PEJUANG KEMERDEKAAN ADALAH TERORIS? MENJELASKAN PENGERTIAN TERORISME Abdul Muis Naharong Abstract Terrorism is not a new phenomenon. It has been around for centuries. Thousands of books and hundreds of articles have been written on this subject to date but a commonly accepted definition of it is still elusive. Scholars who study terrorism differ as to how to define terrorism, to whom label of terrorist could be applied and what types of action could be considered as terrorism, etc. Hence, this article aims to elaborate the history of the meaning of terrorism, to provide several definitions of this subject and to explain the elements of it contained in the definitions put forward by these scholars. Keywords: terrorism, definition of terrorism, elements of terrorism, freedom fighter. Pendahuluan ‘Terorisme’ adalah sebuah kata yang hampir setiap hari bisa dibaca di koran nasional maupun internasional pasca penyerangan dan penghancuran gedung kembar di New York dan sebagian gedung Pentagon di Washington pada 11 September 2001. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan 9/11 ini membuat terorisme menjadi agenda utama dalam hubungan internasional dan disiplin lain yang sejenis. Banyak buku dan artikel telah diterbitkan, di samping seminar, workshop, diskusi panel yang diadakan khusus membahas terorisme dan sejumlah besar komentar umum mengenai subjek ini di koran-koran dan majalah. Sedemikian banyaknya buku mengenai terorisme diterbitkan pasca 9/11 sehingga memunculkan satu mitos akademik urban, yaitu bahwa setiap beberapa menit satu buku tentang terorisme terbit di suatu tempat di dunia ini (Smith, 2009: 319). Berdasarkan satu penelitian, ditemukan bahwa kurang lebih tiga buku mengenai subjek ini diterbitkan setiap minggu pasca 9/11 (Wight, 2009: 99). Sebelum Juni 2008, 2.281 buku non-fiksi yang di judulnya terdapat kata ‘terorisme’ telah diterbitkan. Sebagai perbandingan, sebelum 9/11, hanya 1.310 buku semacam itu diterbitkan secara keseluruhan. Dengan kata lain, kebanyakan karya mengenai terorisme dalam bentuk buku ditulis dalam tujuh tahun terakhir. Hal ini diimbangi juga dengan meningkatnya secara drastis artikel mengenai terorisme yang diterbitkan di berbagai jurnal ilmiah pasca 9/11 (Silke, 2009: 34-35). Tentu saja jumlah buku dan artikel mengenai subjek tersebut sudah semakin banyak sekarang ini. Meskipun demikian, para ahli yang meneliti terorisme masih berbeda pendapat mengenai subjek ini. Misalnya, apa yang dimaksud dengan terorisme; perbuatan apa saja yang bisa dikategorikan sebagai tindakan terorisme; apakah setiap pelaku kekerasan disebut teroris, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan kaburnya pengertian terorisme yang, selanjutnya, menimbulkan ketidakpastian dan keragu-raguan dalam merespon suatu tindakan terorisme. Oleh karena itu, artikel ini mencoba menelusuri sejarah pengertian terorisme, memberikan definisi terorisme dan menjelaskan unsur-unsur yang terdapat di dalam definisi tersebut yang membedakannya dari tindakan kriminal biasa.
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
A. Sejarah Arti Terorisme Di atas disebutkan bahwa sudah banyak sekali buku dan artikel yang telah ditulis mengenai terorisme. Hanya saja penelitian dan tulisan tentang subjek ini yang begitu banyaknya tidak menghasilkan pengertian yang seragam mengenai fenomena tersebut kecuali bahwa terorisme, seperti yang ditegaskan oleh pakar terorisme Louise Richardson (Horgan, 2005: 1), mengandung arti negatif dan merendahkan (pejorative). Hoffman (1998: 31; 2006: 23), misalnya, mengatakan bahwa terorisme adalah sebuah kata yang mempunyai makna negatif, yang pada umumnya diberikan kepada musuh atau lawan seseorang, atau kepada orang-orang yang dengan siapa seseorang berbeda pendapat. Menurut Merari (2007: 12-13), istilah terorisme juga biasanya digunakan untuk melabel sederetan gejala yang orang-orang tidak suka tanpa berusaha memberikan definisi secara pasti gejala mana yang termasuk tingkah laku teroris. Dengan demikian, kata White (2009: 3), terorisme adalah suatu istilah yang sarat dengan makna negatif dan penghinaan. Di samping istilah terorisme, disepakati mengandung arti pejoratif, para ilmuwan yang meneliti subjek ini juga mengakui bahwa terorisme sulit didefinisikan (lihat, antara lain, Schmid, 2011: 43; White, 2009: 5; Wight, 2009: 99; Hoffman, 1998: 15 dan 28; Hoffman, 2006: 3 dan 20; Krueger, 2007: 14; Krueger dan Maleckova, 2003: 119; Taylor, 2002: 8). Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa terorisme sukar dianalisis atau dipelajari (Tilly, 2004: 5; Jenkins, 2003: 5; Silke, 2009: 34; Canter, 2009: 3). Salah satu penyebab kenapa terorisme sukar didefinisikan adalah karena terorisme merupakan suatu konsep yang diperdebatkan. “Tidak ada definisi terorisme yang secara total disetujui” (Oberschall, 2004: 26), atau “tidak ada definisi terorisme yang diterima secara umum” (Goodwin, 2006: 2027). Orang mempunyai pengertian yang berbeda-beda tentang istilah terorisme dan cakupan dari artinya. Orang-orang yang terlibat di dalam perdebatan tersebut sering mencoba membuat definisi yang sesuai dengan keperluan dan kepentingan mereka. Dengan kata lain, definisi terorisme yang diberikan pada umumnya merupakan refleksi dari kepentingan-kepentingan politik dan penilaian moral dari orang-orang yang memberikan definisi. Di samping itu, seperti halnya dengan isme-isme yang lain, terorisme telah menjadi suatu istilah yang mengandung stigma karena penuh dengan catatan sejarah pembunuhan. Hanya beberapa teroris yang menggunakan istilah tersebut untuk menyebut diri mereka. Mereka biasanya memakai sebutan ‘pejuang kebebasan’, ‘revolusioner’, ‘martir’, ‘pejuang perlawanan’, ‘gerilyawan perkotaan’ dan bahkan ‘tentara’ untuk menyebut diri mereka. Sebagai akibatnya, ‘orang yang disebut oleh seseorang sebagai teroris, bagi orang lain adalah pejuang kemerdekaan’ (Schmid, 2011: 40; Taylor: 2002: 9). Dilema ini terlihat, antara lain, di dalam pernyataan Yaser Arafat, mantan pemimpin PLO yang dituduh oleh Amerika Serikat dan Israel sebagai dalang seranganserangan teroris, ketika ia berpidato di sidang PBB pada 1974. Arafat mengatakan bahwa perbedaan antara seorang revolusioner dengan teroris terletak pada alasan berperang. Barang siapa berdiri di atas satu tujuan yang adil dan berjuang untuk kemerdekaan dan kebebasan negaranya dari para penyerbu … tidak dapat disebut sebagai teroris (dikutip dalam Taylor, 2002: 9; Hoffman, 1998: 26; Hoffman, 2006: 16). Sikap ini diperlihatkan juga oleh para menteri Luar Negeri OKI (Organisasi Konferensi Islam) dalam pertemuan mereka di Malaysia pada 2002, membahas ‘perang melawan terorisme’ yang dilancarkan oleh Amerika Serikat. Pada kesempatan itu mereka mengeluarkan deklarasi yang 260
Abdul Muis Naharong Pejuang Kemerdekaan adalah Teroris? Menjelaskan Pengertian Terorisme
menentang setiap definisi yang menggambarkan PLO, Hamas dan Hezbollah sebagai teroris. Menurut mereka, kekerasan-kekerasan politik yang muncul dari kelompokkelompok tersebut dipicu oleh frustasi yang dalam dan sudah lama dirasakan akibat pendudukan dan kebijakan-kebijakan Israel (Wight, 2009: 101; lihat juga White, 2009: 5). Pernyataan serupa yang dikemukakan oleh Arafat dikemukakan pula oleh Ayatullah Muhammad Hussein Fadlallah, pemimpin spiritual kelompok Hezbollah di Lebanon yang bertanggungjawab atas penculikan1 Terry Anderson, jurnalis Amerika yang disandera selama hampir tujuh tahun. Fadlallah menjelaskan bahwa kami tidak menyebut diri kami teroris karena kami tidak percaya pada terorisme. Kami tidak memandang perbuatan melawan orang yang menduduki suatu negara sebagai perbuatan teroris. Kami menganggap diri kami sebagai mujahidin yang melakukan perang suci untuk kepentingan rakyat (dikutip dalam Hoffman, 1998: 30-31; Hoffman, 2006: 23). Dengan demikian, apa yang disebut terorisme, kata Brian Jenkins (dikutip dalam Taylor, 2002: 9: Hoffman, 1998: 31; 2006: 23; lihat juga Moghadam, 2006: 4), tergantung kepada pendapat orang. Penggunaan istilah terorisme mengandung penilaian moral. Apabila satu kelompok berhasil memberikan label ‘teroris’ kepada lawannya, maka kelompok tersebut secara tidak langsung telah meyakinkan orang lain akan pandangan moralnya. Oleh karena itu, keputusan untuk menyebut atau melabel organisasi tertentu sebagai ‘teroris’ hampir tidak dapat dihindari bersifat subjektif, tergantung terutama pada apakah orang tersebut bersimpati atau menentang orang/kelompok/tujuan dari yang bersangkutan. Apabila seseorang menganggap dirinya bagian dari korban kekerasan, maka tindakan tersebut adalah terorisme. Tetapi kalau seseorang menganggap dirinya sebagai bagian dari sipelaku, maka tindakan kekerasan dipandang dengan cara yang lebih simpati, jika tidak positif; bagi orang ini, perbuatan kekerasan itu bukanlah terorisme. Penyebab yang lain kenapa terorisme sukar didefinisikan, menurut Alex Schmid (dikutip dalam White, 2009: 3-4), adalah karena terorisme bukanlah sebuah wujud fisik yang mempunyai dimensi-dimensi yang dapat diukur, ditimbang dan dianalisis. Terorisme adalah suatu konstruk sosial; yaitu terorisme didefinisikan oleh orang-orang yang berbeda-beda di dalam realitas sosial dan politik yang juga berubah-ubah. Definisi suatu konstruksi sosial berubah dengan berubahnya realitas sosial dari kelompok yang memberikan definisi. Konstruksi sosial dari realitas bisa tidak jelas artinya, atau dapat mengancam apabila satu kelompok memaksakan versi realitas dari yang bersangkutan terhadap orang lain. Senada dengan Alex Schmid, White (2009: 5) juga mengatakan bahwa terorisme sulit didefinisikan karena artinya berubah-ubah sesuai dengan konteks sosial dan sejarah. Perubahan arti terorisme terjadi karena terorisme bukanlah sebuah wujud yang solid. Seperti kejahatan, terorisme didefinisikan secara sosial dan artinya berubah dengan terjadinya perubahan sosial. Perubahan-perubahan arti dan penggunaan kata ‘terorisme’ ini lah, kata Hoffman (1998: 28; 2006: 20), yang membuatnya sukar dicarikan suatu definisi yang konsisten. Perubahan arti terorisme dan orang-orang atau kelompok yang dilabel teroris karena berubahnya keadaan sosial, sejarah, dan wacana politik dari setiap masa 1
Harus dicatat bahwa Fadlallah sendiri tidak menyetujui penculikan dan penyanderaan orang asing yang dilakukan oleh anggota kelompok Hezbollah. Dia menegaskan bahwa kedua perbuatan tersebut tidak dibenarkan atas dasar moral dan hukum Islam (Kramer, 1990: 152). 261
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
dielaborasi oleh Hoffman (1998: 15-28; 2006: 3-20). Menurut Hoffman, kata ‘terorisme,’ yang pertama kali dipopulerkan selama Revolusi Perancis, berbeda dengan definisi kontemporer, mempunyai arti yang positif. The Reign of Terror (La Régime de la Terreur),2 nama yang dipakai untuk menyebut pemerintah Perancis periode 1793-4, dipakai sebagai satu cara untuk menegakkan ketertiban selama periode kekacauan dan pergolakan yang anarkis yang timbul setelah pemberontakan 1789. Sistem ini dibuat untuk mengkonsolidasi kekuatan dari pemerintah baru dengan mengintimidasi kontrarevolusioner, orang-orang subversif dan para pembangkang lainnya yang dianggap oleh pemerintah baru sebagai ‘musuh rakyat’. Komite Keselamatan Umum3 diberi kekuasaan luas untuk menangkap dan mengadili dan secara terbuka menghukum mati/memenggal kepala dengan guillotine orang-orang yang melakukan kejahatan penghianatan. Cara ini dipakai untuk memberi pelajaran dan peringatan keras terhadap orang-orang yang berniat menentang revolusi dan ingin menegakkan kembali regim lama (lihat juga Schmid, 2011: 41-42). Pada September 1793, ‘teror’ dinyatakan sebagai instrumen yang sah yang digunakan oleh negara untuk melakukan kekerasan (Schmid, 2011: 42; Taylor, 2002: 23-24). Courier de l’égalité pada masa itu menyetujui hal ini dan menulis bahwa teror yang ditimbulkan oleh guillotine penting disebarluaskan ke seluruh Perancis dan mengadili semua penghianat (Schmid, 2011: 41). Tujuan yang menghalalkan cara teror ini, menurut Chaliand dan Blin (2007: 95), melahirkan apa yang pada abad 20 dikenal dengan istilah “terorisme negara,” suatu praktek yang sangat berkembang dengan lahirnya regim-regim totaliter, seperti Facis, Nazi, dan Stalinis. Dengan alasan mempertahankan kedaulatan rakyat yang diwariskan oleh Masa Pencerahan kepada umat manusia, the Reign of Terror memakai cara-cara kekerasan (memenggal kepala) untuk meredam perlawanan musuh-musuh regim yang berkuasa. Terorisme mungkin, ironisnya, di dalam konteks asalnya juga erat berkaitan dengan ide kebajikan dan demokrasi. Maximilien Robespierre, seorang pengacara dan salah seorang anggota Komite Keselamatan Umum yang paling berpengaruh dan secara de facto menjadi pemimpin kalangan Revolusioner Perancis, sangat percaya bahwa kebajikan itu merupakan kekuatan pemotivasi utama bagi sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat pada masa damai. Tetapi pada masa revolusi, kebajikan itu harus bersekutu dengan teror agar supaya demokrasi bisa menang. Robespierre mengatakan bahwa ‘teror tanpa kebajikan adalah kejahatan; kebajikan tanpa teror adalah sia-sia.’ Dia memproklamirkan bahwa ‘teror tidak lain adalah keadilan, cepat, keras dan kaku; oleh karena itu teror adalah emanasi [akibat alami] dari kebajikan’ (lihat juga Taylor, 2002: 24; Schmid, 2011: 99). Teror, sebagai instrumen pemerintahan, akan memberikan kebajikan, keadilan dan suatu perasaan ketertiban terhadap rakyat, yang mendukung dan mempertahankan yang benar melawan yang salah (Whittaker, 2004: 20). Teror itu, kata Robespierre, bukan merupakan satu prinsip khusus demokrasi tetapi lebih merupakan sebuah akibat dari prinsip umum demokrasi yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang paling mendesak dari negara (Taylor, 2002: 24; Schmid, 2011: 99).
2
Reign of terror adalah suatu periode pembunuhan dan kejahatan-kejahatan kekerasan lainnya yang dilakukan oleh orang atau kelompok tertentu yang menimbulkan ketakutan besar di kalangan publik. 3 Komite ini dibentuk oleh Konvensi Nasional, semacam parlemen Perancis pada masa itu. Komite ini beranggotakan 12 orang yang memimpin the Reign of Terror, mengontrol persidangan dan melaksanakan hukuman mati (Rubin and Rubin, 2008:7). 262
Abdul Muis Naharong Pejuang Kemerdekaan adalah Teroris? Menjelaskan Pengertian Terorisme
Seperti banyak revolusi lainnya, Revolusi Perancis juga menghancurkan dirinya sendiri. Pada 26 Juli 1794, Roberspierre mengumumkan kepada Konvensi Nasional bahwa ia memiliki sebuah daftar baru yang berisi nama-nama penghianat. Kalangan radikal yang khawatir nama-nama mereka ada di daftar tersebut bergabung dengan kelompok moderat menolak Robespierre dan regimnya (the Reign of Terror). Mereka menuduh Robespierre ‘terorisme’, suatu istilah yang mengandung makna kekerasan yang despotik, tidak sah dan sangat tidak menyenangkan, sewenang-wenang dan berlebihan, suatu penyalahgunaan kekuasaan yang melawan hukum (kriminal). Atas dasar ini Robespierre dan para pengikutnya yang paling dekat pada 27 dan 28 Juli 1794 menemui nasib yang sama seperti yang telah menimpa 40.000 orang lainnya, yaitu dihukum mati dengan guillotine (Schmid, 2011: 42). Peristiwa ini mengahiri masa dari the Reign of Terror. Setelah peristiwa ini, terorisme menjadi suatu istilah yang dikaitkan dengan penyalahgunaan jabatan dan kekuasaan dengan implikasi kriminal yang nyata. Menurut Albert Parry (Taylor, 2002: 26), seorang ilmuwan politik, the Reign of Terror merupakan kampanye teror politik yang pertama dalam sejarah yang dibuat oleh wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat dan menjadi sebuah sistem yang disahkan oleh negara. Oleh karena itu, meskipun teror telah digunakan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok sebelum pemerintahan Robespierre, the Reign of Terror lah yang mensistematisasi kekerasan, mensucikannya dengan prestise negara, dan menciptakan suatu ketakutan yang luar biasa dalam cara dan skala yang belum pernah diketahui sebelumnya, suatu cara yang melahirkan konsep terorisme modern. Perubahan sosial dan ekonomi yang besar yang diakibatkan oleh revolusi industri menciptakan ideologi universalis, seperti komunisme/Marxisme, yang lahir dari kondisi alienasi dan eksploitasi dari kapitalisme abad 19. Dari lingkungan semacam ini suatu era terorisme baru muncul, dimana label terorisme dipakai untuk menggambarkan kaum revolusioner yang berontak melawan pemerintah atau negara dalam pengertian sekarang. Penggagas utama dari pengertian ini adalah Carlo Pisacane, seorang ekstrimis berkebangsaan Italia. Teori “propaganda melalui perbuatan” yang dicetuskannya sangat mempengaruhi para pemberontak dan teroris sampai sekarang. Pisacane mengatakan bahwa propaganda dengan ide adalah mimpi yang tidak mungkin terwujud. Ide itu berasal dari perbuatan, bukan sebaliknya, dan rakyat tidak akan bebas apabila mereka dididik, tetapi mereka dididik ketika mereka bebas. Kekerasan itu perlu tidak hanya untuk menarik perhatian kepada, atau untuk menimbulkan publikasi bagi, satu tujuan, tetapi juga untuk memberi informasi, mendidik dan terutama untuk menyatukan masyarakat di belakang revolusi. Tujuan pendidikan dari tindakan kekerasan, menurut Pisacane, tidak mungkin bisa digantikan secara efektif oleh pamplet, poster dinding, atau pertemuan-pertemuan. Diktum “propaganda melalui perbuatan” dari Pisacane mungkin dipraktekkan pertama kali oleh Narodnaya Volya (Kehendak Rakyat), satu kelompok konstitusionalis kecil di Rusia yang didirikan pada 1878 dengan tujuan menentang kekuasaan Kaisar dan membangkitkan para petani untuk melakukan perlawanan (lihat juga Rubin dan Rubin, 2008: 5). “Propaganda melalui perbuatan” bagi kelompok ini berarti pemilihan target individu khusus yang mereka anggap sebagai perwujudan dari negara otokratik yang menindas rakyat (lihat juga Rapoport, 2004: 47 dan 50). Oleh karena itu korban-korban mereka (Kaisar, anggota-anggota utama keluarga kerajaan, pejabat-pejabat senior pemerintah) dipilih dengan sengaja karena nilai simbolik mereka sebagai pemimpin 263
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
dinasti dan agen-agen yang patuh dari regim tiranis dan korup. Dalam melakukan aksi kekerasan, mereka berusaha keras untuk tidak menumpahkan darah selain individu yang mereka jadikan sasaran. “Propaganda melalui perbuatan” dengan target-target individu yang mereka pilih mempengaruhi individu-individu yang revolusioner dan organisasiorganisasi subversif, dan merupakan model yang dicontoh oleh kelompok Anarkis yang baru tumbuh pada masa itu. Menjelang Perang Dunia I, terorisme masih mempunyai makna revolusioner. Pada masa ini terorisme dipakai untuk melukiskan kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh para anarkis, kelompok-kelompok nasionalis yang berontak melawan kekuatan asing, dan organisasi-organisasi politik ultranasionalis (lihat juga White, 2009: 6). Kelompok-kelompok yang menggunakan terorisme pada periode ini, antara lain, adalah gerakan nasionalis militan Armenia, Irlandia dan Serbia. Menjelang tahun 1930an, makna ‘terorisme’ berubah lagi. Pada periode ini terorisme dipakai lebih untuk melukiskan praktek-praktek represi besar-besaran yang dilakukan oleh negara-negara totalitarian dan para pemimpin diktator mereka daripada untuk melukiskan gerakangerakan revolusioner dan kekerasan-kekerasan yang mereka lakukan terhadap pemerintah dan pemimpin mereka. Oleh karena itu istilah ‘terorisme’ memperoleh kembali artinya yang dahulu (pada periode the Reign of Terror di Perancis), yaitu penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah, dan istilah ini digunakan khususnya untuk menyebut regimregim otoritarian yang mengambilalih kekuasaan di Italia (Fasis), German (Nazi) dan Rusia (Stalinis). Setelah Perang Dunia II, arti dari terorisme kembali berubah. Pada masa ini ‘terorisme’ mendapatkan kembali arti revolusionernya. Pada waktu itu istilah tersebut dipakai terutama dalam hubungannya dengan pemberontakan-pemberontakan besar yang dilakukan oleh berbagai macam nasionalis/kelompok-kelompok anti-kolonialis yang muncul di Asia, Afrika, dan Timur Tengah selama tahun 1940an dan 1950an untuk melawan kekuasaan negara-negara Eropa yang terus berlanjut (lihat juga White, 2009: 6). Negara-negara seperti Israel, Kenya, Cyprus dan Aljazair memperoleh kemerdekaan mereka paling tidak sebagian dari hasil gerakan-gerakan politik nasionalis yang menggunakan terorisme melawan kekuasaan kolonial. Selama periode ini juga sebutan “pejuang kemerdekaan” (freedom fighter) menjadi mode sebagai akibat legitimasi politik yang masyarakat internasional (yang simpati dan dukungannya secara aktif dicari oleh banyak gerakan-gerakan ini) berikan kepada perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan nasional dan penentuan nasib sendiri. Banyak negara dunia ketiga yang baru saja merdeka dan negara-negara blok komunis khususnya mengadopsi istilah “pejuang kemerdekaan” ini. Mereka mengatakan bahwa siapa saja yang berperang melawan penindasan dan/atau dominasi Barat seharusnya tidak disebut sebagai ‘teroris’. tetapi patut dianggap sebagai ‘pejuang kemerdekaan’. Hal ini, misalnya, bisa dilihat dalam pernyataan terkenal dari Yasser Arafat, seperti yang dijelaskan di awal tulisan ini. Dari sekitar tahun 1964 sampai akhir 1970 atau awal 1980, terorisme terus dipandang dalam konteks revolusioner. Hanya saja pemakaian istilah ini diperluas mencakup kelompok-kelompok nasionalis dan separatis etnis di luar kerangka kolonial atau neo-kolonial. Mereka adalah organisasi-organisasi yang seluruhnya dimotivasi oleh politik. Kelompok-kelompok ini, misalnya, PLO (Palestine Liberation Organization), kelompok separatis FLQ (Front de Liberation du Quebec) Quebec, ETA (Euskadi ta Askatasuna Basque atau Kemerdekaan bagi Tanah air Basque), RMS (Republik Maluku 264
Abdul Muis Naharong Pejuang Kemerdekaan adalah Teroris? Menjelaskan Pengertian Terorisme
Selatan), menggunakan terorisme sebagai cara untuk menarik perhatian kepada kelompok dan tujuan mereka dan sekaligus untuk menarik simpati internasional. Pada masa ini juga berbagai kelompok ekstrimis politik sayap-kiri (left-wing), yang kebanyakannya berasal dari organisasi mahasiswa radikal dan gerakan-gerakan Marxist/Leninist/Maoist di Eropa Barat, Amerika Latin dan Amerika Serikat, membentuk kelompok-kelompok teroris melawan campur tangan Amerika di Vietnam dan apa yang mereka klaim sebagai kesenjangan sosial dan ekonomi kapitalis modern dan negara demokratis liberal yang tidak mungkin diperbaiki. Pada awal 1980an, terorisme dianggap sebagai cara untuk membuat Barat tidak stabil sebagai bagian dari konspirasi global. Dikatakan bahwa perbuatan-perbuatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok berbeda yang tersebar di seluruh dunia sesungguhnya adalah unsur-unsur yang saling berhubungan dari sebuah rencana rahasia besar-besaran yang diatur oleh Kremlin (Moscow) dan dilaksanakan oleh negaranegara klien Pakta Warsawa untuk menghancurkan Barat. Tetapi pada pertengahan 80an, rangkaian bom bunuh diri yang ditujukan kepada target militer dan diplomat Amerika di Timur Tengah melahirkan apa yang dikenal dengan terorisme yang disponsori oleh negara. Irak, Iran, Libya dan Syria ditengarai sebagai negara-negara yang pemerintahnya aktif mensponsori atau memesan aksi-aksi teroris (lihat juga White, 2009: 6). Oleh karena itu terorisme dihubungkan dengan sebuah jenis peperangan yang tersembunyi atau pengganti peperangan di mana negara-negara yang lemah dapat melawan negara-negara yang lebih besar dan kuat tanpa risiko pembalasan. Pada awal 1990an arti dan penggunaan istilah “terorisme” lebih jauh dikaburkan oleh kemunculan dua kata baru yang membingungkan, yaitu ‘narco-terrorisme’ dan ‘fenomena wilayah abu-abu’ (gray area phenomenon). Istilah yang pertama menghidupkan kembali teori konspirasi yang didalangi oleh Moscow untuk melemahkan negara-negara Barat sekitar satu dekade sebelumnya sambil memperkenalkan dimensi baru perdagangan narkotik. Oleh karena itu ‘narco-terrorisme’ didefinisikan sebagai penggunaan perdagangan obat bius untuk membantu memajukan tujuan-tujuan dari pemerintah (yaitu, antara lain, Uni Soviet, Cuba, Bulgaria, dan Nicaragua) dan organisasi terorisme tertentu. Organisasi-organisasi murni kriminal yang dimotivasi oleh ekonomi melakukan kerjasama strategis dengan organisasi-organisasi teroris dan gerilyawan yang melakukan kekerasan dengan tujuan-tujuan politik. ‘Fenomena wilayah abu-abu’, di lain pihak, dimaksudkan untuk menekankan semakin meningkatnya kecairan dan keragaman sifat dari konflik non-negara dengan berakhirnya Perang Dingin. Istilah ‘fenomena wilayah abu-abu’ ini didefinisikan sebagai ‘ancaman terhadap stabilitas negara-negara bangsa oleh aktor-aktor bukan negara dan proses-proses serta organisasi-organisasi swadaya masyarakat; juga digunakan untuk melukiskan kekerasan yang mempengaruhi ‘daerah-daerah yang luas sekali atau daerah-daerah perkotaan di mana kontrol telah beralih dari pemerintah yang sah kepada kekuatan-kekuatan yang separuh politik dan separuh kriminal; atau semata-mata untuk mengelompokkan ke dalam satu kategori rangkaian konflik-konflik di seluruh dunia yang tidak lagi sesuai dengan pengertian perang yang diterima secara tradisional sebagai perang antara angkatan bersenjata dari dua negara atau lebih, tetapi melibatkan pasukan-pasukan non-reguler sebagai pihakpihak yang berperang. Pada periode ini terorisme telah berubah pengertiannya, yaitu dari suatu fenomena kekerasan yang dilakukan oleh aktor non-negara kepada kekerasan yang 265
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
dilakukan oleh beberapa unsur, atau bagian dari suatu pola yang lebih luas, dari konflikkonflik non-negara. Selanjutnya, menurut Hoffman (2006: 19-20), peristiwa 9/11 merubah lagi pengertian terorisme. Perubahan definisi ini berhubungan dengan respon pemerintah Amerika Serikat terhadap kejadian tersebut. Presiden Bush, dalam merespon insiden 9/11, berulang kali menyebut kata “teror”, yang, menurut Oxford English Dictionary, berarti ‘keadaan dalam ketakutan yang sangat’, dan bukan kata “terorisme” yang mengandung makna politik. Bush menekankan bahwa “perang kita melawan teror dimulai dengan al-Qaeda tetapi tidak berhenti di sana.” Pernyataan ini mengandung arti bahwa siapa saja dan semua yang mengancam dan membuat orang-orang Amerika takut akan diperangi tanpa batas waktu tertentu. Di samping memerangi al-Qaeda, Bush juga memasukkan dalam daftar negara-negara yang mengancam Amerika yang ia sebut sebagai “poros kejahatan” (“axis of evil”), yaitu Irak, Iran, dan Korea Utara serta para diktator jahat di Timur Tengah yang dipercayai memiliki senjata pemusnah masal. Bush dan pemerintahannya sangat khawatir akan kemungkinan para teroris memperoleh senjata pemusnah masal di Irak. Kekhawatiran ini lah yang disebut oleh Bush untuk membenarkan serbuannya terhadap Irak pada 2003. Dengan demikian, ‘perang melawan teror’, di dalam kata-kata Bush, menjadi satu crusade melawan kejahatan dan sekaligus sebagai reaksi terhadap banyaknya ancaman yang baru terhadap keamanan Amerika Serikat. Hal ini menjadi penyebab kenapa terorisme didefinisikan kembali pada abab 21, yaitu memasukkan ke dalam definisi baru ini kekuatan-kekuatan jahat yang mengancam peradaban dan ketakutan yang ditimbulkannya. B. Definisi Terorisme ‘Terorisme’ berasal dari kata terrere (Latin), yang berarti ‘menyebabkan [orang] gemetar’.4 Dengan demikian, terorisme dimaksudkan untuk membuat orang ketakutan (Juergensmeyer, 2000: 5; Tuman, 2003: 2). Arti etimologis dari istilah ‘terorisme’ ini sama sekali tidak rumit, tetapi tidak demikian halnya dengan definisi terorisme. Seperti dijelaskan di atas, definisi terorisme bersifat subjektif. Oleh karena itu, tidak ada satu definisi yang disetujui oleh semua orang. Schmid (2011: 39) mengatakan bahwa ada ratusan definisi terorisme, meskipun hanya mencantumkan 250 definisi dalam buku yang diedit ini. Definisi-definisi tersebut menekankan berbagai macam sifat-sifat terorisme, tetapi daftar sifat-sifat semacam itu bukan lah definisi. Meskipun demikian, 4
Sedangkan ‘teror’ adalah keadaan psikologis pikiran seseorang yang sudah ada berabad-abad lamanya. Kata ‘teror’ ini memperoleh sebagian muatan politik seperti sekarang ini selama Revolusi Perancis 1793-1794. Sebelum ini, konsep ‘teror’ digunakan oleh penulis politik Perancis Jean Bodin pada 1577 untuk menunjuk ketakutan yang disebabkan oleh kekerasan yang berlebihan (Schmid, 2011: 41). Sejak Revolusi Perancis, cakupan kata ‘teror’ meluas. Disamping digunakan untuk menunjuk intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya, seperti pembunuhan-pembunuhan yang dilakukan oleh Stalin untuk membungkam para penentangnya, juga sering dipakai untuk menunjuk serangan-serangan terhadap targettarget pemerintah oleh lawan-lawan dalam negeri, seperti kelompok Separatis Basque, Tentara Republik Irlandia, dan Macan Tamil Srilangka. Selanjutnya, kata ‘teror’ kadang-kadang digunakan untuk menyebut praktek-praktek perang saudara seperti pembunuhan besar-besaran kelompok suku tertentu (ethnic cleansing) dan pembunuhan besar-besaran terhadap anggota kelompok masyarakat tertentu (genocide) (Tilly, 2004: 9). Dalam tataran politik, kata ‘teror’ bisa digunakan untuk perbuatan-perbuatan yang seseorang tidak setujui untuk mencapai suatu tujuan (Tilly, 2005: 18). 266
Abdul Muis Naharong Pejuang Kemerdekaan adalah Teroris? Menjelaskan Pengertian Terorisme
dalam tulisan ini penulis akan memilih tiga definisi dari ratusan definisi yang sudah ada dengan pertimbangan bahwa definisi itu pada hakekatnya tidak mungkin salah atau benar, hanya lebih berguna atau kurang berguna (Berger, 1969: 175; Tilly, 2004: 8). Hal ini, menurut Schmid (White, 2009: 11), dikarenakan terorisme adalah sebuah konsep yang abstrak. Oleh karena itu, satu definisi tidak mungkin menjelaskan semua penggunaan istilah ini. Dengan kata lain, tidak ada satu definisi yang mengandung ‘semua’ unsur yang tercakup di dalam perbuatan terorisme. Menurut Smith (2008: 11), salah satu cara untuk memahami terorisme adalah dengan melihat unsur-unsur yang terkandung di dalam tindakan terorisme. Unsur-unsur tersebut terdapat di dalam definisi-definisi yang diberikan oleh para ahli yang meneliti subjek ini. Oleh karena itu, ketiga definisi terorisme ini penulis pilih karena mencakup ciri-ciri dan unsur-unsur yang, menurut penulis, terdapat di dalam tindakan-tindakan terorisme. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa beberapa unsur yang terdapat di dalam ketiga definisi tersebut masih diperdebatkan oleh para ilmuwan yang meneliti terorisme. Ketiga definisi tersebut adalah sebagai berikut. 1. Definisi terorisme yang dikemukakan oleh Chomsky (Schmid, 2011: 141): “Terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang bersifat politik, keagamaan atau ideologis … melalui intimidasi, paksaan atau menanamkan ketakutan.” 2. Definisi terorisme yang diberikan oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (Schmid, 2011: 141; White, 2009: 7; Hoffman, 1998: 38; Hoffman, 2006: 31): “Istilah ‘terorisme’ berarti kekerasan yang direncanakan yang bermotivasi politik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok bukan negara atau agen-agen rahasia terhadap sasaran-sasaran sipil atau [orang-orang] yang tidak sedang bertempur (noncombatant) yang biasanya dimaksudkan untuk mempengaruhi sebuah audience.” 3. Definisi yang dikemukakan oleh Hudson (1999: 12): Terorisme adalah penggunaan kekerasan yang direncanakan, tidak disangka-sangka, mengejutkan dan tidak sah terhadap orang-orang yang sedang tidak bertempur (noncombatants) (termasuk, disamping orang sipil, anggota militer dan keamanan yang sedang tidak bertugas dalam situasi damai) dan sasaran-sasaran simbolik lain yang dilakukan oleh seorang (banyak) anggota kelompok-kelompok non-negara atau agen/agen-agen rahasia dengan tujuan psikologis untuk mengumumkan suatu tujuan politik atau keagamaan dan/atau mengintimidasi atau memaksa pemerintah atau masyarakat sipil menerima tuntutan-tuntutan berdasarkan tujuan. Dari ketiga definisi di atas, dapat disebut beberapa sifat-sifat atau ciri-ciri terorisme, yaitu: Pertama, kekerasan dilakukan dengan tujuan-tujuan dan motif-motif politik, keagamaan dan ideologi lainnya yang hendak dicapai. Ini merupakan faktor utama yang memisahkan terorisme dari bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Kekerasan yang dilakukan untuk memperoleh keuntungan finansial semata, menurut Lutz and Lutz (2004: 10; 2005: 7), seperti penculikan untuk mendapatkan tebusan atau penggunaan perasaan takut (ancaman) untuk mendapatkan pembayaran dari pedagang sebagai imbalan dari perlindungan yang mereka peroleh itu bukanlah terorisme meskipun perbuatan-perbuatan tersebut menimbulkan ketakutan pada orang yang diculik dan yang diancam. Penculikan dan perampokan bank untuk membiayai kegiatan organisasi 267
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
kelompok teroris supaya dapat melaksanakan program-program kelompok tersebut adalah perbuatan terorisme karena bersifat politik, bukan untuk kepentingan diri pribadi. Di antara motif-motif yang disebutkan tadi, motif politik lah yang paling banyak disebutkan oleh para ilmuwan yang meneliti terorisme. Bahkan Hoffman (1998: 14-15; 2006: 2-3), menegaskan bahwa terorisme, di dalam penggunaan kontemporer yang paling luas diterima, pada dasarnya bersifat politik. Terorisme juga tidak dapat dihindari adalah berkenaan dengan kekuasaan, yaitu pengejaran kekuasaan, pencapaian kekuasaan, dan penggunaan kekuasaan untuk mencapai perubahan politik. Dengan demikian, terorisme adalah kekerasan atau ancaman kekerasan yang digunakan dan diarahkan di dalam mengejar atau melayani suatu tujuan politik. Burgess (2003: 2) menjelaskan bahwa terorisme dipandang sebagai kekerasan politik mungkin karena dari asalnya istilah tersebut merupakan istilah politik yang dipakaikan kepada pengadilan-pengadilan Revolusi Perancis yang aktif selama the Reign of Terror 1793-4. Konotasi politik yang melekat pada terorisme saat itu berlanjut di sepanjang sejarah perkembangannya. Burgess (2003: 3) menambahkan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa terorisme pada dasarnya bersifat politik, sebagaimana halnya dengan ciri-ciri terorisme yang lain, tidak diterima secara universal. Bahkan ia mengklaim bahwa motivasi tidak selalu dianggap sebagai satu faktor dalam menentukan apakah suatu tindakan itu terorisme atau bukan. Adapun tujuan-tujuan politik yang hendak dicapai oleh para pelaku kekerasan bisa berupa kemerdekaan negara dari penjajah, keadilan sosial, perlakuan yang setara bagi sebuah kelompok minoritas, perubahan kebijakan, perubahan pemimpin yang dianggap korup, atau perubahan struktur pemerintahan, dan lain-lain. Di samping motif politik, terorisme dikatakan juga bermotif agama, seperti yang disebutkan oleh Chomsky dan Hudson dalam definisi yang keduanya kemukakan di atas. Di samping ke dua ilmuwan ini, beberapa ilmuwan lainnya juga menyebut hal yang sama. Chris Dishman (Schmid, 2011: 45), misalnya, berpendapat bahwa terorisme tidak selalu dimotivasi oleh politik. Terorisme juga bisa dimotivasi oleh agama dan faktor-faktor lain. Walters Enders and Todd Sandler (Bergesen, 2005: 134) juga menyatakan bahwa terorisme melibatkan motif-motif agama di samping politik dan sosial. Motif keagamaan ini dalam beberapa perbuatan terorisme, menurut Hoffman (1998: 87; 2006: 82), sangat penting. Ia menegaskan bahwa perintah-perintah keagamaan untuk melakukan tindakan terorisme merupakan sifat pemisah (dari tindakan-tindakan terorisme lainnya) yang paling penting dari aktivitas teroris dewasa ini. Hoffman (1993: 2; lihat juga Rapoport, 1990) menyebut teror semacam ini sebagai “teror suci” (holy terror), bukan “teror sekular” (secular terror). Yang sangat menonjol dari teror suci, menurut Hoffman, adalah memiliki sistem nilai yang sangat berbeda dari teror sekular, mempunyai mekanisme legitimasi dan justifikasi, konsep moralitas, dan pandangan hidup dualistik. Bagi teroris keagamaan, kekerasan itu merupakan suatu tindakan agama atau tugas ketuhanan yang dilakukan sebagai respons langsung terhadap perintah yang bersifat teologis. Pape (2005: 99) juga mengakui adanya peran agama dalam terorisme (khususnya terorisme dalam bentuk bunuh diri). Berbeda dengan Hoffman, Pape mengatakan bahwa agama merupakan unsur yang perlu, namun tidak cukup, bagi terjadinya tindakan terorisme. Unsur agama harus disertai dengan perbedaan agama antara orang-orang yang menduduki satu negara dengan penduduk negara tersebut. Di 268
Abdul Muis Naharong Pejuang Kemerdekaan adalah Teroris? Menjelaskan Pengertian Terorisme
samping itu, harus ada juga pemberontakan rakyat dari negara yang diduduki melawan pasukan yang menduduki. Agama, kata Pape (2005: 117), penting terutama dalam konteks mempertahankan negara. Pape (2005: 45 dan 23; Pape dan Feldman: 2010: 2526) menegaskan bahwa pada dasarnya terorisme bunuh diri adalah suatu strategi untuk memperoleh kemerdekaan nasional dari pendudukan militer asing dari satu negara demokratis. Dengan penegasan ini, meskipun Pape mengakui adanya peran agama dalam tindakan terorisme, tetapi ia lebih menekankan peran faktor-faktor politik, yaitu gerakangerakan pembebasan suatu negara. Kedua, satu perbuatan bisa dikatakan terorisme kalau melibatkan kekerasan atau ancaman kekerasan. Kekerasan ini dimaksudkan untuk menimbulkan ketakutan dan perasaan terintimidasi. Aspek ini lah, kata Jackson (2008: 30), yang merupakan tujuan utama dari kekerasan dan bukan hanya sebagai akibat yang tidak disengaja. Bom yang diledakkan di tempat umum atau tindakan penyiksaan yang luas terhadap lawan-lawan regim yang berkuasa jelas dimaksudkan untuk membuat masyarakat luas ketakutan. Lutz dan Lutz (2004:10; 2005:7) mengatakan bahwa tuntutan-tuntutan terjadinya perubahan, demonstrasi dan petisi bukanlah terorisme meskipun hal tersebut mengganggu pemerintah. Suatu ancaman kekerasan bisa efektif kalau kelompok yang bersangkutan dapat menunjukkan bahwa ia mampu dan bersedia melakukan kekerasan. Kelompok yang tidak bisa menunjukkan hal tersebut ancamannya tidak akan dipercaya. Di samping itu, kekerasan bisa dikategorikan sebagai tindakan terorisme kalau perbuatan kekerasan tersebut direncanakan, sebagaimana dikatakan oleh ketiga ilmuwan yang definisinya dicantumkan di atas. Dengan kata lain, terorisme bukanlah suatu tindakan kekerasan yang terjadi secara kebetulan, atau perbuatan kriminal yang tiba-tiba saja terjadi. Kekerasan atau tindakan terorisme, kata Laqueur (1999: 40), melibatkan perencanaan yang hati-hati. Kebiasaan dan pergerakan dari sasaran harus diawasi, senjata harus disiapkan, begitu pula kendaraan dan tempat persembunyian. Tidak kalah pentingnya adalah memperoleh sumber-sumber keuangan dan tenaga untuk membiayai dan melaksanakan operasi para pelaku kekerasan. Ketiga, kekerasan untuk bisa disebut sebagai perbuatan terorisme yang bermotifkan politik, kekerasan tersebut harus mempengaruhi sasaran atau audience di luar target langsung (korban) sebagai bagian dari usaha untuk mencapai tujuan-tujuan politik dari organisasi yang bersangkutan. Sasaran langsung atau korban dari kekerasan bukanlah sasaran utama. Pembunuhan seorang pejabat pemerintah termasuk perbuatan terorisme apabila dimaksudkan untuk mengintimidasi pejabat-pejabat yang lain. Apabila mereka tidak merubah suatu kebijakan atau membuat konsesi maka mereka akan menemui nasib yang sama seperti pejabat yang dibunuh itu. Tetapi apabila pembunuhan tersebut hanya untuk melengserkan dia dari jabatannya, maka itu bukanlah tindakan terorisme. Melakukan pemboman suatu bangunan atau meledakkan bom mobil di tempat keramaian dimaksudkan untuk menunjukkan kepada publik bahwa mereka mudah diserang dan pemerintah tidak mampu melindungi rakyatnya. Ketakutan yang ditimbulkan dapat membuat publik menekan pemerintah merubah kebijakan, atau bisa menyebabkan dukungan publik melemah terhadap pemimpin yang sedang berkuasa. Tindakan kekerasan yang kelihatannya dilakukan sembarangan sebenarnya dirancang untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka dalam keadaan bahaya. Dengan demikian, terorisme pada hakekatnya merupakan sebuah bentuk perang psikologis yang dirancang untuk menimbulkan perasaan takut dan diharapkan dapat mempengaruhi 269
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
masyarakat umum dan pemerintah. Dengan demikian, kekerasan yang dirancang untuk mematahkan semangat lawan dan korban langsung dari kekerasan bertujuan untuk menyampaikan pesan. Itulah sebabnya kenapa kelompok-kelompok teroris mencari publisitas (Lutz and Lutz, 2004: 10). Publisitas ini, menurut Taylor (2002: 11), diperlukan terorisme untuk bisa bertahan hidup. Untuk mencapai tujuan menghasilkan kekhawatiran dan instabilitas yang tersebar luas, maka detail dari tindakan terorisme harus disiarkan kepada sebanyak mungkin orang. Karena alasan-alasan ini lah sehingga para teroris sering memilih sasaran yang mempunyai makna simbolis untuk menjamin adanya peliputan yang maksimum. Karena tindakan terorisme itu bermaksud menyampaikan pesan untuk mempengaruhi publik dan pemerintah, maka beberapa ilmuwan menyebutnya sebagai suatu bentuk komunikasi. Wight (2009: 101), misalnya, mengatakan bahwa “terorisme paling baik dianggap sebagai satu bentuk komunikasi politik yang memakai kekerasan untuk menyebarkan pesannya”. Di samping dianggap sebagai suatu komunikasi politik, tindakan terorisme, menurut Taylor (2002: 10), juga bisa dianggap sebagai suatu taktik, yang biasanya digunakan oleh orang-orang yang merasa tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk menentang atau melawan secara langsung orang-orang yang dianggap musuh-musuh mereka. Semua pelaku dan organisasi teroris memiliki sifat ini, yaitu mereka lebih lemah jika dibandingkan dengan musuh-musuh mereka. Pernyataan bahwa terorisme adalah senjata orang-orang yang lemah, kata Crenshaw (Goodwin, 2006: 2033), merupakan pernyataan yang tepat, meskipun dianggap tidak berarti karena saking seringnya dan berulangkalinya ungkapan itu disebut. Paling tidak ketika pertama kali dipraktekkan, terorisme merupakan strategi orang-orang minoritas yang, berdasarkan penilaian mereka sendiri, kekurangan cara-cara lain untuk mencapai tujuan mereka. Ketika sebuah kelompok menganggap pilihan-pilihannya terbatas, maka terorisme menjadi menarik karena relatif tidak mahal dan merupakan alternatif yang sederhana serta mempunyai potensi keberhasilan yang tinggi. Lutz dan Lutz (2004: 13; 2005: 9) mengatakan bahwa terorisme adalah senjata orang-orang yang lemah secara politik. Mereka melakukan tindakan terorisme ketika mereka tidak dapat menang dalam pemilihan yang demokratis untuk memperoleh cukup kekuasaan guna mengadakan perubahan, ketika pemerintah mengabaikan tuntutan-tuntutan dan protes-protes mereka yang damai, atau ketika pemerintah melakukan represi terhadap mereka sehingga menghalangi usaha-usaha damai lebih lanjut. Oleh karena mereka relatif tidak berdaya dalam setting politik akibat faktor-faktor yang disebutkan tadi, maka mereka melakukan cara-cara yang tidak konvensional untuk meningkatkan basis kekuatan mereka. Terorisme menarik bagi kelompok-kelompok yang lemah karena dapat dilakukan dengan sumber-sumber daya yang terbatas, dengan biaya murah, dan kemungkinan hasilnya tinggi. Crenshaw (1990: 11-12), di lain pihak, mengatakan bahwa ada satu hal yang lebih penting dari sekedar mengatakan bahwa terorisme adalah senjata orang-orang yang lemah, yang mempunyai sedikit anggota atau kekuatan militer konvensional. Hal tersebut adalah penjelasan dari kelemahan ini sendiri, khususnya kenapa sebuah organisasi tidak bisa menarik cukup pengikut untuk merubah kebijakan pemerintah atau bahkan menggulingkannya. Crenshaw memberikan tiga jawaban terhadap pertanyaan ini, yaitu:
270
Abdul Muis Naharong Pejuang Kemerdekaan adalah Teroris? Menjelaskan Pengertian Terorisme
1.
Mayoritas masyarakat tidak menganut ideologi yang sama dengan kelompok perlawanan tersebut, yang mempunyai posisi politik yang begitu ekstrimnya sehingga daya tariknya terbatas. 2. Mereka gagal memobilisasi dukungan. Anggota-anggota kelompok ini tidak bersedia atau tidak dapat memberikan waktu dan usaha yang diperlukan untuk melayani organisasi mereka. Meskipun ketidakpuasan yang dirasakan masyarakat sangat tinggi, tetapi mereka tidak bangkit secara spontan; untuk ini diperlukan mobilisasi. 3. Tindakan represif dari negara. Masyarakat tidak mendukung usaha-usaha perlawanan dari suatu organisasi perlawanan karena mereka takut terhadap sanksi yang diberlakukan oleh regim penguasa atau karena sensor yang dilakukan oleh penguasa sehingga rakyat tidak mengetahui adanya kemungkinan terjadi pemberontakan. Keempat, terorisme melibatkan aktor atau aktor-aktor bukan negara yang melakukan kekerasan terhadap orang-orang yang sedang tidak bertempur (noncombatant), yaitu warga sipil. Definisi yang diberikan Hudson di atas juga memasukkan militer yang tidak sedang bertugas dalam suasana damai sebagai bagian dari noncombatant. Penjelasan Hudson ini sama dengan keterangan yang diberikan oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat terhadap istilah noncombatant yang terdapat di dalam definisi yang dicantumkan di atas. Di dalam laporannya yang diterbitkan di beberapa kesempatan, mereka menjelaskan bahwa noncombatant itu termasuk, di samping warga sipil, anggota militer yang pada saat kejadian tidak bersenjata dan/atau tidak dalam keadaan bertugas. Di lain tempat mereka menyebut noncombatant warga sipil dan anggota militer, baik mereka bersenjata atau tidak, yang tidak bertugas di zona militer atau tempat yang menyerupai peperangan (Schmid, 2011: 46). Penjelasan ini berarti bahwa noncombatant itu tidak hanya warga sipil tetapi juga anggota militer baik yang bersenjata maupun tidak, selama mereka tidak sedang bertugas di zona peperangan atau tempat yang menyerupai peperangan. Penjelasan ini, kata salah seorang responden Alex Schmid, sudah ketinggalan jaman karena di Irak dan Afghanistan para teroris menyerang anggota militer Amerika Serikat, bukan target noncombatant. Seorang responden lain mengatakan hal yang sama, yaitu terorisme bisa juga ditujukan kepada sasaran-sasaran militer (combatant) (Schmid, 2011: 46). Mengenai sasaran terorisme, Jackson (2008: 30) mengatakan bahwa tindakan terorisme ditujukan terutama, tetapi bukan hanya, kepada warga sipil. Ia tidak setuju terhadap pembedaan sipil-militer atau combatant-noncombatant. Hal ini, menurutnya, adalah counter produktif. Sebuah serangan terhadap anggota polisi atau anggota militer yang sedang tidak bertugas yang dimaksudkan untuk menimbulkan ketakutan dan intimidasi masyarakat yang lebih luas atau bagian dari masyarakat, umpamanya, adalah terorisme meskipun tindakan tersebut menghindari jatuhnya korban dari pihak sipil. Kelima, terdapat dua kesalahpahaman tentang terorisme, yaitu: 1. Tindakan terorisme dikatakan dilakukan oleh orang-orang yang tidak rasional dan bahkan gila. Berdasarkan pemeriksaan kejiwaan yang pernah dilakukan terhadap para teroris yang tertangkap, hasilnya menunjukkan bahwa mereka adalah orangorang normal (Taylor, 200: 11).
271
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
2.
Perbuatan terorisme dilakukan secara sembarangan, tanpa memilih korban yang akan dijadikan sasaran. Persepsi ini salah, kata Goodwin (2006: 2031), karena tindakan terorisme sebenarnya diarahkan kepada kategori orang yang spesifik, dan bukan kepada orang lain. Oleh karena itu, ia mengatakan bahwa “indiscriminate terrorism”, yang mengandung pengertian bahwa terorisme merupakan tindakan yang ditujukan kepada sembarang sasaran, lebih tepat disebut sebagai “categorical terrorism”, yang memilih target yang hendak diserang. Goodwin (2006: 2036-7) menjelaskan bahwa para pelaku teror, yang ia sebut sebagai orang-orang revolusioner, tidak menyerang secara sembarangan setiap warga sipil atau noncombatant. Hal ini mereka lakukan karena mereka juga biasanya bermaksud mendapatkan dukungan dan kesetiaan yang aktif dari orang-orang sipil tertentu. Ketika mereka menggunakan strategi categorical terrorism, mereka pada umumnya mengancam dan menyerang “complicitous civilians”, yaitu warga sipil yang dipandang ikut ambil bagian, meskipun secara pasif, dari suatu kejahatan atau perbuatan yang salah. Orang-orang revolusioner menganggap kelompok warga sipil ini “complicitous” karena mereka dipercayai (1) secara rutin mendapat keuntungan dari tindakan-tindakan pemerintah atau negara yang ditentang oleh para revolusioner, (2) mendukung pemerintah atau negara, dan/atau (3) memiliki kemampuan yang besar untuk mempengaruhi atau mengarahkan pemerintah atau negara. Kesimpulan Pengertian istilah terorisme sampai sekarang masih diperdebatkan walaupun sudah kurang lebih satu abad sejak terorisme diteliti oleh para ilmuwan dan setelah ribuan buku dan artikel sudah diterbitkan. Tidak ada definisi yang diterima secara umum. Hal ini disebabkan terorisme adalah satu kata yang penuh dengan muatan emosi dan nilai, dan oleh karena itu bersifat subjektif tergantung kepada orang yang mendefinisikannya. Juga tidak jarang kepentingan pribadi dan kelompok terlibat di dalam memaknai terorisme. Sebagai akibatnya, orang yang disebut teroris, bagi orang lain adalah pejuang kemerdekaan, dan begitu pula sebaliknya. Terorisme dalam sejarah penggunaannya memiliki arti yang berubah-ubah. Pada mulanya, selama the Reign of Terror, terorisme mempunyai arti yang positif walaupun digunakan untuk membungkam rakyat yang hendak menentang pemerintahan yang baru terbentuk di Perancis. Pada masa ini terorisme juga dihubungkan dengan konsep demokrasi. Meskipun dianggap mempunyai pengertian positif, para ilmuwan melihatnya sebagai terorisme negara terhadap rakyatnya dan oleh karena itu mempunyai pengertian negatif. Kemudian terorisme mempunyai pengertian revolusioner dan dipakai oleh kelompok-kelompok yang melawan pemerintah. Terorisme sebagai kekerasan yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya kembali dikenal selama pemerintahan Fasis di Italia, Nazi di Jerman, dan Stalin di Rusia. Dalam perkembangan selanjutnya, sampai sekarang. terorisme yang dilakukan baik oleh aktor-aktor non-negara maupun negara dipandang mempunyai pengertian negatif, meskipun terorisme lebih dinisbatkan kepada kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Sebuah perbuatan dikatakan sebagai terorisme kalau mengandung kekerasan atau ancaman kekerasan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi beberapa sasaran, bukan hanya sasaran (korban) langsung dari kekerasan tersebut. Juga tindakan-tindakan yang dianggap terorisme pada umumnya dipercayai mempunyai motif, seperti politik, 272
Abdul Muis Naharong Pejuang Kemerdekaan adalah Teroris? Menjelaskan Pengertian Terorisme
agama, social, dan ideologi-ideologi yang lain. Satu tindakan kekerasan yang bertujuan untuk kepentingan pribadi bukanlah terorisme. Di antara berbagai macam motif tersebut, banyak ilmuwan yang meneliti terorisme berpendapat bahwa motif politik lah yang melatarbelakangi suatu tindakan terorisme. Tetapi dengan maraknya tindakan-tindakan kekerasan akhir-akhir ini yang diakui para pelakunya berdasarkan agama, maka terorisme dengan motif ini banyak mendapat perhatian dari para ilmuwan yang berkecimpung dalam bidang studi terorisme. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai motif-motif terorisme, harus ditekankan bahwa pada umumnya manusia mempunyai beberapa motif di dalam melakukan sesuatu. Hal ini juga berlaku bagi suatu perbuatan terorisme yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, meskipun ada salah satu motif ini yang lebih dominan, sebagaimana halnya dengan tindakan-tindakan manusia yang lain. ***** Daftar Pustaka Berger, Peter L. 1969. The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. Garden City, N. Y.: Doubleday. Bergesen, Albert J. and Yi Han. 2005. New Directions for Terrorism Research. International Journal of Comparative Sociology, Vol. 46, No. 1-2:133-152. Burgess, Mark. 2003. Terrorism: The Problems of Definition. Center for Defense Information (August):1-9.
Di
http://www.cdi.org/friendlyversion/printversion.cfm?documentID=1564,
diakses
08/18/2005. Butko, Thomas J. 2009. Religion and the “New Terrorism”: Building the Perfect Beast. Religious Studies and Theology, Vol. 28, No. 1: 23-46. Canter, David. 2009. The Multi-Faceted Nature of Terrorism: An Introduction. Dalam David Canter, ed., The Faces of Terrorism: Multidisciplinary Perspectives, 1-18. Oxford, UK dan Malden, MA, USA: Wiley-Blackwell. Crenshaw, Martha. 2007. The Debate over “New” vs. “Old” Terrorism. Makalah yang dipersiapkan untuk dipresentasikan di Pertemuan Tahunan Asosiasi Ilmu Politik Amerika,
di
Chicago,
Illinois
(30
Agustus-2
September).
Di
http://start.umd.edu/start/publications/New_vs_Old_Terrorism.pdf, diakses 03/12/12. _______. 1990. The Logic of Terrorism: Terrorist Behavior As a Product of Strategic Choice. Dalam Walter Reich, ed., Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, 7-24. New York: Cambridge University Press. Drake, C. J. M. 1998. The Role of Ideology in Terrorist’ Target Selection. Terrorism and Political Violence, Vol. 10, No. 2 (Summer): 53-85. 273
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
Goodwin, Jeff. 2007. A Theory of Categorical Terrorism. Social Forces, Vol. 84, No. 4 (June): 2027-2046. Hoffman, Bruce. 2006. Inside Terrorism: Revised and Expanded Edition. New York: University of Columbia Press. _______. 1998. Inside Terrorism. New York: University of Columbia Press. _______. 1993. “Holy Terror”: The Implications of Terrorism Motivated by a Religious Imperative. RAND Paper P-7834. Santa Monica, CA: RAND Horgan, John. 2005. The Psychology of Terrorism. London and New York: Routledge. Hudson, Rex A. 1999. The Sociology and Psychology of Terrorism: Who Becomes A Terrorist and Why?. Washington, D.C.: Library of Congress. Jackson, Richard. 2008. An Argument for Terrorism. Perspective on Terrorism, Vol. 2, No. 2 (January): 25-32. _______. 2008. The Ghosts of State Terror: Knowledge, Politics and Terrorism Studies. Makalah yang dipresentasikan di Konferensi Tahunan Assosiasi Studi Internasional, 26-29 Maret,
San
Francisco,
USA.
Di
http://humansecuritygateway-
com/documents/ISA_theghostsofstateterror.pdf, diakses 03/12/12. Jenkins, Philip. 2003. Images of Terror: What We Can and Can’t Know about Terrorism. New York: Aldine de Gruyter. Jones, James W. 2008. Blood That Cries Out From the Earth: The Psychology of Religious Terrorism. New York: Oxford University Press. Juergensmeyer, Mark. 2000. Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence, Updated Edition with a New Preface. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Kaplan, Jeffrey. 2008. Terrorism’s Fifth Wave: A Theory, A Conundrum and a Dilemma. Perspectives on Terrorism, Vol. 2, No. 2 (January): 12-24. Kramer, Martin. 1990. The Moral Logic of Hizballah. Dalam Walter Reich, ed., Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, 131-157. New York: Cambridge University Press. Krueger, Alan B. 2007. What Makes a Terrorist: The Roots of Terrorism. Princeton and Oxford: Princeton University Press. Krueger, Alan B. and Jitka Maleckova. 2003. “Education, Poverty and Terrorism: Is There a Causal Connection?” Journal of Economic Perspectives, Vol. 17, No. 4 (Fall):119144.
274
Abdul Muis Naharong Pejuang Kemerdekaan adalah Teroris? Menjelaskan Pengertian Terorisme
Laqueur, Walter. 2004. No End to War: Terrorism in the Twenty-First Century. New York: Continuum. _______. 1999. The New Terrorism: Fanaticism and the Arms of Mass Destruction. New York: Oxford University Press. Lutz, James M and Brenda J. Lutz. 2005. Terrorism: Origins and Evolution. New York: Palgrave Macmillan. _______. 2004. Global Terrorism. London and New York: Routledge. Merari, Ariel. 2007. Terrorism as a Strategy of Insurgency. Dalam Gerard Chaliand and Arnaud Blin, eds., The History of Terrorism from Antiquity to al-Qaeda, 12-51. Terj. Kathryn Pulper and Jesse Browner. Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Moghadam, Assaf. 2006. The Roots of Terrorism. New York: Chelsea House. Pape, Robert A. and James K. Feldman. 2010. Cutting the Fuse: The Explosion of Global Suicide Terrorism and How to Stop it. Chicago and London: The University of Chicago Press. Pape, Robert A. 2005. Dying to Win: The Strategic Logic of Suicide Terrorism. New York: Random House. Ranstorp, Magnus. 2009. Mapping Terrorism Studies after 9/11: An Academic Field of Old Problems and New Prospects. Dalam Richard Jackson, Marie Breen Smyth and Jeroen Gunning, eds., Critical Terrorism Studies: A New Research Agenda, 13-33. New York: Routledge. Rapoport, David. C. 2004. The Four Waves of Modern Terrorism. Dalam Audrey K. Cronin dan James M. Ludes, eds., Attacking Terrorism: Elements of a Grand Strategy, 46-73. Washington, D.C.: Georgetown University Press. _______. 1990. Sacred Terror: A Contemporary Example From Islam. Dalam Walter Reich, ed., Origins of Terrorism: Psychologies, Ideologies, Theologies, States of Mind, 103130. New York: Cambridge University Press. _______. 1984. Fear and Trembling: Terrorism in Three Religious Traditions. The American Political Science Review, Vol. 78, No. 3 September): 658-677. Rubin, Barry and Judith Colp Rubin. 2008. Chronologies of Modern Terrorism. New York: M.E. Sharpe. Schmid, Alex P. 2011. “The Definition of Terrorism,” di dalam Alex P. Schmid, ed., The Routledge Handbook of Terrorism Research, 39-61. Abingdon, Oxon.: Routledge.
275
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 9 No. 1 April 2012
Silke, Andrew. 2009. Contemporary Terrorism Studies: Issues in Research. Dalam Richard Jackson, Marie Breen Smyth and Jeroen Gunning, eds. Critical Terrorism Studies: A New Research Agenda, 34-48. New York: Routledge. Simon, Jeffrey D. 2011. Technological and Lone Operator Terrorism: Prospects for a Fifth Wave of Global Terrorism. Dalam Jean E. Rosenfeld, ed., Terrorism, Identity and Legitmacy: The Four Waves Theory and Political Violence, 44-65. New York: Routledge. Smith, M. L. R. 2009. Review Article: William of Ockham, Where Are You When We Need You? Reviewing Modern Terrorism Studies. Journal of Contemporary History, Vol. 44, No. 2: 319-334. Spencer, Alexander. 2006. Questioning the Concept of ‘New Terrorism’. Peace Conflict and Development, Vol. 8 (January): 1-33. Stepanova, Ekaterina. 2008. Terrorism in Asymmetrical Conflict: Ideological and Structural Aspects. New York: Oxford University Press. Taylor, Robert. 2002. The History of Terrorism. N.p.p.: The Lucent Books. Tilly, Charles. 2005. Terror as Strategy and Relational Process. International Journal of Comparative Sociology, Vol. 46, No. 11: 11-32. _______. 2004. “Terror, Terrorism, Terrorists.” Sociological Theory, Vol. 22, No. 1 (March): 513. Tuman, Joseph S. 2003. Communicating Terror: The Rhetorical Dimensions of Terrorism. Thousand Oak, CA: Sage Publications. White, Jonathan R. 2009. Terrorism and Homeland Security. Belmon, CA: Wadsworth Cengage Learning, Six Edition. Whittaker, David J. 2004. Terrorists and Terrorism in the Contemporary World. New York: Routledge. Wight, Colin. 2009. “Theorising Terrorism: The State, Structure and History.” International Relations, Vol. 23, No. 1: 99-106. Wilkinson, Paul. 1981. Can State be ‘Terrorist’? International Affairs (Royal Institute of International
Affaitrs
1944-),
Vol.
57,
No.
3
(Summer):
467-472.
Di
http://www.wagner.edu/departments/gap/site/wagner.edudepartments.gap/files/download.wilkinson can state be terrorist. pdf, diakses 03/12/12.
276