PARADOKS GURU BERSERTIFIKASI DALAM WAJAH PENDIDIKAN DI INDONESIA Oleh: Yuli Ardika Prihatama
Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Jika guru kencing berlari, murid kencing ….. Kalimat pertama di atas adalah peribahasa Indonesia yang sudah sering kita pelajari sejak SD sampai SMA. Sedangkan kalimat selanjutnya hanya sebuah pertanyaan implikatif dari dari peribahasa sebelumnya yang belum terungkap jawabannya. Ada pemandangan menarik tentang perilaku para “pendidik” yang ada di sekitar kita saat ini. Khususnya mereka yang telah mendapat sertifikat sebagai pendidik “profesional". Alih-alih pemerintah bermaksud menaikkan kesejahteraan para guru agar mereka dapat bekerja lebih profesional dan berdedikasi, ternyata “sebagiannya” menjadi semakin tidak profesional dan produktif, bahkan kontradiktif terhadap harapan tersebut. Sekali lagi kita katakan “sebagiannya”, artinya sebagian yang lainnya sudah menuju pembenahan diri untuk benar-benar menjadi pendidik profesional lagi berdedikasi. Maka selanjutnya akan kita kupas perilaku yang “sebagiannya” ini untuk menemukan sebuah paradoks guru bersertifikasi dalam wajah pendidikan kita. Hari itu adalah hari yang menggembirakan bagi Mr. X, seorang guru sekolah Negeri Cerdas Mendidik di pinggiran kota A. Mulai bulan itu dan seterusnya dia akan menerima tunjangan profesional sebesar satu kali gaji pokok. Tidak banyak memang, mungkin hanya sekitar 2 juta saja setiap bulan. Segera saja ia mengajak Mrs. Y istrinya untuk berbelanja sepuas hati. Tidak cukup sampai di situ, jika sebelumnya hanya berani kredit sepeda motor, kipas angin, mesin cuci, televisi dan segala perabot rumah, kini ia mulai mengajukan kredit untuk laptop dan mobil Daihatsu Xenia yang sejak lama membuat hatinya resah setiap kali melihat kepala dinas berkunjung ke sekolah tempat dia mengajar. Betapa bahagianya.
Pagi harinya dia datang ke sekolah dengan Xenia barunya itu. Sebagian guru dan siswa yang melihat Xenia masuk gerbang pun bertanya-tanya siapa gerangan. Oh ternyata Mr. X dengan mobil barunya. Ketika mengajar di kelas dia pun menggunakan laptop barunya. Padahal sekolah tersebut belum memiliki proyektor LCD, maklum sekolah pinggiran. Jadilah suasana belajar hari itu seperti pameran teknologi. Para siswa terheran-heran melihat Mr. X menggerakgerakkan jarinya pada touchpad laptop-nya, padahal ia sebenarnya bingung untuk mengoperasikan power point pelajaran yang disiapkannya. Akhirnya hari itu para siswa tidak mendapatkan pelajaran apa-apa selain hanya sebuah pameran teknologi canggih berupa komputer lipat. Hari-hari selanjutnya ia tetap menggunakan mobil itu dan dengan angkuhnya ia berlalu di hadapan siswa-siswanya yang berjalan kaki dan bersepeda ontel. Pelajaran di kelas pun tak ubahnya seperti unjuk unjuk kecerdasan dan presentasi penemuan, karena Mr. X berlagak seperti profesor yang cerdas dan menerangkan dengan bahasa planet asing yang baru diperolehnya dari internet. Sehingga para siswanya terperangah dalam kehampaan dan ketidakpahaman. Siswa-siswa yang sudah bingung dibuat semakin bingung dengan handout berisi teori-teori ringkas yang sulit dimengerti. Ternyata masih juga ditambah dengan tugas berat yang “ harus” dikerjakan dan dikumpulkan tepat waktu. Jika siswa hendak menemuinya di luar jam pelajaran untuk menanyakan materi yang belum diketahuinya dia enggan dan beralasan “sibuk”, padahal cuma “sedikit-sedikit facebook”. Mr. X sudah bukan yang dulu lagi. Kini dia benar-benar berubah menjadi …………………………… Ungkapan naratif di atas hanya salah satu cuplikan dari sekian banyak kisah guru-guru yang telah bersertifikasi. Mereka ada di sekitar kita, mereka ada di kota, mereka ada di desa, mereka ada di pedalaman, bahkan mereka pun ada di daerah yang paling terpencil. Meskipun jumlah mereka tidak banyak, namun mereka akan meresahkan hati-hati manusia yang cinta pendidikan. Adakah kesalahan dari program sertifikasi guru yang dilaksanakan pemerintah saat ini?
Ataukah
memang
mental
dan
kredibilitas
guru-guru
kita
yang
patut
dipertanyakan? Marilah kita cermati bersama. Guru, menurut orang jawa sebagai orang yang “digugu lan ditiru”. Jadi orang yang nasihatnya didengarkan dan perilakunya patut dicontoh dapat dikatakan sebagai guru. Dalam ungkapan lain, guru lebih dekat maknanya dengan pendidik. Hampir semua pakar sepakat bahwa guru atau pendidik adalah orangorang yang tugasnya adalah membimbing, mengajari dan mengarahkan para peserta didik agar menjadi lebih baik dari sebelumnya melalui suatu proses pembelajaran. Jadi keberadaan guru memegang peranan penting bagi kehidupan umat manusia. Maka tidak mengherankan jika pascaperistiwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki kaisar Jepang lebih mengkhawatirkan keberadaan guru dari pada para tentaranya. Demikian pula usaha pemerintah kita untuk peningkatan kesejahteraan guru sekaligus untuk mendongkrak kinerja guru agar dapat menjalankan tugasnya secara profesional dan berdedikasi, maka diadakanlah sertifikasi guru. Sehingga diharapkan mereka tidak mengalami nasib seperti “Guru Umar Bakrie” sebagaimana diungkapkan oleh Iwan Fals dalam lagunya. Namun sayangnya para guru yang diperhatikan ini “sebagiannya” menjadi lebay karena sudah sedikit lebih kaya dari pada biasanya. Apalagi sekarang profesi guru dapat menaikkan strata sosial di mata masyarakat. Sehingga tingkah guru yang “sebagiannya” ini kian menjadi-jadi. Jika kita membaca buku-bukunya Eko Prasetyo tentang pendidikan, maka kita akan menemukan banyak kejanggalan dalam dunia pendidikan kita saat ini. Dalam bukunya Guru : Mendidik itu Melawan, ada sindiran tajam yang beliau sampaikan
kepada guru-guru kita. Salah satunya ia mengisahkan kebiasaan
orang-orang penting kita termasuk para pendidik zaman ini yang suka menaikkan anggaran dan membuat agenda-agenda yang seakan-akan penting namun ternyata tidak bermanfaat seperti studi banding ke sekolah di luar negeri. Sudah biayanya besar masih harus ada uang saku juga. Dalam bukunya itu, beliau mengisahkan bahwa hari yang diagendakan untuk mengunjungi sekolah-sekolah favorit lebih sedikit dari pada acara tambahannya. Itu pun mereka lebih suka melirik gedung-
gedung dan fasilitas mewahnya dari pada kompetensi para gurunya. Hari-hari yang lain lebih banyak dihabiskan untuk berekreasi dan berbelanja. Celakanya lagi, tidak ada satupun yang berekreasi ke perpustakaan atau pusat perbukuan, apalagi membeli buku. Seandainya kisah di atas benar-benar dipahami, sungguh sebenarnya itu merupakan sindiran yang sangat menusuk dan seharusnya menjadikan guru-guru sadar untuk berbenah. Apalagi sekarang kesejahteraan mereka sudah diperhatikan oleh pemerintah secara bertahap dan berkesinambungan. Namun sekali lagi, jangankan membeli buku, ke toko buku saja merupakan hal yang langka. Maka pesan ini pun belum tentu sampai kepada yang “sebagiannya” itu karena pasti mereka tidak membaca. Jika guru-guru yang bertipe seperti ini terus-menerus bermunculan setiap adanya sertifikasi, bagaimana nasib pendidikan kita di masa depan? Tidak mengherankan jika kemudian siswanya juga bertingkah aneh-aneh. Bagaimana tidak, setiap hari mereka melihat guru-gurunya berlomba memiliki kendaraan bagus, HP mahal dan laptop keren. Ditambah lagi dengan pembelajaran yang innocent sehingga siswa merasa menjadi orang yang tidak perlu belajar karena di kelas atau di luar kelas pun sama saja, tidak ada motivasi, tidak ada “energi baru” yang diterima dari sang guru. Uraian di atas hanyalah sebuah bentuk kecil dari paradoks guru bersertifikasi di masa ini. Betapapun kecilnya paradoks ini jangan sampai menjadi paradigma bagi para pendidik berikutnya. Sehingga kehadiran para “pahlawan tanpa tanda jasa” (ungkapan pendidik di masa lalu) di era mendatang benar-benar menjadi pilar peneguh bangsa dan pembangun generasi sebagaimana tugas para pendidik yang sesungguhnya. Maka dari itu, sudah saatnya kita yang akan menjadi para pendidik masa depan benar-benar mempersiapkan diri agar kelak menjadi pendidik yang benarbenar mendidik. Pendidik yang baik adalah pendidik yang mampu menginspirasi para siswanya untuk terus belajar dan berkarya dalam kebaikan, sebagaimana disampaikan oleh para pakar pendidikan dan motivator. Kita pupus paradoks yang
tengah terjadi saat ini agar tidak mengakar di jiwa para pendidik di masa mendatang. Selain itu, kampus-kampus yang meluluskan para sarjana kependidikan hendaknya semakin memperbaiki kualitas pelayanan pendidikannya sehingga dapat menghasilkan pendidik-pendidik yang berkompeten dan berakhlak mulia. Jika semuanya telah bersinergi, maka kualitas pendidikan akan terus mengalami peningkatan dan kita dapat mengejar ketertinggalan terhadap negara-negara maju. Akhirnya, kita tidak perlu menjawab ungkapan jika guru kencing berlari, murid kecing …………….. karena memang tidak ada guru yang kencing berlari. Sebuah harapan besar bagi kita akan terwujudnya wajah pendidikan yang lebih baik sebagaimana yang tertuang dalam tujuan nasional undang-undang dasar kita yaitu pendidikan yang “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Referensi: Dwi Budiyanto (2009). Prophetic Learning Menjadi Cerdas dengan Jalan Kenabian. (Yogyakarta:Pro-U Media) Eko Prasetyo (2007). Guru:Mendidik itu Melawan. (Yogyakarta:CV. Langit Aksara) M. Furqon Hidayatullah (2009). Guru Sejati:Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas. (Surakarta:Yuma Pustaka)