497
Unmas Denpasar
PERLINDUNGAN UPAH PEKERJA PARIWISATA DI BALI : KAJIAN NORMATIF KEWAJIBAN PEMERINTAH BERDASAR PRINSIP-PRINSIP DAN NORMA-NORMA HUKUM KETENAGAKERJAAN I Wayan Gde Wiryawan Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis secara mendalam mengenai produk hukum Pemerintah Provinsi Bali sebagai regulator yang secara yuridis memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap upah pekerja pada umumnya dan pekerja pariwisata khusnya ditengah perkembangan industrialisasi pariwisata. Penelitian ini dirancang bangun dengan pendekatan kualitatif kritis yaitu penelitian yang sasarannya tidak saja menggali makna hukum regulasi tetapi juga menggali makna etik dari peran pemerintah. Penelitian ini menyoroti regulasi dan kebijakan yang berkaitan dengan pengupahan pekerja pariwisata di Bali. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan bahan hukum kualitatif yang berupa ketentuan-ketentuan normatif dan kebijakan dalam bidang pengupahan yang berkait dengan pekerja pariwisata. Dalam penelitian ini sumber bahan hukum primer dikumpulkan melalui studi dokumen yang meliputi peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah Bali. Selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisis dengan memakai teknik analisis secara kualitatif yaitu dengan melakukan interpretasi teks dan analisis isi yang disertai dengan pola berfikir dekonstruktif semiotika. Hasil pembahasan penelitian ini menunjukkan bahwa prinsip-prinsip yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan di Indonesia tentang perlindungan pengupahan terhadap pekerja pada umumnya menciptakan hubungan Industrial yang harmonis belum ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah Bali dengan penetapan ketentuan tentang perlindungan upah pekerja pariwisata ditengah derasnya perkembangan industri pariwisata di Bali. Sehingga terjadi kekosongan norma (rechtvacuum) dalam perlindungan pengupahan pekerja pariwisata di Bali. Kata kunci: pekerja pariwisata, perlindungan pengupahan dan pemerintah ABSTRACT This study was conducted to analyze in depth the legal product Bali Provincial Government as a regulator who legally have an obligation to provide protection against wage workers in general and tourism workers amid industrialization development of tourism. This study was designed to wake up with a qualitative approach critical research that the goal is not just to dig the meaning of legal regulations but also explore the ethical significance of the role of government. The study highlights the regulations and policies relating to remuneration tourism workers in Bali. This study is a normative legal research with qualitative legal materials in the form of normative provisions and policies in the area of wages that relates to tourism workers. In this study, the source of primary legal materials collected through the study documents that include legislation, policies of the central government and local governments Bali. Further legal materials were analyzed using qualitative analysis techniques by performing the interpretation of the text and content analysis which is accompanied by thought patterns deconstructive semiotics. Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
498
Unmas Denpasar
Discussion of the results of this study indicate that the principles contained in the legislation of labor in Indonesia on the protection of wages to workers in general to create a relationship Industrial harmony has not been followed up by the local government of Bali to the determination of the provisions on the protection of workers' wages tourism amid the rapid development of tourism industry in Bali. So there is a vacancy norm (rechtvacuum) in the protection of wages of workers of tourism in Bali. Keywords: tourism workers, protection of wages and the government
PENDAHULUAN Keberadaan Pulau Bali sebagai destinasi pariwisata utama di Indonesia sudah diakui secara internasional. Keindahan panorama dan kekayaan Budaya Bali menjadikan munculnya keragaman aktivitas wisata yang dimiliki oleh Pulau Bali, telah menyebabkan Bali memiliki banyak pencitraan (image) yang melekat di benak wisatawan yang datang berkunjung ke Bali. Image yang dimiliki oleh Bali antara lain, Pulau Dewata (Island Of God), Pulau Seribu Pura (The Island of Thousand Temple), Island of Paradise, Island of Peace, Bali for The World, dan Bali is My Life. Hasil penelitian Tourism Field Study (TFS) pada Tahun 2007 menyatakan bahwa image yang paling dikenal oleh wisatawan adalah Bali sebagai Pulau Dewata atau The Island of God. Jumlah kunjungan wisatawan ke Bali cenderung meningkat dari tahun ketahun menunjukan bahwa Bali merupakan salah satu tujuan wisata favorit tidak saja di Indonesia, tapi seluruh dunia. Menyadari potensi sebagai daerah tujuan wisata, Bali telah menjadikan sektor pariwisata sebagai sektor andalan. Pengembangan wisata di Bali dengan konsep Pariwisata Budaya, yang secara normatif telah diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali (Perda No. 2/2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali) secara eksplisit diatur bahwa penyelenggaraan kepariwisataan di Bali dijiwai oleh nilai-nilai Agama Hindu dengan menerapkan falsafah Tri Hita Karana, sehingga Kepariwisataan Budaya Bali tidak semata mata bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi juga bertujuan untuk melestarikan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai Agama Hindu. Perkembangan Kepariwisataan Budaya di Bali mendapat apresiasi positif dari para wiatawan dan pelaku wisatalainnya, menyebabkan perkembangan yang pesat sehingga menjadikan pariwisata sebagai industri tidak terelakan. Tidak dapat dipungkiri pariwisata telah memberikan dampak besar terhadap pertumbuhan perekonomian Bali. Keadaan tersebut terus berlangsung sampai sekarang sehingga dengan demikian secara keseluruhan telah terjadi peralihan dari budaya agraris ke budaya non agraris khususnya yang menyangkut industri budaya karena pariwisata kini telah menjadi bagian kebudayaan Bali (I G.N Bagus; 615). Perkembangan industri pariwisata tersebut secara normatif telah diakui sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan kepariwisataan sehingga didalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU No. 10/2009 tentang Kepariwisataan) telah diatur tentang usaha pariwisata. Keberadaan usaha pariwisata tersebut tidak akan dapat berjalan tanpa didukung usaha-usaha pariwisata lain yang berkait sehingga menjadikan usaha Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
499
Unmas Denpasar
pariwisata tersebut sebagai sistem industri pariwisata yang sekaligus menjadi bagian sistem kepariwisataan. Seperti layaknya Industri secara umum, industri pariwisata mampu menumbuhkan dan menciptakan kesempatan kerja baik langsung maupun tidak langsung karena keberadaan industri pariwisata tidak dapat terlepas dari empat faktor produksinya, yaitu: (a) Kekayaan alam (natural resources); (b) modal (capital); (c) Tenaga Kerja (manpower) dan (d) keterampilan (skill). (I Kt Suwena & Gst Ngurah Widyatmaja, 2010;144) Keberadaan industri pariwisata akan menciptakan kesempatan kerja baik langsung maupun tidak langsung yang terkait dengan kebutuhan manusia yang melakukan pejalanan wisata. Kebutuhan manusia yang tidak terbatas tersebut menyebabkan industri pariwisata menjadi kegiatan yang padat karya (labour intensive). (G. Soekadijo, 2000; 274) Jika diklasifikasikan berdasarkan tiga sektor utama yaitu: sektor Primer, Sekunder dan Tersier sebagian besar pekerja di Bali menggantungkan hidupnya pada sektor tersier. Perkembangan pariwisata membuat sektor tersier menjadi leading sector di Bali, yang dibarengi oleh tingginya penyerapan tenaga kerja pada sektor yang bersangkutan (BPS Prov. Bali), Hal tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini: No 1 2 3
Uraian Bekerja di Sektor Primer Bekerja di Sektor Sekunder Bekerja di Sektor Tersier
2012 36,38 20,26 43,37
2013 34,63 21,54 43,83
2014 28,97 23,26 47,77
Sumber: BPS Provinsi Bali (Hasil Sakernas) Pertumbuhan ekonomi di Bali yang cukup tinggi didorong oleh pesatnya pembangunan sektor pariwisata tidak secara langsung berpengaruh pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Bali pada umumnya dan Pekerja di bidang kepariwisataan khususnya, hal tersebut sejalan dengan uraian pada media Bisnis Bali yang menyatakan bahwa kendati pelaku Budaya Bali adalah Masyarakat Bali, yang menikmati gemerincing dolar dan gemerlap pariwisata justru dari luar. Pelaku industri pariwisata di Bali sebagian adalah orang luar atau asing. Masyarakat Bali hanya sebagai pekerja dan menikmati sektor ini sebatas upah sebagai pekerja(http://www.bisnisbali.com/2012/09/17/news/pariwisata/k.html). Adanya fenomena tersebut tidak menjadikan pemerintah Provinsi Bali melaksanakan perannya secara optimal untuk memberikan perlindungan terhadap upah pekerja pariwisata sesuai prinsip prinsip dan norma hukum ketenagakerjaan. Kebijakan pengupahan di Bali yang tidak hanya berorientasi pada industri pariwisata tetapi juga mempertimbangkan pada industri secara umum menunjukan tidak adanya korelasi antara semakin berkembangnya industri pariwisata dengan perlindungan upah pekerja pariwisata. Adanya tuntutan penetapan Upah Minimum Sektor Pariwisata menjadi salah satu bukti adanya kegelisahan pekerja terhadap keadaan kesejahteraan yang telah diperoleh sekarang. Uraian diatas menunjukan bahwa adanya permasalahan mengenai peran pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan tentang upah minimum yang seyogyanya berlandaskan pada pencapaian tujuan Hubungan Industrial Pancasila yaitu terciptanya hubungan kemitraan yang dapat memberikan rasa keadilan kepada pihak pekerja pariwisata dan pengusaha pariwisata.
Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
500
Unmas Denpasar
METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif, dengan menggunakan bahan hukum primer, yang berupa perundang-undangan dan kebijakan tentang ketenagakerjan, bahan hukum sekunder meliputi buku-buku teks (textbook), jurnal Ilmiah, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum tersier berupa ensiklopedia, kamus hukum dan sebagainya yang berkaitan dengan topik penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum melalui studi kepustakaan dengan menggunakan teknik sistematis dengan card system. Bahan hukum yang terkumpul dianalisis secara kualitatif yang kemudian disajikan dengan metode deskriptif analitis. HASIL DAN PEMBAHASAN Kebijakan Pengembangan Industri Pariwisata Di Bali Industri pariwisata merupakan salah satu bagian dari industri yang memiliki karakteristik berbeda dengan industri yang lain. Perspektif umum tentang industri yang merupakan suatu bangunan pabrik dengan segala perlengkapannya yang menggunakan mesin-mesin dalam proses produksinya akan sangat berbeda dalam industri pariwisata karena industri pariwisata merupakan golongan industri tersier. Menurut A.G.B. Fisher (dalam Oka A. Yoeti, 1983; 139) industri pada umumnya dapat dikualifikasikan atas tiga golongan yang penting yaitu: (1) Primary industry seperti pertanian, pertambangan, peternakan, dan industri dasar lainnya, (2) Secondary industry seperti manufacturing, constructions (pembuatan jembatan, gedung-gedung, dan perumahan lainnya) da (3) Tertiary industry seperti perdagangan, transportasi, akomodasi, komunikasi, dan fasilitas pelayanan lainnya. Potensi pariwisata di Bali yang telah disadarai pada masa kolonial, yaitu tahun 1910, dengan lahirnya VTV (Vereeneging Toeriten Verkeer), sebuah badan pariwisata Belanda yang berkedudukan di Batavia, yang gencar mempromosikan Indonesia khususnya Jawa dan Bali yang selanjutnya ditindaklanjuti dengan politik kebudayaan dari kaum kolonial, sebagai momentum bangkitnya kesadaran adanya potensi kepariwisataan di Bali yang pada masa Orde Baru secara serius dikembangkan dengan konsep globalisasi pariwisata dengan diawali pembukaan hubungan dengan dunia barat yang dilakukan sejak tahun 1966 dengan pembentukan Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang anggotanya terdiri dari International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia (IBRD) serta negara-negara industri besar merupakan titik tolak konsep globalisasi pariwisata tersebut. Secara normatif pada tahun 1967, ditetapkan undang-undang penanaman modal asing yaitu UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang mengatur berbagai prosedur kontrol terhadap penanaman modal agar sesuai dengan kepentingan Negara Indonesia pada sisi yang lain justru merupakan pintu masuk berkembangnya industri pariwisata yang berskala internasional di Bali. Kebijakan tersebut ditindak lanjuti dengan pembukaan perwakilan Bank Dunia di Jakarta sebagai pihak yang sangat berperan dalam perumusan kebijakan ekonomi orde baru baik dari sudut pendanaan maupun sudut orientasinya (Michel Picard, 2006; 60-61). Adanya kepentingan pembangunan ekonomi oleh pemerintah orde baru dengan mendatangkan investor ke Indonesia menjadikan Bali dengan daya tarik industri Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
501
Unmas Denpasar
pariwisatanya sebagai etalase dan daerah percontohan pembangunan pariwisata di Indonesia. Pada tahun 1969 pemerintah mengundang tim ahli asing untuk mengkaji pariwisata Bali. Dengan bantuan dari IBRD (International Bank for Recontruction and Development) dan UNDP (United Nation Development Program) menyusun rencana induk pariwisata Bali yang dikerjakan oleh konsultan Prancis yaitu SCETO (Societe Centrale pourl’Equipment Touristique Outre-Mer). Tahun 1972 SCETO memberikan rancang pariwisata dalam pengembangan pariwisata bali adalah pariwisata budaya (cultural tourism) (I Ngurah Suryawan, 2011; 162). Dengan kata lain pengembangan pariwisata Bali harus mengakomodasi dua sisi yang bertentangan pada saat yang sama yaitu menggunakan kebudayaan sebagai daya tarik utama untuk mengundang wisatawan dan pada saat yang sama juga melindungi kebudayaan dari pengaruh pariwisata (I Gde Pitana; 19-20). Secara tajam, Picard ingin mengungkapkan tidaklah cukup pariwisata Bali menjadi pariwisata budaya tetapi harus juga kebudayaan Bali dalam batas tertentu menjadi pariwisata budaya. Keharusan ini menimbulkan wacana pada orang Bali suatu sikap mendua dalam menanggapi kebudayaan apakah dikaitkan dengan pariwisata atau tidak. Jika sebelum kedatangan wisatawan kebudayaan dianggap sebagai warisan yang harus diselamatkan sebaliknya setelah kehadiran wisatawan kebudayaan Bali berubah dianggap menjadi sesuatu modal yang harus dilipatgandakan. Dalam wacana pariwisata budaya, kebudayaan Bali selalu dikaitkan dengan tiga unsur yang merupakan tiga lapis yang saling bertumpang tindih satu sama lainnya: bersumber pada agama Hindu, mengilhami adat istiadat masyarakat dan menjiwai lembaga adat, dan menjelma dalam bentuk seni yang bernilai tinggi. Tetapi dibalik semua itu cita-cita utopis politik kebudayaan Bali ketika itu memang diarahkan untuk menggerakkan bidang potensial yaitu kebudayaan untuk mendukung pariwisata. Ida Bagus Mantra sebagai peletak dasar ideologi pariwisata budaya mengatakan bahwa Kebudayaan Bali berfungsi secara normatif dan operasional. Sebagai normatif peranan kebudayaan diharapkan mampu dan potensial dalam memberikan identitas, pegangan dasar, pola pengendalian, sehingga keseimbangan dan ketahanan budaya dapat diwujudkan. Secara operasional, kebudayaan juga diharapkan mampu menjadi daya tarik utama bagi peningkatan pariwisata. Ini memberikan petunjuk betapa pentingnya peranan kebudayaan dalam pengembangan pariwisata. Jadi bukan berarti kebudayaan untuk pariwisata tetapi sebaliknya pariwisata untuk kebudayaan. Kebudayaan disini bukan hanya berfungsi untuk dinikmati tetapi juga sebagai media untuk membawa saling pengertian dan hormat-menghormati (Ida Bagus Mantra, 1996; 35). Perkembangan pariwisata di Bali khususnya dan di Indonesia pada umumnya yang menjadikan pariwisata sebagai salah satu industri yang potensial dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi bangsa menyebabkan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menjadi payung penyelenggaraan kegiatan kepariwisataan di Indonesia. Sebagai upaya untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut maka tuntutan adanya prasarana dan sarana untuk mendukung kebijakan di bidang kepariwisataan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan. Prasarana pariwisata adalah semua fasilitas utama atau dasar yang memungkinkan sarana kepariwisataan dapat hidup dan berkembang dalam rangka memberikan pelayanan kepada wisatawan. (Bagyono, 2007; 20)
Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
502
Unmas Denpasar
Adanya kebijakan penerbangan langsung ke Bali serta penanaman modal berskala besar di sektor pariwisata pada tahun 1980-an yang diarahkan pada awalnya sebagai pemenuhan prasarana dan sarana kepariwisataan, pada akhirnya memunculkan pariwisata bercorak kapitalisme yang menerjang Bali. Lahirnya kebijakan lokal di Bali dibawah kepemimpinan Ida Bagus Oka yang mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur nomor 528 tahun 1993 yang menentukan 21 kawasan wisata merupakan pintu masuk utama masuknya investor dalam bidang kepariwisataan. Keluarnya surat keputusan gubernur tersebut pada intinya adalah untuk kepentingan pengembangan pariwisata Bali dengan menentukan 21 kawasan yang siap dijual. Munculnya surat keputusan tersebut kemudian didukung penuh oleh DPRD Tk. I Bali. Kebijakan pemerintah tersebut akhirnya tertuang dalam Peraturan Daerah (perda) No. 4 Tahun 1996 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bali kemudian diperbaharui menjadi Kawasan Daerah Daya Tarik Wisata Khusus (KDTWK) dalam Perda No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Bali 2009-2029 yang hingga kini masih menjadi perdebatan di Bali. Adanya kebijakan pengembangan pariwisata di Bali yang diarahkan untuk memfasilitasi perkembangan industri pariwisata pada satu sisi dan perlindungan Budaya Bali pada sisi yang lain, Perda No. 3/1991 tentang Pariwisata Budaya dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebijakan kepariwisataan nasional dan kondisi internal masyarakat Bali sehingga pada tanggal 12 maret 2012 ditetapkan Perda No. 2/ 2012 Tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Keberadaan industri pariwisata akan menciptakan kesempatan kerja baik langsung maupun tidak langsung yang terkait dengan kebutuhan manusia yang melakukan perjalanan wisata. Industri pariwisata sebagai kegiatan yang padat karya (labour intensive) akan menimbulkan kesempatan kerja secara langsung yang berhubungan dengan pariwisata tetapi juga menciptakan tenaga kerja yang tidak langsung berhubungan dengan pariwisata. Pada sisi tersebut peningkatan pekerja pariwisata yang pendukung utama keberhasilan pengembangan kebijakan industri pariwisata tidak diimbangi dengan adanya kebijakan terhadap perlindungan terhadap pekerja pariwisata itu sendiri, yang menyangkut perlindungan upah, jaminan sosial dan sebagainya dalam kerangka prinsip-prinsip dan norma-norma hukum ketenagakerjaan dengan regulasi dan kebijakan oleh pemerintah Provinsi Bali. Keberadaan Upah Minimum terhadap Pekerja Pariwisata di Bali. Sejalan dengan adanya perubahan era Orde Baru menjadi era Reformasi pengakuan terhadap hak dari pekerja untuk memenuhi penghidupan yang layak tetap menjadi fokus dalam kebijakan pengupahan nasional seperti yang termuat dalam Pasal 88 UU No. 13 Tahun 2003. Adanya pengakuan secara yuridis hak dari pekerja memperoleh penghasilan untuk memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan seperti yang termuat dalam Pasal 88 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan secara langsung mewajibkan pemerintah untuk menetapkan kebijakan upah minimum berdasarkan kebutuhan hidup layak. Ini menegaskan bahwa pemerintah dalam menetapkan upah minimum harus berdasarkan kebutuhan hidup layak dan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Upah merupakan salah satu unsur dari hubungan kerja yang sangat penting, fungsi upah secara makro dapat dikaji dari sisi konstitusional, sosial, dan ekonomi, sedangkan secara Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
503
Unmas Denpasar
mikro upah dapat berfungsi untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja, menarik dan mempertahankan pekerja berkualitas, penyusunan anggaran perusahaan dan peningkatan produktivitas (Tambusai Muzni, 2006; 26) sehingga tujuan pekerja melakukan pekerjaan adalah untuk mendapatkan penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupannya bersama keluarganya, yaitu suatu penghasilan yang layak bagi kemanusiaan (Imam Soepomo, 1970; 144). Sebagai wujud konkrit dari peran negara dalam perlindungan upah pekerja tersebut, maka pemerintah telah menetapkan Permenaker No. PER-01/MEN/1999 tentang Upah Minimum yang selanjutnya diperbaharui dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum. Penetapan upah minimum di Indonesia yang pada awalnya didasarkan pada Kebutuhan Fisik Minimum (KFM) pada tahun 1950-an, tetapi standar tersebut secara efektif dilaksanakan sejak tahun 1989 yaitu pada masa Kabinet Pembangunan ke-5 yang bertujuan dapat meningkatkan tingkat hidup penerima upah minimum menjadi setara dengan garis kemiskinan. Kebijakan upah minimum yang didasarkan pada KFM tersebut ditentukan secara bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya oleh Dewan Penelitian Pengupahan Daerah (DPPD) yang dibentuk atas dasar Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia nomor 46 Tahun 1971 tentang Perubahan Nama Dewan Pengupahan Daerah Menjadi Dewan Penelitian Pengupahan Daerah. Perubahan atas Dewan Pengupahan Daerah yang dibentuk atas dasar Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia nomor 131 Tahun 1970 tentang Pembentukan Dewan Pengupahan daerah. Keberadaan DPPD yang yang tidak berada disemua provinsi tetapi hanya ada di beberapa provinsi di Indonesia seperti yang diatur dalam pasal 7 permenaker No. 131 Th. 1970 jo. Permenaker No. 46 tahun 1971 yang menyebutkan bahwa DPPD di tetapkan di DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan Palembang, dan Makasar. Pada masa selanjutnya adanya tekanan dalam dan luar negeri tentang perlindungan terhadap hak-hak dasar pekerja menyebabkan terjadinya perubahan dalam syarat penetapan upah minimum. Pada tanggal 29 Mei 1995 dengan ditetapkan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-81/MEN/1995 tentang Penetapan Komponen Kebutuhan Hidup Minimum maka penetapan upah minimum yang pada awalnya didasarkan pada standar KFM dirubah menjadi Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dari seorang pekerja lajang. Dalam konsep KHM, mayoritas kebutuhan masih tergolong basic needs, tetapi ditambah komponen fair wages (aspek welfare). Penambahan komponen aspek kesejahteraan tidak merubah tujuan dari upah minimum tersebut yaitu tetap bersandar pada poverty alleviation (pengentasan kemiskinan) Pada kenyataannya perubahan ketentuan KFM menjadi KHM tidak serta merta menyebabkan ketiadaan tuntutan pekerja terhadap dasar penghitungan upah minimum yang dirasakan juga tidak memberikan keadilan, sehingga pemerintah selanjutnya menetapkan Permenakertrans No. 17 Th. 2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang sekaligus menjadi aturan pelaksana dari pasal 89 ayat (4) UU No. 13/2003. Perubahan ketentuan hukum yang menjadi dasar dalam penetapan upah minimum tersebut menjadi dasar dalam penetapan upah minimum Provinsi dan Kabupaten di Bali Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
504
Unmas Denpasar
setiap tahunnya, seperti dalam penetapan Upah Minimum Provinsi dan Kabupaten pada Tahun 2016 dengan Peraturan Gubernur Nomor 61 Tahun 2015, tentang Upah Minimum Provinsi, tanggal 6 November 2015. Dan pada tanggal 4 Januari 2016 ditetapkan Peraturan Gubernur nomor 1 Tahun 2016 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota yang menjadi salah satu wujud dari pelaksanaan Pasal 89 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tentang kewajiban pemerintah untuk menetapkan upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota. Ditetapkannya ketentuan Upah minimum provinsi Bali berdasarkan atas usulan dari Dewan Pengupahan Provinsi Bali sedangkan Upah minimum Kabupaten/Kota di Bali ditetapkan berdasarkan usulan Bupati/Walikota oleh gubernur sebagai kepala pemerintah Provinsi Bali didasarkan atas rekomendasasi dari bupati/Walikota, tidak menjadikan permasalahan pengupahan di Provinsi Bali menjadi terselesaikan. Hal tersebut dibuktikan dengan Realita adanya tuntutan akan pentingnya penetapan Upah Minimum yang berbasis pada perlindungan pada pekerja di bidang kepariwisataan seperti yang dikemukakan oleh Ketua Serikat Pekerja Kabupaten Badung Satya Wira Mahendra pada acara "simakrama" bersama Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan Wakil Gubernur A.A.N. Puspayoga, di Denpasar yang mengharapkan Gubernur Pastika memperjuangkan UMP khusus sektor pariwisata karena penting bagi para pekerja di bidang kepariwisataan di daerah Bali, mengingat pekerja di Bali yang sebagian besar bergerak dalam bidang jasa pariwisata, upahnya disamakan dengan sektor lain (http://www.antara-sumbar.com/id/berita/nasional). Menurut Satya Wira Penetapan UMP sektor pariwisata itu penting mengingat 75 persen masyarakat Bali menggantungkan hidupnya dari jasa pariwisata, karena UMP yang berlaku selama ini hanya mampu memenuhi 85% kebutuhan pokok minimal pekerja pariwisata sehingga ketentuan upah minimum belum memberikan perlindungan terhadap upah dari pekerja di bidang kepariwisataan. Tuntutan dari pekerja pariwisata menjadi sesuatu yang logis, karena permasalahan pekerja pariwisata di Bali tidak jauh berbeda dengan permaalahan pekerja pada umumnya yang dari sisi ekonomi kondisi pekerja sangat buruk diantaranya upah rendah, jam kerja panjang, jaminan sosial dan kesehatan yang buruk, pemecatan, diskriminasi, lemahnya perlindungan terhadap pekerja perempuan. Dari sisi budaya, potensi pekerja untuk berpikir kritis masih dihambat oleh serangkaian nilai-nilai dan pemahaman yang dipaksakan oleh pengusaha maupun penguasa. Sedangkan dari sisi hukum, pekerja masih ditempatkan sebagai faktor produksi dan selalu ditempatkan pada posisi kalah (Rachmad Syafa’at, 2008; 10). Keadaan ini sangat ironis pada saat pemerintah dan masyarakat Bali telah sepakat untuk menjadikan sektor kepariwisataan sebagai sektor andalan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja di bidang kepariwisataan pada khususnya dan masyarakat Bali pada umumnya. Permasalahan pekerja di bidang kepariwisataan di provinsi Bali dari sisi ekonomi yaitu menyangkut upah pekerja merupakan permasalahan yang sangat mendominasi dalam hubungan industrial pada sektor pariwisata di Bali, sampai saat ini masih belum dapat diselesaikan oleh pemerintah Provinsi dan kabupaten/Kota di Bali. Pelaksanaan ketentuan upah minimum yang secara nyata belum dapat berperan signifikan dan menentukan dalam upaya menanggulangi kemiskinan pekerja pariwisata dan Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
505
Unmas Denpasar
sekaligus menjadi alat untuk pemberdayaan, penciptaan peluang, jaminan dan peningkatan martabat pekerja tidak dapat berjalan secara maksimal sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi pekerja pariwisata itu sendiri ditengah fakta empiris tentang pengembangan sektor pariwisata. Keadaan tersebut tidak terlepas dari persoalan yuridis yang mempengaruhi adanya penciptaan suasana ketidakadilan oleh negara dalam memperlakukan pekerja di bidang kepariwisataan di Bali. Kenyataan tersebut menunjukan bahwa pada era reformasi ini kondisi politik hukum perburuhan dan kebijakan ketenagakerjaan di Bali masih sangat memprihatinkan karena kebijakan pengupahan dalam tataran substansial maupun implementasinya tidak mengakomodasi kepentingan dan hak-hak dasar pekerja di bidang kepariwisataan secara substansial karena terhambat ketentuan-ketentuan normatif yaitu Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Permenaker No. PER-07/MEN/2013 tentang Upah Minimum yang mengatur bahwa usulan penetapan Upah Minimum Sektor Provinsi dan Upah Minimum Sektor Kabupaten dirundingkan dan disepakati oleh asosiasi perusahaan dan serikat pekerja. Kenyataan tidak dapat terlaksananya perundingan antara serikat pekerja di bidang kepariwisataan dengan asosiasi pengusaha dibidang pariwisata menjadikan tidak mampunya pemerintah untuk menetapkan upah minimum sektor pariwisata di Propinsi Bali. (Wiryawan, 2012) Hambatan yuridis tersebut tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah Provinsi Bali untuk melakukan upaya progresif dengan melaksanakan kewenangan penetapan kebijakan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang telah diatur dalam pasal 89 ayat (1) huruf b. UU No. 13 Th. 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perubahan sistem penyelenggaraan negara dari era orde baru menjadi era reformasi secara prinsip tidak memberikan perubahan yang signifikan dalam perlindungan pengupahan dari pekerja pariwisata. Ketiadaan upah minimum sektor pariwisata di tengah semakin meningkatnya kebijakan pembangunan pariwisata di Bali dirasakan sebagai sebuah ironi karena hakekat reformasi yaitu otonomi daerah, perlindungan HAM, reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan pada kenyataannya belum mampu melakukan perlindungan terhadap pekerja pariwisata, sebagai salah satu pihak utama dalam menunjang kebijakan pembangunan di bidang pariwisata di Bali. Hal tersebut menunjukkan lemahnya komitmen pemerintah dalam pelaksanaan tujuan otonomi daerah dalam menunjang terlaksananya tujuan negara kesejahteraan (welfare state) dengan regulasi dan kebijakan yang bersifat responsif terhadap kepentingan kesejahteraan masyarakat. Uraian diatas menunjukan kemunduran dalam political will pemerintah Provinsi Bali dalam perlindungan pekerja karena dalam sejarah penetapan upah minimum di Provinsi Bali, sebelum adanya otonomi daerah, yaitu pada saat Orde Baru di mana kekuasaan pemerintahan masih sangat sentralistik dengan kebijakan perburuhan yang didominasi negara dengan konsep pembangunan ekonomi yang lebih memihak pada investor, telah ada upah minimum sektor pekerja harian sektor konstruksi bangunan perumahan dan sektor industri kerajinan kayu. Terbitnya Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.13/Men/DP/1978 tentang Penetapan Upah Minimum Pekerja Harian di Sektor Konstruksi Bangunan Perumahan dan Sektor Industri Kerajinan kayu di Daerah Bali, pada tanggal 27 Maret 1978 atas dasar Surat Ketua DPPD Provinsi Bali tanggal 29 Desember 1977
Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
506
Unmas Denpasar
No. 25/PW/II/1978 dan Surat Gubernur Bali di Denpasar tanggal 12 Januari 1978 No. Keu.4/9/3/1978 yang diberlakukan mulai tanggal 1 April 1978 menentukan bahwa: 1. Besarnya upah minimum di sektor konstruksi bangunan perumahan sebesar Rp 350,00 (tiga ratus lima puluh rupiah) per hari. 2. Besarnya upah minimum di sektor industri kerajinan kayu sebesar Rp 350,00 (tiga ratus lima puluh rupiah) per hari. Penetapan upah minimum sektoral dengan Kepmenakertrans No. 14/Men/DP/1978 di Provinsi Bali pada zaman Orde Baru tersebut merupakan pelaksanaan Pasal 3 UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Juga mempertimbangkan upaya mengadakan demokratisasi pengupahan dan jaminan sosial menuju ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal itu menunjukkan adanya komitmen dari pemerintah daerah, yaitu Gubernur Bali dan DPPD Bali pada zaman itu, untuk melakukan kebijakan pengupahan berdasarkan perkembangan situasi dan kondisi di daerah Bali yang pada saat itu sedang berkembang pembangunan perumahan dan industri kerajinan kayu untuk menunjang pembangunan pariwisata. SIMPULAN 1. Perkembangan Kepariwisataan di Bali dengan Konsep Pariwisata Budaya secara normatif telah diatur Perda No. 2/2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali yang didasarkan falsafah Tri Hita Karana, sehingga Kepariwisataan Budaya Bali tidak semata mata bertujuan meningkatkan pertumbuhan ekonomi tetapi juga bertujuan untuk melestarikan kebudayaan Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai Agama Hindu. 2. Dukungan pelaku pariwisata, wisatawan, masyarakat dan pemerintah melalui regulasi dan kebijakan-kebijakan yang memfasilitasi kepentingan pengembangan industri pariwisata telah menyebabkan perkembangan kepariwiataan Budaya Bali menjadi industri pariwisata yang menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat Bali 3. Pemerintah Provinsi Bali dalam pengelolaan kepariwisataan di Bali yang hanya berfokus pada kebijakan pengembangan industri pariwisata dan tidak dibarengi dengan kebijakan perlindungan terhadap pekerja dibidang kepariwisataan. Hal ini terbukti dari ketiadaan upaya hukum yang progresif dari Pemerintah Provinsi Bali untuk menetapkan Upah Minimum Sektor Pariwisata, yang terjadi akibat tidak terpenuhinya persyaratan yuridis dalam penetapan Upah Minimum Sektroral dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2013 tentang Upah Minimum, yang mempersyratakan adanya kesepakatan antara serikat pekerja di sektor pariwisata dengan asosiasi pengusaha pariwisata. UCAPAN TERIMA KASIH: Ucapan terima kasih, penulis ucapkan kepada Fakultas Hukum Universitas Mahasaraswati Denpasar dan Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat Universitas Mahasaraswati Denpasar yang telah membantu pemenuhan sarana dan prasarana dalam menunjang terlaksananya penelitian ini.
Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016
507
Unmas Denpasar
DAFTAR PUSTAKA “Angka Kemiskinan di TengahDerasnya Gemerincing Dolar,” http://www.bisnisbali.com/ 2012/09/17/news/pariwisata/k.html, diunduh tanggal 23-10-2015 Badan Pusat Statistik Provins Bali (BPS), 2010, Statistik Daerah Provinsi Bali 2010, BPS, Denpasar Bagyono, 2007, Pariwisata dan Perhotelan, Alpabeta, Bandung ”Gubernur Bali Diminta Perjuangkan UMP Pariwisata”, Sabtu, 29 mei 2010, http://www.antara-sumbar.com/id/berita/nasional, 20/09/ 2014. Ida Bagus Mantra, Landasan Kebudayaan Bali, 1996, Dharma Sastra, Denpasar I Gde Pitana, 1999, Pelangi Pariwisata Bali, Kajian Aspek Sosial Budaya Kepariwisataan Bali dipenghujung Abad, Bali Post, Denpasar I Gusti Ngurah Bagus, “Keresahan dan Gejolak Sepuluh Tahun terakhir di Bali: Beberapa catatan tentang Perubahan Sosial di Era Globalisasi” dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (ed), Panggung Sejarah: persembahan kepada Prof.Dr. Denys Lombard,: Ecole Francaise d Extreme-Orient, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. I Ketut Suwena & Gst Ngurah Widyatmaja, 2010, Pengetahuan Dasar Ilmu Pariwisata, Udayana Press, Denpasar I Wayan Gde Wiryawan, 2015, Ironi Upah Minimum dalam Industri Pariwisata, Media Nusa Creative, Bukit Cemara Tidar H5, No. 34, Malang Imam Soepomo, 1970, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta I Ngurah Suryawan, April 2011 “Teater Globalisme: Pariwisata, Interkoneksi Global, dan Nasib Manusia Bali di Garis Depan”, Jurnal Kajian Bali, Fakultas Sastra Universitas Udayana, Volume 01, Nomor 01, Denpasar. Michel Picard, 2006, Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, , KPG, Jakarta Oka A. Yoeti, 1983, Pengantar Ilmu pariwisata, Angkasa, Bandung Rachmad Syafa’at, 2008, Gerakan buruh dan Pemenuhan Hak Dasarnya, Strategi Buruh Dalam Melakukan Advokasi, Trans Publising, Malang R.G. Soekadijo, 2000, Anatomi Pariwisata, Memahami Pariwisata Sebagai Systemic Linkage, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Tambusai Muzni, 2006, Pengupahan Dalam Hubungan Kerja,: Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Depnakertrans, Jakarta.
Diselenggarakan oleh : LEMBAGA PENELITIAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (LPPM) UNMAS DENPASAR JL. KAMBOJA NO. 11 A KOTA DENPASAR – PROVINSI BALI 29 – 30 AGUSTUS 2016