Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Ucapan Terima Kasih
P
anduan ini dihasilkan melalui proses konsultasi dan analisis bersama dengan berbagai lembaga maupun individu. Untuk itu Consorsium AID menyampaikan banyak terima kasih kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tengara Timur, Pemerintah Kabupaten Kupang, Pemerintah Kabupaten TTS dan Pemerintah Kabupaten Belu yang telah membagi pengetahuan dan pengalaman yang berharga dalam proses ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada SKPD-SKPD dan LSM yang secara lansung memberikan masukan sangat berguna untuk terbitnya panduan ini, diantaranya: SKPD/Badan: -
BPBD Provinsi NTT
-
Dinas PPO NTT
-
Dinas Sosial NTT
-
BPBD Kabupaten Kupang
-
Dinas PPO Kabupaten Kupang
-
Dinas Sosial Kabupaten Kupang
-
BPBD Kabupaten Timor Tengah Selatan
-
Dinas PPO Kabupaten Timor Tengah Selatan
-
Dinas Sosial Kabupaten Timor Tengah Selatan
-
BPBD Kabupaten Belu
-
Dinas PPO Kabupaten Belu
-
Dinas Sosial Kabupaten Belu
Lembaga Swadaya Masyarakat: -
Belu (PPSE, FKDM,FPPA)
-
TTS (YPK, Animasi, SSP, PWKI)
-
Kupang (Bengkel Appek, Yayasan Cemara, YAO, Sinode GMIT- Badan Diakonia, Rumah Perempuan, Cis Timor, LBH Appik, PAR, Permata, Persani)
Kami juga berterima kasih kepada pribadi-pribadi: Winston Rondo, Yulius Nakmofa, Yuli Ndolu dan Tresia Ratunubi untuk review atas panduan ini. Selanjutnya kami juga berterima kasih kepada Tim PRB dan masyarakat desa yang berada Malaka, TTS dan kabupaten kupang sebagai daerah dampingan konsorsium. Akhirnya kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang sempat kami sebutkan satu persatu. Semoga panduan ini dapat bermanfaat untuk masyarakat yan lebih tangguh.
i
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Kata Pengantar
S
ebagai Negara kepulauan yang berada di daerah patahan dunia, Indonesia memiliki berbagai ancaman bencana yang cukup tinggi. Indonesia juga adalah negara kepulauan yang sangat terpengaruh oleh perubahan iklim. Situasi ini mengharuskan kita tetap waspada, dan mempersiapkan diri agar terhindar dari berbagai ancaman. Dalam menghadapi kondisi tersebut pemerintah telah membuktikan komitmentnya dengan menetapkan penanggulangan bencana menjadi salah satu prioritas nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, khususnya pada prioritas nomor 8 tentang Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana dan didirikannya Badan Penanggulangan Bencana Nasional dan menetapkan kebijakan pembentukan Badan Penanggulangan Bencana di daerah-daerah. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), komitmen itu juga telah ditunjukan dengan masuknya Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana sebagai salah satu agenda strategis dalam 8 agenda pembangunan Provinsi NTT yang tertuang dalam RPJMD tahun 2008-2013 dan telah dibentuknya BPBD Provinsi NTT. Sebagai lembaga yang baru lahir, tentu BPBD memerlukan dukungan dari berbagai kalangan agar dapat bekerja secara maksimal. Paradigma penanggulangan bencana yang bersifat karikatif kini bergeser pada penanggulangan bencana yang bersifat preventif atau yang biasa disebut Pengurangan Resiko Bencana (PRB). Saat ini mulai nampak meningkatnya pemahaman akan bencana sebagai masalah pembangunan yang mesti harus dan bisa diatasi. Pembangunan yang dilakukan secara terencana dengan mempertimbangkan faktor-faktor resiko, dapat menguragi kerentanan itu sendiri. Dengan demikian, maka pembangunan yang mengitegrasikan PRB sudah menjadi keharusan dan tidak bisa ditawar lagi. Dalam proses pembangunan yang mengintegrasikan PRB, perlu juga melibatkan kelompok-kelompok yang paling rentan. Untuk itu dalam panduan ini, sudah berbicara lebih jauh tentang bagaimana melibatkan kelompok rentan yaitu perempuan, anak-anak dan penyandang disabilitas. Hal ini sesuai dengan perintah Undang-Undang 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana, pasal 26 dan pasal 55. Dengan partisipasi kelompok-kelompok rentan dalam setiap tahapan pengurangan resiko bencana, tentu dapat mengurangi kerenatanan itu sendiri. Kehadiran panduan “Memadukan PRB inklusif dalam perencanaan pembangunan”, sangat membatu BPBD untuk menjalankan tugas-tugasnya. Panduan ini akan berkontribusi pada upaya memadukan pengurangan risiko bencana yang inklusif dalam perencanaan pembangunan di NTT. Dengan panduan ini, diharapkan semua SKPD dapat mengintegrasikan Pengurangan Resiko Bencana yang inklusif dalam setiap perencanaannya. Akhirnya, kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang secara sukarela berkontribusi membagikan pengetahuannya untuk masyarakat NTT yang lebih tangguh. Kupang, Desember 2013 Sekertaris Daerah Provinsi Nusa Tengara Timur Frans Salem, SH. M.Si PEMBINA UTAMA MADYA NIP: 19570606 198610 1 003
ii
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Pengantar AIDC
P
artisipasi warga negara secara luas diaggap sebagai hal yang vital bagi demokrasi. Proses desentralisasi di Indonesia sejak 2001 telah membuka kesempatan yang lebih luas bagi partisipasi warga negara terutama dalam program pembangunan daerah melalui Musrenbang, kerangka kerja dan jalur institusional formal yang dimulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga tingkat nasional dalam perencanaan pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan Pengurangan Resiko Bencana adalah prinsip penting yang melekat pada kerangka kerja Hyogo. Meskipun berbagai pembelajaran dan laporan-laporan HFA mengindikasikan bahwa hal ini tidak secara konsisten diupayakan, namun dalam praktek-praktek baik yang bersifat konsultatif para pemangku kepentingan dan mekanisme-mekanisme pengambilan keputusan hal ini sebenarnya sudah nampak. AID Consortium, sebuah konsorsium yang memperjuangkan PRB inklusif yang terdiri dari Handicap International, Plan International, Care International melaksanakan proyek bersama Peningkatan Kapasitas Bagi Kelompok Paling Rentan terhadap Bencana Alam di Nusa Tenggara Timur untuk mendorong partisipasi dan advokasi hak-hak kelompok yang paling rentan; wanita, anak, lanjut usia dan penyandang disabilitas. Ketika bencana alam terjadi kelompok inilah yang sering menghadapi hambatan dan tantangan yang lebih berat, dan meski kerentanan kelompok ini sudah sangat jelas, namun rencana pembangunan bagi pemberdayaan dan kesiap-siagaan yang lebih baik pada kelompok rentan beserta keluarga mereka dalam kebencanaan masih sangat sedikit dan jauh dari harapan. Instrumen-instrumen internasional dan regional seperti Konvensi Internasional Tentang Anak, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Kerangka Aksi Hyogo (Prioritas Aksi 4), Agenda Aksi Bangkok dan BIWAKO +5 mengakui bahwa perlindungan dan keamanan bagi kelompok rentan harus diupayakan. Hal ini menjadi kewajiban bagi negara yang terlibat untuk memastikan bahwa perempuan, anak, lanjut usia dan penyandang disabilitas dilibatkan dalam rencana-rencana PRB dan dipersiapkan dengan lebih baik lagi dalam hal kebencanaan dengan konteks pembangunan daerah yang inklusif. Panduan ini diinisiasi oleh AID Consortium sebagai sumber informasi dan panduan bagi Pemaduan PRB inklusif dalam rencana pembangunan daerah yang sensitif terhadap kebutuhan kelompok yang paling rentan dan dengan memperhitungkan kapasitas yang mereka miliki juga. Panduan ini dikembangkan melalui proses partisipatif guna memastikan kesesuaian dengan kebutuhan yang aktual dan praktis digunakan. Proses tersebut meliputi : • Sebuah lokakarya analisa dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan organisasi-organisasi penyandang disabilitas guna mengidentifikasi kesenjangan bagi terwujudnya inklusi dalam RPJM yang ada dari BPBD, Dinas PPO, Dinas Sosial; • Dua lokakarya konsultasi dengan BPBD, Dinas PPO, Dinas Social, Organisasi-organisasi kemasyarakatan dan organisasi-organisasi penyandang disabilitas untuk menentukan isi perangkat panduan dan penggunaannya;
iii
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
• Sebuah lokakarya paripurna dimana perangkat panduan dipresentasikan dihadapan partisipan para pemangku kepentingan pembangunan yang lebih luas; • Sebuah simulasi latihan melibatkan BPBD, Dinas PPO, Dinas Sosial dimana para pemangku kepentingan diminta untuk mengaplikasikan metodologi dan rekomendasi-rekomendasi dari perangkat tersebut terhadap anggaran tahun sebelumnya. Kami berharap panduan ini dapat memberikan kontribusi dalam upaya untuk membuat rencana-rencana pembangunan daerah yang inklusif bagi kelompok yang paling rentan dan dapat digunakan oleh beragam pemangku kepentingan dan mereka yang telah bekerja dalam PRB inklusif. Bagi pemerintah, panduan ini dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan rencana pembangunan daerah, meningkatkan partisipasi kelompok-kelompok rentan, dengan demikian melibatkan mereka dalam proses yang inklusif dan memastikan ketersediaan layanan-layanan yang inklusif. Disisi lain organisasi-organisasi penyandang disabilitas dan kemasyarakatan dapat menggunakan panduan ini untuk mengedukasi publik tentang PRB inklusif, menganalisa dan memonitor rencana pembangunan lokal yang ada dan mendorong pendekatan yang inklusif. Akhir kata, kami ingin menyampaikan banyak terima kasih atas kontribusi organisasi-organisasi dan dinas-dinas dalam pengembangan dan pengimplementasian panduan ini: Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas PPO, dan Dinas Sosial Provinsi NTT Province dan Kabupaten Kupang TTS dan Belu; CIS-Timor, CIQAL, PMPB, Bengkel APPeK, Yayasan Cemara, Rumah Perempuan, Forum Perlindungan Anak dan Perempuan- Belu, Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat- Belu, Sanggar Suara Perempuan- TTS, Yayasan Pancaran Kasih- TTS, Persani, Pertuni, Permata dan semua orang yang telah membantu mewujudkan panduan ini. Ms. Catherine Gillet Direktur Nasional, HI Indonesia Atas nama Handicap Internasional di Indonesia
iv
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Daftar Isi Ucapan Terima Kasih ..................................................................................................................................
i
Kata Pengantar ...........................................................................................................................................
ii
Pengantar AIDC .......................................................................................................................................... iii Daftar Isi .....................................................................................................................................................
v
Daftar Singkatan ......................................................................................................................................... vi Bagian 1 Pengantar 1.1. Mengapa Panduan Ini Dibuat .................................................................................................................. 1.2. Tujuan Panduan ...................................................................................................................................... 1.3. Bagaimana Panduan ini Dikembangkan .................................................................................................. 1.4. Apa yang ada dalam panduan dan batasan cakupannya ........................................................................ 1.4.1. Acuan Panduan ............................................................................................................................. 1.4.2. Isi Panduan .................................................................................................................................... 1.4.3. Batasan Panduan .......................................................................................................................... 1.5. Siapa yang bisa menggunakan panduan ini ............................................................................................ 1.6. Tentang AID (Alliance for Inclusive DRR) Consortium ............................................................................. HandiCap Internasional ........................................................................................................................... Plan International .................................................................................................................................... Care International ................................................................................................................................... Pengenalan Proyek ..................................................................................................................................
1 5 5 6 6 6 7 8 8 8 8 9 9
Bagian 2 Membangun Paradigma 2.1. Apa dan mengapa pengurangan risiko bencana? ................................................................................... 2.2. Apa dan Mengapa inklusi kelompok rentan? .......................................................................................... 2.2.1. Inklusi Gender dan Hak Perempuan .............................................................................................. 2.2.2. Inklusi Hak Penyandang Disabilitas ............................................................................................... 2.2.3. Inklusi Hak Anak ............................................................................................................................ 2.3. Dasar hukum PRB Inklusif .......................................................................................................................
11 14 14 15 16 17
Bagian 3 Pemaduan PRB Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan 3.1. Definisi Operasional ................................................................................................................................ 3.2. Indikator Utama ...................................................................................................................................... 3.3. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ......................................................................................... 3.4. Pemaduan PRB Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan ................................................................... 3.4.1. Strategi 1: Pemaduan dalam Musrenbangdus/des/cam/kab ....................................................... 3.4.2. Strategi 2: Pemaduan dalam Visi-Misi Kepala Daerah .................................................................. 3.4.3. Strategi 3: Pemaduan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) ..................... 3.4.4. Strategi 4: Pemaduan dalam Perencanaan di SKPD ......................................................................
19 20 21 22 24 26 27 27
Bagian 4 Mendorong PRB Inklusif dan Strategi Advokasi 4.1. Mengapa Advokasi .................................................................................................................................. 4.2. Review Rencana Pembangunan yang Ada .............................................................................................. 4.3. Rekomendasi Bentuk Program/Kegiatan ................................................................................................ 4.4. Strategi dan Kegiatan Advokasi ............................................................................................................... 4.5. Strategi yang saling melengkapi ..............................................................................................................
31 32 33 34 35
Bagian 5 Penutup
v
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Daftar Singkatan AIDC
Alliance for Inclusive DRR Consortium
APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
BNPB
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPBD
Badan Penanggulangan Bencana Daerah
CBDRM
Community Based Disaster Risk Management
DPRD
Dewan Perwakilan Rakyat Daearah
DRR
Disaster Risk Reduction
HFA
Hyogo Frame of Action
Musrenbang
Musyawarah Perencanaan Pembangunan
NTT
Nusa Tenggara Timur
Ornop
Organisasi Non Pemerintah
Renja
Rencana Kerja
RKA
Rencana Kerja dan Anggaran
RKPD
Rencana Kerja Perangkat Daerah
PRB
Pengurangan Risiko Bencana
RPJMD
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
SDM
Sumberdaya Manusia
SKPD
Satuan Kerja Perangkat Daerah
TTS
Timor Tengah Selatan
WHO
World Health Organization
vi
BAGIAN 1
Pengantar 1.1. Mengapa Panduan Ini Dibuat Panduan ini dibuat dengan dua keyakinan. Pertama, bahwa penting untuk memastikan penanggulangan bencana terpadu dalam perencanaan pembangunan, dengan memastikan pengarusutamaan pendekatan pengurangan risiko bencana (PRB). Kedua, bahwa dampak bencana serta kemampuan untuk pulih dari bencana berbeda-beda, tergantung pada kerentanan yang tercipta dalam kondisi tidak ada bencana (sebelum bencana). Berbagai kejadian bencana di tingkal global, nasional maupun di Propinsi NTT yang semakin kerap dan dengan dampak semakin buruk, pun makin membangkitkan pemahaman bahwa urusan bencana bukan semata urusan kedaruratan. Ada tindakan-tindakan yang bisa dilakukan sebelumnya untuk mengurangi kejadian, korban dan kerusakan yang diakibatkannya. Perspektif ini merupakan dasar paradigma PRB. Dalam PRB, kerentanan adalah faktor terpenting yang menentukan seberapa kerap kejadian bencana, seberapa banyak korban dan seberapa besar kerusakan yang ditimbulkannya. Berbagai kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa bencana, kerentanan dan dampak bukanlah semata sesuatu yang alamiah, atau bukan kehendak alam semata. Pada tahap sebelum bencana, berbagai kerentanan dikonstruksikan secara sosial, dan pada gilirannya mempengaruhi tingkat dampak yang dialami oleh kelompok yang rentan, dan mempengaruhi kemampuan mereka pulih dari bencana. Simak temuan dari kajian berikut1: • 90% dari korban bencana topan di Bangladesh pada 1991 adalah perempuan (Ikeda, 1995, dalam Enarson, 2006). • Dalam bencana, anak laki dan anak perempuan memiliki risiko kematian 14 kali lebih besar daripada laki-laki dewasa (Peterson, 2007, dalam IUCN, tanpa tahun). • Di tsunami Hindia 26 Desember 2004, sebanyak 77% korban meninggal adalah perempuan (Oxfam, 2005). • Letusan Gunung Merapi 26 Oktober 2010, 109.971 orang di dua kabupaten mengungsi, 12.263 adalah kelompok rentan termasuk didalamnya penyandang disabilitas dan membutuhkan bantuan khusus (Laporan Handicap International 2010).
1
Dikutip dari Fatimah, Dati, “Menolak Pasrah: Gender, Keagenan dan Kelompok Rentan dalam Bencana” 2012.
1
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Karena kondisi-kondisi diatas, maka sejak akhir dekade 1990-an banyak kalangan kian menyadari perlunya mengarusutamakan PRB ke dalam pembangunan. Artinya bahwa pertimbangan- pertimbangan risiko bencana dimasukkan dalam kerangka strategis jangka menengah, struktur kelembagaan, kebijakan, strategi sektoral maupun program negara dan regional. Karena dari perspektif pembangunan, PRB adalah komponen vital untuk membangun masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan. Cara pandang lama bahwa bencana adalah sesuatu yang tidak dapat diprediksi sebelumnya dan tak terhindarkan, hingga hanya bisa diurus dengan cara darurat, mulai bergeser. Saat ini mulai nampak meningkatnya pemahaman akan bencana sebagai masalah pembangunan yang masih harus dan bisa diatasi. Program pembangunan tidak dengan sendirinya mengurangi kerentanan terhadap ancaman alam. Sebaliknya, program pembangunan tanpa disadari dapat melahirkan bentuk-bentuk kerentanan baru atau memperburuk kerentanan yang telah ada, terkadang dengan konsekuensi yang tragis. Sehingga risiko bencana harus menjadi pertimbangan dalam perencanaan pembangunan nasional dan sektoral, penyusunan program di tingkat negara dan dalam perancangan semua proyek pembangunan. Hal itu perlu dilakukan demi melindungi investasi pembangunan itu sendiri dari ancaman dan demi memperkuat ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana. Secara global, desakan memadukan pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan sudah dimulai sejak satu dekade terakhir. Dalam World Conference on Disaster Reduction (WCDR) di Kobe, Jepang, 2005, negara-negara memproses suatu upaya pemaduan dengan seting target yang jelas untuk PRB. Langkah ini menghasilkan Hyogo Framework for Action 2005-2015 (Kerangka Aksi Hyogo/HFA) dengan 5 prioritas intevensi PRB. Inilah kerangka DRR pertama yang diterima secara global, termasuk oleh Indonesia.
KERANGKA AKSI HYOGO 2005-2015 1. Memastikan pengurangan risiko bencana adalah prioritas lokal dengan kelembagaan yang kuat untuk diimplementasi. 1. Mekanisme kelembagaan PRB; dan arahan tanggung jawab 2. PRB menjadi bagian kebijakan pembangunan dan perencanaan, baik di dalam sektor atau multi sektor 3. Legislasi untuk mendukung PRB 4. Desentralisasi tanggung jawab dan sumberdaya 5. Penelaahan sumber daya manusia dan kapasitas 6. pengawalan komitmen politik 7. partisipasi komunitas 2. Mengidentifikasi, menelaah, dan memantau risiko bencana dan meningkatkan peringatan dini (early warning). 1. Telaah dan pemetaan risiko, multi risiko, elaborasi dan diseminasi 2. Indikator PRB dan kerentanan 3. Data dan statistik informasi kerugian 4. Peringatan dini: berpusat pada rakyat: sistem informasi: dan kebijakan publik 5. Pengembangan sains dan teknologi; sharing data, observasi bumi dari angkas, pemodelan iklim dan peramalan, peringatan dini. 6. Risiko regional dan risiko yang sedang muncul.
2
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
3. Penggunaan pengetahuan, inovasi, dan edukasi, untuk membangun budaya keamanan dan resiliensi pada semua aras. 1. Saling membagi informasi dan kerja sama informasi 2. Jejaring lintas disiplin dan wilayah; dialog 3. Penggunaan terminologi baku PRB 4. Inklusi PRB pada kurikulum, pendidikan formal dan informal. 5. Pelatihan dan pembelajaran PRB: pada aras komunitas, otoritas setempat, sektor-sektor tertentu; kesetaraan akses 6. Kapasitas riset: multi-risiko, socioekonomik; penerapan 7. Kesadaran publik dan media 4. Mengurangi faktor-faktor risiko dasar 1. Pengelolaan lingkungan dan ekosistem yang berkelanjutan 2. strategi PRB terintegrasi dengan adaptasi perubahan iklim 3. Resiliensi keamanan pangan 4. Integrasi PRB pada sektor kesehatan dan rumah sakit yang aman 5. Perlindungan pada fasilitas publik yang kritis 6. Skema pemulihan dan jaringan pengaman sosial 7. Pengurangan kerentanan dengan opsi pendapatan yang terdiversifikasi 8. Mekanisme pembagian risiko keuangan 9. Kemitraan publik-privat 10. Perencanaan tata guna lahan dan kode bangunanLand use planning and building codes 11. Rencana pembangunan pedesaan dan PRB. 5. Penguatan kesiapan terhadap bencana untuk respon yang efektif 1. Kapasitas penanganan bencana : kebijakan, teknis, dan kelembagaan 2. Dialog, koordinasi & pertukaran informasi di antara manajer bencana dan sektor-sektor pembangunan 3. pendekatan regional untuk bencana dengan fokus pengurangan risiko 4. review dan uji coba kesiapan and contingency plans 5. dana tanggap darurat 6. kesukarelawanan dan partisipasi
Secara nasional, Indonesia melakukan upaya berarti untuk memadukan pengurangan risiko bencana dalam pembangunan, melalui UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 35 UU 24 tahun 2007 menyatakan bahwa: Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 34 huruf a meliputi: [a sampai c], dan d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan.
3
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Di tingkat NTT, agenda penanggulangan bencana merupakan bagian dari agenda prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah 2009-2013, dan diarahkan untuk2: 1. Mengembangkan upaya-upaya mitigasi dalam rangka mengurangi ancaman dan resiko bencana 2. Meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana alam dan bencana sosial 3. Mendukung pengembangan dan penguatan kelembagaan penanggulangan bencana di daerah 4. Memperkuat dukungan sumberdaya pembiayaan dalam upaya pengurangan resiko bencana 5. Memperkuat dukungan peraturan dan kebijakan daerah dalam rangka pengurangan resiko bencana Adanya aturan dan kebijakan tentang pemaduan PRB dalam pembangunan ini merupakan suatu langkah maju yang menggembirakan dan patut diapresiasi. Walaupun dalam pengejewatahan aturan ini dalam perencanaan dan penganggaran maupun dalam implementasi pembangunan, orientasi lebih banyak masih pada pengurusan saat (respon darurat) dan setelah (rehabilitasi dan rekonstruksi). Fenomena ini terjadi di pusat sampai daerah, baik di institusi yang memegang mandat PRB (yakni BPBD) maupun sektor pembangunan lain3. Tantangan lain adalah, kebijakan-kebijakan pemaduan PRB dalam pembangunan diatas masih bersifat ‘netral’. Seluruh masyarakat dalam wilayah berisiko bencana dianggap memiliki kerentanan yang sama. Kebijakankebijakan yang ada belum mengurai perbedaan-perbedaan kerentanan yang menyebabkan perbedaan tingkat risiko bencana antar kelompok yang berbeda dalam masyarakat yang sama. Juga, belum didefinisikan tindakan-tindakan yang berbeda untuk memastikan kelompok yang lebih rentan ini tidak diabaikan dalam upaya pemaduan PRB dalam pembangunan. Kerentanan dalam panduan ini didefinisikan sebagai karakteristik seseorang atau kelompok orang yang menentukan kemampuannya untuk mengantisipasi, bertahan, dan pulih dari dampak bencana. Karakteristik ini ditentukan oleh berbagai hal, dan karenanya ada kelompok-kelompok tertentu dalam komunitas yang lebih rentan daripada yang lain. Blaike mengemukakan karakter kunci keragaman kerentanan, yakni kelas sosial, kasta, etnis, gender, disabilitas, umur atau lanjut usia. Kemiskinan dipandang sebagai salah satu alasan utama mengapa orang atau kelompok orang menjadi lebih rentan terhadap bencana4. Dalam Penjelasan pasal 26 Ayat (1) Huruf a, UU 24 tahun 2007, masyarakat rentan didefinisikan sebagai anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan karena keadaan yang disandangnya diantaranya masyarakat lanjut usia, penyandang cacat, anak-anak serta ibu hamil dan menyusui. Belum banyak pihak yang memastikan inklusifitas pendapat dan kebutuhan kelompok rentan dalam pengurangan risiko bencana, dan bukan semata dalam hal penanganan kedaruratan. Bahkan dalam UU 24 2007, semangat inklusif hanya nampak ketika membahas tentang penanganan kondisi darurat. Padahal berbagai fenomena telah menunjukkan bahwa perbedaan kerentanan menentukan perbedaan dampak bencana dan kemampuan pulihnya. Maka tidak ada pilihan lain, upaya memadukan PRB yang inklusif dalam perencanaan pembangunan masih perlu didorong lebih konsisten. 2 3 4
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nusa Tenggara Timur 2009-2013 Refleksi dari praktik review dokumen perencanaan dan penganggaran 3 SKPD: BPBD, Dinas Sosial dan Dinas PPO di Kabupaten Kupang, TTS dan Belu serta tingkat Propinsi NTT bersama jaringan CSO. November-Desember 2012. At Risk: Natural Hazard, People’s Vulnerability and Disaster. Piers Blaikie, et al., 1994
4
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Panduan ini ingin berkontribusi pada upaya memadukan pengurangan risiko bencana dalam perencanaan pembangunan di Nusa Tenggara Timur. Bukan ‘sekedar’ pengurangan risiko bencana, tetapi pengurangan risiko bencana yang memastikan tidak ada orang atau kelompok orang yang terabaikan, yakni mereka yang lebih rentan dan berkebutuhan khusus. Sehingga pembangunan bisa menjadi pembangunan untuk semua orang, karena mengurangi kerentanan semua orang terhadap bencana.
1.2. Tujuan Panduan Secara khusus, panduan ini bertujuan untuk: • Membantu para pembuat rencana dan pengambil kebijakan di SKPD terkait untuk mengintegrasikan Pengurangan Risiko Bencana Inklusif dalam perencanaan pembangunan. • Membantu para pembuat rencana dan pengambil kebijakan mengevaluasi atau mereview rencana pembangunan SKPD masing-masing berorientasi pada perencanaan PRB Inklusif. • Membantu masyarakat, kelompok masyarakat maupun pihak swasta untuk mendukung integrasi PRB Inklusif dalam perencanaan pembangunan.
1.3. Bagaimana Panduan ini Dikembangkan Pengembangan panduan ini adalah bagian dari upaya proyek Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif mencapai hasil yang diharapkan. Gagasan dasar panduan dikembangkan dari strategi-strategi pengarusutamaan kelompok rentan dalam PRB maupun dalam pembangunan. Panduan digagas lewat diskusi dan workshop awal dengan para pihak: 1. Diskusi konsultasi dengan BPBD, Dinas Sosial dan Dinas Pendidikan dan Olahraga di Propinsi NTT, Kabupaten TTS, Kabupaten Belu, dan Kabupaten Kupang. 2. Workshop tentang pemahaman, peluang dan strategi dengan puluhan ornop di Kabupaten TTS, Kabupaten Belu, Kabupaten Kupang dan tingkat Propinsi NTT. Dari hasil diskusi dan workshop tersebut, Tim mengembangkan draft 1 Panduan. Draft 1 kembali didiskusikan dengan para pihak diatas. Satu ujicoba penggunaan dengan pihak pemerintah juga dilaksanakan di Kupang, melibatkan BPBD dari 3 kabupaten dan tingkat propinsi. Kritikan dan input dari proses-proses diatas diadopsi untuk memperbaiki draft-1. Draft-2 kemudian dibahas lagi dalam workshop multipihak dan peer review. Kritik dan masukan terhadap Draft 2 kemudian diolah untuk memperkaya panduan ini dan menghasilkan versi 1 Panduan Pemaduan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif ke dalam Perencanaan Pembangunan Daerah ini.
5
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
1.4. Apa yang ada dalam panduan dan batasan cakupannya 1.4.1. Acuan Panduan Panduan ini dikembangkan mengacu pada berbagai dokumen dan proses-proses: • Kebijakan dan aturan tentang penanggulangan bencana, termasuk pengurangan risiko bencana, pengarusutamaan kelompok rentan, serta perencanaan pembangunan yang berlaku secara nasional. • Nilai dan gagasan yang dikembangkan oleh pemerintah, khususnya sektor terkait, dan masyarakat sipil yang ditangkap lewat proses-proses yang difasilitasi oleh program. Proses ini menggali perspektif, gagasan dan rekomendasi para pihak yang peduli pada PRB dan pembangunan dan inklusifitas kelompok paling rentan.
1.4.2. Isi Panduan Dengan acuan-acuan tersebut, panduan ini disusun, dan berisi: Bagian 1-Pengantar. Memberikan latar belakang, tujuan panduan dan program yang memfasilitasi pengembangan panduan ini. Bagian 2-Membangun Paradigma Didalamnya dipaparkan beberapa uraian paradigma terkait: 1. Uraian tentang paradigma Pengurangan Risiko Bencana, membahas tentang: • Apa yang dimaksud dengan pengurangan risiko bencana, baik berdasarkan definisi formal maupun pengetahuan yang berkembang di masyarakat. • Mengapa PRB penting, dengan melihat perkembangan bencana, baik kejadian, kerugian maupun korban yang ditimbulkan. 2. Uraian tentang paradigma inklusif kelompok rentan, membahas tentang: • Apa yang dimaksudkan dengan inklusif kelompok rentan. Lebih mengacu pada pandangan dan nilai dari organisasi-organisasi yang berkolaborasi dalam AID Consortium, maupun yang dibagikan dan diakui secara umum. • Mengapa inklusif kelompok rentan dalam PRB, yang menjelaskan tentang pentingnya kelompok rentan ini diperhatikan dalam pemaduan PRB dalam perencanaan pembangunan. 3. Uraian tentang dasar hukum yang memayungi upaya membuat pengurangan risiko bencana menjadi inklusif kelompok rentan. Ada beberapa dasar hukum yang memandatkan PRB Inklusif yang patut diapresiasi sebagai upaya negara dan pemerintah memastikan pemenuhan hak warga negara secara adil dan setara.
6
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Bagian 3-Pengurangan Risiko Bencana Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan. Membahas beberapa point penting: 1. Definisi operasional Pemaduan PRB Inklusif dalam perencanaan pembangunan. 2. Indikator utama yang memberikan tanda bahwa perencanaan pembangunan sudah memadukan PRB Inklusif. 3. Memaparkan tentang proses perencanaan pembangunan nasional dan bagaimana pemaduan PRB Inklusif bisa dilakukan di tiap tahapannya. Bagian 4-Mendorong Pemaduan PRB Inklusif dan Strategi Advokasi. Membahas beberapa point penting: 1. Melihat ulang perencanaan pembangunan yang ada: sudahkah memadukan PRB inklusif? 2. Tantangan pemaduan PRB inklusif dalam perencanaan pembangunan. 3. Bentuk advokasi untuk pengurangan risiko bencana yang inklusif.
1.4.3. Batasan Panduan Batasan 1-Fokus kelompok rentan. Panduan ini membatasi cakupan kelompok rentan pada tiga fokus kerja organisasi-organisasi yang bergabung di AID Consortium, yakni perempuan, anak dan penyandang disabilitas. Walaupun demikian, banyak halhal prinsip dalam panduan ini tetap relevan untuk pengarusutamaan kelompok rentan dalam PRB, maupun pemaduan PRB dalam perencanaan pembangunan untuk sebagian besar kelompok rentan. Batasan 2-Tingkat perencanaan. Perencanaan pembangunan yang dimaksudkan dalam panduan ini adalah perencanaan pembangunan daerah, yakni di tingkat propinsi dan kabupaten. Batasan 3-Sektor teknis. Panduan ini dikembangkan berdasarkan konsultasi dengan 3 SKPD, yakni BPBD, Dinas PPO dan Dinas Sosial. Kebutuhan-kebutuhan pemaduan yang melibatkan sektor pembangunan lain, walaupun penting, tetapi tidak termaktub dalam panduan ini, seperti sektor kesehatan, pekerjaan umum, dan lain-lain. Batasan 4-Kapasitas pengguna. Sebagai prasyarat, pengguna panduan ini sudah memiliki pengetahuan yang cukup tentang pengurangan risiko bencana dan pengarusutamaan kelompok rentan. Pemahaman tentang dua topik diatas tidak banyak didalami disini. Upaya penguatan kapasitas tentang topik-topik dasar tersebut sangat disarankan bagi pengguna panduan.
7
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
1.5. Siapa yang bisa menggunakan panduan ini Sasaran panduan ini adalah setiap orang maupun institusi yang memiliki kepedulian terhadap keadilan dan kesetaraan dalam pembangunan, khususnya dalam pengarusutamaan PRB yang inklusif kelompok rentan dalam pembangunan. Lebih khusus, panduan ini dikembangkan untuk dapat digunakan oleh: 1. Pembuat kebijakan di eksekutif, terutama di satuan kerja yang terkait erat dengan upaya pengurangan risiko bencana dan kelompok rentan. 2. Legislatif dalam menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan. 3. Perorangan, organisasi masyarakat sipil, organisasi massa, dan semua pihak yang peduli dan berkomitmen untuk mengadvokasi PRB Inklusif.
1.6. Tentang AID (Alliance for Inclusive DRR) Consortium Panduan ini dibuat sebagai salah satu kegiatan pelaksanaan proyek oleh AID (Alliance fro Inclusive DRR) Consortium yang terdiri dari 3 lembaga yaitu Handicap International (HI) sebagai pemimpin bekerjasama dengan Plan International (PLAN) dan CARE International (CARE). Tujuan dari Consortium adalah mendukung pelibatan dan partisipasi perempuan, anak-anak dan penyandang disabilitas dalam kegiatan-kegiatan PRB di Indonesia. HandiCap Internasional Handicap International bekerja bersama penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya yang berada dalam situasi kemiskinan, pengucilan, konflik dan bencana di lebih dari 60 negara. HI mendukung mereka untuk meningkatkan kondisi hidupnya, merespon kebutuhan utamanya dan mempromosikan penghargaan pada hak-haknya. HI bekerja di Indonesia sejak 2004, dan bekerja dalam isu Hak-hak penyandang disabilitas, mendukung kelompok masyarakat, PRB, Pendidikan Inklusi dan Rehabilitasi fisik. Dalam project ini, Handicap International membawa pengalaman lapangannya berkaitan dengan pelibatan dan partisipasi penyandang disabilitas dalam CBDRM (DIPECHO 7-11 desa di NTT) dan PRB berbasis sekolah (German Ministry of Foreign Affairs (MOFA)-12 sekolah di NTT). HI bekerja bersama organisasi penyandang disabilitas dan organisasi lainnya untuk melaksanakan atau mendukung kegiatan-kegiatan penanggulangan bencana yang menghargai hak-hak penyandang disabilitas, memberdayakan mereka untuk dapat berpartisipasi dan mengadvokasi hak-haknya. Plan International Plan International adalah organisasi berbasis anak yang bekerja di 66 negara, bertujuan agar anak merealisasikan keseluruhan potensi mereka dalam masyarakat yang menghargai hak-hak dan martabat masyarakat. Mandatnya adalah memastikan dijaminnya hak-hak anak untuk kelangsungan hidupnya, perkembangan; perlindungan dan partisipasi. Plan telah bekerja di Indonesia sejak 1969 dan mendukung anakanak, keluarga dan komunitas dalam bidang pendidikan, kesehatan dan nutrisi, Air dan Sanitasi, PRB dan Hakhak anak. Dalam project ini, Plan membawa pengalaman lapangannya berkaitan dengan PRB yang berbasis hak anak dan berbasis sekolah. Plan membangun kesiapsiagaan anak-anak sekolah dan memastikan bahwa
8
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
pengemban tugas mempunyai pengetahuan dan kapasitas untuk menghargai hak-hak anak dalam CBDRM (DFID-29 komunitas dan 37 sekolah di Jawa dan NTT). Plan memfasilitasi Konferensi Nasional pertama tentang Sekolah Aman pada bulan December 2010 dan merupakan anggota dari consortium yang memimpin komponen pelibatan ornop untuk AADMER (DIPECHO-regional). Care International CARE berupaya memerangi kemiskinan dunia di lebih dari 60 negara dan tempat dengan focus khususnya bekerja bersama perempuan yang miskin untuk meningkatkan pendidikan dasar, mencegah penyebaran penyakit, meningkatkan akses pada air bersih dan sanitasi, memperluas kesempatan ekonomi dan melindungi sumberdaya alam. CARE telah bekerja di Indonesia sejak 1967 dan sementara ini aktif di sector Tanggap Darurat, Air dan Sanitasi, Pengembangan Ekonomi Kecil, Kesehatan & HIV/AIDS dan PRB. Dalam project ini, CARE membawa pengalaman lapangannya dalam pengembangan komunitas yang partisipatif, pemberdayaan perempuan dan pelaksanaan project kerjasama dengan pemerintah setempat. CARE mendukung komunitas dalam pengembangan penghidupan yang kuat, CBDRM dan pendidikan lingkungan (Netherlands-PRB yang tahan iklim di NTT). Pengenalan Proyek Proyek Pengurangan Risiko Bencana (PRB)-yang didanai oleh Komisi Eropa- Direktorat Jenderal Bantuan Kemanusiaan-ECHO, bertujuan untuk meningkatkan ketahanan dan mengurangi kerentanan komunitas lokal melalui mekanisme yang berkelanjutan yang memampukan kelompok yang paling rentan untuk mempersiapkan diri lebih baik, mitigasi dan merespon bencana alam. Hal ini akan dicapai dengan memperkuat ketahanan bencana dari kelompok yang paling rentan (perempuan, anak-anak dan penyandang disabilitas) di NTT melalui transfer pengetahuan dan kemampuan untuk program PRBBK inklusi yang efektif kepada pelaku DRR setempat. Disamping itu, melalui proyek ini, diharapkan lembaga local di NTT menjadi responsive untuk menanggapi hakhak kelompok yang paling rentan ke dalam anggaran dan program tahunannya, CBDRR Inclusive dipromosikan dan diimplementasikan di sekolah-sekolah dan komunitas terseleksi dan PRB Inclusive di advokasikan di tingkat Nasional. Proyek ini dilaksanakan di Kupang, TTS dan Belu. Disamping bekerja dengan Lembaga Lokal, dan Organisasi Masyarakat, stakeholders utama dalam proyek ini adalah Dinas Sosial, Dinas PPO, BPBD, Bappeda dan DPRD di tingkat propinsi dan kabupaten.
9
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
10
BAGIAN 2
Membangun Paradigma 2.1. Apa dan mengapa pengurangan risiko bencana? Pada tahun 2011, ada 302 kejadian bencana, 206 juta orang terkena dampak dan hampir 30.000 orang tewas. Selain kematian, kerugian ekonomi karena bencana diperkirakan lebih dari US$ 2 triliun5. Sejak dua dekade terakhir, terjadi kecenderungan peningkatan korban bencana, sebagaimana data berikut6:
2 Bank Dunia memperkirakan bahwa setiap tahun hanya 4% dari kira-kira USD 10 milyar dana kemanusiaan yang dialokasikan untuk pengurangan risiko bencana. Padahal setiap dolar yang dialokasikan untuk pengurangan risiko telah mengurangi USD 5-USD 10 kerugian ekonomi akibat bencana. Indonesia adalah wilayah kaya sumberdaya alam yang juga kaya ancaman bencana, baik yang terkait hidro-metereologis maupun geologis. Berdasarkan data kejadian bencana yang dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sejak tahun 1815 sampai dengan tahun 2013, terjadi peningkatan jumlah kejadian7: http://www.undp.org/content/undp/en/home/ourperspective/ourp erspectivearticles/2012/08/15/building- resilience-the-importance-of-disaster-risk-reduction.html Diakses pada 29 April 2013. 5 6 7
http://www.undp.org.org/content/undp/en/home/ourperspective/ourperspectivearticles/2012/08/15/building-resilience- the-importance-of-disaster-riskreduction.html Diakses pada 29 April 2013. Sumber: EM-DAT, UCL:Brussels, http://www.emdat.be; dikutip dari The World Bank, 2010. Sumber website Badan Nasional Penanggulangan Bencana : www.bnpb.go.id, diakses pada 26 April 2013.
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Grafik diatas menunjukkan bahwa kekerapan kejadian bencana meningkat tajam dalam tiga dekade terakhir, juga jumlah kerugian dan korban yang ditimbulkan. Kenaikan ini bisa saja dipengaruhi oleh makin membaiknya sistem pendataan dan pendokumentasian, serta makin terbukanya informasi. Tetapi disisi lain, juga terjadi peningkatan kerentanan terhadap bencana, antara lain disebabkan degradasi lingkungan (atau saling berdampak) dan perubahan iklim. Selain kerentanan fisik seperti itu, juga terjadi peningkatan kerentanan sosial ekonomi karena ketidakmerataan pembangunan yang mengakibatkan makin lebar jurang antara kaya dan miskin. Kondisi ini menyebabkan probabilita terjadi bencana pun meningkat, demikian juga korban dan kerugiannya, terutama yang dipicu oleh sebab manusia. Propinsi NTT juga adalah wilayah rawan bencana dengan jenis ancaman yang sangat beragam. Walau minim data series yang memadai, berbagai pemberitaan di media massa dan penelusuran primer bisa mengkonfirmasi kekerapan bencana di wilayah ini. Data dari BNPB tahun 2010 menggolongkan sebagian besar wilayah NTT sebagai wilayah yang rawan dengan kecenderungan kejadian bencana diatas 41 kejadian setahun.
Variable : DataCards 0 / tidak ada data <=7 7-15 15-25 25-41 41-72 > 72
12
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Sementara untuk keragaman jenis bencana yang dialami NTT dapat dilihat dari data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) berikut8:
KEJADIAN BENCANA TAHUN 2010
GEMPA BUMI LONGSOR AKTIVITAS FULKANIK BANJIR ANGIN PUTING BELIUNG KEKERINGAN BADAI LAURENCE WABAH PENYAKIT KERACUNAN MAKANAN WABAH TANAMAN PENYAKIT TERNAK KECELAKAAN TRANSPORTASI KEBAKARAN PENGGUNDULAN HUTAN KONFLIK SOSIAL
Data tersebut menunjukkan bahwa kejadian bencana yang paling marak di wilayah NTT adalah bencanabencana yang tergolong hidro-metereologis, yang berulang (seringkali disebut bencana musiman) dan sangat terkait dengan perilaku manusia dalam pembangunan. Karena karakter berulang tersebut, maka harusnya bencana seperti ini lebih bisa diantisipasi dalam kerangka PRB. Secara nasional NTT juga masih tergolong propinsi termiskin, yakni nomer 3 setelah Papua dan Maluku dengan rata-rata kemiskinan 23,73% pada tahun 20109. Para ahli telah mengklaim bahwa kemiskinan adalah kerentanan yang paling ekstrim. Secara global, bencana dengan kerusakan dan korban terbesar terjadi di negara-negara yang miskin dan dengan tata kelola yang buruk. Bencana dan kemiskinan seringkali digambarkan sebagai lingkaran setan: kemiskinan meningkatkan kerentanan yang pada gilirannya meningkatkan risiko bencana. Karena itu bencana lebih mungkin terjadi. Bencana menurunkan akses pada sumberdaya yang pada gilirannya meningkatkan kemiskinan. Dan lingkaran setan berputar terus. Karena itu, pengurangan risiko bencana, penanggulangan yang lebih antisipatif adalah kebutuhan yang mendesak. Pengurangan risiko bencana terbaik adalah yang terpadu dalam perencanaan pembangunan. Dengan begitu, pembangunan dipastikan akan mengurangi risiko, dan kerugian akibat bencana yang merusak hasil pembangunan pun berkurang.
8 9
Sumber: Website Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTT www.bpbd.nttprov.go.id. Diakses pada 26 April 2013. Badan Pusat Statistik Indonesia, 2010
13
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
2.2. Apa dan Mengapa inklusi kelompok rentan? Inklusif mengacu pada semua orang yang hidup di suatu komunitas. Untuk memastikan pembangunan yang inklusif, maka perlu diperhatikan 2 aspek, yakni 1) partisipasi aktif kelompok rentan pada proses perencanaan dan pengambilan keputusan, dan 2) akses kelompok rentan terhadap pelayanan, fasilitas dan informasi publik10. Kebanyakan proses perencanaan pembangunan tidak berlangsung inklusif. Walaupun prinsip partisipatif sudah menjadi prinsip utama, tetapi pada akhirnya secara realistis partisipatif tersebut harus diwakilkan pada ‘tokoh-tokoh kunci’ atau wakil-wakil yang dipilih. Dalam banyak situasi, para wakil ini merupakan mereka yang menonjol dalam komunitas dan cenderung kuat posisinya. Karena itu, kelompok yang lebih lemah dan rentan justru jarang terwakili dan karenanya tidak memiliki akses pada perencanaan dan pengambilan keputusan. Sehingga kepentingan-kepentingannya tidak terwakili dan berdampak pada produk-produk pembangunan seperti layanan dan fasilitas publik yang tidak bisa diakses oleh kelompok rentan. Terbatasnya akses kelompok rentan diatas menyebabkan mereka lebih tinggi risikonya dalam bencana. Berbagai riset menunjukkan bahwa kelompok rentan merupakan kelompok yang paling buruk terkena dampak dan paling sulit pulih dari dampak buruk bencana. Neumayer dan Plumper (2007) mempelajari bencana di 141 negara dan menemukan bahwa akses terhadap fasilitas dan sumberdaya mempengaruhi tingkat kematian dalam bencana. Kesenjangan yang disebabkan oleh akses yang berbeda dalam kondisi ‘normal’ terus berlanjut dalam kondisi bencana11. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa risiko kematian akibat bencana pada perempuan dan anak 14 kali lebih tinggi daripada laki-laki. Di negara maju, lebih banyak perempuan yang meninggal akibat udara panas pada 2003, dan di Perancis, lebih banyak perempuan tua yang menjadi korban. Lebih dari 60% korban badai Katrina di AS adalah perempuan dan anak berkulit hitam, yakni kelompok yang paling terpinggirkan dalam pembangunan. 75% korban tsunami di Aceh adalah perempuan dan anak, 61% korban badai Nargis di Myanmar adalah perempuan. United Nation International Strategy for Disaster Reduction menemukan bahwa 60% anak di dunia ini merupakan korban bencana. Hal ini menjadi persoalan serius dimasa depan, karena dampak bencana mempengaruhi fisik dan psikologi mereka.
2.2.1. Inklusi Gender dan Hak Perempuan Gender merujuk pada perbedaan antara perempuan dan laki-laki sejak lahir, tumbuh kembang dan besar melalui proses sosialisasi di lingkungan keluarga dan masyarakat. Lingkungan sosial mereproduksi pembedaan peran gender melalui pemisahan kepantasan untuk perempuan dan kepantasan untuk laki-laki. Pembedaan peran gender tidak bersifat universal, tetapi berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya dan dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman. Singkat kata, bahwa gender adalah konsep yang mengacu pada peran dan tanggungjawab perempuan dan laki-laki yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh konstruksi/ keadaan sosial budaya masyarakat (WHO, 2010). “Gender,” sama dengan kelas dan ras, menentukan peran, kuasa dan sumber daya bagi perempuan dan laki-laki di tiap budaya. Secara historis, perhatian terhadap relasi gender dilatarbelakangi oleh kebutuhan mengurus 10 11
Mainstreaming Disability into Disaster Risk Reduction: A Training Manual Dikutip dari www.wikigender.org, diakses pada 25 Mei 2013.
14
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
kebutuhan dan kondisi perempuan yang umumnya kurang beruntung dibandingkan laki-laki. Tetapi di kalangan pekerja kemanusiaan mulai meningkat kebutuhan untuk lebih banyak mengetahui apa yang perempuan dan anak hadapi dalam kondisi krisis12. Karena ada konstruksi yang tidak adil tersebut, maka seringkali terjadi subordinasi, diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Perempuan seringkali dipinggirkan dalam berbagai pengambilan keputusan dan akses dan kontrol terhadap sumberdaya. Kondisi ini menempatkan perempuan sebagai kelompok yang lebih rentan terhadap risiko bencana, karena rendahnya partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam perencanaan pembangunan serta akses perempuan untuk mendapatkan informasi tentang risiko bencana, peringatan dini maupun bantuan untuk pemulihan.
2.2.2. Inklusi Hak Penyandang Disabilitas Pada tahun 2011, 15% penduduk dunia adalah penyandang disabilitas sedang dan berat (WHO, 2011). Data UNICEF menunjukkan ada 4,29% penduduk Indonesia menyandang disabilitas (Unicef 2010). Ini berbeda dengan data Kementerian Kesehatan yang mengatakan 6% (2011) dan berbeda lagi dengan Kementerian Sosial yang mengklaim 3,11% (2011)13. Survei tahun 2009 di NTT terdapat 38.650 penyandang disabilitas, dimana 60% diantaranya ada di usia produktif. Dari data diatas menunjukkan angka yang cukup signifikan, tetapi sekaligus juga menunjukan tidak konsistennya angka-angka tersebut. Kelemahan pendataan penyadang disabilitas di Indonesia, termasuk di NTT, menunjukkan diskriminasi dan bagaimana kelompok rentan ini tidak dipandang penting dalam proses pembangunan. Padahal berbagai kebijakan telah menggunakan pendekatan hak untuk mendefinisikan dan memastikan inklusi penyandang disabilitas. Menurut Pasal 1 Konvensi Hak-Hak Asasi Penyandang Cacat dan Protokol Opsional terhadap Konvensi, penyandang cacat termasuk mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan (UNCRPD, 2008, Pasal 1). Menurut Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 1 Ayat 1 tentang Penyandang Cacat, Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari : a. Penyandang cacat fisik; b. Penyandang cacat mental; c. Penyandang cacat fisik dan mental; Disabilitas juga dipahami sebagai bagian dari gerakan memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. Disabilitas dipahami sebagai konstruksi sosial yang merupakan akibat dari ketidaksetaraan akses. Disabilitas merupakan dampak dari interaksi antara kekhususan fisik dengan hambatan-hambatan perilaku dan pandangan umum yang menyebabkan para penyandang disabilitas tidak dapat berpartisipasi aktif dan setara dalam masyarakat. Disabilitas adalah akibat dari diskriminasi dan eksklusi sosial. 12 13
CARE International Gender Policy, 2009 Sumber: Dirjen Rehabilitasi Sosial, Kementerian Sosial RI, 2011.
15
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Dalam konteks pengurangan risiko bencana, inklusi penyandang disabilitas ditujukan untuk mengurangi kerentanan mereka dalam risiko bencana. Mengurangi kerentanan penyandang disabilitas tidak semata memenuhi kebutuhan khusus fisik, tetapi juga menyangkut pelibatan dalam keseluruhan proses PRB dan pembangunan. PRB yang inklusif disabilitas perlu memperhatikan dua hal berikut: 1. Mempromosikan sistem yang inklusif, misalnya menghilangkan hambatan di tingkat masyarakat dan partisipasi yang sama dan aktif. Hal ini menyangkut memastikan partisipasi penyandang disabilitas dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam kegiatan, merumuskan strategi-strategi PRB dan pembangunan yang inklusif, pembangunan fisik, pengembangan sikap yang non diskriminasi, serta penguatan kapasitas stakeholders untuk memahami disabilitas secara lebih komprehensif. 2. Memberdayakan penyandang disabilitas dan perwakilannya.
2.2.3. Inklusi Hak Anak Berdasarkan konvensi hak anak, kategori anak ditentukan oleh batasan usia yakni dibawah 18 tahun. Berdasarkan kepentingannya maka anak memiliki 4 kepentingan yakni : sebagai orang, sebagai remaja yang memiliki otonomi, sebagai dewasa pemilik masa depan dan sebagai anak. Dalam banyak upaya penanganan bencana, kelompok anak tidak menjadi perhatian yang serius dalam penanganan kedaruratan. Pemenuhan berdasarkan konvensi anak, UU Perlindungan Anak dan standar penanganan bencana sektor pendidikan masih tidak terpenuhi. Keselamatan dan pemenuhan kebutuhan mereka tidak menjadi prioritas. Kelompok yang paling rentan ketika terjadi bencana adalah anak. Pengalaman traumatis akibat hilangnya orang yang dicintai atau menyaksikan kejadian yang mengerikan seperti bencana alam dapat menyebabkan stress dan trauma yang dapat mengganggu perkembangan fisik, social dan mental anak. Rusaknya infrastruktur, sarana dan prasarana pendidikan, ekonomi, social dan budaya menempatkan anak pada situasi yang rentan untuk menjadi korban eksploitasi ekonomi, seksual dan perdagangan anak.
16
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
2.3. Dasar hukum PRB Inklusif Beberapa aturan perundang-undangan dibawah ini memberikan dasar hukum yang kuat untuk PRB Inklusif: • UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, o Pasal 26 menyebutkan bahwa semua orang berhak: mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana; o Pasal 35 menybutkan Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud meliputi: a. perencanaan penanggulangan bencana; b. pengurangan risiko bencana; c. pencegahan; d. pemaduan dalam perencanaan pembangunan; e. persyaratan analisis risiko bencana; f. pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang; g. pendidikan dan pelatihan; dan h. persyaratan standar teknis penanggulangan bencana. o Pasal 55 (2) Kelompok rentan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: bayi, balita, dan anakanak; ibu yang sedang mengandung atau menyusui; penyandang cacat; dan d. orang lanjut usia. • Mengacu pada Konvensi Hak Anak yang diratifikasi tahun 2002 dan UU Perlindungan Anak No 23 tahun 2003, mengurai hak anak yang sangat sensitif terganggu oleh kondisi bencana, dan karenanya dilindungi oleh hukum, terutama terkait hak hidup, hak tumbuh kembang, hak perlindungan dna partisipasi. Lebih detail mencakup: Hak atas pencatatan kelahiran dan identitas, Hak atas bimbingan orang tua, Hak untuk tidak dipisahkan dan penyatuan kembali dengan orang tua, Hak khusus anak dengan kecacatan, Hak atas layanan kesehatan, Hak atas standar penghidupan yang layak. o Konvensi Hak Anak Pasal 28 dan UU Perlindungan Anak pasal 9 menyebutkan bahwa: memastikan anak-anak tetap memiliki akses terhadap sekolah formal dan informal atau tidak putus sekolah baik dari aspek sarana prasarana, tenaga pengajar, alat dan bahan dsb, pendidikan dan pelatihan PRB, ketrampilan evakuasi dan pertolongan darurat. • Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 6 tentang Penyandang Cacat: setiap penyandang cacat berhak memperoleh : o Pendidikan pada semua satuan, jalur, dan jenjang pendidikan; o Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan jenis dan derajat kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya; o Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya; o Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya; o Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan social; dan o Hak yang sama untuk menumbuhkan bakat, kemampuan, dan kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.
17
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
• Undang-undang No 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW). • Undang-Undang No 19 tahun 2011 Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (UNCRPD) pasal 11 Situasi berisiko dan gawat darurat kemanusiaan Negara-negara Pihak wajib mengambil, selaras dengan kewajiban mereka di bawah hukum internasional, termasuk hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia internasional, segala langkah yang diperlukan untuk menjamin perlindungan dan keselamatan penyandang disabilitas dalam situasi beresiko, termasuk situasi konflik bersenjala, gawat darurat kemanusiaan, dan terjadinya bencana alam. • Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Undang Undang ini menjadi landasan yang mampu menghubungkan sinergi antara PRB, perencanaan pembangunan desa dan kabupaten serta nasional yang sensitif bencana. Di beberapa wilayah komitmen untuk memadukan PRB dalam pembangunan yang juga memperhatikan hak dan kebutuhana kelompok rentan, telah diatur dalam peraturan daerah, peraturan gubernur/ bupati hingga peraturan desa. Semua dasar hukum tersebut dapat menjadi dasar untuk sebuah perencanaan PRB Inklusif dalam pembangunan.
18
BAGIAN 3
Pemaduan PRB Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan 2.1. Definisi Operasional Badan-badan PBB seperti UNISDR dan UNDP mendefinisikan Pengurangan Risiko Bencana sebagai “Kerangka konseptual dari elemen-elemen yang berpotensi meminimalisir kerentanan dan risiko bencana dalam masyarakat, untuk menghindarkan (pencegahan) atau membatasi (mitigasi dan kesiapsiagaan) dampak merusak dari ancaman, dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan. Dengan demikian, maka secara definisi, PRB itu sendiri merupakan bagian dari pembangunan dan dilaksanakan dalam konteks pelaksanaan pembangunan. Maka tidak bisa dihindari, perencanaannya pun harusnya terpadu dengan perencanaan pembangunan. Dalam UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pemaduan penanggulangan bencana dalam perencanaan pembangunan merupakan salah satu bentuk kegiatan yang dikategorikan sebagai ‘penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana’ (Pasal 34 huruf a). Pemaduan tersebut dilakukan dengan cara mencantumkan unsur-unsur rencana penanggulangan bencana ke dalam rencana pembangunan pusat dan daerah (Pasal 39). Unsur-unsur rencana penanggulangan bencana tersebut meliputi: a) pengenalan dan pengkajian ancaman bencana; b) pemahaman tentang kerentanan masyarakat; c) analisis kemungkinan dampak bencana; d) pilihan tindakan pengurangan risiko bencana; e) penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan bencana; dan f) alokasi tugas, kewenangan, dan sumberdaya yang tersedia. Pengurangan Risiko Bencana yang inklusif mensyaratkan keterlibatan, pengenalan hak dan identifikasi kebutuhan khusus kelompok rentan dalam tiap tahapan dan unsur-unsurnya. Sehingga perencanaan pembangunan yang terpadu PRB Inklusif dapat didefinisikan sebagai: “Perencanaan pembangunan yang juga bertujuan untuk mengurangi kerentanan dan risiko bencana dengan memasukkan unsur-unsur penanggulangan bencana didalamnya, serta melibatkan, menemukenali hak dan kebutuhan khusus kelompok rentan”.
3
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
3.2. Indikator Utama PRB inklusif dalam perencanaan pembangunan harus nampak atau ditandai dengan: • Adanya kemauan politik yang nampak dalam dokumen perencanaan strategis dan/atau RAD bidang terkait. Dalam dokumen harus nampak bahwa tujuan satuan kerja tertentu adalah juga mengurangi risiko bencana dari kelompok-kelompok rentan. • Adanya komitmen mengurangi kerentanan perempuan, anak dan penyandang disabilitas terhadap risiko bencana yang ditunjukkan dengan program dan kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan khusus kelompok rentan dalam bencana. • Penggunaan analisa risiko bencana yang inklusif yang menunjukkan kerentanan dan kapasitas perempuan, anak dan penyandang disabilitas sebagai salah satu dasar dalam perencanaan strategis SKPD, Rencana Aksi Daerah, dan ditindaklanjuti dalam RKT-RKA. • Ketersediaan data terpilah sebagai dasar pengembangan rencana strategis, RAD maupun rencanarencana kerja. Data terpilah mencakup minimal data perempuan, laki-laki, anak-anak dan penyandang disabilitas. • Adanya upaya meningkatkan sumberdaya manusia yang memadai (perencana dan penanggungjawab program yang mampu melakukan analisis risiko bencana kelompok rentan). • Adanya alokasi sumberdaya yang memadai untuk membenahi institusi, meningkatkan kapasitas, menyediakan infrastruktur perencanaan serta untuk memenuhi kebutuhan khusus kelompok rentan dalam rangka mengurangi kerentanan mereka. • Adanya upaya-upaya untuk penguatan kapasitas masyarakat yang berbasis aset komunitas.
20
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
3.3. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Perencanaan pembangunan nasional sebagaimana digariskan dalam UU 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dirangkum dalam skema dibawah ini:
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, menurut Undang-Undang nomor 25 tahun 2004 adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Skema diatas menggambarkan alur perencanaan pembangunan nasional yang di setiap tahap menghasilkan dokumen-dokumen perencanaan pembangunan: • Rencana Pembangunan Jangka Panjang, yang selanjutnya disingkat RPJP, adalah dokumen perencanaan untuk periode 20 (dua puluh) tahun. RPJP nasional diatur dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2007. • Rencana Pembangunan Jangka Menengah, yang selanjutnya disingkat RPJM, adalah dokumen perencanaan untuk periode 5 (lima) tahun. • Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga, disebut juga Rencana Strategis Kementerian/Lembaga (Renstra-KL), adalah dokumen perencanaan kementerian/lembaga untuk periode 5 (lima) tahun. • Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah, disebut juga Renstra-SKPD, adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah untuk periode 5 (lima) tahun.
21
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
• Rencana Pembangunan Tahunan Nasional, disebut juga Rencana Kerja Pemerintah (RKP), adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun. • Rencana Pembangunan Tahunan Daerah, disebut juga Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun. • Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga, disebut juga Rencana Kerja Kementerian/ Lembaga (Renja-KL), adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun. • Rencana Pembangunan Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah, disebut juga Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja-SKPD), adalah dokumen perencanaan satuan kerja perangkat daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
3.4. Pemaduan PRB Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan Bagian ini akan memaparkan bagaimana PRB Inklusif bisa dipadukan dalam perencanaan pembangunan. Paling tidak ada 3 pendekatan dalam perencanaan pembangunan di daerah, yakni 1) Politik (penjabaran dari agendaagenda pembangunan yang ditawarkan Kepala Daerah terpilih); 2) Teknokratik (dilakukan dengan menggunakan metoda dan kerangka pikir ilmiah, biasanya dilakukan di sektor-sektor pembangunan); dan 3) Partisipatif (melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada, dilakukan melalui penjaringan aspirasi masyarakat). Ketiga pendekatan ini diselaraskan dengan kombinasi pendekatan top down dan bottom up lewat musyawarah perencanaan pembangunan di berbagai tingkatan. Terkait dengan pendekatan perencanaan pembangunan diatas, maka paling tidak ada 4 strategi pemaduan PRB Inklusif dalam tahapan perencanaan pembangunan, yakni14: Strategi pertama, memadukan PRB Inklusif dalam musyarawah perencanaan pembangunan di tingkat dusun, desa, kecamatan dan kabupaten. Strategi paling ideal, karena PRB Inklusif memang mensyaratkan proses perencanaan yang partisipatif. Strategi ini juga memungkinkan identifikasi hak, kebutuhan dan kapasitas kelompok rentan dengan lebih akurat, apabila prasyaratnya yakni keterlibatan kelompok rentan terpenuhi. Strategi kedua, memadukan PRB Inklusif dalam Visi Misi Kepala Daerah terpilih. Strategi ini adalah upaya pemaduan dalam proses politik yang bisa memastikan berbagai perencanaan pembangunan di wilayah di tiap tingkatan memadukan PRB Inklusif. Strategi ini hanya bisa dilakukan bila wilayah sedang dalam tahapan Pilkada. Strategi ketiga, memadukan PRB Inklusif dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Apabila wilayah kabupaten dan propinsi telah lewat proses pemilihan kepala daerah, maka PRB Inklusif dapat dipadukan dalam penyusunan RPJMD. Apabila RPJMD sudah ada, maka bisa diupayakan suatu review untuk memasukkan PRB Inklusif dalam misi dan arak kebijakan prioritas. Strategi keempat, memadukan PRB Inklusif dalam perencanaan di SKPD. Strategi keempat ini bisa dilakukan apabila strategi 1 dan 3 tercapai, untuk memastikan akan ada implementasi dan alokasi anggaran yang memadai. Dengan demikian maka SKPD terkait mendapatkan legitimasi dalam memadukan PRB Inklusif dalam rencana pembangunannya. Yang penting dipastikan adalah konsistensi antar dokumen perencanaan. 14
Diadopsi dengan modifikasi sesuai kebutuhan dari Panduan Pemanfaatan Indeks Demokrasi Indonesia, Kementerian PPN Bappenas dan UNDP, 2011.
22
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Tabel dibawah ini menguraikan langkah- langkah implementasi pemaduan PRB Inklusif dalam perencanaan pembangunan. Strategi
Prasyarat
Target PRB Inklusif menjadi salah satu rencana prioritas dalam musrenbang.
Penyelenggara
Pemaduan dalam Musrenbangdus/des/ cam/ kab.
• Komunitas memiliki data dan informasi ancaman dan risiko bencana di wilayahnya. • Komunitas, terutama kelompok rentan maupun organisasinya berpartisipasi aktif dalam proses perencanaan.
Pemerintah Desa, Kecamatan, Kabupaten.
Pemaduan dalam Visi Misi Kepala Daerah terpilih.
• Wilayah memiliki data PRB Inklusif menjadi isu dan informasi memadai dalam visi misi KDH. tentang risiko bencana. • Ada data terpilah. • Ada kelompok pendukung (misalnya Forum PRB). • Wilayah sedang dalam proses Pilkada.
Forum PRB yang terdiri dari multipihak, baik eksekutif, legislatif, akademisi dan LSM.
Pemaduan PRB Inklusif dalam RPJMD
• Wilayah memiliki data dan informasi memadai tentang risiko bencana. • Ada data terpilah. • Ada kelompok pendukung (misalnya Forum PRB). • Wilayah sudah selesai • Pilkada dan sedang mengembangkan RPJMD. Bila tidak, maka • diupayakan review RPJMD
PRB Inklusif menjadi salah satu misi dan agenda prioritas pembangunan.
Forum PRB yang terdiri dari multipihak, baik eksekutif, legislatif, akademisi dan LSM
Pemaduan PRB Inklusif dalam RPJMD
• Wilayah memiliki data, informasi dan peta risiko bencana. • PRB Inklusif ada dalam dokumen musrenbang dan/atau dokumen RPJMD. • SKPD memahami keterkaitan PRB Inklusif dengan Tupoksi dan bagaimana memadukannya dalam perencanaan.
PRB Inklusif diterjemahkan dalam program dan kegiatan SKPD terkait serta ada alokasi anggaran yang memadai.
SKPD terkait: BPBD, Dinas PPO, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, dan lainnya. TAPD. Forum PRB
23
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
3.4.1. Strategi 1: Pemaduan dalam Musrenbangdus/des/cam/kab Strategi ini dilaksanakan dengan mengikuti kegiatan, waktu dan keluaran sebagai berikut : (sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah). Kegiatan Perencanaan
Waktu
Keluaran
Musrenbang
Januari
Penetapan prioritas kegiatan pembangunan tahun mendatang sesuai dengan potensi serta permasalahan di desa/kelurahan tersebut.
Desa/Kelurahan
Februari
Menetapkan daftar prioritas kegiatan pembangunan di wilayah kecamatan. Prioritas kegiatan pembangunan ini disesuaikan menurut fungsi SKPD dan penetapan anggaran yang akan didanai melalui APBD dan sumber pendanaan lainnya.
Musrenbang Kecamatan
FebruariMaret
Rancangan Rencana Kerja-SKPD (Renja-SKPD) yang memuat kerangka regulasi dan kerangka anggaran SKPD yang akhirnya menjadi Rencana Kerja Perangkat Daerah (RKPD).
Forum Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten/Kota
Maret
Prioritas kegiatan yang sudah dipilah menurut sumber pendanaan dari APBD kabupaten/kota, APBD Propinsi dan APBN.
Musrenbang Daerah Kabupaten/Kota
Maret
Arah kebijakan, prioritas pembangunan dan pagu dana berdasarkan fungsi SKPD. Daftar prioritas yang sudah dibahas pada forum SKPD. Daftar usulan kebijakan/regulasi pada tingkat pemerintahan Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat.
Forum SKPD Propinsi
Maret
Rancangan Rencana Kerja (Renja-SKPD) memuat kerangka regulasi dan kerangka anggaran SKPD propinsi. Menggabungkan Prioritas Pembangunan Kabupaten/Kota dengan Daftar Prioritas Kegiatan Pembangunan yang berasal dari Renja- SKPD Propinsi. Mengidentifikasi prioritas kegiatan pembangunan Kabupaten/ Kota yang sesuai dengan prioritas kegiatan pembangunan Renja-SKPD Propinsi.
Musrenbang Propinsi
April
Pemutahkhiran RKPD Propinsi serta tahap penyelarasan RKP dan Renja-KL dengan RKPD Propinsi dan RKPD Kabupaten/ Kota
Musrenbang Nasional (Musrenbangnas)
April
Hasil Musrenbang Propinsi disampaikan kepada seluruh Kementerian/Lembaga, Gubernur dan Kepala Bappeda Propinsi untuk disepakati sebagai program prioritas pembangunan nasional, prioritas pendanaan RAPBN dan rancangan akhir RKP untuk disampaikan dan dibahas dalam sidang kabinet.
Tabel diatas memberikan gambaran lebih jelas terkait capaian ketika ingin mengintegrasikan PRB inklusif dalam perencanaan pembangunan pemerintah. Setiap tahapan yang diikuti tentu akan menentukan capaian apa yang akan didapatkan sesuai keluaran di setiap level. Perlu dipastikan bahwa advokasi kita harus juga memastikan bahwa PRB inklusif dalam setiap tahapan kegiatan perencanaan terus tersampaikan. Namun, bukan sebuah pembatasan ketika hanya beberapa tahapan yang diadvokasi, sesuai strategi dan kapasitas yang dimiliki.
24
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Strategi ini dilakukan berdasarkan unsur-unsur PRB dalam pembangunan. Panduan ini memberikan Daftar Periksa yang diupayakan selengkap mungkin memasukkan unsur pengarusutamaan hak kelompok rentan. Tidak semua hal dalam Daftar Periksa ini harus ada untuk memulai dan memastikan perencanaan pembangunan yang terpadu PRB inklusif, karena konteks tiap komunitas yang berbeda- beda. Penggunaan Daftar Periksa ini disesuaikan dengan konteks komunitas tersebut yang mencerminkan prioritas pengurangan risiko bencana. Daftar Periksa ini dibuat untuk membantu memfasilitasi komunitas mengembangkan rencana pembangunannya dalam Musrenbang. Daftar Periksa ini bisa digunakan oleh komunitas, oleh Ornop yang bekerja bersama komunitas maupun pemerintah. Daftar periksa ini dikembangkan dengan kesadaran bahwa peluang-peluang untuk pemaduan diatas sudah tercipta dalam beberapa komunitas di wilayah-wilayah di NTT, yakni15:
Daftar Periksa 01 Pemaduan PRB Inklusif dalam Penjaringan Aspirasi Masyarakat Unsur PRB
Inklusif Perempuan
Komunitas memiliki peta ancaman wilayah/desa.
Memastikan keterlibatan aktif perempuan dan kelompok perempuan dalam penyusunan peta ancaman.
Inklusif Penyandang Disabilitas Memastikan keterlibatan aktif penyandang disabilitas maupun organisasi atau representasinya dalam penyusunan peta ancaman.
Inklusif Hak Anak Memastikan keterlibatan aktif anak dan organisasinya dalam penyusunan peta ancaman
Proses penyusunan peta ancaman wilayah/desa tidak bisa dilakukan tanpa keterlibatan perempuan, anak dan penyandang disabilitas. Minimal 30% peserta yang hadir adalah perempuan, anak dan penyandang disabilitas. Komunitas memiliki cukup pemahaman tentang kerentanan terhadap ancaman bencana.
Ada pengenalan kerentanan yang spesifik bagi perempuan kepala keluarga, perempuan penyandang disabilitas, perempuan hamil dan menyusui, perempuan renta dan perempuan korban kekerasan berbasis gender.
Ada data terpilah disabilitas yang rinci menjelaskan jenis disabilitas dan gangguan fungsional yang diakibatkannya.
Ada penemukenalan kerentanan khusus anak, termasuk potensi gangguan pendidikan dan dampak psikologis.
Komunitas memiliki strategi pengurangan risiko bencana, terutama pengurangan kerentanan.
Kegiatan penguatan penghidupan dan ekonomi produktif mengutamakan kegiatan dan hasil yang bisa diakses dan dikontrol oleh perempuan.
Membuat peluang untuk memastikan penyandang disabilitas terlibat dalam peningkatan ketrampilan untuk mata pencaharian dan kesempatan kerja.
Kegiatan penguatan penghidupan dan ekonomi diutamakan bagi orangtua dengan anak berkebutuhan khusus.
Komunitas memiliki strategi dan mekanisme kesiapsiagaan.
Aktivitas pencadangan kebutuhan pokok untuk kesiapsiagaan juga mencakup kebutuhan khusus perempuan untuk fungsi reproduksi.
Sistem peringatan dini menggunakan format diseminasi informasi dan komunikasi yang tepat untuk jenis disabilitas yang berbeda-beda.
Pesan peringatan dini disampaikan dengan cara yang sesuai untuk anak.
15
Ada pengenalan kerentanan dan kebutuhan khusus anak penyandang disabilitas.
Peluang-peluang ini diidentifikasi dari pengalaman konkrit staf pemerintah maupun ornop yang terlibat dalam pertemuan-pertemuan konsultasi di 3 kabupaten dan tingkat propinsi.
25
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Rencana tempat evakuasi dan Rencana tempat evakuasi pengungsian benar-benar dan pengungsian dapat aman bagi perempuan. diakses dan aman bagi penyandang disabilitas.
Rencana tempat evakuasi dan pengungsian dapat diakses dan aman bagi anak-anak.
Standar inklusif disabilitas dalam pelatihan respon dan inisiatif kesiapsiagaan, termasuk membangun kapasitas dan ketrampilan relawan dalam penyelamatan dan evakuasi. Perempuan dikenali kapasitasnya untuk terlibat dalam tim siaga bencana dengan porsi yang sesuai.
Penyandang disabilitas dikenali kapasitasnya untuk terlibat dalam tim siaga bencana dengan porsi yang sesuai.
Anak dikenali kapasitasnya untuk terlibat dalam tim siaga bencana dengan porsi yang sesuai.
1. Masyarakat, termasuk perempuan, anak dan penyandang disabilitas, memahami risiko bencana, ancaman, kapasitas dan kerentanan, dan mengangkat kebutuhan pengurangan risiko bencana. 2. Perempuan, anak dan penyandang disabilitas dapat terlibat dalam proses musrenbang dan menyampaikan pendapatnya. 3. Ada contoh-contoh baik kearifan lokal di tingkat masyarakat terkait PRB Inklusif yang bisa diangkat dalam perencanaan. 4. Sudah ada forum atau organisasi kelompok rentan, seperti kelompok-kelompok perempuan, organisasi penyandang disabilitas, forum anak, dsb yang bisa bersuara mewakili anggotanya.
3.4.2. Strategi 2: Pemaduan dalam Visi-Misi Kepala Daerah Salah satu konsekuensi dari diterapkannya sistem Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah secara langsung (Pilkada), maka sistem perencanaan pembangunan daerah tidak lagi sepenuhnya merujuk pada Pola Dasar Pembangunan Daerah (sebagaimana dilakukan pada periode sebelumnya), tetapi diturunkan dari Visi/Misi pasangan Kepala/Wakil Kepala Daerah terpilih. Visi Misi ini akan menjadi landasan pengembangan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), yang selanjutnya akan dituangkan pada konsep perencanaan yang lebih operasional dalam bentuk Rencana Strategis Daerah (RENSTRADA) dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD). Dengan demikian, maka bila PRB Inklusif terpadu dalam visi misi KDH terpilih, bisa dipastikan PRB Inklusif akan terpadu juga dalam misi dan kebijakan pembangunan lainnya yang berkekuatan hukum.
26
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
3.4.3. Strategi 3: Pemaduan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Proses penyusunan RPJMD merupakan proses konversi visi/misi pasangan Kepala dan Wakil Kepala Daerah terpilih kedalam visi/misi pemerintah daerah pada periode pemerintahan pasangan tersebut, dikenal apa yang disebut dengan proses teknokratik. Pada fase ini, visi/misi pasangan Kepala dan Wakil Kepala daerah yang lebih bernuansa politis disinergikan dengan visi/misi daerah dengan mempertimbangkan potensi dan kepentingan daerah. Oleh karenanya, dapat dimengerti bila proses penyusunan RPJMD itu sendiri melibatkan sejumlah pemangku kepentingan (stakeholders), baik dari kalangan birokrat (utamanya Bappeda), kalangan profesional, akademisi, maupun dari kalangan Lembaga Swada Masyarakat (LSM). Strategi ini bertujuan agar PRB Inklusif masuk menjadi agenda prioritas sehingga bisa dijadikan acuan kebijakan untuk penyusunan rencana-rencana kerja, kegiatan dan anggaran di tingkat SKPD. Dalam RPJMD NTT 20092013, PRB menjadi bagian dari Agenda Prioritas 8, Agenda Khusus Penanggulangan kemiskinan, pembangunan daerah perbatasan, kepulauan dan daerah rawan bencana . PRB diarahkan untuk: 1) Mengembangkan upayaupaya mitigasi dalam rangka mengurangi ancaman dan resiko bencana ; 2) Meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana alam dan bencana sosial ; 3) Mendukung pengembangan dan penguatan kelembagaan penanggulangan bencana di daerah ; 4) Memperkuat dukungan sumberdaya pembiayaan dalam upaya pengurangan resiko bencana; dan 5) Memperkuat dukungan peraturan dan kebijakan daerah dalam rangka pengurangan resiko bencana . Nampak bahwa dalam RPJMD tersebut, PRB yang dipadukan masih tidak mengarusutamakan atau mengafirmasi hak dan kebutuhan kelompok rentan. Hal ini merupakan tantangan dalam proses pengembangan RPJMD berikutnya, dan membutuhkan upaya kolaboratif semua pihak.
3.4.4. Strategi 4: Pemaduan dalam Perencanaan di SKPD Pemaduan PRB inklusif dalam proses penentuan arah kebijakan SKPD dilakukan berdasarkan mandat pemaduan PRB dalam perencanaan pembangunan yang diturunkan dalam RPJMD dan merupakan rencana prioritas masyarakat yang tertera dalam dokumen Musrenbang. Pemaduan dalam perencanaan di SKPD ini bisa dimulai dari Rencana Strategis, Rencana Kerja dan Rencana Kerja & Anggaran. Untuk kepentingan pemaduan yang lebih terstruktur dan jelas, penting untuk mengembangkan Rencana Aksi Daerah PRB Inklusif. Hal yang perlu diperhatikan dalam upaya ini adalah: 1. SKPD terkait memastikan bahwa usulan program dan kegiatan tidak keluar dari tupoksi dan sedapat mungkin sudah memiliki nomenklatur dalam dokumen perencanaan dan penganggaran. 2. SKPD terkait memastikan bahwa mereka memiliki penjelasan dan argumentasi yang solid untuk meyakinkan pentingnya program dan kegiatan terkait PRB inklusif ini masuk dalam rencana SKPD.
27
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Dibawah ini adalah contoh-contoh pemaduan dalam perencanaan di SKPD. Contoh-contoh ini diambil dari konsultasi-konsultasi pengembangan panduan di Kabupaten Kupang, TTS, Belu dan di tingkat Propinsi NTT.
No
Bentuk Kegiatan
Target/Kelompok Sasaran
SKPD Pelaksana
1
Pembuatan peta risiko bencana kabupaten.
• LSM internasional dan lokal yang bekerja BPBD di bidang PRB, gender, anak dan penyan- Dinas Sosial dang disabilitas. • Perwakilan masyarakat dari wilayah rawan bencana. • Akademisi, Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Badan Pusat Statistik, Stakeholders lainnya.
2
Pelatihan PRB Inklusif untuk perencana dan pengambil kebijakan.
SKPD terkait: BPBD, Dinas Sosial, Dinas PPO, Dinas PU, Dinas Kesehatan, Bappeda. DPRD Kabupaten.
BPBD Sekretariat DPRD
3
Sosialisasi PRB Inklusif dan pentingnya PRB dalam perencanaan pembangunan di tingkat masyarakat.
Masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana.
BPBD Bappeda
4
Seminar tentang pentingnya inklusi kelompok rentan dalam pembangunan dan pengurangan risiko bencana.
Seluruh SKPD, DPRD
BPBD, Sekretariat DPRD.
5
Pemaduan materi PRB Inklusif dalam materi pelatihan vokasional untuk kelompok rentan.
Tim pelatih, peserta pelatihan.
Dinas Sosial
6
Pengembangan bahan kampanye tentang pentingnya menjaga lingkungan untuk mengurangi risiko bencana.
Anak-anak sekolah, masyarakat di wilayah rawan bencana banjir dan longsor, masyarakat umum.
BPBD Dinas PPO Dinas Kehutanan
28
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Daftar periksa dibawah ini membantu SKPD dalam pengembangan program dan kegiatan yang PRB Inklusif, agar lebih terarah dan tetap sejalan dengan prinsip-prinsip PRB Inklusif.
Daftar Periksa 02 Pemaduan PRB Inklusif dalam Perencanaan SKPD Unsur PRB
Perencanaan terpadu PRB
Inklusi Perempuan, Penyandang Disabilitas dan Anak
SKPD memiliki peta ancaman bencana atau berkonsultasi dengan institusi terkait tentang ancaman bencana wilayah.
Renja dan RKPD SKPD tidak berpotensi memperburuk ancaman bencana, bahkan memitigasi.
Ada keahlian dan pemahaman komprehensif tentang gender, penyandang disabilitas dan anak dalam menyusunan Renja dan RKPD SKPD.
SKPD mengembangkan analisa risiko bencana berdasarkan fokus sektor masing-masing.
BPBD mengembangkan RAD sebagai acuan peningkatan koordinasi dengan SKPD maupun stakeholders lain untuk strategi bersama pengurangan risiko bencana.
Ada ketersediaan data terpilah gender, anak dan penyandang disabilitas sebagai basis perencanaan pembangunan.
SKPD mengembangkan strategi pengurangan risiko bencana dalam perencanaan sektor masing-masing (rencana pembangunan mengurangi risiko atau minimal tidak meningkatkan kerentanan dan risiko bencana). SKPD mengembangkan strategi kesiapsiagaan terhadap bencana.
Ada identifikasi kerentanan khusus perempuan, penyandang disabilitas dan anak dalam risiko bencana. Ada strategi khusus untuk mengurangi kerentanan perempuan, anak dan penyandang disabilitas.
Program dan kegiatan dalam Renja dan RKPD selaras dengan strategi pengurangan risiko bencana.
Review strategi pengurangan risiko bencana oleh perempuan, penyandang disabilitas dan anak untuk memastikan perspektif mereka sudah termaktub.
Program dan kegiatan dalam Renja dan RKPD selaras dengan strategi pengurangan risiko bencana.
Ada instrumen data kerugian, kerusakan dan pengungsian terpilah jenis kelamin, usia dan disabilitas. Ada penelitian inovatif untuk mengidentifikasi strategi yang efektif untuk memastikan informasi peringatan sampai ke penyandang disabilitas yang berbeda-beda. Ada pengembangan dan sosialisasi standar kesiapsiagaan keluarga.
SKPD mengalokasikan tugas, kewenangan dan sumberdaya yang tersedia.
Ada alokasi anggaran dan sumberdaya manusia, serta delegasi kewenangan untuk memastikan pemaduan PRB.
Ada sumberdaya manusia dengan keahlian gender, anak dan disabilitas.
29
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
30
BAGIAN 4
Mendorong PRB Inklusif dan Strategi Advokasi Memastikan PRB Inklusif terintegrasi dalam perencanaan pembangunan adalah tugas bersama masyarakat, pemerintah dan pihak swasta. Bagian ini membantu para pihak untuk memeriksa kondisi perencanaan pembangunan yang ada, dan memberikan rekomendasi bagaimana kondisi ini bisa diperbaiki lewat kerjasama multipihak.
4.1. Mengapa Advokasi16 PRB, apalagi yang inklusif, masih merupakan hal baru yang perlu disosialisasikan terus menerus. Pemaduannya ke dalam perencanaan pembangunan membutuhkan upaya berbagai pihak, bukan saja karena kebaruannya, tetapi juga karena kebiasaan-kebiasaan dalam proses perencanaan yang masih menjadi tantangan, seperti: 1. Di tingkat masyarakat (perencanaan partisipatif) • Kebanyakan dusun/desa tidak melakukan afirmasi untuk memastikan partisipasi (bukan sekedar kehadiran) perempuan, anak dan penyandang disabilitas. • Hasil perencanaan di desa tidak selalu, atau jarang, sesuai dengan hasil akhir perencanaan dan alokasi dana publik. Hal ini berdampak pada: 1) kalaupun kelompok rentan berpartisipasi, suaranya tidak sampai di tingkat pembuat kebijakan; 2) sikap apatisme masyarakat terhadap proses perencanaan partisipatif, tidak kecuali juga kelompok rentan. • Pemahaman Pemdes/Kel tentang perencanaan yang PRB inklusif masih rendah, sehingga tidak merasa penting melibatkan perempuan, anak dan penyandang disabilitas dalam musrenbang. 2. Di tingkat SKPD • Perencanaan didominasi oleh infrastruktur fisik. • Minimnya paradigma dan pemahaman perencana dan pengambil keputusan tentang PRB Inklusif. • Anggaran terbatas, mayoritas untuk kebutuhan rutin.
16
Bagian ini merupakan hasil workshop dengan LSM dan konsultasi dengan pemerintah di 3 kabupaten dan tingkat propinsi.
4
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
• Institusi PRB masih baru terbentuk, yakni BPBD. Sejauh ini peran dan fungsi BPBD lebih banyak pada saat dan sesudah bencana (rehabilitasi dan rekonstruksi), sementara untuk pra bencana belum maksimal. • Karena mayoritas dana berasal dari pusat, maka ada keterbatasan membuat rencana yang spesifik kebutuhan lokal. • Beberapa wilayah belum memiliki kebijakan di tingkat kabupaten (Perda/Perbup/RAD) sebagai payung untuk memasukkan PRB inklusif dalam perencanaan kegiatan dan anggaran. • SKPD belum memiliki analisa risiko bencana, termasuk peta, dengan data terpilah.
4.2. Review Rencana Pembangunan yang Ada Tahap review perencanaan yang ada bertujuan untuk mengetahui kondisi sekarang pemaduan pengurangan risiko bencana yang inklusif dalam perencanaan pembangunan. Dokumen perencanaan yang bisa dianalisa seperti RPJMD, Rencana Strategis SKPD, Rencana Kerja Perangkat Daerah, Rencana Aksi Daerah maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Review dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi perbaikan rencana ke depan. Review ini hanya menganalisa isi dokumen, dan tidak pada prosesnya. Analisa dokumen perencanaan bisa dilakukan dengan menggunakan daftar periksa berikut.
Daftar Periksa 03 Review Dokumen Perencanaan Pembangunan Y/N
Pertanyaan 1. Apakah perencanaan sudah menggunakan data terpilah gender/anak/ penyandang disabilitas? 2. Apakah dalam rencana strategis maupun kegiatan, ada afirmasi untuk melibatkan perempuan, anak dan penyandang disabilitas? 3. Apakah dalam perencanaan ada identifikasi kebutuhan khusus perempuan, anak dan penyandang disabilitas? 4. pakah dalam perencanaan ada afirmasi untuk memprioritaskan kebutuhan khusus perempuan, anak dan penyandang disabilitas? 5. Apakah dalam perencanaan ada afirmasi penggunaan metode atau cara yang efektif untuk memastikan perempuan, anak dan penyandang disabilitas terjangkau informasi (baik informasi peringatan dini maupun informasi pembangunan lainnya) 6. Apakah dalam perencanaan ada afirmasi metode atau cara untuk memastikan program pembangunan maupun bantuan darurat menjangkau perempuan, anak dan penyandang disabilitas. 7. Apakah perencanaan sudah memasukkan analisa risiko bencana wilayah? 8. Apakah dalam perencanaan ada strategi untuk mengurangi kerentanan perempuan/anak/ penyandang disabilitas dalam risiko bencana? 9. Apakah dalam perencanaan ada alokasi sumberdaya untuk meningkatkan kapasitas perencana dan pembuat kebijakan tentang PRB inklusif?
32
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
4.3. Rekomendasi Bentuk Program/Kegiatan Mencermati peluang dan tantangan yang ada, beberapa rekomendasi kunci bagi mereka yang ingin mendorong PRB Inklusif dalam perencanaan pembangunan dalam konteks seperti di Kab Kupang, TTS, Belu dan Propinsi NTT. Program dan kegiatan ini pada dasarnya adalah apa yang harus terlebih dahulu dilakukan sebagai lokomotif PRB Inklusif dalam perencanaan oleh SKPD: 1. Mendorong BPBD untuk menjalankan fungsi koordinasi menuju perencanaan pembangunan yang inklusi kelompok rentan dan PRB. 2. Penguatan Forum PRB sebagai forum multistakeholders agar efektif mendorong PRB Inklusif. 3. Peta risiko bencana wilayah yang dilengkapi dengan data tersegragasi. 4. Pembuatan PERDA PRB, RAD PRB atau Perbup sebagai basis perencanaan dan penganggaran PRB Inklusif oleh Forum PRB. 5. Penguatan kapasitas bagi para perencana dan pembuat kebijakan tentang PRB Inklusif. 6. Penguatan kapasitas kelompok rentan tentang PRB (ancaman, kerentanan dan kapasitas) serta perencanaan pembangunan. 7. Integrasi materi PRB Inklusif dalam pelatihan-pelatihan yang diagendakan oleh SKPD. 8. Mendorong PRB Inklusif masuk dalam kurikulum sekolah (muatan lokal), kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan pengembangan diri lainnya. 9. Pengakuan dan penguatan kearifan lokal terkait PRB Inklusif.
33
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
4.4. Strategi dan Kegiatan Advokasi Bagian ini memberikan masukan bagi pihak-pihak yang akan melakukan advokasi agar bisa memilih strategi dan bentuk kegiatan yang cocok. Bagian ini disusun sesuai dengan strategi pemaduan PRB inklusif dalam perencanaan pembangunan, dimana tiap bagian akan dilengkapi dengan pilihan strategi dan kegiatan.
No.
Strategi Pemaduan
Strategi Advokasi
Contoh Kegiatan
1.
Pemaduan dalam Musrenbangdus/des/ cam/kab.
Pendampingan • Diskusi komunitas tentang PRB inklusif dan pentkomunitas dan Pemdes ingnya bagi pembangunan desa. tentang PRB Inklusif. • Pembuatan peta risiko bencana dan penyusunan strategi PRB inklusif desa. • Penyusunan Peraturan Desa tentang keterwakilan kelompok rentan dalam musrenbang dusun dan desa. • Mengawal proses musrenbang kecamatan dan kabupaten • untuk memastikan agenda PRB inklusif tetap menjadi prioritas
2.
Pemaduan dalam Visi Misi Kepala Daerah terpilih.
Lobi dan kampanye untuk menaikkan isu PRB inklusif.
• Diskusi terbatas, coffee morning dengan kandidat tentang PRB inklusif. • Debat calon KDH dengan topik terkait PRB inklusif. • Presentasi rumusan PRB inklusif yang menarik untuk dimasukkan dalam visi misi.
3.
Pemaduan PRB Inklusif dalam RPJMD
Lobi, kampanye dan drafting kebijakan
• Seminar pra RPJMD tentang PRB inklusif diselenggarakan oleh Forum PRB dan Bappeda. • Dengar pendapat atau audiens dengan KDH terpilih bersama wakil dan organisasi kelompok rentan dari wilayah bencana. • Siaran Pers, Konferensi Pers, dialog radio, membuat opini di koran dan kampanye lainnya tentang PRB inklusif. • Forum PRB mengembangkan draft RPJMD bagian PRB inklusif.
4.
Pemaduan dalam Perencanaan di SKPD.
Lobi, kerja kolaborasi • Forum PRB membentuk tim kolaboratif untuk dan drafting kebijakan. pengembangan peta risiko bencana wilayah. • Forum PRB mengadakan pelatihan perencanaan PRB inklusif untuk SKPD terkait. • Diskusi reguler perkembangan PRB inklusif dalam implementasi kegiatan pembangunan. • Audiens kelompok rentan dari wilayah bencana dengan DPRD. • Membantu draft kebijakan PRB inklusif, seperti RAD atau Perda.
34
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
4.5. Strategi yang saling melengkapi Pilihan strategi pemaduan maupun strategi advokasi dalam kebanyakan konteks, tidak bisa dipilah-pilah secara jelas. Bahkan fungsinya saling melengkapi. Suatu upaya advokasi di Strategi 1 mesti dilengkapi dengan upaya di Strategi 2, 3 dan seterusnya. Demikian pula sebaliknya. Cerita berikut dari pengalaman Bengkel APPeK bisa menjadi ilustrasi bagaimana upaya advokasi dilakukan secara sistematis dan di tiap tingkatan dengan memanfaatkan momen yang tepat.
Upaya Memastikan Perempuan Terlibat dan Kepentingannya menjadi Prioritas dalam Perencanaan Pembangunan Sejak tahun 2009 Bengkel Advokasi pemberdayaan dan Pengembangan Kampung (Bengkel APPeK) telah mulai bekerja mengorganisir perempuan di 4 kelurahan sebagai pilot Project di Kota Kupang, dan kemudian di replikasi ke 16 kelurahan sehingga menjadi 20 Kelurahan.Pengorganisasian ini bermuatan gagasan bahwa perempuan harus sadar pentingnya mereka terlibat dalam perencanaan pembangunan dan pembuatan kebijakan publik. Karena itu, pengorganisasian Bengkel berupa pendidikan kritis yang disajikan dalam diskusi-diskusi tematik bersama kelompok-kelompok perempuan. Pada akhirnya perempuan-perempuan yang terlibat dalam diskusi bersepakat untuk membentuk Forum Perempuan, yang menjadi wadah bersama para perempuan memperjuangkan kepentingan mereka dalam perencanaan pembangunan. Forum Perempuan menjadi kelompok penekan yang bertekat akan hadir di setiap pertemuan berkait kepentingan publik, yang artinya kepentingan perempuan, baik diundang maupun tidak. “Bagian yang paling sulit adalah membuat perempuan itu nyaman menghadiri pertemuan-pertemuan di publik,” demikian cerita Thersia, aktivis Bengkel. Membuat perempuan nyaman memang bukan perkara mudah, karena ini menyangkut kepercayaan diri yang telah bertahun dilunturkan oleh praktik diskriminasi gender. Bahwa perempuan tidak mampu, perempuan hanya di dapur, dan sejenisnya. Karena itu adanya organisasi perempuan dan pertemuan rutin merupakan prasyarat untuk terus menguatkan perempuan. Tetapi selain mendampingi kelompok perempuan di basis, Bengkel juga secara paralel bekerja menguatkan kapasitas di tingkat pembuat kebijakan. Ada berbagai pertemuan, pelatihan, lokakarya yang melibatkan pemerintah. Temanya tetap: pentingnya keterlibatan perempuan dalam perencanaan pembangunan dan pembuatan kebijakan publik. Ini penting, karena terkadang hanya karena ketidaktahuan maka muncul ketidakpedulian. Selain itu juga penting untuk menguatkan jaringan bagi Bengkel dan kelompok perempuan dalam advokasi. Setelah di aras akar rumput mulai solid, dan jaringan di tingkat pemerintah juga sudah terbangun, maka Bengkel menyelenggarakan pelatihan Fasilitasi Perencanaan Pembangunan yang melibatkan perempuan dari basis, LPM dan aparat pemerintah. Masih ada lagi seri pelatihan yang dilakukan: Pengarusutamaan Gender (PUG), Anggaran Responsif Gender (ARG) maupun kepemimpinan. Dalam proses-proses
35
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
pelatihan, juga terjadi tukar pemikiran antara perempuan basis dengan aparat pemerintah. Ini adalah proses penyadaran tersendiri, karena para pembuat kebijakan menjadi lebih paham adanya kebutuhankebutuhan khusus perempuan dan prioritas yang berbeda yang perlu diakomodasi dalam perencanaan pembangunan. Agenda tetap Forum Perempuan adalah Musrenbang. Perempuan harus terlibat aktif dalam musrenbang sebagai forum perencanaan pembangunan partisipatif. Karena format Musrenbang yang cenderung baku, maka bersama organisasi dan program lain, diadvokasikan adanya agenda Pra Musrenbang Perempuan. Di sinilah agenda khusus perempuan dibicarakan, dibahas dan dibuat prioritas oleh perempuan sendiri. Secara spesifik Pra Musrenbang ini membicarakan urusan pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Agenda yang menjadi prioritas perempuan. Dengan Pra Musrenbang, dipastikan bahwa perencanaan pembangunan tidak lagi didominasi oleh agenda pembangunan fisik seperti biasanya. Rumusan dari Musrenbang ini dikawal sampai ke tingkat kecamatan dan Forum SKPD di tingkat Kota. pengawalan ini di lakukan melalui memastikan Forum perempuan di undang dalam setiap musrenbang baik di tingkat kelurahan dan kecamatan. Jika tidak mendapatkan undangan maka pendamping dari Bengkel hadir mendampingi Forum Perempuan dalam Musrenbang Kelurahan dan Kecamatan. Sementara untuk terlibat di Forum SKPD dan Musrenbang Kota maka Forum Perempuan didorong untuk terlibat sebagai perwakilan/Tim Perumus hasil Musrenbang. Dengan sendirinya mereka pasti terlibat. Namun jika tidak terpilih sebagi perwakilan/Tim Perumus, maka Bengkel APPek hadir bersama dengan pengurus Forum Perempuan tingkat kecamatan di Forum SKPD dan Musrenbang Kota. Dalam setiap Musrenbang tersebut Bengkel memastikan apakah usulan -usulan dari Forum Perempuan terakomodir atau tidak? Mengapa tidak terakomodir, dll. Untuk memastikan kelompok perempuan terlibat secara aktif dan partisipatif dalam proses perencanaan dan penganggaran mulai dari tingkat kelurahan hingga Kota Kupang, selain pengorganisasian di lapangan juga Bengkel APPeK mengadakan Workshop Multi- stakeholder tentang pengembangan mekanisme pelibatan perempuan dalam proses perencanaan dan penganggaran di Kota Kupang. Ini menjadi salah satu mekanisme mendorong terakomodirnya hasil-hasil perencanaan dari kelompok perempuan dalam dokumen perencanaan dan penganggaran di Kota Kupang. Upaya untuk memastikan kepentingan perempuan diakomodasi dalam perencanaan pembangunan memang tidak bisa hanya satu arah. Bengkel membuat kompilasi hasil-hasil Musrenbang yang terkait kepentingan perempuan menurut SKPD relevan. Dokumen kompilasi mereka serahkan dan diskusikan dengan SKPD terkait. Selain itu, Bengkel juga membuat survei kepentingan perempuan yang lebih luas. Hasilnya mereka bawa dalam roadshow ke DPRD, Walikota, dan juga media massa. Yang penting, isu perempuan dan perencanaan pembangunan ini menjadi isu penting dan bisa mempengaruhi pembuat kebijakan. Kebetulan ditahun ketiga pelaksanaan upaya ini, jelang juga Pilwalkot Kupang. Maka Bengkel menggelar Debat Kandidat dengan tema Keberpihakan Calon Walikota dan wakilwalikota terhadap kelompok Perempuan dan masyarakat Marginal di Kota Kupang. Melalui kegiatan debat, gagasan inipun tersebar ke para kandidat dan pendukungnya.
36
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
Paska pemilihan, Bengkel mendekati Bappeda, yang biasanya bertugas menyusun RPJMD. Diawali dengan kunjungan informal. “Kita harus mulai dengan ngobrol-ngobrol informal dulu, itu lebih efektif untuk membangun kepercayaan,” argumen Thersia. Bengkel mencari tahu, bagaimana warga sipil bisa memberikan kontribusi pengetahuan dan pendapat untuk penyusunan RPJMD. Tidak harus mereka menjadi bagian dari Tim Penyusun, yang penting ada ruang untuk bersumbang pikiran. Permintaan ini direspon positif. Bengkel diberikan dokumen draft RPJMD, khusus bagian yang relevan, untuk mereka kritisi dan lengkapi. Tetapi mereka tidak punya kontrol untuk memastikan gagasan mereka benar-benar diakomodasi. Disinilah pentingnya jaringan. “Kebetulan kami punya teman yang menjadi Konsultan Gender untuk AIPMNH, yang adalah rekan diskusi Pemkot untuk RPJMD. Jadi kami titip agenda. Tidak perlu kami di depan, yang penting agendanya bisa diakomodir,” jelas Thersia lagi. Hasilnya bisa dipetik. Dalam Musrenbang dokumen RPJMD Kota Kupang, Bengkel ApPEK diundang untuk memberikan masukan oleh Pemkot Kupang. Kepala Bappeda Kota Kupang, dalam kesempatan tersebut menyatakan bahwa apa yang diperjuangkan Bengkel ApPEK untuk kepentingan perempuan sudah diakomodir menjadi salah satu arah kebijakan dalam Misi ke-5 dalam RPJMD Kota Kupang tahun 20132017. Dengan Visi “ Mewujudkan Kota Kupang sebagai kota berbudaya, modern, produktif dan nyaman yang berkelanjutan”, misi kelima Pemerintah Kota Kupang adalah: Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat. Dalam misi ini, ditetapkan arah kebijakan: 1. Pengembangan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar warga miskin secara adil, merata, partisipatif, koordinatif dan sinergis, guna mempercepat penurunan jumlah warga miskin dan pengembangan penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial, lansia, anak jalanan dan anak terlantar, penyandang HIV-AIDS. 2. Pembangunan dan pengembangan perumahan bagi masyarakat miskin. 3. Pengembangan pengarusutamaan gender melalui fasilitasi peningkatan kelembagaan, kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan serta perlindungan anak, remaja dan perempuan dari segala bentuk diskriminasi dan eksploitasi 4. Peningkatan dan pengembangan manajemen mitigasi bencana. Penetapan ini akan berdampak pada perumusan Rencana Strategis dan Rencana Kerja SKPD yang terkait selama 5 tahun kedepan. Di tingkat basis mulai dirasakan perubahan nyata. Dana pendukung untuk Posyandu dari BPMK terus mengalami peningkatan. Hal ini berdampak pada tunjangan untuk Kader. Demikian pula kelompokkelompok perempuan usaha kecil makin bisa berkembang karena mampu mengakses berbagai dukungan modal dari pemerintah. Sumber: Wawancara dengan Thersia Ratu Nubi [Kordinator Divisi Advokasi dan Demokrasi Bengkel APPeK]
37
Memadukan Pengurangan Risiko Bencana yang Inklusif dalam Perencanaan Pembangunan
38
BAGIAN 5
Penutup Panduan ini disusun melalui konsultasi intensif dengan para praktisi dan pengamat urusan pengurangan risiko bencana dan kelompok rentan, baik mereka yang berkarya di organisasi non pemerintah maupun di pemerintahan. Karena itu, panduan ini dikembalikan kepada mereka, juga semua yang peduli, dengan harapan memberikan manfaat bagi pembangunan yang waktu demi waktu menjadi lebih memadukan upaya pengurangan risiko bencana, dan teristimewa lebih inklusif. Panduan ini dikembangkan sebaik mungkin, tetapi disadari masih jauh dari sempurna. Semua kritik yang membangun dan masukan yang bernas diharapkan untuk memperbaikinya dimasa mendatang. Biarlah panduan ini menjadi panduan yang hidup, dan karenanya, terus relevan.
5