Pasang-Surut Relasi Tionghoa-Jawa di Surakarta1
Oleh: Sri Wahyuni2, Musa Pelu3
Abstrak Surakarta merupakan kawasan aktivitas perdagangan yang melahirkan terjadinya kontak kebudayaan lintas etnik dan bangsa.Artefak yang tertinggal dan dapat diamati dewasa ini adalah peninggalan heritage kampung-kampung yang menggambarkan ciri kehidupan tertentu berdasar etnis yang tinggal di dalamnya. Beberapa perkampungan tersebut yakni: Kampung etnis Arab di Pasar Kliwon, Kampung etnis Tionghoa di sekitar Pasar Gedhe, Kampung etnis Bali di Kebalen, etnis Madura di Kampung Sampangan, etnis Banjar dan Flores di Kampung Banjaran, pedagang etnis Jawa di Kampung Sewu dan Laweyan. Kondisi multikultural di Surakarta seringkali terjadi konflik yang berbasis pada segmentasi rasial. Dalam kondisi demikian para pelaku ekonomi Tionghoa membentuk kongsi-kongsi kecil yang didasarkan pada dua hal yaitu, suku asli serta jenis bidang usaha yang dilakukan. Sesama anggota kongsi ini memiliki solidaritas yang kuat untuk membangun jaringan ekonomi yang lebih luas. Pembentukkan kongsi ini semakin mempertegas pembedaan bukan hanya pada sisi ekonomi, namun berkembang pada aspek rasial. Inklusi dan eksklusi antara Jawa dan “Bukan Jawa” menjadi hal yang sangat tidak ramah dengan harmoni multikultural. Konflik rasial yang terjadi di Solo merupakan peristiwa kompleks yang khususnya melibatkan suatu kelompok etnis tertentu sebagai pendatang dan kelompok etnis lain sebagai penduduk asli, khususnya antara etnis Tionghoa dan etnis Jawa. Meskipun dikotomi demikian belum bisa menjamin kepastian dan kebenaran paradigma polarisasi yang berlaku sejauh ini, yakni adanya sifat permusuhan yang melandasi pandangan antar etnis ini, namun pandangan umum yang merebak ke permukaan adalah konflik Tionghoa versus pribumi. Kata Kunci: Relasi, Tionghoa, Surakarta.
PENDAHULUAN Surakarta sering disebut sebagai kota sumbu pendek, kota yang mudah tersulut kerusuhan antar etnis atau kelompok. Terdapat berbagai benturan sosial 1
Artikel hasil Penelitian Desentralisasi Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (PUPT) Tahun 2016. 2
Dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta 3
Dosen Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
yang melibatkan kelompok-kelompok sosial, antara lain bentrokan antara kelompok pribumi (Jawa) dan Cina, gerakan anti pemerintah (swapraja), dan kerusuhan antar partai politik. Tiga peristiwa selanjutnya sejak 1972 hingga 1998, kerusuhan anti Cina juga terjadi, dengan pertokoan milik pengusaha Cina sebagai sasaran amuk massa. Kajian ini berangkat dari persoalan bahwa perubahan sosial orang Tionghoa dalam interaksinya dengan orang Jawa di Surakarta mempunyai “keunikan” yang tidak ditemukan di daerah lain. Orang Tionghoa di Surakarta memiliki struktur sosial yang khas sehingga dapat membentuk sebuah jalinan sosial dengan orang Jawa tanpa harus meninggalkan identitas ”kecinaan” mereka. Sikap ”kejawaan” orang Tionghoa ini menunjukkan bahwa struktur sosial yang terbentuk tidak kaku sehingga mobilitas sosial sesama orang Tionghoa maupun dengan orang Jawa dalam komunitas ini dapat berlangsung dengan mudah. Artikel ini membahas interelasi kehidupan sosial komunitas Tionghoa di Surakarta
dengan
pendekatan
kultural
untuk
memutus
siklus
konflik
multietnis.Pada pertengahan kedua abad ke-20, semakin banyak orang-orang Tionghoa yang mulai melakukan perkawinan campur sehingga secara kultural terjadi peleburan budaya Tionghoa menjadi Jawa. Didukung kebijakan Pemerintah Orde Baru melalui konsep asimilasi, orang-orang Tionghoa dipaksa meleburkan diri menjadi masyarakat Indonesia seutuhnya, yang salah satunya dilakukan dengan cara menanggalkan kebudayaan Tionghoa (Leo Suryadinata, 1971). TEORI DAN PENDEKATAN Penelitian tentang Tionghoa di Surakarta telah banyak dibahas bahkan hampir semua tulisan tersebut membahas secara khusus tentang pasang-surut hubungan Tionghoa-Jawa. Dalam tulisan ini menitik beratkan pada komunitas Tiongho
di
Kampung
Balong.
Dalam
artian
geografis,
Balong
hanya
perkampungan kecil, namun dalam arti sosial, harmonisasi yang terjadi di Balong mempunyai dampak yang besar terhadap stabilisasi politis dan budaya di Surakarta.
Beberapa
kajian
tentang
Balong
belum
membahas
tentang
pengembangannnya sebagai daerah pariwisata, yakni dengan mengoptimalkan potensi-potensi
peninggalan
budaya
(heritage)
dan
menguraikan
makna
filosopisnya sehingga terbentuk paket pariwisata etnis Tionghoa yang mempunyai
dampak pada stabilitas sosial maupun peningkatan ekonomi. Konsep stabilisasi sosial, budaya dan politik yang terbentuk dari serangkaian proses ini dapat dikembangkan sebagai sebuah model yang baku, sehingga dapat pula digunakan sebagai acuan penanganan masalah sosial yang mungkin terjadi di wilayah lain. Berdasar kajian teori yang yang telah dilakukan para peneliti sebelumnya hubungan kedua etnis etnis ini memiliki banyak keunaikan, salah satu diantara yang paling menonjol yakni tumbuhnya konflik selalu diikuti dengan upaya pemulihan yang super cepat. Keunikan yang lain yakni tidak semua etnis Tionghoa yang tinggal di kota bengawan ini memiliki hubungan yang sama dengan orang Jawa, status sosial dan wilayah tempat tinggal ternyata banyak berperan dalam mementukan status hubungan ini. Di tahun 2016 ini masih dapat dilihat banyak perbedaan bentuk hubungan masyarakat Jawa dengan masyarakat Tionghoa yang bermukin di wilayah Coyudan dengan masyarakat Tionghoa yang bermukim di Kampung Balong. Status dan hubungan masyarat balong lebih intim, bahkan wilayah yang masuk ke kelurahan Sudiroprajan ini dalam banyak hal menunjukkan gejala istimewa sebagai cerminan bentuk harmoni multikulturalisme. Artikel hasil penelitian ini menggunakan pendekatan Research and Development (R and D) yang dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: studi pendahuluan, pengembangan model, dan evaluasi model. Tahap studi pendahuluan dan pengembangan model dilakukan pada tahun pertama (2015) Penelitian tahap pertama merupakan landasan bagi pengembangan tahap selanjutnya sedang pada tahun kedua (2016) dilakukan evaluasi (uji model). Untuk mencapai tujuan pada tahun kedua, dilakukan dengan: 1) uji model terbatas; 2) revisi dan evaluasi model melalui FGD; 3) uji model luas; 4) perbaikan model; 5) diseminasi model ilmiah (seminar); 6) Sosialisasi model pada stake holders; 7) pendampingan implementasi model. HUBUNGAN YANG MENGAKAR Seringkali ditemui bahwa masyarakat Tionghoa adalah saudara tua masyarakat Indonesia. Jauh sebelum Indonesia merdeka, telah terjalin hubungan yang baik Tionghoa dengan masyarakat nusantara masa itu. Dimulai pada tahun 1909 pemerintah Kerajaan Tiongkok mengeluarkan Undang-undang Kebangsaan yang menyatakan bahwa seluruh orang keturunan Tionghoa atau setiap anak yang sah maupun tidak sah dengan seorang ayah Tionghoa(atau seorang ibu Tionghoa apabila ayahnya tidak diketahui) adalah berkebangsaan Tiongkok(asas
ius sangius), undang-undang kerajaan Tiongkok ini membuat pemerintah kolonial Belanda juga mengambil keputusan yang sama yaitu untuk menandinginya, pada tanggal 10 Februari 1910 pemerintah Belanda mengumumkan berlakunya Wet op het nederlandsch Onderdaanschap(WNO). Pemerintah Hindia Belanda menganggap semua orang Tionghoa adalah kawula Belanda(asas Ius Soli)(Leo Suryadinata,1986:41).
Keadaan
kewarganegaraan
masalah
dan
ini
mengakibatkan
ini berlanjut
masalah
dwi-
sampai ditanda-tanganinya
Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok pada tahun 1955(Dibda Millaka, 2006:31). Pada masa Orde lama masalah kewarganegaraan masyarakat Tionghoa dapat diselesaikan oleh pemerintahan presiden Soekarno melalui perjanjian bilateral antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Republik Rakyat Cina pada tahun 1955, tetapi masalah diskriminasi tetap terjadi pada masyarakat Tionghoa pada masa Orde Lama. Keadaan masyarakat Tionghoa yang berada dalam berbagai diskriminasi hingga memunculkan gerakan-gerakan solidaritas untuk memperjuangkan hak mereka sebagai warga negara.Organisasi-organisasi perjuangan Tionghoa telah ada sejak masa Kolonial Belanda dan ada pula yang berdiri pasca Kemerdekaan Indonesia. Organisasi masyarakat Tionghoa
pun beranekaragam dari yang
bersifat kedaerahan, profesionalitas keagamaan hingga politik. Organisasi tersebut antara lain: Organisasi keagamaan yang pertama kali berdiri di Surakarta pada tahun 1918 dengan nama Khong Kauw Hwee. Organisasi ini merupakan organisasi agama Khonghucu. Pada saat berdirinya perkumpulan ini merupakan organisasi yang memiliki anggota yang tidak terlalu besar, para anggotanya berusaha melaksanakan
ajaran
Khonghucu
pada
kehidupan
sehari-hari,
diawal
perkembangannya Khong Kauw Hwee banyak mengadakan kegiatan organisasi di Klenteng Tien Kok Sie,namun pada tahun-tahun berikutnya organisasi ini memiliki kesekretariatan di daerah Jagalan. Organisasi Khong Kauw Hwee juga memiliki terbitan majalah yang diberi nama Khong Kauw Goat Po, tetapi karena kurangnya respon majalah ini hanya terbit beberapa tahun dan digantikan dengan majalah Bok Tok Goat Khan atau majalah pembangunan kebajikan yang berisi tentang penyebaran agama Khonghucu. Dalam perjalanannya Organisasi Khong Kauw Goat Po mengubah nama menjadi MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) dan
cabang-cabang di daerah bernama MAKIN(Majelis Khonghucu Indonesia). MAKIN Surakarta hingga saat ini masih berdiri dan beraktivitas dalam bidang keagamaan dan juga pendidikan serta budaya. MAKIN Surakarta memiliki sebuah sekolah yang hingga saat ini masih aktif, walaupun telah menjadi sekolah umum yaitu SMP dan SMA Tripusaka. Organisasi masyarakat Tionghoa yang bergerak dalam bidang sosial adalah Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS). Organisasi PMS merupakan peleburan dari enam organisasi Tionghoa yang ada di Surakarta yang semula saling bertentangan. Keenam organisasi itu antara lain: 1)
Organisasi Perkumpulan”Kong Tong Hoo
2)
Organisasi Perkumpulan”Hi Ang Gie Hwee”
3)
Organisasi Perkumpulan”Hap Gie Hwee”
4)
Organisasi Perkumpulan”Kong Sing Hwee”
5)
Organisasi Perkumpulan”Sam Ban Hien”
6)
Organisasi Perkumpulan”Tiong Hoa Poen Sing Hwee”
Dari keenam organisasi perkumpulan etnis Tionghoa tersebut diambil suatu keputusan bersama yang pada dasarnya ingin menggabungkan diri menjadi satu wadah organisasi.Pada tanggal 7 Juli 1931 dibentuk panitia yang terdiri dari para tokoh keenam organisasi itu. Proses penggabungan ini berjalan alot dan baru pada tanggal 1 April 1932 terbentuk organisasi perkumpulan Chuan Ming Kung Hui, organisasi ini merupakan organisasi kematian (Begrafenisfunds), yang diketuai oleh Tan Gwan Soei, sedangkan pelindung organisasi ini dijabat oleh Mayor Be Kwat Koen (H Mulyadi,1999:235-236). Pergantian nama menjadi PMS terjadi pada masa Orde Lama yaitu pada tanggal 1 Oktober 1959 dengan digiatkan dan disebarluaskannya gerakan integrasi di kalangan Tionghoa Surakarta melalui organisasi ini. Gerakan integrasi ini merupakan tujuan dari Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Baperki didirikan oleh Presiden Soekarno tahun 1954. Baperki
menggunakan PMS sebagai monitoring masyarakat Tionghoa di
Surakarta dalam upaya untuk mempersatukan orang-orang Tionghoa yang menjadi warga negara Indonesia untuk tujuan politik(H Mulyadi,1999:237). Dalam perkembangannya PMS tidak hanya bergerak dalam bidang kematian saja tetapi juga bidang sosial, ekonomi, pendidikan, kepercayaan, kebudayaan dan olahraga.
Persaudaraan kedarahan
Hakkka
masyarakat
Surakarta(Perhakkas)merupakan
Tionghoa
organisasi
Surakarta yang berasal dari propinsi
Kwangtung. Organisasi ini pertama kali berdiri pada tahun 1940-an dengan namaSin Cung. Pada awal pendiriannya Sin Chung bergerak dalam bidang pendidikan dan kebudayaan, seperti organisasi Tionghoa serupa Sin Chung pada masa penjajahan Jepang tidak dapat berkembang karena represifitas pemerintah pendudukan Jepang terhadap organisasi-organisasi yang berdiri. Setelah kemerdekaan Indonesia organisasi ini berganti nama menjadi Gek Suk Kong Hui(Organisasi Hakka). Perkembangan perkumpulan ini mengalami kemajuan pada masa Orde Lama seperti perkumpulan Tionghoa lain di Surakarta. Pada masa Orde Lama Perhakkas memiliki sekolah sebagai pendidikan bagi para anggotanya. Sekolah ini dinamakan Sekolah Sinchung yang berdiri pada tahun 1953, tetapi nasib sekolah Sin Cung tidak jauh berbeda dengan sekolah Tionghoa lainnya yang ditutup oleh pemerintah Orde Baru pada tahun 1966 pasca peristiwa G 30 S. Selain itu juga persaudaraan Hakka Surakarta ditutup dari segala aktivitasnya(Dibda Millaka,2006:53). INTERAKSI TIONGHOA DENGAN JAWA DI KAMPUNG BALONG Keberadaan orang Jawa dan Tionghoa di Balong sulit dibedakan, jika di jalan ditemui orang kulitnya yang gelap, matanya yang yang lebar, pakaiannya bersahaja, bicaranya dengan dialek Jawa lokal, ternyata dia etnis Tionghoa. Bahkn sempat terdapat anekdot yang menyebut orang Tionghoa Balong sebagai ”Hitachi”, sebutan tersebut bukan merek produk elektronik, melainkan anonim singkatan dari ”hitam tapi China”. Di Kampung Balong memang sulit untuk membedakan mana yang Jawa dan mana yang Tionghoa. Dalam pergaulan sehari-hari mereka benar-benar berbaur satu sama lain. Menurut beberapa sumber interaksi Jawa-Tionghoa sudah terjadi secara turun terumun. Bukan asing lagi jika melihat etnis Tionghoa-Jawa berkumpul di pos kamling, main catur, latihan musik atau sekedar bersosialisasi. “Setiap hari ya seperti ini, di sini Tionghoa-Jawa benar-benar membaur”. Pembauran di Balong tidak sekedar di permukaan. Bahkan sebelum ada program pembauran yang dilakukan pemerintah, hubungan kedua etnis di Kampung Balong sudah mendarah daging. “di Balong banyak ampyang”, ujar Wie Beng Kie alias Sugiyarto. Ampyang dalam hal ini bukan makanan ringan yang terbuat dari gula Jawa dan kacang Cina (kacang tanah). Maksud Beng Kie
adalah perkawinan campur antara etnis Tionghoa dan Jawa. Ang Tiek Gie misalnya, menikahi Sujiyem. Teman-teman Tiek Gie pun tak ragu menikah dengan orang Jawa, diantaranya: Giyarti, Suminah, Ramelah dan lain-lain. Ang Hiang Bie bahkan menikahkan semua anaknya dengan orang-orang Jawa. Menantu Ang Hiang Bie berjumlah enam yang kesemuanya orang Jawa asli. Ada yang bekerja sebagai sopir, pekerja pabrik, wirausaha dan sebagainya. Ang Hiang Bie beragama Kristen, para menantunya beragama Islam. “Tidak menjadi masalah, jika Lebaran mereka sungkem kepada saya”. Di Kampung Balong Kelurahan Sudiroprajan banyak hal yang menjadi perekat pembauran (Social Capital) antara etnis Tionghoa dan Jawa. Perkawinan campuran menjadi salah satu perekat sosial antar mereka. Selain perkawinan campuran, perekat pembauran lainnya adalah bidang sosial kemasyarakatan dan kesenian. Dalam bidang kesenian, misalnya Barongsai. Produk kesenian ini banyak melibatkan orang Jawa sebagai pemainnya. Sebaliknya, orang Tionghoa banyak yang mahir menyanyi keroncong maupun campursari. Begitu pula etnis Jawa banyak yang menyanyikan lagu-lagu Mandarin INTERAKSI TIONGHOA DAN JAWA DI LUAR BALONG Gotong royong merupakan kegiatan sosial yang paling intensif di Balong, baik kegiatan kematian maupun kerja bakti. Melalui kegiatan itu terlihat kehidupan sosial mereka tanpa sekat. Bahkan untuk menjaga keamanan mereka ronda bersama. Masing-masing warga baik etnis Tionghoa maupun Jawa yang tinggal di kawasan itu tergerak untuk berpartisipasi. Dengan landasan itu mereka menciptakan kerukunan, persatuan dan kesatuan. Choa Ji Liang (65 tahun) merasa senang hidup di tengah perkampungan Jawa-Tionghoa, dan tidak merasa sebagai orang keturunan. Ia secara tegas menyatakan: “saya akan hidup terus di Jawa (Surakarta khususnya) dan ingin mati dan dimakamkan di sini. Jika punya uang yang banyak sesuatu yang diinginkan adalah menjenguk nenek moyang, dan segera kembali ke kampung Balong. Tak pernah berpikir untuk kembali ke Negeri Tiongkok”. Balong telah memberikan pelajaran yang sangat berharga untuk memaknai kebersamaan, kegotong-royongan, serta harmonisasi antara Tionghoa dan Jawa. Selain kegiatan di atas, interaksi Tionghoa dengan Jawa juga dilakukan di PMS. PMS yang mulanya hanya beranggotakan peranakan Tionghoa, namun belakangan etnis Jawa mengambil bagian dalam organisasi itu. PMS tidak hanya
menjadi sponsor atau partisipasi dalam kegiatan sosial, tetapi terjun langsung ke lapangan. Tidak jarang mereka yang setiap hari memainkan sempoa atau kalkulator, dan menghitung keuntungan usahanya, tetapi pada kenyataannya juga ikut terjun dalam kegiatan sosial, misalnya dalam kasus bencana banjir di Surakarta tahun 1997/208. Sampai sekarang misi di PMS tidak hanya mengurus kematian etnis Tionghoa baik yang kaya maupun miskin, bahkan yang miskin dibebaskan dari biaya. Dalam perkembanganya PMS tidak hanya mengurusi kematian etnis Tionghoa, tetapi juga etnis Jawa, karena dipersepsikan pengurus organisasi bahwa
kegiatan
yang
mereka
lakukan
menyentuh
kehidupan
secara
keseluruhan. Dengan landasan ini banyak etnis Jawa turut bergabung dalam organisasi PMS. AKTUALISASI BUDAYA TIONGHOA DI TENGAH BUDAYA JAWA Budaya peranakan di Balong dibangun bersama antara budaya Tionghoa dan budaya Jawa. Identitas budaya orang Tionghoa di Balong Surakarta dihasilkan dari pembauran. Jika dikatakan batik merupakan kebudayaan Nusantara,
tentunya
orang-orang
Tionghoa
di
Balong
berperan
dalam
mengembangkan batik hingga saat ini. Dengan begitu maka akan dikaji bagaimana batik dapat memegang peran penting tidak saja dalam segi pakaian, tetapi melalui batik membentuk kultur Tionghoa di Balong. Selain batik kesenian pertunjukkan barongsai juga membentuk budaya masyarakat di Balong. Tidak jarang upacara keagamaan dilakukan penyesuaian dengan kebudayaan Jawa. Leluhur Go Tik Swan bernama Tjan Khay Sing yang menikah dengan perempuan Tionghoa, berhasil membuat pabrik batik yang begitu besar yang ditandai dengan jumlah karyawan lebih dari seribu orang. Tjan Khay Sing tidak hanya dihormati oleh pekerja batik, tetapi juga dihormati oleh masyarakat sekitarnya. Kalau Tjan Khay Sing keluar berjalan-jalan melalui jalan besar, orangorang di pinggir jalan memberi hormat. Sebagai keluarga yang mencintai kebudayaan Jawa, Tjan Khay Sing memiliki seperangkat gamelan Jawa yang bagus. Setiap tahunnya nyonya Tjan Khay Sing merayakan hari ulang tahunnya dengan menggelar klenengan di pendopo bagian belakang rumahnya. Dalam acara tersebut tidak ada acara tiup lilin maupun seremonial lainnya. Tamu yang diundang adalah kolega-kolega yang kaya untuk bermain judi dengan kartu. Kegiatan pesta tersebut diiringi gendhing-gendhing Jawa klasik. Realitas ini
menunjukkan bahwa Go Tik Swan telah jauh lebih terbuka dengan orang Jawa yang terlihat dengan lingkungan pergaulan yang merata di semua kalangan, sedangkan nenek moyangnya yakni Tjan Khay Sing meskipun bergaul dengan orang Jawa, namun terbatas pada orang-orang kaya. Semakin panjang rantai generasi orang Tionghoha akan semakin terlihat semakin akomodatif dengan kebudayaan serta masyarakat Jawa. Warga masyarakat Tionghoa melakukan komunikasi dengan warga masyarakat Jawa salah satunya melalui nilai-nilai kebudayaan dalam bidang religi. Dalam hal ini golongan masyarakat Jawa bersikap terbuka namun tetap menjaga kelestarian nilai-nilai kebudayaan Jawa. Aturan yang menunjuk warga masyarakat Tionghoa untuk memberi pengertian tentang nilai-nilai kebudayaan yang mereka tampilkan kepada masyarakat Jawa dan mempelajari nilai-nilai budaya Jawa. Akulturasi kebudayaan Jawa dan Tionghoa dalam bidang religi di Kampung Balong tercermin dalam pola-pola perilaku yang ditunjang bersama dalam kehidupan sehari-hari. Pola-pola tersebut dapat ditemukan dalam tradisitradisi religi sesuai dengan kebudayan yang telah diyakini oleh kedua warga masyarakat tersebut. Hubungan sosial yang tercipta antara orang Tionghoa Kampung Balong dan orang Jawa dapat diamati dari tindakan Go Tik Swan dalam konservasi budaya Jawa. Go Tik Swan sejak masa kanak-kanak sudah akrab dengan orangorang Jawa meskipun mereka sama-sama berasal dari kalangan elit. Bahkan Go Tik Swan mempelajari kebudayaan Jawa hingga tingkat yang lebih kompleks. Go Tik Swan sejak masa anak-anak sudah tertarik dengan tembang Jawa (macapat) yang dilantunkan oleh para pembatik yang bekerja di perusahaan milik keluarganya. Selain macapat, Go Tik Swan menyukai suluk atau antawacana (dialog wayang orang) yang dibawakan oleh pembatik-pembatik tersebut. Awal yang demikian itu maka setelah dewasa, Go Tik Swan memilih menjadi budayawan atau pekerja seni yang diharapkan orang tua menjadi pengusaha seperti halnya para leluhurnya. Selain Go Tik Swan banyak tokoh-tokoh pelaku kesenian Jawa berdarah Tionghoa yang berasal dari Kampung Balong Surakarta. Adji Candra merupakan salah satu di antaranya. Adji berdarah campuran Tionghoa-Jawa generasi keempat. Adji Candra juga sebagai pengurus tempat ibadah Kong Hu
Chu, tetapi dia juga sebagai pemain wayang orang di Sriwedari. Sesuai bentuk tubuhnya, dia memerankan sebagai tokoh Semar. Adji Candra tidak hanya pentas Wayang Orang di Sriwedari, tetapi sangat fasih berbahasa Jawa, kromo hinggil, dan bahasa itu dia gunakan dalam petas wayang orang. Dia juga menjadi ketua perkumpulan Barongsai yang ada di Kampung Balong. Adji Candra sebagai pelaku kesenian Jawa, beretnis Tionghoa dan
sebagai pemuka agama
Konghuchu dilakukan
tanpa
menghianati
kebudayaan leluhurnya. MENJADI ORANG JAWA Rangkaian perubahan sosial yang ada dalam masyarakat Tionghoa di Balong Surakarta terjadi baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat (seen and unseen). Proses penyerapan kebudayaan Jawa yang tampak seperti perubahan dalam gaya berpakaian, makanan, prosesi pernikahan, dan prosesi kematian. Melalui penyrapan budaya Jawa oleh komunitas Tionghoa hingga pada satu titik tertentu, maka terbentuk susunan masyarakat yang baru, sebuah masyarakat ampyang. Masyarakat ampyang muncul akibat perkawinan antara Tionghoa dengan Jawa. Perkawinan campur ini sudah terjadi semenjak kampung ini didirikan. Beberapa orang Tionghoa yang melakukan perkawinan campur pada periode awal, seperti yang terjadi pada leluhur Go Tik Swan yaitu Tjan Khai Sing yang menikah perempuan Jawa, hal yang sama juga dilakukan oleh leluhur Go Tjien Twan. Perpaduan ini tidak hanya membentuk masyarakat peranakan atau ampyang, namun juga diikuti perpaduan budaya yang menggambarkan simbolisme kultural Tionghoa dan Jawa. Simbol yang pertama yakni pakaian. Pakaian memiliki fungsi tidak hanya sebagai penutup badan, namun dalam pakaian terdapat simbol yang merepresentasikan seseorang. Dalam gaya berpakaian orang Tionghoa yang datang pertama di Nusantara memakai pakaian Tionghoa. Golongan yang awal datang ke surakarta, yang juga disebut sebagai totok cenderung memakai pakaian koko, seperti yang dapat dilihat foto-foto leluhur Go Tik Swan mulai dari leluhurnya yang namanya tidak teridentifikasi lagi. Koko sebagai identitas Tionghoa yang notebene adalah Konghuchu, namun juga sebagai identitas Muslim. Orang yang memakai koko dianggap sebagai orang Islam, meskipun
tidak selalu demikian. Dari koko ini pula menjadi salah satu modal sosial (social capital) sebagai perekat sosial Tionghoa-Jawa di Surakarta.
PENUTUP Dalam kultur keseharian orang Tionghoa di Surakarta telah menunjukkan sikap kemasyarakatan yang tidak ekslusif,
mampu berbaur secara alamiah
bahkan dalam keadaan konflik rasial yang melibatkan orang Jawa dengan orang Tionghoa sekalipun masyarakat Balong tidak pernah tersentuh konflik sentimen rasial. Dengan realitas yang demikian layak untuk menyebut bahwa harmoni dalam berkehidupan antara Tionghoa-Jawa di Kampung Balong merupakan buah yang dihasilkan masing-masing etnis untuk mengembangakan toleransi serta penerimaan terhadap kondisi masyarakat multikultural. DAFTAR PUSTAKA Bambang Natur Rahadi, dkk. 1998. Rekaman Lensa Peristiwa Mei 1998 di Solo. Surakarta: Aksara Solo Pos, 1998. Benet, John Willian. 1976. Adaptation as Social Process in the ecological Transition; Cultural Anropology in Human Adaption. New York: Pengamon Press Inc. Benny G. Setiono. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik, (Jakarta: Elkasa. Benny Juwono, ”Etnis China di Surakarta 1890-1927: Tinjauan Sosial Ekonomi,” Lembaran Sejarah, 2 No. 1, Pebruari: 1999. Budi Santoso. 1996. Rekayasa Kekuasaan Ekonomi (Indonesia 1800-1950); Siasat Pengusaha Tionghoa.Yogyakarta: Kanisius. Carey, Peter. 1995. Orang Jawa dan Masyarakat Tionghoa (1755-1825). Jakarta: Pustaka Azet. Chris Verdiansyah. 2007. Jalan Panjang Menjadi WNI: Catatan Pengalaman dan Tinjauan Kritis. Jakarta: Kompas. Hani Handoko. 1996. Penguasa Ekonomi dan Siasat Penguasa Tionghoa. Yogyakarta: Kanisius. Hari Mulyadi. 1999. Tionghoa dan Struktur Sosial di Surakarta. Yogyakarta: Pustaka Ilmu. _________. “Sejarah Peranan dan Potensi Masyarakat Etnis Tionghoa di Surakarta,” dalam Kalimatun Sawa’ 2. no. 2 Pebruari: 2004. Ida Yulianti. “Mindering di Pedesaan Jawa Pada Masa Awal Abad ke-20 (19011930),” Lembaran Sejarah, 2 no.1 Pebruari: 1999. Jamal Wiwoho, dkk. 2008. “Studi Perekat Sosial pada Etnik Berpotensi Konflik sebagai Upaya Menciptakan Keharmonisan Lingkungan Sosial Budaya melalui Pendekatan Social Capital di Kampung Balong
Surakarta: Studi Kasus Etnis Tionghoa-Jawa,” Laporan Hasil Penelitian Fundamental. Surakarta: UNS. Leo Suryadinata. 1998. Dilema Minoritas Tionghoa. Jakarta: LP3ES. _________. 1981. Peranakan Chinese Politics in Java 1917-1942. Singapore: Singapore University Press. Liem Twan Djie. 1995. Perdagangan Perantara Distribusi Orang-Orang Tionghoa di Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Mackie, J. A. C, ”Peran Ekonomi dan Identitas Etnis Tionghoa Indonesia dan Muangthai,” dalam Benny Juwono, ”Etnis China di Surakarta 18901927: Tinjauan Sosial Ekonomi” Lembaran Sejarah, 2 No. 1, Pebruari: 1999 Mely G. Tan. 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Rustopo. 2007. Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa di Surakarta 1895-1998. Yogyakarta: Ombak. _________. 2008. Jawa Sejatai: Otobiografi Go Tik Swan Hardjonagoro. Yogyakarta-Jakarta: Ombak-Yayasan Nabil. Sajid, R.M.. 1984. Babad Sala. Surakarta: Rekso Pustoko. Sandick, Van L.H.W. 1909. Chineezen Buiten China: Hunne Beteekenis loor de Onthwikkeling van Zuid-Oost-Azie Special van Nederlansch-indie. ’s Gravenhage: M van der Beeks Hof boekhandel. Sariyatun. 2005. Usaha Batik Tionghoa di Vorstenlanden Surakarta Awal Abad XX. Surakarta: UNS Press. Soedarmono, Kusumastuti, Rizon Pawardi Utomo. 2009. ”Sejarah dan Morfologi Kota Konflik Solo: Dari Periode Kolonial – Orde Baru,” Laporan Hasil Penelitian. Surakarta: LPPM UNS. Skinner, G. William. 1963. “The Chinese Minority”. New haven: Yale University Press. Twang Pek Yang. 1998. Elite Bisnis Tionghoa di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950. Yogyakarta: Niagara. Willmott, Donald Earl. 1960. The Chinese of Semarang: A Changing Minority Community in Indonesia. Ithaca, New York: Cornell University Press. Yusiu Liem. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Tionghoa. Jakarta: Djambatan.
HUMANIORA JURNAL FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA Jl. Humaniora 1 Bulaksumur Yogyakarta Telp. 0274-513096, psw. 134.
Nomor Hal
: 298/Hum-FIB/VIII/2016 : Perbaikan Naskah
Kepada Yth. 1. Ibu Sri Wahyuni 2. Bapak Musa Pelu Dengan hormat, Naskah Ibu/Bapak berjudul ”Pasang-Surut Relasi Tionghoa-Jawa di Surakarta” telah dibaca oleh editor ahli kami, namun masih ada beberapa yang perlu perbaikan. Berikut ini beberapa perbaikan yang perlu dilakukan: 1.
2. 3.
Banyak pernyataan-pernyataan yang tidak jelas maknanya, banyak pernyataan yang tidak tepat maknanya. Saran: Sebaiknya gunakan bahasa yang lebih jelas maknanya, gunakan istilah-istilah yang jelas maknanya. Arah pembicaraan tidak jelas. Alur pikir tulisan/artikel sama sekali tidak jelas(campur aduk, meloncat-loncat) Tidak terlihat hal-hal yang baru, penulis lebih banyak menggambarkan penelitian yang lain. Penutup tidak jelas arahnya, dan tidak terkait dengan isi artikel. Pada pendahuluan isi masih campur aduk dan tidak jelas terutama pada analisis penelitian, metode penelitian kurang baik, dan tidak terlihat hasil penelitiannya. Banyak kalimat yang maksudnya tidak jelas.
Mohon artikel perbaikan dapat kami terima dalam waktu dekat, artikel dapat dikirim melalui e-mail kami:
[email protected], Atas perhatian dan kerjasama yang diberikan diucapkan terima kasih. Yogyakarta, 4 Agustus 2016 Ketua Redaksi u.b. Sekretaris
Mahmudah SS., M.Hum