1
OPTIMASI SISTEM TRACEABILITY DALAM INDUSTRI PENGOLAHAN UDANG BREADED BLACK TIGER (Penaeus monodon) DENGAN PENDEKATAN KONSEP BATCH DISPERSION
SKRIPSI PENELITIAN
FITRI MEIDIYANTI C34060134
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
2
RINGKASAN FITRI MEIDIYANTI. C34060134. Optimasi Sistem Traceability dalam Industri Pengolahan Udang Breaded Black tiger (Penaeus monodon) dengan Pendekatan Batch Dispersion. Dibimbing oleh ANNA C ERUNGAN dan BUSTAMI IBRAHIM Udang merupakan salah satu komoditas pangan yang sangat dibutuhkan dan menjadi primadona ekspor. Akan tetapi produk yang diekspor dari komoditas udang ini pun sering kali mengalami penolakan. Penolakan ini terjadi karena adanya bahaya pada produk yang dipasarkan, baik itu bahaya fisik, kimia maupun mikrobiologi. Oleh karena itu pemerintah menetapkan peraturan baru untuk melaksanakan traceability pada produk pangan pada semua tingkatan produksi, pengolahan, dan distribusi. Sistem traceability membatasi dampak masalah keamanan pangan yang potensial, sehingga dapat diketahui dengan pasti produk yang terkena dampak dan jaringan pasokan yang terlibat. Dupuy et al. (2005) menggunakan konsep batch dispersion untuk menangani internal traceability, yaitu menelusuri internal batch produk pada satu langkah ke depan maupun ke belakang dalam chain, misalnya pada proses produksi. Tujuan umum penelitian ini adalah mengoptimasikan sistem traceability dengan pendekatan konsep batch dispersion pada proses produksi udang breaded black tiger (Penaeus monodon), sedangkan tujuan khususnya mengurangi batch dispersion pada proses produksi, sehingga dapat mencegah kontaminasi produk dan mempermudah proses penelusurannya. Metode yang digunakan adalah pendekatan batch dispersion. Dengan menggunakan konsep batch dispersion, dimana permasalahan yang diangkat adalah mixed batch pada proses produksi. Mixed batch yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi mikroba ataupun defect pada hasil akhir produk, dimana akan mempengaruhi mutu dan keamanan pangannya. Batch dispersion membatasi ukuran batch dalam tahap produksi sehingga dapat mengurangi masalah keamanan dan dapat mengoptimasikan traceability. PT X merupakan salah satu perusahaan yang memanfaatkan udang black tiger (Penaeus monodon) sebagai bahan baku utama untuk membuat produk udang breaded. Produk udang tersebut dijual ke beberapa negara seperti Jepang, USA, dan lain-lain. Penyebaran batch di PT X ini berdasarkan ukuran dan jenis produk akhir yang akan dihasilkan, dimana batch bahan baku berasal dari satu atau beberapa supplier, yang terkadang berbeda setiap harinya tergantung ketersediaan supplier Kemudian dari batch bahan baku ini akan dibagi menjadi batch-batch komponen, yang nantinya akan digabung menjadi batch produk akhir. PT X menerima bahan baku dari beberapa supplier, seperti supplier dengan kode AI (Hendra) dan BU (Budi Utomo). Bahan baku yang didatangkan dari supplier tidak setiap harinya, sehingga pada penelitian ini akan diamati pada tanggal 12, 14, dan 16, sehingga pengkodean batch bahan bakunya antara lain 12 AI, 14 AI, 14 BU, dan 16 BU. Banyaknya batch dispersion pada proses produksi dapat direduksi. Hal ini ditunjukkan dari hasil penyebaran batch 12 AI, batch 14 AI, batch 14 BU, dan batch 16 BU. Terjadi pengurangan batch dispersion pada batch 12 AI dari 10
3
menjadi 4, pengurangan batch dispersion pada batch 14 AI dari 8 menjadi 6, pengurangan batch dispersion pada batch 14 BU dari 7 menjadi 3, dan pengurangan batch dispersion pada batch 16 BU dari 5 menjadi 3. Pengurangan batch dispersion dapat mencegah terjadinya kontaminasi pada produk yang akan dihasilkan, selain itu akan lebih mempermudah traceability pada proses produksi serta dapat lebih hemat waktu dan biaya.
4
OPTIMASI SISTEM TRACEABILITY DALAM INDUSTRI PENGOLAHAN UDANG BREADED BLACK TIGER (Penaeus monodon) DENGAN PENDEKATAN KONSEP BATCH DISPERSION
FITRI MEIDIYANTI C34060134
SKRIPSI PENELITIAN Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
5
Judul
Nama
:Optimasi sistem traceability dalam industri pengolahan udang breaded Black tiger (Penaeus monodon) dengan pendekatan konsep batch dispersion : Fitri Meidiyanti
NRP
: C34060134
Program Studi : Departemen Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui, Pembimbing 1
Pembimbing 2
Ir. Anna C Erungan, MS NIP : 19620708 198603 2 001
Dr.Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc. NIP : 19611101 198703 1 002
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil NIP. 1958 0511 198503 1 002
Tanggal Lulus : ……………………….
1
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Optimasi Sistem Traceability dalam Industri Pengolahan Udang Breaded Black Tiger (Penaeus monodon) dengan Pendekatan Batch Dispersion” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebut dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, Februari 2011
Fitri Meidiyanti C34060134
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan penelitian ini dengan baik. Laporan penelitian ini merupakan hasil penelitian yang dilaksanakan penulis pada bulan Agustus-September 2010 di PT X. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan penelitian ini, terutama kepada: 1.
Ir. Anna C Erungan, MS selaku dosen pembimbing pertama, atas segala bimbingan, pengarahan, dan semangat yang diberikan kepada penulis.
2.
Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc selaku dosen pembimbingan kedua, atas segala bimbingan, pengarahan, dan semangat yang diberikan kepada penulis.
3.
Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.- Biol. selaku dosen penguji, atas segala bimbingan, arahan dan semangat yang diberikan kepada penulis.
4.
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, M.S., M.Phil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan.
5.
Ibu Yenni dan bapak Budi selaku pembimbing lapang yang membimbing dan mengarahkan penulis, baik selama ataupun setelah penelitian berlangsung.
6.
Bapak Yohannes selaku Manager PT X beserta Bapak Fuad, Mbak Ruri, Bu Martha, Bu Leli, Pak Suki, Mbak Juju dan karyawan lainnya yang telah bersedia menerima dan membantu penulis selama penelitian di Perusahaan ini.
7.
Bapak, Ibu dan adik-adikku tercinta, Rika, Harry, dan Gerri yang memberikan dorongan, semangat dan doanya serta membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini
8.
Temen sepenelitianku, Molly Hermasty yang selalu ada di samping penulis di saat senang maupun sedih selama penelitian berlangsung.
9.
Teman-temanku tercinta THP 43, Minal, Patma, Nanda, Ratna, Arin, Tika, Hilda, Memey, Aci, Baby, Eboy, Budi, Dwi, Jun dan yang lainya, THP 44, dan THP 45, yang telah memberikan semangat dan masukan kepada penulis sehingga laporan ini dapat diselesaikan dengan baik.
v
10. Seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan praktek lapang ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Penulis menyadari bahwa laporan ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari berbagai pihak dalam proses penyempurnaan laporan penelitian ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, Februari 2011
Penulis
1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Curup, Propinsi Bengkulu pada tanggal 13 Mei 1988 sebagai anak pertama dari empat bersaudara pasangan Efrizon dan Defita. Memulai jenjang pendidikan formal di SD Negeri 2 Centre Curup-Bengkulu (tahun
1994-2000),
selanjutnya
penulis
melanjutkan
pendidikannya di SLTP Negeri 1 Curup-Bengkulu (tahun 2000-2003). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 1 Curup-Bengkulu dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, seperti Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) tahun 2006-2007, Badan Eksekutif Mahasiswa FPIK (BEM C) tahun 2007-2008, Himpunan Mahasiswa Hasil Perairan (HIMASILKAN) tahun 2008-2009, dan Ikatan Mahasiswa Bumi Raflesia (IMBR) tahun 2006-sekarang. Penulis juga aktif sebagai asisten praktikum m.k. Iktiologi tahun ajaran 2007-2008. Selain itu, juga aktif dalam kepanitian berbagai kegiatan mahasiswa di Institut Pertanian Bogor. Penulis melaksanakan penelitian di PT X, dimana penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan persyaratan seminar dan sidang di Departemen Teknologi Hasil Perairan. Penulis menyelesaikan penelitian ini dengan judul Optimasi Sistem Traceability dalam Industri Pengolahan Udang Breaded black tiger (Penaeus monodon) dengan Pendekatan Konsep batch dispersion di bawah bimbingan Ir. Anna C Erungan, MS dan Dr. Ir. Bustami Ibrahim, M.Sc.
2
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………….....
ix
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………….
x
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………….
xii
1 PENDAHULUAN .…………………………………………………......
1
1.1 Latar Belakang .…………………………………………………......
1
1.2 Tujuan .……………………………………………………………...
3
2 TINJAUAN PUSTAKA .………………………………………………
4
2.1 Udang .………………………………………………………...……
4
2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi udang black tiger (Penaeus monodon) .…………………………………………. 2.1.2 Komposisi udang dan persyaratan mutu udang .…………..... . 2.1.3 Proses kemunduran mutu udang ..….………………………...
4 5 9
2.2 Breaded Produk ...………...………………………………………...
10
2.3 Mutu dan Keamanan Pangan ...……………………………………..
13
2.3.1 Mutu ....………..……………………………………………… 2.3.2 Keamanan pangan ....………………………………………….
14 15
2.4 Traceability ..………………………………………………………..
18
2.5 Batch Dispersion ...…………………………………………...…......
19
3 METODE PENELITIAN ...…………..…..…………………………...
21
3.1 Waktu dan Tempat ….………………………….....….…………….
21
3.2 Kerangka Pemikiran .…………………......……..….………………
21
3.3 Jenis dan Sumber Data ...……………...………….………………...
25
3.4 Tahapan Penelitian ...……………….………………………………
26
3.5 Metode Pengambilan Data ...……………………………………….
27
3.5.1 Pengumpulan data primer ...…....…………………………….. 3.5.2 Pengumpulan data sekunder .....…………………………….. .
27 27
3.6 Metode Analisis Data ……………………………………………....
27
3.6.1 Analisis deskriptif ………….....……………………………... 3.6.2 Analisis batch dispertion ………...………………………….... 3.6.2.1 Model penelitian ...…………………………………… 3.6.2.2 Pengolahan data …...…………………………………
27 28 28 31
viii
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ……....…..…………………………. ..
32
4.1 Keadaan Umum PT X ..…………..…………….....….…………….
32
4.1.1 Lokasi perusahaan ..……………...………………………….... 4.1.2 Fasilitas bangunan ..……………...……………...………….... 4.1.3 Fasilitas produksi ..……………...………………………….... 4.1.4 Fasilitas penunjang .……………...…………………………..
32 33 36 39
4.2 Proses Produksi ……………………….....……..….………………
40
4.3 Optimasi Sistem Traceability ..……….………….………………...
56
4.3.1 Pembagian batch ..……....………………...……….………... 4.3.2 Analisis Batch dispersion ..……….……………...…………. 4.3.2.1 Batch 12 AI …….…………………………………… 4.3.2.2 Batch 14 AI …….…………………………………… 4.3.2.3 Batch 14 BU ………………………………………… 4.3.2.4 Batch 16 BU …….…………………………………… 4.3.3 Perbandingan antar batch …................................…...…......... 4.3.4 Penelusuran produk …………………………...………..........
56 57 59 61 62 64 65 67
5 KESIMPULAN DAN SARAN ...…………..………………………....
72
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………...
72
5.2 Saran ……………………………………………………………….
72
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………
73
LAMPIRAN ………………………………….…………….…………….
76
ix
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Komposisi asam amino pada udang ………………..….………
5
2. Standar syarat mutu dan keamanan pangan udang beku ……...
6
3. Notasi data-data pada model matematika ……………….…….
28
4. Notasi variabel-variabel pada model matematika ....…….…….
29
5. Pembagian batch komponen ……...………………..….………
46
6. Penggabungan batch komponen menjadi batch produk akhir ..
50
7. Ukuran berat udang breaded black tiger dalam kemasan ….…
54
8. Pengkodean jam kerja pada kode supplier BU ...……...……...
55
9. Pembagian jumlah batch 12 AI …….…………..….….………
60
10. Pembagian jumlah batch 14 AI …….…………..….….………
61
11. Pembagian jumlah batch 14 BU ………………......….………
63
12. Pembagian jumlah batch 16 BU ………………......….………
64
13. Nilai best obj dan obj bound pada setiap batch .…..….………
65
14. Nilai D_DISP dan U_DISP …………………………………...
68
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Udang black tiger (Penaeus monodon) .....………….………....
5
2. Pemahaman mengenai mutu …………………………………..
14
3. Kerangka pemasalahan dan solusi ……………...……………..
22
4. Proses produksi udang secara umum ………………………….
23
5. Gambaran secara umum traceability pada tahapan proses produksi dan cara penelusurannya ……………….……………
25
6. Diagram tahapan metode penelitian.…………………………..
26
7. Diagram alir proses produksi udang breaded black tiger PT X …………………………………………………………..
42
8. Kode pada tahap penerimaan bahan baku udang black tiger head on ………………………………………………………...
43
9. Kode udang black tiger headless …………………………..….
44
10. Kode pada proses sortasi …..….....……………...……………..
45
11. Kode udang kualitas aval ...........................................................
47
12. Kode pada proses penggoresan perut ....………...……………..
49
13. Kode pada proses predusting ...……………….....……………..
51
14. Kode pada proses checking filth ..…………….....……………..
53
15. Kode pada pengemasan polibag ...…………….....……………..
54
16. Kode pada pengemasan master carton ...………...……………..
55
17. Pembagian batch 12 AI ..................……………...……………..
60
18. Pembagian batch 14 AI .................……………...……………..
62
19. Pembagian batch 14 BU ................……………...……………..
63
20. Pembagian batch 16 BU ................……………...……………..
64
21. Grafik perbandingan jumlah batch dispersion awal dengan jumlah minimum batch dispersion ……………………...…….. 22. Penelusuran proses produk breaded black tiger berdasarkan pengkodean setiap tahapan proses dari stuffing hingga
66
xi
penerimaan bahan baku ……………………………..…………..
69
1
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Hasil perhitungan batch 12 AI ..…………………………..…..
77
2. Hasil perhitungan batch 14 AI ..…………………………..…..
86
3. Hasil perhitungan batch 14 BU ..…………………………..…..
98
4. Hasil perhitungan batch 16 BU ..…………………………..…..
103
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Komoditas pangan merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan. Bahkan kebutuhan terhadap komoditas ini tidak dapat ditunda dan harus tersedia setiap saat, baik itu dari komoditas hasil pertanian, perternakan, maupun perikanan. Tetapi saat ini isu keamanan pangan telah menjadi perhatian dunia. Konsumen pangan semakin kritis seiring meningkatnya kesadaran terhadap masalah kesehatan. Pola pemilihan pangan oleh konsumen mengubah standar dan kriteria dalam menentukan mutu pangan. Kriteria-kriteria yang bukan lagi hanya ditekankan pada faktor nutrisi atau pun penampilan saja, tetapi sudah lebih mempertimbangkan faktor keamanan pangan. Artinya, konsumen mempertimbangkan risiko yang membahayakan kesehatan dalam mengkonsumsi pangan. Faktor keamanan pangan dapat dinilai dari sumber risiko dan dampaknya terhadap kesehatan manusia, diantaranya mikroba patogen (pembawa dan penyebab penyakit), residu pestisida, bahan tambahan pangan dan residu obat-obatan dan hormon pada peternakan dan perikanan, bahan beracun alami maupun toksin yang bersumber dari lingkungan misalnya logam-logam berat, agen pembawa yang tidak biasa misal BSE (Bovine spongiform encephalopathy) atau penyakit sapi gila, yang ditularkan lewat pangan hasil ternak sapi, penyakit yang bisa ditransmisikan dari manusia kepada manusia lewat makanan misalnya tuberkulosis, dan juga proses pengawetan dan pengolahan yang hasilnya memungkinkan membawa resiko (Pardede 2009). Hal ini bersumber pada potensi sumberdaya yang ada, misalnya saja sumberdaya perikanan. Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia sangat melimpah dan beragam. Salah satu komoditi unggulan yang banyak digemari masyarakat adalah dari kelas crustacea. Sebagai primadona ekspor di sektor perikanan di Indonesia memiliki volume ekspor yang terus mengalami peningkatan. Hal ini terlihat pada data yang diperoleh dari Kementrian Kelautan dan Perikanan. Ekspor udang ke Negara Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa selama tiga tahun yaitu tahun 2006 secara berurutan
2
mencapai 50.581 ton, 61.235 ton, 35.232 ton, tahun 2007 mencapai 40.334 ton, 60.399 ton, 28.845 ton, tahun 2008 mencapai 39.582 ton, 80.479 ton, 26.825 ton. Potensi lahan laut di Indonesia pun masih banyak tersisa yaitu sebanyak tersisa 8.276.036 ha (KKP 2009). Sehingga Kementerian Kelautan dan Perikanan pun menargetkan produksi udang nasional sebesar 699.000 ton pada tahun 2014 atau meningkat sebesar 74,75 % selama periode 2010-2014. Salah satu komoditas dari kelas crustacea yang ditargetkan adalah udang black tiger (Penaeus monodon) yang merupakan organisme akuatik asli pantai pasifik Meksiko, Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Udang black tiger biasanya juga dikenal orang dengan nama udang windu, dan nama umum lainnya yaitu tiger shrimp atau tiger prawn (Suyanto dan Mujiman 1994). Produk yang diekspor dari komoditas udang ini pun sering kali mengalami penolakan. Penolakan ini terjadi karena adanya bahaya pada produk yang dipasarkan, baik itu bahaya fisik, kimia, maupun mikrobiologi. Oleh karena itu pemerintah menetapkan peraturan baru untuk melaksanakan traceability pada produk pangan pada semua tingkatan produksi, pengolahan, dan distribusi. Sistem traceability membatasi dampak masalah keamanan pangan yang potensial, sehingga dapat diketahui dengan pasti produk yang terkena dampak dan jaringan pasokan yang terlibat. Hal ini merupakan kontrol tindakan sehingga dapat dengan mudah diikuti. Namun, traceability sendiri tidak mengubah keselamatan dan kualitas produk. Untuk mengefisienkan maka penerapan sistem traceability harus dilengkapi dengan pendekatan produksi yang cocok dan distribusi perencanaan (Grunow et al. 2008). Dupuy et al. (2005) menggunakan konsep batch dispersion untuk menangani internal traceability, yaitu menelusuri internal batch produk pada satu langkah dalam chain, misalnya pada proses produksi. Penelitian ini menggunakan konsep batch dispertion, dimana permasalahan yang diangkat adalah mixed batch pada proses produksi. Mixed batch yang tidak terkontrol dapat menyebabkan terjadinya kontaminasi mikroba ataupun defect pada hasil akhir produk, dimana akan mempengaruhi mutu dan keamanan pangannya. Selain itu penyebaran batch yang terlalu banyak juga dapat mempengaruhi produk
3
akhir, karena dapat memungkinkan terjadinya kontaminasi pada produk, lamanya waktu kerja, dan bertambahnya biaya produksi. Batch dispersion membatasi ukuran batch dalam tahap produksi sehingga dapat mengurangi masalah keamanan dan dapat mengoptimasikan traceability. Ukuran batch dapat mempengaruhi degradasi kualitas produk, khususnya produk yang bersifat perishable misalnya udang, baik itu udang beku maupun udang breaded dimana memiliki kualitas udang yang berbeda.
1.2 Tujuan a. Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimasikan sistem traceability dengan pendekatan konsep batch dispersion pada proses produksi udang breaded black tiger (Penaeus monodon). b. Khusus Mengurangi batch dispersion pada proses produksi, sehingga dapat mencegah kontaminasi fisik, kimia, dan mikrobiologi dan defect pada proses produksi, serta mempermudah proses penelusurannya.
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Udang 2.1.1 Klasifikasi dan deskripsi udang black tiger (Penaeus monodon) Secara lengkap klasifikasi udang black tiger (Fast and Lester 1992) yaitu: Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Melacostraca
Ordo
: Decapoda
Family
: Penaeidae
Genus
: Penaeus
Species
: Penaeus monodon
Gambar 1 Udang black tiger (Penaeus monodon) Sumber : Foodallergens (2006)
Ditinjau dari morfologinya, tubuh udang black tiger (Penaeus monodon) terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan bagian dada (kepala-dada) disebut cephalothorax dan bagian perut (abdomen) yang terdapat ekor di bagian belakangnya. Thorax memiliki 3 pasang maxilliped dan 5 pasang kaki jalan (periopod). Abdomen dan kerapas yang merupakan bagian kepala ditutupi oleh cangkang kepala, biasanya berwarna hitam dan mengeras. Sedangkan periopod biasanya berwarna merah. Kerapas yang ujungnya meruncing disebut rostrum. Rostrum memiliki 7-8 gigi dorsal dan 3-4 gig ventral dan rostrumnya membengkok ramping ke bawah (Fast and Lester 1992).
5
Organ internal pada sistem reproduksi udang jantan terdiri dari sepasang testes, vas deferens, dan terminal ampoules untuk penyimpanan spermatopore. Sedangkan pada udang betina terdiri dari sepasang ovari yang panjang dari pertengahan thorax hingga bagian posterior pada abdomen (Fast and Lester 1992). 2.1.2 Komposisi udang dan persyaratan mutu udang Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Daging udang juga mempunyai asam amino esensial yang penting bagi manusia, dimana asam amino tirosin, triptofan dan sistein lebih tinggi dibandingkan hewan darat. Daging udang juga mempunyai asam amino esensial yang penting bagi manusia, dimana asam amino tirosin, triptofan dan sistein lebih tinggi dibandingkan hewan darat. Bagian kepala beratnya lebih kurang 36-49% dari total keseluruhan berat badan, daging 2441% dan kulit 17-23%. Selain itu, udang juga kaya akan asam amino, misalnya leucine, lysine, dan lain-lain (Tabel1). Tabel 1. Komposisi asam amino pada udang Komposisi - Tryptophan - Threonine - Isoleucine - Leucine - Lysine - Methionine - Cystine - Phenylalanine - Tyrosine - Valine - Arginine - Histidine - Alanine - Aspartic acid - Glutamic acid - Glycine - Proline - Serine Sumber : USDA (2006)
Satuan Gram gram gram gram gram gram gram gram gram gram gram gram gram gram gram gram gram gram
Konsentrasi 0,247 0,719 0,862 1,410 1,547 0,501 0,199 0,751 0,592 0,836 1,512 0,361 1,006 1,837 3,031 1,072 0,586 0,700
6
Udang sebagai salah satu produk perikanan memilliki sifat mudah busuk (highly perishable), maka penanganan dan proses produksi yang baik mutlak diperlukan agar mutu dan keamanan udang tetap segar pada saat dikonsumsi. Mutu udang terutama ditentukan oleh keadaan fisik, organoleptik (rupa, warna, bau, rasa dan tekstur), ukuran dan keseragaman udang. Oleh karena itu, tidak boleh ada cacat, rusak atau defect yang akan mengurangi nilai dari mutu udang. Standar syarat mutu dan keamanan pangan udang beku yang harus diperhatikan adalah penilaian organoleptiknya, cemaran mikroba, cemaran kimia, fisika, dan filth (Tabel 2). Tabel 2 Standar syarat mutu dan keamanan pangan udang beku Jenis Uji
Satuan
Persyaratan
a. Organoleptik b. Cemaran mikroba: 1) ALT 2) Escherichia coli 3) Salmonella 4) Vibrio cholera 5) Vibrio parahaemolyticus (kanagawa positif)* c. Cemaran kimia*: 1) Kloramfenikol 2) Nitrofuran 3) Tetrasiklin d. Fisika: Suhu pusat, maks. e. Filth
angka (1-9)
minimal 7
koloni/g APM/g APM/25g APM/25g
maksimal 5,0 x 105 maksimal < 2 Negative Negative
APM/g
maksimal < 3
Ppb Ppb Ppb
maksimal 0 maksimal 0 maksimal 100
°C Jenis/jumlah
maksimal -18 maksimal 0
*: Bila diperlukan Sumber : Badan Standarisasi Nasional (2007)
Menurut Codex Stan 92-1981, Rev.1-1995, produk udang beku berasal dari family Panaeidae, Pandalidae, Crangonidae, dan Palamonidae. Jenis udang ini haruslah udang yang berkualitas baik dan segar karena akan dikonsumsi masyarakat. Pada proses memasak dan mendinginkan, menggunakan air yang berkualitas pula. Semua bahan-bahan yang digunakan memiliki kualitas grade food dan sesuai dengan standar codex.
7
Berdasarkan kesegarannya, udang dapat dibedakan menjadi empat kelas mutu yaitu (Hadiwiyoto 1993): a. Udang yang mempunyai mutu prima (prime) atau baik sekali, yaitu udang-udang yang benar-benar masih segar, belum ada perubahan warna, transparan dan tidak ada kotoran atau noda-nodanya. b. Udang yang mempunyai mutu baik (fancy). Udang ini mutunya dibawah prima, ditandai dengan adanya kulit udang yang sudah tampak pecah-pecah atau retakretak, tubuh udang lunak tetapi warnanya masih baik dan tidak terdapat kotoran atau noda-nodanya. c. Udang bermutu sedang (medium, black dan spot). Pecah-pecah pada kulit udang lebih banyak daripada udang yang bermutu baik. Udang sudah tidak utuh lagi, kakinya patah, ekornya hilang atau sebagian tubuhnya putus. Daging udang sudah tidak lentur lagi, pada permukaan tubuhnya sudah tampak banyak noda berwarna hitam atau merah gelap. d. Udang yang bermutu rendah (jelek dan rusak). Kulit udang banyak yang pecah atau mengelupas, ruas-ruas tubuh sudah banyak yang putus dan udang sudah tidak utuh lagi. Bentuk-bentuk olahan udang yang dibekukan tergantung dari jenis udang, mutu bahan baku dan pesanan dari pihak konsumen. Adapun bentuk olahan dari udang beku adalah sebagai berikut (Purwaningsih 1994): a. Head On (HO) Produk head on adalah produk udang beku yang utuh lengkap dengan kepala, badan, kulit dan ekor. Produk head on ini harus dibuat dari udang yang mempunyai tingkat kesegaran yang tinggi. Biasanya udang yang diolah head on adalah udang yang berukuran besar. b. Headless (HL) Produk headless adalah produk udang beku yang diproses dalam keadaan kepala sudah dipotong, tetapi masih memilki kulit, kaki dan ekor.
8
c. Peeled Produk peeled adalah produk udang beku tanpa kepala atau dengan ekor . bentuk pengolahahn secara peeled ada 5 jenis. Berikut ini kelima produk olahan tersebut: 1) Peeled Tail On (PTO) Peeled tail on adalah produk udang beku tanpa kepala dan kulit dikupas mulai dari ruas pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan. 2) Peeled Devined Tail On (PDTO) Produk peeled devined tail on adalah produk udang kupas (hampir sama dengan PTO), tetapi pada bagian punggung udang diambil kotoran perut (vein). Kotoran perut tersebut diambil dengan cara membelah bagian punggung mulai dari ruas pertama atau kedua hingga ruas kelima. Cara lainnya yaitu menarik keluar kotoran perut dari punggung udang dengan menggunakan tusukan dari bambu (bamboo stick). 3) Peeled and Devined (PD) Produk peeled and devined ini adalah produk udang beku yang dikupas seluruh kulit dan ekornya dan bagian punggungnya dibelah untuk mengambil kotoran ekor. 4) Peeled and Undevined (PUD) Produk peeled and undevined adalah prouk udang beku yang dikupas seluruh kulit dan ekornya seperti pada produk PD, tetapi tanpa pengambilan kotoran ekor. 5)
Butterfly Produk butterfly adalah produk udang beku hampir sama dengan produk
PDTO dimana kulit udang dikupas mulai dari ruas pertama sampai dengan ruas kelima, sedangkan ruas terakhir dan ekor disisakan. Kemudian bagian punggung dibelah sampai pada bagian perut bawahnya, tetapi tidak sampai putus dan kotoran perutnya dibuang.
9
2.1.3 Proses kemunduran mutu udang Kemunduran mutu udang segar sangat berhubungan dengan komposisi kimia dan susunan tubuhnya. Sebagai produk biologis, udang termasuk bahan makanan yang mudah busuk bila dibandingkan dengan ikan. Oleh karena itu, penanganan udang segar memerlukan perhatian dan perlakuan cermat (Purwaningsih 1994). Susunan tubuh udang mempunyai hubungan erat dengan masa simpannya. Bagian kepala merupakan bagian yang sangat berpengaruh terhadap daya simpan karena bagian ini mengandung enzim pencernaan dan bakteri pembusuk (Purwaningsih 1994). Proses penurunan mutu udang disebabkan oleh faktor-faktor yang berasal dari badan udang itu sendiri dan faktor lingkungan. Penurunan mutu ini terjadi secara autolisis, bakteriologis, dan oksidasi (Purwaningsih 1994). a. Penurunan mutu secara autolisis Penurunan secara autolisis adalah suatu proses penurunan mutu yang terjadi karena kegiatan enzim dalam tubuh udang yang tidak terkendali sehingga senyawa kimia pada jaringan tubuh yang telah mati terurai secara kimia. Penurunan mutu ditandai dengan rasa, warna, tekstur, dan rupa yang berubah (Purwaningsih 1994). Proses enzimatik yang terjadi juga sangat mempengaruhi rupa udang yaitu pembentukan bercak hitam (melanosis) dengan gejala terjadinya penghitaman pada kepala, ruas-ruas dan ekor. Proses melanosis ini segera dan cepat dipengaruhi oleh keadaan kering, adanya oksigen, suhu tinggi dan faktor waktu (Ilyas 1993). b. Penurunan mutu secara bakteriologis Penurunan mutu secara bakteriologis adalah suatu proses penurunan mutu yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari lendir pada permukaan tubuh, insang, dan saluran pencernaan. Penurunan mutu ini mengakibatkan daging udang terurai dan menimbulkan bau busuk (Purwaningsih 1994). Kandungan bakteri pada udang sangat bervariasi tergantung pada kebersihan udang waktu ditangkap, cara penanganan, dan lain-lain, dimana akan mempengaruhi penurunan mutu udang (Ilyas 1993).
10
c. Penurunan mutu secara oksidasi Penurunan mutu secara oksidasi biasanya terjadi pada udang yang kandungan lemaknya tinggi. Lemak udang akan dioksidasi oleh oksigen yang berada di udara sehingga menimbulkan bau dan rasa tengik (Purwaningsih 1994).
2.2 Breaded Produk Menurut Badan Standarisasi Nasional tahun 2009, SNI 6163.2:2009 yang menjelaskan tentang udang berlapis tepung (breaded) beku-bagian 2: persyaratan bahan baku, adalah sebagai berikut: 1. Ruang lingkup Standar ini menetapkan bahan baku udang berlapis tepung (breaded) beku. 2. Acuan normatif SNI 01-2705.1-2006, udang beku-bagian 2: persyaratan bahan baku. SNI 01-2728.1-2006, udang beku segar-bagian 2: persyaratan bahan baku. 3. Istilah dan definisi 3.1 Bahan baku udang berlapis tepung beku Udang segar atau beku yang belum mengalami pengolahan. 4. Jenis Jenis bahan baku yang digunakan adalah semua jenis udang. 5. Bentuk Bentuk bahan baku berupa udang utuh segar. 6. Asal Bahan baku berasal dari perairan yang tidak tercemar. 7. Mutu Sesuai dengan SNI 01-2705.1-2006 dan SNI 01-2728.1-2006. 8. Penyimpanan Bahan baku disimpan dalam wadah dengan menggunakan es dengan suhu pusat bahan baku maksimal 5ºC untuk bahan baku segar dan -18ºC untuk bahan baku beku, secara saniter dan higienis.
11
Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan (Peraturan Pemerintah RI No 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan). Bahan tambahan pada suatu produk makanan merupakan nilai tambah bagi produk makanan tersebut (ASEANCanada Fisheries 1994). Breaded produk merupakan pangan olahan daging ataupun “minced” yang dilapisi (coating) oleh tepung. Coating merupakan cara yang paling umum untuk meningkatkan nilai dari suatu produk dan sudah diterima secara universal karena konsumen dapat memperoleh penampakan, aroma, dan flavor yang sesuai dengan selera. Perkembangan jenis convenience produk ini sangat cepat. Adapun keuntungan coating (Venugopal 2006) antara lain : a. Memberikan tekstur renyah, aroma dan warna menarik. b. Meningkatkan kualitas gizi melalui penggabungan nutrisi. c. Bertindak sebagai penghalang kelembaban sehingga meminimalkan kerugian selama penyimpanan beku. d. Bertindak sebagai pelapis makanan sehingga dapat mencegah cairan alami mengalir keluar. e. Menyediakan struktural penguatan pada substrat. f. Meningkatkan sebagian besar substrat sehingga mengurangi biaya produk jadi. Jenis-jenis coating antara lain binders, batter, dan breadcrumbs (ASEANCanada Fisheries 1994): a. Binders Binder (Predust) merupakan campuran dari tepung, pati dan komponen fungsional lainnya misalnya protein, vegetable gum, bumbu atau penambah cita rasa/flavor. Fungsi predust adalah (ASEAN-Canada Fisheries 1994): 1) Adhesi, untuk meningkatkan daya ikat substrat dengan lapisan coating. 2) Tekstur, melindungi produk dari kehilangan air. 3) Flavor, menjaga flavor terutama yang sensitive terhadap suhu tinggi atau komponen yang mudah menguap selama pemasakan.
12
Menurut Badan Standar Nasional tahun 2009, SNI 6163.3:2009 predust yang harus digunakan pada udang berlapis tepung adalah predust berbentuk tepung halus, bersih, bau tepung segar, tidak berjamur serta tidak mengandung filth. b. Batter mix Pada umumnya terdapat dua tipe batter yang biasa digunakan, yaitu normal batter (tanpa tepung) dan batter yang menggunakan tepung tempura. Sederhananya, kedua jenis ini dapat dibuat dari tepung gandum, tepung air, dan air, dengan tambahan baking powder untuk tempura batter. Pencampuran kirakira 1/3 tepung gandum dan 2/3 air, dapat dibuat sebagai normal batter yang sederhana. Sedangkan pencampuran kira-kira 50% tepung gandum dan 1% baking powder dalam air, dapat dibuat sebagai tempura batter yang sederhana. Penggunaan tepung gandum dan air saja dapat memberikan sedikit kesan renyah (crisp) pada batter (ASEAN-Canada Fisheries 1994). Batter mix yang berkualitas, menggunakan beberapa bahan. Standar batter mix, menggunakan tepung jagung, corn starch, tepung gandum, garam, dextrose, dan guar gum. Dalam penggunaanya, campurkan 25 kg batter mix dengan 50 kg air. Tempura batter mix, menggunakan modified starch, tepung gandum, tepung jagung, garam, hydrogenated vegetable oil, baking powder, tepung soya, susu padat, telur putih, dan guar gum. Dalam penggunaanya, campurkan 1 bagian batter dengan 1.3 sampai 5 bagian air. Batter mixes yang berkualitas sangat direkomendasikan (ASEAN-Canada Fisheries 1994). Pada umumnya, peran utama batter adalah sebagai coating pada suatu produk. Adapun fungsi batter adalah (ASEAN-Canada Fisheries 1994): 1) Adhesi. 2) Memberikan tekstur dan struktur yang baik pada produk. 3) Peningkatan produk, meningkatkan berat produk. 4) Penampakan, dengan di-breaded pengurangan penampakan akan sangat kecil. 5) Dapat meningkatkan cita rasa atau flavor produk.
13
Menurut Badan Standar Nasional tahun 2009, SNI 6163.3:2009 tepung batter mix yang harus digunakan pada udang berlapis tepung adalah tepung berbentuk halus, bersih, bau khas batter mix, tidak berjamur, dan tidak mengandung filth. c. Breadings Breadings merupakan campuran dari serpihan tepung dari komponen lainnya dan biasanya digunakan untuk melapisi produk-produk siap untuk dipanggang. Breading yang tersedia memiliki jenis yang berbeda-beda, mulai dari bread crums normal, cereal flakes, cracker, potato flakes, dan vegetable flakes. Flour merupakan bahan dasar pada bread crumb. Adapun fungsi breadings adalah memberikan penampakan dan tekstur pada produk akhir (ASEAN-Canada Fisheries 1994). . Menurut Badan Standar Nasional tahun 2009, SNI 6163.3:2009 tepung roti (breadings) yang harus digunakan pada udang berlapis tepung adalah tepung roti yang dikeringkan dan dihaluskan sehingga berbentuk serpihan. Selain itu, tepung roti berbau khas roti, tidak berbau tengik atau asam, tidak berjamur, dan tidak mengandung filth.
2.3 Mutu dan Keamanan Pangan Pengertian dan pemahaman terhadap berbagai definisi dan konsep yang berkaitan dengan mutu sangat penting untuk dimiliki oleh perusahaan. Pemahaman ini penting, baik untuk kepentingan internal (dalam perusahaan) maupun kepentingan eksternal (hubungan perusahaan dengan pihak luar, baik pemasok, rekaman maupun konsumen). Dengan persepsi mengenai mutu, maka tujuan dan cita-cita mutu perusahaan dapat dicapai dengan lebih cepat dan lebih efisien. Untuk hubungan eksternal, pemahaman ini diperlukan dalam rangka memenuhi persyaratan mutu yang diminta oleh konsumen. Pemahaman dengan bahasa yang sama mengenai mutu memudahkan untuk diukur dan dikendalikan (Muhandri dan Kadarisman 2008). Mutu yang diinginkan oleh konsumen ini, tidak jauh terhadap isu keamanan pangan yang aman bagi konsumen.
14
Isu keamanan pangan saat ini diangkat dalam perdagangan dengan dua pendekatan, tergantung pada sudut pandang masing-masing Negara. Beberapa Negara menjadikan masalah keamanan pangan sebagai isu yang perlu diatur secara wajib (mandatory), tetapi beberapa negara lain tetap menggunakan mekanisme pasar yang mengaturnya secara sukarela (voluntary). Di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (DKP-RI) melihat masalah keamanan pangan ikan dan produk ikan sebagai suatu isu yang diatur secara wajib (mandatory), sehingga perlu diatur dalam suatu sistem yang harus ditaati oleh pelaku bisnis sektor perikanan (Thaheer 2005). 2.3.1 Mutu Mutu merupakan sesuatu yang diputuskan oleh pelanggan, bukan oleh insiyur, bukan pula oleh pemasaran atau manajemen umum. Mutu didasarkan pada pengalaman actual pelanggan terhadap produk atau jasa, diukur berdasarkan persyaratan pelanggan tersebut, dinyatakan atau tidak dinyatakan, disadari atau hanya dirasakan, dikerjakan secara teknis atau bersifat subjektif dan selalu mewakili sasaran yang bergerak dalam pasar yang penuh persaingan (Feigenbaum 1992). Pemahaman mengenai mutu secara umum disajikan pada Gambar 2 di bawah ini: Perusahaan
Membuat
Produk/Jasa
Konsumen
-Syarat Karakteristik Menetapkan
-Kebutuhan -Keinginan
Sesuai
Permintaan Standard Gambar 2 Pemahaman mengenai mutu Mutu juga merupakan kesesuaian serangkaian karakteristik produk atau jasa dengan standar yang ditetapkan perusahaan berdasarkan syarat, kebutuhan dan keinginan konsumen (Muhandri dan Kadarisman 2008). Secara tidak langsung mutu
15
harus berorientasi kepada kepuasan pelanggan. Hal ini membawa dampak pada persaingan yang semakin ketat antar industri. Pasal 1 ayat 13 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan menjelaskan bahwa mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman. Selain itu, Pasal 24-29 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 juga mengatur mengenai mutu dan gizi pangan. Dijelaskan bahwa setiap orang dilarang memperdagangkan pangan tertentu, apabila tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan sesuai dengan peruntukannya; pangan yang mutu berbeda atau tidak sama dengan mutu pangan yang dijanjikan; pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi mutu pangan. 2.3.2 Keamanan pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang tak terelakkan karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidupnya. Memperoleh pangan dalam jumlah cukup, bermutu, bergizi, dan aman untuk dikonsumsi adalah hak setiap orang. Karena itu, pangan yang tersedia baik pangan segar maupun pangan olahan, harus selalu terjamin keamanannya agar masyarakat terhindar dari bahaya kesehatan karena pangan yang tidak aman dikonsumsi. Pangan yang aman juga akan meningkatkan perdagangan yang adil dan jujur. Menghasilkan pangan yang aman dan bermutu tinggi
akan
terus
meningkatkan
citra
Indonesia
di
lingkungan
global
(Erungan et al. 2008). Diberlakukannya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan merupakan sebuah langkah maju yang telah dicapai pemerintah Indonesia untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan produsen akan pangan yang sehat, aman, dan halal. Pasal 1 ayat 4 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan menjelaskan bahwa keamanan pangan adalah kondisi daya upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat menggangu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Keamanan pangan merupakan kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang
16
dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Peraturan Pemerintah RI No 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan). Keamanan pangan (food safety) sendiri akhir-akhir ini telah menjadi isu nasional dan internasional. Semakin tinggi pengetahuan dan kemampuan ekonomi masyarakat, semakin tinggi pula kecendrungan menuntut pangan yang lebih aman untuk dimakan. Kemungkinan-kemungkinan bahaya bagi produk-produk pangan dapat terjadi karena beberapa sebab antra lain (Muhandri dan Kadarisman 2008).: a. Adanya residu bahan kimia yang terbawa pada bahan pangan akibat teknologi pertanian misalnya insektisida, pestisida, fungisida, antibiotik dan hormon. b. Adanya kesalahan dalam penggunaan bahan kimia tambahan baik jenis maupun dosisnya. Kasus biskuit beracun beberapa waktu yang lalu di Indonesia merupakan suatu contoh yang ekstrim. Demikian pula penggunaan pewarna tekstil untuk makanan jajanan (street food). c. Penyerapan logam berbahaya oleh tanaman dan hewan akibat pencemaran lingkungan oleh industri. d. Terjadinya kontaminasi mikroba dan bahan kimia terhadap bahan pangan dan produk pangan sejak dari pertama sampai pada tingkat pengelolahan akibat kurang sanitasi. e. Kurang cukupnya kondisi proses pengolahan menyebabkan mikroba aktif kembali pada saat penyimpanan dan pemasaran. f. Ekses dari penggunaan teknologi yang belum tuntas penelitiannya misalnya senyawa-senyawa baru, teknik radiasi, dan sebagainya. g. Adanya komponen kimia tertentu pada bahan pangan dan produk pangan yang dapat mendorong timbulnya penyakit-penyakit tertentu jika dikonsumsi berlebihan (misalnya kolestrol, lemak, dan sebagainya). Karakteristik keamanan pangan ini dirasakan telah banyak menghambat ekspor produk pangan ke negara maju misalnya Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang karena persyaratan yang cukup berat yang diberlakukan secara ketat. Apabila ingin bersaing mendapatkan pasar di negara-negara tersebut, karakteristik ini harus ditangani dengan secara intensif (Muhandri dan Kadarisman 2008).
17
Uni Eropa telah banyak mengeluarkan peraturan pangan yang ditujukan untuk menjamin mutu dan keamanan pangan konsumen. Secara umum peraturan tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu horizontal dan vertikal. Horizontal berarti peraturan dapat diterapkan pada semua bidang pangan, misalnya peraturan bahan tambahan pangan, pelabelan, sanitasi, dan higiene. Sedangkan vertikal berarti peraturan dapat diterapkan hanya pada pangan yang spesifik, misalnya peraturan pangan dari perikanan dan peternakan (Derrick and Dillon 2004). Ketentuan umum dari Peraturan Pangan UE adalah pangan tidak dapat dipasarkan bila dalam keadaan tidak aman. Pangan dikategorikan dalam keadaan tidak aman bila membahayakan kesehatan manusia dan tidak layak untuk konsumsi manusia. Bila satu bagian batch dinyatakan tidak aman, maka keseluruhan batch tersebut juga akan dinyatakan tidak aman. Dokumen kunci pada Peraturan Pangan UE yaitu (Erungan et al. 2008) : a. Peraturan 178/2002-aturan umum dan ketentuan peraturan pangan tentang keamanan pangan. b. Peraturan 882/2004-sistem pengendalian mutu. c. Peraturan 852/2004-kebersihan pangan. d. Peraturan 853/2004-aturan kebersihan yang spesifik untuk produk pangan manusia yang berasal dari produk hewani. e. Peraturan 854/2004-aturan khusus untuk lembaga pengendalian mutu. Jepang menggunakan tiga macam peraturan yang berkaitan dengan impor pangan mereka, yaitu (1) Food Safety Law, yang khusus mengatur maksimum penggunaan bahan kimia misalnya zat aditif/pemanis, maksimum pestisida, dan sebagainya; (2) Plant Protection Law, yang dititik beratkan pada bangunan dan peralatan pengolahan pangan; dan (3) Food Control Law, yang khusus mengatur pelabelan dalam hal nilai gizi, alamat produsen dan importer lokal. Uni Eropa memiliki Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF), yakni salah satu control sistem terhadap produk makanan dan perikanan yang masuk dan beredar di Uni Eropa. Sedangkan Amerika Serikat mengeluarkan Interim Alert Final Rule (IFR) Bioterrorism Act, pada tahun 2003 untuk mencegah teror melalui kuman-kuman
18
penyakit yang bisa membahayakan manusia atau hewan dari produk ekspor yang masuk Amerika Serikat (Erungan et al. 2008).
2.4 Traceability Traceability memiliki beberapa variasi definisi. Menurut ISO 22005:2007, traceability merupakan kemampuan untuk menelusuri pergerakan pakan atau makanan pada tahap produksi, proses, dan distribusi. Sedangkan Smith and Furness (2006) menjelaskan bahwa traceability lebih menekankan pada penelusuran, menarik perhatian terhadap pentingnya mencatat informasi yang penting untuk memuaskan kebutuhan yang ditelusuri. Traceability adalah kemampuan untuk menelusuri sejarah, aplikasi atau pun lokasi dalam pertimbangan tertentu. Bila yang menjadi pertimbangan adalah produk, maka traceability dilakukan pada bahan baku dan bagian-bagiannya, sejarah proses, dan distribusi serta lokasi produk setelah terkirim (Food Standards Agency 2002). Menurut peraturan undang-undang makanan umum Uni Eropa (EU), traceability merupakan kemampuan untuk menelusuri dan mengikuti makanan, pakan, produksi makanan hewan atau zat melalui semua tahapan produksi dan distribusi (Smith and Furness 2006). Peraturan Uni Eropa (European Regulation-EC) No. 178/2002 pada tanggal 28 Januari 2002, merupakan peraturan dasar yang menjelaskan tentang prinsip-prinsip umum dan persyaratan traceability dan keamanan pangan. Sistem traceability membatasi pengaruh masalah petensial keamanan pangan, dengan bantuan traceability dapat diketahui dengan tepat produk yang mana yang tidak baik, dan jaringan supply mana yang rumit. Akan tetapi traceability sendiri tidak merubah keamanan dan mutu dari produk. (Grunow et al. 2008). Sistem traceability merupakan suatu konsep, tools, prosedur kerja dan peralatan untuk tracking dan/atau tracing (T&T) dalam lingkungan produksi dan distribusi (Verdenius dalam Smith and Furness 2006).
Sistem konvensional T&T
akan menghasilkan data lokasi dan identifikasi produk yang digunakan untuk manajemen recall. Sistem T&T yang berorientasi mutu (quality-oriented tracking
19
and tracing, QTT), akan menambah manfaat untuk memperoleh data parameter yang relevan dengan mutu produk misalnya suhu atau kelembaban relatif, yang dapat digunakan untuk mengontrol aliran produk pada rantai makanan. Terdapat 5 elemen dalam sistem QTT yaitu 1) sasaran dan manfaat, 2) manajemen rantai permintaanpenyedian, 3) kualitas-informasi tracking dan tracing, 4) kualitas-teknologi tracking dan tracing, dan 5) produk dan proses. Ada 2 macam klasifikasi traceability, yaitu internal traceablity dan chain traceability. Menurut Moe (1998) Internal traceability merupakan penelusuran dengan melacak internal batch produk pada satu langkah dalam rantainya, misalnya pada proses produksi. Penelusuran ini pun memiliki batas-batas tertentu (Food Standards Agency 2002). Sedangkan menurut Moe (1998), chain traceability merupakan penelusuran dengan melacak produk melalui rantai produksi mulai dari panen sampai transport, penyimpanan, proses, distribusi, dan sales. Penelusuran ini lebih memfokuskan pada informasi yang diawali dari suatu produk yang berasal dari suatu link pada suatu rantai, yang selanjutnya akan ditelusuri setiap tahapnya, baik pada produk, proses, dan distribusinya (Food Standards Agency 2002).
2.5 Batch Dispersion Sistem traceability dikembangkan untuk menelusuri (track) produk di seluruh supply chain dan memberi kemungkinan untuk menelusuri balik (track back) produk dari manapun dalam rantai. Pada proses produksi, untuk mengevaluasi akurasi dari traceability diperkenalkan cara pengukuran yang baru yaitu downward dispersion, upward dispersion dan batch dispersion (Dupuy et al. 2002). Downward dispersion pada batch bahan baku merupakan jumlah batch produk akhir yang mengandung bagian dari batch bahan baku tersebut. Downward traceability atau biasa disebut tracing, merupakan kapasitas pada supply chain, untuk menemukan asal usul dan karakteristik dari suatu produk dari satu atau beberapa kriteria yang ada. Upward dispersion pada batch produk akhir yaitu jumlah batch bahan baku yang berbeda yang digunakan memproduksi batch ini. Upward traceability atau biasa disebut tracking, merupakan kapasitas pada supply chain, untuk menemukan lokasi dari suatu
20
produk dari satu atau beberapa kriteria yang ada (Dupuy et al. 2002). Batch dispesion sama dengan jumlah downward dispersion pada batch bahan baku dan upward dispersion pada batch produk akhir. Menurut Dupuy et al (2005), konsep batch dispersion digunakan untuk melaksanakan internal traceability pada tahapan produksi. Produksi batch adalah umum dalam industri pangan. Batch merupakan suatu jumlah makanan yang diproduksi dan dikelola dibawah kondisi seragam. Terkadang jumlah ini berdasarkan kapasitas peralatan prosesing tapi dapat juga berdasarkan pada efisiensi kebutuhan. Dalam sistem produksi makanan jumlah produk minimum yang sesuai dengan kebutuhan yang diproses, dan secara umum ukuran batch yang besar bertujuan untuk peningkatan pemanfaatan kapasitas dan kompetitif. Peluang batch untuk perusahaan makanan yang spesifik tergantung pada posisi dari perusahaan dalam rangkaian antara sistem produksi batch dan sistem aliran produksi secara kontinu. Selanjutnya jumlah produk juga mempengaruhi frekuensi pergantian produk, operasi pembersihan peralatan, dan pemanfaatan kapasitas.
21
3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian optimasi sistem traceability dalam industri pengolahan udang breaded black tiger (Penaeus monodon) dengan pendekatan konsep batch dispertion, dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan September 2010. Penelitian bertempat di PT X, Cirebon, Jawa Barat.
3.2 Kerangka Pemikiran Isu keamanan pangan sampai saat ini telah dianggap menjadi masalah perdagangan
nasional
dan
internasional.
Hal
ini
menunjukkan
semakin
berkembangnya zaman, maka semakin berkembang pula pola pikir manusia akan pentingnya mengkonsumsi makanan yang aman. Oleh karena itu, negara Uni Eropa, Jepang, dan Amerika selalu memberikan pengawasan ketat terhadap masalah keamanan pangan dan memberikan lampu merah bagi produk yang tidak aman sesuai dengan peraturan ketiga negara tersebut. Udang merupakan salah satu primadona komoditas ekspor. Selain memiliki rasa yang khas dan enak di lidah, udang juga memiliki nilai gizi yang tinggi terutama asam amino esensial dan non esensial. Tetapi saat ini isu udang sedang marakmaraknya dibicarakan. Kandungan residu berlebihan dari udang pada proses produksi membuat para konsumen was-was terhadap primadona perikanan ini. Selain itu, banyaknya tahapan pada proses produksi udang terutama pada produk udang breaded, menyebabkan rawannya keamanan pangan dan mutu produk, karena secara tidak langsung batchnya pun akan lebih banyak. Produk udang breaded merupakan udang yang diolah lebih lanjut, dimana terdapat pemberian coating pada produk minced maupun udang headless ataupun, PTO, dll. Biasanya udang yang digunakan merupakan udang first quality, second quality, below, tergantung jenis produk breaded apa yang ingin diproduksi. Secara tidak langsung, hal ini dapat memperbanyak batch dalam suatu proses produk udang breaded.
22
Permasalahan yang diamati pada penelitian ini adalah pada bagian proses produksi udang breaded. Secara umum, proses produksi udang dapat dibagi menjadi tiga level dispersi yaitu bahan baku, komponen, dan produk akhir (Gambar 3). Tiga level dispersi ini merupakan mixed batch. Permasalahan pada mixed batch ini merupakan permasalahan internal traceability, dimana jika tidak dikontrol dengan baik dapat mempengaruhi mutu dan keamanan pangan produk akhir karena terjadinya kontaminasi silang. Industri perikanan mencoba mencari solusi atas permasalah perdagangan dan proses produksi ini. Traceability merupakan sistem yang membatasi pengaruh masalah potensial keamanan pangan. Dengan membatasi mixed batch pada proses produksi dengan pendekatan batch dispertion maka akan dapat mengoptimalkan traceability. Produk udang breaded
Proses produksi
Mixed batch
Bahan baku
Komponen
Produk akhir
Kontaminasi silang
Batch dispersion
Optimasi sistem traceability Gambar 3 Kerangka permasalahan dan solusi
M A S A L A H
S O L U S I
23
Pada proses produksi udang breaded suatu perusahaan, biasanya bahan baku berasal dari satu atau pun beberapa supplier dan setiap harinya jumlahnya pun berbeda-beda. Banyaknya jumlah supplier ini merupakan banyaknya batch bahan baku, dimana nantinya batch bahan baku akan dibagi-bagi menjadi beberapa batch komponen. Pembagian ini tergantung keputusan perusahaan, biasanya pembagiannya berdasarkan size dan jenis produk akhir yang akan dihasilkan. Beberapa batch komponen ini biasanya akan digabungkan dan akan menghasilkan batch produk akhir. Gambar 4 di bawah ini menjelaskan proses produksi udang secara umum. Pada suatu perusahaan, proses produksinya dapat berbeda-beda. Udang Black tiger
Supplier 1
Supplier 2
Supplier 3
Aval
Broken
Peeled
Beku
Ebi Furai
Ebi Katsu
Supplier 4
1
2
Nugget
3
Gambar 4 Proses produksi udang secara umum Keterangan
: 1. Batch bahan baku 2. Batch komponen 3. Batch produk akhir
Pada proses produksi untuk mengevaluasi akurasi dari traceability diperkenalkan cara pengukuran yang downward dispersion dan upward dispersion. Gambar 5 akan menjelasakan gambaran secara umum traceability pada tahapan proses produksi dan cara penelusurannya. Pada gambar tersebut, cara penelusuran traceability adalah downward dispersion dan upward dispersion. Menurut Dupuy et
24
al. 2002, downward traceability atau biasa disebut tracing, merupakan kapasitas, dimana pada supply chain, untuk menemukan asal usul dan karakteristik dari suatu produk dari satu atau beberapa kriteria yang ada. Sedangkan upward traceability atau biasa disebut tracking, merupakan kapasitas, dimana pada supply chain, untuk menemukan lokasi dari suatu produk dari satu atau beberapa kriteria yang ada. Tracing dan tracking akan membantu untuk melakukan recall produk.
Tahapan proses produksi D O W N W A R D D I S P E R S I O N
Pengkodean batch
Penerimaan bahan baku (Headless)
14 BU BT / HL
Pencucian 1
14 BU BT / HL
Sortasi
14 BU 4L SF B
14 BU 4L SF K
14 BU 3L SF B
14 BU 3L SF K
14 BU HLTB 26-30
14 BU AVAL
14 BU BROKEN
Penimbangan 1
14 BU 4L SF B
14 BU 4L SF K
14 BU 3L SF B
14 BU 3L SF K
14 BU HLTB 26-30
14 BU AVAL
14 BU BROKEN
Pencucian 3
14 BU 4L SF B
14 BU 4L SF K
14 BU 3L SF B
14 BU 3L SF K
14 BU HLTB 26-30
14 BU AVAL
14 BU BROKEN
Pengupasan
14 BU 4L SF B
14 BU 4L SF K
14 BU 3L SF B
14 BU 3L SF K
14 BU HLTB 26-30
14 BU AVAL
14 BU BROKEN
Pembuangan kotoran
14 BU 4L SF B
14 BU 4L SF K
14 BU 3L SF B
14 BU 3L SF K
14 BU HLTB 26-30
14 BU AVAL
14 BU BROKEN
Pencucian 4
14 BU 4L SF B
14 BU 4L SF K
14 BU 3L SF B
14 BU 3L SF K
14 BU HLTB 26-30
14 BU AVAL
14 BU BROKEN
Penggoresan perut
14 BU 4L SF
5
14 BU 3L SF
7
Stretching
14 BU 4L SF
5
14 BU 3L SF
7
Predust
14 BU 4L SF
5
14 BU 3L SF
7
Battering
14 BU 4L SF
5
14 BU 3L SF
7
Breading
14 BU 4L SF
5
14 BU 3L SF
7
penyusunan dalam tray
14 BU 4L SF
5
14 BU 3L SF
7
Penimbangan 2
14 BU 4L SF
5
14 BU 3L SF
7
BLOK
25
U P W A R D D I S P E R S I O N
Final checking
14 BU 4L SF
5
14 BU 3L SF
7
Pembekuan
14 BU 4L SF
5
14 BU 3L SF
7
Metal detecting and weight
14 BU 4L SF
14 BU 3L SF
Checking filth
14 BU 4L SF
14 BU 3L SF
2010.08.19
2010.08.19
2010.08.19 I . BU . D
2010.08.19 I . BU . C
2010.08.19 I . BU . D
2010.08.19 I . BU . C
2010.08.19 I . BU . D
2010.08.19 I . BU . C
Pengemasan dalam polibag Pengemasan dalam master carton Pengemasan dalam cold storage
Stuffing
Berbagai macamsecara bahanumum baku traceability akan memberikan berbagai macam komponen Gambar 5 Gambaran pada tahapan proses produksi dan cara penelusurannya yang digunakan sehingga produk akhir pun akan beragam. Ini akan menjadi masalah Berbagai macam bahan baku akan memberikan berbagai macam komponen yang digunakan sehingga produk akhir pun akan beragam. Ini akan menjadi masalah yang akan diamati. Jika permasalahan keamanan pangan berasal dari bahan baku, maka perusahaan harus melakukan downward dispersion dan recall semua produk yang menggunakan bahan baku. Jika permasalahan berhubungan dengan produk akhir, maka perusahaan harus melakukan upward dispersion pada bahan baku dan recall semua produk akhir. Sehingga untuk meminimalkan pengeluaran biaya pada permasalahan keamanan pangan, perusahaan harus meminimalkan recall produk.
3.3 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan pada penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer yang digunakan antara lain data pada proses produksi, antara lain jumlah batch bahan baku, batch komponen, dan batch produk jadi, serta banyaknya batch-batch tersebut dalam satuan kg. Sedangkan data sekunder yang
26
digunakan antara lain data tentang keadaan umum perusahaan dan hal-hal yang berkaitan dengan perusahaan. Data sekunder ini diperoleh dari PT X.
3.4 Tahapan Penelitian Langkah awal penelitian ini adalah diamatinya proses produksi. Start
Pengamatan proses produksi
Pengidentifikasian mixed batch
Pengumpulan Data
Tidak Data lengkap
Ya Analisis deskriptif proses produksi produk udang breaded
Analisis batch dispertion
Finish Gambar 6 Diagram tahapan metode penelitian Proses produksi yang diamati menyangkut pada bagian bahan baku, komponen, dan produk akhir. Kemudian diidentifikasi mixed batch lalu dikumpulkan data yang dibutuhkan. Setelah data yang dibutuhkan terkumpul dan telah lengkap, maka dilakukan analisis data. Alur tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 6.
27
3.5 Metode Pengambilan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengumpulan data primer dan data sekunder. 3.5.1 Pengumpulan data primer Kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data primer, yakni : a. Observasi, yaitu pengamatan secara langsung proses produksi udang black tiger (Penaeus monodon). b. Pengambilan data, yaitu pengambilan data dari tiga level dispersi (bahan baku, komponen, dan produk jadi). c. Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab dengan pihak-pihak yang berhubungan secara langsung dengan kegiatan proses produksi udang breaded black tiger (Penaeus monodon) serta pimpinan perusahaan dan karyawan PT X. d. Partisipasi langsung, yaitu mengikuti secara aktif kegiatan dan pelaksanaan proses produksi udang breaded black tiger (Penaeus monodon) di PT X. 3.5.2 Pengumpulan data sekunder Kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data sekunder, yakni : a. Mengumpulkan data dan informasi dari perusahaan, lembaga dan instansi terkait dalam kegiatan penelitian ini. b. Studi pustaka dari berbagai literatur tentang proses produksi udang breaded black tiger (Penaeus monodon) sebagai pelengkap dan pembanding dalam penulisan laporan.
3.6 Metode Analisis Data Metode analisis data pada penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan analisis batch dispersion. 3.6.1 Analisis deskriptif Analisis deskriptif dilakukan dengan mendeskriptifkan keadaan umum PT X dan setiap tahapan proses produksi produk udang breaded black tiger (Penaeus monodon)
28
3.6.2 Analisis batch dispersion Analisis batch dispersion dilakukan dengan menggunakan model MILP (Mix Integer Linear Programming). Model ini merupakan suatu masalah optimasi yang memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut (Winston 1995) : a. Tujuan masalah tersebut adalah memaksimumkan atau meminimalkan suatu fungsi linear dari sejumlah variable keputusan. Fungsi yang akan dimaksimumkan atau diminimumkan ini disebut fungsi objektif. b. Nilai variabel-variabel keputusannya harus memenuhi himpunan kendala. Analisis ini kemudian dilanjutkan dengan analisis model metode branch and bound dengan menggunakan software LINGO 8.0. 3.6.2.1 Model penelitian Model matematika pada penelitian ini berasal dari Dupuy et al. (2005). Tabel 3 Notasi data-data pada model matematika Data TRM(i) TFP(k) QRM(i) QFPk) TCOMP(j) M N P Q S Vhv
Keterangan Tipe dari batch bahan baku i Tipe dari batch produk akhir k Banyaknya batch bahan baku i (kg) Banyaknya batch produk akhir k (kg) Tipe dari batch komponen j Jumlah batch bahan baku Jumlah batch komponen Jumlah batch produk akhir Jumlah batch komponen yang dibeli Jumlah batch komponen dari tipe yang berbeda Nilai tertinggi
Model matematika ini terdiri dari 11 persamaan model matematika. Setiap model matematika memiliki maksud dan tujuan tertentu. Pada model matematika ini terdapat notasi data-data dan notasi variabel. Tabel 3 menunjukkan notasi data-data . Sedangkan Tabel 4 menunjukkan notasi variabel-variabel pada model matematika ini. Notasi variabel-variabel ini antara lain Y(i,k) yang merupakan persamaan variabel, xBF(l,k), xRC(i,j), xCF(j,k) merupakan persamaan variabel biner, dan QRC(i,j), QBF(l,k), QCF(j,k), QCOMP(j) merupakan variabel yang menunjukkan banyaknya batch (kg).
29
Tabel 4 Notasi variabel-variabel pada model matematika Variabel Y(i,k)
xBF(l,k)
xRC(i,j) xCF(j,k)
QRC(i,j) QBF(l,k) QCF(j,k) QCOMP(j)
Keterangan Persamaan variabel, bernilai 1 jika batch bahan baku i digunakan pada batch produk akhir k dan bernilai 0 jika batch bahan baku i tidak digunakan pada batch produk akhir k Persamaan variabel biner, bernilai 1 jika batch komponen yang dibeli l digunakan pada batch produk akhir k dan bernilai 0 jika batch komponen yang dibeli l tidak digunakan pada batch produk akhir k Persamaan variabel biner, bernilai 1 jika batch bahan baku i digunakan pada batch komponen j dan bernilai 0 jika batch bahan baku i tidak digunakan pada batch komponen j Persamaan variabel biner, bernilai 1 jika batch komponen j digunakan pada batch produk akhir k dan bernilai 0 jika batch komponen j tidak digunakan pada batch produk akhir k Variabel yang menunjukkan banyaknya batch bahan baku i yang digunakan pada batch komponen j (kg) Variabel yang menunjukkan banyaknya batch membeli komponen l yang digunakan pada batch produk akhir k (kg) Varibel yang menunjukkan banyaknya batch komponen j yang digunakan pada batch produk akhir k (kg) Variabel yang menunjukkan banyaknya batch komponen j (kg)
Model matematika pada penelitian ini terdiri dari beberapa persamaan. Fungsi objektif (1) digunakan untuk menghitung batch dispertion minimum. Ini merupakan jumlah antara bahan baku dan produk akhir (Y(i,k)) dan dispersi yang bertujuan untuk membeli komponen xBF(l,k). Minimize Z =
( , )+
(, )
(1)
Dalam suatu proses industri, jumlah hendaknya dapat dihemat. Kendala yang ditunjukkan pada persamaan (5) mengungkapkan bahwa banyaknya batasan total dari batch bahan baku yang digunakan pada batch komponen. Ketika kendala banyaknya batch komponen hanya berasal dari batch bahan baku, hal ini ditunjukkan pada persamaan (2). Kendala yang ditunjukkan pada persamaan (4) mengungkapkan bahwa banyaknya batasan total dari batch komponen yang digunakan pada batch produk akhir. Ketika kendala banyaknya batch produk akhir hanya berasal dari batch
30
komponen dan/atau batch komponen yang dibeli, hal ini ditunjukkan pada persamaan (3). ( )=
( )=
( , ) ∀ = 1, … ,
( , )+
( , )=
( , )=
(, )
(2)
∀ = 1, … ,
( ) ∀ = 1, … ,
(3)
(4)
( ) ∀ = 1, … ,
(5)
Persamaan (6) sampai (8) menunjukkan bahwa variabel biner xRC, xCF, dan xBF merupakan persamaan yang bernilai 1 jika masing-masing QRC, QCF, dan QBF memiliki nilai. (, )
(, ) (, )
( , )
( , )
( , ) ( , ) ( , )
(, )
(, ) ( , )
(, )
, ∀ = 1, … ,
(6)
∀ = 1, … , , ∀ = 1, … ,
(7)
∀ = 1, … ,
∀ = 1, … , , ∀ = 1, … ,
(8)
Persamaan (9) digunakan untuk menentukkan Y(i,k) dimana persamaan akan bernilai 1, jika batch bahan baku i digunakan pada batch produk akhir k. Y(i,k) tidak didefinisikan sebagai persamaan biner karena merupakan fungsi objektif yang bertujuan untuk meminimumkan, sehingga secara otomatis nilainya 1 atau 0. Jika xRC dan xCF persamaannya bernilai 1, hal ini yang memungkinkan nilai Y(i,k) adalah 1. Jika tidak, maka nilai Y(i,k) akan menjadi 0 pada fungsi objektifnya. ( , )+
( , )≤ ( , )+1
∀ = 1, … , , ∀ = 1, … ,
∀ = 1, … ,
, (9)
Model matematika ini dapat menentukan solusi yaitu downward dispersion atau upward dispersion. Downward dispersion atau tracing merupakan penelusuran yang dilakukan jika terjadi permasalahan pada bahan baku, sedangkan upward dispersion atau tracking merupakan penelusuran yang dilakukan jika terjadi
31
permasalahan pada produk akhir. Downward dispertion pada bahan baku ini ditunjukkan pada persamaan (10) dan upward dispertion pada produk akhir ditunjukkan pada persamaan (11). D_DISP( ) =
(, )
U_DISP( ) =
( , )+
(10)
(, )
(11)
3.6.2.2 Pengolahan data Optimasi traceability dalam industri pengolahan udang breaded black tiger (Penaeus monidon) dengan pendekatan konsep batch dispertion, menggunakan software LINGO 8.0 (Linear Interactive and Global Optimizer) untuk pengolahan data. Software LINGO 8.0 merupakan sebuah program yang didesain untuk menentukan solusi linear, nonlinear, dan optimasi integer menjadi lebih cepat, mudah, dan lebih efisien.
32
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Umum PT X Perusahaan ini didirikan pada tanggal 4 Maret 1998 dan mulai beroperasi pada tanggal 26 Juli 1999 dengan memproses udang beku, seperti udang mentah beku (Frozen Shrimp), udang masak beku (Frozen Cooked Shrimp) dan udang breaded beku (Frozen Breaded Shrimp) serta sejak saat itu pula perusahaan sudah memiliki peralatan produksi sendiri. Akan tetapi sejak tahun 2007 kegiatan ekspor udang mentah beku dihentikan dan dialihkan dalam bentuk produk olahan udang masak beku dan breaded seperti katei, tsummame, ebi katsu, dan ebi furai. Hal ini disebabkan karena berkurangnya permintaan dari konsumen di negara-negara pengekspor. Perusahaan dipimpin oleh seorang plant manager yang membawahi berbagai kepala bagian, seperti asisten plant manager, kepala bagian keuangan, kepala bagian personalia, kepala bagian produksi, kepala bagian pembalian, kepala bagian mekanik, dan kepala bagian quality control. Masing-masing kepala bagian mempunyai bawahan yang menjalankan tugas-tugasnya sampai kepada tingkat operasional. Sedangkan karyawan yang dimiliki oleh PT X saat ini sebanyak 299 orang, yang terdiri dari karyawan tetap sebanyak 138 orang (54 orang laki-laki dan 84 orang perempuan) dan karyawan tidak tetap sebanyak 161 orang (13 orang laki-laki dan 148 orang perempuan). Berdasarkan sistem penggajian, karyawan PT X dibagi menjadi 4 golongan, yaitu karyawan harian, karyawan bulanan tetap, karyawan bulanan honorer dan karyawan borongan. 4.1.1 Lokasi perusahaan PT X berlokasi di Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Lokasi PT X yang terletak di daerah yang dekat dengan pemukiman penduduk telah memberikan dampak positif maupun negatif terhadap masyarakat di sekitarnya. Dampak positif bagi masyarakat adalah banyaknya masyarakat sekitar yang menjadi tenaga kerja di PT X, sehingga dapat mengurangi pengangguran dan dapat membantu meningkatkan perekonomian masyarakat, sedangkan dampak negatif bagi masyarakat
33
adalah pembuangan limbah cair perusahaan yang tidak melalui proses penyaringan dapat menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan sekitar perusahaan. Dampak negatif ini telah diatasi dengan memperbaiki sistem pembuangan limbah cair melalui beberapa kali proses penyaringan. 4.1.2 Fasilitas bangunan Fasilitas bangunan PT X terdiri dari bangunan utama pabrik, gudang produksi, tempat penampungan limbah, bengkel, dan mess karyawan. Bangunan utama pabrik terbagi menjadi beberapa bagian, antara lain: 1. Ruang rapat (meeting) Ruang rapat (meeting) merupakan ruangan yang digunakan oleh para staf ketika rapat (meeting). Ruangan ini juga merupakan tempat penyimpanan rekamanrekaman (record keeping) yang berkaitan dengan proses produksi dan HACCP-plan. 2. Ruang kantor Ruang kantor merupakan ruangan tempat direktur dan stafnya bekerja. Ruangan ini memiliki sekat kaca yang mengarah langsung ke ruang produksi sehingga memudahkan dalam proses pengawasan terhadap karyawan yang bekerja di ruang produksi. 3. Ruang penerimaan bahan baku (raw material receiving area) Ruangan ini merupakan tempat penerimaan udang yang didatangkan dari tambak yang berasal dari berbagai macam daerah yang diangkut dengan menggunakan box fiberglass oleh truk atau mobil bak terbuka berinsulasi. Ruangan ini juga merupakan tempat pencucian awal udang untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada tubuh udang sebelum ditimbang dan diproses di ruang produksi. 4. Ruang produksi (processing area) Ruang produksi (processing area) merupakan tempat pengolahan udang menjadi berbagai macam produk sesuai dengan permintaan konsumen. Ruangan ini terbagi menjadi beberapa area, diantaranya yaitu: a. Area pemotongan kepala, yaitu tempat pemotongan kepala udang yang dilakukan secara manual oleh para karyawan.
34
b. Area sizing, yaitu tempat pengelompokan ukuran (size) udang agar homogen dan dapat memenuhi kebutuhan pembeli yang dilakukan secara manual oleh para karyawan. Area ini terdiri dari area manual sizing dan conveyor sizing. c. Area pengupasan, yaitu tempat udang dikupas cangkangnya. Pengupasan ini hanya dilakukan untuk produk udang sesuai permintaan konsumen. d. Area penimbangan, yaitu tempat penimbangan udang agar diperoleh berat bersih udang yang sesuai dengan kebutuhan pembeli. Ruang produksi juga dilengkapi dengan beberapa ruangan lain, antara lain: a. Ruang es keping (flake ice), yaitu ruangan tempat pembuatan dan penyimpanan es keping yang akan digunakan dalam proses produksi. b. Ruang PTO (Peeled Tail On), yaitu ruangan tempat udang dibelah dan digencet dengan menggunakan alat yang digunakan secara manual, yang kemudian akan dilanjutkan ke proses pemaniran (breaded). c. Ruang batter mix, yaitu ruangan tempat pecampuran tepung dan bumbubumbu lain yang kemudian digunakan sebagai batter dalam pembuatan ebi panko, katei, summit, shin kaisen, d speck. d. Ruang breaded, yaitu ruangan tempat pembuatan produk-produk breaded (berpanir tepung roti). e.
Ruang pembekuan (freezer), yaitu ruangan tempat produk-produk dibekukan sehingga diperoleh suhu pusat produk ≤-18oC. Ruang pembekuan yang dimiliki PT X ada 2 jenis, yaitu contact plate freezer dan air blast freezer.
f. Ruang pendinginan (cold storage), yaitu ruangan tempat menyimpan udang yang belum diolah atau produk yang sudah jadi namun belum dilakukan pengemasan. Ruangan ini dapat mempertahankan suhu udang atau produk tetap ≤-18oC. Alat pemantau suhu terdapat di bagian luar ruang penyimpanan beku (cold storage). g. Ruang pendeteksian logam, yaitu ruangan tempat produk-produk yang telah jadi dideteksi dengan alat pendeteksi logam (metal detector) untuk memastikan bahwa produk tidak mengandung bahan asing dan metal. h. Ruang pengepakan (packing area), yaitu ruangan tempat pengepakan produk.
35
i.
Ruang pemuatan (stuffing area), yaitu ruangan tempat pemuatan produk yang telah melalui tahap pengepakan dan disimpan di dalam cold storage untuk selanjutnya diangkut ke dalam container untuk diekspor atau dijual di dalam negeri.
j.
Ruang mesin (machine room), yaitu ruangan tempat operasi mesin yang letaknya berdekatan dengan coldstorage agar operasi mesin-mesin yang terdapat di ruang produksi dapat terkontrol dengan baik.
5. Laboratorium uji Laboratorium uji merupakan laboratorium yang digunakan untuk memeriksa sampel bahan baku, produk yang telah jadi, air dan es serta peralatan-peralatan yang digunakan bebas dari kontaminasi bakteri dan residu antibiotik. Uji yang dilakukan di dalam laboratorium ini adalah uji Total Plate Count (TPC), uji Escherichia coli, uji Coliform,
uji
Staphylococcus
aureus,
uji
Vibrio
cholerae,
uji
Vibrio
parahaemolyticus, dan uji Salmonella. Laboratorium ini letaknya berdekatan dengan ruang produksi dan ruang kantor. 6. Fasilitas bangunan lainnya Perusahaan ini juga dilengkapi oleh gudang produksi yang bangunannya terpisah dari bangunan utama pabrik. Gudang produksi ini terdiri atas 2 ruangan, yaitu ruangan bahan-bahan kering (warehouse) dan ruangan bahan kimia (chemical warehouse) atau dry storage. Ruangan bahan-bahan kering (warehouse) berfungsi untuk menyimpan alat-alat produksi dan pengepakan, seperti timbangan, kertas label, plastik polybag, inner carton, dan master carton. Ruangan ini juga digunakan untuk menyimpan obat-obatan untuk pertolongan pertama bagi karyawan yang mengalami kecelakaan kerja. Sedangkan ruangan bahan kimia (chemical warehouse) atau dry storage berfungsi untuk menyimpan bahan kimia yang digunakan untuk proses produksi. Tempat penampungan limbah di PT X terletak di area paling belakang perusahaan. Tempat penampungan limbah padat berupa bak tertutup dan tempat penampungan limbah cair berupa bak instalasi yang tertutup pula. Mess karyawan
36
merupakan mess yang disediakan bagi staf yang berasal dari luar daerah yang memiliki rumah yang letaknya berjauhan dengan perusahaan. 4.1.3 Fasilitas produksi Perusahaan menyediakan fasilitas produksi baik bahan maupun peralatan untuk memperlancar jalannya proses produksi. Peralatan produksi yang digunakan oleh PT X, antara lain: 1. Meja kerja Meja kerja merupakan meja yang digunakan untuk melakukan proses produksi udang. Meja kerja di ruang produksi berbeda-beda baik jenis maupun ukurannya. Hal ini disesuaikan menurut fungsi atau kegunaannya dalam proses produksi. Meja kerja terbuat dari bahan plastik, stainless steel dan fiber glass yang tahan karat dan mudah dibersihkan. PT X memiliki 5 macam meja kerja, antara lain: a. Meja dengan ukuran (236 x 170 x 82) cm3, terbuat dari fiber, digunakan untuk tempat pemotongan kepala. b. Meja dengan ukuran (210 x 138 x 100) cm3, terbuat dari stainless steel, digunakan untuk tempat melakukan sortasi yang meliputi ukuran, mutu dan warna. c. Meja dengan ukuran (210 x 138 x 100) cm3, terbuat dari fiber, digunakan untuk tempat melakukan sortasi final yang meliputi ukuran, mutu dan warna. d. Meja dengan ukuran (106 x 62 x 76) cm3, terbuat dari stainless steel, digunakan untuk meja pengemasan. 2. Bak penampungan Bak ini digunakan untuk menampung udang, es dan tutup long pan. PT X memiliki 4 macam bak penampungan, antara lain: a. Bak plastik ukuran (90 x 35 x 42) cm3, digunakan untuk menyimpan tutup long. b. Pan. c. Bak fiber ukuran (110 x 55 x 70) cm3, digunakan untuk menampung dan tempat mencuci udang pada saat pembongkaran.
37
d. Bak fiber dan stainless steel ukuran (90 x 50 x 70) cm3, digunakan untuk menampung es. e. Bak fiber ukuran (360 x 60 x 75) cm3, digunakan untuk mencuci udang setelah dilakukan pemotongan kepala. 3. Pan pembeku Pan pembeku merupakan wadah yang terbuat dari stainless steel dan digunakan sebagai wadah produk selama proses pembekuan. PT X memiliki 2 macam pan pembeku, antara lain: a. Pan pembeku berukuran (28 x 16 x 6) cm3, digunakan untuk membekukan udang. b. Pan pembeku dilengkapi dengan penutup yang berukuran (28 x 18 x 9) cm3. 4. Keranjang plastik Keranjang ini digunakan untuk menampung udang ketika proses produksi. Selain tidak berkarat, keranjang ini juga ringan dan mudah untuk dibersihkan. PT X memiliki beberapa macam keranjang plastik, antara lain: a. Keranjang ukuran (68 x 50 x 38) cm3, digunakan untuk mengangkut udang dari ruang penerimaan ke ruang pemotongan kepala. b. Keranjang ukuran (32 x 34 x 10) cm3, digunakan pada tahapan sortasi. c. Keranjang ukuran (38 x 30 x 14) cm3, digunakan untuk menampung kepala hasil pemotongan. 5. Timbangan Timbangan digunakan untuk mengetahui berat udang awal, berat udang setelah diproses, serta berat udang pada saat proses pengepakan. Timbangan yang digunakan dalam proses produksi adalah timbangan digital. Timbangan ini dikalibrasi setiap tahunnya. PT X memiliki 4 macam timbangan, antara lain: a. Timbangan besar berkapasitas 150 kg, digunakan untuk menimbang udang yang diterima dan setelah selesai pemotongan kepala. b. Timbangan kecil berkapasitas 10 kg, digunakan untuk proses pengambilan contoh (sampling) di ruang penerimaan dan ruang produksi.
38
c. Timbangan kecil berkapasitas 3 kg dan 6 kg, digunakan untuk menimbang udang per pan. 6. Mesin pembeku (freezer) Mesin pembeku ini digunakan untuk membekukan produk udang. Mesin pembeku yang digunakan PT X, antara lain: a. Satu unit Contact Plate Freezer (CPF), berkapasitas masing-masing 336 inner pan x 1,8 kg, dengan media pendingin amoniak. Suhu pembekuan -300C sampai -400C dan waktu pembekuan selama 150 menit. b. Satu unit Air Blast Freezer (ABF), berkapasitas 2500 kg per hari dengan media pendingin amoniak. Suhu pembekuan -300C sampai -400C dan waktu pembekuan selama 25-30 menit. Mesin pembeku ini terdiri dari 5 rak bertingkat, masing-masing rak memiliki kapasitas 1080 tray, sehingga dalam 5 rak mampu menampung 5400 tray. 7. Bahan pengemas Bahan pengemas yang digunakan PT X terdiri dari 3 lapisan, antara lain: a. Kemasan primer, terdiri dari plastik polyethylen dengan ukuran (48,5 cm x 45 cm). b. Kemasan sekunder, terbuat dari karton yang dilapisi lilin pada kedua permukaannya, disebut juga inner carton dengan ukuran (28 x 19 x 6) cm3. c. Kemasan tersier, disebut juga master carton yang dilapisi lilin pada bagian dalam dan mempunyai ukuran (39 x 30 x 20) cm3. 8. Ruang penyimpanan beku (cold storage) Ruang penyimpanan beku yang dimiliki oleh PT X ada 3 buah. Kapasitas tiap ruang penyimpanan adalah 11.770 master carton dengan suhu operasi -25˚C. 9. Peralatan lain a. Lori (Load Transfer Trolley) atau kereta dorong, digunakan untuk mengangkat udang dari proses satu ke proses yang lainnya sehingga memudahkan jalannya produksi serta untuk mengangkut master carton yang berisi produk pada saat proses stuffing.
39
b. Mesin pengikat, digunakan untuk mengikat master carton dengan lakban dan strapping band. c. Mesin vakum, digunakan untuk membuat kemasan plastik hampa udara sehingga plastik merekat pada udang. d. Metal detector, digunakan untuk mendeteksi bahan asing dan logam pada produk. e. Sekop, terbuat dari plastik untuk mengambil es keping. f. Cukitan, digunakan untuk membuang usus pada udang. g. Fiber Box, merupakan wadah yang berbentuk persegi panjang dan terbuat dari bahan fiber. Fiber box ini digunakan untuk menyimpan es curai (flake ice) yang akan digunakan dalam proses produksi. h. Tong penampung air, digunakan untuk menampung air yang digunakan untuk mencuci alat-alat produksi. i. Pallet, digunakan sebagai alas lantai yang diletakkan di lorong yang menuju pintu masuk ruang produksi sehingga kaki tidak bersentuhan langsung dengan lantai. 4.1.4 Fasilitas penunjang Fasilitas penunjang yang digunakan di PT X antara lain: 1. Mesin pembuat es keping dengan kapasitas 25 ton/hari, mesin dilengkapi dengan gudang es dan diletakkan di ruang pengolahan untuk mempermudah dalam mengambil es. 2. Kompresor digunakan untuk operasi mesin pembeku, mesin pembuat es keping, pendingin ruangan dan penyimpanan beku. 3. Listrik, sumber listrik berasal dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan generator pembangkit listrik milik perusahaan. 4. Water chiller, digunakan untuk menampung air dingin dengan kapasitas 14.526 liter/hari. 5. Chain conveyor, digunakan untuk transportasi udang yang telah disusun ke bagian pembekuan.
40
6. Tempat cuci tangan dan kaki, digunakan untuk membersihkan tangan dan kaki ketika akan memasuki ruang proses maupun untuk mencuci tangan ketika proses berlangsung. 7. Toilet, terdapat dalam jumlah yang cukup memadai sesuai dengan jumlah karyawan. Jumlah toilet ada 16 buah. 8. Ruang ganti, digunakan untuk mengganti baju seragam ketika akan memasuki atau meninggalkan ruang proses. 9. Rak sepatu, digunakan untuk meletakkan sepatu agar tertata dengan rapi. 10. Loker, digunakan untuk menyimpan barang karyawan selama proses berlangsung.
4.2 Proses Produksi Perusahaan ini memasok bahan baku berupa udang yang berasal dari spesies Penaeus monodon (Black Tiger/Giant Tiger Prawn) dan Penaeus vannamei (Vannamei/Whiteleg Shrimp). Kedua jenis udang ini sering digunakan perusahaan dalam proses produksi, yang nantinya akan dijadikan beberapa jenis produk yang berbeda-beda. Pada penelitian ini hanya akan difokuskan pada udang black tiger (Penaeus monodon). Penaeus monodon yang biasa dikenal dengan istilah udang black tiger, merupakan salah satu jenis udang yang diekspor ke berbagai negara, diantaranya ke Jepang. Udang yang diekspor pun telah diolah menjadi produk udang breaded black tiger. Proses produksi udang breaded black tiger pada PT X, disajikan pada Gambar 7. Udang black tiger berasal dari beberapa supplier di berbagai daerah, antara lain Tangerang, Tarakan, dan beberapa daerah lainnya. Adapun kode supplier di PT X ini antara lain AI dan BU. AI merupakan kode supplier daerah Tangerang atas nama Hendra dan BU merupakan kode supplier daerah Tarakan atas nama Budi Utomo. Bahan baku yang diperoleh dari para supplier tersebut harus memenuhi kualitas standar yang ditentukan oleh perusahaan antara lain bahan baku merupakan udang segar yang baru dipanen dari tambak, udang tidak berbau lumpur, udang utuh dan tidak cacat, serta warna udang cerah, bau segar, daging kenyal, elastis, bening dan mengkilap.
41
Penerimaan bahan baku
Headon (HO)
Headless (HL)
Pencucian 1
Pencucian 1
Pemotongan kepala Pencucian 2
Sortasi
First quality, Second quality
Moulting, Aval, Broken
Size 16-50
Size 26-50
Penimbangan 1
Penimbangan 1
Pencucian 3
Pemasukan dalam bak
Pengupasan
Pencucian
Pembuangan kotoran
Penimbangan
Pencucian 4
Penyusunan
Penggoresan perut
Pembekuan
Stretching
Udang HL Blok
42
Predusting Battering Breading Penyusunan pada tray Penimbangan 2 Final checking Pembekuan Checking filth Metal detecting (CCP) and weight Pengesan dalam polibag Pengemasan dalam master carton Penyimpanan dalam cold storage Stuffing Gambar 7 Diagram alir proses produksi udang breaded black tiger PT X 4.2.1 Penerimaan bahan baku Proses penerimaan bahan baku dilakukan di area penerimaan. Kualitas bahan baku dicek dengan uji organoleptik yang dilakukan oleh Quality Control (QC). Apabila kualitas bahan baku tidak memenuhi standar maka bahan baku akan
43
dikembalikan namun apabila kualitas bahan baku telah memenuhi standar maka segera dilakukan pembongkaran untuk mencegah penurunan mutu produk. Udang dari boks pengangkutan dipindahkan ke keranjang plastik dan dicuci dengan air dingin. Udang yang masuk ke ruang penerimaan kemudian disampling, dengan tujuan untuk menjaga pengawasan mutu bahan baku. Adapun tahapan samping antara lain: a. Penimbangan sebanyak 1 kg udang diambil dari masing-masing keranjang. b. Udang yang telah ditimbang kemudian diletakkan di atas meja untuk dilakukan pemilihan dan penghitungan jumlah udang dengan tujuan untuk menentukan ukuran dan mutu udang. c. Penimbangan dilakukan dari masing-masing keranjang untuk mengetahui besarnya udang yang dijual oleh supplier. d. Udang yang telah ditimbang hasil sampling kemudian diuji mikrobiologi dan antibiotik. Tujuan dilakukan sampling adalah untuk memperoleh bahan baku dengan ukuran dan kualitas yang sesuai pesanan dari buyer. Dari ruang penerimaan, udang dibawa ke ruang produksi melalui pintu kecil yang diberi plastik curtain. Setiap keranjang udang di ruang produksi ditimbang kembali. Hal ini bertujuan untuk mencocokkan hasil timbangan di ruang penerimaan dengan hasil timbangan di ruang produksi untuk pengecekan berat total. Udang black tiger yang diterima berasal dari satu supplier. Hal ini menunjukkan bahwa satu supplier merupakan satu batch bahan baku. Udang yang diterima dapat berupa udang headon atau headless. Pada tahap ini bahan baku udang diberi kode sesuai spesies dan supplier. Adapun pengkodean proses penerimaan udang black tiger headon, disajikan pada Gambar 8.
BT / 14 BU Gambar 8 Kode pada tahap penerimaan bahan baku udang black tiger head on
44
Keterangan : BT 14 BU
: Jenis udang (Black tiger) : Tanggal penerimaan : Kode supplier (Budi Utomo) Sedangkan pengkodean penerimaan udang black tiger headless, disajikan
pada Gambar 9. 14 BU BT / HL Gambar 9 Kode udang black tiger headless Keterangan : 14 BU BT HL
: Tanggal penerimaan : Kode supplier (Budi Utomo) : Jenis udang (Black tiger) : Jenis udang setelah potong kepala (Headless)
4.2.2 Pencucian 1 Proses pencucian dilakukan untuk membersihkan udang dari kotoran, bendabenda asing seperti plastik dan logam, serta mengurangi kontaminasi mikroba. Pencucian dilakukan sebanyak 3 tahap menggunakan air PDAM. Tahap pencucian pertama menggunakan air dingin dengan kualitas air minum. Tahap kedua menggunakan air klorin dingin dengan konsentrasi 150-200 ppm dan tahap ketiga dilakukan pembilasan dengan menggunakan air dingin. Selain itu, pada proses pencucian
ini
juga
dilakukan
pengadukan
secara
berulang-ulang
dengan
menggunakan sekop plastik selama 30 detik. Pengkodean pada proses ini sama halnya dengan proses sebelumnya, seperti yang disajikan pada Gambar 8 dan 9. 4.2.3 Pemotongan kepala Proses pemotongan kepala dilakukan untuk produk berbentuk headless. Proses pemotongan kepala ini dilakukan secara manual. Tahap ini dilakukan secara hati-hati dan cepat untuk mencegah kerusakan. Sarung tangan yang tebal digunakan karyawan sebagai pelindung agar tidak melukai jari dan udang yang diproses.
45
Pengkodean pada proses pemotongan kepala sama halnya dengan pengkodean pada Gambar 9. 4.2.4 Pencucian 2 Udang headless kemudian dicuci kembali. Proses pencucian ini sama halnya dengan proses pencucian sebelumnya yaitu pencucian sebanyak 3 tahap. Hal yang membedakan hanyalah konsentrasi klorin yang digunakan yaitu 100-150 ppm. Pengkodean pada proses ini juga sama seperti proses sebelumnya, yang disajikan pada Gambar 9. 4.2.5 Sortasi Proses sortasi merupakan proses pembagian udang ke dalam beberapa kategori sesuai ukuran. Proses sortasi dilakukan dengan menggunakan mesin atau manual. Hal ini tergantung banyaknya bahan baku yang diterima. Proses sortasi ini nantinya akan menentukan pembagian batch-batch komponen yang berasal dari batch bahan baku pada proses penerimaan bahan baku sebelumnya. Tabel 5 menunjukkan pembagian batch komponen, dimana pembagian ini berdasarkan ukuran size yang disesuaikan dengan kode pembagian batch komponennya. Keterangan yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan makna dari kode batch komponen, yang menampilkan ukuran berat (L, 2L, 3L, 4L) dan jenis produk akhir yang nantinya akan dihasilkan (shin fresh, summit, shin kaisen, dan d speck) yang berasal dari udang black tiger first quality dan second quality. Pengkodean proses sortasi ini disajikan pada Gambar 10. 14 BU 4L SF B Gambar 10 Kode pada proses sortasi Keterangan : 14 BU 4L SF B
: Tanggal penerimaan : Kode supplier (Budi Utomo) : Ukuran udang : Jenis produk akhir (Shin fresh besar)
46
Tabel 5 Pembagian batch komponen Kode ukuran
4L
3L
2L L
Jenis produk
SF B SF K SMT DY SF B SKN B SF K SKN K SF SKN SF B SKN B SF K SKN K SF SKN HLTB M HLTB M HLTB M AVAL BROKEN
Kode pembagian batch komponen 4L SF B 4L SF K SMT DY 3L SF B 3L SKN B 3L SF K 3L SKN K 2L SF 2L SKN L SF B L SKN B L SF K L SKN K L SF L SKN HLTB M HLTB M HLTB M AVAL BROKEN
Keterangan
4L Shin fresh besar 4L Shin fresh kecil Summit D speck 3L Shin fresh besar 3L Shin kaisen besar 3L Shin fresh kecil 3L Shin kaisen kecil 2L Shin fresh 2L Shin kaisen L Shin fresh besar L Shin kaisen besar L Shin fresh kecil L Shin kaisen kecil L Shin fresh L Shin kaisen Headless Tiger black moulting Headless Tiger black moulting Headless Tiger black moulting Aval Broken
Size
16-20 21-25 26-30 (B) 26-30 (K) 26-30 (B) 26-30 (K) 26-30 (K) 26-30 (K) 31-35 31-35 36-40 36-40 41-45 41-45 46-50 46-50 26-30 31-40 41-50 -
4.2.6 Penimbangan 1 Udang ditimbang setelah proses sortasi. Pada setiap keranjang udang first quality dan second quality, diberi kode berupa jenis produk akhir, ukuran, tanggal penerimaan, dan kode supplier. Pengkodean ini sama halnya dengan proses sortasi, yang disajikan pada Gambar 10 sebelumnya. Sedangkan untuk udang dengan mutu moulting, aval, dan broken, dilakukan proses yang berbeda dari udang first quality dan second quality. Udang kualitas moulting merupakan udang yang mulai melunak, dimana bentuknya masih dalam bentuk headless. Udang kualitas aval merupakan udang yang telah mulai rusak bentuknya, sedangkan udang kualitas broken merupakan udang yang bentuknya rusak.
47
Udang moulting, aval, dan broken yang telah ditimbang sebelumnya, dimasukkan ke dalam bak besar. Bak besar ini adalah tempat penyimpanan udang sementara sebelum dicuci. Proses pencucian yang dilakukan, sama halnya dengan proses pencucian sebelumnya, dan konsentrasi klorin yang digunakan pun sama, yaitu 100-150 ppm. Udang yang telah dicuci kemudian ditimbang. Sebelum digunakan, timbangan dikalibrasi terlebih dahulu. Udang ditempatkan pada keranjang dan ditimbang sesuai kebutuhan pembeli (biasanya 1,8 kg). Udang yang telah ditimbang kemudian dipindahkan ke keranjang plastik dan diberi label dengan pengkodean yang disajikan pada Gambar 11.
14 BU AVAL 3,3 1,8 Gambar 11 Kode udang kualitas aval Keterangan : 14 : Tanggal penerimaan BU : Kode supplier AVAL : Jenis produk 3,3 : Ukuran per ekornya (gram) 1,8 : Ukuran per bloknya (gram) Udang kemudian disusun dalam inner pan berdasarkan bentuk dan ukurannya, untuk nantinya dibuat produk udang beku berbentuk blok. Label kode yang sebelumnya dibuat (Gambar 11), diletakkan di dasar inner pan dan kemudian ditambahkan air dingin. Inner pan pun lalu ditutup dengan penutup yang telah dilapisi plastik. Hal ini bertujuan untuk mencegah agar udang tidak menempel pada penutup inner pan. Tahap selanjutnya adalah inner pan tersebut disusun di atas long pan untuk dilakukan proses pembekuan, dimana satu long pan dapat memuat tiga inner pan. Long pan yang sudah berisi inner pan disusun di dalam lemari pembekuan. Satu lemari pembekuan dapat memuat 112 long pan. Proses pembekuan udang dilakukan pada Contact Plate Freezer (CPF) dengan suhu -25ºC selama 2,5 jam.
48
Udang yang telah dibekukan selam 2,5 jam dikeluarkan dari CPF lalu ditambahkan air dingin di atas blok-blok udang dan dibekukan lagi selama 30 menit. Udang headless blok nantinya dikemas dalam polibag dan master carton. Kemudian disimpan dalam cold storage. Udang headless blok ini nantinya akan digunakan kembali untuk diproses, tapi sebelumnya dicairkan dulu udang headless blok ini dengan cara didefrost. 4.2.7 Pencucian 3 Proses pencucian ini hanya untuk udang black tiger first quality dan second quality, yang prosesnya sama dengan pencucian sebelumnya. Tetapi konsentrasi klorin yang digunakan berbeda, yaitu 50-70 ppm. Pengkodean proses pencucian ini juga sama halnya dengan pengkodean sebelumnya, yang disajikan pada Gambar 10. 4.2.8 Pengupasan Pengupasan atau peeling pada proses pengolahan udang ini merupakan proses pengupasan kulit udang dari ruas pertama sampai ruas kelima. Ruas keenam dan ekornya tidak dikupas. Ini merupakan permintaan dari buyer yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Proses ini dilakukan secara manual, tetapi harus dilakukan secara cepat dan hati-hati serta selalu dijaga suhunya agar tetap dingin. Pengkodean proses ini masih sama dengan proses sebelumnya, yang disajikan pada Gambar 10. 4.2.9 Pembuangan kotoran Proses pembuangan kotoran atau deveining dilakukan dengan menggunakan pinset, yang bertujuan untuk membersihkan udang dari kotoran yang terdapat pada punggung udang. Sama halnya dengan proses sebelumnya, pengkodean proses ini pun juga sama seperti yang disajikan pada Gambar 10 sebelumnya. 4.2.10 Pencucian 4 Pada proses pencucian ini, konsentrasi klorin yang digunakan adalah 25-50 ppm. Prosesnya sama seperti proses pencucian sebelumnya, dimana terdiri dari 3 tahapan. Setelah dicuci, kemudian udang pun ditimbang kembali tanpa mengganti label kode yang disajikan pada Gambar 10.
49
4.2.11 Penggoresan perut Proses penggoresan perut (belly cut) bertujuan untuk memudahkan proses stretching. Proses ini dilakukan dengan cara memindahkan udang ke atas alat pengukur dan cepat digores bagian perut secara diagonal dengan pisau. Pengkodean proses ini berbeda dari pengkodean sebelumnya, karena adanya penggabungan batchbatch komponen menjadi batch produk akhir, walaupun ada juga batch komponen yang tidak digabungkan, karena batch komponennya hanya 1 jenis. Penggabungan batch ini pun disajikan pada Tabel 6 dan pengkodean proses penggoresan perut disajikan pada Gambar 12 dibawah ini.
14 BU 4L SF
5
Gambar 12 Kode pada proses penggoresan perut Keterangan : 14 BU 4L SF 5
: Tanggal penerimaan : Kode supplier (Budi Utomo) : Ukuran : Jenis produk akhir (Shin fresh) : Nomor aktifitas karyawan Aktifitas karyawan dinilai pada proses ini, sehingga terdapat pengkodean
berupa angka (1, 2, 3, 4, ..n) yang menunjukkan aktifitas kerja para karyawan perkelompoknya di ruang PTO (Pail Tail On). Label kode dengan angka 5 menunjukkan bahwa proses penggoresan perut dilakukan oleh kelompok 5. Dalam 1 kelompok biasanya terdiri dari 4-5 orang. Tabel 6 menunjukkan adanya penggabungan batch komponen menjadi batch produk akhir. Penggabungan ini menggabungkan udang ukuran berat yang sama baik itu besar atau pun kecil, misalnya batch komponen dengan kode 4L SF B digabung dengan kode 4L SF K menjadi batch produk akhir dengan kode 4L SF.
50
Tabel 6 Penggabungan batch komponen menjadi batch produk akhir Jenis produk akhir
Batch produk akhir 4L SF 3L SF
SF (Shin fresh)
2L SF L SKN
SMT (Summit)
SMT 3L SKN
SKN (Skin Kaisen)
2L SKN L SKN
DY (D Speck)
DY
BLOK
BLOK
Batch komponen 4L SF B 4L SF K 3L SF B 3L SF K 2L SF L SKN B L SKN K L SKN SMT 3L SKN B 3L SKN K 2L SKN L SKN B L SKN K L SKN DY HLTB HLTB M HLTB M HLTB M AVAL BROKEN
4.2.12 Stretching Stretching merupakan proses pelurusan udang. Proses ini dilakukan dengan memindahkan udang ke atas alat pengukuran dan segera di stretch dengan alat stretch. Panjang udang yang sudah di stretch diukur sesuai standar dan pengerjaannya juga masih perkelompok dalam ruangan PTO, sehingga kode aktifitas para karyawan masih digunakan seperti pada proses sebelumnya, sehingga pengkodean pada Gambar 12 juga masih digunakan. 4.2.13 Predusting Perusahaan ini menggunakan istilah predust dengan istilah uchiko. Predust yang digunakan pada proses produksi, berbeda-beda tergantung dengan jenis produk yang dihasilkan, seperti 22-11T yang merupakan predust yang diimpor dari Thailand. Adapun bahan lain yang digunakan sebagai predust, diantaranya batter binds, tepung
51
udang, dan tapioka. Selain itu, viskositas larutan predust juga berbeda-beda. Suhu predust dijaga tetap dingin agar kualitasnya tetap terjaga. Pengkodean proses ini juga sama dengan proses sebelumnya, tetapi pengkodean aktifitas karyawan berbeda ataupun sama walaupun masih sama-sama menggunakan kode angka. Hal ini disebabkan proses predusting tidak dilakukan di ruang PTO, tetapi di ruang breaded. Sehingga karyawan yang mengerjakannya juga berbeda kelompok. Akan tetapi, walaupun berganti kode aktifitas karyawan, pada proses sebelumnya, kode sebelumnya telah dicatat oleh petugas. Pengkodean ini disajikan pada Gambar 13.
14 BU 4L SF
5
Gambar 13 Kode pada proses predusting Keterangan : 14 BU 4L SF 7
: Tanggal penerimaan : Kode supplier (Budi Utomo) : Ukuran udang : Jenis produk akhir (Shin fresh) : Nomor aktifitas karyawan
4.2.14 Battering Battering merupakan proses pemberian adonan batter mix. Adonan ini menjadi adonan tepung pencelup. Adonan yang sudah dilapisi predust segera dicelupkan ke dalam batter mix. Sama hal dengan predust, jenis batter mix yang digunakan pun berbeda-beda tergantung jenis produk yang ingin dihasilkan. Produk summit, d speck, dan shin kaizen, batter mixnya diracik sendiri oleh PT AGS. Sedangkan Shin fresh, batter mixnya diimpor dari luar seperti 22-46T. Pengkodean proses ini sama halnya dengan proses sebelumnya, yang disajikan pada Gambar 13. 4.2.15 Breading Breader merupakan tepung pelapis paling akhir setelah adonan dicelupkan ke dalam batter mix. Breader yang digunakan adalah tepung roti (breadcrums), dimana
52
jenis tepung roti yang digunakan berbeda-beda, tergantung jenis produk yang akan diproduksi, seperi prabu orange, prabu white, dan Be6FR. Pengkodean masih sama dengan proses sebelumnya, yang disajikan pada Gambar 13. 4.2.16 Penyusunan pada tray Penyusunan pada tray dilakukan setelah udang selesai di predust, battering, dan breading. Penyusunan pada tray ini dilakukan dengan sangat hati-hati. Selalu diperhatikan kebersihan dari sisa tepung roti, kerapian dari tataan udang pada tray, dan memastikan ukurannya sesuai dengan tray. Pengkodean proses ini juga sama dengan proses sebelumnya, yang disajikan pada Gambar 13. 4.2.17 Penimbangan 2 Penimbangan dilakukan untuk memastikan ukuran setiap traynya telah sesuai standar yang telah ditetapkan oleh Perusahaan. Jika tidak sesuai dengan ukurannya, maka akan dikembalikan ke proses sebelumnya untuk memperbaiki ukuran setiap traynya. Pengkodeannya juga masih sama dengan proses sebelumnya karena pengerjaannya masih dalam ruang breaded. Pengkodean ini disajikan pada Gambar 13. 4.2.18 Final checking Final checking merupakan proses pengecekan terakhir sebelum udang dibekukan dan akhirnya dikemas. Pengecekan ini meliputi pengecekan kualitas produk akhir yang akan diproduksi, seperti bentuknya yang memanjang seperti pisang, ujung depannya berbentuk bulat, ekornya membuka dan tidak ada sisa roti, serta bentuk udang breadednya lurus. Pengkodean sama halnya dengan pengkodean, yang disajikan pada Gambar 13. 4.2.19 Pembekuan Pembekuan dilakukan dengan menggunakan Air Blast Freezer (ABF) dan suhu yang digunakan ≤18ºC. Semakin rendah suhu, maka akan semakin baik proses pembekuan, oleh karena itu selalu diperhatikan suhu pada ABF agar terkontrol. Sehingga suhu ABF selalu dicek oleh QC yang telah ditugaskan. Penyusunan rak yang berisikan tray, disusun dengan rapi pada ABF, dimana pada ABF ini terdapat 2 pintu. Pintu pertama berhubungan dengan ruang breaded. Sehingga setelah selesai
53
dicek, dan disusun dalam rak, maka rak berisi tray dimasukkan dalam ABF. Sedangkan pintu yang kedua berhubungan dengan ruang packing. Sehingga jika udang sudah beku, maka akan langsung dikeluarkan dari pintu tersebut dan akan dilanjutkan proses selanjutnya. Keluar masukknya rak pada ABF selalu dicatat sehingga memudahkan dalam penelusurannya. Pengkodean pun masih sama dengan kode sebelumnya, yang disajikan pada Gambar 13. 4.2.20 Checking filth Proses selanjutnya adalah pengecekan benda asing (filth) pada tray sebelum dilanjutkan pengecekan selanjutnya. Jika terdapat benda asing maka akan dilakukan pengecekan ulang dan mencari benda asing tersebut. Pada proses ini pengkodean aktifitas kerja para karyawan tidak lagi digunakan, karena telah dicatat oleh petugas. Pengkodean pada proses ini disajikan pada Gambar 14. 14 BU 4L SF Gambar 14 Kode pada proses checking filth Keterangan : 14 BU 4L SF
: Tanggal penerimaan : Kode supplier (Budi Utomo) : Ukuran udang : Jenis produk akhir (Shin fresh)
4.2.21 Metal detecting and weight checking Metal detecting and weight checking merupakan proses pada bagian packing. Ini merupakan proses pengecekan udang breaded sebelum di kemas. Pengecekan dilakukan menggunakan alat, dimana jika tidak sesuai dengan persyaratannya ukuran beratnya, maka udang akan ditolak dan dilakukan pengulangan total berat. Persyaratan ukuran berat udang balck tiger dalam kemasan tersebut disajikan pada Tabel 7.
54
Tabel 7 Ukuran berat udang breaded black tiger dalam kemasan Jenis produk Summit Shin kaisen size 4L Shin kaisen size 3L Shin kaisen size 2L Shin kaisen size L Shin fresh 3L Shin fresh 2L Shin fresh L D speck
Berat (gram) 473-523 463-513 393-433 324-354 265-285 334-347 274-289 222-237 217-225
Ukuran berat kemasan pada Tabel 7 adalah ukuran produk akhir per kemasan polibagnya, dimana dalam satu polibag terdapat 10 ekor udang per traynya. Pengkodean masih sama dengan proses sebelumnya, yang disajikan pada Gambar 14. 4.2.22 Pengemasan dalam polibag Pengemasan dalam polibag untuk setiap produk dan ukurannya masingmasing berbeda-beda. Hal ini disesuaikan dengan ukuran berat pengemasan udang breaded black tiger yang disajikan pada Tabel 7 sebelumnya. Pada proses ini, pengkodean yang disajikan Gambar 14 tidak lagi digunakan karena udang breaded black tiger telah dikemas dalam polibag. Gambar 15 menunjukkan pengkodean pengemasan dalam polibag. Kode 2010.08.19 menunjukkan bahwa produk diproduksi pada tanggal 19 Agustus 2010. 2010.08.19 Gambar 15 Kode pada pengemasan dalam polibag
Keterangan: 2010 08 19
: Tahun produksi : Bulan produksi : Tanggal produksi
4.2.23 Pengemasan dalam master carton Pada pengemasan dalam master carton terdapat kode yang harus diberikan.
55
2010.08.19 I . BU . D Gambar 16 Kode pada pengemasan master carton Gambar 16 menunjukkan kode pengemasan master carton. Kode tersebut menunjukkan bahwa produk diproduksi pada tanggal 19 Agustus 2010 dan akan habis masa simpannya hingga tanggal 19 Februari 2012, karena masa simpannya hanya 18 bulan. Penjelasan kode I . BU . D disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Pengkodean jam kerja pada kode supplier BU Kode periode waktu produksi
Periode waktu produksi
I
08.00 – 12.00
II
13.00 – 22.00
Kode jam produksi A B C D E F G H I J K L M N
Jam produksi
07.01 – 08.00 08.01 – 09.00 09.01 – 10.00 10.01 – 11.00 11.01 – 12.00 12.01 – 13.00 13.01 – 14.00 14.01 – 15.00 15.01 – 16.00 16.01 – 17.00 17.01 – 18.00 18.01 -19.00 19.01 – 20.00 20.01 – 21.00
4.2.24 Penyimpanan dalam cold storage Cold storage pada perusahaan ini telah menggunakan sistem FIFO (First In First Out). Perusahaan ini memiliki 2 cold storage, yaitu cold storage yang menyimpan bahan-bahan tambahan seperti jenis predust, batter mix, dan breadcrumbs. Sedangkan cold storage lainnya adalah cold storage yang menyimpan produk akhir hasil proses produksi. Penyimpanan produk dalam cold storage ini
56
dilakukan setelah produk dikemas dalam master carton, kemudian disusun sesuai tempatnya dengan rapi. Suhu cold storage ini lebih kurang 17ºC, yang bertujuan untuk menjaga kesegaran produk akhir maupun bahan-bahan tambahan yang digunakan saat proses produksi. Selain itu, pada saat pemasukkan produk akhir ke dalam cold storage, sebelumnya telah didata dan dicatat berapa banyak produk tersebut yang masuk. Sedangkan setiap pengambilan bahan-bahan tambahan selalu didata dan dicatat banyaknya jumlah yang diambil dari cold storage sebelum digunakan. 4.2.25 Stuffing Stuffing dilakukan pada saat ada permintaan dari buyer. Jika akan mengekspor ke luar negeri, biasanya digunakan truk yang berukuran lebih besar dari pada pemasaran ke lokal. Pada saat proses stuffing, dilakukan pengecekan jumlah produk jadi dan juga memperhatikan kualitas produk.
4.3 Optimasi Traceability Optimasi sistem traceability pada proses produksi, dapat dilakukan dengan memperhatikan pembagian jumlah batch pada proses produksi, yang meliputi batch bahan baku, batch komponen, dan batch produk akhir. 4.3.1 Pembagian batch Menurut Cimino et al. 2005, batch merupakan suatu unit pada proses produksi makanan dengan kondisi yang sama atau karakteristik yang sama seperti tipe, kategori, size, pengemasan, dan asal tempat bahan baku. Pembagian batch pada penelitian ini meliputi batch bahan baku, batch komponen, dan batch produk akhir. Batch bahan baku udang black tiger perharinya berasal dari satu supplier. Supplier ini tidak tetapi setiap harinya, bisa berbeda-beda tergantung ketersediaan udang pada supplier. Adapun batch bahan baku perharinya dan persuppliernya yang telah dikode, antara lain 12 AI, 14 AI, 14 BU, dan 16 BU. Batch komponen berasal dari batch bahan baku, dimana telah dibagi-bagi sesuai ukurannya dan jenis produk akhir yang akan dihasilkan. Pembagiannya batch komponen ini sebelumnya telah dijelaskan pada Tabel 5 sebelumnya, yaitu pada
57
proses sortasi. Batch bahan baku tidak harus dibagi menjadi kesemua batch komponen tersebut. Hal ini tergantung size awal yang telah dipesan perusahaan kepada supplier. Batch produk akhir merupakan batch yang berasal dari batch komponen, dimana terdapat batch-batch komponen yang digabungkan menjadi batch produk akhir. Penggabungan batch produk akhir ini sebelumnya telah dijelaskan pada Tabel 6 sebelumnya, yaitu pada proses penggoresan perut. Secara keseluruhan, ada 4 jenis produk udang breaded black tiger yang dimiliki PT X ini, yaitu SF (Shin fresh), DY (D speck), SMT (Summit), dan SKN (Shin kaisen). Tetapi beberapa produk seperti SF dan SKN memiliki pembagian beberapa ukuran lainnya. SF memiliki 4 jenis produk, yaitu 4L SF, 3L SF, 2L SF, dan L SF . 4L SF merupakan jenis produk SF yang paling besar. Sedangkan SKN memiliki 3 jenis produk, yaitu 3L SKN, 2L SKN, dan L SKN. L SKN merupakan jenis SKN yang paling kecil. 4.3.2 Analisis batch dispersion Batch dispersion merupakan penyebaran batch pada proses produksi. Penyebaran batch akan berhunbungan dengan traceability, karena penyabaran batch yang baik akan mempermudah dilaksankan traceability. Menurut International Standards Organisation 22005:2007 (ISO 22005:2007), traceability merupakan kemampuan untuk menelusuri pergerakan pakan atau makanan pada tahap produksi, proses, dan distribusi. Dengan adanya traceability, maka akan mempermudah suatu perusahaan untuk menelusuri suatu permasalahan. Penelitian ini bertujuan untuk mengoptimasikan sistem traceability pada proses produksinya (internal traceability). Menurut Moe (1998) Internal traceability merupakan penelusuran dengan melacak internal batch produk pada satu langkah dalam rantainya, misalnya pada proses produksi. Penelusuran ini pun memiliki batasbatas tertentu (Food Standards Agency 2002). Optimasi sistem traceability ini akan dilakukan dengan pendekatan konsep batch dispersion. Menurut Dupuy et al (2005), konsep batch dispersion digunakan untuk
melaksanakan
internal
traceability
pada
tahapan
produksi.
Dalam
pelaksanaanya, konsep ini menelusuri pembagian batch yang meliputi batch bahan
58
baku, batch komponen, dan batch produk akhir. Selain itu, juga diamati dan diperhatikan data dari setiap batchnya. Penelusuran produk dan data penting dilakukan untuk memajukan hubungan sistem traceability pada produk dan prosesnya serta memperhatikan lebih detail laporan rantai makanannya (Food Standards Agency 2002). PT X mendatangkan udang black tiger dari satu atau beberapa supplier yang telah memiliki hubungan kerja sama dengan perusahaan ini. Bahan baku jenis udang ini tidak selalu didatangkan setiap harinya, tetapi dihari-hari tertentu dimana bahan baku tersebut tersedia. Hal ini tergantung ketersediaan dan keadaan supplier. Biasanya, perusahaan ini pada saat bahan baku, hanya berasal dari satu supplier perharinya. Tetapi, terkadang bahan baku didatangkan dari dua supplier yang berbeda. Hal ini tergantung kebutuhan perusahaan dan permintaan buyer. Sehingga pada pemasukkan data menggunakan LINGO 8.0, data QRM (Quantity Raw Material) merupakan jumlah awal bahan baku masuk (dalam satuan kg) dan satu batch nya merupakan satu supplier perharinya. Batch produk akhir yang dihasilkan dari setiap batch bahan baku pun berbeda-beda. Hal ini tergantung jenis produk akhir yang ingin dihasilkan. Selain QRM, data lainnya yang dimasukkan ke dalam software LINGO 8.0 ini adalah QFP (Quantity Finish Product) yang merupakan jumlah produk akhir yang dihasilkan (dalam satuan kg). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode branch and bound. Prinsip dasar metode branch and bound adalah memecahkan daerah fisibel dari masalah LP-relaksasi dengan membuat subproblem-subproblem. Pada metode branch, daerah solusi dipartisi ke dalam beberapa subproblem. Tujuannya untuk menghapus daerah solusi yang tidak fisibel. Hal ini dicapai dengan menentukan kendala yang penting untuk menghasilkan solusi IP sehingga secara tidak langsung titik integer yang tidak fisibel terhapus. Dengan kata lain, hasil pengumpulan dari subproblem-subproblem yang lengkap menunjukan setiap titik integer yang fisibel dari masalah asli. Karena sifat alami partisi itu, maka proses tersebut dinamakan branching (Taha 1975).
59
Pada metode bound, permasalahan yang diasumsikan merupakan tipe maksimisasi. Nilai objektif yang optimal untuk setiap subproblem dibuat dengan membatasi percabangan dengan batas dari nilai objektif yang dihubungkan dengan sembarang nilai integer yang fisibel. Hal ini sangat penting untuk mengatur dan menempatkan solusi optimum. Operasi ini yang menjadikan alasan dinamakannya bounding (Taha 1975). Metode branch and bound ini penggunaanya dapat dilakukan dengan menggunakan software LINGO 8.0 (Linear Interactive and Global Optimizer 8.0), yang merupakan sebuah program yang didesain untuk menentukan solusi linear, nonlinear, dan optimasi integer menjadi lebih cepat, mudah, dan lebih efisien (Wahyuni et al. 2009). Pada penelitian ini, digunakan 11 model matematika dimana setiap modelnya memiliki maksud dan tujuan tertentu. Model yang pertama merupakan fungsi objektif. Fungsi ini bertujuan untuk memaksimalkan atau pun meminimumkan suatu fungsi linear dari sebuah variabel keputusan (Winston 1995). Pada penelitian ini, diharapkan fungsi objektif dari model matematika ini dapat meminimumkan batch dispersion. Hal ini bertujuan untuk meminimalkan dispersi batch yang secara tidak langsung dapat meminimalkan biaya produksi. Tetapi pada penelitian ini tidak akan dibahas tentang masalah biaya. Batch bahan baku akan lebih difokuskan pada kode bahan baku 12 AI, 14 AI, 14 BU, dan 16 BU. Hal ini disebabkan, secara keseluruhan keempat batch bahan baku ini dapat mewakili kondisi pembagian batch. Dimana terdapat beberapa perbedaan jumlah batch bahan baku dalam satuan kg dan beragamnya jenis pembagian batch komponen, serta batch produk akhir. Secara tidak langsung, dengan mengolah data batch tersebut menggunakan LINGO 8.0 akan dapat terlihat pengurangan batchnya. 4.3.2.1 Batch 12 AI Pembagian batch bahan baku 14 AI ke batch komponen dan akhirnya ke batch produk akhir, dapat dilihat pada Tabel 9. Pada jenis bahan baku 12 AI, terdapat 1 batch bahan baku, 10 batch komponen, dan 4 batch produk akhir. Dengan
60
menggunakan software LINGO 8.0, dari Tabel 9 telah menghasilkan 219 variabel (70 integer) dan 261 konstrain. Perhitungan ini berhenti setelah 33 menit 46 detik sebelum menemukan global optimum, dimana terjadi iterasi (pengulangan) sebanyak 16.503.171. Tipe penyelesaian software LINGO 8.0 menggunakan metode branch and bound. Beberapa kali running program LINGO 8.0, nilai fungsi objektif yang diperoleh adalah 4, artinya nilai minimum batch dispersion yang diperoleh adalah 4. Tabel 9 Pembagian jumlah batch 12 AI Jenis bahan baku
12 AI
Jumlah (kg)
Jenis Komponen 3L SKN B 3L SKN K 2L SKN L SKN B L SKN K L SKN HLTB 16-20 HLTB M 31-40 HLTB M 41-50 AVAL
268,1
Jumlah (kg) 15,4 75 134,2 31,5 4,7 0,8 0,6 0,9 0,3 4,7
Jenis produk akhir
Jumlah (kg)
3L SKN
90,4
2L SKN
134,2
L SKN
37
BLOK
6,5
Hasil pembagian batch 12 AI dapat dilihat pada Gambar 17 di bawah ini : Supplier
12 AI BT/HL
12 AI 3L SKN B
12 AI
12 AI
12 AI
12 AI
12 AI
L
L
HLTB
HLTB
HLTB
AVAL
SKN K
SKN
16-20
M
M 41-
31-40
50
12 AI
12 AI
12 AI
12 AI
3L
2L
L
SKN K
SKN
SKN B
12 AI 3L SKN
12 AI 2L SKN
12 AI L SKN
Gambar 17 Pembagian batch 12 AI
BLOK
61
Gambar 17 menunjukkan pembagian batch di PT X, dimana dari batch bahan baku, dikelompokkan kembali menjadi 10 batch komponen yang kemudian digabung menjadi 4 batch produk akhir. Pembagian ini dapat lebih efektif dengan meminimumkan batch dispersion, sehingga dapat mengoptimalkan traceability. Nilai fungsi ojektif pada model ini merupakan nilai minimum batch dispersion dimana nilai yang diperoleh adalah 4. Hal ini menunjukkan bahwa batch komponen dapat dikurangi, dengan batas minimum batch dispersion sebanyak 4. 4.3.2.2 Batch 14 AI Pembagian batch bahan baku 14 AI ke batch komponen dan akhirnya ke batch produk akhir di PT X, dapat dilihat pada Tabel 10. Pada jenis bahan baku 14 AI, terdapat 1 batch bahan baku, 8 batch komponen, dan 6 batch produk akhir. Dengan menggunakan software LINGO 8.0, dari Tabel 10 telah menghasilkan 301 variabel (104 integer) dan 343 konstrain. Perhitungan ini berhenti setelah 3 jam 21 menit sebelum menemukan global optimum, dimana terjadi iterasi (pengulangan) sebanyak 27.130.538. Tipe penyelesaian software LINGO 8.0 menggunakan metode branch and bound. Beberapa kali running program LINGO 8.0, nilai fungsi objektif yang diperoleh adalah 6, artinya nilai batch dispersion minimum yang diperoleh adalah 6. Tabel 10 Pembagian jumlah batch 14 AI Jenis bahan baku
14 AI
Jumlah (kg)
387,5
Jenis Komponen 4L SF B 4L SF K 3L SF K 2L SF SMT L SKN HLTB 26-30 AVAL
Jumlah (kg) 0,9 54,6 112,1 57,7 150,7 2,2 0,7 6,8
Jenis produk akhir
Jumlah (kg)
4L SF
55,5
3L SF 2L SF SMT L SKN
112,1 57,7 150,7 2,2
BLOK
7,5
Gambar 18 menunjukkan pembagian batch di PT X, dimana dari batch bahan baku, dikelompokkan kembali menjadi 8 batch komponen yang kemudian digabung
62
menjadi 6 batch produk akhir. Pembagian ini dapat lebih efektif dengan meminimumkan batch dispersion, sehingga dapat mengoptimalkan traceability. Nilai fungsi ojektif pada model ini merupakan nilai minimum batch dispersion dimana nilai yang diperoleh adalah 6. Hal ini menunjukkan bahwa batch komponen dapat dikurangi, dengan batas minimum batch dispersion sebanyak 6. Hasil pembagian batch 14 AI dapat dilihat pada Gambar 18 di bawah ini.
Supplier
14 AI BT/HL
14 AI
14 AI
14 AI
14 AI
14 AI
14 AI
14 AI
14 AI
4L SF B
4L SF K
3L SF K
2L SF
SMT
L SKN
HLTB 26-30
AVAL
14 AI 4L SF
14 AI 3L SF
14 AI 14 AI 14 AI SMT batch 14LAISKN Gambar 2L 18 SF Hasil pembagian
BLOK
Gambar 18 Pembagian batch 14 AI
4.3.2.3 Batch 14 BU Pembagian batch bahan baku 14 BU ke batch komponen dan akhirnya ke batch produk akhir di PT X, dapat dilihat pada Tabel 11. Pada jenis bahan baku 14 BU, terdapat 1 batch bahan baku, 7 batch komponen, dan 3 batch produk akhir. Dengan menggunakan software LINGO 8.0, dari Tabel 11 telah menghasilkan 122 variabel (37 integer) dan 146 konstrain. Perhitungan ini berhenti setelah 2 detik sebelum menemukan global optimum, dimana terjadi iterasi (pengulangan) sebanyak 14.138. Tipe penyelesaian software LINGO 8.0 menggunakan metode branch and bound. Beberapa kali running program LINGO 8.0, nilai fungsi objektif yang diperoleh adalah 3, artinya nilai batch dispersion minimum yang diperoleh adalah 3.
63
Tabel 11 Pembagian jumlah batch 14 BU Jenis bahan baku
Jumlah (kg)
14 BU
141,2
Jenis Komponen 4L SF B 4L SF K 3L SF B 3L SF K HLTB 26-30 AVAL BROKEN
Jumlah (kg) 10,9 47,9 66,2 12,8 1,1 1,8 0,5
Jenis produk akhir
Jumlah (kg)
4L SF
58,8
3L SF
79
BLOK
3,4
Hasil pembagian batch 14 BU dapat dilihat pada Gambar 19 di bawah ini. Supplier
14 BU BT/HL
14 BU
14 BU
14 BU
14 BU
14 BU
14 BU
14 BU
4L SF B
4L SF K
3L SF B
3L SF K
HLTB 26-30
AVAL
BROKEN
14 BU 4L SF
14 BU 3L SF
BLOK
Gambar 19 Pembagian batch 14 BU
Gambar 19 menunjukkan pembagian batch di PT X, dimana dari batch bahan baku, dikelompokkan kembali menjadi 10 batch komponen yang kemudian digabung menjadi 4 batch produk akhir. Pembagian ini dapat lebih efektif dengan meminimumkan batch dispersion, sehingga dapat mengoptimalkan traceability. Nilai fungsi ojektif pada model ini merupakan nilai minimum batch dispersion dimana nilai yang diperoleh adalah 3. Hal ini menunjukkan bahwa batch komponen dapat dikurangi, dengan batas minimum batch dispersion sebanyak 3.
64
4.3.2.4 Batch 16 BU Pembagian batch bahan baku 16 BU ke batch komponen dan akhirnya ke batch produk akhir di PT X, dapat dilihat pada Tabel 12. Pada jenis bahan baku 16 BU, terdapat 1 batch bahan baku, 5 batch komponen, dan 3 batch produk akhir. Dengan menggunakan software LINGO 8.0, dari Tabel 12 telah menghasilkan 96 variabel (29 integer) dan 112 konstrain. Perhitungan ini berhenti setelah 1 detik sebelum menemukan global optimum, dimana terjadi iterasi (pengulangan) sebanyak 7.788. Tipe penyelesaian software LINGO 8.0 menggunakan metode branch and bound. Beberapa kali running program LINGO 8.0, nilai fungsi objektif yang diperoleh adalah 3, artinya nilai batch dispersion minimum yang diperoleh adalah 3. Tabel 12 Pembagian jumlah batch 16 BU Jenis bahan baku
16 BU
Jumlah (kg)
Jenis Komponen 4L SF B 4L SF K 3L SF B 3L SF K AVAL
145,5
Jumlah (kg) 8,2 60,4 52,5 20,8 3,6
Jenis produk akhir
Jumlah (kg)
4L SF
68,6
3L SF
73,3
BLOK
3,6
Hasil pembagian batch 16 BU dapat dilihat pada Gambar 20 di bawah ini :
Supplier
16 BU BT/HL
16 BU
16 BU
16 BU
16 BU
16 BU
4L SF B
4L SF K
3L SF K
3L SF K
AVAL
16 BU 4L SF
16 BU 3L SF
Gambar 20 Pembagian batch 16 BU
16 BU 3L SF
65
Gambar 20 menunjukkan pembagian batch di PT X, dimana dari batch bahan baku, dikelompokkan kembali menjadi 5 batch komponen yang kemudian digabung menjadi 3 batch produk akhir. Pembagian ini dapat lebih efektif dengan meminimumkan batch dispersion, sehingga dapat mengoptimalkan traceability. Nilai fungsi ojektif pada model ini merupakan nilai minimum batch dispersion dimana nilai yang diperoleh adalah 3. Hal ini menunjukkan bahwa batch komponen dapat dikurangi, dengan batas minimum batch dispersion sebanyak 3. 4.3.3 Perbandingan antar batch Pada hasil penelitian ini, LINGO 8.0 akan mengolah data yang telah dimasukkan, yang nantinya hasil yang diinginkan adalah best obj (best objective) dan obj bound (objective bound) yang nilainya selalu sama. Nilai best obj dan obj bound merupakan nilai fungsi objektif yang juga merupakan nilai minimum batch dispersion, dimana nilai minimum ini dapat mengatasi banyaknya dispersi batch, seperti pada batch komponen. Batch komponen dapat direduksi sesuai batas minimum batch dispersion. Sehingga selain menjaga mutu dan keamanan pangan, hal ini akan lebih hemat waktu dan tenaga kerja serta dapat memudahkan dalam penelusuran (traceability) produk. Adapun nilai best obj dan obj bound pada setiap batchnya dapat ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13 Nilai best obj dan obj bound pada setiap batch Kode batch 12 AI 14 AI 14 BU 16 BU
Nilai best obj dan obj bound 4 6 3 3
Suatu Perusahaan akan berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin. Dengan meminimumkan batch dispersion, secara tidak langsung hal ini juga dapat menjaga mutu dan keamanan pangan produk yang dihasilkan. Adapun perbandingan jumlah batch dispersion awal dengan jumlah minimum batch dispersion, dapat dilihat pada Gambar 21 di bawah ini:
66
12 Jumlah Batch
10 Jumlah batch dispersion awal
8 6
Jumlah minimum batch dispersion
4 2 0 12 AI
14 AI 14 BU 16 BU Kode Bahan Baku Gambar 21 Grafik perbandingan jumlah batch dispersion awal dengan jumlah minimum batch dispersion Pada Gambar 21, terlihat bahwa terjadi pengurangan jumlah dispersi batch. Pengurangan ini sampai batas nilai minimum batch dispersion. Adapun pengurangan batch yang signifikan terjadi pada kode bahan baku 12 AI, dimana jumlah awal batch dispersionnya 10 dan dapat direduksi menjadi 4. Dengan menggunakan LINGO 8.0, pada kode bahan baku 12 AI, diberikan alternatif jumlah batch komponen (dalam satuan kg) yang dapat dilihat dari variabel QCOMP (Quantity Componen) (Lampiran 1), yaitu 134,2 kg, 89,4 kg, 1 kg, dan 43,5 kg yang terdiri dari 4 batch. Hal ini sesuai dengan jumlah minimum batch dispersion. Adapun terjadi pengurangan yang signifikan, dapat disebabkan karena jumlah dispersi batchnya yang besar, sehingga dengan menggunakan metode branch and bound, adanya kendala-kendala dicoba untuk diselesaikan sehingga hasil yang didapat pun menjadi lebih baik. Sedangkan pada kode bahan baku 14 AI, jumlah batch dispersion awalnya adalah 8, kemudian dapat direduksi hingga batas nilai minimum batch dispersion sebanyak 6. Dengan menggunakan LINGO 8.0, diberikan alternatif jumlah batch komponen (dalam satuan kg) pada kode bahan baku 14 AI, yang dapat dilihat dari variabel QCOMP (Quantity Componen) (Lampiran 2), yaitu 7,7 kg, 54 kg, 54 kg, 54 kg, 54 kg, 54 kg, 54 kg, dan 54 kg yang terdiri dari 8 batch. Walaupun hasil
67
minimum batch dispersion adalah 6, tetapi nilai batch komponennya adalah 8. Hal ini bukanlah suatu masalah, karena ini hanya alternatif dari software LINGO 8.0 dan nilainya tidak lebih minimum dari nilai minimum batch dispersion. Pada kode bahan baku 14 BU, nilai minimum batch dispersionnya adalah 3 dan jumlah batch dispersion awalnya adalah 7. Sedangkan untuk kode bahan baku 16 BU, nilai minimum batch dispersionnya sama dengan kode bahan baku 14 BU, yaitu 3. Hal ini dapat disebabkan karena hasil produk akhir yang diinginkan sama, yaitu 3L SF, 2L SF, dan BLOK. Tetapi kenapa jumlah batch dispersion awalnya berbeda, hal ini disebabkan karena jumlah bahan baku awalnya berbeda, yaitu 141,2 kg pada kode bahan baku 14 BU dan 145,5 kg sehingga pembagian batch komponennya menjadi beragam, karena tergantung size udang tersebut. Dengan menggunakan LINGO 8.0, diberikan alternatif jumlah batch komponen (dalam satuan kg) pada kode bahan baku 14 BU, yang dapat dilihat dari variabel QCOMP (Quantity Componen) (Lampiran 3), yaitu 66,2 kg, 66,2 kg, 7,8 kg, dan 1 kg yang terdiri dari 4 batch. Sedangkan 16 BU alternatifnya ada 4 batch juga yang jumlahnya 22,7 kg, 60,4 kg, 60,4 kg, dan 2 kg. Secara umum, dari keempat hasil nilai minimum batch dispersion ini dapat mewakili keadaan proses produksi. Hal ini disebabkan, jumlah batch tidak jauh berbeda dan jenis produk akhir yang ingin dihasilkan sama. Hal ini disebabkan, jika perusahaan mendapatkan pemesanan yang sangat banyak dan dibutuhkan dalam waktu tertentu yang telah ditentukan buyer, maka perusahaan akan mengejar target, sehingga terkadang jumlah batch produk akhirnya sama. 4.3.4 Penelusuran produk Sistem traceability dikembangkan untuk menelusuri (downward dispersion) produk di seluruh supply chain dan memberi kemungkinan untuk menelusuri balik (upward dispersion) produk dari manapun dalam rantai. Pada proses produksi, untuk mengevaluasi akurasi dari traceability diperkenalkan cara penelusuran yaitu downward dispersion dan upward dispersion (Dupuy et al. 2002). Tabel 14 menunjukkan bahwa semua batch akan lebih baik dilakukan downward dispersion pada penelusuran proses produksi udang. Hal ini disebabkan
68
jumlah D_DISP (downward dispersion) nilainya lebih besar dari pada U_DISP (upward dispersion). Hal ini juga menunjukkan bahwa kemungkinan permasalahan berasal dari bahan baku dan karena hanya jumlah 1 supplier. Tabel 14 Nilai D_DISP danU_DISP Batch bahan baku 12 AI 14 AI 14 BU 16 BU
D_DISP 4 6 3 3
U_DISP 1 1 1 1
Downward dispersion pada batch bahan baku merupakan jumlah batch produk akhir yang mengandung bagian dari batch bahan baku tersebut. Menurut Dupuy et al. (2002), downward traceability atau biasa disebut tracing, merupakan kapasitas pada supply chain, untuk menemukan asal usul dan karakteristik dari suatu produk dari satu atau beberapa kriteria yang ada. Upward dispersion pada batch produk akhir yaitu jumlah batch bahan baku yang berbeda yang digunakan memproduksi batch ini. Menurut Dupuy et al. (2002), upward traceability atau biasa disebut tracking, merupakan kapasitas pada supply chain, untuk menemukan lokasi dari suatu produk dari satu atau beberapa kriteria yang ada. Downward dispersion dan upward dispersion akan membantu untuk melakukan recall produk. Gambar 22 menunjukkan penelusuran proses produk breaded black tiger berdasarkan pengkodean setiap tahapan proses dari stuffing hingga penerimaan bahan baku. Penelusuran ini merupakan downward dispersion,
yang
merupakan
kemampuan untuk mengenali asal usul dari produk yang digunakan khususnya pada unit trade, sehingga bisa dikatakan downward dispersion merupakan bottom-up, yaitu penelusuran dari bawah ke atas (Thakur and Hurburgh 2009). Penelusuran ini dilakukan jika terjadi permasalahan pada bahan baku. Selain itu, supplier yang hanya terdiri dari satu supplier perharinya, mempengaruhi jumlah downward dispersion dan upward dispersion, dimana pada Tabel 14 menunjukkan bahwa lebih baik dilaksanakan downward dispersion jika jumlah supplier hanya 1 perharinya.
69
PROSES
PENGKODEAN
Stuffing
2010.08.19
Penyimpanan dalam cold storage Pengemasan dalam master carton
I . BU . D
Pengemasan dalam polibag
2010.08.19
Checking filth,
14 BU
Metal detecting and weight
4L SF
Pembekuan Final checking Penimbangan 2
14 BU
Penyusunan dalam tray Breading
4L SF
5
Battering Predust
Stretching
14 BU
Penggoresan perut
4L SF
5
Pencucian 4 Pembuangan kotoran Pengupasan
14 BU
Pencucian 3
4L SF B
Penimbangan 1 Sortasi
Pencucian 1,
Pencucian 2
14 BU
Penerimaan bahan baku (Headless)
Pemotongan kepala (Headon)
BT / HL
Pencucian 1
BT / 14
Penerimaan bahan baku (Headon)
BU
Gambar 22 Penelusuran proses produk breaded black tiger berdasarkan pengkodean setiap tahapan proses dari stuffing hingga penerimaan bahan baku
70
Sebaliknya, penelusuran produk breaded black tiger berdasarkan pengkodean setiap tahapan proses dari penerimaan bahan baku hingga stuffing, merupakan upward dispersion, yang merupakan kemampuan untuk mengikuti bagian unit hilir pada supply chain, sehingga bisa dikatakan bahwa upward dispersion merupakan topdown, yaitu penelusuran dari atas ke bawah (Thakur and Hurburgh 2009). Penelusuran ini dilakukan jika terjadi permasalahan pada bagian hilir. Peran karyawan sangat mempengaruhi baik tidaknya mutu produk akhir. Hal ini karena semua tahapan proses produksi dilakukan oleh karyawan. Pengkodean di dalam tahapan proses produksi tidak hanya kode-kode tentang identitas bahan baku udang, tetapi informasi tentang karyawan yang menangani tahapan proses juga sangat penting. Mutu produk yang kurang baik dapat disebabkan oleh kesalahan karyawan. PT X membagi karyawan berdasarkan kelompoknya, tetapi pengkodean karyawan hanya dilakukan pada tahapan proses di ruang PTO dan ruang breaded. Hal ini disebabkan karena pada ruangan ini, kualitas akhir produk akhir sangat menentukkan. Menurut Dupuy et al. (2002), sistem traceability yang baik harusnya dapat menemukan asal usul dengan cepat terutama pada proses produksi dengan memperhatikan produk. Sistem traceability yang baik tidak hanya memperhatikan keefektifan tracing, tetapi juga mengurangi recall dan jumlah batch pada produk akhir. Menurut Dupuy et al. (2002), SOVIBA merupakan salah satu french firm yang memproduksi hamburger, harus melakukan recall terhadap produknya. Hal ini disebabkan adanya BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) pada bahan bakunya. Perusahaan ini harus menarik 37 ton produk akhirnya dari supermarket karena 3 ton daging terindikasi. Setelah kasus ini berakhir, SOVIBA tidak hanya memperbaiki kualitasnya, tetapi juga mengurangi jumlah dari batch campuran daging. Pada hasil penelitian ini, jumlah batch bahan baku menjadi batch komponen, dan akhirnya menjadi batch produk akhir, jumlahnya sama dan tidak terdapat pencampuran bahan baku pada setiap suppliernya. Sehingga kemungkinan kontaminasi dapat dicegah dan ditanggulangi.
71
Selain itu, tidak adanya pengurangan jumlah pada pembagian batch atau pun penggabungannya, hal ini disebabkan karena dari awal penerimaan bahan baku, perusahaan meminta udang black tiger yang berkualitas 1 dan 2 kepada supplier, sehingga kemungkinan udang tidak terpakai, dapat dihindari, sehingga jumlahnya jelas. Menurut Dupuy et al. (2002), sistem informasi untuk keefektifan traceability akan sulit ditemukan jika jumlah produksi batchnya terlalu besar ataupun banyaknya campuran. Oleh karena itu perlu diamati sistem traceability. Pada dasarnya sistem traceability berfungsi sebagai alat untuk berkomunikasi, membuat informasi yang dapat digunakan sepanjang food supply chain. Dilihat dari keamanan pangannya, informasi ini dapat digunakan untuk traceback sehingga dapat ditemukan sumber dan penyebab permasalahan yang dapat
menghentikan
permasalahan ataupun mencegah hal ini terjadi lagi. Sistem traceability ini juga memungkinkan digunakan untuk menemukan produk yang siap di kirim yang penting dalam pengambilan ataupun panggilan kembali (CIES-The Food Business Forum 2005).
72
5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Pengurangan batch dispersion pada batch 12 AI dari 10 menjadi 4, pengurangan batch dispersion pada batch 14 AI dari 8 menjadi 6, pengurangan batch dispersion pada batch 14 BU dari 7 menjadi 3, dan pengurangan batch dispersion pada batch 16 BU dari 5 menjadi 3. Pengurangan batch dispersion dapat mencegah kemungkinan terjadinya kontaminasi fisik, kimia, dan mikrobiologi serta defect selama proses produksi. Selain itu pengurangan jumlah batch akan mempermudah proses penelusuran, sehingga sistem traceability pun menjadi lebih optimal.
5.2 Saran Konsep batch dispersion dapat dilakukan dengan menggunakan metode lain seperti metode heuristik atau biasa dikenal dengan metode pendekatan, kemudian dibandingkan dengan metode branch and bound. Sedangkan saran yang dapat saya berikan kepada perusahaan, adalah lebih diperhatikan dispersi batch pada proses produksi dan dapat meminimumkan dispersi batch tersebut sehingga optimasi traceability dapat menjadi lebih efektif. Selain itu, banyaknya supplier tidak hanya difokuskan satu supplier, tetapi dapat lebih dari satu sehingga akan lebih keliatan batch dispersionnya dan juga akan diketahui, lebih baik menggunakan satu atau beberapa supplier.
73
DAFTAR PUSTAKA
ASEAN-Canada Fisheries. 1994. Production of Battered and Breaded Fish Products from Minced Fish and Surimi. Post-Harvest Technologi Project-Phase II. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2007. SNI 01-2705-2007. Udang Beku. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 6163.2:2009. Udang Berlapis Tepung (Breaded) Beku-Bagian 2: Persyaratan Bahan Baku. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. RSNI 6163.3:2009. Udang Berlapis Tepung (Breaded) Beku-Bagian 3: Penanganan dan Pengolahan. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional. CIES-The Food Bussiness Forum. 2005. Implementing Traceability In The Food Supply Chain. France. Cimono et al. 2005. Cerere:an information system supporting traceability in the food supply chain. IEEE Explore. Codex Stan 92-1981, Rev.1-1995. Codex Standard for Quick Frozen Shrimp or Prawns. Derick S dan Dillon M. 2004. A Guide to Traceability Within the Fiash Industry. Dupuy C, Botta-Genoulaz V, Guinet A. 2002. Traceability analysis and optimization method in food industry. Di dalam : Proceedings of the IEEE International Conference on Systems, Man and Cybernetics 1 : 495-500. Dupuy C, Botta-Genoulaz V, Guinet A. 2005. Batch dispersion model to optimize traceability in food industry. Journal of Food Engineering 70 : 333-339. Erungan A.C, Ibrahim B, dan Wiryanti J. 2008. Pengantar Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) pada Industri Perikanan. [Buku Panduan]: Bogor. Direktorat Program Diploma dan Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Institut Pertanian Bogor. [EC] European Regulation No. 178/2002 of the European Parlement and the Council. Laying down the general principles and requirement of food law, estabilishing the european food safety authority and laying down procedures in matter of food safety. 28 Januari 2002. Official Journal of the European Communities. Fast AW and Lester LJ. 1992. Marine Shrimp Culture: Prnciples and Practices. New York : ELSEVIER. Feigenbaum A.V. 1992. Kendali Mutu Terpadu Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.
74
Foodallergens. 2006. Morfologi udang black tiger. http://foodallergens.ifr.ac.uk. [19 Januari 2011]. Food Standards Agency. 2002. Traceability in The Food Chain. A Preliminary Study, Food Chain Strategy Division, Food Standards Agency. Grunow M, Rong A, and Akkerman R. 2008. Reducing dispersion in food distribution. Proceedings of the 9th Asia Pasific Industrial Engineering and Management System Conference. 618-628. Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Ilyas S. 1993. Teknik Refrigerasi Hasil Perikanan Jilid II. Jakarta : Paripurna. [1SO] International Organization for Standardization 22005:2007. Traceability in the feed and food chain-general principles and basic requirements for system design and implementation, Geneva. [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2009. Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam Angka. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan. Moe T. 1998. Perspective on Traceability in Food Manufacture. Trends in Food Science and Technology 9 : 211-214. Muhandri T dan Kadarisman D. 2008. Sistem Jaminan Mutu Industri Pangan. Bogor: IPB Press. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004. Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan. http://www.pom.go.id. [21 Mei 2010]. Pardede E.2009. Jaminan Keamanan Pangan. http://www.hariansumutpos.com. [21 Mei 20101]. Purwaningsih S. 1994. Teknologi Pembekuan Udang. Jakarta: Penebar Swadaya. Smith I and Furness A, 2006. Improving Traceability in Food Processing and Distribution. Woodhead Publishing Limited Cambridge England. Suyanto S.R dan Mujiman A. 1994. Budidaya Udang Windu. Jakarta: Penebar Swadaya. Taha H.A. 1975. Integer Programming:Theory, Applications, and Computations. New York: Academic Press. Thaheer H. 2005. Sistem Managemen HACCP. Bogor: Bumu Aksara. Thakur M and Hurburgh C.R .2009. Framework for implementing traceability system in the bulk grain supply chain. Journal of Food Engineering, 95, 617–626. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. USDA. 2006. Shrimp Nutrition Information. www.personalhealthzone.com. [19 Mei 2010].
75
Venugopal V. 2006. Seafood Procecing (Adding Value Through Quick Freezing, Retortable Packaging, and Cook-Chilling). Taylor and Francis Group : CRC Press. Wahyuni et al. 2009. Minimisasi kapasitas pengolahan air limbah dengan water pinch analysis pada industry pulp dan kertas. [Seminar Nasional Teknik Kimia Indonesia]. Surabaya: Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teknologi Industri. ITS. Winston. 1995. Introduction to Mathematical Programming Second Edition. New York: Duxbury.
76
LAMPIRAN
77
LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil perhitungan batch 12 AI
Global optimal solution found at iteration: Objective value:
Variable TRM( I1) QRM( I1) DDISP( I1) TCOMP( J1) TCOMP( J2) TCOMP( J3) TCOMP( J4) TCOMP( J5) TCOMP( J6) TCOMP( J7) TCOMP( J8) TCOMP( J9) TCOMP( J10) QCOMP( J1) QCOMP( J2) QCOMP( J3) QCOMP( J4) QCOMP( J5) QCOMP( J6) QCOMP( J7) QCOMP( J8) QCOMP( J9) QCOMP( J10) TFP( K1)
Value 1.000000 268.1000 4.000000 1.000000 2.000000 3.000000 4.000000 5.000000 6.000000 7.000000 8.000000 9.000000 10.00000 0.000000 0.000000 134.2000 0.000000 89.40000 1.000000 0.000000 43.50000 0.000000 0.000000 1.000000
16503171 4.000000
Reduced Cost 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
78
TFP( TFP( TFP( QFP( QFP( QFP( QFP( UDISP( UDISP( UDISP( UDISP( TBCOMP( TBCOMP( TBCOMP( TBCOMP( TBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( Y( I1, Y( I1, Y( I1, Y( I1, XBF( L1, XBF( L1, XBF( L1, XBF( L1, XBF( L2, XBF( L2, XBF( L2, XBF( L2, XBF( L3, XBF( L3, XBF( L3, XBF( L3, XBF( L4, XBF( L4, XBF( L4, XBF( L4, XBF( L5, XBF( L5, XBF( L5, XBF( L5, QBF( L1, QBF( L1, QBF( L1, QBF( L1, QBF( L2, QBF( L2, QBF( L2, QBF( L2, QBF( L3,
K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) L1) L2) L3) L4) L5) L1) L2) L3) L4) L5) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1)
2.000000 3.000000 4.000000 90.40000 134.2000 37.00000 6.500000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
79
QBF( L3, K2) QBF( L3, K3) QBF( L3, K4) QBF( L4, K1) QBF( L4, K2) QBF( L4, K3) QBF( L4, K4) QBF( L5, K1) QBF( L5, K2) QBF( L5, K3) QBF( L5, K4) XRC( I1, J1) XRC( I1, J2) XRC( I1, J3) XRC( I1, J4) XRC( I1, J5) XRC( I1, J6) XRC( I1, J7) XRC( I1, J8) XRC( I1, J9) XRC( I1, J10) QRC( I1, J1) QRC( I1, J2) QRC( I1, J3) QRC( I1, J4) QRC( I1, J5) QRC( I1, J6) QRC( I1, J7) QRC( I1, J8) QRC( I1, J9) QRC( I1, J10) XCF( J1, K1) XCF( J1, K2) XCF( J1, K3) XCF( J1, K4) XCF( J2, K1) XCF( J2, K2) XCF( J2, K3) XCF( J2, K4) XCF( J3, K1) XCF( J3, K2) XCF( J3, K3) XCF( J3, K4) XCF( J4, K1) XCF( J4, K2) XCF( J4, K3) XCF( J4, K4) XCF( J5, K1) XCF( J5, K2) XCF( J5, K3) XCF( J5, K4) XCF( J6, K1) XCF( J6, K2) XCF( J6, K3)
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 134.2000 0.000000 89.40000 1.000000 0.000000 43.50000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 2.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
80
XCF( J6, XCF( J7, XCF( J7, XCF( J7, XCF( J7, XCF( J8, XCF( J8, XCF( J8, XCF( J8, XCF( J9, XCF( J9, XCF( J9, XCF( J9, XCF( J10, XCF( J10, XCF( J10, XCF( J10, QCF( J1, QCF( J1, QCF( J1, QCF( J1, QCF( J2, QCF( J2, QCF( J2, QCF( J2, QCF( J3, QCF( J3, QCF( J3, QCF( J3, QCF( J4, QCF( J4, QCF( J4, QCF( J4, QCF( J5, QCF( J5, QCF( J5, QCF( J5, QCF( J6, QCF( J6, QCF( J6, QCF( J6, QCF( J7, QCF( J7, QCF( J7, QCF( J7, QCF( J8, QCF( J8, QCF( J8, QCF( J8, QCF( J9, QCF( J9, QCF( J9, QCF( J9, QCF( J10,
K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1) K2) K3) K4) K1)
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 134.2000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 89.40000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 37.00000 6.500000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
81
QCF( J10, K2) QCF( J10, K3) QCF( J10, K4)
Row 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
0.000000 0.000000 0.000000
Slack or Surplus 4.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000
Dual Price -1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
82
49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 133.2000 0.000000 88.40000 0.000000 0.000000 42.50000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 44.80000 133.2000 0.000000 90.70000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 88.40000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
83
103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 133.2000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 36.00000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 5.500000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 44.80000 133.2000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
84
157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 97.20000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 127.7000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
85
211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 1.000000 0.000000 1.000000 1.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
86
Lampiran 2 Hasil perhitungan batch 14 AI
Global optimal solution found at iteration: Objective value:
Variable TRM( I1) QRM( I1) DDISP( I1) TCOMP( J1) TCOMP( J2) TCOMP( J3) TCOMP( J4) TCOMP( J5) TCOMP( J6) TCOMP( J7) TCOMP( J8) QCOMP( J1) QCOMP( J2) QCOMP( J3) QCOMP( J4) QCOMP( J5) QCOMP( J6) QCOMP( J7) QCOMP( J8) TFP( K1) TFP( K2) TFP( K3) TFP( K4) TFP( K5) TFP( K6) QFP( K1) QFP( K2) QFP( K3)
Value 1.000000 385.7000 6.000000 1.000000 2.000000 3.000000 4.000000 5.000000 6.000000 7.000000 8.000000 7.700000 54.00000 54.00000 54.00000 54.00000 54.00000 54.00000 54.00000 1.000000 2.000000 3.000000 4.000000 5.000000 6.000000 55.50000 112.1000 57.70000
27130538 6.000000
Reduced Cost 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
87
QFP( QFP( QFP( UDISP( UDISP( UDISP( UDISP( UDISP( UDISP( TBCOMP( TBCOMP( TBCOMP( TBCOMP( TBCOMP( TBCOMP( TBCOMP( TBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( Y( I1, Y( I1, Y( I1, Y( I1, Y( I1, Y( I1, XBF( L1, XBF( L1, XBF( L1, XBF( L1, XBF( L1, XBF( L1, XBF( L2, XBF( L2, XBF( L2, XBF( L2, XBF( L2, XBF( L2, XBF( L3, XBF( L3, XBF( L3, XBF( L3, XBF( L3, XBF( L3, XBF( L4, XBF( L4, XBF( L4, XBF( L4, XBF( L4,
K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) L1) L2) L3) L4) L5) L6) L7) L8) L1) L2) L3) L4) L5) L6) L7) L8) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5)
150.7000 2.200000 7.500000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000
88
XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( XBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF(
L4, L5, L5, L5, L5, L5, L5, L6, L6, L6, L6, L6, L6, L7, L7, L7, L7, L7, L7, L8, L8, L8, L8, L8, L8, L1, L1, L1, L1, L1, L1, L2, L2, L2, L2, L2, L2, L3, L3, L3, L3, L3, L3, L4, L4, L4, L4, L4, L4, L5, L5, L5, L5, L5,
K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5)
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
89
QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( QBF( XRC( XRC( XRC( XRC( XRC( XRC( XRC( XRC( QRC( QRC( QRC( QRC( QRC( QRC( QRC( QRC( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF(
L5, L6, L6, L6, L6, L6, L6, L7, L7, L7, L7, L7, L7, L8, L8, L8, L8, L8, L8, I1, I1, I1, I1, I1, I1, I1, I1, I1, I1, I1, I1, I1, I1, I1, I1, J1, J1, J1, J1, J1, J1, J2, J2, J2, J2, J2, J2, J3, J3, J3, J3, J3, J3, J4,
K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) J1) J2) J3) J4) J5) J6) J7) J8) J1) J2) J3) J4) J5) J6) J7) J8) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1)
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 7.700000 54.00000 54.00000 54.00000 54.00000 54.00000 54.00000 54.00000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 3.000000 0.000000 1.000000 2.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000
90
XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF(
J4, J4, J4, J4, J4, J5, J5, J5, J5, J5, J5, J6, J6, J6, J6, J6, J6, J7, J7, J7, J7, J7, J7, J8, J8, J8, J8, J8, J8, J1, J1, J1, J1, J1, J1, J2, J2, J2, J2, J2, J2, J3, J3, J3, J3, J3, J3, J4, J4, J4, J4, J4, J4, J5,
K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1)
1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.200000 6.500000 9.300000 0.000000 0.000000 44.70000 0.000000 0.000000 46.20000 4.100000 2.700000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 54.00000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
91
QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF(
J5, J5, J5, J5, J5, J6, J6, J6, J6, J6, J6, J7, J7, J7, J7, J7, J7, J8, J8, J8, J8, J8, J8,
K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6) K1) K2) K3) K4) K5) K6)
1.000000 1.000000 52.00000 0.000000 0.000000 0.000000 53.00000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 54.00000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 54.00000 0.000000 0.000000 0.000000
Row 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Slack or Surplus 6.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 Dual Price -1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
92
30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 6.700000 53.00000 53.00000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
93
84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137
53.00000 53.00000 53.00000 53.00000 53.00000 46.30000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 8.300000 45.20000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 3.100000 53.00000 0.000000 52.00000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.700000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 53.00000 0.000000 43.70000 0.000000 0.000000 51.00000 0.000000 53.00000 0.000000 0.2000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 5.500000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
94
138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 44.70000 7.800000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 49.90000 0.000000 53.00000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 51.30000 0.000000 53.00000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 9.300000 0.000000 0.000000 2.000000 0.000000 0.000000 0.000000 52.80000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 53.00000 0.000000 0.000000 47.50000 0.000000 53.00000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
95
192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
96
246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 1.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
97
300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343
1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
98
Lampiran 3 Hasil perhitungan batch 14 BU
Global optimal solution found at iteration: Objective value: Variable TRM( I1) QRM( I1) DDISP( I1) TCOMP( J1) TCOMP( J2) TCOMP( J3) TCOMP( J4) TCOMP( J5) TCOMP( J6) TCOMP( J7) QCOMP( J1) QCOMP( J2) QCOMP( J3) QCOMP( J4) QCOMP( J5) QCOMP( J6) QCOMP( J7) TFP( K1) TFP( K2) TFP( K3) QFP( K1) QFP( K2) QFP( K3) UDISP( K1) UDISP( K2) UDISP( K3) TBCOMP( L1) TBCOMP( L2) TBCOMP( L3)
Value 1.000000 141.2000 3.000000 1.000000 2.000000 3.000000 4.000000 5.000000 6.000000 7.000000 66.20000 66.20000 0.000000 0.000000 0.000000 7.800000 1.000000 1.000000 2.000000 3.000000 58.80000 79.00000 3.400000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000
14138 3.000000 Reduced Cost 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
99
QBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( Y( I1, Y( I1, Y( I1, XBF( L1, XBF( L1, XBF( L1, XBF( L2, XBF( L2, XBF( L2, XBF( L3, XBF( L3, XBF( L3, QBF( L1, QBF( L1, QBF( L1, QBF( L2, QBF( L2, QBF( L2, QBF( L3, QBF( L3, QBF( L3, XRC( I1, XRC( I1, XRC( I1, XRC( I1, XRC( I1, XRC( I1, XRC( I1, QRC( I1, QRC( I1, QRC( I1, QRC( I1, QRC( I1, QRC( I1, QRC( I1, XCF( J1, XCF( J1, XCF( J1, XCF( J2, XCF( J2, XCF( J2, XCF( J3, XCF( J3, XCF( J3, XCF( J4, XCF( J4, XCF( J4, XCF( J5, XCF( J5, XCF( J5, XCF( J6,
L1) L2) L3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) J1) J2) J3) J4) J5) J6) J7) J1) J2) J3) J4) J5) J6) J7) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1)
0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 66.20000 66.20000 0.000000 0.000000 0.000000 7.800000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 2.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
100
XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF(
J6, J6, J7, J7, J7, J1, J1, J1, J2, J2, J2, J3, J3, J3, J4, J4, J4, J5, J5, J5, J6, J6, J6, J7, J7, J7,
K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3)
1.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 58.80000 5.000000 2.400000 0.000000 65.20000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 7.800000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000
Row 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Slack or Surplus 3.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
Dual Price -1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
101
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 65.20000 65.20000 0.000000 0.000000 0.000000 6.800000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 58.40000 65.20000 57.80000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 4.000000 64.20000 0.000000 0.000000 0.000000 6.800000 0.000000 1.400000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
102
80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133
0.000000 0.000000 0.000000 7.400000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 61.20000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 58.40000 65.20000 63.80000 65.20000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000 2.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
103
134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146
2.000000 2.000000 2.000000 1.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
Lampiran 4 Hasil perhitungan batch 16 BU
Global optimal solution found at iteration: Objective value:
Variable TRM( I1) QRM( I1) DDISP( I1) TCOMP( J1) TCOMP( J2) TCOMP( J3) TCOMP( J4) TCOMP( J5) QCOMP( J1) QCOMP( J2) QCOMP( J3) QCOMP( J4) QCOMP( J5)
Value 1.000000 145.5000 3.000000 1.000000 2.000000 3.000000 4.000000 5.000000 22.70000 60.40000 60.40000 2.000000 0.000000
7788 3.000000
Reduced Cost 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
104
TFP( TFP( TFP( QFP( QFP( QFP( UDISP( UDISP( UDISP( TBCOMP( TBCOMP( TBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( QBCOMP( Y( I1, Y( I1, Y( I1, XBF( L1, XBF( L1, XBF( L1, XBF( L2, XBF( L2, XBF( L2, XBF( L3, XBF( L3, XBF( L3, QBF( L1, QBF( L1, QBF( L1, QBF( L2, QBF( L2, QBF( L2, QBF( L3, QBF( L3, QBF( L3, XRC( I1, XRC( I1, XRC( I1, XRC( I1, XRC( I1, QRC( I1, QRC( I1, QRC( I1, QRC( I1, QRC( I1, XCF( J1, XCF( J1, XCF( J1, XCF( J2, XCF( J2, XCF( J2, XCF( J3, XCF( J3,
K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) L1) L2) L3) L1) L2) L3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) J1) J2) J3) J4) J5) J1) J2) J3) J4) J5) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2)
1.000000 2.000000 3.000000 68.60000 73.30000 3.600000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 22.70000 60.40000 60.40000 2.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000
105
XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( XCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF( QCF(
J3, J4, J4, J4, J5, J5, J5, J1, J1, J1, J2, J2, J2, J3, J3, J3, J4, J4, J4, J5, J5, J5,
K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3) K1) K2) K3)
0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 8.200000 14.50000 0.000000 0.000000 57.80000 2.600000 60.40000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000
Row 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
Slack or Surplus 3.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
Dual Price -1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
106
30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 21.70000 59.40000 59.40000 1.000000 0.000000 37.70000 0.000000 0.000000 58.40000 0.000000 7.200000 0.000000 59.40000 0.000000 0.000000 13.50000 56.80000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.600000 0.000000 0.000000 0.000000 52.20000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 45.90000 2.600000 0.000000 59.40000 0.000000 0.000000 57.80000 0.000000 59.40000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
107
84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 2.000000 2.000000 2.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 1.000000 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000