PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH YANG BERBEDA
SKRIPSI VINA MUHIBBAH
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN VINA MUHIBBAH. 2007. Parameter Tubuh dan Sifat-Sifat Karkas Sapi Potong pada Kondisi Tubuh yang Berbeda. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si Pengukuran ukuran linear tubuh dan sifat-sifat karkas merupakan cara untuk menilai produktivitas ternak. Bobot badan sapi merupakan indikator produktivitas ternak yang menjadi salah satu ukuran penilaian keberhasilan manajemen pemeliharaan dan penentu harga sapi. Pendugaan bobot badan sapi pada umumnya hanya berdasarkan nilai ukuran linear tubuh sapi tanpa memperhatikan kondisi tubuh sapi tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan parameter tubuh dan sifat-sifat karkas sapi potong antar kondisi tubuh yang berbeda. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu perusahaan peternakan penggemukan sapi potong yang berada di Dusun Sranten, Desa Pangklungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Agustus 2006. Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah sapi jantan hasil Inseminasi Buatan (Bos taurus X Bos indicus) sebanyak 25 ekor dan dibagi kedalam 3 kategori skor kondisi tubuh (kurus, sedang, dan gemuk) sebagai perlakuan. Jumlah ulangan sapi yang dipakai dari masing-masing kategori kondisi tubuh adalah 9 ekor (gemuk), 9 ekor (sedang) dan 7 ekor (kurus). Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan data yang diperoleh dianalisa dengan prosedur General Linier Model (GLM). Hasil yang menunjukkan perbedaan nyata diuji lebih lanjut dengan uji jarak berganda Duncan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi tubuh yang berbeda menghasilkan bobot potong (P<0,05), tebal lemak pangkal ekor (P<0,01), bobot karkas, tebal lemak punggung (P<0,05) dan luas urat daging mata rusuk (P<0,05) yang berbeda. Perbedaan tersebut mengindikasikan bahwa kondisi tubuh memiliki pengaruh yang nyata terhadap bobot hidup sapi karena adanya perbedaan perlemakan dan perdagingan. Ukuran linear tubuh ternak dan persentase karkas tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara kondisi tubuh. Ukuran linear tubuh yang sama dikarenakan sapi tersebut sudah mengalami dewasa tubuh dan termasuk dalam kelompok ternak dengan ukuran kerangka yang sama. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi tubuh merupakan faktor yang penting diperhatikan dalam pendugaan bobot badan dan bobot karkas berdasarkan ukuran-ukuran linear tubuh. Kata-kata kunci : Skor Kondisi Tubuh, Ukuran Linear Tubuh, Sifat-Sifat Karkas
ABSTRACT Body Linear Measurements and Carcass Characteristics on Different Beef Cattle Body Condition Muhibbah, V., R. Priyanto, and H. Nuraini This study was aimed to examine the influence of beef cattle condition score on body linear measurements and carcass characteristics. The experiment used 25 cross bred bulls of Taurindicus cattle (Bos taurus X Bos indicus). They were grouped into three categories of condition score. These three categories are lean (n = 7), medium (n = 9), and fat (n = 9). The experiment was set up in a completely randomized design and the data was analyzed using General Linear Model (GLM) procedure. The results indicated that the body condition score had significant influences (P<0,05) on slaughter weight, anal fold fat thickness, weight carcass, 12th rib fat thickness and eye muscle area at the 12th rib. This means that body condition score will influence beef cattle body weight due to differences in muscling and fatness. The threatment did not have significant influence on body linear measurements and percentage of carcass. Therefore, the estimation of beef cattle body weight based on linear measurements should be corrected against body condition in order to improve the accuracy of prediction. Keywords:
Body Condition Characteristics
Score,
Body
Linear
Measurements,
Carcass
PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH YANG BERBEDA
VINA MUHIBBAH D 14103039
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
PARAMETER TUBUH DAN SIFAT-SIFAT KARKAS SAPI POTONG PADA KONDISI TUBUH YANG BERBEDA
Oleh VINA MUHIBBAH D 14103039
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 23 Februari 2007
Pembimbing Utama
Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Rudy Priyanto NIP. 131 622 682
Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si NIP. 131 845 347
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc NIP. 131 624 188
RIWAYAT HIDUP Vina Muhibbah, dilahirkan di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 25 Mei 1985. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Shodiqin, S.Ag dan Suprianah. Pendidikan dasar dimulai dari tahun 1991 di SDN Banjarsari dan diselesaikan pada tahun 1997. Penulis pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Bandar Kedung Mulya sampai tahun 2000. Pendidikan lanjutan menengah atas ditempuh pada tahun 2000 sampai tahun 2003 di SMU Negeri 1 Jombang. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dan terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Kepramukaan dan OSIS merupakan organisasi yang diikuti penulis selama menempuh pendidikan. Selama di IPB, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan antara lain Himpunan Mahasiswa Produksi Ternak (HIMAPROTER), Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM-D), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan (BEM-D). Penulis merupakan mahasiswa daerah sehingga penulis juga aktif dalam OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) Jombang sebagai Bendahara selama penulis berada di IPB.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah serta karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Parameter Tubuh dan Sifat-Sifat Karkas Sapi Potong pada Kondisi yang Berbeda. Ternak sapi merupakan salah satu ternak yang memberikan kontribusi dalam pemenuhan daging nasional. Peningkatan dalam berbagai manajemen pemeliharaan sangatlah perlu dilakukan. Penilaian produktivitas adalah salah satu cara mengukur tingkat keberhasilan peternakan. Bobot badan merupakan indikator penting dalam manajemen peternakan. Prediksi bobot badan sapi pada umumnya hanya berdasarkan ukuran linear tubuh ternak tanpa memperhatikan kondisi tubuh. Hal tersebut menjadi dasar penulis untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh kondisi tubuh ternak terhadap parameter tubuh dan sifat-sifat karkas sapi. Harapan penulis dengan segala keterbatasan dan kekurangan skripsi ini semoga bermanfaat bagi pembaca dan semoga bermanfaat bagi perkembangan peternakan Indonesia. Bogor, Februari 2007 Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN..............................................................................................
i
ABSTRACT.................................................................................................
ii
RIWAYAT HIDUP .....................................................................................
iii
KATA PENGANTAR .................................................................................
iv
DAFTAR ISI................................................................................................
v
DAFTAR TABEL........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
viii
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
ix
PENDAHULUAN .......................................................................................
1
Latar Belakang ................................................................................. Tujuan dan Manfaat ......................................................................... Hipotesis ..........................................................................................
1 2 2
TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................
3
Penggemukan (Finishing) Sapi Potong............................................ Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Sapi Potong..................... Pertumbuhan Jaringan Otot dan Lemak............................... Skor Kondisi Tubuh......................................................................... Parameter Tubuh.............................................................................. Sifat-Sifat Karkas............................................................................. Bobot Karkas ....................................................................... Persentase Karkas ................................................................ Tebal Lemak Punggung ....................................................... Luas Urat Daging Mata Rusuk ............................................
3 4 6 6 8 9 9 9 10 10
METODE.....................................................................................................
12
Lokasi dan Waktu ............................................................................ Materi............................................................................................... Metode ............................................................................................. Prosedur Penelitian .............................................................. Peubah yang diamati............................................................ Rancangan Percobaan ......................................................................
12 12 12 12 14 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................
16
Keadaan Umum Perusahaan ............................................................ Parameter Tubuh pada Kondisi Tubuh Berbeda.............................. Bobot Potong ....................................................................... Ukuran-ukuran Linear Tubuh .............................................. Tebal Lemak Pangkal Ekor.................................................. Sifat-sifat Karkas pada Kondisi Tubuh Berbeda .............................
16 20 21 23 24 25
Bobot Karkas ....................................................................... Persentase Karkas ................................................................ Tebal Lemak Punggung ....................................................... Luas Urat Daging Mata Rusuk ............................................
26 27 28 29
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................
32
UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................
33
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
34
LAMPIRAN.................................................................................................
37
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Waktu Pencapaian Pubertas pada Sapi Potong ..............................
5
2. Diskripsi Skor Kondisi Sapi Potong ...............................................
13
3. Kelompok Umur dan Jumlah Sapi..................................................
17
4. Kebutuhan Nutrisi Sapi pada Setiap Umur.....................................
18
5. Bahan Baku dan Persentase Penggunaannya pada Konsentrat.......
18
6. Rataan Produktivitas Peternakan Sapi ............................................
19
7. Rataan Parameter Tubuh Sapi Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda ..........................................................................................
21
8. Rataan Sifat-Sifat Karkas Sapi Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda ..........................................................................................
26
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Bobot Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda ...............................
22
2. Tebal Lemak Pangkal Ekor pada Kondisi Tubuh Berbeda...........
24
3. Bobot Karkas pada Kondisi Tubuh Berbeda ................................
27
4. Tebal Lemak Punggung pada Kondisi Tubuh Berbeda ................
29
5. Luas Urat Daging Mata Rusuk pada Kondisi Tubuh Berbeda .....
30
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. Analisis Ragam Bobot Potong .......................................................
37
2. Analisis Ragam Tinggi Badan ........................................................
37
3. Analisis Ragam Panjang Badan......................................................
37
4. Analisis Ragam Lingkar Dada........................................................
37
5. Analisis Ragam Tebal Lemak Pangkal Ekor ..................................
38
6. Analisis Ragam Bobot Karkas........................................................
38
7. Analisis Ragam Persentase Karkas.................................................
38
8. Analisis Ragam Tebal Lemak Punggung........................................
38
9. Analisis Ragam Luas Urat Daging Mata Rusuk.............................
39
10. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Bobot Potong............................
39
11. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Tebal Lemak Pangkal Ekor......
39
12. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Bobot Karkas............................
40
13. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Tebal Lemak Punggung ...........
40
14. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Luas Urat Daging Mata Rusuk ....................................................................................
40
PENDAHULUAN Latar Belakang Daging sapi merupakan salah satu bahan pangan sumber protein. Data Dirjen Peternakan (2005) menyebutkan bahwa produksi daging sapi 463.800 ton dan daging sapi merupakan sumber daging yang paling digemari masyarakat Indonesia setelah daging unggas. Peningkatan produktivitas sapi bisa dilakukan dengan cara pemeliharaan
dan
budidaya
yang
baik.
Ukuran
keberhasilan
manajemen
pemeliharaan sapi adalah dengan melihat produktivitas sapi tersebut. Bobot badan sapi merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang dapat diduga berdasarkan ukuran linear tubuh sapi meliputi lingkar dada, panjang badan dan tinggi badan (Kadarsih, 2003). Peternak umumnya menggunakan bobot hidup sapi sebagai ukuran keberhasilan pemeliharaan dan pertumbuhan sapi yang telah dipelihara apakah sesuai dengan harapan. Bobot hidup juga merupakan salah satu penentu harga seekor sapi dalam bidang pemasaran. Keterbatasan dalam penentuan bobot badan sapi dilapangan adalah minimnya fasilitas timbangan ternak sehingga peternak harus melakukan penaksiran bobot badan secara subjektif. Beberapa formula telah dikembangkan untuk memprediksi bobot badan berdasarkan ukuran linear tubuh. Formula yang telah dikenal antara lain formula Schoorl yang menggunakan lingkar dada dan formula Winter yang menggunakan lingkar dada dan panjang badan sebagai faktor penduganya. Namun demikian, pendugaan bobot badan berdasarkan formulasi-formulasi tersebut menghasilkan keakurasian yang rendah karena perbedaan bangsa ternak dan latar belakang nutrisi ternak sehingga menghasilkan skor kondisi ternak yang beragam. Indonesia merupakan negara yang memiliki kondisi wilayah yang beragam menyebabkan sistem pemeliharaan yang dilaksanakan berbeda-beda tergantung potensi wilayah tersebut. Perbedaan penggunaan bangsa atau tipe ternak serta pakan yang digunakan akan menyebabkan bobot hidup yang dicapai juga berbeda-beda meskipun ukuran kerangka ternak relatif sama. Perbedaan sistem manajemen, penggunaan pakan dan bangsa ternak akan mengakibatkan adanya keragaman kondisi ternak (Wulandari, 2005). Alat timbangan seekor sapi tidak praktis digunakan di lapangan terutama pada peternakan rakyat dengan skala usaha yang kecil, sehingga cara penaksiran
bobot badan yang akurat sangat perlu untuk diketahui. Skor kondisi merupakan salah satu faktor yang penting untuk diperhatikan dalam menilai produktivitas dan prediksi bobot badan sapi. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai hubungan skor kondisi sapi terhadap parameter tubuh dan sifat–sifat karkas. Tujuan dan Manfaat Penelitian ini bertujuan untuk mambandingkan parameter tubuh dan sifatsifat karkas sapi potong antar kondisi tubuh yang berbeda. Manfaat penelitian ini adalah peternak dapat mempertimbangkan kondisi tubuh untuk menduga bobot badan sapi berdasarkan ukuran-ukuran linear tubuh. Hipotesis Skor kondisi tubuh sapi potong yang berbeda akan menunjukkan parameter tubuh dan sifat-sifat karkas sapi potong yang berbeda pula.
TINJAUAN PUSTAKA Penggemukan (Finishing) Sapi Potong Program penggemukan (finishing) sapi potong menurut Parakkasi (1999) bertujuan untuk memperbaiki kualitas karkas dengan jalan membentuk lemak seperlunya. Program finishing untuk sapi yang belum dewasa bersifat membesarkan sambil menggemukkan atau memperbaiki kualitas karkas. Intensifikasi menurut Parakkasi (1999) bertujuan untuk lebih mengefisienkan produksi dengan meminimalkan waktu pemeliharaan. Sapi potong yang dipelihara secara intensif pertumbuhannya akan lebih tinggi dari pada sapi yang dipelihara secara ekstensif sehingga lebih cepat mencapai bobot potong yang diinginkan (Phillips, 2001). Pemeliharaan sapi potong untuk penggemukan dapat dilakukan dengan menggunakan sistem pemeliharaan intensif, semi intensif dan ekstensif. Phillips (2001) menjelaskan bahwa sistem pemeliharaan intensif merupakan sistem dimana sapi dipelihara dalam kandang dengan pemberian pakan konsentrat berprotein tinggi dan juga dapat ditambah dengan memberikan hijauan. Sistem pemeliharaan semi intensif adalah sapi selain dikandangkan juga digembalakan di padang rumput, sedangkan sistem ekstensif pemeliharaannya dipadang penggembalaan dengan pemberian peneduh untuk istirahat sapi. Parakkasi (1999) menambahkan bahwa sistem intensif biasanya dilakukan pada daerah yang banyak tersedia limbah pertanian sedangkan sistem ekstensif diterapkan pada daerah yang memiliki padang penggembalaan yang luas. Penggunaan lahan menurut Blakely dan Bade (1991) untuk sistem intensif lebih efisien dari pada sistem ekstensif sehingga pemeliharaan secara intensif cocok dipakai didaerah padat penduduk. Keuntungan dari sistem pemeliharaan intensif adalah dapat menggunakan bahan pakan berasal dari hasil ikutan industri pertanian dibanding dengan pemeliharaan dilapangan. Neumann dan Snapp (1969) menambahkan bahwa pemeliharaan intensif pada program finishing dapat menekan jumlah kematian dan dapat menghasilkan feses yang lebih banyak dari pada sistem pastura atau ekstensif. Kekurangan dari sistem ini menurut Parakkasi (1999) yaitu mudah sekali penyebaran penyakitnya, investasinya juga banyak dan sering ditemukan permasalahan akan limbah peternakan yang dihasilkan. Kekurangan yang lain sistem penggemukan
secara intensif antara lain banyak tenaga kerja yang dibutuhkan, peralatan serta modal yang cukup besar (Phillips, 2001). Pakan yang digunakan pada pemeliharaan intensif biasanya konsentrat penuh atau 60% konsentrat dan 40% hijauan (Blakely dan Bade, 1991). Neumann dan Lusby (1986) menambahkan bahwa rasio pemberian pakan dalam sistem intensif yaitu 95% konsentrat dan 10-15% hijauan makanan ternak. Berdasarkan Parakkasi (1999) sapi dewasa (finish-sedang) dapat mengkonsumsi pakan bahan kering sebesar 1,4 % bobot badan sedangkan untuk sapi steer sampai 3 % bobot badan. Lama pemeliharaan program penggemukan (finishing) sangat singkat yaitu kurang dari satu tahun. Perbedaan lama waktu penggemukan berbeda-beda dipengaruhi oleh umur, kondisi, bobot awal penggemukan, jenis kelamin, kualitas bakalan dan mutu pakan serta bangsa sapi. Neumann dan Lusby (1986) menjelaskan bahwa untuk program penggemukan finishing, waktu penggemukan dimulai dengan bobot badan awal antara 325-400 kg sampai dicapai bobot potong antara 500-625 kg yaitu kurang dari enam bulan pemeliharaan. Waktu penggemukan semakin lama menurut Hafid (1998) memiliki kecenderungan meningkatkan persentase lemak karkas dan menurunkan persentase komposisi daging dan tulang, selain itu cenderung menurunkan persentase total non karkas, persentase komposisi kepala, kaki dan jantung. Penggemukan sapi sering memanfaatkan kondisi pertumbuhan kompensasi. Pertumbuhan ini terjadi setelah sapi mengalami pertumbuhan negatif. Pertambahan bobot badan yang dicapai saat kondisi pertumbuhan ini bisa mencapai dua kali pertumbuhan normal (Phillips, 2001). Penggemukan selama dua bulan menurut Hafid (1998) pada sapi yang memanfaatkan pertumbuhan kompensasi menghasilkan pertambahan bobot badan yang tinggi, konsumsi yang rendah, konversi pakan yang lebih efisien, meningkatkan bobot potong dan nilai ekonomis sapi lebih menguntungkan. Pertumbuhan dan Perkembangan Tubuh Sapi Potong Pertumbuhan adalah proses bertambah besar dan tinggi seekor ternak serta terjadinya peningkatan bobot badan sampai ukuran dewasa tubuh tercapai (Lawrie,1998). Perubahan ukuran-ukuran meliputi bobot hidup, bentuk, dimensi linear dan komposisi tubuh, komponen tubuh (otot, lemak, tulang), organ dan
komponen kimia juga dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan (Field dan Taylor, 2002). Pertumbuhan menurut Hafez (1969) termasuk proses pertambahan sel (hyperplasia) dan peningkatan ukuran sel (hypertrophy). Proses pertumbuhan berdasarkan Field dan Taylor (2002) terbagi atas dua tahap yaitu pertumbuhan prenatal dan pertumbuhan postnatal. Pertumbuhan sebelum lahir (prenatal) terjadi saat embrio, meliputi pembelahan sel dan pertambahan jumlah sel tubuh serta terjadi perubahan fungsi sel menjadi sistem-sistem organ tubuh. Embrio juga mengalami perkembangan sel menjadi lebih besar sehingga membutuhkan asupan nutrisi yang lebih banyak. Pertumbuhan setelah lahir (postnatal) menurut Gall (1969) meliputi beberapa aspek yaitu proses pematangan organ reproduksi, peningkatan dimensi dan linear, pertambahan bobot badan, pertambahan masa organ dan perbanyakan sel. Phillips (2001) menjelaskan bahwa laju pertumbuhan ternak setelah lahir berbentuk sigmoid yaitu terjadi peningkatan bobot badan secara signifikan dari lahir sampai pubertas dan cenderung tetap setelah periode pubertas tercapai. Neumann dan Lusby (1986) menjelaskan bahwa sapi mencapai waktu pubertas dipengaruhi umur, bobot badan dan bangsa. Waktu pencapaian pubertas pada beberapa bangsa persilangan dapat diketahui pada Tabel 1. Tabel 1. Waktu Pencapaian Pubertas pada Sapi Potong. Bangsa Bobot Badan (kg) Umur (hari) Simmental Cross 333 358 Limousin Cross
339,5
384
Brahman Cross
356
429
Sumber: Neumann dan Lusby (1986)
Pada awal dewasa kelamin, pertumbuhan otot bagian leher atau tengkuk dan rongga dada relatif cepat. Laju pertumbuhan dipengaruhi oleh jenis kelamin, hormon, pakan, gen, iklim dan kesehatan induk (Phillips, 2001). Sapi tipe besar laju pertumbuhannya lebih besar dari pada sapi tipe kecil (Neumann dan Lusby, 1986). Perbedaan laju pertumbuhan ini mengakibatkan bobot potong untuk sapi tipe besar akan lebih tinggi dari pada sapi tipe kecil. Perkembangan adalah perubahan konformasi tubuh dan bentuk serta perubahan macam-macam fungsi tubuh sehingga dapat digunakan secara penuh
(Lawrie,1998). Pertumbuhan dan perkembangan sangat ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan, manajemen pakan dan manipulasi exogenous. Pertumbuhan Jaringan Tulang, Otot dan Lemak Pertumbuhan bagian tubuh hewan mengalami peningkatan yang berbeda tetapi laju pertumbuhannya sama. Setiap kenaikan bobot tubuh terjadi perbedaan proporsi organ dan jaringan otot, tulang dan lemak. Semua zat makanan dalam pertumbuhan hewan akan diprioritaskan terlebih dahulu untuk pertumbuhan tulang, jaringan otot kemudian lemak. Pertumbuhan tulang sangat penting bagi pertumbuhan ternak karena pertumbuhan dan perkembangan tulang akan menentukan ukuran tubuh ternak (Field dan Taylor, 2002). Tulang tumbuh secara kontinyu dengan laju pertumbuhan yang relatif lambat sedangkan pertumbuhan otot relatif lebih cepat, sehingga rasio antara otot dan tulang meningkat selama pertumbuhan (Parakkasi, 1999). Otot mencapai pertumbuhan maksimal kemudian terjadi pertambahan bobot otot terutama karena deposisi lemak intra muscular. Perbedaan pertumbuhan jaringan otot, tulang dan lemak akan mengakibatkan perubahan komposisi karkas (Field dan Taylor, 2002). Jaringan lemak tumbuh lambat pada awal pertumbuhan tetapi setelah mencapai dewasa kelamin jaringan ini tumbuh lebih cepat melebihi kecepatan pertumbuhan otot dan tulang. Nutrisi pakan cukup maka pada pertumbuhan selanjutnya lemak akan disimpan dibawah kulit (subkutan), diantara otot (intermuskular) dan didalam otot (intramuskular atau marbling). Selama fase penggemukan lemak merupakan jaringan dengan jumlah dan penyebaran yang berubah-ubah sehingga dapat mempengaruhi proporsi jaringan otot dan nilai karkas (Field dan Taylor, 2002). Skor Kondisi Tubuh Suatu sistem penilaian secara umum yang telah dikembangkan untuk menduga rataan kondisi sapi dalam suatu pemeliharaan merupakan definisi skor kondisi tubuh menurut Encinias dan Lardy (2000). Sistem ini membantu peternak dalam penilaian suatu kondisi ternak dengan mengevaluasi nilai perlemakan serta penonjolan kerangka. Skor kondisi tubuh merupakan metode penilaian secara visual yang mempertimbangkan frame size atau bentuk tubuh (Phillips, 2001).
Perguruan tinggi Pertanian Scotlandia Timur adalah pelopor pembuatan sistem scoring (Rutter et al., 2000). Kondisi tubuh dinilai dari satu (sangat kurus) sampai lima (sangat gemuk). Penggunaan metode ini pertama kali dikemukakan tahun 1917 digunakan untuk memprediksi rasio antara nilai lemak dan bukan lemak pada sapi (Phillips, 2001). Pengelompokan skor kondisi tubuh pada tahun 1976 dibagi menjadi lima kategori dengan mempertimbangkan metode palpasi pada spinous processus dan pangkal ekor sangat berhasil diterapkan pada domba. Pembagian lima point kategori skor kondisi pada umumnya berdasarkan nilai perlemakan dan perdagingan sapi. Skor kondisi tubuh dapat menentukan hubungan antara penampilan produksi dan reproduksi dengan manajemen pakan yang telah diterapkan. Sapi yang memiliki skor kondisi yang bagus menunjukkan jumlah perlemakan dan perototan yang lebih besar karena merupakan refleksi dari pakan yang baik (Neumann dan Lusby, 1986). Kondisi tubuh juga sangat menentukan hasil potongan komersial, karkas dan penampilan sapi. Sapi dengan kondisi yang lebih gemuk akan menghasilkan potongan karkas yang lebih besar. Sapi kurus dapat diperbaiki nilai produktivitasnya dengan meningkatkan kualitas pakan (Apple, 1999). Penilaian produktivitas dan laju pertumbuhan hanya dengan ukuran bobot badan kurang akurat dalam memberikan informasi bobot badan yang sebenarnya dikarenakan adanya perbedaan isi perut. Sapi yang telah mencapai bobot tubuh dewasa mengeluarkan sekitar 25% atau 40 kg kotoran per hari (Neumann dan Lusby, 1986). Keuntungan dari penggunaan skor kondisi tubuh menurut Rutter et al. (2000) adalah mudah untuk dipelajari, cepat, sederhana, murah, tidak memerlukan peralatan khusus dan cukup akurat untuk beberapa situasi manajemen dan penelitian. Skor kondisi tubuh pada umumnya digunakan untuk penilaian sapi betina. Skor kondisi juga berhubungan dengan frame size sapi dan menurut Vargas et al. (1999) heifer dengan large frame size cenderung memiliki skor kondisi tubuh yang rendah. Wulandari (2005) dalam laporannya menjelaskan perbedaan score kondisi tubuh sapi dapat diakibatkan adanya perbedaan ketersediaan pakan dan tata laksana pemeliharaan.
Parameter Tubuh Parameter tubuh adalah nilai-nilai yang dapat diukur dari bagian tubuh ternak termasuk ukuran-ukuran yang dapat dilihat pada permukaan tubuh sapi, antara lain ukuran kepala, tinggi, panjang, lebar, dalam dan lingkar (Natasasmita dan Mudikdjo, 1979). Indikator penilaian produktivitas ternak dapat dilihat berdasarkan parameter tubuh ternak tersebut. Parameter tubuh yang sering dipergunakan dalam menilai produktivitas antara lain tinggi badan, lingkar dada dan panjang badan. Bobot badan juga merupakan indikator penilaian produktivitas dan keberhasilan manajemen peternakan (Blakely dan Bade, 1991). Bobot badan merupakan bobot yang didapatkan selama sapi dipelihara dan dalam keadaan hidup, sedangkan bobot potong merupakan bobot yang ditimbang sesaat sebelum sapi dipotong (Natasasmita dan Mudikdjo,1979). Bobot badan sapi merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang dapat diduga berdasarkan ukuran linear tubuh sapi (Kadarsih, 2003). Sapi seharusnya dipotong pada waktu yang optimum bagi peternak, yaitu saat bobot badan dan komposisi tubuh yang dihasilkan seimbang dengan pakan dan biaya yang dikeluarkan (Phillips, 2001). Perbedaan bobot badan dewasa sapi pedaging yang berbeda-beda akan menghasilkan tingkat kegemukannya yang berbeda pula pada umur dan makanan yang sama (Parakkasi, 1999). Perbedaan bobot badan tersebut dikarenakan adanya perbedaan pertambahan bobot badan harian, rataan pakan yang dikonsumsi masing-masing individu, jumlah pertambahan otot tiap hari serta perbedaan jumlah lemak yang telah disimpan oleh tubuh. Perbedaan tersebut akan menjadikan komposisi tubuh atau frame size ternak berbeda (Field dan Taylor, 2002). Ukuran-ukuran linear tubuh merupakan suatu ukuran dari bagian tubuh ternak yang pertambahannya satu sama lain saling berhubungan secara linear. Kadarsih (2003) menyatakan bahwa ukuran linear tubuh yang dapat dipakai dalam memprediksi produktivitas sapi antara lain panjang badan, tinggi badan, lingkar dada. Ukuran linear tubuh menurut Minish dan Fox (1979) dapat mengidentifikasi pola atau tingkat kedewasaan fisiologis ternak sehingga dapat dijadikan parameter penduga bobot badan ternak. Penentuan frame size menurut Field dan Taylor (2002) dapat ditentukan berdasarkan nilai parameter tubuh ternak tersebut. Tebal lemak
pangkal ekor dan ukuran linear tubuh ternak dapat menduga besarnya komposisi karkas (Pratiwi, 1997). Sifat-sifat Karkas Usaha sapi potong bertujuan menghasilkan karkas berkualitas dan berkuantitas tinggi sehingga potongan daging yang bisa dikonsumsi menjadi tinggi. Menurut Lawrie (1998) karkas adalah bagian tubuh ternak hasil pemotongan setelah dihilangkan kepala, kaki bagian bawah (carpus sampai tarsus), kulit, darah, organ dalam (jantung, hati paru-paru, limpa, saluran pencernaan dan isi, saluran reproduksi). Sapi potong menurut Kauffman (2001) terdiri atas non karkas termasuk kulit (38% Bobot Badan), lemak karkas (17%), Tulang karkas (10%) dan daging karkas (35%). Bobot Karkas Bobot karkas penting digunakan dalam sistem evaluasi karkas. Penggunaan bobot karkas perlu dikombinasikan dengan indikator-indikator lainnya agar evaluasi karkas menghasilkan penilaian yang akurat. Hal tersebut dikarenakan bobot karkas dipengaruhi oleh variasi tipe, bangsa, nutrisi dan jenis dalam pertumbuhan jaringan. Keragaman tersebut dapat diperkecil dengan mengkombinasikan bobot karkas dengan tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk dalam mengevaluasi karkas (Johnson et al., 1992). Bobot karkas juga sangat dipengaruhi oleh bobot potong, berdasarkan Herman et al. (1983) semakin tinggi bobot potong maka bobot karkas juga akan bertambah. Bobot karkas untuk sapi persilangan Brahman mencapai 225 kg (Taylor et al., 1996). Kauffman (2001) menjelaskan bahwa bobot karkas sebagian besar dipengaruhi oleh bobot otot dan perototan sangat menentukan kondisi tubuh ternak. Brahman Cross relatif menghasilkan bobot karkas yang lebih tinggi karena ukuran saluran pencernaan sapi tersebut relatif lebih kecil (Brahmantiyo, 1996). Persentase Karkas Persentase karkas juga dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan bangsa (Phillips, 2001). Neumann dan Lusby (1986) menambahkan bahwa sapi jantan memiliki persentase karkas yang lebih rendah tetapi rasa dagingnya kurang disukai oleh konsumen karena dagingnya lebih keras bila dibandingkan dengan sapi kastrasi.
Persentase karkas bertambah dengan meningkatnya bobot potong maka persentase nonkarkas dan isi saluran pencernaan akan berkurang dengan meningkatnya bobot potong (Herman et al., 1983). Brahmantiyo (1996) menjelaskan bahwa sapi yang memiliki bobot badan berbeda tetapi persentase karkasnya sama maka hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan bobot non karkas yang dihasilkan. Tebal Lemak Punggung Indikator yang sangat penting untuk menentukan perlemakan karkas adalah menggunakan tebal lemak subkutan atau lemak punggung (Taylor et al., 1996). Penilaian banyaknya lemak yang menutupi karkas (lemak sub kutan) dilakukan dengan mengukur tebal lemak punggung diatas ¾ urat daging mata rusuk antara rusuk 12 dan 13 (Ockerman, 1985). Tebal lemak punggung sapi dengan bobot badan 625 kg sebesar 5,08 cm. Sapi Brahman cross dengan bobot karkas 225 kg memiliki tebal lemak punggung sebesar 4,1 mm (Taylor et al., 1996). Hasil penelitian Ngadiyono (1988) tebal lemak punggung sapi Brahman Cross dan Australian Comercial Cross lebih tinggi dari pada sapi Simmental Ongole meskipun pakan diberikan sama untuk ketiga bangsa sapi tersebut menunjukkan adanya efek heterosis akibat persilangan dengan sapi-sapi Bos taurus yang punya tebal lemak punggung yang relatif tinggi. Neumann dan Lusby (1986) menambahkan bahwa ketebalan lemak punggung 0,50 inchi pada sapi yang memiliki frame size yang berbeda dicapai pada bobot yang berbeda pula. Steer memiliki ketebalan lemak punggung yang lebih tinggi (0,64 inchi) dibandingkan dengan sapi jantan (0,5 inchi). Hal tersebut menjelaskan bahwa ketebalan lemak punggung seekor sapi dipengaruhi pula oleh frame size sapi, jenis kelamin atau kondisi sapi, dan bobot badan. Luas Urat Daging Mata Rusuk Luas urat daging mata rusuk diukur pada irisan melintang daging (Longissimus dorsi et lumbarum) antara rusuk 12 dan 13 dengan menggunakan plastik grid dalam satuan inchi kuadrat atau dengan menggunakan planimeter (Ockerman, 1985). Luas urat daging mata rusuk sering dipakai sebagai indikator perdagingan pada karkas tetapi lebih akurat digunakan sebagai indikator pelengkap dalam estimasi produktivitas karkas dari pada indikator tunggal (Johnson et al.,
1992). Berdasarkan Brahmantiyo (1996) nilai perdagingan sangat dipengaruhi oleh bobot badan, bobot karkas, lemak yang menutupi, konformasi tubuh serta bangsa. Jumlah serabut otot juga sangat menentukan nilai perdagingan dan berdasarkan Kauffman (2001) jumlah serabut otot sangat ditentukan oleh faktor genetik, fase pertumbuhan, jenis kelamin dan jumlah aktifitas fisik ternak. Briskey (1969) menambahkan bahwa diameter serabut otot bervariasi tergantung spesies, perkembangan bobot badan setelah lahir, ukuran tubuh, umur, pakan, aktivitas dan bangsa. Sapi dengan bobot badan 550 kg memiliki luas urat daging mata rusuk sekitar 17,0 inchi2, sedangkan untuk sapi dengan bobot badan 625 kg memiliki luas urat daging mata rusuk sekitar 19,5 inchi2. Sapi jantan (13,05 inchi2) memiliki luas urat daging mata rusuk yang lebih besar dari pada steer (11,51 inchi2) dan heifer (Ockerman,1985; Neumann dan Lusby, 1986).
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan dengan dua tahapan. Pelaksanaan penimbangan dan pengukuran parameter tubuh sapi dilakukan di peternakan penggemukan sapi milik CV. Musika Purbantara Utama Dusun Sranten, Desa Pangklungan, Kecamatan Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pengukuran sifat-sifat karkas dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Kabupaten Mojokerto. Penelitian ini dimulai pada tanggal 26 Juni sampai 20 Agustus 2006. Materi Penelitian ini menggunakan sapi hasil Inseminasi Buatan (Bos taurus X Bos indicus) yang berasal dari peternakan penggemukan sapi milik CV. Musika Purbantara Utama. Jumlah sapi yang digunakan sebanyak 25 ekor sapi jantan (Bull) yang terdiri atas sembilan ekor gemuk, sembilan ekor sedang dan tujuh ekor kurus. Peralatan timbangan sapi hidup merk Fairbank kapasitas 1000 kg dan timbangan karkas (timbangan gantung) merk LGN seri 910949 dengan kapasitas 110 kg, tongkar ukur untuk mengukur panjang badan dan tinggi badan, pita ukur untuk mengukur lingkar dada, jangka sorong untuk mengukur tebal lemak pangkal ekor, plastik mika untuk mensketsa luasan udamaru, planimeter untuk mengukur sketsa udamaru, spidol, penggaris dan fasilitas peralatan rumah potong hewan. Metode Prosedur Penelitian Sapi yang siap potong dinilai skor kondisi tubuhnya. Sapi tersebut kemudian diambil tiga kategori dari lima kategori kondisi tubuh berdasarkan Rutter et al. (2000) yaitu kurus, sedang dan gemuk. Diskripsi kategori skor kondisi tubuh tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Sapi yang telah dipilih ditimbang untuk mengetahui bobot potongnya. Pengukuran ukuran linear tubuh antara lain tinggi badan, panjang badan dan lingkar dada sapi dilakukan langsung setelah penimbangan bobot potong. Sapi yang telah ditimbang dan diukur dipisahkan untuk dipuasakan selama kurang lebih 12 jam.
Skor
Tabel 2. Diskripsi Skor Kondisi Sapi Potong. Kategori Deskripsi
1
Sangat Kurus
Lemak tidak ada di sekitar pangkal ekor.
Tulang pinggul, pangkal ekor dan tulang rusuk secara visual terlihat jelas.
2
Kurus
Tulang rusuk dapat diidentifikasi bila disentuh, mulai sedikit tidak jelas.
Pangkal ekor, tulang pinggul dan panggul mulai tertutupi lemak.
3
Sedang
Tulang rusuk dapat dirasakan dengan tekanan tangan.
Pangkal ekor mulai tertutupi lemak dan dapat dengan mudah dirasakan
4
Gemuk
Lemak penutup di sekitar pangkal ekor jelas, sedikit membulat, lembek bila disentuh.
Tulang rusuk tidak bisa dirasakan dengan tekanan tangan.
Lipatan lemak mulai berkembang diatas tulang rusuk dan paha ternak.
5
Sangat Gemuk
Struktur tulang tidak lagi nyata dan ternak menunjukkan
penampilan
yang
sintal
dan
membulat.
Tulang pinggul, pangkal ekor, tulang rusuk dan paha dipenuhi dengan lipatan lemak.
Mobilitas ternak lemah yang diakibatkan oleh lemak yang dibawanya.
Sumber: Rutter et al. (2000)
Pemotongan sapi dilakukan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) kabupaten Mojokerto. Sistem pemotongan yang diterapkan pada RPH ini adalah sistem pemotongan tradisional. Proses pemotongan dilakukan dengan merebahkan sapi menggunakan tali tambang. Kepala diletakkan diatas bak penampung darah dan juga kepala dihadapkan arah Barat untuk menjaga kehalalan pemotongan sapi karena
konsumen pada umumnya beragama Islam. Leher dipotong dengan pisau potong yang tajam pada rahang bawah sehingga oesophagus, Vena jugularis, Arteri carotis dan trachea dapat terpotong dengan sempurna sehingga mendapatkan pendarahan yang sempurna pula. Tahap selanjutnya adalah memisahkan bagian kepala dan kaki depan serta belakang. Pengulitan diawali dengan membelah atau melepaskan kulit di bagian perut ke arah punggung. Eviserasi dilakukan setelah proses pengulitan selesai dengan menyayat dinding abdomen sampai dada kemudian dikeluarkan organ-organ yang ada pada perut dan dada. Organ-organ non karkas seperti hati, limpa, ginjal, jantung, paru-paru dan trakhea dikeluarkan serta lemak yang menempel dihilangkan kecuali lemak dibagian punggung. Karkas yang diperoleh dipisahkan menjadi beberapa bagian yaitu paha depan, paha belakang dan bagian kerangka (badan) karkas. Masing-masing bagian dari potongan-potongan tersebut ditimbang dan total berat dari semua potongan tersebut adalah bobot karkas yang didapat. Pengukuran luas urat daging mata rusuk dan tebal lemak punggung dilakukan setelah karkas ditimbang. Peubah yang Diamati Bobot Potong. Bobot potong (kg) diperoleh dari hasil penimbangan sapi sebelum dipotong dengan menggunakan timbangan sapi hidup kapasitas 1000 kg. Parameter Tubuh. Panjang badan (cm) diukur dari sendi bahu (humerus) sampai pada tulang duduk (tuber ischi) dengan menggunakan tongkat ukur. Lingkar dada (cm) diukur melingkar bagian dada dibelakang sendi siku dengan menggunakan pita ukur .Tinggi badan/pundak (cm) diukur dititik tertinggi pundak tegak lurus sampai ke tanah. Tebal Lemak Pangkal Ekor (cm) diukur dibagian pangkal ekor yang menonjol dengan menggunakan jangka sorong. Bobot Karkas. Bobot karkas (kg)
diperoleh dengan menimbang karkas yang
dipisahkan dari bagian-bagian non karkas. Persentase Karkas. Persentase karkas diperoleh dari bobot karkas dibagi dengan bobot potong sapi dikalikan 100%. Tebal Lemak Punggung. Penilaian banyaknya lemak yang menutupi karkas (lemak sub kutan) dilakukan dengan mengukur tebal lemak punggung diatas urat daging
mata rusuk antara rusuk 12 dan 13. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan penggaris (millimeter). Luas Urat Daging Mata Rusuk. Pengukuran terhadap luas urat daging mata rusuk dilakukan dengan menggunakan planimeter. Sampel urat daging mata rusuk antara rusuk 12 dan 13 digambarkan pada plastik transparan, kemudian gambar pada plastik tersebut diukur luasnya dengan alat ukur planimeter. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan tiga perlakuan kondisi tubuh yaitu gemuk, sedang dan kurus. Ulangan untuk masing-masing perlakuan adalah 9 ekor (gemuk), 9 ekor (sedang) dan 7 ekor (kurus). Analisis data menggunakan prosedur General Linier Model (GLM). Data yang menunjukkan perbedaan selanjutnya dilakukan uji Jarak Berganda Duncan. Model matematika menurut Mattjik dan Sumertajaya (2002) yang digunakan adalah sebagai berikut: Yij = μ + τi+ εIj Keterangan: Yij
: Nilai Parameter tubuh dan sifat-sifat karkas pada kondisi tubuh ke-i dan sapi ke-j
μ
: Rataan Umum
τi
: Pengaruh kondisi tubuh ke-i
εIj
: Pengaruh galat percobaan pada kondisi tubuh ke-i dan sapi ke-j
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Perusahaan Peternakan pada penelitian ini merupakan peternakan penggemukan sapi milik CV Musika Purbantara Utama (MPU) yang berlokasi di Dusun Sranten Desa Pangklungan Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang Jawa Timur. Usaha peternakan ini berdiri pada bulan Februari 2002 yang awalnya bertujuan untuk memasok kebutuhan pupuk kandang untuk usaha perkebunan milik perusahaan tersebut. Peternakan ini berkembang dengan tujuan memenuhi kebutuhan daging sapi pasar tradisional Kabupaten Mojokerto. Manajemen pemeliharaan yang dilaksanakan pada peternakan ini adalah sistem intensif. Peternakan ini juga melaksanakan sistem usaha inti plasma dalam hal ini sebagai inti adalah peternakan CV MPU dan sebagai plasma adalah masyarakat sekitar. Tujuan dari program inti plasma ini adalah untuk membantu masyarakat sekitarnya yaitu dengan memberikan kesempatan pada masyarakat yang ingin memelihara sapi dengan prinsip bagi hasil. Peternakan ini juga bekerjasama dengan beberapa perguruan tinggi dan beberapa instansi peternakan dalam mengembangkan peternakan tersebut sehingga sering dijadikan sebagai tempat praktik lapang. Peternakan ini terletak di wilayah pegunungan dengan ketinggian 600 m dpl. Suhu lingkungan peternakan ini adalah 23-24 oC pada siang hari dan 15-18 oC pada malam hari dengan tingkat kelembaban 60%. Kondisi pegunungan ini sangat menguntungkan untuk peternakan penggemukan sapi karena air tersedia dari mata air yang ada sepanjang tahun. Luas lahan peternakan ini sekitar 4 ha yang terletak didalam lahan perkebunan cengkeh seluas 18 ha. Jumlah sapi yang dipelihara di peternakan ini sampai bulan Agustus 2006 sebanyak 541 ekor yang terdiri atas 37 ekor sapi jantan berada di peternakan plasma, dan 504 ekor berada di peternakan inti. Sapi dikandangkan sesuai dengan umur sapi tersebut. Kelompok umur dan jumlah sapi pada peternakan inti dapat dilihat pada Tabel 3.
No
Tabel 3. Kelompok Umur dan Jumlah Sapi Kelompok Sapi
Jumlah(ekor)
1
Bakalan < 1 tahun
95
2
Bakalan 1-2 tahun
236
3
Jantan dewasa (finishing) > 2 tahun
66
4
Dara Betina
21
5
Betina bunting
71
6
Betina laktasi
15
Total
504
Sumber: Peternakan CV MPU (2006)
Perusahaan memproduksi bakalan sendiri dan juga bakalan yang dibeli dari pasar-pasar hewan sekitar. Bakalan yang diproduksi oleh perusahaan merupakan sapi hasil inseminasi buatan antara Bos taurus (Simmental dan Limousin) dengan Bos indicus (Brahman dan Peranakan Ongole). Bakalan yang berasal dari peternakan ini dipelihara terlebih dahulu pada wilayah kandang pembesaran sebelum masuk ke wilayah kandang finishing. Bakalan dari pasar menurut Sosroamidjojo (1991) seharusnya ditempatkan pada kandang karantina, tetapi dalam peternakan ini tidak demikian. Bakalan yang dibeli dari pasar langsung dimasukkan pada tempat yang kosong di kandang yang sesuai dengan umur sapi tersebut. Sapi-sapi yang baru masuk ditimbang kemudian diperiksa kondisi fisiknya dan diberi obat cacing sebelum dimasukkan ke area perkandangan. Kandang dipisahkan berdasarkan umur dan program budidaya yang diterapkan. Sapi umur lebih dari satu tahun dipelihara pada kandang ganda berhadapan tanpa pent (tipe stanction head to head) yang memudahkan dalam pemberian pakan. Kandang sapi umur kurang dari satu tahun berbentuk kandang kelompok karena sapi tersebut belum diberi tali keluhan (tali hidung). Kandang induk dilengkapi dengan kandang kelompok untuk anak yang diberi litter dari serbuk gergaji untuk menjaga kehangatan. Pakan merupakan faktor terbesar dari budidaya peternakan. Pakan yang diberikan pada peternakan ini berbeda-beda kandungan proteinnya sesuai dengan program yang diterapkan. Kebutuhan nutrisi pakan disesuaikan dengan umur sapi seperti disajikan pada Tabel 4.
No.
Tabel 4. Kebutuhan Nutrisi Sapi pada Setiap Umur Umur Sapi Protein Kasar
TDN
-------------------%------------------1
Pedet (anak) < 4 bulan
20
70
2
Pedet (anak) 4-14 bulan
16
70
3
Jantan dewasa (finishing) > 2 tahun
12-13
75
4
Induk bunting dan laktasi
10
70
Sumber: Peternakan CV MPU (2006)
Pakan terdiri atas hijauan yang didapat dari limbah pertanian di sekitarnya dan konsentrat yang diproduksi oleh perusahaan ini. Pemberian pakan konsentrat untuk program finishing dan pembesaran diberikan dua kali sehari yaitu pagi hari dan siang hari, sedangkan untuk pakan hijauan pada sore hari. Pemberian pakan untuk induk dan anak (cow calf) sama dengan program yang lainnya tetapi hijauan diberikan ad libitum untuk anak sapi. Bahan baku konsentrat yang digunakan untuk program finishing dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Komposisi Bahan Baku Konsentrat No.
Bahan Baku
Jumlah Penggunaan (%) 33,5
1.
Bekatul
2.
Dedak Jagung
10
3.
Tumpi Jagung (Limbah rontokan penggilingan jagung)
10
4.
Kedelai Afkir
12
5.
Tumpi kedelai (Limbah rontokan penggilingan kedelai)
5
6.
Bungkil kelapa
15
7.
Kulit kopi
6
8.
Klenteng (biji kapuk)
6
9.
Tetes Tebu
1
10.
Mineral
1
11.
Garam
0.5
Sumber: Peternakan CV MPU (2006)
Tabel 5 dapat diketahui bahwa bahan baku untuk konsentrat berasal dari limbah pertanian. Bahan-bahan tersebut dipasok dari wilayah Jawa Timur dan sekitarnya. Konsentrat jadi ini bersifat sangat bulky sehingga dalam pemberiannya sering dicampur dengan air. Air minum diberikan setelah konsentrat habis sampai pada waktu pemberian konsentrat berikutnya. Penanganan limbah di peternakan ini sangatlah sederhana. Kotoran sapi hanya ditumpuk lalu diberi starter untuk mengurangi bau dari kotoran tersebut. Kotoran ini akan dijadikan kompos untuk memenuhi kebutuhan pupuk di perkebunan perusahaan. Perusahaan ini menjual ternaknya dalam bentuk ternak hidup dan karkas. Penjualan ternak hidup baik sapi atau kambing untuk memenuhi kebutuhan ternak qurban. Penjualan dalam bentuk karkas dilakukan setiap hari sekitar 1-3 ekor. Proses pemotongan dilakukan di RPH Kabupaten Mojokerto untuk memenuhi kebutuhan pasar tradisional. Tabel 6 memperlihatkan hasil pengamatan terhadap 25 ekor sapi yang dipelihara diperusahaan. Tabel 6. Rataan dan Kisaran Produktivitas Sapi Rataan
Kisaran
Bobot Potong (kg)
656,8
532,0 – 800,0
Tinggi Badan (cm)
141,60
132,00 – 155,00
Panjang Badan (cm)
158,68
141,00 – 177,00
Lingkar Dada (cm)
204,32
180,00 – 214,00
Tebal Lemak Pangkal Ekor (cm) Bobot Karkas (kg)
1,062 358,72
0,000 – 2,200 262,00 – 409,00
Persentase Karkas (%)
47,472
43,650 – 53,530
1,220
0,500 – 3,000
139,86
99,27 – 174,70
Tebal Lemak Punggung (mm) 2
Luas Urat Daging Mata Rusuk (cm )
Sapi yang akan dipotong rata-rata sudah berumur lebih dari empat tahun atau gigi seri keempat tinggal satu yang belum tanggal. Penentuan waktu yang tepat sapi tersebut akan dipotong (derajat finish) juga berdasarkan dari tipe bangsa sapi. Sapi tipe sedang atau besar bobot potongnya lebih dari 500 kg sedangkan untuk sapi tipe kecil yang akan dipotong bobot potongnya kurang dari 500 kg. Hal tersebut terlihat dari hasil bobot potong rata-rata yang didapat pada Tabel 6 sebesar 656,8 kg dengan
kisaran bobotnya yaitu dari 532 kg sampai 800 kg. Sapi yang dipotong tersebut merupakan sapi sedang. Program finishing yang dijalankan sesuai dengan Neumann dan Lusby (1986) bahwa bobot potong untuk program ini berkisar antara 500-625 kg. Hasil ukuran linear tubuh pada Tabel 6 terlihat bahwa rata-rata untuk tinggi badan 141,6 cm, panjang badan 158,68 cm dan lingkar dada sebesar 204,32 cm. Ukuran linear tubuh tersebut lebih tinggi dari ukuran minimal sapi Peranakan Ongole bibit berdasarkan Natasasmita dan Mudikdjo (1979) yang merupakan sapi tipe kecil yaitu untuk sapi jantan dewasa tinggi badan 135 cm, panjang badan 133 cm dan lingkar dada 171 cm. Nilai ukuran linear tubuh tersebut mengindikasikan bahwa sapi-sapi yang dipotong merupakan sapi tipe besar. Field dan Taylor (2002) menambahkan bahwa sapi tipe sedang pada umur empat tahun bobot badan berkisar antara 500 sampai 1000 kg. Hasil bobot karkas sapi tersebut rata-rata 358,72 kg dengan rataan persentase karkas sebesar 47,472 %. Persentase karkas ini lebih rendah dari pada persentase karkas sapi Brahman Cross berdasarkan penelitian Kurniawan (2005) yaitu sebesar 50 %. Lemak yang dihasilkan dari sapi ini rendah berdasarkan nilai rataan tebal lemak pangkal ekor sebesar 1,062 cm dan tebal lemak punggung sebesar 1,220 mm. Lemak yang sedikit disesuaikan dengan selera konsumen pada pasar tradisional. Nilai urat daging mata rusuk 139,86 cm2 merupakan nilai yang cukup luas dan mengindikasikan perdagingan yang dihasilkan dari karkas tersebut sangat besar dan juga dikarenakan pengukuran dilakukan saat karkas segar sehingga konsistensi daging masih rendah. Parameter Tubuh pada Kondisi Tubuh Berbeda Produktivitas seekor sapi merupakan parameter penilaian keberhasilan suatu manajemen pemeliharaan dalam beternak. Parameter tubuh merupakan ukuranukuran yang dapat dilihat pada permukaan tubuh sapi, antara lain ukuran kepala, tinggi, panjang, lebar, dalam dan lingkar (Natasasmita dan Mudikdjo,1980). Bobot badan sapi merupakan salah satu indikator produktivitas ternak yang dapat diduga berdasarkan ukuran linear tubuh sapi meliputi lingkar dada, panjang badan dan tinggi badan (Kadarsih, 2003). Tabel 7 menyajikan hasil pengukuran parameter sapi potong pada penelitian ini.
Tabel 7. Rataan Parameter Tubuh Sapi Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda Skor Kondisi Tubuh Parameter Tubuh Kurus (2)
Sedang (3)
Gemuk (4)
Bobot Potong (kg)
620,0b ± 83,6
639,8b ± 32,9
702,3a± 50,2
Tinggi Badan (cm)
140,71 ± 7,72
141,78 ± 2,17
142,11 ± 2,98
Panjang Badan (cm)
156,71 ± 9,27
160,11 ± 10,35
158,78 ± 8,81
Lingkar Dada (cm)
200,57 ± 13,10
203,89 ± 4,96
207,67 ± 3,20
0,36b ± 0,62
1,09a ± 0.86
1,58a± 0,38
TLPE (cm) Keterangan:
TLPE : Tebal Lemak Pangkal Ekor Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Bobot Potong Bobot yang didapatkan selama sapi dipelihara dan dalam keadaan hidup merupakan definisi dari bobot badan, sedangkan bobot potong merupakan bobot yang di timbang sesaat sebelum sapi dipotong. Waktu yang tepat untuk memotong sapi harus disesuaikan dengan imbangan antara komposisi tubuh dan biaya yang dikeluarkan agar didapatkan persentase karkas yang sesuai (Phillips, 2001). Pratiwi (1997) menambahkan bahwa untuk memotong sapi harus memperhatikan kondisi sapi tersebut. Sapi yang memiliki kondisi gemuk, mempunyai bobot potong yang terbesar yaitu 702,3 kg, sedangkan kondisi sedang dan kurus masing-masing mempunyai bobot potong 620,0 kg dan 639,8 kg. Nilai bobot potong tersebut lebih ringan dari bobot dewasa sapi Limousin menurut Blakely dan Bade (1991) sebesar 1100 kg. Hal tersebut dikarenakan sapi-sapi pada penelitian ini bukan merupakan bangsa sapi asli tapi sudah mengalami persilangan dengan sapi Brahman dan PO sehingga bobot potong yang dihasilkan saat dewasa lebih rendah. Perbedaan bobot potong tersebut lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan kenaikan bobot badan dengan meningkatnya kondisi tubuh ternak. Sapi yang semakin gemuk akan memperlihatkan bobot potong yang semakin berat. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Nielsen (2002) bahwa bobot badan memiliki hubungan yang positif terhadap tingkat kegemukan ternak.
Gemuk 702,3
750 700 650
BP (kg)
Sedang 639,8
Kurus 620
600 550 500 450 400
Kondisi Tubuh Kurus
Sedang
Gemuk
Gambar 1. Bobot Potong pada Kondisi Tubuh Berbeda Keterangan : BP (Bobot Potong)
Sapi dengan kondisi tubuh yang berbeda berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bobot potong yang cenderung berbeda pula. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Parakkasi (1999) bahwa bobot badan dewasa sapi potong yang berbedabeda akan berbeda-beda pula dalam tingkat kegemukannya pada umur dan makanan yang sama. Perbedaan bobot badan tersebut dikarenakan adanya perbedaan pertambahan bobot badan harian, rataan pakan yang dikonsumsi masing-masing individu, jumlah pertambahan otot tiap hari serta perbedaan jumlah lemak yang telah disimpan dalam tubuh. Kemampuan beradaptasi sapi juga dapat menentukan besarnya nilai bobot potong yang dapat dipengaruhi oleh bangsa, manajemen pemeliharaan, isi saluran pencernaan dan kesehatan sapi (Blakely dan Bade, 1991). Neumann dan Lusby (1986) juga menjelaskan bahwa sapi yang telah mencapai bobot tubuh dewasa mengeluarkan sekitar 25% atau 40 kg kotoran per hari yang dapat mempengaruhi bobot badan sapi. Sapi yang memiliki kondisi tubuh kurus dan sedang memiliki bobot potong yang tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan sapi yang memiliki kondisi gemuk. Hal tersebut menurut Blakely dan Bade (1991) bisa juga disebabkan karena adanya perbedaan efisiensi dalam pemanfaatan nutrien pakan oleh tubuh sapi. Sapi yang memiliki bobot badan lebih berat maka menunjukkan bahwa efisiensi pemanfaatan pakannya lebih besar sehingga dapat menghasilkan nilai produktivitas
yang lebih baik. Perbedaan bobot badan juga dapat disebabkan faktor fisiologis dari masing-masing sapi yang berbeda. Bobot potong yang sama pada sapi kondisi kurus dan sedang juga bisa disebabkan adanya pengaruh isi saluran pencernaan, nilai perlemakan dan nilai perdagingan. Neumann dan Lusby (1986) menambahkan bahwa keadaan isi saluran pencernaan juga sangat menentukan nilai bobot potong ternak sehingga sapi yang kurus dapat menghasilkan bobot potong yang lebih tinggi. Ukuran-ukuran Linear Tubuh Sapi pada penelitian ini memiliki kondisi tubuh berbeda (kurus, sedang dan gemuk) tidak berpengaruh terhadap ukuran linear tubuh seperti tinggi badan, panjang badan dan lingkar dada. Rataan tinggi badan untuk sapi gemuk, sedang dan kurus masing-masing sebesar 142,11 cm, 141,78 cm 140,71 cm. Panjang badan untuk sapi dengan kondisi kurus, sedang dan gemuk berturut-turut adalah 156,71 cm, 160,11 cm dan 58,78 cm. Rataan lingkar dada untuk sapi dengan kondisi kurus sebesar 200,57 cm, sedang 203,89 cm dan gemuk sebesar 207,67 cm. Hasil rataan ukuran-ukuran linear tubuh sapi tersebut tidak jauh berbeda dengan sapi Brahman PO dan Simmental PO hasil penelitian Suparlan (2004). Sapi dalam penelitian Suparlan memiliki tinggi gumba sebesar 137,7 cm, panjang badan 137,3 dan lingkar dada 161 cm. Hasil tersebut lebih rendah dari hasil penelitian ini karena sapi dalam penelitian Suparlan masih berumur dua tahun sedangkan sapi pada penelitian ini sudah berumur empat tahun. Tabel 7 memperlihatkan ukuran linear tubuh pada kondisi tubuh berbeda. Ukuran linear tubuh yang hampir sama dikarenakan sapi-sapi ini diukur pada umur lebih dari empat tahun. Blakely dan Bade (1991) umur sapi jantan pada saat tercapainya pubertas bervariasi diantara bangsa-bangsa sapi, dengan suatu kisaran antara 8 sampai 18 bulan dan bobot badan 350 sampai 450 kg. Sapi berumur lebih dari empat tahun merupakan umur yang telah melewati kedewasaan tubuh dan memiliki pertumbuhan tulang dan otot yang cenderung tetap. Ukuran linear tubuh pada sapi dewasa bukan merupakan indikator yang baik bila digunakan untuk memprediksi bobot badan. Sapi yang telah mengalami dewasa tubuh pertulangannya sudah tidak berkembang lagi sehingga ukuran linear tubuh sapi tersebut relatif konstan. Tabel 7 menunjukkan bahwa sapi-sapi tersebut memiliki ukuran linear tubuh yang hampir sama tetapi memiliki bobot potong yang berbeda.
Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh deposisi otot dan lemak yang berbeda di antara kondisi tubuh yang berbeda (Preston dan Willis, 1974). Kemampuan ternak dalam mendeposisikan otot bisa dikarenakan perbedaan bangsa, umur, manajemen pemeliharaan, keadaan sistem pencernaan dan kesehatan sapi (Blakely dan Bade, 1991). Sapi yang memiliki kondisi tubuh yang baik menunjukkan jumlah perlemakan dan perototan yang lebih besar karena merupakan refleksi dari pakan yang baik (Neumann dan Lusby, 1986). Blakely dan bade (1991) menambahkan bahwa sapi kurus pakannya lebih dimanfaatkan terlebih dahulu untuk perawatan tubuh kemudian sisa nutrien pakannya untuk memenuhi fungsi-fungsi tubuh. Tebal Lemak Pangkal Ekor Tebal lemak pangkal ekor di antara kondisi tubuh menunjukkan hasil yang berbeda (Tabel 7). Tebal lemak pangkal ekor sapi kondisi gemuk (1,58 cm) tidak berbeda nyata dengan kondisi sedang (1,09 cm), tetapi berbeda nyata dengan sapi kondisi kurus (0,36 cm). Selama fase penggemukan lemak merupakan jaringan dengan jumlah dan penyebaran yang berubah-ubah sehingga dapat mempengaruhi proporsi jaringan otot dan nilai karkas (Field dan Taylor, 2002). Gambar 2 memperlihatkan adanya perbedaan nilai tebal lemak pangkal ekor pada kondisi tubuh yang berbeda. Gemuk 1,58
1,8 1,6 1,4
Sedang 1,09
1,2
TLPE (cm)
1 0,8 0,6
Kurus 0,36
0,4 0,2 0
Kondisi Tubuh Kurus
Sedang
Gemuk
Gambar 2. Tebal Lemak Pangkal Ekor pada Kondisi Tubuh Berbeda Keterangan : TLPE (Tebal Lemak Pangkal Ekor)
Nilai ketebalan lemak pangkal ekor pada Gambar 2 cenderung meningkat akan tetapi untuk kondisi sedang dan gemuk tidak berbeda nyata sedangkan sapi kurus memiliki tebal lemak pangkat ekor yang sangat berbeda nyata dengan kategori kondisi tubuh yang lain. Encinias dan Lardy (2000) menjelaskan bahwa salah satu kriteria penilaian kondisi ternak adalah dengan menentukan nilai perlemakan dan perdagingannya. Sapi kurus dengan sedang berdasarkan Tabel 7 dapat dilihat bahwa meskipun memiliki bobot potong
yang tidak berbeda nyata tetapi tebal lemak
pangkal ekornya menunjukkan perbedaan. Nilai tebal lemak pangkal ekor yang berbeda tersebut yang menyebabkan perbedaan penentuan kriteria kondisi ternak (Phillips, 2001). Perbedaan ketebalan lemak tersebut mengindikasikan bahwa kondisi ternak mampu menunjukkan nilai perlemakan secara visual pada sapi dan dapat digunakan untuk mengestimasi nilai perlemakan karkas (Encinias dan Lardy, 2000). Penyimpanan lemak tertinggi terjadi pada daerah paha, dada, tulang punggung dan rusuk sampai pangkal ekor. Perbedaan jumlah lemak yang terdeposisikan bisa dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan (Field dan Taylor, 2002). Tebal lemak pangkal ekor merupakan posisi perlemakan yang paling mudah dilihat pada sapi. Hafid (2004) menjelaskan bahwa tebal lemak pangkal ekor dan nilai butt shape sapi dapat memprediksikan komposisi karkas sapi. Pratiwi (1997) menambahkan tebal lemak pangkal ekor dan ukuran linear tubuh ternak juga dapat menduga besarnya komposisi karkas. Sifat-sifat Karkas pada Kondisi Tubuh Berbeda Tujuan utama dari usaha penggemukan sapi potong adalah menghasilkan karkas berkualitas dan berkuantitas tinggi sehingga potongan daging yang bisa dikonsumsi menjadi tinggi serta sesuai dengan selera konsumen. Natasasmita dan Mudikdjo (1979) menambahkan bahwa karkas sapi Bos taurus terdiri atas daging (53,4%), lemak (28,2%) dan tulang (14,8%) sedangkan sapi Bos indicus terdiri atas daging (68,5%), lemak (8,1%) dan tulang (20,7%). Komposisi karkas dan kualitasnya menurut Hafid (2004)
dapat dilihat
berdasarkan nilai sifat-sifat karkas yang dihasilkan. Hasil pengukuran sifat-sifat karkas antara lain bobot karkas, persentase karkas, tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk pada kondisi tubuh berbeda-beda dan disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan Sifat-Sifat Karkas Sapi Potong pada Skor Kondisi Tubuh Berbeda Skor Kondisi Tubuh Sifat Karkas Kurus (2)
Sedang (3)
Bobot Karkas (kg)
330,1 ± 61,4
362,44 ± 29,46
377,28 a± 21,14
Pesentase Karkas (%)
52,58 ± 3,33
56,18 ± 4,61
53,740 ± 1,859
TLP (mm) Luas UDMR (cm2)
b
ba
Gemuk (4)
b
b
0,79 ± 0,2673
1,06 ± 0,5833
1,72a ± 0,7546
127,14b ± 24,43
130,76b ± 21,08
158,84a±15,18
Keterangan: TLP : Tebal Lemak Punggung; UDMR: Urat Daging Mata Rusuk Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)
Bobot Karkas Bobot karkas penting digunakan dalam sistem evaluasi karkas dan dapat digunakan sebagai ukuran produktivitas karkas yang dihasilkan. Berdasarkan Tabel 8 semakin bagus kondisi tubuh, bobot karkas cenderung meningkat untuk kondisi kurus (330,1 kg) tidak berbeda nyata dengan kondisi sedang (362,44 kg) dan kondisi sedang tidak berbeda nyata dengan gemuk (377,28 kg), tetapi kondisi kurus memiliki bobot karkas yang berbeda nyata dengan kondisi gemuk. Kurniawan (2005) melaporkan bahwa sapi Brahman Cross dengan bobot potong 500 kg memiliki bobot karkas sebesar 224 kg. Hasil penelitian Kurniawan menunjukkan nilai bobot karkas yang lebih berat dari nilai bobot karkas pada penelitian ini karena memiliki bobot potong yang lebih berat pula. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Herman et al. (1983) semakin berat bobot potong maka bobot karkas juga akan bertambah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sapi yang mempunyai kondisi kurus dan sedang memiliki bobot karkas dan bobot potong yang tidak berbeda. Sapi yang mempunyai kondisi kurus dan gemuk memiliki bobot potong dan bobot karkas yang berbeda. Hal tersebut menjelaskan bahwa peningkatan bobot karkas seiring dengan peningkatan bobot potong. Herman et al. (1983) menyatakan bahwa bobot karkas sangat dipengaruhi oleh bobot potong. Hasil bobot karkas pada kondisi tubuh berbeda dapat dilihat pada Gambar 3.
390 Gemuk 377,28
380 Sedang 362,44
370
BK (kg)
360 350 340
Kurus 330,1
330 320 310 300
Kondisi Tubuh Kurus
Sedang
Gemuk
Gambar 3. Bobot Karkas pada Kondisi Tubuh Berbeda Keterangan: BK: Bobot Karkas
Bobot karkas sapi kondisi sedang dan gemuk tidak berbeda, akan tetapi mempunyai perbedaan pada bobot potong. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh nilai bobot non karkas yang berbeda dan mengindikasikan bahwa bobot non karkas sapi gemuk lebih tinggi dari sapi sedang. Pengaruh bobot non karkas terhadap bobot karkas sesuai dengan penjelasan Brahmantiyo (1996) bahwa sapi dengan bobot potong yang berbeda maka nilai bobot karkas yang sama dipengaruhi oleh nilai bobot non karkas. Perbedaan bobot karkas bisa disebabkan adanya variasi tipe, bangsa, nutrisi dan jenis pertumbuhan jaringan serta perbedaan bobot non karkas yang dihasilkan (Blakely dan Bade, 1991). Persentase Karkas Persentase karkas didapatkan dari hasil rasio antara bobot karkas dengan bobot potong kali seratus persen. Persentase karkas yang dihasilkan untuk sapi dengan kategori kondisi tubuh kurus sebesar 52,58 %, sedang (56,18 %) dan gemuk (53,74 %). Hasil tersebut lebih besar dari laporan Kurniawan (2005) bahwa sapi Brahman Cross dengan bobot badan 500 kg menghasilkan persentase karkas sebesar 48,62 %. Tabel 8 memperlihatkan bahwa persentase karkas sama pada kondisi yang berbeda. Ngadiyono (1988) menjelaskan bahwa ketidaksesuaian peningkatan bobot
potong dengan peningkatan bobot karkas dapat mempengaruhi persentase karkas. Peningkatan antara kondisi tubuh dan bobot potong tidak sejalan dengan peningkatan bobot karkasnya. Persentase karkas bertambah dengan meningkatnya bobot potong maka persentase nonkarkas dan isi saluran pencernaan akan berkurang dengan meningkatnya bobot potong (Herman et al., 1983). Brahmantiyo (1996) menambahkan bahwa persentase non karkas dan isi saluran pencernaan bertambah atau berbeda-beda pada masing-masing kondisi sapi . Natasasmita
(1979) juga menjelaskan bahwa persentase karkas semu sangat
dipengaruhi oleh bobot isi saluran pencernaan sehingga dalam menilai produktivitas ternak (kerbau) lebih baik didasarkan pada persentase karkas sebenarnya. Berdasarkan pengamatan di lapang, sapi dalam kondisi gemuk mengalami trimming yang berlebihan dibandingkan kondisi sedang. Hal ini dapat menghasilkan persentase sapi kondisi gemuk relatif rendah dari pada sapi dengan kondisi sedang. Cole (1962) menyatakan bahwa persentase karkas dapat dipengaruhi oleh metode pemotongan, pengulitan atau penyayatan lemak yang berlebihan. Tebal Lemak Punggung Perlemakan karkas dapat ditentukan dengan menggunakan tebal lemak subkutan atau lemak punggung (Taylor et al., 1996). Tebal lemak punggung pada sapi kondisi tubuh kurus, sedang dan gemuk masing-masing sebesar 0,79 mm, 1,06 mm dan 1,72 mm. Kurniawan (2005) melaporkan bahwa ketebalan lemak punggung pada sapi Brahman Cross steer antara 2,5-4,5 mm, hasil tersebut lebih tebal dari hasil rataan tebal lemak punggung yang didapat pada penelitian ini. Perbedaan tebal lemak punggung yang dihasilkan dapat disebabkan
perbedaan jenis kelamin yang
digunakan. Menurut Neumann dan Lusby (1986) sapi jantan perlemakannya lebih rendah dari pada sapi steer dan heifer. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi tubuh sapi yang semakin gemuk maka nilai tebal lemak punggung cenderung lebih tebal, tetapi kondisi kurus dan sedang peningkatannya tidak berbeda nyata. Tebal lemak punggung sapi kondisi sedang dan gemuk berbeda nyata. Apple (1999) dalam laporannya juga menjelaskan bahwa kondisi tubuh berbeda menghasilkan tebal lemak punggung yang berbeda pada sapi gemuk sedangkan sapi sedang dan kurus tidak berbeda nyata. Gambar 4 menyajikan perbedaan nilai tebal lemak punggung pada kondisi berbeda.
Gem uk 1,72
2 1,8 1,6 1,4 1,2 TLP (mm)
1
Sedang 1,06
Kurus 0,79
0,8 0,6 0,4 0,2 0 Kondisi Tubuh Kurus
Sedang
Gem uk
Gambar 4. Tebal Lemak Punggung pada Kondisi Tubuh Berbeda Keterangan : TLP (Tebal Lemak Punggung)
Lemak punggung terbentuk setelah daerah urat daging mata rusuk terbentuk (Preston dan Willis, 1974). Sapi kurus dalam pemanfaatan pakan kurang efisien, pakan terlebih dahulu digunakan untuk perawatan tubuh kemudian untuk perkembangan otot sehingga jumlah lemaknya masih sedikit dibanding dengan sapi gemuk yang perototannya telah lebih dulu terbentuk (Blakely dan Bade, 1991). Sapi dalam penelitian ini digunakan untuk memenuhi permintaan pasar-pasar tradisional sehingga lemak yang dihasilkan lebih rendah. Hal tersebut sesuai dengan Halomoan (2000) bahwa pasar tradisional lebih menyukai sapi dengan lemak rendah yaitu sekitar 4,07 mm. Tebal lemak pungggung pada penelitian ini untuk kondisi sedang 1,06 mm dengan persentase karkas tertinggi sangat cocok untuk konsumsi pasar tradisional. Penelitian ini menggunakan sapi persilangan antara tipe besar dan tipe kecil. Sapi tipe besar dewasa tubuhnya terjadi lebih lambat sehingga akan menghasilkan lemak yang lebih sedikit bila dikawinkan dengan sapi tipe kecil yang memiliki perlemakan relatif sedikit (Field dan Taylor, 2002). Luas Urat Daging Mata Rusuk Luas urat daging mata rusuk sering dipakai untuk memprediksi perdagingan karkas (Johnson et al., 1992). Tabel 8 menunjukkan bahwa luas urat daging mata rusuk untuk kondisi tubuh kurus sebesar 127,14 cm2, sedang (130,76 cm2) dan gemuk (158,84 cm2). Hasil tersebut lebih luas dari sapi Brahman Cross yang
dilaporkan oleh Kurniawan (2005), yaitu sebesar 76,81 cm2 untuk bobot badan berkisar 500 kg. Perbedaan tersebut dikarenakan terdapat perbedaan bobot badan, bobot karkas, lemak yang menutupi, konformasi tubuh serta bangsa (Phillips, 2001). Gambar 4 menyajikan nilai luas urat daging mata rusuk pada kondisi tubuh berbeda. 170
Gemuk 158,84
160
150
Luas UDMR 140 (cm2) 130
Kurus 127,14
Sedang 130,76
120
110
100
Kondisi Tubuh Kurus
Sedang
Gemuk
Gambar 4. Luas UDMR pada Kondisi Tubuh Berbeda Keterangan: UDMR : Urat Daging Mata Rusuk
Gambar 4 menjelaskan bahwa kondisi sapi kurus dan sedang tidak berbeda nyata tetapi sapi gemuk memiliki luas urat daging mata rusuk yang terluas. Brahmantiyo (1996) menjelaskan bahwa luas urat daging mata rusuk meningkat seiring dengan peningkatan bobot potong dan bobot karkas. Apple (1999) menjelaskan bahwa peningkatan tebal lemak punggung seiring dengan peningkatan luas urat daging mata rusuk pada kondisi yang berbeda. Jumlah dan diameter serabut otot juga sangat menentukan nilai perdagingan dan berdasarkan Kauffman (2001) jumlah serabut otot sangat ditentukan oleh faktor genetik, fase pertumbuhan, jenis kelamin dan jumlah aktifitas fisik ternak. Perkembangan otot menurut Lawrie (1998) dipengaruhi oleh genetik, lingkungan, pakan dan manipulasi exogenous. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kondisi tubuh sapi yang berbeda juga dapat disebabkan adanya perbedaan nilai
perdagingannya. Luas urat daging mata rusuk menurut Johnson et al. (1992) mempengaruhi nilai perdagingan sapi, tetapi tidak dapat digunakan sebagai indikator tunggal melainkan sebagai indikator pelengkap
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kondisi tubuh sapi potong sangat berpengaruh terhadap bobot potong, tebal lemak pangkal ekor, bobot karkas, tebal lemak punggung dan luas urat daging mata rusuk. Kondisi tubuh sapi yang dipotong umur dewasa tidak berpengaruh terhadap ukuran-ukuran linear tubuh dan persentase karkas. Saran Skor kondisi tubuh sapi merupakan faktor yang sangat penting diperhatikan dalam pendugaan bobot badan dan bobot karkas dengan menggunakan ukuranukuran linear tubuh. Sapi dengan kondisi tubuh sedang adalah sesuai untuk kebutuhan pasar tradisional.
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan karunia dan rahmat-Nya yang telah melimpahkan nikmat tak terhingga dan hanya dengan pertolongan-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada bapak dan ibu tercinta atas doa, harapan, materi, motivasi serta kasih sayang yang diberikan. Juga, kepada Dr. Ir. Rudy Priyanto dan Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu penyusunan usulan proposal hingga tahap akhir penyusunan skripsi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ir. K. Budi Satoto, M.S dan Ir. Sudjana Natasasmita atas saran dan petunjuknya sebagai penguji dalam ujian sidang penulis. Selain itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ir. Komariah, M.Si selaku pembimbing akademik dan dosen pembahas seminar atas saran, kritik dan bimbingannya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga kepada Bapak H. Djakfaril atas bimbingan serta kesempatan yang diberikan untuk magang dan penelitian pada peternakan CV Musika Purbantara Utama dan untuk Bapak Kastar dan keluarga, Bapak Purwanto, Bapak Khudhori dan semua anak kandang terima kasih atas bantuan selama magang dan penelitian. Galuh Hening Liasari terima kasih banyak atas pengertian dan kerjasamanya selama magang dan penelitian, adik penulis Elya Dzulkhoiriyah dan Moh. Al-Azmi Putra Prayoga terima kasih atas motivasi, dukungan dan bantuannya. Terima kasih banyak untuk teman-teman Teknologi Produksi Ternak angkatan 40 atas semangat dan kerjasama selama di Fakultas Peternakan. Moh. Romadhon terimakasih atas dukungan, saran, bantuan dan semangatnya selama ini. Penulis sampaikan ucapan terima kasih pula kepada teman-teman Jombang Agriculture Community (JAC), Tamara House, BEM, DPM, HIMAPROTER atas kerjasama, saran, dukungan dan pengalamannya. Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Bogor, Februari 2007 Penulis
Lampiran 1. Analisis Ragam Bobot Potong Sumber db Jumlah Kuadrat Keragaman Kuadrat Tengah Perlakuan 2 30747 15374 Error
22
70722
Total
24
101469
F-hitung
P
4,78*
0,019
F-hitung
P
0,19tn
0,827
F-hitung
P
0,25tn
0,780
F-hitung
P
1,69tn
0,208
3215
Keterangan : * = berbeda nyata (P< 0,05)
Lampiran 2. Analisis Ragam Tinggi Badan Sumber db Jumlah Kuadrat Keragaman Kuadrat Tengah Perlakuan 2 8,13 4,06 Error
22
465,87
Total
24
474,00
21,18
Keterangan : tn = tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 3. Analisis Ragam Panjang Badan Sumber Keragaman Perlakuan
db 2
Jumlah Kuadrat 45,57
Kuadrat Tengah 22,78
Error
22
1993,87
90,63
Total
24
2039,44 tn
Keterangan : = tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 4. Analisis Ragam Lingkar Dada Sumber db Jumlah Kuadrat Keragaman Kuadrat Tengah Perlakuan 2 200,84 100,42 Error
22
Total
24
1308,60 1509,44 tn
Keterangan : = tidak nyata (P>0,05)
59,48
Lampiran 5. Analisis Ragam Tebal Lemak Pangkal Ekor Sumber db Jumlah Kuadrat F-hitung Keragaman Kuadrat Tengah Perlakuan 2 5,9304 2,9652 7,02** Error
22
9,2860
Total
24
15,2164
P 0,004
0,4221
Keterangan : ** = sangat berbeda nyata (P< 0,01)
Lampiran 6. Analisis Ragam Bobot Karkas Sumber db Jumlah Kuadrat Keragaman Kuadrat Tengah Perlakuan 2 8970 4485 Error
22
33156
Total
24
42126
F-hitung
P
2,98tn
0,072
F-hitung
P
2,31tn
0,123
1507
Keterangan : tn = tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 7. Analisis Ragam Persentase Karkas Sumber db Jumlah Kuadrat Keragaman Kuadrat Tengah Perlakuan 2 18,593 9,296 Error
22
88,600
Total
24
107,192
4,027
Keterangan : tn = tidak nyata (P>0,05)
Lampiran 8. Analisis Ragam Tebal Lemak Punggung Sumber db Jumlah Kuadrat F-hitung Keragaman Kuadrat Tengah Perlakuan 2 3,8337 1,9168 5,47* Error
22
7,7063
Total
24
11,5400
Keterangan : * = berbeda nyata (P< 0,05)
0,3503
P 0,012
Lampiran 9. Analisis Ragam Luas Urat Daging Mata Rusuk Sumber db Jumlah Kuadrat F-hitung Keragaman Kuadrat Tengah Perlakuan 2 5119,6 2559,8 6,27** Error
22
8979,9
Total
24
14099,5
P 0,007
408,2
Keterangan : ** = sangat berbeda nyata (P< 0,01)
Lampiran 10. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Bobot Potong Group Duncan
Rataan (kg)
Jumlah Ulangan
Skor Kondisi Tubuh
A
702,33
9
Gemuk
B
639,78
9
Sedang
620,00
7
Kurus
B B
Keterangan: Abjad yang Sama pada Kolom Group Duncan menunjukkan tidaak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0,05)
Lampiran 11. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Tebal Lemak Pangkal Ekor Group Duncan
Rataan (cm)
Jumlah Ulangan
Skor Kondisi Tubuh
A
1,5833
9
Gemuk
A
1,0889
9
Sedang
B
0,3571
7
Kurus
A
Keterangan: Abjad yang Sama pada Kolom Group Duncan menunjukkan tidaak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0,05)
Lampiran 12. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Bobot Karkas Group Duncan A
Rataan (kg)
Jumlah Ulangan
Skor Kondisi Tubuh
377,28
9
Gemuk
362,44
9
Sedang
330,07
7
Kurus
A B
A
B B
Keterangan: Abjad yang Sama pada Kolom Group Duncan menunjukkan tidaak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0,05)
Lampiran 13. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Tebal Lemak Punggung Group Duncan
Rataan (mm)
Jumlah Ulangan
Skor Kondisi Tubuh
A
1,7222
9
Gemuk
B
1,0559
9
Sedang
0,7857
7
Kurus
B B
Keterangan: Abjad yang Sama pada Kolom Group Duncan menunjukkan tidaak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0,05)
Lampiran 14. Hasil Uji Jarak Berganda Duncan Luas Urat Daging Mata Rusuk Group Duncan Rataan (cm2) Jumlah Ulangan Skor Kondisi Tubuh A
158,847
9
Gemuk
B
130,763
9
Sedang
127,143
7
Kurus
B B
Keterangan: Abjad yang Sama pada Kolom Group Duncan menunjukkan tidaak terdapat perbedaan yang signifikan (P>0,05)