OTONOMI DAERAH, PENGUATAN POLITIK IDENTITAS DAN PENGARUHNYA TERHADAP INTEGRASI NASIONAL Arif Budiman ABSTRAKSI Implementasi otonomi daerah di Indonesia memiliki dampak negatif sekaligus positif. Pada positifnya, kebijakan tersebut mendorong terjadinya pemerataan kesempatan dan akses bagi pembangunan ekonomi dan politik di daerah. Sedangkan negatifnya muncul manakala para pemimpin atau elite di daerah memahami kebijakan otonomi secara berlebihan dengan cara memperlakukannya sebagai „penguasaan‟ sumber-sumber ekonomi dan jabatan-jabatan politik oleh orang asli daerah setempat dan menonjolkan identitas kedaerahan dalam bentuk simbol-simbol etnisitas maupun kegamaan. Penguatan politik identitas ini, meski merupakan keniscayaan dalam negara majemuk, dapat mengancam integrasi nasional. Menonjolkan perbedaan dan mengabaikan persamaan dalam jangka panjang dapat memicu terjadinya disintegrasi. Melalui sebuah kajian kepustkaan, diketahui terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan agar kemajemukan tidak menjadi sumber perpecahan. Upaya-upaya tersebut antara lain dengan cara menumbuhkan „solidaritas emosional‟ dan „solidaritas fungsional‟ serta mengembangkan common domain yang mengandung shared values demi menciptakan kebersamaan diantara warga negara
Kata kunci: Otonomi Daerah, Politik Identitas, Integrasi Nasional, Solidaritas Emosional, Solidaritas Fungsional, Common Domain
A. Pendahuluan Sebagai sebuah bangsa yang memiliki banyak suku, agama, ras, bahasa, dan adat istiadat, Indonesia menghadapi tantangan yang tidak mudah dalam meramu keberagaman. Alih-alih menjadi sebuah kekuatan, jika tidak dikelola secara tepat dan benar keberagaman justru sewaktu-waktu malah menjadi faktor penyebab terjadinya konflik sosial atau bahkan memicu disintegrasi nasional. Sejak awal, para pendiri bangsa Indonesia telah menyadari akan realitas sosial politik masyarakat Indonesia yang sarat keragaman ini. Sebagai bukti, para pemimpin bangsa pada masa awal kemerdekaan telah berupaya merumuskan sebuah gagasan besar tentang cara pandang bangsa Indonesia tentang dunia yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Dengan rumusan tersebut, para pendiri bangsa menegaskan tekad untuk membangun sebuah masyarakat yang senantiasa terbuka dan bersedia untuk hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda latar belakang, baik agama, etnik, bahasa,
dan lain sebagainya. Dengan sikap mental tersebut, cita-cita untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera dan bangsa besar yang disegani dapat lebih mudah dicapai. Langkah lain yang diambil oleh penyelenggara pemerintahan terkait upaya memperkokoh integrasi nasional adalah dengan cara mengakomodir berbagai kepentingan sosial dan politik dari berbagai kelompok masyarakat. Salah satu kebijakan nyatanya adalah implementasi otonomi daerah. Melalui kebijakan tersebut diharapkan terjadi pemerataan akses dan kesempatan khususnya secara politik bagi setiap kelompok masyarakat yang hidup di Indonesia. Sayangnya kebijakan tersebut kemudian banyak disalahpahami. Otonomi daerah tidak hanya dipahami sebagai pelimpahan kewenangan dari pusat kepada daerah. Lebih dari itu, bagi banyak elite politik di daerah, kebijakan ini juga diperlakukan sebagai perumusan kembali dan penguatan garis-garis eksklusivisme dan parokhialisme. Akibatnya yang muncul kemudian adalah isu mengenai putra daerah, politik kesukuan, etnisitas birokrasi, politisasi agama, serta kebangkitan adat.
B. Identifikasi Masalah Pemahaman yang kurang tepat mengenai penerapan otonomi daerah ini menggejala hampir di seluruh daerah otonom di Indonesia, khususnya pada tingkat kabupaten/kota. Pada banyak kesempatan pemilihan kepala daerah, isu mengenai putra daerah, latar belakang etnis dan agama dari para kandidat masih sering ditemukan seperti yang muncul pada pemilukada di Kalimantan Barat, Lampung, dan DKI Jakarta. Demikian halnya dengan kebangkitan adat istiadat. Daerah saling berlomba menggali kembali identitas budaya dan adat istiadatnya. Sebagai contoh, Pemerintah Kota Solo gencar menggelar festival kebudayaan lokal dalam bentuk kirab budaya, memakai baju batik dengan corak batik setempat, dan penggunaan bahasa lokal dalam berbagai acara resmi pemerintahan. Begitupun dengan daerah-daerah yang memiliki sejarah „monarki‟ seperti Cirebon, Banjar, Ternate, Tidore, dan kerajaan-kerajaan lain yang dahulu pernah hidup di nusantara.
C. Perumusan Masalah Berbagai fenomena penguatan politik identitas tersebut menarik perhatian peneliti untuk mencari penjelasan mengenai sejauh mana hal tersebut akan berdampak pada
kekokohan integrasi nasional bangsa Indonesia. Oleh karena itu, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah penguatan politik identitas di Indonesia berpengaruh terhadap kekuatan integrasi nasional?
D. Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kepustakaan. Peneliti menelusuri berbagai sumber/literatur yang berkaitan dengan politik identitas untuk kemudian menggunakannya sebagai alat analisa untuk menjelaskan pengaruh penguatan politik identitas terhadap integrasi nasional Indonesia
E. Tinjauan Teoritis Otonomi daerah telah membawa impilkasi yang sangat besar pada sistem pemerintahan di Indonesia. Perubahan sistem pemerintahan tersebut juga membawa apa yang disebut Aspinal dan Fealy (dalam Sulistyono, 2010:2) sebagai implikasi bagi konfigurasi politik dan birokrasi di aras lokal. Distribusi kekuasaan ke tingkat lokal menjadikan kekuatan-kekuatan primordial menjelma menjadi sebuah kekuatan politik dan menjadi penentu arah kepentingan politik komunitas tertentu, baik berupa komunitas politik maupun kelompok kepentingan lainnya. Kondisi sosiologis dan antropologis masyarakat lokal yang masih dipengaruhi oleh sistem primordial etnisitas menjadikan politik identitas etnis menjelma sebagai daya tawar dalam arena politik dan birokrasi. Otonomi daerah yang seharusnya menempati domain hukum, bergeser menjadi domain politik akibat fragmentasi elit yang berbasis pada kesukuan mengedepankan politik identitas sebagai alat untuk mempercepat dan memperuncing dialektika wacana isu otonomi daerah. Bagi elit, isu otonomi daerah layaknya dua keping mata uang, di satu sisi isu otonomi daerah merupakan ruang perebutan relasi kuasa, yaitu ruang untuk menjaga legalisasi pemerintah atas diri dan basis etnisitasnya melalui penguasaan birokrasi. Di sisi yang lain, kegagapan cara pandang masyarakat etnis tentang konsepsi elitnya yang mulai kabur akibat degradasi sistem modern dan demokrasi, menjadikan siapapun yang mampu merebut ruang kekuasaan pemerintahan dan menjadi elit politik, juga akan mendapatkan legitimasi ke-elit-an dalam sistem kultural etnis (Diputra, 2008) Secara teoretis, Lawrence Pratchett dalam tulisannya Local Autonomy, Local Democracy and the 'New Localism sebagaimana dikutip Sulistiyono (2010:8)
mengemukakan, otonomi daerah dapat diinterpretasi dalam tiga dimensi: freedom from, freedom to, dan perefleksian (kebangkitan) identitas lokal. Interpretasi pertama menekankan pentingnya dimensi kewenangan yang dimiliki daerah atau diskresi, yang dimaknai bebas dari campur tangan pemerintah pusat. Kewenangan ini harus dijamin melalui penetapan ketentuan formal. Semakin besar kewenangan yang dimiliki daerah, berarti semakin besar pula otonominya. Tentu interpretasi ini bisa menjadi sensitif, terutama bila dikaitkan dengan konsep kedaulatan negara dan kebutuhan menjaga keutuhan wilayah, karena dengan penekanan pada freedom from seakan-akan setiap daerah ingin berdaulat sendiri-sendiri. Kedaulatan negara dan kebutuhan menjaga keutuhan wilayah negara tentu mengharuskan campur tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat pasti tidak menghendaki ada daerah yang bebas sama sekali dari campur tangannya. Karena itu, dimensi ini tidak dipahami sebagai kewenangan penuh atas suatu wilayah, melainkan kewenangan (penuh) dalam urusan-urusan tertentu di wilayah yang bersangkutan. lni pun masih memancing perdebatan. lnterpretasi kedua Iebih menekankan pada dimensi fungsional atau pencapaian hasil
(outcomes)
tertentu,
yaitu
kemampuan
daerah
untuk
memajukan
atau
mengembangkan daerah dengan mengidentifikasi permasalahan, menetapkan solusi, dan menggalang dukungan serta sumber daya dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat. Dalam hal ini otonomi dimaknai bebas untuk memajukan daerah, bebas untuk berkreasi, dan bebas menggalang dukungan, tidak harus dengan memiliki kewenangan sendiri secara penuh, melainkan justru dengan kerjasama-kerjasama. Sementara itu, interpretasi ketiga mengartikan otonomi daerah sebagai kesempatan untuk mengekspresikan identitas politik dan budaya daerah. Otonomi daerah memberi kesempatan dan peluang untuk partisipasi dalam pembuatan keputusan dan pengelolaan sumber daya dengan sekaligus mengekspresikan cara-cara lokal, sehingga proses-proses politik lokal makin mengekspresikan dan mengaktualkan identitas politik lokal. Agnes
Heller,
sebagaimana
dikutip
oleh
Ubed
Abdillah
(2002:22),
mengasumsikan politik identitas sebagai politik yang memfokuskan pembedaan sebagai kategori utamanya yang menjanjikan kebebasan, toleransi, dan kebebasan bermain (free play) walaupun memunculkan polapola intoleransi, kekerasan dan pertentangan etnis. Politik identitas dapat mencakup rasisme, bio-feminisme, environmentalism (politik isu lingkungan), dan perselisihan etnis.
Identitas paling tidak bersumber pada agama, etnisitas, ras, bangsa, dan bahasa. Selain itu identitas juga bisa bersumber pada gender, profesi/pekerjaan, status sosial dan kelas ekonomi atau kategorisasi sosial lainnya. Pada setiap orang kategorisasi ini bisa hadir secara bersamaan satu persatu, sebagian kecil atau sebagian besar dari kategorisasi sosial tersebut. Secara kontekstual, Frans Magnis-Suseno (2011) mengungkapkan bahwa “politik identitas” merupakan sebuah identitas primordial yang menjadi acuan dasar identitas seseorang dan oleh karena itu, orang itu akan mengambil sikap dan keputusan politik dari sudut keuntungan bagi kelompoknya yang sama identitasnya. Apabila identitas primordial itu adalah agama, maka orang itu pertama-tama merasakan diri sebagai warga agama dan bukan sebagai warga negara. Giddens, seperti dikutip Adri (2011:80) membagi identitas kedalam dua kategori; identitas sosial dan identitas diri. Identitas sosial berasosiasi dengan hak-hak normatif, kewajiban, sanksi, yang pada kolektivitas tertentu, membentuk peran. Pemakaian tandatanda yang terstandarisasi, khususnya yang terkait dengan atribut badaniah umur dan gender, merupakan hal yang fundamental di semua masyarakat, sekalipun ada begitu banyak variasi lintas budaya yang dapat dicatat. Identitas sosial seseorang sangat dipengaruhi oleh dunia sosial di mana dia hidup. Melalui dunia sosial ini orang jadi punya peran. Giddens selanjutnya menjelaskan bahwa identitas diri (self identity) terbangun oleh kemampuan untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membangun suatu perasaan terus menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Narasi identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis: „”Apa yang harus dilakukan? Bagaimana bertindak? Dan ingin jadi siapa?” Individu berusaha mengkonstruksi narasi identitas koheren di mana diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan. Jadi identitas bukanlah sifat distingtif, atau bahkan kumpulan sifat-sifat, yang dimiliki individu. Ini adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks biografinya. Lebih jauh Collins (dalam Adri, 2011:80) mengatakan bahwa identitas memiliki kandungan politis di dalamnya. Pengertian politis ini baik dari proses pembentukan identitas yang dipengaruhi oleh hal-hal yang politis, maupun penggunaannya dalam relasi-relasi yang bersifat politis. Pemikiran Collins berkembang dari situasi yang terjadi
di Amerika Serikat sebagai reaksinya atas problem rasisme terhadap kaum Negro dan kulit berwarna lainnya. Identitas musti dipahami dalam konteks “kelainan” (Others) dan “pellainan” (Othering). Kedirian subyektif dan kolektif kita hanya mungkin dipahami dan dihadirkan dalam “perbedaan” kita dengan yang “lain.” Perbedaan kemudian membuat kita jadi bisa memahami di mana posisi sosial kita sebagai satu identitas tertentu. Menjadi Inggris mustilah dipahami dalam konteks adanya yang lain yaitu Jerman, Prancis, Belanda dan yang lain. Menjadi Negro mustilah dilihat dalam kehadiran adanya Asia yang Coklat dan Barat yang Putih. Stuart Hall (dalam Adri, 2011:80) membedakan identitas dalam tiga cara yaitu pertama, sebagai subyek pencerahan yang memiliki kemampuan nalar dan bertindak dalam memahami dirinya. Identitas dalam artian ini berpusat pada diri subyektif; kedua, sebagai subyek sosiologis yang dibentuk dalam kaitan di luar kediriannya sebagai subyek pencerahan. Dia merupakan kedirian yang mengarah pada subyek-subyek lain yang berpengaruh terhadapnya yang menempatkan subyek dalam kerangka nilai, makna dan simbol, kebudayaan di sekitarnya. Dan yang ketiga adalah identitas sebagai subyek paskamodern yang menempatkan subyek sebagai yang sama sekali berbeda, yang merupakan kombinasi dari beragam sumber identitas dan tidak satu arah. Identitas adalah biografi subyektif yang utuh dalam keragaman dan keberbedaannya. Meskipun mendapat banyak kritik, menurut Hall, identitas ini tidak pernah sepenuhnya hilang karena dia mengalami kemunduran yang sifatnya relatif. Sehingga identitas subyektif tetap ada dalam kedirian esensial kita. Identitas subyektif ini merupakan sebuah perjalanan yang berkesinambungan ketika dia bertemu dengan dunia di luar dirinya yang menjadi pusat kedirian subyektif ini. Pertemuan identitas ini kemudian mengalami penafsiran dan pemaknaan ulang mengenai kediriannya dan di mana posisi lokasi sosialnya dalam sebuah identitas kolektif. Jika pada dua tipologi di atas identitas sebagai sesuatu yang cenderung konstan dan selalu dimantapkan, ditempatkan dan diperkuat, maka identitas sebagai subyek paskamodern merupakan subyek yang sekaligus
kolektif secara bersamaan, sebagai
proses yang tidak pernah berakhir, tidak pernah lengkap, selalu sebagai sebuah proses yang berkelanjutan dimana kedirian orang selalu dibentukulangkan, ditafsirulangkan, dinegosiasiulangkan, secara kreatif. Kedirian subyektif dan kolektif tidak bersifat tunggal, tapi majemuk, lentur dan heterogen. Hall mencontohkan dirinya sendiri sebagai “Negro” yang mengacu pada Afrika, Karibia dan sekaligus Inggris yang telah berabad-abad hadir
di Inggris. Begitu juga Orang Inggris (Englandman) tidak sepenuhnya mereka adalah Kulit Putih yang hanya bersangkutan dengan Eropa. Inggris adalah orang-orang yang tidak pernah melewatkan hari-harinya tanpa secangkir teh. Tak ada teh dan gula yang tumbuh di daratan Britania Raya, semua berasal dari Afrika. Sehingga “gigi” Orang Inggris adalah sangat Afrika, sangat Negro.
F. Dinamika Politik Identitas di Indonesia Sejarah Indonesia mencatat cukup banyak persoalan yang terkait dengan politik identitas. Konflik tersebut ada yang bersifat horizontal dan ada juga yang vertikal. Dari sisi horizontal, setidaknya ada tiga persoalan yang kerap terjadi di Indonesia yakni konflik agama, konflik antarsuku, dan konflik antarwilayah. Peristiwa konflik antarpemeluk agama di Ambon masih menyisakan trauma mendalam pada diri setiap penduduk yang tinggal di wilayah tersebut. Data lain menunjukkan bahwa sepanjang Orde Baru terdapat 609 gereja ditutup (paksa), dirusak dan dibakar. Nasib yang sama juga terjadi pada 55 buah mesjid. Periode paling menyedihkan adalah dalam kurun waktu 1985-1999 dimana terjadi penutupan (paksa), perusakan, dan pembakaran terhadap 48 mesjid dan 474 gereja (Santoso: 2000:112-113). Daniel Dakhidae (2003:514) menyebut kebijakan politik negara (Orde Baru) turut andil atas terjadinya berbagai peristiwa tersebut. Ia mengungkap motif negara dengan mengatakan bahwa Orde Baru telah menjadikan agama sebagai suatu diskursus yang diproduksikan, dipilih dan dipilah, diorganisir bahkan didistribusikan oleh negara, untuk dijadikan alat mengamankan kekuasaan. Dalam perspektif yang hampir mirip dengan Dakhidae, Budiman Sudjatmiko (2012:75) mengatakan bahwa kehadiran politik identitas pada masa kini merupakan antitesis dari kekuatan politik yang sentralistis dan hegemonik selama Orde Baru berkuasa. Kemunculan politik identitas secara massif direpresentasikan dengan munculnya beberapa kekuatan politik yang mengusung simbol dan ideologi Islam. Selain konflik antarpemeluk agama, Indonesia juga kerap kali dihadapkan pada persoalan konflik antaretnis. Diantara yang paling mengenaskan adalah konflik yang terjadi antara etnis Melayu dan Dayak dengan etnis Madura di Kalimantan Barat. Sepanjang periode 1996-2000 setidaknya telah terjadi tiga kali kerusuhan besar; pertama, kerusuhan Sanggau-Ledo yang berlangsung antara akhir tahun 1996 sampai awal 1997; kedua, kerusuhan Sambas yang terjadi pada awal tahun 1999, dan; terakhir, kerusuhan yang terjadi pada Oktober 2000 di Pontianak. Dari ketiga peristiwa tersebut ratusan orang
tewas, ribuan rumah terbakar, dan jumlah pengungsi mencapai ribuan orang. (Setiawan dan Nainggolan: 2001:3-6) Belakangan, kemunculan berbagai organisasi kemasyarakatan yang berbasis agama turut memperkuat wajah politik identitas di Indonesia. Organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan semacamnya yang senantiasa hadir dengan tampilan radikal dan eksklusif senantiasa mendominasi atmosfer politik Indonesia. Menurut Siti Musdah Mulia (2012:45-46), arus politik identitas umat Islam, terutama yang digawangi oleh kelompok fundamentalis, paling tidak telah melahirkan tiga bentuk kekerasan. Pertama, kekerasan fisik seperti pengrusakan, penutupan tempat ibadah, seperti gereja dan masjid maupun tindakan kekerasan fisik lainnya yang menyebabkan obyek kekerasan tersebut menjadi terluka, trauma, maupun terbunuh. Kedua, kekerasan simbolik, yang dapat berupa kekerasan semiotik seperti berbentuk tulisan-tulisan atau ceramah-ceramah yang bernada melecehkan sesuatu agama. Ketiga kekerasan struktural, yang berbentuk kekerasan yang dilakukan oleh negara, baik melalui perangkat hukum maupun aparatnya sendiri. Lebih lanjut Mulia mengatakan bahwa Politik identitas yang dibangun dan bermunculan di banyak wilayah di Indonesia memperlihatkan kecenderungan dua pola, yaitu positif dan negatif atau bahkan destruktif. Untuk pola yang kedua tampak pada kelompok-kelompok Islam yang mengukuhkan identitasnya dengan menafikan, menyingkirkan, dan memberantas yang lain. Logika seperti ini dikembangkan berdasarkan apa yang disebut Jacques Derrida sebagai prinsip ”oposisi biner” atau Michel Foucault sebagai ”logika strategis” seperti modern-tradisional, superior-inferior, mayoritas-minoritas, Barat-Timur, Islam-kafir (sesat), dan lain sebagainya. Terlepas dari itu semua, sejatinya politik identitas merupakan sebuah keniscayaan sepanjang tidak merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan mengancam integrasi nasional. Keberadaan sebuah bangsa, sebagaimana dikemukakan oleh Ernest Renan (dalam Prasodjo, 2001: 190) hanya mungkin terjadi bila ia memiliki suatu nyawa, suatu asas-akal, yang tumbuh dalam jiwa rakyat sebelumnya yang menjalani satu kesatuan riwayat, dan sekarang memiliki kemauan, keinginan hidup menjadi satu. Terkait hal tersebut, Bung Karno (dalam Prasodjo, 2001:190) berpendapat bahwa keinginan hidup menjadi satu bangsa itu dasarnya bukan nasionalisme sempit atas kesatuan ras, bahasa, agama, persamaan butuh, ataupun sekedar batas-batas negeri, namun lebih didasarkan pada nasionalisme yang longgar, nasionalisme yang luhur,
nasionalisme yang mementingkan kesejahteraan manusia Indonesia, dan yang mengutamakan persahabatan dengan semua kelompok (inklusif). Proses nation building inilah yang pada gilirannya nanti sangat berguna bagi penguatan integrasi nasional. Penguatan integrasi nasional, menurut Prasodjo (2001:192) dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain; pertama, melalui pengelolaan kreatif untuk menumbuhkan “solidaritas emosional” dalam bingkai kebangsaan. Setiap kelompok memahami budaya kelompok lain sehingga muncul sensitivitas dalam berintekasi. Selain itu, pengelolaan negara juga harus diarahkan sedemikian rupa sehingga kebijakankebijakan yang dijalankan tidak menciptakan rasa keterbuangan (marginal) dalam diri tiap-tiap warga negara. Kedua, nation buliding harus dilanjutkan dengan melakukan pengelolaan kehidupan bernegara sedemikian rupa sehingga menumbuhkan “solidaritas fungsional”, yakni solidaritas yang didasarkan pada ikatan saling ketergantungan (interdependensi) satu sama lainnya, baik di bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Selain dua strategi diatas, penguatan integrasi nasional juga bisa dilakukan dengan cara mengembangkan common domain yang mengandung shared values untuk dijadikan sebagai representasi kolektif. Christine Drake (dalam Pariela, 2011:102) menyebutkan empat faktor yang dapat dimanfaatkan sebagai peluang untuk membangun common domain, yaitu (1) kesamaan sejarah dan politik berbangsa; (2) kesamaan atribut-atribut sosial budaya; (3) interaksi di antara komunitas-komunitas yang mempunyai beraneka ragam atribut sosial budaya; dan (4) saling ketergantungan dan kesetaraan ekonomi antar daerah.
G. Kesimpulan dan Saran Politik identitas adalah keniscayaan dalam sebuah bangsa yang majemuk. Penguatan politik identitas dapat bermakna positif atau sebaliknya negatif atau bahkan destruktif terhadap bangunan integrasi nasional. Untuk membuatnya positif maka diperlukan kesediaan dari tiap-tiap kelompok masyarakat untuk memahami kelompok lain sehingga tercipta interaksi yang konstruktif. Selain itu, pemerintah juga mesti menghindari kebijakan yang berpotensi menghadirkan marginalisasi terhadap kelompokkelompok tertentu yang pada tahapan berikutnya dapat memicu „pemberontakan‟ akibat perlakukan yang tidak adil. Berikutnya, perlu adanya upaya untuk mengembangkan common domain sebagai sarana menciptakan kebersamaan diantara warga negara. Dengan begitu, integrasi nasional dapat tetap dipertahankan.
Daftar Pustaka Adri. 2011. Kontestasi Politik Identitas dalam Fenomena Illegal Logging di Perbatasan Indonesia-Malaysia. Jurnal Communication Spectrum, Vol. 1 No. 1, Februari-Juli 2011. ISSN : 2087-8850 Abdillah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang: IndonesiaTera Bhakti, Ikrar Nusa dan Riza Sihbudi (ed.), 2002, Kontroversi Negara Federal, Penerbit: Mizan, Bandung Dhakidae, Daniel. 2003. Cendikiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Diputra, Yadi Surya. 2008. Analisa Kekuatan Politik Etnisitas dalam Proses Pemekaran Provinsi Sumbawa. Makalah yang disampaikan dalam seminar internasional PERCIK ke-9 dengan tema Dinamika Politik Lokal di Indonesia "Politik ldentitas: Agama, Etnisitas, dan Ruang/Space dalam Dinamika Politik Lokal di Indonesia dan Asia Tenggara" yang dllaksanakan pada 15 Juli 2008 di Kampoeng Perclk Salatiga Ma‟arif, Ahmad Syafi‟i. 2012. Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita. Yayasan Abad Demokrasi. Jakarta Santoso, Thomas., Paul Tahalele., Frans Parera (ed). 2000. Indonesia di Persimpangan Kekuasaan, Dominasi Kekerasan Atas Dialog Publik. Go-East Institute dan Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI). Surabaya Setiawan, Bambang dan Bestian Nainggolan. 2001. Sosok Negeri Sarat Konflik Identitas. Dalam Indonesia 2001 kehilangan Pamor. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta Sulistyono, Djoko. 2010. Representasi Etnis dalam Birokrasi: Pergulatan Demokrasi di Aras Lokal. Hasil Penelitian. Balitbang Kemendagri, Jakarta Suseno, Frans Magnis. 2011. Agama dan Politik Identitas. Diskusi Panel “Politik Identitas”, Gelanggang Mahasiswa Universitas Sumatera Utara, 25 Mei 2011 Jurnal Masyarakat Indonesia Jilid XXIX No. 2 Tahun 2003, diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Penerbit: LIPI Press, Jakarta
Analisis Kritis Penerapan Undang-undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen : Antara Upaya dan Realitas Oleh : Delly Maulana
ABSTRAK
Beban kerja, kompensasi dan kinerja merupakan bagian-bagian yang tidak dipisahkan untuk menciptakan profesionalisme pada sumber daya manusia Guru dan Dosen, karena dari ketiga elemen ini akan terlihat sejauhmana profesionalisme Guru dan Dosen dalam melakukan pekerjaanya. Layak atau tidak layak Guru dan Dosen disebut sebagai profesi akan terlihat dari tingkat kinerja Guru dan Dosen serta kompensasi yang diterimanya. Undang-undang Guru dan Dosen merupakan suatu jawaban dari pemerintah untuk bisa menciptakan kedua profesi ini menjadi salah satu profesi yang bermartabat. Tetapi dalam perjalannya undang-undang ini pun menimbulkan pro-kontra. Kata Kunci : Undang-undang Nomor 14 Tahun 2004, Guru dan Dosen, dan Pendidikan
Pendahuluan
Pendidikan yang berkualitas dan merata bagi anak bangsa Indonesia merupakan modal utama untuk bisa keluar dari krisis multidimensional. Bangsa kita saat ini telah bosan dengan fenomena kemiskinan yang dikarenakan oleh faktor kebodohan. Fenomena-fenomen tersebut seharusnya ditanggapi serius oleh negara, yakni dengan membuat kebijakan yang bertujuan untuk bisa menciptakan tingkat kualitas pendidikan yang baik dan merata bagi masyarakat Indonesia. Dengan kondisi tersebut maka tingkat kemiskinan yang disebabkan oleh faktor kebodohan bisa turunkan secara signifikan.
Tabel 1 Perbandingan Peringkat Indeks Pembangunan Manusia di Asia
Negara
Tahun 2002
2003
2004
2005
2007
Malaysia
59
58
59
61
63
Thailand
70
74
76
73
78
Filipina
77
85
83
84
90
China
96
104
94
85
81
Indonesia
110
112
111
110
107
Vietnam
109
109
112
108
105
Kamboja
130
130
130
130
131
Myanmar
127
131
132
129
132
Laos
143
135
135
133
130
Sumber : Human Development Report 2007-2008
Data Human Development Index (HDI) menunjukkan bahwa Indonesia tidak pernah menempati posisi yang membanggakan, yakni tidak pernah menempati posisi di bawah 100. Di dalam Human Development Index (HDI) terdapat indikator kualitas pendidikan, oleh karena itu semakin buruk tingkat HDI-nya maka semakin buruk kualitas pendidikan pada suatu Negara tersebut. Kondisi di atas menunjukkan bahwa kualitas pendidikan di Negara kita sangat jauh kualitas pendidikan dibandingkan dengan Negara lain di Asia Tenggara (kecuali Laos, Kamboja, dan Myanmar). 1 Apabila melihat realitas saat ini, maka tenaga pendidik yang belum memenuhi kualifikasi standar nasional sekitar 65 %, dan masih banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang keahliannya, serta yang paling menonjol adalah pendistribusian guru yang hanya sebatas di daerah perkotaan saja. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan kemampuan 1
Perlu diketahui bahwa data Human Development Index terdapat indikator pendidikan salah satunya.
pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan Guru. Kondisi ini mendorong Pemerintah untuk berupaya menempatkan status Guru pada posisi semula, yaitu sebagai profesi. Profesi Guru dalam UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan profesi yang setingkat dengan Dokter, Akuntan, dan Psikolog. Untuk itu, Guru harus memiliki sertifikat, sehingga merekapun harus mengikuti uji sertifikasi.2 Kisah Oemar Bakri dalam judul lagu Iwan Flas merupakan sebuah lagu yang mengkisahkan perjalanan guru yang sangat memprihatinkan, isi lagu yang paling saya ingat adalah bagaimana sang Guru hanya mengendarai sepeda butut (jelek) dari jaman jepang sampai sekarang. Itu merupakan kisah Guru yang terjadi di Indonesia, kesejahteraan mereka memprihatinkan, mudah-mudahan dengan terciptanya undang-undang ini bisa mengangkat derajat Guru dan Dosen, karena mau tidak mau mereka merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan nasional. Peningkatan derajat tersebut harus digambarkan dengan tingkat kesejahteraan mereka, seperti kompensasi yang layak, jaminan hari tua, serta peningkatan prestasi mereka. Secara normatif ketiga hal tersebut harus di dapatkan oleh Guru dan Dosen, karena indikator tersebut merupakan hak yang harus diterimanya, sehingga kisah Guru di Indonesia yang memprihatinkan secara kesejahteraan tidak terjadi lagi. Tentu apabila ada hak pasti ada kewajiban, kewajiban Guru dan Dosen adalah bagaimana kedua profesi tersebut tergambarkan oleh tingkat kualitas Guru dan Dosen melalui rekruitmen dan kinerja. Rekruitmen dan kinerja Guru dan Dosen harus mempunyai standarisasi yang sudah di standarkan oleh undang-undang ini, yakni harus profesional. Keprofesionalitasan seorang Guru dan Dosen harus tertuang dalam mekanisme yang termenejemen dengan baik, seperti perjanjian kerja atau kesepekatan kerja, pemutusan hubungan kerja, kualifikasi akademik, kompetensi, serta sertifikasi. 3 Analisis yang dicoba dikembangkan oleh penulis adalah bagaimana undang-undang ini mengatur beban kerja, kompensasi dan indikator-indikator keberhasilan kinerja Guru dan Dosen dalam melakukan kegiatannya. Perlu diketahui bahwa loyalitas dan idelisme merupakan faktor utama yang harus dimiliki oleh Guru dan Dosen, apabila kedua hal tersebut tidak dimiliki maka yang terjadi adalah pendidikan yang hanya di ukur oleh uang. Tetapi loyalitas dan idealisme tidak boleh melupakan kesejahteraan profesi ini, sehingga kompensasi yang layak dan perlindungan mereka harus wajib direalisasikan oleh pemerintah. Nah yang
2 3
Pernyataan Bambang Soedibyo dalam koran sinar harapan 23-11-06. Di kutip dari Undang-undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
menjadi pertanyaan besar adalah apakah pemerintah sudah merealisasikan undangundang tersebut dengan baik ?, dan apakah undang-undang tersebut sudah menciptakan rasionalitas tentang hal itu ?.
Analisis Beban Kerja Guru dan Dosen dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 serta Realitasnya. Analisis beban kerja merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan dalam perencanaan sumber daya manusia, hal tersebut dikarenakan bahwa analisis ini sangat berhubungan dengan banyaknya tugas-tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan organisasi dan bagian organisasi. Oleh karena itu, terlebih dahulu harus dimiliki informasi yang berkaitan dengan kemungkinan pekerjaan-pekerjaan yang akan dihadapi dengan melakukan peramalan-peramalan terhadap perubahan lingkungan pekerjaan yang harus dihadapi. 4Sedangkan perencanaan itu sendiri dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya sumber daya manusia yang berkualitas. Beban kerja sangat terkait dengan analisis angkatan kerja, karena analisis ini menyajikan informasi terhadap seberapa besar beban pekerjaan yang harus dilakukan oleh setiap pekerja. Di dalam analisis ini selain memperhitungkan waktu dan jumlah karyawan yang dibutuhkan untuk melaksankan tugas, juga harus diperhitungkan ketidakhadiran dan pergantian tenaga kerja5. Apabila jika dikaitkan dengan analisis beban kerja yang ada pada tenaga Guru dan Dosen di Indonesasia secara realitas, maka yang ada di benak saya adalah apakah dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang hanya mengandalkan rasional politik, tanpa melihat rasional yang lainnya, seperti kualitas Guru dan Dosen. Misalnya, apakah kebijakan pemerintah yang mengangkat guru bantu tanpa test akan menciptakan kualitas guru ?, apakah telah sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja dibidang pendidikan ?, dan yang terakhir adalah apakah dengan kebijakan tersebut akan menciptakan kualitas pendidikan di Indonesia ?, walaupun nantinya ada kebijakan setrtifikasi, lagi-lagi apakah dengan stratifikasi Guru dan Dosen tidak akan menciptakan beban biaya, serta terhindar dari praktek KKN yang kotor ?. Pertanyan-pertanyaan tersebut seharusnya bisa dijawab oleh pemerintah dengan menghindari
4 5
Di kutip dari buku Sumber Daya Manusia oleh Hardiyanus dan Heruanto, hal 76. Ibid hal 76
kebijakan-kabijakan yang mengedepankan rasional politik, tanpa melihat rasional yang lainnya seperti ekonomi, hukum, sosial, dan yang lainnya. Sehingga jawaban-jawaban yang diimplementasikan melalui program-program tersebut akan terhindar dari kata ”irasional”. Apabila kita melihat beban kerja seorang Guru dan Dosen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Guru dan Dosen yang mempunyai visi menciptakan Guru dan Dosen sebagai tenaga profesional yang bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga yang demokratis dan bertanggung jawab. Beban kerja Guru mencakup kegiatan pokok dalam melaksanakan pendidikan yakni seorang Guru terlebih dahulu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pemebelajaran, menilai hasil pembelajaran. Seorang guru diharapkan bisa membimbing dan melatih peserta didik serta memberikan tugas tambahan kepada peserta didik. Beban kerja guru sebagaiman dimaksud di atas, sekurang-kurangnya melaksanakan 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyknya 40 jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. Demikian halnya dengan beban kerja seorang dosen mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran, melakukan evaluasi pembelajaran, membimbing dan melatih, melakukan penelitian, melakukan tugas tambahan serta melakukan tugas tambahan, serta melakukan pengabdian kepada masyarakat. Dalam melaksanakan tugas pokok seorang Dosen sekurangkurangnya sepadan 12 Satuan Kredit Semester (SKS) dan sebanyak-banyaknya 16 SKS.6 Apabila dalam keadaan darurat pemerintah dapat memberlakukan ketentuan wajib kerja kepada Guru dan Dosen yang memenuhi kualifikasi akademik untuk melaksanakan tugas sebagai Guru dan Dosen di daerah khusus di Wilyah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi terhadap pembangunan nasional di bidang pendidikan. Guru dan Dosen diharapkan dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan seni dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indinesia 1945. Serta menjamin perluasan dan pemerataan akses, peningkatan mutu dan relevansi, serta tata pemerintahan yang baik dan akuntabilitas
6
Di kutip dari UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
pendidikan yang mampu menghadapi tantangan sesuai dengan ketentuan perubahan kehidupan lokal, nasional dan global. 7 Profesionalitas Guru dan Dosen secara normatif sangat ditonjolkan dalam undangundang ini, hal ini terlihat dari undang-undang yang menonjolkan untuk menuntut Guru dan Dosen supaya bisa merencanakan pembelajaran secara sistimatis dan bermutu tinggi, membimbing dan melatih peserta didik dan melaksanakan tugas tambahan lainnya yang berkaitan dengan sistem pendidikan, bukan hanya mengejar dikelas saja. Tetapi apakah kenormatifan kebijakan tersebut telah terealiasi dalam program-program yang di implementasikan oleh pemerintah, apakah kenormatifan tersebut juga telah sesuai dengan anggaran yang di ajukan dalam APBN dan APBD untuk menciptakan keprofesionalitasan profesi ini. Jangan sampai keprofesionalitasan kerja yang dituangkan dalam beban kerja tidak sesuai dengan kompensasi yang diterima oleh Guru dan Dosen. Masalah yang sangat pelik dihadapai oleh bangsa ini adalah rasioanlitas keadilan dalam pendistribusian Dosen dan Guru yang tidak menunjukan keadilan bagi sebagian Dosen dan Guru yang berada di luar Jawa terutama yang berada di Indonesia bagian timur. Hal ini sangat berpengaruh pada beban kerja yang berat yang diterima Guru dan Dosen di luar Jawa terutama yang berada dibagian Indonesia Timur. Keadilan tersebut juga sangat berpengaruh pada tingkat kualitas pendidikan di bagian Indonesia tersebut, tetapi dari dulu sampai sekarang keadilan tersebut belum terealisasikan. Hal ini diperkuat oleh data BPS tahun 2005 yang menunjukan pendistribusian Guru yang timpang terutama bagi daerah bagian Indonesia Timur. Pendistribusian Guru untuk Propinsi Papua hanya 4.905 orang, sedangkan Propinsi Maluku hanya 6.974 orang. Bandingkan dengan Propinsi Jawa Barat yang mempunyai Guru sebanyak 68.938.8
Analisis Kompensasi Guru dan Dosen dalam Undang-undang No. 14 Tahun 2005 serta Realitasnya Apabila kita melihat kutipan Suara Merdeka pada tanggal 15/11/06 tentang permasalahan yang ada di undang-undang No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang dikhawatirkan mandul dan tidak bisa dioperasionalkan. Sejumlah indikasi menunjukkan 7 8
ibid Data di ambil dari Statistik Indonesia tentang Perbandingan Guru SMP di Berbagai Propinsi
undang-undang tersebut tidak efektif. Kalaupun dipaksakan, tidak akan tepat sasaran. Indikasi-indikasi itu antara lain belum ada peraturan pemerintah atau peraturan pelaksanaannya. Dari 16 materi dalam undang-undang Guru dan Dosen semestinya juga dibuat 16 rancangan peraturan pemerintah/pelaksana. Namun ternyata hanya dibuat satu rancangan peraturan pemerintah/pelaksanaan, yang merupakan gabungan 16 materi. Apabila dicermati isinya, rancangan peraturan pemerintah/pelasanaan guru juga mengatur materi yang tidak diperintahkan undang-undang Guru dan Dosen, seperti tunjangan fungsional dan sanksi. Akibatnya, timbul duplikasi atau tumpang-tindih antara undangundang Guru dan Dosen dan rancangan peraturan pemerintah Guru. Misalnya tunjangan fungsional yang sudah diatur tuntas undang-undang Guru dan Dosen. Dalam rancangan pemerintah/pelaksana diatur lagi dengan syarat diperluas yang justru tidak diatur di undangundang guru dan dosen. Seharusnya delapan syarat mendapatkan tunjangan fungsional dalam rancangan pemerintah/pelaksana itu batal demi hukum. Sebab, bertentangan dari undangundang induknya undang-undang Guru dan Dosen. Indikasi lain ketidakefektifan undangundang Guru dan Dosen itu akibat ketidaksiapan dan ketidakmauan pemerintah untuk melaksanakannya. Seperti kewajiban Pemerintah Pusat dan daerah memenuhi kebutuhan Guru, baik kuantitas maupun kualitasnya. Namun yang terjadi, untuk menghitung saja pemerintah kini kesulitan. Juga belum atau tidak adanya dukungan APBN/APBD menjadikan ketidakefektifan undang-undang yang disahkan setelah penetapan APBN/APBD ini. Masih menjadi teka-teki, apakah pada perubahan APBD provinsi akan dianggarkan atau tidak.9 Kutipan di atas merupakan permasalahan yang terjadi pasca dikeluarkannya undangundang Guru dan Dosen yang hanya menuntut untuk mengedepankan agar Guru dan Dosen menjadi tenaga kerja yang profesional, tetapi tuntutan tersebut tanpa di ikuti oleh realitas pelakasanaannya. Agar tidak menjadi isapan jempol saja, maka pemerintah harus bisa merealisasikan undang-undang tersebut dengan memberikan kesejahteraan kepada dua profesi tersebut dengan kompensasi yang layak. Apabila kita contohkan dengan membandingkan antara pejabat publik seperti anggota dewan, hakim, jaksa dan lainya dengan seorang Profesor yang nota benenya merupakan karir terpuncak dalam profesi pendidikan yang membutuhkan akan pengorbanan baik secara materi dan imateri, maka yang terjadi adalah kesedihan belaka, sebab kompensasi yang diterima oleh Profesor hanya beberapa cuil 9
Dikutip dari Ketua LKBH PGRI Cabang Jawa Tengah dan Pusat, Taruna SH, dalam seminar "Masa Depan Guru, Pengembangan Profesi dan Problematikanya", yang diselenggarakan UPT Dinas P dan K Kecamatan Bejen bersama PGRI setempat, di Balai Desa Bejen, yang di publikasikan oleh suara merdeka pada tanggal 1511-06.
persen saja dibandingkan dengan pejabat publik. Nah inilah wajah pendidikan kita yang rela menyampingkan pendidikan sebagai roda pembanguan bangsa, apabila pendidikannya bobrok maka pembangunanya pun akan bobrok juga. Kompensasi secara defenitif adalah segala sesuatu yang diterima oleh pegawai sebagai balas jasa (kontra prestasi) atas kerja mereka. Pada dasarnya kompensasi merupakan kontribusi yang diterima oleh pegawai atas pekerjaanya yang telah dikerjakan. Program kompensasi penting bagi suatu organisasi atau instansi untuk mempertahankan sumber daya manusiannya sebagai komponen utama dan merupakan komponen biaya yang paling penting.10Kompensasi merupakan buah hasil dari pekerjaan yang dilakukan oleh Guru dan Dosen, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pemerintah telah menanyakan kepada Guru dan Dosen tentang layak atau tidaknya kompensasi yang diterima oleh mereka ?. Apabila kita melihat sistem kompensasi yang ada disektor swasta, maka kita akan melihat mekanisme yang sangat mengedepankan responsifitas perusahaan dalam sistem kompensasinya, langkah awal yang dilakukan oleh perusahaan adalah menanyakan kompensasi yang akan di ajukan oleh pelamar dalam sistem rekruitmen, sehingga pekerja akan menjadi “enjoy” dalam melakukan pekerjaan. Di sektor swasta pun terdapat asuransiasuransi yang sifatnya mensejahterakan pegawainya, oleh karena dalam sektor swasta kompensasi akan sangat berpengaruh secara signifikan dalam motivasi kerja. Di sektor swasta pun kompensasi tidak dapat di terima begitu saja tanpa adanya evaluasi kinerja dari masing-masing pegawai, sehingga reward and punishment dalam sektor swasta akan sangat dikedepankan, tetapi perlu digaris bawahi bahwa dalam sektor swasta pun banyak juga yang tidak melakukan hal tersebut, karena kenyataanya banyak juga sektor swasta yang mengekpsloitasi pegawai, seperti pegawai buruh-buruh yang rendahan. Nah sekarang bagaimana dengan sektor publik, dalam hal ini pada sistem kompensasi pada Guru dan Dosen yang di atur dalam undang-undang Guru dan Dosen yang sangat mengedepankan profesionalisme. Dalam undang-undang ini terdapat defenisi penghasilan, penghasilan adalah hak yang diterima oleh Guru atau Dosen dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan
atas dasar prestasi dan
mencerminkan martabat Guru dan Dosen sebagai pendidik profesional. Pengahasilan tersebut terealisasi melalui pemberian tujangan profesi, tunjangan khusus. Di dalam undang-undang 10
Dikutip Ambar Teguh dan Rosidah dalam buku manajemen sumber daya manusia, hal 206.
ini pun ada namanya maslahat tambahan kepada Guru dan Dosen, maslahat tambahan adalah merupakan tambahan kesejahteraan yang diperoleh dalam bentuk tunjangan pendidikan, asuransi pendidikan, beasiswa, dan penghargaan bagi Guru serta mendapatkan kemudahan dalam pelayanan sperti pendidikan, kesehatan, atau dalam bentuk kesejahteraan lainnya. Sedangkan gaji adalah hak yang diterima oleh Guru atau Dosen atas pekerjaannya dari penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan dalam bentuk finansial secara berkala sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kompensasi yang direncanakan akan diberikan oleh pemerintah kepada Guru dan Dosen dalam bentuk tunjangan profesi diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.Tunjangan profesi tersebut dialokasikan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Janji pemerintah yang akan menciptakan kesejahteraan bagi Guru dan Dosen mudah-mudahan akan menjadi kenyataan, dan akan tercantum pada APBN dan APBD bukan hanya sebagai isu saja, sehingga kisah Oemar Bakri tidak terjadi lagi di Indonesia.
Analisis Evaluasi Kinerja Guru dan Dosen Pasca Keluarnya Undang-undang No. 14 Tahun 2005 serta Realitasnya Evaluasi kinerja, kompensasi, dan sanksi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan-pisahkan secara normatif, misalnya dari evaluasi kinerja akan bisa dilihat layak atau tidaknya pegawai tersebut mendapatkan kompensasi yang layak, begitu juga dengan pemberian sanksi. Tetapi rasionalitas tersebut kurang begitu diperhatikan dalam organisasi publik, sehingga yang terjadi adalah rasionalitas ”pintar bodoh dapat kompensasi yang sama” tanpa memilah milih mana pegawai yang layak atau tidak layak mendapatkan kompensasi yang lebih, atau dapat dikatakan bahwa pada organisasi publik kurang mengedepankan rasionalitas reward and punishment dalam pengukuran kinerja. Secara defenisi kinerja menurut Bernaridn & Russel adalah merupakan catatan outcome yang dihasilkan dari fungsi tertentu atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Sedang kinerja suatu jabatan secara keseluruhan sama dengan jumlah (ratarata) dari kinerja fungsi pegawai atau kegiatan yang dilakukan. Pengertian kinerja disini tidak
bermaksud menilai karakteristik individu tetapi mengacu pada seringkaian hasil yang diperoleh individu selama periode waktu tertentu. Pengertian kinerja adalah hasil dari prestasi kerja yang dicapai seorang karyawan sesuai dengan fungsi dan tugasnya pada periode tertentu.11 Pada kasus ini, apakah undang-undang Guru dan Dosen sudah mengedepankan rasionalitas reward and punishment dalam penilaian kinerja, sehingga kata-kata profesionalisme akan bisa di tampilkan secara nyata. Sebab profesionalitas secara defenisi adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Dengan mengedepankan profesionalitas maka yang harus dikedepankan adalah bagaimana pemerintah bisa menciptkan regulasi-regulasi serta dapat di implementasikan secara nyata melalui program-program yang sifatnya menciptakan kondisi kinerja yang baik, kondisi kinerja yang baik akan bisa terealisasikan apabila pemerintah memberikan kompensasi sesuai dengan nilai profesionalitas. Di dalam undang-undang ini sudah bagus secara konsep, tetapi ada beberapa hal yang masih kurang begitu operasional, sehingga harus ada produk hukum lainnya (peraturan pemerintah) dalam menjabarkan secara operasional, tetapi penjabaran tersebut harus sesuai dengan hukum diatasnya. Oleh karena itu pengaturan dalam menciptakan pegawai yang profesional melalui penilaian kinerja yang terperinci secara jelas batas-batasannya sehingga tidak ada lagi ”bodoh pintar sama saja”. Sistem rekruitmen yang baik, kompetensi, dan sistem sertifikasi yang baik serta pengedepanan evaluasi kinerja merupakan bagian yang sangat harus dilakukan oleh pemerintah, tetapi pengedepanan tersebut harus di ikuti oleh penghapusan kesempatankesempatan yang akan menciptakan kondisi yang berbau pada KKN, apabila kata-kata KKN tersebut masih ada dalam realitasnya, maka regulasi sebaik apapun akan menjadi tidak efektif dalam implementasi. Apabila di paparkan secara operasional maka hal yang harus diperhatikan adalah bagaimana sistem rekruitmen tersebut mengedepankan kompetensi, seperti tes tertulis yang mengedapankan kompetensi secara profesional baik secara teori, rancangan pembelajaran,
11
Ibid hal
strategi pembelajaran, serta membuat evaluasi pembelajaran yang dilakukan oleh kedua profesi ini yang nantinya akan di berikan kepada mahasisiwa untuk Dosen. Dan untuk Guru diberikan kepada orang tua murid serta kepada teman sejawatnya, sehingga nuansa-nuansa keprofesionalismean akan tercapai dengan baik. Dan yang paling utama adalah bagaimana pimpinan bisa memberikan penilaian yang netral kepada bawahan yang meliputi, antara lain kedisiplinan, keteladanan, etos kerja kemampuan dalam pembelajaran, dan lain-lain yang biasanya dilakukan melalui supervisi. Ttetapi penilaian tersebut akan berefek positif apabila ada keteladanan dari pimpinannya.
Penutup Sebuah Rekomendasi Beban kerja, kompensasi dan kinerja merupakan bagian-bagian yang tidak dipisahkan untuk menciptakan profesionalisme pada sumber daya manusia Guru dan Dosen, karena dari ketiga elemen ini akan terlihat sejauhmana profesionalisme Guru dan Dosen dalam melakukan pekerjaanya. Layak atau tidak layak Guru dan Dosen disebut sebagai profesi akan terlihat dari tingkat kinerja Guru dan Dosen serta kompensasi yang diterimanya. Undangundang Guru dan Dosen merupakan suatu jawaban dari pemerintah untuk bisa menciptakan kedua profesi ini menjadi salah satu profesi yang bermartabat. Tetapi dalam perjalannya undang-undang ini pun menimbulkan pro-kontra sehingga penulis akan memberikan rekomendasi yang sifatnya membangun agar undang-undang ini menunjukan taringnya dalam meregulasi kegiatannya. Rekomendasi yang saya ajukan adalah : 1. Pemerintah harus bisa konsisiten dalam mengimplementasikan kebijakannya, dengan menciptakan regulasi dibawah undang-undang agar bisa dilihat secara operasional, tetapi regulasi tersebut tidak boleh tumpang tindih. 2. Esensi dalam undang-undang ini. yakni menciptakan profesionalisme Guru dan Dosen harus di ikuti oleh ukuran-ukuran kinerja secara operasional pada regulasiregulasi. Sehingga akan terlihat mana Guru dan Dosen yang layak untuk mendapatkan reward dan mana Guru dan Dosen yang layak mendapatkan punishment. 3. Kesejahteraan merupakan tujuan dari undang-undang ini, oleh karena itu sistem kompensasi yang sesuai dengan kata profesionalime dapat di realisasikan dengan
memberikan kompensasi yang layak. Kelayakan kompensasi tersebut harus di ikuti oleh regulasi secara operasional. Sehingga akan terlihat berapa persenkah Guru dan Dosen yang akan mendapatkan kompensasi, terutama kompensasi tunjangan profesi. 4. Sistem rekruitmen yang merasionalkan kompetensi harus dijalankan dengan betulbetul terutama bebas dari KKN. 5. Pemberian sertifikasi pun harus dilakukan dengan sistem yang transparan, sehingga jangan sampai Guru dan Dosen merasionalkan segala cara apapun untuk mendapatkan sertifikasi, meskipun dengan ”sogok menyogok”. 6. Politic will dari penguasa dan elemen lain adalah jalan yang harus ditempuh untuk bisa merealisasikan kebijakan ini, baik melalui APBN dan APBD atau melalui sistem rekruitmen.
Daftar Acuan Sulistiyani, Ambar Teguh, dan Rosidah, Manajemen Sumbertdaya Manusia: Konsep teori dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2003. Suharyanto, Hardiyanus dan Heruanto Agus, Manejemen Sumber Daya Manusia, Media Wacana, Yogyakarta, 2005. Taruana, Masa Depan Guru, Pengembangan Profesi dan Problematikanya, Suara Merdeka, Semarang, 15-11-06. Sinar Harapan 23-11-06 BPS, Tingkat Kemiskinan pada tahun 2006. Undang-undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen
Partai Lokal dan Demokratisasi Lokal (Menerawang Aceh Pasca Pemilu Legislatif) Oleh : Muahammad Yusri Abstrak Bagi masyarakat Aceh, gagasan mengenai partai politik lokal adalah merupakan jalur politik yang diambil untuk menciptakan proses demokratisasi yang sering diartikan bagi masyarakat Aceh adalah Proses Perdamaian. Setelah penandatangan perjanjian antara Pemerintah RI dengan GAM di Helsinky dilaksanakan, maka pada tahap awal partai lokal harus dipandang sebagai sebuah alternatif untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat lokal. Namun keberlanjutan partai lokal sangatlah ditentukan oleh seberapa besar respon masyarakat Aceh terhadap kinerja pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal. Dengan kata lain, popular tidaknya partai lokal Aceh akan ditentukan oleh rakyat Aceh sendiri. Kalau mereka puas terhadap konsistensi pemerintah Indonesia dalam menerapkan kebijakan-kebijakan yang disepakati untuk dilakukan, kecenderungan masyarakat Aceh untuk memilih partai nasional akan lebih besar ketimbang memilih partai lokal. Demikian pula sebaliknya, kalau masyarakat Aceh merasa kecewa dan diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat, maka partai lokal akan cenderung menjadi pilihan politik mereka.
Kata Kunci : Demokrasi Lokal dan Partai Lokal
Pendahuluan Sejak penandatanganan nota kesepahaman antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia pada Agustus 2005 lalu di Helsinky-Finlandia, banyak perubahan yang terjadi menyangkut bentuk kelembagaan Negara ini. Terutama menyangkut hubungan pusat dengan daerah. Salah satu poin penting dalam perjanjian tersebut adalah diberikannya kewenangan terhadap Aceh untuk mendirikan Partai Lokal. Hasil dari perjanjian tersebut kemudian diundangkan dalam Undang-Undang No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Hasil nota kesepahaman RI-GAM di Helsinky dipandang sebagai jalan politik yang signifikan, khususnya untuk menciptakan Aceh yang damai dan demokratis, dan untuk meredam gejolak mantan GAM yang merasa tersumbat aspirasi politiknya selama ini. Asumsinya dengan kesepakatan damai itu dan dibentuknya partai lokal, diharapkan konflik dan kekerasan yang terjadi di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dapat diselesaikan melalui jalur politik. Lebih dari itu, dalam jangka panjang kehadiran partai lokal di Aceh diharapkan menjadi lembaga politik yang penting untuk menyalurkan aspirasi warga lokal di Aceh. Dengan demikian, kemungkinan aspirasi mereka yang tidak terakomodasi dalam kebijakan publik ditingkat nasional bisa dijembatani melalui partai lokal. Sebagai tindak lanjut dari bekerjanya harapan tersebut, maka dibentuklah partai lokal untuk dipersiapkan mengikuti pemilu legislatif 2009 yang akan bersaing dengan partai nasional. Paling tidak ada enam partai lokal yang bertarung dalam pemilu legislatif 2009 yang telah berlangsung sejak 9 April kemarin, diantaranya adalah Partai Aceh (PA), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Atjeh (PBA), Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), dan Partai Daulat Aceh (PDA). Dari enam partai lokal tersebut akan bertarung bersama dengan partai-partai Nasional. Namun dengan diberlakukannya partai lokal di Aceh tersebut, tidak serta merta akan membuat berhentinya konflik baik itu yang bersifat horizontal maupun vertikal. Sebab dengan berakhirnya tuntutan Aceh untuk merdeka dengan memilih cara damai untuk bergabung kembali dalam Negara kesatuan republik Indonesia, bukan berarti beberapa persoalan seperti hubungan antara pusat dan daerah, dinamika antara partai lokal dan partai nasional, dinamika antara partai lokal dengan partai lokal, serta dinamika antara masyarakat lokal dengan pemerintah lokal akan berakhir pula. Karena masih
banyak yang perlu dibenahi menyangkut kelembagaan partai politik. Seperti misalnya terjadinya Gap antara sistem kepartaian nasional dibawah UU No. 2 tahun 2008 partai politik dengan UU no 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh, sharing power antara partai lokal dengan partai lokal lainnya, serta bagaimana partai lokal menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat ditingkat lokal bisa jadi merupakan pemicu utama berlangsungnya konflik baru jika tidak dikawal dengan baik . Terbukanya kran demokrasi lokal disatu sisi akan menciptakan demokratisasi lokal namun disisi lain jika tidak hati-hati justru akan menciptakan banyak persoalan ketika tidak di ikuti oleh pelembagaan demokrasi. Tulisan ini akan mencoba mengulas mengenai latar belakang munculnya partai politik lokal di beberapa Negara, gagasan partai politik lokal di Aceh, serta dari beberapa pengantar tersebut akan melihat keterkaitan antara partai lokal dan pengaruhnya dengan terhadap demokratisasi lokal di Aceh. Sejarah Munculnya Gagasan Mengenai Partai Lokal di Beberapa Negara Partai politik merupakan komponen sistem politik modern, yang bersendikan perwakilan politik. Dalam perkembangan sejarah menuju Negara-bangsa yang modern. Dalam Negara-negara modern, badan perwakilan politik atau parlemennya (house of representative) pada awalnya anggota-anggotanya ditentukan oleh raja, yang memerlukan dukungan elit biasa dalam berhadapan dengan kalangan bangsawan. Di Eropa Barat raja mengangkat tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap penting. Tentu saja sistem ini tidak memuaskan rakyat, yang telah menyadari hak-haknya sebagai manusia merdeka. Untuk itu, sistem pemilihan wakil rakyat pun diubah. Belajar dari kekurangan sistem sebelumnya, diadakanlah pemilihan umum oleh rakyat. Karena itu, untuk melembagakan sistem politik tersebut, partai politik menjadi komponen penting dari struktur politik demokratis, menjadi perantara antara penguasa dan warga Negara yang memilih penguasa tersebut. Semakin demokratis sebuah Negara, kian mungkinlah partai politik melaksanakan fungsi utamanya. Sejatinya partai politik ada di tangan rakyat dalam mengatur Negara secara bersama. Karena rakyat sendiri mempunyai perbedaan-perbedaan sosial yang besar, misalnya dalam hal agama, suku, aliran atau ideologi, dan kepentingan ekonomi, maka partai politik pun terbelah menurut fakta pembelahan sosial yang ada (social cleavages).
Gagasan mengenai partai politik lokal sebenarnya sudah sejak lama. Hal ini dapat kita lihat dari munculnya partai buruh di Inggris didirikan pada tahun 1900 antara lain oleh beberapa partai buruh lokal (a small number of local Labour Parties). Di Amerika Serikat, partai politik lokal muncul pada tahun 1900 dengan berdirinya Home Rule Party of Hawaii untuk melayani aspirasi pribumi Hawaii di legislatif Negara bagian dan kongres, namun partai ini hanya bertahan hingga tahun 1912. Definisi partai lokal sendiri adalah partai politik yang jaringannya terbatas pada suatu daerah (provinsi atau Negara bagian) atau beberapa daerah, tetapi tidak mencakup semua provinsi (nasional). 12 Secara sederhana, partai politik lokal dapat dipahami sebagai partai politik yang didirikan dan berbasis di daerah, serta bekerja untuk kepentingan daerah. Partai demikian menjadi lokal karena ia tidak mau menjadi partai nasional, dan karena itu hanya ingin terlibat dalam proses politik di daerah. Kekuatan partai politik lokal terletak pada kedekatannya dengan konstituen atau pemilih. Sebuah partai politik dapat juga disebut partai politik lokal jika ia tidak memenuhi persyaratan hukum yang berlaku untuk dapat disahkan sebagai partai politik nasional. Artinya, partai politik lokal tidak harus diartikan sebagai partai politik yang hanya bergerak dan mempunyai struktur disatu wilayah (provinsi) saja. Definisi partai lokal demikian terdapat misalnya di India. Selain itu, partai politik lokal di negara-negara yang mengakui keberadaan partai politik lokal memiliki tujuan yang berbeda-beda, yang pada umumnya dapat dikategorikan menjadi tiga.13 Pertama, partai politik lokal yang melindungi dan memajukan hak ekonomi, sosial, budaya, bahasa, dan pendidikan dari kelompok minoritas tertentu. Misalnya, partai politik lokal yang ada di Finlandia bekerja untuk memproteksi etnis Swedia yang merupakan etnis minoritas. Kedua, partai politik lokal yang menginginkan otonomi untuk daerahnya atau menegakkan dan meningkatkan hak-hak otonomi yang telah dimiliki daerah itu. Ini merupakan alasan umum dari keberadaan partai politik lokal.
12
Ahmad Farhan Hamid, Partai Politik Lokal di Aceh ; Desentralisasi Politik dalam Negara kebangsaan,
hlm, 34 13
Marbawi, “NAD, dari Tsunami ke Gagasan Partai Lokal”, Media Indonesia, 18 Maret 2005; Denny Indrayana, “Partai Politik Lokal di Aceh?”, Kompas, 19 Juli 2005.
Dan Ketiga, partai politik lokal yang secara eksplisit memperjuangkan kemerdekaan wilayahnya dan membentuk Negara baru. Umumnya hal ini dilatarbelakangi oleh perkembangan sejarah yang panjang atau perbedaan kultural yang tegas. Partai politik lokal jenis ini terdapat di Kerajaan Inggris, yaitu wilayah Skotlandia dan Wales, yang memperjuangkan kemerdekaan kedua wilayah tersebut. Di Spanyol, partai politik lokal yang terdapat di Catalonia dan Basque juga menuntut kemerdekaan wilayahnya. Di provinsi Quebeq (yang mayoritas penduduknya berbahasa Perancis karena dahulu dijajah oleh Perancis) juga terdapat partai politik lokal, the parti Quebecois, yang mempunyai agenda memerdekakan Quebeq dari negara kesatuan Kanada (dengan bahasa nasional Inggris). Demikian pula sejarah partai politik lokal di Indonesia sebenarnya bisa ditelusuri jauh ke masa awal perkembangan kepartaian di bumi Nusantara. Akibat penolakan pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan status badan hukum kepada Sarekat Islam secara nasional, maka organisasi politik ini memecah diri menjadi Sarekat Islam Lokal. Dengan kebijakan ini pemerintah Hindia Belanda bermaksud memutuskan hubungan Sarekat Islam Lokal dengan struktur nasional atau pusatnya, 14 yang disebut Centraal Sarekat Islam yang baru diakui sebagai badan hukum pada tahun 1916. Disisi lain muncul pula partai-partai politik di daerah, tetapi tidak bersifat kedaerahan atau provinsialis, 15 namun bersifat nasional dalam tujuan, meski strukturnya hanya berkembang di daerah saja. Di antara partai politik lokal demikian adalah : partai Sarekat Slebes, yang kemudian bergabung ke dalam Partai Indonesia Raya (Parinda); Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), yang memulai hidupnya sebagai “Partai Surabaya”, dan meskipun kemudian mengembangkan dirinya ke Jawa Tengah dan Jawa Barat, PBI tetap saja menjadi “partai daerah Jawa Timur” 16; Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di Sumatra barat, meski setelah Indonesia merdeka Perti yang berubah menjadi partai dapat bermain dalam forum politik nasional. 17
14
George Mc Turnan Kahin, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik : Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (Surakarta-Jakarta: Sebelas Maret University Press-Sinar Harapan, 1995, hlm 90; Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1994, hlm 119. 15 Istilah provinsialisme sebagai ancaman bagi kebangsaan Indonesia telah dikemukakan oleh Sutan Alisjahbana dalam polemik kebudayaan pada akhir tahun 1930-an. Lihat Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan (Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian PP&K, 1954). 16 Jhon Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934 (Jakarta: LP3ES, 1988. 17 Deliar Noer, Bunga Rampai dari Negeri Kanguru: Kumpulan Karangan (Jakarta: Panji Masyarakat, 1981), hlm. 208.
Setelah Indonesia merdeka, partai-partai politik hanya bergerak di suatu daerah juga bermunculan. Misalnya, Panguyuban Pasundan, yang berdiri pada tahun 1914 (aktif dalam PPPKI dan GAPI), dan berganti nama menjadi Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI) pada bulan Januari 1949; atau Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI), yang berdiri pada tanggal 19 Januari 1946 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Mungkin saat itu, sebagai konsekuensi terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), bermunculanlah partai-partai politik di negara-negara bagian RIS. Herbert Feith18 menyebut ada empat jenis peserta pemilihan umum 1955, yakni : partai-partai besar (major parties, yaitu PNI, Masyumi, NU, dan PKI), partai-partai menengah (medium-sized parties, yaitu PSII, Parkindo, PSI, Perti, dan IPKI), kelompokkelompok kecil yang berskala nasional (small groups of nation-wide significance, seperti PRN, PIR, Partai Buruh, Partai Murba, PRI, dll.), dan kelompok-kelompok kecil ditingkat daerah (small groups of regional significance). Kelompok terakhir ini, katanya, terdiri dari partai, organisasi politik, dan calon perseorangan yang bersifat kedaerahan atau kesukuan. Masuk dalam kelompok terakhir ini Persatuan Rakyat Desa (PRD), Partai Rakyat Indonesia Merdeka (PRIM), Gerakan Pilihan Sunda, Partai Tani Indonesia (PTI), dan Gerakan Banteng di Jawa Barat; Grinda di Yogyakarta (saat itu masuk Jawa Tengah); AKUI di Jawa Timur; Partai Persatuan Dayak di Kalimantan Barat; dan Persatuan Indonesia Raya-Nusa Tenggara Barat (PIR-NTB) di NTB. Dalam catatan Feith, satu-satunya kelompok daerah/kesukuan yang berhasil memperoleh kursi dalam pemilihan umum 1955 untuk DPR adalah Partai Persatuan Dayak. Sisanya tidak berhasil di DPR, tetapi ada yang memperoleh kursi di Konstituante. Karena itu pula, partai politik local ini juga tidak mempunyai kekuatan yang berpengaruh di daerahnya. Di Jawa Timur yang dimenangi NU, AKUI hanya menempati urutan ke-19. Di Jawa Tengah yang dimenangi PNI, Grinda berada di urutan ke-18. Di Jawa Barat yang dimenangi Masyumi, Gerakan Banteng di urutan ke-20, PRD ke-21, dan PTI ke-23. Di Kalimantan Barat yang juga dimenangi Masyumi, Partai Persatuan Dayak berada di urutan ke-10. Di NTB yang juga dimenangi PNI, PIR-NTB malah berada di urutan ke-12, bahkan dikalahkan oleh PIR Hazairin-dalam kategori Feith termasuk “kelompok kecil yang berskala nasional”.
18
Herbert Feith, The Indonesian Election of 1955, Interim Reports Series, Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, Ithaca, New York, 1971, Cetakan kedua, hlm, 61.
Namun sayangnya, catatan lebih mendalam mengenai organisasi dan ideologi partai-partai politik lokal di Indonesia itu sulit ditelusuri, diperlukan sebuah studi literatur yang mendalam untuk mengetahuinya. Sejarah Munculnya Gagasan Mengenai Partai Lokal di Aceh Partai politik lokal di Indonesia, yang ramai dibicarakan pada tahun 2005-2006, sebenarnya sudah muncul beberapa tahun sebelumnya, sebagai salah satu solusi perdamaian dalam rangka menyelesaikan konflik daerah Aceh dengan pemerintah Republik Indonesia (RI). Gagasan mengenai Partai politik lokal di Aceh tentu sangat berbeda ketika membandingkan dengan konsep partai lokal pada era 1950-an. Gagasan mengenai partai politik lokal di Aceh terpusat pada konflik yang berkepanjangan antara pusat dan daerah. Konflik antara daerah Aceh dan Pusat telah dikenal sejak tahun 1953 dimana pecah “pemberontakan kaum Republikan” dibawah pimpinan Teungku Muhammad Dawud Beureu-eh. Pemberontakan ini berakhir melalui dialog damai, dengan turun gunungnya Tgk. Dawud pada Hari Raya Idul Adha tahun 1962 untuk bersatu kembali membangun Aceh dalam wadah NKRI. Konflik kembali muncul pada bulan Desember 1976, dengan tokoh baru bernama Tgk. Hasan Muhammad di Tiro. Berbeda dengan generasi tua yang Republikan (tetap setia pada RI), Tgk. Hasan Tiro lebih menyuarakan tuntutan Aceh merdeka. Namun, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini ditumpas secara militer; beberapa pimpinan GAM yang selamat hijrah keluar negeri, termasuk Tgk. Hasan Tiro sendiri. GAM yang sudah melupakan kejadian itu muncul kembali pada tahun 1989 di Aceh, dipimpin oleh beberapa desertir TNI/Polri dan tokoh-tokoh lokal, sebagai akibat dari sistem represif dan opresif yang dilakukan oleh pemerintah Orde baru untuk memenangkan Golkar dalam pemilihan umum 1987. Kebangkitan GAM ini disikapi pemerintah dengan menggelar operasi militer, seperti Operasi Jaringan Merah atau memberlakukan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Status DOM yang baru dicabut pada tanggal 7 Agustus 1998 itu, menyisakan luka hati yang dalam bagi masyarakat Aceh yang hak asasi manusia (HAM) nya dilanggar dan kekayaan alamnya dikuras. Tindak kekerasan terhadap warga dan aksi pelanggaran HAM ini ternyata terus
terjadi meskipun DOM sudah dicabut, apalagi kemudian operasi militer kembali digelar pemerintah.19 Selain tuntutan untuk menghukum para pelanggar HAM yang berat di Aceh, pemerintah juga dituntut untuk meninggalkan jalan kekerasan dalam menyelesaikan masalah Aceh dan menggunakan jalan damai serta dialog dengan memberikan konsesi politik kepada Aceh umumnya dan GAM khususnya. Konsesi tersebut berupa “otonomi khusus”. Pemerintah RI dan GAM melakukan proses dialog pada awal tahun 2000 melalui mediasi Henry Dunant Centre (HDC).20 Dalam Bavois Agreement tanggal 27 Januari 2000 Pemerintah RI dan pemimpin GAM menyatakan percaya bahwa dialog adalah jalan terbaik untuk mencegah penderitaan kemanusiaan di Aceh. Lalu dalam kesepahaman bersama untuk jeda kemanusiaan (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh), yang ditandatangani tanggal 12 Mei 2000 di Bavois, Swiss, kesadaran dialog menuju penyelesaian politik muncul. Selain itu, tujuan Jeda Kemanusiaan adalah meningkatkan langkah-langkah untuk membangun kepercayaan menuju solusi damai atas konflik di Aceh. Meski demikian, daftar penyelesaian politis itu sendiri baru disepakati oleh para juru runding Pemerintah RI dan wakil GAM dalam pertemuan di Jenewa, Swiss pada tanggal 6-9 Januari 2001. Dalam Provisional Understanding yang ditandatangani, selain menyepakati bulan tenang atau moratorium selama satu bulan (atas kekerasan pasca kegagalan Jeda Kemanusiaan), juru runding kedua belah pihak menegaskan keyakinannya bahwa masa depan Aceh dapat diselesaikan secara politis. Diantara masalah penting dalam daftar itu adalah : penyelenggaraan pemilihan (election) yang bebas dan adil bagi Aceh; komisi pemilihan independen yang dapat diterima kedua belah pihak; pemantauan terhadap proses pemilihan oleh sebuah badan yang independen dan tidak berpihak; peraturan yang menjamin bahwa calon nonpartai dapat ikut serta atau bahwa partai daerah (locally based parties) dapat di bentuk di Aceh; serta kriteria yang memungkinkan GAM dan pendukung kemerdekaan sepenuhnya ikut serta dalam proses politik, termasuk
19
Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nangroe Endatu: Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh (Jakarta: Suara Bebas, 2006), hlm, 8. 20 Ibid., hlm, 60.
mentransformasikan tujuan politiknya melalui jalan demokrasi. 21 Untuk menindaklanjuti proses tersebut, beberapa tahapan langkah yang dilakukan untuk membangun saling percaya, yaitu (1) Penghentian perang dan tindak kekerasan selama tahun 2002, (2) Pada tahun 2002 dan 2003 akan diadakan musyawarah terbuka dan transparan, dan (3) Pada bulan Mei 2004 akan diadakan pemilihan umum yang demokratis guna memilih pemerintah Aceh. Dari beberapa perjanjian tersebut, GAM pada dasarnya memang belum mau melepaskan cita-citanya, menerima otonomi khusus bukan sebagai tujuan akhir, dan tidak mau mengubah diri menjadi partai politik (lokal) untuk ikut serta dalam sistem elektoral di Indonesia. Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga tidak menawarkan insentif lebih kepada GAM, antara lain menolak ide transformasi GAM menjadi partai politik Lokal. 22 Setelah mengalami beberapa jalan buntu proses perdamaian, di masa inilah bencana gempa dan tsunami terjadi pada 26 Desember 2004. maka untuk memudahkan jalan merehabilitasi dan merekonstruksi Aceh pasca tsunami, pemerintah RI dan pimpinan GAM sekali lagi mau berunding, dan kembali isu partai lokal dibicarakan. Pada pertemuan formal tanggal 15 Agustus 2005, pemerintah RI dan pimpinan GAM menandatangani Nota kesepahaman (Memorandum of Understanding, MOU) di Helsinky, Finlandia. Salah satu butir penting dalam perjanjian tersebut adalah :
Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai-partai politik lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling
lambat
18
bulan
sejak
penandatanganan
Nota
Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum 21
Transformasi GAM melalui jalan demokrasi tersebut adalah adanya ketentuan bagi pembentukan partai politik lokal yang merupakan upaya untuk mengembangkan insentif bagi GAM untuk berpartisipasi dalam proses politik di Aceh serta konsesi politik bagi GAM untuk bergabung kembali kedalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 22 International Crisis Group (ICG), Aceh: Sebuah Perdamaian yang Rapuh, ICG Asia Report, No 47, 27 Februari 2003. hlm, 20.
untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Dari sinilah gagasan
mengenai partai politik
lokal
di
Aceh terus
diperbincangkan oleh masyarakat Indonesia. Partai Lokal dan Demokratisasi Lokal Konsepsi mengenai demokrasi lokal sangatlah beragam, tergantung ruang dan waktu dimana demokrasi itu dipraktikan. Dan memang tidak ada satu pun konsep atau model yang bisa dianggap sebagai perwujudan terbaik dari demokrasi. Untuk memahami tentang cara kerja demokrasi ditingkat lokal, beberapa konsep kunci yang mungkin dapat mengantarkan kita untuk lebih memahami demokrasi lokal di Aceh. Paling tidak ada beberapa kata kunci tersebut, seperti demokrasi di lihat dari kewarganegaraan dan masyarakatnya, musyawarah, pendidikan politik, dan pemerintahan yang baik dan kesejahteraan sosial. 23 Sebagai konsep inti demokrasi, hal tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut : (1). Kewarganegaraan dan Masyarakat. Peran serta masyarakat lokal sesungguhnya adalah fondasi utama dalam gagasan modern mengenai kewarganegaraan, sebab lembaga-lembaga masyarakat yang ada beserta segala proses pengambilan keputusannya memungkinkan terwujudnya praktik demokrasi yang lebih langsung, yang didalamnya suara individu dapat didengar dengan lebih mudah. (2). Musyawarah. Demokrasi memang bukanlah semata berarti pemilu. Didalamnya terkandung unsure-unsur penting seperti dialog, debat, dan diskusi yang bermakna, yang muaranya adalah mencari solusi bagi segala masalah yang timbul didalam masyarakat. Perundingan atau musyawarah juga bukan sekedar menampung keluhan warga. Demokrasi berdasarkan musyawarah pasti melibatkan dialog yang bersifat saling memberi dan menerima antar kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat tentang keputusan-keputusan terpenting dan tindakan-tindakan yang mereka hadapi dan tanggungjawab bersama-sama. (3). Pendidikan politik. Demokrasi lokal akan memberi fasilitas bagi proses “pendidikan politik”. Maksudnya, peran serta warga masyarakat memungkinkan setiap individu memperoleh informasi mengenai semua urusan dan
23
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA), Demokrasi di Tingkat Lokal, 2002, hlm. 15-16.
masalah dimasyarakat, yang jika tidak, hanya diketahui oleh pejabat terpilih atau para profesional pemerintahan dikantor walikota. Penduduk yang terdidik dan memiliki informasi akan membuat demokrasi-yang berarti pengambilan keputusan oleh rakyatsemakin mungkin dan efektif. Peran serta masyarakat berarti mengurangi jurang pemisah antara para elit politik dan anggota masyarakat. (4). Pemerintah yang baik dan kesejahteraan sosial. Jhon Stuart Mill dan para pendukung paham demokrasi partisipatoris di tingkat local berpendapat bahwa membuka keran bagi kebijakan dan kecerdasan masyarakat akan mendukung terciptanya pemerintahan yang baik serta mendukung
tercapainya
kesejahteraan
sosial.
Artinya,
demokrasi
cenderung
meningkatkan hubungan yang baik antar warga, membangun masyarakat yang mandiri dan memiliki semangat sosial. Untuk mencapai target demokrasi diatas, maka penting untuk melihat sejauh mana partai politik menjalankan fungsi-fungsinya sebagai corong bagi terwujudnya demokratisasi local. Partai politik menjadi salah satu pilar penting demokrasi yang memiliki fungsi sebagai berikut : (1) Pendidikan politik bagi warga masyarakat, khususnya pendidikan para konstituennya mengenai nilai-nilai dan cita-cita partai. Melalui fungsi ini partai politik diharapkan mempunyai kader yang bermutu, baik dari segi sikap maupun perilaku dan keterampilan dalam mengembangkan amanat rakyat. (2) Melaksanakan rekruitmen politik yang dilakukan melalui seleksi dan kompetisi yang jujur dan adil secara demokratis. Fungsi ini sangat penting agar elit partai dan kader yang dipercaya duduk dalam jabatan publik dan parlemen bukan hanya karena dukungan para petinggi partai, melainkan secara internal mereka juga mempunyai basis politik yang kuat. (3) Mendorong partisipasi politik warga masyarakat dalam proses pengambilan keputusan / kebijakan publik yang menyangkut kepentingan mayoritas, namun juga jaminan atas kepentingan minoritas yang kalah dalam pemilihan umum. Dalam konteks pemilihan daerah, bila fungsi ini dilaksanakan, partisipasi politik masyarakat mungkin akan jauh lebih tinggi dari yang sekarang ini hanya berkisar 60-65 persen dari jumlah pemilih. (4) Menyalurkan dan memadukan aspirasi masyarakat yang berbeda-beda. Jadi, yang dikelola adalah kepentingan yang berbeda untuk dirumuskan menjadi kebijakan umum, bukan kepentingan elit partai yang dikompromikan sehingga menjadi kebijakan yang mengatasnamakan rakyat, tapi kenyataannya hanya untuk kepentingan elit partai. (5) Melakukan komunikasi politik, yang merupakan fungsi yang sangat penting mengingat
komunikasi politik adalah proses informal timbale balik di antara warga masyarakat. Kemampuan komunikasi ini merupakan energi yang dahsyat dampaknya bagi partai, karena dapat menghidupkan bagian-bagian yang saling berhubungan dalam suatu sistem. (6) Mengelola konflik agar tidak terjadi benturan atau kekerasan dan kerusuhan sosial bagi kelompok-kelompok masyarakat yang memperjuangkan kepentingannya.24 Melalui mekanisme aturan-aturan yang ditetapkan, konflik dalam masyarakat harus dapat diselesaikan secara damai. Baberapa konsep demokrasi dan fungsi partai politik diatas telah memberikan panduan mengenai urgensi partai politik lokal dalam mendorong demokratisasi lokal. Konsepsi tersebut diatas menginspirasi kita untuk melihat lebih jauh tentang keterkaitan antara partai politik di Aceh dan demokratisasi lokal di Aceh pasca perjanjian Helsinky. Dari beberapa konsep tersebut diatas, tampaknya tak seorangpun bisa menjamin bahwa partai lokal akan menjadi pendorong demokratisasi. Masalahnya adalah : Pertama, Belum adanya kejelasan yang mengatur mengenai hubungan partai lokal Aceh dengan partai politik ditingkat nasional. Seperti yang di sampaikan oleh Riswanda Imawan25 bahwa ide dasar partai politik lokal ialah adanya pembagian kerja (division of labour) antara partai politik di tataran nasional (disebutnya sebagai The Party in Public Office) dan partai politik di tataran daerah (The Party on The Ground). Keduanya memiliki hubungan fungsional. Partai lokal, sebagai perwujudan The Party on The Ground, bertugas mengelola konflik kepentingan yang ada pada tataran masyarakat daerah, sehingga konflik yang ada lebih terstruktur, tidak menimbulkan penimbunan aspirasi yang membingungkan pada tataran nasional. Hubungan fungsional demikian mengisyaratkan adanya kemampuan tawar-menawar antara masyarakat local (yang mewakili partai lokal) dan partai nasional yang wakil-wakilnya berasal dari daerah setempat. Dengan cara semacam ini, maka penguatan akar rumput politik akan berdampak pada penguatan institusi politik secara nasional. Mengingat partai politik lokal hanya disetujui ikut berpartisipasi dalam pemilihan daerah, maka dibuatlah beberapa saluran bagi partisipasi anggota partai lokal dalam pemilihan umum nasional. Diantaranya adalah usulan bolehnya keangggotaan dalam partai lokal dirangkap dengan keanggotaan dalam partai nasional, dan bolehnya
24 25
J. Kristiadi, “Setuju Partai Lokal, Menolak Partai Lokal” Kompas, 19 Agustus 2005. Riswanda Imawan, Partai Lokal dan Lokalisasi Politik, Media Indonesia, 20 Juli 2005.
kerjasama partai lokal dan partai nasional dalam rangka pencalonan dalam pemilihan umum nasional. Namun persoalannya adalah akan sangat aneh ketika partai lokal Aceh berada dalam parlemen pusat duduk bersama dengan partai-partai nasional. Sebab keberadaan partai lokal tersebut bisa jadi memunculkan diskriminasi baru bagi kelompokkelompok masyarakat Aceh dan berpotensi menjadi ruang baru untuk menuntut kembali kemerdekaan. Selain itu, belum adanya aturan yang tegas mengenai bentuk kerjasama antara partai politik lokal dengan partai politik nasional mengenai representasi partai lokal ditingkat nasional. Kedua, Munculnya Arogansi partai politik lokal tertentu dalam membentuk citranya dalam masyarakat. Sebagai partai baru yang baru pertama kali mengikuti kompetisi pada pemilihan umum yang dilaksanakan pada April 2009 lalu, Partai lokal justru tidak memperlihatkan profesionalitasnya sebagai partai politik. Hal ini dapat kita lihat dari kasus-kasus yang terjadi pada saat menjelang pemilu. Seperti yang diberitakan oleh Kompas26 bahwa Anggota Partai Aceh Kabupaten Pidie diduga mengeroyok sejumlah anggota Partai Kebangkitan Nasional Ulama yang sedang berkunjung ke rumah salah seorang anggotanya di Desa Pulo Mesjid, Kecamatan Trusep, Kabupaten Pidie. Benturan antara partai lokal dengan partai nasional sangatlah berpotensi untuk menciptakan konflik diakar rumput, mengingat keberadaan mereka sama-sama menarik simpati konstituen untuk memilih partai masing-masing. Bukan hanya itu, benturan antara sesama partai lokal juga terjadi. Saling serang antara partai Aceh dan partai Sira juga terjadi untuk merebut suara konstituen.27 Penomena tersebut memperlihatkan citra buruk partai lokal dalam pemilu. Partai politik lokal selain sebagai peserta konflik, juga dituntut untuk mampu mengelola konflik yang terjadi. Baik sesama partai lokal, partai lokal dan partai nasional, maupun sesama pendukung, sehingga keberadaan partai lokal bisa memberikan sumbangan yang berarti bagi terciptanya demokratisasi lokal. Ketiga, Menjalankan fungsi-fungsinya sebagai partai politik. Harapan untuk menjadi partai modern yang dapat menciptakan demokratisasi ditingkat lokal, juga sangat terkait erat dengan kinerja partai lokal dalam menjalankan fungsi-fungsinya sebagai partai politik. Fungsi seperti Pendidikan politik, rekruitmen politik, mendorong partisipasi
26 27
Kompas 22 Maret 2009, Anggota PA Diduga Keroyok Anggota PKNU. Kompas 28 Maret 2009, Saling Serang dalam Kampanye Partai Aceh dan Partai SIRA.
politik, menyalurkan dan memadukan aspirasi masyarakat, komunikasi politik, serta mengelola konflik perlu dilakukan oleh partai lokal untuk menjadi partai modern yang dicita-citakan oleh masyarakat. Dalam dinamika politik yang terjadi di Aceh merupakan wujud dari ketidakmampuan partai politik dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Keempat, Elektabilitas partai lokal. berdasarkan hasil survey pemilu legislatif 200928 lalu partai Aceh diproyeksikan menang di sebagian besar tempat pemungutan suara dengan perolehan 43,8 persen. Sementara Hasil verifikasi tersebut menunjukkan, untuk tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, perolehan suara Partai Demokrat menyusul di tempat kedua dengan 14,3 persen, Partai Golongan Karya sebesar 6,6 persen, Partai Keadilan Sejahtera dengan 3,8 persen, Partai Amanat Nasional dengan 3,4 persen, dan Partai Persatuan Pembangunan sebesar 3 persen. Meskipun pemilu legislatif lokal banyak dimenangkan oleh partai lokal, namun partai nasional juga memperoleh suara yang cukup signifikan, seperti yang diperoleh oleh partai demokrat. Kemenangan partai lokal Aceh memiliki citra yang signifikan dalam dinamika pemilu 2009 dan tentunya juga menimbulkan persepsi masyarakat terhadap partai lokal sangat baik. Namun keberlanjutan partai lokal untuk dipilih kembali pada pemilu berikutnya masih menjadi pertanyaan karena meskipun elektabilitas partai lokal cukup tinggi pada pemilu legislatif 2009, kemampuan partai lokal dalam mengendalikan konflik, baik sesama partai lokal sendiri, partai lokal dengan partai nasional serta antara masyarakat perdukung partai politik tersebut masih kurang diperhatikan. Sehingga keberlanjutan partai lokal juga tergantung sejauh mana masyarakat mampu menerima keberadaan partai lokal. Dengan kata lain, partai politik lokal perlu mentransformasi dirinya menjadi partai yang modern jika ingin terpilih kembali. Jika tidak, maka elektabilitas partai lokal akan mengalami penurunan di dalam pemilu selanjutnya. Kelima, demokratisasi lokal yang diidam-idamkan oleh masyarakat Aceh tampaknya sulit untuk terwujud. Meskipun ketengangan antara pusat dan daerah dapat diminimalisir dengan hadirnya partai lokal, namun tidak berarti bahwa konflik horizontal juga dapat minimalisir. Konsolidasi internal tidaklah berjalan mulus. Itu di sebabkan karena adanya klaim terhadap perjuangan masyarakat aceh dalam hal ini sesama partai 28
berdasarkan hasil verifikasi independen yang dilakukan National Democratic Institute (NDI) bekerja sama dengan e-Card (Community Research for Aceh Development) terhadap proses penghitungan suara Dewan Perwakilan Rakyat Aceh pada pelaksanaan Pemilihan Umum 2009. dalam Kompas, Kemenangan Partai Aceh 43,8 Persen, 20 April 2009.
lokal sendiri. Oleh karena itu menurut hemat penulis ketegangan yang terjadi pada saat pemilu april 2009 lalu akan berlanjut dalam pemerintahan di Aceh. Sehingga akan memunculkan konflik baru yang lebih pada nuansa etnisitas antara masyarakat lokal sendiri.
Daftar Pustaka Achdiat K. Mihardja, Polemik Kebudayaan (Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian PP&K, 1954). Ahmad Farhan Hamid, Jalan Damai Nangroe Endatu: Catatan Seorang Wakil Rakyat Aceh (Jakarta: Suara Bebas, 2006). ----------, Partai Politik Lokal di Aceh ; Desentralisasi Politik dalam Negara kebangsaan, Partnership 2008. Deliar Noer, Bunga Rampai dari Negeri Kanguru: Kumpulan Karangan (Jakarta: Panji Masyarakat, 1981) ----------, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1994. Denny Indrayana, “Partai Politik Lokal di Aceh?”, Kompas, 19 Juli 2005. Feith, Herbert, The Indonesian Election of 1955, Interim Reports Series, Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University, Ithaca, New York, 1971. International Crisis Group (ICG), Aceh: Sebuah Perdamaian yang Rapuh, ICG Asia Report, No 47, 27 Februari 2003. International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA), Demokrasi di Tingkat Lokal, 2002 J. Kristiadi, “Setuju Partai Lokal, Menolak Partai Lokal” Kompas, 19 Agustus 2005. Jhon Ingleson, Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia Tahun 1927-1934 (Jakarta: LP3ES, 1988. Kahin, George Mc Turnan, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik : Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (Surakarta-Jakarta: Sebelas Maret University Press-Sinar Harapan, 1995. Kompas 22 Maret 2009, Anggota PA Diduga Keroyok Anggota PKNU. Kompas 28 Maret 2009, Saling Serang dalam Kampanye Partai Aceh dan Partai SIRA. Kompas, 20 April 2009, Kemenangan Partai Aceh 43,8 Persen. Marbawi, “NAD, dari Tsunami ke Gagasan Partai Lokal”, Media Indonesia, 18 Maret 2005 Riswanda Imawan, Partai Lokal dan Lokalisasi Politik, Media Indonesia, 20 Juli 2005.
Open Government Dalam Bentuk Kemitraan Antara Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kota Cilegon dengan Program Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan di Wilayah Kota Cilegon Oleh : Rahmatullah 29
Abstrak Kajian ini membahas model open government dalam bentuk kemitraan antara RPJM Kota Cilegon dengan program CSR perusahaan di wilayah Kota Cilegon melalui lembaga Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR). Jenis kajian ini adalah deskriptif, menggunakan pendekatan kualitatif. Kajian ini menyarankan agar status hukum CCSR ditingkatkan dari Peraturan Walikota (Perwal) menjadi Peraturan Daerah (Perda), lembaga CCSR perlu memaksimalkan sosialisasi, agar bertambahnya jumlah perusahaan yang bersinergi menjadi anggota CCSR, serta CCSR perlu memiliki basis data dan program prioritas yang bersifat mandiri. Kata Kunci: Pemerintah daerah, perusahaan dan corporate social responsibility
I. Pendahuluan Dunia usaha di Indonesia saat ini mengalami peningkatan pertumbuhan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan berita resmi statistik, Badan Pusat Statistik (BPS), selama triwulan pertama tahun 2011, laju pertumbuhan ekonomi berdasarkan lapangan usaha meningkat 6,5 % dibanding kurun yang sama tahun sebelumnya. Semua jenis lapangan usaha mengalami pertumbuhan, terkecuali sektor kelistrikan, gas dan air bersih, sebagaimana diuraikan pada tabel berikut. Tabel 1 Laju Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha (persen) Triwulan Triwulan ISumber I-2011 2011 Pertumbuhan No Lapangan Usaha Terhadap Terhadap Triwulan Triwulan Triwulan II-2010 IV-2010 2010 1 Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan 18,1 3,4 0,5 Perikanan 2 Pertambangan dan Penggalian -2,0 4,6 0,4 3 Industri Pengolahan -1,2 5,0 1,3 4 Listrik, Gas dan Air Bersih -1,9 4,2 0,0 5 Konstruksi -3,6 5,3 0,3 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran -0,2 7,9 1,3 29
Rahmatullah, S.Sos, M.Kesos. Pengajar pada Jurusan Administrasi Negara Universitas Serang Raya. Lahir di Pandeglang 14 Maret 1983, menyelesaikan SI di Jurusan Ilmu Kesejahteraan FISIP Unpad, S2 pada perminatan CSR, CD dan Kemiskinan FISIP UI. Menerbitkan Buku Membaca Banten, Membaca Indonesia –Gong Publishing 2010, Panduan Praktis Pengelolaan CSR – Samudra Biru 2011. Email:
[email protected] / 081808202364.
7 8
Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan 9 Jasa-Jasa PDB PDB Tanpa Migas Sumber: Berita Resmi Statistik
-0,1 2,7
13,8 7,3
1,3 0,7
-0,4 1,5 1,7
7,0 6,5 6,9
0,7 6,5
Peningkatan pertumbuhan ekonomi menandakan semakin baiknya iklim usaha di Indonesia, yang berdampak pada meningkatknya keuntungan bisnis. Selain juga bertambahnya investasi pada berbagai jenis usaha, baik yang dijalankan oleh perusahaan multinasional, nasional, maupun lokal. Keberadaan dan keterlibatan dunia usaha dalam perekonomian nasional diharapkan tidak hanya mencari keuntungan demi kelangsungan bisnis, tetapi dapat pula memainkan peranannya dalam menciptakan hubungan kerjasama yang serasi dengan pemerintah. Sebagai upaya mendukung proses pembangunan, perusahaan dapat berpartisipasi melalui penciptaan lapangan kerja, mematuhi aturan perpajakan, mendukung dan berkontribusi dalam mensukseskan program dan kebijakan pemerintah, serta melaksanakan tanggungjawab sosial pada wilayah operasinya. Jika dunia usaha dapat menjalankan perannya dalam melakukan tanggungjawab sosial pada wilayah operasinya, diharapkan persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan yang menjadi tanggungjawab utama pemerintah secara berangsur-angsur dapat dikurangi, dan pada saat tertentu masyarakat dapat terlepas dari keterbelakangan ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan kemiskinan sebagai manfaat dari pelaksanaan tanggungjawab sosial perusahaan. Adanya harapan tersebut menunjukkan bahwa dunia usaha tidak semata-mata bertujuan mendapatkan keuntungan yang dapat dinikmati perusahaan semata, tetapi mampu membagi keuntungan kepada masyarakat yang lebih luas. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan Adi (2005: h.86) bahwa kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi kehidupan yang diharapkan masyarakat, tidak akan terwujud bila tidak dikembangkan usaha-usaha kesejahteraan sosial, baik oleh pemerintah, organisasi kemasyarakatan, maupun dunia usaha. Terkait pentingnya tanggungjawab sosial perusahaan dalam mendukung program pemerintah, dikemukakan oleh Supranoto (2007, hal.302), bahwa CSR memiliki pengaruh yang luas dalam membantu pemerintah meringankan upaya penanggulangan kemiskinan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Alokasi dana pemerintah untuk penanggulangan kemiskinan masih terbatas, dengan kondisi tersebut memerlukan dukungan dan keterlibatan aktif dunia usaha. Kegiatan CSR tentunya dapat membidik kelompok masyarakat yang belum
tersentuh program penanggulangan kemiskinan, sehingga kualitas hidup yang lebih baik dapat dirasakan masyarakat secara merata. Kelompok masyarakat atau pihak yang terkait dampak operasional perusahaan dikenal dengan istilah stakeholders. Menurut Freeman (1984) definisi stakeholders merupakan individu atau kelompok yang bisa mempengaruhi dan/ atau dipengaruhi oleh organisasi sebagai dampak dari aktivitas-aktivitasnya. Tanggung jawab perusahaan tidak hanya terhadap pemiliknya atau pemegang saham saja, tetapi juga terhadap stakeholders yang terkait dan/atau terkena dampak operasional perusahaan (Utama, 2010). Keberadaan perusahaan selain untuk memaksimumkan kekayaan pemilik perusahaan/pemegang saham, namun juga untuk melayani kepentingan stakeholders perusahaan, seperti karyawan, pemasok, pemerintah, dan masyarakat. Agar terwujudnya CSR yang terintegrasi, diperlukan komitmen dalam bentuk kemitraan antar stakeholders, khususnya antara pemerintah dan perusahaan. Sebagaimana diungkapkan Tenyson dalam Utama (2010), kemitraan merupakan kesepakatan antar sektor dimana individu, kelompok atau organisasi sepakat bekerjasama untuk memenuhi sebuah kewajiban atau melaksanakan kegiatan tertentu, bersama-sama menanggung resiko maupun keuntungan dan secara berkala meninjau kembali hubungan kerjasama. Dalam proses kemitraan, terdapat prinsip dasar yang harus dilaksanakan, sebagaimana dikemukakan Wibisono (2007, hal.103), prinsip dalam proses kemitraan, meliputi: Pertama, kesetaraan atau keseimbangan (equity). Pendekatannya bukan top down atau bottom up, bukan juga berdasarkan kekuasaan semata, namun hubungan yang saling menghormati, saling menghargai dan saling percaya. Kedua, Transparansi, hal ini diperlukan untuk menghindari rasa saling curiga antar mitra kerja. Ketiga, saling menguntungkan, suatu kemitraan harus membawa manfaat bagi semua pihak yang terlibat. Di Kabupaten Kutai Timur (Kutim), Provinsi Kalimantan Timur, terdapat contoh kemitraan antar stakeholders yang terlembagakan dalam forum multi stakeholders, sebagaimana penelitian Suryani (2010), berdirinya forum multi stakeholders atas prakarsa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Center for Community Empowerment and Economic (C-FORCE), dengan melibatkan unsur perusahaan, pemerintah, akademisi, LSM dan tokoh masyarakat. Tujuan didirikannya forum tersebut sebagai wadah kemitraan antar stakeholders dalam pengelolaan dan penghimpunan dana CSR perusahaan, agar program dan dana CSR yang terhimpun dari perusahaan terdistribusikan secara merata melalui program-program yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain di Kabupaten Kutai Timur, berdasarkan informasi dari website http:// bekasisocialresponsibility. blogspot.com /2009/09/ pelembagaan-bekasisocial.html, di Kota Bekasi, Provinsi Jawa Barat, terdapat lembaga pengelola CSR, dengan nama Bekasi Social Responsibility (BSR). Kelembagaan BSR dibentuk berdasarkan Peraturan Walikota Nomor 26 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Manajemen Institusi Bekasi Social Responsibility. BSR merupakan lembaga non pemerintah yang berdiri sendiri, sebagai wadah komunikasi dan interaksi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat di Kota Bekasi. Fungsi BSR sebagai koordinator dalam menyelaraskan program/kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Penanaman Modal Asing (PMA), dan Penanaman Modal Domestik (PMD) di Kota Bekasi.
Permasalahan Sinkronisasi dalam bentuk kemitraan antara program CSR perusahaan dengan program pembangunan pemerintah, telah dirintis di Kota Cilegon sejak bulan Oktober 2010. Kota Cilegon merupakan salah satu kota industri penting di Indonesia, karena terkategorikan kedalam kawasan andalan industri nasional. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD), di
Kota Cilegon, terdapat industri berskala besar meliputi
investasi Penanaman Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Tabel 2 Klasifikasi Penanaman Modal di Kota Cilegon No Penanaman Modal Jumlah 1 Penanaman Modal Asing (PMA) 75 2 Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) 34 3 Badan Usaha Milik Swasta 4 4 Badan Usaha Milik Daerah 2 Sumber : BKPMD Kota Cilegon, 2010 Kota Cilegon juga merupakan simpul sistem jaringan utilitas dan pergerakan jawa-sumatera, melalui posisi ini Kota Cilegon turut menentukan pertumbuhan dan perkembangan wilayah di kedua pulau besar tersebut. Selain itu Kota Cilegon sebagai potensi inlet-outlet terhadap lokasi pasar dunia, secara geografis Kota Cilegon memiliki akses langsung terhadap Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I yang didukung oleh keberadaan 21 pelabuhan umum dan khusus.
Berbagai potensi diatas belum berkorelasi langsung pada meningkatnya kesejahteraan masyarakat, karena saat ini jumlah keluarga miskin di Kota Cilegon mencapai 15.961 Kepala Keluarga (KK) atau 14,38%, dari 110.922 KK, dan angka pengangguran mencapai 35.286 jiwa atau 18,26%. Memahami besarnya potensi dan aneka permasalahan yang ada, Pemkot Cilegon berupaya mensinkronisasikan program peningkatan kesejahteraan masyarakat yang beririsan dengan program CSR perusahaan, sehingga diharapkan akselerasi peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat segera tercapai. Sinkronisasi antara RPJM Kota Cilegon dengan program CSR perusahaan di wilayah Kota cilegon diwujudkan dengan memprakarsai berdirinya lembaga Cilegon Corporate Social Responsibility yang disingkat CCSR, ditetapkan berdasarkan Peraturan Walikota Cilegon Nomor 3 tahun 2011, tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR) di Kota Cilegon. CCSR merupakan lembaga independen non pemerintah yang mensinkronisasikan dan mengintegrasikan program dan kegiatan CSR dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Cilegon. Maksud pendirian CCSR adalah sebagai mitra pemerintah dan dunia usaha dalam rangka implementasi CSR dari perusahaan-perusahaan yang terdapat di Kota Cilegon. Terdapat beberapa perusahaan yang telah mensinergikan program CSR melalui lembaga CCSR, diantaranya: PT. Buana Centra Swakarsa (BCS), PT. Krakatau Steel (KS), PT. Chandra Asri, PT. BNI 46, PT. Amoco Mitsui Indonesia, PD. Pelabuhan Cigading Mandiri (PCM), PT. Bayer Indonesia, PT. Oil Tanking Merak, PT. Indonesia Power, dan PT. Bank Jabar Banten (BJB). Berdasarkan latar belakang diatas, kajian ini mencoba membahas beberapa aspek sebagai berikut: 1. Hal yang melatari sinkronisasi program kemitraan antara Pemkot Cilegon dengan perusahaan di wilayah Kota Cilegon melalui lembaga CCSR. 2. Mendeskripsikan proses kemitraan antara Pemkot Cilegon dengan perusahaan dalam melaksanakan sinergi melalui lembaga CCSR. 3. Mendeskripsikan faktor pendorong dan penghambat kemitraan antara pemerintah dan perusahaan melalui lembaga Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR). Kajian ini bertujuan mendeskripsikan aspek-aspek penting, situasi-stuasi dan hubungan yang tergambar pada hal yang melatari proses dan pelaksanaan sinkronisasi melalui kemitraan antara Pemerintah Kota Cilegon dengan perusahaan yang ada di Wilayah Kota Cilegon melalui lembaga CCSR.
II.
Tinjauan Kepustakaan
Corporate Social Responsibility (CSR) Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan suatu komitmen berkelanjutan oleh dunia usaha untuk bertindak etis dan memberikan kontribusi kepada pengembangan ekonomi dari komunitas setempat ataupun masyarakat luas, bersaman dengan peningkatan taraf hidup pekerja beserta keluarganya (Wibisono, 2007). Suharto (2006) menyatakan bahwa CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, melainkan pula untuk membangun sosial-ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan Terdapat manfaat yang didapatkan dari pelaksanaan tanggunggjawab sosial perusahaan, baik bagi perusahaan, masyarakat, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, sebagaimana dikemukakan Wibisono (2007, hal 99): 1. Bagi Perusahaan. Terdapat empat manfaat yang diperoleh dengan mengimplementasikan CSR. Pertama, keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan, serta mendapatkan citra positif dari masyarakat luas. Kedua, perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap modal. Ketiga, perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas. Keempat, perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang kritis dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko. 2. Bagi masyarakat, Keberadaan perusahaan di suatu daerah akan menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan kualitas sosial di daerah tersebut. 3. Bagi lingkungan, praktik CSR akan mencegah eksploitasi berlebihan atas sumber daya alam, dan menjaga kualitas lingkungan. 4. Bagi negara, praktik CSR yang baik akan mencegah apa yang disebut corporate misconduct atau malpraktik bisnis seperti penyuapan pada aparat negara atau aparat hukum yang memicu korupsi. Keterlibatan perusahaan dalam program CSR dilatarbelakangi beberapa kepentingan. Menurut Mulyadi (2003, hal 4), setidaknya bisa diidentifikasi tiga motif keterlibatan perusahaan, yaitu: motif menjaga keamanan fasilitas produksi, motif mematuhi kesepakatan kontrak kerja, dan motif moral untuk memberikan pelayanan sosial pada masyarakat lokal.
Tabel 3 Motif Perusahaan dalam Menjalankan Program CSR Motif Keamanan Motif memenuhi Komitmen Moral kewajiban kontraktual Program dilakukan setelah ada Pertanggungjawaban Wacana CSR tuntutan masyarakat yang biasanya program CSR kepada Propaganda
diwujudkan melalui demonstrasi Program tidak dilakukan setelah kontrak ditandatangani. Kecendrungannya program dilakukan ketika kebebasan masyarakat sipil semakin besar pasca desentralisasi Sumber : Mulyadi (2003, hal 4)
pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Propaganda kegiatan CSR melalui media massa.
kegiatan CSR melakukan media massa
Peraturan Hukum Terkait CSR Terdapat 4 (empat) peraturan yang mewajibkan perusahaan tertentu untuk menjalankan tanggungjawab sosial perusahaan dan satu acuan (guidance) ISO 26000 sebagai referensi dalam menjalankan CSR, sebagaimana diuraikan Rahmatullah (2011, hal.14) 1. Keputusan Menteri BUMN tentang Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Berdasarkan Peraturan Menteri Negara BUMN, Per-05/MBU/2007 Pasal 1 ayat (6) dijelaskan bahwa Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil, yang selanjutnya disebut Program Kemitraan, adalah program untuk meningkatkan kemampuan usaha kecil agar menjadi tangguh dan mandiri melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. Sedangkan pada pasal 1 ayat (7) dijelaskan bahwa Program Bina Lingkungan, yang selanjutnya disebut Program BL, adalah program pemberdayaan kondisi sosial masyarakat oleh BUMN melalui pemanfaatan dana dari bagian laba BUMN. 2. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 Selain BUMN, saat ini Perseroan Terbatas (PT) yang mengelola atau operasionalnya terkait dengan Sumber Daya Alam (SDA) diwajibkan melaksanakan program CSR, sebagaimana diatur dalam UU Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, pasal 74. 3. Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 Dalam Pasal 15 (b) dinyatakan bahwa setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. 4. Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001 Khusus bagi perusahaan yang operasionalnya mengelola minyak dan gas bumi, terikat oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, tentang Minyak dan Gas Bumi, disebutkan dalam Pasal 13 ayat 3 (p). 5. Guidance ISO 26000 ISO 26000 merupakan standar dan panduan, tidak menggunakan mekanisme sertifikasi, dan tidak hanya diperuntukkan bagi Corporate (perusahaan) melainkan juga untuk semua sektor publik dan privat. Tanggung jawab sosial dapat dilakukan oleh institusi
pemerintah, Non governmental Organisation (NGO) dan tentunya sektor bisnis, hal itu dikarenakan setiap organisasi dapat memberikan akibat bagi lingkungan sosial maupun alam. ISO 26000 membantu organisasi dalam pelaksanaan Social Responsibility, dengan cara memberikan pedoman praktis, serta memperluas pemahaman publik.
Stakeholders Stakeholders menurut Freeman (1984) merupakan individu atau kelompok yang bisa mempengaruhi dan/ atau dipengaruhi oleh organisasi sebagai dampak dari aktivitasaktivitasnya. Sedangkan Chariri dan Ghazali (2007, hal.32) mengatakan bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholders-nya. Mengacu pada pengertian diatas, maka dapat ditarik suatu penjelasan bahwa dalam suatu aktivitas perusahaan dipengaruhi oleh faktorfaktor dari luar dan dari dalam, yang kesemuanya dapat disebut sebagai stakeholders. Menurut Hill (1996, hal 129), Stakeholders dalam pelayanan sosial meliputi negara, sektor pivat, LSM, dan masyarakat, dalam kasus program CSR keseluruhan entitas tersebut terlibat secara bersama-sama. Menurut Utama (2010), tanggung sosial jawab perusahaan tidak hanya terhadap pemiliknya atau pemegang saham saja tetapi juga terhadap para stakeholders yang terkait dan/atau terkena dampak dari keberadaan perusahaan. Dalam menetapkan dan menjalankan strategi bisnisnya, perusahaan yang menjalankan CSR akan memperhatikan dampaknya terhadap kondisi sosial dan lingkungan, dan berupaya agar memberikan dampak positif.
Kemitraan Pemerintah dan Perusahaan Menurut Tenyson dalam Utama (2010), kemitraan adalah kesepakatan antar sektor dimana individu, kelompok atau organisasi sepakat bekerjasama untuk memenuhi sebuah kewajiban atau melaksanakan kegiatan tertentu, bersama-sama menanggung resiko maupun keuntungan dan secara berkala meninjau kembali hubungan kerjasama. Kemitraan memiliki prinsip-prinsip dalam pelaksanaannya. Wibisono (2007, hal. 103) merumuskan tiga prinsip penting dalam kemitraan, yaitu: 1. Kesetaraan atau keseimbangan (equity). Pendekatannya bukan top down atau bottom up, bukan juga berdasarkan kekuasaan semata, namun hubungan yang saling menghormati, saling menghargai dan saling percaya. 2. Transparansi. Transparansi diperlukan untuk menghindari rasa saling curiga antar mitra kerja. Meliputi transparansi pengelolaan informasi dan pengelolaan keuangan.
3. Saling menguntungkan. Kemitraan harus bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat. Dalam implementasinya, kemitraan yang dijalankan tidak selamanya ideal, karena terkadang didasarkan pada kepentingan pihak yang bermitra. Menurut Wibisono (2007, hal.104), Kemitraan yang dilakukan antara perusahaan dengan pemerintah maupun komunitas/ masyarakat dapat mengarah pada tiga sekenario, diantaranya: 1. Pola kemitraan kontra produktif. Hal ini terjadi jika perusahaan masih berpijak pada pola konvensional, hanya mengutamakan kepentingan shareholders atau mengejar profit sebesar-besarnya. 2. Pola Kemitraan Semiproduktif. Pemerintah dan komunitas atau masyarakat dianggap sebagai obyek dan masalah diluar perusahaan. 3. Pola Kemitraan Produktif. Menempatkan mitra sebagai subyek, dan terlaksananya simbiosis mutualisme. Perusahaan mempunyai kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi, pemerintah memberikan iklim yang kondusif bagi dunia usaha dan masyarakat memberikan dukungan positif kepada perusahaan.
III. Pembahasan Latar Belakang Sinkronisasi RPJM Kota Cilegon Dengan Program CSR Perusahaan di Wilayah Kota Cilegon. Sinkronisasi antara RPJM Kota Cilegon dengan program CSR perusahaan di wilayah Kota Cilegon melalui lembaga Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR) berawal dari gagasan Walikota Cilegon pada saat memaparkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2010-2015 di depan pimpinan perusahaan se-Kota Cilegon, mengenai program prioritas pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, sesuai target MDG‟s sebesar 50% di akhir tahun 2015. Bila dikaitkan dengan konsep implementasi CSR yang dikemukakan Wibisono bahwa faktor yang mempengaruhi berjalannya CSR salah satunya adalah faktor kepemimpinan. Faktor kepemimpinan dalam hal ini, baik dalam kepemimpinan walikota yang memiliki gagasan sinkronisasi program, maupun pemimpin perusahaan yang mendukung gagasan tersebut. Pemerintah mengakui adanya kendala dalam menangani dua masalah tersebut, yaitu keterbatasan dalam anggaran. Dilain pihak, perusahaan dinilai memiliki potensi dalam membantu pemerintah, melalui program tanggungjawab sosial perusahaan atau CSR. Bila dikaitkan dengan definisi CSR menurut Suharto, maka perusahaan diharapkan dapat berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial,
melainkan juga membangun sosial ekonomi kawasan secara holistik, melembaga dan berkelanjutan. Pemkot menganggap sinkronisasi program sebagai bagian penting, dikarenakan dalam melakukan pembangunan perlu adanya kerjasama dan partisipasi berbagai pihak, khususnya swasta. Pemerintah selaku penanggungjawab pembangunan, perlu mengatur bagaimana sinkronisasi program bisa berjalan dengan baik, tertib, dikelola profesional, dan berangkat dari basis data yang menggambarkan kebutuhan masyarakat. Bila dilaitkan dengan konsep stakeholders menurut Chariri dan Ghazali, bahwa perusahaan bukanlah entitas yang hanya beroperasi untuk kepentingannya sendiri namun harus memberikan manfaat bagi stakeholders-nya (shareholders, kreditor, konsumen, supplier, pemerintah, masyarakat, analis dan pihak lain). Pemkot Cilegon memiliki harapan agar perusahaan yang ada di Kota Cilegon berpartisipasi dalam mensukseskan program pemerintah, dengan memberikan manfaat kepada masyarakat melalui sinkronisasi program CSR.
Gambar 1 Alur Proses Sinkronisasi Program Sumber: Gambar diolah sendiri Konsep kemitraan antara perusahaan dengan pemerintah merupakan upaya pelayanan terhadap masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dilakukan secara bersama antara pemerintah dengan perusahaan melalui sinergi program yang beririsan. Sebagaimana pandangan Hill bahwa Stakeholders dalam pelayanan sosial meliputi negara,
sektor privat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masyarakat, dalam kasus program CSR keseluruhan entitas tersebut terlibat secara bersama-sama. Penetapan CCSR melalui Peraturan Walikota (Perwal) Nomor 3 tahun 2011, menjadi tonggak legalitas kemitraan pemerintah Kota Cilegon dan Perusahaan di wilayah Kota Cilegon melalui wadah CCSR. Namun, kedudukan hukum Perwal memiliki kelemahan, karena dianggap hanya mewakili kepentingan pemerintah dalam hal ini walikota, bukan atas mandat masyarakat yang ditetapkan DPRD melalui Peraturan Daerah (Perda). Jika periode pemerintahan walikota selesai, Perwal bisa dibatalkan oleh Walikota terpilih berikutnya, kondisi tersebut bisa berpengaruh pada keberlanjutan lembaga CCSR itu sendiri. Dalam pembentukan lembaga CCSR terdapat perusahaan yang tidak sepakat dibentuknya lembaga CCSR, berdasarkan data sekretariat CCSR baru 10 perusahaan yang menjadi anggota CCSR dari 115 perusahaan skala besar di Kota Cilegon. Salah satu alasannya, peraturan hukum CSR yang ada saat ini, baru wajib pada BUMN dan perusahaan pengelola Sumber Daya Alam (SDA). Asumsi tersebut berdasarkan pada peraturan hukum mengenai CSR di Indonesia yang wajib pada perusahaan tertentu, sebagaimana dikemukakan Rahmatullah, diantaranya: Pertama, bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diatur dalam Peraturan Menteri Negara BUMN, Per-05/MBU/2007 Pasal 1. Kedua, bagi Perseroan Terbatas (PT) yang mengelola atau operasionalnya terkait dengan Sumber Daya Alam, diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007, pasal 74. Ketiga, bagi perusahaan Penanaman Modal, diatur dalam Undang-Undang Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007, pasal 15 (b). Keempat, bagi perusahaan pengelola minyak dan gas bumi, diatur dalam Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi Nomor 22 Tahun 2001, Pasal 13 ayat 3 (p). Dengan demikian, CSR tidak wajib pada perusahaan yang tidak terkategorikan dalam peraturan diatas. Wajar jika ada perusahaan di Kota Cilegon menolak berdirinya lembaga CCSR. Bagi perusahaan yang tidak terkategori dalam regulasi pemerintah, bisa menjadikan ISO 26000 sebagai acuan. ISO 26000 merupakan standar atau panduan, yang tidak hanya diperuntukkan bagi perusahaan melainkan juga untuk semua sektor publik dan privat dalam melaksanakan Social Responsibility. Bagi perusahaan yang telah menjadi anggota CCSR, memiliki pandangan berbeda, bahwa perusahaan mendukung sinkronisasi program, karena pihak yang mengetahui dan memiliki data mengenai kondisi masyarakat adalah pemerintah, serta yang mengetahui apa yang menjadi prioritas juga pemerintah. Dengan sinkronisasi, bantuan yang ada di perusahaan baik dalam bentuk uang, barang maupun program bisa tepat sasaran dan menjawab kebutuhan masyarakat.
Perusahaan yang mensinkronisasikan program CSR-nya dengan program pemerintah, sejalan dengan definisi CSR menurut Moseley, yaitu manajemen perusahaan menyusun kebijakan dan membuat keputusan mengikuti atau sejalan dengan hukum serta nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Sebagai contoh, Bank Jabar Banten (BJB) Cabang Kota Cilegon yang memiliki fokus CSR dalam bidang pendidikan, membuat kebijakan mendukung program prioritas CCSR melalalui bantuan buku paket bagi pelajar SMP, dan SMA sederajat se-Kota Cilegon dengan nilai bantuan Rp.475 juta. Sedangkan PT. Krakatau steel (PT.KS) dan PT. Chandra Asri, memililki kebijakan, mensinkronkan programnya dengan CCSR terkait program kesehatan, dengan mendanai pembangunan 140 jamban keluarga senilai Rp 350 juta. Sinkronisasi yang dilakukan merupakan upaya mengikuti aturan pemerintah dalam hal ini Perwal No.3 dan mewujudkan harapan masyarakat. Peran pemerintah dan perusahaan dalam mensinergikan program yang beririsan, sesuai dengan pendapat Utama, bahwa perlunya pemerintah duduk bersama dengan pelaku usaha, untuk mengkomunikasikan apa yang dibutuhkan masyarakat secara bersama, memberikan gambaran rencana kerja pemerintah yang terkait dengan kepentingan publik. Dengan demikian ada komunikasi dua arah, sehingga kemungkinan adanya kerjasama antara pemerintah dengan perusahaan menjadi semakin terbuka, sehingga tidak terjadi overlapping program antara pemerintah dan perusahaan. Tujuan didirikannya lembaga CCSR adalah tercapainya target MDG‟s pada tahun 2015, yaitu berkurangnya angka keluarga miskin di Kota Cilegon dari 15.961 Kepala Keluarga (KK), berkurang setengahnya menjadi 8.000 KK. Upaya mewujudkan target tersebut perlu melibatkan multi pihak khususnya perusahaan agar akselerasi pengurangan angka kemiskinan dapat tercapai. Pemerintah memiliki pertimbangan tersendiri, mengapa mengikutsertakan pihak perusahaan untuk bermitra, karena perusahaan memiliki program CSR, yang jika disinergikan dengan program pemerintah akan menjadi potensi yang besar untuk mewujudkan tujuan tersebut. Pandangan diatas menggambarkan pentingnya hubungan antara perusahaan dengan pemerintah, sebagaimana dikemukakan Wibisono, bahwa dunia usaha merupakan mitra pemerintah untuk mengelola sumber daya yang mustahil bila seluruhnya bisa dikelola oleh pemerintah. Dunia usaha membantu pemerintah dalam memutar roda perekonomian dan menggerakkan pembangunan. Bila dikaitkan dengan motif melaksanakan CSR, perusahaan yang mensinergikan programnya dengan pemerintah, diungkapkan
Wibisono,
menginginkan terwujudnya harapan, sebagaimana
diantaranya:
mempertahankan
dan
mendongkrak
reputasi
perusahaan, memperbaiki hubungan dengan stakeholders, dan memperbaiki hubungan
dengan regulator. Bank Jabar Banten (BJB) mengakui bahwa salah satu keuntungan yang didapatkan dalam mensponsori penerbitan buku adalah digunakannya logo BJB dalam setiap eksemplar buku, menjadikan BJB lebih dikenal kepeduliannya oleh masyarakat. Sedangkan PT. KS yang memiliki aset perusahaan tersebar mengharapkan adanya hubungan yang baik dengan masyarakat, agar aset perusahaan tetap aman dan terjaga.
Proses Kemitraan Melalui Lembaga CCSR Pembentukan lembaga CCSR yang diinisasi pemerintah Kota Cilegon merupakan penghargaan atas potensi CSR yang dimiliki perusahaan. Pemerintah berupaya membuat koridor agar potensi sosial yang dimiliki perusahaan bisa dirasakan manfaatnya bagi masyarakat. Bentuk saling menghargai lainnya, pemerintah menjaga independensi perusahaan, dimana kepengurusan CCSR sepenuhnya berasal dari perwakilan perusahaan. Sedangkan bentuk penghargaan perusahaan terhadap pemerintah, yaitu dengan mendukung Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Cilegon, turut aktif dalam pendirian lembaga CCSR dan mensinergikan program CSR melalui lembaga CCSR. Visi RPJMD Kota Cilegon : “Masyarakat Cilegon Sejahtera Melalui Daya Dukung Industri, Perdagangan dan Jasa Agenda Cilegon Sejahtera : 1. Pemenuhan kebutuhan perlindungan sosial masyarakat 2. PENINGKATAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PENGENTASAN KEMISKINAN 3. PENUMBUHAN WIRAUSAHA BARU DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI RAKYAT DENGAN MENGOPTIMALKAN INDUSTRI HULU 4. OPTIMALISASI PENGELOLAAN DANA CSR UNTUK MENUNJANG PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT 5. PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN DAN PERUMAHAN LAYAK HUNI MASYARAKAT MISKIN 6. Penciptaan proyek-proyek padat karya guna mengurangi pengangguran 7. Pengembangan sektor-sektor ekonomi selain industri manufaktur untuk penyerapan tenaga kerja (perdagangan, perhotelan dan jasa
Agenda Cilegon Cerdas dan Sehat : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
PERLUASAN CAKUPAN PENDIDIKAN GRATIS HINGGA MENYENTUH SEKOLAH SWASTA PENYEDIAAN BUKU PAKET PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH Penyediaan Pendamping BOS Kota Cilegon Fasilitasi pembiayaan bagi peningkatan pendidikan guru Pendidikan yang berkesetaraan gender Pembangunan perpusatakaan daerah berskala nasional Penyediaan kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan dasar sesuai standar ideal Pemenuhan Sekolah Kejuruan di 8 kecamatan sesuai kebutuhan industri, perdagangan dan jasa Menjamin ketersediaan teknologi informasi di sekolah dasar dan menengah Peningkatan cakupan pelayanan kesehatan gratis RSUD dan Puskesmas serta perluasan cakupan Jamkesda Mewujudkan 43 Kelurahan Siaga Penyediaan anggaran responsif gender Pemanfaatn partisipasi perempuan dan pemuda, serta pengembangan olahraga daerah
Gambar 2 Sinkronisasi Agenda Pembangunan Pemerintah dengan Program CSR Perusahaan Sumber: Gambar diolah sendiri
Walaupun dalam kepengurusan CCSR pemerintah tidak terlibat, namun pemerintah memiliki kewajiban dalam membiayai operasional lembaga CCSR melalui APBD sebesar Rp 197 juta. Bentuk kewajiban ini merupakan salah satu jawaban atas skeptisme beberapa perusahaan yang berasumsi bahwa pemkot memanfaatkan perusahaan dengan mengalihkan beban tanggungjawabnya dalam mensejahterakan masyarakat. Sedangkan perusahaan yang telah menjadi anggota CCSR berkewajiban dalam mengintegrasikan programnya. Selama kurun Bulan Maret hingga November Tahun 2011, nilai kontribusi perusahaan melalui program CSR yang dikelola lembaga CCSR mencapai Rp.9,8 miliar. Baik pemerintah maupun perusahaan memiliki komitmen terhadap lembaga CCSR. Bentuk komitmen pemerintah adalah dengan memberikan kemudahan dalam perizinan kegiatan, fasilitasi tempat dan melakukan pengawasan jalannya kegiatan CCSR. Kedudukan pemerintah sebagai dewan pengawas berfungsi menjalankan monitoring walaupun tidak memiliki hak dalam memberikan hukuman terhadap pengurus CCSR. Pemerintah hanya mengawal agar tujuan ideal dibentuknya lembaga CCSR dapat terwujud. Perusahaan memiliki komitmen dengan mensinergikan program yang betul-betul disesuaikan dengan prioritas pemerintah, sehingga tujuan akselerasi berkurangnya keluarga miskin di akhir tahun 2015 dapat tercapai. Dalam kurun waktu 9 bulan kepengurusan CCSR terbentuk, telah dilaksanakan dua program prioritas yaitu bantuan buku sebanyak 129.450 eksemplar dan pembangunan 140 unit jamban keluarga, beserta 13 program non prioritas. Implementasi CSR yang dilakukan perusahaan dipengaruhi faktor regulasi dan sistem perpajakan. Semakin kondusif regulasi, akan lebih berpotensi memberi semangat kepada perusahaan untuk berkontribusi kepada masyarakat, hal tersebut dikemukakan Wibisono. Dasar ikatan antara pemerintah dengan perusahaan adalah diterbitkannya Perwal nomor 3 tahun 2011, tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR). Bentuk ikatan perusahaan, dengan manjadi pengurus CCSR yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengelolan CCSR. Sedangkan ikatan pemerintah adalah menjadi dewan penasihat bersama stakeholders lain yaitu tokoh masyarakat, dan akademisi dalam membantu memberikan arahan, nasehat, gagasan, dan saran kepada CCSR. Jika dilihat dalam aspek politik, ditetapkannya CCSR melalui Perwal, pelantikan pengurus oleh walikota dan posisi pemerintah dalam struktur organisasi CCSR sebagai dewan penasihat, seakan menunjukkan kedudukan CCSR yang tidak independen dimana pemerintah berada dalam posisi superordinat. Kondisi tersebut terjadi dikarenakan belum
meningkatnya status peraturan hukum CCSR dari Perwal menjadi Perda sehingga dalam keputusan-keputusannya ditetapkan oleh walikota. Secara operasional dalam kedudukannya sebagai dewan penasihat, Pemda tidak memiliki hak dalam memberikan intervensi dalam bentuk apapun terhadap CCSR, melainkan sekedar memberikan saran dan masukan. Hal tersebut dikemukakan oleh informan perusahaan anggota CCSR, bahwa masing-masing pihak menghargai peran dan kedudukannya, dan selama satu tahun berjalan tidak ada intervensi antar kedua belah pihak, melainkan melakukan bekerjasama mensinergikan potensi yang ada.
Faktor Pendukung dan Penghambat Terdapat beberapa faktor pendukung dalam melaksanakan sinergi program antara pemerintah dengan perusahaan, diantaranya: komitmen pemerintah dalam mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran yang di dukung oleh perusahaan. Perusahaan diuntungkan dari adanya kerjasama dengan pemerintah, dimana program CSR lebih tepat sasaran, pencitraan juga didapatkan, selain itu perusahaan merasa terbantu dalam melaksanakan CSR-nya. Kontribusi masing-masing pihak yang bermitra, menjadi pendorong bagi berjalannya roda organisasi dan program-program CCSR. Pemerintah memiliki komitmen dalam membiayai operasional lembaga CCSR, dengan menganggarkan melalui APBD, sedangkan perusahaan membiayai program CSR yang disinergikan. Faktor-faktor pendukung kemitraan menunjukkan pola kemitraan dalam lembaga CCSR mengarah pada kemitraan produktif, dimana perusahaan mempunyai kepedulian sosial dan lingkungan yang tinggi, sedangkan pemerintah memberikan iklim yang kondusif bagi berjalannya kerjasama. Faktor-faktor penghambat yang muncul, diantaranya: status CCSR yang ditetapkan melalui Perwal, seharusnya ditingkatkan menjadi Perda, agar memiliki kekuatan hukum yang lebih mengikat, menjadi dasar bagi perusahaan lain untuk menjadi anggota CCSR, serta kelembagaan CCSR tetap berkelanjutan walaupun kedepannya terjadi pergantian walikota. Sedangkan hambatan menurut pandangan perusahaan yang belum menjadi anggota CCSR, dikarenakan asumsi perusahaan bahwa tanggungjawab pembangunan dan peningkatan kesejahteraan merupakan tanggungjawab pemerintah, bukan perusahaan. Selain juga perusahaan merasa sudah berkontribusi kepada daerah melalui pajak dan retribusi.
IV.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan Dari hasil kajian yang dilakukan mengenai latar belakang sinkronisasi antara Pemkot Cilegon dengan perusahaan di wilayah Kota Cilegon, menunjukkan bahwa lembaga CCSR lahir atas prakarsa pemerintah yang menginginkan adanya sinergi antara RPJMD dengan program CSR perusahaan yang ada di Kota Cilegon, ditetapkan melalui Peraturan Walikota Nomor 3 tahun 2011. Perwal menjadi tonggak legalitas kemitraan pemerintah Kota Cilegon dan Perusahaan di wilayah Kota Cilegon melalui wadah CCSR. Dasar keanggotaan CCSR adalah sukarela, tidak ada paksaan atau intervensi bagi perusahaan untuk mensinergikan program. Dalam pembentukan lembaga CCSR terdapat dinamika antara perusahaan yang sepakat dan tidak sepakat. Bagi perusahaan yang tidak sepakat dibentuknya lembaga pengelola CSR, dengan alasan peraturan hukum CSR yang ada, baru wajib pada perusahaan tertentu. Bagi perusahaan yang menjadi anggota CCSR, memiliki pandangan, bahwa perusahaan mendukung sinkronisasi program, karena yang mengetahui dan memiliki data mengenai kondisi masyarakat adalah pemerintah Proses kemitraan yang meliputi: kesepakatan, kerjasama, kewajiban, menanggung keuntungan/ resiko, dan mengevaluasi hubungan kerjasama telah dijalankan dengan baik oleh pemerintah maupun perusahaan dalam lembaga CCSR. Selain itu, kemitraan yang dijalankan lembaga CCSR sudah memenuhi tiga prinsip, dasar, yaitu: kesetaraan atau keseimbangan, transparansi dan saling menguntungkan. Dalam aspek kesetaraan, meliputi adanya rasa menghargai antara pemerintah dengan perusahaan sebagai pihak yang bermitra, adanya kewajiban yang dijalankan baik oleh pemerintah maupun perusahaan. Selain itu baik pemerintah maupun perusahaan memiliki komitmen dalam mensukseskan program-program CCSR. Aspek lain kesetaraan adalah adanya ikatan diantara pemerintah dengan perusahaan dalam mengawal tercapainya tujuan CCSR yaitu menuju terwujudnya akselerasi kesejahteraan masyarakat cilegon. Dalam aspek transparansi, baik pemerintah maupun perusahaan memaparkan secara terbuka dana yang di kelola melalui lembaga CCSR dan mempublikasikan kegiatan yang akan, sedang dan telah dilaksanakan melalui media massa lokal. Dalam aspek keuntungan, kedua belah pihak mendapatkan keuntungan dari kemitraan melalui lembaga CCSR. Bagi pemerintah dari kemitraan adalah berkurangnya angka kemiskinan dan pengangguran. Bagi perusahaan, adanya lembaga CCSR, telah memberikan kemudahan, karena teknis pelaksanaan program sepenuhnya dikerjakan oleh lembaga CCSR.
Sinkronisasi program CSR, secara kuantitatif telah memberikan hasil signifikan, dalam kurun waktu antara Bulan Maret hingga November 2011, telah terdistribusikan 129.450 eksemplar buku untuk pelajar SMP dan SMA sederajat se-Kota Cilegon bantuan dari Bank Jabar Banten (BJB), PT. Krakatau Steel, PT.Chandra Asri, dan Forum BUMD. Dibangunnya 140 unit jamban keluarga bantuan dari PT. Krakatau Steel dan PT.Chandra Asri, serta program lain senilai Rp.9,860 miliar.
Saran Berdasarkan kesimpulan diatas, terdapat beberapa saran sebagai bahan pertimbangan bagi pihak terkait, dalam hal ini lembaga CCSR, Pemerintah Kota Cilegon, dan Perusahaan di wilayah Kota Cilegon, diantaranya: -
Penetapan CCSR perlu ditingkatkan menjadi Peraturan Daerah (Perda). Kedudukan Perda lebih tinggi dari Perwal, yang ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Selain itu Perda menjadi dasar yang kuat bagi perusahaan lainnya untuk menjadi anggota CCSR.
-
Mendorong pemerintah pusat segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Tentang Tanggungjawab Sosial Perusahaan. Untuk saat ini dasar yang bisa digunakan agar perusahaan mensinergikan program melalui ISO 26000.
-
Perlu dilaksanakan sosialisasi mengenai kelembagaan CCSR yang intensif kepada perusahaan dan forum perusahaan yang belum menjadi anggota CCSR, dengan memaparkan program CCSR, aspek transparansi, dan signifikasi keberhasilan melalui kemitraan CCSR.
-
CCSR perlu melaksanakan kajian kebutuhan, agar CCSR memiliki dasar dalam menentukan program prioritas.
-
CCSR perlu memiliki basis data sendiri, tujuannya sebagai pembanding dalam mengoreksi data pemerintah.
Daftar Pustaka Adi, Isbandi Rukminto. (2008). Intervensi Komunitas Pengembangan Masyarakat Sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta : Rajawali Press. Chariri, A.,& Ghazali, I. (2007). Teori Akuntansi, Semarang: Badan Penerbit UNDIP Freeman, R. E., (1984). Strategic Management: A Stakeholder Approach, Boston: Pitman Publishing Huda, Miftachul. (2009). Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Pengantar. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Midgley, James. (1995). Social Development The Development Perspective in Social Welfare. London: Sage Publications . Rahmatullah& Kurniati, Trianita. (2011). Panduan Praktis Pengelolaan CSR (Corporate Social Responsibility). Yogyakarta: Samudra Biru. Rudito, Bambang& Budimanta, Arif & Prasetijo, Adi (2004). Corporate Social Responsibility: Jawaban Bagi Modal Pembangunan Indonesia Masa Kini. Jakarta: ICSD Suharto, Edi. (2006). Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung : Aditama. Wibisono, Yusuf.(2007) Membedah Konsep dan Aplikasi CSR. Gresik: Fascho Publishing. Makalah/ Karya Ilmiah: Hikmat, Harry. (2011) Sistem Perncanaan dan Anggaran Pada Era Otonomi Daerah. Khairandy, Ridwan.(2008). Corporate Social Responsibility: Dari Shareholder Ke Stakeholder, Dan Dari Etika Bisnis Ke Norma Hukum. Mulyadi (2003): Pengelolan Program Corporate Social Responsibility: Pendekatan, Keberpihakan dan Keberlanjutannya. Center for Populaton Studies, UGM Utama, Sidharta (2010). Evaluasi Infrastruktur Pendukung Pelaporan Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia. Suryani, Dini (2010). The Politics Of Corporate Social Responsibility (Studi tentang Peran Forum Multistakeholder CSR dalam Melakukan Kontrol Terhadap CSR sebagai CoProduction dalam Penyediaan Public Goods di Kabupaten Kutai Timur) Dokumen: Badan Pusat Statistik. (Mei, 2011). Berita Resmi Statistik. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Cilegon. 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Cilegon Tahun 2011.
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Cilegon. (2011). Cilegon Dalam Angka. Sekretaris Daerah Kota Cilegon (Januari 2011). Peraturan Walikota Cilegon Nomor 3 Tahun 2011, Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Cilegon Corporate Social Responsibility (CCSR) di Kota Cilegon. Koran dan Majalah: Supranoto. Semua Untung. Majalah Bisnis dan CSR. Edisi Oktober 2007 Publikasi Elektronik: Pelembagaan Bekasi Social Responsibility (BCSR), diakses tanggal 2 Januari 2012, dari: http://bekasisocialresponsibility.blogspot.com/2009/09/pelembagaan-bekasisocial.html
PASANG SURUT OTONOMI DESA DI INDONESIA Fikri Habibi abstrak desa sudah ada sejak dahulu jauh sebelum NKRI lahir, oleh karena itu sudah sepatutnya desa mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Eksistensi desa dalam struktur pemerintahan di Indonesia terus mengalami perubahan seiring dengan kepentingan rezim yang berkuasa. Ketika orde baru, desa ditempatkan sebagai unit pemerintahan terkecil yang langsung berada di bawah kecamatan. Masa orde baru, desa-desa di Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama karena memakai pendekatan “penyeragaman” demi tujuan stabilitas politik. Memasuki masa reformasi, secar normatif desa mempunyai posisi yang berbeda dengan orde baru. Hal tersebut dapat dilihat dari undang-undang yang menjelaskan bahwa negara mengakuai desa beserta hak-hak tradisionalnya selama masih dalam konteks NKRI, atau dengan kata lain desa sudah mempunyai otonomi. Perdebatan tentang konsepsi otonomi desa masih terus bergulir hingga melahirkan argumentasi bahwa desa harus diatur oleh undang-undang tersendiri (RUU Desa). Proses panjang perumusan konsep ideal otonomi desa harus harus berorientasi pada kemandirian dan kesejahteraan masyarakat desa. Kata Kunci Desentralisasi, Otonomi daerah, Otonomi desa
A. PENDAHULUAN Otonomi daerah termasuk isu dan kebijakan yang satu dasawarsa terakhir menjadi salah satu pusat pembahasan dan kajian bidang pemerintahan di Indonesia. Meskipun demikian, otonomi daerah sesunggunya
sudah diimplementasikan sejak zaman penjajahan. Jejak
rekamnya dapat terlihat dari peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah dari zaman penjajahan Belanda hingga masa reformasi. Beberapa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan otonomi daerah dapat dilihat dalam tabel di bawah ini30: Tabel A.1 Peraturan-Peraturan Otonomi Daerah Masa Pra Kemerdekaan 1903-1945
30
-
Decentralicetie Wet 1903
-
Oendang-Oendang No.27 tentang
Diringkas dari Soetandyo Wignosubroto dkk ,Pasang Surut Otonomi Daerah:Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Institute for Local Development, Yayasan Tifa, Jakarta,2005
Peroebahan Pemerintahan Daerah -
Oendang-Oendang
No.28
tentang
Atoeran Pemerintahan Syuu dan Atoeran Pemerintahan Tokubetsusi -
Oendang-Oendang
No.30
tentang
Mengoebah Nama Negeri dan Daerah Masa Kemerdekaan Hingga Demokrasi Terpimpin 1945-1965
Masa Orde Baru 1966-1999
UU No.1 tahun 1945 tentang KNID
-
UU No. 22 tahun tentang KND
-
UU No.1 tahun 1957
-
Penpres No.6 tahun 1959
-
Penpres No.5 tahun 1960
-
UU No.18 tahun 1965
-
UU No.5 tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan Di Daerah
Masa Reformasi 1999-Sekarang
-
UU No.5 tahun 1979 tentang Desa
-
UU
No.22
tahun
1999
tentang
1999
tentang
Pemerintahan Daerah -
UU
No.25
tahun
Perimbangan
Keuangan
antara
Pemerintah Pusat dan Daerah -
UU
No.32
tahun
2004
tentang
Pemerintahan Daerah -
UU No.33 tahun 2004
Perbedaan yang paling substansial dari semua peraturan tersebut adalah aturan tentang kualitas otonomi yang diberikan kepada daerah (pemda). Masa orde lama dan orde baru, bobot otonomi yang diberikan kepada daerah sangatlah kecil. Kebijakan tersebut sangat dipengaruhi sistem politik yang dijalankan pada saat itu, yaitu sentralistik. Berbeda dengan masa reformasi, dimana daerah diberikan hak/kewenangan yang sangat luas untuk menjalankan
daerahnya
sendiri
sementara
Pusat
hanya
menjalankan
beberapa
kewenangan/urusan saja. Perjalanan panjang peraturan tentang otonomi daerah tersebut seharusnya bermuara pada format ideal otonomi daerah di Indonesia.
Pemerintah dan DPR sedang melakukan pembahasan dalam rangka perubahan atau revisi atas UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Rancangan perubahan yang paling fundamental yaitu akan dipecahnya (split) UU No.32 tahun 2004 menjadi tiga undangundang yaitu UU tentang Pemda, UU tentang Pemilukada serta UU tentang Desa. Perdebatan rencana pemisahan undang-undang tersebut terus bermunculan baik yang setuju maupun yang menolak. Pihak yang setuju dengan pemisahan berpendapat bahwa, ketiga persoalan tersebut (pemda, pemilukada dan desa) harus diatur oleh undang-undang tersendiri karena kompleksitas permasalahan serta “keunikan”-nya. Sehingga, ketiganya dirasakan sudah tidak bisa diakomodir lagi di dalam satu undang-undang yaitu UU No.32 tahun 2004. Khusus tentang desa, menurut Robert Endi Jaweng31 pentingnya pengaturan tersendiri Desa dalam suatu UU dilandasi banyak alasan. Paling utama adalah untuk menjaga agar prinsip pengakuan dan penghormatan terhadap eksistensi Desa mendapat wadah legal yang tinggi, yakni UU. Tidak seperti sekarang ini di mana sebagian aspek substantif Desa hanya diatur pada level PP (PP No.72/2005) yang otoritas penyusunnya hanya dilakukan pemerintah tanpa keterlibatan para wakil di DPR atau DPD. Selain itu, dengan menjadikan pengaturan Desa sekedar sebagai bagian norma UU Pemda, Desa seolah menjadi bagian dari struktur Pemda dan otonomi Desa hanya menjadi cabang dari otonomi daerah. Terlebih di sisi lain perlu dicatat bahwa 83,2 persen wilayah Indonesia merupakan kawasan perdesaan dengan total jumlah desa sebesar 74 ribu desa (survei PODES, 2006). Dari 74 ribu desa tersebut, 45 persen atau sekitar 32.500 desa merupakan desa tertinggal (miskin) 32. Pihak yang menolak berpendapat bahwa pemisahan tersebut tidak menyentuh substansi permasalahan bahkan dapat menimbulkan permasalahan baru yaitu mis koordinasi atau tumpang tindih antar undang-undang. Sebagai contoh, RUU Desa yang sedang dibahas di DPR menurut Otto Syamsuddin Iskak mempunyai potensi berbenturan dengan UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Penyebabnya adalah pengaturan desa di Aceh tidak bisa dilepaskan dari UU No.11 tahun 2006 yang masih menghormati komunitas adat yang dikenal dengan “gampong”33.
31
Robert Endi Jaweng , Otonomi Desa: Reposisi Mencari Jati Diri, Artikel pada Harian Jurnal Nasional – Kamis, 21 Juli 2011) 32
Prof. Firmanzah, PhD, Menyikapi RAPBN 2012, Metro Kolom, Selasa 23 Oktober 2011, http://metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/08/23/197/Menyikapi-RAPBN-2012). 33 Harian Umum Kompas, Jum‟at 15 Juni 2012 hal. 5).
Perjalanan otonomi desa tidak terlepas dari perjalanan otonomi daerah itu sendiri, karena otonomi desa akan dipengaruhi oleh format otonomi daerah yang akan diimplementasikan. Pada masa Orde Baru dengan alasan stabilitas politik untuk menunjang pembangunan nasional, desa diartikan sebagai konsep administratif yang berkedudukan di bawah kecamatan. Struktur pemerintahan desa diseragamkan melalui UU No. 5/ 1979. Masa reformasi merupakan titik tolak dari slogan kembali ke desa, yang menekankan pada pembaruan otonomi desa, yang ditandai oleh desentralisasi kekuasaan dengan terbitnya UU No. 22 Tahun 1999. Namun tak lama muncul kecenderungan resentralisasi melalui UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dilatarbelakangi dengan perubahan fungsi BPD menjadi Badan Permusyawaratan Desa, sehingga tidak ada lagi fungsi kontrol terhadap kepala desa. Hal ini mengisyaratkan bahwa desa belum sepenuhnya otonom sebagai suatu entitas yang berdaya secara politik dan ekonomi. 34 Perubahan konsep otonomi desa yang paling serius adalah pergeseran yang semula “otonomi pengakuan” menjadi “otonomi pemberian”. Pengakuan dan pemberian mempunyai nilai filosofis yang berbeda. Konsep pengakuan mengandung makna bahwa desa sudah memiliki kewenangan yang melekat (jauh sebelum Indonesia lahir) yang kemudian diakui oleh negara sebagai hak adat istiadatnya. Sedangkan konsep pemberian, bahwa negara-lah yang memberikan otonomi kepada desa. Pergeseran konsep tersebut mempunyai konsekuensi terhadap tiga hal35, yaitu: 1. Otonomi tradisionl berubah menjadi otonomi rasional 2. Perubahan kelembagaan yang semula lembaga kemasyarakatan yang mengurus kepentingannya sendiri menjadi lembaga pemerintahan daerah yang berskala kecil 3. Sumber keuangan, semula berasal dari iuran masyarakat berubah menjadi pemberian dari APBN dan APBD. RUU Desa yang sedang dibahas oleh DPR hanya menjadi momentum pengulangan sejarah UU tentang desa karena pada masa orde baru, desa diatur tersendiri melalui UU No.5 tahun 1979. Jika RUU Desa disahkan, pertanyaannya apakah implementasi otonomi desa secara khusus dan otonomi daerah secara umumnya terjadi kemajuan atau kemunduran. Meskipun,
34
Irine H. Gayatri, Demokrasi Lokal (di Desa): Quo Vadis?, Makalah untuk diskusi Perkumpulan INISIATIF, Bandung, 16 April 2007. 35
Sadu Warsito dan M.Irwan Tahir, Administrasi Pemerintahan Desa, Universitas Terbuka, Jakarta, 2011:1.23)
beberapa klausul revisi tersebut sepintas memberikan angin surga bagi desa. Contoh persoalan anggaran, DPR sedang memperjuangkan anggaran desa sebesar 10% dari total APBN per tahun36. Hal tersebut merupakan lompatan yang cukup signifikan karena selama ini desa hanya mendapatkan anggaran sisa berupa Anggaran Dana Desa (ADD). Berdasarkan paparan di atas, pertanyaan yang yang paling mendasar adalah apa visi reformasi kebijakan Desa untuk memperbaiki masa depan Desa? Perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam dan serius dalam menata desa ke depan dan didasarkan atas kondisi objektif desa. Argumentasi-argumentasi yang dibangun dalam membuat konsepsi pemerintah desa yang ideal sekarang ini, selalu dikaitkan dengan faktor sosio historis desa. Pijakannya selalu pada asumsi bahwa desa adalah sebuah wilayah yang damai, tentram, minim konflik, harmonis dan lain sebagainya. Tetapi, relevansi argumentasi tersebut perlu dikoreksi kembali jika dikaitkan dengan kondisi sosio politik desa terkini. Desa sudah banyak mengalami perubahan sebagai implikasi dari moderenisasi termasuk perkembangan dan perubahan paradigma tentang otonomi dan pemerintahan daerah.
Modernisasi telah merubah desa
(dalam konsep tradisional) menjadi desa yang lebih kompleks. Desa juga sudah menjadi arena pertempuran kepentingan-kepentingan politik yang seringkali menegasikan nilai-nilai luhur desa. Kepala desa dan perangkat desa lainnya seringkali menjadi ujung tombak tim sukses partai politik dan kandidat kepala daerah tertentu. Aroma politik ini akan lebih terasa ketika mendekati momentum politik tertentu (seperti pemilu, pemilukada dan pilkades).
B. DESA Definisi desa menurut tiga peraturan perundang-undangan yang di dalamnya mengatur tentang desa. Menurut UU No. 5 tahun 1979 adalah “desa wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai persatuan masyarakat, termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri”. Sedangkan menurut UU No.22 tahun 1999 “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten”. 36
Harian Umum Kompas, Selasa 8 Mei 2012
Menurut UU No.32 tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa” Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.37 Menurut Kuntowijoyo ( Suhartono, 2001: 30), ada tiga paradigma yang berkembang dalam melihat Desa. Pertama, paradigma yang melihat masalah pada rakyat itu sendiri. Kedua, paradigma yang melihat kondisi yang menyebabkan tidak adanya kesempatan bagi rakyat. Ketiga, paradigma yang melihat pada struktur dan sistem yang tidak adil. Secara umum, setidaknya terdapat tiga tipe bentuk Desa, yaitu: a. Tipe ”Desa adat” atau sebagai self governing community sebagai bentuk Desa asli dan tertua di Indonesia. Konsep ”otonomi asli” sebenarnya diilhami dari pengertian Desa adat ini. Desa adat mengatur dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur tangan negara. Desa adat tidak menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan oleh negara. Saat ini Desa pakraman di Bali yang masih tersisa sebagai bentuk Desa adat yang jelas. b. Tipe ”Desa administratif” (local state government) adalah Desa sebagai satuan wilayah administratif yang berposisi sebagai kepanjangan negara dan hanya menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan negara. Desa administratif secara substansial tidak mempunyai otonomi dan demokrasi. Kelurahan yang berada di perkotaan merupakan contoh yang paling jelas dari tipe Desa administratif. c. Tipe ”Desa otonom” atau dulu disebut sebagai Desapraja atau dapat juga disebut sebagai local self government, seperti halnya posisi dan bentuk daerah otonom di Indonesia. Secara konseptual, Desa otonom adalah Desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi sehingga mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Desa otonom berhak membentuk pemerintahan sendiri, mempunyai badan legislatif, berwenang membuat peraturan Desa dan juga memperoleh desentralisasi keuangan dari negara.
37
www.wikipedia.org/wiki/desa
Keragaman sosio-kultural yang dimiliki oleh Indonesia juga berpengaruh terhadap klasifikasi keragaman pemerintahannya, termasuk pada bentuk desa. Karakteristik desa-desa yang ada di pulau Jawa akan mempunyai perbedaan dengan desa yang terdapat di Papua baik nomenklatur maupun perbedan hukum adatnya.
Tabel B.1 Tipologi Bentuk Keragaman Desa di Indonesia Tipe Desa
Deskripsi
Daerah
Ada adat, tetapi tidak Adat sangat dominan. Desa tidak Papua ada Desa.
punya pengaruh.
Tidak ada adat, tetapi Pengaruh adat sangat kecil. Desa Jawa, sebagian besar ada Desa
modern sudah tumbuh kuat.
Sulawesi, Timur,
Kalimantan sebagian
Sumatera Integrasi antara Desa Adat dan Desa sama-sama kuat. Sumatera Barat dan adat.
Terjadi kompromi keduanya.
Dualisme/Konflik
Pengaruh adat
jauh lebih kuat Bali, Kalimantan Barat,
antara adat dengan ketimbang Desa. Terjadi dualisme Aceh, NTT, Maluku. Desa
kepemimpinan lokal. Pemerintahan Desa tidak efektif.
Tidak ada Desa tidak Kelurahan sebagai unit administratif Wilayah perkotaan. ada adat
(local state government). Tidak ada demokrasi lokal.
Pemerintah desa di Indonesia selama ini telah menjalankan tiga peran utamanya, yaitu sebagai berikut:
1. Sebagai struktur perantara; yakni menjadi perantara antara masyarakat desa dengan pemerintahan supradesa (pusat, provinsi, dan kabupaten) maupun dengan pihak lainnya. 2. Sebagai pelayan masyarakat; yakni memberikan pelayanan dalam bentuk barang dan jasa publik yang diatur berdasarkan hak asal-usul desa bersangkutan ataupun berupa penugasan dari pemerintah supradesa. 3. Sebagai agen pembaharuan; yakni menjadi pelopor perubahan bagi desa dan masyarakatnya baik atas inisiatif sendiri maupun penugasan dari penugasan pemerintahan supradesa38
C. SEJARAH PERATURAN TENTANG DESA Sejarah perjalanan peraturan tentang desa terus mengalami pasang surut seiring dengan perdebatan dan perubahan tentang otonomi daerah. Pengaturan tentang desa di Indonesia dapat dikaji dan ditelusuri dari peraturan-peraturan yang telah dibuat dari masa penjajahan Belanda hingga masa reformasi. Peraturan tentang desa hingga tahun 1965 dapat dilihat pada bagan di bawah ini: Tabel C.1 Perkembangan Peraturan Tentang Desa Sampai Tahun 196539 Perubahan Paradigma Penyelenggaraan Pemerintah Desa
Tahun 1906
- Stbl No.591 - Stbl 1913/235 - Stbl 1919/217
IGO (daerah jawa) dan IGOB (luar jawa)
Tahun 1948
UU No.22/1948 kemudian diganti dengan UU No.1/1957
IGO dan IGOB tidak berlaku lagi
UU No.1/1957 diganti oleh UU No.19/1965
Desa Praja
Tahun 1965
Masa UU No. 5/1979 38 39
Sadu Warsito dan M.Irwan Tahir, Administrasi Pemerintahan Desa, Universitas Terbuka, Jakarta, 2011:1.21) Ibid
Dari ketentuan awal, termasuk pengertian Desa yang seragam itu, banyak pihak menilai bahwa UU No. 5/1979 merupakan bentuk Jawanisasi atau menerapkan model Desa Jawa untuk kesatuan masyarakat adat di Luar Jawa. Dengan sendirinya UU ini tidak mengakui lagi keberadaan nagari, huta, sosor, marga, negeri, binua, lembang, parangiu dan lain-lain yang umumnya berada di Luar Jawa. Pengaturan dalam UU No. 5 /1979 memaksa Desa dan kesatuan masyarakat hukum yang menjadi bagian darinya menjadi seragam. Persekutuan sosial Desa lain yang belum sesuai bentuknya dengan Desa dipaksa menyesuaikan diri, melalui upaya misalnya regrouping Desa, sehingga tidak dapat disebut Desa lagi. Secara substantif UU No. 5/1979 menempatkan Kepala Desa bukanlah pemimpin masyarakat Desa, melainkan sebagai kepanjangan tangan pemerintah supra Desa, yang digunakan untuk mengendalikan penduduk dan tanah Desa. UU No. 5/1979 sebenarnya juga mengenal pembagian kekuasaan di Desa, yakni ada Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Pasal 3 menegaskan, Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Lembaga Musyawarah Desa adalah lembaga permusyawaratan atau pemufakatan yang keanggotaannya terdiri atas Kepala-kepala Dusun, Pimpinan Lembaga-lembaga Kemasyarakatan, dan pemuka-pemuka masyarakat di esa yang bersangkutan (Pasal 17). Meski ada pembagian kekuasaan, tetapi LMD tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang berarti. LMD bukanlah wadah representasi dan arena check and balances terhadap kepala Desa. Bahkan juga ditegaskan bahwa kepala Desa karena jabatannya (ex officio) menjadi ketua LMD (Pasal 17 ayat 2).40 Masa UU No. 22 tahun 1999 Undang-Undang No. 22/1999 memang tidak mengenal desentralisasi Desa, tetapi para perumusnya, misalnya Prof. M. Ryaas Rasyid, menegaskan bahwa semangat dasar UU No. 22/1999 adalah memberikan pengakuan terhadap keragaman dan keunikan Desa (atau dengan nama lain) sebagai self-governing community, yang tentu saja merupakan manifestasi terhadap makna “istimewa” dalam Pasal 18 UUD 1945. Pemaknaan baru ini berbeda dengan semangat dan disain yang tertuang dalam UU No. 5/1979, yang hanya menempatkan Desa sebagai unit pemerintahan terendah di bawah camat. Secara politik UU No. 5/1979 bermaksud
untuk
menundukkan Desa
dalam kerangka
NKRI,
yang
berdampak
menghilangkan basis self-governing community. Lompatan lain yang tampak dalam UU No. 40
Naskah Akademik Rancangan UU tentang Desa, Direktorat Pemerintah Desa dan Kelurahan, www.forumdesa.org. Penulis juga mendapatkan bahan yang sama dari Komisi 2 DPR RI
22/1999 adalah pelembagaan demokrasi Desa dengan lahirnya Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai pengganti Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Pasal 94 UU No. 22/1999 menegaskan: “Di Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa”. Sedangkan Pasal 104 menegaskan: Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Meski menciptakan lompatan yang luar bisa, tetapi UU No. 22/1999 tetap memiliki sejumlah keterbatasan, terutama kalau dilihat dari sisi Desain desentralisasi.
UU
ini
menyerahkan sepenuhnya persoalan Desa kepada
kabupaten/kota, sehingga membuat rumusan UU No. 22/1999 memberikan “cek kosong” pengaturan Desa kepada kabupaten/kota. UU No. 22/199 hanya memberikan diktum yang sifatnya makro dan abstrak dalam hal desentralisasi kewenangan kepada Desa. 41 Masa UU No. 32/2004 Sesuai dengan konstitusi, UU No. 32/2004 melakukan pembagian teritori (desentralisasi teritorial) NKRI menjadi provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 2 UU No. 32/2004 menegaskan: “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah”. Desa, karena itu, tidak termasuk dalam skema desentralisasi teritorial. UU No. 32/2004 tidak mengenal otonomi Desa, melainkan hanya mengenal otonomi daerah. UU No. 32/2004 memberikan definisi secara standar mengenai wewenang untuk mengelola “urusan” pemerintahan Desa. Kewenangan direduksi menjadi urusan. Menurut pasal 206 ada empat urusan pemerintahan Desa: (a) urusan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa; (b) urusan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah, provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; dan (d) urusan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada Desa. Perangkat Desa yang diatur berdasarkan UU No 32/2004 sangat berbeda dengan pengaturan dalam UU No. 22/1999. Perangkat Desa berdasarkan UU No. 32/2004 terdiri dari sekretaris Desa dan perangkat Desa lainnya. UU No. 32/2004 mengamanatkan sekretaris Desa diisi dari pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.
41
Ibid
Dalam penjelasan juga ditegaskan:
“Sekretaris Desa yang ada selama ini yang bukan Pegawai Negeri Sipil secara bertahap diangkat menjadi pegawai negeri sipil sesuai peraturan perundang-undangan”42. D. Proyeksi Otonomi Desa Sebagai kesatuan masyarakat hukum , desa memiliki otonomi. Akan tetapi, otonomi desa berbeda dengan otonomi daerah (yang berlaku saat ini). Mengapa demikian, karena desa memiliki otonomi yang bersifat asli dan penuh serta bukan merupakan pemberian pihak luar (yang selama ini diatur oleh UU No 32 Th 2004). Perbandingan Otonomi Daerah dengan Otonomi Desa dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel D.1 Perbandingan Otonomi Daerah dan Otonomi Desa NO
ASPEK YANG DIBANDINGKAN
OTONOMI DAERAH
Diberi 1
Asal-usulnya
oleh
OTONOMI DESA
pemerintah Asli, melekat saat pembentukan
pusat
dan memperoleh pengakuan dari Negara
2
Sifatnya
Rasional
(berbasis
sumber otoritas rasional) Dapat
terbatas
seluas-luasnya 3
Isinya
pada Tradisional, sumber otoritasnya dari hukum adat setempat
maupun Sangat
luas,
mencakup
tergantung kehidupan
dan
penghidupan
pada keputusan politik pada masyarakat desa meskipun dari masa itu
waktu ke waktu semakin surut karena
diambil
alih
oleh
pemerintah supradesa Dipilih oleh warga daerah Dipilih oleh warga desa dalam 4
Pengisian pejabat
yang memiliki hak pilih proses
puncak
melalui proses politik yang melalui proses politik karena dinamakan pemilukada
5
42
ibid
Sumber keuangan
pilkades
tetapi
tidak
tidak melibatkan partai politik
Dari keuangan negara yang Sebagian besar dari iuran warga
dialokasikan untuk daerah atau pengelolaan kekayaan desa. otonom.
Diberi Tidak
memiliki
kewenangan
kewenangan retribusi atas pajak dan retribusi atas namanya nama daerah Memiliki
sendiri hak
untuk Memiliki hak untuk membuat
membuat aturan hukumnya aturan hukumnya sendiri yang
6
Hak membuat
sendiri berupa perda yang berlaku setempat tetapi tidak
aturan hukumnya
dapat
sendiri
berupa pidana penjara dan pidana dan denda. Sanksinya
membuat
sanksi boleh memuat sanksi berupa
denda
berupa
sanksi
sosial
sesuai
hukum adat setempat Memiliki hak kepegawaian Desa memiliki hak kepegawaian meskipun terbatas. Untuk meskipun terbatas dan yang pengangkatan pegawai baru diangkat menjadi perangkat desa formasinya ditetapkan oleh bukanlah pemerintah 7
Hak kepegawaian
pusat.
keleluasaan
diberi
imbalan
sesuai
karir kemampuan desa bersangkutan
pengembangan
penghasilan
pegawai
Ada negara melainkan pegawai desa untuk yang
maupun
sebagai
pemberian tanbahan
di
luar standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat
Otonomi Desa harus mengandung tiga makna, yaitu: (a) Hak desa untuk mempunyai, mengelola atau memperoleh sumberdaya ekonomi-politik; (b) Kewenangan untuk mengatur atau mengambil keputusan atas pengelolaan barang-barang publik dan kepentingan masyarakat setempat; dan (c) Tanggungjawab Desa untuk mengurus kepentingan publik (rakyat) Desa melalui pelayanan publik.
Soetrdjo Kartohadikoesoemo lebih rinci
menjelaskan, ciri-ciri masyarakat hukum adat yang otonom, yaitu: 1. (berhak) mempunyai wilayah sendiri yang ditentukan oleh batas-batas yang sah 2. (berhak) mengurus dan mengatur pemerintahan dan rumah tangganya sendiri
3. (berhak) memilih dan mengangkat kepala daerahnya atau majelis pemerintahan sendiri 4. (berhak) mempunyai harta benda dan sumber keuangan sendiri 5. (berhak) untuk memungut pajak sendiri43 Undang-Undang No. 32/2004 memberikan definisi secara standar mengenai wewenang untuk mengelola “urusan” pemerintahan Desa. Kewenangan direduksi menjadi urusan. Menurut pasal 206 ada empat urusan pemerintahan Desa: (a) urusan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa; (b) urusan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa; (c) tugas pembantuan dari Pemerintah, provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota; dan (d) urusan lainnya yang oleh peraturan perundangperundangan diserahkan kepada Desa. Prinsip otonomi tadi mewujud dalam pengakuan Negara atas esensi kewenangan yang berbasis hak asal-usul atau adat-istiadat setempat. Kewenangan originair ini melekat pada hakikat keberadaan desa sebagai self-governing community. Termasuk di dalamnya adalah kewenangan yang bersumber dari hak ulayat (atas tanah) yang dari sisi habitat hukumnya tidak terlepas dari keberadaan komunitas masyarakat hukum adat. Materi muatan asali ini tidak bisa dicabut oleh Negara/Daerah, lantaran bukan otonomi pemberian yang bersumber dari otoritas supradesa. Sementara terhadap Desa-desa yang kehilangan basis keaslian tersebut atau yang berkategori bukan Desa genealogik (Desa dinas/administratif), basis kewenangan dalam konteks “otonomi pengakuan” tidak serta-merta hilang tetapi--mengingat hakikat desa sebagai self-governing community--materi muatannya berbasis kepentingan spesifik lokal atau inisiatif masyarakat berdasar prinsip subsidiaritas 44. Interpretasi lain dikemukakan oleh Robert MZ Lawang 45, kalimat dalam UUD 1945 menyebutkan negara mengakui atas hak-hak tradisional dari kesatuan hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur UU mengandung tiga implikasi yang dapat menghilangkan hakikat pengakuan dan penghormatan terhadap desa. Pertama, “sepanjang masih hidup” merupakan pengakuan bersyarat yang paling optimal, atau kesatuan tersebut
bukan elemen struktural esensial dalam NKRI.
Kedua,
“perkembangan masyarakat” juga merupakan penghormatan dan pengakuan bersyarat kedua yang tidak kalah tragis. Siapa yang bertanggung jawab sehingga perkembangan di 43
dalam Abdur Rozaki dan Hesti Rinandari, 2004:23) Robert Andi Jaweng, loc.cit 45 Robert MZ Lawang, Masalah Perdesaan dan RUU Desa, Harian Umum Kompas (Opini), Jum‟at 15 Juni 2012 44
Indonesia berjalan timpang. Ketiga, sesuai “ prinsip NKRI” yang kalau tidak dikontrol akan jadi hubungan asimetris antara kestuan masyarakat hukum adat dengan negara. Bila benar demikian, maka terdapat peluang penghapusan desa secara strukturan melalui peraturan perundang-undangan. Konsep kewenangan desa yang diuraikan di atas sejatinya lebih menguatkan eksistensi otonomi desa. Akan tetapi, konsepsi tersebut mempunyai potensi terjadi benturan dengan hukum positif lainnya, maka tidak heran jika sering terjadi benturan antara masyarakat adat dengan negara terutama masalah hak ulayat tanah. Oleh karena itu, definisi hak-hak tradisional yang melekat harus didefinisikan kembali agar tidak menimbulkan multi tafsir. Re-definisi ini dapat berupa identifikasi secara operasional akan hak-hak apa saja yang yang menjadi otonomi desa dan tidak dapat dirubah/diintervensi oleh negara. Hak-hak tersebut kemudian dimasukan ke dalam peraturan perundang-undangan (baik UU, PP atau Perda) agar
mempunyai kekuatan hukum yang pasti termasuk kewenangan yang bersifat
“penyerahan” dari kabupaten/kota. Lebih lanjut Prof Irfan Ridwan Maksum46 menjelaskan bahwa desa harus diatur dalam UUD dalam kalimat sederhana bahwa desa atau dengan nama lain diatur dan diurus daerah provinsi karena sumber daya yang lebih memadai dibanding kabupaten/kota. Pola seperti itu dapat menyehatkan struktur di level desa dan di level NKRI. Jika terdapat keseragaman, pengaturan antar provinsi dapat saling mengadopsi dan mengadaptasi. Pengaturan desa juga harus mempertahankan statusnya sebagai unit pemerintahan yang otonom atau sebagai kesatuan masyarakat hukum yang otonom berbasis adat dan dan tidak boleh (selalu) dirubah menjadi kelurahan. Secara administratif, desa dan kelurahan mempunya derajat setruktur yang sama. Akan tetapi, keduanya mempunyai perbedaan yang substansial. Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat diubah statusnya menjadi kelurahan. Jika dilihat dari perspektif politik, perubahan desa menjadi kelurahan dapat menciptakan image bahwa kelurahan lebih baik dibanding desa. Dorongan perubahan desa menjadi kelurahan terjadi dalam dua bentuk, yaitu pembangunan wilayah perkotaan dan tuntutan dari (yang mengatasnamakan) masyarakat. Modernisasi 46
Irfan Ridwan Maksum, Restrukturisasi Otonomi Desa, Harian Umum Kompas (Opini), Kamis, 26 Juli 2012
selalu ditandai dengan industrialisasi menjadi sebuah argumentasi pemerintah untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Arus itu tidak hanya berada di kawasan perkotaan tetapi sudah memasuki desa. Dampaknya adalah semakin tergerusnya identitas dan karakteristik desa, salah satunya pertanian. Konsekuensi dari perubahan tersebut akan menjadi dasar untuk merubah desa menjadi kelurahan. Pengembangan wilayah telah merubah kawasan perdesaan menjadi kawasan perkotaan dan secara perlahan desa akan mengalami “kepunahan”. Terlebih jika terjadi pemekaran daerah yang statusnya adalah Kota, maka bisa dipastikan di kota tersebut hanya akan ada kelurahan dan tidak akan ada desa. Dorongan yang kedua adalah tuntutan dari masyarakat. Tuntutan ini perlu diteliti lebih lanjut apakah betul dari masyarakat (grassroot) atau hanya dari segelintir orang yang memegang kekuasaan desa (pada saat itu). Tuntutan ini biasanya dilatarbelakangi oleh kepentingan individu (kepala desa) yang ingin diangkat menjadi pegawai negeri sipil bila desa berubah menjadi kelurahan. Kedua dorongan tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi desa dan demokrasi ala desa yang menjadi prototipe demokrasi negara. Bila sudah menjadi kelurahan, maka kepala pemerintahannya bukan dipilih oleh rakyat melainkan pilihan penguasa yang di atasnya (Bupati dan Walikota) yang memberikan peluang bagi pemerintah yang berkuasa untuk lebih mencengkramkan kekuatan dan kekuasaannya sampai ke desa (sentralisasi di daerah). Ke depan harus ada aturan yang melindungi eksistensi desa termasuk memasukan desa ke dalam kawasan perkotaan atau di dalam pemerintah kota (pemkot). Perspektif dan cara pandang yang masih menempatkan kelurahan seolah-olah lebih baik dari desa harus segera dirubah. Perspektif yang diskriminatif tersebut dikuatkan secara sosio kultural dan legal formal dimana desa selalu identik dengan keterbelakangan sedangkan karakteristik kelurahan adalah wilayah perkotaan. Perspektif inilah yang menumbuhsuburkan tuntutan akan perubahan desa menjadi kelurahan. Jika perspektifnya demikian, maka selamanya kita tidak akan pernah mendapatkan desa yang mandiri dan maju. Prinsip yang harus dipegang adalah desa dapat berkembang dan maju tanpa harus menghilangkan “penamaan” desa beserta karakteristiknya. Oleh karena itu, dalam peraturan perundang-undangan harus dihilangkan diskriminasi dari aspek karakteristik pembeda antara desa dan kelurahan. Karakteristik desa tidak hanya dari faktor dominasi sektor agraris, tetapi harus juga dimasukan sektor industri ke dalam karakteristik desa.
Demokrasi desa menjadi bagian penting lainnya dalam otonomi desa. Secara singkat, demokrasi desa erat kaitannya dengan kemandirian dalam memilih pemimpinnya (dalam hal ini kepala desa) oleh masyarakatnya. Meskipun jabatan kepala desa adalah jabatan politis, tetapi kepala desa harus dijauhkan dari kepentingan politik tertentu (seperti partai politik). Perlu dipertegas kembali bahwa kepala desa tidak boleh menjadi anggota, pengurus bahkan berafiliasi kepada partai politik tertentu. Hal ini biasa terjadi pada momentum pemilu dan pemilukada. Aturan ini sebenarnya sudah ada, kekurangannya adalah tindakan hukum atau sanksi jika ada kepala desa yang berafiliasi pada kepentingan politik tertentu. Kualitas demokrasi desa juga ditentukan oleh lembaga yang bertugas untuk menampung aspirasi sekaligus mengontrol eksekutif di desa, dalam hal ini BPD. Posisi dan kewenangan BPD akan lebih baik jika dikembalikan kepada format “Perwakilan”, dengan demikian dapat melakukan proses check and balances terhadap kepala desa. Meskipun terdapat fenomena negatif dalam praktek politik seperti konflik antara kepala desa dengan BPD hingga pemakzulan kepala desa. Upaya demokratisasi di desa-desa memang memerlukan proses yang panjang, sebab terjadi transformasi besar-besaran pada dua aras yaitu pertama, pola berpikir dan praktek politik para elite desa, dan kedua, pada internal masyarakat desa sendiri, dalam konteks transisi politik sejak 1998. E. Penutup Otonomi desa tidak selalu linear dengan kemadirian dan kesejahteraan masyarakat desa, tetapi terdapat tahapan atau pra syarat sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. Proses trial and error dapat saja terus dilakukan hingga mendapatkan format ideal pemerintahan desa. Oleh karena itu, yang juga penting untuk dilakukan adalah penguatan kapasitas sumber daya manusia desa
yang dimulai dari aparatur pemerintahan desa.
Program-program
pelatihan/workshop yang harus lebih diintensifkan antara lain: 1. Langkah-langkah optimalisasi pendapatan desa 2. Penyusunan APBDes 3. Penyusunan Perdes 4. Dll. Pemberian otonomi desa yang luas baik dalam aspek politik maupun keuangan, tanpa diimbangi dengan kualitas sumber daya manusia di desa yang memadai hanya akan menimbulkan masalah yang lebih kompleks.
Daftar Pustaka Firmanzah, 2011, Menyikapi RAPBN 2012, Metro Kolom, Selasa 23 Oktober 2011. Gayatri, Irine H., 2007, Demokrasi Lokal (di Desa): Quo Vadis?, Perkumpulan INISIATIF, Bandung, 16 April 2007. Haris, Syamsuddin, dkk, 2003, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, LIPI, Jakarta HR, Syaukani, dkk, 2002, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan, Pustaka pelajar, Jogjakarta Jaweng, Robert Endi , Otonomi Desa: Reposisi Mencari Jati Diri, Harian Jurnal Nasional – Kamis, 21 Juli 2011 Lawang, Robert MZ, 2012, Masalah Perdesaan dan RUU Desa, Kolom Opini Harian Umum Kompas Maksum, Irfan Ridwan, 2012, Restrukturisasi Otonomi Desa, Kolom Opini Harian Umum Kompas Naskah Akademik Rancangan UU tentang Desa, Direktorat Pemerintah Desa dan kelurahan, Soekanto, Soerjono,1992, Sosiologi Suatu Pengantar, CV.Rajawali, Jakarta Warsito, Sadu dan M.Irwan Tahir, 2011, Administrasi Pemerintahan Desa, Universitas Terbuka, Jakarta, 2011:1.23) Wignosubroto, Soetandyo dkk , Pasang Surut Otonomi Daerah:Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Institute for Local Development, Yayasan Tifa, Jakarta,2005 Harian Umum Kompas, Selasa 8 Mei 2012 Harian Umum Kompas, Jum‟at 15 Juni 2012 www.forumdesa.org. www.depdagri.go.id www.wikipedia.org