Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 213 - 222
Orientasi Gerakan Mahasiswa Rapor Merah Jokowi oleh BEM Seluruh Indonesia Wilayah Jatim Maret 2015 Nurul Aisyah Email :
[email protected] ABSTRAK BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia) wilayah Jawa Timur melakukan demonstrasi pada 27 Maret 2015 di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya dengan mengusung tema Rapor Merah Jokowi: Surat Peringatan Satu. Dalam aksinya, mereka memberikan rapor merah terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Aliansi mahasiswa ini berasal dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Timur seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS), Universitas Brawijaya (UB), Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (PPNS), Politeknik Negeri Malang (Polinema), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), hingga Universitas Airlangga (UNAIR). Dipimpin Koordinator BEM SI Jatim, Reza Adi Pratama, mahasiswa menyampaikan tujuh tuntutan kepada Jokowi-JK. Tujuan dari penelitian ini adalah menjelaskan orientasi dari gerakan mahasiswa yang dilakukan oleh BEM SI Jatim, mencari faktor-faktor yang mendorong terjadinya gerakan, dan meneliti kemungkinan adanya campur tangan pihak lain selain BEM SI. Dalam menganalisa temuan-temuan yang ada dilapangan digunakan teori perilaku kolektif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif deskriptif terhadap data yang dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan data sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orientasi dari gerakan Rapor Merah Jokowi bukan kepada kekuasaan namun pada nilai dan kesadaran kelompok. Sementara faktor utama yang melatarbelakangi gerakan terjadi adalah PP No. 19/2014 tentang dilepasnya harga BBM sesuai mekanisme pasar sehingga terjadi fluktuasi harga BBM. Temuan lainnya ialah adanya indikasi gerakan Rapor Merah merupakan gerakan yang dimobilisasi dari luar gerakan. Kata Kunci : Gerakan mahasiswa, orientasi gerakan, faktor gerakan, aliansi mahasiswa, aksi mahasiswa ABSTRACT On March 27, 2015 BEM SI (Indonesian Executive Student Board) East Java Region demonstrated in front of the State Building, Grahadi, Surabaya with Rapor Merah Jokowi: Surat Peringatan Satu (Red Report Card for Jokowi: First Warning Letter) as the theme. In the demonstration, BEM SI gave a bad performance against Jokowi-JK’s rezime. Alliance of these students come from various universities in East Java such as Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS), Universitas Brawijaya (UB), Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya (PPNS), Politeknik Negeri Malang (Polinema), Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), and Universitas Airlangga (UNAIR). Led by Reza Adi Pratama, the East Java Regional Coordinator, students delivered seven demands to the Jokowi-JK. The purpose of this study is to explain the orientation of the student movement performed by BEM SI, search for the factors that encourage movement, and examine the
213
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 213 - 222
possibility of interference by other parties besides BEM SI. To analyze data found during the research, the collective behavior theory is used. The method used in this research is descriptive qualitative analysis of the data collected through interviews, observation, and secondary data. The results showed that the orientation of the movement of Rapor Merah Jokowi is not to power but values and group consciousness. While the main factor behind the movement occurs is the release of PP 19/2014 on the mechanism of market prices for fuel, causing fluctuations in fuel prices. It was also found that there is indication that Rapor Merah Jokowi is a movement that is mobilized by other parties. Key Words: student movement, movement orientation, factors of movements, student alliance
PENDAHULUAN Salah satu kelompok yang berpengaruh dalam sistem politik Indonesia adalah kelompok mahasiswa. Mahasiswa, menurut KBBI, merupakan orang (sekelompok orang) yang belajar di perguruan tinggi. Mengapa mahasiswa? Menurut Arbi Sanit, selama di universitas, mahasiswa banyak mengamati masyarakat melalui mata kuliah, penelitian, dan praktek di dalam masyarakat. Begitu pula mahasiswa mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai kenegaraan, pemerintah, serta seluk beluk pengaturannya. Maka, mahasiswa mempunyai kemampuan untuk mengukur apa yang dialami oleh masyarakat dan apa yang diharapkan pada pemerintah . Dengan kata lain, mahasiswa merupakan salah satu kelompok yang dapat mengartikulasi kepentingan masyarakat dan menyalurkannya menuju pemerintah. Upaya menyalurkan kepentingan ini kemudian dapat dilakukan melalui gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa merupakan turunan (menjadi bagian) dari gerakan sosial. Gerakan mahasiswa merupakan turunan (menjadi bagian) dari gerakan sosial. John Wilson (1973 dalam Soeyono, 2005:2) mendefinisikan gerakan sosial sebagai tindakan kolektif terorganisir, mempunyai ruang lingkup yang secara potensial luas, menggunakan saranasarana atau cara-cara yang non-institusional di dalam upaya untuk mencapai tujuannya. Gerakan sosial mempunyai tujuan yang tidak terbatas dalam pengertian tidak membatasi sasarannya pada kategori-kategori khusus para pendukungnya dan menggunakan upaya-upaya yang jelas bagi terbentuknya perubahan. Gerakan sosial boleh jadi memang hanya mempengaruhi perubahan kehidupan individu, tetapi kebanyakan juga menghasilkan perubahan-perubahan bernuansa politik. Gerakan sosial politik mahasiswa umumnya berperan sebagai pembawa suara kebenaran dan kontrol sosial terhadap lingkungan sosial politik dan penyelenggaraan pemerintahan sebuah negara. Maka, dapat dikatakan gerakan sosial yang dilakukan merupakan kekuatan politik mahasiswa. Fenomena gerakan mahasiswa di Indonesia, jika dilihat dari sejarahnya, dapat ditelusuri sejak tahun 1965 pada masa pemerintahan presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) berdiri di hampir semua kota besar di Indonesia. Pada Juni 1966 mahasiswa berhasil merumuskan konsep yang disebut Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Isi dari Tritura adalah: satu, bubarkan PKI. Dua, retool kabinet Dwikora. Tiga, turunkan harga barang. Gerakan mahasiswa 1966 berhasil menumbangkan rezim Orde Lama dan menaikkan rezim baru yaitu Orde Baru pimpinan Soeharto. Gerakan mahasiswa kembali memanas saat ada isu penolakan hasil Pemilu 1997. Pemilu 1997 dianggap cacat hukum, cacat
214
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 213 - 222
moral, cacat politik bahkan inkonstitusional. Dibarengi dengan krisis moneter yang melanda hampir seluruh Asia kala itu, demonstrasi skala besar oleh mahasiswa terus dilakukan. Gerakan-gerakan penolakan terhadap pemerintah terus digalakkan. Puncaknya pada Mei 1998, mahasiswa berhasil menduduki gedung MPR/DPR. Selain itu, mahasiswa juga memenuhi jalanan dengan demonstrasi besar-besaran. Semua bertujuan untuk menyuarakan perubahan. Gerakan mahasiswa terakhir yang dapat diamati pada 2015 adalah pemberian Rapor Merah Jokowi yang dilakukan melalui aksi demonstrasi. Dipimpin Koordinator BEM Seluruh Indonesia wilayah Jawa Timur, Reza Adi Pratama, mahasiswa menyampaikan tujuh tuntutan kepada Jokowi-JK. Pertama, stabilisasi kondisi perekonomian nasional di Indonesia. Kedua, nasionalisasi asset sumber daya alam di Mahakam dan Freeport. Ketiga, cabut kebijakan BBM berdasarkan mekanisme pasar dan kembalikan subsidi BBM. Keempat, selesaikan konflik antar lembaga penegak hukum. Kelima, pertahankan pengetatan pemberian remisi kepada kasus kejahatan luar biasa: korupsi dan narkoba. Keenam, segera tuntaskan penyelidikan kasus korupsi BLBI dan Century. Ketujuh, mengeluarkan kebijakan konkrit dan nyata di bidang maritime yang pro kepada masyarakat terutama nelayan (http://bem.its.ac.id) Dari fenomena yang telah dijabarkan diatas, terlihat bahwa gerakan mahasiswa terbukti berhasil mempergaruhi pemerintahan sejak Orde Lama, Orde Baru, hingga mengantarkan Indonesia pada Reformasi. Penulis ingin meneliti tentang gerakan Rapor Merah Jokowi karena ini merupakan gerakan paling massif dan terorganisir yang terjadi di masa pemerintahan Jokowi yang terhitung baru berjalan. Indikasi awal dari penulis, gerakan ini membidik pada sektor kekuasaan tetapi ia juga ditunggangi oleh kepentingan mahasiswa ekstra kampus lainnya sehingga gerakan ini bukanlah murni oleh BEM Seluruh Indonesia.
Indikator Rapor “Merah” 1. Tingkat Kepuasan Publik Pada Kamis, 29 Januari 2015 LSI (Lingkaran Survei Indonesia) menerbitkan hasil survei tentang tingkat kepuasan publik terhadap seratus hari pemerintahan Jokowi – JK . Publikasi hasil survei tersebut diberi judul “100 Hari Jokowi: 3 Rapor Merah dan 2 Rapor Biru”. Menurut hasil survei tepat pada 100 hari pemerintahan Jokowi, kepuasaan publik terhadap pemerintahannya merosot dibawah 45% (sebesar 42.29%). Sedangkan mayoritas, sebesar 53.71%, publik menyatakan tidak puas dengan kinerja Jokowi.
*Tabel 1. Tingkat Kepuasan Publik Terhadap Pemerintah Ketidakpuasan ini terutama dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu, memilih untuk menaikkan harga BBM ketika minyak dunia turun dan walau BBM diturunkan, harga bahan pokok juga transportasi terlanjur naik. Kedua, terlalu berlarut soal penetapan Budi Gunawan,
215
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 213 - 222
tersangka korupsi KPK, menjadi calon Kapolri. Terakhir, Presiden Jokowi dianggap kurang maksimal mencegah pelemahan/kriminalisasi pimpinan KPK. Sementara itu, LSI juga merilis tiga Rapor Merah untuk Jokowi dalam bidang hukum, ekonomi, dan politik. Pada ketiga bidang tersebut kepuasaan terhadap kinerja Jokowi dibawah 50% . Dari ketiga bidang tersebut, kepuasan publik paling rendah terlihat di bidang hukum. Hanya sebesar 40.11% publik yang menyatakan puas dengan kinerja Jokowi di bidang hukum. Sedangkan sebesar 53.11% sisanya menyatakan kecewa atau tak puas dengan kinerja di bidang hukum dalam 100 hari pemerintahan Jokowi. Salah satu penyebab utama rendahnya kepuasaan di bidang hukum karena Jokowi dinilai tidak tegas bersikap terkait pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Jokowi juga terkesan kurang maksimal berbuat untuk menghindari kriminalisasi/pelemahan KPK saat ini. Di bidang ekonomi, publik yang puas terhadap kinerja bidang ekonomi dalam 100 hari pemerintahan Jokowi hanya sebesar 47.29%. Rendahnya kepuasaan di bidang ekonomi salah satu penyebabnya karena kebijakan pemerintah menaikan harga BBM justru ketika harga minyak dunia sedang turun. Meski pemerintah telah menurunkan kembali harga BBM, namun bagi publik harga barang kebutuhan pokok tetap naik dan memberatkan bagi mereka. Di bidang politik, mereka yang puas dengan kinerja Jokowi di bidang ini hanya sebesar 45.30%. Sedangkan mereka yang menyatakan tidak puas sebesar 49.72%. Ketidakpuasan publik di bidang ini disebabkan oleh ketidakstabilan politik akibat perseteruan antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) di parlemen. Ketidakpuasaan publik terhadap Jokowi di bidang politik juga terkait dengan kualitas sebagian menteri yang dinilai minus. Juga terkait dengan terlalu banyaknya konflik politik yang berkaitan kasus Budi Gunawan, Polri, dan KPK. 2. Kesesuaian antara Janji Kampanye dan Realita Saat berkampanye pada Pilpres 2014 Jokowi mengutarakan beberapa janji yang meyakinkan publik agar mau mendukungnya. Janji-janji ini kemudian dirapikan dan diresmikan dalam “nawa cita”. Nawa cita merupakan sembilan agenda prioritas yang digagas untuk perubahan Indonesia menuju berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Isi dari nawa cita (dirangkum dari http://kpu.go.id) itu sendiri adalah: 1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritime; 2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan; 3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan; 4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya; 5.Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan program "Indonesia Pintar"; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan program "Indonesia Kerja" dan "Indonesia Sejahtera" dengan mendorong land reform
216
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 213 - 222
dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar, program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019; 6. Meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya; 7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik; 8. Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia; 9. Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga. Selain sembilan janji/agenda diatas, melalui program debat capres (merupakan acara debat antar calon Presiden yang dilaksanakan dalam lima seri dan ditampilkan di televisi) maupun saat kampanye lainnya, ada janji-janji lain yang pernah dikemukakan oleh Jokowi seperti misalnya membangun kabinet ramping, membeli kembali Indosat, melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum, dan lain-lain. Namun, dalam rentang waktu seratus hari ada beberapa janji yang telah dilanggar oleh Jokowi. Pertama, membangun kabinet ramping dengan alasan efektifitas anggaran. Pada pemerintahan sebelumnya, era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jumlah kementerian dalam kabinet ialah 34 kementerian. Sementara pada era Jokowi jumlah kementrian masih 34. Jumlah kementerian yang tidak berkurang menunjukkan sulitnya melakukan efisiensi anggaran karena pos anggaran masih ada 34 buah. Kedua, kabinet yang berasal dari figur profesional dan bebas partai. Pada 23 September 2015, presiden terpilih Joko Widodo mengumumkan postur kabinet pemerintahannya. Dari 34 kementerian yang ada, Jokowi memberikan jatah 16 kursi menteri untuk partai politik pendukung koalisi. Jatah menteri untuk parpol pendukung Jokowi adalah: PDIP (5 menteri), PKB (4), Nasdem (3), Hanura (2), dan PPP (1). Tidak berhenti pada pemilihan menteri, Jokowi memilih figur yang berasal dari parpol pendukungnya untuk mengisi jabatan Jaksa Agung. Tokoh penting penegakan hukum di Indonesia pilihan presiden itu adalah kader Partai NasDem, H M. Prasetyo. Langkah Jokowi memilih figur parpol untuk mengisi jabatan di pemerintahannya berlanjut saat memilih Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Tercatat, 6 dari 9 anggota Wantimpres berasal dari partai pendukung. PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, PKPI, dan PPP masing-masing mendapat jatah 1 kursi. Ketiga, melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Agenda ini tertulis pada butir ke-4 Nawa Cita. Namun faktanya, Jokowi tetap mengajukan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai calon Kapolri meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Lembaga Pendidikan Polri itu sebagai tersangka kasus suap. Sehari sebelum fit and proper test Budi Gunawan oleh komisi III DPR, KPK menetapkannya sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi. Meski banyak suara masyarakat yang menolak pencalonan itu, Jokowi tidak menarik pencalonan Budi Gunawan dan memilih mengikuti proses pemilihan di DPR hingga akhirnya yang bersangkutan dilantik menjadi Kapolri. Ketiga pelanggaran janji diatas merupakan faktor yang memperkuat turunnya tingkat kepuasan publik terhadap pemerintah. Sementara tingkat kepuasan publik dan kesesuaian janji
217
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 213 - 222
merupakan indikator dari merahnya Rapor Jokowi pada seratus hari pertama pemerintahannya dengan Jusuf Kalla. Orientasi Gerakan Ralph Turner dan Lewis M. Killian (dalam Soeyono, 2005:25) mengusulkan suatu penggolongan gerakan sosial sesuai dengan orientasi gerakan: orientasi kekuasaan, nilai, ekspresi individu, dan perlawanan. Penggolongan ini tidak sempurna karena sifat dari gerakan itu sendiri memungkinkan untuk melakukan penekanan terhadap orientasi yang berubah-ubah. Dalam bukunya, lalu, Baldridge (1998) menggolongkan orientasi gerakan dalam empat jenis yaitu kekuasaan, nilai, kesadaran kelompok, dan perlawanan. Hipotesis pertama dari peneliti dalam meneliti Gerakan Rapor Merah Jokowi adalah BEM SI mencoba mengorientasikan gerakan menuju kekuasaan. Orientasi kekuasaan maksudnya kebanyakan gerakan mencoba untuk memperoleh kendali kekuasaan dalam rangka melaksanakan perubahan terhadap sistem yang telah ada. Gerakan sosial sering muncul karena adanya tekanan dalam jangka waktu lama sehingga orientasinya berusaha membetulkan kekeliruan yang terjadi dalam sistem. Gerakan ini memungkinkan untuk diisi orang-orang reformis atau revolusioner yang berusaha melakukan perubahan dengan cara legitimate, misalnya dengan menekan pembuat undang-undang atau melakukan pemilihan umum (Soeyono, 2005:26). Namun hipotesis ini terbantahkan dengan pernyataan dari keempat narasumber bahwa orientasi Rapor Merah Jokowi bukan pada kekuasaan. Dari pernyataan para narasumber, dapat dilihat pertama, bahwa BEM SI Jatim tidak mengatur orientasi gerakan menuju kekuasaan. Tidak ada niatan untuk menggulingkan presiden dari jabatannya dan masih memiliki tingkat kepercayaan yang baik pada presiden. Kedua, meskipun BEM SI merupakan perkumpulan yang sifatnya aliansi namun setiap elemen dari aliansi dapat memaknai seruan gerakan, bahkan memiliki orientasi, berbeda dari keseluruhan aliansi. Artinya, BEM SI sifat aliansinya adalah terbuka dimana anggota dapat keluar dan masuk dari aliansi dengan mudah. Kecuali untuk pertama kalinya, BEM kampus yang masuk harus sudah dua kali berturut-turut mengikuti musyawarah besar BEM SI, anggota dapat dengan mudah berpindah aliansi. Lalu, kemana orientasi gerakan Rapor Merah Jokowi sesungguhnya? Dari hasil penelitian, orientasi sesungguhnya lebih mengarah pada jenis kedua yaitu orientasi nilai. Maksud dari berorientasi nilai adalah gerakan ini berusaha membentuk nilai-nilai, normanorma, dan sistem kepercayaan baru. Tujuan utamanya mendidik kembali masyarakat tentang suatu nilai melalui propaganda dan pendidikan. Rapor Merah Jokowi juga dapat dikatakan menekankan pada dua orientasi yaitu orientasi nilai dan orientasi kesadaran kelompok. Orientasi kesadaran kelompok terlihat dari upaya BEM SI berusaha membangunkan kesadaran mahasiswa akan pentingnya bergerak, juga tentang betapa besar sebenarnya kekuatan mahasiswa di ranah politik. Sementara orientasi nilai dapat dilihat dari propaganda yang dilakukan BEM SI untuk menarik simpati masyarakat agar dapat sama-sama berjuang dan sadar pentingnya mengawal pemerintah. Faktor-faktor yang Mendorong Gerakan Dalam pandangan Smelser (Seoyono, 2005:12), ada enam faktor yang saling terkait dalam memicu terjadinya gerakan sosial. Pertama, structural condusiveness. Gerakan sosial
218
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 213 - 222
seringkali dimulai dari adanya kondisi struktural yang mendukung. Contohnya, pada akhir 1997 muncul krisis moneter yang melanda Indonesia. Krisis ekonomi ini terus berlanjut pada krisis multidimensi. Akumulasi krisis ini menjadi struktur yang kondusif terhadap munculnya gerakan sosial. Puncaknya terjadi gerakan mahasiswa besar-besaran yang terjadi pada Mei 1998. Semenjak mantan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo, diangkat menjadi Presiden pada 20 Oktober 2014 banyak perubahan yang terjadi, utamanya lahir kebijakan-kebijakan baru yang tidak familiar. Misalnya, kebijakan pelarangan penggunaan pukat oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan, upaya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merevisi Peraturan Pemerintah (PP) nomor 99 tahun 2012, juga Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 yang dipandang sebagai melepaskan harga BBM kepada mekanisme pasar. Selain munculnya kebijakan baru ada juga masalah konflik misalnya KPK vs Polri, konflik di DPR antara KIH dan KMP yang berujung KMP mengeluarkan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPR periode 2014-2019 yang berasal dari KIH dan lamanya penyelesaian kasus korupsi lama yaitu BLBI dan Century. Ini merupakan contoh-contoh kondisi strultural yang menegang selama periode 20 Oktober 2014 sampai gerakan terjadi pada 27 Maret 2015. Kedua, structural strain. Gerakan sosial semakin tak terbendung ketika struktur tidak kondusif menimbulkan ketegangan struktural. Misalnya, ketika terjadi krisis ekonomi terjadi pula peningkatan harga kebutuhan yang juga dibarengi dengan penurunan daya beli masyarakat. Daya serap perusahaan untuk tenaga kerja juga menurun. Ini menghasilkan banyak pengangguran. Ketegangan, konflik, gesekan-gesekan terjadi dimana-mana. Keadaan semacam ini akan mempercepat tumbuhnya gerakan sosial. Dengan ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM mulai 1 Januari 2015 pukul 00.00, pemerintah Republik Indonesia resmi meniadakan subsidi untuk BBM jenis RON 88 (Premium) dan menyerahkan pembentukan harga kepada mekanisme pasar. Artinya, harga BBM bisa berubah setiap bulan mengikuti harga minyak dunia. Bila harga BBM begitu fluktuatif maka distributor akan kesulitan menentukan harga transportasi bahan baku akhirnya dipukul rata menggunakan kemungkinan harga tertinggi. Kejadian berikutnya, daya beli masyarakat menurun, perusahaan juga harus bertarung dengan ketidakpastian, ujungnya daya serap perusahaan untuk tenaga kerja juga menurun sehingga menghasilkan banyak pengangguran. Apakah dengan banyaknya pengangguran menjadi bahaya? Tentu, salah satu dampak dari tingginya pengangguran adalah meningkatnya kriminalitas. Seperti yang kita semua ketahui, pada awal tahun 2015 muncul fenomena begal. Meskipun tidak baru tetapi begal kini menjadi jauh lebih buas dan merajalela. Keadaan yang tidak kondusif ini memicu pergerakan terjadi. Ketiga, the growth of general belief. Tumbuhnya pemikiran umum dalam menghadapi suatu kondisi juga membantu dalam mewujudkan gerakan sosial. Dalam konteks ini, interaksi sosial sangat diperlukan untuk saling bertukar pikiran dalam merespon persoalan yang dihadapi bersama. Salah satu tujuan dari BEM SI dalam gerakan Rapor Merah Jokowi lalu adalah menumbuhkan general belief. Mereka menyebut ini sebagai pencerdasan politik dengan sistem propaganda. Keempat, precipating factors. Gerakan sosial mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk tumbuh. Bagaimana pun ia perlu waktu untuk membangun general beliefs. Tetapi gerakan sosial dapat dipercepat jika ada faktor yang mendukungnya. Faktor itu bisa berupa peristiwa, bisa juga dalam bentuk kehadiran tokoh kharismatik. Dalam konteks gerakan Rapor Merah, BEM SI membangun general beliefs
219
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 213 - 222
dengan cara mebuat slogan-slogan yang dapat menarik simpati masyarakat, melakukan kajiankajian akademis termasuk didalamnya audiensi dan hearing, dan menyebarluaskan informasi yang dimiliki seluas-luasnya melalui media-media sosial. Kelima, the mobilization of participant for action. Terjadinya gerakan sosial sangat tergantung juga pada tersedianya kelompok yang bisa diorganisasi dan dimobilisasi untuk melakukan tindakan tertentu. Pada tahap ini, pemimpin, komunikasi, dan uang sangat dibutuhkan bagi eksistensi gerakan sosial. Sebelum gerakan Rapor Merah terjadi, para koordinator wilayah telah mengadakan kajian perwilayah terlebih dahulu sebelum akhirnya memasukkan proposal desain gerakan pada presidium pusat. Konsolidasi sebelum dan saat gerakan dilakukan dengan dua cara yaitu pertemuan secara langsung dan komunikasi melalui aplikasi chatting (Line dan Whats App). Keenam, operation of social control. Kontrol sosial sebenarnya bukan merupakan faktor yang mendukung gerakan sosial. Kontrol sosial justru mencegah, menyela, dan menghalangi gerakan sosial. Terdapat dua jenis kontrol terhadap gerakan sosial yang dapat dilakukan oleh, misalnya, pemerintah. Satu, berbentuk upaya pencegahan terhadap munculnya tindakan kolektif dengan cara mengurangi faktor pendukung dan ketegangan struktural seperti melalui peningkatan kesejahteraan. Dua, dengan cara menekan perilaku kolektif setelah gerakan dimulai seperti mengerahkan petugas keamanan dan menerapkan pengawasan-pengawasan lainnya. Cara kedua ini dapat dikatakan tidak efektif. Kebanyakan kasus yang terjadi, semakin ditekan justru semakin cepat pula gerakan sosial terjadi. Setelah gerakan Rapor Merah berhasil dilaksanakan pada 27 Maret 2015, pada 18 Mei 2015 beberapa anggota dari BEM SI diundang untuk makan siang sambil berdialog dengan Presiden Jokowi di Istana. BEM SI mencurigai tindakan ini sebagai upaya pemerintah meredam aksi mereka. Politik Mahasiswa: Mobilisasi Versus Otonom Dalam setiap gerakan sosial, apapun motif atau orientasinya, pasti ada kepentingan yang diagendakan. Pada dasarnya manusia adalah makhluk ekonomi yang berpikir tentang untung rugi apapun konteksnya. Maka dalam setiap gerakan, tingkat kemurnian dari gerakan tersebut patut dipertanyakan. Suatu perilaku politik dapat dibedakan menjadi dua yaitu otonom atau dimobilisasi. Pada penelitian tentang Rapor Merah ini, peneliti juga berusaha melihat apakah gerakan mahasiswa ini merupakan gerakan otonom atau dimobilisasi dengan pertimbangan kedekatan antara organisasi ekstra kampus KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) sebagai organisasi underbow dari PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dan BEM SI terutama Jawa Timur. Alasan dari kedekatan kedua organisasi ini menjadi pertimbangan adalah PKS merupakan bagian dari KMP (Koalisi Merah Putih) dimana merupakan koalisi lawan dari koalisi pendukung Presiden. Kemudian muncul pertanyaan apakah BEM SI memang hanya sekedar digunakan oleh KMP untuk mengacau pemerintahan. Hipotesis ini kemudian ditemukan tidak sepenuhnya benar. Meski selama tiga tahun berturut-turut Koordinator Wilayah BEM SI selalu berasal dari KAMMI, mereka berani menjamin bahwa gerakannya merupakan gerakan yang otonom. Terbukti dari hasil wawancara dengan Koordinator BEM SI Wilayah Jawa Timur berikut: “Kita mengambil posisi sebagai mitra kritis ya, artinya kami mencoba memposisikan diri sebagai pihak independen yang tidak terkontaminasi oleh kubu manapun. Sehingga kritik yang kami angkat adalah kehal-hal substansial dan yang kami tembak adalah
220
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 213 - 222
kebijakan. Makanya ini bukan soal turunkan Jokowi atau seperti apa yang kami angkat tapi kemudian bagaimana cara pemerintah mengambil sikap tegas.” Pernyataan ini dikuatkan juga oleh pernyataan dari Presiden BEM UNAIR yang mengatakan: “Saya bisa memastikan bahwa isu-isu tentang BEM SI cuma organisasi setiran dari luar itu tidak benar. Saya lihat kawan-kawan dari luar misalnya BEM Universitas Udayana juga barusan gabung ke BEM SI, ini merupakan forum atau aliansi yang sangat terbuka untuk semua kampus selama memiliki visi dan misi yang sama. Nah visi dan misi yang sama ini yang kita namakan kepentingan. Ketika nanti kepentingan kami sudah bertabrakan dan visi misi sudah tidak sejalan ya bisa dikatakan sudah tidak tergabung di aliansi.” Alasan kemudian mengapa peneliti merasa hipotesis ini tidak sepenuhnya benar salah satunya adalah kedua pemberi pernyataan diatas adalah kader dari KAMMI dan Presiden BEM yang kemenangannya sangat didukung oleh KAMMI. Sementara narasumber 3, Presiden BEM PENS, yang tidak berlatar belakang maupun berhubungan dengan KAMMI mengatakan: “Ya kita (Presiden BEM kampus lain) tahu lah BEM SI itu sedikit banyak ada hubungan dengan PKS. Lagi pula kalo dilihat secara jumlah, hampir semua koordinator wilayah BEM SI itu kadernya KAMMI. Meski begitu kan ini aliansi terbuka jadi kita yang gabung pun sadar betul. Kalo misalnya kita lihat isu yang diangkat atau arah organisasinya sudah terlalu disetir, kita tinggal mengundurkan diri saja dari aliansi.” Jika dilihat dari partisipasi politik mahasiswa sendiri peneliti melihat kemungkinan gerakan Rapor Merah Jokowi merupakan gerakan yang otonom. Banyak dari massa yang berhasil dijaring dalam gerakan 27 Maret lalu merupakan mahasiswa independen yang tidak tergabung dalam organisasi ekstra kampus atau bahkan KAMMI. Sayangnya jika dilihat dari gambaran besarnya, kemungkinan bahwa gerakan Rapor Merah Jokowi merupakan gerakan yang dimobilisasi oleh partai oposisi cukup besar. Cara kerjanya cukup halus dimana partai membangun organisasi sayap kemahasiswaan bernama KAMMI. Kader-kader dari KAMMI lalu dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi pribadi yang unggul dibanding mahasiswa biasa dimana kemungkinannya untuk memenangkan kursi Presiden BEM meningkat tajam. Dengan menjadi Presiden BEM kampus, seseorang dapat menentukan kemana kampus tersebut akan beraliansi. Lalu dengan sadar para kader ini membentuk suatu aliansi tingkat nasional dimana gerakannya seolah murni gerakan mahasiswa otonom yang tidak ditunggangi kepentingan. Padahal jika ditarik garis lurus kebelakang, semua gerakan ini sedikit banyak pasti dipengaruhi faktor eksternal yang saya telah sebutkan diatas. KESIMPULAN Isu Rapor Merah diangkat sebagai bentuk peringatan. Dua indikator yang digunakan untuk mengukur merahnya Rapor ialah tingkat kepuasan publik dan kesesuaian antara janji kampanye dan realita.Jika dilihat dari orientasi gerakannya, gerakan ini tidak menyasar kepada kekuasaan tetapi lebih berorientasi pada nilai dan orientasi kesadaran kelompok. Menurut teori
221
Jurnal Politik Muda, Vol. 5, No. 2, April - Juli 2016, 213 - 222
Smelser, ada enam faktor yang saling terkait dalam memicu terjadinya gerakan sosial yaitu kondisi struktural yang mendukung, ketegangan struktural, tumbuhnya pemikiran umum, munculnya faktor pendukung lain, mobilisasi partisipan, dan operasi kontrol sosial. Faktor yang paling mempengaruhi terjadinya gerakan ini ialah pelepasan harga BBM mengikuti mekanisme pasar. Fluktuasi harga BBM ini menimbulkan keresarahan pada semua lini masyarakat termasuk mahasiswa. Dalam memahami gerakan sosial, khususnya gerakan mahasiswa, perlu juga kita pahami tentang apakah gerakan ini merupakan gerakan otonom atau gerakan yang dimobilisasi. Peneliti melihat gerakan Rapor Merah Jokowi merupakan gerakan yang dimobilisasi namun dibungkus seolah gerakan otonom. Kesimpulan ini diambil karena peneliti melihat adanya afiliasi antara BEM SI, KAMMI, dan PKS.
DAFTAR PUSTAKA Buku Cetak A. Denny J. 2006. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda Era 80-an. Yogyakarta: LkiS Baldridge, J. Victor. 1975. Sociology: A Critical Approach to Power, Conflict, and Change. New York: John Wiley & Sons, Inc Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Harisson, Lisa. 2007. Metodologi Ilmu Politik. Jakarta: Kencana Lofland, John. 2003. Protes. Yogyakarta: Insist Press Markoff, John. 2002. Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Mathew J.Miles, dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode Baru. Jakarta: UI Press Sanit, Arbi. 2002. Sistem Politik Indonesia: Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Smelser, Neil J. dan William T. Smelser. 1970. Personality and Social Systems: Second Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc Soeyono, H. 2005. Teori-teori Gerakan Sosial. Surabaya: Yayasan Kampusiana Surbakti Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo Topatimasang, Roem, Mansour Fakih dan Toto Rahardjo. 2000. Mengubah Kebijakan Publik. Yoyakarta: Pustaka Pelajar Jurnal, E-books, PDF Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2015. Pengembangan Tol Laut dalam RPJMN dan Implementasi. Diunduh dari http://www.bappenas.go.id/. [PDF] Darmayadi, Andrias. 2015. Pergerakan Mahasiswa dalam Perspektif Partisipasi Politik: Partisipasi Otonom atau Mobilisasi. Diunduh dari http://jurnal.unikom.ac.id/. [PDF] Tim BPP FPIK UB. 2015. Tinjauan Akademis Terhadap PERMEN-KP No. 2/2015. Diunduh dari http://ledhyane.lecture.ub.ac.id/. [PDF] Usman, Sunyoto. 1999. ‘Arah Gerakan Mahasiswa’. Jurnal Ilmu Sosial & Ilmu Politik Vol 3, No 2, November 1999 ISSN 1410-4946. Pratyaksa, I Gede Titah. 2011. Peranan Media Massa dan Opini Publik dalam Membangun Isu-isu Kontroversial. Diunduh dari http://id.portalgaruda.org/. [PDF]
222