Pancingan Rasisme Sang Jenderal ChanCT Saya SETUJUUU dengan tulisan Made Supriatma dibawah: “Cina Baik-baik” vs “Cina Sok Jago”: Pancingan Rasisme Sang Jenderal. Tulisan sang Jenderal kemarin ini yang bisa dikatakan Pancingan RASISME, “Ingatkan Ahok, kalau sayang sama etnis TIonghoa, jangan sok jago ketika berkuasa!” sekalipun diikuti dengan pernyataan: “Kesian kan Tionghoa lainnya yg baik2 dan/atau yg miskin, kalo ada yg mau mbantai atau menjarah, mereka kan gak bisa kabur ke luar negeri � Tolong jaga Bhinneka Tunggal Ika dan sama-sama membangun HARMONI DALAM KEBERAGAMAN. � JSP #SaveNKRI”[2]! Kalau jenderal saja masih berpikiran rasis begitu, nampak jelas perlu ada usaha KETEGASAN dari pemerintah yang berkuasa, menjatuhi sanksi hukum dengan UU Anti-Diskriminasi yang sudah diundangkan tahun 2008 itu. Bahwa dalam menilai seorang TOKOH, pejabat adalah integritas, kejujuran dan kemampuan bekerja, tanpa harus melihat apa Agama, ras, suku atau etnis seseorang. Begitulah kita mewujudkan BHINEKA TUNGGAL IKA dalam kehidupan nyata dalam masyarakat dengan segala perbedaan yang ada. Ini pertama. Kedua, jenderal Suryo Prabowo juga masih belum bisa memperlakukan kesalahan/dosa yang diperbuat seseorang adalah tanggungjawabnya SENDIRI! Tidak seharusnya menyeret dan melibatkan Agama, Ras, Etnis orang bersangkutan. Bagi seorang dewasa, tindak-tanduk yang dilakukan sepenuhnya tanggungjawabnya sendiri, sudah TIDAK lagi bisa melibatkan orang-tuanya, menyeret ayah-ibu nya juga harus ikut bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukan. Jenderal Suryo masih saja meneruskan “DOSA TURUNAN” yang dijalankan jenderal Soeharto dalam membasmi komunis, satu kekejaman kemanusiaan luar biasa yang terKUTUK! Harus segera diakhiri! Ketiga, jenderal Suryo Prabowo dalam BELAJAR SEJARAH, nampak tidak berhasil menarik kesimpulan dimana masalah sesungguhnya, apa sebab utama kerusuhan anti-Tionghoa itu meletup berulang kali di Nusantara ini? Betulkah akibat dari sementara Tionghoa sok jago? Begitu kah kenyataanya? TIDAK! Adanya sementara Tionghoa yang petentengan, sok jago, pamer kekayaan dsb., dsb., ... hanya dijadikan dalih untuk menyulut kebencian rasial, membakar sentimen-rasial saja. Hakekat masalah bukan disitu, ada atau tidak sementara Tionghoa yang dibilang, sok jago, peteentengan, pamer kekayaan, tidak peduli kemiskinan disekitar itu, ... kerusuhan anti-Tionghoa juga
1
akan meletup. Coba perhatikan dimasa koloni Belanda 1740 yang dikenal dengan Tragedi Angke, 10 ribu Tionghoa dibunuh memembuat air sungai menjadi merah darah! Bukankah hakekat masalah terjadi karena pengusaha VOC merasa terdesak oleh kemajuan pengusaha-pengusaha Tionghoa, dan oleh karenanya Gubernur VOC ketika itu melancarkan pembunuhan terhjadap Tionghoa. Hanya saja berbeda dengan masa pemerintah ORBA, VOC ketika itu sekalipun berbelit-belit, masih juga berhasil mengambil ketegasan memecat dan kemudian menangkap Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier. Dibawa kembali ke Batavia dan dimasukkan ke penjara Robijn di benteng Batavia. Sekalipun pemeriksaan Valckenier berlangsung berbelit-belit dan berkepanjangan sampai hampir sepuluh tahun lamanya, dan Valckenier keburu meninggal dunia pada 1751 sebelum pemeriksaan terhadap dirinya berakhir. Lalu coba perhatikan bulan Mei 1946, sebanyak 635 orang Tionghoa, termasuk 136 orang perempuan dan anak-anak di daerah Tangerang dan sekitarnya telah menjadi korban pembunuhan. 1.268 rumah etnis Tionghoa habis dibakar dan 236 lainnya dirusak. Diperkirakan 25.000 orang pengungsi di Jakarta adalah datang dari daerah tersebut. Peristiwa kejam tersebut menimbulkan kemarahan banyak orang. Masyarakat Tionghoa lalu mengumumkan 11 Juni 1946 sebagai hari Duka Cita. Pada hari itu seluruh orang Tionghoa menyatakan ikut berkabung dengan menutup semua toko dan perusahaan miliknya dan sepanjang hari hanya berdiam di rumah. (Star Weekly No 24 Tahon ke 1 Edisi 16 Juni 1946; Star Weekly No 25 Tahon ke 1 Edisi 23 Juni 1946) Bukankah itu akibat rekayasa dari politik perang urat-syaraf yang dilancarkan koloni Belanda! Koloni Belanda telah BERHASIL mengadu-domba antara masyarakat dengan mengorbankan Tionghoa? Pecahnya PERSATUAN rakyat Indonesia itulah yang dikehendaki Belanda sebagai usaha kembali berkuasa di Nusantara ini! Belanda berhasil menjadikan etnis Tionghoa sebagai TUMBAL, ... Sekarang coba perhatikan bagaimana konkritnya Belanda melancarkan perang Urat Syaraf untuk memecah belah persatuan rakyat Indonesia. Siauw Giok Tjhan dalam buku “Lima Jaman, Perwujudan Integrasi Wajar” dengan jeli menyatakan: “Pihak penjajah dalam membina simpati ummat manusia ke pihaknya berusaha keras menggambarkan kepada dunia bahwa pemuda Indonesia yang berjuang bersenjata itu adalah pembunuh-pembunuh buas, perampok-perampok milik orang lain, tukang perkosa wanita, dan lain-lain lagi. Penjajah Belanda menggambarkan tindakan-tindakan militernya sebagai usaha memulihkan …. law and order, memulihkan ditegakkannya hukum dan tertib hukum. 2
Dalam rangka menjalankan siasat perang urat syarfnya dengan menyalah-gunakan kelemahan-kelemahan pihak pemuda Indonesia, penjajah Belanda berhasil menimbulkan persoalan Tanggerang yang sangat mengejutkan dan menimbulkan kepanikan di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Ketika itu tersiar kabar bahwa peranakan Tionghoa dipaksa untuk memeluk agama Islam, dipaksa untuk sunat, serta mengalami rupa-rupa tindakan terror. Peristiwa itu sangat mengherankan karena justru di Tanggerang telah terjadi proses pembauran luas sekali sehingga tidak sedikit peranakan Tionghoa terabsorbsi di dalam Rakyat daerah itu. Orang tidak dapat membedakan mana peranakan dan mana penduduk “asli” setempat, bila dilihat dari ciri-ciri etnis saja. Malahan seorang peranakan Tionghoa di Tanggerang bila berdiri sejajar dengan seorang pribumi dari Jawa Tengah, banyak orang mengira bahwa orang pribumi Jawa Tengah itu adalah peranakan Tionghoa, sedang peranakan Tionghoa dari Tanggerang itu dikira pribumi. Di samping ciri-ciri khas etnis melenyap, sebagian terbesar Rakyat Tanggerang hidup dari hasil usaha menggarap tanah. Peranakan Tionghoa di Tanggerang juga tidak saling menyebut dirinya dengan nama-nama Tionghoa, melainkan dengan sebutan si Picis, si Talen, si Ringgit, dan lain-lain lagi. Yang masih dapat membedakan siapa peranakan Tionghoa dan siapa bukan, ternyata hanya …. agamanya.” Selanjutnya marilah kita perhatikan kerusuhan anti-Tionghoa yang agak besar meletup 10 Mei 1963, yang diawali bersenggolan motor antara seorang mahasiswa Tionghoa dengan mahasiswa “pribumi”. Ratusan toko, rumah tinggal, pabrik, kendaraan bermotor milik Tionghoa habis di bakar, di rusak serta dijarah perusuh. Kemudian kerusuhan meluas ke kota-kota lainnya di Jawa Barat, antara lain Tasikmalaya, Garut, Cianjur, Sukabumi dllnya. Sangat ironis, Yap Tjwan Bing salah seorang tokoh Angkatan 45 yang turut mendirikan Republik ini, merasa sangat kecewa menjadi korban Kerusuhan anti-Tionghoa kali ini, akhirnya sekeluarga hijrah ke Amerika sampai menghembuskan nafas terakhirnya. Kerusuhan-kerusuhan rasial anti-Tionghoa yang meletup, dari Tegal, meluncur ke Cirebon, Bandung, Sukabumi dan lain-lain tempat lagi. Jelas sehubungan dengan politik AS "China Containment policy", Amerika berhasil menggunakan sementara pejabat-rasis, berusaha merusak hubungan baik RI-RRT, berusaha menekan pengaruh Tiongkok di Indonesia, khususnya dikelompok Tionghoa yang dikatakan masih "CINTA dan SETIA" pada RRT ( Republik Rakyat Tiongkok ), mudah dijadikan Kolone-5 RRT. Peristiwa 10 Mei 1963 terjadi tidak lama setelah kunjungan Liu Shao Chi, 12--14 April 1963. Kunjungan pertama Presiden RRT ke Indonesia untuk lebih lanjut mempererat hubungan kedua negara.
3
“Anggota Baperki dan Partindo dikirim ke Cirebon untuk menolong korban kerusuhan dan menyelidiki sebab-sebab kejadian tersebut. Mereka menyimpulkan bahwa kerusuhan ini direkayasa oleh tokoh PSI dan Masjumi. Mereka menggunakan isi pidato Presiden Soekarno sebagai sinyal bahwa orang Tionghoa adalah musuh golongan Islam. Di dalam pidato tersebut, Presiden Soekarno mengucapkan terima kasih kepada pemerintah RRT yang telah membantu pemerintah Indonesia dalam menumpas pemberontakan PRRI/PERMESTA. Disamping itu, kerusuhan anti-Tionghoa itu juga jelas bertujuan menjegal pelaksanaan politik Presiden Soekarno ketika itu, yang jelas sangat tidak menguntungkan imperialisme Amerika Serikat. Sehingga Presiden Soekarno ketika itu, secara tegas mengutuk orang-orang yang mendalangi kerusuhan-kerusuhan anti-Tionghoa itu sebagai kontra-revolusioner.” (Siauw Giok Tjhan: “Lima Jaman, Perwujudan Integrasi Wajar”) Lalu, ... bagaimanapula dengan kerusuhan anti-Tionghoa yang meletup lebih kerab dan meluas dimasa ORBA, setelah jenderal Soeharto berkuasa? Saya angkat dari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi berturut-turut ditahun 1996-1997, di Solo, Situbondo, Rengas Dengklok, Pekalongan, Banjarmasin, Ujung Pandang dan mencapai puncaknya pada Tragedi 13-14 Mei 1998 di Jakarta, Medan dan Solo. Menjadi lebih jelas dan nyata, dari kerusuhan anti-Tionghoa yang terjadi berulang kali itu, adalah kerusuhan yang direkayasa kekuatan tertentu, direncanakan dan terorganisasi dengan mendatangkan sekelompok pemuda bertubuh tegap untuk memprovokasi massa dijalan ikut merusak, menjarah toko-rumah Tionghoa. Dr. Amir Santoso menyatakan: "…peristiwa kerusuhan yang terjadi di Situbondo, Jatim, Kamis lalu, merupakan peristiwa yang sengaja disulut pihak-pihak tertentu secara sistimatis (Huruf tebal – ChanCT). Sebab, peristiwa kerusuhan Situbondo merupakan lanjutan dari rangkaian sejumlah peristiwa sebelumnya yang motifnya hampir sama." (Kompas, 14 Oktober 1996) Sehubungan dengan kerusuhan di Tasikmalaya, Situbondo, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Abdurrahman Wahid, menyatakan Humanika (Himpunan Masyarakat Untuk Kemanusiaan Dan Keadilan) terlibat dalam kerusuhan di Tasikmalaya. "Humanika terlibat dalam kerusuhan Tasikmalaya. Silakan bawa saya ke pengadilan. Saya dapat membuktikan," tegas Gus Dur dalam dialog politik yang diselenggarakan Forum Dialog Bhinneka Tunggal Ika. Ketua PBNU juga menyatakan memiliki dokumen asli yang siap dibuktikan di pengadilan tentang siapa yang merencanakan dan menggerakkan kerusuhan itu dan tempat rapatnya dilakukan. (Kompas, 30 Januari 1997) Bahkan KSAD Jenderal TNI R. Hartono dalam menanggapi kerusuhan berbau SARA yang meletus berturut-turut itu mengatakan, patut diduga kerusuhan tersebut ada yang
4
menunggangi. Sedangkan Ketua Umum PP Muhammadiyah menyatakan, berbagai kerusuhan di Jawa maupun Kalimantan memang ada pembuat skenario yang mempunyai itikad sangat jahat (Kompas, 1 Pebruari 1997) Tragedi Mei 1998, yang merupakan puncak kerusuhan juga jelas tidak luput dari adanya skenario sementara kekuatan yang bertujuan politik, ... bahkan begitu seriusnya untuk melacak dibentuk TGPF (Team Gabungan Pencari Fakta) antara lain menyatan: “Pola kerusuhan bervariasi, mulai dari yang bersifat spontan, lokal, sporadis, hingga yang terencana dan terorganisir. Para pelakunya pun beragam, mulai dari massa ikutan yang mula-mula pasif tetapi kemudian menjadi pelaku aktif kerusuhan, provokator, termasuk ditemukannya anggota aparat keamanan”. “Sekelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar dan atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi, merusak rambu-rambu lalu lintas, dan sebagainya. Setelah itu, provokator mendorong massa untuk mulai melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah barang, dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-barang lain. Di beberapa lokasi ditemukan juga variasi, di mana kelompok provokator secara langsung melakukan perusakan, baru kemudian mengajak massa untuk ikut merusak lebih lanjut.” “Provokator umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Para provokator ini juga jelas membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya.” Hanya saja sungguh sangat disesalkan, ... Pemerintah RI yang berkuasa sampai sekarang ini, ternyata TIDAK serius dan tegas mentuntaskan Tragedi Mei 1998, membuat KESIMPULAN dengan menindak DALANG kerusuhan yang harus bertanggungjawab. Berbeda dengan sikap Koloni Belanda, ketika itu pihak VOC masih bisa mengambil ketegasan memecat dan kemudian menangkap Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier yang harus bertanggungjawab atas Peristiwa Angke, 1740, ... Sekalipun pemeriksaan Valckenier berlangsung berbelit-belit dan berkepanjangan sampai hampir sepuluh tahun lamanya, dan Valckenier keburu meninggal dunia pada 1751 sebelum pemeriksaan terhadap dirinya berakhir.
Salam, ChanCT ---------- Forwarded message ----------
5
From: Harjono Kartohadiprodjo
Date: 2016-03-18 7:17 GMT+07:00 Subject: Bls: Analisis, Politik“Cina Baik-baik” vs “Cina Sok Jago”: Pancingan Rasisme Sang Jenderal To: "[email protected]"
Bung Jaya, Pendapat dan pengalaman anda itu sangat bagi meyakinkan semua pihak. Jangankan huru hara anti Tionghoa, kesenjangan antara suku2 juga masih dirasakan, bukan beda suku dasar keributan tsb, tetapi lebih pada maslah kesenjangan sosial dari budaya hidup dan kerja. Sehingga ada yang berhasil dan ada yang sengsara hidupnya. Salam, MHK Dikirim dari ponsel cerdas BlackBerry 10 saya dengan jaringan Telkomsel.
Dari: [email protected] Terkirim: Jumat, 18 Maret 2016 07.07
Sebagai insan yang tiga kali ( 1965-66 1980an 1998 ) secara pribadi pernah berpengalaman menjadi korban huruhara (sekolah dibakar, rumah dirusak, ayah kandung dan sanak keluarga dibunuh) saya hanya mampu mengharap dari lubuk sanubari terdalam bahwa prahara angkara murka kekerasan tidak terjadi kembali di Tanah ir tercinta ini. Saya pribadi tidak menganggap huruhara sebagai masalah rasialisme sebab pada kenyataan saya justru ditolong dan diselamatkan oleh tetangga dan teman2 suku justru bukan sesama keturunan China . Menurut saya penyebab utama huruhara adalah kesenjangan sosial. Maka di masa sisa hidup dengan segala keterbatasan kemampuan yg saya miliki, saya hanya mampu berupaya peduli terhadap nasib kaum miskin, papa dan tergusur yang tidak berdaya menghadapi angkara murka kekuasaan dan kekerasan. Salam hormat dari jaya suprana Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Indosat network.
6
From: Date: 2016-03-17 2:20 GMT+01:00
Sebuah tulisan yg cerdas: http://indoprogress.com/2016/03/cina-baik-baik-vs-cina-sok-jago-pancingan-rasisme-sang-jenderal/
“Cina Baik-baik” vs “Cina Sok Jago”:
Pancingan Rasisme Sang Jenderal
17 March 2016 Made Supriatma Harian Indoprogress
Print
PDF
HAJATAN pilkada DKI Jakarta belum lagi dimulai, tetapi kampanye hitam, provokasi, dan fitnah sudah mulai gencar ditebarkan. Misalnya sebuah berita dari PosMetro[1], yang dengan cepat tersebar ke mana-mana. Berita yang dimuat PosMetro itu sebenarnya hanyalah tentang status Facebook seseorang yang bernama Suryo Prabowo. Atau
7
lengkapnya Letjen TNI (Pur.) Johannes Suryo Prabowo, mantan wakil kepala staf angkatan darat (Wakasad) dan mantan kepala staf umum (Kasum) TNI. Dalam status Facebooknya, Suryo Prabowo menulis demikian, “Man-teman … Terutama #TemanAhok … Kalau sayang dgn teman2 atau sahabat dari etnis Tionghoa, tolong diingatkan agar jangan ada etnis Tionghoa yg “sok jago” ketika berkuasa atau dekat dengan penguasa. Kesian kan Tionghoa lainnya yg baik2 dan/atau yg miskin, kalo ada yg mau mbantai atau menjarah, mereka kan gak bisa kabur ke luar negeri � Tolong jaga Bhinneka Tunggal Ika dan sama-sama membangun HARMONI DALAM KEBERAGAMAN. � JSP #SaveNKRI”[2] Status Surya Praboow ini sungguh mengganggu saya. Ia mengesankan dirinya bersikap netral, padahal sejatinya ia sedang melakukan insinuasi. Saya memutuskan untuk meletakkan status Facebook milik Suryo Prabowo ini ke dalam satu perspektif. Ini mengingat bahwa penulisnya adalah seseorang yang punya kehidupan publik sebagai mantan petinggi militer dan seorang politisi. Dia adalah lulusan Akabri terbaik angkatan 1976. Dalam status tersebut ada juga gambar yang lumayan menyeramkan. Ada mayat terbakar. Ada toko yang dibakar. Di sana kemudian ia memajang tulisan seperti ini. “Siapa bilang sejarah kekejaman thd etnis Cina tidak berulang? Sepanjang penyebabnya berulang Sejarah kelam pasti berulang Sepanjang ada China sok jago, pasti … China yang baik-baik jadi korban Thn 1740-1743: 10.000 etnis China dibantai Thn 1959 ribuan etnis China exodus ke RRC Thn 1966 ribuan etnis China kembali ke RRC Thn 1998 ribuan etnis China kabur ke LN” Status ini bertanggal 15 Maret, 2016. Keesokan harinya, 16 Maret 2016, Suryo Prabowo kembali ke luar dengan status yang sama. Dia mengingatkan Ahok dan Teman Ahok, sembari menegaskan dirinya pencinta NKRI dan sahabat semua suku, termasuk Tionghoa (sekarang dia pakai istilah ini).[3] Pada status ini dia mengakui bahwa peran orang etnis Cina adalah sebagai saudagar. Dia bahkan mengatakan, jumlah orang pribumi yang menjadi karyawan perusahan-perusahan milik orang Tionghoa lebih besar daripada jumlah PNS. “Jadi menurutku wajar bila saya 8
tidak mau kalau warga TIONGHOA yg baik-baik jadi korban kelakuan orang-orang yg tidak bertanggung-jawab yg memprovokasi terjadi amuk massa.” Selanjutnya Jenderal ini mengatakan, “Oleh sebab itu beberapa saat lalu saya mengingatkan (BUKAN MEMPROVOKASI) kepada … entah itu #TemanAhok #KawanAhok atau siapapun PENCINTA #Ahok supaya menghentikan kampanye yg berbau SARA, dan menghentikan kampanye yg dgn arogan MENANTANG sistem POLITIK dgn mengadu anggota partai vs kelompok independen pendukung #Ahok. Kampanye kalian seperti itu justru MEMPROVOKASI terjadinya KONFLIK HORISONTAL antar kedua pihak yg pro dan kontra #Ahok.” Tidak lupa pula dia memosisikan Indonesia sebagai negara yang terancam. Inilah yang dia bayangkan akan terjadi: “Bila ditahun 2017 nanti Ahok terpilih jadi Gubernur DKI Jakarta. Sangat mungkin pendukungnya eforia, dan bisa jadi Ahok makin “sok jago”. Bagaimana tidak ? Lha wong baru jadi gubernur karena dapat “muntahan” dari pak Jokowi yang jadi presiden saja, dia sudah sok jago seperti sekarang. Situasi seperti itu bisa membuat “pribumi” dan kelompok muslim marah. Lalu terjadi akumulasi kemarahan akibat invasi buruh dari Negara China, dan keberpihakan pemerintah terhadap “modal” dari Negara China yang akan memicu terjadinya AMUK MASSA terhadap etnis Tionghoa di Jakarta, dan kota-kota besar lainnya. Sehingga menimbulkan kerugian dan korban jiwa yg masif tidak hanya dari etnis Tionghoa saja. Ujung-ujungnya nanti yang disalahkan dan dituduh melakukan PELANGGARAN HAM adalah TNI/Polri karena dinilai melakukan PEMBIARAN. Kondisi seperti itu tentu bisa dijadikan alasan bagi ” dunia”, terutama AS cs dan negara China, untuk melakukan operasi militer di wilayah NKRI dengan judul “Humanitarian Intervention”. Telunjuk Suryo Prabowo dengan sangat telanjang menuding Ahok dan relawan pendukungnya. Tapi sesungguhnya dia juga tahu persis bahwa empat jari lainnya menunjuk pada dirinya. Dia mengklaim dirinya sebagai sahabat semua suku, termasuk Tionghoa (yang dia tulis dengan huruf kapital), namun dia tahu persis bahwa dia sedang mengaduk perasaan kebencian terhadap etnis Cina. Suryo Prabowo dengan jelas membuat pembilahan tentang dua Cina (dia menambahkan huruf ‘h’). Yang satu adalah, yang menurutnya, ‘Cina baik-baik’ dan miskin yang akan
9
menjadi korban kerusuhan karena tidak bisa lari ke mana-mana kalau diserang. Yang lain adalah ‘Cina yang tidak baik’, yaitu Ahok dan relawannya yang arogan dan sok jago. Pembilahan ala Suryo Prabowo ini mau tidak mau mengingatkan saya pada kategori yang sama yang ditangkap oleh intelektual Afrika keturunan India, Mahmood Mamdani, ketika menelisik masalah terorisme pasca serangan 11 September 2001. Mamdani melihat usaha untuk membingkai konflik ini bukan dengan memisahkan antara ‘teroris’ dengan ‘masyarakat sipil’, namun dengan membikin penggolongan antara ‘Good Muslims’ dan ‘Bad Muslims.’ Jika pemilahan yang diambil adalah antara ‘teroris’ dengan ‘masyarakat sipil’ maka akan jelas tampak bahwa masyarakat sipil lah yang menjadi korban terorisme, tidak peduli apa agamanya, etnisnya, warna kulitnya, dan lain sebagainya. Sedangkan pembilahan antara ‘good Muslims’ dan ‘bad Muslims’ itu mengharuskan suatu penyelesaian dengan ‘perang saudara’ antara keduanya. Negara-negara Barat mengharuskan dirinya untuk membantu pihak ‘good Muslims.’ Tentu saja, pembilahan ‘good and bad Muslims’ ini didefinisikan menurut kekuasaan tafsir negara-negara Barat itu sendiri. Persis inilah yang dilakukan Suryo Prabowo. Dan saya kira banyak orang yang sepaham dengan dia baik dalam dinas militer maupun sipil. Pemikiran ini pulalah yang menjadi arus utama (mainstream)pada jaman Orde Baru. Ideal Suryo Prabowo ini adalah sama persis seperti idealnya Soeharto. Tidak terlalu mengherankan juga karena orang seperti Suryo Prabowo ini dididik oleh rezimnya Soeharto. “Cina yang baik” adalah Cina yang hanya berdagang, yang punya toko, yang membikin perusahan, yang menjadi distribusi barang dan jasa. Orang akan menjadi Cina yang baik sepanjang dia tetap berada pada koridor itu. Dan dia akan menjadi Cina yang teramat baik kalau dia menjadi ‘kroni.’ Kosa kata ini seperti lenyap ditelan bumi. Walaupun sebenarnya masih ada dan tetap subur. Kroni artinya adalah Cina yang berdagang dengan perlindungan kekuasaan dari orang kuat (biasanya militer dan pribumi) yang menjadi konco-nya. Sedangkan ‘Cina yang buruk’ adalah Cina yang masuk ke dalam dunia politik. Sebenarnya tidak saja politik, tetapi juga dunia yang menyentuh kehidupan publik. Yap Thiam Hien adalah Cina yang buruk karena menjadi pembela lawan-lawan politik militer Orde Baru. Demikian pula dengan Arief Budiman atau adiknya Soe Hok Gie. Sebaliknya, Liem Bian Kie, sekalipun masuk ke dunia politik bisa menjadi Cina yang baik karena bisa diajak cincai-cincaimembangun Golkar. Akhirnya dia pun menjadi Yusuf Wanandi. Demikian pula dengan Harry Tjan Silalahi (Tjan Tjoen Hok). Namun toh, diakhir kekuasaan Soeharto,
10
mereka berdua ini menjadi ‘Cina yang buruk’ lagi karena berani menentang kekuasaan Soeharto yang pernah dibantunya. Dalam kerangka inilah Ahok diletakkan. Ahok tidak saja Cina yang buruk. Dilihat dari kacamata Suryo Prabowo, dia adalah Cina yang amat buruk karena dia ‘sok jago.’ Ini adalah kata lain dari ‘mentang-mentang’ karena mendapat kekuasaan. Cara berpikir seperti ini sesungguhnya sangat rasialis. Orang Cina tidak boleh memiliki kekuasaan politik. Karena mereka itu ‘pendatang’ (sekalipun sudah hidup di bumi Nusantara ini selama sekian puluh atau bahkan ratusan tahun), mereka itu ‘minoritas’ (sekalipun pengaruhnya dalam bidang pemikiran terbentang luas dan sangat mayoritas), dan mereka itu ‘orang lain.’ Orang Cina harusnya tetap berdagang saja. Dan, tentu saja, akan lebih baik kalau menjadi kroni. Namun harus diingat bahwa pola berpikir seperti ini tidak hanya milik kaum seperti Suryo Prabowo saja. Banyak juga orang Cina punya pikiran yang sama. Mereka kuatir kalau ada orang Cina yang berpolitik maka konsekuensinya akan menimpa orang Cina yang lain, yang tidak tahu apa-apa. Jaya Suprana, misalnya, pernah menulis surat tentang kekhawatirannya pada Ahok. Menurut Suprana, ucapan dan tingkah Ahok yang kontroversial akan membahayakan kepentingan orang Cina pada umumnya. Jangan ditanya landasan sosiologis atau historis dari cara berpikir seperti ini. Rasisme tidak memiliki landasan apapun kecuali prasangka dan kebencian. Diatasnya adalah adalah nafsu untuk berkuasa. Rasisme adalah kehendak berkuasa – atau menunjukkan kekuasaan – atas dasar prasangka dan kebencian. Bukankah semua kerusuhan anti-Cina itu terjadi sebagai pelampiasan kebencian akan status ekonomi orang Cina? Disinilah sebenarnya inti dari insinuasi rasial Suryo Prabowo terhadap Ahok dan kaum relawannya TemanAhok itu. ‘Cina yang baik’ itu harus terus menerus berada dalam ghetto ekonomi karena dengan demikian Cina mudah dikontrol. Sepanjang orang Cina hanya mengurusi dagangnya, menumpuk harta dan menjadi kaya raya, maka kerusuhan rasial yang bertindihan dengan kesenjangan ekonomi itu dengan mudah disulut. Persoalannya adalah siapakah yang menyulut? Sementara banyak kerusuhan sosial ini pelakunya adalah gerombolan massa, maka penyulut itu biasanya adalah apa yang disebut oleh para ahli kerusuhan sosial sebagai ‘riots entrepreneurs.’ Siapakah yang punya kemampuan itu? Jelas, mereka yang punya kontrol terhadap kekuasaan politik. Orang yang berpikir dalam aras ini tidak akan bisa mengerti bahwa jalan terbaik untuk mencegah terjadinya kerusuhan anti-Cina adalah dengan memberikan hak-hak 11
kewarganegaraan yang sama kepada orang Cina. Termasuk didalamnya untuk berpolitik dan mengabdikan hidup untuk kepentingan publik. Ketika orang Cina diberi hak kewarganegaraan yang sama maka ketika itu juga dia menjadi bagian dari masyarakat sipil. Dia tidak lagi terisolasi dalam ghetto ekonominya. Dan lebih sulit lagi legitimasi untuk menyulut kerusuhan rasial. Bukankah ketika Orde Baru yang rasis itu jatuh dan orang Cina mendapat kesempatan untuk memangku jabatan publik (Ahok salah satunya!), hampir tidak ada lagi kerusuhan rasial terhadap etnis Cina? Itu terjadi karena sudah sangat berkurang proses ‘pencina-cinaan’ orang Cina, sebuah proses yang menjadikan Cina hanya sebagai simbol keserakahan ekonomi. Dengan menjadi politisi, orang Cina mengemban tanggung jawab tidak lagi sebagai orang Cina yang serakah, tetapi juga sebagai bupati, walikota, gubernur, menteri, anggota parlemen, dan lain sebagainya. Dia akan diminta pertanggungjawaban sesuai dengan jabatan publik yang diembannya. Perlakuan yang diterima pun sama seperti warga negara lainnya. Walikota etnis Cina yang korupsi, misalnya, akan diperlakukan sebagai walikota yang korup. Dia adalah koruptor. Titik. Bukan karena dia berasal dari etnis Cina. Apa yang dilakukan Suryo Prabowo ini adalah apa yang umum dikenal sebagai ‘race baiting.’ Dia dengan sadar menuduh pihak lain, dalam hal ini Ahok dan TemanAhok, sebagai pihak yang memakai isu SARA dalam kampanye. Sementara, Suryo Prabowo sendiri berusaha tampak netral, seolah-olah bersahabat dengan siapa saja, mengagungkan Bhineka Tunggal Ika, tidak bias. Namun persis pada saat bersamaan dia juga mengingatkan khalayak bahwa orang atau golongan yang dia sasar adalah etnis Cina. Dia melakuan ‘pencinaan’ terhadap Ahok dan TemanAhok. Suryo Prabowo bahkan maju lebih jauh dengan mengklaim bahwa mereka ini bukan dari jenis ‘Cina yang baik’ Race baiting adalah rasisme. Pengucapnya adalah rasis. Sesederhana itu. *** ———— [1]http://www.posmetro.info/2016/03/ingatkan-ahok-suryo-prabowo-kalau.html [2]https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207471977815845&set=a.10206870547300458.10737 41826.1180308793&type=3&theater [3]https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10207482099748887&set=a.10206870547300458.1073 741826.1180308793&type=3&theater
Sent from my iPhone
12