P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
ISSN 1979 - 7168
KONTESTASI MOTIF TRADISIONAL SARUNG SUTRA (LIPA’ SABBE) SENGKANG DALAM MENGHADAPI TANTANGAN PARIWISATA Oleh: PUTUT BAYU SANTIKO Politeknik Pariwisata Makassar, Jl. Gunung Rinjani, Kota Mandiri Metro Tanjung Bunga, Makassar Email :
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui upaya pengembangan serta strategi dari pengrajin,pengusaha dan pemerintah kota Sengkang dalam menginovasi motif tradisional Lipa’ Sabbe sebagai salah satu unsur penunjang sektor pariwisata. Jenis penelitian ini adalah diskriptif kualitatif dengan metode pengumpulan data teknik observasi, wawancara serta studi pustaka. Penelitian ini menggunakan pendekatan konsep dari J. Maquet tentang art metamorphosis, art acculturation, dan tourist art dengan hasil sebagai berikut: 1) Motif tradisional Lipa’ Sabbe hadir sebagai dasar untuk melakukan pengembangan/inovasi desain yang lebih variatif, 2) Motif tradisional Lipa’ Sabbe merelasikan serta mengkombinasi dengan motif-motif lain untuk mencapai bentuk yang estetis, 3) Nilai-nilai yang ada dalam motif tradisional Lipa’ Sabbe menjadi daya tarik wisata sebagai pengetahuan lokal (local wisdom). Kata Kunci: Kontestasi, Lippa Sabbe, Sengkang, pariwisata Abstract The aim of this research is to understand strategies and the development effrots done by craftsman, enterpreneur and the regional government of Sengkang regency in implementing innovative motifs for traditional Sarong Lipa’ Sabbe to support the tourism sector. The research is a qualitative descriptive through observation, interviews and literature studies. A concept by J. Maquet concerning art metamorphosis, art acculturation, and tourist art are adopted in this research. The research reveals that 1) The motifs of Lipa’ Sabbe is the basis for innovative and variative design and development; 2) The motifs of Lipa’ Sabbe combine with other motifs to achieve aesthetic motifs, 3) Values in traditional Lipa’ Sabbe become attractions and local wisdom for tourists. Keywords: Lipa’ Sabbe, Sengkang, tourism
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 78-89
78
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
PENDAHULUAN Kain tenun tradisional yang berkembang di nusantara telah memberikan ragam corak yang sangat menarik untuk memperkaya khasanah budaya bangsa. Sebagai karya seni yang luhur, keberadaan kain tradisional nusantara sarat akanhubungan kontekstual ruang dan waktu yang saling terkait dengan kebudayaan masyarakat setempat.Kain tenun tradisional tidak hanya menyajikan aspek keindahan saja namun dibalik keindahan kain tersebut terdapat ketekunan penenun dalam menghasilkan karya seni dengan didasari nilai serta falsafah hidup yang patut untuk dilestarikan.Nilai yang terdapat dalam setiap pola tenun menandakan adanya keterkaitan dengan berbagai hal seperti falsafah hidup, nilai-nilai, adat istiadat, serta identitas masyarakat setempat. Keanekaragaman kain tenun nusantara tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kain tenun yang berkembang di kota Sengkang. Keterampilan dalam membuat kain tenun telah lama dimiliki oleh masyarakat Sengkang. Pengetahuan untuk memproduksi kain tenun sutera tersebut dilakukan secara turun temurun. Masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis mengenal sutera dan pertenunan sejak tahun 1400 dengan corak pertama adalah garis vertikal dan horisontal. Kemudian tahun 1600 berkembanglah corak kotak-kotak seiring dengan masa kejayaan Islam di Sulawesi Selatan.Thommas Forrest (1987: 80) dalam bukunya Voyage from Calcuta,
ISSN 1979 - 7168
menceritakan “Sarung Bugis, meski hanya terbuat dari selembar kain dapat menutupi kepala hingga kaki orang yang mengenakannya, bahkan pada saat mereka tidur motif kotak-kotak membuat kain itu serupa dengan kain Tartan (Skotlandia)”. Sarung Sutera atau dalam bahasa masyarakat Bugis disebut Lipa’ Sabbe telah melekat dalam kehidupan masyarakat.Selain untuk kebutuhan sandang, lipa’ sabbe mempunyai motif yang menjadi simbol tentangnilai kehidupan masyarakat Bugis. Motifmotif tradisional tersebut memiliki kekhususan sendiri, salah satunya dalam pemakaian dan penggunaan. Penggunaan lipa’ sabbe dengan motif tradisional harus disesuaikan dengan makna dan simbol yang terdapat pada motif tersebut. Motif-motif tersebut dapat dikatakan motif klasik atau motif tradisional yang artinya motif yang masih memiliki simbol dan nilai-nilai filosofi tentang kehidupan. Budayawan Sengkang, Herman, menyebutkan motif Lipa’ Sabbe tradisional jumlahnya tidak dapat dipastikan namun dapat diperkirakan ada 4 motif klasik yang diyakini yaitu motif Motif balo renni, motif balo lobang, motif tettong dan motif bombang. Motifmotif Lipa’ Sabbe tersebut berkembang pesat di masa lampau. Motif-motif tersebut digunakan oleh masyarakat Sengkang untuk kegiatan upacara adat, ritual keagamaan, acara siklus kehidupan serta untuk kegiatan sehari-hari. Pada perkembangnya Lipa’ Sabbe mengalami perubahan yang
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 78-89
79
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
signifikan ketika perekonomian di Indonesia dilanda krisis tahun sekitar 1998. Adanya peristiwa tersebut industri kreatif khususnya industri lokal lebih diperhatikan oleh pemerintah. Hal tersebut mendorong industri tenun untukberkreasi sertaberinovasi demi memenuhi kebutuhan pasar. Disisi lain industri pariwisata kini semakin tumbuh pesat dan hadir sebagai pendorong utama perekonomian demi kemajuan ekonomi untuk banyak orang dan banyak negara didunia. Menurut studi World Tourism Organization (UNWTO)jumlah wisatawan dunia tahun 2020 diprediksi akan mencapai 1,5 miliar orang (Gelgel,I putu. 2006: 25). Peristiwa tersebut memaksa pengrajin kain tenun untuk mengkreasi desain, motif dan pola lipa’ sabbeagar lebih variatif. Akan tetapi pengembangan lipa’ sabbe mengalami permasalahan yaitu adanya motifmotif tradisional yang mulai ditinggalkan karena dirasa motif tersebut kurang lagi menarik untuk memenuhi selera pasar. Eksistensi Lipa’ Sabbe dengan motif tradisional yang diyakini sebagai salah satu produk budaya masa lampau peminatnya kian menurun. Budayawan Herman, menyebutkan orang Sengkang sekarang tidak lagi menggunakan lipa’ sabbedengan motif tradisional untuk upadara adat seperti pernikahan, sunatan, atau kegiatan sehari-hari, mereka beralih ke motif-motif popular yang terkadang kurang memiliki makna dan hanya untuk kebutuhan
ISSN 1979 - 7168
estetis saja.Stuart Hall dalam Nasrullah, rulli (2012 : 115) memperjelas kondisi masyarakat post modern ini dengan anggapan bahwa ada transformasi yang terjadi dalam individu modern di mana mereka mencoba untuk melepaskan diri dari tradisi maupun struktur (sosial) yang selama ini dianggap membelenggu. Berdasarkan fenomena tersebut penelitian ini akan membahas bagaimana kontestasi motif tradisional yang ada pada sarung sutra (lipa’ sabbe) dalam menghadapi jaman terutama tantangan industri pariwisata. Seperti diketahui Sengkang telah menjadi salah satu destinasi wisata unggulan yang berada di provinsi Sulawesi Selatan. KERANGKA KONSEPTUAL Kerangka konseptual dalam penelitian ini membantu untuk memperjelas alur kontestasi motif tradisional yang ada pada sarung sutra (lipa’ sabbe) dalam menjawab tantangan industri pariwisata. Penelitian ini menguraikan permasalahan terkait dengan bagaimana eksistensi Lipa’ Sabbe motif tradisional dengan menggunakan konsep J. Maquet dalam bukunya R. Soedarsono tentang bentuk kemasan seni yaitu art by metamorphosis (seni yang telah mengalami perubahan bentuk), art of acculturation (seni akulturasi) dan pseudo traditional art (seni pseudo-tradisonal), atau istilah yang lebih popular disebut tourist art (seni wisata) (Saoedarsono, 1999: 3).
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 78-89
80
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
ISSN 1979 - 7168
Melalui konsep J. Maquet di atas diharapkan mampu membantu menguraikan upaya-upaya apa yang dilakukan masyarakat Sengkang terhadap Lipa’ Sabbe dalam kontestasi sebagai produk wisata. Kerangka konseptual dapat digambarkan sebagai berikut: Motif Lippa Sabbe Tradisio nal
Konsep J. Maquet art by metamorph osis art of acculturati on tourist art
Motif Lipa’ Sabbe Modern
Industri Pariwis ata
Penggambaran dari kerangka diatas dapat dijelaskan bahwa konsep J. Maquet menjadi dasar bagaimana proses eksistensi motif Lipa’ Sabbe dalam menghadapi tantangan industri pariwisata.Kerangka tersebut merupakan alur dan dasar bagaimana penelitian ini berlangsung, membaca fonomena dan mengidentifikasi secara detail berdasarkan realitas di lapangan. METODE PENELITIAN Metode penelitian dihadirkan untuk menghasilkan penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif untuk memberi gambaran komprehensif tentang kontestasi lipa’ sabbemotif tradisional di industri pariwisata.Lokasi penelitian terletak di Sengkang dan sentra sutra binaan BNI
di desa pakanna, Kec.Tanasitolo, Kota Sengkang. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan, observasi, wawancara mendalam, studi pustaka dan dokumentasi. PEMBAHASAN Nilai dan Makna Motif Tradisional Lipa’ Sabbe Sarung dalam masyarakat Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis bukan hanya semata-mata hadir sebagai benda sandang. Keberadaan sarung dalam kepercayaan masyarakat Bugis memiliki sejumlah pesan dan nilai yang tergambar pada motif-motif sarung tersebut. Nilai dan pesan-pesan yang tersirat dalam motif sarung Sutera Sengkang tentunya terkait dengan pandangan (falsafah) hidup masyarakat setempat. Pandangan atau falsafah hidup tersebut merupakan patron, pandangan atau world view dalam menjalankan kehidupan. Sengkang merupakan Ibukota Kabupaten Wajo dengan penduduk mayoritas suku Bugis. Dalam tradisi masyarakat Bugis nilainilai falsafah hidup merupakan pemicu, etos kerja, watak, kepribadian atas adanya etika yang ditopang oleh budaya adat istiadat (pangaderan) sebagai pandangan hidup (Amri, 2011: 152) Masyarakat di Sulawesi Selatan seperti daerah-daerah lainnya sangat menjujung tinggi nilai adatistiadat. Suku Bugis yang berdomisili kebanyakan di Pangkep, Barru, Parepare, Pinrang, Sidrap, Soppeng, Wajo, Bone dan Sinjai memiliki kepercayaan tentang budaya siri’ (Budaya malu).
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 78-89
81
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Istilah siri’ sangat berkaitan dengan harga diri seseorang atau dalam keluarga. Siri’ adalah sesuatu yang abstrak, namun terasa dalam setiap langkah kehidupan. Siri’ haruslah dihormati agar nama baik seseorang atau keluarga tetap tetap terjaga. Melalui budaya siri’ inilah sarung mendapat kedudukan dalam fungsinya secara simbolik. Sarung diyakini sebagai pagar dan pelindung bagi seseorang agar siri’ tetap terjaga (Wawancara, Herman 18 Juni 2016). Sarung sutera khususnya di kota Sengkang memiliki empat motif klasik yaitu motif balo reni, motif balolobang, motif tettong, dan motif bombang. Seperti yang dijelaskan oleh budayawan Sengkang dalam sebuah wawancara menyebutkan: Motif-motif sarung Sengkang berkembang pesat. Banyak motifmotif bermunculan. Hal ini dikarenakan demi menjaga kelangsungan sarung itu sendiri. Namun di Sengkang khususnya, memiliki motif klasik atau motif yang masih tradisi yaitu motif balo renni, motif balo lobang, motif tettong dan motif bombang. Sarung dengan motif seperti ini jarang dijumpai di toko-toko sovenir. Hal ini dikarenakan motif tersebut hanya dibuat oleh kaum perempuan tergantung kebutuhannya nanti untuk apa (Wawancara Herman, 22 Juli 2016). Setiap motif memiliki makna dan nilai-nilai yang berbeda-beda. Empat motif tradisi yang dijelaskan di atas mengandung simbol-simbol dalam
ISSN 1979 - 7168
kehidupan. Disebut motif balo rennni, karena sarung ini sarat dengan garisgaris vertikal dan horizontal yang tipis dan menghasilkan ribuan kotak-kotak kecil pula. Warna, kombinasi warna dan kombinasi garis tersebut akan ditemui pada keseluruhan kain sarung ini. Kecuali pada bagian kafalanna (tumpal), bagian yang harus berada di belakang, lurus dengan punggung sang pemakai. Pada bagian ini akan ditemui garis dan kotak-kotak dengan pilihan warna, kombinasi warna atau kombinasi garis yang berbeda. Sebagai pembeda antara bagian kapala dan watang (tubuh) sarung tersebut. Gambar 1. Motif balo renni (Foto: Penulis, 2016)
Motif balo renni pada awalnya hanya boleh digunakan oleh para wanita yang belum menikah. Motif ini merupakan simbolisasi dunia perempuan dalam masyarakat Bugis sangat dijunjung tinggi. Seperti yang dijelaskan dalam hasil wawancara di bawah ini: “Motif balo renni hanya digunakan oleh perempuan yang belum menikah. Artinya, perempuan yang belum menikah haruslah dijaga dalam pergaulannya.Supaya
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 78-89
82
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
kehormatan perempuan itu tetap terjaga” (Herman, Wawancara 22 Juli 2016). Motif tradisional selanjutnya yang menjadi lawan motif balo renni yaitu balo lobang atau malobang. Sebagai pasangan dari motif balo renni, motif balo lobang ini dikhususkan bagi Pria yang belum menikah. Garis dan kombinasi garis sangat berbeda, garisnya cenderung lebih tebal dan menghasilkan puluhan kotak-kotak yang besar pula. Dari segi warna, biasanya memilih warna terang yang garang seperti warna Cella (merah), Cella Raka (merah menyala), Camara’ (merah keemasan).
Gambar 2. Motif balo lobang (Foto: Penulis, 2016) Matif balo lobang merupakan simbolisasi dari dunia laki-laki.Sarung ini pada awalnya hanya boleh dikenakan oleh laki-laki yang belum menikah.Di dalam motif yang didominasi oleh unsur geometrik persegi dengan ukuran lebar-lebar ini tersirat petuah-petuah dan nilai-nilai yang harus dilakukan dan ditaati oleh kaum laki-laki. Balo lobang adalah pasangan dari balo renni. Ini khusus laki-laki yang belum menikah. Motif persegi
ISSN 1979 - 7168
yang terdapat dalam balo lobang memiliki makna empat lapis perbuatan yang harus dimiliki khususnya seorang pria yaitu suara yang menghasilkan kata, kata menjadi perbuatan, dan perbuatan membentuk tingkah laku (Sulvinajayanti, 2014: 153) Keempat motif tersebut harus dimiliki oleh seorang pria agar dapat menjadi contoh bagi keluarga. Motif selanjutnya yaitu motif tettong.Motif ini hanya memiliki pola vertikal dalam selembar sarung sutera.Sarung dengan motif tettong menggunakan kombinasi dua warna atau lebih. Pada jenis tenunan ini, pengrajin mengangkat silangan pakan dan lungsi lalu menyelipkan benang berwarna lain untuk membentuk motif.
Gambar 3. Motif tettong (Foto: Putut Bayu Santiko, 2016) Motif ini memiliki makna bahwa keterikatan atau hubungan manusia dengan Sang Adi Kuasa yaitu TUHAN. Hal ini sejalan dengan kehadiran garis lurus keatas (vertikal) yang ada dalam motif tettong. Hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya merupakan hakekat yang harus dijalin dengan baik oleh manusia. Motif ini mengkomunikasikan hubungan
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 78-89
83
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
manusia dengan Tuhan melalui ajaranajaran agama. Pandangan tersebut selaras dengan keyakinan masyarakat Sengkang khususnya etnis Bugis, bahwa dalam menjalani kehidupan harus bersandar nilai-nilai religiusitas. Masyarakat Sengkang sangatlah menjujung nilai-nilai religiusitas terutama keyakinan terhadap agama Islam (Wawancara Herman, 22 Juli 2016). Motif klasik terakhir yang dibahas dalam penelitian ini yaitu motif bombang. Motif ini berupa geometrik segitiga sama sisi dan ramping. Bentuk sagitiga tersebut memenuhi lembar-lembar kain dari atas ke bawah secara repetisi (berulang). Motif bombang dengan bentuk segitiga sama sisi tersebut diatur berdekatan sehingga seperti deburan ombak. Kata bombangdalam bahasa bugis juga diartikan dengan ombak, pemahaman tersebut mempunyai makna kedekatan dengan kehidupan bahari di Sulawesi Selatan.
Gambar 4. Motif bombang (Foto: Putut Bayu Santiko, 2016) Motif ini menjadi simbolisasi jiwa bahari masyarakat bugis yang terkenal dengan pelaut ulung, dimana
ISSN 1979 - 7168
mata pencahariannya yaitu berdagang dan berlayar (Sulvianajayanti, 2011: 158). Maka dalam keseharian motif sarung sutera bombang digunakan untuk menunjukan keteguhan dan keberanian seorang lelaki dalam melamar perempuan, sesuai dengan jiwa kebaharian yang dimiliki leluhurnya. Upaya Menghadapi Industri Pariwisata Pariwisata telah menjadi salah satu industri yang memiliki peluang dalam menghasilkan devisa Negara. Industri pariwisata mempunyai dampak positif bagi perkembangan daerah, khususnya industri kreatif yang berbasis lokal. Tapi faktor lain yang juga mengkhawatirkan dari datangnya industri pariwisata tersebut salah satunya adalah pergeseran nilai otentisitas dalam kebudayan lokal. Namun menurut Urry dalam buku Sosiologi pariwasata menyebutkan bahwa kebudayaan memang selalu beradaptasi, termasuk menghadapi pariwisata, dan di dalam proses tersebut tidak berarti makna atau otentisitas otomatis hilang (Pitana, 2005: 137). Terlepas dari dampak-dampak di atas, Lipa’ Sabbe sebagai karya seni yang lahir dari budaya masyarakat Sengkang harus mampu menghadapi keberadaan industri pariwisata. Destinasi-destinasi yang berkembang pesat serta mempesona di Sulawesi Selatan turut mempengaruhi Sengkang sebagai derah penghasil sutera tertua untuk bersiap diri. Hadirnya wisatawan baik lokal maupun
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 78-89
84
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
internasional ke Kota Sutera berdampak pada eksistensi Lipa’ Sabbesebagai produk budaya beralih menjadi produk wisata.Berkaitan dengan hal ini Lipa’ sabbe tentunya harus berkontestasi sebagai produk wisata yang nantinya dapat memajukan perekonomian masyarakat dan menjadikan Sengkang sebagai pusat wisata khususnya sutera. Keberadaan Sarung Sutera (Lipa’ Sabbe) sebagai salah satu produk wisata unggulan kota sengkang diharapkan mampu menjadi jawaban akan tantangan industri pariwisata. Menurut Burns dan Holden dalam M. Liga Suryadana dan Vanny Octavia menyebutkan bahwa produk wisata yaitu segala sesuatu yang dapat dijual dan diproduksi dengan menggabungkan faktor produksi, konsumen yang tertarik pada tempattempat menarik, kebudayaan asli dan festival-festival kebudayaan. Dalam buku yang sama Kotler dan Amstrong juga memaparkan bahwa produk wisata sebagai sesuatu yang ditawarkan kepada konsumen atau pangsa pasar untuk memuaskan kemauan dan keinginan termasuk di dalam obyek fisik, layanan, SDM yang terlibat di dalam organisasi dan terobosan ide-ide baru (Suryadana dan Octavia, 2015: 46). Berdasarkan pemahaman diatas tentunya Lipa’ sabbedapat dimasukan dalam kategori obyek fisik yang bisa dijual dan dapat diproduksi untuk memuaskan keinginan wisatawan.Produk paket wisata merupakan kumulatif dari jasa yang dihasilkan oleh setiap komponen
ISSN 1979 - 7168
produk, yang berorientasi kepada kepuasan konsumen untuk mencapai kepuasan atas produk pilihan yang diinginkan atau dibutuhkannya (Nuriata, 2014:27). Tentunya untuk mendukung hal tersebut harus dipersiapkan dan dilakukan strategistrategi baik dari pengrajin, pengusaha dan pemerintah. Seperti diketahui Lipa‟ Sabbe pada awalnya bukan produk wisata yang komoditif, namun lebih digunakan untuk upacara adat dan kegiatan kebudayaan lainnya.Akan tetapi dengan datangnnya industri pariwisata tentunya merupakan sebuah tantang tersendiri bagi pengrajin, pengusaha dan pemerintah. Pertemuan ini merupakan kesempatan besar untuk mengembangkan dan melestarikan lipa’ sabbe sebagai identitas kota. Hal ini juga dijelaskan oleh De Kadat dalam Pitana yang menyebutkan bahwa kesenian, kerajinan, dan berbagai aspek kebudayaan lokal lainnya bisa mengalami revitalisasi akibat kedatangan pariwisata. Industri pariwisata merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh pengrajin yang masih memproduksi motif-motif tradisional. Dalam realitasnya motif-motif tradisional tersebut mulai surut karena corak keasliannya kurang menarik untuk dijadikan produk wisata. Motif-motif tersebut hanya digunakan untuk keperluan upacara adat dan koleksi pribadi, lalu bagaimana dengan tantangan industri pariwisata. Industri pariwisata mengharuskan sebuah produk memiliki nilai jual atau nilai komoditi yang nantinya dapat menarik konsumen khususnya wisatawan.
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 78-89
85
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Pembuatan produk baru menjadi solusi untuk kain sutra Sengkang bisa bertahan menuruti keiinginan pasar. Produk baru bisa ditelaah dari dua dimensi: baru bagi pasar dan baru bagi perusahaan, salah satu tipe produk baru berdasarkan kedua dimensi adalah penyempurnaan produk yang telah ada (Ciptono, Fandy. 2012: 270). Konsep J Maquet tentang art metamorphosis menjadi penting yaitu bagaimana motif tradisional/ klasik tersebut mengalami perubahan bentuk (corak). Strategi ini juga dilakukan oleh pengrajin kain sutra Sengkang yaitu dengan melakukan stilasi atau perubahan bentuk. Motif-motif tersebut dikombinasi dan divariasi dengan bentuk-bentuk yang menarik. Metamorfosis dilakukan dengan tidak merubah secara total motif tradisional namun dikombinasi dengan ornamen yang lebih variatif. Pengembangan inilah yang melahirkan motif yang disebut semi tradisional yang artinya adalah kombinasi dari berbagai pola dan motif. Menurut Sulvianajayanti motif semi tradisional merupakan perpaduan antara motif-motif tradisional yang dikombinasikan dengan teknik menyisipkan benang emas dan perak pada saat menenun sehingga menghasilkan tekstur timbul yang akan terasa pada saat kita meraba kain sutera tersebut (Sulvianajayanti, 2011: 115). Motif semi tradisional itu diberi nama yaitu Motif Curre “sobing’tetong, Motif Cure KDI, Motif Cure Bali Are’, Motif Curre’ Sobbing‟ Lobang, dsb.
ISSN 1979 - 7168
Motif-motif diatas membawa angin segarbagi perkembangan sarung sutra (Lipa’ Sabbe) Sengkang menuju industri Pariwisata. Motif-motif kombinasi hasil metamorphosis diatas dalam beberapa kesempatan laku di area-area destinasi wisata. Wisatawan akhirnya memiliki banyak pilihan untuk dijadikan buah tangan atau cindera mata saat melakukan perjalanan wisata di kota Sengkang. Menurut salah satu produsen Sutera berlabel Addeny di Desa Pakkanna Kecamatan Tanasitolo (kampung binaan BNI), menyebutkan bahwa motif semi tradisional memiliki potensi besar sebagai daya tarik untuk wisatawan, karena selain motif sarungnya yang menarik juga mereka memahami motif tradisonal yang hadir dalam motif-motif kombinasi tersebut.
Gambar 5. Motif Cure Sobbi Pucuk (Foto: Repro Sulvianajayanti, 2011) Strategi selanjutnya yang telah ditempuh pengrajin sutra yaitu dengan teknik akulturasi.Motif lipa’Sabbe tradisional tentunya harus dapat berakulturasi dengan kondisi dan situasi jaman yang tengah dihadapi.Upaya pengrajin salah satunya dengan menangkap isu-isu
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 78-89
86
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
yang tengah populer di masyarakat. Salah satu contohnya pengrajin mengakulturasikan motif tradisional Lipa’ Sabbe dengan fashion salah satu acara Dangdut di stasiun televisi swasta yaitu Kontes Dangdut Indonesia (KDI). Akulturasi ini menciptakan suatu citra dengan meminjam momen kepopuleran KDI, maka motif ini disebut Motif Cure’ KDI.Motif ini merupakan pengembangan dari motif kotak-kotak yang berukuran kecil. Motif ini diciptakan pada saat maraknya penonton kontes dangdut yang diadakan oleh stasiun TV (Sulvinajayanti, 2011: 116)
Gambar 6. Motif Cure KDI (Foto: Repro Sulvianajayanti, 2011) Strategi terakhir selain gubahan-gubahan motif tradisional yaitu dengan tourist art. Strategi memang khusus menyiapkan ruang bagi wisatawan. Menurut J. Maquet tourist art seperti menyediakan pameran khusus turis yang sedang berkunjung ke suatu tempat. Konsep tourist art telah dilakukan oleh pengrajin, pengusaha hingga pemerintahan yaitu dengan menggelar pameran sutera di destinasi-destinasi wisata.Kegiatan ini tentunya membuka
ISSN 1979 - 7168
peluang hadirnya motif-motif lipa’ sabbe tradisional. Karena dalam kegiatan seperti pameran dapat sajian beberapa alternatif motif dari tradisional, semi tradisonal, hingga modern. Upaya-upaya terkait dengan tourist art ini senada dengan apa yang dijelaskan pihak dinas pariwisata Sengkang Salahudin, yang menyebutkan bahwa pemerintah bekerjasama dengan pengusaha sutera di Sengkang telah menggelar pameran sutera, fashion Show dan pertunjukan tari. Dalam kesempatan ini semua mengenakan lipa’ Sabbe. Acara fashion show misalnya, disana memamerkan beberapa motif lipa’ sabbe yang telah digubah dalam bentuk pakaian, maupun asesoris seperti tas dan dompet. Pada pegelaran tari pun juga seperti itu, semua penari mengenakan kostum lipa’ sabbe dengan dipadukan pola gerak tari tradisional Sengkang. Bahkan di sengkang telah menamakan tari kreasinya dengan nama tari lipa’ Sabbe (Wawancara Salahudin, 22 Juli 2016). Upaya-upaya yang telah di lakukan pengrajin, pengusaha, dan pemerintah diatas atau dalam konsep J. Marquet disebut tourist art telah menampakan hasil yang signifikan. Dengan kegiatan tourist art tersebut masyarakat, pengrajin, dan khususnya wisatawan mengenal lebih jauh dari perkembangan motif tradisional lipa’ sabbe. Kegiatan semacam ini merupakan upaya strategis dalam menjawab tantang industri pariwisata.
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 78-89
87
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
PENUTUP Berbagai pendapat terkadang menunjukan bahwa pariwisata secara langsung „memaksa‟ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan industri pariwisata. Namun apa yang telah dilakukan masyarakat Sengkang khususnya pengrajin, pengusaha dan pemerintah terkait dengan keberlangsungan motif tradisional Lipa’ Sabbe bertolak belakang dengan pandangan pada umumnya. Motifmotif tradisional Lipa’ Sabbe justru mendapat tempat ketika harus bertemu dengan industri pariwisata. Kehadiranya industri pariwisata membuat pengrajin sutra berinovasi untuk membuat motif-motif tradisional tersebut menjadi ide dasar dalam penciptaan motif-motif yang baru. Seperti yang dijelaskan De Kadt bahwa suatu kesenian, kerajinan, dan berbagai aspek kebudayaan lokal lainnya bisa mengalami revitalisasi akibat adanya industri pariwisata yang tumbuh pesat.Revitalisasi yang dilakukan oleh pengrajin sutra di Sengkang bukan berarti menghilangkan nilai dalam motif tradisional yang ada, namun lebih pada pengembangan dari motif klasik tersebut. Karya inovatif yang berkembang juga tetap mempertahankan nilai-nilai filosofi yang ada dalam motif tradisional Lipa’ Sabbe. Kegiatan mengkombinasikan, mengharmonikan dan menginovasi yang bertujuan untuk pengembangan pariwisata bukan lagi kegiatan yang naif untuk
ISSN 1979 - 7168
dilakukandalam rangka melestarikan karya kebudayaan masyarakat Sengkang. KainSutera (lipa’ sabbe) merupakan warisan budaya yang harus dijaga kelestariannya. Keberadaan sutera dengan motif baru merupakan hasil kreatifitas jaman sebagai gambaran tentang keberhasilan difusi kebudayaan dari masyarakat Sengkang. Motif-motif tradisional yang dirasa mulai kehilangan kepercayaan dimasyarakat Sengkang ternyata mampu memenuhi tantang industri pariwisata dengan melalui berabagai hal diantaranya 1) Motif tradisional Lipa’ Sabbe hadir sebagai dasar untuk melakukan pengembangan/ inovasi desain yang lebih variatif, 2) Motif Tradisional Lipa’ Sabbe merelasikan serta mengkombinasi dengan motif-motif lain untuk mencapai bentuk yang estetis, 3) Nilai-nilai yang ada dalam motif tradisional Lippa Sabbe menjadi daya tarik wisata sebagai pengetahuan lokal (local wisdom). DAFTAR PUSTAKA Andi Eka Wahyuni. 2013. Motif Lippa Sabbe (Sarung Sutera) Sengkang Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013. Progam S-1 Pendidikan Tata Busana, Universitas Negeri Surabaya. Vol. 02. No. 02 Bagus, I. Gusti Ngurah. 1991. “Dari Obyek Ke Subyek Memanfatkan Pariwisata Sebagai Industri Jasa Dalam Pembangunan’ dalam Ilmu-ilmu Humaniora.
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 78-89
88
P3M Politeknik Pariwisata Makassar Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM Yogyakarta. Fandy Ciptono, Gregorius chandra. 2012. Pemasaran Strategik. Yogyakarta: andi Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaaan. 1992. Terj. Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius. Gelgel, I putu. 2006. Industri Pariwisata Indonesia : dalam globalisasi perdangan jasa (GATS-WTO) Bandung: Refika Aditama Nasrullah, Rulli. 2012. Komunikasi Antar Budaya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. Nuriata, 2014. Paket Wisata : penyusunan produk dan penghitungan harga. Bandung: alfabeta Koentowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1987. Pitana, I Gde dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. R.M Soedarsono. 1999. Seni Pertunjukan Indonesia dan
ISSN 1979 - 7168
Pariwisata. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia Sulvinajayanti. 2014. Makna Pesan Komunikasi Pada Motif Kain Sutera Sengkang Pilihan Konsumen Di Kota Makassar: Analisis Semiotika. Tesis. Universitas Hasanudin: Makassar. Sumardjo, Jakob. 2010. Estetika Paradoks. Bandung: Sunan Ambu Press STSI Bandung Suryadana, M. Liga. dan Vanny Octavia. 2015. Pengantar Pemasaran Pariwisata. Bandung: Alfabeta. Wardiyanta. 2010. Metode Penelitian Pariwisata. Yogyakarta: Andi Yogyakarta. Yoeti, Oka A. 2005. Perencanaan Strategis Pemasaran. Daerah Tujuan Wisata. Jakarta: Pradnya Paramita. Daftar Wawancara Herman (Budayawan dan Seniman di Kota Sengkang) Salahudin (Dinas Pariwisata Sengkang
Jurnal Kepariwisataan, Volume 10, No. 02 Agustus 2016, Halaman 78-89
89