PANDANGAN FRONT PEMBELA ISLAM TENTANG KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
oleh: MUKHAMMAD ALI SETO ANSYURULLOH 108044100072
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/2015 M
PANDANGAN FRONT PEMBELA ISLAM TENTANG KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh MUKHAMMAD ALI SETO ANSYURULLOH NIM: 108044100072
Pembimbing
Dr. Hj. ISNAWATI RAIS, MA. NIP. 195710271985032001
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/2015 M
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi berjudul, “PANDANGAN FRONT PEMBELA ISLAM TENTANG KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011” telah diujikan dalam Sidang Munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada tanggal 07 April 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.Sy) pada Program Studi Hukum Keluarga.
Jakarta, 09 April 2015 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA NIP. 196912161996031001 PANITIA UJIAN MUNAQOSYAH 1. Ketua
: Kamarusdiana,S.Ag,.MH NIP. 197202241998031003
(.......................)
2. Sekretaris
: Sri Hidayati, M. Ag. NIP. 197102151997032002
(.......................)
3. Pembimbing
: Dr. Hj. Isnawati Rais, MA NIP. 195710271985032001
(.......................)
4. Penguji I
: Dr. JM Muslimin, MA NIP. 196808121999032014
(.......................)
5. Penguji II.
: Kamarusdiana,S.Ag,.MH NIP. 197202241998031003
(.......................)
LEMBAR KEASLIAN SKRIPSI Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 09 April 2015
Penulis
ABSTRAK Nama : Mukhammad Ali Seto Ansyurulloh (108044100072) Judul Skripsi : Pandangan Front Pembela Islam Tentang Kompilasi Hukum Islam Pasca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Organsasi masyarakat (Ormas) Front Pembela Islam (FPI) sebagai Organisasi yang berbasiskan agama senantiasa memperjuangkan semua produk Perundanganundangan yang dilahirkan oleh Negara harus sejalan dengan subtansi nilai-nilai Universal Islam dan sekurang-kurangnya Peraturan Perundang-undangan tersebut tidak bertentangan dengan Hukum Islam yang diyakini mayoritas masyarakat dan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pandangan FPI tentang kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 perlu untuk di bahas, hal ini mengingat KHI merupakan rujukan para Hakim Peradilan Agama di Indonesia dalam memutuskan berbagai persoalan Keluarga Islam. Selanjutnya upaya dan strategi yang dilakukan FPI dalam memperjuangkan status hukum KHI mengingat Inpres sudah dihapuskan dari hirarki Peraturan Perundang-undangan (sesuai Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Metode pendekatan yang dilakukan Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum Normatif, yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan, bahwa pandangan FPI terhadap status hukum KHI sebagai berikut; (a). substansi KHI itu sendiri sebenarnya sudah kuat dalam mengatur Hukum Keluarga Islam di Indonesia. (b). alangkah lebih baiknya Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI ini menjadi Undang-Undang agar kuat kedudukannya. (c). Perjuangan khusus terkait kedudukan status hukum KHI terlihat tidak menjadi priotas utama dalam agendanya. (d). upaya dan strategi FPI dalam memperjuangkan syariat Islam secara umum bisa dilihat dari jalur litigasi ataupun non-litigasi. Kata Kunci: Fron Pembela Islam (FPI), Kompilasi Hukum Islam (KHI), Undangundang Nomor 12 Tahun 2011.
KATA PENGANTAR ِن الّرَ حِيْم ِ ٰهلل الّرَحْم ِ بِسْمِ ا Alhamdulillah ‘alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat, Taufiq, dan Hidayat-Nya. Shalawat serta Salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membimbing kita menuju Akhlaq yang Mulia sampai saat ini. Tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis jumpai dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis sadar dalam penyelesaian semua ini tidak sendiri, Penulis
menyadari
akan
pentingnya
orang-orang
yang
telah
memberikan
sumbangsihnya baik lewat pemikirannya, tenaganya, dan Doa yang selalu dipanjatkan untuk saya sebagai penulis. Sehingga skripsi ini dapat diselesaikan sesuai yang diharapkan. Maka dari itu, sudah selayaknya pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada: 1.
Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
3.
Kamarusdiana, S.Ag, MH, selaku Ketua Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum, Bapak
4.
Sri Hidayati, M.Ag, selaku Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum,
5.
Dr. JM Muslimin, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik,
6.
Dr. Isnawati Rais, MA. Selaku Dosen Pembimbing yang sangat luar biasa dalam kesabarannya untuk memberikan arahan serta kritis kepada penulis, semoga Allah SWT selalu menjaga beliau dimanapun beliau berada,
7.
Para Dosen dan staf Fakultas Syariah dan Hukum yang ikut dalam kelancaran penyelesaian karya ilmiah ini.
8.
Bapak RM. H. TNI (Purn) Soeparmono dan Ibu Tuminah (alm) yang terhormat dan tercinta, yang selalu memberikan masukan dan sindiran bijak agar tetap fokus kuliah dan segera dalam penyelesaian skripsi ini, semoga Bapak dan Ibu tercinta selalu dalam perlindungan Allah SWT dan diberikan keberkahan di dunia dan di akhirat. Amin
9.
Noor Rahmawati kakak saya tercinta dan Ahmad Ghazali, MM kakak ipar saya yang tercinta, terimakasih atas kontribusi dan bimbingannya secara fisik maupun mental selama saya kuliah sampai terselesainya skripsi ini. Semoga kakak dan kakak ipar ku selalu dibimbing oleh Allah SWT serta dilimpahkan keberkahan hidup di dunia dan akhiat. Amin
10. Dr. Al Habib Muhammad Rizieq Syihab, Lc. MA selaku Imam Besar FPI yang telah banyak memberikan motivasi dan nasehat akan pentingnya Ilmu di masa muda agar terwujudnya pemuda Islam yang dapat memberikan perubahan pada Bangsa dan Negara yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Semoga beliau selalu diberikan kesehatan, perlindungan dan panjang umur oleh
Allah SWT serta tetap Istiqomah dalam perjuangan Islam di Negeri Tercinta ini. Amin 11. KH. Ustadz Ja’far, SE. Selaku sekretaris umum DPP FPI yang juga menjadi narasumber saya dalam skripsi ini, terimakasih saya untuk beliau yang berusaha menyempatkan waktunya untuk saya dapat wawancara dengan beliau. Semoga beliau dimudahkan segala urusannya, disehatkan fisiknya, dipanjangkan umurnya dan selalu dalam perlindungan Allah SWT. amin 12. Sahabat – sahabat seperjuangan, M. Daerobi (sang motivator), IBM, Gaston, Akbar, Depe, Kechot (Aroel), Atho, Gontor, Lutvy, Usman, Mawardi, Musyarofah dan sahabat-sahabat Peradilan Agama angkatan 2008 lainnya yang tidak saya sebutkan tetapi tidak mengurangi rasa hormat dan cinta saya kepada kalian, semoga apa yang kita perjuangkan selama ini dapat memberikan sesuatu yang positif kepada Agama, Bangsa dan Negara. Amin 13. Dinda Ayaa tercinta yang selalu memberikan semangat dan dukungannya pada kesempatan waktunya baik doa, tenaga, pikiran, dalam agenda saya yang menyangkut penyelesaian skripsi ini. Good Luck Ayaaa… 14. Asep Bolang, Ojan, April, Sadad, Mizan, Umam, Wahid, Daus, Benu, Ali Abubakar Alattas ketua FMI, Faruq, Eboy, Arya, Qnoy, dan teman sejawat lainnya yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu tetapi tidak mengurangi rasa hormat dan cinta saya kepada kalian semua.
Dengan rasa kerendahan hati dan minimnya ilmu yang penulis miliki, semoga karya Ilmiah ini dapat menjadi wawasan ilmu tentang pentingnya suatu ikatan hukum yang mengikat dalam sebuah produk hukum atau Undang-Undang yang menjadi aturan dalam berbangsa dan bernegara. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, dan ketidaksempurnaan hanya milik saya. Oleh karenanya, saya pribadi sangat berlapang dada dan gembira ketika ada kritik dan saran untuk saya dalam melangkah kedepan menjadi lebih baik. Sekiranya cukup sekian yang dapat penulis sampaikan. Atas segala dukungannya saya ucapkan terima kasih.
Ciputat, 09 April 2015
Penulis
DAFTAR ISI Hal. HALAMAN JUDUL ...........................................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .....................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................
iii
LEMBAR KEASLIAN SKRIPSI ......................................................................
iv
ABSTRAK ...........................................................................................................
v
KATA PENGANTAR .........................................................................................
vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................
vii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ..............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .....................................................
7
D. Metodelogi Penelitian ...................................................................
8
E. Review Terdahulu .........................................................................
12
F. Sistematika Penulisan ....................................................................
14
TEORI HUKUM TENTANG KEDUDUKAN KHI DI INDONESIA .................................................................................
15
A. Teori Hirarki Perundang-undangan di Indonesia ...........................
15
B. Teori Positivisme Hukum ..............................................................
18
C. Teori Penemuan Hukum ................................................................
22
D. Teori Kedudukan KHI dalam Hirarki Peraturan Perundang-undangan
BAB III
BAB IV
di Indonesia ....................................................................................
25
KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM ............................
28
A. Pengertian KHI...............................................................................
28
B. Latar Belakang Pembuatan KHI ....................................................
30
C. Status Hukum KHI .........................................................................
35
D. Perkembangan KHI ........................................................................
39
PANDANGAN FRONT PEMBELA ISLAM TENTANG KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM PASCA UNDANGUNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011 ...............................................
46
A. Profil dan Perjuangan FPI ..............................................................
46
B. Pandangan Front Pembela Islam Tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.......
55
C. Upaya dan Strategi FPI Dalam Peningkatan Status
BAB V
Kedudukan KHI .............................................................................
65
E. Analisis Penulis ..............................................................................
69
PENUTUP ...........................................................................................
73
A. Kesimpulan ....................................................................................
73
B. Saran-saran .....................................................................................
75
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................
77
LAMPIRAN-LAMPIRAN ..................................................................................
83
1. Surat Wawancara.............................................................................
83
2. Transkrip Hasil Wawancara ...........................................................
84
3. Permohonan Uji Meteril FPI Tentang Perkawinan ........................
90
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Ada beberapa alasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sampai saat ini penting dipergunakan, setidaknya ada dua hal yang menjadi pertimbangan. Pertama, karena KHI diterima oleh Majelis Ulama Indonesia. Kedua, Karena KHI bisa dipergunakan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan,
baik
oleh
instansi
pemerintah
maupun
masyarakat
yang
memerlukannya.1 Di samping itu, KHI sendiri menjadi pedoman bagi para hakim dilingkungan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkaraperkara yang diajukan oleh masyarakat. KHI sendiri bersifat fakultatif, yaitu ketentuan-ketentuan hukum Islam hanya sebatas instruksi presiden (Inpres) dalam Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Dari sifat fakultatif tersebut Instruksi Presiden ini tidak secara prioriti mengikat dan memaksa warga Negara Indonesia, khususnya ummat Islam di Indonesia. Dan KHI bersifat anjuran dan alternatif hukum.2 Alasan mengapa KHI itu sendiri tidak memiliki kekuatan hukum mengikat hakim Pengadilan Agama, karena KHI sebagai Inpres pasca diberlakukannya
1
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, Cet. I hal. 145
2
Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah, 2003, hal. 74.
1
2
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan tidak mengakomodir Inpres sebagai produk hukum yang mengikat. Secara implisit KHI tidak masuk dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan. Konsekuensinya sebagai produk fakultatif maka penerapannya pun akan menjadi sangat kurang maksimal. Meskipun dalam prakteknya para hakim Pengadilan Agama menggunakan ketentuan KHI sebagai salah satu dasar hukum dalam putusannya.3 Untuk itu kedudukan serta keberadaan status hukumnya harus diupayakan menjadi sebuah undang-undang yang mengikat hakim menjadi sebuah acuan hukum terapan bidang hukum keluarga di Indonesia. Dalam perkembangannya, diskursus penaikan status KHI dari Inpres menjadi Undang-Undang telah menjadi isu terhangat,4 hingga saat ini. Hal ini menjadi salah satu faktor kemunculan Rancangan Undang-Undang Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan (RUU HTPA) adalah buah upaya untuk mewujudkan hukum materil bidang perkawinan yang nantinya dapat menggantikan kedudukan serta status hukum KHI.5
3
Lihat hasil riset yang dilakukan oleh Yulkarnain H dan Andy Omara, Kompilasi Hukum Islam dalam Perspektif Hukum Perundang-undangan, dalam Jurnal Mimbar Hukum Vol. 22, No.3 Oktober 2010, hal. 628 4
Baca wacana RUU HTPA telah di bahas pada tahun 2004-hingga sekarang. Lihat http://www.tempo.co/read/news/2004/11/09/05550784/Draft-RUU-Hukum-Perkawinan-Islam-AkanDiajukan-ke-Sekneg. Diakses pada tanggal 23 Agustus 2013 Pukul 05.34 WIB 5
Abdul Ghofur Anshori, Beberapa Catatan terhadap RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan”, Makalah Seminar Nasional Apresiasi Terhadap Draft UU RI Tentang HTPA Bidang Perkawinan, (Yogyakarta: Hotel Saphir, Kamis 23 Nopember 2006), hal. 4
3
Tujuan pembentukan RUU HTPA adalah untuk menciptakan kepastian hukum bagi semua pihak yang terkait dengan masalah perkawinan dan keluarga. Selain itu juga dimaksudkan untuk melengkapi dan mengisi berbagai kekosongan hukum (rechtvacuum) yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan yang ada. Kehadiran RUU HTPA Bidang Perkawinan merupakan komplementer terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan-Peraturan pelaksanaannya. Tujuan lain adalah untuk memenuhi kebutuhan praktis badan Peradilan Agama yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa perkawinan. RUU HTPA Bidang Perkawinan nantinya akan menjadi pedoman dan mengikat para hakim sebagai dasar pertimbangan hukum dalam memutus sengketa.6 RUU HTPA yang awalnya dari wacana hingga menjadi draft RUU Prolegnas (program legislasi nasional) periode 2004-2009. Namun pasca berakhir periode tersebut, draft resmi RUU HTPA belum terlihat lagi,7 bisa dibilang tidak terdengar lagi hingga sekarang. Oleh sebab itu perlu upaya non-struktural berupa presure (tekanan) oleh masyarakat/organsisasi kepada pemerintah sangat penting, baik dilakukan oleh kalangan akademisi, praktisi, maupun Ormas Islam—yang konsen terhadap upaya penerapan syariat Islam di Indonesia, tak lain tujuannya adalah
6
Habiburrahman, Sosialisasi Publik RUU Hukum Terapan Peradilan Agama, Makalah Seminar Nasional Apresiasi Terhadap Draft UU RI Tentang HTPA Bidang Perkawinan,(Yogyakarta: Hotel Saphir, Kamis 23 Nopember 2006), hal. 3 7
Lihat lebih lengkap http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengaduan/315-beritakegiatan/4283-ketua-ma-sambut-positif-ruu-hukum-materiil-pa-bidang-perkawinan.html. Dikakses pada tanggal 23 Agustus 2013 Pukul 06.13 WIB
4
sebagai pembentuk opini publik dalam penerapan syariat Islam berupa UndangUndang. Sebagai negara hukum, Indonesia telah memberikan ruang gerak kepada publik untuk berkontribusi dalam pembuatan naskah akademik dalam sebuah Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini diatur dalam BAB XI mengenai Partisipasi Masyarakat pada Pasal 96 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa “masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan,8 artinya bahwa siapapun subjeknya (baik perorangan ataupun badan hukum) bisa memungkinkan menjadi partisipan dalam membuat peraturan perundang-undangan yang berdimensikan syariah. Perjalanan organsisasi masa seperti Muhammadiyah, NU, Persis, FPI dan organisasi lainnya—telah banyak berkontribusi dalam pembuatan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang bernafaskan syariat Islam. Di antaranya adalah NU dan Muhammadiyyah yang turut andil dalam membuat sebuah draft KHI kala itu.9 Tidak berbeda jauh dengan NU dan Muhammadiyah, FPI juga banyak melakukan presure group dan mengkampanyekan legislasi produk hukum syariat Islam di Indonesia. Salah satunya undang-undang pornografi, peraturan pelarangan
8
Pasal 96 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan 9
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, , 2006), Cet. I hal. 108
5
miras, melakukan judicial riview (uji materil), undang-undang terorisme dan banyak lagi yang lainnya. Dalam perjalanannya, organsisasi FPI sering dipandang sebelah mata yang bersifat keras dan garang, namun upaya dalam melancarkan kampanye penegakan syariat Islam di Indonesia secara tidak langsung telah berpengaruh terhadap perkembangan hukum nasional saat ini. Strategi FPI dalam mengkampanyekan syariat di Indonesia sangatlah unik seperti prinsip “NKRI Bersyariah”.10 Prinsip tersebut melahirkan nilai perjuangan FPI untuk melancarkan jika perturan perundang-undangan di Indonesia bertentangan dengan semangat syariat Islam di Indonesia, maka meski dilakukan upaya pergerakan amar makruf dengan nahi munkar. Prinsip amar makrufnya—tergambarkan dengan melakukan uji materi (judicial riview) pada kasus pencabutan Perda berasaskan Islam oleh Kemendagri (Kementrian Dalam Negeri), seperti Perda Kota Tangerang No. 7 Tahun 2005, Perda Kab. Indramayu No. 15 Tahun 2006.11 Berbeda
dengan
nasib
kedudukan
KHI,
perjuangan
FPI
dalam
mengkampanyekan atau menekan untuk meningkatkan status hukumnya seolah tidak terlihat dalam database perjuangannya. Proyeksi perjuangan FPI yang terlihat berbeda dari organisasi lainya untuk memperjuangkan status kedudukan KHI, hal ini yang
10
Habib Rizieq Syihab, Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah, (Jakarta Selatan: Suara Islam Press, 2012), hal. 23 11
Habib Rizieq Syihab, Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah, (Jakarta Selatan: Suara Islam Press, 2012), hal. 23
6
memicu penulis untuk menelusuri sekaligus menelaah lebih lanjut terkait pandangan FPI dalam memperjuangkan kedudukan KHI. Adanya permasalahan tersebut, penulis merasa perlu untuk membahas kedudukan KHI pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011, dilihat dari Organisasi FPI di Indonesia. Oleh karena itu penulis ingin melakukan penelitian dengan judul: “Pandangan Front Pembela Islam Tentang Kompilasi Hukum Islam Pasca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar terhindar dari kesalahpahaman serta ketidakjelasan masalah yang diambil penulis, maka penulis batasi terkait Pandangan FPI Tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Di mana pasca diaturnya urutan perundang-undangan di dalam pasal tersebut, kedudukan KHI tidak mengikat, artinya secara tidak langsung KHI sudah dikerdilkan dalam statusnya. Sebagai ormas Islam yang bergerak dalam memperjuangankan syariat Islam, pandangan FPI dalam status dan keudukan KHI sangatlah penting.12 Karena dari pandangan tersebut bisa dilihat paradigma perjuangan FPI sebagai presure group dan kampanye syariat Islam di Indonesia. Sesuai AD/ART Pasal 6
12
Partisipasi masyarakat untuk membuat rancangan UU mendapat haknya lihat Pasal 96 ayat (1) UU NO. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
7
tentang Visi dan Misi Front Pembela Islam dalam penerapan Syariat Islam secara Kaffah. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan pada uraian diatas, permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimana profil dan perjuangan Front Pembela Islam dalam menegakkan syariat Islam? b. Bagaimana pandangan Front Pembela Islam terkait kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca terbitnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011? c. Upaya dan strategi apa saja yang akan dilakukan Front Pembela Islam dalam memperjuangkan status hukum KHI? d. Sejauhmana perjuangan Front Pembela Islam dalam mengupayakan syariat Islam relevansinya terhadap kedudukan Kompilasi Hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dalam skripsi ini tak lain, yaitu: a. Mengetahui profil dan perjuangan Front Pembela Islam dalam menegakkan syariat Islam b. Mengetahui pandangan Front Pembela Islam terkait kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca terbitnya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011
8
c. Mengetahui Upaya dan strategi apa saja yang akan dilakukan Front Pembela Islam dalam memperjuangkan status hukum KHI d. Mengetahui
sejauhmana
perjuangan
Front
Pembela
Islam
dalam
mengupayakan syariat Islam relevansinya terhadap kedudukan Kompilasi Hukum Islam 2. Manfaat Penelitian a) Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka menambah khazanah ilmu pengetahuan hukum Islam, terutama pembahasan pandangan FPI terhadap penerapan syariat Islam di Indonesia. b) Praktis Penelitian ini bermanfaat bagi akademisi, legal drafter, hakim, mahasiswa, dan khususnya para penggiat kajian keilmuan politik hukum Islam. Sebagai acuan dalam memahami politik hukum Islam dan sebagai sumbangan pikiran dari peneliti bagi kerangka pembangunan hukum Islam yang berkarakter Indonesia yang berkembang sesuai dengan zaman dan tempat (relevan).
D. Metode Penelitian Adapun metode dan jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian library research. Yakni penelitian pandangan hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dengan didasari data primer data dan data sekunder.
9
a. Jenis Penelitian dan Pendekatan Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji, menganalisa buku-buku, literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini menggunakan: Pendekatan konseptual13 (conseptual approach) Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandang dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu politik hukum. Dengan mempelajari pandangan dan dokrtin politik hukum Islam, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian umum terkait perjuangan FPI, konsep dan strategi politik hukum yang digunakan oleh FPI ketika melihat beberapa hukum Islam belum dipositifisasi (diundangkan), dalam hal ini bagaimana FPI memandang kedudukan KHI.
b. Sumber Data Sumber Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bahan hukum primer yaitu bahan-bahan mengikat yakni, buku-buku tentang FPI, seperti karya Habib Rizieq Syihab, Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah, (Jakarta Selatan: Suara Islam Press, 2012). Kemudian
buku Habib Rizieq
tentang “Hancurkan Liberalisme tegakan Syariat Islam, (Jakarta Selatan: Islam Press, 2013). Dan terkahir Syahrul Efendi dan Yudi Pramuko, Habib-FPI
13
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana, 2011), cet. 7, h. 137
10
Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko Publisher, 2006 M/1427 H). Selain dari Data Primer juga dapat diperoleh dari hasil wawancara kepada para pihak yang terkait dengan FPI. Adapun sumber data sekunder lainnya yaitu bahan-bahan hukum/politik hukum lainnya yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer yang terdiri dari atas buku-buku yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh, maupun ahli politik hukum Islam, jurnal-jurnal politik hukum, pendapat para sarjana,14 Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti webset resmi FPI yaitu http://fpi.or.id, encyclopedia, dan lain-lain.15
c. Teknik Pengumpulan Sumber Hukum Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut: 1. Metode Interview Wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara lansung. Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak berfungsi sebagai pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain baerfungsi sebagai
14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13. 15
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, hal. 296.
11
pemberi informasi atau informan (responden).16 Proses wawancara ini akan diajukan kepada pihak yang terkait dalam skripsi ini, dalam hal ini Sekertaris Umum FPI yaitu Ust. Ja’far Shidiq, S.E, untuk dimintai pandangan serta pendapatnya dalam memaknai perjuangan syariat Islam yang korelasinya dengan KHI (kompilasi Hukum Islam), serta pandangan status hukum KHI. 2. Metode Dokumentasi Metode Dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.17
d. Teknik Analisis Data Adapun analisis terkait judul skripsi merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah. Pada penelitian ini, pengelolahan bahan studi analisis hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan yang telah ada. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi amupun hipotesa. Analisis terkait skripsi ini dengan mempergunakan antara lain:
16 17
hal. 201.
Soemitro Romy H. Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 71. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat,
12
a) Mengumpulkan hasil wawancara beserta analisis buku-buku mengenai FPI terhadap Penerapan Syariat Islam di Indonesia. b) Adapun yang terakhir merupakan hasil analisis penulis terkait Pandangan FPI Tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011. e. Teknik Penulisan Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
E. Review Terdahulu Mengenai studi riview terdahulu yang penulis dapati dari beberapa judul yang bersangkutan dengan skripsi penulis adalah: Eva Nailufar, FPI Sebagai Gerakan Sosial Keagamaan di Indonesia, Jakarta: Fakultas Ushuluddin-UIN Syarif Hidayatullah, 2006. Dalam skripsi ini membahas mengenai FPI sebagai gerakan sosial keagamaan yang mempunyai andil dalam perjuangan syariat Islam di Indoensia, skripsi ini pula dibahas mengenai FPI sebagai gerakan agama yang mana dalam melancarkan konsep amar ma’ruf nahi munkar sering diidentikan sebagai kelompok anarkis karena ketegasannya dalam memerangi kemaksiatan dan sesuatu yang diluar dimensi syariat Islam. FPI hadir sebagai respon umat islam yang merasa selalu diperlakukan tidak adil bagi oknum penguasa saat itu
13
(rezim orde baru). Secara spesifik, skripsi ini membahas mengenai bentuk-bentuk gerak sosial keagamaan yang diusung oleh FPI untuk menjaga serta menegakan nilainilai amar ma’ruf nahi munkar dalam ruang masyakat berdimensi pluralis. Secara metodelogis skripsi ini pula menggunakan metode kualitatif yaitu dengan menggunakan penelusuran variable yang ditelusuri yaitu gerak social keagamaan FPI, dan yang kedua menggunakan teknik wawancara (interview) kepada pihak yang dianggap berwenang serta mengetahui persoalan. Adapun tempat penelitian yang ditelusuri yaitu bertempat di Mabes DPP FPI. Kesimpulannya yaitu terdapat perbedaan penelusuran yang penulis teliti dengan judul skripsi ini. Review terdahulu yang kedua adalah Syahrul Efendi D, Front Pembela Islam (FPI) dan Perjuangan Pemberlakuan Syariat Islam di Indonesia. Jakarta: PTIQ Jakarta: 2002. Skripsi ini membahas pada aspek relasional FPI—sebuah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang terkenal dengean jargon gerakannya, pemberantas kemaksiatan—dengan isu pemberlakuan syariat Islam yang lazimnya merupakan bagian kerja perjuangan sebuah partai politik, dalam hal ini partai politik Islam. Serta penelusuran terhadap konstruk hubungan antara FPI dengan perjuangan syariat Islam di Indonesia. Adapun metode yang digunakan dalam skripsi adalah pengamatan lapangan (field research), wawancara (interview) dengan sumber yang yang bersangkutan. Kesimpulannya adalah bahwa dalam skripsi ini penelusuran lebih ditekankan pada aspek relasi antara FPI dengan Penegakan Syariat Islam, sedangkan skripsi yang penulis telusuri yaitu terkait dimensi perdata (ahwal al-syaksiyyah) dalam hal ini KHI sebagai produk hukum Islam Indonesia.
14
F. Sistematika Penulisan Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masingmasing bab terdiri atas beberapa sub-bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai berikut. Bab I membahas Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Terdahulu dan terakhir Sistematika Penulisan. Bab II membahas tentang Teori Hukum Tentang Kedudukan KHI
di
Indonesia terdiri dari sub Teori Hirarki Perundang-undangan di Indonesia, Teori Positivisme Hukum, Teori Penemuan Hukum dan Teori Kedudukan KHI dalam Hirarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Bab III membahas tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam, di mana sub pembahasannya yaitu Pengertian KHI, Latar Belakang Pembuatan KHI, Status Hukum KHI dan Perkembangan KHI. Bab IV, pada bab ini penulis Profil dan Perjuangan FPI, Pandangan Front Pembela Islam Tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Upaya dan Strategi FPI Dalam Peningkatan Status Kedudukan KHI dan terakhir Analisis Penulis. Bab V adalah penutup, seperti biasa membahas kesimpulan-kesimpulan yang didapati dari hasil analisis skripsi ini. Dan yang kedua adalah saran-saran.
BAB II TEORI HUKUM TENTANG KEDUDUKAN KHI DI INDONESIA
A. Teori Hierarki Perundang-Undangan Dalam tataran pembentukan peraturan perundang-undangan dikenal teori jenjang hukum (Stufentheorie) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen. Dalam teori tersebut Hans Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjangjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) dalam arti suatu norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).1 Norma Dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang merupakan gantungan bagi norma-norma yang berada di bawahnya, sehingga suatu Norma Dasar itu dikatakan pre-supposed.2 Menurut Hans Kelsen suatu norma hukum itu selalu bersumber dan berdasar pada norma yang di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu juga 1
Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang (Jakarta: Tp, 2010),
hal. 27 2
Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 41
15
16
menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (Norma Dasar) itu menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, sehingga apabila Norma Dasar itu berubah akan menjadi rusaklah sistem norma yang ada di bawahnya.3 Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen mengembangkan teori gurunya tentang jenjang norma dalam kaitannya dengan suatu negara. Hans Nawiasky mengatakan suatu norma hukum dari negara manapun selalu berlapislapis dan berjenjang-jenjang. Norma yang di bawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada suatu norma yang tertinggi yang disebut Norma Dasar. Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, dan pengelompokan norma hukum dalam suatu negara itu terdiri atas empat kelompok besar antara lain: 1. Kelompok I
: Staatsfundamentalnorm(Norma Fundamental Negara);
2. Kelompok II
: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Aturan Pokok Negara);
3. Kelompok III
: Formell Gesetz (Undang-Undang / Formal);
3
Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 42
17
4. Kelompok
IV
:Verordnung
&
Autonome
Satzung (Aturan
pelaksana/Aturan otonom).4 Menurut Hans Nawiasky, isi staats fundamentalnorm ialah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau undang-undang dasar dari suatu negara (Staatsverfassung), termasuk norma pengubahannya. Hakikat hukum suatu Staats-fundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu konstitusi atau undang-undang dasar. Ia ada terlebih dulu sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.5 Selanjutnya Hans Nawiasky mengatakan norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staats grundnorm melainkan staats fundamental norm atau norma fundamental negara. Untuk lebih jelasnya hirarki hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini menggunakan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut Pasal 7 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan:6 1. UUD 1945, merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundangundangan. UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia 4
Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang (Jakarta: Tp, 2010),
hal. 28 5
Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hal. 46 6
Pasal 7 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
18
2. Ketetapan MPR 3. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 4. Peraturan Pemerintah (PP) 5. Peraturan Presiden (Perpres) 6. Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Nanggroe Aceh Darussalam, serta Perdasus dan Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.
B. Teori Posivisme Hukum Kajian terhadap positivisme hukum di Indonesia menjadi sangat penting selain dari pada melihat perdebatan-perdebatan yang berakar pada soal pilihan aliran (teori) hukum mana yang baik atau yang kurang tepat diterapkan di Indonesia. Hal ini setidaknya dikarenakan adanya pandangan yang menyatakan, bahwa di dalam pengaruh paradigma positivisme,para pelaku hukum menempatkan diri dengan cara berpikir dan pemahaman hukum secara legalistik positivis dan berbasis peraturan (rule bound) sehingga tidak mampu menangkap kebenaran, karena memang tidak mau melihat atau mengakui hal itu. Dalam ilmu hukum yang legalitis positivistis, hukum hanya dianggap sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Dalam konteks hukum Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang masih
19
dominan, termasuk kategori “legisme”nya Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme” melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi.7 Munculnya gerakan positivisme mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai bidang ilmu tentang kehidupan manusia. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan. Menurut para pakar, positivisme adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang beranggapan bahwa teori hukum itu hanya bersangkut paut dengan hukum positif saja. Ilmu hukum tidak membahas apakah hukum positif itu baik atau buruk, dan tidak pula membahas soal efektivitas hukum dalam masyarakat. Pemikir positivisme hukum yang terkemuka adalah John Austin (1790-1859) yang berpendirian bahwa hukum adalah perintah dari penguasa. Hakikat hukum sendiri menurut Austin terletak pada unsur “perintah” (command).8 Menurut Austin hukum adalah peraturan-peraturan yang berisi perintah, yang diperuntukkan bagi makhluk yang berakal dan dibuat oleh makhluk yang 7
Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum: Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Cet. Ke-4, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005), hal. 60 8
John Austin, The Province Of Jurisprudence, dalam Darji Darmodiharjo, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 2004), hal 114
20
berakal yang mempunyai kekuasaan terhadap mereka itu. Jadi, landasan dari hukum adalah “kekuasaan dari penguasa”. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), dimana keputusan-keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan nilai-nilai yang baik atau buruk. Karakteristik hukum yang terpenting menurut Austin terletak pada karakter imperatifnya. Hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Akan tetapi tidak semua perintah oleh Austin dianggap sebagai sebagai hukum, menurut pandangannya hanya oleh perintah-perintah umum yang mengharuskan seseorang atau orang-orang untuk bertindak untuk menaati hukum tersebut. Kata kunci dalam hukum menurut Austin adalah perintah yang diartikan perintah umum dari entitas politik yang memiliki kedaulatan, yakni otoritas politik yang paling tinggi (the supreme political authority), yang berfungsi mengatur perilaku anggota masyarakat. Yang memiliki kedaulatan ini mungkin individu atau juga sekelompok individu. Syaratnya : (1) individu atau kelompok individu merupakan orang atau sekelompok orang yang dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat; dan (2) individu atau kelompok individu yang berdaulat ini tidak patuh pada siapa pun juga di atasnya. Jadi sumber hukum menurut Austin, adalah penguasa teringgi yang de facto dipatuhi oleh segenap anggota masyarakat sementara ia sendiri tidak tunduk pada siapa pun.
21
Jika mengacu pada apa yang dikatakan oleh Austin maka menurut Huijbers ada dua hal yang patut dicatat, yaitu sebagai berikut: a) Bidang yuridis mendapat tempat yang terbatas, yaitu menjadi unsur negara. Wilayah hukum bertepatan dengan wilayah suatu negara. b) Hukum mengandung arti kemajemukan sebab terdapat beberapa bidang hukum di samping negara, walaupun bidang-bidang itu tidak mempunyai arti hukum dalam arti yang penuh. Hukum dalam arti yang sesungguhnya adalah hukum yang berasal dari negara dan yang dikukuhkan oleh negara. Hukum-hukum lain dapat disebut hukum, tetapi tidak memiliki arti yuridis yang sesungguhnya.
Dapat disimpulkan bahwa positivisme hukum hadir memberikan jawaban atas aspek kepastian hukum. Ini tentumenghindari adanya disparitas atas memandang sebuah kejahatan sertastandar nilai yang sama untuk menjawab sebuah
persoalan.
Hans
Kelsen
dalampandangan
hukumnya
berhasil
“mematematiskan” rumusan sebuah aturan hukumdalam bentuk, subjek hukum ditambah bentuk kesalahan yang menghasilkan adanyahukuman. Meskipun, sampai saat ini, ini merupakan sebuah cara yang jelas sangatberguna yang dapat digunakan oleh para praktisi atau analis hukum untukmengidentifikasi pokok persoalan dari penyelidikannya tetapi ia mengarahkanmenjauh dari gagasan bahwahukum itu terdiri dari proses-proses yang terkaitdengan manusia.9
9
hal. 13
Roger Cotterrell, Sosiologi Hukum, ed. Terjemahan, (Bandung: Nusa Media, 2012),
22
Dalam paradigma postivistik sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan
bagi
masyarakat,
melainkan sekedar melindungi
kemerdekaan individu (person). Kemerdekaan individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan demi kepastian, maka keadilan dan kemanfaatan boleh diabaikan. Pandangan positivistik juga telah mereduksi hukum dalam kenyataannya sebagai pranata pengaturan yang kompleks menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik dan deterministik. Hukum tidak lagi dilihat sebagai pranata manusia, melainkan hanya sekedar media profesi. Akan tetapi karena sifatnya yang deterministik, aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi tertib masyarakat merupakan suatu keharusan dalam positivisme hukum.
C. Teori Penemuan Hukum Dalam praktek tidak jarang dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas. Memang tidak ada hukum atau perundang-undangan yang sangat lengkap atau jelas sejelas-jelasnya. Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah
23
dan jenisnya. Disamping itu kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya. Dengan demikian, pada hakekatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Menurut Sudikno Mertokusumo, berpendapat bahwa penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristwa-peristiwa hukum yang
konkret.
Dengan
kata
lain,merupakan
proses
konkretisasi
atau
individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu. Yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukum untuk peristiwa kongkret.10 Sistem Penemuan Hukum, pada dasarnya penemuan hukum tetap harus mendasarkan pada sistem hukum yang ada. Penemun hukum yang semata-mata mendasarkan pada undang-undang saja yang disebut sistem oriented. Penemuan hukum pada dasarnya harus sistem oriented, tetapi apabila sistem tidak
10
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:Liberty, 1996), hal..36
24
memberikan solusi maka sistem harus ditinggalkan dan menuju problem oriented.
Latar
belakang
timbulnya
problem
oriented
yaitu
adanya
kecenderungan masyarakat pada umumnya yang membuat undang-undang lebih umum, sehingga dengan sifat umum itu hakim mendapat kebebasan lebih. Adapun Sumber-sumber penemuan hukum itu sendiri dalam secara hierarkhi dimulai dari:11 a. Peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) b. Hukum tidak tertulis (kebiasaan) c. Yurisprudensi d. Perjanjian internasional e. Doctrine (pendapat para ahli hukum) f. Putusan desa g. Perilaku manusia Jadi ada hierarkhi atau tingkatan-tingkatan dari atas kebawah dalam memposisikan sumber hukum. Hierarkhi ini juga menentukan sumber hukum utama yang digunakan antara sumber hukum satu dengan yang lainnya.
11
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:Liberty, 1996), hal. 104
25
D. Teori Kedudukan KHI dalam Hirarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Untuk mengetahui kedudukan KHI dalam peraturan perundangan maka harus diketahui status Instruksi Presiden dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, karena instrumen hukum yang digunakan KHI adalah Instruksi Presiden No 1/1991. Di sini penulis akan mengkaji dan menganalisis terlebih dahulu Instruksi Presiden No 1/1991 dari sudut pandang norma hukum untuk mengetahui apakah Instruksi Presiden No 1/1991 ini termasuk norma hukum dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Kaitannya dengan Instruksi presiden dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa instruksi presiden tidak masuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia seperti yang telah dijelaskan di atas pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Namun dalam pasal 8 ayat (2) dikatakan: Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.12 Permasalahnya adalah dalam pasal 15 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dikatakan bahwa: Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya
12
Pasal 8 ayat (1) Undang-undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
26
dapat dimuat dalam: a) Undang-Undang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.13 Sedangkan dalam KHI sendiri (inpres) muatan isinya terdapat berupa aturan yang memaksa dan berisikan tentang pidana terkait perkawinan, kewarisan dan perwakafan.14 Artinya KHI telah melanggar substansi UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Perundang-undangan. Menurut beberapa ahli, antara Inpres (instruksi presiden) dan Kepres (keputusan Presiden) memiliki perbedaan. Jika keputusan presiden (Keppres) yang sifatnya mengatur harus dimaknai sebagai peraturan. Ini berarti bahwa keputusan presiden yang sifatnya mengatur dipersamakan dengan peraturan presiden (Perpres), yang mana peraturan presiden itu sendiri masuk ke dalam hierarki peraturan perundang-undangan.15 Jimly Asshiddiqie di dalam bukunya yang berjudul Perihal UndangUndang, mengatakan bahwa jika subjek hukum yang terkena akibat keputusan itu bersifat konkret dan individual, maka dikatakan bahwa norma atau kaedah hukum yang terkandung di dalam keputusan itu merupakan norma hukum yang bersifat individual-konkret. Tetapi, apabila subjek hukum yang terkait itu bersifat
13
Pasal 15 ayat (1) Undang-undang No. 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 14
15
Lihat Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
Hukum Online, Perbedaan Keputusan Presiden dengan Instruksi Presiden, lebih lengkap: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50cf39774d2ec/perbedaan-keputusanpresiden-dengan-instruksi-presiden. diakses pada tanggal 08 Maret 2015 Pukul 06:00
27
umum dan abstrak atau belum tertentu secara konkret, maka norma hukum yang terkandung di dalam keputusan itu disebut sebagai norma hukum yang bersifat abstrak dan umum. Keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak itu biasanya bersifat mengatur (regeling), sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) ataupun keputusan yang berupa vonis hakim yang lazimnya disebut dengan istilah putusan.16 Berdasarkan uraian di atas, dapat kita lihat bahwa instruksi presiden hanya terbatas untuk memberikan arahan, menuntun, membimbing dalam hal suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Sedangkan keputusan presiden, ada yang bersifat mengatur (regeling) yang dipersamakan dengan peraturan presiden) dan ada yang bersifatnya menetapkan (beschikking).
16
Hukum Online, Perbedaan Keputusan Presiden dengan Instruksi Presiden, lebih lengkap: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50cf39774d2ec/perbedaan-keputusanpresiden-dengan-instruksi-presiden. diakses pada tanggal 08 Maret 2015 Pukul 06:00
BAB III KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM
A. Pengertian KHI Sebelum membahas lebih jauh mengenai Kompilasi Hukum Islam (KHI), penulis akan menjelaskan terlebih dahulu tentang pengertian KHI, yang merupakan terdiri dari tiga susunan kata benda yaitu Kompilasi, Hukum dan Islam. Melihat tiga suku kata tersebut diperlukan penjelasan lebih lanjut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang disusun oleh Depdikbud RI, Kompilasi berarti kumpulan yang tersusun secara teratur.1 Menurut para ahli seperti Abdurrahman, yang dimaksud dengan kompilasi menurut bahasa adalah kegiatan pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai buku/tulisan mengenai suatu persoalan tertentu. Pengumpulan bahan dari berbagai sumber yang dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk ditulis dalam suatu buku tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah.2 Sedangkan kata Hukum menurut Muhammad Daud Ali terambil dari bahasa arab, yang artinya kaidah atau norma atau pedoman penilaian terhadap
1
Depdikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesi, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 453
2
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2007), Cet V, hal. 7
28
29
suatu perbuatan manusia dan benda.3 Adapun kata Islam sering digandengkan dengan kata Hukum, jadi bisa dipastikan bahwa kata Islam dari ketiga suku kata di atas merupakan sebuah kata sifat dari hukum. Bila digandengkan antara hukum dan Islam sering dimaknai dengan pengertin fiqh, bisa disimpulkan bahwa Hukum Islam adalah satu perangkat berupa peraturan, tuntutan, pilihan ataupun penetapan dari Allah SWT (sebagai mutsbit/penetap) dan Rasul-Nya (sebagai mukhaarij/pemuncul) yang diambil dari nash (Al-Qur’an dan AsSunnah) dan ghairu nash (hasil ijtihad) demi kemaslahan umat manusia.4 Adapun KHI yang telah ditetapkan dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tidak menyebutkan secara tegas pengertian Kompilasi Hukum Islam yang dimaksud, Akan tetapi KHI diartikan sebagai himpunan atau kumpulan tentang hukum Islam yang diambil dari berbagai buku-buku hukum Islam (fiqh) yang dibuat oleh ulama dan para pakar hukum Islam yang berbeda yang tersusun secara teratur dan sistematis.5 Sedangkan menurut H. Busthanul Arifin seperti yang dikutip Marzuki Wahid dan Rumadi memberikan pengertian KHI adalah dengan cara mengumpulkan pendapat-pendapat dalam masalah fiqh yang selama ini dianut
3
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996), hal. 39 4
Lihat Skripsi Muhamad Daerobi, Kesaksian Perempuan Menurut Perspektif Hukum Islam, (Fakultas Syariah UIN Jakarta: Jakarta, 2013), hal. 22 5
Lihat Skripsi Nuryamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia, (Fakultas Syariah: UIN Malang, 2009), hal. 37
30
oleh umat Islam Indonesia. Hasil akhir dari upaya pengumpulan ini diwujudkan dengan bentuk kitab hukum dengan bahsa undang-undang. Kitab inilah yang nanti menjadi dasar bagi seiap putusan peradilan agama.6
B. Latar Belakang Pembuatan KHI Dalam catatan sejarah, upaya untuk kodifikasi, kompilasi maupun unifikasi hukum Islam menjadi hukum positif Negara sebenarnya telah ada dan menjadi pemikiran para ahli fikih sejak perkembangan awal hukum Islam.7 Tercatat beberapa Negara yang notabene-nya beragama Islam menggunakan asas maupun dasar perundang-undangannya berupa positipisasi pendapat fiqh yang terambil dari beragam mazhab. Begitu pula dengan Indonesia, KHI Lahir merupakan bentuk ijtihad ulama Indonesia yang sebelumnya—acuan dalam memutuskan sebuah perkara di beberapa pengadilan terjadi ketidakseragaman putusan para hakim kala itu. Oleh karena itu, pembuatan KHI adalah adanya ketidakseragaman pendapat ulama ataupun hakim. Maka diperlukan penyatuan pendapat dalam bentuk sebuah compendium atau berbentuk kompilasi. Seperti yang dijelaskan di atas, keinginan masyarakat muslim untuk membentuk hukum Islam secara tertulis sudah ada sejak lama, yakni sejak terbentuknya
peradilan
agama
yang
mempunyai
kewenangan
untuk
6
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Hukum Islam Di Indonesia, (Yogyakarta: LKiS, Cet I, 2001), 142. 7
Lihat makalah wakil ketua Pengadilan Agama Siduarjo: Abd. Salam, lihat lebih lengkap Latar Belakang Sosio-Historis dan Politis Pembuatan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Tp: Siduarjo, Tt), hal. 3
31
menyelesaikan masalah-masalah hukum keluarga. Pada waktu itu kitab-kitab hukum yang digunakan rujukan oleh para hakim untuk pengambilan putusan sangat banyak dan beragam yang mengakibatkan putusannya pun menjadi beragam pula. Sehingga tidak tercapai suatu kepastian hukum.8 Pada zaman VOC kedudukan hukum Islam dalam bidang kekeluargaan diakui bahkan dikumpulkan dalam sebuah kumpulan peraturan yang dinamakan Compendium Freyer. Dan ketika itu telah pula dibuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar.9 Dalam perjalanan sejarahnya sekalipun pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kewarisan dari kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Madura, hukum Islam secara de facto tetap menjadi pilihan umat Islam di Jawa dan Madura dalam menyelesaikan masalah kewarisannya melalui Pengadilan Agama. Setelah Indonesia merdeka, kenyataan yang ada adalah hukum Islam yang berlaku itu berserakan diberbagai kitab fikih dengan pendapat yang beragam. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 dan UU. Nomor 32 Tahun 1954 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak akan adanya kesatuan dan kepastian hukum dalam pencatatan nikah, talak, dan rujuk umat Islam. Menindaklanjuti keadaan tersebut, pada tahun 1958 dikeluarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 tentang 8
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. I hal. 116
9
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. I hal. 108
32
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah diluar Jawa dan Madura. Dalam Surat Edaran tersebut, pada huruf b ditegaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutuskan perkara, maka kepada hakim Pengadilan Agama dianjurkan menggunakan 13 kitab hukum Islam, yakni Al Bajuri, Fathul Mu’in, Syarqawi Alal Tahrier, Qalyubi/Mahalli, Fathul Wahab dengan Syarahnya, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawaninus Syariah Lis Sayid Usman bin Yahya, Qawanin Syar’iyah Lis Sayid Sadaqah Dakhlan, Syamsuri Fil Faraidl, Bughyatul Musytarsyidin, Al Fiqhul Ala Madzahibil Arba’ah, Mughnil Muhtaj.10 Adapun proses penyusunan KHI ini di laksanakan oleh sebuah Tim Pelaksana Proyek yang ditunjuk berdasarkan SKB ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam Melalui Yuriprudensi dan di dukung oleh Keputusan Presiden No. 191/1985 Tanggal 10 Desember 1985. Di dalam SKB tersebut ditentukan Tim Pelaksana Proyek, jangka waktu, tata kerja, dan biaya yang digunakan.11 Dalam tata kerja Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dijelaskan bahwa tugas pokok proyek adalah melaksanakan usaha 10
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, , 2006), Cet. I hal.
117 11
Lihat Nurzamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Peraturan PerundangUndangan Negara Republik Indonesia, (Malang: UIN Malang., 2009), hal. 46
33
Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dengan jalan Kompilasi Hukum Islam. Sasarannya mengkaji kitab-kitab yang digunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju hukum nasional. Untuk menyenggarakan tugas pokok tersebut, maka Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprudensi dilakukan dengan cara: a. Pelaksana Bidang Kitab/Yurisprudensi:
Pengumpulan dan sistematisasi dari dalil-dalil dan kitab-kitab kuning
Ktab-kitab kuning dikumpulkan langsung dari imam-imam mazhab dan syarah-syarahnya yang mempunyai otoritas, terutama di Indonesia.
Menyusun
kaidah-kaidah
hukum
dari
imam
mazhab
tersebutdisesuaikan degan bidang-bidang hukum menurut ilmu hukum umum.12 b. Pelaksana Bidang Wawancara: Melakukan wawancara terhadap beberapa antara lain:
Took-tokoh ulama yang dipilih
Ulama
yang
berpengalaman
dipilih cukup
adalah dan
yang
benar-benar
berwibawa.
Juga
diperkirakan diperhitungkan
kelengkapan geografis dari jangkauan wibawanya; dan 12
116
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, , 2006), Cet. I hal.
34
Wawancara dilaksanakan berdasarkan pokok-pokok penelitian yang disiapkan TIM INTI.13
c. Pelaksana Bidang Pengumpulan dan Pengolahan Data
Mengelola dan menganalisis lebih lanjut hahsil dari pengolahan kitabkitab dan wawancara;
Menyusun dalam buku pedoman yang dapat dpakai bagi para hakim dalam melaksanakan tugas;
Untuk memantapkan pedoman tersebut terlebih dahulu dikaji dengan melalui lokakarya.14
d. Studi perbandingan Untuk memperoleh sistem/kaidah-kaidah hukum/seminar-seminar satu sama lain dengan jalan memperbandingkan dari negara-negara islam lainnya. Sejalan dengan apa yang di kemukakan diatas, maka pelaksanaan penyusunan kompilasi ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: 1) Tahap I: tahap persiapan 2) Tahap II: tahap pengumpulan data, melalui:
13
jalur ulama
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, , 2006), Cet. I hal.
116 14
Tim Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama, Tahu 1991/1992, hal. 143
35
jalur kitab-kitab fiqh
jalur yurisprudensi peradilan Agama
jalur studi perbandingan di negara-negara lain khususnya di negara-negara Timur Tengah.
3) Tahap III: tahap penyusunan rancangan Kompilasi Hukum Islam dari data-data tersebut. 4) Tahap IV: tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukanmasukan akhir dari para ulama/cendikiawan muslim seluruh indonesia yang di tunjuk melalui loka karya.15
C. Status Hukum KHI Secara sosiologis, kompilasi yang bersubtansi hukum Islam itu jelas merupakan produk keputusan politik. Instrument hukum politik yang digunakan adalah Inpres no.1 tahun 1991. Selain formulasi hukum Islam dalam tata hukum Indonesia, KHI bisa disebut sebagai representasi dari sebagian substansi hukum material Islam yang dilegislasikan oleh penguasa politik pada zaman orde baru.16 Dengan demikian KHI mempunyai kedudukan yang penting dalam tata hukum Indonesia, karena selain bersifat nisbi, KHI dengan segala bentuknya, kecuali ruh hukum Islamnya, merupakan cerminan kehendak sosial para 15
(Jakarta: CV. Akademika
16
Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hal.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Pressindo Cet V, 2007), hal. 36-37
144
36
pembuatnya. Kehadiranya dengan demikian sejalan dengan motif-motif sosial, budaya dan politik tertentu dari pemberi legitimasi, dalam hal ini rezim politik orde baru. Perkembangan
konfigurasi
politik
senantiasa
mempengaruhi
perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik tertentu senantiasa melahirkan produk hukum yang memiliki karakter tertentu. Konfigurasi politik yang demokratis
senantiasa
melahirkan
hukum-hukum
yang
berkarakter
responsive/populistik, sedangkan konfigurasi politik otoriter senantiasa akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks.17 Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakter-karakter politik hukum Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan membawa konsekuensi untuk memperbincangkan kembali diskursus hukum agama dan hukum Negara di dalam wadah Negara Pancasila. Keberadaan hukum islam harus diselaraskan dengan visi pembangunan hukum yang dicanangkan Negara. Disini lalu terjadi proses filterisasi terhadap materi hukum Islam oleh Negara. Dengan demikian, secara ideologis KHI berada pada titik tengah antara paradigma agama dan paradigma Negara. Dalam paradigm agama, hukum Islam wajib dilaksanakan oleh Umat Islam secara kaffah, tidak mengenal ruang dan waktu. Penerapannya dalam kehidupan social menjadi misi agama yang suci. Dengan kata lain bahwa hukum Islam berada dalam penguasaan hukum Negara 17
Lihat disertasi Moh. Mahfud MD, Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum, (Ilmu Hukum di Program Pascasarjana UGM: Yogyakarta, 1993).hal. 675
37
dengan mempertimbangkan pluralitas agama, etnis, ras dan golongan. Hasil interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu merupakan wujud nyata politik Negara terhadap hukum islam di Indonesia. Karena itu KHI merupakan satusatunya hukum materiil Islam yang memperoleh legitimasi politik dan yuridis dari Negara.18 Terpilihnya Instrumen hukum Intruksi Presiden sebagai justifikasi yuridis formal diberlakukannyai Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menunjukan sesuatu yang dilematis; pada satu segi, pengalaman implementasi program legislative nasional memperlihatkan kemampuan Intruksi Presiden berlaku efektif disamping instrument hukum lainnya; dan pada segi lain Intruksi Presiden tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam diktum Inpres Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991 tersebut, tidak dijelaskan secara tegas mengenai kedudukan Kompilasi Hukum Islam. Akan tetapi Intruksi Presiden tersebut hanya berisi intruksi untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam. Untuk mengetahui kedudukan KHI dalam peraturan perundangan maka harus diketahui dulu kedudukan Instruksi Presiden dalam peraturan perundangundangan, karena instrumen hukum yang digunakan KHI adalah Instruksi Presiden No 1/1991. Di sini penulis akan mengkaji dan menganalisis terlebih dahulu Instruksi Presiden No 1/1991 dari sudut pandang norma hukum untuk
18
Lihat http://daway1982.blogspot.com/2011/06/blog-post.html. diakses pada tanggal 2 Oktober 2013 Pukul 02. 30
38
mengetahui apakah Instruksi Presiden No 1/1991 ini termasuk norma hukum dalam peraturan perundang-undangan atau tidak. Dari kesimpulan yang didapat dari hasil penelusuran bahwa status hukum atau kedudukan KHI sebagai Inpres No. 1 Tahun 1991—dalam hirarki peraturan perundang-undangan Indonesia terdapat 4 bentuk, yaitu: a) Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 KHI mempunyai kedudukan yang sama atau setingkat dengan Peraturan Menteri. b) Berdasarkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 mulai kehilangan arah pijakan status hukum KHI yang berujung tidak diakuinya kedudukan Instruksi Presiden dalam hirarki peraturan perundang-undangan. c) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 KHI tidak mempunyai kedudukan dalam hirarki peraturan perundang-undangan.19 d) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 KHI tidak mempunyai kedudukan dalam hierarki peraturan perundang-undangan pula. Jadi KHI sebagai instruksi presiden hanya terbatas untuk memberikan arahan, menuntun, membimbing dalam hal suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan. Sedangkan keputusan presiden, ada yang bersifat mengatur (regeling)
19
Lihat hasil penelitian Nurzamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia, (Malang: UIN Malang., 2009), hal. 60
39
(yang dipersamakan dengan peraturan presiden) dan ada yang bersifatnya menetapkan (beschikking).20
D. Perkembangan KHI Pada awal terbitnya KHI yang rencananya akan dijadikan UndangUndang, akan tetapi rencana itu belum terwujud karena situasi politik waktu itu belum memungkinkan. Baru, setelah tiga tahun kemudian, keluarlah Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 yang isinya memerintahkan Menteri Agama untuk menyosialisasikan KHI agar sedapat mungkin digunakan oleh masyarakat yang memerlukan Seperti yang telah diketahui bahwa Kompilasi Hukum Islam dijadikan rujukan oleh para hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara. Akan tetapi dalam pelaksanaannya para hakim tersebut ada yang memakai KHI, ada juga yang tidak. Ini dikarenakan hakim tidak terikat pada KHI itu. Inilah menurut Direktur Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama Wahyu Widiana yang melatar belakangi mengapa diperlukan hukum terapan peradilan agama.21 Meski landasan hukumnya tidak kuat untuk dijadikan pedoman (karena bersifat fakultatif, tidak imperatif), tetapi dalam kenyataan di lapangan KHI 20
Perbedaan Kepres dan Inpres, lebih lengkap baca: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50cf39774d2ec/perbedaan-keputusan-presidendengan-instruksi-presiden. diakses pada tanggal 31 Maret 2015 pukul 21:00 21
Kompas, “RUU Terapan Peradilan Agama Digodok”, http://www2.kompas.com/kompascetak/0310/01/utama/596638.htm, (diakses pada 21 April 2009)
40
tampak sangat efektif digunakan oleh para hakim agama, pejabat KUA, dan sebagian umat Islam. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama pada tahun 2001, hampir 100% secara implisit dan 71% secara eksplisit hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama menjadikan KHI sebagai sumber dan landasan hukum dalam keputusan-keputusannya.22 Efektifitas ini bisa dipahami karena KHI disusun dengan bahasa Indonesia yang jelas dan pasti untuk sebuah keputusan hukum. Karena efektivitas ini dan atas tuntutan UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas 2000-2004, Departemen Agama melalui Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama sejak tahun 2002 berupaya menjadikan KHI menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan dan Perwakafan. RUU ini merupakan upaya pemerintah untuk menaikkan status KHI dari Inpres menjadi UU. Pada tahun 2004, pemerintah mempersiapkan Rancangan UndangUndang
Hukum
Terapan
Peradilan
Agama
Bidang
Perkawinan
dan
Perwakafan100 tersebut yang didalamnya diatur segala aspek dari perkawinan, mulai dari peminangan, perkawinan, poligami, perceraian, sampai pengingkaran
22
Eko Bambang S, "Pokja Pengarusutamaan Gender Depag Keluarkan Counter Legal Draft KHI",http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=berita%7C-178%7CN, (diakses pada 21 April 2009)
41
terhadap anak.23 Draf rancangan undang-undang (RUU) ini, menurut Direktur Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama Wahyu Widiana, disusun oleh Badan Pembinaan dan Pengkajian Hukum Islam (BPPHI) Departemen Agama. Sebuah tim yang diketuai Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Islam dan Urusan Haji (BIUH) Taufik Kamil dengan dua wakil, yakni Mochtar Zarkasyi dan Rifyal Ka’bah, bekerja dengan bantuan dewan pakar. Dewan pakar itu terdiri atas mantan hakim agung Bustanul Arifin, ahli tata negara Ismail Sunny, Dirjen Perundang-undangan Departemen Kehakiman Abdul Gani, dosen dan mantan Direktur Peradilan Agama Ichtianto, dan mantan hakim agung Taufik. 24 Pada akhir tahun 2004, tepatnya setelah lebaran menurut Wahyu Widiana, Departemen Agama akan mengajukan draft RUU Hukum Terapan Tentang Perkawinan Islam ke Sekratriat Negara. Akan tetapi perkembangan selanjutnya tidak ada kejelasan apakah Rancangan Undang-Undang tersebut sudah dibahas atau belum oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang jelas faktanya sampai saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak pernah mengeluarkan UndangUndang Hukum Terapan Peradilan Agama tentang Perkawinan Islam . Karena perkembangan di masyarakat serta adanya keinginan menjadikan KHI sebagai hukum positif dengan mengundangkannya segera, maka Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama yang dipimpin Dr 23
Kompas, “RUU Terapan Peradilan Agama Digodok”, http://www2.kompas.com/kompascetak/0310/01/utama/596638.htm, (diakses pada 21 April 2009) 24 Kompas, “RUU Terapan Peradilan Agama Digodok”, http://www2.kompas.com/kompascetak/0310/01/utama/596638.htm, (diakses pada 21 April 2009)
42
Siti Musdah Mulia, MA, sebagai staf ahli Menteri Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional sejak masa Said Agil Husein al-Munawwar, diserahi tugas oleh Direktorat Peradilan Agama Departemen Agama RI untuk melakukan pengkajian, penelitian, dan perumusan ulang terhadap materi hukum KHI dan menyusun draft pembaruan (revisi) atau counter legal draft terhadap Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991. PUG sendiri dibentuk berdasarkan Inpres No. 9 tahun 2001, yang di dalamnya tertuang pernyataan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif gender Dalam Pengkajiannya, Tim Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama menggunakan empat perspektif utama, yaitu gender, pluralisme, hak asasi manusia, dan demokrasi. Perspektif ini niscaya dilakukan untuk mengantarkan hukum Islam menjadi hukum publik yang dapat diterima oleh semua kalangan, kompatibel dengan kehidupan demokrasi modern, dan dapat hidup dalam masyarakat yang plural, sebagai bagian dari cita-cita kita untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan demokratis.25 Setelah melakukan pengkajian dan penelitian terhadap KHI selama dua tahun, akhirnya Tim Pokja PUG menghasilkan sebuah Draft revisi KHI atau 25
Eko Bambang S, "Pokja Pengarusutamaan Gender Depag Keluarkan Counter Legal Draft KHI", http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=berita%7C-178%7CN, (diakses pada 21 April 2009)
43
Counter Legal Draft KHI yang terdiri dari tiga bagian yaitu Buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, dan Buku III tentang Perwakafan. Dan masing-masingnya memuat RUU tentang Hukum Perkawinan Islam, RUU tentang Kewarisan Islam, dan RUU tentang Hukum Perwakafan Islam1. Counter Legal Draft terhadap KHI ini mengundang kontroversi yang hebat di masyarakat. Menurut Dr. Rifyal Ka’bah, MA hal-hal mendasar yang menimbulkan kontroversi adalah bahwa pembaruan KHI yang diajukan oleh yang diajukan oleh Tim Pokja PUG bukanlah dalam konteks tajdid (pemurnian) atau ishlah (perbaikan terhadap yang rusak/fasad), namun masuk dalam pengertian bid’ah (penyimpangan) dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam yang asli.26 Seperti yang telah dijelaskan diatas Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) ini rupanya mengundang kontroversi yang hebat di masyarakat, sehingga Menteri Agama saat itu, Prof. DR. H. Said Agiel alMunawar, menyampaikan teguran keras kepada tim penulis Pembaruan Hukum Islam, melalui suratnya tanggal 12 Oktober 2004, No.: MA/271/2004, untuk tidak mengulangi lagi mengadakan seminar atau kegiatan serupa dengan melibatkan serta mengatasnamakan team Departemen Agama, dan semua draf
26
Skripsi Nuryamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam Dalam Peraturan Perundangundangan Negara Republik Indonesia, (Malang: UIN Malang, 2009), hal. 62
44
atau naskah asli Counter Legal Draft atas Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) agar diserahkan kepada Menteri Agama RI.27 Pasca setelah itu, perkembangan terkait rancangan Undang-Undang Kompilasi Hukum Islam menjadi hukum terapan Peradilan Agama atau yang biasa disebut dengan HTPA. Draft tersebut menjadi prioritas di Prolegnas (program legislasi nasional) periode 2004-2009. Namun berakhir periode tersebut, draft resmi RUU HTPA belum terlihat lagi,28 bisa dibilang tidak terdengar lagi hingga sekarang. Oleh sebab itu perlu upaya non-struktural berupa presure (penekanan) kepada pemerintah yang dilakukan oleh kalangan akademisi, praktisi, maupun Ormas Islam—yang konsen terhadap upaya penerapan syariat Islam di Indonesia, sangat urgen untuk saat ini. Ringkasnya, perjalanan KHI menjadi RUU HTPA menjadi tidak jelas arah serta pembahasannya. Hingga ini Peradilan Agama masih tetap menggunakan hukum materil KHI berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991, bukan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Undang-Undang dan bukan pula Kompilasi Hukum Islam yang ditawarkan oleh Tim Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama, yakni Counter Legal Draft KHI (CLD KHI). Namun Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI yang dipergunakan saat ini masih berkiblat pada UU No. 12 Tahun 2011 27
Skripsi Nuryamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam Dalam Peraturan Perundangundangan Negara Republik Indonesia, (Malang: UIN Malang, 2009), hal. 70 28
Lihat lebih lengkap http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengaduan/315-beritakegiatan/4283-ketua-ma-sambut-positif-ruu-hukum-materiil-pa-bidang-perkawinan.html. Dikakses pada tanggal 23 Agustus 2013 Pukul 06.13 WIB
45
tentang Hirarki Peraturan Perundang-Undangan yang secara otomatis hal itu tidak mempunyai kedudukan kuat dalam Peradilan Agama.
BAB IV PANDANGAN FRONT PEMBELA ISLAM TENTANG KEDUDUKAN KOMPILASI HUKUM ISLAM A. Profi dan Perjuangan FPI Disadari atau tidak, kelahiran FPI tidak terlepas pada kondisi rezim Orde baru yang sedang goyah. Ketika situasi sosial, politik, ekonomi dan agama pada akhir rezim orde baru mulai carut marut, Indonesia mengalami masa transisi menuju reformasi yang begitu tak terkira. Gambaran tersebut bisa dilihat dengan beragam kondisi yang serba carut-marut pada tahun 1998, seperti a) krisis ekonomi sebaga lanjutan dari krisis ekonomi di tahun 1997 yang mengakibatkan ambruknya perekonomian negara, b) krisis politik yang mengakibatkan runtuhnya struktur rezim orde baru, c) stabilitas politik menurut akibat tekanan dari berbagai macam elemen, d) eskalasi konflik social dan agama di daerah meningkat tajam, e) ledakan partisipasi masyarakat karena tercabutnya penyumbat aspires, f) kebebasan pers dan ekspresi meningkat, g) perubahan sosial politik yang sangat cepat.1 Dalam kondisi seperti inilah lahirlah Front Pembela Islam atau yang disingkat dengan FPI. Selain kondisi di atas, ada beberapa alasan lain yang menjadi titik awal mula berdirinya FPI, secara garis besar penulis ringkas yaitu:
1
Syahrul Efendi D dan Yudi Pramuko, Rahasia Sukses Dakwah Habib-FPI Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko, 2006), hal. 61
46
47
a) Respon terhadap realitas sosial, moral dan akhlak yang rusak. Hal ini yang menjadi cikal bakal berdirinya FPI dalam memperjuangkan konsep nahi munkar. Sebelum FPI lahir, ketika itu aksi-aksi maksiat merajalela, perjudian serta dekadensi krisis moral di mana-mana, hal tersebut menjadi kekhawatiran ulama serta para habaib atas realitas sosial, moral dan akhlak yang rusak ditengah-tengah umat Islam di Indonesia. Indikasi kerusakan akhlak itu terbaca dengan meningkatnya volume dan intensitas kemaksiyatan yang terjadi di masyarakat, seperti prostitusi (perzinaan), perampokan, narkotika, dan tindak-tindak kriminal yang melanggar syariah.2 Bagi FPI alasan ini disebut alasan dharuriyyah. b) Lemahnya Penegak Hukum di Indonesia Ketika krisis sosial politik menjadi hal yang tak terelakan, sistem hukum serta penegak hukum yang lambat pun menjadi motivasi berdirinya FPI. Seperti pihak aparat penegak hukum (POLRI), tidak dapat diharapkan secara memuaskan menyelesaikan problem-problem sosial, sehingga inisiatif para Ulama dan Habaib yang bersatu dalam Front Pembela Islam (FPI) menjadi sesuatu yang dibutuhkan. Ditambah lagi dengan tingkat
2
kepercayaan
Syahrul Efendi D dan Yudi Pramuko, Rahasia Sukses Dakwah Habib-FPI Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko, 2006), hal. 62
48
masyarakat terhadap POLRI yang sudah lama terasa menurun, membuat reputasi FPI memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat.3 c) Upaya counter attack atas pemojokan politik sosial umat Islam. d) Sebagai pressure group (Kelompok Penekan) dalam pengupayaan formalisasi Syariat Islam kepada stake holders (pihak terkait). e) Alasan normatif. Alasan ini tidak lain dimaknai sebagai landasan dasar motivasi perjuangan FPI yaitu berawal dari pemaknaan beberapa norma dalam ak-Qur;an dan as-Sunnah yang kurang lebih perlunya penegakan syariat Islam diberlakukan, antara lain: QS al-Jatsiyah: 18, QS al-Dzariyat: 56; QS alMaidah: 49-50 dan masih banyak lagi.4 f) Argument historis. Alasan ini lebih menitikberatkan pada sejarah Indonesia sebelum masuknya penjajah pernah menegakan syariat Islam . g) Alasan politis. Alasan ini lebih tertuju bahwa umat Islam di Indonesia merupakan mayoritas, untuk itu sebuah keharusan untuk memberlakukan syariat Islam sebagai keharusan, hal itu juga menurut Habib Rezieq sudah tertera dalam pasal 29 ayat 1 dan 2.5 3
Lihat mekanisme atau prosedur standar gerakan anti maksiat yang sistematis terhadap stake holder, lebih lengkap Al-Habib M. Rizieq bin Husein Syihab, Ma, Dialog FPI: Amar Ma’ruf Nahi Munkar, (Petamburan: Pustaka Ibnu Sidah, 1434 H/2013 M), cet. Ke-3, hal.250-257. .Lihat pula Syahrul Efendi D dan Yudi Pramuko, Rahasia Sukses Dakwah Habib-FPI Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko, 2006), hal. 62 4
Syahrul Efendi D dan Yudi Pramuko, Rahasia Sukses Dakwah Habib-FPI Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko, 2006), hal. 145 5
Al-Habib Muhammad Rizieq bin Husein Syihab, Dialog Piagam Jakarta, Kumpulan Jawaban Seputar Keraguan Terhadap Penegakan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: PIS, 2002), cet. 1, hal. 20
49
Selain alasan di atas, kronologi berdirinya FPI seperti yang dikutip dalam bukunya Syahrul Efendi bahwa Pengakuan Habieb Rizieq Syihab selaku menjabat Ketua Umum FPI, menjelaskan awal mula didirikan organisasi ini secara spontan tanpa melalui proses secara formal.6 Berikut kutipan pernyataan; ―Jadi FPI itu lahir dari spontanitas sejumlah Habaib, para ulama yang telah murka melihat kazaliman yang melewati batas dan kemungkaran yang sudah merajalela. Jadi, latar belakang ini yang membuat sejumlah Habaib, Ulama dan Umat kecewa terhadap kondisi yang ada, bahkan hampir tidak ada elemen yang mau terjun langsung untuk memerangi kemungkaran. Akhirnya mereka bergabung dan mendeklarasikan Front Pembela Islam. Saat ditanya bagaimana proses awal pembentukannya, beliau menjawab: pada Awalnya memang kita (Habieb Rizieq Syihab-pen) yang melontarkan ide pembentukan Organisasi ini, dengan menyampaikan sekaligus mengajak kepada satu kawan, dua kawan, tiga kawan, dan seterusnya. Pada akhirnya mulai disambut positif oleh beberapa kawan-kawannya. Tanpa ada persiapan-persiapan sebagaimana layaknya orang ingin membangun organisasi. Sebab Orang ingin membangun organisasi itu pertemuannya luar biasa. Ada pertemuanpertemuan, Ada pembuatan kerangka visi misi, Ada lobi-lobi ke daerah dan berbagai macam konsep dalam sebuah pembentukan Organisasi. Tetapi FPI tidak demikian, Kita lempar kepada teman-teman dan mereka sambut dengan kata sepakat untuk dideklarasikan padahal Waktu dideklarasikan AD/ART FPI belum terbentuk, yang terpenting menurut beliau dalam mendeklarasikan bahwa asasnya adalah Islam. Kalau sudah asasnya Islam. Maka AD/ART mudah dibuat, dan Islam jadi panglimanya, syariatnya jadi panglima. Jadi kita tidak repot-repot dengan AD/ART, karena AD/ART hanya produk akal manusia. Jadi setelah dilempar dan disambut baru kita ada pertemuanpertemuan, mencoba untuk merumuskan AD/ART, dan ternyata diluar duguan banyak yang menyambut dari kawan-kawan.‖7 Sejak didirikan FPI pada tahun 1998, FPI telah memainkan perannya sebagai pembela harkat dan martabat Islam dan umat Islam yang boleh dkatakan 6
Syahrul Efendi D dan Yudi Pramuko, Rahasia Sukses Dakwah Habib-FPI Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko, 2006), hal. 145 7
Lihat wawancara bersama Habib Rizieq di Syahrul Efendi D dan Yudi Pramuko, Rahasia Sukses Dakwah Habib-FPI Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko, 2006), hal. 63
50
sebagai salah satu yang terdepan. Pembelaannya terhadap Islam dan Umat Islam tidak berhenti pada konteks lokal maupun nasional, tetapi juga kasus Internasional. Melihat latar belakang sejarah tentang organisasi maupun sejenisnya merupakan tonggak awal mula keruntuhan rezim orde baru yang tumbang manakala krisis serta konflik di Indonesia melanda. Ketika krisis melanda di berbagai wilayah Indonesia pada masa orde baru, tepat pada perayaan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-53, di saat kegentingan suasana sosial politik masih melanda masyarakat, sekelompok Ulama, Habaib, Muballigh dan aktivis muslim mendeklarasikan sebuah barisan perjuangan dengan nama FPI (Front Pembela Islam). lebih tepat FPI didirikan pada tanggaal 25 Rabiu’uts Tsani 1419 H. bertepatan dengan 17 Agustus 1998 M.8 Pilihan nama ini tentu saja mempunyai arti filosofis yang sudah dipertimbangkan. Front artinya bahwa organisasi ini selalu berusaha untuk ada digaris terdepan dan memiliki sikap tegas dalam setiap langkah perjuangan. Adapun kata ―pembela” mengisyaratkan bahwa organisasi ini akan berperan aktif dalam membela dan memperjuangkan hak Islam dan umat Islam. Kata ―pembela‖ juga merujuk pada al-Qur’an surat ash-Shaff ayat 14 yang berbunyi: ―ya ayyuha al-adzina amanu kunu ansharallah, artinya Wahai orang-orang yang beriman, jadilah engkau pembela/penolong
8
Al-Habib M. Rizieq bin Husein Syihab, Ma, Dialog FPI: Amar Ma’ruf Nahi Munkar, (Petamburan: Pustaka Ibnu Sidah, 1434 H/2013 M), cet. Ke-3, hal. 126
51
Allah.9 Dan adapun kata ―Islam” mencirikan bahwa perjuangan organisasi tidak terlepas dari ikatan ajaran syariat Islam yang lurus dan benar.10 Adapun struktur utama organisasi FPI memiliki dua jalur. Jalur Majelis Suro’ sebagai dewan tertingg FPI dan jalur badan pengurus sebagai pelaksana program FPI. Majelis sura’ memiliki 3 dewan tertinggi, yaitu: Dewan syar’iat, Dewan Pengurus dan Dewan Pengawas. Sedangkan badan pengurus harian di isi dengan salah satu ketua umum, 3 orang ketua 1 orang sekretaris jenderal dan 1 orang bendahara ahli. FPI mempunyai 12 departemen yg terdir dari Departemen Agama, membidangi ibadah, dakwa dan fatwa; Departemen Luar Negeri Departemen Dalam Negeri; Departemen Bela Negara dan Jihad yang sebelumnya adalah Departemen Hankam kemudian dilarang oleh pihak yang memberi izin legalisasi organisasi ini; Kemudian Departemen Sospol
dan Hukum;
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Departemen Ekuin; Departemen Ristek; Departemen Pangan; Departemen Kesra; Departemen Penerangan; Departemen Kewanitaan. Di samping itu, FPI memiliki badan khusus di bawah koordinasi sekretaris jenderal front yaitu Badan Infestigasi Front (BIF) yang sebelumya terdiri dari Badan Intelejen Front (BIF) dan Badan Pencari Fakta (BPF), tetapi disuruh ganti oleh pihak yang berwenang Badan Anti Kekerasan (BAK) yang 9
Andri Rosadi, LC, Hitam Putih FPI, (Jakarta Selatan: Nun Publisher, 2008), hal. 88
10
Al-Habib M. Rizieq bin Husein Syihab, Ma, Dialog FPI: Amar Ma’ruf Nahi Munkar, (Petamburan: Pustaka Ibnu Sidah, 1434 H/2013 M), cet. Ke-3, hal.129. Lihat pula Syahrul Efendi D dan Yudi Pramuko, Rahasia Sukses Dakwah Habib-FPI Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko, 2006), hal. 62
52
sebelumnya bernama Badan Anti Terror juga di suruh ganti oleh pihak berwenang; Badan Pengkaderan Mujahidin (BPM); Badan Bantuan Hukum (BBH); Badan Ahli Front (BAF) dan Badan Anti Maksiat (BAM). Dalam hirarki kepengurusan harian FPI, terdiri dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) untuk tingkat Nasional, Dewan Pimpinan Daerah (DPD) di tingkat Nasional Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) di Kotra Madya/Kabupaten, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di Kecamatan dan Pos Komando (POSKO) ditingkat Kelurahan.11
Majlis Syuro’
Dewan Syari’ah
Dewan Pengurus
Dewan Pengawas
Ketua Umum 1 2 3
Sekretaris Jenderal
BIF
BAK
Departemen Agama
BPM
Departemen Luar Negeri
BBH
Departemen dalam negeri
BAF
Departemen Bela Negara
Bendahara AHli
BAM
Departemen Sospol dan Hukum
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Departemen Ekuin
Departemen Ristek
Departemen Pangan
Departemen Kesra
Departemen Penerangan
Departeme n Kewanitaa n
Tabel 1 : Struktur Organisasi FPI
11
Syahrul Efendi D dan Yudi Pramuko, Rahasia Sukses Dakwah Habib-FPI Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko, 2006), hal. 73
53
Dalam mekanisme pengambilan keputusan strategis FPI mempunyai perbedaan dengan organisasi-organisasi konvesional. Ketua umum sebagai jabatan strategis dipilih melalaui prosedur pemilihan umum yang difasilitasi oleh Majelis Syura’ tanpa interval waktu yang devinitif. Sewaktu-waktu pemilihan umum bisa saja diselenggarakan menurut kebutuhan organisasi. Dalam sistem organisasi FPI dikenal beberapa istlah dalam hal tata cara pengambilan keputusan. Pertama, musyawarah nasional (Munas), yaitu pemegang kekuasaan tertinggi dalam memilh dan menetapkan anggota majels syura tingkat pusat, kedua musyawarah istimewa, yakni musyawarah yang diadakan majelis syura untuk mengambi keputusan pemilhan ketua umum dan pengangkatan/pengambilan sumpah. ketiga, musyawarah nasional luar Biasa (Munaslub) diadaksn untuk melakukan reformasi kepengurusan sewaktu-waktu. Sedangkan muktamar adalah musyawarah yang bersifat internasional
dan
kongres bukanlah mekanisme pengambilan keputusan strategis terhadap organisasi sebagaimana biasa dimengerti, tetap hanya musyawarah yang bersifat Nasional.12 Kemudian dikenal juga istilah bahtsul massail yakni pertemuan yang diadakan untuk membahas permasalahan-permasalahan hukum Islam yang melibatkan para pakar, ulama,tokoh masarakat yang memilki keahlian dalam permasalahan terkait, ketua majelis syura dan ketua Umum FPI sendiri.
12
Syahrul Efendi D dan Yudi Pramuko, Rahasia Sukses Dakwah Habib-FPI Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko, 2006), hal. 73-74
54
Dalam perjuangan pemberlakuan sya’riat Islam di Indonesia, gerakan FPI memfokuskan diri kepada pemberantasan kemaksiyatan dan penegakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.13 Melihat mainstream gerakan FPI tersebut apalagi dengan kenyataan bahwa organisasi ini sering berbenturan kepentingan dengan polisi, dapatlah penulis memyebutkan bahwa FPI lebih bercorak kepolisian ketimbang bercorak politis dan intelektual. Atribut-atribut orgasasi yang menyerupai atributatribut polisi seperti yang dapat dilihat dalam pakaian resmi Laskar Pembela Islam (LPI), organisasi turunan FPI, dapat juga membantu mejelaskan karakter kepolisian gerakan FPI ini. hal itu lebh di karenakan, sejak awal FPI sengaja di set up untuk gerakan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, bukan gerakan politis ataupun gerakan intelektual yang biasanya berbasis penelitian.14 Objek perjuangan FPI secara spesifik pemberantas kemaksiyatan, dan hal itu sangat bermanfaat bagi akselerasi pemberlakuan sya’riat Islam di Indonesia. Apalagi jika setiap kelompok-kelompok Islam yang bercita-cita sama, yaitu pemberlakuan sya’riat Islam Indonesia, serentak dan terkordinasi melakukan maneuver dan aksi pada bidangnya masing-masing, akan tetapi, biasanya dalam gerakan Islam sulit sekali kita dapatkan adanya keselarasan dan kesinambungan dalam cita-cita perjuangannya. Masing-masing gerakan berjuang sendiri-sendiri
13
Lihat sejarah awalnya FPI, al-Habib Muhammad Rizieq, Dialog FPI Amar Makruf Nahi Munkar, (Petamburan: Pustaka Ibnu Sidah, 2013), hal. 3 14 Syahrul Efendi D dan Yudi Pramuko, Rahasia Sukses Dakwah Habib-FPI Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko, 2006), hal. 162
55
dan lucunya mereka lebih dari gerakan-gerakan Islam lainnya, bukan merasa bagian dari perjuangan makro gerakan Islam.
B. Pandangan FPI Tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca Terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Bahwa substansi dari Kompilasi Hukum Islam itu sendiri yaitu mengatur masalah Perkawinan, Waris dan Wakaf. Sebagai acuan para hakim Pengadilan Agama di Indonesia. Namun kekuatan hukumnya, KHI hanya sebatas Inpres tidak begitu kuat seperti Undang-Undang ataupun Perpu lainya. Karena kedudukan KHI sebagai Inpres, telah bergeser kekuatannya. Perkembangan peningkatan status KHI pun telah berjalan begitu lama, dari tahun ke tahun. Peningkatan KHI menjadi CLD (couter legal draft) kemudian menjadi RUU HTPA (Hukum Terapan Peradilan Agama), merupakan bukti nyata bahwa substasnsi KHI sangat diperlukan bagi perkembangan hukum meteril Peradilan Agama di Indonesia. Pertentangan demi pertentangan pun datang dari berbagai pihak. Hingga pada akhirnya peningkatan status hukum KHI pun menjadi terlupakan. Terakhir draft RUU HTPA menjadi Prolegnas (Program Legislasi Nasional) Periode 2004-2009. Namun berakhir periode tersebut, draft resmi RUU HTPA belum terlihat lagi,15 bisa dibilang tidak terdengar lagi hingga
15
Lihat lebih lengkap http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengaduan/315-beritakegiatan/4283-ketua-ma-sambut-positif-ruu-hukum-materiil-pa-bidang-perkawinan.html. Dikakses pada tanggal 23 Agustus 2013 Pukul 06.13 WIB
56
sekarang. Oleh sebab itu perlu upaya non-struktural berupa presure (penekanan) kepada pemerintah yang dilakukan oleh kalangan akademisi, praktisi, maupun Ormas Islam—yang konsen terhadap upaya penerapan Syariat Islam di Indonesia, sangat urgen untuk saat ini. Ringkasnya, perjalanan KHI menjadi RUU HTPA menjadi tidak jelas arah serta pembahasannya. Hingga ini Peradilan Agama masih tetap menggunakan hukum materil KHI berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991, bukan Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Undang-Undang dan bukan pula Kompilasi Hukum Islam yang ditawarkan oleh Tim Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama, yakni Counter Legal Draft KHI (CLD KHI). Namun Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991 Tentang KHI yang dipergunakan saat ini masih berkiblat pada UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Hirarki Peraturan Perundang-undangan yang secara otomatis hal itu tidak mempunyai kedudukan kuat dalam Peradilan Agama. Alhasil peningkatan status KHI sangatlah penting hingga kini, karena tidak saja sebagai basis hukum perdata Islam di Indonesia, namun lebih dari itu. Kedudukan Status hukum KHI merupakan sesuatu yang problematis sebetulnya bagi penegakkan hukum materil peradilan agama Indonesia. Karena tingkat yuridis kedudukannya tidak sampai pada tingkat undang-undang.16 Disamping KHI sendiri hanya sebatas instruksi presiden terbatas hanya untuk
16
137
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. I, hal.
57
memberikan arahan, tuntunan, bimbingan dalam hal suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan sebuah peraturan di atasnya.17 Memang sebelum lahirnya Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Hirarki Peraturan Perundang-undangan, kedudukan KHI mempunyai legitimasi kuat untuk menjadi sebuah rujukan wajib bagi hakim, karena kala itu KHI sendiri berkiblat pada Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, di mana Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia menyebutkan Inpres disamakan dengan kepres (keputusan presiden) yang memiliki kedudukan teratas dalam hirarki perundang-undangan.18 Namun pasca Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Hirarki Peraturan Perundang-undangan pada pasal 7 menyebutkan bahwa Kepres/Inpres berkedudukan di bawah undang-undang.19 Secara yuridis kedudukan KHI sebagai sumber hukum yang dirasa penting pun menjadi seolah dikerdilkan oleh peraturan hirarki peraturan perundang-undangan. No. 12 Tahun 2011 tentang Hirarki Peraturan Perundang-undangan.
17
Perbedaan Kepres dan Inpres, lebih lengkap baca: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50cf39774d2ec/perbedaan-keputusan-presidendengan-instruksi-presiden. Diakses pada tanggal 31 Maret 2015 pukul 21:00 18
Lihat hasil penelitian Nurzamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam dalam Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia, (Malang: UIN Malang., 2009), hal. 60. Dan bandingkan tulisan Hierarki Peraturan Perundang-undangan, lebih lengkap: http://fatwarohman.blogspot.com/2014/10/hierarki-peraturan-perundang-undangan.html. Diakses pada tanggal 31 Maret 2015 pukul 21:00 19
Lihat Pasal 7 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Hirarki Peraturan Perundang-undangan
58
Di samping pengkerdilan kedudukan stasu KHI dalam perundanganundanga sekarang, namun secara bersamaan dalam UU No. 12 Tahun 2012 pun memberikan ruang gerak pada masyarakat/organsiasi massa untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.20 Hal inilah yang digunakan oleh FPI dalam memperjuangkan syariat Islam melalui beberapa cara. Dari 1998-hingga sekarang, praktik perjuangan FPI dalam penegakkan syariat Islam yang memiliki nilai eksklusifitas dan varian tataran elemen perjuangan. Selain konsep Nahi Munkar yang menjadi motto pergerakan, FPI juga memiliki strategi politik hukum yang baru, yaitu NKRI bersyariah. Namun apa yang menjadi motivasi perjuangan FPI dalam menegakan syariat Islam di Indonesia? Sebelum menjawab persoalan tersebut sangat penting ditelaah makna syariat Islam itu sendiri. Karena dari sinilah kita akan bisa memetakan beberapa perbedaan dasar mengenai perjuangan FPI dengan organisasi Islam lainnya. Tidak di ragukan lagi, fokus utama perjuangan FPI adalah penegakan syariat Islam. Hampir dapat dipastikan seluruh aktivitas gerakannya diarahkan kepada upaya penegakan dan pemberlakuan syar’at Islam. Habib Riziieq Syihab menyatakan dalam bukunya,’’…penegakan Syariat Islam bagi umat islam khususnya, sebagai mayoritas penduduk Indonesia, menjadi keharusan yang
20
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Lihat Pasal 96 Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
59
tidak bisa ditawar, demi terwujudnya amar ma’ruf nahi munkar secara kaffah (sempurna dan menyeluruh).‖21 Lebih lanjut, dari hasil wawancara penulis dengan KH. Ja’far Shidiq, S.E selaku Sekum DPP FPI, bahwa syariat Islam itu
adalah ketentuan yang
ditentukan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW, untuk diselamatkan akhlak manusia itu sendiri. Aturan yang ditetapkan oleh Allah atau Hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulnya. Bukan hukum yang dibuat oleh hawa nafsu manusia. Makanya bagi kami hukum Allah itu adalah harga mati. Dari mana sumbernya, yaitu al-Qur’an dan As-sunnah ditambah ijma’ dan qiyas.22 Untuk sekedar memotret tingkat keseriusan FPI dalam agenda kampanye pemberlakuan atau penegakan syariat Islam bisa dilihat dari aksi demonstrasi, membangun kekuatan shaff (aliansi), melakukan sosialisasi sya’riat Islam secara terus menerus lewat ruang dakwah ceramah di majlis-majlis ta’lim, masjidmasjid, mushalah-mushalah, panggung-panggung tabligh, juga menyebar strikerstriker berisi pesan-pesan penegakan sya’riat Islam. Dalam pandangan FPI, proses legislasi atau penerapan syariat Islam di Indonesia sangatlah penting, fakta berikut bisa terekam dari beberapa perjuangan FPI sebagai basis front atau garda terdepan untuk menolaknya jika ada salah satu peraturan perundangan-undangan yang menyalahi aturan secara syariat ataupun 21
Syahrul Efendi dan Yudi Pramuko, Habib-FPI Gempur Playboy?, (Tt: Yudi Pramuko Publisher, 2006 M/1427 H), hal. 153 22
Hasil wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat
60
ada pemerintah merubahnya. Salah satunya adalah ketika pencabutan Perda berbau penerapan syariat Islam oleh kemendagri yaitu Perda Kota Tangerang No. 7 Tahun 2005, Perda Kab. Indramayu No. 15 Tahun 2006.23 Dan tak segansegan FPI melakukan aksi nyatanya melalui dua cara, yaitu melalui litigasi, dengan melalukan judicial riview ke MK atas pencabutan perda tersebut dan aksi non litigasi yaitu melakukan aksi ke kemendagri, untuk membuat opini publik agar kemendagri tertekan. Alasan lain kenapa hingga kini FPI masih memperjuangkan syariat Islam yaitu karena legitimasi sejarah Indonesia telah mengukir peradaban syariat kala itu. Yang mana beberapa kerajaan Islam kala itu telah mempraktekan syariat Islam.24 Di samping itu juga pemahaman sejarah terhadap detik-detik kemerdekaan menurut FPI sebagai awal cikal bakal penegakan syariat Islam secara konstitusional. Yang mana, pada tanggal. 22 Juni 1945, dalam rangka persiapan dan penyambutan kemerdekaan Indonesia, para Founding Father bangsa dan negara Indonesia telah menyepakati sebuah Konsensus Nasional bernama Piagam Jakarta, yang secara eksplisit menyatakan bahwa Negara Indonesia berdasarkan 'Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya'. Inilah sebenarnya Pancasila Asli yang paling autentik, yaitu Pancasila yang berintikan Tauhid dan Syariah. 23
Habib Rizieq Syihab, Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah, (Jakarta Selatan: Suara Islam Press, 2012), hal. 23 24
Lihat Habib Rizieq Syihab, Hancurkan Liberalisme Tegakan Syariat Islam, (Jakarta Selatan: Suara Islam Press, 2013), hal. 187
61
Menurut FPI, Perjuangan syariat Islam secara konstitusional sudah final dan tidak perlu diperdebatkan lagi, karena konstitusi kita telah mengandung semangat dari nafas konstitusi Piagam Jakarta dulu. Untuk itu peraturan yang berbau syariat Islam aqidah, hukum maupun akhlak,25 yang belum berbau syariat perlu mendapat perjuangannya, untuk memformalisasikan ke dalam bentuk perundang-undangan di Indonesia, seperti Undang-undang, Perpru, Perda, dan sebagainya. Bagi FPI, peraturan yang belum bernafaskan syariat Islam itu harus diluruskan atau dirubah menjadi sebuah undang-undang itu, misalnya; minuman berkohol itu haram dalam al-Qur’an maupun Sunnah, sedangkan dalam Keppres (keputusan presiden) membolehkan dalam kadar alkohol sekian persen, hal itu harus melakukan perlawanan terhadap Keppres tersebut, baik melalui gugatan atau judicial review serta diikuti dengan aksi. Dan bagi FPI hal itu akan mendorong kepada pemerintah pusat atau daerah untuk membentuk perda-perda anti minuman keras, itu salah satu contohnya.26 Hal ini merupakan prinsip perjuangan amar makruf nahi munkar FPI yaitu memperjuangkan syariat Islam. Jadi dapat disimpulkan yaitu jika ada salah satu peraturan yang bertentangan serta belum menjadi peraturan, bagi FPI itu adalah sebuah perjuangan, dan harus diperjuangkan, baik melalui jalur konstitusional (litigasi) maupun aksi, tabligh, ta’lim dan membuat opini publik. Perjuangan syariat Islam 25
Habib Rezieq, Hancurkan Liberalisme tegakan Syariat Islam, (Jakarta Selatan: Islam Press, 2013), hal.185-186 26 Hasil wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat
62
di Indonesia bagi peraturan yang belum di undangkan (dipositivisasi) hingga kini merupakan sebuah kewajiban. Meskipun begitu, dibalik sisi tegas dan keras FPI, sebagai organisasi Islam di Indonesia secara langsung berperan penting dalam meperjuangkan syariat Islam dalam kancah suprastruktur politik Indonesia sebagai basis penekan (pressure group). Bagi FPI, substansi KHI itu sendiri sebenarnya sudah kuat dalam mengatur hukum keluarga Islam di Indonesia khususnya hukum materil Peradilan Agama, namun alangkah lebih baiknya Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI ini menjadi undang-undang agar kuat kedudukannya.27 Karena KHI merupakan hukum Islam yang mengatur masyarakat muslim di Indonesia yang mesti diperjuangkan tingkatannya. Karena secara substansial isi dari materinya telah memuat atau bernafaskan syariat Islam itu sendiri. Ia tidak saja mengatur terkait hukum keluarga di Indonesia, tetapi lebih dari itu. Lebih lanjut, menurut FPI, peraturan tentang perkawinan (KHI)
sebenarnya sudah
diamanatkan dalam undang-undang bahwa setiap pemeluk agama berhak menjalankan Syariatnya masing-masing. Hal demikian menjadi intisari acuan umat Islam yang harus mengikuti aturan Islam salah satuya pernikahan.28 Berdasarkan hasil wawancara penulis terkait pandangan FPI melihat status kendudukan KHI dalam perundang-undangan di Indonesia sebagai berikut. 27
Hasil wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat 28
Hasil wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat.
63
a) KHI atau Inpres No. 1 Tahun 1991 merupakan bagian dari Syariat Islam itu sendiri. b) KHI atau Inpres No. 1 Tahun 1991 KHI harus diperjuangkan status hukumnya menjadi sebuah undang-undang atau lebih tinggi kedudukannya.29 Dari pandangan ini juga, secara tidak langsung memberikan intisari bahwa hukum materil peradilan agama seperti KHI atau RUU terapan peradilan agama amatlah dibutuhkan, karena ia bukan saja hukum tertulis (Hukum Positif) tetapi sekaligus bernafaskan Syariat Islam. Berbeda sekali dari pandangan pada umumnya, FPI yang dinilai ganas serta keras dibalik perjuangannya itu banyak sekali pembentukan opini publik yang sangat positif dan kontributif, khususnya perkembangan hukum Islam di Indonesia. Formalisasi Syariat Islam bagi FPI khususnya terkait hukum perdata seperti KHI seharusnya menjadi proiritas utama dalam perjuangan umat muslim. Baik pergerakannya secara tradisionalis – modernis, kajian-kajian dan terapan hidup dalam perundang-undangan. Serta tidak sebatas aksi dalam perjuangannya, tetapi juga membuka dialog dan mengajukan pengusulan-pengusulan draft kepada pihak terkait dalam hal ini ke DPR. Jika perundang-undangan ada yang tidak sesuai dengan aturan Allah maka kita berusaha merubah, kalau belum ada kita berusaha mengajukan undang-undang di parlemen. Karena FPI sebagai gerakan extra parlementer, jadi pergerakannya pun dilakukan seperti organisasi
29
Kesimpulan dari Hasil wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat.
64
massa pada umumnya.30 Lebih lanjut, bagi FPI, dorongan peningkatan status hukum Kompilasi Hukum Islam sudah selayaknya diberlakukan oleh pemerintah ataupun DPR. Jika ditelisik lebih lanjut, perjuangan status hukum (peningkatan status hukum) KHI merupakan buah hasil pemahaman dari dalil-dalil normatif dalam al-Qur’an, As-Sunnah, ijma maupun qiyas. Dalam pemahamannya terhadap dalil normatif tersebut yaitu upaya menegakkan Syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan karena demikianlah yang diperintahkan Allah kepada setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan. Allah berfirman:
31
―Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain), tentang urusan mereka...”
Demikian pula Rasulullah Saw jauh hari telah mengingatkan kita akan wajibnya berhukum hanya kepada apa yang beliau bawa sebagaimana sabdanya:
30
Hasil wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat 31
Q.S. Al-ahzab: 33:36
65
“Salah seorang diantara kamu tidak beriman sebelum hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa”.32 Di sini sangat jelas bahwa iman seseorang tidak sempurna kecuali jika beriman kepada Allah, rela kepada keputusannya dalam masalah kecil maupun besar, berhukum kepada syariat-Nya dalam segala masalah, baik yang berkaitan jiwa, harta, dan kehormatan.33 Selain ayat-ayat, hadis dan keterangan ulama, masih banyak ayat lain yang memerintahkan umat Islam agar menjalankan Syariat Islam dan menegakkannya di muka bumi ini dan menjadikannya sebagai sumber hukum.
C. Upaya dan Strategi FPI dalam Memperjuangkan Status Hukum KHI Dari data perjuangannya, kampanye dalam formalisasi syariat Islam oleh FPI amatlah beragam. Yang menjadi catatan penting di sini adalah perjuangan di bidang peningkatan kedudukan KHI dari Inpres menjadi sebuah undang-undang bisa dikatakan nihil. Dari CLD hingga RUU HTPA secara khusus, selama ini tidak ada data perjuangannya FPI, namun perjuangan lewat aksi, publik opini dan
32
An-Nawawy berkata hadits ini shahih dan menyebutkan dalam kitabnya ―Al-Arba’in‖ meriwayatkannya dari kitab ―Al-Hujjah‖, diriwayatkan oleh As-syeeikh Abu Fath Nashr bin Ibrahim Al-Magdisi As-Syafi’i. Lihat Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,Kewajiban Menerapkan Syariat Islam, terj. Muhammad Thalib, Jogjakarta : Wihdah Press, 2003, Cet. I, hal 32. Lihat juga Shalih bin Ghanim As-Sadlan, Aplikasi Syariat Islam, Jakarta: 2002, Darul Falah, terj. Kathur Suhardi, Cet. I, hal. Xi. Yang mengutip dari Syarhus-sunnah, Al-Baghawy, 1/213. menurut Muhaqqiqnya, isnad hadis ini dha’if karena kedha’ifan Nu’aim bin Hammad AlKhuza’y. 33
20
Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Kewajiban Menerapkan Syariat Islam, hal.
66
diskusi (ta’lim, tabligh) ini pun hanya sebatas kasuistik (perkasus datang) seperti perjuangan terhadap pelarangan perkawinan beda agama, perkawinan sejenis, mengcounter draft CLD liberal, kasus perkawinan Asmirandah dan kasus lainnya. Jika dilihat dari praktek perjuangannya, secara implisit FPI sendiri telah memperjuang sub pembahasan materi dalam KHI itu sendiri, seperti melakukan judicial riveiw MK (Mahkamah Konsitusi) tentang permohonan uji meteril Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.34 Di mana dalam perkara Register No. 68/PUU-XII/2014 Syarat Sahnya Perkawinan sebetulnya telah diatur dalam KHI itu sendiri. Namun karena KHI itu sendiri masih berkedudukan inpres, hal itu masih menjadi dilema tersendiri dalam melakukan perkawinan seagama dan kepercayaan. Untuk itu FPI mengajukan judicial review atas kejelasan hukumnya. Memang Perjuangan berbau regulasi hukum keluarga ini terlihat kurang menjadi perhatian FPI, disadari atau tidak perjuangan kasuistik bagi FPI sebetulnya sangatlah wajar, karena hingga saat ini pergolakan atau pengkerdilan KHI tidak dirasakan langsung oleh masyarakat. Di samping itu KHI sendiri sudah berjalan semestinya di tiap-tiap pengadilan agama di Indonesia. Pergerakan serta perjuangan FPI bertendensi pada tradisionalis-modernis, melalui kajian-kajian dan terapan hidup dalam perundang-undangan. Tidak 34
LIhat lampiran dalam tanggapan pihak terkait dalam permohonan uji meteril Undangundang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Register Perkara No. 68/PUU-XII/2014 Syarat Sahnya Perkawinan (Agama).
67
hanya sebatas aksi dalam perjuangannya, tapi kita juga membuka dialog dan mengajukan pengusulan-pengusulan. Jika perundang-undangan ada yang tidak sesuai dengan aturan Allah maka kita berusaha merubah, kalau belum ada kita berusaha mengajukan undang-undang di parlemen. Strategi yang dilakukan oleh FPI yaitu tidak menghitung peluang tapi bagaimana kita menciptakan peluang, untuk upaya kita bisa mengawal itu semua. Artinya memaksimalkan kemampuan yang ada pada FPI, kita manfaatkan sekecil apapun ada peluang mendorong ini untuk kita ubah.35 Strategi FPI sendiri ketika melihat status hukum KHI, seperti biasanya sesuai dengan syariat Islam (khususnya) dan AD/ART yang telah ditetapkan sebelumnya. Di mana dalam kaca mata FPI, KHI sudah mempunyai ladasan kuat, tetapi butuh political will (kemauan) dari DPR maupun pemerintah. Terlepas dari kritikan FPI di atas, upaya dan strategi yang dilakukan FPI sendiri ketika melihat konsepsi umum upaya perjuangannya dalam penerapan Syariat Islam di Indonesia, yaitu beberapa-langkah dan strategi konkrit dilakukan sebagai berikut: a. Terkait Hukum Syariat perorangan, maka mantapkan Iman, Islam dan Ihsan dalam pengamalan, karena itulah pembukapintu keberkahan dan kemenangan perjuangan penegakkan Syariat Islam. Jangan sampai terjadi, seseorang berteriak keras tentang penerapan Syariat Islam, tapi mengamalkan perilaku syirik perdukunan, atau meninggalkan shalat, atau berakhlak buruk.
35
Hasil wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat
68
b. Terkait Hukum Syariat Rumah Tangga, maka laksanakan perkawinan dan perceraian dengan cara Islam, penuhi hak dan kewajiban dalam rumah tangga sesuai aturan Syariat Islam, termasuk masalah warisan dan lainnya. Jika terjadi perselisihan dalam soal rumah tangga, maka diselesaikan dalam Pengadilan Agama yang menggunakan Hukum Islam. Jangan sampai terjadi, seseorang berteriak keras tentang penerapan Syariat Islam, tapi kumpul kebo, berzina, atau selingkuh, atau pun menyelesaikan persoalan rumah tangga atau masalah warisnya di Pengadilan Negeri yang menggunakan Hukum Sipil. c. Terkait Hukum Syariat Sosial Ekonomi Kemasyarakatan, maka soal pendidikan, kembangkan pendidikan Islam, masukkan anak-anak kaum muslimin
ke
pesantren
dan
madrasah
serta
sekolah-sekolah
yang
menggunakan kurikulum khas Islam. Dan soal ekonomi, lakukan segala bentuk transaksi ekonomi, termasuk perbankan, asuransi dan pergadaian, serta persoalan mu'amalat lainnya, hanya dengan sistem ekonomi Islam. d. Soal budaya, pertahankan tradisi dan adat istiadat selama tidak brtentangan dengan Syariat Islam. Jangan sampai terjadi, seseorang berteriak keras tentang penerapan Syariat Islam, tapi berhubungan dengan sistem Riba, atau menyekolahkan anak di sekolah-sekolah non Islam, atau mengikuti budaya dan tradisi yang tidak Islami. Sebenarnya menurut Habib Rizieq 75 persen peluang penerapan syariah sudah ada di tangan umat Islam, karena tiga dari empat klasifikasi peraturan hukum sudah banyak di adopsi serta dilaksanakan dengan leluasa. Ada pun yang
69
25 persen masih dalam proses perjuangan. Menurutnya, untuk yang 75 persen kita jaga dan amalkan dengan baik, nisacaya keberkahannya akan membuka sisa peluang 25 persen lainnya dengan izin Allah SWT.36 Begitu juga dengan perjuangan peningkatan status KHI, dari pengamatan penulis, pola perjuangan yang akan dilakukan oleh FPI melalui jalur litigasi ataupun non-litigasi, seperti mengajukan legal drafting kepada stake holders, membuat opini, dakwah, ta’lim, aksi dan lainya. Prinsip utamanya adalah manamana bagian Syariat Islam yang sudah bisa ditegakkan, dengan atau tanpa perundang-undangan negara, maka wajib untuk segera kita laksanakan. Sedang mana-mana bagian Syariat Islam yang belum bisa dilaksanakan kecuali dengan melibatkan aturan negara, maka kita harus terus memperjuangkan formalisasinya dalam bentuk perundang-undangan.
D. Analisis Penulis Mengamati pola dan perkembangan gerakan FPI yang sudah berjalan sekitar 16 tahun lebih ini (1998-2015) adalah cukup menarik bagi penulis untuk melihat karakteristik perjuangan FPI. Dalam konteks Indonesia, tidak berlebihan jika penulis sampai mengatakan, baru kali ini ada gerakan Islam yang mempumyai watak seperti yang ditunjukkan FPI dalam medan dan bentuk perjuangannya yang spesifik. Hampir seratus tahun gerakan Islam modern di Indonesia– mulai dari Syarekat Dagang Islam (SDI) (1905), Syarekat Islam (SI) 36
Habib Rizieq Syihab, Hancurkan Liberalisme Tegakan Syariat Islam, (Jakarta Selatan: Suara Islam Press, 2013), hal. 190
70
(1926), Muhammadiyah (1912), Nahdlatul Ulama (NU) (1926), dll—tidak ada yang mengkhususkan diri dalam perjuangannya terhadap isu pemberantas kemaksiatan dan isu-isu lainnya. Namun bagaimanakah dengan pandangan serta perjuangan FPI untuk meningkatkan status kedudukan KHI yang secara implisit hanya bersifat anjuran dan arahan bagi seluruh hakim pengadilan agama. Di tambah KHI hanya sebatas Instruksi Presiden (Inpres), berbeda dengan Undang-undang yang bisa memaksa. Dalam perjalannya, upaya peningkatan status KHI menjadi sebuah undang-undang merupakan sebuah keharusan. Faktanya bisa dilihat dalam pernjalanan Counter Legal Draft (CLD) hingga RUU HTPA dari tahun ke tahun. Berdasrkan database Prolegnas (program legislasi nasional) dari tahun 20042014, bahwa hukum materil peradilan agama atau substansi pembahasan KHI telah menjadi prioritas pembahasan untuk dijadikan undang-undang, baik yang diajukan oleh Pemerintah, DPR, ataupun keduanya.37 Namun hingga kini hukum materil khusus peradilan agama masalah perkawinan dalam KHI masih belum juga menjadi undang-undang. Alhasil upaya baik pemerintah atau DPR untuk meningkatkan menjadi undang-undang dirasa nihil. Untuk itu perlu penguatan di wilayah suprastruktur politik (baca: masyarakat, LSM, Ormas) untuk menekan upaya legislasi dari pemerintah ataupun DPR. Seperti halnya proses legislasi
37
Lihat lampiran daftar prolegnas Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang (Jakarta: Tp, 2010), hal. 176, 177, 178 dan 184
71
undang-undang pornografi, terorisme, perda miras dan lain-lain yang didukung penuh agar menjadi sebuah peraturan yang mengikat (undang-undang). Dilain pihak, urgensitas sebuah peraturan perundang-undang ketika dipositivisasi (diundangkan) maka kedudukannya pun akan menjadi kuat dan bersifat memaksa, karena beberapa pasal dalam KHI sendiri mengatur terkait masalah aturan perkawinan, kewarisan, pengangkatan anak, pidana perwakafan dan lain-lain. tetapi disisi lain bahwa menurut beberapa bahwa Inpres tidak saja mengatur terkait sebuah aturan, tetapi hanya bersifat arahan serta rujukan instruksi saja dari presiden.38 Di samping itu, ketika KHI menjadi sebuah undang-undang, secara tidak langsung telah memberikan jawaban atas aspek kepastian hukum. Ini tentu menghindari adanya disparitas putusan hakim khusunya di pengadilan agama, dalam memandang sebuah aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Disadari atau tidak, karena Indonesia menganut prinsip positvistik sekaligus rechviding (penemuan hukum). Upaya positivistik terhadap aturan KHI-HTPA dirasa perlu, hal itu tidak saja datangnya dari pihak stakeholder (pihak berkepentingan) seperti DPR maupun Pemerintah, tetapi juga dari masyarakat, karena mau tidak mau kelompok penekan (presure gruop) seperti LSM, Ormas—akan memberikan
38
Lihat pendapat Jimly Asshiddiqie, dalam Hukum Online, Perbedaan Keputusan Presiden dengan Instruksi Presiden, lebih lengkap: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50cf39774d2ec/perbedaan-keputusan-presidendengan-instruksi-presiden. diakses pada tanggal 08 Maret 2015 Pukul 06:00
72
bergain (kekuatan) kepada pemerintah untuk memaksa mereka pengupayakan KHI-HTPA menjadi sebuah undang-undang. Partisipasi ormas Islam seperti FPI sudah seharusnya berkontribusi dalam memberikan opini publik atau saran dan rekomendasi atas RUU HTPA karena hal ini juga akan memberikan bargain (kekuatan) citra tersendiri, agar FPI tidak dinilai sebelah mata dalam perjuangannya. Seharusnya FPI tidak saja hanya konsen terhadap kampanye isu-isu yang melulu condong terhadap isu-isu lama. Namun lebih dari itu, hal itu juga seharusnya menjadi prinsip utama dalam pergerakan FPI, karena sesuai dengan AD/ART Pasal 6 tentang Visi dan Misi FPI sebagai pejuang atau formalisasi Syariat Islam. Disamping itu upaya untuk melancarkan penegakan syariat Islam di Indonesia sangatlah jelas dipengaruhi oleh konsistensi dan kedudukan sebuah perundang-undangan yang mengikat, jika tidak, maka perjuangan FPI hanya sebatas pada problem kasuistik semata. Hal itu akan memunculkan tambal sulamnya upaya perjuangan FPI dalam penegakan syariat Islam. Seperti yang kita ketahui bahwa kedudukan Kompilasi Hukum Islam belum menjadi undang-undang, dan secara otomatis yang kurang memaksa. Meskipun aturan yang terkandung dalam isi KHI itu sempurna tetapi kedudukannya tidak mengikat ataupun memaksa, maka akan menimbulkan berbagai persoalan atau perdebatan dalam peradilan agama untuk memutuskan perkara di masyarakat.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian penulis menyimpulkan pada Pandangan Front Pembela Islam Tentang Kedudukan Kompilasi Hukum Islam Pasca Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, adalah sebagai berikut: 1. Lahirnya FPI sendiri dilatarbelakangi oleh berbagai faktor dan kondisi yang serba carut-marut pada tahun 1998, seperti a) krisis ekonomi sebaga lanjutan dari krisis ekonomi di tahun 1997 yang mengakibatkan ambruknya perekonomian negara, b) krisis politik yang mengakibatkan runtuhnya struktur rezim orde baru, c) stabilitas politik menurut akibat tekanan dari berbagai macam elemen, d) eskalasi konflik social dan agama di daerah meningkat tajam, e) ledakan partisipasi masyarakat karena tercabutnya penyumbat aspires, f) kebebasan pers dan ekspresi meningkat, g) perubahan sosial politik yang sangat cepat.Secara konseptual nilai perjuangan FPI sendiri adalah untuk menegakkanatau formalisasi syariat Islam di Indoensia, namun objeknya utamanya yaitu pemberantas kemaksiyatan, dan hal itu sangat bermanfaat bagi akselerasi pemberlakuan sya’riat Islam di Indonesia. 2. Menurut FPI pasca di undangkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 terkait upaya pengesampingan kedudukan hukum KHI, sebetulnya substansi KHI itu sendiri sudah kuat dalam mengatur hukum keluarga Islam di
62
74
Indonesia khususnya hukum materil Peradilan Agama. Namun alangkah lebih baiknya Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang KHI ini ditingkatkan statusnya menjadi Undang-undang, hal ini agar kuat kedudukannya. Adapun isi dari materinya telah memuat atau bernafaskan Syariat Islam itu sendiri. Dalam perjuangannya, jika FPI melihat produk hukum di Indonesia seperti Undangundang, Perpu, dan Peraturan di bawahnya—belum berbau syariat maka perlu diperjuangkan. Memang, perjuangan khusus terkait kedudukan status hukum KHI terlihat tidak menjadi priotas utama dalam agendanya. Karena bagi mereka sudah berjalan sesuai dengan syariat Islam meskipun hanya sebatas Inpres. Perjuangan kasuistik bagi FPI sebetulnya sangatlah wajar, karena hingga saat ini pergolakan atau pengkerdilan KHI tidak dirasakan langsung pergolakannya oleh masyarakat. Di samping itu KHI sendiri sudah berjalan semestinya di tiap-tiap pengadilan agama di Indonesia. 3. Perjuangan khusus terkait kedudukan status hukum KHI terlihat tidak menjadi priotas utama dalam agendanya. Meski begitu pembentukan opini publik atau saran dan rekomendasi isi sub pembahasan telah dibahas dan dikampanyekan sub
pembahasan
tentang
perkawinan
oleh
FPI.
Seharusnya
FPI
memperjuangkan secara ksusus dalam meningkatkan kedudukan KHI menjadi sebuah undang-undang dengan upaya dan strategi seperti pada pengawalan peraturan pornografi, terorisme, anti miras, dan lain-lain. Karena hal itu akan memberikan bargain (kekuatan) citra tersendiri, agar FPI tidak dinilai sebelah mata dalam nilai perjuangannya.
75
4. Dari pengamatan penulis, upaya dan strategi FPI dalam memperjuangkan syariat Islam secara umum bisa dilihat dari jalur litigasi ataupun non-litigasi, seperti mengajukan legal drafting kepada stake holders, membuat opini, dakwah, ta’lim, aksi dan lainya. Prinsip utamanya adalah mana-mana bagian Syariat Islam yang sudah bisa ditegakkan, dengan atau tanpa perundangundangan negara, maka wajib untuk segera kita laksanakan, begitu juga dengan KHI. Seharusnya FPI tidak saja hanya konsen terhadap kampanye isuisu yang melulu condong terhadap isu-isu lama. Namun lebih dari itu, hal itu juga seharusnya menjadi prinsip utama dalam pergerakan FPI, karena sesuai dengan AD/ART Pasal 6 tentang Visi dan Misi FPI sebagai pejuang atau formalisasi syariat Islam.
B. Saran Dari pengamatan yang penulis dapatkan, ada beberapa point saran yang kurang lebih menjadi penting di sini, yaitu: 1. Terlepas dari pro dan kontra atas kehadiran FPI di Indonesia, secara tidak langsung telah menggeser paradigma formalisasi syariat Islam di Indonesia. Perlu kiranya perjuangan khusus terhadap beberapa peraturan perundangundangan yang kurang lebih secara politik kedudukannya telah digeser oleh pihak berkepentingan (stake holders). Dalam hal ini peningkatan kedudukan KHI menjadi sebuah undang-undang.
76
2. Dibalik sisi tegas dan keras FPI dalam membasmi kemunkaran, penulis mengharapkan FPI sebagai organisasi Islam di Indonesia yang secara langsung dapat berperan penting dalam memperjuangkan syariat Islam khususnya dalam hal ini mengenai Kompilasi Hukum Islam, yang dimana FPI adalah Ormas Islam yang besar dan sering kali membuahkan hasil positif sebagai basis penekan (pressure group) kepada pemerintah. Dan perlu kiranya agenda perjuangan FPI memperluas tingkat kajian akademik-ilmiah dalam melakukan perjuangan formalisasi syariat Islam, karena disadari atau tidak, hal itu penting ketika berhadapan para stake holders.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Afifi Fauzi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Adelina Offset. 2010 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Cet V. Jakarta: CV. Akademika Pressindo. 2007 Afadal, dkk. Islam dan Radikalisme di Indoensia. Jakarata: LIPI Press. 2005 Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 1996 Al-Jufri, Salim Segaf, et. al. Penerapan Syari’at Islam di Indonesia. Cet. I. Jakarta : PT. Globalmedia Cipta Publishing. 2004 Al-Qur’an Al-Kariim Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Front Pembela Islam 2013 M/1435 H Anshori, Abdul Ghofur. Beberapa Catatan terhadap RUU Hukum Terapan Peradilan Agama Bidang Perkawinan”, Makalah Seminar Nasional Apresiasi Terhadap Draft UU RI Tentang HTPA Bidang Perkawinan. Yogyakarta: Hotel Saphir, Kamis 23 Nopember 2006. Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Kecana. 2008. As-Sadlan, Shalih bin Ghanim. Aplikasi Syari’at Islam. Jakarta: 2002. Darul Falah, terj. Kathur Suhardi, Cet. I, hal. XI Austin. John. The Province Of Jurisprudence, dalam Darji Darmodiharjo, Pokokpokok Filsafat Hukum. Gramedia. Jakarta. 2004 Aziz, Syeikh Abdul bin Abdullah bin Baz. Kewajiban Menerapkan Syari’at Islam, terj. Cet. I Muhammad Thalib. Jogjakarta: Wihdah Press. 2003 Azizy, A. Qodri. Ekelektisisme Hukum Nasional; Kompetisi Antara Hukum Islam & Hukum Umum. Yogyakarta: Gama Media. 2002 Cotterrell. Roger. Sosiologi Hukum, ed. Terjemahan. Bandung: Nusa Media. 2012 Database Perjuangan FPI dari tahun 1998-2015
77
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra. 1999 Depdikbud RI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1990 Djalil, Basiq. Peradilan Agama di Indonesia. Cet. I Jakarta: Kencana. 2006 Efendi, Syahrul dan Yudi Pramuko. Habib-FPI Gempur Playboy?. Tt: Yudi Pramuko Publisher. 2006 M/1427 H Fyzee, A. Outlines of Muhammadan Law. London: Oxford. 1960 Habiburrahman. Sosialisasi Publik RUU Hukum Terapan Peradilan Agama, Makalah Seminar Nasional Apresiasi Terhadap Draft UU RI Tentang HTPA Bidang Perkawinan. Yogyakarta: Hotel Saphir, Kamis 23 Nopember 2006 Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing. 2008 Irianto, Sulistyowati. Hukum dan Perempuan; Menuju Hukum yang Berperspektif Kesetaran dan Keadilan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2006 Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2011 MD, Mahfud. Perkembangan Politik Hukum. Yogyakarta. 1993. Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta:Liberty. 1996 Musthofa, Syadzali. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Islam di Indonesia, Cet. II. Solo: CV. Ramadani. 1990. Permohonan FPI - Judicial Riview di MK Tahun 2014 Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Genta Publishing. 2009 Ramulyo. Asas-Asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar Grafika. 2004 Rizieq, Habib Muhammad. Dialog FPI: Amar Ma’ruf Nahi Munkar. cet. Ke-3. Petamburan: Pustaka Ibnu Sidah. 1434 H/2013 M
89
Rizieq, Habib Muhammad. Dialog Piagam Jakarta, Kumpulan Jawaban Seputar Keraguan Terhadap Penegakan Syari’at Islam di Indonesia. cet.1. Jakarta: PIS. 2002 Rizieq, Habib Muhammad. Hancurkan Liberalisme tegakan Syari’at Islam. Jakarta Selatan: Suara Islam Press. 2013. Rizieq, Habib Muhammad. Wawasan Kebangsaan Menuju NKRI Bersyariah. Jakarta Selatan: Suara Islam Press. 2012 Romy, Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1990 Rosadi, Andri. Hitam Putih FPI. Jakarta Selatan: Nun Publisher. 2008 Rumadi & Marzuki Wahid. Fiqh Madzab Negara Yogyakarta: LKIS 2001. Said Ali, As’ad. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahantan Berbangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES. 2009 Soekanto, Soerjono & Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003 Soeprapto, Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius. 2010 Syamsuddin, Aziz. Proses dan Teknik Penyusunan Undang-undang. Jakarta: Tp, 2010 Tim Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama. Tahun 1991/1992 Wahid, Marzuki dan Rumadi. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Hukum Islam di Indonesia. Cet I. Yogyakarta: LKiS. 2001 Wahyuni, Sri. Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam). Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV. al-Hikmah. 2003 Wahyuni, Sri. Politik Hukum Islam di Indonesia: Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam. Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV. al-Hikmah. 2003 Wawancara KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI) pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00, Petamburan – Jakarta Pusat
Yulkarnain & Andy Omara. Kompilasi Hukum Islam dalam Perspektif Hukum Perundang-undangan dalam Jurnal Mimbar Hukum Vol. 22. No.3 Oktober 2010 Yulkarnain dan Andy Omara. Kompilasi Hukum Islam dalam Perspektif Hukum Perundang-undangan, dalam Jurnal Mimbar Hukum Vol. 22, No.3 Oktober 2010
Naskah Akademis Disertasi Moh. Mahfud MD. Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik terhadap Karakter Produk Hukum. Ilmu Hukum di Program Pascasarjana UGM: Yogyakarta. 1993 Skripsi Muhamad Daerobi. Kesaksian Perempuan Menurut Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Fakultas Syari’ah UIN Jakarta. 2013 Skripsi Nuryamin, Eksistensi Kompilasi Hukum Islam Dalam Peraturan Perundangundangan Negara Republik Indonesia. Malang: UIN Malang. 2009 Makalah Abd. Salam. Latar Belakang Sosio-Historis dan Politis Pembuatan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Tp: Siduarjo. Tt Makalah Marzuki Wahid (Peneliti Fahmina Institute Cirebon), Narasumber Pada Workshop Islam dan Pluralisme V di Kantor The WAHID Institute Jl. Taman Amir Hamzah No. 8 Matraman Jakarta, Jum’at (25/01/2008). Makalah Pamela Maher Wijaya, Dinamika Kompilasi Hukum Islam: Dalam Bingkai Hukum Negara Modern (Kajian Penerapan Hukum Islam di Indonesia dalam Perspektif Etika Politik dan Pemerintahan), Gatra, 13 desember 2007.
Webset: Hukum Online, Perbedaan Keputusan Presiden dengan Instruksi Presiden, lebih lengkap: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50cf39774d2ec/perbedaankeputusan-presiden-dengan-instruksi-presiden. diakses pada tanggal 08 Maret 2015 Pukul 06:00
89
Wacana RUU HTPA telah di bahas pada tahun 2004-hingga sekarang. Lihat http://www.tempo.co/read/news/2004/11/09/05550784/Draft-RUU-HukumPerkawinan-Islam-Akan-Diajukan-ke-Sekneg. Diakses pada tanggal 23 Agustus 2013 Pukul 05.34 WIB Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Daftar Perjuangan FPI Berantas Kemungkaran Dan Bantu Korban Bencana Alam, http://www.syahidah.web.id/2012/02/daftar-perjuangan-fpi-berantas.html. Diakses pada 22 Mei 2013 pukul 01:47 WIB Munas
ke-III FPI yaitu NKRI bersyariah. http://news.detik.com/read/2013/08/22/131726/2337340/10/fpi-gelar-munasdi-bekasi-bertema-nkri-ber-syariah. diakses pada tanggal 24 Agustus 2013 Pukul 19.30 WIB.
Kompas, “RUU Terapan Peradilan Agama Digodok”, http://www2.kompas.com/kompascetak/0310/01/utama/596638.htm, (diakses pada 21 April 2009) Eko Bambang S, "Pokja Pengarusutamaan Gender Depag Keluarkan Counter Legal Draft KHI", http://www.jurnalperempuan.com/yjp.jpo/?act=berita%7C178%7CN, (diakses pada 21 April 2009) http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengaduan/315-berita-kegiatan/4283-ketua-masambut-positif-ruu-hukum-materiil-pa-bidang-perkawinan.html. Dikakses pada tanggal 23 Agustus 2013 Pukul 06.13 WIB http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengaduan/315-berita-kegiatan/4283-ketua-masambut-positif-ruu-hukum-materiil-pa-bidang-perkawinan.html. Dikakses pada tanggal 23 Agustus 2013 Pukul 06.13 WIB http://badilag.mahkamahagung.go.id/pengaduan/315-berita-kegiatan/4283-ketua-masambut-positif-ruu-hukum-materiil-pa-bidang-perkawinan.html. Dikakses pada tanggal 23 Agustus 2013 Pukul 06.13 WIB http://daway1982.blogspot.com/2011/06/blog-post.html. diakses pada tanggal 2 Oktober 2013 Pukul 02. 30
Perundang-undangan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Undang-undang No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
89
LAMPIRAN-LAMPIRAN SURAT WAWANCARA
Surat Hasil Transkip Wawancara: Wawancara dilakukan pada tanggal 07 Januari 2015 Pukul 17.00 WIB17di DPP FPI Petamburan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Mahasiswa
: Mukhammad Ali Seto Ansyurulloh
Narasumber
: KH. Ja’far Shidiq, S.E (Sekum DPP FPI).
- 17.25
1. Bagaimana pandangan Ustadz tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)? Ada keppres yang mengatur bahwasanya Umat Islam harus menikah secara Islam, makanya dikantor urusan agama, maka sikap kita adalah harus mendorong bahwa peraturan itu harus menjadi ketetapan wajib, baik mengenai pernikahan maupun waris. Maka dari itu Umat Islam harus dididik serta disadarkan, memberikan pemahaman bahwasanya pernikahan itu melalui peradilan agama. Dan juga jika masalah persengketaan waris jangan lari ke pengadilan sipil/ pengadilan negeri tapi harus ke pengadilan agama. Oleh sebab itu kita harus perjuangkan untuk menjadi perundang-undangan.. dulu ada peraturan pemerintah No.10. kasus yang pernah kita selesaikan seperti Asmiranda,-Jonathan yang dimana kan itu permasalahan perdata. Karena itu adaah menyalahi peraturaan keabsahan pernikahan umat Islam itu sendiri. Orang yang menikah dicatatan sipil itu bagi orang yang selain Islam, mereka itu dicatatan sipil. Kalau umat Islam itu diserahkan dikantor urusa Agama Islam. Pernikahan yang sah mengikuti cara pernikahan secara agama., oleh sebab itu bagi umat Islam harus menikah secara aturan Islam. Mungkin yang
89
mesti kita dorong ialah bagi umat yang tidak menikah sesuai aturan Islam mesti harus ada sanksi. Saat itu di tahun 2002 kita tidak dapat draftnya, dan kita masih menganggap atau berhusnudzon bahwasanya peraturan ini sah-sah saja. selama ini undang-undang pernikahan sudah sesuai dengan KHI. Makanya setiap umat Islam harus ikuti aturan Islam dan itu perlu ditekankan agar umat Islam tidak melenceng dalam urusan perdata. Sebenarnya sudah ada dalam undang-undang bahwa setiap pemeluk agama berhak menjalankan syariatnya masing-masing. Ini harus menjadi acuan umat Islam yang harus mengikuti aturan Islam mengenai salah satuya pernikahan. 2. Menurut FPI apa itu Syariat Islam? Syariat Islam yaitu syariat ketentuan yang ditentukan oleh Allah SWT. Melalui Nabi Muhammad SAW, untuk diselamatkan akhlak manusia itu sendiri. Aturan yang ditetapkan oleh Allah atau Hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT dan Rasulnya. Bukan hukum yang dibuat oleh hawa nafsu manusia. Makanya bagi kami hukum Allah itu adalah harga mati. Dari mana sumbernya? Yaitu Al-Qur’an dan As-sunnah ditambah ijma’ dan qiyas. 3. Di dalam AD/RT FPI menerapkan Islam secara Kaffah, bagaimana pandangan ustadz? Menerapkan Islam secara Kaffah artinya menerapkan secara kaffah ialah menerapkan islam secara keseluruhan, dimana dalam fiqih terbagi menjadi 4 bagian:
a) hukum dalam urusan pribadi yg secara kaffah b) hukum dlm urusan usroh/rumah tangga (KHI) seperti talak, cerai, rujuk, pembagian warisan, pengurusan anak,hak anak, hak istri. Itu harus dilaksanakan secara kaffah juga alias harus totalitas jangan setengahsetengah. c) masalah social-politik dan ekonomi, pendidikan yg secara kaffah sesuai aturan Allah SWT. Orang islam harus dididik secara Islam. Berekonomi secara Islam, berpolitik secara islam, dan budaya pun sama yaitu jika adat istiadat yg melanggar mesti diluruskan. d) dan yang keempat yaitu kaffah dlm hukum pidana dan perdata. Seperti hudud, jinayah 4. Jadi Syariat Islam itu terbagi dalam
mengatur mengenai pidana
maupun perdata? Dan untuk jinayah, qisas atau seperti potong tangan dan lainnya itu harus kebijakan Negara langsung yang membuat aturannya, Tidak bisa perorangan. Dan jika ditanya apakah penerapan itu tidak bertentangan dengan pancasila? Justru tidak bertentangan, karena Negara kita berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 5. Bagaimana FPI mengformalisasikan syariat Islam di Indonesia? Bahwa FPI bergerak secara tradisionalis – modernis, kajian-kajian dan terapan hidup dalam perundang-undangan. Tidak hanya sebatas aksi dalam perjuangan kita, tapi kita juga membuka dialog dan mengajukan pengusulan-
89
pengusulan. Jika perundang-undangan ada yang tidak sesuai dengan aturan Allah maka kita berusaha merubah, kalau belum ada kita berusaha mengajukan undang-undang di parlemen. Dan perjuangan extra parlementer itu jika sudah kesana kemari mentok, itu kan hak penyampaian pendapat. Dan caranya karena kita bukan partai politik secara resmi masuk, maka kita melalui extra parlementer dalam penyampaiannya. 6. Dan bagaimana pandangan FPI jika ada Undang-undang yang belum bernafaskan Syariat Islam? Nah itu tadi harus diluruskan atau dirubah undang-undang itu, missal contoh; minuman berkohol itu haram daloam al-Qur’an maupun Sunnah sedangkan Presiden membuat Keppres membolehkan dalam kadar alkohol sekian persen, nah maka dari itu kita mengadakan perlawanan terhadap Keppres itu melalui gugatan atau judicial review serta diikuti dengan aksi. Dan kita mendorong kepada pemerintah-pemerintah daerah untuk membentuk membikin perda – perda anti minuman keras, itu salah satu contohnya. 7. Sejauh mana FPI dalam mengawal undang – undang agar bernafaskan Syariat Islam? Yaa semampu kita, karena kita kan tidak menghitung peluang tapi bagaimana kita menciptakan peluang, untuk upaya kita bisa mengawal itu semua. Artinya sekemampuan kita, kita manfaatkan sekecil apapun ada peluang mendorong ini untuk kita ubah. Dan sekuat yg kita pertahankan ya kita pertahankan baik itu melalui mimbar-mimbar atau media yang lain.
8. Apa yang menjadi hambatan FPI dalam memperjuangkan syariat Islam di Indoneia? Sebetulnya yang menjadi hambatan kita itu kadang-kadang dari orang-orang berpandangan picik mengenai syariat Islam, dan memahami daripada pelaksanaan syariat itu sendiri. Kadang-kadang kita dibilang anti pancasila, padahal tidak demikian. Dan yang paling berat perlawanan dari orang-orang sekuler, orang-orang yang ingin memisahkan Agama dari kehidupan. Serta opini-opni media yang pro dengan orang liberal dan sekuler. 9. Jadi bagaimana pandangan FPI mengenai KHI yang kedudukannya masih Inpres? Sebenarnya sudah kuat untuk mengatur tapi lebih baiknya menjadi Undang – undang yang salah satunya mengatur pernikahan khusus bagi umat Islam. Karena bagian dari aturan yang disyariatkan dan diberikan sanksi bagi yang melanggar. Sosialisasi pentingnya mengenai ini bagaimana?? Itulah yang sebenarnya tugas daripada Bimas Islam, yang ada didepartemen Agama. Bimas Islam itu “Bimbingan Masyarakat Islam” yang harus turun kebawah dengan tujuan menjelaskan kepada masyarakat muslim di Indonesia. Dan itulah yang sebenarnya tugas-tugas para pegawai kantor urusan agama untuk menjelaskannya. Jadi orang-orang KUA tidak sekedar menikahkan, mestinya mereka mengadakan penjelasan atau mensosialisasikan, mengarahkan tentang hal tersebut kepada masyarakat.
89
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89