…
1
PARADOKS KEBIJAKAN INDUSTRIALISASI PARIWISATA DENGAN PERLINDUNGAN TERHADAP UPAH PEKERJA DI BIDANG KEPARIWISATAAN DI PROVINSI BALI Dr. I Wayan Gde Wiryawan, SH.,MH Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar
[email protected] Abstract: Development of tourism in Bali province implemented the concept of cultural tourism experience rapid growth has led to tourism as an industry that is expected to improve the welfare of the people of Bali. Commitment to industrialization led tourism policies aimed Bali provincial government to support the development of the tourism industry. Tourism industrialization policy that is not coupled with the protection of wage policy in the field of tourism has caused injustice to workers in the field of tourism. The role of workers in the tourism area is very large in the sustainability of the tourism industry by the government does not get the attention even though workers in the field of tourism is an integral part of the Pancasila Industrial Relations. Keyword: cultural tourism, tourism industry, policy, workers in the field of tourism, protection, salary. A. Pendahuluan Pertumbuhan pariwisata di dunia yang sangat pesat menyebabkan kegiatan pariwisata dimanfaatkan sebagai salah satu bidang pembangunan yang sedang dikembangkan pada masa kini. Oleh karena itu sektor pariwisata, terutama pariwisata internasional yang termasuk dalam program pembangunan nasional di Indonesia sebagai salah satu sektor pembangunan ekonomi. 1 Harapan pada pariwisata sebagai komoditas ekspor yang diharapkan mampu menggantikan peranan migas didasarkan atas potensi pariwisata yang cukup besar, sehingga sejak Pelita I, pariwisata Indonesia melaju dengan tingkat pertumbuhan yang melebihi negara-negara Asia Pasifik yang mencatat pertumbuhan yang lebih tinggi dari pertumbuhan dunia yaitu 7% dan pertumbuhan dunia adalah 4,4% sedangkan Indonesia mengalami pertumbuhan 39,6% pertahun. 2 Dalam Pelita II rata-rata pertumbuhan mencapai 11,7% yaitu dari 313.425 pada tahun 1974 menjadi 486.674 pada tahun 1978. Sedangkan dalam periode 1975-1985 kunjungan wisata manca negara di Indonesia menunjukan pertumbuhan 7% dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara yang menunjukan pertumbuhan 6,5%.
1
Selo Soemardjan, 1974, “Pariwisata dan Kebudayaan”, dalam Prisma No.1 Tahun III Februari, hal.
56. 2
I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri, 2005, Sosiologi Pariwisata, Andi, Yogyakarta, hal. 42.
…
2
Harapan Bangsa Indonesia terhadap pembangunan pariwisata yang sangat tinggi sebagai salah satu bidang pembangunan yang dapat menciptakan kesejahteraan terhadap masyarakat Indonesia seperti yang diamanatkan dalam konstitusi menyebabkan pengaturan mengenai
keberlanjutan
penyelenggaraan
kepariwisataan
agar
dapat
memberikan
kemanfaatan terhadap masyarakat secara normatif telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Hal tersebut sejalan dengan pertimbangan terhadap kelahiran UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan pada huruf a, yaitu: bahwa keadaan alam, flora, dan fauna, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni, dan budaya yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan sumber daya dan modal pembangunan kepariwisataan untuk peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat sebagaimana terkandung dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Keberadaan pariwisata yang secara normatif tidak dapat terlepas dari keadaan alam dan budaya suatu daerah menyebabkan Provinsi Bali menjadi sebagai salah satu daerah yang memiliki potensi yang sangat besar untuk mengembangkan pariwisata sebagai salah satu sektor pembangunan yang diharapkan mampu untuk menunjang pendapatan daerah dalam rangka untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Pengakuan Bali sebagai daerah tujuan wisata terbaik telah dilakukan oleh berbagai media media internasional di berbagai negara diantaranya Majalah “Time” di Amerika Serikat semenjak tahun 2005 sampai 2007 secara berturut-turut telah menetapkan Pulau Bali sebagai pulau wisata terbaik di dunia, majalah “Luxury Travel Magazine”, London, Inggris telah menganugerahkan Bali sebagai The Best Exotic Destination, pada tahun 2010 , “Travel and Leisure Magazine” menganugerahkan Bali sebagai World's Best Island tahun 2009 dan Bali juga ditempatkan sebagai Lonely Planet's Best of Travel tahun 2010. Dan pada tahun 2011 media penyiaran BBC Travel juga memasukan Bali sebagai salah satu dari lima pulau terbaik di dunia. Kesadaran tentang potensi alam dan budaya yang sangat besar dalam menunjang kegiatan kepariwisataan menjadikan pemerintah Provinsi Bali secara normatif telah menjadikan Konsep Pariwisata Budaya sebagai landasan penyelenggaraan kepariwisataan di Provinsi Bali. Penetapan Pariwisata Budaya sebagai konsep penyelenggaraan pariwisata di Bali telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3
…
3
Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya. Picard dengan mengutip Gubernur Bali Soekarmen pada seminar tahun 1971 menguraikan rumusan pariwisata budaya: 3 Pariwisata sebagai genus proximinum serta budaya sebagai differentia specifia membawa konsekwensi yang berat karena predikat budaya membatasi pengertian pariwisata. Segala sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai seni dan budaya tidak boleh dilaksanakan. Demikian pula industri-industri pariwisata kita haruslah industri pariwisata budaya, suatu industri yang bahan bakunya dan yang “dijual” adalah kebudayaan itu sendiri, dengan batas-batas bahwa pengembangan kepariwisataan itu tidak boleh berakibat merosotnya nilai-nilai kebudayaan kita yang merupakan daya tarik pokok bagi seorang wisatawan untuk berkunjung ke Bali. Penyelenggaraan pariwisata di Bali yang berlandaskan pada konsep Pariwisata Budaya tersebut telah menyebabkan perkembangan pariwisata di Bali menjadi semakin pesat dan semakin menjanjikan untuk dijadikan sebagai industri andalan Bali. Menjadikan pariwisata sebagai industri akan dapat tercapai dengan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah yang diarahkan pada upaya untuk pengembangan industri pariwisata tersebut. Kebijakan yang menyangkut pemanfaatan ruang, wilayah, perizinan dan lain sebagainya selalu diarahkan pada upaya untuk menunjang pertumbuhan industri pariwisata. Tidak dapat dipungkiri lagi perkembangan pariwisata di Bali sebagai penyebab tumbuhnya ekonomi Bali. Secara konsisten adanya industri pariwisata yang mampu membuka lapangan kerja menyebabkan penyerapan tenaga kerja yang terus meningkat, yaitu 96,23 persen pada tahun 2010, menjadi 96,69 % pada tahun 2011 dan 96,87% tahun 2012. 4 Pengaruh perkembangan industri pariwisata terhadap penyerapan tenaga kerja di Bali ditunjukan dengan tingginya penyerapan angkatan kerja pada sektor tersier. Secara teoritis industri diklasifikasikan berdasarkan tiga sektor utama yaitu: sektor Primer, Sekunder dan Tersier, dan pariwisata sebagai salah satu industri yang masuk dalam sektor tersier tersebut. Perkembangan pariwisata membuat sektor tersier menjadi leading sector di Bali, yang dibarengi oleh tingginya penyerapan tenaga kerja pada sektor yang bersangkutan. 5 Hal tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini.
3
Michel Picard, 2006, Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, KPG, Jakarta, hal. 187. Badan Pusat Statistik Provins Bali (BPS), 2010, Statistik Daerah Provinsi Bali 2010, BPS, Denpasar, hal. 7. 5 Ibid 4
…
4
Tabel 1. Penyerapan Tenaga Kerja di Bali No Uraian 2010 1 Bekerja di Sektor Primer 36,46 2 Bekerja di Sektor Sekunder 21,27 3 Bekerja di Sektor Tersier 42,27 Sumber: BPS Provinsi Bali (Hasil Sakernas)
2011 36,38 20,26 43,36
2012 34,63 21,54 43,83
Adanya kebijakan yang menunjang perkembangan industri pariwisata tidak diikuti dengan adanya kebijakan tentang perlindungan terhadap upah pekerja dibidang kepariwisataan. Walaupun telah disadari bahwa keberadaan pekerja dibidang kepariwisataan merupakan modal utama keberlangsungan industri pariwisata. Pada saat ini kebijakan terhadap perlindungan upah di Provinsi Bali hanya terbatas pada kebijakan tentang upah mínimum, baik Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten (UMK) tidak serta merta dianggap memberikan perlindungan terhadap upah pekerja dibidang kepariwisataan. Tuntutan akan pentingnya penetapan upah minimum yang berbasis pada perlindungan pada pekerja di bidang kepariwisataan tersebut juga dikemukakan oleh Ketua Serikat Pekerja Kabupaten Badung Satya Wira Mahendra pada acara "simakrama" bersama Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Wakil Gubernur A.A.N. Puspayoga, di Denpasar yang mengharapkan Gubernur Pastika memperjuangkan UMP khusus sektor pariwisata karena penting bagi para pekerja di bidang kepariwisataan di daerah Bali, mengingat pekerja di Bali yang sebagian besar bergerak dalam bidang jasa pariwisata, upahnya disamakan dengan sektor lain. 6 Menurut Satya Wira Penetapan UMP sektor pariwisata itu penting mengingat 75 persen masyarakat Bali menggantungkan hidupnya dari jasa pariwisata, karena UMP yang berlaku selama ini hanya mampu memenuhi 85% kebutuhan pokok minimal pekerja pariwisata sehingga ketentuan upah minimum belum memberikan perlindungan terhadap upah dari pekerja di bidang kepariwisataan.
B. Kebijakan Industrialisasi Pariwisata di Provinsi Bali Diukur secara kuantitas, peranan pariwisata cukup nyata sebagai tulang punggung pembangunan di Indonesia. 7 Industri tanpa cerobong tersebut memiliki daya serap tenaga kerja dan pendapatan yang cukup tinggi dalam meningkatkan kontribusi bagi produk 6
Anonim, 2010, ”Gubernur Bali Diminta Perjuangkan UMP Pariwisata”, http://www.antarasumbar.com/id/berita/nasional, diakses terakhir pada 12 Januari 2013. 7 I.G.N. Parikesit Widiatedja, 2010, Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita, Udayana University Press, Denpasar, hal. 11.
…
5
domestik bruto. Sejak tahun 2001 telah diungkap bahwa pariwisata menyumbang sekitar USD 5,4 miliar dan Bali memberikan kontribusi sebesar 40% kemudian selalu meningkat sehingga pada tahun 2004 sektor pariwisata menyumbang 534.290.000 USD untuk investasi asing dan 312.625.000 USD untuk investasi dalam negeri. Kontribusi pariwisata lainnya dapat tercermin dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang dalam faktanya bahwa pada Tahun 2002 pariwisata telah menjadi penyumbang devisa kedua terbesar setelah ekspor migas. 8 Data tersebut diatas menunjukan bahwa dampak pariwisata di Bali sebagai daerah pariwisata utama di Indonesia juga mengalami perkembangan yang sangat signifikan yang menyebabkan semakin banyaknya usaha pariwisata yang bermunculan, seperti hotel, restoran, biro perjalanan wisata, objek dan daya tarik wisata, usaha wisata tirta dan lain-lain. Dalam Direktori Dinas Pariwisata Propinsi Bali Tahun 2010, jumlah Akomodasi di Bali pada tahun 2009 adalah 2.175 dengan 46.014 kamar, dengan perincian Hotel Bintang 157 dengan 21.118 kamar, Hotel Melati 1.037 dengan 20.516 kamar dan Pondok Wisata 981 dengan 4380 kamar. Jumlah Restoran/Rumah Makan pada tahun 2009 adalah 1.693 atau 82.663 seat. Disamping Akomodasi dan restoran, perkembangan jumlah Biro Perjalanan Wisata yang ada di Bali telah mencapai 617 dengan objek dan daya tarik wisata sejumlah 264 buah serta usaha wisata tirta sejumlah 188 buah. Perkembangan industri pariwisata tersebut juga diikuti dengan perkembangan pramuwisata yang mencapai 8.182 orang, 9 yang sebagian besar ada di Kabupaten Badung. Adanya kebijakan penerbangan langsung ke Bali serta penanaman modal berskala besar di sektor pariwisata pada tahun 1980-an yang diarahkan pada awalnya sebagai pemenuhan prasarana dan sarana kepariwisataan, tidak dapat terhindar dari munculnya pariwisata bercorak kapitalisme yang menerjang Bali. 10 Lahirnya kebijakan lokal di Bali dibawah kepemimpinan Ida Bagus Oka yang mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Nomor 528 Tahun 1993 yang menentukan 21 kawasan wisata merupakan pintu masuk utama masuknya investor dalam bidang kepariwisataan. Keluarnya surat keputusan gubernur tersebut pada intinya adalah untuk kepentingan pengembangan pariwisata Bali dengan menentukan 21 kawasan yang siap dijual. Munculnya surat keputusan tersebut kemudian didukung penuh oleh DPRD Tk. I Bali. Kebijakan pemerintah tersebut akhirnya tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) No. 4 Tahun 1996 tentang Rencana Tata Ruang 8
Ibid. Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2009, Direktori 2009. 10 Bagyono, 2007, Pariwisata dan Perhotelan, Alpabeta, Bandung, hal. 615-616 9
…
6
Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bali kemudian diperbaharui menjadi Kawasan Daerah Daya Tarik Wisata Khusus (KDTWK) dalam Perda No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali 2009-2029 yang hingga kini masih menjadi perdebatan di Bali. Peranan pariwisata dalam pembangunan negara pada garis besarnya berintikan tiga segi, yakni segi ekonomis (sumber devisa, pajak-pajak), segi sosial (penciptaan lapangan kerja), dan segi kebudayaan (memperkenalkan kebudayaan kita kepada wisatawan). 11 Menjadikan pariwisata sebagai sebuah kegiatan ekonomi, mengandung arti bahwa tujuan utama dari pengembangan pariwisata ialah untuk mendapatkan keuntungan dalam hal perekonomian, khususnya, bagi masyarakat maupun daerah (negara) 12 menyebabkan berkembangnya pariwisata sebagai salah satu bisnis terbesar dunia dengan menjadikan pariwisata sebagai industri gaya baru yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup dan dalam mengaktifkan sektor lain di dalam negara penerima wisatawan, disamping itu pariwisata sebagai suatu sektor yang kompleks meliputi industri penunjang lainnya, seperti industri kerajinan tangan, industri cinderamata, penginapan dan transportasi. 13 Pariwisata menjadi “industri payung” yang mencakup penerbangan, hotel, restoran, museum, penyewaan mobil, agen perjalanan dan segala sesuatu yang menjual barang dan jasa kepada pariwisata. 14 Sehingga bisnis pariwisata dapat dijabarkan sebagai kegiatan kepariwisataan yang berorientasi pada penyediaan jasa pariwisata yang meliputi jasa perjalanan (travel) dan transportasi (transportation), penginapan (accommodation), jasa boga (restaurant), rekreasi (recreation) dan jasa-jasa lain yang terkait, seperti jasa informasi, telekomunikasi, penyediaan tempat dan fasilitas untuk kegiatan tertentu, penukaran uang (money changer) dan jasa hiburan (entertainment). 15 Penyelenggaraan bisnis pariwisata yang didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU No. 10 Th. 2009 tentang Kepariwisataan) dipergunakan istilah usaha pariwisata. Keberadaan usaha pariwisata tersebut tidak akan dapat berjalan 11
Hari Hartono, 1974”Perkembangan Pariwisata, Kesempatan Kerja dan Permasalahannya”, PRISMA Th. III No. 2 (Feb,) hal. 45 dalam James J. Spillane, 1993Ekonomi Pariwisata Sejarah dan Prospeknya, Kanisius, Yogyakarta, hal. 54 12 I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri, Op.Cit, hal. 31. 13 Salah Wahab, 1976, Manajemen Kepariwisataan Terjemahan Frans Gromang, PT Pradnya Paramita,Jakarta, hal. 5. 14 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992, Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial Di Daerah Jawa Tengah,Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, hal. 2. 15 Ida bagus Wyasa Putra, dkk, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, PT Refika Aditama, Bandung, hal. 17.
…
7
tanpa didukung usaha-usaha pariwisata lain yang berkait sehingga menjadikan usaha pariwisata tersebut sebagai sistem industri pariwisata yang akan menjadi bagian kepariwisataan secara umum. Dalam Pasal 1 angka 9 UU No.10 Th 2009 tentang Kepariwisataan,
industri pariwisata diartikan sebagai kumpulan usaha pariwisata yang
saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata.
C. Dilematika Kebijakan Ketentuan Upah Minimum Terhadap Perlindungan Upah Pekerja Pariwisata Kebijakan upah minimum yang terwujud dalam Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) merupakan wujud dari peran pemerintah dalam hubungan industrial pada kenyataannya masih menimbulkan banyak persoalan yang membuat sistem pengupahan dalam dunia ketenagakerjaan semakin komplek, persoalan akan muncul setiap tahunnya mulai dari proses penetapan sampai pada proses implementasinya. Pengaturan mengenai perlindungan terhadap upah melalui upah minimum pada prinsipnya diharapkan mampu mengubah kehidupan buruh menjadi lebih baik ternyata hanya mampu mengisi kekosongan dan kevakuman hukum saja 16 walaupun secara normatif terbitnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga secara eksplisit mengatur tentang peran pemerintah dalam perlindungan terhadap upah tersebut seperti dinyatakan dalam Pasal 88 UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu: (1)
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi : a. upah minimum; b. upah kerja lembur; c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. bentuk dan cara pembayaran upah; g. denda dan potongan upah; h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; i. struktur dan skala pengupahan yang proporsional;
(2)
(3)
16
Abdul Rachmad Budiono, 2009, Hukum Perburuhan, Indeks, Jakarta, hal. 3.
…
(4)
8
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan mem-perhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Penetapan ketentuan upah mínimum yang diarahkan untuk memenuhi hak pekerja untuk memperoleh penghasilan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tersebut diatur dalam Pasal 89 UU No. 13 Th. 2003 tentang Ketenagakerjaan ditentukan: (1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas : a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota; b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. (2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak. Timbulnya persoalan tersebut tidak terlepas dari adanya persoalan landasan yuridis tentang penetapan upah minimum. Pengaturan dalam Pasal 88 ayat (4) dan Pasal 89 ayat (2) tersebut tidak dapat berjalan efektif karena sampai saat ini belum ada Peraturan Pelaksanaan (PP) dari ketentuan tersebut sehingga peraturan teknis tentang indikator untuk penetapan upah mínimum didasarkan atas Permen No. 01/MEN/1999 tentang Upah Minimum yang dalam Pasal 6 ayat (1) terdapat perbedaan substansial tentang indikator penetapan upah minimum. Dalam Pasal 6 ayat (1) dinyatakan: Upah Minimum Provinsi dan Upah Minimum Kabupaten ditetapkan dengan mempertimbangkan: a. Kebutuhan; b. Indeks Harga Konsumen (IHK); c. Kemampuan, perkembangan dan kelangsungan perusahaan; d. Upah pada umumnya yang berlaku di daerah tertentu dan antar daerah; e. Kondisi pasar kerja; f. Tingkat perkembangan perekonomian dan pendapatan perkapita. Dari ketentuan pasal 6 ayat (1) tersebut menunjukan bahwa selain indikator kebutuhan juga harus diperhatikan indikator-indikator lain dalam penetapan ketentuan upah mínimum yang kadangkala tidak semua indikator tersebut dapat sejalan bahkan kadangkala saling bertentangan. Seperti misalnya nilai KHL yang telah ditetapkan oleh satu provinsi atau kabupaten yang apabila dianggap terlalu tinggi oleh pengusaha akan dapat ditolak dengan argumentasi kemampuan perkembangan dan kelangsungan perusahaan yang tidak baik atau kondisi pasar kerja yang masih banyak pengangguran dan lain sebagainya. Hal sebaliknya dapat terjadi jika KHL dianggap terlalu rendah oleh pekerja maka akan dipakai
…
9
salah satu indikator lain seperti upah pada umumnya didaerah tertentu yang dianggap lebih tinggi sebagai dasar penolakan. Dari persoalan normatif tersebut menyebabkan ketentuan upah mínimum akan semakin menimbulkan persoalan pada saat pelaksanaannya. Kompleksnya permasalahan upah minimum di Provinsi Bali semakin bertambah ketika pekerja pada sektor pariwisata beranggapan bahwa kebijakan upah minimum belum dapat memberikan perlindungan pada upah kaum pekerja di bidang kepariwisataan padahal Bali sebagai daerah tujuan wisata yang telah menetapkan Arah Kebijakan Pembangunan untuk melaksanakan Misi ke-3 Kebijakan Pembangunan Provinsi Bali yaitu Mewujudkan Bali yang Sejahtera dan Sukerta lahir dan Bathin dengan salah satu program utamanya adalah pembangunan sektor pariwisata yang diarahkan pada pengembangan pariwisata kerakyatan dan demokratisasi usaha pariwisata untuk pemberdayaan masyarakat. 17 Hal ini terlihat dari pencapaian pada Tri Wulan III Sektor Pariwisata, Perdagangan dan Pertanian telah menyumbang kontribusi sebesar Rp. 6.691 miliar atau sekitar 32,36 persen dari ekonomi Bali. 18 Pada kenyataannya, perkembangan pariwisata di Provinsi Bali yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali pada umumnya dan peningkatan kesejahteraan pekerja di bidang kepariwisataan belum dapat tercapai. Upaya perlindungan terhadap upah pekerja di bidang kepariwisataan dengan upah minimum oleh pemerintah sampai saat ini dianggap belum efektif ditengah tingginya kontribusi sektor pariwisata terhadap perekonomian Bali. Pemerintah Provinsi Bali dari awal penetapan upah mínimum sampai pada tahun 2013 hanya menetapkan UMP dan UMK, yang tidak hanya berorientasi pada sektor pariwisata tetapi berorientasi pada semua sektor secara umum yang menjadikan pekerja di bidang kepariwisataan merasakan ketidakadilan. Penetapan UMP dan UMK yang dianggap tidak memberikan perlindungan terhadap pekerja pariwisata ditengah derasnya perkembangan industri pariwisata di Bali menyebabkan permasalahan upah minimum di Bali memiliki problematika filosofis, teoritis, yuridis dan empiris, sehingga terjadi kesenjangan antara kebijakan industrialisasi pariwisata dengan perlindungan upah pekerja di bidang kepariwisataan di Provinsi Bali.
17
Pemerintah Provinsi Bali, ”Sosialisasi Kebijakan Pembangunan Provinsi Bali Dalam Mewujudkan Bali Mandara”, Denpasar, 5 September 2009. 18 Jawa Pos, ”Pariwisata Masih Jadi Andalan Bali”, Jawa Pos Edisi 30 November 2010.
…
10
D. Sinergitas Kebijakan Industrialisasi Pariwisata dan Perlindungan Terhadap Pekerja dibidang Kepariwisataan Provinsi Bali sebagai salah satu Provinsi di Indonesia telah menetapkan kebijakan upah minimum sejak tahun 1983 yang pada saat awal keberadaannya ditentukan oleh pemerintah pusat. Keberadaan kebijakan upah minimum yang ditentukan secara sentralistik oleh pemerintah pusat tidak dapat memberikan solusi terhadap persoalan pengupahan. Dalam
perkembangannya
seiring
dengan
semangat
desentralisasi
dalam
sistem
pemerintahan daerah telah timbul kesadaran bahwa kebijakan upah minimum sebagai bagian dari kebijakan ketenagakerjaan tidak dapat terlepas dari kebijakan pembangunan yang lain dalam suatu daerah yang akan ditetapkan upah minimumnya. Kebijakan upah minimum di Provinsi Bali merupakan bagian dari kebijakan ketenagakerjaan tidak dapat terlepas dari kebijakan pembangunan dibidang lain yang berkait, salah satunya adalah pembangunan kepariwisataan yang menumbuhkan industri pariwisata sebagai penyerap tenaga kerja terbesar di Bali. Dalam rencana stratejik (renstra) Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dinyatakan bahwa pembangunan kebudayaan dan kepariwisataan merupakan bagian dari proses pembangunan nasional dalam rangka mencapai cita-cita Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mandiri, maju, adil dan makmur. Selain itu pembangunan kebudayaan dan kepariwisataan merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 19 Pembangunan kepariwisataan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja, mendorong pemerataan kesempatan berusaha, mendorong pemerataan pembangunan nasional, dan memberikan kontribusi dalam penerimaan devisa negara yang dihasilkan dari jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman), serta berperan dalam mengentaskan kemiskinan yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pariwisata juga berperan dalam upaya meningkatkan jati diri bangsa dan mendorong kesadaran dan kebanggaan masyarakat terhadap kekayaaan alam dan budaya bangsa dengan memperkenalkan kekayaan alam dan budaya.
19
Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : PM.17/pr.001/MKP/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2010–2014, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, Jakarta, 2010. hal. 1
…
Kesadaran
tentang
pentingnya
pembangunan
pariwisata
untuk
11
menunjang
kesejahteraan masyarakat Bali seharusnya menjadikan pemerintah Provinsi Bali untuk menetapkan kebijakan tentang perlindungan bagi pekerja di bidang kepariwisataan agar terjadi keseimbangan antara kebijakan pengembangan industrialisasi pariwisata dengan kebijakan perlindungan pekerja di bidang kepariwisataan. Perlindungan terhadap pekerja di bidang kepariwisataan yang bertujuan untuk pencapaian tujuan kesejahteraan pekerja akan menyangkut berbagai aspek. Upaya perlindungan terhadap tenaga kerja meliputi aspek-aspek: 20 1. Perlindungan hukum, yaitu apabila dapat dilaksanakan peraturan perundangundangan dalam bidang ketenagakerjaan yang mengharuskan atau memaksakan majikan bertindak sesuai dengan perundang-undangan tersebut dan benar-benar dilaksanakan oleh semua pihak yang terkait. 2. Perlindungan ekonomi, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya. 3. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan yang tujuannya memungkinkan pekerja itu mengenyam dan mengembangkan perikehidupannya sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat. 4. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan yang berkaitan dengan usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang ditimbulkan atau berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Upaya untuk pencapaian keadilan dalam menuju kesejahteraan pekerja di bidang kepariwisataan adalah dengan terpenuhinya keempat aspek perlindungan pekerja tersebut diatas. Penetapan UMP dan UMK yang tidak berorientasi pada situasi dan kondisi pihakpihak yang berkaitan dengan industri pariwisata tetapi berorientasi pada situasi dan kondisi industri secara umum dirasakan belum dapat memberikan jaminan terhadap keempat perlindungan tersebut secara komprohensif. Dalam perspektif pekerja di bidang kepariwisataan ketentuan UMP dan UMK hanya dikonstruksikan pada upaya perlindungan hukum terhadap pekerja di bidang kepariwisataan sedangkan perlindungan dari aspek ekonomi, sosial dan teknis dirasakan belum terakomodir.
E. Penutup Penyelenggaraan Pariwisata di Bali yang didasarkan pada konsep Pariwisata Budaya menyebabkan perkembangan yang sangat pesat, dan telah menjadikan pariwisata sebagai sebuah industri yang dapat dijadikan andalan dalam upaya untuk mensejahterakan 20
Zaenal Asikin dkk., 2010, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 76
…
12
masyarakat Bali. Kebijakan-kebijakan Pemerintah Provinsi Bali yang diadakan untuk menunjang perkembangan industri pariwisata telah menjadikan Bali sebagai salah satu pusat industri pariwisata terkemuka di Indonesia dan dunia. Kebijakan industrustrialisasi pariwisata yang telah menyebabkan pertumbuhan ekonomi di Bali secara makro tidak dibarengi dengan adanya kebijakan tentang perlindungan terhadap upah pekerja dibidang kepariwisataan telah menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pekerja di bidang kepariwisataan. Pemerintah Provinsi Bali sebagai regulator dalam Hubungan Industrial Pancasila sampai saat ini terbatas hanya menetapkan ketentuan Upah MinimumP (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten (UMK) sebagai satu kebijakan perlindungan upah yang diperuntukan terhadap pekerja pada semua sektor industri di Provinsi Bali, telah menyebabkan timbulnya rasa ketidakadilan bagi pekerja dibidang kepariwisataan karena tidak diakuinya peran pekerja dbidang kepariwisataan untuk menunjang industi pariwisata tersebut oleh pemerintah. Oleh karena itu keberadaan UMP dan UMK memiliki problematika filosofis, teoritis, yuridis dan empiris.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Abdul Rachmad Budiono, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Indeks, 2009) Badan Pusat Statistik Provins Bali (BPS), Statistik Daerah Provinsi Bali 2010, (Denpasar: BPS, 2010) Bagyono, Pariwisata dan Perhotelan, (Bandung: Alpabeta, 2007) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Kehidupan Sosial Di Daerah Jawa Tengah (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992) Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Direktori 2009 Ida Bagus Wyasa Putra, dkk, Hukum Bisnis Pariwisata, (Bandung PT Refika Aditama, 2003) I Gde Pitana dan Putu G. Gayatri, Sosiologi Pariwisata, (Yogyakarta: Andi, 2005) I.G.N. Parikesit Widiatedja, Liberalisasi Jasa dan Masa Depan Pariwisata Kita, (Denpasar: Udayana University Press, 2010) Michel Picard, Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, (Jakarta, KPG, 2006) Salah Wahab, Manajemen Kepariwisataan Terjemahan Frans Gromang, (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1976)
…
13
Selo Soemardjan, “Pariwisata dan Kebudayaan”, dalam Prisma No.1 Tahun III Februari 1974 Zaenal Asikin dkk., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010) JURNAL, INTERNET DAN KORAN ”Gubernur Bali Diminta Perjuangkan UMP Pariwisata”, Sabtu, 29 Mei 2010, http://www.antara-sumbar.com/id/berita/nasional, 20/09/ 2010. Jawa Pos, ”Pariwisata Masih Jadi Andalan Bali”, 30 November 2010. Hari Hartono, ”Perkembangan Pariwisata, Kesempatan Kerja dan Permasalahannya”, PRISMA Th. III No. 2 (Feb, 1974) hlm. 45 dalam James J. Spillane. Ekonomi Pariwisata Sejarah dan Prospeknya (Yogyakarta: Kanisius, 1993) Pemerintah Provinsi Bali, ”Sosialisasi Kebijakan Pembangunan Provinsi Bali Dalam Mewujudkan Bali Mandara”, Denpasar, 5 September 2009. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Lembaran Negara Tahun 2003 nomor 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 nomor 11 Peraturan Presiden Nomor. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor : PM.17/pr.001/MKP/2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Tahun 2010–2014 (Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia, 2010) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per01/MEN/1999 tentang Upah Minimum Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pariwisata Budaya. Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Tahun 1991 Nomor 241 Seri C Nomor 239
…
14
ULTRA VIRES DALAM PERSEPEKTIF HUKUM PERUSAHAAN
I Gusti Ngurah Anom, SH, MH Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati
Abstract Ultra vires is a action that take by the company which through a legal authority. Ultra vires is usually done in a limited liability company, but did not rule out the possibility that other legal entities. Ultra vires is a doctrine governing the legal consequences if the company acted outside the authority which mention in the articles of association, that considered null and void for all the company’s actions. Keyword : Company, Authority, Ultra Vires A.
PENDAHULUAN Seorang ahli hukum komersial Inggris yang bernama Roy Goode, mengatakan bahwa
kualitas dan kuantitas interaksi antar manusia dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tidak pernah berhenti, melainkan terus tumbuh seiring dengan tantangan perubahan zaman. Pertumbuhan jumlah dan kebutuhan hidup manusia, yang diiringi dengan perkembangan teknologi modern yang begitu cepat, membuat jumlah aktivitas dan cara manusia tersebut beraktivitas dalam memenuhi kebutuhan dan ambisi hidupnya juga berubah dan semakin kompleks. 21Untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya, manusia sebagai mahluk yang berakal dan berbudaya tidak hanya bergantung segala apa yang bersifat alamiah, tetapi dapat menciptakan segala sarana, barang-barang atau produk budaya. Sesuai dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan manusia, maka kebutuhan manusia juga meningkat terhadap berbagai aneka produk budaya. Hal ini menunjukkan bahwa badan-badan usaha yang didirikan oleh anggota masyarakat ataupun negara berupaya untuk menciptakan berbagai produk budaya untuk memenuhi segala kebutuhan masyarakat, juga dengan adanya badan-badan usaha tersebut terjadi interaksi atau keterkaitan antara masyarakat badan-badan usaha. 22 Bentuk-bentuk badan usaha di Indonesia merupakan bentuk-bentuk yang mengadopsi bentuk usaha yang ada di Belanda, yang dapat berupa Perusahaan Perseorangan yaitu usaha 21
Ricardo Simanjuntak, 2006, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Penerbit Harian Mingguan Ekonomi dan Bisnis Kontan, hal.1. 22 Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-Prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, CV Mandar Maju, Bandung, hal.60.
…
15
pribadi yang memikul resiko secara pribadi atau perorangan, kemudian Persekutuan Perdata/Maatschaap yang merupakan suatu perjanjian dengan mana dua orang atau lebih mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu (inbreng) ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang diperoleh karenanya. Selain itu ada juga Perseroan Firma, yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (selanjutnya disebut KUHD) dalam Pasal 16 sampai Pasal 35. Kemudian Persekutuan Komanditer (Comanditaire Vennotscdhaap)atau lazim disebut CV. Kemudian badan usaha yang lain adalah Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut PT), yang diatur dalam UU No.1 Tahun 1995 jo UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT), dimana PT adalah badan hukum yang didirikan atas perjanjian yang melakukan kegiatan usaha dengan modal tertentu yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang serta Peraturan Pelaksanaannya(Pasal 1 ayat 1 UU PT). 23 Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU PT tersebut secara jelas menentukan bahwa PT itu adalah Badan Hukum. Hal ini sangat berbeda bila dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHD, tidak ada salah satu pasalpun yang menyatakan bahwa PT itu sebagai badan hukum. Sebagai badan hukum ini berarti bahwa PT memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung hak dan kewajiban, antara lain memiliki harta kekayaan sendiri terpisah dari harta kekayaan pendiri atau pengurusnya. 24 Sebagai badan hukum maka perseroan memenuhi unsur-unsur sebagai badan hukum, yaitu adanya organisasi yang teratur, hal ini dapat kita lihat dari adanya organ perusahaan yang terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris. Ketentuan organisasi perseroan dapat diketahui melalui ketentuan UUPT, Anggaran Dasar Perseroan, Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham, Keputusan Dewan Komisaris, Keputusan Direksi dan Peraturan-peraturan perusahaan lainnya yang dikeluarkan dari waktu ke waktu. Kemudian dalam anggaran dasar inilah suatu perusahaan mempunyai coorporate power atau yang disebut dengan kapasitas atau kemampuan atau kesanggupan. Maksud dari coorporate power ini adalah kesanggupan
dari perusahaan untuk melaksanakan
kewenangan-kewenangannya dalam urusan bisnis. Walaupun suatu perusahaan mempunyai 23
Johannes Ibrahim, 2006, Hukum Organisasi Perusahaan, Bandung, Refika Aditama, Jakarta,
hal.21 24
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, 2000, Seri Hukum Bisnis, Perseroan Terbatas, Penerbit PT Raja Grafindo Persada,Jakarta,hal. 8.
…
16
kewenangan dalam urusan bisnis tetapi tidak boleh melampaui batas-batas kewenangan yang diberikan, sehingga tidak terjadi tindakan yang melampaui batas kewenangan atau yang lazim disebut dengan ultra vires.Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah mengenai: 1. Apakah memberikan derma atau amal atau kontribusi kepada Parpol termasuk dalam kategori ultra vires? 2. Apakah memberikan tambahan tunjangan kepada karyawan/pemberian bonus termasuk dalam kategori ultra vires? 3. Apakah memberikan pinjaman kepada karyawan/direksi termasuk dalam kategori ultra vires?
B. KAJIAN PUSTAKA 1. Pengertian Kewenangan Perusahaan/ Coorporate Power Dari segi sejarah hukum perseroan, ada perkembangan yang konsisten tentang apa yang dianggap kewenangan umum dari perseroan, yang umumnya diatur dalam peraturan perundang-undangan perseroan dan dikonkritkan dalam anggaran dasar perseroan tersebut. Perkembangan yang terjadi adalah perkembangan kearah pengakuan yang lebih luas kepada wewenang dari suatu perseroan. Kita harus dapat membedakan antara kewenangan (powers) dengan maksud dan tujuan (purpose) dari suatu perseroan. Kewenangan perseroan adalah kesanggupan dari perusahaan untuk melaksanakan kewenangan-kewenangannya dalam urusan bisnis. Sedangkan tujuan perseroan adalah setiap pernyataan yang menjelaskan jenis bisnis yang akan dilaksanakan oleh perseroan tersebut. Kewenangan disini dimaksudkan sebagai metode untuk melaksanakan maksud dan tujuan dari perseroan, misalnya perseroan dapat membuat kontrak dengan pihak ketiga, mengambil pinjaman, atau menjaminkan aset perseroan untuk hutang-hutang yang dibuatnya. Adapun sumber kewenangan suatu perseroan antara lain: 1)Peraturan perundang-undangan, 2)Anggaran dasar perseroan, 3)Praktek yang diawasi oleh departemen pemerintah yang terkait dan putusan-putusan badan peradilan. Jika dilihat dari sifat dari kewenangan umum perseroan sebagai kriteria kewenangan umum tersebut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Kewenangan
yang Melekat (Inherent Authority) pada Perseroan adalah
kewenangan yang ada pada setiap perseroan terlepas apapun jenis atau bisnis dari perseroan tersebut. Kewenangan ini terdapat pada contoh yang tersebut diatas.
…
17
b. Kewenangan yang Tersurat (Express Authority)adalah kewenangan dari perseroan dimana kewenangan tersebut sering diperinci dengan tegas dalam anggaran dasar dari perseroan tersebut. Kewenangan perseroan tersebut akan berbeda-beda menurut Model bisnis yang dilakukan oleh perseroan tersebut. c. Kewenangan yang Tersirat (Implied Power/ Incidental Power) adalah kewenangan dari perseroan dimana kewenangan tersebut harus dianggap penting atau layak dalam menjalankan bisnis atau merealisasi tujuan atau kewenangan yang tersurat dari perseroan, seperti tertulis dalam anggaran dasar atau perundang-undangan yang berlaku. 2. Doktrin Ultra Vires Salah satu karakteristik mendasar dari suatu perseroan terbatas sebagai corporation adalah sifat badan hukum dan pertanggung jawabannya yang terbatas dari perseroan terbatas. Dalam kepustakaan hukum Belanda, istilah badan hukum dikenal dengan sebutan “rechtperson”, dan dalam kepustakaan tradisi hukum common law sering kali disebut dengan istilah-istilah legal entity, juristic person atau artificial person. Legal entity dalam Kamus Hukum Ekonomi diartikan sebagai “badan hukum yaitu badan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan sebagai subyek hukum, yaitu pemegang hak dan kewajiban. Dari definisi tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya badan hukum adalah subyek hukum lain yang diakui memiliki kapasitas dan kewenangan untuk bertindak dalam hukum di samping individu, manusia , orang perorangan. 25 Kewenangan yang dimiliki oleh badan hukum ini sering disalahgunakan pemakaiannya sehingga terkadang bisa sampai melampaui wewenang yang diberikan oleh anggaran dasarnya atau undang-undang. Dalam melaksanakan kewenangannya tersebut tidak boleh menyimpang dari anggaran dasar.Apabila menyimpang, dapat dikatakan sebagai tindakan yang disebut dengan ultra vires. Istilah Ultra Vires berasal dari bahasa Latin, yang berarti “di luar” atau “melebihi” kekuasaan (outside the power), yaitu di luar kekuasaan yang diizinkan oleh hukum terhadap suatu badan hukum. Terminologi ultra vires dipakai khususnya terhadap tindakan perseroan yang melebihi kekuasaannya sebagaimana yang diberikan oleh anggaran dasarnya atau oleh peraturan yang melandasi pembentukan perseroan tersebut.
25
Gunawan Widjaja, 2008, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Penerbit Forum Sahabat, hal.13.
…
18
Ultra vires adalah tindakan yang dilakukan oleh perusahaan yang melampaui ruang lingkup dari maksud dan kewenangan suatu badan hukum. Ultra vires biasanya dilakukan dalam PT, tetapi tidak menutup kemungkinan untuk badan hukum yang lain. Konsep tradisional (khususnya yang berasal dari konsep Common Law) menganggap bahwa tindakan ultra vires adalah tindakan yang batal demi hukum (null and void) terhadap tindakan perseroan, dengan alasan bahwa perseroan tidak mempunyai kewenangan (menurut anggaran dasar atau menurut hukum yang berlaku) untuk melakukan tindakan tersebut. Oleh karena tindakan tersebut akibat hukumnya batal demi hukum, maka tindakan yang tergolong ultra vires tersebut tidak dapat diratifikasi dengan cara apapun oleh pemegang saham. Yang harus dilakukan adalah dengan cara mengubah anggaran dasar dari perseroan tersebut untuk dapat melingkupi perseroan untuk masa yang akan datang. Apabila terdapat kerugian terhadap pihak tertentu karena tindakan ultra vires ini , maka kerugian tersebut menjadi tanggung jawab pribadi antara lain berdasarkan doktrin piercing the corporate veil. Kemudian salah satu perkembangan dari doktrin ultra vires yang sangat monumental ini adalah adanya perlindungan terhadap pihak ketiga (pihak luar perseroan) yang bertransaksi dengan pihak perseroan, bahkan tindakan yang sudah dianggap ultra vires tetap dianggap sah untuk kepentingan pihak lawan transaksi, asalkan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. pihak ketiga tersebut beritikad baik. 2. pihak ketiga tidak menyadari adanya unsur ultra vires tersebut. Prinsip ini merupakan penyimpangan dari doktrin ultra vires dalam sistem Common Law yang tradisional, tempat dimana doktrin ultra vires tersebut berasal. Adapun akibat hukum dari dilakukannya ultra vires adalah: 1) Tindakan yang bersangkutan menjadi tidak sah, 2) Pemegang saham tidak dapat meratifikasi kontrak yang mengandung ultra vires, 3) kontrak yang mengandung ultra vires dinyatakan null and void
C. PEMBAHASAN 1. Ultra Vires dalam Anggaran DasarPerseroan Terbatas Anggaran dasar merupakan bagian dari akta pendirian perseroan terbatas. Sebagai bagian dari akta pendirian, maka anggaran dasar memuat aturan main dalam perseroan, yang menentukan setiap hak dan kewajiban dari pihak-pihak dalam anggaran dasar, baik perseroan itu sendiri, pemegang saham, pengurus (Direksi maupun Komisaris) perseroan.
…
19
Jadi, kewenangan perusahaan dalam suatu anggaran PT tertuang pada Pasal 3 ayat (1) yang mengatur tentang maksud dan tujuan didirikannya Perseroan tersebut. Agar pebisnis tidak terpasung oleh aspek aspek hukum dan prosedural yang kaku, maka mulailah dikembangkan model-model anggaran dasar perseroan yang responsif dan dapat mengakomodir perkembangan bisnis dari perseroan tersebut. Model-model anggaran dasar yang dikenal pada zaman modern ini adalah: a. Model sangat terperinci, dimana model ini memuat secara rinci dan lengkap mengenai tujuan pendirian perseroan, sehingga mengakibatkan hilangnya rasa keraguan, apakah tindakan yang dilakukan termasuk ultra vires atau tidak. b. Model Tujuan yang Multipel, dimana model ini dengan cara menulis tujuan perseroan dalam anggaran dasar secara multiple, sehingga perseroan dapat melakukan banyak jenis bisnis yang terkadang tidak saling berhubungan, walaupun dalam kenyataannya perseroan tersebut hanya melakukan satu jenis usaha. Hal ini diterapkan untuk dipakai berjaga-jaga, jika suatu saat nanti perseroan harus memasuki bisnis lain yang tidak terantisipasi ketika perseroan didirikan. c. Model Tujuan Yang Umum, dimana dalam model ini mencantumkan kata-kata yang umum, sehingga tujuan perseroan yang umum ini akan mencakup setiap kegiatan yang dilakukan perseroan di kemudian hari. Jadi yang ditulis dalam tujuan perseroan adalah kata-kata yang cakupannya sangat luas. d. Model
Pemudahan
dalam
Perubahan,
model
ini
menekankan
untuk
mempermudah melakukan perubahan pada anggaran dasarnya, sehingga apabila anggaran dasar harus dirubah dengan segera, dapat dengan mudah dilakukan, sepanjang perubahan tersebut tidak bertentangan dengan UU PT, yang mengharuskan perubahan anggaran dasar perseroan mesti melalui Rapat Umum Pemegang Saham, minimal 2/3 dari suara sah harus menyetujuinya, dan mendapat persetujuan dari menteri Hukum dan HAM. e. Model Tanpa Penyebutan, merupakan model yang paling liberal, yang menentukan bahwa dalam anggaran dasar sama sekali tidak dicantumkan apa yang menjadi maksud dan tujuan dari didirikannya perseroan tersebut.
Model sangat terperinci seperti yang telah diuraikan diatas merupakan model yang paling lengkap, karena tujuan Perseroan sudah secara jelas dicantumkan dalam anggaran
…
20
dasar tersebut, sehingga kalau Perseroan tersebut melakukan usaha di luar seperti yang telah diuraikan dalam anggaran dasar maka perbuatan Direksi tersebut dapat dikategorikan dalam tindakan yang ultra vires.UU PT mengisyaratkan berlakunya doktrin ultra vires yang antara lain menempatkan maksud dan tujuan perseroan pada posisi yang penting. Konsekuensi logisnya adalah bahwa pelanggaran terhadap maksud dan tujuan tersebut dapat menjadi masalah yang serius. 2.
Pemberian Derma atau Amal atau Kontribusi kepada Parpol Dalam Kaitan Dengan Ultra Vires Sudah menjadi pendapat umum bagi kalangan ahli hukum bahwa sah tidaknya suatu
perbuatan hukum sangatlah bergantung pada dipenuhi tidaknya kewenangan yang dimiliki oleh pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut.Kewenangan ini oleh kalangan ahli hukum digolongkan ke dalam kewenangan yang berdasarkan pada: a. kapasitas diri sendiri sebagai individu pribadi, yang bertindak untuk dan atas nama diri sendiri. b. Kapasitas sebagai pemegang kuasa, yang bertindak untuk dan atas nama diri pemberi kuasa. c. Kapasitas untuk bertindak dalam jabatan, yang dalam hal ini bertindak selaku yang berwenang berdasarkan jabatannya tersebut. Konsep kewenangan bertindak ini menjadi penting terutama jika dihubungkan dengan konsekuensi hukum dari tidak terpenuhinya syarat subyektif sahnya suatu perjanjian. Apabila tindakan yang dilakukan tersebut melampaui dari batas kewenangan yang dimiliki maka yang bersangkutan dapat dikategorikan melakukan tindakan ultra vires, yaitu doktrin yang mengatur akibat hukum seandainya perseroan bertindak di luar kewenangan yang telah disebutkan dalam anggaran dasar, yang menganggap batal demi hukum ( null and void) terhadap semua tindakan perseroan, dengan alasan yuridis bahwa perseroan tidak mempunyai kewenangan (menurut anggaran dasar atau aturan hukum yang berlaku), sehingga setiap perbuatan yang dianggap ultra vires tersebut tidak dapat diratifikasi oleh pemegang saham. Doktrin ultra vires ini disebut doktrin ultra vires tradisional yang berasal dri konsep Common Law. Apabila kita berpijak dari doktrin yang tradisional ini maka setiap perbuatan memberikan derma atau amal atau kontribusi kepada Parpol, atau memberikan tambahan tunjangan kepada karyawan/pemberian bonus, atau memberikan pinjaman kepada
…
21
karyawan/direksi termasuk ke dalam katagori ultra vires, karena hal tersebut tidak diatur dalam anggaran dasar dari perseroan yang bersangkutan. Pada prinsipnya hal yang diatur dalam anggaran dasar hanya memuat tentang: a. nama dan tempat kedudukan perseroan; b. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan yang sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku; c. jangka waktu berdirinya perseroan; d. besarnya jumlah modal dasar,modal yang ditempatkan ,dan modal yang disetor; e. jumlah saham,jumlah klasifikasi saham apabila ada,berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi,hak-hak yang melekatpada setiap saham; f. susunan,jumlah,dan nama anggota Direksi dan Komisaris; g. penetapan tempat dan tata cara penyelenggaran RUPS; h. tata cara pemilihan,pengangkatan,penggantian,dan pemberhentian anggota Direksi dan Komisaris; i. tata carapenggunaan laba dan pembagian deviden;dan j. ketentuan ketentuan lain menurut Undang-Undang ini. Jadi tidak ada dicantumkan tentang pemberian bonus,atau sumbangan kepada parpol, atau pemberian pinjaman kepada direksi, sehingga kalau perseroan melakukan hal seperti itu masuk ke dalam katagori ultra vires berdasarkan sistem tradisional. Tetapi kalau kita menyimak doktrin ultra vires yang modern sudah menunjukkan adanya perkembangan, dimana doktrin ultra vires sudah ditafsirkan secara lebih fleksibel, tidak kaku seperti doktrin aslinya, karena tidak setiap perbuatan yang dilakukan yang tidak diatur dalam anggaran dasar dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melewati kewenangan, atau sebagai tindakan yang dikategorikan ultra vires. Oleh karena itu yang selalu dihimbau oleh hukum adalah agar penerapan doktrin ultra vires tidak mengobokobok prinsip keadilan, bukan hanya terhadap perseroan, melainkan juga terhadap seluruh stake holder
dalam perseroan tersebut, yaitu terhadap pemegang saham mayoritas,
pemegang saham minoritas, direksi dan komisaris, pihak pekerja dalam perseroan, pihak kreditur maupun pihak ketiga. Dengan berkembangnya doktrin ultra vires yang modern ada kecendrungan yang menunjukkan adanya perkembangan yang cukup berarti, karena dengan timbulnya doktrin yang modern ini mulai ada toleransi terhadap perseroan untuk melakukan hal-hal yang tidak diatur dalam anggaran dasar perseroan tersebut. Pada umumnya peraturan perundang-undangan yang ada di berbagai negara memberikan kewenangan kepada perseroan untuk melakukan hal-hal antara lain sebagai berikut:
…
22
1. untuk menggugat dan digugat di pengadilan atau di badan pemutus lainnya. 2. untuk melakukan bisnisnya di dalam dan di luar negeri. 3. untuk memiliki legalitas produk perseroan, seperti coorporate seal, stempel, nama, merek, logo dan lain-lain. 4. untuk membuat kontrak, pinjam meminjam uang, atau pemberian garansi kepada pihak lain.(cetak tebal dari penulis) 5. untuk menerima peralihan hak, atau menjaminkan aset-aset perseroan. 6. untuk menjadi partner/manager atau memegang saham dalam partnership atau perusahaan yang lain. 7. untuk mengatur atau mengubah anggaran dasar atau peraturan perusahaan dalam hal menata masalah internal perseroan. 8. untuk memberikan derma dengan alasan kemanusiaan, seperti untuk sumbangan kemanusiaan, pendidikan, riset dan ilmu pengetahuan, sumbangan untuk kepentingan umum dan politik.(cetak tebal dari penulis) 9. untuk mengangkat pegawai dan agen, menentukan ruang lingkup tugas memberikan gaji dan kompensasi kepadanya, menyediakan dana pensiun, ESOP dan lain-lain. Melihat perkembangan dalam doktrin ultra vires yang modern tersebut dapat dikatakan bahwa memberikan derma atau amal atau kontribusi kepada Parpol tidak termasuk dalam katagori ultra vires, karena hal tersebut bersifat sosial, dan hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip Perseroan Terbatas berdasarkan UU No.40 Tahun 2007 mengenal adanya prinsip Tanggungjawab Sosial Perusahaan atau yang dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR) atau dengan kata lain perusahaan harus mempunyai kepedulian sosial. Menurut Daniel Seligman menyebutkan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah rumit sebagian karena tidak adanya lawan yang secara umum telah disetujui; paling sedikit tampaknya tidak ada yang menganjurkan agar perusahaan tidak perlu mempunyai tanggung jawab sosial. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab sosial perusahaan belum merupakan tanggung jawab yang harus dipikul oleh perusahaan, meskipun demikian tidak dianjurkan untuk tidak memiliki tanggung jawab sosial perusahaan. Bahkan ada yang menganjurkan bahwa tanggung jawab sosial akan mengurangi keuntungan yang diperoleh perusahaan. Jika hal tersebut diterapkan dalam kehidupan di masyarakat maka akan menimbulkan adanya efek atau akibat yang sangat merugikan masyarakat, walaupun diakui bahwa dalam konsep negara modern dalam rangka mewujudkan “welfare state” masalah sosial menjadi kewajiban bagi penyelenggara negara, tetapi walaupun demikian perusahaan tidak bisa hidup terlepas dari masyarakat dan negara. Oleh karena itu perusahaan disamping mengejar keuntungan atau laba, perlu juga menjalankan fungsi sosial atau mempunyai tanggung jawab sosial, sebagai salah satu kontribusi untuk turut serta mensejahterakan rakyat.
…
23
Kemudian ruang lingkup dari tanggung jawab sosial perusahaan ini meliputi dua hal, yaitu: 1. Internal, merupakan tanggung jawab kedalam perusahaan itu sendiri, perusahaan harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan karyawan, terhadap mutu bahan yang dipergunakan agar menghasilkan hasil yang baik, atau hal-hal yang berkaitan dengan proses produksi. 2. Eksternal, merupakan tanggung jawab keluar perusahaan harus bertanggung jawab terhadap lingkungan yang berada di sekitar perusahaan, serta akibat-akibat yang ditimbulkannya, bertanggung jawab terhadap barang-barang yang dipasarkannya atau pasca produksi. Di Indonesia pada saat sekarang untuk Perseroan Terbatas berlaku ketentuan dalam UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasal yang mengatur tentang tanggung jawab sosial perusahaan adalah ketentuan dalam Pasal 74 ayat (1) yang mengatakan: “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungannya.” Ayat 2; “Tanggung jawab sosial dan lingkungan merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.” Ayat 3; “Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Kalau dibandingkan dengan negara-negara majuseperti Amerika Serikat dan negaranegara Eropah lainnya masalah tanggung jawab sosial perusahaan ini, sudah diatur sejak 50 tahun yang lalu, sedangkan kalau kita di Indonesia hal ini baru diatur setelah dikeluarkannya Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatasdan undang-undang yang berlaku sebelumnya tidak mengatur masalah tanggung jawab sosial perusahan ini. Dari uraian yang telah disampaikan diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian derma dengan alasan kemanusiaan, seperti untuk sumbangan kemanusiaan, pendidikan, riset dan ilmu pengetahuan, sumbangan untuk kepentingan umum dan politik, tidak termasuk dalam katagori ultra vires dalam pengertian yang modern, demikian juga menurut UU PT yang berlaku sekarang (UU No.40 Tahun 2007) tindakan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, tetapi justru sebaliknya undang-undang sendiri yang mewajibkan untuk melakukan sumbangan sosial untuk masyarakat sehingga kehadiran perusahaan dalam masyarakat sangat dirasakan manfaatnya bagi kehidupan masyarakat dimana perusahaan terebut berdomisili.
…
3.
PemberianTambahan Tunjangan/Pemberian Bonus
24
dan Pemberian Pinjaman
Kepada Karyawan/Direksi Dalam Kaitannya Dengan Ultra Vires Pemberian bonus atau tunjangan kepada karyawan sebenarnya termasuk kedalam katagori ultra vires, karena pemberian bonus berarti memberikan secara cuma-cuma kepada karyawan sebagian dari pendapatan perusahaan, sehingga hal ini termasuk ke dalam katagori ultra vires, kecuali pemberian bonus tersebut diberikan untuk tujuan-tujuan yang bersifat insidental terhadap pelaksanaan bisnis perseroan untuk kepentingan perseroan tersebut. Contoh yang dapat diajukan disini misalnya Perusahaan minuman PT.Coca Cola menargetkan akhir tahun 2011 target penjualan dalam setahun sebanyak 11 juta kerat minuman Coca Cola, Fanta, atau Sprite. Kemudian kalau target tersebut dicapai maka karyawan akan mendapat bonus 3 kali gaji. Bonus seperti ini tidak termasuk kedalam ultra vires karena sifatnya insidental, dan diberikan untuk kemajuan dari perusahaan tersebut. Lain halnya kalau bonus itu diberikan kepada karyawan tanpa ada target apapun, kemudian diberikan secara rutin setiap tahunnya walaupun perusahaan tersebut mengalami kerugian. Agar pemberian bonus tersebut tidak termasuk dalam katagori ultra vires maka tindakan tersebut haruslah sifatnya insidentil atau kondusif terhadap obyek utama perseroan. Disamping itu juga pemberian bonus tersebut harus dilihat juga dari motif pemberian bonus tersebut. Apabila motif pemberian bonus tersebut adalah untuk meningkatkan pendapatan perusahaan, seperti contoh pada Perusahaan Coca Cola tersebut, maka pemberian bonus bukan merupakan tindakan ultra vires. Akan tetapi jika motif pemberian bonus tersebut untuk kepentingan pihak lain, maka tindakan tersebut masuk dalam kategori ultra vires (kasus Re W.and M.Roith Ltd yang terjadi di Inggris). Kemudian apabila perusahaan dalam likuidasi dan tidak lagi berbisnis, maka pemberian hadiah kepada Direksi tidak termasuk dalam kategori ultra vires. Pemberian bonus ini juga sesuai dengan tanggung jawab sosial perusahaan yang bersifat internal, yaitu merupakan tanggung jawab kedalam perusahaan itu sendiri, dimana perusahaan harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan karyawan. Dengan pemberian bonus ini diharapkan karyawannya bisa sejahtera sehingga produktifitasnya dalam perusahaan akan meningkat. Tindakan memberikan pinjaman kepada karyawan atau direksi tidak termasuk dalam kategori ultra vires, karena hal tersebut sudah merupakan kewenangan dari perseroan sebagaimana diikuti oleh sebagian besar negara-negara yang ada di dunia, bahwa perseroan mempunyai kewenangan untuk membuat kontrak, pinjam meminjam uang, atau pemberian garansi kepada pihak lain. Dengan pemberian pinjaman kepada direksi akan memberikan
…
25
kemudahan bagi direksi, sehingga direksi bisa lebih berkonsentrasi dalam menjalankan perusahaan tersebut, karena sudah mendapat kemudahan dari perusahaan. D. PENUTUP 1. Bila mengikuti prinsip tradisional dari Doktrin ultra vires, maka memberikan derma atau amal atau kontribusi kepada Parpol termasuk dalam kategori ultra vires, karena penerapannya sangat kaku. Tetapi kalau mengikuti aliran Modern maka hal tersebut tidak dikategorikan sebagai ultra vires. 2. Memberikan tambahan tunjangan kepada karyawan/pemberian bonus tidak termasuk dalam katagori ultra vireskarena pemberian bonus tersebut diberikan untuk tujuantujuan yang bersifat insidental terhadap pelaksanaan bisnis perseroan untuk kepentingan perseroan tersebut. 3. Upaya memberikan pinjaman kepada karyawan/direksi termasuk dalam kategori ultra vires, karena perseroan mempunyai kewenangan untuk membuat kontrak, pinjam meminjam uang, atau pemberian garansi kepada pihak lain.
DAFTAR BACAAN Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, 2000, Seri Hukum Bisnis, Perseroan Terbatas, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Gunawan Widjaja, 2008, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Penerbit Forum Sahabat. Habib Adjie, 2008, Status Badan Hukum, Prinsip-prinsip dan Tanggung Jawab Sosial Perseroan Terbatas, Penerbit CV Mandar Maju, Bandung Johannes Ibrahim, 2006, Hukum Organisasi Perusahaan, Penerbit Refika Aditama, Bandung Subekti, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Penerbit Inter Masa, Jakarta Ricardo Simanjuntak, 2006, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, Penerbit Harian Mingguan Ekonomi dan Bisnis Kontan, Jakarta Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
…
26
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP MALPRAKTEK DOKTER MENURUT HUKUM DI INDONESIA I Wayan Wisadnya, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahendradata
Abstract : Developments in education and science is very rapid once, especially in the world of technologies, law, and health (Medical sciences), is increasingly growing, so progress will be caused various new issues, special in the world of health, especially in the field of medicine that with the doctor practices, which they do not meet the standard of care that should be given. This action certainly would violate the Code of medicine, and can also be charged under the law, it can even end up in the Court. In fact, not a few problems encountered concerning the legal relationship between the doctor patient on the one hand with the other, then eventually caused a Liability of Physicians. In general, our society has not been able to discern, which are cases of violation of code of ethics, and which are classified as unlawful, that not all violations of the code of Ethics is an issue of malpractice. Keywords: Criminal liability, Doctors, Malpractice.
A. PENDAHULUAN Kesadaran hukum masyarakat yang saat ini semakin meningkat, sehingga masyarakat semakin kritis dalam menyikapi terhadap persoalan-persoalan khususnya terkait dengan permasalahan medis atau kesehatan dewasa ini. Dengan adanya beberapa praktek-praktek dokter yang dianggap tidak memenuhi dengan pelayanan yang seharusnya diberikan. Oleh karena itu, seorang dokter dalam menjalankan prakteknya, dokter seringkali dihadapkan pada permasalahan etik dan permasalahan hukum. Pada masa lampau, seorang Dokter sangat dikagumi dan dianggap tidak pernah melakukan kesalahan sehubungan dengan profesinya sebagai dokter. Akan tetapi belakangan ini, dengan berkembangnya ilmu Pengetahuan dan teknologi dalam bidang kesehatan menyebabkan hubungan komunikasi antara dokter dengan pasiennya semakin berkurang. Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk di dalamnya pelayanan medis yang dilakukan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien
yang membutuhkan
…
27
penyembuhan. 26 Adanya hubungan antara dokter dan pasien disini akan menimbulkan adanya suatu hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak, dimana dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis yang sebaik-baiknya kepada pihak pasien. Oleh karenanya hubungan ini dapat diketahui bahwa telah terjadi hubungan hukum.
Seperti telah
disampaikan pada uraian diatas, dengan semakin kritisnya suatu masyarakat, kenyataannya kini tidak sedikit ditemui masalah-masalah yang menyangkut hubungan hukum antara dokter disatu pihak dengan pasien dilain pihak yang pada akhirnya akan menimbulkan suatu tanggung jawab hukum. Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, timbul pemasalahan mengenai pertanggungjawaban pidana / crime liabilty seorang dokter, fokus pada masalah kelalaian. Hal ini sangat erat kaitannya dengan dalam hal pertanggungjawaban dokter, karena seorang dokter yang telah melakukan
tindakan kesalahan tentu saja harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik secara etik maupun secara hukum. Dalam perkembangannya dewasa ini, dalam kenyataannya terlihat
adanya suatu
keinginan dari sebagian besar masyarakat untuk membawa kasus-kasus kedokteran ke meja hijau atau pengadilan agar tindakan medis dokter yang bersangkutan dapat diadili secara hukum. Pada umumnya masyarakat tidak dapat membedakan mana yang merupakan kasuskasus pelanggaran etik dan mana yang diklasifikasikan sebagai melanggar hukum. Tidak semua pelanggaran etik merupakan malpraktek, sedangkan malpraktek sudah pasti merupakan pelanggaran
etika profesi. Akhirnya kegagalan seorang dokter dalam
melakukan tindakannya tersebut umumnya
menyebabkan
tindakannya tersebut, sehingga masyarakat menuntut
masyarakat kecewa atas
adanya kompensasi. Dengan
demikian, masyarakat akan cenderung menyalahkan dokter bahkan menuntut dokter secara hukum dengan dugaan-dugaan melakukan malpraktek. Oleh sebab itu, dari uraian tersebut diatas dapat diidentifikasi permasalahannya. Bertitik tolak dari permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka dalam tulisan ini penyajiannya terbatas mengenai kualifikasi yuridis dalam hubungannya dengan malpraktek yang tidak terlepas dari syarat-syarat suatu perbuatan yang dapat dikatakan sebagai perbuatan malpraktek, kemudian pertanggungjawaban pidana seorang dokter yang 26
Law Community, 2012, “Malpraktek dan Pertanggungjawaban Hukumnya”, http://www.wonkdermayu.wordpress.com/artikel/malpraktek-dan-pertanggungjawaban-hukum diakses pada tanggal 2 Februari 2013.
…
28
melakukan tindakan malpraktek. Dengan demikian, permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan
ini
adalah
perihal
“PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA
TERHADAP
MALPRAKTEK DOKTER MENURUT HUKUM DI INDONESIA”
B. PEMBAHASAN Dalam membahas permasalahan tentang pertanggung jawaban dokter, maka dalam hal ini harus diklasifikasi terlebih dahulu antara pertanggungjawaban secara etik yang berdasarkan pada profesi (tanggung jawab profesi) dan pertanggung jawaban secara hukum dalam hal ini adalah hukum pidana (pertanggungjawaban pidana). Hubungan hukum antara dua pihak atau lebih pada dasarnya akan melahirkan suatu akibat yuridis yang berupa suatu pertangungjawaban hukum. Agar seorang dokter dapat dijatuhi sanksi pidana atas perbuatan malpraktek, maka harus dibuktikan bahwa perbuatan itu mengandung unsur-unsur yang dapat dipidana. Hakim dalam menjatuhkan putusan atau vonis akan berpedoman kepada hasil pembuktian. 27 Khusus untuk profesi dokter dapat dikatakan bahwa seorang dokter melakukan kesalahan profesi dokter, jika ia melakukan sesuatu tindakan medis yang tidak sesuai dengan standar profesinya. 28 Apabila terjadi tindakan medis yang tidak sesuai dengan standar profesinya atau tindakan malpraktek tersebut, maka dokter yang bersangkutan dapat dimintai pertanggunggjawaban. Disamping dapat dimintai tanggung jawab profesional atas perbuatan malpraktek, tidak tertutup kemungkinan seorang dokter juga dapat dimintai tanggung jawab hukum pidana. Dimana, apabila oleh hasil pemeriksaan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK) dinilai bahwa perbuatan dokter tersebut termasuk kategori tindak pidana. Salah satu tanggung jawab profesi dokter adalah tanggung jawab pidana yang dalam hal ini erat hubungannya dengan Pasal 359 dan Pasal 360, dan juga Pasal 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagai dasar penerapan Pasal 359 dan Pasal 360 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam kasus malpraktek ada tiga (3) unsur yang menonjol, yaitu : 29 1. Tenaga kesehatan telah melakukan suatu kesalahan profesi medis. 2. Tindakan tersebut dilakukan dengan sangat tidak berhati-hati. 3. Adanya suatu akibat yang fatal dan serius ( mati atau luka) 27
Bambang Waluyo, 1992, Sistem Pembuktian Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1 Tim Pengkajian Bidang Hukum Kedokteran, 1989, Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Kedokteran, BPHN, Departemen Kehakiman, Jakarta, hal. 47. 29 Ibid., hal. 52. 28
…
29
Hal pertama yang harus dibuktikan untuk menjatuhkan sanksi pidana terhadap perbuatan dokter tersebut adalah adanya kesalahan professional, karena asas pertanggung jawaban pidana dalam hukum pidana adalah tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. 30 Hal yang kedua harus dibuktikan adalah adanya hubungan sebab akibat (kausaliatas). Hal ini juga sejalan dengan teori adequat dari Von Kris yang antara lain dapat diartikan bahwa hanya ada satu sebab yang paling layak dan pengalaman umum yang dapat menimbulkan suatu akibat. Kesalahan profesional dapat diartikan sebagi suatu kesalahan karena unsur kesengajaan ( dolus) dan kesalahan karena unsur kealpaan ( culpa ), kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan akan tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan, sikap batin seseorang menghendaki melakukan perbuatan , akan tetapi sama sekali tidak menghendaki adanya niatan jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan. 31 Dalam hal ini, maka kesalahan profesional tersebut merupakan salah satu unsur untuk dapat dijatuhkannya sanksi pidana terhadap perbuatan malpraktek . Untuk menentukan adanya kesalahan profesional , peranan para ahli sangat menentukan dalam memproleh data akurat yang diperlukan oleh hakim. Disamping itu diisyaratkan pula bahwa kesalahan profesional tersebut harus mempunyai derajat- derajat tertentu serta adanya hubungan sebab akibat. 32 Dalam pertanggung jawaban pidana, diperlukan adanya pembuktian mengenai culpa, bahwa culpa tersebut terdiri dari dua unsur yaitu : 1. Pelaku harus dapat menduga akibat dari tindakannya. 2. Tindakannya dilakukan secara kurang berhati-hati. Disamping itu, menurut Ninik Mariyanti, sehubungan dengan kesalahan profesional ini juga perlu dibuktikan adanya kelalaian ( negligence ) dan persetujuan dari pasien yang bersangkutan. 33 Hal ini berarti bahwa persetujuan pasien hanya dapat diberikan bila ada penjelasan lengkap tentang apa yang harus disetujui ( informed concent).
30
Moeljatno, 1987, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal. 200. Law Community, Loc. Cit. 32 Soerjono Soekanto dan Kartono Mohamad, 1983, Aspek Hukum dan Etika Kedokteran di Indonesia, Grafiti Pers, Jakarta, hal. 76. 33 Ninik Mariyanti, 1988, Malpraktek Kedokteran dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, Bina Aksara, Jakarta, hal. 8. 31
…
Di lain pihak, menurut
30
Ameln, S.H., ada tiga (3) hal pokok penting untuk
menimbang apakah seorang dokter melakukan malpraktek atau tidak, yaitu : 34 1. Ada tidaknya faktor kelalaian 2. Apakah praktek dokter sesuai dgn standar profesi medis? 3. Apakah korban yang ditimbulkan fatalesil ? Kemudian untuk mengetahui tingkat kelalaian itu, harus dilihat seberapa jauh kelalaian itu menyimpang dari standar profesi. Karena sulitnya mengukur standar profesi maka perlu adanya majelis anggota selain dokter, juga aparat penegak hukum guna mendampingi pihak pengadilan dalam menjatuhkan putusan. Sehubungan dengan adanya medical malpractice, Veronica Komalawati menyatakan bahwa “Oleh karena kewajiban pokok dari dokter dalam menjalankan profesinya akan memberikan pelayanan medik sesuai dengan standar profesi medik,
maka medical
malpractice atau kesalahan profesional dokter adalah kesalahan dalam menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan standar profesi medik.” 35 Dalam kaitannya dengan malpraktek, maka pertanggungjawaban dokter, khususnya yang menyangkut kelalaian harus dilandaskan pada teori-teori kesalahan dalam hukum pidana. Tanggungjawab pidana disini timbul bila pertama-tama dapat dibuktikan adanya kesalahan profesional, misalnya kesalahan dalam diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara pengobatan/ perawatan dimana kesalahan disini harus mempunyai hubungan sebab akibat dengan hasilnya dan mempunyai derajat tertentu. Tanggung jawab pidana yang perlu dibuktikan dengan adanya kesalahan profesional itu biasanya dihubungkan dengan masalah: 1. Kelalaian ( negligence ) dan 2. Persetujuan dari pasien yang bersangkutan. Kelalaian / kealpaan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pada dokter disini adalah kealpaan berat ( Culpalata ). Dalam hubungan ini pandangan dari Ninik Mariyanti antara lain “Dengan adanya kreteria ‘ kealpaan yang berat ‘ yang dapat mengakibatkan timbulnya tanggung jawab pidana tidak berarti bahwa setiap kesalahan profesional selalu harus diikuti tanggung jawab pidana, karena kematian atau keadaan luka-luka tidak selalu disebabkan karena adanya kealpaan berat itu, tetapi banyak faktor-faktor lain. Dalam hal yang belakangan ini, maka dokter tersebut tidak dapat dijatuhi hukuman. 36
34
Ibid., hal. 72 Veronica Komalawati, 1984, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Putusan Sinar Harapan, Jakarta, hal. 147. 36 Ninik Mariyati, Op. Cit., hal. 15 35
…
31
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ) kita disebutkan bahwa pada dasarnya tidak memberikan pengertian yang tegas dan pasti mengenai perihal apa yang dimaksud dengan perbuatan pidana atau tindak pidana itu. Oleh karena pengertian ini didapat dari ilmu pengetahuan hukum pidana dan pendapat para ahli hukum pidana. Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dalam bahasa Indonesia, untuk istilah dalam bahasa Belanda yaitu “strafbaarfeit”. Disamping istilah tindak pidana ada juga istilah lain yang dipakai oleh beberapa sarjana, yaitu “perbuatan pidana” (Moeljatno), “peristiwa pidana“ (Simon). Menurut Simon, peristiwa pidana adalah perbuatan salah dan melawan hukum dan diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut pendapat Usman Simanjuntak, perbuatan pidana adalah suatu perbuatan fisik yang termasuk ke dalam perbuatan fisik. 37 Menurut Moeljatno, perbuatan pidana diartikan sebagai perbuatan yang anti sosial 38 sebab perbuatan tersebut disamping bersifat melawan hukum juga dinilai betentangan dan menghambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsurunsur sebagai berikut: 39 1) 2) 3) 4)
Subyek; Kesalahan; Bersifat melawan hukum (dari tindakan); Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/ perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana; 5) Waktu, tempat, dan keadaan (unsur obyektif lainnya). Sehubungan dengan pengertian mengenai
perbuatan pidana maka dalam hukum
pidana kita kenal adanya asas legalitas yang mengatakan bahwa tiap-tiap perbuatan (pidana) hanya dapat dipidana bila sebelum perbuatan dilakukan telah ada aturannya dalam undangundang. Selanjutnya menurut
Moeljatno,
dalam hukum pidana, asas tersebut sering
disebut dengan “azas nullum delictum nulla poena sine pravie lege poenalli”, yakni bahwa tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. 40 Jadi syarat utama untuk 37 38
Usman Simanjuntak, 1994, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bina Cipta, Jakarta, hal. 95. Roeslan Saleh, 1994, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta, ,
hal. 16 39 40
Adam Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 211 Moeljatno, Op. Cit. hal. 23
…
32
adanya perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang melarang dan mengancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Biasanya asas legalitas ini mengandung 3 ( tiga ) pengertian yaitu: 41 1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana apabila hal tersebut terlebih dahulu belum dinyatakan dalam undang-undang. 2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias ). 3. Aturan –aturan hukum pidana tidak berlaku surut . Di dalam asas legalitas ini terkandung secara implisit dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu:
tiada suatu perbuatan boleh dihukum,
melainkan atas kekuasaan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu. Menurut sistem Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terdapat dua macam perbuatan pidana atau delik, yaitu delik kejahatan dan delik pelanggaran . Delik kejahatan adalah perbuatan pidana yang tergolong berat dan merugikan pihak lain, sebaliknya delik pelanggaran adalah perbuatan pidana yang tergolong ringan dan belum tentu menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Adanya pertanggungjawaban pidana adalah setelah dibuktikan adanya kesalahan atas perbuatan pidana itu. Untuk menilai adanya kesalahan, menurut Moeljatno harus memenuhi 4 (empat ) unsur, antara lain: 42 1. Melakukan perbuatan pidana ( sifat melawan hukum ) 2. Diatas umur tertentu mampu bertanggung jawab. 3. Mempunyai bentuk kesalahan baik itu kesengajaan maupun kealpaan. 4. Tidak adanya alasan pemaaf. Terkait dengan pertanggungjawaban hukum dalam tindakan malpraktek, dimana agar seorang dokter dapat dijatuhi sanksi pidana atas perbuatan malpraktek, maka yang terpenting harus dibuktikan bahwa perbuatan itu mengandung unsur- unsur yang dapat dipidana, sesuai dengan hukum pembuktian yang kita anut dalam hukum acara pidana di Indonesia.
41
Ibid. Moeljatno. 1996, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, hal. 164. 42
…
33
C. PENUTUP Kesalahan profesional atau penyimpangan yang terjadi tidak dengan sendirinya menimbulkan tanggung jawab hukum dokter yang bersangkutan. Sepanjang hal itu tidak mengganggu kepentingan penderita, tanggung jawab hukum belum dimulai. Tanggung jawab hukum dasarnya adalah tanggung jawab profesional. Sesuai dengan asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yaitu tidak dipidana jika tidak ada kesalahan, maka dengan adanya unsur – unsur yang terkandung dalam suatu kesalahan profesional yang dapat digunakan sebagai dasar untuk menuntut tanggung jawab seorang dokter terhadap tindakan malpraktek yang telah dilakukan, maka dokter tersebut dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 359 dan 360 KUHP setelah dokter tersebut memenuhi syarat untuk dapat dimintai pertanggungjawaban.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Chazawi, Adam, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta Komalawati, Veronica, 1984, Hukum dan Etika dalam Praktek Dokter, Putusan Sinar Harapan, Jakarta. Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran dari Segi Hukum Pidana dan Perdata, Bina Aksara, ,Jakarta. Moeljatno, 1987, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. Moeljatno. 1996, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta. Saleh, Roeslan, 1994, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta. Simanjuntak, Usman, 1994, Teknik Penuntutan dan Upaya Hukum, Bina Cipta, Jakarta Soekanto, Soerjono dan Mohamad, Kartono, 1983, Aspek Hukum dan Etika Kedokteran di Indonesia, Grafiti Pers, Jakarta. Tim Pengkajian Bidang Hukum Kedokteran, 1989, Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Kedokteran, BPHN, Departemen Kehakiman, Jakarta. Waluyo, Bambang, 1992, Sistem Pembuktian Peradilan Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP ).
…
34
PEMILIHAN KEPALA DAERAH SEBAGAI WUJUD DEMOKRASI Luh Putu Swandewi Antari, S.H., M.H Abstract: Selection of regional head and deputy regional head dovary from period to this new order. In the new order, the local elections and the deputy head is not selected by the people, for the recruitment and nomination of regional head and deputy regional head made by political parties through legislatures. But, with the birth of Act Number 32 of 2004, the election of regional head and deputy head of the region directly by the people. From that background who want to study the problemaris esis: What is the problem in the system of direct elections of regional heads. In writing this paper, the study use a normative legal research. The results showed that the problem of the direct election system was led to distrust among the publicif no election is conducted honestly, other than the cost of implementing a large selection, and conflict in society after the elections were conducted. Keyword: elections, regional head, democracy. A. PENDAHULUAN Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 32 Thn 2004) merupakan undang-undang yang secara jelas mengatur tentang pemerintahan daerah. Pada pasal 30 UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan dengan pemilihan langsung. Namun apa dengan pemilihan langssung akan menemukan kepala daerah yang sesuai dengan harapan masyarakat, karena mencari sosok pemimpin yang diharapkan sangatlah susah. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan bervariasi dari masa orde baru sampai saat ini. Pada masa orde baru pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak 100% dipilih oleh rakyat, karena penjaringan dan pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan oleh partai politik melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 maka pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat. Dalam penulisan ini yang dibahas adalah mengenai permasalahan yang dapat muncul dalam sistem pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung merupakan jalan politik yang terbaik dibandingkan dengan yang sebelumnya.Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung harus disiapkan dengan baik, hal ini karena sistem pemilihan kepala
…
35
daerah dan wakil kepala daerah secara langsung membawa implikasi yang cukup besar dalam kehidupan demokrasi di daerah dan juga format pemerintahan daerah.
B. PEMBAHASAN Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah, pasal 1 yaitu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan atau Kabupaten atau Kota berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah mencakup beberapa hal, yaitu: 1. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan pembelajaran politik pada negara demokrasi. 2. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah merupakan suatu upaya untuk mengurangi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selama ini memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah atas nama masyarakat. 3. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah akan meningkatkan pamor pemerintahan daerah dalam menjalankan pemerintahan sehingga akan tercipta good governance. 4. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung akan mengurangi terjadinya politik uang pada saat kampanye dilakukan. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung merupakan pembelajaran politik bagi masyarakat karena partisipasi masyarakat dalam pemilihan ini akan sangat berperan. Dalam menyampaikan aspirasinya mengenai sosok pemimpin yang diinginkan, masyarakat menyampaikannya tanpa adanya paksaan dan bebas menentukan sosok pemimpin yang dipilihnya. Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan dari seseorang untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. 43 Sedangkan menurut John Ptiffner dalam Ahmadi menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan seni dalam mengkoordinasikan dan mengarahkan individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki. 44 43 44
Ahmadi, 1999, Psikologi Sosial, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 123. Ibid
…
36
Menurut William Foote Whyte dalam Ahmadi menyebutkan bahwa ada 4 (empat) faktor yang menentukan seorang menjadi pemimpin 45: 1. Operational leadership Orang yang paling banyak inisiatif, dapat menarik dan dinamis, menunjukkan pengabdian yang tulus, serta menunjukkan prestasi kerja yang baik dalam kelompoknya; 2. Popularity Orang yang banyak dikenal mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk menjadi pemimpin; 3. The assumed representative Orang yang dapat mewakili kelompoknya mempunyai kesempatan besar untuk menjadi pemimpin; 4. The prominent talent Seseorang yang memiliki bakat kecakapan yang menonjol dalam kelompoknya mempunyai kesempatan untuk menjadi pemimpin. Floyd Ruch dalam Ahmadi ketiga tugas tersebut di atas dirumuskan sebagai berikut : 1. Structuring he situation Memberikan struktur yang jelas pada situasi-situasi. 2. Controlling group behavior Mengawasi tingkah laku kelompok. 3. Spokesman of the group Pembicaraan dari kelompok. Menurut Ahmadi beberapa sifat-sifat pemimpin diantaranya : 1. Cakap Disini bukan saja ahli (skill) atau kemahiran teknik (technical mastery) dalam suatu bidang tertentu, tetapi meliputi hal-hal yang bersifat abstrak, inisiatif, konsepsi perencanaan dan sebagainya; 2. Kepercayaan Menurut Le Bon, seorang pemimpin harus memiliki keyakinan yang kuat, percaya akan kebenaran tujuannya, percaya akan kemampuannya; 3. Rasa Tanggung Jawab Sifat ini penting sekali, sebab manakala seorang pemimpin tidak memiliki rasa tanggung jawab ia akan mudah bertindak sewenang-wenang terhadap kelompoknya; 4. Berani Berani dalam arti karena benar dan dengan perhitungan/ lebih-lebih dalam saat-saat yang kritis dan menentukan, pemimpin harus tegas, berani mengambil keputusan dengan konsekuen dan tidak boleh ragu-ragu; 5. Tangkas Dan Ulet Seorang pemimpin harus dapat bertindak cepat dan tepat. Ia harus tangkas dalam bertindak lebih-lebih jika menghadapi masalah yang rumit. 45
Ibid hal. 129.
…
37
Kegagalan tidak boleh menjadikan ia cepat bosan atau putus asa, tapi sebaliknya ia harus gigih dan ulet; 6. Berpandangan Jauh Pemikiran seorang pemimpin harus luas. Ia berpandangan jauh kedepan harus dapat membedakan mana das sein mana das sollen. Terutama dalam merumuskan strategi atau menggariskan sesuatu taktik, hal ini adalah sangat penting 7. Serta masih banyak lagi sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin, misalnya:teliti, lapang dada dan taqwa. 46
Untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah maka perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antara pemerintahan dan antar pemerintah daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, tantangan persaingan global, maka diperlukan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang handal. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung merupakan perwujudan dari pemerintahan daerah yang demokratis, hal ini karena pemerintahan daerah yang demokratis akan memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik di daerah, selain itu pemerintahan daerah yang demokratis akan mengedepankan pelayanan umum serta meningkatkan pembangunan di bidang sosial dan ekonomi yang berdasarkan pada kebutuhan masyarakat di daerah tersebut. Otonomi daerah menuntut daerah untuk lebih mandiri, memilih pemimpinnya sendiri dan dapat mengelola potensi daerahnya masing-masing. Dalam memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah menurut Wasistiono menyatakan bahwa ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan didalam memilih pemimpin pemerintahan yang kemudian diharapkan
akan
menjadi
pemimpin,
yakni:
kapabilitas,
akseptabilitas
dan
kompabilitas. 47Kapabilitas adalah gambaran kemampuan dari pemimpin baik intelektual maupun formal, yang dapat dilihat dari catatan jejak pendidikannya maupun jejak sikap perilakunya selama ini. Akseptabilitas adalah gambaran tingkat penerimaan pengikut terhadap kehadiran pemimpin. Kompabilitas dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan dari pemerintah tingkat bawahannya maupun tuntutan dari para pengikutnya. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung membawa konsekuensi terhadap sistem pertanggung jawabannya, selama ini kepala daerah dipilih Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan pertanggung jawabannya kepada Dewan 46 47
Ibid, hal.133. Wasistiono, 2003, Kepala Desa dan Dinamika Pemilihannya, Mekar Rahayu, Bandung, hal. 118.
…
38
Perwakilan Rakyat Daerah, maka sekarang kepala daerah yang dipilih oleh rakyat maka pertanggung jawabannya kepada rakyat. Menurut Wasistiono kelebihan dan kelemahan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung adalah: 1. Kelebihan pemilihan kepala daerah secara langsung: a. Demokrasi langsung akan dapat dijalankan secara lebih baik, sehingga makna kedaulatan ditangan rakyat akan nampak secara nyata; b. Akan diperoleh kepala daerah yang mendapat dukungan luas dari rakyat sehingga memiliki legitimasi yang kuat. Pemerintah Daerah akan kuat karena tidak mudah diguncang oleh DPRD; c. Melalui pemilihan Kepala Daerah secara langsung, suara rakyat menjadi sangat berharga. Dengan demikian kepentingan rakyat memperoleh perhatian yang lebih besar oleh siapapun yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah; d. Permainan politik uang akan dapat dikurangi karena tidak mungkin menyuap lebih dari setengah jumlah pemilih untuk memenangkan pemilihan Kepala Daerah. 2. Kelemahan pemilihan kepala daerah secara langsung adalah: a. Memerlukan biaya yang besar karena calon Kepala Daerah harus kampanye langsung menghadapi rakyat pemilih, baik secara fisik (door to door) maupun melalui media masa. Hanya calon yang memiliki cadangan dana yang besar atau didukung oleh sponsor saja yang mungkin akan ikut maju ke pemilihan Kepala Daerah; b. Mengutamakan figur publik (public figure) atau aspek akseptabilitas saja, tetapi kurang memperhatikan kapabilitasnya untuk memimpin organisasi maupun masyarakat; c. Kemungkinan akan terjadi konflik horisontal antar pendukung apabila kematangan politik rakyat di suatu daerah belum cukup matang. Pada masa lalu, rakyat sudah terbiasa dengan menang-kalah dalam berbagai pemilihan. Tetapi pada masa orde baru pemilihan Kepala Daerah penuh dengan rekayasa, sehingga sampai saat ini rakyat masih belum percaya (distrust) pada sistem yang ada; d. Kemungkinan kelompok minoritas baik dilihat dari segi agama, suku, ras, maupun golongan akan tersisih dalam percaturan politik, apabila dalam kampanye faktor-faktor primordial itu yang lebih ditonjolkan. 48 Sedangkan menurut Kertapradja dalam Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi terdapat kelebihan dan kelemahan pada pemilihan kepala daerah secara langsung. Adapun kelebihan dan kelemahannya adalah sebagai berikut: 1. Kelebihan pemilihan secara langsung a. Perkembangan proses demokrasi dalam rangka penegakan civil society dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan daerah akan meningkat, karena pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat akan membawa pengaruh
48
Ibid hal. 122.
…
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
39
secara transparan dan bertanggung jawab, sehingga akan membawa dampak kepada peningkatan pendidikan politik masyarakat ; Partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan Kepala Daerah, baik dalam proses persiapan, maupun dalam pelaksanaan akan semakin meningkat. Rakyat akan lebih mengenal dan percaya kepada figur calon daripada kepada janji-janji partai politik ; Kedekatan calon kepada masyarakat daerah dan penguasaan medan (geografi, demografi, SDA dan SDM) dan berbagai permasalahan dalam masyarakat, merupakan prasyarat mutlak yang harus dikuasai oleh calon ; Pendayagunaan sumber daya (resource) yang dimiliki calon akan lebih efektif dan efisien, sebab komunikasi calon dengan masyarakat tidak difasilitasi oleh pihak ketiga, walaupun menggunakan kendaraan partai politik ; Ketokohan figur calon sangat menentukan dibandingkan dengan kekuatan mesin politik Parpol, artinya besar kecilnya Parpol yang dijadikan kendaraan politik pencalonan tidak berkorelasi kuat terhadap keberhasilan seorang calon, seperti kasus SBY, walaupun didukung oleh partai kecil, namun figur dan image SBY yang berkembang dalam masyarakat sangat menentukan ; Stabilitas pemerintahan daerah akan lebih terjamin, karena menurut konstruksi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 hubungan antara Kepala Daerah dan DPRD melalui pemilihan secara langsung ini,betul-betul kesempatan bagi masyarakat untuk menentukan pemimpinnya, memilih figur yang mereka kenal dan percayai sehingga dampak kredibilitas terhadap pemerintahan daerah, merupakan jaminan terhadap stabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) ; Dampaknya terhadap hubungan kemitraan dan kesetaraan antara Kepala Daerah yang dipilih secara langsung dan DPRD yang juga dipilih secara langsung, adalah merupakan hubungan “kemitraan’ dan “kesetaraan” yang sebenarnya, dimana tidak memungkinkan lagi adanya potensi korupsi, kolusi dan nepotisme, serta rawannya “money politics” sebagai ajang untuk menjatuhkan Kepala Daerah ; Meningkatkan gairah birokrasi pemerintahan daerah, karena adanya keleluasaan untuk mengambil keputusan, serta terbentuknya peluang karir yang lebih tinggi, melalui kompetensi profesional ; Meningkatkan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun DPRD, sehingga keinginan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, terpercaya dan akuntabel semakin sangat didambakan oleh masyarakat ; Peranan DPRD sebagai badan legislasi, penganggaran dan badan pengawas kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, akan lebih menekankan kepada fungsinya sebagai badan legislasi, anggaran dan badan pengawas yang efektif, daripada memerankan ajang wahana politik dalam upaya menjatuhkan Kepala Daerah ; Pemberian pelayanan umum kepada masyarakat akan semakin meningkat,baik kualitas maupun kuantitas, sejalan dengan meningkatnya tuntutan dari masyarakat akan pelayanan yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menimbulkan “keterpercayaan” kepada masyarakat ; Munculnya semangat kedaerahan yang menjadi faktor pendorong yang kuat bagi pengembangan daerahnya, dalam arti peningkatan kredibilitas dan akuntabilitas.
…
40
2. Kelemahan dari pemilihan langsung adalah sebagai berikut: a. Dari tataran konsep dan implementasi, teori concurrent dalam menentukan urusan wajib dan pilihan yang menjadi kewenangan daerah, dikhawatirkan akan menimbulkan duplikasi kewenangan, membias keatas menjadi model piramid terbalik, dan terjadi kevakuman dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena sikap jurisdiksi politik dan negatif, terutama sikap juridiksi negatif ; b. Kemungkinan munculnya konflik kepentingan antara pusat dan daerah propinsi dan antar daerah propinsi dan kabupaten/kota, dan antar daerah yang berkaitan dengan pendayagunaan sumber daya alam, seperti sumber daya air, hutan, lautan, lingkungan hidup dan lain sebagainya, terutama dalam hal menentukan urusan wajib dan urusan pilihan ; c. Secara organisatoris-manajerial tidak ada hubungan hierarki dan koordinasi antara KPUD Propinsi dan KPU Pusat serta KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota, yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerawanan “kolusi” dan “money politics ” antara KPUD dan DPRD karena tidak ada sistem pengendalian dan pengawasan dari pusat ; d. Dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara langsung terbuka kemungkinan terjadinya kolusi dan money politics atau bentuk-bentuk semacamnya antara DPRD, KPUD dan Partai Politik, baik sebagai pendukung calon partai atau gabungan parpol, maupun sebagai kendaraan politik yang digunakan oleh calon perseorangan; e. Sikap dan perilaku birokrasi pusat yang cenderung untuk tetap mempertahankan statusquo, terutama dalam mempertahankan kewenangan pusat yang enggan menyerahkan kepada daerah (tidak transparan), khususnya sebagai akibat dalam mengaplikasikan teori concurrent ; f. Mesin politik tidak akan berjalan maksimal, kecuali bagi calon yang didukung oleh parpol atau gabungan parpol sendiri. Kalau calon dari perseorangan maka jejaring kerja (network) harus diupayakan sendiri, karena mesin politik tidak hanya dipinjam sebagai kendaraan politik saja. Hal ini bisa dipahami, karena intervensi parpol terhadap manajemen resources (logistic) calon yang diusungnya, hampir tidak ada ; g. Sama halnya seperti dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 masih belum sinkronnya perUndang-Undangan sektoral pusat dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, sehingga para pejabat birokrasi departemen sektoral pusat masih berpegang kepada UU Sektoral yang bersangkutan, dan belum menyesuaikan dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ; h. Demikian pula, sama dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kemungkinan terjadinya multi-interprestasi, baik terhadap jiwa dan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 maupun terhadap Pasal-Pasal didalamnya yang tidak atau kurang jelas. 49 Apapun kelebihan dan kelemahan dari pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah, diharapkan pemilihan langsung ini lebih baik hasilnya dibandingkan pemilihan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hal ini dapat terwujud
49
Djohan Djohermansyah dan Made Suwandi, 2005, Pilkada Langsung : Pemikiran dan Peraturan, IIP Press, Jakarta, hal. 1.
…
41
apabila terjadi apabila semua unsur berjalan untuk kepentingan bersama dan bukan mementingkan kepentingan individu. Pada hakikatnya pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah memiliki dampak positif bagi daerah maupun masyarakat, adapun dampak positif dari pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah: 1. Pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah berjalan dengan sukses, tanpa adanya money politics maka akan menciptakan suasana demokratis di daerah tersebut, dan juga memberikan andil yang besar dalam menciptakan suasana demokratis nasional. 2. Kepercayaan
masyarakat
akan
meningkat
kepada pemerintah
karena
kedaulatan rakyat sudah terlaksana. 3. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung akan memiliki kekuatan dalam pemerintahan sehingga tidak mudah digoyang. 4. Penanaman modal akan terlaksana karena kepercayaan pada stabilitas politik pemerintahan serta kepastian hukum. 5. Apabila pemilihan berjalan dengan tertib dan aman maka akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan penegak hukum. Selain dampak positif dari diadakannya pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah maka muncul juga suatu permasalahan, yaitu: 1. Apabila pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dilaksanakan dengan tidak benar, tidak jujur dan penuh kecurangan, maka rakyat tidak akan percaya pada sistem yang ada, sehingga akan membentuk sikap saling curiga, tidak percaya dan bahkan konflik antar pendukung, dan untuk mengembalikan keadaan akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama. 2. Pelanggaran terhadap aturan hukum pada saat dilaksanakannya pemilihan kepala daerah akan menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum menjadi rendah, dan pada akhirnya akan menciptakan masyarakat yang anarkis. 3. Biaya pemilihan kepala daerah yang besar, biaya pemilihan ini sepenuhnya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada daerah tersebut, apabila daerah kurang mampu maka pemerintah daerahnya
…
42
akan mengurangi alokasi biaya untuk kepentingan masyarakat guna membiaya pilkada tersebut. 4. Dapat terjadi konflik di masyarakat apabila pemimpin yang didukungnya tidak berhasil menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Berdasarkan permasalahan diatas dapat kita ketahui bahwa setiap kebijakan yang dibuat pasti akan menimbulkan suatu dampak baik atau dampak positif maupun dampak negatif yang akan menimbulkan masalah. Untuk perbaikan kedepan mengenai pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah, jika memungkinkan untuk diadakan maka sebaiknya dilakukan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak di setiap daerah sehingga akan mengurangi biaya pemilihan kepala daerah, memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai arti penting pemilihan kepala daerah dalam menentukan kehidupan mendatang, dan memberikan penerangan bahwa tidak perlu terjadi konflik di masyarakat tentang pelaksanaan pemilihan kepala daerah apabila pemimpin yang diusung tidak menang dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
C. PENUTUP Berdasarkan pembahasan diatas maka kesimpulan yang diperoleh adalah “Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung merupakan cerminan dari pelaksanaan demokrasi, dalam pelaksanaannya pemilihan langsung terdapat dampak positif dan negatif yang ditimbulkan. Dampak negatif dari pemilihan ini muncul sebagai suatu permasalahan yaitu, memunculkan sikap tidak percaya diantara masyarakat apabila pemilihan dilakukan dengan tidak jujur, selain itu biaya pelaksanaan pemilihan yang besar, dan terjadinya konflik di masyarakat setelah pemilihan dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, 1999, Psikologi Sosial, Rineka Cipta, Jakarta. Djohan Djohermansyah dan Made Suwandi, 2005, Pilkada Langsung: Pemikiran dan Peraturan, IIP Press, Jakarta. Jhony Ibrahim, 2006, Teori dan Metode Penulisan Hukum Normatif Cet. II, Banyumedia Publising, Malang. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penulisan Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Wasistiono, 2003, Kepala Desa dan Dinamika Pemilihannya, Mekar Rahayu, Bandung. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
…
43
PERANAN OMBUDSMAN DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Ni Putu Yogi Paramitha Dewi, S.H., M.H. Asisten Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Bali Abstract: Corruption has been one of the biggest problems facing Indonesia today. Many surveys have shown that Indonesia is one of the most corrupt countries in Asia and even in the world. In fact, many instutions have been established to eradicate corruption, in which the most important one is Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK/Commission on Corruption Eradication). Besides KPK, there is also Ombudsman Republik Indonesia that has authorities to monitor maladministration among public service sectors in Indonesia. The article has examined the extent to which Ombudsman Republik Indonesia has a role in the dynamic of corruption eradication agendas in Indonesia. The article shows that although the Ombudsman Republik Indonesia is not specifically established to focus on corruption, the Ombudsman plays a vital role in corruption eradication agendas. Maldministration, the main object of monitor of the Ombudsman, is the entry point to commit corruption. Therefore, the ability to prevent maladministration will contribute significantly to deter corruption. Keywords: Corruption, KPK, Ombudsman, and Maladministration A. Pendahuluan Indonesia sering kali dinyatakan dalam survei-survei indeks korupsi sebagai salah satu negara yang memiliki peringkat korupsi yang memprihatinkan. Berdasarkan data dari Corruption Percetion Index (CPI), tahun 2012 skor Indonesia adalah 32, pada urutan 118 dari 176 negara yang diukur. Indonesia sejajar posisinya dengan Republik Dominika, Ekuador, Mesir dan Madagaskar 50. Untuk ASEAN sendiri, Indonesia masih berada dibawah Filipina dan tertinggal jauh dari Singapura. Sebelum era Reformasi, korupsi mengikuti struktur pemerintah yang berada terpusat di Jakarta, namun setelah diberlakukannya otonomi daerah, korupsi pun terdistribusi ke daerah baik di kabupaten/kota maupun provinsi. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan bahwa sejak Januari hingga November 2012, tercatat ada 474 pejabat di daerah yang melakukan tindak pidana yang sebagian besarnya terjerat kasus korupsi. 51 Kementerian Dalam Negeri juga mencatat anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang terlibat korupsi. Di tingkat 50
Natalia Soebagjo, 2012, “Corruption Perception Index 2012”, http://www.ti.or.id/index.php/publication/2012/12/12/corruption-perception-index-2012, diakses pada tanggal 12 Februari 2013. 51 Anonim, 2012, “Pejabat Daerah Terjerat Kasus Pidana”, http://regional.kompas.com/read/2012/11/20/18170243/474.Pejabat.Daerah.Terjerat.Kasus.Pidana. diakses tanggal 12 Februari 2013.
…
44
provinsi, dari total 2008 anggota DPRD di seluruh Indonesia, setidaknya ada 431 yang terlibat korupsi. Sementara di tingkat kabupaten dan kota, dari total 16.267 kepala daerah, ada 2.553 yang terlibat kasus 52. Hal ini menunjukkan bahwa korupsi akan selalu berhubungan dengan kekuasaan pemerintah karena perilaku koruptif banyak dilakukan dengan adanya penyalahgunaan kewenangan oleh pejabat atau sebuah instansi birokrasi. Sebagai penyakit kronis dalam tubuh birokrasi, korupsi harus diberantas dengan strategi yang tepat dan terintegrasi. Selama ini pemberantasan korupsi sebagaimana disebarluaskan oleh media massa secara dominan mengarah pada penegakan hukum atau pemidanaan bagi pelaku tindak pidana korupsi. Pemberantasan korupsi melalui pemidanaan merupakan upaya yang berada di bagian hilir dari agenda nasional, layaknya pemadam kebakaran yang bekerja setelah kebakaran terjadi. Sedangkan upaya pencegahan di bagian hulu relatif tidak mendapatkan perhatian publik yang besar padahal pencegahan merupakan bagian yang penting untuk melakukan perubahan perilaku birokrasi sehingga keluar dari kebiasaan koruptif. Pemberantasan tindak pidana korupsi juga dilakukan dengan jalan membentuk lembaga yang secara khusus menangani korupsi. Lembaga ini adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah bekerja cukup optimal dalam melakukan pemidanaan terhadap pelaku korupsi besar. 53 Sedangkan ditingkat daerah peningkatan kapasitas aparat penegah hukum mulai dari Kepolisian, Kejaksaan hingga pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi telah pula dilakukan. Namun nyatanya perilaku koruptif masih saja terjadi terlebih lagi di kalangan birokrasi. Hal ini menunjukkan bahwa memfokuskan pemberantasan tindak pidana korupsi melalui pemidanaan (penegakan hukum) tidaklah cukup sehingga langkah ini juga harus terintegrasi dengan upaya pencegahan baik di internal birokrasi maupun di tengah masyarakat yang selama ini permisif dengan perilaku koruptif. Salah satu lembaga negara yang dibentuk untuk mengawasi kinerja birokrasi khususnya dalam memberikan pelayanan publik adalah Ombudsman Republik Indonesia. Sebagai
52
Anonim, 2012, “Ribuan Pejabat Daerah Terlibat Kasus Korupsi”, http://www.tempo.co/read/news/2012/08/29/078426251/Ribuan-Pejabat-Daerah-Terlibat-Kasus-Korupsi, diakses tanggal 12 Februari 2013. 53
KPK dibentuk berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tercatat hingga Desember 2012 sebanyak 72 kasus korupsi ditangani KPK di level penyidikan. Sejumlah kasus besar yang naik ke proses penyidikan, misalnya kasus Bank Century, pembangunan sarana dan prasarana Hambalang, dan simulator mengemudi di Korlantas Polri, serta kasus pengadaan Al-Quran.
…
45
lembaga yang relatif baru, Ombudsman Republik Indonesia 54 belum begitu banyak dikenal kiprahnya oleh masyarakat terutama dalam agenda pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan untuk menguraikan peranan lembaga negara independen bernama Ombudsman Republik Indonesia dalam strategi pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Hal ini juga sekaligus melakukan sosialisasi atas eksistensi Ombudsman Republik Indonesia kepada masyarakat luas sehingga dapat terjalin kerjasama yang efektif dalam rangka melakukan pencegahan tindak pidana korupsi. Hal ini sangat menarik untuk membahas penelitian yang berjudul PERANAN OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA.
B. OMBUDSMAN REPUBLIK INDONESIA 1.
Sejarah Kelembagaan Ombudsman Ombudsman, mungkin masih asing di telinga masyarakat Indonesia dan juga masih
sulit untuk diucapkan. Istilah Ombudsman berasal dari Swedia yang berarti “Perwakilan”. Namun jauh sebelum keberadaannya di Swedia, Bryan Gilling dalam bukunya The Ombudsman In New Zealand mengungkap bahwa Ombudsman sudah dikenal pada masa kekaisaran Romawi Kuno dengan adanya lembaga Tribunal Plebis 55 yang menjalankan fungsi ombudsman yakni melindungi hak-hak masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para bangsawan (penguasa). Model pengawasan ombudsman juga telah ditemui di Cina sejak 225 M pada masa pemerintahan Dinasti Tsin, di mana Kaisar Cina membentuk lembaga pengawas yang dikenal secara internasional dengan sebutan Control Yuan atau biasa disebut juga sebagai Cencorate yang bertugas mengawasi perilaku para pejabat kekaisaran dan menjalankan juga fungsi sebagai perantara bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi dan keluhan kepada Kaisar Tsin. Hingga saat ini Dean M Gottehrer, mantan Presiden Ombudsman Amerika Serikat menemukan bahwa pada dasarnya kelembagaan ombudsman berakar dari prinsip-prinsip keadilan. Hal ini menjadi bagian dari mekanisme pengawasan dalam sistem ketatanegaraan Islam, yang dikembangkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin 54
Khattab
Ombudsman Republik Indonesia dibentuk berdasarkan UU Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia. Sebelumnya bernama Komisi Ombudsman Nasional yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional. 55 Yusrizal, 2009, Ombudsman Dalam Bingkai Ketatanegaraan RI: Sejarah Pembentukan dan Tantangan Kedepan, Jurnal Suloh Vol. VII No. 3 Desember 2009, hal. 229.
46
…
(634-644 M). 56 Umar bin Khattab memposisikan diri sebagai Muhtasib yakni orang yang menerima keluhan dari warga masyarakat dan menjadi mediator dalam menyelesaikan perselisihan antara warga dengan pejabat pemerintahan. Khalifah Umar bin Khatab kemudian membentuk lembaga Qadhi al Qudhaat dengan tugas khusus melindungi warga dari tindakan sewenang-wenang dan penyalahgunaan kekuasaan oleh penyelenggara pemerintahan kemudian kemudian dikembangkan oleh Dinasti Osmaniah di Turki. 57 Lembaga
ini
kemudian
memberikan
inspirasi
bagi
Raja
Swedia
untuk
mengembangkannya di negerinya. Pada tahun 1709, karena kalah dalam perang melawan Rusia, Raja Swedia Charle XII mengungsi ke Turki dan berkesempatan mempelajari dan mendalami tentang lembaga Qadi al Qudhaat tersebut. Sekembalinya Raja Charles XII ke Swedia, ia menggagas pembentukan lembaga dengan fungsi dan peran yang sama dengan Qadhi al Qudhaat dan diberi nama Ombudsman (menurut bahasa Skandinavia) yang artinya pengawas penyelenggaraan negara. Itu pulalah sebabnya Swedia tercatat sebagai negara pertama di dunia yang membentuk ombudsman modern (parliamentary ombudsman) pada 1809. Pada tahun 1998, lebih dari 100 negara di seluruh dunia telah membentuk lembaga ombudsman 58 dengan nama bervariasi dan lebih dari 50 negara mencantumkannya dalam konstitusi 59. Di Indonesia, keberadaan Ombudsman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, merupakan sesuatu yang baru. Lembaga ombudsman ada awalnya dibentuk dengan nomenklatur “Komisi Ombudsman Nasional” pada tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional oleh K.H Abdurachman Wahid. Majelis Permusyawaratan Rakyar (MPR) pada 2001 mengeluarkan Ketetapan
MPR
Nomor
VIII/MPR/2001
tentang
Rekomendasi
Arah
Kebijakan
Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang menyebutkan bahwa sebagai upaya
pemberantasan
KKN
direkomendasikan
antara
lain
membentuk
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Ombudsman melalui undang-undang. Maka jika dilihat dari perspektif politik hukum, kedua lembaga yakni KPK dan Ombudsman merupakan amanat rakyat untuk mendorong pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.
56
Zhopio ChaLicee, http://zhopio-chalicee.blogspot.com/2012/06/ombudsman.html, diakses tanggal 12 Februari 2013. 57 Ibid. 58 Yusrizal, 2009, Loc.Cit. 59 Antonius Sujata, 2005, Peranan Ombudsman Dalam Rangka Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Serta Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Baik, 5th Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, hal. 16.
…
47
Sebagai tindak lanjut dari Tap MPR tersebut dibentuklah beberapa undang-undang. Adapaun undang-undang tersebut antara lain adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Secara khusus mengenai Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI, kedudukan Ombudsman mengalami penguatan secara kelembagaan yang tadinya berbentuk Komisi Ombudsman Nasional (KON) yang bersifat ad hoc menjadi lembaga negara independen dengan nama resmi Ombudsman Republik Indonesia. 2.
Fungsi, Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia Ombudsman Republik Indonesia memiliki tugas dan fungsi yang berbeda dengan
lembaga negara lainnya. Adapun fungsi Ombudsman adalah melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu. 60 Sedangkan tugas Ombudsman adalah sebagai berikut 61 : 1. Menerima Laporan atas dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; 2. Melakukan pemeriksaan substansi atas Laporan; 3. Menindaklanjuti Laporan yang tercakup dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman; 4. Melakukan investigasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; 5. Melakukan koordinasi dan kerja sama dengan lembaga negara atau lembaga pemerintahan lainnya serta lembaga kemasyarakatan dan perseorangan; 6. Membangun jaringan kerja; 7. Melakukan upaya pencegahan Maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik; dan 8. Melakukan tugas lain yang diberikan oleh undang-undang. Sesuai dengan ketentuan Pasal 8 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008, dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, Ombudsman berwenang: a. Meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari Pelapor, Terlapor, atau pihak lain yang terkait mengenai laporan yang disampaikan kepada Ombudsman; b. Memeriksa keputusan, surat-menyurat, atau dokumen lain yang ada pada Pelapor ataupun Terlapor untuk mendapatkan kebenaran suatu laporan; c. Meminta klarifikasi dan/atau salinan atau fotocopy dokumen yang diperlukan dari instansi mana pun untuk pemeriksaan Laporan dari Instansi Terlapor;
60 61
Pasal 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia. Pasal 7 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia.
…
48
d. Melakukan pemanggilan terhadap Pelapor, Terlapor, dan pihak lain yang terkait dengan laporan; e. Menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak; f. Membuat Rekomendasi mengenai penyelesaian Laporan, termasuk Rekomendasi untuk membayar ganti rugi dan/atau rehabilitasi kepada pihak yang dirugikan; g. Demi kepentingan umum mengumumkan hasil temuan, kesimpulan, dan Rekomendasi.
Selain itu, Ombudsman juga berwenang untuk: (a) menyampaikan saran kepada Presiden, kepala daerah, atau pimpinan Penyelenggara Negara lainnya guna perbaikan dan penyempurnaan organisasi dan/atau prosedur pelayanan publik; (b) menyampaikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan/atau kepala daerah agar terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya diadakan perubahan dalam rangka mencegah maladministrasi. Melihat fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman tersebut, jelaslah bahwa pembentukan Ombudsman terutama untuk membantu upaya pemerintah dalam mengawasi jalannya proses pemerintahan. Dengan tujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik yang menerapkan prinsip-prinsip good governance, bersih dari KKN dan meningkatkan pelayanan umum (public service). Terlihat juga bahwa Ombudsman dibentuk untuk memfasilitasi peran serta masyarakat dalam pengawasan pemerintah. Aspek partisipasi dan pemberdayaan masyarakat dapat lebih terjamin melalui mekanisme Ombudsman. Sehingga, partisipasi masyarakat dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dari KKN sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme, dapat dilaksanakan secara optimal. 3.
Pembentukan Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bali Untuk konteks Indonesia, dengan luas wilayah kepulauan dan jumlah penduduk yang
sangat besar, barangkali tidak mungkin semua masalah maladministrasi publik bisa ditangani oleh Ombudsman Nasional secara cepat dan murah. Dalam konteks otonomi daerah, dimana hampir seluruh kewenangan public administration dilimpahkan ke daerah, maka harus dimungkinkan dibentuk Ombudsman daerah yang independen. Pelaksanaan desentralisasi kekuasaan yang tidak diikuti dengan pembangunan sistem akuntabilitas dan
…
49
pengawasan eksternal yang kuat cenderung akan mengakibatkan terjadinya desentralisasi korupsi. 62 Sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UU No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman, disebutkan dalam ayat 2 bahwa Ombudsman dapat mendirikan perwakilan Ombudsman di provinsi dan/atau kabupaten/kota. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk mempermudah kerja-kerja Ombudsman RI di daerah maka dibentuklah kantor perwakilan tersebut. Ombudsman Provinsi Bali dibentuk melalui beberapa mekanisme rekrutmen dan akhirnya dilantik pada tanggal 25 Juni 2012. Ombudsman Perwakilan Bali terdiri dari 1 orang Kepala Perwakilan yang dalam tugasnya dibantu oleh 3 orang Asisten Ombudsman. Pembentukan Ombudsman Perwakilan Bali ini bersamaan dengan 4 perwakilan lainnya, yaitu Makassar, Maluku, Kepri, Kalimantan Timur. Sampai saat ini Ombudsman telah memiliki 23 perwakilan di tiap-tiap Provinsi di Indonesia.
C. TINDAK PIDANA KORUPSI 1.
Pengertian Korupsi Pemahaman makna korupsi di Indonesia sering dibelokkan dengan maksud terselubung
untuk melakukan pembenaran atas perilaku diri sendiri, kelompok atau aparat penyelenggara negara. Kelompok ini memaknakan korupsi hanya sebagai tindak pidana korupsi, dengan kata lain hanya mengakui dan menganggap ada korupsi apabila seseorang diambil tindakan hukum. Apabila kita mengunjungi website Webster Dictionary dan mengklik kata corruption, definisi yang muncul adalah “immoral conduct or practices harmful or offensive to society atau a sinking to a state of low moral standards and behavior (the corruption of the upper classes eventually led to the fall of the Roman Empire) 63. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi maupun orang lain. Sedangkan di dunia internasional pengertian korupsi berdasarkan Black Law Dictionary 64 yang mempunyai arti bahwa suatu perbuatan yang dilakukan dengan
62
Teten Masduki, “Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya”, pusham.uii.ac.id /upl/article/ id_Teten Masduki.pdf, diakses pada tanggal 11 Februari 2013. 63 Treisman Daniel, “The Cause of Corruption: A Cross-National Study”, Journal of Public Economics, 2000, 76:3, hal. 399-457. Dan Rauch, James & Peter Evans, “Bureaucratic Structure and Bureaucratic Performance in Less Developed Country”, Journal of Public Economics, 75:1, hal. 49 – 71, dalam Svenson Jakob, “Eight Question about Corruption”, Journal of Economic Perspecvtive, 19:3, 2005, hal. 19 – 42. 64
Bryan A. Garner, 2004, Black Law Dictionary, Eight Edition, Thomson West, US, hal. 371.
…
50
sebuah maksud untuk mendapatkan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan kebenaran-kebenaran lainnya "sesuatu perbuatan dari suatu yang resmi atau kepercayaan seseorang yang mana dengan melanggar hukum dan penuh kesalahan memakai sejumlah keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan tugas dan kebenaran-kebenaran lainnya. 2.
Jenis-Jenis Korupsi Jika dilihat berdasarkan motif perbuatannya, korupsi itu terdiri dari empat macam.
Pertama, Corruption by Greed 65, motif ini terkait dengan keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Kedua, Corruption by Opportunities 66, motif ini terkait dengan sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi. Ketiga, Corruption by Need 67, motif ini Berhubungan dengan sikap mental yg tidak pernah cukup, penuh sikap konsumerisme dan selalu sarat kebutuhan yg tidak pernah usai. Keempat, Corruption by Exposures 68, motif ini berkaitan dengan hukuman para pelaku korupsi yg rendah. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, korupsi dikelompokkan menjadi tujuh kelompok. Adapun kelompok tersebut adalah: (1) Merugikan keuangan negara; (4) Pemerasan;
(2) Suap-menyuap; (3) Penggelapan dalam jabatan;
(5) Perbuatan curang;
(6) Benturan kepentingan dalam pengadaan;
(7) Gratifikasi. Pengelompokan tersebut diatas dapat dijelaskan dalam beberapa Pasal sebagai berikut: Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Pasal 3 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 : “Setiap orang dengan maksud dan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada 65
Jefferson, 2011, “Macam-Macam Pengelompokan Korupsi”, http://jeffersonsh.blogspot.com/2011/10/macam-macam-dan-pengelompokan-korupsi.html, diakses tanggal 12 Februari 2012. 66 Ibid 67 Ibid 68 Ibid
…
51
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. 3.
Kebijakan dan Strategi Pemberantasan Korupsi Maraknya praktek korupsi saat ini, memaksa Pemerintah untuk melakukan pencegahan
dan pemberantasan dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pemerintah juga membentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengadilan khusus yang proses pidananya pula dilaksanakan oleh kelembagaan khusus berupa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi menjadi sebuah permasalahan penting yang harus diberantas oleh Bangsa Indonesia karena dapat merugikan negara. Selain itu, korupsi dipandang bukan hanya sebagai permasalahan moral yang menyangkut kejujuran, menghormati milik orang lain, tidak mencuri dan sebagainya yang merupakan nilai penting dalam konteks ini semata, tetapi juga sebagai permasalahan multidimensional (politik, ekonomi, sosial dan budaya) yang sering melibatkan para pemegang kekuasaan, sehingga memberantas korupsi bukanlah perkara mudah yang bahkan lebih daripada itu telah menjadi sistemik. Menjadi sistemik karena perilaku koruptif dikemas sedemikian rupa melalui suatu proses yang memperoleh landasan-landasan hukum secara formal sehingga sulit sekali dipisahkan/dibedakan apakah kemasan tersebut legal tau tidak legal. 69 Untuk pemberantasan tindak pidana korupsi maupun perilaku koruptif saat ini dapat dilakukan dengan beberapa upaya, antara lain 70: 1. Adanya tekad yang konkrit dari seluruh pimpinan penyelenggara negara khususnya pimpinan pemerintahan untuk memberantas serta mencegah perilaku koruptif (political will). 2. Pembaharuan perangkat perundangan dengan memformulasikan bentuk-bentuk perbuatan koruptif (corruptive practices) yang lebih konkrit dan tidak konvensional sebagaimana rumusan perundangan saat ini. 3. Praktek koruptif yang menjadi kebiasaan sebenarnya justru paling sering terjadi dan banyak sekali memberi penderitaan pada masyarakat karena langsung dirasakan oleh masyarakat sehari-hari. Praktek semacam itu bagi pelakunya harus diambil tindakan langsung dan tegas bahkan kalau perlu bersifat final. 69
Antonius Sujata, Pemberantasan Korupsi Salah Visi, Artikel Kompas tanggal 26 Januari 2004. Antonius Sujata, 2005, Peranan Ombudsman Dalam Rangka Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Serta Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Baik, 5th Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, hal. 10. 70
…
52
4. Meningkatkan kualitas pelayanan merupakan prinsip utama dari asas pemerintahan yang baik (good governance). Implementasi korupsi adalah sikap ataupun perilaku yang tidak ingin memberi pelayanan kepada masyarakat. Budaya tidak memberi pelayanan, pola aparat yang lebih bersikap meminta pelayanan merupakan perilaku koruptif. Karena itu suatu lembaga kontrol yang bertugas melakukan pengawasan atas pemberian pelayanan dalam penyelenggaraan negara harus memperoleh prioritas. 5. Penyimpangan dalam pelaksanaan wewenang (maladministration) juga merupakan pola kegiatan (vide budaya) yang bersifat koruptif yang harus dicegah dan ditindak. Bentuk-bentuk maladministration antara lain tindakan yang janggal (inapproriate), menyimpang (deviate), sewenang-wenang (arbitrary), melanggar ketentuan (irregular, illegitimate), penundaan berlarut (undue delay). 6. Semua bentuk pelayanan publik oleh aparatur harus gratis, karena itu bentuk pemberian apapun baik sebelum, pada waktu ataupun setelah pemberian pelayanan publik harus dilarang dan diambil tindakan tegas terhadap pelakunya. D. MENDORONG PERAN OMBUDSMAN DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI Pemerintah sebagai badan hukum publik dalam melakukan sebuah perbuatan hukum akan selalu mendasarkan diri pada asas legalitas. Artinya, perbuatan hukum tersebut harus jelas dasar hukum dan dasar diperolehnya kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut. Menurut Prof. Phillipus M. Hadjon, seorang pejabat atau badan publik memperoleh kewenangan dari tiga sumber, yakni: atribusi, delegasi dan mandat. 71 Atribusi adalah kewenangan yang diperoleh berdasarkan undang-undang, sedangkan delegasi diperoleh berdasarkan pelimpahan dari badan publik lainnya, selanjutnya mandat adalah kewenangan yang diperoleh berdasarkan hubungan hirarkis atasan dengan bawahan dalam suatu organisasi publik. Masing-masing sumber kewenangan ini akan menentukan bentuk pertanggung jawaban dari subyek hukum yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Adapun bentuk pertanggung jawaban pejabat dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) pertanggung jawaban jabatan; dan (2) pertanggung jawaban pribadi. Tanggung jawab jabatan berhubungan dengan keabsahan perbuatan hukum pemerintah sedangkan tanggung jawab pribadi berhubungan dengan pendekatan fungsionaris atau pendekatan prilaku dalam hukum administrasi. Selanjutnya, tanggung jawab pribadi berkenaan dengan maladministrasi dalam penggunaan wewenang maupun public service yang dapat mengambil bentuk tanggung jawab pidana bagi subyek
71
Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, Hal. 140.
…
53
hukumnya. Untuk tanggung jawab jabatan dapat mengambil bentuk tanggung jawab perdata dan tanggung jawab tata usaha negara. 72 Hal-hal dasar dalam hukum administrasi di atas penting diuraikan dalam konteks tindak pidana korupsi karena tindak pidana korupsi akan berhubungan dengan lembaga publik. Sehingga dapat dilihat di mana letak maladministrasi yang mengakibatkan keuangan negara yang dikelola oleh badan-badan pemerintah mengalami kebocoran. Sebagaimana pendapat Prof. Philipus M. Hadjon, “hukum administrasi sangat dominan karena tindak pidana korupsi hanya mungkin terjadi dalam konteks kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh maladministrasi dalam penggunaan wewenang. Bentuk maladministrasi yang paling utama adalah menyalahgunakan wewenang.” 73 Selain itu, obyek pengawasan Ombudsman Republik Indonesia salah satunya adalah perilaku maladministrasi. Dengan demikian, dapat dikatakan dengan sederhana bahwa maladminstrasi yang menyebabkan adanya kerugian atau potensi kerugian keuangan negara akan merupakan tindak pidana korupsi. Menurut Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman RI yang dimaksud dengan maladminstrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh Penyelenggara Negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan. Praktek-praktek yang lazim terjadi dalam pelayanan publik seperti suap-menyuap, gratifikasi hingga penyalahgunaan wewenang merupakan bentuk maladministrasi. Dalam pengawasannya, Ombudsman memiliki wewenang untuk menerima laporan dan menindaklanjuti laporan masyarakat tentang praktek-praktek diatas. Bahkan Ombudsman Republik Indonesia juga memiliki wewenang untuk melakukan own-motion investigation atau melakukan investigasi tanpa menunggu adanya laporan masyarakat tetapi atas dasar inisiatif sendiri ketika ada dugaan kuat bahwa sebuah praktek maladministrasi dalam memberikan pelayanan publik telah berdampak merugikan masyarakat. Jika kemudian hasil investigasi menunjukkan bahwa ada bukti yang cukup untuk menilai bahwa maladministrasi tersebut masuk ke ranah korupsi karena adanya kerugian keuangan negara atau potensi
72 73
Ibid, , hal. 16-17. Philipus M. Hadjon, Ibid, hal. 2.
…
54
kerugian keuangan negara, maka Ombudsman dapat berkordinasi dengan lembaga penegak hukum untuk melanjutkan proses hukum pidananya. Strategi pemberantasan korupsi seharusnya tidak hanya berupa upaya penegakan hukum bagi para pelaku. Melainkan juga harus terintegrasi dengan baik dengan upaya melakukan pencegahan dan pengubah perilaku birokrasi sehingga tidak melakukan maladministrasi yang berakibat kerugian keuangan negara. Pada konteks inilah Ombudsman Republik Indonesia memiliki peran yang strategis. Sebagai lembaga negara independen yang memiliki kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pemerintahan baik BUMN, BUMD, Perusahaan Nasional maupun swasta yang menggunakan separuh atau sepenuhnya dana APBN/APBD, Ombudsman Republik Indonesia menjadi garda depan pencegahan tindak pidana korupsi. Sebagai lembaga yang menitikberatkan pada pengawasan proses pemberian pelayanan umum, dalam konteks pemberantasan korupsi di daerah, Ombudsman daerah berperan untuk mencegah terjadinya korupsi dan perilaku koruptif setiap aparatur penyelenggara pemerintahan daerah. Peran Ombudsman daerah dalam proses pencegahan korupsi dimulai dengan mendorong upaya perbaikan sistem pelayanan umum pemerintahan daerah dengan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas publik.
E. PENUTUP Selama ini, pemberantasan tindak pidana korupsi lebih banyak dilakukan dengan jalan melakukan penegakan hukum atas pelaku korupsi. Hal ini dilakukan karena semakin massifnya perilaku koruptif di kalangan birokrasi dan pengusaha, juga karena permisif-nya masyarakat terhadap perilaku-perilaku yang tergolong koruptif seperti suap-menyuap, gratifikasi dan lainnya. Sehingga tidak berlebihan ketika banyak pengamat mengatakan bahwa korupsi telah menjadi budaya Indonesia sehingga sulit untuk dirubah. Pemberatasan yang hanya berfokus pada penegakan hukum (pemidanaan) terhadap pelaku korupsi dapat dianggap tidaklah memadai karena hanya mengatasi korupsi di bagian hilir. Dengan demikian, dibutuhkan langkah efektif untuk melakukan pemberantasan di bagian hulu melalui upaya-upaya pencegahan. Di sinilah sebenarnya peran Ombudsman Republik Indonesia. Lembaga negara independen yang didirikan berdasarkan undang-undang ini memiliki tugas untuk mengawasi potensi dan perilaku maldminstrasi di birokrasi maupun perusahaan milik negara/daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Maladministrasi merupakan pintu masuk
55
…
untuk melakukan korupsi karena biasanya korupsi akan terjadi apabila maldminisrasi yang dilakukan berakibat pada adanya kerugian atau potensi kerugian keuangan negara dan/atau kerugian bagi masyarakat. Oleh karena itu, Ombudsman Republik Indonesia memiliki peran yang strategis dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan posisi yang sejajar dengan lembaga negara penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan maupun lembaga negara independen yang secara ad hoc bekerja di ranah pemberantasan tindak pidana korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
DAFTAR BACAAN Anonim,
Anonim,
2012, “Pejabat Daerah Terjerat Kasus Pidana”, http://regional.kompas.com/read/2012/11/20/18170243/474.Pejabat.Daerah.Terjer at.Kasus.Pidana. diakses tanggal 12 Februari 2013. 2012,
“Ribuan
Pejabat
Daerah
Terlibat
Kasus
Korupsi”,
http://www.tempo.co/read/news/2012/08/29/078426251/Ribuan-Pejabat-Daerah-TerlibatKasus-Korupsi, diakses tanggal 12 Februari 2013.
ChaLicee,Zhopio,2012,http://zhopiochalicee.blogspot.com/2012/06/ombudsman. html, diakses tanggal 12 Februari 2013. Daniel, Treisman, 2000, The Cause of Corruption: A Cross-National Study, Journal of Public Economics, Volume 76, Issue 3, Juni 2000. Hadjon, Philipus M. dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Jakob, Svensson, 2005, Eight Question about Corruption, Journal of Economic Perspectives, Volume 19, Number 3, Summer 2005.
Jefferson,
2011,
“Macam-Macam
Pengelompokan
Korupsi”,
http://jeffersonsh.blogspot.com/2011/10/macam-macam-dan-pengelompokankorupsi.html, diakses tanggal 12 Februari 2012. Masduki, Teten, “Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya”, pusham.uii.ac.id /upl/article/ id_Teten Masduki.pdf, diakses pada tanggal 11 Februari 2013.
Soebagjo,
Natalia,
2012,
“Corruption
Perception
Index
2012”, http://www.ti.or.id/index.php/publication/2012/12/12/corruption-perception-index-2012, diakses pada tanggal 12 Februari 2013.
Sujata, Antonius, Pemberantasan Korupsi Salah Visi, Artikel Kompas tanggal 26 Januari 2004. Sujata, Antonius, 2005, Peranan Ombudsman Dalam Rangka Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi Serta Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Baik, 5th Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta. Yusrizal, 2009, Ombudsman Dalam Bingkai Ketatanegaraan RI: Sejarah Pembentukan dan Tantangan Kedepan, Jurnal Suloh Vol. VII No. 3 Desember 2009.
56
…
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2003 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketetapan
MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang rekomendasi Pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Arah
Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1999 tentang Komisi Ombudsman Nasional.
Kebijakan
…
57
DUMPING DAN MONOPOLI Dr. Luh Putu Sudini, S.H.,M.H ∗ I Made Asmarajaya, S.H.,M.H Abstract: Various structural changes that hit the world economy, has changed the economic and institutional world. All this led to a change in monetary relations, trade and the economy of the nation in general. Such a development occurs in primary goods prices, oil, lending rates of developing countries, capital market turmoil and financial markets in turns. Competitif tight competition in the global market increasingly looks after the establishment of the institution of world trade (World Trade Organization-WTO), and its common tariff and trade agreement (General Agreement on Tariffs and Trade-GATT) in which includes several agendas such as the General Agreement on Tariff and TradeGATT 1994, the Agreement on Agriculture; Agreement on textiles and clothing, the General Agreement on Trade Services-GATS; Trade-Related Intellectual Property Rights TRIPs; TRIMs; Antidumping Agreement; WTO, etc. Dumping, is the practice of trading is done by making the difference in price of products sold in the market place or different. Indonesia as an Island Countries (Archipelagic State) which can not be separated from the international community, as well as in the activities of trade / business through cross-border dumping allegations also taxable. However, Indonesia has the juridical basis of international trade including dumping in the form of provision of the GATT / WTO ratified by Act No.7 of 1994. Meanwhile, the monopoly is the act of a group of individuals or a group of businessmen jointly undertake trading activities with the purpose or intent to gain and or profits are maximized. Monopolistic actions that occur in practice a trade or business activities can harm people -individuals who engage in trading activity or business activity. Actions can also be detrimental to the state monopoly primarily in the areas of economic instability wheels of a country's economy, both nationally and internationally which involves commercial activities through cross-border (international). Key Words : dumping, monopoly. A. PENDAHULUAN Berbagai perubahan struktural dalam perekonomian dunia telah menyebabkan tidak mempunyai tatanan ekonomi - sosial yang ada untuk bekerja secara efektif. Sebagai reaksi terhadap perkembangan yang mengarah pada terciptanya tatanan baru, berbeda dengan yang lama. Berbagai perubahan struktural yang melanda ekonomi dunia sejak permulaan dasawarsa tujuh puluhan telah mengubah tatanan dan kelembagaan ekonomi dunia. Semua ini telah mendorong terjadinya perubahan dalam hubungan moneter, perdagangan dan
∗
Penulis: Dr. Luh Putu Sudini, S.H.,M.H adalah Dosen tetap Bidang Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar. Dan I Made Asmarajaya, S.H.,M.H adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar.
…
58
ekonomi antar bangsa pada umumnya. Perkembangan demikian terjadi pada harga barangbarang primer, minyak, suku bunga pinjaman negara-negara berkembang, gejolak pasar modal dan pasar uang secara silih berganti. Perubahan struktural ini ditambah berbagai perkembangan di bidang sosial, politik dan teknologi informasi telah meningkatkan ketidakpastian usaha pada umumnya. Sedangkan upaya perekonomian nasional dari negara-negara yang melakukan penyesuaian terhadap paradigma baru ekonomi dunia ini telah meningkatkan ketatnya persaingan pasar. Menghadapi perkembangan demikian, upaya negara atau kelompok negara seringkali menumbuhkan permasalahan baru. Di satu pihak semua menekankan perlunya perdagangan dunia yang lebih bebas dan terbuka. Tetapi keinginan untuk membuat perekonomian nasionalnya atau kelompoknya menjadi kompetitif sering mendorong dilaksanakannya berbagai kesepakatan yang dalam prakteknya yang menunjukkan sifat yang pada dasarnya merkantilistik, bertentangan dengan keinginan bebasnya perdagangan dunia. Semua pihak menyadari akan keuntungan yang diperoleh dari perdagangan bebas dan terbuka. Walaupun demikian, dalam kenyataannya tetap terdapat kemungkinan adanya negara-negara yang dirugikan. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa aturan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) menunjukkan berbagai ketentuan mengenai bagaimana suatu negara menangkal tindakan negara lain, baik dengan cara yang jujur (safeguard) maupun yang dianggap tidak jujur (unfair trade practices). Apabila terjadi yang tidak jujur, masih dibedakan antara permasalahan yang timbul karena adanya “subsidi” dan “dumping” dengan penangkalnya yaitu countervailing duties dan anti dumping duties. Selain itu juga terdapat ketentuan mengenai “balance of payments” yang memberikan instrument pertolongan bagi negara yang mengalami kesulitan neraca pembayaran sebagai akibat perdagangan terbuka.
B. PEMBAHASAN Dumping adalah praktek perdagangan yang dilakukan dengan mengadakan perbedaan harga produk yang dijual di tempat atau pasar yang berbeda. 74 Tindakan dumping sendiri tidak dilarang, tetapi jika menyebabkan kerugian (injury) kepada pihak lain yaitu negara pengimpor, maka hal itu dapat dicegah. Pencegahan tindakan tersebut melalui 74
GATT 1994, “Peluang Dan Tantangan”, Dokumen dan Analisis, Jakarta, h. 1
…
59
mekanisme yang berlaku. Aturan mengenai tindakan anti dumping secara umum telah tertuang dalam GATT 1947. Pada dasarnya tuduhan dumping terdiri dari tiga bagian : 1. Membuktikan bahwa harga ekspor dibawah “normal”; 2. Membuktikan adanya kerugian berarti untuk industri domestic; 3. Membuktikan bahwa kerugian yang dialami disebabkan oleh dumping. Jika dumping terbukti maka negara pengimpor dibenarkan untuk mengenakan bea masuk tambahan anti dumping sebesar marjin dumpingnya. Untuk memberlakukan tindakan anti dumping, suatu negara harus memiliki peraturan anti dumping nasional. Bahkan untuk negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), seberapa efektifnya peraturan anti dumping merupakan ukuran penting untuk mengevaluasi kebijaksanaan perdagangan dan negosiasi internasional. Sampai dengan tahun 1960-an, tindakan anti dumping oleh pemerintah negara anggota GATT sedikit sekali dan secara total per tahun hanya ada sekitar 12 kasus. Pada pertengahan 1970-an kasus anti dumping mulai meningkat dan misalnya untuk AS, rata-rata dilakukan ada 35 kasus anti dumping per tahun. Sedikitnya tuduhan dumping terhadap Indonesia terjadi karena Indonesia merupakan sebuah Negara Kepulauan (Archipelagic State) memang baru mulai mengekspor produk manufaktur sejak pertengahan 1980-an. Namun kalau diperhatikan kecenderungannya, terutama yang terjadi akhir-akhir ini nampaknya ancaman tuduhan dumping akan meningkat terus. Menurut GATT Secretariat sebagian besar produk-produk yang dikenakan tuduhan dumping adalah produk-produk manufaktur atau hasil industri, sedangkan tuduhan dumping dengan jumlah relatif kecil terjadi terhadap komoditi hasil pertanian. Secara rinci semua tuduhan dumping terhadap Indonesia dapat dilihat di Tabel 1. Indonesia telah mendapat tuduhan dumping dari beberapa negara, tetapi sebagian besar berasal dari Australia dan MEE (Masyarakat Economic Eropa). Di antara tuduhan tersebut sebagian ada yang terbukti, sehingga dikenakan bea masuk anti dumping, ada yang tidak terbukti, ada yang dihentikan penyelidikannya, dan ada yang masih dalam proses.
…
TABEL 1. Tuduhan Dumping Terhadap Indonesia No.
PRODUK
NEGARA
HASIL
1.
Canned tuna
Australia
2.
Clear flot glass
Australia
3
Exercise Books
Australia
Negatif
4
Flat glass/ CFG
Australia
Negatif
5
Flat Glass/futher processed glass
Australia
Negatif
6
Photo copy paper
Australia
Positif
7
Lead Acid Batteries
Australia
Positif
8
Phthalic Anhydride
Australia
Positif
9
Polyolefin bags
Australia
Berhenti
10
Sorbitol 70%
Australia
Negatif
11
Desicated coconut
Brazil
Positif
12
Photo album
Kanada
Positif
13
Bicycles
MEE
14
Cotton fabric
MEE
15
Denim
MEE
16
Footwear
MEE
17
Glutacmic Acid
MEE
18
Polyester Fabric
MEE
19
Polyester Yarn
MEE
Negatif
20
Aluminium sheet
Selandia Baru
Negatif
21
Footwear
Selandia Baru
Positif
22
Lead acid batteries
Selandia Baru
Negatif
23
Glasswear
Turki
Positif
Catatan : No. 2, 13,14,16 dan 18 dalam proses. Sumber Data : Departemen Perdagangan.
Negatif
Negatif
Positif
60
…
61
Persaingan perdagangan internasional makin lama makin tajam. Upaya untuk melindungi industri dalam negeri oleh negara maju sudah tidak bisa lagi melalui tarif karena persetujuan untuk mengikat tarif pada putaran-putaran negosiasi GATT sebelum Putaran Uruguay. Oleh karena itu sudah tidak rahasia lagi bahwa tindakan anti dumping sering digunakan oleh berbagai negara yang maksud utamanya adalah untuk melindungi industri dalam negerinya. Dalam prakteknya pelaksanaan aturan dumping sering dan cenderung disalahgunakan untuk menemukan hasil adanya dumping. Tanggal 20 Desember 1991, Ketua TNC Tingkat Pejabat telah mengeluarkan Draft Final Act (DFA) untuk keseluruhan substansi perundingan Uruguay Round. Dalam DFA tersebut juga telah dimasukkan teks draft agreement mengenai anti-dumping hasil arbitrasi Ketua Kelompok Perundingan Rules-Making tersebut. Anti-Dumping Agreement tersebut mencoba untuk memperbaiki berbagai kesulitan mengenai interpretasi ketentuan dan penerapan Anti-Dumping Code yang lama, yang dialami oleh berbagai pemerintah negara anggota, baik yang menyangkut pengalaman negara yang mempergunakan aturan antidumping maupun negara yang ekspornya terkena tindakan anti-dumping. Teks perjanjian (Anti-Dumping Agreement) menegaskan kembali batasan mengenai pengertian suatu produk yang dijual dengan dumping, yakni sebagai “produk yang dipasarkan kepada negara lain dengan harga lebih rendah daripada harga normal (normal value)”. Untuk itu, beberapa kriteria dalam agreement, antara lain: 75 1. dumping terjadi, bila dalam perdagangan dengan cara yang biasa dilakukan, harga ekspor dari produk tersebut lebih rendah dari harga perbandingan (comparable price) untuk barang sejenis yang digunakan untuk konsumsi di dalam negeri pengekspor. 2. dumping terjadi bila, tidak terdapat penjualan domestik dari barang sejenis tersebut, maka digunakan perbandingan harga ekspor ke pasar negara ketiga. 3. dumping terjadi bila tidak terdapat kriteria pertama dan kedua maka diadakan suatu pembentukan harga (constructed price) yang didasarkan pada biaya produksi ditambah suatu jumlah biaya untuk administrative, pemasaran dan biaya lainnya serta ditambah untuk suatu jumlah keuntungan (profits) yang wajar. Menurut dokumen World Trade Organization (WTO) 76, dumping adalah jika sebuah perusahaan menjual produknya di negara lain lebih murah dari harga normal pasar dalam negerinya.
75
Kartadjoemena, H.S., 1997, GATT WTO Dan Hasil Uruguay Round, Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, hal. 8 76 Perhatikan Sekilas, 2002, WTO (World Trade Organization), Direktorat Perdagangan Dan Perindustrian Multilateral, Dirjen Multilateral Ekonomi Keuangan Dan Pembangunan, Deplu, Jakarta, hal. 12
…
62
Yang dimaksud harga dumping adalah harga yang lebih rendah dari harga “normal” apabila harga produk yang diekspor lebih rendah dari harga pembanding (comparable price) produk sejenis (like product) yang dikonsumsi di negara pengekspor. Jika tidak ada penjualan dalam negeri atau di pasar ketiga, harga ekspor dapat dibandingkan dengan “constructed value”, yang dihitung sebagai penjumlahan dari biaya produksi, pengeluaran administrasi dan penjualan dan laba. Penentuan laba diatur secara ketat. Jika tidak ada data aktual mengenai laba, maka dapat ditentukan melalui : a. laba aktual eksportir dan produsen lain dibidang yang hampir sama. b. rata-rata tertimbang dari laba aktual eksportir di bidang yang hampir sama. c. “Any reasonable method” yakni dengan suatu metode yang dianggap layak selama tidak lebih dari laba eksportir dan produsen lain di bidang yang hampir sama. Penjualan dalam negeri dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksi (termasuk biaya administrasi dan penjualan ) tidak usah diperhitungkan jika menentukan rata-rata harga domestik, selama harga penjualan domestik kurang dari rata-rata tertimbang biaya per unit, atau proporsi dari volume penjualan yang dibawah biaya per unit lebih dari 20 %. Penentuan marjin dumping pada umumnya berdasarkan perbandingan nilai rata-rata tertimbang dari harga semua ekspor yang serupa. Perjanjian juga menentukan “cumulation” dari import yang terkena tuduhan dumping dengan menghitung secara kumulatif impor lebih dari satu negara selama marjin dumping lebih tinggi dari di minimis. Menurut Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994), Pemerintah (Indonesia) diperbolehkan untuk mengambil tindakan sebagai reaksi terhadap dumping jika benar-benar terbukti terjadi kerugian (material injury) terhadap industri domestic. Untuk melakukan hal ini, pemerintah (Indonesia) harus dapat membuktikan terjadinya dumping dengan memperhitungkan tingkat dumping (dengan membandingkan harga ekspor suatu produk dengan harga jual produk tersebut di negara asalnya). Ada beberapa cara untuk menghitung apakah suatu produk merupakan produk dumping. Tiga (3) metode yang dapat digunakan untuk menghitung harga normal (normal value) suatu produk yaitu : 77
77
WTO, 2002, WTO (World Trade Organization), Direktorat Perdagangan dan Perindustrian Multilateral, Deplu, Jakarta, hal. 35
…
63
1. metode pertama yakni dengan menggunakan harga jual di pasar domestic negara pengekspor sebagai pembanding. Jika hal ini suli dilakukan, dapat dilakukan metode lain, yakni metode kedua dan ketiga. 2. metode kedua, dengan membandingkan harga produk yang sama dari negara pengekspor yang lain (pihak ketiga), atau dengan metode ketiga. 3. metode ketiga yakni, menggunakan metode kombinasi perhitungan biaya produksi ekspor, pengeluaran yang lain, dan marjin normal keuntungan (normal profit margins). Dalam persetujuan ini juga diatur tingkat perbandingan yang dianggap adil antara harga ekspor dan harga normal. Memperhitungkan tingkat dumping saja tidak cukup karena tindakan anti dumping hanya dapat berlaku jika pemasaran produk tersebut dianggap merugikan industri domestik. Oleh karena itu penyelidikan (investigasi) secara rinci perlu dilakukan sesuai dengan aturanaturan yang berlaku. Pelaksanaan investigasi juga harus memperhatikan kondisi-kondisi ekonomi yang terjadi di negara pengekspor. Jika dalam investigasi terbukti terjadi dumping dan industri domestik dirugikan, perusahaan pengekspor dapat menaikkan harga ekspor pada tingkat yang disetujui bersama sehingga dapat menghindari tindakan anti-dumping di negara pengimpor berupa kenaikan bea masuk untuk produk dumping. Monopoli adalah tindakan yang dilakukan oleh sekelompok individu atau sekelompok pengusaha dalam tindakan atau kegiatan bisnis atau perdagangan dengan tujuan atau maksud untuk memperoleh penghasilan, keuntungan dan atau laba yang sebesarbesarnya/maksimal. Misalnya seperti peredaran hak-hak milik intelektual (HKI) di Indonesia, yaitu hak cipta (seperti karya cipta musik, lagu, maupun tari)
78
, yang mana di
Indonesia masih terjadi monopoli oleh perusahaan tertentu atau industri musik tertentu, sehingga kondisi demikian itu dapat merugikan individu yang memiliki karya cipta, bidang lagu, musik, tari, maupun yang lain. Tindakan monopoli dapat merugikan negara, terutama dalam siklus perekonomian dalam masyarakat secara nasional dan internasional. Apalagi setelah Indonesia meratifikasi ketentuan GATT dengan UU No.7 /1994,
yang salah satu
agendanya adalah pengaturan mengenai hak milik intelektual yang tertuang dalam ketentuan TRIPs (Trade Related Intellectual Property Rights), dan Indonesia juga telah mengimplementasikan ketentuan TRIPs ke dalam Hukum Nasional Positif Indonesia yakni melalui ketentuan Undang-undang Hak Milik Intelektual, seperti Hak Cipta, Paten, merek, Rahasia Dagang, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Dan Varietas Tanaman. 78
Perhatikan Ketentuan UU HKI di Indonesia yang telah disesuaikan dengan ketentuan TRIPs sebagai salah satu agenda GATT yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No.7 Tahun 1994. Dan lihat pula Harian Jawa Pos, 2007, “Monopoli Industri Musik Dipersoalkan”, Berita Utama, Minggu, 13 Mei, hal.3
…
64
C. PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dibuat simpulan sebagai berikut : •
•
Dumping, adalah praktek perdagangan yang dilakukan dengan mengadakan perbedaan harga produk yang dijual di tempat atau pasar yang berbeda. Indonesia sebagai sebuah Negara Kepulauan (Archipelagic State) yang tidak lepas dari pergaulan internasional, termasuk juga dalam kegiatan dagang/bisnis yang melewati lintas batas negara juga kena tuduhan dumping. Namun Indonesia telah memiliki landasan yuridis secara internasional tentang perdagangan termasuk dumping yakni ketentuan GATT/WTO yang telah diratifikasi UU No.7 tahun 1994. Monopoli adalah tindakan sekelompok individu atau sekelompok pengusaha secara bersama-sama melakukan kegiatan perdagangan dengan tujuan atau maksud untuk memperoleh keuntungan dan atau laba yang maksimal. Tindakan monopoli yang terjadi dalam praktek perdagangan atau kegiatan bisnis dapat merugikan orang perseorangan yang terlibat dalam aktivitas perdagangan atau kegiatan bisnis. Misalnya kegiatan perdagangan terhadap hak-hak milik intelektual seperti karya cipta, seni musik, lagu, tari, dan lain sebagainya, yang mana kegiatan ini banyak terjadi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia sekaligus sebagai penopang kehidupan individu sehari-hari. Tindakan monopoli dapat juga merugikan Negara utamanya dalam bidang perekonomian yang menjadi tidak stabilnya perputaran roda perekonomian suatu negara, baik secara nasional maupun internasional yakni melibatkan kegiatan perdagangan yang melewati lintas batas negara (internasional). DAFTAR BACAAN
Kartadjoemena., H.S., 1997, GATT, WTO Dan Hasil Uruguay Round, Penerbit Universitas Indonesia, (UI-Press), Jakarta. GATT 1994, Peluang Dan Tantangan, Dokumen Dan Analisis, Jakarta. WTO, WTO (World trade Organization), 2002, Direktorat Perdagangan Dan Perindustrian Multilateral, Dirjen Multilateral Ekonomi Keuangan dan Pembangunan, DEPLU, Jakarta. World Trade Organization, 1994, Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, Komite Anti Dumping Indonesia, Tim Operasional Anti Dumping, Jakarta. Harian Jawa Pos, 2007, “Monopoli Industri Musik Dipersoalkan”, Berita Utama dalam Jawa Pos Edisi Minggu 13 Mei.
…
65
PELECEHAN SEKSUAL PADA ANAK CERMIN LEMAHNYA PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA Anak Agung Ayu Ari Widhyasari,S.H.,M.Kn. Abstract : Child sexual abuse cases are just like the iceberg phenomena which increase to the top of it by the time, therefore the investigation of this cases seems hardly to do. Law enforcement towards this cases is very necessary. As the government and the police are the front liner to handling this child sexual abuse problems. Children are our nation’s future generation whose the development of mindset should become our main concern. It will be such a shame if during their childhood moment when the education, love and care are their main needs to get the better future, instead of getting psychologically traumatic as their become the victim of the sexual abuse. Indonesia as the rule of law state concept, so its equitable if these cases get the extra attention and have to be handling seriously by the government and the law enforcement officers. Keywords: sexual abuse, children, law enforcement. A. Pendahuluan Negara Indonesia merupakan negara yang kaya akan segala hal mulai dari sumber kekayaan alam yang tiada habisnya, sumber daya manusia yang sangat banyak dan ditunjang dengan keberadaan strategis negaranya sehingga menarik minat banyak orang untuk hadir ke negara ini. Oleh karena itu bisa saja dikatakan bahwa Indonesia memiliki semua syarat yang diperlukan untuk menjadi bangsa yang besar. Kita dikaruniai kekayaan alam yang begitu berlimpah sehingga terasa sulit untuk menyebut, apa yang tidak kita punyai sebagai bangsa? Namun mengapa bangsa ini tetap saja terpuruk? Demokrasi Indonesia yang kita idealkan semakin jauh dari niai-nilai hikmat kebijaksanaan. Permusyawaratan diganti voting dan sistem perwakilan digantikan oleh pemilihan secara langsung. Dampaknya, representasi kekuatan modal menjadi ukuran bagi layak tidaknya seseorang dicalonkan. Anomali demokrasi ini berlangsung terus, bukan dalam wajah demokrasi yang membawa kemakmuran rakyat, melainkan demokrasi yang menampilkan kuatnya pengaruh uang di dalam setiap rekruitmen jabatan publik. Di sisi lain, rakyat sebagai pemegang kedaulatan hanya menjadi obyek semata. Bahkan rakyat semakin terpinggirkan dalam wajah kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan.
79
79
Megawati Soekarnoputri, Amandemen UUD 1945, dan Masa Depan Bangsa, (Jakarta : Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) bekerja sama dengan International Conference of Islamic Scholars) hal. xxxi.
…
66
Akhir-akhir ini sering kita mendengar dan melihat baik melalui media elektronik seperti televisi atau internet maupun media cetak seperti tabloid dan koran, betapa maraknya kasus mengenai pelecehan seksual kepada anak. Seperti contoh salah satu kasus yang melanda seorang anak SD di Jakarta, yang meninggal akibat mendapat pelecehan seksual dari ayah kandungnya sendiri Berdasarkan hal tersebut diatas dapat dilihat bahwa dalam tindakan pelecehan seksual, pelaku bisa saja berasal baik dari lingkungan dalam keluarga atau lingkungan luar keluarga. Di Indonesia sendiri telah ada beberapa aturan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap anak ataupun kekerasan yang terjadi pada anak. Salah satunya adalah Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Secara garis besar, UndangUndang tersebut memberikan perlindungan terhadap anak secara menyeluruh baik dari segi kejahatan, pendidikan, agama, sampai hak asuh anak serta kewarganegaraanya. Walaupun demikian, masih saja terdapat celah untuk melakukan pelanggaran hukum terhadap kekerasan terhadap anak. Seakan-akan anak merupakan objek penderita yang memang layak untuk dianiaya. Peran serta dan dukungan keluarga dan pemerintah serta pihak-pihak lainnya sangatlah diperlukan dalam membasmi dan menegakkan hukum untuk perlindungan anak Indonesia. Lemahnya beberapa sistem maupun kontrol dari pemerintah menyebabkan terkadang kasus pelecehan seksual terhadap anak hanya angin lalu yang tidak memberikan manfaat bagi kelangsungan hukum di Indonesia.
B. Konvensi tentang Hak-Hak Anak Konvensi tentang Hak-Hak Anak merupakan salah satu konvensi yag mengatur mengenai perlindungan anak yang telah disetujui oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 8 Nopember 1989. Dalam konvensi ini secara garis besar merangkum mengenai hak-hak anak seperti dalam hal pendidikan, hak asuh anak, sosial, ekonomi dan juga pendidikan termasuk perlindungan hukum di dalamnya. Konvensi ini memberikan tanggung jawab penuh kepada negara untuk melindungi anak-anak yang mengalami suatu bentuk diskriminasi atau trauma psikis akibat dari kasus penganiayaan ataupun pelecehan seksual. Dalam pasal 19 ayat (1) Konvensi tersebut yang dirumuskan :
1. Negara-negara Pihak harus mengambil semua tindakan legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks selama dalam pengasuhan (para) orang tua, wali hukum atau orang lain manapun yang memiliki tanggung jawab mengasuh anak.
…
67
2. Tindakan-tindakan perlindungan tersebut, sebagai layaknya, seharusnya mencakup prosedur-prosedur yang efektif untuk penyusunan program-program sosial untuk memberikan dukungan yang perlu bagi mereka yang mempunyai tanggung jawab perawatan anak, dan juga untuk bentuk-bentuk pencegahan lain, dan untuk identifikasi, melaporkan, penyerahan, pemeriksaan, perlakuan dan tindak lanjut kejadian-kejadian perlakuan buruk terhadap anak yang digambarkan sebelum ini, dan, sebagaimana layaknya, untuk keterlibatan pengadilan. Dalam ayat (1) Pasal tersebut, menerangkan bahwa negara diberi tanggung jawab penuh apabila ditemukan suatu kasus atau perlakuan yang menyebabkan terjadi kekerasan baik secara fisik, psikis maupun seksual. Terlebih apabila hal tersebut terjadi di lingkungan keluarga dan yang menjadi pelakunya adalah anggota keluarga itu sendiri. Negara memang seharusnya menjadi garda utama dalam membentengi terjadinya hal tersebut. Bahkan seharusnya negara berani untuk mengambil tindakan tegas apabila kenyataanya yang melakukan tindakan tersebut adalah anggota keluarga. Negara seharusnya membangun suatu fasilitas penunjang bagi korban-korban pelecehan seksual kategori anak-anak. Sebagai penerus bangsa, anak-anak yang memiliki trauma psikis terhadap masa lalunya terutama dalam hal pelecehan seksual seharusnya mendapatkan perhatian khusus dalam mengelola keadaan mentalnya sehingga nanti di dalam kehidupan remajanya kehidupan traumatik di masa lalu tidak menjadi hambatan si anak tersebut untuk meraih cita-citanya. Konvensi ini secara tegas mengatur kewenangan negara terhadap tindakan yang mengacu pada pelecehan atau kekerasan seksual. Seperti yang dijelaskan dalam pasal 34 Konvensi ini, yaitu NegaraNegara Pihak berusaha melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Di Indonesia kasus-kasus yang mengorbankan anak-anak, khususnya
kasus
pelecehan seksual terhadap anak tiap tahun semakin meningkat. Menurut data Pusat Krisis Terpadu Anak dan Perempuan di Pusat Klinik Terpadu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat, sejak tahun 2000 hingga 2007 telah terjadi kasus kekerasan seksual pada anak perempuan sebanyak 708 kasus dan anak laki-laki sebanyak 118 kasus. 80 Angka tersebut hanya berada pada areal atau wilayah Jakarta, bisa kita bayangkan jika angka-angka tersebut beredar di seluruh wilayah Indonesia. Bagaimana tumbuh kembang anak Indonesia kedepannya apabila seluruh mental dan keadaan psikis anak-anak terganggu akibat menjadi korban pelecehan seksual?
80
American Psychologi Association,, 2009 Pelecehan Seksual Pada Anak, http://www.rumahshine.org/index.php?option=com_content&view=article&id=104%3Apelecehan-seksualpada-anak&catid=40%3Aabuse&Itemid=82&lang=en, diunduh tanggal 15 Februari 2013.
…
68
Kasus pelecehan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di Indonesia, di beberapa negera-negara lainnya juga terjadi hal yang sama. Seperti yang terjadi di Australia, yakni di Gereja Katolik Roma di negara bagian Australia, Victoria, dilaporkan lebih dari 600 anak pernah mengalami pelecehan seksual oleh para imam sejak tahun 1930-an. Namun para penggiat HAM dan aktivis anak setempat mengatakan jumlah sebenarnya dari korban pelecehan bisa mencapai total 10 ribu anak. 81 Ketentuan Pasal 34 Konvensi tersebut dengan jelas menyatakan bahwa segala tindakkan yang berbau pelecehan seksual dan pornografi anak, negara dengan segala kekuasaan hukumnya berhak untuk memberikan tindakan hukum yang keras kepada pelaku kejahatan tersebut. Baik kejahatan tersebut dilakukan oleh warga negara Indonesia (WNI) ataupun Warga Negara Asing (WNA) . Negara dengan serta merta berhak untuk memproses hukum bagi pelaku kejahatan dan berhak untuk mengambil alih hak atas orang tua, bila pelaku kejahatan seksual tersebut adalah orang tua kandung korban pelecehan seksual itu sendiri.
C. Pelecehan Seksual Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Rancangan Undang-Undang KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak secara jelas mengatur mengenai perlindungan anak korban pelecehan seksual, namun secara garis besar mengatur mengenai kedudukan anak di muka hukum. Seprti apa yang dijelaskan dalam pasal 45, 46 dan 47 KUHP yaitu : Pasal 45. Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa yang berumur di bawah enam belas tahun karena melakukan suatu perbuatan, hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, watinya atau
pemeliharanya, tanpa
dikenakan suatu pidana apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun
Pasal 46. Bila hakim memerintahkan supaya anak yang bersalah itu diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam lembaga pendidikan anak negara supaya menerima pendidikan dari Elizabeth Priscillia, 2011, Ratusan Pelecehan Seksual Terjadi di Gereja Katolik di Australia, http://www.jaringnews.com/internasional/umum/23617/ratusan-pelecehan-seksual-terjadi-digereja-katolik-di-australia, diunduh tanggal 15 Februari 2013 81
…
69
pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal (sosial) yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun
Pasal 47. (1) Bila hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidana anak itu dikurangi sepertiga. (2) Bila perbuatan itu adalah kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka anak itu dijatuhi pidana penjara paling lama lima belas tahun. (KUHP 45.)
Dalam KUHP, tidak diatur secara jelas mengenai bagaimana perlindungan terhadap anak yang megalami pelecehan seksual. Secara jelas, KUHP hanya mengatur bagaimana kedudukan seorang anak di muka umum terutama apabila si anak ternyata melakukan tindak pidana. Namun, ada suatu catatan penting bahwa dalam mengeksekusi suatu hukuman pidana kepada seorang anak tidak dijebloskan ke dalam penjara umum bersama pelakupelaku kejahatan yang telah berumur dewasa namun dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan untuk anak-anak. Dalam lembaga tersebut anak-anak diajarkan seperti layaknya sekolah pada umumnya. Hal tersebut dilakukan agar ketika anak tersebut keluar dari lembaga tersebut memiliki bekal pendidikan untuk melanjutkan sisa pendidikannya. Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP yang saat ini sedang dibicarakan di Komisi III DPR-RI, mengenai perlindungan hukum terhadap anak yang mengalami pelecehan seksual diatur dalam beberapa pasal diantaranya adalah dalam Pasal 178 yang menentukan bahwa: ”Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, kemerdekaan, penderitaan fisik, seksual, psikologis, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya”. Pelecehan seksual dikategorikan sebagai kekerasan dengan mengacu bahwa semua perbuatan yang membuat suatu badan tidak bernyawa untuk sesaat terutama dalam hal kekerasan seksual termasuk dalam kategori kekerasan. Kekerasan seksual sesuai dengan pengertian diatas dapat diartikan sebagai suatu bentuk perbuatan yang dapat mengakibatkan korban mengalami suatu keadaan yang membahayakan nyawanya. Para pelaku pelecehan
…
70
seksual terhadap anak dapat dikenakan hukuman pidana apabila memang terbukti melakukan kekerasan seksual kepada anak. Seperti yang diutarakan dalam pasal 490 RUU KUHP dibawah ini bahwa setiap orang yang terbukti melakukan tindak kejahatan pelecehan seksual dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun setiap orang yang : a. b. c.
melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui orang tersebut pingsan atau tidak berdaya; melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga belum berumur 14 (empat belas) tahun; atau membujuk seseorang yang diketahui atau patut diduga belum berumur 14 (empat belas) tahun, untuk dilakukan atau membiarkan dilakukan pada dirinya perbuatan cabul atau untuk bersetubuh di luar perkawinan, dengan orang lain. Dengan hukuman minimal 2 (dua) tahun dan maksimal 9 ( sembilan) tahun pidana
penjara diharapkan dapat memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan pelecehan seksual. Namun, setidaknya dengan adanya pasal tersebut terjadi peningkatan dalam pemberian hukuman pidana penjara kepada pelaku. Jika dibandingkan dengan KUHP pasal 290 mengenai pelaku kekerasan seksual pada anak, yaitu siapapun yang melakukan perbuatan kekerasan seksual akan diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dengan ketentuan bahwa : 1. Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang,padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tak berdaya. 2. Barangsiapa………dst,bahwa umurnya belum 15 tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin. 3. Barangsiapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya diduga belum 15 tahun atau kalau umur tidak jelas,Belum waktunya dikawin, untuk melakukan atau membiarkan perbuatan cabul atau bersetubuh diluar perkawinan dengan orang lain. Dalam KUHP para pelaku kekerasan seksual diberikan selama 7 tahun. Namun dalam RUU KUHP, para pelaku dapat mendapatkan hukuman yang lebih ringan jika dibandingkan dengan KUHP yaitu adanya minimal hukuman sebanyak 2 (dua) tahun. Hal tersebut dirasakan janggal karena adanya pemberian hukuman minimal bagi para pelaku kekerasan seksual pada anak. Jika ditinjau dari hukuman pidana yang dialami oleh Amerika Serikat . Salah satu kasus yang cukup menghebohkan adalah yang dilakukan oleh Oscar D. Perez, seorang pastor di Amerika Serikat divonis hukuman penjara 330 tahun. Ia dinyatakan bersalah atas tindak pidana pelecehan seksual terhadap lima anak usia 9-15 tahun. Oscar D. Perez terbukti melakukan tindakan cabul itu di apartemennya di Los Angeles, antara tahun
…
71
2007 hingga 2011. Tindakan bejatnya terungkap pada bulan September 2011 ketika salah satu korban melaporkan kebejatan seksual pastor yang dialami kepada orang tuanya. Empat korban lainnya kemudian menyusul melakukan laporan. 82 Jika dibandingkan dengan pemberian hukuman pidana yang diberikan oleh Indonesia dan Amerika justru sangat berbeda. Jika di Amerika pemberian hukum pidana penjara diberikan sebagai bentuk efek jera kepada masyarakat yang ingin melakukan perbuatan cabul kepada anak-anak. Di Indonesia kita justru mendapatkan efek yang sebaliknya. Walaupun di Indonesia diberikan efek jera yang cukup tinggi hingga bisa mencapai 14 (empat belas) tahun menurut RUU KUHP tetap saja kejahatan seksual terhadap anak tetap terjadi. Hal tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi penegak hukum di Indonesia. Banyak cara dilakukan orang dewasa untuk melancarkan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Salah satunya adalah dengan cara memberikan imbalan berupa uang, permen, coklat atau barang-barang lainnya yang disukai oleh anak-anak. Hal tersebut dapat membuat anak-anak tergiur akan hal tersebut. Banyak kasus yang terjadi di Indonesia ataupun di dunia berawal ketika si anak yang menjadi objek pelecehan seksual diiming-imingi benda yang memang disukai oleh anak-anak. Seperti yang terjadi di daerah Garut, Jawa Barat, dimana dengan jumlah penduduk yang hampir mencapai 2 (dua) juta orang kasus pelecehan seksual bisa dikatakan tinggi di daerah tersebut. Berdasarkan data Polres Garut, selama tahun 2012 sampai Januari 2013, terdapat 32 kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur di Kabupaten Garut. Dari 32 kasus ini, 11 kasus telah diproses dan berlanjut ke kejaksaan, 3 kasus dalam pencarian tersangka, 7 kasus pada tahap penyidikan, dan 10 kasus sudah cabut perkara. Para pelaku melakukan berbagai cara untuk dekati korban. Korban remaja biasanya diiming-iming berbagai kebutuhan sekunder seperti telepon genggam atau pakaian baru. Sementara untuk korban anak-anak, para pelaku mengiming-imingi dengan jajanan, mainan, atau uang jajan.
83
Dalam RUU KUHP telah diatur mengenai hal tersebut diantaranya adalah rancangan dari Pasal 493 yang dirumuskan: 82
Anonim, 2012, Cabuli 5 Bocah Gereja, Pastur Gaek Amerika Dipenjara 330 Tahun, http://www.voa-islam.com/counter/christology/2012/09/21/20738/ cabuli-5-bocah-gereja-pastur-gaekamerika dipenjara -330-tahun/, diunduh tanggal 15 februari 2013 Hendra Gunawan, 2013 “Kasus Pelecehan Seksual di Garut Mengkhawatirkan”, http://www.tribunnews.com/2013/01/20/kasus-pelecehan-seksual-di-garut-mengkhawatirkan, diunduh tanggal 16 februari 2013. 83
…
72
“Setiap orang yang memberi atau berjanji akan memberi hadiah menyalahgunakan wibawa yang timbul dari hubungan keadaan atau dengan penyesatan menggerakkan orang yang diketahui atau patut diduga belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin serta berkelakuan baik, untuk melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengannya atau membiarkan terhadap dirinya dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun.” Pasal tersebut dapat kita maknai secara positif sebagai upaya dari pemerintah dalam melakukan suatu penegakan hukum. Penegakkan hukum yang dilakukan sampai saat ini bisa dikatakan sangatlah kecil. Masih banyak kasus-kasus pelecehan seksual yang hingga kini belum diselesaikan secara tuntas. Pihak keluarga sebagai gerbang utama seharusnya bisa menjadi payung utama dalam menghambat terjadinya pelecehan seksual terhadap anak. Kadang kala tanpa kita sadari anggota keluarga bisa melakukan suatu pelecehan seksual terhadap anak atau saudara sendiri. Namun, untuk mengantisipati hal tersebut dalam RUU KUHP telah dirancang mengenai hal tersebut seperti yang dijelaskan dalam Pasal 494 yaitu: (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan anak kandungnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun. (2) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengan anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk diasuh, dididik atau dijaga, atau dengan pembantu rumah tangganya atau dengan bawahannya, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun. (3) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun: a. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan bawahannya atau dengan orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga; atau b. dokter, guru, pegawai, pengurus, atau petugas pada lembaga pemasyarakatan, lembaga negara tempat latihan karya, rumah pendidikan, rumah yatim dan/atau piatu, rumah sakit jiwa, atau panti sosial yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke lembaga, rumah, atau panti tersebut. Pasal 494 RUU KUHP tersebut telah secara jelas mengatur mengenai seluruh aspek lingkungan anak-anak yang dapat melakukan pelecehan seksual terhadap anak. Ada banyak kemungkinan dimana anak bisa terkena pelecehan seksual oleh orang dewasa. Bisa saja hal tersebut terjadi di sekolah, tempat bermain, tempat kursus atau lingkungan bermain di sekitar rumah. Orang terdekat ataupun seseorang yang baru dikenal dapat menjadi pelaku kejahatan seksual jika memang pelaku tersebut dari awal mengincar si korban. Oleh karena itu kewaspadaan harus dilakukan kepada anak, karena ancaman akan pelecehan seksual bisa terjadi dari mana saja.
…
73
D. Anak dan Segala Hak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Anak merupakan anugerah Tuhan yang diberikan kepada manusia untuk dilindungi dan dipenuhi hak-haknya dalam penghidupan ini. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merupakan salah satu bentuk produk hukum yang dapat digunakan dalam menegakkan hukum hak-hak anak di Indonesia. Dalam pasal 4 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dijelaskan mengenai hak seorang anak yaitu :”Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dari pasal tersebut dapat ditarik 3 hak yang melekat kepada seorang anak diantaranya yaitu : 1.
2.
3.
Hak untuk dapat hidup, tumbuh dan berkembang Hak tersebut berarti setiap anak berhak untuk menjalani hidupnya dan mendapatkan hidup yang layak karena memang setiap anak merupakan tanggung jawab negara, seperti yang dijelaskan dalam pasal 34 ayat(1) UUD 1945. Hak untuk berpartisipsi secara wajar dengan harkat dan martabat kemanusiaan Setiap manusia memiliki harkat dan martabat yang sama dimuka Tuhan begitu pula sebaiknya di muka hukum. Setiap anak berhak atas hak yang sama terutama dalam hal harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia. Begitu pula untuk berpartisipasi dalam hukum dan dalam kehidupan sosialnya seorang anak diberikan hak yang sama tanpa adanya perbedaan. Hak mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi Hak ketiga ini merupakan hak yang paling penting dalam pemberian hak bagi anakanak. Karena kepolosan dan keluguan yang dimiliki oleh seorang anak tentunya naluri untuk melindungi diri sendiri masih lemah dan belum terukur dengan baik. Peran negara khususnya penegak hukum tentunya sangatlah diperlukan untuk melindungi anak-anak tersebut dari kejahatan dan diskriminasi.
Ketiga hak tersebut merupakan hak dasar yang dimiliki oleh seorang anak dalam mendapatkan segala hak dan kewajibannya. Walaupun di Indonesia sendiri perlindungan terhadap anak masih dikatakan cukup minim, namun adalah lembaga negara yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam menangani segala permasalahan terkait perlindungan anak-anak. Adapun tugas dari KPAI sesuai dengan pasal 76 Undang-Undang Perlindungan Anak adalah : 1. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak;
…
74
2. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Sebagai sebuah lembaga dibawah presiden KPAI bertugas untuk mengawasi dan melakukan sosialisasi terhadap pentingnya suatu perlindungan terhadap anak dari berbagai eksploitasi yang bisa terjadi. Walaupun hanya bisa sebagai media penghubung hingga pendampingan korban pelecehan seksual. KPAI dapat dinilai sukses dalam mengungkap berbagai kasus pelecehan seksual yang menimpa anak-anak Indonesia. Salah satu contoh kasus yang ditangani oleh KPAI adalah kasus yang terjadi di awal tahun 2013 di daerah Jakarta Timur dimana kasus pelecehan seksual tersebut dialami oleh seorang gadis berumur 11 tahun yang berujung dengan kematian. Melati sebut saja begitu mengalami pelecehan seksual hingga bagian daerah kelamin dan duburnya mengalami pembengkakan hingga infeksi. Dari awal penyelidikan pihak kepolisian, polisi menduga bahwa yang melakukan hal tersebut adalah guru ataupun oknum terdekat si anak. Tanpa di duga yang melakukan hal tersebut adalah ayah kandungnya sendiri dan hal tersebut telah dilakukan selama beberapa tahun. Walaupun dari sejak awal kasus ini ditutupi oleh pihak rumah sakit, namun akhirnya terungkap juga karena timbul kecurigaan mengapa si melati bisa sampai meninggal dunia akibat sakit panas. Tanpa kita sadari, pihak ataupun oknum yang terdekat bisa menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Oleh karena itu pihak-pihak yang berada dalam lingkungan si anak wajib mengawasi dan menjaga si anak agar tidak menjadi korban pelecehan seksual.Walaupun hukuman denda dan pidana penjara yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Anak jauh lebih tinggi dari KUHP yaitu : “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa segala kemungkinan bisa terjadi. Pelecehan seksual bisa terjadi karena pelaku tidak bisa menyalurkan hasrat manusiawinya serta memiliki penyimpangan seksual kepada anak kecil. Sehingga terkadang oknum-oknum yang kita percaya dan bahkan kita anggap tidak akan melakukan hal tersebut bisa jadi merupakan salah satu pelaku pelecehan seksual. Waspada merupakan kunci yang tepat bagi orang tua dalam melakukan pengawasan kepada si anak agar tidak tertimpa masalah tersebut.
…
75
E. Pornografi Anak sebagai Sumber Pelecehan Seksual Terhadap Anak Pornografi anak secara luas didefinisikan sebagai penggambaran visual dari perilaku secara eksplisit yang melibatkan anak dibawah umur. Pornografi anak dapat tampil dalam berbagai bentuk media visual, seperti fotografi, gambar, majalah, tape, video, film, cd, disk zip, teknologi read-only (CD-ROOM), dan video digital (DVD). Pornografi anak dapat dikirimkan melalui melalui hubungan tangan ke tangan, pos, sistem bulletin board kompute, newsgroup, USENET, kanal internet relay chat, e-mail, klub internet, dan sejumlah situs web yang sering berubah-ubah. 84 Sebenarnya tidak ada pengertian yang tepat mengenai apa itu pornografi anak. Dalam Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pronografi dijelaskan bahwa Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Namun tetap masih terdapat ketidak jelasan mengenani apa itu pengertian dari pornografi anak. Pesatnya perkembangan teknologi dan semakin mudahnya akses teknologi didapatkan menyebabkan semua bentuk pornografi anak semakin mudah didapat. Bahkan jaringan penjualan anak juga semakin meningkat akibat perkembangan teknologi ini. Pornografi anak dapat dikhawatirkan keberadaannya mengingat semua foto, gambar atapun video yang disajikan dalam beberapa situs di dunia maya mengindikasikan timbulnya pelecehan seksual. Pornografi anak pada umumya sangat susah untuk ditelusuri, siapa yang menciptakan jaringan tersebut bahkan anak-anak mana saja yang terlibat dalam jaringan tersebut. Bahkan anak-anak yang terlibat didalamnya bisa saja tutup mulut karena takut akan ancaman yang diterima. Tidak semua negara di dunia memiliki suatu aturan hukum yang melarang adanya pronografi anak sehingga timbul suatu kesulitan untuk menemukan asal muasal jaringan tersebut termasuk anak-anak yang menjadi korban dalam jaringan tersebut. Perlu kerjasama dan koordinasi segala pihak untuk menjaga dan mengawasi penggunaan dunia maya untuk mengakses pornografi anak. Semakin canggihnya teknologi mengakibatkan akses terhadap dunia maya semakin cepat dalam hitungan detik. Sehingga 84
Larry E.Sullivan dan Marie Simonetti Rosen, LAW Enforcement Ensiklopedia Penegakan Hukum, ( USA: Sage Publications) hlm.18
…
76
dengan demikian pengawasan yang lebih ketat dan menyeluruh di segala aspek kehidupan anak-anak sangatlah diperlukan, mengingat penegakan hukum merupakan satu-satunya senjata yang ampuh dalam menangani kasus tersebut.
F. Penegakkan Hukum dalam Penanganan Pelecehan Seksual Anak Seperti yang telah dijelaskan sebelumya telah terdapat beberapa produk hukum yang mengatur mengenai perlindungan anak mulai dari konvensi internasional, KUHP hingga Undang-Undang Perlindungan Anak. Sebagai payung hukum tentunya dengan segala produk hukum yang ada, pelecehan seksual terhadap anak dapat dituntaskan dengan cepat dan hukuman yang maksimal. Namun di lapangan banyak terjadi hal yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Terkadang kita menemukan kasus para penegak hukum justru mengabaikan pelaporan yang menjurus kepada pelecehan seksual. Banyak kasus yang terjadi, apabila baru dilaporkan atau disiarkan oleh media massa baru diusut secara tuntas oleh penegak hukum. Dapat dikatakan bahwa penegakkan hukum di Indonesia mengenai pelecehan seksual sangat lemah. Selain karena faktor aparat penegak hukum yang “setengah hati” memeriksa kasus tersebut, namun pihak medis juga menutupi visum yang diperoleh dari sang korban. Bagi Indonesia yang mengusung adat ketimuran terkadang masih muncul stigma dalam masyarakat bahwa apabila terjadi kasus pelecehan seksual akan mencoreng martabat keluarga. Sehingga terkadang banyak pihak yang menutupi kejadian tersebut. Selain karena faktor keluarga, juga faktor ingkungan yang mencemooh si korban. Ada beberapa kasus yang menimpa korban pelecehan seksual. Ketika pelecehan seksual terjadi dan dilakukan oleh seorang oknum guru dan si korban melaporkan kejadian tersebut ke pihak kepolisian. Esok hari si korban dikeluarkan dari sekolahnya karena dinilai mencoreng nama sekolah. Dari kasus tersebut dapat kita simpulkan bahwa masih banyak pihak yang menganggap kasus ini tabu dan sangat memalukan apabila diketahui oleh orang banyak. Sebaliknya pihak penegak hukum seakan enggan mengurusi masalah ini, karena dinilai merupakan hal yang tidak penting. Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh semua pihak, tidak hanya penegak hukum tetapi juga pihak-pihak yang berada di sekitar anak-anak, bahwa betapa pentingya menjaga mental dan psikis anak-anak serta menjauhkan anak-anak tersebut dari lingkungan yang rawan akan pelecehan seksual.
…
77
G. Penutup Fenomena pelecehan seksual bagaikan gunung es yang semakin lama semakin menumpuk dan susah untuk dipecahkan. Peran segala pihak ataupun instansi sangatlah diperlukan dalam hal mengurangi ataupun mengantisipasi terjadinya pelecehan seksual di lingkungan anak-anak. Ada beberapa hal yang dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya pelecehan seksual di lingkungan anak-anak, diantaranya : 1. Kenalilah lingkungan sekitar anak-anak berada dan awasi pihak-pihak yang berada disekitar anak-anak tersebut. 2. Jangan membiarkan anak-anak untuk terlalu dekat dengan orang asing yang baru dikenal baik dalam lingkungan sekolah ataupun rumah. 3. Sosialisasi kepada masyarakat bahwa pentingnya menjaga kondisi lingkungan di sekitar anak untuk menghindari terjadinya pelecehan seksual. Serta mengenalkan berbagai produk hukum yang mendukung tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak. 4. Kenali perilaku orang-orang dewasa yang berada di sekitar anak, jangan sampai perilaku yang menyimpang bisa menyebabkan anak tersebut mendekat dan menjadi korban pelecehan seksual. 5. Kerjasama antar pihak Kementerian Komunikasi dan Informatika, pihak Kepolisian dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam mengawasi segala bentuk perkembangan yang terjadi dan melibatkan anak baik dalam dunia maya ataupun dalam lingkungan sekitar anak. Anak-anak merupakan masa depan bangsa. Sudah saatnya bangsa ini berbenah dan memperbaikan sistem penegakkan hukum agar pelaku korban pelecehan seksual mendapatkan efek jera dalam melakukan tindak kejahatannya. Oleh karena itu kerjasama para pihak sangatlah diperlukan dalam menuntaskan kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA Megawati Soekarnoputri, Amandemen UUD 1945 dan Masa Depan Bangsa, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) bekerja sama dengan International Conference of Islamic Scholars, Jakarta Larry E.Sullivan dan Marie Simonetti Rosen, LAW Enforcement, Ensiklopedia Penegakan Hukum, Sage Publications, USA American Psychologi Association, 2009, “Pelecehan Seksual Pada Anak”, http://www.rumahshine.org/index.php?option=com_content&view=article&id=104% 3Apelecehan-seksual-pada-anak&catid=40%3Aabuse&Itemid=82 &lang=en. Elizabeth Priscillia, 2011, “Ratusan Pelecehan Seksual Terjadi di Gereja Katolik di Australia”, http://www.jaringannews.com/internasional/umum/ 2361/ratusanpelecehan-seksual-terjadi-di-gereja-katolik-di-australia
…
Tjoet
78
Nyak Nuroel Izzatie, 2011 “Makalah- Makalah Mata Kuliah”, http://tjoetnyakkkkk.blogspot.com/2011/01/pidana.html, diunduh tanggal 15 Februari 2013.
Anonim, 2012, Cabuli 5 Bocah Gereja, Pastur Gaek Amerika Dipenjara 330 Tahun, http://www.voa-islam.com/counter/christology/2012/09/21/20738/ cabuli-5-bocahgereja-pastur-gaek-amerika dipenjara -330-tahun/. Hendra Gunawan, 2013, “Kasus Pelecehan Seksual di Garut Mengkhawatirkan”, http://www.tribunnews.com/2013/01/20/kasus-pelecehan-seksual-di-garutmengkhawatirkan. Konvensi tentang Hak Anak Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
…
79
PLAGIAT KARYA ILMIAH DALAM DIMENSI KEJAHATAN AKADEMIK Dewi Bunga, S.H., M.H. (Telepon Sahabat Anak 129 Bali) dan Wayan Emi Lustinayanti, S.E., M.M. (Fakultas Ekonomika dan Humaniora Universitas Dhyanapura Badung)
[email protected] dan
[email protected] Abstract Plagiarism is an academic crime that has became an important issue in scientific autonomy. In this study discussed the standard of scientific papers categorized of plagiarism, plagiarism prevention and control efforts. This research is normative. Legal materials derived from primary legal materials and secondary legal materials. The analysis was conducted through systematic and authentic interpretation methods. Plagiarisms intentionally or unintentionally, by quoting part or all of the work and / or scientific work of others that are recognized as his erudition, without stating the source appropriately and adequately. Prevention of plagiarism can be done by publication on the internet and peer review. Plagiarist can be imposed administrative sanctions and criminal sanctions. Keywords: plagiarism, plagiarist, academic crime and scientific papers. A. PENDAHULUAN Plagiat merupakan salah satu kejahatan akademik yang semakin merebak belakangan ini. Kejahatan akademik tersebut semakin mudah dilakukan sejak memasyarakatnya penggunaan internet. Akses yang bergitu mudah dan real time membuat setiap orang dapat mengambil informasi apa saja di internet. Volodymyr Golubev menyebutnya sebagai the new form of anti-social behavior. 85 Keberadaan internet digunakan untuk mencari pelbagai informasi. Sayangnya pengambilan informasi tersebut tidak disertai dengan pencantuman sumbernya. Banyak pula kalangan yang belum mengetahui standard kriteria plagiarisme. Kasus plagiarisme semakin mudah dijumpai dalam bidang pendidikan. Hal ini disebabkan karena tuntutan akan karya ilmiah yang semakin meningkat, baik tuntutan terhadap mahasiswa maupun tuntutan terhadap dosen. Pembebanan tugas-tugas penelitian bagi mahasiswa yang tidak disertai dengan tanggung jawab dan kesungguhan dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut menyuburkan terjadinya plagiarisme. Akibatnya, beberapa tugas mahasiswa seringkali ditemukan sama. Bahkan ada skripsi, tesis dan disertasi yang ditemukan serupa baik dalam satu wilayah kampus, maupun antara kampus yang satu dengan kampus yang lain. Kewajiban publikasi ilmiah bagi dosen untuk memenuhi sertifikasi dosen juga menjadi faktor pendorong
85
Barda Nawawi, 2006, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 1.
80
…
meningkatnya kasus plagiarisme. Universitas Padjadjaran mengaku karya disertasi seorang dosennya dijiplak oleh seorang calon guru besar dari kampus lain. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi meminta dirinya memeriksa sebuah judul dan subjudul jurnal ilmiah seorang dosen sebagai pengajuan menjadi guru besar. Namun Dikti tidak menyertakan nama dan asal kampus dosen tersebut. Ternyata hasilnya ada kesamaan persis dengan disertasi doktor dari Unpad buatan 2008. Sama 100 persen dari judul dan 99 persen dari abstrak. 86 Sejak abad ke-19, plagiarisme telah menjadi masalah serius dalam dunia akademik yang tetap berlangsung hingga hari ini. Ini tentu memerlukan pertimbangan khusus karena memiliki dampak yang tidak sehat dalam dunia pendidikan. 87 Plagiarisme telah melanggar hak cipta dari peneliti. Peneliti pada dasarnya memiliki hak moral dan hak ekonomi atas karya penelitian yang dihasilkannya sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pelanggaran hak cipta atas hasil karya penelitian bukan hanya merugikan peneliti namun juga menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu diperlukan upaya perlindungan maksimal bagi hak cipta hasil penelitian. B. METODE PENELITIAN Jenis penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian yuridis normatif yang bersifat deskriptif. Bahan hukum berasal dari bahan hukum primer berupa Undang-undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia
Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Bahan hukum sekunder berasal dari literatur yang relevan dengan permasalahan yaitu sumber-sumber kepustakaan yang berasal buku maupun artikel elektronik. Analisis terhadap
penelitian
ini
dilakukan
dengan
intepretasi
sistematis,
yakni
dengan
menghubungan aturan yang satu dengan yang lain dan intepretasi otentik, yakni mendasarkan pemahaman melalui pengertian-pengertian yang tercantum dari aturan-aturan yang masih berlaku. Hasil penelitian dituangkan secara deskriptif analitis dengan menggambarkan permasalahan secara utuh dan disimpulkan dalam suatu kesimpulan yang dilengkapi dengan saran-saran.
86
Tempo, “Satu Lagi Kasus Plagiat di Bandung”, http://www.tempo.co/read/news/2012/03/05/079388081/Satu-Lagi-Kasus-Plagiat-di-Bandung 87 Anonim, “Problematika Plagiat Skripsi, Thesis/Disertasi”, http://archive.org/details/ProblematikaPlagiatSkripsiThesisdisertasi
…
81
C. STANDAR KARYA ILMIAH YANG DIKATEGORIKAN SEBAGAI HASIL PLAGIAT Internet adalah media teraktual yang digunakan sebagai media pembelajaran. Model ini dikenal dengan istilah e-learning. E-learning merupakan sebuah portal informasi tentang suatu topik, termasuk sekolah di dunia maya. Pada prinsipnya istilah ini ditujukan pada usaha untuk membuat transformasi proses belajar mengajar di sekolah dalam bentuk digital yang dijembatani oleh teknologi internet. 88 Penggunaan internet sebagai media pembelajaran disatu sisi memberikan keuntungan untuk memperluas cakrawala pengetahuan namun di sisi lain menjadi media untuk mencari hasil-hasil penelitian dalam bentuk karya ilmiah untuk digunakan atas nama netter bersangkutan. Tindakan plagiat seringkali dijumpai di dunia pendidikan. Hal ini bukan hanya menjadi isu nasional saja melainkan juga isu internasional. Pada bulan April 2012 lalu, Presiden Hungaria, Pal Scmitt mengundurkan diri sebagai presiden setelah gelar doktornya dicabut karena disertasi miliknya terbukti plagiat. Dalam ketentuan hukum di Indonesia, plagiarisme tentu sangat dilarang. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 25 Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan: (1) Perguruan tinggi menetapkan persyaratan kelulusan untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi. (2) Lulusan perguruan tinggi yang karya ilmiahnya digunakan untuk memperoleh gelar akademik, profesi, atau vokasi terbukti merupakan jiplakan dicabut gelarnya Ruang lingkup mengenai plagiat dapat dilihat dalam ketentuan pada Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi menyebutkan Plagiat adalah “perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai.” Pengaturan lebih lanjut mengenai suatu karya ilmiah dapat dikategorikan sebagai hasil plagiat dapat dilihat pada ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi yang menyebutkan
88
Abdul Wahib dan Mohammad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama, Bandung, hal. 25.
…
82
(1) Plagiat meliputi tetapi tidak terbatas pada : a. mengacu dan/atau mengutip istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai; b. mengacu dan/atau mengutip secara acak istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai; c. menggunakan sumber gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai; d. merumuskan dengan kata-kata dan/atau kalimat sendiri dari sumber kata-kata dan/atau kalimat, gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai; e. menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah dipublikasikan oleh pihak lain sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara memadai. (2) Sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas orang perseorangan atau kelompok orang, masing-masing bertindak untuk diri sendiri atau kelompok atau untuk dan atas nama suatu badan, atau anonim penghasil satu atau lebih karya dan/atau karya ilmiah yang dibuat, diterbitkan, dipresentasikan, atau dimuat dalam bentuk tertulis baik cetak maupun elektronik. (3) Dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. komposisi musik; b. perangkat lunak komputer; c. fotografi; d. lukisan; e. sketsa; f. patung; atau g. hasil karya dan/atau karya ilmiah sejenis yang tidak termasuk huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf f (4) Diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: (1) buku yang dicetak dan diedarkan oleh penerbit atau perguruan tinggi; (2) artikel yang dimuat dalam berkala ilmiah, majalah, atau surat kabar; (3) kertas kerja atau makalah profesional dari organisasi tertentu; (4) isi laman elektronik; atau e. hasil karya dan/atau karya ilmiah yang tidak termasuk huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. (5) Dipresentasikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. presentasi di depan khalayak umum atau terbatas; b. presentasi melalui radio/televisi/video/cakram padat/cakram video digital; atau c. bentuk atau cara lain sejenis yang tidak termasuk dalam huruf a dan huruf b. (6) Dimuat dalam bentuk tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa cetakan dan/atau elektronik. (7) Pernyataan sumber memadai apabila dilakukan sesuai dengan tata cara pengacuan dan pengutipan dalam gaya selingkung setiap bidang ilmu, teknologi, dan seni. Plagiat sering terjadi pada karya-karya ilmiah baik yang sudah dibuat baik dalam bentuk hard copy maupun soft copy. Pasal 1 angka 6 Peraturan Menteri Pendidikan
…
Nasional
83
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Karya ilmiah adalah “hasil karya akademik mahasiswa/ dosen/ peneliti/ tenaga kependidikan di lingkungan perguruan tinggi, yang dibuat dalam bentuk tertulis baik cetak maupun elektronik yang diterbitkan dan/atau dipresentasikan.” Sebagai sebuah hasil karya tulis, maka karya ilmiah mendapatkan perlindungan hak cipta. Perlindungan tersebut dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang menyebutkan bahwa dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: a buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain. Sebagai sebuah karya cipta maka penulis dan hasil ciptaan berupa karya ilmiah mendapatkan perlindungan hak cipta. Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 disebutkan bahwa Hak Cipta terdiri atas hak ekonomi (economic rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas Ciptaan serta produk Hak Terkait. Hak moral adalah hak yang melekat pada diri Pencipta atau Pelaku yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, walaupun Hak Cipta atau Hak Terkait telah dialihkan. Dengan demikian peneliti mendapatkan hak ekonomi maupun hak moral atas karya ilmiahnya. Persoalan perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) seringkali mendapat perhatian yang utama apabila sedang membicarakan tentang pemanfaatan teknologi informasi. Hal ini tidak terlepas dari karakteristik teknologi informasi itu sendiri yang sangat cepat dan mudah melahirkan inovasi-inovasi baru serta sama sekali berbeda dengan produk yang sifatnya konvensional. 89 Publikasi karya ilmiah di internet di satu sisi bermanfaat untuk menghindari plagiat namun di sisi lain justru menyuburkan plagiarisme. Kewajiban publikasi di internet awalnya digunakan agar seorang calon penulis yang baru memiliki ide dapat mengecek terlebih dahulu apakah idenya sudah pernah ditulis oleh penulis lain atau tidak. Jika sudah pernah ditulis maka calon penulis tersebut harus mencari ide lain. Kewajiban publikasi di dunia maya juga digunakan untuk mempermudah tim validitas untuk mengecek persentase plagiat. Di sisi lain, kewajiban publikasi tersebut dimanfaatkan oleh plagiator (adalah orang perseorangan atau kelompok orang pelaku 89
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung, hal. 133.
84
…
plagiat, masing-masing bertindak untuk diri sendiri, untuk kelompok atau untuk dan atas nama suatu badan) untuk menggunakan karya ilmiah orang lain untuk kepentingannya, dan berharap bahwa kejahatan akademik tersebut tidak diketahui oleh orang lain. Plagiat adalah salah satu bentuk budaya ketidakjujuran yang sistemik. Meningkatkan kasus plagiat menunjukkan menurunnya semangat inovasi dan etos kerja. Oleh sebab itu diperlukan pencegahan dan penanggulangan plagiat. D. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN PLAGIAT Etika akademik dan kejujuran merupakan pondasi dasar dalam pelaksanaan otonomi keilmuan. Perlindungan hak cipta atas karya ilmiah menjadi hal yang penting dalam penegakan moral di kalangan pendidikan. Oleh sebab itu dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Plagiat
di
Perguruan
Tinggi,
diatur
mengenai
pecegahan
dan
penanggulangan plagiat. Pencegahan plagiat adalah tindakan preventif yang dilakukan oleh Pimpinan Perguruan Tinggi yang bertujuan agar tidak terjadi plagiat di lingkungan perguruan tingginya sedangkan penanggulangan plagiat adalah tindakan represif yang dilakukan oleh Pimpinan Perguruan Tinggi dengan menjatuhkan sanksi kepada plagiator di lingkungan perguruan tingginya yang bertujuan mengembalikan kredibilitas akademik perguruan tinggi yang bersangkutan. Upaya pencegahan terhadap plagiat diatur dalam Bab IV Pencegahan Menteri Pendidikan Nasional
Peraturan
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang
Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat. Dalam Pasal 6 disebutkan: (1) Pimpinan Perguruan Tinggi mengawasi pelaksanaan kode etik mahasiswa/dosen/ peneliti/tenaga kependidikan yang ditetapkan oleh senat perguruan tinggi/organ lain yang sejenis, yang antara lain berisi kaidah pencegahan dan penanggulangan plagiat. (2) Pimpinan Perguruan Tinggi menetapkan dan mengawasi pelaksanaan gaya selingkung untuk setiap bidang ilmu, teknologi, dan seni yang dikembangkan oleh perguruan tinggi. (3) Pimpinan Perguruan Tinggi secara berkala mendiseminasikan kode etik mahasiswa/ dosen/peneliti/tenaga kependidikan dan gaya selingkung yang sesuai agar tercipta budaya antiplagiat. Upaya pencegahan juga dapat dilakukan dengan klausula persyaratan dalam penyusunan karya ilmiah dan pembebanan kewajiban untuk mempublikasikan karya ilmiah di internet sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 7 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan
Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi yang menyebutkan:
…
85
(1) Pada setiap karya ilmiah yang dihasilkan di lingkungan perguruan tinggi harus dilampirkan pernyataan yang ditandatangani oleh penyusunnya bahwa: a. karya ilmiah tersebut bebas plagiat; b. apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah tersebut, maka penyusunnya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pimpinan Perguruan Tinggi wajib mengunggah secara elektronik semua karya ilmiah mahasiswa/dosen/peneliti/tenaga kependidikan yang telah dilampiri pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui portal Garuda (Garba Rujukan Digital) sebagai titik akses terhadap karya ilmiah mahasiswa/dosen/ peneliti/tenaga kependidikan Indonesia, atau portal lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Karya ilmiah yang digunakan untuk pengangkatan awal atau kenaikan jabatan akademik dan kenaikan pangkat dosen selain harus memenuhi ketentuan Pasal 7 juga harus dilakukan penilaian sejawat sebidang (peer review) oleh paling sedikit 2 (dua) orang dosen yang memiliki jabatan akademik dan kualifikasi akademik yang setara atau lebih tinggi dari jabatan akademik dan kualifikasi akademik dosen yang diusulkan. Penilaian sejawat ini juga dilakukan untuk kenaikan jabatan akademik guru besar/profesor. Upaya penanggulangan plagiat berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi dilakukan dengan investigasi terhadap dugaan adanya plagiasi hasil karya ilmiah. Dalam hal diduga telah terjadi plagiat oleh mahasiswa, ketua jurusan/ departemen/ bagian membuat persandingan antara karya ilmiah mahasiswa dengan karya dan/atau karya ilmiah yang diduga merupakan sumber yang tidak dinyatakan oleh mahasiswa. Ketua jurusan/ departemen/ bagian meminta seorang dosen sejawat sebidang untuk memberikan kesaksian secara tertulis tentang kebenaran plagiat yang diduga telah dilakukan mahasiswa. Mahasiswa yang diduga melakukan plagiat diberi kesempatan melakukan pembelaan di hadapan ketua jurusan/ departemen/ bagian. Apabila berdasarkan persandingan dan kesaksian telah terbukti terjadi plagiat, maka ketua jurusan/ departemen/ bagian menjatuhkan sanksi kepada mahasiswa sebagai plagiator. Apabila salah satu dari persandingan atau kesaksian, ternyata tidak dapat membuktikan terjadinya plagiat, maka sanksi tidak dapat dijatuhkan kepada mahasiswa yang diduga melakukan plagiat. Dalam hal diduga telah terjadi plagiat oleh dosen/ peneliti/ tenaga kependidikan, Pimpinan Perguruan Tinggi membuat persandingan antara karya ilmiah dosen/ peneliti/ tenaga kependidikan dengan karya dan/ atau karya ilmiah yang diduga merupakan sumber yang tidak dinyatakan oleh dosen/ peneliti/ tenaga kependidikan. Pemimpin/ Pimpinan
…
86
Perguruan Tinggi meminta senat akademik/organ lain yang sejenis untuk memberikan pertimbangan secara tertulis tentang kebenaran plagiat yang diduga telah dilakukan dosen/ peneliti/ tenaga kependidikan. Sebelum senat akademik/organ lain yang sejenis memberikan pertimbangan, senat akademik/ organ lain yang sejenis meminta komisi etik dari senat akademik/ organ lain yang sejenis untuk melakukan telaah tentang: a. b.
kebenaran plagiat; proporsi karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiah plagiator, yang diduga telah dilakukan dosen/ peneliti/ tenaga kependidikan.
Sama halnya dengan dugaan plagiat yang dilakukan oleh mahasiswa, Dosen/ peneliti/ tenaga kependidikan yang diduga melakukan plagiat diberi kesempatan melakukan pembelaan di hadapan sidang senat akademik/ organ lain yang sejenis.
Apabila
berdasarkan persandingan dan hasil telaah telah terbukti terjadi plagiat, maka senat akademik/ organ lain yang sejenis merekomendasikan sanksi untuk dosen/ peneliti/ tenaga kependidikan sebagai plagiator kepada Pemimpin/ Pimpinan Perguruan Tinggi untuk dilaksanakan.
Apabila salah satu dari persandingan atau hasil telaah, ternyata tidak dapat
membuktikan terjadinya plagiat, maka sanksi tidak dapat dijatuhkan kepada dosen/ peneliti/ tenaga kependidikan yang diduga melakukan plagiat. Penjatuhan sanksi merupakan bagian penting dalam penegakan hukum terhadap plagiator. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi ditentukan sanksi yang bersifat administratif bagi mahasiswa seperti teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian sebagian hak mahasiswa, pembatalan nilai satu atau beberapa mata kuliah yang diperoleh mahasiswa, pemberhentian dengan hormat dari status sebagai mahasiswa, pemberhentian tidak dengan hormat dari status sebagai mahasiswa; atau pembatalan ijazah apabila mahasiswa telah lulus dari suatu program. Sanksi bagi dosen/ peneliti/ tenaga kependidikan yang terbukti melakukan plagiat secara berurutan dari yang paling ringan sampai dengan yang paling berat, terdiri atas: a). teguran; b). peringatan tertulis;
c). penundaan pemberian hak dosen/ peneliti/ tenaga
kependidikan; d). penurunan pangkat dan jabatan akademik/ fungsional; e). pencabutan hak untuk diusulkan sebagai guru besar/ profesor/ ahli peneliti utama bagi yang memenuhi syarat;
f). pemberhentian dengan hormat dari status sebagai dosen/peneliti/tenaga
kependidikan;
g).
pemberhentian tidak dengan hormat dari
status sebagai
…
87
dosen/peneliti/tenaga kependidikan; atau h). pembatalan ijazah yang diperoleh dari perguruan tinggi yang bersangkutan. Apabila
dosen/
peneliti/
tenaga
kependidikan
menyandang
sebutan
guru
besar/profesor/ahli peneliti utama, maka dosen/peneliti/ tenaga kependidikan tersebut dijatuhi sanksi tambahan berupa pemberhentian dari jabatan guru besar/profesor/ahli peneliti utama oleh Menteri atau pejabat yang berwenang atas usul perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau atas usul perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat melalui Koordinator Perguruan Tinggi Swasta. Menteri atau pejabat yang berwenang dapat menolak usul untuk mengangkat kembali dosen/peneliti/tenaga kependidikan dalam jabatan guru besar/profesor/ahli peneliti utama atas usul perguruan tinggi lain, apabila dosen/peneliti/tenaga kependidikan tersebut pernah dijatuhi sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f atau huruf g serta dijatuhi sanksi tambahan berupa pemberhentian dari jabatan guru besar/profesor/ahli peneliti utama. Dalam hal pemimpin perguruan tinggi tidak menjatuhkan sanksi, Menteri dapat menjatuhkan sanksi kepada plagiator dan kepada pemimpin perguruan tinggi yang tidak menjatuhkan sanksi kepada plagiator. Sanksi kepada pemimpin perguruan tinggi berupa: teguran;
peringatan tertulis;
pernyataan Pemerintah bahwa yang bersangkutan tidak
berwenang melakukan tindakan hukum dalam bidang akademik. Penjatuhan sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi menghapuskan sanksi lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 70 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan: Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar akademik, profesi, atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Karya ilmiah merupakan ciri kemumpunian ilmu dari seseorang yang harus dipertanggungjawabkan. Berbicara mengenai plagiat bukanlah berbicara mengenai kerugian ekonomi yang diakibatkan plagiator namun berbicara mengenai kualitas pendidikan. Oleh sebab itu, diperlukan suatu kesadaran diri dari setiap orang menghilangkan budaya menjiplak.
…
88
E. PENUTUP Standard karya ilmiah yang dikategorikan sebagai hasil plagiat ditentukan dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional
Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010
Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi mengacu dan/atau mengutip istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai; mengacu dan/atau mengutip secara acak istilah, kata-kata dan/atau kalimat, data dan/atau informasi dari suatu sumber tanpa menyebutkan sumber dalam catatan kutipan dan/atau tanpa menyatakan sumber secara memadai;
menggunakan sumber gagasan,
pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai; merumuskan dengan kata-kata dan/atau kalimat sendiri dari sumber kata-kata dan/atau kalimat, gagasan, pendapat, pandangan, atau teori tanpa menyatakan sumber secara memadai;
dan
menyerahkan suatu karya ilmiah yang dihasilkan dan/atau telah dipublikasikan oleh pihak lain sebagai karya ilmiahnya tanpa menyatakan sumber secara memadai. Pencegahan plagiat dilakukan dengan membebankan kewajiban pemuatan klausul pernyataan bahwa karya yang dihasilkan bukan merupakan hasil plagiat. Pimpinan universitas juga dibebankan untuk mengawasi pelaksanaan kode etik dalam penelitian. Penelitian untuk kenaikan pangkat, pengusulan guru besar dan sebagainya dilakukan penilaian sejawat sebidang (peer review). Penanggulangan plagiat dilakukan melalui penegakan hukum yakni berupa sanksi administratif. Penjatuhan sanksi administratif tidak meniadakan pengenaan pidana bagi plagiator sebagaimana diatur dalam Pasal 70 Undangundang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahib dan Mohammad Labib, 2005, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), Refika Aditama, Bandung. Barda Nawawi, 2006, Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung. Tempo, “Satu Lagi Kasus Plagiat di Bandung”, http://www.tempo.co/read/news/2012/03/05/079388081/Satu-Lagi-Kasus-Plagiat-di-Bandung Anonim, “Problematika Plagiat Skripsi, http://archive.org/details/ProblematikaPlagiatSkripsiThesisdisertasi
Thesis/Disertasi”,
…
89
Undang-undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi.
…
90
PROSEDUR PERUBAHAN SIUP TERKAIT PENAMBAHAN JENIS USAHA Emmy Febriani Thalib,SH,MH Dosen Pancasila dan Kewarganegaraan STIKI Bali Abstrak As the expansion of the business, to make the trading activities run smooth, trading companies are required to have a called the trade license called Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). As the time goes, in business often encountered the entrepreneur that use a Business License for the benefit of two different businesses, due to the addition of business. The solution is to change their company charter. Keyword : Trading license, SIUP, business expansion A.
PENDAHULUAN Liberalisasi perdagangan sudah merupakan fenomena yang tidak dapat dihindari di
berbagai belahan dunia. Bagaimanapun juga karakteristik dan hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum. Globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan pada kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya barat dan timur. 90 Indonesia sebagai salah satu anggota negara di dunia mau tidak mau juga mengikutii perkembangan dunia bisnis.Walaupun, di tahun ini terdapat banyak kenaikan harga komoditas, selanjutnya tahun 2014 pemerintah akan disibukan dengan pemilihan umum, sementara itu, pada tahun 2015 Indonesia sudah mesti berhadapan dengan pasar bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN.Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa perkembangan dunia usaha di Indonesia semakin progresif. Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, usaha bisnis dapat dilaksanakan dengan berbagai bentuk. Kita mengenal 3 (tiga) macam bentuk badan usaha antara lain : 1) Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 2) Badan Usaha Milik Swasta 3) Koperasi
90
H.S.Kartadjoemena,2000, Substansi Perjanjian GATT/WTO Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa : Sistem kelembagaan, Prosedur,Implementasi Dan Kepentingan Negara Berkembang, Jakarta : UI Press, hal.1
…
91
Langkah pertama untuk memulai bisnis adalah dengan memilih jenis badan usaha yang akan menaungi bisnis tersebut.Saat ini banyak berkembang jenis usaha milik swasta yang bergerak dalam bidang perdagangan, baik jasa maupun perdagangan barang. Usaha kecil merupakan kegiatan ekonomi yang mendominasi lebih dari 95% struktur perekonomian Indonesia.Sektor ini memiliki peran yang strategis baik secara ekonomi maupun sosial politis. Fungsi ekonomi sektor ini antara lain menyediakan barang dan jasa bagi konsumen berdaya beli rendah sampai sedang, menyumbang lebih dari separuh pertumbuhan ekonomi serta kontributif dalam perolehan devisa negara. Mengutip istilah Perdagangan dari Peraturan Menteri Perdagangan No.36/MDAG/PER/9/2007
dan Perubahannya dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa
perdagangan berarti “ kegiatan usaha transaksi barang atau jasa seperti jual-beli, sewa beli, sewa menyewa yang dilakukan secara berkelanjutan dengan tujuan pengalihan hak atas barang atau jasa dengan disertai imbalan kompensasi.” Dalam melaksanakan kegiatan perdagangan, perusahaan perdagangan wajib memiliki surat izin untuk melaksanakan kegiatan perdagangan yang dinamakan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Perkembangan usaha tentu saja membawa dampak positif bagi para pebisnis, seringkali kita jumpai saat ini masih banyak sekali toko yang menggunakan satu SIUP untuk kepentingan dua usaha yang berbeda, karena terjadi penambahan jenis usaha. Misalkan saja awal pendirian, usaha bergerak di bidang penjualan susu, diapers, dan perlengkapan bayi, seiring perkembangan, akhirnya merambah usaha yang menjual alat-alat musik namun tempatnya dalam satu ruko dan hanya disekat saja. Berdasarkan praktik penambahan jenis usaha baru terutama dalam salah satu bentuk usaha seperti CV yang sudah terbentuk, KUHD tidak membatasi mengenai adanya penambahan tersebut, kecuali untuk jenis usaha tertentu yang tidak dapat digabungkan pada praktiknya, yaitu jenis usaha hukum, pajak, dan lain-lain. Peraturan perundang-undangan tentang CV tidak mengatur jelas mengenai perubahan anggaran dasar mengenai penambahan jenis usaha baru.Hal ini tentu saja menjadi masalah hukum yang harus disikapi.
…
92
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah seringkali dapat dibedakan dari sisi wujudnya menjadi dua hal yaitu keputusan lisan dan keputusan tertulis.Keputusan lisan biasanya diambil ketika terjadi keadaan yang sangat mendesak. Sedangkan keputusan tertulis biasanya dibuat melalui serangkaian proses dalam jangka waktu yang agak lama. Izin
seringkali
memiliki
arti
yang
begitu
penting
bagi
pemegangnya
(pelaku kegiatan) dalam melakukan hubungan hukum, baik dengan pemerintah maupun dengan pihak lain. Dapat disebutkan urgensi dari izin antara lain sebagai landasan hukum, sebagai instrumen untuk kepastian hukum, sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan, dan sebagai alat bukti dalam hal klaim. 91 Surat Izin Usaha Perdagangan adalah Surat Izin yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada pengusaha untuk melaksanakan usaha di bidang perdagangan dan jasa.SIUP diberikan kepada para pengusaha baik perorangan, Firma, CV, PT, koperasi, BUMN, dan sebagainya. 92 Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan RI No.36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya dalam Pasal 1 ayat (4) adalah Surat Izin Usaha Perdagangan yang selanjutnya disebut SIUP adalah “Surat Izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan” SIUP terdiri dari : a. SIUP Kecil SIUP Kecil wajib dimiliki oleh Perusahaan Perdagangan dengan modal dan kekayaan bersih (netto) seluruhnya sampai dengan Rp. 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. b. SIUP Menengah SIUP Menengah wajib dimiliki oleh Perusahaan Perdagangan dengan modal dan kekayaan bersih (netto) seluruhnya di atas Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. c. SIUP Besar SIUP Besar wajib dimiliki oleh Perusahaan Perdagangan dengan modal dan kekayaan bersih (netto) seluruhnya di atas Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
91 92
Y.Sri Pudyatmoko, 2009, Perizinan Problem dan Upaya Pembenahan, Grasindo, Hal.22. M.Komar, 2007, Membuka Usaha Kecil, Kanisius, Yogyakarta, Hal.37.
…
Ketentuan
perizinan
dapat
dihubungkan
dengan
syarat-syarat
di
93 bidang
keuangan.Syarat-syarat keuangan dalam hal perizinan dapat diterapkan dalam dua bentuk.Pertama sebagai syarat yang mendahului pemberian izin, kedua sebagai ketentuan pada izin, dan menetapkan kewajiban untuk membayar sejumlah uang. 93 Penetapan syarat-syarat di bidang perizinan oleh organ pemerintahan pada prinsipnya harus memenuhi kriteria yang sama seperti pada pemberian ketetapan perizinan sendiri dan pengikatan ketentuan-ketentuan (lain) padanya. Pemerintah mempunyai kesempatan untuk mengenakan pungutan berupa retribusi dalam hal penerbitan izin.Retribusi SIUP adalah retribusi yang dipungut atas pemberian SIUP bagi setiap orang atau badan
yang menyelenggarakan usaha perdagangan. Objek retribusi adalah setiap
pelayanan pemberian SIUP. Seperti yang dilakukan oleh Dinas Perijinan Kota Denpasar yang melakukan terobosan dengan membebaskan biaya atau retribusi pengurusan surat izin usaha perdagangan (SIUP). Warga yang mengurus izin SIUP atau tanda daftar perdagangan (TDP) bagi pengusaha kecil perseorangan dengan neraca Rp50 juta ke bawah bebas biaya.Kebijakan baru tersebut mengacu pada Peraturan Wali Kota (Perwali) Denpasar Nomor 8 tahun 2010 tentang Perizinan.Pembebasan biaya atau retribusi bagi pengusaha kecil ini dilakukan sebagai upaya untuk mendorong dan memudahkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam melakukan usahanya dibidang perdagangan. 94
2. Prosedur Perubahan SIUP Terkait Penambahan Jenis Usaha Dalam beroperasi sebuah perusahan haruslah berbentuk suatu badan Hukum tertentu agar perusahaan tersebut memiliki legalitas untuk menjalankan kegiatan usahanya. Keberadaan badan Hukum perusahaan akan melindungi pengurusnya dari segala tuntutan Hukum yang timbul dikemudian hari. Hal tersebut merupakan hal yang sangat penting selain menentukan bidang usaha serta strategi bisnisnya. Praktik Murni Hukum menunjukkan bahwa pada dasarnya hanya subjek Hukum yang berhak menjadi penyandang hak dan kewajiban, termasuk menjadi pemilik dari suatu benda atau harta kekayaan tertentu. Subjek Hukum tersebut adalah individu dan badan 93
Y.Sri Pudyatmoko, Op Cit, Hal 64
94
Anonim,
2010,
Dinas Perijinan Denpasar Bebaskan Pengurusan SIUP,available from
http://bali.antaranews.com/3655 diakses tanggal 12 Februari 2013
…
94
Hukum. Badan Hukum merupakan artificial person, yaitu sesuatu yang diciptakan oleh Hukum guna memenuhi keutuhan perkembangan kehidupan masyarakat. Ketentuan tersebut dapat ditemukan dalam pasal 519 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Kepemilikan badan Hukum atas harta kekayaan tertentu pada pokoknya bersumber dari harta kekayaan yang dipisahkan oleh orang perorangan secara khusus, yang diperuntukan bagi penggunanan yang sesuai dengan maksud dan tujuan badan Hukum tersebut. 95 Menurut Munir Fuady dkk, dalam memilih jenis perusahaan harus dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut : 96 a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Jenis usaha yang dijalankan; Ruang lingkup usaha; Pihak-pihak yang terlibat dalam usaha; Besarnya resiko kepemilikan; Batas-batas pertanggung jawaban terhadap utang perusahaan; Besarnya investasi yang ditanamkan; Cara pembagian keuntungan; Jangka waktu berdirinya perusahaan; Peraturan-peraturan pemerintah.
Dalam melakukan perubahan data perusahaan di dalam SIUP, pemilik SIUP memerlukan data pendukung yaitu berupa anggaran dasar sebuah perusahaan yang mencantumkan jenis kegiatan usaha yang akan dimohonkan untuk dicantumkan di dalam SIUP. Maka perlu dilakukan perubahan anggaran dasar Perseroan Terbatas (PT) terlebih dahulu sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan anggaran dasar PT tersebut, guna mencantumkan kegiatan yang diinginkan sebelum memohonkan perubahan penambahan kegiatan usaha dalam SIUP. Perbedaan
prinsipil
antara CV
(Commanditaire vennootschap) dengan
PT
(Perseroan Terbatas) adalah pada status badan hukumnya.CV merupakan persekutuan yang tidak berbadan Hukum dan tanggung jawab dari para sekutu pengurus adalah sampai kepada harta pribadinya.Berbeda dengan PT yang merupakan perseoran berbadan Hukum dan tanggung jawabnya terbatas.
95
Gunawan Widjaja, 2008, Resiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Forum Sahabat,Hal.1 96 Munir Fuady dkk, 2006, Pengantar Bisnis Cetakan Kelima, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama Hal 64
…
95
Perubahan anggaran dasar ditetapkan oleh RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).Agenda mengenai perubahan anggaran dasar harus dijelaskan dengan jelas dalam panggilan RUPS. 97 Pada dasarnya, CV diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), penjelasan detail mengenai konsep CV tidak diberikan dalam KUHD tersebut, tetapi penjelasan umum sajalah yang diatur dalam KUHD. Sedangkan,mengenai penambahan jenis usaha baru dalam CV, KUHD tidak melarang adanya penambahan jenis usaha baru tersebut, namun untuk tata cara penambahan jenis usaha baru untuk CV, KUHD pun tidak menjelaskan. Oleh karena itu, dalam penambahan jenis usaha, beberapa praktik digunakan demi mencapai penambahan jenis usaha pada CV. Namun, dalam menambahkan jenis usaha yang baru dalam CV, para persero CV harus melakukan pengubahan terhadap anggaran dasar CV tersebut yang disetujui para persero dari CV. Jangan sampai, dalam bidang usaha yang baru tidak diketahui oleh Persero lainnya, hanya karena Persero lainnya tidak ingin terlibat. Atau, misalnya ada mitra bisnis yang baru dalam bidang usaha yang baru namun bukan merupakan Persero CV. Padahal, urgensi dari perlunya persetujuan oleh para persero CV dalam mengubah anggaran dasarnya, adalah karena jika CV mengalami kerugian maka mereka akan bertanggungjawab secara tanggung renteng. Peraturan perundang-undangan tentang CV tidak mengatur jelas mengenai perubahan anggaran dasar mengenai penambahan jenis usaha baru wajib diaktakan dalam akta notaris. Namun untuk keperluan pengurusan izin, perubahan dalam akta notaris mengenai jenis usaha dalam CV itu menjadi penting karena beberapa izin hanya dapat didapatkan dengan memenuhi syarat menyertakan anggaran dasar CV dalam bentuk akta notaris beserta bukti pendaftaran pada Pengadilan Negeri setempat. Berikut kami berikan gambaran mengenai kepentingan perubahan anggaran dasar CV guna mendapatkan izin-izin lanjutan dalam menjalankan usahanya. Sebagai contoh gambaran permasalahan sebagai berikut, apabila sebuah CV yang sebelumnya melakukan kegiatan usaha perdagangan dengan jenis berdagang makanan dan minuman. Kemudian, ketika usaha semakin besar, CV tersebut ingi memperluas usahanya dengan juga berdagang mebel (Furniture). Namun, dalam anggaran dasar CV tersebut tidak menyebutkan bidang usaha mebel, maka sebuah CV tersebut harus mengubah Anggaran 97
Frans Satrio Wicaksono, 2009, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris Perseroan Terbatas (PT), Jakarta, Visimedia, hal 48
…
96
Dasar CV terlebih dahulu sebelum melakukan pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Berikut syarat-syarat untuk melakukan perubahan SIUP menurut Peraturan Menteri Perdagangan RI Nomor: 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya, sebagai berikut : PERMOHONAN PERUBAHAN : 1) 2) 3) 4) 5)
Surat Permohonan SIUP; SIUP Asli; Neraca Perusahaan (tahun terakhir khusus untuk Perseroan Terbatas); Data pendukung perubahan; dan Foto Pemilik atau Penanggungjawab Perusahaan ukuran 3x4 cm.
Yang dimaksud dengan data pendukung pada poin (4) beberapa di antaranya adalah akta pendirian dan perubahan anggaran dasar CV beserta pendaftaran pada Pengadilan Negeri setempat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa, dalam melakukan perubahan SIUP, pemilik SIUP memerlukan data pendukung yaitu berupa akta anggaran dasar sebuah perusahaan (dalam hal ini anggaran dasar CV) yang mencantumkan jenis kegiatan usaha yang akan ditambahkan untuk dicantumkan di dalam SIUP dan pendaftarannya perubahan anggaran dasar kepada Pengadilan Negeri setempat. Apabila
pada
kenyataannya
di
dalam
anggaran
dasar
perusahan
hanya
mencantumkan 1 jenis kegiatan usaha, maka perlu dilakukan perubahan anggaran dasar perusahaan terlebih dahulu sesuai dengan prosedur yang diatur dan anggaran dasar perusahaan tersebut, guna mencantumkan kegiatan yang diinginkan sebelum memohonkan perubahan penambahan kegiatan usaha dalam SIUP. Di dalam Pasal 5 ayat (1) huruf (a) Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya dinyatakan: “SIUP dilarang digunakan untuk melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan kelembagaan dan/atau kegiatan usaha, sebagaimana yang tercantum di dalam SIUP”. Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila di dalam SIUP tidak mencantumkan kegiatan usaha yang ingin dijalankan, pemegang SIUP tidak dapat menjalankan usaha yang tidak sesuai sebagaimana tercantum dalam SIUP. Oleh karena itu, apabila di dalam SIUP hanya tercantum kegiatan usaha perdagangan oli dan gas, pemilik SIUP tidak dapat melaksanakan penjualan susu, diapers, dan perlengkapan bayi lainnya. Jika pemilik SIUP melaksanakan kegiatan yang tidak sesuai dengan kegiatan usaha berdasarkan SIUP, pemilik SIUP dikenakan sanksi berupa pemberhentian sementara SIUP tersebut sebagaimana diatur
97
…
dalam Pasal 21 Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya. Pasal 20 menyatakan bahwa : 1) Pemilik atau Pengurus atau Penanggungjawab Perusahaan Perdagangan yang telah memiliki SIUP, yang melanggarketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 17, Pasal 18 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa Peringatan Tertulis oleh Pejabat Penerbit SIUP. 2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu 2 (dua) minggu terhitung sejak tanggal surat Peringatan dikeluarkan oleh Pejabat Penerbit SIUP. 3) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII Peraturan ini. Sedangkan Pasal 21 menyebutkan bahwa : 1) Pemilik atau Pengurus atau Penanggungjawab Perusahaan Perdagangan yang telah memiliki SIUP, yang tidak menghiraukan peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (1) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa pemberhentian sementara SIUP paling lama 3 (tiga) bulan. 2) Pemberhentian sementara SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Penerbit SIUP dengan mengeluarkan Keputusan Pemberhentian Sementara SIUP. 3) Keputusan Pemberhentian Sementara SIUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX Peraturan ini. Namun, hal tersebut dapat disikapi dengan melakukan perubahan SIUP yang diatur pada Pasal 14 Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya. Permendag 36/MDAG/PER/9/2007 dan Perubahannya tidak mengatur tentang jumlah kegiatan usaha yang dapat dicantumkan dalam SIUP, namun jumlah kegiatan usaha dalam SIUP dibatasi oleh Pasal 18 Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya yang menyatakan: “Pemilik SIUP yang tidak melakukan kegiatan usaha selama 6 (enam) bulan berturut-turut atau menutup perusahaannya wajib menyampaikan laporan secara tertulis kepada Pejabat Penerbit SIUP disertai alasan Penerbit SIUP disertai penutupan dan mengembalikan SIUP asli.” Penegakan hukum dibagi menjadi penegakan hukum preventif dan penegakan hukum represif.Penegakan hukum represif adalah dengan instrumen hukum administratif, hukum perdata dan hukum pidana.Penegakan hukum administratif merupakan salah satu jenis penegakan hukum yang paling banyak dilakukan di bidang perizinan. Penegakan hukum
administratif
yang
dikenakan
terhadap
dimaksudkan sebagai sarana untuk mengubah perilaku.
pelanggaran-pelanggaran
tersebut
…
98
Pelanggaran terhadap peraturan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hukum administrasi.Penegakan terhadap hukum administrasi merupakan penegakan hukum yang khas. 98Dengan dilanggarnya pelaksanaan pada Pasal 18 Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan perubahannya di atas, pemilik SIUP akan dikenakan peringatan tertulis sampai dengan sanksi berupa pemberhentian sementara oleh Penerbit SIUP sebagaimana diatur pada Pasal 20 dan Pasal 21 Permendag 36/M-DAG/PER/9/2007 dan Perubahannya.
C. PENUTUP Berdasarkan ketentuan tersebut, apabila di dalam SIUP tidak mencantumkan kegiatan usaha yang dijalankan, pemegang SIUP tidak dapat menjalankan usaha yang tidak sesuai sebagaimana tercantum dalam SIUP.Ketika terjadi penambahan usaha, maka pengusaha juga harus merubah anggaran dasarnya terlebih dahulu.Jika pemilik SIUP melaksanakan kegiatan yang tidak sesuai dengan kegiatan usaha berdasarkan SIUP, pemilik SIUP dikenakan sanksi berupa pemberhentian sementara jadi hanya berupa penegakan hukum administrasi.Yang diharapkan dari pengenaan sanksi administrasi adalah bukan semata-mata untuk
memberikan
beban
terhadap
pelakunya,
melainkan
mengubah
perilakunya.Diharapkan masyarakat pun agar lebih sadar dan taat tehadap kewajiban hukum dengan tidak menggunakan satu SIUP untuk dua jenis usaha akibat dari penambahan jenis usaha dengan hanya tercantum satu saja jenis usaha didalam SIUP tersebut.
DAFTAR PUSTAKA BUKU Fuady,Munir, dkk, 2006, Pengantar Bisnis Cetakan Kelima, PT. Gramedia Pustaka Utama,Jakarta. H.S.Kartadjoemena, 2000, Substansi Perjanjian GATT/WTO Dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa : Sistem kelembagaan, Prosedur,Implementasi Dan Kepentingan Negara Berkembang, UI Press, Jakarta. M.Komar, 2007, Membuka Usaha Kecil, Kanisius, Yogyakarta. Pudyatmoko, Y.Sri, 2009, Perizinan Problem dan Upaya Pembenahan, Grasindo.
Wicaksono, Frans Satrio, 2009, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi dan Komisaris Perseroan Terbatas (PT), Visimedia, Jakarta.
98
Y.Sri Pudyatmoko, Op.Cit, Hal.116
…
99
Widjaja, Gunawan, 2008, Resiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT, Forum Sahabat.
INTERNET Anonim,
2010 Dinas Perijinan Denpasar Bebaskan Pengurusan SIUP,available from http://bali.antaranews.com/3655 diakses tanggal 12 Februari 2013.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan. Peraturan Menteri Perdangan No. 46/M-DAG/PER/9/2007 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan. Peraturan Menteri Perdagangan No. 39/M-DAG/PER/12/2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan.
…
100
EKSISTENSI MULTIKULTURAL DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL YANG SENTRALISTIK (SUATU KAJIAN KRITIS DARI PERSPEKTIF HUKUM PROGRESIF)
Nengah Susrama, SH, MH Dekan Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar
Abstract A development of nationl law want to place the system of customary law in Indonesia as the nation’s social life is patterned multicultural country. But it can not be done because it is still influenced by the use of western law. It should necessary reorientation of the legal norm that exist in the community. It’s means that the capacity of customary law has strong bargaining value in the development of national law. Keyword : Multicultural, National Law, Customary Law.
A. Pendahuluan Indonesia dikenal sebagai negara yang bercorak multikultural, multi etnik, agama, ras, dan multi golongan. Sasanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Repubiik Indonesia. Wilayah negara yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke, memiliki sumber daya alam (natural resources) yang melimpah bak untaian zamrud dibentang garis khatulistiwa, dan juga sumber daya budaya (cultural resources) yang beragam coraknya. 99 Dari satu sisi secara teoritis keberagaman budaya (multikultural), disatu sisi
lagi
merupakan
konfigurasi
budaya
(Cultural
configuration)
yang
mencerminkan jati diri bangsa, dan secara empirik menjadi unsur pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, kemajemukan budaya juga menjadi modal budaya (cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. 100 Beranjak pada keragaman budaya (multikultural) yang dimiliki bangsa Indonesia tersebut, yang terima secara turun - temurun dari generasi-kegenerasi, 99
Nurjaya, dkk, 2008, Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal, In Tranz , Publishing, Malang,
hal. 41. 100
Ibid. Hal. 42.
…
101
adalah perwujudan peradaban manusia Indonesia yang majemuk, yang lahir, hidup dan berkembang seiring dengan perjalanan sejarah yang sangat panjang. Dalam sejarah peradaban manusia Indonesia (dulu disebut Nusantara), terungkap bahwa pada masa kerajaan di bumi Nusantara, terutama mereka yang memeluk agama Hindu dan Budha telah melakukan hubungan hidup yang berdampingan dengan damai dan penuh toleransi. Maka dari itu, Mpu Tantular dalam kitab Sutasomanya melukiskan kehidupan antar agama yang sangat toleran itu, dengan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa", artinya; walaupun berbeda - beda tetap satu, tidak ada agama (kebenaran) yang keduanya. Demikian kita simak, maka akan didapatkan betapa agung dan mulianya makna yang terkandung dalam semboyan tersebut, yakni mencerminkan nilai - nilai kebenaran yang universal tentang hakiki, dan mencerminkan nilai - nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Kedua nilai tersebut, menjadi pilar keharmonisan hubungan dari dua keyakinan beragama yang berbeda dalam satu kosmologi. Dari kedua nilai itu pula menjadi pedoman perilaku hidup yang terpancar dalam tata pergauian dalam segala
aspek
kehidupan
mereka,
tanpa
ada
saling
mensubordinasi,
memarginalisasi dan mendiskriminasi. Sejalan dengan pandangan itu, Prof. Satjipto Rahardjo mengemukakan semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" memang sangat bagus untuk dijadikan pedoman dan pegangan dalam mengatur suatu masyarakat yang sangat majemuk, tetapi sayangnya, ia masih lebih merupakan slogan daripada kenyataan. 101 Pernyataan itu benar adanya pada orde ini yang sering terjadi konflik antar etnis, agama, ras, dan golongan bahkan pemekaran wilayah. Hal ini dikarenakan rasa kebangsaan (nation) sudah tidak kohesi, mengalami degradasi moral dan malahan cenderung distorsi terhadap kemapanan. Sehingga menjadi dehumanisasi, yaitu adanya pelecehan terhadap harkat martabat manusia, dan pelanggaran hak asasi manusia yang tidak mengindahkan peraturan (anomi). Kondisi yang carut marut itu, dapat dilihat dalam kurun waktu dua dasa warsa terakhir ini, kasus - kasus konflik yang bersumber dari kemajemukan masyarakat cenderung meningkat kualitas dan kuantitasnya. Konflik- konflik di Aceh, Abepura dan Timika (Papua), Ambon (Maluku), Sampit-Sambas (Kalimantan Tengah), Pasuruan – Situbondo 101
Satjipto Raharjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Kompas, Jakarta, hal. 27.
…
102
(Jawa Timur), DKI Jakarta, Mataram (NTB), Lampung, Poso (Sulawesi Tengah), Pontianak (Kalimantan Barat), dan sebagainya. Keberadaan konflik - konflik ini, merupakan cerminan dari persoalan paradigma pembangunan hukum (legal development paradigm) yang dianut pemerintah dan lembaga legislatif, yaitu paradigma pembangunan hukum yang bercorak sentralisme atau disebut hukum negara sebagai standarisasi dalam berhukum, dan telah mengabaikan fakta kemajemukan hukum dalam masyarakat yang multikultural. Terkait dengan itu, Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan legitimasi tersebut memberi peluang dan kekuasaan kepada hukum, yang akan disebut sebagai hukum negara, untuk melakukan konsolidasi kekuasaan dengan menentukan sendiri apa yang bisa dan yang akan dilakukan hukum. 102 Dalam perspektif antropologi hukum, fenomena konflik muncul karena adanya konflik nilai (conflict of value), konflik norma (conflict of norm), dan/atau konflik kepentingan (conflict of interest) dari komunitas-komunitas etnik, agama, maupun golongan dalam masyarakat. Selain itu, konflik - konflik yang terjadi juga bersumber dari persoalan diskriminasi pengaturan dan perlakuan pemerintah pusat terhadap masyarakat di daerah, dengan mengabaikan, menggusur, dan bahkan mematisurikan nilai - nilai, norma - norma hukum rakyat (folk law), termasuk religi dan tradisi masyarakat di daerah melalui dominasi dan penegakan hukum negara (state law).
103
Secara konvesional cita hukum dan tujuan hukum adalah untuk menjaga keteraturan dan ketertiban sosial (social order) dalam masyarakat, sehingga fungsi hukum lebih ditekankan sebagai instrumen pengawasan sosial (social control).
Sebagaimana
dinyatakan
Prof.
Mochtar
Kusumaatmaja
tentang
keyakinannya bahwa hukum merupakan salah satu alat pembaharuan masyarakat. Hukum dapat menjadi faktor utama yang mendorong modernisasi masyarakat dan perubahan kearah yang menunjang pembangunan. Dalam masyarakat yang lebih kompleks, cita hukum dikembangkan sebagai alat untuk merekayasa kehidupan sosial (social engineering).
102
104
Ibid. Hal. 24-25. Nurjaya. Op.Cit. Hal. 43 104 Mochtar Kusumaatmadja, 2002, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Lembaga Penelitian dan Kriminologi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bina Cipta, Bandung, hal. 175-177. 103
…
103
Pandangan ini sesuai dengan pemikiran Roscoe Pound, yang sangat terkenal tentang penekanan fungsi dan peranan hukum dalam masyarakat, dengan teorinya "hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat " (law as a tool of social engineering). Dalam konteks ini, Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa langkah yang diambil dalam social engineering bersifat sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai jalan pemecahannya, yaitu :
105
1. Menjawab problem yang dihadapi sebaik - baiknya termasuk didalamnya mengenali dengan seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapan tersebut. 2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal ini penting kalau social engineering itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sectorsektor kehidupan majemuk, seperti; tradisional, modern, dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang dipilih. 3. Membuat hipotesis - hipotesis dan memilih mana yang paling layak untuk dilaksanakan. 4. Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya. Pendekatan hukum terhadap masyarakat tidak semata pendekatan dengan hukum negara, tetapi bagaimana hukum negara itu dapat mentransformasikan hukum rakyat (adat) sebagai bagian dari keberagaman budaya (multikultural) dalam masyarakat. Sehingga hukum rakyat (adat) yang multikultural itu dapat menjadi basis pembuatan hukum nasional, karena hal ini sesuai dengan kosmologi Indonesia. Keragaman budaya (multikultural) merupakan nilai-nilai, norma norma, dan kebiasaan yang hidup dan dilakukan masyarakat dalam mangatur kehidupannya. Maka amatlah tepat digunakan sebagai dasar pemikiran untuk menggagas pembentukan hukum yang progresif. Dengan
paparan
dalam
pendahuluan
tersebut,
maka
dapat
dibahas
permasalahan selanjutnya yakni "bagaimanakah posisi dan kapasitas hukum Rakyat (adat) dalam pembangunan hukum nasional?" Adapun pembahasannya akan menggunakan pendekatan antropologi hukum (legal anthropology) sebagai bagian dari kajian hukum empiris (empirical study of law).
105
Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 170-171.
…
104
B. PEMBAHASAN 1. Posisi Hukum Rakyat (Adat) Dalam Perspektif Antropologi Hukum dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, religi, dan lain-lain
106
atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang
berlangsung dalam kehidupan masyarakat. 107 Hukum dalam persepektif antropologi bukan semata berwujud peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara, tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan lokal yang bersumber dari suatau kebiasaan masyarakat, termasuk pula mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (self-regulation) yang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (social control) dalam masyarakat. Jadi studi-studi antropologi mengenai hukum, pada dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, antropologi hukum secara khusus mempelajari prosesproses sosial dimana pengaturan mengenai hak dan kewajiban warga masyarakat diciptakan, dirubah, dimanipulasi, diinterpretasi, dan diimplementasikan oleh warga masyarakat. 108 Betapa pentingnya memandang dan memahami hukum dengan hubungan realita sosial dalam masyarakat. Dari perspektif antropologi, hukum adalah produk kebudayaan yang tidak hanya terdapat dalam organisasi yang disebut negara, tetapi juga terdapat dalam setiap bentuk komunitas masyarakat, seperti dalam komunitas masyarakat Indonesia yang multikultural. Ini berarti bahwa hukum negara (state law) bukan merupakan satu - satunya wujud hukum yang berlaku dalam masyarakat. Jika hukum diartikan sebagai instrument kebudayaan yang berfungsi untuk menjaga keteraturan sosial (social order), atau sebagai sarana pengendalian sosial (social control), maka selain hukum negara juga terdapat sistem-sistem hukum lain seperti hukum rakyat/adat (folk law/customary), hukum agama (religious law), dan mekanisme-mekanisme pengaturan sendiri (inner-order mechanism) dalam 106
Pospisil, Leopold, 1971, Anthropology of Law, A Comparative Study, Haper & Row. Publisher.
NewYork. 107 108
Nurjaya. Op. Cit. Hal. 44-45. Log.Cit. Hal. 45.
…
105
masyarakat. Inilah yang disebut sebagai fakta kemajemukan hukum (legal pluralism), yang dimiliki komunitas masyarakat Indonesia yang multikultural. Dalam perkembangan kemudian, sejak tahun 1848 mulailah jelas terlihat adanya
suatu
usaha
dari
pemerintah
kolonial
untuk
menyisihkan
atau
menghapuskan sama sekali hukum rakyat (adat), guna memberikan tempat kepada berlakunya hukum barat untuk daerah jajahannya. 109
Sejalan dengan itu, lahir
kebangkitan nasional pada tahun 1928 yang merupakan gerakan perjuangan kebangsaan mencapai suatu titik kebulatan dan ketegasannya yaitu lahirnya Keputusan Kongres Pemuda, dimana hukum rakyat (adat) diperkenalkan dan diakui sebagai salah satu faktor pemersatu bangsa Indonesia, dan diakuinya pula hukum rakyat Indonesia adalah hukum adat oleh pemerintah kolonial sebagai mempunyai hak hidup bersama-sama berdampingan dengan hukum barat. Politik hukum itu dipertahankan terus sampai jatuhnya pemerintah kolonial dalam tahun 1942. Pengakuan ini berarti suatu pernyataan asasi tentang bahan-bahan integrasi bangsa yang melahirkan semangat kebangsaan Indonesia, dan yang kemudian tumbuh berkembang menjadi apa yang dikemudian hari ditulis di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan di dalam falsafah Pancasila. 110 Dengan diberikan ruang bagi hukum rakyat (adat) baik yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 maupun dalam falsafah Pancasila, merupakan bentuk pengakuan terhadap hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Namun demikian dalam perjalanan sejarah pembentukan hukum negara, ternyata kearifan keanekaragaman belum terangkat menjadi parameter politik hukum nasional. Dalam konteks ini, dapat dilihat kehadiran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, dimana substansinya mengatur bentuk sistem pemerintahan desa yang seragam, sehingga menghilangkan tatanan yang asli di berbagai daerah yang masih beraktivitas dengan efektif. Menurut pandangan Prof. Satjipto Rahardjo bahwa Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1979 adalah contoh par excellence dari hukum atau undang -undang yang kriminogenik. 111 Demikian juga keberadaan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang - Undang Pokok Agraria atau yang 109
Moh. Koesnoe, 1996, Hukum Adat (Dalam Alam Kemerdekaandan Persoalannya Menghadapi Era Globalisasi), Ubhara, Press, Surabaya, hal. 1. 110 Ibid. Hal. 2-3. 111 Satjipto Raharjo, 2007. Op.Cit. Hal. 28.
…
106
lazimnya disebut UUPA. Kalau dicermati dasar pembentukan UUPA tersebut, adalah ingin menempatkan hukum adat untuk menata pertanahan pada wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi dalam pengaturan terhadap hak-hak ulayat ternyata tidak terlindungi, sehingga desa-desa adat dengan hak-hak ulayatnya tidak berdaya. Kekokohan hukum adat sebagai hukum yang hidup, dan menjadi pedoman perilaku masyarakat, yang masih eksis sampai saat ini adalah dapat ditemukan pada komunitas masyarakat daerah yang tradisinya masih kuat, dan bahkan berperan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah daerah, seperti; (1) Hukum adat daerah Minangkabau dengan lembaga tradisionalnya yang dipimpin oleh Ketua Adat Nagari (KAN), (2) Hukum adat daerah Bali yang disebut dengan "Awig-Awig," dengan lembaga tradisonalnya yang disebut Desa Pakraman (dulu disebut desa adat) yang dipimpin oleh Bandesa (kepala adat), dan keberadaannya telah diproteksi dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 03 Tahun 2003 Tentang Desa Pakraman, (3) Hukum adat daerah Papua dengan lembaga Masyarakat Rakyat Papua (MRP), dan (4) Hukum Syariat Islam daerah Nangreo
Aceh
Darusalam
(NAD).
Contoh
dari
kemajemukan
komunitas
masyarakat dengan hukum adat dan hukum agama sebagai bagian dari bentuk multikultural yang masih eksis tersebut, menjadi bahan pemikiran penting untuk ditelaah dalam rangka pembangunan hukum nasional. Sementara ini keberadaan hukum adat dan hukum agama yang masih hidup dalam komunitas masyarakat daerah, secara umum masih dipertentangkan dengan ideologi sentralisme hukum (legal centralism), yang menghendaki pemberlakuan hukum negara (state law) sebagai satu -satunya hukum bagi semua warga masyarakat.
Dengan
demikian,
ideologi
sentralisme
hukum
cenderung
mengabaikan kemajemukaan sosial dan budaya (multikultural) dalam masyarakat, termasuk norma- norma hukum rakyat (folk law) yang secara nyata dianut dan bahkan lebih ditaati warga masyarakat dari pada hukum yang diciptakan dan diberlakukan oleh negara. Karena itu, pemberlakuan ideologi sentralisme hukum dalam komunitas yang bersifat multikultural hanya merupakan sebuah Utopia. 112 Dalam hubungan ini, Griffiths (1986:4) menyatakan :
112
Nurjaya. Op.Cit. Hal. 51.
…
107
"Legal pluralism is the fact. Legal centralism is a myth, an ideal, a claim, an illusion. Legal pluralism is the name of a social state of affairs and it is a characteristic which can be predicted of a social group." 113 Uraian di atas memperlihatkan bahwa basis hukum berada dalam masyarakat itu sendiri, sehingga untuk memahami hukum dalam masyarakat secara utuh maka hukum harus dipelajari sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan aspek - aspek kebudayaan yang lain, seperti sistem politik, sistem ekonomi, organisasi/struktur sosial, sistem kekerabatan, sistem religi, dan sebagainya.
2. Kapasitas Hukum Rakyat (Adat) Dalam Pembangunan Hukum Nasional Indonesia
adalah
negara
yang
bercorak
multikultural,
termasuk
kemajemukan sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini karena selain berlaku sistem hukum negara (state law), juga secara de facto terdapat sistem hukum adat (adat law), hukum agama (religious law), dan mekanisme regulasi sendiri (self-regulation) dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, jika dicermati secara seksama maka paradigma pembangunan hukum yang dianut pemerintah pada kurun waktu lebih dari tiga dasa warsa terakhir ini, cenderung bersifat sentralisme hukum (legal centralism) melalui implementasi politik unifikasi dan kodifikasi hukum bagi seluruh rakyat dalam teritorial negara. Implikasinya adalah hukum negara cenderung
menggusur, mengabaikan, dan
mendominasi keberadaan sistem - sistem hukum yang lain, karena secara sadar hukum difungsikan sebagai "governmental social control, 114 atau sebagai the servant of repressive power, 115 atau sebagai the command of a sovereign backed sanction. 116 Ini berarti bahwa dari perspektif antropologi, sumber munculnya fenomena konflik tersebut justru dari persoalan paradigma pembangunan hukum (legal development paradigm) yang dianut pemerintah dan lembaga legislatif, yaitu 113
John Griffiths, 1986, What is Legal Pluralism, dalam Jurnal Legal Pluralism and Unofficial Law.
114
Black, Donald dan Maureen Mileski. Eds. 1973, The Social Organization of Law, Seminar Press.
No. 24. New York. 115
Nonet Philippe & Philip Selznick, 1978, Law and Society in Transition, Toward Responsive Law, Hanper Colophon Books, New York. 116 Mc. Courbrey, Hilaire dan Nigel D. White, 1996, Text Abook on Jurisprudence, Blackstone Press Limited. London.
…
108
paradigma pembangunan hukum yang bercorak senntralisme hukum (legal centralism).Hal ini kontradiktif dengan fakta kemajemukan hukum dalam masyarakat yang multikultural. Untuk mencapai tujuan ini, upaya yang harus dilakukan adalah membangun paradigma hukum yang memberi pengakuan dan perlindungan secara utuh (genuine recognition) terhadap sistem-sistem hukum selain hukum negara, seperti hukum adat (adat law), hukum agama (religious law), dan mekanisme-mekanisme pengaturan lokal (inner-order mechanism) yang secara nyata tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian, nilai- nilai, prinsip -prinsip hukum, institusi, dan tradisi wajib diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam sistem hukum nasional, dan dituangkan secara konkret ke dalam norma hukum negara (peraturan perundang - undangan). Hukum sebagai suatu sistem (legal system) dipelajari sebagai produk budaya yang pada pokoknya mempunyai tiga elemen, yaitu : 1. Struktur hukum (structure of law) meliputi lembaga legislatif dan institusi penegak hukum (polisi, kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan). 2. Substansi hukum (substance of law) meliputi semua produk hukum berupa peraturan perundang-undangan, dan 3. Budaya hukum masyarakat (legal culture) meliputi nilai-nilai, ide, presepsi, pendapat, sikap, keyakinan, dan perilaku, termasuk harapanharapan masyarakat terhadap hukum. 117 Melalui kajian hukum sebagai suatu sistem (law as a system) dapat dijelaskan bagaimana sistem-sistem hukum dalam masyarakat, atau bagaimana sistem-sistem hukum dalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi dalam suatu bidang kehidupan sosial (social field) tertentu. Dari ketiga sub sistem dalam hukum tersebut, kultur hukum (legal culture) menjadi bagian kekuatan sosial yang menentukan efektifitas hukum dalam masyarakat, kultur hukum menjadi motor penggerak yang memberi masukan kepada unsur struktur hukum dan substansi hukum dalam memperkuat sistem hukum. Karakteristik
hukum
yang
dikembangkan
untuk
membina
dan
memperkokoh integrasi bangsa yang multikultural, adalah hukum yang bercorak responsif yang merespon dan mengakomodasi nilai, asas, norma, institusi, dan
117
Lawrence M. Friedman, 1984, The American Law, W.W. Norton & Company, New York.
…
109
tradisi yang tumbuh dan berkembang secara empiric dalam kehidupan masyarakat. Terkait dengan ini, Nonet & Selznick mengatakan: "Responsive law presupposes a society that has the political capacity to face
its
problems,
establish
its
priorities,
and
make
the
necessary
commitments." 118 Sejalan dengan pandangan bahwa hukum itu selalu mengalami dinamika, maka Prof. Satjipto Rahardjo menyebutnya sebagai hukum yang progresif. Paradigma dalam hukum progresif adalah, bahwa : "hukum adalah untuk manusia." Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Maka kemanusian menjadi awal dari segalanya. Hukum tidak berawal dari hukum itu sendiri, melainkan dari manusia dan kemanusiaan. Kemanusiaan menjadi primus pada saat kita ingin memberi kedudukan pada hukum dalam masyarakat. Yang ada pertama - tama adalah kemanusiaan, baru kemudian datang hukum dengan sekalian atribut dan permasalahannya, Kemanusiaan menjadi bingkai (framework) pada saat kita berbicara mengenai hukum. 119 Lebih lanjut dikatakan bahwa manusia atau perbuatan manusia selalu merupakan suatu unikum. Kendati demikian, karakteristik itu tidak mendapatkan tempat dalam hukum. Disini hukum sudah bekerja seperti mesin yang tinggal memencet tombol saja, ibarat mesin otomat (subsumptie automaat). Sementara itu hukum harus bekerja dengan rumusan-rumusan hukum dalam perundangundangan, yang telah menyempitkan atau mereduksi perbuatan manusia yang unik ke dalam skema atau standar tertentu. Hukum progresif menolak untuk mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum, karena berhukum dengan cara positivistik, normatif dan legalistik yang dibuat dalam bentuk peraturan perundang -undangan adalah dapat menjadi beban bagi kehidupan lokal. Hal ini ada benarnya karena secara kasusitis pada
beberapa
komunitas
masyarakat
daerah
dapat
merasakan,
betapa
hegemoniknya hukum negara telah merusak tatanan kehidupan yang masih asli dari masyarakat lokal, yang cara berpikirnya sederhana dan bersifat sosiorerigius. Sikap skeptis dari hukum negara itu, tidak sepenuhnya berlaku di daerah 118 21
Nonet dan Selznick. Op.Cit. Hal. 1130. Satjipto Raharjo, 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, UKI Press, Jakarta, hal.55.
…
110
Bali. Pulau Bali yang terkenal di manca negara karena pariwisatanya, yang banyak menyimpan keunikan budaya dan alamnya yang mempesona menjadi daya tarik tersendiri dari para wisatawan manca negara dan domestik. Oleh karena itu, daerah Bali menjadi pusat kepentingan internasional dengan berbagai pengaruh yang posistif dan negatif yang ditimbulkan kepada masyarakat Bali. Dalam kesiapan menerima perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat Bali, karena akibat dari pengaruh pariwisata dengan di ikuti regulasinya yang bersifat internasional dan nasional, yang cenderung melindungi kepentingan kapitalisme dan menekan kearifan lokal. Maka dalam hal ini masyarakat Bali senantiasa menyikapi dengan sebaliknya, yaitu berdasarkan kearifan lokal yang dimiliki menjadi landasan pengendalinya untuk menekan kapitalisme dengan segala kepentingannya. Bentuk dari kearifan lokal masyarakat Bali yang dimaksud antara lain; Desa Pakraman (dulu disebut dengan desa adat) sebagai bentuk organisasi tradisional, yang diperintah oleh seorang Bandesa (kepala adat) beserta perangkatnya, seperti Kertha Desa yang bertugas mengadili atau membantu menyelesaikan konflik-konflik adat dan Pacalang yang ditugasi mengurus keamanan desa, terutama menyangkut keamanan pelaksanaan aktivitas adat dan upacara agama. Sebagai dasar hukum untuk melaksanakan tugas -tugasnya, adalah berdasarkan hukum adat Bali yang disebut dengan "Awig-Awig" yang isinya mengatur tentang Sukerta Tata Pawongan (bagaimana masyarakat Bali melakukan hubungan yang harmonis dengan masyarakat lainnya), Sukerta Tata Parhyangan (hubungan harmonis dengan maha pencipta /Tuhan), dan Sukerta Tata Palemahan (hubungan harmonis dengan lingkungan alamnya), atau yang lazim disebut dengan falsafah Tri Hita Karana ( tiga penyebab hubungan yang harmonis). Dengan demikian karena keberadaan Desa Pakraman ini dianggap efektif dalam mengajegkan
Bali,
maka
Pemerintahan
Daerah
Provinsi
Bali
telah
memproteksinya dengan membuat Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 03 Tahun 2003 Tentang Desa Pakraman. Dengan pola daerah Bali dalam menguatkan dirinya dari gerusan pengaruh globalisasi, dapatlah menjadi contoh pola pada daerah lainnya di Indonesia yang masih
kuat
tradisinya,
bertujuan
untuk
sama-sama
menjaga
ketertiban
masyarakatnya, dari perubahan sosial yang terjadi akibat tekanan global dengan
…
111
kepentingannya. Untuk dapat berkelindannya antara perubahan sosial dengan kearifan lokal yang berfungsi sebagai penopang kerapuhan integritas diarahkan pada penelusuran pola - pola yang dicita - citakan dalam masyarakat, dengan kadang - kadang mengabaikan realitas sosial. Kedua pendekatan tersebut lebih banyak didasarkan pada pengumpulan data di lapangan, di mana sosiologi lebih tertarik pada usaha - usaha mengadakan generalisasi atas dasar sample yang ditarik dari suatu populasi tertentu. Antropologi lebih memusatkan pada usaha usaha untuk merenkrotruksi kebudayaan- kebudayaan, di dalam suatu keseluruhan atau kebulatan. Pendekatan sosiologis sifatnya lebih pada orientasi permasalahan, sedangkan antropologis lebih-lebih menyoroti masyarakat - masyarakat yang arkhais
sifatnya.
Akibatnya,
pendekatan
sosiologis
terutama
memusatkan
perhatian terhadap bagian-bagian tertentu dari masyarakat atau kebudayaan. Pendekatan sosiologis, akan menghasilkan pola - pola umum tentang hukum yang hidup (hukum sebagai realitas sosial, yang artinya dalam kaitannya dengan gejala-gejala sosial lainnya). Pendekatan antropologis akan menghasilkan pola - pola yang ideal dari hukum, yang didasarkan pada aspirasi-aspirasi para warga
masyarakat.
Bedanya
dengan
pendekatan
filosofis
adalah
bahwa
antropologi memperoleh hasil- hasilnya dari kontak langsung dengan masyarakat (melalui penelitian di lapangan). Kiranya jelas, bahwa pendekatan sosiologis dan antropologis, saling melengkapi di dalam proses studi terhadap hukum. Terkait dengan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum melalui pendekatan dengan ilmu - ilmu sosial lainnya, terutama dengan pendekatan sosiologi dan antropologi yang telah dijelaskan di atas, maka Prof. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa perkembangan dalam ilmu hukum berkorespondensi dengan perkembangan dalam disiplin ilmu di luar hukum.
120
Ilmu hukum tidak
dapat mempertahankan otonomi yang ia miliki lebih lama. Secara perlahan tetapi pasti berbagai disiplin ilmu mulai masuk ke dalam ilmu hukum, khususnya ilmuilmu sosial. Dari upaya untuk mengangkat derajat ilmu hukum kepermukaan kemajuan sains, menjadi inspirasi pemikiran dalam pengembangan pembangunan hukum nasional sesuai dengan corak budaya bangsa Indonesia. Oleh karena masingmasing suku bangsa dengan membawa multikulturalnya, akan memberikan warna 120
Ibid. Hal. 19.
…
112
tertentu pada pembuatan hukum nasional. Namun tidaklah mustahil, bahwa dari perbedaan- perbedaan yang ada dapat dicari persamaan -persamaan di dalam asasasas hukumnya. Dengan demikian kapasitas hukum rakyat (adat) sebagai bagian dari multikultural suku bangsa Indonesia yang telah mengalami saringan penting menjadi dasar dari hukum nasional dalam bentuk peraturan perundang - undangan, kalau diabaikan tidak akan mempunyai basis sosial yang kuat. Artinya, hukum atau peraturan perundang- undangan tersebut akan goyah dan nantinya menjadi hukum yang mati karena tidak efektif, dan merosotnya wibawa hukum.
C. PENUTUP Pembangunan hukum nasional yang pada awalnya berkeinginan untuk mengunakan hukum rakyat (adat) sebagai tata pergaulan hidup bangsa Indonesia, tetapi dalam perjalanan sejarahnya mengalami rintangan untuk melakukan kodifikasi hukum. Oleh karena dari kolonialisme terutama penjajah Belanda telah menancapkan kekuasaan imperialismenya dengan membuat perlindungan dibawa payung hukumnya sendiri.. Hukum barat (Belanda) merupakan bagian dari pengembangan hukum dengan konsep Recthstaat dan konsep The Role of Law. Konsep hukum tersebut menjadi satu standar hukum di dunia, termasuk Negara Indonesia sebagai penganutnya. Dalam perjalanan bangsa Indonesia mengunakan hukum itu, dirasakan tidak sesuai lagi dengan corak budayanya sendiri, maka oleh para ahli hukum Indonesia memandang perlu untuk melakukan reorientasi pada kaidah - kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini cocok bagi masyarakat Indonesia yang multikultural, dan akan memberikan warna tersendiri pada hukum nasional. Dengan adanya pemikiran yang demikian itu, merupakan suatu kemajuan (progresif) bagi bangsa Indonesia dalam berhukum. Untuk mendukung kemajuan dalam berhukum, maka perlu lebih lanjut ada pengkajianpengkajian
dengan
pendekatan
multidisipliner.
Dengan
memandang
dan
memahami cara berhukum seperti itu, maka posisi dan kapasitas hukum rakyat (adat) akan mempunyai nilai tawar yang kuat dalam pembangunan hukum nasional.
DAFTAR PUSTAKA
…
113
Black, Donald dan Maureen Mileski. (Eds). 1973. The social Organization of Law. Seminar Press. New York. Friedman, Lawrence M. 1984. The American Law, W.W. Norton & Company, New York. Griffiks, John. 1986. What is Legal Pluralism. Dalam Jurnal of Legal Pluralism and unofficial law. No. 24. Mochtar Kusumaatmadja. 2002. Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional. Lembaga Penelitian dan Kriminilogi Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. Bina Cipta. Bandung. Moh. Koesnoe. 1996. Hukum Adat (Dalam Alam Kemerdekaan nasional dan Persoalannya Menghadapi Era Giobalisasi). Ubhara Press. Surabaya. Mc. Coubrey. Hilaire dan Nigel D. White. 1996. Tex Abook on Jurisprudence. Blackstone Press Limited. London. Nonet Philippe dan Philip Selznick. 1978. Law and Society in Trasition. Toward Responsive Law. Hanper Colophon Books. New York. Nurjaya, dkk. 2008. Negara, Masyarakat Adat dan Kearifan Lokal. In. TRANS Publishing. Malang. Pospisil, Leopold. 1971. Anthropology of Law. A Comparative Study. Haper & Row. Publisher. New York. Satjipto Rahardjo. 1986. llmu Hukum. Alumni. Bandung. Satjipto Rahardjo. 2007. Biarkan Hukum Mengalir. Catalan kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum. Kompas. Jakarta. Satjipto Rahardjo. 2006. Hukum dalam Jagat Ketertiban. UKI Press. Jakarta. Peraturan Daerah Provinsi Bali nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pekraman.
…
114
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Dr. Luh Putu Sudini, S.H.,M.H Lahir di Bona, Gianyar, Bali, pada tanggal 05 Januari 1965. Menyelesaikan Pendidikan S1 Fakultas Hukum Universitas Warmadewa, bidang Hukum internasional pada tahun 1989, S2 Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bidang Hukum Internasional pada tahun 1999, dan S3 Program Doktor Ilmu Hukum bidang Hukum Internasional Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2011. Sejak Juni 1990 bekerja sebagai dosen) di Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar hingga sekarang. Penulis pernah menjabat sebagai Sekretaris Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Warmadewa selama dua periode, tahun 2000 - 2008, Sekretaris Kajian Lingkungan Hidup Universitas Warmadewa tahun 2000 - 2004. Sebagai Ketua Pusat Kajian Hukum Laut Universitas Warmadewa periode Tahun 2012-2016. Sekretaris Program Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa, Periode Tahun 2012 - 2016. Dr. I Wayan Gde Wiryawan, S.H., M.H. Dilahirkan di Gianyar, 13 Mei 1976. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, S2 di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana dan meraih gelar Doktor dari Universitas Brawijaya Malang konsentrasi bidang Hukum Ketenagakerjaan. Saat ini bekerja sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar dan Program Pasca Sarjana Universitas Mahasaraswati Denpasar. Selain sebagai dosen, penulis juga sebagai narasumber dalam berbagai seminar, baik skala regional, nasional, dan internasional. Tulisannya telah dimuat dalam media cetak, jurnal ilmiah. Pada saat ini penulis juga duduk dalam keanggotaan Majelis Pengawas Daerah Notaris, Dewan Pengupahan Provinsi Bali, Wakil Ketua Komite Standarisasi Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa/Kelurahan Provinsi Bali dan sebagai pembina dan penasehat dari serikat pekerja Mandiri Regional Bali dan Serikat Pekerja di Bali Hyatt, Grand Bali Hyatt, Nusa Dua Beach Hotel, The Royal Beach seminyak, Mercure Sanur Bali, dll. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected] I Gusti Ngurah Anom, S.H., M.H. Dilahirkan di Takmung tahun 1964. Menamatkan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati pada tahun 1989 dan S2 pada Program Magister Hukum Universitas Udayana. Saat ini bekerja sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar dan menjabat sebagai Wakil Dekan I. Aktif pada bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Dapat dihubungi melalui 081338303577 atau (0361) 256447. I Made Asmarajaya, S.H.,M.H. Lahir pada tanggal 23 Nopember 1959. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Hukum Universitas Udayana. Penulis berkerja sebagai tenaga edukatif (dosen) di Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Penulis dapat dihubungi melalui nomor HP: 081337287947.
…
115
I Wayan Wisadnya, S.H., M.H. Penulis dilahirkan di Pesangkan pada tanggal 22 Nopember 1957. Menyelesaikan pendidikan S1 pada Fakultas Hukum Universitas Udayana dan S2 Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. Penulis bekerja sebagai Dosen di Fakultas Hukum Universitas Mahendradatta sejak tahun 1989 hingga sekarang. Saat ini penulis menjabat sebagai Wakil Rektor I Universitas Mahendradatta. Penulis dapat dihubungi melalui nomor HP: 081337312749. Anak Agung Ayu Ari Widhyasari, S.H.,M.Kn. Penulis merupakan lulusan Fakultas Hukum Universitas Udayana ( 2005-2009) dan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ( 2009- 2012). Saat ini penulis berkarier sebagai Tenaga Ahli Staff Anggota DPR – RI dan sebelumnya bekerja sebagai Staff Advokasi dan Program pada Lembaga Sosial Masyarakat (LSM ) Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI). Penulis pernah meraih berbagai prestasi di bidang akademik diantaranya Juara I PKMM Tahun 2007 dan Juara III Bidang Pendidikan pada Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan Nasional Universitas Udayana. Penulis pernah menjabat sebagai Koordinator Personalia Kader Pelestari Budaya Propinsi Bali ( 2003-2005), Asisten Pembina Kader Pelestari Budaya Propinsi Bali ( 2005 – sekarang) , Sekretaris Umum Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma DKI Jakarta (2010 -2012), Bendahara Umum Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Pemuda Antar Agama (FKPAA) (2011-2013), serta sebagai Ketua Departemen Hukum dan HAM Dewan Pimpinan Nasional Persatuan Pemuda Hindu (DPN Peradah ) 2012-2015. Penulis dapat dihubungi melalui HP: 08999161987 dan email:
[email protected] Luh Putu Swandewi Antari, S.H., M.H. Penulis lahir di Bangli pada tanggal 21 Mei 1986 dan bertempat tinggal di Jln. Nagasari Gang Trijata No. 6 Penatih Dangin Puri Denpasar. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Udayana pada tahun 2008 dan pendidikan S2 di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana Tahun 2012. Penulis adalah seorang tenaga edukatif (dosen) di IKIP PGRI Bali . Dapat dihubungi melalui email
[email protected] atau
[email protected]. HP: 081933032768 / 03619154153. Dewi Bunga, S.H., M.H. Dilahirkan di Denpasar, 8 Februari 1987. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan S2 di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana dengan predikat cumlaude. Sehari-hari bekerja sebagai konselor hukum pada Telepon Sahabat Anak 129 Provinsi Bali. Aktif sebagai narasumber dalam pelbagai acara hukum di Radio dan TV lokal, sosialisasi serta seminar baik yang berskala nasional maupun internasional. Banyak tulisan yang telah dipublikasikan dalam jurnal, media cetak, media elektronik dan diterbitkan dalam bentuk buku. Adapun buku yang sudah terbit antara lain “Prostitusi Cyber, Diskursus Penegakan Hukum Dalam Anatomi Kejahatan Transnasional” dan “Regulating Disasters, Climate Change And Environmental Harm Lessons from the
…
116
Indonesian Experience” (diterbitkan oleh Edward Elgar, Belanda). Beberapa tulisan telah mendapatkan penghargaan diantaranya penghargaan pertama dari UNESCO-PBB LIPI award, penghargaan ketiga dari TNI AL dalam memperingati hari Samudera dan lain-lain. Wayan Emi Lustinayanti, SE, MM. Dilahirkan di Tabanan, 23 April 1987. Menempuh pendidikan formal di Fakultas Ekononi Jurusan Manajemen Universitas Udayana (2005) dan Program Magister Manajemen Universitas Udayana Konsentrasi Manajemen Pemasaran (2009). Pernah bekerja sebagai Dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Mahendradatta (2008-2010). Saat ini bekerja sebagai Tim Peneliti di PT Surveyor Indonesia dan sebagai dosen pada Fakultas Ekonomi dan Humaniora Universitas Dhyanapura. Dapat dihubungi melalui email
[email protected] atau 082266040687 Ni Putu Yogi Paramitha Dewi, S.H., M.H. Alumnus Magister Hukum Bisnis pada Universitas Udayana. Pernah magang di kantor advokat dan menjadi asisten peneliti. Saat ini bekerja di kantor Ombudsman Republik Indonesia perwakilan Bali. Penulis juga aktif menulis pada blog pribadi yakni http://www.yogimitha.blogspot.com dan dihubungi pada email
[email protected]. Emmy Febriani Thalib, S.H., M.H. Dilahirkan di Denpasar, 24 Februari 1987. Menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan S2 di Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana. Saat ini bekerja sebagai Dosen mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di STIKI Bali. Dapat dihubungi melalui 0893169989.
…
117
KETENTUAN UMUM PENULISAN JURNAL ADVOKASI HUKUM Jurnal Advokasi Hukum merupakan jurnal yang diterbitkan oleh Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar. Sebagaimana tulisan ilmiah, maka terdapat ketentuan-ketentuan terkait dengan penulisan pada jurnal ini. Adapun ketentuan-ketentuan yang dimaksud adalah: 1. Tulisan yang diterima adalah menyangkut masalah advokasi baik dalam kajian pidana, perdata, tata negara dan tata usaha negara, maupun kajian bisnis. 2. Tulisan belum pernah dimuat atau tidak sedang diajukan pada jurnal atau penerbit lain. 3. Judul ditulis dengan huruf kapital dan maksimal terdiri atas 12 kata. 4. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris maksimal 200 kata dan memuat kata kunci 3-5 kata. 5. Naskah diketik di atas kertas HVS A4, 2 spasi, margin atas dan kiri 4 cm dan margin kanan dan bawah 3 cm dengan jumlah halaman antara 14-20 halaman. 6. Pada bagian akhir tulisan disertai dengan daftar riwayat hidup singkat yang sekurang-kurangnya melampirkan nama, tempat dan tanggal lahir, riwayat pendidikan, afiliasi serta alamat kontak yang dapat dihubungi (alamat/ email/ HP/ blog). 7. Penulisan catatan kaki adalah sebagai berikut: Buku: nama pengarang, tahun terbit, judul buku (cetak miring), penerbit, kota, halaman. contoh: Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filfasat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 25. Makalah: Nama pengarang, judul makalah (dalam tanda kutip), tema seminar/ lokakarya, penyelenggara, tempat, waktu, halaman. Contoh: Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi”, Makalah pada seminar nasional kejahatan korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 November 1989, hal. 2. Internet: Nama pengarang, edisi, judul (dalam tanda kutip), alamat web, tanggal akses. Agus Raharjo, 2006, “Kebijakan Kriminalisasi dan Penanganan Cybercrime di Indonesia”, http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/kriminalisasi_cybercrime.htm, diakses pada 9 Juni 2011. Jurnal: Nama penulis, judul (dicetak miring), nama jurnal, penerbit, edisi, halaman. Tjok Istri Sri Harwathy, Pengaruh Kebudayaan Terhadap Penegakan Hukum di Masyarakat, Maha Yustika, Fakultas Hukum Mahasaraswati Denpasar, Vol. 7 No. 7 September 2010, hal. 5. 8. Penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut: Buku: nama pengarang, tahun terbit, judul buku (cetak miring), penerbit, kota. contoh: Abdul Ghofur Anshori, 2009, Filfasat Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
…
118
Makalah: Nama pengarang, judul makalah (dalam tanda kutip), tema seminar/ lokakarya, penyelenggara, tempat, waktu. Contoh: Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam kejahatan yang Dilakukan oleh Korporasi”, Makalah pada seminar nasional kejahatan korporasi, FH UNDIP, Semarang, 23-24 November 1989. Internet: Nama pengarang, edisi, judul (dalam tanda kutip), alamat web, tanggal akses. Agus Raharjo, 2006, “Kebijakan Kriminalisasi dan Penanganan Cybercrime di Indonesia”, http://www.unsoed.ac.id/newcmsfak/UserFiles/File/HUKUM/kriminalisasi_cybercrime.htm, diakses pada 9 Juni 2011. Jurnal: Nama penulis, judul (dicetak miring), nama jurnal, penerbit, edisi. Tjok Istri Sri Harwathy, Pengaruh Kebudayaan Terhadap Penegakan Hukum di Masyarakat, Maha Yustika, Fakultas Hukum Mahasaraswati Denpasar, Vol. 7 No. 7 September 2010. Sumber Hukum: Nama sumber hukum, lembaran negara dan lembaran tambahan negara. contoh: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843. 9. Pengiriman naskah dilakukan dengan menyertakan hard copy dan soft copy yang dikirim ke alamat redaksi “Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar, Jalan Kamboja, Denpasar”, contact person: Ni Luh Yogi Arthani,SH,MH (087862712727/
[email protected]). 10. Naskah yang diterima oleh redaksi akan di review dan apabila diterbitkan maka redaksi akan menghubungi penulis. 11. Redaksi berhak atas naskah yang dikirimkan oleh penulis.
Salam Redaksi