Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
PANDANGAN FILSAFAT ETIKA REALISME, IREALISME, ABSOLUTISME DAN RELATIVISME ETIKA DALAM KEHIDUPAN MANUSIA MODERN Fahrurrozi & Ishak Hariyanto Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram Email:
[email protected] Abstract Ethics or morality philosophy cannot be separated from human life because it sets the aspect of our lives. Just imagine if the world has no morality, then the consequences will be the world where no one has conscience and ever feel guilty or sorry for what they do and do not do. In concept of ethical philosophy, of course, the fierce debates and criticisms happen among each school because among these schools, each of them has different assumption in looking at moral phenomenon such as: realism, irrealism, absolutism, and relativism. So the questions are: what is the basic view of each ethisc in modern human life? What are the challenges of ethical absolutism and relativism when they face moral phenomenon and how are the forms of criticism among each school? This article discusses about moral philosophy school, namely:realism and irrealism ethics, absolutism and relativism ethicswhich have own views. Realism ethics has view that the objects of our senses are real and they live by themselves without leaning to any knowledge or mind awareness of other people, in other words, realism rests on objects and it does not rely on mind perception. The ethics of Irrealism or anti-realism ethics states that objects of scientific knowledge exist as in real life. The ethics of absolutism states that the ethics of goodness and truth exist universally without any exception. The ethics of relativism states that goodness and truth relatively depend on cultural context and there is no universal truth because a concept in certain place is not same as other places. Keywords: Realism Ethics, Irrealism, Absolutism, and Relativism.
60
Pandangan Filsafat Etika Realisme, Irealisme, Absolutisme dan Relativisme...
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
Abstrak Filsafat etika/moral tidak bisa lepas dari kehidupan manusia karena ia mengatur aspek kehidupan kita. Bayangkan saja apabila dunia ini tidak ada moralitas maka konsekuensinya akan menjadi dunia dimana tidak ada seorangpun memiliki hati nurani, di mana tak seorang pun yang akan pernah merasa bersalah atau menyesal atas apa yang mereka lakukan atau tidak mereka lakukan. Dalam konsep filsafat etika tentu saja terjadi perdebatan serta kritikan-kritikan yang sengit diantara masing-masing aliran, karena diantara aliran-aliran ini masing-masing memiliki asumsi yang berbeda-beda dalam memandang fenomena moral seperti realisme, irealisme, absolutisme, dan relativisme. Lalu pertanyaannya adalah: Bagaimanakah pandangan dasar masingmasing aliran etika tersebut dalam kehidupan manusia modern? Apa saja tantangan absolutisme etika dan relativisme ketika berhadapan dengan fenomena moral, lalu bagaimanakah bentukbentuk kritikan diantara masing-masing aliran tersebut? Tulisan ini berbicara mengenai aliran filsafat moral yakni realisme dan irealisme etika, absolutisme dan relativisme etika yang masing-masing memilki pandangan tersendiri. Realisme ini memiliki pandangan bahwa obyek-obyek indra kita adalah yang riil dan berada sendiri tanpa bersandar kepada pengetahuan lain atau kesadaran akal orang lain, dengan kata lain realisme bersandar pada benda-benda dan tidak bersandar pada persepsi akal. Irealisme etika atau anti-realisme etika berpendapat bahwa objek-objek pengetahuan ilmiah eksis sebagaimana yang ada di alam nyata ini. Absolutisme yang berpandangan bahwa etika kebaikan dan kebenaran itu ada secara universal tanpa terkecuali. Relativisme memandang kebaikan dan keburukan itu relatif tergantung dari konteks budaya masing-masing, dan tidak ada kebenaran secara universal karena sebuah konsep di suatu tempat belum tentu sama di tempat yang lain. Kata Kunci: Etika Realisme, Irealisme, Absolutisme, Relativisme.
Fahrurrozi & Ishak Hariyanto
61
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
A. Pendahuluan Berbicara tentang filsafat moral tentu sangat berbeda sekali dengan sosiologi, antropologi, biologi dan bahkan psikologi. Karena satu perbedaan yang sangat penting adalah: didalam filsafat moral kita tidak mengabaikan diri kita dari pandangan moral kita sendiri, baik dalam cara kita bersikap ketika kita terlibat dalam sebuah kasus atau fenomena tertentu.1 Moral memang sangat penting sekali dalam kehidupan kita, bayangkan saja andaikan dunia tanpa moralitas itu akan menjadi sebuah dunia di mana tidak ada seorang pun memiliki keyakinan tentang moral entah itu apa yang disebut dengan benar dan yang salah, baik atukah buruk. Maka Konsekuensinya akan menjadi dunia dimana tidak ada seorangpun memiliki hati nurani, di mana tak seorangpun yang akan pernah merasa bersalah atau menyesal atas apa yang mereka lakukan atau tidak mereka lakukan. Meninjam bahasa Sokrates “kita sedang membicarakan masalah yang tidak kecil, yakni mengenai bagaimana kita harus hidup”.2 David Copp, The Oxford Handbook of Ethical Theory, (Oxford University Press, 2006), 5. 2 Kata-kata tersebut diambil dari Socrates yang di populerkan oleh Plato dalam Republik sekitar 390 SM, yang dikutip penulis dalam buku James Rachels, The Elements of Moral 1
62
Karena kita mebicarakan masalah besar yakni tentang moral maka banyak juga kontroversi tentang makna moral. Filsafat moral sesungguhnya upaya untuk mensistematisasikan pengetahuan tentang hakikat moralitas dan apa yang di tuntut dari kita seperti kata Sokrates, tentang “bagaimana seharusnya hidup” dan mengapa demikian. Maka akan sangat berguna jika kita memulainya dengan sebuah definisi yang sederhana dan tidak kontroversial mengenai moralitas. Mengutip pendapat Emmet Barcalow mengenai moral yakni: There would be no moral restrains or constraints on peoples behavior. It would be also be a world in which there was no conception of vice and virtue, kindness, honesty and compassion would not be considered morally better than cruetly, dishonesty and malevolence. no distinction would be made between justice and injustice. no one would be believe that anyone has any moral rights or duties. no one would ever claim or believe that people have a moral right to life or right to freedom of expression or that we have a moral duty to refrain from harming others.3 Phylosophy, terj. A. Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 17. 3 Emmet Barcalow, Moral Philosophy Theories And Issues, (United States of America: Wadsworth Publishing Company, 1998), 1.
Pandangan Filsafat Etika Realisme, Irealisme, Absolutisme dan Relativisme...
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
Terjemahan: bayangkan saja andaikan dunia tidak ada moralitas, maka tidak akan ada yang mampu menahan kendala serta perilaku yang ada pada manusia. Hal ini juga akan menjadi sebuah dunia di mana tidak akan ada konsepsi mengenai kebajikan, kebaikan, kejujuran dan kasih sayang. Semuanya tidak akan bisa dianggap secara moral lebih baik daripada ketidak jujuran dan kedengkian. Dan tidak akan ada perbedaan antara keadilan dan ketidakadilan. Tidak ada yang akan percaya bahwa seseorang memiliki hak moral atau kewajiban. Tidak ada yang akan pernah mengklaim atau percaya bahwa orang-orang memiliki hak moral untuk hidup atau hak untuk kebebasan berekspresi dan bahkan kita memiliki kewajiban moral untuk menahan diri dari menyakiti orang lain.
Selain itu juga dunia tanpa moralitas tidak akan ada secara moral dengan benar atau salah, baik atau buruk. Dunia tanpa moral maka manusia tidak akan bermoral serta kebaikan dunia akan diganti menjadi kekejaman, perbudakan. Tidak akan ada rasa keadilan karena tidak adanya moralitas. Orang yang tidak bermoral tidak akan bisa dituduh melakukan kejahatan, tidak ada yang memiliki tugas amoral untuk mengurangi bahaya serius yang diberlakukan kepada orang terhadap resiko keinginan mereka. Keyakinan moral
tidak akan mempengaruhi hukum. Jika perkosaan tidak bermoral dan tidak diyakini bermoral maka besar kemungkinan bahwa tidak ada hukum yang melarang itu akan dibentuk.4 Jika hukum moral ini adalah sebuah aturan bagi seluruh umat manusia dalam menjalani hidup, lalu bagaimanakah konsep-konsep kebaikan dan keburukan serta standar moralitas di dalam aliranaliran teori moral seperti realisme dan irealisme etika, absolutisme dan relativisme etika, oleh karena itu alangkah baiknya penulis mencoba menjabarkan serta menganalisis prinsip-prinsip dasar dari masingmasing aliran tersebut. B. Pandangan Realisme Etika dan Irealisme Etika Dalam filsafat moral tentu saja memiliki banyak aliran, akan tetapi dalam konteks ini kita membahas pandangan realisme dan irealisme tentang konsepsi etika. Bagaimanakah asumsi dasar serta kritikan realisme dan irealisme sehingga memunculkan perdebatan diantara keduanya, oleh karena itu sangat menarik sekali untuk kita analisis. Dalam makalah yang singkat ini tentu saja penulis tidak bisa menjabarkan secara detail mengenai aliran filsafat ini akan 4
Ibid., 2-3.
Fahrurrozi & Ishak Hariyanto
63
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
tetapi paling tidak penulis mencoba untuk mengeksplorasi ide-ide pokok dari aliran realisme ini. Realisme adalah aliran filsafat yang mulai masuk ketika abad 10, aliran ini muncul di Inggris dan Amerika utara. Kata realisme ini memiliki perbedaan-perbedaan arti kata seperti real, reality dan realism. Real berarti yang aktual atau yang ada, kata ini menunujukkan pada benda-benda atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh, dalam artian bukan hanya sekedar hayalan atau dalam pikiran kita. Reality adalah keadaan atau sifat benda yang real, sedangkan Realism berarti kepatuhan kepada fakta, kepada apa yang terjadi bukan kepada apa yang di harapkan atau yang diinginkan, karena dalam aliran realisme dipakai dalam arti yang teknis.5 Dalam aliran realisme ini memiliki tiga aliran besar atau modern yakni: Pertama, realisme mekanis yang lebih condong kepada materialisme. Kedua, realimse obyektif, yang cenderung kepada idealisme, dasar eksistensinya akal, jiwa sebagai keseluruhan organik. Ketiga, realisme pluralistik yang beranggapan dan condong kepada bahwa realitas itu pluralistik dan terdiri atas bermacam-mcam jenis Harold H. Titus dkk, Living Issues Philosophy, terj. Rasjidi, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1984), 328. 5
64
jiwa dan materi hanya merupakan dua dari beberapa jenis lainnya.6 Seiring perjalanan sejarah pada abad ke-20 di Amerika timbul gerakan realisme yang terbagi menjadi dua yakni new realis dan critical realis. Kelompok new realis ini menolak subyektivisme, monisme, dan 7 absolutisme, segala filsafat mistik dan pandangan bahwa benda-benda yang non-mental itu diciptakan atau diubah oleh akal yang maha mengetahui, mereka mengaku kembali kepada doktrin common sense tentang dunia yang riil dan obyektif diketahui secara lansung oleh rasa indrawi, pengetahuan tentang suatu obyek tidak mengubah obyek tersebut, pengalaman dan kesadaran kita bersifat selektif dan bukan konstitutif, ini berarti kita memilih untuk memperhatikan bendabenda tertentu lebih daripada yang lain, kita tidak mengubah benda Ibid., 330. Subyektivisme adalah suatu pandangan bahwa komitmen bersifat subjektif semata. Sedangkan monisme adalah pandangan yang harus menemukan kebenaran hanya satu saja, dan absolutisme dalam pandangan ilmu politik adalah tidak ada pembatasan bagi hak dan kekuasaan pemerintah, sedangkan dalam konteks moral bahwa absolut ini terdapat ide-ide standar moral yang tak terbantahkan sehingga tidak mungkin yang absolut itu berasal dari keinginan kebijakan atau preskripsi manusia yang berpotensi untuk berubah sewaktuwaktu. Lihat Simon Blackkburn dalam Kamus Filsafat terbitan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2013. 6 7
Pandangan Filsafat Etika Realisme, Irealisme, Absolutisme dan Relativisme...
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
tersebut hanya kita mengalaminya. Contoh: “ada meja di ruangan ini” jadi meja itu tidak terpengaruh oleh adanya pengalaman kita atau tidak adanya pengalaman kita tentang meja tersebut. Sedangkan critical realis menolak apa yang menjadi pandangan new realis di atas.8 Bagi critical realis berpandangan bahwa sesungguhnya kesadaran atau persepsi kita tentang bendabenda itu bersifat lansung dan tanpa perantara seperti yang dikira. Jadi benda-benda yang di luar diri kita sesungguhnya tidak berada dalam kesadaran kita. yang ada dalam kesadaran kita hanya data rasa serta gambaran-gambaran mental. Data rasa yang menunjukkan watak dari dunia luar serta watak dari akal yang mempersepsikan, jadi data rasa itu menghubungkan antara akal yang mengetahui dengan obyek. Indra kita sering menunjukkan obyekobyek dan dengan begitu indra menjelaskan kepada kita watak dari dunia luar. Karena pendekatan yang digunakan oleh critical realis ini berfungsi untuk memahami dan menjelaskan ilusi, halusinasi dan kesalahan-kesalahan lain karena data rasa dapat keliru.9 Lalu apakah realis ini memilki implikasi, tentu saja memiliki implikasi karena seorang realis
melukiskan dunia sebagaimana adanya dan tidak menurut keinginannya, orang realis bersandar kepada akal dan bermaksud menyesuaikan diri dengan alam.10 Karena Realisme ini memiliki pandangan bahwa obyek-obyek indra kita adalah yang riil dan berada sendiri tanpa bersandar kepada pengetahuan lain atau kesadaran akal orang lain, dengan kata lain realisme bersandar pada benda-benda dan tidak bersandar pada persepsi akal semata.11 Dalam buku The Oxford Handbook Of Ethical Theory David Copp dalam Geoffrey Sayre-McCord mengatakan bahwa: Moral realism takes an optimistic view on the issue of whether moral convictions can be correct or cogent. In the opening chapter, Geoffrey Sayre-McCord characterizes moral realism as the position that (1) there are moral facts, (2) people’s moral judgments are made true or false by the moral facts, and (3) the mere fact that we have the moral beliefs we have is not what makes the moral facts be as they are.12
Berbeda lagi bagi aliran selanjutnya, yakni irealisme (antirealis). Anti-realisme menentang 10
8
11
9
12
Harold H. Titus dkk, Living Issues..., 331. Ibid., 332-333.
Ibid. Ibid.
David Copp, The Oxford Handbook of..., 6.
Fahrurrozi & Ishak Hariyanto
65
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
apa yang menjadi landasan penilaian realisme, dimana anti realis berpendapat bahwa objekobjek pengetahuan ilmiah eksis sebagaimana yang ada di alam nyata. Pandangan ini sebagai contohnya adalah instrumentalisme dan 13 konstruktivisme. Instrumentalisme 13
Instrumentalisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa teori ilmiah dianggap sebagai instrumen untuk menghasilkan prediksi-prediksi baru atau teknik baru bagi pengendalian kejadian, namun dirinya di dunia yang memungkinkan dan tampaknya memfasilitasi pemikiran kita dengan suatu cara yang penting namun bukan untuk menyediakan suatu tempat dalam ontologi kita. Dalam instrumentalisme cenderung menolak adanya sebuah pemilahan riil, karena dalam filsafat seperti itu semua keyakinan hanyalah penerimaan terhadap sistem yang dianggap paling benar. Simon Blacburn, Kamus Filsafat. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 452.
Konstruktivisme dikemukakan Von Glasersfeld yang mengatakan bahwa seseorang itu memperoleh pengetahuan adalah karena keaktipan individu itu sendiri. Apabila konstruktivisme ini dikaitkan dengan Konsep pembelajaran, maka menurut teori konstruktivisme adalah suatu proses pembelajaran yang mengkondisikan seseorang untuk melakukan proses aktif membangun konsep baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Oleh karena itu, proses pembelajaran harus dirancang dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu mendorong seseorang mengorganisasi pengalamannya sendiri menjadi pengetahuan yang bermakna. Jadi, dalam pandangan konstruktivisme sangat penting peranan individu itu agar memiliki kebiasaan berpikir maka dibutuhkan kebebasan. Menurut teori ini juga perlu disadari bahwa individu adalah sebagai subjek utama dalam penemuan pengetahuan. Mereka menyusun dan membangun pengetahuan melalui berbagai pengalaman yang memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Mereka harus
66
berpandangan bahwa objek-objek dalam ilmu pengetahuan dinilai dari kebergunaan. Maka dari itu, mereka berpendapat bahwa objekobjek ilmu pengetahuan lebih berdasarkan pada apa yang bisa dipercaya daripada kebenaran. Mereka lebih memfokuskan diri pada sisi pragmatisme dari objek-objek itu. Di sisi lain Konstruktivisme, berpendapat bahwa objek-objek ilmu pengetahuan merupakan hasil konsensus (kesepakatan). Konsesnsus ini digunakan karena fakta-fakta itu diciptakan oleh para ilmuan sehingga kadang seseorang bisa mempercayai bidang-bidang ilmu tertentu yang bersifat realis, dan kadang juga mempercayai yang tidak realis. Sebagai contoh; seseorang bisa mempercayai bagian ilmu alam seperti: fisika, kimia, dan biologi sebagai realis, sedangkan dia bisa berpendapat bidang ilmu seperti; psikologi, ekonomi, sebagai yang tidak realis.14 Anti-realis menolak moralitas yang gagasannya hanya berdasarkan pada fakta moral semata/indra, karena bagi anti-realis sesuatu yang menjalani sendiri berbagai pengalaman yang pada akhirnya memberikan pemikiran tentang pengetahuan-pengetahuan tertentu. Silahkan baca Arif Rohman, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Mediatama, 2009), 6-19. 14
http://www.filsafatilmu.com/artikel/ pengertian/realisme-ilmiah-dan-anti-realismeilmiah.
Pandangan Filsafat Etika Realisme, Irealisme, Absolutisme dan Relativisme...
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
benar-benar itu yang tampak di alam ini dan akal memainkan peranan. Beberapa anti-realists memang mengakui bahwa ketika kita berpikir mengenai moral dan itu akan menjadi fakta moral. Pemikiran serta praktek moral yang mereka pegang, apabila sesuatu itu masuk akal dan memang benar-benar menjadi fakta moral, karena anti-realis lebih memberikan kebebasan kepada manusia atau peranan individu dalam mencari kebenaran yang berdasarkan datadata dan fakta berdasarkan yang ada di alam ini.15 C. Konsepsi Absolutisme Etika Konsepsi mengenai keberadaan etika secara absolut itu apakah ada atau tidak, akan tetapi paling tidak etika absolut ini memang sempat membanjiri wacana tentang konsep etika sejak abad pertengahan, sebelum abad 20 dimana konsep absolutisme ini di rekomendasikan oleh Immanuel Kant seorang filsuf ternama yang mewakili era pencerahan atau afklarung pada abad k-18 kita semua pernah membaca bahwa di Eropa Barat mengalami suatu zaman baru yakni zaman pencerahan.16 Atau senada
David Copp, The Oxford Handbook of..., 41-42. S.P. Lili Tjahjadi, Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif Kategoris, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 25. 15
16
dengan zaman yang disebut dengan enlightenment.17 Ajaran Kant tentang etika bagi kebanyakan orang mengatakan terdiri dari etika yang sangat murni. Dalam prinsip akal budi praktis yang murni terdiri dari prinsip-prinsip praktis dalam arti proposisi-proposisi yang berisi ketentuan umum kehendak, yang memiliki beberapa aturan praktis. Prinsip-prinsip itu bersifat subjektif, atau merupakan maksim-maksim, ketika kondisi ini dianggap oleh subjek benar hanya bagi kehendaknya sendiri. Prinsipprinsip itu bersifat objektif, atau merupakan hukum praktis, ketika kondisi tersebut diketahui oleh subjek secara objektif, yakni benar untuk kehendak setiap makhluk yang rasional.18 Etika dalam pandangan Kant yakni sebuah sistem aturan yang harus diikuti karena wajib tanpa peduli pada apa yang diinginkan atau Enlightenment merupakan periode pemikiran Eropa yang dicirikan oleh penekanan terhadap pengalaman dan rasio, tidak mempercayai agama dan otoritas tradisional, dan terjadi kemunculan bertahap ideal-ideal tentang masyarakat yang liberal, sekuler dan demokratis. Di Inggris, gerakan ini dimulai pada abad ke-17 lewat tulisan tulisan Francis Bacon dan Hobbes. Sedangkan di Perancis lebih pada penekanan baru terhadap rasio dan di tandai oleh Descrates. Sedangkan di Jerman ditandai dengan filsafat kritis Kant. Simon Blacburn, Kamus..., 280. 18 Immanuel Kant, Critique of Pure Reason, (New York: The Liberal Arts Press, 1956), 29. 17
Fahrurrozi & Ishak Hariyanto
67
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
dimaui seseorang. Namun hanya sebagian filsuf saja yang membela gagasan pokok dari etikanya, yakni “imperatif kategoris”. Seperti yang dirumuskan oleh Kant imperatif kategoris ini sangat dipenuhi dengan persoalan-persoalan yang berat. Namun pendapat Kant sangat luar biasa sekali dalam memetakan konsep moral. Dalam konteks absolutisme etika ini penulis mengajak untuk mendiskusikan tentang konsep Kant tentang moralitas yang mungkin sering disebut imperatif kategoris.19 Dalam imperatif kategoris ini ada “kewajiban” yang menentukan sikap dan perilaku setiap manusia. Kewajiban itu sendiri menurut Kant adalah paham a priori akal budi praktis yang murni, maka kewajiban itu tidak bersandar dari suatu realitas empiris. Maka Kant menyajikan dua kriteria untuk mengetahui kewajiban itu. Kriteria itu tidak hanya sekedar perintah, lebih dalam lagi Kant menyebutnya dalam Imperatif kategoris. Inti dari imperatif kategoris ini adalah bertindaklah secara moral. Ada dua segi yang perlu dalam imperatif kategoris ini, pertama, bahwa dia berupa perintah, dan kedua, bahwa perintah itu kategoris.20 James Rachels, The Elements of Moral..., 230. Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Jaman Sampai Abad ke-19, (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 145. 19
20
68
Imperatif kategoris ini adalah keharusan yang tidak bersyarat, melainkan mutlak. Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan karena perintah itu baik pada dirinya. Jelas bahwa bertindak secara moral tidak tergantung pada berbagai maksud baik atau tujuan atau kondisi, melainkan berlaku kapan dan di mana saja dalam situasi apapun. Bertindak secara moral dirumuskan oleh Immanuel Kant sebagai berikut, “Bertindaklah semata-mata menurut prinsip 21 maksim (maxim) yang dapat 21
Maxim selanjutnya ditulis (maksim) adalah perintah subjektif dalam bertindak, sikap dasar hati orang dalam mengambil sikap-sikap dan tindakantindakan yang konkret. Maksim bukan segala macam pertimbangan. Maksim adalah sikap-sikap dasar yang memberikan arah bersama kepada sejumlah maksud dan tindakan konkret. Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika Sampai…, 147.
Maxim umumnya adalah aturan atau panduan sederhana dan mudah diingat untuk menjalani hidup: seperti contoh: mustahil pengutang bisa memberi pinjaman. Sedangkan Tennyson membicarakan tentang maksim, yakni sekumpulan maksim yang dikhotbahkan langsung ke hati anak perempuan sehingga maksim diasosiakan dengan pendekatan pepatah bagi moralitas. Dalam penggunaan Kant setiap tindakan muncul sesuai dengan maksim atau prinsip subjektif yang bersesuaian sehingga tindakan itu-pun dilakukan. Bentuk pertamanya adalah imperatif kategoris yang menegaskan bahwa kita hanya bisa memberi tahu apakah sebuah tindakan sudah benar dengan melihat apakah maksimnya dapat diniatkan secara konsisten untuk menjadi hukum universal. Sedangkan dalam Maximin Principle (prinsip maksim) yang kemukakan
Pandangan Filsafat Etika Realisme, Irealisme, Absolutisme dan Relativisme...
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
sekaligus dan dikehendaki menjadi hukum umum.”Maksim itu menjadi dasar penilaian moral terhadap orang lain. Etika yang mendasarkan pada maksim lebih tepat dibandingkan etika peraturan atau norma-norma.22 Jadi dalam pandangan Kant bahwa absolutisme etika itu memang ada seperti kebaikan yang di terima secara universal oleh semua orang tanpa terkecuali, karena dia berpandangan bahwa melakukan hal yang baik itu adalah sebuah kewajiban atau yang disebut dengan etika deontologis (deontological ethics).23 Menurut Kant Cara untuk melakukan kebaikan agar di terima secara universal dan oleh John Rawls mengatakan prinsip maksim adalah teori keputusan yang menyatakan bahwa minimal dalam sejumlah situasi keputusan yang benar adalah yang sanggup memaksimalkan hasil minimum. Dari situlah istilah ini berasal, maksimalisasi yang minimum yaitu mebuat hasil yang terburuk menjadi sebaik mungkin, pendapat ini sering di deskripsikan sebagai pembalikan resiko. Prinsip ini merupakan komponen kunci dalam karya John Rawls yang sangat berpengaruh yakni A Thery of Justice, Simon Blacburn, Kamus..., 541-532. 22 Franz Magnis-Suseno, 13 Tokoh Etika: Sejak Jaman Yunani Sampai ..., 146. 23 Deontological Ethics (Etika Deontologis) merupakan etika yang berdasarkan konsep tentang kewajiban, atau apa yang benar, hakhak, lawan dari sistem etika yang berdasarkan ide dasar meraih sejumlah kondisi hubungan baikatau kualitas-kualitas karakter yang dibutuhkan untuk hidup dengan baik. Sistem deontologis ini disuarkaan oleh Kant. Lihat Simon Blackburn, Kamus ..., 230.
absolut itu kita wajib melakukan apa yang menjadi tugas kita melalui prinsip-prinsip penguniversalan dimana kita merencanakan untuk bertindak dan mempertimbangkan implikasi dari prinsip-prinsip tersebut untuk menjadi hukum universal yang disebut “categorical imperative” atau berlaku mendesak secara kategoris.24Meskipun bagi kantian beranggapan bahwa dalam etika absolut serta keuniversalan etika itu memang ada, akan tetapi yang jadi permasalahannya disini masih bersifat abstrak seperti dikutip berikut ini: According to Kant deontology, the ultimate principle of morality must be a moral law conceived so abstractly that it is capable of guiding us to the right action in application to every possible set of circumstances. So the only relevant feature of the moral law is its generality, the fact that it has the formal property of universalizability, by virtue of which it can be applied at all times to every moral agent. From this chain of reasoning about our ordinary moral concepts, Kant derived as a preliminary statement of moral obligation the notion that right actions are those that practical reason would will as universal law.25 David M. Kaplan, Recoeur’s Critical Theory, terj. Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Utama Yogyakarta 2010), 155. 25 http://www.philosophypages.com/ hy/5i.htm. 24
Fahrurrozi & Ishak Hariyanto
69
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
Terjemahannya: Berdasarkan deontoliginya Kant, dia mengatakan bahwa moralitas harus dijadikan sebagai dasar kewajiban, serta prinsip-prinsip hukum. Dalam konsepsi moralitas yang abstrak itu sesungguhnya mampu membimbing kita kepada tindakan yang tepat dalam keadaan apapun. Jadi satu-satunya bagian yang sesuai dari hukum moral itu adalah keumumannya, faktanya moral memiliki sifat formal dari keuniversalannya yang dapat diterapkan pada setiap saat bagi para pelaku moral. Dari keseluruhan nalar kita tentang konsep moral, Kant memberikan pernyataan tentang kewajiban moral itu sendiri, kewajiban moral itu dalam gagasannya adalah setiap tindakan yang tepat adalah mereka yang melakukan tindakan yang bermoral secara praktis atas kemauannya tanpa tujuan tertentu itulah yang disebut dengan hukum universal. Akan tetapi bagi penulis absolutisme etika disini sesungguhnya sangat abstrak sekali untuk dipahami, dan bahkan absolutisme etika itu hanya ada dalam persepsi semata, karena absolutism etika terbantahkan oleh relativisme etika, keuniversalan etika itu terlalu abstrak, dan bahkan sangat sulit diterima secara rasional. Henry Hazlitt dalam Herbert Spencer mengatakan bahwa tidak ada
70
kebenaran etika itu secara universal dan absolut, karena bagi Spencer keabsolutan itu hanya terdapat di dalam “manusia yang ideal dan manusia yang sempurna” dalam artian manusia yang sempurna itu hanya terdapat di dalam masyarakat sempurna. Dunia yang sempurna adalah dunia yang di dalamnya semua keinginan kita terpuaskan dengan segera dan secara penuh.26 Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan sesuatu itu baik secara universal dan absolut akan tetapi baik itu tergantung pada kebudayaan tertentu. Seperti contoh: Ketika kita memberikan uang kepada pengemis yang ada di jalanan. Dan apakah ini dikatakan baik secara universal, belum tentu itu baik secara universal karena di tempat-tempat yang lain atau dalam budaya yang lain memberi kepada pengemis itu dianggap hanya ingin dapat pujian atau citra semata, dan bahkan mungkin memberi kepada pengemis itu karena keterpaksaan. Dari contoh tersebut bagi penulis, kebaikan yang dianggap universal dan absolut dalam konsepnya Kant sangat tergantung pada masingmasing budaya yang dipercayai masyarakat. Henry Hazlitt, The Foundations of Morality, terj. Cuk Ananta Wijaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 195. 26
Pandangan Filsafat Etika Realisme, Irealisme, Absolutisme dan Relativisme...
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
D. Kritikan Kaum Relativisme Terhadap Universalitas Etika Banyaknya para pemikir serta etikus dalam memaknai kode moral serta konsepsi tentang moral, akan tetapi dari perbedaan inilah yang akan membuat horizon pengetahuan kita semakin luas dalam memaknai suatu fenomena yang terjadi di tengnah-tengah masyarakat. Kritikan terhadap gagasan-gagasan mengenai kebenaran etika secara universal hanya dalam pikiran semata akan tetapi tidak bisa dipertanggungjawbakan secara rasional. Bagi pandangan relativisme bahwa setiap kebudayaan yang ada di dunia ini memiliki standar etika serta regulasi masing-masing sesuai dengan konteks adat istiadat serta budayanya. Karena dalam konsep moralitas sudah barang tentu akan berbeda-beda dalam setiap masyarakat dan merupakan kesepahaman yang pas untuk kebiasaan-kebiasaan yang di setujui bersama.27 Konsepsi tentang apa yang disebut salah dan benar yang kadangkadang menjadi acuan etika akan tetapi dalam pandangan kaum relativisme salah dan benar itu selalu terikat oleh kebudayaan tertentu, jadi anggapan kebenaran secara universal itu bagi kaum relativis
sesungguhnya tidak ada, akan tetapi yang ada hanya kebenaran sesuai dengan konteks budaya masingmasing.28 Dalam hal ini mengutip pendapat Emmet Barcalow dalam William Graham summer mengenai relativisme moral mengatakan: There is no permanent or universal standard by which right and truth in regard to these metters can be established and different folkways compared and criticized.29
Pemikiran-pemikiran yang beranggapan obyektivitas dan universalitas dalam moral itu sesungguhnya tidak ada sama sekali, karena kebenaran yang obyektif dan universal itu hanya tergantung dari kode-kode serta lambang budaya masing-masing inilah yang disebut dengan “relativisme kultural” yang anggapan dasarnya bahwa tidak ada kebenaran secara universal karena sebuah konsep di suatu tempat belum tentu sama di tempat yang lain. di antara pandangan-pandangan dasar kaum relativis ini penulis mencoba menjabarkan seperti berikut: a. Masyarakat yang berbeda pasti memiliki kode moral yang berbeda
Ibid., 45. Emmet Barcalow, Theories..., 48. 28
27
42.
James Rachels, The Elements of Moral...,
29
Moral Philosophy
Fahrurrozi & Ishak Hariyanto
71
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
b. Kode moral dari suatu masyarakat hanya benar dan belaku dalam masyarakat itu saja c. Tidak ada standar untuk menilai secara obyektif suatu budaya lebih baik dari pada yang lain d. Tidak ada kebenaran yang universal dalam etika, tidak ada kebenaran-kebenaran moral yang berlaku untuk semua orang dalam segala zaman e. Apabila kita menilai perilaku dengna standar kita maka itu adalah sikap kesombongan dalam diri kita, karena kita tidak memilki sikap toleransi terhadap paraktek30 praktek budaya lain. Lalu apakah bagi kaum relativisme memilki kepercayaan terhadap moralitas, penulis mengutip dalam buku Moral Philosophy yang mengatakan: Enslave people, oppress women or abuse children are wrong. But the moral beliefs are no more true, correct, or reasonable. Because according to the Bruteland societies has the opposite moral beliefs, enslave people, oppress women abuse children that is not wrong.31
Henry Hazlitt, The Foundations..., 446-47. Emmet Barcalow, Moral Philosophy Theories..., 58. 30
31
72
Dari kutipan di atas memang bagi para penganut relativitas mengakui adanya kebaikan dan keburukan, seperti perbudakan terhadap orang lain, penindasan terhadap perempuan dan melakukan tindakan kekerasan terhadap anakanak itu sesungguhnya sesuatu yang dianggap salah. Akan tetapi benar dan salah itu tergantung dari sebuah kepercayaan serta tradisi yang ada di dalam masyarakat tertentu. Maka untuk lebih jelasnya alangkah baiknya penulis mengajak pembaca untuk memulai dengan contoh-contoh agar kita mampu menganalisis dan memahami secara lebih jauh lagi tentang apa yang dimaksud dengan konsepsi relativitas dalam etika, dalam contoh kasus misalnya seperti ini: “Budaya atau ritual yang dilakukan oleh masyarakat Lombok sebelum melakukan perkawinan harus memaling32 (mencuri) gadis terlebih dahulu, dalam artian seorang lakiMemaling dalam bahasa Indonesia adalah mencuri, akan tetapi memaling ini memiliki makna yang lebih spesifik yakni sebuah perkawinan, pernikahan atau konsep dalam masyarakat suku Sasak ketika menjalankan tradisi perkawinan, karena fenomena budaya kawin lari ini sangat menarik karena merujuk pada masyarakat yang menganut sistem perkawinan yang meyakini bahwa secara kebudayaan adalah sebuah cara yang paling disetujui karena ini termasuk dalam penjagaan kearifan lokal (local wisdom) yang dimana kaum laki-laki dalam menunjukkan superioritas dan kejantanannya adalah sebagai respon dari 32
Pandangan Filsafat Etika Realisme, Irealisme, Absolutisme dan Relativisme...
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
laki jika ingin kawin maka harus memaling membawa perempuan lari dari rumah orang tuanya untuk di nikahkan”.33
Dari contoh kasus yang ada dalam masyarakat Lombok di atas tentu saja secara etika memang benar dalam pandangan masyarakat Lombok, akan tetapi yang jadi pertanyaannya adalah apakah kebudayaan kawin lari itu bisa berlaku di tempat yang lain atau tidak? tentu saja tidak bisa berlaku di tempat lain, karena peranan etika secara relativitas disini berlaku secara rasional, karena standar etika yang berlaku dalam masyarakat lombok bahwa harus mencuri gadis terlebih dahulu sebelum melakukan perkawinan. Maka dari itu hal ini menandakan bahwa kebenara etika secara universal itu tidak ada dan karena itu juga kita tidak bisa menerima kebenaran etika kawin lari itu secara universal andaikan kita menerima kebenaran etika kawin lari itu secara universal lalu dimanakh letak kebenaran yang universal tersebut?
dominasi politik dan ekonomi dari kekuatankekuatan internal dan eksternal. 33 Contoh ini merupakan analisis penulis dari refleksi terhadap fenomena budaya kawin lari yang dilakukan oleh masyarakat Lombok, akan tetapi untuk lebih jelasnya bisa dilihat dalam buku, Erni Budiwanti Islam Sasak, Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta: LkiS, 2000), 262-263.
Jadi menurut analisis penulis mengenai relativitas etika itu memang berlaku secara kebudayaan sesuai dengan nilai-nilai budaya yang berlaku dalam masyarakat dan belum tentu bisa berlaku dalam masyarakat lain, dan memang jelas kebenaran secara universal itu sama sekali tidak memilki tempat. Dalam hal ini mengutip James Rachels dala William Graham Summer yang mengatakan bahwa tidak ada ukuran benar atau salah kecuali dari standar masyarakat itu sendiri, kebenaran harus dipahami sesuai dengan tata cara masyarakat. Karena penekanan dari relativitas ini adalah “kita tidak bisa berkata bahwa adat kebiasaan masyarakat lain lebih rendah derajat moralnya dari adat kebiasaan masyarakat kita”.34 Karena kita harus menghentikan kecaman terhadap masyarakat lain hanya karena mereka berbeda, oleh karena penekanan dari aliran relativitas ini adalah tidak ada konsep kebenaran etika secara universal, semuanya hanya tergantung dari konteks masyarakat dimana ia tinggal dan mengatur konsepsi-konsepsi etikanya masingmasing. Dalam pandangan yang lain relativisme ini sesungguhnya ber bicara tentang apa yang benar dan salah, baik dan jahat, akan tetapi semua ini tergantung James Rachels, The Elements of Moral..., 51.
34
Fahrurrozi & Ishak Hariyanto
73
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
pada masyarakat dimana tempat mereka hidup. Jadi kita tidak bisa menghakimi komunitas lain dengan tata tertib yang mengatur komunitas kita sendiri sebab apabila kita melakukan hal ini berarti menganut imperialisme kultural. Oleh karena itu tidak dibenarkan pabila kita menghakimi siapapun karena berbeda pandangan dengan kita. karena masyarakat yang berbeda tidak saja mempunyai kebiasaan yang berbeda, mereka juga dapat memiliki keyakinan filosofis yang berbeda mengenai hakekat moral.35 E. Refleksi Aliran Realisme, Irealisme, Absolutisme Dan Relativisme Etika Dalam Kehidupan Manusia Modern Mari sejenak kita refleksikan masing-masing aliran tersebut dalam kehidupan manusia modern. Apakah aliran-aliran tersebut masih relevan dalam kehidupan kita saat ini ataukah memang aliran-aliran tersebut hanya sebatas aliran tanpa makna. Maka dari itu, dalam hal ini penulis mencoba menganalisa aliran tersebut satu-persatu. Aliran realisme etika yang berpandangan bahwa obyekobyek indra kita adalah yang riil dan berada sendiri tanpa bersandar Jenny Teichman, Social Ethics A Student’s Guide, terj. A. Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), 10-11. 35
74
kepada pengetahuan lain atau kesadaran akal orang lain, dengan kata lain realisme bersandar pada benda-benda dan tidak bersandar pada persepsi akal. Pandangan ini sebenarnya berangkat dari tradisi Aristoteles lalu berkembang menjadi aliran etika. Aliran ini juga tidak bisa lepas dari kehidupan manusia dari zaman klasik sampai modern, karena kita sering menggunakan aliran ini menjadi landasan dalam mencapai kebenaran. Sebagai contoh; ketika kita melihat fenomena tabrakan di jalan raya dan kita menyaksikan sendiri kronologi kejadiaannya dengan akal dan indra kita. Hal tersebut adalah pandangan realisme, karena berangkat dari kesadaran kita sebagai subyek (pelaku sosial), realita memberikan pengetahuan kepada subyek dan subyek memproses pengetahuannya dengan indra yang dimiliki. Meskipun aliran ini sangat mempengaruhi kehidupan manusia modern36, akan tetapi 36
Modern yang dimaksud di sini merujuk pada sikap, mental manusia yang hidup dengan berbagai macam perkembangan tekhnologi informasi. Dari beberapa transformasi yang terjadi, sebut saja transformasi budaya, agama, ekonomi, dan juga politik. Namun yang masih melekat dalam kehidupan manusia postmodrn adalah transformasi informasi-tekhnologi yang super canggih. Transformasi informasi,tekhnologi yang super canggih telah menusuk dan hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat , sebut saja kehadiran radio, televisi, internet dan informasi yang serba instan berdampak pada sikap, mental,
Pandangan Filsafat Etika Realisme, Irealisme, Absolutisme dan Relativisme...
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
aliran ini memiliki kelemahan. Kelemahannya adalah, apabila selalu mendengungkan indra kita dalam melihat fenomena maka kita tidak akan tahu makna terdalamnya, karena indra ini kadang bisa menipu, seperti kita melihat gunung dari kejauhan terlihat begitu indah, akan tetapi setelah kita melihat lebih dekat ternyata tidak seperti yang kita lihat dari kejauhan. Intinya aliran ini lebih mendengungkan kinerja indra life style masyarakat. Tidak heran jika kehadiran tekhnologi informasi yang supercanggih ditengahtengah kehidupan masyarakat merubah desa-desa, perkampungan dan tidak terkecuali perkotaan menjadi “global village”. Kehadiran informasi yang serba instan hanya dengan hitunggan menit dan bahkan detik cukup hanya di “click” maka semua orang mampu melihat dunia yang dulu asing menjadi takasing lagi. Dunia hiburan, life style, lagu dangdut, jaz, pop, dan rock berkembang dimana-mana dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat.Akibat dari berkembangnya sumbersumber informasi yang canggih berdampak pada gaya hidup masyarakat yang semula belum siap menjadi harus siap menghadapinya, sehingga tidak heran jika masyarakat menjadi ekstasi dan mulai hidup dalam dunia khayal yang kaya akan imajinasi tinggi dan pada akhirnya masyarakat telah menjadi korbantekhnologi informasi tanpa ada filterisasi diri. Dan saatnya manusia modern dan bahkan postmodern. Ekstasi terhadap media tersebut berdampak pada pola pikir masyarakat yang semula hanya penonton media akan tetapi saat ini menjadi masyarakat konsumeris. Masyarakat konsumeris berdampak pada gaya hidup, pola pikir, sikap, mental dan bahkan eksistensi manusia diukur lewat tingkat konsumsinya. Apabila demikian maka saatnya dunia khayal (simulakra) dan matinya dunia sosial mulai menjalar dalam kehidupan manusia. Pendapat ini terinspirasi dari konsep Jean Baudrillard dalam buku Simulacra dan Simulation dan buku The Consumer Society Myths and Structures, (London: SAGE Publications, 1998).
kita dalam melihat fenomena, dan tidak berangkat dari hanya sekedar persepsi. Irealisme etika atau anti-realisme etika berpendapat bahwa objekobjek pengetahuan ilmiah eksis sebagaimana yang ada di alam nyata ini. Aliran ini juga tidak bisa lepas dalam kehidupan manusia modern, karena dalam aliran ada yang menekankan pada perkembangan nilai guna secara kolektif dan perkembangan secara individu. Akan tetapi aliran ini ragu skeptis terhadap nilai-nilai yang di luar kesadaran individu, karena menekankan pada kinerja indra subyek yang memahami dan juga pengetahuan itu sangat tergantung dari kesepakatan konsensus para ilmuan. Aliran ini sangat dekat dengan fenomenologi, yang beranggapan bahwa fenomena itu menunjukkan diri kepada subyek dan subyek memahami fenomena tersebut, karena fenomena eksis berdasarkan apa yang ada di dalam nyata ini. Dan apabila ia tidak eksis dan tidak dapat kita pahami dengan indra-indra kita, maka ia belum bisa menjadi fenomena. Kelemahan aliran ini tidak tetap pendirian, kadang hal yang eksis ia maknai sebagai sesuatu yang realis dan kadang tidak realis,karena bergantung dari kesadaran individu yang memaknainya.
Fahrurrozi & Ishak Hariyanto
75
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
Berbeda dengan absolutisme yang berpandangan bahwa etika kebaikan dan kebenaran itu ada secara universal tanpa terkecuali. Aliran ini sebenarnya diambil dari konsep etika universal Kant. Dalam kehidupan kita saat ini sering menggunakan konsep ansolutisme, karena tanpa absolutisme kita tidak memiliki konsep yang namanya baik dan benar secara absolut, karena dimana ada keburukan pasti terdapat kebaikan dan berlaku dimana saja. Oleh karenanya, kebaikan dan kebenaran bukan berlaku relatif namun ia ada dimanapun tanpa terkecuali. Sebagai contoh; ketika suatu komunitas masyarakat memiliki kebiasaan menjamu tamu dengan memberikan perempuan untuk digauli, karena pemberian tersebut dimaknai sebagai bentuk penghormatan terhadap tamu. Secara sederhana kita menganggap itu adalah hal yang tidak sopan, tidak baik, dan bahkan relatif, akan tetapi secara universal ada konsep kebaikan yang terdapat di dalamnya. Aliran selanjutnya adalah relativisme; aliran ini memandang kebaikan dan keburukan itu relatif tergantung dari konteks budaya masing-masing, dan tidak ada kebenaran secara universal karena sebuah konsep di suatu tempat belum tentu sama di tempat yang lain. Aliran ini memang eksis dalam kehidupan kita dan bahkan
76
sering digunakan sebagai landasan kebenaran. Sedangkan aliran relativisme menganggap bahwa semua ajaranajaran tentang kebenaran, kebaikan dan cinta kasih yang dianut oleh semua manusia tidak ada yang universal karena semuanya serba tergantung. Disatu sisi aliran ini memang ajaran-ajarannya dapat dipertanggunkawabkan, akan tetapi kelemahan aliran ini adalah menganggap semuanya serba tergantung, seperti contoh; kawin lari37 yang dilakukan oleh masyarakat Lombok memiliki nilainilai kebenaran tersendiri sesuai dengan aturan masyarakatnya, akan tetapi belum tentu berlaku di tempat lain di luar Lombok. Kawin lari (Merariq) adalah tradisi masyarakat Lombok atau yang sering disebut dengan pulau Lombok. Pada masyarakat Lombok memiliki suku yang disebut dengan suku Sasak. Kata Merariq ini sama artinya dengan kawin dalam bahasa Indonesia, akan tetapi kata merariq ini dalam bahasa Sasak memiliki makna yang lebih khusus yakni melarikan seorang perempuan untuk dinikahkan. Adat merariq ini berasal dari Bali akan tetapi masyarakat Sasak dituntut untuk menjaganya, karena budaya ini adalah bagian dari peninggalan nenek moyang suku Sasak yang sangat langka dan tidak ada di tempattempat lain. Konsep merariq (kawin lari) ini merupakan salah satu budaya yang masih menjadi ritual bagi masyarakat Sasak dalam melakukan perkawinan. Dalam konteks ini, merariq dikatakan sebagai budaya serta kearipan lokal (local wisdom) yang menjadi kebiasaan masyarakat Sasak yang berasal dari Lombok sendiri ataupun pengaruh dari Bali. 37
Pandangan Filsafat Etika Realisme, Irealisme, Absolutisme dan Relativisme...
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
F. Penutup Dari beberapa aliran filsafat etika di atas penulis mencoba menarik kesimpulan. Dalam aliran-aliran tersebut memiliki pandangan dasar secara tersendiri, oleh karenanya tak heran apabila terjadi perdebatanperdebatan yang sengit diantara masing-masing aliran. Aliran yang pertama yakni realisme etika berpandangan bahwa obyek-obyek indra kita adalah yang riil dan berada sendiri tanpa bersandar kepada pengetahuan lain atau kesadaran akal orang lain, dengan kata lain realisme bersandar pada benda-benda dan tidak bersandar pada persepsi akal semata. Sedangkan aliran realisme ini dikritik oleh aliran irealisme atau anti-realisme etika berpendapat bahwa objek-objek pengetahuan ilmiah eksis sebagaimana yang ada di alam nyata ini, anti-realisme lebih dekat dengan teori konstruktivisme yang berpandangan bahwa apabila
seseorang ingin berkembang maka harus melakukan proses aktif membangun konsep baru, dan pengetahuan baru berdasarkan data. Jadi, dalam pandangan konstruktivisme sangat penting peranan individu itu agar memiliki kebiasaan berpikir maka dibutuhkan kebebasan. Sedangkan Absolutisme yang di usung oleh Immanuel Kant yang berpandangan bahwa etika kebaikan dan kebenaran itu ada secara universal tanpa terkecuali, karena dimana ada kejahatan disana terdapat kebaikan yang universal, meskipun etika absolutnya Kant ini masih cenderung abstrak. Relativisme memandang kebaikan dan keburukan itu relatif tergantung dari konteks budaya masing-masing, dan tidak ada kebenaran secara universal karena sebuah konsep di suatu tempat belum tentu sama di tempat yang lain.
Fahrurrozi & Ishak Hariyanto
77
Komunike, Volume viii, No. 1, Juni 2016
Daftar Pustaka Baudrillard, Jean, The Consumer Society Myths and Structures, (London: SAGE Publications, 1998) Barcalow, Emmet, Moral Philosophy Theories And Issues, (United States of A m e r i c a : Wadsworth Publishing Company, 1998) Blacburn, Simon, Kamus Filsafat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013) Budiwanti, Erni, Islam Sasak, Wetu Telu versus Wetu Lima, (Yogyakarta: LkiS, 2000) Copp, David, The Oxford Handbook of Ethical Theory, (Oxford University Press, 2006) Hazlitt, Henry, The Foundations of Morality, terj. Cuk Ananta Wijaya, ( Yo g y a k a r t a : Pustaka Pelajar, 2003) http://www.filsafatilmu.com/ artikel/pengertian/realismeilmiah-dan-anti-realisme- ilmiah. http://www.philosophypages.com/ hy/5i.htm.
78
Kant, Immanuel, Critique of Pure Reason, (New York: The Liberal Arts Press, 1956) Kaplan, M., David, Recoeur’s Critical Theory, terj. Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Utama Yogyakarta 2010) Rachels, James, The Elements of Moral Phylosophy, terj. A. Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius, 2004) Rohman, Arif, Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: M e d i a t a m a , 2009) Suseno, Magnis, Franz, 13 Tokoh Etika: Sejak Jaman Yunani Sampai Abad ke-19 (Yogyakarta: Kanisius, 1997) Teichman, Jenny, Social Ethics A Student’s Guide, terj. A. Sudiarja, (Yogyakarta: Kanisius, 1996) Titus, H., Harold dkk, Living Issues Philosophy, terj. Rasjidi, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1984) Tjahjadi, Lili, S.P., Hukum Moral: Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika dan Imperatif K a t e g o r i s , ( Yo g y a k a r t a : Kanisius, 1991)
Pandangan Filsafat Etika Realisme, Irealisme, Absolutisme dan Relativisme...