MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI BAHAYA LATEN TERORISME GUNA MEWUJUDKAN KEAMANAN HIDUP BERBANGSA DAN BERNEGARA DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN NASIONAL
OLEH
KUNTO WIBOWO AP, S.E LETKOL LAUT (P) NRP 10336/P
RENCANA PENULISAN TASKAP PASIS SUSJEMENSTRA TNI AL ANGKATAN KE – 10 TP. 2015
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI BAHAYA LATEN TERORISME GUNA MEWUJUDKAN KEAMANAN HIDUP BERBANGSA DAN BERNEGARA DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN NASIONAL DIAJUKAN GUNA MEMENUHI SALAH SATU PERSYARATAN AKADEMIK UNTUK MENYELESAIKAN PENDIDIKAN
oleh
KUNTO WIBOWO AP, S.E LETKOL LAUT (P) NRP 10336/P
RENCANA PENULISAN TASKAP PASIS SUSJEMENSTRA TNI AL ANGKATAN KE – 10 TP. 2015
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan dibawah ini :
Nama
: Kunto Wibowo AP, S.E
Pangkat/Korps/Nrp : Letkol Laut (P) NRP 10336/P Nomor Pasis
: 001
Pendidikan
: Susjemenstra TNI AL Angkatan ke-10 TP 2015
Judul Taskap
: OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI
BAHAYA LATEN TERORISME GUNA
MEWUJUDKAN KEAMANAN HIDUP BERBANGSA DAN BERNEGARA
DALAM
RANGKA
MEMPERKOKOH
KETAHANAN NASIONAL Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa seluruh dokumen Kertas Karya Perorangan (TASKAP) yang saya ajukan sebagai persyaratan akademik untuk menyelesaikan kursus manajemen strategik TNI AL Angkatan ke-10 TP 2015 adalah bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti seluruh atau sebagian karya ilmiah ini merupakan plagiat, saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta,
Juli 2015
Perwira Siswa
Kunto Wibowo AP, S.E Letkol Laut (P) NRP 10336/P
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
RIWAYAT HIDUP
1.
Nama
: Kunto Wibowo AP, S.E
2.
Pangkat/Korps/Nrp
: Letkol Laut (P) NRP 10336/P
3.
Jabatan & Kesatuan Terakhir
: Pabandalanglanas Kolinlamil
4.
Tempat & Tanggal Lahir
: Surabaya, 24 April 1969
5.
Agama
: Islam
6.
Pendidikan
:
7.
8.
a.
Pendidikan Umum Terakhir
: S1 (Sarjana Ekonomi)/2005
b.
Pendidikan Militer
: Diklapa 2/2007
Keluarga
:
a.
Nama Istri
: Dr Siti Amalia Lubis
b.
Nama Anak
: Dinda Kirana Maharani
Email
:
[email protected] [email protected]
Jakarta,
Juli 2015
Perwira Siswa
Kunto Wibowo AP, S.E Letkol Laut (P) NRP 10336/P
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
TANDA PERSETUJUAN TASKAP
Telah (disetujui/disetujui dengan catatan*) Taskap Perwira Siswa :
Nama
: Kunto Wibowo AP, S.E
Pangkat/Korps/Nrp : Letkol Laut (P) NRP 10336/P Nomor Pasis
: 001
Pendidikan
: Susjemenstra TNI AL Angkatan ke-10 TP 2015
Judul Taskap
: OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI
BAHAYA LATEN TERORISME GUNA
MEWUJUDKAN KEAMANAN HIDUP BERBANGSA DAN BERNEGARA
DALAM
RANGKA
MEMPERKOKOH
KETAHANAN NASIONAL
Dikeluarkan di Jakarta Pada Tanggal,
Juli 2015
Pembimbing Taskap
Drs. Barkah Suheryanto, M. Si (Han) Kolonel Laut (P) NRP. 8668/P
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
TANDA HASIL UJIAN TASKAP
Telah dilaksanakan ujian Taskap dengan hasil sebagai berikut :
(LULUS/LULUS DITUNDA/TIDAK LULUS)
Terhadap Perwira Siswa
Nama
:
: Kunto Wibowo AP, S.E
Pangkat/Korps/Nrp : Letkol Laut (P) NRP 10336/P Nomor Pasis
: 001
Pendidikan
: Susjemenstra TNI AL Angkatan ke-10 TP 2015
Judul Taskap
: OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI
BAHAYA LATEN TERORISME GUNA
MEWUJUDKAN KEAMANAN HIDUP BERBANGSA DAN BERNEGARA
DALAM
RANGKA
MEMPERKOKOH
KETAHANAN NASIONAL
Dikeluarkan di Jakarta Pada Tanggal,
Juli 2015
Diketahui
Tim Penguji
Pembimbing
Ketua
Drs. Barkah Suheryanto, M. Si (Han)
S S Panjaitan, Msi (Han)
Kolonel Laut (P) NRP. 8668/P
Kolonel Laut (P) NRP 8670/P
*) Coret yang tidak perlu.
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
TANDA PERSETUJUAN REVISI TASKAP
Telah disetujui/disetujui dengan catatan*) Taskap Perwira Siswa :
Nama
: Kunto Wibowo AP, S.E
Pangkat/Korps/Nrp : Letkol Laut (P) NRP 10336/P Nomor Pasis
: 001
Pendidikan
: Susjemenstra TNI AL Angkatan ke-10 TP 2015
Judul Taskap
: OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI
BAHAYA LATEN TERORISME GUNA
MEWUJUDKAN KEAMANAN HIDUP BERBANGSA DAN BERNEGARA
DALAM
RANGKA
MEMPERKOKOH
KETAHANAN NASIONAL
Dikeluarkan di Jakarta Pada Tanggal,
Juli 2015
Diketahui
Tim Penguji
Pembimbing
Ketua
Drs. Barkah Suheryanto, M. Si (Han)
S S Panjaitan, Msi (Han)
Kolonel Laut (P) NRP. 8668/P
Kolonel Laut (P) NRP 8670/P
Catatan : *) Coret yang tidak perlu.
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
Sebagai Civitas academia Seskoal, saya yang bertandatangan dibawah ini : Nama
: Kunto Wibowo AP, S.E
Pangkat/Korps/Nrp : Letkol Laut (P) NRP 10336/P Nomor Pasis
: 001
Pendidikan
: Susjemenstra TNI AL Angkatan ke-10 TP 2015
Jenis Karya
: Kertas Karya Perorangan (Taskap)
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Seskoal Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-eksklusive Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI BAHAYA LATEN TERORISME GUNA MEWUJUDKAN KEAMANAN HIDUP BERBANGSA DAN BERNEGARA DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN NASIONAL Beserta perangkat yang ada (jika ada). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Seskoal berhak menyimpan, merawat dan mempublikasikan Taskap saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta/Karya Intelektual dari Taskap ini.
Demikan pernyataan ini saya buat dengan kesadaran penuh tanpa adanya pemaksaan dari pihak manapun. Jakartal,
Juli 2015
Perwira Siswa
Kunto Wibowo AP, S.E Letkol Laut (P) NRP 10336/P
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
ABSTRACT
This paper prepared individually discuss the optimization of the role of local government in the face of the latent danger of terrorism to the security of national and state life in order to strengthen national resilience. The circumstances that exist today seemed to indicate that there is no longer a sense of unrest despite many incidents of terrorism in Indonesia, which has developed into the most serious threats to various aspects of community life and even has become a latent danger, while on the other side of the role of local government in the face of terrorism not seem optimal. Security issues in the region that should be a local issue and into the realm of the regional administration is seen as national issues. Differences in the formulation of national security, such as the Police did not accept the conception of national security as an object, but rather as an approach (approach), so that the foundation of homeland security as if solely the responsibility of the police, but the issue of security in an area that should be a local issue and into a realm the regional administration is seen as a national issue. For that we need the concept of national policy in the face of terrorism, namely "Optimizing the role of Local Government in the face of the latent danger of terrorism to the security of national and state life in order to strengthen the National Defense" which is then translated into creative strategies as preventive strategy evert much better than strategy responsive or reactive, in which various forms of optimization efforts and its instrumentalities role of Local Government and Parliament level I and II can be carried out in the face of terrorism and can be synergized together military, police, prosecutors, community leaders, religious and traditional as well as other related devices to the safety of life of the nation and state in order to strengthen national resilience.
Keywords: Role of Local Government in the face of the latent danger of terrorism.
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
ABSTRAK
Taskap ini membahas optimalisasi peran pemerintah daerah dalam menghadapi bahaya laten terorisme guna keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional. Situasi dan kondisi yang ada sekarang ini seolah menunjukkan bahwa tidak ada lagi rasa resah meskipun telah banyak kejadian terorisme di Indonesia yang telah berkembang menjadi ancaman paling serius terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat dan bahkan telah menjadi bahaya laten, sementara dilain sisi peran Pemerintah Daerah dalam menghadapi terorisme belum tampak optimal. Persoalan-persoalan keamanan di daerah yang semestinya menjadi persoalan lokal dan menjadi ranah penyelenggaraan pemerintahan daerah dipandang sebagai persoalanpersoalan nasional. Perbedaan perumusan Keamanan Nasional, seperti POLRI
tidak
menerima konsepsi keamanan nasional sebagai objek, tapi lebih sebagai pendekatan (approach), sehingga tumpuan keamanan dalam negeri seolah-olah tanggungjawab sepenuhnya oleh POLRI, padahal persoalan keamanan di daerah yang semestinya bisa menjadi persoalan lokal dan menjadi ranah penyelenggaraan pemerintahan daerah dipandang sebagai persoalan nasional. Untuk itu perlu adanya Konsep Kebijakan Nasional dalam menghadapi terorisme, yakni “Optimalisasi peran Pemerintah Daerah dalam menghadapi bahaya laten terorisme guna keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional” yang kemudian dijabarkan kedalam strategi kreatif sebagai strategi preventive evert yang jauh lebih baik daripada strategi responsif ataupun reaktif, dimana berbagai bentuk upaya pengoptimalan peran Pemerintah Daerah beserta perangkatnya dan DPRD tingkat I dan II dapat dilakukan dalam menghadapi terorisme dan dapat disinergikan bersama TNI, Polri, Kejaksaan, tokoh masyarakat, agama dan adat serta perangkat terkait lainnya guna keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
Kata kunci : Peran Pemerintah Daerah dalam menghadapi bahaya laten Terorisme.
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur segala puji bagi Allah SWT Tuhan seru semesta sekalian alam, kami dapat menyelesaikan tugas menyusun Kertas Karya Perorangan (Taskap) ini dan kami mengucapkan terimakasih kepada Perwira Pembimbing dan Perwira Penuntun yang telah membimbing dan mengarahkan kami perwira siswa Susjemenstra Angkatan X/2015 dalam menyelesaikan tugas ini serta tidak lupa kami mengucapkan terimakasih atas dukungan keluarga dan semua pihak yang telah mendukung selesainya penulisan Taskap ini. Terorisme merupakan bahaya laten yang mengancam keamanan hidup manusia baik individu maupun sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang penanganan terhadap ancaman ini oleh TNI adalah melalui OMSP (Operasi Militer Selain Perang) melalui pendekatan preventive atau repressive sesuai dengan perkembangan situasi yang dihadapi, dengan tidak melanggar HAM (Hak Azasi Manusia) dan tidak diskriminatif serta dapat secara lintas instansi, terpadu dan bekerjasama. Oleh sebab itu, pemerintah daerah dengan optimalisasi perannya dapat melaksanakan sinergitas dengan khususnya TNI maupun Polri, Kejaksaaan dan lain-lain serta pemerintah daerah lainnya dan seluruh masyarakat di daerah yang mawas terhadap diri dan lingkungannya, sehingga diperlukan suatu kebijakan optimalisasi peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme guna keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional, yang dapat dijabarkan sebagai strategi preventiveevert (cegah-tangkal) yang jauh lebih baik dari strategi repressive. Demikian, selanjutnya kami menyadari kiranya Taskap ini jauh dari sempurna, sehingga saran dan masukan guna perbaikan dan lebih sempurnanya taskap ini, sangat kami harapkan dan semoga sebagai sebuah harapan, Taskap ini dapat memberikan manfaat bagi keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional. Jakarta,
Juli 2015
Perwira Siswa
ix
Kunto Wibowo AP, S.E Letkol Laut (P) NRP 10336/P
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
DAFTAR ISI
ISI
Halaman
LEMBAR SAMPUL DALAM ………………………………………………………….
i
LEMBAR PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ………………………………………..
ii
LEMBAR RIWAYAT HIDUP ………………………………………………………….
iii
LEMBAR TANDA PERSETUJUAN TASKAP ………………………………………
iv
LEMBAR TANDA HASIL UJIAN TASKAP ………………………………………….
v
LEMBAR TANDA PERSETUJUAN REVISI TASKAP ……………………………..
vi
LEMBAR PERNYATAN PUBLIKASI ………………………………………………...
vii
LEMBAR ABSTRAK ………………………………………………………………….
viii
LEMBAR KATA PENGANTAR ………………………………………………………
ix
LEMBAR DAFTAR ISI ………………………………………………………………..
x
LEMBAR DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………..
xi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN 1.
Umum …………………………………………………………………
1
2.
Maksud dan tujuan …………………………………………………..
4
3.
Metode dan pendekatan …………………………………………….
4.
Ruang lingkup dan tata Urut ………………………………………..
5.
Pengertian-pengertian ………………………………………………
LANDASAN PEMIKIRAN 6.
Umum …………………………………………………………………
7.
Paradigma nasional …………………………………………………
8.
Peraturan perundang-undangan …………………………………...
8
9.
Landasan teori ……………………………………………………….
10
10.
Tinjauan pustaka …………………………………………………….
14
x
5
6
BAB III
PERAN PEMERINTAH DAERAH SAAT INI DALAM MENGHADAPI TERORISME 11.
Umum …………………………………………………………………
12.
Inisiatif aparat pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme ………………………………………………………………
13.
BAB IV
BAB V
22
Kepekaan masyarakat terhadap kehadiran terorisme Dilingkungannya ……………………………………………………...
14.
17
25
Sinergitas pemerintah daerah dengan instansi terkait dan aparatur pemerintah daerah lainnya bersama masyarakat ……...
28
15.
Implikasi ……………………………………………………………….
31
16.
Permasalahan yang ditemukan …………………………………….
33
PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS 17.
Umum ………………………………………………………………….
35
18
Perkembangan lingkungan Global …………………………………
36
19.
Perkembangan lingkungan Regional ………………………………
37
20.
Perkembangan lingkungan Nasional ………………………………
40
21.
Peluang dan kendala ………………………………………………...
41
KONDISI PERAN PEMERINTAH DAERAH YANG DIHARAPKAN DALAM MENGHADAPI TERORISME 22.
Umum ………………………………………………………………….
23.
Inisiatif aparat pemerintah daerah dalam menghadapi Terorisme ……………………………………………………………..
24.
46
Kepekaan masyarakat terhadap kehadiran terorisme Dilingkungannya ……………………………………………………...
25.
45
55
Sinergitas pemerintah daerah dengan instansi terkait dan aparatur pemerintah daerah lainnya bersama masyarakat ………
57
26.
Kontribusi ……………………………………………………………..
61
27.
Indikator keberhasilan ……………………………………………….
62
xi
BAB VI KONSEP OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI TERORISME 28.
Umum …………………………………………………………………
63
29.
Pemecahan Masalah ………………………………………………..
64
BAB VII PENUTUP 30.
Kesimpulan …………………………………………………………...
31.
Saran ………………………………………………………………….
xii
71
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A : Kerangka Pikir (Alur Pikir dan Pola Pikir) Lampiran B : Daftar Referensi dan Pustaka Lampiran C : Jaringan Teroris di Indonesia Lampiran D : Struktur Jaringan Teroris Jamaah Islamiah Lampiran E : Peta Konsentrasi Jaringan Teroris di Indonesia Lampiran F : Berita Majalah Tempo Lampiran G : Daftar Pengertian
Jakarta, Juli 2015 Perwira Siswa
Kunto Wibowo AP, S.E Letkol Laut (P) NRP 10336/P
xiii
OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI BAHAYA LATEN TERORISME GUNA MEWUJUDKAN KEAMANAN HIDUP BERBANGSA DAN BERNEGARA DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN NASIONAL
BAB I PENDAHULUAN
1.
Umum Ketahanan Nasional sangat penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh
sebab
itu,
bangsa
Indonesia
didalam
penyelenggaraan
dan
pengaturan
kehidupannya sebagai suatu sistem kehidupan nasional yang mencerminkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum bangsa Indonesia dan sebagai ideologi nasional, pandangan hidup bangsa dan dasar negara serta UUD 1945 yang menjadi norma dasar dalam rangka pengamalan Pancasila. Dalam mengatur dan meyelenggarakan kehidupannya, bangsa Indonesia tidak terlepas dari pengaruh interaksi dengan lingkungannya, baik dalam lingkup nasional, regional dan global, sehingga Ketahanan Nasional senantiasa harus terus diperkokoh didalam kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara yang aman, karena keamanan hidup berbangsa dan bernegara merupakan salah satu aspek penting dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional bangsa Indonesia yang hidup bersama bangsa-bangsa lain di dunia yang didalam perkembangan lingkungan strategisnya hingga saat ini telah berkembang isu aktual seperti hak asasi manusia, lingkungan hidup dan pasar bebas serta krisis multi dimensia akibat terjangan globalisasi yang telah mempengaruhi perkembangan nilai-nilai internasional yang menjadi normanorma baru sebagai suatu fenomena global yang tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu, Ketahanan Nasional yang ditopang oleh persatuan kesatuan bangsa yang merupakan sikap pada gejala yang mengikat harus diperkuat dan diperkokoh, sedangkan gejala merusak yang cenderung mengarah sebagai ancaman keamanan hidup berbangsa dan bernegara seperti terorisme harus dilemahkan, karena terorisme merupakan bahaya laten yang senantiasa harus diwaspadai, dimana salah satu aspek yang dapat dilakukan adalah dengan melibatkan peran pemerintah daerah secara optimal sebagai implikasi
2
pemberdayaan institusi publik bersifat preventive evert (cegah–tangkal) terhadap bahaya laten terorisme.
Gambar 1: Pengeboman JW Marriott Selasa, 5 Agustus 2003 12:45 – 12:55 WIB (UTC+07:00)
Sumber: http//www.analisishankamnas.blogspot.com, diunduh hari Rabu 18 Juni 2015 pukul 00.30 WIB
Kenyataan kondisi saat ini di Indonesia menunjukkan seolah tidak ada kecemasan akan bahaya terorisme, walaupun telah banyak kejadian terorisme di Indonesia yang telah berkembang menjadi ancaman sangat serius terhadap berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara yang bahkan telah menjadi bahaya laten. Serentetan aksi terorisme di Indonesia yang telah menelan korban jiwa dan material yang sudah demikian besar dan nampaknya ini akan terus terjadi di masa yang akan datang. Aksi terorisme yang merupakan ancaman bahaya laten di Indonesia ini telah menyebabkan rasa tidak aman dan ketidaknyamanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga menjadi
pandangan
serius
terhadap
tantangan
keamanan
yang
berbeda
dan
mempengaruhi kebijakan strategi keamanan nasional. Oleh karenanya, didalam dinamika
3
pertahanan global, perlu lebih diselaraskan pada kebijakan nasional yang dapat ditransfer kedalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dapat dimulai dari pemberdayaan institusi publik, bersifat preventive evert (cegah-tangkal) yang merujuk pada pangkal dan simpul–simpul permasalahan untuk menyelesaikan permasalahan secara tuntas, sehingga kebijakan keamanan nasional harus dapat menyelesaikannya secara integrasi sebagaimana kondisi yang diharapkan. Sehubungan dengan hal ini, maka dalam hubungan otonomi daerah seyogyanya perlu lebih proaktif keterlibatan peran pemerintah daerah secara optimal dalam menghadapi terorisme, mengingat otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan pemerintah dalam arti harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah serta menegakkan kedaulatan NKRI dalam rangka mewujudkan tujuan Negara. Untuk itu, kondisi yang diharapkan, bahwa peran pemerintah daerah yang optimal bersifat preventive evert (cegah-tangkal) dalam menghadapi terorisme, akan tersosialisasi kewaspadaan nasional yang tinggi yang sejatinya merupakan bentuk upaya pemerintah mengajak masyarakat bangsanya agar lebih waspada terhadap ancaman yang ada yang mempengaruhi tata kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga kehidupan berbangsa dan bernegara lebih aman dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional. Keserasian hubungan antar daerah dengan pemerintah adalah pengelolaan bagian urusan pemerintah yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat interconection (saling berhubungan), interpendention (saling berketergantungan) dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan. Pembagian urusan tersebut ditempuh melalui mekanisme penyerahan dan atau pengakuan atas usul daerah terhadap bagian-bagian urusan pemerintah yang akan diatur dan diurusnya, sehingga pemerintah dapat memverifikasi usulan tersebut, untuk selanjutnya urusan yang saat ini masih menjadi kewenangan pusat dapat diserahkan kepada pemerintah daerah. Keterkaitan dengan hal ini, sebagaimana diketahui bahwa permasalahan-permasalahan keamanan di daerah yang semestinya bisa menjadi persoalan lokal dan menjadi ranah penyelenggaraan pemerintahan daerah masih dipandang sebagai permasalahan nasional. Padahal optimalisasi peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme sangat diperlukan, mengingat strategi bersifat preventive evert (cegah-tangkal) jauh lebih baik daripada responsive atau reactive. Dalam hal permasalahan keamanan masih dipandang sebagai permasalahan nasional, sehingga terjadi kurangnya inisiatif aparat pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme, lemahnya sinergitas dan koordinasi pemerintah daerah dengan instansi terkait seperti TNI, Polri dan Kejaksaan Tinggi serta kurangnya kolaborasi pemerintah daerah dengan
4
tokoh (masyarakat, agama dan adat) serta adanya perbedaan perumusan Keamanan Nasional, seperti misalnya Polri tidak menerima konsepsi keamanan nasional sebagai objek, tapi lebih sebagai pendekatan (approach), sehingga tumpuan keamanan dalam negeri seolah-olah tanggungjawab sepenuhnya oleh Polri. Untuk itu perlu adanya Konsep Kebijakan Nasional dalam menghadapi terorisme, yakni “Konsep Optimalisasi Peran Pemerintah Daerah Dalam Menghadapi Bahaya Laten Terorisme Guna Mewujudkan Keamanan Hidup Berbangsa dan Bernegara Dalam Rangka Memperkokoh Ketahanan Nasional”. Kemudian, konsep kebijakan nasional yang telah digariskan harus dijabarkan kedalam strategi kreatif sebagai strategi preventive evert (cegah-tangkal) yang jauh lebih baik daripada strategi responsive ataupun reactive, dimana berbagai bentuk-bentuk upaya pengoptimalan peran Pemerintah Daerah beserta unsur-unsurnya dan DPRD tingkat I dan II dapat dilakukan dalam menghadapi terorisme guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
2.
Maksud Dan Tujuan a.
Maksud penulisan taskap ini adalah sebagai salah satu syarat kelulusan
Pasis dalam menempuh Kursus Manajemen Strategi Angkatan ke – X Tahun 2015 di Seskoal. b.
Tujuan penulisan taskap ini adalah untuk memberikan masukan kepada
pemerintah dalam menentukan kebijakan keamanan nasional yang lebih mengenai sasaran dalam menghadapi bahaya laten terorisme dengan mengoptimalkan peran pemerintah daerah agar terwujud keamanan hidup berbangsa dan bernegara yang mantap dan berkualitas dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional dan sebagai masukan kepada pemimpin TNI/TNI Angkatan Laut dalam menentukan kebijakan strategis yang tepat, sehubungan dengan optimalisasi peran pemerintah daerah dalam menghadapi bahaya laten terorisme.
3.
Metode Dan Pendekatan a.
Metode dalam penulisan taskap ini, penulis menggunakan metoda induktif
yang komprehensif dan integral.
5
b.
Pendekatan dalam penulisan taskap ini, penulis menggunakan pendekatan
tugas dengan didukung studi pustaka.
4.
Ruang Lingkup Dan Tata Urut a.
Ruang Lingkup penulisan taskap ini adalah optimalisasi peran Pemerintah
daerah dalam menghadapi terorisme guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional. b.
Tata Urut penulisan taskap ini adalah sebagai berikut: BAB
I
Pendahuluan.
BAB
II
Landasan Pemikiran.
BAB
III
Peran Pemerintah Daerah Saat Ini Dalam Menghadapi Terorisme.
BAB
IV
Perkembangan Lingkungan Strategis.
BAB
V
Kondisi Peran Pemerintah Daerah yang Diharapkan Dalam Menghadapi Bahaya Laten Terorisme.
BAB
VI
Konsep
Optimalisasi
Peran
Menghadapi Terorisme. BAB
5.
VII
Penutup.
Pengertian-Pengertian (periksa lampiran G)
Pemerintah
Daerah
Dalam
6
BAB II LANDASAN PEMIKIRAN
6.
Umum Terorisme merupakan ancaman serius terhadap kemanusiaan dan peradaban
hidup manusia didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga terorisme menjadi ancaman serius terhadap keutuhan dan kedaulatan suatu bangsa. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia yang mutlak monodualis kemanusiaan sebagai bangsa yang terdiri dari perseorangan yang hidup bersama secara lahiriah dan bathiniah yang mempunyai kebutuhan dan kepentingan bersama yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dengan bekerjasama sebagai negara hukum, berkebudayaan, mampu menjawab setiap ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, memelihara ketertiban, keamanan dan perdamaian dunia dalam rangka mencapai cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana amanat Pembukaan UUD 1945.
7.
Paradigma Nasional a.
Pancasila sebagai Landasan Idiil Terjangan globalisasi tidak dapat dihindari oleh bangsa manapun didunia ini
dan globalisasi merubah geopolitik sesuai dengan perkembangannya, sehingga kewaspadaan nasional Indonesia juga dipaksa untuk menyesuaikan segala perubahan yang ada. Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sebagaimana termaktub didalam Pembukaan UUD 1945, melekat Proklamasi Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945, berkedudukan tetap tidak berubah dan tidak dapat dirubah oleh siapapun termasuk oleh MPR hasil Pemilu. Pancasila merupakan falsafah hidup bangsa Indonesia yang wajib ditaati dan dijalankan oleh setiap warga negara Indonesia menuju cita-cita dan tujuan nasional Indonesia dan menjadi sumber dari segala sumber hukum serta pedoman luhur sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Dengan demikian bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara membangun dirinya akan lebih aman, tentram sentosa dengan penghayatan dan pengamalan ideologis Pancasila dan nasionalisme yang kokoh menciptakan kondisi yang melibatkan seluruh aspek kekuatan kehidupan bangsa sebagai suatu kondisi dinamis bangsa yang terdiri atas ketangguhan serta keuletan
7
dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam dan bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun luar negeri, secara langsung maupun tidak langsung
yang
mengancam
dan
membahayakan
integritas,
identitas,
kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mewujudkan tujuan perjuangan nasional. b.
Undang–Undang Dasar 1945 sebagai Landasan Konstitusional Pokok-pokok pikiran yang terkandung didalam Pembukaan UUD 1945
mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negara, termasuk meliputi seluruh hukum nasional Indonesia. Selanjutnya Penjelasan UndangUndang Dasar 1945 dalam hubungan ini menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menciptakan pokok-pokok pikiran tersebut dalam pasal-pasalnya. Oleh sebab itu, walaupun Undang-Undang Dasar 1945 terbagi dalam tiga bagian (Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasan) harus dilihat sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pembukaan UUD 1945 adalah penjelmaan proklamasi kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu dan berdaulat yang didalamnya terdapat tujuan negara yang mengandung dua dimensi utama Ketahanan Nasional yaitu aspek keamanan (security aspect) untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan
seluruh tumpah darah Indonesia serta aspek Kesejahteraan (prospirity aspect) berkaitan dengan misi memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Penegasan sila-sila dari Pancasila yang berasal dari kepribadian bangsa dan dipertegas di dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat, sangat nyata bahwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan keduanya merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. c.
Wawasan Nusantara sebagai Landasan Visional Wawasan Nusantara (wasantara) merupakan penjabaran lebih lanjut dari
Pembukaan UUD 1945 adalah cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya sebagai kedaulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaannya mencakup bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan yang mengandung nilai-nilai persatuan kesatuan bangsa yang senantiasa menjadi kekuatan dalam menghadapi berbagai, ancaman,
8
tantangan, hambatan dan gangguan (ATHG) baik yang timbul dari dalam maupun dari luar negeri. Oleh sebab itu, wasantara sebagai landasan visional bangsa yang implementasinya diharapkan menjadi latar belakang pemikiran utama dari setiap upaya optimalisasi peran pemerintah daerah menghadapi terorisme guna mewujudkan
keamanan
hidup
berbangsa
dan
bernegara
dalam
rangka
memperkokoh Ketahanan Nasional. d.
Ketahanan Nasional sebagai Landasan Konsepsional Ketahanan nasional adalah doktrin dasar dan ajaran yang menjadi
konsensus seluruh bangsa Indonesia serta merupakan kesatuan pola pikir, pola sikap dan pola tindak terpadu meliputi pengaturan dan penyelenggaraan pertahanan keamanan di dalam kehidupan nasional, sehingga menjadi landasan konsepsional dalam menghadapi terorisme di indonesia, karena konsep ketahanan nasional bersifat menyeluruh mulai tingkat pusat hingga daerah yang merupakan satu kesatuan yang pada hakekatnya terintegral menjadi satu ketahanan. Jadi optimalisasi peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme di daerahnya pada dasarnya merupakan peran didalam satu kesatuan ketahanan yang harus dilakukan secara menyeluruh disetiap daerah sehingga akan terpola menjadi satu peran yang akan mencapai ketahanan berskala nasional.
8.
Peraturan Perundang-undangan sebagai Landasan Operasional a.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1
Tahun 2002, yang Pada Tanggal 4 April 2003 Disahkan Menjadi UndangUndang RI Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Dalam menghadapi ancaman terorisme yang telah menimbulkan pengaruh yang tidak menguntungkan pada kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan nasional serta hubungan Indonesia dalam dunia global, pemerintah perlu mendayagunakan seluruh kekuatan secara efektif–efisien dan melakukan peningkatan setiap saat secara optimal termasuk penanggulangan dan perlindungan terhadap korban aksi terorisme, dimana pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia dari setiap ancaman kejahatan baik bersifat nasional, transnasional maupun internasional yang terintegrasi secara maksimal, baik kesejahteraan dan keamanan, sehingga mutlak
9
diperlukan
penegakan
hukum
dan
ketertiban
secara
konsisten
dan
berkesinambungan, yang saat ini terorisme bukan hanya merupakan tindak pidana yang hanya akan mendapat sanksi hukum jika muncul, namun sudah menjadi bahaya laten. Oleh sebab itu, pada hubungan optimalisasi peran Pemda dalam menghadapi terorisme, jika suatu gerakan yang mengarah pada tindakan terorisme dan telah terdeteksi oleh Pemda, seharusnya TNI dapat melakukan penangkalan atas permintaan pemerintah daerah dan tidak tidak harus menunggu atas permintaan Polri. b.
Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam
arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintah diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada kesejahteraan rakyat. 1 Daerah-daerah mempunyai kewenangan administrasi dengan memperhatikan beberapa prinsip agar tidak terjadi kesalahan persepsi yang dapat menimbulkan konflik kepentingan antar daerah, pusat dan daerah serta antar sektor. Oleh sebab itu, permasalahan terorisme seharusnya dapat menjadi permasalahan lokal yang menjadi ranah penyelenggaraan pemerintahan daerah, sehingga akan lebih preventive evert (cegah-tangkal) dan mampu melawan terorisme guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional, dimana pemerintah daerah beserta perangkatnya didukung aparat keamanan TNI dan Polri bersama masyarakat di daerah mampu menyelesaikan permasalahan keamanan di daerah. c.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 7 dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang
berbagai
urusan
wajib
yang
wajib
diselenggarakan
oleh
pemerintahan daerah Provinsi dan pemerintahan daerah Kabupaten/Kota, berkaitan dengan pelayanan dasar. Salah satu urusan wajib itu adalah urusan 1 Penjelasan Atas Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, I. Penjelasan Umum, 1. Dasar Pemikiran, paragraf (b.)
10
bidang kesatuan bangsa dan politik dalam negeri, pemberdayaan masyarakat dan desa serta sosial. Pasal 7 PP 38/2007 ini, menjadi payung hukum yang sangat strategis bagi pemerintahan di tingkat pusat sampai dengan daerah dalam melakukan kewajibannya untuk menghadapi berbagai bentuk ancaman termasuk ancaman bahaya laten terorisme yang mengancam keamanan hidup berbangsa dan bernegara, sehingga membahayakan eksistensi bangsa dan negara, pada tataran nasional maupun masing-masing daerah. d.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 6 Tahun 2008 Tentang
Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Sebagaimana tercantum dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2008, dapat menjadi landasan pemikiran peran pemerintah daerah menghadapi terorisme dalam rangka Ketahanan Nasional, terutama pada masalah ketentraman dan ketertiban umum daerah, intensitas dan efektivitas proses konsultasi publik antara pemerintah daerah dengan masyarakat atas penetapan kebijakan publik yang strategis dan relevan untuk daerah serta terobosan/inovasi baru dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
9.
Landasan Teori Dunia Modern Tidak ada definisi/pengertian maupun teori yang “universal” mengenai terorisme,
karena memang tidak saja tidak ada kesepakatan di kalangan para ahli, tetapi juga tidak ada pemahaman yang sama di kalangan pihak yang bertugas menanganinya, seperti para politisi, diplomat, penyidik kriminal, penuntut umum, pejabat intelijen, pejabat keamanan, ahli keamanan industri, satuan khusus militer dan wartawan. Kebanyakan aksi terorisme mempunyai kekuatan militer, yang dapat dilihat dari sarana paksa yang dipergunakannya seringkali perangkat militer, seperti : bom, tank, heli tempur, peluncur roket dan sejenisnya. Bentuk terorisme ini juga disebut sebagai military terrorism. Kelompok yang mendekati gambaran sebagai kelompok-kelompok yang terorganisir dan memiliki kekuatan militer serta melakukan gerakan perlawanan senjata, seperti: Irish Republic Army (IRA), Fabundo Marti National Liberation Front (FMLN – Salvador), Euzkadi ta Askatusuna (ETA – Basque, Spanyol), Liberation Tigers of Tamil Flam (LTTE – Srilanka) dan lain-lain. Dalam fenomena munculnya postur dan gaya teroris internasional ini, mutanisme teroris bisa terjadi karena banyak faktor, dimana dua diantaranya adalah karena adanya masukkan gen baru ke dalam tubuh teroris internasional atau
11
kemungkinan karena adanya tekanan ideologis maupun psikologis yang mendesak dari suburnya tubuh teroris internasional saat ini. a.
Teori dunia modern oleh Immanuel Wallerstein (1930 – 2011) Immanuel Wallerstein adalah sosiolog Amerika Serikat, ilmuwan sejarah
sosial, dan analis sistem-dunia.. Immanuel Wallerstein merupakan teoritisi strukturalis atau globalis. Dengan dasar pemikiran dari Marx, ia mengemukakan struktur ekonomi global yang menjelaskan mengenai posisi negara-negara dalam struktur kapitalisme global, yang kemudian menurutnya bahwa kemunculan teroris internasional merupakan bagian dari dialektika sejarah pertarungan politik internasional yang bermula sejak 500 tahun yang lalu, dimana pada abad ke-21, merupakan momentum puncak dari pertarungan tersebut. Tesis utama Wallerstein dalam hubungan ini adalah bahwa sistem dunia kapitalis-liberalis yang kini berkuasa merupakan faktor utama yang menyebabkan kehancuran negara-negara dunia ketiga. Perang Dunia (PD) I yang terjadi di awal abad 20, meski yang jadi aktor antagonisnya adalah Jerman, Jepang dan Itali, yang hancur justru imperium Turki Utsmani. Begitu pula halnya dengan Perang Dunia (PD) II, meski Jepang yang dibom atom pada tahun 1945, yang justru rusak sistem kehidupannya adalah negara-negara jajahan yang umumnya kini dikenal dengan istilah negara dunia ketiga. Oleh karena itu, akan menjadi ahistoris bila memahami teroris internasional tidak dimulai dari sini. Setidaknya, ada tiga tahapan yang saling berkaitan dari kemunculan teroris internasional saat ini. 1)
Tahap terjadinya ketidakseimbangan global, atau lebih dikenal
dengan the global paradox. Tahapan ini semakin menemukan bentuknya yang ideal, manakala Uni Soviet runtuh, yang otomatis struktur politik berubah dari bipolaris ke unipolaris. Kemunculan kekuatan unipolaris dari kelompok negara
maju
dalam
pandangan
mazhab
realis
semakin
memperkuat bairgaining position kelompok negara pengendali di satu pihak dan melemahkan power position negara yang kontra-pengendali. Dengan peta politik seperti ini, sumber-sumberdaya internasional akan cenderung dikuasai oleh kelompok pengendali tersebut. Hubungan internasional yang seperti ini, bukanlah suatu hubungan yang dikehendaki oleh aktor-aktor internasional.
12
2)
Regionalistik yang terbentuk mengiringi tatanan dunia yang
unipolaris. Regionalistik politik yang terjadi di era unipolaris sekarang ini menjadi bagian dari perlawanan terhadap kelompok negara pengendali, yang dalam bentuk kapabilitasnya yang sekecil apapun akan memberikan kontribusi yang signifikan dalam mempengaruhi keseimbangan global, karena dalam proses regionalistik akan banyak terjadi transaksi politik yang akan banyak muncul varian-varian hubungan yang terbentuk, baik di dalam kelompok negara-negara kontra-pengendali maupun varian hubungan diagonalis di antara kelompok negara-negara kontra-pengendali dengan kelompok negara-negara pengendali, atau dengan kelompok negara pendukungnya. Hasil dari berbagai varian dalam hubungan internasional ini, adalah hubungan politik yang semakin kusut (confuse). Hal ini disebabkan karena kerapkali terjadi pembiasan penafsiran dari kepentingan nasional (national interest) masing-masing negara. Aliansi regional yang diharapkan mampu membuat tatanan dunia yang multipolaris, ternyata gagal. Kegagalan ini mengartikan bahwa pendekatan normatif, yang diusung oleh para penganut paham idealis, tidak efektif, sehingga memberikan sinyal bahwa perlawanan terhadap kelompok negara-negara pengendali, mesti dilakukan dengan merubah strategi perlawanan. 3)
Kemungkinan sebuah negara merubah strategi perlawanannya
dengan varian yang berbeda-beda pada tiap negara. Kasus Afganistan di era Taliban dan Irak di era Saddam adalah bukti bahwa negara yang terhegemoni, umumnya tidak punya banyak pilihan dalam menentukan pilihan strategi perlawanannya pada saat negara itu mengambil sikap untuk merubah strateginya, sehingga kemunculan berbagai International Non Government Organizations (INGOs) sebagai Non State Actors pada percaturan politik internasional, bisa dianggap menjadi bagian dari pilihan strategi yang diambil. Penggunaan INGOs sebagai instrumen strategik, merupakan pilihan strategi politik yang aman, karena tekanan politiknya bisa mempengaruhi kebijakan politik global, namun INGOs bukanlah subyek hukum
internasional
yang
dapat
dikenakan
sanksi
internasional,
sebagaimana halnya sebuah negara dan karena hal inilah pasca runtuhnya struktur internasional dari bipolar ke unipolar, sementara perkembangan INGOs sangat pesat.
13
b.
Teori dunia modern oleh Thomas Hobbes (1588-1679) Thomas Hobbes adalah tokoh yang sangat anti dengan demokrasi karena
menurutnya demokrasi adalah penyebab utama terjadinya perpecahan yang mengakibatkan perang saudara. Dia hidup pada kondisi negaranya sedang kacau karena
Perang
Saudara
dan
ini
akan
sangat
mempengaruhinya
dalam
mencetuskan teori kontrak sosial, bahwa Hobbes menginginkan negaranya stabil dan Hobbes mempunyai ikatan karier dan politik dengan kalangan kerajaan, sehingga dalam persaingan kerajaan versus parlemen, Hobbes memihak kerajaan dan anti-parlemen yang dianggap sumber utama perang saudara. Semua pemikiran dari thomas hobbes tercantum dalam bukunya yang sangat terkenal yaitu Leviathan. Pada dasarnya manusia adalah sama, dalam keadaan yang alamiah, sebelum ada pemerintahan setiap manusia ingin mempertahankan
kebebasan
mereka
masing-masing,
tetapi
dengan
cara
menguasai orang lain. Keinginan untuk mempertahankan kebebasan muncul karena dorongan masing-masing individu untuk menyelamatkan diri mereka. Dari berbagai konflik tersebut maka akan timbul perang antara sesama manusia, yang akan menjadikan hidup ini ”kotor, kasar dan pendek”. Setiap orang secara alamiah akan mengejar kesenangan dan menghindari kesengsaraan dan setiap negara akan mengejar kesenangan (inti dari national interest-nya). Jadi, setiap negara akan terlibat dalam proses perburuan (rent seeking) tiada henti terhadap sumbersumberdaya internasional yang tersedia. Bila percaturan politik internasional yang terjadi sekarang seperti gambaran yang telah disampaikan, maka negara-negara yang terhegemoni atau terkooptasi oleh kelompok negara-negara pengendali, secara alamiah akan melakukan perlawanan. Kondisi “pertarungan” yang tidak seimbang tersebut, telah melahirkan tahapan kedua, yaitu regionalistik. c.
Cara Bertindak (CB) terpilih Cara bertindak (CB) merupakan bagian penting dalam memecahkan
masalah, yang dilakukan sejak jaman dahulu, karena “Bertindak” adalah langkah taktis dari “Cara/Ways” yang merupakan bagian didalam strategi yang telah dirumuskan. Sebenarnya, Cara Bertindak (CB) tidak saja merupakan teori dunia modern saja karena sejak dahulu orang telah melakukannya, namun demikian pemilihan Cara Bertindak (CB) sekarang ini adalah langkah yang dilakukan didalam Proses Pengambilan Keputusan Militer (PPKM) untuk memperoleh Cara Bertindak terpilih yang merupakan keputusan Cara Bertidak yang paling tepat
14
didalam menghadapi musuh sebagai suatu proses pemecahan masalah yang ada, yang senantiasa menyesuaikan dinamika operasi. Demikian Cara Bertindak (CB) ini dapat digunakan sebagai landasan teori pemecahan masalah optimalisasi peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
10.
Tinjauan Pustaka a.
Kelompok Kerja Program Pendidikan Singkat Angkatan XVII/2011
Lembaga Ketahanan Nasional RI Tahun 2011 dengan judul makalah: “MENINGKATKAN
KEWASPADAAN
FUNDAMENTALISME TERORISME
AGAMA
DALAM
NASIONAL
GUNA
RANGKA
TERHADAP
MENDUKUNG
KETAHANAN
GERAKAN
PENANGGULANGAN
NASIONAL”
yang
didalam
tulisannya memuat Tinjauan Pustaka dari Kelompok Kerja Ketahanan Nasional Lemhannas, Ketahanan Nasional, Modul 1 Lemhannas Tahun 2010. b.
Permasalahan
Nasional
terhadap
yang gerakan
dibahas
adalah
fundamentalisme
meningkatkan agama
guna
Kewaspadaan mendukung
penanggulangan terorisme dalam rangka Ketahanan Nasional, dengan intisari tinjauan Pustaka, sebagai berikut : Konsepsi Ketahanan Nasional (Tannas) Indonesia adalah konsepsi pengembangan kekuatan nasional melalui pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan yang seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan secara utuh dan menyeluruh dan terpadu berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan Wawasan Nusantara. Dengan kata lain, Ketahanan Nasional Indonesia merupakan pedoman (sarana) untuk meningkatkan (metode) keuletan
dan
ketangguhan
bangsa
yang
mengandung
kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan. Kesejahteraan dapat digambarkan sebagai kemampuan bangsa dalam menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai nasionalnya, demi sebesar-besar kemakmuran yang adil dan merata, rohaniah dan jasmaniah. Sementara itu, keamanan adalah kemampuan bangsa melindungi nilai-nilai nasionalnya terhadap ancaman dari luar dan dari dalam. Hakikat ketahanan nasional Indonesia adalah keuletan
dan
ketangguhan
bangsa
yang
mengandung
kemampuan
15
mengembangkan kekuatan nasional, untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan Negara dalam mencapai tujuan nasional. c.
Metode penulisan yang digunakan adalah metode deduktif dan
menggunakan teori dasar serta teori manajemen menurut Henry Fayol mencakup lima fungsi manajemen, yaitu merancang, mengorganisir, memerintah, mengordinasi dan mengendalikan dan
telah diringkas menjadi empat fungsi
manajemen yaitu: 1)
Perencanaan (planning) adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan
dengan sumber daya alam yang dimiliki. 2)
Pengorganisasian (organizing) dilakukan dengan tujuan membagi
suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil yang mempermudah dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas yang telah dibagi-bagi. 3)
Pengarahan (directing) adalah suatu tindakan untuk mengusahakan
agar semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan manajerial dan usaha. 4)
Pengendalian (controlling) adalah pengendalian dari setiap proses
pekerjaan sehingga pekerjaan dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telahditentukan. d.
Inti dari kesimpulan : Peningkatan kewaspadaaan Nasional terhadap
penanggulangan terorisme dalam rangka ketahanan Nasional terkendala dengan beberapa permasalahan yang diantaranya adalah lemahnya penegakan supremasi hukum, belum terwujudnya stabilitas politik nasional, lambannya pemulihan ekonomi nasional, kondisi keamanan nasional yang kurang mantap, banyaknya permasalahan di bidang sosial budaya dan pelaksanaan pembangunan di daerah terlambat. Adapun saran yang dibuat : Perlu pemerintah membuat kajian tentang pentingnya pembentukan lembaga pengkajian untuk memantau dan mengikuti perkembangan
Kewaspadaan
Nasional,
termasuk
akibat
yang
dapat
ditimbulkannya (ekses negatif). Selain itu, pemerintah perlu melakukan terobosan, agar peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat diregulasi dengan mengamandemen peraturan yang berbau kolonialisme, sedangkan peraturan baru hasil legislasi pasca kemerdekaan yang tidak sesuai dengan paradigma baru kehidupan nasional yang demokratis perlu direvisi guna menutupi kekurangannya
16
dan pemerintah perlu untuk
memfasilitasi agar agenda reformasi terus
dikembangkan dan dilaksanakan dengan konsisten melalui pembangunan bidangbidang kehidupan nasional baik yang terkait dengan bidang geografi, demografi dan sumber kekayaan alam, maupun bidang-bidang ipoleksosbudhankam, sehingga
mampu
mendorong
meningkatnya
kewaspadaan
Nasional
mendukung penanggulagan terorisme dalam rangka Ketahanan Nasional.
guna
17
BAB III PERAN PEMERINTAH DAERAH SAAT INI DALAM MENGHADAPI TERORISME
11.
Umum Terorisme adalah segala bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada
negara dengan maksud menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat luas.2 Sementara itu, disepakati oleh kebanyakan ahli bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan terorisme adalah tindakan-tindakan yang memiliki elemen : kekerasan, tujuan politik dan teror/intended audience. Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana Terorisme, jika: 1.
Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 6). 2.
Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7). Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang 2
Konvensi PBB tahun 1937.
18
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah: adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut; Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu; Menggunakan kekerasan; Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi pemerintah; dan dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama. Jadi, pada hakekatnya aksi terorisme merupakan tindakan yang terencana dan terorganisir, ditujukan kepada siapa saja dan berlaku dimana saja serta kapan saja dan sekarang telah menjadi fenomenal global yang terjadi diberbagai belahan dunia termasuk telah merebak di beberapa daerah di tanah air yang terpicu oleh beberapa faktor, yang diantaranya adalah kesenjangan sosial dikalangan masyarakat dan adanya gerakan fundamentalisme agama yang berkembang di Indonesia yang telah melahirkan jaringan terorisme dengan berbagai aksi kebiadaban teror yang memakan korban tidak berdosa. Bentuk perbuatan terorisme bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan,
yang
dapat
dilakukan
oleh
individu,
kelompok
maupun
negara. Sedangkan hasil dari kegiatan terorisme diantaranya: menimbulkan rasa ketakutan, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan dan aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serangan teroris tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh sebab itu para pelaku layak menerima pembalasan yang kejam. Akibat makna negatif dari kata "teroris" dan "terorisme", para teroris umumnya menyebut diri sebagai: separatis, pejuang
pembebasan, militan, mujahidin,
dan lain-lain, seperti paham Islam radikal yang tersebar ke pelosok dunia termasuk ke kawasan Asia Tenggara. Sementara di Palestina mereka membentuk beberapa kelompok bersenjata berjuang bersama-sama rakyat Palestina melawan Israel dan di beberapa negara, mereka tetap melakukan aksi-aksi menentang pemerintah yang dianggap sekuler, bahkan tidak jarang membantu kaum pemberontak yang melawan pemerintah yang sah dengan mengobarkan perang sipil, seperti yang terjadi di Aljazair, Kongo, Thailand, Philipina, dan lain-lain. Kondisi saat ini, model perang tradisional secara konvensional antara dua negara sejak berakhirnya perang dingin cenderung berubah menjadi perang asimetrik dan non konvensional dengan peran non state actors, antara lain: menentang pemerintahan yang sah dengan atau tanpa kekerasan, perseteruan didalam negeri, mengobarkan perang sipil
19
didalam negeri dan aksi-aksi teror. Kenyataan aksi-aksi tersebut menimbulkan kerugian besar bagi kepentingan umum dalam skala luas dibanyak negara. Oleh karenanya, konflik dekade kini dan masa mendatang, pemusatan perhatian secara aktual peran non state actors menjadi sangat penting, dalam rangka perdamaian dan stabilitas keamanan dunia dan Asia Tenggara yang dalam konteks keamanan regional masih diwarnai isu-isu konflik yang bersumber pada klaim teritorial, perompakan, keamanan jalur pelayaran dan perdagangan, penyelundupan, narkotika dan terorisme. Indonesia didalam penyelenggaraan pertahanan negara menggunakan sistem pertahanan semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan segenap sumber daya nasional yang dipersiapkan oleh pemerintah sejak dini serta diselenggarakan secara menyeluruh, terpadu, terarah dan berlanjut. Pelibatan fungsi pertahanan militer dan fungsi pertahanan nir militer dimulai pada masa damai hingga perang, dimana pelibatan fungsi pertahanan militer pada situasi keamanan nasional dalam keadaan damai diarahkan pada penekanan cegah-tangkal terhadap setiap ancaman yang dalam intensitas konflik rendah, TNI selaku komponen utama pertahanan negara menyelenggarakan OMSP (Operasi Militer Selain Perang) yang pelaksanaannya berdasarkan keputusan politik pemerintah. Selanjutnya dalam derajat konflik intensitas keamanan krisis dan berlanjut, maka pelibatan fungsi pertahanan militer semakin tinggi, dimana pemerintah menaikkan derajat keadaan darurat dengan memberlakukan darurat sipil, darurat militer atau darurat perang. Sehubungan dengan ancaman terorisme, maka dalam penanganannya adalah melalui pendekatan pertahanan militer yang merupakan bagian dari fungsi pertahanan negara untuk melindungi keselamatan segenap bangsa Indonesia. Hal ini, mengingat terorisme dapat merupakan ancaman nir militer maupun ancaman militer karena menggunakan peralatan dan senjata sebagaimana yang digunakan oleh militer, seperti roket, bom, tank dan lain-lain. Untuk itu, guna menjamin dan melindungi keselamatan bangsa dari ancaman terorisme terutama aksi teror bersenjata, fungsi pertahanan militer melalui unsur-unsur intelijen dan unsur-unsur komando kewilayahan wajib meningkatkan kewaspadaan dengan mengefektifkan fungsi deteksi dan cegah dini. Adapun dalam hubungan ancaman nir militer, yang pada hakekatnya adalah ancaman yang menggunakan faktor-faktor nir militer yang mempunyai kemampuan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan segenap bangsa, terorisme adalah ancaman serius yang harus mendapat perhatian dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi, karena ancaman nir militer dapat berdimensi ideologi, politik, sosial, informasi dan teknologi, ketertiban masyarakat, keselamatan umum dan hukum.
20
Tindakan teror bisa dilakukan dengan berbagai macam cara sesuai keinginan pelaku, yakni teror yang berakibat fisik dan/atau non fisik (psikologis), sehingga berdampak sangat merusak mental, semangat dan daya juang masyarakat, yang dalam skala nasional dan jangka panjang dapat melumpuhkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kondisi semacam ini, jelas mengganggu keamanan hidup masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, sehingga dapat menggoyah Ketahanan Nasional yang seharusnya dapat diperkokoh dengan keamanan hidup dalam lingkungan masyarakat Indonesia yang terbina dan terpupuk dengan upaya maksimal mengoptimalkan peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme yang merupakan bahaya laten guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional. Disamping itu, bahwa meskipun tidak terdapat defenisi tentang “Keamanan Maritim” dalam tataran internasional, namun terdapat kesepakatan tentang komponen ancaman yang dianggap membahayakan keamanan maritim tersebut, seperti yang dicantumkan dalam dokumen “The Present Addendum to The Repoert of The Scretary-General on Ocean and Law of The Sea (A/63/63)3, bahwa keamanan maritim dikaitkan dengan penanganan terhadap tiga isu ancaman, yaitu : tindakan teroris terhadap pelayaran kapal dan instalasi lepas pantai (terrorist acts against shipping and offshore installation); pembajakan dan perompakan bersenjata (piracy and armed robbery against ships); dan lalu lintas obat terlarang dan narkotik yang illegal dan zat-zat psikotropik (illicit traffic in narcotic drugs and psychotropic substances).
Sehubungan
dengan
keamanan
maritim,
fakta
bahwa
saat
ini
permasalahan perbatasan dalam aspek pertahanan tidak hanya menyangkut ancaman tradisional terhadap kedaulatan teritorial, tetapi juga menciptakan ruang isu keamanan non tradisional, seperti: kejahatan lintas batas melingkup penyelundupan manusia, perompakan laut, senjata, obat terlarang, terorisme dan pencurian ikan, yang dalam hal mana dampak dari ancaman non tradisional terhadap keamanan maritim Indonesia sering terjadi. Pada bidang strategi pertahanan, isu terorisme membawa beberapa permasalahan, yaitu :4 Pertama, terorisme merupakan ancaman nyata yang mengancam jiwa manusia dan mengancam seluruh negara; Kedua, terorisme sebagai ancaman nyata menghadirkan ketidak-pastian tentang kapan dan dimana aksi terorisme akan terjadi, sehingga menuntut kesiapsiagaan yang prima; Ketiga, penanganan terorisme mengoreksi 3
Jurnal Maritim Indonesia No 1 Seskoal, September 2014 Volume 2
4
Postur Pertahan Negara hingga Tahun 2029 oleh Departemen Pertahanan RI Tahun 2007.
21
konsep-konsep kerjasama pertahanan menjadi lebih intensif dan progresif; Keempat, penangan terorisme dengan menggunakan kekuatan militer menjadi salah satu pilihan strategi pertahanan, sehingga kedepan harus dibenahi agar tidak berbenturan dengan norma-norma demokrasi dan Hk Azasi Manusia. Secara umum, beberapa perkiraan peluang potensi munculnya terorisme di Indonesia, diantaranya adalah sebagai berikut : a.
Sejarah perjuangan bangsa Sebagai bangsa Indonesia yang mengenal semangat jiwa yang tidak takut
mati ada didalam jiwa bangsa Indonesia, sehingga apabila ada bagian dari bangsa Indonesia yang memiliki karakter perlawanan tidak takut mati adalah hal yang wajar dan masuk akal. Demikian setiap tindakan terorisme yang diwarnai dengan tindakan bom bunuh diri atau apapun bersifat pengorbanan jiwa, maka hal ini tidak menjadi faktor kesulitan bagi terorisme untuk menggalang masyarakat Indonesia. b.
Kesukuan, nasionalisme/separatism (Etnicity, nationalism/separatism) Penebaran teror digunakan sebagai satu cara untuk mencapai tujuan atau
alat perjuangan. Disini sasarannya jelas, yaitu etnis atau bangsa lain yang sedang diperangi. Tindakan teror ini umumnya terjadi di daerah yang dilanda konflik antar etnis/suku atau pada suatu bangsa yang ingin memerdekan diri. c.
Kemiskinan, kesenjangan dan globalisasi (Poverty and economic
disadvantage, globalisation) Kemiskinan dan kesenjangan dapat menjadi masalah sosial yang mampu memicu terorisme. Kita mengenal dua jenis kemiskinan, yaitu kemiskinan natural yang bisa dibilang “miskin dari asal mulanya” dan kemiskinan struktural yang merupakan kemiskinan yang dibuat, dimana ini terjadi ketika justru penguasa mengeluarkan kebijakan yang malah memiskinkan rakyatnya dan jenis kemiskinan struktural ini lebih tinggi berpotensi bagi munculnya terorisme. d.
Non demokrasi (non democracy) Iklim demokratis menjadikan rakyat sebagai representasi kekuasaan
tertinggi dalam pengaturan negara, yang berarti rakyat merasa dilibatkan dalam pengelolaan negara. Hal senada tentu tidak terjadi di negara non demokrasi. Selain tidak memberikan kesempatan partisipasi masyarakat, penguasa non demokrasi
22
sangat
mungkin
juga
melakukan
tindakan
represif
terhadap
rakyatnya.
Keterkungkungan ini menjadi kultur subur bagi tumbuhnya benih-benih terorisme. e.
Pelanggaran harkat kemanusiaan (Dehumanisation) Aksi teror akan muncul jika ada diskriminasi antar etnis atau kelompok
dalam masyarakat. Kelompok yang direndahkan akan mencari cara agar didengar, diakui dan diperlakukan sama dengan yang lain. Gejala ini akan mendorong benih teror yang akan berkembang sebagai aksi terorisme. f.
Radikalisme agama (Religion) Kejadian teror di Indonesia banyak berhubungan dengan radikalisme agama
yang merupakan penyebab unik, karena motif yang mendasari kadang bersifat tidak nyata. Radikalisme agama sebagian ditumbuhkan oleh cara pandang dunia para penganutnya. Akan tetapi Robert A. Pape dalam artikelnya yang berjudul The Strategic Of Suicide Terrorism (American Political Science Review, August 2003) menyatakan bahwa meski ada motivasi dalam bom bunuh diri, tapi dalam banyak kasus bom bunuh diri modern, motivasi keagamaan ternyata nyaris tidak ada. Mayoritas umat Islam Indonesia membawa sejarah bawah sadar kecurigaan yang kuat terhadap intervensi Barat sebagaimana terjadi dalam perang Nusantara di Indonesia dan perang Salib di dunia. Kejanggalan kasus sejarah Afghanistan, yang diwarnai konflik bersenjata juga pada situasi di Irak dan Lebanon, hal ini dinilai sebagai upaya politik bangsa barat untuk labelling Islam teroris yang menimbulkan kebencian dari para agamis yang fanatik.
12.
Inisiatif Aparat Pemerintah Daerah Dalam Menghadapi Terorisme Masa reformasi ditengah terjangan globalisasi dan modernisasi seolah menjadi
kebangkitan terorisme di Indonesia, karena teroris lebih mudah dalam melancarkan aksi disebabkan kebebasan didalam kehidupan masyarakat demokrasi yang condong kebablasan bagai tanpa batas dan berkecenderungan menyimpang dari sendi-sendi kehidupan Pancasila sebagai akibat melemahnya penghayatan dan pengamalan Pancasila oleh masyarakat Indonesia. Sebagaimana diketahui, bahwa keamanan dalam negeri baik dalam konteks otoritas pemerintahan, keharmonisan hubungan sosial maupun kepatuhan pada segenap pranata sosial dan hukum nasional tetap menjadi masalah penting. Untuk itu, keamanan
23
dalam negeri harus dipandang sebagai kondisi yang tercipta karena terpenuhinya kinerja pemerintahan yang responsif, penegakan hukum terkendali dan bertanggungjawab serta pencapaian
pembangunan
yang
merata
dan
menghargai
harkat
kemanusiaan.
Kesemuanya ini merupakan hal penting, agar penyelenggaraan pemerintahan, baik dibidang pelayanan publik, penegakan hukum maupun pemenuhan kesejahteraan dapat menjadi instrumen penting dalam menyatukan keamanan manusia dan keamanan hidup berbangsa dan benegara Indonesia. Memperhatikan
hubungan
keserasian
antar
daerah
dengan
pemerintah
sebagaimana yang dimaksud didalam Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, bahwa secara substansial sangatlah besar peran dan kewenangan pemerintahan daerah baik eksekutif maupun legeslatif dalam mengelola daerahnya. Sehubungan dengan hal ini, maka aparatur pemerintah daerah yang kreatif dengan segala inisiatifnya sangat diperlukan, agar pemenuhan kesejahteraan masyarakat secara lahiriah dan bathiniah yang menjadi tanggungjawab aparatur pemerintahan daerah untuk merealisasikannya, termasuk pembinaan sistem administrasi dan pelayanan publik di daerah serta pembinaan masyarakat melalui beragam cara dan media dapat lebih konstruktif. Oleh sebab itu aparatur pemerintah daerah dalam perannya dituntut untuk memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap diri dan lingkungannya dalam rangka peran memajukan daerahnya didalam pembangunan daerah yang merupakan integralistik pembangunan nasional. Keadaan semacam ini tentunya tidak terlepas pula pada permasalahan keamanan yang dalam konteks sosial merupakan suatu aplikasi layanan publik bahwa keamanan hidup berbangsa dan bernegara terimplementasi sebagai keamanan dan ketertiban di daerah, sehingga menjadi rasional bila pemerintah daerah dalam menghadapi bahaya laten terorisme berinisiatif dalam ruang preventive evert (cegah-tangkal) terhadap bahaya laten terorisme tersebut, meskipun berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama. Hal ini menjadi penting, mengingat fakta bahwa terorisme telah memanfaatkan
daerah
sebagai
basis
dalam
penyusunan
perencanaan
dan
pengembangan jaringannya secara tersembunyi untuk melancarkan aksi teror dan manuver pemanfaatan ruang gerak yang leluasa memainkan jaringan terorisme, sementara didalam menyikapi kondisi ini, tampak sekali ketidakoptimalan peran
24
pemerintah daerah dalam menghadapi aksi-aksi bahaya laten terorisme. Untuk itu, permasalahan keamanan bersifat preventive evert (cegah-tangkal) terhadap bahaya laten terorisme dapat menjadi ranah daerah yang terakumulasi secara nasional, agar pencegahan dan penangkalan secara dini terhadap bahaya laten terorisme lebih efektif dan efisien. Keterkaitan akan hali ini, peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme pada dasarnya haruslah bersifat pencegahan dan penangkalan terhadap bahaya laten terorisme dengan kisi-kisi yang mengarah pada integrasi normalisasi kehidupan nasional. Normalisasi kehidupan nasional yang dimaksud disini adalah memulihkan keyakinan masyarakat sebagai kekuatan bangsa untuk melanjutkan pembangunan nasional dalam rangka mewujudkan tujuan nasional dalam kondisi yang kondusif dan komplemen terhadap tindakan masyarakat. Kondisi ini dibutuhkan dalam perkembangan tatanan dinamika kelangsungan hidup kebangsaan dan kenegaraan yang demokratis, dinamis dan transparansi sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan NKRI yang merdeka, bersatu berdaulat adil dan makmur sebagaimana amanat UndangUndang Dasar 1945. Hal ini adalah merupakan upaya menghadapi bahaya laten terorisme sebagai wujud peran pemerintah daerah guna terciptanya keamanan hidup berbangsa dan bernegara, sehingga pencegahan, penangkalan dan kemampuan melawan bahaya laten terorisme berhasilguna secara efektif dan efisien dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara, pada Pasal 20 ayat (3), disebutkan bahwa “Pembangunan di daerah harus memperhatikan pembinaan pertahanan, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang selanjutnya diatur dengan Peraturan Pemerintah” dan pada Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa “Pembinaan kemampuan pertahanan Negara ditujukan untuk terselenggaranya sebuah sistem pertahanan Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.” Dalam hubungan terhadap Undang-Undang ini, bahwa pembagunan daerah adalah integralistik pembangunan nasional dan aksi teror bersenjata merupakan bentuk kegiatan terorisme yang mengancam keselamatan bangsa yang penanganannya oleh TNI dilaksanakan dengan OMSP (Operasi Militer Selain Perang) melalui pendekatan preventif, represif disesuaikan dengan perkembangan situasi yang dihadapi. Adapun unsur utama pertahanan nir militer adalah unsur pemerintah dan non pemerintah dalam fungsi dan kapasitasnya memberdayakan sumber daya nasional, maka pemerintah daerah yang merupakan sub sistem pemerintah, melalui usaha tanpa menggunakan kekuatan senjata dengan pemberdayaan faktor-faktor ideologi, politik, ekonomi, sosial
25
budaya dan teknologi secara preventive-evert (cegah-tangkal) diperlukan inisiatif aparatur pemerintah daerah dalam menghadapi bahaya laten terorisme. TNI AL (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut) sebagai bagian integral dari TNI bersama komponen utama pertahanan negara lainnya menjalankan tugas OMSP, diantaranya
adalah
mengatasi
gerakan
sparatisme,
mengatasi
pemberontakan
bersenjata, mengatasi aksi terorisme, mengamankan wilayah perbatasa, mengamankan obyek vital nasional strategis, melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai kebijakan politik luar negeri, mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya, memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan system pertahanan semesta, membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat dan juga membantu tugas pemerintahan di daerah, membantu mengamankan tamu Negara setingkat Kepala Negara dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia, membantu (penanggulangan bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan), membantu pencarian dan pertolongan kecelakaan (SAR) serta membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan dan penyelundupan. Keterkaitan tugas OMSP yang dilaksanakan oleh TNI/TNI AL dengan peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme, maka inisiatif aparatur pemerintah
daerah
dalam
konteks
preventive-evert
(cegah-tangkal)
dapat
menunjang TNI dan khususnya TNI AL dalam mengemban tugas pokok sebagaimana Pasal 9 UURI Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI dan menunjang TNI AL dalam menjalankan fungsi internal (Domestic Function) yang merupakan fungsi tambahan guna menjaga perdamaian, keamanan dan stabilitas negara serta penegakan hukum dalam kerangka OMSP.
13.
Kepekaan Masyarakat Terhadap Kehadiran Terorisme Dilingkungannya Bagaimanapun latar belakang dari terorisme akan selalu membawa hal yang
merugikan terutama bagi masyarakat. Terlepas dari itu, Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari masyarakat yang heterogen, maka apabila salah dalam mengolah hal tersebut tentunya akan menghasilkan konflik yang berkepanjangan, yang berujung pada terhambatnya proses pembangunan. Kendati demikian, bila dipelajari terhadap sejarah kebangsaan ternyata konflik di Indonesia timbul bukan hanya karena masalah keberagaman masyarakat saja, tapi juga pada sebab-sebab lain seperti idiologi, politik, hukum, ekonomi dan sumber daya manusia.
26
Seorang pakar sosiologi menyatakan, konflik merupakan fenomena yang selalu hadir dalam setiap masyarakat. Beliau juga menyatakan bahwa perbedaan pendapat dan kepentingan diantara masyarakat merupakan hal yang alamiah dan tidak dapat dihindari.5 Harus diakui akibat dari munculnya konflik dan teror akan mengakibatkan kerusakan dan kerugian material, namun mungkin dampak terbesar dari konflik dan teror adalah aspek psikologi sosial masyarakat dalam artian masyarakat akan selalu dihinggapi rasa takut dan rasa tidak aman, akibatnya diantara kelompok masyarakat timbul saling curiga dan mengikis rasa kepercayaan terhadap negara lain.6 Hal inilah kenapa terorisme dan peluang munculnya konflik harus dihindari semaksimal mungkin. Terkait hal ini, bangsa Indonesia didalam kehidupan nasionalnya dengan segala perbedaan dan pertentangan adalah hal yang biasa, yang justru dapat disalurkan untuk memelihara dan mengembangkan kesatuan bangsa. Susunan bangsa dan wilayah negara Indonesia terdiri dari orang-orang Indonesia, atas keluarga dan suku bangsa serta golongan dan pulau-pulau yang semua itu didalam dirinya sendiri merupakan hal-hal yang tersendiri, yang akan tetap ada diluar kesatuan kebangsasan. Dan yang menjadikan semua itu bersama bersatu adalah bangsa dan wilayah negara, yang bila hubungan kesatuan antara satu dengan yang lainnya tidak ada lagi, maka semua itu akan turun didalam martabat penjelmaan dirinya didalam kehidupan perseorangan sebagai keluarga, sebagai suku-suku bangsa atau suatu golongan orang dan sebagai pulau-pulau yang terpecah belah, terpencil dan lemah. Oleh karena itu, keadaan bangsa dan wilayah serta negara Indonesia benar-benar memenuhi syarat yang mutlak, bahwa sifat kesatuan bangsa, wilayah dan negara Indonesia tidak dapat terbagi. Untuk itu, sangatlah penting arti dan maknanya kepekaan masyarakat terhadap kehadiran terorisme dilingkungannya, karena kepekaan ini tidak ubahnya fakta kepedulian masyarakat terhadap diri dan lingkungan sebagai suatu bentuk cara pandang bangsa Indonesia terhadap diri dan lingkungannya mencakup kehidupan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Fakta saat ini menunjukkan bahwa tingginya tingkat kesenjangan sosial di masyarakat, menimbulkan rasa ketidakpedulian akan apa yang terjadi karena sulitnya mencari lapangan pekerjaan guna memenuhi kebutuhan pokok dengan segala beban hidup yang kompleks, sehingga hal ini menyebabkan ketidakpedulian timbul karena
5 6
Ralf Dahrendrof (1958:241) (Rozi, dkk, 2006:206)
27
dampak terorisme tidak begitu dirasakan oleh kalangan yang berada di bawah garis kemiskinan, namun lebih dirasakan oleh kalangan menengah ke atas. Disamping itu, pemahamanan masyarakat secara umum terhadap wawasan nusantara masih kurang. Hal ini tampak dari kelengahan masyarakat akan kehadiran terorisme dilingkungannya yang banyak terjadi di berbagai daerah di tanah air, yang dalam hal mana menunjukkan bahwa sebagian masyarakat sebagai bangsa Indonesia masih lemah dalam cara pandang diri dan lingkungannya mencakup kehidupan asta gatra yang melingkup kehidupan Ipoleksosbudhankam. Memperhatikan kedua hal tersebut diatas, tentu kepekaan masyarakat terhadap kehadiran terorisme dilingkungannya lemah karena kepedulian yang rendah terhadap diri dan lingkungannya sebagai akibat dari kesibukan masyarakat yang berjuang untuk perolehan
penghidupan
yang
layak, sehingga
tanpa
disadari
terjadi
lunturnya
penghayatan masyarakat akan norma-norma dan nilai-nilai Pancasila, dimana salah satunya adalah bela negara yang menjadi kewajiban bagi setiap warga Negara, yang setidaknya dapat diawali dari kepedulian terhadap diri dan lingkungannya, sehingga menjadi pencegah dan penangkal dini terhadap kehadiran terorisme. Bila demikian, maka fenomena hidup yang menjadi polemik ini harus menjadi perhatian pemerintah daerah disamping pemerintah sebagai suatu pemerintahan yang mendapat wewenang otonom dalam memajukan daerahnya. Oleh sebab itu, perlunya optimalisasi peran pemerintah daerah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya melalui penggalian sumbersumber daya yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yang menuju kepada masyarakat mandiri, mahdani yang terakumulasi sebagai masyarakat Indonesia yang sejahtera didalam pembangunan nasional dan dilain sisi pemerintah daerah dalam perannya dapat mengajak, menghimbau dan membina masyarakat untuk penyegaran kembali penghayatan dan pengamalan Pancasila serta pendalaman pemahaman wawasan nusantara sebagai paradigma nasional yang melandasi sosialisasi menghadapi bahaya laten terorisme guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional. Dalam hubungan ini, terorisme dalam konteks ancaman nir militer pada dasarnya tidak secara langsung mengancam kedaulatan, keutuhan dan keselamatan bangsa, tapi pada eskalasi tertentu dapat berkembang luas mengganggu stabilitas nasional dan mengancam eksistensi NKRI, sehingga ancaman nir militer ini dapat ditangani oleh fungsi pertahanan militer pada kondisi tertentu sebagai unsur bantuan dengan pendekatan nir militer, sebab pertahanan nir militer tidak terbatas pada perwujudan daya tangkal bangsa melalui pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan saja, meskipun
28
keterlibatan warga Negara dalam pertahanan nir militer diwujudkan melalui profesi, pengetahuan dan keahlian serta kecerdasan dalam pembangunan nasional dan dalam penyelenggaraan pertahanan Negara baik langsung maupun tidak langsung untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Termasuk didalam pertahanan nir militer adalah komponen cadangan dan komponen pendukung serta pertahanan sipil yang terdiri dari Keamanan publik. Adapun komponen cadangan terdiri dari warga Negara, SDA (sumber daya alam) maupun SDB (sumber daya buatan) dan sarana prasarana nasional. Adapun komponen pendukung adalah meliputi Garda Bangsa yang terdiri dari Polisi, Polisi Pamong Praja, Linmas (Perlindungan Masyarakat), Satpam (Satuan Pengamanan), Menwa (Resimen Mahasiswa), organisasi kepemudaan dan lain-lain; Profesional seperti Doktor, Paramedis, Montir Ahli Kimia dan lain-lain; SDA, SDB dan sarana prasarana; Industri nasional; dan warga Negara lainnya. Dalam hubungan ini, kepekaan masyarakat terhadap kehadiran terorisme dilingkungannya sangat diperlukan dalam rangka menunjang tugas TNI/TNI AL dalam tugas OMSP mengatasi terorisme sekaligus mendukung keamanan bagi keamanan maritim Indonesia terutama pada tindakan teroris terhadap pelayaran kapal dan instalasi lepas pantai (terrorist acts against shipping and offshore installation); pembajakan dan perompakan bersenjata (piracy and armed robbery against ships); serta lalu lintas obat terlarang, narkotika ilegal dan zat-zat psikotropik (illicit traffic in narcotic drugs and psychotropic substances).
14.
Sinergitas Pemerintah Daerah Dengan Instansi Terkait Dan Aparatur
Pemerintah Daerah Lainnya Bersama Masyarakat Penyelenggaraan pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia menganut azas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah antara lain memberikan penekanan pada aspek demokrasi, keadilan, pemerataan dan partisipasi masyarakat serta memperhatikan potensi, kekhususan dan keanekaragaman daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai wujud dari penekanan berbagai prinsip tersebut adalah adanya peluang dan kesempatan yang luas bagi daerah otonom untuk melaksanakan kewenangannya secara mandiri dan luas. Pemberian otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah akan membawa konsekuensi perubahan pada pola dan sistem pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan. Perubahanperubahan tersebut juga memberikan dampak pada unit-unit kerja pemerintah daerah, seperti tuntutan pada pegawai/aparatur pemerintah daerah untuk lebih terbuka, transparan dan bertanggung jawab atas keputusan yang dibuat. Oleh karena itu,
29
pemberian kewenangan dan keleluasaan (diskresi) kepada daerah harus diikuti dengan pengawasan dan pengendalian yang kuat. Hal ini dikarenakan Pemerintahan daerah pada hakikatnya merupakan subsistem dari pemerintahan nasional. Oleh sebab itu, secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan pemerintahan. Selanjutnya infrastruktur politik yang meliputi pengelompokan warga negara atau anggota masyarakat kedalam berbagai macam golongan yang biasa disebut dengan kekuatan sosial politik dalam masyarakat, yaitu badan yang ada di masyarakat seperti parpol, ormas, media massa, kelompok kepentingan (Interest Group), kelompok penekan (Presure Group), alat/media komunikasi politik, tokoh politik (Political Figure), dan pranata politik lainnya. Melalui badan-badan inilah masyarakat dapat menyalurkan aspirasinya yang merupakan tuntutan dan dukungan sebagai input dalam proses pembuatan keputusan. Dengan adanya partisipasi masyarakat diharapkan keputusan yang dibuat pemerintah sesuai dengan aspirasi dan kehendak rakyat, karena pada dasarnya negara tidak boleh dikuasai oleh satu tangan saja, sehingga dalam menjalankan suatu pemerintahan perlu adanya pembagian tugas. Disamping itu, keberadaan instansi terkait yang tersebar di daerah adalah bagian dari lembaga/badan pemerintah yang terdispersi guna pelaksanaan pembangunan nasional yang masingmasing memiliki peran bagi kepentingan nasional. Oleh sebab itu, ketiga komponen yakni pemerintahan daerah, instansi terkait dan masyarakat harus terjalin hubungan, komunikasi dan informasi sebagai implementasi sinergitas satu tim kerja yang merupakan jejaring lokal yang terakumulasi sebagai kekuatan nasional didalam menghadapi bahaya laten terorisme. Disamping itu, hubungan lintas daerah yang ada harus juga terbina, terjaga dan tertata antar daerah dalam kerangka persatuan kesatuan bangsa menuju cita-cita dan tujuan nasional. Selanjutnya, sebagaimana diketahui bahwa globalisasi dan modernisasi yang merupakan fenomena perkembangan jaman yang tidak luput dari kemajuan teknologi dalam kehidupan manusia, dimana globalisasi adalah proses penyebaran unsur-unsur baru khususnya yang menyangkut informasi secara mendunia melalui media cetak dan elektronik, sehingga globalisasi terbentuk oleh adanya kemajuan di bidang komunikasi yang kemudian menghilangkan batas ruang dan waktu akibat kemajuan teknologi informasi. Sedangkan modernisasi diartikan sebagai perubahan-perubahan masyarakat yang bergerak dari keadaan yang tradisional atau dari masyarakat pra modern menuju kepada suatu masyarakat yang modern atau menunjukan suatu proses dari serangkaian
30
upaya untuk menuju atau menciptakan nilai-nilai (fisik, material dan sosial) yang bersifat universal, rasional dan fungsional. Modernisasi dan globalisasi menimbulkan dampak perubahan sosial budaya yang menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semua irasional menjadi rasional. Oleh sebab itu, didalam menghadapi globalisasi dan modernisasi dengan segala perubahan yang terjadi, sangatlah dibutuhkan keselarasan didalam pembangunan nasional yang terintegral kedalam pembangunan daerah yang dapat diimplementasikan melalui sinergitas pemerintah daerah dengan instansi terkait bersama masyarakat di daerah sebagai suatu kekuatan yang akan memperkokoh Ketahanan Nasional melalui upaya-upaya bersama menciptakan dan menjaga keamanan hidup berbangsa dan bernegara didalam kehidupan masyarakat didaerah yang merupakan integralistik kehidupan nasional. Untuk itu, sinergitas sangat diperlukan didalam pemerintah daerah memainkan
peran
dalam
pembangunan
daerah
yang
merupakan
integralistik
pembangunan nasional untuk mensejahterakan kesejahteraan masyarakat di daerah menuju masyarakat mahdani dan mandiri yang berperekonomian daerah yang tinggi yang terakumulasi sebagai kekuatan perekonomian nasional. Dan salah satu bentuk kesejahteraan masyarakat salah satu diantaranya adalah terpenuhinya kebutuhan akan rasa aman dan tenteram didalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara yang dapat dibina, dipelihara dan dijaga melalui sinergitas pemerintah daerah dengan instansi terkait seperti TNI/TNI AL, Polri, Kejaksaan dan lain-lain bersama masyarakat didaerah serta kerjasama lintas daerah yang solid, kuat dan berkelanjutan yang mengarah pada preventive evert (cegah-tangkal) dalam menghadapi bahaya laten terorisme guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional, karena realitas kondisi, sinergitas ini tidak tampak nyata, terbukti dari banyaknya peristiwa terorisme terjadi diberbagai daerah di tanah air. Sinergitas pemerintah daerah dengan instansi terkait khususnya TNI/TNI AL bersama masyarakat didaerah serta kerjasama lintas daerah sangat diperlukan, karena pertahanan negara bukanlah fungsi pemerintahan yang diotonomikan, dimana komponen cadangan disiapkan untuk memperbesar dan memperkuat komponen utama pertahanan negara yang statusnya berubah menjadi kombatan setelah dimobilisasi dan berakhir sebagai kombatan setelah demobilisasi, sedangkan komponen pendukung didayagunakan untuk meningkatkan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan. Sinergitas ini diperlukan dalam rangka pembinaan masyarakat dan keyakinan serta kemantapan sebagai kekuatan bangsa bersama TNI/TNI AL mampu
31
menghadapi segala bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan termasuk terhadap ancaman bahaya laten terorisme. Terutamanya sinergitas pemerintah daerah dengan instansi terkait khususnya TNI AL, menunjang TNI AL dalam kelancaran pelaksanaan tugasnya, yaitu melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut serta melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut. Oleh sebab itu, sinergitas yang dibangun oleh pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan perannya dalam menghadapi terorisme, seyogyanya disambut dengan semangat TNI AL mendukung kebijakan Indonesia sebagai poros maritim dunia, karena posisi strategis NKRI sebagai Negara maritim dan Negara kepulauan yang berada diposisi persilangan dua Samudera, yakni Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia serta dua benua, yakni Benua Asia dan Australia dan semangat TNI AL berkelas dunia, sehingga disamping laut adalah sarana paling efektif dalam melindungi kepentingan nasional Indonesia, maka keamanan maritim Indonesia juga menjadi tuntutan masyarakat internasional dalam rangka memberikan jaminan keselamatan dan keamanan SLOT (Sea Lane Of Trade) dan SLOC (Se Lane Of Communication) bagi masyarakat pengguna laut yang rawan dari ancaman terorisme terhadap pelayaran kapal dan instalasi lepas pantai, pembajakan dan perompakan bersenjata serta lalu lintas obat terlarang, narkotika ilegal dan zat-zat psikotropik.
15.
Implikasi Berbagai kerusuhan, terorisme dan anarki yang terjadi di tanah air merupakan
implikasi dari lemahnya proses normalisasi kehidupan politik nasional dan stabilitas perekonomian nasional yang labil serta kurangnya kepedulian masyarakat dalam menanggapi
dan
menyikapi
diri
terhadap
lingkungannya
yang
terlihat
dari
kekurangpekaan masyarakat pada situasi kondisi lingkungan yang berkembang. Sehubungan akan hal ini, tentu tidak akan terlepas dari peran pemerintah daerah, mengingat peristiwa-peristiwa terorisme banyak terjadi di daerah. Rasa ketidakpuasan dan kesenjangan antara pemerintah pusat dan daerah membuka nuansa yang memungkinkan celah kecenderungan kelompok untuk melakukan gerakan memisahkan diri dari NKRI. Disinilah terjadi penurunan kualitas kebangsaan yang tercermin dari kekurangtanggapan terhadap gejala timbulnya terorisme dilingkungan sekitarnya didalam kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga menjadi ladang subur bagi pertumbuhan dan
32
perkembangan penyebaran pengaruh yang menurunkan kualitas kehidupan sosial masyarakat. Seiring keadaan ini, supremasi hukum di Indonesia juga masih merupakan retorika dan impian daripada realitas kehidupan masyarakat, sehingga secara menyeluruh kondisi semacam ini telah menjadi salah satu hambatan dalam menciptakan keamanan hidup berbangsa dan bernegara yang masif dalam rangka Ketahanan Nasional. Selanjutnya sebagai implikasi dari peran pemerintah daerah terhadap keamanan hidup berbangsa dan bernegara yang juga berimplikasi terhadap Ketahanan Nasional dapat diuraikan, sebagai berikut : a.
Tidak optimalnya peran pemerintah daerah dalam menghadapi bahaya
laten terorisme, maka kondisi keamanan hidup berbangsa dan bernegara yang harus dihadapi : 1)
Apabila inisiatif aparatur pemerintah daerah kurang, dalam
mengajak,
menghimbau,
membina
dan
mensosialisasikan
kepada
masyarakat dalam menghadapi ancaman bahaya laten terorisme, maka kepekaan masyarakat pada diri dan lingkungannya yang dapat menjadi pencegah dan penangkal dini akan kehadiran terorisme dilingkungannya akan kurang, sehingga keamanan hidup berbangsa dan bernegara menjadi kurang massif. 2)
Apabila inisiatif aparatur pemerintah daerah kurang, sebagai
akibat dari kurangnya integrasi pemerintah dengan pemerintah daerah dan lemahnya sinergitas dengan instansi terkait dan hubungan antar lintas daerah bersama masyarakat, maka akan menyebabkan kurangnya gairah pemerintah daerah untuk lebih serius dalam menghadapi bahaya laten terorisme, sehingga kurang mendukung keamanan hidup berbangsa dan bernegara. 3)
Apabila inisiatif pemerintah daerah kurang dapat meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
didaerah
dengan
kesenjangan
sosial
dimasyarakat yang ada, maka akan menyebabkan ketidakfokusan atau ketidakpedulian masyarakat terhadap diri dan lingkungannya karena sibuk memikirkan upaya mengatasi permasalahan kebutuhan kelayakan hidup sejahtera, sehingga terkesampingkan kesadaran akan kehadiran terorisme dilingkungannya dan terorisme lebih mudah dalam aksi pengaruh yang akan
33
mempercepat berkembangnya dalam lingkungan, sehingga mengancam dan berdampak pada bahaya keamanan hidup berbangsa dan bernegara. b.
Tidak terwujudnya keamanan hidup yang mantap didalam kehidupan
berbangsa dan bernegara akan menyebabkan kurang kokohnya Ketahanan Nasional : 1)
Kestabilan keamanan hidup berbangsa dan bernegara diperlukan
dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional. 2)
Lemahnya proses normalisasi kehidupan politik nasional dan
stabilitas perekonomian nasional yang labil yang terkompulir dari kondisi perekonomian
didaerah,
mengganggu
kestabilan
keamanan
hidup
berbangsa dan bernegara, sehingga dapat menggoyah Ketahanan Nasional. 3)
Rendahnya kualitas dan rentannya keamanan hidup berbangsa dan
bernegara menyebabkan kurang kokohnya Ketahanan Nasional. Memperhatikan implikasinya, maka didalam menghadapi terorisme diperlukan peran optimal pemerintah daerah yang terintegrasi secara terpadu bersama instansi terkait dan masyarakat serta hubungan lintas daerah yang menjadi kekuatan dan kemampuan mencegah dan menangkal terorisme sebagai implikasi atas ancaman terorisme. Oleh sebab itu, dibutuhkan adanya konsep yang meliputi kebijakan, strategi dan upaya-upaya nyata guna terwujudnya kemasifan atau kemantapan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
16.
Permasalahan yang Ditemukan Kebijakan keamanan nasional merupakan tanggungjawab otoritas politik, dimana
strateginya berpijak pada pilar politik, ekonomi dan pertahanan keamanan yang kerangkanya ditetapkan oleh Presiden atau pemerintah sebagai satu kesatuan pengelolaan keamanan nasional untuk dilaksanakan oleh berbagai Institusi teknis dengan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila yang digariskan terpisah sekaligus berhubungan antara pemegang akuntabilitas publik dan pemegang akuntabilitas operasional. Sehubungan dengan permasalahan terorisme secara nasional yang sangat kompleks memerlukan keterlibatan peran serta masyarakat bersama pemerintah yang mempunyai hubungan erat yang tidak terpisahkan.
34
Dalam menghadapi aksi teror dan pengebomam oleh kelompok terorisme yang marak terjadi, oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 telah dilaksanakan operasi penanggulangan terorisme secara sistemik bersifat responsive atau reaksi dengan pendekatan cara kekerasan “hard measure”. Akan tetapi, reaktif ini belum bisa dianggap dapat menyelesaikan seluruh potensi tindakan ”terorisme”, bahkan belum cukup efektif menuntaskan akar permasalahan terorisme secara komprehensif. Begitupun dengan penerapan strategi Law Enforcement dirasa masih kurang memberikan efek jera dan belum bisa menjangkau ke akar terorisme, sekalipun diakui cukup efektif sebagai “disruption” tapi tidak efektif untuk pencegahan dan rehabilitasi sehingga masalah terorisme terus berlanjut dan berkembang dengan varian eskalasi melanda hampir seluruh wilayah Indonesia terutama di daerah perkotaan. Secara teknis, implikasi peran Pemerintah Daerah dalam menghadapi bahaya laten terorisme saat ini pada kenyataannya tidak optimal, sehingga dapat diidentifikasi permasalahan-permasalahan yang harus dihadapi, diantaranya adalah sebagai berikut : a.
Kurangnya inisiatif aparatur pemerintah daerah dalam menghadapi
terorisme. Hal ini tampak dari kurangnya gairah pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme secara lebih serius, padahal permasalahan terorisme dapat merupakan permasalahan lokal yang menjadi ranah penyelenggara pemerintahan di daerah, karena fakta peristiwa dan berkembangnya terorisme justru lebih banyak terjadi di daerah. b.
Kurangnya kepekaan masyarakat terhadap kehadiran terorisme di
lingkungannya. Hal ini tampak jelas dari banyaknya kejadian di daerah yang kurang termonitor oleh warga masyarakat, dimana kelompok teroris telah hadir lingkungan sekitarnya, namun tidak disadari kehadirannya dan tidak diketahui sepak terjang aksinya oleh masyarakat. c.
Kurangnya sinergitas pemerintah daerah dengan instansi terkait dan
pemerintah daerah lainnya bersama tokoh masyarakat, agama dan adat. Penanggulangan aksi terorisme yang terjadi didaerah lebih umum bersifat responsif dan bukan preventive evert (cegah-tangkal) yang jauh lebih baik. Fakta lain yang ada, bahwa pemerintah daerah kurang menghidupkan forum kegiatan wawasan kebangsaan dan sosialisasi menghadapi bahaya laten terorisme bersama masyarakat serta lemahnya kominfo oleh pemerintah daerah dengan instansi terkait serta hubungan lintas daerah dalam hal menghadapi terorisme.
35
BAB IV PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
17.
Umum Perkembangan lingkungan strategis yang cepat dan dinamis, yang dipengaruhi
oleh arus globalisasi dan modernisasi akibat kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi dan transportasi yang berdampak “borderless” seolah negara tanpa batas yang berimplikasi pada perubahan sosial budaya masyarakat yang menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semula irasional menjadi rasional sehingga menjadi semakin kompleknya kendala yang dihadapi dan semakin sempitnya peluang, yang pada gilirannya menyulitkan perkiraan keadaan masa mendatang. Dalam
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara,
pengaruh
perkembangan lingkungan strategis, baik lingkungan global, regional maupun nasional, akan selalu ikut mempengaruhi. Oleh karena itu, perlu memperhatikan pengaruhpengaruh strategis yang mempunyai pengaruh positif, yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong semangat menghadapi terorisme dan antisipasi terhadap hal-hal negatif yang menjadi kendala untuk segera diselesaikan. Berkaitan dengan hal ini, maka harus disadari bahwa sikap mental perseorangan akan sangat kental dapat dipengaruhi efek globalisasi dan modernisasi, sehingga sikap hidup yang bertentangan dengan norma dan nilai Pancasila akan cenderung mengedepan, sebagai contoh: bila sebelum globalisasi dan modernisasi menerjang, kecenderungan silahturahmi antar warga masyarakat masih sering terjalin sehingga tercipta hubungan yang serasi dalam kehidupan masyarakat, namun sejak terjangan globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini, kecenderungan masyarakat memanfaatkan kemudahan media telekomunikasi untuk menyampaikan pesan tanpa harus bertatap muka untuk saling bersilahturahmi. Hal ini kenyataannya menurunkan rasa kebersamaan dan kepedulian sesama menjadi luntur, sehingga lebih mudah disusupi pengaruh mental yang tidak sesuai dengan norma Pancasila, seperti sikap apatis dan kurang inisiatif, lemahnya kepekaan terhadap diri dan lingkungan serta cenderung enggan bekerjasama dalam membina hubungan dan sinergi bersama, sehingga hal semacam ini sebagai kendala dalam upaya optimalisasi peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme, karena rendahnya kesadaran dan kemauan untuk memulai sikap-sikap nasionalisme dan patriotisme dalam jiwa kebangsaan dan kenegaraan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
36
18.
Perkembangan Lingkungan Global Perkembangan nilai-nilai internasional yang telah menjadi paradigma internasional
yang merupakan fenomena global yang telah menerobos kehidupan berbangsa di seluruh dunia melalui perkembangan teknologi telekomunikasi, informasi dan transportasi, menghasilkan kecenderungan global pada gejala “menang-kalah” yang menghasilkan gejolak emosional yang menjadi dasar-dasar terorisme internasional, telah melemahkan supremasi negara adidaya dan kehadiran “non-state actor” menambah kompleksitasnya. Adanya perbedaan tingkat ekonomi dari suatu negara membedakan cara pandang terhadap permasalahan, sehingga pandangan terhadap tantangan keamanan juga berbeda, dimana negara kaya memperhatikan terorisme, namun negara miskin menyimak keadilan dan akhirnya yang terjadi adalah benturan-benturan. Lingkungan global yang mempengaruhi kehidupan nasional saat ini didominasi oleh dua kondisi yang sangat menonjol, yaitu globalisasi dan hegemoni Amerika Serikat yang semakin kuat pasca perang dingin. Dengan kekuatan militer dan ekonominya, Amerika Serikat telah sering menerapkan standar ganda dalam berbagai langkah untuk kepentingan nasionalnya. Dinamika perkembangan lingkungan strategis yang secara spesifik masih dipengaruhi oleh negara adidaya (Amerika Serikat dan sekutunya) untuk menjalankan kebijakan politik luar negerinya seperti Global War on Terrorism yang berdampak pada penggunaan kekuatan militer ke negara yang dianggap sebagai pendukung teroris hingga bahaya yang mengarah pada sentimentil agama, bahkan telah terjadinya perpecahan umat seagama yang berbeda aliran (Syiah dan Sunni di Irak), disamping kebijakan untuk secara aktif dengan cara apapun mengamankan semua kepentingannya di seluruh dunia. Keamanan global juga masih diwarnai isu-isu pemindahan dan pengembangan senjata pemusnah massal seperti nuklir melibatkan Amerika, Russia, China, India, Pakistan, Korea Utara dan Iran serta ancaman senjata kimia seperti penggunaan Fosfor oleh militer Israel di Jalur Gaza dan senjata biologi dengan cara penularan pandemic desease virus mematikan seperti HIV/AIDS, Antrax, H5N1 Flu Burung dan H1N1 Flu Babi yang memberikan dampak psikologis rasa takut sehingga muncul momentum bagi kepentingan ekonomi dan penciptaan vaksin untuk komoditi perdagangan. Di samping itu, perkembangan iptek telah mendorong terjadinya perlombaan senjata terutama perkuatan
Angkatan
Laut
dengan
dalih
program
modernisasi
Angkatan
Bersenjata, yang padahal sesungguhnya adalah kepentingan nasional suatu Negara untuk maksud dan intrik intervensi forum poltik yang mengandalkan kekuatan lautnya
37
dalam upaya penguasaan fisik sumber daya alam, wilayah maupun ekonomi dan perdagangan, karena diyakini bahwa laut adalah sarana paling efektif dalam melindungi kepentingan nasional suatu bangsa serta konflik berkepanjangan di beberapa negara yang masih terjadi meski PBB melalui berbagai badan di bawahnya dan penggunaan kekuatan militer negara-negara anggotanya termasuk Indonesia, melalui Resolusi Dewan Keamanan. Globalisasi yang pada hakekatnya merupakan proses menyeluruh yang mendunia dan didasari oleh suatu keyakinan tentang suatu tata dunia yang dilandasi oleh kesamaan harkat dan martabat manusia. Tata dunia baru yang mengglobal ini merupakan suatu kondisi realita yang dinamis sehingga harus dijalani oleh seluruh bangsa-bangsa di dunia sebagai perwujudan proses globalisasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekarang
ini,
perkembangan
prinsip
pertahanan
keamanan
global
perlu
diselaraskan dengan kebijakan nasional, dimana setiap kebijakan yang dibuat harus dapat dituangkan dan diimplementasikan secara realistis yang dapat dimulai dari pemberdayaan institusi publik dan bersifat preventive evert (cegah-tangkal) yang merujuk pada inti permasalahan untuk menghilangkan permasalahan secara tuntas. Untuk itu, kebijakan keamanan harus bisa memecah masalah dan menyelesaikannya secara integratif, integral dan akumulatif yang fleksibel, sehingga secara komprehensif saling dukung dan saling mengisi pada aplikasi upaya-upaya preventive evert (cegah-tangkal) guna
mewujudkan
keamanan
hidup
berbangsa
dan
bernegara
dalam
rangka
memperkokoh Ketahanan Nasional. Pengaruh global juga berdampak pada tingginya pengaruh ideologi asing yang masuk ke Indonesia, yang terlihat sangat menarik dan prestisius untuk diterapkan. Jika benteng ideologi bangsa lemah pada faktanya, maka pengaruh negatif akan mudah mengubah pola pikir masyarakat dan dapat menimbulkan gerakan yang melemahkan Ketahanan Nasional dan hal ini dapat menjadi tantangan dan hambatan dalam upaya optimalisasi peran pemerintah daerah guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
19.
Perkembangan Lingkungan Regional Kegiatan ekonomi dunia cenderung bergeser dari kawasan Samudra Atlantik ke
kawasan Samudra Pasifik, sehingga membuka peluang bagi bangsa-bangsa Asia Pasifik termasuk Indonesia untuk memajukan ekonominya, sekaligus juga naiknya konsentrasi
38
berbagai negara dalam menjamin kepentingan nasionalya terutama bidang ekonomi, sehingga benturan kepentingan sangat mungkin terjadi. Kawasan yang termasuk di dalam lingkungan regional adalah kawasan Asia Pasifik yang terbentang luas, mulai dari Asia Selatan ke Timur sampai Amerika Utara, dari Siberia ke Selatan sampai New Zealand. Beberapa kejadian yang memerlukan perhatian di kawasan Asia Pasifik adalah masalah Kashmir, Sri Langka, Laut Cina Selatan dan Semenanjung Korea. Asia Pasifik terbagi menjadi Oceania (yang dipimpin oleh Australia), ASEAN (Indonesia), Asia Timur (Jepang), Asia Selatan (India) dan China sebagai entitas sendiri yang terkait dengan Taiwan Straits Issues.7 Pada lingkungan strategis regional potensi konflik yang menonjol adalah masalah pelanggaran wilayah perbatasan negara yang sekarang ini berbagai permasalahan perbatasan di laut yang dihadapi Indonesia menjadi permasalahan penting dalam keamanan maritim Indonesia, yang pada aspek pertahanan telah menciptakan ruang isu keamanan non tradisional seperti kejahatan lintas batas termasuk kejahatan penyelundupan manusia, perompakan di laut, terorisme, senjata dan obat terlarang. Adapun pencurian kekayaan sumberdaya alam dan adanya wilayah yang masih disengketakan serta keamanan dan keselamatan pelayaran adalah yang menjadi perhatian utama. Terkait hal ini, dalam dokumen “The Present Addendum to The Repoert of The Scretary-General on Ocean and Law of The Sea (A/63/63)8, dicantumkan bahwa keamanan maritim dikaitkan dengan penanganan terhadap tiga isu ancaman, yaitu : tindakan teroris terhadap pelayaran kapal dan instalasi lepas pantai (terrorist acts against shipping and offshore installation); pembajakan dan perompakan bersenjata (piracy and armed robbery against ships); dan lalu lintas obat terlarang dan narkotik yang illegal dan zat-zat psikotropik (illicit traffic in narcotic drugs and psychotropic substances). Sementara itu, pada dinamika regional, kita melihat adanya perlombaan senjata di kawasan dengan indikasi penambahan anggaran pertahanan secara signifikan oleh beberapa negara untuk pengadaan berbagai Alutsista baru yang memiliki deterrence effect tinggi dalam rangka modernisasi Angkatan Bersenjata dan bergulirnya isu permasalahan separatisme PULO di Thailand, Elam Tamil di Srilangka, MILF di Filipina dan isu demokratisasi di Thailand dan Malaysia, serta sengketa perbatasan yang 7
Rangkaian Seminar CSIS 2005 2 Seminar “Perspektif Baru Keamanan Nasional” sebagai bagian dari
rangkaian seminar CSIS untuk memperingati 60 tahun kemerdekaan Republik Indonesia 28 September 2005, di Gedung CSIS (Centre for Strategic and International Studies ). 8
Jurnal Maritim Indonesia No 1 Seskoal, September 2014 Volume 2.
39
berpotensi menjadi konflik antar beberapa negara terutama yang dilatarbelakangi masalah perbatasan maritim termasuk belum tuntasnya penentuan batas wilayah laut antara Indonesia dengan negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, Timor Leste, Australia dan Palau. Perkembangan regional yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini mempunyai pengaruh terhadap kehidupan nasional berbangsa dan bernegara dalam rangka melanjutkan pembangunan nasional. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara umumnya mendukung keutuhan Indonesia, karena apabila Indonesia sebagai negara besar di kawasan dalam kondisi stabil dan kuat sebagaimana yang diharapkan akan berkontribusi positif mewujudkan ketahanan regional di Asia Tenggara. Konsep ketahanan regional berdasarkan Ketahanan Nasional yang dikembangkan dan diterapkan oleh negara anggota ASEAN telah dapat meningkatkan kadar persepsi baik politik, ekonomi dan pertahanan keamanan. Hasilnya adalah stabilitas keamanan regional yang telah berlangsung selama lebih dari dua dasawarsa. Keamanan regional ini condong meluas mengingat negara-negara tetangga merasa lebih aman bila ikut serta dalam mengembangkan kawasan yang aman dan damai. Meskipun semula ASEAN bukan dimaksudkan untuk menjalin kerjasama bidang keamanan, namun sekarang telah berkembang mendorong perluasan ruang lingkup kerjasama meliputi dimensi keamanan, dimana perkembangan regional ini tidak terlepas dari pengaruh global, baik aspek politik, ekonomi maupun sosial budaya. Adapun demikian egoisme negara sahabat dalam lingkup regional untuk mengedepankan kepentingan nasionalnya terutama bidang ekonomi,
sehingga
hal
ini
menjadi
kendala
upaya
bangsa
Indonesia
dalam
mengembangkan perekonomian Indoensia, mengingat masih lemahnya daya saing Indonesia dalam forum internasional maupun regional yang menyebabkan lemahnya ekonomi politik Indonesia sebagai akibat salah satunya adalah dari rendahnya mutu sumber daya manusia Indonesia dimata internasional, sehingga kurang mampu menaikkan tingkat daya beli masyarakat Indonesia secara merata sebagai suatu realita perekonomian Indonesia yang kurang memadai, yang pada akhirnya berimplikasi pada kesiapan kemampuan bangsa Indonesia menghadapi globalisasi yang berpengaruh pada kondisi nasional dalam menghadapi terorisme demi kepentingan nasional Indonesia dalam menciptakan keamanan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
40
20.
Perkembangan Lingkungan Nasional Secara geografis, Indonesia sebagai negara maritim dan negara kepulauan/
Archipelagic state dengan luas wilayah lautnya adalah dua pertiga dari seluruh wilayah kedaulatannya, yang konstelasi posisi geografisnya menempatkan Indonesia sebagai jalur perlintasan dunia, mengingat fungsi laut sebagai jalur transportasi. Kondisi
lingkungan
nasional
Indonesia
dalam
perjalanan
perkembangan
lingkungan strategis nasionalnya sekarang ini, bahwa lingkungan strategis dan prioritas kebijakan serta strategi pembinaan integrasi nasional dihadapkan pada ancaman disintegrasi sosial dan nasional serta prioritas kebijakan, sehingga strategi pembinaan yang harus dilakukan sehubungan dengan perkembangan lingkungan strategis yang diwarnai oleh globalisasi dengan berbagai dampaknya tidak hanya menguntungkan dalam menunjang integrasi nasional, tetapi sekaligus menjadi ancaman disintegrasi nasional. Sehubungan dengan hal ini, sikap pemerintah dengan berbagai kebijakannya senantiasa menimbulkan pro dan kontra yang dapat menimbulkan konflik horisontal maupun vertikal dan rentan terjadinya bahaya disintegrasi bangsa menjadi ciri-ciri kecenderungan yang terjadi di dalam lingkup nasional Indonesia dan diera keterbukaan saat ini, berbagai isu seperti demokrasi, penegakan hukum, kesenjangan sosial, disparitas harga, desentralisasi kekuasaan, perimbangan keuangan pusat dan daerah serta HAM masih menjadi permasalah rawan yang dapat dipakai sebagai pemicu kegiatan unjuk rasa yang dapat mengarah menjadi kerawanan sosial yang dapat dimanfaatkan untuk timbulnya aksi terorisme. Indonesia saat ini sedang mengalami pengaruh yang sedemikian hebat, yang terdobrak masuk dan menggoyah segenap sendi kehidupan bangsa dan negara. Pilar-pilar penopang negara, seperti : pilar ideologi, pilar politik, pilar militer, pilar ekonomi dan pilar budaya, terancam rapuh, sehingga berpengaruh pada wibawa, harkat dan martabat bangsa dalam pergaulan antar bangsa di dunia. Merosotnya perekonomian nasional sebagai dampak krisis ekonomi global telah berdampak multi dimensi termasuk membengkaknya angka pengangguran dan jumlah penduduk miskin yang akan diikuti dengan kerawanan sosial yang rentan dengan konfilk sosial dan krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Belum lagi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang lemah, mengakibatkan terbatasnya kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pembangunan nasional. Maraknya aksi unjuk rasa yang berisi penuntutan peningkatan ekonomi dan kesejahteraan, murahnya biaya pendidikan, kesehatan dan harga bahan bakar minyak menggambarkan realitas
41
kehidupan masyarakat yang dapat menjadi peluang masuknya ideologi radikal yang mengandalkan tindakan terorisme, sehingga perlu mendapatkan perhatian yang serius. Posisi strategis Indonesia tidak menjadi isu strategis nasional saja, namun melingkup kepentingan strategis militer dan ekonomi negara di Kawasan Asia Pasifik dan dunia internasional lainnya. Gangguan keamanan laut akan semakin tinggi dikala isu terorisme maritim diperhitungkan sebagai salah satu ancaman keamanan maritim nasional dan internasional, sehingga isu keamanan maritim bersama kompleksitasnya beranjak dari militer menuju non militer yang perdebatannya memiliki asumsi berbeda tentang kekerasan dan kekuatan serta aspek keamanan dan ekonomi, sehingga pendekatannya memiliki kemiripan pandangan mengenai rezim sebagai sebuah pandangan dari aktor negara dalam kerjasama bilateral, regional dan multilateral yang mengarah pada pengupayaan pengaturan bersama untuk keamanan maritim.
21.
Peluang dan Kendala Berdasarkan perkembangan lingkungan strategis global, regional dan nasional,
maka dapat diidentifikasikan peluang dan kendala yang perlu dipertimbangkan dalam rangka optimalisasi peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional. a.
Peluang 1)
Jiwa
semangat
persatuan
kesatuan
bangsa
Indonesia
sebagaimana jiwa Pancasila yang tercermin dalam semangat gotong royong dan kebersamaan sebagai sesama bangsa Indonesia yang senasib dan sepenanggungan adalah modal utama kekokohan Ketahanan Nasional yang dapat menjadi peluang dalam menghadapi terorisme. Oleh sebab itu, optimalisasi peran pemerintah daerah yang senantiasa membangkitkan semangat
jiwa
ini,
dapat
dilaksanakan
dengan
terus
mengajak,
menghimbau, membina dan mengarahkan masyarakat agar lebih waspada terhadap bahaya laten terorisme guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa Nasional.
dan
bernegara
dalam
rangka
memperkokoh
Ketahanan
42
2)
Dampak positif modernisasi pada perubahan sosial budaya
masyarakat. Perubahan tata nilai dan sikap masyarakat sebagai dampak positif modernisasi dalam budaya masyarakat menyebabkan pergeseran nilai dan sikap masyarakat yang semula irasional menjadi rasional, dimana meningkatnya efektifitas dan efisiensi kerja manusia sebagai akibat bertambahnya pengetahuan, bertambahnya peralatan yang serba canggih dan
meningkatnya
profesionalisme
prokduktivitas
dan
spesialisasi
kerja
manusia
serta
munculnya
ketenagakerjaan,
akan
menunjang
optimalisasi peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme. Hal ini mengingat alat peralatan, sarana dan prasarana berteknologi tinggi yang memadai akan melancarkan proses pencegahan, penangkalan dan penanggulangan terorisme, sehingga sangat manfaat bagi peningkatan kualitas keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh
Ketahanan
Nasional.
Selain
itu,
modernisasi
juga
meningkatkan kemampuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat memberi dan menambah peluang meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3)
Perdagangan dalam pangsa pasar bebas di kawasan Asia Pasifik
dapat menjadi peluang bagi pemasaran produk barang dan jasa Indonesia dalam perdagangan internasional, sehingga diharapkan dapat berkontribusi bagi
peningkatan
perekonomian
nasional.
Untuk
itu,
diperlukannya
peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia dan meningkatkan daya saing dengan mengedepankan keunggulan produk-produk dalam negeri. Terkait hal ini, peran pemerintah daerah sangat perlu untuk dioptimalkan guna meningkatkan kesejahteraan dan pendidikan masyarakat di daerahnya, sehingga dapat menaikkan kualitas hidup yang akan berimplikasi kepada kesadaran bahaya laten terorisme, sehingga muncul semangat dan kegairahan menghadapi dan melawan terorisme dengan cara-cara yang lebih preventive evert (cegah-tangkal). 4)
Kestabilan kondisi politik dan keamanan dalam negeri pada
sebagian besar daerah di Indonesia menjadi peluang untuk mengoptimalkan peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh
43
Ketahanan Nasional dan Ketahanan Nasional yang kokoh akan berimplikasi pada kestabilan politik dan keamanan dalam negeri. 5)
Kuatnya sistem nilai budaya lokal dalam kehidupan masyarakat,
merupakan modal dasar dalam peningkatan keamanan hidup berbangsa dan bernegara, dimana peran pemerintah daerah dapat lebih dioptimalkan dalam penataan, pemeliharaan dan penguatan dalam sistem budaya lokal, karena melekatnya fungsi kearifan lokal didalam kehidupan masyarakat di daerah memberikan peluang bagi peran pemerintah daerah. 6)
Fenomena global akibat perkembangan lingkungan strategis
global
membuahkan
perspektif
baru
keamanan
nasional
yang
memerlukan inovasi baru dalam realita yang lebih masuk akal, dapat dilaksanakan dan dapat diterima, sehingga kondisi memberi peluang untuk upaya mengoptimalkan peran pemerintah daerah dalam menghadapi bahaya laten terorisme guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernagara dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional. b.
Kendala 1)
Lunturnya penghayatan dan pengamalan Pancasila didalam
kehidupan masyarakat, menyebabkan terinfiltrasikannnya jiwa-jiwa seperti pragmatisme, kapitalisme, individualisme dan lain-lain telah menyebabkan menurunnya apresiasi masyarakat terhadap sistem nilai Pancasila. 2)
Kemajuan teknologi dalam proses modernisasi tidak diimbangi
dengan
sumber
daya
manusia
Indonesia
berkualitas
tinggi.
Sebagaimana layaknya kemajuan teknologi harus dibarengi dengan kemampuan memiliki teknologi dan pengawakan alat peralatan berteknologi tinggi, dimana sumber daya manusia Indonesia belum siap secara komprehensif
menghadapi kemajuan teknologi yang sedemikan pesat,
sehingga
ini
hal
menjadi
salah
satu
problematik
nasional
dalam
meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang professional dan proporsional, sebab dari kebanyakan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia lebih banyak didominasi kekuatan teknologi asing dan sumber daya manusia asing yang berteknologi, sehingga hal ini menyebabkan tidak optimalnya pengeloaan sumber daya
alam Indonesia
dan bahkan
44
pengelolaan sumber daya alam strategis lebih banyak dikelola oleh perusahaan asing, sehingga memberikan nilai manfaat yang rendah bagi peningkatan kualitas masyarakat Indonesia. 3)
Lemahnya ekonomi politik Indonesia dalam dunia perdagangan
internasional sebagai akibat dari rendahnya daya saing Indonesia karena salah satunya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. 4)
Kecenderungan intervensi yang menonjol dari negara maju
sebagai kecenderungan global, menyebabkan kerawanan munculnya pengaruh
kebebasan
kebablasan
seolah
tanpa
batas
yang
dapat
membahayakan integritas bangsa Indonesia, sehingga menahan diri lebih penting dari sekedar kebebasan kebablasan berdalih demokrasi dan hak azasi manusia. Selain itu, tingginya ketergantungan Indonesia terhadap investasi asing serta pinjaman luar negeri, telah mengakibatkan lambannya peningkatan kesejahteraan masyarakat, sehingga keikutsertaan masyarakat dalam upaya penanggulangan terorisme tidak maksimal. 5)
Masih merebaknya gejala separatisme dan konflik sosial
dibeberapa daerah. Hal ini mengakibatkan masih belum massifnya kondisi keamanan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia. 6)
Sebagian masyarakat kurang meyakini kebenaran Pancasila
sebagai akibat pola hidup individu penyelenggara negara yang tidak sesuai nilai-nilai Pancasila menyebabkan kurang tampilnya kearifan lokal sebagai bagian dari sistem nilai budaya lokal, sehingga kecenderungan pengelolaan sumber daya alam yang kurang ideal dalam pembagian wewenang pusat dan daerah.
45
BAB V KONDISI PERAN PEMERINTAH DAERAH YANG DIHARAPKAN DALAM MENGHADAPI TERORISME
22.
Umum Pada
dasarnya
pemerintahan
daerah
adalah
pelaksanaan
fungsi-fungsi
pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintah Daerah dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Kepala Daerah adalah Kepala pemerintahan daerah dan dibantu dengan wakil pemerintahan daerah yang keduanya sebagai pasangan yang dipilih oleh rakyat secara demokrasi berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. Adapun hubungan antara Pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara yang bermakna bahwa diantara lembaga pemerintahan daerah memiliki kedudukan yang sama dan sejajar tidak saling membawahi serta bersifat kemitraan yang bermakna bahwa antara Pemerintah daerah dan DPRD adalah sesama mitra kerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan fungsi masingmasing sehingga terbangun suatu hubungan kerjasama yang bersifat saling mendukung dalam melaksanakan fungsinya. Sebagai sebuah kebijakan politik, maka kebijakan keamanan nasional dalam penuangannya adalah menuangkan kedalam strategi pendekatan lunak dengan melakukan upaya pendekatan sosial masyarakat baik kepada masyarakat secara luas, kelompok tertentu maupun kepada individu-individu tertentu yang masuk dalam jejaring kelompok yang dianggap radikal, teroris dan semacamnya dengan melalui penggalakan kembali penghayatan Pancasila. Dan langkah ini diupayakan mendapat pijakan hukum dengan mensosialisasikannya sebagai bagian dari perang melawan terorisme, sehingga bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara untuk membangun dirinya akan lebih aman, tertib, tentram, nyaman dan sentosa dengan penghayatan dan pengamalan Ideologis Pancasila dan nasionalisme yang tinggi menciptakan kondisi yang melibatkan seluruh aspek kekuatan kehidupan bangsa sebagai suatu kondisi dinamis bangsa yang terdiri atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam dan bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan, baik yang datang dari dalam maupun luar negeri, secara langsung maupun tidak langsung yang mengancam
46
dan membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan bangsa dalam mewujudkan tujuan nasional. Kondisi ini adalah suatu ketahanan nasional yang mampu mencegah dan menangkal terorisme, terutama yang disebabkan oleh radikalisme agama dan kesenjangan sosial. Untuk itulah, pengaturan tataran kewenangan berbagai Institusi didalam ranah keamanan nasional menjadi sangat penting agar tidak saling tumpang tindih antara Aktor dan Intitusi itu sendiri. Dalam menghadapi terorisme secara nasional, salah satu inti permasalahan adalah masih belum mengoptimalkan peran pemerintah daerah beserta aparatnya dalam mencegah berkembangnya terorisme melalui pendekatan sosial masyarakat dengan upaya mengajak, menghimbau, membina dan mensosialisasikan pencegahan dan penangkalan ancaman bahaya laten terorisme, penyegaran kembali penghayatan dan pengamalan Pancasila, sosialisasi pemahamanan Wawasan Nusantara dan transparansi pengelolaan sumber daya alam di daerah serta peluang-peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat sejahtera, mahdani dan mandiri menuju cita-cita dan tujuan nasional, disamping penerapan aturan yang tegas dengan mentertibkan masalah kependudukan secara konsisten, sehingga kondisi yang dapat melemahkan kualitas Ketahanan Nasional dapat ditepis menjadi sumbu-sumbu yang menguatkan dan memperkokoh Ketahanan Nasional melalui peningkatan kualitas keamanan hidup berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu perlu mengikutsertakan dan mengoptimalkan peran pemerintah daerah beserta unsur-unsurnya dengan menciptakan sinergitas dengan instansi terkait bersama tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama termasuk juga lembaga pendidikan serta seluruh masyarakat dan soliditas hubungan lintas antar daerah guna menghadapi terorisme secara preventive evert (cegah-tangkal) guna meningkatkan kualitas keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
23.
Inisiatif Aparat Pemerintah Daerah Dalam Menghadapi Terorisme Keamanan hidup berbangsa dan bernegara yang kondusif dalam rangka
memperkokoh Ketahanan Nasional sebagai tatanan kehidupan nasional yang demokratis, dinamis dan terbuka sesuai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan NKRI adalah kondisi yang diharapkan oleh seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu, didalam menghadapi terorisme yang merupakan bahaya laten, memerlukan peran pemerintah daerah dalam proses pencegahan-penangkalan dan peran dalam proses normalisasi kehidupan politik nasional
47
serta stabilitas perekonomian nasional, karena pada hakikatnya pemerintahan daerah merupakan subsistem dari pemerintahan nasional. Oleh sebab itu, secara implisit pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintahan daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan pemerintahan. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom dan berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, ditegaskan pembagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
pemerintah
dan
urusan
pemerintahan
yang
menjadi
kewenangan
pemerintahan daerah. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, berdasarkan (BAB III, Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 dan BAB II, Pasal 2 ayat (2), yakni urusan pemerintahan yang terdiri dari : a.
Politik Luar Negeri, dalam arti mengangkat pejabat diplomatik dan
menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya; b.
Pertahanan, misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata,
menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara dan sebagainya; c.
Keamanan, misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara,
menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara dan sebagainya; d.
Yustisi, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan
jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang,
48
peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya; e.
Moneter dan Fiskal Nasional, misalnya mencetak uang dan menentukan
nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya; f.
Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara
nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah. Selanjutnya aksi-aksi terorisme di Indonesia yang paling menonjol dapat dikemukakan, sebagai berikut:9 a.
Tahun 1981. Teroris bersenjata senapan mesin, granat dan mengaku
sebagai Komando Jihad, menyamar sebagai penumpang lalu membajak pesawat DC-9 Woyla milik maskapai Garuda Indonesia pada 28 Maret 1981. b.
Tahun 2000. 1)
Bom meledak di lantai parker P2 gedung Bursa Efek Jakarta (BEJ),
pada 13 September 2000. Sebanyak 10 orang tewas, 90 lainnya luka-luka dan 104 mobil rusak berat. 2)
Serangkaian ledakan pada malan Natal, 24 Desember 2000 di
beberapa kota Indonesia. Sebanyak 16 orang tewas. c.
Tahun 2001. 1)
Bom meledak di Gereja Santa Anna dan HKBP kawasan Kalimalang,
Jakarta Timur pada 22 Juli 2001. Korban 5 orang tewas. 2)
Bom meledak di Plaza Atrium, Senen, Jakarta pada 23 September
2001. Korban 6 orang luka-luka.
9
^ (Sumber: Harian KOMPAS edisi 8 Oktober 2005) ^ Ledakan di JW Marriott dan Ritz, 8 Warga Asing Terkapar, Kompas.com
49
d.
Tahun 2002. Dua ledakan bom terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di
Jalan Legian, Kuta, Bali. Secara bersamaan bom juga meledak di Konsulat Amerika Serikat. Aksi tersebut kemudian dikenal sebagai Bom Bali I yang menewaskan 202 orang dan melukai ratusan orang lainnya. Korban sebagian besar warga negara asing.
Gambar 5.1: Tragedi Bom Bali 1 tanggal 12 Oktober 2012
Sumber: http://cdn1-a.production.liputan6.static6.com/ diunduh Rabu 18 Juni 2015 Pukul 01.35 WIB
50
e.
Tahun 2003. Ledakan dahsyat mengguncang hotel JW Marriott Jakarta
pada 5 Agustus 2003. Sebanyak 11 orang tewas dan 152 lainnya luka-luka.
Gambar 5.1: Pengeboman JW Marriott Selasa, 5 Agustus 2003 12:45 – 12:55 WIB (UTC+07:00)
Sumber: Wikipedia, diunduh hari Rabu 18 Juni 2015 pukul 00.30 WIB
f.
Tahun 2004. Ledakan bom yang disimpan di dalam sebuah mobil box
menghancurkan sebagian kantor Kedubes Australia di Jakarta pada 9 September 2004. Korban 5 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.
Gambar 5.2: Ledakan besar terjadi di depan Kedutaan Besar Australia.
Sumber: Kompas.com, diunduh Hari Rabu pukul 00.50 WIB
51
g.
Tahun 2005. 1)
Bom meledak di pasar Tentena, Poso, Sulawesi Tengah pada 28 Mei
2005. Aksi tersebut menewaskan sedikitnya 20 orang. 2)
Bom kembali meledak di Bali pada 5 Oktober 2005. Terjadi di
kawasan Kuta dan Jimbaran yang mengakibatkan korban 22 orang tewas. Aksi tersebut kemudian dikenal dengan Bom Bali II.
Gambar 5.3: Teror Bom Bali II 2005
Sumber : (Dokumentasi ANTV) diposting hari Jum'at, 1 Oktober 2010 | 09:11 WIB oleh : Elin Yunita
h.
Kristanti, diunduh Hari Rabu 18 Juni 2015 pukul 00.50 WIB
Tahun 2009. Dua ledakan bom mengguncang hotel JW Marriott dan Ritz
Carlton Jakarta pada 17 Juli 2009. Ledakan menewaskan 9 orang dan melukai lebih dari 50 orang. Dikenal sebagai Bom Mega Kuningan 2009. i.
Tahun 2010. Terjadi sejumlah penembakan warga sipil di Aceh. Jaringan
teroris pimpinan Abu Tholud melakukan pelatihan militer di pegunungan Janto Aceh Besar dan terjadi perampokan bank CIMB Niaga Medan pada September 2010, pelaku adalah kelompok jaringan Medan. j.
Tahun 2011. 1)
Ledakan bom bunuh diri di Masjid Mapolresta Cirebon pada 11 April
2011. Bom menewaskan M. Syarif pelaku bom bunuh diri dan melukai 25 orang lainnya termasuk Kapolresta Cirebon.
52
2)
Bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo,
Jawa Tengah menewaskan pelaku Ahmad Hayat dan melukai 22 orang lainnya. k.
Tahun 2012. 1)
Pelemparan granat dan penembakan terjadi di sejumlah pos polisi
pengamanan Lebaran di solo pada 17, 19 dan 30 September 2012. Korban 1 polisi tewas dan dua polisi luka-luka. Pelaku teror adalah kelompok Farhan. 2)
Pada 31 September 2012 malam penyergapan dilakukan di Jalan
Veteran menewaskan teroris Muchsin dan Farhan. Dalam penyergapan itu satu anggota Densus 88 Polri tewas. 3)
Tiga anggota Brimob Polda Sulteng ditembak kelompok bersenjata di
kawasan Tambarana, Poso pada 20 Desember 2012. Sebelumnya pada Oktober 2012 dua anggota Polres Poso ditemukan tewas dibunuh di hutan Tamanjeka, Poso. l.
Tahun 2013. 1)
Polisi melakukan serangkaian penangkapan teroris, mulai dari
Jakarta, Depok, Bandung, Kendal dan Kebumen. Kelompok yang berhasil dibongkar jaringannya adalah kelompok Thoriq, Farhan, Hasmi, Abu Roban (Mujahidin Indonesia Barat) serta sejumlah perampokan bank dan toko emas di berbagai tempat di Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang terkait juga kelompok Santoso (Mujahidin Indonesia Timur) di Poso. Sejumlah teroris tewas dan berhasil ditahan. 2)
Polisi berhasil menembak mati 7 teroris dan menangkap13 teroris
lainnya dalam penyergapan di Jakarta, Bandung, Kendal dan Kebumen yang berlangsung selama dua hari tanggal 8-9 Mei 2013. 3)
Polisi melakukan penyergapan yang menewaskan 6 teroris kelompok
Dayat di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten pada 31 Desember 2013. Menurut teori Immanuel Wallerstein dalam tesis utamanya, bahwa sistem dunia kapitalis-liberalis yang kini berkuasa merupakan faktor utama yang menyebabkan
53
kehancuran negara-negara jajahan yang umumnya kini dikenal dengan istilah negara dunia ketiga. Perang Dunia (PD) I yang terjadi di awal abad 20, meski yang jadi aktor antagonisnya adalah Jerman, Jepang dan Itali, yang hancur justru imperium Turki Utsmani. Begitu pula halnya dengan Perang Dunia (PD) II, meski Jepang yang dibom atom pada tahun 1945, yang justru rusak sistem kehidupannya adalah negara-negara jajahan. Oleh karena itu, akan menjadi ahistoris bila memahami teroris internasional tidak dimulai dari sini. Sebagaimana teori Immanuel Wallerstein, secara realistis bahwa peristiwa terorisme di Indonesia dengan segala aksinya sangat membahayakan sistem kehidupan nasional, dimana macam dan bentuk aksi terornya telah mengancam keamanan hidup berbangsa dan bernegara, maka keamanan hidup didaerah yang merupakan korelasi kehidupan nasional harus menjadi perhatian serius pemerintah bersama rakyat sebagai bangsa Indonesia yang melindungi keutuhan wilayah dan kedaulatan NKRI, sehingga Ketahanan Nasional harus lebih diperkokoh, yang salah satunya adalah dengan melibatkan peran pemerintah daerah selaku pemerintahan didaerah yang memangku kewenangan otonomi daerah dalam kerangka sistem pemerintahan NKRI untuk melakukan upaya strategi bersifat preventive evert (cegah-tangkal) yang jauh lebih baik ketimbang resposif atau reaktif sebagaimana strategi yang diterapkan oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dengan operasi penanggulangan terorisme secara sistemik bersifat responsive atau reaksi dengan pendekatan cara kekerasan “hard measure” dan penerapan strategi Law Enforcement yang dinilai cukup efektif sebagai “disruption” . Sehubungan dengan hal tersebut, maka peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme dapat menjadi pendukung dan penguat strategi dan upaya yang dilakukan pemerintah, karena pemerintah daerah yang lebih dekat dengan masyarakat didaerahnya dapat lebih massif didalam upaya pencegahan dan penangkalan terhadap kehadiran terorisme. Oleh sebab itu didalam hubungan ini, inisiatif aparatur pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme sebagai kondisi yang diharapkan, guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional, diantaranya adalah : a.
Inisiatif sosialisasi kepada masyarakat pada pemahaman kewiraan,
kebangsaan dan kenegaraan mencakup jiwa semangat nasionalisme, patriotisme dan kesetiakawanan serta kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dalam
54
implementasi keseharian hidup berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. b.
Inisiatif sosialisasi kepada masyarakat tentang Wawasan Nusantara,
Kewaspadaan Nasional, Ketahanan Nasional dan mengajak, menghimbau, membina serta mensosialisasikan pemahaman ancaman bahaya laten terorisme dan bahaya asimetrik lainnya didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. c.
Inisiatif sosialisasi pengembangan masyarakat dalam pengelolaan sumber
daya alam yang professional, proporsional, akuntabel dan transparan yang terimplementasi dalam kontrol politik melibatkan peran masyarakat. d.
Inisiatif dalam peningkatan kualitas pengawasan kependudukan mencakup
administrasi dan pantauan lapangan (kependudukan dan catatan sipil serta berbagai perijinan bagi masyarakat). e.
Inisiatif dalam peningkatan kualitas aksesbilitas daerah meliputi monitoring
lalu lalang orang dan barang serta sarana prasarana transportasi mencakup kendaraan, terminal, dermaga, bandara dan ruas jalan. f.
Inisiatif dalam peningkatan kualitas pemberdayaan masyarakat dan Desa
mencakup LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), LSM (Lembaga Sosial Masyarakat) dan Ormas (Organisasi Masyarakat) serta kelompok-kelompok masyarakat binaan dan lain-lain. Keterkaitan inisiatif aparatur pemerintah daerah pada konteks preventive-evert (cegah-tangkal) dalam menghadapi terorisme, menjadi peluang bagi TNI/TNI AL khususnya dalam melaksanakan tugas menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi serta menjalankan fungsi menjaga perdamaian, keamanan dan stabilitas negara serta penegakan hukum dalam kerangka OMSP, sekaligus peluang implementasi strategi militer untuk mencapai makna keamanan maritim Indonesia yang menjadi kepentingan nasional dan juga tuntutan kepentingan internasional selaku masyarakat pengguna laut, mengingat konstelasi posisi geografis Indonesia yang sangat strategis. Hal ini menjadi penting, karena keberadaan pemerintah daerah yang ditunjang dengan aparaturnya yang inisiator bersifat cegah-tangkal terhadap terorisme merupakan strategi agresif yang dapat meningkatkan kekuatan dan kemampuan TNI/TNI AL khususnya, dalam fungsi
55
pertahanan militer melaksanakan tugas OMSP mengatasi terorisme, sebagai deteksi dan cegah dini terhadap ancaman bahaya laten terorisme yang datang dari dan/atau ke laut.
24.
Kepekaan Masyarakat Terhadap Kehadiran Terorisme Dilingkungannya Sangat diyakini bahwa masyarakat yang sejahtera akan lebih peduli terhadap diri
dan lingkungannya, sehingga dengan kepedulian tersebut akan terbentuk masyarakat yang peka terhadap situasi dan kondisi dilingkungannya yang akan lebih menunjang keamanan hidup berbangsa dan bernegara, karena kepekaan masyarakat akan kehadiran teroris dilingkungannya merupakan deteksi dini dalam upaya pencegahan dan penangkalan, sebelum teoris melaksanakan rencana dan aksi brutalnya. Disamping itu, penggalian kembali penghayatan norma-norma dan nilai-nilai Pancasila sangatlah penting didalam kehidupan masyarakat, seperti jiwa semangat kegotong-royongan untuk bekerjasama memikul beban tanggungjawab hidup baik individu maupun masyarakat umum akan membangkitkan semangat nasionalisme dan patriotisme masyarakat yang pada lingkup sosial terkecil akan menjadi kekuatan dan kemampuan masyarakat didalam mencegah, menangkal dan melawan terorisme. Sebagai contoh, kehidupan siskamling, kerja bakti, pertemuan lingkungan, saresehan dan lain-lain yang mencerminkan jiwa, sikap, semangat dan budi luhur bangsa Indonesia didalam keseharian hidupnya, dimana dalam kondisi ini senantiasa tumbuh dan berkembang rasa saling asih, asuh dan asah sesama anggota warga masyarakat yang senantiasa tertanam dalam kehidupan nyata kondisi kesiapsiagaan yang tinggi terhadap kemunculan dan kehadiran terorisme didalam lingkungan masyarakat, sehingga sosialisasi dengan didasari pemahaman yang tinggi akan Wawasan Nusantara, Kewaspadaaan Nasional dan Ketahanan Nasional akan mendorong dan meningkatkan kepekaan masyarakat terhadap diri dan lingkungannya yang hanya akan terpicu melalui kepedulian masyarakat terhadap diri dan lingkungannya. Disinilah, peran pemerintah daerah akan terasa sangat kental didalam pembauran hidup bersama masyarakat dan lingkungan hidup sekitarnya, sehingga akan terjalin dan terajut kekuatan yang berkemampuan alamiah mencegah, menangkal dan melawan terorisme. Menurut Thomas Hobbes dalam teori kontra sosialnya, bahwa pada dasarnya manusia adalah sama, dalam keadaan yang alamiah, sebelum ada pemerintahan setiap manusia ingin mempertahankan kebebasan mereka masing-masing, tetapi dengan cara menguasai orang lain. Selanjutnya, keinginan untuk mempertahankan kebebasan muncul karena dorongan masing-masing individu untuk menyelamatkan diri mereka. Dari
56
berbagai konflik tersebut maka akan timbul perang antara sesama manusia, yang akan menjadikan hidup ini ”kotor, kasar dan pendek”. Dalam hubungan dengan teori ini, maka kepekaan masyarakat hanya akan timbul bila kepedulian masyarakat terhadap diri dan lingkungannya ada, dimana salah satu faktor yang mempengaruhi kepedulian tersebut adalah faktor kesejahteraan yang dalam hal mana masyarakat didalam menjalani hidupnya adalah sebagai sumber daya manusia produktif dengan asumsi sebagai tenaga kerja atau masyarakat berpenghasilan telah terpenuhi. Oleh sebab itu, peran pemerintah daerah didalam mengatasi masalah pengangguran didaerahnya harus menjadi perhatian yang serius dalam rangka membangkitkan kepedulian masyarakat didaerahnya akan diri dan lingkungannya yang terangkum sebagai kepedulian individu terhadap hak dan kewajiban individu dan umum didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang kemudian secara luas adalah menjadi lingkup kepedulian nasional oleh masyarakat sebagai bangsa Indonesia yang sadar akan kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Untuk itu peran pemerintah daerah didalam menghadapi terorisme, agar dapat meningkatkan kepekaan masyarakat terhadap kehadiran terorisme dilingkungannya sebagai kondisi yang diharapkan, maka perlu dipupuk, dibina dan ditumbuhkembangkan kepedulian
masyarakat
terhadap
diri
dan
lingkungannya
dengan
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional, diantaranya adalah : a.
Pemerintah daerah dalam mengoptimalkan perannya, melaksanakan
peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dengan melakukan peningkatan aspek
kesejahteraan
meliputi
perhatian
pada
ketimpangan
kemakmuran,
pemerataan pendapatan, pendidikan, kesehatan dan kesempatan kerja. b.
Pemerintah daerah dalam mengoptimalkan perannya, melaksanakan
peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah dengan melakukan peningkatan daya saing daerah secara optimal melalui peningkatan kemampuan ekonomi daerah dengan mengedepankan keunggulan daerah, sosialisasi penekanan konsumsi produk asing dan lebih mencintai produk dalam negeri, menaikkan mutu sumber daya manusia daerah serta mendukung upaya pemerintah menaikkan suhu investasi dan mendukung dunia perdagangan Indonesia dalam pangsa pasar bebas agar Indonesia memiliki keunggulan ekonomi politik, sehingga dibutuhkan adanya akuntable dan transparansi yang terwujud sebagai kontrol politik dengan melibatkan peran serta masyarakat didalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di daerahnya.
57
c.
Pemerintah daerah dalam mengoptimalkan perannya, melaksanakan
peningkatan intensitas dan efektivitas proses konsultasi publik antara pemerintah daerah dengan masyarakat atas penetapan kebijakan publik yang strategis dan relevan untuk daerah serta penyelenggaraan kamtibmas. Dalam hubungan ini, kepekaan masyarakat terhadap kehadiran terorisme dilingkungannya sangat diperlukan dalam rangka kekuatan pengganda sebagai mata dan telinga TNI/TNI AL khususnya dalam lingkungan maritim sebagaimana yang diharapkan, sehingga dapat lebih menunjang tugas TNI/TNI AL dalam tugas OMSP mengatasi terorisme sekaligus mendukung terwujudnya keamanan maritim Indonesia yang mantap, yang mampu mencegah, menangkal dan melawan terutama pada tindakan teroris terhadap pelayaran kapal dan instalasi lepas pantai (terrorist acts against shipping and offshore installation); pembajakan dan perompakan bersenjata (piracy and armed robbery against ships); serta lalu lintas obat terlarang, narkotika ilegal dan zat-zat psikotropik (illicit traffic in narcotic drugs and psychotropic substances) dari dan/atau ke laut.
25.
Sinergitas Pemerintah Daerah Dengan Instansi Terkait Dan Aparatur
Pemerintah Daerah Lainnya Bersama Masyarakat Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, telah mengisyaratkan bahwa secara substansi peran dan kewenangan pemerintahan daerah baik eksekutif maupun legeslatif dalam mengelola daerahnya sangatlah besar, dimana pemerintah daerah selaku pemangku potensi geografi/wilayah, demografi/sumber daya manusia dan sumber kekayaan alam yang perlu diberdayakan dengan memadukan strategi, sehingga pemenuhan kesejahteraan masyarakat secara lahiriah dan bathiniah adalah menjadi tanggungjawab aparatur pemerintahan daerah untuk merealisasikannya, termasuk pembinaan sistem administrasi dan pelayanan publik di daerah serta pembinaan masyarakat melalui beragam cara dan media agar turut berperan serta dalam pembangunan daerahnya. Bagan tata kelola pemerintahan pada intinya terbentuk dari pelaksanaan tugas, peran dan fungsi serta tanggung jawab masing-masing organ pemerintahan, sehingga penerapan prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik secara komprehensif dan konsekuen pada pelaksanaan tugas, wewenang dan tanggung–jawabnya beserta penerapan nilai-nilai etika pemerintahan yang menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan dalam mencapai tujuan nasional, sangat diperlukan. Oleh sebab itu,
58
komitmen membentuk etika pemerintahan yang baik dan berwibawa untuk dapat memenuhi hak-hak rakyat sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 akan memberikan kekuatan dalam tata kehidupan Masyarakat Madani (Civil Society) yang dapat mengkokohkan Ketahanan Nasional dalam hidup berbangsa dan bernegara. Pancasila sebagai dasar filsafat Negara yang mempunyai isi yang abstrak, umum, universal, tetap tidak berubah, termaktub didalam Pembukaan UUD 1945 yang menjadi pokok kaidah negara yang fundamental, adalah keluhuran jiwa bangsa Indonesia yang satu meskipun ada perbedaan-perbedaan didalam bangsa Indonesia, namun tidak mempengaruhi apa-apa terhadap Pancasila sebagai filsafat Negara, karena perbedaanperbedaan yang ada merupakan kesatuan jiwa luhur bangsa Indonesia, maka Pancasila adalah jiwa luhur dan jati diri bangsa Indonesia. Untuk itu, bangsa Indonesia didalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang terkorelasi didalam kehidupan masyarakat Indonesia di daerah, tertuntun adanya satu kesatuan jiwa dan semangat Ketahanan Nasional yang kokoh, sehingga pemerintah daerah didalam memainkan perannya secara optimal dalam menghadapi terorisme hendaknya bersinergi bersama instansi terkait dan kolaborasi bersama tokoh masyarakat, adat, agama beserta seluruh masyarakat di daerah dan hubungan lintas daerah guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional. Jadi, sinergitas ini sangat diharapkan didalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlangsung di daerah, agar menjadi satu tim kerja dalam kerangka pemerintahan NKRI sebagai kekuatan bangsa Indonesia didalam jejaring menghadapi setiap ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan bersifat preventive evert (cegah-tangkal) terutama dalam menghadapi terorisme, dimana berdasarkan BAB III, Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004, berbunyi “Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah/wakil Pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.” Keterkaitan dengan landasan pemikiran yang digunakan, yakni meliputi Paradigma Nasional yang melingkup pada landasan idiil Pancasila, landasan konstitusionil UUD 1945, landasan visional Wawasan Nusantara, landasan konseptual Ketahanan Nasional dan Peraturan Perundang-undangan yang melingkup pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 Jo UURI Nomor 15 Tahun 2003, UURI Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 6 Tahun 2008
serta landasan teori dunia modern
menurut Immanuel Wallerstein dan Thomas Hobbess, maka Cara Bertindak (CB) untuk
59
digunakan sebagai landasan teori didalam dunia modern sekarang ini, perlu disusun sebuah illustrasi guna pengembangan masalah, yang kemudian dapat dianalisa dan dibandingkan dalam rangka memperoleh CB terpilih sebagai CB yang paling tepat dengan mengembangkan CB secara berurutan dengan ide-ide kreatif berbagai alternatif CB, sehingga akan lebih mendekatkan pada pemilihan yang paling akurat dalam pemecahan permasalahan. Adapun secara berurutan dalam penyusunan illustrasi dapat dimulai dari menempatkan kekuatan sendiri untuk menghadapi dengan menguraikan beberapa sub seperti : disposisi, kekuatan dan komposisi, perbandingan daya cegah-tangkal relatif terhadap tuntutan yang dihadapi yang terimplementasi sebagai suatu keadaan menghadapi kemampuan lawan/KLA. Kemudian mencari keunggulan dan kelemahan, lalu menguraikan tuntutan yang dihadapi, menyusun alternatif-alternatif CB, yang kemudian dianalisa dengan cara analisa CB yang berlawanan, untuk selanjutnya menganalisa CB sendiri dengan beberapa langkah pengujian yang cocok/Suitable (S), yang dapat dikerjakan dengan mudah/Feasible (F) dan yang dapat diterima /Acceptable (A) dengan Table pemilihan CB. Setelah itu, pembahasan tiap CB, untuk kemudian dapat menarik kesimpulan dan saran CB terpilih. Demikian selanjutnya, sehubungan dengan semua landasan pemikiran yang telah diuraikan, bahwa sinergitas pemerintah daerah dengan instansi terkait dan kolaborasi dengan tokoh masyarakat, adat dan agama serta hubungan lintas daerah bersama seluruh masyarakat merupakan implementasi strategi preventive evert (cegah-tangkal) dalam menghadapi terorisme sebagai wujud satu kesatuan kekuatan bangsa yang integralistik sebagai kekuatan nasional yang terangkum sebagai Ketahanan Nasional yang kokoh, menjalankan amanat Undang-Undang RI maupun ketentuan hukum lainnya yang berlaku di wilayah NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu sinergitas yang diharapkan dapat diuraikan sebagai berikut : a.
Pemerintah
daerah
dalam
mengoptimalkan
perannya
menghadapi
terorisme, membina, menjalin, bekerjasama, kolaborasi dan menjaga hubungan komunikasi dan informasi secara kondusif dan berkelanjutan dengan instansi terkait bersama tokoh masyarakat, adat dan agama serta hubungan dengan pemerintah daerah lainnya/lintas daerah bersama seluruh masyarakat.
60
b.
Pemerintah
daerah
dalam
mengoptimalkan
perannya
menghadapi
terorisme, bekerjasama dengan instansi terkait dalam pembinaan masyarakat untuk mencegah dan menangkal terorisme. c.
Pemerintah
daerah
dalam
mengoptimalkan
perannya
menghadapi
terorisme, berkolaborasi bersama tokoh masyarakat, adat dan agama serta pemerintah daerah lainnya/lintas daerah bersama seluruh masyarakat sebagai komponen bangsa yang tangguh mendukung kekuatan instansi terkait khususnya TNI/TNI AL. Sebagaimana kondisi yang diharapkan adanya sinergitas pemerintah daerah dengan instansi terkait khususnya TNI/TNI AL dalam menghadapi terorisme, bahwa kebutuhan penyelenggaraan pelayaran yang saat ini sangat banyak dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis nasional dan global, iptek pelayaran, peran serta swasta dan persaingan usaha, otonomi daerah dan akuntabilitas penyelenggaraan negara, adalah berhubungan dengan dasar Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, yang telah mengatur beberapa aturan yang terkait dengan pemberdayaan pelayaran nasional dan monitor wilayah laut, yaitu pada bagian kesebelas Pemberdayaan Industri Angkutan Perairan Nasional, Pasal 56 yang menyatakan bahwa “Pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional dilakukan dalam rangka memberdayakan angkutan perairan nasional dan memperkuat industri perkapalan nasional yang dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.” Selanjutnya penetapan Undang-Undang RI Nomor 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, yang merupakan tindak lanjut Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan Konvensi PBB terkait hukum laut (UNCLOS 1982), dimana PBB mengakui kedaulatan atas laut territorial dan perairan kepulauan Indonesia, namun juga memberikan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) bagi kapal dan pesawat udara asing untuk keperluan melintasi laut territorial dan perairan kepulauan dari satu bagian laut bebas/ZEE kebagian lain laut bebas/ZEE. Terkait hal ini, kondisi yang ada dalam dunia pelayararan berpeluang ancaman tindakan teroris terhadap pelayaran kapal dan instalasi lepas pantai, pembajakan dan perompakan bersenjata, serta lalu lintas obat terlarang, narkotika ilegal dan zat-zat psikotropik dari dan/atau ke laut, sehingga terorisme yang merupakan ancaman bahaya laten harus benar-benar mendapat perhatian. Dalam hubungan ini, sinergitas pemerintah daerah dengan TNI/TNI AL dalam menghadapi terorisme sangat diperlukan ditengah kebijakan Indonesia sebagai poros maritim dunia dan kebijakan Tol Laut menyangkut pelabuhan
61
besar internasional dan pelabuhan-pelabuhan yang menjadi pendulum nusantara yang tersebar diberbagai daerah. Di Indonesia ada sekitar 1700 pelabuhan tersusun sebagai sebuah sistem hirarki, yakni kurang lebih 111 pelabuhan termasuk 25 pelabuhan strategis utama sebagai pelabuhan komersial yang dikelola oleh Pelindo I sampai dengan Pelindo IV dengan cakupan geografis, 614 pelabuhan sebagai UPT (Unit Pelaksana Teknis) dan sekitar 1000 pelabuhan khusus/swata yang melayani berbagai kebutuhan suatu perusahaan baik swasta maupun milik Negara meliputi pertambangan, minyak dan gas, perikanan, kehutanan dan sebagainya.10 Oleh sebab itu, dengan memperhatikan perihal tersebut, maka TNI AL dalam perannya sebagai komponen utama pertahanan Negara di laut harus benar-benar memanfaatkan sinergitas pemerintah daerah, untuk bersama-sama dalam menghadapi terorisme dengan prioritas utama upaya deteksi, cegah dan tangkal dini sebagai wujud aksi pertahanan militer dengan pendekatan pertahanan nir militer dan fungsi pertahanan sipil termasuk penindakan atas ancaman terorisme berdasarkan keputusan kebijakan politik pemerintah sebagai wujud reaksi pertahanan militer dalam tugas OMSP sesuai dengan perkembangan situasi yang berkembang. Untuk itu kerjasama dan jalinan hubungan yang harmonis antara Pemerintah daerah dengan TNI/TNI AL senantiasa harus terpelihara dengan baik secara berkesinambungan. Dilain sisi, bahwa konsep keamanan nasional adalah obyektif dan bukan pada pendekatan, sehingga permasalahan keamanan nasional bukanlah tanggungjawab Polri saja yang merupakan Garda Bangsa didalam komponen pendukung, tapi juga menjadi tanggungjawab TNI, sehingga dalam konteks pembinaan territorial TNI AD, pembinaan potensi maritim TNI AL dan pembinaan dirgantara TNI AU dapat benar-benar berdaya guna dan berhasil guna bagi kekuatan pertahan negara termasuk didalamnya menghadapi terorisme yang merupakan ancaman bahaya laten yang dapat membahayakan kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
26.
Kontribusi a.
Telah optimalnya peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme,
maka kondisi keamanan hidup berbangsa dan bernegara yang akan dihadapi, diantaranya : 1)
Apabila inisiatif aparatur pemerintah daerah lebih kreatif dan
inovatif secara signifikan, maka dapat terwujud keamanan hidup berbangsa dan bernegara yang mantap dan berkualitas.
10 Naskah Kajian Departemen Pertahanan RI Tahun 2009 Tentang Pemberdayaan Pelayaran Nasional Dalam Rangka Memonitor Wilayah NKRI.
62
2)
Apabila kepekaan masyarakat terhadap kehadiran terorisme di
lingkungannya tinggi dan sensitif, maka dapat terwujud keamanan hidup berbangsa dan bernegara yang mantap dan berkualitas. 3)
Apabila sinergitas pemerintah daerah dengan instansi terkait
dan aparatur pemerintah daerah lainnya bersama masyarakat terjalin dengan baik dan berkelanjutan, maka dapat terwujud keamanan hidup berbangsa dan bernegara yang mantap dan berkualitas. b.
Telah terwujudnya keamanan hidup berbangsa dan bernegara yang mantap
dan berkualitas akan memperkokoh Ketahanan Nasional.
27.
Indikator Keberhasilan Pemerintah daerah dalam perannya menghadapi terorisme senantiasa dihadapkan
pada permasalahan-permasalahan yang menyebabkan timbulnya pokok masalah. Oleh sebab itu optimalisasi peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme harus dilakukan sehingga mampu secara preventive evert (cegah-tangkal) menghadapi bahaya laten terorisme guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional. Untuk itu diperlukan adanya indikator keberhasilan sebagai tolok ukur atau parameter dari substansi pada kondisi yang diharapkan. a.
Tercapainya kemasifan, kemantapan dan kualitas keamanan hidup
berbangsa dan bernegara sebagaimana kondisi yang diharapkan dari inisiatif aparatur pemerintah daerah yang kreatif dan inovatif secara signifikan yang sudah sesuai dengan kondisi yang diharapkan. b.
Tercapainya kemasifan, kemantapan dan kualitas keamanan hidup
berbangsa dan bernegara sebagai kondisi yang diharapkan dari kepekaan masyarakat yang sudah sesuai dengan kondisi yang diharapkan terhadap kehadiran terorisme di lingkungannya. c.
Tercapainya kemasifan, kemantapan dan kualitas keamanan hidup
berbangsa dan bernegara sebagai kondisi yang diharapkan dari sinergitas pemerintah
daerah
dengan
instansi
terkait
dan
pemerintah
daerah
lainnya/lintas daerah bersama seluruh masyarakat yang sudah sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
63
BAB VI KONSEP OPTIMALISASI PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI TERORISME
28.
Umum Indonesia sebagai sebuah negara yang bermasyarakat majemuk, terdiri dari
berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan dan agama berpeluang untuk saling mengisi terhadap berbagai kelemahan/kekurangan didalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga menjadi kekuatan dalam satu kesatuan yang utuh didalam keutuhan wilayah dan kedaulatan NKRI berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu, sebagai pedoman penyelenggaraan negara dalam melaksanakan proses menyeluruh
kehidupan
nasional,
perlu
memperhatikan
pokok-pokok
reformasi
berlandaskan Pancasila yang memberikan dasar bagi penyelenggara negara dalam merumuskan Undang-Undang dan program-program yang integratif dan terukur. Kehendak rakyat yang bebas dan bertanggungjawab harus tetap terpelihara agar seluruh tatanan kehidupan sosial dan kelembagaan yang tertata sebagai suprastruktur politik maupun infrastruktur politik senantiasa terbebas dari penyimpangan dan pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam persatuan kesatuan bangsa yang harus bisa memberikan jaminan rasa aman dalam kehidupan masyarakat. Dikaitkan dengan bahaya laten terorisme yang telah membahayakan keamanan manusia dan keamanan nasional, maka diperlukan suatu Kebijakan Nasional
menghadapi
terorisme
yang
mengikutsertakan
peran
pemerintah daerah guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional, yang selanjutnya dijabarkan kedalam strategi kreatif sebagai strategi preventive evert (cegah-tangkal) yang jauh lebih baik daripada strategi
responsive
ataupun
reactive,
dimana
berbagai
bentuk-bentuk
upaya
pengoptimalan peran Pemerintah Daerah diarahkan pada upaya-upaya pencegahan dan penangkalan terorisme. Adapun upaya-upaya pencegahan dan penangkalan terorisme itu sendiri adalah merupakan bagian didalam proses pemecahan permasalahan yang mendukung strategi yang dirumuskan.
64
29.
Pemecahan Masalah Sebagaimana sebuah masalah dengan berbagai permasalahannya yang menjadi
penyebab munculnya pokok masalah, sehingga dibutuhkan pemecahan masalah, bahwa implementasi peran pemerintah daerah dalam menghadapi aksi-aksi terorisme pada kenyataannya tidak optimal, sehingga dapat dioptimalkan dengan mengikutsertakan secara optimal peran pemerintah daerah bersama tokoh masyarakat, adat dan agama serta seluruh masyarakat beserta instansi terkait seperti TNI, Polri, Kejaksanaan dan lainlain termasuk hubungan dengan pemerintah daerah lainnya/hubungan lintas daerah, agar keamanan hidup berbangsa dan bernegara lebih massif, mantap dan berkualitas dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional dengan didukung suatu konsep nasional berupa Kebijakan Strategis Keamanan Nasional menghadapi terorisme yang mengarah pada preventive evert (cegah-tangkal), yang kemudian terimplikasi dalam berbagai strategi yang diwujudkan dengan upaya-upaya memenuhi strategi yang telah dirumuskan. Adapun bentuk pemecahan masalah adalah merupakan rumusan didalam mengimplementasikan kondisi yang diharapkan yang berisi Kebijakan, strategi dan upaya yang mengacu pada peluang dan kendala yang ada. a.
Kebijakan Politik nasional atau kebijaksanaan nasional digariskan oleh lembaga
pemegang kedaulatan rakyat suatu bangsa atau negara. Di dalamnya terintegrasi unsur ideologi, politik, ekonomi, budaya dan militer menjadi suatu kebijaksanaan tunggal yang berhasil guna dan berdaya guna. Mengacu pada peluang dan kendala yang terimplikasi dari perkembangan lingkungan strategis global, regional dan nasional, perlu adanya kebijakan nasional yang dapat mengoptimalkan peran Pemerintah Daerah dalam menghadapi terorisme guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegera dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional, yaitu : “Terwujudnya optimalisasi peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme melalui peningkatan inisiatif aparatur pemerintah daerah, peningkatan kepekaan masyarakat terhadap kehadiran terorisme dilingkungannya dan sinergitas pemerintah daerah dengan instansi terkait bersama tokoh masyarakat, adat dan agama beserta seluruh masyarakat serta hubungan lintas daerah guna kemasifan, kemantapan dan kualitas keamanan hidup berbangsa dan bernegara dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional”.
65
b.
Strategi Strategi adalah seni menerapkan kekuatan sedemikian rupa sehingga
menghasilkan masukan yang paling berdaya guna menuju tercapainya tujuan yang ditetapkan oleh kebijakan politik. Terkait dengan Kebijakan yang telah dirumuskan maka dapat dijabarkan kedalam strategi kreatif yang bersifat preventive evert (cegah-tangkal) yang dapat dilaksanakan, adalah sebagai berikut : 1)
Strategi – 1 : Meningkatkan inisiatif aparatur pemerintah daerah yang
kreatif dan inovatif melalui sosialisasi kepada aparatur pemerintah daerah dan masyarakat serta pengembangan masyarakat tentang Jiwa semangat Pancasila dan UUD 1945, Wasantara, Kewaspadaan Nasional, Ketahanan Nasional, ancaman bahaya laten terorisme dan bahaya asimetrik lainnya, pengelolaan sumber daya alam, pengawasan administrasi kependudukan dan catatan sipil serta peningkatan kualitas pemberdayaan masyarakat dan Desa guna kemasifan, kemantapan dan kualitas keamanan hidup berbangsa dan bernegara. 2)
Strategi – 2 : Meningkatkan kepekaan masyarakat yang tinggi dan
sensitif terhadap kehadiran terorisme di lingkungannya melalui pemupukan, pembinaan dan penumbuhkembangan kepedulian masyarakat terhadap diri dan
lingkungannya
dengan meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
meliputi aspek kesejahteraan; daya saing daerah, intensitas dan efektivitas proses konsultasi publik serta penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat) guna kemasifan, kemantapan dan kualitas keamanan hidup berbangsa dan bernegara. 3)
Strategi – 3 : Meningkatkan sinergitas pemerintah daerah melalui
optimalisasi
peran
pemerintah
daerah
meliputi
membina,
menjalin,
bekerjasama, kolaborasi dan menjaga hubungan komunikasi dan informasi secara
kondusif
dan
berkelanjutan
dengan
instansi
terkait,
tokoh
masyarakat, adat dan agama serta pemerintah daerah lainnya bersama seluruh masyarakat guna kemasifan, kemantapan dan kualitas keamanan hidup berbangsa dan bernegara.
66
c.
Upaya 1)
Upaya mendukung Strategi – 1 : Agar strategi – 1 dapat dilaksanakan, maka upaya-upaya sosialisasi
kepada masyarakat dikaitkan dengan “peluang“ yakni jiwa semangat persatuan kesatuan bangsa Indonesia sebagaimana jiwa Pancasila dan dampak positif modernisasi pada perubahan sosial budaya masyarakat serta “kendala“ yakni lunturnya penghayatan dan pengamalan Pancasila didalam kehidupan masyarakat serta kemajuan teknologi dalam proses modernisasi tidak diimbangi dengan sumber daya manusia Indonesia berkualitas tinggi. a)
Pemerintahan daerah (Pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) didukung SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah)
terkait,
merencanakan,
merumuskan,
menyiapkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan sistem, metode dan operasional serta evaluasi dan pengkajiannya termasuk pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat tentang kewiraan, kebangsaan
dan
kenegaraan
mencakup
jiwa
semangat
nasionalisme, patriotisme dan kesetiakawanan serta kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dalam implementasi keseharian hidup berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. b)
Pemerintahan daerah (Pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) didukung SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah)
terkait,
merencanakan,
merumuskan,
menyiapkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan sistem, metode dan operasional serta evaluasi dan pengkajiannya termasuk pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat tentang Wawasan Nusantara, Kewaspadaan Nasional, Ketahanan Nasional dan mengajak, menghimbau, membina serta
mensosialisasikan
pemahaman ancaman bahaya laten terorisme dan bahaya asimetrik lainnya didalam kehidupan berbangsa dan bernegara. c)
Pemerintahan daerah (Pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) didukung SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah)
terkait,
merencanakan,
merumuskan,
menyiapkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan sistem,
67
metode dan operasional serta evaluasi dan pengkajiannya termasuk pelaksanaan
sosialisasi
kepada
masyarakat
tentang
pengembangan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang professional, proporsional, akuntabel dan transparan yang terimplementasi dalam kontrol politik melibatkan peran masyarakat. d)
Pemerintahan daerah (Pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) didukung SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah)
terkait,
merencanakan,
merumuskan,
menyiapkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan sistem, metode dan operasional serta evaluasi dan pengkajiannya termasuk pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat tentang peningkatan kualitas pengawasan kependudukan mencakup administrasi dan pantauan kependudukan, catatan sipil serta berbagai perijinan bagi masyarakat. e)
Pemerintahan daerah (Pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) didukung SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah)
terkait,
merencanakan,
merumuskan,
menyiapkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan sistem, metode dan operasional serta evaluasi dan pengkajiannya termasuk pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat tentang peningkatan kualitas aksesbilitas daerah meliputi monitoring lalu lalang orang dan barang serta sarana prasarana transportasi mencakup kendaraan, terminal, dermaga, bandara dan ruas jalan. f)
Pemerintahan daerah (Pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) didukung SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah)
terkait,
merencanakan,
merumuskan,
menyiapkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan sistem, metode dan operasional serta evaluasi dan pengkajiannya termasuk pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat tentang peningkatan kualitas pemberdayaan masyarakat dan Desa mencakup LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), LSM (Lembaga Sosial
68
Masyarakat)
dan
Ormas
(Organisasi
Masyarakat)
serta
kelompok-kelompok masyarakat binaan dan lain-lain. 2)
Upaya mendukung Strategi – 2 : Agar strategi – 2 dapat dilaksanakan, maka upaya-upaya optimalisasi
peran pemerintah daerah dikaitkan dengan “peluang“ yakni kestabilan kondisi politik dan keamanan dalam negeri serta perdagangan dalam pangsa pasar bebas di kawasan Asia Pasifik dan “kendala“ yakni merebaknya gejala separatisme dan konflik sosial dibeberapa daerah dan lemahnya ekonomi politik Indonesia. a)
Pemerintahan daerah (Pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) didukung SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah)
terkait,
merencanakan,
merumuskan,
menyiapkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan sistem, metode dan operasional serta evaluasi dan pengkajiannya dalam pelaksanaan upaya peningkatan aspek kesejahteraan meliputi perhatian
pada
ketimpangan
kemakmuran,
pemerataan
pendapatan, pendidikan, kesehatan dan kesempatan kerja. b)
Pemerintahan daerah (Pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) didukung SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah)
terkait,
merencanakan,
merumuskan,
menyiapkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan sistem, metode dan operasional serta evaluasi dan pengkajiannya dalam pelaksanaan upaya peningkatan daya saing daerah secara optimal melalui peningkatan kemampuan ekonomi daerah dengan
mengedepankan
keunggulan
daerah,
sosialisasi
penekanan konsumsi produk asing dan lebih mencintai produk dalam negeri, menaikkan mutu sumber daya manusia daerah serta mendukung upaya pemerintah menaikkan suhu investasi dan mendukung dunia perdagangan Indonesia dalam pangsa pasar bebas agar memiliki keunggulan ekonomi politik. c)
Pemerintahan daerah (Pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) didukung SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah)
terkait,
merencanakan,
merumuskan,
69
menyiapkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan sistem, metode dan operasional serta evaluasi dan pengkajiannya dalam pelaksanaan upaya peningkatan intensitas dan efektivitas proses konsultasi publik antara pemerintah daerah dengan masyarakat atas penetapan kebijakan publik yang strategis dan relevan untuk daerah serta penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat. 2)
Upaya mendukung Strategi – 3 : Agar strategi – 3 dapat dilaksanakan, maka upaya-upaya optimalisasi
peran pemerintah daerah dengan cara (membina, menjalin, bekerjasama, kolaborasi dan menjaga hubungan komunikasi dan informasi secara kondusif dan berkelanjutan dengan instansi terkait seperti TNI, Polri, Kejaksaan dan lain-lain bersama tokoh masyarakat, adat dan agama serta hubungan lintas daerah bersama seluruh masyarakat dikaitkan dengan “peluang“ yakni kuatnya sistem nilai budaya lokal dan fenomena global akibat perkembangan lingkungan strategis global membuahkan perspektif baru keamanan nasional serta “kendala“ yakni sebagian masyarakat kurang meyakini
kebenaran Pancasila
dan
kecenderungan
intervensi yang
menonjol dari negara maju sebagai kecenderungan global. 1)
Pemerintahan daerah (Pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) didukung SKPD (Satuan Kerja Perangkat
Daerah)
terkait,
merencanakan,
merumuskan,
menyiapkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan sistem, metode dan operasional serta evaluasi dan pengkajiannya dalam pelaksanaan upaya membina, menjalin, bekerjasama, kolaborasi dan menjaga hubungan komunikasi dan informasi secara kondusif dan berkelanjutan dengan instansi terkait seperti TNI, Polri, Kejaksaan dan lain-lain bersama tokoh masyarakat, adat dan agama serta hubungan lintas daerah bersama seluruh masyarakat. 2)
Pemerintahan daerah (Pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) didukung SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait bersama instansi terkait seperti TNI, Polri,
70
Kejaksaan dan lain-lain, merencanakan, merumuskan, menyiapkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan sistem, metode dan operasional serta evaluasi dan pengkajiannya dalam pelaksanaan upaya pembinaan masyarakat untuk mencegah dan menangkal terorisme di daerah. 3)
Pemerintahan daerah (Pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) didukung SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait bersama tokoh masyarakat, adat dan agama serta pemerintah daerah lainnya/lintas daerah bersama seluruh masyarakat sebagai komponen bangsa yang tangguh, merencanakan, merumuskan, menyiapkan dan mengkoordinasikan pelaksanaan pembinaan sistem, metode dan operasional serta evaluasi dan pengkajiannya dalam pelaksanaan upaya mendukung kekuatan instansi terkait.
71
BAB VII PENUTUP
30.
Kesimpulan a.
Aksi terorisme adalah bahaya laten yang senantiasa harus diwaspadai,
karena sangat membahayakan keamanan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. b.
Optimalisasi peran pemerintah daerah dalam menghadapi terorisme
bukanlah mengambil kewenangan Pemerintah perihal Keamanan sebagaimana kerangka pemerintahan RI pada penyelenggaraan desentralisasi dalam pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan Daerah Otonom, sebab optimalisasi peran pemerintah daerah diselenggarakan sebagai implikasi strategi kreatif yang merupakan strategi preventif evert (cegah-tangkal) yang jauh lebih baik daripada strategi responsive. c.
Keamanan hidup berbangsa dan bernegara Indonesia tidak dapat
melepaskan peran pemerintah daerah sebagai penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat di daerah, sehingga sangat perlu untuk dioptimalisasikan guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa
dan
bernegara
yang
mantap
dan
berkualitas
dalam
rangka
memperkokoh Ketahanan Nasional.
31.
Saran a.
Dalam rangka menciptakan masyarakat Indonesia yang mawas terhadap diri
dan lingkungannya berbenteng nasionalisme dan patriotisme berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, disarankan agar Pemerintah RI mengoptimalkan peran Pemda dalam memberdayakan keterlibatan masyarakat pada kegiatan sosialisasi Santi Aji Pancasila dan cegah-tangkal dini terhadap setiap ancaman dilingkungan masyarakat yang terimplementasi dalam wujud gerakan nasional Pancasila dan gerakan kewaspadaan nasional berwawasan nusantara guna mewujudkan keamanan hidup berbangsa dan bernegara yang mantap dan berkualitas dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional.
72
b.
Pemerintah
perlu
menempatkan
peran
pemerintah
daerah
sebagai
penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional, mengingat pemerintahan daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dipilih oleh rakyat secara demokrasi berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, sehingga optimalisasi peran pemerintah daerah dalam mencegah dan menangkal bahaya laten terorisme adalah sebagai strategi preventive evert (cegah-tangkal) dapat didukung sepenuhnya oleh kebijakan strategis keamanan nasional dalam rangka Ketahanan Nasional. c.
Pemerintah maupun pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran
secara khusus dalam menghadapi terorisme, guna menunjang upaya mencegah dan menangkal bahaya laten terorisme secara berdaya guna dan berhasil guna. d.
Sinergitas pemerintah daerah dengan TNI/TNI AL dapat didukung
sepenuhnya oleh kebijakan strategis TNI/TNI AL dalam rangka tingkatkan kekuatan dan kemampuan TNI/TNI AL dalam cegah-tangkal serta tindakan terhadap bahaya laten terorisme sesuai kebijakan politik pemerintah sekaligus meningkatkan kualitas pembinaan potensi maritim oleh TNI AL dalam lingkup pembinaan territorial TNI.
Lampiran : Kerangka Pikir (periksa lampiran A–1 dan A–2). Daftar Referensi dan Pustaka (periksa lampiran B). Jaringan Terorisme di Indonesia (periksa lampiran C). Struktur Jaringan Terorisme Jamaah Islamiah (periksa lampiran D). Peta Konsentrasi Jaringan Terorisme di Indonesia (periksa lampiran E). Berita Majalah Tempo (periksa lampiran F). Daftar Pengertian (periksa lampiran G).
Jakarta,
Juli 2015
Perwira Siswa
Kunto Wibowo AP, S.E
Letkol Laut (P) NRP 10336/P
Lampiran ”A–1” Kertas Karya Perorangan Tanggal : Juli 2015
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
ALUR PIKIR OPTIMALISASI PERAN PEMDA DALAM MENGHADAPI BAHAYA LATEN TERORISME GUNA MEWUJUDKAN KEAMANAN HIDUP BERBANGSA DAN BERNEGARA DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN NASIONAL
Inisiatif Aparat Pemda dlm menghadapi Terorisme
Kepekaan masyarakat thd kehadiran Terorisme di lingkungannya
LANDASAN PEMIKIRAN: - Idiil (Pancasila) - Konstitusionil (UUD 1945) - Visionil (Wawasan Nusantara) - Konsepsional (Ketahanan nasional) - Operasional (Peraturan Perundang-Undangan) - Teori Dunia Modern
KONDISI PERAN PEMDA M’HADAPI TERORISME SAAT INI
Sinergitas Pemda dg pihak terkait & Aparatur Pemda lainnya bersama masyarakat
PROSES ANALISIS PEMECAHAN MASALAH
TANNAS YANG KOKOH
KONDISI PERAN PEMDA YG DIHARAPKAN DLM MENGHADAPI TERORISME
TERWUJUD KAM HIDUP B’BGS & B’NEG YG MANTAP & BERKUALITAS
BANGLINGSTRA Perwira Siswa
Kunto Wibowo AP, S.E Letkol Laut (P) NRP 10336/P
Lampiran ” A–2” Kertas Karya Perorangan Tanggal : Juli 2015
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
POLA PIKIR OPTIMALISASI PERAN PEMDA DALAM MENGHADAPI BAHAYA LATEN TERORISME GUNA MEWUJUDKAN KEAMANAN HIDUP BERBANGSA DAN BERNEGARA DALAM RANGKA MEMPERKOKOH KETAHANAN NASIONAL TANNAS YANG KOKOH
LANDASAN PEMIKIRAN: - Idiil (Pancasila) - Konstitusionil (UUD 1945) - Visionil (Wawasan Nusantara) - Konsepsional (Ketahanan nasional) - Operasional (Peraturan Perundang-Undangan) - Teori Dunia Modern
SUBYEK
KONDISI PERAN PEMDA MENGHADAPI TERORISME SAAT INI
- DPRD - PEMDA BESERTA PERANGKAT & JAJARANNYA
OBYEK Peran Pemda dalam menghadapi terorisme
BANGLINGSTRA PELUANG & KENDALA
TERWUJUD KAM HIDUP B’BGS & B’NEG YG MANTAP & BERKUALITAS
METODE - Sosialisasi - Koordinasi - Regulasi - Edukasi - Pembangunan - Evaluasi
KEBIJAKAN NASIONAL: OPTIMALISASI PERAN PEMDA DLM MENGHADAPI TERORISME
Perwira Siswa
UMPAN BALIK Kunto Wibowo AP, S.E Letkol Laut (P) NRP 10336/P
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
Lampiran “B” Daftar Referensi dan Pustaka Tanggal : Juli 2015
Daftar Referensi dan Pustaka
1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang. 2.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah. 3.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 Tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 4.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedoman
Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. 5.
Sub B.S Kewaspadaan Nasional Pasca Orde Baru Lembaga Ketahanan Nasional
RI Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) LII Tahun 2014. 6.
Prof. Dr. Mr. Drs. Notonagoro, 1971. Pancasila Secara Ilmiah Populer. Jakarta:
Bumi Aksara. 7.
Lembaga Ketahanan Nasional RI Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA)
LII Tahun 2014. Modul 1 s.d 3 Konsepsi Kewaspadaan Nasional Pasca Orde Baru.
Jakarta, Juli 2015 Perwira Siswa
Kunto Wibowo AP, S.E Letkol Laut (P) NRP 10336/P
Lampiran “C” (Jaringan Teroris Di Indonesia) Tanggal : Juli 2015
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
JARINGAN TERORIS DI INDONESIA Prof. Dr. Akhmad Muzakki, pakar terorisme dan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik
(FISIP)
Universitas
Islam
Negeri
(UIN)
Sunan
Ampel
Surabaya,
mengungkapkan bahwa ada dua sumber jaringan teroris di Indonesia. Mereka adalah kelompok yang frustasi dengan keadaan (hopeless) dan kelompok yang mengalami migrasi Indonesia-Malaysia (TKI). Dari dua sumber jaringan teroris tersebut, lahirlah tiga kelompok radikal di Indonesia, yaitu : genealogi, ideologi patronase, dan ideologi etnis.1 Tipe genealogi berkaitan dengan pemain lama, seperti Ustaz Rasyid Ridho yang juga putra Abubakar Baasyir sebagai kelompok hubungan Indonesia–Malaysia. Kemungkinan penyebaran kelompok tersebut adalah di Jakarta dan Surabaya, yakni tempat-tempat yang memiliki persaingan cukup ketat, sehingga bila seseorang mengalami hopeless, lalu terpengaruh dengan tawaran kerja menjadi TKW atau TKI, sepulang orang tersebut bisa membawa ajaran radikal dengan tipe genealogi. Sementara itu, ideologi patronase berkaitan dengan hubungan guru–murid. Tipe seperti ini terlihat dalam terduga gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Dau Malang, melibatkan Ustaz Romli (murid Ustaz Rasyid Ridho). Untuk tipe ideologi etnis, hal tersebut berkaitan dengan etnis Arab yang kebetulan dalam satu kelompok Al-Irsyad. Terduga ISIS yang baru saja ditangkap di Malang membawa jenis tipe ini. Kelompok Al–Irsyad di Indonesia terdiri dari dua golongan. Golongan pertama adalah golongan yang terbuka dan dekat dengan tokoh-tokoh Indonesia. Golongan tersebut dinilai tidak radikal dan golongan kedua adalah kelompok Al-Irsyad yang menutup diri dan dekat dengan tokoh–tokoh di Timur Tengah. Menurutnya, kelompok tersebutlah yang radikal. Jadi menurut Prof. Dr. Akhmad Muzakki, “jaringan teroris yang mengakar di Indonesia itu tidak ada, karena semuanya impor”. Jakarta, Juli 2015 Perwira Siswa
Kunto Wibowo AP, S.E Letkol Laut (P) NRP 10336/P 1
Lansiran Antara, Minggu 5 April 2015 yang diposting pada: pukul 15.22 WIB pada 5 April 2015 oleh Dita
D-1 Lampiran “D” (Struktur Jaringan Teroris JI) Tanggal : Juli 2015
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
STRUKTUR JARINGAN TERORIS JAMAAH ISLAMIAH Peta kekuatan organisasi teroris di Indonesia, Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Filipina dimotori oleh konfederasi orgnisasi islam radikal bernama Jamaah Islamiah. Meski belum terbukti, sumber intilejen mempercayai Jamaah Islamiah (JI) didirikan pertama kali oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir.1 Sebagai jaringan teroris internasional, JI juga diyakini mempunyai hubungan dan afiliasi yang erat dengan Al Qaeda pimpinan Osama Bin Laden. Misi JI adalah mendirikan negara kekalifahan Islam di Asia Tenggara, meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Brunei, dan Kamboja. Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri dalam konferensi persnya di Mabes Polri pada hari Jumat tanggal 24 Septtember 2010 mengumumkan soal sepak terjang JI dalam aksi teror di Indoensia selama 10 tahun terakhir. Kapolri memaparkan soal skema struktur organisasi JI dan siapa-siapa saja pimpinannya dalam 10 tahun terakhir. Jamaah Islamiah, dipimpin oleh seorang Amir yang berkedudukan di markaz. Polisi meyakinii bahwa sebelum ditangkap Abu Bakar Baasyir adalah Amir JI. Selain Amir, Markaz diisi pimpinan seperti Askari (Panglima Perang), PLH Amir, Regional Shura atau dewan penasihat dan BP Markaziyah. Hambali, sebelum ditangkap pada 11 Agustus 2003, pernah menjabat dewan penasihat Markaz JI. Hambali punya peran sebagai penghubung ke jaringan teroris Internasional seperti Al Qaeda dan Abu Sayaf. Organisasi JI punya beberapa Mantiqi yang tunduk pada Markaz dalam menjalankan aksi terornya di Asia Tenggara. Ada empat mantiqi. Mantiqi Ula atau Mantiqi I meliputi wilayah Singapura dan Malaysia. Nama Muklas alias Ali Gufron terpidana mati Bom Bali I pernah menjadi pimpinan Mantiqi Ula atau I. Adapun Mantiqi II atau biasa disebut dengan nama Mantiqi Sani. Jaringan inilah yang cukup progresif menjalankan aksi terornya. Sebagian Wilayah Indonesia bagian barat dibawahi oleh Mantiqi II.
Mabes Polri berhasil memetakan kekuatan struktur
organisasinya. 1
Sumber: Tribunnews.com yang diposting pada hari Jumat, 24 September 2010 22:20 WIB.
D-2 Gambar : Skema organisasi JI yang dipaparkan Mabes Polri, Jumat (24/9/2010)
Sumber : MABES POLRI yang dilansir oleh TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
Matiqi II membawahi delapan Wakalah atau organisasi JI tingkat provinsi. Ada wakalah Sumbagut, Pekanbaru, Lampung, Jabotabek, Jabar, Surakarta, Jateng dan Jatim. Wakalah–wakalah ini masih membawahi lagi yang namanya Khatibah atau organisasi setingkat kota. Khatibah membawahi Qirdas. Dibawah Qirdas ada yang namanya Fiah atau kelompok kecil.
D-3
Sedangkan Mantiqi III atau biasa disebut dengan nama Mantiqi Tahlid meliputi wilayah Mindanao, Sabah, Kaltim dan Sulawesi. Sama seperti Mantiqi lainnya Mantiqi ini juga membawahi Wakalah, lalu Khatibah dan Qirbas. Nasir Abas pernah menjadi pimpinan Mantiqi ini. Mantiqi ini pernah sangat solid dalam aksi teror di poso dan pernah membentuk laskar Uhud. Selanjutnya Mantiqi terakhir adalah Mantiqi IV atau Mantiqi Ukhro. Mantiqi ini meliputi wilayah Australia. Khusus untuk jaringan terorisme di Sumut, yang melancarkan aksi perampokan dan pelatihan militer di Deli Serdang seluruh organisasi teroris dibawah Mantiqi II bersatu. Mereka mengorganisir diri dalam kelompok-kelompok atau Fiah. Ada enam kelompok yang saling bertautan. Kelompok Boss Medan yang terdiri dari 7 Anggota. Ada kelompok Belawan pimpinan Wak Geng alias Marwan yang berperan merampok untuk mencari senjata. Kelompok Lampung yang diisi Abah alias Jhonson dan Bawor yang bertugas membeli senjata dari dana hail rampokan. Kelompok Pekanbaru ditambah Kelompok Solo dan Kelompok Jabar yang dipimpin Jaja Miharja.
Jakarta, Juli 2015 Perwira Siswa
Kunto Wibowo AP, S.E Letkol Laut (P) NRP 10336/P
D-1 MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
Lampiran “E” (Peta Konsentrasi Jaringan Teroris Di Indonesia) Tanggal : Juli 2015
PETA KONSENTRASI JARINGAN TERORIS DI INDONESIA
Kepala
Badan
Nasional
Penanggulangan
Teroris
(BNPT)
Ansyaad
Mbai
menyatakan pendukung gerakan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Negara Islam Irak dan Suriah di Indonesia merupakan aktor gerakan lama atau para teroris. Karena itu, dukungan terhadap paham radikal itu cepat menyebar di Indonesia. Ansyaad mengatakan pemerintah tak melarang mereka mendukung ISIS. "Mau berorganisasi silakan, tapi jangan bikin kekacauan," katanya di kantor Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Kementerian Agama, Jakarta Pusat, Sabtu, 9 Agustus 2014. Menurut Ansyaad, mereka juga merekrut oknum anggota TNI dan Polri. Lewat oknum inilah para teroris memasok senjata. "Bahayanya, birokrasi Polri dan TNI direkrut. Ini merongrong negara. Ini ancaman terhadap sendi kehidupan bangsa dan bernegara," katanya.1 Beberapa konsentrasi kelompok jaringan teroris, seperti: di Sumatera Utara dan Aceh terdapat Qoidah Aminah yang terdiri atas kelompok Dulmatin (Jamaah Islamiah/JI), Mustofa (JI-Jamaah Ansharut Tauhid), Abdullah Sonata (Kompak), Aman Abdul Rahman (Negara Islam Indonesia/NII), Abu Omar (NII), dan kelompok penyandang dana untuk kegiatan terorisme dalam kasus perampokan CIMB Medan. Ada pula kelompok Mujahid Indonesia Barat di Lampung, NII di Kalimantan Selatan, Mujahid Indonesia Timur pimpinan Daeng Koro Santoso di Poso dan kelompok Asmar di Sulawesi. Sedangkan di Ambon ada kelompok Walid, JAT di Bali, juga kelompok Bima di Nusa Tenggara Barat. Sedangkan di Jawa, ada MIB pimpinan Abu Omar dan Abu Roban, NII Tasikmalaya, dan kelompok jaringan Solo.
Jakarta, Juli 2015 Perwira Siswa
Kunto Wibowo AP, S.E Letkol Laut (P) NRP 10336/P
1
TEMPO.CO, Jakarta diposting pada hari Minggu, 10 Agustus 2014 | 06:57 WIB oleh Linda Trianita
F-1 MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
Lampiran “F” (Sebuah Berita Majalah Tempo) Tanggal : Juli 2015
SEBUAH BERITA MAJALAH TEMPO TENTANG TIM JIBRIL, AL-QAIDAH DARI SOLO?1
PERANG Jihad Asia Tenggara, Melawan Terorisme Amerika Serikat dan Yahudi". Judul mengerikan ini tertera di halaman pertama sebuah dokumen 15 halaman yang membuat geger pemerintah RI di Jakarta. Entah mengapa, berita temuan dokumen itu justru muncul di koran Singapura, The Straits Times, Senin pekan lalu. Menurut koran itu, ada sekelompok teroris anggota Jamaah Islamiyah Indonesia yang merencanakan serangan ke Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat di Singapura, Malaysia, dan Indonesia pada 4 Desember tahun lalu. Dokumen ini diteken pada 28 September 2001 oleh dua orang yang menyebut diri sebagai Abu Hanafiah dan Fikri Sugondo, ketua dan sekretaris Majelis Pimpinan Jamaah Islamiyah, yang beralamat di Kampung Wetan Nusukan No. 65 RT 05/RW 07, Solo. Ceritanya, ada tiga tim dengan nama sandi Jibril yang akan beraksi di tiga negara tadi. Rencana operasi mereka disusun rapi dan detail, lengkap dengan skenario penyelamatan diri seandainya misi gagal. Salah satu anggota tim yang juga disebut adalah Fathur Rahman Al-Ghozi, anak Madiun yang ditangkap polisi di Manila, Filipina, 15 Januari silam, dengan tuduhan memiliki paspor ganda dan bahan peledak seberat satu ton. Dia diplot sebagai salah satu pembantu Tim Jibril-1 yang akan meledakkan Kedutaan Besar AS di Singapura. Temuan dokumen ini seakan-akan menjadi "benang merah" antara Indonesia dan gerakan terorisme internasional yang banyak dipersoalkan belakangan ini. Terutama, sejak Amerika "menekan" negara-negara di Asia Tenggara agar ikut memerangi aksi terorisme setelah 11 September tahun lalu World Trade Center dan Pentagon ditabrak pesawat teroris dan sekitar 3.000 orang tewas. Sejak Desember tahun lalu, pemerintah Singapura, Malaysia, dan Filipina, telah menangkap lebih dari 30 orang aktivis gerakan Jamaah Islamiyah yang disebut-sebut sebagai mata rantai AlQaidah di kawasan ini. Sampai sekarang pun Amerika masih melancarkan Operasi Mempertahankan Kebebasan di Basilan, Filipina. Masalahnya, benarkah Indonesia punya keterkaitan dengan Al-Qaidah? Sahihkah Dokumen Perang Jihad itu? Derwin Pereira, wartawan The Straits Times, mengaku 1 Majalah TEMPO No. 51/XXX/18 - 24 Februari 2002Wicaksono, P. D. Prabandari, Darmawan Sepriyossa, Imron Rosyid (Solo)
F-2
mendapatkan dokumen dari jaringan yang dekat dengan kalangan Jamaah Islamiyah. "Bukan dari intel Indonesia, bukan dari Hendropriyono (Kepala Badan Intelejen Negara), bukan pula dari intel asing," kata Pereira. Dokumen tersebut sudah lama dia dapatkan. Hanya, karena dia harus melakukan check and recheck, baru pekan lalu dimuat korannya. Menurut Pereira, dokumen itu 70 persen benar. Yang membuat Darwin yakin dokumen itu benar, ada detail-detail perencanaan, ciri khas dokumen Al-Qaidah. Itu pula yang membuat dia percaya adanya kerja sama antara Jamaah Islamiyah dan Al-Qaidah. "Dokumen yang kami kita lihat di Kandahar (Afganistan) hampir sama," ujarnya. Pereira juga menyatakan bahwa dokumen yang dia dapat tersebut menggunakan bahasa Arab dan Indonesia. Pereira mengaku sudah mengecek kebenaran dokumen itu sampai ke Kampung Nusukan, Solo, Jawa Tengah, lokasi yang disebut sebagai markas Jamaah Islamiyah. Tapi ia tak me-nemukan apa-apa. "Mereka (orang-orang Jamaah Islamiyah) sudah keluar dari Solo," kata Pereira. Menurut Darwin, Jamaah Islamiyah memiliki dua markas, yaitu di Solo dan Tasikmalaya. Tetapi sekarang kebanyakan mereka sudah di mana-mana. "Indonesia sangat besar. Sulit untuk melacak mereka. Kemungkinan besar mereka bukan orang asli Solo," ujarnya. Kendati demikian, baik polisi maupun kalangan intelijen dalam negeri meragukan keaslian Dokumen Operasi Jihad itu. Kepala Badan Intelijen Negara, A.M. Hendropriyono, mengatakan bahwa setahu dia gerakan bawah tanah Indonesia tidak pernah menggunakan
dokumentasi.
Sumber
TEMPO,
seorang
perwira
intelijen
senior,
menambahkan bahwa gerakan Islam garis keras Indonesia tak pernah menuliskan rencana operasinya, apalagi secara detail. Apa yang diputuskan dalam rapat biasanya hanya dicatat dan diingat dalam kepala mereka yang hadir. "Menurut pengalaman kami, hal-hal yang berisiko bocor itu tak pernah didokumentasi sedemikian detail," katanya. Selain itu, menurut Kapolri Jenderal Dai Bachtiar, berdasarkan penyelidikan intelijen Polri, belum ditemukan secara signifikan adanya jaringan terorisme internasional di Indonesia. "Kalau kegiatan orang teror-meneror, ada banyak di sini," kata Dai. Karena itu, Komisi I DPR RI justru akan bereaksi terhadap pemberitaan The Straits Times. Menurut Yasril Ananta Baharudin, anggota Komisi I, pihaknya mendesak agar pemerintah paling tidak melakukan counter-release, dan kalau perlu menuntut koran tersebut seandainya setelah diklarifikasi ternyata kabar itu tidak benar. "Saya mendesak pemerintah untuk mempelajari sungguh-sungguh informasi yang dilansir Straits Times. Kalau nggak benar, ya, somasi aja," kata Yasril kepada Adi Prasetya dari TEMPO.
F-3
Kalau dilihat dari isi dokumen, memang tampak ada beberapa kejanggalan. TEMPO, yang menelusuri Solo dan sekitarnya, tak menemukan kampung seperti yang tertulis di dokumen sebagai markas Majelis Pimpinan Jamaah Islamiyah. Sumanta, Kepala Kelurahan Nusukan, bahkan mengaku baru kali ini mendengar nama Kampung Wetan. "Kalau di Nusukan, yang ada itu Nayu Wetan," katanya. Sumber TEMPO di Bagian Pemerintahan dan Otonomi Daerah yang pernah menginventaris nama kampung di Solo pada 1995 memperkuat keterangan Sumanta. Demikian pula dengan nama Abu Hanafiah dan Fikri Suwondo, yang disebut dalam dokumen sebagai penanda tangan. Sukarno, 60 tahun, sesepuh Nusukan, mengaku belum pernah mengenal maupun mendengar dua nama tersebut di kampungnya. Data di Imigrasi Solo menunjukkan ada sebelas nama yang sama dengan salah satu anggota Tim Jibril-1, Muhammad Furqon. Penulisan dokumen itu sendiri unik. Ia ditulis dengan bahasa pegon atau bahasa Melayu yang ditulis dalam huruf Arab. Pegon diakrabi oleh pesantren-pesantren terutama di Banten, Jawa Barat, dan kalangan Melayu lama. Huruf pegon berkembang karena banyak di antara kiai tua yang hanya bisa menulis dengan huruf Arab dan sama sekali buta huruf Latin. Menurut Anick H.T., redaktur islamlib.com, tata cara penulisan pegon yang dipakai dalam dokumen Solo itu melenceng dari standar umum, baik tata cara penulisan Arab maupun dari standar bunyi yang dihasilkan oleh susunan huruf-huruf tersebut. Hampir semua kata yang dikandungnya mengandung kesalahan bunyi dan penulisan umum. Artinya, kalau dokumen tersebut dibaca menurut standar yang benar, akan banyak sekali kata yang tidak diketahui. Contohnya, kata "Amerika" yang seharusnya ditulis memakai huruf hamzah-mim-ya-ra-ya-kaf-alif, tertulis "amzah-mim-ra-kaf". Dari sisi penulisan, menurut Anick kepada Arief Kuswardono dari TEMPO, pembuatnya mungkin berasal dari kalangan tua, tidak terdidik, dan tidak akrab dengan kultur tulisan Arab Qurani. Kelompok ini hanya memakai huruf Arab sebagai media komunikasi tertulis biasa. Kemungkinan lain, penulis mempelajari huruf Arab ketika sudah dewasa, dan tidak akrab dengan dunia akademik Islam. Bisa juga, penulis sengaja memelesetkan cara penulisan agar konsumsi dokumen terbatas di kalangan mereka, dan fungsi dokumen hanya sebagai pengingat. "Ada kemungkinan dokumen ini ditulis oleh orang yang mempelajari huruf Arab pada tingkat permukaannya saja, untuk kepentingan politis," Anick, lulusan lulusan Sastra Arab IAIN Jakarta ini, mengambil kesimpulan.
F-4
Sumber TEMPO dari kalangan intelijen menambahkan, dilihat dari bentuknya, dokumen tersebut tidak dibuat oleh aparat Indonesia, baik dari Badan Intelijen Strategis (Bais) maupun Badan Intelijen Negara (BIN). Ia justru mempercayai kecurigaan—belum ada bukti tentang ini—bahwa pihak luar yang merancang pembuatan Dokumen Jihad. Siapa? Amerika, katanya. Sebuah tuduhan yang perlu dibuktikan. Dubes Amerika Serikat di Jakarta hanya mengatakan temuan dokumen ini "serius dan bisa menyulitkan" (lihat Ralph L. Boyce: "Laporan itu Serius dan Menyulitkan"). Selain itu, masih menurut sumber TEMPO, Amerika ingin membuktikan bahwa ucapannya tentang kekuatan Usamah bin Ladin dan jaringan Al-Qaidah-nya bukan omong kosong. Untuk itu Amerika perlu menciptakan se-banyak mungkin bukti ancaman dan peta jaringan kekuatan Al-Qaidah. Bukan tak mungkin, pada saatnya nanti Amerika— dengan alasan mengejar para pelarian teroris yang dikejarnya di Basilan—akan pula masuk wilayah Indonesia. "Ini persis kejadian penemuan Dokumen Gilchrist," katanya. Gilchrist, yang ditemukan pada Mei 1965, menyebut seolah-olah ada dewan jenderal yang hendak menggulingkan Sukarno. Penemuan dokumen yang ternyata omong kosong itu isinya memang bukan barang baru. Selain Gilchrist, di era Presiden Abdurrahman Wahid, banyak dokumen yang beredar dengan isi yang seram-seram, tapi kebanyakan tak terbukti kebenarannya. Misalnya Dokumen Bulakrantai, yang beredar pada tahun 2000 dan isinya menyiratkan ada sekelompok orang yang mau mendongkel kursi Presiden Abdurrahman. Semua itu isapan jempol belaka. Kepala Bagian Humas Markas Besar Polri, Inspektur Jenderal Polisi Saleh Saaf, punya kecurigaan yang sama. Saleh menduga dokumen itu merupakan propaganda, dan tidak tertutup kemungkinan ada negara atau kelompok tertentu yang ingin menjatuhkan negara ini. Indikasi ini muncul seiring dengan diberitakannya adanya jaringan terorisme di Indonesia secara terus-menerus oleh pers Amerika. Bercuriga memang gampang, tapi membuktikan Tim Jibril itu ada atau sekadar rekaan, itu yang lebih penting. Rencana Tim Jibril : Tim Jibril-1 •
Tim Jibril-1 berangkat dari Solo tanggal 30 Oktober menuju Batam, kendaraan putus-putus. Di Pulau Batam, tim itu akan dijemput oleh Jaswadi untuk menuju ke
F-5
Pulau Jaya (Sabah) dan tinggal di sana selama satu pekan untuk membereskan paspor masuk Singapura. •
Tanggal 7 November harus sudah masuk Singapura untuk bergabung dengan saudara-saudara Jamaah Islamiyah di Singapura serta penyesuaian dan monitoring lokasi sasaran. Penginapan akan diatur oleh Agus Sahlan, yang sudah menunggu bersama Fathur Rahman dari Manila (koordinator Jamaah Islamiyah Filipina) dan melakukan survei target pada 7 November.
•
Peta lokasi Kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat dan alat-alat yang dibutuhkan ditangani Fathur Rahman. Koordinasi lapangan disesuaikan dengan kondisi dan situasi Singapura tanggal 4 Desember.
•
Apabila operasi gagal karena tidak sesuai dengan rencana, segera tinggalkan Singapura untuk kembali ke Indonesia melalui Batam. Jaswadi yang akan mengatur semua perjalanan.
•
Dana operasi akan diatur oleh Departemen Logistik Jemaah Islamiyah Filipina.
Tim Jibril-2 •
Tim Jibril-2 berangkat dari Solo tanggal 1 November menuju Banjarmasin menggunakan kapal laut dari Surabaya. Di sana mereka dijemput oleh Ariansyah, yang akan mengatur paspor dan perjalanan ke Malaysia melalui Pontianak. Tujuan akhir Johor untuk koordinasi dengan Abdus Salam bin Abu Thalib (koordinator Jamaah Islamiyah Malaysia), yang bertanggung jawab terhadap semua kebutuhan operasi.
•
Survei lokasi target dimulai 5 November sampai 10 November. Dilarang berkomunikasi dengan Tim Jibril-2 di Singapura.
•
Operasi menyesuaikan kondisi lapangan Malaysia dengan jadwal tepat pukul 12.00 waktu Kuala Lumpur, tanggal 4 Desember 2001.
•
Apabila gagal karena faktor-faktor seperti Tim Jibril-1, segera tinggalkan Malaysia lalu kembali ke Pontianak, yang sudah diatur oleh Ariansyah.
•
Dana operasi akan diatur oleh Departemen Logistik Jamaah Islamiyah Malaysia.
Tim Jibril-3 •
Tim Jibril-3 akan diatur secara khusus dari Solo karena perkembangan politik Jakarta sangat cepat dan tekanan saudara-saudara muslim dalam demonstrasi anti-Amerika Serikat mengalami kemunduran.
F-6 •
Sesuai dengan peta-peta pelaku potensi kerusuhan sosial di Jakarta dan nasional yang telah disusun Divisi Khusus Jemaah Islamiyah Indonesia, akan dimanfaatkan sebagai awal kebangkitan.
•
Kebangkitan Islam harus dimulai dari Jakarta lalu membias ke daerah dan titik akumulasi kembali ke Jakarta. Daerah yang berpotensi diukur dengan kekuatan jihad Islam di tingkat lokal, tuntutan pembersihan tempat maksiat, kasus rakyat yang belum selesai, pertikaian unsur SARA, faktor psikologi dan sosiologi lainnya. Daerah tersebut antara lain Aceh, Medan, Palembang, Riau, Lampung, Bandung, Semarang, Surabaya, Madura, Nusatenggara, Sul-Ut, Sul-Sel, Maluku, dan Irianjaya.
•
Setelah Kedubes Amerika Serikat di Jakarta diledakkan dengan risiko memperkecil korban jiwa, ledakan susulan adalah Kedubes Inggris, Konsulat Israel, Kedubes Belanda, Kedubes Singapura, Standard Chartered Bank, BCA Pusat, gedunggedung bisnis di sepanjang Jalan Imam Bonjol-Diponegoro, Pasar Kenari (Salemba), Terminal Senen dan Atrium, Plaza 89 Kuningan, Plaza Jatinegara, Mal Pondok Indah, Setneg, dan Stasiun Juanda. Kebutuhan akan operasi tersebut akan disiapkan saudara Imam Ghazali.
Operasi Peledakan Kedutaan Besar AS Tim Jibril-1 (di Singapura)
Anggota: Abbas Yahya, Zainal Muttaqin, dan Muhammad Furqon Tim Jibril-2 (di Malaysia) Anggota: Abdul Talib, Zulfikar, dan Zulkarnain Subairi Tim Jibril-3 (di Jakarta) Anggota: Fazri Al Farizi, Muhammad Yunus, dan Muhammad Ikram Jenis peledak: Bom C-4 Sasaran ledakan: Halaman Kantor Kedutaan Besar (minimalisir korban jiwa) Jadwal operasi: 4 Desember 2001 Kejanggalan Dokumen tersebut Isi dokumen: Dibuat oleh Jamaah Islamiyah Kampung Wetan Nusukan No. 65 RT 05/RW 07 Solo Fakta: TEMPO melacak, tidak ada alamat seperti itu di Solo
F-7
Isi dokumen:
Serangan ke Kedutaan Besar Amerika di Singapura, Malaysia dan
Indonesia pada 4 Desember 2001 Fakta: Tidak ada ledakan di Kedutaan Amerika di tiga negara pada tanggal tersebut Isi dokumen: Salah satu anggota Tim Jibril bernama Muhammad Furqon Fakta: Ada sebelas nama yang sama di kantor imigrasi Solo Isi dokumen: Peledakan akan memakai bom jenis C-4 Fakta: Bom jenis ini hanya dimiliki kalangan terbatas, seperti militer, karena mahal dan sulit didapat
Jakarta, Juli 2015 Perwira Siswa
Kunto Wibowo AP, S.E Letkol Laut (P) NRP 10336/P
G-1
Lampiran “G” (Daftar Pengertian) Tanggal : Juli 2015
MARKAS BESAR ANGKATAN LAUT UDUL SEKOLAH STAF DAN KOMANDO
DAFTAR PENGERTIAN
1.
Ketahanan Nasional adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa yang terdiri atas
ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam dan bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun luar, secara langsung maupun yang tidak langsung yang mengancam dan membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mewujudkan tujuan perjuangan nasional.1 2.
Kebijakan Nasional: Serangkaian aturan yang dapat berupa norma, standar,
prosedur
dan/atau
criteria
yang
ditetapkan
pemerintah
sebagai
pedoman
penyelenggaraan urusan pemerintahan.2 3.
Terorisme: Kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.3 4.
Otonomi Daerah: Hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur
dan mengrus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.4 5.
Di era orde baru pernah digunakan referensi tentang pengertian ancaman,
tantangan, hambatan dan gangguan, sebagai berikut : 5
1
Pokja Kewaspadaan Nasional Lemhannas, Kewaspadaan Nasional, Modul 1 Lemhannas hal. 19 tahun 2010.
2
Peraturan Pemerintah RI Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
3
UU RI No 15 tahun 2003 dan Perpu No1 tahun 2002, Pengertian Terorisme, Menurut Pasal 1 ayat (6) Perpu
No.1/2002 Jo. Undang Undang RI Nomor 15 Tahun 2003. 4
Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah.
G-2
a.
Ancaman: Tindakan, potensi, atau kondisi yang mengandung bahaya dan
bersifat konseptual, baik tertutup maupun terbuka, bertujuan mengubah Pancasila dan UUD 1945 serta menggagalkan Pembangunan Nasional. b.
Tantangan: Tindakan, potensi atau kondisi baik dari luar maupun dari dalam
diri sendiri yang membawa masalah untuk diselesaikan serta dapat menggugah kemampuan diri. c.
Hambatan: Kondisi yang mengandung bahaya, tidak konseptual dan
berasal dari dalam diri sendiri, dalam arti tidak mengamalkan Pancasila, menentang UUD 1945 dan tidak berpartisipasi dalam pembangunan nasional. d.
Gangguan: Potensi atau kondisi yang mengandung bahaya dan tidak
bersifat konseptual, dan berasal dari luar diri sendiri yang bersifat merongrong pengamalan, mengurangi kemurnian pelaksanaan UUD 1945 dan mengurangi kelancaran Pembangunan Nasional.
5.
Kewaspadaan Nasional: Suatu sikap dalam hubungannya dengan nasionalisme
yang dibangun dari rasa peduli dan rasa tanggung jawab serta perhatian seorang warga Negara terhadap kelangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari suatu potensi ancaman. 6.
Optimalisasi: Optimalisasi berasal dari kata optimal yang berarti terbaik, tertinggi.
Jadi optimalisasi adalah suatu proses meningkatkan atau meninggikan,6 sehingga optimalisasi adalah suatu proses yang dilakukan dengan cara terbaik dalam suatu pekerjaan untuk mendapatkan keuntungan tanpa adanya harus mengurangi kualitas pekerjaan.7
Oleh sebab itu, pendapat penulis, bahwa optimalisasi merupakan upaya
pencarian nilai terbaik dari yang ada, dimana terdapat beberapa fungsi yang diberikan pada suatu konteks. 7.
Beberapa pengertian sistem menurut para ahli : a.
Sistem merupakan seperangkat unsur yang saling terikat dalam suatu antar
relasi diantara unsur-unsur tersebut dengan lingkungan.8 5
Sub B.S Kewaspadaan Nasional Pasca Orde Baru Lembaga Ketahanan Nasional RI Program Pendidikan
Reguler Angkatan (PPRA) LII Tahun 2014 6
Kamus besar Bahasa Indonesia Depdikbud (1995;628)
7
http://eprints.ung.ac.id/ diunduh 25 Juni 2015 pukul 23.57 WIB
8
Menurut Ludwig Von Bartalanfy
G-3
b.
Sistem: Suatu kumpulan kesatuan dan perangkat hubungan satu sama lain.9
Sistem: Setiap kesatuan secara konseptual atau fisik yang terdiri dari bagianbagian dalam keadaan saling tergantung satu sama lainnya.10 Atau dalam bahasa sederhana, sistem dapat diartikan sebagai sekumpulan unsur/elemen yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi dalam melakukan kegiatan bersama untuk mencapai suatu tujuan. 8.
Bahaya Laten: Bahaya yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali, tanpa bisa
diduga atau diperkirakan waktu datangnya ancaman. 9.
Pertahanan Nir Militer: Peran serta rakyat dan segenap sumber daya nasional
dalam pertahanan negara, baik sebagai komponen cadangan dan komponen pendukung yang dipersiapkan untuk menghadapi ancaman militer maupun fungsi pertahanan sipil dalam mengahadapi ancaman nir militer.11
Jakarta, Juli 2015 Perwira Siswa
Kunto Wibowo AP, S.E Letkol Laut (P) NRP 10336/P
9
Menurut Anatol Raporot
10
Menurut L. Ackof
11
Paket Instruksi Untuk Susjemenstra TNI AL, Mata Pelajaran Pertahanan Negara BS. Strategi, Jakarta, Juni 2000