Pesta para mayat Pagi ini nampak seperti biasanya. Para petani pada berangkat bersawah dan anak-anak SD pergi kesekolahnya. Arie dan Habib masih saja tertidur di sofa mereka, Andi dan Baihaqi tengah asyik menonton acara berita olah raga pagi. Sedang Edi entah kemana, pagipagi sekali sudah keluyuran entah kemana. Tapi, entahlah kenapa pagi ini terasa begitu berbeda, padahal sejak hari pertama juga aku sering meringkuk dan bersandar di tiang teras seperti ini, mungkin karena kangen keluarga kali. Pagi semakin tinggi, cahayanya mulai terasa panas. Jendela dan korden ruang tamu aku buka hingga cahayanya menyilaukan Arie dan Habib. Hadeh! Pekerjaan membuka dan menutup jendela nampaknya jadi piket setiap pagi dan sore hariku. Mereka berdua sepertinya terganggu oleh ku yang membuka tabir jendela. Sinarnya memang terik pagi ini, tapi apa iya sampai jam segini belum bangun. Apa mereka tak malu sama bapak dan ibuk yang sedari
pagi buta sudah bangun dan bergegas ke pasar. Hah, pagi ini memang sungguh indah. Ku tinggalkan mereka berdua saja, biar sinar matahari saja yang cukup mengganggu mereka. Dapur adalah tujuan utamaku, biar ku tebak, pasti mie keriting yang sudah dingin dan sedikit masam pasti tersedia. Haduh! Sejak hari pertama, mie seperti ini pasti ada, sempat terlintas di pikiranku apa mungkin mie seperti ini adalah makanan khas desa ini. Tapi, apa yang telah disediakan ibu sikat ajalah. Bersama piring penuh mie masam dan segelas teh hangat aku menyusul Andi dan Baihaqi, menonton berita pagi. “sarapan dulu bro... biar ganteng”. Sapaku menggoda mereka berdua. Sapaan seperti itu tengah menjadi tren dikalangan markas tim delapan ini. Semua ini adalah ulah si Edi yang sering mengucapkannya saatnya sarapan. Untungnya dia masih tidur, kalau pun bangun tetap akan ku gunakan sapaan itu untuk menggoda Edi.
Edi adalah seorang aktifis tua yang satu fakultas dengan ku. Wajahnya yang kotak dengan kulit dan bibir tebal hitamnya seolah menandakan bahwa ia adalah aktifis yang kolot dengan idealisnya yang naif, cara bicaranya yang ngebass seakan ia sering teriak-teriak tak jelas di pinggir jalan adalah kesan pertama yang nampak dari wajahnya, namun setelah beberapa hari tinggal satu rumah ternyata ia orangnya humoris dan cukup konyol, ia sering sekali menggoda anggota tim cewek, terutama si Dian, ya kerena memang dialah yang paling cantik di tim ini. Ku duduk di samping Andi yang memasang wajah lesu karena belum mandi. Ku tawari saja untuk sarapan biar ganteng, tapi Bai menimpaliku bahwa ia sudah sarapan pagi-pagi sekali tadi, sebelum subuh. Gokil, sarapan apa sahur. Tak lama berselang Bai pun berkunjung ke dapur dan menyusulku sarapan, sarapan yang damai dan penuh aura kegantengan. Jujur saja hari ini aku bingung mau ngapain, mana ketuanya masih tidur lagi, seolah tak ada beban
sama sekali sebagai ketua untuk mengkoordinir anak buahnya. Divisi pendidikan yang aku pegang untuk hari ini memang belum ada kegiatan karena memang SD juga lagi mengadakan ujian tengah semester, jadi devisi pendidikan akan bergerak saat ujian tengah semester itu berkahir. Tapi, ya sudahlah nonton tivi lagi, nonton Spongebob. Sebenarnya aku merasa mual kalau harus setiap sarapan pasti dengan mie masam ini, lendir-lendirnya bikin geli di tenggorokan.
Tapi anehnya baik Andi
maupun Bai merasa oke-oke saja menyantapnya meski mereka juga merasakan kalau mienya memang masam, apa mereka makan hanya sekedar makan, entahlah. Setelah sarapan selesai pun aku enggan untuk lekas mandi, walaupun sedari tadi para cewek yang berseliweran1 untuk mandi mengingatkan untuk segera mandi, mungkin karena tak tahan melihat wajah lusuh
1
Lalu lalang/lewat-lewat terus
kami yang selepas sarapan masih saja terpaku di depan tivi. Tapi itulah nikmatnya hidup di desa yang damai ini. Jam tujuh lebih, Bai meninggalkan kami berdua dan bergegas mandi, dan aku berencana menyusulnya setelah ia selesai mandi. Arie bangun dari tidurnya, seperti biasanya saat ia bangun, pasti ngolet2 dengan kencang. Hadeh! Menurutnya ia masih tertidur di kostnya mungkin, apa perlu ia ngolet sambil teriak begitu, sungguh tak etis. “sarapan! sarapan!”. Teriak Arie yang sambil jalan menuju ke dapur dengan telanjang dada dan sarung lusuhnya, tulangtulang rusuknya yang timbul simbol kesengsaraan hidup. “sarapan pak! Sarapan dulu biar guanteng!” Sapa Arie pada ku dan Andi. Tak ku hiraukan karena memang aku tau itu hanya sekedar basa-basi ala
2
Merenggangkan tubuh setelah bangun dari tidur
orang jawa yang benar-benar basi. Andi pun tak menghiraukannya dan tetap terpaku pada layar tivi yang menampikan acara musik yang berisik dengan penonton bayarannya. “pak, dah mandi belum?”. Tanya Arie pada ku. “belum”. Jawabku santai. “habis ini ikut aku ya ke kantor kelurahan” “hah! Aku? En, kau ikut juga ya”. Pintaku pada Andi. “ogah! Habis ini aku mau keluar ma mas Habib” Jam sembilan kurang lima belas, aku bergegas mandi guna mempersiapkan diri berkunjung ke kantor kelurahan. Tapi pagi-pagi ke kelurahan pasti bisa ku tebak nanti hasilnya. Jam sembilan kurang satu menit telah ku selesaikan mandiku, Arie telah siap dengan leher yang terlilit handuk kuningnya. Sambil menunggu rambut keritingku kering, nongkrong di depan tivi adalah wajib.
~~~ Jaket biru dan topi biru mirip topi anak SMP ku pakai, sebenarnya aku tak ingin mengenakannya karena warnanya yang memang mirip dengan topi SMP, cukup jaketnya saja yang ingin ku pakai, tapi Arie tetap menyuruhku
memakainya
itung-itung
menghormati
warga desa. Kami berjalan berdampingan laksana karib, pagi itu banyak sekali santri laki-laki dari dusun Kedung Lue yang berkerumun di lapangan depan kantor kelurahan. Aku dan Arie berhenti sejenak di halaman balai desa melihat-lihat kerumunan yang dibuat oleh para santri. Seperti dugaanku, jam segini pasti kantor kelurahan masih tertutup rapat. Hadeh! Apa saja yang mereka lakukan sampai jam segini masih belum buka. Aku dan Arie masih menunggu perangkat desa atau pak kadesnya untuk membuka kantornya. Masa iya sudah siang gini masih belum buka.
“yo...! mas-mas KKN!”. Sapaan keras dan sok akrab dilempar ke kami, Arie dengan gaya sok akrabnya juga membalas sapaan itu, sementara aku hanya tersenyum menanggapi sapaan para santri tadi. Ternyata para santri tersebut adalah santri dari pak Rokhim yang kami temui saat pertama kami berkunjung ke rumah para tetua desa. Mereka tengah membangun Ka’bah di lapangan guna melakukan latihan haji. Tak lama kemudian melintaslah pak Rokhim yang mengendarai Satria FUnya dengan santai menuju ke lapangan dan mengamati kegiatan para santrinya. Aku dan Arie masih menunggu perangkat desa yang bertugas di kantor. Sampai jam sepuluh lebih belum ada tandatanda akan adanya perangkat desa yang hadir. Arie dan aku lantas duduk di teras balai desa sembari ngobrolngobrol dan memandangi kegiatan para santri di lapangan. Gila, lama amat nungguin para perangkat desa. Kalau seperti ini terus mending pulang aja kalau perangkat desa aja kayak gini. Aku mengeluh, Arie pun
ikut mengeluh. Apa iya kantornya harus selalu buka siang, hadeh! Sekitar jam setengah sebelas salah seorang perangkat desa tiba, dengan baju batik khas biru yang dikenakannya. Apa ia tak merasa malu ya dengan bajunya yang khas itu. Perangkat desa tertua yang ada di sini dan merupakan tangan kanan pak kades. Ia tersenyum ramah ketika melihat kami, menunduknundukkan kepala seolah meminta maaf karena datang terlambat, bukan, tapi sangat terlambat. Dari bangku di teras kami berpindah ke bangku ruang tamu, itupun masih harus menunggu lagi karena pak kadesnya belum tiba, tapi setidaknya ada segelas air mineral dalam kemasan yang tersaji. Ruang tamu kantor desa yang lusuh, tembok-tembok yang dulu putih kelihatan kusam nan coklat. Papan-papan administrasi terbiar termakan waktu, penuh debu dan jaring laba-laba. Bahkan data-datanya pun masih utuh dari tahun 1956 meski tinta yang menempel di white board-nya samar-
samar. Ini pasti kades-kadesnya cinta dengan nuansa nostalgia, atau mungkin. Tak lama kemudian perangkat desa yang lainnya menyusul secara bergantian. Capek juga kalau setiap perangkat desa yang datang harus kami senyumi dan salami satu persatu, duduk sebentar lalu bangkit lagi, serasa dihukum oleh hukum adat. Akhirnya, yang tunggu datang juga. Pak kades dengan motor Scorpio-nya terlihat dari jendela ruang tamu. Arie yang sedari tadi ngerokok langsung membunuh rokoknya dan berdiri menyalami pak kades. Kami pun ikut ke ruang khususnya guna membicarakan program kerja lagi. Di dalam
ruang
pak
kades
kami
saling
berhadapan, pak kades membaca proposal yang Arie ajukan, ia membaca sejenak lantas meletaknya di atas meja, ia mengangguk-ngangguk tanda setuju dengan program kerja tim kami. Sebenarnya itu saja sudah cukup jika kami ingin meninggalkan kantor balai desa, tapi emang dasar pak kades ini orangnya supel atau
cerewet, ada saja bahan omongan yang ia bicarakan dan si Arie pun orangnya juga gampang supel, sudahlah, jadilah mereka itu saling jual beli obrolan, sementara aku hanya mendengarkan omongan mereka dan sesekali menanggapi obrolan mereka. “jadi, nanti malam udah pada siap ronda malam ya?”. “siap pak!”. “jadi nanti malam siapa yang ikut ronda?”. “rencananya sih saya , Bilal dan Edi pak”. “eh! Aku ikut?”. Hadeh, males banget sebenarnya aku harus ikut ngeronda, inginnya sih hari berikutnya biar bisa dengerdenger dulu cerita dari yang lainnya dulu. Tapi ya sudahlah jalani saja. ~~~
Sore ini terjadi seperti biasanya, kami para cowok selalu pergi ke masjid bersama-sama sekadar menghormati tuan rumah, aku sih yakin kalau di kostkostan pasti pada gak pernah pada sholat berjamaah di masjid, dan sekalian bersosialisasi dengan warga desa bahwa kami ini ada di desa kalian. Lepas ashar kami pun tak langsung balik ke markas, tapi ngobrol-ngobrol dulu dengan beberapa warga yang masih di teras masjid. Seperti biasa, hanya Arie, Bai yang lebih banyak bisa mengajak orang lain mengobrol, sementara aku dan Andi hanya mendengarkan mereka saling adu obrolan. Sebenarnya sore di desa ini sangat menenangkan, sering sekali akhir-akhir ini aku duduk di teras sembari menyesap lagu-lagu mp3 yang ku sumbat di telinga, memandangi pepadian yang masih muda bergoyang tertiup angin senja, sungguh damai. Tak hanya aku, Tari pun juga sering di teras main video call dengan pacarnya yang kerja di Jepang. Alasannya simple, karena jika di dalam rumah, operator apapun, operator secanggih apapun, operator seluas apapun jaringannya pasti akan
kehilangan sinyalnya. Jika keluar dari pintu sinyal secara perlahan akan datang, rumah yang aneh. Mendengarkan musik di senja hari sampai maghrib tiba mungkin harus ku masukkan ke dalam list harianku selama di sini, karena ini sungguh nikmat, jarang sekali aku bisa merasakan kedamaian seperti ini. Sore adalah peristirahatan lamunan, waktu yang paling nikmat untuk menikmati semilir angin, yang paling mulia bagi para pelamun. Langitku menguning, pepadian yang hijau mulai menghitam tertutup bayangan bulan, malam ini adalah purnama pertama kami di sini. Dan gema-gema adzan magrib mulai sahut menyahut, kami para cowok bergegas pergi ke masjid lagi. Aku ingin segera menyelesaikan magrib ini karena ada tugas dari Arie yang dipasrahkan kepada ku, sungguh merepotkan. Seperti malam-malam yang lalu, malam di desa Pesaren sungguh sunyi dan remang. Selepas isya’ aku memang sengaja tidur lebih awal karena harus jaga malam kali ini. Jam sebelas, Andi dan Habib masih
betah nongkrong di depan tivi, sementara Arie dan Edi masih tertidur di sofa. Dengan menghampiri
setengah Andi
dan
sadar
aku
berjalan
Habib
untuk
sekedar
mengumpukan nyawa agar melek saat jaga malam nanti. Mereka berdua ternyata lagi nonton acara yang gak penting, sedari tadi gonta-ganti channeli terus. “gimana Lal? Jaga malam ya?”. Ucap Habib menggodaku. “hah...! males banget! Gantian gih, kau yang jaga aja dari pada nonton-nonton gak jelas gitu” “sorry Lal, udah punya jatah sendiri. Hehehe...” Benar sih sudah punya jatah sendiri-sendiri, tapi lebih enak kayaknya seperti Baihaqi yang tengah tertidur lelap di depan tivi beralaskan tikar, damai. Untuk desa sesunyi ini dan sedamai ini kenapa harus ada ronda malam, memang apa yang menarik para pencuri untuk
beraksi di desa ini. Pikirku melayang sembari menatap layar tivi yang gonta-ganti channel terus. Pukul setengah dua belas malam, Arie dan Edi masih tertidur juga. Ya ampun, mereka itu niat gak sih jaga malam? Apa aku juga yang harus membangunkan mereka. Kaki, badan ku tendang-tendang saja bermaksud membangunkan Arie, males banget bersuara ditengah keheningan ini. Tak lama kemudian ku tendang-tendang Edi supaya bangun, mereka bangun dengan nyawa yang mengepul-ngepul tak karuan, raut mukanya seperti orang-orangan sawah. Jam dua belas lebih, kami bertiga keluar rumah. Hawa dingin yang turun dari puncak gunung mencabikcabik jaket biru kami, jaket kami tak bisa melindungi kami dari hawa dingin. Arie dan Edi membawa sarung motif kotak-kotak yang diselempangkan, hadeh, apa mereka tak tau mode. Kami harus berjalan ke rumah pak kades karena kami memang janjian di sana. Berjalan bertiga menembus
kegelapan
malam
ini
sebenarnya
menyenangkan. Kapan lagi bisa bernostalgia seperti waktu pramuka dulu, yang harus menyesuri jejak tengah malam karena perintah kakak pembina yang merepotkan. Jarak rumah pak kades dari markas sekitar dua makam. Kami terus berjalan sampai di makam pertama, jalanan petang karena hanya ada bolam 5 watt yang susah payah berpendar. Nisan-nisan yang rame saat siang tertelan gelap. Iseng-iseng ku sorotkan lampu senterku ke arah pemakaman senbari terus berjalan, tak ada apa-apa, hanya nisan dan nisan. Dalam hatiku sebenarnya berharap bisa melihat salah sebiji sosok hingga bisa membuat dua temanku ini tercengang. Salam-salam kepada orang mati terus Arie umbar sedari tadi, ku anggap itu hanya sebagai penguat psikologinya yang mungkin lagi ketakutan. Sedangkan Edi orangnya dari tadi juga santai saja, seperti ia tak terlalu takut dengan suasana ini seperti aku. Kami berbelok, tak lama lagi makam kedua akan kami lewati. Salam-salam semakin kencang Arie lontarkan hingga membuat Edi tertarik perhatiannya.
“ngapain tho Des3? Kayak cewek aja”. Timpali Edi. “santai aja ngapa des”. Imbuhku. “ya nggak ngapa-ngapa. Kitakan musti salam kalau masuk ke kuburan”. Jawab Arie. “ya tapi gak perlu sekencang itu. Malah jadi lucu dan gak sopan Des. Ntar para penghuni makam malah tertawa”. Timpal Edi. Sejenak mereka berdua terdiam dan terus berjalan di belakangku. Kabut yang turun terasa semakin tebal dan dingin. Makam kedua ini pun sama, petang dan remang-remang. Ku percepat langkahku karena ternyata lama-lama aku merinding juga, mungkin karena hawa dingin. Arie dan Edi pun ikut menyusul langkah kakiku yang cepat dengan meneriaki dulu sebelum ikut berlarilari kecil. Kami sampai dengan nafas yang cukup
3
Des, panggilan karena Arie seorang Kordes (Koordinasi Desa)/ketua tim
terengah-engah karena berlari-lari kecil, rumah pak kades dan sekitarnya sangat sepi, aku merasa seperti alien yang tengah terjatuh di suatu belantara sunyi dengan kabut tipis yang menepis garis iris, sepanjang mata memandang hanya kabut-kabut tipis. Kami bertiga berdiri di depan pintu gerbang rumah pak kades. Kami dilanda kebingungan, mau berteriak takut mengganggu tetangga, mau menggedorgedor pintu gerbang takut mengganggu tetangga dan dikira pencuri. Akhirnya Arie me-miss call pak kades supaya cepat keluar. Cukup lama Arie mengotak-atik hpnya, hadeh!, apakah pak kades lupa dengan janjinya untuk jaga malam atau ia sengaja berniat mengerjai kami ini yang belum lama tinggal di desa supaya tidak betah. Arie dan Edi jonggok, entah karena kedinginan atau kesal dengan ulah pak kades yang tidak munculmuncul, asal jangan ia muncul secara tiba-tiba di depan kami saja. Kabut di jalanan masih sama, melayanglayang menghibur kami.
“hadeh! Pak kades niat gak sih?”. Gerutuku kesal. “sabar ae pak, paling lagi ... sama istrinya, hehehe...!”. balas Arie. “haha... raine! Coba telpon lagi Des. Kalo gak muncul-muncul mending pulang aja”. Jawabku tak sabar. “iyo Des, coba telpon lagi”. Tambah Edi. Dengan
gaya
jongkoknya
Arie
mencoba
menelpon lagi pak kades, tapi masih saja tak ada respon, hadeh!. Pukul satu kurang lima menit, hadeh, sudah dini hari gini kami bertiga masih di depan rumah pak kades menunggunya, payah!. “YO MAS!!!” Sinar kemuning menyoroti kami hingga buta sejenak. Ternyata itu adalah orang yang sedari tadi kami cari, si pak kades.
“maaf mas, sudah lama ya nunggu saya? hehe...” “iya pak lama nunggunya dari tadi”. Jawab Arie. “saya sudah keliling-keliling dari tadi. Barusan ingat kalau mas-masnya ini mau ikut jaga malam jadi pasti kalian ke rumah dulu, ya jadi saya putusan kemari”. Waktu
menunggu
kami
berakhir
dengan
munculnya pak kades, dan kami pun mulai berkeliling. Kami berempat berjalan meninggalkan haluan rumah pak kades. Kami berjalan menembus gelap malam dipandu pak kades, jalanan setapak kami lewati, padang sawah. Ya, kali ini kami membelah gelap persawahan. Suara desir angin malam dan suara-suara binatang malam mengiringi. Hawanya semakin dingin karena hembusan angin malam, aku menggigil sampai gigiku bergemeretak dan tiap nafasku mengeluarkan asap bag orang ngerokok. Dalam masa dingin ini, sempat terlintas di benakku bahwa ini pasti bercanda, masa jaga malam hanya pak kades sendiri, tanpa ada warga lain yang menemaninya.
Tanpa sadar areal persawahan telah kami lampaui dan kini mulai memasuki areal pemakaman dan perumahan penduduk. Seperti biasa, gelap dan sunyi menghiasi pemandangan, kami beristirahat sejenak di teras rumah salah satu warga, menghadap pemakaman sembari mengobrol. Arie sepertinya tak seperti saat berangkat, ia nampak lebih berani dan tak sering melempar salam-salam saat melewati makam, malah ia terasa sangat cerewet bagiku saat tengah mengobrol dengan pak kades, sungguh membosankan. GEDEBUUK!!! Suara seperti benda jatuh mengagetkan ku, hingga membuat Arie menjadi latah. Aku yang penasaran langsung menyoroti arah asal suara tersebut yang berada di sebelah rumah tempat kami beristirahat. Kaki ku langkahkan untuk memeriksanya, tapi tak ku dapati apapun. Aneh, suara apa ya tadi? Entahlah. Ku putuskan saja untuk kembali ke teras tempat kami beristirahat tadi, namun yang ada hanya pak kades dan si Arie yang tampak kebingungan dengan kepala
yang
menoleh-noleh kekanan dan kekiri,
seperti
kepanikan telah menyandera isi kepala mereka. “lho... Edi kemana Des?”. “mbuh4! Tiba-tiba saja Edi gak ada pas5 ada suara tadi”. “loh! Kok bisa”. Arie nampak semakin panik karena sebelumnya Edi duduk di sebelahnya dan hilang begitu saja. Padahal sisi sebelah Edi adalah tembok, tak mungkin rasanya jika ia ditelan bulat-bulat oleh si tembok, kalaupun ia lewat di depan Arie saat terdengar suara seperti benda jatuh itu pasti ia juga akan menyadarinya walaupun ia tadi terlatah-latah. Suasana
menjadi
canggung
dan
sedikit
mencekam, aku dan Arie hanya terjonggok sembari
4
entahlah
5
saat
sekali-kali berteriak memanggi Edi, sementara pak kades hanya terdiam duduk dibangku teras, kemana juga warga sekitar dan orang pemilik teras rumah, kok gak keluarkeluar padahal kami dari tadi juga berteriak-teriak. ####
PENASARAN? SILAHKAN BELI BUKUNYA HANYA DI NULISBUKU.COM