0064: Fifit Juniarti dkk.
KO-5
OPTIMASI PRODUKSI PROTEIN NON STRUKTURAL 1 (NS1) VIRUS DENGUE SEROTIPE 3 (DENV-3) Fifit Juniarti1,∗ , Doddy Irawan1 , Subintoro1 , Khayu Wahyunita1 , Aris Rudiyanto1 , Chaerul Malik1 , dan Vanny Narita2 1
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Jl. MH. Thamrin 8, Jakarta Pusat 10340 2 Universitas Al Azhar Indonesia Komplek Masjid Agung Al Azhar, Jakarta 12110 ∗
e-Mail:
[email protected]
Disajikan 29-30 Nop 2012
ABSTRAK Wabah demam berdarah dengue hingga saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan yang utama di daerah tropikal dan sub tropikal di seluruh dunia termasuk Indonesia. Demam berdarah dengue disebabkan oleh infeksi virus dengue, dimana serotipe DENV-3 dari keempat serotipe virus dengue seringkali dikaitkan dengan kasus yang parah. Protein NS1, salah satu protein nonstruktural dalam virus dengue, merupakan protein potensial untuk dikembangkan sebagai kandidat vaksin maupun bahan dasar kit diagnostika. Studi ini bertujuan memperoleh metode produksi protein rekombinan NS1 virus Dengue serotype DENV-3 dalam Escherichia coli (E. coli). Pemilihan sistem ekspresi dalam E. coli didasarkan pada E. coli sebagai sistem ekspresi yang telah banyak dipelajari memiliki berbagai sistem salah satunya sistem Glutathione S-transferase (GST) yang dapat mengekspresi, purifikasi dan deteksi protein rekombinan.Dalam studi ini telah dilakukan optimasi suhu induksi dan metode lisis sel untuk memperoleh kondisi optimal produksi protein rekombinan NS1 dalam E. coli. Hasil studi menunjukkan bahwa kondisi optimal untuk induksi ekspresi protein rekombinan dengan IPTG adalah pada suhu 25 ◦ C selama overnight. Setelah membandingkan berbagai metode lisis sel baik secara fisik, kimiawi maupun kombinasi dapat disimpulkan bahwa metode optimal untuk lisis sel adalah kombinasi fisik dan kimiawi yakni dengan sonikasi namun menggunakan buffer lisis. Dalam studi ini juga dikembangkan metode deteksi protein rekombinan NS1 dengan pendekatan dot blot dan ELISA, metode ini dikembangkan karena lebih cepat dan murah dibandingkan Western blot. Kedua metode ini diharapkan dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi kit diagnostika berbasis protein rekombinan NS1 virus Dengue serotype DENV-3. Kata Kunci: DENV-3, protein rekombinan NS1, Escherichia coli (E. coli), Glutathione S-transferase (GST)
I.
PENDAHULUAN
Hingga saat ini, demam berdarah dengue masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Kasus demam berdarah pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1968 dan terus terjadi hingga saat ini. Namun jumlah kematian yang disebabkan demam berdarah dengue saat ini sudah mulai menurun hal ini disebabkan oleh meningkatnya pengetahuan masyarakat dan fasilitas layanan kesehatan akan penyakit tersebut, terdapatnya sistem diagnostik yang lebih baik serta terdapatnya protokol penanganan yang lebih baik.[2] Virus dengue memiliki 4 serotipe yakni DENV1-DENV4. Di Indonesia, keempat serotype virus dengue telah ditemukan namun DENV-3 seringkali dikaitkan dengan kasus demam berdarah yang parah.[2] Virus dengue adalah virus dengan genom RNA beruntai tunggal positif yang menkode tiga protein struktural yakni C, PrM/ M dan E serta tujuh protein nonstruktural (NS1,
NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B dan NS5).[3] Protein NS1 merupakan glikoprotein 48 kDa yang fungsinya sebagai ko-faktor untuk replikasi virus.[4] Protein NS1 ditemukan sebagai protein tersekresi maupun terkait sebagai protein membrane. Kedua bentuk protein sama sama bersifat imunogenik.[5] Penelitian oleh Schlesinger et al. menunjukkan bahwa imunisasi hewan coba dengan protein NS1 dapat memicu terbentuknya imun respon protektif dimana antibodi anti-NS1 dapat melindungi terhadap infeksi virus dengue. Sehingga protein NS1 merupakan kandidat untuk vaksin.[6] Selain itu, protein NS1 juga merupakan kandidat untuk deteksi karena antibodi anti-NS1 dapat ditemukan di pasien penderita demam berdarah baik yang terkena infeksi primer maupun sekunder.[7] Potensi protein rekombinan NS1 terutama dari serotipe DENV-3 sebagai bahan dasar kit diagnostika dan vaksin sangat besar. Studi ini bertujuan memproProsiding InSINas 2012
0064: Fifit Juniarti dkk.
KO-6 duksi protein rekombinan NS1 yang dapat digunakan sebagai bahan dasar kit diagnostika. Protein rekombinan dapat diproduksi dalam beberapa sistem ekspresi seperti bakteri, yeast (jamur), tanaman maupun sel mamalia dalam kultur. Masingmasing sistem ekspresi memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing seperti terangkum dalam TABEL 1.[8] Dalam studi ini, protein rekombinan NS1 diekspresikan dalam E. coli walaupun sistem ini memiliki beberapa kekurangan namun sebagai sistem yang paling banyak dipelajari memiliki banyak keuntungan seperti terlihat dalam Tabel 2.[8] Dari berbagai sistem yang telah dikembangkan untuk ekspresi protein rekombinan dalam E. coli, sistem Glutathione S-transferase (GST) dapat mengekspresi, purifikasi dan deteksi protein rekombinan. Sistem ini berbasis pada ekspresi gen yang difusikan dengan GST untuk mempermudah deteksi dan purifikasi. Selain itu ekspresi gen yang tinggi dapat dikontrol karena memerlukan induksi untuk ekspresi.[9] Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam memproduksi protein rekombinan dalam E. coli adalah terbentuknya inclusion body yakni protein rekombinan beragregat dalam bentuk tidak larut dalam sitoplasma. Fenomena ini menjadi kendala dalam efisiensi produksi protein rekombinan. Salah satu faktor penentu terbentuknya inclusion body adalah suhu induksi dan konsentrasi IPTGyang digunakan.[10] Selain itu, metode lisis sel E. coli akan menentukan efisiensi produksi protein rekombinan. Studi ini bertujuan memperoleh metode optimal untuk produksi protein rekombinan NS1 dalam E. coli.
II.
METODOLOGI
Gen NS1 Gen NS1 yang digunakan adalah gen NS1 DEN-3 strain KJ71 yang diisolasi dari pasien di Jakarta pada KLB tahun 2004. Sample diperoleh dari kerjasama Pusat Teknologi Farmasi dan Medika - BPPT dengan Laboratorium Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran - Universitas Indonesia. Vektor pGEX-6P1 Vektor ekspresi yang digunakan adalah pGEX-6P1 dari GE Healthcare. Vektor ini menggunakan promotor tac yang ekspresinya diinduksi dengan isopropyl β-D thiogalactoside (IPTG) dan memiliki gen AmpR sehingga ampisilin dapat digunakan untuk seleksi Escherichia coli (E. coli) rekombinan.[8] Sel Inang Eschericia coli BL21 StarTM Sel inang yang digunakan adalah Eschericia coli BL21 StarTM . E. coli BL21 memiliki adalah strain E. coli yang protease-minussehingga menguntungkan untuk digunakan sebagai sistem ekspresi.[8]
Plasmid rekombinan pGEX-NS1 Secara ringkas, plasmid pGEX-6P1 dan gen NS1 DEN-3 strain KJ71 yang telah dipotong menggunakan enzim BamH1 dan Xho1 kemudian dipurifikasi dan dilakukan proses ligasi menggunakan enzim T4 ligase. E. coli BL21 rekombinan E.coli BL21 rekombinan dihasilkan dari proses transformasi E.coli BL21 dengan hasil ligasi plasmid pGEX6P1 dan gen NS1 DEN-3. Proses transformasi dilakukan menggunakan metode CaCl2. Hasil transformasi kemudian diseleksi menggunakan metode αkomplementasi, single-digestion BamH1 dan PCR. Ekstraksi protein rekombinan NS1 Optimasi proses ekstraksi protein NS1 dilakukan untuk memperoleh metode optimal untuk ekspresi. Faktor yang dioptimasi antara kondisi induksi dan metode ekstraksi. Secara garis besar, E. coli BL21 rekombinan yang telah ditumbuhkan overnight disubkultur dan kultur dengan OD600 0.2 diinduksi dengan IPTG. Setelah diinduksi, E. coli rekombinan kemudian dilisis secara fisik maupun kimiawi untuk memperoleh protein rekombinan NS1. Hasil lisis kemudian disentrifugasi untuk memisahkan supernatan dan pelet yang kemudian dianalisis untuk mendeteksi keberadaan protein rekombinan NS1. Lisis E. coli recombinan Setelah E. coli rekombinan diinduksi dengan IPTG guna mengekspresikan protein rekombinan, E. coli dilisis untuk memecah dinding sel dengan metode sebagai berikut: Sonikasi. Pelet E. coli rekombinan diresuspensi dalam PBS kemudian disonikasi selama 5 detik 20 kali. Kemudian hasil sonikasi disentrifugasi untuk memisahkan supernatan dan pellet. Frozen sonikasi. Pelet E. coli rekombinan dibekukan dalam Nitrogen cair sebelum diresuspensi dalam PBS kemudian disonikasi selama 5 detik 20 kali. Kemudian hasil sonikasi disentrifugasi untuk memisahkan supernatan dan pellet. R B-PER. B-PER Bacterial Protein Extraction Reagent adalah reagen untuk ekstraksi protein rekombinan dari Thermo Fisher Scientific Inc. Reagen ini menggunakan deterjen nonionic dalam 20 mM Tris·HCl (pH 7.5) untuk melisis sel bakteri. Pelet E. coli rekombinan diresuspensi dalam reagen B-PER, divorteks dan diinkubasi selama 10-15 menit sebelum disentrifugasi untuk memisahkan supernatan dan pelet. Frozen B-PER. Pelet E. coli rekombinan dibekukan dalam Nitrogen cair sebelum diresuspensi dalam reagen B-PER, divorteks dan diinkubasi selama 10-15 menit sebelum disentrifugasi untuk memisahkan supernatan dan pelet. Kombinasi sonikasi dan B-PER. Pelet E. coli rekombinan diresuspensi dalam PBS kemudian disonikasi seProsiding InSINas 2012
0064: Fifit Juniarti dkk.
KO-7 TABEL 1: Perbandingan berbagai system ekspresi protein rekombinan
Keuntungan
Kekurangan
Scale-up Harga Tahap pengembangan
Bakteri •Hasil tinggi •Berbagai pilihan system
Jamur (yeast) •Biomassa •Dapat disekresi
Kultur sel tanaman •Biomassa •Dapat disekresi
•Tidak ada modifikasi post translasi •Sulit disekresikan •Potensi sangat bagus •Rendah hingga menengah •Produksi
•Profil glikosilasi belum tentu tepat
•Profil glikosilasi belum tentu tepat
•Potensi sangat bagus •Rendah hingga menengah •Produksi
•Tidak terbatas
•Potensi bagus
•Rendah
•Tinggi hingga sangat tinggi •Produksi
•Pengembangan
Kultur sel mamalia •Dapat disekresi •Dapat digunakan untuk molekul kompleks •Hasil rendah
TABEL 2: Karakteristik sistem ekspresi E. coli
Keuntungan . Ekspresi cepat . Hasil tinggi . Modifikasi kultur dan genom mudah . Tidak mahal . Produksi skala besar cepat dan murah
lama 5 detik 20 kali. B-PER ditambahkan kepada hasil sonikasidivorteks dan diinkubasi selama 10-15 menit sebelum disentrifugasi untuk memisahkan supernatan dan pelet. Freeze thaw. Pelet E. coli rekombinan diresuspensi dalam PBS kemudiandimasukan ke dalam Nitrogen cair selama 1 menit dan dimasukan ke dalam air mendidih selama 30 detik atau 1 menit, diulang sebanyak 5 kali. Kemudian hasil freeze thaw disentrifugasi untuk memisahkan supernatan dan pellet. Deteksi Protein Rekombinan NS1 Protein rekombinan NS1 dideteksi dengan tiga metode yakni 1) Western blot, 2) Dot blot dan 3) ELISA. Metode dot blot dan ELISA dikembangkan untuk dapat menapis secara cepat protein rekombinan NS1. Western Blot. Gel poliakrilamid ditransfer ke membran nitroselulosa. Setelah protein ditransfer, membran direndam dalam larutan Ponceau S. dan dicuci dalam larutan asam asetat. Membran kemudian diblocking dengan skim milk dalam PBST overnight. Selanjutnya, membran diinkubasi dengan antibodi anti GST-HRP selama 2 jam. Kemudian membran dicuci dengan PBST. Untuk visualisasi membran direndam dalam substrat DAB (3,3’-Diaminobenzidine) dalam keadaan gelap. Dot Blot. Protein rekombinan diteteskna pada potongan membrane nitroselulose dan dibiarkan sampai kering di suhu ruang. Membran kemudian diblocking
Kekurangan . Tidak ada modifikasi post translasi . Protein diproduksi dengan endotoksin . Protein diproduksi dalam inclusion body
dengan skim milk dalam PBST overnight. Selanjutnya, membran diinkubasi dengan antibodi anti GST-HRP selama 2 jam. Kemudian membran dicuci dengan PBST. Untuk visualisasi membran direndam dalam substrat DAB (3,3’-Diaminobenzidine) dalam keadaan gelap. ELISA.96 well plate di coating dengan protein rekombinan dalam coating buffer (Na2 CO3 , NaHCO3 dan H2 O) overnight. Plate kemudian diblocking dengan skim milkselama 2 dicuci dengan PBST. Selanjutnya, membran diinkubasi dengan antibodi anti GST-HRP selama 2 jam. Kemudian membran dicuci dengan PBST. Untuk visualisasi membran direndam dalam substrat TMB(3,3f,5,5f-Tetramethylbenzidine) dalam keadaan gelap. Reaksi dihentikan dengan Stop Solution. Hasil dibaca menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konstruksi plasmid rekombinan pGEX-NS1.Plasmid rekombinan pGEX-NS1 yang telah ditransformasi ke dalam E. coli diverifikasi dengan metode digesti menggunakan enzim restriksi BamHI. Enzim BamHI dipilih sebagai enzim verifikasi karena dapat memotong plasmid rekombinan satu tempat pada situs perlekatan (ligasi) plasmid pGEX-6P1 dan gen NS1 dengue sehingga pita DNA yang tampak pada hasil elektroforesis adalah pita linier tunggal berukuran 6.120 pb, hasil ligasi frag-
Prosiding InSINas 2012
KO-8
0064: Fifit Juniarti dkk.
men gen NS1 dengue (∼1.160 pb) dan vektor pGEX-6P1 (4.960 pb) (G AMBAR 1).
G AMBAR 2: Hasil verifikasi plasmid rekombinan pGEX-NS1 dengan amplifikasi PCR. 1: Kontrol negatif PCR, 2: Kontrol positif PCR,3: Plasmid rekombinan pGEX-NS1, M: Marker DNA 1 kb Plus DNA Ladders
G AMBAR 1: Hasil verifikasi plasmid rekombinan pGEX-NS1 dengan digesti BamHI. M: Marker 1kb Plus DNA ladders, 1: Kontrol plasmid pGEX-6P1, 2: Plasmid rekombinan pGEX-NS1
Selain itu hasil transformasi E. coli dengan plasmid rekombinan pGEX-NS1 diverifikasi dengan amplifikasi PCR dan hasil pada gel agarosa merupakan fragmen gen NS1 dengue berukuran 1.160 pb (G AMBAR 2). Induksi ekspresi protein rekombinan NS1 dengan IPTG.Berbagai literatur menyatakan bahwa suhu dan lama induksi dapat mempengaruhi terbentuknya inclusion body. Studi ini melakukan optimasi suhu induksi yakni 29 ◦ C dan 25 ◦ C serta lama induksi yakni overnight dan 1 jam. Hipotesanya adalah apabila induksi dilakukan pada suhu rendah dan cepat maka protein rekombinan akan diproduksi secara perlahan dan waktu induksi yang cepat membuat protein rekombinan masih larut tidak membentuk inclusion body. Induksi E. coli rekombinan pada suhu 29 ◦ C dengan IPTG overnight menghasilkan protein yang larut (supernatan) walaupun masih sangat sedikit dibandingkan dengan induksi IPTG 1 jam (G AMBAR 3). Sehingga dapat disimpulkan bahwa induksi selama 1 jam belum cukup lama untuk memproduksi protein rekombinan dalam jumlah yang cukup untuk dideteksi. Namun, ketika induksi IPTG dilakukan pada suhu 25 ◦ C terlihat bahwa produksi protein rekombinan yang larut (supernatant) sudah semakin banyak namun
G AMBAR 3: SDS-page pada induksi IPTG pada suhu 29 ◦ C dan lisis E. coli dengan sonikasi. M: Marker page ruler prestained ladder, 1: BL21 pellet induksi overnight, 2: BL21 supernatan induksi overnight, 3: pGEX pellet induksi overnight, 4: pGEX supernatan induksi overnight, 5: GST NS1 pellet induksi overnight, 6: GST NS1 supernatan induksi overnight, 7: BL21 supernatan induksi 1 jam, 8: BL21 supernatan induksi 1 jam, 9: pGEX pellet induksi 1 jam, 10: pGEX supernatan induksi 1 jam, 11: GST NS1 pellet induksi 1 jam, 12: GST NS1 supernatan induksi 1 jam
masih lebih dominan yang tidak larut (G AMBAR 3). Lisis E. coli rekombinan. Untuk memperoleh protein rekombinan, E. coli rekombinan harus terlebih dahulu guna memecah dinding sel E. coli. Lisis sel dapat dilakukan secara fisik, kimiawi maupun kombinasi. Metode lisis sel yang paling sering digunakan adalah dengan sonikasi yang menghasilkan protein yang larut (supernatan) namun metode ini masih belum optimal (G AMBAR 5) dengan terlihatnya protein di pelet yang cukup signifikan. Oleh sebab itu dilakukan optimasi metode lisis baik secara fisik dengan sonikasi, kimiawi dengan kit BProsiding InSINas 2012
0064: Fifit Juniarti dkk.
KO-9
G AMBAR 5: SDS-page hasil lisis E. coli dengan sonikasi. 1: Marker page ruler unstained ladder, 2: BL21 pellet, 3: BL21 supernatan, 4: pGEX pellet, 5: pGEX supernatan, 6: GST NS1 pellet, 7: GST NS1 supernatan, 8: BL21 supernatan, 9: pGEX supernatan, 10: GST NS1 supernatan
G AMBAR 4: SDS-page pada induksi IPTG pada suhu 25 ◦ C dan lisis E. coli dengan sonikasi. M: Marker Page ruler Prestained protein ladder, 1: Pellet GST NS1(kultur 20 ml induksi overnight) sonikasi, 2: Supernatan GST NS1 (kultur 20 ml induksi overnight) sonikasi,3: Pellet GST NS1 (kultur 20 ml induksi overnight) BPER, 4: Supernatan GST NS1 (kultur 20 ml induksi overnight) B-PER, 5: Pellet GST NS1 (kultur300 ml induksi overnight) sonikasi,6: Supernatan GST NS1 (kultur 300 ml induksi overnight) sonikasi, 7: Pellet GST NS1 (kultur 200 ml induksi overnight) sonikasi, 8: Supernatan GST NS1(kultur 200 ml induksi overnight) sonikasi,9: Pellet GST NS1 (kultur 100 ml induksi 1 jam) sonikasi, 10: Supernatan GST NS1 (kultur 100 ml induksi 1 jam) sonikasi, 11: Pellet GST NS1 (kultur 100 ml induksi 1 jam) BPER, 12: Supernatan GST NS1 (kultur 100 ml induksi 1 jam) BPER, 13: Pellet GST NS1 (kultur 20 ml induksi overnight dilanjutkan inkubasi suhu 37 ◦ C 1 jam) sonikasi, 14: Supernatan GST NS1(kultur 20 ml induksi overnight dilanjutkan inkubasi suhu 37 ◦ C 1 jam) sonikasi, 15: Pellet BL21 sonikasi, 16: Supernatan BL21 sonikasi, 17: Pellet GST sonikasi, 18: Supernatan GST sonikasi
PER maupun kombinasi. Namun hasil ekstraksi dengan metode ini belum menunjukkan hasil yang signifikan (G AMBAR 6). Terlihat hasil yang menarik pada E. coli rekombinan yang dilisis dengan menggunakan B-PER menghasilkan pita tebal yang baru pada supernatan perlu dilakukan uji western blot untuk mendeteksi keberadaan protein rekombinan. Metode lain untuk melisis sel yang juga sering digunakan adalah metode freeze thaw. Dalam metode ini perubahan suhu ekstrem dan cepat diharapkan mempercepat proses lisis sel. Dengan metode freeze thaw
G AMBAR 6: SDS-page hasil lisis E. coli dengan metode fisik dengan sonikasi, kimiawi dengan kit B-PER maupun kombinasi. 1: Marker page ruler unstained ladder, 2: Pellet GST NS1 Sonikasi, 3: Supernatan GST NS1 sonikasi, 4: Pellet GST NS1 sonikasi BPER, 5: Supernatan GST NS1 B-PER, 6: Pellet GST NS1 B-PER, 7: Supernatan GST NS1 B-PER
ini terlihat bahwa protein yang larut sudah lebih dominan daripada yang tidak larut (G AMBAR 7). Penggunaan buffer lisis, juga dapat digunakan untuk melisis E. coli rekombinan. Dengan menggunakan buffer tersebut terlihat bahwa terdapat protein yang larut namun sebagian besar masih tetap tidak larut pellet (G AMBAR 8). Namun semua data hasil ekstraksi belum mendeteksi keberadaan protein rekombinan NS1. Keberadaan protein rekombinan NS1 dideteksi menggunakan Western blot, dot blot maupun ELISA. Prosiding InSINas 2012
KO-10
G AMBAR 7: SDS-page hasil lisis E. coli dengan metode freeze thaw dan pre-treatment pembekuan dalam nitrogen cair (frozen). 1: Marker Page ruler Unstained ladder, 2: Pelet GST NS1 freeze thaw (1 menit freeze 1 menit thaw), 3: Supernatan GST NS1 freeze thaw (1 menit freeze 1 menit thaw), 4: Supernatan GST NS1 freeze thaw (1 menit freeze 30 detik thaw), 5: Pelet GST NS1 freeze thaw (1 menit freeze 30 detik thaw), 6: Pellet GST NS1 froz B-PER, 7: Supernatan GST NS1 froz B-PER, 8: Pellet GST NS1 sonikasi BPER, 9: Supernatan GST NS1 froz sonikasi, 10: Supernatan GST NS1 sonikasi B-PER
0064: Fifit Juniarti dkk.
G AMBAR 9: Skema deteksi protein rekombinan NS1-GST
teksi dengan western blot (G AMBAR 10). Hasil Western blot menunjukkan bahwa protein rekombinan NS1 masih belum terlarut (pellet).
G AMBAR 8: SDS-page hasil lisis E. coli dengan metode sonikasi dalam lysis buffer. 1: Marker page ruler prestained protein ladder, 2: Pellet GST NS1 (a) sonikasi, 3: Supernatan GST NS1 (a) sonikasi; 4: Pellet GST NS1 (a) sonikasi lysis buffer I, 5: Supernatan GST NS1 (a) sonikasi lysis buffer I, 6: Pellet GST NS1 (a) sonikasi lysis buffer II, 7: Supernatan GST NS1 (a) sonikasi lysis buffer II, 8: Pellet GST NS1 (d) sonikasi, 9: Supernatan GST NS1 (d) sonikasi, 10: Pellet GST NS1 (d) sonikasi lysis buffer I, 11: Supernatan GST NS1 (d) sonikasi lysis buffer I, 12: Pellet GST NS1 (d) sonikasi lysis buffer II, 13: Supernatan GST NS1 (d) sonikasi lysis buffer II
Deteksi protein rekombinan NS1. Untuk mendeteksi keberadaan protein rekombinan NS1, tiga metode dikembangkan yakni Western blot, dot blot maupun ELISA. Protein rekombinan NS1 yang diproduksi merupakan protein NS1 yang difusi dengan GST, untuk keperluan deteksi antibodi anti-GST digunakan. Prinsip deteksi protein rekombinan NS1-GST digambarkan pada G AMBAR 9. Protein rekombinan NS1 yang diekstraksi dengan melisis E. coli rekombinan secara fisik dengan sonikasi, kimiawi dengan kit B-PER maupun kombinasi dide-
G AMBAR 10: Western blot hasil lisis E. coli dengan metode fisik dengan sonikasi, kimiawi dengan kit B-PER maupun kombinasi. M: marker, 1: Supernatan pGEX sonikasi, 2:Supernatan pGEX BPER, 3: Pelet NS1 non treatment, 4: Pelet NS1 sonikasi, 5: Supernatan NS1 sonikasi, 6: Pelet NS1 BPER, 7: Supernatan NS1 BP, 8: Supernatan NS1 sonikasi BPER, 9: Supernatan NS1 sonikasi BPER
Sedangkan deteksi protein rekombinan NS1 yang dihasilkan E. coli rekombinan dilisis menggunakan metode freeze thaw dideteksi dengan metode dot blot (G AMBAR 11). Metode ini dikembangkan guna mendeteksi keberadaan protein rekombinan NS1 secara cepat. Prosiding InSINas 2012
0064: Fifit Juniarti dkk. Supernatan dari hasil lisis E. coli rekombinan dengan metode freeze thaw menunjukkan keberadaan protein rekombinan NS1 namun yang tidak larut masih tetap lebih banyak.
G AMBAR 11: Dot blot hasil lisis E. coli dengan metode freeze thaw dan pre-treatment pembekuan dalam nitrogen cair (frozen). 1: Pellet GST-NS1freeze bPER, 2: Supenatan GST-NS1 freeze bPER, 3: Pellet GST-NS1 freeze bPER sonikasi, 4: Supernatant GST-NS1 freeze sonikasi, 5: Supernatant GST-NS1 freeze bPER sonikasi, 6: Pellet GST-NS1 freeze thaw sonikasi, 7: Supernatan GST-NS1 freeze thaw, 8: Supernatan GST-NS1 freeze thaw sonikasi, 9: Pellet GSTNS1 freeze thaw, 10: Supernatan GST-NS1 freeze thaw, C. Kontrol negative
Protein rekombinan NS1 yang dihasilkan E. coli rekombinan dilisis menggunakan metode sonikasi dalam lysis buffer dideteksi dengan western blot (G AM BAR 12 ). Protein rekombinan NS1 terlihat positif pada hasil Western blot sample supernatan GST NS1 (b).
G AMBAR 12: Western blot hasil lisis E. coli dengan metode sonikasi dalam lysis buffer. 1: Supernatan GST NS1 (a37), 2: Pellet GST NS1 (a37), 3: Pellet GST NS1 non treatment (+), 4: Supernatan GST NS1 (d), 5: Pellet GST NS1 (d), 6: Supernatan GST NS1 (c), 7: Pellet GST NS1 (c), 8: Supernatan GST NS1 (b), 9: Pellet GST NS1 (b), 10: Supernatan GST NS1 (a), 11: Pellet GST NS1 (a)
KO-11 tein rekombinan masih banyak terdapat dipelet (tidak larut), namun dengan perlakuan lysis buffer II menghasilkan protein soluble yang lebih tinggi.
G AMBAR 13: Analisis ELISA hasil lisis E. coli dengan metode sonikasi dalam lysis buffer. A1: Pellet GST NS1 sonikasi, A4: Pellet GST NS1 sonikasi dengan lysis buffer I, A5: Pellet GST NS1 sonikasi dengan lysis buffer II, B2: Pellet GST NS1 sonikasi dengan lysis buffer I, C2: Pellet GST NS1 sonikasi, D3: Pellet GST NS1 sonikasi lysis buffer I, D1: Pellet GST NS1 sonikasi, D4: Pellet GST NS1 sonikasi dengan lysis buffer II, pGEX, B: kontrol negative
IV.
KESIMPULAN
Permasalahan yang sering manjadi kendala dalam memproduksi protein rekombinan dalam E. coli adalah terbentuknya inclusion body. Beberapa faktor yang dapat meningkatkan jumlah protein rekombinan yang larut dan mengurangi terbentuknya inclusion body adalah kondisi induksi dengan IPTG dan metode lisis E. coli rekombinan. Dalam studi ini dapat disimpulkan bahwa kondisi optimal produksi protein rekombinan NS1 adalah dengan induksi IPTG pada suhu 25 ◦ C overnight dan melisis sel dengan menggunakan sonikasi dalam buffer lisis. Melihat potensi NS1 sebagai bahan dasar pengembangan kit diagnostika, studi ini mengembangkan metode deteksi protein rekombinan NS1 dengan pendekatan dot blot dan ELISA. Masing masing metode yang dikembangkan memilikikelebihan masing masing yakni metode dot blot dapat mendeteksi protein rekombinan NS1 dalam waktu cepat sedangkan metode ELISA bersifat semi kuantitatif.
DAFTAR PUSTAKA Dalam studi ini dikembangkan metode deteksi protein rekombinan NS1 berbasis ELISA, keunggulan metode ini adalah dapat mendeteksi protein rekombinan NS1 secara semi kuantitatif. Protein dalam E. coli rekombinan yang dilisis menggunakan metode sonikasi dalam lysis buffer dideteksi dengan ELISA (G AMBAR 13). Hasil analisa ELISA menunjukkan pro-
[1] Setiati, TA., Wagenaar, JFP., de Kruif, MD., Mairuhu, ATA., van Gorp, ECM. dan Soemantri, A. (2006), Changing Epidemiology of Dengue Haemmorrhagic Fever in Indonesia, Dengue Bulletin, 30:1-14 [2] Rice CM, Lenches EM, Eddy SR, Shin SJ, Sheet RL, Strauss JH. 1985. Nucleotide sequence of yellow Prosiding InSINas 2012
KO-12
[3]
[4]
[5]
[6]
[7]
[8]
[9] [10]
0064: Fifit Juniarti dkk.
fever virus: implication for flavivirus gene expression and evolution. Science 229:726-733. Mackenzie, JM., Jones, MK. and Young PR. (1996), Immunolocalization of the Dengue Virus Nonstructural Glycoprotein NS1 Suggest a Role in Viral RNA Replication, Virol. 220: 232-240 Falconar AKI, Young PR. 1990. Immunoaffinity purification of native dimer forms of the flavivirus nonstructural glycoprotein, NS1. J Virol Methods 30:323-332. Schlesiger JJ, Brandriss MW, Walsh EE. 1987. Protection of mice against dengue 2 virus encephalitis by immunization with the dengue 2 virus nonstructural glycoprotein NS1. J Gen Virol 68:853-857. Huang, JL., Huang, JH., Shyu, RH., Teng, CW., Lin, YL., Kuo, MD., Yao, CW. dan Shaio, MF. (2001), High-Level Expression of Recombinant Dengue Viral NS-1 Protein and Its Potential Use as a Diagnostic Antigen, J Med Virol, 65:553-60 Sodoyer, R. (2004), Expression Systems for the Production of Recombinant Pharmaceuticals, Biodrugs, 18(1): 51-62 Demain, AL. dan Vaishnav, P. (2009), Production of Recombinant Proteins by Microbes and Higher Organisms, Biotechnology Advances, 27: 297-306 Amersham Biosciences, GST Gene Fusion System Strandberg, L. dan Enfors, SO. (1991), Factors Influencing Inclusion Body Formation in the Production of a Fused Protein in Escherichia coli, Appl. Environ. Microbiol., 57(6):1669-74
Prosiding InSINas 2012