PARADIGMA MASJID DI LINGKUNGAN UMAT MUSLIM (Studi Teoretis dan Praktis Dalil tentang Pendirian Masjid) Muhammad Ismul Abdi * Abstract: The mosque is the central activity of Muslims. Its existence is the greatness of Islam and the Muslim community became a social instrument. This has been exemplified by the Prophet in the history of the struggle of Islam Yet often the passage of time, the greater the quantity of places of worship and it is not uncommon to each other because of want to get the great virtue that ultimately lead to new problems for Muslims, the Muslim community in the form of lack of access as a center of religious activities. In principle, any form of specially prepared place to perform prayers and charitable status, legally Islamic law included in the category of the mosque with all its legal aspects. The main motivation of the community in building places of worship are getting great consideration and are closer to access places of worship. It departs from a partial understanding of tradition. Implication on many aspects of actualization is the quantity of places of worship near each other without considering the needs, planning and good management. However, to improve the situation, to build a place of worship should pay attention to some important aspects that were offset by good management. Keywords: Paradigm, mosques, motivation, partially.
*
Alumnus Program Strata-2 Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Konsentrasi Syari’ah. 58
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
Paradigma masjid
A. PENDAHULUAN Masjid merupakan instrumen sosial masyarakat Islam yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan umat Islam. Masjid yang berdiri dalam sebuah komunitas adalah salah satu ciri utama yang menunjukkan bahwa daerah tersebut dihuni oleh umat Islam. Merupakan sebuah kelalaian atau bahkan sebuah kesalahan yang fatal apabila tidak dijumpai sebuah bangunan masjid dalam perkumpulan tersebut. Sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh komunitas umat Islam apabila di daerahnya belum terdapat sebuah masjid untuk mengadakan sebuah bangunan khusus beribadah yang dikenal dengan nomenklatur masjid.1
Pesan ini dapat kita temui sepanjang sejarah perjalanan dakwah Nabi. Perhatian besar beliau yang paling tampak saat dan pasca hijrah adalah mengenai keberadaan masjid2. Hal ini terbukti dengan tindakan beliau yang membangun masjid di setiap tempat yang beliau singgahi. Di antaranya adalah beliau membangun masjid Quba’, masjid Nabawi seusai mempersaudarakan 2 golongan besar, kaum Muhajirin dan Anshar. Fakta historis secara tegas dan lugas telah menjelaskan bahwa Masjid memiliki peran vital dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam di masa lalu. Terbukti dengan menggunakan Masjid, Nabi Muhammad mampu membawa umat Islam menuju peradaban yang luar biasa, berbagai prestasi gemilang dimulai dari sini. Namun perlu disadari bahwa peran besar tersebut kini makin terkikis seiring perubahan pola hidup manusia modern. Sebagai contoh adalah peran masjid dalam bidang pendidikan kini sudah beralih kepada lembaga-lembaga pendidikan baik formal maupun non formal. Sehingga, tidak mengherankan jika kini masjid tidak lebih hanya sebagai tempat ibadah (salat), yang makin lama jumlah peminatnya kian terkikis. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan semangat masyarakat untuk mendirikan masjid yang tidak diimbangi dengan sumberdaya pengelola yang baik dan profesional, akibatnya, bangunan masjid yang megah berbaris menjamur di seantero negeri. Terlebih bangunan rumah ibadah bagi Umat Islam, khususnya di Indonesia, juga banyak dikenal 1
Miftah Faridl, Masjid (Bandung: Pustaka, 1985), h. 8. Khairuddin Wanili, Ensiklopedi Masjid: Hukum, Adab dan Bid’ahnya, terj. Darwis (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008), h. xvi. 2
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
59
Muhammad Ismul Abdi
nama-nama lain, di antaranya adalah mushala, langgar, surau dann lain sebagainya. Hal ini tentunya kian menambah panjang daftar bangunan rumah ibadah kita. B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Masjid Masjid merupakan bentuk derivatif dari kata sajada-yasjudu-suju>dan, yang berarti taat, patuh, serta tunduk dengan penuh rasa hormat.3 Secara bahasa kata al-masjid (dengan kasrah huruf ji>m), berarti tempat sujud (berupa ism al-maka>n), sedangkan kata al-masjad (dengan fath}ah huruf ji>m) berarti dahi yang digunakan seseorang ketika bersujud, dan kata al-misjad (dengan kasrah huruf mi>m) bermakna tikar kecil.4 Sedangkan secara istilah terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa ulama yang pada intinya adalah sebagai tempat yang digunakan untuk bersujud, diantaranya adalah: al-Zarka>shi memberikan definisi masjid sebagai tempat yang digunakan untuk beribadah (salat) kepada Allah, definisi ini diambil dengan alasan:
. Artinya: Sujud merupakan bagian paling mulia dari salat, guna mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya, kemudian diambil ism al3
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer al-‘Ashri (Yogyakarta: Multikarya Grafika, 1999), h. 1715. Menurut Sidi Ghazalba, masjid adalah tempat untuk bersujud. Sujud adalah pengakuan ibadah lahir dan batin. Sujud dalam pengertian lahir bersifat gerak jasmani, sujud dalam pengertian batin berarti pengabdian. Lihat: Sidi Ghazalba, Messjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1994), h. 118. 4 Su‘a>d Ma>hir Muh}ammad, Masa>jid Mis}r wa Awliya>’uha> al-S}alih}u>n, I (Kairo: Jumhu>riyyah Mis}r al-‘Arabiyyah, 1983), h. 29. 5 Muh}ammad ibn ‘Abd Alla>h al-Zarkashi, I’la>m al-Sa>jid bi Ah}ka>m al-Masa>jid (Kairo: Lajnah Ih}ya>’ al-Tura>th al-Isla>mi, 1420 H/1999 M), h. 28. 60
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
Paradigma masjid
maka>n-nya, sehingga disebut masjid (tempat sujud) bukan marka‘ (tempat ruku’). Kemudian secara ‘urf masjid adalah tempat yang diperuntukkan untuk dilaksanakannya salat fardlu lima waktu, juga tempat berkumpulnya sekelompok orang di hari raya, dan sebagainya. Shaykh al-Qurt}u>bi memberikan definisi masjid sebagai:
. Artinya: Setiap tempat yang memungkinkan untuk digunakan menyembah dan besujud kepada Allah, disebut masjid. Setidaknya di sekitar kita banyak dijumpai kata yang tertuju pada term masjid, seperti masjid, musala, langgar, dan surau, atau bahkan nomenklatur tersebut berbentuk sebuah frase, seperti masjid agung, masjid jami’, masjid raya dan sebagainya. Dalam perspektif fikih hanya dikenal 2 (dua) istilah, yaitu masjid dan masjid jami’. Masjid dipahami sebagai tempat yang dipersiapkan, disediakan khusus untuk melakukan salat. Hal ini sebagaimana diungkap oleh Hasbi AshShiddiqie bahwa masjid adalah tempat yang dijadikan dan ditentukan (diwakafkan) sebagai tempat umum manusia mengerjakan salat berjama’ah (tempat yang ditentukan untuk mengerjakan ibadah kepada Allah swt). Wakaf sebagai prasyarat sebuah tempat disebut sebagai masjid dengan segala aspek hukumnya merupakan sebuah kesepakaan ulama secara kolektif (ijmak). Wakaf yang dimaksud di sini adalah wakaf yang bersifat sah (s}ah}i>h)} dan selamanya (muabbad), bukan wakaf yang bersyarat atau dibatasi oleh waktu. Baik wakaf dilakukan dengan akad ataupun perbuatan yang mengindikasikan sebagai bentuk perwakafan, sebagaimana mendirikan sebuah bangunan untuk dilaksanakan salat di dalamnya dan memberikan izin kepada orang lain untuk melaksanakan salat di dalamnya.7 Hal ini berbeda dengan 6
Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abu> Bakr al-Qurt}u>bi, al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n wa al-Mubayyin li Ma> Tad}ammanahu min al-Sunnah wa A>y al-Furqa>n, 2
(Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 2006), h. 323. Dengan demikian, tempat salat yang biasa digunakan di rumah, perkantoran, sekolah, tempat perbelanjaan dan sebagainya yang tidak dipersiapkan khusus sebagai tempat ibadah dan bukan benda wakaf tidak dapat disebut sebagai masjid walaupun digunakan untuk melaksanakan salat berjama’ah. Lihat: ‘Abd Alla>h ibn S}a>lih} al-Fawza>n, Ah}ka>m Hu}d}u>r al-Masjid (t.t.: t.p., 1421 H), h. 8. Hal senada juga diungkapkan oleh Ibn Quda>mah yang bermazhab H}anba>li dalam Abu> Muh}ammad ‘Abd Alla>h ibn Ah}mad ibn 7
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
61
Muhammad Ismul Abdi
pendapat yang disampaikan oleh Abu> Ish}a>q al-Shayra>zi> yang bermazhab Sha>fi‘i yang beranggapan bahwa wakaf harus dengan menggunakan akad yang dilafalkan (al-qawl), beliau menyatakan:
. Artinya: Wakaf tidak sah kecuali dengan dilafalkan, maka apabila seseorang membangun masjid dan salat di dalamnya atau mengizinkan orang-orang untuk melaksanakan salat di dalamnya, tidaklah menjadikannya sebagai wakaf. Karena wakaf itu untuk menghilangkan sifat kepemilikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah (‘ala> wajh al-qurbah), sehingga tidak menjadi sah kecuali dengan dilafalkan bagi yang mampu sebagaimana dalam hal memerdekakan budak. Dengan memahami pengetian ini, maka musala, surau dan langgar yang banyak dijumpai di sekitar pemukiman dan digunakan berjama’ah adalah masjid dan berlaku hukum masjid, walaupun menggunakan nama musala atau surau dan disunnahkan beri’tikaf dan haram berdiam diri bagi yang berhadas besar.9 Muh}ammad ibn Quda>mah al-Maqdi>si al-H}anba>li, al-Ka>fi, III (Riyad: Da>r Hijr, 1417 H/1997 M), h. 579. Lihat juga: ‘Abd al-Ghani al-Ghani>mi al-H}anafi, al-Luba>b fi> Sharh} al-Kita>b, II (Beirut: al-Maktabah al-‘Ilmiyyah, t.th.), h. 186. 8 Abu> Ish}a>q Ibra>hi>m ibn ‘Aly ibn Yu>suf al-Shayra>zi, al-Muhadhdhad fi> Fikih al-Ima>m al-Sha>fi‘i, 2 (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1416 H/1995 M), h. 326. 9 Dalam persoalan i‘tikaf ulama sepakat bahwa hanya dapat dilaksanakan di dalam masjid, namun terdapat perbedaan pendapat mengenai kriteria masjid, apakah semua masjid ataukah hanya masjid jami’. Mayoritas ulama termasuk Imam Malik dan Imam H}anafy menjelaskan bahwa i’tikaf dilakukan dalam setiap masjid yang dilaksanakan salat berjama’ah, sebagaimana dikutib oleh al-Sarkhasi:
Namun Imam Sha>fi‘i menambahkan harus berada pada masjid yang digunakan salat jumat (masjid jami’) dan adapula yang menyatakan bahwa i’tikaf hanya dapat dilakukan di dalam 3 (tiga) masjid: Masjid al-H}ara>m, Masjid Nabawi, dan Masjid alAqs}a>. Pendapat ini diperoleh dari H}udhaifah. Abu> Muh}ammad ibn Ah}mah ibn 62
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
Paradigma masjid
Berkenaan dengan pembahasan ini, perlu penulis sampaikan bahwa selain penjelasan tersebut terdapat pula segolongan ulama yang berusaha membedakan antara term masjid dengan musala, yang mendefinisikan musala sebagai tempat yang digunakan untuk mendirikan sebagian macam salat dan bukan sebagian yang lainnya.10 Mengenai definisi ini penulis cenderung memahami sebagai tempat yang dibangun bukan secara khusus sebagai tempat melaksanakan ibadah salat, seperti kamar Nabi yang juga digunakan untuk salat (sekarang ini hampir di setiap rumah mempunyai ruang khusus ini). Sedangkan yang digunakan salat jumat adalah masjid jami’.11 Terma jami’ merupakan kata sifat yang melekat pada sebuah masjid besar. Keterangan ini sebagaimana dikatakan oleh Hisha>m ibn ‘Uma>r:
Muh}ammad ibn Quda>mah al-Maqdisy al-H}anba>ly, al-Mughny, IV (Riya>d}: Da>r ‘A>lam al-Kutub, 1997), h. 461-461. Lihat pula: Sayyid Abu> Bakr ibn Muh}ammad al-Dimya>t}i al-Mis}ri, H}ashiyah I‘a>nah al-T}a>libi>n, III (t.t.: H}aramayn, t.th.), h. 160-161. 10 Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Mukhta>r al-Shanqi>t}i, Sharh} Za>d al-Mustaqni‘, V (t.t.: t.p., t.th.), h. 91. Bandingkan, Zakaria al-Ans}a>ri, Asna al-Mat}a>lib Sharh} Rawd} al-T}a>lib, II (Kairo: Da>r al-Kitab al-Isla>mi, t.th.), h. 462-463., al-Sharwani, H}ashiyah al-Sharwa>ni ‘ala> Tuh}fah al-Muh}taj bi Sharh} al-Minhaj, III (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 464-465., Muh}ammad ibn Shiha>b al-Di>n al-Ramli, Niha>yah al-Muh}taj ila> Sharh} al-Minhaj, III (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 216., dan Muh}ammad Nawawi ibn ‘Umar al-Ja>wi, Niha>yah al-Zayn Sharh} Qurrah al-‘Ayn (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), h. 269. 11 Masjid ini dikenal dengan istilah al-Ja>mi‘ yang secara harfiyah berarti tempat berkumpulnya manusia secara rutin. al-T}a>hir Ah}mad al-Za>wi, Tarti>b al-Qa>mu>s alMuh}i>t} ‘ala> T}ari>qah al-Mis}ba>h} al-Muni>r wa Asa>s al-Bala>ghah, I (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), h. 528. 12 Su‘a>d Ma>hir Muh}ammad, Masa>jid Mis}r wa Awliya>’uha> al-S}alih}u>n, I (Kairo: Jumhu>riyyah Mis}r al-‘Arabiyyah, 1983), h. 30-31. MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
63
Muhammad Ismul Abdi
Artinya: Saat ‘Umar ibn al-Khat}t}a>b telah merebut beberapa negara, beliau menulis surah kepada Abu> Mu>sa>, di Bashrah, memerintahkan untuk mendirikan masjid jami’ dan beberapa masjid untuk sekumpulan orang (kabilah), sehingga mereka berkumpul di masjid jami’ saat hari jumat. Beliau juga menulis surah yang sama kepada Sa’d ibn Abi> Waqa>s}, di Kufah, dan kepada ‘Amr ibn al-‘A>s} di Mesir, serta kepada para pemimpin pasukan di Syam. Sehingga, seluruhnya mengikuti perintah ‘Umar.
2. Fungsi Masjid dalam Lintas Sejarah Secara umum ada 3 (tiga) fungsi utama masjid, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Nu>r (24): 36-37, yaitu: 1) mengagungkan nama Allah, 2) mengingat dan menyebut nama Allah, dan 3) bertasbih atau memuji Allah.13 Optimalisasi kompleksitas fungsi masjid ini dapat kita temui sepanjang sejarah perjalanan dakwah Nabi. Perhatian besar beliau yang paling tampak saat dan pasca hijrah adalah mengenai keberadaan masjid.14 Sebagai contoh adalah Masjid al-H}ara>m yang kemudian menjadi media sosialisasi ajaran Islam secara terbuka di Makkah dan
13
Bertasbih dalam konteks ini bukanlah cukup membaca subh}a>na Alla>h, namun mencakup orang-orang yang tidak dibutakan oleh masalah perdagangan (mu’amalah) sehingga melupakan 1) ingat kepada Allah, 2) mendirikan salat, dan 3) menunaikan zakat. Orang seperti ini adalah orang yang telah mendapatkan bimbingan, pertongan, dan hidayah (nu>r Alla>h) melalui hati nuraninya sebagaimana dijelaskan dalam ayat sebelumnya (al-Nu>r ayat 35). Lafal
dipahami
sebagai perumpamaan, bahwa mendapatkan hidayah tersebut adalah melalui masjid. Di sini jelas tampak begitu besar fungsi masjid, bukan hanya sebagai tempat salat, persembunyian perang, terlebih sebagai tempat memupuk iman dan sebagai tempat memulai langkah keluar untuk memperoleh petunjuk (nu>r) Allah. Lihat: Ahmad Muhsin Kamaludiningrat, “Meningkatkan Fungsi dan Peran Masjid dalam Dakwah dan Pembinaan Masyarakat Madani Beriman dan Bertaqwa Melalui Jogjakarta Serambi Madinah”, Jurnal Ulama, Vol. III, No. 1 (April 2010), h. 5-6. 14 Khairuddin Wanili, Ensiklopedi Masjid: Hukum, Adab dan Bid’ahnya, terj. Darwis (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2008), h. xvi. 64
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
Paradigma masjid
mendapatkan reaksi negatif dari penduduk Quraish, khususnya kaum elit (feodal).15 Di samping itu, setelah sampai di kota Madinah, hal pertama yang beliau lakukan setelah mempersaudarakan 2 (dua) golongan besar, antara kaum muhajirin dan kaum anshar adalah membangun masjid yang dikenal dengan sebutan masjid Nabawi. Fakta ini adalah sebagai sebuah bukti konkret betapa besar perhatian beliau terhadap keberadaan masjid yang dalam perkembangannya sebagai wadah sentral dalam membentuk peradaban besar dalam dunia Islam. Dalam perspektif historis, masjid merupakan wadah sentral yang paling strategis dalam menggali, membina dan mengembangkan potensi umat Islam dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Hal ini dibuktikan oleh Nabi, saat setelah hijrah ke Madinah, dengan bermodal bangunan masjid Nabawi yang sangat sederhana mampu merubah peradaban Islam yang berpengaruh di sepanjang sejarah dunia Islam.16 Perubahan terus bergulir sepanjang masa, ungkapan tersebut cukup menggambarkan keadaan masyarakat Madinah ketika itu. Masyarakat Madinah di bawah komando Nabi mampu berkembang dengan pesatnya sehingga berpengaruh pada fungsi masjid yang semakin komplek.17 Di sinilah beliau mengajarkan ilmu agama sekaligus membangun kekuatan militer, di tempat sederhana ini pula Nabi bertindak sebagai hakim dalam menyelesaikan problematika umat yang beragam. Ringkasnya, dalam perkembangan selanjutnya masjid Nabawi selain sebagai tempat sentral peribadatan umat Islam, juga berfungsi sebagai markas besar pemerintahan baik sipil ataupun militer.
15
Menurut Fazlur Rahman kaum arab Makkah lebih sulit menerima Islam dari pada penduduk Madinah, dikarenakan karena mereka melihat bahwa Islam bukan hanya mengancam piliteis mereka, tetapi juga merupakan ancaman yang serius terhadap struktur sosial dan kepentingan perdagangan mereka. Lihat: Rohimin, Jihad; Makna dan Hikmah (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 68. 16 Hal ini ditempuh oleh Nabi melalui jalur pendidikan. Pada awalnya (sebelum hijrah ke Madinah) proses pendidikan Islam masa Islam klasik berlangsung secara informal, dengan menjadikan rumah-rumah sebagai tempat proses transfer keilmuan. Nabi menjadikan rumah sahabat Arqa>m ibn Abi> al-Arqa>m sebagai proses pembelajaran sekaligus tempat pertemuan dengan para sahabatnya, sehingga dikenal dengan istilah da>r al-arqa>m. Di rumah inilah Nabi menyampaikan dan menanamkan dasar-dasar agama dan mengajarkan al Qur’an kepada mereka. 17 Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), h. 248. MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
65
Muhammad Ismul Abdi
Kondisi ini terus bertahan sampai beliau wafat, masjid Nabawi tetap sebagai pusat pemerintahan. Kemudian kepemimpinan dilanjutkan oleh Abu> Bakr al-Si}ddi>q melalui ba’iat di thaqi>fah Bani> Sa‘i>dah untuk menggantikan amanat Nabi sebagai khalifah pertama pengganti Nabi.18 Tidak ada perubahan urgensi fungsi masjid sampai habis masa kepemimpinan al-khulafa>’ alra>shidu>n. Namun disadari atau tidak fungsi masjid dalam perkembangannya saat ini mengalami pasang surut yang sangat signifikan berbanding lurus dengan perubahan konstalasi masyarakat Islam. Urgensi fungsi masjid semakin bertambahnya usia semakin tereduksi dengan berdirinya lembaga-lembaga khusus yang bervisi sama dengan salah satu fungsi masjid, misalnya lembagalembaga pendidikan baik formal maupun agama (diniyah dalam bentuk madrasah ataupun taman pendidikan al-Qur’an), lembaga penegak hukum dan lain sebagainya. Selain itu, masjid era modern ini lebih dipahami secara sempit, sebatas tempat ibadah seperti salat, dzikir, dan i’tikaf. Lebih ekstrim lagi pergeseran fungsi masjid ini adalah masjid hanya sebatas sebagai ajang menonjolkan fanatisme mazhab, golongan atau bahkan individu.19 Saat ini, tidak sulit kita menjumpai masjid berdiri megah yang dimiliki oleh golongan, perkumpulan, atau organisasi Islam tertentu, misalnya masjid Ahmadiyah, Masjid LDII, Masjid Muhammadiyah, Masjid NU dan masjid-masjid aliran, golongan, atau organisasi lainnya. Dewan Masjid Indonesia (DMI) menyatakan bahwa saat ini pembangunan masjid di seluruh wilayah Indonesia terus berkembang dengan pesat.20 Dari data Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) tercatat pada tahun 2004, jumlah masjid sebanyak 643.834 buah, meningkat dari data tahun 1977 yang sebanyak 392.044 buah. Diperkirakan, jumlah masjid dan mushala di Indonesia pada tahun 2009 antara 700 hingga 800 ribu buah. Namun kuantitas tempat ibadah ini tidak diimbangi dengan perencanaan dan pengelolaan yang 18
Ah}mad Shalabi, al-Siy>asah fi> al-Fikr al-Isla>mi (Kairo, al-Mis}riyyah, 1983), h. 35-38. Abdurrahman al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h. 136-137. 20 Dewan Masjid Indonesia (DMI) adalah organisasi tingkat nasional dengan tujuan untuk mewujudkan fungsi masjid sebagai pusat ibadah, pengembangan masyarakat dan persatuan umat dengan asas Islam dan bersifat sebagai organisasi independen yang mandiri dan tidak terkait secara struktural dengan organisasi sosial kemasyarakatan dan organisasi sosial politik manapun. Organisasi ini didirikan pada10 Jumadil Ula 1392 H tepatnya pada 22 Juni 1972 M dengan maksud untuk meningkatkan keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia dan kecerdasan umat serta tercapainya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT, dalam wilayah Negara Republik Indonesia. 19
66
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
Paradigma masjid
baik, sehingga terkesan jauh dari kemampuan untuk menjalankan fungsi masjid secara optimal21. Jumlah masjid dan mushalla yang berdiri tidak berbanding lurus dengan pelaksanaan fungsinya secara optimal. Pada tingkat praktis, hanya terdapat sebagian kecil dari ribuan bangunan tersebut yang mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Umumnya, hanya beberapa masjid dan musala di wilayah Indonesia yang berjumlah besar itu diiringi dengan perbaikan dan pemberlakuan manajemen pengelolaan yang berkualitas. Sehingga, wajah masjid yang tampak kerap kali hanya digunakan untuk melaksanakan salat 5 (lima) waktu. Di luar waktu-waktu tersebut kerap sepi dan lenggang dari kegiatan-kegiatan positif ke-Islam-an. Jama’ahnya pun tidak terlalu banyak, kecuali pada momen tertentu seperti saat salat jumat dan hari raya yang jatuh 2 (dua) kali dalam setahun.
3. Aspek Legalitas Mendirikan Masjid Dalil paling mendasar dalam pembahasan kali ini adalah mengenai perintah untuk memakmurkan masjid, sebagaimana yang disebutkan dalam alQur’an surat al-Tawbah (9): 18 tentang memakmurkan masjid:
. Artinya: Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap 21
Optomalisasi fungsi masjid berdasarkan kajian dan perencanaan Dewan Masjid Indonesia (DMI), terukur dengan keberhasilan masjid dalam mengemban 3 (tiga) fungsi utama yang harus terpenuhi dengan baik. Fungsi tersebut adalah: pertama, masjid sebagai tempat ibadah, baik dalam arti sempit ataupun dalam arti luas, selama dilakukan dalam batas-batas syari’at. Kedua, masjid sebagai wadah pengembangan masyarakat melalui berbagai sarana dan prasarana yang dimiliki oleh masjid. Ketiga, masjid sebagai pusat komunikasi dan persatuan umat. Data ini bersumber dari hasil kajian Dewan Masjid Indonesia (DMI) tahun 2009. Lihat: Administrator, “Kreativitas Takmir Masjid Perlu Ditingkatkan”, dalam http://dmi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1:kreativitas-takmirmasjid-perlu-ditingkatkan&catid=6:pembinaan-masjid&Itemid=2 (4 Desember 2012), h. 1. 22 Al-Qur’an [9]: 18. MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
67
Muhammad Ismul Abdi
mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk. Muh}ammad ‘Ali al-S}a>bu>ni dalam Rawa>i‘ al-Baya>n Tafsi>r A>ya>t alAh}ka>m menjelaskan bahwa ‘Ima>rah al-Masjid dalam konteks ayat ini memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu inderawi (h}issi) meliputi membangun masjid dan merawatnya dan abstrak (ma‘nawi) meliputi menjadikan masjid tersebut sebagai pusat peribadatan.23 Dalam ayat tersebut, keutamaan memakmurkan masjid hanya dapat dicapai oleh orang yang beriman kepada Allah dan taat kepada-Nya, meyakini adanya hari akhir, menjaga salat24 dan menunaikan kewajiban zakat, mempunyai rasa takut kepada Allah. Bahkan Allah akan menjadi saksi dan memberikan tanda keimanan bagi orang yang memakmurkan masjid ini.25 Masdar Farid Masu’di menterjemahkan dan memahami konsep praktis memakmurkan masjid dengan mengerahkan segala upaya, dengan mendaya gunakan pikir, gerak tubuh (tindakan), dan hati untuk membangun kehidupan manusia dengan penuh mengedepankan manfaat yang positif dan bermartabat. Tindakan ini merupakan bentuk manivestasi kesalihan sosial di dunia yang
23
Pendapat mengenai ayat memakmurkan masjid ini menurut analisa penulis merupakan konklusi dari beberapa pendapat para ulama yang dikutip dalam kitabnya. Sebagian menyatakan, bahwa maksud dari memakmurkan masjid adalah berkaitan dengan perintah untuk membangun masjid dan mendapatkan balasan yang besar sebagaimana yang tertera dalam beberapa hadis. Sedangkan sebagian ulama lain menyatakan, bahwa ayat ini berkaitan dengan memakmurkan masjid dengan melaksanakan salat dan ibadah di dalamnya, serta rangkaian kegiatan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah, dengan dasar surah al-Nu>r (24): 36 tentang bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang di dalamnya dimuliakan dan disebut-sebut nama-Nya. Atas dasar pendapat inilah Shaikh ‘Aly al-S}a>bu>ny menarik sebuah kesimpulan dengan memberikan komentar bahwa inilah hasil upaya jumhur ulama, namun selanjutnya tergantung realitas lapangan. Lihat: Muh}ammad ‘Ali al-S}a>bu>ni, Rawa>i‘ al-Baya>n Tafsi>r A>ya>t al-Ah}ka>m, I (Damaskus: Maktabah al-Ghaza>li, 1980 M/1400 H), h. 569-573. 24 Dalam persoalan mendirikan salat ini, Wahbah al-Zuh}ayli menjelaskan bahwa dalam kategori ini adalah salat lima waktu yang diwajibkan (mafru>d}ah) dalam sehari semalam tepat pada waktunya. lihat: Wahbah al-Zuh}ayli, al-Tafsi>r al-Waji>z ‘ala> Ha>mish alQur’a>n al-‘Az}i>m wa Ma‘ah Asba>b al-Nuzu>l wa Qawa>‘id al-Tarti>l (Damaskus: Da>r alFikr, t.th.), h. 190. 25 ‘Ima>d al-Di>n ibn Kathi>r al-Dimashqi, Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, VII (Kairo: maktabah Awla>d al-Shaikh li al-Tura>th), h. 158. 68
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
Paradigma masjid
tidak lain adalah bentuk pengejawantahan dari kesalihan personal yang secara khusus dilakukan di rumah-Nya (masjid/musala).26 Dalil lain yang perlu diperhatikan dalam pembahasan ini adalah hadis mengenai keutamaan membangun masjid, yang dari penelusuran penulis menemukan dalam banyak riwayat dengan redaksi yang berbeda, antara lain adalah hadis muttafaq ‘alayh:
. Artinya:
Nabi saw bersabda: “barang siapa yang membangun masjid – Bukayr berkata, “aku kira ia berkata ‘demi mengharap ridla Allah’.” – maka Allah akan membangunkan untuknya yang serupa dengannya di surga”. Dalam riwayat Ibn Ma>jah dan dinilai sebagai hadis s}ah}i>h} oleh alAlba>ni28 disebutkan: 26
Masdar Farid Ma’udi, Memakmurkan Masjid Nahdliyin untuk Kejayaan Umat dan Bangsa (Jakarta: P3M, 2006), h. 17-22. 27 Hadis ini diriwayatkan melalui jalur yang sama: ‘Uthma>n ibn ‘Affa>n, ‘Ubayd Alla>h al-Khawla>ni, ‘Ashim ibn ‘Umar ibn Qata>dah, Bukayr, ‘Amr, Ibn Wahb, dan hanya terdapat perbedaan jalur periwayatan pada sanad pertama , yaitu oleh Yah}ya> ibn Sulayma>n dalam riwayat al-Bukha>ry dan oleh Ah}mad ibn ‘I>sa> serta Ha>ru>n ibn Sa‘i>d alAyly. Lihat Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l al-Bukha>ri, al-Ja>mi‘ al-S}ah}i>h}, I (Kairo: al-Mat}ba‘ah al-Salafiyyah, 1400 H), 162. Dan Muslim ibn H}ajja>j al-Qushayri, al-Ja>mi‘ al-S}ah}i>h}, 2 (t.t.: t.p., t.th.), h. 68. 28 Muh}ammad ibn Sulayma>n al-Maghriby, Jam‘ al-Fawa>id min Ja>mi‘ al-Us}u>l wa Majma‘ al-Zawa>’id, I (Beirut: Da>r Ibn H}azm, 1418 H/1998 M), h. 199. MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
69
Muhammad Ismul Abdi
. Artinya: Nabi saw bersabda: “barang siapa membangun masjid karena Allah, seperti sangkar burung atau lebih kecil, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga”. Dalam riwayat al-Nasa’i dalam kitab sunan-nya yang dinilai s}ah}i>h oleh al-Alba>ni:
. Artinya: Nabi saw bersabda: “barang siapa membangun masjid yang di dalamnya disebut nama Allah, maka Allah akan membangunkan rumah untuknya di surga”. Dari beberapa ragam redaksi, baik sanad maupun matan hadis tersebut, kata kunci yang perlu dipertegas adalah mengenai maksud dari kata bina>’ (bana> 29
Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Yazi>d al-Quzwayni, Sunan ibn Ma>jah, 2 (Beirut: Da>r al-Ji>l, 1418 H/1998 M), h. 59. 30 Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Shu‘ayb ibn ‘Ali, Sunan al-Nasa>’i: H}akama ‘ala> Ah}a>di>thihi> wa A>tha>rihi wa ‘Allaq ‘Alayh Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni (Riyadh: Maktabah Sa‘d ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Ra>shid), h. 115. 70
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
Paradigma masjid
/ membangun). Dengan mengambil salah satu dari redaksi hadis tersebut, misalnya dari redaksi hadis riwayat al-Bukha>ri, sebagaimana dijelaskan dalam Fath} al-Bar>i bahwa hadis ini disampaikan oleh ‘Uthma>n ketika banyak sahabat yang menentang kebijakannya untuk merenovasi masjid Nabawi yang terjadi pada tahun 30 H. Kata ini ini dipahami sebagai bentuk kata yang berarti merenovasi atau membangun secara fisik.31 Menurut al-Bagha>wi dalam Sharh} al-Sunnah, bahwa pertentangan yang dilakukan oleh para sahabat sehubungan dengan pembangunan masjid adalah kebijakannya yang menggunakan batu berlukis, bukan perluasannya. Pada dasarnya, ‘Uthma>n tidak membangun masjid dari awal, namun hanya memperluas dan merenovasinya. Dengan melihat fakta ini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan membangun adalah merenovasi, sebagaimana kata tersebut digunakan untuk membangun dari awal. Demikian pula yang dimaksud dengan kata masjid dalam hadis ini adalah sebagian masjid.32 Dalam perkembangan selanjutnya terdapat perkembangan makna kata bina>’ dengan memperhatikan keadaan umat Islam yang banyak mendirikan bangunan masjid dengan megah namun tidak diimbangi dengan memakmukaannya, dengan salat dan dzikir, menjadi dalam 2 (dua) kategori, yakni membangun secara fisik (hakiki) dan abstrak (majas), berupa memakmukannya33. Pemahaman ini muncul dengan melihat fakta di lapangan, bahwa banyak sekali bangunan masjid megah namun tidak diimbangi dengan kegiatan berbasis masjid (memakmurkan masjid) dan dengan memperhatikan hadis Nabi dari Ibn ‘Abba>s:
31
Ah}mad ibn ‘Ali ibn H}ajar al-‘Asqala>ni, Fath} al-Ba>ri bi Sharh} al-Bukha>ri, I (Beirut: Da>r al-Ma‘rifah, t.th.), h. 544. Secara lengkap tentang kronologi kebijakan ‘Uthma>n dapat dilihat dalam Musa> Sha>hi>n La>shi>n, al-Manhal al-H}adi>th fi> Sharh} al-H}adi>th:
Ah}adi>th Mukhta>rah min S}ah}i>h} al-Bukha>ri H}asba Minhaj al-Ma‘a>hid al-Azhariyah alAs}il> ah, I (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1424 H/23 M), h. 114. Bandingkan dengan Muh}y alDi>n al-Nawa>wi, al-Kawa>kib al-Dira>ri:S}ah}i>h} al-Bukha>ri bi Sharh} al-Kirma>ni, IV (Beirut: Da>r Ih}ya>’ al-Tura>th al-‘Arabi, 1401 H/1981 M), h. 109. H}usayn ibn Mas‘u>d al-Bagha>wi,Sharh} al-Sunnah, II (Beirut: al-Maktabah al-Isla>mi, 1403 H/1983 M), h. 347-351. 33 Shiha>b al-Di>n Ah}mad ibn Muh}ammad al-Khat}i>b al-Qist}ala>ni, Min Irsha>d al-Sa>ri> ila> S}ah}i>h} al-Bukha>ri, I (t.t.: t.p., 1323 H), h. 439 dan 443. 32
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
71
Muhammad Ismul Abdi
. Artinya: Dari Ibn ‘Abba>s berkata: Rasu>l Alla>h saw bersabda: “aku tidak diperintahkan untuk bermegahan dalam hal masjid”, dan Ibn ‘Abba>s berkata “niscaya menghiasi masjid (dengan emas dan hiasan lainnya dengan tujuan bermegahan) sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani”. Dalil lain yang berhubungan dengan hadis membangun masjid ini antara lain yang berkonotasi perintah adalah hadis dari ‘A>ishah:
. Artinya: Dari ‘A>ishah berkata: “Rasu>l Alla>h telah memerintahkan untuk membangun masjid di setiap daerah (dusun) dan seyogyanya untuk membersihkan dan memberikan wangi-wangian”. Ibra>hi>m ibn S}a>lih} al-Khad}i>ri, seorang hakim (qa>d}i) di Mahkamah Tinggi (mah}kamah al-kubra>) Riyadh, memberikan komentar mengenai hadis ini yang memberikan derajat shahih dan secara tekstual menunjukkan ketetapan hukum untuk mendirikan masjid adalah sebuah kewajiban. Sedangkan dasar lain mengenai kewajiban membangun masjid ini adalah akibat korelasi dengan adanya kewajiban salat berjama’ah bagi umat Islam. Dengan adanya kewajiban melakukan salat secara berjama’ah, maka membangun masjid juga merupakan sebuah kewajiban, dengan logika hukum karena masjid merupakan perantara 34
Al-Bagha>wi,Sharh} al-Sunnah, h. 348. Hadis ini disampaikan dalam kitab Sunan Abu> Da>wud, kita>b al-s}ala>h, bab fi> bina>’ al-masjid dengan sanad s}ah}i>h} dan diriwayatkan pula oleh al-Bukha>ri dalam kitabnya. 35 Abu> Da>wud Sulayma>n ibn al-‘Ash‘th al-Sijista>ni, Sunan Abi> Da>wud, I (Beirut: Da>r Ibn H}azm, 1418 H/1997 M), h. 225. 72
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
Paradigma masjid
untuk terlaksananya perintah salat berjama’ah. Atas dasar ini masjid dikategorikan sebagai perkara yang bersifat primer (d}aru>riyyah) bagi umat Islam.36 Namun apabila pertumbuhan kuantitas pembangunan tempat ibadah tidak terkontrol dengan baik akan berakibat buruk bagi persatuan umat Islam sendiri. Sehingga, mendirikan tempat ibadah (masjid) di wilayah yang banyak masjidnya bukan lagi menjadi amal yang bernilai positif, malah sebaliknya dianggap sebagai amal yang tercela. al-Qard}a>wi memberikan perumpamaan apabila ada seseorang yang dengan semangat menyumbangkan hartanya untuk membangun masjid di wilayah yang sudah banyak berdiri masjid, namun ia enggan mendermakan hartanya tersebut untuk dakwah Islamiyah yang lain, maka orang tersebut tidak lain adalah orang yang pekak (tuli) terhadap ajaran Islam. Beliau memberikan alasan “karena mereka lebih percaya kepada membangun batu dari pada membangun manusia”.37
C. PENUTUP Sudah sepatutnya masjid kembali kepada fungsinya seperti semula. Salah satu faktor yang mempengaruhi tergerusnya fungsi masjid adalah semakin menjamurnya bangunan masjid akibat pemahaman masyarakat yang parsial terhadap sebuah dalil. Untuk itu melalui tulisan ini, penulis berharap kepada seluruh pembaca untuk turut berperan aktif dalam upaya meluruskan pemahaman masyarakat, sehingga masjidmasjid yang telah berdiri megah dan menjamur tersebut bukan hanya 36
Ibra>hi>m ibn S}a>lih} al-Khad}i>ri, Ah}ka>m al-Masa>jid fi> al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah, I (Riyadh: Da>r al-Fad}i>lah, 1421 H/2001 M), h. 299 dan 325. Terdapat perbedaan hukum dalam persoalan mendirikan masjid ini, ‘Ali al-‘Azi>zi yang menyatakan bahwa mendirikan masjid tergolong dalam kategori sunnah muakkadah, sesuai dengan uangkapannya:
Rasulullah saw bersabda: “bangunlah masjid dan jadikanlah sebgai tempat salat berjamaah”. Perintah Rasul ini berakibat hukum sunah muakkad (sangat dianjurkan). Lihat: ‘Ali al-‘Azi>zi, al-Sira>j al-Muni>r, I (Mesir: Mus}t}afa> al-Halabi, 1377 H/1957 M), h. 24. 37 Membangun manusia dalam konteks ini adalah dakwah Islamiyah, memberantas kekufuran dan kemusyrikan, mendukung kegiatan Islam untuk menegakkan syari’at agama, atau kegiatan-kegiatan lain yang memiliki tujuan besar. Sebagaimana dalam buku fiqh prioritasnya dalam bab kebutuhan umat terhadap fikih prioritas. Lihat Yu>suf al-Qard}a>wi, Fiqh Awla>wiyya>t: Dira>sah Jadi>dah fi> Wud}u>‘ al-Qur’a>n wa al-Sunnah (Mesir: Muassasah al-Su‘u>diyah, 1426 H/2005 M), h. 15. MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
73
Muhammad Ismul Abdi
sebagai tanaman batu hias belaka, namun dapat membawa manfaat yang baik bagi umat manusia, khususnya bagi umat Islam. BIBLIOGRAPHY ‘Asqala>ni. t.t. Ah}mad ibn ‘Ali ibn H}ajar. Fath} al-Ba>ri bi Sharh} alBukha>ri, I. Beirut: Da>r al-Ma‘rifah. ‘Azi>zi. 1957. ‘Ali. al-Sira>j al-Muni>r, I. Mesir: Mus}t}afa> al-Halabi, 1377 H. Ali, Atabik dan Muhdlor, Ahmad Zuhdi. 1999. Kamus Kontemporer al‘Ashri. Yogyakarta: Multikarya Grafika. Bagha>wi, H}usayn ibn Mas‘u>d. 1983. Sharh} al-Sunnah, II. Beirut: alMaktabah al-Isla>mi, 1403 H/s. Bukha>ri. 1400 H. Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Isma>‘i>l. al-Ja>mi‘ alS}ah}i>h}, I. Kairo: al-Mat}ba‘ah al-Salafi>yah. Dimashqi, ‘Ima>d al-Di>n ibn Kathi>r. t.t. Tafsi>r al-Qur’a>n al-‘Az}i>m, VII. Kairo: Maktabah Awla>d al-Shaikh li al-Tura>th. Faridl, Miftah. 1985. Masjid. Bandung: Pustaka. Fawza>n, ‘Abd Alla>h ibn S}a>lih}. 1421 H. Ah}ka>m Hu}d}u>r al-Masjid. t.t.: t.p.. Ibn ‘Ali, Abu> ‘Abd al-Rah}ma>n Ah}mad ibn Shu‘ayb. Sunan al-Nasa>’i:
H}akama ‘ala> Ah}a>di>thihi> wa A>tha>rihi wa ‘Allaq ‘Alayh Muh}ammad Na>s}ir al-Di>n al-Alba>ni. Riyadh: Maktabah Sa‘d ibn ‘Abd al-Rah}ma>n al-Ra>shid, t.th.. Kamaludiningrat, Ahmad Muhsin. “Meningkatkan Fungsi dan Peran Masjid dalam Dakwah dan Pembinaan Masyarakat Madani Beriman dan Bertaqwa Melalui Jogjakarta Serambi Madinah”, Jurnal Ulama, Vol. III, No. 1 (April 2010). Khad}i>ri, Ibra>hi>m ibn S}a>lih}. 2001. Ah}ka>m al-Masa>jid fi> al-Shari>‘ah alIsla>miyyah, I. Riyadh: Da>r al-Fad}i>lah, 1421 H. Ma’udi, Masdar Farid. 2006. Memakmurkan Masjid Nahdliyin untuk Kejayaan Umat dan Bangsa. Jakarta: P3M.
74
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
Paradigma masjid
Maghribi, Muh}ammad ibn Sulayma>n. 1998. Jam‘ al-Fawa>id min Ja>mi‘ al-Us}u>l wa Majma‘ al-Zawa>’id, I. Beirut: Da>r Ibn H}azm, 1418 H. Muh}ammad, Su‘a>d Ma>hir. 1963 Masa>jid Mis}r wa Awliya>’uha> alS}alih}u>n, I. Kairo: Jumhu>riyyah Mis}r al-‘Arabiyyah. Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat. Jakarta : Gema Insani Press. Nasution, Harun. 1996. Islam Rasional. Bandung: Mizan. Qard}a>wi, Yu>suf. 2005. Fiqh Awla>wiyya>t: Dira>sah Jadi>dah fi> Wud}u>‘ alQur’a>n wa al-Sunnah. Mesir: Muassasah al-Su‘u>diyah, 1426 H. Qist}ala>ni Shiha>b al-Di>n Ah}mad ibn Muh}ammad al-Khat}i>b. 1323 H. Min Irsha>d al-Sa>ri> ila> S}ah}i>h} al-Bukha>ri, I. t.k.: t..t. Qurt}u>bi (al), Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Ah}mad ibn Abu> Bakr. 2006. Al-Ja>mi‘ li Ah}ka>m al-Qur’a>n wa al-Mubayyin li Ma> Tad}ammanahu min al-Sunnah wa A>y al-Furqa>n, 2. Beirut: Muassasah al-Risa>lah. Qushayri, Muslim ibn H}ajja>j. t.t. al-Ja>mi‘ al-S}ah}i>h}, 2. t.k.: t.p. Quzwayni, Abu> ‘Abd Alla>h Muh}ammad ibn Yazi>d. 1998. Sunan ibn Ma>jah, 2. Beirut: Da>r al-Ji>l, 1418 H. Rohimin. 2006. Jihad; Makna dan Hikmah. Jakarta: Erlangga. S}a>bu>ni, Muh}ammad. 1980. ‘Ali. Rawa>i‘ al-Baya>n Tafsi>r A>ya>t alAh}ka>m, I. Damaskus: Maktabah al-Ghaza>li, 1400 H. Shalabi, Ah}mad. 1983. Al-Siy>asah fi> al-Fikr al-Isla>mi. Kairo, alMis}ri>yah. Shanqi>t}i (al), Muh}ammad ibn Muh}ammad al-Mukhta>r. t.t. Sharh} Za>d alMustaqni‘, V. t.k.: t.p., t.t. Shayra>zi (al), Abu> Ish}a>q Ibra>hi>m ibn ‘Aly ibn Yu>suf. 1995. AlMuhadhdhad fi> Fikih al-Ima>m al-Sha>fi‘i, 2. Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1416 H. Sijista>ni, Abu> Da>wud Sulayma>n ibn al-‘Ash‘th. 1997. Sunan Abi> Da>wud, I. Beirut: Da>r Ibn H}azm, 1418 H. Wanili, Khairuddin. 2008. Ensiklopedi Masjid: Hukum, Adab dan Bid’ahnya, terj. Darwis. Jakarta: Darus Sunnah Press.
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014
75
Muhammad Ismul Abdi
Za>wi, al-T}a>hir Ah}mad. t.t. Tarti>b al-Qa>mu>s al-Muh}i>t} ‘ala> T}ari>qah alMis}ba>h} al-Muni>r wa Asa>s al-Bala>ghah, I. Beirut: Da>r al-Fikr. Zarkashi, Muh}ammad ibn ‘Abd Alla>h. 1999. I’la>m al-Sa>jid bi Ah}ka>m alMasa>jid. Kairo: Lajnah Ih}ya>’ al-Tura>th al-Isla>mi, 1420 H. Zuh}ayli, Wahbah. al-Tafsi>r al-Waji>z ‘ala> Ha>mish al-Qur’a>n al-‘Az}i>m wa Ma‘ah Asba>b al-Nuzu>l wa Qawa>‘id al-Tarti>l. Damaskus: Da>r alFikr, t.th..
76
MENARA TEBUIRENG, Vol. 10, No. 01 September 2014