PELAKSANAAN HUKUM JINA>YA>T DI ACEH DALAM PERSPEKTIF FIQH DAN HAM STUDI QANUN NOMOR 12, 13, DAN 14 TAHUN 2003. MUHAMMAD YANI
JAKARTA 2011M/1432 H
Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh dalam perespektif Fiqh dan HAM: studi Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003. Muhammad Yani
Editor: Prof. Dr. H. Mohammad Atho Mudzhar, MSPD. Hak Cipta pada: Pengarang Hak penerbitan pada: Isdar Press Cover/Lay Out: Abbas Penerbit: Isdar Press Jl. SD Inpres No. 11 Pisangan Barat Ciputat Tangerang Selatan Banten 15419 Telp. 0217417687 Cetakan ke- 1: November 2011 ISBN: 978-602-19419-0-4
PEDOMAN TRANSLITERASI Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin: ARAB
LATIN
ARAB
LATIN
ء
` (apostrof)
ط
t}
ب
b
ظ
Z}
ت
t
ع
‘ (petik satu)
ث
th
غ
gh
ج
J
ف
f
ح
h}
ق
q
خ
kh
ك
k
د
d
ل
l
ذ
dh
م
m
ر
r
ن
n
ز
z
و
w
س
s
ه
h
ش
sh
ي
y
ص
s}
ة
h (waqaf)
ض
d}
ال
Al-(ta’ri>f)
Untuk Tanda Panjang Ketentuan alih vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan h}araka>t dan huruf, yaitu: Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ــﺎ
ā
a dengan garis di atas
ــﻲ
ī
i dengan garis di atas
ــﻮ
ū
u dengan garis di atas
Shaddah (Tashdīd) Shaddah atu tashdīd yang dalam system bahasa Arab dilambangkan dengan sebuah tanda (-ّّ--) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda shaddah itu. Akan tetapi, hal ini
i
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda shaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf shamsi>yah. Misalnya, kata اﻟﻀﺮورة tidak ditulis ad}d}aru>rah melainkan al-d}aru>rah, demikian seterusnya.
ii
ABSTRAK Muhammad Yani: Pelaksanaan Hukum Jina>ya>t di Aceh dalam Perspektif Fiqh dan HAM: Studi Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003. Penelitian ini membuktikan bahwa pelaksanaan Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003 tentang khamar, maisir, dan khalwāt di Aceh telah berlangsung secara realistis sebagaimana yang diqanunkan. Frekwensi pelaksanaannya dapat dilihat pada data statistik perkara Jinayat dan dokumen-dokumen eksekusi (‘uqu>ba>t) terhadap pelaku pelanggaran. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa materi Qanun dan hukuman (h}add dan ta‘zi>r ) yang terkandung di dalamnya kerab mempertimbangkan aspek Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Meskipun implementasi Qanun Jinayat dilatarbelakangi Qanun-qanun sebelumnya seperti: Qanun Prov. NAD No. 1 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam; Qanun Prov. NAD No.11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam, keseluruhan hukum Jinayat belum terimplementasikan sebagaimana tuntutan Fiqh Jinayah secara ideal, karena sejumlah pakar menilai bahwa bila hukum Islam ditegakkan scara total, akan bertentangan dengan HAM (global). Dalam perkara Fiqh, studi ini membantah pandangan Nurcholish Madjid sebagaimana dikutip Rusjdi Ali Muhammad di dalam Revitalisasi Syariat Islam di Aceh; Problem, Solusi, dan Implementasi, 2003 yang mengatakan Wilayah Hisbah (polisi syariat) berhak menjatuhkan hukuman ta‘zir bagi pelaku jinayat. Persepsi ini bertentangan dengan kaidah fiqhiyah yang popular, yakni penerapan hukuman mesti dilakukan oleh qad}i/‘umara’. Dalam perkara HAM, studi ini membantah Iben (dari Komnas HAM RI). Menurutnya Qanun Jinayat Aceh tersebut bertentangan dengan HAM pasca peratifikasian ICCPR ke dalam UU No. 12 tahun 2005. Iben hanya melakukan tinjauan pada aspek HAM universal, tidak meninjau konsep-konsep HAM menurut dunia Islam yang menyatakan hukum jinayat tidak melanggar HAM. Pendapatnya ini juga berlawanan dengan Mahkamah Agung RI yang telah menyatakan kebolehan kepada Qanun-qanun tersebut untuk diaplikasikan di Aceh. Melihat aspek historis peradilan Syariat Islam di Aceh, studi ini sesuai dengan pandangan Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter:the Experience of Indonesia (Canada: MacGill: 1997); Ratno dalam karyanya itu telah menyinggung tentang implementasi Hukum Jinayat di Aceh pra-Penjajahan (pre-colonialism), yang demikian juga halnya yang disinggung di dalam studi ini. Studi ini juga mendukung karya Moch. Nur Ikhwan, “the Politics of Shari‘atization: Central Governmental and Regional Discourses of Shari‘a Implementation in Aceh” dalam R. Michael Feener and E. Cammck, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institutions (Massechussets: Harvard University Press, 2007). Nur Ikhwan menulis bahwa Mahkamah Syariyah Aceh bertugas
menangani aspek pidana Islam di Aceh untuk dapat mengaplikasikan Qanunqanun Aceh yang menyangkut dengan jinayat. Ia juga mengatakan bahwa pelaksanaan Qanun Jinayat merupakan kelanjutan dari program penerapan
iii
syariat Islam di Aceh sejak 1 Muharram 1423 Hijriah, bertepatan dengan 14 Maret 2002. Studi ini juga mendukung karya Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di NAD: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD, 2008). Alyasa‘ mengatakan bahwa “Qanun jinayat Aceh” yang membahas tindak pidana khamar, judi, dan khalwah tersebut telah melakukan tinjauan ke fiqh Islam, dan telah melakukan penyesuaian dengan Hukum Perundang-undangan Nasional RI—tanpa mengabaikan HAM. Sumber-sumber dari Penelitian adalah dokomen-dokumen (terutama Qanun Aceh baik dalam bentuk konsep maupun data aplikatif), dengan menempuh studi kepustakaan dan dokumentatif. Data-data tersebut, diuraikan dalam pembahasan secara deskriptif dan analisis dengan melakukan pendekatan legal-historis.
iv
ABSTRACTS Muhammad Yani: Pelaksanaan Hukum Jinayat Aceh dalam Perspektif Fiqh dan HAM: Studi Qanun Nomor 12, 13, dan 14 Tahun 2003 (Jina>ya>t Law application in Aceh in the Fiqh Perspective of and the Human Rights: Study of Qanuns Number 12, 13, and 14 of the year 2003). This Research proves that most of application of Jinayat (Islamic Penal Law) in Aceh have been in accordance with the Qanun’s guidance applied pursuant to the chance given by Special Autonomy Law for Aceh. It appeared at some data related to the Jina>ya>t cases appeared as ta‘zi>r punishments (‘uqu>ba>t) for criminals. The facts showed that ta‘zi>r (discretionary punishments) really considered the human rights aspects. Flogging punishments carried out by Qanun Number 12, 13 , and 14 of the year 2003, each of those exposed about khamar (drinking wine), gambling (maysir), and khalwat (improper relation between the sexes). The reality has shown that the ‘uqu>ba>t (punishments) of jinayat law apart from these three, haven’t been implemented yet in accordance with Fiqh conceptual. The main bars of these were universality and complexity–about which were scholars’ understanding—of Fiqh and Human Rights concepts. This research refused the view of Nurcholis Majid’s from whom Rusjdi Ali Muhammad wrote in Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi, dan Implementasi (Banda Aceh: AR-Raniry Press, 2003 (Revitalization of Islamic Shari‘a in Aceh: Problem, Solution, and Implementation (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2003). He said that Islamic Police (Wilayatul Hisbah) had authorities to judge ta‘zi>r punishments towards offenders (in implementation Jinayat Law of Qanuns). It was contradictive to popular rules of Fiqh Pattern Concepts (Qa>idah fiqhi>yah), that the judgement of condomination (ta‘zi>r) must be carried out by Qa>d>i represented the leader/government. Further, this study refuses the views of Iben who said that Islamic Penal Law of Aceh was contradictive to Human Rights after ratification of some Interrnational Human Rights Covenants into Indonesian Laws related to Human Rights. On the contrary to what have been mentioned, this study supported the views of Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of Indonesia (Canada: McGill University, 1997. Ratno said that Islamic Law in Indonesia has begun since the periode of pre-colonialization. This study also supported the views of Moch. Nur Ikhwan, “the Politics of Shari‘atization: Central Governmental and Regional Discourses of Shari‘a Implementation in Aceh” in R. Michael Feener and E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institutions (Massechussets: Harvard University Press, 2007). Nur Ikhwan said that Islamic Courts had been established to handle Islamic penal law aspects of Aceh’s Qanuns. He also said that manifestation of Qanuns related to Jinayat was the continuing of Islamic sharia application program since the 1st of Muharram 1423 H in accordance with 14 Maret 2002. Besides of what have been mentioned, this study also supported Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariah Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqh dalam
v
Negara Bangsa (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam, 2008 (Application of Islamic Sharia in Aceh: as the afford of Islamic Jurisprudence Arranging in the Nation State, (Banda Aceh: Islamic Office, 2008). Alyasa‘ Abu Bakar in his exposition said that he had participated in arranging “the Qanun Jina>ya>t’’ conceptuals in Aceh, and they were not contraditive to Fiqh (Islamic Yurisprudence) and most of those contents paid attention to Human Rights Aspects and National Law. The resources of this study are the data and documents related to jinayah application in Aceh, by library and documentarial research. The data that have been maintioned were applied in describing and analising exposition by conducting legal-historical approach.
vi
اﻟﻤﻠﺨﺺ
ﻣﺤﻤﺪ ﯾﺎﻧﻲ :ﺗﻄﺒﯿﻖ اﻟﺤﻜﻢ اﻟﺠﻨﺎﺋﻲ ﺑﺄﺗﺸﯿﮫ ﻣﻦ ﻧﻈﺮاﻟﻲ اﻟﻔﻘﮫ اﻻﺳﻼﻣﻲ و ﺑﺤﻘﻮق اﻻﻧﺴﺎن :دراﺳﺔ ﻓﻲ اﻟﻘﺎﻧﻮن ﻧﻤﺮة ،١٢ :و ،١٣و ١٤ﺳﻨﺔ .٢٠٠٣ ﻗﺪ ﺑﺮھﻦ ھﺬااﻟﺒﺤﺚ أن اﻟﺤﻜﻢ اﻟﺠﻨﺎئ ﺑﺄﺗﺸﯿﮫ ﻋﻠﻲ اﻷﻛﺜﺮ ﻗﺪ ﻃﺎﺑﻖ ﺑﻤﺎ دل اﻟﯿﮫ اﻟﻘﻮاﻧﯿﻦ)اﻷﺗﺸﯿﺔ( ﻛﻤﺎ اﺑﺎح اﻷوﺗﻮﻧﻮم اﻟﻤﺨﺼﻮص اﻟﻤﺤﻖ ﻷﺗﺸﯿﮫ. ھﺬا ﻣﻨﻈﻮر ﺑﺎاﻟﺒﯿﺎﻧﺎت اﻟﻤﻌﺪة ﻣﻦ اﺟﺮاءات اﻟﻌﻘﻮﺑﺎت اﻟﺘﻌﺰﯾﺮﯾﺔ ﻋﻠﻲ اﻟﺠﺎﻧﯿـﻰ/اﻟﺠﻨﺎة .ودل اﻟﻮاﻗﻊ ﻋﻠﻰ أن اﻟﻌﻘﻮﺑﺎت اﻟﺘﻌﺰﯾﺮﯾﺔ واﻟﺤﺪودﯾﺔ اﻟﻤﻘﺪرة ﻓﯿﮭﺎ ﺗﮭﺘﻢ اھﺘﻤﺎﻣﺎ ﻛﺒﯿﺮا ﺑﻨﻮاﺣﻲ ﺣﻘﻮق اﻻﻧﺴﺎن .وﻋﻘﻮﺑﺔ اﻟﻀﺮب اﻟﻤﻘﺪرة ﻓﻰ اﻟﻘﺎﻧﻮن ﺗﮭﺪف اﻟﻲ ﺗﺄدﯾﺐ اﻟﺠﺎﻧﻲ /اﻟﺠﻨﺎة .رﻏﻢ أن ﺗﻄﺒﯿﻖ اﻟﻌﻘﻮﺑﺎت اﻟﺠﻨﺎﺋﯿﺔ ﺗﺮد ﻣﻦ ﺧﻠﻔﯿﺔ اﻟﻘﻮاﻧﯿﻦ اﻟﺴﺎﺑﻘﺔ –ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻧﺖ اﻟﻘﺎﻧﻮن ﻟﻤﺤﺎﻓﻈﺔ ﻧﻨﺠﺮاو اﺗﺸﯿﺔ داراﻟﺴﻼم ﻧﻤﺮة ١ﺳﻨﺔ ٢٠٠٢ﻋﻦ اﻟﻘﻀﺎﺋﯿﺔ اﻻﺳﻼﻣﯿﺔ؛ و اﻟﻘﺎﻧﻮن ﻟﻤﺤﺎﻓﻈﺔ ﻧﻨﺠﺮاو اﺗﺸﯿﺔ داراﻟﺴﻼم ﻧﻤﺮة ١١ﺳﻨﺔ ٢٠٠٢ﻋﻦ اﻟﻌﻘﺎﺋﺪ اﻻﺳﻼﻣﯿﺔ اﻟﺘﻄﺒﯿﻘﯿﺔ ،وﻋﻦ اﻟﻌﺒﺎدات واﻟﺸﻌﺎﺋﺮ اﻻﺳﻼﻣﯿﺔ ،ﻛﺎﻧﺖ اﻟﻘﻮاﻧﯿﻦ اﻟﺠﻨﺎﺋﯿﺔ اﻷﺗﺸﯿﺔ ﻏﯿﺮ ﻣﻄﺒﻘﺔ ﻛﻤﺎ اﺷﺎرت اﻟﯿﮭﺎ اﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ اﻟﺠﻨﺎﺋﯿﺔ وﺗﻀﻤﯿﻨﺎت ﺣﻘﻮق اﻻﻧﺴﺎن ﻋﻠﻲ اﻟﻜﻞ .و ھﺬاﻷﻧﮫ ﻣﺮﻛﺰ اﻟﻲ ﻛﻠﯿﺔ اﻟﺘﻮﻗﯿﻔﯿﺔ وﺟﻤﻌﯿﺘﮭﺎ اﻟﺘﻲ ﺗﻀﻤﻨﮭﺎاﻟﻔﻘﮫ اﻻﺳﻼﻣﻰ و ﺗﻀﻤﯿﻨﺎت ﺣﻘﻮق اﻻﻧﺴﺎن . وﻣﻤﺎ ﯾﺘﻌﻠﻖ ﺑﺎﻟﻔﻘﮫ ،ھﺬااﻟﺒﺤﺚ ﯾﺨﺎﻟﻒ رأي ﻧﻮر ﺧﺎﻟﺺ ﻣﺠﯿﺪ ﻛﻤﺎ ﻛﺘﺐ رﺷﺪي ﻋﻠﻲ ﻣﺤﻤﺪ ﻓﻲ ﺗﻄﺒﯿﻖ اﻟﺸﺮﯾﻌﺔ اﻻﺳﻼﻣﯿﺔ ﺑﺄﺗﺸﯿﮫ :اﻟﺘﺠﺪﯾﺪ ﻟﻠﺸﺮﯾﻌﺔ ﻓﻲ اﻟﻤﺴﺎﺋﻠﯿﺔ واﻟﺘﺤﻠﯿﻠﯿﺔ واﻟﺘﻄﺒﯿﻘﯿﺔ، ٢٠٠٣ ،اﻟﺬي ﻗﺎل أن اﻟﻮﻻﯾﺔ اﻟﺤﺴﺒﺔ ﺗﺴﺘﺤﻖ ﺑﺎن ﺗﻘﻮم ﺑﺘﻄﺒﯿﻖ اﻟﻌﻘﻮﺑﺎت اﻟﺘﻌﺰﯾﺮﯾﺔ ﻋﻠﻲ اﻟﺠﺎﻧﻲ/اﻟﺠﻨﺎة .وھﺬا ﺧﻼف ﺑﺎﻟﻘﻮاﻋﺪ اﻟﻔﻘﮭﯿﺔ اﻟﻤﺸﮭﻮرة ﺑﺎن اﻟﺘﻮﻗﯿﻊ ﻋﻠﻲ اﻟﻌﻘﻮﺑﺎت ﻻزم ﻋﻠﻲ اﻟﻘﺎﺿﻲ اﻟﻨﯿﺎﺑﻲ اﻟﻤﻮﻛﻞ ﻣﻦ اﻻﺋﻤﺔ/اﻷﻣﺮاء .وﻓﻲ اﻟﻤﻨﻄﻖ ﻋﻦ ﺣﻘﻮق اﻻﻧﺴﺎن ﺧﺎﻟﻒ ھﺬااﻟﺒﺤﺚ ﺑﺎءﯾﺒﯿﻦ )ﻣﻦ ﻟﺠﻨﺔ ﺣﻘﻮق اﻻﻧﺴﺎن اﻟﻮﻃﻨﯿﺔ اﻟﺠﮭﻮرﯾﺔ اﻻﻧﺪوﻧﯿﺴﯿﺔ( اﻟﺬي ﻗﺎل أن اﻟﻘﺎﻧﻮن اﻟﺠﻨﺎ ﺋﯿﺔ اﻷﺗﺸﯿﺔ اﻟﻤﺬﻛﻮرة ﺧﺎﻟﻔﺖ ﺣﻘﻮق اﻻﻧﺴﺎن ،وھﺬا ﻷن رأﯾﮫ ﻣﻮاﻓﻖ ﺑﺎاﻟﻨﺼﻮص اﻟﺤﻘﻮﻗﯿﺔ اﻟﻌﺎﻟﻤﯿﺔ اﻟﻌﺎﻣﺔ دون اﻟﻨﺼﻮص اﻟﺤﺤﻘﻮﻗﯿﺔ اﻻﺳﻼﻣﯿﺔ ،و ﺑﺤﺜﮫ ﻣﺨﺎﻟﻒ ﺑﺎ اﻟﻤﺤﻜﻤﺔ اﻟﻌﺎﻟﯿﺔ ﻟﻠﺠﻤﮭﻮرﯾﺔ اﻻﻧﺪوﻧﯿﺴﯿﺔ اﻟﺘﻰ ﺗﺒﯿﺢ ﻓﻰ ﺗﻄﺒﯿﻘﮭﺎ )ﺑﻌﺪﻣﺎ ﺗﻌﻤﻘﺖ ﻓﯿﮭﺎ(. وﻋﻠﻲ اﻟﻌﻜﺲ ،واﻓﻖ ھﺬااﻟﺒﺤﺚ—ﺗﺎرﯾﺨﯿﺔ—رﺗﻨﻮ ﻟﻮﻛﺘﻮ ،اﻟﺤﻜﻢ اﻻﺳﻼﻣﻲ وﻣﻄﺎﺑﻘﺘﮫ ﺑﺎﻟﻌﺮف .١٩٩٧،ﻗﺎل رﺗﻨﻮ ﻓﻲ ﺑﺤﺜﮫ اﻟﺪراﺳﻲ ﻗﺪ ﺟﺮي اﻟﺤﻜﻢ اﻟﺠﻨﺎئ اﻟﺘﻄﺒﯿﻘﻲ ﺑﺎﺗﺸﯿﮫ ﻗﺒﻞ اﻻﺳﺘﻌﻤﺎرﯾﺔ اﻷوروﺑﯿﺔ. وواﻓﻖ ھﺬااﻟﺒﺤﺚ اﯾﻀﺎ ﺑﺮأي ﻧﻮر اﺧﻮان اﻟﺬي ﻗﺎل أن اﻟﻤﺤﻜﻤﺔ اﻟﺸﺮﻋﯿﺔ ﻗﺪ اﻗﯿﻤﺖ ﺑﺒﺄ ﺗﺸﯿﮫ ﻣﻨﺬ اﻟﺘﺎرخ اﻷول ﻣﻦ ﻣﺤﺮم ١٤٢٣ ،ھﺠﺮﯾﺔ ﻣﻄﺎﺑﻘﺎ ﺑﺎﻟﺮاﺑﻊ ﻋﺸﺮ ﻣﻦ ﻣﺎرس ٢٠٠٢ﻣﻼدﯾﺔ.
vii
وواﻓﻖ ھﺬاﻟﺒﺤﺚ أﯾﻀﺎ ﺑﺮأي أﻟﯿﺴﻊ أﺑﻮ ﺑﻜﺮ ،ﺗﻄﺒﯿﻖ اﻟﺸﺮﯾﻌﺔ اﻻﺳﻼﻣﯿﺔ ﺑﺄﺗﺸﯿﮫ .٢٠٠٨ ،ﻗﺎل أﻟﯿﺴﻊ أن اﻟﻘﻮاﻧﯿﻦ اﻟﺠﻨﺎﺋﯿﺔ اﻷﺗﺸﯿﺔ اﻟﺘﻲ ﺗﺒﺤﺚ ﻓﻲ اﻟﺨﻤﺮ واﻟﻤﯿﺴﺮ واﻟﺨﻠﻮة ﻗﺪ ﻗﺎﻣﺖ ﺑﻌﺪاﻟﺘﻨﻈﯿﺮ اﻟﻲ اﻟﻔﻘﮫ اﻻﺳﻼﻣﻲ ﺑﻌﺪم اﻻھﻤﺎل ﻟﻨﻮاﺣﻲ اﻟﺤﻘﻮق اﻻﻧﺴﺎﻧﻨﯿﺔ و اﻟﻘﻮاﻧﯿﻦ اﻟﻮﻃﻨﯿﺔ اﻟﺠﻤﮭﻮرﯾﺔ ا ﻻﻧﺪوﻧﯿﺴﯿﺔ. ﺑﺠﺎﻧﺐ اﻟﻘﯿﺎم ﺑﺎﻟﺪراﺳﺎت اﻟﻤﯿﺜﺎﻗﺎﺗﯿﺔ اﻟﻘﻮاﻧﯿﻨﯿﺔ ﺳﻮاء ﻛﺎﻧﺖ ﻧﺼﻮﺻﯿﺎ ام ﺗﻄﺒﯿﻘﯿﺔ ،ﻗﺎم اﻟﺒﺤﺚ ﺑﺎﻟﺪراﺳﺔ اﻟﻤﻜﺘﺒﯿﺔ ﺑﺎﻻﻃﻼع ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺘﺐ اﻟﻌﻠﻤﯿﺔ اﻟﻤﺘﻌﻠﻘﺔ ﺑﺎﻟﺒﺤﺚ
viii
KATA PENGANTAR Dengan berkat kerja keras dan kontinyu yang dibarengi dengan permohonan taufi>q dan‘ina>yah Allah SWT, penulis telah dapat menyusun sebuah karya yang sederhana ini dengan judul “Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh dalam Perspektif Fiqh dan HAM: Studi Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003.” Studi ini merupakan sebuah karya yang penulis pertahankan pada Sidang Promosi Magister di SPs (Sekolah Pascasarjana) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 April 2011. Penulisan karya ini merupakan salah satu syarat di antara syarat-syarat untuk dapat menyempurnakan studi di lembaga tersebut, sekaligus agar memperoleh gelar Magister Agama di bidang hukum/syariah (MA.Hk). Pasca sidang tersebut penulis dicatat sebagai Magister yang ke-1886 di instutusi tersebut. Dalam perampungan studi ini, ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Prof. Dr. H. Komaruddin Hidayat, MA, Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, sebagai direktur SPs UIN Jakarta yang merangkap dosen; dan Prof. Dr. H. Mohamad Atho Mudzhar, MSPD sebagai pembimbing penulis dalam penyusunan karya ini. Selain sebagai pembimbing, beliau juga merangkap sebagai dosen. Ucapan terima kasih juga kepada: Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabaly, MA, dan Dr. Yusuf Rahman, MA, sebagai tim pelaksana Work in Progress bagi penyempurnaan studi ini, yang merangkap sebagai dosen juga. Selanjutnya, ucapan terima kasih disampaikan kepada para dosen yang menyajikan Mata Kuliah/Pelajaran di ruang perkuliahan, terutama para dosen yang menyajikan Mata Kuliah bidang Hukum, Politik dan Perubahan Sosial: Prof. Dr. Abdul Halim, MA, Prof. Dr. Amany Burhanuddin Lubis, MA; para dosen yang menyajikan Mata Kuliah Perbandingan Hukum Keluarga di Berbagai Negara Islam: Prof. Dr. Huzaimah Tahio Tanggo, MA, Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA, dan Dr. Euis Nurlaelawati, MA; dan para dosen yang menyajikan Mata Kuliah Pendekatan Metodologi Studi Islam (PMSI): Prof. Dr. Abuddin Nata, MA, Prof. Dr. Sudarnoto Abdul Hakim, MA, Prof. Dr. A. Rodoni, MA, Prof. Dr. Ahmad Lutfi, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, MA, dan Dr. Muhaimin AG. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para dosen yang menyajikan Mata Kuliah Islam dan HAM—Studi Perbandingan: Prof. Dr. Bachtiar Effendy, MA, dan Dr. Hendro Prasetiyo, MA. Selanjutnya kepada kepala perpustakaan yang ada di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan pelayanan pada pencarian sumber-sumber literatur ilmiyah dan peminjaman buku-buku bacaan guna kelancaran penyusunan studi ini, dan kepada kawan-kawan /mahasiswa seperjuangan yang telah membantu dalam pemberitahuan kiat-kiat studi dan perkuliahan di Lembaga tersebut. Kepada bapak-bapak/ibu-ibu/dosen dan kawan-kawan yang telah penulis sebutkan, penulis ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya; jazāhum Allahu bi ah}sani mā ‘amilu>>, āmīn!
ix
Akhirnya Penulis mengakui masih ada ketidaksempurnaan pada studi ini, namun penulis mengharapkan kepada semua pihak agar dapat memberikan kritikan konstruktif sehingga Penelitian ini dapat berguna sebagaimana yang diharapkan.
Jakarta, 4 April 2011
Muhammad Yani
x
DAFTAR ISI TRANSLITERASI KATA PENGANTAR iii ABSTRAK DAFTAR ISI DAFTAR TABEL BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Permasalahan 1. Identifikasi dan Pembatasan Masalah 2. Perumusan Masalah C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Kajian Pustaka dan Penelitian Terdahulu E. Signifikansi Penelitian F. Metodologi 1. Jenis Penelitian 2. Instrumen Pengumpulan Data 3. Pengolahan dan Analisa Data 4. Bahan Penelitian G. Sistimatika Penulisan BAB 2 : PEMBERLAKUAN HUKUM JINAYAT DI ACEH A. Kondisi Masyarakat Aceh 1. Aspek Sosio-Geografis-Historis 2. Aspek Sosio-Yuridis B. Sejarah Otonomi Khusus Aceh 1. Kebijakan Berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 2. Kebijakan Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001 3. Kebijakan Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 C. Pengaturan Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 61 1. Hukum Jinayat Menurut Qanun 2. Rumusan Qanun a. Qanun No. 12 Tahun 2003 b. Qanun No. 13 Tahun 2003 c. Qanun No. 14 Tahun 2003 BAB 3 : PELAKSANAAAN HUKUM JINAYAT ACEH DALAM PERSPEKTIF FIQH A. Pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003 1. Ketentuan Uqubat (Punishment) Menurut Qanun a. Waktu Pelaksanaan `Uqubat b. Tempat Pelaksanaan c. Izin Imam untuk Pelaksanaan d. Teknik Pelaksanaan 2. Ketentuan Uqubat Menurut Fiqh
xi
i
ix v vi 1 1 13 13 15 15 16 19 22 22 23 24 24 24 27 27 27 32 41 43 46 49 61 65 66 70 75 79 79 79 82 83 84 85 88
BAB 4
a. Waktu dan Teknis Pelaksanaan b. Tempat Pelaksanaan c. Izin Imam untuk Pelaksanaan 3. Eksekusi Tindak Pidana Khamar di Aceh B. Pelaksanaan Qanun No. 13 Tahun 2003 100 1. Uqubat Judi Menurut Qanun a. Waktu Pelaksanaan b. Teknis Pelaksanaan c. Tempat Eksekusi 2. Judi Menurut Fiqh 3. Eksekusi Tindak Pidana Judi di Aceh C. Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003 1. Uqubat Khalwat Menurut Qanun a. Waktu dan Tempat Pelaksanaan b. Teknik Pelaksanaan c. Izin Imam untuk Pelaksanaan 2. Uqubat Khalwat Menurut Fiqh 3. Eksekusi Pelaku Khalwat di Aceh : PELAKSANAAAN HUKUM JINAYAT ACEH DALAM PERSPEKTIF HAM
94 95 95 96
100 102 104 105 106 110 113 113 114 116 118 119 121
127 A. Pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003 127 1. Qanun dan Perundang-undangan RI lainnya 127 2. Tujuan Uqubat Khamar Menurut Qanun 129 3. Pandangan HAM Universal dan Substansi Qanun 131 a. Hukuman dalam Qanun Khamar dan ICCPR1966 140 b. Pandangan CEDAW dan CAT terhadap Uqubat 150 4. Pandangan HAM Islam 153 a. Pandangan CDHRI 1990 154 b. Pandangan DIUHR 1981 157 B. Pelaksanaan Qanun No. 13 Tahun 2003 164 1. Qanun dan Perundang-undangan RI lainnya 164 2. Uqubat Judi Menurut HAM Universal 165 3. Qanun Judi dalam Perspektif Konsep HAM Islam 167 a. Pandangan DIUHR 1981 167 b. Pandangan CDHRI 1990 169 C. Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003 174 1. Qanun dan Perundang-undangan RI lainnya 174 2. Khalwat Menurut HAM Universal 176 3. Pandangan CEDAW 180 4. Pandangan HAM Islam 185 BAB 5
: PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran-saran
199 199 203
xii
205 211 217
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR INDEKS APPENDIX
xiii
DAFTAR TABEL Tabel 3.1. ………………………………………………………………….80 Tabel 3.2. ………………………………………………………………….91 Tabel 3.3………… ……………………………………………………….101 Tabel 3. 4. …………………………………………………………………106 Tabel 3.5. ………………………………………………………………….102 Tabel 3.6. ………………………………………………………………….122 Table 3. 7 ………………………………………………………………….123 Tabel 3.8 ………………
………………………………………………..123
Tabel 4.1. ………………………………………………………………….161 Tabel 4.2. ………………………………………………………………….171 Tabel 4.3. ………………………………………………………………….191
xiv
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Konflik yang berlangsung lama antar pemerintah Pusat dan Aceh telah melahirkan beberapa peraturan perundang-undangan. Perundangundangan tersebut tidak hanya merupakan wujud dari resolusi konflik demi konflik di antara keduanya namun kerap melahirkan penyempurnaan pada tatanan hukum perundang-undangan nasional. Fenomena ini nampak pada pengesahan undang-undang pemberian hak otonomi bagi Aceh untuk mengatur “rumah tangganya” sendiri (self government), dalam berbagai aspek kehidupan. Orde/masa pemerintahan yang ikut mempengaruhi nuansa politik dan hukum (perundang-undangan) di Indonesia adalah Orde Lama (1945-1966), Orde Baru (1966-1998) dan Orde Reformasi (1998sekarang). Faktor esensial konflik yang terjadi antara Pusat dan Aceh pada Orde Lama adalah peleburan Aceh ke dalam bagian provinsi Sumatra Utara, yang berubah dari apa yang dijanjikan pemerintah Orde Lama untuk memberikan otonomi bagi Aceh untuk mengatur diri sesuai dengan sosio-kultural masyarakatnya pasca kemerdekaan, terutama menyangkut dengan penerapan syariat Islam. Telah terjadi negosiasi politik antara tokoh-tokoh Aceh dengan pemerintah Pusat. Presiden Sukarno (1945-1966) berjanji akan memberikan hak otonom bagi Aceh, termasuk mendirikan Mahkamah Syariyah jika Aceh mendukung kedaulatan Indonesia. Dikatakan Syed Serajul Islam bahwa Provinsi Aceh lahir setelah adanya gejolak social (Darul Islam) yang disebabkan oleh pengingkaran janji Sukarno terhadap tokoh-tokoh Aceh. Sukarno membagikan pulau Sumatra menjadi tiga bagian: Pertama, Sumatra Utara, yang termasuk Aceh; kedua, Tapanuli; dan ketiga Sumatra Timur. Kebijakan ini telah mengurangi hak otonom bagi Aceh sekaligus pengingkaran terhadap janji sebelumnya.1 1
“ Indonesian nationalist leaders gave tentative recognition to the PUSA’s de facto control of Aceh and even recognized the newly–established Islamic Courts. Sukarno, the nationalist leader, met Daud Beureueh in June 1948 in Aceh and promised that Aceh would be an Islamic province if it was committed to supporting Indonesia.
1
2
Peleburan—yang mengakibatkan timbulnya gerakan Dār alIslām (DI) Aceh tahun 1953-1954 yang digerakkan Daud Beureueh itu membawa dampak pada pengesahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara.2 Dengan perkataan lain, akhirnya, pergolakan yang yang bercampur dengan gerakan NII (Negara Islam Indonesia) pimpinan Kartosuwiryo dapat dipadamkan pemerintah Pusat dengan pembentukan provinsi Aceh dan pengesahan hak otonomi. 3 Pada masa Orde Baru pimpinan Suharto (1966-1998), Hak Otonomi untuk Aceh dari Undang–Undang Nomor 24 Tahun 1956 itu tidak direalisasikan, bahkan pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan di daerah yang mengakibatkan penghapusan sejumlah hak dan wewenang pimpinan adat di Aceh. Kebijakan pemerintah Pusat seperti ini memunculkan gejolak lagi yang berupa gerakan pemisahan diri dari Indonesia yang dipimpin Hasan Tiro tahun 1976 yang memakan waktu 30 tahun. Pemerintahan Suharto dengan mengeluarkan Undang-undang tersebut telah mengakibatkan penghapusan wilayah mukim (kekuasaan adat) yang telah tegak dalam wilayah Aceh sebelumnya di samping mengubah sebutan “gampong” … That declaration came as a serious disappointment to Acehnese; it was considered a betrayal to preindependence pledges by Sukarno to PUSA leaders. That was the begining of Acehnese nationalism.” (“Para pemimpin nasionalis Indonesia memberikan pengakuan sementara pada pengontrolan de facto PUSA dan bahkan mengakui pendirian Mahkamah Shariyah baru. Sukarno sebagai pemimpin nasionalis, telah menjumpai Daud Beureueh pada Juni 1948 di Aceh dan telah menjanjikan bahwa Aceh akan menjadi sebuah provinsi Islam jika mau mendukung Indonesia. … Pernyataan (janji) itu menjelma dalam (bentuk) pengingkaran serius terhadap rakyat Aceh; Pengingkaran itu menjadi sebuah pengkhianatan terhadap sumpah-sumpah yang diucapkan Sukarno di hadapan tokoh-tokoh PUSA sebelum kemerdekaan. Pengingkaran itu juga menjadi permulaan bagi nasionalisme rakyat Aceh”). Lihat Syed Serajul Islam, The Politics of Islamic Identity in South East Asia (Mexico: Thomson, 2005), 58 dan 60. Lihat juga Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar`iyyah dalam Sistem Peradilan Nasional (Jakarta: Fakultas Hukum Universiatas Indonesia, 2009), 66. 2 Repulik Indonesia, UU No. 24 Tahun 1956 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1103). 3 Abu Ramli, seorang mantan Perwira Personalia Resimen VII mengatakan bahwa hubungan antar gerakan NII di Aceh dan NII di Jawa Barat ada, namun ideologi dan kebijakan politik antara keduanya tidak ada hubungan apa-apa. Lihat “NII Jabar Tak Ada Hubungan dengan DI/TII di Aceh”, Waspada, 17 Mei 2011, B5.
3
dengan “desa” dan “kelurahan” sebagai teritorial administratif paling bawah. Pasca kejatuhan Suharto sejak 21 Mei 1998 muncul Orde Reformasi di Indonesia. Dalam penyelesaian konflik Aceh, pemerintah Pusat melakukan banyak melakukan upaya penyelesaian konflik (perang saudara antara pemerintah RI dan GAM), namun tidak menemukan solusi. Hasil dari berbagai negosiasi, pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 4 yang ditanda tangani presiden B. J. Habibie (1998-1999); dan UU No. 18 Tahun 2001 bagi Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, yang ditandatangani presiden Megawati Sukarnoputri (2001-2004). Akhirnya seiring dengan bencana alam tsunami tahun pada 26 Desember 2004—yang menelan 200.000,- jiwa lebih, muncul inisiatif baru untuk menyelesaikan konflik Aceh, yakni melalui negosiasi di meja perundingan sehingga menghasilkan perjanjian damai (yang bersifat internasional) antara pemerintah Pusat dan Gerakan Aceh Merdeka (Freedom Aceh Movement) pada tanggal 15 Agustus 2005. Perjanjian itu dipimpin Marty Ahtisaari di Helsinki, Finlandia. Dampak dari perjanjian damai tersebut pemerintah Indonesia mengesahkan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU itu ditanda tangani presiden Susilo Bambang Yudoyono, yang sedang berlaku hingga saat sekarang ini.5 UU yang disahkan tahun 2006 ini menunjukkan kewenangan pemerintah Aceh6 menjadi bertambah dalam menjalankan roda 4
Lihat Republik Indonesia, UU No. 5 Tahun 1974. Lihat juga Republik Indonesia UU No. 44 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3893). 5 Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden yang keenam (2004-sekarang). Sebelumnya, yang pertama Sukarno (1959-1966); kedua Suharto (1966-1998); ketiga B. J. Habibie (1998-1999); keempat Gus Dur (1999-2001); dan kelima Megawati Sukarnoputri (2001-2004). Lihat Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen. Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah (Canada: Routledge, 2008), 144. 6 Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Lihat Bab I Pasal 1 Ayat 4 UU No. 11 Tahun 2006.
4
pemerintahan, terutama dalam merealisasikan perundang-undangan RI yang tidak terealisasikan sebelumnya. Bidang syariah dapat terlihat pada Bab XVII Pasal 128-137, yang memberikan kewenangan bagi pemerintah Aceh dalam penerapan syariat di berbagai aspek (termasuk Jinayat). Hal ini terlihat bahwa berbagai qanun (syari‘at) yang sebelumnya masih bersifat kurang asosiatif, seperti Qanun-qanun turunan UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 44 Tahun 1999, telah nampak pada realita-aplikatif dalam kehidupan masyarakat. Keppres RI No. 11 Tahun 2003 yang menuntun Mahkamah Syariyah juga dapat dilihat telah menemukaan porsi yudisial dalam merealisasikan Hukum Jinayat dan lainnya. Sebelum UU No. 11 Tahun 2006, UU No. 18 Tahun 2001 Bab XII Pasal 25 Ayat 2 telah memuat adanya hak otonomi khusus7 bagi Mahkamah Syar’iyah Provinsi. Tepatnya pada Ayat 3 dari UU No. 18 Tahun 2001 dikatakan adanya pemberian wewenang kepada legislatif dan eksekutif Aceh untuk membuat qanun (bylaw). Mengingat UU ini, pemerintah NAD merealisasikan Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang khamar dan yang sejenisnya, Qanun No. 13 tentang judi (maisir), dan Qanun No. 14 tentang khalwat.8 Pelaku pelanggaran terhadap ketiga Qanun ini ditetapkan ketentuan hukum (h}add/ta‘zīr) pencambukan di muka publik dengan mekanisme yang telah ditetapkan dalam qanun. Fenomena ini tidak bertentangan dengan hukum perundang-undangan dan Undang-undang Ketatanegaraaan Indonesia, terutama pasca pengamandemenan UUD 1945 sebanyak empat kali. Sekarang, Aceh dan pemerintahannya berpijak pada UU No. 11 Tahun 2006. Bab 1, Pasal 1, Ayat 2 UU tersebut menyatakan Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberikan kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan 7
Penjelasan tentang Otonomi Khusus telah menemukan hasil analisis dari Dinas Syariaat Islam NAD periode 2003-2008. Alyasa’ mengatakan bahwa Qanun (yang biasanya sederajat dengan Perda) telah berubah statusnya menjadi setingkat Peraturan Pemerintah (PP) yang bisa menyingkirkan Perpres dan Perda. Lihat Alyasa’ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi NAD 2008), 34. 8 Arskal Salim, “ Shari’a in Indonesia’s Current Transition”, dalam Asskal Salim and Azyumardi Azra, Shari;a and Politics in Modern Indonesia (Singapore: ISEAS, 2003), 224-226).
5
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur. Di dalam Ayat 4 Pasal tersebut juga diakatakan, Pemerintah Aceh adalah pemerintah daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah Aceh dan DPR Daerah Aceh sesuai fungsi dan kewenangan masing-masing.9 Setelah kurun masa 6 figur kepresidenan, hanya K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), presiden RI ke-4 yang mampu mencetuskan hak Otonomi untuk pelaksanaan syariat di Aceh tahun 1999.10 Gus Dur sendiri juga ikut terlibat dalam memberikan pendapat tentang Syariat Islam Aceh. Gus Dur berpendapat dalam diskursus hukum Islam, kerab mengkritisi pemahaman tentang hukum Islam menurut zahir nas}s} semata. Gagasannya tentang pelaksanaan syari’at Islam di Aceh-Indonesia telah banyak dicetuskan. Beliau, misalnya, mengatakan maksud dari qis}a>s} (dari ayat al-Qur’a>n tentang Hukum Jināyāt): jiwa (dibalas) dengan jiwa dan mata dengan mata (dalam nas}s}) adalah untuk pencegahan. Maka penafsiran h}add potong tangan bagi tindak pidana pencurian agar tidak diberi makna secara zahiriyah ayat. Namun yang penting ada dua prinsip yaitu menghukum dan mencegah (punishment and preventiont).11Pandangan Gus Dur ini juga didukung Iman Ghazali Said yang memaknai al-qat}’u (memotong) dengan alman’u (mencegah).12 Meskipun ketiga UU, yakni UU No. 44 Tahun 1999 tentang keistimewaan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001, dan UU No. 11 Tahun 2006 9
4.
Republik Indonesia, UU No. 11 Tahun 2006 Bab 1, Pasal 1, Ayat 2 dan Ayat
10
Pandangan ini dicetuskan Gus Dur di Mesjid Baiturrahman B. Aceh pada tahun 2000. 11 K. H. Abdurrahman, Misteri Kata-kata, 34. Lihat juga Sukron Kamil, dkk., Syariat Islam dan HAM, Dampak pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hakhak Perempuan dan non-Muslim (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 91. 12 Iman Ghazali Said, Piagam Madinah dan Konstitusi Indonesia” dalam Masykuri Abdillah, , dkk. Formalisasi Syariat Islam di Indonesia (Jakarta: Renaisan, 2005), 127
6
pernah disahkan, paradigma perdebatan hukum di Indonesia yang menyangkut dengan Aceh belum sampai ke titik terminasi. Masyarakat masih menghadapi diskursus (perdebatan) hukum dalam realita kehidupan sehari-hari. Perkembangan opini tentang Hukum Jinayat terus bergulir. Namun sebagaimana dikatakan Alyasa‘ Abu Bakar bahwa pemerintah Aceh berusaha ingin menjadikan ketiga qanun—tentang khamar, judi dan khalwat—untuk menjadi sebuah Kompilasi Hukum Jinayat Aceh (KHJA) yang netral—dalam menemukan titik kesesuaian— di antara Jināyāt Fiqhiyah dan HAM.13 Hal ini nampak pada realita materil dari “Qanun Jinayat” yang disahkan tersebut. Sedangkan Rancangan Qanun (jinayat “rajam”) yang datang belakangan—yang diajukan DPRA periode 2004-2009—, tidak disahkan Gubernur Aceh, karena kandunan materi hukuman rajam bagi penzina muh}s}an masih memiliki kontradiksi yang tajam dengan Deklarasi HAM Universal dan sejumlah hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.14 Seiiring dengan perdebatan itu, suara perjuangan penegakan HAM ikut bergema pasca kejatuhan kepala pemerintahan rezim Orde Baru (Orba), Suharto 1998, dan pasca konflik Aceh reda. Perbincangan juga menyangkut dengan pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh oleh aparat RI tidak dapat diungkapkan pada saat konflik Aceh berlangsung. Konflik Aceh pada masa Orba bersifat domestik dan terisolasi/jauh dari pantauan dunia luar di dalam system pemerintahan ototiter. Dengan muncul presiden B.J. Habibie melanjutkan “tongkat estafet” kepemimpinan presiden Suharto, jantung demokrasi rakyat mulai terbuka dan berbagai undang-undang yang menyangkut dengan HAM disahkan. B. J. Habibie mengeluarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia yang mengokohkan Komnas HAM yan disahkan berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 199815 di Indonesia yang berlaku sampai saat sekarang ini.16 13
Alyasa‘Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2008), 106-168. 14 www.mahkamahsyariyahaceh.go.id diakses 1 Mei 2010. 15 Di samping kewenangan menurut UU No. 39 Tahun 1999, Komnas HAM juga berwenang melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia dengan dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan Undang-undang ini, Komnas HAM adalah lembaga yang
7
berwenang menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Dalam melakukan penyelidikan ini Komnas HAM dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan unsur masyarakat. 16 Menanggapi hukuman h}add/Jina>yat kontemporer di Aceh dapat melanggar HAM, Hasanuddin Yusuf Adan mengatakan bahwa Hak Azasi Manusia (HAM) yang dalam yang dalam bahasa Inggeris disebut Human Rights akhir-akhir ini sudah dijadikan raja oleh sebahagian manusia di dunia raya ini. Padahal ia tidak lebih dari sebuah aturan yang disusun oleh manusia yang diciptakan Allah dan memiliki banyak kelemahan. Sementara Hukuman cambuk merupakan komponen resmi dan penting dari Hukum Jinayah (Pidana Islam) yang elemen-elemennya langsung datang dari Allah selaku pencipta lebih ditinggalkan dari pada para penyusun HAM. Menurutnya, memang selama ini di Aceh banyak orang yang menantang pelaksanaan hukuman cambuk sebagai salah satu dimensi dari Hukum Islam. Alasan mereka selalu dikaitkan dengan pelanggaran HAM. Mencambuk orang yang melanggar syari’at Islam adalah melanggar HAM, paling tidak demikianlah ucapan gamblang mereka. Tetapi mereka tidak pernah menguraikan bagaimana tata cara pelaksanaan Hukum Islam yang penuh kemuslihatan itu. Mereka tidak pernah mengkajinya dengan kajian ilmiah dan objektif, yang ada adalah pemahaman terhadap ketentuan-ketentuan HAM itu sendiri baik yang tertera dalam Deklarasi Umum Hak Azasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights), yang salah satu instrumennya adalah Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah disahkan ke dalam UndangUndang No. 12 Tahun 2005. Dengan gambaran seperti di atas, maka tidak dapat dengan serta merta seseorang itu menyimpulkan bahwa Hukuman Cambuk melanggar HAM. Apa lagi kalau kebanyakan yang mengatakan demikian sudah menjadi agen pihak tertentu yang menutup mata terhadap kemuslihatan Hukum Islam dan keadilan hukuman cambuk. Dari segi usia antara HAM atau DUHAM dengan hukuman cambuk jauh sekali lebih tua hukuman cambuk, HAM itu muncul lebih kurang 600 tahun setelah lahirnya Hukuman Cambuk. Dari segi pencipta juga tidak dapat disetarakan sama sekali karena hukuman cambuk milik dan ciptaan Allah sementara HAM buatan manusia yang manusia itu sendiri diciptakan, dihidupkan, dinafkahi, disejahterakan dan diberikan rezeki oleh Allah SWT. Toh karena mengikuti perkembangan HAM di Eropa, yang berasal dari dokumen Magna Charta 1512. Hukuman cambuk itu dilaksanakan dalam pidana Islam sebagai balasan bagi pelanggar Hukum Allah dengan tujuan untuk menjerakan pelanggar syari’ah dan memberi pelajaran kepada orang lain yang belum melanggarnya agar mereka tunduk dan patuh kepada Allah sang Khaliq dan Maha Raja dari segala raja-raja yang ada. Artinya, itu merupakan salah satu hukum atau undang-undang atau peraturan baku yang positif, objektif dan logis bagi seluruh ummat manusia yang berpikir waras dan baik.
Lihat http://ummahonline wordpress.com/2010/02/19/aceh-antar-hukumcambuk-dan-ham/ (diakses 9 Desember 2010). Lihat juga Nazila Ghanea, Alan Stephens and Raphael Walden, Does God Believe in Human Rights?: Studies on Religion, Secular Beliefs and Human Rights (Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2007), 14.
8
Hak demokrasi rakyat juga dibuka lebar bagi dunia. Bahkan isu (penyuaraan) tentang HAM lebih bergema ketika qanun yang menyangkut jinayat (terutama hukuman pencambukan) diterapkan di Aceh sejak tahun 2003 sampai saat sekarang ini. Memang sejak zamam Yunani kuno Hak Asasi Manusia telah muncul dan diterjemahkan sebagai hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik yang menuntut setiap individu menjunjung tinggi nilai hak tersebut tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya. Seorang Folosof Yunani, Aristoteles telah menulis tentang hak-hak dari warga Negara secara luas untuk memiliki dan berpartisipasi dalam urusan public (ancient philosophers such as Aristoteles wrote extensively on the rights of citizens to property and participation in public affairs).”17 Menyangkut HAM, selain menggalang kerjasama bangsa-bangsa global (United Nations), secara regional, Indonesia bersama dengan Negara-negara tetangganya juga telah menyepakati beberapa kesepakatan internasional, sebagaimana dikatakan dalam sebuah dokumen tentang HAM: “Indonesia has, both by ASEAN and Islamic world standards, been diligent in accepting major human rights conventions over the past forty years. It has ratified 12 of the 16 main UN conventions, including the Universal Declaration on Human Rights (UDHR), the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), the International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) and the International Covenant on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). It has also played a role in the UN General Assembly debates on the ICCPR and 17
“However, neither the Greeks nor the Romans had any concept of universal human rights; slavery, for instance, was justified both in ancient and modern times as a natural condition. Medieval charters of liberty such as the English Magna Carta were not charters of human rights, let alone general charters of rights: they instead constituted a form of limited political and legal agreement.” Lihat http://www.UDHR/Human_rights. htm, diakses tanggal 7 Desember 2010, diakses tanggal 17 Desember 2010.
9
ICESCR as a member of the Third Committee and later had an individual representative on the final committee formulating both conventions. Indonesia has often been present at, though not a leading player in, the various initiatives to draft an Islamicbased human rights declaration or convention. Indonesia had representation at the 1990 meeting of Organization of the Islamic Conference (OIC) member foreign ministers which adopted the Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI).”18 Berdasarkan bunyi dokumen tersebut, Indonesia bersama Negara-negara OKI telah berperan serta dalam menyelesaikan persoalan Islam global menyangkut konsep hak asasi manusia. Konsep HAM yang dicetuskan OKI adalah berdasarkan Islam, yang dikenal dengan Deklarasi Kairo tentang hak-hak Asasi Manusia (Cairo Declaration on Human Rights in Islam) Agustus 1990. CDHRI ini merupakan kesepakatan Negara-negara muslim untuk menyepakati keputusan bersama yang menyangkut dengan persoalan hukuman pidana (mati) atas riddah (dan rajam) yang dikatakan melanggar hak asasi manusia oleh Pasal 18 UDHR 1948.19Menurut pihak ini DUHR 1948 masih bersifat relatif. Pasal 25 CDHRI mengimplikasikan bahwa OKI mengakui pluralitas mazhab fiqh dalam dunia Islam. Hukum Islam dapat diterapkan menurut daya terima (receptive) masyarakat di kawasankawasan tertentu dari belahan bumi. Sejumlah mazhab hukum Islam seperti Sunni, Shi‘i>, Ja‘farī, Mu‘tazilī, H{ānāfī, Mālikī, Shāfi’ī, H{anbalī, Wahabi>, Z{āhirī, Madhhabī, Non-Madhhab, Zuhailī, Islam Rasional (kelanjutan dari paham mu‘tazilah)20 dan lain-lain dapat diamalkan umat Islam sesuai situasi dan kondisi mereka. Bahkan Organisasi Islam dunia ini juga ingin mewujudkan Islam menjadi suatu agama yang dapat membawa rahmat bagi sekalian alam, sehingga hukum Islam menjadi pedoman dalam kehidupan umat Islam dalam bermasyarakat, berbangsa
18
Lihat http://www.UDHR/Human_rights. htm, diakses tanggal 7 Desember
2010. 19
Ann Elizabeth Mayer Islam, and Human Right, Tradition and Politics (Colorado: Westview Press, 1999), 23. 20 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (Jakarta: Mizan, 1994), 211-283.
10
dan bernegara di manapun mereka berada, tak terkecuali bagi umat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 21 Penerapan Hukum Islam di Aceh-Indonesia didukung oleh konstitusi negara (Undang-undang Dasar 1945). Di dalam Pasal 29 dikatakan bahwa kebebasan beragama di Indonesia berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Kandungan Konstitusi juga telah ikut melatar belakangi sejumlah Undang-undang RI yang menyangkut Aceh seperti: UU No. 44 Tahun 1999, dan UU No. 18 Tahun 200. Pasca Mou Helsinki disahkan pula UU No.11 Tahun 2006. Fenomena ini menunjukkan bahwa konstituisi Negara RI ikut melatar belakangi pengesahan dan pelaksanaan Qanun Aceh tentang “jinayah.” Di dalam Qanun Jinayat masyarakat diberikan peranan untuk mencegah terjadinya jarimah (kejahatan) minuman khamar, judi, dan khalwat. Peran serta umat Islam tersebut bukan dalam bentuk “main hakim sendiri”, namun berdasarkan proses peradilan di Mhkamah. Jika tidak menoleh ke aspek HAM, uqubat cambuk yang diatur Qanun akan lebih efektif karena memberi rasa malu dan tidak menimbulkan resiko serius bagi keluarga, jenis hukuman ini juga memadai biaya lebih murah yang ditanggung pemerintah dibandingkan jenis ‘uqubat lainnya, seperti penahanan, yang lebih banyak menghabiskan dana dalam proses penghukuman pelaku kejahatan. Urensi qanun jinayat juga merupakan salah satu upaya pemerintah Aceh untuk menghindari kevakuman hukum dalam kancah upaya merealisasikan hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia yang terkait dengan pidana. Lembaga Mahkamah Syariyah dan Wilayatul Hisbah diberikan tugas dalam upaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi (cambuk) dan pengawasan pelaku tindak pidana yang telah diqanunkan. 22 Ketua Dewan Da‘wah Islam Indonesia wilayah Aceh, Hasanuddin menegaskan bahwa hukuman cambuk sama sekali tidak melanggar HAM dan tidak akan melanggar HAM kalau eksekutor menjalankannya mengikuti ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Sebaliknya, malah HAM itu sendiri yang selama ini menjajah hukum Islam khususnya hukuman cambuk. Pegiat HAM di seluruh penjuru dunia harus belajar Hukum Islam dan belajar rasionalisasi Hukum Islam 21
CDHRI 1990 Pasal 25. Lihat qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 1, 16, dan 17 ; Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 1 dan 16; dan Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 dan 13. 22
11
agar tidak berprasangka jahat terhadap Hukum Allah ini. Jangan mengedepankan Hak Azasi Manusia hanya dalam batas-batas yang menguntungkan mereka saja dengan berupaya menghambat berjalannya Hukum Islam di negara dan wilayah mayoritas muslim seperti di Aceh. Itu tidak berhak sama sekali, semua manusia bebas beragama adalah salah satu ketentuan HAM, karena sudah bebas beragama maka bebas pula bagi mereka untuk menjalankan ketentuan agamanya.23 Hukuman ini merupakan salah satu ketentuan agama Islam yang wajib dilaksanakan oleh semua muslim di seluruh alam. Karenanya tidak berhak pihak lain dengan mengatasnamakan HAM menghambat, melarang dan mencemooh berlakunya kukuman cambuk di Aceh karena itu dibenarkan oleh ketentuan HAM dunia berkenaan dengan kebebasan beragama.24 Senada dengan Hasanuddin, Sulieman Abdul Rahman Al-Hageel telah membuat penafsiran lebih moderat. Ia menegaskan bahwa orang muslim telah terikat dengan ketentuan Islamnya, maka hukum takli>fi> berlaku atasnya. Fenomena seperti ini menurutnya tidak dapat dikatakan melanggar HAM.25 Hukuman yang menjerakan pelaku tindak pidana terdapat pula oleh Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional yang ditetapkan oleh Konperensi Diplomatik PBB di Plenipotentiaries pada 17 Juli 1998. Pasal 7 Statuta Roma menyatakan “tindakan penyiksaan yang sudah menyebar luas atau secara sistematis dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang menyebabkan penderitaan atau terluka secara fisik maupun mental dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Penyiksaan didefinisikan sebagai tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau penderitaan baik secara fisik maupun mental terhadap seseorang dalam tahanan atau seorang tersangka dalam hukum; terkecuali apabila merupakan bagian dari sanksi hukum dan tidak menyebabkan adanya penderitaan.”26 23
Pasal 18 ayat (1) UDHR 1948 Hasanuddin Yusuf Adan, “Aceh Antara Hukuman Cambuk dan HAM,” http://ummahonline wordpress.com/2010/02/19/aceh-antar-hukum-cambuk-dan-ham/ (diakses 9 Desember 2010). 25 Sulieman Abdul Rahman Al-Hageel, Human Rights in Islam and Refutation of the Misconceived Allegations Associated with this Rights, 2nd edition (Arab Saudi: HRH Prince Sultan Ibn ‘Abdul-Aziz al-Sa‘u>d, 1999) , 23. 26 Lihat Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional yang ditetapkan oleh Konperensi Diplomatik PBB di Plenipotentiaries pada 17 Juli 1998. 24
12
Berbeda dengan pandangan tersebut, ada juga pandangan muslim liberal yang tidak setuju dengan penghukuman h}add dalam Islam. Realita ini terlihat pada contoh yang diberikan Sukron Kamil dkk dalam Syariat Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil , Hak-hak Perempuan dan Non-Muslim bahwa terdapat pandangan Fazlur Rahman, seorang cendekiawan neo-modernis yang hijrah dari Pakistan ke Amerika karena merasa tidak ada kebebasan akademik di negaranya. Menurutnya, hukum (h}add) potong tangan yang ditetapkan Pakistan merupakan sesuatu yang mengerikan dan merupakan tradisi (hukum) masyarakat Arab, yang tidak mesti diterapkan di luar Arab.27 Dengan perkataan lain baik Gus Dur, Sukron Kamil, ataupun Fazlur Rahman telah ikut mengintepretasikan hukum Islam jinayat menurut pandangan modern. Selain itu, pelaksanaan Qanun Aceh mendapat pantauan pegiat HAM. Pihak Human Right Watch (HRW) melakukan penelitian menyangkut dengan adanya pelanggaran HAM pada realisasi Qanun Aceh. Setelah melakukan penelitian mulai bulan Mei-April 2010 di Aceh, HRW merekomendasikan kepada pihak terkait agar membatalkan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat, dan mengamandemen Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang busana muslimah. Wakil Direktur HRW Asia, Elaine Pearson mengatakan bahwa HRW pada dasarnya bersikap netral atas penerapan syariat di Aceh, dan mereka sebenarnya tidak punya posisi pada syariat kecuali bila bertentangan dengan HAM yang dilindungi Undang-undang dan berbagai konvensi (HAM) yang diratifikasi Indonesia.28 Berdasarkan uraian di atas studi ini ingin membahas tentang bagaimana pandangan fiqh dan HAM terhadap pelaksanaan hukum jinayat—yang sejak zaman dahulu didambakan masyarakat Aceh dalam konteks negara kebangsaan (baca: negara bangsa) yang berdasarkan Pancasila pada saat sekarang ini. 29Dengan pekataan lain, hukum jinayat 27
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariat Islam dan HAM, Dampak pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim, 91. 28 “Hukum dan Kriminalitas”, Gatra.Com, tanggal 9 Desember 2010, 1 dalam http://www.gatra.com/artikel.php?id=143697 (diakses tanggal 15-02-2011). 29 Kondisi kemajemukan kehidupan umat beragama telah di atur sejak Nabi Saw. Nabi Saw membentuk Piagam Madinah (Madinah Charter) yang mengayomi semua ummat, tanpa membentuk Negara Islam. Prinsip toleransi dan sikap lakum
13
yang diberlakukan di Aceh sebagaimana Qanun No. 12, 13, dan 14 merupakan peluang otonomis semata, sehingga tidak bertentangan dengan ideologi negara dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 30
B. Permasalahan 1. Identifikasi dan Pembatasan Masalah Studi ini mengkaji konsep dan ruang lingkup hak otonomi dan keistemewaan bagi Aceh yang menyangkut dengan penerapan syariat Islam yang telah disahkan oleh sejumlah Undang-undang, seperti UU No. 44 Tahun 2009, UU No. 18 Tahun 2001, UU No. 11 Tahun 2006, dan bahkan UUD 1945 (sebagai konstitisi Negara). Hak otonomi dan keistimewaan yang dimaksudkan dalam studi ini adalah hak dalam penerapan hukum jinayat sebagaimana yang terdapat dalam Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003.
di>nukum waliadin di antara agama–agama yang beerbeda-beda tumbuh pada masa Nabi Saw. Dikatakan Norrahman dalam artikelnya “Copatibility between Pancasila and Sharia-based Islamic Teaching” yang dimuat oleh The Jakarta Post, tanggal 10 Januari 2010, 6, “ It is correct that when he migrated to Medina, Muhammad was trusted to become the leader of plural society consisting of many tribes and religions….In a state where Muslims have been given the freedom to conduct.” Di dalam “ List of Muslim Majority Countries” juga dinyatakan bahwa Indonesia adalah Non Religion State (bukan Negara Agama). Lihat http//www. List_of_Muslim_majority_countries.htm (diakses tanggal 7 Desember 2010). 30 Pertentangan-pertentangan hukum Jinayat dengan hukum adat di Indonesia merupakan realita keniscayaan di dalam dunia hukum. Bahkan di antara hukum Islam itu sendiri juga kerap terjadi pertentangan karena perbedaan penafsiran dari sumbernya (nas}). Terdapat banyak perbedaan metode analogi dan pemahaman masing-masing pakar Fiqh. Pengalaman historis-keindonesian menunjukkan adanya persoalan penerapan Hukum Pidana Islam (Jināyāt) yang melahirkan konflik antara golongan madzhabi> dan non-madzhabi>. Golongan madhhabī kerab merujuk kitab fiqh imam madhhab (yang berisi al-ah}ka>m al-‘urufi>yah) dalam memutuskan perkara, sedangkan golojan non-madhhab tidak bermazhab) menarjih zahir nas} secara langsung dalam pemutusan perkara jinayat dan persoalan hukum lainnya. Belanda ketika menjajah Indonesia tempo dulu memanfaatkan kondisi untuk melakukan pendekatan konflik, dengan mengadu domba antara golongan adat (young people) dan golongan paderi/golongan ulama (old people) pada awal abad ke-18 M. Lihat Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter, 16. Lihat Juga Muhammad Atho Mudzhar, Fatwa Majlis ‘Ulama al –Induni>si>: Dira>sah fi al-Fikri al-Tashri> ‘i> al-Isla>mi> bi Indu>ni>sia> 1975-1988 (Jakarta: INIS, 1992), 38.
14
Peluang penerepan hukum Islam di Aceh yang dipayungi sejumlah hukum perundang-undangan tersebut, membuat studi ini meninjau sejauh mana konsep Fiqh Islam dan HAM yang telah direalisasikan dalam pelakasanaan Qanun-qanun tersebut, terutama dalam penanganan kasus tindak pidana dengan hukuman (‘uqu>ba>t) pencambukan. Pandangan Fiqh terhadap pelaksanan Qanun-qanun tersebut didasarkan pada pendapat sejumlah imam mazhab Fiqh yang berkembang dalam Islam. Sedankan pandangan hukum HAM akan dinilai dengan sejumlah pasal UDHR dan kesepakatan (covenants) HAM dunia, termasuk yang sudah diratifikasi (disahkan) untuk menjadi Hukum Perundang-undangan RI seperti UU No. 68 Tahun 1998 sebagai tindak lanjut dari Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan (CPRW); UU No. 7 Tahun 1984 sebagai tindak lanjut dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW); UU No. 5 Tahun 1998 sebagai tindak lanjut dari Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (Toture Convention); dan instrument HAM lainnya yang terkait yang telah diratifikasi Indonesia. Studi ini mengidentifikasikan masalah-maslah bagaimana Qanun Aceh tersebut mempertimbangkan dampak dari keseluruhan konvensi HAM tersebut pada penerapan Hukum Jināyāt/penghukuman cambuk di Aceh. Studi ini juga menyinggung alternatif kebijakan yang ditempuh konsep HAM Islam (CDHRI dan UIDHR) yang dapat menghubungkan antara hukum jinayat dengan pandangan peratifikasian UU dari kovenan-kovenan HAM tersebut, mengingat hukum jinayat bersumber dari hukum (agama) Islam. Dengan perkataan lain, sejumlah instrument HAM tersebut bersama dengan factor-faktor terkait, akan menjadi suatu bahan analisa bagi studi ini. Jadi, studi ini hanya membatasi permasalahan pada pelaksanaan syariat Islam (jināyāt) di Aceh priode Pemerintahan Aceh kontemporer yang menyangkut dengan: a. Kebijakan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh, dan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Daerah Istimewa Aceh menjadi Naggroe Aceh Darussalam terhadap pengesahan Perda Prov. DI Aceh No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat
15
Islam/Hukum Jināyāt.31 Penelitian juga menganalisa dampak hukum perundang-undangan tersebut terhadap pengesahan Qānūn No. 12 Tahun 2003 tentang khamar dan Sejenisnya, Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Perjudian, dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwāt—yang kerab dikenal dengan Qanun “Jinayat.” b. Realitas perspektif Fiqh Islam dan HAM terhadap pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan sejenisnya, Qānūn No. 13 Tahun 2003 tentang Perjudian, dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwāt c. Konsep-konsep HAM yang berkembang, yakni: UDHR 1948, ICCPR 1966, CAT 1984, CEDAW 1979, UIDHR 1981, CDHR 1990 dalam proses pengimplementasian Hukum Jināyāt di Aceh. 2. Perumusan Masalah Banyak persoalan yang dihadapi Qanun Aceh yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam. Tidak semua persoalan tersebut dapat dijawab dalam penelitian ini. Studi ini dilakukan hanya dalam rangka menjawab dua pertanyaan, yaitu: Pertama, bagaimana pelaksanaan hukum Jinayat di Aceh menurut perspektif Fiqh Islam dan HAM ?Kedua, sejauh mana peluang hak otonomi bagi Aceh dalam penerapan Hukum Jinayat selama pemerintahan Aceh kontemporer?32Kedua pertanyaan ini diberi jawaban berdasarkan pelaksanaan Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003. C. Tujuan Penelitian 31
Analogi dari term al-Fiqh al-Islāmī menjadi term Hukum Islam, sebagaimana dipaparkan Abd. Shomad, maka dari al-fqh al-jināī—menurut penelitian ini—juga dapat dijabarkan menjadi term “hukum jinayat” dalam tema besar Penelitian ini. Mukri Ali, dengan mengutip Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Indonesia, mengatakan bahwa kata “hukum” berasal dari kata Arab al-h}ukm berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Secara bahasa al-h}ukm berarti juga mempunyai pengertian al-qad}a>’ (ketetepan) dan al-māni‘ (pencegahan). Lihat Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Cet. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 25. Lihat juga Mukhtar Ali, Prospek Fatwa sebagai Hukum Positif di Indonesisia (Jakarta: SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009), 51. 32 Kontemporer artinya: “sezaman, semasa; bersamaan waktu; di waktu yang sama; masa kini dan dewasa ini. Lihat Badu Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), 10.
16
Adapun tujuan penelitian ini adalah sbb: 1. Untuk menguraikan bagaimana perspektif Fiqh dan DUHAM terhadap Hukum Jinayat Aceh. 2. Untuk menguraikan mengapa Hukum Jinayat diterapkan di Aceh. 33 3. Untuk menjelaskan dampak sosio-legal-historis terhadap pelaksanaan hukum jinayat di Aceh pada zaman kontemporer. D.
Kajian kepustakaan dan penelitian terdahulu yang relevan Terdapat beberapa studi yang telah dilakukan yang berkaitan dengan studi ini, antara lain: 1. Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia (Kanada: McGill University, 1997). 2. Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 3rd Edition (Colorado: Westview, 1999). 3. Azyumardi Azra, “Implementasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam,” dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi menuju
33
Tujuan Hukum Islam menurut shara‘, telah disinggung ‘Abdu al-Qa>dir ‘U’ al-Jinā’i, al-Islāmī Muqāranan bi al-Qānu>n al-Wad}’ī, 115,yaitu:
"واﻧﻤﺎ اﻟﻤﻘﺼﻮد ﻣﻦ اﻟﺸﺮﯾﻌﺔ ﻓﺒﻞ ﻛﻞ ﺷﻰءھﻮﺧﻠﻖ ﻟﻸﻓﺮاداﻟﺼﺎﻟﺤﯿﻦ وﻟﻢ ﺗﺄت٠٠٠ واﻟﻌﺎﻟﻢ اﻟﻤﺜﺎﻟﻰ، واﯾﺠﺎداﻟﺪوﻟﺔ اﻟﻤﺜﺎﻟﯿﺔ،واﻟﺠﻤﺎﻋﺔاﻟﺼﺎﻟﺤﺔ او ﻟﺪوﻟﺔ دون دوﻟﺔ، او ﺗﻘﻢ ﻟﻘﻮم دون ﻗﻮم،اﻟﺸﺮﯾﻌﺔ ﻟﺠﻤﺎﻋﺔ دون ﺟﻤﺎﻋﺔ ٠" ﻟﻠﻨﺎس ﻛﺎﻓﺔ و اﻧﻤﺎ ﺟﺎءت، Dalam rangka merealisasikan tujuan itu, di dalam perkara jinayah, Islam menetapkan qis}a>s}, h}add, diyat dan ta‘zīr, terhadap pelaku kejahatan tertentu. Orang merasa takut dipotong tangannya bila ia mencuri, merasa takut didera/dirajam bila ia berzina, dan merasa takut disalib bila ia memberontak (bugwah) terhadap imam (pemimpin) yang sah. Sehubungan dengan tujuan tersebut; Qanun Aceh juga menetapkan beberapa tujuan, yakni: a. menegakkan Syari‘at Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; b. melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak kehormatan; c. mencegah anggota masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina; d. meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum; e. menutup peluang terjadinya kerusakan moral. (Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003).
17
Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, Cet. 1 (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2000). 4. Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQueen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah (London: Routledge, 2005). 5. R. Michael Feener and Mark E. Cammack, Islamic law in Contemporary Indonesia Ideas and Institution (Massechusset: Harvard university Press, 2007). 6. Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa (Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2008). 7. Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar`iyyah dalam System Peradilan Nasional (Jakarta: Fakultas Hukum Universiatas Indonesia, 2009). Karya pertama, Ratno Lukito menulis bahwa pertemuan antara hukum adat (customary law) dan hukum Islam di Indonesia telah terjadi sebelum dan sesudah Indonesia merdeka 1945. Dalam karyanya itu, Ratno telah membuat pembahasan historis yang mendiskrepsikan proses dan prosedur peradilan (jinayah) pada Mahkamah Syariyah Aceh. Karya kedua, Mayer membahas tentang UDHR 1948, dan efeknya terhadap UIDHR 1981 dan Cairo Declaration of Human Rights in Islam (CDHRI) 1990 yang menjadi pelengkap (complement) bagi penegakan hukum yang berkaitan dengan pelanggaran Hak-hak asasi manusia menurut konsep Negara-negara Islam dan Umat Islam. Ia juga mengutarakan hukuman jina>ya>t (h}udu>d) dan hubungannya dengan HAM. Karya ketiga, Rusjdi Ali Muhammad dalam karyanya telah mampu menghimpun sejumlah artikel dari penulis-penulis Indonesia dalam mendukung karyanya yang menyangkut dengan implementsi syariat Islam di Aceh.34 Ia juga mengetengahkan tentang adanya pelanggaran HAM yang tidak disidangkan sebagai imbas dari konflik Aceh (1976-2005). Dalam salah satu artikel yang berjudul “Implementasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam”, Azyumardi Azra mengatakan bahwa sejarah menyangkut Islam di Nusantara, kesultanan Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia. 34
Azyumardi Azra, “Implementasi Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam” dalam Rusydi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, cet. 1 (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2000), 30.
18
Sebelum muncul kesultanan Aceh, yang paling penting adalah Kerajaan Perlak dan Kesultanan Pase yang keduanya terletak di Ujung Timur Laut Sumatara. Marcopolo mengunjungi Perlak pada tahumn 1292 memberikan bukti pertama tentang sebuah kesultanan Aceh di Nusantara. Kesultanan Aceh yang mulanya bukan sebuah kerajaan penting di bagian paling barat laut Sumatra, di bawah kekuasaan Ali Munghayat Syah (w. 1530) berhasil mepersatukan bagian kerajaan kecil yang terbelah secara tajam di kawasan utara Sumatra menjelang awal abad ke 16. Pernyataan Azyumardi Azra tersebut menunjukkan bahwa kerajaan Aceh menerapkan syariat Islam dalam system pemerintahannya secara ka>ffah (menyeluruh). Karya keempat, Akbarzadeh35 dan MacQueen36 mengetengahkan perkembangan hak asasi manusia dan bagaimana harapannya terhadap kenyataan tentang hak-hak asasi manusia di Indonesia, dan mengetengahkan perbedaan antara konsep HAM Universal antara persepsi Islam dan persepsi dunia (Differences between Islamist and universalist human rights codes). Dalam ungkapan aslinya Akbarzadeh mengatakan: “Ada lima perkara utama yang menjadi keberatan pihak Islam terhadap Hak-hak Asasi Manusia Sejagat, sebagaimana tercantum di dalam naskah-naskah UDHR dan ICCPR, yaitu: (1) hak untuk mengubah agama; (2) hak untuk kawin campur (antar agama, khususnya seorang wanita muslimah untuk mengawini lelaki non-muslim); (3) hak-hak untuk mencampuradukkan di antara masyarakat beragama; (4) kebebasan untuk mengamalkan ajaran agama atau kepercayaan; dan (5) persamaan gender. Semua perkara ini sangat dipengaruhi oleh persepsi sejarah Islam dan kepercayaan di bawah ancaman musuh-musuhnya.” (“There are five main areas of Islam’s objection to universalist notions of human rights, as embodied in documents such as the UDHR and ICCPR. These are: (1) the right to 35
Seorang professor di bidang penelitian tentang keislaaman di Universitas Melbourne, Australia. 36 Seorang penasehat badan penelitian tentang keislaman di Universitas Melbourne, Australia.
19
change religion; (2) the right to inter-religious marriages (particularly a Muslim woman marrying a non-Muslim man); (3) the right to proselytize among religious communities; (4) freedom to practice a religion or belief; and (5) gender equality. All of these have been strongly influenced by the historical perceptions of Islamists and the belief that Islam is under attack from its foes”).37 Item ke-4 dan ke-5 dari ungkapan Shahram tersebut agak terkait dengan pelaksanaan Qanun No, 12, 13, dan, 14 Tahun 2003. Karya kelima, R. Micheal Feener dan Mark E. Cammack telah menghimpun sejumlah artikel yang mengupas tentang hukum perundangundangan RI yang terkait dengan pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia. Di dalam sebuah artikel yang berjudul “Sharia Revival in Aceh,” Tim Lindsey bersama H. B. Hooker, Ross Clarke, dan Jerami Kingsley telah menguraikan peran Dinas Syariat Islam (Shari`a Office), Majlis Permusyawaratan Ulama dalam pecetusan Qanun-Qanun, dan peran Mahkamah Syariyah dan Wilayatul Hisbah di Aceh dalam merelisasikan Qanun-Qanun Jinayat. Karya keenam, Alyasa‘ Abu Bakar sebagai ketua Dinas Syariat Islam Aceh periode 2003-2008 membahas tentang syariat Islam Aceh dari berbagai fase pengesahan Undang-undang yang berkaitan dengan syariat Islam. Ia juga telah memberikan maksud dari Otonomi Khusus dalam aspek Peradilan Islam (Mahkamah Syariyah) bagi Aceh, dan di periode kepemimpinannya, tiga Qanun yang berkaitan dengan syariat Islam Jinayat dicetuskan. Karya ketujuh, Syamsuhadi Irsyad telah mampu membuat uraian tentang peran dan kedudukan Qanun Jinayat dalam system peradilan nasional. Setelah mengalisa perundang-undangan yang relevan ia menyimpulkan telah ada perkembangan hukum pidana Islam yang menjadi hukum positif di Indonesia melalui implementasi Qanun di Aceh. E. Signifikansi Penelitian
37
Shahram Akbarzadeh and MacQueen, Islam and Human Rigts in Practice Prospectives Across the Ummah, 142.
20
Studi ini, berat kemungkinan, dapat memberikan secercah harapan bagi pegiat HAM dan penegak hukum Islam di Aceh-Indonesia untuk memahami pentingnya HAM dan Fiqh Jinayat direalisasikan di dalam tatanan hukum sehari-hari. Setelah perjuangan panjang umat Islam Aceh-Indonesia telah dapat mengungkapkan suatu hukum positif yang baru yang bersumber dari hukum Islam yang menyangkut dengan tindak pidana dalam realisasasi Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003. Studi ini juga telah memberikan suatu jawaban terhadap persoalan tentang bagaimana perpektif fiqh dan HAM terhadap pelaksanaan hukum pidana Islam di dunia umumnya dan di Aceh khususnya, yang berbeda dengan penelitian lain yang hanya melakukan oposisi terhadap hukum Islam dan konsep HAM yang dianut dunia dan umat Islam. Tegasnya, penelitian ini menyatakan bahwa sangat banyak pakar yang telah membahas persoalan (yang berupa keterkaitan dan perbedaan antara konsep HAM dengan hukum jinayat), namun belum menemukan titik temu antara HAM dan Hukum Jinayat. Faktanya terlihat pada literatur-literatur pakar yang membahas Fiqh Jinayat dan HAM. Namun, setelah meneliti Qanun Aceh, penelitian ini dapat memberikan sedikit konstribusi (sumbangan) solusi tentang kerenggangan (gap) antara HAM dan Fiqh dalam menanggapi aspek penghukuman terhadap tindak pidana yang dilakukan manusia. Faktor yang mewujudkan fenomena ini antara lain disebabkan adanya pengontrolan ketiga qanun oleh hukum perundang-undangan yang lebih tinggi yakni UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006 yang menyangkut dengan urusan Aceh. Tanpa kedua UU ini qanun Aceh sulit disahkan dan direalisasikan di Aceh-Indonesia. Maka jika Al-Hageel, misalnya, telah melakukan oposisi (perlawanan) terhadap DUHAM, penelitian ini justru mengungkapkan realita positif yang terkandung di dalam DUHAM dan hukum Islam (jinayat) bagi penegakan hukum di Aceh-Indonesia. Selain itu dapat juga dikatakan bahwa melalui pengqanunan ketiga Qanun ini, masyarakat Aceh dapat melihat kembali latar belakang sejarah otonomi khusus bagi Aceh untuk melaksanakan Hukum Islam (Jināyāt) tanpa harus menempuh jalan kekerasan seperti yang dilakukan Ikhwa>n al-Muslimi>n (Mesir), sebagaimana dikatakan Sidqi.38 Bahkan 38
Undang-undang dalam arti material berarti “semua peraturan yang bersifat undang-undang yang dibuat oleh pemerintah atau DPR, seperti: Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden (Keppres), Peraturan Menteri, dan lain-lain. Dalam arti formal
21
dengan pengqanunan hukum jinayat juga memungkinkan pemerintah Aceh dan pemerintah Pusat, dapat meningkatkan status Hukum Jināyāt Aceh ke ruang lingkup implementasi yang lebih luas, sehingga Fiqh Jinayat yang ada dalam Islam dapat dikembangkan dalam realita proses peradilan dengan metode lebih modern dan lebih cocok untuk dimensi ruang dan waktu di zaman sekarang ini.39 Penerapan hukum Islam (Jinayah) secara tidak ofensif melalui pengqanunan, dapat menjadi harapan politik syariat Islam (siya>sah shar‘i>yah) dalam merealisasikan kandungan fiqh Islam. Qanun jinayah dapat menunjukkan hukum Islam jauh dari keseraman, yang memungkinkan pertimbangan untuk penerapannya di dunia. Pandangan seperti ini telah disinggung Norrahman, seorang guru besar UIN Bandung. dalam artikelnya “Compatibility between Pancasila and ShariaBased Islamic Teachings” pada tanggal 10 Januari 2010.40 adalah peraturan yang dibuat oleh DPR bersama-sama pemerintah berdasarkan Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undamg Dasar 1945. Perundang-undangan ialah “segala hal yang berhubungan dengan undang-undang.”Qānūn adalah “Peraturan Perundang-undangan sejenis Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Provinsi Aceh. Qānūn Aceh, yang berlaku di seluruh wilayah Provinsi Aceh. Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Qanun (diakses tanggal 24 Agustus 2010). 39 Abdul Aziz Sidqi, “Pemikiran Said Qut}b tentang Jihad” (Tesis PPs Syarif Hidayatullah Jakarta, 2000), 62. Lihat juga Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQueen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah, 2. 40 Dikatakan Norrahman, “Sementara kita sebagai muslim, berdasarkan keyakinan agama, mampu mengamalkan syariah di dalam sebuah negara Islam atau bukan, para teroris ingin membentuk negara Islam sebagai cara satu-satunya agar dapat menegakkan syariah. Sedangkan orang Islam umumnya menganggap syariah sebagai norma-norma agama yang dapat diukur dan dikembangkan berdasarkan situasi dan kondisi yang berbeda yang nampak pada adanya perbedaan realistis di antara masingmasing kawasan. Kaum teroris ingin menerapkan syariah dengan cara-cara eklusif, kekerasan, kaku, dan tanpa toleransi. Sementara umat Islam umumnya menganggap syariah sebagi suatu hal yang terpisah di antara aqidah (keyakinan), sebagaimana dikatakan Mahmud Syaltut bahwa, dalam Islam, adanya saling keterkaitan antara aqidah dan syariah. Kaum teroris ingin mewujudkan bahwa aqidah dan syaria keduanya sebagai suatu keyakinan yang hendaknya diterapkan bagi masyarakat dengan cara kekerasan demi menyelamatkan masyarakat dari api neraka. Di dalam sebuah Negara di mana masyarakat muslim diberikan kebebasan untuk mengamalkan kukum-hukum syariat, keinginan untuk mendirikan Negara Islam adalah sangat tidak relevan”.
22
Manifestasi dari harapan seperti ini juga senada dengan Syeikh Yusuf Qard}awi dalam karyanya Malāmih} al-Mujtama‘ al-Muslim alladhī Nansuduhu yang mengatakan bahwa penerapan sryariat Islam dan usaha perwujudannya adalah tanggung jawab umat Islam semuanya, baik secara pribadi, kelompok maupun universal. Dengan demikian penelitian ini akan berguna bagi para peneliti lain yang berkecimpung dalam bidang hukum Islam (Islamic Law Studies). Khususnya bagi para peneliti muslim akan dapat mengembangkan ilimunya bagi manifestasi syariat Islam pada zaman kontemporer ini.41 Studi ini memiliki asumsi bahwa yang dikehendaki dari pemahaman fiqh (jināyāt) kontemporer di Aceh-Indonesia adalah manifestasi salah satu dari tujuan dari Ra>bitah al ‘Ālam al-Islāmī (Persatuan Islam se-dunia) yang berdiri pada tahun 1962. Organisasi Konferensi Islam (Organization Islamic Conference--OIC) yang berdiri tahun 1969 di Marokko juga mendukung penerapan hukum Islam di dunia. Upaya OKI ini menunjukkan bahwa Hukum Jinayat mendapat perhatian serius dunia Islam. F. Metodologi 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian dokumen (documentary study) dengan mengumpulkan data-data teoritis tentang pelaksanaan Hukum Pidana Islam (Jināyāt) dan Qanun “Jinayat.” (“While we, as Muslims, based on religious conscience, are able to conduct sharia with or without the presence of an Islamic state, terrorists tend to see the Islamic state as an inevitable tool to enforce sharia. While we generally see sharia as religious norms that can be adjusted and developed based on a different time and circumstances and therefore has a different appearance in different regions, terrorists tend to conduct sharia in an exclusive, immutable, rigid and intolerable manner. While Muslims generally see sharia as something seperate from aqidah (creed), as indicated by using conjunction “and” in Mahmud Syaltut’s phrase al-Islam Aqidah wa Syari’ah, terrorists tend to see both sharia and aqidah as a creed that should be applied to other people by force in order to “save” them from the hellfire. In a state where Muslims have been given the freedom to conduct sharia norms, the need to establish an Islamic state is no longer relevant”). Baca Norrahman, “Compatibility between Pancasila and sharia-based Islamic teachings,” The Jakarta Post, 10 Januari 2010, 6. 41 Syeikh Yūsuf Qard}āwi, Malāmih al-Mujtama`al-Muslim Alladhi Nansuduhu (Kairo: Maktabah Wahbah, 1993), 160.
23
Penggalian dan penyampaian data, akan dilakukan secara deskriptif dan analisis yaitu menyampaikan data-data faktual yang seteliti mungkin tentang keadaan atau fenomena-fenomena yang melingkupi obyek penelitian ini, sehingga menemukan makna (pemahaman) yang logis dari apa yang diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini lebih mengarah kepada pendekatan sosiologis-legal-historis karena mengikutsertakan konteks sosial Hukum Jinayat Aceh yang digunakan, juga personalia, lembaga, dan badan hukum terkait sebagai pelaksana hukum, agar menemukan sebuah pengertian yang komprehensif dan mendalam. 2. Instrumen dan teknik Pengumpulan Data Adapun untuk pengumpulan data, alat dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Dokumentasi yang menunjukkan data/informasi tentang implementasi UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006 yang menyinggung tentang Hukum Jināyāt di Aceh kontemporer, yang menjadi bahan analisis dalam mengungkapkan bagaimana pandangan Fiqh (muqa>ranah) dan konsep HAM terhadap pelaksanaan Qanun Hukum “Jinayat”. b. Membaca karya-karya peneliti terdahulu yang relevan melalui kajian kepustakaan, seperti karya Syamsuhadi, Mahkamah Syar‘iyyah dalam Sistem Peradilan Nasional (Jakarta: Fakultas Hukum Universiatas Indonesia, 2009). Alat ini digunakan untuk melengkapi deskripsi dan evaluasi data-data yang sudah digali melalui studi dokumentasi. Penelitian juga menelaah data-data tentang pelaksanaan Qanun Jinayat termasuk yang menyangkut dengan para pelaksana Qanun-qanun Aceh (Gubernur, Wakil Gubernur, dan Kepala Dinas Syriat Islam Aceh), Ketua DPRA, Ketua Mahkamah Syar’iyyah, Wilāyatul H{isbah42 dan Muh}tasib.43 Karena dengan penelitian seperti itu, dapat mendukung penemuan jawaban-jawaban yang diperlukan oleh penelitian. 42
Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina,mengawasi dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan amar makruf nahi mungkar. 43 Muhtasib adalah pengawas bagi aparat pemerintah dan masyarakat yang melaporkan kepada pihak yang berwenang terhadap kasus tindak pidana yang dilakukan mereka. Wilyatul hisbah dan muhtasib keduanya berkonotasi berbeda, namun ada juga pakar bahasa yang mempersamakan kedua terminologoi tersebut sebagai satu badan.
24
c.
Membaca berita eksekusi tidak pidana di lapangan yang dipaparkan mass media juga melalui documentary research. Alat ini digunakan untuk mendukung library research yang dilakukan penelitian ini, sehingga kevalidan data lebih terjamin dan memiliki keterkaitan dengan fenomena realistis. 3. Bahan Penelitian Pengkatagorian bahan penelitian ini adalah sebagaimana tingkat kebutuhan terhadap bahan tersebut, yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Bahan primer, terdiri dari: 1). Dokumen eksekusi hukuman pada Mahkamah Syariyah (se-Aceh), dan berbagai kitab fiqh jinayat standar yang digunanakan; 2). Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 dan UU No. 44 Tahun 1999; 3). Literatur-literatur yang memuat ketentuan-ketentuan Jinayat yang terdapat dalam Fiqh, dan konsep HAM yang pro dan kontra terhadap praktek hukum jinayat, baik yang pro dan kontra secara keseluruhan maupun berupa bagian (parsial) dari hukum jinayat Fiqh, termasuk hukum jinayat yang diqanunkan di Aceh. b. Bahan sekunder terdiri atas: 1). Berbagai buku/kitab mengenai Hukum Islam (jināyāt); 2). Berbagai artikel, makalah, buletin, jurnal tentang jināyāt; 3). Berbagai buku mengenai hukum Islam Indonesia; 4). Beberapa hukum perundang-undangan RI (selain Qanun Aceh) seperti UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; PP No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom; dan Kepres No. 11 Tahun 2003 tentang Mah}kamah Syariyah dan Mah}kamah Syariyah Provinsi di Nanggroe Aceh Darussalam. G. Sistimatika Penulisan Penulisan bagi penelitian/studi ini adalah menggunakan buku Pedoman Akademik yang diterbitkan oleh Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2009-2011. Untuk teknik penulisan penelitian menggunakan Pedoman ALA-LC Romanization Tables dengan font (taransliterasi) Time New Arabic dan David Clear Water. Citation Guide Footnotes and Bibliographic Entries (Turabian/Chicago/Turabian Style) Chicago: University of Lethbridge, 2010. Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab satu/pendahuluan membahas tentang permasalahan (identifikasi masalah, pembatasan masalah, dan perumusan masalah). Untuk pembatasan masalah studi ini
25
memfokuskan pada pembahasan syariat Islam tentang jināyāt/criminal/penal law yang sedang diberlakukan di Aceh, agar jelas pemusatan (focus): group, time and area. Bab satu juga membahas tujuan, signifikansi, dan metodologi penelitian. Khusus untuk metodologi, penulis menguraikan tentang jenis pengumpulan data, alat pengumpulan data, pengolahan dan analisa data, dan bahan penelitian. Kemudian ditutup dengan sistimatika penulisan (ini). Bab dua membahas tentang kondisi masayarakat Aceh yang menyangkut: (1) Aspek georafis; (2) Aspek Sosio-Legal–Historis; (3) Sejarah Otonomi Khusus bagi Aceh; dan (4) Pengaturan Qanun yang terdiri dari: a. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan sejenisnya; b. Qanun No. 13 tentang Maisir; dan c. Qanun No. 14 tentang Khalwat (Mesum). Bab tiga menguraikan tentang Pelaksanaann Hukum Jinayat dalam perspektif Fiqh. Setelah meninjau data-data kepustakaan, penelitian ini menguraikan bagaimana pelaksanaan Qanun No. 12 tentang Khamar dan sejenisnya; Qanun No.13 tentang Maisir; dan Qanun 14 tentang Mesum di Aceh. Pembahasan tentang pelaksanaan ketiga Qanun ini diperlukan untuk melihat bagaimana kaca mata Fiqh melihat hukum Islam (jinayat) yang ditetapkan Qanun Aceh. Pembahasan demikian mengingat bahwa ketiga Qanun tersebut juga memiliki konsideran Hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Bab empat menguraikan tentang pelaksanaan ketiga Qanun tersebut menurut perspektif HAM dengan menganalisa konsep qanun dan konsep HAM dan realita pengamalan Qanun hukum jinayat di AcehIndonesia. Dengan perkataan lain, penelitian akan membahas bagaimana realisasi ketiga Qanun Aceh tentang jinayat itu menurut perspektif Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM/UDHR 1948) yang dianggap mu‘tabar (formal) di dunia. Bab ini juga menyinggung tentang konsep HAM Islam, yaitu: The Univeversal Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR 1981) dan Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI 1990) yang mendukung penerapan Qanun. Kedua konsep HAM Islami ini perlu dibahas agar dapat melihat bagaimana solusi yang ditempuh dunia Islam dan Negaranegara Islam tentang persoalan yang terdapat pada aspek jināyāt yang (dianggap) berseberangan dengan DUHAM (UDHR 1948).
26
Bab lima adalah bab penutup yang meliputi kesimpulan tentang bagaimana konsep dan aplikasi Qanun Jinayat Aceh menurut perspektif fiqh dan HAM. Bab penutup ini dilengkapi dengan saran-saran.
27
BAB PEMBERLAKUAN 2 HUKUM JINAYAT DI ACEH A. Kondisi Masyarakat Aceh 1. Aspek Sosio-Geografis-Kultural Sejumlah pakar berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriah yang dibawa langsung oleh saudagar-saudagar Arab. Perlak (Aceh Utara) merupakan tempat pertama yang disinggahi para mubalig Arab dalam penyebaran Islam pada masa sebelum penjajahan bangsa Eropa (pre-colonialization) di nusantara.44Para pakar sejarah mengatakan bahwa para saudagar itu selain bertujuan berdagang juga menyebarkan Islam dan syariat Islam di Aceh. Mereka telah mengislamkan raja Pasai (Meurah Silu—1297-1307M), yang sebelumnya beragama Hindu. Peristiwa factual ini diakui para ilmuan kontemporer seperti Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal, Azyumardi Azra dan Ratno Lukito. Para sejarahwan juga mengutarakan bahwa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, mulai dari kejayaannya sampai keruntuhan kerajaan Aceh Darussalam. Aspek keruntuhan dapat dilihat pada adanya kolonialisasi dan penetrasi budaya Eropa ke dalam budaya Aceh melalui penjajahan. Meskipun para penjajah melakukan pengaruh akulturasi mereka di Aceh, sisa-sisa budaya peninggalan Kerajaan Islam Aceh tersebut dapat terjaga. Budaya Islam secara terus menerus inheren ke dalam pelaksanaan hukum Islam dalam budaya keseharian masyarakat sampai saat sekarang ini. Di masa kolonialisasi Eropa, Belanda dalam memperpanjang masa kolonialisasi mereka, pernah mengalami kesulitan dalam menaklukkan perlawanan umat Islam di Aceh, sehingga mereka 44
Sirajuddin Abbas, 40 Masalah Agama, Cet. ke-1(Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1999), 8. Lihat juga R. Michael Feeneer and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia: Ideas and Isnstitution ((Massechusset: Harvard University Press, 2007), 193.
28
mengutus Snouck Hughronje untuk belajar Islam ke Mekkah agar dapat melakukan upaya untuk mengubah karakteristik jihad keislaman Aceh menjadi pudar. Ia datang ke Mekkah dengan melakukan penyamaran identitas keislaman—dengan berinteraksi dalam lingkungan keseharian masyarakat. Setelah ia pulang ke Aceh dari tempat studinya masyarakat Aceh mengangkat Snouck Hurgronje sebagai mufti dan penasehat yang dapat menetapkan perkara hukum pada berbagai kasus yang terjadi dalam masyarakat. Masyarakat Aceh menganggapnya seorang muslim yang banyak ilmu agamanya. Banyak literatur sejarah kolonialisasi Belanda membahas tentang Snouck Hurgronje. Snouck juga pernah menulis dalam De Achehers yang telah dijadikan pijakan oleh praktisi hukum di Indonesia (terutama Theorie Receptie) dalam membahas persoalan hukum di tengah-tengah masyarakat yang majemuk di Indonesia. 45 Politik muslihat Belanda dengan memanfaatkan jasa Snouck Hughronje tersebut membuahkan hasil, yakni Belanda mampu menyandera Isteri dan anak Sultan Daud Syah, yang mengakibatkan Sultan menyerah pada tanggal 20 Januari 1903. Meskipun sultan menyerah, masyarakat Aceh mundur untuk terus bergelirya melancarkan perlawanan.46 Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pangabean dalam Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria turut menyinggung sejarah Islam Aceh, termasuk proses historis qānūn Aceh sejak awal masuknya Islam ke Samudra Pasai (1297-1307 M) sampai dengan lahirnya Hukum Perundang-undangan RI yang membawa dampak pada perwujudan qānūn tentang jināyāt di Aceh pada masa kontemporer. Mereka memaparkan dampak sejarah keislaman yang berupa penegakan hukum Islam di Aceh menjelma pada realita pengqanunan hukum Jinayat pada saat sekarang ini, yang berupa pencambukan terhadap pelaku tindak pidana dalam Islam.47Dengan pengqanunan aspek ini telah mewujudkan kelanjutan sosio-kultural yang agamis bagi masyarakat Aceh. 45
Abd. Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, 228. Lihat juga Snouck Hurgronje, De Atjehers, Terj. Sutan Maimun, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya (Jakarta: INIS, 1996), 257. Lihat juga Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, 60. 46 Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar‘iyyah dalam Sistem Peradilan Nasional, 66 dan 101. 47 Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pangabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004), 41-44.
29
Ratno Lukito dalam karyanya yang berjudul Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of Indonesia juga membahas tentang fenomena hukum yang berlaku di Indonesia, terutama adanya hukum Islam dan hukum adat yang saling memberikan pengaruh pada peradilan hukum di Indonesia, termasuk di di Aceh.48 Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh merupahan perwujudan dari harapan ideal masyarakat dalam upaya melakukan manifestasi supremasi hukum masa lampau (yudisialhistoris) ke dalam tata peradilan. Fenomena ini telah ditunjukkan oleh kerajaan Islam di pantai Utara Sumatara (Samudra Pasai) dan pantai Timur (Kerajaan Aceh Darussalam) yang mencapai puncaknya pada masa Sutan Iskandar Muda yang memimpin kerajaan Aceh Darussalam (1607-1636). Pandangan serupa juga disinggung Mohamad Atho Mudzhar. Menurut beliau di Mahkamah Syariyah Aceh, Sultan Iskandar Muda pernah menegakkan hukuman h}add (zina) terhadap putranya (Meurah Pupok) yang melakukan pelangaran susila.49 Pegejawantahan kekuasaan adat dan syariat Islam juga dapat diterapkan secara permanen pada masa Sutan Iskandar Muda, sehingga syariat Islam sempat menjadi Dasar Negara bagi masyarakat. Dalam sosio-kultural masyarakat Aceh ada semboyan berbunyi “adat ngon hukun hana tom cre, legee zat ngon sifeut” yang berarti adat dan hukum menyatu bagaikan menyatunya zat dan sifat Allah SWT (menurut keyakinan al-Ash‘ariyah). Realitas dari dampak historis tersebut juga menunjukkan adanya aplikasi harapan masyarakat dalam bentuk manifestasi suatu hukum perundang-undangan yang berupa pengesahan Undang-undang Otonomi Khusus. Kekhususan juga dapat dilihat pada peruntukan sejumlah Undang-undang (UU No. 44 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006) yang dikhususkan bagi provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Selain Ratno Lukito, Taufiq Adnan Amal, dan Rijal Pangabean yang membahas tentang sejarah dan hukum di Aceh, Snouck Hurgronje di dalam bukunya tersebut menulis bahwa Aceh pernah mengirimkan lada si cupa kepada Sultan Turki, yang diistilahkan orang Aceh sebagai raja segenap orang beriman, raja [Rum] di Eseutamboy (Istambul). 48
Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of Indonesia , 74-75. 49 Mohamad Atho Mudzhar, Fata>wa Majlis ‘Ulama al–Induni>si>: Dira>sah fi al-Fikri al-Tashri‘i> al-Isla>mi> bi Indu>ni>sia> 1975-1988, 38.
30
Kemudian di balas sultan Turki dengan hadiah Meriam yang dikenal Lada Sicupa. Bersama sejumlah pekerja yang terampil supaya dapat mengajarkan berbagai kesenian yang belum dikenal di Aceh.50 Anthony Reid juga telah mengutip Hikayat Aceh dan Bustan al-Salatin yang menyatakan bahwa kerja sama dengan Turki adalah dalam rangka mengokohkan persahabatan sesama muslim.51 Fenomena tersebut menunjukkan bahwa sebelum bergabung ke dalam negara Indonesia (yang tercatat sebagai salah satu “Negara bangsa” yang diakui Perserikatan Bangsa-bangsa), Aceh pernah terikat dengan system pengontrolan Khilafah Islamiyah yang terakhir (yakni Khilafah Uthmaniyah) yang memberikan pengaruh bagi jalannya sistem pemerintahan Islam di Aceh yang berdasarkan syariat Islam secara kāffah. Kekaisaran Turki Usmani (1876) pernah menjalin hubungan dengan Aceh pada masa Aceh dipimin oleh sultan Alauddin Ri‘ayatsyah dan Sultan Abdul Hamid II.52 Upaya kerajaan dalam menerapkan supremasi hukum berdasarkan Islam mendapat dukungan pihak internal dan eksternal. Aceh melalui jalinan hubungan internal dan eksternal tersebut, dapat menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di dunia dalam pengontrolan system kekhalifahan Islam yang terakhir itu yang memiliki kekuasaan yang luas. Menyangkut dengan politik hukum pembagian kekuasaan di Aceh, bila John Locke (di Inggris) dalam Two treaties of Civil Government (1690) yang diikuti oleh Montesqieu, misalnya, mengembangkan konsep trias politika pada tahun 1825,53 maka politik hukum (pembagian kekuasaan) pada kerajaan Aceh adalah penerapan pembagian kekuasaan pemerintahan dalam semboyan “ adat bak po teumeureuhom, hukom bak Syaih Kuala, qanun bak Putroe phang Reusam bak Laksamana, yang berarti kekuasaan adat/budaya dipegang 50
Snouck Hurgronje, De Atjehers Terj. Sutan Maimun, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya, 163. Lihat juga Ayumardi Azra, Sharia and Politics in Modern Indonesia (Sinagpore: ISEAS, 2003), 14. 51 Anthony Reid, Verendah of Violence: the Background to the Aceh Problem (Seatle: University of Washington Press, 2006), 54. 52 Azhari, Negara Hukum Indonesia: Analisis Normatif tentang Unsurunsurnya (Jakarta: UI Press, 1995), 97. 53 R. Michael Feener and Mark E Cammack, Islamic law in Contemporary Indonesia Ideas and Institution , 193.
31
oleh sultan, hukum diatur oleh ulama, qanun dipegang oleh Putroe Pahang, dan literature (reusam) dipegang oleh Laksamana. Dengan pengasimilasian antara keduanya (hukum Islam dan adat) dalam berbagai aspek kehidupan menyebabkan syariat Islam menjadi Dasar Negara bagi kehidupan masyarakat.54 Diakatakan Azyumardi Azra bahwa sejarah yang menyangkut dengan Islam di Nusantara, kesultanan Aceh merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Indonesia. Sebelum muncul kesultanan Aceh, yang paling penting adalah Kerajaan Perlak dan Kesultanan Pase yang keduanya terletak di Ujung Timur Laut Sumatara. Marcopolo mengunjungi Perlak pada tahun 1292 memberikan bukti pertama tentang sebuah kesultanan Aceh di Nusantara. Kesultanan Aceh yang mulanya bukan sebuah kerajaan penting di bagian paling barat laut Sumatra, di bawah kekuasaan Ali Munghayat Syah (w. 1530) berhasil mepersatukan bagian kerajaan kecil yang terbelah secara tajam di kawasan utara Sumatra menjelang awal abad ke-16. Kemudian Kesultananan Aceh itu mencapai kejayaan internal dan eksternal pada masa sultan Iskandar Muda (1607-1637). Di tangan sultan Ibrahim kesultanan Aceh kembali menjadi kekuatan aktual yang berupaya menegakkan otoritasnya atas seluruh kawasan Utara Sumatra. Menurut sumber-sumber Belanda, dia mengirim Sidi Muhammad menjadi Duta Aceh di pelabuhan Istambul (Sublime Port pada 1850-1851) untuk meminta penguasa Dinasti Turki Usmaniyah kembali mengakui Aceh sebagai relasi kerjasama (vasal) dari Dinasti Turki Usmaniyah.55 Kesultanan Aceh Darussslam juga memiliki system peradilan yang kuat. Bukti–bukti menunjukkan bahwa Mahkamah Aceh di era kesultanan, bagi seorang hakim/qa>d}i (yang dikenal qad}i Malikul ‘A>dil, yang menjadi wakil Sultan dalam bidang pengadilan) disyaratkan terlerbih dahulu menguasai 51 madhhab dalam hukum Islam. Berbeda dengan Mahkamah Aceh pada saat sekarang ini ditangani oleh hakim/qa>d}i yang hanya memilki kemampuan memahami beberapa
55
Azyumardi Azra, “Implementasai Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam: Perspektif Sosio Historis”, dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh; Problem , Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, 30.
32
madhhab fiqh saja.56 Berbagai perkembangan hukum menunjukkan bahwa sosio-kultural Aceh (sekarang) belum terlepas dari bingkai sejarah pra-kemerdekaan (1945) dan pra-penjajahan (1297-1903 M).57 b. Aspek sosio-yuridis Sebelum membahas tentang aspek yuridis yang berkaitan dengan kehidupam masyarakat Aceh terlebih dahulu dipaparkan aspek teoritis yang berkenaan dengan hukum (yuridis) itu sendiri. Secara umum, menyangkut dengan teori hukum, penelitian ini ingin mengutip cuplikan dari sebuah Wikipedia menyatakan macammacam istilah/ungkapan yang menggambarkan keumuman hukum di dunia. Hukum-hukum tersebut antara lain: 1. Hukum Perjanjian (Contract Law) menggatur segala sesuatu, mulai dari perjanjian membeli satu tiket bus sampai dngan perdagangan di pasar-pasar yang terjangkau/tertentu. 2. Hukum Hak Kepemilikan (Property Law) berarti hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang berkaitan dengan transfer (hak milik) dari seseorang kepada orang yang dituju. 3. Hukum Kepercayaan (Trust Law) permohonan asset yang diperuntukkan untuk investasi dan pengamanan uang. 4. Hukum Penyiksaan/Pelukaan (Tort Law) menyatakan tuntutan pada ganti rugi (compensation) jika suatu hak seseorang atau harta kekayaannya diganggu (harmed). 5. Hukum tindak pidana (criminal law) memberikan sarana dengan cara Negara dapat memproses si penjahat itu, suatu perkara dikriminalisasikan;
56
Wawancara pribadi dengan Ibrahim Kaoy (Ketua Majlis Adat Aceh), Banda Aceh, 30 Juli 2008 mengenai pengetahuan qadi terhadap madhhab fiqh. Wawancara ini bukan dalam kontek penelitian, namun berdasarkan pengalaman peneliti selama berada di Aceh. Lihat juga Idri (STAIN Pamangkasan, Indonesia), “Religious Court in Indonesia History and Prospect,” Journal of Indonesian Islam, Vol. 3 Number 2, Desember 2009, 302. Sistem lembaga peradilan Islam pra-kemerdekaan dan prapenjajahan juga berbeda, yakni Mahkamah Syariyah pasca MoU Helsinki 2005 berada dalam koridor hukum nasional RI/di bawah payung hukum tertingggi UUD 1945 RI. Sedangkan pra-penjajahan tunduk di bawah ke-sultan-an (penguasa). Lihat UU No. 11 Tahun 2006 bab XVIII tentang Mahkamah Syar‘iyah pasal 128, 132, 135, 136, dan 137. 57 Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syariyah dalam Sistem Peradilan Nasional (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), 101.
33
6. Hukum Konstitusi (Constitutional Law) memberikan kerangka bagi pembuatan hukum, perlindungan terhadap hak manusia (human rights) dan pilihan dari suatu perwakilan politik. 7. Hukum Administrasi (Administrative Law) digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari badan-badan pemerintah. 8. Hukum internasional (international law) mengatur urusan-urusan di antara negara-negara yang berdaulat (sovereign nation states) dalam aktifitas yang berhubungan dengan perdagangan (trade) sampai mengatur wilayah aksi militer. Macam-macam hukum tersebut menunjukkan bahwa banyak sector hidup dan kehidupan manusia yang memerlukan hukum sebagai alat pengontrol kegiatan-kegiatan manusia. Aristoteles, philosof Yunani (Greek philosopher—350 SM) mengatakan, “ peraturan dari suatu undang–undang adalah lebih baik dari peraturan banyak individu—the rule of law is better than the rule of any individual." 58 Bila dikaitkan dengan agama maka hukum akan melahirkan penamaan hukum agama (religious law). Hukum agama secara eksplisit adalah hukum yang berdasarkan persepsi agama (religious precepts), seperti Halaka (agama) Yahudi (Jewish Halakha) dan syariat Islam (Islamic Sharia)—yang keduanya dimaknai sebagai jalan untuk diikuti (the path to follow)—sementara hukum agama Kristen (Christian canon law) juga berlaku pada sejumlah masyarakat gereja. Implikasi suatu agama terhadap hukum kerap tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata (unalterability), sebab kata-kata Tuhan tidak dapat ditetapkan oleh hakim maupun pemerintah (cannot be amended or legislated against by judges or governments). Bagaimanapun sebuah system hukum (legal system) yang mendetil memerlukan campur tangan manusia. Dalam agama Kristen, Hukum perundangan (Canon law) hanya digunakan oleh sejumlah juru tulis di Roman Catholic Church, the Eastern Orthodox Church dan Anglican Communion.59 Torah atau Perjanjian Lama (Old Testament) di dalam the Pentateuch or Five Books of Moses juga mengandung peraturan dasar (basic code) dari hukum Yahudi (Jewish law), yang diamalkan oleh 58
Lihat http:// en.wikipedia.org/wiki.Islamic Law of the World/Law.htm (diakses tanggal 18 Agustus 2010). 59 Lihat http://en.wikipedia.org/wiki.Islamic Law of the World/Law.htm (diakses tanggal 18 Agustus 2010). Lihat juga Qs. al-Ma>idah [5]:32
34
sejumlah masyarakat Yuhudi. Halaka adalah kode (peraturan) dari hukum Yahudi (a code of Jewish law) yang meringkaskan sejumlah penafsiran Talmut. Celakanya, Hukum Israel (Israeli Law) mengizinkan para individu (litigants) untuk menggunakan hukum-hukum agama hanya jika mereka perlu atau mereka pilih, (bahkan memutar balikkan isi/kandungan kitab suci.60 Al-Quran juga memiliki sejumlah undang-undang yang bertindak sebagai sumber bagi sumber-sumber hukum selanjutnya melalui penafsiran (through interpretation), qiya>s (reasoning by analogy), Ijma>` (consensus) and precedent. Perkara yang utama ini meliputi sebuah tubuh hukum yang dikenal dengan Sharia dan Fiqh. Istilah “hukum Islam” terambil dari istilah “fiqh al-Isla>m” yang mencakup ‘ibādāt, mu‘a>malāt, ah}wāl al-Shakhs}īyah, dan al-Jināyah.61 Sedangkan makna “hukum” (secara umum) juga berarti sebuah sistem Undang-undang (a system of rules). Di dalam aspek Jinayah, para pakar hukum Islam membagikan perkara Jinayat/h}udu>d ke dalam 8 (delapan) aspek. Empat imam madhhab (Fiqh
Sunni>) sepakat bahwa tindak pidana dalam Islam terdiri dari 7 aspek. Keseluruhan aspek tersebut adalah: (1) Tindak pidana riddah (apostasy); (2) tindak pidana khamar (drinking wine); (3) Tindak pidana zinā (mesum/adultery); (4) tindak pidana penuduhan (qazaf/false accusation)); (5) tindak pidana pemberontakan (bughwah/h}ira>bah); (6) tindak pidana pencurian; (7) tindak pidana penyamunan (qat}’u alt}arīq/robbery); 62 dan (8) tindak pidana pembunuhan.63 60
Qs. al-Baqarah [2]: 79.
ﻓﻮﻳﻞ,ﻓﻮﻳﻞ ﻟﻠﺬﻳﻦ ﻳﻜﺘﺒﻮﻥ ﺍﻟﻜﺘﺎ ﺏ ﺑﺎﻳﺪﻳﻬﻢ ﰒ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﻋﻨﺪ ﺍﷲ ﻟﻴﺸﺘﺮﻭﺍ ﺑﻪ ﲦﻨﺎ ﻗﻠﻴﻼ .ﳍﻢ ﳑﺎ ﻛﺘﺒﺖ ﺍﻳﺪﻳﻬﻢ ﻭﻭﻳﻞ ﳍﻢ ﳑﺎ ﻳﻜﺴﺒﻮﻥ “Kecelakaan telah menimpa orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan-tangan mereka sendiri, kemudian mengatakan (kitab) ini dari sisi Allah, agar memperoleh keuntungan sedikit (dalam kehidupan dunia). Maka kecelakaan bagi mereka karena apa yang mereka tulis, dan kecelakaan bagi mereka karena apa yang mereka lakukan.” 61 Abd Shomad, Hukum Islam Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, cet. 1 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 25. 62 Muhammad ‘Atha Alsid Sidahmad, the Hudud the Seven Spesific Criminal Law and Their Mandatory Punishment (Petaling Jaya, Eagle Sdn., Bhd., 1995), 36.
35
Abdurrahman I. Doi dalam Shari‘ah the Islamic Law juga menyebutkan 8 (delapan) penggolongan jinayat. Dari delapan tersebut ia tidak menyebutkan tindak pidana penyamunan (qat}‘u al-t}a>riq/robbery). Ia hanya menambahkan dengan tindak pidana lari dari medan peperangan (al-firār min al-zah}f/running away from the battle field in jiha>d).64 Menurut qaidah fiqhiyah, untuk penghukuman bagi pelaku jinayat, terdapat hukuman qis}a>s} dan diat.65Selain itu ada juga yang diterapkan h}add dan ta‘zīr.66 Pandangan ini disetujui ‘Abdul Qadīr ‘U al-Isla>mi>.
63
(1) Riddah secara bahasa (lugawi>) berarti menarik diri dari sesuatu dan berpindah darinya. Menurut Istilah syariat, riddah adalah sikap seseorang muslim yang menyebabkan kekafirannya, baik berupa perkataan, perbuatan, meninggalkan (sesuatu kewajiban), keyakinan maupun keraguan , bila bila syarat-syaratnya terpenuhi; (2) Zina> mempunyai dua pengertian luqgawi>: fujur (kekejian), dan d}ai>yiq (penyempitan). Zina juga dimaknai untuk sebutan bagi perbuatan persetubuhan dengan wanita yang bukan isteri; (3) Qazaf adalah al-ramy (melempar). Firman Allah SWT: “aniqzi fihi fi altabuti faqzi fiihi fi al-yammi” berarti: “letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah (hanyutkan) ia ke sungai (Nil)”. (Qs. T{a>ha: 39); (4) H{irābah (perampokan) secara bahasa , berasal dari kata al-h}arb (perang), lawan kata dari as-silm –dengan menfatah huruf ra’—yang artinya al-salbu (permpasan). H}araba fulanan malahu, artinya merampas harta si fulan. Obyeknya disebut mahrub atau hārib (orang yang dirampas); (5) Mencuri adalah mengambil sesuatu yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi. Menurut istilah adalah mengambil harta yang terjaga milik orang lain dan mengeluarkannya dari tempat penyimpanannya tanpa ada kerancuan (shubhat) di dalamnya dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi; dan (6) Al-qatl
(pembunuhan) ialah tindakan yang dilakukan oleh manusia untuk menghilangkan nyawa, atau hilangnya nyawa manusia akibat tindakan manusia lainnya. Lihat S{ah{i>h Fiqh Sunnah, 280. 64
Do, I. Abdurrahman, Shari‘ah the Islamic Law (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 2002), 229-267. 65 Al-diya>t adalah bentuh jama‘ dari al-diyah. Secara bahasa adalah bentuk mas}dar dari lafal wada‘ah al-qātil, yadahu diatan, bila wali pembunuh memberikan tebusan nyawa atau selainnya kepada korban atau walinya karena disebabkan oleh jinayat (tindak pidana) jiwa korban atau selainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa al-qatl sinonim dengan diyat. Lihat S{ah}i>h Fiqh Sunnah, 342. 66 Jinayat selain pembunuhan adalah setiap tindakan haram yang dilakukan terhadap anggota tubuh, baik dengan cara memotong, melukai, maupun menghilangkan fungsinya. Jinayat selain pembunuhan ada dua macam. Pertama, jinayat yang mengharuskan qisās. Kedua, jinayat yang mengharuskan diyat dan lainnya. Lihat Sahih Fiqh Sunnah, 319.
36
Abu Ishaq al-Sha>t}ibi dalam kitabnya al-Muwāfaqāt fi Us}u>l alSharī‘ah menyebutkan lima perkara yang disuruh lindungi dalam Islam. Lima perkara tersebut dinamakan al-d}aru>ri>yat al-khamsah (lima perkara yang asasi), yaitu (1) h}ifz} al-dīn, (perlindungan agama), (2) h}ifz} al-nafs (perlindungan jiwa),67 (3) h}ifz} al-‘aqli (perlindungan akal), (4) h}ifz} alnasl (perlindungan keturunan), dan (5) h}ifz} al-māl (perlindungan harta benda). Abd. Shomad menggabungkan antara h}ifz} al-dīn dan h}ifz} al-‘ird} menjadi satu bagian dari lima perkara tersebut.68 Adapun perkara hukum dalam sejarah Aceh, pasca terbentuknya Indonesia tahun 1945, pemerintah Pusat mengeluarkan UU Provinsi UU No. 24 Tahun 1956 yang mengembalikan Aceh menjadi “provinsi Aceh”—sebagaimana telah disinggung di atas. UU tersebut turut menyatakan bahwa sosio-kultural Aceh yang terdiri dari suku Aceh, suku Gayo, suku Alas, suku Aneuk Jameie, suku Kluet, suku Tamiang, suku-suku di berbagai kepulauan, dan suku lain, yang dalam perkembangan selanjutnya dihuni juga oleh para pendatang. Refleksi dari sejumlah UU yang menyangkut denan pemekaran wilayah (provinsi dan kabupaten/kota) di Indonesia pasca tahun 1998, provinsi Aceh pada saat ini mekar menjadi 13 (tiga belas) kabupaten yaitu Kabupaten Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, Pidie, Aceh Besar, Aceh Barat, Simeuleu, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Aceh Tenggara, dan Aceh Tengah, serta 4 (empat) kota yaitu Kota Banda Aceh, Sabang, Lhokseumawe, dan Langsa. Sedangkan sekarang/pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005 jumlah kabupaten di Aceh sudah sudah mencapai 23 kabupaten/kota. Konsep UU tersebut menyatakan bahwa secara geogafis Aceh terletak di ujung utara Pulau Sumatera mempunyai batas-batas: a. sebelah utara dengan Selat Malaka; b. sebelah selatan dengan Provinsi Sumatera 67
Perkara (hak) perlindungan jiwa (hifz al-nafs) di Aceh, walaupun tidak diqanunkan, sudah ada kebijakan yang bernuansa ke arah penegakan hukuman diyat dalam praktek pembunuhan. Pemerintah RI, misalnya, merasa bertanggung jawab atas terbunuhnya warga sipil yang tidak berdosa dalam konflik Aceh dengan memberikan dana diyat. Dikatakan Azwar Abu Bakar, (mantan Plt. Gubernur Aceh), Program dana "diyat" yang digagasnya, diterapkan pada 2002. Dananya (baca; dana diyat) bersumber dari APBA yang ketika itu mendapat tambahan dana lebih dari Rp 1 triliun bersamaan dengan disahkannya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Lihat Azwar Abu Bakar: “Santunan Korban Konflik Tetap Diperjuangkan: Dana Diyat Diberikan Selama 8 Tahun’’, Serambi Indonesia, 30 September 2010, 1. 68 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, 89.
37
Utara; c. sebelah timur dengan Selat Malaka; dan d. sebelah barat dengan Samudra Indonesia.69 Sejak pasca kemerdekaan maupun sekarang hukum positif yang diterapkan di Indonesia adalah banyak menggunakan peninggalan Belanda yang menurut sejumlah pakar hukum Indonesia masih relevan dengan jiwa masyarakat Indonesia yang majemuk. Memang sejak zaman Belanda telah ada lembaga qa>d}i untuk menangani perkara perdata masyarakat Islam, yang kemudian diperbaharui sedikit demi sedikit oleh putra–putra Indonesia (di dalam kurun waktu tiga orde pemerintahan) hingga telah mengarah kepada penciptaan supremasi hukum pada saat sekarang ini.70 Kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan pada masa orde lama menitikberatkan pada sistem yang terpusat (centralistic) dipandang sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.71 Kondisi yang demikian mengakibatkan munculnya pergolakan masyarakat di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dapat memanifestasikan berbagai bentuk reaksi di berbagai belahan wilayah Indonesia. Namun permasalahan gejolak ini dapat dipecahkan oleh pemerintah Pusat dengan berbagai kebijakan agar tidak mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di awal orde reformasi (tahun 1998) terdapat perubahan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat 1999 yang diketuai oleh Amien Rais telah mengamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. IV/MPR/1999, antara lain memberikan Otonomi Khusus kepada Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2000 juga telah dilakukan perubahan kedua terhadap Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara lain dikatakan dalam Pasal 18B Ayat (1) bahwa negara mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus 69
Lihat Republik Indonesia, UU No. 24 Tahun 1956 Bab I Pasal 1. Perbagai peraturan perdata yang menyangkut Hukum keluarga Islam telah mendapat pengesahan dari pemerintahan Belanda, seperti Undang–Undang perkawinan, namun hukum pidana tetap berlaku KUHP. 71 Pemerintah Orde Baru mengesahkan UU No. 5 Tahun 1974 tentang pemerintahan di daerah. Dengan UU ini kewenangan pemuka adat (Law Center) Aceh yang telah dilestarikan secara turun-temurun terhapus, sehingga menimbulkan gejolak (hiruk-pikuk) tahun 1976-2005. 70
38
atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Selain itu, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. IV/MPR/2000 juga telah merekomendasikan agar Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei 2001. Maka tepatnya tahun 2001 Pemerintah mensahkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam.72 Pengesahan hak otonomi dan keistimewaan bagi Aceh menunjukkan bahwa sejarah panjang keberadaan masyarakat Aceh di bumi Nusantara, memperlihatkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di daerah tersebut telah mampu menata kehidupan kemasyarakatan yang unik, egaliter dan berkeseimbangan dalam menyiapkan kehidupan duniawi dan ukhrawi. Masyarakat Aceh tunduk dan taat kepada ajaran Islam serta memperhatikan fatwa dan bimbingan ulama. Penghayatan terhadap ajaran Islam kemudian melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat yang mendapat gelar serambi Mekkah karena dari wilayah inilah kaum muslimin dari wilayah lain berangkat ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Gelar ini merupakan realisasi penyatuan antara 3 (tiga) perkara hukum Islam, pendidikan, dan adat-istiadat (sosio-yuridis) Aceh. Dengan perkataan lain, meskipun sebelum kedatangan Islam abad ke-7 di Samudra Pasai masyarakat masih beragama Hindu, namun pengaruh keislaman lebih kental dalam kesejarahan Aceh. Berlandaskan kepada UU No. 22 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, pengaturan tentang Pelaksanaan Syariat Islam diatur dalam suatu Peraturan Daerah. Dampak dari berbagai UU yang Islami tersebut menjelma ke dalam berbagai legislasi hukum lainnya yang bernuansa Islami untuk diterapkan dalam berbagai pelosok Aceh. Di Aceh Barat misalnya bupati Ramli telah mengesahkan Peraturan Bupati (Perbub) yang menekankan pentingnya busana muslimah yang dikenal dengan Perbub “tentang pakaian muslimah.”73 Gubernur Aceh juga pernah mengeluarkan Perda No. 2 72
Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa, 31. Lihat juga UUD 1945 Pasal 18B Ayat (1). 73 “Bupati Teken Perbub Rok,” Serambi Indonesia, tanggal 13 Maret 2010, 1. Lihat juga Muhammad Yani, “Saran untuk Bupati Aceh Barat”, Serambi Indonesia, 28
39
Tahun 2000 tentang pembentukan Majlis Permusyawaratan Ulama. Bahkan berbagai pengalaman yuridis-historis bagi otonomi Aceh menjadi peluang realistis ketika UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Kebijakan hukum perundang-undangan yang berlaku dan konsepkonsep fatwa ulama dapat disosialisasikan dalam rangka pelestarian adat keislaman yang diturunkan secara turun-temurun dari para pendahulu. Dengan perkataan lain, upaya pencegahan praktek kriminal dan maksiat yang melanggar dengan syariat juga dapat mengalami tensi penurunan. Berdasarkan hukum menurut persepsi agama maka keberadaan hukum Islam di di Aceh-Indonesia khususnya dan di dunia umumnya, sama halnya dengan eksistensi hukum suatu agama di suatu Negara di dunia. Sejak zaman globalisasi tiba pada abad ke-20 (seiring dengan mulainya milenium ke-3) manusia sulit membedakan praktek hukum suatu agama di dunia. Dunia dapat melihat realitas pengamalan hukum Islam pada Negara-negara yang manyoritas penduduknya muslim dan memiliki agama Islam sebagai agama resmi Negara (state’s official religion). Sedangkan Indonesia sebagai suatu Negara yang yang didirikan pasca penjajahan dan imperialisme Jepang dan Eropa, bukan sebuah Negara Islam meskipun penduduknya mayoritas muslim.74 Kesulitan dalam menerapkan hukum Islam akan dialami oleh banyak Negara monyoritas muslim yang pernah dijajah. Indonesia juga memiliki banyak kendala bila melaksanakan hukum Islam. Bahkan lebih sulit jika membentuk Negara Islam. Kesulitan utama adalah disebabkan konsensus pada awal berdirinya Negara Indonesia yang bukan berideologi Islam, namun Pancasila. Dengan perkataan lain Indonesia adalah “Negara bangsa” bukan Negara agama. Pemerintahan Islam pada Kekhalifahan Turki Usmani yang terletak di dataran Eropa juga mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan hukum Islam. Sebagian kalangan memahami bahwa hukum Islam memiliki banyak kontradiksi di dalamnya. Pemahaman kontradiktif ini juga ikut menyulitkan penerapan hukum Islam itu sendiri. Fenomena ini membuat Kemal Attarturk (presiden Turki) meleburkannya
Juli 2010, 4. Lihat juga “Hukum dan Kriminalitas”, Gatra.Com, tanggal 9 Desember 2010, 1 dalam http://www.gatra.com/artikel.php?id=143697 (diakses tanggal 15-022011). 74 Lihat http://www. List of Muslim Moyarity Countries.
40
Khila>fah Isla>miyah Turki Usmani menjadi Negara sekuler tahun 1924. 75 Setelah itu Turki menjadi Negara sekular yang memisahkan hukum agama dan hukum negara hingga sekarang ini. Bahkan pemerintahan dunia Islam hanya berbentuk kesultanan-kesultanan/kerajaan-kerajaan dan Negara-negara kebangsaan (nasionalisme) seperti Indonesia. Paham nasionalis ini membawa dampak pada kebijakan pemerintahan Indonesia. Pemerintah Orde Lama Indonesia telah menghilangkan upaya-upaya bangsa Indonesia dalam mendirikan negara Islam (NII). Kesultanan Aceh, setelah bergabung dengan Indonesia, ikut menjadi menjadi kawasan yang berpaham nasionalis (secular) juga pada tahun 1948. Aceh mengalami pengggabungan bersama dengan kerajaankerajaan Islam Melayu lainnya di nusantara dalam wadah Negara Indonesia. Abdul Qadir Jailani mengatakan bahwa Nasionalisme juga salah satu bentuk sekularime suatu Negara.76 Oleh kerena itu upaya-upaya penerapan syariat Islam tidak dapat dilangsungkan dengan cepat seperti membalikkan telapak tangan, namun pihak legislatif menenerapkannya melalui penyusunan Undang-undang Islami yang memiliki nuansa representatif bagi seluruh bangsa. Keinginan masyarakat untuk mendirikan Negara Islam juga tidak dapat dilaksanakan. Negara melawan setiap aksi yang melawan ideologi Negara (Pancasia), seperti aksi pembentukan NII oleh Aceh dan beberapa daerah lainnya pada tahun 1950-an. Sebenarnya, Hukum Islam yang ingin diterapkan di Aceh adalah sebagaimana di Negara–negara Islam lainnya di dunia, yakni meliputi semua aspek hukum Islam (termasuk jinayat, yang selama ini semua tindak pidana ditangani Kitab Hukum Tindak Pidana peninggalan Belanda). Tujuan tersebut dalam rangka untuk menuju penerapan syariat Islam secara ka>ffah (menyeluruh). Penerapan hukum Jinayat secara ka>ffah bertujuan untuk pencegahan praktek kriminal dalam masyarakat. Karena Hukum Jināyāt juga memiliki motif, ciri-ciri dan sifat khusus sebagaimana karakter hukum kriminal lainnya. Amir Muallimin, dengan didukung oleh Ketua Mahkamah Konstitusi RI (Mohd. Mahfud MD) menulis dalam bukunya Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Ia 75
Richard C. Martin, Ensycclopedy of Islam and the Muslim World, Vol. 1 (New York: Macmillan Reference USA, 2003), 387. 76 Abdul Qadir Jailani, Islamisme Versus Sekularisme (Jakarta: Yayasan Pengkajian Islam Madinah al-Munawwarah, 1999), 16.
41
mengatakan bahwa motif utama hukum ialah sensitif terhadap sangsi dan untuk menciptakan kepatuhan di kalangan masyarakat.77 Berdasarkan uraian di atas, implementasi hukum Islam di AcehIndonesia tidak mesti melibatkan banyak kemponen muslim untuk membentuk suatu Negara Islam dalam pengamalan Hukum Islam pada saat sekarang ini. Karena di zaman modern ini upaya ini akan mendapat kecaman dari berbagai Negara bangsa, tidak terkecuali dari kalangan umat Islam (Indonesia) sendiri. Muhammad Arkoun—dalam Islam: to Reform or to Subvert?—mengatakan bahwa suatu kekeliruan sejarah yang disesalkan (the apologetic historical confusion) bila mengembalikan tradisi Islam kepada regime Islam seperti “rejim Islam” Iran yang dibentuk oleh Khomeini sejak 1978. Pembentukan regime berlawanan dengan haluan para ilmuwan politik baru, para sejarahwan, dan para philosof di zaman demokratisasi global.78 B. Sejarah Otonomi Khusus Aceh Sebagaimana diuraikan di atas bahwa otonomi bagi Aceh telah ada sejak pengesahan UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara. Pasca 4 (empat) periode kepresidenan RI, keinginan masyarakat Aceh untuk menerapkan syariat Islam dapat diwujudkan secara kāffah (menyeluruh) pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005. Dalam periode ini, Aceh, yang mayoritas penduduknya adalah muslim, memiliki peluang dalam pembentukan otonomi yang luas dengan pengamalan syariat Islam, meskipun tujuan dari MoU Helsinki 2005 tersebut adalah bukan untuk Syariat Islam, bahkan bukan untuk hak otonomi khusus.79MoU 77
Amir Muallimin, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Jakarta: UII Press, 1999), 105. 78 Muhammad Arkoun , Islam: to Reform or to Subvert?, 16. 79 Moch. Nur Ikhwan, “the Politics of Shari‘atization: Central Governmental and Regional discourses of Shari‘a Implementation in Aceh” dalam R. Michael Feener and E. Cammck, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institutions, 197. ٍPelaksanaan syari’at pada masa Nabi Saw (550 M-11 H) telah sempurna. Pasca Nabi Saw wafat, ditreruskan oleh khulafah al-rasyidin yang berpusat di Madinah. Kemudian muncul periode kekhalifahan Islam Bani Umaiyah yang berpusat di Damaskus (660-750 M), periode kekhalifahahn Islam Bani Abbasiyah yang berpusat di Bagdad (749-842M), periode kekhalifahan Daulat Bani Umayyah di Andalusia, periode kekhalifahan Islam Fatimiah di Mesir (909-1171 M)), periode Khilāfah Islamiyah Turki Usmani (Ottoman Empire—1326-1918 M). Khilafah Islamiyah juga memimpin kerajaan-kerajaan Islam di
42
Helsinki telah merefleksikan pengesahan UU No. 11 Tahun 2006 yang memberikan kewenangan yang luas bagi Aceh untuk menerapkan syariat Islam yang menyentuh semua aspek Fiqh Islam. Sebelum UU No. 11 Tahun 2006, istilah otonomi khusus bagi Aceh terdapat di dalam UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, yang memberikan kepada Aceh peluang dalam menciptakan Qanun sendiri, termasuk tiga Qanun (bylaw) menyangkut dengan Jinayat yang disahkan tahun 2003. Ketiga Qanun tersebut merupakan hasil usaha sungguh-sunnguh lembaga eksekutif dan legistatif Aceh melalui Dinas Syariat Islam yang diketuai oleh Alyasa‘ Abu Bakar kepala Dinas Syariat Islam di dalam kurun waktu 2000-2007. Dinas ini bekerja membantu Gubernur Aceh, Adullah Puteh (2000-2004). Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 telah diaplikasikan sejak tahun 2003 sampai saat sekarang ini. Dengan demikian peluang otonomi khusus bagi Aceh membuahkan hasil—dalam bentuk supemasi hukum—meskipun masih ada kontradiksi kalangan masyarakat Indonesia. Alyasa‘ memaknai kekhususuan dalam kriteria yang bertahap. Tahap pertama, otonomi khusus dimaknai sebagai tambahan atas otonomi daerah; kedua, otonomi khusus sebagai pengambilan dari kewenangan pusat; dan ketiga, otonomi khusus sebagai pelaksanaan keistimewan Aceh. Berdasarkan tahap-tahap ini Alyasa‘ menyimpulkan bahwa letak hukum jinayat Aceh sebenarnya bila berpijak pada UU No. dunia, termasuk Kerajaan Islam Aceh Darussalam (1607-1636 M). Dinamisasi kekuasaan di bumi, diakui al-Qura>n dalam Qs. Āli ‘Imrān: 140 yang artinya: “ Harihari(masa) kejayaan itu Kami gilirkan di antara manusia.”Lihat Juga Qs. Saba’: 28, yang artinya: “Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) kecuali untuk manusia (ka>ffah) seluruhnya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Dikatakan di dalam sebuah Wikipedia, “Until the 18th century, Sharia law was practiced throughout the Muslim world in a non-codified form, with the Ottoman empire's Mecelle code in the 19th century being first attempt at codifying elements of Sharia law. Since the mid-1940s, efforts have been made, in country after country, to bring Sharia law more into line with modern conditions and conceptions. In modern times, the legal systems of many Muslim countries draw upon both civil and common law traditions as well as Islamic law and custom. The constitutions of certain Muslim states, such as Egypt and Afghanistan, recognise Islam as the religion of the state, obliging legislature to adhere to Sharia.” Lihat http:// en.wikipedia.org/wiki.Islamic Law of the World/Law.htm (diakses tanggal 18 Agustus 2010).
43
44 Tahun 1999 adalah sejenis peraturan daerah yang yang berada di bawah Peraturan Pemerintah (PP), namun dengan kekhususan yang diperoleh dari Undang–undang Negara (UU No. 11 Tahun 2006) ia menempati peringkat Peraturan Pemerintah (yang tidak dapat disingkirkan oleh PP dan Keputusan Presiden). Alyasa‘ menambahkan bahwa UUD 1945 Pasal 24 Ayat (2) menyatakan bahwa lingkungan peradilan sudah ditetapkan hanya 4 lingkungan yaitu: (1) Lingkungan Peradilan Umum: (2) Lingkungan Peradilan Agama; (3) Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara; dan Lingkungan Peradilan Militer.80 Selain itu, secara realita—menurut Alyasa‘—telah ada 4 kebijakan berkenaan dengan penerapan syariat Islam di Aceh (pasca kemerdekaan RI), yakni: (1) kebijakan berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999; (2) kebijakan berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001; dan (3) Kebijakan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006.81 1. Kebijakan berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 Pengesahan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Daerah Istimewa Aceh oleh pemerintah Indonesia mewujudkan sejumlah kebijakan daerah yang terkandung dalam turunan UU tersebut. Salah satu dari peranakan UU tersebut adalah aplikasi Peraturan Daerah (Perda) No. 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam. Perda ini merupakan suatu nuansa Islami yang turut memberikan peluang bagi masyarakat Aceh untuk menciptakan nuansa keislaman di Aceh. Undang–undang tersebut menyatakan bahwa pemberian keistimewaan kepada Aceh menimbang sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan yang religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum penjajah. Kehidupan religius rakyat Aceh juga telah membentuk sikap pantang menyerah dan semangat nasionalisme dalam menentang penjajah dan mempertahankan kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kehidupan masyarakat Aceh yang 80
Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa, 34-38. Lihat juga Tap MPR R I No. III/MPR/1978 yang menyinggung kedudukan Mahkamah Syar’iyah Aceh. 81 Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa, 13-75.
44
religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan pendidikan Islam. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penyelenggaraan pemerintahan daerah Aceh memerlukan adanya jaminan kepastian hukum dalam melaksanakan segala urusan. Maka Undang-undang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi hukum normatif bagi upaya tersebut. Fenomena seperti ini telah disebutkan Arsekal Salim dalam Challenging the Secular State: the Islamization of Law in Modern Indonesia.82 Pasca pengambil alihan kekuasaan pemerintahan oleh Orde Baru (New Orde) yang dipimpin Suharto tahun 1966, hak keistimewaan bagi Aceh yang tercantum dalam UU No. 24 Tahun 1956 tidak direalisasikan. Semua hak dan kebijakan daerah diambil alih oleh pemerintah pusat— terutama setelah pengesahan UU No. 5 Tahun 1975. Korupsi, Kolusi, Nepotisme di berbagai pelanggaran HAM lainnya juga merajalela di dalam kehidupan birokrasi Orde Baru. Pemerintahan ororiter ini berakhir dengan “ditabuhkannya genderang” perang terhadap korupsi, kolusi dan nepotisme yang di diprakarsai Amein Rais (tokoh pencetus reformasi) pada tahun 1998—yang menyebabkan pergantian kepresidenan dari Suharto kepada wakilnya, B. J. Habibie. Dikatakan Moch. Nur Ikhwan bahwa dengan peralihan kepemimpinan ini tindakan-tindakan rejim represif (the regime’s repressive actions) di Aceh semakin lama semakin berkurang. 83 B. J. Habibie yang melanjutkan “tongkat estafet” pemerintahan Suharto, berusaha membuka pintu demokrasi dengan cepat sesuai tuntutan keadaan. Di antara bentuk pemerintahan demokrasi dengan memberikan kewenangan-kewenangan legislatif yang signifikan kepada daerah-deerah, termasuk otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh
82
Arsekal Salim dalam Challenging the Secular State: the Islamization of Law in Moderen Indonesia (Honolulu: University of Hawai`I Press, 2008),143-144. Lihat juga UU No. 44 Tahun 1999. 83 Moch. Nur Ikhwan, “the Politics of Sharia‘atization: Central Governmental and Regional Discourses of Shari`a Implementation in Aceh” dalam R. Michael Feener and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institution, 194.
45
Darussalam, sebagaimana dikatakan Tim Linsey dan M. B. Hooker. 84 Realita ini memunculkan berbagai wancana dan kebijakan terhadap peningkatan supremasi hukum di Indonesia, sehingga membawa dampak kepada kebijakan pemerintah untuk membentuk Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi pada tahun 2003. Kemudian dilanjutkan dengan adanya Mahkamah Konstitusi tahun 2004. Kedua institusi peradilan ini dapat menghambat kesewenang-wenangan pejabat negara dari perilaku yang merugikan negara dan masyarakat. Bagi Aceh, sejarah perkembangan hukum menunjukkan bahwa pemerintah mengeluarkan UU No. 44 Tahun 1999 yang memberikan keistimewaan (renofatif) bagi Aceh di bidang agama, adat-istiadat, dan Pendidikan. Dengan demikian telah ada 2 daerah Istimewa di Indonesia yakni DI Aceh dan DI Yokyakarta. Sedangkan pasca Undang-undang Otonomi daerah telah ada lima daerah Otonomi Khusus bagi Indonesia (termasuk Papua Barat). 2. Kebijakan berdasarkan UU No. 18 Tahun 2001 Dari realita di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah sebagai penyelenggara Negara nampak pada pengesahan hukum perundang-undangan. Fenomena ini dapat terjadi karena pengaruh dari pusat atau dari daerah (Aceh). Sejumlah UU muncul dengan latar belakang hiruk-pikuk masyarakat yang menuntut adanya perubahan kebijakan dari masa ke masa. Demikian pula yang terjadi terhadap UU No.18 Tahun 2001, yang membawa dampak pada pengesahan qanun Jinayat tahun 2003. Meskipun UU ini dianggap tidak berlaku lagi pasca pengesahan UU No. 11 Tahun 2006, Qanun jinayat tahun 2003 tersebut tetap dinyatakan berlaku sampai saat sekarang ini.85 Kebijakan UU tentang “Otonomi Khusus” ini nampak pada batang tubuh dan kandungan/isinya. Menyangkut dengan syariat Islam, 84
Tim Lindsey and M.B. Hooker, “Shari‘a Revival in Aceh” dalam R. Michael Feener and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institution, 219. 85 UU No. 11 Tahun 2006 memperlihatkan bahwa wewenang yang diberikan kepada Aceh meliputi banyak sektor, kecuali keuangan, pertahanan, urusan luar negeri, kehakiman, dan agama. Ketentuan ini sebenarnya senada juga dengan UU No. 34 Tahun 2003 tentang Otonomi Daerah—sebagai penyempurnaan dari UU No. 22 Tahun 1999 (yang berlaku bagi semua daerah di Indonesia). Lihat Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 218.
46
Bab XII Pasal 25 dan 26 Undang–undang ini mencantumkan item tentang pengesahan Mahkamah Syar‘iyah di Nanggroe Aceh Darussalam, sehingga menampakkan adanya kemajuan dari sektor peradilan Islam. Sebelumnya, semua kasus kriminal mesti merujuk ke pangadilan Umum atau pengadilan yang relevan ketika masayarakat mengajukan suatu kasus yang menyangkut dengan tindak pidana. UU ini di samping memperkuat kebijakan-kebijakan daerah sebelumnya yang menyangkut dengan peradilan, juga sekurang-kurangnya tidak melangkah ke belakang dalam proses peradilan di Aceh. Fakta yuridis menunjukkan bahwa sebelumnya UU No. 22 Tahun 1999, pemerintah Aceh telah mengesahkan Perda No. 5 Tahun 2000 tentang peradilan syariat Islam di Aceh yang tidak memiliki lembaga peradilan yang “dijinayat-kan”. Pasca pengesahan UU No. 18 Tahun 2001, keterlibatan Mahkamah Syar‘iyah Aceh dalam penanganan perkara pelanggaran syariat terletak pada hukum acara pidana yang telah diterapkan oleh Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003. Sejumlah tindak pidana lain, tidak terkecuali perkara pelanggaran daru>riyah al-khamsah (lima perkara yang dilindungi agama), belum dapat ditegakkan dengan hukum Islam. Fenomena ini demi menjaga Konsensus 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia bukan berdasarkan Islam. Tentang status Aceh dalam ketatanegaraan Indonesia kontemporer telah juga disebutkan di dalam Wikipidea: “Sejumlah Provinsi yakni Aceh, Jakarta, Yokyakarta, dan Papua Barat memiliki keistimewaan hukum yang lebih besar dan lebih tinggi derajat otonomi dari pemerintah pusat dibandingkan daerah-daerah lain. Pemerintah Aceh, contohnya, memiliki hak untuk membuat system hukum yang independen, pada tahun 2003 Aceh membentuk sebuah hukum syariat. Yokyakarta diberikan kawasan khusus karena dikenal peran pentingnya di republik di dalam revolusi Indonesia. Papua yang yang dulunya dikenal Irian Jaya, sekarang Papua Barat, dianugerahi status otonomi khusus pada tahun 2001. Jakarta adalah kawasan ibu kota Negara yang khusus” (“The provinces of Aceh, Jakarta, Yokyakarta, and West Papua have greater legislative privileges and a higher degree of autonomy from the central government than the other provinces.
47
The Acehnese government, for example, has the right to create an independent legal system; in 2003, it instituted a form of Sharia (Islamic law). Yogyakarta was granted the status of Special Region in recognition of its pivotal role in supporting Indonesian Republicans during the Indonesian Revolution. Papua, formerly known as Irian Jaya, now West Papua, was granted special autonomy status in 2001 Jakarta is the country's special capital region”).86 Di antara tokoh Aceh Ahmad Farhan Hamid, dianggap memiliki andil dalam menagani proses pengesahan dan penyusunan UU No. 18 Tahun 2001—tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi provinsi Nanggroe Aceh Darusalam—ini. Sebagai Anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Daerah (DPD) Aceh, ia ikut meyumbangkan pemikiran bagi perwujudan UU hingga ditantatangani presiden Megawati Sukarnoputri dan diundangkan menjadi Undangundang RI pada bulan Mei 2001. 87 Bustami dengan mengutip beberapa pakar dari Aceh mengatakan bahwa kata “Nanggroe” (sebagaimana halnya frase “Wali Nanggroe” yang tertera dalam UU No. 18 Tahun 2001) dapat diartikan Negara, dan juga berarti suatu kawasaan di dalam suatu Negara. Pengggunaan kata “ Nanggroe” dalam UU No. 18 Tahun 2001 membuat jiwa masyarakat menerima penamaan ini.88 Dikatakan
86
http://en.wikipedia.org/wiki/Qanun, diakses tanggal 29 November 2010. Lihat juga UUD 1945 Pasal 18B Ayat (1), “ Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Lihat juga Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, 226. 87 Di antara kekhususan dalam Undang-undang ini adalah meberikan peluang pembentukan Mahkamah Syariyah (Shari‘a Courts) dan implementasi syaraiat Islam di provinsi Aceh. Lihat Moch. Nur Ikhwan, “the Politics of Shari‘atization: Central Governmental and Regional discourses of Shari‘a Implementation in Aceh” dalam R. Michael Feener and E. Cammck, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institutions, 196. 88 Lihat Pasal 10 Ayat 3 UU No. 18 Tahun 2001. Lihat juga Bustami, “Wali Nanggroe:MonarchidalamRepublik”,http://www.acehfeature.org/index.php/site/detailart ikel/771/Wali-Nanggroe-Monarki-dalam-Republik/
48
Tim Lindsey dan M.B. Hooker bahwa kedudukan Wali Nonggroe lebih terkait dengan symbol dibandingkan politik.89 UU ini sebagaimana perundang-undangan lainnya, dianggap merupakan hasil kesepakatan umum masyarakat Indonesia yang tidak mengabaikan kepentingan masyarakat (Aceh) secara representatif. UU ini mengimplikasikan suatu anggapan bagi masyarakat Aceh-Indonesia bahwa NKRI telah final dan tidak lagi harus ada perjuangan rakyat untuk memisahkan diri. Kebijakan pengesahan Undang–undang ini juga meredam antusias masyarakat Aceh untuk berpisah, di samping mencari solusi persoalan masyarakat Aceh pada fase-fase lanjutan. Dengan perkataan lain, dengan kekhususan UU tersebut dapat dijadikan peluang oleh eksekutif dan legislative Aceh untuk membuat qanun jinayat yang berhasil disusun tahun 2003 yang menyangkut hukuman bagi tindak pidana khamar, judi, dan khalwat sebagaimana tersebut di atas. Ketiga Qanun ini dapat diterapkan secara lebih realistis sejak diundangkan dan pasca keluarnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. 3.
Kebijakan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2006 Sebagaimana uraian sebelumnya, bahwa pengesahan hukum perundang-undangan merupakan wujud dinamisasi nuansa system pemerintahan Negara yang bertujuan menuju ke arah yang lebih baik. Maka bagi UU No. 11 Tahun 2006 memiliki sejumlah kekhususan/kespesifikan bagi Aceh. Di antara kespesifikasiannya adalah adanya penamaan-penamaan baru bagi kantor-kantor dan lembagalembaga pemerintahan di provinsi Aceh. UU No. 11 Tahun 2006 ini menamakan gubernur Aceh dengan sebutan kepala pemerintah Aceh, bukan kepala daerah (sebagaimana yang berlaku pada masa silam). Hukum Islam juga dapat diterapkan sesuai dengan yang telah diatur UU RI dan Qanun yang dijabarkan oleh Daerah dengan Pergub, Perbub, dan perundang–undangan yang bersifat otonomis lainnya. Meskipun sesuai dengan hukum perundang-undangan yang berlaku, hukum Islam yang diterapkan mesti ada penyelerasan dengan ideologi Negara, karena Indonesia telah terikat dengan konsensus sebelumnya yakni berideologi 89
Tim Lindsey and M.B. Hooker, Shari`a Revival in Aceh dalam R. Michael Feener and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institution, 220.
49
Negara Pancasila sejak tahun 1945. Maka demikian pula penerapan hukum Islam yang dilindungi UU ini.90 Penanganan konflik Aceh sebelum UU ini telah melibatkan banyak pihak dan organisasi Internasional (Non Govermental Organization), yang berakhir dengan perjanjian Helsinki 15 Agustus 2005. Fenomena ini menunjukkan persoalan Aceh tidak hanya merupakan persoalan domestik bangsa Indonesia, namun telah melibatkan campur tangan dunia luar. Pasca (Memorandum of Understanding (MoU) tersebut menunjukkan bahwa Aceh masih merupakan salah satu provinsi di Negara kesatuan Republik Indonesia, anggota PBB (UN) yang telah menandatangani Pernyataan Sejagat Hakhak Asasi manusia (the Universal Declaration of Human Rights) tahun 1948. Sebagai sebuah Negara, Indonesia memiliki status yang sama dengan Negara-negara lainnya di dunia. Juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam menjaga perdamaian. Perkara hak asasi manusia memerlukan pembahasan mengingat perkara ini memiliki keterkaiatan dengan pengamalan hukum Islam di Indonesia, termasuk hukum jinayat Aceh.Kesepakatan HAM tersebut merupakan suatu tatanan yang mesti dijalani oleh suatu bangsa/pemerintahan. Kesepakatan-kesepakatan dunia yang menyangkut dengan HAM adalah berupa kesepakatan tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) tahun 1979, Kesepakatan tentang Hak Anak (CRC), Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras (CERD) tahun 1965, Kesepakatan tentang Hak Sipil dan Berpolitik (ICCPR) 1966, Kesepakatan tentang Anti penyiksaan (CAT) dan lainlain.91Kesepakatan-kesepakatan itu sudah menjadi hukum perundangundangan yang disahkan (diratifikasi) ke dalam hukum periundangundangan Republik Indonesia.92
90
Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh,77. Lihat juga Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar‘iyah dalam Sistem Peradilan Nasional, 110-118. Lihat juga UU No. 11 Tahun 2006 bab XVIII pasal 10. Lihat juga Keppres No. 11 Tahun 2003. 91 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan, atau Merendahkan Martabat Manusia (Toture Convention), telah diratifikasi dengan UU RI No. 5 Tahun 1998 92 UUD 1945 yang telah empat kali diamademen inio, banyak memuat pasalpasal yang menyangkut dengan HAM.
50
Keseluruhan kesepakatan tersebut menjadi acuan bagi perilaku hukum di Indonesia, tak terkecuali pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh. Di antara kesepakatan-kesepakatan tersebut, ICCPR dinilai sangat rentan (untuk mendapatkan sorotan publik) menyangkut dengan pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh. Namun latar belakang penandatanganan ICCPR itu Indonesia juga memiliki konsideran terhadap konsep HAM Islam (Deklarasi Kairo), sehingga, menunurut sejumlah pakar, pelaksanaan hukum Jinayat tidak bertentangan dengan HAM dalam pemahaman yang menyeluruh. Bagi Indonesia Komnas HAM yang merupakan badan HAM Indonesia yang terbentuk dengan Keppres No. 50 Tahun 1993 dikuatkan dengan pengesahan UU No. 39 Tahun 1999 yang ditandatangani oleh B. J. Habibie. Sampai saat sekarang ini, badan ini tidak akan keliru dalam memahami hukum jinayat Aceh. Komnas HAM memahami latar belakang penandatangan ICCPR tersebut dan hak Otonomi bagi Aceh. Walaupun Komnas HAM tidak dapat membatalkan Qanun Jinayat, penegakan HAM akan terbuka peluang bagi Indonesia dalam kerjasama bidang HAM dengan Dunia.93 93
Syaldi Sahude, “Instrumen HAM Internasional yang Telah Diratifikasi Indonesia,” (Artikel) Fact Sheet, Komnas HAM dan Berbagai Sumber Lainnya , pada 8 Mei 2009, (diakses tanggal 12 Desember 2010). Syaldi mengatakan bahwa instrument HAM yang telah diratifikasi adalah: 1. Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, telah diratifikasi dengan UU No. 59 Tahun 1958; 2. Konvensi Tentang Hak Politik Kaum Perempuan – Convention of Political Rights of Women, telah diratifikasi dengan UU No. 68 tahun 1958; 3. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan – Convention on the Elmination of Discrimination againts Women, telah diratifikasi dengan UU No. 7 tahun 1984; 4. Konvensi Hak Anak – Convention on the Rights of the Child, telah diratifikasi dengan Keppres 36 tahun 1990 ( Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Perdagangan Anak dan, prostitusi Anak, dan Pornografi Anak – Optional Protocol to the Convention on the rights of The child on the sale of children, child prostitution dan child pornography, telah ditandatangani pada tanggal 24 sepetember 2001), Protokol tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata – Optional Protocol to the Convention on the Rights of the child on the Involvement of the Children ini Armend Conflict, telah ditandatangani pada 24 September 2001; 5. Konvensi Pelarangan, Pengembangan, Produksi dan Penyimpanan Senjata Biologis dan Penyimpanannya serta pemusnahannya – Convention on the Prohobition of the Development, Production and Stockpilling of Bacteriological (Biological) and Toxic Weaponsand on their Destruction, telah diratifikasi dengan Kepres No. 58 tahun 1991; 6. Konvensi Internasional terhadap Anti Apartheid dalam Olahraga – International Convention Againts Apartheid in Sports, telah diratifikasi dengan UU No. 48 tahun 1993; 7. Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau
51
Perkara spesifik yang tertera pada UU No. 11 Tahun 2006 terdapat pada bidang syariah. Aceh memiliki kekhususan-kekhususan dalam di dalam bidang yurisdiksi (Peradilan/Mahkamah Syariah), yaitu: (1) adanya ketentuan pidana (jinayat) yang diatur dengan qanun (Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006); (2) adanya penundukan diri secara sukarela (Pasal 129 Ayat 1); (3) Jinayah berlaku bagi non-muslim apabila delik (kejahatan) tersebut tidak ada pengaturannya dalam KUHP atau perundang-undangan lain (Pasal 129 Ayat 2); (4) Qanun tentang syari’at Islam hanya dapat dibatalkan melalui yudicial review oleh Mahkamah Agung (Pasal 235 Ayat 4); (5) Ketentuan tentang hukuman yang berlaku untuk Perda, tidak berlaku untuk Qanun Syari‘at Islam (Pasal 241 Ayat 4). Kekhususan Aceh demikian telah dipaparkan oleh Mawardi Ismail (seorang dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh).94 Diakui Syamsuhadi Irsyad, berkaitan dengan hukum pidana Islam,95 telah diutarakan secara gamblang di dalam kebijakan UU (tentang Pemerintahan Aceh) ini, yaitu: (1) syari‘at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, shar’iyah dan akhlak; (2) syari’at Islam sebagaimana dimaksudkan adalah meliputi ibadah, ahwal alMerendahkan, atau merendahkan martabat Manusia – Toture Convention, telah diratifikasi dengan UU No. 5 tahun 1998; 8. Konvensi organisasi Buruh Internasional No. 87, 1998 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi – ILO (International Labour Organisation) Convention No. 87, 1998 Concerning Freedom Association and Protection on the Rights to Organise, telah diratifikasi dengan UU No. 83 tahun 1998; 9. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial – Convention on the Elemination of Racial Discrimination, telah diratifikasi dengan UU No. 29 Tahun 1999; 10. Optional protokol Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan – Convention on the Elmination of Discrimination Againt Women, telah ditandatangi pada Maret 2000 tetapi belum bisa diratifikasi; 11. Dan Konvensi Internasional untuk penghentian Pembiayaan terorisme – International Convention for the Supression of the Financing Terrorism, telah ditandatangani pada 24 September 2001. Lihat juga Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, 206. 94 Mawardi Ismail, Beberapa Kekhusususan Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh /UU No. 11 Tahun 2006 (Banda Aceh: Aceh Recovery Forum, 2008), 9-10. Lihat juga Rusjdi Ali Muhammad & Swa, “Melanggar Syariat, NonMuslim Boleh Pilih Hukuman”, Serambi Indonesia, 21 Juni 2011, 2. 95 Pasal-pasal UU No. 11 Tahun 2006 yang menyangkut dengan Jina>ya>t (Hukum Pidana Islam) menunjukkan bahwa tanggung jawab pelaksanaan hukum jinayat dilakukan secara bersama-sama oleh pemerintah Pusat dan pemerintah Aceh, terutama menyangkut dengan pendanaan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 127 Ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006.
52
shakhșiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jināyah (hukum pidana), qad}a>’ (peradilan), tarbi>yah (pendidikan), dakwah, shiar, dan pembelaan Islam; dan (3) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan syari’at Islam sebagaimana dimaksudkan diatur dengan Qanun Aceh. 96 Sebelum UU ini, Qanun Aceh tentang hukum acara pada Mahkamah Syariyah, menurut Syamsuhadi, yang dibentuk adalah: (1) hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar’iyah adalah hukum acara yang diatur dalam Qanun Aceh; dan (2) hukum acara yang berlaku pada Mahkamah Syar’iyah sepanjang mengenai jinayah adalah hukum acara sebagaimana yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.97 Kewenangan Mahkamah Syariyah sebagaimana tercantum di dalam UU No. 18 Tahun 2001, menjadi meluas setelah penegesahan UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Misalnya, dikatakan dalam Pasal 20 Bab VI UU No. 11 Tahun 2006, “Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota berpedoman pada azas umum penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri atas asas keIslaman.”98 Memang, perwujudan Mahkamah Syariyah pada saat sekarang ini tidak terlepas dari dampak sejarah Aceh masa silam. Idri dalam artikelnya yang berjudul “Negara di Jawa Masa Lampau; Studi tentang Masa Mataram II” dengan mengutip dari Martono mengatakan : “Unlike the judicial system in Java, the religious courts in Aceh were conducted in various levels . The first level court operated on the village level , and was led by an arbitrator called keuchik . The court handled only petty cases: more severe cases were heard by the Mukim or Law Center. When one of litigant parties was not satisfied with the decision of the first level, he or she might lodge an appeal to the Uleebalangs (second-level courts) . A furher appeal might be submitted to the Panglima Sagi. If still not satisfied, then he or she might continue the 96
Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006. Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syariyah dalam Sistem Peradilan Nasional (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), 188. 98 UU No. 11 Tahun 2006 Pasal 20. 97
53
appeal to the Sultan. It would be heard by the Supreme Court made up of: Malikul Adil, The Rich Sri Master, the Rich King Bandhara, and Faqih (Ulama)”. (“Beda dengan system peradilan di Jawa, pengadilanpengadilan agama di Aceh dibentuk dalam beberapa tingkat. Pengadilan tingkat pertama dilangsungkan di tingkat desa, dan dipimpin oleh seorang penengah yang dinamakan keuchik. Pengadilan hanya menangani menangani kasus-kasus ringan: kasus-kasus yang agak berat ditangani oleh Mukum atau Pusat Hukum. Ketika seorang warga tidak puas dengan keputusan dari tingkat pertama dia dapat mengajukan banding ke Uleebalang (Pengadilan tingkat dua). Pengajuan banding yang lebih lanjut tapat diajukan ke Panglima Sagoe. Jika tidak puas, orang dapat melanjutkan banding ke Sultan. Hal itu akan didengar oleh Mahkamah Agung yang dinamakan Malikul Adil, Yang dipertuan Agung, Syah Bandar, dan Faqih—Ulama”). 99 Di era kontemporer, realita menunjukkan bahwa hak Otonomi khusus telah menjelma dalam pergantian badan peradilan Islam (Mahkamah Syariyah) yang sebelumnya berada di bawah jajaran Departemen Agama RI (baca: Kementerian Agama RI) menjadi tunduk kepada Mahkamah Agung RI. Maka berkenaan dengan lembaga ini dan data statistik dari penanganan kasus tindak pidana akan penulis jelaskan selanjutnya. Kedudukan Mahkamah Syariyah adalah Lembaga Tinggi di bawah Mahkamah Agung Negara sebagaimana dimaksudkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978.100 Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya
99
Idri (STAIN Pamangkasan, Indonesia), “Religious Court in Indonesia History and Prospect,” Journal of Indonesian Islam, Vol 3 Number 2 , Desember 2009, 302. Lihat juga Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: the Experience of Indonesia, 75. 100 Republik Indonesia, UU No. 14 Tahun 1985 Bab 1 tentang Kedudukan Mahkamah Agung pasal 1 dan 2. Lihat juga Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 huruf (i), “Mahkamah adalah Mahkamah Syar‘iyah Kabupaten/Kota dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”.
54
terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh pengaruh lain.101 Mahkamah syariyah provinsi bertugas merealisasikan tugas-tugas peradilan di daerah (Aceh). Mahkamah Syariyah Wilayah Aceh di samping mengemban tugas peradilan yang berkaitan dengan keperdataan (ah}wa>l al-shakkhs}i>yah), juga merealisasikan Qanun Jinayat dari Otonomi Khusus. Maka sesuai dengan tugasnya, tanggung jawab Mahkamah Syariyah Aceh menjadi lebih luas.102 Selain itu, nuansa perkembangan baru yang berlaku bagi Aceh dari realitas UU No. 11 Tahun 2006 yang disahkan pasca MoU Helsinki 15 Agustus 2005 menampakkan pengubahan nama Aceh dari “Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam” (sebagaimana UU No. 18 Tahun 2001) menjadi “Provinsi Aceh” kembali (sebagaimana UU No. 24 Tahun 1956 yang ketika itu Aceh memiliki 5 kabupaten). Pasca MoU tersebut Aceh memiliki 21 kabupaten. Bila UU No. 24 Tahun 1956 tersebut Aceh masih berada di antara 27 provinsi, maka eksistensi Aceh tetap sebagai salah satu provinsi dari 33 provinsi di Indonesia pasca UU No. 11 Tahun 2006. Dengan perkataan lain, UU No. 11 Tahun 2006 telah menambah nuansa baru bagi bagi sosio-kultural-geografis (pembagian territorial) Aceh. Perubahan sebutan (naming) bagi beberapa lembaga resmi pemerintah juga banyak dilakukan, meskipun fungsinya tetap dan penambahan dari sebelumnya. Nama–nama instansi pemerintahan telah disesuaikan dengan kultur (budaya) Aceh. Aceh diberiakan peluang yang sangat besar untuk membenah diri. Di samping memperkuat kelembagaan daerah, memperkokoh bidang ekonomi yang mensejahterakan masyarakat, UU ini juga melakukan pembenahan di sektor agama dan adat. Namun mengingat sosialisasi Undang-undang ini belum merata (bagi masyarakat dan birikrasi pemerintahan), maka tidak mustahil adanya banyak kendala, terutama ketika berada pada tahap pembahasan wewenang dan tanggungjawab antara pusat dan daerah 101
Lihat Republik Indonesia, UU No. 14 Tahun 1985 Bab 1, Pasal 1, dan pasal 2. Adnan Buyung Nasution, dalam Arus Pemikiran Konstitusionalisme Hukum dan Peradilan (Jakarta: Kata Hasta, 2007), 56-57—agak jeli menilai konteks ini. Adnan mengartikan ungkapan … “terlepas dari pengaruh pemerintah dan pihak lain” sebagai suatu wewenang absolut pemerintah di dalam bidang pemerintahan/kehakiman. 102 Lihat Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6 Oktober 2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar‘iyah di Prov. NAD.
55
menyangkut dengan RPP (Rancangan Peraturan Pemerintah) yang menjadi turunan UU tersebut.103 Dengan perkataan lain, berbagai pengesahan Undang-undang yang berupa UU No. 24 Tahun 1956, UU No. 22 Tahun 1999 , UU No. 44 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2001, dan UU No. 11 Tahun 2006 sebagai hasil dari ijmā‘ DPR RI bagi Aceh, menunjukkan adanya dinamisasi hukum perundang-undangan Indonesia yang menyangkut dengan Aceh. Dinamisasi system pemerintahan Negara dalam berbagai bentuk, termasuk penerapan system otonomi daerah bertujuan untuk menciptakan kelanggengan bagi masyarakat dalam merealisasikan kehidupannya sehari-hari, mengingat pendduduk Indonesia adalah masyarakat yang mejemuk yang memiliki kultur dan adat istiadat yang berbeda-beda yang telah terikat di dalam falsafah Bhinneka Tunggal Ika. 104
Iklim Ke-bhinneka-an tersebut dapat membawa dampak pada sejumlah nuansa Hukum perundang-undangan RI, tak terkecuali Undangundang ini yang membahas hak pengololaan pemerintahan sendiri (self government) berdasarkan adat istiadat Aceh bagi masyarakat Aceh, bahkan khusus menyangkut dengan keagamaan dan hukum. Dampak lain dari tuntutan zaman pihak DPR RI telah 4 kali mengamandemen UUD 1945.105 Hal mendasar dari sejumlah undang-undang (UU No. 44 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2001, dan UU No. 11 Tahun 2006) adalah pengesahan Keistimewaan dan hak otonomi bagi Aceh. Khusus UU No. 11 Tahun 2006 mengatur pemberian kesempatan yang lebih luas bagi Aceh untuk mengatur dan mengurus sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam dan sumber daya manusia, menumbuh kembangkan prakarsa, kreativitas dan demokrasi, meningkatkan peran serta masyarakat, menggali dan mengimplementasikan tata bermasyarakat yang sesuai dengan nilai luhur kehidupan masyarakat Aceh, memfungsikan secara optimal Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam 103
Fikar W Eda, “Menkeu Anulir RPP Sabang: Pemerintah Aceh Kecewa dan Merasa Ditipu Lagi”, Serambi Indonesia, 13 Agustus 2010, 1. 104 http://www. IslamicLawoftheWorld/Indonesia.htm (diakses tanggal 17 November 2010). 105 Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, 21.
56
memajukan penyelenggaraan pemerintahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan mengaplikasikan syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk melaksanakan berbagai kewenangan dalam rangka kekhususan, Maka DPR NAD merealisasikan kewenagan ini dalam bentuk Qanun-qanun, termasuk qanun-qanun “jinayat” tahun 2003. Pelaksanaan system hukum di Lembaga peradilan Islam Aceh memang masih mendapat pengontrolan dari Mahkamah Agung RI. Pemerintah juga membuka peluang untuk meningkatkan penerimaan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam termasuk kemungkinan tambahan penerimaan selain yang telah diatur dalam undang-undang ini. UU ini menempatkan titik berat otonomi khusus pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang pelaksanaannya diletakkan pada daerah Kabupaten dan Kota atau nama lain secara proporsional. Kekhususan ini merupakan peluang yang berharga untuk melakukan penyesuaian struktur, susunan, pembentukan dan penamaan pemerintahan di tingkat lebih bawah yang sesuai dengan jiwa dan semangat berbangsa dan bernegara yang hidup dalam nilai-nilai luhur masyarakat Aceh, diatur dalam Peraturan Daerah yang disebut dengan Qanun. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap Qanun. Dalam hal pemberian otonomi khusus sebagaimana dimaksud undang-undang ini, Pemerintah berkewajiban memfasilitasi dan mengoptimalkan perannya dalam rangka percepatan pelaksanaan otonomi khusus yang disahkan kepada Provinsi NanggroeAceh Darussalam. 106 Sebelum sejumlah UU (Keistimewaan Aceh 1999, UU Otonomi Khusus 2001, dan UUPA 2006) tersebut disahkan khusus menyangkut dengan Aceh, pengamalan hukum produk orde lama seperti UU No. 24 Tahun 1956 tidak dapat direalisasikan karena kandas dengan peralihan orde pemerintahan. Ada anggapan sebenarnya UU ini memadai bagi
106
Lihat UU No. 11/2006 pasal XVIII. Lihat juga Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6 Oktober 2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar‘iyah di Prov. NAD.
57
Aceh dalam melakukan pembenahan diri, yang tidak harus melakukan perubahan melalui cara “ angkat senjata” dalam mensikapi tuntutan. Payung hukum tentang kebijakan pencetusan Otonomi Daerah dilatarbelakangi Pasal 1 Ayat (1), Pasal 5 Ayat (1), Pasal 18B Ayat (1), dan Pasal 20 Ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah; UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara (yang sebelumnya digabungkan menyatu dengan provinsi Sumatra Utara);107 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, yang disahkan oleh presiden B. J. Habibie pada tanggal 4 Oktober 1999 di Jakarta. Dalam UU No. 11 Tahun 2006 Bab XIII (Ketentuan Peralihan) Pasal 27 menyangkut dengan Sengketa-wewenang antara Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan dalam lingkungan peradilan lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama dan tingkat terakhir.108 Selanjutnya Pasal 28 mengatur tentang susunan organisasi, perangkat Daerah, jabatan dalam pemerintahan Daerah, dan peraturan perundang-undangan yang ada tetap berlaku hingga dibentuk Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan undangundang ini.
107
Lembaran Negara Tahun 1956 No. 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103. UU ini disahkan oleh presiden pertama RI, Sukarno. 108 Jaenal Aripin mengatakan, beberapa produk peraturan perundang-undangan yang diubah adalah tentang kekuasaan kehakiman dan badan-badan pelaksananya: yakni Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Peadilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Dengan demikian demikian dapat dikatakan bahwa kekuasaan kehakiman mencapai puncak supremasinya. Lihat Jaenal Aripin, Reformsi Hukum di Indonesia dan Implikasinya terhadap Peradilan Agama: Analisis terhadap Eksistensi Peradilan Agama di Era Reformasi (1998-2008), 4. Lihat juga UU No. 4 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, LN-RI Tahun 2004 No. 8, TLN-RI No. 4358.
58
UU tersebut juga tidak melakukan perubahan kebijakan daerah yang telah diatur Qanun Aceh sebelumnya. Dengan demikian qanun jinayat dan yang bernuansa Islam lainnya tidak mengalami pembatalan. Dikatakan dalam Pasal 29, Semua peraturan perundang-undangan yang ada sepanjang tidak diatur dengan undang-undang (Otonomi Khusus) ini dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Fenomena ini ditegaskan lagi dalam Pasal 30 yang menyatakan bahwa semua Peraturan Daerah yang ada dinyatakan sebagai Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut.109 Wilayah mukim, yang pada masa orde baru terabaikan karena pengesahan UU No, 5 tahun 1997, diusahakan untuk hidup kembali.110 Dalam Bab III UU No. 11 Tahun 2006 diatur tentang Kewenangan Provinsi NAD. Tepatnya di dalam pasal 3 ditegaskan bahwa: (1) kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diatur dalam undang-undang ini adalah kewenangan dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus; dan (2) Kewenangan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selain yang diatur pada ayat (1) tetap berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain mukim perkara kekuasaan pemuka adat di Aceh juga diutarakan dalam Bab VI UU ini. Bab ini lebih memfokuskan tentang kedudukan lembaga legislatif di Provinsi NAD . Bahkan perkara ini juga diatur di dalam Bab VII, yang berkenaan dengan tokoh dan wewenang tokoh adat di Aceh sebagai pemersatu masyarakat. Dikatakan di dalam Bab VII ini: (1) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat, budaya, dan pemersatu masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; (2) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe bukan merupakan 109 110
Lihat UU No. 11 Tahun 2006 Pasal 27-29.
“Mukim” adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain, yang dipimpin oleh Imum Mukim. Selanjutnya gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh keuchik yang berhak menyelenggarakan urusan pemerintahan di desa. Hal yang terkait dengan ini juga diutarakan dalam Bab II UU No. 18 Tahun 2001.
59
lembaga politik dan pemerintahan; dan (3) Hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.111 Dalam bidang yudikatif, dalam rangka merealisasikan penegakan hukum, lembaga-lembaga yang melengkapi susunan pemerintahan seperti lembaga kepolisian tetap diperlukan. Bab VIII tentang Badan Eksekutif Nanggroe Aceh Darussalam telah menegaskan hal ini; Bab X membahas tentang Kepolisian daerah provinsi NAD; dan bab XI tentang kejaksaan di Provinsi NAD. Di dalam Bab XI Pasal 24 dikatakan, “(1) Tugas kejaksaan dilakukan oleh kejaksaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia; (2) Pengangkatan Kepala Kejaksaan Tinggi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Jaksa Agung dengan persetujuan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; dan (3) Pemberhentian Kepala Kejaksaan Tinggi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Jaksa Agung.” Lebih lanjut dalam Bab XII tentang Mahkamah Syariyah di Provinsi NAD Pasal 25 menyatakan: “(1) Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari system peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun; (2) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; (3) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk agama Islam. Dikatakan dalam Pasal 26, (1) Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) terdiri atas Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda atau nama lain sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Mahkamah Syar‘iyah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding di ibukota Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; (2) Mahkamah Syar’iyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia; (3) Hakim Mahkamah Syar’iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan Gubernur 111
Lihat UU No. 11 Tahun 2006 Bab VI dan VII. Menurut pemberitaan Harian Serambi Indonesia, DPRA pada akhir 2010 sedang melakukan perancangan Qanun tentang Wali Nanggroe. Lihat Serambi Indonesia, tanggal 1 Desember 2010, 1.
60
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung.112
C. Pengaturan Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 1. Hukum Jinayat Menurut Qanun Sebelum menjelaskan tentang perbincangan wacana yuridis mengenai aplikasi Hukum Jinayat terlebih dahulu diparkan definisi hukum sebagaima tema utama dari penelitian ini. Mukhtar Ali dalam Prospek Fatwa sebagai Hukum Positif di Indonesia menulis bahwa secara terminologis kata “hukum”, dengan melihat dari Hamka, Filsafat Usu>l al-Fiqh menemukan bahwa dalam Arab bahwa “hukum” berasal dari kata h}akama –yah}kumu-h}ukman berarti memutuskan, mengadili, menetapkan, memerintahkan, memerintah, menghukum, mengendalikan, dan lain-lain sebaginya. Asal-usul dari istilah “hukamā`” juga berasal dari istilah tersebut, yang berarti mengendalikan dengan suatu pengendalian. Hukum memang berhubungan dengan keputusan atau perintah yang bijak (h}akīm;s}ifah al-mushābahah). Hukum juga diartikan dengan kebijakan atau policy. Bahkan ada pengertian hukum secara umum misalnya terungkap dalam bahasa: “Anda memutuskan sesuatu dengan begitu atau begini,” baik keputusan tersebut mengikat orang lain atau tidak. 113 Pakar Fiqh tidak membedakan antara kejahatan dan pelanggaran. Pelanggaran yang ditentukan oleh Allah SWT disebut dengan kejahatan. Kejahatan atau pelanggaran itu disebut dengan jarīmah. Pengertian jarimah itu sama dengan tindak pidana atau delik dalam hukum positif. Contohnya zina, menuduh orang zina (dengan tuduhan yang salah), mencuri, minum khamar, merampok, murtad, memberontak, menganianya, dsb. Perbuatan jināyāt menimbulkan h}add, qis}ās}, diyat, dan ta‘zīr terhadap pelakunya”114 Ahmad Mukri Ali, dengan mengutip dari kitab al-Ah}ka>m alS{ult}āniyah, mempersamakan antara jināyāt dengan jarīmah sebagaimana ta‘rīf berikut: 112
Lihat UU No. 11 Tahun 2006 Pasal 24, 25, dan 26. Lihat Mukhtar Ali, Prospek Fatwa sebagai Hukum Positif di Indonesisia, 51. Lihat juga Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, 23. 114 Muhammad Abdul Mujaeb, dkk., Kamus Istilah Hukum (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 141. 113
61
"ﳏﻈﻮﺭﺓ ﺷﺮﻋﻴﺔ ﺯﺟﺮ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﺎ ﲝﺪ ﺍﻭ ﺗﻌﺰﻳﺮ ﻭﺍﶈﻈﻮﺭﺓ ﻫﻰ ﺍﻣﺎ ﺍﺗﻴﺎﻥ ﻣﻨﻬﻰ "ﻋﻨﻪ ﺍﻭ ﺗﺮﻙ ﻓﻌﻞ ﻣﺄ ﻣﻮﺭ ﺑﻪ “Segala larangan –laraangan syara’ yang diancam dengan hukuman h}add, atau ta`zīr. Sedangkan al-mah}d}u>rat—sesuatu yang dilarang itu—adalah melaksanakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan sesuatu perbuatan yang diperintah”.115 Bentuk dari seperangkat kejahatan (jarimah) yang dilarang Islam, dapat dijumpai dalam firman Allah dalam ayat-ayat berikut:116 Pertama, Qs al-Baqarah [2]: 219 yang bunyinya:
ﻗﻞ ﻓﻴﻬﻤﺎِِﺍﰒ ﻛﺒﲑ ﻭﻣﻨﺎﻓﻊ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻭﺍﲦﻬﻤﺎ ﺍﻛﱪ ﻣﻦ،ﻳﺴﺌﻠﻮﻧﻚ ﻋﻦ ﺍﳋﻤﺮ ﻭﺍﳌﻴﺴﺮ (٢١٩ :[٢] )ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ. ... ،ﻧﻔﻌﻬﻤﺎ “ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah pada (perkara) keduanya ada dosa besar, dan ada manfaat bagi manusia. Sedangkan dosa keduanya lebih besar dari faedah.” (Qs. alBaqarah [2]: 219). Kedua, ayat yang bunyinya:
... ﻳﺎ ﺍﻳﻬﺎﺍﻟﺬﻳﻦﺀﺍﻣﻨﻮﺍ ﻻ ﺗﻘﺮﺑﻮﺍﺍﻟﺼﻠﻮﺍ ﺓ ﻭﺃﻧﺘﻢ ﺳﻜﺎﺭﻯ ﺣﱴ ﺗﻌﻠﻤﻮﺍ ﻣﺎ ﺗﻘﻮﻟﻮﻥ (٤٣ :[٤] )ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu (sekalian) mendekati shalat ketika kamu sedang mabuk, hinnga kamu sadar apa yang kamu ucapkan.” ( Qs. al-Nisa’[4]: 43). Ketiga, Qs al-Maidah [6] ayat 90-91: 115
Ahmad Mukri Ali, Rasionalitas Ijtihad Ibnu Rushd (Bogor: Pena Ilahi,
2010), 65.
116
Ayat-ayat al-Qur’an yang melarang khamar diturunkan secara berangsurangsur (tadriji>yan) sesuai daya serap masyarakat dalam memahami faedah dan bahaya yang terkandung dalam khamar. Pada tahap permulaan al-Qur’an tidak menyatakan pelarangan secara tajam.
62
ﻳﺎﺍﻳﻬﺎﺍﻟﺬﻳﻦ ﺍﻣﻨﻮﺍ ﺍﳕﺎﺍﳋﻤﺮ ﻭﺍﳌﻴﺴﺮ ﻭﺍﻷﻧﺼﺎﺏ ﻭﺍﻷﺯﻻﻡ ﺭﺟﺲ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ ﺍﳕﺎ ﻳﺮﻳﺪ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﺃﻥ ﻳﻮﻗﻊ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﺍﻟﻌﺪﺍﻭﺓ ﻭﺍﻟﺒﻐﻀﺎﺀ.ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻓﺎﺟﺘﻨﺒﻮﻩ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﻠﺤﻮﻥ :[٦] )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ.ﰲ ﺍﳋﻤﺮ ﻭﺍﳌﻴﺴﺮ ﻭﻳﺼﺪﻛﻢ ﻋﻦ ﺫﻛﺮ ﺍﷲ ﻭﻋﻦ ﺍﻟﺼﻠﻮﺍﺓ ﻓﻬﻞ ﺃﻧﺘﻢ ﻣﻨﺘﻬﻮﻥ (٩١-٩٠ “Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamar berjudi berhala mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji dari perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka kalian berhenti?”
(Qs. al-Ma>idah [6]: 90-91). Berdasarkan ayat-ayat di atas pembahasan mengenai kejahatan dalam Islam ada aspek-aspek yang terlibat. Misalnya, praktek minum khamar sering dilakukan beriringan dengan judi (seperti taruhan, bilyar, dan togel), juga sering diiringi perempuan-perempuan penghibur terutama di tempat-tempat hiburan dan bar-bar yang menyebabkan perzinanaan dan mesum. Bahkan ada tempat-tempat maksiat yang menyediakan hadiah perempuan bagi siapa yang menang dalam perjudian. Tidak mustahil juga mengundang pembunuhan dan saling membenci di antara pihak–pihak yuang bertikai di tempat demikian. Oleh karena itu Allah SWT melarang praktek kejahatan yang demikian dan memerintahkan umat Islam untuk melakukan upaya-upaya pencegahan sebagaimana ditentukan di dalam kitab-kitab Fiqh Islam yang mu`tabar. Muhammad Abdul Mujeab, dkk dalam Kamus Istilah Hukum (Fiqh) menulis bahwa “jināyāt bentuk jama’ dari kata jināyah artinya: perbuatan dosa, maksiat, atau kejahatan. Menurut Said Qutb, jinayat adalah bentuk jama` dari jinayah yang artinya dosa dan kesalahan. 117 Abdul Qadir Audah dalam kitabnya al-Tashri>’i al-Jināial-Isla>mi> Muqārinan bi al- Qānūn al-Wad}’i> juga menulis bahwa kata “ jināyāt berasal dari kata ﺟﻨﻲ اﻟﺜﻤﺮberarti seseorang memungut/memetik buah dari 117
Muhammad Abdul Mujaeb, dkk, Kamus Istilah Hukum, 141.
63
pohonnya. Menurut istilah fuqaha’ jināyah adalah salah satu perbuatan yang diharamkan syara‘ yang berkaitan dengan perbuatan, harta atau lainnya…, dan mereka memberikan ta‘rīf berlakunya jināyāt itu pada kasus yang berkenaan dengan jiwa manusia atau anggota tubuhnya seperti membunuh, melukai dan memukul.”118 Abu> Wafa>—di dalam al-Ja>mi‘ al-S}agi>r ‘ala Sharhihi al-Na>fi‘ alKabi>r —juga mengatakan:
ٌﺳﻢ ْ ا: ِ وَﻓِﻲ اﻟﺸﱠﺮْع.ﻪﺒﺴ ﺍﻛﹾﺘﺮ ﺷﻦﺀُ ﻣﺮﻨﹺﻴﻪ ﺍﻟﹾﻤﺘﺠﺎ ﻳﻤ ﻟﻢ ﺍﺳ: ﺔﹰﺔﹸ ﻟﹸﻐﺎﻳﺍﻟﹾﺠﹺﻨ
ﺍﺩﺮﺎﺀِ ﻳ ﺍﻟﹾﻔﹸﻘﹶﻬﻑﺮﻲ ﻋ ﻓﻦ أَوْ ﻓِﻲ ﻧَﻔْﺲٍ ﻟﹶﻜ، ٍﻟِﻔِﻌْﻞٍ ﻣُﺤَﺮﱠمٍ ﺳَﻮَاءٌ ﻛَﺎنَ ﻓِﻲ ﻣَﺎل ١١٩
ﺔﺎﻳﻢﹺ ﺍﻟﹾﺠﹺﻨﺑﹺﺈﹺﻃﹾﻠﹶﺎﻕﹺ ﺍﺳ
“Jinayah menurut bahasa (lugawi>) berarti sebutan yang dapat dipidanakannya seseorang lantaran kejahatan yang ia lakukan. Menurut shara‘, nama bagi suatu pekerjaan yang diharamkan baik terhadap harta benda atau jiwa. Namun menurut kebiasaan para ahli Fiqh, itu dimaknai dengan keseluruhan sebutan kejahatan”. Hampir sama dengan definisi-definisi di atas, al-Jurjani dalam alTa‘rīfāt memaknai istilah “jinayat” sebagai setiap tindak kejahatan terhadap jiwa atau harta. Tapi dalam tradisi para ahli fiqh, jinayat lebih dikhususkan pada sesuatu yang bisa menyangkut dengan kejahatan terhadap fisik manusia. Sedangkan kejahatan terhadap harta disebut perampasan, penjambretan, pencuruian, pengkhianatan, dan pengrusakan.120Sebagaimana pengertian dan sekalian lingkup “Jinayat” yang terdapat dalam Fiqh Islam tersebut, Aceh telah menegesahkan 3 Qanun dalam rangka pengaturan 3 aspek jinayat yaitu menyangkut dengan kejahatan khamar, judi, dan khalwat. Ketiga aspek jinayat yang terdapat dalam tiga Qanun tersebut mendapat legitimasi UU No. 11 Tahun 2006 bab V tentang pemerintahan Aceh pada saat sekarang ini. Di dalam Pasal 13 dikatakan bahwa pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam 118
‘Abd al-Qadir ‘U Wafa> al-Afgani, al-Ja>mi’ al-Sagir ala Sharhihi al-Nafi‘ al-Kabi>r (Mesir: Maktabah al-Wafa>, 1357), 493. 120 Al-Jurjani, al-Ta‘rīfāt, 339. Lihat juga S}ah}i>h Fiqh Sunnah, Jilid 5, 279.
64
antara Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh. Dengan demikian pelaksanaan Qanun jinayat tersebut dikuatkan oleh ketentuan yuridis dalam hukum perundangundangan di Indonesia.121 Rangkuman aspek jinayat yang dibahas dalam Fiqh dapat dilihat di dalam kitab-kitab Fiqh. ‘Abdu al-Qadi>r ‘U<>dah, misalnya, menyebutkan bahwa aspek jinayat dalam Islam adalah menyangkut: al-irtida>d, al-zina>, al-qaz}af, al-khamar, qat}‘u al-t}ari>q, al-qatl, sirqah, dan h}ira}bah. Menyangkut dengan aspek-aspek jinayat tersebut, Aceh telah mengqanunkan 2 (dua) aspek yang relevan, yaitu: syarb al-khamar, khalwat, (dan judi). Jarimah judi (maisir) sendiri sebenarnya tergolong jarimah (namun belum mencapai batas jinayat h}udu>d). Aspek pencurian (al-sirqah) pernah ada Rancangan Qanun di Aceh.122 Sedangkan Aspek lainnya belum ditetapkan di dalam Qanun Aceh karena penerapannya masih mengundang kontroversi di kalangan masyarakat Aceh/Indonesia, terutama aspek riddah dan rajam. Aspek pelanggaran hak hidup dan aspek HAM lainya yang berlangsung selama konflik Aceh (tahun 19762005), juga tidak diqanunkan. Pemerintah Pusat dengan Gerakan Aceh Merdeka telah melakukan is}la>h (perdamaian) yang dikenal Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, Finlandia.123 2. Rumusan Qanun Pelaksanaan hukum Islam masa Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pengontrolan Turki Usmani, masa penjajahan dan pasca kemerdekaaan menjadi latar belakang dari pengesahan Qanun (Jinayat) Aceh. UU No. 24 Tahun 1956, UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006 berupaya melakukan pewujudan keistimewaan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dikatakan di dalam UU No. 44 Tahun 1999, Aceh memiliki 4 (empat) keistimewaan, yakni: 121
122
Lihat UU No. 11 Tahun 2005 Pasal 13. Lihat Rancangan Qanun Prov. NAD Tanggal 13 Desember 2006 tentang
Pencurian. 123
Lihat juga Susno Duaji, “Praktik-praktik Pelanggaran HAM di Indonesia,” pelangaran HAM-Susno duaji-Pdf-Adobe-Reader (Denpasar, Juli 2003), diakses 12 Desember 2010. Susno mengatakan, Konflik Horizontal dan Konflik Vertikal telah melahirkan berbagai tindakan kekerasan yang melanggar hak asasi manusia baik oleh sesama kelompok masyarakat, perorangan, maupun oleh aparat, seperti:a. pembunuhan; b. penganiayaan; c. penculikan; d. pemerkosaan;e. pengusiran; f. hilangnya mata pencaharian; g. hilangnya rasa aman, dll.
65
a. Penyelenggaraan Kehidupan beragama; b.Penyelenggaraan Kehidupan Adat; c. Penyelenggaraan Pendidikan; dan d. Peran Ulama dalan penetapan kebijakan Daerah.124 Abdul Halim dalam Politik Hukum Islam di Indonesia mengatakan “Pada zaman Usmani kata-kata Qanun sering dipakai sebagai istilah hukum untuk aturan-aturan hukum yang dibuat oleh Negara, yaitu untuk membedakannya dari aturan hukum syariat dan fiqh yang diproduk oleh ulama. Sesuai prinsip elaborasi norma, Qanun Islam bersumber kepada fiqh, dan fiqh bersumber kepada syariat. Qanun tentu tidak boleh bertentangan dengan fiqh dan fiqh tidak boleh bertentangan dengan syariat .”125 Hukum Pidana Islam (Jinayat) yang disahkan melalui Qanun Aceh di Aceh telah memunculkan beberapa lembaga hukum baru sebagai pembaharuan bagi sistem hukum pidana (Criminal Justice System) di Indonesia, konsep-konsep hukum berdasarkan ketentuan nas}s (}al-Qur’ān dan al-H}adith) yang diadopsi menjadi sebuah hukum positif dan formal. Qanun Jinayat menjadi acuan yang konstruktif dalam pembangunan hukum di zaman sekarang dan masa yang akan datang. Dapat dikatakan, Aceh merupakan pemrakarsa pertama yang menerapkan Syariat Islam (jināyah) sebagai hukum positif, tentunya tidak terlepas dari berbagai kendala (pro-kontra), baik dalam konteks sosio-politik Keindonesiaan maupun konteks perspektif global, yang akan menjadi pembelajaran dan penyesuaian yang cukup panjang untuk sampai pada tujuan akhir yaitu menciptakan masyarakat Aceh yang tertib, aman dan tentram sesuai dengan fundamen-fundamen ke-Islaman yang kāffah.126
124
Di dalam Pasal 4 Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa penyelenggaraan kehidupan beragama diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan Syariat Islam bagi para pemeluknya, dari momentum inilah kemudian Pemerintah Aceh menindaklanjuti dengan membentuk beberapa Qanun (aturan setingkat PERDA) yang bertujuan untuk mengimplementasikan Syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat di bidang Aqidah, Ibadah, Syi’ar dan Jinayat. Lihat D. Y. Witanto, “ Hukum Pidana Cambuk dalam Perspektif Hukum Pidana di Aceh”, Hukum dan Peradilan, Lampung, 17 Februari 2010, dalam http://hkmperadilan.blogspot.com/2-11/02/pidana-cambukdalam-perspektif-hukum.html(diakses tanggal 22 November 2010). 125 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia ( Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Dept. Agama RI, 2008), 72-74. 126 D. Y. Witanto, “ Hukum Pidana Cambuk dalam Perspektif Hukum Pidana di Aceh”, Hukum dan Peradilan, Lampung, 17 Februari 2010, dalam
66
Sistem Hukum Pidana Islam (jināyah) mengandung beberapa jenis sanksi pidana yang antara lain: qis}a>s,} h}add, dan ta‘zīr. Qanun Jinayat Aceh hanya memberlakukan sebagian hukuman h}add dan ta‘zi>r. Hukuman h}add diaplikasikan dalam ketentuan pelanggaran khamar, dan hukuman ta‘zi>r diberlakukan bagi pelaku khalwat, maisir. Ketiga perkara jinayat tersebut telah diqanunkan ke dalam tiga konsepsi Qanun Hukum yaitu: a. Qanun Jinayat No. 12 Tahun 2003 tentang khamar dan sejenisnya, b. Qanun Jinayat No. 13 Tahun 2003 tentang judi, dan c. Qanun Jinayat No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat. a. Qanun Jinayat No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan Sejenisnya. Pengesahan Qanun ini, sebagaima halnya Qanun lainnya, adalah menimbang bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untuk Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 18 Tahun 2001. Di dalam S{ah}i>h Fiqh Sunnah dikatakan, pengkonsumsian minuman khamar (beralkohol) dan sejenisnya merupakan pelanggaran terhadap Syari‘at Islam, dan dapat merusak kesehatan fisik dan akal. Khamar juga dapat merugikan kehidupan masyarakat secara umum, seperti berpeluang munculnya maksiat lainnya dalam masyarakat dalam bentuk perzinaan dan permusuhan. Di dalam hukum Islam pelakunya didera sebanyak 40 kali dera sebagaimana hadits, atau 80 kali dera sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah yang ke-2, Umar bin Khattab.127Pengqanunan hukum jinayat juga merupakan upaya manifestasi tujuan pengharaman khamar yang dipaparkan al-Quran. Pengharaman khamar dalam Islam (menurut Qanun) adalah pencegahan tindak pidana khamar (dan kejahatan lainnya yang diakibatkan khamar. Maka di Aceh segala hal yang meliputi praktek khamar dan sejenisnya menjadi larangan dengan adanya pengesahan Qanun.128 Menurut lugawi>, kata khamar adalah bentuk jama‘ dari kata Khumur (bentuk kata berkategori perempuan (mu’annath) dan bisa juga dinilai muzakkar. Namun, lebih sering digunakan sebagai mu’annath. http://hkmperadilan.blogspot.com/2-11/02/pidana-cambuk-dalam-perspektif-hukum.htm (diakses tanggal 22 November 2010). 127 Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dkk., S>ahi>h Fiqh al-Sunnah H}udu>d , Jina>ya>t dan Diyat, Jual–beli (Terj.), Jilid 5 (Jakarta: Pustaka at-Tazkia, 2006), 111. Lihat juga Abdu al-Rahma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah (Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2003), 18. 128 Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 2 Ayat (a), (b), dan (c).
67
Kata ini bisa dijadikan muannats dengan partikel ha’, sehingga bisa dikatakan humur yang berarti merah. Dinamakan demikian karena khamar (dalam proses pembuatannya) ditutup hingga matang/memerah ketika mendidih. Di antara pakar juga mengatakan bahwa kata “khamar” adalah isim mushtaq (kata berimbuhan) dari kha>mara-ykha>miru-khamran yang berarti menutupi dan mengacaukan. Dikatakan khamar karena menutupi dan mengacaukan aqal (tukhamiru al-‘aqla). 129 Bagi tata peraturan perundang-undangan RI, Qanun khamar ini dapat membantu realisasi UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana Indonesia. Juga membantu terlaksananya Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah. Qanun ini juga merupakan kelanjutan dari Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Naskah qanun No. 12 Tahun 2003 terdiri dari 10 bab dengan 39 pasal dangan dilengkapi sejumlah ayat dan penjelasan-penjelasan. Qanun ini disahkan di Banda Aceh pada tanggal 15 Juli 2003 bertepatan dengan 7 Jumadil Awal 1424, dengan bubuhan tanda tangan gubernur Abdullah Puteh. Qanun ini juga diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 16 Juli 2003 bertepatan dengan 16 Jumadil Awal 1424 . Naskahnya ini kemudian disimpan Lembaran Daerah provinsi Nangggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 25 Seri D Nomor 12. Qanun Aceh yang merupakan hasil “Ijma>`” (consensus) eksekutif dan legislatif (DPRD) Aceh yang didukung oleh pertimbangan Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Qanun ini telah memuat konsep yang komplek yang menyangkut dengan pelarangan khamar. Qanun ini terdiri dari ketentuan definisi, kriteria, sampai penjatuhan hukuman bagi tindak pidana khamar tersebut. Rumusan naskah Bab 1 (Ketentuan Umum) Qanun No. 12 Tahun 2003 tertera dalam Pasal 1 Qanun ini. Bab ini memuat definisi, kriteria khamar, dan kriminalisasinya.130 Tujuan dan 129
Wahbah al-Zuhaili>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adilatuhu, al-Juz-6 (Damaskus: Da> al-Fikr, 1984), 149. 130 Pasal 1 berbunyi: (1) Khamar dan sejenisnya adalah minuman yang memabukkan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran dan daya pikir; (2) Selain mengkonsumsi, Memproduksi juga merupakan adalah serangkaian kegiatan atau proses penghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, dan/atau mengubah bentuk menjadi minuman khamar dan
68
Ruang Lingkupnya dijelaskan dalam Bab II Pasal 2-3. Bab II dinyatakan dengan dua pasal. Menyangkut dengan pelarangan (secara spesifik), praktek khamar tidak hanya dilarang untuk meminum dan mengkonsumsi namun meliputi larangan dan pencegahan, sebagaimana yang diungkapkan dalam Bab III Pasal 4-9. Di antara hal utama lainnya yang juga perlu diperhatikan dalam rangka penerapan hukun Islam (jināyah) adalah penyidikan dan penuntutan. Sebagaimana halnya terjadi hukum pelarangan praktek krimilanalitas dalam bentuk penanganan hukum secara umum memuat hal ini, demikian juga halnya dengan hukum jinayat yang diungkapkan Qanun. Penyelidikan suatu tindak criminal, secara umum, memiliki tahap-tahap prosesi hukum bagi pelaku pelanggaran syariat yang ikut diterapkan/diatur Qanun. Fase penyelidikan sebelum Pemeriksaan di Persidangan memiliki Proses yang terdiri dari 5 fase: (1) Opsporing (penyelidikan); (2) Vervolgin (penuntutan); (3) Rehtspraak (pemeriksaan pengadilan); (4) Executie (pelaksanaan putusan); dan (5) Pengawasan putusan.131 Keikutsertaan masyarakat dalam upaya pelaksanaan pencegahan khamar juga diperlukan. Proses pelarangan ini juga memerlukan pengawasan dan pembinaan. Untuk itu, keterlibatan pemimpin (‘umara>’) adalah penting adanya dalam merealisasikan pelarangan tersebut. Perkara-perkara ini dijelaskan di dalam Bab IV Pasal 16-19. Khusus sejenisnya; (3) Juga termasuk dengan cara Mengedarkan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran minuman khamar dan sejenisnya kepada perorangan dan/atau masyarakat; (4) Mengangkut adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan membawa minuman khamar dan sejenisnya dari suatu tempat ke tempat lain dengan kendaraan atau tanpa menggunakan kendaraan; (5) Memasukkan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan membawa minuman khamar dan sejenisnya dari daerah atau negara lain kedalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; (6) Memperdagangkan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penawaran, penjualan ataumemasarkan minuman khamar dan sejenisnya; (7) Menyimpan adalah menempatkan khamar dan sejenisnya digudang, hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran,warung kopi, rumah makan, kedai, kios dan tempat-tempatlain; (8) Menimbun adalah mengumpulkan minuman khamar dansejenisnya digudang, hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios dan tempat-tempat lain; dan (9) Mengkonsumsi adalah memakan atau meminum minuman khamar dan sejenisnya baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain. 131 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
69
menyangkut dengan peran serta masyarakat, diutarakan dalam Pasal 1015. Demikian sekilas empat bab (Qanun) yang perlu diutarakan dalam bab rumusan tentang Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang khamar dan sejenisnya. b. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Judi) Sebelum menjelaskan konseps Qanun, perlu adanya penjelasan tentang bentuk-bentuk judi dan jenisnya. Judi (al-maysir) sinonim dengan al-qima>r (judi). Kata ini berasal dari al-yusr yang artinya assuhalah (kemudahan) karena praktek ini merupakan usaha tanpa kesulitan dan tidak perlu bersusah payah; bisa juga bersasal dari kata alyasar yang artinya al-gina (kaya), karena praktik ini dimaksudkan untuk cepat kaya; bisa juga berasal dari kaya al-yasar yang bermakna altajzi>yah dan al-iqtisa>m (terbagi); dan bahkan ada juga orang yang mengatakan, setiap yang mengandung kerugian adalah maisir.132 Seorang juru dakwah dari Arab Saudi, Erwandi Tarmizi membagikan bentuk perjudian ke dalam 5 bentuk, yaitu: Pertama, perjudian bangsa Arab Jahiliyah. Masyarakat (Arab Jahiliyah) berjudi dengan cara memotong seekor unta dan membaginya menjadi 28 bagian, lalu mengambil 10 anak panah dan menuliskan nama–nama tertentu pada anak panah itu, 3 nama anak panah itu kosong dan 7 berisi bagian unta, kemudian seluruh anak ditaruh disatu bejana dan masing–masing mereka mengambil satu anak panah, siapa yang mendapat anak panah kosong merakalah yang membayar harga unta. Orang yang menang sering memberikan daging unta itu untuk fakir miskin. Ruh judi kerap mengakar pada jiwa masyrakat Jahiliyah. Jika salah satu pihak kalah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Ibbas rad}iyalla>hu ‘anhu, maka objek perjudian mereka sering meluas sampai kepada pertaruhan anak dan istri.133 Kedua, kupon undian (lottery ticket). Bentuk judi ini diciptakan dan diperkenalkan oleh orang-orang Barat yaitu membeli kupon undian dengan harga bentuk judi, yaitu membeli kupon undian dengan harga yang murah dengan imingan mendapatkan hadiah yang sangat besar. Pemenangnya ditentukan dengan cara yang tak jauh berbeda dengan perjudian jahiliyah. Kadang-kadang keuntungannya digunakan untuk 132 Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dkk., S>ahi>h Fiqh al-Sunnah H}udu>d , Jina>ya>t dan Diyat, Jual–beli, 429. Lihat juga Erwandi Tarmizi, Al-Maiysir Qadi>man wa H}adi>than (Riya>d}: Maktab Da‘kwah wa Irsha>d Jali>yah Rabuwwah, 2007), 2-5. 133 Franz Rosenthal, Gambling in Islam (Leiden: E. J. Brill, 1975), 68.
70
kepentingan olah raga dan sosial yang dahulu dikenal di Indonesia dengan nama Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB).134 Ketiga, pertaruhan olah raga (sporting gambling). Islam sangat menganjurkan olah raga ketangkasan berperang, seperti; berkuda, memanah, gulat dan lain-lain yang dalam bahasa modern bisa dikatakan merakit dan menggunakan senjata ringan dan berat, bela diri, dan lainlain, dalam rangka mempersiapkan kekuatan menggentarkan musuh. Namun bila pertarungan dan perlombaan tersebut menyaratkan bayaran dengan sejumlah materi dari pihak yang kalah kepada yang menang, mengakibatkan perbuatan tersebut masuk ke dalam kategori perjudian.135 Keempat, undian berhadiah. Biasanya diselenggarakan oleh supermarket atau perusahaan tertentu untuk meningkatkan penjualan mereka, ini termasuk perjudian bilamana si pembeli berniat membeli barang tersebut dengan tujuan bisa mengikuti undian berhadiah sekalipun harga barang yang dibeli tetap stabil . Kelima, ansuransi (insurance). Asuransi yang dimaksudkan di sini adalah asuransi yang nasabahnya membayar premi dalam jumlah tertentu dan akan menerima jumlah yang jauh lebih besar dari bayarannya bila terjadi suatu peristiwa tertentu, seperti; kebakaran, kematian, kecelakaan, selain itu dana yang terhimpun dikelola dengan cara praktik ribawī , ini sama persis dengan defenisi judi di atas . 136 Selain bentuk (type) judi tersebut, di zaman globalisasi sekarang ini orang dapat bermain judi dengan games (permaianan) yang diakses melalui internet. Permainan judi dalam bentuk game ini sering
134
Pada tahun 1990-an, masa pemerintahan Orde Baru, SDSB pernah legal untuk sementara waktu di Indonesia, namun menimbulkan protes masyarakat muslim karena mengandung unsur judi (undian) di dalamnya. Gejolak (protes) masyarakat ini mengakibatkan Majlis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa pengharaman dan pelarangannya di Indonesia. Kemudian pemerintah menghentikannnya secara resmi pada tahun 1993. Lihat C. Van Dijk, “Religious Authority, Politics and Fatwa in Contemporary Southeast Asia”, dalam R. Michael Feener and Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Istitutions, 49. Lihat juga Euis Nurlelawati, The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in Indonesian Religious Courts: Modernization, Tradition and Identity (Amsterdam: Amsterdam University Press, 1990), 75. 135 ‘Abd al-Qadir ‘Umi> Muqārinan bi al- Qānūn al-Wad}’i>, 423. 136 Erwandi Tarmizi, al-Maiysir Qadi>man wa H}adi>than, 8.
71
digandrungi anak-anak. Anak-anak dapat memperoleh untung bila memenangi lomba dalam games ini.137 Baik praktek judi yang dilakukan manusia zaman jahiliyah maupun setelah datangnya Islam (termasuk judi Online yang berkembang sekarang)—, dan berbagai praktek socio-ekonomi yang bersifat negatif— sangat dilarang Islam. Maka penyusunan dan pengesahan Qanun yang merupakan salah satu bentuk perundang-undangan bertujuan untuk mencegah realita negatif tersebut dari masyarakat (Aceh). Meskipun praktek judi sulit dihilangkan, namun dengan adanya usaha-usaha pimpinan/tokoh masyarakat dalam mengayahkan suatu komponen masyarakat agar menghindari praktek perdagangan dan system ekonomi yang berbau judi yang berupa taruhan, undian, dan ansuransi, serta praktek judi lainnya yang dilarang/diharamkan oleh ketentuan Islam. Islam telah membuka bidang-bidang usaha lain yang tidak menyangkut dengan perjudian dan praktek ekonomi yang yang berhaluan negatif. Fenomena perjudian di Aceh di dalam serah Aceh adalah riskan. sebagaimana pengakuan Snouck Hurgronje. Snouck mengatakan bahwa meskipun ada larangan keras hukum Islam atas segala sesuatu yang berbau riba, namun tidak semua masyarakat Aceh taat kepada hukum agama. Di antara masyarakat ada yang melanggar ketentuan agama dengan cara terang-terangan. Meskipun ada larangan keras agama, ketaatan masyarakat kepada hukum agama tidak membawa dampak bagi mereka, disebabkan kecanduan mereka dalam bermain judi lebih dominan. Praktek bisnis riba juga dilakukan oleh golongan tertentu dari masyarakat Aceh. Praktek ekonomi negatif yang dinamakan permainan 137
Lihat Ariel Hikmah “ Judi On line” (diakses tanggal 11 Desember 2010). Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga mengharamkan kegiatan menghimpun dan menggandakan uang atau dikenal dengan istilah Money Game (MG) dan Multi Level Marketing (MLM), yang berkembang di zaman globalisasi ini. Khusus untuk LML yang memenuhi kaidah serta obyek transaksi jelas, ulama memberi label mubah (boleh). Money Game adalah kegiatan menghimpun dana masyarakat atau penggandaan uang dengan praktek memberikan komisi dan bonus dari hasil perekrutan mitra usaha baru dan bukan dari hasil penjualan produk. Sementara, ulama mendefinisikan MLM adalah penjualan langsung berjenjang (PLB) dengan cara penjualan barang atau jasa melalui jaringan pemasaran yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha kepeda sejumlah perorangan atau badan usaha lainnya secara berturutturut. Lihat “MPU Mengharamkan Money Game”, Serambi Indonesia, 12 Desember 2010, 1.
72
judi juga sering dijumpai dalam masyarakat. Snouck menambahkan bahwa dari keseluruhan aspek judi yang dilakukan masyarakat, banyak yang berupa taruhan. Sedangkan perjudian dalam bentuk kontrak ansuransi dan yang serupa dengannya tidak dijumpai di Aceh, karena kontrak demikian tidak dikenal masyarakat (pada saat itu). Sekiranya system kontrak ansuransi sudah ada (ketika itu), sebagaimana sifat umum perjudian sejati, orang akan menerima kontrak tersebut tanpa ragu-ragu. 138
Diakui pada permulaan Islam, praktek judi bagi masyarakat memang terdapat sedikit nilai positif pda social-kemasyarakatan. AlQuran bahwa pada kelangsungan paraktek judi terdapat faedah yang sedikit namun dosanya lebih besar dari faedahnya.139 Sebelum adanya pelarangan, manfaat judi adalah dapat mengumpulkan masyarakat dalam suatu kumunitas social yang dapat saling menukar ide dan saling bertemu melalui suatu kegiatan yakni perjudian. Kelompok sosial pada perjudian dimanfaatkan masyarakat untuk bermusyawarah dalam mengahadapi segala persoalan masyarakat, di samping banyak juga membawa mudarat bagi mereka. Sedangkan aspek mudarat (kerugian), selain dosa, praktek judi mengundang persoalan social dan masalah kebangkrutan ekonomi yang fatal bagi masyarakat. Adapun konsep Qanun Aceh yang menyangkut dengan perjudian, ia terdiri dari 10 bab dengan 34 pasal dangan sejumlah ayat serta dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan. Qanun ini disahkan di Banda Aceh pada tanggal 15 Juli 2003 bertepatan dengan 7 Jumadil Awal 1424, dengan bubuhan tanda tangan gubernur Abdullah Puteh. Qanun ini diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 16 Juli 2003 bertepatan dengan 16 Jumadil Awal 1424 kemudian disimpan di Lembaran Daerah Provinsi Nngggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 No. 256 Seri D Nomor 13. Rumusan bab I Qanun ini memuat Ketentuan Umum yang terdiri cuma satu pasal. 140Bab II membahas tentang Ruang lingkup sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 2-3 Qanun ini. 138
Snouck Hurgronje, De Atjehers Terj. Sutan Maimun, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya, 162-256. 139 Qs. al-Baqarah [2]: 219. 140 Pasal 1 manyatakan: Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:a. Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; b. Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Gubernur beserta perangkat lain Pemerintah DaerahIstimewa Aceh sebagai badan eksekutif Provinsi NanggroeAceh Darussalam; c.
73
Pembahasan tentang Pengawasan, larangan dan pencegahan khamar, dimuat di dalam Bab III Pasal 4-8. Pembahasan Bab IV menyangkut dengan peran serta masyarakat dijelaskan dalam Pasal 9-13. Bab V yang menyangkut dengan pengawasan dan pembinaan dijelaskan dalam pasal 14-16. Bab VI (penyidikan dan penuntutan), dijelaskan dalam pasal 17-22.141 Berdasarkan uraian di atas, penyusunan Qanun ini penting dilakukan mengingat adanya ayat al-Quran yang menyatakan pentingnya pelarangan judi bagi masyarakat, di samping ada aspek historis pelarangan sebagaimana dikatakan Snouck Hurgronje di atas.142 c.
Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota beserta perangkat lain pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; d. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; e. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; f. Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan; g. Imeum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan beberapa gampong; h. Guechik adalah Kepala pemerintahan terendah dalam suatu kesatuan masyarakat hukum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri; i. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;j Mahkamah adalah Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kotadan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; k. Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina, mengawasi dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan amar makruf nahi mungkar; l. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam yang diberitugas dan wewenang khusus menangani pelaksanaan penegakan Syari’at Islam; m. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil; n. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Gubernur yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan pelanggaran Syari’at Islam; o. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas dan wewenang menjalankan tugas khusus di bidang Syari’at Islam; p. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi tugas dan wewenang khusus untuk melaksanakan penuntutan dibidang Syari’at dan melaksanakan penetapan dan putusan hakim Mahkamah; q. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan/atau pejabat lain di lingkungannya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; r. Jarimah adalah perbuatan terlarang yang diancam dengan qis}a>s-} diyat, h>udu>d, dan ta’zi>r; s. ‘Uqu>ba>t adalah ancaman hukuman terhadap pelanggaran jarimah; t. Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yangbersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihak yang menang mendapatkan bayaran. 141 Lihat Qanun No. 13 Tahun 2003. 142 Lihat juga Snouck Hurgronje, the Achehers, Terj. Sutan Maimun,126.
74
Dalam menanggapi fenomena sosial yang negatif dalam bentuk praktek khalwat yakni berdua-duan di antara laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di tempat yang sepi tanpa ikatan sah (pernikahan), pemerintah Aceh ikut berperan untuk mengurangi aspek negatif yang bakal ditimbulkan dari perilaku sosial yang negatif seperti ini. Praktek ini dapat terjadi di berbagai dimensi ruang dan waktu, terutama akibat dari faktor biologis dan psikologis manusia yang menyukai lawan jenisnya, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan hal-hal yang melenceng dari ketentuaan agama seperti adanya perzinaan. Maka persoalan ini memerlukan campur tangan pemerintah dan semua pihak umat Islam demi menciptakan kehidupan masyarakat agamis dan Islami. Praktek khalwat dapat juga berupa bercinta-cintaan di tempat yang sepi, yang disadurkan dari terminology Arab khalā-yakhlu>-khalwah yang berarti bersunyi-sunyi; bersepi-sepi.143 Berkhalwat dalam terminologi Aceh kadang kala dinamai “manok ek eumpung” artinya ayam naik (tangga) menuju ke tempat bertelur. Term (istilah) khalwat dalam konteks ini lebih mendekati kepada pengertian khalwat yang berupa percintaan muda-mudi yang belum nikah/menjelang nikah. Qanun Aceh mendefinisikan khalwat sebagai suatu perbuatan yang berupa bersunyi-sunyian antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.144 Di Aceh, untuk menghindari perbuatan maksiat (khalwat) terdapat larangan-larangan adat sebagai berikut: a. Pemuda bergaul rapat dengan pemudi, berkirim surat-surat cinta, menjemput pemudi untuk jalan-jalan dan mengantarnya pulang sebelum mereka menikah; b. Bertandang ke rumah orang tanpa hadir laki-laki yang empunya rumah atau isterinya; c. Mengunjungi seorang janda yang masih muda, jika tak ada orang tua/muhrimnya; d. Duduk-duduk di tangga rumah orang lain. e. Berjalanjalan di bawah rumah orang lain; f. Masuk ke sumur orang lain, baik berdinding atau tidak berdinding tanpa meminta izin; g. Berbicara yang tidak perlu dengan isteri orang lain wanita yang bukan isteri. 145 Sisi lain yang dapat dipahami dari khalwah adalah (dengan sengaja) berada di tempat yang sunyi bersama lawan jenis yang bukan 143
Mukhtar al-S}ih}āh, 50. Qanun No. 14 Tahun 2003 Bab 1 Pasal 20. 145 Moehammad Hoesin, Adat Atjeh (Banda Aceh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Peopinsi Daerah Istimewa Atjeh, 1970), 183. 144
75
muhrim (lelaki/perempuan yang tidak dinikahi)--yang tidak mesti ada atau tidaknya melakukan hubungan seksual. Bila tejadi perselingkuhan akan masuk ke dalam kategori lanjutan yang dikenal dengan ketentuan zina yang dikenakan hukuman h}add (dera/rajam) di dalam syariat Islam.146 Adapun konsep qanun Aceh, yang telah disahkan pemerintah Daerah tentang khalwah ini terdiri dari 10 bab dengan 33 pasal. Qanun ini dilengkapi dangan sejumlah ayat dan penjelasan-penjelasan. Qanun ini disahkan di Banda Aceh pada tanggal pada tanggal 15 Juli 2003 bertepatan dengan 7 Jumadil Awal 1424, dengan bubuhan tanda tangan gubernur Abdullah Puteh. Qanun ini juga telah diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 16 Juli 2003 bertepatan dengan 16 Jumadil Awal 1424. Sebagaimana hukum perundang-undangan lainnya, Qanun ini menjelaskan juga prosedur penerapan uqubat (hukuman). Uqubat mesum/ khalwat yang ditetapkan Qanun ini terdapat dalam bab I yang membahas tentang ketentuan umum. Ketentuan Umum hanya terdiri dari 1 pasal yakni Pasal 1. 147 Bab II membahas tentang ruang lingkup dan tujuan yang perinciannya tersusun di dalam Pasal 2-3. 146
Kata “zina’ secara bahasa, diantaranya; fuju>r (kekejian), dan d}ai>yiq (penyempitan). Kata (zina) ini juga dapat digunakan sebagai sebutan untuk perbuatan selain persetubuhan dengan wanita yang bukan isteri. Lihat Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, dkk., S}ahi>h Fiqh al-Sunnah Hudu>d , Jina>ya>t dan Diyat, Jual – Beli, (Terj.), 30. 147 Pasal 1: Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; a. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Gubernur beserta perangkat lainnya sebagai badan eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; b. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota beserta perangkat lain pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; c. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; d. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam e. Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan; f. Imeum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan beberapa gampong; g. Keuchik adalah kepala pemerintahan terendah dalam suatu kesatuan masyarakat hukum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri; h. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; i. Mahkamah adalah Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; j. Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina, melakukan advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar makruf nahi mungkar dan dapat berfungsi sebagai penyelidik. k. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh
76
Qanun ini jua menyatakan bahwa pelarangan dan perintah suatu perkara dalam Islam merupakan ketentuan syara‘ yang wajib dijalankan, maka menetapkan ketentuan hukum dan hukuman dalam susunan batang tubuh dan kandungan/isinya. Ketentuan ini merupakan konsekwensi logis suatu hukum perundang-undangan. Qanun ini menyatakan bahwa tujuan pengqanunan perkara pelarangan khalwat adalah untuk mencegah masyarakat dari melakukan kejahatan khalwat dan zina. Bab III Qanun ini mengatur tentang larangan dan pencegahan tersebut, yang diuraikan dan dirincikan di dalam Pasal 4-7. Dari sudut sasaran, hukum Islam sebenarnya dibebankan kepada umat Islam (yang mukallaf, yakni bagi orang Islam yang balig dan berakal) untuk dijalankan di dalam realita kehidupan. Maka keterlibatan semua pihak sangat digalakkan dalam rangka merealisasikan perkara ini. Perkara ini di bahas dalam Bab IV. Peran serta masyarakat merupakan aspek penting dalam realisasi Qanun, agar penegakan hukum mencapai sasarannya. Bab tersebut mengupas aspek tersebut dalam Pasal 8-12. Sebagaiman hukum Islam, upaya penegakan hukum bukan bermaksud untuk mencari-cari kesalahan (tajassus), namun bertujuan agar masyarakat tidak terjermus ke dalam tindakan kriminal sebagaimana diuraikan di atas. 148Karena itu Bab V Qanun ini mengatur tentang pengawasan dan pembinaan, yang merupakan suatu upaya hukum yang tidak diabaikan. Pengaturan tentang upaya ini dapat dilihat di dalam Pasal 13-15. Darussalam yang diberi tugas dan wewenang khusus menangani pelaksanaan penegakan Syari’at Islam; 1. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil; m. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat PegawaiNegeri Sipil yang diangkat oleh Gubernur yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan pelanggaran Syari’at Islam; n. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas dan wewenang menjalankan tugas khusus di bidang Syari’at Islam; o. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi tugas dan wewenang khusus untuk melaksanakan penuntutan di bidang syari’at dan melaksanakan penetapan putusan hakim mahkamah; p. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi NanggroeAceh Darussalam dan/atau pejabat lain di lingkungannya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku; q. Jarimah adalah perbuatan terlarang yang diancam dengan qis}a>s-diat, hudud, dan ta‘zir. r. ‘Uqubat adalah ancaman hukuman terhadap pelanggaran jarimah; dan t. Khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. 148 Qs. al-H}ujura>t [49]: 12.
77
Selain itu, sebelum merealisasikan dan menegakkan suatu hukuman bagi pelaku kriminal/kejahatan perlu adanya kepastian hukuman yang disusun oleh para ulama. Kepastian hukum bertujuan agar penjatuhan hukuman dapat berjalan secara efektif dan ideal, bukan “hantam kromo” tanpa perhitungan yang menyebabkan kerugian bagi pihak tertentu. Praktek “hantam kromo” dalam penghukuman merupakan pelanggaran terhadap hak-hak individu sebagaimana yang dijamin dalam Isam. Jaminan Islam terhadap hak-hak individu dapat dilihat di dalam lembaran-lembaran naskah kitab suci al-Quran, Sunnah Nabi Saw, dan dalam kitab-kitab fiqh Islam. Maka Bab VI Qanun No. 14 Tahun 2003 mengatur juga tentang penyidikan dan penuntutan. Penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara diperlukan agar hukuman yang dijalankan mendapat tanggapan positif dari masyarakat, di samping agar tidak bertentangan dengan Islam dan hak-hak individu masyarakat. Pengaturan mengenai hal ini merupakan tuntutan suatu hukum perundang-undangan, sehingga hal ini dirincikan dalam Pasal 16-21 bab tersebut.149
149
Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003.
78
BAB PELAKSANAAN
3
HUKUM JINAYAT DI ACEH DALAM PERSPEKTIF FIQH
A. 1.
Pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003 Ketentuan Uqubat (Khamar) Menurut Qanun. Dalam menjelaskan tentang ketentuan ‘uqu>ba>t dan pelaksanaan eksekusi bagi pelanggaran hukum jinayat yang terkait dengan khamar, menyinggung terlebih dahulu tentang khamar menurut Qanun (bylaw).150 Menurut Qanun, khamar adalah sejenis minuman yang memabukkan yang dilarang dalam Qanun karena merupakan salah satu larangan berat dalam hukum Islam. Disebabkan adanya larangan shara‘ maka Qanun mengatur penetapan hukuman h}add terhadap pelakunya, dan penghukuman lainnya (seperti ta‘zi>r) sesuai tingkat keterlibatan seseorang dalam praktek tindak pidana khamar tersebut. H{add merupakan ketentuan hukum yang telah ditentukan Alah SWT dan/atau Nabi-Nya. Pelarangan khamar dalam al-Quran berbentuk umum (general). Namun ia kentara diucapkan oleh lisan Muhammad SAW, terutama dalam menanggapi larangan Allah SWT yang terdapat dalam Qs. al-Ma>idah [6]: 90-91. Allah SWT mengakui bahwa apa yang
150
Al-Zarqa>ni> mengatakan bahwa ‘uqu>ba>t yang terdapat dalan nas}s} (alQur’an/al-H}adith) ada dua, yaitu qis}a>s} dan h}udu>d. Ta’zi>r merupakan ‘uqu>ba>at mafu>d}ah (yang diserahkan kepada hakim/uli al-amr)--yang tidak ada dalam nas}s}. Lihat Mus}t}afa Ah}mad al-Zarqani>, al-Madkhal al-Fiqhi> al-‘A>am: al-Fiqh al-Isla>mi> fi al-Thaub al-Jadi>d (Damaskus, Da>r al-Fikr, 1968), 605, 626.
79
dikatakan Nabi Saw merupakan wahyu Allah juga, yang diwahyukan kepadanya.151 Hukuman (‘uqu>ba>t) di dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 merujuk kepada ketentuan pendapat-pendapat ulama yang popular di dalam Fiqh Islam, seperti pendapat para imam mazhab yang sebagaimana diuraikan al-Jaziri. Di dalam Qanun, misalnya, dikatakan, khamar dan sejenisnya adalah minuman yang memabukkan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggunya kesehatan, kesadaran dan daya pikir manusia;152 dan khamar bila dikonsumsikan seseorang, ia dikenakan hukuman h}add 40 (empat puluh) kali cambukan, menurut mekanisme yang diatur Qanun. Fiqh sebagai rujukan utama Qanun juga menyatakan bahwa h}add 40 kali dera (cambukan) merupakan pendapat yang masyhur di dalam Fiqh Islam.153 Tabel 3.1: Jenis Hukuman dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 Jarimah/Td.Pidana Khamar
Pelaku
Cambuk
Kurungan
Denda
1
Menkonsumsi
Orang
40 x cambuk
-
-
2
Memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun,
Orang, badan hukum, badan usaha, pejabat yang berwenang, dan pemodal asing
No
-
3 bulan – 1 tahun
25-75 juta
151
Mus}t}afa Ah}mad al-Zarqani>, al-Madkhal al-Fiqhi> al-‘A>am: al-Fiqh alIsla>mi> fi al-Thaub al-Jadi>d, 605. Lihat jua Qs. al-Najm [53]: 3-4 bunyinya: ﺍﻥ ﻫﻮ ﺍﻻ ﻭﺣﻲ.ﻭﻣﺎ ﻳﻨﻄﻖ ﻋﻦ ﺍﳍﻮﻱ “ Yang diucapkan (Nabi Saw) hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya”. 152 Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1. 153
ﻋﻘﻮﺑﺔ ﻣﻘﺪﺭﺓ ﻭﺟﺒﺖ ﺣﻘﺎ ﷲ ﺗﺒﺎﺭﻙ ﻭﺗﻌﺎﱄ:ﻭﺍﳊﺪ ﰲ ﺍﺻﻄﻼﺡ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ
“H}add menurut pakar Fiqh adalah hukuman yang telah ditentukan dan dwajibkan untuk memenuhi hak Allah SWT.”Lihat ‘Abdu al-Rahman al-Jazi>ri>, alFiqh ‘ala> al-Madhahib al-Arba’ah, Juz 5 (Bairu>t: Da>r al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2003), 11.
80 memperdagangkan, menghadiahkan, mempromosikan, dan pejabat yang mengizinkan penyediaan minumnan khamar
Tabel 3.1 menunjukkan hukuman untuk peminum khamar ditetapkan 40 kali cambukan tanpa hukuman alternative. Hal ini dapat dimaklumi karena jarimah meminum khamar termasuk jarimah hudud. Tetapi pada jarimah menyediakan, memproduksi dan atau menjual khamar dan beberapa perbuatan lainnya bersifat alternative antara penjara dan denda. Hukuman ditetapkan penjara antara tiga bulan sampai satu tahun, yang disamakan dengan hukuman denda antara Rp. 25.000,sampai Rp. 75.000,-. Jumlah cambukan yang ditetapkan Qanun tersebut, dikatakan dalam Pasal 26 Ayat (1) bahwa khamar merupakan minuman yang memabukkan yang dihukum 40 kali dera bagi siapa yang melanggarnya.154 Sedangkan menurut ketentuan fiqh, di samping menyetujui batas tersebut, juga menyetujui pencambukan 80 kali.155 Dengan demikian Qanun hanya menetapkan hukuman h}add yang paling ringan dari yang dietapkan fiqh. Pencambukan 40 kali ini dera didukung madhhab al-Shafi`i> dengan mendasarkan sejumlah h{adi>th Nabi Saw. Sementra ada juga madhhab fiqh yang menanggapi secara berbeda.156
154
Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 26 Ayat (1). Umar bin al-Khat}ta} >b, ‘Alib, Abu Hanifah, Ima>m Ma>lik, Ima>m Ah}mad bin H}anbal, dan salah satu dari dua pendapat dari al-Sha>fii>, setuju dengan penghukuman dera sebanyak 80 kali bagi peminum khamar. Hukuman ini pernah dipraktekkan Umar bin al-Khat}t}a>b, khalifah yang ke-2 dari Khula>fah al-Ra>shidi>n. Pada masa Umar banyak orang yang sudah kebal dengan 40 kali dera. Lihat Abdu alRahma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah, 32-33. 156 Al-Shafi‘i>yah menyetujui h}add 40 kali dera bagi bagi peminum khamar. Hukuman yang ditegakkan pada masa Umar merupakan tambahan dari h}add (40 kali) dengan penghukuman ta‘zi>r, sehingga berjumlah 80 kali. Lihat ‘Abdu al-Rah}ma>n alJazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al- Madha>hib al-Arba‘ah, 33. 155
81
Pelaksanaan hukuman (cambuk) yang ditetapkan meliputi waktu pencambukan, tempat penghukuman, teknis pelaksanaan dan perkara yang terkait lainnya. H}add merupakan ketentuan hukuman yang telah ditepkan oleh al-Quran atau al-H}adith (bukan ditentukan oleh umat Islam). Umat Islam hanya disuruh mengamalkan apa yang telah ditentukan tersebut, sebagaimana telah diakui al-Jazi>ri>157 Ketentuan uqubat dalam Qanun ini merupakan inti dari penetapan hukuman yang dijalankan Qanun dalam upaya menyadarkan umat Islam dari praktek khamar. Qanun tidak hanya membuat hukum yang bersifat normatif dalam bentuk pelarangan dengan menerangkan aspek negatif dan positif dari khamar, namun merupakan hukum formal dan positif terhadap pelaku tindak pidana khamar. Bagi orang yang ikhlas menerima hukuman h}add akan diampuni dosanya oleh Allah SWT, karena Allah SWT menerima taubat (penyesalan) hambanya sebelum nyawanya sampai di kerongkongan. Dikatakan Ahmad Fath>i al-Bahansi> bahwa alSamarqandi di dalam al-Kanz telah mengutip h}adith Nabi Saw yang mengatakan bahwa barangsiapa yang melakukan dosa lalu dihukum di di Dunia, maka ia tidak akan dihukum lagi di Akhirat (kelak). 158 Memang hukuman h}add merupakan hak Allah SWT yang perlu ditaati hambahamba-Nya.159 Dengan perkataan lain, di samping mengakui adanya larangan Islam terhadap khamar ini, Qanun juga mengatur dan menetapkan hukuman sebagaimana yang ditetapkan Fiqh Islam itu sendiri. Berbagai proses perkara yang menyangkut dengan prosesi eksekusi pelaku akan direalisasikan sebagaimana ketentuan Fiqh. Contoh-contoh eksekusi kasus tindak pidana khamar yang terjadi di Aceh kerab diungkapkan media massa. Menyangkut dengan ‘uqu>ba>t khamar, Pasal 26-29 Qanun menyatakan ketentuan dengan jelas tentang apa hukuman bagi pelaku dan pihak yang terkait dengannya. Adapun perkara yang menyangkut dengan mekanisme pelaksanaan hukuman dapat diuraikan sebagai berikut: a. Waktu Pelaksanaan 157 158
‘Abdu al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah, 8.
(ﻣﻦ ﺃﺫﻧﺐ ﺫﻧﺒﺎ ﻓﻌﻮﻗﺐ ﺑﻪ ﰱ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﱂ ﻳﻌﺎﻗﺐ ﺑﻪ ﰱ ﺍﻟﻶﺧﺮﺓ )ﺍﳊﺪﻳﺚ. Lihat Ahmad
Fath>i al-Bahansi, al-‘Uqu>bah fi al-Fiqh al-Isla>mi> (Bairu>t, Da>r al-Sharq, 1983), 15 159 Joseph Schacht, an Introduction to Islamic Law (New York, Oxford University Press, 1971), 176.
82
Tentang kapan peksekusian h}add ditegakkan, Qanun telah menetapkan waktu yang jelas. Eksekusi dilakukan setelah adanya keputusan hakim. Esekutor/Algojo langsung menegakkan hukuman berdasarkan waktu yang ditetapkan. Pengeksekusian diawali temuan sejumlah keterangan dan hakim membolehkan seorang untuk menegakkan ‘uqu>ba>t (hukuman) berdasarkan hasil putusan hakim. Sejumlah keterangan yang menyatakan keterlibatan pelaku dalam praktek khamar, diawali proses penyelidikan, laporan, penyidikan, pemeriksaan, dan lain-lain yang merupakan keterangan yang menyakinkan tanpa ada keraguan (shubhat). Demikian yang dikatakan di dalam Pasal 5-8 Qanun ini. Laporan kasus yang disampaikan dapat berupa laporan praperadilan oleh pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana dikatakan dalam Pasal 16. Kasus khamar dapat juga dilaporkan masyarakat kepada pihak yang berwenang untuk diadili di Mahkamah. Jika ada keraguan tentang keterlibatan pelaku, hukuman dan eksekusi tidak dapat dilakukaan, dan bahkan memerlukan penundaan hingga tindak pidana tersebut menyakinkan untuk dapat dijatuhi hukuman. Pengeksekusian pelaku di panggung pencambukan dilakukan setelah adanya keputusan hakim yang tetap, sebagiaman nikatakan di dalam Pasal 32 Qanun tersebut. Pelaksanaan eksekusi ‘uqu>ba>t dilakukan segera setelah putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Penundaan pelaksanaan ‘uqu>ba>t hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.160Pelaksanaan eksekusi tidak boleh ditunda-tunda kecuali ada alasan yang telah diatur Qanun melalui keputusan Mahkamah.161Keputusan Mahkamah, selain mendasarkan pertimbangan Qanun dan hukum perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia yang terkait dengan khamar, juga mempedomani petunjukpetunjuk fuqaha> (pakar Fiqh) Islam yang terkandung di dalam kitab-kitab yang mu‘tabar (sebagaimana dikatakan H.S. Bhatia).162 Penetapan waktu 160
Qanun No. 12 Pasal 23 Ayat (1) dan (2). Pada masa Nabi Saw, pengeksekusian peminum khamar dilakukan setelah orang sadar dari mabuknya agar merasakan kesakitan hukuman tersebut. Lihat ‘Abdu al-Rahma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah, 29. 162 H.S. Bhatia, Studies in Islamic Law , Religion and Society (New Delhi: Deep And Deep Publications,1998), 30. 161
83
penghukuman juga berdasarkan mengabaikan kondisi terhukum.
kebijakan
Mahkamah
tanpa
b. Tempat Pelaksanaan Sebagaimana lazimnya pengeksekusian pelaku pelanggran syariat Islam, pelaku khamar dieksekusi di muka umum. Penempatan panggung pencambukan adakalanya di halaman mesjid, atau di halaman kantor Mahkamah yang dapat dilihat orang banyak. Penghukuman seperti ini merupakan tendensi dari syariat Islam yakni sebagai suatu upaya menuju pada pencegahan seseorang atau umat dari melakukan tindak pidana ini. Pengeksekusiannya kerap didirikan di hadapan khalayak ramai, seperti di halaman mesjid setelah pelaksanaan salat Jum‘at, seperti Lapangan Olah Raga (yang pernah dilakukan Mahkamah Syariyah Aceh Tengah). Pengeksekusian dapat juga dilaksanakan di tempat terbuka lainnya. 163 Dikatakan dalam Qanun Pasal 32, bahwa uqubat cambuk dilakukan di tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk. Selin itu pencambukan dilakukan dengan rotan yang yang telah ditepakan ukurannya dalam qanun, yakni panjangnya 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda/belah, dengan lebar maksimal 1 centi meter. Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher.”164 Alat (cambuk) untuk eksekusi tersebut disesuaikan dengan alat yang diatur fiqh madhhab sunni> dari bebagai madhhab. Dengan menelaah kitab Fiqh menemukan bahwa alat-alat yang digunakan untuk memukul/mencambuk memang bermacam-macam, termasuk cambuk (cemeti). Para ulama, sebagaimana diakui al-Jazi>ri>, berbeda pendapat mengenai alat yang digunakan untuk memukul. Di antara pakar Fiqh mengatakan bahwa pada masa Nabi Saw ummat Islam menggunakan bermacam-macam alat. Ada orang menggunakan sandal (al-ni‘a>l), lidi (al-jari>d), ujung-ujung baju (at}ra>f al-thaub), dan tangan (al-yad). Karena itu penghukuman tidak digunakan selain jenis alat-alat ini. Menurut pendapat jumhur, sebagaimana halnya dengan alat-alat ini sah untuk
163
An/min, “Penjudi dan anak mantan bupati dicambuk”, Serambi Indonesia, 1, 24 September 2005 dalam http://www.aceh-eye.org/a-eye-news item.as?NewsID=1861(diakses 20 Desember 2010). 164 Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 32 Ayat (1) sampai (3).
84
digunakan, maka dengan cemeti (al-saut) juga sah.165Oleh karena itu Qanun menggunakan cemeti (cambuk) dalam pengeksekusian terhukum.166 c.
Izin Imam (Penguasa) Pengeksekusian merupakan proses Mahkamah yang memberikan keputusan terakhir yang dijatuhkan setelah adanya keputusan hakim sebagai pejabat yang dipilih oleh penguasa (‘umara>/khalifah) untuk menegakkan hukum terhadap pelaku khamar. Karena merupakan kewajiban uli al-amri untuk menegakkan hukum Islam (jinayat) demi kemaslahatan ummat, sehingga kejahatan khamar tidak meraja lela di kalangan ummat, di samping agar hukum Allah dapat ditegakkan. Dalam hal ini hakim merupakan perpanjangan tangan pemimpin untuk memproses perkara setelah mendapatkan izin (legalitas) dari penguasa. Menyangkut dengan keizinan dari siapa, Qanun tidak merincikan secara jelas. Dalam hal ini Gubernur Aceh ditunjuk menjadi pejabat yang dapat mengangkat dan memberhentikan seorang hakim di Mahkamah Syariyah Aceh dengan melakukan usulan ke Mahkamah Agung RI.167Pemutusan hukum merupakan wewenang hakim yang absolut. Tentang kewenangan yang dimiliki hakim, di dalam Pasal 32 Ayat (1) ditegaskan bahwa pelaksanaan ‘uqu>ba>t dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap.168 Pakar Fiqh, Ahmad Fathi> Bahansi juga mengatakan bahwa keizinan iman (pemimpin) dalam merelisasikan hukuman h}add merupakan upaya siya>sah jina>i>yah Syariyah. Keputusan penghukuman terhadap pelaku kriminal memang melibatkan penguasa (sultan, raja, atau pemerintah dan hakim yang absolute).169 Dengan perkataan lain, setelah merujuk berbagai sumber yang relevan, pelaksanaan Qanun berlangsung secara sinergis, representatif dan simultan menurut garis komando horizontal kekuasaan penguasa dalam komunitas umat Islam Aceh-Indonesia.
165
‘Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al- Madha>hib al-Arba‘ah, 17-18. Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 33 Ayat (2). 167 UU No. 11 Tahun 2006. 168 Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 32 Ayat (1). 169 Ah}mad Fathi> Bahansi, 25-26 166
85
d.
Teknis Pelaksanaan Agar suatu hukuman mencapai sasaran sebagaimana yang diharapkan, maka diperlukan adanya teknik (kaifi>yat) dalam pengeksekusian pelaku tindak pidana. Maka pelaksanaan hukum jinayat khamar dijelaskan dalam Qanun ini tepatnya pada Bab VIII Pasal 31-32 Qanun Khamar memuat tentang pelaksanaan ‘uqu>ba>t (khamar). Di dalam Pasal 31 dinyatakan bahwa: (1) ‘Uqu>ba>t cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang hukum formil.170 Meskipun ketentuan Qanun yang menyatakan tentang jumlah dan alat yang digunakan dalam pengeksekusian pelaku khamar, namun kadang kala dalam realita pelaksanaan terjadi pengurangan/penambahan hukuman dalam penghukuman atas pelaku. Hal ini berat kemungkinan disebabkan oleh bahwasanya hakim telah mengalihkan hukuman h}add menjadi hukuman ta‘zi>r, seperti halnya yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana lainnya yang ditetepkan Qanun, sehingga untuk pelaku khamar juga dikenakan hukuman ta‘zi>r. Memang hukuman ta‘zi>r bagi tindak pidana khamar diakui oleh pendapat sebagian kecil ulama fiqh sebagaimana dikatakan al-Jazi>ri>.171 Selain hukuman h}add yang ditetapkan Pasal 26 Ayat 1 Bab VII Qanun No. 12 Tahun 2003 ini, dalam ayat (2) dikatakan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 diancam dengan ‘uqu>ba>t (ta‘zir) berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah.172 Selain penghukuman h}udūd 40 kali cambuk bagi peminum khamar yang dinyatakan Pasal 6 Ayat (3),173 bagi pelaku yang bukan 170
Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 31 Ayat (1) dan (2). ‘Abd al-Rahma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah, 14. 172 Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 26 Ayat (2). 173 Pasal 6: Setiap orang atau badan hukum dilarang turut serta/membantu memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan dan memproduksi minuman khamar dan sejenisnya; 171
86
melakukan pengkonsumsian khamar secara langsung dikenakan penghukuman ta‘zi>r. Hukuman ta‘zi>r dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana pemberian keizinan dalam praktek dan bisnis khamar yang (bahkan) kadang kala melibatkan bukan hanya orang muslim, namun juga pihak non-muslim/pihak asing. Maka dengan pertimbangan demikian qanun tidak menetapkan h}add (cambuk). Ditegaskan dalam Pasal 26 Ayat (4) bahwa Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 adalah jarimah (kejahatan) ta‘zi>r.174 Hukuman ta‘zi>r (denda atau kurungan) juga dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana yang terlibat di dalam aktifitas perdangangan dan penyediaan fasilitas untuk praktek minum khamar sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30, yakni pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 :a. apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqu>ba>t-nya dijatuhkan kepada penanggung jawab; b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain ‘uqu>ba>t sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal 26 (yakni berupa kurungan), dapat juga dikenakan ‘uqu>ba>t administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan.175 Penghukuman ta‘zi>r (yang berupa denda yang terkandung di dalam pasal 27) sebagaimana disinggung di atas, yakni pembayaran denda akan menjadi pendapatan/penerimaan Daerah yang disetor langsung ke Kas Baital Mal, dapat menimbulkan kelemahan bagi hakim/Penguasa dlam menegakkan supremasi hukum. Penghukuman seperti kerap menimbulkan praktek penyogokan hakim. Pembayaran Pasal 7: Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berlaku juga bagi badan hukum dan atau badan usaha yang dimodali atau mempekerjakan tenaga asing. Instansi yang berwenang menerbitkan izin usaha hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios, dan tempat-tempat lain dilarang melegalisasikan penyediaan minuman khamar dan sejenisnya. Setiap orang atau kelompok/institusi masyarakat berkewajiban mencegah perbuatan minuman khamar dan sejenisnya. Lihat Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 7. Pasal 8: Setiap orang atau kelompok/institusi masyarakat berkewajiban mencegah perbuatan minuman khamar dan sejenisnya. 174 Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 26 Ayat (3) dan (4). 175 Menurut al-Zarqa>ni, khalifah Ali bin Abi T{a>lib pernah membangun sejumlah penjara untuk para penjahat. Lihat Mus}t}afa Ah}mad al-Zarqani>, al-Madkhal al-Fiqhi> al-‘A>am: al-Fiqh al-Isla>mi> fi al-Thaub al-Jadi>d, 629.
87
denda juga kerab menyebabkan terjadinya ketidak adilan sosial antara si miskin dan si kaya, sebagaimana dikatakan M. H. Syed.176 Maka model penghukuman seperti ini bukan cara yang digalakkan dalam Islam. Hukuman (ta‘zi>r) pembayaran denda memang terdapat di dalam fiqh pada perkara-perkara (jarimah) tertentu, terutama untuk selain khamar. Di dalam perkara terkait khamar (dalam perkara penghukuman dengan ta‘zi>r juga dapat diterapkan. Fenomena penghukuman ini menunjukkan bahwa penting adanya kesungguhan dan keyakinan seorang hakim dalam penegakan hukuman dalam tindak pidana ini. Bila tidak dibarengi dengan dengan nilai-nilai keadilan Islam pada diri seorang hakim, tendensi syariat Islam jauh dari yang diharapkan Islam. Dalam penegakan hukum Islam, motif keimanan mesti menjadi perkara prioritas agar mencapai sasaran keadilan shara‘.177 Penghukuman ta‘zi>r dengan denda juga dapat mengandung resiko terhadap tidak tercapainya tujuan perncegahan praktek khamar dalam Islam. Dengan membayar denda, berat kemungkinan, akan beralih fungsi penghukuman kepada praktek legalitas perdagangan khamar (minuman yang beralkohol) dengan pembayaran pajak bagi pengusaha/pemerintah oleh pihak-pihak tertentu yang ingin memperjual belikan khamar. Kebijakan seperti ini juga beresiko timbulnya praktek minuman khamar yang dilakukan secara terselubung dalam masyarakat, karena pemerintah punya legalitas hukum untuk menerima “denda” dari praktek ini, sehingga menimbulkan tumpang tindih kejahatan, seperti memunculkan pelaku backing oleh aparat penegak hukum bagi terjadinya aksi kriminalitas dengan penerimaan bayaran sejumlah materi dari pelaku. Maka sasaran penghukuman yang ditetapkan pasal 30 qanun khamar, berat kemungkinan, akan mengalami kontradiksi dengan pasal 176
M. H. Syed mengatakan, “ Law is the same for the rich as well as poor.”(“Hukum sama antara orang kaya dan orang miskin”). Lihat M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective (New Delhi: Anmol Publication PVT. LTD, 2003), 174. 177 Qs. al-Ma>idah: 50 menyatakan:
(٥٠ :[٦] )ﺍﳌﺎﺋﺪﺓ. ﻭﻣﻦ ﺃﺣﺴﻦ ﻣﻦ ﺍﷲ ﺣﻜﻤﺎ ﻟﻘﻮﻡ ﻳﻮﻗﻨﻮﻥ،ﺍﻓﺤﻜﻢ ﺍﳉﺎﻫﻠﻴﺔ ﻳﺒﻐﻮﻥ “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Tidak ada orang yang mengatakan (bahwa) hukum Allah yang lebih baik, kecuali orang-orang yang menyakini.” (al-Ma>idah [6]: 50). Lihat juga Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 29.
88
26, jika tidak dilakukan pengawasan yang signifikan. Bahkan hukuman pencabutan izin usaha dan kurungan juga dikhawatirkan beralih ke pembayaran denda bila perkara ini dinisbahkan ke Pasal 6 dan 8 Qanun ini.178 Sebuah qaidah Usul Fiqh mengtakan “la> d}ara>ra wala> d}ira>ra” (janganlah kamu menyiksa diri sendiri dan jangan (pula) menyengsarakan orang lain).
2.
(Uqubat) Khamar Menurut Fiqh. Dalam menjelaskan tentang penegakan hukum jinayat yang menyangkut dengan khamar dalam perspektif fiqh (hukum Islam), terlebih dahulu memaparkan tentang konsepsi para imam mazhab fiqh tentang khamar. Konsep (gagasan) ini ditempuh dengan melihat pada pendapat para fuqaha (pakar Fiqh) yang representatif dipedomani mazhab mereka oleh umat Islam di dunia, termasuk umat Islam di AcehIndonesia. Para ulama sunni sepakat dengan keabsahan empat mazhab Fiqh (H{anafi.yah. Malikiyah. Shafi‘i>yah, dan H{ana>bilah) untuk diikuti umat Islam pasca peruntuhan Bagdad 1258 oleh tentara Holago Khan.179 Para fuqaha (imam mazhab) berbeda pendapat mengenai substansi khamar (arak). Menurut Imam Malik, Imam al-Shafi‘ī, dan Imam Ahmad: khamar adalah meminum yang memabukkan, baik disebut khamar atau tidak.180 Abu Hanifah (w. 150 H) berbeda pendapat tentang jenis antara khamar dan mabuk. Beliau mengharamkan minuman khamar baik sedikit maupun banyak. Minuman lain yang memabukkan selain khamar, menurutnya, hanya disebutkan sebagai minuman yang memabukkan. Minuman lain yang bukan khamar keharamannnya bukan lizatihi (disebabkan substansinya), tetapi adalah minuman yang terakhir yang menjadikannya mabuk.181 Unsur jarimah dalam minuman khamar
178
Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 30. HS Bhatia, Studies in Islamic Law , Religion and Society, 30. Lihat juga Abdurrahman I. Doi, Shari‘ah: the Islamic Law ( Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 2002), 88-111. 180 Mochtar Effendy, Fiqh Islam (Palembang: Universitas Sriwijaya bekerjasama dengan Yayasan Pendidikan dan Ilmu Islam “Al-Mukhtār”, 2003), 400401. 181 Mochtar Effendy, Fiqh Islam, 40. 179
89
ada dua: Pertama, minum minuman yang memabukkan; dan kedua, ada i‘tikat untuk jahat. Mazhab Imam Mālik (w. 117 H), Imam al-Shāfi`ī (w. 204 H), Imam Ahmad (241 H) mengaharamkan khamar dan minuman lain yang memabukkan baik sedikit ataupun banyak. Meminum minumannya sendiri adalah termasuk ke dalam kategori jarīmah.182Disyaratkan benda yang memabukkan itu berupa minuman. Selain dari minuman maka hukumnya juga tetap haram, hanya hukumannya adalah ta‘zi>r. Seorang penulis Fiqh Islam Indonesia, Mochtar Effendy memaknai hukuman alta‘zīr sebagai suatu larangan, pencegahan, mengurus, menghukum, mencela dan memukul. Ulama fiqh lainnya mengartikan, ta‘zīr adalah; “al-ta’dīb (pendidikan). Bila hukum h}udu>d telah ditetapkan di dalam alQuran dan Hadith, maka jarimah ta‘zīr tidak ditentukan di dalam alQuran dan Hadith. Dengan perkataan lain Fiqh membuka peluang bagi penguasa (uli al-amr) untuk menghukum dengan hukuman ini, bagi perkara yang tidak ditentukan al-Quran dan al-h}adith.183 Ditulis Abu Malik Kamal bin al-Saiyid Salim dalam Fiqh Sunnah bahwa ada empat alat bukti minum minuman khamar, yaitu (1) persaksian, dengan dua orang saksi; (2) pengakuan; (3) bau mulut; dan (4) mabuk. Dikatakan al-Jazi>ri> di dalam kitab Fiq muqa>ranah-nya, bahwa para Imam mazhab sepakat dengan pengakuan (minum khamar) walupun satu kali, dikenakan h}add. Sedangkan Abu Yusuf dari mazhab Hanafi mengatakan bahwa pengakuan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali, baru dikenakan h}add. 184Sedangkan menyangkut dengan sebab-sebab terhapusnya hukuman tindak pidana khamar ada dua, yaitu (1) saksi menarik kesaksiaannya; dan (2) pelaku menarik pengakuaannya.185 Hukuman bagi peminum khamar menurut Qā‘idah Fiqhiyah ada dua macam, yaitu: (1) dera /cambuk 80 kali; dan/atau (2) dera 40 kali. Ketentuan hukuman terhadap pelaku meminum khamar secara berulangulang dan telah dihukum lebih dari 3 kali, manyoritas ulama menyatakan bahwa hukuman mati tidak diterapkan pada kasus demikian. Ijma>‘ berpendapat, syariat telah menetapkan hukuman tertentu terhadap 182
Mochtar Effendy, Fiqh Islam, 373. Mochtar Effendy, Fiqh Islam, 422 dan 423. 184 ‘Abdu al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah, 17. 185 ‘Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d, Jināyāt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 401-402. 183
90
pelanggaran minuman khamar. Banyak hadith (nas}s)} yang menyebutkan tentang hukuman bagi peminum khamar–sebagiannya dikemukakan— bahkan para sahabat dan generasi setelah mereka telah sepakat hanya menghukum cambuk bagi peminum khamar. Pendapat rājih (kuat dan jelas) dari manyoritas ulama adalah bahwa hukuman mati bagi peminum khamar yang keempat kalinya telah dihapuskan (mansu>kh). Pendapat ini dikatakan yang lebih kuat, karena keabsahan dalilnya. Demikian pula ijma>‘ mengenai hal itu menyatakan demikian. Mereka hanya berbeda pendapat tentang kadar cambukan dalam dua pendapat, yaitu: (1) kadarnya empat puluh kali cambukan; dan (2) delapan puluh kali.186 Sebagaimana dijelaskan di atas, factor untuk menetapkan hukuman bagi praktek minum khamar adalah: (1) pengakuan; dan (2) bukti. Mengenai apakah aroma khamar pada mulut atau muntahan khamar bisa dianggap sebagai bukti? Para ulama berbeda pendapat mengenai wajibnya diberlakukan hukuman karena didapati aroma khamar pada mulut atau memuntahkan khamar, dalam 3 pendapat.187 Pertama, tidak wajib diberlakukan hukuman hanya karena didapati aroma minum khamar pada mulut seseorang atau muntah. Ini pendapat manyoritas ulama, diantaranya: al-Thauri, Abu Hanifah, al-Shāfi‘ī, dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat yang berasal darinya. Kedua, wajib dialaksanakan hukuman karena didapatinya aroma khamar dari mulutnya atau muntah. Ini pendapat Malik dan Ahmad dalam riwayat yang lain darinya. Ini adalah pendapat yang dipegang muridnya Ibn al-Qayyim. Alasan mereka bahwa pendapat ini adalah manifestasi dari apa yang telah diberlakukan oleh para sahabat, seperti Umar, Usman, dan Ibnu Mas‘ūd. Ketiga, penetapan khamar sebagai aroma khamar tidak wajib dilaksanakan kecuali bila disertai dengan indikator pendukung yang bisa menghilangkan shubhat (keraguan), maka saat itulah hukuman dilakukan. Demikian pendapat segolangan salaf, di antaranya Umar, Ibnu al-Zubair dan ‘Atha’. Ibnu Qudāmah juga cederung kepada pendapat ini,
186
Qanun Aceh No. 12 Tahun 2003 Bab VII Pasal 26 Ayat (1) menetapkan 40 (empat puluh) kali cambukan bagi peminum khamar. 187 Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d, Jināyāt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 125.
91
dan pendapat ini dipilih oleh al-‘Allāmah Bakar Abu Zaid (rah}imahu Allah).188 Tabel 3.2 menunjukkan bahwa keempat madhhab Fiqh sunni sepakat dengan penghukuman cambuk sebanyak 40 kali terhadap peminum khamar, dan hukuman ta‘zi>r kurungan atau denda terhadap pihak yang terlibat di dalam perdagangan dan penyediaaan fasilitas bagi terlaksananya praktek minum khamar di Aceh.189 Tabel 3.2: Hukum Jarimah Khamar dalam Perspektif Fiqh. Hukuman &
Kesesuaiannya dengan Fiqh
1
Peminum
40 kali cambuk
-
-
Ss
Ss
Ss
Ss
2
Produsen
-
3 bulan 1 tahun
25-75 juta
Ss
Ss
Ss
Ss
3
Penyedia
-
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
4
Penjual
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
5 6
Pemasok Pengangkut
Sda Sda
Sda Sda
Ss Ss
Ss Ss
Ss Ss
Ss Ss
7
Penyimpan
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
188
-
Mazhab lainnya
Hanabilah
Ta‘zi>r Denda
Malikiyah
Ta‘zi>r Hadd KurunCambuk gan
Shafi’iyah
No
Perspektif Fiqh Hanafiyah
Hukuman Pelaku pidana/jarimah
Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d, Jināyāt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 129. Lihat juga ‘Abdu al-Qa>dir ‘U>dah, al-Tashrī` al-Jināī Muqārinan bi al- Qānūn al-Wad}‘i>, 525. 189 Al-Jazi>ri menulis bahwa madhhab Hanafiyah, Shafi’iyah dan H}anabilah setuju tentang batas hukuman ta‘zi>r tidak lebih dari h}add. Sedangkan Maliki>yah menyerahkan perkara ta‘zi>r kepada imam (pemimpin), dan membolehkan ta‘zi>r melebihi h}add dengan tinjauan ada kemaslahatan ummat—pada penghukuman tindak pidana tertentu. Lihat ‘Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al- Madha>hib al-Arba‘ah , Jilid 5, 308. Lihat juga ‘Abdu al-Qadir ‘U<>dah, al-Tashrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī Muqāranan bi al-Qānūn al-Wad}’ī, 154.
92 8
Penimbun
-
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
9
Pedagang
-
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
10
Penghadiah
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
11 12
Prormotor Pemberi izin
Sda Sda
Sda Sda
Ss Ss
Ss Ss
Ss Ss
Ss Ss
Keterangan: Bentuk Jarimah: meminum, memproduksi, menyediakan, memasok, mengangkut, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan, mempromosikan, dan memberikan izin; Ts = Tidak sesuai; dan Ss = Sesuai
Selanjutnya, aktifitas bergaul dengan peminum khamar, yang tidak ikut meminumnya apakah dikenakan hukuman? Dalam hal ini ulama sepakat bahwa diharamkan bergaul dengan para peminum khamar yang sedang meminum khamar, atau ikut makan pada jamuan di mana suatu yang memabukkan dikonsumsi, baik berupa khamar maupun selainnya, bersabda Nabi Saw: “ barang siapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaklah ia tidak duduk pada jamuan di mana khamar diminum.” Sabda beliau juga: “ Barangsiapa yang meminum khamar maka deralah’’.190 Diharamkan juga atas orang Islam yang mukallaf menyuguhkan khamar kepada orang lain, walaupun yang disuguhi itu anak kecil, orang gila atau orang kafir, berdasarkan sabda Nabi: “Allah telah melaknat khamar, peminumnya, penuangnya, penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang meminta diperaskan, pembawanya dan orang yang dibawakan kepadanya.”191 Yang menimbulkan pertanyaan adalah mengenai orang yang tidak meminumnya yang duduk di jamuan khamar, apakah ia dikenai hukuman juga? Diriwayatkan dari Ibnu Samir dan Marwan Bin alH{akam bahwa orang tersebut dikenai hukum juga, hanya tidak dikenai hukuman tertentu (h}add) karena hukuman itu ditetapkan untuk golongan tertentu, di antaranya adalah peminum khamar. Adapun selainnya, tidak ada dalil yang mewajibkan hukuman h}add terhadapnya, baik dari alQuran ataupun Hadith, Ijma>‘, maupun perkataan sahabat (athar), tetapi 190
‘Abdul al-Qadir ‘U ah, al-Tashrī` al-Jināī al-Isla>mi> Muqārinan bi alQānūn al-Wad}’i>, 425. 191 ‘Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al- Madha>hib al-Arba‘ah, 27.
93
imam berhak memberikan ta‘zi>r kepadanya yang mengandung kemaslahatan. 192 Selain itu sejumlah nas} menunjukkan bahwa pelarangan khamar terjadi secara gradual menunjukkan bahwa adanya sosialisasi larangan sebelum hukuman (‘uqu>ba>t) benar-benar dilakukan. Dengan demikian Islam melakukan penyadaran tentang manfaat, mudarat, dan ketentuan hukum pada setiap perbuatan yang dilakukan manusia. Maka fase-fase pelarangan ini dapat dijumpai pada ayat-ayat (Qs. al-Baqarah [2]: 219, Qs. al-Nisa>’[5]: 43, dan Qs al-Ma>idah [6]: 91), yang telah disebutkan di atas. Ketentuan ini sama dengan semua pendapat Imam Madhhab. Tidak seorang ulama pun menolak keharaman khamar ini. Sedangkan bila benda lainnya yang memabukkan yang biasanya tidak mabuk maka dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan haram, seperti Ima>m Malik, Imam al-Sha>fi‘i>, dan Imam Ahmad. Ada juga yang mengatakan tidak, seperti Imam Abu Hanifah. Hal ini disebabkan bahwa benda itu sebelumnya tidak haram.193 Penegakan hukuman h}udu>d adalah perlu sebagaimana ungkapan H}adi>th Nabi Saw:
ﻓﺎﺻﺎﺏ،ﻣﺜﻞ ﺍﻟﻘﺎﺋﻢ ﳊﺪﻭﺩﺍﷲ ﻭ ﺍﻟﻮﺍﻗﻊ ﻓﻴﻬﺎ ﻛﻤﺜﻞ ﻗﻮﻡ ﺍﺳﺘﻬﻤﻮﺍ ﻋﻠﻲ ﺳﻔﻴﻨﺔ ﻓﻜﺎﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﰲ ﺍﺳﻔﻠﻬﺎ ﺍﺫﺍﺍﺳﺘﻘﺮ ﻣﻦ ﺍﳌﺎﺀ ﻣﺮﻭﺍ،ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻋﻠﻲ ﺍﻋﻼﻫﺎ ﻭﺑﻌﻀﻬﻢ ﺍﺳﻔﻠﻬﺎ ﻓﺎﻥ ﺗﺮﻛﻮﻫﻢ. ﻟﻮ ﺍﻧﺎ ﺧﺮﻗﻨﺎ ﰲ ﻧﺼﻴﺒﻨﺎ ﺧﺮﻗﺎ ﻭ ﱂ ﻧﺆﺫ ﻣﻦ ﻓﻮﻗﻨﺎ: ﻓﻘﺎﻟﻮﺍ،ﻋﻠﻲ ﻣﻦ ﻓﻮﻗﻬﻢ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ. ﻭﺍﻥ ﺍﺧﺬﻭﺍ ﻋﻠﻲ ﺍﻳﺪﻳﻬﻢ ﳒﻮﺍ ﻭﳒﻮﺍ ﲨﻴﻌﺎ،ﻭﻣﺎ ﺍﺭﺍﺩﻭﺍ ﻫﻠﻜﻮﺍ ﲨﻴﻌﺎ (ﻭﺍﻟﺘﺮﻣﻴﺰﻱ “Perumpamaan orang yang melaksanakan hukuman Allah (h}udu>d Allah) dan orang yang melanggarnya adalah bagaikan orangorang yang berbagi tempat dalam perahu. Sebagian dari mereka berada di atas dan sebagian lainnya berada di bawah . Orang-orang yang 192
Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d, Jināyāt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 131. 193 Abd al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah, 29.
94
berada di bagian bawah , saat memerlukan air mereka harus naik ke atas. Lalu mereka berujar, ‘ Alangkah baiknya kita melubangi bagian kita ini sehingga tidak mengganggu orang-orang yang di atas.’ Jika mereka yang di atas membiarkan mereka yang (di bawah) dan apa yang hendak dilakukan oleh mereka, tentulah mereka semua akan binasa. Tapi bila mereka mencegah perbuatan mereka (yang di bawah) tentu mereka akan selamat, dan semuanya menjadi selamat.” (HR Bukhari dan Turmizi). Menyangkut dengan h}add khamar yang berupa (dera) sebanyak 40 kali diutarakan di dalam al-H}adith:
ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﱯ ﺻﻠﻲ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ،ﻓﻘﺪ ﺭﻭﻯ ﻣﺴﻠﻢ ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ . ﻭﺍﻟﻨﻌﺎﻝ ﺃﺭﺑﻌﲔ،ﻳﻀﺮﺏ ﰲ ﺍﳋﻤﺮ ﺑﺎﳉﺮﻳﺪ “Muslim telah meriwayatkan dari Anas ra., Nabi Saw pernah menghukum dera pada kasus khamar dengan lidi dan sandal sebanyak 40 kali dera.”194 Senada dengan fiqh yang memiliki pendapat yang bermacam ragam tentang hukuman yang menyangkut dengan praktek tindak pidana yang terkait dengan minuman beralkohol, Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 29 menyatakan bahwa pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, yakni dengan mengkonsumsikan khamar maka ‘uqūbāt yang diterima sesorang dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal, bila berupa h}add (40 kali cambuk) maka sehingga mencapai 53 kali cambuk. Sedangkan bila berupa denda (ta‘zi>r) juga disesuaikan dengan penambahan 1/3 hukuman.195 Dengan demikian, meskipun penghukuman seperti ini ada titiktitik perbedaan dengan dengan fiqh namun tidak menyalahi fiqh,196 karena ada kalanya fiqh tidak mengatakan penambahan 1/3 dari hukuman h}ādd, yang ada adalah perlu adanya anjuran penambahan hukuman atau 194
‘Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al- Madha>hib al-Arba‘ah, 15. Qanun No 12 Tahun 2003 Pasal 29. 196 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, 73-74. 195
95
penghukuman lainnya dalam bentuk h}ādd dan ta‘zi>r Meskipun ada pendapat minoritas fiqh dapat ditegakkan hukuman mati bagi yang telah berulang ulang sampai lebih dari 3 kali meminum khamar, namun itu bukan hukuman h}ādd. Hukuman mati bagi peminum khamar secara berulang-ulang ditolak oleh manyoritas pendapat ulama Fiqh dalam Islam. Walaupun hukuman ta‘zir fiqh adalah termasuk hukuman mati, namun Qanun tidak menetapkan ta‘zi>r yang demikian. Qanun lebih cederung mengikuti mazhab Sha>fi‘i>/Sunni yang menegakkan h}add 40 kali cambuk bagi setiap kali melakukan/mengulang praktek minum khamar.197 a.
Waktu dan Teknis Pelaksanaan Ada pertanyaan, apakah orang mabuk dihukum ketika mabuk atau setelah sadar? ‘Umar bin ‘Abdu al-Azi>z, al-Shaibani>, al-Thauri, Abu> H{a>nifah berpendapat orang mabuk tidak dihukum kecuali setelah sadar dari mabuknya. Alasannnya tujuan pertama dari hukuman itu adalah untuk menghalau dan menjerakan pelaku. Kedua bertujuan untuk dapat tercapai tujuan penghukuman, maka pelaksanakan hukuman terhadapnya dalam keadaan sadar secara penuh perlu ditegakkan.Bahkan pelaksanaan hukuman harus ditangguhkan hingga ia sadar dari mabuknya, karena orang mabuk tidak menyadari hukuman tersebut. Kelompok lain berpendapat, pelaku dihukum saat (waktu) ditangkap. Ini pendapat Ibnu Hazm. Ia berkata, karena saat peminum khamar saat dihadapkan kepada Nabi Saw, lalu ia mengakuinya, maka beliau langsung menghukumnya dan tidak menunggu sampai sadar (dari mabuknya). Berdasarkan pandangan ini pendapat menyangkut dengan penghukuman tidak bisa mengalahkan khabar s}ah}īh. Maka, yang wajib diaksanakan adalah menghukum si pelaku ketika dihadapkan. Kecuali bila ia tidak sadar sama sekali, dan tidak dapat memahami sesuatu, maka hukumannya ditangguhkan hingga bisa merasakan.198 197
‘Abd al-Rah}man al-Jazi>ri>, al-Fiqh ala> al- Madha>hib al-Arba‘ah, 27. Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d, Jināyāt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 130. Lihat juga ‘Abd al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah, 29. Al-Jazi>ri menulis: 198
. ﻭ ﻛﺜﲑﻫﺎ، ﺍﻣﺎ ﻗﻠﻴﻠﻬﺎ، ﺩﻭﻥ ﺍﻛﺮﺍﻩ، ﺍﳕﺎ ﻫﻮ ﺷﺮﺏ ﺍﳋﻤﺮ،ﺍﺗﻔﻖ ﺍﻷﺋﻤﺔ ﻋﻠﻲ ﺃﻥ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻮﺟﺐ ﺍﳊﺪ “Para Imam (mazhab) sepakat bahwa wajib, bukan makruh, hukumnya h}add pada praktek minum khamar, baik sedikit maupun banyak.”
96
Dengan demikian hakim tidak boleh memberikan maaf, karena hal h}add adalah hak Allah SWT.199 b. Tempat Pelaksanaan Menyangkut dengan tempat peneksekusian, para ulama juga terjadi perbedaan pendapat. Para fuqaha sebagaimana halnya perbedaan tentang waktu pelaksanaan namun menurut tradisi penghukuman penjahat dalam Islam, maka penghukumannya mestinya dilakukan di muka umum. Tempat penghukuman seperti ini merupakan tradisi (kebiasaan) pengeksekusian tidak pidana Islam yang terkait h}add (hak Allah SWT).200 c. Izin Imam untuk Pelaksanaan Fath ad-Durami guru besar di Universitas di Damaskus mengatakan ta‘zi>r itu adalah: “ hukuman yang diserahkan pada uli alamr (pemerintah) untuk menentukan bentuk dan kadarnya sesuai dengan kemaslahatan yang dikehendaki tujuan hukum syara‘ di dalam menetapkan hukuman yang ditetapkan di dalam perkara maksiat. Mukhtar menambahkan, para fuqaha membagi ta‘zīr ke dalam dua bentuk; Pertama, al-ta‘zīr ‘alā al-ma‘a>s}i (ta‘zi>r untuk kemaslahatan hidup); dan kedua, al- ta‘zi>r li maslah}ah al-‘a>mmah (ta‘zi>r untuk kemaslahatan umum). Perbedaaan kedua ini, terletak pada hukum tindak pidana tersebut. Dalam kitab Fiqh tematisnya, al-S{a>wi mengatakan bahwa pengusaha kerab mewakilkan pelaksanaan pencegahan kemaksiatan dan “amar-makruf-nahi-munkar” kepada lembaga h}isbah.201Kesepakatan tentang hukuman ta‘zi>r sebagai hukuman yang ditetapkan penguasa juga disetujui Abdul Qadir Uranah) berbagai madhhab.202 Al-Jazi>ri> juga mengatakan bahwa seorang imam (pemimpin) bila diajukan orang tentang adanya praktek tindak pidana khamar maka ia 199
‘Abd al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al- Madha>hib al-Arba‘ah , 18. Qs. al-Nu>r [25]: 2. Lihat juga ‘Abdul Qadir ‘U>dah, al-Tashrī‘ al-Jināī alIsla>mi> Muqārinan bi al- Qānūn al-Wad}‘i>, 82. 201 S}a>lih} al-S}a>wi>, al-Ta ‘addudi>yah al-Sia>sah fi> al-Daulah al-Isla>mi>yah (TTP: Da>r al-‘Ila>m al-Dauli>, 1992), 34. 202 ‘Abdu al-Qadir ‘U<>dah, al-Tashrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī Muqāranan bi alQānūn al-Wad}’ī, 154 200
97
wajib menegakkan h}add setelah ada pengakuan dan saksi-saksi. Sedangkan hakim adalah perpanjangan tangan imam (pemimpin) dalam memutuskan pengeksekusian pelaku tindak pidana. Hakim telah memiliki hak kebebasan dalam memutuskan hukuman terhadap pelaku setelah (pengangkatannya) oleh ima>m (pemimpin). Hal ini menunjukkan bahwa dalam menegakkan hukum h}add memerlukan kekuasaan dan kemampuan. Kemampuan adalah kekuasaan. Karena itu, pelaksanaan hukuman diwajibkan atas para pemegang kekuasaan dan para wakilnya. Alasan lain, tidak pernah dilakukan hukuman terhadap orang merdeka pada masa Nabi Saw kecuali dengan seizinnya. Demikian pula yang dilakukan oleh khalifah-khalifah sesudahnya. Karena itu tidak boleh dilakukan kecuali dengan seizin imam (penguasa).203 3.
Eksekusi Tindak Pidana Khamar di Aceh Ada beberpa peristiwa pelanggaran tindak pidana minuman keras (khamar) yang terjadi di Aceh yang dicambuk di panggung pengeksekusian. Diantaranya, pertama terjadi di Aceh Tengah, dan kedua di Aceh Barat. Pertama, dari Takengon (Aceh Tengah) dilaporkan sebanyak tujuh pemuda yang terbukti meminum minuman haram divonis Mahkamah Syar‘iyah Takengon dengan hukum cambuk. Ketujuh tersangka terbukti melanggar Pasal 26 Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan sejenisnya yang dihukum (‘uqu>ba>t) masing-masing 40 kali cambukan— di antara terhukum terdapat anak mantan bupati, Mustafa M. Tamy. Terhadap pencambukan anaknya, Mustfa M. Tamy mengatakan mendukung proses hukum Islam di Aceh Tengah dan Provnsi NAD, dan sangat memahami bahwa hukum tidak memandang strata serta status sosial masyarakat. Keseluruhan pemuda yang dicambuk itu masing-masing Andi Akmal bin Mustafa M. Tamy (umur 34 tahun) anak mantan bupati Aceh Tengah Mustafa M. Tamy, Danil Harahap (umur 35 tahun), Iwan Pelita bin Abdurrahman (umur 35 tahun), Meidi Radian bin Rasyidin (umur 25 tahun), Iwan Syahputra bin Jamaluddin (umur 18 tahun), Anjas Beni bin Kiran (umur 22 tahun), dan Yusra bin Sudarto (umur 18 tahun). Mereka 203
Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d, Jināyāt dan Diyat, Jual Beli, (Terj.), 8-9.
98
menjalani pencambukan di depan tribun barat Lapangan Olahraga Musara Alun masing-masing sebanyak 40 kali cambukan. Proses pencambukan itu disaksikan ribuan warga Kabupaten Aceh Tengah. Di Aceh Tengah, pasca pemberlakuan Qanun-qanun syariat Islam, sebanyak lima kali digelar acara pencambukan dengan jumlah terpidana pelanggar syariat sebanyak 29 orang sesuai pendataan pada tahun 2005. Sebagaimana pemberitaan Media Massa, tujuh terpidana cambuk itu ditangkap petugas Reskrim Unit Narkoba, di sebuah rumah kecantikan Meidi Salon Jalan Rumah Sakit Datu Beru, Kampung Gunung Bukit, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah. Bersama dengan tertangkap tujuh pelanggar syariat Islam itu, polisi menyita barang bukti 10 botol kosong minuman keras merek Scouth, satu botol minuman keras merek Contreau yang juga sudah kosong, dan satu unit mobil Mitsubhisi Kuda Nopol BG-2459-NK, semua barang bukti itu juga dihadirkan di Mahkamah Syar‘iyah.204 Kedua, kasus terjadi di kabupaten Aceh Barat. Ada 15 terpidana syariat (pelanggar syariat Islam) di Kabupaten Aceh Barat, Aceh, dieksekusi hukuman cambuk. Mereka tertangkap personel Wilayatul Hisbah (Polisi Syariat) karena pelanggaran mesum, khalwat, berjudi, dan minuman khamar dan sejenisnya. Keputusan hukuman cambuk dipastikan setelah 15 orang itu disidang dan mendapat vonis dari Mahkamah Syariah Meulaboh, Aceh Barat. Dari 15 terpidana pelanggaran syariat itu akan dieksekusi secara bertahap. Tahap pertama rencananya dicambuk lima orang terpidana dari berbagai kasus pelanggaran. Jumlah cambukan setiap mereka juga berbeda yakni sesuai kesalahan dan dan putusan Mahkamah Syariyah. Sebagaimana diberitakan media massa, kepala Dinas Syariat Islam, Kabupaten Aceh Barat, M. Nur Djuned, mengatakan kepastian hukuman telah ada hanya saja menentukan waktu dan berkoordinasi dengan muspida serta pihak penegak hukum lainnya. Harian Media Indonesia mencatat bahwa hukuman cambuk bagi pelanggar syariat sering dilakukan di depan umum seperti di lapangan dan halaman masjid setelah salat Jumat. Eksekusi berlangsung di atas panggung. Personel/algojo yang ditentukan harus memakai penutup wajah. Jumlah 204
Lihat An/min, “Penjudi dan anak mantan bupati dicambuk”, Serambi Indonesia, 1, 24 September 2005 dalam http://www.aceh-eye.org/a-eye-newsitem.as?NewsID=1861(diakses 20 Desember 2010).
99
cambukan berkisar 5-20 kali dengan menggunakan rotan atau alat cambuk khusus.205 Selain contoh kasus tindak pidana khamar tersebut, media massa kadang kala mempublikasikan gambar terhukum seperti terlihat pada gambar 3.1. Gambar 3.1:
Sumber: http://pesanrakyat.blogspot.com/ 2011/01/4-konsumen-tuak-diaceh-besar-di-cambuk.html
Gambar 3.1 menunjukkan seorang algojo sedang mengeksekusi seorang peminum kamar di Aceh di kecamatan Suka Makmur, Aceh Besar yang tertangkap pada 12 Desember 2010. Pencambukan dilakukan sebanyak 40 kali yang digelar di lingkungan Mesjid Agung Al-Munawwarah Kota Jantho, Aceh Besar pada 28 Januari 2011. 206
Beberapa kasus tersebut terjadi di Aceh sejak Qanun tentang Jinayat diberlakukan. Menurut data penelitian Syamsuhadi Irsyad bahwa pada tahun 2007 Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota se-Prov. Aceh telah menerima kasus khamar sebanyak 13 kasus dan memutuskan 14 kasus. Sedangkan yang mengajukan banding pada tahun itu juga sebanyak 2 kasus dan memutuskan juga 2 kasus. Syamsuhadi Irsyad juga mencatat bahwa pada tahun 2008 kasus khamar yang sama diterima Mahkamah sebanyak 8 kasus dan diputuskan sebanyak 8 kasus juga. Sedangkan yang mengajukan banding nihil (tidak ada).207 205
Amiruddin Abdullah, “15 Pelanggar Syariat di Aceh Divonis Hukum Cambuk,” Media Indonesia,12 Mei 2010, dalam http://www.15-Pelanggar-Syariat-diAceh-Divonis-Hukum-Cambuk-htm (diakses 15 Mei 2010). 206
“4 Konsumen Tuak di Aceh Besar Di Cambuk 40 Kali”, Pesan Rakyat, 28 Januari 2011 dalam http://pesanrakyat.blogspot.com/2011/01/4-konsumen-tuak-diaceh-besar-di-cambuk.html, diakses 29 Januari 2011. 207 Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar‘iyah dalam System Peradilan Nasional, 45.
100
Dari sampel pengeksekusian yang dipaparkan media massa tersebut dapat dikatakan bahwa pengaturan/pelaksanaan Qanun tidak jauh berbeda dengan fiqh. Memang fiqh memiliki penafsiran yang luas berdasarkan prinsip ta‘aqqulī di samping prinsip ta‘abbudī. Prinsip ta‘abbudi merupakan pelaksanaan hukum Islam berdasarkan kepatuhan pada ketentuan hukum Tuhan dalam rangka merealisasikan ketundukan kepada-Nya. Sedangkan ta‘aqquli merupakan penafsiran dari teks kitab suci dan sunnah Nabi Saw melalui proses ijtihad dengan cara menggali hukum yang tidak disebutkan secara langsung oleh kitab suci dan sunnah nabi Saw. Maka demikian yang dijalankan Mahkamah Syariyah Aceh Barat, provinsi Aceh—dalam merealisasikan Qanun Aceh.208Denagn demikian, ada beberapa kesesusuaian dan kemiripan antara ketentuan Fiqh dengan qanun No. 12 Tahun 2003 ini, bila ada penyimpangan dari Fiqh, berat kemungkinan, hanya diakibatkan kelalaian para pelaksana Qanun di lapangan. Para fuqaha telah banyak membahas tentang pandangan para imam mazhab tentang khamar. Pandangan mereka memiliki landasan hukum yang jelas dalam menetapkan hukum yang berkaitan dengan khamar di dalam Islam, sehingga menjadi pedoman bagi umat Islam dalam menegakkan hukuman terhadap pelaku jarimah khamar. B. Pelaksanaan Qanun No. 13 Tahun 2003 1. Uqubat Judi Menurut Qanun Substansi (ketentuan hukuman dan pelaksanaan) bagi tindak pidana judi dapat dilihat di dalam Pasal 23-27 Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang judi. Pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa suatu perjudian, selain dilakukan secara perorangan, kerab ada lembaga dan badan tertentu yang memfasilitasi dan memberikan izin. Pasal 27 menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6: a) apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab; dan b) apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1), dapat juga dikenakan
208
Syamsuhadi Nasional , 45.
Irsyad,
Mahkamah Syar‘iyyah dalam System Peradilan
101
‘uqubat administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan sebagaimana tertian di dalam Ayat (2).209 Selain pencabutan izin tersebut, badan tersebut tidak terlepas dari hukuman denda. Ketentuan ini, berat kemungkinan, Qanun mendasarkan kepada Qaidah Usul Fiqh menyatakan bahwa upaya pencabutan izin suatu usaha (bisnis) mayarakat seperti ini dapat dikategorikan suatu upaya penutupan peluang (sadd al-d}ara>i) bagi munculnya aktifitas maksiat perjudian. Qaidah Usu>l Fiqh juga berbunyi daf’u al-mafa>sid muqaddam ‘ala> jalb al-mana>fi‘ (mencegah kemaksiatan lebih diutamakan dari pada menarik faidah). Muhammad Akram Laldin, salah seorang penulis buku Fiqh, telah mencantumkan qaidah ini di dalam bukunya.210 Tabel 3.3: Jenis Hukuman dalam Qanun No. 13 Tahun 2003
No 1.
2.
Jarimah (Tindak Pidana)
Pelaku
Cambuk
Berjudi
Orang
6 – 12 kali
-
-
Penyedia fasilitas, penyelenggara, pelindung, atau
Orang, badan hukum, dan aparat
-
-
15-35 juta
209
Kurungan
Denda
Di dalam Pasal 23 dikatakan: Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan ‘uqubat cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali. Lihat Qanun No 13 Tahun 2003 Pasal 23 Ayat (1). Selanjutnya di dalam ayat (2) dikatakan, Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha Non Instansi Pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, dan 7 diancam dengan ‘uqubat atau denda paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh limajuta rupiah), paling sedikit Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). Ayat (3) menyatakan Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6 dan 7 adalah jarimah ta‘zi>r. Denda tersebut akan diserahkan ke Baitul Mal yang penggunaannya ditetapkan Qanun, sebagaimana dikatakan dalam Pasal 24 bahwa denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) untuk merupakan penerimaan Daerah dan disetor langsung ke Kas Baital Mal. Lihat Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 23 Ayat (2) dan (3). Lihat juga Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 27. 210 Muhammad Akram Laldin, Introduction to Shariah and Islamic Yurisprudence, 112-113.
102 pemberi izin perjudian
pemerintah
Tabel 3.3 menunjukkan hukuman untuk pelaku maisir hanya cambuk, antara enam sampai 12 kali. Sedang bagi yang menjadi penyelenggara, pelindung atau pemberi fasilitas ditetapkan hukuman denda antara Rp. 15.000.000,-sampai Rp. 35.000.000,- tanpa alternative penjara atau cambuk. Komnas Perempuan tentang pelaksanaan syariat Islam di Aceh pernah mencatat bahwa Qanun maisir ini juga menyatakan ‘uqu>ba>t (hukuman) bagi penjudi se;ain trerdapat di dalalam Qanun Maisir memang sudah terdapat di dalam Hukum perundang-undangan RI. Kitab Hukum Pidana (KUHP) RI juga telah menetapkan ketentuan hukum bagi tindak pidana ini, namun ketentuan itu tidak dipaparkan lagi di dalam penelitian ini. Karena konsideran Qanun telah menyebutkan sejumlah hukum perundang-undanagan RI, termasuk KUHP yang merupakan hukum pidana positif lainnya yang berlaku di Indonesia.211 Melalui hak otonomi bagi Aceh, konsep hukum pelarangan judi yang sebelumnya ditangani KUHP (yang banyak mengadopsi hukum peninggalan kolonial Belanda), sekarang sudah ada kewenangan bagi putra-putra Indonesia untuk menyusun ketentuan hukum pidana sendiri yang berupa Qanun “Jinayat.” Dengan perkataan lain realisasi hak otonomi bagi Aceh untuk menyusun Qanun merupakan langkah yang maju bagi perkembangan hukum pidana di Indonesia. Dengan perkataan lain, pengqanunan judi telah didukung oleh sejumlah Hukum perundang-undangan lainnya di Indonesia. Hukum perundang-undangan RI tetap membuka peluang bagi semua pihak (terutama para praktisi hukum) untuk dapat memberikan kontribusi bagi penyempurnaan Qanun, demi pencegahan praktek judi dalam keseharian masyarakat. a. Waktu Pelaksanaan Uqubat
211
Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, “Analisis terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat”, Kertas Kebijakan, 10 Oktober 2005, 8.
103
Sebelum menjelaskan tentang waktu, penting disebutkan di dalam studi ini tentang tujuan dari pelarangan/penghukuman tindak pidana maisir tersebut. Dikatakan dalam Pasal 3 Qanun maisir, tujuan larangan maisir (perjudian) adalah untuk: a. Memelihara dan melindungi harta benda/kekayaan; b. Mencegah anggota mayarakat melakukan perbuatan yang mengarah kepada perjudian.212 Perlindungan harta benda (hifz alma>l) merupakan suatu kewajiban yang diperintahkan Islam bagi umatnya, kerab disebutkan berbarengan dengan pelarangan khamar yang memfokuskan pada perlindungan akal/mentalitas (hifz} al-‘aql) manusia. Oleh karena itu qanun maisir menetapkan hukuman bagi pelanggar kewajiban ini. Para pakar berbagai ilmu mengakui bahwa tradisi perjudian pada seseorang merupakan sikap mentalitas buruk bagi pelakunya.213 Qanun maisir Pasal 5 menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir. Qanun No. 13 Tahun 2003 menetapkan hukuman bagi tindak pidana bagi perkara larangan ini dengan hukuman ta‘zīr cambuk bagi penjudi dan denda bagi yang membantu terlaksananya praktek perjudian di dalam masyarakat Aceh. 214 Tentang barang-barang yang digunakan dalam perjudian, apakah akan disimpan atau dimusnahkan, dikatakan dalam Pasal 25 bahwa barang-barang/benda-benda yang digunakan dan/atau diperoleh dari jarimah maisir dirampas untuk Daerah atau dimusnahkan.215Dalam hal ini Qanun tidak merincikan secara jelas tentang benda-benda apa yang dapat dirampas untuk daerah, dan apa-apa yang mesti dimusnahkan. Barang-barang yang dapat dimusnahkan, Berat kemungkinan, berupa alat-alat/barang-barang yang digunakan untuk berjudi, sementara jika berupa uang akan diambil untuk daerah agar dapat dimintakan pertanggung jawaban dari pelaku perjudian di Mahkamah, sekaligus dapat menjadi barang bukti.216 212
Qanun No. 13 Tahun 2003 Ayat (3). M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective , 153. 214 Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 5. 215 Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 25. 216 Senada dengan Qanun Pasal 46 Ayat 2 UU No. 8 Tahun 1981 juga menyatakan bahwa apabila pekara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika 213
104
Bila ada pelaku perjudian yang meneruskan prakteknya padahal ia pernah dihukum maka akan dikenakan hukuman lebih berat. Dinyatakan dalam Pasal 26 bahwa pengulangan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6 dan 7 ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqūbāt maksimal.217 Adapun menyangkut dengan kapan ‘uqu>ba>t judi dilaksanakan, Qanun telah memberikan ketentuan. Waktu penghukuman tindak pidana judi adalah setelah adanya keputusan hakim untuk melakukan proses penghukuman. Dinyatakan dalam Pasal 29 bahwa (1) pelaksanaan ‘uqūbāt dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap; dan (2) penundaan pelaksanaan ‘uqūbāt hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.218 Untuk kesempurnaan penghukuman/pengeksekusian, pihak Mahkamah Syariyah juga melibatkan tim medis yang dianggap memahami kondisi fisik pelaku. Ketentuan ini dinyatakan dalam Pasal 31, apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.219 b.
Teknis pelaksanaan Teknis pelaksanaan qanun mengatur prosesi dan teknis pengeksekusian pelaku yang benar-benar terlibat di dalamnya dan ada suatu keputusan hakim yang didasari penyelidikan secara matang. Pelaksanaan pengeksekusian judi, sama halnya dengan pengeksekusian praktek jinayat lainnya. Hal ini diatur di dalam Bab VIII Pasal 28-31 Qanu ini. Dikatakan dalam Pasal 28 bahwa (1) ‘uqu>ba>t cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum; dan (2) dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang
benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain. Lihat juga Pasal 1 Angka 16 KUHAP. 217 Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 26. 218 Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 29 Ayat (1) dan (2). 219 Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 31.
105
diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang hukum formil.220 Menyangkut dengan personel (algojo) yang melakukan eksekusi dan alat yang digunakan untuk mencambuk juga telah ditetapkan sebagaimana alat yang digunakan untuk mencambuk pelaku tindak pidana lainnya selain judi. c. Tempat eksekusi Prosesi hukuman diperlihatkan kepada orang banyak. Apakah diminta atau tidak, masyarakat memiliki kesadaran tentang perlunya menghadiri dan menyaksikan pengeksekusian suatu tindak pidana dalam Islam. Fenomena yang terkait dengan ini dinyatakan dalam Pasal 30 Ayat (1). Dikatakan bahwa ‘uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk. Sebagai contoh, fenomena ini pernah dipraktekkan Mahkamah Kuala Simpang. Mahkamah telah melakukan eksekusi pencambukan terhadap terhukum di depan halaman Masjid Nur Hasanah Karang Baru, Aceh Tamiang.221 Mahkamah Syariyah Kuala Simpang juga pernah melaksanakan eksekusi di depan Kantor Kejari, Kuala Simpang pada tanggal 28 Oktober 2010. 222 Bagian fisik terhukum yang dapat dekenakan cemeti cambukan, dikatakan di dalam Ayat (3), yaitu pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. Posisi terhukum di panggung eksekusi, dikatakan di dalam Ayat (5), yakni bahwa terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat.223 Terhadap terhukum perempuan, pencambukan dilakukan dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya. Khusus bagi wanita yang sedang hamil Qanun melarang dilakukan pengeksekusian. Di dalam Pasal 30 Ayat (6) dikatakan, pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan 220
Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 28-31. http//www.serambinews.com.news_item.asp,judiachtgh.htm. (diakses 25 Desember 2010). 222 Yu/md, “Lagi penjudi dicambuk,” Serambi Indonesia, , 1, 29 Oktober 2010 dalam http://aceh.tribunnews.com/news/view/41804/lagi-penjudi-dicambuk (diakses tanggal 29 Oktober 2010). 223 Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 30 Ayat (1), (3) dan (5). 221
106
melahirkan.224Ketentuan ini mempertimbangkan bahwa ada beberapa halangan yang dimiliki wanita hamil untuk menerima cambukan. Halangan ini berupa akibat dari beratnya beban yang dipikul di dalam kandungannya, dapat mempengaruhi keselamatan dan kesehatan bayi yang ada di dalam kandungannya, sementra yang bersalah adalah adalah ibu bayi. Bayi yang berada di dalam kandungan ibunya wajib dijaga jiwa dan keselamatannya sebagaimana menjaga setiap manusia lain yang tidak bersakah sebagaimana semestinya, dalam hal ini Qanun mementingkan pertimbangan yang bersifat kemanusiaan.225 2.
Judi Menurut Fiqh Pada masa sebelum Islam, perjudian merupakan salah satu dari banyak perilaku kejahatan yang diwariskan tradisi Arab sebelumnya. Masyarakat Arab telah terbiasa berjudi dengan pertaruhan tanpa mempertimbangkan harta dan keluarga (isteri). Dikatakan Ibnu Abbas, pada masa Jahiliah seseorang kerap bertarung judi dengan lawannya dengan taruhan harta dan isteri (woman folk, ahl). Siapa saja yang kalah dengan lawannya, ia harus meninggalkan harta dan isterinya untuk pemenangnya.226 Setelah kedatangan Islam praktek seperti itu dilarang (diharamkan).227Islam mengajarkan bahwa usaha judi sebenarnya masuk ke dalam kategori usaha untuk memperoleh harta secara tidak halal. Memang pendapat masyhur pakar fiqh tidak memasukkan perkara judi menjadi perkara jinayat dalam kitab-kitab Fiqh mereka, namun praktek judi merupakan perilaku usaha masyarakat tertentu yang tergolong ke dalam salah satu praktek ekonomi yang tidak sah menurut Islam. Praktek perjudian sering digolongkan ke dalam golongan perbuatan lagw (sia-sia) 224 225
Qanun No. 13 Tahun 2003 Pasal 30 Ayat (6) Al-Qura>n menyatakan: ٣٩-٤٠-:[ ٣٥]
)ﺍﻟﻨﺠﻢ. ﻭﺃﻥ ﺳﻌﻴﻪ ﺳﻮﻑ ﻳﺮﻯ.ﻭﺃﻥ ﻟﻴﺲ ﻟﻼﻧﺴﺎﻥ ﺍﻻ ﻣﺎ ﺳﻌﻲ
“Manusia hanya akan menerima balasan terhadap apa yang dilakukannya. Perbuatannya kelak akan diperlihatkan. (al-Najm [35]: 39-40) 226 Franz Rosenthal, Gambling in Islam (Leiden: E.J. Brill, 1975), 68. 227 Lihat Qs. al-Baqarah [2]: 219; al-Baqarah [2]: 188; dan al-Ma>idah [6]: 9091.
107
karena menghabiskan waktu yang banyak bagi perbuatan yang tidak memberi faedah. Perilaku negatif ini menimbulkan dosa dan kerugian duniawi dan ukhrawi bagi pelakunya. ‘Abdul al-Qadir ‘U<>dah dalam karyanya memisahkan perkara siba>q (perlombaan) dari perkara jina>ya>t/h}udu>d. Beliau mengistilahkannya dengan al-’al‘a>b al-furusi>yah. Bermain lomba pacuan kuda (al-’al‘a>b al-furu>si>yah) juga meliputi praktek olah raga lainnya yang berlaku sampai sekarang. Menurutnya, manfaat olah raga dapat meningkatkan kekuatan, ketangkasan yang bermanfaat bagi masyarakat baik di waktu damai maupun waktu perang. Perlomaaan pacuan kuda, lomba perahu, lomba balap mobil, lomba terbang, dan lain-lain sebagainya. Juga lomba ketangkasan bermain pedang, pergulatan, tinju (boxing), lempar lembing, lomba tembak, angkat besi, lomba tarik tambang, dan renang. 228 Perbedaan antara mana mainan yang dibolehkan/dianjurkan yang berupa perlumbaan (siba>q) yang berupa lomba pacu kuda (al-’al‘a>b alfaru>siyah) kadang kala sulit dibedakan. Perbedaan ini tergantung kepada apa yang direncanakan pelakunya tentang ada atau tidaknya menggunakan taruhan uang/material dalam praktek perlombaan. Kalaupun menggunakan uang apakah itu merupakan hadiah atau memang benar-benar taruhan, yakni yang harus dibayar oleh pihak yang kalah. Sebab fiqh menyatakan bahwa pemberian hadiah bagi pemenang lomba ada keabsahan hukum dalam Islam. Tabel 3.4 menunjukkan bahwa keempat madhhab Fiqh sunni menganggap sesuai dengan Fiqh bila sesorang yang melakukan perjudiian dihukum dengan penghukuman cambuk sebanyak 6-12 kali. Pihak yang ikut serta di dalam membantu terselenggaranya tindak pidana tersebut dikenakan hukuman ta‘zi>r denda.229 228
‘Abd al-Qadir ‘U ah, al-Tashrī` al-Jināī al-Isla>mi> Muqārinan bi al- Qānūn al-Wad}’i>, 424. 229 Madhhab Hanafi>yah dan Shafi’iyah dan H}ana>bilah menyatakan bahwa hukuman ta’zi>r jangan menyalahi sebab. H}anafi>yah setuju dengan hukuman cambuk tidak lebih dari 39 kali. Sedangkan Shafi’i>yah dan Ha}naq>bilah menyetujui batas maksimal cambuk ta’zi>r sebanyak 19 kali. Sedangkan Maliki>yah membolehkan ta’zi>r melebihi h}add dengan tinjauan ada kemaslahatan. Lihat ‘Abd al-Rah}man - al Jazi>ri>, alFiqh ‘ala> al- Madha>hib al-Arba‘ah , Jilid 5, 308. Lihat juga ‘Abdu al-Qadir ‘U<>dah, alTashrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī Muqāranan bi al-Qānūn al-Wad}’ī, 154.
108 Tabel 3.4: Hukum Jarimah Judi dalam Perspektif Fiqh Hukuman dan Kesesuaiannya dengan Fiqh
Ta‘zi>r
Ta‘zi>r Cambuk
Kurungan
Denda
6-12 kali
-
-
-
15-35 juta rupiah
Ss
Ss
Hanabilah
Penjudi
Ta‘zi>r
Shafiiyah
1
Pelaku tindak pidana/jarimah
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Malikiyah
No
Perspektif Fiqh Hanafiyah
Hukuman
Ss
2
Penyedia Fasilitas
3
Penyelenggara
-
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Pelindung
-
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
4 5
Pemberi Izin
-
Catatan: Bentuk jarimah: berjudi, menyediakan melindungi, dan memberikan izin perjudian.
fasilitas,
Mazhab Lain nya
menyekenggarakan,
Al-Jaziri> dalam kitabnya al-Fiqh ‘ala> al-Madhha>hib al-Arba‘ah mencatat bahwa seorang penguasa, misalnya, dapat merangsang pelomba dengan mengatakan: “siapa yang menang di antara kalian berdua akan saya tanggung sekian dana (hadiah).’’Di antara pihak yang menjadi petarung juga boleh mengatakan: “jika kamu menang dalam perlombaan ini maka saya akan bayar sekian dana untuk kamu.” Yang tidak boleh mereka katakan kepada yang kalah:” jika kamu kalah harus membayar sekian dana untuk saya.” Dengan perkataan lain, penerimaan/pemberian hadiah untuk merangsang pelomba dibolehkan dalam hukum Islam.230Namun bila mengarah ke upaya untuk memperoleh laba dari usaha tersebut, dan ada unsur keterpaksaan, hal ini
230
‘Abd al-Qadir ‘U<>dah, al-Tashrī` al-Jināī al-Isla>mi> Muqārinan bi al- Qānūn al- Wad}’i>, 425. Lihat juga Abu> Ma>lik Kamal bin al-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh alSunnah, H}udu>d, Jināyāt dan Diyat, Jual Beli (Terj.), 2-5. Lihat juga ‘Abd al-Rah}ma>n al-Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah, 14.
109
tidak dibolehkan. Apalagi dengan menjadikan usaha (yang berbau judi) tersebut dengan tujuan agar cepat menjadi kaya. Perkara pelarangan judi disebutkan disebutkan berbarengan dengan perkara khamar oleh al-Qura>n. Karena praktek judi kerap dilakukan berbarengan dengan dengan khamar. Khamar merupakan minuman yang kerap disuguhkan bagi para penjudi oleh wanita-wanita jahiliyah. Maka dengan melihat akibat yang ditimbulkan judi, berbagai tinjauan (seperti pada aspek hukuman ta‘zīr yang dijatuhkan kepada pelakunya), Qanun Aceh telah menggolongkannya ke dalam perkara jinayat. Pengqanunan judi (bagi suatu masyarakat Islam) tidak terlepas dari aspek historis (khilafah Islamiyah), karena Qanun bersumber dari Fiqh sebagaimana diakui Abdul Halim.231 Memang menurut perspektif ekonomi, kadang kala judi kerap digalakkan oleh pelakunya yang menginginkan cepat menjadi orang kaya dalam berdikarai, meskipun dalam realita di lapangan kerap terjadi sebaliknya. Praktek judi kerab bukan menguntungkan pelakunya secara ekonomi. Bahkan bila orang mengalami kekalahan, ia akan melakukan pengorbanan sisa hartanya demi ingin mengembalikan harta yang telah habis di “meja” judi. Ketika hartanya habis baru ia menyadari kerugiannya, sehingga bukan hanya kerugian besar secara ekonomi yang dialaminya, namun juga terhadap dampak psikologis yang dialaminya, seperti munculnya stress (frustasi) karena kerugian. Kerugian ini juga menimbulkan kebencian kepada si pemenang yang telah mengalihkan hartanya menjadi harta si pemenang, tanpa susah payah. Maka Islam melarang praktek judi yang merupakan salah satu cara memperoleh harta secara bāt}il (tidak halal) itu. Pelarangan Islam dalam mencari harta dengan cara yang batil, sebagaimana dinyatakan dalam Qs. al-Baqarah [2] ayat 188:
ﺎ ﺍﱃ ﺍﳊﻜﺎﻡ ﻟﺘﺄﻛﻠﻮﺍﻳﺎﺍﻳﻬﺎﺍﻟﺬﻳﻦ ﺍﻣﻨﻮﺍ ﻻ ﺗﺄﻛﻠﻮﺍ ﺃﻣﻮﺍﻟﻜﻢ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﺑﺎﻟﺒﺎﻃﻞ ﻭﺗﺪﻟﻮﺍ (١٨٨:[٢])ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ.ﻓﺮﻳﻘﺎ ﻣﻦ ﺃﻣﻮﺍﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﺎﻻﰒ ﻭ ﺃﻧﺘﻢ ﺗﻌﻠﻤﻮﻥ “Wahai orang orang yang beriman janganlah kalian memakan harta sesame kalian dengan jalan yang batil (tidak hak), dan kalian membawakannya 231
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia , 72-74.
110 kepada hakim agar kalian dapat memakan sebagian harta manusia dengan dengan dosa sementara kalian mengetahui (Qs. al-Baqarah [2] ayat 188).
Al-Quran telah menyatakan bahwa praktek usaha judi dalam bidang perekonomian termasuk cara perolehan harta yang digalakkan syaitan yang dapat membinasakan seseorang di dunia, dan bahkan di akhirat kelak.232 Di akhirat orang akan disiksa karena harta haram yang ia konsumsikan dan belanjakan. Harta tersebut juga menjadi bahan penyiksa dirinya di neraka.233 Maka Islam mengenakan hukuman bagi pelaku agar ia jera dan insaf (sadar) dan mencegah orang lain dari mengikuti seperti yang orang tersebut lakukan. Fiqh (etika) juga mengatakan bahwa usaha judi sebenarnya masuk ke dalam praktek memperoleh harta secara curang. Meskipun pendapat masyhur tidak memasukkan judi menjadi perkara Fiqh— bahkan tidak tidak menetapkan hukuman tertentu bagi pelaku/pelaksana perjudian, Qanun Aceh telah menggolongkannya ke dalam perkara jinayat (jarimah) karena berbagai tinjauan (seperti adanya aspek hukuman ta‘zi>r yang dijatuhkan terhadap pelaku kejahatan/jarimah) sebagaimana uraian di atas. Menurut pandangan Qanun Aceh praktek judi akan mengakibatkan masyarakat mengalami kebinasaan di dunia, bahkan akan menghancurkan system perekonomian rumah tangga.234 Nabi Saw mengatakan: sesungguhnya Allah SWT membenci pada dirimu “qi>la wa qa>la” (banyak berdebat), banyak bertanya dan membuang-buang harta”.235 Seorang pakar Fiqh, Ibnu Qayyim juga pernah mengatakan bahwa apabila seseorang melihat orang-orang jahat dan fasiq bermain catur (shat}ranji) hendaklah seseorang mencegah mereka karena mereka tidak memahami dan mengalihkan mereka kepada permainan-permainan
232
Qs. al-Māidah [6]: 90-91. Qs. al-Humazah [104]: 1-4. 234 Di dalam sosio-kultural masyarakat juga berkembang pemahaman bahwa harta yang diperoleh secara haram, sering diistilahkan dengan “harta Qarun”. Al-Quran mencotohkan praktek pengumpulan harta secara illegal (haram) pada kisah Qa>ru>n pada masa Musa AS. Qa>ru>n bersama dengan hartanya ditenggelamkan Allah ke dalam perut bumi. Lihat Qs. al-Qas}aș: 76-78. 235 Al-Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Kairo: al-Fath li ‘ila>m al-‘Arabi>, 1365 H), 7. 233
111
yang disukai Allah SWT seperti latihan menembak (rima>yah), perlombaan, pacuan kuda (siba>q), dan yang serupa itu.236 Berdasarkan nas}s} (teks) di atas—meskipun Fiqh Islam tidak menetapkan hukuman tertentu bagi pelaku maisir—alangkah bagusnya bagi pelaku dikenakan hukuman agar ia tidak mengulangi lagi perbuatannya dan menakutkan orang lain dari mmengikuti seperti yang orang tersebut lakukan. 3. Eksekusi Tindak Pidana Judi di Aceh Dengan berkembangnya dimensi usaha masyarakat dalam berbagi bentuk dewasa ini, mengakibatkan masyarakat tertentu memilih dan mencari cara yang paling mudah dalam mencapai kekayaan. Selain sebagai suatu usaha, oknum tertentu dari masyarakat Aceh juga kerap melakukan perjudian karena pengaruh keterbatasan ekonomi dalam membuka usaha yang legal, bahkan juga kerap adanya pengaruh lingkungan/ajakan kawan. Namun Wilayatul Hisbah sebagaimana tugasnya yang diatur Qanun tetap menangkap pelaku perjudian, agar diberikan hukuman. Tugas seperti ini tidak terlepas dari anjuran yang terkandung dalam Fiqh juga, sebagimana ditulis Abbas Ah}mad Muh}ammad al-Ba>z dalam kitab Fiqh. 237 Beberapa contoh kasus penegakan uqubat yang terjadi di Aceh dapat ditelaah dalam pengamatan nyata dan pemberitaan media massa. Cantoh kasus antara lain, pertama terjadi di Kuala Simpang, dan yang kedua di Pidie Jaya. Yang pertama, terjadi penghukuman di Aceh Tamiang terhadap tujuh terdakwa kasus perjudian (maisir) dengan menggunakan kartu leng dan dua agen toto gelap (togel) di Aceh Tamiang. Pasca salat Jumat tanggal 23 September 2005, pelaku 236
Kamāl Muhammad ‘Īsā, Aqd}īyah wa Qud}āh fi Rih}āb al-Islām (Jeddah: Mat}ābi‘ Dār al-Bilād, 1987), 510. 237 ‘Abbas Ah}mad Muh}ammad al-Ba>z, Ah}ka>m al-Ma>l al-H}ara>m wa D}awa>bit}u al-Intifa>‘ wa al-Tas}arruf bihi fi> al-Fiqh al-Isla>mi> (al-Urdun: Da>r al-Nafa>’is, 1998), 62. Lihat juga Kamāl Muhammad ‘Īsā—dalam ’Aqd}īyah wa Qud}āh fi Rih{āb al-Islām, 510—yang mengutip h}adith Nabi Saw:
ﻓﺎﺻﺎﺑﺖ ﻳﺪﻩ،ﻗﺎﻟﻪ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﺼﺎﺣﺐ ﺍﻟﺼﱪﺓ ﺣﲔ ﺍﺩﺧﻞ ﻳﺪﻩ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﻏﺶ ﻓﻠﻴﺲ: ﰒ ﺣﻨﻒ ﻭﻭﻋﻆ. ﻫﻼ ﺟﻌﻠﺘﻪ ﻓﻮﻕ ﺍﻟﻄﻌﺎﻡ ﻟﲑﺍﻩ ﺍﻟﻨﺎﺱ:ﰒ ﻭﻋﻆ، ﻓﻌﺮﻑ ﺑﺎﳌﻨﻜﺮ،ﺑﻠﻼ .ﻣﲎ
112
dicambuk di depan halaman Masjid Nur Hasanah Karang Baru, Aceh Tamiang. Para penjudi itu dihukum cambuk rotan sebanyak enam kali, dan dua penjudi togel di antaranya dicambuk tujuh kali. Sembilan orang terkait kasus maisir itu sebelumnya dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) masing-masing 12 kali cambuk atau sebesar Rp 35 juta perorang. Namun hakim Mahkamah Syar‘iyah (MS) Kuala Simpang yang menyidang kasus tersebut memvonis para terdakwa dengan hukuman tujuh kali dicambuk untuk pemain togel dan enam kali dicambuk untuk pemain kartu yang di wilayah itu dikenal sebagai “permainan kartu leng.” Dikatakan media massa, para terdakwa di depan majelis Mahkamah Syariyah Kuala Simpang mengakui kesalahannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Ketujuh penjudi yang dicambuk enam kali masing-masing MN, SY, AS, AD, WN, IS dan DI. Sedangkan yang dicambuk tujuh kali adalah Y dan BH. Kedua, terjadi di kabupaten Pidie Jaya Prov. Aceh. Bahwa Kepala seksi penegakan syariat Islam Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Wilayatul Hisbah (WH) Aceh, Samsuddin, mengatakan lima terpidana menjalani hukuman cambuk di halaman Mesjid Pante Geulima, Meureudu, kabupaten Pidie Jaya Provinsi Aceh.238 Di antara lima terpidana itu terdapat tiga terpidana perjudian (maisir) berinisial ZY (umur 40 tahun), dikenakan hukuman cambuk delapan kali cambukan, seorang lagi berinisial IT (umur 37 tahun) dan NS (40) dicambuk tujuh kali. Ketiga warga asal Pidie Jaya itu, sebelumnya divonis Majelis Hakim Mahkamah Syar‘iah Pidie Jaya, secara sah dan meyakinkan melanggar qanun No. 13 Tahun 2003 tentang maisir.239 Selain dua kasus tersebut, media massa kerap menampilkan gambar terhukum seperti gamabar 3. 2.
238
Yu/md, “Lagi penjudi dicambuk,” Serambi Indonesia, 1, 29 Oktober 2010 dalam http://aceh.tribunnews.com/news/view/41804/lagi-penjudi-dicambuk. Lihat juga http//www.serambinews.com.news_item.asp,judiachtgh.htm. (diakses 25 Desember 2010). 239 Satroy Bangun , “5 Terpidana dicambuk” Waspada, 07 Agustus 2010, 1.
113
Gambar 3.2: Gambar 3.2 menunjukkan seorang algojo sedang mengeksekusi cambuk seorang penjudi/petogel di Langsa. Pencambukan dilakukan sebanyak enam kali yang digelar di Lapangan Merdeka Langsa pada 6 Juni 2011 yang digelar oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Langsa.240
Sejumlah kasus tindak pidana judi tersebut merupakan sampel kasus yang terjadi pada tahun 2010-2011. Menurut data penelitian Syamsuhadi Irsyad bahwa tahun 2007 Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota se-Provinsi Aceh telah menerima kasus judi sebanyak 18 kasus dan memutuskan 13 kasus. Sedangkan yang mengajukan banding pada tahun itu juga sebanyak 7 kasus dan memutuskan 7 kasus juga. Pada tahun 2008 kasus yang sama diterima Mahkamah sebanyak 38 kasus dan diputuskan sebanyak 38 kasus juga. Sedangkan yang mengajukan banding yang diterima 2 kasus dan diputuskan 2 kasus juga.241 Mengingat penghukuman Qanun judi berbentuk ta‘zi>r, yakni hukuman yang dijatuhkan uli al-amr (pemerintah), dapat dikatakan telah memiliki landasan fiqhiyah yang mu‘tabar (formal) untuk diterapkan menjadi suatu hukum pidana di dalam Islam yang diperuntukkan bagi ummat Islam warga Aceh, atau pihak yang terkait lainnya.242 Dengan diundangkannya Qanun tentang maisir ini setiap tahun ada terjadi pelangaran hukum jinayat yang dihukum, dengan harapan bahwa praktek jinayat semakin lama semakin berkurang dalam kalangan masyarakat. C. Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003. 240
“Hukum Cambuk: Kejari Langsa Eksekusi Terpidana Kasus Togel”, 11 Juni 2011 dalam http://wartapedia.com/nasional/hukum-dan-kriminal/3766-hukum-cambukkejari-langsa-eksekusi-terpidana-kasus-togel.html, diakses 1 Juli 2011. 241 Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar‘i>yah dalam System Peradilan Nasional , 45 242 Rusjdi Ali Muhammad & Swa, “Melanggar Syariat, Non-Muslim Boleh Pilih Hukuman”, Serambi Indonesia, 21 Juni 2011, 2.
114
1.
Uqubat Khalwat Menurut Qanun Uqubat khalwat yang ditetapkan Qanun No. 14 Tahun 2003 merupakan hasil keputusan majlis hakim di Mahkamah Syariyah, berdasarkan hukum perundang-undangan yang berlaku yang berupa Qanun. Table 3.5 menunjukkan bahwa hukuman untuk pelaku khalwat ditetapkan bersifat alternative antara cambuk dengan denda. Hukuman cambuk paling sedikit adalah tiga kali dan paling banyak sembilan kali, sedang hukuman denda paling sedikit Rp. 2.500.000,- dan paling banyak Rp. 10.000.000,-. Untuk pemberi fasilitas dan pelindung perbuatan khalwat juga disediakan hukuman alternative antara penjara dengan denda. Hukuman penjara ditetapkan antara dua sampai enam bulan, sedang denda ditetapkan antara Rp 2.500.000,- sampai Rp. 10.000.000,-. Tabel 3.5: Jenis Hukuman dalam Qanun No. 14 Tahun 2003
No.
Khlawat (Mesum)
Pelaku
1
Pelaku mesum
Orang
2
Penyedia fasilitas, penyelenggara, pelindung, atau pemberi izin khalwat
Orang, badan hukum, atau aparat pemerintah
Cambuk 3 – 9 kali
-
Kurungan
Denda
-
2,5 – 10 juta
2 – 6 bulan
5 – 15 juta
Tabel di atas mengandung ketentuan Pasal 22 Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat menunjukkan bahwa Qanun menetapkan ketentuan hukuman baik kepada pelaku maupun orang/badan yang memfasilitasi terlaksananya praktek khalwat. a. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penyelengggaraan hukuman merupakan upaya hukum yang digalakkan dalam pengeksekusian tindak pidana. Hal ini sebagimana dikatakan di dalam Pasal 27 bahwa: (1) Pelaksanaan ‘uqūbāt dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Penundaan pelaksanaan ‘uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan
115
penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.243Sebelum tiba jadwal, sosialisasi pengeksekusian hukuman secara langsung dilakukan untuk menjadi pelajaran bagi publik. Sosialisasi ini sekurang-kurangnya, dilakukan melalui pengumuman loud speaker di wilayah kemesjidan, tempat terhukum dieksekusi. Berdasarkan penegasan Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006, maka yang menjadi tolok ukur pemberlakuan syariat adalah Qanun (Jinayat) yang masih diberlakukan adalah tiga qanun menyangkut dengan Jinayat termasuk Qanun No. 14 ini. Maka sejak diberlakukan, Qanun tersebut berjalan secara implementatif di Aceh, mekipun qanun itu belum mengikuti keseluruhan ketentuan Fiqh. Pelaku khalwat kadang kala terjermus ke dalam praktek zina (muh}san dan gairu muh}san), masih juga dihukum dengan hukuman khalwat dengan 3-9 kali dera oleh Mahkamah Syariyah, atau diserahkan ke Pengadilan Umum untuk ditangani KUHAP (hukum nasional RI). Penanganan demikian merupakan suatu pengaturan kewenangan pada system peradilan Indonesia menyangkut dengan letak penerapannya antara mana konsep Qanun yang merujuk kepada konsep Fiqh dan mana yang merujuk kepada Hukum Nasinal (KUHP) pada pengadilan Umum. Hal ini disebabkan bahwa dalam proses penangkapan pelaku khalwat, ada kalanya terdapat pelaku khalwat yang belum tentu adanya perzinaan. Namun praktek zina biasanya sudah pasti dilakukan secara berkhalwat. Menurut Fiqh Islam khalwat tanpa zina (hubungan seksual) tidak dikenakan h}add (hukuman tertentu yang ditetapkan nas}). Sementara khalwat bila telah masuk ke dalam katagori zina maka sebenarnya hukuman tidak disamakan dengan hukuman khalwat 3-9 kali dera, karena Fiqh menetapkan h}add bagi pelakunya. Numun karena ketentuan dera (cambuk) 100 kali bagi zina gairu muh}sa} n, dan rajam bagi penzina yang telah kawin belum diqanunkan, maka hukuman sering dijatuhkan seperti halnya tindak pidana khalwat yang ada dalam qanun atau merujuk ke Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).244 243
Dikatakan dalam Pasal 1 huruf (o) Qanun No. 14 Tahun 2003, Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberitugas dan wewenang menjalankan tugas khusus di bidang Syari’at Islam. Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 huruf (o). 244 “ Sharia Poice Arrasted for Rape”, The Jakarta Post, January 16, 2010, 1.Lihat juga Wahyu Hidayat, “WH Amankan Pasangan Mesum, “ Waspada, 02 Augustus 2010 , 8.
116
Berdasarkan ketentuan-ketentuan jinayat menurut Qanun, maka jelas terlihat adanya penafsiran yang luas dan berbeda dalam penjatuhan ‘uqu>ba>t (hukuman) ta‘zi>r bagi pelaku khalwat. Kadang kala Mahkamah Syariyah/hakim menjatuhkan hukuman yang tidak tercatum di dalam nașs} (al-Quran atau al-Hadith), bahkan tidak terdapat dalam fiqh Islam yang mu‘tabar/yang dapat dijadikan rujukan. Kosekuensi kejahatan yang berhubungan dengan h}add menurut Fiqh adalah tidak memaafkan hukuman bagi pelaku kesalahan yang berupa pelanggaran terhadap hak Allah, tanpa alasan tertentu/ketentuan tertentu yang digariskan shara‘. Al-Quran menyatakan bahwa penegakan Hukum Allah bertujuan menjunjung Agama Allah (ra’fah fi di>n Allah). 245 Memang Qanun Jinayat Aceh tahun 2003 ini mengamalkan fiqh dalam konteks otonomi dan dalam legalisasi Negara bangsa, bukan mengamalkan fiqh secara total sebaimana diamalkan Negaranegara Islam di dunia. Realita ini merupakan konsekwensi dari ideologi Negara Pancasila, bukan berideologi Islam. Namun peluang menjalankan Hukum Islam tidak terhalang sama sekali, karena hukum Perundang-undangan RI telah memberikan celah-celah untuk pengamalan hukum Islam, sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan (2), dengan sejumlah hukum perundang undangan lainnya.246 Sehubungan dengan pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia, Ahmad Azhar Basyir mengatakan bahwa (memang) hukuman ini 245
Lihat Qs. al-Nu>r [25]: 2 yang artinya: “Janganlah karena kasihan terhadap keduanya (penzina laki-laki dan perempuan) itu mencegah kalian dari menegakkan (h}add yang ditetapkan) , karena (penenegakan hukuman) itu untuk menjunjung (perintah) agama Allah, jika kalian beriman kepada Allah dan hari Akhir, dan hendaklah pengeksekusian itu disaksikan segolongan dari orang-orang yang beriman.” 246 Urutan Hukum perundang-undangan RI adalah: a. UUD 1945; b. TAP MPR; c. UU; d. PP; dan Peraturan Daereh. Maka UU yang menyangkut dengan Aceh seperti: UU 44 Tahun 1999, UU 18 Tahun 2001, dan UU 11 Tahun 2006 berada di bawah UUD dan TAP MPR dan tidak boleh melampaui keduanya. Namun sesuai dengan kekhususan yang disahkan untuk Aceh, kedudukan Qanun menjadi setingkat dengan Peraturan Pemerintah (PP), bukan setingkat Peraturan Daerah (Perda). Lihat Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa, 34-38.
117
akan membebaskan pelaku kejahatan dari azab Allah di hari kiamat. Dapat dimengerti, hukuman h}udu>d adalah perkara kontroversial di Indonesia, sejak dulu penetapan hukuman bagi penjahat adalah hukum sekuler, bukan hukum Islam. Lebih jauh, bahkan dalan Islam otoritas untuk menegakkan hukum rajam sebagai suatu hukuman yang berlaku di pemerintahan, dalam kondisi Indonesia tidak akan memungkinkan hal itu. Sesungguhnya satu di antara persoalan utama adalah dengan menerapkan hukuman h}udu>d akan mengakibatkan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang tidak dapat dielakkan. Hal tersebut menunjukkan adanya pemahaman yang beragam tentang makna syariat Islam di kalangan umat Islam itu sendiri. Semua muslim mengakui bahwa syariah adalah hukum Tuhan (God’s law), tetapi mereka berbeda cara memahaminya, baik secara umum maupun secara terperinci (in detail).247 Modernists, traditionalists dan fundamentalists memiliki pemahaman yang berbeda mengenai Sharia, seiring dengan berbedanya pemikiran madhhab yang diikuti di kalangan sarjana-sarjana muslim. Berbeda negara, berbeda wilayah, berbeda budaya maka berbeda pula dalam memahami shariah, meskipun semua muslim percaya bahwa syariat adalah bersumber dari al-Quran dan al-sunnah Nabi Saw. b. Teknik Pelaksanaan Pada lembaran lampiran dari penelitian ini dapat dilihat gambar seorang pelaku khalwat dieksekuasi di hadapan khalayak ramai. Gambar itu memperlihatkan seorang alqojo sedang menjatuhkan cambukannya ke atas punggung orang yang terhukum. Algojo biasanya direkrut dari personel Wilayatul Hisbah (WH) yang sering dikenal sebagai polisi syariat. Algojo ini mengayunkan cambukannya setiap kali mendengarkan suara (aba-aba) dari jaksa yang ditugaskan, bukan melakukan menurut keinginannya semata-mata. Pencambukan itu juga dilakukan setelah surat putusan hakim dibacakan di panggung pencambukan itu. Pelaksanaan hukuman ini sebagaimana ketentuan Bab VII memuat Ketentuan ‘Uqūbāt (Mesum). Di dalam Pasal 22 Bab tersebut dikatakan: (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana 247
Wah}bah al-Zuh}aili>, al-Fiqh al- Isla>mi> wa Adillatuhu , Juz I (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1984), 17.
118
dimaksud dalam Pasal 4, diancam dengan ‘uqūbāt ta’zi>r berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). Selain itu bagi pelaku yang tidak terlibat langsung dalam praktek khalwat, di dalam ayat (2) dikatakan, setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diancam dengan ‘uqu>ba>t ta’zi>r berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,(limabelas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,-(lima juta rupiah). Kesalahan pelaku yang mengakibatkan penghukuman seperti ini adalah berupa penyediaan fasilitas dan perlindungan bagi terlaksananya praktek khalwat dalam masyarakat. Selanjutnya dalam Ayat (3) dikatakan, “Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 adalah jarimah ta‘zi>r”. Selain Pasal 22 yang menetapkan jumlah cambukan/danda bagi pelaku khalwat, Pasal 23 juga menyatakan: “Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2) merupakan peneriman Daerah dan disetor langsung ke Kas Baital Mal.” Ketentuan hukuman menurut pasal-pasal (provisions) tersebut adalah menurut hukuman ta’zi>r menurut tingkat kesalahan dalam kategori khalwat.248 Penggunaan dana akibat pendendaan ini nampaknya Qanun tidak memaparkan secara rinci dan jelas, karena Baitul Mal merupakan suatu Lembaga Keuangan Daerah yang membantu berbagai kepentingan Umat. Pengaturan ini dikhawatirkan terjadinya legalitas perpajakan sebagai kata lain dari denda. Sedangkan bila dijelaskan secara rinci bagi proses penegakan hukum, misalnya, maka, berat kemungkinan, akan membawa dampak positif dari hukuman pendendaan. Memang hukum Islam membolehkan hukuman ta’zi>r dalam bentuk denda. Namun keefektifan penghukuman seperti ini sangat tergantung kepada penguasa/hakim. 249 Penambahan hukuman tetap berlaku bagi pelaku tindak pidana. Di dalam Pasal 24 dikatakan: “Pengulangan pelanggaran terhadap
248
Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 22-23. Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 22 Ayat (1) sampai (3). Lihat juga Anwarullah, The Crime Law of Islam (Kuala Lumpur: Pustaka Hayati, 1997), 242. 249
119
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, ‘uqūbāt-nya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal”. 250 Fasilitator tindak pidana khalwat juga dikenakan hukuman. Di dalam Pasal 25 dikatakan, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6: a. apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqūbāt-nya dijatuhkan kepada penanggung jawab. b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (1) dan (2) dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan.251 Dari keseluruhan pasal-pasal (22-25) yang menyangkut dengan khalwat memang sangat riskan terhadap kefektifan jalannya hukum Islam di Aceh. Bahkan pelaksanaan Qanun khalwat agak berbeda jauh dari kaca mata Fiqh. Penghukuman ta‘zi>r dalam perkara khalwat ini lebih menitik beratkan pada faktor ta‘aqquli (ijtiha>di>) dibandingkan ta‘abbudi (as}li>). Dalam perkara khalwat ini pihak penyusun qanun nampaknya belum mencantumkan ketentuan Fiqh yang sebenarnya, yang menyangkut dengan kategori-kategori kesalahan dan penghukuman. Berat kemungkinan h{add zina belum mampu ditegakkan di tengah percaturan hukum Islam pada era Qanun tersebut disahkan.252 c. Izin Imam untuk Pelaksanaan Bab VIII memuat tentang pelaksanaan ‘uqūbāt (mesum), di dalam Pasal 26 dikatakan: (1) ‘Uqūbāt cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum; dan (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang hukum formil.253Pemerintah juga melibatkan Dokter dalam proses eksekusi terhukum dalam rangka memantau kondisi terhukum, karena hukuman dilakukan menyangkut fisik (coporal punishment). Pasal 29 menyatakan bahwa apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang 250
Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 24. Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 25. 252 Muhammad Akram Laldin, Introduction to Shariah and Islamic Yurisprudence (Kuala Lumpur; CERT Publication, 2006), 101. 253 Pasal 1 huruf (o) Qanun No. 14 Tahun 2003 menyatakan: “Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi tugas dan wewenang khusus untuk melaksanakan penuntutan di bidang syari’at dan melaksanakan penetapan putusan hakim mahkamah’’. 251
120
membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan.254 Pihak yang terlibat di dalam praktek khalwat juga ada kemungkinan dilakukan hukuman kurungan. Pasal 30 menyatakan bahwa pelaksanaan ‘uqūbāt kurungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 Ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.255 2.
Khalwat Menurut Fiqh Fiqh Islam tidak membicarakan tentang hukuman tertentu yang dijatuhkan kepada pelaku khalwat, namun dalam rangka menghindari pencampuran laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim di tempat yang sepi—yang dikhawatirkan akan terjadinya perzinaan—al-Qur’a>n telah menyatakan perlunya h}ija>b (pembatas) antara laki-laki dan perempuan baik di tempat yang sepi maupun di tempat-tempat umum. Al-Quran mengungkapkan rambu-rambu (petunjuk-petunjuk) yang terkait dengan hal tersebut yakni berupa: Larangan menampakkan perhiasan (Qs. al-Sajadah [33]:33); Anjuran memakai kerudung (Qs. 33:59); Anjuran menjaga pandangan (Qs. 30:31); Suruhan meminta izin masuk ke kamar orang lain (Qs. al-Mu’minu>n [24]: 58); dan Larangan berbicara berhadap-hadapan antar laki-laki dan perempuan (Qs. alSajadah [33]: 53). Menyangkut dengan dampak apa yang ditimbulkan oleh perintah dan larangan bagi seorang muslim/muslimah terhadap lawan jenisnya telah diberitahukan di dalam kitab fiqh, sehingga umat Islam menjaga dan mentaati batas-batas hubungan antara seorang lakilaki dan perempuan.256 Dalam menjaga etika Islami tersebut, dalil (nas}s)} yang berupa ayatayat al-Quran dan al-H}adith banyak membahas tentang pelarangan khalwat dan pendekatan zina. Ada dua H}adith Nabi Saw yang terkutip di dalam studi ini yang khusus menyinggung tentang khalwat: Pertama, al-H}adith yang diriwayakan Ibn ‘Abba>s:
254
Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 29. Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 30. 256 Muhammad Iqbal Siddiqi, The Penal Law of Islam (New Delhi: International Islamic Publishers, 1994), 17-20. 255
121
ﻓﻌﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻰ ﺍﷲ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﺍﻥ ﺭ ﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ( ﻻ ﳜﻠﻮﻥ ﺭﺟﻞ ﺑﺎﻣﺮﺃﺓ ﺍﻻ ﻣﻊ ﺫﻯ ﳏﺮﻡ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭىﻮ ﻣﺴﻠﻢ:ﻗﺎﻝ “Dari
Ibnu Abbas ra. Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: Hendaklah seorang laki-laki tidak mengasingkan diri di tempat yang sepi bersama dengan seorang perempuan kecuali ada muhrimnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kedua, al-H}adith yang diriwayakan ‘Uqbah bin ‘A<mir:
ﺍﻳﺎﻛﻢ:ﻭ ﻋﻦ ﻋﻘﺒﺔ ﺑﻦ ﻋﺎ ﻣﺮ ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﷲ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻭﺍﻟﺪﺧﻮﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﻓﻘﺎﻝ ﺭﺟﻞ ﻣﻦ ﺍﻷﻧﺼﺎ ﺭ ﺃﻓﺮﺃﻳﺖ ﺍﳊﻤﻮ؟ ﻗﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻪ 257 (ﻭﺳﻠﻢ ﺍﳊﻤﻮ ﺍﳌﻮﺕ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭىﻮ ﻣﺴﻠﻢ “Dari ‘Uqbah bin A>mir bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: Jauhilah olehmu dari memasuki (kamar) perempuan. Lalu seorang lakilaki dari golongan Ans}a>r bertanya: bagaimana jika saudara laki-laki suami? Rasulullah Saw menjawab: Saudara laki-laki suami mematikan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Praktek khalwat kerab dikategorikan ke dalam perkara yang mendekati zina yang sebenarnya.258 Allah SWT dalam al-Quran mengatakan: (٣٢ :[١٧]
ﻭ ﻻ ﺗﻘﺮﺑﻮﺍ ﺍﻟﺰﱏ ﺍﻧﻪ ﻛﺎﻧﺖ ﻓﺎﺣﺸﺔ ﻭ ﺳﺎﺀ ﺳﺒﻴﻼ )ﺍﻟﻼﺳﺮﺍﺀ
“Janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan keji dan seburuk-buruk cara.” (al-Isra>` [17]: 32) 257
Muhammad al-Lut}fi al-S{ibāgh, Tah}rīm al-Khulwah bi al-Mar’ah alAjnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir (Riyad}: Idārāt al-Buh}u>th al-‘Ilmīyah wa al-Iftā’ wa al-Da‘wah wa al-Irshād, 1411 H), 123. 258 Muhammad al-Lut}fi> al-Siba>g, Tahri>m al-Khalwah bi al-Mar’ah alAjnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir , 22.
122
3.
Eksekusi Pelaku Khalwat di Aceh Wilayatul Hisbah kerap ditunjuk hakim sebagai algojo di dalam penghukuman ta’zir bagi pelanggar Qanun khalwat. Sebagaimana tugas Wilayutul Hisbah secara historis dan praktis (fiqhi>yah),259 Wilayatul Hisbah dalam Qanun ditugaskan untuk melakukan penyelidikan, jika menemukan pelaku khalwat di dalam masyarakat, melaporkan kepada penyidik untuk ditindak lanjuti. Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan bila hasil laporannya tidak ditindak lanjuti. Hasil penyidikan tim penyidik kadang kala tersangka dilepaskan jika tidak bersalah, atau ditahan bila terlibat praktek khalwat untuk menerima proses perkara lebih lanjut. Bila seseorang ternyata terlibat dalam pelanggaran Qanun maka hakim akan mengambil keputusan penghukuman yang dikenal dengan nama uqubat. Di beritakan Media Massa, Wakil Komandan Operasi WH Aceh Safruddin mengatakan bahwa Wilayatul Hisbah (polisi syariat/WH) Provinsi Aceh mengamankan sepasang insan berlainan jenis karena diduga berbuat mesum dan melanggar qanun syariat Islam. Kedua pelaku itu diamankan untuk menghindari amukan warga, karena yang menangkap mereka adalah warga masyarakat. Pasangan berinisial MY (umur 51 tahun) dan Mai (umur 31 tahun) ditangkap warga saat berduaan di sebuah gubuk persawahan Gampong (desa) Lam Lubuk, Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten Aceh besar. Setelah ditangkap diserahkan ke polsek Ingin Jaya untuk menghindari amukan massa, kemudian mereka (warga) menghubungi Satuan Polisi Pamongpraja (PP) dan WH Aceh untuk menyerahkan kedua tersangka. Dikatakan, dalam pemeriksaan kedua tersangka mengakui perbuatannya. Mai, tersangka perempuan, kata Safruddin, mengaku melakukan hubungan itu atas perintah mantan suaminya berinisial S. (Sebenarnya) Mai dan S telah bercerai, namun S kemudian menyuruh bekas isterinya itu berhubungan dengan MY. S percaya kalau mantan isterinya itu sudah berhubungan dengan lelaki lain, dia bisa 259
Iin Solikhin, “”Wilayah Hisbah dalam Tinjauan Historis Pemerintahan Islam,” Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol 3 No 1 Jan-Jun 2005, 1. Lihat juga Kamāl Muhammad `Īsā, Aqd}īyah wa Qud}āh fi Rih{āb al-Islām, 510. Lihat juga
Sulaiman Abdurrahman Al-Hageel, Human Rights in Islam and Refutation of Miscoseived Allegations Assosiated with These Rights, 56.
123
kembali sebagai suami Mai Gambar 3.3 menunjukkan seorang sedang mengeksekusi yang sah. Petugas WH algojo mencari S untuk meminta cambuk seorang pelaku khalwat di Pidie Jaya. Pencambukan keterangan atas tuduhan itu. Menurut Safruddin, dilangsungkan di halaman Mesjid Chik di tanggal 6 Agustus kedua insan berlainan jenis itu Tgk 261 melanggar Qanun No. 14 2010. Tahun 2003 tentang khalwat/mesum dan terancam dikenai hukuman cambuk. “Namun kita masih membuka peluang agar kadua insan ini diselesaikan secara pembinaan,” ujar dia. Pasca ditangkap bermesum, pasangan non muhrim memilih tinggal di Kantor Satpol PP dan WH karena takut kembali ke kampungnya. 260 Selain itu media massa juga kerap menampilkan gambar pelaku khalwat yang dieksekusi seperti terlihat pada gambar 3.3. Gambar 3.3:
Sejumlah kasus tindak pidana khalwat tersebut, merupakan contoh-contoh kasus yang terjadi pada tahun 2010. Syamsuhadi Irsyad mencatat bahwa pada tahun 2007 Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota se-Prov. Aceh telah menerima kasus khalwat sebanyak 27 kasus dan memutuskan 20 kasus. Sedangkan yang mengajukan banding pada tahun itu juga sebanyak 2 kasus dan memutuskan 2 kasus juga. Pada tahun 260
Wahyu Hidayat, “WH Amankan Pasangan Mesum, “ Waspada, 02 Augustus 2010 , 8. 261 Http://www.aceh.tribune.com/news/view/36721/pijay-cambuk-limapelanggar-syariat, diakses tanggal 7 Agustus 2010).
124
2008 kasus yang sama diterima sebanyak 9 kasus dan diputuskan sebanyak 9 kasus juga. Sedangkan yang mengajukan banding nihil (tidak ada).262 Keseluruhan data terkait dengn kasus jinayat Aceh di dalam dua tahun itu diperlihatkan di dalam tabel 3.6 dan 3.7. Tabel 3.6: Perkara [Jinayat] di Mahkamah Syariyah Kabupaten/ Kota se-Provinsi NAD Tahun 2007 dan Tahun 2008 yang Menyangkut dengan Jenis Perkara dan Jumlah Perkara. No.
Jenis perkara
Tahun 2007 Diterima
a. b. c
Khamar/Min. Keras
13 18 27 58
Maisir/Perjudian Khalwat Jumlah
Tahun 2008
Diputuskan [14] 13 13 20 47
Diterima 8 38 9 55
Diputuskan 8 38 9 55
Keterangan: Selama tahun 2007 perkara jinayah Mahkamah Syariyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diterima sebanyak 58 perkara. Sedangkan kasus dapat diputuskan cuma 47 perkara. Sementara tahun 2008 sebanyak 55 kasus, dan dapat diputuskan semuanya. Tabel 3.7: Perkara Banding [Jinayat] Mahkamah Syariyah Provinsi NAD Tahun 2007 dan Tahun 2008. No.
Jenis perkara
Tahun 2007 Diterima
a. b. c
Khamar/Min. Keras Maisir/Perjudian Khalwat Jumlah
2 7 2 11
Diputuskan 2 7 2 11
Tahun 2008 Diterima 2 2
Diputuskan 2 2
Keterangan:
262
Syamsuhadi Nasional, 45.s
Irsyad,
Mahkamah Syar‘i>yah dalam System Peradilan
125 Selama tahun 2007 perkara banding jinayah Mahkamah Syariyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diterima sebanyak 11 perkara. Semua kasus tersebut dapat diputuskan pada tahun itu juga. Demikian juga yang terjadi pada tahun 2008.263
Keseluruhan data sampel kasus (termasuk yang dicatat Syamsuhadi), baik hukuman h}add maupun hukuman ta‘zi>r ` (bagi pelaku pelanggaran jinayah) yang telah diatur oleh Qanun-qanun tersebut, dikukuhkan lagi di dalam Bab Peralihan UU No. 11 Tahun 2006. Di dalam UU ini dikatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Aceh (yang berupa Qanun-qanun) dianggap sah untuk diberlakukan, kecuali peraturan-perundang-undangan yang jelas dihapus oleh UU (yang baru) tersebut. Selain itu, upaya-upaya untuk penyempurnaan qanun-qanun tersebut terus ditingkatkan, seperti penyusunan rancangan Kompilasi Hukum Jinayat (KHJ) pada tahun 2008.264 Hukum perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia juga tidak melakukan pembatalan.265 Khusus menyangkut dengan pelanggaran Qanun No. 14 Tahun 2003, tabel 3.8 menunjukkan bahwa keempat madhhab Fiqh sunni menganggap sesuai dengan Fiqh bila sesorang yang melakukan khalwat dihukum dengan ta‘zi>r cambuk sebanyak 3-9 kali, atau menanggung denda 2,5-10 juta.266 Pihak yang ikut serta di dalam membantu terselenggaranya praktek khalwat seperti menyediakan fasilitas, melindungi, mempromosikan dan lain-lain dikenakan hukuman ta‘zi>r antara denda dan penjara. Karena menurut Fiqh hukuman cambuk, denda, dan penjara termasuk ke dalam hukuman yang dapat diterapkan pemerintah (uli al-amr). Dalam hal ini Qanun merupakan aturan yang diterapkan pemerintah (Aceh-Indonesia).267 263
Syamsuhadi Irsyad, Mahkamah Syar‘iyah dalam System Peradilan Nasional, 45. 264 Alyasa‘Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh: Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa, 106-168. 265
Bab XL Pasal 269 Ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006 menyatakan: Peraturan perundang-undangan yang ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. 266 ‘Abdu al-Qadir ‘U<>dah, al-Tashrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī Muqāranan bi alQānūn al-Wad}’ī, 154. 267 Lihat ‘Abd al-Rah}man - al Jazi>ri>, al-Fiqh ‘ala> al- Madha>hib al-Arba‘ah , Jilid 5, 307-309
126 Table 3.8: Hukum Jarimah Mesum dalam Perspektif Fiqh: Hukuman dan Kesesuaiannya dengan HAM
3
Pelindung
4
Promotor
5
Pemberi Izin
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ta‘zi>r
Ta‘zi>r
Kurungan
Denda
3-9 kali
-
-
3 bulan1 tahun Sda Sda
-
Sda
2,5 – 10 juta 5 – 15 juta
Shafiiyah
Ss
Ta‘zi>r
Cambuk
Malikiyah
Mazhab Lainnya
2
Perspektif HAM Hanabilah
1
Hukuman Hanafiayah
No
Pelaku tindak tindak pidana/jarimah Pelaku mesum Penyedia fasilitas
Catatan: Bentuk jarimah: melakukan khalwat/mesum, menyediakan fasilitas, dan melindungi
127
BAB
4
PELAKSANAAN HUKUM JINAYAT DI ACEH DALAM PERSPEKTIF HAM
A.
Pelaksanaan Qanun No. 12 Tahun 2003 1. Qanun dan Hukum Perundang-undangan RI lainnya Telah dikatakan sebelumnya, Qanun (bylaw) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang dapat mengenyampingkan peraturan perundangundangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaat lex generalis. Mahkamah Agung Republik Indonesia memiliki wewenang untuk melakukan uji materiil terhadap Qanun Aceh. Dalam merealisasikan hak otonomi khusus sebagaimana dimaksudkan dalam UU No. 18 Tahun 2001, pemerintah Pusat berkewajiban memfasilitasi dan mengoptimalkan perannya dalam rangka percepatan pelaksanaan otonomi khusus yang diberikan kepada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 268 Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya secara substantif tidak memiliki perbedaaan dengan produk perundang-undangan lainnya. Pengaturan Qanun hanya menunjukkan adanya kekhususan yang disahkan untuk Aceh di kancah dunia hukum Indonesia. Namun Qanun tetap melandaskan/mempertimbangkan produk perundang-undangan lain dalam konsiderannya. Hal tersebut merupakan suatu logika hukum dan etika yuridis dalam penyusunan suatu hukum 268
UU No. 11 Tahun 2006 Bab XVII Pasal 125, 126, dan 127. Lihat juga Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6 Oktober 2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar‘iyah di Prov. NAD.
128
perundang-undangan. Qanun ini memuat ketentuan hukum bagi tindak pidana khamar menunurut hukum Islam. Gus Dur, mantan presiden RI yang keempat pernah menyarankan agar syariat Islam yang diatur dalam Qanun Aceh melandaskan al-Qura>n dan al-H{adi>th pada posisi utama dalam konsideran pembuatan Qanunnya, bukan UUD 1945. Pada tanggal 9 Desember 2009 Gus Dur—dalam pidatonya di Mesjid Raya Baiturrahman Banada Aceh—mendeklarasikan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Pada era presiden Megawati Sukarnoputri (2001-2004) juga di Aceh dibentuk polisi syariat (shari‘a police force) yang belum ada di provinsi lain di Indonesia.269 Konsideran Qanun menunjukkan bahwa secara materil mempertimbangkan produk perundang-undangan lainnya, terutama dalam konteks yang sama yakni mengatur perkara hukum yang menyangkut dengan pelarangan khamar dan penghukumannya. Keputusan dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 4 Tahun 1997, misalnya, telah membahas tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah. Dilihat dari sudut pendelegasian kewenangan penyusunan perundang-undangan, telah mengkonfirmasi bahwa qanun khamar tidak mengalami kontradiksi dengan undang-undang lainnya. Secara umum, materi muatan Qanun Khamar sama persis dengan konten Keppres No. 3 Tahun 1997. Perbedaan yang paling prinsipil terletak pada lingkup larangannya. Keppres tersebut menyebutkan bahwa memproduksi dan mengedarkan, sementara mengkonsumsi masih diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Namun Larangan mengkosumsi juga tidak berlaku di tempat-tempat khusus, seperti hotel, bar, dan lain sebagainya. Keppres hanya dengan tegas melarang memperjual belikan minuman beralkohol kepada siapa saja yang masih berusia di bawah dua puluh lima tahun. Keppres tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya tidak ada larangan meminum alkohol, sejauh mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan.270 Dikatakan di dalam Pasal 5 Keppres No. 3 Tahun 1997, dilarang mengedarkan dan/atau menjual minuman beralkohol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2) kepada yang belum berusia 25 (dua 269
Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah, 146. 270 Keppres No. 3 Tahun 1997.
129
puluh lima) tahun. Sementara qanun tidak demikian. Qanun Khamar, secara tegas melarang kepada siapa saja (subyek hukum qanun, terutama umat Islam yang berdomisili di Provinsi NAD) untuk meminum minuman beralkohol. Dua tipe hukum perundang-undangan RI ini menunjukkan adanya perbedaan antara mana yang melandaskan hukum syar‘i (ah}ka>m al-shari>ah) dan mana yang dilatar belakangi ah}ka>m alqawa>ni>n (hasil buatan aqal manusia semata).271 Realita menunjukkan, Qanun Khamar tidak hanya melarang mengkonsumsi, badan hukum atau badan usaha juga dilarang memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, dan mengedarkan. Hal ini disebabkan oleh bahwasanya Qanun lebih mendasarkan diri pada syariat Islam yang melarang khamar kepada siapa saja, tanpa pengecualian.272 2. Tujuan dan Uqubat (Punishment) Bab IV penelitian ini tidak lagi menguraikan conto-contoh kasus yang terkait dengan pelanggaran Qanun di Aceh secara rinci. Bahkan tentang ketentuan ‘uqu>ba>t (punishment) yang ditetapkan Qanun “tentang Jinayat” juga telah diuraikan di Bab III penelitian ini. Bab IV hanya menerangkan bagaimana perspektif HAM terhadap realita uqubat tersebut di atas. Di dalam Bab II telah diterangkan tentang pengaturan Qanun itu sendiri, baik dari sejarah perumusan sampai kepada rumusan Qanun itu sendiri.273 Memang aspek HAM meninjau bahwa praktek khamar dalam konsepsi Qanun, wacana yang mendukung Qanun dan yang kontradiktif 271
Abdu al-Qadir Umi> Muqārinan bi al- Qānūn al-Wad}’i>, 183. 272 Abdu al-Rah}man al-Jazi>ri>, Kita>b al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah, 7. 273
pasal 1 Qanun No. 12 Tahun 2003 mengimplikasikan bahwa khamar dan sejenisnya adalah minuman yang memabukkan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran dan daya pikir; yang dilarang mengkonsumsi, memproduksi, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, dan/atau mengubah bentuk menjadi minuman khamar dan sejenisnya; Juga dilarang mengedarkan, mengangkut, memasukkan, memperdagangkan, memasarkan, menyimpan, dan menimbun, dan cara-cara lain yang menyebabkan terjadinya praktek meminum khamar dalam masyrakat.
130
lebih menonjol pada aspek penghukuman (‘uqu>ba>t). Oleh karena itu yang perlu ditekankan dalam pembahasan ini adalah aspek uqubat (hukuman) yang ditimbulkan karena pelanggaran Qanun ini. Maka di samping membahas tentang perspektif HAM terhadap khamar dan ‘uqu>ba>t-nya, juga menyinggung tentang perundang-undangan lainnnya (selain Qanun) yang berlaku di Indonesia yang membahas tentang khamar, sehingga akan jelas bagaimana aplikasi qanun dalam tatanan hukum di Indonesia. Dengan demikian semakin menampakkan fenomena yuridis pelaksanaan Qanun Jinayat ini dalam menelaah sudut pandang konsep HAM, khususnya tentang khamar yang sedang dibahas sekarang ini. Penghukuman h}add yang diterapkan Qanun terhadap peminum khamar merupakan aplikasi suatu perintah/kewajiaban dalam Islam bagi penganutnya. Diakui M. H. Syed, seorang pakar HAM dalam Islam, bahwa khamar (alcohol) merupakan larangan yang tidak dapat dielakkan (undeniably). Masyarakat Islam tidak pernah menyetujui penggunaannnya.274 Senada dengan M. H. Syed, Qanun Aceh menetapkan penghukuman bagi peminum khamar. Penetapan ini agar memperoleh dua keuntungan, yaitu (1) pahala bila dapat disesuaikan dengan ketentuan di samping merupakan jalan bertaubat bagi orang muslim yang terlanjur meminum khamar;275 dan (2) agar masyarakat muslim dapat terhindar dari perilaku negative dalam kebiasaan sikap dalam meminum khamar dan akibat negative lain yang bakal ditimbulkan dari eksistensi substansi khamar di dalam raga dan jiwa seseorang muslim.276Walaupun demikian, sebagaimana diakui Joseph Schacht, bahwa hukuman h}add khamar tidak diterapkan tanpa bukti yang dapat 277 diterima. Telah disinggung pada Bab I penelitian ini bahwa tujuan pengqanunan hukum (jinayat) ini agar menimbukan perasaan takut terhadap hukuman bagi orang untuk mengkonsumsikannya baik hukuman di dunia—melalui penerapan Qanun ini—, maupun di akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada hari Akhir. Amir Muallimin, 274
M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective, 154. Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, S}ah}ih} Fiqh al-Sunnah, H}udu>d, Jināyāt dan Diyat, Jual Beli, 28. 276 Sulaiman Abdurrahman Al Hageel, Human Rights in Islam and Refutation of Misconseived Allegations Assosiated with These Rights,156. 277 Joseph Schacht, an Introduction to Islamic Law, 179. 275
131
yang pendapatnya didukung ketua Mahkamah Konstitusi RI (Mohd. Mahfud MD), dalam bukunya Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam menulis bahwa motif utama hukum ialah sensitif terhadap sanksi dan untuk menciptakan kepatuhan di kalangan masyarakat.278 3. Pandangan HAM Universal Hubungan Qanun dengan HAM, bila ditinjau dari substansi pelarangan dan penyelidikan pelaku, maka aspek HAM dan Qanun No. 12 Tahun 2003 tidak nampak adanya kontradiksi di antara keduanya. Hanya dari sudut pandang seseorang saja yang menunjukkan bahwa Qanun bertentangan dengan konsep HAM yang formal—yang dipedomani dunia, yakni yang berlaku bagi dunia (non-muslim dan muslim), terutama menyangkut dengan hak kebebasan individu dalam mengkonsumsikan minuman khamar. Namun dalam konteks global, dunia menganggap bahwa khamar (sebagai minuman yang mengandung alkohol merupakan minuman yang membahayakan bagi kesehatan fisik dan mental manusia), bahkan sangat berbahaya bila dikonsumsikan anakanak.279 Melihat pada sudut bahaya yang ditimbulkan khamar, dunia menyetujui tentang perlunya pengaturan dan pelarangan kminuman beralkohol pada kondisi dan situasi tertentu. Gorgia, misalnya, telah mengundangkan peraturan tentang zat (substance) yang memabukkkan. Dikatakan Sue Titus Reid, meskipun banyak negara menganggap sah (decriminalize) mabuk-mabukan di muka public, banyak orang yang masuk penjara karena kejahatan ini. Penyalah gunaan zat (alkohol atau obat-obatan lainnya) menjadi bahan diskusi dunia apakah itu merupakan penyakit atau kebebasan kehendak (free will).280
278
Amir Muallimin, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam (Jakarta: UII Press, 1999), 105. 279 Lihat Konvensi (HAM) tentang Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang telah diratifikasi dengan Kepres 36 Tahun 1990 ( Protokol Tambahan Konvensi Hak Anak mengenai Perdagangan Anak, prostitusi Anak, dan Pornografi Anak). 280 Sue Titus Reid, Criminal Law (Buston, Mc Graw Hill, 2000), 292.
132
Masyarakat dunia telah menyadari mengapa Islam menghukum dera (cambuk) terhadap orang yang melakukan tindak pidana khamar ini. Maka selain melihat konsep HAM secara global, dalam mengetengahkan qanun Aceh dalam perspektif HAM juga terlebih dahulu mengetengahkan HAM menurut konteks keindonesiaan. Keterkaitan qanun Aceh dengan negara Indonesia disebabkan Aceh masih tergabung ke dalam wilayah (territorial) Indonesia—yang menurut anggapan dunia kerab melakukan pelanggaran HAM juga.281 Sejak pengesahan UU tentang HAM tahun 1999, bagi Indonesia, Komnas HAM RI merupakan salah satu badan yang mengawasi sejauh mana hak fundamental manusia dijamin di dalam berbagai peraturan perundang-undangan, sebagimana disebutkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Komisi ini terbentuk pada era kontemporer ini yakni masa periode kepresidenan yang ke-3, B.J. Habibie. Sebelumnya, Indonesia tidak (banyak) menandatangani kesepakatan HAM dengan PBB. Menandatangani atau tidak, itu merupakan “win-win solution” bagi kepentingan politik Indonesia.282 Selain aspek ‘uqu>ba>t, fakta argumentatif menunjukkan bahwa kandungan Qanun banyak mempertimbangkan aspek Hak-hak Asasi manusia. Realita ini teraplikasi dalam rentetan pasal-pasal Qanun yang terkait/terimplikasi dalam perkara-perkara HAM.283Oleh karena itu,
281
Negara–negara di dunia yang masih memiliki warna hitam karena pelagggaran HAM adalah Chechnya, Rusia; Myanmar (Burma); North Korea; Peshawar, Pakistan; Jaffna Peninsula, Srilanka; Indonesia, Papua, dan Eritrea. Lihat juga Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, 43. 282 Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, 183. 283 Pertimbangan qanun terhadap HAM terdapat dalam bunyi Pasal 17 Qanun No. 12 Tahun 2003: (1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, Pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal16 yang mengetahui pelaku pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai Pasal 8, menyampaikan laporan secara tertulis kepada penyidik.
133
seiring pertumbuhan nuansa global terhadap aplikasi dimensi hukum maka perkembangan hukum Islam akan memiliki peranjakan dinamis dari masa ke masa. Pantauan kaca mata hukum yang berasal dari internal dan eksternal membuat implementasi hukum Islam yang bersumber dari hasil interpretasi Fiqh dan Qanun akan membawa efek pada kemajuan hukum Islam di dunia, terutama pada perkembangan penafsiran (penggalian) hukum Islam jinayah dari berbagai kitab Fiqh dalam dunia Islam yang sampai pada zaman kontemporer ini redup akibat dampak kolonialisasi Eropa terhadap dunia timur dalam kurun waktu yang sangat lama.284 Qanun, sebagaimana Hukum dan Peraturan Perundang-undangan lainnya mengimplikasikan nilai-nilai keadilan yang berdasarkan adopsiadopsi dari berbagai sumber (termasuk nilai-nilai yang terkandung dalam konsep HAM Eropa). Qanun telah melandaskan diri pada konsep Islam yang membuka peluang untuk mengadopsi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, termasuk yang diungkapkan The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948 itu. Dikatakan oleh ‘Ali ‘Ali Mans}u>r bahwa pengaruh asimilasi budaya antara budaya Islam dan budaya Kristen setelah perang Salib memunculkan perkembangan pemikiran Barat/Eropa tentang hak-hak Asasi manusia. Umat Islam telah memperkenalkan Hak-hak asasi Manusia kepada masyarakat Eropa melalui penaklukan Andalus setelah Abad-abad Pertengahan.285 Dalam Islam perkara HAM bukan merupakan perkara baru. HAM bukan lahir pada saat dunia mendeklarasikan HAM tahun 1948.286 (2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul hisbah dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkan laporannya kepada penyidik. (3) Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pertimbangan pada aspek HAM juga terdapat pada Pasal 19 Qanun tersebut, sebagaimana bunyinya:Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada Mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 17 tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik. Lihat Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 1719. 284 Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16. 285 ‘Ali ‘Ali Man}su>r, Muqa>rana>t baina al-Shari>ah al-Isla>mi>yah wa al-Qawa>ni>n alWad}i>yah (Bairur: Da>r al-Fath li al-T{aba>ah wa al-Nashr, 1980), 171. 286 M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective, 20-31.
134
Dengan perkataan lain bahwa Islam dapat mengambil peraturan-perturan yang humanis dari pihak eksternal Islam, asal tidak mengubah keyakinan tentang aqidah Islam semata. Sikap toleransi seperti ini telah terjadi sejak zaman Nabi Saw sebagaimana dikisahkan dalam Qs. al-Ka>firu>n Ayat 17.287Nabi Saw telah mengajarkan kebebasan beragama (religious leberty) dan kebebasan beribadah (freedom of worship) bagi manusia jauh sebelum presiden Roosevelt kumandangkan, yang—kemudian—diadopsi Majlis PBB menjadi Pasal 18 UDHR 1948.288 Fenomena gagasan yang menunjukkan bahwa Qanun memiliki pandangan yang sama dengan konsep HAM/ The Universal Declaration of Human Rights 1948 didapati dalam kandungan Pasal 11 Ayat (1), “Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya”. Di dalam Ayat (2) dikatakan juga bahwa tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran hukum karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran hukum menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan.289 Maka dengan mempertimbangkan HAM, Qanun ini mengatur proses peradilan tersangka pelanggar hukum sebagaimana termaktub di dalam Pasal 17, 18 dan 32 Qanun ini. 290 Alyasa‘ Abu Bakar, seorang pakar hukum Islam Aceh mengatakan, kalau pelaksanaannya (Qanun) tidak cocok harus diselesaikan, artinya kalau tidak Islamnya salah kita pahami, makna 287
Qs. al-Ka>firun: 1-7. Nazila Ghanea, Alan Stephens and Raphael Walden, Does God Believe in Human Rights?: Studies on Religion, Secular Beliefs and Human Rights (Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2007), 10. 289 Pasal 11 Ayat (1) dan (2) UDHR 1948. 290 Qanun Aceh tentang jinayat hanya menangani tiga aspek penegakan Hukum Pidana Islam (Jinayat). Qanun Aceh belum memasukkan qis}a>s} (hukuman balasan) pada tindak pidana pembunuhan dan pelukaan dengan sengaja, diyat (denda berat dan ringan bagi pembunuhan tidak sengaja dan seperti sengaja), dan h}udu>d (bagi zina>, sirqah, dan qaz}af), dll. Penghukuman terhadap peminum khamar—pelaku perjudian dan pelaku khalwat—adalah hukuman alternatif yang menurut pertimbangan pihak legislatif dan eksekutif Aceh tidak bertentangan dengan HAM. Dikatakan Alyasa‘ Abu Bakar, jika ada hal-hal yang kurang cocok perlu diselesaikan/disesuaikan oleh pihak yang yang berwenang/uli al-amri. 288
135
HAM-nya salah dijelaskan. Tidak mungkin penerapan syariat Islam bertentangan dengan HAM. Penerapan syariat Islam di Aceh tidak mencontoh Malaysia, Afghanistan, dan berbagai Negara-negara Islam lainnya. Tapi Aceh memiliki model sendiri dan itu tidak bisa dilaksanakan dalam waktu cepat. Jadi apa pun kekurangan dalam pelaksanaannya merupakan tahap try and error (coba dan salah) untuk diperbaiki. Dalam hal ini Alyasa’ menyangkal kalangangan yang mengatakan bahwa hukum jinayat yang berlaku di Aceh, berat kemungkinan, dengan mencontoh Malaisia, Afganistan, dan Negaranegar Islam Lainnya—sebagaimana dikatakan Masykuri Abdillah291 Alyasa‘, yang membantu proses pelaksanaan syariat Islam di Aceh pada masa Gubernur Abdullah Puteh (2000-2004), setuju asalkan pelaksanaan syariat Islam di Aceh tidak merujuk ke belakang. Tapi penerapan syariat Islam yang diterapkan tetap sesuai hingga 20 tahun ke depan. Alyasa‘ mengakui sejak pertama sekali penerapan syariat Islam disahkan dan diatur dalam Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 untuk proses hukum pelanggaran pelaku judi, khamar, dan khalwat, masih terdapat kekurangan. 292 Selain Alyasa‘, Muslim Ibrahim, ketua Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh juga mengatakan, bahwa ada empat Qanun yang perlu disempurnakan sejak dideklarasikannya Syariat Islam di Aceh pada tanggal 1 Muharram 1432 H. Memang, pemerintah Aceh sudah menerbitkan empat qanun terkait syariat Islam, yakni Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam. Kemudian Qanun No. 12 Tentang khamar (minuman yang memabukkan), Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Perjudian, dan Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat (mesum).293Muslim Ibrahim dalam komentarnya tersebut bukan dalam kapasitas pembahasan tentang penerapan Qanun yang terkait dengan HAM namun lebih mengikat pada aspek Fiqh Islam. Komentar ini diucapakan dalam sebuah Muzakarah 291
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariat Islam dan HAM, Dampak pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim, 214 292 Alyasa‘ Abu Bakar, “Syariat Islam Jangan Bertentangan dengan HAM”, Serambi Indonesia, 10 Juni 2010, 3. 293 MPU, “Qanun Syariat Perlu Disempurnakan,” Serambi Indonesia, 1 Desember 2010, 1.
136
Ulama se-Aceh yang dihadiri perwakilan 23 kabupaten tanggal 30 September 2010 di Banda Aceh. Kesamaan pandangan Muslim Ibrahim dengan Alyasa‘ hanya pada perlunya penyempurnaan Qanun-qanun tersebut, sehingga dalam proses penyempurnaannya tidak mengabaikan Fiqh, dan tidak mengabaikan HAM. Penganut Hak Asasi Manusia mengakui bahwa hak-hak manusia merupakan hak yang dibawa sejak lahir, yang terkandung di dalam model persamaan yang universal. Hak-hak semacam ini dapat berada dalam norma-norma moralitas manusia sebagaimana suatu norma moral yang didukung oleh alasan yang kuat yaitu hak-hak yang sah baik di level hukum nasional maupun di dalam hukum Internasional (international law). Islam telah menamakan kodrat manusia yang terkandung nilai-nilai moralitas di dalamnya dengan sebutan al-fit}rah. Maka bagaimanapun tidak ada konsensus (dunia) yang berkaitan dengan alam (manusia) yang tepat dari apa yang seharusnya atau tidak seharusnya dihargai sebagai hak asasi manusia pada perasaan yang ada (terdahulu), dan konsep yang abstrak dari hak manusia yang menjadi subjek perdebatan dan kritikan filosofis lanjutan.294 Dikatakan aktifis HAM dunia, Elaine Pearson, bahwa badan HAM yang dipimpinnya melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan hukum yang terkait dengan pelanggaran HAM di dunia. Dalam peranannya sebagai Wakil ditrektur Human Rigths Watch (HRW) untuk Asia, ia mengatakan juga bahwa badan tersebut bersikap netral terhadap pelaksanaan syriat Islam di Aceh. Menurutnya HRW tidak mempunyai posisi pada syariah, kecuali bila bertentangan dengan HAM yang dilindungi Undang-undang dan berbagai Undang-undang yang diratifikasi Indonesia.295 Tanggapan Elaine Pearson ini menunjukkan bahwa hukum HAM sudah berlaku bagi Aceh-Indonesia, terutama terkait dengan kesepakatan-kesepakatan HAM yang telah diratifikasi Indonesia. Dengan perkataan lain, konsep Hak-hak Asasi Manusia tidak berhenti pada wilayah dan periode tertentu dalam sejarah Hak-hak Asasi Manusia. Konsep tersebut terus berkembang secara dinamis menurut 294
Qs. al-Ru>m [31]:30. Lihat juga http://www/UDHR/Human_rights.htm (diakses tanggal 17 Desember 2010). 295 Asrori S. Karni, “Hukum dan Kriminalitas; Sisi Gelap Penegakan Qanun Syariah”, Gatra. Com. Nomor 5, tanggal 9 Desember 2010, 1, dalam http://www.gatra.com/artikel.php?id=143697 (diakses tanggal 15 Januari 2011).
137
perubahan sosial di dalam dimensi ruang dan waktu. Konsep hak asasi manusia modern (tersebut) dikembangkan setelah adanya malapetaka perang dunia ke dua (the Second World War), khususnya respon terhadap holokus ( pembunuhan massal/holocaust), yang mencapai puncak pada adopsinya oleh Pernyataan Sejagat Hak-hak asasi Manusia ( the Universal Declaration of Human Rights) oleh Majlis Umum PBB (the United Nations General Assembly) pada tahun 1948. Maka frase “human rights” merupakan landasan relatif modern dari konsep modern yang dapat dijejaki melalui sejarah filosofis dan konsep-konsep hukum kebebasan dan hak alamiah yang berkembang sejak masa berdirinya Negara-negara kota Yunani kuno (the city states of Classical Greece) dan perkembangan hukum Romawi (Roman Law). 296 Nuansa HAM dewasa ini menunjukkan bahwa konsep DUHAM inilah yang membawa dampak pada pelaksanaan penegakan HAM bagi zaman kontemporer ini, meskipun sejak waktu dideklarasikan, sudah ada perdebatan-perdebatan mengenai konsep HAM ini. Perdebatan itu melahirkan dua konsep sikap dunia, yaitu pertama Radical Cultural relativism, yang berarti nilai-nilai budayalah yang dijadikan pijakan pedoman bagi penentuan Hak Asasi Manusia; kedua adalah Individual Cultural Universalism yang berarti individulah yang berhak menentukan sikap tentang haknya. Dua paham hak asasi ini terlihat pada komentarkomentar tokoh dunia dalam menanggapi The Universal Declaration of Human Rights 1948. Lee Kuan Yew, mantan Perdana Meteri Singapore, mengatakan bahwa nilai-nilai Asia memiliki perbedaan sifgnifikan dengan nilai-nlai Barat termasuk nilai-nilai loyalitas dan kebebasan pribadi demi untuk stabilitas sosial dan kemakmuran. Karena itu pemerintah otoriter adalah lebih cocok di Asia dari pada demokrasi. Karena adanya perbedaan nilai tersebut, ia menolak UDHR 1948 itu.Tanggapan demikian dapat dilihat pada ungkapan: “Cultural relativism is a self-detonating position; if cultural relativism is true, then universalism must also be true. Relativistic arguments tend to neglect the fact that modern human rights are new to all cultures, dating back no further than the 296
‘Ali ‘A`li Mans}u>r, Muqa>rana>t baina al-Shari>ah al-Isla>mi>yah wa al-Qawa>ni>n al-Wad}‘i>yah, 167-168.
138
UDHR in 1948. They also don't account for the fact that the UDHR was drafted by people from many different cultures and traditions, including a US Roman Catholic, a Chinese Confucian philosopher, a French zionist and a representative from the Arab League, amongst others, and drew upon advice from thinkers such as Mahatma Gandhi.” 297
Mantan perdana menteri Malaysia, Mahatir Muhammad juga menyepakati pandangan (view) Lee Kuan Yew tersebut. Adanya perbedaan pandangannya tentang DUHAM dapat dilihat dalam ungkapan berikut:
“Although the argument between universalism and relativism is far from complete, it is an academic discussion in that all international human rights instruments adhere to the principle that human rights are universally applicable. The 2005 World Summit reaffirmed the international community's adherence to this principle.” 298
Di zaman modern para penganut HAM itu menjadi pelopor utama perdebatan hak assasi manusia menyangkut konsep pencerahan dari hak alamiah manusia. Konsep ini sebagaimana dikembangkan oleh figur-figur seperti John Locke dan Immanuel Kant dan melalui ranah politik pada the United States Bill of Rights dan pernyataan tentang hak dari manusia dan warga negara (the Declaration of the Rights of Man and of 299 the Citizen) pada abad ke-17. 297
http:/www/ /UDHR/Human_rights. htm (diakses tanggal 7 Desember
298
http://www /UDHR/Human_rights. htm (diakses tanggal 7 Desember
2010). 2010).
299
R. J. Vincent, Human Rights and International Relations (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), 25.
139
Tendensi konsep HAM kontemporer dapat dibaca pada pembukaan Pembukaan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948 mengatakan bahwa Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia muncul dengan menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia merupakan dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia. Mengabaikan dan memandang rendah hak asasi manusia juga telah mengakibatkan tindakan biadab yang membuat hati nurani umat manusia menjadi marah. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia juga dilatarbelakangi keinginan untuk memunculkan sebuah dunia di mana manusia akan menikmati kebebasan berbicara dan kepercayaan dan kebebasan dari ketakutan. Maka dengan pencetusan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia, apa yang diinginkan telah diproklamasikan sebagai aspirasi tertinggi rakyat biasa. Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia tersebut merupakan satu standar umum keberhasilan untuk semua bangsa dan semua negara, untuk mengakhiri perselisihan. Setiap individu dan setiap organ masyarakat, yang menjaga Deklarasi ini terus-menerus dalam pikiran, akan berusaha dengan jalan mengajar dalam proses pendidikan untuk mempromosikan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan dengan langkah-langkah progresif, yang berjalan dalam ruang lingkup nasional dan internasional, dengan menjamin pengakuan secara universal dan efektif dengan penuh tanggung jawab, terutama bagi rakyat Negara Anggota sendiri dan di antara bangsa-bangsa wilayah (regional) yang berada di bawah yurisdiksi mereka.300 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia telah dilengkapi dengan sejumlah treaty (perjanjian) dan covenants (kesepakatan) dan instrument pelengkapnya—yang mesti ditaati oleh Negara anggota/pihak yang mengikat perjanjian dan kesepakatan. Salah satu Negara anggota yang menandatangani kesepakatan, Indonesia telah terikat dengan
300
Preamble (pembukaan) UDHR 1948.
140
sejumlah treaty, covenants, dan instrument tersebut yang telah disekati bersama Negara-negara PBB lainnya di dunia.301 Mohd. Mahfud MD, ketua Mahkamah Konstitusi RI,—dengan mengutip dari Sumaryo Suryokusumo—mengatakan bahwa penanggung jawab utama realisasi konsep HAM dunia, Majlis Umum PBB hanya menghimbau agar anggota PBB meratifikasi atau tidak meratifikasi perjanjian internasional. Jika melakukan ratifikasi, maka kepentingan nasional tetap diletakkan sebagai pertimbangan utamanya. 302Dengan perkataan lain dapat dipahami juga bahwa konsep HAM PBB tidak perlu didewa-dewakan oleh pihak-pihak tertentu yang menghalangi penegakan hukum Islam bagi penganut-penganutnya di Indonesia, karena alasan HAM. Di dalam karyanya Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Mohd. Mahfud juga menulis bahwa jauh sebelum UDHR 1948, konstitusi RI telah memuat konsep HAM. Preamble UUD 1945 yang berbunyi: bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Di dalam alinea keempat UUD 1954 ditekankan pentingnya HAM, seperti melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil yang beradap, kerakyatan (umumnya diterjemahkan dengan demokrasi sebagai hak politik, sebagaimana dalam ICCPR). Demikian juga tentang keadilan sosial. Pasal 27, 28, 29, dan Pasal 31 UUD 1945 juga memuat konsep-konsep HAM,303jauh sebelum penandatanganan kesepakatan macam-macam covenants HAM yang telah disepakati Indonesia bersama PBB, sebagaimana diterangkan di atas.
301
Martino Sardi, “Macam-Macam Hak-hak Asasi Manusia,” Komnas HAM, 14 Mei 2010, 1. 302
Ratifikasi adalah pengadopsian konvensi/ kesepakatan hukum internasional ke dalam sistem hukum suatu negara. 303
Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, 200 dan 203. Lihat juga Redaksi Bukune, UUD 1945 dan Perubahannya (Jakarta: Bukune, 2010), 1.
141
Di antara kesepakatan-kesepakatan HAM tersebut, yang sangat rentan dengan aplikasi qanun jinayat Aceh-Indonesia adalah ICCPR, CEDAW dan CAT. a. Pandangan ICCPR Telah dijelaskan di atas, Qanun No. 12 Tahun 2003 merupakan hasil interpretasi konsep hukum Islam. Qanun yang dicetuskan Pemerimtah Daerah Aceh—untuk pengimplementasian syariat Islam ini —, memiliki sangkut-paut dengan International Covenants on Civil and Politics Rights (ICCPR). Penyesuaian dengan Kovenan HAM (ICCPR) yang telah disepakati Indonesia, semuanya dapat diselaraskan dengan Islam dan Qanun menurut sudut pandang HAM, karena International Covenants on Civil and Politics Rights diperuntukkan bagi semua individu di dunia yang terikat dengan kesepakatan, tanpa membedakan agama, ras, bangsa, bahasa, dan aliansi politik. International Covenants on Civil and Politics Rights yang merupakan turunan UDHR 1948 yang menjabarkan konsep hak sipil sebagaimana tertera dalam Pasal 18, 19, dan 30 The Universal Declaration of Human Rights—yang masih diperdebatkan pakar Islam. 304 Pasal-pasal ini sejak awal memerlukan pertimbangan dan tinjauan kembali dari pakar-pakar hukum Islam dan Qanun Aceh untuk dapat mengambil sikap sepakat. Bila ada sudut kontradiktif dengan DUHAM, hukum cambuk mereka selaraskan dengan konsep HAM Islami sebgaimana diterangkan di atas. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pertama kali disahkan tanggal 19 Desember 1966, dan mulai berlaku pada tanggal 23 Maret 1976 di Indonesia. Perjanjian ini juga dijelaskan dan menjelaskan hak-hak yang tercantum dalam The Universal Declaration of Human Rights, juga berhubungan dengan hak baru. Hak yang dilindungi oleh ICCPR bisa dikategorikan sebagai hak-hak melindungi kesucian hidup, melindungi hak-hak orang yang dituduh dan penjahat, hak mobilitas, dan hak-hak sipil. Menyangkut dengan Hak-hak sipil ia termasuk kebebasan berpikir dan berekspresi. Salah satu butir International Covenants on Civil and Politics Rights (yakni di dalam Pasal 7) dikatakan, “Tidak seorangpun dapat dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat”. Perangkat intenasional di 304
Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah, 57-58, dan 152.
142
bidang HAM yang bersifat sangat penting ini, menetapkan bahwa hak tersebut merupakan hak fundamental yang tidak boleh dikurangi dengan alasan apapun (non deroglabed rights). Juga dikatakan dalam Pasal 10 Ayat (1) bahwa setiap orang yang dirampas kemerdekaannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia tersebut. Kedua butir International Covenants on Civil and Politics Rights kerab dikaitkan dengan hukuman jinayat ditetapkan dalam Islam. Selain itu, di dalam penjelasan tentang kesepakatan tentang perlawanan terhadap penyiksaan juga dikatakan bahwa Deklarasi tentang Perlindungan dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat (1975) yang ditetapkan oleh Majelis Umum dalam resolusi 3452 pada 9 Desember 1975, Pasal 1 menjelaskan istilah ‘‘penyiksaan’’ sebagai: setiap tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk menyebabkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat baik secara fisik maupun mental pada seseorang oleh atau atas anjuran seorang pejabat publik, dengan maksud untuk mendapatkan informasi atau pengakuan darinya atau dari orang ketiga, untuk menghukumnya atas tindakan yang sudah dilakukan atau yang diduga sudah dilakukannya, atau untuk mengintimidasi orang tersebut atau orang lain.305 Penyiksaan yang dimaksudkan tersebut tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan akibat tindakan yang disengaja maupun tidak atas dasar hukum seperti Standar Minimum Peraturan bagi Perlakuan terhadap Tahanan. Pasal 2 menyatakan bahwa Penyiksaan terdiri dari segala bentuk perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat baik yang sengaja maupun tidak. Selanjutnya Pasal 3 dari Deklarasi menyatakan bahwa tidak ada pengecualian apapun seperti misalnya keadaan perang, ketidakstabilan politik internal atau keadaan darurat publik lainnya yang bisa dianggap sebagai justifikasi penyiksaan dan bentuk perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. 306 305
Lihat Resolusi (Majlis Umum) PBB No. 3452 Pasal 1. Lihat Penjelasan Kovenan tentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975. Lihat juga ICCPR Pasal 7 dan 10. 306
143
Pemerintah RI dengan berbagai pertimbangan pada prinsipprinsip hak mendasar manusia yang tertuang dalam konsep International Covenants on Civil and Politics Rights tersebut, telah menandatantangi kesepakan HAM dengan PBB dalam bentuk The Covenants (kesepakatan) Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pada tanggal 19 Desember 1996. Pemerintah juga telah meratifikasikannya ke dalam UU No. 12 Tahun 2005.307 Ada empat pertimbangan utama Indonesia melakukan kesepakatan:308 1) Pertimbangan pertama Pokok-pokok pikiran yang mendorong lahirnya konvensi, adalah faktor penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia masih terus terjadi di berbagai negara dan kawasan dunia, yang diakui secara luas akan dapat merapuhkan sendi-sendi tegaknya masyarakat yang tertib, teratur, dan berbudaya. Dalam rangka menegakkan sendi-sendi masyarakat demikian itu, seluruh masyarakat internasional bertekad bulat melarang dan mencegah segala bentuk tindak penyiksaan, baik jasmaniah maupun rohaniah. Masyarakat internasional sepakat untuk melakukan pelarangan dan pencegahan terhadap tindakan penyiksaan ini dalam suatu wadah perangkat internasional yang mengikat semua Negara Pihak secara hukum. 2) Pertimbangan kedua Mengingat yang menjadi alasan Indonesia menjadi Negara pihak adalah: (1) Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia tertekad untuk mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan, sesuai dengan Konvensi ini; (2) dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang langsung mengatur pencegahan dan 307
Syaldi Sahude, “Instrumen HAM Internasional yang Telah Diratifikasi Indonesia,” (Artikel) Fact Sheet, Komnas HAM dan Berbagai Sumber Lainnya , pada 8 Mei 2009, (diakses tanggal 12 Desember 2010). 308 http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cairodeclaration.html(diakses tanggal 7 Desember 2010).
144
pelarangan, segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Namun perundang-undangan itu karena belum sepenuhnya sesuai dengan Konvensi, masih perlu disempurnakan; Penyempurnaan perundang-undangan nasional tersebut, akan meningkatkan perlindungan hukum secara lebih efektif, sehingga akan lebih menjamin hak-hak setiap warga negara bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, demi tercapainya suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya; (3) suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur, dan berbudaya akan mampu mewujudkan upaya bersama untuk memelihara perdamaian, ketertiban umum, dan kemakmuran dunia serta melestarikan peradaban umat manusia; (4) Pengesahan dan pelaksanaan isi Konvensi secara bertanggungjawab menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM, khususnya hak bebas dari penyiksaan. Hak ini juga akan lebih meningkatkan citra positif Indonesia di dunia internasional dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia. 3) Pertimbangan ketiga Yang menjadi pokok-pokok konvensi (ICCPR) adalah: (1) Konvensi menentang penyiksaan terdiri atas pembukuan dengan 6 paragraf dan batang tubuh dengan 3 bab yang terdiri atas 33 pasal. Pembukaan meletakkan dasar-dasar dan tujuan Konvensi. Dalam konsideran secara tegas dinyatakan bahwa tujuan Konvensi ini adalah lebih mengefektifkan perjuangan di seluruh dunia dalam menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia;309 (2) Bab I (Pasal 116) memuat ketentuan-ketentuan pokok yang mengatur definisi tentang penyiksaan dan kewajiban Negara Pihak untuk mencegah dan melarang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia; (3) Bab II (Pasal 1724) mengatur ketentuan mengenai Komite Menentang Penyiksaan 309
Having regard also to the Declaration on the Protection of All Persons from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment, adopted by the General Assembly on 9 December 1975 (resolution 3452 (XXX)
145
(Committee Against Torture) dan tugas serta kewenangannya dalam melakukan pemantauan atas pelaksanaan Konvensi; (4) Bab III (Pasal 25-33) merupakan ketentuan penutup yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan mulai berlakunya konvensi, perubahan, pensyaratan (reservation), ratifikasi dan aksesi, pengunduran diri serta mekanisme penyelesalan perselisihan antar Negara Pihak. Fenomena seperti ini juga pernah disinggung Mohd. Mahfud MD.310 4) Pertimbangan keempat Konvensi ini menyangkut dengan: (1) hak hidup di Pasal 1 Ayat b; (2) keadilan di Pasal 1 Ayat b; (3) laranganan pemaksaan agama di Pasal 10 Ayat (a); (4) Pasal 15 Ayat (a) dan (b) tentang harta; (4) Hak pemimpin dan dipimpin sama di pasal 19 ayat a, b, c, d; (5) Pasal 20 , larangan penyiksaan; (6) Pasal 24, semua kebebasan harus sesuai syariat; (6) Larangan menyandera di Pasal 21; dan (7) Hanya syariat Islam yang dapat menafsirkan fasal ini (Pasal 25 CDHR).311 Dikatakan (Iben), pasca peratifikasian itu, banyak Perda yang bertentangan dengan Kovenan Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005, termasuk Qanun Jinayah di Aceh—yang memperkenalkan hukuman yang lebih berat daripada yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. 312
310
Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
204 311
http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cairodeclaration.html (diakses tanggal 7 Desember 2010). 312 Lihat Iben, “Catatan Akhir Tahun Hak Asasi Manusia”, Komnas HAM, 12 Agustus 2009, 6. Lihat juga Martino Sardi, “Macam-Macam Hak-hak Asasi Manusia,” Komnas HAM, 14 Mei 2010, 1. Lihat juga Syaldi Sahude , “Instrumen HAM Internasional yang Telah Diratifikasi Indonesia,” (Artikel) Fact Sheet, Komnas HAM dan Berbagai Sumber Lainnya, 8 Mei 2009 (diakses tanggal 12 Desember 2010). Sementara Mas‘udi mengatakan, meskipun hukuman badan (h}udu}d) terhadap tindakan kriminal (jari>mah) telah dibahas secara teoritis oleh pakar Fiqh muslim Indonesia—berdasarkan penafsiran terhadap al-Quran dan h}adith, di dalam prakteknya, ia tidak diaplikasikan di Indonesia, semenjak Negara tidak menyatakan h}udu>d ini sebagai bagian dari hukum Islam, atau shari‘ah. Namun, Negara menggunakan undang-undang sekuler. Sarjana Muslim Indonesia seperti Masykuri Abdillah tidak setuju tujuh kata dari Piagam Jakarta: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dikembalikan. Oleh karena itu, bukan
146
Beda dengan Iben, Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen di dalm bukunya menulis bahwa dalam penyepakatan International Covenants on Civil and Politics Rights, Deklarasi Kairo ikut dijadikan pertimbangan oleh Indonesia untuk penyepakatan. Maka penenegakan hukum cambuk yang tertera di dalam Qanun jinayat, tidak harus dengan serta merta disalahkan dalam penerapannya di dalam masyarakat.313 Beberapa hukum perundang-undangan lainnya juga telah dijadikan rujukan oleh qanun. UU No. 12 Tahun 2005 bukanlah satusatunya hukum yang berkenaan dengan HAM bila ditinjau kompleksitas pemahaman HAM itu sendiri di dalam masyarakat Indonesia dan Asia, apalagi International Covenants on Civil and Politics Rights yang diratifikasi tersebut masih dipahami beragam oleh pakar HAM dan pakar hukum. Ann Elizabeth Mayer, seorang pakar HAM dan hukum Islam— dalam Islam and Human Rights Tradition and Politics—mengatakan bahwa sesuai dengan International Covenants on Civil and Politics Rights, tidak ada Undang-undang shariah tentang hukum jinayat yang secara formal dimasukkan ke dalam Undang-undang Nasional Indonesia. Juga Undang-undang Indonesia tentang Hak-hak Asasi Manusia tidak mengatakan sesuatu tentang perkara krusial ini. Bahkan International Covenants on Civil and Politics Rights mempersembahkan hanya beberapa ciri dari hak-hak baru dan pengawasan prosedural dalam Pasal 9 dan 14 menyangkut perkara hukum pidana. Ungkapan Ann Elizabeth Mayer tersebut dapat dipahami bahwa penghukuman yang diatur Qanun jinayat Aceh bukan pelangggran HAM yang dimaksudkan International Covenants on Civil and Politics Rights. Mayer mengatakan:
hanya potong tangan bagi pencuri yang dilarang, namun juga rajam bagi penzina dan hukuman mati bagi pelangggar hukum/ murtad. Lihat Ahmad Azhar Basyir, Ikhtisar Fikih Jinayat (Jogjakarta: UII Press, 2000).76. Lihat juga Mas‘udi, Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan, 189-190. 313 Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah, 144.
147
(“Accordingly, no rulings of the sharī‘ah on criminal law are formally included in the national law of Indonesia. Nor does the Indonesian Law of Human Rights say anything about this crucial subject. Even the ICCPR presents only a few features of the extensive rights and procedural safeguards in the area of criminal procedure in articles 9314 and 14”).315
314
Article 9 (of ICCPR):
(1) Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such procedure as are established by law. (2) Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons for his arrest and shall be promptly informed of any charges against him. (3) Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and shall be entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may be subject to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and, should occasion arise, for execution of the judgement. (4) Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to take proceedings before a court, in order that that court may decide without delay on the lawfulness of his detention and order his release if the detention is not lawful. (5) Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an enforceable right to compensation. 315
Article 14:
(1) All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination of any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law. The press and the public may be excluded from all or part of a trial for reasons of morals, public order (ordre public) or national security in a democratic society, or when the interest of the private lives of the parties so requires, or to the extent strictly necessary in the opinion of the court in special circumstances where publicity would prejudice the interests of justice; but any judgement rendered in a criminal case or in a suit at law shall be made public except where the interest of juvenile persons otherwise requires or the proceedings concern matrimonial disputes or the guardianship of children. (2) Everyone charged with a criminal offence shall have the right to be presumed innocent until proved guilty according to law.
148
Beda dengan Mayer, ‘uqu>ba>t Qanun menurut Komnas HAM RI bertentangan dengan International Covenants on Civil and Politics Rights (kesepakatan tentang hak-hak sipil), yang di dalam salah satu pasalnya (Pasal 7) dikatakan: Tidak seorangpun dapat dikenai penyiksaan, atau perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Khususnya, tidak seorangpun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuannya. Dikatakan di dalam Pasal 10 Ayat (1) bahwa setiap orang yang dirampas kemerdekaannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada diri manusia tersebut. Dalam hal ini jelas terdapat perbedaan penafsiran (3) In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantees, in full equality: (a) To be informed promptly and in detail in a language which he understands of the nature and cause of the charge against him; (b) To have adequate time and facilities for the preparation of his defence and to communicate with counsel of his own choosing; (c) To be tried without undue delay; (d) To be tried in his presence, and to defend himself in person or through legal assistance of his own choosing; to be informed, if he does not have legal assistance, of this right; and to have legal assistance assigned to him, in any case where the interests of justice so require, and without payment by him in any such case if he does not have sufficient means to pay for it; (e) To examine, or have examined, the witnesses against him and to obtain the attendance and examination of witnesses on his behalf under the same conditions as witnesses against him; (f) To have the free assistance of an interpreter if he cannot understand or speak the language used in court; (g) Not to be compelled to testify against himself or to confess guilt. (4) In the case of juvenile persons, the procedure shall be such as will take account of their age and the desirability of promoting their rehabilitation. (5) Everyone convicted of a crime shall have the right to his conviction and sentence being reviewed by a higher tribunal according to law. (6) When a person has by a final decision been convicted of a criminal offence and when subsequently his conviction has been reversed or he has been pardoned on the ground that a new or newly discovered fact shows conclusively that there has been a miscarriage of justice, the person who has suffered punishment as a result of such conviction shall be compensated according to law, unless it is proved that the nondisclosure of the unknown fact in time is wholly or partly attributable to him. (7) No one shall be liable to be tried or punished again for an offence for which he has already been finally convicted or acquitted in accordance with the law and penal procedure of each country.
149
tentang pasal 7 yang dimiliki Mayer dan Komnas HAM RI. Pemahaman keduanya tentang Pasal 7 tersebut bahwa sama-sama mengakui pelanggaran HAM bila hukuman dijatuhkan atas manusia yang tidak melakukan tindak pidana/kesalahan, termasuk tidak meminum khamar.316 Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim dalam buku mereka Syariat Islam dan HAM, Dampak pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim telah mengutip beberapa pandangan pakar HAM muslim dalam menanggapi perkara HAM. Abdullahi Ahmed A. An-Naim, misalnya, menawarkan teknik penafsiran (Fiqh) yang disebut Evolusi Syariah. Menurutnya, bagaimanapun hukum Islam harus dibuat fleksibel sebagaimana yang berlaku pada era Islam periode Mekkah. A. An-Naim juga menawarkan prinsip resiprositas (reciprocity), yang juga dikenal Golden Rule. Prinsip ini membuat seseorang memperlakukan orang lain dengan ideal-ideal civil rights yang sama. Pakar lain, Basam Tibi juga menyarankan agar syariat Islam di zaman modern dibuat sebagaimana masa prakondisi, yakni bagaimana membuat hukum Islam lebih fleksibel sehingga dapat menampung apa yang disebutnya sebagai cultural accommodation of change, seperti HAM universal.317 Memahami pandangan para pakar HAM di atas, dapat dikatakan bahwa realitas civil rights yang diatur ICCPR tidak ditemukan pertentangan yang berarti antara ICCPR dan Qanun Khamar. Qanun menetapkan h}add yang paling ringan terhadap pelaku khamar, yang bersumber dari ketentuan-ketentuan yang diatur Fiqh Islam. Oleh karena itu penafsiran tentang HAM dan hukum jinayat tidak mengahalagi penerapan hukum Islam menurut persepsi dan kondisi umat Islam berada (seperti di Aceh). Penerapan h}add terhadap pelaku minum khamar di Aceh merupakan hasil konsensus legislatif dan eksekutif Aceh dalam rangka pengaturan hukum bagi tindak pidana khamar yang juga diajarkan
316
Syaldi Sahude, “Instrumen HAM Internasional yang Telah Diratifikasi Indonesia,” (Artikel) Fact Sheet, Komnas HAM dan Berbagai Sumber Lainnya, 8 Mei 2009. Lihat juga Martino Sardi, “Macam-macam Hak-hak Asasi Manusia”, Komnas HAM, 14 Mei 2010, 3. Lihat juga Iben, “Catatan Akhir Tahun Hak Asasi Manusia”, Komnas HAM, 12 Agustus 2009, 6. 317 Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariat Islam dan HAM, Dampak pada Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim, 12.
150
Fiqh Islam, di samping ada konsideran terhadap hukum perundangundangan yang berlaku di Indonesia.318 Tidak disalahkan, bila dalam (salah satu) Komentar Umum No. 20 (1992) dari Komite Hak Asasi Manusia. Komite Hak Asasi Manusia memberitahukan bahwa Negara Pihak berkewajiban memberikan perlindungan pada semua orang melalui perundang-undangan dan adanya pelarangan tindakan tertentu dalam Pasal 7. Di galam Komentar Umum itu dikatakan, pelarangan ini juga termasuk hukuman fisik seperti hukuman berat untuk sebuah kejahatan atau cara pendisiplinan. Negara Pihak tidak boleh membiarkan individu mengalami resiko penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat ketika individu tersebut kembali dalam proses ekstradisi atau pengusiran. Mempertimbangkan hal ini, Qanun khamar, sebagaimana keterangan di atas, memaknai bahwa hukuman yang diterapkan Qanun merupakan salah satu hukum perundang-undangan yang tidak termasuk penghukuman berat dan mengerikan, namun masih dalam batas kewajaran sesuai kesalahan pelaku. Dikatakan Hasanuddin, salah seorang tokoh di Aceh, bahwa minum arak dan dan sejumlah kejahatan lain seperti zina dan menuduh orang lain berzina tanpa cukup saksi merupakan perbuatan keji dan jahat. Karena itu ketika hukuman cambuk diberikan kepada pelakunya tidaklah berlebihan dan tidaklah melanggar HAM bagi orang yang berpikiran dan objektif dalam berpikir, karena pelakunya telah melanggar sejumlah hak orang lain. Hanya orang-orang yang mengedepankan hawa nafsu sajalah yang menuduh hukum cambuk melanggar HAM serta tidak berperi
318
Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, “Analisis terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 tentang Jinayat”, Kertas Kebijakan, 10 Oktober 2005, 3, dalam Analisis-terhadap-qanun-nanggroe-aceh-darussalam (Pdf), diakses tanggal 20 Januari 2011. Lihat juga Gamawan Fauzi, “Aceh sees Shallow Implementation of Sharia,’’ The Jakarta Post, 21 Agustus 2010, 5. Lihat juga Gamawan Fauzi, “Islamic Bylaw may not Harm Tolerance and Pluralism”, The Jakarta Post, 21 Agustus 2010, 2.
151
kemanusiaan.319Dengan demikian substansi dan uqubat yang dijatuhkan Qanun terhadap pelaku khamar—dan bagi sejumlah kejahatan lainnya— memiliki pandangan beragam di antara pakar HAM dan hukum Islam di Indonesia khususnya dan di dunia umumnya. Berdasarkan asumsi adanya pertentangan atau tidak antara Qanun Aceh tentang khamar dengan Covenan hak Sipil dan Politik ini, seharusnya Qanun Jinayat Aceh tidak perlu melakukan tinjauan ke ICCPR yang merupakan (kesepakatan) kovenan hukum HAM yang bersifat global, namun para penyusun Qanun cukup mengakui bahwa pengesehan Qanun tersebut memiliki konsideran yang cukup kepada banyak Hukum Perundang-undangan (HAM) yang telah diratifikasi Pemerintah. Oleh karena itu, penyelidikan, pemrosesan, dan pencambukan bagi tindak pidana khamar cukup merujuk kepada perundang-undangan yang berlaku di Indonesia di samping konsep syariat yang bersifat global sebagai hasil interpretasi nas}s} (al-Quran dan al-Sunnah) yang telah dijabarkan dalam fiqh. Maka selain merujuk kepada Fiqh, Aceh membuat qanun Jinayat yang terkait dengan khamar berdasarkan Hak Otonomi yang diatur oleh hukum perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dengan menimbang sejumlah hukum perundang-undangan RI sebagaimana disebutkan di atas.320 Asumsi-asumsi terkait antara penerapan HAM dan penerapan Qanun perlu dikaitkan dengan logika penyusunan qanun/suatu hukum perundang-undangan yang berlaku, sehingga tidak terjadi asumsi yang berlawanan dengan logika hukum. Apalagi asumsi itu bersumber dari pihak-pihak yang ingin melanggar hukum (jinayah) khamar. Pada saat sekarang ini bukan lagi asumsi, bahkan wacana, telah berkembang bahwa di antara covenant HAM ini—yang mengatur hak-hak masyarakat sipil dalam berbudaya dan berpolitik—menampakkan kontradiksi dengan hukum jinayat dalam Islam.
319
Hasanuddin Yusuf Adan, “Aceh Antara Hukuman Cambuk dan HAM” , Lihat
http://ummahonline wordpress.com/2010/02/19/aceh-antar-hukum-cambuk-dan-ham/ (diakses 9 Desember 2010). 320 Pembukaan Qanun No. 12 Tahun 2003.
152
b.
Pandangan CEDAW dan CAT Ditinjau dari sudut substansi jenis pidananya, qanun di Aceh tidak sama dengan hukum pidana lainnya di Indonesia yang tidak mengenal hukuman cambuk, apalagi eksekusi yang dipertontonkan di muka umum, dengan mempublikasikan identitas terpidana. Bahkan, jika cambukan dianggap merendahkan martabat kemanusiaan seseorang (lakilaki/perempuan), jelas-jelas ia telah bertentangan dengan UUD 1945 Bab XA Pasal 18A -28J, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 7 Tahun1984 tentang Ratifikasi (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Demikian pendapat Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.321 Komnas Perempuan ini juga menilai bahwa jenis pidana cambukan juga dianggap bertentangan dengan Konvensi melawan Penyiksaan/Convention Against Toture (CAT) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Melawan Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang lain, tidak Manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan. Selain Komnas Perempuan, hukuman penyiksaan juga tidak didukung Amnesti Internasional. “Amnesty” meminta Pemerintah RI mencabut hukum cambuk.322 Tentang hukuman penyiksaan juga kerap dibahas Komite Menentang Penyiksaan yang dibentuk pada 1987. Sesuai dengan Pasal 17, Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan serta Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat ini terdiri dari 10 orang ahli yang bermoral tinggi dan diakui keahliannya di bidang hak asasi manusia, yang dipilih oleh Negara Pihak dari warga negaranya. Anggota dipilih untuk masa jabatan empat tahun melalui pemungutan suara secara rahasia pada persidangan Negara Pihak, dan bertindak dalam kapasitas pribadinya.323 321
Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, “Analisis terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat”, Kertas Kebijakan, 10 Oktober 2005, 8. 322 Tempointeractive.com, “Amnesti Internasional Minta Hukuman Cambuk Dicabut”, The Atjeh Post, 2 Mei 2011, dalam http://atjehpost.com/nanggroe/daerah/2416-amnesti-internasional-minta-hukuman-cambuk-dicabut-html (diakses tanggal 5 April 2011). 323 Tugas Komite, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 sampai dengan 24 Konvensi adalah: mempelajari laporan-laporan tentang tindakan yang telah diambil Negara Pihak untuk melaksanakan kewajibannya berdasarkan Konvensi; melakukan
153
Menanggapi permintaan “Amnesty” tersebut, Syukri Muhammad Yusuf, Kepala Seksi Bimbingan dan Penyuluhan Hukum, Dinas Syariat Islam Aceh mengatakan Penerapan hukuman cambuk bagi para pelaku pelanggar syariat Islam di Aceh dinilai tidak bertentangan dengan Hak asasi Manusia (HAM). Menurut Syukri, perdebatan soal sanksi hukum cambuk itu terjadi karena perbedaan pandangan antara masyarakat muslim dan para pejuang HAM barat dalam melihat aturan tersebut. Syukri mengajak para pejuang HAM Barat tidak membuka diri untuk berdialog dengan umat Islam.324 Memang di antara pengertian “penyiksaan yang termaktub dalam CAT adalah tidak termasuk konsekwensi hukum. Committee Against Torture lebih cenderung memaknai “penyiksaan” dengan pemaksaan seseorang untuk memberikan pengakuan terhadap suatu interogasi dalam suatu penyelidikan perkara untuk kepentingan pihak tertentu/pihak ketiga, yang biasa terjadi dalam situasi pertikaian/peperangan di antara dua pihak.325 Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa wajar bila penyelidikan rahasia, apabila diputuskan bahwa hal ini diperlukan sehubungan dengan indikasi nyata adanya praktek-praktek penyiksaan secara sistematis di wilayah Negara Pihak; menjalankan fungsi-fungsi tertentu dalam penyelesaian sengketa antar Negara Pihak sehubungan dengan penerapan Konvensi, dengan ketentuan bahwa Negara Pihak tersebut mengakui kompetensi Komite Menentang Penyiksaan untuk melakukan fungsi tersebut; jika diperlukan mendirikan komisi pendamain ad hoc yang menyediakan jasa baiknya bagi Negara Pihak yang terlibat sengketa untuk mencapai penyelesaian bersahabat dalam pertikaian antar negara; membahas komunikasi dari atau atas nama individu yang berada dalam wilayah hukum Negara Pihak yang bersangkutan yang menyatakan bahwa ia menjadi korban pelanggaran ketentuan Konvensi, apabila Negara Pihak tersebut telah mengakui kompetensi Komite dalam masalah tersebut; dan menyerahkan laporan tahunan tentang kegiatannya kepada Negara Pihak dan Majelis Umum PBB. Lihat: Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975. 324 “Hukuman cambuk Tidak melanggar HAM”, The Atjeh Post, 23 Mei 2011 dalam http://atjehpost.com/nanggroe/hukum/2450-hukuman-cambuk-tak-melanggarhamq.html (diakses tanggal 5 April 2011). 325 Lihat Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975. Lihat juga Pasal 1 Ayat 1 CAT, 4 Februari 1985.
154
penghukuman “penyiksaan” mengundang perdebatan (di antara pakar hukum Islam dan HAM). Di Indonesia, Sebelum diratifikasikannya Committee Against Torture ke dalam UU No. 5 Tahun 1998, telah berkembang sejumlah konvensi dan deklarasi menyangkut dengan penjabaran Committee Against Torture. Selain pengertian “penyiksaan” yang terungkap di dalam CAT, juga telah berkembang penafsiran yang dihasilkan konvensi dan deklarasi yang terkait dengan Committee Against Torture. Pengertian penyiksaan dalam Deklarasi (yang dihasilkan Deklarasi Wina 1993) adalah tindak pidana menurut ketentuan dalam hukum pidana. Deklarasi itu juga bersifat tidak mengikat secara hukum, Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan bangsa-bangsa telah menyusun rancangan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang selanjutnya diajukan kepada Sidang Majelis Umum PBB untuk disahkan. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui secara konsensus rancangan konvensi tersebut pada tanggal 10 Desember 1984 yang menyatakan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 26 Juni 1987.326 Dengan demikian dapat dipahami bahwa fenomena tersebut juga dapat dipastikan bahwa hukuman cambuk bagi pelanggar syariat Islam yang berupa hukuman h}add cambukan 40 kali, walaupun ada pihak yang memaknai bahwa hukuman demikian bertentangan dengan konsep HAM (Committee Against Torture) sebagai “penghukuman pennyiksaan”, masih dalam perdebatan/perbedaan pemahaman. Al-Hageel, penganut hukum Islam dan HAM juga membantah tentang adanya penghukuman kejam yang terdapat dalam perkara khamar yang ditetapkan Islam. AlHageel menyebutkan banyaknya bahaya terhadap peminum khamar, sehingga peminumnya memerlukan penghukuman demikian.327Pandangan Al-Hageel ini juga dapat dikatakan tidak berlawanan dengan Committee Against Torture, karena peminum khamar dihukum sebagai suatu konsekwensi hukum. 326
Lihat Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975. 327 Sulaiman Abdurrahman Al Hageel, Human Rights in Islam and Refutation of Miscoseived Allegations Assosiated with These Rights, 1999.
155
Maka bila mempedomani pendapat Al-Hageel (dan beberapa pendapat pakar lainnya), Qanun Aceh yang menetapkan dera (cambukan) bagi peminum khamar tidak ada aspek HAM yang dilanggar, berbeda dengan pandangan sepihak tentang kedua kovenan HAM tersebut. 3.
Pandangan HAM Islam Perdebatan tentang wacana Islam dan HAM yang dimulai sejak sangat awal kemunculan Deklarasi Universal HAM hingga kini.328Kalangan Islam telah mempersoalkan salah satu pasal krusial pada Pasal 18 dari Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) yang berisi tentang kebebasan beragama yang memasukkan di dalamnya kebebasan berpindah agama karena negara itu mengenal hanya satu kebenaran tafsir agama dan memberlakukan hukuman mati bagi orang yang murtad.329 Shahram dan MecQuen mengutip pendapat Abdullah Ahmed An-Na’im yang mengatakan bahwa Islam mengakui keterlibatan manusia (human agency) dalam penafsiran nas}s} yang menyangkut dengan HAM melalui proses ijtiha>di>. 330
Akibat adanya pertentangan antara ideology/hukum Islam dengan sebagian pasal-pasal DUHAM maka kalangan Islam mendeklarasikan konsep HAM Islami. Konsep ini dapat menjadi pelengkap bagi konsep HAM yang telah ada. Said Rajaie-Khorassani, perwakilan Iran untuk PBB, yang mengucapkan posisi dari negaranya menanggapi the Universal Declaration of Human Rights dengan mengatakan bahwa UDHR adalah " pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi-Kristen (the Judeo-Christian)", yang tidak dapat
328
Pasca pencetusan UDHR oleh PBB tahun1948, ada 2 (dua) tanggapan reaktif dari dunia, golongan yang pertama radical cultural universalism yang diwakili oleh negara-negara barat yang berpendapat bahwa setiap individulah yeng berhak menentukan haknya, juga hak masyarakat dan negara bersarkan kongres. Sedangkan golongan yang kedua radical cultural relativism yang diwakili oleh Negara-negara dunia ketiga. Golongan ini berpendapat bahwa kebudayaan dan agamalah yang mengatur pedoman masyarakatnya. Lihat http://www/UDHR/Human rights.htm, (diakses tanggal 17 Desember 2010). 329 Pasal 18 menyebutkan bahwa setiap orang bebas untuk memeluk dan keluar dari suatu agama. 330 Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah, 3.
156
diimplementasikan oleh seorang muslim tanpa penerobosan ( trespassing) hukum Islam.331 Negara-negara muslim terutama Saudi Arabia mampu mempengaruhi negara anggota OKI (Organisasi Komprensi Islam) untuk mempersoalkan pasal-pasal tersebut. Pernyataan pertentangan tersebut dituangkan dalam Deklarasi HAM Kairo dengan menambahkan klausul “ DUHAM dapat diikuti terhadap pasal-pasal krusial mengenai agama selama tidak bertentangan dengan Syari’ah Islam”. Dengan perkataan lain, masalah-masalah yang dianggap krusial bagi negara-negara Islam dan mayoritas Muslim adalah masalah yang berkaitan dengan keyakinan agama dan gender. Indonesia juga ikut serta dalam Deklarasi Kairo. Diakui Shahram dan MacQuen bahwa Indonesia memiliki utusan (representation) Menteri Luar Negerinya dalam menghadiri konperensi OKI di Kairo tahun 1990, dalam rangka melindungi Hak-hak Asasi manusia di Negara-negara Islam.332Namun tidak ada respon tunggal bagi negara-negara Islam terhadap DUHAM, bahkan dalam masalah yang paling krusial sekalipun. a. Pandangan CDHRI 1990 Dalam konteks HAM, Cairo Declaration of Human Rights in Islam (CDHRI) 1990 mengatakan bahwa semua manusia adalah satu anggota keluarga yang anggota-anggotanya dipersatukan oleh pengabdian mereka kepada Allah, dan semua manusia adalah keturunan dari Adam.333 Semua manusia sama dalam hal asasi manusia dan kewajiban dan tanggung jawab asasi, tanpa diskriminasi atas dasar ras warna kukit, bahasa, kepercayaan, jenis kelamin, agama, afilasi politik, status social atau pertimbangan-pertimbangan. Islam adalah agama yang benar yang menjamin pengangkatan martabat integritas manusia. Deklarasi Kairo juga mengakui bahwa semua manusia adalah hamba 331
David Littman, “Universal Human Rights and "Human Rights in Islam," The Journal Midstream (New York, February/March 1999), 1, dalam http://www.dhimmi.org/Islam.html. 332 Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah, 145. 333 http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cairodeclaration.html (diakses tanggal 2 Desember 2010).
157
Allah, dan yang paling dicintai di sisi-Nya adalah yang paling bermanfaat dari hamba-hamba-Nya. Tidak ada seorangpun yang berkuasa atas yang lain kecuali atas dasar kesalehan dan tingkah laku yang baik.334 Konsep HAM Islam ini menyatakan bahwa pelaksanaan Hukum Islam adalah berdasarkan penafsiran umat Islam tentang syariat Islam sebagaimana terkandung dalam Fiqh Islam yang bersumber dari AlQuran dan Sunnah.335 Senada dengan konsep HAM dalam Deklarasi Kairo, Qanun No. 12 Tahun 2003 juga mengutarakan sejumlah kandungan Fiqh Jinayah yang ada dalamnya. Di dalam Pasal 1 Ayat (19) Qanun dikatakan, bahwa Uqubat adalah ancaman ‘uqu>ba>t terhadap pelanggaran jarimah qisas-diat, h>udu>d dan ta‘zi>r .336 Aspek yang perbedaan antara Cairo Declaration on Human Rights in Islam dengan Qanun Aceh terdapat dalam volume penghukuman dana ruang lingkup perkara “jinayat”. Cairo Declaration on Human Rights in Islam menyatakan bahwa hukum h}add dalam Islam (yang berupa potong tangan pencuri, dan bahkan hukuman mati bagi pelaku murtad, dan rajam bagi penzina muh}san dan cambuk bagi pelaku khamar) merupakan kebolehan/anjuran bila mahkamah syariat Islam/hakim di suatu Negara Islam memutuskan/menerapkan demikian. H}add tidak dikategorikan melanggar hak individu, dan penyiksaan yang menyiksa dan merendahkan martabat manusia sebagaimana yang ada di dalam pernyataan DUHAM dan CAT, dan tidak melanggar hak sipil sebagaimana diatur ICCPR, dan instrument/kompenen HAM terkait lainnya.337
334
Pasal 1 Ayat (1) Deklarasi Kairo. Pasal 25 CDHRI Tahun 1990. 336 Bab 1 Pasal 1 Ayat (19) Qanun No. 12 Tahun 2003. 337 Pasal 19, 22, 24, dan 25 Deklarasi Kairo. 335
158
Dengan perkataan lain, hukum h}add cambuk (bagi peminum khamar) yang diatur Qanun Aceh dianjurkan oleh konsep HAM Islam (Cairo Declaration on Human Rights in Islam). Suatu kasus khamar, sejak proses penyelidikannya sampai dengan proses pengeksekusian pelaku dibenarkan dalam hukum Islam asal bukan bermaksud mencari-cari kesalahan (tajassus) untuk menghukum.338 Pengaturan hak dalam Islam diketahui pada banyak ayat al-Quran dan al_Hadith yang mengajarkan manusia tentang kesamaan hak, terutama pada aspek lima perkara; (1) agama, (2) jiwa kehormatan, (3) aqal, (4) keturunan, dan (5) harta. 339 Dikatakan juga dalam Cairo Declaration on Human Rights in Islam 1990 bahwa status individu di depan hukum adalah sama antara pemimpin dan orang yang dipimpin. Hak menempuh jalur hukum juga dijamin, pertanggungjawaban adalah esensi individu, tidak ada penghukuman kecuali yang ditetapkan syariah. Tersangka adalah tidak bersalah kecuali kalau sudah terbukti di pengadilan dan berhak melakukan pembelaan diri. Prisip-prinsip peradilan ini dikatakan dalam Pasal 19: “(1) All individuals are equal before the law, without distinction between the ruler and the ruled; (2) The right to resort to justice is guaranteed to everyone; (3) Liability is in essence personal; (3) There shall be no crime or punishment except as provided for in the Shari'ah; dan (4) A defendant is innocent until his guilt is proven in a fast trial in which he shall be given all the guarantees of defence.”340
338
Qs. al-H{ujura>t [50]: 12. Lihat juga Keppres No. 3 Tahun 1997. ‘Abdu al-Qadi>r ‘U` al Jinā’ī Muqārinan bi al- Qānūn alWad}‘i>, 45-61. Lihat juga Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi, 37. 340 CDHRI 1990 Pasal 19 Ayat 1-4. 339
159
Menyangkut dengan keadilan hukum CDHRI menyatakan bahwa bahwa penegakan hukum mesti tanpa diskriminasi dan dituntut berpedoman kepada syariat Islam. Dikatakan dalam Pasal 22: “(1) Everyone shall have the right to express his opinion freely in such manner as would not be contrary to the principles of the Shari'ah; (2) Everyone shall have the right to advocate what is right, and propagate what is good, and warn against what is wrong and evil according to the norms of Islamic Shari'ah; (3) Information is a vital necessity to society. It may not be exploited or misused in such a way as may violate sanctities and the dignity of Prophets, undermine moral and ethical Values or disintegrate, corrupt or harm society or weaken its fait; (4) It is not permitted to excite nationalistic or doctrinal hatred or to do anything that may be an incitement to any form or racial discrimination”.341 Dalam pasal-pasal terakhir dikatakan bahwa semua kebebasan individu mesti merujuk kepada syariat Islam, dan dapat dilakukan penafsiran terhadap apa yang dinyatakan dalam nas}s} (teks kitab suci AlQuran dan H{adith) sebagai kitab sumber syariat Islam. Hal ini sebagaimana terungkap dalam Pasal 24: “All the rights and freedoms stipulated in this Declaration are subject to the Islamic Shari'ah”. Di dalam Pasal 25 juga dikatakan: “The Islamic Shari'ah is the only source of reference for the explanation or clarification of any of the articles of this Declaration.”342 b. Pandangan UIDHR 1981 Deklarasi Islam Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Islamic Declaration of Human Rights/UIDHR) ini dicetuskan 21 Dhul Qāidah 1401 bertepatan dengan 19 September 1981. Konsep HAM ini mengkritisi The Universal Declaration of Human Rights 1948 karena melihat pada latar belakang historis munculnya The Universal Declaration of Human Rights 1948 yakni adanya pengaruh JudeoCristian sebagai refleksi dari Perang Dunia Kedua. Juga dilatarbelakangi sikap kesewenang-wenangan raja terhadap kaum 341 342
CDHRI 1990 Pasal 22 Ayat 1-4. CDHRI 1990 Pasal 24 dan 25.
160
protelar (para tuan tanah) di Inggris, yang mengakibatkan lahirnya piagam Magna Charta 1912. DIUHR ini memiliki 23 pasal dengan pasal-pasal yang relevan dengan Islam. Di antara pasal yang menyangkut dengan Hukum Islam (Jinayat), dapat dilihat dalam bab IV The Universal Islamic Declaration of Human Rights ini yang membahas tentang hak keadilan ( right to justice) yang dilengkapi 6 pasal. Bab V tentang keadilan dalam pengadilan hukum ( right to fair trial), dan bab VII mengenai hak perlindungan terhadap penyiksaaan (right to protection against torture). Di dalam UIDHR 1981 terkandung 11 macam hak manusia yang mendasar.343 Dikatakan dalam Bab IV tentang Hak untuk Keadilan, bahwa setiap orang berhak untuk diperlakukan sesuai dengan hukum kitab suci, dan hanya sesuai dengan hukum. Setiap orang tidak hanya menerima hak tetapi juga menjalakan kewajiban dalam menyatakan protes melawan ketidakadilan. Setiap orang berhak untuk penyelesaian perkara melalui proses hukum yang diatur oleh UU seperti mengenai cedera pribadi yang disebabkan pihak lain tanpa alasan yang dibenarkan menurut hukum. Orang berhak menerima ganti rugi, berhak untuk membela diri terhadap setiap tuduhan yang tidak disukai terhadap dirinya dengan memperoleh putusan yang adil di depan pengadilan peradilan independen dalam peneyelesaian sengketa dengan penguasa (yang memiliki otoritas public) atau orang lain. Di dalam bab tersebut juga diatur tentang hak dan kewajiban setiap orang untuk membela hak-hak orang lain dan masyarakat pada umumnya (h}isbah). Tidak seorang akan didiskriminasi saat berusaha untuk membela hak-hak pribadi dan publik. Bab tersebut juga mengatur hak dan kewajiban setiap muslim untuk menolak untuk mematuhi setiap perintah yang bertentangan dengan UU, tidak peduli dari siapa perintah tersebut diterbitkan.344 Tentang Hak untuk memperoleh peradilan yang adil (trial fair) dikatakan dalam Bab V The Universal Islamic Declaration of Human Rights. 343
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 3rd Edition (Colorado: Westview, 1999), 76. 344 Lihat DIUHR 1981 Bab IV.
161
Dikatakan bahwa bahwa tidak seorangpun akan divonis bersalah karena melakukan kejahatan dan membuat dikenakan hukuman kecuali setelah terbukti bersalah di depan pengadilan peradilan independen. Tidak seorangpun akan divonis bersalah kecuali setelah pengadilan yang adil dan setelah kesempatan yang wajar untuk pertahanan telah diberikan kepadanya. Hukuman akan diberikan sesuai dengan UU tersebut, secara proporsional dengan adanya kenyataan pelanggaran dan dengan memperhatikan keadaan (kondisi) di mana perbuatan tersebut dilakukan. Suatu perbuatan tidak boleh dianggap sebagai kejahatan kecuali jika ditetapkan dalam kata-kata Hukum yang jelas. Tanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan seseorang/sutu pihak tidak dapat diperluas kepada anggota lain dari keluarga atau kelompok, yang tidak dinyatakan secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam pelaksanaan kejahatan tersebut.345 Tentang Hak Perlindungan terhadap Penyiksaan dikatakan dalam Bab VII, bahwa tidak seorangpun akan menjadi sasaran penyiksaan dalam pikiran atau tubuh, atau rusak, atau diancam dengan cedera baik untuk dirinya sendiri atau kepada siapapun yang berhubungan dengan atau dimiliki kekerabatan dengan dia, atau secara paksa dibuat untuk mengakui komisi kejahatan, atau terpaksa untuk menyetujui suatu tindakan yang merugikan kepentingannya.346 Al-Hageel membagikan kebebasan individu ke dalam tiga kebebasan utama yang telah dijamin Islam yaitu: (1) Kebebasan berfikir dan mengungkapkan pendapat (Freedom of thought and expression in Islam); (2) Kebebasan beragama dalam Islam (Religious freedom in Islam) dan (3) kebebasan memiliki harta dalam Islam (freedom to private property in Islam). Maka hukuman h}udu>d (terhadap peminum khamar dan tindak pidana lainnya) dalam Islam adalah bertujuan untuk melindungi hak-hak asasi manusia dan untuk mencapai keadilan yang absulut, sebagimana yang ditetapkan sang pencipta. Ia juga membagikan konsep peradilan ke dalam tiga konsep peradilan Islam yang berfungsi/bergerak secara harmonis satu sama lain, yaitu: (1) Sistem peradilan yang normal (the normal judiciary system); (2) Sistem 345 346
DIUHR 1981 Bab V. DIUHR 1981 Bab VII.
162
pertimbangan keluahan (the grievance system); dan Sistem rehabilitasi umum (general rehabilitation system—hisbah system). 347 Ketiga system tersebut bila dikaitkan dengan Qanun Aceh tentang khamar dapat dikatakan bahwa sistem peradilan yang normal berarti peradilan Islam menegakkan keadilan untuk semua pihak, dengan tidak membeda-bedakan status dan posisi pihak yang bersangkutan. Sistem (pertimbangan) keluhan berarti melihat perkara hukum dengan pertimbangan kondisi dan situasi dan prosesi peradilan. Selanjutnya sistem rehabilitasi umum bermakna bahwa dalam rangka menegakkan amal makruf dan nahi munkar melakukan –penyelidikan-penyelidikan dan pengawasan-pengawasan (h}isbah). Senada dengan Al-Hageel, R. Michael mengatakan badan hisbah adalah badan yang mengontrol dan mengawasi implemntasi syariah sebagaimana terdapat gambaran Pasal 20 Qanun No. 5 Tahun 2000. Badan hisbah ini dikenal sebagai Wilayatul Hisbah. Peran dari badan ini secara panjang tidak didefinisikan dalam Qanun ini. Mahkamah Syariyah diberikan kewenagan untuk mengatur personalia wilayatul h}isbah348 dan muh}tasib dalam proses perekrutan dan peneyelidikan kasus, baik Hukum Acara perdata maupun tindak pidana. 349 Sedangkan wewenang pengangkatan adalah di tangan gubernur Aceh.350 Pembentukan lembaga ini tidak terlepas dari dampak historis pengamalan hukum Islam. Iin Solikhin telah mengutarakan tugas badan ini berdasarkan sejarah, sebagaimana ungkapannya:
347
Sulaiman Abdurrahman Al-Hageel, Human Rights in Islam and Refutation of Miscoseived Allegations Assosiated with These Rights, 56 dan 107. Lihat juga Pasal 10-12 UDHR 1948. 348 R. Michael Feener, Islamic law in Contemporary Indonesia Ideas and Institution, 247. 349 Pengawasan (h}isbah) terhadap tindak pidana kriminal dinyatakan dalam Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 16, Qanun No 13 Tahun 2003 Pasal 14, dan Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 13. 350 Dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan qanun ini, Gubernur, Bupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah. Susunan dan kedudukan Wilayatul Hisbah diatur lebih lanjut dengan Surat Keputusan Gubernur setelah mendengar pendapat Majelis Permusyawaratan Ulama setempat. Lihat Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 16 Ayat (2) dan (3).
163
“Wilayah Hisbah is a jurisdiction institute (qad}a>’) orienting to advocate righteous deed and prevent the evil one. During Prophet SAW and khalifah al-Rasyidin periods, this institute still merged on khalifah's (government) power, although afterwards Prophet SAW and khalifah al-Rasyidin delegate this authority to several people. Later then, at period of Daulah Umaiyyah and Abbasiyah Wilayah Hisbah separated from khalifah's (government) power. In execution of its duty, this institute had given authority to executing punishment (ta'zi>r) to lawbreaker”. (“Wilayah Hisbah adalah lembaga peradilan yang berorientasi pada penganjuran berbuat baik dan pelarangan dari berbuat munkar seseorang. Selama masa Nabi Saw dan khalifah al-Rasyidin mendelegasikan kewenangan ini kepada sejumlah orang. Kemudian, pada masa Daulah Umayah dan Abbasiyah Wilayah Hisbah dipisahkan dari kekuasaan khalifah. Di dalam pengeksekusian tugas ini, lembaga ini telah memberikan hukuman eksekusi (ta‘zi>r) kepada pelanggar hukum yang ringan”).351 Selain pertimbangan his}bah (general rehabilitation system) yang dikatatakan Al-Hageel, 352 pertimbangan keluhan, yang dikatakannya 351
Iin Solikhin, “Wilayah Hisbah dalam Tinjauan Historis Pemerintahan Islam,” Jurnal Studi Islam dan Budaya, Vol. 3 No. 1 Jan-Jun 2005, 1-5. 352 Peran Wilatul Hisbah yang diungkapkan Qanun No. 12 Tahun 2003 tercantum dalam pasal 17, 18 dan 19: Pasal 17: (1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, Pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal16 yang mengetahui pelaku pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai Pasal 8, menyampaikan laporan secara tertulis kepada penyidik; (2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul hisbah dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkan laporannya kepada penyidik. Pasal 18: Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pasal 19: Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada Mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 17 tidak
164
tersebut juga dapat dibaca pada Pasal 32 Qanun ini yang mengatakan: (1) Pelaksanaan ‘uqu>ba>t dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap; dan (2) Penundaan pelaksanaan ‘uqu>ba>t hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.353 Memang kadang kala terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam proses pelaksanaan Qanun ini. Penegakan hukum memiliki resiko bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Namun sebagimana semboyan “di mana bumi dipijak disitu langit dijunjung,” maka tidak mustahil pelanggaran-pelanggaran akan terjadi baik disengaja ataupun tidak oleh pihak yang terlibat dalam pemrosesan perkara. Untuk itu keahlian dan etika hukum pada oknum-oknum yang yang bersangkutan sangat diperlukan. Dalam konteks ini, penanggung jawab terhadap kesepakatan HAM internasional bukan dipikul pemerintah Aceh semata tetapi oleh pemerintah Indonesia, karena Aceh bagian dari Indonesia. Komnas HAM dapat melakukan negosiasi dengan Mahkamah Agung terhadap perkara yang menyangkut dengan penegakan hukum cambuk bagi pelaku khamar di Aceh, tanpa mengabaikan hak Otonomi yang diberikan kepada Aceh. Semua pihak dapat berpedoman kepada Hukum perundang-undangan yang berlaku.354 Bukan hanya di Aceh, telah dialami Sudan bahwa upaya untuk menerapkan syariat sudah dihadapkan dengan kontroversi, kekerasan, bahkan peperangan (seperti perang saudara Sudan yang ke-2--Second Sudanese Civil War) yang berkaitan dengan perselisihan antara syariah dan konsep-konsep internasional, terutama menyangkut dengan hak-hak manusia (human rights) yang berkenaan dengan hak wanita, non-muslim,
ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik. Peran yang sama juga dikatakan juga dalam Qanun No 13, Pasal 15 dan Qanun No. 14 Tahun 2003. 353 Lihat Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 23 Ayat 1 dan 2. 354 Lihat Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6 Oktober 2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar‘iyah di Prov. NAD.
165
dan penodaan agama (blasphemy). 355 Memang aspek bertentangan utama antara syariah dengan HAM adalah yang berkaitan dengan hukuman h}udu>d (h}udu>d punishments) yang berupa pemotongan, rajam, dan pencambukan (flogging) dan beheading (hukuman mati). Larangan qazaf dan murtad (apostasy) juga merupakan pengecualian dari konsep yang dikenal di dunia internasional tentang kebebasan beragama (religious 356 freedom). OKI telah merampungkan Deklarasi Kairo tentang hak-hak asasi manusia dalam Islam (Cairo Declaration on Human Rights in 357 Islam/CDHRI) yang sesuai dengan penafsiran syariah. Tabel 4.1 menunjukkan adanya kesesuaian dan ketidak sesuaian antara Qanun No 12 Tahun 2003 dengan HAM. Hukum cambuk menurut UDHR 1948 tdak sesuai dengan HAM. Menurut Mayer, tidak ada pertentangan antara ICCPR 1966 dengan hukum cambuk, sedangkan Komnas HAM RI mengatakan pertentangan. Selain Komnas, CEDAW juga tidak setuju dengan hukum cambuk. Sedangkan CAT, CDHRI dan DIUHR menyetujui bahwa hukum cambuk dalam Qanun khamar setidak bertentangan dengan HAM. Keseluruhan Deklarasi dan kovenan HAM ini mengakui setuju terhadap penghukuman selain cambuk yang diatur Qanun Aceh ini. Tabel 4.1. Kesesuaian dan Ketidaksesuaian antara Qanun Khamar dengan ketentuan HAM Hukuman & Hukuman
Kesesuaiannya dengan HAM Perspektif HAM ICCPR
No
Pelaku pidana/jarimah
355
H{add cambuk
Ta‘zi>r kurungn
Ta‘zi>r denda
U D H R
M a y e r
Komnas HAM RI
C E D A W
C A T
D I U H R
David Littman, “Universal Human Rights and "Human Rights in Islam," The Journal Midstream (New York, February/March 1999), 13. 356 Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16. 357 Lihat http://www/Islamic Law of the World/Law.htm (diakses tanggal 18 Agustus 2010).
CD HR I
166 40 x cambuk
1
Peminum
-
-
Ts
Ss
Ts
Ts
Ss
Ss
Ss
2
Produsen
-
25-75 juta rupiah
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
-
3 bulan 1 tahun Sda
3
Penyedia
4
Penjual
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
-
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
5 6 7
Pemasok Pengangkut Penyimpan
-
Sda Sda Sda
Sda Sda Sda
Ss Ss Ss
Ss Ss Ss
Ss Ss Ss
Ss Ss Ss
Ss Ss Ss
Ss Ss Ss
Ss Ss Ss
8 Penimbun Sda Sda Ss Ss Ss Ss Ss Ss Ss 9 Pedagang Sda Sda Ss Ss Ss Ss Ss Ss Ss 10 Penghadiah Sda Sda Ss Ss Ss Ss Ss Ss Ss 11 Promotor Sda Sda Ss Ss Ss Ss Ss Ss Ss 12 Pemberi izin sda Sda Ss Ss Ss Ss Ss Ss Ss Keterangan Bentuk jarimah: meminum, memproduksi, menyediakan, menjual, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan; Ts = Tidak Sesuai; dan Ss = Sesuai.
B. Pelaksanaan Qanun No. 13 Tahun 2003 1. Qanun dan Hukum Perundang-undangan lainnya. Secara umum Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) tidak memiliki kontradiksi materil dengan perundangundangan lainnya di Indonesia. Perjudian tidak hanya dilarang di Aceh, tapi di seluruh wilayah hukum Indonesia. Pelarangan judi baik dalam tatatanan hukum keindonesiaan maupun global lebih tinggi dari pelarangan khamar (minuman yang beralkohol). Landasan utama Qanun (Maisir) ini adalah al-Quran dan al-Sunnah, di samping secara tegas konsideran (pertimbangan) Qanun Maisir mencantumkan UU RI No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Tidak ada yang baru dan berbeda dari qanun ini kecuali soal jenis pidana (pencambukan) yang ditetapkan. Definisi dan larangan perjudian telah lama diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal 303 Ayat 3 menyebutkan: yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada
167
umumnya kemungkinan mendapat untung tergantung pada peruntungan belaka, juga karena permainannya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya, yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.358 Pasal 1 Ayat (20) Qanun Maisir menyebutkan: perjudian adalah kegiatan dan/ atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran. Tidak ada perbedaan prinsipil jenis kejahatan antara yang diatur dalam KUHP dan Qanun Maisir. Berbeda dengan larangan minuman beralkohol sebagaimana diterangkan di atas, praktik judi sama sekali tidak dibenarkan di bumi Indonesia, tak terkecuali di Aceh.359 Pasal 1 KUHP secara tegas menyatakan semua tindak pidana perjudian sebagai kejahatan. Konsideran UU No. 7 Tahun 1974 pada bagian “menimbang” juga menyebutkan bahwa perjudian pada hakekatnya bertentangan dengan Agama, Kesusilaan dan Moral Pancasila, serta membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.360 Dalam hal ini, pemerintah Aceh dan pemerintah Pusat melakukan usaha-usaha untuk menertibkan perjudian, membatasinya sampai lingkungan sekecil-kecilnya, untuk akhirnya menuju pada penghapusannya sama sekali dari seluruh wilayah Aceh-Indonesia. Penegasan bahwa judi dilarang di semua wilayah Indonesia hingga lingkungan yang sekecil-kecilnya sampai menuju penghapusan sama sekali merupakan tujuan yang menggambarkan bahwa kejahatan umum perjudian ini jelas tidak dikehendaki kehadirannya. Dengan demikian, kehadiran qanun tentang Maisir sangat mendukung produk hukum lainnya yang melarang perjudian. Pengaturan dan pelaksanaan “Qanun judi” juga mengingat bahwa Qanun Aceh merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Meskipun dalam hukum pidana Islam ia bukan merupakan kejahatan tertier (teratas), namun dalam hukum perundang358
KUHP Pasal 303 Ayat 3. Qanun No. 13 Tahun 2003 Ayat 20. 360 KUHP Pasal 1. Lihat juga Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, “Analisis terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat”, Kertas Kebijakan, 10 Oktober 2005, 8, dalam Analisis-terhadap-qanun-nanggroe-acehdarussalam (Pdf), diakses tanggal 20 Januari 2011. 359
168
undangan Indonesia ia berada lebih tinggi dari khamar bila dilihat pada aspek pemidanaannya. M. H. Syed, seorang pakar HAM dalam Islam mengatakan: “Gambling is a dishonest practice, both in act and in spirit, for it represent an effort to make money without working.”(“Judi adalah suatu praktek ketidak jujuran, baik dalam bentuk tindakan maupun dalam mental, karena judi menunjukkan usaha untuk memperoleh uang tanpa kerja”).361 2. Pandangan HAM Universal Penjelasan di atas tentang ketentuan hukuman bagi tindak pidana judi—sebagaimana halnya Qanun tentang khamar di atas dan Qanun tentang khalwat (yang akan dibahas selanjutnya), memerlukan pembahasannya menyangkut dengan HAM. Penghukuman cambuk yang ditetapkan Qanun No. 13 Tahun 2003 bagi pelaku judi dalam pandangan HAM sama halnya dengan hukuman terhadap tindak pidana khamar dan khalwat, kecuali hanya volume cambukan dan penghukuman. Di dalam Qanun judi juga terdapat penghukuman ta‘zi>r pencambukan di depan masyarakat umum bagi pelaku, seperti telah dialami oleh 15 terpidana syariat (pelanggar syariat Islam) di Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, yang dieksekusi hukuman cambuk sebanyak 7-8 kali yang diperlihatkan dalam contoh kasus di bab III Penelitian ini. Dalam kasus tersebut aspek kategori pengukuman dan penyiksaan memang tidak terlalu berat, namun aspek merendahkan martabat manusia dan tidak manusiawi yang dipahami sebagian orang—yang kentara terlihat pada pencambukan 6-12 kali dari qanun. Sebagian kalangan mengatakan bahwa penghukuman seperti itu bertentangan dengan The Universal Declaration of Human Rights Pasal 5. Karena hal itu termasuk ke dalam kategori penyiksaan yang merendahkan martabat manusia menjadi seperti hewan--yang bisa dicambuk bila melanggar aturan. Namun menurut konteks Islam bahwa tidak berdosa menegakkan hukum cambuk sebagaimana yang digariskan hukum Islam (atau telah diqanunkan). Bahkan penghukuman ta‘zi>r 361
M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective , 153.
169
(berupa cambuk atau lannya) merupakan kewajiban uli al-amr (penguasa) dalam rangka mencegah praktek kejahatan di dalam masyarakat yang dipimpinnya dengan mendelegasikan kewenangannya kepada qadi/hakim.Walaupun demikian Islam masih membuka hukuman alternative selain cambuk terhadap pelaku judi.362 Sebagaimana ditunjukkan table 4.2 bahwa selain aspek pencambukan terhadap penjudi, penghukuman yang diatur Qanun mendapat dukungan The Universal Declaration of Human Rights. Dengan meninjau pada proses pra-peradilan pelaku, misalnya, Qanun telah sesuai Pasal 11 The Universal Declaration of Human Rights sebagaimana telah disebutkan di atas. Tersangka menjalani proses penyelidikan dan tahap-tahap peradilan lainnya, tidak langsung dihukum. Penetapan hukuman hanya setelah menjalani proses pra-peradilan dan pra-penuntutan dalam rangka menghargai hak tersangka.363 Dikatakan di dalam Pasal 22 Qanun judi bahwa Penuntut umum mempunyai wewenang: a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik; b. Mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. Memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. Membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke Mahkamah; f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut hukum yang berlaku; dan i. Melaksanakan putusan dan penetapan hakim.364 Ketentuan Pasal 22 Qanun Aceh ini juga merupakan hasil konsensus (kesepakatan) Legslatif dan Eksekutif Aceh dalam 362 363
2003.
364
M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective, 174 Lihat Pasal 11 UDHR Tahun 1948. Lihat juga Pasal 22 Qanun No. 13 Tahun Pasal 22 Qanun No. 13 Tahun 2003.
170
pengesahannya pada tahun 2003. Qanun ini disahkan untuk menjadi pedoman Mahkamah Syariah Aceh sampai dengan saat sekarang ini dalam memutuskan hukum pada perkara yang terkait. Pihak yang berwenang dalam penyusunan Qanun ini telah melakukan ijtihad (kajian yang mendalam) berdasarkan konsideran-konsideran hukum perundangundangan yang berlaku dan HAM. Faktor yang mempengaruhi konsideran demikian adalah penerapan Syariat Islam di Aceh masih berada dalam lingkup otoritas Negara bangsa (Indonesia).365 Bila melihat dari sudut pandang HAM lebih lanjut, praktek judi ada dua sisi (sudut pandang), yakni (1) aspek permainan, dan (2) aspek ekonomi. Aspek yang pertama dapat dilihat pada sikap dan tujuan individu yang menggunakan judi sebagai suatu aktifitas yang menyenangkan (rileks dan asah otak). Bahkan ada unsur senda gurau dalam perlombaan dan taruhan. Perlombaan dan mainan bukan judi, namun ia menjadi judi jika menggunakan system taruhan dan undian uang. Maka praktek kebebasan individu untuk relaks (menghilangkan ketegangan jiwa) tidak dimaksudkan sebagai suatu praktek perjudian oleh Qanun/Fiqh Islam. Jadi selain dalam Qanun, judi juga dilarang dalam The Universal Declaration of Human Rights 1948 yang tercantum dalam pasal-pasalnya yang terkait dan di dalam pasal-pasal ICCPR sebagai penjabaran dari UDHR juga. 3. Qanun Judi dan perspektif konsep HAM Islam a. Pandangan UIDHR 1981 Islam membolehkan umatnya berdikari (mencari nafkah) dengan cara yang halal, bukan dengan cara-cara yang terlarang seperti dengan cara bermain judi agar menjadi kaya, atau praktek illegal lainnya. Dikatakan dalam Bab XV UIDHR 1981 bahwa semua orang berhak atas manfaat dari alam dan semua sumber daya yang dimilikinya. Ini adalah berkat yang dianugerahkan oleh Tuhan untuk kepentingan umat manusia secara keseluruhan; dan semua manusia berhak untuk mencari nafkah mereka menurut hukum; setiap orang berhak memiliki harta, baik secara individu atau dalam hubungan dengan orang lain dalam suatu Negara.366 365 366
Lihat http//www. List of Muslim Majority Countries.html. DIUHR 1981 Bab XV.
171
Deklarasi HAM Islam dunia ini mengatur bahwa kepemilikan ekonomi tertentu dari sumber daya alam merupakan kepentingan masyarakat yang sah; masyarakat miskin boleh memiliki hak untuk bagian yang ditentukan dalam kekayaan orang kaya, sebagaimana ditetapkan oleh zakat, dipungut dan dikumpulkan sesuai dengan hukum. Semua alat-alat produksi harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat (ummat) secara keseluruhan, dan tidak dapat diabaikan atau disalahgunakan. Dalam rangka untuk memeningkatkan pembangunan ekonomi yang seimbang dan untuk melindungi masyarakat dari eksploitasi, hukum Islam melarang monopoli, melarang praktek perdagangan destruktif, riba, penggunaan paksaan dalam pembuatan kontrak dan penerbitan iklan yang menyesatkan. Bahkan semua kegiatan ekonomi diijinkan dengan syarat tidak merugikan kepentingan masyarakat (ummat) dan tidak melanggar hukum Islam dan nilainilai.”367 Senada dengan UIDHR 1981 ini, Qanun Aceh membolehkan masyarakat menghidupkan sektor ekonomi yang sesuai qaidah Islam dan hukum perundang-undangan yang berlaku. Karena itu Qanun melakukan pengaturan hukuman bagi pihak/individu yang melanggar aturan, yakni khusus bagi individu yang beragama Islam yang berdomisili di Aceh. Kebijakan Islam yang dicantumkan dalam Qanun Aceh yang melarang umatnya dari pengaruh judi, bukan untuk membuat umat non-muslim untuk merasa curiga dan takut. Bahkan umat non-muslim bebas untuk memeilih aturan hukum Qanun atau KUHP bila terlanjur atau dengan sengaja melakukan tindak pidana perjudian. Diakui Rusjdi Ali Muhammad bahwa umat non-muslim boleh memilih Pengadilan Umum atau Mahkamah Syariyah dalam proses pengadilan tindak pidana (judi) yang dilakukan. Sedangkan bagi umat Islam diwajibkan merujuk kepada Qanun.368 Dikatakan Alyasa‘ (seorang pakar hukum Islam) bahwa penerapan syariat Islam hanya berlaku bagi umat Islam sehingga mereka yang non-muslim tidak perlu merasa takut yang berlebihan mendengar 367
UIDHR 1981 Bab XV Ayat a-f Dalam Bab XVI tentang hak untuk memiliki harta (Right to Protection of Property) juga dikatakan, No property may be expropriated except in the public interest and on payment of fair and adequate compensation. Lihat juga ICCPR 1966 Pasal1 Ayat (1) dan (2). 368 Rusjdi Ali Muhammad & Swa, “Melanggar Syariat, Non-Muslim Boleh Pilih Hukuman”, Serambi Indonesia, 21 Juni 2011, 2.
172
syariat Islam. Alyasa‘ Abu Bakar menjamin bahwa syariat Islam mengatur hak-hak non–muslim di NAD.369 Senada dengan Alyasa‘, Gamawan Fauzi, Menteri dalam Negeri Kabinet Indonesia Bersatu (pimpinan SBY) mengatakan: “Only a religious–group majority, targeted by bylaw, must comply with them. People with different religions to those regulated by the by law must be excluded… .’’( Hanya kelompok mayoritas penganut agama, yang ditujukan Qanun, yang harus mereka patuhi. Sedangkan masyarakat yang berbeda agama bagi mereka tidak dikenakan).”370 Pandangan para pakar/tokoh tersebut dikuatkan Mawardi Islamil. Menurut Mawardi, pakar hukum dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, bagi pelaku judi di Aceh dari kalangan non-muslim diberikan kebebasan apakah memilih pengadilan Umum (dengan KHUP) atau menundukkan diri dengan hukum (jinayah) Islam dengan menerima uqubat sebagaimana yang diatur di dalam Qanun No. 13 Tahun 2003. Fenomena ini merupakan kekhususan bagi Aceh yang diberikan oleh UU No. 11 Tahun 2006 Pasal 125 Ayat (1) dan (2), dan Pasal 129 Ayat (2).371 b. Pandangan CDHRI 1990 Deklarasi Kairo tentang Hak-hak Asasi Manusia (Cairo Declaration on Human Rights in Islam) dilangsungkan pada 5 Agustus 1990—yang ikut dihadiri Indonesia.372 CDHRI dilandasi laporan dari 369
Lihat Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia. (Jakarta: Ciputat Press, 2005), 383. 370
Gamawan Fauzi, “Aceh sees Shallow Implementation of Sharia,’’ The Jakarta Post, 21 Agustus 2010, 5. Lihat juga Gamawan Fauzi, Islamic Bylaw may not Harm Tolerance and Pluralism, “The Jakarta Post,” 21 Agustus 2010, 2. 371
Mawardi Ismail, Beberapa Kekhusususan Undang-undang tentang Pemerintahan Aceh /UU No. 11 Tahun 2006, 9. 372 http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cairodeclaration.html (diakses tanggal 2 Desember 2010).
173
rapat panitia dari para ahli hukum yang diselenggarakan di Taheran pada tanggal 26–28 December 1989. Para ahli menyetujuinya untuk mengesahkan Deklarasi Kairo tentang hak-hak asasi manusia menurut Islam yang akan menjadi petunjuk umum bagi Negara anggota dalam hak asasi manusia, dalam rangka mengukuhkan kembali keummatan dan kodrat manusia yang diciptakan Allah sebagai umat yang terbaik dan memberikan kepada manusia peradaban yang paling seimbang. CDHRI dikombinasikan dengan hukum menurut kenyakinan Islam di mana saja umat Islam berada. Umat Islam bebas mengikuti mazhab fiqh mereka masing-masing dalam mengamalkan syariat Islam. CDHRI memenuhi harapan dari semua masyarakat muslim agar menjadi panduan bagi mereka yang bingung karena perbedaan dan konflik kepercayaan dan ideology yang terkait dengan hak. CDHRI bertujuan untuk mengokohkan hak dan kebebasannnya dalam hidup yang bermakna sesuai dengan syariat Islam sebagiamana kitab yang diwahyukan (the revealed Books of Allah) dan yang terkandung dalam sunnah Rasul-Nya (which were sent through the last of His prophets) yang dapat mengawasi hak-hak dasar dan kebebasan-kebebasan individu setiap muslim dan tanggung jawab kolektif dari ummat secara keseluruhan. 373 Di antara sejumlah hak manusia CDHRI juga mengetengahkan hak kepemilikan (proriation rights). Setiap orang memiliki hak untuk memiliki dan mencari harta dengan cara yang halal, bukan dengan cara perampasan dan berlawanan dengan hukum dan undang-undang. Di dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2) dikatakan: “Everyone shall have the right to own property acquired in a legitimate way, and shall be entitled to the rights of sownership without prejudice to oneself, others or the society in general. Expropriation is not permissible except for requirements of public interest and upon payment of prompt and fair compensation. (2) Confiscation and seizure of property is prohibited except for a necessity dictated by law” (“Setiap orang memiliki hak untuk 373
Pembukaan Deklarasi Kairo 1990. Lihat juga Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi menuju Pelaksanaan Hukum Islam di NAD, 42. Lihat juga Ann Elizabeth Mayer. Islam and Human Rights Tradition and Politics, 120.
174
memiliki harta yang diperoleh secara halal yang dinamakan hak kepemilikan tanpa ada syakwa sangaka baik yang datang dari pribadi maupun orang lain secara umum. Pengalihan hak tidak dibolehkan kecuali dengan syarat-syarat untuk kepentingan publik dan dengan cara pembayaran ganti rugi secara adil dan segera. Penyitaan harta dilarang kecuali untuk keperluan yang ditetapkan hukum”).374 Pasal 10 Ayat (1) dan (2) dari CDHRI tersebut jelas mengharamkan berdikari yang melanggar syariat (termasuk praktek judi) yang dinyatakan melanggar hukum syariat oleh al-Quran Surah alBaqarah Ayat 219.375 Semua macam hak Asasi manusia yang tidak bertentangan dengan keyakinan Islam diakui dalam Islam, termasuk hak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak dan berperan serta di dalam aktifitas social kemasyarakatan. Di dalam Pasal 13 CDHRI juga dikatakan: “Work is a right guaranteed by the State and the Society for each person with capability to work. Everyone shall be free to choose the work that suits him best and which serves his interests as well as those of the society. The employee shall have the right to enjoy safety and security as well as all other social guarantees. He may not be assigned work beyond his capacity nor shall he be subjected to compulsion or exploited or harmed in any way. He shall be entitled—without any discrimination between males and females—to fair wages for his work without delay, as well as to the holidays allowances and promotions which he deserves. On his part, he shall be required to be dedicated and meticulous in his work. Should workers and employers disagree on any matter, the State shall intervene to settle the dispute and have the grievances redressed, the rights confirmed and justice enforced without bias.” 376 374
CDHRI 1990 Pasal 10. Lihat juga Al-Hageel, Human Rights in Islam and Refutation of Misconceived Allegation Associated with These Rights, 60. 375 Lihat Qs. al-Ma>idah: 91-92. 376 CDHRI 1990 Pasal 13.
175
Dikatakan juga dalam Pasal 15 bahwa setiap orang berhak memperoleh harta yang bukan dengan cara yang terlarang. Pengambil alihan harta seseorang kepada pihak lain tidak diperbolehkan kecuali syarat-syarat tertentu yang dibolehkan secara hukum, atau demi kepentingan umum dengan pembayaran ganti rugi. Berdasarkan uraian-uraian yang menyangkut dengan perolehan harta yang legal yang diatur dalam konsep HAM universal dan konsep HAM Islam di atas, Qanun No. 13 Tahun 2003 ini, disamping melakukan upaya pengaturan terhadap cara berdikari yang halal, juga melakukan upaya pelarangan dan penghukuman bagi tindak pidana judi. Selain dilarang oleh Islam, judi juga dilarang oleh Negara RI melalui hukum perundang-undangan yang berlaku. Dalam merelisasikan pelarangan ini qanun menetapkan ‘uqu>ba>t (penghukuman/pencambukan) bagi pelaku yang terlibat. Tabel 4.2. Kesesuaian dan Ketidaksesuaian antara Qanun Maisir dengan Ketentuan HAM Hukuman dan Kesesuaiannya dengan HAM Hukuman Perspektif HAM No
Pelaku tindak pidana/jarimah judi
U D H R
I C C P R
C E D A W
C A T
D I U H R
C D H R I
-
Ts
Ts
Ts
Ss
Ss
Ss
Ta‘zi>r kurungan
Ta‘zi>r denda
6-12 kali cambuk
-
Ta‘zi>r
cambuk
1
Penjudi
2
Penyedia fasilitas
-
-
15-35 juta rupiah
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
3
Penyelenggara
-
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
4
Pelindung
-
Sda
Sda
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Sda Sda Ss Ss Ss Ss Ss Ss 5 Pemberi izin Catatan: Bentuk jarimah (tindak pidana): melakukan perjudian, menyediakan fasilitas, menyelenggarakan, melindungi, dan memberikan izin; Ts = Tidak Sesuai; dan Ss = Sesuai.
176
Dalam rangka menghargai martabat manusia sebagaimana anjuran UDHR 1948, Qanun menganut prinsip pra-duga tak bersalah dan menyesuaikan dengan kondisi fisik dan mental terhukum. Di dalam Pasal 29 Qanun ini dikatakan: (1) Pelaksanaan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap; dan (2) Penundaan pelaksanaan ‘uqu>ba>t hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.377 Persepsi (Qanun) seperti ini juga telah dicantumkan di dalam Deklarasi Kairo 1990. Dikatakan di dalam CDHRI bahwa menyangkut dengan status individidu di depan hukum adalah sama antara pemimpin dan orang yang dipimpin; hak menempuh jalur hukum juga dijamin, pertanggungjawaban adalah esensi individu, tadak ada penghukuman kecuali yang ditetapkan syariah; dan seorang tersangka tidak bersalah kecuali kalau sudah terbukti di pengadilan dan berhak melakukan pembelaan diri. Pasal 19 CDHRI berbunyi: (1) All individuals are equal before the law, without distinction between the ruler and the ruled; (2) The right to resort to justice is guaranteed to everyone; (3) Liability is in essence personal; (4) There shall be no crime or punishment except as provided for in the Shari'ah; and (5) A defendant is innocent until his guilt is proven in a fast trial in which he shall be given all the guarantees of defence.378 Berdasarkan table 4.2 di atas dapat dikatakan bahwa selain cambuk, Deklarasi HAM dan kovenan-covenannya menyetujui hukuman yang diatur Qanun terhadap pelaku perjudian dan orang yang terlibat dengan praktek perjudian. UDHR 1948 memang tidak setuju dengan penghukuman (cambuk) dari Qanun yang demikian. Pandangan ICCPR— yang menyangkut dengan kesesuaian dan ketidak sesuaian Qanun hukum cambuk dengan HAM—, memiliki dua penafsiran—sebagaiman tersebut di atas. Namun banyak kalangan yang memahami bahwa hukum cambuk bertentangan juga dengan ICCPR—seperti Iben dari Komnas HAM RI. 377
Qanun No. 13 Pasal 29 Ayat (1) dan (2). Pasal 19 CDHRI 1990
378
177
Tabel juga menyatakan bahwa CEDAW juga kontradiktif dengan hukum cambuk yang diatur Qanun. Sedangkan CAT, CDHRI dan DIUHR mengakui bahwa Qanun maisir telah sesuai dengan HAM. B. Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003 1. Qanun dan Perspektif Perundang-undangan lainnya. Tentang ‘uqu>ba>t khawat diatur dalam Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang khalwat (mesum), jika dilihat dari jenis perbuatan melawan hukumnya, bukan suatu hal yang baru. Hal yang sama ditemui dalam aturan kesusilaan yang ada dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Terlepas dari kontroversi yang dimilikinya, KUHP produk kolonial ini jauh-jauh hari telah mengatur soal kesusilaan. Bahkan jauh lebih rinci dibandingkan Qanun Khalwat. Pandangan seperti ini dilontarkan Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.379 Komisi ini juga mengatakan bahwa khalwat didefinisikan sebagai perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawainan. Sementara dalam KUHP dikatakan, hal-hal “kecil”. Namun demikian, keduanya tetap memiliki perbedaan orientasi hukum. Perbuatan khalwat akan tetap ditindak baik dilakukan di tempat umum (terbuka) maupun ditempat tertutup. Artinya, orientasi hukum pengaturan khalwat adalah untuk kemaslahatan dan kemanfaatan pribadi seseorang dan juga orang lain. Manfaat pribadi agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang mengarah pada perbuatan zina yang dilarang oleh agama dan mengakibatkan dosa dan siksa di kemudian hari. Sementara manfaat bagi orang lain adalah melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan atau perbuatan yang merusak kehormatan, sebagaimana maksud dari pelarangan khalwat di dalam Islam.380 Tujuan pelarangan khalwat terdapat dalam Pasal 3 Qanun Khalwat. Tujuan larangan khalwat adalah untuk melindungi masyarakat sedini mungkin dari melakukan perbuatan yang mengarah kepada zina dan merusak kehormatan. Menurut KUHP perbuatan asusila akan 379
Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, “Analisis terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat”, Kertas Kebijakan, 10 Oktober 2005, 8. 380 Muhammad al-Lut}fi> al-Siba>g, Tahri>m al-Khalwah bi al-Mar’ah alAjnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir (al-Riya>d}: Mat}ba‘ah Safi>r, 1411 H), 25.
178
ditindak sebagai pelanggaran hukum ketika dilakukan di muka umum. Sementara jika dilakukan di tempat tertutup tidak lagi menjadi obyek hukum. Perspektif hukum pidana tentang pengaturan kesusilaan ini mengarah pada upaya melindungi orang lain untuk tidak terganggu atau terpengaruh oleh tindakan yang menyebabkan timbulnya birahi orang lain. Di sinilah letak perbedaaan konsep qanun dengan KUHP. Pertimbangan utama yang penyusunan qanun itu adalah al-Quran dan Sunnah. Karena itu, secara materil qanun ini hanya memiliki justifikasi syariat Islam semata, meskipun ia tetap tidak bisa dipersoalkan (uji materil) karena berdasarkan UU No. 44 Tahun 1999 dan UU No. 18 Tahun 2001, Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan sebagai daerah yang diperintahkan oleh hukum untuk menjalankan syariat Islam.381 Selain menyelaraskan dengan sejumlah pasal dari UDHR 1948 (terutama dengan pasal 11), untuk menghindari pengeksekusian yang curang dan tidak adil maka perlu dilibatkan pelaksana ahli dalam bidang Hukum pidana. Dikatakan dalam Pasal 27 Qanun tersebut bahwa: (1) Pelaksanaan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap; dan (2) Penundaan pelaksanaan ‘uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang.382 Prosesi penegakan hukum juga senada dengan pasal 11 UDHR 1948 sebagaimana dikatakan dalam pasal 14 Qanun ini, “ (1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, Pejabat WH sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 bila menemukan pelaku terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6, menyampaikan laporan secara tertulis kepada penyidik; (2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukan pelaku jarimah khalwat/mesum dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkannya kepada penyidik; dan (3) Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan
381
Qanun No. 5 Tahun 2000. Lihat juga Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Pangabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria, 41-44. 382 Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 27 Ayat (1) dan (2).
179
kepada penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).383 Selain itu, di dalam Pasal 15 juga dikatakan: Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada Mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (1) tidak ditindak lanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik.384 2.
Pandangan HAM Universal
Sudah diuraikan di atas, menurut sebagian kalangan, aplikasi Qanun No. 14 Tahun 2003 tidak hanya melangganggar UDHR 1948 (terutama pasal 5-6 nya), namun juga banyak bertentangan dengan sejumlah kovenan-kovenannya. Hal ini dapat dilihat pada kovenan HAM/CEDAW. Menurut tinjauan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women pelanggaran HAM bukan hanya pada eksekusi tindak pidana (khalwat) namun sejak mulai penyelidikan (opsporing) oleh Wilayatul Hisbah tentang praktek kebebasan individu yang berupa khalwat. Penyelidikan seperti ini juga bertentangan dengan kovenan HAM/ICCPR yakni Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang ditanda tangani RI pada tanggal 19 Desember 1966, sebagaimana diterangkan di atas. Diakui Sukron Kamil, dkk bahwa di Bireuen (Aceh) memiliki frekwensi razia/penyelidikan (wanita keluar malam) paling tinggi dibandingkan tempat lain, karena Bireuen memang telah menerapkan syariat Islam dalam berbagai aspek, termasuk larangan khalwat.385 Selain yang berupa hanya penyelidikan tersebut, eksekusi tindak pidana khalwat seperti dialami masyarakat Aceh Barat, yang dihadapkan pada panggung eksekusi pencambukan jelas terjadi pelanggaran HAM yang lebih besar. Bahkan aksi tersebut telah mengarah kepada pelanggaran kovenan tentang penghukuman yang kejam dan melanggar harkat dan martabat manusia/Convention Against Toture (CAT). 383
Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 14 Ayat (1) sampai (3). Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 15. 385 Sukron Kamil, dkk, Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non Muslim, 165. 384
180
Argumen ini ditegaskan dengan Pasal 5 dan Pasal 6 UDHR 1948.386 Namun bagi konsep DUHAM hal ini jelas pertentangan besar dengan CAT yang mengadopsi Pasal 5 DUHAM, dan International Covenants on Civil and Politics Rights (ICCPR), dan instrument/komponen HAM terkait lainnya. Pandangan seperti ini dikeluarkan oleh Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.387 Berbeda dengan pandangan sebagian kalangan, pihak yang mengesahkan Qanun khalwat memandang bahwa praktek hukuman (ta‘zi>r) yang dijatuhkan terhadap pelaku khalwat merupakan kebolehan jika mahkamah syariat Islam/hakim ternyata memutuskan hukum demikian, dan tidak terkategorikan melanggar hak individu, dan penyiksaan yang menyiksa dan merendahkan martabat manusia. Fenomena perdebatan yang menyangkut dengan (HAM) tersebut telah ditanggapi Alyasa‘ Abu Bakar dengan mengatakan bahwa penerapan syariat Islam tidak boleh melanggar Hak-hak Asasi manusia (HAM) dan tidak mengabaikan hak perempuan (gender);388 sanksi cambuk bagi pelaku khalwat (zina) adalah hukuman alternatif yang— menurutnya—tidak bertentangan dengan HAM, maka kalau pelaksanaanya tidak cocok harus diselesaikan. Artinya kalau tidak Islamnya salah dipahami, makna HAM-nya salah dijelaskan. Jadi tidak mungkin penerapan syariat Islam bertentangan dengan HAM. Ia 386Pasal
5: Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman. Pasal 6: Setiap orang berhak atas pengakuan di mana-mana sebagai pribadi di hadapan hukum. 387 Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, “Analisis terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat”, Kertas Kebijakan, 10 Oktober 2005, 8. 388 Terminology gender memiliki pengertian yang luas (ambiguation), namun yang dimaksudkan di sini adalah untuk kategori perbedaan individu ditinjau dari aspek jenis kelamin. Keterkaitannya dengan perkara khalwat (improper relation between sexes) karena tindak pidana ini melibatkan dua orang yang berjenis kelamin berbeda (yakni laki-laki dan perempuan). Keterkaitannya dengan HAM karena ada pendapat dalam Islam yang melarang perempuan bekerja di sektor publik yang bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan, sehingga berat kemungkinan terjadi praktek khalwat pada situasi dan kondisi tertentu. Pandangan seperti ini bertentangan dengan UDHR 1948 Pasal 19 (tentang kebebasan gender).
181
menegaskan bahwa penerapan syariat Islam di Aceh tidak mencontoh Malaysia, Afghanistan, dan berbagai negara Islam lainnya. Tetapi Aceh memiliki model sendiri dan itu tak bisa dilaksanakan dalam waktu cepat. Sukron, dkk dengan mengutip Alyasa‘ juga mengatakan bahwa perempuan dalam bingkai syariah di Aceh diperkenankan bekerja di luar rumah. Di dalam adat masyarakat Aceh, perempuan diberikan penghargaan yang tinggi (yakni ada yang menjadi ratu dan pahlawan).389Selain paparan Ayasa‘,—menyangkut dengan—persoalan gender di dalam Islam juga kerab diperdebatkan pakar-pakar HAM Islam dan dunia.390 Alyasa‘ mengakui dirinya menyetujui hukuman cambuk, baik kepada pelaku khalwat, khamar, dan maisir. Menurutnya, semua hukuman adalah derita, yang menurut filosof Eropa, penderitaan paling berat adalah kehilangan kemerdekaan. Logikanya karena hak asasi paling dasar adalah kebebasan, maka hukuman cambuk yang diterapkan adalah yang lebih ringan dan yang agak jauh dari pelanggaran HAM. 391 Senada dengan Alyasa‘ M. H. Syed menyetujui pelarangan khalwat (illegal sexual intercourse), sebagaimana katanya: “Islam prohibated illegal sexual intercourse in all forms, …”(Islam melarang semua bentuk hubungan seksual yang tidak sah”).392 Dengan perkataan lain, mulai dari proses penyelidikan aspek HAM dalam pembuatan Qanun Aceh telah diperhatikan. Penyelidikan sangat diperlukan karena hal ini merupakan aspek proses supremasi hukum agar tidak menyimpang dengan HAM dan hukum. Pasal 11 UDHR 1948 menyebutkan: (1) Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya. (2) Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran 389
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan Non Muslim , 134 390 Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQuen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah, 1-10. 391 Alyasa‘ Abu Bakar, “Syariat Islam jangan Bertentangan dengan HAM”, Serambi Indonesia, 10 Juni 2010, 3. Lihat juga Sukron Kamil Chaider S. Bamualim,, Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hakhak Perempuan dan Non Muslim 207. 392 M. H. Syed, Human Rights in Islam: the Modern Perspective , 154
182
hukum karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu pelanggaran hukum menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan dikenakan hukuman yang lebih berat daripada yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. 393 Senada dengan Pasal 11 UDHR 1948 ini, di dalam Qanun Aceh tentang Khalwat Pasal 14 juga dikatakan: a. Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, Pejabat WH sebgaimana dimaksud dalam pasal 13 bila menemukan pelaku terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6, menyampaikan laporan secara tertulis kepada penyidik; b. Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukan pelaku jarimah khalwat/mesum dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkannya kepada penyidik; c. Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2). Di dalam Pasal 15 Qanun tersebut juga dikatakan, Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada Mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam pasal14 ayat (1) tidak ditindak lanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik.394 Hak gugatan dan perlindungan hukum yang terdapat di dalam pasal 15 Qanun tersebut juga senada dengan Pasal 12 UDHR yang berbunyi: Tidak seorangpun dapat dikenakan terhadap interferensi dengan sewenang-wenang, keluarganya rumah privasi, atau korespondensi, atau untuk serangan atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan. Pasal 31 (Qanun) menyebutkan bahwa (1) ‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum; dan Ayat (2) menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuaan akan diatur dalam Qanun tentang hukum formil. Mekanisme ini menunjukkan adanya keterlibatan unsur personalia terkait 393 394
Lihat UDHR 1948 Pasal 11. Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 14-15.
183
dalam prosesi pengeksekusian pelaku tindak pidana dalam suatu mahkamah. 395 Juga dikatakan bahwa keterlibatan hakim (qād}i) tidak terlepas sejak awal prosesi seperti penyelidikan sampai dengan penjatuhan hukuman, sebagaimana dikatakan dalam Pasal 32 bahwa: (1) Pelaksanaan ‘Uqu>ba>t dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap; dan ayat (2) menyatakan bahwa Penundaan pelaksanaan ‘uqu>ba>t hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang. Sebagaimana diketahui bahwa bahwa seorang jaksa merupakan unsur penting bagi keberlangsungan suatu prosesi pengeksekusian, maka tidak mustahil ia diperankan dalam proses itu. 396 3.
Pandangan CEDAW dan CAT Menurut Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, jika qanun khamar dan maisir dianggap tidak mengalami kontradiksi dengan perundang-undangan lainnya di Indonesia, qanun khalwat mengalami kontradiksi dengan perundang-undangan lainnya. Pembatasan jenis tindak pidana khalwat yang sangat luas berimplikasi pada penafsiran hukum yang luas. Pengaturan khalwat jika dihadapkan pada UU tentang Hak Asasi Manusia, bahkan dengan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) jelas-jelas mengalami kontradiksi signifikan. Hak asasi seseorang menjadi sangat terancam akibat adanya pengaturan yang sangat longgar. Pembatasan terhadap gerak perempuan di wilayah publik, sebagai sesuatu yang sangat ditentang oleh UU No. 7 Tahun 1984 hasil Ratifikasi kesepakatan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, telah menjadi fakta lapangan di Aceh. Jika di satu sisi kehadiran qanun khlawat dianggap memiliki justifikasi politik, karena ia merupakan manifestasi dari pendelegasian kewenangan dalam penyusunanan peraturan daerah, sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2001, maka di sisi lain ruang untuk mempersoalkan
395 396
Lihat Qanun No. 12 Tahun 2003 Pasal 31. Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Pasal 1 dan 2.
184
kontradiksi yang didapati dalam qanun juga dibenarkan oleh UU yang sama.397 Sesuai dengan namanya “Hak Otonomi,” UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus memang tidak membatasi secara tegas kewenangan penyusunan peraturan daerah oleh otoritas NAD, misalnya dengan memagari bahwa setiap produk peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan UU yang menyangkut dengan HAM terrutama UU yang telah diratifikasi dari (kesepakatan) CEDAW dan lain sebagainya. Namun sebagaimana ditetapkan dalam Ketentuan Peralihan dalam pasal 29 UU Otonomi Khusus dijelaskan bahwa semua peraturan perundangundangan yang ada sepanjang tidak diatur dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.398 Nur Ikhwan dalam karyanya menulis bahwa (mantan) Gubernur Abdullah Puteh menjamin (issued an assurance) bahwa implementasi syariat tidak akan mengurangi hak-hak dan kebebasan-kebebasan perempuan dalam berkarya.399 Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh beranggapan bahwa eksekusi cambuk bagi pelaku khalwat bertentangan dengan UUD 1945 Bab XA Pasal 18A -28J, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, dan UU RI No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi Melawan Penganiayaan dan Perlakuan Kejam yang lain, tidak Manusiawi atau Hukuman yang Menghinakan.400 Pandangan seperti ini sama halnya dengan Human Rights Watch (HRW) yang bermarkas di London. Juru bicara Human Rights Watch, Christen Broecker, ketika berada di Jakarta, mengatakan pemberlakuan syariat Islam bukan masalah namun beberapa ketentuan tentang moralitas sering menimbulkan penganiaan terhadap orang-orang yang dianggap melanggar syariat. Christen juga 397
Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, “Analisis terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat”, Kertas Kebijakan, 10 Oktober 2005, 8. 398 Lihat UU No. 11 Tahun 2006 Bab Peralihan 399 Nur Ikhwan, “the Politics of Shari‘atization: Central Gorvermental and Regional Discourses of Shari‘a Implementation in Aceh” dalam R. Michael Feener and Mark E. Cammack, Islamic in Contemporary Indonesia Ideas and Institutions, 209. 400 Komnas Perempuan tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, “Analisis terhadap Qanun No. 12, 13, dan 14 tentang Jinayat”, Kertas Kebijakan, 10 Oktober 2005, 8.
185
menyarankan agar dua ketentuan hukum yakni hukum khalwat dan dan hukum tentang tata cara berpakaian syariah dicabut.401 HRW memberikan contoh adanya pemerkosaan terhadap tahanan oleh oknum Wilayatul Hisbah (WH). WH yang dibentuk dalam rangka melakukan pengawasan terhadap tidak pidana khalwat, ironisnya oknum dari badan ini juga melakukan tindak pidana dalam menjalankan tugasnya. Di Langsa, misalnya, 3 orang oknum dari WH yang bernama Nazir, Feri, dan Dedi memperkosa tahanan tersangka pelaku khalwat yang bernama “Nita”. Akibat tindak pidana ini ketiga oknum WH ini dijatuhi hukuman 8 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Langsa, Aceh.402 Pada lingkup yang lain, pejuang Hak-hak perempuan asal Iran, Shirin Ebadi juga mengecam sejumlah Undang-undang yang mencegah persamaan hak sebagai fakta hukum yang cacat. Ia menyarankan adanya persamaan hak antara perempuan dan laki-laki pada kedua system yang mengatur hak-hak asasi manusia yakni system HAM dan system Islam. Maka interpretasi Islam tentang status perempuan di peringkat kedua di dalam realita sosial memerlukan pertimbangan.403Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penafsiran status gender baik menurut konsep Islam maupun konsep HAM memerlukan perhatian semua kalangan, sehingga tidak nampak adanya diskriminasi terhadap perempuan (discrimination against women) dalam setiap aspek kehidupan. Qanun khalwat menyahuti pelarangan dari mendekati zina di dalam Islam dengan melakukan penghukuman terhadap pelaku khalwat, agar orang tidak mudah terjermus ke dalam praktek yang mendekati kepada perzinaan. Penghukuman khalwat lebih dekat dengan analogi penghukuman jarimah zina yang diperintahkan Qs. al-Nu>r [34]: 2. Ayat ini secara gamblang memerintahkan pengeksekusian pelaku tindak pidana zina (dengan pencambukan) yang dilakukan di depan khalayak. Senada 401
“HRW: Qanun Khalwat Melanggar HAM”, Serambi Indonesia, 3 Desember 2010 dalam http://m.serambinews.com/news/view/44063/hrw-qanun-khalwatmelanggar-ham (diakses tanggal 3 Desember 2010. 402 Lihat Asrori S. Karni, “Hukum dan Kriminalitas”, Gatra. Com, tanggal 19 Desember 2010, 1, dalam http://www.gatra.com/artikel.php?id=143697 (diakses tanggal 15-02-2011). Lhat juga “ Sharia Poice Arrasted for Rape”, The Jakarta Post, January 16, 2010, 1. 403 Shahram Akbarzadeh and Benjamin MacQueen, Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah, 14.
186
dengan Ayat tersebut, Pasal 28 Ayat (1) Qanun ini menyatakan bahwa uqubat cambuk (bagi pelaku khalwat) dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk.404 Memang menurut Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, pencambukan yang ditetapkan Qanun No. 14 Tahun 2003 yang menerapkan eksekusi di depan umum bagi tindak pidana khalwat, di samping bertentangan dengan HAM universal—sebagaimana diuraikan di atas—, juga bertentangan dengan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women terutama bila hukumannya dijatuhkan kepada perempuan. Dikatakan bertentangan dengan HAM juga, karena ketentuan Qanun ini hanya berlaku bagi laki-laki dan perempuan Islam yang berdomisili di Aceh. Dengan demikian terdapat diskriminasi terhadap ummat Islam dalam penghukuman.405 Berbeda dengan Komnas Perempuan, Hasanuddin Yusuf Adan mengatakan bahwa hak dan kebebasan menjalankan ajaran agama dapat berlaku bagi penganut agama apa saja. Kepada penganut agama Kristen di negeri Batak dan Roma, penganut agama Yahudi di Yeruzalem dan Palestina, penganut agama Hindu-Budha di Bali dan Thailand. Mereka berhak menjalankan ketentuan agamanya dengan bebas asalkan tidak mengganggu agama lain karena itu bahagian dari ketentuan HAM internasional. Untuk itu semua jangan berkedok HAM untuk menghancurkan Hukum Islam, kalau itu yang dilakukan maka ummat Islam boleh menyimpulkan HAM yang menjajah hukuman cambuk dan 404
Lihat Qanun No. 14 Tahun 2003 Ayat (1). Sejumlah pakar fiqh dan HAM Islam memahami bahwa Qanun cambuk bagi pelaku khalwat sebanyak 3-9 kali tidak tergolong hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia; tidak diskriminasi terhadap orang muslim/pelaku khalwat yang berdomisili di Aceh. Karena pada awal Islam ada orang yang bernama Maiz meminta hukuman hadd zina dijatuhkan atasnya dengan suka rela kerena ia yakin bahwa menerima hukuman itu bagian dari ketaatan terhadap hukum agama. Maka tidak mustahil pakar HAM Islam nemahami UDHR Pasal 18 tentang kebebasan beragama—yang mencakup juga kebebasan menjalankan hukum-hukum agama. Lihat juga Ah}mad Fathi Bah}ansi, al-Siya>sah al-Jina>iyah fi> al-Syariyah alIsla>mi>yah (Bairut: Da>r al-Ma‘a>rif, 1403), 37. 405
187
bukan hukuman cambuk yang melanggar HAM. Hasanuddin menambahkan, Zina, minum arak dan menuduh orang lain berzina tanpa cukup saksi merupakan perbuatan keji dan jahat. Karena itu ketika hukuman cambuk diberikan kepada pelakunya tidaklah berlebihan dan tidaklah melanggar HAM bagi orang yang berpikiran dan objektif dalam berpikir, karena pelakunya telah melanggar sejumlah hak oramg lain. Hanya orang-orang yang mengedepankan hawa nafsu sajalah yang menuduh hukum cambuk melanggar HAM serta tidak berperi kemanusiaan. Kalau kita mau bertanya balik; apakah pelaku zina yang keji dan kotor seperti hayawa>n, penuduh orang lain berzina yang d}a>lim, kejam dan “jahannam” serta peminum arak yang serupa dengan syaitan itu punya prikemanusiaan406 Nazila, dkk. juga sulit membedakan antara pelanggaran HAM dan (hak) kebebasan menjalankan—kepercayaan hukum—agama, sebagaimana katanya: “The fact that it is still seen to be so difficult an issue tells us something significant about the relationship between human rights and religious belief”.407 Terkait hukum jinayat khalwat di Aceh, Hukum perundangundangan RI telah memberikan peluang kepada Aceh untuk menyusun dan melaksanakan Qanun tentang khalwat.408 Memang Indonesia telah mernyetujui kovenan (kesepakatan) HAM dengan Majlis Umum PBB pada tanggal 23 Oktober 1985, dan telah meratifikasikannya ke dalam UU No. 5 Tahun 1998 yang ditandatangani B. J. Habibie. RI telah meratifikasikan menjadi UU tentang pengesahan Convention Againts Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or 406
Hasanuddin Yusuf Adan, “Aceh Antara Hukuman Cambuk dan HAM,” http://ummahonline wordpress.com/2010/02/19/aceh-antar-hukum-cambuk-dan-ham/ (diakses 9 Desember 2010). 407 Nazila Ghanea, Alan Stephens and Raphael Walden, Does God Believe in Human Rights?: Studies on Religion, Secular Beliefs and Human Rights, 10. 408 Dalam jawabannya kepada HRW, Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar mengatakan bahwa Mahkamah Agung RI pernah menguji Qanun No. 14 Tahun 2003. Hasilnya, Mahkamah Agung tidak membatalkannya. Bahkan beberapa kasasi Mahkamah Agung mengukuhkan ketentuan hukum tentang khalwat dan telah berkekuatan hukum tetap menjadi yurispridensi. Lihat Asrori S. Karni, “Hukum dan Kriminalitas”, Gatra.Com, tanggal 19 Desember 2010, 3.
188
Punishment (Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia) yang disepakati pada tanggal 9 Desember 1975. Deklarasi dan Prograrn Aksi Wina 1993 juga sepakat antara lain menghimbau negara-negara anggota PBB untuk secepatnya mengesahkan perangkat-perangkat internasional yang sangat penting di bidang hak asasi manusia (HAM). 409 Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa dualisme pemahaman tentang HAM,—satu pihak memandang bahwa penghukuman khalwat/zina di dalam Islam merupakan pelanggaran HAM, sementara pihak lain memandang sebaliknya—, berlangsung hingga saat sekarang ini. 4. Pandangan HAM Islam Perkara gender penting disinggung di sini karena praktek jarimah khalwat satu pelarangan manusia bekerja di luar rumah dan pencampur adukan satu tempat antara laki-laki dan perempuan, menurut pandangan Islam, adalah agar terhindar dari praktek khalwat/tuduhan khalwat.410CDHRI melakukan penyusunan (draft) HAM untuk menghindari pengabaian hak yang sama berkaitan dengan hak, tanpa mengabaikan gender (jenis kelamin)–sebagaimana diharapkan di dalam sebuah dokumen yang disahkan oleh negara-negara Islam seperti Iran dan Arab Saudi, di mana diskriminasi yang berdasarkan jenis kelamin adalah kebijakan Negara. Pada perumusan yang tidak jelas (evasive), pasal 6 menyatakan bahwa wanita sama dengan laki-laki dalam kodrat kemanusiaan (human dignity)—namun tidak sama dalam hak (rights). Para pegiat HAM Islam dari Pakistan (seperti Abu al-A’la alMaududi dan Tabandeh) kerap memberikan komentar tentang persamaan hak dan kebebasan bagi wanita untuk bergerak dan bekerja di luar rumah sebagaimana yang diungkapkan pasal 19 UDHR 1948. Tabendeh, pegiat HAM Islam menyatakan pertentangannya terhadap persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang tercantum dalam Pasal 19 UDHR jika dimaksudkan bahwa itu merupakan persamaan kodrat antara laki-laki dan 409
Lihat juga Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, 207. 410 Muhammad al-Lut}fi> al-Siba>g, Tahri>m al-Khalwah bi al-Mar’ah alAjnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir , 27.
189
perempuan yang membuat mereka dapat memilih tugas-tugas tertentu dan dalam membuat keputusan yang sama. Pandangan ini disetujui Abu A‘la al-Maududi, hanya ia menyetujui kebebasan hak bagi perempuan untuk melakukan gugatan cerai terhadap suaminya pada keadaankeadaan yang memungkinkan. Mayer dalam bukunya menulis: Tabandeh olso profess his opposition to the notion of male-female equality embodied in Article 19 (of UDHR) if it meant that a natural equality exists between men and women , fitting them to undertake identical tasks and to make equal decision. … Unlike Tabandeh, …However, Maududi’s views on women are on record in his other writing , and they are similar to Tabandeh’s, with exception that Maududi believed that women should be able to sue for divorce on liberal grounds. 411 Dalam Konteks ini Cairo Declaration of Human Rights in Islam mencantumkan kriteria Islam dalam menegaskan hak kebebasan wanita untuk bergerak dan kemampuan mereka untuk memilih pekerjaan. Pasal 12 The Cairo Declaration of Human Rights in Islam menyatakan bahwa setiap orang akan memiliki hak, di dalam kerangka Sharia (fi ut}ur> alshari`a). Dalam syariah Islam agar adanya kebebasan bergerak bagi wanita, misalnya, harus ada keizinan suami terlebih dahulu.412 Pasal 13 Cairo Declaration of Human Rights in Islam juga menyatakan laki-laki dan perempuan yang bekerja dinjurkan adil dalam penerimaan upah pekerjaan tanpa diskriminasi (the employee shall be entitled without any discrimination between males and females). Ketentuan ini merupakan sebuah langkah yang positif karena tidak menghalangi (restrick) penentuan lapangan pekerjaan yang menjanjikan bagi wanita.413 Pada item yang lain, The Cairo Declaration of Human Rights 411
104.
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 102-
412
Pasal 12 CDHRI menyatakan: Every man shall have the right, within the framework of the Shari'ah, to free movement and to select his place of residence whether within or outside his country and if persecuted, is entitled to seek asylum in another country. The country of refuge shall be obliged to provide protection to the asylum-seeker until his safety has been attained, unless asylum is motivated by committing an act regarded by the Shari'ah as a crime. 413 Lihat Pasal 13 CDHRI 1990.
190 in Islam menyatakan juga bahwa setiap orang bebas memilih pekerjaan,
dan orang tersebut tidak boleh bekerja di luar kapasitasnya. Ketentuan inilah yang mengeluarkan perempuan dari bekerja pada wilayah yang tidak sesuai bagi mereka. Hal ini kontradiktif dengan UDHR pasal 23 ayat (1), yang menjamin setiap orang memiliki hak untuk bekerja dan bebas memilih pekerjaan, dan pasal 6 dari ICESCR, yang menjamin hak bagi setiap orang untuk memperoleh penghidupan dengan bekerja yang dipilih secara bebas dan diinginkan. Pasal 23 The Cairo Declaration of Human Rights in Islam juga menetapkan bahwa sharia menentukan hak untuk mengambil kantor publik, yang dijadikan pegawai berdasarkan pengendalian perempuan untuk berpartisipasi dari kantor-kantor pemerintahan. Ann Elizabeth Mayer menganggap bahwa konsep Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia menurut Islam (Cairo Declaration of Human Rights in Islam ) ini merupakan salinan Pasal 19 and 20 dari ICCPR, yang menangani aspek peradilan kejahatan. Hukum shari‘ah diakui memiliki perkembangan sejarah yang menyangkut dengan penanganan prosedur kejahatan sampai saat sekarang ini. Hukum Islam pernah ditinggalkan pada banyak Negara dan digantikan oleh hukum perundang-undangan tindak pidana yang ditetapkan Barat (Western provenance). Hukum Islam bukan merupakan sebuah aspek dari ketentuan Islam yang menganjurkan banyak pertimbangan atau menghambat system peradilan modern. Di antara pernyataan Mayer yang penting dikutip adalah:
“Islamic rules on criminal procedure are not a facet of the Islamic legacy that has commanded much loyalty or that has constituted a serious obstacle to the modernization of criminal justice.” 414 “This fact makes it difficult for some to argue that the decision to omit from the Cairo declaration the safeguards of 414
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16.
191
articles 9415 and 14416 of the ICCPR was “compelled by a generally accepted view of which elements in the Islamic legal legacy deserve high priority.” Article 19 (b) 417of the Cairo Declaration states that the right “to resort to justice is guaranteed to everyone.” This formulation is regarded as fragile, since the declaration gives insufficient guarantee that this right “to resort justice includes a fair hearing with safeguard (for both civil and criminal litigants) according to the rights provided under
415
Article 9 of ICCPR: (1) Everyone has the right to liberty and security of person. No one shall be subjected to arbitrary arrest or detention. No one shall be deprived of his liberty except on such grounds and in accordance with such procedure as are established by law. (2) Anyone who is arrested shall be informed, at the time of arrest, of the reasons for his arrest and shall be promptly informed of any charges against him. (3) Anyone arrested or detained on a criminal charge shall be brought promptly before a judge or other officer authorized by law to exercise judicial power and shall be entitled to trial within a reasonable time or to release. It shall not be the general rule that persons awaiting trial shall be detained in custody, but release may be subject to guarantees to appear for trial, at any other stage of the judicial proceedings, and, should occasion arise, for execution of the judgement. (4) Anyone who is deprived of his liberty by arrest or detention shall be entitled to take proceedings before a court, in order that that court may decide without delay on the lawfulness of his detention and order his release if the detention is not lawful. (5) Anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an enforceable right to compensation. 416 Article 14 of ICCPR: All persons shall be equal before the courts and tribunals. In the determination of any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law. The press and the public may be excluded from all or part of a trial for reasons of morals, public order (ordre public) or national security in a democratic society, or when the interest of the private lives of the parties so requires, or to the extent strictly necessary in the opinion of the court in special circumstances where publicity would prejudice the interests of justice; but any judgement rendered in a criminal case or in a suit at law shall be made public except where the interest of juvenile persons otherwise requires or the proceedings concern matrimonial disputes or the guardianship of children. 417 Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice
192
international law.” In addition, article 19 (d)418 states that “there shall be no crime of punishment except as provided for in the Shari‘ah.”419
Mayer juga mengakui bahwa Pasal 19 dari CDHRI 1990 bertentangan dengan Pasal 15420 ICCPR. Menurutnya, pada hukum Islam masa lampau, tidak ada prinsip suatu tindakan harus diartikan sebagai suatu kejahatan di dalam naskah hukum yang mendasari tuntutan hukuman. Bahkan pada ketentuan pasal 19 CDHRI dinyatakan seharusnya tidak ada hukuman kejahatan kecuali yang ditetapkan syariah yang memberikan peluang untuk pengaduan pada kebijakan hukuman ta‘zi>r, di mana hakim dapat menaksirkan (memperkirakan) hukuman sesuai dengan pertimbangan kondisi individu pelaku terhadap apa yang melatar belakangi suatu tindakan kriminal yang dilakukan seseorang dan kukuman apa yang cocok dijatuhkan kepadanya. Kebijakan peradilan demikian, apakah dalam kategori ta‘zi>r atau lainnya, adalah secara mendalam dipertimbangkan (ingrained) di dalam system hukum di negara muslim (seperti Saudi Arabia), di mana sedikit atau banyaknya dari kodifikasi hukum maupun kewenangan pemerintah dapat menentukan ruang lingkup dari hukum-hukum yang memberikan makna bahwa perhatian lanjutan tentang tindakan apa dan sikap apa yang bisa dikategorikan kejahatan dan hukuman apa yang ditetapkan, tidak 418
Pasal (Article) 19 of CDHRI: (a) All individuals are equal before the law, without distinction between the ruler and the ruled; (b) The right to resort to justice is guaranteed to everyone; (c) Liability is in essence personal; dan (d) There shall be no crime or punishment except as provided for in the Shari'ah. 419 Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 16. 420 Article 15 of ICCPR: (1) No one shall be held guilty of any criminal offence on account of any act or omission which did not constitute a criminal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Nor shall a heavier penalty be imposed than the one that was applicable at the time when the criminal offence was committed. If, subsequent to the commission of the offece, provision is made by law for the imposition of the lighter penalty, the offender shall benefit thereby; dan (2) Nothing in this article shall prejudice the trial and punishment of any person for any act or omission which, at the time when it was committed, was criminal according to the general principles of law recognized by the community of nations.
193
diberikan wewenang kepada publik. Bahkan kewengan (pertimbangan) penetapan hukuman oleh penguasa, menurut Mayer juga, adalah tidak hanya pada ta‘zi>r namun juga pada h}add. Meyer mengatakan:
“The principle set forth in article 19 (b)421 of the ICCPR, as already noted, allows the shari‘ah to determine crimes and punishments (the h}add penalties).”422
Selain Saudi yang dikatakan Mayer di atas, Iran juga merupakan salah satu Negara Islam yang memiliki prinsip yang sama, sebagaimana digambarkan David Littman:
“Iran had reached the conclusion that those two instruments were compatible with Islamic law. … Discrepencies … between domestic legislation and the Covenant should not be exaggerated. … Those differences could be overcome and a better understanding of Islam, of Islamic law and of international law achieved only by means of dialogue approached with an open mind.” 423
Terkait dengan Hukum Islam dan HAM, Mayer juga menyatakan bahwa berusaha memaksakan syariah sudah didukung oleh
421
For the protection of national security or of public order (ordre public), or of public health or morals. 422
Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 29. David Littman, “Universal Human Rights and "Human Rights in Islam," The Journal Midstream (New York, February/March 1999), 8. 423
194
kontrovesi, kekerasan, dan bahkan pertempuran (perang sipil Sudan yang kedua berkaitan dengan perselisihan anatara syariah dan konsep hak–hak asasi manusia (khususnya yang berhubungan dengan hak-hak wanita dan non-muslim). Aspek hukum yang diperjuangkan dari syariah meliputi pembuatan qanun hukuman h}udu}d (seperti pemotongan tangan, rajam, pencambukan, dan hukuman pancung—beheading). Pelaranganpelarangan syariah tentang pencemaran nama baik (qazaf) dan riddah (apostasy) juga dikecualikan dari konsep kebebasan beragama yang dikenal secara internasional.424 Menurut Islam, Hukum Islam tidak kejam karena menganut praduga tak bersalah sebagaimana yang di amanatkan UDHR juga (Pasal 11 ayat—1).425 Dengan demikian bukan semua pasalpasal UDHR ditolak oleh Islam, maka tidak mustahil bila Negara (anggota OKI) seperti Indonesia juga ikut terlibat dalam penandatanganan sejumlah kesepakatan HAM dengan dunia. Setiap negara terikat dengan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik wajib melindungi penduduknya dari memiliki hak-hak mereka dilanggar. Perjanjian ini berlaku untuk setiap makhluk hidup manusia di negara di bawah perjanjian tanpa memandang usia, jenis kelamin atau ras. Komite Hak Asasi Manusia didirikan pada tahun 1977 424
Dikakatakan Mayer juga bahwa pihak publik kadang kala keliru dalam memahami tentang adanya pelanggaran hak asasi bila hakim/qadi menghukum mati orang murtad. Hukum spesifik tidak berlaku secara global. Kita tidak boleh mengatakan Sudan melanggar HAM karena menghukum mati orang murtad. Tetapi lebih layak kita katakan Sudan, mungkin, belum melaksanakan hukum Islam secara benar menurut kaidah hukum Islam dunia. Karena murtad yang di suruh hukum mati oleh Nabi Saw adalah murtad dalam kategori pengkhianatan. Yakni Nabi Saw mengkhawatirkan bila ada orang Islam keluar dari agamanya kemudian masuk ke agama lain yang sedang memusuhi Islam pada saat itu, ia akan membocorkan rahasia-rahasia kenegaraan Islam (Madinah) kepada musuh. Di samping menjadi profokator yang mempengaruhi muslim lainnya untuk ikut-ikutan keluar dari Islam. Murtad demikian jelas lebih terkait dengan tindak pidana pengkhianatan yang merngancam keutuhan hukum Islam dalam keseharian masyrakat yang telah susah payah ditegakkkan Nabi Saw dalam proses pengubahan umat dari tradisi dan kondisi kejahiliahan menjadi Islam. Lihat Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 29. 425 Pasal 11 Ayat (1) dikatakan: “Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya sesuai dengan hukum, dalam pengadilan yang terbuka, di mana ia memperoleh semua jaminan yang dibutuhkan untuk pembelaannya”.
195
untuk memantau negara pihak yang menyangkut dengan mereka yang berkaitan dengan perjanjian.
tindakan
Cairo Declaration1990 memnyetujui penerapan hukum Islam menurut kondisi receptive negara tertentu dan komunitas masyarakat yang bersangkutan. Negara Islam tidak terhalang untuk menerapkan hukum pidana bagi pelaku riddah, rajam bagi penzina muh}sa} n (yang sudah menikah), buqwah (pemberontakan), dan kawin campur (antara penganut agama yang berbeda) yang dikatakan oleh UDHR (bahwa kebebesan tersebut) sebagai hak dasar manusia yang tidak boleh ditafsirkan lagi (pasal 30). Fenomena ini ditanggapi Cairo Declaration dengan mengatakan bahwa Islam masih masih membuka penafsiran menurut syariat Islam tentang pelaksanaan hukum Islam jika memang memerlukan penafsiran naș (pasal 25), yang membolehkan para pakar madhhab untuk melakukan istinbāt} (penggalian hukum) dan penerapannya. 426 Martino Sardi, seorang pakar HAM dari Komnas HAM RI, mengatakan bahwa melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih banyak yang belum tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. HAM juga bervariasi/bermacam-macam sebagaimana yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). PBB pada tanggal 10 Desember 1948 memproklamasikan deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia. 427 Tabel 4.3: Kesesuaian dan Ketidaksesuaian antara Qanun Khalwat dengan Ketentuan HAM
426
Lihat Pasal 25 Cairo Declaration yang berbunyi: “The Islamic Shari'ah is the only Source of Reference for the Explanation or Clarification of any of the Articles of this Declaration”. 427 Martino Sardi, “Macam-macam Hak-hak Asasi Manusia,” Komnas HAM, 14 Mei 2010, 5.
196 Hukuman dan Kesesuaiannya dengan HAM Hukuman
Perspektif HAM
Pelaku tindak
N o pidana/jari-
Penyedia fasilitas
3 4 5
Pelindung Promotor Pemberi izin
3-9 kali
-
-
Ta‘zi>r
denda
Ts
Ts
Ss
Ss
2-6 bulan
2,5-10 juta rupiah 5-15 juta
Sda Sda
Sda Sda
Ss Ss
Ss Ss
Sda
Sda
Ss
Ss
Alyasa` AB/M.H.Syed
2
kurungan
I C C P R
Komnas Pr.
Pelaku mesum
cambuk
U D H R
C A T Alyasa` AB
1
Ta‘zi>r
HRW/Komnas Pr.
mah
Ta‘zi>r
C E D A W
U I D H R
C D H R I
Ss
Ts
Ss
Ss
Ss
Ts
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ts
Ss
Ss
Ss
Ts
ss
Ss
Ss
Ss Ss
Ss Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ss
Ts
Ts
Catatan: Bentuk jarimah (tindak pidana): melakukan mempromosikan, dan memberikan izin.
mesum,
menyediakan
fasilitas,
Tabel 4.3. menunjukkan bahwa Pelaksanaan Qanun No. 14 Tahun 2003 terdapat beberapa perbedaan pendapat pakar bila dihubungkan dengan perspektif HAM. UDHR (The Universal Declaration of Human Rights) menyatakakan bahwa hukum cambuk 3-9 kali bagi atau denda 2, 5 -10 juta bagi pelaku khalwat bertentangan dengan HAM. ICCPR juga mensinyalisasi bahwa Qanun ini bertentangan dengan kebebasan--yang berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan. Adapun menurut pandangan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, yang dipahami Alyasa, bahwa Qanun khalwat tidak
197
bertentangan dengan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women. Sementara menurut HRW dan Komnas Perempuan mengakui adanya kontradiksi antara Qanun ini dengan salah satu konvensi HAM ini. Selain itu, Committee Against Torture yang dipahami Alyasa tidak bertentangan dengan hukum cambuk. Sementara yang dipahami oleh Komnas Perempuaan bahwa pencambukan 3-9 kali bagi pelaku khalwat bertentangan dengan Committee Against Torture. Selain konsep HAM dunia dan kovenannya yang terkait tengan dampak pelaksanaan hukuman khalwat di Aceh, table 4.3 juga menunjukkan bahwa Deklasi Kairo dan Deklarasi HAM Islam di Eropa menyatakan bahwa hukum cambuk atau denda atas pelaku khalwat dan hukuman kurungan dan denda antara 5-15 juta bagi penyedia fasilitas dan pemberi izin adalah tidak bertentangan dengan HAM. Karena praktek khalwat (antara laki-dan perempuan yang bukan muhrim) adalah perbuatan sangat dilarang dalam Islam. Dalam hal ini pencambukan, kurungan, dan denda merupakan suatu hukuman ta‘zi>r yang dibolehkan bagi pemerintah kaum muslimin untuk melakukan pencegahan. Dikatakan Anwarullah, menurut Islam, hukuman ta‘zi>r bisa berupa cambuk, penahanan, banishment (pencekalan), denda, hukuman mati, dan/atau hukuman lainnya.428 Abdu al-Qadir ‘U<>dah juga telah memaknai “ta‘zi>r” dengan pengertian yang senada dengan.429
428
Lihat Anwarullah, The Crime Law of Islam, 241-263. Lihat juga Feener, R. Michael, Mark E. Cammack, Islamic Law in Contemporary Indonesia Ideas and Institution, 211. 429 ‘Abdu al-Qadir ‘U<>dah—di dalam al-Tashrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī Muqāranan bi al-Qānūn al-Wad}’ī, 154—menulis:
، ﺗﺒﺪﺃ ﺑﺄﺗﻔﻪ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺎﺕ ﻛﺎﻟﻨﺼﺢ ﺍﳋﻄﲑﺓ ﻭﺍﻻ ﻧﺬﺍﺭ،ﻭﺍﻟﺘﻐﺎ ﺯﻳﺮ ﻫﻰ ﳎﻤﻮﻋﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺎﺕ ﻏﲑ ﺍﳌﻘﺪﺭﺓ ﻭﻳﺘﺮﻙ ﻟﻠﻘﺎﺿﻰ ﺃﻥ، ﺑﻞ ﻗﺪ ﺗﺼﻞ ﻟﻠﻘﺘﻞ ﰱ ﺍﳉﺮﺍﺋﻢ ﺍﳋﻄﲑﺓ،ﻭ ﺗﻨﺘﻬﻰ ﺑﺄﺷﺪ ﺍﻟﻌﻘﻮﺑﺎﺕ ﻛﺎﳊﺒﺲ ﻭﺍﳉﻠﺪ ﺮﻡ ﻭ ﻧﻔﺴﻴﺘﻪ ﻭ ﺳﻮﺍﺑﻘﻪﳜﺘﺎﺭ ﻣﻦ ﺑﻴﻨﻬﺎﻟﻌﻘﻮﺑﺔ ﺍﳌﻼﺋﻤﺔ ﻟﻠﺠﺮﳝﺔ ﻭ ﳊﺎﻝ ﺍ
198
Dengan demikian baik hukuman ta‘zi>r (discretionary punishments) maupun h}add (seperti yang hanya berlaku bagi pelaku khamar dan khalwat dalam Qanun Aceh) merupakan hukuman jina>i>yah yang terdapat di dalam fiqh Islam.430 Sedangkan hukuman jina>iyah lainnya seperti hukuman terhadap pelaku riddah (keluar dari Islam) dan rajam, Qanun juga masih belum dapat menegakkan h}add dan ta‘zi>r. Perkara riddah hanya disingung dan diatur dalam Qanun tentang pendangkalan aqidah, dan Pergub No. 16 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat Beragama.431 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang dikukuhkan oleh UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertujuan mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Deklarasi Universal
(“ Ta’zir merupakan kumpulan dari hukuman-hukuman (uqubat) yang tidak ditentukan (di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah) mulai dari hukuman yang paling ringan seperti dengan cara menasehati (pelaku pelanggaran) tentang bahaya dari pelanggaran, dengan cara memberikan peringatan, sampai dengan hukuman nyang lebih keras seperti kurungan (penjara), dera (cambuk). Bahkan hukuman ta‘zi>r sampai dengan kategori hukuman bunuh mati pada kasus kriminal yang sangat berbahaya yang dilakukan pelaku. (Terhadap) penghukuman ta’zir ini terserah kepada qadi (hakim) untuk memilih di antara hukuman-hukuman yang sesuai bagi tingkat pelangggaran (kejahatan) yang sesuai dengan kondisi (keadaan) pelaku kejahatan (dengan meninjau) pada kepribadian pelaku dan (melihat ) pada kejahatan-kejahatan sebelumnya yang telah ia lakukan.”) Lihat ‘Abdu al-Qadir ‘U<>dah, al-Tashrī’ al-Jinā’ī al-Islāmī Muqāranan bi al-Qānūn al-Wad}’ī, 154. 430
Lihat juga Abd al-Qādīr ‘U Bahansi, al-Siya>sah al-Jina>i>yah fi> al-Shari>ah al Isla>mi>yah (Bairu>t, 1983), 279. 431 Penerapan syariat Islam (kontemporer) di Aceh dimulai sejak 1 Muharram 1423 H. Perda DI Aceh No. 5 tahun 2000 Bab I pasal 4 ayat (3) yang berbunyi: “Setiap warga Negara RI atau siapapun yang bertempat tinggal atau singgah di Daerah Istimewa Aceh, wajib menghormati pelaksanaan Syariat Islam di daerah.”Lihat juga Qanun No. 11 Tahun 2002 Pasal 11.
199
HAM (DUHAM) serta meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.432 Indonesia telah ikut menyetujui Deklarasi UDHR tahun 1948 yang dipaparkan Majlis Umum PBB. Meskipun deklarasi bukan merupakan hukum, namun Indonesia memiliki tanggung jawab moral dalam rangka mengahargai dan menghormati hak-hak asasi manusia di dunia.433 UUD 1945 menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) nomor XVII/MPR/1998 dan Pasal 71 dan Pasal 72 UU No. 39 Tahun 1999 juga menetapkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Tap MPR No. XVII/MPR/1998 juga menugaskan lembagalembaga negara dan seluruh Aparatur Pemerintah untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat. Hak setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya untuk berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM diakui oleh UU No. 39 Tahun 1999. Penerapan hukum Jinayat secara keseluruhan di Indonesia memang berlawan dengan ideologi Negara (Pancasila). Karena hukum jinayat identik dengan hukum Islam, sementara Indonesia bukan Negara muslim, namun memiliki falsafah tersendiri dalam pengamalan ajaran agama. Meskipun berbeda dengan Iran, Pakistan, Arab Saudi, dll, peluang Indonesia dalam mejalankan syariat besar karena termasuk ke dalam salah satu dari 59 Negara-negara Organisasi Koperensi Islam (OKI) yang berdiri tahun 1949. Dengan demikian berbagai event (konferensi) yang menyangkut dengan kepentingan Islam Indonesia telah
432
Bernard Lewis, Islam and The West (New York: Oxford University Press), 1993, 112. 433
200.
Mohd. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,
200
berperan serta. Indonesia telah bersedia menanda tangangi Deklarasi Kairo Tahun 1990 yang diprakarsai Negara Negara Organisasi Koperensi Islam, yang membahas tentang Hak-hak Asasi Manusia berdasarkan Islam. Salah satu Negara OKI, Pakistan, yang merupakan salah satu Negara Islam dan Organisasi Koperensi Islam, pernah mengatakan bahwa HAM Islami (UIDHR dan CDHRI) merupakan pelengkap (komplementer) bagi the Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Sejagat Hak-hak Asasi Manusia) 1948. Di Aceh, upaya-upaya penerapan h}add (yang bersumber dari Kitab Allah dan Sunnah Nabi Saw) bagi tindak pidana zina juga pernah diusahakan di Aceh, seperti adanya upaya pengqanunan/perancangan qanun h}add rajam dan 100 kali dera yang telah disahkan DPRA periode 2004-2009. Rancangan Qanun ini telah diusulkan pengesahannya kepada gubernur Aceh.434 Rancangan Qanun ini tidak dapat dilaksanakan (secara positif) karena belum adanya pengesahan gubernur, bahkan masih terjadi pro-kontra di kalangan masyrakat hingga saat sekarang ini. Pihak pro, Fron Pembela Islam (FPI) Aceh menyatakan, Qanun Jinayat (rajam) dan Hukum Acara Jinayat yang disahakan pada tanggal 14 Oktober 2009 lalu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode 2004 - 2009, sudah sepantasnya diterapkan di Aceh. Hal itu ditegaskan Ketua Fron Pembela Islam Aceh, Yusuf al-Qardhawi. Yusuf al-Qardhawi melanjutkan, jika alasan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf tidak menandatangani Qanun ini dengan alasan masyarakat Aceh belum siap, maka sampai kapanpun bahkan hingga dunia kiamat tidak akan pernah siap. Diakatakannya juga, Qanun yang mengatur tindak pidana menurut Islam itu sangat bagus diterapkan di Aceh yang memang menerapkan syariat Islam. Namun demikian tentunya harus disosialisasikan terlebih dahulu kepada seluruh masyarakat Aceh. Yusuf juga menuturkan bahwa semua keputusan akhir untuk menerapkan qanun 434
Selain rancangan qanun rajam usulan DPRA pada tahun 2009, pada tahun 2006 juga pernah ada rancangan Qanun usulan gubernur tentang h}add pencurian (alsirqah) yakni Rancangan Qanun Prov. NAD Tanggal 13 Desember 2006 tentang Pencurian, namun kedua Qanun ini masih dalam bentuk rancangan. H{add qazaf (penuduhan zina seseorang tanpa bukti) juga pernah dicantumkan dalam rancangan KHJA Tahun 2008. Lihat Alyasa‘ Abu Bakar, Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa. …………………
201
ini ada di tangan pemerintahan Irwandi-Nazar, yang hingga kini belum juga ditandatangani dengan alasan ada sejumlah poin dalam qanun ini tidak sesuai, dan perlu pengayaan materi lebih dalam lagi. Sedangkan pihak yang kontra, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEMA) IAIN Ar-Raniry, Herri Maulizar mengatakan, keputusan Gubernur dan DPRA periode 2009 - 2012 untuk menunda implementasi qanun jinayat (rajam) dan qanun hukum acara jinayat sudah tepat. Herri menandaskan, Qanun ini harus dikaji kembali secara mendalam, karena substansi di dalamnya tidak jelas dan saling bertentangan. Dia menilai Qanun Peninggalan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) periode lalu adalah produk gagal, dan perlu dikaji kembali. Pendapat senada juga disampaikan oleh Ketua Pelajar Islam Indonesia (PII) kota Banda Aceh, Yusri. Yusri mengatakan walaupun banyak ormas Islam seperti Fron Pembela Islam, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan para santri mendesak DPRA dan Gubernur untuk segera mengimplementasikan Qanun Jinayat, PII malah sebaliknya. 435 Dengan demikian, ketiga Qanun yang membahas tentang pelaksanaan Hukuman Jinayat di Aceh (terhadap pelaku tindak pidana khamar, judi dan khalwat) menurut Perspektif HAM, akan menghasilkan kesimpulan yang disusun berdasarkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip HAM: (1) The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948; International Covenants on Civil and Politics Rights (ICCPR) 1966, Convention against Torture (CAT) 1984; Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) 1979, Cairo Declaration of Human Rights in Islam (CDHRI) 1990, dan Universal Islamic Declaration of Human Rights (UIDHR) 1981.
435
www.mahkamahsyariyahaceh.go.id, diakses 5 Mei 2010.
202
BAB
5
PENUTUP
A. KESIMPULAN Penerapan Hukum Pidana Islam (Jinayat) di Aceh dalam konteks keindonesiaan tidak terlepas dari dampak latar belakang penerapan syariat Islam dalam sosio-historis masyarakat Aceh. Sejak pra-penjajahan (1903) dan awal kemerdekaan (1945) masyarakat Aceh telah memiliki kecenderungan untuk menerapkan syariat Islam dengan pembentukan Lembaga Qada>’ (Mah}kamah Shari>yah) untuk peneyelesaian persoalan hukum sehari-hari, meskipun banyak rintangan, seperti terhalang peleburan Aceh menjadi provinsi Sumatra Utara sebelum pengesahan UU No. 24 Tahun 1956. Namun setelah provinsi Aceh terbentuk, Aceh kembali berupaya memperjuangkan penegakan syariat Islam. UU No. 44 Tahun 1999, UU No. 18 Tahun 2001 dan UU No. 11 Tahun 2006, merupakan aplikasi upaya tersebut, yang merefleksikan qanun-qanun Aceh yang menyangkut dengan pelaksanaan syariat Islam, termasuk Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 yang mengatur tentang aturan pelaksanaan Hukum Jinayat yang telah berlangsung hingga saat sekarang ini. Penelitian ini berkisar pada konsep dan penerapan Hukum Islam yang terkandung dalan ketiga Qanun tentang “Jina>yah” terbut melalui hasil studi kepustakaan dan studi pada dokomen-dokumen kasus tindak pidana yang terjadi (terutama yang dipublikasikan media massa). Pelaksanaan Hukum Jinayat di Aceh sebagian besar telah berjalan sebagaimana yang diqanunkan. Implementasi Hukum Jinayat yang berupa pencambukan (baik dalam kategori h}udu>d maupun ta‘zir) terhadap pelaku tindak pidana khamar, judi, dan mesum yang disahkan Qanun berlangsung berdasarkan kasus yang diajukan masyarakat, hasil penyelidikan (opsporing) Pihak Wilayatul Hisbah, dan/atau temuan pihak terkait lainnya. Penerapan
203
hukum ini memang kerap mengundang perdebatan. Perdebatan disebabkan kompleksitas—pemahaman/pandangan para pakar—Hukum Islam dan HAM. Pelaksanaan ketiga Qanun tersebut didasari perspektif fiqh, meskipun masih memerlukan penyesuaian/tinjauan lanjutan, kerena pelaksanaan Hukum Pidana Islam (Jina>yah) ini berada dalam lingkup pelaksanan Hak Otonomi Khusus bagi Aceh dan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia. Perdebatan (pro dan kontra) yang menyangkut dengan pelaksanaan Qanun merupakan konsekwensi suatu produk hukum, sebagaimana hukum perundang-undangan lainnya juga, Namun ketiga Qanun tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Ketiga qanun ini dijalankan Mahkamah Syariya dan Mahkamah Syariyah Kabupaten/Kota menurut kemampuan penguasa/penegak hukum di masing-masing mahkamah sesuai dengan keadaan pelaku dan tempat kejadian perkara. Banyak pakar hukum yang mengatakan, pelanggaran HAM tidak dapat dihindari bila benar-benar menerapkan hukum Islam (terutama h}udu>d), disebabkan hukum Islam ditegakkan berlandaskan kandungan Wahyu Allah yang diinterpretasikan oleh Nabi Saw dalam hidup dan kehidupan beliau. Namun pakar muslim mengatakan bahwa pelaku tindak pidana telah terlebih melanggar hak Allah, hak manusia, dan hak individu sendiri, sebagaimana dikatakan Al-Hageel, D.Y. Witanto dan Hasanuddin. Pelaksanaan Qanun jinayat dan kesesuaiannya menurut perspektif Fiqh terlihat pada lampiran table 3.2, 3.4 dan 3.6. Tabel tersebut menunjukkan bahwa ketiga qanun tersebut menunjukkan bahwa hukum jinayat yang ditetapkan qanun tidak melenceng dari ketentuan Fiqh Islam (mazhab sunni) yang dianggap mu‘tabar oleh dunia Islam pasca peruntuhan Bagdad oleh Holago Khan tahun 1258. Keseluruhan penghukuman dianggagap sesuai dengan Fiqh baik penghukuman dalam kategori h}add (seperti yang dijatuhkan atas peminum khamar) maupun ta‘zi>r. Memnag , ketiga qanun Aceh itu tersebut telah dikodifikasikan dengan upaya-upaya signifikan agar tidak bertentangan dengan hukum Islam, hukum yang berlaku di Indonesia, dan hukum HAM. Bukan hanya di Aceh, penerapan hukum Jinayat dalam Islam didukung konsep HAM yang telah disahkan dalam Deklarsi Universal Hak-hak Asasi Manusia Menurut Islam (DIUHR) 1981 dan Deklarasi Kairo (CDHRI) 1990—yang menyatakan bahwa penerapan syariat Islam di dunia dapat
204
disesuaikan dengan penafsiran fiqh berbagai mazhab yang ada dalam Islam menurut kondisi dan situasi umat Islam berada, (tak terkecuali di Aceh-Indonesia). Menurut Hukum Islam dam konsep HAM Islam, menghukum orang yang bersalah bukan bertujuan untuk menyiksa mereka secara tidak manusiawi dan merendahkan martabatnya. Namun merupakan balasan atas kesalahan yang ia lakukan, di samping merupakan salah satu cara taubah (permohonan ampunan/penyesalan dari dosanya), bila dilakukan dengan suka rela. Tujuan Hukum Islam adalah untuk mencegah kriminalitas—(kesalahan) yang sama—dilakukan oleh umat Islam yang lain. Ketiga Hukum Jinayat itu telah menjadi hukum positif di Indonesia sebagaimana yang telah dikatakan oleh Alyasa‘ Abu Bakar dan D. Y. Witanto karena telah lulus uji materil (yudisial review) Mahkamah Agung RI (yang dilandasi konsideran) dengan sejumlah Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku lainnya. Dengan perkataan lain ketiganya tidak menyimpang dengan konstitusi Negara. Selain pakar internal, dalam kontek global telah muncul Shahram Akbarzah, Abdullahi Ahmed An-Naim, Al-Hageel, Syed Serajul Islam dan lain-lain yang dapat menjembatani antara Konsepkonsep HAM yang berlaku di dunia dengan Islam. Ketiga Qanun Jinayat Aceh tersebut berlandaskan hukum Islam dalam konteks otonomi dan dalam legalisasi dan legislasi Negara bangsa, bukan mengamalkan fiqh secara total sebagaimana di Negara-negara Islam dunia. Konstitusi RI berideologi berideologi Pancasila, bukan berideologi Islam. Peluang untuk menjalankan Hukum Islam di RI tidak terhalang oleh konstitusi secara total. Hukum Perundang-undangan RI telah memberikan celah-celah untuk pengamalan hukum Islam, terutama berdasarkan UUD 1945 Pasal 29 Ayat (1) dan (2). Maka demikan halnya yang terjadi di Aceh. Kosekuensi kejahatan, menurut Fiqh adalah tidak menghilangkan hukuman bagi yang berhak memikulnya—seperti qis}a>s} dalam kaitannnya dengan kejahatan terhadap jiwa/fisik manusia, hukuman mati bagi pelaku murtad, dan rajam bagi pelaku zina muhsan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan Fiqh Islam—, tanpa alasan yang digariskan shara‘ atau ada ketentuan hukum lainnya yang disahkan shara‘. Namun Qanun Jinayat Aceh belum menerapkan hukuman (h}add) ke taraf yang demikian. Qanun
205
Jinayat rajam yang dirancang dan telah disahkan DPRA periode 2004-2009, tidak disahkan gubernur—karena banyak peninjauan seperti pertimbangan HAM. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) PBB memiliki kontradiksi dengan sejumlah ketentuan dari Fiqh (Jinayah) Islam. Namun diakui bahwa konsep ini telah memerankan peranan penting dalam peningkatan kesadaran hak individu terhadap penciptaan nuansa kebebasan secara universal yang dapat mengurangi/menghilangkan rasa ketakutan dari individu dan mengurangi keinginan dari pihak-pihak tertentu untuk melakukan praktek pengeksploitasian manusia dan penyiksaan. Maka Aceh-Indonesia mempertimbangkan aspek HAM dalam penyusunan Qanun—dengan pemberlakuan dan pelaksanaan Hukum Jinayat yang ringan sebagaimana Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003. Para pejuang HAM dan penegak hukum Islam masing-masing mengunakan benteng HAM dan hukum Islam dalam rangka mencapai misi mereka. Kedua pihak ini memiliki tujuan yang baik bagi kemaslahatan manusia. Mereka sama-sama mencurahkan daya ijtiha>d (kesungguhan) yang besar terhadap tujuan masing-masing. Pelaksanaan hukum Jinayat di Aceh dalam perspektif HAM dapat dilihat pada lampiran table 4.1, 4.2 dan 4.3. Table-tabel tersebut menunjukkan bahwa hukum (executie) cambuk yang diterapkan oleh Qanun No. 12, 13, dan 14 Tahun 2003 terdapat kedidaksesuaian dengan konsep UDHR dan sejumlah kovenan, di samping ada juga pendapat para pakar/lembaga HAM yang memahami dan menyimpulkan bahwa pelaksanaan hukum jinayat oleh ketiqa qanun itu terdapat kesesuaiannya dengan ICCPR, CEDAW, dan CAT. Adapun menurut konsep Deklarasi HAM Islam (UIDHR dan CDHRI) dan pendapat sejumlah pakar HAM dunia Islam bahwa tidak ada perbedaan tentang kesesuaian ketiga qanun itu dengan HAM.
B. SARAN-SARAN Dengan adanya formalisasi hukum jinayat di Aceh, Indonesia, hukuman bagi pelaku kriminal (termasuk tindak pidana khamar, judi dan khalwat) dapat menjadi stimulus bagi penyadaran masyarakat—dari berbagai latar belakang agama, ras, dan budaya tentang adanya pelaksanaan hukum jinayat di Aceh-Indonesia.
206
Sebagaimana saran ketua MPU Aceh, Muslim Ibrahim, penelitian ini juga menyerankan kepada pihak yang berwenang dalam penyusunan, pengesahan, dan pelaksanaan Qanun Aceh agar melakukan langkahlangkah penyempurnaan—teoritis dan aplikatif—terhadap ketiga Qanun jinayat tersebut yang sedang berlaku di Aceh. Berbeda dengan saran direktur Human Rights Watch (HRW), Elaine Pearson agar Qanun No. 14 Tahun 2003 dibatalkan. Pelimpahan sebagian wewenang Mahkamah Agung kepada Mahkamah Syariyah perlu dilestarikan dalam rangka penegakan supremasi hukum bagi pencegahan praktek kriminal di Indonesia. Dalam rangka pelestarian itu, anggaran APBN yang difokuskan pada pelaksanaan eksekusi Jinayat di Aceh, demikian juga halnya APBA dan APBK dapat dianggarkan secara konsekwen dan disalurkan secara kontinyu pada kegiatan eksekusi pelaku Jinayat, sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 127 Ayat (3) UU No. 11 Tahun 2006 dan sesuai hukum perundang-undangan yang berlaku lainnya. Kebijakan demikian menunjukkan adanya tekat yang baik pemerintah dalam merealisasikan Qanun, sebagai salah satu Hukum Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia juga. Selain itu, upaya uji materil (yudisial review) qanun oleh Mahkamah Agung juga memerlukan pengembangan/konstruktif dalam rangka pemajuan sektor hukum Aceh-Indonesia, bukan pemunduran dari apa yang telah dicapai Qanun Aceh yang merupakan penjabaran fiqh jinayat. Jinayat menyangkut dengan HAM, mengingat Indonesia telah mengadopsi dan menanda tangani ICCPR dan sejumlah kovenan HAM lainnya yang telah disepakati Indonesia bersama dengan Negara-negara lain di dunia, diharapkan agar Pemerintah RI merealisasikan peratifikasikannya ke dalam pengamalan hukum perundang-undangan yang tidak bertentangan dengan amanah Konstitusi 1945 yang telah diamandemen 4 (empat) kali, dan sejumlah Hukum atau Peraturan Perundang-undangan yang disahkan pemerintah yang menyetujui UU Otonomi khusus bagi Aceh untuk penyusunan dan pelaksanaan Qanun. Penelitian ini juga mengharapkan kepada para penegak hukum Islam (terutama hakim) agar menggunakan alat tafsir (qa>`idah fiqhīyah) yang benar dan baku (mu‘tabar) di dalam Islam. Hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan hendaknya jauh dari aksi penganianyaan, semborono, dan emosional. Jika pelaksanaan hukum
207
yang terjadi di Aceh merupakan realisasi Qanun (dan hukum perundangundangan lainnya) yang berdasarkan syariat Islam, pelaksanaan Qanun tersebut diharapkan tetap menghormati UDHR1948 dan beberapa kesepakatannya (covenant-nya)—seperti ICCPR, CEDAW dan CAT yang telah disepakati Indonesia dengan PBB, dan bahkan sudah diratifikasi menjadi sejumlah Undang-undang untuk Indonesia.
208
DAFTAR PUSTAKA A. Referensi dari Buku-buku. 1. Referensi dari Bahasa Arab. Al-Bișri>, Abu Hasan ‘Ali Bin Muḥammad Bin Ḥabīb alMāwardī.Al-Jawāmi’ al-Kabīr fi Fiqh Madhhab al-Ima>m alShāfi‘ī. Juz II. Bairut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994. Al-Dardiri, Aqrab al-Masalik li Madhhab Imam Malik. Nigeria: Maktabah Aiyub, 2000. Al-Hanbali>, al-Buhuti>. Kshshāf al-Qina`. Bairut: Da>r- al-Kutub al‘Ilmi>yah, 1997. Ibnu ‘Arabī. Ahkām al-Qurān, Qism al- Rābi`‘. Bairut: Dār alMa’rūf, 468 H. Ibnu Farhun. Kitāb Tabṣīrāt al-Ḥukkām fi Ușūl al-’Aqd{i>yah wa
Manhāj al- Aḥkām.Vol.2.T.tp.: Dār al-Kutub al-Ummi>yah, t.th. Isa, Kamal Muhammad. ’Aqd}iyah wa Quḍāh fi> Riḥāb al-Islām. Jeddah: Mat}ābi‘ Dār al-Bilād, 1987. al-Jazi>ri> , ‘Abdu al-Rah}ma>n. Al-Fiqh ‘ala> al-Madha>hib al-Arba‘ah . Bairu>t: Dar> al-Kutub al-‘Ilmi>yah, 2003. Khallaf, ‘Abdul Waha>b.’ Ilmu Uṣūl al-Fiqh. Kairo: al-Qāhirah, 1947 Mah}yiddin, Muḥammad. Sunan Abu Dāud . Bairut: Dār al-Fikri, t.th. Mali>jī, Muhammad. Al-Niz}a>m al-Qad}āī al-Islāmī. Kairo: Dār alTaufi>q alNumu>zaj, 1984. Mans}ur> , Muhammad ‘Ali. Muqāranāt baina al-Shari>‘ah alIslāmi>yah wa al-Qawanīn al-Wad}iyah (Bairut: Da>r al-Fatḥ li al-T{iba>‘ah wa –al-Nashr, 1980), 24.
209
Mudzhar, Muhammad Atho. Fatwa Majlis ‘Ulama al –Indu>ni>si>: Dira>sah fi al-Fikri al Tashri>‘i> al-Isla>mi> bi Indu>ni>sia> 19751988. Jakarta: UCLA, 1992. Al-Mutrajī, Mahmu>d. Mukhtas}ar al-Muznī ‘alā al-Um li al-Imām Muḥammad Bin Idrīs al-Shāfi’ī. Bairut: Dār al-Kutub al‘Ilmiyah, 1993. Al-Nais}ābūri>, Muslim al-Qushairī. al-Jāmi’ al-S{ah}ibiq, al-Sayyid, Fiqh al-Sunnah. Kairo: al-Fath li‘ila>m al-‘Arabi>, 1365. Al- Shāfi‘ī, Muh}ammad Bin Idrīs. Al-Um. Bairut: Dār al-Fikri, t.th. Al-Sharnabulani, Muraqi al-Falah wa bi Hamishihi min Matn Nur al-Idah. Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2004. Al-S{ibāgh, Muhammad al-Lut}fi. Tah}rīm al-Khulwah bi al-Mar’ah alAjnabi>yah wa al-Ikhtila>t} al-Mustahtir. Riyad}: Idārāt al-Buh}u>th al‘Ilmīyah wa al-Iftā’ wa al-Da‘wah wa al-Irshād, 1411 H.
Sutardi, Ahmad.“ Pelaksanaan Syri‘at Islam Sebagai Sarana Membangun Bangsa menuju Akhlaqul karimah,” Ahkam: Jurnal Ilmu Syari‘ah dan Hukum, Vol. 9 No . 10/IV/2002. Tarmizi, Erwandi. Al-Qimar fi al-‘Asri al- Qadīm wa al-H{ad}ir. Riya>ḍ: Maktab Da‘wah dan Bimbingan Jaliyat Rabwah, 2007.
‘U
al-Qānūn al-Wad}‘ī. Bairut: Mu’assasah al-Risālah, 1997. Al-Wafa, Abu, al-Afgani. Al-Jami‘ al-Sagi>r ma‘a Sharhihi al-Nafi‘ al-Kabi>r. Mesir: al-Mat}ba‘ah al-Wafa, 1357. Al-Zuh}aili>, Wah}bah. al-Fiqh al- Isla>mi> wa Adillatuhu , Juz I. Damaskus: Da>r al-Fikr, 1984.
210
2. Referensi dari Bahasa Indonesia Abdillah, Masykuri, dkk. Formalisasi Syariat Islam. Jakarta: Renaisan, 2005. Abdul Halim. Politik Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Ciputat Press, 2005. Abu Bakar, Alyasa‘. Penerapan Syariat Islam di Aceh:Upaya Penyusunan Fiqh dalam Negara Bangsa. Banda Aceh: Dinas Syariat Islam Aceh, 2008. Abu Malik dan Kamal bin as-Sayyid Salim, Sahih Fiqh al-Sunnah, Hudud, Jinayat dan Diyat, Jual Beli,tt. Adjis, A., Chairil, Dudi Akasyah, Kriminologi Syariah. Jakarta: PT Wahana Semesta Intermedia, 2007 Ali, Mukhtar. Prospek Fatwa sebagai Hukum Positif di Indonesisia, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Ali Muhammad , Rusjdi. Revitalisasi Syariat Islam di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi menuju Pelaksanaan Hukum Islam di NAD Cet.1. Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2000. Ansari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Islam dan Nasionalis tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959. Jakarta: Rajawali, 1986. Baik, Al-Khudari. Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Dār alIḥyā` Indonesia, 1980. Djadja, Hermansyah. KUHP Khusus, Kompilasi Ketentuan Pidana dalam Undang-Undang Pidana Khusus. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Effendy, Mochtar Fiqh Islam. Palembang: Universitas Sriwijaya bekerjasama dengan Yaysan Pendidikan dan Ilmu Islam “AlMukhtar”, 2003. Fauzan, Peranan Sadd al-Dzari>‘ah sebagai Dalil Hukum Dalam Prospek Hukum Islam,” Al-Hurriyyah; Jurnal Hukum Islam, Vo. 7, No. 2, Juli-Desember 2006. Hurgronje, Snouck. De Atjehers Terj. Sutan Maimun, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya (Jakarta: INIS, 1996),
211
Husaini, Usman Shihab “Agama dalam Putaran Sejarah Peradaban Menurut Malik Bennabi,” Jauhar Jurnal Pemikiran Islam Konstektual,vol. 4, No. 2, Desember 2003. Iben, “Catatan Akhir Tahun Hak Asasi Manusia”, Komnas HAM, 12 Agustus 2009. Irsyad, Syamsuhadi. Mahkamah Syariyah dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009. Kamil, Sukron, Chaider S. Bamualim. Syariah Islam dan HAM: Dampak Perda Syariah terhadap Kebebasan Sipil, Hak-hak Perempuan dan non-Muslim. Jakarta: CSRC, 2007. Mahendra, Yusril Ihza. Mewujudkan Supremasi Hukum di Indonesia (Jakarta: Dep. Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2002. Mahfud MD, Mohd. Membangaun Politik Hukum: Menegakkan Konstitusi. Jakarta: PT Raja Wali Pers Persada, 2010. Malik, Muhammad Abduh, “Filosofi Hukum dari Aturan Hukum Pidana Islam,” Ahkam: Jurnal Syariah, hukum dan Pranata Sosial,” No.10/IV/2002. Muslich , Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2005. Nasution, Adnan Buyung. Arus Pemikiran Konstitusionalisme Hukum dan Peradilan. Jakarta: Kata Hasta, 2007. Norrahman. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pustaka al-Kashshāf, 2007. Sahude, Syaldi , “Instrumen HAM Internasional yang Telah Diratifikasi Indonesia,” (Artikel) Fact Sheet, Komnas HAM dan Berbagai Sumber Lainnya , 8 Mei 2009. Santoso, Topo. Membumikan Hukum Pidana Islam di Indonesia; Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda. Jakarta: Gema Insani, 2003. Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Siddiqiy, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara . Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009. Simorangkir, Theodrik, “ Peran kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI meningkatkan Kinerja
212
Jaringan Dokumentasi dan Informasi Nasional, Himpunan Karya Tulis Bidang Hukum tahun 2003, Dephukumham RI, 2001. Soerodibroto, R. Sumarto.KUHP dan KUHAP . Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,1979. Sugirman, A, “Pergumulan Islam di Indonesia (Paradigma Hukum Islam dalam Tata Negara Indonesia,” Jurnal Hukum dan Pendidikan, Vo. 6, Periode Juli-Desember 2004. Tim Penyusun. Ensiklopedy Hukum Pidana Islam. Jakarta; Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, 2007. Yatim, Badri. Sukarno, Islam, dan Nasionalisme, Cet. 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
3. Referensi dari Bahasa Inggris An-Na‘im, Abdullahi Ahmed, Islamic Family Law in a Changing World: a Global Resource book. London: 2nd book Ltd., 2002. Anderson, J.N.D. Islamic Law in the Modern World. New York: New York University Press, 1954. Anwarullah. The Crime Law of Islam. Kuala Lumpur: Pustaka Hayati, 1997. Akbarzadeh, Shahram and Benjamin MacQueen. Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah . London: Routledge, 2005 Arkoun, Muhammad. Islam: To Reform or to Subvert? London: Sagi Essentials, 2006. A.C. German, B.S.,M.S.in P.A., D.P.A. Introduction to Law Enforcement And Criminal Justice,17th Printing.T.tp.: CharlesThomas Publisher, 1972. Azra , Azyumardi dan Arsekal Salim. Shariah and Politics. Singapore: ISERS, Intitute of South East Asian Studies, 2003. Cammack, Mark E, “The Indonesian Islamic Judiciary,” dalam Feener, R. Michael. Islamic law in Contemporary Indonesia Ideas and Institution. Massechusset: Harvard University Press, 2007.
213
Coulson N.j. A History of Islamic Law. USA: Edinburg University Press, 1964. Doi, Abdurrahman I. Syariah; The Islamic Law. Kwala Lumpur: Percetakan Zafar Sdn Bhd, 1996. Etzioni, Amitai and Eva Etziani-Halevy, Social Change Sources, Patterns, and Consequences, 2nd Edition. New York: Basic Book Publishers, Feener , R. Michael and Mark E. Cammack. Islamic law in Contemporary Indonesia Ideas and Institution. Massechusset: Harvard University Press, 2007. Hallaq Wael B.‘Was the Gate of Ijtihad Closed? International Journal of Midle East Studies, 1984. Jameelah, Maryam. Islam in Theory and Practice, New Delhi: Turkman Gate-Delhi,Taj. Company, t.th. Kadish, Sanford H. Criminal Law and Its Processes, 4th Edition. Toronto: Little, Brown and Company, 1982. Laldin, Muhammmmad Akram. Introduction to Shariah and Islamic Yusrisprudence. Kuala Lumpur: CERT Publication, 2006. Lukito, Ratno. Islamic Law and Adat Enconter the Experience of Indonesia, 1s Edition. Canada: Mc Gill, 2001. Mahmood, Taher. Islamic Law in Islamic Countries. New Delhi: Academi of Law and Religion, 1987. Maududi. S. Abul A‘la. The Islamic Law and Constitution. Lahore: Islamic Pubication Ltd., 2000. Mehdi, Rubya. The Islamization of the Law in Pakistan . Chippenham: Curzon Press/Antony Rowe Ltd., 1994. Messick, Brinkley. “The Mufti, the Text, and the Word: Legal Interpretation in Yamen.” In Journal of The Royal Antrhopological Institute 21 No. 1, 1968. Mayer, Elizabeth Ann, Islam and Human Rights Tradition and Politics, 3rd Edition (Colorado: Westview, 1999. Mudzhar, Mohammad Atho. Islam and Islamic Law in Indonesia: a Socio-Historical Approach. Jakarta: Office of Religious Approach and Development, and Training Ministry of Religious Affairs Republic of Indonesia, 2003.
214
Patricia. Roman, Provincial and Islamic Law. London: Cambridge University Press, 1987. Rahman, S. A., Punishment of Apostasy in Islam. New Delhi: Kalam Mahal, 1996 Reid, Anthony. Verendah of Violence: the Background to the Aceh Problem Seatle: University of Washington Press, 2006. Reid, Sue Titus. Criminal Law. Buston: Mc Graw Hill, 2000. Rosenthal, Franz. Gambling in Islam. Leiden: E. J. Brill, 1975. Schacht, Joseph. An Introduction to Islamic Law. New York: Oxford University Press, 1971. Serajul Islam, Syed . The Politic of Islamic Identity in South East Asia. Australia: Thomson, 2005. Siddiqi, Muhammad Iqbal. The Penal Law of Islam. New Delhi: International Islamic Publishers, 1994 Shahram, Akbarzadeh. Islam and Human Rights in Practice Prospectives across the Ummah. London: Routledge, 2005. Syed, M. H., Human Rights in Islam: the Modern Perspective. New Delhi: Anmol Publication PVT. LTD, 2003. Vincent, R. J. Human Rights and International Relations. Cambridge: Cambridge University Press, 2001. B.
Referensi dari Perundang-undangan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Atjeh dan Perubahan Peraturan Propinsi Sumatera Utara
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP). Republik Indonesia, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
215
Republik Indonesia, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-undangan. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 tentang Sistem Peradilan di Indonesia. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Keppres RI No. 11 Tahun 2003 tentang Maḥkamah Syar`iyah dan Maḥkamah Syar‘iyah Provinsi di Nanggroe Aceh Darussalam. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pergub No. 16 Tahun 2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Forum Kerukunan Umat Beragama. Perda Daerah Istimewa Aceh No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Perda Provinsi Daerah Istimewa Aceh No. 43 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Syariat Islam tentang Perubahan Pertama atas Perda Daerah Istimewa Aceh No. 3 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU) Provinsi Daerah Istomewa Aceh. Qanun Prov. NAD No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam.
216
Qanun Prov. NAD No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya. Qanun Prov. NAD No. 13 Tahun 2003 tentang Maysir (Perjudian). Qanun Prov. NAD No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum). Rancangan Qanun Prov. NAD Tanggal 13 Desember 2006 tentang Pencurian. Qanun Aceh No. 2 Tahun 2009 tentang Majlis Permusyawaratan Ulama (MPU). Keputusan Mahkamah Agung RI No. KMA/070/SK/X/2004 tanggal 6 Oktober 2004 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Peradilan Umum kepada Mahkamah Syar‘iyah di Prov. NAD.
C.
Referensi dari Media Massa. Bangun , Satroy. “5 Terpidana dicambuk” Waspada, 07 August 2010, 1.
B/o, “NII Jabar Tak Ada Hubungan dengan DI/TII di Aceh”, Waspada, 17 Mei 2011, B5 Fauzi, Gamawan ‘’Aceh Sees Shallow Implementation of Sharia,’’The Jakarta Post, 21 Agustus 2010. Hasan, Nurdin .“To Stone or not to Stone? It’s All a Bit Unclear,” Jakarta Globe, 23 November 2009, A6. Ibrahim, Muslim. “Hukuman bagi Orang Murtad,” Serambi Indonesia, 11 Juni 2010, 10. Norrahman, “Compatibility between Pancasila and sharia-based Islamic teachings,” The Jakarta Post, 10 Januari 2010, 6. Rum, Muhammad.”Polemik Hukum Rajam,” Serambi Indonesia, 5 Februari 2010, 4. MI. “15 Pelanggar Syariat di Aceh Divonis Hukum Cambuk,” Media Indonesia 12 Mei 2010. S. Karni, Asrori, “Hukum dan Kriminalitas”, Gatra.Com, 9 Desember 2010, 1.
217
D.
Referensi dari Websites http://en.wikipedia.org/wiki/Qanun, dicetak pada tahun 2006. http://en.wikipedia.Islamic Law of the World/Law.htm, 18 Agustus 2010 http://ummahonline wordpress.com/2010/02/19/aceh-antar-hukumcambukdan-ham,9 Desember 2010. http//www.List_of_Muslim_majority_countries.htm http://www.gatra.com/artikel.php?id=143697, 15-02-2011 http://www/UDHR/Human rights.htm, 17 Desember 2010. http://www.dhimmi.org/Islam.html, 25 Februari 2010
218
INDEKS A Abdul Hamid II, 21 Abu Bakar (al-khalifah), 68 Abu Hanifah (Imam) 56, 58, 66, 67, 68 Abu Ishaq al-Shatibi 25 Abu Malik Kamal 66 Abu Yusuf 66 Abu Wafa 46 Abdurrahman Wahid 3, 4, 5,9, 88, , 126 Abdussamad 26, 36 Abdul Aziz Sidqi 20 Abdul Qadir Audah 19, 40, 45, 46, 69, 75, 76 Abdul Qadir Jailani 28, 40 Abdul Mujaeb 5, 45 Abdullah Puteh 51, 40, 48, 79, Abdurrahmnan I. Doi 25, 70, 90, Abdullahi Ahmed An-Naim 111, 108, 130, 133 Aceh Barat 70 Aceh Besar 87 Aceh Tamiang 75 Aceh Tengah 60, 70, 79 Administrative Law 23 Al-Jaziri 69, 58 Ahmad Mukri Ali 38, 44, 50 Ahmad bin Hanbal (Imam) 13, 58, 62, 66, 67, 68 Ahmad Farhan Hamid 47 Anaeuk Jamee 26 Ann Elizabet Mayer 5, 8, 12,100, 101, 106, 107, 127
Amin Rais 26, 32 Amir Muallimin 29, 90 Ahmad Fathi> Buhansi 71 Ahmad MukriAli 44 Akbar Zadeh 18 Alauddin Riayatsyah 21 Ali bin Abi Talib (Ra.) 68 Ali Munghayatsyah 13, 21, 22 Ali Ali Mansur 95, 102 Alyasa‘ Abu Bakar 4, 9, 10, ,12, 13, 14, 26, 27, 30, 31, 42, 91, 93, 120, 130,133,141, 139, 170 Ann Elizabeth Mayer 17 Ariel Hikmah 48 Arsekal Salim 30 B Backing 63 Baital Mal 63, 84 Bakar Abu Zaid 67 Basam Tibi 111 Belanda 20, 27 Bhinneka Tunggal Ika 40 B.J.Habibie 2, 4,6, 7, 32, 35, 36, 38, 39, 44, 57, 79, 91, 95, 130 Bugwah/hirabah 24 Bukhari 64 Bylaw 3, 30, 42, 57, 93 C CAT 35, 104, 109, 141 Canon Law 23 Centralistic 26
219
Aristoteles 8, 23 ASEAN 6, 8 Azyumardi Azra 12, 13, 19, 20, 2, 27. 31 CDHRI 6, 11, 12, 14,18, 143, 145, 201 CEDAW 5,6, 9,10, 35, 49, 109, 141, 201 Constitutional law, 23 Contract Law, 23 Covenants 36, 103 CRC 35, 49 Criminal Law 23 CPRW 10, 14, 49
CERD 35, 49 Chaider S. Bamualim 102 Hasanuddin 7, 8, 108,139 Helsinki 26, 29, 35, 41 Herri Maulizar 88 Hifz al-aql 25 Hifz al-din 25 Hifz al-ird 25 Hifz al-nafs 25 Hifz al-nasl 25 Hifz al-mal 25, 74 HS Bhatia 59
Holago Khan 60,66,73 Hukama 43 Human Rights Watch (HRW) 9 I Iben, 144 Ibnu Qayyim 67, 78 Ibnu Qudamah 67, 68 ICCPR, 6, 7, 9,13, 15, 18, 36, 49, 102, 103, 104, 105, 106, 108, 139, 141, 144 Idri 38 Ijma 23 Ikhwan al-Musliminn 15 International law 23 Islam Federal 6 Iskandar Muda 20, 22, 27 Istambul 21
D Darul Islam (DI) 1 Datu Beru 70 Daud Beureueh 1 David Clear Water 17, David Littman 134 Diyat 43 Documentarial study 16 E Elaine Pearson 9, 93, 94, 134, 136 Executie 49 Eropa, 27, 39 F Fazlu Rahman 8, 9 Fath ad-Durami, 69 Al-firar min al-zahf 25 FPI 88 G Gamawan Fauzi 80 Gerakan Aceh Merdeka (Freedom Aceh Movement) 2 Golden Rule 108
J Al-Jaziri 60, 62, 64, 69, 77 Ja’fari>, 9 Jakarta 46 Jepang, 39 John Locke 30 Jewish Law 23
220
H Hadd 4, 8, 9, 20, 43, 47, 54, 57, 58, 59, 61, 63, 64, 65, 69, 88, 95, 108 Hasan Tiro 2 K Kartosuwiryo 2 Khalwat 3 Khilafah Islamiyah 21 28 Khomeini 29 Komnas HAM 36, 107, 116 L Lada Sicupa 27 Lex specialis derogaat lex generalis, 40, 93 Library research 16 M M. B. Hooker 14, 32, 38, 47 M. H. Syed 64, 91, 128 M. Nur Djuned 71 MacQueen, 18, 144 Magna Charta 100, 110 Mahatma Gandhi, 136 Malaka 26 Mahatir Muhammad 99, 109 Marcopolo 13, 21 Martino Sardi 19, 125 Mark E. Cammack 14, 90 Marti Ahtisaari 3 Martono 53 Marwan bin al-Hakam 68 Mawardi Ismail 13, 37 Megawati Sukarnoputri 79, 34 Meulaboh 70 Meurah Silu 19. 27 Meurah Pupok 20 Moch Nur Ikhwan 44 Moh. Mahfud MD 29, 40, 90, 95, 100, 105,120 , 129, 139
John Locke 21, 74 Joseph Schach 95 Judeo-Cristinian 108 Mohamad Atho Mudzhar 9, 20, 27 Muslim Ibrahim 93, 133 Muhammad Nazar 88 Muhtasib 17 Mukhtar Effendi 66,, 69 Mustafa M. Tamy 70 Muslim 60 N Nanggroe 34 Nigeria 20 NII, 3 Non deroglabed Rights 103 Non Govermental Organization 35 Norrahman, 13, 15 Nur Ikhwan 32 O OIC (OKI) 6, 16 Old Testament 23 Opsporing 49 Orde Lama 1, 2 Orde Baru 1, 4, 31, 32 Orde Reformasi 1, 2, 26 P Papua Barat 46 Panglima Sagoe 53 R Rabitah Alam al-Islami 16 Rajam, 46 Ramli (bupati) 27 Ratno Lukito 9, 12, 14, 19, 20, 27, 133 Ratifikasi 36
221
Montesqiew 21 Muhammad Abdul Mujaeb, 62 Muhammad Arkoun 29, 41 Mahatma Gandhi 95 Muhammad Akram Laldin 72 P Pakistan 8 Papua Barat 32 Perlak 22 Pidie Jaya 79, 80 Plenipotentiaries 8 Prevention 4 Property Law 23 Punishment 4 PUSA 2 Putroe Phang 21 Q Qadi Malikul Adil 38 Qat`u al-tariq (robbery) 24 Qazf (false accusation) 24 Qisas 43, 47 Qiyas 23 R Ross Clarke 14 Romanization tables 18 Rusjdi Ali Muhammad 12, 13 Syamsu Rizal Pangabean 28 Syed Serajul Islam 1, 13, 133, 141 Syiah Kuala 21 Sumaryo Suryokusumo 101 Suharto 3, 38, 79, 90 Sukron Kamil 4, 8, 9 Sumatra Utara 1 Al-Shaibani 61
Relax 77 Reusam 21 Riddah (apostasy) 23, 46 Rijal Pangabean 20, 21 R. Michael Feener 12, 14, 17, 18, 82 S Safruddin 70. Said Rajaie-Khorassani 112 Al-Shaibani 68 Samudra Pasai 20, 27 Said Qutb 45 SDSB, 50 Self Government 1, 40 Secular 28 Al-Shafi`I (Imam) 13, 24, 60, 65, 67 Shahram Akbarzadeh 8, 12, 13, 110, 133, 205 Shatranji 78 Shirin Ebadi 122 Snouck Hurgronje 19, 20, 29, 51, 71 Sporting gambling 50 Sidi Muhammad 22 Siasah Shari`yah 15 Statuta Roma 8 Susilo Bambang Yudhoyono 2, 79 Syamsu Rizal 19, 20, 38 Sulaiman Abdurrahman al-Hageel 6, 8, 14, 109, 115, 117,133, 204 T Tim Linsey 47 Taufiq Adnan Amal 27, 28 Turki 29 U UDHR 3, 8, 11, 13, 15, 18, 19, 35, 138 Ulee Balang 38
222
Sukron Kamil 8, 102 Sukarno 1, 22, Syaikh Yusuf Qadawi 15, 16, 40 Syaldi Sahude 107 Syamsuhadi Irsyad 9, 14, 17, 37, 54, 79, 86, 71, 87, 90 81, 84, 94, 95 UIDHR 11, 12, 14, 18, 110 V Velvorgin 49 W Wahbah al-Zuhaili 14 Wilayatul Hisbah 6, 17 W. J. Witanto 141 Y Yokyakarta 32, 46 Yunani 5, 8, 33 Yudicial review 37 Yusuf Qardhawi 200 Yusri 201 Z Al-Zubair 58 Zina (adultery)
Uli al-Amr 69 Umar bin Khattab (Ra.) 67, 68, 74 Umar bin Abdul Aziz 68 Usman bin Affan (Ra.) 67 Uqbah bin Amir 84 Uqubat 7, 10, 57, 58, 59, 61, 74,
223
APPENDIX
UDHR 1948 UIDHR 1981 CDHRI 1990 UU RI No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR 1966 UU RI No. 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi CAT 1984 UU RI No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW 1979 Qanun Aceh No. 12 Tahun 2003 tentang Khamar dan Sejenisnya Qanun Aceh No. 13 Tahun 2003 tentang Judi Qanun Aceh No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat
224
THE UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS On December 10, 1948 the General Assembly of the United Nations adopted and proclaimed the Universal Declaration of Human Rights the full text of which appears in the following pages. Following this historic act the Assembly called upon all Member countries to publicize the text of the Declaration and "to cause it to be disseminated, displayed, read and expounded principally in schools and other educational institutions, without distinction based on the political status of countries or territories." Preamble Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and inalienable rights of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world; Whereas disregard and contempt for human rights have resulted in barbarous acts which have outraged the conscience of mankind, and the advent of a world in which human beings shall enjoy freedom of speech and belief and freedom from fear and want has been proclaimed as the highest aspiration of the common people; Whereas it is essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a last resort, to rebellion against tyranny and oppression, that human rights should be protected by the rule of law; Whereas it is essential to promote the development of friendly relations between nations; Whereas the peoples of the United Nations have in the Charter reaffirmed their faith in fundamental human rights, in the dignity
225
and worth of the human person and in the equal rights of men and women and have determined to promote social progress and better standards of life in larger freedom; Whereas Member States have pledged themselves to achieve, in co-operation with the United Nations, the promotion of universal respect for and observance of human rights and fundamental freedoms; Whereas a common understanding of these rights and freedoms is of the greatest importance for the full realization of this pledge; Now, Therefore THE GENERAL ASSEMBLY proclaims THIS UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS as a common standard of achievement for all peoples and all nations, to the end that every individual and every organ of society, keeping this Declaration constantly in mind, shall strive by teaching and education to promote respect for these rights and freedoms and by progressive measures, national and international, to secure their universal and effective recognition and observance, both among the peoples of Member States themselves and among the peoples of territories under their jurisdiction. Article 1. All human beings are born free and equal in dignity and rights.They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood. Article 2 Everyone is entitled to all the rights and freedoms set forth in this Declaration, without distinction of any kind, such as race, colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property, birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political, jurisdictional or international status of the country or territory to which a person belongs, whether it be independent, trust, non-self-governing or under any other limitation of sovereignty. Article 3. Everyone has the right to life, liberty and security of person.
226
Article 4 No one shall be held in slavery or servitude; slavery and the slave trade shall be prohibited in all their forms. Article 5 No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. Article 6. Everyone has the right to recognition everywhere as a person before the law. Article 7. All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled to equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination. Article 8. Everyone has the right to an effective remedy by the competent national tribunals for acts violating the fundamental rights granted him by the constitution or by law. Article 9. No one shall be subjected to arbitrary arrest, detention or exile. Article 10 Everyone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal, in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him. Article 11 (1) Everyone charged with a penal offence has the right to be presumed innocent until proved guilty according to law in a public trial at which he has had all the guarantees necessary for his defence. (2) No one shall be held guilty of any penal offence on account of any act or omission which did not constitute a penal offence, under national or international law, at the time when it was committed. Article 12 No one shall be subjected to arbitrary interference with his privacy, family, home or correspondence, nor to attacks upon his honour and reputation. Everyone has the right to the protection of the law against such interference or attacks.
227
Article 13 (1) Everyone has the right to freedom of movement and residence within the borders of each state. (2) Everyone has the right to leave any country, including his own, and to return to his country. Article 14 (1) Everyone has the right to seek and to enjoy in other countries asylum from persecution. (2) This right may not be invoked in the case of prosecutions genuinely arising from non-political crimes or from acts contrary to the purposes and principles of the United Nations. Article 15 (1) Everyone has the right to a nationality. (2) No one shall be arbitrarily deprived of his nationality nor denied the right to change his nationality. Article 16 (1) Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and at its dissolution. (2) Marriage shall be entered into only with the free and full consent of the intending spouses. (3) The family is the natural and fundamental group unit of society and is entitled to protection by society and the State. Article 17 (1) Everyone has the right to own property alone as well as in association with others. (2) No one shall be arbitrarily deprived of his property Article 18 Everyone has the right to freedom of thought, conscience and religion; this right includes freedom to change his religion or belief, and freedom, either alone or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in teaching, practice, worship and observance. Article 19 Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and
228
to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers. Article 20 (1) Everyone has the right to freedom of peaceful assembly and association. (2) No one may be compelled to belong to an association. Article 21 (1) Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives chosen Freely. (2) Everyone has the right of equal access to public service in his country. (3) The will of the people shall be the basis of the authority of government; this will shall be expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent free voting procedures. Article 22 Everyone, as a member of society, has the right to social security and is entitled to realization, through national effort and international co-operation and in accordance with the organization and resources of each State, of the economic, social and cultural rights indispensable for his dignity and the free development of his personality. Article 23 (1) Everyone has the right to work, to free choice of employment, to just and favourable conditions of work and to protection against unemployment. (2) Everyone, without any discrimination, has the right to equal pay for equal work. (3) Everyone who works has the right to just and favourable remuneration ensuring for himself and his family an existence worthy of human dignity, and supplemented, if necessary, by other means of social protection. (4) Everyone has the right to form and to join trade unions for the protection of his interests. Article 24
229
Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable limitation of working hours and periodic holidays with pay. Article 25 (1) Everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing and medical care and necessary social services, and the right to security in the event of unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in circumstances beyond his control. (2) Motherhood and childhood are entitled to special care and assistance. All children, whether born in or out of wedlock, shall enjoy the same social protection. Article 26 (1) Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory. Technical and professional education shall be made generally available and higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit. (2) Education shall be directed to the full development of the human personality and to the strengthening of respect for human rights and fundamental freedoms. It shall promote understanding, tolerance and friendship among all nations, racial or religious groups, and shall further the activities of the United Nations for the maintenance of peace. (3) Parents have a prior right to choose the kind of education that shall be given to their children.. Article 27 (1) Everyone has the right freely to participate in the cultural life of the community, to enjoy the arts and to share in scientific advancement and its benefits. (2) Everyone has the right to the protection of the moral and material interests resulting from any scientific, literary or artistic production of which he is the author. Article 28 Everyone is entitled to a social and international order in which the rights and freedoms set forth in this Declaration can be fully realized.
230
Article 29 (1) Everyone has duties to the community in which alone the free and full development of his personality is possible. (2) In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society. (3) These rights and freedoms may in no case be exercised contrary to the purposes and principles of the United Nations. Article 30 Nothing in this Declaration may be interpreted as implying for any State, group or person any right to engage in any activity or to perform any act aimed at the destruction of any of the rights and freedoms set forth herein.
231
Universal Islamic Declaration of Human Rights 21 Dhul Qaidah 1401 19 September 1981
Contents Foreword Preamble I. II. III. IV. V. VI. VII. VIII. IX. X. XI. XII. XIII. XIV. XV.
Right to Life Right to Freedom Right to Equality and Prohibition Against Impermissible Discrimination Right to Justice Right to Fair Trial Right to Protection Against Abuse of Power Right to Protection Against Torture Right to Protection of Honour and Reputation Right to Asylum Rights of Minorities Right and Obligation to Participate in the Conduct and Management of Public Affairs Right to Freedom of Belief, Thought and Speech Right to Freedom of Religion Right to Free Association The Economic Order and the Rights Evolving Therefrom
232
XVI. XVII. XVIII. XIX. XX. XXI. XXII. XXIII.
Right to Protection of Property Status and Dignity of Workers Right to Social Security Right to Found a Family and Related Matters Rights of Married Women Right to Education Right of Privacy Right to Freedom of Movement and Residence Explanary Notes Glossary of Arabic Terms References
This is a declaration for mankind, a guidance and instruction to those who...fear…God. (Al Qur'an, Al-Imran 3:138) Foreword Islam gave to mankind an ideal code of human rights fourteen centuries ago. These rights aim at conferring honour and dignity on mankind and eliminating exploitation, oppression and injustice. Human rights in Islam are firmly rooted in the belief that God, and God alone, is the Law Giver and the Source of all human rights. Due to their Divine origin, no ruler, government, assembly or authority can curtail or violate in any way the human rights conferred by God, nor can they be surrendered. Human rights in Islam are an integral part of the overall Islamic order and it is obligatory on all Muslim governments and organs of society to implement them in letter and in spirit within the framework of that order. It is unfortunate that human rights are being trampled upon with impunity in many countries of the world, including some Muslim countries. Such violations are a matter of serious concern and are arousing the conscience of more and more people throughout the world. I sincerely hope that this Declaration of Human Rights will give a powerful impetus to the Muslim peoples to stand firm and defend resolutely and courageously the rights conferred on them by God. This Declaration of Human Rights is the second fundamental document proclaimed by the Islamic Council to mark the beginning of the 15th
233
Century of the Islamic era, the first being the Universal Islamic Declaration announced at the International Conference on The Prophet Muhammad (peace and blessings be upon him) and his Message, held in London from 12 to 15 April 1980. The Universal Islamic Declaration of Human Rights is based on the Qur'an and the Sunnah and has been compiled by eminent Muslim scholars, jurists and representatives of Islamic movements and thought. May God reward them all for their efforts and guide us along the right path. Paris 21 Dhul Qaidah 1401 Salem Azzam 19th September 1981 Secretary General O men! Behold, We have created you all out of a male and a female, and have made you into nations and tribes, so that you might come to know one another. Verily, the noblest of you in the sight of God is the one who is most deeply conscious of Him. Behold, God is all-knowing, all aware. (Al Qur'an, Al-Hujurat 49:13)
Preamble WHEREAS the age-old human aspiration for a just world order wherein people could live, develop and prosper in an environment free from fear, oppression, exploitation and deprivation, remains largely unfulfilled; WHEREAS the Divine Mercy unto mankind reflected in its having been endowed with super-abundant economic sustenance is being wasted, or unfairly or unjustly withheld from the inhabitants of the earth; WHEREAS Allah (God) has given mankind through His revelations in the Holy Qur'an and the Sunnah of His Blessed Prophet Muhammad an abiding legal and moral framework within which to establish and regulate human institutions and relationships; WHEREAS the human rights decreed by the Divine Law aim at conferring dignity and honour on mankind and are designed to eliminate oppression and injustice; WHEREAS by virtue of their Divine source and sanction these rights can neither be curtailed, abrogated or disregarded by authorities, assemblies or other institutions, nor can they be surrendered or alienated;
234
Therefore we, as Muslims, who believe a) in God, the Beneficent and Merciful, the Creator, the Sustainer, the Sovereign, the sole Guide of mankind and the Source of all Law; b) in the Vicegerency (Khilafah) of man who has been created to fulfill the Will of God on earth; c) in the wisdom of Divine guidance brought by the Prophets, whose mission found its culmination in the final Divine message that was conveyed by the Prophet Muhammad (Peace be upon him) to all mankind; d) that rationality by itself without the light of revelation from God can neither be a sure guide in the affairs of mankind nor provide spiritual nourishment to the human soul, and, knowing that the teachings of Islam represent the quintessence of Divine guidance in its final and perfect form, feel duty-bound to remind man of the high status and dignity bestowed on him by God; e) in inviting all mankind to the message of Islam; f) that by the terms of our primeval covenant with God our duties and obligations have priority over our rights, and that each one of us is under a bounden duty to spread the teachings of Islam by word, deed, and indeed in all gentle ways, and to make them effective not only in our individual lives but also in the society around us; g) in our obligation to establish an Islamic order: i) wherein all human beings shall be equal and none shall enjoy a privilege or suffer a disadvantage or discrimination by reason of race, colour, sex, origin or language; ii) wherein all human beings are born free; iii) wherein slavery and forced labour are abhorred; iv) wherein conditions shall be established such that the institution of family shall be preserved, protected and honoured as the basis of all social life; v) wherein the rulers and the ruled alike are subject to, and equal before, the Law; vi) wherein obedience shall be rendered only to those commands that are in consonance with the Law; vii) wherein all worldly power shall be considered as a sacred trust, to be exercised within the limits prescribed by the Law and in a manner approved by it, and with due regard for the priorities fixed by it;
235
viii)
wherein all economic resources shall be treated as Divine blessings bestowed upon mankind, to be enjoyed by all in accordance with the rules and the values set out in the Qur’an and the Sunnah; ix) wherein all public affairs shall be determined and conducted, and the authority to administer them shall be exercised after mutual consultation (Shura) between the believers qualified to contribute to a decision which would accord well with the Law and the public good; x) wherein everyone shall undertake obligations proportionate to his capacity and shall be held responsible pro rata for his deeds; xi) wherein everyone shall, in case of an infringement of his rights, be assured of appropriate remedial measures in accordance with the Law; xii) wherein no one shall be deprived of the rights assured to him by the Law except by its authority and to the extent permitted by it; xiii) wherein every individual shall have the right to bring legal action against anyone who commits a crime against society as a whole or against any of its members; xiv) wherein every effort shall be made to (a) secure unto mankind deliverance from every type of exploitation, injustice and oppression, (b) ensure to everyone security, dignity and liberty in terms set out and by methods approved and within the limits set by the Law; Do hereby, as servants of Allah and as members of the Universal Brotherhood of Islam, at the beginning of the Fifteenth Century of the Islamic Era, affirm our commitment to uphold the following inviolable and inalienable human rights that we consider are enjoined by Islam.
I Right to Life a) Human life is sacred and inviolable and every effort shall be made to protect it. In particular no one shall be exposed to injury or death, except under the authority of the Law.
236
b) Just as in life, so also after death, the sanctity of a person's body shall be inviolable. It is the obligation of believers to see that a deceased person's body is handled with due solemnity
II Right to Freedom a) Man is born free. No inroads shall be made on his right to liberty except under the authority and in due process of the Law. b) Every individual and every people has the inalienable right to freedom in all its forms¾ physical, cultural, economic and political — and shall be entitled to struggle by all available means against any infringement or abrogation of this right; and every oppressed individual or people has a legitimate claim to the support of other individuals and/or peoples in such a struggle. III Right to Equality and Prohibition Against Impermissible Discrimination a) All persons are equal before the Law and are entitled to equal opportunities and protection of the Law. b) All persons shall be entitled to equal wage for equal work. c) No person shall be denied the opportunity to work or be discriminated against in any manner or exposed to greater physical risk by reason of religious belief, colour, race, origin, sex or language. IV Right to Justice a) Every person has the right to be treated in accordance with the Law, and only in accordance with the Law. b) Every person has not only the right but also the obligation to protest against injustice; to recourse to remedies provided by the Law in respect of any unwarranted personal injury or loss; to selfdefence against any charges that are preferred against him and to obtain fair adjudication before an independent judicial tribunal in any dispute with public authorities or any other person. c) It is the right and duty of every person to defend the rights of any other person and the community in general (Hisbah). d) No person shall be discriminated against while seeking to defend private and public rights.
237
e) It is the right and duty of every Muslim to refuse to obey any command which is contrary to the Law, no matter by whom it may be issued. V Right to Fair Trial a) No person shall be adjudged guilty of an offence and made liable to punishment except after proof of his guilt before an independent judicial tribunal. b) No person shall be adjudged guilty except after a fair trial and after reasonable opportunity for defence has been provided to him. c) Punishment shall be awarded in accordance with the Law, in proportion to the seriousness of the offence and with due consideration of the circumstances under which it was committed. d) No act shall be considered a crime unless it is stipulated as such in the clear wording of the Law. e) Every individual is responsible for his actions. Responsibility for a crime cannot be vicariously extended to other members of his family or group, who are not otherwise directly or indirectly involved in the commission of the crime in question. VI Right to Protection Against Abuse of Power Every person has the right to protection against harassment by official agencies. He is not liable to account for himself except for making a defence to the charges made against him or where he is found in a situation wherein a question regarding suspicion of his involvement in a crime could be reasonably raised VII Right to Protection Against Torture No person shall be subjected to torture in mind or body, or degraded, or threatened with injury either to himself or to anyone related to or held dear by him, or forcibly made to confess to the commission of a crime, or forced to consent to an act which is injurious to his interests. VIII Right to Protection of Honour and Reputation Every person has the right to protect his honour and reputation against calumnies, groundless charges or deliberate attempts at defamation and blackmail. IX Right to Asylum
238
a) Every persecuted or oppressed person has the right to seek refuge and asylum. This right is guaranteed to every human being irrespective of race, religion, colour and sex. b) Al Masjid Al Haram (the sacred house of Allah) in Mecca is a sanctuary for all Muslims. X Rights of Minorities a) The Qur'anic principle "There is no compulsion in religion" shall govern the religious rights of non-Muslim minorities. b) In a Muslim country religious minorities shall have the choice to be governed in respect of their civil and personal matters by Islamic Law, or by their own laws. XI Right and Obligation to Participate in the Conduct and Management of Public Affairs a) Subject to the Law, every individual in the community (Ummah) is entitled to assume public office. b) Process of free consultation (Shura) is the basis of the administrative relationship between the government and the people. People also have the right to choose and remove their rulers in accordance with this principle. XII Right to Freedom of Belief, Thought and Speech a) Every person has the right to express his thoughts and beliefs so long as he remains within the limits prescribed by the Law. No one, however, is entitled to disseminate falsehood or to circulate reports which may outrage public decency, or to indulge in slander, innuendo or to cast defamatory aspersions on other persons. b) Pursuit of knowledge and search after truth is not only a right but a duty of every Muslim. c) It is the right and duty of every Muslim to protest and strive (within the limits set out by the Law) against oppression even if it involves challenging the highest authority in the state. d) There shall be no bar on the dissemination of information provided it does not endanger the security of the society or the state and is confined within the limits imposed by the Law. e) No one shall hold in contempt or ridicule the religious beliefs of others or incite public hostility against them; respect for the religious feelings of others is obligatory on all Muslims.
239
XIII Right to Freedom of Religion Every person has the right to freedom of conscience and worship in accordance with his religious beliefs. XIV Right to Free Association a) Every person is entitled to participate individually and collectively in the religious, social, cultural and political life of his community and to establish institutions and agencies meant to enjoin what is right (ma'roof) and to prevent what is wrong (munkar). b) Every person is entitled to strive for the establishment of institutions whereunder an enjoyment of these rights would be made possible. Collectively, the community is obliged to establish conditions so as to allow its members full development of their personalities. XV The Economic Order and the Rights Evolving Therefrom a) In their economic pursuits, all persons are entitled to the full benefits of nature and all its resources. These are blessings bestowed by God for the benefit of mankind as a whole. b) All human beings are entitled to earn their living according to the Law. c) Every person is entitled to own property individually or in association with others. State ownership of certain economic resources in the public interest is legitimate. d) The poor have the right to a prescribed share in the wealth of the rich, as fixed by Zakah, levied and collected in accordance with the Law. e) All means of production shall be utilised in the interest of the community (Ummah) as a whole, and may not be neglected or misused. f) In order to promote the development of a balanced economy and to protect society from exploitation, Islamic Law forbids monopolies, unreasonable restrictive trade practices, usury, the use of coercion in the making of contracts and the publication of misleading advertisements. g) All economic activities are permitted provided they are not detrimental to the interests of the community(Ummah) and do not violate Islamic laws and values.
240
XVI Right to Protection of Property No property may be expropriated except in the public interest and on payment of fair and adequate compensation. XVII Status and Dignity of Workers Islam honours work and the worker and enjoins Muslims not only to treat the worker justly but also generously. He is not only to be paid his earned wages promptly, but is also entitled to adequate rest and leisure. XVIII Right to Social Security Every person has the right to food, shelter, clothing, education and medical care consistent with the resources of the community. This obligation of the community extends in particular to all individuals who cannot take care of themselves due to some temporary or permanent disability. XIX Right to Found a Family and Related Matters a) Every person is entitled to marry, to found a family and to bring up children in conformity with his religion, traditions and culture. Every spouse is entitled to such rights and privileges and carries such obligations as are stipulated by the Law. b) Each of the partners in a marriage is entitled to respect and consideration from the other. c) Every husband is obligated to maintain his wife and children according to his means. d) Every child has the right to be maintained and properly brought up by its parents, it being forbidden that children are made to work at an early age or that any burden is put on them which would arrest or harm their natural development. e) If parents are for some reason unable to discharge their obligations towards a child it becomes the responsibility of the community to fulfill these obligations at public expense. f) Every person is entitled to material support, as well as care and protection, from his family during his childhood, old age or incapacity. Parents are entitled to material support as well as care and protection from their children. g) Motherhood is entitled to special respect, care and assistance on the part of the family and the public organs of the community (Ummah). h) Within the family, men and women are to share in their obligations and responsibilities according to their sex, their
241
natural endowments, talents and inclinations, bearing in mind their common responsibilities toward their progeny and their relatives. i) No person may be married against his or her will, or lose or suffer dimunition of legal personality on account of marriage. XX Rights of Married Women Every married woman is entitled to: a) live in the house in which her husband lives; b) receive the means necessary for maintaining a standard of living which is not inferior to that of her spouse, and, in the event of divorce, receive during the statutory period of waiting (iddah) means of maintenance commensurate with her husband's resources, for herself as well as for the children she nurses or keeps, irrespective of her own financial status, earnings, or property that she may hold in her own rights; c) seek and obtain dissolution of marriage (Khul'a) in accordance with the terms of the Law. This right is in addition to her right to seek divorce through the courts. d) inherit from her husband, her parents, her children and other relatives according to the Law; e) strict confidentiality from her spouse, or ex-spouse if divorced, with regard to any information that he may have obtained about her, the disclosure of which could prove detrimental to her interests. A similar responsibility rests upon her in respect of her spouse or ex-spouse. XXI Right to Education a) Every person is entitled to receive education in accordance with his natural capabilities. b) Every person is entitled to a free choice of profession and career and to the opportunity for the full development of his natural endowments. XXII Right of Privacy Every person is entitled to the protection of his privacy. XXIII Right to Freedom of Movement and Residence
242
a) In view of the fact that the World of Islam is veritably Ummah Islamia, every Muslim shall have the right to freely move in and out of any Muslim country. b) No one shall be forced to leave the country of his residence, or be arbitrarily deported therefrom without recourse to due process of Law. Explanatory Notes 1. In the above formulation of Human Rights, unless the context provides otherwise: a) the term 'person' refers to both the male and female sexes. b) the term 'Law' denotes the Shari'ah, i.e. the totality of ordinances derived from the Qur'an and the Sunnah and any other laws that are deduced from these two sources by methods considered valid in Islamic jurisprudence. 2. Each one of the Human Rights enunciated in this declaration carries a corresponding duty. 3. In the exercise and enjoyment of the rights referred to above every person shall be subject only to such limitations as are enjoined by the Law for the purpose of securing the due recognition of, and respect for, the rights and the freedom of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare of the Community (Ummah).
243
Cairo Declaration on Human Rights in Islam, Aug. 5, 1990, U.N. GAOR, World Conf. on Hum. Rts., 4th Sess., Agenda Item 5, U.N. Doc. A/CONF.157/PC/62/Add.18 (1993) [English translation]. The Nineteenth Islamic Conference of Foreign Ministers (Session of Peace, Interdependence and Development), held in Cairo, Arab Republic of Egypt, from 9-14 Muharram 1411H (31 July to 5 August 1990), Keenly aware of the place of mankind in Islam as vicegerent of Allah on Earth; Recognizing the importance of issuing a Document on Human Rights in Islam that will serve as a guide for Member states in all aspects of life; Having examined the stages through which the preparation of this draft Document has so far, passed and the relevant report of the Secretary General; Having examined the Report of the Meeting of the Committee of Legal Experts held in Tehran from 26 to 28 December, 1989; Agrees to issue the Cairo Declaration on Human Rights in Islam that will serve as a general guidance for Member States in the Field of human rights. Reaffirming the civilizing and historical role of the Islamic Ummah which Allah made as the best community and which gave humanity a universal and well-balanced civilization, in which harmony is established between hereunder and the hereafter, knowledge is combined with faith, and to fulfill the expectations from this community to guide all humanity which is confused because of different and conflicting beliefs and ideologies and to provide solutions for all chronic problems of this materialistic civilization.
244
In contribution to the efforts of mankind to assert human rights, to protect man from exploitation and persecution, and to affirm his freedom and right to a dignified life in accordance with the Islamic Shari'ah. Convinced that mankind which has reached an advanced stage in materialistic science is still, and shall remain, in dire need of faith to support its civilization as well as a self motivating force to guard its rights; Believing that fundamental rights and freedoms according to Islam are an integral part of the Islamic religion and that no one shall have the right as a matter of principle to abolish them either in whole or in part or to violate or ignore them in as much as they are binding divine commands, which are contained in the Revealed Books of Allah and which were sent through the last of His Prophets to complete the preceding divine messages and that safeguarding those fundamental rights and freedoms is an act of worship whereas the neglect or violation thereof is an abominable sin, and that the safeguarding of those fundamental rights and freedom is an individual responsibility of every person and a collective responsibility of the entire Ummah; Do hereby and on the basis of the above-mentioned principles declare as follows: ARTICLE 1: (a) All human beings form one family whose members are united by their subordination to Allah and descent from Adam. All men are equal in terms of basic human dignity and basic obligations and responsibilities, without any discrimination on the basis of race, colour, language, belief, sex, religion, political affiliation, social status or other considerations. The true religion is the guarantee for enhancing such dignity along the path to human integrity. (b) All human beings are Allah's subjects, and the most loved by Him are those who are most beneficial to His subjects, and no one has superiority over another except on the basis of piety and good deeds. ARTICLE 2: (a) Life is a God-given gift and the right to life is guaranteed to every human being. It is the duty of individuals, societies and states to safeguard this right against any violation, and it is prohibited to take away life except for a shari'ah prescribed reason.
245
(b) It is forbidden to resort to any means which could result in the genocidal annihilation of mankind. (c) The preservation of human life throughout the term of time willed by Allah is a duty prescribed by Shari'ah. (d) Safety from bodily harm is a guaranteed right. It is the duty of the state to safeguard it, and it is prohibited to breach it without a Shari'ahprescribed reason. ARTICLE 3: (a) In the event of the use of force and in case of armed conflict, it is not permissible to kill non-belligerents such as old men, women and children. The wounded and the sick shall have the right to medical treatment; and prisoners of war shall have the right to be fed, sheltered and clothed. It is prohibited to mutilate or dismember dead bodies. It is required to exchange prisoners of war and to arrange visits or reunions of families separated by circumstances of war. (b) It is prohibited to cut down trees, to destroy crops or livestock, to destroy the enemy's civilian buildings and installations by shelling, blasting or any other means. ARTICLE 4: Every human being is entitled to human sanctity and the protection of one's good name and honour during one's life and after one's death. The state and the society shall protect one's body and burial place from desecration. ARTICLE 5: (a) The family is the foundation of society, and marriage is the basis of making a family. Men and women have the right to marriage, and no restrictions stemming from race, colour or nationality shall prevent them from exercising this right. (b) The society and the State shall remove all obstacles to marriage and facilitate it, and shall protect the family and safeguard its welfare. ARTICLE 6: (a) Woman is equal to man in human dignity, and has her own rights to enjoy as well as duties to perform, and has her own civil entity and financial independence, and the right to retain her name and lineage. (b) The husband is responsible for the maintenance and welfare of the family.
246
(a)
(b)
(c)
ARTICLE 7: As of the moment of birth, every child has rights due from the parents, the society and the state to be accorded proper nursing, education and material, hygienic and moral care. Both the fetus and the mother must be safeguarded and accorded special care. Parents and those in such like capacity have the right to choose the type of education they desire for their children, provided they take into consideration the interest and future of the children in accordance with ethical values and the principles of the Shari'ah. Both parents are entitled to certain rights from their children, and relatives are entitled to rights from their kin, in accordance with the tenets of the shari'ah.
ARTCLE 8: Every human being has the right to enjoy a legitimate eligibility with all its prerogatives and obligations in case such eligibility is lost or impaired, the person shall have the right to be represented by his/her guardian. ARTICLE 9: (a) The seeking of knowledge is an obligation and provision of education is the duty of the society and the State. The State shall ensure the availability of ways and means to acquire education and shall guarantee its diversity in the interest of the society so as to enable man to be acquainted with the religion of Islam and uncover the secrets of the Universe for the benefit of mankind. (b) Every human being has a right to receive both religious and worldly education from the various institutions of teaching, education and guidance, including the family, the school, the university, the media, etc., and in such an integrated and balanced manner that would develop human personality, strengthen man's faith in Allah and promote man's respect to and defence of both rights and obligations. ARTICLE 10: Islam is the religion of true unspoiled nature. It is prohibited to exercise any form of pressure on man or to exploit his poverty or ignorance in order to force him to change his religion to another religion or to atheism. ARTICLE 11:
247
(a) Human beings are born free, and no one has the right to enslave, humiliate, oppress or exploit them, and there can be no subjugation but to Allah the Almighty. (b) Colonialism of all types being one of the most evil forms of enslavement is totally prohibited. Peoples suffering from colonialism have the full right to freedom and self-determination. It is the duty of all States peoples to support the struggle of colonized peoples for the liquidation of all forms of and occupation, and all States and peoples have the right to preserve their independent identity and econtrol over their wealth and natural resources. ARTICLE 12: Every man shall have the right, within the framework of the Shari'ah, to free movement and to select his place of residence whether within or outside his country and if persecuted, is entitled to seek asylum in another country. The country of refuge shall be obliged to provide protection to the asylum-seeker until his safety has been attained, unless asylum is motivated by committing an act regarded by the Shari'ah as a crime. ARTICLE 13: Work is a right guaranteed by the State and the Society for each person with capability to work. Everyone shall be free to choose the work that suits him best and which serves his interests as well as those of the society. The employee shall have the right to enjoy safety and security as well as all other social guarantees. He may not be assigned work beyond his capacity nor shall he be subjected to compulsion or exploited or harmed in any way. He shall be entitled - without any discrimination between males and females - to fair wages for his work without delay, as well as to the holidays allowances and promotions which he deserves. On his part, he shall be required to be dedicated and meticulous in his work. Should workers and employers disagree on any matter, the State shall intervene to settle the dispute and have the grievances redressed, the rights confirmed and justice enforced without bias. ARTICLE 14: Everyone shall have the right to earn a legitimate living without monopolization, deceit or causing harm to oneself or to others. Usury (riba) is explicitly prohibited.
248
ARTICLE 15: (a) Everyone shall have the right to own property acquired in a legitimate way, and shall be entitled to the rights of ownership without prejudice to oneself, others or the society in general. Expropriation is not permissible except for requirements of public interest and upon payment of prompt and fair compensation. (b) Confiscation and seizure of property is prohibited except for a necessity dictated by law. ARTICLE 16: Everyone shall have the right to enjoy the fruits of his scientific, literary, artistic or technical labour of which he is the author; and he shall have the right to the protection of his moral and material interests stemming therefrom, provided it is not contrary to the principles of the Shari'ah. ARTICLE 17: (a) Everyone shall have the right to live in a clean environment, away from vice and moral corruption, that would favour a healthy ethical development of his person and it is incumbent upon the State and society in general to afford that right. (b) Everyone shall have the right to medical and social care, and to all public amenities provided by society and the State within the limits of their available resources. (c) The States shall ensure the right of the individual to a decent living that may enable him to meet his requirements and those of his dependents, including food, clothing, housing, education, medical care and all other basic needs. ARTICLE 18: (a) Everyone shall have the right to live in security for himself, his religion, his dependents, his honour and his property. (b) Everyone shall have the right to privacy in the conduct of his private affairs, in his home, among his family, with regard to his property and his relationships. It is not permitted to spy on him, to place him under surveillance or to besmirch his good name. The State shall protect him from arbitrary interference.
249
(c) A private residence is inviolable in all cases. It will not be entered without permission from its inhabitants or in any unlawful manner, nor shall it be demolished or confiscated and its dwellers evicted. ARTICLE 19: (a) All individuals are equal before the law, without distinction between the ruler and the ruled. (b) The right to resort to justice is guaranteed to everyone. (c) Liability is in essence personal. (d) There shall be no crime or punishment except as provided for in the Shari'ah. (e) A defendant is innocent until his guilt is proven in a fast trial in which he shall be given all the guarantees of defence. ARTICLE 20: It is not permitted without legitimate reason to arrest an individual, or restrict his freedom, to exile or to punish him. It is not permitted to subject him to physical or psychological torture or to any form of maltreatment, cruelty or indignity. Nor is it permitted to subject an individual to medical or scientific experiments without hisconsent or at the risk of his health or of his life. Nor is it permitted to promulgate emergency laws that would provide executive authority for such actions. ARTICLE 21: Taking hostages under any form or for any purpose is expressly forbidden. ARTICLE 22: (a) Everyone shall have the right to express his opinion freely in such manner as would not be contrary to the principles of the Shari'ah. (b) Everyone shall have the right to advocate what is right, and propagate what is good, and warn against what is wrong and evil according to the norms of Islamic Shari'ah. (c) Information is a vital necessity to society. It may not be exploited or misused in such a way as may violate sanctities and the dignity of Prophets, undermine moral and ethical Values or disintegrate, corrupt or harm society or weaken its faith. (d) It is not permitted to excite nationalistic or doctrinal hatred or to do anything that may be an incitement to any form or racial discrimination.
250
ARTICLE 23: (a) Authority is a trust; and abuse or malicious exploitation thereof is explicitly prohibited, in order to guarantee fundamental human rights. (b) Everyone shall have the right to participate, directly or indirectly in the administration of his country's public affairs. He shall also have the right to assume public office in accordance with the provisions of Shari'ah. ARTICLE 24: All the rights and freedoms stipulated in this Declaration are subject to the Islamic Shari'ah.
ARTICLE 25: The Islamic Shari'ah is the only source of reference for the explanation or clarification of any of the articles of this Declaration.
sumber: http://www1.umn.edu/humanrts/instree/cairodeclaration.html
251
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, dan oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun; b.bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional, menghormati, , dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia; c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, dalam sidangnya tanggal 16 Desember 1966 telah mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik); d.bahwa instrumen internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan sifat negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang menjamin persamaan kedudukan semua warga negara di dalam hukum, dan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus-menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang
252
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Mengingat: 1.Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28G, Pasal 28I, dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2.Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882); 3.Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3886); 4.Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012); 5.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 208; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4026); Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL
253
RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLlTIK). Pasal 1 (1) Mengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1. (2) Salinan naskah asli International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UndangUndang ini. Pasal 2 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2005 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
254
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 2005 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 119
255
KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK SIPIL DAN POLITIK Diadopsi dan terbuka untuk penandatanganan, ratifikasi dan aksesi oleh Resolusi Majelis Umum 2200A (XXI) tertanggal 16 Desember 1966 mulai berlaku pada 23 Maret 1976, sesuai dengan Pasal 49 Mukadimah Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamirkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia, Mengakui bahwa hak-hak ini berasal dari martabat yang melekat pada manusia, Mengakui bahwa sesuai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang ideal manusia bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik dan kebebasan dari rasa takut dan ingin hanya dapat dicapai apabila kondisi diciptakan dimana semua orang dapat menikmati hak-haknya sipil dan politik, serta sebagai hak-haknya ekonomi, sosial dan budaya, Menimbang kewajiban Negara berdasarkan Piagam Perserikatan BangsaBangsa untuk mempromosikan penghargaan universal bagi, dan kepatuhan terhadap, hak asasi manusia dan kebebasan, Menyadari bahwa individu, memiliki tugas untuk orang lain dan kepada masyarakat yang ia berasal, berada di bawah tanggung jawab untuk berjuang untuk promosi dan ketaatan terhadap hak yang diakui dalam Kovenan ini, Menyetujui pasal-pasal sebagai berikut:
256
BAGIAN I Pasal 1 1. Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas mengejar pembangunan ekonomi, sosial dan budaya. 2. Semua bangsa, untuk tujuan mereka sendiri, secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang timbul dari operasi internasional kerja sama ekonomi, berdasarkan prinsip saling menguntungkan, dan hukum internasional. Dalam kasus tidak mungkin orang akan kekurangan sarana subsisten sendiri. 3. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini, termasuk yang memiliki tanggung jawab atas administrasi Non-Pemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian, harus memajukan perwujudan hak penentuan nasib sendiri, dan harus menghormati hak, sesuai dengan ketentuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. BAGIAN II Pasal 2 1. Setiap Negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan memastikan untuk semua individu dalam wilayahnya dan tunduk pada yurisdiksinya hak yang diakui dalam Kovenan ini, tanpa pembedaan apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal nasional atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. 2. Apabila belum diatur oleh ada tindakan legislatif atau lainnya, masing-masing Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk mengambil langkah yang diperlukan, sesuai dengan proses konstitusionalnya dan dengan ketentuan dalam Kovenan ini, untuk mengadopsi undang-undang atau tindakan lain yang mungkin diperlukan untuk memberlakukan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini. 3. Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji: (a) Untuk memastikan bahwa setiap orang yang hak atau kebebasan yang diakui disini dilanggar akan mempunyai obat yang efektif, walaupun pelanggaran tersebut telah dilakukan oleh orang yang bertindak dalam kapasitas resmi;
257
(b) Untuk memastikan bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus bertandatangan haknya ditentukan oleh otoritas peradilan, administratif atau legislatif yang berwenang, atau oleh pejabat berwenang lainnya yang diatur oleh sistem hukum Negara, dan untuk mengembangkan kemungkinan pemulihan peradilan; (c) Untuk memastikan bahwa pejabat yang berwenang akan melaksanakan pemulihan tersebut apabila dikabulkan. Pasal 3 Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak yang sama laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini. Pasal 4 1. Pada saat keadaan darurat yang mengancam kehidupan bangsa dan keberadaan yang secara resmi menyatakan, Negara-negara Pihak Kovenan ini dapat mengambil tindakan yang mengurangi kewajiban mereka berdasarkan Kovenan ini sejauh benar dibutuhkan oleh urgensi situasi, dengan ketentuan bahwa tindakan tersebut tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi sematamata atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial. 2. Tidak ada pengurangan dari pasal 6, 7, 8 (ayat I dan 2), 11, 15, 16 dan 18 dapat dilakukan berdasarkan ketentuan ini. 3. Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini yang memanfaatkan hak penyimpangan harus segera memberitahu Negara Pihak lainnya pada Kovenan ini, melalui perantaraan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, ketentuan hak dari yang telah dikurangi dan alasan hak itu ditetapkan. Pemberitahuan lebih lanjut harus dilakukan, melalui perantara yang sama, pada tanggal berakhirnya pengurangan tersebut. Pasal 5 1. Tidak ada dalam Kovenan ini dapat ditafsirkan untuk setiap Negara, kelompok atau orang hak untuk terlibat dalam kegiatan apa pun atau melakukan perbuatan yang bertujuan menghancurkan hak-hak
258
dan kebebasan yang diakui disini atau pada keterbatasan mereka ke tingkat yang lebih besar daripada diatur dalam Kovenan ini. 2. Tidak akan ada pembatasan atau pengurangan dari hak-hak manusia yang mendasar diakui atau yang ada di suatu Negara Pihak pada Kovenan ini menurut hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau yang mengakui mereka ke tingkat yang lebih rendah. BAGIAN III Pasal 6 1. Setiap manusia memiliki hak yang melekat untuk hidup. Hak ini harus dilindungi oleh hukum. Tidak seorangpun dapat secara sewenang-wenang dirampas hidupnya. 2. Di negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati, hukuman mati dapat diterapkan hanya untuk kejahatan yang paling serius sesuai dengan hukum yang berlaku pada saat terjadinya tindak pidana dan tidak bertentangan dengan ketentuan Kovenan ini dan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan sesuai dengan adanya putusan final yang diberikan oleh pengadilan yang berwenang. 3. Apabila perampasan kehidupan merupakan kejahatan genosida, dipahami bahwa tidak ada dalam pasal ini memberikan kewenangan setiap Negara Pihak pada Kovenan ini untuk menyimpang dengan cara apapun dari kewajiban diasumsikan berdasarkan ketentuan Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman Kejahatan yang Genosida. 4. Siapapun yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mencari pengampunan atau pergantian kalimat. Pengampunan atau pergantian dari hukuman mati dapat diberikan dalam semua kasus. 5. Hukuman mati tidak akan dijatuhkan atas kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang di bawah usia delapan belas tahun dan tidak boleh dilakukan pada wanita hamil. 6. Tidak ada dalam pasal ini harus diminta untuk menunda atau mencegah penghapusan hukuman mati oleh Negara Pihak pada Kovenan ini. Pasal 7
259
Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman. Secara khusus, tak seorang pun akan dikenakan tanpa persetujuan bebas untuk eksperimen medis atau ilmiah. Pasal 8 1. Tidak seorangpun dapat diselenggarakan di perbudakan, perbudakan dan perdagangan budak dalam segala bentuknya harus dilarang. 2. Tidak seorangpun dapat diselenggarakan di perbudakan. 3. Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman. Secara khusus, tak seorang pun akan dikenakan tanpa persetujuan bebas untuk eksperimen medis atau ilmiah. (a) Tidak seorang pun boleh diwajibkan untuk melakukan kerja paksa atau kerja wajib; (b) Ayat 3 (a) tidak boleh diadakan untuk menghalangi, di negara-negara di mana penjara dengan kerja paksa dapat dijatuhkan sebagai hukuman atas kejahatan, kinerja kerja keras menurut kalimat untuk hukuman tersebut oleh pengadilan yang berwenang; (c) Untuk tujuan ayat ini, "kerja paksa atau wajib" tidak mencakup: (i) Setiap pekerjaan atau jasa, tidak sebagaimana dimaksud dalam sub ayat (b), biasanya diwajibkan pada orang yang ditahan sebagai konsekuensi dari perintah yang sah dari pengadilan, atau orang yang tengah menjalani pembebasan bersyarat dari penahanan tersebut; (ii) Setiap layanan yang bersifat militer dan, di negaranegara di mana keberatan hati nurani diakui, layanan nasional diperlukan oleh hukum penentang hati nurani; (iii) Setiap layanan dituntut dalam kasus-kasus darurat atau bencana yang mengancam kehidupan atau kesejahteraan masyarakat; (iv) Setiap pekerjaan atau jasa yang merupakan bagian dari kewajiban sipil normal. Pasal 9 1. Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorangpun dapat dikenakan penangkapan atau penahanan
260
2.
3.
4.
5.
sewenang-wenang. Tidak seorangpun dapat dirampas kebebasannya kecuali atas dasar tersebut dan sesuai dengan prosedur seperti ditetapkan oleh hukum. Siapa pun yang ditangkap harus diberitahu, pada saat penangkapan, alasan penangkapan dan harus segera diberitahu tentang segala tuduhan terhadapnya. Siapa pun yang ditangkap atau ditahan berdasarkan tuduhan pidana harus segera dibawa ke depan hakim atau pejabat lainnya yang diberikan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan dan harus berhak ke pengadilan dalam waktu yang wajar, atau dibebaskan. Tidak akan menjadi aturan umum bahwa orang menunggu persidangan harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap lain dari proses peradilan, dan, harus kesempatan muncul, untuk pelaksanaan penghakiman. Siapapun yang dirampas kebebasannya dengan cara penangkapan atau penahanan, berhak untuk mengambil tindakan sebelum pengadilan, agar pengadilan yang dapat memutuskan tanpa penundaan tentang keabsahan penahanannya dan memerintahkan pembebasannya bila penahanan tersebut tidak sah. Siapapun yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan tidak sah akan memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi.
Pasal 10 1. Semua orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat yang melekat pada manusia. 2. Siapapun yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan tidak sah akan memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi. (a) Terdakwa, kecuali dalam keadaan luar biasa, harus dipisahkan dari orang yang dihukum dan tunduk diperlakukan secara berbeda sesuai dengan statusnya sebagai orang yang belum dipidana; (b) orang Terdakwa di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan secepat mungkin untuk ajudikasi. 3. Sistem pemasyarakatan terdiri perlakuan terhadap tahanan tujuan penting dari reformasi yang harus mereka dan rehabilitasi sosial.
261
Terpidana di bawah umur harus dipisahkan dari orang dewasa dan diperlakukan sesuai dengan usia dan status hukum mereka. Pasal 11 Tidak seorangpun dapat dipenjarakan semata-mata ketidakmampuan untuk memenuhi kewajiban kontrak.
atas
dasar
Pasal 12 1. Setiap orang secara sah berada di wilayah suatu Negara harus, dalam wilayah tersebut, memiliki hak atas kebebasan bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya. 2. Setiap orang harus bebas untuk meninggalkan negara manapun, termasuk negerinya sendiri. 3. Hak-hak di atas tidak akan tunduk pada pembatasan kecuali yang disediakan oleh hukum, diperlukan untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum (ordre public), kesehatan atau moral umum atau hak-hak dan kebebasan orang lain, dan konsisten dengan hak-hak lainnya yang diakui dalam Kovenan ini. 4. Tidak seorangpun dapat secara sewenang-wenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya sendiri. Pasal 13 Alien secara sah di wilayah suatu Negara Pihak dalam Kovenan ini dapat diusir darinya hanya menurut keputusan yang dicapai sesuai dengan hukum dan harus, kecuali alasan kuat keamanan nasional mengharuskan lain, diperbolehkan untuk mengajukan alasan-alasan terhadap nya pengusiran dan agar kasusnya ditinjau oleh, dan diwakili untuk tujuan ini, yang berwenang atau orang atau orang-orang khususnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang. Pasal 14 1. Semua orang harus sama di hadapan pengadilan dan dewan pengadilan. Dalam menentukan setiap tuntutan pidana terhadap dirinya, atau hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan hukum, setiap orang berhak atas pengadilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang kompeten, independen dan tidak memihak yang ditetapkan oleh hukum. Pers dan publik dapat dikecualikan dari seluruh atau sebagian sidang karena alasan moral, ketertiban umum
262
(ordre public) atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat demokratis, atau ketika kepentingan kehidupan pribadi dari para pihak membutuhkan, atau untuk sejauh benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi akan merugikan kepentingan keadilan, tetapi apapun keputusan yang diberikan dalam kasus pidana atau dalam suatu gugatan hukum harus dilakukan masyarakat kecuali kepentingan orang remaja lain membutuhkan atau sengketa proses perkawinan keprihatinan atau perwalian anak-anak. 2. Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah menurut hukum. 3. Dalam menentukan setiap tuntutan pidana terhadap dia, setiap orang berhak atas jaminan minimum berikut, dalam persamaan yang penuh: (a) Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dia mengerti tentang sifat dan penyebab tuduhan terhadap dia ; (b) Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berkomunikasi dengan pengacara yang dipilihnya sendiri; (c) Untuk diadili tanpa penundaan; (d) Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui bantuan hukum yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahu, jika ia tidak mempunyai bantuan hukum, hak ini, dan untuk mendapatkan bantuan hukum ditugaskan kepadanya, Dalam hal di mana kepentingan keadilan sangat membutuhkan, dan tanpa pembayaran oleh dia dalam kasus tersebut jika ia tidak memiliki alat yang cukup untuk membayar untuk itu; (e) Untuk memeriksa, atau telah memeriksa, saksi-saksi terhadap dirinya dan untuk mendapatkan kehadiran dan pemeriksaan saksi-saksi atas nama di bawah kondisi yang sama sebagai saksi terhadap dia; (f) Untuk mendapatkan bantuan gratis dari seorang juru bahasa jika dia tidak bisa memahami atau berbicara bahasa yang digunakan di pengadilan; (g) Tidak dipaksa untuk bersaksi melawan dirinya sendiri atau untuk mengaku bersalah.
263
4. Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur harus sedemikian rupa akan mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka. 5. Setiap orang yang dihukum karena kejahatan berhak untuk keyakinannya dan hukuman yang ditinjau oleh pengadilan yang lebih tinggi menurut hukum. 6. Ketika seseorang memiliki dengan keputusan akhir telah dihukum karena melakukan tindak pidana dan ketika kemudian keyakinannya telah terbalik atau dia telah diampuni atas dasar bahwa fakta baru atau yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan, orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya. 7. Tidak seorang pun akan bertanggung jawab untuk diadili atau dihukum kembali untuk suatu pelanggaran yang ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan prosedur pidana masing-masing negara. Pasal 15 1. Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan pelanggaran pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu tindak pidana, berdasarkan hukum nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan dikenakan hukuman yang lebih berat daripada yang berlaku pada saat tindak pidana tersebut dilakukan. Jika, setelah komisi pelanggaran ketentuan yang dibuat oleh hukum untuk penjatuhan hukuman yang lebih ringan, pelaku harus mendapatkan keuntungan. 2. Tidak ada dalam pasal ini harus mengurangi dan hukuman bagi setiap orang untuk setiap tindakan atau kelalaian yang, pada waktu ketika perbuatan tersebut dilakukan, adalah kriminal menurut prinsip-prinsip umum hukum yang diakui oleh masyarakat bangsabangsa. Pasal 16 Setiap orang berhak atas pengakuan di mana-mana sebagai pribadi di hadapan hukum.
264
Pasal 17 1. Tidak seorangpun dapat diganggu dengan sewenang-wenang atau melanggar hukum, keluarganya rumah privasi, atau korespondensi, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya. 2. Setiap orang berhak atas perlindungan hukum terhadap campur tangan atau serangan. Pasal 18 1. Hak ini harus mencakup kebebasan untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya, dan kebebasan, baik secara individu atau dalam komunitas dengan orang lain dan di depan umum atau swasta, untuk menyatakan agama atau kepercayaan dalam ibadah, praktek ketaatan, dan pengajaran. 2. Tidak seorangpun dapat dikenakan paksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk memiliki atau mengadopsi suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya. 3. Kebebasan untuk mewujudkan satu agama atau kepercayaan dapat tunduk hanya pada pembatasan seperti yang ditentukan oleh hukum dan yang diperlukan untuk melindungi keselamatan publik, ketertiban, kesehatan, atau moral atau hak-hak mendasar dan kebebasan orang lain. 4. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan, bila diperlukan, wali hukum untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Pasal 19 1. Setiap orang berhak untuk memiliki pendapat tanpa gangguan. 2. Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi, hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan pemikiran apapun, tanpa batasan, baik secara lisan, tertulis atau cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui lain media pilihannya. 3. Pelaksanaan hak yang diatur dalam ayat 2 pasal ini disertai dengan tugas khusus dan tanggung jawab. Karena itu dapat dikenakan pembatasan tertentu, tetapi hanya akan seperti ditentukan oleh hukum dan diperlukan: (a) Untuk menghormati hak atau reputasi orang lain;
265
(b) Untuk perlindungan keamanan nasional atau ketertiban umum (ordre public), atau kesehatan atau moral umum. Pasal 20 1. Segala propaganda untuk perang harus dilarang oleh hukum. 2. Setiap advokasi kebencian berdasarkan kebangsaan, ras atau keagamaan yang merupakan penghasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum. Pasal 21 Hak berkumpul secara damai harus diakui. Tidak ada pembatasan dapat ditempatkan pada pelaksanaan hak ini selain yang dikenakan sesuai dengan hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau keselamatan umum, ketertiban umum (ordre public), perlindungan kesehatan masyarakat atau moral atau perlindungan hak dan kebebasan orang lain. Pasal 22 1. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya. 2. Tidak ada pembatasan dapat ditempatkan pada pelaksanaan hak ini selain yang ditentukan oleh hukum dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi kepentingan keamanan nasional atau keselamatan umum, ketertiban umum (ordre public), perlindungan kesehatan umum atau moral atau perlindungan hak dan kebebasan orang lain. Artikel ini tidak akan mencegah pengenaan pembatasan sah terhadap anggota angkatan bersenjata dan polisi dalam latihan mereka hak ini. 3. Tidak ada dalam pasal ini yang memberikan kewenangan negara Pihak pada Konvensi Organisasi Buruh Internasional tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak Berorganisasi untuk mengambil tindakan legislatif yang akan merugikan, atau menerapkan hukum sedemikian rupa untuk mengurangi, jaminan diberikan dalam Konvensi tersebut. Pasal 23 1. Keluarga adalah kesatuan alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapat perlindungan dari masyarakat dan Negara.
266
2. Hak pria dan wanita usia perkawinan untuk menikah dan untuk membentuk keluarga harus diakui. 3. Perkawinan Tidak akan dimasukkan ke dalam tanpa persetujuan bebas dan penuh dari kedua mempelai. 4. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini harus mengambil langkah yang sesuai untuk menjamin kesetaraan hak dan tanggung jawab pasangan untuk perkawinan, selama perkawinan dan pada saat perceraian. Dalam hal pembubaran, ketentuan harus dibuat untuk perlindungan yang diperlukan dari setiap anak. Pasal 24 1. Setiap anak harus memiliki, tanpa diskriminasi apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, properti agama, nasional atau sosial, asal atau kelahiran, hak untuk tindakan perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak di bawah umur, pada bagian keluarganya, masyarakat dan Negara. 2. Setiap anak harus didaftarkan segera setelah kelahirannya dan harus memiliki nama. 3. Setiap anak berhak untuk memperoleh kewarganegaraan. Pasal 25 Setiap warga negara berhak dan kesempatan, tanpa ada perbedaan yang disebutkan dalam pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak masuk akal: (a) Untuk mengambil bagian dalam urusan publik, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas; (b) Untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, harus dengan hak pilih universal dan sama dan harus dimiliki oleh pemungutan suara secara rahasia, menjamin ekspresi bebas dari kehendak para pemilih; (c) Untuk memiliki akses, berdasarkan ketentuan umum kesetaraan, untuk pelayanan publik di negaranya. Pasal 26 Semua orang sama di depan hukum dan berhak tanpa diskriminasi atas perlindungan hukum yang sama. Dalam hal ini, hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan menjamin kepada semua orang yang sama dan perlindungan yang efektif terhadap diskriminasi atas dasar apapun seperti
267
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau lainnya, asal nasional atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. Pasal 27 Di negara-negara yang memiliki kelompok minoritas etnis, agama atau bahasa, orang yang tergolong minoritas tersebut tidak boleh diingkari haknya, dalam masyarakat dengan anggota lain dari kelompok mereka, untuk menikmati budaya mereka sendiri, untuk mengakui dan praktek agama mereka, atau untuk menggunakan bahasa mereka sendiri. PART IV BAGIAN IV Pasal 28 1. Harus dibentuk Komite Hak Asasi Manusia (selanjutnya disebut dalam Kovenan ini sebagai Komite). Ini harus terdiri dari delapan belas anggota dan akan melaksanakan fungsi yang disediakan selanjutnya. 2. Komite harus terdiri dari warga negara dari Negara Pihak dalam Kovenan ini yang harus bermoral tinggi dan diakui keahliannya di bidang hak asasi manusia, pertimbangan yang diberikan kepada manfaat dari keikutsertaan beberapa orang yang mempunyai pengalaman hukum. 3. Para anggota Komite harus dipilih dan bertugas dalam kapasitas pribadinya. Pasal 29 1. Para anggota Komite harus dipilih dengan pemungutan suara secara rahasia dari daftar orang-orang yang memiliki kualifikasi yang ditentukan dalam pasal 28 dan dinominasikan untuk tujuan itu oleh Negara Pihak dalam Kovenan ini. 2. Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini dapat mencalonkan tidak lebih dari dua orang. Orang-orang ini harus warga negara dari Negara pencalonan. 3. Seseorang harus memenuhi syarat untuk pencalonan kembali. Pasal 30 1. Pemilihan pertama akan diselenggarakan tidak lebih dari enam bulan setelah tanggal berlakunya Kovenan ini. 2. Setidaknya empat bulan sebelum tanggal setiap pemilihan Komite, selain dari pemilihan untuk mengisi kekosongan yang telah
268
dinyatakan sesuai dengan pasal 34, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengirimkan undangan tertulis kepada Negara Pihak dalam Kovenan ini untuk menyampaikan calon mereka bagi Komite, dalam waktu tiga bulan. 3. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menyiapkan daftar menurut abjad semua orang yang dicalonkan, dengan indikasi Negara Pihak yang mencalonkan mereka, dan akan menyampaikannya kepada Negara Pihak dalam Kovenan ini tidak lebih dari satu bulan sebelum tanggal setiap pemilihan. 4. Pemilihan anggota Komite harus diselenggarakan pada sidang Negara-negara Pihak Kovenan ini yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa di Markas Besar PBB. Pada pertemuan itu, di mana dua pertiga dari Negara Pihak dalam Kovenan ini akan merupakan kuorum, orang yang dipilih untuk Komite adalah mereka calon yang memperoleh suara terbanyak dan mayoritas mutlak dari suara para wakil Negara Pihak yang hadir dan memberikan suara. Pasal 31 1. Komite tidak dapat mencakup lebih dari satu nasional dari Negara yang sama. 2. Dalam pemilihan Komite, pertimbangan harus diberikan pada pembagian geografis yang adil keanggotaan dan perwakilan dari berbagai bentuk peradaban dan sistem hukum yang utama. Pasal 32 1. Para anggota Komite akan dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Mereka harus memenuhi syarat untuk pemilihan kembali jika dicalonkan kembali. Namun, persyaratan sembilan anggota terpilih pada pemilihan pertama akan berakhir pada akhir dua tahun; segera setelah pemilihan pertama, nama-nama sembilan anggota ini akan dipilih melalui undian oleh Ketua Sidang yang disebut dalam pasal 30, ayat 4. 2. Pemilihan pada berakhirnya jabatan akan diselenggarakan sesuai dengan pasal-pasal sebelumnya dalam bagian ini dari Kovenan ini. Pasal 33
269
1. Jika, menurut pendapat bulat dari anggota lain, seorang anggota Komite telah berhenti melaksanakan fungsinya untuk setiap penyebab selain adanya karakter sementara, Ketua Komite harus memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa, yang kemudian akan menyatakan bahwa jabatan anggota tersebut kosong. 2. Dalam hal kematian atau pengunduran diri anggota Komite, Ketua harus segera memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang akan menyatakan kursi kosong dari tanggal kematian atau tanggal pengunduran diri berlaku efektif . Pasal 34 1. Ketika kekosongan dinyatakan sesuai dengan pasal 33 dan jika masa jabatan anggota yang akan diganti tidak berakhir dalam waktu enam bulan dari deklarasi kekosongan tersebut, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus memberitahu setiap Negara Pihak Kovenan ini, yang mungkin dalam waktu dua bulan mengajukan calon sesuai dengan pasal 29 untuk tujuan mengisi kekosongan tersebut. 2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menyiapkan daftar menurut abjad dari orang yang dicalonkan dan akan menyampaikannya kepada Negara Pihak dalam Kovenan ini. Pemilihan untuk mengisi kekosongan akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan terkait dalam bagian ini dari Kovenan ini. 3. Seorang anggota Komite dipilih untuk mengisi kekosongan yang telah dinyatakan sesuai dengan pasal 33 akan menjabat selama sisa jangka waktu anggota yang telah mengosongkan kursi pada Komite berdasarkan ketentuan pasal itu. Pasal 35 Para anggota Komite, dengan persetujuan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, menerima honorarium dari sumber-sumber Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan syarat dan kondisi sebagai Majelis Umum dapat memutuskan, dengan mempertimbangkan pentingnya tanggung jawab Komite. Pasal 36 Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyediakan staf dan fasilitas yang diperlukan untuk pelaksanaan efektif fungsi-fungsi Komite berdasarkan Kovenan ini.
270
Pasal 37 1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan sidang pertama Komite di Markas Besar PBB. 2. Setelah pertemuan pertama ini, Komite harus bertemu pada waktuwaktu seperti ditetapkan dalam aturan tata kerjanya. 3. Komite biasanya bersidang di Markas Besar Perserikatan BangsaBangsa atau di Kantor PBB di Jenewa. Pasal 38 Setiap anggota Komite, sebelum memulai tugasnya, membuat suatu pernyataan yang khidmat dalam komite terbuka bahwa ia akan melaksanakan tugasnya tanpa memihak dan dengan seksama. Pasal 39 1. Komite harus memilih para stafnya untuk masa jabatan dua tahun. Mereka mungkin dipilih kembali. 2. Komite harus menetapkan aturan prosedurnya sendiri, tetapi peraturan itu harus menyediakan, antara lain, bahwa: (a) Dua belas anggotanya merupakan kuorum; (b) Keputusan-keputusan Komite harus dibuat berdasarkan suara mayoritas anggota yang hadir. Pasal 40 1. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menyampaikan laporan pada kebijakan mereka telah mengadopsi yang memberikan pengaruh terhadap hak-hak yang diakui di dalam dan tentang kemajuan yang dibuat dalam pemenuhan hak-hak tersebut: (a) Dalam satu tahun berlakunya dari Kovenan ini untuk Negara Pihak yang bersangkutan; (b) Setelah itu setiap kali Komite memintanya. 2. Semua laporan harus disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang akan menyampaikan mereka kepada Komite untuk dipertimbangkan. Laporan harus menunjukkan faktor-faktor dan kesulitan-kesulitan, jika ada, yang mempengaruhi penerapan Kovenan ini. 3. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, setelah berkonsultasi dengan Komite, dapat meneruskan kepada badan-
271
badan khusus yang terkait, salinan atau bagian dari laporan dianggap masuk dalam bidang kompetensi mereka. 4. Komite akan mempelajari laporan yang disampaikan oleh Negara Pihak dalam Kovenan ini. It shall transmit its reports, and such general comments as it may consider appropriate, to the States Parties. Ini harus meneruskan laporannya, dan komentar umum seperti mungkin dianggap tepat, kepada Negara Pihak. Komite juga dapat mengirimkan kepada Dewan Ekonomi dan Sosial komentar ini bersama dengan salinan laporan-laporan yang diterima dari Negara Pihak Kovenan ini. 5. Negara-negara Pihak pada Kovenan ini dapat mengajukan kepada Komite observasi pada setiap komentar yang mungkin dibuat sesuai dengan ayat 4 pasal ini. Pasal 41 1. Suatu Negara Pihak Kovenan ini dapat setiap saat berdasarkan pasal ini menyatakan bahwa ia mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan membahas komunikasi yang menyatakan bahwa suatu Negara Pihak menyatakan bahwa Negara Pihak lain tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan Kovenan ini. Komunikasi menurut pasal ini dapat diterima dan dianggap hanya jika diajukan oleh suatu Negara Pihak yang telah membuat pernyataan mengakui sehubungan dengan sendirinya kompetensi Komite. Tidak satupun komunikasi akan diterima oleh Komite jika menyangkut suatu Negara Pihak yang belum membuat pernyataan tersebut. Komunikasi yang diterima berdasarkan pasal ini akan ditangani sesuai dengan prosedur sebagai berikut: (a) Apabila Negara Pihak dalam Kovenan ini beranggapan bahwa Negara Pihak lain tidak memberlakukan ketentuan-ketentuan Kovenan ini, ia dapat secara tertulis meminta hal ini untuk menjadi perhatian Negara Pihak. Dalam waktu tiga bulan setelah diterimanya komunikasi penerimaan Negara harus memberikan kepada negara yang mengirimkan komunikasi penjelasan, atau pernyataan lain secara tertulis untuk menjelaskan masalah yang harus mencakup, sejauh mungkin dan referensi yang bersangkutan, untuk prosedur domestik dan obat diambil , tertunda, atau ada dalam masalah tersebut; (b) Jika persoalan itu tidak disesuaikan dengan memuaskan bagi kedua Negara Pihak yang bersangkutan dalam waktu enam
272
(c)
(d) (e)
(f)
(g)
(h)
bulan setelah penerimaan oleh Negara yang menerima komunikasi awal, kedua Negara berhak untuk menyerahkan masalah tersebut kepada Komite, melalui pemberitahuan yang diberikan kepada Komite dan kepada Negara lain; Komite harus menangani masalah yang diajukan kepadanya setelah ia memastikan bahwa semua penyelesaian domestik yang ada telah ditempuh dalam menangani masalah ini, sesuai dengan prinsip-prinsip umum hukum internasional yang diakui. Ini tidak akan aturan mana penerapan solusi tanpa alasan yang berkepanjangan; Komite harus menyelenggarakan sidang tertutup ketika memeriksa komunikasi berdasarkan pasal ini; Berdasarkan pada ketentuan sub ayat (c), Komite harus menyediakan jasa baik kepada Negara Pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk solusi ramah dari masalah berdasarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar yang diakui dalam Kovenan ini; Dalam setiap masalah yang diajukan kepadanya, Komite dapat meminta Negara Pihak yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam sub ayat (b), untuk memberikan semua informasi yang relevan; Negara Pihak yang bersangkutan, sebagaimana dimaksud dalam sub ayat (b), berhak untuk diwakili apabila masalahnya dibahas di Komite, dan untuk menyampaikan secara lisan dan / atau tertulis; Komite dalam jangka waktu dua belas bulan setelah tanggal diterimanya pemberitahuan berdasarkan sub ayat (b), menyampaikan laporan: (i) Kalau suatu penyelesaian menurut sub-ayat (e) tercapai, Komite harus membatasi laporannya pada pernyataan singkat tentang fakta dan penyelesaian yang dicapai; (ii) Kalau suatu penyelesaian menurut sub-ayat (e) tidak tercapai, Komite harus membatasi laporannya pada pernyataan singkat tentang fakta; yang pengajuan tertulis dan catatan dari lisan yang dibuat oleh Negara Pihak yang bersangkutan harus dilampirkan laporan tersebut. Dalam setiap hal, laporan tersebut harus dikomunikasikan kepada Negara Pihak yang bersangkutan.
273
2. Ketentuan-ketentuan pasal ini mulai berlaku pada saat sepuluh Negara Pihak dalam Kovenan ini telah membuat deklarasi berdasarkan ayat I dari pasal ini. Pernyataan tersebut akan diserahkan oleh Negara Pihak kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian akan meneruskan salinannya kepada Negara Pihak lainnya. Suatu pernyataan dapat ditarik setiap waktu dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal. Penarikan tersebut tidak akan mempengaruhi pembahasan terhadap masalah yang merupakan pokok dari sebuah komunikasi yang telah disampaikan berdasarkan pasal ini, tidak ada komunikasi lanjutan dari Negara Pihak harus diterima setelah pemberitahuan penarikan pernyataan telah diterima oleh Sekretaris Jenderal , kecuali jika Negara Pihak yang bersangkutan telah membuat pernyataan baru. Pasal 42 1. Ketentuan-ketentuan pasal ini mulai berlaku pada saat sepuluh Negara Pihak dalam Kovenan ini telah membuat deklarasi berdasarkan ayat I dari pasal ini. Pernyataan tersebut akan diserahkan oleh Negara Pihak kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang kemudian akan meneruskan salinannya kepada Negara Pihak lainnya. Suatu pernyataan dapat ditarik setiap waktu dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal. Penarikan tersebut tidak akan mempengaruhi pembahasan terhadap masalah yang merupakan pokok dari sebuah komunikasi yang telah disampaikan berdasarkan pasal ini, tidak ada komunikasi lanjutan dari Negara Pihak harus diterima setelah pemberitahuan penarikan pernyataan telah diterima oleh Sekretaris Jenderal , kecuali jika Negara Pihak yang bersangkutan telah membuat pernyataan baru. (a) Jika permasalahan yang diajukan kepada Komite sesuai dengan pasal 41 tidak memutuskan untuk kepuasan dari Negara Pihak yang bersangkutan, Komite dapat, dengan persetujuan terlebih dahulu dari Negara Pihak yang bersangkutan, menunjuk suatu Komisi Konsiliasi ad hoc (selanjutnya disebut sebagai Komisi). Jasa baik Komisi akan disediakan bagi Negara Pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk solusi damai dari masalah berdasarkan penghormatan terhadap Kovenan ini;
274
(b) Komisi terdiri dari lima orang diterima oleh Negara Pihak yang bersangkutan. 2.
3. 4.
5. 6.
7.
Para anggota Komisi akan bekerja berdasarkan kapasitas pribadinya. Mereka tidak boleh merupakan warga negara dari Negara-negara Pihak yang berkepentingan atau dari Negara yang bukan Pihak pada Kovenan ini, atau Negara Pihak yang belum membuat pernyataan berdasarkan Pasal 41. Komisi akan memilih Ketuanya sendiri dan menetapkan aturan prosedurnya sendiri. Persidangan Komisi biasanya akan diselenggarakan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa. Namun, persidangan dapat diselenggarakan di tempat-tempat lain yang dianggap baik/mudah sebagaimana ditentukan oleh Komisi dengan berkonsultasi dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa dan Negara-negara Pihak yang berkepentingan. Sekretariat yang disediakan berdasarkan Pasal 36 akan juga melayani para anggota komisi yang ditunjuk berdasarkan Pasal ini. Informasi yang diterima dan dikumpulkan oleh Komite, akan diberikan kepada Komisi, dan Komisi dapat memanggil Negaranegara Pihak yang berkepentingan untuk memberikan informasi relevan lainnya. Apabila Komisi telah lengkap membahas masalah secara keseluruhan, namun dalam hal apapun, tidak lebih dari dua belas bulan setelah menangani masalah, Komisi akan menyampaikan laporan kepada Ketua Komite untuk dikomunikasikan kepada Negara-negara Pihak yang berkepentingan. (a) Apabila Komisi tidak dapat menyelesaikan pembahasan masalah dalam jangka waktu dua belas bulan, Komisi akan membatasi laporannya pada pernyataan singkat tentang status pembahasan masalah; (b) Apabila dicapai penyelesaian yang baik terhadap masalah berdasarkan penghormatan atas hak asasi manusia sebagaimana diakui dalam Kovenan ini, Komisi akan
275
membatasi laporannya pada pernyataan singkat mengenai fakta-fakta dan penyelesaian yang dicapai; (c) Apabila tidak tercapai suatu penyelesaian sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam sub ayat (b), laporan Komisi harus memuat temuan-temuannya mengenai semua permasalahan fakta yang relevan dengan persoalan antara Negara-negara Pihak yang berkepentingan, dan pandangannya terhadap kemungkinan penyelesaian yang baik atas masalah tersebut. Laporan ini akan berisi pembelaan tertulis dan transkrip pembelaan lisan yang dibuat oleh Negara-negara Pihak yang berkepentingan. (d) Apabila laporan Komisi disampaikan berdasarkan sub ayat (c), Negara-negara Pihak yang berkepentingan dalam jangka waktu tiga bulan setelah diterimanya laporan akan memberitahukan kepada Ketua Komite apakah mereka akan menerima atau tidak isi laporan Komisi. 8. Ketentuan Pasal ini tidak mengurangi tanggung jawab Komite berdasarkan Pasal 41. 9. Negara-negara Pihak yang berkepentingan harus memikul bersama dengan rata seluruh biaya anggota Komisi sesuai dengan. perkiraan yang diberikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa 10. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa diberi wewenanguntuk membayar pengeluaran anggota Komisi, apabila perlu, sebelum dilakukan pembayaran kembali oleh Negaranegara Pihak yang berkepentingan sesuai dengan ayat 9 dari Pasal ini. Pasal 43 Para anggota Komite dan Komisi Pendamai ad hoc yang dapat ditunjuk berdasarkan Pasal 42, berhak atas fasilitas, keistimewaan dan kekebalan yang diberikan pada para ahli yang melakukan misi bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagaimana diatur dalam bagian-bagian yang relevan dari Konvensi tentang Keistimewaan dan Kekebalan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 44 Ketentuan untuk menerapkan Kovenan ini berlaku tanpa mengganggu prosedur yang ditentukan di bidang hak-hak asasi
276
manusia oleh atau berdasarkan instrumen-instrumen pendirian dan konvensi-konvensi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badanbadan khusus, dan tidak boleh mencegah Negara-negara Pihak pada Kovenan ini untuk menggunakan prosedur lain untuk penyelesaian sengketa, sesuai dengan perjanjian internasional yang umum atau khusus yang berlaku di antara mereka. Pasal 45 Komite akan menyampaikan laporan tahunan tentang kegiatankegiatannya BAGIAN V Pasal 46 Tidak ada dalam Kovenan ini dapat ditafsirkan sebagai merusak ketentuan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan konstitusi badan-badan khusus yang menentukan tanggung jawab masing-masing dari berbagai organ Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus mengenai hal-hal ditangani dalam Kovenan ini.
Pasal 47 Tidak ada dalam Kovenan ini dapat ditafsirkan sebagai mengurangi hak yang melekat pada semua orang untuk menikmati dan memanfaatkan sepenuhnya dan secara bebas kekayaan dan sumber daya alam mereka. PART VI Pasal 48 1. Kovenan ini terbuka untuk ditandatangani oleh Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa atau anggota dari badan khusus, oleh Negara Pihak pada Statuta Mahkamah Internasional, dan oleh Negara lainnya yang telah diundang oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menjadi Pihak pada Kovenan ini. 2. Kovenan ini harus diratifikasi. Instrumen ratifikasi akan diserahkan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa untuk disimpan. 3. Kovenan ini terbuka untuk diaksesi oleh Negara manapun sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini. 4. Aksesi akan berlaku efektif dengan disimpannya instrumen aksesi pada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa.
277
5.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan memberitahukan kepada semua Negara yang telah menandatangani atau melakukan aksesi pada Kovenan ini tentang penyimpanan instrumen ratifikasi dan aksesi.
Pasal 49 1. Kovenan ini akan mulai berlaku tiga bulan setelah tanggal penyimpanan dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa dari ketiga puluh lima instrumen ratifikasi atau instrumen aksesi. 2. Untuk setiap Negara yang meratifikasi Kovenan ini atau yang melakukan aksesi setelah penyimpanan instrumen puluh lima instrumen ratifikasi atau aksesi, Kovenan ini akan mulai berlaku tiga bulan setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi atau instrumen aksesi. Pasal 50 Ketentuan-ketentuan dalam Kovenan ini berlaku bagi semua bagian dari Negara federal tanpa ada pembatasan atau pengecualian.
Pasal 51 1. Setiap perubahan diadopsi oleh mayoritas Negara Pihak yang hadir dan memberikan suara pada konferensi akan diserahkan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mendapatkan persetujuan. 2. Perubahan akan berlaku apabila mereka telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diterima oleh mayoritas duapertiga dari Negara Pihak Kovenan ini sesuai dengan proses konstitusi masing-masing. Pasal 52 Terlepas dari pemberitahuan yang dibuat berdasarkan Pasal 48 ayat 5, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib memberitahu semua Negara yang dimaksud dalam ayat 1 dari Pasal yang sama, hal-hal sebagai berikut: (a) penandatangan, ratifikasi dan aksesi berdasarkan Pasal 48;
278
(b) tanggal berlakunya Kovenan ini berdasarkan Pasal 49 dan tanggal berlakunya perubahan-perubahan berdasarkan Pasal 51 Pasal 53 1. Teks Kovenan ini dalam bahasa Cina, Inggris, Prancis, Rusia dan Spanyol mempunyai kekuatan yang sama, akan disimpan pada arsip Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa wajib meneruskan salinan resmi Kovenan ini kepada semua Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
279
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1998 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA) DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah Negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. sehingga segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam. tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia harus dicegah dan dilarang; b. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional menghormati, menghargai, dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia; c. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam sidangnya pada tanggal 10 Desember 1984 telah menyetujui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak -Manusiawi. Atau Merendahkan Martabat Manusia) dan Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 23 Oktober 1985; d. bahwa konvensi tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia serta selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus menerus menegakkan dan memajukan pelaksanaan hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsadan bernegara;
280
e. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c. dan d dipandang perlu mengesahkan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi MenentangPenyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) dengan Undang-undang. Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal ll, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945: Dengan Persetujuan DEWAN PERW AKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL,INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DANPERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAKMANUSIAWI, ATAU MERENDAHKANMARTABAT MANUSIA). Pasal 1 (1) Mengesahkan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusia, atau Merendahkan Martabat Manusia) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20 dan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1). (2) Salinan naskah asli Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia), Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20, dan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1) dalam bahasa Inggris, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini. Pasal 2 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
281
Disahkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1998 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 September 1998 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd AKBAR TANDJUNG LEMBARAN NEGARA REPUBLlK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 164
282
KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU HUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA Negara-negara Pihak Konvensi ini, Mengingat bahwa sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan atas hak yang sama dan tidak dapat dicabut bagi semua umat manusia merupakan landasan kebebasan, keadilan dan perdamaian di dunia, Mengakui bahwa hak tersebut berasal dari martabat manusia secara pribadi, Mengingat kewajiban Negara-Negara berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, terutama Pasal 55, adalah memajukan penghormatan dan ketaatan universal terhadap hak asasi dan kebebasan dasar manusia, Dengan menghormati Pasal 5 Deklarasi Universal Hak asasi Manusia dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang keduanya menyatakan bahwa tak seorangpun boleh menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, Dengan menghormati pula Deklarasi Perlindungan bagi semua orang dari Sasaran Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia yang disetujui oleh Majelis Umum pada 9 Desember 1975, Berkeinginan untuk menjadikan perjuangan lebih efektif melawan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia di seluruh dunia, Telah menyepakati hal-hal berikut : BAGIAN I Pasal 1 1. Untuk tujuan Konvensi ini, istilah “penyiksaan” berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau
283
mengancam atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada diskriminasi, apabila rasa sakit dan penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat pemerintah. Hal itu tidak meliputi rasa sakit atau penderitaan yang timbul hanya dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh sanksi hukum yang berlaku. 2. Pasal ini tidak mengurangi berlakunya perangkat internasional atau peraturan perundang-undangan nasional yang benar-benar atau mungkin mengandung ketentuan-ketentuan dengan penerapan yang lebih luas. Pasal 2 Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindakan penyiksaan di dalam wilayah kekuasaannya. 2. Tidak ada pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri atau keadaan darurat lainnya, dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan. 3. Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai pembenaran penyiksaan. 1.
Pasal 3 Tidak ada satu Negara Pihak pun yang boleh mengusir, mengembalikan (refouler) atau mengekstradisikan seseorang ke Negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu berada dalam bahaya karena dapat menjadi sasaran penyiksaan. 2. Untuk menentukan apakah terdapat alasan-alasan semacam itu, pihak yang berwenang harus mempertimbangkan semua hal yang berkaitan termasuk, apabila mungkin, adanya pola tetap pelanggaran yang besar, mencolok, atau massal terhadap hak asasi manusia di Negara tersebut. Pasal 4 1.
284
Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa tindakan penyiksaan adalah pelanggaran menurut ketentuan hukum pidananya. Hal yang sama berlaku bagi percobaan untuk melakukan penyiksaan, dan bagi suatu tindakan percobaan untuk melakukan penyiksaan dan bagi suatu tindakan oleh siapa saja yang terlibat atau turut serta dalam penyiksaan. 2. Setiap Negara Pihak harus mengatur agar pelanggaranpelanggaran dihukum dengan hukuman yang setimpal dengan mempertimbangkan sifat kejahatannya. 1.
Pasal 5 1.
Setiap Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah seperlunya untuk menetapkan kewenangan hukumnya atas pelanggaran yang disebut pada pasal 4 dalam hal-hal berikut: a. Apabila pelanggaran dilakukan di dalam suatu wilayah hukumnya atau di atas kapal laut atau pesawat terbang yang terdaftar di Negara itu; b. Apabila yang dituduh melanggar adalah warga dari Negara tersebut; c. Apabila korban dianggap sebagai warga dari Negara tersebut, dan Negara itu memandangnya tepat.
Setiap Negara Pihak harus mengambil tindakan seperlunya untuk menetapkan yurisdiksinya atas pelanggaran, dalam kasus yang dituduh sebagai pelaku pelanggaran berada di wilayah kekuasaannya dan Negara itu tidak mengekstradisikannya sesuai dengan pasal 8 ke Negara lain sebagaimana disebut dalam ayat 1 pasal ini. 3. Konvensi ini tidak mengesampingkan kewenangan hukum pidana apapun yang diberlakukan sesuai dengan hukum nasional. Pasal 6 2.
1.
Setelah merasa yakin, melalui pemeriksaan informasi yang tersedia untuk itu bahwa keadaan menghendakinya, semua Negara Pihak yang di wilayahnya terdapat orang yang dituduh telah melakukan pelanggaran yang disebut dalam pasal 4, akan menahan orang itu atau mengambil tindakan hukum lain untuk
285
menjamin kehadirannya. Penahanan dan tindakan hukum itu harus disesuaikan dengan hukum Negara tersebut, tetapi dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang diperlukan agar prosedur pidana atau ekstradisi mungkin dilaksanakan. 2. Negara tersebut harus segera membuat penyelidikan awal berdasarkan fakta yang ada. 3. Seseorang yang ditahan berdasarkan ayat 1 dari pasal ini harus dibantu untuk segera berhubungan dengan perwakilan Negara yang tepat dan terdekat di mana ia menjadi warga negara, atau jika ia tidak memiliki kewarganegaraan, dengan perwakilan Negara tempat ia biasanya menetap. 4. Apabila suatu Negara, sesuai dengan pasal ini, telah menahan seseorang, Negara tersebut harus segera memberitahu Negara yang disebut dalam pasal 5 ayat 1 tentang kenyataan bahwa orang tersebut berada dalam tahanan beserta alasan penahanannya. Negara yang melakukan penyelidikan awal sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 pasal ini akan segera melaporkan temuannya kepada Negara tersebut dan menunjukkan apakah pihaknya akan melaksanakan kewenangan hukum. Pasal 7 Negara Pihak yang di wilayah kewenangan hukumnya ditemukan seseorang yang diduga telah melakukan pelanggaran sebagaimana disebut dalam pasal 4, dalam kasus yang dimaksud dalam pasal 5, jika Negara itu tidak mengekstradisinya, akan mengajukan kasus itu kepada pihak yang berwenang untuk tujuan penuntutan. 2. Pihak-pihak yang berwenang ini akan mengambil keputusannya dengan cara yang sama seperti dalam kasus pelanggaran biasa lain yang menurut hukum itu merupakan tindak pidana berat. Dalam kasus yang disebut dalam pasal 5, ayat 2, standar pembuktian yang diperlukan untuk penuntutan dan penghukuman sama sekali tidak boleh lebih longgar dibandingkan dengan standar pembuktian yang diterapkan dalam kasus-kasus yang disebut dalam pasal 5, ayat 1. 3. Setiap orang yang diajukan ke sidang pengadilan sehubungan dengan suatu pelanggaran yang disebut dalam Pasal 4 akan 1.
286
mendapat jaminan perlakuan yang adil dalam setiap tahap pengadilan. Pasal 8 Pelanggaran yang disebut dalam pasal 4 harus dianggap sebagai pelanggaran yang dapat diekstradisi dalam setiap perjanjian yang telah dibuat di antara Negara-Negara Pihak. Negara-Negara Pihakmemasukkan pelanggaran semacam ini sebagai pelanggaran yang dapat diekstradisi dalam setiap perjanjian ekstradisi yang disepakati di antara Negara-Negara itu. 2. Kalau suatu Negara Pihak yang mensyaratkan adanya suatu perjanjian untuk melakukan ekstradisi menerima permohonan ekstradisi dari suatu Negara Pihak lain yang tidak memiliki perjanjian ekstradiksi dengannya, maka Negara Pihak tersebut dapat menganggap Konvensi ini sebagai dasar hukum bagi ekstradisi yang berkenaan dengan pelanggaran semacam itu. Ekstradisi ini tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh hukum Negara yang menerima permohonan. 3. Negara-Negara Pihak yang tidak mensyaratkan adanya suatu perjanjian untuk melakukan ekstradisi harus mengakui pelanggaran semacam itu sebagai pelanggaran yang dapat diekstradisi di antara mereka sendiri yang tunduk pada syaratsyarat yang ditetapkan oleh hukum Negara yang menerima permohonan. 4. Pelanggaran seperti itu harus diperlakukan, untuk keperluan ekstradisi antara Negara-Negara Pihak, sebagai tindak pidana yang dilakukan tidak hanya di tempat terjadinya pelanggaran itu tetapi juga di wilayah Negara yang diminta untuk menetapkan kewenangan hukumnya sesuai dengan pasal 5, ayat 1. Pasal 9 1.
1.
Negara-Negara Pihak akan saling memberi bantuan sebesarbesarnya sehubungan dengan perkara pidana yang diajukan berkenaan dengan pelanggaran yang disebut dalam pasal 4, termasuk pemberian semua bukti yang mereka miliki yang diperlukan untuk penyelesaian perkara itu.
287 2.
Negara-Negara Pihak harus melaksanakan kewajibannya berdasarkan ayat 1 pasal ini sesuai dengan semua perjanjian timbal-balik yang mungkin ada di antara Negara-Negara tersebut. Pasal 10
Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa pendidikan dan informasi mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya dicantumkan dalam pelatihan bagi para petugas penegak hukum, sipil atau militer, petugas kesehatan, pegawai pemerintah, dan orang-orang lain yang mungkin terlibat dalam penahanan, interogasi atau perlakuan terhadap setiap orang yang ditangkap, ditahan atau dipenjara. 2. Setiap Negara Pihak mesti mencantumkan larangan ini dalam peraturan atau instruksi yang dikeluarkan sehubungan dengan tugas dan fungsi orang-orang tersebut di atas. 1.
Pasal 11 Setiap Negara Pihak harus senantiasa mengawasi secara sistematik peraturan-peraturan tentang interogasi, instruksi, metode, kebiasaankebiasaan dan peraturan untuk penahanan serta perlakuan terhadap orang-orang yang ditangkap, ditahan, atau dipenjara dalam setiap wilayah kewenangan hukumnya, dengan maksud untuk mencegah terjadinya kasus penyiksaan.
288
Pasal 12 Setiap Negara Pihak harus menjamin agar instansi-instansi yang berwenang melakukan suatu penyelidikan dengan cepat dan tidak memihak, setiap ada alasan yang cukup kuat untuk mempercayai bahwa suatu tindak penyiksaan telah dilakukan di dalam wilayah kewenangan hukumnya. Pasal 13 Setiap Negara Pihak harus menjamin agar setiap orang yang menyatakan bahwa dirinya telah disiksa dalam wilayah kewenangan hukumnya mempunyai hak untuk mengadu, dan agar kasusnya diperiksa dengan segera dan tidak memihak oleh pihak-pihak yang berwenang. Langkahlangkah harus diambil untuk menjamin bahwa orang yang mengadu dan saksi-saksi dilindungi dari segala perlakuan buruk atau intimidasi sebagai akibat dari pengaduan atau kesaksian mereka. Pasal 14 1. Setiap Negara Pihak harus menjamin agar dalam sistem hukumnya korban dari suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti-rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk rehabilitasi sepenuh mungkin. Dalam peristiwa korban meninggal dunia sebagai akibat tindak penyiksaan, ahli warisnya berhak mendapatkan ganti-rugi. 2. Dalam Pasal ini tidak ada hal apapun yang mengurangi hak korban atau orang lain atas ganti kerugian yang mungkin telah diatur dalam hukum nasional. Pasal 15 Setiap Negara Pihak harus menjamin bahwa setiap pernyataan yang telah ditetapkan sebagai tindak lanjut dari tindak penyiksaan tidak digunakan sebagai bukti, kecuali terhadap orang yang dituduh melakukan tindak penyiksaan, sebagai bukti bahwa pernyataan itu Pasal 16 1. Setiap Negara Pihak harus mencegah di wilayah kewenangan hukumnya perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, yang tidak termasuk tindak penyiksaan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1, apabila tindakan semacam itu dilakukan atas atau atas hasutan atau
289
dengan persetujuan atau kesepakatan diam-diam pejabat pemerintah atau orang lain yang bertindak dalam kapasitas resmi. Secara khusus, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam pasal 10, 11, 12, dan 13 berlaku sebagai pengganti acuan terhadap tindak penyiksaan ke bentuk-bentuk lain perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. 2. Ketentuan Konvensi ini tidak mempengaruhi ketentuan dari setiap perangkat internasional atau hukum nasional yang melarang perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia atau yang berhubungan dengan ekstradisi atau pengusiran. BAGIAN II Pasal 17 1. Harus dibentuk suatu Komite Menentang Penyiksaan (selanjutnya disebut sebagai Komite) guna melaksanakan tugas-tugas yang akan ditentukan lebih lanjut. Komite ini terdiri dari sepuluh ahli yang bermoral tinggi dan diakui kemampuannya di bidang hak asasi manusia, yang akan bertugas dalam kapasitas pribadinya. Ahli-ahli ini dipilih oleh Negara-Negara Pihak dengan pertimbangan diberikan pada pembagian geografis yang adil, dan pada manfaat dari keikutsertaan mereka yang mempunyai pengalaman hukum. 2. Para anggota Komite dipilih melalui pemungutan suara secara rahasia berdasarkan daftar orang-orang yang dicalonkan oleh Negara-Negara Pihak. Setiap Negara Pihak dapat mencalonkan satu orang warganegaranya sendiri. Negara-Negara Pihak mempertimbangkan manfaat pencalonan orang-orang yang juga menjadi anggota Komite Hak asasi Manusia yang didirikan menurut Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang bersedia bertugas dalam Komite Menentang Penyiksaan. 3. Pemilihan para anggota Komite dilakukan pada sidang dua tahunan antar-Negara Pihak yang diadakan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam sidang itu, dua pertiga Negara-Negara Pihak yang hadir merupakan kuorum; orang-orang yang terpilih sebagai anggota Komite adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak dan mayoritas mutlak dari
290
4.
5.
6.
7.
1. 2.
suara para wakil Negara-Negara Pihak yang hadir dan memberikan suara. Pemilihan pertama harus diadakan paling lambat enam bulan setelah tanggal diberlakukannya Konvensi ini. Sekurangkurangnya empat bulan sebelum tanggal setiap pemilihan, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan surat kepada Negara-Negara Pihak yang meminta agar dalam waktu tiga bulan mereka sudah mengajukan calon-calonnya. Sekretaris Jenderal mempersiapkan suatu daftar menurut abjad semua calon beserta Negara-negara Pihak yang mencalonkannya dan kemudian mengajukannya kepada Negara-Negara Pihak. Para anggota Komite dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Jika dicalonkan kembali, mereka dapat dipilih lagi. Akan tetapi, masa jabatan dari lima orang di antara para anggota yang dipilih pada pemilihan pertama berakhir pada akhir tahun kedua; segera setelah pemilihan pertama nama-nama dari lima orang anggota ini akan dipilih lewat undian oleh Ketua Sidang yang disebut dalam ayat 3, pasal ini. Kalau seorang anggota Komite meninggal atau mengundurkan diri atau karena suatu alasan tidak dapat lagi menjalankan tugastugasnya dalam Komite, Negara Pihak yang mencalonkannya harus menunjuk seorang ahli lain di antara warganegaranya untuk bertugas selama sisa masa jabatannya, setelah ada persetujuan mayoritas dari Negara-Negara Pihak. Persetujuan dianggap telah diberikan, kecuali kalau setengah atau lebih Negara-Negara Pihak memberi jawaban negatif dalam waktu enam minggu setelah diberitahu oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai penunjukan orang yang diusulkan. Negara-Negara Pihak menanggung pembiayaan yang dikeluarkan para anggota Komite dalam melakukan tugas-tugas mereka. Pasal 18 Komite memilih-pejabat-pejabatnya untuk masa jabatan dua tahun dan dapat dipilih kembali. Komite menetapkan aturan tata kerjanya sendiri yang menentukan antara lain, bahwa : a. Enam anggota Komite merupakan suatu kuorum; b. Keputusan-keputusan Komite diambil dengan suara mayoritas dari para anggota yang hadir.
291
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyediakan staf dan fasilitas yang diperlukan agar tugas-tugas Komite berdasarkan Konvensi ini efektif dilaksanakan. 4. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyelenggarakan sidang pertama Komite. Setelah sidang pertama ini, Komite akan mengadakan pertemuan pada waktuwaktu yang ditetapkan dalam peraturan tata kerjanya. 5. Negara-Negara Pihak harus menanggung pembiayaan yang timbul berkenaan dengan penyelenggaraan rapat-rapat NegaraNegara Pihak dan rapat Komite, termasuk penggantian pembayaran kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa atas semua pengeluaran, seperti biaya staf dan fasilitas, yang telah dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan ayat 3 pasal ini. 3.
1.
2.
3.
4.
Pasal 19 Negara-negara Pihak akan menyerahkan kepada Komite, melalui Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, laporan tentang tindakan-tindakan yang telah mereka ambil dalam rangka penerapan Konvensi ini, dalam waktu satu tahun setelah diberlakukannya Konvensi ini untuk Negara Pihak yang bersangkutan. Setelah itu Negara-Negara Pihak menyerahkan laporan pelengkap setiap empat tahun sekali tentang setiap langkah baru yang diambil dan laporan-laporan lain yang mungkin diminta Komite. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus meneruskan laporan-laporan tersebut kepada semua Negara Pihak. Setiap laporan akan dipertimbangkan oleh Komite yang dapat memberikan komentar umum terhadap laporan tersebut apabila Komite menganggapnya tepat dan akan meneruskan komentar ini kepada Negara Pihak yang bersangkutan. Negara tersebut dapat menanggapi dengan observasi-observasi yang dibuatnya kepada Komite. Atas kebijaksanaannya, Komite dapat memutuskan untuk memasukkan setiap komentar yang dibuatnya sesuai dengan ayat 3 pasal ini bersamaan dengan observasi atas komentar itu dari
292
1.
2.
3.
4.
5.
Negara Pihak yang bersangkutan, dalam laporan tahunan yang disusun sesuai dengan pasal 24. Jika diminta oleh Negara Pihak yang bersangkutan, Komite juga dapat menyertakan salinan laporan yang diajukan berdasarkan ayat 1 pasal ini. Pasal 20 Kalau Komite menerima informasi terpercaya yang menurut Komite mengandung petunjuk yang cukup beralasan bahwa penyiksaan dilakukan secara sistematik di wilayah suatu Negara Pihak, Komite dapat mengajak Negara Pihak itu untuk bekerja sama dalam memeriksa kebenaran informasi tersebut dan untuk keperluan ini mengajukan observasi berkenaan dengan informasi tersebut. Berdasarkan observasi yang mungkin telah disampaikan oleh Negara Pihak dan informasi terkait lainnya yang dimiliki Komite, Komite dapat menugaskan, jika hal itu dibenarkan, seorang atau lebih anggotanya mengadakan suatu penyelidikan rahasia dan segera melaporkan hasilnya kepada Komite. Kalau penyelidikan diadakan sesuai dengan ayat 2 pasal ini, Komite akan mengupayakan kerja sama dengan Negara Pihak yang bersangkutan. Dengan persetujuan Negara Pihak, penyelidikan semacam itu dapat berupa kunjungan ke wilayah Negara Pihak tersebut. Setelah memeriksa temuan-temuan dari anggota atau para anggotanya yang diajukan sesuai dengan ayat 2 pasal ini, Komite akan meneruskan temuan-temuan tersebut kepada Negara Pihak yang bersangkutan bersama dengan komentar atau saran yang tepat dengan situasi yang ada. Semua tata cara kerja yang dilakukan Komite seperti disebutkan dalam ayat 1 sampai 4 pasal ini harus bersifat rahasia, dan pada setiap tahap harus diupayakan adanya kerja sama dengan Negara Pihak yang bersangkutan. Setelah rangkaian tata cara berkenaan dengan penyelidikan dilakukan sesuai dengan ayat 2 tersebut selesai dan setelah berkonsultasi dengan Negara Pihak yang bersangkutan, Komite dapat memutuskan untuk memasukkan laporan singkat mengenai hasil-hasilnya dalam laporan tahunan yang disusun berdasarkan pasal 24. Pasal 21
293 1.
Suatu Negara Pihak Konvensi ini setiap saat dapat menyatakan, berdasarkan pasal ini, bahwa pihaknya mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan mempertimbangkan pengaduan yang menyebutkan bahwa suatu Negara Pihak menyatakan bahwa suatu Negara Pihak lain tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya berdasarkan Konvensi ini. Pengaduan semacam ini dapat diterima dan dibahas sesuai dengan prosedur yang diatur dalam pasal ini hanya jika diajukan oleh suatu Negara Pihak yang telah mengeluarkan pernyataan yang mengakui kewenangan Komite. Komite tidak akan menangani laporan pengaduan berdasarkan pasal ini, jika itu menyangkut suatu Negara Pihak yang belum mengeluarkan pernyataan seperti itu. Pengaduan yang diterima berdasarkan pasal ini akan ditangani sesuai dengan prosedur berikut ini: a. Jika suatu Negara Pihak berpendapat bahwa suatu Negara Pihak lain tidak menjalankan ketentuan-ketentuan Konvensi ini, Negara tersebut melalui komunikasi tertulis dapat mengangkat persoalan itu agar diperhatikan Negara Pihak yang bersangkutan. Dalam waktu tiga bulan setelah diterimanya komunikasi tersebut, Negara penerima akan memberi kepada Negara yang mengirimkan pengaduan suatu penjelasan atau suatu pernyataan lain secara tertulis untuk menjelaskan persoalan yang mencakup, sejauh dimungkinkan dan berkaitan, acuan kepada prosedur-prosedur dalam negeri dan langkah perbaikan yang diambil, disiapkan atau tersedia untuk dalam masalah tersebut; b.Jika persoalan itu tidak bisa diselesaikan sendiri secara memuaskan oleh kedua Negara Pihak yang terlibat dalam sengketa dalam waktu enam bulan sejak diterimanya pengaduan awal oleh Negara penerima, kedua Negara berhak menyerahkan permasalahannya kepada Komite, melalui pemberitahuan yang disampaikan kepada Komite dan kepada Negara lain tersebut; c. Komite akan menangani masalah yang diserahkan kepadanya berdasarkan pasal ini hanya setelah Komite memastikan bahwa semua langkah perbaikan dalam negeri telah diupayakan dan digunakan sepenuhnya untuk masalah ini, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui secara umum.
294
Hal ini tidak berlaku apabila penerapan langkah perbaikan itu diperpanjang secara tidak masuk akal atau tidak mungkin menghasilkan perbaikan secara efektif bagi korban pelanggaran hukum seperti yang diatur dalam Konvensi ini; d. Komite mengadakan rapat-rapat tertutup saat memeriksa laporan pengaduan berdasarkan pasal ini; e. Berdasarkan ketentuan sub-ayat (c), Komite memberikan jasajasa baiknya kepada Negara-negara Pihak yang terlibat sengketa dengan maksud untuk memecahkan permasalahan secara bersahabat dan atas dasar penghormatan terhadap kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Konvensi ini. Untuk tujuan ini, apabila dipandang tepat, Komite dapat membentuk suatu Komisi pendamai ad hoc; f. Dalam menangani setiap masalah yang diajukan kepadanya berdasarkan pasal ini, Komite dapat meminta kepada Negaranegara Pihak yang bersangkutan, seperti disebut dalam subayat (b), agar memberikan semua informasi yang berkaitan; g. Negara-Negara Pihak yang terlibat sengketa, seperti disebut dalam sub-ayat (b), berhak untuk memberikan pandangannya secara lisan dan/atau tertulis kalau masalah itu dibahas oleh Komite; h. Komite dalam jangka waktu dua belas bulan setelah diterimanya pemberitahuan berdasarkan sub-ayat (b), harus menyampaikan suatu laporan: i) Kalau suatu penyelesaian menurut sub-ayat (e) tercapai, Komite membatasi laporannya pada pernyataan singkat tentang fakta dan penyelesaian yang dicapai; ii) Kalau suatu penyelesaian menurut sub-ayat (e) tidak tercapai, Komite membatasi laporannya pada pernyataan singkat tentang fakta; pengajuan tertulis dan rekaman mengenai pengajuan-pengajuan lisan yang disampaikan oleh Negara-Negara Pihak yang bersangkutan dilampirkan pada laporan tersebut. Dalam setiap penanganan masalah, laporan akan dikomunikasikan kepada Negara-Negara Pihak yang bersangkutan. 2. Ketentuan-ketentuan pasal ini berlaku apabila lima Negara Pihak Konvensi ini telah membuat pernyataan berdasarkan ayat 1 pasal ini. Pernyataan tersebut harus disampaikan oleh Negara-Negara Pihak
295
kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang akan meneruskan salinan-salinannya kepada Negara-Negara Pihak lainnya. Suatu pernyataan dapat ditarik kembali sewaktu-waktu dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal. Penarikan kembali semacam itu tidak mempengaruhi pertimbangan mengenai suatu masalah yang merupakan pokok persoalan dari suatu pengaduan yang sudah dikirimkan berdasarkan pasal ini; pengaduan lebih lanjut dari suatu Negara Pihak berdasarkan pasal ini tidak akan diterima begitu pemberitahuan mengenai penarikan pernyataan itu sampai pada Sekretaris Jenderal, kecuali kalau Negara Pihak yang bersangkutan membuat pernyataan baru. Pasal 22 1. Suatu Negara Pihak Konvensi ini setiap waktu dapat menyatakan
berdasarkan pasal ini bahwa pihaknya mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan membahas laporan pengaduan dari atau atas nama pribadi-pribadi yang tunduk pada kewenangan hukumnya, yang menyatakan menjadi korban pelanggaran yang dilakukan oleh Negara Pihak terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi. Laporan pengaduan tidak akan diterima Komite kalau itu menyangkut suatu Negara Pihak yang belum membuat pernyataan seperti itu. 2. Komite akan menyatakan tidak menerima laporan pengaduan berdasarkan pasal ini yang tidak ditanda-tangani (tidak jelas pengirimnya) atau yang dianggap Komite sebagai penyalahgunaan hak pengajuan pengaduan semacam itu atau bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini. 3. Berdasarkan ketentuan ayat 2, Komite akan membawa setiap laporan pengaduan yang diajukan berdasarkan Pasal ini agar diperhatikan Negara-Negara Pihak Konvensi ini yang telah membuat pernyataan berdasarkan ayat 1 dan dituduh melanggar suatu ketentuan Konvensi ini. Dalam waktu enam bulan, Negara penerima harus mengajukan kepada Komite penjelasan tertulis atau pernyataan-pernyataan yang menjernihkan permasalahan dan langkah perbaikan, kalau ada, yang mungkin telah dilakukan oleh Negara tersebut. 4. Komite akan mempertimbangkan pengaduan yang diterima menurut pasal ini berdasarkan semua informasi yang tersedia bagi Komite oleh atau atas nama pribadi dan oleh Negara Pihak yang bersangkutan.
296
Komite tidak akan mempertimbangkan suatu pengaduan dari seorang pribadi berdasarkan pasal ini, kecuali Komite merasa yakin bahwa : a. Masalah yang sama belum dan tidak sedang diperiksa berdasarkan suatu prosedur penyelidikan atau penyelesaian internasional lainnya; b. Pribadi tersebut telah menggunakan semua upaya penyelesaian yang tersedia di dalam negerinya; hal ini tidak berlaku apabila penerapan upaya penyelesaian tersebut ditunda-tunda secara tidak masuk akal atau mungkin sekali tidak menghasilkan perbaikan efektif bagi korban pelanggaran dari Konvensi ini. 6. Komite memeriksa pengaduan-pengaduan berdasarkan pasal ini dalam sidang-sidang tertutup 7. Komite akan menyampaikan pandangan-pandangannya kepada Negara Pihak dan kepada pribadi yang bersangkutan. 8. Ketentuan-ketentuan pasal ini mulai berlaku apabila lima Negara Pihak Konvensi ini telah membuat pernyataan berdasarkan ayat 1 pasal ini. Pernyataan semacam itu harus dikirimkan oleh NegaraNegara Pihak kepada Sekretaris Jenderal. Penarikan pernyataan semacam itu tidak akan mempengaruhi pertimbangan mengenai suatu masalah yang merupakan pokok persoalan pengaduan yang telah dikirimkan berdasarkan pasal ini; pengaduan selanjutnya oleh atau atas nama seorang pribadi berdasarkan pasal ini tidak akan diterima setelah pemberitahuan mengenai penarikan kembali pernyataan itu diterima Sekretaris Jenderal, kecuali kalau NegaraNegara Pihak tersebut membuat suatu pernyataan baru. Pasal 23 Para anggota Komite dan Komisi Pendamai ad hoc yang mungkin telah ditunjuk berdasarkan pasal 21, ayat 1 (e), berhak atas fasilitas, hak istimewa, dan kekebalan sebagai ahli yang bertugas untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa seperti diatur di dalam bagian-bagian terkait dari Konvensi Hak Istimewa dan Kekebalan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 24 Komite menyerahkan laporan tahunan tentang kegiatan-kegiatannya berdasarkan Konvensi ini kepada Negara-Negara Pihak dan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. 5.
297
BAGIAN III Pasal 25 1. 2.
Konvensi ini terbuka untuk ditandatangani oleh semua Negara. Konvensi ini harus diratifikasi. Piagam ratifikasi akan diserahkan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Pasal 26 Konvensi ini terbuka bagi persetujuan oleh semua Negara. Persetujuan berlaku dengan penyerahan piagam persetujuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 27 1. Konvensi ini berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal penyerahan piagam kedua puluh dari ratifikasi atau persetujuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. 2. Bagi setiap Negara yang meratifikasi Konvensi ini atau menyetujuinya setelah penyerahan piagam kedua puluh dari ratifikasi atau persetujuan, Konvensi ini akan berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal penyerahan piagam ratifikasi atau persetujuan Negara tersebut. Pasal 28 1. Setiap Negara, pada waktu menandatangani, meratifikasi atau menyetujui Konvensi ini, dapat menyatakan bahwa pihaknya tidak mengakui kewewenangan Komite yang ditetapkan pada Pasal 20. 2. Setiap Negara Pihak yang telah memberi pembatasan sesuai dengan ayat 1 pasal ini, setiap saat dapat menarik kembali pembatasannya dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 29 1. Setiap Negara Pihak Konvensi ini dapat mengusulkan perubahan dengan mengajukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa, selanjutnya Sekretaris Jenderal akan mengkomunikasikan usulan perubahan itu kepada Negara-Negara Pihak dengan suatu permintaan agar mereka memberitahu apakah mereka menyetujui untuk mengadakan suatu konferensi Negara-Negara Pihak dengan tujuan membahas dan memberikan suara kepada usulan itu. Apabila dalam waktu empat bulan sejak tanggal komunikasi tersebut
298
2.
3.
1.
2.
3.
1.
sekurang-kurangnya sepertiga dari Negara-Negara Pihak menyetujui Konferensi semacam itu, Sekretaris Jenderal akan menyelenggarakan konferensi itu di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setiap perubahan yang disahkan oleh mayoritas Negara-Negara Pihak yang hadir dan memberikan suara dalam konferensi itu harus disampaikan oleh Sekretaris Jenderal kepada semua Negara-Negara Pihak untuk disetujui. Suatu perubahan yang disahkan sesuai dengan ayat 1 pasal ini berlaku apabila dua pertiga Negara-Negara Pihak telah memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa bahwa mereka telah menerimanya sesuai dengan proses perundang-undangan masing-masing. Sesudah diberlakukan, perubahan-perubahan itu mengikat NegaraNegara Pihak yang telah menerimanya, sedangkan Negara-Negara Pihak lain masih terikat dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini dan setiap perubahan terdahulu yang telah mereka terima. Pasal 30 Setiap perselisihan antara dua atau lebih Negara Pihak mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak dapat diselesaikan melalui perundingan, atas permintaan salah satu dari Negara tersebut, diajukan kepada arbitrasi. Jika dalam waktu enam bulan sejak tanggal diajukannya permintaan untuk arbitrasi Pihak-Pihak yang berselisih tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai organisasi arbitrasi, salah satu dari mereka dapat meminta Mahkamah Internasional menyelesaikan perselisihan tersebut berdasarkan ketentuan mahkamah tersebut. Setiap Negara, pada saat penandatangan atau ratifikasi atau persetujuan terhadap Konvensi ini dapat menyatakan bahwa pihaknya tidak terikat oleh ayat 1 pasal ini. Negara-Negara Pihak lainnya tidak terikat pada ayat 1 pasal ini bila berhubungan dengan setiap Negara Pihak yang telah membuat pembatasan semacam itu. Setiap Negara Pihak yang telah membuat pembatasan sesuai dengan ayat 2 pasal ini, setiap saat dapat menarik kembali pembatasannya dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 31 Suatu Negara Pihak dapat menarik diri dari Konvensi ini dengan pemberitahuan tertulis kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan
299
Bangsa-Bangsa. Penarikan diri berlaku setahun setelah tanggal diterimanya pemberitahuan tersebut oleh Sekretaris Jenderal. 2. Penarikan diri semacam itu tidak membebaskan Negara Pihak tersebut dari kewajibannya berdasarkan Konvensi ini, berkenaan dengan setiap tindakan atau penghapusan yang terjadi sebelum tanggal penarikan diri itu berlaku, demikian pula penarikan diri itu tidak mempengaruhi, dengan cara apapun, setiap pertimbangan yang berlanjut dari setiap masalah yang sudah menjadi pertimbangan Komite sebelum tanggal penarikan diri itu berlaku. 3. Setelah tanggal penarikan diri suatu Negara Pihak berlaku efektif, Komite tidak akan memulai pertimbangan mengenai suatu masalah baru berkenaan dengan Negara itu. Pasal 32 Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan memberitahu semua Negara Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan semua Negara yang telah menandatangani atau menyetujui Konvensi ini mengenai halhal berikut: a. Penandatangan, ratifikasi, dan persetujuan berdasarkan pasal 25 dan b. c. 1.
2.
26; Tanggal diberlakukannya Konvensi ini berdasarkan pasal 27 dan tanggal diberlakukannya setiap perubahan berdasarkan pasal 29; Penarikan diri berdasarkan Pasal 31. Pasal 33 Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa menyimpan semua naskah asli Konvensi dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia dan Spanyol. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirimkan salinan Konvensi yang telah disahkan kepada semua Negara.
300
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1984 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKIRIMINASI TERHADAP WANITA (CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMANATION AGAINST WOMEN)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; b. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam sidangnya pada tanggal 18 Desember 1979, telah menyetujui Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women); c. bahwa ketentuan-ketentuan di dalam Konvensi tersebut di atas pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila, UndangUndang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia; d. bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Konvensi tersebut pada tanggal 29 Juli 1980 sewaktu diadakan Konperensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen; e. bahwa berhubung dengan hal tersebut di atas maka dipandang perlu mengesahkan Konvensi sebagaimana tersebut pada huruf b di atas dengan Undang-undang;
301
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara;
Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN KONVENSI MENGENAI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP WANITA (CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF DISCRIMINATION AGAINST WOMEN). Pasal 1 Mengesahkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979, dengan pensyaratan (reservation) terhadap Pasal 29 ayat (1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, yang salinannya dilampirkan pada Undangundang ini. Pasal 2 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
302
Disahkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SOEHARTO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 24 Juli 1984 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1984 NOMOR 29
303
KONVENSI TENTANG PENGHAPUSAN DARI SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN
Teks lengkap dari Konvensi dalam bahasa Inggris
""... Dan menyelesaikan pengembangan penuh suatu negara, kesejahteraan dunia dan penyebab perdamaian memerlukan partisipasi maksimum perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki dalam semua bidang" ISI PENDAHULUAN Konten dan Signifikansi Konvensi MUKADIMAH BAGIAN I Diskriminasi ( Pasal 1 ) Kebijakan Tindakan ( Pasal 2 ) Jaminan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Fundamental Dasar (Pasal 3)
Langkah-langkah khusus ( Pasal 4 ) Peran seks Stereotipe dan Prasangka ( Pasal 5 ) Prostitusi ( Pasal 6 ) BAGIAN II Politik dan Kehidupan Publik ( Pasal 7 ) Representasi ( Pasal 8 ) Kewarganegaraan ( Pasal 9 )
BAGIAN III Pendidikan ( Pasal 10 )
304
Pekerjaan ( Pasal 11 ) Kesehatan ( Pasal 12 ) Manfaat Ekonomi dan Sosial ( Pasal 13 ) Pedesaan Perempuan ( Pasal 14 ) PART IV BAGIAN IV Hukum ( Pasal 15 ) Perkawinan dan Kehidupan Keluarga ( Pasal 16 )
BAGIAN V Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan ( Pasal 17 ) Laporan Nasional ( Pasal 18 ) Aturan Prosedur ( Pasal 19 ) Rapat Komite ( Pasal 20 ) Laporan Komite ( Pasal 21 ) Peran Badan Khusus ( Pasal 22 ) BAGIAN VI Pengaruh tentang Perjanjian Internasional lainnya ( Pasal 23 ) Komitmen Negara Pihak ( Pasal 24 ) Administrasi Konvensi ( Pasal 25-30 ) PENDAHULUAN Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Hal ini mulai berlaku sebagai perjanjian internasional pada tanggal 3 September 1981 setelah kedua puluh negara telah meratifikasinya. Dengan ulang tahun kesepuluh dari Konvensi pada tahun 1989, hampir seratus negara telah setuju untuk terikat oleh ketentuan-ketentuannya. Konvensi ini adalah puncak dari lebih dari tiga puluh tahun bekerja dengan Komisi PBB tentang Status Perempuan, sebuah badan yang dibentuk pada tahun 1946 untuk memantau situasi perempuan dan untuk mempromosikan hak-hak perempuan. . Komisi Pekerjaan telah berperan dalam membawa untuk menyalakan semua daerah di mana
305
perempuan ditolak kesetaraan dengan laki-laki. Upaya ini untuk kemajuan perempuan telah menghasilkan beberapa deklarasi dan konvensi, di mana Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan dan paling komprehensif dokumen pusat. Di antara perjanjian hak asasi manusia internasional, Konvensi mengambil tempat penting dalam membawa perempuan setengah umat manusia ke dalam fokus masalah hak asasi manusia. Semangat Konvensi berakar pada tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa: untuk menegaskan kembali iman dalam hak asasi manusia, di v, martabat dan nilai pribadi manusia, dalam persamaan hak laki-laki dan perempuan. Dokumen ini merinci arti kesetaraan dan bagaimana hal itu dapat dicapai. Dengan demikian, Konvensi menetapkan tidak hanya tagihan internasional hak-hak bagi perempuan, tetapi juga agenda untuk aksi oleh negara-negara untuk menjamin pemenuhan hak-hak tersebut. Konvensi secara eksplisit mengakui bahwa "diskriminasi yang luas terhadap perempuan tetap ada", dan menekankan bahwa diskriminasi seperti "melanggar prinsip-prinsip kesetaraan hak dan menghormati martabat manusia". Sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 1, diskriminasi dipahami sebagai "pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat o.1 dasar jenis kelamin ... di, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang politik lainnya". Konvensi tersebut memberikan penegasan positif terhadap prinsip kesetaraan dengan meminta Negara Pihak untuk mengambil "semua langkah yang tepat, termasuk legislasi, untuk memastikan pengembangan penuh dan kemajuan perempuan, dengan tujuan untuk menjamin mereka melaksanakan dan menikmati hak asasi manusia dan kebebasan dasar atas dasar kesetaraan dengan laki-laki "(pasal 3). Agenda untuk kesetaraan ditentukan dalam empat belas artikel berikutnya. Dalam pendekatannya, Konvensi mencakup tiga dimensi tentang situasi perempuan. Hak Sipil dan status hukum perempuan ditangani dengan sangat rinci. Selain itu, dan tidak seperti lain perjanjian hak asasi manusia, Konvensi juga khawatir dengan dimensi reproduksi manusia serta dengan dampak dari faktor budaya pada
306
hubungan jender. Status hukum perempuan menerima perhatian luas. Keprihatinan atas hak-hak dasar partisipasi politik belum berkurang sejak adopsi dari Konvensi Hak-hak Politik Perempuan tahun 1952. Ketentuanketentuannya, oleh karena itu, disajikan kembali dalam pasal 7 dari dokumen ini, dimana perempuan dijamin hak untuk memilih, untuk memegang jabatan publik dan untuk melaksanakan fungsi publik. Ini termasuk hak yang sama bagi perempuan untuk mewakili negara mereka di tingkat internasional (pasal 8). Konvensi Kebangsaan dari Perempuan Menikah - diadopsi pada tahun 1957 - terintegrasi menurut pasal 9 menyediakan untuk kenegaraan wanita, terlepas dari status perkawinan mereka. Konvensi ini, dengan demikian, menarik perhatian pada fakta yang sering status hukum perempuan telah dikaitkan dengan pernikahan, membuat mereka tergantung pada suami kebangsaan mereka bukan individu di kanan mereka sendiri. Pasal 10, 11 dan 13, masing-masing, menegaskan hak-hak perempuan untuk nondiskriminasi dalam pendidikan, pekerjaan dan kegiatan ekonomi dan sosial. Tuntutan ini diberi penekanan khusus berkaitan dengan situasi perempuan pedesaan, yang khusus perjuangan dan kontribusi ekonomi penting, seperti yang tercantum dalam pasal 14, menjamin perhatian lebih dalam perencanaan kebijakan. Pasal 15 menegaskan kesetaraan penuh perempuan dalam dan bisnis masalah perdata, menuntut bahwa semua instrumen diarahkan untuk membatasi kapasitas hukum perempuan''akan dianggap batal demi hukum ",. Akhirnya dalam pasal 16, Konvensi kembali ke masalah perkawinan dan keluarga hubungan, menegaskan persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki berkaitan dengan pilihan pasangan, orangtua, hak-hak pribadi dan komando atas properti. Selain isu-isu hak-hak sipil, Konvensi juga mencurahkan perhatian besar pada perhatian penting sebagian besar perempuan, yaitu hak reproduksi mereka. “ Pembukaan menetapkan nada dengan menyatakan bahwa "peran perempuan dalam prokreasi tidak boleh dasar untuk diskriminasi". Hubungan antara diskriminasi dan peran reproduksi perempuan adalah masalah perhatian berulang dalam Konvensi. Misalnya, advokat, dalam pasal 5,''pemahaman yang tepat tentang
307
kehamilan sebagai "fungsi sosial, menuntut tanggung jawab bersama sepenuhnya untuk membesarkan anak oleh kedua jenis kelamin,. Oleh karena ketentuan untuk perlindungan kehamilan dan perawatan anak dinyatakan sebagai hak penting dan dimasukkan ke dalam semua area Konvensi, apakah berhubungan dengan pekerjaan, hukum keluarga, inti kesehatan atau pendidikan meluas Society. kewajiban untuk menawarkan jasa sosial, perawatan anak fasilitas khususnya, yang memungkinkan individu untuk mengkombinasikan tanggung jawab keluarga dengan pekerjaan dan partisipasi dalam masyarakat kehidupan. Langkah-langkah khusus untuk perlindungan bersalin yang direkomendasikan dan "tidak dianggap diskriminatif".. (pasal 4) "Konvensi juga menegaskan's hak perempuan untuk memilih reproduksi. Khususnya, itu adalah hak asasi manusia hanya perjanjian menyebutkan keluarga berencana. Negara berkewajiban untuk memasukkan saran tentang keluarga berencana dalam proses pendidikan (pasal l Oh) dan untuk mengembangkan kode keluarga bahwa perempuan hak-hak jaminan "untuk secara bebas dan bertanggung jawab atas jumlah dan jarak anak-anak mereka dan untuk Hove akses ke informasi, pendidikan dan sarana untuk memungkinkan mereka melaksanakan hak-hak "(pasal 16.e). Dorongan umum ketiga Konvensi bertujuan memperbesar pemahaman kita tentang konsep hak asasi manusia, karena memberikan pengakuan formal terhadap pengaruh budaya dan tradisi di membatasi's penikmatan perempuan hak-hak fundamental mereka. Kekuatankekuatan ini mengambil bentuk dalam stereotip, adat istiadat dan norma-norma yang menimbulkan banyaknya, politik dan ekonomi kendala hukum atas kemajuan perempuan. . Memperhatikan keterkaitan ini, Pembukaan Konvensi menekankan "bahwa perubahan dalam peran tradisional laki-laki maupun peran perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga diperlukan untuk mencapai kesetaraan penuh dengan laki-laki dan perempuan". Negara-negara Pihak demikian berkewajiban untuk bekerja terhadap modifikasi dan budaya pola sosial perilaku individu dalam rangka untuk menghilangkan "prasangka dan adat dan semua praktek-praktek lainnya yang didasarkan pada gagasan inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau pada stereotip peran laki-laki dan perempuan "(pasal 5). Dan Pasal 1O.c. mandat revisi
308
buku teks, program-program sekolah dan metode pengajaran dengan maksud untuk menghilangkan konsep stereotip di bidang pendidikan. Akhirnya, pola-pola budaya yang mendefinisikan wilayah publik sebagai manusia dunia dan lingkup domestik sebagai Teman domain perempuan sangat ditargetkan di seluruh Konvensi ketentuan yang menegaskan tanggung jawab yang sama dari kedua jenis kelamin dalam kehidupan keluarga dan hak-hak mereka sama berkenaan dengan pendidikan dan pekerjaan . Secara keseluruhan, Konvensi menyediakan kerangka kerja yang komprehensif untuk menantang berbagai kekuatan yang telah menciptakan dan berkelanjutan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Implementasi Konvensi dipantau oleh Komite tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Mandat komite dan administrasi perjanjian didefinisikan dalam Pasal 17 sampai 30 dari Konvensi. Komite ini terdiri dari 23 ahli dicalonkan oleh Pemerintah dan dipilih oleh Negara Pihak sebagai individu "moral yang tinggi dan kompetensi di bidang yang dicakup oleh Konvensi". Setidaknya setiap empat tahun, Negara-negara Pihak diharapkan dapat menyampaikan laporan nasional kepada Komite, yang menunjukkan langkah-langkah mereka telah mengadopsi untuk memberikan ketentuan-ketentuan Konvensi. Dalam sidang tahunan, anggota Komite mendiskusikan laporan-laporan ini dengan wakil Pemerintah dan menjelajahi dengan mereka daerah untuk tindakan lebih lanjut oleh negara tertentu. .Komite juga membuat rekomendasi umum untuk para pihak Serikat pada hal-hal mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.
Teks lengkap dari Konvensi ini ditetapkan sini
KONVENSI TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP PEREMPUAN
Memperhatikan
Negara-negara Pihak Konvensi ini, bahwa Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa
309
menegaskan kembali keyakinan dalam hak asasi manusia, dalam martabat dan nilai seseorang manusia dan dalam hak yang sama dari pria dan wanita, termasuk perbedaan berdasarkan jenis kelamin, Memperhatikan bahwa Negara Pihak dalam Kovenan Internasional tentang Hak Asasi Manusia memiliki kewajiban untuk menjamin persamaan hak laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua, sosial, budaya, sipil dan politik hak-hak ekonomi, Mempertimbangkan konvensi-konvensi internasional menyimpulkan di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus mempromosikan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan, Memperhatikan juga resolusi-resolusi, deklarasi dan rekomendasi yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan khusus mempromosikan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan, Khawatir, bagaimanapun, bahwa meskipun berbagai diskriminasi yang luas terhadap perempuan terus ada,
instrumen
Mengingat bahwa diskriminasi terhadap perempuan melanggar prinsip persamaan hak dan penghormatan terhadap martabat manusia, merupakan halangan bagi partisipasi perempuan, atas dasar persamaan dengan laki-laki, dalam, sosial, ekonomi dan budaya kehidupan politik negara mereka, menghambat pertumbuhan dari kesejahteraan masyarakat dan keluarga dan membuat lebih sulit pengembangan penuh potensi perempuan dalam pelayanan negara mereka dan kemanusiaan, Prihatin bahwa dalam situasi kemiskinan perempuan memiliki akses paling tidak untuk makanan, kesehatan, pendidikan, pelatihan dan kesempatan untuk dan lainnya kebutuhan kerja, Yakin bahwa pembentukan ekonomi tatanan internasional baru berdasarkan pemerataan dan keadilan akan memberikan kontribusi yang
310
signifikan terhadap promosi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, Menekankan bahwa penghapusan apartheid, segala bentuk rasisme, diskriminasi rasial, kolonialisme, neo-kolonialisme, agresi, pendudukan asing dan dominasi dan campur tangan dalam urusan internal negara adalah penting untuk penikmatan penuh hak-hak laki-laki dan perempuan, Menegaskan bahwa memperkuat perdamaian dan keamanan internasional, relaksasi ketegangan internasional, kerjasama timbalbalik antara semua Negara terlepas dari sistem sosial dan ekonomi, umum dan lengkap pelucutan senjata mereka, perlucutan senjata nuklir tertentu di bawah pengawasan internasional yang efektif dan ketat, pengukuhan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan dan saling menguntungkan dalam hubungan antar negara dan realisasi hak rakyat bawah dan dominasi kolonial asing dan pendudukan asing untuk menentukan nasib sendiri dan kemerdekaan, serta menghormati kedaulatan nasional dan integritas teritorial, akan mempromosikan sosial kemajuan dan pembangunan dan sebagai konsekuensinya akan memberikan kontribusi pada pencapaian kesetaraan penuh antara lakilaki dan perempuan, Yakin bahwa dan menyelesaikan pengembangan penuh suatu negara, kesejahteraan dunia dan penyebab perdamaian memerlukan partisipasi maksimum perempuan atas dasar persamaan dengan laki-laki dalam semua bidang, Mengingat kontribusi besar perempuan untuk kesejahteraan keluarga dan perkembangan masyarakat, sejauh ini tidak sepenuhnya diakui, arti sosial dari kehamilan dan peran kedua orang tua dalam keluarga dan membesarkan anak-anak, dan sadar bahwa peran perempuan dalam prokreasi tidak harus menjadi dasar untuk diskriminasi tetapi bahwa pengasuhan anak-anak memerlukan pembagian tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dan masyarakat secara keseluruhan, Menyadari bahwa perubahan dalam peran tradisional laki-laki maupun peran perempuan dalam masyarakat dan dalam keluarga diperlukan
311
untuk mencapai kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan, Bertekad untuk menerapkan prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam Deklarasi tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan dan, untuk tujuan tersebut, untuk mengadopsi langkah-langkah yang dibutuhkan untuk penghapusan diskriminasi tersebut dalam segala bentuk dan manifestasinya, Telah menyetujui sebagai berikut: BAGIAN I Pasal I Untuk tujuan Konvensi ini, istilah "" diskriminasi terhadap perempuan berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang memiliki efek atau tujuan merusak atau meniadakan pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar kesetaraan laki-laki dan perempuan, hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dalam ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya, politik. Pasal 2 Negara-negara Pihak mengutuk diskriminasi terhadap perempuan dalam segala bentuknya, setuju untuk mengejar dengan segala cara yang tepat dan tanpa penundaan suatu kebijakan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan, dan untuk tujuan ini berusaha: (a) Menggalang prinsip pesamaan di antar laki-laki dan perempuan di dalam konstitusi nasional atau hokum perundang-undangan lainnya yang terkait yang disepakati ketika itu dan menegaskan, melaui hukum atau upaya-upaya yang cocok lainnya, realisasi praktis dari dari prinsip ini; (b) Menagadopsi hukum perundang-undangan dan produk hukum yang cocok, termasuk sanksi yang sesuai, yang mencegah deskriminasi terhadap perempuan; (c) Memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan atas dasar persamaan hak dengan laki-laki dan menjamin, melalui pengadilan-pengadilan nasional yang kompeten dan lembaga-
312
lembaga kemasyarakatan lainnya, perlindungan yang efektif kepada perempuan untuk melawan semua tindakan diskriminasi; (d) Menghindari segala bentuk tindakan yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan dan menjamin bahwa kantor-kantor dan lembaga-lembaga kemasyarakatan akan berupaya menyesuaikan dengan kewajiban ini; (e) Menagambil kebijakan-kebijakan yang sesuai dalam rangka menghapus diskriminasi terhadap perempuan oleh setiap orang, organisasi, atau swasta; (f) Menagambil kebijakan-kebijakan yang sesuai, termasuk pengesahan undang-undang, yang mengubah atau menghapus hokum-hukum, peraturan-peraturan, adat-istiadat dan tindakantindakan yang merupakan diskriminasi terhadap perempuan; (g) Mencabut pasal-pasal hukuman yang merupakan dikriminasi terhadap perempuan; Pasal 3 Negara Pihak akan mengambil bagian, khususnya di bidang-bidang; politik, sosial, ekonomi dan budaya, segala kebijakan yang sesuai, termasuk pengesahan undang-undang, dalam rangka memastikan perkembangan dan pengembangan yang penuh bagi perempuan, yang tujuannya dapat memberikan jaminan kepada perempuan untuk mengenyam pendidikan dan dan hak-hak asasi manusia, dan kebebasan fundamental atas dasar persamaan dengan laki-laki; Pasal 4 1. Adopsi oleh Negara-negara Pihak pada pertimbangan khusus temporer bertujuan untuk menyelengarakan persamaan de facto di antara laki-laki dan perempuan tidak akan dianggap diskriminasi seperti dimaksudkan pada konvensi sekarang, namun pada penutupan jalan yang diperlukan sebagai suatu konsekwensi penjagaan dari ketidaksamaan dan pembedaan standar; pertimbangan-pertimbangan ini tidak akan diteruskan ketika tujuan-tujuan untuk persamaan peluang dan pelayanan sudah dicapai. 2. Adopsi oleh Negara-negara Pihak dengan pertimbangan tertentu, termasuk pertimbangan-pertimbangan yang terdapat di dalam Konvensi sekarang, yang bertujuan untuk melindugi persalinan tidak akan dianggap diskriminasi
313
Pasal 5 Negara-negara Pihak akan mengambil lagkah-langkah yang sesuai: (a) Untuk mengubah pola social-budaya dari perilaku laki-laki dan perempuan, dengan sutu pandangan dalam mencapai penghapusan syakwa sangaka dan adat-istiadat dan prektek lainnya yang terkait denga ide perendahan dan peninggian satu sama lain terkait jenis lelamin atau pada peran-peran kesejajaran bagi laki-laki dan perempuan; (b) Untuk memastikan bahwa pendidikan keluarga termasuk pemahaman yang tepat tentang persalinan sebagai suatu fungsi sosial dan pengakuan tentang tanggung jawab yang semestinya bagi laki-laki dan perempuan di dalam pendidikan dan pengembangan anak-anak mereka, dengan kata lain bahwa kepentingan anak-anak adalah perkara utama di dalam semua perkara. Pasal 6 Negara-negara pihak akan mengambil langkah yang tepat, termasuk pengesahan undang-undang, untuk menekankan segala bentuk perdagangan gelap perempuan dan ekspoitasi pada pelacuran perempuan BAGIAN II Pasal 7 Negara-negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang cocok untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di dalam kehidupan politik dan public di suatu Negara dan, khususnya, akan memastikan perempuan, atas kesamaan nilai dengan laki-laki, dalam bidang hak: (a) Untuk memberikan suara dalam semua pemilihan umum dan referendum publik dan dapat dipilh di dlam pemilihan semua badan publik yang dipilih; (b) Untuk berpartisipasi di dalam perumusan kebijakan pemerintahan dan penerapan kebijakan itu dan menjabat di kantor publik dan memainkan semua fungsi publik di semua level pemerintahan; (c) Untuk ikut serta di dalam organisasi-organisasi non-pemerintah dan perkumpulan-perkumpulan yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat dan politik di suatu negara. Pasal 8
314
Negara-negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk memastikan perempuan, atas persamaan nilai dengan laki-laki dan tanpa ada diskriminasi, peluang untuk mewakilkan pemerintah/pemimpin mereka pada level internasional dan berpartisipasi di dalam kegiatan organisasi-oeganisasi internasional. Pasal 9 1. Negara-negara pihak akan memberikan kepada perempuan hak-hak yang sama dengan laki-laki untuk memperolah, mengubah atau mempertahankan kebangsaan mereka. Negara-negara Pihak akan memastikan khususnya bahwa bukan karena kawin dengan seorang asing juga bukan berubah kebangsaan atas paksaan si suami selama perkawinan yang secara serta merta berubah kebagsaan si isteri, menyebabkannya si isteri tanpa negara atau terpaksa tunduk kepda kebangsaan si suami 2. Negara-negara Pihak akan memberikan hak-hak yang sama kepada perempuan dengan laki-laki dalam menghargai kebangsaan anakanak mereka. BAGIAN III Pasal 10 Negara-negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam rangka memastikan mereka akan persamaan hak dengan laki-laki di dalam bidang-bidang pendidikan dan khususnya memastikan, atas dasar persamaan laki-laki dan perempuan: (a) Kondisi yang sama untuk karir dan bimbingan pendidikan, untuk memasuki studi atau untuk pencapaian diploma di dalam pemantapan pendidikan dari semua kategori baik di kawasan pedesaan mapun perkotaan; persamaan ini akan dipastikan pada prasekolah, umum, teknik, pendidikan teknik lebih tinggi dan profsional, sebagiamana halnya pada tipe pelatihan pendidikan; (b) Memperoleh kurikulum yang sama, ujian-ujian yang sama, pengajaran staf dengan kualifikasi standar yang sama dan lingkungan sekolah yang sama, dan perlengkapan yang sama kwalitas; (c) Penghapusan banyaknya konsep stereotipe pada peran-peran laki-
315
(d) (e)
(f)
(g) (h)
laki dan perempuan pada semua level dan di dalam semua bentuk pendidikan dengan meningkatkan pendidikan bersama dan tipe-tipe lain dari pendidikan yang akan membantu pencapaian tujuan ini dan, khususnya, dengan merevisi buku-buku naskah dan programprogram sekolah dan pemnyesuain metode pengajaran; Kesempatan yang sama untuk memperoleh beasiswa dan anugerah studi lainnya; Kesempatan yanga sama di dalam mendapatkan program-program kelanjutan pendidikan, termasuk orang dewasa dan programprogram fungsi aksara, khususnya yang bertujuan pada pengurangan, sedini mungkin, celah di dalam pendidikan yang terjadi antara lakilaki dan perempuan; Pengurangan angka drop-out pelajar perempuan dan penyusunan program-program bagi anak perempuan dan wanita yang meninggalkan sekolah secara prematur; Kesempatan yang sama di dalam berpartisipasi aktif di bidang olah raga dan pendidikan fisik; Mengenyam pengetahuan pendidikan khusus yang dapat membantu di dalam menjaga kesehatan dan kebahagiaan keluarga, termasuk pengetahuan dan nasehat pada keluarga berencana
Pasal 11 1. Negara-negara Pihak akan mengambil kebijakan yang tepat untuk penghapusan diskriminasi terhadap perempuan di lapangan pekerjaan dalam rangka memastikan, atas dasar persamaan laki-laki dan perempuan, persamaan hak, khususnya: (a) Hak untuk bekerja sebagai suatu hak yang tidak dapat dihindari bagi semua manusia; (b) Hak pada peluang yang sama di dalam pekerjaan, termasuk permohonan kriteria yang sama untuk memilih bidang-bidang pekerjaan; (c) Hak bebas memilih profesi dan pekerjaan, hak promosi, keamanan pekerjaan dan semua keuntungan dan kondisi perlakuan dan hak untuk menerima pelatihan kerja dan pelatihan ulang, termasuk magang, pelatihan kerja lanjutan dan latihan ulangan; (d) Hak untuk pembayaran yang sama, termasuk keuntungankeuntungan, dan perlakuan yang sama dari hasil kerja dengan
316
nilai yang sama, sebagaimana halnya persamaan perlakuan dalam evaluasi persamaan kerja; (e) Hak untuk keamanan sosial, khususnya pada perkara-perkara pensiun, pengangguran, sakit, pembatalan dan usia senja dana kasitas lain yang tidak memungkinkan bekerja, sebagaimana halnya hak cuti; (f) Hak untuk perlindungan kesehatan dan keselamatan di dalam kondisi kerja, termasuk perlindungan fungsi reproduksi. 2. Untuk mencegah diskriminasi terhadap perempuan atas dasar perkawinan atau kehamilan dan untuk menjamin hak efektif mereka untuk bekerja, Negara-negara Pihak harus mengambil langkah yang tepat: (a) Untuk melarang, dengan dikenakan sanksi, pemecatan atas dasar kehamilan atau cuti hamil dan diskriminasi dalam pemberhentian atas dasar status perkawinan; (b) Untuk memperkenalkan cuti hamil dengan bayaran atau dengan tunjangan sosial yang sebanding tanpa kehilangan pekerjaan mantan, senioritas atau tunjangan sosial; (c) Untuk mendorong penyediaan pendukung pelayanan sosial yang diperlukan untuk memungkinkan orang tua untuk menggabungkan kewajiban keluarga dengan tanggung jawab pekerjaan dan partisipasi dalam kehidupan publik, khususnya melalui mempromosikan pembentukan dan pengembangan jaringan fasilitas perawatan anak; (d) Untuk memberikan perlindungan khusus bagi perempuan selama kehamilan dalam jenis pekerjaan yang terbukti berbahaya bagi mereka. 3. pelindung undang-undang yang berkaitan dengan hal-hal yang tercakup dalam pasal ini harus ditinjau secara berkala dalam terang dan teknologi pengetahuan ilmiah dan harus direvisi, dicabut atau diperluas seperlunya. Pasal 12 1. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di bidang perawatan kesehatan untuk menjamin, atas dasar persamaan antara pria dan wanita, akses ke pelayanan perawatan kesehatan, termasuk
317
yang terkait dengan keluarga berencana. 2. Menyimpang dari ketentuan ayat I dari pasal ini, Negara Pihak harus menjamin agar sesuai jasa wanita sehubungan dengan kehamilan, persalinan dan periode pasca-melahirkan, memberikan pelayanan gratis bila perlu, serta gizi yang cukup selama kehamilan dan menyusui. Pasal 13 Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di daerah lain kehidupan ekonomi dan sosial untuk menjamin, atas dasar kesetaraan laki-laki dan perempuan, hak yang sama, khususnya: (a) hak atas imbalan keluarga; (b) Hak atas pinjaman bank, hipotek dan bentuk lain dari kredit keuangan; (c) Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan rekreasi, olahraga dan semua aspek kehidupan budaya. Pasal 14 1. Negara-negara Pihak wajib memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi perempuan pedesaan dan peran penting yang dimainkan perempuan pedesaan dalam kelangsungan hidup ekonomi keluarga mereka, termasuk pekerjaan mereka di-Monetisasi sektorsektor non ekonomi, dan harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin penerapan ketentuan Konvensi ini bagi perempuan di daerah pedesaan. 2. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di daerah pedesaan untuk menjamin, atas dasar kesetaraan laki-laki dan perempuan, bahwa mereka berpartisipasi dalam dan memperoleh manfaat dari pembangunan pedesaan dan, khususnya, harus memastikan untuk wanita demikian kanan: (a) Untuk berpartisipasi dalam perluasan dan pelaksanaan perencanaan pembangunan di semua tingkat; (b) Untuk memiliki akses ke fasilitas perawatan kesehatan yang memadai, termasuk informasi, konseling dan pelayanan keluarga berencana; (c) Untuk mendapatkan manfaat langsung dari program jaminan sosial; (d) Untuk memperoleh segala jenis pelatihan dan pendidikan, formal
318
dan non-formal, termasuk yang berkaitan dengan keaksaraan fungsional, serta, antara lain, manfaat dari semua dan perluasan layanan masyarakat, dalam rangka meningkatkan kemampuan teknis mereka; (e) Untuk membentuk kelompok self-help dan koperasi untuk mendapatkan akses yang sama terhadap kesempatan ekonomi melalui kerja atau pekerjaan sendiri; (f) Untuk berpartisipasi dalam semua kegiatan masyarakat; Untuk memiliki akses ke kredit dan pinjaman pertanian, fasilitas pemasaran, teknologi tepat guna dan perlakuan yang sama di tanah dan reformasi agraria serta skema pemukiman kembali tanah; (g) Untuk menikmati kondisi hidup yang memadai, terutama dalam hubungannya dengan perumahan,, listrik sanitasi dan penyediaan air, transportasi dan komunikasi. BAGIAN IV Pasal 15 1. Negara-negara Pihak harus memberikan kesetaraan perempuan dengan laki-laki di hadapan hukum. 2. Negara Pihak wajib memberikan kepada perempuan, dalam hal sipil, kapasitas hukum identik dengan laki-laki dan kesempatan yang sama untuk menggunakan kapasitas tersebut. Secara khusus, mereka harus memberikan perempuan hak yang sama untuk menutup kontrak-kontrak dan untuk mengelola harta dan akan memperlakukan mereka sama di semua tahapan prosedur di pengadilan dan pengadilan. 3. Negara-negara Pihak setuju bahwa semua kontrak dan semua instrumen swasta lainnya dalam bentuk apapun dengan efek hukum yang diarahkan pada membatasi kapasitas hukum perempuan akan dianggap batal demi hukum. 4. Negara Pihak wajib memberikan kepada laki-laki dan perempuan hak yang sama berkenaan dengan hukum yang terkait dengan pergerakan orang dan kebebasan untuk memilih tempat tinggal dan domisili mereka.
319
Pasal 16 1. Negara-negara Pihak harus mengambil semua langkah yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala hal yang berkaitan dengan hubungan perkawinan dan keluarga dan khususnya harus menjamin, atas dasar persamaan antara pria dan wanita: (a) hak yang sama untuk masuk ke dalam perkawinan; (b) Hak yang sama untuk bebas memilih pasangan dan untuk masuk ke dalam pernikahan hanya dengan bebas dan persetujuan penuh mereka; (c) hak yang sama dan tanggung jawab selama perkawinan dan pada saat perceraian; (d) Hak yang sama dan tanggung jawab sebagai orangtua, terlepas dari status perkawinan mereka, dalam hal-hal yang berkaitan dengan anak-anak mereka, dalam semua kasus kepentingan anak harus menjadi yang utama; (e) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab tentang jumlah dan jarak anak-anak mereka dan untuk memiliki akses ke informasi, pendidikan dan sarana untuk memungkinkan mereka melaksanakan hak-hak; (f) Hak yang sama dan tanggung jawab berkaitan dengan perwalian,, perwalian perwalian dan adopsi anak, atau lembaga serupa di mana konsep-konsep ini ada dalam perundangundangan nasional, dalam semua kasus kepentingan anak harus menjadi yang utama; (g) Hak pribadi yang sama sebagai suami dan istri, termasuk hak untuk memilih nama keluarga, profesi dan pekerjaan; (h) Hak yang sama untuk kedua pasangan sehubungan dengan akuisisi kepemilikan,, manajemen,, kenikmatan administrasi dan pembagian harta, baik secara gratis atau untuk hal yang berharga. 2. Para pertunangan dan perkawinan seorang anak tidak memiliki kekuatan hukum, dan semua tindakan yang diperlukan, termasuk legislasi, harus diambil untuk menetapkan usia minimum untuk menikah dan membuat pendaftaran pernikahan dalam registri wajib resmi. BAGIAN V
320
Pasal 17 1. Untuk tujuan mempertimbangkan kemajuan yang dibuat dalam pelaksanaan Konvensi ini, harus ada dibentuk suatu Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (selanjutnya disebut sebagai Komite) yang terdiri, pada saat berlakunya Konvensi, delapan belas tahun dan, setelah ratifikasi atau aksesi Konvensi oleh Negara Pihak kelima-tiga puluh, dua puluh tiga orang ahli yang bermoral tinggi dan kompetensi di bidang yang dicakup oleh Konvensi. Para pakar harus dipilih oleh Negara-negara Pihak dari warga negara mereka dan bertugas dalam kapasitas pribadi mereka, pertimbangan diberikan pada distribusi geografis yang adil dan perwakilan dari berbagai bentuk peradaban maupun sistem hukum yang utama. 2. Para anggota Komite harus dipilih dengan pemungutan suara secara rahasia dari daftar orang-orang yang dicalonkan oleh Negara Pihak. Setiap Negara Pihak dapat mencalonkan satu orang dari warga negaranya sendiri. 3. Pemilihan pertama akan diselenggarakan enam bulan setelah tanggal berlakunya Konvensi ini. Setidaknya tiga bulan sebelum tanggal setiap pemilihan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa harus mengirimkan surat kepada Negara Pihak mengundang mereka untuk menyampaikan calon mereka dalam waktu dua bulan. Sekretaris Jenderal harus menyiapkan daftar menurut abjad semua orang yang dicalonkan, dengan menunjukkan Negara-negara Pihak yang mencalonkan mereka, dan akan menyampaikannya kepada Negara-negara Pihak. 4. Pemilihan anggota Komite harus diselenggarakan pada sidang Negara-negara Pihak yang diselenggarakan oleh Sekretaris Jendral di Markas Besar PBB. Pada pertemuan itu, di mana dua pertiga Negara Pihak merupakan suatu kuorum, orang yang dipilih untuk Komite adalah mereka calon yang memperoleh suara terbanyak dan mayoritas mutlak dari suara wakil-wakil dari Negara Pihak dan suara hadir . 5. Para anggota Komite akan dipilih untuk masa jabatan empat tahun. Namun, persyaratan sembilan anggota terpilih pada pemilihan
321
6.
7.
8.
9.
pertama akan berakhir pada akhir dua tahun; segera setelah pemilihan pertama nama-nama sembilan anggota ini akan dipilih melalui undian oleh Ketua Komite. Pemilihan lima anggota tambahan Komite akan diadakan sesuai dengan ketentuan ayat 2, 3 dan 4 pasal ini, setelah lima tiga puluh ratifikasi atau aksesi. Syarat dua anggota tambahan yang dipilih pada kesempatan ini akan berakhir pada akhir dua tahun, nama kedua anggota yang telah dipilih melalui undian oleh Ketua Komite. Untuk mengisi kekosongan kasual, Negara Pihak yang ahli telah berhenti berfungsi sebagai anggota Komite harus menunjuk ahli lain dari antara warga negaranya, tunduk pada persetujuan Komite. Para anggota Komite, dengan persetujuan Majelis Umum, menerima honorarium dari sumber-sumber Perserikatan BangsaBangsa sesuai dengan syarat dan kondisi Majelis dapat memutuskan, dengan mempertimbangkan pentingnya tanggung jawab Komite. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus menyediakan staf dan fasilitas yang diperlukan untuk pelaksanaan efektif fungsifungsi Komite berdasarkan Konvensi ini.
Pasal 18 1. Negara-negara Pihak berjanji untuk menyampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk dipertimbangkan oleh Komite, laporan mengenai, peradilan, administratif atau lain tindakan legislatif yang mereka telah mengadopsi untuk memberikan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini dan di kemajuan dalam hal ini: (a) Dalam satu tahun setelah berlakunya bagi Negara yang bersangkutan; (b) Setelah itu setidaknya setiap empat tahun dan selanjutnya setiap kali Komite memintanya. 2. Laporan dapat mengindikasikan faktor dan kesulitan-kesulitan yang mempengaruhi tingkat pemenuhan kewajiban berdasarkan Konvensi ini. Pasal 19 1. Komite harus menetapkan aturan prosedurnya sendiri. 2. Komite harus memilih para stafnya untuk masa jabatan dua tahun.
322
Pasal 20 1. Komite biasanya bersidang untuk jangka waktu tidak lebih dari dua minggu setiap tahun untuk mempertimbangkan laporan yang disampaikan sesuai dengan pasal 18 Konvensi ini. 2. Pertemuan-pertemuan Komite biasanya akan diselenggarakan di Markas Besar PBB atau di tempat yang nyaman lain yang ditetapkan oleh Komite ( perubahan , status ratifikasi ) Pasal 21 1. Komite harus, melalui Dewan Ekonomi dan Sosial, laporan tahunan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang kegiatan-kegiatannya dan dapat memberikan usulan dan rekomendasi umum berdasarkan pemeriksaan laporan dan informasi yang diterima dari Negara Pihak. Saran-saran dan rekomendasi umum tersebut wajib dimasukkan dalam laporan Komite bersamasama dengan komentar, jika ada, dari Negara-negara Pihak. 2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa harus meneruskan laporan-laporan Komite kepada Komisi Status Perempuan untuk informasinya. Pasal 22 Badan-badan khusus berhak untuk diwakili dalam mempertimbangkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi ini, seperti yang berada dalam lingkup kegiatan mereka. Komite dapat mengundang badanbadan khusus untuk menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan Konvensi di bidang-bidang yang termasuk dalam ruang lingkup kegiatan mereka. BAGIAN VI Pasal 23 Tidak ada dalam Konvensi ini akan mempengaruhi setiap ketentuan yang lebih kondusif untuk pencapaian kesetaraan antara laki-laki dan perempuan yang mungkin dimuat: (a) Dalam undang-undang suatu Negara Pihak; atau (b) perjanjian konvensi internasional, atau perjanjian yang berlaku bagi Negara. Pasal 24 Negara-negara Pihak untuk mengambil semua langkah yang diperlukan
323
pada tingkat nasional ditujukan untuk mencapai realisasi penuh hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini. Pasal 25 1. Konvensi ini terbuka untuk penandatanganan oleh semua Negara. 2. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa ditunjuk sebagai penyimpan Konvensi ini. 3. Instrumen ratifikasi harus disimpan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. 4. Konvensi ini terbuka untuk aksesi oleh semua Negara. Aksesi akan berlaku efektif dengan penyimpanan instrumen aksesi pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 26 1. Permintaan untuk merevisi Konvensi ini dapat dilakukan setiap saat oleh setiap Negara Pihak melalui pemberitahuan secara tertulis disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa. 2. Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa akan memutuskan langkah-langkah, jika ada, yang akan diambil sehubungan dengan permintaan tersebut. Pasal 27 1. Konvensi ini mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal penyimpanan dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa instrumen kedua puluh dari ratifikasi atau aksesi. 2. Untuk setiap Negara yang meratifikasi Konvensi ini atau melakukan aksesi setelah penyimpanan instrumen kedua puluh dari ratifikasi atau aksesi, Konvensi akan mulai berlaku pada hari ketiga puluh setelah tanggal penyimpanan instrumen ratifikasi atau aksesi. Pasal 28 1. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa akan menerima dan mengedarkan pada semua Negara naskah reservasi yang dibuat oleh Negara-negara pada saat ratifikasi atau aksesi. 2. Suatu reservasi yang tidak sesuai dengan tujuan dan maksud konvensi ini tidak diperkenankan. 3. Reservasi dapat ditarik setiap waktu dengan pemberitahuan ini yang disampaikan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan BangsaBangsa, yang kemudian akan memberitahukan semua Negara daripadanya. Pemberitahuan tersebut mulai berlaku pada tanggal yang diterima.
324
Pasal 29 1. Setiap sengketa antara dua atau lebih Negara Pihak mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini yang tidak diselesaikan melalui negosiasi, atas permintaan salah satu dari mereka, harus diajukan untuk arbitrase. Jika dalam waktu enam bulan dari tanggal permintaan untuk arbitrasi para pihak tidak dapat bersepakat mengenai struktur arbitrase, salah satu dari para pihak dapat mengajukan sengketa kepada Mahkamah Internasional melalui permohonan sesuai dengan Statuta Mahkamah . 2. Setiap Negara peserta pada saat penandatanganan atau ratifikasi Konvensi ini atau aksesi dapat menyatakan bahwa ia tidak menganggap dirinya terikat oleh ayat I dari pasal ini. Negara-negara Pihak lainnya tidak akan terikat oleh ayat berkenaan dengan setiap Negara Pihak yang telah membuat reservasi dimaksud. 3. Setiap Negara Pihak yang telah membuat reservasi sesuai dengan ayat 2 pasal ini dapat setiap saat menarik kembali reservasi tersebut dengan pemberitahuan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pasal 30 Konvensi ini, dalam bahasa Arab, Cina, Inggris, Rusia dan Spanyol teks Prancis yang sama-sama otentik, akan disimpan pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
325
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 12 TAHUN 2003 TENTANG MINUMAN KHAMAR DAN SEJENISNYA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang : a. bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, antara lain bertujuan mengaplikasikan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan masyarakat yang sejahtera, aman, tenteram, adil dan tertib guna mencapai ridha Allah; b. bahwa mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya merupakan pelanggaran terhadap Syari’at Islam, merusak kesehatan, akal dan kehidupan masyarakat dan berpeluang timbul maksiat lainnya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan b perlu membentuk Qanun tentang Larangan Minuman Khamar dan sejenisnya. Mengingat : 1. Al-Quran; 2. Al-Hadits; 3. Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103); 5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
326
6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3892); 8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi vertical di daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 12. Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol; 13. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70); 14. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1986 tentang Ketentuan Umum Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah; 15. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di Daerah; 16. Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam
327
(Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30); 17. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syari’at Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 2 Seri E Nomo 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4); 18. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5); .. Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM MEMUTUSKAN : Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG MINUMAN KHAMAR DAN SEJENISNYA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Gubernur beserta perangkat lainnya sebagai badan eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota beserta perangkat lain pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
328
5. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 6. Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan. 7. Imum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan beberapa gampong. 8. Keuchik adalah Kepala pemerintahan terendah dalam suatu kesatuan masyarakat hukum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. 9. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisili di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 10. Mahkamah adalah Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 11. Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina,mengawasi dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan amar makruf nahi mungkar. 12. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas dan wewenang khusus menangani pelaksanaan penegakan Syari’at Islam. 13. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil. 14. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Gubernur yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan pelanggaran Syari’at Islam. 15. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas dan wewenang menjalankan tugas khusus di bidang Syari’at Islam; 16. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi tugas dan wewenang khusus untuk melaksanakan penuntutan di bidang Syari’at dan melaksanakan penetapan dan putusanhakim Mahkamah; 17. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi Nanggroe Aceh Darussalam dan/atau pejabat lain di lingkungannya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 18. Jarimah adalah perbuatan yang diancam dengan ‘uqubat qishashdiat, hudud, dan ta’zir.
329
19. ‘Uqubat adalah ancaman ‘uqubat terhadap pelanggaran jarimah qishas-diat, hudud dan ta’zir. 20. Khamar dan sejenisnya adalah minuman yang memabukkan, apabila dikonsumsi dapat menyebabkan terganggu kesehatan, kesadaran dan daya pikir. 21. Memproduksi adalah serangkaian kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, dan/atau mengubah bentuk menjadi minuman khamar dan sejenisnya. 22. Mengedarkan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran minuman khamar dan sejenisnya kepada perorangan dan/atau masyarakat. 23. Mengangkut adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan membawa minuman khamar dan sejenisnya dari suatu tempat ke tempat lain dengan kendaraan atau tanpamenggunakan kendaraan. 24. Memasukkan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan membawa minuman khamar dan sejenisnya dari daerah atau negara lain ke dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 25. Memperdagangkan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penawaran, penjualan atau memasarkan minuman khamar dan sejenisnya. 26. Menyimpan adalah menempatkan khamar dan sejenisnya di gudang, hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios dan tempat-tempat lain. 27. Menimbun adalah mengumpulkan minuman khamar dan sejenisnya di gudang, hotel, penginapan, losmen, wisma , restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios dan tempattempat lain. 28. Mengkonsumsi adalah memakan atau meminum minuman khamar dan sejenisnya baik dilakukan sendiri maupun dengan bantuan orang lain. BAB II RUANG LINGKUP DAN TUJUAN Pasal 2
330
Ruang lingkup larangan minuman khamar dan sejenisnya adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan segala minuman yang memabukkan. Pasal 3 Tujuan larangan minuman khamar dan sejenisnya ini adalah : a. Melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang merusak akal; b. Mencegah terjadinya perbuatan atau kegiatan yang timbul akibat minuman khamar dalam masyarakat; c. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah dan memberantas terjadinya perbuatan minuman khamar dan sejenisnya. BAB III LARANGAN DAN PENCEGAHAN Pasal 4 Minuman Khamar dan yang sejenisnya hukumnya haram. Pasal 5 Setiap orang dilarang mengkonsumsi minuman khamar dan sejenisnya. Pasal 6 (1) Setiap orang atau badan hukum/badan usaha dilarang memproduksi menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan, menghadiahkan dan mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya. (2) Setiap orang atau badan hukum dilarang turut serta/membantu memproduksi, menyediakan, menjual, memasukkan, mengedarkan, mengangkut, menyimpan, menimbun, memperdagangkan dan memproduksi minuman khamar dan sejenisnya. Pasal 7 Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 berlaku juga bagi badan hukum dan atau badan usaha yang dimodali atau mempekerjakan tenaga asing. Pasal 8
331
Instansi yang berwenang menerbitkan izin usaha hotel, penginapan, losmen, wisma, bar, restoran, warung kopi, rumah makan, kedai, kios, dan tempat-tempat lain dilarang melegalisasikan penyediaan minuman khamar dan sejenisnya. Pasal 9 Setiap orang atau kelompok/institusi masyarakat berkewajiban mencegah perbuatan minuman khamar dan sejenisnya. BAB IV PERANSERTA MASYARAKAT Pasal 10 (1) Masyarakat berperan serta dalam upaya pemberantasan minuman khamar dan sejenisnya. (2) Masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang berwenang baik secara lisan maupun tertulis apabila mengetahui adanya pelanggaran terhadap larangan minuman khamar dan sejenisnya. Pasal 11 Wujud peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 adalah melapor kepada pejabat yang berwenang terdekat, apabila mengetahui adanya perbuatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai Pasal 7. Pasal 12 Dalam hal pelaku pelanggaran tertangkap tangan oleh warga masyarakat, maka pelaku beserta barang bukti segera diserahkan kepada pejabat yang berwenang. Pasal 13 Pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan/atau orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. Pasal 14 Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 apabila lalai dan/atau tidak memberikan perlindungan dan jaminan keamanan dapat dituntut oleh pihak pelapor dan/atau pihak yang menyerahkan tersangka.
332
Pasal 15 Tata cara penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diajukan ke Mahkamah. BAB V PENGAWASAN DAN PEMBINAAN Pasal 16 (1) Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Imum Mukim dan Keuchik berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penerapan larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 sampai Pasal 8. (2) Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan qanun ini, Gubernur, Bupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah. (3) Susunan dan kedudukan Wilayatul Hisbah diatur lebih lanjut dengan Surat Keputusan Gubernur setelah mendengar pendapat Majelis Permusyawaratan Ulama setempat. Pasal 17 (1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, Pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal16 yang mengetahui pelaku pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai Pasal 8, menyampaikan laporan secara tertulis kepada penyidik. (2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkan laporannya kepada penyidik. (3) Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pasal 18 Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada Mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal 17 tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik. BAB VI
333
PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN Pasal 19 Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran larangan khamar dan sejenisnya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak diatur dalam Qanun ini. Pasal 20 Penyidik adalah : a. pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam; b. pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan bidang Syari’at Islam; Pasal 21 (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam huruf a Pasal 20 mempunyai wewenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya jarimah khamar; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti tersangka dan memeriksa tanda pengenal dirinya; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah khamar dan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan Wilayatul Hisbah; j. mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum yang berlaku. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam huruf b Pasal 20 mempunyai wewenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berada di bawah koordinasi penyidik umum.
334
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya jarimah khamar; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti tersangka dan memeriksa tanda pengenal dirinya; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah khamar dan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan Wilayatul Hisbah; j. mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum yang berlaku. Pasal 22 Untuk kepentingan penyidikan, Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan (POM) wajib melakukan pemeriksaan dan pengujian kimiawi terhadap minuman atau makanan yang diduga mengandung alkohol atau ethanol atau sejenisnya, yang beredar di kalangan masyarakat atau yang ditemukan oleh penyidik, dalam rangka memperlancar proses penyidikan. Pasal 23 Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau menerima laporan telah terjadi pelanggaran terhadap larangan khamar dan sejenisnya wajib segera melakukan penyidikan. Pasal 24
335
Penuntut umum menuntut perkara jarimah khamar dan sejenisnya yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 25 Penuntut umum mempunyai wewenang : a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik; b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke Mahkamah; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut hukum yang berlaku; i. melaksanakan putusan dan penetapan hakim. BAB VII KETENTUAN ‘UQUBAT Pasal 26 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan ‘uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk. (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaiamana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 1 (satu) tahun, paling singkat 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). (3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 adalah jarimah hudud.
336
(4) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 adalah jarimah ta’zir. Pasal 27 Denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal 26 merupakan penerimaan Daerah dan disektor langsung ke Kas Baital Mal. Pasal 28 Terhadap barang-barang/benda-benda yang digunakan dan/atau diperoleh dari jarimah minuman khamar dirampas untuk Daerah atau dimusnahkan. Pasal 29 Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal. Pasal 30 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai Pasal 8 : a. apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka ‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab; b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal26, dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan. BAB VIII PELAKSANAAN ‘UQUBAT Pasal 31 (1) ‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang hukum formil. Pasal 32 (1) Pelaksanaan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Penundaan pelaksanaan ‘uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat
337
hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang. Pasal 33 (1) ‘Uqubat cambuk dilakukan di tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk; (2) Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter 0,75 s/d 1(satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda/belah. (3) Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. (4) Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai. (5) Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya. (6) Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan. Pasal 34 Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisa cambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan. Pasal 35 Pelaksanaan ‘uqubat kurungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pasal 26 dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 36 Dengan berlakunya qanun ini, maka Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 4 Tahun 1999 tentang Larangan Minuman Beralkohol di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Nomor 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku lagi. Pasal 37
338
Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam qanun tersendiri, maka hukum acara yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan perundang-undangan lainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di dalam qanun ini. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 38 Hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur. Pasal 39 Qanun ini, mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Disahkan di Banda Aceh Pada tanggal 5 Juli 2003 M 7 Jumadil Awal 1424 H GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, ABDULLAH PUTEH Diundangkan di Banda Aceh Pada tanggal 16 Juli 2003 M 16 Jumadil Awal 1424 H LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSALAM TAHUN 2003 NOMOR 25 D NOMOR 12
339
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG MAISIR (PERJUDIAN) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang : a. bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untuk Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe AcehDarussalam berdasarkan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, antara lain di bidang penyelenggaraan kehidupan beragama, kehidupan adat,pendidikan dan peran Ulama dalam penetapan kebijakan daerah; b. bahwa Maisir termasuk salah satu perbuatan mungkar yangdilarang dalam Syari’at Islam dan agama lain serta bertentangan pula dengan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat Aceh karena perbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepada perbuatan maksiat lainnya; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan b perlu membentuk Qanun tentang Maisir; Mengingat : 1. Al-Quran; 2. Al-Hadits; 3. Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang PembentukanDaerah OtonomPropinsiAcehdanPerubahan PeraturanPembentukan Propinsi Sumatera Utara(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan LembaranNegara Nomor 1103); 5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3040);\ 6. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangundangHukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
340
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3209 ); 7. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1999Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 8. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893); 9. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah IstimewaAceh sebagai Provinsi NanggroeAceh Darussalam (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor4134); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3258); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1981 tentang Pelaksanaan Penertiban Perjudian (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 10,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3192); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang KoordinasiKegiatan Instansi Vertikal diDaerah (Lembaran Negara Tahun1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah danKewenangan Provinsi sebagaiDaerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3953); 14. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang TeknikPenyusunan Peraturan Perundang-undangan dan BentukRancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara Tahun1999 Nomor 70); 15. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1986 tentangKetentuan Umum Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil diLingkungan Pemerintah Daerah; 16. Peraturan Daerah (Qanun) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam
341
(Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000Nomor 30); 17. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun2002 tentang Peradilan Syari’at Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 2 Seri E Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe AcehDarussalam Nomor 4); 18. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam bidang Aqidah, Ibadahdan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe AcehDarussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor5); Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM MEMUTUSKAN : Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG MAISIR (PERJUDIAN). BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2. Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamadalah Gubernur beserta perangkat lain Pemerintah DaerahIstimewa Aceh sebagai badan eksekutif Provinsi NanggroeAceh Darussalam. 3. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota besertaperangkat lain pemerintahKabupaten/Kota sebagai badaneksekutif Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe AcehDarussalam. 5. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam.
342
6. Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan. 7. Imeum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan dalam suatukesatuan masyarakat hukumyangterdiri atas gabunganbeberapa gampong. 8. Guechik adalah Kepala pemerintahan terendah dalam suatukesatuan masyarakat hukum di Provinsi Nanggroe AcehDarussalam yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri. 9. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisilidi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 10. Mahkamah adalah Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kotadan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 11. Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina, mengawasi dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan amar makruf nahi mungkar. 12. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam yang diberitugas dan wewenang khusus menangani pelaksanaan penegakan Syari’at Islam. 13. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau Penyidik PegawaiNegeri Sipil. 14. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat PegawaiNegeri Sipil yang diangkat oleh Gubernur yang diberi tugasdan wewenang untuk melakukan penyidikan pelanggaran Syari’at Islam. 15. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas dan wewenang menjalankan tugas khusus di bidangSyari’at Islam. 16. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi tugas danwewenang khusus untuk melaksanakan penuntutan dibidang Syari’at dan melaksanakan penetapan dan putusan hakim Mahkamah. 17. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi DaerahProvinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan/atau pejabat laindi lingkungannya yang ditunjuk berdasarkan peraturanperundangundangan yang berlaku. 18. Jarimah adalah perbuatan terlarang yang diancam dengan qishash-diat, hudud, dan ta’zir. 19. ‘Uqubat adalah ancaman hukuman terhadap pelanggaran jarimah.
343
20. Maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih dimana pihakyang menang mendapatkan bayaran. BAB II RUANG LINGKUP DAN TUJUAN Pasal 2 Ruang lingkup larangan maisir dalam Qanun ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan serta keadaan yang mengarah kepada taruhan dan dapat berakibat kepada kemudharatan bagi pihak-pihakyang bertaruh dan orang-orang/lembaga yang ikut terlibat dalam taruhan tersebut. Pasal 3 Tujuan larangan maisir (perjudian) adalah untuk : a. Memelihara dan melindungi harta benda/kekayaan; b. Mencegah anggota mayarakat melakukan perbuatan yangmengarah kepada maisir; c. Melindungi masyarakat dari pengaruh buruk yang timbul akibatkegiatan dan/atau perbuatan maisir; d. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam upayapencegahan dan pemberantasan perbuatan maisir. BAB III LARANGAN DAN PENCEGAHAN Pasal 4 Maisir hukumnya haram. Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan perbuatan maisir. Pasal 6 (1) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menyelenggarakan dan/atau memberikan fasilitas kepada orang yang akan melakukan perbuatan maisir. (2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha dilarang menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir. Pasal 7 Instansi Pemerintah, dilarang memberi izin usaha penyelenggaraanmaisir. Pasal 8
344
Setiap orang atau kelompok atau institusi masyarakat berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan maisir. BAB IV PERANSERTA MASYARAKAT Pasal 9 (1) Setiap anggota masyarakat berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan maisir. (2) Setiap anggota masyarakat diharuskan melapor kepadapejabat yang berwenang baik secara lisan maupun tulisan apabila mengetahui adanya perbuatan maisir. Pasal 10 Dalam hal pelaku pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6, dan 7 tertangkap tangan oleh warga masyarakat, maka pelakubeserta barang bukti segera diserahkan kepada pejabat yang berwenang. Pasal 11 Pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan danjaminan keamanan bagi pelapor sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 dan/atau orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana dimaksuddalam pasal 10. Pasal 12 Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 apabila lalai dan/atau tidak memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada pelapor dapat dituntut oleh pihak pelapor dan/atau pihak yang menyerahkan tersangka. Pasal 13 Tata cara penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diajukan ke Mahkamah. BAB V PENGAWASAN DAN PEMBINAAN Pasal 14 (1) Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Imum Mukim dan Keuchik berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penerapan larangan sebagaimana dimaksud dalampasal 5, 6, dan 7.
345
(2) Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Qanun ini, Gubernur, dan Bupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah. (3) Susunan dan Kedudukan Wilayatul Hisbah diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur setelah mendengar pendapat Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU). Pasal 15 (1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, pejabatWilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayatyang menemukan pelaku pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6, dan 7, menyerahkan persoalan itu kepada Penyidik. (2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat WilayatulHisbah yang menemukan pelaku jarimah maisir dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulu kepada pelaku sebelum menyerahkannya kepada penyidik. Pasal 16 Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan pra-peradilan kepada Mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam pasal15 ayat (1) tidak ditindak lanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yang sah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterimapenyidik. BAB VI PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN Pasal 17 Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran larangan maisir dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak diatur dalam Qanun ini. Pasal 18 Penyidik adalah : a. Pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam; b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khususuntuk melakukan penyidikan bidang Syari’at Islam; Pasal 19 (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 huruf a mempunyai wewenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya jarimah Maisir; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempatkejadian;
346
c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah dan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan Wilayatul Hisbah; j. mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum yangberlaku. (2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 huruf bmempunyai wewenang sesuai dengan ketentuan yang berlakudan berada di bawah koordinasi penyidik umum. a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya jarimah Maisir; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempatkejadian; c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagaitersangka atau saksi; h. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalamhubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah dan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan Wilayatul Hisbah;
347
j.
mengadakan yangberlaku.
tindakan
lain
menurut
aturan
hukum
Pasal 20 Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau menerima laporan telah terjadi pelanggaran terhadap larangan maisir wajib segera melakukan penyidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 21 Penuntut umum menuntut perkara jarimah maisir yang terjadi dalamdaerah hukumnya menurut peraturan perundang-undangan yangberlaku; Pasal 22 Penuntut umum mempunyai wewenang : a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik; b. mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke Mahkamah; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggungjawab sebagai penuntut umum menurut hukum yang berlaku; i. melaksanakan putusan dan penetapan hakim. BAB VII KETENTUAN ‘UQUBAT Pasal 23 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, diancam dengan ‘uqubat cambuk di depan umum paling banyak 12 (dua belas) kali dan paling sedikit 6 (enam) kali.
348
(2) Setiap orang atau badan hukum atau badan usaha Non Instansi Pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimanadimaksud dalam pasal 6, dan 7 diancam dengan ‘uqubat atau denda paling banyak Rp. 35.000.000,- (tiga puluh limajuta rupiah), paling sedikit Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah). (3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalampasal 5, 6 dan 7 adalah jarimah ta’zir. Pasal 24 Denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (2) merupakan penerimaan Daerah dan disetor langsung ke Kas Baital Mal. Pasal 25 Barang-barang/benda-benda yang digunakan dan/atau diperoleh dari jarimah maisir dirampas untuk Daerah atau dimusnahkan. Pasal 26 Pengulangan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, 6 dan 7 ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubatmaksimal. Pasal 27 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalampasal 6 : a. apabila dilakukan oleh badan hukum/badan usaha, maka‘uqubatnya dijatuhkan kepada penanggung jawab; b. apabila ada hubungan dengan kegiatan usahanya, maka selain sanksi ‘uqubat sebagaimana dimaksud dalam pasal 23ayat (2), dapat juga dikenakan ‘uqubat administratif denganmencabut atau membatalkan izin usaha yang telah diberikan; BAB VIII PELAKSANAAN ‘UQUBAT Pasal 28 (1) ‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang hukum formil. Pasal 29 (1) Pelaksanaan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Penundaan pelaksanaan ‘uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri apabila
349
terdapat hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang. Pasal 30 (1) ‘Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapatdisaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk. (2) Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameterantara 0.75 cm sampai 1 (satu) senti meter, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda/dibelah. (3) Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala,muka, leher, dada dan kemaluan. (4) Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai. (5) Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yangmenutup aurat. Sedangkan terhukum perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya. (6) Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan set elah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan. Pasal 31 Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisacambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 32 Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam Qanun tersendiri,maka Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Undang-undangNomor 8 Tahun 1981), dan peraturan perundang-undangan lainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di dalam Qanun ini. BAB X KETENTUAN PERALIHAN Pasal 33 Hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur. Pasal 34 Qanun ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar semua orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan
350
penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Disahkan di Banda Aceh pada tanggal 15 J u l i 2003 7 Jumadil Awal 1424 GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, ABDULLAH PUTEH Diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 16 J u l i 2003 16 Jumadil Awal 1424 LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2003 NOMOR 256 SERI D NOMOR 139
351
QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 14 TAHUN 2003 TENTANG KHALWAT (MESUM) BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang : a. bahwa Keistimewaan dan Otonomi Khusus yang diberikan untukDaerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di dasarkan pada Undang-undang Nomor 44 Tahun1999 dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001, antaralain di bidang Pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat guna terwujudnya tata kehidupan masyarakat yangtertib, aman, tenteram, sejahtera dan adil untuk mencapai ridhaAllah; b. bahwa khalwat/mesum termasuk salah satu perbuatan mungkar yang dilarang dalam Syari’at Islam dan bertentangan pula denganadat istiadat yang berlaku dalam masyayarakat Aceh karenaperbuatan tersebut dapat menjerumuskan seseorang kepadaperbuatan zina; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a dan b perlu membentuk Qanun tentang Larangan Khalwat/Mesum; Mengingat : 1. Al-Quran; 2. Al-Hadits; 3. Pasal 29 Undang-undang Dasar 1945 4. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103); 5. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3209);
352
6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999Nomor 60, tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 7. Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893); 8. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khususbagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi NanggroeAceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor3258); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi vertikal di daerah (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran NegaraNomor 3373); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun2000, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952); 12. Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan dan BentukRancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah,dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1999 Nomor 70); 13. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1986 tentang Ketentuan Umum Mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil diLingkungan Pemerintah Daerah; 14. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 5Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam (LembaranDaerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2000 Nomor 30); 15. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun2002 tentang Peradilan Syari’at Islam (Lembaran Daerah ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 2 Seri E
353
Nomor2, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe AcehDarussalam Nomor 4); 16. Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Aqidah, Ibadahdan Syiar Islam (Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2003 Nomor 3 Seri E Nomor 3, TambahanLembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5); Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM MEMUTUSKAN : Menetapkan: QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAMTENTANG KHALWAT (MESUM) BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 2. Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Gubernur beserta perangkat lainnya sebagai badan eksekutif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 3. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota beserta perangkat lain pemerintah Kabupaten/Kota sebagai badan eksekutif Kabupaten/Kota dalam Provinsi Nanggroe AcehDarussalam. 4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Nanggroe AcehDarussalam. 5. Bupati/Walikota adalah Bupati/Walikota dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 6. Camat adalah kepala pemerintahan di kecamatan. 7. Imeum Mukim/Kepala Mukim adalah pimpinan dalam suatu kesatuan masyarakat hukum yang terdiri atas gabungan beberapa gampong. 8. Keuchik adalah kepala pemerintahan terendah dalam suatu kesatuan masyarakat hukum di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.
354
9. Masyarakat adalah himpunan orang-orang yang berdomisilidi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 10. Mahkamah adalah Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kotadan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 11. Wilayatul Hisbah adalah lembaga yang bertugas membina,melakukan advokasi dan mengawasi pelaksanaan amar makruf nahi mungkar dan dapat berfungsi sebagai penyelidik. 12. Polisi adalah Polisi Nanggroe Aceh Darussalam yang diberitugas dan wewenang khusus menangani pelaksanaan penegakan Syari’at Islam. 13. Penyidik adalah Penyidik Umum dan/atau Penyidik PegawaiNegeri Sipil. 14. Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diangkat oleh Gubernur yang diberi tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan pelanggaran Syari’at Islam. 15. Jaksa adalah Jaksa Nanggroe Aceh Darussalam yang diberi tugas dan wewenang menjalankan tugas khusus di bidangSyari’at Islam; 16. Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi tugas danwewenang khusus untuk melaksanakan penuntutan dibidang syari’at dan melaksanakan penetapan putusan hakim mahkamah; 17. Pejabat yang berwenang adalah Kepala Polisi NanggroeAceh Darussalam dan/atau pejabat lain di lingkungannyayang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undanganyang berlaku. 18. Jarimah adalah perbuatan terlarang yang diancam dengan qishash-diat, hudud, dan ta’zir. 19. Uqubat adalah ancaman hukuman terhadap pelanggaran jarimah. 20. Khalwat/mesum adalah perbuatan bersunyi-sunyi antaradua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan. BAB II RUANG LINGKUP DAN TUJUAN Pasal 2 Ruang lingkup larangan khalwat/mesum adalah segala kegiatan, perbuatan dan keadaan yang mengarah kepada perbuatan zina. Pasal 3 Tujuan larangan khalwat/mesum adalah :
355
a. menegakkan Syari’at Islam dan adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; b. melindungi masyarakat dari berbagai bentuk kegiatan dan/atauperbuatan yang merusak kehormatan; c. mencegah anggota masyarakat sedini mungkin darimelakukan perbuatan yang mengarah kepada zina; d. meningkatkan peran serta masyarakat dalam mencegah danmemberantas terjadinya perbuatan khalwat/mesum; e. menutup peluang terjadinya kerusakan moral. BAB III LARANGAN DAN PENCEGAHAN Pasal 4 Khalwat/Mesum hukumnya haram. Pasal 5 Setiap orang dilarang melakukan khalwat/mesum. Pasal 6 Setiap orang atau kelompok masyarakat, atau aparatur pemerintahan dan badan usaha dilarang memberikan fasilitas kemudahan dan/atau melindungi orang melakukan khalwat/mesum. Pasal 7 Setiap orang baik sendiri maupun kelompok berkewajiban mencegah terjadinya perbuatan khalwat/mesum. BAB IV PERANSERTA MASYARAKAT Pasal 8 (1) Masyarakat berperanserta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan perbuatan khalwat/mesum. (2) Masyarakat wajib melapor kepada pejabat yang berwenang baik secara lisan maupun tulisan apabila mengetahui adanya pelanggaran terhadap larangan khalwat/mesum. Pasal 9 Dalam hal pelaku pelanggaran tertangkap tangan oleh warga masyarakat, maka pelaku beserta barang bukti segera diserahkan kepada pejabat yang berwenang. Pasal 10 Pejabat yang berwenang wajib memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 dan/atau orang yang menyerahkan pelaku sebagaimana
356
dimaksud dalam pasal 9. Pasal 11 Warga masyarakat dapat menuntut pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 apabila lalai memberikan perlindungan dan jaminan keamanan bagi pelapor dan/atau orang yang menyerahkan pelaku. Pasal 12 Tata cara penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 11dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan diajukan ke Mahkamah. BAB V PENGAWASAN DAN PEMBINAAN Pasal 13 (1) Gubernur, Bupati/Walikota, Camat, Imum Mukim dan Keuchik berkewajiban melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap penerapan larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6. (2) Untuk melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan qanun ini, Gubernur, Bupati/Walikota membentuk Wilayatul Hisbah. (3) Susunan dan kedudukan Wilayatul Hisbah diatur lebih lanjut dengan surat Keputusan Gubernur dan/atau Bupati/Walikota setelah mendengar pendapat Majelis PermusyawaratanUlama. Pasal 14 (1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasannya, Pejabat Wilayatul Hisbah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 bila menemukan pelaku pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6, menyampaikan laporan secara tertulis kepada penyidik; (2) Dalam melaksanakan fungsi pembinaannya, Pejabat Wilayatul Hisbah yang menemukan pelaku jarimah khalwat/mesum dapat memberi peringatan dan pembinaan terlebih dahulukepada pelaku sebelum menyerahkannya kepada penyidik. (3) Pejabat Wilayatul Hisbah wajib menyampaikan laporan kepada penyidik tentang telah dilakukan peringatan dan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). Pasal 15 Wilayatul Hisbah dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada Mahkamah apabila laporannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 14
357
ayat (1) tidak ditindaklanjuti oleh penyidik tanpa suatu alasan yangsah setelah jangka waktu 2 (dua) bulan sejak laporan diterima penyidik. BAB VI PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN Pasal 16 Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran larangan khalwat/mesum dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang tidak diatur dalam Qanun ini. Pasal 17 Penyidik adalah : a. Pejabat Polisi Nanggroe Aceh Darussalam; b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan bidang Syari’at Islam. Pasal 18 (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 huruf akarena kewajibannya mempunyai wewenang : a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorangtentang adanya jarimah; b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempatkejadian; c. menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksatanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahandan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksasebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. menghentikan penyidikan setelah mendapat tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan jarimah dan memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya dan Wilayatul Hisbah; j. mengadakan tindakan lain menurut aturan hukum yang berlaku.
358
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai wewenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan berada di bawah (3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Pasal 19 Setiap penyidik yang mengetahui dan/atau menerima laporan telahterjadi pelanggaran terhadap larangan khalwat/mesum wajib segera melakukan penyidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 20 Penuntut umum menuntut perkara jarimah khalwat/mesum yang terjadi dalam daerah hukumnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 21 Penuntut umum mempunyai wewenang : a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan daripenyidik; b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. memberi perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau mengubah status tahanan setelah perkaranyadilimpahkan oleh penyidik; d. membuat surat dakwaan; e. melimpahkan perkara ke Mahkamah; f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentangketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertaisurat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. melakukan penuntutan; h. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut hukum yang berlaku; i. melaksanakan putusan dan penetapan hakim. BAB VII KETENTUAN ‘UQUBAT Pasal 22
359
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa dicambuk paling tinggi 9 (sembilan) kali, paling rendah 3 (tiga) kali dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000,-(sepuluh juta rupiah), paling sedikit Rp 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). (2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 diancam dengan ‘uqubat ta’zir berupa kurungan paling lama 6 (enam) bulan, paling singkat 2 (dua) bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (limabelas juta rupiah), paling sedikit Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). (3) Pelanggaran terhadap larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 dan 6 adalah jarimah ta’zir. Pasal 23 Denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dan (2) merupakan peneriman Daerah dan disetor langsung ke Kas BaitalMal. Pasal 24 Pengulangan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, ‘uqubatnya dapat ditambah 1/3 (sepertiga) dari ‘uqubat maksimal. Pasal 25 Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) dapat juga dikenakan ‘uqubat administrative dengan mencabut atau membatalkan izin usaha yang telahdiberikan. BAB VIII PELAKSANAAN ‘UQUBAT Pasal 26 (1) ‘Uqubat cambuk dilakukan oleh seorang petugas yang ditunjuk oleh Jaksa Penuntut Umum. (2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jaksa Penuntut Umum harus berpedoman pada ketentuan yang diatur dalam Qanun ini dan/atau ketentuan yang akan diatur dalam Qanun tentang hukum formil. Pasal 27 (1) Pelaksanaan ‘uqubat dilakukan segera setelah putusan hakim mempunyai kekuatan hukum tetap. (2) Penundaan pelaksanaan ‘uqubat hanya dapat dilakukan berdasarkan penetapan dari Kepala Kejaksaan apabila terdapat
360
hal-hal yang membahayakan terhukum setelah mendapat keterangan dokter yang berwenang. Pasal 28 (1) ‘Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat yang dapat disaksikan orang banyak dengan dihadiri Jaksa Penuntut Umum dan dokter yang ditunjuk. (2) Pencambukan dilakukan dengan rotan yang berdiameter antara 0,7 cm dan 1,00 cm, panjang 1 (satu) meter dan tidak mempunyai ujung ganda/tidak dibelah. (3) Pencambukan dilakukan pada bagian tubuh kecuali kepala, muka, leher, dada dan kemaluan. (4) Kadar pukulan atau cambukan tidak sampai melukai. (5) Terhukum laki-laki dicambuk dalam posisi berdiri tanpa penyangga, tanpa diikat, dan memakai baju tipis yang menutup aurat. Sedangkan perempuan dalam posisi duduk dan ditutup kain di atasnya. (6) Pencambukan terhadap perempuan hamil dilakukan setelah 60 (enam puluh) hari yang bersangkutan melahirkan. Pasal 29 Apabila selama pencambukan timbul hal-hal yang membahayakan terhukum berdasarkan pendapat dokter yang ditunjuk, maka sisacambukan ditunda sampai dengan waktu yang memungkinkan. Pasal 30 Pelaksanaan ‘uqubat kurungan sebagaimana dimaksud dalam pasal22 ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB IX KETENTUAN PERALIHAN Pasal 31 Sebelum adanya hukum acara yang diatur dalam qanun tersendiri, maka hukum acara yang diatur dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dan peraturan perundang-undangan lainnya tetap berlaku sepanjang tidak diatur di dalam qanun ini. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 32
361
Hal-hal yang menyangkut dengan teknis pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan keputusan Gubernur. Pasal 33 Qanun ini, mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Disahkan di Banda Aceh pada tanggal 15 Juli 2003 15 Jumadil Awal 1424 GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARU ABDULLAH PUTEH Diundangkan di Banda Aceh pada tanggal 16 Juli 2003 16 Jumadil Awal 1424 LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2003 NOMOR 27 SERI D NOMOR 14
362
TENTANG PENULIS
Muhammad Yani dilahirkan di Manyang Lancok, 12 Februari 1973 kabupaten Pidie Jaya, Aceh. Setelah menyelesaikan Sarjana (S1) jurusan Bahasa Arab di IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh tahun 1999, ia bekerja sebagai Pegawai Administrasi di KUA Kec. Jangka Buya, Aceh. Ia juga pernah bekerja sebagai guru di beberapa Lembaga Pendidikan di Aceh seperti: MAN 2 Sigli, PTI Al-Hilal Sigli dan Univesitas Muhammadiyah Aceh Tahun 2001-2009. Di sela-sela aktifitasnya di jajaran tersebut, ia juga kerab menimba pengalaman di berbagai Organisasi Kemasyarakatan seperti menjabat Sekretaris Umum Majlis Permusywaratan Ulama (MPU) Meureudu tahun 2005-2009; Sekretaris Komisi Bidang Zakat DPP Muhammadiyah Pidie Jaya, periode 2007-2011; Sekeretaris 1 Dewan Kemakmuran Mesjid Kab. Pidie tahun 2003-2007; dan Sekretaris Umum Dewan Kemakmuran Mesjid Aceh (DKMA) Kab. Pidie Jaya periode 2007-2011; Ia gemar menulis di Media Masa. Karyanya yang sudah dipublikasikan antara lain: “Hukum Allah untuk Dunia Global,” Serambi Indonesia, 8 April 2001; “Kekuasaan,” Suara Aceh, 1 Agustus 2000; “Ketauhidan dan al-Quran di Ujung Senjata,” Aceh Express, 17 Juli 2001; “Ahlu al-Haq Pembela Ummat dan Kemanusiaan,” Suara Aceh, 2002; dan “Lembaga Qadhi dan Pernikahan Yausniar,” Serambi Indonesia, 15 Februari 2008. Pada akhir tahun 2009 ia melanjutkan studi ke jenjang strata II di Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di bidang Hukum Islam. Pada tanggal 21 April 2011, ia dinyatakan lulus di dalam Sidang Promosi Magister dengan karyanya yang telah diterbikan ini. Ia tercatat sebagai magister yang ke1886 di lembaga tersebut. Sekarang ia ingin melanjutkan studinya ke
363
jenjang doktoral di Om Durman Islamic University (OIU), Sudan di dalam bidang yang sama .