PDF hosted at the Radboud Repository of the Radboud University Nijmegen
The following full text is an author's version which may differ from the publisher's version.
For additional information about this publication click this link. http://hdl.handle.net/2066/94488
Please be advised that this information was generated on 2017-09-22 and may be subject to change.
De Indonesische vertaling van Interculturele communicatie: te veel cultuur, te weinig communicatie? (01 03 2013 reeds toegestuurd), verschenen in: Achmad Sunjayadi, Christina Suprihatin & Kees Groeneboer (eds.) (2011), Empat puluh tahun studi Belanda di Indonesia / Veertig jaar studie Nederlands in Indonesië. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Komunikasi antarbudaya: banyak budaya, kurang komunikasi? Herman Giesbers 1 Komunikasi Berkomunikasi adalah saling bertukar visi. Seorang penutur menyatakan pendapatnya tentang sesuatu, menyuruh seseorang melakukan sesuatu, menuturkan sebuah cerita untuk menghibur pendengarnya atau menjadikan dirinya menarik, atau keduanya sekaligus. Bisa jadi ia sekedar ingin berbincang untuk menciptakan suasana yang menyenangkan. Bagaimanapun, penutur ingin sekali mendapat tanggapan dari orang lain, sehingga ia tahu apa pendapat orang lain tentang visinya, dengan kata lain ia mengharapkan visi orang tersebut. Bila ia mengeluarkan pendapat, apakah sudah jelas, dan jika sudah, apa pendapat lawan bicaranya? Apakah jelas kalau ia menceritakan sesuatu hanya untuk sekedar bergurau dan bukan untuk menggoda seseorang? Apakah si pendengar tahu bahwa pembicara tidak ingin terlibat dalam percakapan yang berat, bahwa ia ingin berbincang sekedar untuk menciptakan suasana yang menyenangkan? Dalam kesempatan ini saya sengaja tidak berbicara mengenai istilah yang terkenal dengan sebutan buizenpostmetafoor (Janssen 2002:13) yaitu bila seseorang mengirimkan pesannya kepada orang lain, yang kemudian membuka pesan tersebut dan mengirimkan kembali pesan baru, dan seterusnya (model pengirim-penerima dari Shannon & Weaver). Dalam berkomunikasi, dan tentunya dalam interaksi lisan, pesan tidak dikemas dan dibuka dan bolak-balik mengudara, melainkan disusun oleh pembicara dan mitra bicara berdasarkan musyawarah bersama. Dengan saling bertukar pendapat (berunding), bertukar visi, maka dua orang atau lebih akan bersepakat bahwa itu adalah sebuah gurauan atau bukan sama sekali. Proses perundingan semacam itu jelas akan berlangsung semakin mudah apabila orang saling mengenal dengan baik, apabila mereka memiliki kerangka acuan yang sama, menginterpretasikan realita dan membentuknya dengan cara yang kurang lebih sama, juga apabila mereka menata dunianya dengan cara yang secara garis besar sama: mereka yang sudah saling mengenal bertahun-tahun, sepenggal kata saja kerap kali sudah cukup.
Budaya Budaya merupakan sumber yang penting bagi kerangka acuan yang terpilah, untuk siapa orang menata dunianya dan itu pun merupakan pertanyaan bagi komunikasi antarbudaya (selanjutnya KA): bagaimana budaya dan perbedaan budaya mempengaruhi komunikasi? Pemikiran yang sudah, maupun yang belum dibicarakan adalah semakin besar perbedaan, maka akan semakin 1
Dr. Herman Giesbers, dosen komunikasi pada Jurusan Komunikasi Perusahaan, Radboud Universiteit Nijmegen dan dosen Pendidikan Guru Bahasa Belanda pada Hogeschool Arnhem dan Nijmegen. Tahun 1990-1993 menjadi dosen tamu pada Program Studi Belanda Universitas Indonesia.
[email protected] Terjemahan: Lilie M. Roosman.
1
besar pula masalah komunikasi (‘gesekan budaya’) tersebut. Dari pemikiran itu pula akan tampak bahwa pada dekade terakhir banyak perhatian dicurahkan untuk perbedaan budaya dan komunikasi antarbudaya. Memang, dunia ini adalah sebuah ‘perkampungan global’ dan migrasi merupakan fenomena global, baik di dalam maupun antar negara. Kesempatan setiap orang untuk bertemu seseorang baik untuk urusan pribadi dan/atau bisnis dengan demikian semakin besar, sehingga tidak akan cukup hanya dengan sepenggal kata. KA sementara ini sudah jauh melewati tahap memberikan tips melepas sepatu saat mengunjungi tetangga yang berasal dari Turki, bagaimana meminum teh saat berkunjung ke keluarga Maroko, atau kebiasaan membuka hadiah. Bukan karena semua itu tidak penting. Kadang-kadang hal-hal praktis semacam itu bahkan dapat menimbulkan luapan emosi dalam debat publik, seperti yang dialami bekas menteri Verdonk yang sebagai seorang wanita tidak mendapat jabat tangan dari seorang pria Muslim. Akan tetapi kebanyakan buku terbaru yang memusatkan perhatiannya pada KA sependapat bahwa ada nilai-nilai yang lebih dalam di balik perbedaan-perbedaan fisik semacam itu. Ini adalah masalah memahami bagaimana orang lain berpikir, menata dunianya, dan bagaimana Anda hidup di dunia ini. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan mengenai bagaimana Anda dan orang lain menjawab pertanyaan seperti: bagaimana kita saling berhadapan sebagai manusia, apa pandangan kita tentang kekuasaan dan hubungan kekuasaan, bagaimana kita melihat hubungan pria dan wanita, bagaimana hubungan kita dengan lingkungan alam kita, bagaimana kita melihat masa lalu dan masa depan? Semua masyarakat mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan semacam itu dan dari jawaban-jawaban tersebut masyarakat dibagi berdasarkan nilai-nilai yang mereka akui. Perbedaan tersebut ternyata tidak dapat dikatakan sebagai perbedaan hitam-putih yang sederhana. Sejauh ini, terutama negara-negara dan kelompok-kelompok etnis yang diteliti, kelompok-kelompok masyarakat saling memiliki perbedaan atau justru persamaan dalam beberapa dimensi nilai. Pembagian dimensi nilai yang terkenal di dunia tak diragukan lagi adalah dari Hofstede (Hofstede 1995, Hofstede dan Hofstede 2005). Awalnya, berdasarkan penelitian terhadap pegawai IBM di seluruh dunia dengan fungsi yang sepadan, ia menemukan bahwa setiap negara menempatkan diri mereka berbeda satu sama lain berdasarkan lima dimensi nilai berikut, yang dirangkum berikut ini berdasarkan kutub-kutub ekstrim. Contoh diambil dari Claes dan Gerritsen (2007): -
-
-
Kolektivisme – individualisme: seseorang memperoleh identitas dari perannya di dalam kelompok (Asia Tenggara) atau dari dirinya sendiri dan apa yang ia lakukan (Eropa Barat)? [N.B. Dimensi ini sama sekali tidak menjelaskan masalah sosial/altruistis versus keegoisan.] Besar – kecil jurang kekuasaan: apakah orang menganggap lumrah apabila kekuasaan tidak terbagi dengan adil (Asia Tenggara) atau tidak (negara-negara berbahasa Inggris, Belanda)? Feminitas – maskulinitas: apakah yang berlaku, baik bagi laki-laki maupun perempuan, kualitas hidup (negara-negara Skandinavia, Belanda; Indonesia dianggap sebagai negara yang pada umumnya berpandangan feminin) atau keberhasilan (negaranegara berbahasa Inggris dan negara-negara berbahasa Jerman, Jepang)? Kuat – lemahnya penghindaran ketidakpastian: apakah orang takut terhadap sesuatu yang tidak dikenal dan lebih suka melihat segala sesuatu yang sedapat mungkin tercatat resmi dan diatur (negara-negara Eropa Selatan, Belgia, Jepang). Orientasi jangka pendek – jangka panjang: apakah investasi harus cepat membuahkan hasil (negara-negara berbahasa Inggris; diikuti Belanda dengan skala rata-rata ) ataukah lebih mengutamakan ketekunan untuk mendapatkan hasil dalam jangka panjang (Asia Timur)?
2
Ada beberapa penulis dengan pengklasifikasian seperti itu (antara lain Blom 2008), dengan dimensi yang lebih sedikit atau lebih banyak, tetapi masalah (hidup) mereka yang dapat ditelusuri, ternyata serupa. The Globe Study (yang berikut ini diambil dari Hoffman 2009:23446) telah merangkum kajian-kajian internasional yang terpenting hingga menghasilkan delapan dimensi kebudayaan: -
Orientasi pada prestasi Orientasi pada masa depan Perlakuan yang sama terhadap pria/wanita Keasertifan: sejauh mana setiap individu asertif, konfrontatif dan agresif dalam hubungannya dengan orang lain Kolektivisme: dibagi menjadi kolektivisme kelembagaan, yaitu alokasi sumber daya bagi masyarakat dan dorongan untuk melakukan aksi bersama, dan kolektivisme ‘kelompok’, yaitu tingkat kebanggaan dan kesetiaan pada organisasi atau keluarga Perbedaan kekuasaan Orientasi pada kemanusiaan: menstimulasi kejujuran, kepedulian dan keramahtamahan Penghindaran ketidakpastian
Berdasarkan hal tersebut untuk 61 kebudayaan nasional dibuat masing-masing sebuah profil. Untuk Indonesia dan Belanda dapat dirangkum sebagai berikut (Hoffman 2009: 245-6): Indonesia mencapai nilai sangat tinggi pada ‘orientasi pada kemanusiaan’. Selanjutnya terarah pada prestasi dan masyarakatnya kolektif [...] baik kelembagaan sosial maupun yang berorientasi ‘dalam kelompok’. Orientasi masa depan dan penghindaran ketidakpastian Indonesia di atas rata-rata, sementara perbedaan kekuasaan dan perlakuan sama pria/wanita tingkatnya sedikit di bawah rata-rata. Tingkat [...] kearsetifan Indonesia cukup rendah. Belanda mencapai nilai yang sangat tinggi pada orientasi masa depan dan pada keindividuan (= sangat rendah pada kolektivisme ‘dalam kelompok’). Yang mengejutkan adalah rendahnya perbedaan kekuasaan [...]. Yang jauh tinggi dibandingkan dengan negara lain adalah dimensi penghindaran ketidakpastian. Selanjutnya Belanda berada di atas rata-rata pada dimensi orientasi pada prestasi, keasertifan, kolektivisme kelambagaan dan perlakuan sama terhadap pria/wanita. Dengan demikian Indonesia dan Belanda memiliki persamaan dalam hal orientasi prestasi, kolektivisme kelembagaan dan orientasi masa depan. Perbedaan kita temukan pada nilai-nilai yang dicetak miring: orientasi ‘dalam kelompok’, perbedaan kekuasaan, perlakuan sama pria/wanita dan keasertifan. Dalam hal penghindaran ketidakpastian kedua negara tampaknya tidak berbeda satu sama lain dan saya perkirakan Belanda, seperti halnya Indonesia, mengutamakan kemanusiaan. Pendekatan multidimensional semacam itu, saya kira, merupakan suatu kemajuan dibandingkan dengan buku-buku resep dengan tips mengenai perbedaan budaya yang tampak dalam makanan, minuman dan sebagainya atau dengan buku-buku studi kasus seperti karya Brandt (1996) tentang Indonesia. Pendekatan ini menyajikan keterangan yang lebih mendalam tentang perbedaan-perbedaan, mengenai bagaimana kami melakukannya seperti yang kami lakukan, dan mereka melakukannya dengan cara yang lebih bernuansa dari sekedar pembagian sederhana seperti dalam Budaya menurut norma yang ketat (Fijnmazige culturen) versus Budaya menurut norma yang lebih bebas (Grofmazige culturen) dari Pinto (1994). Selain itu tampaknya pembagian yang sudah dikenal seperti orientasi yang berkaitan dengan waktu 3
(polikronis versus monokronis – Indonesia versus Belanda) atau gaya komunikasi (konteks kuat = penggunaan bahasa tidak langsung versus konteks lemah = penggunaan langsung – Indonesia versus Belanda) dapat ditempatkan dalam kaitan yang lebih umum. Orientasi waktu polikronis dan komunikasi dengan gaya konteks yang kuat kelihatan misalnya berkaitan erat dengan tingkat kolektivisme yang tinggi. Budaya dan komunikasi Sekarang apa artinya dalam penerapannya apabila kita, katakanlah, tahu bahwa orang Indonesia dan orang Belanda dapat saling memahami dalam hal orientasi prestasi, tetapi dalam hal perbedaan kekuasaan orang Belgia lebih dekat dengan orang Indonesia daripada orang Belanda? Buku-buku terapan mengenai KA (Blom 2008, Claes dan Gerritsen 2007, Hofstede 1995, Hoffman 2009, Nunez, Nunez Mahdi dan Popma 2007) atau yang memberikan perhatian pada KA (Van den Doel 2009, Grit, Guit dan Van der Sijde 2006, De Best, Bothe dan Van de Belt 2008) kerap menggunakan kasus-kasus. Pendekatan yang banyak digunakan adalah bahwa pembaca/peserta kursus harus menjelaskan kejadian-kejadian yang digambarkan dengan menggunakan teori-teori kebudayaan dan perbedaan budaya yang telah diberikan sebelumnya. Beberapa contoh dari Claes dan Gerritsen (2007:126, 209-10, 246). (1) Latihan 3.8 Pergilah ke bioskop Seorang remaja putri asal Flandria yang tinggal setahun dengan keluarga Indonesia, pada suatu hari bertanya kepada ibu angkatnya apakah ia boleh pergi ke bioskop. ‘Tentu saja, pergilah,’ jawabnya. Kemudian si ibu melihat ke luar, ke langit biru yang cerah dan bertanya: ‘Apa menurutmu tidak akan hujan?’ - Pesan apa yang ingin disampaikan oleh si ibu angkat? - Apa yang akan kamu lakukan menurut budayamu? (2) Latihan 5.15 Jeweran ayah angkat Seorang mahasiswa Belanda di Indonesia terheran-heran ketika ayah pada keluarga tempat ia tinggal selama setahun menjewer telinganya karena ia melakukan sesuatu yang tidak disukai si ayah. - Dapat dijelaskan berdasarkan nilai dasar yang mana perlakuan si ayah tersebut? - Mengapa mahasiswa Belanda itu sulit menerima hal tersebut? (3) Latihan 5.18 Perawat Indonesia di Belanda Rumah sakit Palang Merah Den Haag memberikan peringatan keras kepada delapan perawat yang didatangkan dari Indonesia karena menganggap mereka tidak mampu bekerja mandiri. - Berdasarkan nilai dasar yang mana masalah tersebut dapat dijelaskan? (4) Latihan 5.19 Korupsi di Indonesia? Ketika Habibie turun dari jabatannya di Indonesia pada tahun 1999, orang menuduhnya bahwa ia tidak pernah menuntut pendahulunya dan mentornya bertahun-tahun, Suharto, karena korupsi. - Dapat dijelaskan berdasarkan apa perlakuan Habibie tersebut? (5) Latihan 7.16. Pembunuhan di Indonesia Di Indonesia seorang dokter dibunuh setelah ia mengkritiksalah seorang rekan kerjanya. - Terangkan berdasarkan nilai yang mana reaksi yang keras tersebut (pembunuhan berlatar-belakang kritikan) dapat dijelaskan? Latihan (1) merupakan penjelasan mengenai komunikasi dengan konteks yang kuat, (2), (3), dan (4) termasuk dalam satu subbab mengenai persamaan dan perbedaan antara Belanda,
4
Flandria dan budaya-budaya Asia (dan lainnya), dan (5) menutup suatu paragraf tentang penilaian dan komentar konstruktif di dalam suatu bab tentang manajemen antarbudaya. Yang tampak jelas adalah sifat latihan-latihannya yang sangat sugestif. Pertama mereka memberikan sugesti, bukan semata-mata karena formulasi dari pertanyaan-pertanyaannya, bahwa situasi yang digambarkan mewakili suatu negara, dalam hal ini Indonesia, yang bagaimanapun merupakan negara dengan lebih dari 200 juta penduduk. Orang tua angkat di Indonesia memukul Anda karena salah satu nilai dasar di negara tersebut, dan kritik bahkan dapat menyebabkan kematian. Selanjutnya jangan biarkan pertanyaan tersebut menyisakan kesalahpahaman: murid seharusnya memperoleh keterangan untuk situasi yang digambarkan – dengan samar-samar – hanya berdasarkan budaya saja, pun apabila banyak keterangan lain yang jelas-jelas disajikan, seperti pada (4) dan (5). Tampaknya terjadi satu mekanisme yang memang lebih sering kita lihat pada wawasan dan inovasi baru yang begitu banyak membawa pengaruh: segala sesuatu dikaitkan dengan temuan baru yang menarik (seperti internethype, penelitian genetik, pasar terbuka sebelum krisis ekonomi, perubahan iklim). Di sini: gagasan bahwa budaya merupakan penyebab dan solusi untuk segala-galanya. Komunikasi antarbudaya atau pembudayaan? Visi searah (tunnelvisie) semacam itu sesungguhnya, dalam kaitannya dengan KA dan dalam kerangka masyarakat multikultural yang lebih luas, sangat mungkin diperdebatkan. Sudut pandang realita semacam itu menghasilkan pendekatan yang membudayakan, kulturalisme: budaya dan/atau agama dianggap sebagai penjelasan bagi segala sesuatu, dan pandangan semacam ini bukanlah tanpa risiko. - Kebudayaan sendiri tidak menjelaskan apa pun dan dapat disalahgunakan untuk membicarakan apa saja dengan baik. Apabila rumah sakit pada kasus (3) di atas mengikuti penjelasan budaya tentang kurangnya kerja mandiri para perawat Indonesia, maka rumah sakit tersebut tidak perlu melihat organisasinya sendiri atau faktor-faktor lain dengan kritis, yang mungkin ikut berperan menjadikan mereka tidak mandiri, dan dapat menumpahkan kesalahan pada para perawat. Masa depan mereka di Belanda tampaknya buruk. Sebaliknya, pemegang kekuasaan selalu senang dengan penjelasan budaya semacam itu: Habibie (4) tidak perlu bertanggung jawab secara pribadi, tetapi dapat bersembunyi di balik ‘budaya’ (‘Begitulah yang biasa terjadi di negara kami’). - Kulturalisme mengakibatkan generalisasi yang tidak benar dan memperkuat stereotip dan pada gilirannya hal ini memperkuat lagi mentalitas kita/mereka: ‘kita’ berkelakuan normal, ‘mereka’ aneh. Gambaran apa yang diperoleh mahasiswa Belanda tentang Indonesia bila harus menjawab pertanyaan seperti pada soal (2) atau (5)? Mentalitas kita-mereka masih diperkuat lagi dengan kecenderungan untuk tidak menyarankan penjelasan kultural apabila pertanyaannya mengenai perilaku dalam budayanya sendiri. Pada soal (4), untuk menjelaskan perilaku Habibie, Claes dan Gerritsen memberikan sugesti nilai dasar budaya Indonesia. Akan tetapi pada latihan 7.14 dari bab yang sama tentang manajemen antarbudaya (hlm. 263) yang membahas tentang skandal keuangan pada perusahaan Ahold Belanda, kita menemukan pertanyaan seperti: ‘Apakah menurut Anda ini merupakan penipuan? Mengapa?’ Dan ‘Apakah Anda menduga adanya penipuan di perusahaan Belanda?’ dan ini merupakan pertanyaan-pertanyaan yang jauh lebih bernuansa (bervariasi) dibandingkan pada latihan (4). - Karakteristik perorangan dan kualitas individu dipersempit sehingga hanya budayanya saja yang dilihat. Lihat kembali kasus (3) dalam kaitan ini. Apabila pimpinan rumah sakit hanya memperhatikan penjelasan budaya dari perilaku yang diamati, maka hal tersebut
5
dianggap sebagai satu-satunya penyebab dan tidak lagi memperhatikan kualitas individu dan peluang kedelapan perawat masing-masing. - Kulturalisme menciptakan kekhawatiran dan menghambat komunikasi yang asli. Seperti yang diungkapkan seorang mahasiswa pendidikan guru bahasa Belanda: asalkan tidak menjadi kursus ‘belajar berkomunikasi dengan alien’. Kulturalisme menunjukkan bahwa kita harus selalu hati-hati terhadap kesalahpahaman, mencela orang tanpa sadar, melakukan kesalahan yang tidak dapat diperbaiki, dan lain sebagainya. Hal ini menghambat keberanian kita dan penggunaan keterampilan berkomunikasi kita seharihari. - Sejalan dengan butir sebelumnya adalah adanya bahaya perwalian, paternalisme. Tanpa disengaja kebanyakan buku tentang KA menciptakan gambaran tentang orang lain sebagai orang yang tidak tahu menahu tentang kita, orang Belanda/Barat. Mereka adalah orang yang sedikit naif yakni yang tetap hidup dalam dunianya (memang, seorang alien) dan karena itu harus didekati dengan sangat hati-hati, seorang yang harus kita lindungi agar tidak kehilangan muka, malu dan sebagainya. - Akhirnya, yang mengejutkan adalah bahwa hampir tidak pernah diberikan saran komunikasi yang konkret berdasarkan pemikiran kulturalisme ini. Pembaca ternyata harus menemukan sendiri atau paling-paling mendapat saran yang umum atau dangkal seperti ‘jangan terlalu berterus terang’ atau saran untuk orang Indonesia seperti dalam buku Nunez (2007: 25) ‘jangan menulis terlalu formal dan terlalu rumit jika anda mengajukan permohonan kepada orang Belanda melalui email, walaupun orang tersebut mempunyai posisi yang tinggi’. Blom memberikan saran pada butir 8 ‘bergaul dengan orang-orang berbudaya maskulin’: ‘Menunjukkan pengertian dapat disalahartikan. Setelah itu bisa-bisa anda tidak lagi dianggap serius.’ TOPOI: model untuk komunikasi antarbudaya? Hoffman (2001, 2009) memberikan alternatif untuk pendekatan kulturalistis dari satu sisi. Baginya (belajar) melihat dari berbagai sudut pandang harus diutamakan. Intinya adalah bahwa KA, sama seperti semua komunikasi yang lain, dipengaruhi oleh banyak faktor dan bukan hanya faktor budaya. Kesalahpahaman terjadi pada setiap komunikasi, tidak hanya pada KA, dan oleh karena itu kita tidak perlu menjadikan KA lebih istimewa daripada yang ada, tidak perlu menjadikannya ‘eksotis’. Untuk analisis komunikasi (antarbudaya), berdasarkan sistem yang teoretis dari teori komunikasi Watzlawick, Hoffman mengembangkan TOPOI modelnya, singkatan yang bagus untuk kata ‘ ‘tempat-tempat’ dalam bahasa Yunani. Setiap huruf mewakili satu tempat dalam proses komunikasi yang bisa jadi merupakan titik pangkal untuk menganalisis apa yang sedang terjadi. Taal (Bahasa) Anda akan mengira bahasa dengan sendirinya ada dalam komunikasi, namun ternyata yang mengejutkan adalah ia tidak ada dalam pendekatan kulturalistis. Contoh yang relatif sederhana mengenai bagaimana bahasa berperan dalam komunikasi antarbudaya adalah ketika seorang wisatawan Belanda mengungkapkan ketidaksenangannya terhadap orang Indonesia yang tak dapat dipercaya, yang hanya menyajikan nasi putih saja, padahal ia jelas-jelas memesan ‘nasi’. Hal tersebut dikarenakan ia tidak tahu bahwa di Belanda ‘nasi’ sama artinya dengan nasi goreng, sementara di Indonesia ‘nasi’ adalah nasi putih. Satu kasus yang juga sedikit lebih rumit adalah permintaan seorang wanita muda kepada mitra bicaranya yang orang Belanda dalam bahasa Belanda, Zou je dat niet willen ZEGGEN? (dengan penekanan pada zeggen, berarti ‘Tidak bisakah kamu MENGATAKANnya?’), padahal maksud si wanita adalah Zou je dat 6
NIET willen zeggen? (dengan penekanan pada niet, berarti ‘Bisakah kamu TIDAK mengatakannya?’) Perbedaan yang besar sekali. Kalimat yang pertama bagi penutur jati bahasa Belanda adalah bahwa ia diminta untuk mengatakan sesuatu, sementara maksud permintaan tersebut justru sebaliknya. Selanjutnya lihat kasus (3). Tidaklah mudah untuk bekerja menggunakan bahasa asing di dalam organisasi yang kompleks seperti rumah sakit dan dengan masalah ini saja pun sudah dapat menghambat misalnya mengambil inisiatif. Bahasa mungkin juga berperan dalam contoh yang diberikan Hofstede (1995:265) ketika seorang manajer asal Indonesia memperlihatkan keterkejutannya atas gurauan seorang manajer Belanda yang bertanya apakah ia sedang mencuri tatkala ia mengambil sebuah kursi dari ruang lain untuk rapat. Hofstede mengatakan bahwa orang Indonesia selalu menanggapi ejekan secara harafiah dan oleh karena itu tidak dapat menerima olok-olok bermaksud baik yang merupakan kebiasaan Belanda. Hal yang menurut saya juga memegang peranan adalah bahwa cara-cara yang subtil, misalnya intonasi ketika orang Belanda menyatakan sesuatu sebagai serius atau hanya gurauan, sulit dibedakan oleh orang yang menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa asing (Apalagi Hofstede tidak menyebutkan dalam bahasa apa pernyataan itu dibuat, suatu kelalaian yang kerap muncul pada kajian kasus). Hal yang penting dalam Bahasa selanjutnya adalah peran perspektif sosial yang digunakan mitra bicara dan bagaimana dialog sosial yang terjadi karenanya. Dalam opini publik Belanda orang Maroko hampir identik dengan kejahatan dan dalam konteks itu komentar tentang mencuri bagi seorang rekan Belanda-Maroko bisa sangat menyakitkan. Hal serupa berlaku untuk kontroversi pernyataan Puteri Máxima beberapa waktu lalu bahwa ‘Orang Belanda itu tidak ada’ (maksudnya: tidak ada satu-satunya budaya Belanda). Lima belas tahun yang lalu pernyataan tersebut barangkali dianggap sebagai pintu yang terbuka (keterbukaan), kini diartikan sebagai pernyataan yang peka politik, karena Belanda, lain dengan dulu, sekarang terang-terangan sedang bergulat dengan masalah integrasi kaum migran dan dengan identitasnya sendiri. Perspektif sosial begitu berpengaruh pada penafsiran sesuatu dan bagaimana kita sebaiknya dapat mengatakan atau tidak mengatakan sesuatu. Ordening (Tatanan) Istilah Tatanan mengacu pada cara seseorang memandang realitas. Di sini budaya berperan – Hoffman (2009: 234) dalam kaitan ini menyebutnya sebagai ‘perbedaan tatanan kolektif’ atau model budaya kolektif’–, tetapi juga perspektif sosial mana yang diterapkan orang tersebut dan bagaimana ia pribadi berperan dalam dialog sosial yang disebut. Di sini penting untuk mengakui bahwa tatanan tersebut bukanlah sesuatu yang selalu tetap, tatanan adalah sesuatu yang dinamis, tergantung dari situasi tertentu, tetapi juga tergantung pada perubahan waktu. Manusia berubah, terutama setelah peristiwa besar seperti migrasi. Orang Indonesia di Belanda, sadar atau tidak, berperilaku berbeda daripada di keluarganya di perkampungan Jawa. Dalam konteks ini menarik untuk dicatat bahwa semakin banyak penulis yang cenderung tidak lagi menganggap dimensi kolektivisme-individualisme sebagai dimensi budaya, melainkan sebagai dimensi ekonomi (antara lain Van Oudenhoven 2002:165). Di mana pun, meningkatnya kemakmuran menggeser manusia ke arah individualisme pada dimensi ini. Hal ini pernah berlaku bagi Eropa Barat, dan sekarang berlaku bagi kekuatan ekonomi baru seperti China, India dan Indonesia. Kolektivisme tampaknya lebih merupakan kebutuhan daripada pilihan. Personen (Manusia) Kolektif, feminin atau tumbuh dalam konteks budaya yang kuat, pada akhirnya manusialah, individu unik yang membentuknya. Seperti telah dikatakan, manusia tidak dapat dikecilkan menjadi budaya, dan bukan budaya yang berkomunikasi, melainkan manusia. Sehubungan dengan ini, sangatlah aneh jika perilaku ekstrim seperti contoh (5) dihubungkan dengan budaya. Saya sendiri akan lebih dahulu menganggapnya sebagai seseorang dengan gangguan 7
kepribadian narsistik, dan penjelasan yang berorientasi pada manusia seperti ini juga selalu diberikan jika pelakunya adalah seorang Belanda. Saya belum pernah melihat pembunuhan yang dilakukan oleh orang Belanda, dihubungkan dengan nilai-nilai budaya Belanda. Organisatie (Organisasi) Hal yang penting di sini adalah sejauh mana peraturan, prosedur, karakteristik suatu organisasi mempengaruhi komunikasi. Faktor yang menurut saya kelihatannya penting pada kasus (3). Alih-alih menempatkan perawat Indonesia sebagai tipe yang tidak mandiri di satu sisi, manajemen bisa juga melihat sejauh mana pelbagai kekhususan organisasi mempengaruhi perilaku mereka. Lagi pula memang kelihatannya perlu direkomendasikan untuk menjelaskan susunan organisasi pada pendatang baru dengan baik. Selain itu, sikap Habibie yang mengundang kritik pada kasus (4) pastinya juga dapat dikaitkan dengan organisasi: pengaruh penguasa di balik layar dan kepentingan usahanya sendiri, misalnya. Inzet (Upaya) Upaya berkaitan dengan (belajar) memahami dan mengakui setiap motif, harapan dan tujuan dasar sebagai landasan untuk melakukan sesuatu. Pada kasus (3) berarti misalnya menganggap bahwa para perawat melakukan apa yang harus mereka lakukan dengan niat terbaik mereka. Apakah cara yang mereka pilih berbeda dari cara yang diinginkan pihak rumah sakit, adalah masalah lain – mengakui belum tentu berarti menerima –, tetapi dengan mengakui adanya Upaya pihak rumah sakit dapat melakukan pembicaraan yang dapat menjelaskan bahwa organisasi Belanda sangat ingin melihat upaya itu direalisasikan. Ini merupakan pendekatan yang pada hakekatnya berbeda daripada ‘memberikan orang peringatan keras’ atau menjelaskan perilaku mereka – dan dengan demikian melihatnya sebagai fakta yang nyata? – berdasarkan nilai dasar dalam budaya mereka. Dengan pembudayaan para perawat tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan diri dan rumah sakit juga tidak berbuat banyak. Komunikasi antarbudaya dan pendidikan bahasa Belanda extra muros Hoffman melihat model TOPOI-nya dengan tegas sebagai alat bantu bagi para profesional yang karena pekerjaan mereka banyak berhubungan dengan komunikasi. Model tersebut tidak dimaksudkan sebagai instrumen yang selalu dapat diterapkan di mana-mana tanpa dipikirkan: ‘[model-TOPOI] tidak boleh berfungsi sebagai sekat antara para mitra bicara’ (Hoffman 2009:24). Selain itu kelima ‘ ‘tempat’ tersebut juga tidak selalu dapat dibedakan dengan tepat, karena kelima-limanya selalu berperan bersamaan dan saling berinteraksi. Sebagai alat bantu TOPOI tentu juga akan bermanfaat untuk belajar melihat dari berbagai sudut pandang yang sangat berguna ketika berbicara mengenai KA. Adanya berbagai sudut pandang juga berguna untuk studi Belanda di luar negeri. Mengenai Belanda, orang Belanda dan bahasa Belanda tentu saja terdapat banyak stereotip. Stereotip tersebut muncul dalam metode bahasa Belanda sebagai bahasa asing/kedua dan dalam buku kumpulan tips seperti karya Kaldenbach (1994). Tampaknya menarik untuk mempertimbangkan pertanyaan apa yang dapat dibuktikan dari penggambaran tersebut dan stereotip apa yang ditularkan dari buku ke buku. Sebaliknya, juga menarik untuk mengetahui gambaran apa yang muncul di Belanda tentang Indonesia, ‘dialog sosial’ apa yang muncul tentang Indonesia (saya dapat meyakinkan Anda: Indonesia memiliki citra positif di Belanda dan penelitian kecil terhadap 58 mahasiswa Belanda menunjukkan bahwa mereka terutama mengasosiasikan Indonesia dengan makan enak, liburan/pemandangan, dan sebagainya, dan kebersamaan masa lalu kita).
8
Akhirnya, menurut saya, perlu untuk sedapat mungkin tetap mengikuti perspektif sosial yang penting di Belanda di bidang multikulturalisme, migrasi, integrasi dan bidang terkait lainnya. Dengan begitu baru dapat dipahami apa yang dimaksud oleh orang Belanda jika ia mengatakan kepada orang Indonesia, ‘Kamu bukan pendatang’ atau bahkan, ‘Kamu bukan orang asing’. Maksudnya adalah bahwa yang diajak bicara bukanlah orang yang berasal dari Maroko, Turki atau Antilian dan barangkali juga berarti yang diajak bicara diterima. Namun, interpretasi yang terakhir itu harus kita lihat dari berbagai sudut pandang dahulu dengan atau tanpa bantuan TOPOI. Daftar pustaka Best, K. de, D. Bothe dan R. van de Belt (2008) Kerncompetentie communicatie. Groningen-Houten: Wolters-Noordhoff. Blom, H. (2008) Interculturele samenwerking in organisaties. Bussum: Coutinho. Brandt, Th. (1996) Geschäfte in Indonesien; ‘Kunci Budaya’; Der kulturelle Schlüssel zum Erfolg. Bad Oldesloe: Goasia Verlag. Claes, M.Th. dan M. Gerritsen (2007) Culturele waarden en communicatie in internationaal perspectief. Cetakan kedua. Bussum: Coutinho. Doel, V. van den, J. Eikelboom, A. Roffel dan J. Zoon (eds.) (2009) Gespreksvoering in de juridische praktijk. Bussum: Coutinho. Grit, R., R. Guit dan N. van der Sijde (2006) Sociaal competent; Professioneel aan het werk! Groningen-Houten: Wolters-Noordhoff. Hoffman, E. (2002) Interculturele gespreksvoering; Theorie en praktijk van het TOPOI-model. HoutenDiegem: Bohn Stafleu Van Loghum. Hoffman, E. (2009) Interculturele gespreksvoering; Theorie en praktijk van het TOPOI-model. Cetakan kedua. Houten-Diegem: Bohn Stafleu Van Loghum. Hofstede, G. (1995) Allemaal andersdenkenden; Omgaan met cultuurverschillen. Cetakan kelima. Amsterdam: Contact. Hofstede, G. dan G.J. Hofstede (2005) Allemaal andersdenkenden; Omgaan met cultuurverschillen. Amsterdam: Contact. Janssen, Th. (2002) ‘Taal, communicatie en achtergrondkennis’, dalam: Th. Janssen (ed.), Taal in gebruik; Een inleiding in de taalwetenschap, hal.11-25. Den Haag: Sdu. Kaldenbach, H. (1994) Doe maar gewoon; 99 tips voor het omgaan met Nederlanders. Amsterdam: Prometheus. Nunez, C., R. Nunez Mahdi dan L. Popma (2007) Interculturele communicatie; Van ontkenning tot wederzijdse integratie. Assen: Van Gorcum. Oudenhoven, J.P. van (2002) Cross-culturele psychologie; De zoektocht naar verschillen en overeenkomsten tussen culturen. Bussum: Coutinho. Pinto, D. (1994)
9
Interculturele communicatie; Dubbel perspectief door de drie-stappenmethode voor het doeltreffend overbruggen van cultuurverschillen. Houten-Zaventem: Bohn Stafleu Van Loghum.
10