksanaan outsourcing.