Palagan Ganter
Palagan Ganter
Sentot Prihandajani Sigito
Press
Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
PALAGAN GANTER UB Press Cetakan Pertama, April 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang All Right Reserved Penulis : Sentot Prihandajani Sigito Perancang Sampul : Ali Manshur, S.Sos. (UB Press) Penata Letak : Ali Manshur, S.Sos. (UB Press)
Penerbit: Universitas Brawijaya Press (UB Press) Anggota IKAPI No. 017/JTI/94 Jl. Veteran (Universitas Brawijaya) Malang 65145 Indonesia Telp.: +62341-551611-Pswt 376 Fax. : +62341-565420 Email:
[email protected] http://www.ubpress.ub.ac.id
Penerbitan Elektronik Pertama & Terbesar di Indonesia
ISBN: 978-602-8074-72-1 xvi+94 hal, 14 cm x 21 cm
Dilarang keras memfotokopi atau memperbanyak sebagian atau seluruh buku ini tanpa seizin tertulis dari penerbit
Prakata
Palagan Ganter ini sebuah karya fiksi (novel) yang diangkat dari (legenda) cerita rakyat yang berkembang di daerah Malang Raya, Kediri dan Nganjuk khususnya di lembah Ganter dekat perbukitan desa Liman (sekarang) kaki gunung Wilis, yang dahulunya termasuk wilayah kutaraja kerajaan Kediri. Cerita ini mengisahkan pergolakan rakyat Tumapel yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan kutaraja Kediri yang terbukti gagal dalam memberikan rasa aman dan dan kesejahteraan pada rakyatnya. Karakteristik kekuasaan kutaraja yang arogan menyebabkan ia kehilangan dukungan (legitimasi) dari berbagai lapisan sosial, sehingga perubahan sosialpolitik tidak dapat dihindari lagi. Dalam berbagai cerita Ken Arok lain, tokoh ini selalu dipandang dan disudutkan sebagai tokoh jahat (hitam), penghasut, pemimpin gerombolan pengacau yang istilah ngetrennya sekarang disebut provokator. Memang kalau dilihat dari sudut pandang kekuasaan kutaraja, ia adalah tokoh hitam yang jadi buronan kelas satu, dituduh sebagai biang keroknya pemberontakan Tumapel. Tetapi dalam cerita ini sudut pandang yang digunakan bukan dari sudut pandang kekuasaan kutaraja Kediri melainkan dari sudut pandang kawula Tumapel sendiri. Ken Arok adalah pimpinan kaum sudra yang tampil sebagai pembela kawula alit menghadapi arogansi kekuasaan kutaraja. Ken Arok dipandang sebagai pahlawan kaum sudra di Tumapel. Kalau orientasi kekuasaan kutaraja Kediri adalah simbolisasi dari kemapanan (status quo), maka gerakan Tumapel berorientasi
v
pada perubahan. Cerita Palagan Ganter ini sebenarnya adalah pertarungan antara pendukung kekuasaan yang berorientasi kemapanan dan kekuatan perubahan yang anti kemapanan. Ciri yang ditonjolkan dalam tulisan ini adalah beberapa paradigma sebagai berikut. Pertama, pandangan umum yang mengatakan bahwa suksesi menjadi raja haruslah keturunan raja itu sendiri. Dalam cerita ini paradigma ini gugur, Sang Amurwabhumi hanyalah anak desa berasal dari kalangan rakyat biasa tetapi akhirnya berhasil menjadi raja, bukan karena keturunan bangsawan melainkan melalui likuliku perjuangan panjang dalam membela rakyat kecil. Dukungan rakyat banyak adalah kata kunci yang mengantarkan Ken Arok Sang Amurwabhumi memperoleh kepercayaan untuk memimpin mereka. Kedua, anggapan bahwa kemenangan dari suatu konflik ditentukan oleh kekuatan senjata dan jumlah bala tentara. Paradigma ini gugur, bahkan sebaliknya kekuatan pasukan adidaya seperti yang dimiliki kutaraja Kediri akhirnya dipaksa menyerah menerima kekalahan pahit oleh perjuangan rakyat Tumapel yang dilihat dari jumlah pasukan, persenjatan dan logistiknya sangat tidak sebanding. Ternyata keyakinan atas terjadinya perubahan dan siasatlah yang lebih menentukan kemenangan. Tumapel yang unggul dalam siasat perang semesta ini akhirnya memenangkan peperangan karena sandiyudanya (siasat) tidak dapat diduga sebelumnya oleh lawan, sedangkan Kediri kalah akibat sandiyudanya dengan mudah dibaca lawan. Selain itu kekuasaan kutaraja juga sangat meremehkan kekuatan lawan dan tidak melihat adanya kemungkinan lain. Ketiga, paradigma yang gugur dalam cerita ini adalah dukungan rakyat banyak terbukti mampu mengalahkan kekuasaan vi
Prakata
sekuat apapun seperti kekuasaan kutaraja yang sudah berabadabad tidak tergoyahkan oleh perubahan jaman. Dalam banyak pergulatan kekuasaan lama, ujung tombak perubahan umumnya adalah kaum bangsawan sendiri tetapi dalam cerita ini ujung tombak perubahannya adalah seluruh lapisan rakyat, rakyat kecil yang terpinggirkan oleh kekuasaan yang jumud, kekuasaan yang hanya mementingkan untuk dirinya sendiri. Kekuasaan kutaraja Kediri adalah simbolisasi dari tahta yang bukan untuk rakyat. Akhirnya rakyat lah yang mendorong roda kereta perubahan yang menggilas dan meruntuhkan tahta yang arogan itu. Sang Amurwabhumi berhasil menggalang dukungan luas dari segenap lapisan sosial, rakyat kecil, brahmana, pendekar-pendekar dan orang kaya seperti Bango Samparan yang peduli untuk membiayai perjuangan anak angkatnya itu. Inilah yang menjadikan pergolakan rakyat Tumapel menjadi sebuah perang semesta karena disatukan oleh semangat dan tekad satu yaitu memperjuangkan perubahan dari negeri tertindas menjadi negeri merdeka yang bebas dari penindasan dan kesewenang-wenangan. Perubahan untuk menjadikan Tumapel menjadi bumi merdeka, lepas dari kekuasaan kutaraja yang dianggap gagal mensejahterakan rakyat. Kepedulian Sang Amurwabhumi terhadap rakyat kecil yang teraniaya menjadikan dirinya sebagai satu-satunya orang yang terbukti berani melawan kesewenang-wenangan. Ken Arok dikenal sebagai simbol perjuangan orang Tumapel, dia profil seorang pembebas rakyat dari belenggu kekuasaan yang tidak lagi berpihak pada wong cilik. Ken Arok Sang Amurwabhumi adalah Robin Hoodnya Tumapel. Karakter tokoh dan orientasi penulisan ini memang terasa bernuasa populis (kerakyatan), jauh dari karakter istana centris yang titik beratnya mengagung-agungkan pembesar Sentot Prihandajani Sigito
vii
atau keluarga istana yang sering dianggap memiliki berbagai kekebalan termasuk kebal dari perubahan. Ken Arok berhasil memperoleh dukungan luas dari rakyat kecil karena ia rela berkorban dan berani membela rakyat yang teraniaya sekalipun harus berhadapan dengan tirani kekuasaan kejam. Itu dilakukan selama bertahun-tahun, tanpa kenal lelah, tanpa punya rasa takut, sehingga ia dikenal sebagai tokoh yang menjadi icon perjuangan sebagai seorang pembebas. Singkat kata Ken Arok memperoleh dukungan luas karena ia telah banyak menanam dan pada akhirnya ia memetik buah dari tanamannya itu sendiri. Perjuangan panjangnya mengantarkan dirinya menjadi pemimpin utama pergerakan Tumapel, ia sama sekali bukan tipe pemimpin yang terorbit karena ia memiliki fasilitas kuat untuk membeli kekuasaan. Ia juga bukan tipe pemimpin yang secara tiba-tiba memasang gambar-gambarnya di jalan-jalan untuk memperoleh dukungan rakyat, tetapi ia memperoleh dukungan karena telah banyak berjuang menanam budi baik membela rakyat kecil yang teraniaya. Ia bukan tipe pemimpin karbitan yang muncul tiba-tiba dan ingin mencapai obsesinya secara instan. Boleh saja pemerintah kutaraja Kediri memandang Ken Arok sebagai pemberontak, perampok, penyamun, penghasut petani, provokator dan masih banyak sebutan lainnya, tetapi di mata orang Tumapel dia adalah ksatria dari sebuah negeri yang tidak sudi lagi dijajah, pembela wong cilik, pemimpin orang sudra. Kaum brahmana sendiri mendukung perjuangan Tumapel merdeka karena ia melihat Ken Arok memang dilahirkan sebagai seorang “Pembebas ”. Bisa jadi kaum brahmana tidak suka akan sifat dan tabiatnya ugal-ugalan, suka bersenang-senang tetapi pandangan kearifannya sudah mampu melihat bahwa hal itu sebagai viii
Prakata
suatu hal yang wajar atau manusiawi, karena hanya Ken Arok lah yang jiwanya berani melakukan tugas berat itu. Karakteristik jiwa pembebas memang seringkali lahir dari latar belakang seperti itu. Ia bukan dilahirkan dari kalangan aristokrat (bangsawan) tetapi dari kalangan rakyat jelata. Bisa jadi ia bukan termasuk pemuda baik-baik, yang sopan dan penurut karena ternyata profil pemuda seperti itu juga tidak kunjung bisa menjadi seorang pembebas negerinya yang tertindas. Cerita Palagan Ganter ini dilihat dari perspektif kearifan (sudut pandang hikma) adalah penggambaran dari peperangan yang terjadi pada diri kita sendiri. Palagan Ganter adalah sebenarnya adalah gambaran dari peperangan antara pikiran yang jumud, fanatik dan stagnan (berhenti) berhadapan dengan pikiran terbuka, jiwa bebas dan cita-cita merdeka atau perubahan. Raja Kertajaya adalah simbolisasi dari pikiran jumud, karakter kekuasaan (hawa nafsu) kemapanan (status qou) anti perubahan, sedangkan Ken Arok Sang Amurwabhumi pemimpin gerakan Tumapel Merdeka adalah simbolisasi dari jiwa bebas, cita-cita merdeka yang menginginkan lepas dari belenggu kekuasaan yang lalim. Palagan Ganter juga dapat dilihat dari sudut pandang antara pertarungan antara kekuatan kemampanan dan kekuatan perubahan. Pada akhirnya terbukti perubahan yang memenangkan peperangan. Kedua orang senopati Kediri yang tewas di palagan (Panglima Gubar Baleman dan Tumenggung Mahisa Walungan) adalah simbolisasi dari hilangnya kekuatan utama raja seperti hilangnya bahu kanan dan kiri raja. Gugurnya patih Durandaka adalah simbolisasi hilangnya akal-sehat. Mpu Aditya dan Mpu Narayana panasehat raja yang awalnya tidak pernah digubris adalah simbolisasi dari kesadaran dan kebijaksanaan (jiwa) yang tidak pernah diperhatikan Sentot Prihandajani Sigito
ix
oleh raja, akhirnya meninggalkan raja sendirian ketika raja dalam situasi chaos bingung dan panik di ujung petaka. Sedangkan permaisuri Dewi Amisani atau Dewi Andhong sari adalah simbolisasi dari rasa (suara kebenaran) yang diabaikan raja yang akhirnya mati akibat tidak pernah dipedulikan oleh pemiliknya yaitu raja sendiri. Kematian Dewi Amisani ibarat matinya rasa kemanusiaan raja, sedangkan kematian raja Kertajaya sendiri diibaratkan kematian seseorang yang sudah ditinggalkan pergi (koncatan, bahasa Jawa) jiwa yang sehat dan rasa (suara kebenaran). Tidak ada gading yang tak retak. Itulah gambaran dari naskah tulisan ini. Di sana-sini banyak kekurangan baik dari segi isi, tata bahasa dan pengungkapan cerita. Untuk itu penulis sangat berharap pembaca sudi memberikan kritik dan saran guna perbaikannya. Penulis tidak lupa menyampaikan ucapan terima kasih terhadap rekan-rekan atau para pihak yang telah membantu penulisan dan penerbitan naskah ini terutama bapak Dr. Mujianto dari Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang dan Dr. Jazim Hamidi dari Fakultas Hukum Unibraw dan Universitas Brawijaya Press. Semoga bantuan itu menjadi amal kebajikan yang terus mengalir tanpa putus pahalanya. Amin.
x
Wassalam. Malang. 10 Maret 2010 Penulis
Sentot Prihandajani Sigito
Prakata
Sekapur Sirih PALAGAN GANTER, nama yang barangkali tak pernah melekat pada memori anak-anak negeri ini. Adakah mereka yang terobsesi menelusuri jejak kebesaran sejarah nenek moyangnya? Tahukah mereka legenda yang masih penuh dengan misteri? Adakah peta kognitif mereka pernah terusik oleh sentuhan estetika sejarah? Keindahan barangkali memang tidak ada di masa lampau, kecuali secercah nostalgia. Pewara sejarah tak lagi banyak menghiasi wacana pembelajaran dan pendidikan di negeri ini. Mutiara dan manik-manik sejarah hampir semua tersaji dalam berbagai bentuk yang terdistorsi oleh kedangkalan pengetahuan dan keterbasan imajinasi. Membaca sastra tidak lagi menjadi primadona pemerolehan pelajaran jiwa. Legenda, kata ini berasal dari bahasa Latin yang artinya adalah “apa yang harus dibaca” (C. Hooykas, 1950 dalam Penjedar Sastera). Membaca Palagan Ganter akan menemukan jawaban atas lepasnya obsesi anak-anak negeri. Sajian peristiwa sejarah dan berbagai mitologinya adalah sarana olah jiwa yang luar biasa. Sudut pandang yang berbeda dari mitos yang telah mengakar pada pandangan dunia merupakan dekonstruksi paradigma sejarah yang ada. Sebuah penyangkalan paradigma sejarah konvensional, yakni “penolakan terhadap petanda absolut atau ‘makna absolut’, makna transendental, makna universal…..” (I.R. Muzir, 2006 dalam Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida). Kehadiran berbagai mitos dalam Palagan Ganter mengundang dua pertanyaan besar. Apakah berada dalam suatu mitos “pengukuhan” (myth of concern) ataukah suatu
xi
mitos “pembebasan” (myth of freedom)? (Mudjianto, 1987 dalam Masyarakat Sastra Minoritas Terselubung). Ken Arok yang juga disebut Sang Amurwabhumi adalah simbol perjuangan rakyat Tumapel yang tidak pernah dikenalkan dalam dongeng dan sejarah. Stigma kehajatan, kelicikan, dan kebiadaban melekat pada diri Ken Arok yang tidak jelas asal usulnya. Cerita rakyat dan sejarah tentang Ken Arok telah memberikan pelajaran yang terkooptasi oleh kesewenang-wenangan penguasa. Kebenaran tidak terlacak oleh bukti-bukti sejarah. Namun kejernihan jiwa dan ketajaman imajinasi nampaknya mampu mengantarkan pada “bacaan” yang sesungguhnya yang tersaji dalam Palagan Ganter sebuah karya fiksi yang diangkat dari kearifan cerita rakyat (floklore) yang hidup dalam tradisi secara turun-temurun. Tabir kebenaran sejarah dan kabut aspirasi kawula alit secara seksama terkuak, dibeberkan secara dramatis dalam Palagan Ganter. Sebagai representasi folklore, Palagan Ganter akan berfungsi sebagai bagian dari: (i) sistem proyeksi, yaitu sebagai alat pencerminan angan-angan suatu kolektif; (ii) alat pengesahan pranatapranata dan lembaga kebudayaan; (iii) alat pendidikan anak; dan (iv) alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya (lh. James Danandjaja, 1984 dalam Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lainlain). Sangat tepat ketika gugurnya Panglima Gubar Baleman dan Tumenggung Mahisa Walungan adalah lumpuhnya kekuatan Raja dan gugurnya Patih Darandaka ibarat hilangnya akal sehat. Sebuah proyeksi yang bukannya tanpa sebab, tetapi sekuensi historis yang mengunduh takdirnya. Kematian Permaisuri Dewi Amisani ibarat matinya rasa kemanusiaan bukanlah kejadian yang serta merta, tetapi sebuah perjalanan sejarah yang ditulis dari kucuran darah xii
Sekapur Sirih
dan air mata. Peristiwa sejarah yang tak pernah mengenal insyaf dan penyesalan. Peristiwa yang sering dilupakan dan tak pernah dikenang; kecuali ketika kita membaca, memahami, menghayati Palagan Ganter ternyata ada kesadaran baru dari apa yang kita yakini tentang Ken Arok menjadi sesuatu yang kita ragukan. Sebagai “bacaan”, Palagan Ganter akan terus berjalan mengikuti perjalanan imajinasi pembacanya. Palagan Ganter menjadi bagian dari proses belajar berwacana sastra. Dalam bersastra, betapapun melimpahnya pengetahuan yang diberikan tanpa diikuti oleh keberanian menciptakan sebuah karya, sebagaimana dilakukan oleh Sentot Prihandajani Sigito melahirkan Palagan Ganter, maka yang terjadi adalah bukan bersastra. Palagan Gander adalah wahana pembelajaran sastra bagi anak negeri ini. Belajar tidak lagi pada tataran kognitif, tetapi lebih pada keterampilan intelektual dan kematangan emosional (confidence) (lh. Mudjianto, 2000 dalam Belajar dalam Wacana Bersastra). Alan C. Purver (dalam Benjamin S. Bloom, 1971) secara seksama menunjukkan taksonomi bersastra meliputi: (i) knowledge, (ii) application, (iii) response, (iv) expressed response, dan (v) participation. Oleh sebab itu, pembelajaran sastra di sekolah dapat menggunakan Palagan Ganter menjadi “bacaan” sastra yang bermanfaat. Berprestasi dalam belajar sastra tidak akan terwujud tanpa langsung bergaul dengan karya sastra, seperti halnya membaca Palagan Ganter, mengapresiasi dalam berbagai bentuk partisipasi implementasinya. Sastra tidak hanya sekedar dibaca, dibahas, dikritik, dipergunakan sebagai bahan pembelajaran; tetapi bagaimana sastra bisa menjadi bagian dari perilaku budaya masyarakatnya merupakan tantangan yang harus dijawab oleh peminatnya. Karya sastra merupakan alternatif sisi kehidupan, yakni dunia imajiner Sentot Prihandajani Sigito
xiii
yang ditawarkan untuk membentuk peradaban manusia yang lebih berbudaya. Palagan Ganter menyajikan sebagian yang terbaik dari semua itu. Titik kisah yang menggunakan sudut pandang impersonal, berdiri di luar cerita, meski serba melihat, mendengar, mengetahui (author omniscient) mengantarkan tokoh cerita kepada kehadiran karakter tokoh yang utuh dan dinamis. Pada akhirnya, Palagan Ganter diharapkan menjadi palagan pembelajaran sastra yang dapat memberikan sumbangan yang bermakna untuk membangun masyarakat sastra Indonesia yang cerdas dan berbudi luhur.
Malang, Akhir September 2010 Pengampu Pembelajaran Sastra,
Dr. Mudjianto, M.Pd.
xiv
Sekapur Sirih
Daftar Isi
Prakata ...............................................................................................v Sekapur Sirih.......................................................................................xi Daftar Isi............................................................................................xv Suasana Duka Di Pakuwon...............................................................1 Terjebak Petaka...................................................................................9 Menagih Janji Kedua.........................................................................13 Kebijaksanaan Sang Amurwabhumi...............................................17 Paseban Agung Istana Dahana Pura Kediri..................................21 Tantangan Perang Kutaraja.............................................................23 Suasana Pasewakan Agung Kutaraja Kediri..................................27 Siasat Perang Semesta.......................................................................31 Rakyat Di Kutaraja Kediri...............................................................35 Berita Telik Sandi Tumapel..............................................................39 Udyana Kaputren Dahana Pura......................................................43 Berburu Di Padang Tandhus...........................................................47 Siasat Ganter......................................................................................53 Terpancing Masuk Perangkap.........................................................57 Berita Duka Pertama........................................................................65 Pertemuan Di Kaputren...................................................................69 Berita Duka Kedua: Geger Pasewakan Agung.............................71 Perang Puputan.................................................................................75 Gugurnya Sang Dhandhang Gendis..............................................83 Geger Istana Kaputren.....................................................................85 Indeks .............................................................................................91
xv
Suasana Duka Di Pakuwon
Kabut tebal menyelimuti pakuwon Tumapel. Kepulan asap dupa kumendheng memenuhi ruang pamujan. Ujung gumpalannya bergerak perlahan tertiup angin terburai ke angkasa menebarkan bau sendawa. Aroma itu menyengat hidung itu seakan memberitahu kepada seluruh penduduk Tumapel bahwa di pakuwon Tumapel sedang berada dalam suasana berkabung. Sudah beberapa hari ini upacara puja lokabaka kematian Akuwu Tunggul Ametung masih berlangsung. Suasana duka terlihat belum reda, ibarat air mata pun belum kering, keluarga Pakuwon masih tak henti-hentinya meratapi kematian akuwu yang terjadi tiba-tiba. Akuwu dikenal sebagai punggawa tinggi kerajaan Kediri yang baik hati, dermawan tetapi berada dalam keadaan serba sulit antara mengayomi kawula Tumapel dengan kebijaksanaan kutaraja dalam memungut pajak yang memberatkan kawula alit. Akhirnya petaka pun terjadi, ia kedapatan mati terbunuh di peraduannya. Terlihat beberapa brahmana dari ring kasogatan dan ring kasyaiwan tak henti-hentinya memanjatkan puja lokabaka mendo’akan arwah akuwu agar diterima sang pencipta di alam dewaloka. Suara para brahmana itu terdengar syahdu menambah suasana duka itu semakin menyayat hati. Sementara di salah satu bilik asrama pakuwon, sepasang mata terus mengintip dari celah bilik papan ke arah para brahmana itu dengan pandangan tidak sabar melihat segala tata upacara yang
1
dianggap berlama-lama dan melelahkan itu. Hatinya sepertinya tidak tersentuh oleh kesyahduan upacara itu malahan upacara itu dirasakan sangat menjemukan. Di tengah kegalauannya, ia menumpahkan kekesalannya kepada salah seorang teman karibnya yang berada di dekatnya. ~ Heh ….Tita ! Lihatlah betapa membosankan upacara puja saji para brahmana itu. Rasanya aku sudah tak tahan menunggu!~ (anak muda itu berkata kepada teman karibnya yang duduk di sebelahnya) ~ Jangan bertindak gegabah! Biarkan mereka menyelesaikan tugasnya. Ingat! Tindakan gegabah akan memancing prasangka orang tentang keterlibatanmu atas peristiwa pembunuhan akuwu. Lebih baik kamu sedikit bersabar. Biarkan suasana duka itu berlalu, barulah kau memiliki kesempatan untuk bertindak!~ ~ Baik, akan kuturuti nasehatmu, tetapi bagaimana halnya berita kematian akuwu agar tidak cepat sampai terdengar kutaraja?~ ~ Oh …. Itu. Jangan khawatir, seluruh pasukan pengawal telah kuperintahkan berjaga siang dan malam. Tidak satu pun orang dapat keluar dari pakuwon ini, apalagi meninggalkan Tumapel. Seluruh pintu perbatasan keluar Tumapel tlah dijaga ketat. ~ ~ Pintar juga otakmu!~ ~ Huh………memangnya kamu saja yang cerdik!~ (seloroh Tita) ~ Apa rencanamu berikutnya!~ (kata Tita setelah beberapa saat terdiam) ~ Kau tidak perlu tahu, yang penting besok pagi buta kau jemput brahmana Lohgawe! Bawa pasukan! ~ ~ Bawa pasukan? Untuk apa?~ ~ Sudahlah kerjakan saja! Katakan untuk memimpin upacara pujasaji. ~ Bukankah kau sudah bosan dengan upacara itu? Kukira kalau men2
Suasana Duka Di Pakuwon
jemput bapa brahmana, satu orang prajurit pengawal saja sudah cukup. Mengapa harus membawa pasukan dalam jumlah banyak?~ ~ Jangan banyak mulut ! Lakukan saja tugasmu!~ Tita hanya bisa diam tertunduk, wajahnya terlihat menggerutu. Pikirannya termangu-mangu sejenak, dalam hatinya berkata: ”apalagi siasat yang ada di balik pikiran Ken Arok sahabatnya itu. Sejak dahulu tabiatnya memang sulit diduga oleh siapa pun. Sudah lebih dari dua puluh tahun aku bersamanya tetapi rupaya tidak ada perubahan”. Kemudian ia berkata setengah melampiaskan kejengkelannya: ~ Huh…kau memang bedebah! Kelakuanmu sejak dulu tidak pernah berubah!. Kalau punya mau, apapun diterabas, tidak kenal rasa takut, belas kasihan, apalagi peduli apa kata orang.~ ~ Jangan nyrocos ! Lakukan saja!~ (kata sahabatnya itu sambil pergi meninggalkan Tita sendiri). Keesokan harinya pada pagi buta terlihat sepuluh orang prajurit berkuda melintas keluar pintu gerbang gapura pakuwon. Tita tampak di barisan terdepan diikuti sembilan anak buahnya menuju desa Lohgawe yang tidak begitu jauh jaraknya dari pakuwon. Kepulan debu jalanan berhamburan mengiringi kepergiaan pasukan pengawal pakuwon. Sementara brahmana Lohgawe sedang berjalan di halaman padepokan yang tertata asri. Tiba-tiba dikejutkan oleh suara sayup-sayup derap kaki kuda dari kejauhan. Suara itu terdengar makin jelas rupanya mengarah menuju padepokan. Pandangan mata orang tua itu berusaha mencari datangnya suara itu. Tidak lama kemudian, sepuluh ekor kuda terlihat berlari cepat memasuki halaman pedepokan. Prajurit itu tanpa diaba-aba serentak menarik tali kekang kudanya dengan sontak. Binatang itu meronta sambil Sentot Prihandajani Sigito
3
kedua kaki depannya terangkat tinggi disertai suara ringkikan keras, seperti berontak diperlakukan kasar. Kedatangan serombongan pasukan pengawal itu membuat brahmana Lohgawe terkejut setengah terheran-heran, dalam hatinya berkata: ”Tidak biasanya tamu padepokan datang seperti ini. Ada apa mereka datang dengan cara tergesa-gesa seperti ini?” gumam brahmana tua itu sambil pandangan matanya menatap satu persatu wajah prajurit yang segera diketahuinya sebagai prajurit pakuwon Tumapel. Salah seorang prajurit pengawal bergerak cepat melompat dari punggung kuda dan setengah berlari mendekati orang tua sambil berkata dengan nada tak sabar: ~B apa! kami diperintah menjemput bapa ke pakuwon sekarang? (kata Tita pimpinan rombongan pasukan itu terlihat agak gugup) ~ Siapa yang memerintah? ~ Ken Arok! Brahmana tua itu kelihatan termangu sejenak, ditatapnya lagi wajah satu persatu prajurit pengawal pakuwon yang terlihat kurang bersahabat itu, kemudian berkata: ~ Ah……tidak mungkin. Kebiasaannya selama ini dia datang sendiri ketika menemuiku, bukan dengan cara paksa seperti ini. ~ Bagaimana bapa? (desak Tita tanpa banyak bicara sambil melangkah diikuti pasukan lainnya merangsek maju mengitari orang tua itu) ~ Lho! Ada apa ini? (kata brahmana Lohgawe setelah merasa dirinya didesak) ~ Sudahlah bapa. Jangan banyak tanya! Ikut kami sekarang juga! (ancam salah seorang prajurit sambil mengacungkan pedang) Brahmana itu semakin bingung tidak mengerti ketika para prajurit pengawal gerak-geriknya mulai kasar disertai pandangan matanya semakin tidak bersahabat. Brahmana tua itu terlihat 4
Suasana Duka Di Pakuwon
menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Kemudian berkata: ~ Baiklah! Tunggu sebentar aku akan ke bilik! (katanya singkat) ~ Tidak perlu bapa, semua piranti upacara sudah tersedia di pakuwon! (cegah salah seorang prajurit menahan langkah brahmana tua itu sambil menyilangkan sebilah pedang). ~ Ini sebuah pemaksaan! (bentak brahmana) ~ Bapa harus ikut kami ke pakuwon sekarang juga, sebelum kesabaran kami habis! (kata salah seorang dengan suara membentak). Mengetahui gelagat kurang sopan itu brahmana tua itu hanya bisa menuruti kemauan para prajurit yang kini menggiringnya menaiki kuda. Sementara di pakuwon Ken Arok terlihat gusar, sebentarsebentar menghela napas sambil berjalan mondar-mandir di depan asrama sepertinya tidak sabar menantikan kedatangan brahmana Lohgawe. Tidak lama kemudian serombongan kuda yang dinaiki para pasukan pengawal memasuki halaman pakuwon . ~ Arok! Mengapa kau memaksaku seperti ini? (kata brahmana Lohgawe dengan tatapan mata tajam setelah turun dari kuda) ~ Ketahuilah Bapa! Saat ini akuwu telah tiada, terbunuh oleh Keboijo si keparat itu. ~ Akuwu wafat! (sahut brahmana itu dengan mulut ternganga setengah tidak percaya apa yang baru saja didengarnya) ~ Benar bapa, Keboijo diam-diam menyimpan dendam karena kedudukannya sebagai pimpinan pasukan pengawal diserahkan kepadaku. ~ Di mana Keboijo! ~ Tewas! ~ Siapa yang membunuh? ~ Aku! (sahut Ken Arok)) Sentot Prihandajani Sigito
5
~ Mengapa kau bunuh? Bukannya harus diadili terlebih dahulu di hadapan ramadyaksa Tumapel! ~ Hukum yang berlaku bagi pasukan pengawal adalah membunuh, bukan mengadili! (kata Ken Arok tangkas). Brahmana tua itu hanya dapat menarik napas panjang, dalam benaknya mengatakan tidak mungkin Keboijo bertindak senekad itu apalagi membunuh akuwu, kesetiaannya sebagai abdi akuwu tidak pernah cacat, dahulu aku pernah meminta persetujuannya agar Ken Arok dapat menjadi pasukan pengawal, ketika itu Keboijo dengan rela malahan memberikannya kedudukannya sebagai pimpinan pasukan pengawal kepada Ken Arok asalkan pengorbanannya dapat menghentikan tingkah polah Ken Arok yang terus menerus membuat kekacauan. Renungan brahmana Loghawe itu terhenti ketika Ken Arok berkata: ~ Kuminta bapa sekarang memimpin upacara pujasaji untuk menghormat akuwu, karena bapalah brahmana terkemuka di Tumapel ini. Brahmana tua dari Jambudwipa itu berjalan ke arah sanggar pamujan tanpa berkata sepatah-katapun. Sementara beberapa orang prajurit pakuwon mengikuti dan mengawasi gerak-geriknya. Setelah beberapa saat, salah seorang pengawal berjalan mendekat brahmana Lohgawe di sanggar pemujaan, sambil berkata: ~ Bapa, pimpinan kami ingin berbicara! ~ Tunggu sampai aku selesai melakukan upacara ini! (kata orang tua itu dengan nada sebal) ~ Tidak bisa! bapa harus ikut aku sekarang juga! (paksa prajurit dengan suara meninggi) Brahmana tua yang rambutnya telah memutih itu tidak bisa berkutik ketika dua orang pengawal menarik kedua tangannya dan menggiringnya berjalan keluar sanggar pamujan menemui 6
Suasana Duka Di Pakuwon
Ken Arok. Sementara Ken Arok sedang berbicara dengan Tita, ketika dua prajurit pengawal yang menggiring brahmana Lohgawe itu datang. ~ Ada apa? Kau lagi-lagi memaksaku seperti ini! (kata Mpu Lohgawe terlihat jengkel) ~ Maafkan aku bapa. Bapa adalah guru kami, sudah kuanggap orang tuaku sendiri. Aku masih ingat semua yang diajarkan bapa. ~ Apa maksudmu! ~ Masih ingatkah bapa pada peristiwa beberapa purnama lalu? ~ Yang mana? ~ Sepulangku dari taman Baboji, kutanyakan tentang apa yang pernah kulihat pada putri Ken Dedes. Apa bapa masih ingat? ~ Hem……..! (brahmana tua itu tanggap kemudian memberi bahasa isyarat dengan mengangguk kecil) ~ Bapa pernah mengatakan, wanita seperti Ken Dedes adalah cocok untuk dijadikan isteri, karena ia memiliki tanda nareswari di betisnya. ~ Iya aku masih ingat itu. ~ Kalau begitu, aku menagih janji kepada bapa! Brahmana Lohgawe sepertinya belum begitu tanggap maksud dari kata-kata yang baru diucapkan oleh Ken Arok itu, kemudian ia bertanya: ~ Janji apa? Aku tak pernah menjanjikan apa-apa! (katanya singkat) ~ Iya………menagih janji dari perkataan bapa sendiri. Bukankah seorang brahmana perkataannya harus benar, tidak boleh dusta. Oleh karenanya aku menagihnya. ~ Katakan, apa maumu! ~ Kawinkan aku sekarang juga ! ~ Kawin? ~ Iya! (timpal Ken Arok) Sentot Prihandajani Sigito
7
Orang tua itu tampak menarik napas panjang, sambil menggeleng-gelengkan kepala, kemudian berkata: ~ Arok……Arok! Kelakuanmu dari dahulu hingga kini tidak juga pernah berubah. (kata brahmana dari Jambudwipa itu sambil setengah perlahan menggeleng-gelengkan kepala). ~ Sudahlah bapa, lakukan saja, bukankah mengawinkan adalah tugas brahmana! ~ Tetapi suasana duka belum reda, apa kata orang nanti. Apakah kau tidak menjaga pandang yang dikatakan orang banyak? ~ Tidak ada tetapi, aku tidak peduli apa kata orang! itu hanya kata bapa sendiri. Kuminta bapa segera membuktikan kebenaran ucapan bapa sendiri. Bukankah seorang brahmana harus satya, sekali bersabda harus jadi kenyataan, agar dipercaya orang banyak. ~ Baik! Tetapi aku harus bertanya dahulu kepada Ken Dedes. Aku tidak mau perkawinan ini dilakukan dengan cara paksa. Kalau ia menolak aku terpaksa tidak bisa menikahkanmu. ~ Silahkan bapa bertanya padanya! (kata Ken Arok sambil tersenyum ketika brahmana Lohgawe melangkahkan kaki menuju taman kaputren. Wajah brahmana tua itu bersungut-sungut. Ia merasakan betapa kurang ajarnya Ken Arok mengerjai dirinya. Sementara Ken Arok tersenyum. Senyum seorang yang telah memegang sebuah kepastian. Senyum seorang yang telah meraih keyakinan cintanya. Senyum kemenangan.
8
Suasana Duka Di Pakuwon
Terjebak Petaka
Sementara di salah satu wisma pakuwon, seorang anak muda tampak duduk termenung sendiri di salah satu sudut ruangan. Wajahnya terlihat suram sesuram langit Tumapel yang tertutup awan tebal. Ia berduka atas wafatnya akuwu, orang tuanya. Kematian ayahandanya dirasakan seperti petir menyambar di siang bolong. Ia sama sekali tidak menyangka orang tuanya pergi secepat itu. Ia adalah pangeran Aruntapa putra tunggal akuwu yang lahir dari putri Pambayun yang juga telah wafat beberapa tahun lalu. Dalam kesedihannya yang mendalam ia merenung tentang kematian ayahanda yang tidak wajar. Sosok orang tuanya yang masih terbayang jelas dalam ingatannya. Tanpa diduga di tengah lamunannya dikejutkan oleh datangnya suara tanpa rupa: ~ Anakku, Aruntapa! Apakah kau diam saja atas kematian ayahmu? Ketahuilah! Aku rela berpulang ke dewa loka asalkan kau dapat membalaskan kematian ayahmu.! Pangeran Aruntapa seketika tersentak dari lamunannya. Wajahnya terasa terkesiap mendengar bisikan gaib seperti suara akuwu orang tuanya. Bulu kuduknya berdiri merinding. Dalam benaknya berkata: ~ Hem! ……kalau benar suara itu adalah dari badan suksma ayahanda, mengapa memintaku untuk membalas dendam atas kematian ini. Bukankah pembunuh ayahku, Keboijo yang telah dibunuh oleh paman Arok . ~ Baiklah……aku besok akan menemui paman Tunggul wuni di kutaraja untuk mengadukan masalah ini. Keesokan harinya ketika fajar menyingsing di ufuk timur, 9
pangeran Aruntapa terlihat telah bersiap siap meninggalkan pakuwon untuk pergi ke kutaraja. Ia menuntun kudanya perlahan dari istal belakang pakuwon, ketika sampai di halaman tiba-tiba terlihat beberapa prajurit pengawal datang mencegatnya dengan muka tidak bersahabat dan berkata: ~ Pangeran mau ke mana? ~ Ke kutaraja! ~ Tidak seorang pun boleh pergi meninggalkan tempat ini! (kata salah seorang prajurit jaga dengan suara membentak) ~ Heh…………..lancang sekali mulutmu! Bukankah kau tahu, aku pangeran Aruntapa, putra akuwu! (tuding pangeran muda itu ke wajah prajurit) ~ Huaa,,,,,,,haaaa…..huaa,,,,,,,haaaaaa! Tidak peduli kau anak siapa! (beberapa prajurit pengawal tertawa dengan nada mengejek) ~ Kau benar-benar kurang ajar! Awas kau akan kupecat setelah aku menggantikan kedudukan ayahku sebagai akuwu! (kata pangeran meradang) ~ Hua….haaaaa,……haaaaaa! Apa? Mau jadi akuwu? Ayahmu saja yang sudah tua bangka tidak becus, apalagi kau yang masih bocah ingusan kemarin sore. (ejek prajurit itu sambil tertawa) ~ Lancang sekali! Bukankah kau …….. (kata pangeran Aruntapa terhenti ketika salah seorang prajurit tiba-tiba menubruknya sambil mencengkeram lehernya bajunya) sambil berkata: ~ Kau jangan banyak bicara, anak muda! Kini kau telah terkepung! Jika nekad, kau akan berhadapan dengan kami semua! (bentak prajurit itu) ~ Huh! Kau kira aku takut pada kalian! (tantang anak muda itu sambil mendorong prajurit yang mencengkeram leher bajunya sampai prajurit itu hampir jatuh terkengkang). ~ Baik kalau itu maumu! Silahkan jajal! 10
Terjebak Petaka
~ Tak kusangka ayahandaku punya prajurit pengawal seperti kalian! Sudah tidak setia, berkomplot dengan musuh! ~ Orang tuamu sudah mampus! Sekarang giliranmu menyusul! ~ Huh….kurang ajar! Kini aku baru sadar bahwa kematian ayah-anda adalah karena rencana jahat kalian. ~ Kalau sudah tahu, kau mau apa? Kau kini ibarat binatang buruan yang terperangkap, tidak mungkin dapat lolos dari tempat ini. ~ Bagiku tidak soal. Membela kematian orang tua adalah sama dengan membela kehormatan. ~ Huh….banyak bacot! Sekarang bersiaplah! (kata salah seorang prajurit sambil melakukan serangan cepat ke arah pangeran Aruntaka). Pangeran muda itu beberapa saat masih dapat menghindar dari pukulan dan tendangan prajurit itu, tetapi ketika empat orang prajurit lainnya ikut menyerang serentak, pangeran muda itu tampak kewalahan. Gerakan-gerakannya tidak lagi menyerang, hanya sekedar bertahan dari gempuran lawan yang makin beringas. Dalam beberapa jurus pertama pangeran Aruntaka terlihat masih dapat bertahan, tetapi gerakannya mulai lamban dan kelihatan mulai terdesak oleh serangan lawan yang cepat bertubi-tubi dan terus merangsek itu. Tak pelak lagi pukulan keras mendarat di wajah pangeran yang tampan itu. Ia berusaha bertahan, tetapi ketika belum sempat mengatur napas dan kuda-kudanya, tiba-tiba sebuah tendangan dahsyat mendarat di dadanya, membuat anak muda itu terhuyung sempoyongan dan akhirnya jatuh terjengkang ke tanah. Darah segar tersembur dari mulutnya. Tetapi dengan sisa-sisa tenaga, anak muda itu berusaha bangkit. Beberapa saat kemudian, sebuah tendangan telak kembali menghunjam dadanya, serangan kali ini membuat pandangan matanya terasa gelap, tubuhnya terlihat Sentot Prihandajani Sigito
11
limbung, bumi yang dipijaknya serasa terbalik-balik dan akhirnya ia roboh tidak sadarkan diri. Suara hiruk pikuk pertarungan itu terdengar Ken Arok yang kini tiba-tiba sudah berdiri di tengah arena pertempuran. Pandangan matanya menatap tajam pangeran Aruntaka yang mencoba berdiri tertatih-tatih kesakitan setelah beberapa saat siuman dari pingsan. Suasana di arena itu menjadi tegang ketika semua pandangan menatap pangeran yang sudah hampir sekarat itu. Tiba-tiba salah seorang prajurit berkata setengah berteriak: ~ Bunuh …bunuh….bunuh! (teriak prajurit sambil mengacung-acungkan pedang) ~ Bunuh….bunuh……bunuh! (sahut prajurit lain berulang-ulang). Sepuluh orang prajurit pengawal kini pandangan matanya tertuju kepada Ken Arok, pimpinan mereka. Tiba-tiba Ken Arok menyahut sebilah keris yang terselip dari pinggang salah seorang pasukan pengawal. Secepat kilat keris itu menyambar pangeran muda dan terhujam tepat di dadanya. Sesaat terdengar jeritan kesakitan. Darah segar menyembur dari dada pangeran yang masih hijau pengalaman di medan pertempuran itu. Sesaat terlihat pangeran muda itu matanya terbelalak, berkelojotan dan akhirnya tewas. Darah kembali membasahi bumi pakuwon Tumapel setelah akuwu dan Keboijo terbunuh. Bumi Tumapel kembali ternoda oleh peristiwa tragis yang jauh dari rasa iba, mencabik-cabik rasa peri kemanusiaan bagi siapapun yang masih memiliki hati nurani. Ken Arok dengan tenang memberi isyarat tangan kepada prajurit untuk menyingkirkan mayat anak akuwu Tunggung Ametung yang tergeletak di tanah itu. Ia itu meninggalkan tempat itu dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Sementara pasukan pengawal hanya dapat melihat dengan ternganga kejadian yang memilukan itu. 12
Palagan Ganter
Menagih Janji Kedua
Beberapa pekan telah berlalu upacara perkawinan Ken Arok dan Ken Dedes, sejumlah prajurit datang lagi ke padepokan Lohgawe dengan cara seperti kejadian penjemputan sebelumnya. Brahmana tua itu kali ini tidak banyak bicara, ketika pasukan pengawal menjemputnya dari padepokan Lohgawe. Sesampainya di pakuwon Tumapel, brahmana itu berkata sambil melampiaskan kejengkelannya: ~ Arok! Aku makin tidak mengerti, bukankah kemauanmu sudah kuturuti? Mengapa kau menjemputku lagi dengan paksa? ~ Maafkan aku bapa, untuk kali ini terpaksa kulakukan! ~ Ada apa lagi? Kau tak pernah jera memaksaku kasar seperti ini? ~ Bapa masih punya hutang padaku. (kata Ken Arok tenang) ~ Hutang apalagi, bukankah telah kupenuhi? (sahut brahmana Lohgawe dengan nada setengah memekik) ~ Belum!. ~ Apa lagi? ~ Bapa lupa ~ Tidak! Bapa pernah mengatakan bagi siapa saja yang dapat memperisteri Ken Dedes akan menjadi raja! Tidak peduli apakah dia berasal dari kalangan sudra sampali sekali pun. Brahmana tua itu terdiam sejenak, wajahnya yang sudah keriput itu mulai tanggap terhadap apa yang diinginkan Ken Arok. Tampak kedua alisnya bertemu, sepertinya orang tua itu sedang mempertimbangkan sesuatu. Selanjutnya dalam hatinya berkata dengan nada agak kesal: “Aku memang pernah mengatakan seperti itu, tetapi aku sama sekali tidak menduga kalau kata-kataku menjadi 13
sebuah janji yang kini ditagihnya. Kata-kataku yang dahulu begitu ringan meluncur, kini berubah menjadi bumerang yang menghantam diriku sendiri. Hem…….baru kali ini aku menjumpai seorang murid nakal, bengal dan nekat tetapi kuakui ia anak yang cerdik”. ~ Apa yang kauinginkan? (kata brahmana tua itu setengah menjajaki) ~ Sekarang juga Nobatkan aku sebagai raja! (desak Ken Arok). Brahmana tua itu kini terlihat mengangkat wajahnya sambil menarik napas dalam-dalam, sepertinya ia kaget mendengar apa yang keluar dari mulut anak muda itu. Tampak ia ingin menenangkan diri sejenak, kemudian berkata: ~ Arok, seandainya kau menjadi raja saat ini, itu bukan waktu yang tepat. ~ Tidak bapa, aku minta sekarang juga! (desak Ken Arok tidak sabar) ~ Itu berarti kau memberontak kepada kekuasaan kutaraja Kediri!. Bukankah kau tahu pakuwon Tumapel berada di bawah kekuasaan kutaraja Kediri? ~ Terserah apa kata bapa! Bagiku sekarang itu lebih baik, toh kutaraja sampai kapanpun tetap menuduhku sebagai pemberontak. ~ Sekarang tinggal pilih! Berat Kertajaya raja congkak itu atau aku yang memimpin Tumapel! (lanjut Ken Arok) ~ Apakah kau mengancamku? ~ Tidak ada pilihan lain, ini terpaksa kulakukan! Beberapa saat suasana menjadi tegang, brahmana dari Jambudwipa itu diam, wajahnya tertunduk sambil berjalan mondarmandir. Kerutan di wajahnya tampak semakin jelas. Kemudian langkah kakinya berhenti sejenak. Dalam benaknya terpikir “inilah saatnya roda sejarah Jawadwipa berputar, inilah saatnya kekuasaan 14
Menagih Janji Kedua
Kediri akan runtuh. Inilah saat yang tepat untuk mengakhiri kekejaman raja Kediri Kertajaya kepada kaum brahmana. Anak muda ini memang memiliki watak keras kepala dan suka nekad, perilakunya kadang tercela, karena ia memang terlahir untuk menjadi seorang pembebas negeri ini”. Sebenarnya banyak anak muda yang baik peringainya tetapi tidak memiliki keberanian dan jiwa pembebas seperti dia. Mengapa aku tidak melihatnya sebagai duta perubahan. Mengapa kini aku tidak menuruti kemauannya? Setelah beberapa saat berpikir, brahmana tua itu seraya berkata sambil setengah menganggukkan kepala: ~ Baik, aku akan melantikmu sebagai raja, tetapi sebelum itu jawab dahulu pertanyaanku? ~ Katakan saja ! ~ Kalau kau menjadi raja di Tumapel, apa kau sudah tahu akibatnya? ~ Hanya itu yang bapa tanyakan? ~ Iya. (kata brahmana itu pelan sambil menganggukkan kepala) ~ Bapa…bapa, itu urusanku nanti sebagai raja, sekali-kali bukan urusan bapa sebagai brahmana. Setelah bapa menobatkanku, urusan tidak terimanya raja Kediri adalah menjadi tanggung-jawabku. Bapa tak usah khawatir. Bapa jangan mencampuri kebijaksanaanku sebagai raja, tugas bapa sudah selesai hanya sampai pada memimpin upacara penobatan saat ini. ~ Baik. Persiapkan upacara penobatan! Ken Arok memberi isyarat tangan memanggil Tita mempersiapkan upacara penobatan. Ken Arok tersenyum sambil mengangguk-angguk kecil. Dalam benaknya berkata: ”sepak terjangku sebagai buronan pasukan kutaraja Kediri, kini telah berakhir. Penobatanku sebagai raja adalah awal dari kegoncangan kekuasaan kutaraja. Dalam pandanganku aku melihat saka guru istana Dahana pura Kediri runtuh Sentot Prihandajani Sigito
15
satu demi satu hingga seluruh atapnya rata dengan tanah. Hei .......Kertajaya raja lalim! Aku akan membuat kau tersungkur dari singgasanamu!”. Ken Arok tersadar dari lamunannya ketika sahabatnya Tita memberitahu upacara penobatan telah usai dipersiapkan.
16
Menagih Janji Kedua
Kebijaksanaan Sang Amurwabhumi
Hari itu terlihat alun-alun pakuwon Tumapel meluber ibarat lautan manusia, penuh sesak berjubal, mereka datang bagai gelombang dari berbagai penjuru Tumapel ingin menyaksikan dari dekat penobatan raja Tumapel. Mereka rela berdesak-desakan karena orang yang akan menjadi raja adalah pembela mereka, pahlawan mereka. Mereka teringat jasa Ken Arok pemimpin kaum sudra yang tidak kecil artinya dalam membela nasib kawula alit ketika dianiaya tanpa belas kasihan oleh punggawa pajak kutaraja beserta centengcentengnya. Kawula Tumapel menganggap Ken Arok adalah ksatria yang gagah berani melawan kekejaman kekuasaan kutaraja yang sewenang-wenang terutama dalam memungut pajak. Hanya Ken Arok seorang diri yang berani menentang ketidak-adilan. Ia dianggap sebagai dewa penolong oleh kawula alit yang menderita akibat dianiaya oleh para tukung pukul anak buah demang penarik pajak. Tetapi di sisi lain ia adalah buronan kutaraja nomor satu yang harus dilenyapkan. Tersiarnya berita penobatan Ken Arok menjadi raja Tumapel cepat sekali menyebar ke seluruh segala penjuru. Para kawula tanpa diperintah, bergerak seperti ombak, datang seperti gelombang, mengalir seperti banjir, bersorak-sorai kegirangan. Kini mereka tumpah-ruah membanjiri alun-alun ingin menyaksikan upacara penobatan usai dengan sukacita. Ketika itu Ken Arok tampak menaiki panggung agak tinggi, seluruh rakyat kawula yang tumpah ruah di alun-alun itu pandangan matanya tertuju pada Ken Arok dan tak henti-hentinya 17
mengelu-elukan. Mereka sepertinya masih tidak percaya kalau Ken Arok yang selama ini menjadi seorang buronan kutaraja kini akan dinobatkan sebagai raja Tumapel. Keraguan mereka itu berubah menjadi sorak sorai gegap gempita ketika Ken Arok melambaikan tangan. Suara riuh-rendah kegembiraan itu seketika berubah menjadi hening ketika Ken Arok memberi aba-aba dengan mengangkat tangan beberapa saat. ~ Kawan-kawan dan rakyatku Tumapel semua, tenanglah! Sekarang aku adalah pemimpin kalian. Brahmana Lohgawe telah menobatkanku sebagai raja. Nama abisekaku Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi. Kalian tentu ingin mendengar apa yang pertama kulakukan sebagai raja? Wahai rakyatku semua! Dengarkan kebijaksanaanku pertama! (Sang Amurwabhumi diam sesaat sambil menatap seluruh kawula, suasana benar-benar berubah senyap, hening ibarat jarum jatuh pun akan terdengar, mereka seperti tersihir oleh kata-kata Sang Amurwabhumi yang pelan, mantap dan berwibawa itu). ~ Aku raja kalian Sang Amurwabhumi menyatakan, bahwa mulai hari ini seluruh rakyat Tumapel dibebaskan dari pajak-pajak. Pajak saarih purih, satampaking waluku dan wadung pacul yang selama ini memberatkan kalian, kuhapus untuk selama-lamanya dari bumi Tumapel! Sekali lagi dihapuskan selama-lamanya! (kata Ken Arok dengan nada suara meninggi) ~ Horee! Setuju, setujuuuuuuu! (sahut kawula hampir berbarengan bersorak-sorai membahana ambata rubuh, berjingkrak-jingkrak menari kegirangan bagaikan tersihir seperti orang gila). Setelah suasana mereda Sang Amurwabhumi melanjutkan berkata: ~ Kawan-kawan dan rakyatku semua! Ketahuilah! Saat ini ada orang yang tidak setuju kalau pajak ini kubebaskan! 18
Kebijaksanaan Sang Amurwabhumi
~ Katakan siapa dia, siapa ….siapa! (sahut kawula gaduh) Sang Amurwabhumi dengan tenang mengangkat tangan untuk memberi-aba tenang, sesaat kemudian berkata dengan suara pelan tetapi mantap: ~ Orang itu tidak lain adalah Kertajaya. raja Kediri! Bagaimana pendapat kalian? ~ Bunuh Kertajaya raja lalim itu! Hancurkan Kediri! Serbu Daha! Rebut Kediri! (sorak-sorai gemuruh menyeruak langit Tumapel, menjilat angkasa seperti membelah langit) ~ Baik……baiklah! Dengarkan kebijaksanaanku yang kedua. Jika kalian merasa menjadi orang Tumapel yang tidak sudi dijajah kembali oleh Kediri, maukah kalian berjuang mempertahankan negeri ini? ~ Mau…..mau! Kami semua rela berkorban membela Tumapel! Lebih baik mati daripada menjadi orang terjajah! (kata salah seorang kawula dengan suara lantang, diikuti oleh sorak sorai laksana api). ~ Merdeka! Merdeka! Tumapel harus tetap merdeka! (sahut hadirin serentak tanpa diaba-aba). Sang Amurwabhumi mengangkat tangan menenangkan kegaduhan: ~ Ketahuilah! Jika kalian mau berjuang bersamaku, maka perjuangan kalian itu tidak akan sia-sia, karena anak cucu kalian akan mewarisi Tumapel sebagai negeri merdeka, bebas dari penindasan. Kalian tidak akan wariskan kepada mereka sebagai budak, menjadi orang tertindas seperti yang kalian rasakan selama ini! Jangan biarkan anak kalian menjadi orang menderita seperti itu! Kita semua selama ini sudah menderita akibat dihisap hingga tinggal tulang-belulang oleh raja Kediri yang lalim itu! Untuk itu jangan sekali-kali biarkan anak-cucu kita kelak menjadi budak, seperti yang kalian rasakan selama ini! (kata Sang Amurwahbumi agitatif, seketika suara riuh-rendah sorak sorai Sentot Prihandajani Sigito
19
hadirin kembali menggema, meraung-raung bagaikan singa lapar sedang berpesta berebut mangsa). Kata-kata sang Amurwabhumi itu benar-benar menyihir seluruh kawula menjadi kesetanan. Mereka yang selama ini hanya bisa bersikap diam, pasrah melihat kekejaman demi kekejaman yang dilakukan pasukan Kediri, kini rasa takut itu sirna seketika berubah menjadi keberanian luar biasa. Wajah mereka merah padam, gigi mereka terdengar berkerot, pandangan matanya kocak ngondar-andir, berkilat-kilat seperti mata sang rajawali mengincar mangsa, dengus napasnya memburu, rasanya ingin segera meluluhlantakkan kekuasaan Kediri. Mereka kini ibarat kobaran api sangat besar yang tidak mungkin lagi dipadamkan bahkan jilatan-jilatannya siap melalap apa saja yang dilaluinya. ~ Jaya Tumapel!……..Serbu Kediri! (sorak sorai membahana). ~ Jaya Sang Amurwabhumi!…………..Merdeka Tumapel! (pekik sorak suara gemuruh bagaikan guruh, bersemangat bagaikan kilat, menyambar seperti halilintar, membahana membelah angkasa).
20
Kebijaksanaan Sang Amurwabhumi
Paseban Agung Istana Dahana Pura Kediri
Berita penobatan Ken Arok sebagai raja Tumapel telah menggemparkan kutaraja Kediri. Tiang utama saka guru istana kedaton Dahana pura seperti terguncang prahara hebat tak ubahnya seperti hendak runtuh diguncang gempa dahsyat. Dalam pasewakan agung seluruh punggawa tinggi kerajaan telah hadir. Kalau sebelumnya para punggawa tinggi kerajaan merasa pengap, gerah ketika membicarakan kekacauan yang dibuat Ken Arok, kini mereka benar-benar terbakar oleh bara api. Baginda berkata sambil meradang: ~ Hem……benar-benar ular beludak! Dijadikan pengawal akuwu kini malah melunjak mengambil alih pakuwon. ~ Benar gusti prabu, Ken Arok memang benar-benar licin! Dia mengangkat dirinya sebagai raja bergelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi. (sela patih) ~ Huh!……………Amurwabbhumi artinya penguasa jagad raya, memangnya aku ini dianggap apa? Apa pendapatmu kakang patih? ~ Menurut hamba, persoalan Tumapel ibarat duri dalam daging. Hamba kira tidak cara lain selain segera memusnahkan duri itu, paduka. Apabila dibiarkan akan membuat seluruh tubuh kita menjadi sakit. ~ Apa pendapatmu tumenggung? (kata baginda kepada tumenggung Mahisa Walungan) ~ Iya gusti, meratakan Tumapel hamba kira tidak sulit. Tidak sampai setengah hari Tumapel akan rata dengan tanah. ~ Apa alasanmu! (kata baginda Kertajaya) 21
~ Secara hitungan, kekuatan prajurit Tumapel hanya lima ratus orang, sedangkan kekuatan pasukan kita tiga haksoini (tiga puluh ribu orang). Hamba kira mereka menggunakan siasat apa saja tidak mungkin mengalahkan kekuatan kita, gusti. Jadi menurut hamba, bukan hal yang sulit memadamkan setitik api itu dengan guyuran air bah. ~ Baik! Persiapkan perang! Tangkap anak setan itu! Rangket pengkhianat itu! Jadikan pengewan-ewan (diperlakukan se-perti binatang) di alun-alun kutaraja! Buatlah dia bertekuk lutut! Sekarang juga kibarkan bendera dan umbul-umbul perang, tabuh genderang keras-keras, kerahkan pasukan terbaik kita! Tiup sangkakala! Aku sendiri yang akan memberikan perintah pemberangkatan. ~ Semua pasukan akan segera hamba siagakan, gusti prabu. (kata panglima Gubar Baleman).
22
Paseban Agung Istana Dahana Pura Kediri
Tantangan Perang Kutaraja
Malam itu kemeriahan pesta penobatan raja semakin menjadi-jadi, terlihat seluruh pasukan pengawal dan kawula Tumapel terlihat larut dalam pesta suka cita, sambil menikmati lenggaklenggoknya gerakan pinggul penari wanita yang dandanannya menggairahkan. Sebentar-sebentar terdengar tawa panjang, beberapa prajurit tampak sedang mabuk menenggak minuman keras, langkahnya terseok-seok sambil tangannya membawa tempat minuman. Sementara Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabhumi duduk si singgasana diapit oleh dua orang gadis. Sebentar-sebentar terlihat tertawa sambil tangan kanan dan kirinya merangkul gadis-gadis cantik dengan dandanan mengundang birahi yang siap melayaninya menuang minuman, sementara wanita lainnya terlihat memijit-mijit bahu raja sambil merajuk manja. Di tengah hingar-bingarnya suara tetabuhan, salah seorang pasukan pengawal berjalan mendekat kepada baginda dan membisikkan sesuatu, kemudian baginda berkata: ~ Perintahkan ia menghadap padaku sekarang juga!. ~ Hamba diutus oleh baginda gusti prabu Kertajaya menyampaikan nawala ini. (kata utusan itu sambil mengeluarkan gulungan lontar yang terselip di balik bajunya). Gulungan lontar itu diterima, dibukanya perlahan dan dibaca oleh baginda sambil memberi isyarat kepada para nayaga penabuh gamelan untuk berhenti sejenak. Tidak lama baginda berkata: ~ Hei para punggawa dan kawula Tumapel! Dengarkan aku akan 23
membaca nawala dari kutaraja Kediri. Seketika suara hiruk pikuk keramaian di balairung pakuwon itu terhenti berubah menjadi sunyi senyap, ketegangan pun terasa mulai merayap, kini suasananya berubah menjadi lengang seakan satu demi satu detak jantung setiap orang terdengar dengan jelas. Beberapa orang prajurit wajahnya terlihat tegang karena membayangkan apa yang bakal terjadi ketika kutaraja tidak terima atas penobatan ini. ~ Rakyatku semua! Dengarkan baik-baik! “Hei Ken Arok anak sudra dari dusun Pangkur! Serahkan kekuasaan Tumapel kepadaku, kalau tidak ingin seluruh pasukanmu mati terbunuh mengerikan di medan perang. Tunduk pada kutaraja atau Tumapel kuratakan dengan tanah! Ketahuilah aku maharaja Kediri adalah titisan bathara Syiwa yang tidak terkalahkan di muka bumi ini. Siapa yang berani melawanku akan tersapu menjadi debu!”. ~ Hua….haa…..huaaa……haaaaa!. (baginda tertawa memecah suasana keheningan setelah membaca nawala dari kutaraja). ~ Dhandhang Gendis, Dhandang Gendis! Kau sama sekali bukan titisan bathara Guru! Kau hanya manusia biasa tidak bedanya seperti aku! Hei utusan! Katakan pada rajamu, aku siap menghadapi tantangan rajamu! Katakan mulai saat ini Tumapel telah merdeka, tidak sudi lagi tunduk pada Kediri! Orang Tumapel tidak akan merelakan bumi tumpah darahnya dijajah kembali walau hanya sejengkal. Katakan pada rajamu! Akulah yang sebenarnya titisan bathara Syiwa karena berani melawan ketidak-adilan rajamu. Dalam perseteruan ini sebenarnya bukan aku yang memulai tetapi rajamu sendiri yang merusak tata kehidupan semesta! Lekas pergi! Katakan, kutantang rajamu! (kata baginda ketika mengusir utusan kutaraja). 24
Tantangan Perang Kutaraja
Para punggawa, prajurit Tumapel dan para kawula yang hadir di pesta itu menjadi terkesima oleh kata-kata Sang Amurwabhumi. Dalam benak meraka berkata: “Sungguh Sang Amurwabhumi adalah seorang pemberani. Ia menantang baginda raja Kediri untuk bertarung”. Sepertinya kita akan menghadapi hari-hari yang gawat. Beberapa orang di antaranya saling berpandangan satu sama lain. Tampak Tita, sahabat dan orang kepercayaan baginda berjalan mendekat sambil berkata setengah berbisik: ~ Ancaman kutaraja kali ini tidak main-main. Kau tidak boleh meremehkan kekuatannya yang akan menyapu bersih Tumapel. ~ Siapa yang meremehkan! (jawab baginda diiringi tatapan mata tajam) ~ Bukankah kau menjawab tantangan kutaraja dengan terang-terangan. Coba pikirkan, bukankah kekuatan kita hanya lima ratus orang prajurit mau melawan kekuatan pasukan raksasa Kediri. Kau ini sudah benar-benar gila. Arok! Mana mungkin kita akan menang melawan prajurit sebanyak itu. (bisik Tita dengan suara agak keras). ~ Hem…….itu yang membuat nyalimu ciut! Aku memang gila………. aku memang sudah gila, tetapi aku sama sekali tidak bodoh! Nyali kalian saja jadi kecil ketika mendengar gertak sambal raja Kediri itu. Jangan cemas! Kita akan menghadapi kekuatan kutaraja dengan siasat yang sama sekali tidak mereka duga sebelumnya! Mereka menganggap dengan tiga haksoini dapat menghancur-leburkan kekuatan kita. Biarkan saja mereka merasa menang sebelum berperang. Tetapi bukan Ken Arok raja Tumapel, kalau tidak bisa merubah kemenangan mereka menjadi kekalahan telak yang akan membuat mereka tersungkur kalah dengan ratapan memilukan! ~ Dengan cara apa? (kata Tita) ~ Caraku sendiri! Belum bisa kukatakan sekarang, nanti pada waktunya Sentot Prihandajani Sigito
25
kalian akan lihat buktinya! Sekarang, hayo kita teruskan kesenangan kita manari! Hei pradangga! Pukul gamelan keras-keras dan seluruh penari pilihan yang cantik-cantik keluarkan semua ke panggung! Hayo kita menari! Hayo kita minum! Hayo kita bersenang-senang sepuaspuasnya! Suasana pesta-pora penobatan itu membuat bumi Tumapel seakan terasa berguncang, kawula Tumapel kini merasa dapat menghirup udara kebebasan karena melepaskan diri dari kekuasaan kutaraja Kediri. Tetapi mereka juga masih dihantui perasaan was-was karena ancaman kekuasaan kutaraja. Mereka tidak dapat memastikan sampai kapan kebebasan itu dirasakannya, karena ancaman kekuasaan kutaraja Kediri membumi-hanguskan Tumapel tentu bukan main-main.
26
Tantangan Perang Kutaraja
Suasana Pasewakan Agung Kutaraja Kediri
Keesokan harinya, ketika fajar mulai menyingsing di ufuk timur. Kemilau sinar sang bagaskara yang keperak-perakan itu mulai menyibak embun pagi. Kesibukan mulai terlihat di keraton Dahanapura. Tampak prajurit hilir mudik dengan wajah terlihat beku dan tegang. Balairung istana sudah dipenuhi oleh para punggawa tinggi. Tidak lama baginda keluar dari balai paningrat menuju balairung istana kemudian duduk di singgasana. Baginda membuka pembicaraan. ~ Aku tidak menduga kaum brahmana berdiri di belakang Ken Arok. ~ Hamba juga tidak mengira para brahmana itu diam-diam menyokong pemberontak. (Kata Tumenggung Mahisa Walungan) ~ Setelah pemberontak Tumapel itu kita padamkan, di seluruh bumi Kediri tidak perlu ada lagi yang namanya brahmana. Bumi Kediri akan kubersihkan dari semua orang yang telah berkhianat! (kata baginda sambil meradang sambil mengepalkan genggaman tangannya melampiaskan kejengkelannya pada para brahmana) ~ Apa pertimbangannya, gusti? (kata Mpu Aditya sebagai penasehat bertanya) ~ Ketahuilah! Selama ini kaum brahmana hanya makan-minum enak, tidur nyenyak di atas karung-karung padi dengan saku penuh uang yang semuanya diberikan cuma-cuma oleh istana, mereka ternyata menjadi malas, mereka tidak mau membantu kesulitan kerajaan, malahan kini mereka berkomplot dengan musuh. (keluh baginda 27
dengan nada kesal). ~ Hamba mengira semua ini biang keladinya adalah Mpu Lohgawe, brahmana dari Jambudwipa yang selama ini dianggap sebagai tetua kaum para brahmana, ia juga guru Ken Arok! (kata Panglima Gubar Baleman). ~ Iya, mereka bunuh akuwu Tunggul Ametung dan yang lebih sulit lagi dipercaya brahmana itu menobatkan pemberontak itu menjadi raja baru yang lepas dari kekuasaan kutaraja Kediri. (kata Mpu Aditya). ~ Mereka kini masih kubiarkan asyik masyuk bermain-main dengan mendorong roda kereta sejarah. Mereka menyangka akan bisa lepas merdeka, mereka menyangka akan bebas. Tetapi mereka nanti akan menemui jalan buntu, akan merasakan sakitnya tergilas oleh roda kereta sejarah itu sendiri. (kata baginda geram). Abdi pacalan utusan kutaraja Kediri datang dari Tumapel memasuki balairung istana tergesa-gesa, setelah menghaturkan sembah kepada baginda kemudian berkata: ~ Ampunkan hamba menghadap. Baginda memberi isyarat tangan untuk maju mendekat. Abdi pembawa berita itu menuturkan suasana pesta pora kemenangan di pakuwon Tumapel dan jawaban Ken Arok menantang balik kepada baginda yang dikatakan sebagai orang biasa, bukan titisan bathara Syiwa. Sedangkan Ken Arok lah yang mengaku bathara guru yang sebenarnya karena berani menantang kekuasaan kutaraja yang dianggap lalim terhadap kawula alit Tumapel. Mendengar penuturan abdi pacalan itu, seketika baginda melompat dari kursi singgasana. Dengan wajah merah padam, gigi berkerot, mata berkilat tajam seperti harimau, kedua tangannya terlihat berkacak pinggang sambil berkata: ~ Hem ……….bedebah anak sundel! Kau …benar-benar menantang 28
Suasana Pasewakan Agung Kutaraja Kediri
aku! (gerak tangan baginda sambil menepuk dada) ~ Ijinkan hamba menyampaikan pendapat. (kata Tumenggung Mahisa Walungan memotong) ~ Katakan apa pendapatmu. ~ Hamba lebih baik akan menyerang Tumapel sebelum para pemberontak itu memasuki kutaraja Kediri. ~ Hamba juga sependapat, lebih baik kita hancurkan mereka sedang lengah karena mabuk pesta pora. (timpal panglima Gubar Baleman). ~ Bagus………….esok pagi aku sendiri yang akan memberangkatkan pasukan. Panglima Gubar Baleman yang akan memimpin penumpasan.
Sentot Prihandajani Sigito
29
Siasat Perang Semesta
Desa Subaluh yang letaknya di ketinggian celah bukit, berada di antara perbukitan gunung Anjasmara dan gunung Kawiraja, kini puluhan ribu orang memenuhi desa itu. Udaranya yang biasanya dingin kini berubah menjadi hangat karena dipenuhi oleh orangorang Tumapel. Mereka adalah prajurit dan sebagain besar adalah kawula Tumapel yang mendukung penyerbuan kutaraja Kediri. Desa itu dilihat dari letaknya berada di celah ketinggian bukit, rupanya tepat untuk dijadikan pertahanan Tumapel karena dapat melihat dengan mudah kedatangan pasukan Kediri dari arah barat yang akan menyerang Tumapel. Baginda Sang Amurwabhumi berdiri di atas sebuah batu besar yang letaknya agak tinggi, pandangannya diarahkan kepada kerumunan orang Tumapel, kemudian berkata dengan lantang: ~ Hei prajuritku, kawan-kawan dan rakyatku semua! Kini kekuasaan kutaraja Kediri akan menyerang kita. Ketahuilah, orang-orang Kediri melihat kekuatan Tumapel hanya lima ratus orang prajurit, sedangkan mereka memiliki pasukan besar merasa dirinya terkuat di Jawadwipa ini. Tetapi jangan kecil hati, jangan takut! Tidak ada jaminan bagi Kediri untuk menang dari Tumapel. Percayalah Tumapel akan memenangkan peperangan ini! ~ Bagaimana baginda bisa memastikan hal ini? (sahut salah seorang kawula menanyakan kepada Sang Amurwabhumi) ~ Kita berperang dengan siasat! Siasat yang sama sekali tidak mereka duga sebelumnya. Siasat kita adalah siasat perang suci, perang mempertahankan negeri ini dari segala bentuk penindasan termasuk pengenaan pajak. Perang ini adalah perang membela negeri tumpah 31
darah. Perang untuk merdeka! Oleh karena seluruh orang yang merasa darahnya sebagai orang Tumapel, kini saatnya bangkit untuk membela dan membebaskan negeri ini dari kekuasaan penjajah. Inilah perang semesta! ~ Kami semua mendukung titah baginda. Hidup baginda! Hidup Tumapel! (suara ratusan prajurit diiringi pekik sorak sorai gegap gempita membahana seakan membuat langit runtuh, Kata-kata baginda itu rupanya dapat membangkitkan semangat dan mengusir keraguan kawula terhadap ancaman kekuasaan kutaraja Kediri). ~ Baginda! kapan kami semua akan diberangkatkan menyerbu kutaraja? Kami sudah tidak sabar lagi menunggu? Kami terus terang ingin segera membongkar gudang makanan dan menjarah pundi-pundi istana. ~ Tenang!…….tenang!…… Kita akan segera berangkat tetapi ………(baginda berhenti berbicara sejenak sambil pandangannya melihat puluhan ribu rakyat Tumapel memenuhi lembah dan bukit di desa Subaluh). Kemudian baginda melanjutkan berkata: ~ Kita akan bergerak memasuki tlatah kutaraja dan mendirikan pakuwon di Candrageni, sebuah tempat di dekat Ganter daerah perbukitan di gunung Wilis termasuk tlatah Anjuk Ladang. ~ Bukankan tempat itu cukup jauh dari kutaraja Kediri? Mengapa kita tidak langsung menyerang kutaraja? (kata Tita sahabat baginda) ~ Benar……… daerah sekitar Ganter akan kita jadikan mandala. Kalau kita menyerbunya kutaraja secara langsung, mereka sudah siap dengan pertahanan berlapis-lapis untuk meng-hadapi serangan kita, Itu sangat tidak menguntungkan kita. (kata baginda Sang Amurwabhumi) 32
Siasat Perang Semesta
~ Setuju ! …………setuju! (suara riuh rendah terdengar memecah kesunyian desa Subaluh). ~ Mengapa kita tidak bertahan dan menghadapi musuh di sini saja? Bukankah desa ini paling tepat untuk mengintai lawan dari jarak jauh sekali pun? ~ Tidak. Ketahuilah ini perang semesta! Orang yang berperang melawan ketidak-adilan bukanlah kawula Tumapel saja, tetapi juga kawula Kediri harus kita ajak melawan kekuasaan lalim dan tidak adil ini! Yang berbuat tidak adil bukan kawula Kediri, tetapi raja dan punggawanya. Inilah perang semesta! Bukan perangku sebagai rajamu, tetapi perang orang Tumapel dan semua orang Kediri melawan ketidak-adilan, penindasan dan kesewenang-wenangan! Kalau mereka tidak kita ajak, maka mereka akan dipaksa oleh rajanya untuk memerangi kita atau mereka akan dendam terhadap orang Tumapel! ~ Jaya Sang Amurwabhumi! (hadirin bersorak sorai mengelu-elukan dan menyanjung kecerdikan rajanya. Siasat yang disampaikan Sang Amurwabhumi rupanya dapat mengusir keragu-raguan orang-orang Tumapel akibat ancaman kutaraja Kediri) ~ Jaya! ………Jaya Tumapel! (pekik hadirin bersahutan membahana). ~ Tumapel merdeka! (pekik salah seorang) ~ Merdeka!…….merdeka!…..merdeka! (suara ribuan orang sahutsahutan seperti gelombang samudra dahsyat). ~ Tumapel bebas pajak! Kediri bebas pajak. (pekik salah seorang) ~ Bebas……..kita semua bebas pajak selamanya! (soral sorai membahana, berjingkrak-jingkrak menggila ).
Sentot Prihandajani Sigito
33
Rakyat Di Kutaraja Kediri
Berita siaga perang rupanya sudah tersebar luas ke segenap penjuru tlatah Kediri dan sekitarnya. Lebih-lebih suasana di kutaraja, terasa pengap, tegang terlihat dari wajah-wajah kawula alit. Sementara pedagang di pasar kutaraja terlihat sibuk mengemasi barang dagangannya untuk segera pulang. Bandar sungai yang sebelumnya terlihat ramai adanya kegiatan bongkar muat barang, kini sepi dan terlihat lengang. Kini keadaan di seluruh tlatah kutaraja sepi bagaikan kota mati. Berita perang antara Kediri dan Tumapel benar-benar membuat suasana kutaraja mencekam. Jalan-jalan pun terlihat lengang tak seperti biasanya. Hanya kudakuda prajurit masih tampak lalu-lalang melintas, wajah-wajah mereka tampak dingin dan tegang sepertinya sedang membayangkan perang dahsyat itu semakin dekat waktunya, pertumpahan darah sepertinya tak terelakkan lagi. Beberapa orang kawula bergerombol di sudut jalan, berbicara satu sama dengan nada setengah berbisik. Salah seorang dari mereka berkata kepada temannya: ~K alau perang ini terjadi, apa yang kita lakukan? ~A h……….mana aku tahu! Yang berperang kan prajurit, bukan rakyat kecil seperti kita-kita ini. ~ Iya, tetapi apa yang kita perbuat? ~ Iya lebih baik kita mengungsi di daerah aman. ~ Benar…………….lebih baik kita mengungsi! ~H ei lihat salah seorang prajurit berkuda itu menuju ke mari! (kata salah seorang sambil tangannya menunjuk ke suatu arah datangnya prajurit). 35
Beberapa orang kawula yang berkerumun itu tertegun melihat salah seorang prajurit pengawal istana turun dari kudanya. Prajurit itu menatap satu persatu dengan pandangan kurang bersahabat, kemudian berkata: ~ Hei orang-orang kutaraja! Ketahuilah negeri kalian akan mengibarkan bendera perang untuk menumpas pemberontak Tumapel! (mirong kampuh jingga, bahasa Jawa). Apa yang kalian perbuat sebagai kawula Kediri? ~K ami ini hanya kawula alit. Tentu saja tidak kuasa berbuat apaapa, selain mengungsi ke tempat aman. ~ Huh! Kalian ini bisanya hanya numpang kehidupan enak (nunut kamukten, bahasa Jawa) pada raja kalian! Tetapi ketika negeri ini diserang musuh dan menuntut pengabdian, kalian hanya bisa takut dan lari menghindar! ~ Benar gusti! Kami tidak berbohong. Apa daya kawula alit seperti kami ini di medan peperangan. Kami sama sekali tidak terlatih, kami sama sekali tidak siap menghadapi lawan dari pada nanti hanya akan menjadi tumbal sia-sia, ~ Dasar kunyuk! Negeri kalian diserang oleh musuh, kalian diam saja! ~ Lho…….jangan marah tuan! Kami berbicara apa adanya. Kalau tuan mengatakan kata-kata kotor seperti itu, apa sudah pantas? Bukankah kami juga bayar pajak terhadap kerajaan. Seharusnya para prajurit seperti tuan ini yang memadamkan pemberontakan, bukan kami yang seharusnya dilindungi. Bukan malah dihisap darahnya dengan perbagai pajak dan pungutan liar yang berat dan tidak tertanggungkan seperti selama ini? (kata seorang kawula itu terpancing meluapkan emosinya). ~ Lancang mulutmu! (bentak prajurit itu dengan muka merah padam 36
Rakyat Di Kutaraja Kediri
sambil mengacungkan telunjuknya ke arah orang itu) ~ Siapa yang lancang, tuanlah yang memulai menghina kami! (sahut orang itu tidak kalah tangkas). ~ Bukan maksud kami lepas tanggung jawab bela negeri, tetapi bukannya negeri kita ini katanya yang sering digembar-gemborkan memiliki pasukan perang terkuat, tidak tertandingi di Jawa Dwipa ini. Untuk apa kami ikut-ikut konyol menjadi tumbal peperangan, karena perang adalah urusan prajurit, bukan urusan kawula alit lemah seperti kami ini. Sekarang saatnya orang seperti tuan ini yang harus membuktikan. (sela salah seorang temannya berkata kepada prajurit) Mendengar jawaban itu, prajurit itu hanya diam tertegun, dari wajah tampak bersungut-sungut menunjukkan kalau ia sedang menahan marah, dalam hatinya merasa dongkol mendengar ucapan balik dari beberapa kawula Kediri yang tak disangka bernada acuh tak acuh dan mencelanya. Tetapi setelah merenungkan beberapa saat, perlahan-lahan ia menyadari kebenaran ucapan mereka walaupun membuat telinganya terlanjur panas. Prajurit yang berada di punggung kuda itu bergegas menggebrak lari kudanya secepat kilat
Sentot Prihandajani Sigito
37
meninggalkan kerumunan orang-orang yang sedang berangkat mengungsi itu. Prajurit itu menangkap isyarat akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan di kutaraja Kediri. Melihat sikap kawula alit yang baru saja dijumpainya, prajurit itu merasa bahwa perang kali ini memberikan pertanda buruk bagi kutaraja. Sementara salah seorang penduduk desa itu berkata satu sama lain: ~P rajurit tadi marah kepada kita, tetapi untungnya urung. (kata salah seorang kawula) ~ Kau berbicara terlalu kasar. (cela salah seorang kepada yang lain) ~B iar saja, dia yang mulai menghina, aku tidak terima, masak orang seperti kita dikatakan seperti kunyuk! Mungkin kamu yang diam saja itu, pantas jadi kunyuk! ~ Huh! Dasar kodok kamu! (sahut kawan lainnya). ~ Sialan. Hayo kita cepat mengungsi!
38
Rakyat Di Kutaraja Kediri
Berita Telik Sandi Tumapel
Ki Sampar angin, tokoh tua dunia persilatan kesohor, guru elmu kanuragan Ken Arok merupakan pendekar utama Tumapel, memimpin pasukan telik sandi mengawasi gerak-gerik dan siasat pasukan Kediri. Salah seorang telik sandi murid Ki Sampar angin datang dari kutaraja tergopoh-gopoh itu segera melaporkan: ~ Apa yang kau lihat di kutaraja (Ki Samparangin bertanya) ~ Aku mendengar dari pembicaraan para prajurit bahwa perang melawan Tumapel ini bukan perang besar seperti perangnya Kediri melawan Jenggala sewaktu baginda maharaja Sri Jayabaya. Mereka menganggap perang ini hanya seperti memadamkan setitik api yang akan diguyur dengan air bah. Tumapel dianggap bukan apa-apa dan tidak ada apa-apanya dibanding dengan kekuatan mereka. (kata salah seorang telik sandi). ~ Bagus! Biarkan mereka terus punya anggapan seperti itu. (Kata Ki Sampar angin) ~ Mengapa begitu, bapa? (kata Palastra anggota pasukan telik sandi lainnya) ~ Anggapan seperti itu akan menjadikan dia selengah-lengahnya karena meremehkan lawan. Keadaan seperti itu yang akan membuat mereka kalang-kabut ketika dijebak dengan serangan mendadak dan siasat yang tidak mereka duga sebelumnya. (Kata Ki Sampar angin) ~ Panglima Gubar Balemen yang akan memimpin. (kata telik sandi) 39
~ Mengapa tumenggung Mahisa Walungan tidak turun ke medan laga? (kata Ki Sampar angin). ~ Tidak, karena mereka menganggap hanya memadamkan pemberontakan kecil sekecil api lentera, sehingga baginda cukup mengirimkan pasukan yang dipimpin panglima Gubar Baleman. (kata telik sandi) ~ Bagus! Itu tanda mereka tidak tahu siasat kita. (kata Ki Sampar angin). ~ Palastra! Panggilkan rajamu ke mari! (perintah Ki Sampar angin). Telik sandi yang bernama Palastra ini segera pergi menuju sebuah gubuk yang ditempati baginda letaknya tidak jauh. Tak lama kemudian baginda datang menemui Ki Sampar angin gurunya) ~ Ada apa, paman? (kata baginda sambil memasuki tenda ki Sampar angin) ~ Pasukan kutaraja akan diberangkatkan ke Tumapel besok pagi pada saat terang tanah. Kuperkirakan sore hari akan sampai di desa ini. Gubar Baleman akan menjadi senapatinya. (kata Ki Sampar angin) ~ Sudah kuduga, kutaraja yang merasa kuat akan menyerang lebih dahulu ke Tumapel. Panglima gemblung (dungu, bahasa Indonesia) itu rupanya ingin unjuk jasa kepada rajanya untuk menebus kegagalannya masa lalu menangkapku. (kata Sang Amurwabhumi) ~ Bukan itu yang kumaksud. Tetapi kapan kau memberangkatkan pasukan dan semua orang-orang Tumapel ini ke Ganter? (kata Ki Sampar angin) ~ Malam ini juga paman. (kata baginda singkat) ~ Apa alasanmu? ~ Pasukan Tumapel harus mencapai Ganter sebelum pasukan Kediri sampai di sini. 40
Berita Telik Sandi Tumapel
~ Baik. Cepat kosongkan Tumapel! Tinggalkan desa Subaluh ini, biarkan kepala desa tetap menjaga desa ini! Tidak ada satu orang pun kawula Tumapel yang tinggal, kecuali orang-orang tua, wanita dan anak-anak. Prajurit-prajurit Tumapel juga harus berpakaian sebagai kawula biasa. Seluruh senjata, umbul-umbul perang, genderang, terompet, sangkakala disimpan, jangan sampai terlihat pasukan Kediri. Malam ini juga kita berangkat ke Ganter melalui Kandhangan menyidat jalan ke utara lewat Hanyiru (kini Jombang) terus menyebrang sungai Brantas ke barat menuju Anjukan (Anjuk Ladang) terus ke arah selatan melewati candi Kriti Jayastamba, ke barat melalui Kurawan kemudian menyisir daerah perbukitan menuju Ganter. Sepanjang jalan, kita mengajak orang-orang desa untuk bergabung dengan kita. ~ Bagaimana kalau terpaksa kepergok pasukan Kediri di tengah jalan? (kata baginda Sang Amurwabhumi) ~ Pasukan telik sandiku sudah mengamankan jalan yang kita lewati. Kalau terpaksa kepergok, katakan saja kita akan mengungsi ke tlatah Kediri minta perlindungan rasa aman kepada baginda. Mereka tidak akan curiga sedikit pun karena kita menyamar seperti kawula alit. (kata Ki Sampar angin). ~ Kalau pasukan Kediri mendapati Tumapel kosong, apakah mereka tidak menduduki pakuwon? (kata baginda). ~ Yang mereka cari adalah kau sebagai rajanya, bukan bangunan pakuwon yang sudah reyot itu. (kata Ki Sampar angin). Baginda Sang Amurwabhumi menganggukkan kepala merasa kagum terhadap kemampuan paman gurunya yang begitu licin dan piawai dalam menyusun siasat di saat genting seperti ini. Paman Sampar angin tidak saja pendekar terkemuka di Tumapel tetapi juga ahli siasat perang yang tidak ada duanya. Baginda dalam hati Sentot Prihandajani Sigito
41
merasa berterimakasih kepada paman gurunya yang membantunya selama ini sampai mengantar dirinya menjadi raja Tumapel. Kini perjuangan rakyat Tumapel tinggal selangkah lagi, mempertahankan bumi kelahirannya dari ancaman kekuasaan kutaraja Kediri yang ingin kembali menjadikan Tumapel tetap menjadi negeri jajahan. Kini kutaraja Kediri telah menegakkan umbul-umbul, mengibarkan bendera, memukul genderang perang bertalu-talu, sangkakala telah ditiup keras-keras suatu tanda perang besar akan terjadi. Perang antara kemapanan dengan kekuatan perubahan. Kekuasaan kutaraja Kediri yang jumawa menganggap remeh kekuatan pemberontak sebenarnya merupakan cara pandang kemapanan. Dengan cara pandang itu mereka sama sekali tidak melihat kemungkinan siasat lawan. Siasat bumi hangus yang akan dijalankan Kediri itu mudah dibaca oleh lawan, sementara siasaat yang dijalankan pasukan Tumapel tidak dapat diketahui lawan bahkan dianggapnya entheng. Gerakan Tumapel merdeka menggunakan siasat yang tidak dapat dibaca arahnya oleh kutaraja. Inilah gambaran dari kekuatan perubahan.
42
Berita Telik Sandi Tumapel
Udyana Kaputren Dahana Pura
Sementara di dalam udyana kaputren istana Dahana pura, sang permaisuri Dewi Amisani tampak tengah duduk di sudut ranjang dengan wajah menunduk sepertinya diselimuti kabut duka. Wajahnya menyiratkan sebuah kegelisahan dan kesedihan tidak tentu arah dalam menyikapi perkembangan negerinya. Baginda Dandang Gendis (nama lain dari Kertajaya) mendekati permaisuri sambil menghibur dengan kata-kata lemah-lembut. Cukup lama baginda menunggu jawaban dari permaisuri yang tampak masgul hatinya setelah mendengar rencana peperangan dengan Tumapel. ~ Dinda, janganlah khawatir. Tumapel bukan lawan berat bagi kutaraja. Perang ini akan segera berakhir dengan kemenangan kutaraja, dinda. Permaisuri Dewi Amisani tetap diam seribu bahasa mendengar kata-kata baginda yang dirasakan bernada memandang entheng (remeh atau sepele, bahasa Indonesia) lawan. Baginda melanjutkan berkata: ~ Dinda, janganlah terlalu larut dalam duka seperti ini. Kanda akan kembali dari peperangan dengan membawa kemenangan gilang-gemilang! ~ Sebagai isteri, dinda tidak menginginkan kanda terjun di peperangan ini. Dinda lebih suka menjadi isteri seorang Dhandhang Gendhis, bukan isteri maharaja yang haus peperangan. ~ Dinda, sebenarnya kanda juga ingin hidup tenang, tenteram bersama 43
dinda. Tidak ada yang menganggu selamanya. Tetapi ini tugas seorang raja yang tidak dapat dihindari. ~ Iya, sejak kanda meminangku di pertapan Penampihan dahulu, dinda hanya tahu bahwa kanda hanyalah seorang Dhandhang Gendhis (nama baginda sewaktu masih muda) murid kakekku brahmana Brahmaraja. Dinda sangat tidak setuju jika kanda mengobarkan peperangan dengan Tumapel. Masih banyak cara lain untuk menyelesaikan kemelut Tumapel. (kata permaisuri) ~ Maafkan aku dinda, jika kali ini kanda tidak dapat menungguimu di istana. Ketahuilah dinda, menjadi raja adalah bukan kehendak kanda sendiri tetapi keinginan orang tua. Kanda minta sekali ini saja menyelesaikan tugas memadamkan kemelut Tumapel dan merangket si bedebah Ken Arok anak sudra dari desa Pangkur itu. ~ Oh…kanda! Mungkin kita sudah sampai takdir kalau peperangan ini akan memisahkan kita? ~ Oh…..jangan berkata begitu, dinda! Sama sekali tidak akan terjadi apa-apa. Kanda akan segera menghadiahkan kemenangan peperangan ini untuk dinda. ~ Dinda tidak butuh hadiah kemenangan perang, yang dinda butuhkan hanyalah cinta kasih kanda yang selalu berada di sisi dinda. ~ Apa yang dinda harapkan itu pasti akan terwujud. Kanda pergi tak akan lama kalau hanya untuk menumpas tikus-tikus kecil di parit Tumapel itu! Permaisuri terdiam sejenak, sepertinya sedang merenungkan beberapa kejadian sebelumnya, lalu berkata: ~ Apakah kanda lupa? ~ Lupa apa, dinda? ~ Bukankah pasukan kutaraja selama ini selalu gagal menangkap 44
Udyana Kaputren Dahana Pura
Ken Arok yang kanda katakan tikus Tumapel itu? ~ Apa maksud dinda? ~ Itu sudah menjadi bukti kalau Ken Arok bukan orang sembarangan. Apalagi saat ini ia memegang kekuasaan sebagai raja Tumapel. ~ Kanda tahu itu, tetapi kalau dalam perang terbuka, apa artinya lima ratus orang prajurit yang dia miliki melawan pasukan kutaraja yang berjumlah tiga haksoini? ~ Kanda……kanda, biar dinda ini keturunan seorang brahmana yang tidak tahu medan peperangan tetapi dinda juga tidak buta sama sekali tentang siasat perang. ~ Maksud dinda apa? ~ Maksud dinda, kanda harus bisa melihat adanya kemungkinan lain dari siasat lawan. Baginda Kertajaya termenung sejenak, kemudian berkata: ~ Ketahuilah mereka akan tetap gagal menggunakan siasat apapun sebab jumlah mereka hanya setengah kethi (lima ratus orang). Jadi mereka pasti menuai kegagalan. ~ Iya hanya itulah yang bisa kanda katakan berulang-ulang selama ini. Kanda terlalu meremehkan lawan tetapi tidak berusaha mengetahui siasat mereka. Mereka sengaja mengelabuhi pasukan kutaraja Kediri dan menjebaknya lengah terpancing masuk ke dalam perangkapnya? ~ Kata-kata dinda semakin membingungkan kanda. Bukankah mereka tidak ada apa-apanya, pasukan mereka kalah jumlah, kalah pengalaman dan kalah dalam segala hal. (kata baginda meyakinkan). ~ Tidak kanda. Kanda belum mengerti maksud dinda. Dinda berharap kanda mewaspadai siasat lawan, bukan selalu memamerkan Sentot Prihandajani Sigito
45
kekuatan pasukan sendiri. ~ Kata dinda itu hanya tepat kalau kekuatan lawan berimbang, sedangkan kekuatan mereka benar-benar tidak imbang, tidak ada artinya dibanding kekuatan kita. Siasat apapun yang mereka gunakan, tidak akan mempan mengelabuhi pasukan kutaraja. ~ Kata-kata kanda seperti itulah yang membuat dinda menjadi semakin khawatir. Sepertinya apa yang dinda khawatirkan selama ini akan terjadi. ~ Oh dinda, janganlah hal itu membuat risau hati, percayalah tumenggung Mahisa Walungan dan panglima Gubar Baleman akan dapat memadamkan api pemberontakan Tumpael ini secepat mungkin! ~ Bagaimana kalau pemberontak itu dibantu oleh kawula alit dan para brahmana yang selama ini kanda sia-siakan. ~ Kawula alit dan para brahmana bukanlah prajurit yang terlatih dalam peperangan. Sebelum bergabung mereka sudah merasa ketakutan dan kalau dipaksa mereka hanya akan menjadi korban sia-sia dalam peperangan ini. Mengapa hal seperti itu dinda risaukan. ~ Kanda terlalu percaya diri dan meremehkan lawan. ~ Tidak dinda! Tetapi dinda harus tahu bahwa pasukan kutaraja adalah pasukan perang terbaik di Jawa Dwipa ini! Sepertinya dinda terlalu menghitung kekuatan lawan yang tidak seberapa itu! (kata baginda meyakinkan permaisuri, tetapi tampaknya kata-kata baginda itu semakin membuat permaisuri jengkel). Selanjutnya permaisuri berkata dengan nada ketus: ~ Sudahlah kanda, dinda tidak mau berdebat soal ini lagi! Dinda melihat soal ini dengan pandangan lain, tidak seperti pandangan kanda selama ini!
46
Udyana Kaputren Dahana Pura
Berburu di Padang Tandhus
Alun-alun kutaraja Kediri tampak lautan manusia. Satu haksoini (sepuluh ribu) orang pasukan Kediri berbaris siaga menunggu perintah pemberangkatan perang. Bunyi genderang perang kini terdengar bersahut-sahutan. Bendera dan umbul-umbul perang tampak berdiri gagah berkelebat-kelebat tertiup angin seakan-akan menantang orang-orang Tumapel yang telah berani memberontak (mbalelo, bahasa Jawa) melawan kekuasaan Kediri, kekuasaan adikuasa yang disegani di seluruh Jawadwipa. Baginda kini bersiap memberangkatkan pasukan. ~P agi ini kalian semua kuperintahkan untuk merangket Ken Arok pemberontak itu. Kalian jangan sekali-kali pulang ke kutaraja sebelum membawa Ken Arok hidup atau mati! Panglima tiup sangkakala pemberangkatan! (perintah baginda Kertajaya) ~ Baiklah gusti. (sahut panglima seraya tangannya meraih sangkakala dan meniupnya dengan keras, menimbulkan suara nyaring, kemudiaan di ikuti sahutan suara tambur dan genderang ditabuh bertalu-talu membangkitkan semangat prajurit berkobar-kobar). Pasukan besar itu kini bergerak dari kutaraja akan melintas desa Gurah kemudian Pangare (sekarang Pare) menuju Kandangan dilanjutkan perjalanan menuju ke arah timur sampai di desa Ngantang. Panglima Gubar Baleman merasa ada yang tidak beres dengan penduduk desa yang dilewati. Dalam hatinya berkata: “Aku heran. Mengapa desa-desa yang kulewati keadaannya sangat sepi. Tidak terlihat seorang pun yang lalu-lalang di jalan, kecuali hanya orang-orang tua, wanita 47
dan anak-anak. Mereka pun segera berlari ketakutan ketika kepergok mengetahui kedatangan pasukanku. Kemana anak-anak mudanya? Aku sama sekali tidak melihatnya. Apakah ini sebuah perangkap? Tidak mungkin, bagaimana mereka bisa mengelabuhi pasukan sebesar ini? Bukankah jumlah mereka sangat kecil?”. ~H ei……….pimpinan pasukan, kita berhenti di Subaluh. Malam ini kita istirahat di desa itu. Dirikan tenda! ~ Baiklah tuan panglima. (kata pimpinan pasukan sambil memberi aba-aba prajurit). ~ Pimpinan pasukan! Panggil kepala desa Subaluh! ~ Sendika dhawuh tuan panglima. (kata pimpinan pasukan sambil meninggalkan kemah panglima). Beberapa saat kemudian, kepala desa Subaluh datang tergopoh-gopoh menghadap panglima bebahu kanan raja Kediri itu. ~ Hei Kepala desa! Mengapa anak-anak muda desa mulai dari Kandangan, Ngantang sampai desamu ini tidak tampak seorang pun? ~ Ampun gusti panglima, mereka semua mengungsi ke gunung karena takut menyaksikan peperangan ini. ~ Takut? ~ Benar gusti, maklum mereka adalah anak-anak petani desa yang polos sama sekali tidak mengenal keprajuritan sebelumnya, jadi mereka berpendapat lebih baik mengungsi ke tempat yang aman daripada menjadi korban sia-sia. (kata kepala desa berbohong). ~ Apa kata-katamu dapat kupercaya? ~ Tentu gusti, kami menghamba di Kediri sudah lebih dari tiga dasawarsa (tiga puluh tahun). Seandainya kami tidak setia apalagi berani berbohong tentu sejak dahulu kami pasti sudah tidak 48
Berburu Di Padang Tandhus
dipercaya lagi bahkan mungkin sudah dihukum picis di alun-alun kutaraja. (kata kepala desa meyakinkan, walau sebenarnya ia salah satu pendukung utama gerakan Tumapel merdeka yang dipimpin oleh Sang Amurwabhumi). Panglima Gubar Baleman mengangguk-angguk kecil sepertinya percaya menelan bulat-bulat kata-kata kepala desa Subaluh yang tampak lugu itu. Kemudian melanjutkan bertanya: ~ Desa kalian adalah desa lintasan utama yang menjadi persinggahan dari Tumapel ke Kediri atau sebaliknya, tidak ada desa lain kecuali harus melintas desa ini. Pasti kamu tahu, prajurit-prajurit Tumapel telah pergi ke kutaraja? ~ Hamba hanya mengetahui sebagian kawula Tumapel pergi berbondong-bondong pergi mengungsi ke barat menuju kutaraja. ~M engungsi ke kutaraja? ~ Sendika dhawuh, gusti. Mereka katanya pergi mengungsi di sekitar kutaraja agar lebih aman. Mereka merasa prajurit Tumapel tidak akan mampu membendung pasukan kutaraja yang jumlahnya berlipat ganda dari pajurit Tumapel. Mereka umumnya berpendapat kalau pasukan kutaraja menyerang, prajurit Tumapel pasti akan kocar-kacir. Oleh karena itu mereka berpikir lebih baik mengungsi dan meminta perlindungan kepada baginda di sekitar kutaraja daripada keamanannya tidak terjamin kalau ia tetap berada di Tumapel. (kata kepala desa menutupi kebohongannya). ~ Tetapi aku tidak berpapasan dengan mereka sama sekali. ~ Iya tentu, gusti. Mereka melintasi jalan setapak menerabas hutan pada malam hari karena takut kepergok prajurit Tumapel yang setiap hari meronda desa mereka. Hamba dengar prajurit Tumapel memaksa mereka untuk ikut berperang melawan Kediri. Tetapi mereka menolaknya karena masih tetap setia pada baginda di Sentot Prihandajani Sigito
49
kutaraja. Karena takut dipaksa maka mereka diam-diam pergi meninggalkan desanya mengungsi ke tempat yang dirasa aman. Panglima Gubar Baleman mengangguk-angguk tanda percaya terhadap kata-kata kepala desa yang tampak polos itu. Apa yang dikatakan oleh kepala desa Subaluh itu membuat hatinya senang, masuk diakal karena Tumapel tidak akan berani melawan kekuatan kutaraja kalau tidak memiliki bala pasukan yang imbang. ~ Jadi prajurit-prajurit Tumapel kini masih bertahan di pakuwon? ~ Aduh gusti, ampunkan hamba tidak mengetahui pasti. Hamba hanya tahu mereka memang sering meronda sampai desa Subaluh ini. ~ Baiklah, malam ini aku dan pasukanku berkemah di sini. ~ Sendika dhawuh, gusti. Kami dan orang-orang desa yang masih tinggal akan melayani keperluan gusti. ~ Terima kasih, kepala desa. (kata panglima itu sambil mengangguk kecil). Keesokan harinya ketika matahari sepenggalah tingginya, embun pun masih belum terjatuh dari ujung-ujung dedauanan, pasukan kutaraja di desa Subaluh tampak mulai disiagakan. Tanpa diduga-duga dari arah barat mendengar derap kaki kuda. Rupanya kuda itu dipacu kencang menuju desa Subaluh. Kedua orang penunggangnya tiba-tiba melompat dari punggungnya dan segera berlari menuju tempat panglima. ~ Ampun tuan panglima, kami memperoleh kabar bahwa Ken Arok dan orang-orangnya telah berada di tlatah perbukitan Liman di lembah gunung Wilis. Jadi Tumapel kini telah dikosongkan. (lapor salah seorang prajurit ronda) ~ Apa? (kata panglima terkejut) ~ Pemberontak itu kini sudah memasuki tlatah kutaraja bagian 50
Berburu Di Padang Tandhus
utara lembah Wilis. Hamba sendiri melihatnya, mereka berjalan berarak-arakan dalam jumlah yang sangat besar, di jalan-jalan sambil menghasut kawula Kediri untuk berontak melawan kita. Mereka meneriakkan bebas pajak! (lapor prajurit ronda itu) ~ Kurang ajar! Akan kukuliti batok kepalanya! (Kata panglima meradang) ~ Apa yang harus kita lakukan tuan panglima? (kata pimpinan pasukan) ~ Kita harus segera tinggalkan padhang tandus ini karena buruan kita tidak di sini, kita berbalik arah mengejar buruan kita di padhang barat. Kita berangkat sekarang juga! (kata panglima memerintah).
Sentot Prihandajani Sigito
51
Siasat Ganter
Baginda Sang Amurwabhumi sedang dihadap oleh segenap pimpin-an pasukan dan para tetua, seperti pendekar ki Sampar angin, brahmana Lohgawe, Bango Samparan, Mpu Pamor dan Mpu Kuturan berpuluh-puluh pendekar sakti pendukung utama gerakan Tumapel merdeka. ~ Rencana kita sepertinya berhasil menghimpun orang-orang Kediri untuk mendukung gerakan kita, paman. (kata baginda). ~ Iya, aku melihatnya sendiri. Mereka beramai-ramai bergabung karena memiliki persamaan nasib dengan orang Tumapel. (sahut Ki Sampar angin). Baginda mengambil alih pembicaraan. ~ Kau tahu, apa maksud di balik rencana ini? (kata baginda kepada pimpinan pasukan). Pimpinan prajurit itu menjawab dengan menggelengkan kepala. ~ Ketahuilah! Ini adalah sebuah siasat. (kata baginda) ~ Sepertinya hamba belum pernah mengetahui siasat perang seperti ini sebelumnya, baginda. (kata pimpinan pasukan) ~ Iya, memang belum pernah ada siasat seperti ini. Ini bukan gelar yuda biasa yang dikenal dalam peperangan seperti garuda nglayang, cakrabyuha, supit urang, dirada mekta dan sebagainya tetapi sebuah kejutan telak bagi lawan. ~ Apa baginda yakin, orang-orang kawula Kediri itu akan mendukung kita? (kata pimpinan prajurit) ~ Seperti kau lihat sendiri, orang-orang Kediri menyambut ajakan kita dengan sukarela. Kau tahu apa sebabnya?
53
Pimpinan prajurit itu menggelengkan kepala tanda tidak tahu. ~ Karena yang mengajak mereka adalah kawula Tumapel sesama rakyat jelata, bukan prajurit Tumapel. Rasa senasib sependeritaan sebagai kawula alit yang selama ini tertindas masalah pajak akan menyatukan mereka. Mereka akan bangkit rasa kebersamaannya. ~ Hamba tidak mengira, siasat baginda begitu luar biasa. ~ Lalu apa pengaruhnya terhadap kekuasaan kutaraja? (kata mpu Pamor) ~ Kertajaya akan menerima kenyataan pahit kalau rakyatnya sendiri tidak mendukung dalam peperangan ini, bahkan akan berbalik arah mendukung kita. Ini yang akan membuat raja bodoh itu terkejut melihat kenyataan, mentalnya akan jatuh, hilang kepercayaan dirinya. Inilah yang dinamakan perang semesta! ~ Oh! Sungguh tuanku sebagai titisan dewata! Hamba sama sekali tidak mengira sehebat itu rencana paduka. Hamba yakin Tumapel akan memenangkan peperangan ini dengan gilang gemilang. (kata salah seorang pimpinan pasukan) Pendekar ki Sampar angin berkata kepada baginda Sang Amurwabhumi. ~ Prajurit kutaraja akan mengejar kita di sini? ~ Iya, aku telah menempatkan beberapa regu pasukan untuk memancing mereka di tlatah Pacekan dan Rajeg. Lawan akan menganggap bahwa di tempat-tempat itu sebagai benteng pertahanan kita. Pendekar tua itu mengangguk-anggukan kepala sepertinya sedang berpikir sesuatu. Kemudian ia berkata: ~ Apakah kau mengumpankan mereka? ~ Tidak paman, mereka hanya kutugaskan memancing perhatian 54
Siasat Ganter
lawan, agar lawan terus mengejarnya sampai di Ganter? ~ Apakah lawan tidak curiga kalau itu hanya sebuah jebakan? ~ Kukira tidak paman, pasukan Kutaraja terlalu yakin kemenangan, mereka tidak akan melihat kemungkinan adanya siasat lain seperti yang kita gunakan. Mengejar pasukan kita dianggapnya sama dengan mengejar gerombolan kecil seperti anggapan mereka selama ini. Jika ia dapat menumpasnya ia akan merasa memperoleh kemenangan akhir. Mereka menganggap sudah dapat memporakporandakan lawan. ~ Itu siasat bagus. Menurut telik sandi, pasukan Kediri yang dipimpin langsung oleh panglima Gubar Baleman berjumlah satu haksoini. ~ Berapapun jumlah mereka, kalau mereka sudah sampai di Ganter, mereka akan terkaget-kaget dengan ribuan umbul-umbul perang yang tiba-tiba kita tampakkan di sepanjang lereng bukit yang mengitari lembah Ganter. Cara ini akan membuat nyali lawan menjadi ciut dan panik merasa terkepung dari segala arah. Saat itulah gelombang besar orang-orang kita akan turun bukit menghabisi mereka. ~ Kau yakin itu berhasil? ~ Tentu paman. ~ Bagaimana dengan panglima mereka? ~ Aku tidak akan menunggu lama-lama, segera kutantang satu lawan satu untuk menyabung nyawa denganku! Kekalahan panglima akan meruntuhkan mental para pasukannya. Sebaliknya akan memperkuat kepercayaan diri dan daya juang orang-orang kita. ~ Mengapa secepat itu? ~ Iya seperti paman ketahui sendiri. Sebagian besar orang kita hanyalah penduduk desa yang hanya punya keberanian, tetapi Sentot Prihandajani Sigito
55
sama sekali belum punya pengalaman bertempur di medan perang. Kalau aku biarkan mereka berlama-lama bertempur, kita akan mendapati orang-orang kita itu banyak yang jatuh korban. Itu tidak kuuinginkan, karena gelombang peperangan berikutnya tentu akan menyusul. Pendekar tua, paman guru baginda itu mengangguk-angguk memuji muridnya ketika mendengar siasat yang akan digelar oleh Sang Amurwabhumi. Ki Sampar angin melihat baginda sebagai muridnya telah mencapai kemajuan luar biasa tidak saja dalam elmu kanuragan tetapi juga dalam menyusun siasat perang semesta.
56
Siasat Ganter
Terpancing Masuk Perangkap
Ketika pasukan kutaraja sampai di hutan Rajeg, sejumlah telik sandi Kediri terlihat berlari-lari menghentikan laju pasukan. ~ Ada apa ini? (kata panglima Gubar Baleman) ~ Ampun gusti panglima, kami berhasil mengendus keberadaan lawan. ~D i mana mereka? ~D i pinggiran hutan Rajeg, gusti. Rupanya mereka sedang pasang giri (berjaga-jaga) di sekitar hutan itu. ~ Berapa jumlah mereka? ~ Sekitar dua ratus orang. ~ Hem ….benar dugaanku. Mereka tidak lebih dari gerombolan kecil. Tangkap mereka! Ringkus orang-orang Tumapel itu! ~ Sendika dhawuh. Hei prajurit, kepung hutan ini! Jangan sampai ada yang lolos! Serentak ribuan prajurit itu menyebar untuk menyisir hutan Rajeg. Gerakan pasukan kutaraja menimbulkan suara kegaduhan yang diketahui oleh pasukan Tumapel. Pimpinan regu pasukan Tumapel berkata: ~ Kau dengar suara gaduh itu? ~ Iya, kudengar suara ribut di sekitar pinggiran hutan ini. ~ Sekarang saatnya kita lari sebelum mereka sampai di tempat ini. Setelah agak jauh kita pancing lagi agar terus mengejar kita. ~ Baik, kita lari ke arah selatan. ~ Mengapa ke arah selatan? 57
~ Mereka pasti tidak mengira, sebab ke arah selatan adalah arah menuju kutaraja. Mereka pasti berpikir dengan jumlah pasukan yang seratus orang ini tidak mungkin menyerbu kutaraja. Setelah beberapa lama mengobrik-abrik isi hutan Rajeg, pasukan kutaraja mendapati lawan sudah meninggalkan tempat itu lebih dahulu. Panglima Gubar Baleman hanya mendapati gubukgubuk reyot dan sisa-sisa perapian yang ditinggalkan. Panglima itu dengan gusar berkata: ~ Bedebah! Mereka sudah mengendus kedatangan kita. Kita kejar mereka! ~ Baik, gusti. Hei..prajurit hayo kita kejar mereka! ~ Itu mereka! Hayo kita rangket pemberontak itu! (salah seorang prajurit menunjuk serombongan yang sedang bergerak ke arah selatan). Kejar mengejar terjadi di daerah Pucang Laban (sekarang desa Nglaban) dan padhang Datar (sekarang dukuh Datar). Prajurit Tumapel sempat bertempur dengan pasukan kutaraja. Setelah beberapa saat, prajurit Tumapel tampak terdesak karena jumlah pasukan sangat tidak seimbang. Pimpinan pasukan Tumapel berteriak: ~ Lari! Seketika seratus orang pajurit Tumapel itu berlarian meninggalkan gelanggang pertempuran, lari ke arah barat sampai di dekat candi Kriti Jayastamba, kemudian menyidat jalan ke barat daya sampai desa Kurawan (kini desa Ngrawan) terus naik-turun bukit menuju desa Liman (sekarang desa Ngliman). Sementara prajurit kutaraja beramai-ramai memburu orang-orang Tumapel yang berlarian ke arah daerah perbukitan itu. Prajurit Tumapel ketika lolos dari pengejaran mereka, pimpinan prajurit itu berkata: 58
Terpancing Masuk Perangkap
~ Kita harus pancing mereka untuk masuk ke dalam perangkap. Setelah kita sampai di Ganter, kita tantang mereka berperang! Hayo kita pancing lagi. ~ Hei prajurit! Lihat mereka ada di depan kita. Hayo kejar mereka! (kata pimpinan pasukan kutaraja). Pertempuran kecil terjadi, setelah beberapa saat pasukan Tumapel kembali meninggalkan gelanggang lari dari pertempuran menuju ke lembah Ganter. Pimpinan pasukan Tumapel itu memerintahkan pasukannya untuk memukul genderang keras-keras untuk mengundang perhatian pasukan kutaraja yang sedang mengejarnya. ~ Kurang ajar, mereka ingin menjajal kekuatan kita! Hayo kita turun ke lembah Ganter! Sorak-sorai gumuruh suara prajurit Kediri menelasak hutan, naik bukit-turun bukit untuk segera sampai di lembah Ganter. Sesampainya di desa Liman sebagai desa terakhir yang berbatasan dengan lembah Ganter, panglima Gubar Baleman terlihat agak ragu melihat medan yang akan dituju. Panglima itu melihat lembah itu cukup curam yang empat penjurunya dikelilingi oleh bukit-bukit terjal. Sementara pimpinan pasukan Tumapel terus melontarkan sesumbarnya keras-keras: ~ Hei….orang-orang kutaraja! Kami tidak akan lari lagi! Apa kau kini tidak berani melawan kami? Panglima Kediri itu terasa panas telinganya mendengar sesumbar orang-orang Tumapel, tanpa berpikir panjang panglima itu memerintahkan pada pasukannya menuruni lembah Ganter itu. ~ Hayo kita bantai kaki-tangan pemberontak itu! Seribu orang pasukan Kediri yang berpakaian seragam itu berlarian menuruni bukit menuju lembah Ganter. Tampak umbulSentot Prihandajani Sigito
59
umbul perang dan bendera kerajaan berkelebat-kelebat diterpa angin ketika prajurit yang membawanya lari menuruni lembah Ganter. Setelah seluruh pasukan kutaraja itu berada di dasar lembah itu ternyata mereka tidak menemukan seorang prajurit Tumapel pun. Ketegangan mulai merayapi pikirannya, mereka kini dihantui kekhawatiran adanya jebakan dan serangan mendadak. ~H ei orang-orang Kediri! Sekarang kalian boleh saja membantai kami, tetapi coba lihatlah apa yang ada di atas bukit-bukit itu! (kata pimpinan pasukan Tumapel sambil tangannya menunjuk ke arah bukit-bukit yang mengitari lembah Ganter). Seketika pasukan kutaraja kaget begitu melihat bukit-bukit yang mengitari lembah Ganter itu, sebelumnya dalam keadaan tenang seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan, kini terlihat berpuluh-puluh ribu umbul-umbul perang berjajar dan bendera Tumapel berkelebatkelebat dibarengi suara kenthongan dan tambur-genderang yang ditabuh bertalu-talu. Menimbulkan suara dan prebawa yang menggetarkan lawan. ~ Hei orang-orang kutaraja, jangan anggap kami tidak punya pasukan seperti yang kalian. Lihatlah! Jumlah kami berlipat-lipat dibanding kalian! Sekarang kekuatan kita seimbang! Hayo kita bertempur sampai titik darah penghabisan! (ketika pimpinan pasukan Tumapel berhenti sesumbar, tangannya meraih sangkakala dan meniupnya keras-keras. Seketika dari balik bukit-bukit muncul berpuluh-puluh ribu orang berlari menuruni bukit sambil berteriak-teriak menyumpahi prajurit kutaraja. Gerakan orangorang itu sangat beringas seperti orang yang kesetanan. Kejadian ini membuat prajurit kutaraja menjadi gentar menghadapi puluhan ribu manusia yang mengamuk bagaikan bantheng ketaton itu. Pertempuran tidak bisa dielakkan. Tusuk menusuk, tendang dan 60
Terpancing Masuk Perangkap
saling terjang, pukul memukul sangat gaduh, gemerincingnya suara pedang beradu, teriakan prajurit yang terkena senjata lawan dan sebagainya). Panglima Gubar Baleman yang berdiri di atas batu agak menonjol sambil berkacak pinggang dalam hati berkata: ~ Bedebah! Kurang ajar, kita telah dijebak di lembah ini. Baik, hadapi mereka dengan gagah berani! Kita pasukan terbaik di Jawadwipa! Jangan mundur setapak pun dari palagan. Cincang gerombolan pengacau itu! Perang campuh terjadi sangat ramai. Riuh rendah suara orang-orang Tumapel yang bertempur seperti orang kesetanan. Pasukan kutaraja terlihat mulai terdesak oleh amukan dan keganasan orang-orang Tumapel yang bertempur penuh amarah dan dendam. Pasukan kutaraja kini sudah terkepung rapat, tidak akan dapat lari meninggalkan arena, mereka tidak bisa lolos menembus barisan pertahanan Tumapel yang begitu rapat memagari mereka. Akibatnya mental prajurit kutaraja mulai dihinggapi ketakutan, semangatnya menjadi kendhor. Mereka akhirnya yang lengah menjadi santapan empuk bagi senjata lawan, karena daya juangnya terus merosot, gerakannya menjadi lamban karena dihantui kepanikan. Apalagi mengetahui teman-temannya satu persatu roboh. Pikiran pasukan kutaraja menjadi kacau balau. Keadaan ini membuat orang-orang Tumapel semakin leluasa untuk menebar kematian, berpesta kemenangan. Panglima Gubar Baleman berusaha sekuat tenaga untuk bertahan. Ia mengamuk bagaikan singa lapar. Pedangnya membabat lawan dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh pandangan mata. Sang Amurwabhumi mengetahui orang-orangnya banyak roboh dibabat pedang panglima. Ia segera memasuki arena pertarungan sambil berteriak menantang panglima Sentot Prihandajani Sigito
61
Kediri yang berbadan kekar itu. ~ Hei panglima! Jangan hanya berani dengan orang-orang kecil. Kalau kau berani lawanlah aku. Akulah yang kalian cari selama ini, kalau kau seorang ksatria hadapilah aku! ~ Bedebah kau Arok! Aku akan membawa kepalamu untuk kupersembahkan pada baginda Kertajaya. ~ Ho..hoo…..hoooooo! Bersiaplah, kau akan pulang hanya nama! Panglima itu membuka jurus-jurusnya kemudian mencoba menyerang lawan yang diam-diam sudah melambari pukulan dan tendangannya dengan tenaga dalam. Pertarungan mulai tampak seru ketika panglima Gubar Balemen sudah melancarkan lebih dari dua puluh jurus tetapi tidak satu pun yang mengenai sasaran. Sebaliknya baginda Sang Amurwabhumi sambil bertahan mengamati satu demi satu jurus yang dilancarkan dengan hebat oleh panglima Gubar Baleman. Perhatian senopati Kediri itu terpecah karena pasukannya mulai tampak kocar-kacir terdesak hebat. Jeritan demi jeritan pasukan Kediri yang roboh sangat mempengaruhi ketenangan panglima. Sementara korban berjatuhan semakin tak terbilang. Ketika senopati itu perhatiannya lengah, sebuah tendangan maut tepat mengenai ulu hatinya. Seketika ia terhuyung-huyung ke belakang. Tetapi ia segera mengatur kudakudanya. Ia mencoba menyerang dengan elmu Kelabang Sayuta, elmu andalan dari pertapan Penampihan. Ketika ia mengeluarkan pengabaran elmu itu, seakan-akan dari kedua telapak tangannya keluar berjuta-juta kelabang yang siap menyerbu lawan. Waspada serangan lawan, sang Amurwabhumi segera mengambil posisi merapatkan kedua tangannya, ia menangkis serangan senopati Kediri itu dengan elmu Rajawali sakti pemberian paman gurunya Ki Sampar angin. Jleg! Sang Amurwabhumi 62
Terpancing Masuk Perangkap
berubah menjadi burung rajawali. Burung rajawali sakti itu secepat kilat melesat mengarahkan serangannya pada mata lawan. Dalam waktu secepat kilat, senopati itu tidak mampu mengelak sambaran burung buas itu, akibatnya kedua matanya terluka terkena cakaran-nya. Mengetahui lawannya terluka dan kini berdiri terhuyung-huyung sambil berteriak-teriak kesakitan, kesempatan itu tidak dilewatkan oleh Sang Amurwabhumi. Sekali tebas leher senopati itu terlepas dari badannya. Panglima Gubar Baleman gugur! Panglima Kediri gugur! (teriak pimpinan pasukan Tumapel diikuti oleh sorak sorai ribuan prajurit Tumapel) Mengetahui lawan roboh, sang Amurwabhumi berkata dengan lantang: ~ Hei orang-orang Kediri, lihatlah panglima kalian sudah binasa! Sekarang kau terus melawan kami atau menyerah! ~ Kalau kalian menyerah, akan kuampuni. Tetapi kalau tidak, kalian akan bernasib sama seperti panglima kalian itu! Kata-kata Sang Amurwabhumi itu benar-benar menggetarkan lawan. Pasukan kutaraja mendengar kata-kata Sang Amurwabhumi itu seperti terkena kekuatan sihir seakan tidak berdaya lagi. Mereka diam terpukau, ia kini tidak mampu lagi meneruskan peperangan, semangat dan daya juangnya telah merosot tak tersisa ketika mengetahui panglimanya telah tewas dalam keadaan mengenaskan. Kini mereka merasa ibarat masuk perangkap, seperti ikan kutuk yang tersunduk, akan lari tidak bisa, mau melawan terus juga akan binasa. Mereka terbersit untuk menyerah, tetapi itu sebuah pengkhianatan sebagai seorang prajurit. Pimpinan pasukan Kediri itu kini tidak menghiraukan sisa pasukannya menyerah pada lawan. Ia ingin bertempur sampai titik darah penghabisan. ~ Hei ..kau pimpinan pasukan Kediri! Lihatlah anak buahmu kini Sentot Prihandajani Sigito
63
sudah menyerah semuanya. Apa gunanya kau amuk punggung (bahasa Jawa yang artinya membabi-buta) seperti itu? Sekarang kau pilih mana, tetap hidup atau kami binasakan! ~ Aku tidak gentar menghadapi kalian perampok-perampok! Lebih baik aku mati berkalang tanah daripada menyerah pada orangorang macam kamu! ~ Baik! Sekarang lihatlah pasukan panah itu sudah menghadangmu! ~ Lakukan yang kau mau, aku tidak sudi menyerah! Tita pimpinan pasukan Tumapel itu memberikan aba-aba pada pasukan panah untuk melepaskan anak panahnya serentak. Seketika ratusan panah melesat cepat seperti kilat disertai suara desingan keras mengarah pada pimpinan pasukan Kediri. Pimpinan pasukan Kediri itu masih mencoba untuk menangkis anak panah dengan pedangnya sambil berjumpalitan ke udara, tetapi panah-panah itu tetap dapat menjilat tubuhnya. Tangkisan itu kian melemah ketika anak panah itu semakin banyak menancap pada seluruh bagian tubuhnya. Kini seluruh tubuhnya teranjap, tak ubahnya seperti binatang Landhak. Sementara ia mencoba berjalan tetapi sebentar kemudian terlihat terhuyung-huyung dan akhirnya roboh di tanah bersimbah darah. Seketika pasukan Tumapel bersorak sorai membahana mengetahui orang-orang yang menjadi tulang punggung pasukan kutaraja itu satu persatu roboh di palagan. Kini tidak lagi perlawanan yang berarti. Sang Amurwabhumi memerintahkan beberapa orang prajurit Kediri yang masih hidup. ~ Hei kalian kemari! Sekarang pulanglah kalian ke kutaraja, laporkan pertempuran ini pada rajamu! Kedua orang itu segera pergi meninggalkan palagan Ganter menuju kutaraja Kediri lari tunggang langgang meninggalkan palagan Ganter. 64
Terpancing Masuk Perangkap
Berita Duka Pertama
Baginda prabu Kertajaya dihadap oleh segenap punggawa tinggi kerajaan, Patih Durandaka, Tumenggung Mahisa Walungan, Mpu Aditya, Mpu Narayana dan lainnya. Ketika sedang berwawansabda tiba-tiba dikejutkan kedatangan seorang abdi pacalan dan dua orang prajurit pembawa berita dari peperangan yang kini akan menghadap. ~ Ada apa? (baginda bertanya) ~ Ampun beribu ampun baginda prabu, hamba membawa berita duka dari palagan Ganter; ~ Apa! Katakan, cepat! ~ Panglima Gubar Baleman gugur di medan perang. ~ Oh….Dewata Agung! Ia gugur melaksanakan tugas dharma sebagai ksatria. ~ Bagaimana bisa terjadi seorang panglima gugur? Sepertinya tidak mungkin, bukankan yang dihadapi hanyalah segerombolan petani yang kena hasut? (kata Mpu Aditya setengah menyindir baginda). ~B ukan segerombolan tuanku, tetapi berpuluh-puluh ribu orang ibarat seperti rayap sedang berpesta makanan. Betapa pun gagah beraninya prajurit-prajurit Kediri tetapi menghadapi orang yang jumlahnya berlipat-lipat akhirnya kewalangan juga. (kata prajurit yang melapor) ~ Tutup mulutmu! Kau tidak berhak memberi penjelasan. (bentak baginda) ~ Ampun beribu ampun baginda prabu. Hamba mohon diri. Tugas hamba sudah selesai. (kata prajurit pembawa berita itu sambil 65
berjalan undur diri). ~ Cepat pergi! (bentak baginda kesal terhadap prajurit pembawa berita peperangan). Pembawa berita itu meninggalkan balaiurung istana, sementara pembicaraan masih tetap berlangsung. ~ Jangan terlalu cemas, Aditya, Narayana. Kau sebagai penasehatku sepertinya tidak percaya dengan kekuatan pasukan kutaraja. Tumenggung Mahisa Walungan akan segera dapat mengurus para petani yang kena hasut itu. Gugurnya Gubar Baleman hanya karena kesialan saja. Tidak ada yang salah dengan pasukan kita. Jangan khawatir! (kata baginda meyakinkan). ~ Mahisa Walungan! Sekarang kamu kuperintahkan mengurus petani-petani yang kena hasut itu! ~ Baik, kanda prabu. ~ Setelah usai perang ini, kita harus benar-benar mencincang Lohgawe brahmana dari Jambudwipa itu! (sekarang India). Aku merasa semua ini gara-gara ulahnya menyusupkan ular beludak itu menjadi pimpinan pasukan pengawal melalui akuwu Tunggul ametung. Hanya karena keluruhan budi akuwu, rencana Lohgawe itu berjalan mulus. Kini semuanya sudah terbukti berbalik, dia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya. (Mpu Narayana) ~ Aku kira dari dia juga datangnya gagasan membebaskan rakyat dari pajak-pajak kutaraja. (kata Mpu Aditya) ~ Itu gagasan gila! Bagi seorang pemimpin itu berarti menggali lubang kuburnya sendiri. Dari mana ia akan menggaji para punggawa? Prajurit mana yang sudi bertempur tanpa mendapatkan upah? Sungguh gagasan yang tidak masuk akal. Hanya pada saat-saat pertama saja petani-petani ini mau mengangkat senjata, nanti pada waktu musim turun sawah mereka akan berhenti bertempur, karena 66
Berita Duka Pertama
mereka tahu jika terus bertempur ia akan mati kelaparan. (kata Baginda) ~ Sungguh sulit dipercaya. Kalau tidak gila mereka itu dikatakan apa? (sahut Mpu Aditya) ~ Gila atau bodoh mereka harus bayar mahal di Kediri ini. (kata Baginda jengkel) ~ Seruan bebas pajak benar-benar membius rakyat Tumapel dan Kediri seperti menikmati angin surga, benar-benar menyihir mereka tetapi orang-orang bodoh yang kena hasut itu akan segera sadar bahwa dirinya ditipu oleh raja penyamun itu. (kata Mpu Narayana). ~A pa yang membuat petani-petani itu hilang kesetiaannya pada baginda? (kata Mpu Aditya) ~A ku tidak tahu, tetapi yang jelas mereka telah berubah. Mereka tidak saja terbius janji bebas pajak tetapi beralih tuntutan untuk merdeka lepas dari kekuasaan Kediri. Kita gagal dalam memahami kehidupan mereka. (kata Mpu Narayana) ~ Tidak! Kita tidak gagal. Merekalah yang akan gagal mewujudkan keinginannya. Pasukan kita akan membalik impian mereka menjadi tangis kekalahan. (sahut baginda Kertajaya). ~ Tetapi gugurnya panglima Gubar Baleman akan memperkuat daya juang dan keyakinan mereka, gusti. (kata Mpu Aditya) ~ Gugurnya Gubar Baleman mungkin memberikan mereka kemenangan pertempuran tetapi selanjutnya mereka tidak akan memenangkan akhir peperangan ini (tandas baginda sambil meninggalkan paseban agung).
Sentot Prihandajani Sigito
67
Pertemuan Di Kaputren
Sepekan sudah keberangkatan pasukan kedua yang dipimpin Tumenggung Mahisa Walungan, baginda raja Kertajaya ketika itu sedang berada di dalam udyana kaputren tempat tinggal permaisuri. ~ Dinda tidak perlu cemas, Tumenggung Mahisa Walungan akan cepat menyelesaikan urusan petani yang terkena hasut itu. ~ Kanda terlalu meremehkan lawan. Sejak pertama dinda sudah mengingatkan hal itu berkali-kali. Kata kanda mereka hanya petani yang kena hasut, tetapi nyatanya saudara tuaku kakang Gubar Baleman gugur. Apakah ini bukan suatu bukti kalau kanda salah perhitungan? ~ Iya, tetapi kanda sudah mengirimkan pasukan yang lebih besar dipimpin oleh adikku sendiri tumenggung Mahisa Walungan. ~ Dinda tidak bermaksud meremehkan kekuatan pasukan yang kanda terjunkan di palagan, tetapi ketahuilah kanda! Siasat mereka benarbenar tidak dapat diduga sebelumnya, sementara mereka sudah sangat tahu dengan siasat pasukan kutaraja. Akibatnya mereka begitu mudah mempermainkan pasukan kutaraja. ~ Tetapi percayalah dinda ratu, kali ini Mahisa Walungan sebagai senopati yang sudah makan asam-garamnya palagan akan segera dapat mengatasi pemberontakan orang-orang Tumapel itu. ~ Terserah kanda saja, hanya dinda merasa orang-orang Tumapel itu akan menjarah kutaraja. ~ Kekhawatiran dinda terlalu berlebihan. Mereka tidak lebih dari gerombolan orang-orang lapar terkena hasutan Ken Arok. Permaisuri Dewi Amisani tersenyum kecut (ampang, bahasa 69
Jawa) mendengar kata-kata baginda yang pandangannya belum terbuka melihat kenyataan yang terjadi sebenarnya. Permaisuri berkata: ~ I ya, sebagai isteri dinda hanya bisa mengigatkan kalau orang-orang Tumapel itu akan menguasai singgasana paduka. ~ Dinda, kanda tidak senang dengan kata-kata itu, karena hal itu tidak mungkin terjadi. (kata baginda setengah membentak). ~ Bagi dinda, tidak ada yang mustahil di dunia ini. Cuma satu permintaanku pada kanda, dinda hanya ingin hidup tenang dengan kanda untuk selamanya walau kanda tidak lagi menjadi raja. ~A pa alasan dinda berkata seperti itu? ~ Lawan begitu percaya diri menembus tlatah pertahanan kutaraja yang kini mendirikan pakuwon di Ganter, buat apa mereka melakukan semua itu kalau tidak punya maksud merebut kekuasaan kutaraja. Ibarat perang ia sudah memenangkan setengahnya. Selangkah lagi ia akan memenangkan peperangan. Baginda terdiam sepertinya sedang merenung, berbagai alasan yang telah dikatakannya kepada permaisuri rupanya tidak mempan meredakan kekhawatirannya. Bahkan kini permaisuri balik bertanya yang nadanya mementahkan rencana dan pandangan baginda. Baginda berkata sambil melangkah meninggalkan puri kaputren. ~ Kanda akan mengadakan pasewakan agung hari ini. ~K ukira tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, kanda. Roda kereta perubahan dari Tumapel itu kini sudah menggelinding menuju kutaraja, bahkan dinda dari tempat ini sudah mendengar suara deritan rodanya. ~ I tu mustahil dinda. ~ Itu akan segera terbukti, kanda. 70
Pertemuan Di Kaputren
Berita Duka Kedua: Geger Pasewakan Agung
Salah seorang pembawa berita dari palagan Ganter datang terburu-buru memasuki balairung istana sambil menangis. ~ Apa yang terjadi? (kata baginda) ~ Celaka, gusti prabu. Gusti Tumenggung Mahisa Walungan dan Gusti Patih Durandaka. (kata pembawa berita) ~ Ada apa dengan mereka? Cepat katakan! ~ Mereka gugur di palagan. (kata abdi pembawa berita pelan terbatabata) ~ Oh….Dewata penguasa jagad raya! (pekik baginda kaget, wajahnya seketika berubah pucat menyiratkan sebuah kepanikan) Berita kematian kedua punggawa tinggi yang menjadi agul-agul kekuatan pasukan kutaraja ini benarbenar membuat baginda bingung kehilangan arah. ~ Kejadian ini tidak dapat dibiarkan! (kata Mpu Aditya) ~ Orang-orang Tumapel itu kini bersorak sorai kesetanan seperti kesetanan setelah menyaksikan gugurnya Tumenggung Mahisa Walungan dan patih Durandaka. Pasukan kutaraja yang tersisa keadaanya kocar-kacir menjadi sasaran amuk. Pasukan mereka seperti air bah, bergerak seperti ombak, datang seperti gelombang, bersorak-sorai bagai jilatan api dan sesumbar seperti halilintar, gusti. Tidak lama lagi mereka tentu akan bergerak menuju kutaraja. (kata pembawa berita peperangan gemetaran) ~ Bedebah! Memangnya siapa dia? (kata baginda Kertajaya) ~ Ken Arok yang menyebut dirinya Sang Amurwabhumi mengaku 71
titisan Bathara Guru, Gusti. Ia turun dari kahyangan untuk mengadili paduka. ~ Tutup mulutmu! Kau lancang sekali berbicara di hadapan rajamu. Pergi! (bentak baginda mengusir abdi pacalan pembawa berita) Sejenak baginda berjalan mondar-mandir sepertinya sedang memikirkan sesuatu, sekali-kali terlihat mengepalkan tangannya, kemudian berkata: ~H em………aku sendiri yang akan menghadapi mereka sebelum mereka sampai di kutaraja!. Bagaimana pendapatmu sebagai penasehat? (kata baginda pada Mpu Narayana dan Aditya) Kedua orang penasehat itu terdiam sesaat malah terlihat berdiri termangu sepertinya bersiap akan meninggalkan balairung istana. Baginda bertanya sekali lagi dengan nada setengah membentak: ~ Mpu Narayana, Aditya kau mau pergi kemana? ~ Mengungsi, gusti prabu. (katanya sambil agak celingukan) ~ Kini, tidak ada lagi tempat untuk mengungsi, segala penjuru kutaraja sudah terkepung, yang ada hanya tekad segenap jiwaraga untuk perang puputan. (tandas baginda) ~ Ampun gusti prabu, hamba masih punya keluarga, jadi hamba harus ungsikan di tempat aman. (kata dua orang penasehat itu segera meninggalkan balairung tergesa-gesa tanpa mempedulikan baginda seorang diri) Banginda Kertajaya terkejut mendengar kata-kata kedua orang penasehatnya, dadanya terasa sesak dan nyeri hebat seperti didhodhog (dipukul keras) melihat ulah Mpu Narayana dan Mpu Aditya yang selama ini menjadi penasehatnya ternyata berjiwa pengecut. Selama ini mereka sering mengkipas-kipasi untuk segera menggempur Tumapel, tidak tahunya ketika keadaan 72
Berita Duka Kedua: Geger Pasewakan Agung
menjadi kacau seperti ini ia lari dari tanggung jawab, kelihatan sifat memen-tingkan dirinya sendiri lebih kuat, tidak mau bela negerinya yang kini nasibnya diujung tanduk. Baginda tidak menyangka orang-orang yang selama ini dipercaya ternyata tidak sudi berkorban, baginda merasa telah memilih orang yang salah. Baginda merasa tertipu dengan kesetiaan penasehatnya yang sebenarnya hanya pura-pura itu. Mereka begitu tega meninggalkan rajanya meng-hadapi serbuan musuh seorang diri. ~ Hei prajurit siapkan kerataku! ~ Sendika gusti prabu. Baginda berangkat ke palagan Ganter diiringi ribuan pasukannya. Kini seluruh pasukan dikerahkan untuk menumpas pemberontakan Tumapel. Tetapi mereka berperang tanpa siasat, ibaratnya sudah masuk perangkap. Mereka hanya didorong untuk segera melampiaskan kemarahannya pada lawan yang telah merenggut tiga orang punggawa tinggi kepercayaannya Panglima Gubar Baleman, Tumenggung Mahisa Walungan dan Patih Durandaka telah gugur di medan laga sebagai ksatria Dahana Pura.
Sentot Prihandajani Sigito
73
Perang Puputan
Sang Amurwabhumi, Ki Samparangin, brahmana Lohgawe, Bango Samparan orang tua angkat Sang Amurwabhumi, Tita dan segenap pendekar-pendekar gerakan Tumapel merdeka berkumpul di pertapaan Candrageni sebuah pertapaan yang letaknya tidak jauh dari lembah Ganter. ~ Dalam waktu tak lama Kertajaya akan terpancing datang dengan bala tentara penuh (kata Ki Sampar angin) ~ Mengapa begitu, paman ? ~ Karena istana kutaraja sedang terbakar oleh berita kematian orangorang kepercayaannya. (kata Ki Samparangin). ~ Aku tahu, paman. ~ Kau tahu, letak kekuatan Kertajaya. ~ Maksud paman? ~ Kertajaya tidak dapat terbunuh dengan senjata apapun. ~ Darimana paman tahu hal itu? ~ Pada gelar yuda pasukan Kediri setahun lalu, Kertajaya memamerkan kekebalan tubuhnya dari senjata seampuh apa pun. ~ Aku tidak gentar menghadapinya. ~ Aku memang tidak menyuruhmu gentar? ~ Maksud paman apa? ~ Aku hanya menyuruhmu mencari tahu titik lemah dari kekebalannya. ~ Apakah hal itu penting dalam perang puputan ini ? ~ Kukira penting, seorang raja yang kebal dari senjata tentu akan memperkuat daya juang pasukannya. ~ Benar kata paman. Lalu bagaimana? 75
~ Sekarang paman bertanya kepadamu. Apa kekuatan yang membuat kamu memperisteri ratu Ken Dedes? ~ Iya, aku cinta dia, paman. Tetapi aku tidak mengerti arah pembicaraan, paman. ~ Tentu saja kamu belum mengerti. Nanti kau akan tahu sendiri. ~ Baiklah. Kuserahkan hal itu kepada paman saja. ~ Bagaimana pasokan makanan bagi pasukan? (kata Bango Samparan pada Tita) ~ Tidak masalah, bapa. Kemarin kita berhasil menjarah cadangan makanan pasukan kutaraja. (kata Tita) Di tengah-tengah pembicaraan terlihat beberapa orang prajurit lari tergopoh-gopoh menghadap. Napasnya masih terlihat terengah-engah, dadanya bergerak turun-naik, sesaat kemudian Sang Amurwabhumi berkata: ~ Ada apa? ~ Pasukan kutaraja datang, kali ini dipimpin langsung oleh raja Kertajaya, kini sudah sampai Pacekan (sekarang Pace). ~ Bagus, biarkan pasukan mereka menuju palagan ganter. (kata baginda) ~ Musuh kali ini berbeda dengan sebelumnya, gusti. Mereka mengerahkan seluruh pasukan terbaiknya. (kata pembawa berita) ~ Aku tahu itu, sekarang kau boleh pergi. ~ Tita! Aku butuh beberapa orang prajurit, syukur kalau ada prajurit Kediri yang sudah takluk dalam peperangan sebelumnya. (pinta Ki Sampar angin) ~ Tita! Siapkan apa yang diperlukan paman Sampar angin. (tukas baginda) ~ Baik, bapa. (kata Tita meninggalkan tempat mengikuti Ki Sampar angin). 76
Perang Puputan
Kini pasukan kutaraja sudah memasuki desa Liman, tidak lama lagi akan mencapai lembah Ganter. Dari jarak jauh, kedatangan pasukan kutaraja ini sudah dapat diketahui. Mereka sengaja membuat gaduh de-ngan memukul segala macam bunyibunyian agar lawan terpengaruh dan menjadi miris nyalinya. Sang Amurwabhumi dengan tenang mengamati pergerakan pasukan lawan dari tempat ketinggian yang tersembunyi. Kedatangan pasukan kutaraja di Ganter disambut dengan teriakan ejekan pasukan Tumapel. ~ Hei Dhandhang gendis, kau ini seorang raja tetapi tidak punya panglima perang! Bukankah seorang panglima ibarat bebahu kanan dan kirimu kini telah gugur? Kau juga tak punya penasehat yang kini telah meninggalkanmu! Bagaimana mungkin kau akan menang? ~ Tetapi aku tetap ksatria utama Panjalu, pewaris tahta dari maharaja Sri Aji Jayabaya, tidak akan gentar menghadapi penyamun seperti raja kalian itu. ~ Ah…….kau bisa berkata begitu karena panglima dan senopatimu sudah pralaya. Kini kau telah kehilangan keduanya. Sebelumnya kau hanya duduk enak-enakan di kutaraja menikmati kemewahan yang kau peroleh dari pajak yang menghisap rakyat. ~ Kurang ajar! Panggil rajamu yang penyamun itu ke sini, akan kupenggal lehernya untuk kujadikan pengewan-ewan di alun-alun kutaraja. ~ Hee……hee…heeeee ! Kau ini raja apa, yang raja penyamun itu adalah kau sendiri. Kau merampok, memeras kami dengan pajakpajak yang berat. Semua itu harus kau tebus hari ini. (ledek salah seorang prajurit Tumapel) ~ Hus …lancang mulutmu!. Kau hanya prajurit biasa! Pantas saja Sentot Prihandajani Sigito
77
perkataanmu rusak, karena kalian dipimpin oleh raja yang bejat itu. ~ Hei raja dungu! Ketahuilah yang melawan kamu bukan hanya orang Tumapel, tetapi juga hampir seluruh kawula Kediri. Mereka sukarela mendukung kami karena benci kepadamu. Kau raja yang sudah kehilangan kebijaksanaan dan hati nurani! Lihatlah berpuluh-puluh ribu orang seperti rayap memenuhi bukit di sebelah selatan itu adalah rakyat Kediri, kawulamu sendiri! Itu semua karena kau tidak tahu kehidupan mereka yang sebenarnya. Kau tidak peka terhadap penderitaannya, kau tidak tanggap pada keinginan mereka, kau tidak berusaha merubah kesejahteraan hidupnya. Kau hanya enak-enakan sendiri di istana, berpesta pora merasa dirimu sudah seperti seorang maharaja. Itulah jadinya, mereka membencimu, mereka kini tidak lagi sudi mendukungmu! Mendengar umpatan prajurit Tumapel itu, baginda Kertajaya menjadi murka, geram, seketika berteriak lantang: ~ Prajurit! Tangkap orang itu! (kata baginda murka tersinggung oleh ejekan orang itu). Berpuluh-puluh prajurit berusaha mengejar orang yang berolok-olok itu, tetapi rupanya gerakannya kalah gesit. Orang itu berlari secepat menjangan diburu harimau, tahu-tahu ia sudah berdiri di ujung batu yang agak tinggi sambil berkata sesumbar. ~ Kertajaya, kau boleh menangkap aku, tetapi lihatlah di lereng-lereng bukit itu ada berpuluh-puluh ribu orang siap menghancurkan pasukanmu. Kini kalian terkepung dari segala arah. Ketahuilah kalian sudah terperangkap jebakan. Tidak ada lagi tempat untuk lolos. Tiba-tiba pasukan Tumapel itu memberi aba-aba pada orang-orang di lereng-lereng bukit itu untuk turun menyerang. ~ Serang! 78
Perang Puputan
Seketika berpuluh-puluh ribu anak panah melesat cepat ke arah pasukan kutaraja. Seribu lebih pasukan Kediri terkena panah itu, sambil jerit kesakitannya terdengar sebelum akhirnya mereka roboh berkelojotan di tanah. Sedangkan raja Kertajaya membiarkan tubuhnya jadi sasaran panah itu. Tidak satu mata panah pun yang dapat melukai raja Kediri yang sakti mandraguna itu. Panah yang mengenai tubuhnya ibarat gigitan nyamuk yang tak berarti. Panah-panah itu tidak mampu melukai baginda Kertajaya. ~ Lancarkan serangan kedua! (seruan pimpinan prajurit Tumapel). Serangan kali ini bukan dengan panah biasa tetapi dengan melontarkan bambu lembing dan panah api. Pasukan kutaraja benar-benar merasa kewalahan kocar-kacir menghadapi serangan yang bertubi-tubi itu. Palagan Ganter kini berubah menjadi ajang pembantaian bagi prajurit-prajurit Kediri. Akhirnya korban berjatuhan tak terbilang banyaknya, mereka roboh terkena panah api dan banyak yang mengerang kesakitan tertembus bambu lembing sampai belikatnya. Ibaratnya Palagan Ganter banjir darah dan tak terbilang jumlah korban yang jatuh berserakan seperti babadan pacing. ~ Kalau begini caranya, pasukanku lambat laun akan habis diperdaya oleh lawan. Sekarang lebih baik pasukan kutarik mundur, raja penyamun itu akan kutantang satu lawan satu. (kata Baginda Kertajaya) ~ Mundur!……………Mundur semua! Seluruh pasukan ditarik mundur! ~ Hei Ken Arok! Kau jangan enak-enak bersembunyi di balik rerimbunan hutan. Turunlah ………aku menantangmu jika kau memang ksatria! (tantang baginda Kertajaya). ~ Hei Kertajaya! Kau benar-benar raja yang dungu! Ingatlah! Jangka Sentot Prihandajani Sigito
79
Jayabaya kakekmu mengatakan, Kediri akan runtuh ketika menghadapi perang besar melawan Tumapel. Tidak tahukah kau? Mengapa kau tidak percaya pada jangka yang ditulis oleh leluhurmu sendiri! Kata-kata Sang Amurwabhumi itu tidak saja terdengar keras dan menggema, tetapi juga sempat menggoyahkan daya juang pasukan kutaraja. Raja Kediri itu juga sempat terkesiap wajahnya teringat isi jangka dari kakeknya Sri Aji Jayabaya itu yang sangat dipercaya kebenarannya oleh seluruh kawula Kediri itu. Rasa takut sempat terbersit menyelimuti perasaanya ketika mendengar ucapan Sang Amurwabhumi yang dilambari tenaga dalam yang sempurna itu. Tetapi ia cepat-cepat menyadarkan dirinya untuk kembali siaga. ~ Setiap titah menjalani takdirnya sendiri-sendiri. Kau tidak usah mengguruiku, apalagi menyebarkan rasa takut dengan ramalanramalan seperti itu. Hayo sekarang turunlah dari tempat persembunyianmu, perlihatkan batang-hidungmu! Hadapi aku sebagai seorang ksatria! ~ Baik! Saksikan kedatanganku! (tiba-tiba dari kejauhan terdengar deru suara angin menderu sangat kencang. Kini angin topan itu benar-benar menghantam seluruh pasukan kutaraja Kediri disertai sambaran petir yang sangat dahsyat). Prajurit-prajurit kutaraja miris ketakutan melihat daya kehebatan Sang Amurwabhumi, kedatangannya saja sudah disertai prahara angin topan dan petir yang menyabar-nyambar seperti amukan seokor naga langit. Banyak pasukan kutaraja yang terhempas prahara angin dan kepala membentur batu padhas yang akhirnya mati sekarat mengenaskan. Sebagian lagi hangus terbakar tubuhnya akibat sambaran petir. Sungguh pemandangan mengerikan! 80
Perang Puputan
~ Kau boleh saja memamerkan kedigdayaanmu setinggi langit, tetapi aku tidak gentar menghadapimu! Kau tetap tidak akan bisa mengalahkanku! (sumbar baginda Kertajaya). ~ Bohong! Kau hanyalah manusia biasa, kau pasti akan binasa. Pertempuran kini berkobar hebat, suara gemerincingnya pedang beradu membuat telinga seperti disebit-sebit, jeritan prajurit yang terkena senjata lawan membuat palagan Ganter sebagai perang terdahsyat dari perang-perang sebelumnya. Bagi kutaraja Kediri maupun Tumapel, perang Ganter adalah perang puputan yang akan menentukan siapa yang kuat dialah yang akan menang dan berkuasa, sebaliknya siapa yang kalah akan binasa. Tanpa terasa matahari sudah memasuki senjakala, pada pertempuran hari pertama pasukan Kediri dan Tumapel masih terlihat seimbang, tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Tiba-tiba sangkakala berbunyi keras sebagai tanda berakhirnya pertempuran pada hari itu. ~ Hei pasukan Tumapel, hari ini pertempuran kita sudahi. Besok pagi kita lanjutkan! (teriak Ki Sampar angin) Pasukan Kediri boleh berkemah di dekat air terjun Bagiratri! (kata Ki Sampar angin keras bergema memenuhi relung-relung sudut lembah Ganter). Suara itu benar-benar dilambari kekuatan tenaga dalam yang sempurna.
Sentot Prihandajani Sigito
81
Gugurnya Sang Dhandhang Gendis
Ketika malam tiba, Sang Amurwabhumi masih terjaga di depan api unggun mencari kehangatan. Perapian itu cukup hangat untuk dapat mengusir hawa dingin yang mulai terasa menusuk tulang. Sementara bulan setengah purnama terlihat di balik bukit. Perlahan Ki Sampar angin berjalan mendekat dan menepuk bahu muridnya. ~ Oh……paman. ~ Kau perlu istirahat, biarlah paman yang jaga pakuwon ini. ~ Aku belum ngantuk. ~ Kau tentu masih terbawa memikirkan Kertajaya. Sang Amurwabhumi menghela napas agak dalam, pandangan matanya masih menatap nyala api unggun di depannya. Tangannya yang memegangi ranting kering itu mencoba mengorek-orek api unggun agar nyala apinya besar kembali. Dari wajahnya terlihat kalau baginda Sang Amurwabhumi sepertinya sedang membolakbalik pikirannya untuk dapat menyingkap tabir rahasia kekebalan raja Kertajaya. Cukup lama baginda Sang Amurwabhumi merenung, tetapi tidak juga menemukan jawaban atas pertanyaan paman gurunya. Baginda beberapa saat terdiam, kemudian berkata: ~ Aku sendiri heran, tidak satu pun senjata dan elmu kadigdayaanku mempan dan dapat melukai dirinya. ~ Bukannya kemarin telah kukatan kalau raja itu tak mempan senjata apapun. Kau tahu sebabnya? Sang Amurwabhumi hanya menggelengkan kepala lirih. 83
~ Itulah sebabnya ia tak mempan dengan serangan-seranganmu. ~ Apa sebabnya paman? ~ Karena ia masih memegang kuat rahasia tali-hidupnya. Baginda Sang Amurwahbumi mengangguk-angguk kecil mendengar kata-kata gurunya, walau sebenarnya Sang Amurwabhumi belum dapat mengerti sepenuhnya apa yang dikatakan oleh gurunya, tetapi ia segera berkata: ~ Bukankah itu tugas paman? ~ Iya. Aku akan menggunakan sandiyuda, lihatlah dalam pertempuran besok! Apa yang akan terjadi? Ia akan kehilangan daya pengikat hidupnya. Baginda Sang Amurwabhumi mengangguk-angguk kecil, dalam hatinya percaya terhadap siasat yang akan digunakan gurunya. Siasat yang akan menentukan hasil akhir dari sebuah perang puputan. Peperangan yang akan menentukan kemenangan dan kekalahan. Peperangan yang akan pemenangnya akan berkuasa dan yang kalah akan tersingkir.
84
Gugurnya Sang Dhandhang Gendis
Geger Istana Kaputren
Seorang dhayang istana kaputren, mengetuk pintu perlahan: ~ Gusti permaisuri ada abdi pembawa berita mau menghadap. ~T unggulah di wisma Manganti! (kata permaisuri dari balik pintu) ~ Sendika dhawuh, gusti permaisuri. Beberapa saat kemudian, permaisuri Dewi Amisani berjalan diiringi dua orang dhayang istana. Wajah wanita yang berusia setengah baya itu walau masih terlihat cantik dan anggun tetapi menyiratkan sebuah kesedihan dan kekhawatiran yang sulit diungkapkan. ~ Kalian prajurit Kediri? ~ Kasinggihan gusti permaisuri, kami membawa berita dari peperangan. (kata salah seorang yang berpakaian prajurit Kediri) ~ Apa yang terjadi dengan junjungan kalian paduka raja? ~ Kami tidak sanggup mengutarakannya gusti. ~ Katakan saja apa yang terjadi? ~ Hamba hanya dapat menyelamatkan mahkota baginda ini, gusti. (kata prajurit itu sambil membuka kain penutup pada sebuah bungkusan yang berupa mahkota yang kelihatannya persis seperti yang dipakai oleh baginda Kertajaya) ~ Apa? Katakan yang jelas! (kata permaisuri agak memekik) ~ Ampunkan hamba gusti putri, baginda prabu Kertajaya telah gugur di medan laga. Mendengar penuturan keempat prajurit itu seketika pandang-an matanya kabur, bumi yang dipijaknya serasa terbalik akhirnya per85
maisuri jatuh kantaka tak sadarkan diri beberapa saat. Tetapi tak lama kemudian terlihat kembali siuman. Dalam ingatannya permaisuri terbayang kata-kata terakhir yang dikatakan kepada baginda suaminya sebelum berangkat ke medan perang. Pada saat itu aku mengatakan pemberontak Tumapel itu akan menduduki kutaraja. Tetapi kata-kataku itu tidak mampu menahan baginda untuk tidak turun tangan sendiri dalam peperangan, sekuat apapun aku mencegahnya, baginda tetap saja pergi ke palagan. Sekarang baginda telah tiada, tidak ada gunanya lagi aku hidup tanpa baginda. Perlahan tangan permaisuri itu meraih pusaka cis (patrem kecil) yaitu senjata rahasia yang diselipkan di balik kembennya dan dengan gerakan secepat kilat menghujamkan tepat ke ulu hatinya. Kedua dhayang itu menjerit mengetahui junjungannya roboh kantaka bersimbah darah. Keempat prajurit yang masih berada di tempat itu segera menghunus senjata cis yang tertancap di ulu hati sang permaisuri itu dan membungkusnya dengan selendang yang dikenakan permaisuri. Salah seorang prajurit itu berkata kepada dhayang. ~ Cepat angkat jenasah gusti permaisuri ke dalam. Rawatlah! Panggil brahmana untuk memimpin upacara pujalokabaka! Keempat prajurit berseragam prajurit Kediri itu segera meninggalkan istana kaputren dan segera menggebrak lari kudanya secepat kilat menuju ke lembah Ganter. Keempat kuda itu menyeruak di antara prajurit yang sedang bertempur, kemudian mendekati baginda Kertajaya yang sedang bertempur menghadapi Sang Amurwabhumi. Mereka menyeruak pasukan yang sedang bertempur. ~ Baginda prabu kami ingin menyampaikan berita dari kutaraja. (teriaknya di tengah suara riuh rendahnya pertempuran) ~ Ada apa? 86
Geger Istana Kaputren
~ Ampun gusti prabu, gusti permaisuri ……….! ~ Ada apa dengan gustimu permaisuri? ~Ampunkan hamba tidak kuasa menyampaikan berita duka ini pada paduka. ~ Katakan saja apa yang terjadi? (bentak baginda Kertajaya). ~ Gusti permaisuri telah berpulang ke Dewalaya. ~ Oh! Tidak mungkin ……itu tidak mungkin. Ini pasti berita bohong! ~ Ampun gusti prabu, hamba bersedia dihukum pancung kalau berkata dusta. (kata pembawa berita itu). ~ Apa buktinya? (kata baginda) Prajurit pembawa berita itu tangannya mengeluarkan bungkusan yang diselipkan dari balik bajunya dan memperlihatkan kedua benda itu kepada baginda. Sebuah senjata cis (patrem, bahasa Jawa) yang tampak berlumuran darah dan selendang yang biasa dipakai oleh permaisuri isterinya tercinta. Baginda Dhandhang Gendis mengamati kedua benda itu dan tidak salah lagi bahwa keduanya milik isterinya, seketika pandangan mata baginda menjadi kabur, pikirannya menjadi kacau-balau, bumi yang dipijak terasa limbung berguncang-guncang seperti terbalik, jiwa baginda tidak mampu menerima kenyataan kalau sang permaisuri telah tiada. Ia merasa tidak lagi memiliki daya hidup lagi, ia tidak ingin melihat matahari terbit di ufuk timur lagi setelah isteri tercintanya kini benar-benar telah berpulang ke dewaloka. Kini baginda dalam keadaan bingung, limbung dan tidak berdaya. Wajahnya seketika berubah pucat, badannya terasa gemetaran lemas, keringat dinginnya mengalir deras membasahi sekujur tubuh. Keadaan baginda itu tidak lepas dari pengamatan baginda Sang Amurwabhumi yang berada tak jauh dari tempat Sentot Prihandajani Sigito
87
itu. Ki Sampar angin memberi isyarat kepada baginda untuk memanfaatkan kesempatan itu. Tanggap atas isyarat itu baginda Sang Amurwabhumi segera meraih sebuah tombak trisula yang bermata tiga itu. Tombak trisula itu melesat cepat bagaikan kilat mengarah pada baginda. Baginda Kertajaya yang keadaannya sudah limbung itu tidak waspada atas serangan itu dan akhirnya: Jress, tombak tri sula itu menembus dada baginda dan ujungnya sampai menembus belikat. Baginda roboh palastra (meninggal di medan laga) karena sebelumnya tali hidupnya telah putus mendengar kematian permaisuri Dewi Amisani. Seketika sorak-sorai pecah membahana seakan membelah antariksa. Palagan Ganter dipenuhi oleh riuh-rendahnya sorak mawaruan. Prajurit dan kawula Tumapel berjingkrak-jingkrak kegirangan, bersuka cita atas kemenangan. Mereka menari-nari sambil melambaikan umbul-umbul perang dan bendera Simayana lambang kerajaan Tumapel seperti orang kesetanan. Mereka larut dalam kemenangan yang gilang gemilang. Sementara Ki Sampar angin menepuk bahu Sang Amurwabhumi sambil berkata: ~ Kau sekarang tahu sendiri buktinya, kekuatan cinta dapat menjadikan seorang mampu bertahan hidup. Tetapi putusnya ikatan cinta akan menjadikan seorang sekebal apapun akan binasa. ~P aman sungguh seorang ahli siasat perang yang tidak tertandingi di Jawa dwipa ini. Aku sama sekali tidak menduga siasat paman begitu sempurna. Aku tidak mengira hanya dengan mahkota palsu, Dhandhang Gendis menjadi prayala. ~ Hua ha ha haa! Dhandhang Gendis kau berperang hanya menggunakan pikiran jumud, merasa dirimu kuat, besar meremehkan lawan. Kau berperang hanya pongah melihat dirimu sendiri, tetapi tidak melihat siasat lawan. Kau menganggap siasat lawan akan 88
Geger Istana Kaputren
tetap kau kalahkan. Itulah kejumudanmu. Kau sebenarnya sudah kalah sejak awal. ~ Pamanlah yang mematahkan siasat mereka! ~ Ah…… kau jangan lagi menyanjungku. ~ Tidak paman. Sandiyuda (siasat perang) pamanlah yang sebenarnya menjadi kunci kemenangan peperangan ini. Sang Amurwabhumi berjalan menuju tempat agak tinggi, memberi isyarat tangan untuk menenangkan pasukannya yang larut dalam kegembiraan. Seketika suara riuh-rendah kegembiraan itu senyap (sirep, bahasa Jawa). Sang Amurwabhumi berkata dengan tenang tetapi penuh wibawa: ~ Hei seluruh kawulaku Tumapel dan Kediri! Hari ini kita semua mencapai kemenangan yang gilang-gemilang. Kemenangan ini adalah berkat kalian semua! Hari ini juga kita akan bergerak menuju kutaraja! Tinggalkan palagan ganter ini, kita kuasai kutaraja Kediri! Bongkar gudang makanan, bagikan kepada rakyat yang kelaparan! Bongkar rumah perbendaharaan istana! Bagikan pundipundinya kepada seluruh pasukan kita yang telah berjasa! ~ Hidup Sang Amurwabhumi! (pekik salah seorang prajurit) ~ Hiduuup! (ribuan orang menyambutnya dengan bersorak membahana) . ~ Tumapel merdeka! (pekik salah seorang) ~ Tumapel jaya! (ribuan orang menyahut dengan suara riuh-rendah) Ribuan orang berjalan berarakan sambil tak henti-hentinya memukul genderang bertalu-talu menuju kutaraja Kediri. Mereka berjingkrak-jingkrak menari, menyanyi kegirangan menumpahkan suka cita. ~ TAMAT ~
Sentot Prihandajani Sigito
89
Indeks A akuwu 1, 4, 9, 10, 12, 21, 28, 66 Amisani 43, 70, 85, 88 Amurwabhumi 18, 19, 20, 21, 23, 25, 31, 33, 40, 41, 49, 53, 54, 56, 61, 62, 63, 64, 72, 75, 76, 77, 80, 83, 84, 86, 87, 88, 89 angkasa 1, 19, 20 Anjasmara 31 Aruntapa 9, 10
D dewa 9, 17 dewaloka 1, 87 dinda 43, 44, 45, 46, 69, 70 Dwipa 37, 46 E entheng 42, 43
G Ganter 32, 40, 41, 54, 55, 58, 59, 60, 64, 65, 70, 71, 73, 75, 77, 79, 81, 86, 88 B gemblung 40 Baboji 5 Gendhis 43, 44 Baleman 22, 28, 29, 40, 46, 47, Gubar 22, 28, 29, 39, 40, 46, 49, 50, 55, 57, 58, 59, 61, 47, 49, 50, 55, 57, 58, 59, 62, 63, 65, 66, 67, 69, 73 61, 62, 63, 65, 66, 67, 69, brahmana 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 13, 73 14, 15, 27, 28, 44, 45, 46, gusti 21, 22, 23, 27, 36, 47, 48, 53, 66, 75, 86 49,50, 57, 58, 67, 71, 72, 73, 76, 85, 86, 87 C cinta 44, 76, 88 H haksoini 22, 25, 45, 47, 55
91
J Jawadwipa 14, 31, 47, 61 Jayabaya 39, 77, 80
58, 59, 60, 61, 63, 64, 66, 69, 70, 71, 72, 75, 76, 77, 79, 80, 81, 86, 89
L K Lohgawe 2, 3, 5, 6, 7, 13, 18, Kawiraja 31 28, 53, 66, 75 kawula 1, 17, 18, 19, 20, 23, 24, M 26, 28, 31, 32, 33, 35, 36, miris 77, 80 37, 41, 46, 49, 51, 53, 54, 78, 80, 88 N Keboijo 4, 9, 12 negeri 15, 19, 31, 32, 36, 37, Kediri 1, 14, 15, 16, 19, 20, 21, 42 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 35, 36, 37, 39, P 41, 42, 45, 47, 48, 49, 50, padepokan 2, 13 51, 53, 55, 57, 59, 60, 61, pakuwon 1, 2, 3, 5, 9, 12, 13, 62, 63, 64, 65, 67, 75, 76, 14, 17, 21, 24, 28, 32, 41, 78, 79, 80, 81, 85, 86, 89 50, 70, 83 Ken Dedes 5, 6, 13, 76 Panjalu 77 Kertajaya 14, 15, 16, 19, 22, permaisuri 43, 44, 46, 69, 70, 23, 43, 45, 47, 54, 62, 65, 85, 86, 87, 88 67, 69, 71, 72, 75, 76, 78, Prajurit 2, 36, 37, 41, 54, 58, 79, 80, 81, 83, 85, 86, 87, 78, 80, 87, 88 88 kutaraja 1, 9, 10, 14, 15, 16, 17, R 18, 21, 22, 23, 24, 25, 26, raja 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 28, 29, 31, 32, 33, 35, 36, 21, 23, 25, 28, 33, 36, 42, 37, 39, 40, 42, 43, 44, 45, 43, 44, 45, 48, 54, 67, 69, 46, 47, 49, 50, 51, 54, 57, 70, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 92
Indeks
83, 85 rajawali 20, 62 Rajawali 62 Rajeg 54, 57, 58 Ranggah 18, 21, 23
Tumenggung 27, 29, 65, 66, 69, 71 ,73 W Wilis 32, 51
S Samparangin 39, 75 sandiyuda 84 satu haksoini 55 sendawa 1 senopati 62, 63, 69 Sri 18, 21, 23, 39, 77, 80 Subaluh 31, 32, 33, 41, 48, 49, 50 suksma 9 T Tita 2, 5, 15, 16, 25, 32, 64, 75, 76, 77 Tumapel 1, 2, 4, 9, 12, 13, 14, 15, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 31, 32, 33, 35, 36, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 49, 50, 51, 53, 54, 57, 58, 59, 60, 61, 63, 64, 67, 69, 70, 71, 73, 75, 77, 78, 79, 80, 81, 86, 88, 89 Sentot Prihandajani Sigito
93