KETIKA MATA SANG JENDERAL DICUNGKIL: HARIAN BERITA YUDHA DAN PROPAGANDA KEKEJAMAN PKI (1965) Arif Pradono Abstract As the September 30 Movement erupted, the Army began the anti-communist propaganda program. The propaganda was not carried out directly to hit the PKI, but firstly by creating the public opinion that PKI is indeed the mastermind behind the September 30th Movement. Various ways of course must be done, and one of them is the implementation via the print media propaganda that the Army has, Berita Yudha newspaper. There are many topics from this newspapers to "make be wrong" PKI, said about the violence that have been done by the party members. Pendahuluan Media dapat membentuk opini publik atau pendapat umum dengan membangunkan sikap dan tindakan khalayak mengenai masalah politik dan/atau aktor politik. Dalam kerangka ini media menyampaikan pembicaraan-pembicaraan politik kepada khalayak. Bentuk pembicaraan politik dalam media antara lain berupa teks atau berita politik yang lagi-lagi di dalamnya terdapat pilihan simbol politik dan fakta politik. Karena kemampuan ini pula media massa sering dijadikan alat propaganda dalam komunikasi politik (Nimmo, 2005 : 7, 224-247). Dalam konteks sejarah Indonesia, salah satu contoh bagaimana media dijadikan alat propaganda politik tatkala embrio awal Orde Baru, yaitu Angkatan Darat pimpinan Mayor Jenderal Soeharto, memanfaatkan dua koran militer Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata, untuk menghantam habis kekuatan politik yang menjadi lawan terbesar mereka saat itu, Partai Komunis Indonesia (PKI). Pembantaian para jenderal, misalnya, diberitakan oleh Berita Yudha dan Angkatan Bersenjata dengan begitu sadisnya, ditengah larangan terbit surat kabar lain tidak sampai satu hari setelah Gerakan 30 September terjadi.Berita yang dipublikasikan keduanya kemudian malah menjadi pijakan penting bagi sumber sejarah versi Orde Baru, terutama mengenai cerita sejarah penculikan para jenderal, sejarah yang kemudian justru diakrabi oleh anak-anak sekolah yang tumbuh di bawah orde ini.Masalahnya adalah benarkah penyiksaan sadis itu betul-betul dilakukan ? Atau lebih jauh, benarkah PKI terlibat di dalamnya ? Ini hanyalah
Proceeding Research Day 2013
segelintir pertanyaan yang sulit untuk mendapatkan jawaban pasti di tengah, meminjam kalimat Ricklefs, “rumitnya situasi politik, hubungan-
hubungan, persahabatan-persahabatan, dan perasaan-perasaan benci yang memertalikan sebagian besar pelaku utamanya satu sama lain, serta sifat yang mencurigakan dari sebagian besar bukti” pada masa itu (Ricklefs, 2010 : 581). Maka mengacu pada kerumitan sejarah mengenai peristiwa tersebut, tulisan ini tidak akan bermaksud mencari jawab mana sejarah yang benar mengenai peristiwa di seputar Gerakan 30 September. Makalah ini hanya akan mengulas tentang propaganda yang dilakukan oleh sebuah calon rezim baru. Itupun tanpa memandang apakah propaganda tersebut bersifat hitam, putih, atau abu-abu1. Propaganda bisa diartikan sebagai upaya yang dilakukan dengan sengaja dan sistematis untuk memanipulasi, membentuk, mempengaruhi, mengubah dan mengarahkan serta mengendalikan pandangan, pendapat, persepsi dan sikap perilaku orang banyak guna mencapai tujuan tertentu sesuai yang diinginkan penyebar propaganda, dengan menyebarkan gagasan (ide) atau menciptakan peristiwa tertentu dan menanamkannya secara sistematis pada lubuk hati atau pikiran targetnya (lihat, Baran dan Davis, 2010 : 91-117, juga, Severin dan Tankard, 2011 : 128-129, dan Shoelhi, 2012 : 33-38). Dalam makalah ini yang akan dibahas adalah propaganda yang dilakukan oleh salah satu media surat kabar militer milik Angkatan Darat, yaitu Berita Yudha. Mengapa hanya Berita Yudha dan tidak Harian Umum Angkatan Bersenjata, lebih karena alasan riil yang sesungguhnya amat disayangkan : koran Angkatan Bersenjata pada masa 1965, kini tidak lagi bisa ditemukan di perpustakaan-perpustakaan utama di Jakarta, kota yang merupakan --meminjam kalimat Saskia Wieringa-- “tempat sejumlah pusat dokumentasi penting” (Wieringa, 2010 : 54) Indonesia berada. Arti penting kedua koran ini bagi penelitian tentang Gerakan 30 September 1965 sendiri adalah karena apa yang dipublikasikan keduanya nyatanya kemudian menjadi semacam “cetak biru” sumber historiografi Orde Baru mengenai PKI, khususnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Selain itu, Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata adalah dua surat kabar yang terbit terus menerus tanpa jeda setelah terjadinya Gerakan 30 September. Sementara koran lain sempat diberhentikan penerbitannya oleh Angkatan Darat selama lima hari sejak peristiwa Gerakan 30 September terjadi. 1Propaganda
hitam adalah penyebaran kebohongan yang dilakukan dengan sengaja dan strategis. Propaganda putih merupakan strategi yang berlawanan dengan propaganda buruk dengan mempromosikan informasi dan ide yang positif. Sedangkan propaganda abu-abu adalah penyebaran informasi atau ide yang samar-samar. Penyebarnyapun sulit untuk bisa dipastikan, meski bisa diduga. 694
Arif Pradono
Ketika Mata Sang Jenderal Dicungkil: Harian Berita Yudha dan Propaganda Kekejaman PKI (1965)
Keduanya juga merupakan koran resmi yang dimiliki militer --dan kemudian rezim pemerintah baru itu sendiri-- khususnya Angkatan Darat. Pemberitaan atau opini yang disebarkan pun asumsinya adalah berita yang memang diinginkan atau sejalan dengan (calon) penguasa baru. Konseptor propaganda Orde Baru diawal bukan institusi Departemen Penerangan, tetapi Angkatan Darat. Batasan periode yang dikaji dalam makalah ini memang singkat, antara 2 Oktober hingga 16 Oktober 1965. Alasannya adalah bahwa inilah masa, menurut dugaan penulis, dimana angkatan darat berada dalam tahap paling awal dalam propagandanya untuk menjatuhkan vonis bersalah pada PKI, sebuah tahapan yang justru menjadi legitimasi untuk melakukan pembantaian massal sekaligus dijadikan fondasi sejarah versi Orde Baru pada masa berikutnya mengenai partai ini dan Gerakan 30 September. Tahap awal, angkatan darat bisa dikatakan berhasil “membentuk opini” di masyarakat bahwa PKI adalah partai yang memang harus bertanggungjawab dalam kapasitasnya sebagai “dalang” kudeta 1 Oktober 1965. Akibat langsungnya pada masa itu adalah pembantaian massal yang terjadi rentang Oktober – Desember 1965 sepertinya menjadi peristiwa “legal” yang “sepantasnya” terjadi. 17 Oktober 1965 dimana pasukan komando RPKAD mulai bergerak ke Jawa Tengah untuk melakukan operasi “pembersihan” terhadap orang-orang PKI. Berita Yudha memiliki andil dalam membangun kebencian tersebut. Salah satunya dengan mempropagandakan kekejaman yang dilakukan PKI dalam peristiwa Gerakan 30 September. Jadi, rumusan masalah yang akan coba dikaji dalam tulisan ini pada akhirnya adalah tentang “bagaimana Berita Yudha mengkonstruksi wacana berita mengenai kekejaman PKI dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, selama rentang tanggal 2 - 16 Oktober 1965 ?” Studi Literatur Kajian sejarah Indonesia dalam perspektif ilmu komunikasi, khususnya yang berhubungan dengan sejarah ‘peristiwa 1965’ sejauh yang diketahui penulis --sekaligus diakui sebagai kelemahan-- sebenarnya tidak sering ditulis. Buku karya Katharine McGregor, History in Uniform : Military Ideology and the Construction of Indonesia (McGregor, 2008) mengkaji di dalamnya bagaimana tafsir sejarah militer diciptakan dan membongkar kepentingan-kepentingan yang ada di baliknya. Konstruksi masa lalu yang dibuat oleh militer tersebut, terutama melalui peranan sejarawan Nugroho Notosusanto, lalu “dikomunikasikan” kepada 695
Proceeding Research Day 2013
masyarakat melalui produk-produk seperti film, museum, monumen, kegiatan peringatan atau buku sejarah yang disponsori oleh militer. Karya McGregor memang cukup banyak mengkaji tentang bagaimana militer mengisahkan komunis (PKI) dalam sejarah versinya, meski bisa juga dibilang bahwa ia tidak mengkhususkan penelitiannya hanya tentang PKI. Di dalam bukunya, McGregor juga membahas misalnya tentang penggambaran militer Orde Baru mengenai gerilya-nya Jenderal Soedirman serta adegan-adegan tentang Darul Islam (DI/TII). Kajian lain ditulis oleh Arief Adityawan, yang mengkaji tentang propaganda yang dilakukan Orde Baru dalam membangun dan menjaga citra Presiden Soeharto melalui sistem pertandaan yang diproduksi pemerintah. Pokok penelitian Adityawan adalah lebih pada simbol ketokohan ketimbang sejarah. Buku lain yang mirip dengan karya Adityawan adalah buku Muridan S. Widjojo dan Mashudi Nursalim berjudul
Bahasa Negara Versus Bahasa Gerakan Mahasiswa ; Kajian Semiotik Atas Teks-Teks Pidato Soeharto dan Selebaran Gerakan Mahasiswa. Telaah komunikasi yang ditampilkan dalam buku ini lebih menekankan aspek kebahasaan (Widjojo dan Nursalim, 2003). Satu buku penting mengenai propaganda Orde Baru adalah buku yang ditulis oleh Julie Southwood dan Patrick Flanagan, “Indonesia : Law, Propaganda and Teror”. Membahas rentang masa yang cukup panjang, 1965 hingga 1981, buku ini menggambarkan cara-cara teror, hukum yang diselewengkan dan propaganda yang dilakukan oleh rezim Orde Baru untuk menguasai pikiran dan kesadaran masyarakat sekaligus memaksa seluruh masyarakat untuk patuh pada pemerintah. (Southwood dan Flanagan, 2013). Sedangkan buku-buku mengenai kejadian di seputar Gerakan 30 September 1965, memang telah banyak ditulis. Apalagi setelah Orde Baru runtuh, booming penulisan buku mengenai PKI dan kudeta 1965, penyebabnya karena keinginan memunculkan versi alternatif peristiwa tersebut setelah lebih dari 30 tahun dimonopoli oleh versi cerita formal Orde Baru. Sayangnya harus diakui, penulisan yang ada seringkali terjebak dalam kotak kontroversi sejarah G30S yaitu antitesis Orde Baru, gugatan terhadap keberadaan sejarah ‘formal’ saat itu. Buku Komunikasi Propaganda yang ditulis oleh Nuruddin, memang menyinggung tentang implementasi propaganda yang terjadi pada masa tiga Presiden Indonesia, Soeharto, BJ Habibie, dan Abdurrahman Wahid. Namun secara umum menelaah tentang teori, konsep dan teknik propaganda yang ada, tanpa mengkhususkan diri pada studi sejarah. (lihat, Nurudin, 2001). Buku terbaru mengenai propaganda adalah buku yang ditulis oleh Mohammad Shoelhi berjudul Propaganda Dalam Komunikasi 696
Arif Pradono
Ketika Mata Sang Jenderal Dicungkil: Harian Berita Yudha dan Propaganda Kekejaman PKI (1965)
Internasional. Buku ini membahas peran propaganda dalam praktik komunikasi internasional pada masa kini. (lihat, Shoelhi, 2012). Maka dengan mengacu pada beberapa kajian di atas, makalah melihat bagaimana satu segmen sejarah terceritakan dengan menggunakan perspektif ilmu komunikasi. Metode Kajian ini merupakan kooperasi antara ilmu sejarah dengan ilmu komunikasi. Ilmu sejarah, menurut Galtung, merupakan ilmu diakronis (latin : dia, melalui dan chronicus, waktu). Disebut demikian karena sejarah meneliti gejala-gejala yang memanjang dalam waktu, namun menyempit dalam ruang. Sebaliknya ilmu sosial yang lain adalah ilmu sinkronis (latin : syn, bersamaan dan chronicus, waktu), yaitu ilmu yang meneliti gejalagejala yang meluas dalam ruang tetapi menyempit dalam waktu (Kuntowijoyo, 2008 : 5-7 dan 2003 : 43-46). Di sisi lain, ilmu komunikasi merupakan ilmu yang sebenarnya berangkat dari sekian banyak disiplin ilmu pengetahuan. Maka tidak mengherankan bahwa ilmu komunikasi dipahami sebagai ilmu yang multiperspektif. Bidang multiperspektif dalam ilmu komunikasi disebabkan bahwa gejala komunikasi merupakan fenomena pokok dalam kehidupan manusia (Sendjaja, 2005 : 9-11). Kooperasi antar kedua disiplin ilmu tersebut terjadi dalam bentuk seperti gambar berikut ini :
Studi Sejarah Sejarah Orde Baru 19651966 (diakronis sejarah)
Studi Komunikasi Politik Propaganda Harian Militer terhadap paham komunis (PKI)
Interdisipliner
Multiperspektif
Gambar 1. Hubungan antara Ilmu Sejarah dan Ilmu Komunikasi
697
Proceeding Research Day 2013
Sedangkan dalam melakukan analisa terhadap berita, penelitian ini menggunakan metode analisa wacana kritis sebagaimana pernah dikemukakan Teun Van Dijk. Wacana, oleh Van Dijk digambarkan memiliki tiga dimensi : teks, kognisi sosial dan konteks. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan teks tertentu. Pada level kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana yang bekembang dalam masyarakat akan suatu masalah. Analisis Van Dijk di sini menghubungkan analisis tekstual, yang memusatkan perhatian hanya pada teks, ke arah analisis yang komprehensif bagaimana teks tersebut diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu wartawan maupun dari masyarakat (Eriyanto, 2011 : 224-225). Dalam kaitannya dengan tulisan ini, ketiga dimensi tersebut dapat ditunjukkan dalam gambar berikut : Gambar 2. Teks, Kognisi Sosial dan Konteks dalam Penelitan
Menganalis bagaimana berita dihubungkan dengan wacana yang berkembang dalam masyarakat mengenai PKI pada masa setelah (dan sebelum) terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965
Konteks Sosial
Menganalis bagaimana proses terbentuknya teks berita mengenai PKI dan G 30 S di harian Berita Yudha
Kognisi Sosial Teks
Menganalisis bagaimana strategi wacana/tekstual yang dipakai harian militer untuk menyingkirkan atau memarjinalkan PKI
Mengenai teks berita, Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/ tingkatan yang dibagi dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro. Ini merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu teks berita. Kedua, superstruktur. Ini merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks yang tersusun dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro, yaitu makna lokal wacana teks yang dapat diamati dari bagian kecil suatu teks, seperti kata, kalimat, gambar atau gaya yang dipakai oleh suatu teks (Eriyanto, 2011 : 225-227). 698
Arif Pradono
Ketika Mata Sang Jenderal Dicungkil: Harian Berita Yudha dan Propaganda Kekejaman PKI (1965)
Pada kajian tentang teks berita dalam harian Berita Yudha pada tulisan ini mengamati hal-hal sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini. Tabel 1. Struktur Wacana dan Elemen Penelitian Struktur Wacana
Struktur Makro
Hal yang Diamati Upaya rekayasa persetujuan anti PKI yang dilakukan angkatan darat melalui
Berita Yudha Superstruktur
Struktur Mikro
Skema berita yang ditampilkan oleh koran
Berita Yudha
Makna yang ditekankan dalam teks berita, bentuk dan susunan kalimat yang dipilih, pilihan kata yang dipakai, cara penekanan berita dilakukan, oleh Berita Yudha.
Elemen Topik-topik berita yang dikedepankan dalam mengkonstruksi rekayasa persetujuan anti PKI
Summary (judul dan lead) dan Story (isi berita) mengenai kekejaman Gerakan 30 September dan PKI Latar, Detil, Maksud, Pra anggapan, Bentuk kalimat, Koherensi, Kata Ganti, Leksikon, Pengingkaran, Grafis, Metafora yang digunakan dalam beritaberita mengenai kekejaman Gerakan 30 September dan PKI
Hasil Penelitian Konteks sosial yang ada pada masa di sekitar peristiwa Gerakan 30 September 1965, tentu saja berhubungan dengan sejarah perseteruan yang telah berlangsung antara kekuatan politik komunis melawan non komunis. Di masa Demokrasi Terpimpin, PKI telah tumbuh menjadi kekuatan sipil yang terkuat dan masuk dalam segitiga kekuasaan Soekarno – PKI – Angkatan Bersenjata. Kiprah yang partai ini lakukan dalam peta politik dan sosial masyarakat Indonesia pun sering berbenturan dengan kelompok non komunis, bahkan tentara. Beragam konflik terjadi dan benar-benar memanaskan situasi yang berpuncak pada pecahnya Gerakan 30 September. Maka saat PKI menjadi tertuduh dalam peristiwa tersebut segera saja lawan-lawannya bergerak saling bahu membahu menghajar partai ini. Kalangan tentara di bawah komando Mayor Jenderal Soeharto menjadi yang terdepan dalam menghantam PKI. Salah satu yang dilakukan tentara 699
Proceeding Research Day 2013
berupaya membangun persetujuan public pada salahnya PKI melalui harian militer mereka, diantaranya Berita Yudha. Kognisi sosial kalangan wartawan juga sama, tidak bisa dilepaskan dengan sejarah sebelumnya, tentang eksistensi pers komunis yang semakin dominan selama masa Demokrasi Terpimpin. Kasus “Badan Pendukung Sukarnoisme (BPS)” yang mengakibatkan banyak surat kabar non komunis ditutup pemerintah akhirnya membuat kalangan tentara berpikir untuk segera menerbitkan juga pers tentara yang bisa ikut menandingi pers PKI. Tahun 1965 itu juga, beberapa bulan sebelum Gerakan 30 September meletus, berdiri dua koran tentara, Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Mengenai Berita Yudha, koran ini boleh dibilang mengambil alih harian Berita Indonesia yang ikut dibreidel pemerintah. Akibatnya, semangat para wartawannya pun lekat dengan semangat pers anti komunis. Ketika “kudeta 1 Oktober” terjadi, para wartawan Berita Yudha tentu saja memburu berita mengenai Gerakan 30 September dan PKI dengan mengikuti “apa yang tentara lakukan dan maui”. Ditambah semangat anti PKI yang telah ada sebelumnya, jadilah produksi berita saat itu, produksi yang beranjak dari sudut pandang pihak tentara – anti komunis. Lebih dari itu, sejak hari pertama kudeta hingga lima hari sesudahnya, hanya koran tentaralah yang boleh terbit. Tercipta sudah, situasi dan kondisi yang paling baik untuk melakukan propaganda persetujuan massa ( engineering of consent) akan salahnya PKI. Maka upaya menghantam PKI pun segera saja dilakukan melalui media massa yang sejak “hari kudeta” langsung dikuasai Angkatan Darat. Dimulai dengan suasana tak menentu saat pagi hari 1 Oktober 1965 setelah Letnan Kolonel Untung mengumumkan pembentukan “Dewan Revolusi”, maka di pagi hari itu juga terjadi percakapan antara orang-orang intelijen Kostrad, di halaman markas mereka. Saat Yoga Sugama, asisten Soeharto untuk urusan intelijen di Kostrad, menyimpulkan bahwa penculik para jenderal adalah PKI, Ali Murtopo yang juga merupakan seorang perwira intelijen, segera menyanggahnya (Wiwoho, B. dan Banjar Chaeruddin, 1990 : 148) : Ali Murtopo Yoga Sugama
: :
Ali Murtopo Yoga Sugama
: :
700
“Pak Yoga jangan tergesa-gesa, nanti bisa keliru.” “Tidak, ini mesti pebuatan PKI. Kita tinggal mencari bukti buktinya,” “Waduh, kok PKI. Kalau salah nanti bagaimana ?” “Sudah, kita harus melakukan persiapan-persiapan.”
Arif Pradono
Ketika Mata Sang Jenderal Dicungkil: Harian Berita Yudha dan Propaganda Kekejaman PKI (1965)
Terbukti benar atau tidak kesimpulan Yoga, percakapan ini menunjukkan bahwa telah ada keinginan dari para perwira intelijen Kostrad untuk “tinggal mencari bukti-bukti” bahwa PKI bersalah. Yang jelas, pukul 18.00, Mayjen Umar Wirahadikusumah, selaku Panglima Kodam V / Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah (Pepelrada) Jakarta Raya, mengeluarkan Surat Perintah No.01 Drt/10/1965, tentang pelarangan terbit surat kabar, kecuali Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata. Intinya, sejak malam itu tidak ada surat kabar yang boleh terbit kecuali kedua harian ini. Hari itu sebenarnya tidak sedikit wartawan harian militer yang awalnya masih bingung dengan peristiwa yang terjadi. Brigadir Jenderal Ibnu Subroto dan Brigadir Jenderal Sugandhi, pemimpin umum Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata segera saja bergerak. Kesimpulan mereka saat itu, PKI terkait dengan Gerakan 30 September. Briefing kilat dilakukan oleh keduanya terhadap para awak media yang akhirnya mendapat jawaban apa yang harus dilakukan. Koran harus terbit seperti biasa, hanya dengan sasaran yang lebih jelas, perlahan menghantam kekuatan PKI. Briefing juga dilakukan kedua jenderal tersebut pada malam harinya di RRI setelah stasiun radio pusat ini kembali direbut RPKAD. (lihat, Agus Husni dkk, 1995 : 38-56). Namun meski “arahan” terhadap wartawan harian militer telah diberikan sejak 1 Oktober, berita-berita yang mengaitkan antara peristiwa Gerakan 30 September dengan PKI, baru muncul di koran Berita Yudha pada 4 Oktober 1965. Itupun tidak langsung menuding PKI sebagai dalang gerakan. Malam 4 Oktober, Ibnu Subroto kembali menghimbau wartawan Berita Yudha untuk terus menulis berita yang “menyerang” PKI. Julius Pour dengan mengutip Tempo edisi Oktober 1999, menulis : Sunario Sunarsal, redaktur Berita Yudha yang memimpin rubrik pertahanan dan keamanan, mengaku tidak tahu menahu cara wartawan memperoleh informasi menyangkut peristiwa Lubang Buaya. Namun dia masih ingat cara kerja para wartawan dan redaktur serta sentimen umum kala itu. Suatu malam, 4 Oktober 1965, menurut Sunario, Brigadir Jenderal Ibnu Subroto, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat sekaligus Pemimpin Redaksi Berita Yudha mengimbau wartawannya agar menulis berita peristiwa G30S sedemikian rupa, demi membangkitkan semangat anti PKI pada rakyat. Imbauan itu perintah, kata Sunario yang menggambarkan kondisi emosi para wartawan, yang ikut terhanyut oleh semangat anti PKI. (Pour, 2013 : 496)
701
Proceeding Research Day 2013
Tanggal 5 Oktober keesokan harinya, berita tentang “kekejaman PKI” mulai dipublikasikan, meski tuduhan yang dialamatkan pada PKI sebagai pelaku penyiksaan terhadap para perwira tinggi di Lubang Buaya ini belum terang-terangan ditulis. Beritanyapun hanya menjadi bagian dari berita mengenai pernyataan Soeharto saat pengambilan jenazah dilakukan dari dalam lubang sumur sehari sebelumnya, dan masih bersifat umum. Jadi, tentang adanya penyiksaan, Berita Yudha juga hanya memuatnya sebagai bagian dari kutipan pidato, bukan merupakan berita ‘investigasi’ wartawan. Pelaku penyiksaan juga masih lebih dituduhkan pada oknum Angkatan Udara (AURI) ketimbang PKI. Walaupun berita di atas menyebut keterkaitan antara pembunuhan para jenderal dengan organisasi massa PKI, judul dan isi berita terlihat sekali lebih menekankan pada adanya keterlibatan oknum Angkatan Udara (AURI) ketimbang Pemuda Rakyat dan Gerwani. Berita diawali dengan latar yang menerangkan adanya penggalian jenazah yang memperlihatkan adanya kekejaman pelaku terhadap korban. Penggunaan kalimat pasif “dilakukan petualang-petualang biadab", “diketemukan dalam keadaan tubuh penuh siksaan”, dan “ditembak”, menguatkan pelaku sebagai subjek dan korban sebagai objek. Pelaku, yaitu orang-orang Gerakan 30 September, jadinya merupakan pihak yang bersalah. Mereka, sesuai dengan elemen detil dan maksud2 yang dijelaskan dengan cukup panjang dan jelas, adalah oknum AURI, Pemuda Rakyat dan Gerwani. Keterlibatan oknum AURI kenudian dijelaskan kembali melalui detil yang lebih panjang termasuk mencantumkan pengingkaran bahasa dalam kalimat mengenai “pernyataan Bung Karno bahwa AURI tidak terlibat mungkin ada benarnya, tetapi tidaklah mungkin kalau tidak ada hubungan antara oknum-oknum AURI dengan peristiwa pembunuhan jang kejam”. Berita akhirnya memperlihatkan elemen pembeda melalui sosok Soeharto yang ditampilkan terharu di satu sisi dan bersikap tegas di sisi lain sembari menuntut agar patriot-patriot AURI menindak oknum-oknum AURI. Pernyataan Soeharto sebagai Pangkostrad tidak mengaitkan antara pelaku dengan PKI tampaknya kemudian menjadi salah satu ciri pernyataan para petinggi angkatan darat masa itu yang tidak pernah menyebut langsung PKI sebagai dalang atau pihak yang terlibat sejauh yang termuat dalam pemberitaan Berita Yudha, setidaknya selama bulan Oktober 1965. Kalaupun harus menyebut, Gerakan 30 September adalah nama yang mereka katakan. Baru pada besoknya Berita Yudha memuat berita khusus tentang bagaimana proses penganiayaan terhadap Ahmad Yani dilakukan, melalui Elemen detil dan maksud berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan si pembuat berita. Dalam detil, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan dengan panjang lebar. Sedangkan dalam elemen maksud, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit / jelas. 702 2
Arif Pradono
Ketika Mata Sang Jenderal Dicungkil: Harian Berita Yudha dan Propaganda Kekejaman PKI (1965)
judul berita yang panjang : “Kebiadaban di Pagi Buta, Pak Yani Jg. Dlm
Keadaan Luka Di Seret Dari Rumah Sampai Ke Djalan. Djeritan Sedih…”Papa”… Terdengar Diantara Rentetan Tembakan”. Beritanyapun bernada agitatif : “Rentetan peristiwa pentjulikan2 jang dilakukan oleh serigala2 Gerakan 30 September jg terjadi pada hari Djumat pagi2 buta terhadap perwira2 tinggi TNI/AD kita, djelas memperlihatkan suatu tindakan yang kedjam dan tidak berperikemanusiaan. Pada pagi2 buta hari Djumat tgl. 1 Oktober… didjalan Lembang tiba2 terdengar tembakan2 gentjar… Didalam usaha untuk meloloskan diri dari penembakan2 jang membabi buta dari gerombolan itu, Men/Pangad mendapat suatu tembakan. Tidak dapat dielakkan lagi, bahwa achirnya Pak Yani dapat ditangkap dan ditjuliknya… Gerombolan kontra revolusi ini… telah menjeret Pak Yani yang terluka itu dari rumah sampai ke pintu gerbang halamannja. Penganiajaan2 dilakukan oleh gerombolan tsb. Dari mulai beliau dinaikkan kesebuah kendaraan sampai ketempat penjiksaan terachirnya di Lobang Buaja. Hal ini ternjata dari luka2 jang terdapat dimuka dan dileher, serta anggauta2 tubuhnja jang tidak sempurna lagi… (Berita Yudha, 6 Oktober 1965). Diawali dengan teknik name calling yang menyebut para penculik sebagai “serigala-serigala Gerakan 30 September”,berita ini menceritakan Jenderal Yani, setelah berusaha meloloskan diri dari tembakan yang membabi buta, akhirnya ditangkap.Pemakaian kosa kata (leksikon) dalam berita penculikan Yani ini menegaskan sekali terjadinya kebrutalan para penculik. Kata-kata “kebiadaban”, “dalam keadaan luka diseret dari rumah sampai ke jalan”, “wajah dan lehernya penuh luka dan anggota tubuh tidak sempurna lagi”, menggambarkan hal tersebut. Leksikon ini makin diperkuat manakala para penculik dimetaforakan sebagai “serigala-serigala”, nama binatang yang dikenal buas dan pemangsa. Dalam hal detil dan maksud, semua isi berita ditampilkan dari perspektif pembuat berita. Cerita kekejaman yang diuraikan dengan panjang dan ditampilkan dengan bahasa yang jelas, disajikan memang untuk menunjukkan adanya penyiksaan. Teks tidak memuat, dan bisa dipastikan tidak akan mau dimuat oleh harian militer, latar yang menjelaskan mengapa sampai terjadi penculikan atau pembunuhan. Tujuan semua itu jelas bisa ditebak, untuk memunculkan simpati satu arah yang semakin dalam dikalangan pembaca terhadap korban sekaligus emosi kemarahan terhadap pelaku.
703
Proceeding Research Day 2013
Namun cerita yang ditampilkan oleh Berita Yudha mengenai penculikan Jenderal Yani ini, kemudian ternyata berbeda dengan kisah yang diceritakan oleh Untung Mufreni, anak Ahmad Yani yang menyaksikan kala ayahnya ditembak. Sementara Berita Yudha menulis bahwa Jenderal Yani disiksa sejak dari rumah hingga ke Lubang Buaya , Mufreni malah menyatakan bahwa bapaknya telah meninggal sejak ditembak di dalam rumah.3 Harold Crouch juga misalnya, menulis dalam proses penculikan enam jenderal, tiga orang (Yani, Harjono, Pandjaitan) terbunuh, tiga lainnya dibawa hidup-hidup (Crouch, 1999 : 110). Berita Yudha melanjutkan kisah kekejaman ini dengan menulis berita dibunuhnya keluarga Kolonel Katamso di Jogjakarta, melalui kalimat perlokusioner yang semakin brutal : “istri dan anak2nja (Kolonel Katamso) telah ditjintjang dan dibunuh” (Berita Yudha, 7 Oktober 1965). Pada tanggal yang sama koran ini juga memuat berita tentang adanya pernyataan dukacita dari “Masyarakat Islam” dan “Perhimpunan Indonesia” di Jepang yang tidak lepas dari kalimat hiperbolik tentang pembunuhan para jenderal : “Dalam kawatnja jang ditudjukan kepada Menko/Hankam Djenderal A.H. Nasution menjatakan rasa berduka tjita atas dinodainja Hari 5 Oktober dengan terdjadinja penjembelihan terhadap JM Men/Pangad Letdjen A. Yani dan 6 orang perwira AD” (Berita Yudha, 7 Oktober 1965). Beberapa sumber sekunder sebenarnya juga menulis kalau pada tanggal-tanggal ini, koran militer yang lain yaitu Harian Umum Angkatan Bersenjata juga memasang beberapa foto mayat jenderal yang ditemukan di Lubang Buaya dan menggambarkan pembunuhan tersebut sebagai “perbuatan biadab berupa penganiayaan di luar batas perikemanusiaan” . Bahkan pada 7 Oktober, Harian Angkatan Bersenjata menyatakan bahwa “matanja (Ahmad Yani) ditjungkil” (Wieringa, 2010 : 445-446, Rossa, 2008 : 30, 93, Crouch, 1999 : 157). Massa pembaca jadinya seperti “diarahkan” untuk mengaitkan sendiri bahwa PKI memang terlibat dalam pembantaian para perwira Angkatan Darat. Baru setelah “PKI sebagai dalang” dikumandangkan “secara resmi” melalui tajuk rencana Berita Yudha tanggal 8 Oktober, koran ini kemudian melanjutkan kisah tentang “kekejaman PKI” melalui berita3Lihat
pengakuan Untung Mufreni sebagaimana ditulis dalam buku “Gerakan 30 September :
Antara Fakta dan Rekayasa, Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah ”. Tim Penulis buku ini juga mengutipnya dari Majalah D & R no.35/XXX/12-17 April 1999. (Lihat, Center for Information Analysis, 2004 : 93-94). 704
Arif Pradono
Ketika Mata Sang Jenderal Dicungkil: Harian Berita Yudha dan Propaganda Kekejaman PKI (1965)
berita yang menyebut langsung nama PKI atau ormasnya, meskipun masih tetap beberapa diantaranya tidak juga menyebut langsung institusi ini. Pada 8 Oktober, Berita Yudha memuat kisah dengan gaya bahasa yang pilu namun bisa membuat marah pembacanya.Berita ini menceritakan bagaimana putri Jenderal Nasution terbunuh. Judul berita yang ditulis merupakan kutipan pidato Nasution saat pemakaman putrinya. Kalimatnya menyentuh : “Sekarang Dia Kami Kembalikan Kepada Mu”. Namun isi beritanya “seram” dan bisa membuat marah massa (Berita Yudha, 8 Okober 1965) Inti berita ini sebenarnya mengisahkan tentang pemakaman puteri Jenderal Nasution, Ade Irma Suryani, yang meninggal enam hari setelah ikut tertembak pada kejadian 1 Oktober. Namun kisah dramatis ini menjadi semakin menggetarkan manakala Berita Yudha memberitakannya dengan latar, detil, koherensi dan leksikon seperti tercantum pada nukilan berita di atas. Berita ini jadinya malah memperlihatkan ke arah mana pandangan pembaca dan khalayak sesungguhnya hendak dibawa oleh Berita Yudha. Latar yang ditampilkan segera mengarah pada upaya mempersuasi emosi massa. Digambarkan di sana bagaimana seorang putri bungsu yang masih kecil dan belum berdosa ditembak oleh gerombolan Gestapu yang ganas dan buas hanya dalam jarak satu meter. Kata “Gestapu” saja sudah berkonotasi pada “Gestapo”, polisi rahasia Nazi yang terkenal kejam. Ketidakberdayaan korban juga ditunjukkan melalui detil yang mengatakan bahwa “si kecil” ditembak saat tengah berada dalam gendongan “emboknya”. Hal ini juga memperlihatkan adanya koherensi kondisional yang berfungsi memperjelas bahwa telah terjadi tindak kebrutalan terhadap ketidakberdayaan. Bentuk kalimat pasif yang digunakanpun segera memberikan penekanan pada korban sebagai objek. Demikian pula kata “ditembak”, akan menimbulkan makna yang lain dibanding dengan kosa kata “tertembak” misalnya, hal mana semakin menunjukkan kebiadaban pelaku penembakan. Apalagi penembakan, dikatakan, dilakukan melalui jarak hanya satu meter. Pada paragraf berikutnya terlihat sekali adanya koherensi pembeda antara kalimat “si upik cilik yang masih merasakan kehidupan ditengah ayah ibunya bagaikan surga”, dengan kalimat mengenai orang-orang tanpa belas kasihan “yang mulutnya berkemak kemik setuju Pancasila dan Manipol”. Melalui koherensi ini dua jenis dan kondisi manusia dibuat bertentangan dan berseberangan (contrast), antara anak kecil tanpa dosa dengan orang dewasa kejam, antara kisah kebahagiaan dengan kisah kebrutalan, antara citra surga dengan dusta politik dunia. Berita tersebut menunjukkan adanya elemen wacana dengan menyebut leksikon yang 705
Proceeding Research Day 2013
implisit mengenai PKI. Kalimat “korban kebuasan, keganasan dan kebiadaban manusia tak berTuhan” tentu akan merujuk pada PKI. Dari segi grafis, upaya persuasi dalam berita itu kemudian makin diperkuat ketika Berita Yudha menampilkan foto saat pemakaman, dimana digambarkan di sana istri Nasution tengah membopong jenazah putrinya yang diselimuti kain batik. Foto lain menampilkan wajah Nasution yang sendu di sisi makam, sementara istrinya jongkok sembari menangis. Yang lebih menyentuh adalah foto ketiga dengan ukuran agak besar menampilkan Ade Irma Nasution yang lugu dan cantik, dalam belutan wajah anak tak bersalah. Di atas foto tersebut tercantum judul “Tidak Berdosa”. Hari besoknya, berita dengan bahasa yang agitatif “Pembunuhan Biadab Jang Tiada Taranja”(Berita Yudha, 9 Oktober 1965). Secara ringkas,terlihat dalam tabel berikut ini. Tabel 2. Bentuk Perlakuan terhadap Korban Penculikan G 30 S Nama Korban Umum Ahmad Yani Sutoyo Haryono MT
Suprapto S. Parman DI Panjaitan Pierre Tendean
Bentuk Perlakuan Dianiaja berat, ditumpuk dalam sumur tua, tubuh amat rusak, wajah tidak dikenali lagi, tangan diikat, ditusuktusuk, ditembak Diikat menyatu dengan Sutoyo, tangan diikat, wajah rusak ditutup kain hitam, mata dicungkil Diikat menyatu dengan Yani, tangan diikat, wajah rusak Di todong senjata dan sangkur lalu diberondong dengan keji, diseret sewenang-wenang dan dilempar ke truk, darah berhamburan, tangan diikat, terlihat bekas-bekas siksaan di tangan, puteranya dipukul gagang senapan hingga pingsan Tubuh rusak, wajah dan batok kepala terkena pukulanpukulan Wajah kiri sangat rusak, di tubuh tampak bekas-bekas tembakan Ditembak dengan kejam saat bangun tidur sehingga otak dan darahnya bertebaran di tempat tidur, diseret dan dilempar ke truk, keluarga mendapat pukulan-pukulan Disiksa dengan kejam, dada kiri dan perut sebelah kanan luka besar ditusuk-tusuk pisau, leher dirusak, mata dicungkil
Seperti halnya cerita yang berbeda mengenai penculikan Jenderal Yani antara versi Berita Yudha tanggal 6 Oktober dengan cerita Untung Mufreni, anak Yani, versi pembunuhan jenderal di 9 Oktober ini juga tak lepas dari kontroversi perbedaan semacam itu.
706
Arif Pradono
Ketika Mata Sang Jenderal Dicungkil: Harian Berita Yudha dan Propaganda Kekejaman PKI (1965)
Kisah kematian Mayor Jenderal DI Panjaitan misalnya, ada perbedaan versi Berita Yudha dengan kisah yang diceritakan puteri Panjaitan, Catherine. Menurut Catherine, ayahnya dibunuh di ruang tamu. (Tempo ed. 6 Oktober 1984).Sedangkan versi Berita Yudha, pada 9 Oktober 1965, Mayor Jenderal DI Panjaitan dibunuh di tempat tidur saat ia terbangun di malam penculikan.Uniknya, cerita yang berbeda terdapat pula dalam buku “Gerakan 30 September, Pemberontakan Partai Komunis Indonesia” yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara RI (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994). Kisah dalam buku ini lebih mirip dengan adegan yang digambarkan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI (1984), dimana Panjaitan dibunuh di halaman rumah. Namun apapun perbedaan tersebut, apa yang ditulis oleh Berita Yudha jadinya memang lekat dengan nuansa propaganda. Publikasi kekejaman 9 Oktober ini memang tidak menyebut langsung PKI sebagai pelaku “kebiadaban”. Namun dengan sudah ditunjuknya hidung PKI sebagai dalang peristiwa oleh Berita Yudha dalam berita lain di hari yang sama, publik tentu akan mengarahkan image-nya pada PKI sebagai pelaku. Kosa kata yang digunakan dalam penganiayaan dan pembunuhan para korban di malam penculikan menguatkan secara betul kosa kata yang ditampilkan pada judul. Seperti kata Berita Yudha di awal tulisan ini : “Kebuasan dan kebiadaban terror kontra revolusi dari apa jang menamakan dirinja ‘Gerakan 30 September’ telah mendapat kutukan keras dari mana2, baik dari perseorangan, instansi2 pemerintah, swasta, ormas, orpol dan organisasi2 jang memegang teguh dan mendjundjung tinggi Pantjasila.” Elemen detil dan maksud diurai dengan kalimat rinci dan jelas, tanpa tedeng aling-aling. “Wartawan ‘Yudha’ mendengar dari anggauta2 ABRI jang pernah beroperasi melawan musuh2 revolusi dimasa lalu, bahwa kebuasan dan kebiadaban jang dilakukan terhadap ketudjuh Pahlawan Revolusi ini sama halnja dengan kebuasan2 PKI/Muso semasa pemberontakan Madiun, kebuasan2 DITII Kahar Muzakar serta kebuasan semasa APRA Westerling di Bandung dn di Sulawesi Selatan”. Namun bukan saja proses penganiayaan brutal yang disampaikan dalam tulisan ini. Beberapa kalimat menonjolkan pula sisi sebaliknya, perbuatan heroik dari para korban.
707
Proceeding Research Day 2013
“Mayjjen DI Pandjaitan…beliaulah jang pertama2 dibunuh dengan kedjam sewaktu memberikan perlawanan jg heroik dirumahnja terhadap kebiadaban teroris2 tsb”. “Kapten Pierre Tendean…perwira jg. gagah berani ini jang paling terachir disiksa dengan biadab dan kedjam. Ia telah memberikan perlawanan jang tiada taranja sebagai perwira guna membela kehormatan TNI/AD”. “Pentjulikan jang mereka lakukan… dengan melakukan penembakan2 dan penjeretan2 terhadap para korban jang telah dengan tegas dan gigih melawan meskipun mereka tidak bersendjata”. “Dua orang pemuda anggauta keluarga Pak Pandjaitan masing2 Albert dan Victor telah dengan berani melawan dan mempertahankan diri sehingga merekapun kena tembakan…” “Sementara itu gerombolan2 teroris biadab lainnja jang mentjulik Letnan Djenderal Anumerta Harjono dengan sendjata2 dan sangkur terhunusnja telah dengan paksa mentjulik Pak Harjono, jang karena perlawanannja jang gigih kemudian diberondong dengan kedji oleh penteror2 tidak berperikemanusiaan ini”. Ada perbandingan dibuat antara kisah kekejaman “musuh” dengan “epos kepahlawanan” para korban. Emosi massa disentuh melalui kalimatkalimat perlokusioner. Berita mengenai kekejaman PKI dalam harian militer, ternyata tidak semuanya berkait dengan peristiwa penculikan, penyiksaan atau pembunuhan. Tanggal 13 Oktober 1965, Berita Yudha memuat berita berjudul “Kebiadaban Terror Kontra Revolusi G 30 S” mengenai ditemukannya satu peti alat pencungkil mata milik anggota Pemuda Rakyat, yang penggunaannya akan diperuntukkan bagi “lawan” yang tidak perlu dibunuh. Cara menggunakannya pun diceritakan dalam berita Berita Yudha, 13 Oktober 1965. Hingga kini alat pencungkil mata ini tetap menjadi kontroversi. Ada yang berpendapat alat ini aslinya adalah alat penyadap pohon karet yang dimanipulasi oleh Berita Yudha sebagai alat pencungkil mata. Soekarno bahkan pernah mengomentarinya pada Desember 1965 saat berbicara di hadapan para Gubernur se Indonesia. Ia mengatakan pisau tersebut tak lain dari pisau penyadap latex pohon karet. Berita Yudha sendiri dalam pemberitaanya memang sempat menyinggung tentang alat penyadap karet ini, Alat penyadap karet masa sekarang yang penulis ambil dari berbagai sumber :
708
Arif Pradono
Ketika Mata Sang Jenderal Dicungkil: Harian Berita Yudha dan Propaganda Kekejaman PKI (1965)
Gambar 3. Alat Pencungkil Mata Versi Berita Yudha (kiri) dan Alat Penyadap Karet (kanan)
Berita-berita propaganda mengenai kekejaman yang dilakukan PKI sebagaimana dikemukakan di atas, bagaimanapun dilakukan dengan tujuan untuk menggugah emosi massa. Khalayak dibuat untuk marah atau semakin marah. Meski bukan merupakan satu-satunya sebab, realitanya sejak 9 Oktober, saat cerita kekejaman terhadap para jenderal dipublikasikan, amuk massa terjadi. Hingga 16 Oktober, tampilan Berita Yudha selalu dihiasi dengan berita penghancuran gedung atau rumah atau tokoh PKI. Tentu dengan catatan, tidak ada satu beritapun yang menulis telah jatuh korban manusia di pihak PKI. Tanggal 17 Oktober, RPKAD mulai bergerak ke Jawa Tengah. Aksi pembantaian massa PKI oleh massa non komunis dimulai. Penutup Diskusi tentang peristiwa di seputar Gerakan 30 September 1965 sampai saat ini masih diselimuti banyak kontroversi. Namun apapun bentuk kontroversi tersebut, hal itu tidak menutup realitas bahwa telah berlangsung praktik propaganda di minggu-minggu awal Oktober 1965 (bahkan juga sesudahnya), khususnya yang telah dilakukan oleh calon penguasa baru Indonesia, rezim militer Orde Baru, dengan penopang utamanya Angkatan Darat. Propaganda yang dilakukan Angkatan Darat pasca peristiwa kudeta 1 Oktober 1965, pada awalnya bukan dilakukan untuk menjatuhkan pemerintahan yang tengah berkuasa, melainkan hanya berupaya menidakkan kekuatan politik komunis yang memang telah lama bersinggungan dengan angkatan darat, bersaing atau bahkan konflik.
709
Proceeding Research Day 2013
Terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), propaganda Angkatan Darat dilakukan tidak dilakukan dengan cara menghantam langsung partai ini, namun terlebih dahulu berusaha mempengaruhi, membentuk atau meyakinkan opini publik bahwa PKI adalah memang partai yang bersalah, karena terlibat langsung dalam Gerakan 30 September bahkan mendalanginya. Beragam cara tentu dilakukan, dan salah satunya adalah menerapkan propaganda melalui media cetak yang mereka miliki, koran Berita Yudha. Propaganda Berita Yudha tentang PKI dan Gerakan 30 September antara lain dilakukan dengan mempublikasikan cerita-cerita kekejaman yang “PKI” lakukan. Tujuannya jelas, membangkitkan amarah massa non komunis terhadap massa komunis. Dan terlepas dari apakah propaganda yang dilakukanBerita Yudha bersifat putih, hitam, atau abu-abu, propaganda ini nyatanya kemudian seakan menjadi cermin betapa legitimated-nya pembantaian massal terhadap massa PKI yang berlangsung kemudian sejak pertengahan Oktober 1965. ***** Daftar Pustaka Buku : Abdullah, Taufik. ed. 2012. Malam Bencana 1965 dalam Belitan Krisis Nasional. Bagian I : Rekonstruksi dalam Perdebatan. Jakarta, Yayasan Obor. Adityawan, Arif, 2008, Propaganda Pemimpin Politik Indonesia, Jakarta, LP3ES. Baran, Stanley J., dan Dennis K. Davis, 2010, Teori Komunikasi Massa ; Dasar, Pergolakan dan Masa Depan, Terj., Afrianto Daud, Jakarta, Salemba Humanika. Center for Information Analysis. 2004. Gerakan 30 September : Antara Fakta dan Rekayasa, Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah, Yogyakarta, Media Pressindo. Crouch, Harold, 1999, Militer dan Politik di Indonesia, Terj. Th. Sumarthana, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. Eriyanto, 2011, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media , Yogyakarta, LKiS. • --------, 2002. Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi dan Politik Media , Yogyakarta, LKiS. Feith, H. dan Castles, L., 1970, Indonesian Political Thinking, 1945 – 1965, New York, Ithaca. Feith, Herbert, “Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965 ; Suatu Pengantar”, dalam Miriam Budiardjo, 1998. Partisipasi dan Partai Politik, Jakarta, Yayasan Obor. Galtung, John. 1969. Theory and Method of Social Research, New York, Columbia University. Husni, Agus, dkk. 1995, 30 Tahun Harian Umum Angkatan, Peranan dan Perjuangannya, Jakarta, Angkatan Bersenjata. Kuntowijoyo, 2005, Metodologi Sejarah, Yogyakarta, Tiara Wacana. 710
Arif Pradono
Ketika Mata Sang Jenderal Dicungkil: Harian Berita Yudha dan Propaganda Kekejaman PKI (1965)
• --------, 2003, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta, Bentang Pustaka. • --------, 2008, Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Yogyakarta, Tiara Wacana. Nimmo, Dan, 2005, Komunikasi Politik : Komunikator, Pesan dan Media , Terj. Tjun Surjaman, Bandung, Rosdakarya. Nurudin, 2001, Komunikasi Propaganda, Bandung, Rosdakarya Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 1993, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta : Balai Pustaka. Pour, Julius. 2013. G 30 S, Fakta atau Rekayasa. Jakarta, Kata Hasta Pustaka. Ricklefs, M.C., 2010, Sejarah Indonesia Modern 1200 - 2008, terj. Tim Serambi, Jakarta, Serambi. Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994, Gerakan 30 September
Pemberontakan Partai Komunis Indonesia : Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, Jakarta. Sekneg Republik Indonesia.
Sendjaja, Sasa Djuarsa. 2005, Paradigma Baru Pendidikan Ilmu Komunikasi di Indonesia, Komunika, Vol.8, no. 1, Jakarta, LIPI. Shoelhi, Mohammad, 2012, Propaganda dalam Komunikasi Internasional , Bandung, Simbiosa Rekatama Media. Suprapto, Tommy, 2011, Komunikasi Propaganda : Teori dan Praktik, Jakarta, CAPS. Widjojo, Muridan S. dan Mashudi Nursalim, 2003, Bahasa Negara Versus Bahasa
Gerakan Mahasiswa ; Kajian Semiotik Atas Teks-Teks Pidato Soeharto dan Selebaran Gerakan Mahasiswa, Jakarta, LIPI Press. Wieringa, Saskia Eleonora, 2010. Penghancuran Gerakan Perempuan; Politik Seksual di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI, Yogyakarta, Galangpress. Wiwoho, B. dan Banjar Chaeruddin, 1990. Memori Jenderal Yoga, Jakarta, Bina Rena Pariwara. Surat Kabar/Majalah : Berita Yudha, Oktober 1965 TEMPO, edisi 20/01, 13 Juli 1996. • --------, edisi 46/01, 11 Januari 1997 • --------, edisi 1-7 Oktober 2012
711