Laporan Kasus PAKOMATOSIS PIGMENTOVASKULARIS TIPE IIB DAN SINDROM STURGE WEBER Meike Woran, Nurdjannah J. Niode, Agnes Kartini Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Sam Ratulangi/RSUP Prof. dr. R.D. Kandou Manado ABSTRAK Pakomatosis pigmentovaskularis (PPV) dan sindrom Sturge Weber (SWS) merupakan kelainan vaskular kutan, jarang dijumpai, biasanya timbul sejak lahir. Phakomatosis pigmentovaskularis ditandai dengan nevus flammeus/port wine stain (PWS) dan nevus pigmentosus (Mongolian spot). Sindrom Sturge Weber adalah sindrom neuro-okulokutaneus disertai PWS pada cabang oftalmikus nervus V. Seorang anak perempuan, berusia 2 tahun 4 bulan, dirujuk dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. dr. RD. Kandou Manado dengan bercak merah di wajah, badan, tungkai bawah kiri; bercak biru kehitaman di perut dan punggung, membesar dengan bertambahnya usia. Tungkai kiri lebih besar dibandingkan tungkai kanan. Semua keluhan dialami sejak lahir. Pasien mengalami kejang sejak 2 hari sebelumnya. Pemeriksaan fisis menunjukkan makula eritematosa berbatas jelas, multipel, ukuran plakat di regio fasialis, koli, skapularis, dan kruris sinistra. Selain itu makula hiperpigmentasi berbatas jelas, multipel, ukuran plakat di regio skapular dan lumbal. Terdapat hipertrofi kruris sinistra. Pemeriksaan CT-scan menunjukkan kalsifikasi girus dan angioma subdural. Electroencephalography menunjukkan fokus lambat dan iritatif di temporal kiri. Pasien diberi luminal 2x25mg, parasetamol 3x100mg , cefotaxime 3x600mg, gentamisin 2x35mg, deksametason 3x1,5mg. Diagnosis PPV tipe IIb dan SWS ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan radiologis. Pengobatan PPV-SWS bertujuan mengontrol kejang, kelainan neurologis lain, mata, dan kosmetik. Edukasi mengenai perjalanan penyakit dan komplikasi (gangguan vaskular, otak dan mata) penting dilakukan sedini mungkin.(MDVI 2014; 41/1:25 - 31) Kata kunci: phakomatosis pigmentovaskularis, sindrom sturge weber, vaskular kutaneus
ABSTRACT
Korespondensi : Jl. Raya Tanawangko Malalayang 95115 Telpon : 0431-838287 Email :
[email protected]
Phakomatosis pigmentovascularis (PPV) and Sturge Weber Syndrome (SWS) is a rare cutaneus vascular disorder, commonly occurred since born. PPV is characterized by nevus flammeus or port wine stain (PWS) and nevus pigmentosus (mongolian spot). SWS is a neuro-oculocutaneus syndrome with PWS which damage the ophtalmic branch of the 5th nerve. A 2 years and 4 months old girl, hospitalized in Pediatric ward of RSUP Prof.dr.R.D.Kandou Manado with red plaques on the face, body and left leg, noticeable blue blackish plaques on the abdomen and the back which were increasing in size parallel with age. Abnormal leg's size were congenital, left leg is bigger than right leg. Seizure episode were reported 2 days before hospital admission. The symptoms congenitally appeared. The physical examination revealed erythematous multiple macules, discrete, facial plaque (PWS), as well as coli, scapularis and sinistra cruris plaques. Hyperpigmented macules, discrete, plaque in size scapularis and lumbalis (mongolian spot). Left leg existed hypertrofi. CT-scan showed a gyrus calcification and subdural angioma. EEG described an abnormal result of irritative delayed focus on the left temporal. Luminal 2x25 mg, paracetamol 3x100 mg, cefotaxime 3x600 mg, gentamycin 2x35 mg , dexamethasone 3x1,5 mg were administered. The diagnosis of PPV IIb type and SWS was based on the clinical features and radiology evaluation. Treatment of PPV and SWS aim to control the seizure, neurologic disorder, eyes abnormality and cosmetic. Education on the progress of disease and the complication must be done in early time.(MDVI 2014; 41/1:25 - 31) Key words: Phakomatosis pigmentovascularis, sturge weber syndrome, cutaneus vascular
25
MDVI
PENDAHULUAN Phakomatosis pigmentovascularis (PPV) merupakan sindrom malformasi vaskular kulit yang ditandai dengan malformasi kapiler atau nevus flameus atau port wine stain (PWS) dan kelainan pigmentasi berupa nevus pigmentosus.1 Kelainan ini jarang ditemukan, dan pertama kali dijumpai oleh Ota.2 Sindrom Sturge-Weber (SWS) merupakan sindrom neuro-okulokutaneus dengan malformasi kapiler atau PWS yang menyerang cabang oftalmikus nervus V.2 Diociauti dkk. pada tahun 2005, menemukan sebanyak 75 - 85% PPV yang bersamaan dengan SWS dan atau sindrom KlippelTreunaunay (KTS).3 Malformasi vaskular ini tersebar sporadis meskipun pada beberapa kasus ditemukan pola pewarisan, mengenai sekitar 0,3% populasi dunia, paling banyak di Jepang dan anak-anak berkulit hitam.1,3 Insidens PPV di Meksiko tahun 2003 adalah 1 dalam 22.000 populasi, sedangkan insidens SWS di Amerika Serikat 1 dalam 50.000 populasi.4 Etiologi malformasi vaskular belum diketahui. PPV diduga terjadi akibat gangguan perkembangan embrionik neural crest berupa penyimpangan regulasi neural pembuluh darah dan migrasi abnormal melanosit.4 SWS kemungkinan terjadi akibat gangguan neuroektoderm otak yang berpengaruh pada jaringan otak sekitarnya.5 Kedua kelainan ini diduga terjadi pada minggu ke-4 sampai ke-10 kehamilan.3 PPV terbagi dalam 4 tipe (tipe Ia/b - IVa/b) sedangkan SWS dibagi dalam 3 tipe (tipe I-III). 1,4 Diagnosis PPV dan SWS berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan histopatologis, radiologis, serta pemeriksaan oftalmologis. 1,2 Pengobatan PPV disertai gejala sistemik SWS, bertujuan mengontrol kejang dan kelainan neurologis lain akibat defek di jaringan otak serta kelainan mata.1,3 Untuk kepentingan kosmetis terhadap PWS dan nevus pigmentosus telah dicoba berbagai cara misalnya terapi konservatif, elektrokoagulasi, tato, dermabrasi, bedah beku dan laser.1 Pencegahan terhadap komplikasi menjadi bagian terpenting terutama untuk kelainan di mata dan otak yang dapat menyebabkan kematian.2,3 Berikut ini adalah satu kasus PPV tipe IIb dan SWS yang baru pertama kali dilaporkan di Bagian Kulit dan Kelamin RSUP Prof. dr. RD. Kandou Manado.6
LAPORAN KASUS Seorang anak perempuan berusia 2 tahun 4 bulan dirujuk dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak, dengan keluhan yang timbul sejak lahir berupa bercak merah di wajah, badan, tungkai bawah kiri; bercak biru kehitaman di perut dan punggung, serta tungkai kiri lebih besar dibandingkan dengan tungkai kanan. Awalnya bercak berwarna merah cerah, lama-kelamaan sebagian menjadi merah tua. Ukuran semula sebesar telapak tangan, bertambah besar seiring
26
Vol. 41 No. 1 Tahun 2014; 25 - 31
bertambahnya usia, memenuhi hampir seluruh wajah, badan dan tungkai bawah. Bercak merah tidak teraba panas, tidak pernah berdarah, tidak gatal, dan tidak nyeri. Bercak biru kehitaman di perut dan punggung juga dialami sejak lahir, bersamaan dengan timbulnya bercak merah. Awalnya bercak ini berukuran sebesar telapak tangan orang dewasa, kemudian bertambah besar sesuai pertumbuhan badan pasien dan teraba lebih tebal. Bercak tidak gatal, tidak nyeri, dan tidak pernah berdarah. Keluhan-keluhan ini belum pernah diobati. Tungkai bawah kiri pasien berukuran lebih besar dibandingkan tungkai bawah kanan, sejak lahir. Akibat keluhan ini pasien belum dapat merangkak, berdiri dan berjalan. Dua hari lalu pasien mengalami kejang yang didahului panas tinggi dan batuk pilek, namun tidak disertai mulut berbusa. Pasien diberi obat penurun panas, panas turun tetapi kejang tetap terjadi, sehingga pasien dibawa ke Ruang Gawat Darurat Anak Rumah sakit Prof.dr. R.D Kandou Manado, dan diberi obat anti kejang dan penurun panas. Pasien kemudian dirawat di bagian Rawat Inap Anak, dan dikonsulkan ke bagian Kulit dan Kelamin untuk kelainan kulitnya. Pada riwayat kehamilan ibu pasien mengalami tekanan darah tinggi sejak usia kehamilan 5 bulan sampai melahirkan, mendapat nifedipin 2x1 tablet dan vitamin 1x1, namun tidak terdapat riwayat kejang. Pasien lahir melalui operasi caesarea dalam usia kehamilan 38 minggu. Saat lahir bayi langsung menangis, berat badan lahir 2500 gr dan panjang badan 52 cm. Mendapat ASI eksklusif sampai usia 5 bulan, dilanjutkan dengan susu formula dan makanan lunak sampai sekarang. Riwayat imunisasi lengkap. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan, mengalami keterlambatan. Dalam keluarga, tidak ada yang sakit seperti ini. Pada pemeriksaan fisis, ditemukan hipertrofi tungkai kiri dengan ukuran lingkar paha 22 cm dan lingkar betis 18 cm, sedangkan lingkar paha kanan 18 cm dan lingkar betis kanan 14 cm; status gizi dan status generalis lain dalam batas normal. Status dermatologis menunjukkan makula eritematosa, berbatas jelas, ukuran numular sampai plakat, berbentuk seperti pulau, suhu normal pada perabaan (port wine stain/ nevus flameus) pada regio oksipitalis, fasialis, koli, skapular dan lumbal, kruris serta plantar pedis sinistra. Makula hiperpigmentasi, berbatas jelas, berukuran plakat, bilateral, suhu hangat pada perabaan (mongolian spot) terdapat di regio pektoralis, skapular dan lumbal. Hasil pemeriksaan laboratoris darah rutin ditemukan leukositosis, dan elektrolit dalam batas normal. Pemeriksaan CT-Scan kepala menunjukkan lesi hipodensal subkalvarial fronto temporal kiri dan kanan serta temporo parietalis kiri disertai kalsifikasi girus. Ventrikel kiri dan kanan melebar menandakan angioma subdural. Hasil rekaman EEG abnormal dengan fokus lambat, iritatif di temporal kiri. Hasil konsultasi dengan bagian neurologi dikatakan anak kejang demam kompleks, suspek sepsis, delayed development, konjungtivitis okular dekstra, nevus flameus dan SWS. Hasil konsultasi dengan bagian mata: tidak ada peningkatan
M Woran, dkk.
Pakomatosis pigmentovaskularis tipe IIB dan sindrom Struge Weber
Gambar 1 dan 2. Port wine stain di regio fasialis dan koli
Gambar 3, 4, 5. Port wine stain tumpang tindih dengan mongolian spot
Gambar 6, 7, 8. Port wine stain serta hipetrofi kruris dan plantar pedis sinistra
tekanan intraokular dan tekanan intrakranial. Bagian Ilmu Kesehatan Anak memberi terapi antikonvulsan luminal 2 x 25 mg, dan parasetamol 3 x 100 mg untuk demam. Antibiotik yaitu sefotaxim 3 x 600 mg dan gentamisin 2 x 35 mg diberikan untuk kemungkinan infeksi
otak atau suspek ensefalitis. Deksametason 3 x 1,5 mg diberikan sebagai antiinflamasi. Penanganan khusus di bidang dermatologi belum dilakukan. Dua hari setelah pasien pulang rawat, pasien mengalami kejang berulang dan meninggal.
27
MDVI
PEMBAHASAN PPV adalah sindrom malformasi kutaneus yang ditandai dengan malformasi kapiler dan gangguan pembentukan melanosit sejak lahir.4,5 Istilah ini pertama kali digunakan oleh Ota dkk. pada tahun 1947 untuk pasien dengan gambaran nevus flameus atau port wine stain (PWS) yang ekstensif, nevus pigmentosus luas dan mongolian spot yang persisten.1,7 PPV banyak dijumpai pada kulit berwarna yaitu etnis Asia (lebih kurang 90-98%) , Afrika (lebih kurang 90%) dan Spanyol (lebih kurang 70%).4 Lebih banyak dijumpai pada perempuan dari pada laki-laki dengan pebandingan 1,7 : 1.5 Kasus ini ditemukan pada pasien perempuan usia 2 tahun 4 bulan, dari suku Sanger. Etiologi dan patogenesis PPV belum diketahui. Ruiz Maldonado dkk. menduga PPV disebabkan oleh beberapa faktor patogen misalnyai obat-obatan dan virus yang toksik terhadap sistem saraf, menyebabkan iritasi terhadap beberapa klon angioblas dan melanoblas sehingga berproliferasi dalam bentuk ekstensif pada trimester pertama kehamilan.4 Haipel dan Steijlen berpendapat bahwa teori twin spot dapat menjelaskan kelainan vaskular dan pigmentosus pada PPV, yaitu dua mutasi resesif yang berbeda muncul pada tiap kromosom pasangan yang sama, di lokus stem cell yang berbeda, satu untuk lesi pigmentasi dan satu untuk lesi vaskular.4,7 Pada masa embrio dapat terjadi rekombinasi somatik atau somatic crossing over sehingga satu stem cell berubah secara homozigot untuk pembentukan pigmentasi dan vaskular yang menyebabkan timbulnya nevus pigmentosus berupa mongolian spot dan PWS.3,4 Pada kasus ini, meskipun terdapat riwayat pemakaian obat anti hipertensi selama kehamilan, namun tidak dapat dipastikan keterkaitannya dengan kelainan ini. PPV diklasifikasikan ke dalam 4 tipe yaitu: tipe I subtipe a/b: nevus flameus dan nevus pigmentosus atau verukosus, tipe II subtipe a/b: nevus flameus dan mongolian spots dengan atau tanpa nevus anemikus, tipe III subtipe a/b: nevus spilus atau nevus lentiginous dengan atau tanpa nevus anemikus, tipe IV subtipe a/b: nevus flameus, mongolian spot, nevus spilus, dengan atau tanpa nevus anemikus. Subtipe a untuk kelainan yang terbatas di kutaneus dan subtipe b jika terdapat kelainan sistemik yaitu SWS, dan atau KTS, serta nevus Ota atau melanosis okulokutaneus.1,4,8 PPV tipe II merupakan jenis yang paling sering ditemukan (sekitar 80%) sedangkan tipe I, III dan IV jarang ditemukan. 2,4 Sekitar 50% jumlah PPV yang dilaporkan merupakan PPV tipe II b, disertai kelainan sistemik dan berhubungan dengan SWS dan atau KTS. 4,5 Diagnosis PPV tipe II b berdasarkan adanya PWS atau nevus flameus dan mongolian spot dengan atau tanpa nevus anemikus, disertai gejala sistemik SWS dan atau KTS dan nevus Ota.1 Pada kasus ini terdapat PWS di kulit kepala, wajah, leher, punggung dan tungkai bawah kiri sejak lahir, berbentuk seperti pulau, tersebar sesuai dermatom dan
28
Vol. 41 No. 1 Tahun 2014; 25 - 31
bertambah besar sesuai pertumbuhan. PWS adalah bentuk malformasi kapiler yang paling banyak ditemukan saat lahir dan tidak hilang spontan.2,7,9 PWS timbul di semua tempat termasuk mukosa, terutama di wajah dan leher (sekitar 81%), ditandai dengan perubahan warna kulit merah muda sampai merah anggur, dengan bentuk serupa pulau dan tersebar menurut dermatom, tidak nyeri, tidak pernah berdarah spontan dan tidak hangat pada perabaan. 2,3,6 PWS berkembang secara normal sesuai perkembangan endotel normal dan ukurannya sesuai besar tubuh.1,9 Pada pasien ini terdapat pula mongolian spot yang luas di dada, punggung sampai batas atas bokong, sedangkan nevus anemikus tidak ditemukan. Mongolian spot adalah kelainan pembentukan pigmen yang ditandai dengan perubahan warna kulit biru sampai kehitaman, di daerah lumbosakral dan gluteus saat lahir atau minggu pertama kehidupan, dapat menghilang spontan pada usia empat tahun atau persisten.1,4,5,8 Nevus anemikus adalah kelainan vaskular kongenital dengan gambaran klinis berupa makula hipopigmentasi berbentuk bulat atau oval, disebabkan oleh penurunan sensitivitas pembuluh darah terhadap bahan vasokonstriktor.1,2 SWS merupakan sindrom neuro-okulokutaneus yang ditandai dengan angioma kutan yaitu malformasi kapiler atau PWS ipsilateral wajah pada persarafan nervus trigeminus cabang oftalmikus (V1) dan cabang maksilaris (V2), malformasi vaskular atau angioma leptomeningen dan korteks serebri ipsilateral serta angioma pada koroid. 2,4,10 SWS dapat ditemukan secara lengkap berupa PWS, kelainan susunan saraf pusat dan kelainan mata, tetapi dapat juga tidak lengkap.10 Roach dan Scale mengklasifikasikan SWS dalam tiga bentuk yaitu bentuk I: angioma fasial/PWS dan angioma leptomeningen dengan atau tanpa glaukoma, bentuk II: angioma fasial/PWS dengan atau tanpa glaukoma, bentuk III: angioma leptomeningen tanpa glaukoma. 10 Sebanyak 8-33% SWS bermanifestasi klinis sebagai PWS yang tersebar di kulit kepala, wajah, leher, dan semua tempat termasuk mukosa.1,4,5 Pada kasus ini PWS yang luas tersebar di kulit kepala bagian frontal dan oksipital, di hampir seluruh wajah kecuali sklera; leher, punggung dan sebagian bokong bagian atas serta tungkai bawah sampai telapak kaki kiri. PWS di atas mata sampai kulit kepala menunjukkan risiko tinggi terkena SWS yang menyerang nervus V1 dibandingkan PWS di daerah bawah mata yang menyerang nervus V 2 dan 3.2 Tallman melaporkan dari 310 pasien, sekitar 91% dengan PWS yang tersebar di mata dan di atas mata berhubungan dengan kelainan neurologis atau susunan saraf pusat dan glaukoma.10 Timbulnya PWS tidak selalu mengakibatkan SWS. Laporan Enjolras dkk. berdasarkan penelitian retrospektif pada 106 pasien dengan PWS, hanya terdapat 12 pasien dengan SWS dan 4 pasien dengan glaukoma tanpa angioma.10,11 Menurut Tallman hanya PWS yang tersebar di daerah persarafan nervus trigeminus cabang 1 dan 2 yang menyebabkan SWS.10 PWS dapat tersebar
M Woran, dkk.
Pakomatosis pigmentovaskularis tipe IIB dan sindrom Struge Weber
unilateral (sekitar 86%), namun dapat pula bilateral (sekitar 14%).9,10 Penyebab SWS masih belum jelas, diduga akibat gangguan selama fase embrionik pada tiga jaringan mesektodermal yaitu kulit nasofrontal yang dipersarafi nervus V1, koroid dan leptomeningen yang menyebabkan gangguan sistem neural anterior primordium.2,4,5,10 Pada SWS terjadi kegagalan regresi pleksus vaskular sehingga timbul jaringan vaskular residual yang membentuk angioma di leptomeningen, wajah dan mata ipsilateral.10 Etiologi SWS pada kasus ini belum diketahui. Hubungan antara hipertensi yang dialami oleh ibu pasien selama kehamilan dan kelainan ini belum dapat dijelaskan. Stoll dkk. melaporkan SWS cenderung lebih tinggi pada ibu dengan hipertensi, diabetis melitus, atau epilepsi dibandingkan dengan ibu yang normal, namun kaitannya perlu diteliti lebih lanjut.11 Gejala neurologis timbul akibat dampak sekunder angioma leptomeningen yang biasanya timbul pada usia dua sampai enam tahun, jarang pada usia kurang dari enam bulan.10,12 Kejang atau epilepsi merupakan gejala neurologis yang paling sering timbul (75-90%), akibat iritasi kortikal oleh angioma leptomeningen sehingga terjadi hipoksia, iskemia dan gliosis.7,9,10 Kejang dapat dicetuskan oleh demam, yang bersifat generalisata atau spasme tonik klonik. Bangkitan kejang dapat menyebabkan hemiplegi persisten.10,12 Gejala neurologis lain yaitu hemiparesis dan hemiplegi (25-56%), gangguan pertumbuhan dan keterbelakangan mental (5075%), nyeri kepala (44-62%), dan hipertrofi jaringan lunak (30%).10 Kelainan mata berupa glaukoma (lebih kurang 3071%), buftalmos (30%) serta kehilangan penglihatan.2,4,10,13 Kelainan neurologis yang ditemukan pada kasus ini yaitu kejang berulang yang pertama kali dialami pasien sejak lahir, didahului oleh demam tinggi tanpa keluhan mulut berbuih. Gangguan pertumbuhan dan kognitif ditemukan pada pasien ini. Sampai usia dua tahun pasien belum bisa merangkak dan berdiri, berbicara hanya satu sampai dua kata. Gangguan pertumbuhan diakibatkan oleh gangguan vaskular otak yang menyebabkan kalsifikasi dan atrofi otak.8 Hipertrofi jaringan lunak tungkai bawah kiri dialami pasien sejak lahir sehingga tungkai bawah kiri berukuran lebih besar dibandingkan tungkai bawah kanan. Data dari The SturgeWeber Foundation tahun 2010 menunjukkan bahwa hipertrofi jaringan lunak dijumpai pada 38 dari 164 pasien dengan SWS.10 Kelainan mata belum ditemukan pada pasien ini. Glaukoma merupakan kelainan mata yang paling sering ditemui pada SWS, sejak lahir atau pada semua usia kecuali dewasa.10,13 Lebih kurang 61% pasien SWS mengalami glaukoma pada tahun pertama kehidupan, 24% terjadi pada usia antara lima sampai sembilan tahun dan 15% terjadi pada usia sebelas tahun.13 Pemeriksaan penunjang pada PPV adalah pemeriksaan histopatologi PWS dan mongolian spot yang hanya dilakukan pada kasus yang tidak jelas. 3 Gambaran histopatologis PWS berupa dilatasi kapiler normal pada
papila dan retikular dermis bagian atas dengan jumlah kapiler meningkat.4,5 Pemeriksaan histopatologis PWS pada anak berusia kurang dari 10 tahun sulit mendapatkan gambaran pembuluh darah yang abnormal.9 Gambaran histopatologis mongolian spot berupa melanosit dendritik dengan beberapa pigmentasi melanosom yang bervariasi di retikular dermis yang dalam, dan melanosit tersusun pararel dengan epidermis. 7,8 Gambaran histopatologis nevus anemikus menunjukkan distribusi melanosit dan gambaran struktur pembuluh darah dalam dermis normal.2,3 Pada kasus ini pemeriksaan histopatologis tidak dilakukan karena keluarga tidak bersedia. Pada SWS beragam pemeriksaan radiologis dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis.14 Pemeriksaan foto polos kepala menunjukkan gambaran kalsifikasi tram-line atau tram track yang patognomonis untuk SWS yaitu kalsifikasi girus subkortikal dan paling banyak terletak di regio parietal dan oksipital.11,14 Gambaran patognomonis ini sulit didapatkan pada anak di bawah usia 2 tahun. 14 CTscan (Computed Tomography) lebih sensitif dibandingkan foto polos kepala, dengan gambaran kalsifikasi tram-line atau tram-track yang lebih jelas.7,14 Selain itu CT-scan dapat menunjukkan gambaran atrofi korteks, pembesaran pleksus koroid dan kerusakan blood-brain barrier saat kejang.4,5,14,15 CT-scan dapat dilakukan pada bayi kecuali neonatus.14 Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah jenis pemeriksaan yang lebih sensitif dibandingkan CT-scan, karena dapat menunjukkan lokasi angioma leptomeningen dan peningkatan mielinisasi di sekitar angioma, pembesaran pleksus koroid dan oklusi sinovenosa.11,12,14 Pemeriksaan dengan SPECT (Single photon emission computed tomography) digunakan untuk menilai aliran darah serebral, hiperperfusi atau hipoperfusi di area kalsifikasi.3,4,14 PET (Positron emission tomography) untuk menilai metabolisme khususnya glukosa yang biasanya menurun karena kelainan anatomi hemisfer akibat angioma.10,14,16 EEG diperlukan untuk menentukan daerah fokus kejang atau epilepsi yang biasanya ditandai oleh penurunan aktivitas, serta untuk keperluan tindakan pembedahan.10 Riela dkk. melaporkan keberhasilan mendiagnosis SWS secara dini dan tepat dengan menggabungkan beberapa pemeriksaan radiologis di atas.14 Pemeriksaan darah biasanya tidak menunjukkan kelainan, kecuali terdapat penyakit penyerta.10,14 Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan CT-scan kepala yang menunjukkan kalsifikasi girus dan angioma subdural. Pemeriksaan EEG abnormal dengan fokus lambat, iritatif di temporal kiri, yang menggambarkan epilepsi. Kedua hasil pemeriksaan di atas saling mendukung diagnosis SWS. Pada pemeriksaan laboratoris darah didapatkan peningkatan jumlah leukosit yang menandakan infeksi, sedangkan lainlain dalam batas normal. Hasil pemeriksaan elektrolit dalam batas normal, hal ini menyingkirkan kemungkinan pasien kejang karena gangguan elektrolit. Diagnosis banding PPV IIb dan SWS adalah heman-
29
MDVI
gioma infantil, malformasi arteriovenosa, nevus Ota dan Ito, salmon patch, kejang parsial kompleks, kejang demam kompleks, KTS.1,2,4,5,10 PWS yang tersebar di luar wajah berhubungan dengan kelainan intrakranial seperti pada KTS.1-5,10 PWS dan hipertrofi jaringan lunak tungkai kiri pada pasien ini didiagnosis banding dengan PPV IIb disertai SWS dan KTS yaitu sindrom yang ditandai dengan trias malformasi kapiler berupa PWS atau dapat juga hemangioma, varises vena, dan hipertrofi jaringan lunak dan tulang. Hipertrofi jaringan lunak dan tulang pada KTS terjadi sejak lahir dan berkembang cepat.17,18 Pada kasus ini diagnosis banding KTS belum sepenuhnya dapat disingkirkan, perlu observasi lebih lanjut dengan pemeriksaan radiologis untuk menilai hipertrofi jaringan lunak dan tulang serta timbulnya varises yang hampir selalu ada pada KTS sebelum berusia 12 tahun.18 Kejang yang didahului demam pada pasien ini didiagnosis banding dengan kejang demam kompleks yaitu bangkitan kejang yang didahului demam pada anak berusia kurang dari 4 tahun, namun tidak disertai gejala neurologis lain dan gangguan pertumbuhan serta gambaran EEG normal.10,12,19 Dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang maka kasus ini didiagnosis sebagai PPV tipe IIb dan SWS. Pada SWS pengobatan ditujukan untuk kelainan neurologis, mata dan kosmetik.2,10,20 Pengobatan bertujuan mengontrol kejang atau epilepsi dan glaukoma.13,21 Kejang dapat diatasi dengan pemberian antikonvulsan.10,12,21 Bila tidak menunjukkan respons terhadap antikonvulsan dan kejang berulang-ulang, dapat dilakukan bedah hemisferektomi, reseksi korteks dan kalektomi korpus.13 Kasus berat yang tidak menunjukkan respons terhadap antikonvulsan dan tindakan bedah, dapat dicoba dengan stimulasi nervus vagus.13 Pada glaukoma dapat diberikan karbonik anhidrase oral untuk bayi dan topikal untuk anakanak, beta blocker topikal dan prostaglandin topikal.11 Tindakan bedah dilakukan pada kasus yang tidak responsif terhadap obat-obat antiglaukoma, dengan cara goniotomi, trabekulektomi, trabekulotomi, laser argon trabekuloplasti atau kombinasi. 13,22 Pada kasus ini diberikan terapi antikonvulsan luminal 2 x 25 mg, dan parasetamol 3 x 100 mg untuk demam. Antibiotik diberikan untuk kemungkinan terdapat infeksi otak atau suspek ensefalitis. Deksametason 3 x 1,5 mg diberikan sebagai antiinflamasi. Modalitas terapi PPV tipe IIb dan SWS beragam, pulsed dye laser (PDL) merupakan baku emas untuk PWS.3,7,19 Laser dengan panjang gelombang spesifik 585 nm, durasi pendek 400 ms memberikan hasil baik pada bayi dan anak-anak.10,19 Terapi laser untuk PWS dilakukan jika kejang telah teratasi.2,3 Untuk mongolian spot pernah dilaporkan keberhasilan terapi pada bayi dan anak dengan Q-switched alexandrite laser.10 Modalitas lain untuk PWS dan mongolian spot yang pernah dicoba yaitu elektrokoagulasi, tato, covermark, dermabrasi dan bedah beku.1-3,7,10 Pada kasus ini terapi spesifik untuk kelainan kulit dan vaskular belum dilakukan.
30
Vol. 41 No. 1 Tahun 2014; 25 - 31
Pencegahan komplikasi pada kelainan ini sangat penting, terutama pada SWS. Pencegahan gejala gangguan vaskular otak yaitu kejang, hemiparese atau hemiplegi, gangguan pertumbuhan fisik termasuk gangguan pertumbuhan mandibula dan maksila serta pertumbuhan mental, harus dilakukan segera setelah lahir dan dilanjutkan sampai akhir pubertas. 10-13 Pemeriksaan mata untuk mengontrol glaukoma dan efek yang ditimbulkan berupa kerusakan nervus optikus sampai kebutaan, dilakukan sebulan sekali.11-13 Pada PPV kemungkinan regresi PWS dan mongolian spot sangat kecil, bahkan perkembangan ke arah keganasan pernah dilaporkan, sehingga perlu observasi lebih lanjut.4,5 Komplikasi kosmetik dapat menimbulkan kurang percaya diri pasien, sehingga itu perlu ditangani jika keadaan umum membaik.3 Edukasi mengenai perjalanan penyakit serta komplikasi yang timbul, harus dilakukan sedini mungkin.1-4 Pada kasus ini pengawasan terhadap timbulnya komplikasi tidak dapat dilakukan, karena pasien meninggal dua hari setelah keluar rumah sakit akibat kejang berulang. Prognosis pada kasus ini qua ad vitam : dubia ad malam, qua ad functionam : dubia ad malam, qua ad sanationam: dubia ad malam. SWS bersifat progresif, kejang yang sulit dikontrol memperberat gangguan pertumbuhan dan retardasi mental serta dapat menyebabkan kematian. Glaukoma yang tidak terkontrol akan mengakibatkan kebutaan. 3,10,13,16 DAFTAR PUSTAKA 1. Enjolras O, Mulliken JB. Vascular malformations. Dalam: Harper J, Oranje A, Prose N, penyunting. Textbook of pediatric dermatology. Edisi ke-2. New York: Blackwell Science Ltd; 2000.h. 975-95. 2. Enjolras O, Garzon MC. Vascular stains, malformations, and tumors. Dalam: Einchenfield LF, Frieden IJ, Esterly NB, penyunting. Textbook of neonatal dermatology. Philadelphia: WB Saunders Company; 2007:324-52. 3. Boon ML, Vikkula M. Vascular malformation. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, KatzSI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editor. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: Mc Graw Hill Inc; 2008. h.: 1651-66. 4. Robaee AL, Banka N, Alfadley A. Phakomatosis pigmentovaskularis type IIb associated with sturge weber syndrome. Ped Dermatol. 2004; 21(6): 642-45. 5. Hall BD, Cadle RG, Morrill-Cornelius SM, Bay CA. Clinical report: Phakomatosis pigmentovaskularis: Implication for severity with special reference to mongolian spots associated with sturge weber syndromes. Am J Med Gen. part A; 2007: 3047-53. 6. Data catatan medik penderita rawat jalan Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Prof.Dr. R. D. Kandou Manado tahun 20052009. 7. Atherton DJ, Moss C. Naevi and other developmental defects. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook's textbook of dermatology. Edisi ke-7. Wilkinson: Blackwell science; 2004:15.62-74.
M Woran, dkk.
Pakomatosis pigmentovaskularis tipe IIB dan sindrom Struge Weber
8. Kibbi AG. Congenital dermal melanocytosis (Mongolian spot). eMedicine nevi pigmented; 2010. Tersedia di: http:// www.eMedicine dermatology.com. Diunduh tanggal 9 Mei 2010. 9. Tholpady A. Vascular, capillary malformations. eMedicine Pathology and laboratory medicine; 2010. Tersedia di: http:/ /www.eMedicine dermatology.com. Diunduh tanggal 9 Mei 2010. 10. Takeoka M. Sturge weber syndrome. eMedicine Specialties pediatric neurology; 2010. Tersedia di: http://www.eMedicine dermatology.com . Diunduh tanggal 9 Mei 2010. 11. Stoll C, Alembik Y, Dott B, Roth M.P. Epidemiology of congenital eye malformation in 13.760 concecutive births. Ophthalmic paediatrics & genetics. 2000; 13: 179-86. 12. Maton B. Medically intractable epilepsy in Sturge - Weber syndrome is associated with cortical malformation; implication for surgical therapy. Int League Against Epilepsy. 2010; 51(2): 257-67. 13. Monte ADM. Sturge weber syndrome. eMedicine ophthalmology, pediatrics and communicable diseases; 2010. Tersedia di: http://www.eMedicine dermatology.com Diunduh tanggal 9 Mei 2010. 14. Khan AN. Imaging in Sturge weber syndrome. eMedicine radiologist; 2010. Tersedia di: http://www.eMedicine dermatology.com Diunduh tanggal 9 Mei 2010.
15. Wong SW, Kyaw L, Ong LC, Zulfiqar AM. Sturge-weber syndrome without facial nevus: an unusual cause of neonatal seizures. J Paediatrics and child health. 2010; 1-4 16. Batista C, Juhasz C, Muzik O, Chugani DC, Chugani HT. Increased visual cortex glucose metabolism contralateral to angioma in children with Sturge - Weber syndrome. Develop Med & Child Neurol. 2007; 49: 567-73. 17. Kihiczak GG. Klippel treunaunay syndrome: a multisystem disorder possibly resulting from a phatogenic gene for vascular and tissue overgrowth. Int J Dermatol. 2006; 45(8): 883-90. 18. Panggabean FR. Sindroma klippel-treunaunay: laporan 2 kasus. Dalam: Berkala ilmu kesehatan kulit dan kelamin 2009; 21: 241-7. 19. Mariwalla K, Dover JS. The use of lasers in the pediatric population. Dalam: Dover JS, Alam M, penyunting. Advances in dermatologic surgery; 2010:1-5. 20. Perez DEC, Neto JSP, Graner E, Lopes MA. Sturge weber syndrome in a 6-year-old girl. Int J Ped Dentist. 2005; 15: 131-5 21. Kramer U, Kahana E, Shorer Z, Ben-Zeev B. Outcome of infants with unilateral Sturge weber syndrome and early onset seizures. Develop Med & Child Neurol. 2000; 42: 756-59 22. Riela AR, Roach ES. Sturge weber syndrome. Dalam: Roach ES, Miller VS, penyunting. Neurocutaneus disorders. New York: Cambridge University press; 2004. h.205.22
31