PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK TERHADAP POLIGAMI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : SYARIF HIDAYATULLAH NIM : 103044128052
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK TERHADAP POLIGAMI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : SYARIF HIDAYATULLAH NIM : 103044128052
Dibawan bimbingan : Pembimbing I
Pembimbing II
Dewi Sukarti, MA NIP. 19720817 200112 2 001
Rosdiana, MA NIP. 196906102003122001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK TERHADAP POLIGAMI telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Mei 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah (Peradilan Agama ).
Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua
: Drs. H. A. Basiq Dalil, SH.,MH., NIP. 19500306 197603 1001
(
)
Sekretaris
: Hj. Rosdiana. MA., NIP. 196906 102003122001
(
)
Pembimbing I : Dewi Sukarti. MA., NIP. 197208172001122001
(
)
Pembimbing II: Hj. Rosdiana. MA., NIP. 196906102003122001
(
)
Penguji I
: Prof. Dr. H. M. Amin Suma. SH. MA. MM., NIP. 195505051982031012
(
)
Penguji II
: Dr. Asmawi. M.Ag., NIP. 197210101997031008
(
)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 Juni 2011
Syarif Hidayatullah
بسم اهلل الرمحن الرحيم KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, untaian syukur yang tak terhingga Penulis memanjatkan ke hadirat Rabb Yang Maha Ghafur Allah SWT, karena atas ridha dan inayahnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah ke haribaan junjungan kita Nabi Muhammad SAW, karena atas tauladannya, penulis dapat melewati masa-masa tersulit dalam penulisan skripsi ini.\ Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis.oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Prif. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. Dan Dosen Pembimbing skripsi Ibu Dewi Sukarti MA., dan Ibu Rosdiana MA., yang tanpa lelah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2.
Bapak Drs.H. A. Basiq Djalil, SH., MH., dan ibu Rosdiana MA., selaku ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Akhwal Syakhsiyyah yang senantiasa memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibunda Hj. Awinah dan Ayahanda H. Encep, kedua orang tua tercinta yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya, hingga ananda dapat meraih ilmu yang bermanfaat. Kasihmu tak lupa sepanjang hayat.
i
4. Kakanda Drs. Mubarok, Saiful Anwar beserta seluruh keluarga besar H. Encep bin Antek Bin Kaiyan, yang senantiasa memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak H. Ismed Iriandi SH., MH., sekeluarga, yang telah memberikan perhatian dan kasih sayang serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Teman-teman seperjuangan Ahwal Al-Syakhsiyah yang telah banyak membantu serta bertukar pikiran baik selama belajar hingga detik-detik wisuda. 7. Hamba Allah, yang telah banyak berkorban untuk penulis dalam penyempurnaan skripsi ini baik moril maupun materiil, sehingga penulis termotivaasi untuk merampungkannya. Jazakillah khairan katsiran, mata’ana Allah fii hayatiik. Semoga Allah mencatatnya sebagai amal ibadah dan dibalas dengan ganjaran pahala yang berlipat ganda. 8. Tak terlupakan, terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam kelancaran penulis skripsi ini yang penulis tidak bisa menyebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT sebagai investasi amal untuk bakal di hari akhir nanti. Amin Ya Rabbal’alamin.
Jakarta, 27 Rajab 1432 H 29 Juni 2011 M
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
9
D. Metode Penelitian........................................................................ 10 E. Sistematika Penulisan ................................................................. 11
BAB II
KERANGKA TEORITIS TENTANG POLIGAMI A. Pengertian Poligami .................................................................... 12 B. Poligami Menurut Hukum Islam ................................................. 18 C. Poligami Menurut Hukum Positif ............................................... 26
BAB III
KONDISI OBJEKTIF MASYARAKAT SAWANGAN A. Kondisi Objektif Masyarakat Sawangan ..................................... 35 1. Kondisi Geografis ................................................................. 35 2. Kondisi Demografis .............................................................. 36 3. Kondisi Penduduk ................................................................. 38 4. Kondisi Perekonomian .......................................................... 40 5. Kondisi Sosial Keagamaan ................................................... 41
iii
B. Poligami pada masyarakat sawangan .......................................... 43 1. Pandangan tokoh masyarakat Sawangan terhadap Poligami 43 2. Faktor–faktor
pendukung
Poligami
di
Kecamatan
Sawangan .............................................................................. 49 BAB IV
ANALISIS
PANDANGAN
TOKOH
MASYARAKAT
SAWANGAN TENTANG POLIGAMI A. Analisis menurut Hukum Islam .................................................. 51 B. Analisis menurut Hukum Positif ................................................. 56
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 57 B. Saran – Saran............................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 59
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa.1 Secara realita perkawinan adalah bertemunya dua mahluk lawan jenis yang mempunyai kepentingan dan pandangan hidup yang sejalan.2 Sedangkan tujuan perkawinan itu adalah supaya manusia mampunyai kehidupan yang bahagia dunia dan akherat, atau dengan kata lain perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah. Seiring dengan tujuan tersebut maka dapat di artikan juga agar perkawinan menjadi kekal dan abadi sehingga tidak putus begitu saja. Ini juga mengandung pengertian bahwa pernikahan adalah akad suci yang mengandung serangkai perjanjian diantara dua belah pihak,yakni suami dan istri. Maka kedamaian kedua istri sangat bergantung pada pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut.
1
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, (Bandung: Fokus Media, 2005), cet. ke-1, hal. 1. 2
Titik Triwulan Tutik , Poligami Prespektif Perikatan Nikah, (Jakarta : Prestasi Pustaka Raya, 2007) cet, h. 4.
1
2
Bahkan menyebut pernikahan itu sebagai mitsaqqan ghalizan (perjanjian yang kokoh), seperti termaktub pada ayat tersebut:
! "# #$ % &" '"() *+ (34 :1/-./)
Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada isterimu padahal kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil perjanjian yang kuat”. (QS. an Nisa/3 : 21)
Di antara musafir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian yang kokoh adalah perjanjian yang telah diambil Allah dari para suami. Sesuai dengan bunyi surat Al-Baqarah ayat 231:
67"89 :;"<="> 8? 67"89 :;"<=@. ($ :;"AB ;CD$ E-F. / ""GHIJ /K! (314 :3/L8HD/)
Artinya:
“Apabila menalak istri-istrimu,lalu mereka mendekkati akhir iddahnya,maka rujukilah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikan dengan yang baik pula” ( Qs.Al-Baqarah/2 : 231).
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat adalah poligami. Persoalan poligami bukanlah fenomena yang baru, ini dapat di lihat bagaimana pernikahan semacam ini dilakukan oleh banyak kalangan dari waktu ke waktu meskipun sering kali menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak dengan alasan merugikan kaum perempuan.
3
Yang dibutuhkan sekarang adalah usaha mencerdaskan perempuanperempuan dan menyadarkan mereka tentang hak mereka. Karena selama ini yang selalu dimunculkan dalam wacana poligami adalah perempuan harus bahkan wajib menerima atau mengizinkan bila suami minta izin untuk beristri lagi, dengan alasan menjalankan syariat islam, tunduk kepada perintah Allah. Rumah tangga merupakan lembaga masyarakat terkecil yang menjadi dasar terbentuknya masyarakat yang lebih besar. Ketentraman dan keserasian masyarakat sangat besar ditentukan oleh ketentraman dan keserasian masyarakat kacil tersebut. Banyak unsur yang menimbulkan rasa cinta kasih diantara dua orang manusia, terutama suami dan istri, namun yang paling menonjol adalah sikap dan tindakan yang melahirkan rasa keadilan. Untuk dapat berlaku adil diperlukan pertimbangan yang matang dengan melihat seluruh aspek yang mungkin mempengaruhi rasa keadilan itu. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai poligami, berikut ini akan dijelaskan terlabih dahulu sepintas tentang poligami. Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa istri dalam satu waktu yang bersamaan. Islam membolehkan pernikahan dengan lebih dari satu orang wanita atau satu orang laki-laki untuk lebih dari seorang wanita (poligami), hal ini sebagaimana tercantum didalam surat Annisa Ayat 3 :
(1 : 1/-./) O"P QRS @-F. / ; MJ /="N'$….
Artinya : “......maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, satu,dua,tiga, atau empat.” (Qs. An-Nisa/3:3).
4
Cukup logis Islam menetapkan berbagai ketentuan untuk mengatur ikatan antara laki-laki dan perempuan yaitu dalam bentuk pernikahan, sehingga dengan kedua belah pihak, suami istri dapat memperoleh kedamaian, kecintaan, keamanan dan ikatan kekerabatan. Unsur-unsur ini sangat diperlukan untuk mencapai tujuan perkawinan yang paling besar yaitu Ibadah kepada Allah SWT. Pada prinsipnya perkawinan menurut hukum Islam dan Undang-undang perkawinan tahun 1974 adalah monogami, sedangkan poligami hanya pengecualian saja. Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang mubah, namun demikian dalam pelaksanaan poligami tersebut harus dibarengi dengan keadilan terhadap para istri dan penuh dengan tanggung jawab. Apabila tidak dibarengi dengan rasa kesdilan tidak menutup kemungkinan akan membawa dampak negatif bagi orang yang melakukan poligami. Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah mengatur secara khusus tentang perkawinan, perceraian dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya, telah mengakomodasi kepentingan tersebut, sebagaimana yang tertuang dalam enam azas yang prinsipil.3 Dalam salah satu azasnya disebutkan bahwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka suami hanya dibolehkan memiliki seorang istri dalam satu waktu. Prinsip ini lebih dikenal dengan azas monogami.
3
Enam azas yang dianut dalam UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN meliputi : (1) azas tujuan perkawinan, (2) azas syahnya perkawinan, (3) azas monogamy, (4) azas kematangan jiwa dan raga, (5) azas perceraian dipersulit, dan (6) azas keseimbangan hak dan kedudukan suami isteri dalam membina rumah tangga.
5
Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang mubah, namun hanya demikian apabila di kehendaki oleh yang bersangkutan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang setelah dipenuhinya berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Apabila bandingkan pelaksanaan poligami menurut hukum Islam dan undang-undang perkawinan, maka secara sepintas persyaratan-persyaratan yang ditentukan antara kedua peraturan itu tidak sama, namun apabila dikaji lebih lanjut kedua peraturan tersebut memiliki persamaan tujuan. Keberadaan poligami atau menikah lebih dari seorang isteri dalam lintasan sejarah bukan merupakan masalah baru. Poligami telah ada dalam kehidupan manusia sejak dahulu kala diantara berbagai kelompok masyarakat diberbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami jauh sebelum kedatangan Islam. Demikian pula masyarakat di luar bangsa Arab, bahkan di Arab sebelum Islam telah dipraktekkan poligami yang tanpa batas. Bentuk poligami ini dikenal pula oleh orang-orang Babilonia, Abbesinia, dan Persia.4 Memang
masalah
poligami
tetap
menarik
diperbincangkan
dan
menimbulkan pro dan kontra di dalamnya. Menurut Nasaruddin Umar, kondisi sosio kultural saat turunnya ayat Al-Quran yang mengizinkan poligami adalah setelah perang Uhud dimana umat Islam kalah dan populasi laki-laki dan perempuan tidak imbang. “Berdasarkan studi-studi yang ada, poligami umumnya
4
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007), cet. 1. h. 57.
6
membawa kesengsaraan pada umat, negara, dan bangsa,” ujar Nasaruddin.5 Bahkan Musdah Mulia berpendapat poligami pada hakikatnya merupakan penghinaan terhadap perempuan.6 Lain halnya, Hartono Jaiz berpendapat bahwa peraturan tentang poligami dan praktiknya di dunia Islam mempunyai manfaat besar
yang
membersihkan
masyarakat
dari
akhlak
yang
tercela
dan
menghindarkan penyakit masyarakat yang banyak timbul di negara-negara yang tidak mengenal poligami yakni pelacuran.7 Praktik poligami ini khusus di Indonesia telah terjadi di berbagai kalangan, pengusaha, kiai, ulama, politisi, artis, maupun tokoh masyarakat. Pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo, Puspo Wardoyo, dengan bangga telah memberikan Polygami Award kepada lakilaki yang melakukan praktik poligami. Bahkan ia mengatakan: “Poligami jangan dilarang karena poligami bagi saya adalah kebutuhan paling primer. Bisa bahaya kalau jadi presiden, saya akan mengangkat orang yang berpoligami untuk
menjadi
menteri”.8
Sekarang
orang
bukan
hanya
ramai-ramai
membicarakan poligami tetapi juga melakukan praktik poligami. Memang kita ketahui praktik poligami bukan kisah baru dalam catatan sejarah umat manusia di belahan bumi ini. Tidak terkecuali di Indonesia. antara lain: Puspo Wardoyo 5
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1. h 194. 6
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta, 1999), Cet. 1. h. 50.
7
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2007), cet. 1. h 124. 8
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2007 ) cet 1, h. 22.
7
(pengusaha), Aa Gym (kiai dan pebisnis), Zainal Ma’arif (politisi), KH. Noer Iskandar SQ (kiai dan pengasuh pesantren), Fauzan al Anshari (aktivis dakwah), bukanlah wajah-wajah baru yang membuat sejarah poligami di Indonesia. Jauh sebelum mereka, para raja dahulu mempunyai isteri selir yang tidak terhitung jumlahnya, kiai pun mempunyai isteri lebih dari satu orang. Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur dalam Islam tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di Indonesia Undang – undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) menganut kebolehan poligami, telah mengatur walaupun terbatas sampai empat orang istri. Ketentuan tercantum dalam pasal 3 – 4 Undang – Undang perkawinan dan Pasal 55 – 57 KHI. Kebolehan poligami dalam KHI tertuang pada bab IX pasal 55 – 59, antara lain menyebutkan : syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri – isteri dan anak-anaknya pasal ( 55 ayat 2 ). Selain syarat utama tersebut ada lagi syarat lain yang harus dipenuhi sebagaimana termaktub dalam pasal lima ( 5 ) Undang –Undang nomor 1 tahun 1974, yaitu adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. Pasal-pasal ini adalah suatu bagian dari prosedur apabila seorang suami hendak berpoligami. Diperbolehkannya poligami dalam Islam itu bukan dibuka lebar, akan tetapi sebagai solusi dalam keadaan tertentu yang diperkenankan (diperbolehkan), bagi orang-orang yang memerlukannya, dengan syarat adanya kepercayaan pada dirinya bahwa ia dapat berlaku adil dan untuk berbuat jujur.
8
Namun, dari praktek poligami yang menimbulkan polemik penulis merasa tertarik untuk membahas dan mengangkat judul skripsi “ Pandangan Tokoh Masyarakat Kecamatan Sawangan Kota Depok Terhadap Poligami”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini terbatas pada poligami menurut pandangan para tokoh masyarakat formal dan informal di Kecamatan Sawangan Kota Depok. 2. Perumusan Masalah Agar penelitian ini tidak menyimpang, maka penelitian ini terfokus pada : Pertama : Bagaimana poligami dimaknai oleh para tokoh masyarakat. Apa faktor yang mendukungnyanya, misalkan faktor internal, ekonomi, pendidikan, lingkungan sosial. Rumusan masalah ini, dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : a. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap poligami? b. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat terhadap hukum islam dan hukum positif terhadap poligami?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dengan menganalisa latar belakang dengan perumusan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan tentang poligami. 2. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap hukum islam dan hokum positif tentang poligami. Adapun manfaat atau kegunaanya adalah : 1. Secara Akademis yaitu untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan gelar Kesarjanaan Strata Satu pada Fakultas Syari’ah dah Hukum. 2. Secara Ilmiah a. Bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum, memberikan sumbangan kepustakaan dalam rangka pengembangan pengetahuan akademis pada umumnya. b. Bagi penulis merupakan pengembangan pengetahuan yang didapat selama belajar di Fakultas Syari’ah dan Hukum. c. Bagi tokoh masyarakat dapat memberikan informasi yang objektif. Adapun manfaat yang ingin penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah dapat memberikan pemahaman terhadap masyarakat kecamatan sawangan khususnya dan masyarakat luas tentang pengaruh poligami terhadap beberapa faktor.
10
D. Metode Penelitian Sebagai sebuah karya ilmiah, jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan secara mendalam.9 Sementara soerjono soekanto mendefinisikan penelitian deskriptif ini dimaksudkan untuk memberikan data yang diteleti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teoriteori. Untuk memperoleh data yang akurat, peneliti mengadakan penelitian sebagai sesuatu metode kualitatif yang bertujuan menyajikan pandang objek yang diteleti bahan dan data penelitian ini diperoleh dari penelitian lapangan ( field research ) yang dimaksudkan untuk memperoleh data, di mana peneliti terjun langsung kelapangan. Oleh karena itu, data lapangan merupakan data primer, yaitu data utama yang akan diteliti ( beberapa tujuan ) di kecamatan Sawangan. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen atau tulisantulisan yang berkaitan dengan pokok bahasan karya tulis ini, yang juga didapatkan dari penelitian kepustakaan ( library research ) yang berkaitan dengan poligami. Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan serta informasi yang dibutuhkan sebagai bahan dalam rencana skripsi ini, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
9
309
Suharsini Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), cet.ke-2, h.
11
1. Teknik wawancara mendalam yakni satu bentuk komunikasi verbal untuk memperoleh informasi data yang valid dan akurat dari pihak-pihak yang dijadikan sebagai informasi. 2. Teknik dokumentasi. Teknik ini penulis gunakan untuk melengkapi data yang dilakukan dengan acara melihat dokumen-dokumen yang terdapat di kecamatan sawangan yang dijadikan objek penelitian. 3. Teknik puataka. Berkaitan dengan sumber-sumber pustaka.
E. Sistematika Penulisan Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima Subab dan susunan pembahasannya sebagai berikut : Bab Pertama, Pendahuluan, Meliputi uraian masalah teknis penulisan yakni : Latar belakang, Rumusan masalah tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua, Kerangka Teoritis Tentang Poligami, tentang pengertian poligami, poligami menurut hukum Islam, poligami menurut hukum Positif. Bab Ke-Tiga, Poligami pada masyarakat Sawangan, meliputi: kondisi geografis, kondisi demografis, kondisi penduduk, kondisi perekonomian, kondisi sosial keagamaan dan pandangan tokoh masyarakat sawangan terhadap poligami, faktor-faktor pendukung poligami di sawangan. Bab Ke-Empat, analisis pandangan tokoh masyarakat sawangan tentang poligami, analisis menurut Hukum Islam dan analisis Hukum positif. Bab Kelima, Penutup. Bab ini berisi Kesimpulan dan saran-saran.
BAB II KERANGKA TEORITIS TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian Poligami Kata poligami termasuk kata yang umum yang sudah dipakai, dalam artian kata ini sudah dikenal dan sering kali orang menggunakannya. Walaupun mereka sering kali mengungkapkan kata ini, bukan berarti mereka mengetahui secara detail tentang pengertian poligami yang sebenarnya, bahkan di antara mereka masih banyak yang verbalisme. Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Kalau kedua kata tersebut digabungkan menjadi poligami, maka artinya adalah perkawinan yang banyak atau dengan ungkapan lain adalah suatu perkawinan yang lebih dari satu orang.1 Dalam bahasa Arab poligami disebut Ta’adduduz Zaujaat, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut madu.2 Menurut Arij Abdurrahman As Sanan dalam bukunya Al ‘Adlu Baina az Zaujaat, yang dimaksud dengan Ta’adduduz Zaujaat adalah perbuatan seorang laki–laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang isteri, tidak lebih darinya.3 1
Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam, ( t.t., Usaha Nasional, t.th ) h.12.
2
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2007 ) cet 1, h. 29. 3
Arij Abdurrahman As- Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami, (Jakarta : PT. Global Media Cipra Publishing, 2003 ), h. 25.
12
13
Menurut Islah Gusman, arti poligami adalah banyak nikah. Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada praktek perkawinan lebih dari satu suami atau istri sesuai dengan jenis kelamin orang yang bersangkutan. Ia berpendapat bahwa poligami dan poligini adalah berbeda. Poligini menurutnya adalah banyak perempuan. Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada seorang pria yang melakukan praktek banyak nikah dengan banyak perempuan (pada masa yang sama, dan bukan karena kawin cerai).4 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa poligami adalah Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, dan berpoligini berarti menjalankan poligami.5 Dan pengertian ini pun senada dengan yang di kemukakan oleh Save M’ bahwa poligini sama dengan poligami.6 Begitu pula Sayuti Thalib, ia mengemukakan bahwa arti dari kata poligami adalah sama dengan poligini, yaitu seorang suami beristri lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama.7 Dan pengertian inilah yang secara umum berlaku di masyarakat. Oleh karena itu penulis dalam skripsi ini mengartikan poligami sebagaimana yang di kemukakan oleh Sayuti Thalib.
4
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 26.
5
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), Cet. ke- 7, h.
6
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : LPKN, 1997 ), h. 866.
7
Sayuti Thib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1981 ), h. 169.
18.
14
Menurut Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah sebagaimana yang dikutip oleh Musdah Mulia, bahwa dalam sejarah manusia, perkembangan poligami mengikuti pola pandang masyarakat terhadap kaum perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan perempuan terhormat, poligami pun berkurang.8 Islam bukanlah yang pertama menerapkan aturan poligami, karena jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Nabi dan membawa Islam, poligami telah lama dipraktekkan oleh umat–umat terdahulu. Bahkan hampir semua bangsa melakukannya. Dan cukup banyak fakta yang dapat membuktikan kebenaran ini, seperti yang dikatakan oleh Musthafa al Siba’i, bahwa poligami itu sudah ada pada masyarakat bangsa–bangsa yang hidup di zaman purba, pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Syria, Mesir, dan lain–lain. Pada saat itu, praktek poligami tidak
terbatas jumlah istrinya, sehingga mencapai ratusan
orang istri dalam satu waktu (tanpa cerai dan tanpa faktor ke matian) bagi satu laki–laki (suami).9 Agama Yahudi memperbolehkan poligami tanpa batas. Nabi–nabi yang namanya disebut dalam Taurat, semuanya berpoligami tanpa pengecualian. Dan
8
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), cet. 1. h. 3. 9
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 30.
15
ada keterangan dalam Taurat, bahwa Nabi Sulaiman AS mempunyai tujuh ratus orang istri yang merdeka dan tiga ratus istri yang berasal dari budak.10 Dan meskipun dalam Taurat tidak melarang poligami dan tidak menghalangi seorang laki–laki untuk menikah dengan berapa saja banyaknya istri, namun pendeta–pendeta Yahudi membenci poligami itu, lalu berusaha mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan banyaknya istri hanya empat saja, dan menetapkan harus ada faktor–faktor pendorong yang sah menurut agama, untuk bolehnya laki–laki menikah dengan istri baru.11 Agama Kristen pun pada asalnya tidak melarang poligami. Karena larangan itu tidak ditentukan dalam Injil maupun dalam surat-surat para Rasul (sahabat–sahabat Yesus) yang dikenal dengan Kitab Perjanjian Baru. Dalam kitab itu tidak ada keterangan yang jelas mengenai larangan poligami. Sehingga Dr. Khafi sebagaimana yang dikutip oleh Abbuttawab Haikal mengatakan bahwa kebiasaan poligami itu sudah ada pada bangsa Israil sebelum Nabi Isa diutus, ia kemudian menetapkan kebiasaan poligami itu. Bahkan Nabi Musa mewajibkan seorang untuk mengawini janda saudara laki-lakinya sendiri yang meninggal dan tidak mempunyai anak, walaupun ia sendiri sudah berkeluarga. Apa yang diperbolehkan dalam Taurat, sejauh tidak ada nash yang pasti dalam Injil yang melarangnya, maka diperbolehkan pula dalam agama Kristen, termasuk di 10
Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang – undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977 ), cet. 1. h. 100. 11
Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang – undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 80
16
dalamnya poligami. Karena tidak ada nash (keterangan) yang melarang poligami dalam Injil. Dan sejarah membuktikan bahwa umat–umat Kristen terdahulu dan para pemuka agama banyak melakukan poligami.12 Tetapi bapak–bapak gereja (pendeta) dan para pembuat undang–undang gereja, ada yang berpendapat bahwa ada naskah dalam Perjanjian Baru yang menyinggung tentang pengertian haramnya poligami, yaitu bahwa barang siapa yang menceraikan istrinya dan lalu menikah dengan wanita lain, maka hukumnya adalah ia berzina dengan wanita itu, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi penafsiran haramnya poligami ini hanya sesuai dengan pendapat golongan Kristen Katolik saja, karena golongan ini tidak membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja. Sedangkan golongan
Orthodok
dan
Protestan
(Gereja
Masehi
Injili),
semuanya
memperbolehkan bagi seorang Kristen untuk menceraikan isterinya dalam suasana dan dengan syarat–syarat tertentu.13 George Zaidan, sebagaimana yang dikutip al Siba’i berkata bahwa tidak ada keterangan yang jelas dalam agama Kristen yang melarang para pengikutnya berpoligami dengan dua orang istri ataupun lebih. Kalau sekiranya orang–orang Kristen itu mau, tentu saja mereka boleh berbuat demikian. Tetapi bapak–bapak gereja itu mencukupkan seorang istri saja, demi untuk menjaga kerukunan rumah tangga mereka, seperti yang terdahulu terjadi di kalangan bangsa Romawi. 12
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasullallah SAW, Poligami dalam Islam Vs Monogami Barat, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993 ), cet. 1. h. 49 13
Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang– undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 81
17
Kemudian mereka membawa idenya itu dalam menafsirkan ayat–ayat tentang perkawinan dalam kitab suci mereka, seperti yang sudah kita ketahui secara populer.14 Sekarang ini kita lihat gereja–gereja di Afrika Hitam mengakui bolehnya poligami, karena para petugas penyiar agama Kristen itu menemukan diri mereka berhadapan dengan susunan masyarakat yang biasa berpoligami, yaitu di kalangan bangsa–bangsa Afrika yang beragama Animisme. Bapak–bapak Gereja berpendapat bahwa kalau mereka terus–menerus melarang poligami, maka akhirnya masalah poligami itu akan menjadi penghalang bagi bangsa–bangsa Afrika untuk memasuki agama Kristen. Mereka lalu mempropagandakan bolehnya poligami tanpa batas. Dan dalam masyarakat tradisional Afrika, banyaknya jumlah istri merupakan kebanggaan tersendiri, lambang kesuksesan dan status sosial tinggi serta menandakan kesejahteraan. Poligami merupakan adat warisan leluhur orang–orang Afrika, bukan saja dianggap sebagai kewajaran bahkan hampir sebagai kelembagaan.15 Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktekkan poligami bahkan tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata–rata pemimpin suku memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai sampai ratusan istri.16 Nabi Muhammad SAW membolehkan poligami di antara masyarakatnya karena hal itu telah dipraktekkan 14
Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam, h. 104
15
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), cet. 1. h.120.
16
Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007)
18
juga oleh orang-orang Yunani dan bangsa–bangsa lain yang di antaranya bahkan seorang istri bukan hanya dapat dipertukarkan tetapi juga bisa diperjualbelikan secara lazim antara mereka.17 Dalam konteks pernikahan, kedatangan Islam jelas memberikan suatu arah baru untuk memperoleh kebahagiaan dan rahmat bagi kedua belah pihak. Inheren di dalamnya adalah usaha–usaha pembelaan dan sekaligus pemberdayaan atas perempuan. Ini dilakukan Islam, karena perempuan sebelumnya pada masyarakat Arab pra Islam sama sekali tidak dihargai dan bahkan dilecehkan, lalu ia diangkat martabatnya oleh Islam menjadi subyek yang bermartabat.18
B. Poligami Menurut Hukum Islam. Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah SWT sehingga tidak mengherankan kalau kemudian kita dapati masalah ini di awal surat An-Nisa,yaitu pada ayat ke 3 :
y]≈n=èOuρ 4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù 4‘uΚ≈tGu‹ø9$# ’Îû (#θäÜÅ¡ø)è? ωr& ÷ΛäøÅz ÷βÎ)uρ (#θä9θãès? ωr& #’oΤ÷Šr& y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? ωr& óΟçFøÅz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ
( : /)
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka 17
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, ( Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007 ), cet. 1. h. 57 18
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 38.
19
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. AnNisa’/4: 3)
Ayat ini merupakan ayat yang membicarakan masalah poligami. Yang ini diturunkan kepada Nabi Saw pada tahun kedelapan hijriyah, dengan tujuan untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja. Akan tetapi,sebagian mufasir dan ahli fiqih telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada di antara poligami dengan para janda yang memiliki anak-anak yatim. Ayat tentang poligami turun setelah perang uhud, dimana banyak sahabat wafat di medan perang. Sejumlah besar para wanita dan anak–anak ditinggalkan tanpa tempat perlindungan. Untuk mengatasi masalah tersebut, Allah SWT mewahyukan ayat yang mengizinkan lelaki berpoligami. Namun, meskipun poligami di izinkan, Allah membataskan jumlah istri hanya empat orang saja. Ayat ini memungkinkan lelaki muslim mengawini janda atau anak yatim jika dia yakin itu merupakan cara melindungi kepentingan anak-anak yatim tersebut dan juga untuk melindungi hartanya dengan penuh keadilan. Sayyid Qutb menggambarkan bahwa pada masa jahiliyah banyak kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah berlangsung saat datangnya islam ke tanah arab. Di antaranya adalah hak-hak anak yatim dirampas khususnya anak-anak
20
yatim perempuan di dalam kekangan keluarga, para wali dan penanggung jawab. Hartanya yang baik, ditukar dengan yang buruk, dihambur-hamburkan dengan rakus, karena khawatir bila anak-anak yatim itu telah besar akan mengambilnya. Anak-anak yatim yang kaya ditahan untuk dijadikan istri oleh para walinya, karena tamak kepada harta bukan karena menginginkan mereka. Atau diberikan kepada anak lelaki para wali, untuk tujuan yang sama agar harta tidak keluar dan jatuh ke tangan orang lain. Kebiasaan ini juga berlangsung di awal islam. Hingga Al- Qur’an datang melarang dan menghapuskannya dengan berbagai pengarahan luhur dan mengembalikan masalah ini kepada hati nurani. Dalam ayat lain (QS. 4:129)
È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹t ym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)¯=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù
( : /)
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 129)
Adil dalam pengertian ayat ini berada dalam suatu wilayah cakupan yang amat luas. Bukan saja adil dalam hal memberikan materi yang cukup, namun lebih substansial lagi dari itu ialah adil dalam memberikan nafkah batin, serta adil dalam hal persamaan kaum perempuan yang dinikahi itu. Seorang pemikir
21
modern, Ameer Ali, menyatakan bahwa kebolehan poligami sangat bergantung pada kondisi, situasi, dan tuntutan zaman. Bahkan Muhammad Abduh menyatakan haram pelaksanaan poligami itu sehubungan dengan tidak mungkin berlaku adil. Apalagi, bila poligami itu hanya dimotivasi oleh pemenuhan kebutuhan biologis kaum laki-laki, keharaman untuk melaksanakan poligami semakin nyata. Secara kategoris menyatakan tidak mungkin seorang lelaki dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, betapapun dia menginginkannya. Dan Ayat ini dapat disimpulkan juga, islam pada dasarnya agama monogami. Oleh karena itu, Sayyid Qutb menegaskan bahwa, islam tidak menumbuhkan poligami, tetapi hanya membatasinya. Tidak memerintahkan berbuat poligami, tetapi hanya memberikan rukhshah dan menentukan syarat dalam pelaksanaannya. Islam memberikan rukhshah dalam hal ini untuk menghadapi berbagai realitas kehidupan umat manusia dan berbagai darurat fitrah kemanusiaan. Jika tidak demikian, maka rukhshah yang diberikan tidak boleh dilakukan. Dalam hukum positif kita juga menjelaskan konsep adil dalam poligami. Sebagaimana terdapat dalam pasal 31 (3) UU Perkawinan menyebutkan suami adalah kepala keluarga. Kebutuhan yang harus dipenuhi seorang suami terhadap para istri dan anaknya sungguh tidak ringan. Kebutuhan pangan (nafaqah), sandang (kiswah) dan papan (suknah) adalah yang bersifat materi. Sedangkan yang materi jauh lebih berat karena sulit dilacak parameternya. Karena itulah,
22
suami yang ingin berpoligami cenderung mengambil jalan pintas tanpa mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku. Pada pasal 5 ayat 1 menjelaskan suami yang hendak berpoligami harus memperoleh persetujuan dari istri pertamanya. Dia juga harus mampu menjamin keperluan hidup para istri dan anaknya. Dan yang terpenting, dia harus berlaku adil terhadap para istri dan anaknya. Mengenai keadilan ini, PP No.9 Th.1975 tentang pelaksanaan UU No. 1/1974 berusaha menjabarkan keadilan macam apa yang diemban oleh suami yang hendak berpoligami. Pasal 41 huruf c PP tersebut menyatakan, jika seorang suami mengajukan permohonan poligami, maka pengadilan memeriksa penghasilan suami. Hal ini di buktikan dengan surat keterangan yang di tanda tangani oleh bendahara tempat sang suami bekerja atau surat keterangan pajak penghasilan, atau surat lain yang dapat diterima Pengadilan. Hanya pemeriksaan itu di ujung-ujungnya dimaksudkan semata-mata untuk men celah keadilan yang bersifat materi. Dari uraian di atas menjelaskan kehalalan berpoligami dengan syarat berlaku adil. Jika syarat ini tidak dapat dipenuhi, di mana seorang suami yakin bahwa ia akan terjatuh kepada kezaliman dan menyakiti istri-istrinya, dan tidak dapat memenuhi hak-hak mereka dengan adil, maka poligami menjadi haram. Jika ia merasa menjadi kemungkinan besar menzalimi salah satu istrinya, maka poligami menjadi makruh. Namun jika ia yakin akan terjatuh kepada perbuatan zina jika tidak berpoligami, maka poligami menjadi wajib atasnya.
23
Konsep keadilan tersebut baik Hukum islam dan Hukum Positif agar menjadi perhatian bagi suami yang ingin berpoligami. Jika tidak dapat memenuhi kebutuhan keadilan maka hendaknya monogami mutlak. Sebagaimana allah menjelaskan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3 dan 129. Jika kita menoleh ke sejarah perkawinan Nabi SAW, akan kita jumpai bahwa nabi berpoligami pada masa hanya sepuluh tahun di akhir usianya sementara dua puluh lima tahun sebelum itu Nabi menjalani kehidupan monogami bersama khodijah binti Khuwailid sampai Khodijah wafat dan nabi saat itu berumur 50 tahun. Tiga tahun setelah itu barulah nabi menjalani poligami. wanita yang di nikahi Rasul adalah semua janda, kecuali ‘Aisyah r.a, dan semua untuk tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan wanita yang kehilangan suami. Mereka umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik yang memikat. Para ulama sepakat dengan dibolehkannya berpoligami, namun tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Adapun perselisihan yang terjadi di antara mereka hanyalah jumlah bilangan poligami itu sendiri, Jumhur ulama berbeda pendapat, kebolehan berpoligami hanya kepada empat wanita saja. Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Bidayatul Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam
24
waktu yang bersamaan.19 Imam Malik berpendapat bahwa jika seseorang abdun boleh menikahi empat wanita dalam satu waktu, dan beliau menukil dalam kitab al Muwatha, bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai sepuluh isteri. Maka Rasulullah, bersabda :
Artinya:
(&% (%) *+) !"# $% &'%#
“Peliharalah empat orang isteri diantara mereka dan bebaskanlah (ceraikan) yang lainnya”. (H.R. Imam Malik dalam kitab al Muwatha).20 Pendapat ini didukung oleh Ahlu Zhahir (pengikut Imam Daud ad Dhahiri).
Sedangkan dalil dari sunnah sebagaimana dalam riwayat hadis yang menjelaskan ketika Ghailan bin salamah Ats-Tsaqafi masuk islam dalam keadaan beristri sepuluh orang yang ia nikahi di masa jahiliyah (sebelum masuk islam), mereka semua masuk islam bersamanya, maka Rasulallah saw memerintahkannya untuk memilih empat di antara mereka.
8 9: 8 4!% ,-. 7!6 " -45 ,-. /01. " 23 ,-. ; < => ?@A B8
Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, (Beirut : Darul fikr, tt), cet. Ke-1, jilid, 11 h. 31
20
Imam Malik, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. tt
25
Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa Rasulallah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami seperti umar bin Khattab, ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi sufyan, dan Muaz bin Jabal r.a. Poligami dilakukan juga oleh ahli fiqih tabi’in, mereka mengakui orang yang menikah lebih dari satu istri, dinamakan poligami. Kesimpulannya bahwa generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari ummat islam telah bersepakat melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum poligami sama halnya dengan hukum menikah yang mungkin saja bisa wajib, sunnah, atau makruh sesuai dengan seseorang. Hal ini tergantung pada kondisi seorang lakilaki akan kebutuhannya terhadap poligami, dan kemampuannya memenuhi hakhak istri-istrinya. Pada dasarnya, poligami itu hukumnya mubah (boleh), berdasarkan Q.S.An-Nisa ayat 3. kebolehan poligami ini tidak menghibahkan batasan dan syarat-syarat yang di atur oleh hukum islam itu sendiri yang bertujuan untuk meratakan kesejahteraan keluarga dan untuk menjaga ketinggian nilai di kalangan generasi masyarakat islam seterusnya guna meningkatkan budi pekerti kaum muslimin yang berpedoman pada al-Qur’an dan hadis. Pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya di adopsi oleh ulamaulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh
26
suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Dalam fatwa Abduh, keadilan di sini yang di syaratkan al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta dan perhatian yang semuanya tidak bisa di ukur dengan angka atau nominal. Sebagian besar ahli hukum islam menyadari bahwa keadilan kualitatif ini sesuatu yang sangat mustahil untuk diwujudkan. Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas kontrol manusia.
C. Poligami menurut Hukum Positif. 1. Poligami dalam Undang–undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Telah kita ketahui, Undang–undang RI No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Salah satu permasalahan yang diatur di dalamnya adalah tentang poligami. Ada
27
kesamaan antara poligami Islam dengan aturan poligami yang terdapat dalam Undang–undang Perkawinan yaitu pintu poligami dibuka hanya bagi orang– orang yang memiliki alasan–alasan tertentu. Supaya masalah poligami menurut Undang–undang Perkawinan ini dapat diketahui dengan jelas dan terperinci, akan dikutip dan dijelaskan pasal– pasal yang mengaturnya sebagai berikut : Pasal 3 (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak–pihak yang bersangkutan. Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang–undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat–syarat sebagai berikut : a. Adanya persetujuan isteri atau isteri–isteri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan– keperluan hidup isteri–isteri dan anak–anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang–kurangnya dua
28
tahun, atau karena sebab–sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan. Pasal 65 (1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan pasal 3 ayat (2) undang–undang ini, maka berlakulah ketentuan–ketentuan berikut : a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya. b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi. c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing–masing. (2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut undang–undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan–ketentuan ayat (1) pasal ini.
Dari pasal–pasal mengenai poligami yang telah disebutkan diatas dapat dijelaskan tatacara dan ketentuan permohonan izin poligami sebagai berikut : a. Poligami harus ada izin dari Pengadilan Agama yang diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya dengan membawa surat permohonan izin beristeri lebih dari seorang yang isinya memuat nama, umur, tempat kediaman pemohon (suami) dan termohon (isteri), alasan– alasan untuk beristeri lebih dari seorang dan petitum.21 b. Setelah surat permohonan izin poligami diajukan, maka Majelis Hakim memeriksa berkas–berkas tersebut selambat–lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan tersebut (pasal 42 ayat (2) PP No. 9/ 1974). 21
H. A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ke -3, h. 241.
29
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama meliputi : a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami menikah lagi sebagai syarat alternatif yaitu : 1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri seperti, tidak dapat mendampingi dan melayani suami dengan baik, mengatur rumah tangga dan mengurus serta mendidik anak–anak dengan baik, termasuk tidak menjaga kehormatan dirinya dengan baik. 2) Isteri cacat badannya, misalnya lumpuh, lemah syaraf, berpenyakit yang tidak dapat disembuhkan, seperti gila, batuk menahun, lepra dan sebagainya. 3) Isteri tidak dapat memberikan keturunan.22 b. Ada atau tidaknya persetujuan isteri baik lisan maupun tertulis yang harus dinyatakan di depan sidang. c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri–isteri dan anak–anak dengan mempelihatkan surat–surat mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat kerja, surat keterangan pajak penghasilan atau surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. Sedangkan jaminan bahwa suami akan berlaku adil adalah dengan pernyataan atau perjanjian dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.23
22
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundang – undangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung : Penerbit Mandar Jaya, 1990 ), cet. Ke -1, h.35. 23 Ibid
30
d. Persetujuan isteri tidak diperlukan lagi dalam hal isteri tidak mampu menjadi pihak dalam perjanjian seperti isteri kurang mampu untuk melakukan perbuatan hukum karena sakit ingatan, gila, ganguan saraf dan lain–lain, tidak ada kabar dari isteri selama sekurang–kurangnya dua tahun, karena sebab–sebab lain yang perlu dapat penilaian hakim berupa keadaan–keadaan yang menjadi alasan dan perlu dipertimbangkan dalam memberikan keputusan, seperti itikad isteri tidak memberikan persetujuan dengan maksud jahat agar suami tersiksa lahir batinnya atau hendak mempermainkan saja atau keadaan tentang adanya kabar dari isterinya akan tetap domisili yang jelas tidak diperoleh sedang suami telah berusaha keras mencarinya.24 Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
Undang-undang
Perkawinan tersebut telah berpihak pada kewajaran dan nyata dalam hal poligami yaitu, poligami diperbolehkan dengan syarat–syarat yang ketat. 2. Poligami dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Secara resmi Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hasil consensus (ijma’) ulama melalui media lokakarya, yang kemudian mendapat legalitas dari kekuasaan negara dan disebarluaskan untuk memenuhi
24
Martiman Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Mengenai Undang – undang Perkawinan dan Pelaksanaannya disertai Yurisprudensi, (Jakarta : Pradya Paramita, 1979 ) h.26
31
kebutuhan hukum substansial bagi orang–orang yang beragama Islam.25 Selain itu perumusan KHI bertujuan untuk menyiapkan pedoman yang seragam (unifikatif) bagi Hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.26 Masalah poligami dalam KHI terdapat pada Buku 1 Bab IX pasal 55–59 berikut akan dikutipkan pasal demi pasal.27 Pasal 55 (1) (2) (3)
Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Pasal 56 (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. (2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : (1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat–syarat yang 25
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998), cet. Ke -2, h. 122. 26 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ), cet. Ke -4, h. 43. 27 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama RI Tahun 1998 / 1999, h. 33 – 35.
32
ditentukan pada pasal 5 Undang–undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, yaitu : a. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri–isteri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri–isteri dan anak–anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anak mereka. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b. PP No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri–isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri, pada sidang pengadilan agama. (3) Persetujuan dimaksud ayat (1) Huruf a. tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri–isterinya sekurang–kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim. Pasal 59 Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Jika diperhatikan, substansi poligami dalam KHI tidak berbeda dengan aturan poligami dalam Undang–undang Perkawinan. Hal ini dikarenakan dalam bidang perkawinan (buku 1) KHI, dalam pelbagai hal, merujuk kepada peraturan perundang–undangan yang berlaku. Disamping itu, KHI juga merujuk kepada pendapat fuqaha (para ahli fiqih) yang sangat dikenal di kalangan ulama dan masyarakat Islam Indonesia. Maka dapat dikatakan, KHI merupakan norma hukum antara yang ditetapkan oleh penguasa negara dan pandangan ulama.28
28
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998 ), cet. Ke -2, h. 125
33
3. Poligami menurut PP No. 10 Tahun 1983. Menurut pasal 10 PP No. 10 tahun 1983 pegawai negeri sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang dan pegawai sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat dari seorang yang bukan pegawai negeri sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat.29 Dan izin tersebut hanya dapat diberikan oleh pejabat, apabila memenuhi sekurang–kurangnya salah satu syarat alternatif yaitu : (1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. (2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. (3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu harus dipenuhinya ketiga syarat kumulatif, yaitu : (1) Adanya persetujuan dari isteri/ isteri – isteri. (2) Pegawai negeri pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak–anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan. (3) Adanya jaminan tertulis dari pegawai negeri sipil yang bersangkutan, bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya. Sedangkan bagi pegawai negeri sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat dari pria bukan pegawai negeri sipil syarat–syarat kumulatif tersebut adalah :
29
Lihat Penjelasan Umum PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Negeri Sipil
34
(1) Ada persetujuan tertulis dari isteri calon suami. (2) Calon suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak–anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan. (3) Adanya jaminan tertulis dari calon suami, bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya.2
2
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, ( Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007 ), cet. 1. h. 133
BAB III KONDISI OBJEKTIF MASYARAKAT SAWANGAN
A. Kondisi Objektif Masyarakat Sawangan 1. Kondisi Geografis Kecamatan Sawangan merupakan salah satu dari kecamatan di wilayah Kota depok. Adapun kondisi geografis Kecamatan sawangan adalah sebagai berikut: a. Tinggi Pusat Pemerintahan / Height of Central Government Kec. sawangan dari permukaan tanah yang relatif datar dan tidak berbukit- bukit
: 60 m
b. Suhu Maksimum / Minimum : 30C / 20○ C
Max / Min Temperature c. Batas Wilayah (Regional Boundary) 1) Sebelah Utara
: Tangerang Banten & Kec. Limo
2) Sebelah Timur
: Kec. Limo & Pancoran Mas
3) sebelah Selatan
: Kabupaten Bogor
4) Kecamatan
: Kecamatan Tangerang
Kecamatan Sawangan memiliki luas wilayah 4.674 Ha, merupakan wilayah yang berupa perbukitan.
35
36
2. Kondisi Demografis Dalam pemerintahan Kecamatan Sawangan dipimpin oleh satu orang Camat yang dibantu oleh beberapa orang staf yang berjumlah 19 (sembilan belas) orang di tingkat kecamatan, hal ini dapat di lihat dari tabel berikut: Tabel 1 Pegawai Kantor Camat Menurut Pangkat / Golongan Ruang dan Jenis Kelamin District Officers based on their Grade/ room type No
Jabatan / Occupation
2
3
4
5
6 7
(2)
JML
NYA
Grade / room type
(1) 1
Pangkat / Golongan / LAI-
I
II
III
IV
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
CAMAT
-
-
-
1
-
1
SEKRETARIS CAMAT
-
-
1
-
-
1
STAF SEKRETARIAT
-
2
1
-
-
3
KASIE PEMERINTAHAN
-
-
1
-
-
1
STAF PEMERINTAHAN
-
-
1
-
1
2
KASIE DIKBUD
-
-
1
-
-
1
STAF DIKBUD
-
3
-
-
-
3
KASIE PEMBANGUNAN
-
-
1
-
-
1
STAF PEMBANGUNAN
-
-
2
-
-
2
KASIE KESOS
-
-
1
-
-
1
STAF KESOS
-
-
2
-
-
2
KASIE PEREKONOMIAN
-
-
1
-
-
1
JUMLAH
0
5
12
1
1
19
Sumber Data: Kantor Camat Sawangan
37
Kecamatan sawangan memiliki 14 Desa / Kelurahan, yang terdiri dari 144 Rukun Warga (RW), dan 624 Rukun Tetangga (RT), sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2 Rukun Warga, dan Rukun Tetangga Amounts of Orchard, Administrative Society Unit and Neigbourhood Association DESA/KELURAHAN Village/Sub-District (1) (2) 1 PASIR PUTIH 2 BEDAHAN 3 PENGASINAN 4 DUREN SERIBU 5 BOJONGSARI 6 CURUG 7 PONDOK PETIR 8 SERUA 9 CINANGKA 10 SAWANGAN 11 SAWANGAN BARU 12 KEDAUNG 13 BOJONGSARI BARU 14 DUREN MEKAR JUMLAH Sumber Data: Kantor Camat Sawangan No
RW
RT
(4) 5 13 11 7 6 6 5 9 4 5 5 6 7 8 144
(5) 66 31 51 14 22 14 20 40 16 18 30 9 11 32 624
Wilayah Kecamatan Sawangan sama halnya dengan kecamatan lainnya, sehingga tidak heran apabila tiap tahun jumlah penduduk di Kecamatan Sawangan terus bertambah, begitu juga dengan pembangunan fisik pun kian berkembang sebagaimana mengikuti arus perubahan dan perkembangan zaman.
38
3. Kondisi penduduk Berdasarkan data statistik dari Kecamatan Sawangan seperti oleh sandi sebagai berikut:
Tabel-3 Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin
No (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
DESA/KELURAHAN Village/Sub-District (2) PASIR PUTIH BEDAHAN PENGASINAN DUREN SERIBU BOJONGSARI
CURUG PONDOK PETIR SERUA CINANGKA SAWANGAN SAWANGAN BARU KEDAUNG BOJONGSARI BARU DUREN MEKAR JUMLAH
LakiLaki
Perem puan
(3) 6.177 7.098 6.536 4.194 5.009 5.676 7.339 4.388 4.860 6.652 5.512 5.896 4.091 5.519 78.947
(4) 6.128 6.928 6.417 4.431 5.220 5.382 7.256 4.178 4.718 6.258 5.535 5.641 4.589 5.600 78.281
Laki-Laki + Permpuan (5) 12.305 14.026 12.953 8.625 10.229 11.058 14.595 8.556 9.758 12.910 11.047 11.537 8.680 11.119 157.228
Rasio Jenis Kelamin (6) 87.4 107.2 93.8 95.9 97.1 87.4 101.3 95.4 96.0 99.8 99.2 98.7 101.4 90.5 93.6
Sumber Data: Registrasi Penduduk
Berdasarkan data statistik yang bersumber dari data monografi kecamatan, saat ini jumlah penduduk Kecamatan Sawangan berjumlah 157.228 jiwa. Dengan jumlah Kepala Keluarga 43.383 jiwa. Dengan anggota keluarga rata-rata berjumlah 6 (empat) orang.
39
Tabel-4 Penduduk Kecamatan sawangan Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Paciran District residents based on Group of age and gender No
Kelompok umur Laki-Laki Perempuan Gorup of age Male female (1) (2) (3) (4) 1 0–4 6.756 6.727 2 5–9 7.083 7.045 3 10 – 14 6.294 6.271 4 15 – 19 6.054 6.019 5 20 – 24 6.129 6.191 6 25 – 29 5.665 5.798 7 30 – 34 5.642 5.666 8 35 – 39 5.057 5.827 9 40 – 44 4.771 4.914 10 45 – 49 4.364 4.541 11 50 – 54 4.058 4.066 12 55 – 59 3.567 3.631 13 60 – 64 3.101 3.167 14 65 + 3.096 3.145 JUMLAH 71.644 73.008 Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
Laki-Laki + Perempuan (5) 13.492 14.128 12.565 12.073 12.220 11.263 11.268 9.884 9.685 8.705 8.074 7.098 6.168 6.141 142.764
Berdasarkan tabel di atas mengenai usia penduduk dan jenis kelamin nampak, bahwa sebagian bersar penduduk berusia 20 tahun ke atas. Dengan Hal ini jumlah laki-laki mencapai 63.44% dari jumlah 71.644 sedangkan jumlah perempuan mencapai 64.30% dari jumlah 73.008. hal ini membuktikan bahwa jumlah laki-laki lebih sedikit dari pada jumlah perempuan. Dari gambar di atas menunjukkan bahwa penduduk Kecamatan Sawangan tersebut sudah termasuk memasuki usia produktif. Usia ini juga menunjukkan kedewasaan (baligh) mereka secara keagamaan dalam bahasa lain mereka juga disebut mukallaf, sehingga mereka sudah harus mengetahui dan menjalankan syari’at agama Islam.
40
4. Kondisi Perekonomian Berdasarkan dari buku laporan Pemerintahan Kecamatan Sawangan, mengenai kondisi ekonomi dan mata pencaharian penduduk dapat kita lihat dalam tabel di bawah ini: Tabel-5 Banyaknya Keluarga Pertanian Menurut Sub Sektor Number of agriculture family based on its sector No (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Desa/Kelurahan Village/Sub-Disrict (2)
PETANI
WIRASWASTA
(3) 1.462 1.081 122 1.977 399 CURUG 1.809 PONDOK PETIR 17 SERUA 1.349 CINANGKA 1.043 SAWANGAN 407 SAWANGAN BARU 1.434 KEDAUNG 288 BOJONGSARI BARU 744 DUREN MEKAR 3.469 Jumlah 15.565 Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan PASIR PUTIH BEDAHAN PENGASINAN DUREN SERIBU BOJONGSARI
(4) 492 709 1.803 1.554 1.842 931 714 1.577 1.376 598 1.898 1.492 1.924 4.179 21.089
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk Kecamatan Sawangan bermata pencaharian sebagai petani berjumlah 15.565 jiwa, hal ini karena letak Kecamatan Sawangan kondisi ekonomi penduduk juga ditopang dari sektor wiraswasta berjumlah 21.089 jiwa, mengingat bahwa penduduk Kecamatan Sawangan juga termasuk masyarakat ekonomi menengah.
41
5. Kondisi sosial keagamaan Kecamatan Sawangan merupakan salah satu kecamatan yang agamis, hal ini terlihat dari nuansa kehidupan masyarakatnya yang agamis. Hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kegiatan ritual kegamaan masyarakat yang berupa pengajian, berbagai kegiatan rutinan, baik itu mingguan atau bulanan berupa pembacaan surat yasin dan tahlil, dzibaan, thoriqoh dan kegiatan sosial keagamaan lainnya. Pembinaan bidang keagamaan di wilayah kecamatan ini dapat berjalan dengan baik, karena ditopang oleh banyaknya tempat pendidikan, tempat ibadah dan fasilitas lainnya yang cukup memadai. Tabel-8 Banyaknya Tempat Ibadah Number of Religious Places No (1)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Desa/Kelurahan Village/Sub-Disrict (2) PASIR PUTIH BEDAHAN PENGASINAN DUREN SERIBU BOJONGSARI
Masjid Musholla Majlis Taklim (3) (4) (5)
6 24 6 18 8 6 6 19 5 19 CURUG 5 17 PONDOK PETIR 6 11 SERUA 6 20 CINANGKA 4 28 SAWANGAN 5 10 SAWANGAN BARU 6 12 KEDAUNG 3 12 BOJONGSARI BARU 5 22 DUREN MEKAR 5 21 JUMLAH 76 239 Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
10 5 11 9 7 12 4 11 10 4 2 8 4 14 111
Jumlah (6)
40 29 25 34 31 34 21 37 42 19 20 23 31 30 419
42
Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa sarana tempat ibadah di Kecamatan Sawangan berjumlah 419 buah, dengan rincian, Masjid 76 buah, Musholla 239 buah, dan Majlis Taklim 111. Adapun sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Sawangan dapat di ketahui dalam tabel di bawah ini: Tabel-9 Banyaknya Sarana Pendidikan No (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Desa/Kelurahan Village/Sub-Disrict (2) PASIR PUTIH BEDAHAN PENGASINAN DUREN SERIBU BOJONGSARI CURUG PONDOK PETIR SERUA CINANGKA SAWANGAN SAWANGAN BARU KEDAUNG BOJONGSARI BARU DUREN MEKAR JUMLAH
TK (3) 3 3 9 3 5 1 3 5 1 4 1 2 2 49
SD (4) 4 2 8 2 2 2 2 5 2 2 2 2 2 2 46
SL TP (5) 3 2 5 2 1 1 2 2 1 1 1 1 26
SL TA (6) 1 3 6 2 1 1 2 1 1 4 20
PT (7) 2 1 1 6 4
Pon Pes (8) 2 4 1 2 3 1 1 2 4 2 4 26
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa saranan pendidikan di Kecamatan Sawangan cukup memadai bagi perkembangan intlektual masyarakat. Sarana pendidikan dari jenjang Taman Kanak-kanak berjumlah 49 buah, sampai Perguruan Tinggi berjumlah 4 buah, juga tersedia. Begitu pula dengan keberadaan 26 buah Pondok Pesantren menunjukkan bagaimana pembinaan spiritual dan sosial keagamaan di wilayah kecamatan tersebut.
43
B. Poligami pada Masyarakat Sawangan. 1. Pandangan tokoh masyarakat Sawangan terhadap poligami. a. Pengaturan mengenai masalah poligami. Dalam poin ini, dari ke 6 (enam) tokoh masyarakat sawangan 5 (lima) di antaranya perlu adanya suatu pengaturan dari pemerintah dalam menghadapi
permasalahan
poligami,
karena
menurut
mereka
permasalahan itu perlu dilakukan atau di tindak lanjuti undang-undang yang berlaku. Sedangkan 1 (satu) tokoh masyarakat menyatakan bahwa poligami suatu yang amat urgen, kalau sudah tidak ada jalan lain baru boleh melakukannya. Karena menurutnya monogamilah yang sangat ideal karena tidak setuju dengan poligami. Selanjutnya mengatakan bahwa poligami harus dengan ilmu karena dengan alasan tidak mendzolimi seorang istri dan paham dengan syarat-syarat yang telah ada dalam hukum Islam dan hukum positif. Dan ada beberapa tokoh dengan alasan yang mereka kemukakan, di antaranya : K.H Mad Budi dan H. Mad Nuh Malik mengatakan bahwa pengaturan perkawinan terhadap poligami yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
warga
negaranya.
Selanjutnya
K.H
Damanhuri
bahwa
perkawinan poligami itu harus diatur oleh pemerintah untuk menyamakan persepsi, karena di Indonesia ada bermacam-macam agama dan aliran kepercayaan, maka undang-undang perkawinan itu harus dibukukan.1
1
K.H Damnhuri, wawancara pribadi, pesantren Al-karimiyah sawangan baru 17 juli 2010.
44
KH.
Anwar
Hidayat
SH
mengatakan
bahwa
pengaturan
pemerintah terhadap masalah perkawinan warganya itu diperlukan untuk melindungi rakyatnya.2 Sementara itu menurut KH. Edi Djunaedi bahwa perlu juga pemerintah mengatur masalah perkawinan dalam poligami karena mayoritas rakyatnya bergama Islam, maka pengaturan perkawinan dalm berpoligami banyak diarahkan pada muatan-muatan Islam.3 b. Syarat poligami. Para tokoh masyarakat sepakat bahwa melakukan berpoligami dalam Islam itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Sementara itu H. Mad Nuh Malik mengatakan bahwa Poligami sudah sangat jelas kedudukannya dalam hukum Islam. Bagi seorang suami yang akan melakukan poligami harus memperhatikan dan memenuhi syarat yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, sebab bila ia tidak mampu memenuhinya maka sang suami tidak berhak berpoligami. 4 Selanjutnya K.H Mad Budi menambahkan bahwa Islam mengijinkan seorang laki mengawini seorang perempuan lebih dari satu ( hingga empat ). Namun, hal itu dapat dilakukan oleh suami bila ia telah memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Apabila syarat belum terpenuhi maka ia 2
KH. Anwar Hidayat SH,wawancara pribadi, pesantren Darul Ulum Sawangan 25 Juli 2010.
3
KH. Edi Djunaedi, wawancara pribadi, pesantren Ulumul Qur’an Duren Mekar ( Sawangan ) 18 Juli 2010. 4
H. Mad Nuh Malik, wawancra pribadi. Ulama Pondok petir (Sawangan) 10 Juli 2010.
45
harus merenungkan niatnya. Sebenarnya poligami adalah solusi dalam hukum Islam dan upaya mengangkat derajat kaum wanita.5 K.H. Damanhuri yang mempunyai istri lebih dari satu, mengatakan bahwa poligami itu boleh asal kita bisa berbuat adil dan mencari banyak keturunan. Sehingga jelas yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. Dan tujuan dari poligami melestarikan keturunan, nilai sosial dan sunnah (dari sisi bilangan).6 Sementara itu menurut KH. Edi Junaedi bahwa perlu juga pemerintah mengatur masalah perkawinan ( poligami ) karena mayoritas rakyatnya beragama Islam, maka pengaturan perkawinannya banyak diarahkan pada muatan-muatan Islam.7 Sebagaimana yang dikatakan oleh KH. Anwar Hidayat SH bahwa syarat poligami harus sesuai dengan tuntunan agama karena kebenaran agama itu mutlak, dan wajib kita yakini.8 Adapun syarat-syarat poligami dalam Islam adalah sebagai berikut: a. Bila seorang lelaki yang telah beristri, masih akan terjadi penyelewengan kepada perempuan lain. b. Bila istri mandul, sedang ia tidak rela diceraikan. 5
KH. Mad Budi, wawancara pribadi. Pondok pesantren Darutafsir Alhusaini Duren Mekar (Sawangan) 13 Juli 2010. 6
K.H Damanhuri, wawancara pribadi. Pondok pesantren Al-karimiyah Sawangan Baru 17
Juli 2010. 7
K.H Edi Djunaedi, wawancara pribadi, pondok pesantren Ulumul Qur’an Duren Mekar 18
Juli 2010. 8
2010.
K.H Anwar Hidayat SH, wawancara pribadi. Pesantren Darul Ulum (Sawangan) 25 Juli
46
c. Bila seorang istri sakit berkepanjangan d. Jika jumlah wanita lebih banyak dari pada pria.
C. Pengaruh Poligami 1. Pengaruh poligami terhadap ekonomi Bahwa ekonomi juga sangat perlu dalam kebutuhan keluarga bahkan semua orang membutuhkannya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa para tokoh yang berpendapat tentang pengaruh poligami terhadap ekonomi, adapun tersebut diantaranya: a. Hartanya terbagi-bagi. Hal ini diungkapkan oleh K.H Mad Budi bahwa “pengaruh poligami terhadap ekonomi adalah hartanya terbagi-bagi, gajinya terbagi-bagi di antara para istri sedangkan dari bapak ke anak terasa kurang, bahkan mereka terlantar”. b. Bentuk kemapanan, H. Bahrudin mengatakan bahwa poligami adalah suatu kemapanan seorang suami sehingga dengan poligami suami yang mapan bisa berbagi rata dalam bentuk materi yang di berikan. Hal senada juga dikemukakan KH. Damanhuri, yang mengatakan “ bahwa poligami adalah bentuk kemampuan seorang suami. Suami yang berpoligami harus mempunyai power sehingga segala kebutuhan pasti terjamin, karena faktor utamanya dalam berpoligami adalah kemapanan ekonomi.
47
Karena syarat poligami atau kemapanan ekonomi di lihat dari beberapa tokoh masyarakat sawangan mengatakan, di antaranya : a. Menurut H. Mad Nuh Malik mengtakan “bahwa poligami adalah harus berdasarkan ekonomi karena memenuhi kebutuhan untuk keluarganya. b. Menurut K.H Edi djunaedi mengatakan “bahwa poligami adalah seseorang yang mempunyai banyak harta sehingga mampu memberikan nafkah dengan adil. c. Menurut K.H Anwar Hidayat SH mengatakan “bahwa poligami adalah mampu memberikan mahar ( mas kawin ) yang berlaku seumur hidup, atau mampu berbuat adil kepada setiap istri dan anaknya. 2. Pengaruh Poligami terhadap kejiwaan Anak Poligami berpengaruh terhadap kejiwaan anak, karena anak kurang mendapatkan pengasuhan orang tuanya sehingga mereka tidak dekat kepada seorang bapak yang berpoligami. Hal ini ditegaskan oleh beberapa para tokoh masyarakat yang berpendapat tentang pengaruh poligami terhadap kejiwaan anak. Adapun pendapat tersebut di antaranya adalah: a. Anak kurang diperhatikan., menurut K.H Mad Budi mengatakan bahwa dampak bagi kejiwaan seorang anak adalah anak merasa kurang diperhatikan, merasa kurang mendapatkan kasih sayang dari bapaknya, atau merasa tidak dekat dengan ayahnya. Di samping itu, poligami membawa beban psikologis anak terhadap lingkungan atau teman –
48
temannya, karena mereka terbebani oleh perkataan teman-temannya yang mengatakan bahwa bapaknya tukang kawin ( berpoligami ). b. Membuka peluang anak menjadi nakal dan tidak terurus. Menurut H. Mad Nuh Malik mencontohkan sebuah kasus, bahwa ada seorang mempunyai banyak anak di mana-mana dari hasil berpoligami keluarga tersebut dari laki-laki yang berpoligami hanya terpenuhi kebutuhan ekonomi saja tetapi tidak mendapat perhatian yang lebih dekat dari seorang ayah.9 c. Anak akan merasa dirinya tidak memiliki kebebasan di dalam lingkungan sosial pergaulan, karena jiwanya merasa terbebani atas perbuatan orang tuanya berpoligami. Hal ini dikemukakan oleh K.H Damanhuri. d. Anak merasa tidak diperhatikan atau kurang mendapat kasih sayang yang dahulu di rasakan sebelum berpoligami. Hal ini dikemukakan oleh K.H. Edi Junaedi. e. Anak tidak hormat kepada bapaknya sehinggga anak sekehendak hatinya melakukan perbuatan yang tidak baik seperti melakukan ketidak sopanan, membangkang dan karena bapak menyakiti ibunya, anak bisa saja memusuhi bapaknya. Hal ini dikemukakan oleh H. Bahrudin. f. Anak akan merasa dirinya tidak memiliki kebebasan di dalam lingkungan sosial pergaulan, karena jiwanya merasa terbebani atas perbuatan orang tuanya berpoligami. Menurut K.H Damanhuri.
9
H, Mad Nuh malik, wawancara pribadi. Ulama Pondok petir (Sawangan) 15 Juli 2010.
49
Melihat paparan beberapa pendapat di atas, menurut tokoh masyarakat sawangan pada dasarnya poligami itu boleh dilakukan dengan catatan: a. Harus mapan dari segi ekonomi b. Dapat berlaku Adil c. Mendapat ijin dari istri 2. Faktor-faktor pendukung Poligami di Kecamatan Sawangan Setelah penulis wawancara kepada tokoh Masyarakat Banyaknya pelaku poligami pada umumnya, dan penulis dapat mengklasifikasikan ada berbagai macam faktor : a. Faktor Internal, dalam hal ini seperti istri yang tidak dapat memberikan kepuasaan terhadap suami atau karena istri tidak bergairah lagi dalam hal sek sementara suami mempunyai libido yang tinggi. Istri yang membangkang pada suami, sehingga tidak terciptanya keharmonisan dalam rumah tangga, istri mandul atau tidak bisa memberikan keturunan. b. Faktor pendidikan, dalam melihat latar belakang tingkat pendidikan orang yang melakukan poligami rendah sehingga mudah untuk memutuskan menikah lagi jika mereka sudah merasa mampu untuk memberi nafkah lebih dari satu istri. c. Faktor ekonomi, dalam faktor ini hanya segelintir orang yang mempunyai kedudukan yang berbeda di masyarakat. Yang dianggap sebagai orang yang mampu dalam hal materi atau ekonomi, sehingga mereka mau melakukan tindakan poligami untuk tujuan yang bernilai positif.
50
d. Faktor
pergaulan, dalam lingkungan pergaulan poligami akan
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap orang-orang yang belum hidup berpoligami sehingga terdorong hatinya untuk melakukan di karenakan dari segi faktor ekonomi sudah cukup.
BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT SAWANGAN TENTANG POLIGAMI
A. Analisis menurut Hukum Islam Berdasarkan pandangan dari ke-6 tokoh masyarakat sawangan dalam menyikapi poligami terhadap hukum Islam. 5 di antaranya tokoh masyarakat tersebut mengatakan, bahwa poligami dalam hukum Islam sangat jelas kedudukannya. Poligami harus memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat dalam hukum Islam, yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa di awal yaitu pada ayat ke 3:3
(& : &/) !" #…
Artinya
: ".... maka kawinilah wanita – wanita (lain) yang kamu senangi, satu, dua, tiga, atau empat." (QS. an Nisa/3: 3)
Menurut tokoh masyarakat, ayat ini adalah syarat-syarat dalam berpoligami. Hal ini membuktikan bahwa hukum Islam membolehkan seorang laki-laki beristri lebih dari satu asalkan memenuhi syarat yang ditentukan dalam hukum Islam. Menurut KH. Mad Budi, jika syarat dalam hukum Islam tidak terpenuhi maka poligami harus diurungkan oleh seorang laki-laki, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat lain An-Nisa (4:129) yang berbunyi :
51
52
È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹t ym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)¯=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù
(*+, :)/)
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 129)
KH. Damanhuri menjelaskan hukum poligami dari segi keadilan. Dalam hal ini adil bukannya berarti memberikan materi yang cukup saja tetapi adil yang bersipat substansial, artinya adil memberikan nafkah bathin serta adil dalam persamaan kaum wanita yang dinikahinya. Jika hukum Islam tidak terpenuhi dalam keadilan berpoligami dan hanya dimotifasi oleh kebutuhan biologis laki-laki maka semakin mendekati keharaman yang nyata. Selain ayat di atas yang menggambarkan hukum poligami berdasarkan hukum Islam, ditegaskan pula berdasarkan ushul fiqh, bahwa poligami dibolehkan namun poligami tidak harus dijadikan suatu kewajiban. Sebagian jumhur ulama berpendapat bahwa poligami hanya pada empat wanita saja atau sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan Hadis. Para ulama sepakat dengan dibolehkannya berpoligami, namun tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Adapun
53
perselisihan yang terjadi di antara mereka hanyalah jumlah bilangan poligami itu sendiri, Jumhur ulama berbeda pendapat, kebolehan berpoligami hanya kepada empat wanita saja. Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Bidayatul Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam waktu yang bersamaan.1 Imam Malik berpendapat bahwa seseorang abdun boleh menikahi empat wanita dalam satu waktu, dan beliau menukil dalam kitab al Muwatha, bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai sepuluh isteri. Maka Rasulullah, bersabda :
Artinya:
(9 :; <) -./!01 234 # 562 7 -82! 292 7
“Peliharalah empat orang isteri diantara mereka dan bebaskanlah (ceraikan) yang lainnya”. (H.R. Imam Malik dalam kitab al Muwatha).2 Pendapat ini didukung oleh Ahlu Zhahir (pengikut Imam Daud ad Dhahiri).
Sedangkan dalil dari sunnah sebagaimana dalam riwayat hadis yang menjelaskan ketika Ghailan bin salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam dalam keadaan beristri sepuluh orang yang ia nikahi di masa jahiliyah (sebelum masuk islam), mereka semua masuk Islam bersamanya, maka Rasulallah saw memerintahkannya untuk memilih empat di antara mereka.
1
Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, (Beirut : Darul fikr, tt), cet. Ke-1, jilid, 11 h. 31
2
Imam Malik, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. tt
54
F G/.H F /@6 => /E6? =@A => B> CD => I J KL# M" /NF JOP Q@R1 SBT R1 KU /@F F B1 (J? <) V 8 WX R1 JBRF Y RZ Artinya: “ kami diberitahukan oleh yahya Ibn Hakim, kami diberitahukan oleh Muhammad ibn Ja’far, kami diberitahukan oleh Mu’amar dari alZuhri dari salim dari Ibn Umar berkata: Ghilan ibn Salamah masuk islam dan ia memiliki 10 istri, maka nabi bersabda : Ambilah diantara mereka empat orang”. ( H.R. Ibnu Majah ) Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa Rasulallah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami seperti umar bin Khattab, ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi sufyan, dan Muaz bin Jabal r.a. Poligami dilakukan juga oleh ahli fiqih tabi’in, mereka mengakui orang yang menikah lebih dari satu istri, dinamakan poligami. Kesimpulannya bahwa generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari ummat islam telah bersepakat melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal. Pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya diadopsi oleh ulamaulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan
55
bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas kontrol manusia. Sedangkan terdapat 1 (satu) tokoh masyarakat yang mempunyai pandangan lain terhadap poligami tersebut karena poligami merupakan jalan darurat (emergency exit), kalau sudah tidak ada jalan baru boleh melakukannya. Dan poligami harus dengan ilmu karena dengan alasan tidak mendzolimi seorang istri dan paham dengan syarat-syarat yang telah ada di dalam hukum Islam dan hukum positif. Pandangan tersebut sesuai dengan surat an-Nisa :
(#θä9θãès? ωr& #’oΤ÷Šr& y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? ωr& óΟçFøÅz ÷βÎ*sù
...
(& :)/)
Artinya : “... kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Q.s.. An-Nisa: 3).
56
B. Analisa menurut Hukum Positif Berdasarkan analisa, hukum positif memandang pendapat tokoh masyarakat mengenai poligami adalah suatu yang positif dan baik, karena pandangan tokoh masyarakat sawangan telah sesuai, sebagaimana yang tersirat dalam undang-undang hukum positif. Sebagaimana hukum positif mengenai prosedur tatacara poligami dalam perundang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Kompilsai Hukum Islam (KHI ). 1.
Menurut pasal 3-4 UU No 1 Tahun 1974 adalah mengenai kebolehan poligami telah mengatur walau terbatas hanya sampai empat (4) istri.
2.
Menurut pasal 55-57 KHI, poligami dibolehkan.
3.
Menurut pasal 55-59, mengenai syarat-syarat utama berpoligami.
4.
Menurut pasal 5 UU No 1 Th 1974, mengenai kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya. Hal tersebut di atas sesuai dengan persepsi tokoh masyarakat sawangan
salah satunya adalah pendapat KH. Mad Budi S.Ag bahwa poligami itu diperbolehkan apabila telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam hukum positif. Jadi, menurut hukum positif pendapat tokoh masyarakat sawangan mengenai poligami, sudah sesuai dengan aturan yang berlaku dalam suatu perundang-undang perkawinan dalam berpoligami, dan tidak ada satu pun dari tokoh masyarakat yang bertentangan dari hukum positif.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis menguraikan dan memaparkan data hasil penelitian pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap poligami, maka sekiranya penulis mengambil kesimpulan beberapa point, yaitu: 1. Dari 5 (80%), 6 tokoh masyarakat menyatakan bahwa, poligami harus memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat dalam hukum Islam. Sedangkan satu orang (20%) tokoh masyarakat mempunyai pandangan lain mengenai poligami, karena poligami suatu yang boleh dilakukan dalam kondisi darurat (emergency exit), yaitu dilakukan kalau sudah tidak ada jalan lain. 2. Menurut hukum positif pendapat tokoh masyarakat sawangan mengenai poligami, sudah sesuai dengan aturan yang berlaku dalam suatu perundangundang perkawinan, dan tidak ada satu pun dari tokoh masyarakat yang bertentangan dari hukum positif.
B. Saran-saran 1. Hendaknya seseorang suami memeliki pengetahuan dan wawasan yang luas dalam masalah perkawinan dan kehidupan suami istri, khususnya dalam etika poligami dan cara berlaku adil sebelum melakukan peraktek
57
poligami,
58
apabila di era sekarang ini banyak poligami yang melanggar terhadap ketentuan poligami dan tidak memikirkan aplikasinya. 2. Ada baiknya poligami di hindari untuk menghindari konflik atau problemproblem yang muncul, terutama bagi mereka yang merasa tidak mampu untuk berbuat adil terhadap istri-istrinya dengan munculnya berbagai masalah yang dapat mengusik ketenangan batinnya. 3. Bagi peneliti yang berminat menekuni isu poligami, sebaiknya dapat memila dan memilih dampak negatif dan positifnya dari prilaku poligami, sehingga dapat mengambil sebuah keputusan yang objektif bertendensi pada keadilan.
DAFTAR PUSTAKA Al ‘Atthar, Abdul Nasir Taufiq. Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang – undangan. Jakarta : Bulan Bintang, 1976, cet. 1 Al Jahrani, Musfir. Poligami dari Berbagai Persepsi. Jakarta : Gema Insani Press, 1996 As Siba’I, Musthafa. Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang – undangan. Jakarta : Bulan Bintang, 1977, cet. 1 As-Sanan, Arij Abdurrahman. Memahami Keadilan dalam Poligami. Jakarta : PT. Global Media Cipra Publishing, 2003 Dagun, Save M., Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta : LPKN, 1997 Gusmian, Islah. Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami. Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2007, cet 1 Haikal, Abduttawab. Rahasia Perkawinan Rasullallah SAW, Poligami dalam Islam Vs Monogami Barat. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993, cet. 1 Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung : Pustaka Setia, 2000, cet. 1. Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, Beirut : Darul fikr, tt, cet. Ke-1, jilid, 11 Jaiz, Hartono Ahmad. Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007, cet. 1 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdikbud, Jakarta : Balai Pustaka, 1996, Cet. ke- 7 Malik, Imam, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. Tt Mulia, Musdah. Islam Menggugat Poligami. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007 ____________. Pandangan Islam tentang Poligami. Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999, cet. 1 Tatapangarsa, Humaidi. Hakekat Poligami dalam Islam. t.t., Usaha Nasional, t.th Thib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta : Bina Aksara, 1981 Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, Bandung: Fokus Media, 2005, cet. ke-1
59
60
Titik Triwulan, Poligami Prespektif Perikatan Nikah, Jakarta : Prestasi Pustaka Raya, 2007 Tutik, Titik Triwulan. Poligami Perspektif Perikatan Nikah. Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007, cet. 1
PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK TERHADAP POLIGAMI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : SYARIF HIDAYATULLAH NIM : 103044128052
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK TERHADAP POLIGAMI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh : SYARIF HIDAYATULLAH NIM : 103044128052
Dibawan bimbingan : Pembimbing I
Pembimbing II
Dewi Sukarti, MA NIP. 19720817 200112 2 001
Rosdiana, MA NIP. 196906102003122001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H / 2011 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT KECAMATAN SAWANGAN KOTA DEPOK TERHADAP POLIGAMI telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 Mei 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah (Peradilan Agama ).
Jakarta, 21 Juni 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP. 195505051982031012 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua
: Drs. H. A. Basiq Dalil, SH.,MH., NIP. 19500306 197603 1001
(
)
Sekretaris
: Hj. Rosdiana. MA., NIP. 196906 102003122001
(
)
Pembimbing I : Dewi Sukarti. MA., NIP. 197208172001122001
(
)
Pembimbing II: Hj. Rosdiana. MA., NIP. 196906102003122001
(
)
Penguji I
: Prof. Dr. H. M. Amin Suma. SH. MA. MM., NIP. 195505051982031012
(
)
Penguji II
: Dr. Asmawi. M.Ag., NIP. 197210101997031008
(
)
بسم اهلل الرمحن الرحيم KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, untaian syukur yang tak terhingga Penulis memanjatkan ke hadirat Rabb Yang Maha Ghafur Allah SWT, karena atas ridha dan inayahnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah ke haribaan junjungan kita Nabi Muhammad SAW, karena atas tauladannya, penulis dapat melewati masa-masa tersulit dalam penulisan skripsi ini.\ Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis.oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak Prif. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum. Dan Dosen Pembimbing skripsi Ibu Dewi Sukarti MA., dan Ibu Rosdiana MA., yang tanpa lelah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2.
Bapak Drs.H. A. Basiq Djalil, SH., MH., dan ibu Rosdiana MA., selaku ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Akhwal Syakhsiyyah yang senantiasa memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
3. Ibunda Hj. Awinah dan Ayahanda H. Encep, kedua orang tua tercinta yang telah memberikan cinta dan kasih sayangnya, hingga ananda dapat meraih ilmu yang bermanfaat. Kasihmu tak lupa sepanjang hayat.
i
4. Kakanda Drs. Mubarok, Saiful Anwar beserta seluruh keluarga besar H. Encep bin Antek Bin Kaiyan, yang senantiasa memberikan dukungan moril maupun materil kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 5. Bapak H. Ismed Iriandi SH., MH., sekeluarga, yang telah memberikan perhatian dan kasih sayang serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 6. Teman-teman seperjuangan Ahwal Al-Syakhsiyah yang telah banyak membantu serta bertukar pikiran baik selama belajar hingga detik-detik wisuda. 7. Hamba Allah, yang telah banyak berkorban untuk penulis dalam penyempurnaan skripsi ini baik moril maupun materiil, sehingga penulis termotivaasi untuk merampungkannya. Jazakillah khairan katsiran, mata’ana Allah fii hayatiik. Semoga Allah mencatatnya sebagai amal ibadah dan dibalas dengan ganjaran pahala yang berlipat ganda. 8. Tak terlupakan, terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam kelancaran penulis skripsi ini yang penulis tidak bisa menyebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT sebagai investasi amal untuk bakal di hari akhir nanti. Amin Ya Rabbal’alamin.
Jakarta, 27 Rajab 1432 H 29 Juni 2011 M
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................................
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
9
D. Metode Penelitian........................................................................ 10 E. Sistematika Penulisan ................................................................. 11
BAB II
KERANGKA TEORITIS TENTANG POLIGAMI A. Pengertian Poligami .................................................................... 12 B. Poligami Menurut Hukum Islam ................................................. 18 C. Poligami Menurut Hukum Positif ............................................... 26
BAB III
KONDISI OBJEKTIF MASYARAKAT SAWANGAN A. Kondisi Objektif Masyarakat Sawangan ..................................... 35 1. Kondisi Geografis ................................................................. 35 2. Kondisi Demografis .............................................................. 36 3. Kondisi Penduduk ................................................................. 38 4. Kondisi Perekonomian .......................................................... 40 5. Kondisi Sosial Keagamaan ................................................... 41
iii
B. Poligami pada masyarakat sawangan .......................................... 43 1. Pandangan tokoh masyarakat Sawangan terhadap Poligami 43 2. Faktor–faktor
pendukung
Poligami
di
Kecamatan
Sawangan .............................................................................. 49 BAB IV
ANALISIS
PANDANGAN
TOKOH
MASYARAKAT
SAWANGAN TENTANG POLIGAMI A. Analisis menurut Hukum Islam .................................................. 51 B. Analisis menurut Hukum Positif ................................................. 56
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 57 B. Saran – Saran............................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 59
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 Juni 2011
Syarif Hidayatullah
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang maha Esa.1 Secara realita perkawinan adalah bertemunya dua mahluk lawan jenis yang mempunyai kepentingan dan pandangan hidup yang sejalan.2 Sedangkan tujuan perkawinan itu adalah supaya manusia mampunyai kehidupan yang bahagia dunia dan akherat, atau dengan kata lain perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warohmah. Seiring dengan tujuan tersebut maka dapat di artikan juga agar perkawinan menjadi kekal dan abadi sehingga tidak putus begitu saja. Ini juga mengandung pengertian bahwa pernikahan adalah akad suci yang mengandung serangkai perjanjian diantara dua belah pihak,yakni suami dan istri. Maka kedamaian kedua istri sangat bergantung pada pemenuhan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut.
1
Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, (Bandung: Fokus Media, 2005), cet. ke-1, hal. 1. 2
Titik Triwulan Tutik , Poligami Prespektif Perikatan Nikah, (Jakarta : Prestasi Pustaka Raya, 2007) cet, h. 4.
1
2
Bahkan menyebut pernikahan itu sebagai mitsaqqan ghalizan (perjanjian yang kokoh), seperti termaktub pada ayat tersebut:
! "# #$ % &" '"() *+ (34 :1/-./)
Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan pada isterimu padahal kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil perjanjian yang kuat”. (QS. an Nisa/3 : 21)
Di antara musafir menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian yang kokoh adalah perjanjian yang telah diambil Allah dari para suami. Sesuai dengan bunyi surat Al-Baqarah ayat 231:
67"89 :;"<="> 8? 67"89 :;"<=@. ($ :;"AB ;CD$ E-F. / ""GHIJ /K! (314 :3/L8HD/)
Artinya:
“Apabila menalak istri-istrimu,lalu mereka mendekkati akhir iddahnya,maka rujukilah mereka dengan cara yang baik, atau ceraikan dengan yang baik pula” ( Qs.Al-Baqarah/2 : 231).
Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat adalah poligami. Persoalan poligami bukanlah fenomena yang baru, ini dapat di lihat bagaimana pernikahan semacam ini dilakukan oleh banyak kalangan dari waktu ke waktu meskipun sering kali menimbulkan kontroversi dari berbagai pihak dengan alasan merugikan kaum perempuan.
3
Yang dibutuhkan sekarang adalah usaha mencerdaskan perempuanperempuan dan menyadarkan mereka tentang hak mereka. Karena selama ini yang selalu dimunculkan dalam wacana poligami adalah perempuan harus bahkan wajib menerima atau mengizinkan bila suami minta izin untuk beristri lagi, dengan alasan menjalankan syariat islam, tunduk kepada perintah Allah. Rumah tangga merupakan lembaga masyarakat terkecil yang menjadi dasar terbentuknya masyarakat yang lebih besar. Ketentraman dan keserasian masyarakat sangat besar ditentukan oleh ketentraman dan keserasian masyarakat kacil tersebut. Banyak unsur yang menimbulkan rasa cinta kasih diantara dua orang manusia, terutama suami dan istri, namun yang paling menonjol adalah sikap dan tindakan yang melahirkan rasa keadilan. Untuk dapat berlaku adil diperlukan pertimbangan yang matang dengan melihat seluruh aspek yang mungkin mempengaruhi rasa keadilan itu. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai poligami, berikut ini akan dijelaskan terlabih dahulu sepintas tentang poligami. Poligami adalah ikatan perkawinan yang salah satu pihak (suami) mengawini beberapa istri dalam satu waktu yang bersamaan. Islam membolehkan pernikahan dengan lebih dari satu orang wanita atau satu orang laki-laki untuk lebih dari seorang wanita (poligami), hal ini sebagaimana tercantum didalam surat Annisa Ayat 3 :
(1 : 1/-./) O"P QRS @-F. / ; MJ /="N'$….
Artinya : “......maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, satu,dua,tiga, atau empat.” (Qs. An-Nisa/3:3).
4
Cukup logis Islam menetapkan berbagai ketentuan untuk mengatur ikatan antara laki-laki dan perempuan yaitu dalam bentuk pernikahan, sehingga dengan kedua belah pihak, suami istri dapat memperoleh kedamaian, kecintaan, keamanan dan ikatan kekerabatan. Unsur-unsur ini sangat diperlukan untuk mencapai tujuan perkawinan yang paling besar yaitu Ibadah kepada Allah SWT. Pada prinsipnya perkawinan menurut hukum Islam dan Undang-undang perkawinan tahun 1974 adalah monogami, sedangkan poligami hanya pengecualian saja. Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang mubah, namun demikian dalam pelaksanaan poligami tersebut harus dibarengi dengan keadilan terhadap para istri dan penuh dengan tanggung jawab. Apabila tidak dibarengi dengan rasa kesdilan tidak menutup kemungkinan akan membawa dampak negatif bagi orang yang melakukan poligami. Dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan telah mengatur secara khusus tentang perkawinan, perceraian dan hal-hal yang berkaitan dengan keduanya, telah mengakomodasi kepentingan tersebut, sebagaimana yang tertuang dalam enam azas yang prinsipil.3 Dalam salah satu azasnya disebutkan bahwa untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka suami hanya dibolehkan memiliki seorang istri dalam satu waktu. Prinsip ini lebih dikenal dengan azas monogami.
3
Enam azas yang dianut dalam UU NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN meliputi : (1) azas tujuan perkawinan, (2) azas syahnya perkawinan, (3) azas monogamy, (4) azas kematangan jiwa dan raga, (5) azas perceraian dipersulit, dan (6) azas keseimbangan hak dan kedudukan suami isteri dalam membina rumah tangga.
5
Hukum Islam mengatur kehadiran poligami sebagai hal yang mubah, namun hanya demikian apabila di kehendaki oleh yang bersangkutan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang setelah dipenuhinya berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Apabila bandingkan pelaksanaan poligami menurut hukum Islam dan undang-undang perkawinan, maka secara sepintas persyaratan-persyaratan yang ditentukan antara kedua peraturan itu tidak sama, namun apabila dikaji lebih lanjut kedua peraturan tersebut memiliki persamaan tujuan. Keberadaan poligami atau menikah lebih dari seorang isteri dalam lintasan sejarah bukan merupakan masalah baru. Poligami telah ada dalam kehidupan manusia sejak dahulu kala diantara berbagai kelompok masyarakat diberbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami jauh sebelum kedatangan Islam. Demikian pula masyarakat di luar bangsa Arab, bahkan di Arab sebelum Islam telah dipraktekkan poligami yang tanpa batas. Bentuk poligami ini dikenal pula oleh orang-orang Babilonia, Abbesinia, dan Persia.4 Memang
masalah
poligami
tetap
menarik
diperbincangkan
dan
menimbulkan pro dan kontra di dalamnya. Menurut Nasaruddin Umar, kondisi sosio kultural saat turunnya ayat Al-Quran yang mengizinkan poligami adalah setelah perang Uhud dimana umat Islam kalah dan populasi laki-laki dan perempuan tidak imbang. “Berdasarkan studi-studi yang ada, poligami umumnya
4
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, (Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007), cet. 1. h. 57.
6
membawa kesengsaraan pada umat, negara, dan bangsa,” ujar Nasaruddin.5 Bahkan Musdah Mulia berpendapat poligami pada hakikatnya merupakan penghinaan terhadap perempuan.6 Lain halnya, Hartono Jaiz berpendapat bahwa peraturan tentang poligami dan praktiknya di dunia Islam mempunyai manfaat besar
yang
membersihkan
masyarakat
dari
akhlak
yang
tercela
dan
menghindarkan penyakit masyarakat yang banyak timbul di negara-negara yang tidak mengenal poligami yakni pelacuran.7 Praktik poligami ini khusus di Indonesia telah terjadi di berbagai kalangan, pengusaha, kiai, ulama, politisi, artis, maupun tokoh masyarakat. Pemilik Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo, Puspo Wardoyo, dengan bangga telah memberikan Polygami Award kepada lakilaki yang melakukan praktik poligami. Bahkan ia mengatakan: “Poligami jangan dilarang karena poligami bagi saya adalah kebutuhan paling primer. Bisa bahaya kalau jadi presiden, saya akan mengangkat orang yang berpoligami untuk
menjadi
menteri”.8
Sekarang
orang
bukan
hanya
ramai-ramai
membicarakan poligami tetapi juga melakukan praktik poligami. Memang kita ketahui praktik poligami bukan kisah baru dalam catatan sejarah umat manusia di belahan bumi ini. Tidak terkecuali di Indonesia. antara lain: Puspo Wardoyo 5
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007), cet. 1. h 194. 6
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta, 1999), Cet. 1. h. 50.
7
Hartono Ahmad Jaiz, Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2007), cet. 1. h 124. 8
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2007 ) cet 1, h. 22.
7
(pengusaha), Aa Gym (kiai dan pebisnis), Zainal Ma’arif (politisi), KH. Noer Iskandar SQ (kiai dan pengasuh pesantren), Fauzan al Anshari (aktivis dakwah), bukanlah wajah-wajah baru yang membuat sejarah poligami di Indonesia. Jauh sebelum mereka, para raja dahulu mempunyai isteri selir yang tidak terhitung jumlahnya, kiai pun mempunyai isteri lebih dari satu orang. Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur dalam Islam tidak ada ketentuan secara pasti. Namun di Indonesia Undang – undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) menganut kebolehan poligami, telah mengatur walaupun terbatas sampai empat orang istri. Ketentuan tercantum dalam pasal 3 – 4 Undang – Undang perkawinan dan Pasal 55 – 57 KHI. Kebolehan poligami dalam KHI tertuang pada bab IX pasal 55 – 59, antara lain menyebutkan : syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri – isteri dan anak-anaknya pasal ( 55 ayat 2 ). Selain syarat utama tersebut ada lagi syarat lain yang harus dipenuhi sebagaimana termaktub dalam pasal lima ( 5 ) Undang –Undang nomor 1 tahun 1974, yaitu adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. Pasal-pasal ini adalah suatu bagian dari prosedur apabila seorang suami hendak berpoligami. Diperbolehkannya poligami dalam Islam itu bukan dibuka lebar, akan tetapi sebagai solusi dalam keadaan tertentu yang diperkenankan (diperbolehkan), bagi orang-orang yang memerlukannya, dengan syarat adanya kepercayaan pada dirinya bahwa ia dapat berlaku adil dan untuk berbuat jujur.
8
Namun, dari praktek poligami yang menimbulkan polemik penulis merasa tertarik untuk membahas dan mengangkat judul skripsi “ Pandangan Tokoh Masyarakat Kecamatan Sawangan Kota Depok Terhadap Poligami”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini terbatas pada poligami menurut pandangan para tokoh masyarakat formal dan informal di Kecamatan Sawangan Kota Depok. 2. Perumusan Masalah Agar penelitian ini tidak menyimpang, maka penelitian ini terfokus pada : Pertama : Bagaimana poligami dimaknai oleh para tokoh masyarakat. Apa faktor yang mendukungnyanya, misalkan faktor internal, ekonomi, pendidikan, lingkungan sosial. Rumusan masalah ini, dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut : a. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap poligami? b. Bagaimana pandangan tokoh masyarakat terhadap hukum islam dan hukum positif terhadap poligami?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dengan menganalisa latar belakang dengan perumusan masalah tersebut maka penelitian ini bertujuan: 1. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan tentang poligami. 2. Mengetahui pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap hukum islam dan hokum positif tentang poligami. Adapun manfaat atau kegunaanya adalah : 1. Secara Akademis yaitu untuk memenuhi salah satu syarat dalam mendapatkan gelar Kesarjanaan Strata Satu pada Fakultas Syari’ah dah Hukum. 2. Secara Ilmiah a. Bagi Fakultas Syari’ah dan Hukum, memberikan sumbangan kepustakaan dalam rangka pengembangan pengetahuan akademis pada umumnya. b. Bagi penulis merupakan pengembangan pengetahuan yang didapat selama belajar di Fakultas Syari’ah dan Hukum. c. Bagi tokoh masyarakat dapat memberikan informasi yang objektif. Adapun manfaat yang ingin penulis sampaikan dalam penelitian ini adalah dapat memberikan pemahaman terhadap masyarakat kecamatan sawangan khususnya dan masyarakat luas tentang pengaruh poligami terhadap beberapa faktor.
10
D. Metode Penelitian Sebagai sebuah karya ilmiah, jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan data dan informasi di lapangan secara mendalam.9 Sementara soerjono soekanto mendefinisikan penelitian deskriptif ini dimaksudkan untuk memberikan data yang diteleti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu didalam memperkuat teoriteori. Untuk memperoleh data yang akurat, peneliti mengadakan penelitian sebagai sesuatu metode kualitatif yang bertujuan menyajikan pandang objek yang diteleti bahan dan data penelitian ini diperoleh dari penelitian lapangan ( field research ) yang dimaksudkan untuk memperoleh data, di mana peneliti terjun langsung kelapangan. Oleh karena itu, data lapangan merupakan data primer, yaitu data utama yang akan diteliti ( beberapa tujuan ) di kecamatan Sawangan. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen atau tulisantulisan yang berkaitan dengan pokok bahasan karya tulis ini, yang juga didapatkan dari penelitian kepustakaan ( library research ) yang berkaitan dengan poligami. Dalam rangka memperoleh data yang diperlukan serta informasi yang dibutuhkan sebagai bahan dalam rencana skripsi ini, maka teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
9
309
Suharsini Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), cet.ke-2, h.
11
1. Teknik wawancara mendalam yakni satu bentuk komunikasi verbal untuk memperoleh informasi data yang valid dan akurat dari pihak-pihak yang dijadikan sebagai informasi. 2. Teknik dokumentasi. Teknik ini penulis gunakan untuk melengkapi data yang dilakukan dengan acara melihat dokumen-dokumen yang terdapat di kecamatan sawangan yang dijadikan objek penelitian. 3. Teknik puataka. Berkaitan dengan sumber-sumber pustaka.
E. Sistematika Penulisan Pembahasan skripsi ini dibagi menjadi lima Subab dan susunan pembahasannya sebagai berikut : Bab Pertama, Pendahuluan, Meliputi uraian masalah teknis penulisan yakni : Latar belakang, Rumusan masalah tujuan dan kegunaan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab kedua, Kerangka Teoritis Tentang Poligami, tentang pengertian poligami, poligami menurut hukum Islam, poligami menurut hukum Positif. Bab Ke-Tiga, Poligami pada masyarakat Sawangan, meliputi: kondisi geografis, kondisi demografis, kondisi penduduk, kondisi perekonomian, kondisi sosial keagamaan dan pandangan tokoh masyarakat sawangan terhadap poligami, faktor-faktor pendukung poligami di sawangan. Bab Ke-Empat, analisis pandangan tokoh masyarakat sawangan tentang poligami, analisis menurut Hukum Islam dan analisis Hukum positif. Bab Kelima, Penutup. Bab ini berisi Kesimpulan dan saran-saran.
BAB II KERANGKA TEORITIS TENTANG POLIGAMI
A. Pengertian Poligami Kata poligami termasuk kata yang umum yang sudah dipakai, dalam artian kata ini sudah dikenal dan sering kali orang menggunakannya. Walaupun mereka sering kali mengungkapkan kata ini, bukan berarti mereka mengetahui secara detail tentang pengertian poligami yang sebenarnya, bahkan di antara mereka masih banyak yang verbalisme. Kata poligami berasal dari bahasa Yunani, yaitu poly atau polus yang berarti banyak dan gamein atau gamos yang berarti kawin atau perkawinan. Kalau kedua kata tersebut digabungkan menjadi poligami, maka artinya adalah perkawinan yang banyak atau dengan ungkapan lain adalah suatu perkawinan yang lebih dari satu orang.1 Dalam bahasa Arab poligami disebut Ta’adduduz Zaujaat, sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut madu.2 Menurut Arij Abdurrahman As Sanan dalam bukunya Al ‘Adlu Baina az Zaujaat, yang dimaksud dengan Ta’adduduz Zaujaat adalah perbuatan seorang laki–laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang isteri, tidak lebih darinya.3 1
Humaidi Tatapangarsa, Hakekat Poligami dalam Islam, ( t.t., Usaha Nasional, t.th ) h.12.
2
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, (Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2007 ) cet 1, h. 29. 3
Arij Abdurrahman As- Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami, (Jakarta : PT. Global Media Cipra Publishing, 2003 ), h. 25.
12
13
Menurut Islah Gusman, arti poligami adalah banyak nikah. Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada praktek perkawinan lebih dari satu suami atau istri sesuai dengan jenis kelamin orang yang bersangkutan. Ia berpendapat bahwa poligami dan poligini adalah berbeda. Poligini menurutnya adalah banyak perempuan. Istilah ini digunakan untuk menunjuk pada seorang pria yang melakukan praktek banyak nikah dengan banyak perempuan (pada masa yang sama, dan bukan karena kawin cerai).4 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa poligami adalah Ikatan perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan, dan berpoligini berarti menjalankan poligami.5 Dan pengertian ini pun senada dengan yang di kemukakan oleh Save M’ bahwa poligini sama dengan poligami.6 Begitu pula Sayuti Thalib, ia mengemukakan bahwa arti dari kata poligami adalah sama dengan poligini, yaitu seorang suami beristri lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama.7 Dan pengertian inilah yang secara umum berlaku di masyarakat. Oleh karena itu penulis dalam skripsi ini mengartikan poligami sebagaimana yang di kemukakan oleh Sayuti Thalib.
4
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 26.
5
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1996 ), Cet. ke- 7, h.
6
Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : LPKN, 1997 ), h. 866.
7
Sayuti Thib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : Bina Aksara, 1981 ), h. 169.
18.
14
Menurut Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah sebagaimana yang dikutip oleh Musdah Mulia, bahwa dalam sejarah manusia, perkembangan poligami mengikuti pola pandang masyarakat terhadap kaum perempuan. Ketika masyarakat memandang kedudukan dan derajat perempuan hina, poligami menjadi subur, sebaliknya pada masyarakat yang memandang kedudukan perempuan terhormat, poligami pun berkurang.8 Islam bukanlah yang pertama menerapkan aturan poligami, karena jauh sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Nabi dan membawa Islam, poligami telah lama dipraktekkan oleh umat–umat terdahulu. Bahkan hampir semua bangsa melakukannya. Dan cukup banyak fakta yang dapat membuktikan kebenaran ini, seperti yang dikatakan oleh Musthafa al Siba’i, bahwa poligami itu sudah ada pada masyarakat bangsa–bangsa yang hidup di zaman purba, pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Syria, Mesir, dan lain–lain. Pada saat itu, praktek poligami tidak
terbatas jumlah istrinya, sehingga mencapai ratusan
orang istri dalam satu waktu (tanpa cerai dan tanpa faktor ke matian) bagi satu laki–laki (suami).9 Agama Yahudi memperbolehkan poligami tanpa batas. Nabi–nabi yang namanya disebut dalam Taurat, semuanya berpoligami tanpa pengecualian. Dan
8
Musdah Mulia, Pandangan Islam tentang Poligami, (Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999), cet. 1. h. 3. 9
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 30.
15
ada keterangan dalam Taurat, bahwa Nabi Sulaiman AS mempunyai tujuh ratus orang istri yang merdeka dan tiga ratus istri yang berasal dari budak.10 Dan meskipun dalam Taurat tidak melarang poligami dan tidak menghalangi seorang laki–laki untuk menikah dengan berapa saja banyaknya istri, namun pendeta–pendeta Yahudi membenci poligami itu, lalu berusaha mempersempit poligami dengan mengadakan pembatasan banyaknya istri hanya empat saja, dan menetapkan harus ada faktor–faktor pendorong yang sah menurut agama, untuk bolehnya laki–laki menikah dengan istri baru.11 Agama Kristen pun pada asalnya tidak melarang poligami. Karena larangan itu tidak ditentukan dalam Injil maupun dalam surat-surat para Rasul (sahabat–sahabat Yesus) yang dikenal dengan Kitab Perjanjian Baru. Dalam kitab itu tidak ada keterangan yang jelas mengenai larangan poligami. Sehingga Dr. Khafi sebagaimana yang dikutip oleh Abbuttawab Haikal mengatakan bahwa kebiasaan poligami itu sudah ada pada bangsa Israil sebelum Nabi Isa diutus, ia kemudian menetapkan kebiasaan poligami itu. Bahkan Nabi Musa mewajibkan seorang untuk mengawini janda saudara laki-lakinya sendiri yang meninggal dan tidak mempunyai anak, walaupun ia sendiri sudah berkeluarga. Apa yang diperbolehkan dalam Taurat, sejauh tidak ada nash yang pasti dalam Injil yang melarangnya, maka diperbolehkan pula dalam agama Kristen, termasuk di 10
Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang – undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1977 ), cet. 1. h. 100. 11
Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang – undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 80
16
dalamnya poligami. Karena tidak ada nash (keterangan) yang melarang poligami dalam Injil. Dan sejarah membuktikan bahwa umat–umat Kristen terdahulu dan para pemuka agama banyak melakukan poligami.12 Tetapi bapak–bapak gereja (pendeta) dan para pembuat undang–undang gereja, ada yang berpendapat bahwa ada naskah dalam Perjanjian Baru yang menyinggung tentang pengertian haramnya poligami, yaitu bahwa barang siapa yang menceraikan istrinya dan lalu menikah dengan wanita lain, maka hukumnya adalah ia berzina dengan wanita itu, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi penafsiran haramnya poligami ini hanya sesuai dengan pendapat golongan Kristen Katolik saja, karena golongan ini tidak membolehkan pembubaran akad nikah kecuali dengan kematian saja. Sedangkan golongan
Orthodok
dan
Protestan
(Gereja
Masehi
Injili),
semuanya
memperbolehkan bagi seorang Kristen untuk menceraikan isterinya dalam suasana dan dengan syarat–syarat tertentu.13 George Zaidan, sebagaimana yang dikutip al Siba’i berkata bahwa tidak ada keterangan yang jelas dalam agama Kristen yang melarang para pengikutnya berpoligami dengan dua orang istri ataupun lebih. Kalau sekiranya orang–orang Kristen itu mau, tentu saja mereka boleh berbuat demikian. Tetapi bapak–bapak gereja itu mencukupkan seorang istri saja, demi untuk menjaga kerukunan rumah tangga mereka, seperti yang terdahulu terjadi di kalangan bangsa Romawi. 12
Abduttawab Haikal, Rahasia Perkawinan Rasullallah SAW, Poligami dalam Islam Vs Monogami Barat, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993 ), cet. 1. h. 49 13
Abdul Nasir Taufiq al ‘Atthar, Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang– undangan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976 ), cet. 1. h. 81
17
Kemudian mereka membawa idenya itu dalam menafsirkan ayat–ayat tentang perkawinan dalam kitab suci mereka, seperti yang sudah kita ketahui secara populer.14 Sekarang ini kita lihat gereja–gereja di Afrika Hitam mengakui bolehnya poligami, karena para petugas penyiar agama Kristen itu menemukan diri mereka berhadapan dengan susunan masyarakat yang biasa berpoligami, yaitu di kalangan bangsa–bangsa Afrika yang beragama Animisme. Bapak–bapak Gereja berpendapat bahwa kalau mereka terus–menerus melarang poligami, maka akhirnya masalah poligami itu akan menjadi penghalang bagi bangsa–bangsa Afrika untuk memasuki agama Kristen. Mereka lalu mempropagandakan bolehnya poligami tanpa batas. Dan dalam masyarakat tradisional Afrika, banyaknya jumlah istri merupakan kebanggaan tersendiri, lambang kesuksesan dan status sosial tinggi serta menandakan kesejahteraan. Poligami merupakan adat warisan leluhur orang–orang Afrika, bukan saja dianggap sebagai kewajaran bahkan hampir sebagai kelembagaan.15 Di Jazirah Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktekkan poligami bahkan tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata–rata pemimpin suku memiliki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang mempunyai sampai ratusan istri.16 Nabi Muhammad SAW membolehkan poligami di antara masyarakatnya karena hal itu telah dipraktekkan 14
Musthafa as Siba’i, Wanita diantara Hukum Islam, h. 104
15
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), cet. 1. h.120.
16
Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007)
18
juga oleh orang-orang Yunani dan bangsa–bangsa lain yang di antaranya bahkan seorang istri bukan hanya dapat dipertukarkan tetapi juga bisa diperjualbelikan secara lazim antara mereka.17 Dalam konteks pernikahan, kedatangan Islam jelas memberikan suatu arah baru untuk memperoleh kebahagiaan dan rahmat bagi kedua belah pihak. Inheren di dalamnya adalah usaha–usaha pembelaan dan sekaligus pemberdayaan atas perempuan. Ini dilakukan Islam, karena perempuan sebelumnya pada masyarakat Arab pra Islam sama sekali tidak dihargai dan bahkan dilecehkan, lalu ia diangkat martabatnya oleh Islam menjadi subyek yang bermartabat.18
B. Poligami Menurut Hukum Islam. Poligami merupakan salah satu tema penting yang mendapat perhatian khusus dari Allah SWT sehingga tidak mengherankan kalau kemudian kita dapati masalah ini di awal surat An-Nisa,yaitu pada ayat ke 3 :
y]≈n=èOuρ 4o_÷WtΒ Ï!$|¡ÏiΨ9$# zÏiΒ Νä3s9 z>$sÛ $tΒ (#θßsÅ3Ρ$$sù 4‘uΚ≈tGu‹ø9$# ’Îû (#θäÜÅ¡ø)è? ωr& ÷ΛäøÅz ÷βÎ)uρ (#θä9θãès? ωr& #’oΤ÷Šr& y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? ωr& óΟçFøÅz ÷βÎ*sù ( yì≈t/â‘uρ
( : /)
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka 17
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, ( Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007 ), cet. 1. h. 57 18
Islah Gusmian, Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami, h. 38.
19
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. AnNisa’/4: 3)
Ayat ini merupakan ayat yang membicarakan masalah poligami. Yang ini diturunkan kepada Nabi Saw pada tahun kedelapan hijriyah, dengan tujuan untuk membatasi jumlah istri pada batas maksimal empat orang saja. Akan tetapi,sebagian mufasir dan ahli fiqih telah mengabaikan redaksi umum ayat dan mengabaikan keterkaitan erat yang ada di antara poligami dengan para janda yang memiliki anak-anak yatim. Ayat tentang poligami turun setelah perang uhud, dimana banyak sahabat wafat di medan perang. Sejumlah besar para wanita dan anak–anak ditinggalkan tanpa tempat perlindungan. Untuk mengatasi masalah tersebut, Allah SWT mewahyukan ayat yang mengizinkan lelaki berpoligami. Namun, meskipun poligami di izinkan, Allah membataskan jumlah istri hanya empat orang saja. Ayat ini memungkinkan lelaki muslim mengawini janda atau anak yatim jika dia yakin itu merupakan cara melindungi kepentingan anak-anak yatim tersebut dan juga untuk melindungi hartanya dengan penuh keadilan. Sayyid Qutb menggambarkan bahwa pada masa jahiliyah banyak kebiasaan-kebiasaan buruk yang telah berlangsung saat datangnya islam ke tanah arab. Di antaranya adalah hak-hak anak yatim dirampas khususnya anak-anak
20
yatim perempuan di dalam kekangan keluarga, para wali dan penanggung jawab. Hartanya yang baik, ditukar dengan yang buruk, dihambur-hamburkan dengan rakus, karena khawatir bila anak-anak yatim itu telah besar akan mengambilnya. Anak-anak yatim yang kaya ditahan untuk dijadikan istri oleh para walinya, karena tamak kepada harta bukan karena menginginkan mereka. Atau diberikan kepada anak lelaki para wali, untuk tujuan yang sama agar harta tidak keluar dan jatuh ke tangan orang lain. Kebiasaan ini juga berlangsung di awal islam. Hingga Al- Qur’an datang melarang dan menghapuskannya dengan berbagai pengarahan luhur dan mengembalikan masalah ini kepada hati nurani. Dalam ayat lain (QS. 4:129)
È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹t ym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)¯=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù
( : /)
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 129)
Adil dalam pengertian ayat ini berada dalam suatu wilayah cakupan yang amat luas. Bukan saja adil dalam hal memberikan materi yang cukup, namun lebih substansial lagi dari itu ialah adil dalam memberikan nafkah batin, serta adil dalam hal persamaan kaum perempuan yang dinikahi itu. Seorang pemikir
21
modern, Ameer Ali, menyatakan bahwa kebolehan poligami sangat bergantung pada kondisi, situasi, dan tuntutan zaman. Bahkan Muhammad Abduh menyatakan haram pelaksanaan poligami itu sehubungan dengan tidak mungkin berlaku adil. Apalagi, bila poligami itu hanya dimotivasi oleh pemenuhan kebutuhan biologis kaum laki-laki, keharaman untuk melaksanakan poligami semakin nyata. Secara kategoris menyatakan tidak mungkin seorang lelaki dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, betapapun dia menginginkannya. Dan Ayat ini dapat disimpulkan juga, islam pada dasarnya agama monogami. Oleh karena itu, Sayyid Qutb menegaskan bahwa, islam tidak menumbuhkan poligami, tetapi hanya membatasinya. Tidak memerintahkan berbuat poligami, tetapi hanya memberikan rukhshah dan menentukan syarat dalam pelaksanaannya. Islam memberikan rukhshah dalam hal ini untuk menghadapi berbagai realitas kehidupan umat manusia dan berbagai darurat fitrah kemanusiaan. Jika tidak demikian, maka rukhshah yang diberikan tidak boleh dilakukan. Dalam hukum positif kita juga menjelaskan konsep adil dalam poligami. Sebagaimana terdapat dalam pasal 31 (3) UU Perkawinan menyebutkan suami adalah kepala keluarga. Kebutuhan yang harus dipenuhi seorang suami terhadap para istri dan anaknya sungguh tidak ringan. Kebutuhan pangan (nafaqah), sandang (kiswah) dan papan (suknah) adalah yang bersifat materi. Sedangkan yang materi jauh lebih berat karena sulit dilacak parameternya. Karena itulah,
22
suami yang ingin berpoligami cenderung mengambil jalan pintas tanpa mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku. Pada pasal 5 ayat 1 menjelaskan suami yang hendak berpoligami harus memperoleh persetujuan dari istri pertamanya. Dia juga harus mampu menjamin keperluan hidup para istri dan anaknya. Dan yang terpenting, dia harus berlaku adil terhadap para istri dan anaknya. Mengenai keadilan ini, PP No.9 Th.1975 tentang pelaksanaan UU No. 1/1974 berusaha menjabarkan keadilan macam apa yang diemban oleh suami yang hendak berpoligami. Pasal 41 huruf c PP tersebut menyatakan, jika seorang suami mengajukan permohonan poligami, maka pengadilan memeriksa penghasilan suami. Hal ini di buktikan dengan surat keterangan yang di tanda tangani oleh bendahara tempat sang suami bekerja atau surat keterangan pajak penghasilan, atau surat lain yang dapat diterima Pengadilan. Hanya pemeriksaan itu di ujung-ujungnya dimaksudkan semata-mata untuk men celah keadilan yang bersifat materi. Dari uraian di atas menjelaskan kehalalan berpoligami dengan syarat berlaku adil. Jika syarat ini tidak dapat dipenuhi, di mana seorang suami yakin bahwa ia akan terjatuh kepada kezaliman dan menyakiti istri-istrinya, dan tidak dapat memenuhi hak-hak mereka dengan adil, maka poligami menjadi haram. Jika ia merasa menjadi kemungkinan besar menzalimi salah satu istrinya, maka poligami menjadi makruh. Namun jika ia yakin akan terjatuh kepada perbuatan zina jika tidak berpoligami, maka poligami menjadi wajib atasnya.
23
Konsep keadilan tersebut baik Hukum islam dan Hukum Positif agar menjadi perhatian bagi suami yang ingin berpoligami. Jika tidak dapat memenuhi kebutuhan keadilan maka hendaknya monogami mutlak. Sebagaimana allah menjelaskan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa ayat 3 dan 129. Jika kita menoleh ke sejarah perkawinan Nabi SAW, akan kita jumpai bahwa nabi berpoligami pada masa hanya sepuluh tahun di akhir usianya sementara dua puluh lima tahun sebelum itu Nabi menjalani kehidupan monogami bersama khodijah binti Khuwailid sampai Khodijah wafat dan nabi saat itu berumur 50 tahun. Tiga tahun setelah itu barulah nabi menjalani poligami. wanita yang di nikahi Rasul adalah semua janda, kecuali ‘Aisyah r.a, dan semua untuk tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan menyelamatkan wanita yang kehilangan suami. Mereka umumnya bukanlah wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik yang memikat. Para ulama sepakat dengan dibolehkannya berpoligami, namun tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Adapun perselisihan yang terjadi di antara mereka hanyalah jumlah bilangan poligami itu sendiri, Jumhur ulama berbeda pendapat, kebolehan berpoligami hanya kepada empat wanita saja. Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Bidayatul Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam
24
waktu yang bersamaan.19 Imam Malik berpendapat bahwa jika seseorang abdun boleh menikahi empat wanita dalam satu waktu, dan beliau menukil dalam kitab al Muwatha, bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai sepuluh isteri. Maka Rasulullah, bersabda :
Artinya:
(&% (%) *+) !"# $% &'%#
“Peliharalah empat orang isteri diantara mereka dan bebaskanlah (ceraikan) yang lainnya”. (H.R. Imam Malik dalam kitab al Muwatha).20 Pendapat ini didukung oleh Ahlu Zhahir (pengikut Imam Daud ad Dhahiri).
Sedangkan dalil dari sunnah sebagaimana dalam riwayat hadis yang menjelaskan ketika Ghailan bin salamah Ats-Tsaqafi masuk islam dalam keadaan beristri sepuluh orang yang ia nikahi di masa jahiliyah (sebelum masuk islam), mereka semua masuk islam bersamanya, maka Rasulallah saw memerintahkannya untuk memilih empat di antara mereka.
8 9: 8 4!% ,-. 7!6 " -45 ,-. /01. " 23 ,-. ; < => ?@A B8
Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, (Beirut : Darul fikr, tt), cet. Ke-1, jilid, 11 h. 31
20
Imam Malik, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. tt
25
Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa Rasulallah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami seperti umar bin Khattab, ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi sufyan, dan Muaz bin Jabal r.a. Poligami dilakukan juga oleh ahli fiqih tabi’in, mereka mengakui orang yang menikah lebih dari satu istri, dinamakan poligami. Kesimpulannya bahwa generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari ummat islam telah bersepakat melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum poligami sama halnya dengan hukum menikah yang mungkin saja bisa wajib, sunnah, atau makruh sesuai dengan seseorang. Hal ini tergantung pada kondisi seorang lakilaki akan kebutuhannya terhadap poligami, dan kemampuannya memenuhi hakhak istri-istrinya. Pada dasarnya, poligami itu hukumnya mubah (boleh), berdasarkan Q.S.An-Nisa ayat 3. kebolehan poligami ini tidak menghibahkan batasan dan syarat-syarat yang di atur oleh hukum islam itu sendiri yang bertujuan untuk meratakan kesejahteraan keluarga dan untuk menjaga ketinggian nilai di kalangan generasi masyarakat islam seterusnya guna meningkatkan budi pekerti kaum muslimin yang berpedoman pada al-Qur’an dan hadis. Pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya di adopsi oleh ulamaulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh
26
suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Dalam fatwa Abduh, keadilan di sini yang di syaratkan al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta dan perhatian yang semuanya tidak bisa di ukur dengan angka atau nominal. Sebagian besar ahli hukum islam menyadari bahwa keadilan kualitatif ini sesuatu yang sangat mustahil untuk diwujudkan. Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas kontrol manusia.
C. Poligami menurut Hukum Positif. 1. Poligami dalam Undang–undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Telah kita ketahui, Undang–undang RI No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1975. Salah satu permasalahan yang diatur di dalamnya adalah tentang poligami. Ada
27
kesamaan antara poligami Islam dengan aturan poligami yang terdapat dalam Undang–undang Perkawinan yaitu pintu poligami dibuka hanya bagi orang– orang yang memiliki alasan–alasan tertentu. Supaya masalah poligami menurut Undang–undang Perkawinan ini dapat diketahui dengan jelas dan terperinci, akan dikutip dan dijelaskan pasal– pasal yang mengaturnya sebagai berikut : Pasal 3 (1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. (2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak–pihak yang bersangkutan. Pasal 4 (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) undang–undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan daerah tempat tinggalnya. (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 5 (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat–syarat sebagai berikut : a. Adanya persetujuan isteri atau isteri–isteri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan– keperluan hidup isteri–isteri dan anak–anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak-anak mereka. (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang–kurangnya dua
28
tahun, atau karena sebab–sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan. Pasal 65 (1) Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hukum lama maupun berdasarkan pasal 3 ayat (2) undang–undang ini, maka berlakulah ketentuan–ketentuan berikut : a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya. b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi. c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing–masing. (2) Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut undang–undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan–ketentuan ayat (1) pasal ini.
Dari pasal–pasal mengenai poligami yang telah disebutkan diatas dapat dijelaskan tatacara dan ketentuan permohonan izin poligami sebagai berikut : a. Poligami harus ada izin dari Pengadilan Agama yang diajukan kepada Pengadilan Agama di tempat tinggalnya dengan membawa surat permohonan izin beristeri lebih dari seorang yang isinya memuat nama, umur, tempat kediaman pemohon (suami) dan termohon (isteri), alasan– alasan untuk beristeri lebih dari seorang dan petitum.21 b. Setelah surat permohonan izin poligami diajukan, maka Majelis Hakim memeriksa berkas–berkas tersebut selambat–lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan tersebut (pasal 42 ayat (2) PP No. 9/ 1974). 21
H. A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), cet. Ke -3, h. 241.
29
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama meliputi : a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami menikah lagi sebagai syarat alternatif yaitu : 1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri seperti, tidak dapat mendampingi dan melayani suami dengan baik, mengatur rumah tangga dan mengurus serta mendidik anak–anak dengan baik, termasuk tidak menjaga kehormatan dirinya dengan baik. 2) Isteri cacat badannya, misalnya lumpuh, lemah syaraf, berpenyakit yang tidak dapat disembuhkan, seperti gila, batuk menahun, lepra dan sebagainya. 3) Isteri tidak dapat memberikan keturunan.22 b. Ada atau tidaknya persetujuan isteri baik lisan maupun tertulis yang harus dinyatakan di depan sidang. c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri–isteri dan anak–anak dengan mempelihatkan surat–surat mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat kerja, surat keterangan pajak penghasilan atau surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. Sedangkan jaminan bahwa suami akan berlaku adil adalah dengan pernyataan atau perjanjian dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.23
22
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut perundang – undangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, (Bandung : Penerbit Mandar Jaya, 1990 ), cet. Ke -1, h.35. 23 Ibid
30
d. Persetujuan isteri tidak diperlukan lagi dalam hal isteri tidak mampu menjadi pihak dalam perjanjian seperti isteri kurang mampu untuk melakukan perbuatan hukum karena sakit ingatan, gila, ganguan saraf dan lain–lain, tidak ada kabar dari isteri selama sekurang–kurangnya dua tahun, karena sebab–sebab lain yang perlu dapat penilaian hakim berupa keadaan–keadaan yang menjadi alasan dan perlu dipertimbangkan dalam memberikan keputusan, seperti itikad isteri tidak memberikan persetujuan dengan maksud jahat agar suami tersiksa lahir batinnya atau hendak mempermainkan saja atau keadaan tentang adanya kabar dari isterinya akan tetap domisili yang jelas tidak diperoleh sedang suami telah berusaha keras mencarinya.24 Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
Undang-undang
Perkawinan tersebut telah berpihak pada kewajaran dan nyata dalam hal poligami yaitu, poligami diperbolehkan dengan syarat–syarat yang ketat. 2. Poligami dalam Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Secara resmi Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan hasil consensus (ijma’) ulama melalui media lokakarya, yang kemudian mendapat legalitas dari kekuasaan negara dan disebarluaskan untuk memenuhi
24
Martiman Prodjohamidjojo, Tanya Jawab Mengenai Undang – undang Perkawinan dan Pelaksanaannya disertai Yurisprudensi, (Jakarta : Pradya Paramita, 1979 ) h.26
31
kebutuhan hukum substansial bagi orang–orang yang beragama Islam.25 Selain itu perumusan KHI bertujuan untuk menyiapkan pedoman yang seragam (unifikatif) bagi Hakim Pengadilan Agama dan menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.26 Masalah poligami dalam KHI terdapat pada Buku 1 Bab IX pasal 55–59 berikut akan dikutipkan pasal demi pasal.27 Pasal 55 (1) (2) (3)
Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi suami dilarang beristeri lebih dari seorang.
Pasal 56 (1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. (2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. (3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila : (1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin Pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat–syarat yang 25
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998), cet. Ke -2, h. 122. 26 Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000 ), cet. Ke -4, h. 43. 27 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam. Departemen Agama RI Tahun 1998 / 1999, h. 33 – 35.
32
ditentukan pada pasal 5 Undang–undang Perkawinan No 1 Tahun 1974, yaitu : a. Adanya persetujuan dari isteri atau isteri–isteri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri–isteri dan anak–anak mereka. c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anak mereka. (2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b. PP No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri–isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri, pada sidang pengadilan agama. (3) Persetujuan dimaksud ayat (1) Huruf a. tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri–isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri–isterinya sekurang–kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim. Pasal 59 Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.
Jika diperhatikan, substansi poligami dalam KHI tidak berbeda dengan aturan poligami dalam Undang–undang Perkawinan. Hal ini dikarenakan dalam bidang perkawinan (buku 1) KHI, dalam pelbagai hal, merujuk kepada peraturan perundang–undangan yang berlaku. Disamping itu, KHI juga merujuk kepada pendapat fuqaha (para ahli fiqih) yang sangat dikenal di kalangan ulama dan masyarakat Islam Indonesia. Maka dapat dikatakan, KHI merupakan norma hukum antara yang ditetapkan oleh penguasa negara dan pandangan ulama.28
28
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998 ), cet. Ke -2, h. 125
33
3. Poligami menurut PP No. 10 Tahun 1983. Menurut pasal 10 PP No. 10 tahun 1983 pegawai negeri sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang dan pegawai sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat dari seorang yang bukan pegawai negeri sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat.29 Dan izin tersebut hanya dapat diberikan oleh pejabat, apabila memenuhi sekurang–kurangnya salah satu syarat alternatif yaitu : (1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri. (2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. (3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu harus dipenuhinya ketiga syarat kumulatif, yaitu : (1) Adanya persetujuan dari isteri/ isteri – isteri. (2) Pegawai negeri pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak–anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan. (3) Adanya jaminan tertulis dari pegawai negeri sipil yang bersangkutan, bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya. Sedangkan bagi pegawai negeri sipil wanita yang akan menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat dari pria bukan pegawai negeri sipil syarat–syarat kumulatif tersebut adalah :
29
Lihat Penjelasan Umum PP No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Negeri Sipil
34
(1) Ada persetujuan tertulis dari isteri calon suami. (2) Calon suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak–anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan. (3) Adanya jaminan tertulis dari calon suami, bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri–isteri dan anak–anaknya.2
2
Titik Triwulan Tutik, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, ( Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007 ), cet. 1. h. 133
BAB III KONDISI OBJEKTIF MASYARAKAT SAWANGAN
A. Kondisi Objektif Masyarakat Sawangan 1. Kondisi Geografis Kecamatan Sawangan merupakan salah satu dari kecamatan di wilayah Kota depok. Adapun kondisi geografis Kecamatan sawangan adalah sebagai berikut: a. Tinggi Pusat Pemerintahan / Height of Central Government Kec. sawangan dari permukaan tanah yang relatif datar dan tidak berbukit- bukit
: 60 m
b. Suhu Maksimum / Minimum : 30C / 20○ C
Max / Min Temperature c. Batas Wilayah (Regional Boundary) 1) Sebelah Utara
: Tangerang Banten & Kec. Limo
2) Sebelah Timur
: Kec. Limo & Pancoran Mas
3) sebelah Selatan
: Kabupaten Bogor
4) Kecamatan
: Kecamatan Tangerang
Kecamatan Sawangan memiliki luas wilayah 4.674 Ha, merupakan wilayah yang berupa perbukitan.
35
36
2. Kondisi Demografis Dalam pemerintahan Kecamatan Sawangan dipimpin oleh satu orang Camat yang dibantu oleh beberapa orang staf yang berjumlah 19 (sembilan belas) orang di tingkat kecamatan, hal ini dapat di lihat dari tabel berikut: Tabel 1 Pegawai Kantor Camat Menurut Pangkat / Golongan Ruang dan Jenis Kelamin District Officers based on their Grade/ room type No
Jabatan / Occupation
2
3
4
5
6 7
(2)
JML
NYA
Grade / room type
(1) 1
Pangkat / Golongan / LAI-
I
II
III
IV
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
CAMAT
-
-
-
1
-
1
SEKRETARIS CAMAT
-
-
1
-
-
1
STAF SEKRETARIAT
-
2
1
-
-
3
KASIE PEMERINTAHAN
-
-
1
-
-
1
STAF PEMERINTAHAN
-
-
1
-
1
2
KASIE DIKBUD
-
-
1
-
-
1
STAF DIKBUD
-
3
-
-
-
3
KASIE PEMBANGUNAN
-
-
1
-
-
1
STAF PEMBANGUNAN
-
-
2
-
-
2
KASIE KESOS
-
-
1
-
-
1
STAF KESOS
-
-
2
-
-
2
KASIE PEREKONOMIAN
-
-
1
-
-
1
JUMLAH
0
5
12
1
1
19
Sumber Data: Kantor Camat Sawangan
37
Kecamatan sawangan memiliki 14 Desa / Kelurahan, yang terdiri dari 144 Rukun Warga (RW), dan 624 Rukun Tetangga (RT), sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2 Rukun Warga, dan Rukun Tetangga Amounts of Orchard, Administrative Society Unit and Neigbourhood Association DESA/KELURAHAN Village/Sub-District (1) (2) 1 PASIR PUTIH 2 BEDAHAN 3 PENGASINAN 4 DUREN SERIBU 5 BOJONGSARI 6 CURUG 7 PONDOK PETIR 8 SERUA 9 CINANGKA 10 SAWANGAN 11 SAWANGAN BARU 12 KEDAUNG 13 BOJONGSARI BARU 14 DUREN MEKAR JUMLAH Sumber Data: Kantor Camat Sawangan No
RW
RT
(4) 5 13 11 7 6 6 5 9 4 5 5 6 7 8 144
(5) 66 31 51 14 22 14 20 40 16 18 30 9 11 32 624
Wilayah Kecamatan Sawangan sama halnya dengan kecamatan lainnya, sehingga tidak heran apabila tiap tahun jumlah penduduk di Kecamatan Sawangan terus bertambah, begitu juga dengan pembangunan fisik pun kian berkembang sebagaimana mengikuti arus perubahan dan perkembangan zaman.
38
3. Kondisi penduduk Berdasarkan data statistik dari Kecamatan Sawangan seperti oleh sandi sebagai berikut:
Tabel-3 Jumlah Penduduk dan Rasio Jenis Kelamin
No (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
DESA/KELURAHAN Village/Sub-District (2) PASIR PUTIH BEDAHAN PENGASINAN DUREN SERIBU BOJONGSARI
CURUG PONDOK PETIR SERUA CINANGKA SAWANGAN SAWANGAN BARU KEDAUNG BOJONGSARI BARU DUREN MEKAR JUMLAH
LakiLaki
Perem puan
(3) 6.177 7.098 6.536 4.194 5.009 5.676 7.339 4.388 4.860 6.652 5.512 5.896 4.091 5.519 78.947
(4) 6.128 6.928 6.417 4.431 5.220 5.382 7.256 4.178 4.718 6.258 5.535 5.641 4.589 5.600 78.281
Laki-Laki + Permpuan (5) 12.305 14.026 12.953 8.625 10.229 11.058 14.595 8.556 9.758 12.910 11.047 11.537 8.680 11.119 157.228
Rasio Jenis Kelamin (6) 87.4 107.2 93.8 95.9 97.1 87.4 101.3 95.4 96.0 99.8 99.2 98.7 101.4 90.5 93.6
Sumber Data: Registrasi Penduduk
Berdasarkan data statistik yang bersumber dari data monografi kecamatan, saat ini jumlah penduduk Kecamatan Sawangan berjumlah 157.228 jiwa. Dengan jumlah Kepala Keluarga 43.383 jiwa. Dengan anggota keluarga rata-rata berjumlah 6 (empat) orang.
39
Tabel-4 Penduduk Kecamatan sawangan Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Paciran District residents based on Group of age and gender No
Kelompok umur Laki-Laki Perempuan Gorup of age Male female (1) (2) (3) (4) 1 0–4 6.756 6.727 2 5–9 7.083 7.045 3 10 – 14 6.294 6.271 4 15 – 19 6.054 6.019 5 20 – 24 6.129 6.191 6 25 – 29 5.665 5.798 7 30 – 34 5.642 5.666 8 35 – 39 5.057 5.827 9 40 – 44 4.771 4.914 10 45 – 49 4.364 4.541 11 50 – 54 4.058 4.066 12 55 – 59 3.567 3.631 13 60 – 64 3.101 3.167 14 65 + 3.096 3.145 JUMLAH 71.644 73.008 Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
Laki-Laki + Perempuan (5) 13.492 14.128 12.565 12.073 12.220 11.263 11.268 9.884 9.685 8.705 8.074 7.098 6.168 6.141 142.764
Berdasarkan tabel di atas mengenai usia penduduk dan jenis kelamin nampak, bahwa sebagian bersar penduduk berusia 20 tahun ke atas. Dengan Hal ini jumlah laki-laki mencapai 63.44% dari jumlah 71.644 sedangkan jumlah perempuan mencapai 64.30% dari jumlah 73.008. hal ini membuktikan bahwa jumlah laki-laki lebih sedikit dari pada jumlah perempuan. Dari gambar di atas menunjukkan bahwa penduduk Kecamatan Sawangan tersebut sudah termasuk memasuki usia produktif. Usia ini juga menunjukkan kedewasaan (baligh) mereka secara keagamaan dalam bahasa lain mereka juga disebut mukallaf, sehingga mereka sudah harus mengetahui dan menjalankan syari’at agama Islam.
40
4. Kondisi Perekonomian Berdasarkan dari buku laporan Pemerintahan Kecamatan Sawangan, mengenai kondisi ekonomi dan mata pencaharian penduduk dapat kita lihat dalam tabel di bawah ini: Tabel-5 Banyaknya Keluarga Pertanian Menurut Sub Sektor Number of agriculture family based on its sector No (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Desa/Kelurahan Village/Sub-Disrict (2)
PETANI
WIRASWASTA
(3) 1.462 1.081 122 1.977 399 CURUG 1.809 PONDOK PETIR 17 SERUA 1.349 CINANGKA 1.043 SAWANGAN 407 SAWANGAN BARU 1.434 KEDAUNG 288 BOJONGSARI BARU 744 DUREN MEKAR 3.469 Jumlah 15.565 Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan PASIR PUTIH BEDAHAN PENGASINAN DUREN SERIBU BOJONGSARI
(4) 492 709 1.803 1.554 1.842 931 714 1.577 1.376 598 1.898 1.492 1.924 4.179 21.089
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas penduduk Kecamatan Sawangan bermata pencaharian sebagai petani berjumlah 15.565 jiwa, hal ini karena letak Kecamatan Sawangan kondisi ekonomi penduduk juga ditopang dari sektor wiraswasta berjumlah 21.089 jiwa, mengingat bahwa penduduk Kecamatan Sawangan juga termasuk masyarakat ekonomi menengah.
41
5. Kondisi sosial keagamaan Kecamatan Sawangan merupakan salah satu kecamatan yang agamis, hal ini terlihat dari nuansa kehidupan masyarakatnya yang agamis. Hal ini tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, kegiatan ritual kegamaan masyarakat yang berupa pengajian, berbagai kegiatan rutinan, baik itu mingguan atau bulanan berupa pembacaan surat yasin dan tahlil, dzibaan, thoriqoh dan kegiatan sosial keagamaan lainnya. Pembinaan bidang keagamaan di wilayah kecamatan ini dapat berjalan dengan baik, karena ditopang oleh banyaknya tempat pendidikan, tempat ibadah dan fasilitas lainnya yang cukup memadai. Tabel-8 Banyaknya Tempat Ibadah Number of Religious Places No (1)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Desa/Kelurahan Village/Sub-Disrict (2) PASIR PUTIH BEDAHAN PENGASINAN DUREN SERIBU BOJONGSARI
Masjid Musholla Majlis Taklim (3) (4) (5)
6 24 6 18 8 6 6 19 5 19 CURUG 5 17 PONDOK PETIR 6 11 SERUA 6 20 CINANGKA 4 28 SAWANGAN 5 10 SAWANGAN BARU 6 12 KEDAUNG 3 12 BOJONGSARI BARU 5 22 DUREN MEKAR 5 21 JUMLAH 76 239 Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan
10 5 11 9 7 12 4 11 10 4 2 8 4 14 111
Jumlah (6)
40 29 25 34 31 34 21 37 42 19 20 23 31 30 419
42
Dari tabel di atas dapat kita ketahui bahwa sarana tempat ibadah di Kecamatan Sawangan berjumlah 419 buah, dengan rincian, Masjid 76 buah, Musholla 239 buah, dan Majlis Taklim 111. Adapun sarana pendidikan yang terdapat di Kecamatan Sawangan dapat di ketahui dalam tabel di bawah ini: Tabel-9 Banyaknya Sarana Pendidikan No (1) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Desa/Kelurahan Village/Sub-Disrict (2) PASIR PUTIH BEDAHAN PENGASINAN DUREN SERIBU BOJONGSARI CURUG PONDOK PETIR SERUA CINANGKA SAWANGAN SAWANGAN BARU KEDAUNG BOJONGSARI BARU DUREN MEKAR JUMLAH
TK (3) 3 3 9 3 5 1 3 5 1 4 1 2 2 49
SD (4) 4 2 8 2 2 2 2 5 2 2 2 2 2 2 46
SL TP (5) 3 2 5 2 1 1 2 2 1 1 1 1 26
SL TA (6) 1 3 6 2 1 1 2 1 1 4 20
PT (7) 2 1 1 6 4
Pon Pes (8) 2 4 1 2 3 1 1 2 4 2 4 26
Keterangan: Data primer dari Kecamatan Sawangan Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa saranan pendidikan di Kecamatan Sawangan cukup memadai bagi perkembangan intlektual masyarakat. Sarana pendidikan dari jenjang Taman Kanak-kanak berjumlah 49 buah, sampai Perguruan Tinggi berjumlah 4 buah, juga tersedia. Begitu pula dengan keberadaan 26 buah Pondok Pesantren menunjukkan bagaimana pembinaan spiritual dan sosial keagamaan di wilayah kecamatan tersebut.
43
B. Poligami pada Masyarakat Sawangan. 1. Pandangan tokoh masyarakat Sawangan terhadap poligami. a. Pengaturan mengenai masalah poligami. Dalam poin ini, dari ke 6 (enam) tokoh masyarakat sawangan 5 (lima) di antaranya perlu adanya suatu pengaturan dari pemerintah dalam menghadapi
permasalahan
poligami,
karena
menurut
mereka
permasalahan itu perlu dilakukan atau di tindak lanjuti undang-undang yang berlaku. Sedangkan 1 (satu) tokoh masyarakat menyatakan bahwa poligami suatu yang amat urgen, kalau sudah tidak ada jalan lain baru boleh melakukannya. Karena menurutnya monogamilah yang sangat ideal karena tidak setuju dengan poligami. Selanjutnya mengatakan bahwa poligami harus dengan ilmu karena dengan alasan tidak mendzolimi seorang istri dan paham dengan syarat-syarat yang telah ada dalam hukum Islam dan hukum positif. Dan ada beberapa tokoh dengan alasan yang mereka kemukakan, di antaranya : K.H Mad Budi dan H. Mad Nuh Malik mengatakan bahwa pengaturan perkawinan terhadap poligami yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
warga
negaranya.
Selanjutnya
K.H
Damanhuri
bahwa
perkawinan poligami itu harus diatur oleh pemerintah untuk menyamakan persepsi, karena di Indonesia ada bermacam-macam agama dan aliran kepercayaan, maka undang-undang perkawinan itu harus dibukukan.1
1
K.H Damnhuri, wawancara pribadi, pesantren Al-karimiyah sawangan baru 17 juli 2010.
44
KH.
Anwar
Hidayat
SH
mengatakan
bahwa
pengaturan
pemerintah terhadap masalah perkawinan warganya itu diperlukan untuk melindungi rakyatnya.2 Sementara itu menurut KH. Edi Djunaedi bahwa perlu juga pemerintah mengatur masalah perkawinan dalam poligami karena mayoritas rakyatnya bergama Islam, maka pengaturan perkawinan dalm berpoligami banyak diarahkan pada muatan-muatan Islam.3 b. Syarat poligami. Para tokoh masyarakat sepakat bahwa melakukan berpoligami dalam Islam itu harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Sementara itu H. Mad Nuh Malik mengatakan bahwa Poligami sudah sangat jelas kedudukannya dalam hukum Islam. Bagi seorang suami yang akan melakukan poligami harus memperhatikan dan memenuhi syarat yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, sebab bila ia tidak mampu memenuhinya maka sang suami tidak berhak berpoligami. 4 Selanjutnya K.H Mad Budi menambahkan bahwa Islam mengijinkan seorang laki mengawini seorang perempuan lebih dari satu ( hingga empat ). Namun, hal itu dapat dilakukan oleh suami bila ia telah memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh hukum Islam. Apabila syarat belum terpenuhi maka ia 2
KH. Anwar Hidayat SH,wawancara pribadi, pesantren Darul Ulum Sawangan 25 Juli 2010.
3
KH. Edi Djunaedi, wawancara pribadi, pesantren Ulumul Qur’an Duren Mekar ( Sawangan ) 18 Juli 2010. 4
H. Mad Nuh Malik, wawancra pribadi. Ulama Pondok petir (Sawangan) 10 Juli 2010.
45
harus merenungkan niatnya. Sebenarnya poligami adalah solusi dalam hukum Islam dan upaya mengangkat derajat kaum wanita.5 K.H. Damanhuri yang mempunyai istri lebih dari satu, mengatakan bahwa poligami itu boleh asal kita bisa berbuat adil dan mencari banyak keturunan. Sehingga jelas yang dinyatakan dalam Al-Qur’an. Dan tujuan dari poligami melestarikan keturunan, nilai sosial dan sunnah (dari sisi bilangan).6 Sementara itu menurut KH. Edi Junaedi bahwa perlu juga pemerintah mengatur masalah perkawinan ( poligami ) karena mayoritas rakyatnya beragama Islam, maka pengaturan perkawinannya banyak diarahkan pada muatan-muatan Islam.7 Sebagaimana yang dikatakan oleh KH. Anwar Hidayat SH bahwa syarat poligami harus sesuai dengan tuntunan agama karena kebenaran agama itu mutlak, dan wajib kita yakini.8 Adapun syarat-syarat poligami dalam Islam adalah sebagai berikut: a. Bila seorang lelaki yang telah beristri, masih akan terjadi penyelewengan kepada perempuan lain. b. Bila istri mandul, sedang ia tidak rela diceraikan. 5
KH. Mad Budi, wawancara pribadi. Pondok pesantren Darutafsir Alhusaini Duren Mekar (Sawangan) 13 Juli 2010. 6
K.H Damanhuri, wawancara pribadi. Pondok pesantren Al-karimiyah Sawangan Baru 17
Juli 2010. 7
K.H Edi Djunaedi, wawancara pribadi, pondok pesantren Ulumul Qur’an Duren Mekar 18
Juli 2010. 8
2010.
K.H Anwar Hidayat SH, wawancara pribadi. Pesantren Darul Ulum (Sawangan) 25 Juli
46
c. Bila seorang istri sakit berkepanjangan d. Jika jumlah wanita lebih banyak dari pada pria.
C. Pengaruh Poligami 1. Pengaruh poligami terhadap ekonomi Bahwa ekonomi juga sangat perlu dalam kebutuhan keluarga bahkan semua orang membutuhkannya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa para tokoh yang berpendapat tentang pengaruh poligami terhadap ekonomi, adapun tersebut diantaranya: a. Hartanya terbagi-bagi. Hal ini diungkapkan oleh K.H Mad Budi bahwa “pengaruh poligami terhadap ekonomi adalah hartanya terbagi-bagi, gajinya terbagi-bagi di antara para istri sedangkan dari bapak ke anak terasa kurang, bahkan mereka terlantar”. b. Bentuk kemapanan, H. Bahrudin mengatakan bahwa poligami adalah suatu kemapanan seorang suami sehingga dengan poligami suami yang mapan bisa berbagi rata dalam bentuk materi yang di berikan. Hal senada juga dikemukakan KH. Damanhuri, yang mengatakan “ bahwa poligami adalah bentuk kemampuan seorang suami. Suami yang berpoligami harus mempunyai power sehingga segala kebutuhan pasti terjamin, karena faktor utamanya dalam berpoligami adalah kemapanan ekonomi.
47
Karena syarat poligami atau kemapanan ekonomi di lihat dari beberapa tokoh masyarakat sawangan mengatakan, di antaranya : a. Menurut H. Mad Nuh Malik mengtakan “bahwa poligami adalah harus berdasarkan ekonomi karena memenuhi kebutuhan untuk keluarganya. b. Menurut K.H Edi djunaedi mengatakan “bahwa poligami adalah seseorang yang mempunyai banyak harta sehingga mampu memberikan nafkah dengan adil. c. Menurut K.H Anwar Hidayat SH mengatakan “bahwa poligami adalah mampu memberikan mahar ( mas kawin ) yang berlaku seumur hidup, atau mampu berbuat adil kepada setiap istri dan anaknya. 2. Pengaruh Poligami terhadap kejiwaan Anak Poligami berpengaruh terhadap kejiwaan anak, karena anak kurang mendapatkan pengasuhan orang tuanya sehingga mereka tidak dekat kepada seorang bapak yang berpoligami. Hal ini ditegaskan oleh beberapa para tokoh masyarakat yang berpendapat tentang pengaruh poligami terhadap kejiwaan anak. Adapun pendapat tersebut di antaranya adalah: a. Anak kurang diperhatikan., menurut K.H Mad Budi mengatakan bahwa dampak bagi kejiwaan seorang anak adalah anak merasa kurang diperhatikan, merasa kurang mendapatkan kasih sayang dari bapaknya, atau merasa tidak dekat dengan ayahnya. Di samping itu, poligami membawa beban psikologis anak terhadap lingkungan atau teman –
48
temannya, karena mereka terbebani oleh perkataan teman-temannya yang mengatakan bahwa bapaknya tukang kawin ( berpoligami ). b. Membuka peluang anak menjadi nakal dan tidak terurus. Menurut H. Mad Nuh Malik mencontohkan sebuah kasus, bahwa ada seorang mempunyai banyak anak di mana-mana dari hasil berpoligami keluarga tersebut dari laki-laki yang berpoligami hanya terpenuhi kebutuhan ekonomi saja tetapi tidak mendapat perhatian yang lebih dekat dari seorang ayah.9 c. Anak akan merasa dirinya tidak memiliki kebebasan di dalam lingkungan sosial pergaulan, karena jiwanya merasa terbebani atas perbuatan orang tuanya berpoligami. Hal ini dikemukakan oleh K.H Damanhuri. d. Anak merasa tidak diperhatikan atau kurang mendapat kasih sayang yang dahulu di rasakan sebelum berpoligami. Hal ini dikemukakan oleh K.H. Edi Junaedi. e. Anak tidak hormat kepada bapaknya sehinggga anak sekehendak hatinya melakukan perbuatan yang tidak baik seperti melakukan ketidak sopanan, membangkang dan karena bapak menyakiti ibunya, anak bisa saja memusuhi bapaknya. Hal ini dikemukakan oleh H. Bahrudin. f. Anak akan merasa dirinya tidak memiliki kebebasan di dalam lingkungan sosial pergaulan, karena jiwanya merasa terbebani atas perbuatan orang tuanya berpoligami. Menurut K.H Damanhuri.
9
H, Mad Nuh malik, wawancara pribadi. Ulama Pondok petir (Sawangan) 15 Juli 2010.
49
Melihat paparan beberapa pendapat di atas, menurut tokoh masyarakat sawangan pada dasarnya poligami itu boleh dilakukan dengan catatan: a. Harus mapan dari segi ekonomi b. Dapat berlaku Adil c. Mendapat ijin dari istri 2. Faktor-faktor pendukung Poligami di Kecamatan Sawangan Setelah penulis wawancara kepada tokoh Masyarakat Banyaknya pelaku poligami pada umumnya, dan penulis dapat mengklasifikasikan ada berbagai macam faktor : a. Faktor Internal, dalam hal ini seperti istri yang tidak dapat memberikan kepuasaan terhadap suami atau karena istri tidak bergairah lagi dalam hal sek sementara suami mempunyai libido yang tinggi. Istri yang membangkang pada suami, sehingga tidak terciptanya keharmonisan dalam rumah tangga, istri mandul atau tidak bisa memberikan keturunan. b. Faktor pendidikan, dalam melihat latar belakang tingkat pendidikan orang yang melakukan poligami rendah sehingga mudah untuk memutuskan menikah lagi jika mereka sudah merasa mampu untuk memberi nafkah lebih dari satu istri. c. Faktor ekonomi, dalam faktor ini hanya segelintir orang yang mempunyai kedudukan yang berbeda di masyarakat. Yang dianggap sebagai orang yang mampu dalam hal materi atau ekonomi, sehingga mereka mau melakukan tindakan poligami untuk tujuan yang bernilai positif.
50
d. Faktor
pergaulan, dalam lingkungan pergaulan poligami akan
memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap orang-orang yang belum hidup berpoligami sehingga terdorong hatinya untuk melakukan di karenakan dari segi faktor ekonomi sudah cukup.
BAB IV ANALISIS PANDANGAN TOKOH MASYARAKAT SAWANGAN TENTANG POLIGAMI
A. Analisis menurut Hukum Islam Berdasarkan pandangan dari ke-6 tokoh masyarakat sawangan dalam menyikapi poligami terhadap hukum Islam. 5 di antaranya tokoh masyarakat tersebut mengatakan, bahwa poligami dalam hukum Islam sangat jelas kedudukannya. Poligami harus memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat dalam hukum Islam, yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat an-Nisa di awal yaitu pada ayat ke 3:3
(& : &/) !" #…
Artinya
: ".... maka kawinilah wanita – wanita (lain) yang kamu senangi, satu, dua, tiga, atau empat." (QS. an Nisa/3: 3)
Menurut tokoh masyarakat, ayat ini adalah syarat-syarat dalam berpoligami. Hal ini membuktikan bahwa hukum Islam membolehkan seorang laki-laki beristri lebih dari satu asalkan memenuhi syarat yang ditentukan dalam hukum Islam. Menurut KH. Mad Budi, jika syarat dalam hukum Islam tidak terpenuhi maka poligami harus diurungkan oleh seorang laki-laki, sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat lain An-Nisa (4:129) yang berbunyi :
51
52
È≅øŠyϑø9$# ¨≅à2 (#θè=ŠÏϑs? Ÿξsù ( öΝçFô¹t ym öθs9uρ Ï!$|¡ÏiΨ9$# t÷t/ (#θä9ω÷ès? βr& (#þθãè‹ÏÜtFó¡n@ s9uρ $VϑŠÏm§‘ #Y‘θàxî tβ%x. ©!$# χÎ*sù (#θà)−Gs?uρ (#θßsÎ=óÁè? βÎ)uρ 4 Ïπs)¯=yèßϑø9$$x. $yδρâ‘x‹tGsù
(*+, :)/)
Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteriisteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’/4: 129)
KH. Damanhuri menjelaskan hukum poligami dari segi keadilan. Dalam hal ini adil bukannya berarti memberikan materi yang cukup saja tetapi adil yang bersipat substansial, artinya adil memberikan nafkah bathin serta adil dalam persamaan kaum wanita yang dinikahinya. Jika hukum Islam tidak terpenuhi dalam keadilan berpoligami dan hanya dimotifasi oleh kebutuhan biologis laki-laki maka semakin mendekati keharaman yang nyata. Selain ayat di atas yang menggambarkan hukum poligami berdasarkan hukum Islam, ditegaskan pula berdasarkan ushul fiqh, bahwa poligami dibolehkan namun poligami tidak harus dijadikan suatu kewajiban. Sebagian jumhur ulama berpendapat bahwa poligami hanya pada empat wanita saja atau sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an dan Hadis. Para ulama sepakat dengan dibolehkannya berpoligami, namun tidak menjadikan poligami sebagai suatu kewajiban bagi kaum muslimin. Adapun
53
perselisihan yang terjadi di antara mereka hanyalah jumlah bilangan poligami itu sendiri, Jumhur ulama berbeda pendapat, kebolehan berpoligami hanya kepada empat wanita saja. Menurut Imam Hanafi dan Imam Syafi’i di dalam kitab Bidayatul Mujtahid bahwa tidak boleh menikahi wanita lebih dari empat wanita dalam waktu yang bersamaan.1 Imam Malik berpendapat bahwa seseorang abdun boleh menikahi empat wanita dalam satu waktu, dan beliau menukil dalam kitab al Muwatha, bahwa Ghailan bin Salman memeluk Islam sedang ia mempunyai sepuluh isteri. Maka Rasulullah, bersabda :
Artinya:
(9 :; <) -./!01 234 # 562 7 -82! 292 7
“Peliharalah empat orang isteri diantara mereka dan bebaskanlah (ceraikan) yang lainnya”. (H.R. Imam Malik dalam kitab al Muwatha).2 Pendapat ini didukung oleh Ahlu Zhahir (pengikut Imam Daud ad Dhahiri).
Sedangkan dalil dari sunnah sebagaimana dalam riwayat hadis yang menjelaskan ketika Ghailan bin salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam dalam keadaan beristri sepuluh orang yang ia nikahi di masa jahiliyah (sebelum masuk islam), mereka semua masuk Islam bersamanya, maka Rasulallah saw memerintahkannya untuk memilih empat di antara mereka.
1
Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, (Beirut : Darul fikr, tt), cet. Ke-1, jilid, 11 h. 31
2
Imam Malik, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. tt
54
F G/.H F /@6 => /E6? =@A => B> CD => I J KL# M" /NF JOP Q@R1 SBT R1 KU /@F F B1 (J? <) V 8 WX R1 JBRF Y RZ Artinya: “ kami diberitahukan oleh yahya Ibn Hakim, kami diberitahukan oleh Muhammad ibn Ja’far, kami diberitahukan oleh Mu’amar dari alZuhri dari salim dari Ibn Umar berkata: Ghilan ibn Salamah masuk islam dan ia memiliki 10 istri, maka nabi bersabda : Ambilah diantara mereka empat orang”. ( H.R. Ibnu Majah ) Sedangkan dalil dari ijma ialah kesepakatan kaum muslimin tentang kehalalan poligami baik melalui ucapan atau perbuatan mereka sejak masa Rasulallah saw sampai hari ini. Para sahabat utama Nabi melakukan poligami seperti umar bin Khattab, ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi sufyan, dan Muaz bin Jabal r.a. Poligami dilakukan juga oleh ahli fiqih tabi’in, mereka mengakui orang yang menikah lebih dari satu istri, dinamakan poligami. Kesimpulannya bahwa generasi salaf (terdahulu) dan khalaf (kini) dari ummat islam telah bersepakat melalui ucapan dan perbuatan mereka bahwa poligami itu halal. Pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya diadopsi oleh ulamaulama fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki oleh suami; pertama, seorang lelaki yang ingin berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan
55
bertambahnya istri yang dinikahi. Kedua, seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Abdurahman al-Jaziri di dalam kitabnya menulis bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kewajiban bagi orang-orang yang berpoligami karena sebagai manusia wajar tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang berada di luar batas kontrol manusia. Sedangkan terdapat 1 (satu) tokoh masyarakat yang mempunyai pandangan lain terhadap poligami tersebut karena poligami merupakan jalan darurat (emergency exit), kalau sudah tidak ada jalan baru boleh melakukannya. Dan poligami harus dengan ilmu karena dengan alasan tidak mendzolimi seorang istri dan paham dengan syarat-syarat yang telah ada di dalam hukum Islam dan hukum positif. Pandangan tersebut sesuai dengan surat an-Nisa :
(#θä9θãès? ωr& #’oΤ÷Šr& y7Ï9≡sŒ 4 öΝä3ãΨ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒ ÷ρr& ¸οy‰Ïn≡uθsù (#θä9ω÷ès? ωr& óΟçFøÅz ÷βÎ*sù
...
(& :)/)
Artinya : “... kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil. Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Q.s.. An-Nisa: 3).
56
B. Analisa menurut Hukum Positif Berdasarkan analisa, hukum positif memandang pendapat tokoh masyarakat mengenai poligami adalah suatu yang positif dan baik, karena pandangan tokoh masyarakat sawangan telah sesuai, sebagaimana yang tersirat dalam undang-undang hukum positif. Sebagaimana hukum positif mengenai prosedur tatacara poligami dalam perundang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974 dan Kompilsai Hukum Islam (KHI ). 1.
Menurut pasal 3-4 UU No 1 Tahun 1974 adalah mengenai kebolehan poligami telah mengatur walau terbatas hanya sampai empat (4) istri.
2.
Menurut pasal 55-57 KHI, poligami dibolehkan.
3.
Menurut pasal 55-59, mengenai syarat-syarat utama berpoligami.
4.
Menurut pasal 5 UU No 1 Th 1974, mengenai kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya. Hal tersebut di atas sesuai dengan persepsi tokoh masyarakat sawangan
salah satunya adalah pendapat KH. Mad Budi S.Ag bahwa poligami itu diperbolehkan apabila telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam hukum positif. Jadi, menurut hukum positif pendapat tokoh masyarakat sawangan mengenai poligami, sudah sesuai dengan aturan yang berlaku dalam suatu perundang-undang perkawinan dalam berpoligami, dan tidak ada satu pun dari tokoh masyarakat yang bertentangan dari hukum positif.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah penulis menguraikan dan memaparkan data hasil penelitian pandangan tokoh masyarakat Kecamatan Sawangan terhadap poligami, maka sekiranya penulis mengambil kesimpulan beberapa point, yaitu: 1. Dari 5 (80%), 6 tokoh masyarakat menyatakan bahwa, poligami harus memperhatikan dan memenuhi syarat-syarat dalam hukum Islam. Sedangkan satu orang (20%) tokoh masyarakat mempunyai pandangan lain mengenai poligami, karena poligami suatu yang boleh dilakukan dalam kondisi darurat (emergency exit), yaitu dilakukan kalau sudah tidak ada jalan lain. 2. Menurut hukum positif pendapat tokoh masyarakat sawangan mengenai poligami, sudah sesuai dengan aturan yang berlaku dalam suatu perundangundang perkawinan, dan tidak ada satu pun dari tokoh masyarakat yang bertentangan dari hukum positif.
B. Saran-saran 1. Hendaknya seseorang suami memeliki pengetahuan dan wawasan yang luas dalam masalah perkawinan dan kehidupan suami istri, khususnya dalam etika poligami dan cara berlaku adil sebelum melakukan peraktek
57
poligami,
58
apabila di era sekarang ini banyak poligami yang melanggar terhadap ketentuan poligami dan tidak memikirkan aplikasinya. 2. Ada baiknya poligami di hindari untuk menghindari konflik atau problemproblem yang muncul, terutama bagi mereka yang merasa tidak mampu untuk berbuat adil terhadap istri-istrinya dengan munculnya berbagai masalah yang dapat mengusik ketenangan batinnya. 3. Bagi peneliti yang berminat menekuni isu poligami, sebaiknya dapat memila dan memilih dampak negatif dan positifnya dari prilaku poligami, sehingga dapat mengambil sebuah keputusan yang objektif bertendensi pada keadilan.
DAFTAR PUSTAKA Al ‘Atthar, Abdul Nasir Taufiq. Poligami ditinjau dari Segi Agama, Sosial dan Perundang – undangan. Jakarta : Bulan Bintang, 1976, cet. 1 Al Jahrani, Musfir. Poligami dari Berbagai Persepsi. Jakarta : Gema Insani Press, 1996 As Siba’I, Musthafa. Wanita diantara Hukum Islam dan Perundang – undangan. Jakarta : Bulan Bintang, 1977, cet. 1 As-Sanan, Arij Abdurrahman. Memahami Keadilan dalam Poligami. Jakarta : PT. Global Media Cipra Publishing, 2003 Dagun, Save M., Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta : LPKN, 1997 Gusmian, Islah. Mengapa Nabi Muhammad Berpoligami. Yogyakarta : Pustaka Marwa, 2007, cet 1 Haikal, Abduttawab. Rahasia Perkawinan Rasullallah SAW, Poligami dalam Islam Vs Monogami Barat. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1993, cet. 1 Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung : Pustaka Setia, 2000, cet. 1. Ibnu Rusyd, al Mujtahid, Bidayatul, Beirut : Darul fikr, tt, cet. Ke-1, jilid, 11 Jaiz, Hartono Ahmad. Wanita antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2007, cet. 1 Kamus Besar Bahasa Indonesia. Depdikbud, Jakarta : Balai Pustaka, 1996, Cet. ke- 7 Malik, Imam, al Muwatha, Muhammad Fuad Abd. al Baqi- kitab al shib, Kairo. Tt Mulia, Musdah. Islam Menggugat Poligami. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2007 ____________. Pandangan Islam tentang Poligami. Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Gender, 1999, cet. 1 Tatapangarsa, Humaidi. Hakekat Poligami dalam Islam. t.t., Usaha Nasional, t.th Thib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta : Bina Aksara, 1981 Tim Redaksi Fokusmedia, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, Bandung: Fokus Media, 2005, cet. ke-1
59
60
Titik Triwulan, Poligami Prespektif Perikatan Nikah, Jakarta : Prestasi Pustaka Raya, 2007 Tutik, Titik Triwulan. Poligami Perspektif Perikatan Nikah. Jakarta : Prestasi Pustaka, 2007, cet. 1