THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
PELAKSANAAN DIVERSI TERHADAP ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM (Studi Kasus Terhadap Penetapan di Wilayah Pengadilan Negeri Surakarta) Budi Santoso Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Surakarta
[email protected]
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan tentang anak yang berhadapan dengan hukum di dalam hukum pidana positif, mekanisme diversi dengan pendekatan restorative justice dan pertimbangan hukum oleh aparat penegak hukum dari sisi normative. Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normative dengen metode pendekatan kasus dan jenis data bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data studi kepustakaan dari buku mengenai anak yang berhadadapan dengan hukum, masalah mengenai anak dan menganalisa Penetapan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor: 01/Pen.Pid.Diversi/2016/PN.skt dan Nomor: 08/Pen.Pid. Diversi/ 2016/ PN.skt.. dan ditarik menjadi kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian bahwa pengaturan diversi anak yang berhadapan dengan hukum terdapat di dalam Undang-undang Dasar 1945, Undan-undang Perlindungan Anak, Undang-undang Nomor 11 tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2015. Dalam mekanisme diversi dalam pelaksanaanya model victim-offender dan informal mediation dan dalam pertimbangan aparat penegak hukum ada pertimbangan yuridis, sosiologis dan filosofis.
Kata Kunci : anak yang berhadapan dengan hukum, diversi, restoratif justice 1. PENDAHULUAN Undang-undang Dasar 1945 setiap anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlan-gsungan hidup sebuah Bangsa dan Negara. Dengan peran anak yang penting ini, bahwa Negara menjam-in setiap anak berhak atas tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dan di Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang No-mor 23 tahun 2002 Perlindungan Anak mengatakan: “setiap anak dapat hidup, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Sehingga anak di dalam keadaan apapun harus tetap tumbuh dan berkembang sebagaim-ana seharusnya dan bagi anak yang berhadapan dengan hukum harus mendapat keadilan secara
THE 5TH URECOL
1053
filosofis termasuk menggeser pendekatan hu-kum retributif kearah restoratif. Diversi di dalam Pasal 1 angka 7 Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak merupakan proses penye-lesaian perkara anak yang berha-dapan dengan hukum, dari proses peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana, dengan musya-warah yang melibatkan anak, orang tua anak, pembimbing kemasya-rakatan, dengan tujuan menghindari anak dari perampasan kemerdekaan dimaksudkan untuk menjauhkan anak dari proses peradilan pidana, sehingga dapat menghindari stigma-tisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan kembali ke lingkungan sosial. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia dinilai belum berpihak kepada anak pelaku kejahatan atau anak yang berhadapan dengan hukum, produk hukum pidana yang ada saat ini dinilai
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
berakar dari struktur sosial masyarakat yang ada dalam hal ini produk hukum pidana tentang anak-anak hanya mengatur korban kejahatan pidana. Sementara pelaku kejahatan dari kalangan anak-anak nyaris belum mendapat-kan perlakukan hukum secara adil dan rata-rata anak yang terjerat kasus pidana dijebloskan ke penjara parahnya lagi, banyak penjara yang mencampur adukkan antara napi dewasa dengan napi anak-anak. Alasan pemenjaraan, para hakim lebih sering menggunakan kebijakan yudisial dan diskresi, ketimbang pertimbangan sosiologis, tidak hanya itu banyak hakim yang mengabaikan penelitian masyarakat, Padahal tak sedikit struktur masya-rakat di Indonesia yang mengalami patologi sosial dan majelis hakim yang mengabaikan penelitian masy-arakat dari BAPAS. (Solo Pos, 2016) Anak yang masih dibawah umur masih memiliki sifat yang labil dan mudah tidak terkontrol oleh keadaan dari dalam diri sendiri dan lingkungan sekitar, kasus faktanya BRH di BBM oleh temennya bernama KENCIR yang intinya ingin mengajak jalan-jalan ketika di tengah jalan KENCIR menunjukkan sebuah motor yang kunci motornya di tinggal oleh pemiliknya, hasilnya BRH mengambil sepeda motor untuk sebagai transportasi berangkat sekolah. (Balai Pemasayarakatan (BAPAS) Surakarta, 2016) Dalam kasus fakta ini BRH masih kurang memiliki kemampuan pengendalian diri terhadap pengaruh lingkungan pergaulan di luar rumah yang sifatnya negatif, kurangnya penga-wasan kedua orang tua sehingga terpengaruh oleh temen di lingkungan sekitar, dalam melaku-kan tindakan BRH masih tergolong labil, sehingga dalam tindakannya tidak memikirkan akibat yang akan terjadi. Jikalau dilakukan pembalas-an sesuai dengan kesalahan tidaklah efektif perbuatan anak yang dilakuk-annya hanya terpangaruh oleh lingkungan sekitar.
THE 5TH URECOL
1054
UAD, Yogyakarta
Anak yang masih tumbuh menjadi dewasa kurang memiliki kemampuan pengendalian diri, apabila melakukan hal di luar pengendalian diri di lakukan dengan pembalasan sesuai dengan kesalahan tidaklah efektif perbuatan anak yang dilakukannya hanya terpangaruh oleh lingkungan sekitar. Selain itu di penjara atau di lakukan pembinaan merupakan sekolah terbaik bagi penjahat, siapa pun percaya akan hal ini, karena berbagai penelitian lebih dari 70% anakanak yang di penjara akan menjadi residivis, (K, 2015) sehingga penjara atau pembinaan tidak akan membuat anak menjadi jera atau tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Ketidak percayaan kepada penjara atau pembinaan terhadap anak tidak efektif, penulis men-yimpulkan bahwa anak yang berhadapan hukum perlu adanya di lakukan dengan diversi di semua tingkat agar anak tersebut yang masih memiliki masa depan yang panjang dan masih perlu bimbingan kedua orang tua, apabila tidak dilakukan diversi maka banyak anak yang masuk ke penjara atau pem-binaan dan hak-hak anak yang di jamin undang-undang tentang Perli-ndungan Anak banyak yang tidak terpenuhi, sehingga akan menyebabkan anak secara sikis terganggu dan menjadikan anak menjadi bodoh dan mudah dijajah oleh orang lain dan akan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan anak ketika dewasa bisa jadi anak tersebut ketika dewasa menjadi pelaku residivis. Menghadapi kenyataan yang sangat memprihatinkan anak yang masih tumbuh dan berkembang menjadi bagian generasi sebuah Negara dan bangsa harus terbebas dari stigmatisasi sebagai anak kriminal, ketika anak yang berhadapan dengan hukum tidak dilakukan diversi dan justru akan memenjarankan anak adalah perbu-atan yang sangat fatal, terkadang di dalam pelaksanaan diversi terdapat hambatan dari keluarga korban yang ingin memenjarakan pelaku, jika masih ada
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
alternatif yang sangat efektif yaitu diversi dengan pendek-atan restoratife justice lebih ampuh di bandingkan dengan memberikan pembalasan kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
2. KAJIAN LINTERATUR Diversi merupakan sebuah penyelesai perkara anak yang berhadapan dengan hukum yang diatur dalam UU Sistem Peradilan Anak, meskipun mas-alah ini masih menjadi topik hangat, namun sudah banyak penelitian yang dilakukan antara lain oleh Mayasari dalam skripsinya tentang Implementasi Diversi Pelaku Tindak Pidana Anak (Studi Kasus di Kejaksaan Negri Sleman) (http://digilib.uinsuka.ac.id/16985/2/11340180_babi_iv-atau-v_daftar-pustaka.pdf, 2015). Hasil penelitian menun-jukkan bahwa diversi dilakukan pada tahap penuntutan karena dilakukan di kejaksaan penelitian kami ini di tahap penyidikan berati di kepolisian. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Yutirsa Yunus tentang Analisis Konsep Restorative Justice Melalui Sistem Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, dalam jurnal Recthsvinding (Yunus, 2013). Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang beorien-tasi pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan Anak. Hasil penelitian menjelaskan bahwa ada dengan diterapkannya pendekatan resto-rative justice, sehingga ini menjadi kewajiban aparat peneg-ak hukum untuk selalu mengeda-pankan dan mengupayakan mak-simal mungkin penyelasaian dengan cara tersebut. Penelitian kami tidk pendekatan normatif tetapi pada cases approach dan akan mengkaji dari perspektif erapkan model nir litigasi yang diterapkan di tingkat
THE 5TH URECOL
1055
UAD, Yogyakarta
penyidikan. Sehubungan dengan itu perlu dipaparkan konsep dan bentuk – bentuk mediasi penal Mediasi penal merupakan intrumen penanganan perkara pidana bahwa mediasi penal dapat mengurangi perasaan balas dendam korban dengan pelaku tindak pidana dan prosedurnya lebih fleksibel karena tidak ada keharusan untuk mengikuti proses yang ditentukan dalam sistem peradilan pidana, dengan membahas mediasi penal sering dipertanyakan hubungan dengan teori keadilan restorative dengan mediasi penal, karena dialog yang dibangun antara para pihak yang bermasalah merupakan langkah positif. Dengan konsep ini muncul istilah alternative dispute resolution (ADR) yang dalam hal tertentu lebih memenuhi tuntutan keadilan dan relative efisien. ADR merupakan bagian dari konsep restorative justice yang menempatkan peradilan pada posisi mediator. (Sudira, tt) Dalam berbagai berbagai istilah mediasi penal diartikan: “mediation in criminal cases” atau “mediation in penal matters”, mediasi penal merupa-kan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar peradilan (yang dikenal dengan istilah ADR) ADR pada umumnya digunakan di lingk-ungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Nam-un berdasarkan undangundang yang berlaku saat ini pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar peradil-an, walaupun dalam hal tertetu dimungkinkan adanya penyelesa-ian kasus pidana diluar pengadi-lan. Mediasi merupakan perkembangan wacana yang dikaji dari pembaharuan hukum pidana. Dikaji dari dimensi praktik maka mediai
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
penal akan berkorelasi dengan percapaian dunia peradilan. Seiring berjalan-nya waktu dimana semakin lama terjadilah peningkatan jumlah volume perkara dengan segala bentuk maupun variasi yang masuk kepengadilan, sehingga akan berakibat menjadi beban bagi pengadilan dalam memeri-ksa dan memutus perkara sesuai asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. (Arief, 2016 ,Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana , 2002)) Mediasi penal di Indonesia yang dikembangkan dan pada saat ini bertolak dari ide dan prinsip kerja di mulai dari Penanganan konflik merupakan tugas mediator membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan proses mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Berorientasi pada proses, mediasi penal lebih berorintasi pada kualitas proses daripada hasil yaitu menyadarkan pelaku akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak, Para pihak antara pelaku dan korban tidak dilihat sebagai objek dari prosedur pidana, tetapi lebih sebagai subyek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat, diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri. Berdasarkan implementtasi mediasi penal diatas, Barda Nawawi mengelompok mediasi Pidana dengan beberapa model-model dalam pelaksanaan mediasi penal yaitu: (Arief, 2016)
THE 5TH URECOL
1056
UAD, Yogyakarta
1. informal mediation, dilaksa-nakan oleh personil peradi-lan pidana dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal, den-gan tujuan utama tidak mela-njutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan antara korban dan pelaku. 2. victim-offender mediation, Mediasi antara korban dan pelaku merupakan sering digunakan orang dalam menyelesaikan konflik, hal ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen atau kombinasi. Mediasi ini dapat dilakukan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, dan tahap pemidanaan. 3. Reparation negotiation programmes, Model ini sematamata untuk menilai kompensasi yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat peme-riksaan pengadilan. Program ini tidak berhubungan deng-an rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan materil, pelaku tindak pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpang uang untuk membayar ganti rugi. 4. Community panels or courts Merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih feksibel dan informal dan sering
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
melibatkan unsur mediasi dan negoisasi. Penyelesaian perkara anak menurut Undang-undang yang berlaku dapat dilakukan dengan Nir Litigasi yang dalam Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak disebut sebagai penyelesaian secara diversi dengan pendekatan restoratif justice, pada diversi ini dapat ditempuh di semua tahap pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri. Hal ini dapat ditunjukan penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum dalam penetapan pengadilan Nomor: 01/Pen.Pid .Diversi/2016/PN.skt diselesaikan dengan diversi dengan pendekatan restoratif justice di tahap Penyidikan, proses penyelesaian dengan cara diversi ini apabila dilihat dari teori jenis penyelesaian Nir Litigasi masuk dalam kategori mediasi victimoffender media-tion, Mediasi yang dilak-ukan antara korban dan pelaku merupakan sering digunakan orang dalam menyelesaikan anak yang berhadapan dengan hukum, hal ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen atau kombinasi. Mediasi ini dapat dilakukan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, dan tahap pemi-danaan. Karena dalam penye-lesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum dengan mediasi model ini akan berakibat menguntungkan anak yang masih berstatus sebagai pelajar tersebut dan masih perlu bimbingan dari orang tuanya.
THE 5TH URECOL
1057
UAD, Yogyakarta
Pada penetapan nomor: 08/Pen.Pid.Diversi/2016/PN.skt, diselesaikan dengan cara diversi dengan pendekatan restoratif justice pada tahap Penuntutan, karena dalam proses diversi dengan model victimoffender mediation yang dilakukan oleh penyidik tidak berhasil dan keluarga korban menuntut agar kasus anak yang berhadapan dengan tersebut diselesaikan dengan proses peradilan pidana, akan tetapi dalam tahap penun-tutan jaksa penuntut umum memiliki pertimbangan bahwa anak yang sedang berhapadan dengan hukum perlu adanya diversi lagi, walaupun dalam tahap sebelumnya sudah dilaku-kan diversi oleh penyidik, dalam penetapan itu menggunakan model mediasi model informal mediation, dilaksanakan oleh personil peradilan pidana dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal, dengan tujuan utama tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan antara korban dan pelaku. Anak yang berhadapan dengan hukum biasa disebut sebagai anak bekonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidama, untuk keadilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum adalah dipastikan semua anak untuk memperoleh layanan dan perlindungan secara optimal dari sistem peradilan dan proses hukum. Targetnya adalah norm-a-norma, prinsip, dan standar hak-hak anak secara penuh diaplikasikan untuk semua anak tanpa kecuali, baik anak yang berhadapan dengan hukum maupun anak yang berkonflik dengan hukum. Anak berhad-apan dengan
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
hukum berarti anak dalam posisi sebagai korban atau saksi, sedangkan anak berkonflik dengan hukum berarti anak dalam posisi sebagai tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana. Anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami suatu tindak pidana. Dalam hal ini peran aktif dari aparat penegak hukum dalam menang-gulangi kejahatan terhadap anak sangat diperlukan sebagai suatu usaha yang rasional dari masy-arakat, selanjutnya diatur lebih jelas dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sitem peradilan anak, Pasal 90 ayat (1) menjelaskan bahwa anak korban dan anak saksi berhak atas upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga. Rehabilitasi medis merupakan proses kegiatan pengobatan secara terpadu dengan memulihkan kondisi fisik anak, anak korban dan atau anak saksi. Saksi merupakan orang yang dapat memberikan keter-angan guna kepentingan penyeli-dikan, penuntutan dan peradilan, saksi yang di maksud dalam skripsi ini merupakan saksi anak sebagai saksi dalam peradilan pidana, sehingga perlindungan terhadap saksi anak dalam menyelesaikan perkara sangat diperlukan sebagai jaminan akan perlindungan hak asasi anak dan pemenuhan akan hak-haknya, dalam memberikan informasi yang diberikan oleh anak guna kepentingan penyidikan, penun-tutan, dan pengadilan tentang suatu perkara yang terjadi, anak yang menjadi saksi suatu tindak pidana bisa mengalami trauma yang begitu mendalam sehingga dalam memberikan
THE 5TH URECOL
1058
UAD, Yogyakarta
kesaksian sering mengalami kendala. (Wahyudi, 2015) Dengan demikian, dapat disimpulkan anak yang berha-dapan dengan hukum adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak usia muda hai ini cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada kejahatan anak, terlalu ekstrim rasanya seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat. Sistem peradilan pidana anak terdapat aktivitas pemeriksaan dan pemutusan perkara untuk melindungi kepentingan anak sesuai dengan undang-undang nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas undangundang nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang dilakukan oleh semua pihak aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, hakim lembaga permsyarakatan dan pejabat lain yang terlibat di dalamnya yang di dasarkan ada kesejahteraan anak yang akan datang. Polisi selaku penyidik dalam proses pengadilan anak dalam model keadilan restributif, peran polisi sangat dominan. Masyarakat yang mendapati pelaku pelanggaran hukum akan melaporkannya kepada polisi. Tiga tugas polisi sebagai pelayanan masyarakat, pelindung masyarakat, dan penegakan hukum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Proses pengadilan anak baikburuknya diserahkan sepenuhnya kepada polisi, dan masyarakat tahu jadi, tanpa ikut terlibat dalam proses. Pada model keadilan restorative yang terjadi adalah kebalikannya, masyarakat mayor, polisi minor. Peran polisi sebatas sebagai mediator,
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
fasilitator atau pengawasan. Polisi sebagai penyidik anak menunjukkan pasal-pasal atau dalil ketentuan peraturan perundang-undangan peradilan anak, lalu aktor masyarakat dipersilakan mencari jalan keluar terbaik agar terjadi proses perbaikan, pemulihan dan hubungan reintegrasi antara korban dan pelaku, keluarga korban dan keluarga pelaku. 3. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah normative, penelitian hukum normative sama dengan penelitian doktrinal. (Ibrahim, 2006) Karena penelitian ini berupaya untuk menelaah tentang peraturan yang berkaitan dengan anak yang berhadap hukum dan juga penetapan pengadilan yang merupakan putusan diversi. Metode Pendekatan penelitian yang digunakan penulis merupakan pendekatan kasus (case approach). (Marzuki, 2011)i Dalam hal ini penelitian melakukan kajian terhadap putusan berupa penetapan Pengadilan Negeri Surakarta nomor: 01/Pen.Pid.Diversi /2016/PN.skt dan nomor: 08/Pen.Pid.iversi/2016/PN. skt Sifat penelitian deskriptif, sumber data yaitu data sekunder bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode pengum-pulan data kepustakaan. Metode analisis dengan kualitatif. 4. HASIL PEMBAHASAN a. Pengaturan penyelesaian diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum pada hukum pidana positif di Indonesia. Pertama, Undang-unda-ng Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di dalam Pasal 28 B ayat (2) dan Pasal 28 H ayat (2) untuk mendapatkan manfaat, mencapai persamaan dan keadilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum perlu adanya salah satu alternatif
THE 5TH URECOL
1059
UAD, Yogyakarta
yang harus dilakukan oleh berbagai pihak antara lain keluarga, masyarakat, pemerintah dan aparat penegak hukum mulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di Pengadilan Negeri adalah melaksanakan diversi menggunakan pendek-atan restorative justice, dengan adanya alternatif ini maka akan berdampak bagi anak yang berhadapan dengan hukum mendapatkan keadilan dan persamaan dihadapan hukum sehingga dijauhkan dari stigmatisasi sebagai anak kriminal dilingkungan sekitar. Kedua, Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Perlindungan terhadap anak merupakan hal yang harus dilakukan untuk setiap orang, dalam prespektif perlindungan anak, anak harus dilihat oleh semua orang sebagai manusia belum dewasa, sehingga anak yang berhadapan dengan hukum harus di berikan perlindungan dari keluarga, masyarakat, pemerintah dan ketika anak berhadapan dengan hukum maka dilakukan perlindungan semenjak tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan dengan baik, khususnya ketika di dalam penyidikan, karena dalam penyidikan merupakan pertama kali di lakukan penanganan kasus, sehingga anak yang sedang berhadapan dengan hukum maka berbeda hak anak dengan hak orang dewasa berbeda. Ketiga, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Sistem peradilan pidana anak pada Undang-undang nomor 11 tahun 2012 merupakan pemba-haruan dari undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak, dalam undang-undang ini memberikan penga-turan kepada aparat penegak
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
hukum yaitu Penyidik, Jaksa dan Hakim yang menangani kasus anak yang berhadapan dengan hukum harus dilakukan diversi dengan pendekatan restorative justice dalam pertimbangannya aparat peneg-ak hukum haruslah melihat dari penelitian lembaga Permasyara-katan (BAPAS). Diversi merupakan salah satu alternatif penyelesaian kasus anak yang berhadapan merupakan sebagai langkah maju hukum pidana untuk melindungi anak dari perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir Keempat, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2015 tentang pedoman pelaksanaan Peraturan pemerintah ini merupakan hal yang baru, karena baru muncul ketika undang-undang nomor 11 tahun 2012 telah di undangkan terlebih dahulu, baru pada tahun 2015 telah di sahkan peraturan pemerintah ini merupakan dasar pelaksanaan dari undangundang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang berisi mengenai pelaksanaan diversi anak yang berhadapan dengan hukum dan penangan anak yang belum berumur 12 dengan pasal 15 dan pasal 21 ayat (1) akan diserahkan kembali kepada orang tua atau wali dan mengikut sertakan dalam program pendidikan terhadap anak guna pembinaan terhadap anak tersebut. Peraturan pemerintah mengenai pedoman pelaksanaan ini memuat penjelasan tata cara secara menyeluruh mengenai diversi anak yang berhadapan dengan hukum. b. Penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum melalui diversi di wilayah Pengadilan Negeri Surakarta dalam prespektif undang-undang sistem peradilan pidana anak. Diskripsi kasus
THE 5TH URECOL
1060
UAD, Yogyakarta
Pertama, kasus pencurian sepeda motor di proyek bangunan yang mana pelaku mendapatkan BBM dari temennya kencir dan diajak ke sebuah tempat proyek bangunan Kampung Gebang, RT 08, RW 25, Kel. Kadipiro, Kec. Banjarsari, Surakarta, pelaku yang melihat kunci masih tergantung di jok motor membawa sepeda motor tersebut dengan menuntun hingga jauh lalu baru dinyalakan, pelaku agar tidak ketahuan pemiliknya mengganti plat nomor untuk dibawa sekolah. Kedua, pada hari sabtu Pada hari Sabtu tanggal 14 Nopember 2015 sekira Pukul 23.00 pelaku dan temen-temannya pergi ke HIK yang berada di deat SMEA Saraswati Solo Baru, singkatnya pelaku setelah dari HIK berniat untuk jalan-jalan malam tetapi pada saat melewati garansi Bus RAYA ada sekelompok “SH TERATAI” datang secara berkelompok melihat hal itu pelaku sembunyi di kamar mandi dan pintu garansi dikunci, di situ pelaku melihat temennya melihat ada temennya (Hafit dan Feri) yang dikeroyok kemudian SH teratai di bubarkan oleh warga Kampung dan pergi tetapi ada tertinggal satu dan lari ke utara kampung kemudian yang lari tersebut dikejar pelaku bersama temen-temennya dan korban lari menuju ke gang buntu. Selanjutnya pelaku mengambil pengki (ikrak) dan dipukulkan ke bagian kepala korban sekali, kemudian RAKA mengambil batu bata dan dipukulkan ke bagian kepala, saat itu saya pergi dan Klien melihat Nur Prasetyo mengambil kayu balok untuk memukul korban, bata dan dipukulkan ke bagian kepala, saat itu saya pergi dan Klien melihat Nur Prasetyo mengambil kayu balok untuk memukul korban, Berdasarkan kasus pencurian tersebut Perbuatan pelaku Bagas Risky Hartanto merupakan suatu
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
tindak pidana pencurian dalam hal ini pelaku telah melanggar hukum pidana meteril yaitu : Pasal 362 KUHP: Barang siapa menga-mbil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan ma-ksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencur-ian, dengan ringan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah. Pelaku mempunyai niat mengambil sepeda motor dibawa korban selama beberapa hari kemudian pelaku dan KENCIR juga mengganti plat sepeda motornya supaya tidak ketahuan oleh pemiliknya tidak hanya itu pelaku sudah mengecat ulang motor tersebut. Perbuatan pelaku telah meme-nuhi unsur yang diatur di dalam Pasal 362 KUHP. Bagas Risky Hartanto, yang masih berumur 15, dan masih berstatus Pelajar SMK Kristen 2 Surakarta kelas X, dalam praktiknya di dalam hukum positif di Indonesia dengan adanya aturan umum ditentukan lain dalam aturan khusus diatur seperti hanya sistem pemidanaan anak yang terdapat di luar KUHP maka tidak berlaku, sehingga sesuai dengan undangundang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak Pasal 7 ayat (1) dan peraturan pemerintah Republik Indoensia nomor 65 tahun 2015 bahwa anak yang berhadapan dengan hukum harus dilakukan proses diversi anak dengan pendekatan restorative justice pada berbagai tingkatan mulai dari Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Perka-ra di Pengadilan Negeri, apabila dalam tingkatan tersebut tidak dilakukan diversi maka
THE 5TH URECOL
1061
UAD, Yogyakarta
merupakan pelanggaran hak dan pelanggaran perlindungan anak dari proses hukum pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, sebenarnya di dalam hukum pidana positif tidak mengenal perdamaian dalam tindak pidana, karena dalam melakukan tindak pidana yang dilakukan oleh anak maka dari itu memiliki pertimbangan untuk kepentingan anak untuk masa depan sehingga untuk menghentikan penyidikan di lakukan dengan cara mediasi, negoisasi dengan pendekatan restorative justice, dalam proses mediasi aparat penegak hukum sebagai mediator untuk mendapatkan kesepatakan yang bulat. Pada proses penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai saksi, korban maupun pelaku dalam prosesnya anak tidak boleh disebut sebagai tersangka akan tetapi disebut sebagai “Anak” dengan huruf A besar merupakan sudah disebut sebagai tersangka dalam undangundang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak, sehingga dalam proses penyidikan terhadap anak sangat mementingkan kepenti-ngan anak tersebut bahkan ketika anak sedang berstatus sebagai pelajar, maka dalam penyidikan haruslah dilakukan setelah anak itu pulang sekolah barulah dilakukan penyidikan untuk mengungkap tindak pidana tersebut. Mekanisme diversi deng-an pendekatan restorative justice, pada kasus pertama menurut Penulis diversi yang dilakukan oleh penyidik polresta Surakarta terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum dengan pelaku yang masih berstatus Pelajar SMK Kristen 2 Surakarta kelas X dan korban Budi Raharjo, apabila dikaitkan dengan model mediasi dapat dikategorikan sebagai mediasi victim-offender mediation,
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
mediasi antara korban dan pelaku merupakan sering digunakan orang dalam meny-elesaikan konflik, hal ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen atau kombinasi. Mediasi ini dapat dilakukan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksanaan polisi, tahap penuntutan, dan tahap pemidanaan. Sehingga model mediasi ini dilakukan oleh penyidik, jaksa dan hakim yang mempunyai hak diskresi dalam penyelesaian kasus anak yang berhadapan dengan hukum memiliki kewenangan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Penyidik dalam mengambil keputusan untuk kebaikan pelaku atas dasar pengakuan dari pelaku dan penelitian BAPAS, dalam kasus ini dilakukan diversi dengan pendekatan restoratif justice antara pihak pelaku, keluarga pelaku, korban, BAPAS Kota Surakarta dan ketua RT pelaku, dalam prosesnya berhasil di lakukan diversi oleh penyidik dengan kesepakatan keluarga pelaku meminta maaf kepada korban agar tindak pidana tersebut tidak dilakukan proses ke peradilan pidana, dalam model penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum ini merupakan Victim-offender mediation, hal ini keluarga pelaku bersedia untuk memperbaiki sepeda motor yang telah di cat ulang oleh pelaku tersebut. Untuk mendapatkan kekuatan hukum tetap maka kesepakatan diversi, berita acara kesepakatan diversi dan penelitian BAPAS di alihkan ke Pengadilan Negeri Surakarta untuk dilakukan Penetapan oleh Ketua Pengadilan Negeri, dalam penetapan ini Ketua Pengadilan kegiatan keagaman pada pelaku setiap hari harus Sholat Magrib di dekat rumah pelaku.
THE 5TH URECOL
1062
UAD, Yogyakarta
Pada penyelesaian kasus kedua, Menurut Penulis diversi yang dilakukan oleh Aparat penegak hukum baik penyidik dan jaksa penuntut umum terhadap kasus anak yang berhadapan dengan hukum dengan pelaku yang masih dibawah umur dan perlu bimbingan orang tua dengan korban Alvian Denis Irawan, apabila dikaitkan dengan model mediasi dapat dikategorikan sebagai Mediasi model informal mediation, dilaksanakan oleh personil peradilan pidana dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal, dengan tujuan utama tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan antara korban dan pelaku, karena dalam pelaksanaan model victim-offender yang dilakukan oleh penyidik Polres Surakarta tidak berhasil maka jaksa penuntut umum mempunyai diskresi untuk menyelesaikan kasus agar tidak dilanjutkan ke pengadilan sesuai dengan undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang mana termuat dalam pasal 7 ayat (1). Proses diversi di tingkat penuntutan di kejaksaan Negeri Surakarta membuahkan hasil dengan model informal mediation bahwa pelaku, kelua-rga pelaku, korban dan keluarga korban telah terdapat kesepa-katan yang mana pelaku akan mengganti biaya pengobatan sebesar Rp. 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah), Hasil kesepakatan yang dilakukan diversi di tingkat Penuntutan tersebut dibuatkan berita acara diversi, oleh Jaksa penuntut umum untuk dilakukan penet-apan diversi kepada ketua Pengadilan Negeri Surakarta, agar mendapatkan kekuatan hukum tetap. Menurut penulis dapat disimpulkan sesuai bahwa dal-am proses diversi di tingkat dari Penyidikan, Penuntutan dan
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Pemeriksaan di Pengadilan Neg-eri, merupakan proses peralihan dari peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana, terk-adang dalam proses diversi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak terjadi kesepakan antara para pihak terutama pihak korban menuntut ganti kerugian yang sangat banyak hal ini sangat memberatkan pihak kelu-rga pelaku, misalnya orang tua pelaku yang hanya bekerja sebagai buruh cuci pakaian dengan gaji sedikit, untuk mengganti biaya korban dengan rupiah begitu besar apakah mampu? padahal dalam melak-ukan tindak pidana yang dilakukannya hanya karena pengaruh lingkungan, solidaritas antar teman, dalam hal ini pada proses tingkat penuntutan merupakan proses yang dapat dipertanggungjawabkan oleh Penuntut Umum, karena pen-untut umum tidak melanjutkan proses penuntutan akan tetapi melakukan diversi untuk kepe-ntingan anak dan perlindungan anak yang berha-dapan dengan hukum, sesuai dengan Pasal 14 huruf I KUHAP yang mana penuntut umum wajib mela-kukan penghentian penunt-utan sah menurut hukum untuk kepentingan umum. c. Dasar pertimbangan untuk menyelesaikan perkara anak yang berhadapan dengan hukum dengan diversi. Pertama, pertimbangan yuridis sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 ayat (2) setiap anak berhak kelangsungan hidup, tumbuh serta berhak atas perlidungan dan diskriminasi, sosiologis bahwa dalam pertim-bangan selanjutnya anak terse-but masih sekolah di SMK Kristen 2 Surakarta, saat ini masih duduk di kelas X dalam mengikuti pendidikan anak ters-ebut belajar disekolah dengan baik, selalu mengerjakan PR, hormat dan taat kepada guru serta tidak pernah
THE 5TH URECOL
1063
UAD, Yogyakarta
bermasalah dengan siswa lainya dan dalam melakukan tindak pidana pencurian ini baru pertama kali dilakukan olehnya lantaran tidak memiliki transportasi ke sekolah dengan sepeda motor, sebelu-mya belum pernah menghadapi perkara lain selain perkara ini dan yang terakhir pertimbangan filosofis anak dijauhkan dari penjara dan stigmatisasi krmin-inal di lingkungannya. Dapat di lihat pertimbangan perban-dingan diversi atau dilakukan proses pidana oleh penyidik polres Surakarta. Kedua, pertimbangan yu-ridis pertimbangan yuridis sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 ayat (2) setiap anak berhak kelangsungan hidup, tumbuh serta berhak atas perlidungan dan diskriminasi, pertimbangan sosiologis pada tingkat penyi-dikan dilakukan diversi dengan model victim-offender mediation akan tetapi tidak berhasil, sela-njutnya tingkat penuntutan dilakukan diversi informal medi-ation pertimb-angan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum hampir sama dengan di tingkat penyidikan bahwa anak tersebut baru melakukan tindak pidana pertam kali ini, pelaku masih dapat dibimbing oleh orang tua atau wali, pelaku melakukan tindak pidana karena adanya rasa solidaritas antar teman, pelaku melakukan tindak pidana dalam keadaan labil dan emosi, pelaku masih memiliki kehidupan di luar yang panjang dan yang terakhir apabila dalam hal ini tidak dilakukan diversi dan dilakukan penuntutan di Pengadilan Negeri, maka akan menimbulkan masalah yang besar bagi anak tersebut yaitu beban mental, dianggap sebagai anak kriminal, beban fiskis dan masih banyak lagi. Pada tingkat ini pertimbangan diversi yang dilakukan oleh Jaksa penuntut umum berhasil diterima dan mendapatkan kesepakan kedua dan selanjutnya pertimbangan
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
filosofis, bahwa dalam pertimbangan anak yang dilakukan penyidik dan penuntut umum sangat memikirkan jangka panjang apabila anak tersebut tidak dilakukan diversi dan dilakukan proses peradilan pidana maka anak tersebut dalam penjara akan mendapatkan pelajaran tindak pidana yang lebih besar sehingga akan menimbulkan bahaya ketika anak tersebut keluar dari penjara sehingga anak harus dijauhkan dari penjara untuk tidak mendap-atkan stigma negatif sebagai kriminal dilingkungannya. Dap-at dilihat Perbandingan diversi anak yang berhadapann dengan hukum yang dilakukan oleh penyidik dan jaksa penuntut umum. 5. KESIMPULAN
merupak-an model mediasi dilakukan dalam penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan dan model informal mediation, yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk mendapatkan kesepakatan yang bulat antara para pihak yang menguntungkan anak demi masa depan anak yang berhadapan dengan hukum. Ketiga, pertimbangan aparat penegak hukum menyelesaikan per-kara anak yang berhadapan dengan hukum dengan diversi, menurut penulis dalam pelaksa-naannya ada pertimbangan yuridis sesuai dengan UUD 1945 Pasal 28 ayat (2), sosiologis bahwa anak masih diba-wah umur dan masih berstatus sebagai pelajar dan filosofis anak dijauhkan dari penjara dan stig-matisasi krmininal di lingkun-gannya. DAFTAR PUSTAKA
Pertama,pengaturan penye-lesaian diversi anak yang berha-dapan dengan hukum di dalam hukum pidana positif di Indonesia di dalam Undang-undang dasar Negara Republik Indonesia, UUPA, UU sistem peradilan pidana anak Nomor 11 tahun 2012 dan PP Nomor 65 Tahun 2015 telah mengatur mengenai perlindungan anak yang berhadapan dengan hukum untuk mendapatkan kepastian hukum dan tidak ada diskriminasi bagi anak tersebut, bahwa anak berbeda dengan orang dewasa sehingga orientasinya di dalam undangundang itu diatur bahwa anak yang berhadapan dengan hukum dilaku-kan diversi dengan pendekatan restorative justice kalau di dalam istilah perdata mediasi, negoisasi. Kedua, penyelesaian perka-ra anak yang berhadapan dengan hukum melalui diversi dapat dilakukan oleh pihak mulai dari penyidikan, penuntutan dan pengadilan sesuai dengan Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 11 tahun 2012 Sistem peradilan pidana anak, dalam diversi aparat penegak hukum sebagai mediator. Kasus anak yang berhad-apan dengan hukum dalam skripsi ini menggunakan model mediasi victim-offender mediation,
THE 5TH URECOL
UAD, Yogyakarta
Arief,
B. N. (2002). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana . Bandung: Citra Aditya Bakti.
Arief,
B. N. (2016). Mediasi penal Penyelesaian Perkara Pidana di Luar pengadilan. Semarang: Pustaka Magister.
Balai Pemasayarakatan (BAPAS) Surakarta. (2016). Penelitian tentang Anak. Solo: BAPAS dengan No. Register Litmas 13/B/II/2016. harahap, y. (2009 ). acara pidana . jakarta : indonesia . http://digilib.uinsuka.ac.id/16985/2/11340180_babi_iv-atau-v_daftar-pustaka.pdf. (2015, Juni 4). Retrieved from http://www.uin,suka.ac.id: http://www.uin.suka.ac.id Ibrahim, J. (2006). Teori Metodologi & Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media Publishing. K, M. G. (2015). Durhaka Kepada Anak Refleksi Mengenai Hak dan
1064
ISBN 978-979-3812-42-7
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
perlindungan Anak . Yogyakarta: Pustka Baru Press. Marzuki, P. M. (2011). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. Solo
Pos. (2016, September 7). http://www.solopos.com2016052090anak-berhadapa-hukumberakhir-dipenjara721069. Retrieved from http://www.solopos.com: http://www.solopos.com
Sudira,
I. K. (tt ). MediasPerkara Penelantara Rumah Tanggai Penal . Yogyakarta: UII Press.
Wahyudi, D. (2015). Perlindungan Hukum Terhadap Anak yang Berhadapan dengan hukum mel-alui pendekatan Restorative Jus-tice. Jurnal Ilmu Hukum , 151 - 156. Yunus, Y. (2013). Konsep Restorative Justice Melalui Sistem Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Rehtsvinding, Volume 2 No 2, 231 - 245.
i)
Case approach menurut Peter Mahmud Marzuki merupakan penelitian dengan pendekatan kasus yaitu penelahaan terhadap kasus yang dipilih untuk kajian dalam penelitiaan
THE 5TH URECOL
1065
ISBN 978-979-3812-42-7