GERAKAN MAHASISWA INDONESIA ERA NKK
A.A. Padi A. Pendahuluan Sampai saat ini, kebanyakan orang masih mempunyai perasaan, bahwa apa yang dinamakan “gerakan mahasiswa” adalah sesuatu yang serupa atau sama dengan aksiaksi mahasiswa tahun 1966. Perasaan ini berkembang menjadi : yang kurang serupa, berlainan bentuk, berlawanan arah dan berbeda tujuan , tidak sebanding ukuran dan jumlah pesertanya dengan aksi-aksi mahasiswa tahun 1966, dan sebagainya lagi, apalagi bukan gerakan mahasiswa. Berbagai sebutan yang dilekatkan pada aksi mahasiswa (dan pelajar) tahun 1966 serta berbagai semboyan yang dipakai masa itu, ditransformir menjadi apa yang ditanggapi sebagai ciri-ciri gerakan mahasiswa Indonesia. Demikianlah maka sebuah gerakan mahasiswa haruslah merupakan suatu aksi massa. Didahului oleh rapat umum yang dihadiri oleh ribuan mahasiswa; demonstrasi mahasiswa yang membawakan suara hati nurani rakyat; didukung oleh seluruh masyarakat mahasiswa dalam jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan. Harus dikoordinir secara resmi, melalui saluran organisasi mahasiswa, sedapat mungkin yang mencerminkan mufakat bulat antara seluruh organisasi mahasiswa ekstra dan intrauniversitas. Bebas dari vestedinterest. Tidak mempunyai tujuan politik dan tidak ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik. Harus berdasarkan keadilan dan kebenaran, sesuai dan demi perjuangan Orde Baru. Berlandaskan semangat partnership ABRI-Rakyat. Di dalam rangka mempertahankan dan membina Pancasila, dan sama sekali bukanlah yang dapat menguntungkan gerilya politik komunis, atau New Left, atau berbau orde lama. Dan yang terakhir haruslah konstitusional (Marsilam Simanjuntak, dalam LP3ES , 1985: 166). Apabila kutipan di atas diterima secara aklamasi, maka gerakan mahasiswa pasti akan tergambarkan penuh serba hangar-bingar, serba penuh gebyar, serta pasti ramai. Apa yang diungkapkan Marsilam Simanjuntak itu tidak sepenuhnya salah. Tentu saja dengan catatan, asal gerakan mahasiswa itu merupakan usaha atau kegiatan lapangan sosial (politik dan sebagainya), seperti pemakaian pada “Gerakan Kaum Buruh” atau “Gerakan Pemberantasan Buta Huruf”, dan sebagainya (Poerwodarminta, 1982: 316317). Tak boleh dilupakan juga, upaya itu pasti terarah, terorganisir dan memiliki tujuan tertentu. Dengan demikian sebuah gerakan mahasiswa memang tidak harus penuh gebyar, tidak harus serba besar. Yang kecil pun boleh (jumlah anggotanya tidak banyak). Hal ini pun memang kemudian diakui sendiri oleh Marsilam Simanjuntak. Betapapun kecilnya-seperti yang telah dilakukan dalam gerakan-gerakan mahasiswa seperti MM (Mahasiswa Menggugat), KAK (Komite Anti Korupsi), Golput, dan lain-lain – tetapi karena ini dilakukan oleh mahasiswa, lapisan pemuda dan intelektual, maka ia akan selalu diperhitungkan penguasa. Tanpa harus dicari definisinya lebih dulu (Marsilam Simanjuntak, dalam LP3ES, 1975: 173). Gerakan mahasiswa bisa terjadi di dalam kampus atau bisa di luar kampus. Hanya saja memang tidak perlu semua mahasiswa terlibat. Pada umumnya, para aktivis mahasiswalah yang bergerak. Aktifis di sini diartikan sebagai pemuda (mahasiswa) Drs. A.A. Padi, adalah dosen tetap Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
yang selain studi juga giat di dalam kelompok-kelompok diskusi, Lembaga Swadaya Masyarakat serta organisasi-organisasi ekstra dan intra universitas serta kepemudaan (Prisma, Juni 1987: 4). Namun demikian telaah terhadap gerakan mahasiswa ini terlebih difokuskan kepada gerakan mahasiswa yang ada di luar kampus, yang pada umumnya bergerak dalam lapangan sosial dan politik. Mahasiswa di samping mempunyai tugas belajar, juga mengemban fungsi lain, sebagai unsur dari kehidupan masyarakat yang dinamik dan sedang menuju kehidupan modern, mahasiswa merupakan golongan masyarakat dengan hak dan kewajiban yang sama seperti golongan lainnya (Arbi Sanit, dalam Philip G.Altbach, 1988: IX-X). Barangkali dengan alasan ini mahasiswa merasa terpanggil untuk rela menyisihkan sebagian kecil (atau besar) dari waktu studinya guna memperhatikan persoalan-persoalan yang ada di luar kampusnya. Bobot keterpanggilannya menjadi lebih besar apabila persoalan itu berskala nasional. Hakekat dari gerakan politik mahasiswa pada umumnya adalah perubahan. Ia tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan yang ada untuk digantikan dengan situasi yang dianggap lebih memenuhi harapan (Philip G.Albatch, 1988: XIII). Di dalam artikel pengantarnya, Albatch menekankan dua fungsi gerakan mahasiswa sebagai proses perubahan, yaitu menumbuhkan perubahan sosial dan politik. Di dalam masyarakat industri, peranan sosialnya lebih menonjol, sedangkan di masyarakat yang sedang berkembang peranan politiknya lebih dominan. Untuk Indonesia, peran sosial dan politik mahasiswa sudah lama menjadi tradisi. Sampai kemerdekaan, tercatat tiga periode besar yang melibatkan pemuda dan mahasiswa. Angkatan 08, yang menggerakkan Kebangkitan Nasional. Kelompok angkatan ini dipelopori oleh “mahasiswa” STOVIA seperti Wahidin dan Sutomo. Angkatan 28, yang melahirkan Sumpah Pemuda, banyak dipelopori oleh mahasiswa yang belajar di negeri Belanda yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia, seperti Hatta dkk. Sedangkan Angkatan 45 yang melahirkan Revolusi Kemerdekaan, kelihatan lebih bervariasi. Di lapisan atas, peran mahasiswa memang masih dominan (seperti Asrama Menteng 31), namun pada lapisan bawah, peran pemuda lain (selain mahasiswa) tak kalah menariknya. Bahkan B. Anderson (1972), melihat Revolusi 45 sebagai Revolusi Pemuda. Setelah ketiga angkatan tersebut, Taufik Abdullah (1972: 4) masih menambah dengan satu angkatan lagi, yakni Angkatan 66, yang sering disebut angkatan yang mengoreksi (atau meluruskan) cita-cita bangsa. Masih soal angkatan, Onghokham menambah dengan satu lagi, yakni Angkatan 57, untuk menyebut pemuda jaman Demokrasi Terpimpin, yang dilingkungi oleh Konsepsi Presiden Soekarno dan meluasnya organisasi-organisasi mahasiswa partai dan pemuda-pemuda partai (Onghokham, dalam LP3ES, 1985: 112). Bedanya dengan Angkatan 66, Angkatan 57 boleh dikatakan berorientasi kepada pemerintah jaman itu, sedangkan Angkatan 66 dari permulaan melepaskan diri darinya (Onghokham, 1985: 124). Agak dilepaskan dari konteks angkatan, sampai keluarnya NKK, gerakan mahasiswa masih ditambah lagi dengan Gerakan 1974 (Malari) dan Gerakan 1977/1978 (Fahry Ali, 1985: 8). Setelah NKK, nama gerakan mahasiswa tidak jelas betul. Ada yang menyebut Gerakan 80-an, atau 90-an. Sebelum Indonesia merdeka, dapat dicatat bahwa jumlah mahasiswa pribumi yang mendapatkan pendidikan yang diciptakan Belanda, merupakan kelompok terkecil. Terutama jika jumlah itu dibandingkan dengan mahasiswa Eropa dan Cina. Belanda sendiri tidak menciptakan institusi pendidikan sebelum tahun 1920. Tercatat, institusi pendidikan tinggi pertama didirikan di Bandung pada tahun 1919. Lembaga pendidikan
itu mengkhususkan diri pada bidang teknik. Karenanya dinamakan Sekolah Tinggi Teknik. Lembaga Pendidikan Tinggi yang disponsori oleh kalangan bisnis Belanda itu hanya memiliki 28 mahasiswa ketika itu. Dua di antara mereka adalah mahasiswa Indonesia (Fahry Ali, 1985: 5). Hingga Perang Dunia II terjadi, mahasiswa Indonesia masih merupakan kelompok minoritas di negaranya. Mayoritas mahasiswa masih didominasi mahasiswa Eropa dan Cina. Begitu pula dari karangan pengajar dan instruktur, secara keseluruhan adalah intelektual Belanda (Harsya Bahtiar, seperti dikutip Fahry Ali, 1985: 6). Kendati jumlah mereka tidak banyak, para mahasiswa Indonesia mengembangkan dirinya dalam berbagai organisasi dan kelompok diskusi. Mereka melkukan kritik-kritik tajam terhadap pemerintah kolonial, baik yang disuarakan melalui forum-forum resmi maupun mass-media. Penindasan terhadap rakyat setempat (pribumi) yang dilakukan Belanda, kelompok elite setempat yang menghalangi perubahan menuju kemajuan dan mencoba menggerakkan masyarakat luas untuk merencanakan sebuah masyarakat merdeka- Indonesia, merupakan tema-tema yang disukai kelompok mahasiswa ketika itu. Tugas demikian, tidak saja diemban oleh mereka yang mengenyam pendidikan tinggi di tanah air, tetapi juga dilakukan oleh mereka yang belajar di luar negeri, khususnya di negeri Belanda sendiri. Pada awal tahun 1920-an, mahasiswa Indonesia yang belajar di negara Belanda menghimpun diri dalam suatu organisasi Perhimpunan Indonesia. Organisasi ini diketuai oleh Mohammad Hatta, dalam pertemuan Liga Anti Kolonialisme dan Imperialisme di Brussels, 1927 menyerang Belanda (Fahry Ali, 1985: 8). Apa yang menjadi ciri utama mahasiswa sebelum Indonesia merdeka adalah bahwa mereka hanya mempunyai satu dimensi, yaitu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Jika mahasiswa Indonesia angkatan pra-kemerdekaan menunjukan minat politik yang besar, karena dihadapkan pada kondisi kolonialisme dan berkembangnya semangat “noblesse oblige”, suatu privelesse yang disandang mahasiswa untuk memperjuangkan perbaikan nasib rakyat (Burhan D. Magenda, dalam LP3ES, 1985: 130; perhatikan juga Fahry Ali, 1985: 9 dan 12), maka mahasiswa post-kemerdekaan menunjukkan sedikit perhatian terhadap persoalan-persoalan politik (Fahry Ali, 1985: 12). Kegiatan mahasiswa ketika itu, di luar dari kegiatan pendidikan, lebih banyak difokuskan pada kegiatan-kegiatan yang bersifat rekreatif, seperti olah raga dan kesenian, dan lain sebagainya. Kelompok minoritas mahasiswa yang menaruh perhatian pada persoalan-persoalan politik cenderung berusaha untuk mendapatkan beasiswa dan belajar di Barat (Fahry Ali, 1985: 12). Kondisi politik pada masa Demokrasi Parlementer yang oligarkis itu tidak memberikan kesempatan politik kepada beberapa pihak. Termasuk yang tidak mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam dunia politik, selain mahasiswa adalah ABRI (Fahry Ali, 1985: 14). Catatan penting dalam kurun waktu ini, adalah munculnya berbagai organisasi mahasiswa yang bersifat berafiliasi ke partai politik tertentu. Misalnya HMI (Masyumi), PMII (NU), Sarekat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PSII), Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PERTI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, GMKI (Kristen), PMKRI (Katholik), GMNI (PNI) dan CGMI (Fahry Ali, 1985: 14-15). Perkembangan mahasiswa pada masa Demokrasi Terpimpin tidak menunjukkan perkembangan yang berarti. Hanya saja situasi politik pada masa ini memang cukup menarik. Fenomena yang menonjol adalah mulai tampilnya ke depan peranan ABRI,
terutama Angkatan Darat, telah terbentuk suatu kondisi kepemimpinan yang kohesif, yang merupakan kekuatan politik yang kuat. Di samping itu, Soekarno belum berhasil mengatasi pertentangan-pertentangan ideologis yang menajam saat itu. Dalam kondisi demikian meletuslah kup yang direncanakan PKI untuk mengambil alih kekuasaan. Dan peristiwa inilah yang menjadi tonggak munculnya gerakan mahasiswa yang dipelopori Angkatan 66. Mengenai Angkatan 66 itu sendiri, banyak hal sudah ditulis. Barangkali diantara pembaca ada yang sejaman, sehingga ceriteranya sudah masuk ke balung-sunsum. Atau bagi mahasiswa sekarang, yang waktu itu masih kecil atau belum lahir sekalipun, lantaran heroiknya peristiwa itu, maka kisah Angkatan 66 pun tak begitu asing. Tetapi baiklah guna melengkapi deskripsi di atas akan dipaparkan secara singkat tentang Angkatan 66. Gerakan mahasiswa tahun 1966 dimotori oleh KAMI. KAMI bersama berbagai kesatuan aksi yang lain mengadakan gerakan aksi turun ke jalan-jalan (Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan berbagai kota besar lainnya) menuntut keadilan dan kebenaran. Sasaran awal yang dominan adalah pembubaran PKI dan perubahan sistem politik, yang mencapai puncaknya dengan keluarnya TRITURA dan SUPERSEMAR. Untuk selanjutnya, kisah heroik Angkatan 66 silahkan membaca penuturan Yozar Anwar (1980). Bahwa pada tahun 1966 mahasiswa mengadakan gerakan turun ke jalan, itu tak ada yang menolak. Namun kalau dikatakan mahasiswa (waktu itu) menempati peran yang pokok (utama), ada yang meragukan (Parakitri Tahi Simbolon, dalam Prisma no.12, 1977: 48-56; atau dalam LP3ES, 1985: 149-163. Baca juga komentar Arief Budiman dan T.B. Simatupang, seperti dikutip Sulastomo, 1989: 81-82). Yang dipersoalkan sebetulnya adalah, siapakah yang lebih berperan saat itu, ABRI atau Mahasiswa? Apakah mahasiswa ditunggangi ABRI? Menanggapi “polemik” itu, jalan tengah memang ditempuh. Abdul Gafur misalnya menulis demikian: ”..... Bahwa dalam perjuangan itu peranan mahasiswa sebagai pressure group yang meyakinkan sebagai suatu fakta sejarah memang benar, tetapi juga tidak benar kalau ada anggapan seolah-olah melulu mahasiswa yang berjuang. Mahasiswa tanpa dukungan ABRI dan seluruh rakyat tidak akan berhasil dalam waktu singkat mematangkan situasi dan mempercepat tangan Bung Karno untuk menandatangani naskah Surat Perintah 11 Maret dengan hati yang enggan tetapi tetap ditongkrongi oleh tiga perwira tinggi ABRI: Amir Mahmud, Basuki Rahmad dan M. Yusuf. Perpaduan antara moral force dan arm force harus dilihat dari kaitan TRITURA sebagai stategi perjuangan generasi muda dan Supersemar sebagai satu kemenangan strategi pertama perjuangan Orde Baru yang hendak digalang melalui proses konstitusionil. Jadi salahlah tuduhan orang bahwa perjuangan mahasiswa ditunggangi ABRI ........” (LP3ES, 1985: 175-176. Komentar senada, baca juga tanggapan Sulastomo terhadap komentar Arief Budiman, dalam Sulastomo, 1989: 86). Demikianlah peran Angkatan 66 yang masih sering dipersoalkan, namun tak pelak lagi Angkatan 66 memang masih menjadi panutan mahasiswa. Hal ini bisa dibuktikan dengan masih gencarnya suara yang menentang NKK/BKK, dan merindukan kembali kejayaan DEMA (baca Prisma, Juni 1987). Sekarang, bagaimana nasib gerakan mahasiswa pasca 66? Dengan ditandai mulai tenggangnya hubungan mahasiswa-ABRI dan mahasiswa-pemerintah Orde Baru. Mulai tahun 1970-an, sasaran kritik mahasiswa tidak lagi ditunjukkan kepada sasaran korektif, melainkan lebih menuju pada strategi pembangunan Indonesia. Di mata mahasiswa,
pembangunan Indonesia dengan strategi industrialisasi, dan pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan disparitas pendapatan antara kaya dan miskin, antara kota dan desa dan antara sector modern dan tradisional. Protes mahasiswa ini meningkat pada tahun 1973, ketika ketua IGGI (J.P. Pronk) berkunjung ke Indonesia, dan sasaran bergeser pula ke soal-soal politik, mempersoalkan posisi “Aspri Presiden Suharto”, kekayaan pejabat, Pertamina dan masalah korupsi. Puncak dari gerakan mahasiswa periode ini adalah Peristiwa Malari, tanggal 15 Januari 1974. Sebagai akibatnya, Dewan Mahasiswa dibekukan, dan sejumlah tokoh mahasiswa ditangkap. Untuk sementara gerakan mahasiswa menjadi redup. Meskipun demikian, gerakan mahasiswa kali ini bukannya tanpa hasil. Presiden Suharto akhirnya mengambil tindakan korektif, ,membubarkan Aspri Presiden dan menggeser beberapa pejabat (Fahry Ali, 1985: 23-26). Walaupun mahasiswa terpukul dengan dibekukannya DEMA, namun toh gerakan mahasiswa bukannya lumpuh sama sekali. Menghangatnya situasi politik nasional sekitar Pemilu 1977, kembali mahasiswa terpanggil ke depan walau tidak segegap gempita sebelumnya. Sifat politik tampak sangat menonjol. Sebab, apa yang mereka tuntut tidak lagi hanya soal strategi pembangunan, atau pelaksanaan demokrasi dalam bidang politik dan keadilan sosial ekonomi, melainkan menuntut pengunduran diri Presiden Suharto dari jabatannya dan tidak lagi mencalonkan diri untuk pemilihan Presiden periode selanjutnya (Fahry Ali, 1985: 27). Karena tidak memiliki interest pribadi dan keduniawian, maka Arief Budiman menyebutnya sebagai “resi” (Prisma, No.11, 1976; lihat juga Fahry Ali, 1985: 26 dan 28). Sebagai akibat dari ulah mahasiswa kali ini, maka tentara memasuki dan menduduki kampus, dan menangkap sejumlah tokoh mahasiswa. Untuk menghapuskan bangkitnya kembali gerakan-gerakan politik mahasiswa, maka dikeluarkanlah NKK pada tahun 1978 (Untuk NKK, baca Daoed Joesoef dalam Dekdikbud, 1982-83: 5-13). Lewat peraturan ini, mahasiswa hampir tidak bisa bergerak sama sekali (Fahry Ali, 1985: 29; juga komentar mahasiswa dalam Prisma, Juni 1987). Betulkah demikian? Tidak adakah gerakan mahasiswa era NKK? Bila ada, ke mana sasarannya? Apakah mereka ini masih konsisten seperti pendahulupendahulunya? Apakah mereka berhasil membawa perubahan-perubahan yang berarti? Tulisan berikut akan mencoba menelusuri gerakan mahasiswa era NKK, kemudian akan diadakan analisis ringan, dengan mencoba membandingkan dengan gerakan-gerakan sebalumnya, tanpa melupakan mengkaitkan dengan perkembangan situasi politik yang mengiringi perkembangan gerakan mahasiswa pada jamannya. B. Eksistensi Gerakan Mahasiswa Era NKK Memang agak sulit untuk melacak gerakan mahasiswa pasca NKK secara rinci. Di samping gaungnya memang tidak sekuat gerakan mahasiswa masa-masa sebelumnya (apalagi bila dibandingkan tahun 1966), juga sasarannya tampak kurang terarah. Apakah ini hasil NKK? Matinya DEMA mengakibatkan mahasiswa menemui kesulitan untuk mengadakan koordinasi secara nasional? Atau kesibukan mahasiswa ke dalam, sibuk oleh KRS dan SKS? Tak tahulah. Rasa-rasanya, era NKK memang bukan masa berkiprahnya gerakan mahasiswa. Ada yang menyebut sebagai “mlempem” (Prisma, Juni 1987: 6). Benarkah begitu? Kenyataan seperti itu bukannya tidak dirasakan oleh mahasiswa (sendiri), atau oleh para pengamat. Mahasiswa umumnya menggugat sistem politik yang berlaku (sekarang), yang menjadi penyebab timbulnya “mala petaka” ini, atau (yang malah
menyedihkan) bahkan terjadi saling salah-menyalahkan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. Hal ini tercermin sangat jelas dalam Prisma, Juni 1987, yang memuat suara angkatan muda (para aktivis mahasiswa). Tak urung, polemikpun tak dapat dihindari, seperti yang terjadi di Yogyakarta. Secara berturut-turut harian “BERNAS” memuat tulisan Yusuf Arifin (1 Mei 1991), M. Arief Hakim (10 Mei 1991), M. Najib Azca (13 Mei 1991), Yusuf Arifin (18 Mei 1991), dan M. Thoriq (31 Mei 1991). Yang terakhir ini sangat menolong penulis untuk mendeskripsi gerakan mahasiswa era NKK, yang memang tampak terpencar-pencar. Menurut M. Thoriq, surutnya era DEMA, mahasiswa (yang masih merindukan jaman DEMA) mencoba mencari model penggantinya. Di UII misalnya dibentuk Koordinator Unit Aktivitas (KUA), yang tetap berstruktur dan berfungsi seperti DEMA. Ada pula yang membentuk Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM). Misalnya di Bandung dan di Yogyakarta (UGM). Namun hasilnya memang tidak menggembirakan. Menghadapi kenyataan itu, bagi mahasiswa yang merasa sumpeg dengan suasana kampus, mereka lari keluar. Ada yang membentuk Kelompok Studi (KS), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), atau memasuki organisasi mahasiswa ekstra seperti HMI, PMKRI, GMNI, PMII, dan sebagainya. Ada juga yang menyempal dari organisasi ekstra dan membikin kelompok sendiri seperti Pengkajian Nilai Dasar Islam (PNDI), atau bahkan ada yang ikut Islam Jamaah dan sebagainya. Yang bergerak di dalam kampus menyebar ke berbagai kegiatan seperti SEMA/BPM, pers mahasiswa, dan juga lembaga-lembaga mahasiswa yang praktis baru terbentuk setelah NKK/BKK seperti Koperasi Mahasiswa, Unit-unit Kegiatan, Jamaah Keagamaan dan sebagainya. Harus diakui bahwa pada masa-masa awal yang bergerak di dalam kampus rata-rata dikategorikan sebagai “kurang politis” dan “kurang berani” bila dibandingkan dengan yang bergerak di luar kampus. SEMA/BPM misalnya, sering diolok-olok tak lebih dari OSIS-nya mahasiswa. Selanjutnya terjadi interaksi antar berbagai eksponen tersebut, khususnya antar para aktivis LSM, KS dan pers mahasiswa. Mobilitas yang tinggi menyebabkan interaksi antar eksponen tersebut sangat intens dan merebak ke berbagai kota. Terbentuklah semacam jaringan aktivis antar kota. Diawali Jakarta –Bandung- Yogyakarta. Pada saat inilah didengungkan semacam kesepakatan bersama untuk menggerakkan mahasiswa, dengan tujuan untuk membangkitkan kembali keberanian bersikap kritis. Program diskusi diperbanyak, baik melalui lembaga formal maupun informal. Hampir dalam setiap diskusi para aktivis ini lebih bersikap sebagai “agitator”, yang dimaksudkan untuk merangsang keberanian bersuara mahasiswa yang sekian tahun sirna. Tak heran jika moto yang populer waktu itu adalah “pemerataan kebencian”, dan mendapat sambutan hangat dari berbagai kampus. Dalam waktu yang bersamaan, muncul masalah intern kampus. Pucuk dicinta ulam tiba. Suhu kemahasiswaan dinaikkan, datanglah masalah, sehingga muncullah protes-protes mahasiswa mulai tahun 1987. Misalnya, mahasiswa Universitas Nommenson di Medan, memprotes ketidakberesan di kampusnya. Universitas Nasional Jakarta, memprotes rektornya. Demonstrasi sejenis juga terjadi di UMS, UKSW, Sarjana Wiyata, ITB, UII, dan lain-lain. Jadi protes-protes mahasiswa di era 80-an ini pada awalnya berkisar pada persoalan kampus. Demonstrasi mahasiswa di luar persoalan kampus diawali ketika mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Ujung Pandang memprotes pemaksaan pemakaian helm, tahun 1987, yang mengakibatkan korban tewasnya mahasiswa. Peristiwa ini disusul
dengan demonstrasi mahasiswa ITB ke DPR, yang memprotes penanganan aparat terhadap mahasiswa Ujung Pandang. Disusul dengan penyelenggaraan Apel Siaga di ITB, UGM, UII memperingati hari Hak Azasi Manusia, 10 Desember 1987, dimulailah era kerjasama antar kampus. Uji coba untuk menyelenggarakan aksi bersama, diwujudkan dalam demonstrasi kasus “Brest” di depan Kedubes Prancis di Jakarta. Waktu itu ada dua mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Perancis dianiaya oleh kelompok pokrasialis Skin Head. Demonstrasi bersama yang diikuti mahasiswa dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Salatiga, Semarang ini dinilai sukses. Kelanjutannya adalah demonstrasi bersama ke kantor Menpora menentang Porkas, ke Depag memprotes penskorsan mahasiswa IAIN, ke Depdikbud memprotes RUU Pendidikan Nasional. Di Yogyakarta, tercatat demonstrasi yang dikoordinasi mahasiswa filsafat UGM ke DPRD dalam rangka Hari Sumpah Pemuda. Dan demonstrasi ISI menyambut kedatangan Fuad Hassan, menuntut pencabutan NKK/BKK, yang dikoordinasi oleh Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY). Setelah itu, barulah menyusul phase gerakan mahasiswa mempersoalkan Kedung Ombo, Bedega, Kacapiring, Cimacan, Jatiwangi, Cilacap, dan sebagainya, semuanya soal penggusuran tanah petani. Begitulah gambaran ringkas secara kronologis gerakan mahasiswa semenjak NKK sampai sekitar tahun 90-an. Pada mulanya hanya mempersoalkan urusan kampus (intern), kemudian meluas keluar kampus dengan berbagai isu, dan akhirnya, yang lagi “ngetop” sekarang adalah gerakan membela petani. Dibandingkan dengan gerakan sebelumnya, asal arahnya kemapanannya, kemantapannya, maka posisi gerakan mahasiswa era NKK tampak kecil dan terpenggal-penggal. Namun, yang jelas, tidaklah benar kalau dikatakan aktivitas mahasiswa era NKK itu “mlempem”. Tanda-tanda kehidupan masih mereka perlihatkan, walau secara kecil-kecilan. Dan jangan salah duga, yang kecil belum pasti menjadi tidak berarti. Kalau demikian, apa yang dihasilkan oleh gerakan mahasiswa era NKK? C. Kiprah Gerakan Mahasiswa Era NKK Pada bagian depan telah disinggung bahwa hakekat dari gerakan (politik) mahasiswa, adalah perubahan. Ia tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan yang ada untuk digantikan situasi yang dianggap lebih memenuhi harapan. Ia dapat menumbuhkan perubahan sosial dan mendorong perubahan politik (lihat halaman 2). Ada baiknya prinsip dipegang guna memantau apakah suatu gerakan mahasiswa bisa dikatakan berhasil atau tidak. Dengan demikian, suatu gerakan mahasiswa bisa disebut berhasil, apabila ia mampu menimbulkan perubahan, bisa pada level nasional, lokal maupun personal. Berpijak dari kriteria di atas, maka Angkatan 08, 28, 45, atau 66, adalah Angkatan yang tergolong sukses. Terlebih dua angkatan terakhir, gebyar-gebyar tampak sangat jelas. Angkatan 08 berhasil menggerakkan kebangkitan nasional. Paling kurang, ia berhasil merubah cara-cara lama dalam melawan penjajah. Angkatan 28 berhasil menelurkan Sumpah Pemuda. Lewat Angkatan ini sifat-sifat kedaerahan mulai dikikis. Angkatan 45 melahirkan Revolusi Kemerdekaan. Ia berhasil merubah dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan. Sekaligus juga berhasil memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Sedangkan Angkatan 66 berhasil merombak tatanan lama (Orde Lama) ke tatana baru (Orde Baru). Pada kesempatan lain, angkatan ini disebut-sebut sebagai berhasil mengoreksi pelaksanaan cita-cita bangsa yang tak searah
lagi dengan semangat 45. Gerakan mahasiswa tahun 74 dan 78, agak kecil perannya apabila dibanding dengan sebelumnya. Masih untung gerakan tahun 1974. Walaupun ia mendapat reaksi keras dari pemerintah toh suara mereka didengar pula. Bahkan Presiden kemudian menghapus jabatan Aspri Presiden. Gerakan tahun 1978 lebih parah lagi. Di samping tak jelas hasilnya, ia justru yang menimbulkan “mala petaka” bagi gerakan mahasiswa sesudahnya. Bukankah lantaran ia, maka NKK keluar? Demikianlah prestasi gerakan-gerakan mahasiswa sebelum NKK. Lalu bagaimana keberhasilan gerakan mahasiswa jaman NKK? Ada sedikit kesulitan untuk memantau secara tepat gerakan mahasiswa antara tahun 80-an sampai 90-an. Terlalu berjenis-jenis, sehingga sasarannya pun beraneka ragam. Ada soal intern kampus, yang tiap kampus pun persoalannya tidak sama. Persoalan yang dihadapi mahasiswa ITB belum sama dengan mahasiswa Sarjana Wiyata, atau dengan mahasiswa UII, atau IKIP PGRI (Yogyakarta). Yang bergerak di luar kampus, jenis dan sasarannya juga beraneka ragam. Ada soal helm, soal porkas, soal petani dan sebagainya. Kenyataan semacam ini bisa menimbulkan kesan, gerakan mahasiswa ini kurang konsisten, atau juga tidak terarah secara rapi. Kesan parsial dan lokal tak bisa dihindarkan. Akhirnya juga menimbulkan kesulitan untuk mengklasifikasi dan memberi tekanan mana yang lebih penting. Sebagai contoh, Yusuf Arifin menyebutnya sebagai gerakan sosial, apatis politik dan tidak radikal. Pilihan ini berdasarkan alasan bahwa gerakan sebelumnya yang berientas politik selalu gagal, hanya menempati posisi subordinate, ditunggangi kepentingan lain, dan kemudian gagal. Pandangan Yusuf Arifin itu serta merta dibantah oleh M. Thoriq. Semangatnya adalah radikal yang berslogan anti-antian. Mereka tak luput dari yel-yel dan poster-poster yang bernada keras seperti: DPR Antek Kapitalis, Ganyang Rezim Penindas dan sebagainya. Soal keradikalannya dapat dilihat dari kasus demonstrasi di depan Kedubes Prancis, kasus demonstrasi di jalan Kusumanegara (Yogyakarta), kasus demonstrasi menentang pemakaian helm di Ujung Pandang (bahkan ada korban segala). Apakah itu bukan bersifat politis dan radikal?, sanggah M. Thoriq. Ada yang memberi kesan bahwa gerakan mahasiswa 80-an bersifat populis (Arief Hakim, 1991), dengan tanda-tanda membanjirnya gerakan membela petani. Ini pun segera disanggah oleh M. Thoriq, yang berpendapat bahwa ciri gerakan mahasiswa membela petani era NKK. M. Thoriq menyebut sebagai penggalan akhir dari keseluruhan proses gerakan mahasiswa era 80-an. Lain lagi pandangan Najib. Ia menyebut gerakan mahasiswa era 80-an sebagai gerakan yang berambisi ide, dengan alasan semakin banyaknya kelompok studi mahasiswa. Yang ini tidak dibantah oleh M. Thoriq, hanya kontinuitasnya yang kadang-kadang tidak jalan. Agak sedikit kejam, M. Thoriq menyebutnya bahwa mayoritas KS yang muncul di tahun 85-88 hanya sebagai mode dan kelatahan saja. Diskusi perdana yang mereka selenggarakan, akhirnya juga merupakan diskusi terakhir. Ia menyebut contoh KS Momentum, yang aktivitasnya sekarang tak ada, tetapi nama itu masih tetap saja disebut dan dipakai. Agak sedikit berbau puitis, M. Thoriq menyebut sebagai “sekali dan sesudah itu mati”. Barangkali pandangan M.Thoriq itu tidak salah, asal tidak dimaksudkan untuk mengadakan generalisasi. Sebuah contoh sukses adalah Kelompok Studi Indonesia, yang berhasil menerbitkan buku (hasil sebuah diskusi) antara lain Menegakkan Demokrasi (1989), yang konon katanya termasuk di antara buku yang pernah dilarang.
“Publikasi adalah Aksi” (Albert Camus) dan “Mengangkat Pena Lebih Tajam dari pada Mengayun Sebuah Pedang” (Voltaire), seperti dikutip oleh KS Indonesia (1989: IV). Begitulah kondisi gerakan mahasiswa era NKK. Jenisnya beraneka ragam, sasarannya macam-macam (sesuai dengan jenisnya) kurang bersifat nasional, dan yang agak menyedihkan, terkesan tak ada kerjasama, sehingga saling salah menyalahkan antar kelompok kegiatan. Mengenai hasilnya, harus diakui bahwa memang kurang nampak dibanding dengan angkatan-angkatan sebelumnya. Dalam bidang politik, perubahan politik apa yang dihasilkan? Demikian pula dalam bidang sosial. Apa yang dihasilkan oleh KPM/KM UGM, yang membela rekannya yang diadili di Yogyakarta (kasus Bonar Tigor?). Apakah gerakan mereka berhasil mencabut NKK? Apakah larangan tidak memakai helm dicabut? Ataukah hasilnya tidak secara langsung? Maksudnya, sekarang hasilnya memang belum tampak. Baru akan tampak di kemudian hari (tahun). Sehingga,suara mahasiswa itu tetap ditampung, dan akan menjadi bahan pertimbangan di kemudian hari. Bila mau disebut yang agak berhasil, barangkali adalah KS dan LSM. Sebut saja misalnya KS Indonesia dan LSM Girli Code. Walau tidak usah gebyar-gebyar, toh ada hasilnya. Suara mereka yang disalurkan lewat buku-bukunya adalah hasil nyata, sehingga pemerintah perlu melarang buku itu. Dan perkampungan pinggir kali Code (yang tak jadi digusur) adalah hasil dari kelompok Girli Code. Kalau mau disebut lagi, bisa mereka-mereka yang bergerak di intern kampus. Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah kegiatan mereka ini tanpa bermakna sama sekali? Untuk level nasional, memang sulit melacaknya. Agak sedikit samar-samar bisa disebut, dapat memberi sumbangan pemikiran tertentu (politik) yang diharapkan dapat menyentuh penentu-penentu kebijakan. Misalnya sumbangan-sumbangan pemikiran dari KS dan LSM. Pengaruh sumbangan pemikiran itu tidak harus dirasakan sekarang. Makna yang paling jelas, adalah melatih kepekaan, terutama kepekaan sosial dan politik, bagi generasi muda. Bukankah kelompok ini yang akan meneruskan estaphet kepemimpinan di kelak kemudian tahun? Makna ini menjadi kian berarti (sangat diharapkan), bila dikaitkan dengan seringnya muncul keluhan sekitar miskinnya kepekaan sosial politik generasi tua sekarang. Gejala-gejala yang sering dipakai sebagai bukti kuat, misalnya penggusuran tukang becak, penggusuran tanahtanah petani kecil. Kepekaan sosial-politik ini memang perlu dibina (diberi tempat yang layak), agar generasi ini tidak menjadi apatis terhadap lingkungannya di kelak kemudian hari. Makna lain adalah untuk dirinya sendiri, sebagai persiapan untuk terjun ke masyarakat kelak. Pengalaman yang mereka peroleh sekarang (dalam KS, LSM, atau yang lain), sangat bermanfaat bagi dirinya, mencari pekerjaan, atau pengembangan diri selanjutnya. Mendekati bagian-bagian akhir dari tulisan ini, walau hanya ala kadarnya (guna melengkapi tulisan ini) akan dicoba membedah lebih lanjut, mengapa gerakan mahasiswa sekarang ini terkesan mlempem, dan gaungnya pun terasa samar-samar. Sebab pertama, kondisi obyektif (terutama sistem politik) sekarang sangat berbeda dengan kondisi sebelum tahun 1966. Bagaimanapun juga harus diakui bahwa kondisi saat sekarang setingkat lebih baik dari sebelum Orde Baru. Demikian pula pemerintah sekarang tampak lebih terbuka (walau memang belum baik). Kehidupan
demokrasi lebih baik setingkat lebih maju), paling tidak mekanisme demokrasinya, secara konstitusional, lebih berjalan) dibanding dengan masa Demokrasi Terpimpin. Pemerintah sekarang bukannya tertutup dengan kritik dan koreksi. Kondisi semacam ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap cara-cara penyampaian kritik. Apalagi harus diingat, posisi pemerintah Orde Baru (kekuasaan militernya) cukup kuat. Pengaruhnya terasa di segala sektor. Cara-cara yang dipakai mahasiswa harus berbeda. Sebab kedua, mahasiswa masih terpakau dengan “kegemilangan” Angkatan 66. Masih ingin meneruskan pola-pola lama. Cara-cara yang cenderung keras atau berbau agitasi. Hasilnya, bisa malah dicurigai, dan tak jarang malah berhadapan dengan ABRI dan bisa konyol. Sebaiknya, cara-cara yang berbau kekerasan mulai ditinggalkan. Adakan dialog dengan pihak-pihak yang bersangkutan. Ketiga, ada kecenderungan cara berpikir sebagian besar mahasiswa mulai sedikit pragmatis (sesuai dengan alur perkembangan jaman). Mereka berpikir, bersikap, bertindak serba kongkret dan realistis. Tentang apa yang mereka persiapkan untuk menghadapi hidup riil di masa depan. Kongkretnya, bagaimana agar ia mudah memperoleh pekerjaan kelak. Apabila diingat, persaingan mancari pekerjaaan tak cenderung semakin mudah, tetapi justru semakin ketat dan sulit. Keempat, lemahnya kehidupan gerakan mahasiswa ekstra universitas juga ikut berpengaruh. Apa yang dilakukan PMKRI, GMNI, HMI dan sebagainya sekarang? Memang gerakan-gerakan mahasiswa ini tidak boleh masuk kampus. Tetapi haruskah mereka menjadi mlempem karenanya? Bukankah di tahun 1966, tokoh-tokoh KAMI seperti Cosmas Batubara dan sebagainya itu berasal dari gerakan mahasiswa kelompok ini. Lalu bagaimana jalan keluarnya? Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, mengubah keadaan secara revolusioner agaknya masih jauh dari mungkin. Oleh karena itu bentuk gerakan mahasiswa yang radikal kelihatannya kurang sesuai. Kedua, mahasiswa harus secara cermat menyadari situasi yang sekarang sedang berjalan, dan harus secara cermat pula membaca dan mencari peluang. Kesempatan bagi mahasiswa untuk tampil mamang masih terbuka lebar. Apalagi bila diingat bahwa mahasiswa adalah bagian dari masyarakat Indonesia (atau secara lebih sempit bagian dari generasi muda) yang paling potensial dan keterlibatannya memang sangat diharapkan. Bukankah masa depan itu sebetulnya milik generasi muda? Tak usah risau dengan berbagai tantangan yang ada. Tak ada generasi yang dapat menghindarkan diri dari tantangan jamannya. Tambahan pula, setiap jaman memiliki semangat dan problemnya sendiri. Tinggal bagaimana kejelian mahasiswa menyadari dan memanfaatkannya. Sesuai dengan posisi dan peran mahasiswa, yakni bagian dari keluarga besar para cendekiawan, maka tak ada salahnya mahasiswa lebih mengembangkan olah pikirnya dari pada potensi lainnya. Tak berarti ini lalu mahasiswa harus tabu dengan kegiatan-kegiatan praktis di masyarakat. Karena itu kelompok studi atau lembaga swadaya masyarakat bisa diteruskan. Yang ingin politik praktis, dapat masuk ke organisasi masyarakat atau partai-partai. Tak usah saling salah-menyalahkan akan panggilannya masing-masing. Bukankah banyak jalan menuju ke Roma? D. Penutup Sekedar catatan akhir, dapatlah dikatakan bahwa, aktivitas mahasiswa setelah keluarnya NKK memang masih ada. Hanya saja gaungnya tidak sehebat (bila dilihat
gebyar-gebyarnya) Angkatan 66 atau sebelumnya. Karena koordinasinya kurang baik, maka gerakan mahasiswa lebih terkesan terpenggal-penggal, lokal-parsial, sehingga berpengaruh kepada bobotnya. Hasilnya kurang nampak jelas, baik dalam arti politik maupun sosial. Keterpukauan mahasiswa era NKK kepada angkatan sebelumnya (terutama 45 dan66), dan kurangnya tanggap kepada kondisi obyektif sekarang ini, bisa merupakan hambatan bagi mahasiswa untuk ikut berkiprah dalam menyongsong Indonesia yang lebih cerah. Untuk mau ke sana, ada baiknya mahasiswa menempatkan diri secara pas sebagai bagian dari kelompok cendekiawan, dan tetap menjaga perannya sebagai kekuatan moral.
Daftar Bacaan Albatch, Philip. G., Politik dan Mahasiswa (terjm), Gramedia, Jakarta, 1988. Arief Hakim M., “Gerakan Mahasiswa Era 90-an: Dari Elitis ke Populis”, Bernas, 10 Mei 1991. Depdikbud, Himpunan Bahan-bahan tentang Pengembangan dan Pembinaan Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta , 1982-1983. Fahry Ali, Mahasiswa, Sistem Politik di Indonesia dan Negara, Inti sarana Aksara, Jakarta, 1985. Kelompok Studi Indonesia, Menegakkan Demokrasi, Yayasan Studi Indonesia, Jakarta, 1989. LP3ES, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, Jakarta, 1985. Najib Azca M., “Gerakan Berbasis atau Gerakan Serba Tanda Seru”, Bernas, 13 Mei 1991. Prisma, No.11 Tahun 1976 Prisma, No.6 Tahun 1987 Railon, Francois, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1985. Rusli Karim M., Mahasiswa Cendekiawan dan Masa Depan, Alumni, Bandung, 1985. Sayidiman Suryahadiprojo, Menghadapi Tantangan Masa Depan, Gramedia, Jakarta, 1987. Soejono Martosewojo, dkk., Mahasiswa 45 Prapatan 10: Pengabdiannya, Patma, Bandung, 1984. Sulastomo, Hari-hari yang Panjang 1963-1966, CV Haji Masagung, Jakarta, 1989. Taufik Abdullah, Pemuda dan Perubahan Sosial, LP3ES, Jakarta, 1974. Thoriq M., “Membedah Gerakan Mahasiswa 80-an”, Bernas, 31 Mei 1991. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1982-1983, Jakarta, 1986. Yusuf Arifin, “Optimisme Semu Terhadap Gerakan Mahasiswa Era 90-an”, Bernas, 1
Mei 1991. Yusuf Arifin, “Optimisme Semu Terhadap Gerakan Mahasiswa Era 90-an”, Bernas, 18 Mei 1991. Yozar Anwar, Angkatan 66, Sebuah Catatan Harian Mahasiswa, Sinar Harapan, Jakarta, 1980.