PANDANGAN ULAMA TENTANG TABARRUJ DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM Drs. H. MUKHSIN, M.HI Abstrak Kata ”tabbarruj” merupakan kata dasar dari bentuk kata kerja depan ”tabarraja”. Kata itu sendiri merupakan kata turunan (musytaqq) bentuk dasar tsulatsi dari kata : yang berarti : tampak dan naik atau tinggi. Kata tabarraja telah menjadi istilah yang dikhususkan bagi kaum perempuan, sehingga di dalam AlMunjid fi Al-Lughah dituliskan sebagai berikut : Artinya : ”Perempuan bertabarruj sama dengan perempuan yang menampakkan perhiasa dan kecantikannya kepada orang-orang asing”. Pengertian kebahasaan itu selaras dengan yang ditulis oleh Ahmad Warson Munawwir, penulis ”Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia”, bahwa ”tabarrajat al-mar’ah” berarti: ”Mempertontonkan hiasan dan kecantikannya kepada orang lain”. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tabarruj adalah perbuatan yang dilakukan perempuan untuk menampakkan, atau memperlihatkan, atau mempertontonkan perhiasan dan kecantikannya kepada orang lain. Kata Kunci: Ulama, Tabarruj, Hukum Islam
A. Pengertian Tabarruj Menurut Muhammad Hasan Al-Hamshi, seorang mufassir asal Lebanon, ”tabarruj” berarti : ”Menampakkan perhiasan dan kecantikan yang wajib ditutup”. 4 Ahmad Musthafa Al-Maraghi memberikan defenisi yang tidak berbeda, dengan redaksi sebagai berikut : ”Perempuan yang menampkkan sebagian kecantikannya yang seharusnya ia tutupi”.5 Pengertian itu selaras dengan yang diberikan oleh Sayyid Sabiq, sebagai berikut : ”Menampakkan apa yang wajib disembunyikan”.6 Namun Sayyid Sabiq menambahkan bahwa tabarruj, mempunyai pengertian yang lebih spesifik sebagai :
4
”Keluarnya perempuan dari
Muhammad Hasan Al-Hamshi, Qur’an Majid : Tafsir wa Bayan, (Beirut : t.t), h. 422 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid VIII, (Kairo : Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1963), h. 6 6 Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid II, Beirut : Dar Al-Fikr, 1983, h. 180 5
kesopanan dan menampakkan bagian-bagian tubuhnya yang dapat mengundang fitnah, dan dengan sengaja mengumbar kecantikannya”.7 Sedangkan Abu Al-A’la Al-Maududi memberikan dua pengertian, yaitu : 1. Menampakkan perhiasan atau mempertontonkan serta memperlihatkan kecantikan. 2. Kebiasaan berjalan dengan genit dalam memamerkan perhiasan dan kecantikan.8 Syamsuddin juga memberikan dua pengertian atas tabarruj, dengan rincian sebagai berikut : 1. Memamerkan perhiasan yang dipakai, seperti : emas, intan, berlian dan sebagainya. 2. Memamerkan bentuk tubuh, bagian-bagian badan yang menimbulkan sex appeal (daya tarik sexual), atau berpakaian secara tidak sopan (minim dan ketat), sehingga bagian-bagian tubuh yang menimbulkan sex appeal terlihat jelas.9
B. Tabarruj Dalam Nash Al-Quran Kata tabarruj, menurut akar katanya terdapat pada enam tempat di dalam Al-Quran, yaitu : 1. QS. Al-Ahzab, ayat 33 : ”Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab : 33).10 2. QS. Al-Nur, ayat 60 : ”Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa
7
Ibid Abu Al-A’la Al-Maududi, Al-Hijab dan Status Wanita Islam (Terjemah Purdah and The Satatus of Women in Islam), Bandung : Risalah, 1984, h. 302 9 Syamsuddin. Pendidikan Kelamin Dalam Islam. Semarang : CV. Ramadani, 1966 10 Tim Penterjemah / Pentafsir Al-Quran (TPPA) Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya. (Madinah : Majma al-Malk Fahd, 1418)(, h. 672 8
menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan”. (QS. Al-Nur : 60).11 3. QS. Al-Nisa, Ayat 78 : ”Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kami, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh”. (QS. Al-Nisa : 78).12 4. QS. Al-Buruj, Ayat 1 : ”Demi langit yang mempunyai gugusan bintang”. (QS.Al-Buruj : 1)13 5. QS. Al-Hijr, ayat 16 : ”Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang(nya)”. (QS. Al-Hijr : 16).14 6. QS. Al-Furqan, ayat 61 : ”Maha suci Allah yang menjadikan di langit gugusan-gugusan bintang”. (QS. Al-Furqon : 61)15 Makna yang dimaksud dalam penelitian ini terdapat pada dua ayat pertama, yaitu : QS. Al-Ahzab : 33, dan QS. An-Nur : 60. Larangan terhadap tabarruj tersurat secara zahir pada QS. Al-Ahzab : 33, yang merupakan landasan utama bagi larangan Tabarruj dalam Islam, khususnya Tabarruj AlJahiliyyah. Adapun pada QS. Al-Nur : 60 bersifat celaan terhadap wanita yang suka memperlihatkan atau mempertontonkan atau memamerkan perhiasannya (mutabarrijat bi zinah). Masalah tabarruj dalam QS. Al-Ahzab : 33 dinyatakan sebagai berikut: ”Dan hendaklah kamu tetap dirumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu. Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS. Al-Ahzab : 33).16 11
Ibid. h. 555 Ibid. h. 131 13 Ibid. h. 1044 14 Ibid. h. 391 15 Ibid. h. 566 16 Ibid. h. 672 12
Ayat ini merupakan salah satu bagian dari rangkaian ajaran kepada isteri-isteri Nabi Muhammad SAW yang termaktub di dalam QS. Al-Ahzab : 29-34. Pada ayat 28, Allah mengajarkan kepada Nabi Muhammad SAW agar menjauhkan isteri-isterinya dari kecenderungan untuk condong kepada kehidupan dunia dan perhiasannya, sebagai firman Allah SWT : ”Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu : ”Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikankepadamu mut’ah, dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik”. (QS. Al-Ahzab : 28). Ayat itu dilanjutkan dengan iming-iming pahala yang besar jika isteriisteri Nabi itu menghendaki keredhaan Allah dan Rasul-Nya, serta berbuat baik, sebagaimana firman Allah SWT : ”Dan jika kamu sekalian menghendaki (keredhaan) Allah dan RasulNya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik diantaramu pahala yang besar”. (QS. Al-Ahzab : 29).17 Pada dua ayat selanjutnya, Allah mempertegas peringatan (janji dan ancaman) kepada isteri-isteri Nabi melalui firman-Nya dalam QS. Al-Ahzab : 30-31. 18 ”Hai isteri-isteri Nabi, siapa-siapa diantaramu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepada mereka dua kali lipat. Dan adalah yang demikian itu mudah bagi Allah. Dan barangsiapa diantara kamu sekalian (isteri-isteri Nabi, tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mengerjakan amal yang saleh, niscaya Kami memberikan kepadanya pahala dua kali lipat dan Kami sediakan baginya rezeki yang mulia”. (QS. Al-Ahzab : 30-31).19 Pada ayat 32 dari Surah Al-Ahzab itu, Allah menegaskan keistimewaan isteri-isteri Nabi dari perempuan-perempuan lainnya, dengan mengajarkan mereka sebagai berikut : 17
Ibid. h. 671 Ibid. h. 671 19 ibid. h. 671-672 18
”Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik”. (QS. Al-Ahzab : 32).20 Setelah ayat diatas, muncullah ayat tabarruj sebagaimana yang dikutip diatas. Artinya, ayat tabarruj sesungguhnya ditujukan kepada isteri-isteri Nabi, sebagaimana terlihat dalam rentetan ayat-ayat di atas. Setelah ayat tabarruj yang memerintahkan isteri-isteri Nabi untuk berdiam di dalam rumah mereka, dan tidak berperilaku pamer dan berpakaian terbuka seperti orang-orang Jahiliyah, muncullah tuntunan Al-Quran dalam QS Al-Ahzab : 34 sebagai berikut : ”Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabi). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Ahzab : 34).21 Inti dari ajaran ini sesungguhnya terdapat pada penggalan akhir dari QS Al-Ahzab :33 diatas yang artinya : ”Sesungguhnya Allah hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait; dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. Karena itulah muncul larangan tabarruj sebagaimana kebiasaanorang-orang Jahiliyah. Ibn Abbas mengartikan larangan tersebut sebagai larangan untuk meniru cara berhias orang-orang kafir dan cara berpakaian mereka yang tipis-tipis dan berwarna-warni secara mencolok.22 Ditinjau dari sudut pandang ini, maka larangan tabarruj pada ayat tersebut sesungguhnya terkait erat dengan ajaran Islam secara keseluruhan tentang adab berpakaian bagi kaum perempuan. Masih dalam surah Al-Ahzab, terdapat perintah kepada Nabi SAW untuk mengajarkan isteri-isteri beliau, anak-anak perempuan beliau, dan perempuan-perempuan mu’min agar menggunakan jilbab sesuai dengan tuntunan Islam. Tujuannya adalah agar mereka itu dapat dikenali identitasnya sebagai orang mu’min, sehingga tidak 20
Ibid. h. 672 Ibid. 22 Ibn Thahir Al-Fairuzabadi, Tanwir Al-Migbas Min Tafsir Ibn Abbas. (Kairo : Maktabah Musthafa Al-Babi Al-Halabi Wa Awladih, 1951), cet. Ke-2, h. 261 21
mendapat perlakuan yang menyakitkan dari masyarakat Arab yang cenderung meremehkan kaum perempuannya, sebagaimana firman Allah : ”Hai
Nabi,
katakanlah
kepada
isteri-isterimu,
anak-anak
perempuanmu, dan isteri-isteri orang-orang mu’min, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang. 23 Ayat lain yang berbicara tentang masalah yang sama adalah QS AlNur : 31 sebagai berikut : ”Katakanlah kepada wanita yang beriman : ”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayanan-pelayanan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. Al-Nur : 31).24 Adab berpakaian ternyata tidak hanya ditujukan khusus kepada umat Islam saja, tetapi juga kepada seluruh umat manusia, sebagaimana dinyatakan dalam QS. Al-A’raf : 26 berikut ini : ”Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan
23 24
TPPA Depag RI, op. cit. h. 678 Ibid. h. 548
pakaian takwa itulah yang paling baik, yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat”.25 Ayat ini diperkuat dengan perintah untuk berhias ketika memasuki masjid, sebagaimana terdapat dalam QS. Al-A’raf : 31 sebagai berikut : ”Hai anak Adam, berhiaslah ketika memasuki masjid, makanlah, minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al-A’raf : 31).26 Berdasarkan nash-nash Al-Quran di atas, dapat disimpulkan bahwa tuntunan Islam berkenaan tabarruj meliputi : 1. Larangan untuk kaum perempuan keluar rumah dengan berhias dan bersolek untuk menarik perhatian kaum laki-laki, seperti yang dilakukan orang-orang Jahiliyah. 2. Larangan berpakaian mereka yang tipis-tipis dan berwarna-warni secara mencolok, seperti yang dilakukan orang-orang Jahiliyah. 3. Perintah menggunakan jilbab yang menutupi dada dan seluruh aurat. 4. Perintah menjaga penglihatan, menjaga kehormatan (furuj), tidak menampakkan perhiasan kepada orang asing, dan tidak menghentakkan kaki yang dengan sengaja ingin memperdengarkan bunyi perhiasan yang dipakai (gelang kaki).
C. Tabarruj Dalam Nash Al-Sunnah Al-Sunnah berfungsi untuk menjelaskan ketentuan-ketentuan yang masih bersifat umum di dalam Al-Quran. Ketetapan Al-Sunnah itu telah diabadikan dalam bentuk riwayat-riwayat hadits. Oleh karena itu, rujukan tentang tabarruj dalam nash Al-Sunnah dapat ditemukan melalui riwayatriwayat hadits sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab hadits. Berkenaan dengan masalah tabarruj, terdapat sejumlah hadits yang menjelaskan baik secara langsung maupun tidak langsung. Di antaranya sebuah hadits riwayat Imam Ahmad yang menyatakan larangan Rasulullah 25 26
Ibid. h. 224 Ibid. h. 225
kepada Umaimah binti Ruqaiqah untuk bertabarruj. Riwayat itu selengkapnya adalah sebagai berikut : Dari Amr bin Syu’ab, dari ayahnya, dari kakeknya berkata : telah datang Umaimah binti Ruqaiqah kepada Rasulullah SAW untuk berbai’at masuk Islam, maka Rasulullah bersabda : ”Aku membai’atmu untuk tidak mensekutukan Allah dengan sesuatu, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak, tidak melemparkan tuduhan dusta, tidak meratap, dan tidak bertabarruj seperti tabarruj orang-orang Jahiliyah dahulu”. (HR. Ahmad).27 Sementara Abu Dawud meriwayatkan hadits yang juga diriwayatkan dengan redaksi berbeda oleh Ahmad dan Al-Nasa’i, yang menyebutkan bahwa tabarruj tergolong ke dalam sepuluh hal yang dibenci oleh Rasulullah SAW. Riwayatnya adalah sebagai berikut : ”Dari Abdurrahman bin Harmalah bahwa Ibn Mas’ud berkata bahwa Rasulullah membenci sepuluh hal, yaitu : wewangian warna kuning bernama khaluq, mengubah warna uban, memakai kain yang dipanjangkan hingga menyeret lantai, memakai cincin emas, menampakkan perhiasan tidak pada tempatnya, bermain dadu, pengobatan tanpa ta’awwudz, memakai jimat, melakukan azl tidak pada tempatnya, merusak bayi tanpa bersalah”. (HR. Abu Dawud).28 Selain itu, terdapat hadits-hadits yang tidak menyebut langsung istilah tabarruj, tapi menyebutkan sifat-sifat tabarruj dan celaan Islam terhadap hal itu. Diantaranya sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim sebagai berikut: ”Dan Suhail bin Abu Shalih, dari Ayahnya, dari Abu Hurairah berkata, bersabda Rasulullah SAW : ”Ada dua golongan ahli mereka yang tidak mau aku lihat, yaitu : kaum yang suka memukul orang-orang dengan cambuk yang menyerupai ekor kerbau, dan perempuan baik berpakaian maupun telanjang yang suka berlenggak lenggok, kepalanya bergoyang laksana punuk peramal. 27
Ahmad Bin Hanbal, Musnad Ahmad, Dalam Syirkat Al-Barajmij Al-Islamiyah AlDauliyyah, Mausu’;at Al-Hadits Al-Syarif 9Gisco, 1991-1997), Hadits No. 6554 28 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Dalam Syirkat Al-Baramij Al-Islamiyah AlDauliyyah, op. Cit. Hadits No. 3686
Kedua-duanya tidak akan masuk surga, dan tidak akan mendapatkan baunya”. (HR. Muslim).29 Riwayat itu diperkuat pula oleh riwayat Imam Malik sebagai berikut : Dari Muslim Bin Abu Maryam, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, bahwa ia (Nabi) bersabda : ”Perempuan berpakaian laksana telanjang yang berjalan berlanggak-lenggok, tidak masuk surga, dan tidak akan mendapatkan bau surga, padahal bau surga tercium sejauh lima rtaus tahun”. (HR. Malik).30 Adapun hadits yang khusus berbicara tentang perhiasan perempuan, di antaranya diriwayatkan oleh Ibn Majah sebagai berikut : Dari Urwah bin Zibair, dari Aisyah berkata : ketika Rasulullah SAW sedang duduk di masjid, seorang perempuan dari Muzaimah masuk sambil bergay adengan perhiasannya di dalam masjid, maka Rasulullah SAW bersabda : ”Wahai manusia, laranglah perempuan kalian menggunakan perhiasan dan berjalan dengan bergaya di dalam masjid. Karena sesungguhnya Bani Israel tidak dilaknat sehingga perempuan mereka memakai perhiasan dan bergaya di dalam tempat ibadah”. (HR. Ibn Majah).31 Berdasarkan nash-nash hadits di atas, dapat diambil pengertian bahwa tabarruj adalah terlarang di dalam Islam. Larangan itu meliputi : 1. Tabarruj dengan menampakkan, memperlihatkan, mempertontonkan, dan memamerkan perhiasan (tabarruj bi al-zinah). 2. Tabarruj dengan memperlihatkan kemolekan tubuh, baik dengan cara berjalan berlenggak-lenggok (mumilat ma’ilat), berpakaian yang ketat, maupun
dengan
berpakaian
yang
minim
dan
secara
sengaja
memperlihatkan bagian-bagian tubuh tertentu hingga nyaris telanjang (kasiyat ariyat). 3. Tabarruj dengan berhias diri secara bergaya (tabakhtur), dan memakai perhiasan yang mencolok (rafl fi zinah). 29
Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Zinat Wa Al-Libas, Dalam Syirkat AlBaramij Al-Islamiyyah Al-Dauliyyah. Op. Cit. Hadits No. 3971 30 Imam Malik, Muwattha Malik, Kiab ”Ma Yukrahu Li Al-Nisa Labsuhu Min AlTsiyab”, Dalam Syirkat Al-Baramij Al-Islamiyyah Al-Dauliyyah, Op. Cit, Hadits No. 1421 31 Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab ”Fitnat At-Nisa”, Dalam Syirkat Al-Baramij Al-Islamiyyah Al-Dauliyyah, Op. Cit. Hadits No. 3991.
D. Tabarruj Al-Jahiliyah Al-Ula Istilah ”tabarruj al-jahiliyyat al-la” merupakan istilah yang terdapat di dalam QS. Al-Ahzab : 33, yaitu : ”Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyyah yang dahulu”. (QS. Al-Ahzab : 33).1 Praktek Tabarruj, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat tersebut, telah mengakar dalam budaya masyarakat Jahiliyah pra-Islam. Islam datang sebagai respons atas kondisi-kondisi masyarakat Arab kala itu, yang salah satunya adalah buruknya perlakuan terhadap kaum perempuan, sebagaimana umumnya terjadi di dunia kala itu.2 Perempuan dipandang sebagai alat pemuasan hasrat-hasrat dasar kaum laki-laki. Karenanya perempuan dipandang sangat rendah. Dampak buruk dari pandangan tersebut sangat nyata dalam kekacuan pola hubungan seksual dalam masyarakat Arab kala itu. Nyaris segala hal dibolehkan, sepanjang menguntungkan bagi kaum laki-laki, khususnya mereka yang berkuasa. Oleh karena itu, masyarakat Arab suka mengadakan pesta-pesta yang gemerlap, dengan menghiasi kaum perempuannya untuk kenikmatan kaum laki-laki yang memandangnya, sekaligus untuk mengundang terjadinya hubungan seksual yang diperdagangkan (prostitusi). Sudah menjadi tabi’at saat itu, seorang penguasa atau saudagar menjamu tamu kehormatannya dengan jamuanjamuan dan perempuan-perempuan cantik. Standar kecantikan bagi mereka bukanlah kecantikan dari seorang perempuan yang bermartabat dan mempunyai kepribadian, tapi kecantikan yang hanya dinilai dari wajah dan kemolekan tubuh.3 Menurut Sayyid Qutbh, hal-hal tersebut diatas sangat jelas tergambar dalam syair-syair jahili yang banyak mengumbar gambaran tentang tubuh 1
Tim Penterjemah / Pentafsir Al-Quran (TPPA) Depag RI, Al-Quran dan Terjemahannya. (Madinah : Majma Al’Malk Fahd, 1418), h. 672 2 mal Yamani (ed), Feminisme dan Islam. (Terjemah dari Islam and Feminism), (Bandung : Penerbit Nuansa, 2000), h. 133-134 3 Sayyid Qutbh, Fi Zilal Al-Quran. Jilid 6 (Beirut : Dar Ihya Al-Turats Al-Arabi, 1971), cet. Ke-7. h. 579-580
perempuan secara tidak terhormat dan naif. Kondisi jahiliyah tersebut menyebabkan kaum wanita terbiasa diperlakukan demikian, dan malah bangga mengumbar kecantikan dan kemolekannya. Inilah yang disebut sebagai tabarruj, yaitu tabarruj al-jahiliyyah.4 Berikut ini diantara cakupan tabarruj al-jahiliyyah sebagaimana dikutip oleh Sayyid Qutb : 1. Menurut Mujahid, tabarruj al-jahiliyyah diantaranya adalah perempuan yang keluar rumah dan bergaul secara bebas dengan kaum laki-laki. 2. Menurut Qatadah, tabarruj al-jahiliyyah diantaranya adalah perempuan yang berjalan dengan gaya gemulai dan genit. 3. Menurut Ibn Yayyam, tabarruj al-jahiliyyah diantaranya adalah memakai kerudung di kepala tapi dengan sengaja dilonggarkan pada bagian bawahnya, untuk memperlihatkan kalung, anting-anting dan leher. 4. Menurut Ibn Katsir, kebiasaan tabarruj al-jahiliyyah adalah kebiasaan kaum perempuan berjalan di antara kaum laki-laki, tanpa takut bersenggolan, dan kadang-kadang memperlihatkan keindahan leher, kelembutan rambut, dan anting-anting di telinga.5 Muhammad Ismail M, dalam buku Hijab Wanita Muslimah menuturkan bahwa dalam sejarah umat manusia, Tabarruj al-Jahiliyyah terjadi dalam dua periode zaman. Pertama, zaman antara Nabi Nuh AS dan Nabi Idris AS. Kedua, zaman antara Nabi Isa as. Dan Nabi Muhammad SAW. Menurut Muhammad Ismail M : Kaum wanita pada kedua zaman itu mengekspos tubuh mereka dan menyalahgunakan kebebasan untuk meninggalkan rumah mereka hingga ke suatu tahap yang belum pernah dilihat sebelum zaman itu. Akibatnya, mereka menjadi sasaran yang dipertontonkandan diambil manfaatnya oleh semua orang wnaita-wanita zaman itu telah menjadi tontonan umum yang dapat digunakan oleh setiap orang kapan saja. Mereka berjalan berlenggak-lenggok di jalanan, dihiasi dengan permata dan wewangian, memamerkan kecantikan 4 5
Ibid. h. 580 Sayyid Qutbh., Op. Cit. H. 584
mereka dengan pakaian setengah telanjang untuk menarik perhatian hidung belang. Seringnya wanita-wanita itu berhubungan dengan lelaki selain suaminya, menyebabkan kondisi, kadang-kadang dipakai oleh suaminya, dan pada saat yang lain dipakai untuk menyenangkan kekasihnya. Tanpa mengindahkan kehormatan, kesucian, dan kesopanan, wanita-wanita itu tidak segan-segan menyenangkan lelaki ajnabi dengan perbuatan-perbuatan yang menarik perhatian. Al-Quran menyebut perbuatan-perbuatan fahsya seperti itu sebagai tabarruj jahiliyyah.6 Kondisi itu tidak hanya menyerang bangsa Arab Pra-Islam, tapi juga merupakan fenomena umum yang berlangsung di seluruh dunia Pra-Islam. Masyarakat Yunani kuno, umpamanya, memandang bahwa kaum wanita hanya mempunyai dua fungsi, yaitu : untuk keenakan seksual atau alat untuk kesenangan laki-laki, dan untuk melahirkan anak.7 Masyarakat Cina kuno juga memandang wanita sebagai pelayan laki-laki, sehingga dikatakan bahwa kewajiban mereka hanyalah melayani laki-laki dengan sebaik-baiknya dan menerima pekerjaan-pekerjaan yang berat dan hina.8 Masyarakat Romawi Kuno memandang wanita sebagai harta yang dimiliki kaum laki-laki, sehingga tidak dipandang sebagai manusia yang sederajat dengan laki-laki, dan dapat diperlakukan sesuka hati, untuk kepuasan laki-laki.9 Masyarakat Mesir Kuno memperlakukan wanita dengan dua cara, memanfaatkan mereka sebagai tempat pemuasan seks laki-laki, atau menjadikan mereka sebagai sesaji yang diceburkan ke sungai Nil.10 Pandangan-pandangan buruk terhadap kaum wanita pra-Islam itulah yang
menciptakan
kondisi-kondisi
tabarruj,
yang
memaksa
wanita
memamerkan kecantikan dan kemolekannya dihadapan laki-laki, agar tidak 6
Muhammad Ismail M. Hijab Wanita Muslimah, (Bandung : Pustaka Ramadhan, 2002),
h. 118 7
Pandangan Ini Dipopulerkan Oleh Demosin, Seorang Filosof Yunani. Bahay Al-Khauly, Islam dan Persoalan Wanita Modern. Solo : Ramadhani, 1988, cet. Ke-1, h. 12 8 Ibid. h. 11 9 Ibid. h. 13 10 Hidayah Salim, Wanita Islam : Kepribadian dan Perjuangannya. Bandung : Remaja Rosdakarya, 1990, h. 3.
mendapat perlakuan yang lebih buruk. Lambat-laun keterpaksaan itu berubah menjadi kesenangan, karena mendapatkan perlakuan yang menyenangkan dari kaum laki-laki, sebagai tontonan dan idola. Menurut Sayyid Qutb, kebiasaan-kebiasaan tabarruj seperti itulah yang hendak dikikis oleh Islam, karena tabarruj merupakan penyakit sosial yang terus menggerogoti tatanan sosial yang sehat. Islam hendak membangun masyarakat yang bersih dan suci dari penyakit-penyakit jahiliyyah itu, agar terbebas dari fitnah dan sebab-sebab kehancuran. Hal ini dilakukan dengan membangun adab, etika, norma, dan sentuhan fitrah kemanusiaan.11 Sentuhan fitrah kemanusiaan yang dimaksud adalah dorongan untuk mengagumi keindahan yang agung, yang penuh kesopanan, dan mengundang ketenangan batin, bukan dorongan untuk mengagumi keindahan yang tidak santun, kasar, dan berselera rendah. Dorongan yang terakhir inilah yang diekspresikan dalam tabarruj al-jahiliyyah, yang hanya dapat mengagumi tubuh-tubuh perempuan tak bertutup. Dalam ajaran Islam, hal itu merupakan bahaya bagi harkat manusia, karena sejatinya, manusia bermartabat lebih dapat menikmati keindahan hakiki dan agung, bukan justru menuruti hasrathasrat hewani yang membuat manusia tak berbeda dengan hewan sesungguhnya.12 Sasaran
pertama
larangan
tabarruj
kepada
isteri-isteri
Nabi
menunjukkan bahwa hal itu sangat rentan terjadi pada kaum perempuan, sehingga yang pertama kali mendapat larangan adalah orang-orang suci dan taat yang ada di sekeliling Rasulullah SAW. Hal ini isyarat bahwa tabarruj aljahiliyyah dapat saja menular kepada siapa saja. Tuntunan bagi isteri-isteri Nabi tersebut dimaksudkan sebagai persiapan untuk menjadi teladan bagi wanita-wanita muslimah lainnya.13 Istilah tabarruj al-jahiliyyat al-ula, menurut Sayyid Qutb, tidak hanya terbatas pada jahiliyah zaman dahulu, tetapi juga berlaku pada semua masa 11
Sayyid Qutb, Op. Cit. H. 584 Ibid. 13 Muhammad Ali Al-Shabuni, Rawa’i Al-Bayan Tafsir Ayat Al-Ahkam. Jilid 2 (Mekkah : Dar Al-Quran Al-Karim, 1971), h. 372 12
hingga kini. Karena itulah, istilah jahiliyah pada QS. Al-Ahzab :33 tidak dipahami sebagai periode sejarah, tapi lebih sebagai kondisi-kondisi sosial tertentu, dengan gambaran kehidupan yang mirip dengan masa jahiliyah masa lalu. Dengan demikian tabarruj al-jahiliyyah juga dapat terjadi pada masa sekarang, sebagaimana banyak disaksikan dalam kehidupan masyarakat modern.
E. Tabarruj Dalam Perkembangan Modern Sayyid Qutb, dalam tafsir Fi Zhilal Al-Quran, menyatakan dengan tegas bahwa fenomena tabarruj al-jahiliyyat al-ula tidak hanya terjadi pada masa Jahiliyah Pra-Islam saja. Fenomena tabarruj bahkan telah menjadi budaya masyarakat dunia masa kini, dan diagungkan sebagai simbol kemodernan. Sayyid Qutb menyatakan : ”Jahiliyyah bukanlah menunjukkan masa tertentu dari zaman dahulu. Tapi jahiliyah lebih menunjukkan keadaan tertentu dari suatu masyarakat. Karenanya tabarruj al-jahiliyyah mungkin saja terjadi di setiap zaman, dan pada masyarakat manapun di dunia. Jika gambaran-gambaran dari tabarruj aljahiliyyat al-ula seperti telah dipaparkan di atas ditemukan pada suatu masyarakat, maka cukuplah menjadi bukti bahwa masyarakat itu adalah masyarakat jahiliyah.14 Lebih jauh, Sayyid Qutb menyatakan bahwa : ”Berdasarkan hal itu, maka mayoritas masyarakat dunia zaman sekarang sedang hidup dalam kejahiliyahan. Citra rasa akan kecantikan dan keindahan telah menjadi kasar, dan tidak lagi berbudi. Terjebak ke dalam gambaran-gambaran kenikmatan hayawaniyyah, dengan mengorbankan harkat kemanusiaan ke derajat yang sangat rendah dan hina. Sehingga masyarakat modern sekarang hidup dalam kehidupan yang telah kehilangan kesucian, kejernihan dan barkah yang dikaruniakan kepada mereka. Semua itu adalah akibat pelanggaran yang nyata terhadap media penyucian dan penjernihan
14
Ibid. h. 584
yang disediakan Allah, yaitu melalui penghindaran diri dari tabarruj, sebagaimana telah diteladankan oleh ahli bait Rasulullah SAW.15 Pada kenyataannya, kehidupan modern telah membawa umat manusia kembali kepada pola-pola kehidupan jahiliyah pada masa dahulu kala. Hal itu terjadi karena besarnya kepentingan komersil dari kaum kapitalis yang merupakan penguasa dunia modern. Melalui trik-trik dagang yang penuh kelihaian, mereka memanfaatkan kecenderungan bawaan kaum laki-laki untuk dapat melihat lawan jenisnya tampil molek dan mempertontonkan auratnya. Maka diciptakanlah mode pakaian yang seminim mungkin dan setransparan mungkin untuk kaum perempuan, sementara mode pakaian untuk laki-laki lebih tertutup. Dengan demikian, fungsi awal pakaian sebagai penutup aurat telah hilang dan berubah menjadi alat pemenuhan kepentingan-kepentingan ekonomis yang bertumpu pada mode-mode tabarruj. Perkembangan tersebut tak ubahnya mengulang kecenderungan jahiliyah. Jika perempuan jahiliyah bersolek, berdandan dan berhias untuk memperlihatkan perhiasannya, dan suka berjalan dengan menghentakkan kakinya agar gelang kakinya berbunyi; maka perempuan di zaman sekarang ini suka sekali memakai pakaian yang tipis dan jarang, sehingga memperlihatkan hampir sekujur tubuh mereka. Mereka berpakaian tapi seakan-akan tidak berpakaian, karena aurat mereka tampak jelas.16 Kaum perempuan di zaman modern telah disulap menjadi alat promosi komoditi dagang dan bahkan telah menjadi komoditas dagang itu sendiri. Hal ini adalah dampak dari perkembangan teknologi yang memicu pertumbuhan produksi barang dagang. Sehingga muncullah barang-barang dagang yang diperuntukkan secara khusus bagi kaum perempuan, mulai dari alat-alat tata rias wajah, rambut, tubuh, pakaian, dan sebagainya, yang kesemuannya adalah untuk menampilkan kaum perempuan lebih cantik dan molek, serta enak dipandang oleh mata kaum laki-laki.
15 16
Ibid. h. 584-585 Hidayah Salim, op. Cit. H. 59
Pada gilirannya, kaum perempuan yang telah dipoles secantik dan semolek mungkin itu dijadikan alat promosi, dan menjadi komoditas dagang bagi kaum laki-laki, sebagaimana dengan mudah ditemukan pada hampir setiap acara-acara hiburan, pertunjukan, iklan, dan promosi dagang. Hal ini persis seperti digambarkan oleh Ibnu Mustafa sebagai berikut : ”Kecenderungan masa kini yang anehnya berhias dengan mode pakaian yang terbuka pada bagian-bagian tubuhnya, seperti betis, leher, dada, rambut, punggung dan sebagainya. Secara sengaja atau tidak, telah menyebabkan hancurnya akhlak banyak kaum laki-laki, yang pada gilirannya menjadi petaka bagi diri kaum wanita itu sendiri, seperti menjadi korban rayuan, perkosaan dan eksploitasi dari laki-laki yang tidak bertanggung jawab”.17 Perkembangan negatif ini tidak hanya melanda masyarakat non muslim, tapi juga menyerang kaum perempuan muslim, yang dengan bangga meniru kelakuan kaum perempuan jahiliyah di era modern, dalam hal ini perempuan Barat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ayat tabarruj yang melarang isteri-isteri Nabi SAW dan kaum perempuan mu’min untuk meniru perilaku jahiliyah telah menjadi relevan kembali, dengan bergesernya objek tiruan dari tabarruj al-jahiliyah al-ula ke tabarruj al-jahiliyah al-haditsah (perilaku seronok jahiliyah modern). Lazimnya hal itu dikampanyekan sebagai simbol kemajuan dan kebebasan.18 Berkenaan dengan ini, Ibnu Mustafa menyatakan ; ”Menurut riwayat yang shahih, bahwa kaum perempuan masa Jahiliyah pada umumnya sama tertudung kepala, tetapi hanya kepalanya saja yang ditutup, sementara lehernya, telinganya, kalungnya, anting-antingnya, subangnya, dipertontonkan kepada orang asing. Maka kelakuan yang demikian itu dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, agar jangan dikerjakan atau ditiru oleh kaum perempuan muslim. Kalau kelakuan para perempuan jahiliyah dahulu sampai ditiru, seperti kalau para muslimah sekarang meniru 17
Ibnu Musthafa, Wanita Islam Menjelang Tahun 2000. (Jakarta : 1987), h. 125 Abdur Rasul Abdul Hassan Al-Ghaffar, Wanita Islam dan Gaya Hidup Modern. (Terjemah dari Al-Mar’ah Al-M’ashirah), (Bandung : Pustaka Hidayah, 1993), cet. Ke-3, h. 91 18
kelakuan orang-orang perempuan jahiliyah modern sekarang ini, sudah tentu dilarang juga.19
F. Faktor-Faktor Pendorong Perkembangan Tabarruj Fenomena perkembangan tabararuj modern ini tentu ada sebabnya. Di antara sebab yang merupakan faktor pendorong munculnya tabarruj modern itu adalah tiga hal sebagai berikut : adanya praktek emansipasi yang berlebihan; rapuhnya identitas budaya masyarakat muslim di tengah serangan modernisasi dan globalisasi; kurangnya pemahaman umat Islam terhadap ajaran agamanya; dan adanya budaya yang permisif (serba-boleh). 1. Praktek Emansipasi Berlebihan Pada asalnya, gerakan emansipasi mempunyai cita-cita dan misi yang mulia untuk mengangkat derajat kaum perempuan, di tengah-tengah buruknya kedudukan mereka di dalam tatanan sosial masyarakat dunia. Gerakan ini menuntut persamaan hak antara kaum perempuan dan laki-laki dalam aspek-aspek kehidupan sosial, seperti pendidikan, pekerjaan, hak kepemilikan harta, dan sebagainya. Dilihat dari misi awal ini, maka gerakan emansipasi mempunyai keselarasan dengan misi Islam berkenaan dengan kedudukan kaum perempuan, dan karenanya tidak bertentangan secara prinsipil dengan agama Islam. Namun demikian, pada prakteknya, emansipasi perempuan telah disusupi dengan misi-misi liberal, terutama dari kalangan yang tidak suka pada tatanan sosial menjaga norna-norma susila. Gerakan emansipasi yang liberal ini, lebih jauh lagi, menyuarakan kebebasan ekspresi sebebasbebasnya, termasuk dalam hal berpakaian, dan dalam hal berhubungan dengan kaum laki-laki. Oleh karena itu, gerakan emansipasi pada akhirnya menjadi alasan bagi pihak-pihak yang menginginkan kebebasan kaum perempuan dalam mengatur cara berpakaiannya sendiri, terlepas dari norma agama, budaya dan sosial. Lebih jauh lagi, mereka menyuarakan
19
Ibnu Mustafa, Op. Cit. H. 254
kebebasan untuk hidup bersama tanpa harus tunduk pada aturan pernikahan yang diatur dalam agama.20 Akibatnya, emansipasi menjadi alat untuk mempropagandakan kehidupan sosial yang serba bebas, penuh dengan pesta-pesta dan pertunjukan-pertunjukan yang mempertontonkan aurat, dan akhirnya menjadi alat pembenar bagi perilaku seks-bebas (free-sex) sebagaimana berkembang di Barat.21 Praktek emansipasi yang berlebihan ini menular pula kepada masyarakat muslim, terutama melalui kaum intelektual yang terbaratkan. Fatima Mernissi, umpamanya, dengan mantap menyatakan bahwa : hijab merupakan alat untuk membatasi, mengisolasi dan mengucilkan kaum perempuan dari ruang publik. Hijab juga berarti sarana pemisahan antara pihak yang berkuasa (laki-laki) dengan pihak yang dikuasai dan dieksploitasi (perempuan).22 Atas dasar pemikiran seperti itu, muncullah gagasan dari kalangan penganut agama Islam sendiri untuk membebaskan kaum perempuan dari hijab dan segala yang berkenaan dengannya. Pemikiran ini menjadi khas pemikiran kelompok Islam modernis yang semakin hari semakin meluas, hingga ke kalangan generasi muda, terutama di kampus-kampus. Hidayah Salim menyebutkan bahwa emansipasi merupakan salah satu sikap dari tiga sikap keliru yang abadi terhadap wanita. Menurut Hidayah Salim, ada tiga macam pandangan masyarakat terhadap wanita dari masa ke masa : a. Masyarakat yang menghinakan wanita Masyarakat yang menjadikan wanita sebagai mahluk terhina adalah masyarakat berkarakter jahiliyah yang memandang wanita 20
Lihat Muhammad Al-Bahay dan Lois Al-Faruqi, Islam dan Feminisme, (Jakarta : Minaret, 1988), h. 3 21 Al-Ghaffar, op. Cit. H. 108 22 Pemikiran Mernissi Tentang Hijab Tertuang Dalam Dua Karyanya : Fatima Mernissi, The Forgetten of Queen in Islam (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia : Rata-Rata Islam yang terlupakan. (Bandung : Mizan, 1994) : dan Fatima Mernissi, Islam and Democracy (diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia : Islam dan demokrasi : antologi Ketakutan”. (Jogyakarta : LKIS, 1994).
sebagai alat pemuas saja, dan bahkan diperlakukan sebagai barang yang dapat berpindah tangan melalui jual-beli dan pewarisan, masyarakat Arab Jahiliyah umpamanya tidak mengenal adanya hak waris pada wanita. Kaum wanita bahkan termasuk harta diwariskan. Kebiasaan bangsa Arab pra-Islam membunuh bayi-bayi perempuan termasuk ke dalam contoh dari sikap masyarakat yang menghinakan wanita, sehingga mereka tidak berkenan memiliki keturunan wanita.23 b. Masyarakat yang memanjakan wanita Masyarakat yang suka memanjakan wanita dalam rangka tabarruj adalah masyarakat hedonis yang mempunyai kebiasaan memelihara wanita-wanita muda dan cantik. Seluruh kebutuhan untuk mempercantik diri dipenuhi, yang pada gilirannya dimanfaatkan untuk pemuas nafsu. Mereka dipelihara sebagai dayang-dayang di istana, sebagai gundik dan selir. Fenomena modern dapat dengan mudah dijumpai pada dunia hiburan dan periklanan yang membayar para wanita cantik untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar bagi perusahaan yang membayarnya. Perusahaan-perusahaan berskala internasional bahkan berhasil mengemas praktek-praktek tabarruj tersebut
dengan
mengadakan
kontes-kontes
kecantikan
yang
menganugerahkan gelar-gelar kehormatan seperti ”Ratu Dunia” (miss Universe), ”Ratu Asia” (Miss Asia), dan sebagainya”.24 c. Masyarakat yang menuntut hak emansipasi secara berlebihan Masyarakat yang menuntut hak emansipasi bagi wanita seringkali keliru dalam praktekknya, sehingga tidak dapat memilahmilah mana wilayah-wilayah yang pantas bagi laki-laki, dan mana yang pantas bagi wanita. Mereka menggunakan pakaian yang sama, potongan rambut yang sama, gerak-gerik yang sama, bahkan tempat berkumpul yang sama. Inilkah yang mendorong terjadinya pergaulan
23 24
Hidayat Salim. Op. cit. h. 3-4 Ibid. h. 4-6
bebas antara laki-laki dan wanita, akibat tidak ada lagi hijab antara keduanya.25 Tipe masyarakat ketiga inilah yang mendominasi masyarakat dunia sekarang, yang menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi praktek tabarruj di era modern.26
2. Pengaruh Globalisasi Arus globalisasi yang datang dari Barat telah menjadi ancaman bagi penegakan identitas keislaman di kalangan umat Islam sendiri. Karena globalisasi itu sendiri merupakan propaganda ideologi Barat yang serba bebas dan terbuka, untuk dijadikan sebagai identitas satu-satunya bagi bangsa-bangsa manapun didunia.27 Arus globalisasi itu telah menggerogoti identitas keislaman dikalangan umat Islam, sehingga menjadi rapuh dan rentan terhadap segala pengaruh buruk dari budaya Barat. Hal ini dapat diamati dari perkembangan negeri-negeri muslim yang mulai membuka diri terhadap budaya-budaya Barat. Budaya berpakaian dan berperilaku adalah pintu masuk paling mudah bagi terserapnya budaya-budaya asing itu kepada umat Islam, yang jarang sekali disadari mempunyai pengaruh yang sangat luas bagi upaya penggerogotan moralitas umat. Terbukti bahwa hampir seluruh lapis masyarakat muslim di seluruh dunia, terutama generasi muda, telah mulai menerima budaya berpakaian yang terbuka sebagai bagian dari budaya mereka. Ajaran tentang jilbab mulai diremehkan di mana-mana. Bahkan hal itu didukung oleh kelompok pemikiran Islam liberal yang selalu menyuarakan upaya modernisasi Islam. Siyasah, nama sebuah surat kabar yang terbit di Lahore pernah menurunkan berita (Mei 2003) tentang hasil survey di sebuah universitas di Amerika Serikat. Survey itu menanyakan tentang keahlian yang perlu 25
Ibid. h. 8-9 Ibid. h. 9 27 Ibid. 26
dimiliki setiap calon mahasiswi sebelum memasuki universitas. Hasil survey yang melibatkan tak kurang dari dua ratus responden dari kalangan mahasiswi memberikan jawaban yang mayoritas sepakat bahwa : ”Seorang wanita harus bisa berdansa, merokok, meminum minuman keras, dan berpelukan, sebagai syarat menjadi anggota sebuah perkumpulan dengan lawan jenis. Ia tidak boleh pandang bulu dengan setiap lelaki yang tertarik kepadanya. Sebaliknya, ia harus menyeleksi pandangannya sesuai dengan selera dan minatnya”.28 Seorang responden bahkan memberikan jawaban sebagai berikut : ”Sebaiknya setiap mahasiswi mempunyai beberapa pengalaman sebelumnya dalam hal berpelukan dengan laki-laki agar tidak memalukan karena dianggap kampungan ketika memasuki universitas. Dengan demikian mereka akan memiliki kebolehan untuk memabwa diri mereka secara efektif dengan laki-laki lain, para dosen, dan staf universitas.29 Akibat dari pandangan bebas itu adalah kerusakan moral yang dengan mudah dijumpai dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat Barat. Menurut Muhammad Ismail M, kerusakan moral dan sendi-sendi kehidupan masyarakat Barat itu adalah sebuah fenomena yang negaranegara Barat sendiri menyadarinya. Maka tak mengherankan jika masyarakat Barat kesulitan menjumpai wanita mereka yang masih perawan ketika memasuki pernikahan, dan sering merasa heran bahwa gadis-gadis Timur dapat mempertahankan keperawanannya hingga pernikahan.30 3. Kurangnya Pemahaman Akan Ajaran Islam Fenomena tabarruj dikalangan umat Islam sekarang, diantaranya juga disebabkan karena kurangnya pemahaman umat Islam akan ajaran agamanya sendiri, sehingga makna penting menutup aurat kurang disadari. Karena faktor inilah, terjadi praktek emansipasi yang berlebihan, dan
28
Muhammad Ismail M. Op. Cit. h. 122 Ibid. 30 Ibid. h. 124-125 29
menjadi rapuh dalam mempertahankan identitas budaya Islam di tengah tantangan globalisasi. Akibat dari kurangnya pemahaman itu, sehingga sebagian besar umat Islam dewasa tidak merasakan arti penting dari menggunakan jilbab dan justru melakukan praktek tabarruj seperti yang dilakukan oleh masyarakat jahiliyah, baik di masa lalu maupun di masa modern ini. Mereka lebih cenderung melakukan taklid, dengan meniru tingkah laku dan perilaku masyarakat Barat. Keanekaragaman budaya bangsa Indonesia mempunyai efek samping yang positif dan negatif sekaligus. Efek positif yang paling terasa adalah bahwa bangsa Indonesia dikenal dengan budaya masyarakatnya yang toleran, karena terlatih untuk hidup dalam berbagai aneka budaya. Hal ini masih sulit ditemukan di negara-negara lain, terutama negara yang komposisi penduduknya cenderung homogen. Tapi akibat dari budaya yang beraneka ragam itu pula, sehingga masyarakat
Indonesia
cenderung
menjadi
pemisif,
yaitu
serba
membolehkan berbagai sikap, pandangan dan tingkah laku. Jika yang ditolerir atau dibolehkan adalah hal-hal yang tidak bersifat prinsipil, maka budaya itu sangat positif. Tapi yang terjadi dalam kenyataan sehari-hari, batas-batas toleransi budaya itu sudah tidak jelas lagi, sehingga seringkali melanggar norma-norma tertentu dalam agama, terutama menyangkut masalah berpakaian. Maka dengan mudah dapat disaksikan bahwa praktek tabarruj yang berlangsung di Indonesia, yang semakin hari semakin buruk keadaannya, adalah akibat dari terbukanya pintu toleransi secara keliru. Polemik sekitar Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) memperlihatkan dengan jelas kenyataan tersebut. Kelompok yang menolak RUU APP pada umumnya menggunakan asas toleransi atas keanekaragaman budaya sebagai argumen dasarnya. Padahal dari sudut pandang agama Islam, tidak ada toleransi atas segala bentuk pelanggaran norma-norma kesusilaan, termasuk dalam hal ekspos aurat,
yang telah menjadi wabah umum pada masyarakat Indonesia. Argumen ini pada umumnya dikemukakan oleh para pendukung RUU APP. Namun demikian, karena budaya masyarakat Indonesia telah menjadi sedemikian permisif terhadap berbagai budaya, sehingga suara yang menolak RUU APP lebih unggul dibandingkan dengan para pendukung Rancangan Undang-Undang tersebut. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa bangsa Indonesia telah terperosok ke dalam praktek tabarruj, paling tidak melalui sikap mayoritas penduduknya yang membiarkan praktek tersebut terus berlangsung dan menyebar semakin luas. Budaya yang permisif terhadap tabarruj itu tidak hanya didasarkan pada asas toleransi atas keanekaragaman budaya yang disalahartikan, tapi lebih menyedihkan lagi sering dilakukan atas nama seni. Sehingga banyak seniman yang berkeyakinan bahwa segala sesuatu menjadi boleh dalam karya-karya seni, sekalipun hal itu melanggar norma dan etika. Lebih buruk lagi, sebagian mereka berkeyakinan bahwa acuan-acuan moral dan etika, terlebih lagi agama, akan mematikan ekspresi-ekspresi seni, dan karenanya, semua itu tidak boleh masuk ke dunia seni. Dengan kata lain, tidak akan ada seni, jika menuruti ajaran-ajaran moral, etika dan agama. Kenyataan yang menyedihkan di Indonesia ini sesungguhnya merupakan gambaran yang lebih menyedihkan dari kenyataan bangsabangsa di dunia, yang digambarkan oleh Al-Maududi sebagai wujud dari ketamakan persepsi moral individual dan rasa haus seks manusia-manusia modern. Abu Al-A’la Al-Maududi menyatakan sebagai berikut : ”Iklan-iklan merasa belum cukup tanpa gambar wanita setengah telanjang, atau telanjang bulat. Tak ada hotel atau ruang pameran serta restoran yang tidak mempunyai pelayan wanita, untuk mengikat laki-laki yang menyebabkan masyarakat tidak berdaya dan hanya bisa menjamin kepentingannya dari satu segi saja, berdasarkan ketamakan persepsi moral individual dan rasa haus seks.
G. Kesimpulan Menurut pengamatan penulis sendiri, kurangnya pemahaman itu pada dua kelompok masyarakat muslim, yaitu : 1. Kelompok Islam Abangan, yaitu kelompok umat Islam yang hanya menjadikan Islam sebagai identitas sosial, karena faktor keturunan. Mereka menjadi muslim karena faktor budaya dan geografis, yaitu terlahir sebagai anak seorang muslim dan hidup di lingkungan muslim. Pada umumnya, mereka ini kurang memahami esensi ajaran Islam, dan kurang menyadari pentingnya mempelajari seluk-beluk ajaran Islam secara mendetail. Gairah keagamaan merek ahanya muncul ketika terjadi perayaan-perayaan dalam lingkungan sosial mereka, seperti merayakan Hari-Hari Besar Islam, atau ketika kepentingan kelompok sosial mereka (Islam) terganggu oleh pihak luar non muslim). 2. Kelompok Umat Islam yang memahami ajaran Islam secara parsial, dan tidak utuh. Mereka ini lazimnya hanya mempelajari Islam secara sepintas dan dari kulitnya saja, dan tidak mempelajari Islam secara mendalam dan tuntas. Kelompok ini sangat rentan dimasuki oleh berbagai kepentingan, baik kepentingan diri sendiri, maupun kepentingan luar. Kelompok yang menggunakan Islam untuk kepentingan diri sendiri, biasanya terjadi pada praktisi politik yang ingin mendapatkan pengaruh atau popularitas. Sedangkan kelompok yang tereksploitasi oleh kepentingan luar, adalah masyarakat muslim yang terpengaruh oleh gagasan-gagasan modern yang tanpa disadari merusak pemahaman keagamaan mereka yang masih dangkal. Keberadaan
dua
kelompok
umat
Islam
yang
kurang
pemahamannya terhadap ajaran Islam ini menjadi salah satu faktor cepatnya terjadi penyebaran praktek tabarruj di kalangan umat Islam, karena pada kenyataannya, dua kelompok tersebut adalah mayoritas dalam tubuh umat Islam. Hal ini ditambah lagi oleh kelompok intelektual muslim yang terdidik secara Barat, yang kurang pemahamannya akan ajaran-ajaran Islam yang prinsipil.
DAFTAR PUSTAKA Abu Al-A’la Al-Maududi, Al-Hijab dan Status Wanita Islam (Terjemah Purdah and The Satatus of Women in Islam), Bandung : Risalah, 1984, h. 302 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Dalam Syirkat Al-Baramij Al-Islamiyah AlDauliyyah, op. Cit. Hadits No. 3686 Ahmad Bin Hanbal, Musnad Ahmad, Dalam Syirkat Al-Barajmij Al-Islamiyah Al-Dauliyyah, Mausu’;at Al-Hadits Al-Syarif 9Gisco, 1991-1997), Hadits No. 6554 Ahmad Warson Munawwir. Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia. H. 76 Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid VIII, (Kairo : Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1963), h. 6 Louis Ma’luf, Al-Munjid fi Al-Lughat, Beirut : Al-Makatabah Al-Katsulikiyah, 1956, cet. Ke-18, h. 31 Muhammad Hasan Al-Hamshi, Qur’an Majid : Tafsir wa Bayan, (Beirut : t.t), h. 422 Ibn Thahir Al-Fairuzabadi, Tanwir Al-Migbas Min Tafsir Ibn Abbas. (Kairo : Maktabah Musthafa Al-Babi Al-Halabi Wa Awladih, 1951), cet. Ke-2, h. 261 Imam Muslim, Shahih Muslim, Kitab Al-Zinat Wa Al-Libas, Dalam Syirkat AlBaramij Al-Islamiyyah Al-Dauliyyah. Op. Cit. Hadits No. 3971 Imam Malik, Muwattha Malik, Kiab ”Ma Yukrahu Li Al-Nisa Labsuhu Min AlTsiyab”, Dalam Syirkat Al-Baramij Al-Islamiyyah Al-Dauliyyah, Op. Cit, Hadits No. 1421 Imam Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Kitab ”Fitnat At-Nisa”, Dalam Syirkat AlBaramij Al-Islamiyyah Al-Dauliyyah, Op. Cit. Hadits No. 3991. Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, Jilid II, Beirut : Dar Al-Fikr, 1983, h. 180 Syamsuddin. Pendidikan Kelamin Dalam Islam. Semarang : CV. Ramadani, 1966 Tim Penterjemah / Pentafsir Al-Quran (TPPA) Depag RI, Al-Quran dan Terjemahnya. (Madinah : Majma al-Malk Fahd, 1418)(, h. 672