PELAKSANAAN EKSEKUSI SENGKETA HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA CIKARANG Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Syarat memperoleh Gelar Sarjana Syariah ( S.Sy)
Oleh:
RA DIDIN DLIYAUDDIN NIM : 109044200003
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H/ 2014 M
PELAKSANAAN EKSEKUSI SENGKETA HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA CIKARANG
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah ( S. Sy)
Oleh: RA DIDIN DLIYAUDDIN NIM : 109044200003
Dibawah Bimbingan
Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi NIP. 194008051962021001
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1435 H/ 2014 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengadilan Agama Cikarang” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Mei 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah.
Jakarta, 12 Mei 2014
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang saya ajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatulah Jakarta. 2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta.
Jakarta, 16 April 2014
RA DIDIN DLIYAUDDIN
ABSTRAK
RA DIDIN DLIYAUDDIN. 109044200003. Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengadilan Agama Cikarang. Administrasi Keperdataan Islam. Ahwal as-Syakhsiyyah. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014. x+ 84+ 16. Dalam KHI Pasal 105 yang berbunyi : dalam hal terjadinya perceraian : a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah ibunya, b) pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, c) biaya pemeliharaan di tangung oleh ayahnya. Namun, dalam realitanya terdapat putusan mengenai hak asuh anak seringkali pihak yang berhak tidak mendapatkan haknya Tujuan penulisan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengertian hadhanah menurut fiqih dan undang-undang, kemudian pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di wilayah hukum Pengadilan Agama Cikarang, selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui bagaimana upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pelaksanaan putusan hadhanah. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan jenis penelitian kualitatif atau penelitian lapangan. Sumber data untuk mendeskripsikan masalah utama adalah sumber data primer (penelitian lapangan) dan sumber data sekunder (studi kepustakaan).Teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi, wawancara, dan observasi. Metode analisis yang diterapkan untuk mendapatkan kesimpulan atas permasalahan yang dibahas adalah melalui Pendekatan kualitatif. Hadhanah adalah membekali anak secara material maupun secara spiritual, mental meupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan kehidupannya nanti bila ia dewasa, Pengadilan Agama Cikarang dalam perkara hadhanah, hanya sebatas pengawasan dengan jangka waktu sampai diucapkannya amar putusan. Apabila selang beberapa waktu baru diketahui bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melakukan kewajiban sebagaimana yang diputuskan oleh Majelis Hakim, maka para pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama Cikarang. Kata kunci Pembimbing DaftarPustaka
: Perceraian, Hadhanah, Putusan, Eksekusi, Pelaksanaan. : Prof.Dr. H. Ahmad Sutarmadi : Tahun1974 s.d Tahun 2013
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah mencurahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada pembimbing umat, Muhammad Rasulullah Saw, bagi keluarganya, para sahabatnya, dan pengikutnya sebagai suri tauladan yang baik bagi kita semua. Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, juga dengan penuh kesadaran penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN EKSEKUSI SENGKETA HADHANAH DI PENGADILAN AGAMA CIKARANG” tidak akan selesai tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Seperti juga perjalanan studi yang penulis lalui dari awal hingga akhir, tidak ada pekerjaan yang sukses dilalui dalam kesendirian. Dibalik keberhasilan selalu ada lingkaran lain yang memberikan semangat, motivasi bimbingan serta do’a. Maka dalam kesempatan yang baik ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Dr. H. JM. Muslimin MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Drs H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Ibu Rosdiana, MA., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. vi
3. Bapak Prof. Dr. H. Ahmad Sutarmadi., selaku pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing, memberikan arahan dan meluangkan waktunya kepada penulis sehingga penulisan skripsi ini selesai. 4. Bapak Dr. Djawahir Hejazziey, SH, MA., selaku pembimbing akademik penulis selama kuliah di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 5. Seluruh Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat serta menjadi keberkahan bagi penulis. 6. Ketua, Hakim, Panitera, Pegawai serta Staf Pengadilan Agama Cikarang, terima kasih atas pelayanan dan bantuannya dalam memberikan data-data yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini. 7. Ketua dan seluruh Staf Perpustakaan Syariah dan Hukum dan Perpustakaan Utama UIN Sayarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam mendapatkan buku-buku atau referensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. 8. Ayahanda tercinta Drs. KH. Rd. Hidayatullah, MM.Pd., dan Ibunda tercinta Teti Latifah, S.Pd.i., terima kasih atas segala kasih sayang, perhatian dan motivasinya baik moril maupun materil, sujud abdiku atas doa dan pengorbanannya selama ini “Allahummagfirlii Waliwaalidayya Warhamhuma Kama Rabbayani shagiira”. Kepada kakakku
Rd. Ahmad Imaduddin SE.Sy, adik-adikku Rd. Ahmad Adi
Hidayat dan almarhumah Nurul Hidayati, kalian adalah motivasi dan inspirasi bagi kelanjutan studi penulis hingga saat ini. 9. Keluarga besar KH. RD. Muhammad Islam Sugiri dan keluarga besar H. Edi Soemantri yang selalu memberikan nasihat dan pedoman hidup kepada penulis. 10. Teman-teman seperjuangan Administrasi Keperdataan Islam dan Peradilan Agama angkatan 2009 terimakasih atas kebersamaannya, selama empat tahun kita saling mengenal dan menjalin persahabatan bahkan persaudaraan. 11. Para sahabat karibku yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebaikan, dukungan dan semangat kalian, semoga persahabatan kita tidak akan pernah putus meskipun kita tidak bersama lagi. vii
12. Tanpa mengurangi rasa hormat, kepada seluruh pihak yang telah banyak memberikan inspirasi juga dukungan kepada penulis untuk mencapai cita-cita yang telah diimpikan dan telah membantu secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Semoga segala kebaikan akan diganjar dengan pahala yang berlipat ganda oleh Allah SWT. Mengakhiri kata pengantar ini, atas semua bantuan yang telah diberikan, penulis hanya dapat memanjatkan do’a kepada Allah SWT semoga kebaikan yang telah diberikan dapat bernilai ibadah dan dibalas oleh Allah SWT. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada semua pihak yang membacanya, memperoleh ridha Allah SWT, dan menjadi penyemangat bagi penulis untuk bisa mengembangkan keilmuan pada masa-masa berikutnya di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dengan pesat pada era globalisasi ini.
Jakarta, Mei 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................................ i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN .............................................................. iii LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................. iv ABSTRAKSI .................................................................................................................... v KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vi DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ix BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................................... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 7 D. Studi Review ............................................................................................... 8 E. Metode Penelitian ........................................................................................ 9 F. Sistematika Penulisan .................................................................................. 13
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH A. Pengertian Hadhanah ................................................................................... 14 B. Dasar Hukum Hadhanah .............................................................................. 19 C. Syarat-syarat Sebagai Pemegang Hak Hadhanah ........................................ 22 D. Upah Hadhanah ........................................................................................... 24 E. Hadhanah Dalam Peraturan Perundang-Undangan ..................................... 30
ix
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA CIKARANG A. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Cikarang ............................................. 43 B. Dasar Hukum Dan Wewenang Pengadilan Agama Cikarang ..................... 45 C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Cikarang ....................................... 47 D. Yurisdiksi Pengadilan Agama Cikarang ..................................................... 48 BAB IV PELAKSANAAN EKSEKUSI HADHANAH A. Pelaksanaan Putusan Hadhanah di Wilayah Hukum Pengadilan Agama Cikarang ..................................................................................................... 50 B. Upaya Pengadilan Agama Cikarang Untuk Terlaksananya Pelaksanaan Eksekusi Hadhanah .................................................................................... 65 C. Analisis Penulis .......................................................................................... 68 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................................. 82 B. Saran ............................................................................................................ 83
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 84 LAMPIRAN
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dalam suatu rumah tangga berdasarkan tuntunan agama.1 Dalam literatur fiqih berbahasa Arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Secara arti kata nikah berarti “bergabung”, “hubungan kelamin” dan juga berarti “akad” adanya dua kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam AlQur’an memang mengandung dua arti tersebut..2 Dalam pandangan Islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunah Allah, berarti: menurut qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan untuk umatnya.3 Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita dengan
1
Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), Cet.II, h.3. 2
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), Cet.III
, h.35-36. 3
Ibid, h.41.
1
2
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia da kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4 Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa definisi perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqon Ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Lain halnya dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tidak mengenal definisi perkawinan, karena sebagaimana Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya disebutkan bahwa Undang-Undang memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja. Artinya pasal tersebut hendak menyatakan bahwa sebuah perkawinan yang sah itu hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab UndangUndang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat serta peraturan agama yang dikesampingkan.5 Tujuan diadakannya perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.6 Proses menuju keluarga yang sakinah tentu tidak bisa dianggap sepele, sebagaimana Nabi Muhammad SAW tidak pernah
4
Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, (Jakarta: PT Internasa, 1991), Cet.I, h.187. 5
6
Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), h.23.
Zaitunah Subhan, Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan,(Jakarta: Pustaka Mina, 2008), h.275.
3
menyepelekannya, oleh karena itu kita harus memahami terlebih dahulu tentang tujuan perkawinan tersebut sebelum kita melaksanakan dari pada perkawinan.7 Dalam kenyataan hidup membuktikan bahwa memelihara kehidupan berumah tangga bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan, karena didalam kehidupan rumah tangga tidak lepas dari gejolak-gejolak yag ada. Apabila suami istri tidak dapat melewati gejolak-gejolak tersebut, maka tidak bisa dihindarkan lagi akan terjadi sebuah pemutusan tali pernikahan atau bisa disebut juga dengan perceraian. Suatu
gugatan
perceraian,
bisa
mengundang
berbagai
macam
permasalahan. Di samping gugatan cerai itu sendiri, muncul pula masalahmasalah lain sebagai akibat dari di kabulkannya gugatan cerai tersebut, seperti permasalahan tentang siapa yang lebih berhak untuk melakukan hadhanah (pemeliharaan) terhadap anak.8 Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya dan orang yang mendidiknya. Apabila dua orang suami bercerai sedangkan keduanya mempunyai seorang anak yang belum mumayyiz (belum berumur 12 tahun), maka istrilah
7
Abdullah Gymnastiar, AA Gym dan Fenomena Darrut Tauhid, (Bandung: PT Mizan, 2002),
h.20. 8
Said Agil Husain Al-Munawwar, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (analisis yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah), (Jakarta: Prenada Media, 2004), h.189.
4
yang berkewajiban untuk mendidik dan merawat anak itu hingga ia mengerti akan kemaslahatan dirinya.9 Ulama memberikan urutan dan skala prioritas hak mengasuh anak bagi para wanita, sesuai dengan kemaslahatan anak tersebut. Ketika pengasuhan anak merupakan hak dasar ibu, maka para ulama menyimpulkan, kerabat ibu lebih didahulukan daripada kerabat ayah.10 Bila salah seorang ibu dan ayah itu ingin melakukan perjalanan yang akan kembali pada waktunya, sedangkan yang satu lagi menetap ditempat lebih berhak mendapatkan hadhanah. Alasannya ialah, bahwa perjalanan itu mengandung resiko dan kesulitan bagi si anak. Oleh karena itu menetap lebih baik karena tidak ada resiko tersebut bagi si anak.11 Dalam hal pindah tempat juga Ulama berpendapat. Menurut Ulama Hanafiyah bila yang melakukan pindah tempat adalah ayah, maka ibu lebih berhak atas hadhanah. Bila ibu yang pindah ke tempat dilaksanakan pernikahannya dulu, ibu yang lebih berhak tapi bila ke tempat lain, maka ayahlah yang berhak. Ulama lainnya termasuk Imam Malik dan Syafi’I yang berhak atas hadhanah dalam keadaan pindah tempat adalah ayah.12
9
Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003), Cet.III, h.426.
10
Wahbah Al-Zuhaili, AL-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh Juz VII, (Damaskus: Daar Al-Fikr, 1984), h.680. 11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), Cet.III, h.332. 12
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h. 332.
5
Fenomena kelalaian dan penelantaran anak merupakan permasalahan yang sering terjadi dalam masyarakat, sebaliknya juga perebutan anak antara orang tua sering terjadi seakan-akan anak adalah harta benda yang dapat dibagi-bagi, dan setelah dibagi seolah putuslah ikatan orang tua yang tidak mendapatkan hak asuhnya. Walaupun sebenarnya masalah kedudukan anak dan kewajiban orang tua terhadap anak ini telah di atur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan Hukum Islam. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 yang berbunyi : dalam hal terjdinya perceraian : a) pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, b) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya, c) biaya pemeliharaan di tangung oleh ayahnya. 13
Pengadilan Agama akan memutuskan kepada siapa hak pemeliharaan tersebut diberikan, namun seringkali pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan Pengadilan Agama tersebut, sehingga pihak yang menang kesulitan mendapatkan haknya. Maka solusi yang dapat dilakukan adalah meminta Pengadilan Agama untuk membantu melaksanakan putusannya tersebut. Berawal dari latar belakang masalah inilah, penulis ingin mengetahui lebih mendalam mengenai persoalan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengadilan Agama Cikarang”.
13
Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam, (T.tp, CV. Nuansa Aulia, 2008), h.33.
6
B. Batasan dan rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Agar penelitian ini lebih akurat dan untuk mempermudah serta memperjelas pokok bahasan, maka penulis membatasi masalah pada eksekusi yang ada di Pengadilan Agama Cikarang dan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur hak asuh anak. 2. Rumusan Masalah Pada Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam dalam hal terjadinya perceraian, pemeliharaan anak/ hadhanah yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya dan biaya pemeliharaan di tangung oleh ayahnya. Dalam realitanya seringkali pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan Pengadilan Agama tersebut, sehingga pihak yang menang kesulitan mendapatkan haknya. Maka solusi yang dapat dilakukan adalah meminta Pengadilan Agama untuk membantu melaksanakan putusannya tersebut. Dalam praktek Hukum Acara Perdata, pelaksanaan putusan pemeliharaan anak/ hadhanah ini tidaklah semudah seperti apa yang diatur. Putusan Pengadilan akan sulit melaksanakan apabila pihak yang dikalahkan tidak mau mentaati putusan tentang hadhanah. Dari rincian masalah diatas maka penulis menuangkan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
7
1. Apa pengertian hadhanah menurut Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ? 2. Bagaimana pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di Pengadilan Agama Cikarang ? 3. Bagaimana upaya Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pelaksanaan eksekusi hadhanah ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk menjelaskan pengertian hadhanah menurut Fiqih dan UndangUndang b. Untuk menjelaskan pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di wilayah hukum Pengadilan Agama Cikarang c. Untuk
menjelaskan
upaya
Pengadilan
Agama
Cikarang
untuk
terlaksananya pelaksanaan putusan hadhanah 2. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi hukum bagi para akademisi bidang hukum, khususnya mengenai pelaksanaan eksekusi hadhanah setelah terjadinya perceraian. Selain itu, diharapkan dapat menjadi bahan menambah wawasan ilmu hukum bidang perdata bagi masyarakat umum. Manfaat yang terahir dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi para praktisi Peradilan yang
8
terlibat langsung dalam proses pelaksanaannya, yaitu para Hakim khususnya di Cikarang. Dan dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, referensi atau bahan bacaan tambahan bagi mahasiswa fakultas syari’ah dan hukum maupun masyarakat luas. D. Studi Review Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang penulis lakukan, tidak ditemukan judul yang sama dengan judul penelitian ini. Namun ada beberapa yang menyangkut topik permasalahan yang sama, diantaranya : 1.
Skripsi berjudul “Penetapan Hak Hadhanah Kepada Bapak Bagi Anak Belum Mumayyiz (Analisis Putusan Pengadilan Agama Jakarta Barat Perkara Nomor 228/Pdt.G/2009/PAJB)” yang ditulis oleh Nova Andriani, tahun 20011, Mahasiswa Fakultas Syari’ah da Hukum Jurusan Administrasi Keperdataan Islam, NIM 107044200445. Pada skripsi ini membahas tentang, pertimbangan
hukum
Majelis
Hakim
dalam
putusan
Nomor
228/Pdt.G/2009/PAJB tentang hadhanah dan bagaimana metode ijtihad Majelis Hakim dalam memutuskan perkara hak hadhanah anak kepada bapak. 2.
Skripsi berjudul “ Kewajiban Pembiayaan Hadhanah Akibat Perceraian (Studi Kritis Pasal 105 Poin c Jo Pasal 156 Poin d KHI)” yang ditulis oleh Aziz Angga Riana, Mahasiswa Fakultas Syari’ah da Hukum Jurusan Peradilan Agama, NIM 207044100261. Pada skripsi ini membahas tentang, pertimbangan
hukum
Majelis
Hakim
dalam
putusan
9
No.666/Pdt.G/2009/PAJB tentang hadhanah, dan bagaimana analisis penetapan hak hadhanah dalam putusan di Pengadilan Agama. 3.
Skripsi berjudul “Hak Hadhanah Ibu Wanita Karir (Analisis Putusan Perkara Nomor:458/Pdt.G.2006/PADepok” yang ditulis oleh Mochammad Anshory, Mahasiswa Fakultas Syari’ah da Hukum Jurusan Administrasi Keperdataan Islam,
NIM
105044201459.
Pada
skripsi
ini
membahas
tentang,
pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Depok dalam memutuskan perkara nomor: 458/Pdt/2006/Pengadilan Agama Depok dan apakah Hakim memperhatikan masalah anak disaat membuat pertimbangan dalam memutuskan perkara. 4.
Skripsi berjudul “ Gugat Rekonpensi Dalam Sengketa Cerai Gugat dan Implikasinya Hak Hadhanah di Pengadilan Agama (Studi Analisis Perkara No.078/Pdt. G/2007/PAJakarta Pusat)” yang ditulis oleh Rizal Purnomo, Mahasiswa Fakultas Syari’ah da Hukum Jurusan Administrasi Keperdataan Islam,
NIM
104044201485.
Pada
skripsi
ini
membahas
tentang,
pertimbangan dan putusan Majelis Hakim tentang cerai gugat rekonvensi mengenai hak hadhanah di Pengadilan Agama dan bagaimana persfektif fiqih dan hukum positif tentang putusan Hakim mengenai rekonvensi dalam cerai gugat bersama hak hadhanah di Pengadilan Agama. E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
10
Dalam penelitian karya ilmiyah ini, penulis menggunakan gabungan antara penelitian hukum normatif dan penelitian yuridis empiris. Penelitian hukum normatif adalah suatu penelitian hanya merupakan studi dokumen.14 Dan penelitian yuridis empiris yaitu penelitian kenyataan lapangan yang bersifat das sein tidak sesuai dengan keadaan yang didambakan atau yang diharapkan yang bersifat das sollen.15 Dalam penelitian ini yang akan dicari prihal pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di Pengadilan Agama Cikarang dengan berpedoman pada aturan yang berlaku. 2. Data Penelitian a. Penelitian Kepustakaan (Library Research) Dalam studi kepustakaan, penulis mencari data primer yang berkaitan dengan masalah yang akan diketengahkan untuk dijadikan landasan teoritis bagi penelitian yang akan dilakukan.16 Bahan-bahan yang digunakan : a) Sumber Primer Sumber primer yaitu data yang dikumpulkan diolah dan disajikan oleh peneliti dari sumber pertama atau sumber asli yang
14
Afifi Fauzi Abbas, Metodologi Penelitian (Jakarta: ADELINA Bersaudara,2010), Cet.I, h.155.
15
Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2007), h.29. 16
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta: Granit,2010), Cet.III, h.57.
11
memuat informasi atau data tersebut.17 Sumber data primer dalam penelitian ini adalah lapuran tahunan perkara, Putusan Pengadilan Agama Cikarang, Ketua/ Wakil Pengadilan Agama Cikarang, para Hakim dan para pihak yang terkait dengan masalah ini. b) Sumber Sekunder Data sekunder merupakan data yang mendukung data utama atau memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.18 Data sekunder dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, Kompilasi Hukum Islam, dan studi kepustakaan atau dokumen-dokumen yang ada di Pengadilan Agama Cikarang. b. Penelitian Lapangan (Field Research) Dilakukan dengan cara interview, adalah metode pengumpulan data dengan atau mellalui wawancara, dimana dua orang atau lebih secara fisik
17
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995),
h. 132. 18
195.
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h.
12
lengsung berhadap-hadapan yang atau dapat melihat muka yang lain dan masing-masing dapat menggunakan saluran komunikasi secara wajar dan lancar.19 Dengan mengambil objek di Pengadilan Agama Cikarang. 3. Metode Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan Data kepustakaan yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, dokumen resmi, publikasi, dan hasil penelitian.20 b. Penelitian Lapangan Data lapangan yang diperlukan sebagai data penunjang diperoleh melalui informasi dan pendapat-pendapat dari responden yang ditentukan secara
purposive
sampling
(ditentukan
oleh
peneliti
berdasarkan
kemauannya) dan/atau random sampling (ditentukan oleh peneliti secara acak). Data lapangan yang penulis dapatkan berupa hasil wawancara di Pengadilan Agama Cikarang. 3. Metode Analisis Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriftif analisis, yaitu apa yang 19
Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI, Metedologi Penelitian Sosial (Terapan dan Kebijaksanan) (Jakarta: Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI, 2000), h.39. 20
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Cet.II, h.107.
13
dinyatakan oleh responden secara tertulis serta lisan dan juga prilaku yang nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.21 F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut : Bab pertama, dalam bab ini menguraikan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian dan penulisan serta sistematika penulisan. Bab kedua, dalam bab ini memuat tinjauan umum tentang hadhanah, pengertian, dasar hukum, syarat, dan dalam peraturan perundang-undangan. Bab ketiga, dalam bab ini membahas profil Pengadilan Agama cikarang, sejarah, dasar hukum dan wewenang, struktur organisasi, serta yurisdiksi Pengadilan Agama Cikarang. Bab keempat, dalam bab ini berisi tentang pelaksanaan putusan hadhanah, mencakup : penyebab sulitnya pelaksanaan eksekusi hadhanah serta upaya Pengadilan Agama cikarang agar terlaksananya pelaksanaan eksekusi hadhanah dan Analisis Penulis Bab kelima, memuat kesimpulan dari seluruh pembahasan untuk kemudian penulis memberikan saran-saran yang konstruktif.
21
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, h.107.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH A. Pengertian Hadhanah Hadhanah berasal dari kata “hidnan” yang berarti lambung. Seperti kalimat “hadhana ath-thaairu baidhahu”, burung itu menggempit telur dibawah sayapnya, begitu juga dengan perempuan (ibu) yang mengempi anaknya.1 Pemeliharaan anak dalam bahasa
Arab disebut dengan istilah “hadhanah”.2
Maksudnya adalah merawat dan mendidik atau mengasuh bayi/ anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur diri sendiri.. Para fuqaha mendefinisikan “al-hadhn” adalah memelihara anak kecil laki-laki atau perempuan atau orang yang kurang akal yang tidak bisa membedakan. Al-hadhn tidak berlaku pada orang dewasa yang sudah baligh dan berakal. Ia boleh memilih tinggal dengan siapa saja dari kedua orang tuanya yang ia sukai. Bilamana seorang laki-laki maka ia boleh tinggal sendiri karena tidak membutuhkan kedua orang tuanya. Akan tetapi syara‟ menyuruhnya berbakti dan berbuat baik kepada mereka. Jika seorang perempuan, ia tidak boleh tinggal sendiri dan tidak dipaksa karena kelamahan tabiatnya untuk menghindari kecemaran keluarganya.3
1
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, jilid 2, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), h.237.
2
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Prenada Media, 2013), h.175.
3
Ibrahim Muhammad Al-jamal, Fiqih muslimah, h.341.
14
15
Hadhanah menurut bahasa berarti “ meletakan sesuatu dekat tulang rusuk atau dipangkuan”, karena ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di pangkuan-nya, seakan-akan ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya, sehingga “hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya : pendidikan dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu.4 Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan, hadhanah yaitu mengasuh anak kecil atau anak normal yang belum atau tidak dapat hidup mandiri, yakni dengan
memenuhi
kebutuhan
hidupnya,
menjaga
dari
hal-hal
yang
membahayakan, memberinya pendidikan fisik maupun psikis, mengembangkan kemampuan intelektual agar sangup memikul tanggung jawab hidup.5 Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, hadhanah adalah tugas menjaga atau mengasuh bayi/ anak kecil yang belum mampu menjaga dan mengatur diri sendiri. Mendapat asuhan dan pendidikan adalah hak setiap anak dari kedua orangtuanya. Kedua orangtua anak itulah yang lebih utama untuk melakukan tugas tersebut, selama keduanya mempunyai kemampuan untuk itu.6 Menurut Muhammad bin Ismail Salah Al-Amir Al-Khalani atau yang disebut dengan nama Sa‟ani, mengartikan hadhanah ialah pemeliharaan anak
4
Abd Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, h.175
5
“Hadhanah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1997), h.37. 6
“Hadhanah” dalam Harun Nasution, dkk, ed., Ensiklopedii Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), h.269.
16
yang belum mampu berdiri sendiri mengenai dirinya, pendidikannya serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang membinasakannya atau yang membahayakannya.7 Menurut Qalyubi Dan Umairah: 8
Artinya: ”Hadhanah ialah menjaga anak yang tidak dapat mengurus urusannya dan mendidiknya dengan hal-hal baik”. Menurut Amir Syarifuddin, Pengertian hadhanah di dalam istilah Fikih digunakan dua kata namun ditunjukan untuk maksud yang sama yaitu Kafalah dan Hadhanah.9 Yang dimaksud dengan hadhanah dan kafalah dalam arti sederhana adalah “pemeliharaan” atau “pengasuhan”. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putusnya perkawinan. Hal ini dibicarakan dalam fikih karena secara praktis antara suami dan istri telah terjadi perpisahan sedangkan anak-anak memerlukan bantuan dari ayah dan/atau ibunya.10
7
As-San‟ani, Subulus Salam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), Cet.III, h.37.
8
Syeikh Al-Syihab Al-Din Al-Qalyabi Wa Al-„Umairah, Al-Mahalli Juz IV, (Kairo: Dar Wahya Al-Kutub, 1971), h.88. 9
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.327.
17
Hadhanah yang dimaksud adalah kewajiban orang tua untuk memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya. Pemeliharaan ini mencangkup masalah pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok si anak.11 Dari pengertian-pengertian hadhanah tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa hadhanah itu mencakup aspek-aspek : a. Pendidikan b. Pencukupannya kebutuhan c. Usia (yaitu bahwa hadhanah itu diberikan kepada anak sampai usia tertentu). Sehingga dimaksudkan dengan hadhanah adalah membekali anak secara material maupun secara spiritual, mental meupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan kehidupannya nanti bila ia dewasa. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak disebutkan pengertian pemeliharaan anak (hadhanah) secara definitif, melainkan hanya disebutkan tentang kewajiban orang tua untuk memelihara anaknya. Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang ini disebutkan bahwa, “Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya”. M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Hukum Perkawinan Nasional, mengemukakan bahwa arti pemeliharaan anak adalah : a. Tanggungjawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari anak oleh orang tua.
10
Ibid, h.327.
11
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.293.
18
b. Tanggungjawab yang berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah tersebut bersifat kontinu (terus menerus) sampai anak itu mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah bisa berdiri sendiri.12 Dari pengertian pemeliharaan pemeliharaan anak (hadhanah) tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pemeliharaan anak adalah mencakup segala kebutuhan anak, jasmani dan rohani. Sehingga termasuk pemeliharaan anak adalah mengembangkan jiwa intelektual anak melalui pendidikan. Beberapa Ulama Mazhab berselisih pendapat mengenai masa asuh anak. Imam Hanafi berpendapat masa asuhan adalah tujuh tahun untuk lelaki dan sembilan tahun untuk perempuan. Imam Hanbali berpendapat masa asuh anak lelaki dan perempuan adalah tujuh tahun dan setelah itu diberi hak untuk memilih dengan siapa ia akan tinggal. Menurut Imam Syafi‟i berpendapat bahwa batas mumayyiz anak adalah jika anak itu sudah berumur tujuh tahun atau delapan tahun. Sedangkan Imam Malik memberikan batas usia anak mumayyiz adalah tujuh tahun.13 Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 (a) menyebutkan bahwa batas mumayyiz seorang anak adalah berumur 12 tahun.14 Sedangkan Undang-Undang
12
Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (Medan: CV Zahir Trading CO, 1975),
h.204.
h.293.
13
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), Cet.V, h.
14
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta: Akademia Presindo, 2007),
19
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa anak dikatakan mumayyiz jika sudah berusia 18 tahun atau setelah melangsungkan pernikahan.15 Para Ulama Fikih mendefinisikan : hadhanah yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya, agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab. Para Ulama sepakat bahwasannya hukum hadhanah, mendidik dan merawat anak wajib. Tetapi mereka berbeda dalam dalam hal, apakah hadhanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak.16 B. Dasar Hukum Hadhanah Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah :
... Artinya:
15
16
Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 47.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Pranada Media Group, 2009). Cet.III, h.326.
20
Adalah kewajiban ayah untuk member nafkah dan pakaian untuk anak dan istrinya. (Qs. Al-Baqarah : 233) Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terkait dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.17
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang dperintahkan. (Qs. At-tahrim: 6) Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak. Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah perceraian.18
17
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.328.
18
Ibid, h.328.
21
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:19
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid As-Sulami, telah menceritakan kepada kami Al-Walid dari Abu 'Amr Al-Auza'i, telah menceritakan kepadaku 'Amr bin Syu'aib, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Abdullah bin 'Amr bahwa seorang wanita berkata; wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan putting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya, sedangkan ayahnya telah menceraikannya dan ingin merampasnya dariku. Kemudian Rasulullah Saw berkata kepadanya; engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah. (HR. Abu Dawud) Untuk memelihara, merawat dan mendidik anak kecil diperlukan kesabaran, kebijaksanaan, pengertian, dan kasih sayang, sehingga seseorang tidak dibolehkan mengeluh dalam menghadapi berbagai persoalan mereka; bahkan Rasulullah SAW sangat mengencam orang-orang yang merasa bosan dan kecewa dengan tingkah laku anak-anak mereka. 21 Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis :“ Ya Rasulullah, saya memiliki beberapa orang anak perempuan dan saya mendoakan agar maut menemui mereka, Rasulullah SAW bersabda 19
Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy‟ats As-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Daar Fikr, 2003), h.525. 20
Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy'ab al-Sijistaniy, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Daar al-Kitab al-'Arabi, tt), Juz.II, Hadis No. 1913, h.251. 21
Andi Syamsu Alam dan M Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet.I, h.115-116.
22
“Wahai Ibnu Sa’dah (panggilan bagi Aus) jangan kamu berdo’a seperti itu , karena anak-anak itu membawa berkat, mereka akan membawaberbagai nikmat, mereka akan membantu apabila terjadi musibah, dan mereka merupakan obat diwaktu sakit dan rezeki mereka datang dari Allah SWT.(HR.Muslim dan Abu Daud). C. Syarat-syarat Sebagai Pemegang Hak Hadhanah Seorang hadhanah atau hadhin yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil yang diasuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan hadhanah Adapaun syarat-syaratnya antara lain : 1. Baligh dan berakal sehat ; hak hadhanah anak diberikan kepada orang yang berakal sehat dan tidak mengganggu ingatannya, sebab hadhanah itu merupakan pekerjaan yang penuh tanggung jawab. Oleh karena itu, seorang ibu yang mendapat gangguan jiwa atau gangguan ingatan tidak layak melakukan tugas hadhanah. Imam Ahmad bin Hambal menambahkan agar yang melakukan hadhanah tidak mengidap penyakit menular. 22
22
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2005), h.172.
23
2. Dewasa ; sebab anak kecil sekalipun tergolong mumayyiz, tetap begantung pada orang lain yang mengurus dan mengasuhnya, sehingga tidak layak mengasuh orang lain.23 3. Mampu mendidik. 4. Amanah dan berakhlak, sebab orang yang curang, tidak dapat dipercaya menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan dikhawatirkan bila nanti si anak dapat meniru atau berkelakuan seperti kelakuan orang yang curang ini.24 5. Beragama Islam. Disyaratkan oleh kalangan Mazhab Syafi‟iyah dan Hanabilah. Oleh karena itu, bagi seorang kafir tidak ada hak untuk mengasuh anak yang muslim, karena akan ditakutkan akan membahayakan aqidah anak tersebut. Selain itu, agama anak dikhawatirkan terpengaruh oleh pengasuh, karena tentu akan berusaha keras mendekatkan anak tersebut dan mendidiknya berdasarkan ajaran agamanya. Akibatnya, dikemudian hari anak akan sulit melepaskan diri darinya. Inilah bahaya terbesar yang mengancam anak.25 6. Merdeka. 7. Wanita yang mengasuh itu tidak bersuamikan dengan seorang laki-laki yang bukan mahram dari anak yang diasuh, dikhawatirkan wanita tersebut sibuk
23
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h.533.
24
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, h.531.
25
Ibid, h.533.
24
melayani keperluan suaminya sehingga tidak ada waktu untuk mengasuh anak tersebut.26 Adapun syarat untuk anak yang diasuh (mahdhun) itu adalah : 1. Si anak masih dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri. 2. Si anak berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya. Oleh karena itu, dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa seperti orang yang cacat mental. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada dibawah pengasuh apapun.27 D. Upah Hadhanah Menurut Islam biaya hidup anak merupakan tanggung jawab bapaknya, baik selama perkawinan berlangsung maupun setelah perceraian. Apabila setelah perceraian, anak yang masih kecil dan menyusui berada di bawah pemeliharaan ibunya, sedangkan masa Iddahnya telah habis, maka ibu berhak mendapatkan upah atas pemeliharaan dan penyusuan tersebut. Hal ini karena tidak lagi menerima nafkah dari bapak anak tersebut. Upah tersebut wajib diberikan baik diminta ataupun tidak. Sebagaimana firman Allah AWT:
26
Ibid, h.241.
27
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq Jilid 2, h. 242.
25
Artinya: “…. Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya…”. (Qs. At-Thalaq: Ayat 6) Adapun besar biaya yang ditanggung oleh bapak untuk anaknya disesuaikan dengan kemmpuan si bapak, sesuain dengan firman Allah SWT:
. Artinya : Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (Qs. At-Thalak: 7) Akan tetapi jika bapak tidak mampu, karena ia orang susah, dan berpenghasilan rendah serta anak itu tidak mempunyai harta, sedangkan si ibu menolak untuk mengasuhnya kecuali dengan upah dan tiada seorang pun diantara kamu kerabat yang mau mengasuhnya secara mutlak. Dan biaya pemeliharaan atau rawatan itu tetap menjadi hutang suami yang tidak gugur, kecuali dengan ditunaikan. Kewajiban tersebut dapat ditanggung oleh kerabat ahli waris yang terdekat yang mampu. Tetapi apabila ada orang lain yang dengan suka rela
26
mendidik anak itu tanpa ongkos, maka hal tersebut dapat diserahkan kepada pendidik suka rela tersebut.28 Sedangkan apabila bapak dengan sengaja menelantarkan anaknya dengan tidak
membiayai
keperluan
hidupnya
padahal
bapak
mampu
untuk
melakukannya, maka hal itu tidak dibenarkan dan merupakan perbuatan dosa. Dengan demikian masa pembiayaan anak akan berakhir yakni bagi anak laki-laki apabila ia telah dewasa, dapat bekerja dan berdiri sendiri. Sedangkan bagi perempuan sampai ia kawin, ketika anak perempuan telah kawin maka nafkahnya menjadi kewajiban suaminya.29 Ibu tidak berhak atas upah hadhanah, seperti upah menyusui, selama ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau masih dalam iddah. Karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri atau nafkah masa iddah. Allah SWT berfirman :
… Artinya:
28
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), Cet.I, h.135. 29
Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, (Yogyakarta: Bina Cipta, 1978), Cet.I, h.106.
27
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah member makan dan pakaian kepada ibu dengan cara yang makruf…”. (Qs. Al-Baqarah: 233) Adapaun sesudah habis masa iddahnya maka ia berhak atas upah itu seperti haknya kepada upah menyusui. Allah SWT berfirman :
Artinya : “Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahlah diabtara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kam menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”. (Qs. At-Thalak: 6) Perempuan selain ibunya boleh menerima upah hadhanah sejak ia menangani hadhanahnya, seperti halnya perempuan penyusu yang bekerja menyusui anak kecil dengan bayaran (upah). Upah pengasuhan adalah utang dan tidak gugur, kecuali dengan melunasi atau membebaskannya. Yang wajib membayar upah pengasuhan menurut syara‟
28
adalah orang yang wajib memberi nafkah anak kecil itu. Karena pengasuhan termasuk nafkah. Maka wajib dibayar oleh ayah atau wali anak itu.30 Seorang ayah wajib membayar upah penyusuan dan hadhanah, juga wajib membayar ongkos sewa rumah atau perlengkapan jika sekiranya si ibu tidak memiliki rumah sendiri sebagai tempat mengasuh anak kecilnya. Ia juga wajib membayar gaji pembantu rumah tangga atau menyediakan pembantu tersebut jika si ibu membutuhkannya, dan ayah memiliki kemampuan untuk itu. Hal ini bukan termasuk dalam bagian nafkah khusus bagi anak kecil, seperti : makan, minum, tempat tidur, obat-obatan dan keperluan lain yang pokok yang sangat dibutuhkannya. Tetapi gaji ini hanya wajib dikeluarkannya saat ibu pengasuh menangani asuhannya. Dan gaji ini menjadi utang yang ditanggung oleh ayah serta ibu bias lepas dari tanggungan ini kalau dilunasi atau dibebankan. Jika diantara kerabat anak kecil ada orang yang pandai mengasuhnya dan melakukannya dengan sukarela, sedangkan ibunya sendiri tidak mau kecuali dibayar, jika ayahnya mampu, dia boleh dipaksa untuk membayar upah kepada ibunya tersebut dan ia tidak boleh menyerahkan kepada kerabatnya perempuan yang mau mengasuhnya dengan sukarela, bahkan si anak kecil harus tetap pada ibunya. Sebab asuhan ibunya lebih baik untuknya apabila ayahnya mampu membayar untuk upah ibunya. Tetapi kalau ayahnya tidak mampu, ia boleh menyerahkan anak kecil itu kepada kerabatnya yang perempuan untuk
30
Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah: Ibadat Mu’amalat, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), Cet.III, h.346.
29
mengasuhnya dengan sukarela, dengan syarat perempuan ini dari kalangan kerabat si anak kecil dan pandai mengasuhnya. Hal ini berlaku apabila nafkah itu wajib ditanggung oleh ayah. Adapaun apabila anak kecil itu sendiri memiliki harta untuk membayar nafkahnya, maka anak kecil inilah yang membayar kepada pengasuh sukarelanya. Di samping untuk menjaga hartanya juga karena ada salah seorang kerabatnya yang menjaga dan mengasuhnya. Tetapi jika ayahnya tidak mampu, si anak kecil sendiri juga tidak memiliki harta, sedangkan ibunya tidak mau mengasuhnya kecuali kalau dibayar, dan tidak seorang kerabat pun yang mau mengasuhnya dengan sukarela, maka ibu dapat dipaksa untuk mengasuhnya, sedangkan upah (bayarannya) menjadi hutang yang wajib dibayar oleh oleh ayah, dan bisa gugur kalau telah dibayar atau dibebaskan. Tentang pemeliharaan anak yang belum mumayyiz, sedangkan kedua orang tuanya bercerai, Kompilasi Hukum Islam menjelaskan sebagai berikut : Pasal 105 Dalam hal terjadi perceraian a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya. b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. c. Biaya pemeliharaan anak ditanggung oleh ayahnya. Pasal 106 1. Orang tua berkewajiban merawat dan mengambangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan
30
memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari lagi. 2. Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1) E. Hadhanah Dalam Peraturan Perundang-Undangan 1. Menurut Hukum Perdata Pemeliharaan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku Kesatu hal Orang pada Bab X, XII, dan XIV. Pada pasal 289 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian I Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa setiap anak, berapapun juga umumnya wajib menghormati dan menghargai kedua orang tuanya. Dalam tinjauan perdata mengenai siapa yang paling berhak memelihara dan mengasuh anak yang masih dibawah umur, akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih dibawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua dan kekuasaan wali tidak membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka itu.31 Kemudian dijelaskan pada pasal 299 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian I Akibat-Akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa selama perkawinan orang tuanya,
31
h.72.
Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
31
setiap anak anak sampai dewasa tetap berada dalam kekuasaan kedua orang tuanya, sejauh kedua orang tua tetrsebut tidak dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Kecuali jika terjadi pelepasan atas pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah ranjang, bapak sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Bila bapak berada dalam keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orang tua, kecuali dalam hal adanya pisah ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai dengan pasal 359. Hal ini terdapat dalam pasal 300 bab XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian 3 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.32 Mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur, diatur dalam pasal 229 bab X Tentang Pemeliharaan Perkawinan, pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisikan : “Setelah memutuskan perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua atas keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang dibawah umur, Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua akan melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengandalkan putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin memecat atau melepas mereka dari kekuasaan orang tua”.33
32
Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.76.
32
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa hak memelihara anak yang masih kecil tetap tanggung jawab orang tua baik ibu maupun ayah. Kecuali apabila orang tua tersebut melalaikan tugasnya atau berprilaku tidak baik maka Pengadilan akan menetapkan siapa dari kedua orang tua itu yang akan melakukan perwalian atas tiap-tiapa anak. Sebagaimana dijelaskan juga dalam pasal 231 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata : “Bubarnya Perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah dijamin bagi mereka oleh undang-undang atau oleh perjanjian perkawinan orang tua mereka”. Menurut pasal tersebut, bahwa hak mengasuh terhadap anak kecil meskipun orang tua telah terjadi perceraian, tetap berada dalam tanggungannya, dengan syarat anak tersebut adalah anak yang dilahirkan atas perkawinan yang sah.34 2. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan telah disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomer 9 Tahun 1975 secara 33
Ibid, h.55-56.
34
Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.55-56.
33
luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih mempergunakan hukum hadhanah yang tersebut dalam kitab-kitab fikih ketika memutus perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama deberi wewenang untuk mengadili dan menyelesaikannya.35 Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 42-45 dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya yang belum mencapai umur 13 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun antara orang tua si anak putus karena perceraian atau kematian. Kekuasaan orang tua juga meliputi untuk mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan (menjaga keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menanamkan kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti yang luas yaitu kebutuhan primer dan skunder sesuai dengan kebutuhan dan tingkat sosial ekonomi orang tua si anak. Ketentuan ini sama dengan konsep hadhanah dalam
35
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama,(Jakarta: Kencana, 2008), h.428-429.
34
Hukum Islam, dimana dikemukakan bahwa orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya, semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya.36 Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana dikemukakan dalam pasal 104 yaitu : 1. Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayah. Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban member nafkah kepada ayahnya dan walinya; 2. Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya.37 Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak disusukan oleh seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relevan dengan hal yang terdapat dalam ayat 233 surat Al-Baqarah yang menjadi acuan dalam hal pemeliharaan anak. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai dengan keyakinannya.38
36
Ibid, h.429.
37
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007), h.138. 38
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h.149.
35
Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu (1) pemeliharaan anak yang belum Mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah Mumayyiz deserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.39 Pada pasal 45 bab X mengnai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan pada ayat 1 bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Pada ayat 2 menyatakan kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai anak asuh itu menikah atau dapat berdiri sendiri, yang mana kewajiban tersebut berlaku selamanya meskipun antara kedua orang tua putus.40 Selanjutnya dijelaskan pula pada pasal 47 ayat 1 bab X mengenai hak dan kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama
39
40
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h.138.
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.14.
36
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Pada ayat 2, orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.41 Pada Pasal 48 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyatakan orang tua juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggdaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.42 Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan pada ayat : 1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan luar pengadilan. 3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menyesuaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.43 Jadi, dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum Mumayyiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dimana dijelaskan bahwa suami 41
Soedaryo Soimin. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.14-15.
42
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, h.14-15. 43
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama (Dalam Sistem Hukum Nasional), (Jakarta: Logos, 1999), h.189.
37
mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya. Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang diberi beban untuk melaksanakan, maka Pengadilan Agama setempat agar menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran itu dapat dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.44 Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau tidak mampu melaksanakan kewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena : (1) orang tua itu sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk sekali. M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa orang yang melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakbecusan si orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama, sakit uzur atau gila dan bepergian dalam suatu jangka waktu yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang seharusnya memberikan contoh yang baik.45
44
45
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h.13.
Yahya Harahap, Hukum perkawinan nasional : pembahasan berdasarkan undang-undang no.1 tahun 1974. Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975, (Medan: Zahir, 1975), h.214.
38
Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut diatas, maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan kepada anaknya, jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya ayahnya saja, maka dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan, pemeliharaan dan mendidik anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak di dalam dan diluar pengadilan.46 Dengan demikian, ibunyalah yang berhak melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut, ibunyalah yang mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Berdasarkan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, biaya pemeliharaan ini tetap melekat secara permanen meskipun kekuasaannya terhadap anaknya dicabut.47 3. Hadhanah di beberapa Negara Islam a. Mesir Masa pengasuhan anak dalam setatus hukum perorangan (personal status law) yang di amandemen tahun 1985, menetapkan bahwa wanita (istri) memiliki hak untuk mengasuh anak laki-laki hingga usia 10 tahun dan 12 tahun bagi anak perempuan. Setelah habis masa pengasuhan, hakim dapat memerintahkan bahea anak yang dalam pengasuhan tetap pada ibu tanpa adanya upah hingga berusia 15 tahun bagi anak laki-laki, dan sampai menikah bagi anak perempuan. Jika hakim yakin bahwa kemaslahatan anak akan terpenuhi. 46
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h.431. 47
h.15.
Soedaryo Soimin, Kitab Undang- Undang Hukum Perda, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
39
Mengenai syarat-syarat pemegang hak hadhanah, dirumuskan sebagai berikut: orang yang baligh, berakal, mampu mengasuh anak, sehat dan mempunyai garis hubungan kekeluargaan. Adapun mengenai gugur atau pencabutan hak hadhanah, hakim dapat mempertimbangkan dua hal : -
Pertama, apabila pemegang hak hadhanah berprilaku buruk yang dapat mempengaruhi akhlak dan tabiat anak yang dalam pengasuhannya.
-
Kedua, jika pemegang hak hadhanah sering mengabaikan dan/atau meninggalkan anak yang dalam pengasuhannya.48 b. Yordania Ketentuan hadhanah dalam perundang-undangan yordania, terdiri dari 12 pasal yakni pasal 154 sampai dengan pasal 166. Ketentuan hadhanah berlaku setelah terjadinya perceraian. Apabila terjadi perceraian antara suami istri, maka ibu mempunyai hak utama untuk mengasuh dan mendidik anaknya. Adapun tertib urutan pemegang hak hadhanah setelah ibu disesuaikan pendapat Imam Abu Hanifah. Adapun syarat-syarat hadhanah, dewasa, berakal, tidak meninggalkan anak karena ksibukannya, mampu untuk mendidik dan menjaganya, tidak murtad, dan tidak menikah dengan laki-laki lain, kecuali
48
mempunyai hubungan
Andi syamsu alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), Cet.I, h.135-136.
40
kekerabatan dekat dengan anaka asuhnya, dan tidak menempatkannya di rumah yang penuh konflik.49 c. Syria Masa pengasuhan anak dalam Undang-Undang Syiria, dirumuskan bahwa bagi anak laki-laki sampai berusia 7 tahun, sedangkan anak perempuan sampai berusia 9 tahun. Meskipun demikian, jika hakim melihat ada kemaslahatan, maka ia dapat menambah masa pengasuhan masing-masing anak selama 2 tahun, yakni bagi anak laki-laki dapat diperpanjang menjadi 9 tahun, sedangkan anak perempuan hingga berusia 11 tahun. Syarat-syarat pemegang hak hadhanah dirumuskan sebagai berikut, yaitu: dewasa, berakal, mampu mengasuh anak baik jasmani maupun rohani,. Kemudian hak hadhanah seseorang dapat digugurkan apabila: pemegang hak hadhanah memiliki sifat tercela yang dapat mempengaruhi si anak, gila, dan murtad. Bahkan hak pengasuhan anak dapat digugurkan karena tidak mempu melakukan pengasuhan dengan alasan kesehatan. Apabila pemegang hak hadhanah mengaku sering meninggalkan rumah, dan tidak mempunyai kesempatan mengasuh anak, maka hak hadhanahnya di gugurkan, meskipun anak tersebut masih sangat kecil.50 d. Kuwait Secara umum hukum keluarga Kuwait tidak berbeda dengan hukum keluarga fikih klasik, termasuk didalamnya pasal-pasal yang mengatur tengtang 49
Ibid, h.139.
50
Andi syamsu alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Islam, h.142.
41
hadhanah. Misalnya tentang ketentuan pemegang hak hadhanah, Undang-Undang hukum keluarga Kuwait mengutamakan pemegang hak hadhanah adalah ibu. Penetapan hak hadhanah itu di dasarkan pada sunah, ijma‟, dan rasio (akal). Mengenai hal yang dapat menggugurkan hak hadhanah antara lain, pemegang hak menikah lagi dengan laki-laki yang bukan kerabat dekatnya. Namun perbedaan agama tidak menyebabkan gugurnya hak untuk mengasuh, sehingga ia mengerti agama. Mengenai lamanya masa hadhanah perundangundangan Kuwait lebih cenderung kepada pendapat Imam Malik. Maka pengasuhan anak berakhir apabila laki-laki ia sampai baligh sedangkan wanita sampai ia telah menikah. e. Tunisia Dalam perundang-undangan Keluarga Tunisa tahun 1958 dirumuskan: 1. Pasal 54, hadhanah adalah pemeliharaan anak, termasuk juga merawat dan mendidik anak sampai ia mencapai usia dewasa. 2. Pasal 57, selama masa perkawinan, anak dipelihara kedua orang tuanya. Jika terjadi perceraian atau meninggal dunia, hak pemeliharaan anak secara berturut-turut diberikan kepada ibu dan nasab ibunya. 3. Pasal 58, syarat memelihara anak antara lain harus dewasa, dapat dipercaya, dan cakap dalam menjalankan kewajiban. 4. Pasal 61, jika seorang wanita dalam memelihara anak memiliki tempat tinggal jauh dan menghambat proses perawatan anak, maka ia bisa kehilangan hak pemeliharaannya.
42
5. Pasal 64, seorang pemelihara anak tidak boleh melalaikan kewajibannya, meskipun dalam keadaan sulit. 6. Pasal 67, anak laki-laki dirawat sampai berumur 7 tahun dan anak perempuan dipelihara sampai berusia 9 tahun selanjutnya ayah dapat mengambil alih pemeliharaan anak, kecuali adanya keputusan pengadilan yang berkehendak lain berdasarkan kepentingan anak. Dari undang-undang tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa pemeliharaan anak Tunisia masih berpegang teuh pada pendapat fikih sedangkan keutamaan pemeliharaan anak lebih cenderung mengakomodir kemaslahatana anak, ketimbang mengikuti pendapat fukaha. Mengenai pencabutan hak hadhanah tidak disebut dengan tegas, nampaknya diserahkan pada pertimbangan pengadilan.51
51
Andi syamsu alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Islam, h.147.
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA CIKARANG KELAS 1 B
A. Sejarah Pengadilan Agama Cikarang Segala informasi mengenai profil pengadilan khususnya Pengadilan Agama di Indonesia secara umum dapat kita ketahui dengan mudah di halaman website Pengadilan Agama yang bersangkutan, begitu juga dengan Pengadilan Agama Cikarang dapat dilihat di website
www.pa-cikarang.go.id, setelah penulis
komfirmasi tentang isi profil Pengadilan Agama Cikarang kepada ketua Pengadilan Agama, wakil panitera dan staf pegawai yang membidangi pengelolaan website, semua informasi mengenai profil Pengadilan Agama yang dimuat di website tersebut diatas valid, sesuai dengan sejarah
Pengadilan Agama Cikarang yang
sebenarnya, dan bisa dipertanggungjawabkan. Pengadilan Agama Cikarang (selanjutnya disebut PA Cikarang) dibentuk oleh Pemerintah melalui Keputusan Presiden Nomor 145 Tahun 1998 tentang Pembentukan Pengadilan Agama Natuna, Tulang Bawang,Tanggamus, Cikarang, Kajen, Giri Menang, Badung, Ermera, Mana Tuto, Sentani, Mimika, dan Paniai guna pemerataan dan peningkatan pelayanan hukum kepada masyarakat. Kabupaten Bekasi yang memiliki luas wilayah 127.388 Ha terdiri atas 23 Kecamatan, 182 desa dan 5 kelurahan menjadi wilayah hukum (yurisdiksi) PA Cikarang (lihat daftar radius). Dengan jumlah Pegawai berikut Hakim dan Pimpinan
43
44
tidak sampai 50 orang, merupakan tantangan tersendiri bagi kami untuk terus meningkatkan pelayanan hukum kepada masyarakat. Saat ini Kabupaten Bekasi tumbuh berkembang dengan ditandai banyaknya industri, masyarakatnya pun banyak yang telah melek teknologi. Oleh karena itu PA Cikarang telah memiliki portal (website) berisi informasi yang berkaitan dengan dunia peradilan. Hal ini memudahkan bagi pencari keadilan untuk mengakses informasi, baik itu yang berkaitan dengan perkara maupun hal lain seputar peradilan. Dalam Portal (website) dapat ditemukan informasi mengenai keadaan perkara, mulai dari pendaftaran hingga putusan. Biaya Panjar Perkara pun sudah dapat dilihat dalam rangka mendukung transparansi peradilan. Kantor PA Cikarang berada dalam lingkungan Kompleks Pemerintahan Kabupaten Bekasi Blok E.2, Desa Sukamahi Kec. Cikarang Pusat Kabupaten Bekasi 17530. Ada beberapa nama yang sempat menjadi ketua Pengadilan Agama di wilayah Cikarang diantaranya adalah dapat dilihat dalam tabel berikut :1 No.
NAMA
1. 2. 3. 4. 5.
H.M.SURURY YS SUPARNO H. RUSLAN ABD. GANI H. FACHRUDDIN YUSUF EFFENDI
1
GOL
PEND
TAHUN
-
-
13/04/1999 23/05/2006 21/03/2007 15/10/2009 22/03/2012
PA Cikarang, Sejarah Pengadilan Agama Cikarang, artikel diakses pada tanggal 22 Oktober 2013 dari http://pa-cikarang.go.id/index.php/profil/profil/sejarah
45
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Pengadilan Agama, dalam pasal 2 disebutkan bahwa : “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu”. Untuk menujang dan memenuhi harapan lembaga Peradilan yang sederhana, cepat dan dengan biaya murah sebagai mana tersebut dalam Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Maka Pengadilan Agama Cikarang Mengimplementasikannya Dengan Dalam Visi : Mewujudkan Pengadilan Agama Cikarang yang bersih, berwibawa, dan bermartabat terhormat dan dihormati sebagai salah satu institusi kekuasaan kehakiman di bawah Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam menegakan hukum dan keadilan. Misi Pengadilan Agama Cikarang yaitu :
Menjaga kemandirian lembaga peradilan
Memberikan pelayanan yang prima dan berkeadilan kepada para pencari keadilan
Meningkatkan kualitas kepemimpinan badan peradilan
Meningkatkan kredibilitas dan transparansi peradilan.2
B. Dasar Hukum dan Wewenang Pengadilan Agama Cikarang
2
PA Cikarang, Visi dan Misi Pengadilan Agama Cikarang, artikel diakses pada tanggal 18 Desember 2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/visi-dan-misi
46
Selama
ini
sebagaimana
diketahui
bahwa
kewenangan
organisasi,
administrasi dan financial Peradilan Agama berada dibawah Departemen Agama, sedangkan kewenangan teknis yuridis berada di bawah Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen dikatakan bahwa “ kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi”. Dengan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, khususnya Bab IX tentang kekuasaan kehakiman pasal 24 telah membawa perubahan penting terhadap penyesuaian tersebut, lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tentang Mahkamah Agung. Berdasarkan pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa “ketentuan mengenai organisasi, administrasi dan finansial badan Peradilan sebagaimana dimaksud ayat (1) untuk masing-masing lingkungan Peradilan diatur dalam Undang-Undang sesuai dengan kekhususuan lingkungan Peradilan masing-masing”. Dengan demikian berdasarkan pasal tersebut, lahirlah apa yang disebut dengan Peradilan satu atap. Sebagai realisasi dar pasal tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan
47
Umum sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.3 Pengadilan Agama Cikarang sesuai dengan tugas dan kewenangannya yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
atau yang menundukan diri
dengan hukum Islam berupa: perkawinan, warisan, wasiat, wakaf, zakat, infak, hibah, shodaqoh, dan ekonomi syariah. C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Cikarang Untuk lebih mudah memahami susunan organisasi Peradilan Agama, secara umum susunan Peradilan Agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita. Ketua Pengadilan Agama Cikarang sekarang dijabat oleh Yusuf Effendi, S.H., sebelumnya dijabat oleh H. Fachruddin Susunan organisasi Pengadilan Agama Cikarang dapat digambarkan dalam bagan organisasi dibawah ini :4
3
PA Cikarang, Laporan Tahunan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013, Cikarang: PA Cikarang, 2012, h.2. 4
PA Cikarang, Struktur Pengadilan Agama Cikarang, artikel diakses pada tanggal 18 Desember 2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/struktur-organisasi.
48
49
sama jenis dan tingkatan yang berhubungan dengan wilayah hukum Pengadilan dan wilayah tempat tinggal/ tempat kediaman atau domisili pihak yang berperkara.5 Kecamatan-kecamatan yang menjadi kewenangan relatif Pengadilan Agama Cikarang adalah sebagai berikut : 6 1. Kec. Muaragembong
12. Kec. Karang Bahaga
2. Kec. Tarumajaya
13. Kec. Kedungwaringin
3. Kec. Babelan
14. Kec. Tambun Selatan
4. Kec. Sukawangi
15. Kec. Cikarang Barat
5. Kec. Tambun Utara
16. Kec. Setu
6. Kec. Tambelang
17. Kec. Cikarang Selatan
7. Kec. Cabangbungin
18. Kec. Cikarang Timur
8. Kec. Sukakarya
19. Kec. Cikarang Pusat
9. Kec. Sukatani
20. Kec. Serang Baru
10. Kec Pebayuran
21. Kec. Cibarusah
11. Kec. Cibitung
22. Kec. Bojong Mangu
5
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2000), h.10. 6
PA Cikarang, Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama Cikarang, artikel diakses pada tanggal 18 Desember 2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/yuridiksi-pa
50
BAB IV PELAKSANAAN EKSEKUSI HADHANAH
A. Pelaksanaan Putusan Hadhanah Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa, “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini.” Pada dasarnya pemeriksaan perkara di Pengadilan Agama mengacu kepada hukum acara perdata pada umumnya, kecuali yang diatur secara khusus, yaitu dalam memeriksa perkara sengketa perkawinan, yang diatur dalam :1 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan 3. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam 4. Peraturan menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali Hakim 5. Peraturan-peraturan lain yang berkenaan dengan sengketa perkawinan
1
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h.205.
50
51
6. Kitab-kitab fiqh Islam sebagai sumber hukum pembuatan Kompilasi Hukum Islam 7. Yurisprudensi sebagai sumber hukum. Dalam penelitian yang penulis lakukan di Pengadilan Agama Cikarang, perkara perdata (kekeluargaan) yang banyak ditangani adalah masalah perceraian dibandingkan masalah lain. Untuk mengetahui seberapa banyak kasus-kasus hadhanah yang diajukan ke Pangadilan Agama yang dalam hal ini lebih dikonsentrasikan
dilingkungan
Pengadilan
Agama
Cikarang.
Penulis
telah
mengambil laporan tahunan yang ada di Pengadilan Agama Cikarang mulai dari tahun 2012 sampai tahun 2013. Mengenai banyaknya perkara hadhanah yang masuk di Pengadilan Agama Cikarang dalam rentan waktu dari tahun 2012 sampang dengan tahun 2013 dapat dilihat dari tabel berikut ini : Tabel 1: Perkara Tingkat Pertama pada Pengadilan Agama Cikarang Tahun 20122 Keadaan Perkara Perkara NO.
Jenis Perkara
Sisa Akhir
Perkara Diterima
Jumlah
2011
Sisa Putus
2012 (1)
(2)
2
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Pengadilan Agama Cikarang, Laporan Tahunan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2012, Cikarang: PA Cikarang, 2012, h. 13
52
1.
Cerai Talak
66
504
570
440
130
2.
Cerai Gugat
158
910
1068
832
236
3.
Penguasaan Anak/
-
8
8
5
3
Hadhanah
Dari tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2012, perkara yang masuk di Pengadilan Agama Cikarang mengenai penguasaan anak/ hadhanah terdapat 8 perkara, sedangkan perkara cerai talak terdapat 570 perkara, kemudian cerai gugat terdapat 1068 perkara. Pada tahun 2012 yang mengajukan perkara perceraian jumlahnya yang paling banyak, adapun yang menjadi faktor penyebab terjadinya perceraian pada tahun 2012 antara lain, poligami tidak sehat terdapat 40 perkara, krisis akhlak 32 perkara, cemburu 31 perkara, kawin paksa 2 perkara, ekonomi 145 perkara, tidak ada tanggung jawab 352 perkara, kekejaman jasmani 73 perkara, dihukum 5 perkara, gangguan pihak ketiga 225 perkara, tidak ada keharmonisan 507 perkara. Tabel 2 : Perkara Tingkat Pertama pada Pengadilan Agama Cikarang Tahun 20133 Keadaan Perkara NO.
Jenis Perkara
Sisa Akhir
Perkara
Perkara Jumlah
2012
3
Diterima
Sisa Putus
Pengadilan Agama Cikarang, Laporan Tahunan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013, Cikarang: PA Cikarang, 2012, h.13.
53
2013 (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
1.
Cerai Talak
130
578
708
558
150
2.
Cerai Gugat
236
912
1148
866
282
3.
Penguasaan Anak/
3
4
7
6
1
Hadhanah
Dari tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa pada tahun 2013, perkara yang masuk di Pengadilan Agama Cikarang mengenai penguasaan anak sebanyak 4 perkara, kemudian cerai talak 578 perkara dan cerai gugat 912 perkara. Pada tahun 2013 perkara cerai masih tetap terbanyak. Dalam penelitian ini, penulis ingin mengetahui berapa banyak perkara hadhanah yang masuk dan diputus oleh Pengadilan Agama Cikarang dalam kurun waktu dari tahun 2012 sampai dengan 2013, karena hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang penulis mengambil perkara hadhanah saja. Dari data-data yang telah diuraikan sebelumnya diatas maka dapat disimpulkan, selama kurun waktu tahun 2012 sampai dengan tahun 2013, permohonan tentang hak pengasuhan anak (hadhanah) yang masuk ke Pengadilan Agama Cikarang jumlahnya lumayan cukup banyak yaitu 12 perkara, dan yang sudah di putus oleh pengadilan sebanyak 11 perkara sehingga tersisa 1 perkara yang belum di putus.
54
Dalam gugatan hak asuh/ hadhanah ini bisa saja mandiri, dengan perceraian, dan mandiri perwalian. Mandiri perwalian pada umumnya anak tersebut sudah pada ibunya, jadi untuk kepentingan pembuatan paspor dan untuk dibawa keluar negeri, imigrasi biasanya memerluakan penetapan pengadilan.4 Artinya gugatan hadhanah ini bisa dilakukan secara mandiri yaitu ketika sudah terjadi perceraian baru mengajukan permohonan hak asuh anak, kemudian dimohonkan pada saat gugatan perceraian. Mengenai perbandingan siapa yang paling banyak mengajukan permohonan mengenai hak asuh anak (hadhanah) antara ibu dan ayah, kalaupun berkisar kira-kira 51 : 49, artinya yang mengajukan jumlahnya hampir berimbang baik itu ibu maupun ayah.5 Untuk mengetahui pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Agama Cikarang dalam memutus perkara perceraian dan permohonan hak asuh anak/ hadhanah bisa dilihat pada beberapa putusan dibawah ini : 1. Putusan Nomor : 1200/Pdt.G/2012/PA.Ckr Pihak yang berperkara : Gatot Purnomo Bin Soemanto, lahir tanggal 22 Nopember 1972, agama Islam, sebagai “Pemohon”. melawan Siti Atufah Alias Ulfa Binti H. Moch. Soleh, lahir tanggal 30 Juni 1976, Agama Islam sebagai “Termohon”. Tentang Duduk Perkaranya : Bahwa pada hari Minggu, tanggal 22 Nopember 1998 atau 03 Sya’ban 1419 H, pukul 10.00 WIB, di Bekasi, telah
4
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
5
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
55
dilangsungkan Akad Nikah antara pemohon dan termohon, berdasarkan kutipan akta nikah Nomor 1071/76/XI/1998. Dari perkawinan tersebut dikaruniai 2 (dua) anak laki-laki yaitu : Aldi Aulia Fahlevi, umur 13 tahun dan arhinza sutan syahriza, umur 3 tahun. Memasuki Tahun 2004, rumah tangga pemohon dan termohon kurang harmonis, seringkali terjadi perselisihan dan/atau pertengkaran sejak akhir tahun 2009, beberapa kali memperlakukan anaknya dengan tidak memperhatikan kondisi kedua anaknya, khususnya anak kedua yang masih kecil, ( saat ini usia 3 tahun ). Sejak Juli tahun 2012 hingga saat ini pemohon dan termohon tidak tinggal bersama dalam satu rumah dan sudah tidak harmonis lagi dan tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri (sebagaimana diatur dan ditegaskan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 39 ayat 2 dan ditegaskan pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, Pasal 19 huruf f ). demi kepentingan yang terbaik untuk anak dan mengingat segala perbuatan dan tindakan termohon yang tidak baik, tidak amanah, dan tidak bertanggung jawab sebagai isteri dan sebagai ibu bagi kedua anaknya, maka sudah sepatutnya dan semestinya kedua anak yang telah dilahirkan dari perkawinan pemohon dan termohon tinggal bersama dan berada dalam hak pengasuhan pemohon selaku Ayah Kandung dari kedua anaknya. Mengenai Hukumnya : Berdasarkan fakta-fakta, Majelis Hakim berpendapat, bahwa perkawinan Pemohon dan Termohon telah pecah (breakdown marriage) dan sudah tidak ada harapan akan hidup rukun lagi sebagai suami isteri, sehingga tujuan luhur perkawinan untuk membentuk rumah
56
tangga yang bahagia, tentram, kekal dan damai (sakinah mawaddah warahmah), sesuai dengan surat Ar-Rum 21 dan pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 2 dan pasal 3 KHI, tidak terwujud. Meskipun anak kedua Pemohon dan Termohon bernama Arhinza Sutan Syahriza, lahir tanggal 3 agustus 2009 atau umur 3 tahun, berarti masih dibawah umur atau belum mumayyiz, akan tetapi Termohon telah terbukti, bahwa Termohon adalah seorang ibu yang kurang perhatian terhadap anak-anaknya. Sesuai pasal 49 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, Majelis Hakim berpendapat bahwa Termohon merupakan seorang ibu yang berkelakuan buruk dan melalaikan kewajiban terhadap anaknya, karena hak Termohon seorang ibu untuk memelihara anak dapat dialihkan kepada Pemohon. Karena anak pertama Pemohon dan Termohon yang bernama Aldi Aulia Fahlevi, lahir tanggal 6 September 1999 telah berumur 13 tahun berarti telah mumayyiz, Majelis Hakim telah memandang bahwa anak tersebut telah dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, benar dengan salah, sesuai dengan pasal 105 huruf (b) KHI, maka anak tersebut dapat memilih untuk ikut kepada Pemohon sebagai ayah kandungnya atau kepada Termohon sebagai ibu kandungnya. Majelis Hakim memutuskan :
Memberi izin kepada Pemohon (Gatot Purnomo Bin Soemanto) untuk menjatuhkan Talak Satu Raj’i terhadap Termohon (Siti Atufah Alias Ulfa Binti H. Moch. Soleh) di depan sidang Pengadilan Agama Cikarang.
57
Menetapkan anak Pemohon dan Termohon yang bernama Arhinza Sutan Syahriza, lahir tanggal 3 Agustus 2009 berada di bawah hadhanah Pemohon (Gatot Purnomo Bin Soemanto).
2. Putusan Nomor : 0415/Pdt.G/2011/PA.Ckr Pihak yang berperkara : Herni Silvia Yohana, M, umur 27 tahun, agama Islam, sebagai “Penggugat”. Melawan Wahyudi Bin Sidjo, M, umur 32 tahun, agama Islam, sebagai “Tergugat”. Tentang duduk Perkaranya : Penggugat telah melangsungkan pernikahan dengan Tergugat pada tanggal 08 Maret 2004, yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sebagaimana ternyata dari Kutipan Akta Nikah Nomor 389/25/V/2004 tertanggal 10 Mei 2004. Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai 1 (satu) orang anak laki-laki bernama Viccar, umur 5 tahun. Sejak awal bulan Maret 2008 rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai tidak harmonis dengan adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus. Dengan kejadian tersebut, rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak lagi dapat dengan baik, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sudah sulit dipertahankan lagi dan karenanya agar
masing-masing pihak tidak lebih jauh
melanggar norma agama dan norma hukum, maka perceraian merupakan alternatif terakhir bagi Penggugat untuk menyelesaikan permasalahan rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat.
58
Satu orang anak sebagaimana disebutkan di atas, selain masih di bawah umur dan juga saat ini tinggal bersama Penggugat serta sudah barang tentu masih sangat tergantung kepada kasih sayang Penggugat selaku ibu kandungnya, oleh karenanya demi pertumbuhan fisik dan mental anak tersebut serta sematamata untuk kepentingannya, maka sudah selayaknya Penggugat ditetapkan sebagai pemegang hak hadhanah dari anak tersebut. Mengenai Hukumnya : Dengan adanya fakta-fakta yang diketahui pada saat persidangan merupakan bukti bahwa rumah tangga
antara Penggugat
dengan Tergugat telah pecah, dan sendi-sendi rumah tangga telah rapuh dan sulit untuk ditegakkan kembali yang dapat dinyatakan bahwa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat telah rusak (broken marriage), sehingga telah terdapat alasan untuk bercerai sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 19 hurup (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan sejalan dengan ketentuan pada Pasal 116 hurup (f) Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan ketentuan Pasal 41 hurup (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa: “Tentang hak pemeliharaan anak semata-mata didasarkan kepada kepentingan anak”, dan anak yang masih di bawah umur (belum mumayyiz) pada umumnya masih banyak bergantung kepada bantuan/ pertolongan ibunya. Maka dengan didasarkan kepada ketentuan Hukum Islam sejalan dengan bunyi Pasal 105 hurup (a) Kompilasi Hukum Islam, maka permohonan agar Penggugat ditetapkan sebagai pemegang hak
59
hadlanah dari 1 (satu) orang anak laki-laki bernama Vicca R, umur 5 tahun. Majelis sepakat untuk mengabulkannya. Majelis Hakim memutuskan :
Menjatuhkan talak satu ba'in sughra Tergugat (Wahyudi Bin Sidjo, M) kepada Penggugat (Herni Silvia Yohana, M Binti Herman Joyo).
Menetapkan 1 (satu) anak anak yang bernama VICCAR, umur 5 tahun berada dalam pemeliharaan (hadhanah) Penggugat.
3. Putusan Nomor : 0164/Pdt.G/2011/PA.Ckr Pihak yang berperkara : Bambang Suharto Bin Mansyur, umur 45 tahun, agama Islam, sebagai “Pemohon”. Melawan Susana Binti H. Soleh, umur 34 tahun, agama Islam, sekarang tidak diketahui lagi alamatnya di seluruh wilayah Republik Indonesia (Ghoib), disebut sebagai “Termohon”. Tentang duduk perkaranya : Pada tanggal 02 Oktober 1996, Pemohon telah melangsungkan pernikahan dengan Termohon yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Pagar Alam Utara, Kabupaten Lahat, Propinsi Sumatera Selatan, sebagaimana ternyata dari Kutipan Akta Nikah Nomor 226/22/X/1996. Pemohon dan Termohon telah hidup bersama sebagaimana layaknya suami isteri dan telah dikaruniai 4 orang anak masing-masing bernama : Chori Alifia Wulandari (pr), umur 14 tahun, Annisa Azzahra (pr), umur 9 tahun, M. Rizki Ramadhan (lk), umur 7 tahun, M. Avicenna Alfarabi (lk), umur 5 tahun. Sejak tanggal 16 Januari 2011, mulai terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan Termohon terlibat hutang piutang dengan rentenir
60
(lintah darat). Selanjutnya pada tanggal 17 Januari 2011 secara berturut-turut hingga sekarang ini Termohon telah meninggalkan kediaman bersama tanpa seizin Pemohon dan sampai saat ini tidak lagi kembali ke kediaman bersama juga tidak diketahui lagi alamatnya, pemohon telah berusaha mencari Termohon kepada keluarganya, teman-teman dekatnya, tetapi mereka tidak mengetahui keberadaan Termohon. Bahwa Pemohon juga mengajukan permohonan agar ditetapkan sebagai hak hadhanah bagi anak-anak. Tentang Hukumnya : karena fakta kejadian (feittelijk gronden) telah terungkap, hal ini merupakan bukti bahwa rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon telah pecah, dan sendi-sendi rumah tangga telah rapuh dan sulit untuk ditegakkan kembali yang dapat dinyatakan bahwa rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon telah rusak (broken marriage) sehingga telah terdapat alasan untuk bercerai sebagaimana dimaksud
Pasal 19 hurup (f)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan sejalan dengan Pasal 116 hurup (f) Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan ketentuan Pasal 41 hurup (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa: “Tentang hak pemeliharaan anak semata-mata didasarkan kepada kepentingan anak”, dan anak yang masih di
bawah
umur
pada
umumnya
masih
banyak
bantuan/pertolongan/kedekatan sang ibu (Termohon).
bergantung
kepada
61
Akan tetapi berdasarkan alasan Pemohon dikuatkan dengan bukti dan diperkuat pula dengan keterangan saksi-saksi, maka Majelis berkesimpulan bahwa Pemohon (selaku ayah) telah layak ditetapkan sebagai pemegang hak hadhanah bagi keempat anaknya meskipun kenyataanya anak nomor 2 sampai nomor 4 kondisinya masih di bawah umur, namun ternyata anak-anak tersebut merasa tenteram dan nyaman (at home) tinggal bersama ayahnya (Pemohon), sedangkan Termohon tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hadhanah karena tidak mempedulikan anak-anaknya. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 huruf (a) dan Hukum Islam sejalan dengan bunyi Pasal 105 hurup (a) Kompilasi Hukum Islam bahwa: “Tentang hak pemeliharaan anak semata-mata didasarkan kepada kepentingan anak, dan anak yang masih di bawah umur pada umumnya masih bergantung kepada bantuan dan pertolongan sang ibu”, akan tetapi oleh karena Termohon tidak memenuhi
syarat-syarat sebagai pemegang hak hadhanah, maka Majelis
menafsirkan pasal tersebut secara a contario, sehingga Majelis sepakat bahwa permohonan Pemohon agar ditetapkan sebagai pemegang hak hadhanah dari ke4 (empat) anaknya. Majelis Hakim memutuskan :
Mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek.
Memberi ijin kepada Pemohon (Bambang Suharto Bin Mansyur) untuk menjatuhkan talak satu raj’i terhadap Termohon (Susana Binti H. Soleh) di depan sidang Pengadilan Agama Cikarang.
62
Menetapkan 4 (empat) orang anak hasil perkawinan Pemohon dengan Termohon, masing-masing bernama: 1) Chori Alifia Wulandari (perempuan), berumur 14 tahun. 2) Annisa Azzahra (perempuan), berumur 9 tahun. 3) Muhammad Rizki Ramadhan (laki-laki), berumur 7 tahun. 4) Muhammad Avicenna Alfarabi (laki-laki), berumur 5 tahun, di bawah hadhanah Pemohon. Kedua belah pihak yang bersengketa dalam perkara-perkara ini baik
sebagai pemohon atau termohon mempunyai hak yang sama dalam proses pemeriksaan persidangan, yaitu hak mendalilkan sesuatu, menjawab/membantah dalil pihak lawan, serta mengajukan bukti-bukti untuk memperkuat dalilnya. Jadi Termohon bukanlah sekedar menjadi obyek yang pasif melainkan merupakan subyek yang aktif dalam membela diri dan mempertahankan kepentingannya. Artinya kedua belah pihak mempunyai hak yang sama di hadapan Hakim untuk didengar keterangannya dan diperhatikan hak-haknya. Karena fakta kejadian (feittelijk gronden) tersebut telah terungkap, hal ini merupakan bukti bahwa rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon telah pecah, dan sendi-sendi rumah tangga telah rapuh dan sulit untuk ditegakkan kembali yang dapat dinyatakan bahwa rumah tangga antara Pemohon dengan Termohon telah rusak (broken marriage) sehingga telah terdapat alasan untuk bercerai sebagaimana dimaksud Pasal 19 hurup (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan sejalan
63
dengan Pasal 116
hurup (f) Kompilasi Hukum Islam. Maka Majelis Hakim
Mengabulkan permohonan perceraian. Yang menjadi pokok alasan mengapa para pihak (baik ibu maupun ayah) mengajukan gugatan hadhanah tersebut adalah penelantaran anak. Artinya yang merasa anaknya itu diterlantarkan oleh ibu, maka ayahnya yang mengajukan gugatan, dan apabila ayahnya yang menelantarkan maka ibunya yang mengajukan gugatan.6 Mengenai permohonan hak asuh anak/ hadhanah pada putusan Nomor : 1200/Pdt.G/2012/PA.Ckr dan 0164/Pdt.G/2011/PA.Ckr, meskipun anak masih dibawah umur 12 tahun atau belum mumayyiz tidak begitu saja diberikan kepada ibunya. Tetapi bisa saja diberikan kepada ayahnya jika terbukti apabila ibu dari anak tersebut kurang perhatian terhadap anak-anaknya, sesuai pasal 49 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, Majelis Hakim berpendapat bahwa seorang ibu yang berkelakuan buruk dan melalaikan kewajibannya tidak berhak mendapatkan hak asuh atas anaknya, karena hak seorang ibu untuk memelihara anak dapat dialihkan kepada ayahnya. Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Asadurrahman, Hakim Pengadilan Agama Cikarang ada beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan Hakim dalam memutus siapa yang berhak mendapatkan hak pemeliharaan anak/ hadhanah, yaitu dilihat dari umur anak tersebut yang akan di hadhanah, apabila umurnya tersebut dibawah 12 tahun, dalam KHI pasal 105 (a) adalah hak ibunya, 6
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
64
akan tetapi kalau ternyata ibunya tidak bisa menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, misalnya ibunya sering keluar malam anaknya ditinggal, ibunya suka mabuk, judi, apakah pasal 105 (a) akan tetap diterapkan. Dengan begitu ada pasal 156 (c) bisa saja anak tersebut diberikan kepada ayahnya karena pertimbangan lain. Jadi, seorang Hakim dalam memutus perkara hadhanah dalam menerapkan hukum tidak kaku, yang menjadi pertimbangannya adalah kepentingan si anak sendiri, karena hadhanah itu sesungguhnya melihat bagaimana kepantingan anak bukan kepentingan ibunya maupun bapaknya. Akan tetapi selama anak itu aman baik dalam penguasaan ibunya maupun penguasaan bapaknya, dan umur anak tersebut belum mencapai 12 tahun (mumayyiz), maka hakim pada umumnya memutuskan penguasaan anak tersebut diberikan kepada ibunya.7 Terhadap putusan pengadilan ini, para pihak bisa melakukan upaya hukum apabila para pihak merasa tidak puas atas putusan hakim tersebut, akan tetapi apabila setelah 14 hari tidak ada upaya hukum, maka putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. Kalau putusan tersebut sudah berkekuatan hukum tetap, barulah bisa dilaksanakan eksekusi atas putusan tersebut, apabila pihak yang kalah tidak melaksanakan putusan tersebut secara sukarela, maka pihak yang menang bisa meminta bantuan pengadilan agar pihak yang kalah mau melaksanakan putusan tersebut.8
7
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
8
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
65
Jadi, para pihak yang merasa dirugikan kepentingannya dapat mengajukan upaya hukum, bahwa setelah amar putusan dibacakan Majelis Hakim, diberikan tenggang waktu selama 14 hari untuk melakukan upaya hukum bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan atas putusan tersebut. Akan tetapi apabila ternyata selang beberapa waktu baru diketahui bahwa para pihak yang kalah (ibu/ayah) tidak melakukan kewajiban sebagaimana yang diputuskan oleh Majelis Hakim, maka para pihak yang berhak terhadap hak asuh anak (ibu/ayah) dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Agama. B. Upaya Pengadilan Agama Cikarang Untuk Terlaksananya Eksekusi Hadhanah Sebuah rumah tangga yang mengalami perceraian sudah dapat dipastikan akan menimbulkan beberapa akibat yang merugikan semua pihak tanpa terkecuali. Dalam hal ini tentunya akan membawa akibat hukum terhadap anak. Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan hukum akan membawa konsekuensi hukum, berupa hak dan kewajiban secara timbal balik antara orang tua dengan anaknya.9 Artinya anak mempunyai hak tertentu yang harus dipenuhi oleh orang tuanya sebagai kewajibannya, dan sebaliknya orang tua juga mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh anaknya sebagai kewajibannya. Dalam hal terjadinya perceraian, biasanya anaklah yang menjadi korban. Orangtua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak akan dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak demikian adanya, dan tidak demikian sederhananya. Seperti telah diketahui bersama bahwa 9
L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), h.53.
66
permasalahan pengasuhan anak sering timbul dalam kehidupan manusia, sebagai akibat dari perceraian yang dilakukan kedua orangtuanya. Bagi orangtua tentunya, menginginkan anak-anaknya tetap berada di dekat dan berada dalam asuhannya, tetapi mau tidak mau antara kedua orangtua yang telah bercerai harus merelakan anak-anaknya berada dalam penguasaan salah satu dari mereka, atau dengan jalan pembagian hak asuhnya berdasarkan putusan Hakim yang memutuskan perceraian mereka. Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan Pengadilan Agama yang diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang terhadapnya tidak diajukan verzet atau banding, putusan Pengadilan Tinggi Agama yang diterima oleh kedua belah pihak dan tidak dimohonkan kasasi, dan putusan Mahkamah Agung dalam hal kasasi. Menurut sifatnya ada 3 (tiga) macam putusan, yaitu :10 1. Putusan declaratoir, adalah putusan yang hanya sekedar menerangkan atau menetapkan suatu keadaan saja sehingga tidak perlu dieksekusi. 2. Putusan constitutief, yang menciptakan atau menghapuskan suatu keadaan, tidak perlu dilaksanakan. 3. Putusan condemnatoir, merupakan putusan yang bisa dilaksanakan, yaitu putusan yang berisi penghukuman, dimana pihak yang kalah dihukum untuk melakukan sesuatu.
10
Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah, Buku II, (Jakarta: Mahkamah Agung RI , 2007), h.433.
67
Eksekusi putusan hadhanah tidak diatur secara tegas dalam HIR - R.Bg., atau peraturan perundangan lain yang berlaku khusus bagi Peradilan Agama. Belum adanya hukum yang mengatur secara jelas mengenai eksekusi putusan hadhanah tidak berarti bahwa putusan hadlanah itu tidak bisa dijalankan melainkan harus dapat dilaksanakan berdasarkan aturan hukum yang berlaku secara umum. Sebagaimana pendapat bapak Assadurrahman, bahwa putusan itu harus dieksekusi dan eksekusi itu harus diminta atau pihak yang menang mengajukan permohonan eksekusi atas putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap.11 Artinya seseorang dapat mengajukan permohonan eksekusi hadhanah terhadap putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, guna mendapatkan hak pemeliharaan anaknya. Hakim hanya bersifat menunggu, artinya inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada para pihak yang berkepentingan, artinya apakah akan ada proses perkara atau tidaknya Hakim tidak akan mencari, tetapi hanya menunggu. Sependapat dengan beliau, menurut penulis berdasarkan data Putusan Pengadilan Agama Cikarang dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2013 tentang hadhanah, Hakim telah memutuskan siapa pihak yang berhak mendapatkan hak asuh anak (hadhanah). Maka apabila pihak tersebut belum mendapatkan haknya, maka dapat mengajukan permohonan eksekusi hadhanah kepada Ketua Pengadilan Agama Cikarang dengan dalil tidak dilaksanakannya putusan tersebut. 11
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
68
Setelah putusan dijatuhkan oleh Pengadilan Agama dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut harus diajalankan. Permasalahan yang sering terjadi pada masyarakat sekarang ini pihak yang dikalahkan tidak mau menyerahkan anak tersebut kepada pihak yang berhak. Apabila terjadi hal yang demikian itu, ibu atau ayah dapat memohon eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama. Tujuan akhir pencari keadilan adalah agar segala hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan Hakim. Hal ini dapat tercapai apabila putusan Hakim dapat dilaksanakan.12 Suatu putusan Hakim tidak akan ada artinya apabila tidak dapat dieksekusi. Oleh karena itu putusan hakim itu mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa yang ditetapkan dalam putusan ini secara paksa oleh alat-alat negara. C. Analisis Penulis Sampai saat ini, eksekusi hak asuh anak (hadhanah) masih diperselisihkan. Sebagaimana para ahli hukum mengatakan bahwa anak tidak dapat dieksekusi, sedangkan sebagian lagi yang lain mengatakan bahwa putusan mengenai hak asuh anak dapat dieksekusikan. Para ahli hukum yang mengatakan bahwa eksekusi anak tidak boleh dilaksanakan beralasan bahwa selama ini dalam praktik peradilan yang ada tentang eksekusi semuanya hanya dalam bidang hukum benda, bukan terhadap orang. Oleh 12
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h.313.
69
karena itu, eksekusi terhadap hak asuh anak sesuai dengan kelaziman yang ada maka tidak ada eksekusinya, apalagi eksekusinya bersifat deklatoir (menetapkan). Kenyataan yang ada selama ini, pelaksanaan eksekusi hak asuh anak hanya bersifat sukarela, maksudnya tidak merupakan upaya paksa. Sedangkan ahli hukum yang memperbolehkan eksekusi terhadap hak asuh anak dapat dijalankan mengatakan bahwa perkembangan hukum yang dianut akhirakhir ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak yang putusannya bersifat menghukum (condemnatoir), jika sudah berkekuatan hukum tetap, maka putusan tersebut dapat dieksekusi. Pengadilan mempunyai upaya paksa dalam melaksanakan putusan ini. Jadi, seorang anak yang dikuasai oleh salah satu orangtuanya yang tidak berhak sebagai akibat putusan perceraian, maka Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah dapat mengambil anak tersebut dengan upaya paksa dan menyerahkan kepada salah satu orangtua yang berhak untuk mengasuhnya.13 Dalam pembahasan ilmu hukum, suatu putusan Hakim itu dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: 14 1. Secara Sukarela, adalah putusan yang mana oleh para pihak yang kalah dengan sukarela mentaati putusan tanpa pihak yang menang harus meminta bantuan pengadilan atau mengeksekusi putusan tersebut.
13
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), h.436. 14
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h.313.
70
2. Secara Paksa, adalah putusan yang mana pihak yang menang dengan meminta bantuan alat negara atau pengadilan untuk melaksanakan putusan, apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan secara sukarela. Ketika putusan itu telah dijatuhkan oleh pengadilan, lalu pihak yang dikalahkan tidak mau menyerahkan anak sebagai objek sengketa secara sukarela, maka akan ditempuh prosedur eksekusi hak asuh anak (hadhanah). Sejalan dengan perkembangan kebutuhan praktek peradilan, eksekusi putusan di Pengadilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah tidak hanya terbatas dalam bidang hukum benda, dalam prakteknya sampai saat ini, eksekusi putusan telah mencakup dalam eksekusi putusan hak asuh anak (hadhanah). Eksekusi hak asuh anak merupakan sejumlah permasalahan yang begitu penting karena objek perkaranya mengenai orang, sehingga tingkat keberhasilannya terbilang cukup rendah bila dibandingkan dengan eksekusi di bidang hukum kebendaan.15 Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang memenuhi syarat untuk dilaksanakan eksekusi, yaitu : 1) Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kecuali dalam hal : Pelaksanaan putusan serta merta, putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, Pelaksanaan putusan provisi, Pelaksanaan akta perdamaian, Pelaksanaan (eksekusi) Grosse Akta. 2) Putusan tidak dijalankan oleh pihak terhukum secara sukarela meskipun telah diberikan peringatan oleh Ketua Pengadilan Agama 15
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, h.435.
71
3) Putusan Hakim bersifat Kondemnatoir, yaitu putusan yang amar putusannya bersifat menghukum atau memerintahkan pihak yang kalah untuk memenuhi suatu prestasi tertentu. 4) Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Agama. Dalam hal ini Pengadilan Agama yang dimaksud adalah Pengadilan Agama yang menjatuhkan putusan tersebut atau Pengadilan Agama yang diberikan delegasi wewenang oleh Pengadilan Agama yang memutusnya. Pengadilan Agama yang berwenang melaksanakan eksekusi hanyalah Pengadilan Tingkat pertama. Pengadilan Tinggi Agama tidak berwenang melakukan eksekusi.16 Mengenai pelaksanaan putusan yang tidak dilaksanakan Pasal 196 HIR menyebutkan bahwa: “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai untuk memenuhi isi keputusan itu dengan damai, maka pihak yang menang memasukkan permintaan, baik dengan lisan, maupun dengan surat, kepada ketua pengadilan negeri yang tersebut pada ayat pertama pasal 195 HIR, buat menjalankan keputusan itu Ketua menyuruh memanggil pihak yang dikalahkan itu serta memperingatkan, supaya ia memenuhi keputusan itu di dalam tempo yang ditentukan oleh ketua, yang selamalamanya delapan hari”.17
16
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h.313.
17
Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB)
72
Sebagaimana bapak Assadurrahman mengatakan, bahwa dasar hukum yang dipakai
dalam
melaksanakan
eksekusi
hadhanah,
tetap
bagaimanapun
mengggunakan HIR, perdata umum yaitu HIR (untuk wilayah jawa) dan R.bg (untuk luar jawa), eksekusi secara umum menggunakan aturan itu, tidak ada itu perkara, nafkah iddah, hadhanah, putusan Pengadilan harus dilaksanakan tetap menggunakan aturan-aturan umumnya. Dulu sebelum Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 ada, eksekusi keputusan Pengadilan Agama harus minta bantuan Pengadilan Negeri akan tetapi sekarang Pengadilan Agama bisa melaksanakan eksekusi sendiri namun tetap aturannya menggunakan HIR atau R.Bg.18 Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan hadhanah harus melalui prosedur hukum yang berlaku dan apabila eksekusi tidak dilaksanakan sesuai dengan prosedur hukum yang ditetapkan maka eksekusi tidak sah dan harus diulang.19 Adapun prosedur eksekusi putusan hadhanah secara kronologis dapat dirinci sebagai berikut : 1. Putusan hadhanah tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap 2. Pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan hadhanah secara sukarela 3. Pihak yang menang (penggugat) mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Agama yang memutus perkara hadhanah 4. Pengadilan Agama telah menetapkan sidang Aanmaning 5. Telah melewati tenggang waktu atau tegoran sesuai dengan pasal 207 R.Bg 18
19
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata, h.437.
73
6. Ketua Pengadilan Agama Mengeluarkan surat perintah eksekusi 7. Pelaksanaan eksekusi di tempat termohon eksekusi yang dihukum untuk menyerahkan anak 8. Pelaksanaan eksekusi dibantu oleh dua orang saksi yang memenuhi unsure sebagaimana tersebut dalam 210 ayat 2 R.Bg 9. Juru Sita mengambil anak tersebut secara baik-baik, sopan dan dengan tetap berpegang kepada adat istiadat yang berlaku, kalau tidak diserahkan secara sukarela maka dilaksanakan secara paksa 10. Juru Sita membuat berita acara eksekusi yang ditanda tangani oleh jurusita beserta dua orang saksi sebanyak lima rangkap. Lebih lanjut Pasal 180 HIR menyebutkan bahwa, Ketua Pengadilan dapat memerintahkan supaya suatu putusan dilaksanakan terlebih dahulu walaupun ada upaya banding20. Dalam Pasal 64 Undang-Undang Peradilan Agama, putusan pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya menyatakan putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada perlawanan banding atau kasasi.21 Jadi, terkait dengan eksekusi putusan mengenai hak asuh anak (hadhanah) harus melihat kembali pada amar putusan tersebut apakah dalam amar putusan tersebut telah ditentukan bahwa hak asuh anak ini dapat dieksekusi walaupun ada upaya hukum banding maupun kasasi atau tidak. Apabila amar putusan menyatakan 20
21
Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama
74
dapat dieksekusi walaupun ada upaya hukum banding maupun kasasi, maka putusan tersebut dapat langsung dieksekusi. Namun,
dalam
pelaksanaannya
eksekusi
mengenai
hadhanah
ini
menimbulkan banyak kesulitan, karena hal ini berbeda dengan eksekusi perdata lainnya. Sebagaimana yang diutarakan oleh bapak Assadurrahman, beliau mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan sulitnya eksekusi putusan hadhanah :22 Pertama, Memang orang Indonesia itu apabila merasa ia dikalahkan dalam persidangan, mereka menganggap putusan yang diberikan majelis hakim tidak adil atau hukum tidak adil, artinya kesadaran atau ketaatannya kepada hukum itu masih rendah jangankan para pihak yang merasa dianggap “diperlakukan
tidak adil”
keputusan Tata Usaha Negara saja kalau pemerintah disalahkan, apakah pemerintah itu mau melaksanakan dengan suka rela, itulah di Indonesia. Artinya pemerintah itu adalah orang yang mengerti hukum tapi ketika putusan Tata Usaha Negara merugikan pihak pemerintah
terjadi juga perasaan berat untuk melaksanakan
putusan tersebut. Kedua, karna si anak ada di tangan salah satu orang tuanya (ibu/bapak) ketika diputus sudah pindah alamat atau pindah wilayah dan sulit untuk mencarinya akhirnya apabila terjadi seperti itu penyelesaiannya bukan lewat Pengadilan lagi melainkan mencari informasi oleh masing-masing pihak, akibat tidak patuhnya terhadap hukum dan putusan Pengadilan. Eksekusi terhadap hadhanah ini termasuk 22
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
75
perkara yang berat untuk di adili yang bapak dan ibunya itu benar-benar tidak mau mengalah dan tetap mempertahankan anaknya. Jadi, dapat diketahui bahwa penyebab sulitnya pelaksanaan eksekusi mengenai hadhanah dimulai dari pihak yang tidak patuh dan hormat kepada hukum dan pengadilan sehingga mereka tidak mau menjalankan isi putusan, kemudian ditambah masalah berpindah-pindahnya wilayah tempat tinggal yang di mana anak tersebut ada para pihak yang dikalahkan dan tidak diketahui keberadaannya lagi. Apabila sudah seperti itu maka sulit untuk dilaksanakan eksekusi, karena sudah bukan ranah Pengadilan lagi akan tetapi sudah dikembalikan pada masing-masing pihak karena Pengadilan tidak mengurusi sampai sejauh itu. Berikut beberapa langkah untuk mencegah kemungkinan-kemungkinan akan hampanya putusan hadlanah, yaitu sebagai berikut : 1. Mediasi Sebagai Penyelesaian Alternatif Mediasai
adalah
sebuah
lembaga
perdamaian
dalam
rangka
menyelesaikan sengketa dengan perantaraan seorang atau lebih mediator melalui prosedur non litigasi. Di samping itu mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan dengan melalui pendekatan “Islah”. Karena itu, tepat bagi para Hakim Peradilan Agama untuk menjalankan fungsi “mendamaikan” sebab
76
bagaimanapun adilnya suatu putusan, pasti lebih indah dan lebih adil hasil putusan itu berupa perdamaian.23 Hukum acara yang berlaku, pasal 130 HIR / pasal 154 R.Bg mendorong pengadilan untuk menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam prosedur berperkara di pengadilan. Sejalan dengan hal tersebut Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 tersebut ditegaskan bahwa apabila tidak menempuh mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR /Pasal 154 R.Bg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Ketentuan ini menunjukkan bahwa prosedur mediasi dalam proses peradilan merupakan ketentuan imperatif. Terkait dengan mediasi perkara sengketa hak asuh anak (hadlanah), prosedur mediasi ini menjadi sangat penting bukan saja karena ketentuan imperatif hukum acara atau karena kepentingan penggugat dan tergugat, melainkan yang lebih penting justru karena menyangkut pertimbangan sematamata untuk kepentingan terbaik bagi anak, agar dapat menekan seminimal mungkin dampak buruk baik secara psikologis, emosional, sosial, intelektual
23
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia, (Jakarta: IKAHI, 2008), h.13.
77
maupun spiritual bagi si anak tersebut akibat dari persengketaan antara kedua orang tua anak itu. 2. Menerapkan Lembaga Dwangsom dalam Putusan Hadlanah Dwangsom atau lengkapnya dwangsom of astreinte (Belanda): uang paksa, sejumlah uang yang harus dibayar oleh seseorang sebagai hukuman berdasarkan putusan pengadilan, sepanjang atau sesering ia tidak memenuhi kewajiban pokok yang dibebankan kepadanya oleh keputusan pengadilan itu.24 Bahwa yang dimaksud dwangsom adalah uang paksa, sebegitu jauh pengadilan memutuskan penghukuman untuk sesuatu lain daripada untuk membayar sejumlah uang, maka dapatlah ditentukan di dalamnya, bahwa jika, selama atau manakala si terhukum tidak/belum memenuhi keputusan tersebut, ia pun wajib membayar sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan itu, uang mana disebut uang paksa. Dengan demikian maka uang paksa ini merupakan suatu alat eksekusi secara tak langsung.25 Persoalan
mengenai
boleh
atau
tidaknya
menerapkan
lembaga
dwangsom dalam putusan hadlanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum. Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa lembaga dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan hadlanah karena konteksnya berbeda, sebagian praktisi hukum yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadlanah karena dengan mencamtumkan
24
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), Cet.I, h.163.
25
Soebekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2005), Cet. XVI, h.37.
78
dwangsom itu pihak tergugat akan memenuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan kepadanya. Maka dapat disimpulkan atas persoalan ini tampaknya pendapat yang terakhir menginginkan diterapkan lembaga dwangsom dalam putusan hadlanah apabila penerapan itu untuk tujuan kemaslahatan.26 Sebagaimana pendapat bapak Assadurrahman bahwa, bisa saja dengan putusan dwangsom (denda keterlambatan) denda perhari. Pengadilan mungkin kalau ada permintaan itu bisa saja memberikan pertimbangan, misalnya 500 ribu perhari apabila tidak melaksanakan isi putusan.27 Artinya bisa saja duangsom ini diterapkan memalui pertimbangan Hakim, akan tetapi permohononannya tersebut harus diletakkan dalam surat gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Agama kepada dengan menyebutkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum. Atau juga dengan alasan adanya kekhawatiran penggugat kepada tergugat yang tidak bersedia melaksanakan hukuman pokok sebagaimana yang ditetapkan oleh hakim. Dasar pemberlakuan/ penerapan lembaga dwangsom (uang paksa) dalam praktek peradilan di Indonesia adalah mengacu pada Pasal 606 (a) dan (b) Rechtsvordering. Pasal 606 a : “sepanjang suatu putusan hakim mengandung
26
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), h.438. 27
Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi, 15 Januari 2014
79
hukuman untuk suatu yang lain dari pada membayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak mematuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam putusan hakim dan uang tersebut dinamakan uang paksa”. Pasal 606 (b) : “Bila putusan tersebut tidak dipenuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk melaksanakan putusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh atas hak baru menurut hukum”. Sedangkan dalam R.Bg dan HIR lembaga dwangsom tidak disebutkan secara rinci. Lembaga dwangsom mulai dipergunakan oleh Raad van Justice dan Hoegerechtteschof sejak tahun 1938. Meletakkan lembaga dwangsom merupakan tindakan logis yuridis dengan tujuan untuk memaksa orang yang dikenakan hukuman itu agar serius dan tidak main-main dalam mematuhi dan melaksanakan putusan hakim. Dengan hal tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa dwangsom adalah suatu hukum tambahan pada orang yang dihukum untuk membayar sejumlah uang selain yang telah disebutkan dalam hukuman pokok dengan maksud agar ia bersedia melaksanakan hukuman pokok sebagaimana mestinya. Dengan pengertian ini dapat diketahui bahwa sifat dwangsom adalah sebagai berikut :28
28
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, h.439.
80
1) Merupakan accecoir, tidak ada dwangsom apabila tidak ada hukuman pokok, apabila hukuman pokok sudah dilaksanakan maka dwangsom yang ditetapkan bersama hukuman pokok tidak mempunyai kekuatan lagi. 2) Merupakan hukuman tambahan, apabila hukuman pokok yang ditetapkan oleh hakim tidak dipenuhi oleh tergugat (yang dihukum), maka dwangsom itu dapat dieksekusi, 3) Merupakan hukuman psychis, dengan adanya dwangsom yang ditetapkan oleh hakim dalam putusannya, maka orang yang dihukum itu ditekan secara psychis agar ia dengan sukarela melaksanakan hukuman pokok yang telah ditentukan oleh hakim. Agar lembaga dwangsom ini dapat dicantumkan dalam putusan hakim, maka penggugat harus meminta diletakkan dwangsom ini dalam surat gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Agama dengan menyebutkan alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum. Alasan ini dapat berupa hal yang diperjanjikan sebelumnya antara penggugat dan tergugat, atau juga dengan alasan adanya kekhawatiran penggugat kepada tergugat yang tidak bersedia melaksanakan hukuman pokok sebagaimana yang ditetapkan oleh hakim.29 Dwangsom berbeda dengan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 225 HIR, dan berbeda pula dengan kompensasi yang dikenal dalam hukum perdata, sebab dalam dwangsom ini kewajiban yang disebut dalam putusan hakim tetap ada dan tidak bisa diganti atau dihapus. Dengan demikian lembaga 29
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, h.440.
81
dwangsom ini sangat tepat apabila diletakkan pada putusan hadlanah karena dwangsom tersebut merupakan salah satu strategi yang diyakini dapat mencegah putusan hadlanah menjadi ilusoir (hampa) yang memang selama ini disinyalir banyak putusan hadlanah yang tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pembahasan dan uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab terdahulu tentang pelaksanaa eksekusi hadhanah, penulis dapat menyimpulkan, sebagai berikut : 1. Hadhanah adalah membekali anak secara material maupun secara spiritual, mental maupun fisik agar anak mampu berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan kehidupannya nanti bila ia dewasa. 2. Langkah Pengadilan Agama Cikarang dalam perkara hadhanah, hanya sebatas pengawasan dengan jangka waktu sampai diucapkannya amar putusan. Bahwa setelah amar putusan dibacakan Majelis Hakim, diberikan tenggang waktu selama 14 hari untuk melakukan upaya hukum bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan atas putusan tersebut. Apabila sampai jangka waktu tersebut tidak ada upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa kepentingannya dirugikan, maka Pengadilan menganggap bahwa putusan tersebut tidak bermasalah dan dapat dilaksanakan oleh para pihak. 3. Apabila ternyata selang beberapa waktu baru diketahui bahwa pihak yang dikalahkan tidak mau melakukan kewajiban sebagaimana yang diputuskan oleh Majelis Hakim, maka para pihak yang menang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Agama Cikarang. Eksekusi 82
83
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu : Pertama, dengan cara sukarela dari para pihak yang menang maupun yang kalah. Kedua, dengan cara paksa dari pihak yang menang dengan meminta bantuan Pengadilan agar memerintahkan Juru Sita untuk melakukan eksekusi. B. Saran-saran 1. Dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan hak hadhanah atau pemeliharaan anak, Majelis Hakim tidak hanya mempertimbangkan siapa yang lebih berhak mendapatkan hadhanah melainkan juga melihat apakah ada iktikad baik pihak yang kalah agar terlaksananya putusan. 2. Langkah Pengadilan Agama terhadap sebuah perkara yang telah diputus Majelis Hakim sebaiknya tidak hanya sebatas sampai putusan tersebut dikeluarkan, sebaiknya dibuat lembaga
yang berfungsi memberikan
pengawasan terhadap pelaksanaan putusan tersebut dan dibuat pula suatu peraturan yang mengatur sanksi hukum bagi suami yang enggan membayar nafkah istri maupun biaya pemeliharaan anak/ hadhanah setelah terjadinya perceraian sebab sampai saat ini tidak ada jaminan hak-hak istri terpenuhi setelah terjadnya perceraian. 3. Pengadilan Agama sebaiknya mengadakan sosialisasi kepada masyarakat agar masyarakat mengetahui tentang hadhanah sehingga prosedur eksekusi mengenai hadhanah bisa dilakukan.
84
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim Abbas, Afifi Fauzi. Metodologi Penelitian. cet.I. Jakarta: ADELINA Bersaudara, 2010. Abdullah, Abdul Gani. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama. cet.I. Jakarta: PT Internasa, 1991. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 2007. Adi, Rianto. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. cet.III. Jakarta: Granit, 2010. Al-‘Umairah, Syeikh Al-Syihab Al-Din Al-Qalyabi Wa . Al-Mahalli Juz IV. Kairo: Dar Wahya Al-Kutub, 1971. Alam, Andi Syamsu dan Mf. Fauzan, M . Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. cet.I. Jakarta: Kencana, 2008. __________. Hukum Pengangkatan Anak Persfektif Islam. Jakarta : Kencana, 2008. Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. cet.II. Jakarta: Sinar Grafika, 2010. Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah: Ibadat Mu’amalat, cet.III. Jakarta: Pustaka Amani, 1999. Al-Munawwar, Said Agil Husain. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer (analisis yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah). Jakarta: Prenada Media, 2004. al-Sijistaniy, Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy'ab. Sunan Abi Dawud. Beirut: Daar alKitab al-'Arabi, tt), Juz.II, Hadis No. 1913 Al-Zuhaili, Wahbah . AL-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh Juz VII. Damaskus: Daar AlFikr, 1984. As-Sajastani, Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats. Sunan Abu Daud Juz I. Beirut: Daar Fikr, 2003. As-San’ani. Subulus Salam. cet.III. Surabaya: Al-Ikhlas, 1995.
85
Aulia, Nuansa. Kompilasi Hukum Islam. T.tp, CV. Nuansa Aulia, 2008. Ayyub, Syaikh Hasan. Fikih Keluarga. cet.V. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006. Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI, Metedologi Penelitian Sosial (Terapan dan Kebijaksanan). Jakarta: Balitbang Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah RI, 2000. Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama (Dalam Sistem Hukum Nasional). Jakarta: Logos, 1999. Dahlan, Abdul Aziz, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeva, 1997 Effendi, Satria dan Mz. Zein, M. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer. Jakarta: Kencana, 2005. Ghazaly, Abd Rahman. Fiqih Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2013. Gymnastiar, Abdullah. AA Gym dan Fenomena Darrut Tauhid. Bandung: PT Mizan, 2002. Hamid, Zahri . Pokok-Pokok Hukum perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia, cet.I. Yogyakarta: Bina Cipta, 1978. Hamzah, Andi. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986. Harahap, Yahya. Hukum perkawinan nasional : pembahasan berdasarkan undangundang no.1 tahun 1974. Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975. Medan: Zahir, 1975. __________. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: CV Zahir Trading CO, 1975. Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Bandung: Citra Umbara, 2007. L.J. Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1980. Mahkamah Agung RI. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/ Mahkamah Syar’iyah, Buku II. Jakarta: 2007.
86
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana, 2005. __________. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2008. __________. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan al-Hikmah, 2000. Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, cet.I. Jakarta: Bulan Bintang, 1974. Mujahidin, Ahmad. Pembaharuan Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah di Indonesia. Jakarta: IKAHI, 2008. Nasution, Harun, dkk, ed., Ensiklopedii Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan, 1992 PA Cikarang. Laporan Tahunan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2012, Cikarang: PA Cikarang, 2012. __________. Laporan Tahunan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013, Cikarang: PA Cikarang, 2013. PA Cikarang. Sejarah Pengadilan Agama Cikarang. Artikel diakses pada tanggal 22 Oktober 2013 dari http://pa-cikarang.go.id/index.php/profil/profil/sejarah. __________. Struktur Pengadilan Agama Cikarang. Artikel diakses pada tanggal 18 Desember 2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/struktur-organisasi. __________. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Cikarang. Artikel diakses pada tanggal 18 Desember 2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/tupoksi. __________. Visi dan Misi Pengadilan Agama Cikarang. Artikel diakses pada tanggal 18 Desember 2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/visi-dan-misi. __________. Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama Cikarang. Artikel diakses pada tanggal 18 Desember 2013 dari http://www.pa-cikarang.go.id/yuridiksi-pa Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya, 2007. Rasyid, Sulaiman. Fiqih Islam. cet.III. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2003.
87
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq, Jilid 2. Jakarta: Al-I’tishom, 2008. __________. Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq, Jilid 2. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007. Sholeh, Asrorun Ni’am. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga. cet.II. Jakarta: Elsas, 2008. Soebekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 2003. __________. Kamus Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, 2005. Soimin, Soedaryo. Kitab Undang- Undang Hukum Perda. Jakarta: Sinar Grafika, 2007. Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqih Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: Pustaka Mina, 2008. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. cet.III. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009. Thalib, Sayuti. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: UI Press, 1986. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Wawancara Pribadi dengan Asadurrahman. Bekasi. 15 Januari 2014
PEDOMAN WAWANCARA
1. Selama Bapak/ Ibu bertugas di Pengadilan Agama Cikarang, Apakah pernah Bapak/ Ibu menangani perkara hadhanah ? 2. Berapa banyak perkara yang diterima Pengadilan Agama Cikarang dalam masalah hadhanah ditahun 2012-2013 ? 3. Siapa yang paling banyak menggugat hadhah, apakah Ibu atau Ayah ? 4. Alasan apa saja yang mendasari gugatan hadhanah tersebut ? 5. Apa yang menjadi kriteria seseorang itu layak mendapatkan hadhanah ketika terjadi perceraian ? 6. Apa saja penyebab sulitnya pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di Pengadilan Agama Cikarang ? 7. Bagaimana upaya
Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya pelaksanaan
eksekusi hadhanah ?
8. Dasar hukum apa yang dipakai untuk melaksanakan eksekusi hadhanah ? 9. Apakah ada sanksi khusus bagi seseorang yang tidak menjalankan putusan hadhanah ?
HASIL WAWANCARA
1. Selama Bapak/ Ibu bertugas di Pengadilan Agama Cikarang, Apakah pernah Bapak/ Ibu menangani perkara hadhanah ? Jawaban : Pernah 2. Berapa banyak perkara yang diterima Pengadilan Agama Cikarang dalam masalah hadhanah ditahun 2012-2013 ? Jawaban : Selama rentan waktu 1 (tahun) yaitu tahun 2012, permohonan tentang hak pengasuhan anak (hadhanah) yang masuk sebanyak 8 perkara, dan yang sudah diputuskan sebanyak 5 perkara sehingga tersisa 3 perkara yang belum diputuskan dan ini akan dilanjutkan pada tahun 2013. Selanjutnya selama kurun waktu 1 tahun yaitu tahun 2013, permohonan tentang hak pengasuhan anak (hadhanah) perkara yang masuk sebanyak 4 perkara, kemudian terdapat 3 sisa perkara tahun 2012. Sehingga jumlah perkara yang masuk pada tahun 2013 berjumlah 7 perkara, dan yang sudah di putuskan sebanyak 6 perkara, tersisa 1 perkara yang belum diputuskan dan ini akan dilanjutkan pada tahun berikutnya. Dari data-data yang telah diuraikan sebelumnya diatas dapat diketahui selama kurun waktu tahun 2012 sampai dengan tahun 2013, permohonan tentang hak pengasuhan anak (hadhanah) yang masuk ke Pengadilan Agama Cikarang jumlahnya lumayan cukup banyak yaitu 12 perkara, dan yang sudah di putus 11 perkara sehingga tersisa 1 perkara yang belum di putus. Gugatan hadhanah ini bisa saja mandiri, dengan perceraian, perwalian. Mandiri perwalian pada umumnya anak tersebut sudah pada ibunya jadi untuk kepentingan pembuatan paspor, untuk dibawa keluar negeri imigrasi biasanya memerluakan penetapan pengadilan. 3. Siapa yang paling banyak menggugat hadhah, apakah Ibu atau Ayah ? Jawaban :
Kalaupun berkisar kira-kira 51 : 49, artinya yang mengajukan jumlahnya hampir berimbang baik itu Ibu maupun Ayah 4. Alasan apa saja yang mendasari gugatan hadhanah tersebut ? Jawaban : Biasanya yang merasa anaknya itu diterlantarkan oleh ibu maka ayahnya yang mengajukan dan apabila ayahnya yang menelantarkan maka ibunya yang mengajukan. 5. Apa yang menjadi kriteria seseorang itu layak mendapatkan hadhanah ketika terjadi perceraian ? Jawaban : Dilihat dari umur anak tersebut yang akan di hadhanah, apabila umurnya tersebut dibawah 12 tahun, dalam KHI pasal 105 (a) adalah hak ibunya, akan tetapi kalau ternyata ibunya tidak bisa menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, misalnya ibunya sering keluar malam anaknya ditinggal, ibunya suka mabuk, judi, apakah pasal 105 (a) akan tetap diterapkan ? Dengan begitu ada pasal 156 (c) bisa saja anak tersebut diberikan kepada ayahnya. Jadi tidak kaku melihat kepantingan anak karna hadhanah itu melihat bagaimana kepantingan anak bukan kepntingan ibunya maupun bapaknya, tapi selama anak itu aman baik kepada ibunya maupun bapaknya dan umur anak tersebut belum mencapai 12 tahun maka pada umumnya anak tersebut diberikan kepada ibunya. 6. Apa saja penyebab sulitnya pelaksanaan putusan mengenai hadhanah di Pengadilan Agama Cikarang ? Jawaban : Pertama, Memang orang Indonesia
itu apabila merasa ia dikalahkan
dalam persidangan mereka menganggap putusan yang diberikan majelis hakim tidak adil atau hukum tidak adil artinya kesadaran atau ketaatannya kepada hukum itu masih rendah jangankan para pihak yang merasa dianggap “diperlakukan tidak adil” keputusan Tata Usaha Negara saja kalau pemerintah
disalahkan, apakah pemerintah itu mau melaksanakan dengan suka rela, itulah di Indonesia. Artinya pemerintah itu adalah orang yang mengerti hukum tapi ketika putusan Tata Usaha Negara merugikan pihak pemerintah
terjadi juga perasaan
berat untuk melaksanakan putusan tersebut. Beda dengan di arab misalnya di arab itu tidak ada istilah jumput paksa, anak yang misalnya ada di bapaknya diserahkan ke ibunya atau sebaliknya itu sudah langsung diserahkan tanpa ada pemakasaan karena memang hormat kepada pengadilan, karna rajaannya juga taat misalnya terjadi pembongkaran besarbesaran di sekitar masjidilharam ada yang tidak puas lalu melakukan gugatan ke pengadilan itu kalau memang Negara/kerajaan harus bayar ya bayar. Kedua, karna si anak ada di tangan salah satu orang tuanya (ibu/bapak) ketika diputus sudah pindah alamat atau pindah wilayah dan sulit untuk mencarinya akhirnya apabila terjadi seperti itu penyelesaiannya bukan lewat pengadilan lagi melainkan mencari informasi oleh masing-masing pihak, akibat tidak patuhnya terhadap hukum dan putusan pengadilan. Eksekusi
terhadap
hadhanah ini termasuk perkara yang berat untuk diadili yang bapak dan ibunya itu benar-benar ngotot untuk mengambil dan
mempertahankan anaknya. Kalau
masalah hadhanah pada umumnya pidah alamat kemudian tidak diketahui, jadi tinggal masing-masing cari tau, kalau lewat pengadilan nanti panggil dulu, “bocor” lagi, pindah alamat lagi ahirnya susah. 7. Bagaimana upaya
Pengadilan Agama Cikarang untuk terlaksananya
pelaksanaan eksekusi hadhanah ? Jawaban : Terhadap putusan pengadilan hari ini, para pihak bisa melakukan upaya hukum apabila setelah 14 hari tidak ada upaya hukum, putusannya berkekuatan hukum tetap (BHT). Kalau sudah berkekuatan hukum tetap baru bisa dilaksanakan, pelaksanaannya misalnya eksekusi, kalau tidak ada pelaksanaan secara sukarela pasti meminta bantuan pengadilan agar pihak mau melaksanakan.
Putusan itu harus dieksekusi dan eksekusi itu harus diminta/ ada permohonan eksekusi. Untuk tata cera eksekusinya itu memang dipanggil para pihak, yang rmemohon eksekusi dipanggil yang termohon eksekusi dipanggil untuk melakukan putusan agar secara sukarela, apabila tetap tidak mau maka bisa saja dilaksanakan secara paksa. 8. Dasar hukum apa yang dipakai untuk melaksanakan eksekusi hadhanah ? Jawaban : Tetap bagaimanapun mengggunakan HIR, perdata umum yaitu HIR (untuk wilayah jawa) dan RBG (untuk luar jawa), eksekusi secara umum menggunakan aturan itu, tidak ada itu perkara, nafkah iddah, hadahnah, putusan pengadilan harus dilaksanakan tetap menggunakan aturan-aturan umumnya. Kalau Dulu sebelum Undang-Undang Nomor 7, eksekusi keputusan Pengadilan Agama harus minta bantuan Pengadilan Negeri akan tetapi sekarang Pengadilan Agama bisa melaksanakan eksekusi sendiri namun tetap aturannya menggunakan HIR atau R.Bg. 9. Apakah ada sanksi khusus bagi seseorang yang tidak menjalankan putusan hadhanah ? Jawaban : Bisa saja dengan putusan duangsom (denda keterlambatan) denda perhari. Tetapi apabila pihak yang kena dengan hukuman doangsom itu juga lari kemana, pindah alamat atau wilayah, maka itu akhirnya hanya diatas kertas saja. Pengadilan mungkin kalau ada permintaan itu bisa saja memberikan pertimbangan, misalnya 500 ribu perhari apabila tidak melaksanakan isi putusan. Tetapi apabila pihak yang diberikan menghilang susah. Terwawancara
Dr. Asadurrahman, MH Hakim PA Cikarang
SALINAN PUTUSAN Nomor 0415/Pdt.G/2011/PA.Ckr بسم ا هلل ا لرمحن ا لرحيم
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Cikarang bersidang di Balai Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Tambun Selatan yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara tertentu pada tingkat pertama dengan persidangan Majelis telah menjatuhkan putusan dalam perkara “Cerai Ggugat dan Hadhanah” antara: HERNI SILVIA YOHANA, M, umur 27 tahun, agama Islam, Pekerjaan Karyawati Swasta, Tempat Tinggal di Kampung Mekarsari Timur, RT.003 RW.002, Desa Mekarsari, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, selanjutnya disebut sebagai Penggugat; Lawan WAHYUDI bin SIDJO, M, umur 32 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan Swasta, Tempat Tinggal di Kampung Mekarsari Timur, RT.003 RW.002, Desa Mekarsari, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, selanjutnya disebut sebagai: Tergugat; Pengadilan Agama tersebut; Telah membaca dan mempelajari surat-surat perkara yang bersangkutan; Telah mendengar keterangan Penggugat; Telah membaca dan memperhatikan surat-surat bukti yang diajukan oleh Penggugat; Telah mendengar keterangan saksi-saksi yang dihadapkan oleh Penggugat di persidangan; TENTANG DUDUKNYA PERKARA Menimbang, bahwa Penggugat berdasarkan surat gugatannya tertanggal 25 April 2011, yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Cikarang pada tanggal 26 April 2011 tercatat dalam register perkara dengan Nomor 0415/Pdt.G/2011/PA.Ckr, telah mengajukan permohonan untuk melakukan “cerai gugat dan hadhanah”, terhadap Tergugat dengan dalil-dalil sebagai berikut: 1.
Bahwa Penggugat telah melangsungkan pernikahan dengan Tergugat pada tanggal 08 Maret 2004, yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, sebagaimana ternyata dari Kutipan Akta Nikah Nomor 389/25/V/2004 tertanggal 10 Mei 2004; 2.
Bahwa setelah menikah, Penggugat dan Tergugat tinggal bersama di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, kemudian dikaruniai 1 (satu) orang anak laki-laki bernama VICCAR, umur 5 tahun;
3.
Bahwa sejak awal bulan Maret 2008 rumah tangga Penggugat dan Tergugat mulai tidak harmonis dengan adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus yang disebabkan antara lain: 3.1. Antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak sejalan lagi dalam membina rumah tangga; 3.2. Tergugat sudah tidak memberikan nafkah lahir kepada Penggugat sejak dari tahun 2008 hingga sekarang ini; 3.3. Tergugat tidak mempunyai pekerjaan (pengangguran); 3.4. Tergugat telah melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga);
4.
Bahwa puncak keretakan hubungan rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat terjadi pada tahun itu juga, yang mengakibatkan Penggugat dan Tergugat berpisah ranjang;
5.
Bahwa dengan kejadian tersebut, rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat sudah tidak lagi dapat dengan baik, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah sudah sulit dipertahankan lagi dan karenanya agar
masing-masing pihak tidak lebih jauh melanggar norma agama dan
norma hukum, maka perceraian merupakan alternatif terakhir bagi Penggugat untuk menyelesaikan permasalahan rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat; 6.
Bahwa 1 (satu) orang anak sebagaimana pada posita angka (2) di atas, selain masih di bawah umur dan juga saat ini tinggal bersama Penggugat serta sudah barang tentu masih sangat tergantung kepada kasih sayang Penggugat selaku ibu kandungnya, oleh karenanya demi pertumbuhan fisik dan mental anak tersebut serta semata-mata untuk kepentingannya, maka sudah selayaknya Penggugat ditetapkan sebagai pemegang hak hadhanah dari anak tersebut;
7.
Bahwa Penggugat sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku; Berdasarkan hal-hal di atas, Penggugat memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan
Agama Cikarang c.q Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi sebagai berikut: PRIMAIR : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat; 2. Menjatuhkan talak satu Tergugat (WAHYUDI bin SIDJO, M) kepada Penggugat (HERNI SILVIA YOHANA, M., binti HERMAN JOYO); 3. Menetapkan 1 (satu) orang anak laki-laki hasil perkawinan Penggugat dan Tergugat bernama VICCAR, umur 5 tahun di bawah hadhanah Penggugat; 4. Membebankan biaya perkara sesuai dengan peraturan yang berlaku; SUBSIDAIR : Atau: Apabila Pengadilan Agama Cikarang berpendapat lain, mohon putusan yang seadiladilnya; Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal sidang yang telah ditetapkan untuk memeriksa perkara ini, Penggugat telah hadir sendiri di persidangan, sedangkan Tergugat meskipun telah dipanggil secara patut dan resmi untuk menghadap di persidangan, tidak hadir dan tidak pula mengirimkan orang lain sebagai wakil atau kuasanya di persidangan. Ketidakhadiran Tergugat di persidangan tidak ternyata disebabkan suatu halangan yang sah menurut hukum dan oleh Ketua Majelis, Penggugat telah dinasehati agar tetap mempertahankan rumah tangganya, namun tidak berhasil; Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat tidak hadir dan tidak pula ada petunjuk lain tentang ketidakhadirannnya, maka jawabannya atas gugatan Penggugat tidak dapat didengar: Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil gugatannya, Penggugat telah mengajukan surat-surat bukti berupa : 1. Copy bermaterai cukup Kutipan Akta Nikah Nomor 389/23/V/2004, a.n : Penggugat dan Tergugat, yang aslinya dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada tanggal 10 Mei 2004. Bukti tersebut telah dinazegel oleh Pejabat Kantor Pos. Setelah Majelis membaca dan memperhatikan isinya ternyata telah cocok dengan aslinya, selanjutnya oleh Ketua Majelis diparaf dan ditandai dengan bukti (P.1); Menimbang, bahwa selain telah mengajukan surat-surat bukti tersebut, Penggugat juga telah menghadapkan saksi-saksi di persidangan, masing-masing bernama:
Saksi I: SUYININGSIH binti PRANI, umur 46 tahun, agama Katholik, tempat tinggal di RT.02 RW.014, Kelurahan Kayuringin, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi, di bawah sumpahnya menerangkan sebagai berikut; -
Saya ibu kandung Penggugat;
-
Tergugat menantu saya;
-
Ketika mereka menikah, saya hadir;
-
Setelah mereka menikah, tinggal bersama di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, kemudian pindah ke Kampung Mekarsari, Tambun Selatan, Bekasi, hingga sekarang;
-
Perkawinan mereka telah dikaruniai 1 (satu) orang anak laki-laki bernama VICCAR, umur 5 tahun;
-
Setahu saya, awalnya rumah tangga mereka rukun, tapi sejak bulan Maret 2008 sudah tidak rukun lagi karena Tergugat sudah jarang pulang ke rumah, jarang memberikan nafkah dan hendak menikah lagi dengan wanita lain;
-
Katanya mereka sudah berpisah rumah sejak bulan itu juga hingga sekarang ini;
-
Selaku ibu kandung, saya sudah berusaha merukunkan mereka, tapi tidak berhasil;
-
Saya juga sudah menasehati mereka agar rukun kembali, tapi tidak berhasil;
-
Menurut saya, mereka sudah tidak mungkin untuk dirukunkan lagi;
-
Penggugat sangat layak mengasuh dan memelihara anaknya, karena Penggugat adalah seorang ibu yang baik dan penuh kasih saying di samping itu telah mempunyai penghasilan; Menimbang, atas keterangan saksi di atas, Penggugat membenarkannya;
Saksi II : ALBERTUS bin HADI SUSANTO, umur 38 tahun, agama Islam, pekerjaan Pegawai Swasta, tempat tinggal di RT.01 RW.02, Desa Karang Baru, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, di bawah sumpahnya menerangkan sebagai berikut : -
Saksi adalah saudara sepupu Penggugat dan Tergugat;
-
Sewaktu mereka menikah, saya hadir;
-
Ketika mereka menikah, saya hadir;
-
Setelah mereka menikah, tinggal bersama di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, kemudian pindah ke Kampung Mekarsari, Tambun Selatan, Bekasi, hingga sekarang;
-
Perkawinan mereka telah dikaruniai 1 (satu) orang anak laki-laki bernama VICCAR, umur 5 tahun;
-
Setahu saya, awalnya rumah tangga mereka rukun, tapi sejak bulan Maret 2008 sudah tidak rukun lagi karena Tergugat sudah jarang pulang ke rumah, jarang memberikan nafkah dan hendak menikah lagi dengan wanita lain;
-
Katanya mereka sudah berpisah rumah sejak bulan itu juga hingga sekarang ini;
-
Saya juga sudah menasehati mereka agar rukun kembali, tapi tidak berhasil;
-
Menurut saya, mereka sudah tidak mungkin untuk dirukunkan lagi;
-
Menurut saya Penggugat sangat layak mengasuh dan memelihara anaknya, karena Penggugat adalah seorang ibu yang baik dan penuh kasih saying, di samping itu telah mempunyai penghasilan; Menimbang, bahwa atas keterangan saksi tersebut, Penggugat membenarkannya; Menimbang, bahwa Penggugat tidak mengajukan apapun lagi, selanjutnya telah
menyampaikan kesimpulannya yang pada pokoknya Penggugat menyatakan ingin bercerai dengan Tergugat; Menimbang, bahwa pada akhirnya Penggugat memohon kepada Majelis Hakim agar berkenan menjatuhkan putusannya; Menimbang, bahwa segala sesuatu yang di persidangan ini, telah tercatat di dalam berita acara persidangan, maka untuk meringkas putusan ini, Majelis Hakim memandang cukup dengan menunjuk berita acara persidangan tersebut, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari putusan ini; TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana telah diuraikan di atas; Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal sidang yang telah ditentukan untuk memeriksa perkara ini, Penggugat telah hadir sendiri di persidangan, sedangkan Tergugat meskipun telah dipanggil secara patut dan sah untuk menghadap di persidangan tidak hadir dan tidak mengirimkan orang lain sebagai wakil atau kuasanya. Ketidakhadiran Tergugat di persidangan tidak ternyata terdapat suatu alasan yang dibenarkan oleh hukum. Oleh karena itu, Tergugat harus dinyatakan tidak hadir di persidangan, dan Majelis Hakim telah berusaha secara maksimal mendamaikan mereka, tapi tidak berhasil. Oleh karenanya, pemeriksaan terhadap perkara ini tetap dilanjutkan tanpa kehadiran Tergugat di persidangan berdasarkan ketentuan pada Pasal 125 HIR; Menimbang, bahwa dari posita Penggugat, Majelis Hakim menilai bahwa yang
dijadikan alasan oleh Penggugat adalah karena sejak bulan Maret 2008 antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan Tergugat jarang pulang ke rumah, jarang memberikan nafkah kepada Penggugat dan hendak menikah lagi, akibatnya Penggugat dan Tergugat pisah ranjang hingga sekarang iin, alasan-alasan tersebut dengan Pasal yang diatur secara limitatif di dalam Pasal 19 hurup (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan jo Pasal 116 hurup (f) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi bahwa : “Perceraian dapat terjadi karena alasan : “Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”, dan karenanya secara formal gugatan Penggugat patut diterima dan dipertimbangkan; Menimbang, bahwa berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan Penggugat, Majelis menilai bahwa, oleh karena Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang sah menurut hukum, maka anggapan hukum bahwa, Tergugat telah menyetujui dan mengakui dalil-dalil Penggugat. Oleh sebab itu Majelis Hakim berpendapat bahwa, dalil-dalil gugatan Penggugat dapat dinyatakan telah menjadi dalil-dalil yang tetap; Menimbang, bahwa meskipun dalil gugatan Penggugat tentang adanya perselisihan dan pertengkaran tersebut pada dasarnya telah menjadi dalil yang tetap, namun oleh karena perceraian adalah sesuatu yang sakral dan tidak dibenarkan atas dasar kesepakatan, sementara menurut ketentuan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 sebagaimana telah ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 jo Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, maka Pengadilan Agama dapat mengabulkan gugatan Penggugat setelah dapat mengambil kesimpulan bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga yang sulit untuk dirukunkan lagi, dan telah cukup jelas hal-hal yang menyebabkan perselisihan dan pertengkaran. Oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat perlu menemukan fakta-fakta tidak hanya apakah benar antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan dalam rumah tangga yang sulit untuk dirukunkan lagi, namun juga perlu diketahui apakah yang menjadi sebab perselisihan dan pertengkaran tersebut; Menimbang, bahwa berdasarkan bukti (P.1) berupa copy Kutipan Akta Nikah atas nama Penggugat dan Tergugat, yang menerangkan bahwa Penggugat dan Tergugat telah menikah dan telah dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah. Oleh karena itu, harus dinyatakan telah terbukti bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah terikat dalam perkawinan
yang sah; Menimbang, bahwa berdasarkan dalili-dalil Penggugat yang tidak dibantah Tergugat – oleh karena Tergugat tidak hadir tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum - tentang adanya perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat yang diperkuat dengan keterangan saksi-saksi pada intinya menjelaskan bahwa antara Penggugat dengan Tergugat sejak bulan Juli 2008 telah terjadi perselisihan dan pertengkaran dan puncaknya terjadi pada 2 (dua) tahun yang lalu yang mengakibatkan Penggugat dan Tergugat pisah rumah sampai sekarang, sementara saksi-saksi telah cukup menasehati Penggugat, demikian juga Majelis telah berupaya menasehatinya, tapi Penggugat tetap bersikeras ingin bercerai dengan Tergugat. Hal tersebut menunjukkan bahwa Penggugat sudah tidak lagi berkeinginan membangun rumah tangga dengan Tergugat, maka Majelis dapat menarik suatu kesimpulan yang merupakan fakta adalah bahwa antara Penggugat dengan Tergugat telah terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga; Menimbang, bahwa berdasarkan pengakuan Tergugat sendiri – oleh karena Tergugat tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum - yang diperkuat dengan keterangan saksi keluarga tentang faktor-faktor yang menyebabkan perselisihan dan pertengkaran itu terjadi, maka Majelis Hakim berkesimpulan bahwa yang menjadi sebab perselisihan dan pertengkaran antara Penggugat dengan Tergugat pada intinya adalah halhal sebagaimana yang telah didalilkan oleh Penggugat; Menimbang, bahwa dengan adanya fakta-fakta tersebut telah merupakan bukti bahwa rumah tangga
antara Penggugat dengan Tergugat telah pecah, dan sendi-sendi
rumah tangga telah rapuh dan sulit untuk ditegakkan kembali yang dapat dinyatakan bahwa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat telah rusak (broken marriage), sehingga telah terdapat alasan untuk bercerai sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 19 hurup (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan sejalan dengan ketentuan pada Pasal 116 hurup (f) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Perceraian dapat terjadi dengan alasan antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan hukum Islam yang tersirat dalam surat Ar-Rum ayat 21 dan juga ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa)”, jo Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi: “Perkawinan bertujuan membentuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”, dan jika Penggugat dan Tergugat selaku pasangan suami isteri telah ternyata sudah tidak lagi timbul sikap saling mencintai, saling pengertian dan saling melindungi dan bahkan Penggugat tetap sudah tidak lagi berkeinginan untuk meneruskan rumah tangganya dengan Tergugat, maka agar kedua belah pihak berperkara tidak lagi lebih jauh melanggar norma agama dan norma hukum maka perceraian dapat dijadikan salah satu alternatif untuk menyelesaikan sengketa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat; Menimbang, bahwa oleh karena Tergugat tidak pernah hadir di persidangan meskipun, ia telah dipanggil dengan patut dan resmi berdasarkan ketentuan perundangundangan yang berlaku, sedangkan tidak ternyata ketidakhadirannya itu disebabkan suatu halangan yang sah menurut hukum, sementara gugatan Penggugat tidak melawan hukum, dan dengan didasarkan kepada ketentuan Pasal 125 dan 126 HIR, maka Tergugat yang telah dipanggil dengan patut dan resmi tersebut, harus dinyatakan tidak hadir dan gugatan Penggugat dikabulkan dengan verstek; Menimbang, bahwa Majelis Hakim sependapat dan mengambil alih pendapat ahli fiqih dalam Kitab Ahkamul Qur'an Juz II halaman 405 yang berbunyi :
Artinya : "Barang siapa yang dipanggil untuk menghadap Hakim Islam, kemudian tidak menghadap, maka ia termasuk orang yang dzalim, dan gugurlah haknya"; Menimbang, bahwa berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis sepakat bahwa keinginan Penggugat sebagaimana tercantum pada petitum nomor 2 primer telah patut untuk dikabulkan karena telah memenuhi ketentuan pada Pasal 19 hurup (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan jo Pasal 116 hurup (f) Kompilasi Hukum Islam; Menimbang, bahwa gugatan Penggugat dikumulasikan dengan gugatan tentang hak hadlanah yang merupakan akibat suatu perceraian dan karenanya dengan didasarkan kepada ketentuan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah ditambah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, gugatan
tersebut patut diterima dan dipertimbangkan; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 41 hurup (a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa: “Tentang hak pemeliharaan anak semata-mata didasarkan kepada kepentingan anak”, dan anak yang masih di bawah umur (belum mumayyiz) pada umumnya masih banyak bergantung kepada bantuan/pertolongan ibunya; dan oleh karena telah ternyata bahwa anak-anak tersebut masih di bawah umur dan tidak ternyata bahwa Penggugat telah melakukan sesuatu yang merugikan kepentingan anak, maka dengan didasarkan kepada ketentuan Hukum Islam sejalan dengan bunyi Pasal 105 hurup (a) Kompilasi Hukum Islam, maka permohonan agar Penggugat ditetapkan sebagai pemegang hak hadlanah dari 1 (satu) orang anak laki-laki bernamaVICCA R, umur 5 tahun, Majelis sepakat untuk mengabulkannya; Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan pada Pasal 84 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah ditambah dengan UndangUndang No. 3 Tahun 2006, yang berbunyi: “Panitera Pengadilan atau Pejabat Pengadilan yang ditunjuk, berkewajiban selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi kediaman Penggugat dan Tergugat, untuk mendaftarkan putusan dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu”, dan ayat (2) dari Undang-Undang yang sama menerangkan bahwa : “Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar catatan perkawinan”; Menimbang, bahwa perkara ini termasuk bidang perkawinan, maka sesuai dengan ketentuann pada Pasal 89 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah ditambah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 biaya perkara dibebankan kepada Penggugat; Mengingat, hukum Islam dan semua ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang berhubungan dengan perkara ini; MENGADILI 1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara patut dan resmi untuk menghadap di persidangan tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan verstek; 3. Menjatuhkan talak satu ba'in sughra Tergugat (WAHYUDI bin SIDJO, M) kepada Penggugat (HERNI SILVIA YOHANA, M binti HERMAN JOYO); 4. Menetapkan 1 (satu) anak anak yang bernama VICCAR, umur 5 tahun berada dalam pemeliharaan (hadhonah) Penggugat; 5. Memerintahkan Panitera Pengadilan Agama Cikarang untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal dan tempat perkawinan Penggugat dan Tergugat dilangsungkan untuk dicatat dalam register yang disediakan untuk itu; 6. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 316.000,- (tiga ratus enam belas ribu rupiah); Demikian putusan ini dijatuhkan di Tambun Selatan dalam musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Agama Cikarang pada hari Rabu tanggal 01 Mei 2011 Masehi bertepatan dengan tanggal 28 Jumadil Tsani
1432 Hijriyah. Oleh kami Majelis Hakim yang terdiri dari
Drs. H. HASAN BASRI, SH. MH., sebagai Ketua Majelis dan Drs. CHALID, L, MH serta Drs. M. ANSHORI, SH. MH., masing-masing sebagai Hakim Anggota. Putusan mana pada hari itu juga serta diucapkan oleh Ketua Majelis tersebut dalam sidang yang terbuka untuk umum yang dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota serta dibantu oleh A. DJUDAIRI RAWYIAN, S.H., sebagai Panitera Pengganti dan dihadiri oleh Penggugat tanpa hadirnya Tergugat. Ketua Majelis, TTD Drs. H. HASAN BARI, S.H., M,H Hakim Anggota I,
Hakim Anggota II,
TTD
TTD
Drs. H. CHALID, L, SH. MH
Drs. M. ANSHORI, SH. MH Panitera Pengganti, TTD A. DJUDAIRI RAWIYAN, S.H
Perincian Biaya Perkara : 1. Pendaftaran
: Rp.
2. 3. 4. 5.
PGL Penggugat 2x PGL Tergugat 2x Redaksi Materai Jumlah
: Rp. ,: Rp.,: Rp. 5.000,: Rp. 6.000,: Rp. 316.000,-
Salinan ini sesuai dengan aslinya Panitera
SUMARDI, S.Ag