0
Nilai Novel Kombinasi Nilai Antingen NS1, Antibodi IgM dan IgG Anti Dengue Dalam Memprediksi Outcome Infeksi Virus Dengue di Makassar Rachmat Latief ABSTRAK Angka kejadian dan kematian akibat infeksi virus dengue masih tinggi khususnya DBD dengan renjatan. Manifestasi klinis infeksi virus dengue sangat beragam dan outcome penyakit DBD (prognosis) sulit diramalkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran dan nilai prognostik kadar antigen NS1 dengue, dan antibodi IgG dan IgM anti dengue serum akut penderita demam dengue atau demam berdarah dengue. Penelitian ini dilakukan dengan disain kohort prospektif dengan sampel penelitian adalah penderita demam dengue atau demam berdarah dengue berumur lebih dari 15 tahun yang dirawat di RSU Labuang Baji, RSU Daya, RSU Haji, RS Hikmah, dan RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi yaitu 80 orang. Penelitian ini membuktikan peran antigen NS1 dengue dan antibodi IgG dan IgM anti dengue dalam mendeteksi lebih dini kejadian renjatan atau tidak renjatan akibat infeksi virus dengue. Pada infeksi virus dengue yang mengalami renjatan mempunyai kadar antigen NS1 tinggi, antibodi IgG anti dengue tinggi; sebaliknya pada infeksi virus dengue yang tidak renjatan mempunyai kadar antigen NS1 rendah, antibodi IgG anti dengue rendah. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar antibodi IgM anti dengue pada infeksi virus dengue yang mengalami renjatan dan tidak renjatan. Pada infeksi virus dengue, kombinasi titik potong NS1 > 1.7 dan IgG > 23, NS1*IgG/IgM > 2.7, NS1 > 1.7 dan IgG/IgM > 0.4, dan NS1*IgG > 76 memberikan prediksi terjadinya outcome renjatan masing-masing sebesar 88.9%, 100%, 100%, dan 94.4%; sebaliknya NS1 < 1.7 dan IgG < 23, NS1*IgG/IgM < 2.7, NS1 < 1.7 dan IgG/IgM < 0.4, dan NS1*IgG < 76 memberikan prediksi tidak terjadinya outcome renjatan masing-masing sebesar 98.4%, 85.5%, 33.9%, dan 96.8%.
Kata kunci: Infeksi virus dengue, antigen NS1 dengue, antibodi IgG dan IgM anti dengue, nilai novel. ABSTRACT The prevalence and mortality because of dengue viral infection is still high particularly dengue haemorrhagic fever with shock. Clinical manifestation of dengue viral infection highly varies and the outcome is hard to predict. This study aim to analyze the role and prognostic value of acute serum level of dengue NS1 antigen and antibody of IgG and IgM anti dengue in dengue fever or dengue haemorrhagic fever. The study design was kohort prospective on dengue fever or dengue haemorrhagic fever patients with age more than 15 years old being admitted in Labuang Baji Hospital, Daya Hospital, Haji Hospital, Hikmah Hospital and Dr. Wahidin Sudirohusodo Hospital in Makassar. Data were collected from 80 samples fulfilling inclusion criteria. The study proves the role of dengue NS1 antigen and antibody of IgG and IgM anti dengue for early detection of shock in dengue viral infection. In dengue viral infection that developed shock, the level of NS1 antigen was high, antibody of IgG anti dengue was high; otherwise in dengue viral infection that did not develop shock, the NS1 antigen was low, antibody of IgG anti dengue was low. There is no statistically significant difference between antibody of IgM anti dengue in dengue haemorrhagic fever that developed shock and not developing shock. In dengue viral infection, the combination of cut off values of NS1 > 1.7 and IgG > 23, NS1*IgG/IgM > 2.7, NS1 > 1.7 and IgG/IgM > 0.4, and NS1*IgG > 76 gave the prediction of outcome of shock for happening as much as 88.9%, 100%, 100%, dan 94.4%, respectively; otherwise the value of NS1 < 1.7 and IgG < 23, NS1*IgG/IgM < 2.7, NS1 < 1.7 and IgG/IgM < 0.4, and NS1*IgG < 76 gave the prediction of outcome of shock for not happening as much as 98.4%, 85.5%, 33.9%, dan 96.8%. KEYWORDS Dengue viral infection, Dengue NS1 antigen, IgG and IgM Anti dengue Antibody, Novel value
1
Pendahuluan Demam berdarah (DB) dan demam berdarah dengue (DBD) hingga kini masih merupakan masalah serius bagi pemerintah maupun masyarakat di Indonesia. Masalah terkait dengan infeksi DBD adalah angka kesakitan dan kematian yang belum kunjung reda. Diperkirakan terjadi 100 juta kasus DBD setiap tahun, dan 2,5 miliar orang berisiko tinggi terinfeksi dengue di dunia (Aryati 2006, Nasronudin 2007, Soedarmo SP 1999). Beberapa hal memerlukan perhatian serius dari semua pihak, seperti:(1). Penyakit ini semula terjadi di seputar musim penghujan tetapi kini hampir pada setiap situasi di berbagai daerah masih terjadi kasus DBD;(2). Adanya potensi penggeseran umur penderita DBD dari anak ke dewasa (Nasronudin 2007). Sebelum tahun 1997 angka kejadian DB dewasa masih sekitar 15,5%, maka pada tahun 1999 menjadi 33,3%, tahun 2002 dan seterusnya menjadi 36,8% kasus. Menurut data Departemen Kesehatan hingga Maret 2004 selama berlangsungnya kejadian luar biasa (KLB), 526 orang dari pelbagai daerah di Indonesia meninggal akibat penyakit DBD (Nasronudin 2007, Suroso T, Umar AI. 1999). Pada tahun 2007, Di seluruh Indonesia dengan total penduduk 219.250.888 jiwa, terdapat 145.880 kasus DBD (CFR 1,02%, IR 66,54), untuk tingkat Propinsi Sulawesi Selatan dengan penduduk 7.425.601 jiwa terdapat 2732 kasus DBD (CFR 1,09%, IR 36,79), dan khusus di Kota Makassar dengan penduduk 1.164.380 jiwa didapatkan sebanyak 407 kasus (CFR 0,7%, IR 34,95). (3). Tingkat keseriusan penderita DB dewasa yang juga semakin tinggi sehingga tidak sedikit yang mengancam jiwa (Dinkes Sulsel 2008). Berbagai faktor terlibat sehubungan masih tingginya angka kejadian dan kematian akibat DBD, yaitu:(1). Faktor virus dengue yang akhir-akhir ini potensial mengalami mutasi genetik ke arah lebih virulen yang menyebabkan tingkat keseriusan penderita DBD dewasa semakin berat;(2). Vektor nyamuk Aedes aegypti potensial mengalami perubahan gaya hidup yang cenderung menjadi lebih ramah lingkungan. Kalau dahulu nyamuk Aedes aegypti hanya hidup dan berkembang biak di air bersih, sekarang pada berbagai kondisi air pun bisa. Meskipun untuk ini diperlukan langkah konkret melalui penelitian lebih lanjut;(3). Bagaimana respons imun host, apakah ada perubahan dalam sistem kekebalan alamiah dan kekebalan didapat dalam memberikan respons terhadap virus dengue. Beberapa masalah tersebut tentunya merupakan hal serius yang perlu dicari jalan keluarnya. Pemahaman yang saksama terhadap perjalanan infeksi virus dengue sangat perlu dalam rangka menemu-kenali secara dini dan menangani dengan cepat dan tepat setiap kasus DBD (Gibbons R, Vaughn DW. 2002, Nasronudin 2007). Terdapat beberapa hipotesis yang diterima saat ini pada bentuk infeksi virus dengue yang berat, yaitu (Cuang-liang K, et.al. 2005, Goncalvez AP, Escalante AA, Pujol FH, et.al. 2002, Noisakran S, Chuenperng G. 2008, Young PR, Hilditch PA, Cletchly C, et.al. 2000) : 1. ADE (Ab-dependent Enhancement):Infeksi sekunder oleh vius-virus heterotipik akan menyebabkan tingginya produksi antibodi yang tidak mampu menetralkan virus-virus tersebut, namun terdapat peningkatan pada perlekatan pada sel dendritik yang selanjutnya akan menyebabkan peningkatan replikasi intrasel. 2. Beban Virus (Viral Load) :Tingginya titer virus tampaknya berkorelasi dengan derajat penyakit, kemungkinan disebabkan oleh lebih beratnya respon imun yang tidak hanya mengenai virus-virus tersebut, namun juga pada jaringan yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya kebocoran plasma dan perdarahan. Kemampuan untuk memprediksi timbulnya kasus berat masih belum memadai, berhubung patogenesis dari manifestasi klinis atau derajat penyakit hingga saat ini masih merupakan suatu misteri (Soegijanto S. 2006). Sesuai dengan masalah di atas, perlu alat diagnostik yang dapat membantu diagnosis infeksi virus dengue secara dini. Diagnosis Demam Dengue (DD)
2
ditegakkan melalui pemeriksaan klinis dan laboratorium (Wuryadi S. 1999, WHO 1997). Diagnosis laboratorium/serologis infeksi virus dengue yang sampai saat ini masih merupakan standard WHO adalah uji hambatan hemaglutinasi (Hemagglutination Inhibition test = HI). Metode ini dapat menentukan infeksi primer atau infeksi sekunder, cukup sensitif tetapi tidak spesifik oleh karena infeksi oleh famili flavavirus lainnya juga dapat terdeteksi (Nuryati S, Aryati, Probohoesodo 2004). Uji serologis terdahulu seperti uji fiksasi komplemen dan uji netralisasi tidak digunakan lagi karena kurang sensitif, tidak praktis, mahal, perlu waktu pengerjaan yang lama serta teknik yang sukar. Uji serologis lain yang mendeteksi adanya antibodi IgM maupun IgG spesifik terhadap dengue antara lain dengue blot/dengue stik/dot imunoasai dengue, uji Indirek ELISA, uji Capture ELISA untuk dengue baik IgM Captured-ELISA (MAC-ELISA) maupun IgG Captured - ELISA dan uji ICT (Immunochromatographic Test) misalnya dengue rapid test (Aryati 2001). Diagnosis pasti infeksi virus dengue dilakukan dengan cara isolasi/kultur virus maupun deteksi RNA virus dengan metode Reverse Transcriptase – Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), dan saat ini dianggap sebagai gold standard untuk mendeteksi virus dengue, namun memiliki keterbatasan dalam hal biaya dan teknis pengerjaannya (Aryati 2001). Penelitian terbaru yang menggunakan teknik ELISA dan dot blot untuk mendeteksi antigen E/M (envelope/membran) dan antigen NS1 (nonstruktural 1) menunjukkan konsentrasinya yang tinggi pada serum fase akut infeksi virus dengue baik yang primer maupun sekunder sampai hari ke 9 setelah onset penyakit, sehingga antigen NS1 digunakan sebagai marker untuk deteksi awal infeksi virus dengue (Kumarasamy V, Chua SK, Hassan Z, et.al. 2007, Shu PY, Chen LK, Chang SF, et.al. 2004). Antigen NS1/NS1 Antigen (46kD) adalah protein nonstruktural 1, merupakan glikoprotein yang berperan dalam siklus kehidupan virus, namun mekanismenya belum jelas diketahui. Antigen NS1 ditemukan dalam bentuk sekresi dan non-sekresi dengan kadar yang tinggi pada penderita infeksi akut virus dengue (Alcon S, Drouet MT. 2005, Dussart P, Labeau B, Lagathu G, et.al. 2006). Antigen NS1 dapat dideteksi didalam serum atau plasma pada hari 1-9 onset demam. Bila dibandingkan dengan antibodi IgM yang dapat terdeteksi pada hari ke 3-5, maka deteksi antigen NS1 untuk diagnosis DD adalah lebih cepat sehingga monitoring dan suportif pada pasien akan lebih cepat dan diharapkan akan mengurangi resiko komplikasi DBD atau Dengue Shock Syndrome (DSS). Alcon, dkk. mendapatkan persentase antigen NS1 metode ELISA yang positif pada serum pasien infeksi dengue yaitu masing-masing 80% pada hari ke 1, 60% pada hari ke 2, 93% pada hari ke 3, dan pada hari 4 dan lima keduanya 100% (Alcon S, Talarmin A, Debruyne M, et.al. 2002). Apaiwan, dkk. menemukan bahwa dari pasien yang teinfeksi dengue terdapat 100% yang positif antigen NS1 pada hari 2, 92,3% pada hari ke 3, 76,9% pada hari ke 4, 56,5% pada hari ke 5 (Ampaiwan C. Wathanee C, et.al. 2007). Dussart melaporkan hasil penelitiannya tentang antigen NS1 metode ELISA pada penderita DD di Paris menunjukkan angka sensitivitas dan spesifitas yang tinggi masing-masing 88,7 % dan 98,8% (Dussart P, Labeau B, Lagathu G, et.al. 2006). Yang menjadi masalah dalam penelitian ini ialah 1).Apakah kombinasi nilai antigen NS1 dengue, antibodi IgG dan IgM anti dengue dapat digunakan sebagai parameter untuk memprediksi prognosis infeksi virus dengue, dan 2). Berapa nilai cut off point kombinasi ketiga parameter tersebut antara kasus ringan dengan kasus yang mungkin menjadi kasus berat (renjatan). Demam Dengue Demam dengue (DD)/dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue (DBD)/dengue haemoragic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh homokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
3
tubuh. Sindrom renjatan dengue/dengue shock syndrome (DSS) adalah DBD yang ditandai oleh renjatan/syok (Balmaseda A, Hammond SN, Perez L, et.al. 2006, Nasronudin 2007, Soegijanto S. 2006). Karakteristik Virus Dengue Virus dengue (DENV) merupakan anggota dari group B arbovirus yang mempunyai genom RNA rantai tunggal (single-stranded RNA genome) yang dikelilingi oleh nukleokapsid ikosahedral dan terbungkus oleh selaput/envelope lipid bilayer yang mengandung 2 protein yaitu protein Envelope (E) dan membran-associated protein (M) (Gambar 1). Virus-virus dengue ditularkan ke tubuh manusia melalui gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi, terutama Aedes aegepty, sehingga virus dengue dianggap sebagai arbovirus (virus yang ditularkan melalui arthropoda). (Chunlin Z. 2004, Clyde K, Kyle JL, Harris E. 2006, World Health Organisation. 1997). Determinan Antigenik Virus Dengue Virus dengue mempunyai dua macam protein yaitu protein struktural (E, M dan C) dan protein nonstruktural (NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, NS5) (Gambar 2). Dari kedua protein tersebut yang mempunyai sifat antigenik adalah : (1). protein E, (2). protein Pr M dan (3).protein NS1. (Bumi C, Rantam FA. 2006, Chen Y, Manguire T, Hileman RE, et.al. 1997, Soegijanto S. 2006, World Health Organisation. 1997). Protein NS1 Protein NS1 merupakan glikoprotein dengan berat molekul 50 kDa diekspresikan dalam dua bentuk yaitu : membran associated (mNS1) dan secreted (sNS1). (Paul Y. 2004). Protein NS1 mempunyai sifat imunogenik yang tinggi dibandingkan dengan protein nonstruktural yang lain meskipun belum banyak diketahui fungsinya. Protein NS3 dan NS5 dapat merangsang imunitas humoral meskipun pengaruhnya sangat kecil bila dibandingkan protein NS1. (Bumi C, Rantam FA. 2006, Young PR, Hilditch PA, Cletchly C, et.al. 2000). Antibodi IgM dan IgG Anti Dengue Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sel retikuloendotelial yang selanjutnya diikuti dengan viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respons imun baik humoral maupun selluler (antinetralisasi, antihemaglutinasi, antikomplemen). Antibodi yang muncul pada umumnya adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk dan pada infeksi sekunder dimana kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster effect). (Shu PY, Chen LK, Chang SF, et.al. 2003, Soegijanto S. 2006, Suroso, Cristiatoro T. 2004). Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue Penatalaksanaan DBD dan SSD tentu tidak saja mengandalkan cairan kristaloid semata, dan menunda cairan koloid. Bila parameter biokimiawi dan parameter seluler sudah nyata menunjukkan kegoncangan pada sistem protektor tubuh. Bila didapatkan petanda ke arah syok, misalnya: pertama, di tingkat sel terdapat petanda peningkatan kadar Hb dan hematokrit yang nyata sebagai cerminan kebocoran endotel; PPT dan APTT memanjang; terdapat perubahan drastis kadar elektrolit. Kedua, tingkat klinis, didapatkan petanda subyektif penderita mengeluh semakin lemah dan lesu, objektif terdapat hemodinamik cenderung berubah ke arah yang tidak stabil. Penatalaksanaan cairan dan nutrisi tentu mempunyai kontribusi positif bagi penderita. Di samping cairan kristaloid, maka cairan koloid yang isoosmotik dan isoonkotik dapat diberikan secara simultan sesuai situasi dan kondisi. Cairan koloid dengan BM 100-300 Dalton mempunyai efek menyumpal kebocoran endotel sehingga mempunyai potensi menghadang perjalanan infeksi menuju SSD serta memulihkannya. Di sisi lain respons imun perlu diperkokoh melalui dukungan nutrisi berbasis makronutrien dan mikronutrien sehingga progresivitas infeksi ke gradasi berat dan merusak berbagai organ dapat dihindarkan.
4
(Hadenegoro SRH, Soegijanto S. 1999, Iskandar Z, Tambunan KL, Nelwan RHH, dkk. 1999, Nasronudin 2007, Nasronudin 2007). Syok pada Demam Berdarah Dengue Berbagai induktor peningkatan permeabilitas vaskuler, perpindahan plasma hebat dan sindrom syok dengue sangat tergantung pada multifaktor termasuk (Balmaseda A, Hammond SN, Perez L, et.al. 2006, Clyde K, Kyle JL, Harris E. 2006, Darcy A, Clothier H, Phillips D, et.al. 2001, Darwis D. 1999, Gil L, Martinez G, Tapanes R, et.al. 2004) : a. Produksi antibodi nonnetralisasi dan penguatan produksi dan sekresi mediator, sitokin, radikal bebas, enzim PLA2, b. Kecenderungan penurunan kerentanan terhadap infeksi DBD/SSD setelah usia 12 tahun, c.Perempuan cenderung lebih rentan daripada laki-laki. Ras Caucasians lebih mudah terinfeksi virus dengue daripada ras kulit hitam, d. Status nutrisi individu, dan e. Serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4). bSehubungan dengan berbagai induktor yang berpengaruh terhadap potensi infeksi dan perjalanan penyakit DB, DBD, SSD tersebut disarankan perlunya dilakukan penelitian melalui paradigma genetika molekuler untuk mengungkap berbagai masalah tersebut. Metode penelitian Penelitian dilakukan dalam bentuk penelitian prospektif, dimana peneliti mengikuti perkembangan penyakit pasien infeksi virus dengue selama dalam perawatan, setelah terlebih dahulu mengukur kadar serum NS1 dengue dan IgG/IgM anti dengue pada saat pasien masuk rumah sakit.Penelitian dilakukan di beberapa rumah sakit pemerintah/swasta di Kota Makassar, yaitu :RSU Labuang Baji, Makassar, RSU Daya, Makassar, RSU Haji, Makassar, RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar, RS Hikmah, Makassar, dan Pemeriksaan serum NS1/IgG/IgM penderita dilakukan di Laborato-rium Unit Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. Populasi penelitan adalah semua penderita DD dan DBD yang di dirawat di beberapa rumah sakit pemerintah dan swasta di Kota Makassar. Sampel penelitian adalah semua penderita DD/DBD yang di rawat di RSU. Labuang Baji, RSU. Daya, RSU. Haji, RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Hikmah Makassar antara tahun 2009-2010. Sampling dilakukan dengan cara exhaustive sampling pada rumah sakit tempat penelitian, besar sampling tidak ditentukan, namun diharapkan jumlahnya melebihi 30 subjek . Kriteria Inklusi dalam penelitian ini ialah 1. Penderita demam dengan klinis DD atau DBD 2. Lama demam pada saat masuk rumah sakit < 3 hari 3. Berumur > 15 tahun 4. Hasil screening NS1 dengue dengan teknik rapid test positif 5. Bersedia ikut dalam penelitian dan memberi persetujuan secara tertulis. Kriteria Eksklusi dalam penelitian ini ialah 1. Penderita keluar rumah sakit dengan cara paksa (pulang paksa) sehingga perkembangan penyakitnya tidak dapat diikuti 2. Dalam perkembangannya penderita didiagnosis bukan infeksi dengue 3. Terdapat infeksi campuran dengan kuman lain yang dibuktikan dengan hasil kultur mikrobiologis 4. Penderita mengalami gangguan sistem imun yang akan berdampak pada respon imun IgG dan IgM anti dengue yang dihasilkan. Bahan Cara Kerja Paltelia, Dengue NS1 Ag Capture ELISA Kit (Biorad): a. Carefully establish the distribution and identification plan for calibrator, control and patient samples .
5
b. Take the carrier tray and the strips (R1) out of the protective pouch. c. Strictly following the indicated distribution sequence, distribute successively in the wells : 50ul of diluent (R7), 50ul of samples (calibrator, control or patients), dan 100ul of diluted conjugate (R6+R7) d. Cover the reaction microplate with an adhesive plate sealer, pressing firmly onto the plate to ensure a tight seal e. Incubate the microplate in a thermostat controlled water bath or microplate incubator for 90 + 5 minutes at 37 + 1 oC. f. Prepare the dilution of the washing solution (R2) g. At the end of the incubation period. Remove the adhesive plate sealer. Aspirate the contents of all wells into a container for biohazard waste. Wash microplate 6 times with washing solution (R2). Invert microplate and gently tap on absorbent paper to remove remaining liquid. Note : It is important to avoid reagent splashing during aspiration and washing steps h. Quickly distribute into each well and away from light 160ul of choromogen solution (R9). Allow the reaction to develop in the dark for 30 + 5 minutes at room temperature. Do not use adhesive plate sealer during this incubation. i. Stop the enzymatic reaction by adding 100ul of stopping solution (R10) in each well. Use the same sequence and rate distribution as for the development solution. j. Carefully wipe the plate bottom. Read the optical density at 450/620 nm using the plate reader within 30 minutes after stopping the reaction. Calculation : Cut Off (CO) = Mean value of the optical densities of the calibrator duplicates : Sample ratio = S/CO. For validation the assay, following criteria must be met :CO > 0,200, Ratio :R3 Ratio < 0,40 dan R5 Ratio > 1,50 Interpretations : Sample Ratio Result Interpretation and recommendation The sample is considered non reactive for dengue NS1 Antigen Ratio < 0,50 Negative The sample is considered equivocal for dengue NS1 Antigen 0,50 < Ratio < 1,00 Equivocal The sample is considered reactive for dengue NS1 Antigen Ratio > 1,00 Positive Anti Dengue IgG Ab Capture (Panbio): a. Thaw all material to room temperature b. Dilute one vial of freeze-dried dengue antigens with 1ml of antigen reconstitution buffer, this is enough for 2 strips (16 well), the remaining can be used again if stored in -80 c. Prepare Antigen complex as follow: Remove required volume (depending number of sample, ) of reconstituted antigen and mix with an equal volume (50:50) of Mab tracer (provided) in separate tube, (each sample require 100µl of antigen complex mix) and incubate at RT for 1hour. store the remaining reconstituted antigen in -80°c freezer d. Dilute 5µl serum/controls in 495µl serum diluents, vortex and centrifuge briefly Add 100µl of diluted serum/control per well and incubate at 37°c for 1hour e. Wash the plate 6x with washing buffer and tap dry f. Add 100µl of antigen complex into each well and incubate at 37°c for 1 hour g. Wash the plate 6x with washing buffer and tap dry h. Add 100µl of substrate into each well, and after 10 minutes in room temperature (very important) add 100µl of stop solution i. Read the absorbance at 450nm with 630nm reference using the ELISA plate reader, as follow: 1) Absorbance of sample = the value read from ELISA reader 2) Calculation: 3) CO average = (CO value 1 + CO value 2 + CO value 3) / 3
6
4) Cut off value = CO average x Batch specific coeficient 5) Index value = Absorbance value / Cut Off value 6) PanBio value = Index value x 10 IgG Panbio Value <18 18-22 >22
Result Negative Equivocal Positive
Anti dengue IgM Ab Capture (Panbio) a. Thaw all material to room temperature b. Dilute one vial of freeze-dried dengue antigens with 1ml of antigen reconstitution buffer, this is enough for 2 strips (16 well), the remaining can be used again if stored in -80 c. Prepare Antigen complex as follow: Remove required volume (depending number of sample,) of recons-tituted antigen and mix with an equal volume (50:50) of Mab tracer (provided) in separate tube, (each sample require 100µl of antigen complex mix) and incubate at RT for 1hour. store the remaining reconstituted antigen in -80°c freezer d. Dilute 5µl serum/controls in 495µl serum diluents, vortex and centrifuge briefly Add 100µl of diluted serum/control per well and incu-bate at 37°c for 1hour e. Wash the plate 6x with washing buffer and tap dry f. Add 100µl of antigen complex into each well and incubate at 37°c for 1 hour g. Wash the plate 6x with washing buffer and tap dry h. Add 100µl of substrate into each well, and after 10 minutes in room temperature (very important) add 100µl of stop solution i. Read the absorbance at 450nm with 630nm reference using the ELISA plate reader, as follow: a) Absorbance of sample = the value read from ELISA reader b) Calculation: c) CO average = (CO value 1 + CO value 2 + CO value 3) / 3 d) Cut off value = CO average x Batch specific coeficient e) Index value = Absorbance value / Cut Off value f) PanBio value = Index value x 10 IgM Panbio Value <9 9-11 >11
Result Negative Equivocal Positive
Hasil Penelitian Dalam bentuk grafik, jenis kelamin dan diagnosis penyakit infeksi virus dengue disajikan pada Gambar 4 dan Gambar 5. Diagnosis infeksi dengue dapat dikelompokkan berdasarkan ada tidaknya renjatan. Infeksi dengue tanpa renjatan adalah DF dan DHF I-II, sementara infeksi dengan renjatan adalah DHF III dan IV. Berdasarkan ada tidaknya renjatan, distribusi sampel dapat dilihat pada Gambar 10. Dari hasil pemeriksaan ELISA untuk NS1, IgG dan IgM di dapatkan beberapa karakteristik dari rerata masing masing variabel dan nilai gabungan atau rasio dari variabel tersebut, seperti terlihat pada Tabel 3. Dengan menggunakan variabel NS1, IgG dan IgM untuk menilai perbedaan masing-masing status klinis, di dapatkan bahwa yang memberi-kan gambaran adanya perbedaan di antara kelompok derajat infeksi dengue adalah NS1 (Anova, F=3.082, p=0.021) dan IgG (Anova,
7
F=14.286, p<0.001), sementara IgM tidak menujukkan perbedaan (Anova, F=0.527, p=0.716), sebagaimana terlihat pada Gambar 11, 12 dan 13. Jika pasien dikelompokkan berdasarkan outcome ada atau tidaknya renjatan, terlihat bahwa nilai IgG yang paling baik membedakan pasien renjatan dengan pasien tanpa renjatan, disusul oleh NS1, namun IgM tidak memberikan hasil yang bermakna untuk membedakan kedua kelompok (Gambar 14 dan Tabel 4) Hasil kombinasi nilai NS1, IgG dan IgM juga dieeksplorasi untuk melihat kemungkinan kombinasi mana yang paling bisa memberikan nilai prognosis yang tinggi terhadap outcome pasien, seperti terlihat pada Tabel 5. Nilai NS1*IgG tampak tidak dipengaruhi oleh nilai IgM dalam memisahkan kasus renjatan dan tanpa renjatan dan memberikan nilai kombinasi sensitifitas dan spesifisitas yang baik (masingmasing 94.4% dan 96.8%), namun tetap meloloskan 5.6% kasus negatif palsu. Sementara penggabungan ketiga variabel dengan bentuk hubungan NS1*IgG/IgM mendeteksi semua kasus dengan syok (sensitifitas 100%) walau harus mengorbankan spesifisitas menjadi 85.5%. Namun nilai sensitifitas dan spesifisitas seperti ini menjadi lebih bermakna dalam hal mencegah kematian sebab dapat memprediksi semua kasus syok untuk kepentingan penanganan dan monitoring yang lebih hati-hati. Tabel 10 menujukkan COP 6 (NS1*IgG>=76) memberikan kombinasi sensitifitas dan sepesifisitas yang cukup baik (masing-masing 94.4% dan 96.8%) untuk memisahkan kasus shock dan non shock, namun COP 4 (NS1*IgG/IgM>=2.7) menunjukkan sensitifitas yang lebih baik (100%) dimana tidak terdapat kasus negatif palsu yang terutama penting dalam mencegah terjadinya kematian. PEMBAHASAN Outcome penderita dengue terutama dipengaruhi oleh beratnya gejala klinis. Infeksi dengue, berdasarkan klasifikasi WHO (1997), secara klinis dibagi menjadi Demam Dengue (DD = DF, Dengue Fever) dan Demam Berdarah Dengue (DBD = DHF, Dengue haemorragic fever). Kelompok gejala infeksi oleh virus dengue tersebut dibedakan oleh adanya kebocoran plasma (plasma leakage) pada kelompok DBD. Kebocoran plasma ini ditandai dengan ditemukannya salah satu dari hal berikut: a. Peningkatan hematokrit darah lebih dari 20% b. Adanya pengumpulan cairan abnormal pada rongga tubuh seperti ascites atau efusi pleura c. Menurunnya kadar albumin serum < 3mg/dl d. Meningkatnya kadar kolesterol darah > 300 mg/dl e. Jika terdapat salah satu dari tanda tersebut yang disertai dengan hasil positif untuk pemeriksaan virus dengue, baik dengan kultur sel, PCR, Dengue NS1 Ag, atau antibodi anti dengue, maka penderita dikatego-rikan sebagai DBD. Sebaliknya, walaupun didapatkan adanya gejala perdarahan seperti petekia, purpura atau mucosal bleeding, tetapi tidak di dapatkan salah satu dari tanda tersebut di atas, maka penderita dikategorikan sebagai DD. Penderita DD dapat bermanifes-tasi sebagai demam tanpa tanda perdarahan maupun demam dengan tanda perdarahan yang tidak disertai dengan kebocoran plasma. Demam Berdarah Dengue, selain ditandai dengan adanya kebocoran plasma, juga sering diikuti dengan adanya tanda perdarahan, baik perdarah-an yang spontan maupun perdarahan yang diinduksi dengan melakukan torniquet test. Secara klinis, DBD dikategorikan menjadi 4 grade berdasar-kan spontanitas perdarahan dan adanya tanda renjatan sbb: a. Grade I: Tidak ada tanda renjatan, tidak ada perdarahan spontan, tetapi hasil torniquet test positif b. Grade II: Tidak ada tanda renjatan, namun terdapat tanda perdarahan spontan seperti petekia, purpura, epistaksis dan melena c. Garde III: Terdapat tanda-tanda akan terjadinya renjatan seperti tekanan darah yang rendah disertai denyut nadi yang cepat (>100x/menit), keringat dingin, gelisah, pernafasan cepat
8
d. Grade IV: Penderita memasuki keadaan renjatan yang ditandai dengan kesadaran yang menurun, tekanan darah tidak terukur, denyut nadi tidak teraba, volume urin sangat sedikit atau tidak ada, bahkan dapat berakibat kematian. Kesimpulan Akhir Berdasarkan kesimpulan diatas maka dapat dirumuskan sebagai kesimpulan akhir pada penelitian ini adalah: 1. Telah diketahui, bahwa rasio NS1 x IgG/IgM memiliki korelasi positif yang kuat terhadap status klinis infeksi virus dengue dibandingkan dengan parameter uji lainnya sebagai prediktor terhadap prognosis infeksi demam dengue. 2. Telah diketahui besarnya cut off point kombinasi nilai antigen NS1 dengue, antibodi IgG dan IgM anti dengue antara infeksi virus dengue dengan diagnosis klinis, baik sebagai kasus ringan, maupun dengan infeksi yang mungkin menjadi kasus berat. Dari hasil pemetaan menujukkan bahwa penggabungan ketiga variabel dengan bentuk hubungan NS1*IgG/IgM dengan cut off point pada level NS1*IgG/IgM=2.7 yang dapat mendeteksi semua kasus dengan syok (sensitifitas 100%) dengan angka spesifisitas yang cukup tinggi (85.5%). Meskipun tingkat spesifitas kombinasi ini lebih rendah dari kombinasi NS1-IgG (98.4%) dan hasil kali NS1*IgG tanpa variabel IgM (96.8%), namun nilai sensitifitas (100%) dan spesifisitas (85.5%) seperti ini akan menjadi lebih bermakna dalam hal mencegah kematian sebab dapat memprediksi semua kasus syok untuk kepentingan penanganan dan monitoring yang lebih hati-hati dengan tetap cukup spesifik untuk membedakan kasus tanpa renjatan dengan kasus renjatan. 3. Dari aspek klinis, dimana pencegahan kematian pada kasus berat lebih dikedepankan, sehingga kombinasi yang paling tepat untuk dijadikan indeks prediksi (indeks renjatan) adalah kombinasi antara nilai NS1, IgG dan IgM dengan formula : IR = NS1 x (IgG / IgM). Dimana didapatkan nilai : IR< 2.7 = dengan prediksi infeksi virus dengue non renjatan, dan jika IR≥ 2.7 = dengan prediksi infeksi virus dengue dengan renjatan. Saran 1. Jika nilai IR tersebut untuk selanjutnya dapat dipakai dalam memprediksi diagnosis klinis infeksi virus dengue (non renjatan atau dengan renjatan) maka dibutuhkan penelitian lanjut terkait IR tersebut untuk dibakukan menjadi suatu indeks prediksi terhadap berat-ringan nya penyakit infeksi virus dengue yang akan menjadi pegangan para klinisi. 2. Pemanfaatan nilai IR tersebut diharapkan akan membantu pengambilan tindakan kewaspadaan segera yang dilakukan secara proporsional, sehingga prognosis penyakit dapat diperbaiki serta dapat menghemat biaya dan tenaga perawatan.
DAFTAR PUSTAKA 1. Alcon S, Talarmin A, Debruyne M, et.al. (2002), Enzyme-linked immunosorbent assay specific to dengue virus type 1 nonstructural protein NS1 reveals circulation of the antigen in the blood during the acute phase of disease in patients experiencing primary or secondary infections, J. Clin. Microbiol.; 40 (2), pp. 376 – 381. 2. Alcon S, Drouet MT. (2005), The secreted form of dengue virus nonstructural protein NS1 is endocytosed by hepatocytes and accumulates in late endosomes: implications for viral infectivity http://www.ncbi.nml.nih.gov/sites/enterez.pubmed & Cmd. J Virol. 79 (17): pp.11403-11. 3. Ampaiwan C. Wathanee C, et.al. (2007). The use of dengue nonstructural protein 1 antigen for the early diagnosis during febrile phase in patients with dengue fever and dengue hemorrhagic fever. Third Asian Regional Dengue Research Network Meeting. p.66.
9
4. Aryati (2006), Aspek Laboratorium DBD Instalasi Patologi Klinik FK.UNAIR. Dalam Sugijanto S. Demam Berdarah Dengue, Ed. 2. Airlangga University Press. pp.117-132. 5. Aryati (2001), Nilai diagnostik dengue rapid tes untuk diagnosis Demam Berdarah Dengue, disampaikan pada Kongres Nasional IV PDS-PATKLIN Bandung. 6. Aryati (2006), Epidemiologi molekuler virus dengue di Indonesia, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, pp. 1-7. 7. Avirutnan P, et.al. (2006). J. Inf. Des. 193: pp.1078-1088. Pubmed: 16544248 8. Balmaseda A, Hammond SN, Perez L, et.al. (2006), Serotype-specific differences in clinical manifestation of dengue, Am. J. Trop. Med. Hyg.; 74 (3), pp. 440– 456. 9. Beasley DWC, Barret ADT. (2008), The Infectious Agent in Dengue, Tropical Medicine, Science and Practice, Imperial College and Press, London, pp. 29-73. 10. Bumi C, Rantam FA. (2006), Determinan virulensi virus dengue dalam Demam Berdarah Dengue. Airlangga University Press. Ed. 2. Surabaya. pp. 239-245. 11. Carlos C, Oishi K, Cinco MTDD, et.al. (2005), Comparison of clinical features and hematologic abnormalities between dengue fever and dengue hemorrhagic fever among children in the Philippines, Am. J. Trop. Med. Hyg.; 73 (2), pp. 435– 440. 12. Chambers TJ, Palk. (1990), Flavavirus genom organization, expression and replication. Annual Rev.Microbilogy, 44. pp. 649-688. 13. Chaturvedi UC. (2006), Tumor necrosis factor & dengue, Indian J Med Res.; 123, commentary, pp. 11 – 14. 14. Chen Y, Manguire T, Hileman RE, et.al. (1997), Dengue virus infectivity depends on envelope protein binding to target cell heparan sulfat, Nature; 3 (8), Article, pp. 866 -871. 15. Chien LJ, Liao TL, Shu PY, et.al. (2006), Development of real-time reverse transcriptase PCR assay to detect and serotype dengue viruses, J. Clin. Microbiol.; 44(4), pp. 1295 – 1304. 16. Chungue E, Deubel V, Cassar O, et.al. (1993), Molecular epidemiology of dengue 3 viruses and genetic relatedness among dengue 3 strain isolated from patients with mild or severe form of dengue fever in French Polynesia, J. Gen. Virol.; 74, pp. 2765 – 2770. 17. Chungue E, Cassar O, Drouet T, et.al. (1995), Molecular epidemiology of dengue-1 and dengue-4 viruses, J. Gen. Virol; 76, pp. 1877– 1844. 18. Chunlin Z. (2004), Problem encounterd in the molecular detection of dengue viruses In dengue diagnostics: proceeding of an international workshop. Genewa Switzerland. WHO. pp.60-66. 19. Clyde K, Kyle JL, Harris E. (2006), Recent advances in deciphering viral and host determinants of dengue virus replication and pathogenesis. JVI. 80(23): pp.11418-11431. 20. Cuang-liang K, et.al. (2005), Laboratory diagnosis of dengue virus infection: current and future perspectives in clinical diagnosis and public health. J. Microbial Immunol Infect. .; 38: pp.5-16. 21. Darcy A, Clothier H, Phillips D, et.al. (2001), Solomon Island dengue seroprevalence study – previous circulation of dengue confirmed, PNG Med J; 44 (1-2), pp. 43 – 47. 22. Darwis D. (1999), Kegawatan pada demam berdarah dengue; demam berdarah dengue; Naskah Lengkap; Pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter spesialis penyakit dalam dalam tatalaksana kasus DBD, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp. 136-149. 23. Das BP, Kabilan L, Sharma SN, et.al. (2004), Detection of dengue virus in wild caught aedes albopictus (Skuse) around Kozhikode Airport Malappuram District, Kerala, India, Dengue Buletin; 28, pp. 210 – 212. 24. Deubel V, Kinney M. (1988), Nucleotida sequence and deduced amino acid sequence of the nonstructural protein of dengue tipe 2 virus, Jamaica genotype: comparative analysis of the full length genome. Virology,165. pp. 234-244.
10
25. Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Selatan (2008), penyakit demam berdarah dengue, Laporan Tahunan, pp. 1 - 3. 26. Djunaedi D (2006), Diagnosis dan diagnosis banding,Demam berdarah (dengue DBD); epideminologi, imunopatologi, patogenesis, diagnosis dan penatalaksanannya, UMM Press, Malang, pp. 126 – 154. 27. Drosten C, Chiu LL, Panning M, et.al. (2004), Evaluation of advance reverse transcriptionPCR assays and an alternative PCR target for detection of severe acute respiratory syndrome-associated corona virus, J. Clin. Microbiol.; 42 (5), pp. 2043– 2047. 28. Dussart P, Labeau B, Lagathu G, et.al. (2006), Evaluation of an enzyme immunoassay for detection of dengue virus NS1 antigen in human serum, Clin. Vaccine Immunol; 13 (11), pp. 1185 – 1189. 29. Gatot D. (1999), Perubahan hematologi pada infeksi dengue; demam berdarah dengue; Naskah Lengkap; Pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter spesialis penyakit dalam dalam tatalaksana kasus DBD, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp. 44-54. 30. Gibbons R, Vaughn DW. (2002), Dengue: an escalating problem, BMJ; 324, pp. 1563 – 1565. 31. Gil L, Martinez G, Tapanes R, et.al. (2004), Oxidative stress in adult dengue patients, Am. J. Trop. Med. Hyg.; 71 (5), pp. 652 – 657. 32. Goncalvez AP, †Escalante AA, Pujol FH, et.al. (2002), Diversity and evolution of the envelope gene of dengue virus type 1, J. Virol.; 303, pp. 110 – 119. 33. Groen J, Karoka P, Velzing J, et.al. (2000), Evaluation of six immunoassays for detection of dengue virus-specific Immunoglobulin M and G antibodies, Clin. Diagn. Lab. Immunol.; 7 (6), pp. 867 – 871. 34. Gubler D.J. (1998), Dengue and Dengue hemorrhagic fever. Clinical Microbiologi Review, 11. pp.480-496. 35. Hadenegoro SRH, Soegijanto S. (1999), Tatalaksana demam dengue/ demam berdarah dengue pada anak; demam berdarah dengue; Naskah Lengkap; Pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter spesialis penyakit dalam dalam tatalaksana kasus DBD, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp. 80-135. 36. Halstead SB. (2008), Pathphysiology; Dengue, Tropical Medicine: Science and Practice, Vol. 5; Imperial College Press, Singapore, pp.285-326. 37. Handoyo I. (2004), Imunoassay untuk penyakit infeksi viral dalam Imunoassay terapan pada beberapa penyakit infeksi. cet.I. Airlangga University press. Surabaya. pp.163-175. 38. Hendarwanto (2004). Dengue dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FKUI, Jilid 1 Ed. 3. cetakan ke 7. Jakarta. pp.417-426. 39. Hung NT, Lan NT, Lei HY, et.al. (2005), Association between sex, nutritional status, severity of dengue hemorrhagic fever, and immune status in infants with dengue hemorrhagic fever, Am. J. Trop. Med. Hyg.; 72 (4), pp 370– 374. 40. Iskandar Z, Tambunan KL, Nelwan RHH, dkk. (1999), Penatalaksanaan demam berdarah dengue pada dewasa di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo-Jakarta; demam berdarah dengue; Naskah Lengkap; Pelatihan bagi pelatih dokter spesialis anak & dokter spesialis penyakit dalam dalam tatalaksana kasus DBD, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp. 150-166. 41. Juffrie M, VD Meer GM, Hack CE, et.al. (2001), Inflammatory mediator in dengue virus infection in children : Interleukin-6 and its relation to C-Reative Protein and secretory phopholipase A2, Am. J. Trop. Med. Hyg.; 65(1), pp. 70–75. 42. Kit insert Bio-Rad: PlateliaTM Dengue NS1 Ag. Qualitative or semi-quantitative detection of Dengue virus NS1 antigen in human serum or plasma by enzyme immunoassay. IVD. 43. Kit insert platelia Dengue NS1 Ag. IVD. (2006), Qualitative or semi-quntitative detection of dengue virus NS1 antigen in human serum or plasma by enzyme immunoassay. 72830. 44. Kit insert Dengue ICT NS1 Ag. IVD\
11
45. Kit insert Primer Lanciotti, Primer for DNA detection. 46. Koraka P, Burghoorn-Mass CP, Falconal A, et.al. (2003), Detection of immune-complexdissociated nonstructural-1 antigen in patients with acute dengue virus infections, J. Clin. Microbiol.; 41 (9), pp 4154– 4159. 47. Kumarasamy V, Chua SK, Hassan Z, et.al. (2007), Evaluating the sensitivity of a commercial dengue NSI atigen-capture ELISA for early diagnosis of acute dengue virus infection, Singapore Med J.; 48 (7), original article, pp. 669 – 673. 48. Kusumawati RL. (2005), Teori Sequential infection dari Halstead. Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran universitas Sumatera Utara. 49. Leitmeyer KC, Vaughn DW, Watts DM, et.al. (1999), Dengue virus structural differences that correlate with pathogenesis, J. Virol.; 73 (6), pp. 4738 – 4747. 50. Leyssen P, Erik de Clercq, Neyts J. (2000), Perspectives for the Treatment of Infections with Flaviviridae. Clin.Microbiol.Rev.13(1): pp.67-82.
Gambar dan Tabel
Gambar 1. Struktur virus dengue intra dan ekstraselluler 5’UTR
+
strand
Str uc tura l
5’ -ca p
RNA
genome
Nons truct ura l
3’UTR
Tra nslation NH 2
COOH C
pr M
E
NS1
2A
2B
NS3
4A
4B
NS5
Furi n
Pro te as e Hel ica se NTPa se
5 ’ter
pr
M
N2B/ NS3
RNAPas e
Poly me rase Meth ylt ransf eras e
Gua ny ly l tran sfe ra se
prote ase
Sign al ase
Gambar 2. Genom virus Flavaviridae dan hasil translasi genom
Gambar 3. Respon imun infeksi dengue (Dikutip : Suroso,2004) perempuan
42. 5%
lak i
57. 5%
Gambar 4: Distribusi sample berdasar jenis kelamin 50
Count
40
30
20
10
0
3 3. 75%
42 52. 5%
DF
DHF -1
WHO
17 21. 25 %
15 1 8. 75%
DHF-2
DHF-3
3 3. 75%
DHF-4
Classification
Gambar 5: Distribusi sampel berdasar tipe klinis 70
60
Cou nt
50
40
30
20
10
62 77 .5%
18 2 2.5 %
0 No
sh o ck
Sh ock
Shock
Gambar 6 : Distribusi sampel berdasar adanya renjatan 10 .00
8 .0 0
NS1
6 .00
4. 00
2 .00
0 .0 0 DF
DHF- 1
DHF-2
DHF-3
DHF-4
Grade
Gambar 7: Perbandingan hasil pemeriksaan NS1 pada derajat klinis demam berdarah yang berbeda (Anova, F=3.082, p=0.021)
12
6 0. 00
5 0. 00
22
50
20
56 57 53
24
IgG
40 .0 0
29
3 0. 00
32 2 0.0 0
1 0. 00
0 .00
DF
DHF -1
DHF -2
DH F-3
D HF-4
Gr ade
Gambar 8:Perbandingan hasil pemeriksaan IgG pada derajat klinis demam berdarah yang berbeda (Anova, F=14.286, p<0.001) 80. 00
2 8 54 10 2 0 30
60.0 0
64
24
73
IgM
22 40. 00
2 0.00
0. 00
DF
DHF- 1
DHF-2
DHF- 3
DHF- 4
Gra de
Gambar 9: Perbandingan hasil pemeriksaan IgM pada derajat klinis demam berdarah yang berbeda (Anova, F=0.527, p=0.716) 64
NS1 IgG
60 24
73
22
50
IgM
20 57 22 53 24
40
75
29
30
32 20
10
0
No shock
Shock
Shock
Gambar 10: Perbandingan hasil Test NS1, Ig dan IgM pada pasien dengan dan tanpa renjatan. Nilai NS1 dan IgG berbeda bermakna antara pasien renjatan dan tanpa renjatan (T-test, p<0.001), sementara IgM tidak menujukkan perbedaan (T-test, p=0.721) Gr ad e
60.00
DF DHF-1 DHF-2
50.00
DHF-3 DHF-4
IgG
40.00
30.00
20 .00
10.00
0.00 0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
IgM
Gambar 11. Sebaran sampel berdasarkan grade DHF, nilai IgG dan IgM Grade
10. 00
DF DHF- 1 DHF- 2 DHF- 3
8. 00
DHF- 4
NS1
6. 00
4.00
2. 00
0. 00
0.00
20.00
40. 00
60. 00
80. 00
I gM
Gambar 12. Sebaran sampel berdasarkan grade DHF, nilai NS1 dan IgM Grade
1 0.00
DF D HF-1 D HF-2 D HF-3
8.00
D HF-4
NS1
6.00
4 .0 0
2 .00
0.00
0 .00
1 0.00
2 0.0 0
3 0.00
4 0.00
5 0.00
6 0.0 0
IgG
Gambar 13. Sebaran sampel berdasarkan grade DHF, nilai NS1 dan IgG Hampir semua sampel dengan renjatan (DHF III-IV) berkelompok di quadran nilai IgG>23 dan NS1>1.7 Grade
1 2 .00
DF D H F-1 D H F-2
1 0 .00
D H F-3 D H F-4
Ig G/IgM
8 .00
6 .0 0
4.0 0
2 .0 0
0 .00 0 .00
2.0 0
4 .0 0
6 .00
8.0 0
10 .0 0
NS1
Gambar 14. Sebaran sampel berdasarkan grade DHF, nilai NS1 dan ratio IgG/IgM. Sampel dengan renjatan (DHF III-IV) umumnya berkelompok di quadran nilai NS1>1.7 dan ratio IgG/IgM>0.4 Grade
500. 00
DF DHF- 1 DHF- 2 DHF- 3
400.00
DHF- 4
NS1*IgG
300. 00
200.00
100. 00
0.00 0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
IgM
Gambar 15. Sebaran sampel berdasarkan grade DHF, nilai IgM dan multiplikasi nilai NS1 dan IgG. Sampel dengan renjatan (DHF III-IV) umumnya berkelompok di atas garis NS1xIgG > 76, tanpa dipengaruhi nilai IgM
Gambar 16. Sebaran sampel berdasarkan grade DHF dan nilai kombinasi NS1*IgG/IgM. Sampel deangan renjatan berada pada atau di atas garis NS1*IgG/IgM = 2.7
13
Log Peak Viral load
Relationship of eak viral Load with patient clinical grade in Den-1 and Den-2 infection 10 5 0
Den 1 DF
DHF I/II
DHF III/IV
Den 2
Clinical grade of Dengue virus infection
Gambar 17. Hubungan Peak VL pada infeksi virus dengue dengan derajat manifestasi klinis pasien terinfeksi Den-1 dan Den-2. (Diadaptasi dari Vaughn et al, 2000)
Tabel 1. Fungsi protein struktural dan nonstruktural flaviviridae
Tabel 2. Karakteristik sampel berdasar frekuensi Peubah Jenis kelamin : - Laki - Perempuan
Frekuensi (n = 80)
%
46 36
57.5 42.5
Hari demam : - 1 Hari - 2 Hari - 3 Hari
21 26 33
26.3 32.5 41.3
Diagnosis DBD : DF DHF I DHF II DHF III DHF IV
3 42 17 15 3
3.8 52.5 21.3 18.8 3.8
Tabel 2.Karakteristik sampel berdasar frekuensi Frekuensi (n = 80)
%
Jenis kelamin : - Laki - Perempuan
Peubah
46 36
57.5 42.5
Hari demam : - 1 Hari - 2 Hari - 3 Hari
21 26 33
26.3 32.5 41.3
Diagnosis DBD : DF DHF I DHF II DHF III DHF IV
3 42 17 15 3
3.8 52.5 21.3 18.8 3.8
.Tabel 3. Karakteristik sampel berdasar rerata hasil Peubah IgG IgM NS1
Rerata (n = 80) 18.632 18.620 3.181
SD 18.809 19.782 3.209
Tabel 4:Perbedaan nilai hasil Test NS1, IgG dan IgM untuk melihat outcome pasien (renjatan vs tanpa renjatan) menggunakan indpendent T-test.
14
NS1
IgG
IgM
Shock No shock
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
P value
62
2,5870
3,23509
,41086
P<0.001
Shock
18
5,2236
2,13852
,50405
No shock
62
12,4772
15,09517
1,91709
Shock
18
39,8318
14,57487
3,43533
No shock
62
19,0500
20,37437
2,58755
Shock
18
17,1394
18,05754
4,25620
P<0.001
P=0.721
Tabel 5: Hubungan antara NS1, Ig G dan IgM serta Nilai NS1 x IgG/IgM dengan status klinis Hubungan antar Peubah dengan diagnosis klinis NS1 IgG IgM Rasio IgG/IgM NS1 x IgG/IgM
Koef. Korelasi
P
0.337 0.597 -0.058 0.556 0.710
p=0.002 p<0.001 p=0.607 p<0.001 p<0.001
Catatan: p dihitung dengan uji korelasi Spearman Rho Tabel 6.
Cross tabulasi prediktor COP2 (NS1>=1.7 dan IgG>=23) dengan outcome DBD (shock atau tidak shock)
Shock * COP2 Crosstabulation
Shock
Shock no shock
Total
Tabel 7.
Count % within Shock Count % within Shock Count % within Shock
COP2 NS1>=1.7 and IgG>=23 16 88.9% 1 1.6% 17 21.3%
NS1<1.7 or IgG<23 2 11.1% 61 98.4% 63 78.8%
Total 18 100.0% 62 100.0% 80 100.0%
Cross tabulasi prediktor COP5 (NS1>=1.7 dan IgG/IgM>=0.4) dengan outcome DBD (shock atau tidak shock)
Shock * cop5 Crosstabulation COP5
Shock
Shock no shock
Total
Tabel 8.
Count % within Shock Count % within Shock Count % within Shock
NS>=1.7 and IgG/IgM>=0.4 18 100.0% 41 66.1% 59 73.8%
NS1<1.7 or IgG/IgM<0.4 0 .0% 21 33.9% 21 26.3%
Total 18 100.0% 62 100.0% 80 100.0%
Cross tabulasi prediktor COP6 (NS1* IgG>=76) dengan outcome DBD (shock atau tidak shock)
Shock * COP6 Crosstabulation COP6 Shock
Shock no shock
Total
Tabel 9.
Count % within Shock Count % within Shock Count % within Shock
Ns1*IgG>=76 17 94.4% 2 3.2% 19 23.8%
NS1*IgG<76 1 5.6% 60 96.8% 61 76.3%
Total 18 100.0% 62 100.0% 80 100.0%
Cross tabulasi prediktor COP4 (NS1* IgG/IgM>=2.7) dengan outcome DBD (shock atau tidak shock)
Shock * CO4 Crosstabulation CO4 >=2.7 NS*G/M <2.7 NS*G/M Total Shock Shock Count 18a 0b 18 % within Shock 100.0% .0% 100.0% no shock Count 9a 53b 62 % within Shock 14.5% 85.5% 100.0% Total Count 27 53 80 % within Shock 33.8% 66.3% 100.0% Each subscript letter denotes a subset of CO4 categories whose column proportions do not differ significantly from each other at the .05 level.
15
Tabel 10. Variabel COP2 COP4 COP5 COP6
Nilai diagnostik beberapa COP (cut off point) yang dihitung dan parameter yang digunakan Parameter NS1>=1.7 dan IgG>=23 NS1*IgG/IgM >=2.7 NS>=1.7 dan IgG/IgM>=0.4 NS1*IgG >=76
Sensitivitas
Spesifisitas
Estimasi resiko
88.9 100 100 94.4
98.4 85.5 33.9 96.8
55.111 6.889 1.512 29.278
Lower 95%CI 7.833 3.765 1.265 7.455
Upper 95%CI 387.724 12.603 1.807 114.98