OPTIMASI PEMANFAATAN RUANG KAWASAN KONSERVASI GILI SULAT - GILI LAWANG KABUPATEN LOMBOK TIMUR
SITTI HILYANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRACT SITTI HILYANA. Optimizing The Utilization Space of Gili Sulat-Gili Lawang Protected Area in East Lombok District. Under the direction of Achmad Fahrudin, Fredinan Yulianda and Dietriech G. Bengen. Various economic activities underway and arround Gili Sulat-Gili Lawang protected area seriously impacted coral reef and seagrass ecosystems degradation. The aims of this research are to evaluate zoning of marine protected area, assess land suitability for multiple uses, the determine carryng capacity, and the optimize land utilization of marine protected area. Data and information were collected participatively using questioner and the field survey for assesing the biophysics characteristics of the Gili Sulat-Gili Lawang protected area. The methods used consist the Geographic Information System (GIS) for suitability analysis; carrying capacity analysis using ecosystem utilitied, dinamic model for optimizing space and management sustainability with multidimension scalling analysis. The results show that marine protected area zone of Gili SulatGili Lawang by using ecology, social and economic criteria was divided by three zoning these are no-take zone, limited use zone and other use zone. The condition of mangroves vegetation, live coral and seagrass are categorized from poor to good. Development activities that suitable for limited uses are demersal and pelagic fisheries and coastal tourism. 10.8 ha and 9.31 ha are suitable for scuba diving, snorkeling and coastal tourism with the capacity of tourism are 150 person/day and 120 person/day respectively. While the suitable for mangrove tourism was 23,04 ha with 230 person/day tourism capacity. Based on multidimension scaling approach and its priorites scale of priorities, the alternatives policies of marine protected area development are local wisdom improvement, supporting infrastructure and conservation fee policies. Key words : optimize, management, conservation area, Gili Sulat - Gili Lawang Islands
RINGKASAN SITTI HILYANA. Optimasi Pemanfaatan Ruang Kawasan Konservasi Gili SulatGili Lawang Kabupaten Lombok Timur. Dibimbing oleh Achmad Fahrudin, Fredinan Yulianda dan Dietriech G. Bengen. Gili Sulat - Gili Lawang merupakan Kawasan Konservasi Laut Daerah di Kabupaten Lombok Timur. Kawasan ini memiliki potensi sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan.Meningkatnya kebutuhan masyarakat serta kurangnya pengetahuan masyarakat tentang fungsi sumberdaya menyebabkan tekanan terhadap ekosistem semakin meningkat dan mengancam eksistensi dan keberlanjutan sumberdaya. Disisi lain terjadi konflik kepentingan antar sektor, sehingga berimplikasi pada pengelolaan kawasan tidak efektif. Salah satu konsep pengelolaan kawasan konservasi yang konsisten mengedepankan kelestarian sumberdaya dan ekonomi masyarakat lokal adalah konsep pengembangan ekowisata bahari yang diintegrasikan dengan perikanan. Tujuan umum penelitian ini adalah menganalisis optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi berbasis daya dukung, sehingga pengelolaannya dapat berkelanjutan. Secara khusus penelitian bertujuan untuk mengevaluasi penetapan kawasan dan penataan zona kawasan konservasi berdasarkan kriteria kesesuaian dan daya dukung kawasan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial serta mengkaji keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi. Penelitian dilakukan di KKLD G.Sulat-G.Lawang pada bulan Mei sampai Oktober 2010. Jenis dan sumber data yang digunakan adalah data primer bersumber dari pengukuran langsung (insitu), observasi dan wawancara dengan responden dari berbagai unsur yaitu nelayan, wisatawan, pengusaha wisata, masyarakat lokal dan staf pemerintah. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dari instansi terkait. Karakteristik sumberdaya dianalisis dengan pendekatan analisis potensi, Sedangkan karakteristik ekonomi dan sosial dianalisis dengan metode deskriptif dan TEV. Analisis kesesuaian kawasan untuk berbagai pemanfaatan (perikanan dan ekowisata) menggunakan metode analisis spasial dengan SIG, sedangkan untuk mengestimasi daya dukung kawasan dianalisis dengan perhitungan daya dukung kawasan. Metode yang digunakan untuk mengevaluasi efektifitas pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan menggunakan Soft Ware Rapfish 2.1. Metode analisis dinamik spasial dan Stella 9.0 digunakan untuk menentukan pengelolaan kawasan yang optimal. Hasil analisis evaluasi penataan Zona KKLD G.Sulat-G.Lawang menunjukkan bahwa penataan zona didasarkan pada pertimbangan kriteria ekologis tanpa pertimbangan ekonomi dan sosial. Hasil analisis penataan zona menunjukkan luas KKLD G.Sulat-G.Lawang 3.166,92 ha terdiri dari terdiri dari zona inti 193,83 ha, zona pemanfaatan terbatas 143,33 ha, zona rehabilitasi seluas 93,11 ha dan zona perairan lainnya seluas 1726 ha. Berdasarkan karakteristik ekologi dan sosial ekonomi budaya menunjukkan kawasan G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi relatif besar untuk pengembangan perikanan karang dan ekowisata. Hasil analisis kesesuaian lahan, luas lahan yang sesuai untuk pengembangan perikanan karang 108 ha, wisata selam 108 hektar, wisata snorkeling 93,11 ha dan wisata mangrove 1010,65 ha. Analisis Daya Dukung menunjukkan luasan terumbu karang untuk wisata selam 10,8 ha dengan jumlah kunjungan 6900 orang/tahun atau 150 orang/hari,
wisata snorkeling 9,31 ha dengan jumlah kunjungan 5520 orang/tahun atau 120 orang/hari, wisata mangrove 23,4 ha dengan jumlah kunjungan 10580 orang/tahun atau 230 orang/hari, sedangkan perikanan karang 108 ha, dengan jumlah produksi 15.120 kg/tahun atau 90 kg/hari. Hasil analisis daya dukung gabungan menunjukkan bahwa untuk kegiatan wisata jumlah kunjungan 16.468 orang per tahun dengan nilai produk wisata Rp 1.586.800.000 per tahun, penyerapan tenaga kerja sebesar 49.404 HOK per tahun. Sedangkan untuk perikanan karang jumlah produksi ikan karang sebesar 174 ton per tahun dengan nilai produksi sebesar Rp 2.610.000.000 dan penyerapan tenaga kerja 69.600 HOK per tahun. Optimasi pengelolaan kawasan G.Sulat-G.Lawang dapat dilakukan dengan menerapkan kebijakan terpadu antara program konservasi sumberdaya mangrove,terumbu karang dan lamun, peningkatan penyerapan tenaga kerja, pelibatan masyarakat lokal dan peningkatan infrastruktur penunjang kegiatan perikanan dan ekowisata. Indeks keefektifan pengelolaan kawasan konservasi (ikb) menunjukkan nilai 62.94%, berarti bahwa hasil penilaian terhadap 38 atribut dengan 4 dimensi pengelolaan menunjukkan pengelolaan kawasan berada pada kategori cukup efektif (ikb berkisar 34,98%-62,94%). Pengelolaan kawasan untuk kepentingan perikanan dan ekowisata termasuk kategori cukup efektif pelaksanaannya ditinjau dari dimensi ekologi, kategori cukup efektif dalam mengatasi masalah sosial dan ekonomi, dan kurang efektif pengelolaannya ditinjau dari dimensi kelembagaan. Beberapa atribut penting yang mempengaruhi nilai efektivitas pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang adalah penataan batasbatas zona secara jelas, keberadaan lembaga dan aturan-aturan adat dalam pengelolaan kawasan, serta penyediaan infrastruktur penunjang. Kata Kunci: optimasi, pengelolaan, kawasan konservasi, Gili Sulat-Gili Lawang.
1
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km2, sedangkan luas daratan meliputi areal seluas 20 153,15 Km2. Perairan laut tersebut mengelilingi garis pantai sepanjang 2 333 km, dan di dalamnya terdapat berbagai ekosistem seperti mangrove, padang lamun dan terumbu karang serta berbagai jenis ikan dengan luas terumbu karang 3 601 km2. Dengan demikian perlu usaha untuk melestarikan keanekaragaman hayati melalui upaya konservasi kawasan. Berdasarkan Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, maka kawasan konservasi ditetapkan pada berbagai ekosistem termasuk perairan laut. Melalui peraturan dan perundangan tersebut, pengaturan konservasi tidak hanya melarang, membatasi dan menjadikan sumberdaya pesisir dan laut bersifat ekslusif bagi masyarakat. Pengaturan konservasi juga mengutamakan perbaikan ekosistem pesisir yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan nilai tangkapan ikan selain peningkatan kualitas ekosistem pesisir juga menjadi daya tarik wisatawan sehingga dapat menjadi sumber mata pencaharian alternatif masyarakat. Adanya program Kementerian Kelautan Republik Indonesia tentang pencapaian target luas kawasan konservasi di Indonesia 10 juta hektar ditahun 2010, 15,5 juta hektar di tahun 2015 dan 20 juta hektar di tahun 2020 telah mendorong Pemerintah Daerah untuk mengalokasikan wilayah kewenangannya sebagai kawasan konservasi. Salah satu implementasi program di Provinsi Nusa Tenggara Barat dilakukan melalui penetapan KKLD Gili Sulat dan Gili Lawang pada tahun 2004 berdasarkan SK Bupati Lombok Timur No 188.45/452/KP/2004 yang dikoordinasi secara terpadu oleh Dinas Perikanan dan Kelautan dengan berbagai instansi terkait lain. Gili Sulat – Gili Lawang (disebut G.Sulat-G.Lawang) merupakan dua buah pulau kecil tidak berpenduduk yang di dominasi oleh ekosistem mangrove dan terdapat beberapa jenis satwa endemik, ikan karang, terumbu karang
dan
padang lamun. Luas mangrove di G.Sulat 641.630 ha, dan di G.Lawang 369. 023 ha, sedangkan luas terumbu karang di G.Sulat 178.688 ha dan di G.Lawang
2
181.254 ha. Luas lamun di G.Sulat 47. 599 ha dan di G.Lawang 35.682 ha. Dengan kondisi perairan yang masih bersih, keanekaragaman hayati dengan endemitas tinggi, bentang alam yang indah, serta letak geografis yang strategis menjadikan kawasan G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi yang cukup besar terutama untuk pengembangan ekowisata, sehingga kawasan tersebut cukup potensial sebagai sumber ekonomi baik untuk pendapatan daerah maupun untuk kesejahteraan masyarakat sekitar. Permasalahan KKLD G.Sulat-G.Lawang adalah kedua pulau ini telah ditetapkan sebagai hutan lindung oleh Kementerian Kehutanan berdasarkan hasil TGHK tahun 1994. Di lain pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan sebagai KKLD tahun 2004. Tanggal 22 Oktober 2009, Menteri Kehutanan mengukuhkan kembali sebagai hutan lindung berdasarkan SK Menhut No 598/Menhut – II/ 2009 (Lampiran 1). Hal ini berimplikasi pada tumpang tindihnya kewenangan pengelolaan kawasan. Permasalahan lain yang perlu mendapat perhatian serius adalah penetapan zona dalam kawasan hanya mempertimbangkan kriteria ekologi tanpa mempertimbangkan kriteria sosial dan ekonomi, padahal masyarakat secara turun temurun menggantungkan hidupnya pada sumberdaya dalam kawasan jauh sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai hutan lindung maupun sebagai KKLD. Kondisi ini tidak sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2007 yang merupakan turunan UU 27 tahun 2007, bahwa tujuan penetapan kawasan konservasi perairan yaitu melindungi dan melestarikan sumber daya ikan serta tipe-tipe ekosistem penting untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya, mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan secara berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Dengan
terbitnya PP No. 60 Tahun 2007 memberikan peluang dan
dukungan secara politik pada setiap daerah untuk memperbaiki pengelolaan kawasan konservasi yang telah ada. Berkaitan dengan adanya kewenangan dua sektor
dalam
pengelolaan
kawasan
G.Sulat-G.Lawang,
maka
dalam
pengembangannya memerlukan pengelolaan secara terintegrasi. Disamping itu diperlukan evaluasi penataan zona berdasarkan kriteria kesesuaian ekologi, ekonomi dan sosial. Oleh karena itu pengelolaan kawasan konservasi G.SulatG.Lawang dilakukan dengan menggunakan konsep pengelolaan yang mampu
3
mengakomodir kebutuhan masyarakat sekitar melalui suatu model pengelolaan kawasan berbasis kesesuaian dan daya dukung. Dalam mengimplementasikan konsep tersebut perlu diawali oleh kajian ilmiah tentang optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang Kabupaten Lombok Timur.
1.2. Perumusan Masalah Ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan partisipasi masyarakat semakin meningkat, disadari bahwa konservasi tidak mungkin dapat berhasil dan berkelanjutan tanpa mengakomodir kepentingan social ekonomi masyarakat. Masyarakat mulai kritis menuntut agar masyarakat diberikan akses dalam memanfaatkan sumberdaya termasuk pada kawasan konservasi. Pengakuan hak-hak
masyarakat,
kepentingan
perikanan
berkelanjutan
dan
sharing
kewenangan pengelolaan kawasan antara pusat dan daerah menjadi tuntutan dan salah satu tolok ukur pertimbangan pembangunan konservasi berbasis masyarakat. Sejak G.Sulat-G.Lawang ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) tahun 2004 berdasarkan SK Bupati Lombok Timur No 188.45/452/KP/2004, sampai saat ini pengelolaannya belum efektif, bersifat sektoral dan pemanfaatan bersifat destruktif oleh masyarakat karena alasan ekonomi dan minimnya pengetahuan masyarakat tentang arti penting ekosistem. Alasan lainnya adalah penataan zona yang ada hanya mempertimbangkan aspek ekologis. Atas dasar permasalahan tersebut, pengembangan KKLD G.Sulat-G.Lawang dilakukan dengan pengelolaan yang mampu mengakomodir kepentingan sosial ekonomi masyarakat yang memanfaatkan, melalui suatu model pengelolaan kawasan berbasis kesesuaian dan daya dukung. Dengan pola pengembangan yang demikian, diharapkan permasalahan pengembangan G.Sulat-G.Lawang dapat diatasi, mengingat dalam konteks pengelolaan kawasan konservasi ada tiga prinsip utama yang perlu dilakukan yaitu fishing right, insentif teknis, sosial dan ekonomi
serta pengelolaan
sumberdaya. Konsep ini seiring dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang menekankan pada tiga pilar yaitu pilar ekonomi menekankan pada pendapatan yang berbasis penggunaan sumberdaya yang efisien, pilar ekologi menekankan
pentingnya
perlindungan
keanekaragaman
hayati
yang
memberikan kontribusi pada keseimbangan ekosistem, dan pilar sosial
4
menekankan
pemeliharaan
kestabilan
sistem
sosial
budaya
meliputi
penghindaran konflik keadilan baik antar maupun dalam suatu generasi. Untuk menjamin keberhasilan pengembangan kawasan konservasi tidak cukup dengan hanya mengklaim suatu area sebagai kawasan konservasi perairan yang ditandai dengan adanya dokumen atau surat keputusan. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu kawasan konservasi perairan sehingga untuk mencapai hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Menurut Salm et al 2000, bahwa kesuksesan dari suatu kawasan konservasi perairan adalah adanya suatu kerangka hukum, penerimaan masyarakat pesisir, dukungan sistem manajemen yang baik dan efektif, dan adanya batasan daerah yang jelas. Mengingat permasalahan dalam pengelolaan G.Sulat-G.Lawang yang bersifat “multiuse”, dimana masyarakat sejak bertahun-tahun dan secara turun temurun menjadikan sumberdaya dalam kawasan sebagai sumber mata pencaharian utama, adanya persoalan kewenangan multi sektor, dan di sisi lain kepentingan Pemeritah Daerah Kabupaten Lombok Timur dalam kebijakan yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2010 sebagai kawasan wisata bahari, maka perlu dilakukan evaluasi penataan zona didalamnya dengan mempertimbangkan kriteria ekologi, ekonomi dan sosial sebagaimana
diatur
dalam Permen No 17 tahun 2008 sebagai turunan UU 27 tahun 2007 tentang kawasan konservasi perairan.Untuk mendukung pemanfaatan ruang kawasan yang paling optimal, perlu dilakukan analisis kesesuaian lahan dan daya dukung kawasan. Sebagai konsekuensi dari kawasan konservasi, maka setiap aktivitas yang akan dikembangkan harus berbasis kesesuaian dan daya dukung kawasan sehingga secara ekologis kualitas sumberdaya dapat terjaga keberlanjutannya, disamping memberikan kontribusi ekonomi yang menguntungkan serta dapat menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat secara sosial. Untuk menuju pada pengelolaan KKLD G.Sulat-G.Lawang berbasis kesesuaian lahan dan daya dukung, terdapat empat pertanyaan besar yang akan dijawab melalui penelitian ini, yaitu : 1. Apakah penetapan kawasan konservasi dan zona di dalamnya sudah mempertimbangkan kriteria kesesuaian kawasan konservasi perairan ?
5
2. Bagaimana kesesuaian dan daya dukung lahan dalam pemanfaatan kawasan konservasi? 3. Bagaimana pemanfaatan ruang kawasan berbasis daya dukung yang paling optimal? 4. Apakah pengelolaan kawasan berbasis daya dukung tersebut dapat berkelanjutan?
1.3.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk
menyusun skenario pemanfaatan ruang
yang paling optimal berbasis konservasi di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang Kabupaten Lombok Timur. Tujuan khusus penelitian adalah : 1) Mengevaluasi kriteria kesesuaian penetapan sub zona di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang;
2)
Menganalisis kesesuaian dan daya dukung lahan di kawasan konservasi Gili Sulat-Gili Lawang; 3) Menganalisis optimasi pemanfaatan ruang kawasan Gili Sulat-Gili Lawang berbasis daya dukung dan 4) Menganalisis keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi Gili Sulat-Gili Lawang berbasis daya dukung. Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi : 1) Ilmu pengetahuan, hasil penelitian digunakan sebagai acuan dalam pengembangan model alokasi sumberdaya di kawasan konservasi secara berkelanjutan; sebagai
gambaran
dalam
menentukan
seberapa
besar
2) Masyarakat, pemanfaatan
sumberdaya dapat dikembangkan secara optimal; dan 3) Pemerintah, digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi bagi Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat serta Provinsi lainnya yang memiliki areal kawasan konservasi.
1.4. Kerangka Pemikiran Pembangunan pulau kecil memerlukan pendekatan khusus karena memiliki keterbatasan sumberdaya alam, ekonomi dan budaya, sehingga tidak banyak pilihan dalam pembangunannya, seperti pengembangan pulau secara terbatas atau sebagai kawasan konservasi. Keterbatasan ini memberikan pilihan model pengelolaan pulau kecil berbasis daya dukung, sehingga diharapkan dapat memberikan prioritas pengelolaan yang lebih terarah dan berkelanjutan.
6
Dalam perencanaan pengelolaan pulau kecil, prioritas pembangunan sumberdaya manusia sangat penting selain sumberdaya alamnya, karena terkait dengan keberlanjutan pengelolaan pulau serta kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam pengembangan kawasan konservasi cukup banyak kendala yang dihadapi, namun bukan berarti kawasan konservasi tidak dapat dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti kaidah ekologis, sehingga tingkat pemanfaatan tidak boleh melebihi daya dukung kawasan. Dampak negatif pembangunan hendaknya ditekan seminimal mungkin sesuai dengan kemampuan daya dukung. Selain itu setiap kegiatan yang akan dikembangkan
harus
memenuhi
skala
ekonomi
yang
optimal
dan
menguntungkan serta sesuai dengan budaya lokal (Bengen 2002). Pola
pembangunan
wilayah
pulau
kecil
dengan
pendekatan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) suatu wilayah kepulauan secara ekologis memerlukan empat persyaratan (Dahuri 1998). Pertama setiap kegiatan pembangunan harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai. Persyaratan ini dapat dilakukan dengan membuat peta kesesuaian (land suitability). Kedua jika memanfaatkan sumberdaya dapat pulih, maka tingkat pemanfaatannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut. Ketiga jika membuang sampah di pulau (biodegradable) tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan pulau tersebut. Keempat jika akan memodifikasi bentang alam suatu pulau harus sesuai dengan pola hidrodinamika setempat dan prosesproses alami lainnya (design with nature). G.Sulat-G.Lawang merupakan pulau sangat kecil tidak berpenduduk dan didominasi ekosistem mangrove, disamping ekosistem terumbu karang dan padang
lamun
mengakibatkan
yang
dalam
proses
perubahan-perubahan
pemanfaatannya terhadap
selama
ekosistemnya,
ini
telah seperti
penebangan hutan mangrove serta rusaknya terumbu karang. G.Sulat-G.Lawang merupakan kawasan konservasi laut daerah, dimana banyak pihak yang berkepentingan dalam pemanfaatannya, sehingga perlu dilakukan kajian tentang Optimasi Pemanfaatan Ruang Kawasan. Untuk melakukan kegiatan ini dibuat skema tahapan analisis optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi seperti berikut :
7
1. Pemanfaatan kawasan konservasi berbasis daya dukung dimulai dari pemahaman tentang kondisi biofisik ekosistem, sosial budaya, ekonomi dan pemanfatan kawasan yang sesuai. 2. Setelah menyusun kriteria biofisik untuk membuat peta kesesuaian lahan, perlu diketahui potensi sumberdaya bio-geofisik kawasan. Pengukuran potensi sumberdaya berkaitan dengan seberapa besar pemanfaatan yang dapat dilakukan dan berapa besar sumberdaya yang dapat dieksploitasi sehingga tidak melebihi daya dukungnya. 3. Dalam menentukan kesesuaian lahan didasarkan pada analisis daya dukung (ekologi, ekonomi dan sosial) dan analisis biofisik. Beberapa pendekatan untuk menentukan analisis tersebut seperti parameter kualitas lingkungan perairan (fisika, kimia dan biologi), potensi mangrove, terumbu karang dan lamun. 4. Hasil beberapa analisis yang dilakukan seperti analisis kesesuaian lahan, analisis potensi sumberdaya alam dan analisis multikriteria,memberikan prioritas pemanfaatan ruang kawasan berbasis kesesuaian dan daya dukung. G.Sulat-G.Lawang memiliki sumberdaya alam yang dalam proses pengembangannya harus mengikuti kaidah-kaidah sebagai kawasan konservasi. Beberapa karakteristik G.Sulat-G.Lawang seperti pemanfaatan secara intens oleh masyarakat, kesulitan dalam meningkatkan skala ekonomi, sehingga pemanfaatannya harus melalui perencanaan yang tepat. Oleh karena itu pemanfaatan kawasan G.Sulat-G.Lawang harus melalui proses analisis potensi berdasarkan kesesuaian kawasan dan daya dukung. Hasil analisis berbagai aspek di atas digabungkan dengan analisis kesesuaian pemanfaatan dan analisis
multikriteria
untuk
pengelolaan
kawasan,
sehingga
diharapkan
pemanfaatannya dapat dilakukan secara berkelanjutan.
1.5.Hipotesis Dari uraian latar belakang, tujuan dan permasalahan yang ada maka hipotesis yang dapat diajukan adalah : “Pemanfaatan ruang berbasis
kesesuaian lahan dan daya dukung dapat menentukan keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang”.
8
Diagram alir kerangka pemikiran kajian optimasi pemanfaatan ruang kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang dapat dilihat pada Gambar 1 berikut :
KAWASAN KONSERVASI GILI SULAT - GILI LAWANG
PENETAPAN KAWASAN LINDUNG GILI SULATGILI LAWANG (SK Menhut, 1994)
KKLD GILI SULAT - GILI LAWANG SK BUPATI No 188.45/452/KP/2004
Permen 17 tahun 2008
PENGUKUHAN HUTAN LINDUNG (SK Menhut No : 598/Menhut – II/ 2009)
KESESUAIAN EKOLOGIS ?
YA
DAYA DUKUNG EKOLOGIS
ASPEK EKONOMI, SOSIAL, KELEMBAGAAN
TIDAK
EVALUASI KESESUAIAN EKOLOGIS OPTIMASI PEMANFATAN RUANG KAWASAN
ANALISIS KEBERLANJUTAN EKOLOGI EKONOMI SOSIAL
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG KKLD Gili Sulat-Gili Lawang
KELEMBAGAAN
Gambar 1. Kerangka Pendekatan Penelitian
9
1. 6. Penelitian Terdahulu Tabel berikut ini menguraikan beberapa penelitian yang sudah dilakukan di lokasi G.Sulat-G.Lawang. Tabel 1. Penelitian yang telah dilakukan di G.Sulat-G.Lawang Author
No 1.
Tri Ari Setyastuti
2
BRKP
3
Syamsul Agus Bahri
4
Sitti Hilyana, dkk
5
Yayasan Laut Biru
6
P3L Unram
Tahun
Judul
Tesis Program Studi SPL Sekolah Pascasarjana IPB, 2002 Tim Peneliti, 2003 Tesis Program Studi SPL Sekolah Pascasarjana IPB, 2005 Penyusunan Masterplan Mangrove se Nusa Tenggara Barat, 2006 Cofish Project, 2006
Kajian Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat di Desa Sambelia, Kab. Lombok Timur NTB
Dislutkan Kabupaten Lotim, 2009
Kajian Potensi Sumberdaya Pesisir dan Laut Penilaian Ekologi Ekonomi Sumberdaya Wilayah Pesisir di Sambelia Kecamatan sambelia, Kabupaten Lombok Timur. Identifikasi Tingkat Kekritisan Ekosistem Mangrove di Kawasan Konservasi Gili SulatGili Lawang Penyusunan Aturan Pengelolaan SDPL berbasis Masyarakat. Identifikasi Kondisi Terumbu Karang di kawasan Sambelia Kabupaten Lombok Timur
1.7. Novelty (Kebaruan) Penelitian Disertasi ini memiliki kebaruan pada konsepnya yaitu menghasilkan : 1. Model pemanfaatan ruang kawasan konservasi berbasis daya dukung 2. Model integrated multi sektor dalam pengelolaan kawasan konservasi
10
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil. Beller et al. (1990) mendefinisikan Pulau Kecil sebagai pulau dengan luas < 10.000 km2 dan mempunyai penduduk < 500.000 jiwa. Fakland (1991) menyatakan pulau kecil adalah suatu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 2000 km2 dan lebarnya tidak lebih dari 10 km, sedangkan definisi untuk pulau sangat kecil yaitu wilayah yang memiliki luas tidak lebih dari 100 km2 dan lebar tidak lebih dari 3 km ( UNESCO 1991). Kepmen Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 tentang Pedum Pengelolaan PPK, bahwa pulau kecil adalah pulau yang ukuran luasnya < 10.000 km2 dengan jumlah penduduk
<
200.000 jiwa. Sedangkan untuk pulau dengan ukuran
2
<2.000 km terdapat pedoman khusus menyangkut kegiatan ekonomi sesuai dengan ukuran pulau, mencakup kegiatan konservasi sumberdaya alam, budidaya laut, pariwisata bahari, usaha penangkapan ikan berkelanjutan, industri teknologi tinggi non-ekstraktif, pendidikan dan penelitian, dan lain sebagainya. Ukuran pulau kecil ini kemudian ditegaskan sebagai pulau dengan ukuran <2000 km2 pada peraturan perundangan terbaru yaitu Perpres No 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan PPK Terluar. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada definisi yang baku tentang PPK selain luas lahan dan populasi menjadi indikator utama definisi tersebut (Adrianto 2006). Arahan
pengelolaan
PPK
diperuntukan
bagi
kegiatan
berbasis
konservasi, artinya pemanfaatan untuk berbagai kegiatan yang bersifat eksploratif-destruktif tidak diperkenankan,
karena PPK memiliki sejumlah
kendala dan karakteristik yang sangat berbeda dengan pulau besar (mainland). Atas dasar karakteristiknya, maka arahan peruntukan dan pemanfaatannya berupa kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya PPK, seperti perikanan tangkap, budidaya laut, dan pariwisata (Bengen 2002 dalam Maanema 2003). Kebijakan pengelolaan PPK harus berbasis kondisi dan karakteristik biogeofisik serta sosial ekonomi, mengingat peran dan fungsi kawasan sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem laut maupun ekosistem daratan (mainland) Fauzi dan Anna (2002). Salah satu cara yang diterapkan adalah menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL), dengan maksud melindungi sumberdaya perikanan, pelestarian genetik dan plasma nutfah serta mencegah rusaknya bentang alam (Salm et al. 2000 dalam Maanema 2003).
11
Tabel 2. Kriteria umum untuk penentuan pemanfaatan pulau-pulau kecil No 1.
Kriteria Sosial
Uraian a.
Diterimanya secara sosial, berarti : didukung oleh masyarakat lokal, adanya nilai-nilai lokal untuk melakukan konservasi SDA, adanya kebijakan pemerintah setempat untuk menetapkan Daerah Perlindungan Laut (DPL). b. Kesehatan masyarakat, berarti : mengurangi pencemaran dan berbagai penyakit, mencegah terjadinya area kontaminasi. c. Rekreasi, berarti : dapat digunakan untuk kegiatan rekreasi, masyarakat lokal dapat memanfaatkan manfaat dengan berkembangnya kegiatan rekreasi. d. Budaya, berarti : adanya nilai-nilai agama, sejarah dan budaya lainnya yang mendukung adanya DPL. e. Estetika, berarti : adanya bentang laut dan bentang alam yang indah, keindahan ekosistem dan keanekaragaman jenis memberikan nilai tambah untuk rekreasi. f. Konflik kepentingan, berarti :pengembangan DPL akan membawa efek positif pada masyarakat lokal. g. Keamanan, berarti : dapat melindungi masyarakat dari berbagai kemungkinan bahaya badai, ombak, arus, dan bencana lainnya. h. Aksesibilitas, berarti : memiliki akses dari daratan dan lautan. i. Penelitian dan pendidikan, berarti : memiliki berbagai ekosistem yang dapat dijadikan objek penelitain dan pendidikan. j. Kepedulian masyarakat, berarti : masyarakat ikut berperan aktif dalam melakukan kegiatan konservasi. 2. Ekonomi a. Memiliki spesies penting, berarti : area yang dilindungi memiliki spesies yang bernilai ekonomi, misalnya terumbu karang, mangrove, dan estuaria. b. Memiliki nilai penting untuk kegiatan perikanan, berarti : area perlindungan dapat dijadikan untuk menggantungkan hidup para nelayan, area perlindungan merupakan daerah tangkapan. c. Ancaman terhadap alam, berarti : adanya ancaman dari aktifitas manusia, adanya ancaman dari kegiatan merusak seperti pengeboman, penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, daerah yang perlu dikelola untuk menjaga kelestariannya. d. Keuntungan ekonomi, berarti : adanya dampak positif bagi ekonomi setempat. e. Pariwisata, berarti : merupakan area yang potensial dikembangkan untuk pariwisata. 3. Ekologi a. Keanekaragaman hayati, berarti : memiliki kekayaan keanekaragaman ekosistem spesies. b. Kealamiahan, berarti : tidak mengalami kerusakan, masih dalam keadaan alami. c. Ketergantungan, berarti : berbagai spesies sangat tergantung pada area ini, proses-proses ekologi sangat bergantung pada daerah ini. d. Keterwakilan, berarti : area yang akan ditentukan mewakili berbagai tipe habitat, ekosistem, geologikal, dan berbagai karakteristik alam lainnya. e. Keunukan, berarti : memiliki spesies yang unik, memiliki spesies yang endemik, memiliki spesies yang hampir punah. f. Produktifitas, berarti : produktifitas area akan memberikan kontribusi untuk berbagai spesies dan manusia. g. Vulnerabilitas, berarti : area ini memiliki fungsi perlindungan dari berbagai ancaman bencana. 4. Regional a. Tingkat kepentingan regional, berarti : mewakili karakteristik regional setempat baik itu alamnya, proses ekologi, maupun budayanya, merupakan daerah migrasi beberapa spesies, memberikan kontribusi untuk pemeliharaan berbagai spesies. b. Tingkat kepentingan sub-regional, berarti : memiliki dampak positif terhadap subregional, dapat dijadikan perbandingan dengan subregional yang tidak dijadikan DPL. Sumber : Bengen (2002) ; Salm et al (2000) in Maanema (2003)
12
Beberapa persoalan ekologi yang terjadi di kawasan pesisir pulau-pulau kecil merupakan akibat terlampauinya daya dukung karena eksploitasi sumberdaya, seperti
penebangan mangrove akan menyebabkan hilangnya
fungsi ekologis, walaupun memberikan kontribusi secara ekonomi tetapi hanya dalam waktu tertentu. Alrasjid 1988 dalam Dahuri et al 1998, bahwa ekosistem mangrove mampu menghasilkan sekitar 9m3 kayu/ha/tahun. Adanya
keterbatasan
PPK,
maka
pengelolaannya
berdasarkan
penzonasian dan berbasis daya dukung. Penzonasian dilakukan berdasarkan kriteria yang terkait satu sama lain sehingga pengelolaannya dilakukan secara terpadu. Kriteria zonasi pulau kecil (Bengen 2002) yaitu : 1)
Ekologi meliputi : keanekaragaman hayati,
didasarkan pada keragaman
atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota; kealamian, didasarkan pada tingkat degradasi; ketergantungan, didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi atau tingkat dimana ekosistem bergantung
pada proses-proses
ekologi
yang
berlangsung
dilokasi;
keunikan, didasarkan pada keberadaan suatu spesies endemik atau yang hampir punah; integritas, didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologis; produktivitas, didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif dilokasi memberikan manfaat bagi biota atau manusia; kerentanan, didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi oleh pengaruh alam maupun aktivitas manusia. 2)
Ekonomi meliputi : spesies penting, didasarkan pada tingkat dimana spesies penting
komersial
tergantung
pada
lokasi;
kepentingan
perikanan,
didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan; bentuk ancaman, didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia; manfaat ekonomi, didasarkan pada tingkat perlindungan lokasi berpengaruh pada ekonomi lokal dalam jangka panjang; pariwisata, didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata. 3)
Sosial-budaya meliputi : penerimaan sosial, didasarkan pada tingkat dukungan
masyarakat;
kesehatan
masyarakat,
didasarkan
pada
keberadaan kawasan dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit
yang
berpengaruh
pada
kesehatan
masyarakat;
budaya,
didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain di lokasi;
13
estetika, didasarkan pada nilai keindahan lokasi; konflik kepentingan, didasarkan dimana kawasan dapat berpengaruh pada aktivitas masyarakat lokal; keamanan, didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya; aksesibilitas, didasarkan pada tingkat kemudahan mencapai lokasi; apresiasi masyarakat, didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian, pendidikan, atau pelatihan dapat berkontribusi pada pengetahuan nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi.
2.2. Kawasan Konservasi Kawasan yang dilindungi (protected area) adalah suatu areal yang secara khusus diperuntukan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati dan budaya, dikelola melalui upaya yang legal atau upaya efektif lainnya IUCN (1994). Definisi Kawasan Konservasi di Indonesia tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, mengadopsi dari World Conservation Strategy (IUCN 1980), yakni konservasi didefinisikan sebagai manajemen biosphere secara berkelanjutan untuk memperoleh manfaat bagi generasi sekarang dan yang akan datang. Dalam penentuan suatu ekosistem menjadi daerah perlindungan dan pelestarian ditentukan oleh kebutuhan untuk melindungi ekosistem. Berdasarkan pendekatan ekologis, apabila ekologis tidak terpenuhi maka akan menyebabkan kerusakan kawasan yang dijadikan sebagai daerah perlindungan. Ada dua konsep dasar dalam menentukan batasan ekologis dalam upaya perlindungan kawasan terumbu karang, yaitu (1) Habitat yang harus dimasukkan kedalam kawasan perlindungan dan (2) Luas daerah yang harus dilindungi (Salm and Clark 1982). Menurut Westmacott et al 2000, bahwa konservasi memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan terumbu karang, dengan cara : (a) melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak dan sebagai sumber larva serta alat untuk membantu pemulihan, (b) melindungi daerah bebas dari dampak manusia dan sesuai sebagai substrat karang dan pertumbuhan kembali, (c) memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang keberlangsungan kebutuhan masyarakat sekitar termasuk untuk kegiatan perikanan dan wisata. Alcala (1988) dan Roberts (1995), bahwa pengembangan kawasan konservasi laut dalam luasan kecil pada suatu wilayah menunjukkan peningkatan
14
yang cukup berarti pada produktivitas perikanan disekitarnya, seperti pada tiga pulau di Philipina, diperoleh produksi perikanan antara 10.94 – 24 metrik ton (mt)/km2/tahun sebelum dibangun KKL. White (1989) di Pulau Sumilon hasil produksi perikanan sebesar 14-24 mt/km2/tahun sebelum ada KKL, setelah dibangun KKL hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/km2/tahun. Produksi KKL kembali menurun 20 mt/km2/tahun ketika pengelolaan KKL mengalami masalah. White (1989), bahwa KKL merupakan area recruitment bagi ikan karang yang bergerak pada kawasan terumbu karang di dalam dan diluar KKL. Hutomo dan Suharti (1998) melaporkan bahwa terumbu karang dapat memberikan manfaat langsung berupa hasil laut sebanyak 25 ton/ha/tahun. Keanekaragaman
species
digunakan
sebagai
indikator
stabilitas
lingkungan. Selain itu, species itu sendiri penting karena fungsinya bertindak dalam menimbulkan jasa ekologis yang bernilai ekonomis.
Keanekaragaman
secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al 1996). Jumlah species dan komposisi species ikan merupakan indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr 2002). Menurut Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 dalam DKP (2002) terdapat 4 (empat) kategori kawasan lindung yaitu : (1) Kawasan yang memberikan Perlindungan bagi kawasan bawahannya meliputi: Kawasan hutan lindung yaitu kawasan hutan yang terletak di pesisir dan telah ditetapkan sebagai Hutan Lindung (Perda RTRW); Kawasan bergambut yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut yang berfungsi mengendalikan faktor hidrologi wilayah dan melindungi ekosistem yang khas; dan Kawasan resapan air atau sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) (2) Kawasan perlindungan setempat meliputi: Kawasan sempadan pantai yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi pantai, minimal 100 meter dari pasang tertinggi ke arah darat; Kawasan sekitar mata air atau DAS. Pada daerah pesisir, kawasan mata air yang perlu dilindungi terutama yang terdapat di pulau-pulau kecil; (3) Kawasan suaka alam dan cagar budaya, Kawasan Perlindungan terhadap kawasan suaka alam dilakukan untuk melindungi keanekaragaman biota, ekosistem tertentu, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya. Kawasan
15
Suaka Alam dan Cagar Budaya adalah Kawasan Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Kawasan Taman Nasional dan Kawasan Taman Wisata Alam yang dapat ditemukan di wilayah daratan dan perairan pesisir. (4) Kawasan rawan bencana alam, perlindungan terhadap kawasan rawan bencana alam dilakukan untuk melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia. Kawasan konservasi didasarkan atas kategori IUCN (1980): Strict Nature Reserve/Wilderness Area (kawasan cadangan alam/hutan belantara); National Park (Taman Nasional);
Natural Monument Area (Kawasan
Monumen Alam); Kawasan yang dilindungi untuk komponen alami tertentu yang khas dan unik karena kelangkaan wilayah dan jenis biotanya, kualitas estetikanya atau kepentingan budaya; Habitat/Species Management Area (kawasan pengelolaan habitat/ species tertentu); Kawasan lindung yang dikelola untuk kegiatan konservasi. Pada kawasan ini terdapat unsur intervensi
manusia;
Landscape/Seascape
Protected
Area
(kawasan
perlindungan bentang alam/ bentang laut), kawasan yang dilindungi dengan tujuan konservasi bentang alam dan bentang laut; Protected Area (kawasan
Managed Resources
perlindungan bagi pengelolaan sumberdaya);
dan Kawasan lindung yang dikelola untuk keberlanjutan pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya pesisir. Kawasan konservasi di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil memiliki fungsi (Agardy 1997; Barr et al. 1997 dalam Bengen 2002): (1) Melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem; dapat berkonstribusi untuk mempertahankan keanekaragaman hayati pada semua tingkatan trophik dari ekosistem, melindungi hubungan jaringan makanan, dan proses-proses ekologis dalam suatu ekosistem. (2) Meningkatkan
hasil
perikanan;
dapat
melindungi
daerah
pemijahan,
pembesaran dan mencari makanan; meningkatkan kapasitas reproduksi dan stok sumberdaya ikan. (3) Menyediakan tempat rekreasi dan pariwisata; dapat menyediakan tempat untuk kegiatan rekreasi yang bernilai ekologis dan estetika. (4) Memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; dapat meningkatkan pemahaman dan kepedulian masyarakat terhadap ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.
16
(5) Memberikan manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat pesisir; dapat membantu masyarakat dalam mempertahankan basis ekonominya melalui pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan secara berkelanjutan.
2.3. Penzonasian Kawasan Konservasi Kawasan Konservasi Prairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP menurut UU 31/2004 tentang perikanan serta perubahannya (UU 45/2009) dan PP no 60/2007 tentang konservasi sumberdaya ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi. Empat pembagian zona yang dapat dikembangkan didalam KKP yakni zona inti, zona perikanan berkelanjutan,
zona
pemanfaatan
dan
zona
lainnya.
Zona
perikanan
berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut Undang-Undang No 5 tahun 1990 dan PP 58/1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat, Berdasarkan Undang-Undang 27/2007 dan PP 60/2007 serta Permen Men KP No 02/2009, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi diwilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU 32/2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU no 12/2008 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi. Penetapan KKP merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Data direktorat konservasi kawasan dan jenis ikan (KKJI) menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 2010 tercatat 13,9 juta hektar kawasan konsrrvasi perairan laut di Indonesia. Salm dan Clark (1982), pemilihan Marine Protected Area bergantung pada tujuan pembentukannya yaitu: (1) tujuan sosial,
pengembangannya untuk
17
rekreasi, pendidikan dan penelitian serta peninggalan sejarah dan situs budaya, kriterianya ditekankan pada faktor keselamatan; (2) tujuan ekonomi, perhatian utama pada perlindungan wilayah pesisir, pemeliharaan perikanan atau pengembangan wisata dan industri yang sesuai, kriteria ditekankan pada intensitas
eksploitasi
sumberdaya,
memiliki
potensi
nilai
ekonomi
dari
sumberdaya serta tingkat ancaman terhadap sumberdaya yang ada; dan (3) tujuan ekologi, seperti pemeliharaan keragaman genetik, proses ekologis, pemulihan kembali species, kriteria ditekankan pada keunikan, keragaman dan sifat alamiah lokasi. Zonasi merupakan salah satu metode pengelolaan wilayah pesisir (Clark 1974). Zonasi mempunyai dua tujuan yaitu pencegahan kerusakan dan kemudahan pengaturan. Zonasi diharapkan dapat mengurangi konflik antar pengguna sumberdaya dan lingkungan sehinga keberlanjutan pembangunan dapat tercpai. Secara umum sangat sedikit alasan ekologis yang dijadikan dasar untuk menentukan batas dan zonasi kawasan konservasi, karena selama ini batas kawasan konservasi didasarkan pada karakteristik geologis kawasan, batas administratif atau faktor biaya. Tidak ada aturan baku yang menetapkan ukuran optimal dan rancangan dari suatu kawasan konservasi, yakni : kategori disagregasi (sekelompok kawasan konservasi yang berukuran kecil), dan kategori agregasi (suatu kawasan konservasi yang berukuran besar). Setiap kategori ukuran memiliki keunggulan sendiri. Kawasan konservasi yang berukuran kecil dapat mendukung kehidupan lebih banyak jenis biota dengan relung yang berbeda-beda, serta tidak merusak semua kawasan konservasi secara bersamaan bila terdapat bencana. Kawasan konservasi yang berukuran besar menuntut adanya zonasi kawasan untuk dapat mendukung pengelolaan yang efektif bagi berbagai pemanfaatan secara berkelanjutan. Dengan adanya zonasi maka pemanfaatan sumberdaya alam dapat dikontrol secara efektif guna mencapai sasaran dan tujuan kawasan konservasi. Pengelolaan zona dalam kawasan konservasi didasarkan pada luasnya berbagai pemanfaatan sumberdaya kawasan. Aktivitas di dalam setiap zona ditentukan oleh tujuan kawasan konservasi, sebagaimana ditetapkan dalam rencana pengelolaan. Secara umum zona-zona di suatu kawasan konservasi dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) zona (Budiharsono 2006) :
18
(1) Zona inti Habitat di dalam zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan, hanya dapat mentolerir sangat sedikit aktivitas manusia. Zona inti harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi serta tidak dapat diijinkan adanya aktivitas eksploitasi. (2) Zona penyangga Merupakan zona transisi antara zona inti (zona konservasi) dengan zona pemanfaatan. Penyangga di sekeliling zona inti ditujukan untuk menjaga zona inti dari berbagai aktivitas pemanfaatan yang dapat mengganggu dan melindungi zona inti dari pengaruh eksternal, bersifat lebih terbuka, tapi tetap dikontrol dan beberapa pemanfaatan masih dapat diijinkan. (3) Zona pemanfaatan Zona pemanfaatan masih memiliki nilai konservasi tertentu, tetapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan konservasi. Penzonasian tersebut ditujukan untuk membatasi tipe-tipe habitat penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi sebagaimana sasaran kawasan konservasi di wilayah pesisir. Menurut Salm (2000), bahwa daerah perlindungan laut dapat membantu mewujudkan tiga tujuan utama dari konservasi sumberdaya alam (IUCN 1980) yaitu : (1) mempertahankan proses ekologi yang penting dan sistem pendukung kehidupan; (2) mempertahankan keanekaragaman genetik dan; (3) Menjamin pemanfaatan spesies dan ekosistem yang berkelanjutan. Kawasan konservasi perairan dapat berperan dalam mempertahankan biodiversity, genetic diversity, ekosistem
dan
proses
ekologi,
menjamin
pemanfaatan
sumberdaya
berkelanjutan; melindungi spesies ekonomis; mengembalikan stok yang hilang; pendidikan dan penelitian; memberikan perlindungan dari bencana alam; menjadi tujuan rekreasi dan pariwisata; dan memberikan keuntungan sosial dan ekonomi. Pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan pada sistem zonasi yang ada di dalamnya meliputi zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Pada zona inti, umumnya diberlakukan no-take zone atau penutupan area dari berbagai macam kegiatan eksploitasi. Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KKP dengan suatu kawasan no-take zone yang cukup substansial di dalamnya menyebabkan
19
peningkatan biomas ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami. Misalnya KKP di St. Lucia yang terdiri dari 5 KKP yang berukuran kecil, diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan tradisional antara 40-90%, sementara kawasan perlindungan laut di Merrit Island National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970 an (Robert and Hawkins 2000 dalam Wiadnya et al. 2005). Mekanisme peningkatan biomas dan ukuran individu ikan ekonomis penting di dalam zona inti dapat memberikan manfaat bagi perikanan komersial di sekitarnya melalui: (1) penyebaran ikan muda dan dewasa dari dalam kawasan larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, “spill-over”, (2) ekspor telur dan larva yang bersifat planktonik dari wilayah larang-ambil ke wilayah perikanan di sekitarnya, dan (3) mencegah hancurnya perikanan tangkap secara keseluruhan jika pengelolaan perikanan di luar zona inti mengalami kegagalan. Selain dapat mempertahankan kondisi ekosistem, zona inti juga dimaksudkan agar induk ikan karang mempunyai daerah agregasi sehingga fertilisasi lebih banyak terjadi. Dengan demikian maka terjadi peningkatan rekruitmen dan penyebaran juvenile ikan ke luar zona inti. Oleh sebab itu, manfaat kawasan konservasi perairan lebih terlihat pada organism sedentary. Keuntungan lain dari KKP
dibanding
alat
pengelolaan
perikanan
seperti
pengaturan
usaha,
pengaturan kuota dan alat tangkap adalah bahwa pengaruh penutupan wilayah di dalam kawasan bisa menjadi penjelasan yang cukup tajam kepada para pihak, khususnya jika penutupan wilayah tersebut mencakup wilayah pemijahan atau pendederan (Wiadnya et al. 2005). Pengelolaan kawasan konservasi
secara terintegrasi bertujuan untuk
mencapai pembangunan yang berkelanjutan serta perlindungan atas habitat dan sumberdaya alam. Dalam arti, skema pengelolaan membutuhkan penyatuan dalam hal dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, politik dan kelembagaan. Dimensi ekologi mensyaratkan: a) aktivitas harus didasari perimbangan ekologi dan perencanaan spatial serta perencanaan penggunaan lahan merupakan puncak aktivitas yang sangat penting; b) kegiatan yang ada saat ini dan di masa mendatang harus terencana dan dikelola agar limbah yang dihasilkan di bawah kapasitas asimilasi; c) sumberdaya alam yang dapat diperbaharui tidak dieksploitasi di atas kapasitas regenerasi. Dimensi sosial-ekonomi dan budaya, pembangunan harus menyediakan kebutuhan dasar manusia dan pelayanannya
20
dalam kerangka kapasitas regenerasi ekosistem asli. Dimensi sosial politik, aktivitas masa depan harus menjamin pengikutsertaan masyararakat dan bentuk partisipasi aktif pada setiap pengambilan keputusan. Dimensi kelembagaan, instansi pemerintah bertanggung jawab dalam integrasi dan koordinasi pembangunan dengan undang-undang maupun peraturan yang menjamin pelaksanaan yang bijaksana setiap aktivitas pembangunan yang dijalankannya (Cincin-Sain et al. 2002).
2.4. Konservasi dan Pariwisata Bahari Konservasi dan pariwisata bahari merupakan kegiatan yang saling menunjang sehingga dari segi ruang dan waktu dapat dipadukan. Pariwisata bahari memerlukan keaslian dan keindahan flora dan fauna yang sebagian berasal dari kawasan konservasi, sebaliknya kawasan konservasi terlindungi apabila masuk dalam kawasan pariwisata. Halim (1998), pengelolaan kawasan konservasi laut memerlukan zona tertentu untuk menunjang mata pencaharian masyarakat
pesisir
maupun
kegiatan
lainnya
sesuai
azas
kelestarian.
Pengelolaan disadari tiga aspek konservasi : perlindungan ekosistem penyangga kehidupan; pengawetan plasma nutfah, dan pelestarian pemanfaatan. Kawasan Konservasi Laut (KKL) telah menunjukkan manfaat yang berarti berupa peningkatan biomas. Hasil studi Halpern (2003), menunjukkan bahwa secara
rata-rata,
kawasan
konservasi
telah
meningkatkan
kelimpahan
(abundance) sebesar dua kali lipat, sementara biomas ikan dan keaneka ragaman hayati meningkat tiga kali lipat. Peningkatan kelimpahan dan biomass ini mengakibatkan pula peningkatan terhadap produksi perikanan (jumlah tangkap dan rasio tangkap per unit upaya atau CPUE). Beberapa studi menunjukan bahwa kawasan konservasi telah meningkatkan rasio CPUE dalam kisaran 30- 60% dari kondisi sebelum kawasan konservasi. Sementara itu dari sisi riil effort (jumlah trip), studi di Apo Island. Philippine dan George Bank di Amerika Serikat, telah menunjukan penurunan yang berarti. Hasil studi yang dipublikasikan pada jurnal ilmiah tanggal 5 Juli 2002, menyatakan bahwa perancangan kawasan laut “larang ambil” menjadi penting untuk menjamin hasil perikanan dalam jangka panjang karena penutupan tersebut mampu melestarikan variasi genetis, dilihat dari parameter ukuran ikan dan tingkat pertumbuhan, disebabkan karena pada situasi dieksploitasi, nelayan
21
secara selektif memilih ikan yang berukuran besar dan tidak memilih yang berukuran kecil dan tidak produktif (MPA News 2002). Dampak konservasi bagi pengelola yaitu: (1) Kawasan Konservasi Laut menyediakan alasan ekonomi bagi perlindungan secara tegas terhadap tempat yang diketahui dan potensial sebagai tempat-tempat pemijahan, (2) Taman Nasional Komodo (TNK), tempat pemijahan tersebut secara nyata mempunyai nilai ekonomi setara dengan nilai rekreasi dari fungsi taman nasional secara keseluruhan, dan (3) usaha-usaha perlindungan menyeluruh yang konsisten dengan melindungi daerah penangkapan di mana sebagian besar rumah tangga tergantung pada wilayah di luar lokasi TNK (Ruitenbeek 2001). Keuntungan yang nyata telah dibuktikan di beberapa tempat dimana terumbu karang sudah dilindungi dengan baik, termasuk pada beberapa lokasi sebagai berikut: Netherlands Antilles (Taman Nasional Laut Bonaire), dimana pariwisata selam meningkat; the Seychelles (Taman Nasional Laut Ste. Anne), dimana taman nasional digunakan baik oleh turis maupun penduduk setempat untuk berenang, berlayar, snorkeling, selam, dan perjalanan perahu beralas kaca; Fiji (Tai Island), dimana hasil tangkapan nelayan kecil meningkat, kegiatan pariwisata berkembang pesat, dan pemegang hak penangkapan tradisional (eksklusif) dilibatkan dalam pengelolaan resort dan penyewaan perahu; Cozumel Island (Mexican Caribbean) dimana terjadi peningkatan jumlah wisatawan lokal dan manca negara yang datang untuk menyaksikan melimpahnya ikan-ikan karang; dan Kenya (Taman Nasional dan Cagar Alam Malindi/Watamu), dimana pariwisata menghasilkan pendapatan melalui tiket masuk, biaya pemandu dan biaya camping, penyewaan perahu dan peralatannya, serta hotel. Keuntungan tidak langsung dengan adanya permintaan terhadap lapangan pekerjaan di hotelhotel, sebagai pemandu dan pengemudi perahu (McNeely et al. 1994). Penurunan hasil tangkap secara global dilaporkan oleh FAO (2002), 47% stok mengalami eksploitasi penuh, 15-18% stok mengalami over-eksploitasi, dan 9% stok telah terdeplesi. Gomez (1999) menyatakan bahwa di Asia tenggara, seluruh perairan pesisir sampai 15 km dari darat mengalami overfishing. Di Indonesia, Fauzi dan Anna (2002) menunjukkan sumberdaya ikan di perairan Pantai Utara Jawa telah terdepresiasi sebesar 20 milyar rupiah per tahun. Untuk terumbu karang, di kawasan Indonesia menunjukkan bahwa proporsi yang terdegradasi meningkat dari 10-50% (Hopley dan Suharsono 2000). Walaupun terumbu karang di wilayah Indonesia Timur masih dalam kondisi lebih baik daripada di Indonesia Barat, namun kondisinya menurun dalam laju yang cukup
22
tinggi. Berdasarkan studi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), hanya 10% terumbu karang di wilayah timur Indonesia dalam kondisi sangat baik (excellent) tutupan lebih dari 50% terumbu karang hidup, sisanya 31,8% diklasifikasikan dalam kondisi buruk (25% tutupan terumbu karang hidup), (Hopley dan Suharsono 2000). Prinsip dari konservasi adalah spill over effect atau dampak limpahan dimana pada kawasan yang dilindungi, stok ikan akan tumbuh dengan baik dan limpahan dari pertumbuhan ini akan mengalir ke wilayah di luar kawasan yang kemudian dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan tanpa mengurangi sumber pertumbuhan di daerah yang dilindungi. Konservasi memiliki banyak manfaat yang signifikan yang akan membantu pengelolaan sumberdaya kelautan dalam jangka panjang. Li (2000) merinci manfaat KKL sebagai berikut: manfaat biogeografi, keaneka ragaman hayati, perlindungan terhadap spesies endemic dan spesies langka, perlindungan terhadap spesies yang rentan dalam masa pertumbuhan, pengurangan mortalitas akibat penangkapan,peningkatan produksi pada wilayah yang berdekatan, perlindungan pemijahan, manfaat penelitian, ekoturisme, pembatasan hasil samping ikan juvenil (juvenile by catch) dan peningkatan produktifitas perairan (productivity enchancement).
2.5. Penataan Ruang (Zonasi) Zonasi adalah sistem pembentukan wilayah daratan atau perairan untuk dialokasikan pada penggunaan yang spesifik; pembagian wilayah khusus ke dalam beberapa zona dimana tiap zona direncanakan untuk penggunaan atau kumpulan penggunaan khusus (Clark 1977). Zonasi merupakan proses pengaturan membagi wilayah secara geografis ke dalam sub wilayah, dimana tiap sub wilayah dirancang untuk penggunaan khusus. Kay dan Alder 2005, zonasi didasarkan pada konsep pemisahan dan pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, yang diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik.
Sebagian ahli
berpendapat bahwa zonasi adalah pembagian kawasan (lindung dan budidaya) berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup kompleks karena bersifat multi sektor, multi proses dan multi disiplin. Aspek yang
23
harus dikaji dalam pennataan ruang pesisir dan PPK, yaitu aspek ekologi (biofisik), sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Dalam kaitan dengan sistem pengelolaannya, penataan sistem zonasi Taman Nasional yaitu pembagian ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti zona inti, zona pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya. Pada prinsipnya, sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengatur jenis kegiatan manusia di dalam kawasan, sehingga dapat saling mendukung dan diharapkan dapat mengakomodasi semua kegiatan masyarakat di sekitar kawasan. UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah mengatur bahwa pemanfaatan PPK dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya serta diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan: konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan dan industri perikanan secara lestari; pertanian organik, dan/atau; peternakan. Kebijakan KKL merupakan bagian dari kebijakan pembangunan wilayah pesisir, laut dan PPK, karena itu arah kebijakan mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan, sehingga diperlukan arahan kebijakan pengelolaan secara terpadu sesuai pendapat Stephen B. Olsen (2002) bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan dilakukan secara menyeluruh dalam merencanakan serta memanfaatkannya secara optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan
tersebut
dilakukan
secara
kontinyu
dan
dinamis
dengan
mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi pengguna, daya dukung lingkungan pesisir, serta konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya.
2.6. Daya Dukung Lingkungan Daya
dukung
(carrying
capacity)
didefinisikan
sebagai
intensitas
penggunaan maksimum terhadap sumberdaya alam yang berlangsung secara terus menerus tanpa merusak alam ( Pearce dan Kirk 1986). Kapasitas lingkungan adalah satu konsep kunci pada ide dari pembangunan berkelanjutan (GESAMP 2001),karena itu harus untuk
meningkatkan
tertuju pada beberapa inisiatif mendisain
pengembangan
berkelanjutan.
Pengertian
kapasitas
lingkungan (kapasitas asimilasi) adalah “satu hak milik dari lingkungan dan
24
kemampuan untuk mengakomodasi satu aktivitas tertentu tanpa mengakibatkan dampak yang tidak dapat diterima”. Kapasitas atau daya dukung lingkungan dapat menaksir dampak kumulatif atau dampak kombinasi dan tingkatan yang layak (acceptable level) dari perubahan lingkungan yang sesuai dengan tujuan manajemen lingkungan. Dengan mengestimasi
kapasitas total, maka pemanfaatan lingkungan yang
berbeda-beda (akuakultur, pemanfaatan lain dan komponen ekosistem alami) dapat dialokasikan. Menurut Bengen (2002), konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung pertumbuhan suatu organisme. Konsep ini dikembangkan untuk mencegah kerusakan atau degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Daya dukung dapat dinaikkan kemampuannya oleh manusia dengan memasukkan dan menambahkan ilmu dan teknologi kedalam suatu lingkungan. Namun peningkatan daya dukung lingkungan memiliki batas-batas dimana pada keadaan tertentu cenderung sulit atau tidak ekonomis lagi bahkan tidak mampu lagi dinaikkan kemampuannya karena akan terjadi kerusakan pada sumberdaya. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak bijaksana justru akan menghancurkan daya dukung lingkungan. Di alam dikenal the law of limiting factors, yang menyatakan adanya batas minimum dan maksimum dalam alam (Gambar 2). Diluar batas toleransi ini, akan terjadi kerusakan sumberdaya alam dan ekosistem, bahkan berpeluang untuk terjadinya kehancuran sumberdaya dan ekosistem. Disamping itu, daya dukung tidak hanya dilakukan dalam penilaian aspek fisik dan ekologis saja tetapi juga digunakan dalam memperkirakan nilai daya dukung sosial, misalnya penilaian terhadap terjadinya perubahan perilaku sosial sumberdaya alam dan lingkungan adalah penting untuk menentukan bentuk pengelolaan terhadap sumberdaya terutama dalam
Kenaikan Daya Dukung
tujuan menjaga, mengendalikan, dan melestarikan lingkungan. Minimum Limits
Maksimum Limits
Daya Dukung Rusak
Daya Dukung Rusak Faktor-Faktor Lingkungan
Gambar 2.The Law of Limiting Factors dari daya dukung (Suratmo 1992 dalam Rauf, 2007)
25
Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang kedalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi. Bengen (2002) Daya Dukung dapat dibedakan atas : 1.
Daya
Dukung
Ekologis,
dinyatakan
sebagai
tingkat
maksimum
penggunaan suatu kawasan atau ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan di dalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan kualitas ekologis kawasan atau ekosistem. Kawasan yang menjadi perhatian utama dalam penilaian daya dukung ekologis adalah jenis kawasan atau ekosistem yang tidak dapat pulih, seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetland) antara lain rawa. Pendekatan ekologis, digunakan untuk menentukan indikator kerusakan ekosistem atau lingkungan akibat kegiatan manusia pada suatu kawasan yang antara lain dapat digambarkan oleh adanya berbagai kerusakan seperti pada vegetasi, habitat satwa, degradasi tanah, kerusakan visual objek wisata alam dan berbagai bentuk vandalisme lainnya. Walaupun demikian, penerapan teknologi pencegah dampak negatif terhadap lingkungan dapat meningkatkan daya dukung ekologis atau dapat mencegah penurunan kualitas ekosistem atau lingkungan suatu tempat. 2.
Daya Dukung Fisik, merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik. Kawasan yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan terutama udara dan air sungai/ permukaan, banyaknya sampah kota, suhu kota yang meningkat, konflik sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya fasilitas umum, atau pemadatan tanah yang terjadi pada tempat-tempat rekreasi. Terlampauinya daya dukung fisik suatu kawasan akan berdampak (negatif) tidak saja terhadap aspek fisiknya tetapi juga terhadap aspek-aspek lainnya yaitu aspek-aspek sosial, ekonomi, dan juga ekologis.
3.
Daya Dukung Ekonomi, merupakan tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter kelayakan usaha secara ekonomi.
26
4.
Daya Dukung Sosial, merupakan gambaran dari persepsi seseorang dalam menggunakan ruang pada waktu yang bersamaan, atau persepsi pemakai kawasan
terhadap
kehadiran
orang
lain
secara
bersama
dalam
memanfaatkan suatu area tertentu. Konsep ini berkenaan dengan tingkat confortability atau kenyamanan dan apresiasi pemakai kawasan karena terjadinya atau pengaruh over-crowding pada suatu kawasan. Daya dukung sosial suatu kawasan dinyatakan sebagai batas tingkat maksimum, dalam jumlah dan tingkat penggunaan dalam suatu kawasan dimana dalam kondisi yang telah melampaui batas daya dukung ini akan menimbulkan penurunan dalam tingkat dan kualitas pengalaman atau kepuasan pengguna (pemakai) pada kawasan tersebut. Terganggunya pola, tatanan atau sistem kehidupan dan sosial budaya (indvidu, kelompok) pemakai ruang tersebut, yang dapat dinyatakan sebagai ruang sosialnya, juga merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung sosial ruang tersebut. Disamping dampak yang mengganggu kenyamanan atau kepuasan pemakai kawasan, dampak negatif lanjutan dapat terjadi misalnya menurunnya spesies biota di suatu kawasan. Dengan demikian, tahapan untuk menetapkan atau menentukan daya dukung pulau kecil adalah : menetapkan batas-batas, vertikal, horisontal terhadap garis pantai pulau kecil sebagai suatu unit pengelolaan, menghitung luasan wilayah pulau kecil yang dikelola, mengalokasikan zona wilayah menjadi tiga yaitu, zona preservasi, zona konservasi dan zona pemanfaatan, dan menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan zona pemanfaatan. Kemudian melakukan penghitungan potensi dan distribusi sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang tersedia, misalnya stock assesment sumberdaya perikanan, potensi hutan mangrove, pengkajian ketersediaan air tawar, pengkajian tentang kapasitas asimilasi dan pengkajian tentang permintaan internal terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan.
2.7. Daya Dukung sebagai Dasar Penentuan Peruntukan Lahan Soerianegara (1978), menyatakan bahwa untuk mengetahui daya dukung lahan atau lingkungan, harus diperhitungkan semua potensi yang ada di wilayah yang bersangkutan dan faktor kendala yang mempengaruhi potensi tersebut dalam jangka panjang. Tanda-tanda dilampauinya daya dukung lingkungan
27
adalah adanya kerusakan lingkungan. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk populasi manusia batasan daya dukung adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh luas sumberdaya dan lingkungan. Dalam upaya pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam, faktor daya dukung lahan/lingkungan merupakan faktor yang harus dipertimbangkan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan apabila dikelola dengan tetap memperhatikan daya dukung lahan dan lingkungannya. Untuk menerapkan konsep daya dukung lahan dalam pengembangan kawasan pesisir dan PPK diperlukan dua faktor pendukung, yaitu: konsumsi perkapita terhadap sumberdaya dan dukungan yang diperlukan manusia, serta kemampuan manusia mengendalikan dan mengelola sumberdaya alam yang sedang dimanfaatkan. Salah satu ukuran utama untuk mempertahankan kelestarian, keberadaan atau optimisasi manfaat dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan adalah dengan melakukan penilaian terhadap daya dukungnya. Konsep daya dukung ini, awalnya dikembangkan dan digunakan untuk mempelajari pertumbuhan populasi dalam suatu unit ekosistem. Contoh dari penilaian yang umum dilakukan terhadap perhitungan daya dukung ini adalah perhitungan terhadap ecological capacity (jumlah individu yang dapat didukung oleh suatu habitat). Tujuan utama dari penilaian ini adalah untuk mempertahankan atau melestarikan potensi sumberdaya alam dari areal tersebut pada batas-batas penggunaan yang diperkenankan atau yang dimungkinkan. Nilai yang dihasilkan dari perhitungan atau pendekatan daya dukung dari sumberdaya alam dan lingkungan adalah penting untuk menentukan bentukbentuk pengelolaan terhadap sumberdaya tersebut terutama untuk menjaga, mengendalikan, dan melestarikan lingkungan. Penilaian yang sistematik terhadap sumberdaya alam dan lingkungan yang menjadi dasar dari kehidupan manusia dan mahluk hidup lainnya dilakukan terutama untuk mengetahui potensinya. Dengan pendekatan ini maka akan dapat diketahui kapasitas dari suatu kawasan atau ekosistem yang dinilai, yang selanjutnya akan dapat merupakan ukuran dan/atau nilai pendugaan terhadap kualitas sumberdaya alam dan lingkungan. Mengingat rentannya ekosistem PPK, pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang sudah terbukti menimbulkan dampak negatif yang
28
luas,baik secara ekologis maupun sosial. Pemerintah hanya mengizinkan pengelolaan PPK untuk konservasi dan mariculture yang lestari.
2.8. Keberlanjutan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Keberlanjutan (sustainability) dijadikan salah satu tujuan pengelolaan ekosistem pesisir karena hal ini telah diamanatkan dalam Deklarasi yang dihasilkan oleh United Nations Conference on Enviornment and Development yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, pada tahun 1992. Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan keserasian antara laju kegiatan pembangunan dengan daya dukung (carrying capacity) lingkungan alam – untuk menjamin tersedianya aset sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang minimal sama untuk generasi mendatang (Bengen 2004). Suatu kegiatan
pembangunan
dinyatakan
pembangunan
secara
ekonomis,
berkelanjutan.
Berkelanjutan
berkelanjutan,
ekologis
secara
dan
ekonomis
apabila
sosial berarti
politik bahwa
kegiatan bersifat kegiatan
pembangunan harus dapat membuahkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital (capital maintenance), dan penggunaan semberdaya serta investasi secara efisien. Berkelanjutan secara ekologis mengandung arti, bahwa kegiatan dimaksud harus dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung
lingkungan,
dan
konservasi
sumberdaya
alam
termasuk
keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Keanekaragaman
spesies
digunakan
sebagai
indikator
stabilitas
lingkungan (De Santo, 2000). Selain itu, spesies penting karena fungsinya bertindak dalam menimbulkan atau memunculkan jasa ekologis yang memang bernilai ekonomis bagi manusia (Perrings et al 2003). Keanekaragaman spesies secara fungsional menentukan ketahanan (resilience) ekosistem atau sensitivitas ekosistem (Holling et al 2002). Jumlah spesies dan komposisi spesies ikan merupakan dua dari beberapa indikator integritas biotik ekosistem perairan (Karr 2002). Integritas biotik adalah suatu ekosistem yang berubah baik secara struktur maupun secara fungsional akibat aktivitas manusia (Hocutt 2001). Oakerson (1992), mengajukan tiga alasan pentingnya melakukan kajian hubungan antara atribut-atribut tersebut dengan keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut adalah sebagai berikut:
29
1. Sumberdaya perikanan termasuk terumbu karang memiliki kapasitas relatif dalam mendukung usaha nelayan secara simultan tanpa adanya benturan di antara mereka atau adanya dampak yang merugikan bagi nelayan tertentu yang timbul karena nelayan lain menangkap ikan dalam jumlah yang lebih banyak. 2. Analisis sifat ekologi harus diarahkan untuk menentukan secara akurat faktor-faktor pembatas sumberdaya utama adalah potensi dan jenis serta mobilitasnya di dalam kawasan yang dikelola. 3. Derajat
aksesibilitas
terhadap
sumberdaya.
Keterbatasan
potensi
sumberdaya berarti bahwa akses terhadap sumberdaya sulit dan mahal. Oleh karena itu tindakan seseorang untuk berhenti memanfaatkan sumberdaya merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Begitu seseorang sudah
memiliki
akses
dan
berada
dalam
proses
pemanfaatan
sumberdaya, akan sulit baginya untuk berhenti melakukannya. Oleh karena itu, sumberdaya terumbu karang dimanfaatkan secara bersamasama dalam suatu bentuk kompetisi di antara pengguna. Dengan demikian, ada saling ketergantungan di antara pengguna. Aksi seseorang akan memberi dampak kepada yang lain dan selanjutnya membuat orang lain melakukan aksi serupa. Jadi interaksi di antara pengguna cenderung menjurus kepada pertentangan atau konflik di antara mereka. Christie et al, (2003), bahwa dukungan seluruh pemangku kepentingan wilayah pesisir merupakan faktor penting terhadap keberlanjutan program. Konflik kepentingan, atau bahkan hanya konflik persepsi, di antara konsituen akan memelihara ketidakpuasan di antara mereka apabila tidak diambil langkahlangkah proaktif. Ketidak puasan di antara satu konstituen atau lebih, apabila tidak diselesaikan dengan cara yang bijak, bisa mengakibatkan terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan sumberdaya pesisir karena mereka akan melanggar kesepakatan atau peraturan yang ada dan disepakati. Proses perencanaan dan pengambilan keputusan yang inklusif, transparan, dan didukung oleh pengetahuan ilmiah dirancang untuk mencapai beberapa keluaran penting yang berpengaruh terhadap keberlanjutan pengelolaan sumberdaya
pesisir.
Keluaran-keluaran
dari
proses
perencanaan
dan
pengambilan keputusan ini sejalan dengan yang dianggap sebagai 6 (enam) parameter keberlanjutan pengelolaan sumberdaya pesisir oleh Bengen (2003) sebagai berikut: (1) sesuai dengan kebijakan-kebijakan setempat, baik kebijakan
30
formal maupun informal; (2) sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat;
(3)
didukung
oleh
ketersediaan
sumberdaya
manusia
dan
kelembagaan; (4) keterlibatan aktif stakeholder; (5) memiliki rencana dan program yang jelas; (6) memiliki dampak terhadap lingkungan termasuk sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Keenam faktor ini tentu akan lebih lengkap dengan tambahan faktor ketujuh (7) dukungan informasi ilmiah. Batas-batas spasial sumberdaya terumbu karang menentukan skala minimum suatu tatanan pengelolaan sumberdaya itu sendiri. Berdasarkan batas geografis suatu sumberdaya dapat ditentukan batas-batas fisik lainnya, terutama yang berkaitan dengan teknologi pemanfaatan sumberdaya. Dimensi teknologi diperlukan secara khusus di daerah dimana pemanfaatan langsung terhadap terumbu karang merupakan bagian yang dominan. Di kawasan pesisir umumnya mata pencaharian penduduk yang dominan adalah pemanfaatan sumberdaya laut, seperti perikanan, karena itu dimensi teknologi sebaiknya dipertimbangkan secara khusus (Susilo, 2003). Dimensi teknologi mencerminkan seberapa jauh penggunaan teknologi dapat meminimumkan resiko kegagalan keberlanjutan pemanfaatan terumbu karang. Dimensi sosial ekonomi elemen utamanya meliputi aspek permintaan (demand) dan penawaran (supply) komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya yang dikelola. Dimensi sosial ekonomi seperti harga dan struktur pasar merupakan
insentif
atau
disinsentif
bagi
terbentuknya
suatu
tatanan
kelembagaan pengelolaan terumbu karang serta derajat kepatuhan masyarakat terhadap tatanan tersebut. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam (natural resourcebased activity), terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar (market-based activity).
2.9. Multidimensional Scaling Tujuan pendekatan multidimensional scaling yang digunakan disini adalah untuk melihat keragaan (performance) pengelolaan kawasan konservasi di tinjau dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan yang selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman untuk mengevaluasi akuntabilitas dan keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi. Analisis
multidimensional
scaling
(MDS)
digunakan
untuk
mempresentasikan similaritas/ disimilaritas antar pasangan individu dan karakter/variabel (Young et al 1987). Sickle (1997) menyatakan bahwa MDS
31
dapat mempresentasikan metode ordinasi secara efektif. MDS adalah metode ordinasi dengan basis jarak antar obyek/point dalam dua atau tiga dimensi. Dalam evaluasi kondisi sumberdaya pesisir, masing-masing kategori yang terdiri dari beberapa atribut di skor. Skor secara umum di rangking antara 0 sampai 2. Hasil skor dimasukan ke dalam tabel matrik dengan I baris yang mempresentasikan pengelolaan kawasan konservasi dan J kolom yang mempresentasikan skor atribut. Data didalam matrik tersebut adalah data interval yang menunjukan skoring baik dan buruk. Skor data tersebut kemudian dinormalkan untuk meminimalkan stress (Davison dan Skay 1991). Analisis MDS merupakan salah satu metode multivariate yang dapat menangani data yang non-metrik. Metode ini juga dikenal sebagai salah satu metode ordinasi dalam ruang (dimensi) yang diperkecil (ordination in reduced space). Ordinasi sendiri merupakan proses yang berupa plotting titik obyek (posisi) di sepanjang sumbu yang disusun menurut hubungan tertentu (ordered relationship) atau dalam sebuah sistem grafik yang terdiri dari dua atau lebih sumbu (Legendre dan Legendre 1983). Melalui metode ordinasi, keragaman (dispersion) multidimensi dapat diproyeksikan di dalam bidang yang lebih sederhana dan mudah dipahami. Metode ordinasi juga memungkinkan peneliti memperoleh banyak informasi kuantitatif dari nilai proyeksi yang dihasilkan. Pendekatan MDS telah banyak digunakan untuk analisis ekologis, seperti yang dilakukan oleh Alder et al (2001) untuk mengevaluasi kondisi perikanan tangkap dengan berbagai tipe variabel yang berbasis jarak. Pendekatan ini juga telah dikembangkan untuk analisis lingkungan dimana salah satu metode yang digunakan adalah metode MDS (Nikjkamp et al 1980 dalam Susilo (2003). 2.10. Nilai Ekonomi Sumberdaya Nilai ekonomi diterminologikan sebagai Total Economic Value (TEV) yang merupakan penjumlahan dari nilai ekonomi berbasis pemanfaatan /penggunaan (Use Value = UV) dan nilai ekonomi bukan berbasis pemanfaatan /penggunaan (Non Use Value = NUV) terdiri dari nilai-nilai penggunaan langsung (Direct Use Value = DUV), nilai ekonomi penggunaan tidak langsung (Indirect Use Value = IUV), nilai pilihan (Option Value = OP). Sedangkan nilai ekonomi berbasis bukan pada pemanfaatan (NUV) terdiri dari dua komponen yaitu nilai pewarisan (Bequest Value = BV) dan nilai keberadaan ( Existence Value = EV). Tipologi Nilai Ekonomi Total ( Pearce and Turner, 1980; Pearce and Moran, 1994; Barton, 1994; Barbier, 1994) seperti berikut :
32
Total Economic Value (TEV)
Use Value (UV)
Direct Use Value (DUV)
Indirect Use Value (IUV)
Non Use Value (NUV)
Option Value (OV)
Bequest Value (BV)
Existence Value (EV)
Dimana : TEV
=
Nilai ekonomi total adalah nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sumberdaya alam, baik nilai guna maupun nilai fungsional yang harus diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaannya sehingga alokasi dan alternatif penggunaannya dapat ditentukan secara benar dan mengenai sasaran.
UV
=
Nilai berbasis pemanfaatan atau nilai yang diperoleh atas pemanfaatan langsung sumberdaya alam dan lingkungan, termasuk pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam.
NUV
=
Nilai berbasis bukan pemanfaatan
DUV
=
Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan langsung dari sebuah sumberdaya/ ekosistem
IUV
=
Nilai ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ ekosistem.
OV
=
Nilai ekonomi yang diperoleh dari potensi pemanfaatan langsung maupun tidak langsung dari sebuah sumberdaya/ekosistem di masa datang dengan asumsi sumberdaya tersebut tidak mengalami kemusnahan atau kerusakan yang permanen.
BV
=
Nilai ekonomi yang diperoleh dari manfaat pelestarian (perlindungan dan pengawetan) sumberdaya/ekosistem untuk kepentingan generasi masa datang untuk mengambil manfaat dari sumberdaya/ekosistem tersebut.
EV
=
Nilai ekonomi yang diperoleh dari sebuah persepsi bahwa keberadaan (existence) dari sebuah sumberdaya/ekosistem itu ada, terlepas dari apakah sumberdaya/ekosistem tersebut dimanfaatkan atau tidak. Nilai ini berkaitan dengan nilai religius yang melihat adanya hak hidup pada setiap komponen sumberdaya alam.
33
2.11. Pengembangan Sistem Dinamik Sistem adalah suatu gugus dari elemen penting yang berhubungan dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Manetsch dan Park 1979 dalam Eriyanto 2007). Pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, diperlukan suatu krangka fikir baru sebagai pendekatan sistem. Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu : 1) mencari semua faktor penting yang dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah, dan 2) dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan secara rasional. Untuk bekerja secara sempurna sistem mempunyai delapan unsur
meliputi : 1) metodologi untuk perencanaan dan
pengelolaan, 2) suatu tim yang multidisipliner, 3) pengorganisasian, 4) disiplin untuk bidang yang non kuantitatif, 5) teknik model matematik, 6) teknik simulasi, 7) teknik optimasi, dan 8) aplikasi komputer (Eriyatno 1998). Perilaku sistem diartikan sebagai status sistem dalam suatu periode waktu tertentu, dimana perubahan status sistem diamati melalui dinamika outputnya. Status sistem dapat berkeadaan transien yaitu adanya perubahan output di setiap satuan waktu atau keadaan berkeseimbangan (steady state) yaitu adanya keseimbangan aliran masuk dan keluar. Status sistem juga berkaitan dengan apakah tertutup dimana interaki dengan lingkungan sangat kecil sehingga diabaikan, dan atau terbuka dimana paling sedikit satu elemennya berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam kenyataan sistem tertutup tidak pernah ada, hanya ada dalam anggapan dan kajian analisis (Muhamadi, Aminullah, dan Soesilo 2001). Berdasarkan sifatnya sistem dibagi menjadi dua yaitu sistem dinamis dan sistem statis (Djoyomartono dan Pramudya 1983 dalam Kholil 2005). Sistem dinamik memiliki sifat yang berubah menurut waktu. Sistem dinamik
ditandai
dengan
adanya
”time
delay”
yang
menggambarkan
ketergantungan out put terhadap variabel input pada periode waktu tertentu. Sedangkan sistem statis adalah sistem yang nilai out putnya tidak tergantung pada nilai inputnya. Karakteristik pendekatan sistem adalah : 1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, dalam arti faktor yang ada berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan, dan 3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno 1999 dan Kholil 2005). Pendekatan sistem menekankan pada tiga filosofi dikenal dengan SHE, yaitu Sibernetik (goal oriented), Holistik dan Efektivitas. Sibernetik artinya dalam penyelesaian permasalahan tidak berorientasi pada problem oriented, tetapi lebih
34
ditekankan pada apa tujuan dari penyelesaian masalah. Efektivitas, sistem yang telah dikembangkan harus dapat dioperasikan. Oleh karena itu sistem harus merepresentasikan
kondisi
nyata
yang
sebenarnya
terjadi
dan
holistik
merepresentasikan penyelesaian permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu. Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan terpadu yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhamadi 2001). Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu manajemen tradisionial, teori umpan baik atau cybernetic dan simulasi komputer. Validasi
model sistem
dinamik
adalah suatu proses membangun
kepercayaan pada kegunaan model sebagai alat bantu analisis dan perancangan kebijakan. Dalam proses validasi, sebuah model tidak akan dapat dinyatakan valid
secara
absolut,
jika
tidak
terdapat
bukti
bahwa
model
dapat
merepresetasikan suatu realita dengan benar-benar mirip secara absolut, sehingga dengan melakukan proses pengujian model sistem dinamik terhadap bukti-bukti empiris akan meningkatkan kepercayaan seseorang terhadap model. Pengujian terhadap model sistem dinamik dibagi menjadi tiga kategori : 1. Validasi struktur, yaitu pengujian relasi antar variabel yang ada di dalam model dan disesuaikan dengan keadaan pada sistem yang sebenarnya. 2. Validasi perilaku, yaitu pengujian terhadap kecukupan struktur model dengan melakukan penilaian terhadap perilaku yang dihasilkan model. 3. Validasi implikasi kebijakan, yaitu pengujian terhadap perilaku model terhadap berbagai rekomendasi kebijakan. Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik terdiri dari 4 tahap, yaitu : 1) Tahap seleksi konsep dan variabel, dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi cukup nyata terhadap model yang dikembangkan. Dengan kerangka system thinking dilakukan pemetaan cognitif map, bertujuan mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya. dilanjutkan dengan penelaahan teliti dan mendalam terhadap asumsi, serta konsistensinya terhadap variabel dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang tidak konsisten dan kurang relevan dibuang. 2) Konstruksi Model (tahap pengembangan model), model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan kedalam model dinamiknya dengan bantuan software Stella®Research 9.02 berbasis sistem operasi Windows.
35
3) Tahap
analisis
sensitivitas,
untuk
mengetahui
variabel
mana
yang
mempunyai pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel-variabel yang kurang (tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada variabel kunci. 4) Analisis Kebijakan, dilakukan dengan memberikan perlakuan
khusus
terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model. Diagram
input-output
merepresentasikan
input
lingkungan,
input
terkendali dan tak terkendali, output dikehendaki dan tak dikehendaki, serta manajemen
pengendalian.
Sedangkan
parameter
rancangan
sistem
dipresentasikan sebagai kotak gelap (black box) pada tengah diagram, yang menunjukkan terjadinya proses transformasi input menjadi output. Diagram inputoutput desain dalam sistem pengelolaan kawasa konservasi.
Input tak Terkendali
Input Lingkungan
Output yang Diinginkan
Proses Input Terkontrol UMPAN BALIK
Output yang Tak Diinginkan
Gambar 3. Diagram Input-Output Sistem (Hartisari 2007) 2.12. Integrasi dengan Metode GIS Untuk mengintegrasikan (memadukan) antara sub model ekologi, sub model ekonomi dan sub model sosial dalam model pengelolaan kawasan konservasi dapat digunakan dengan metode Sistem Informasi Geografi (SIG). Konsep dasar SIG merupakan suatu sistem yang mengorganisir perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan maupun analisis data secara simultan, sehingga diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan. SIG juga merupakan manajemen data spasial dan non-spasial yang berbasis komputer, dengan tiga karakteristik dasar, yaitu (1) mempunyai fenomena aktual yang
36
berhubungan dengan topik permasalahanatau tujuannya, (2) merupakan suatu kejadian di suatu lokasi dan (3) mempunyai dimensi waktu (Purwadhi 1994). Ketiga karakteristik tersebut saling terkait satu sama lain. Fenomena aktual sebagai variable data non-lokasi erat hubungannya dengan lokasi terjadinya. Data lokasi dan non-lokasi saling berkaitan, dimana fenomena aktual dapat berupa SDA atau SDM, serta berhubungan dengan letak dan kapan terjadinya. Data lokasi mempunyai koordinat posisi lintang dan bujur, merupakan unsur yang terlihat seperti jalan, sungai, area, dan menunjukkan topologi (letak, bentuk, luas, batas) obyek. Non-lokasi mempunyai variable sesuai dengan tema (tanah, penduduk). Dimensi waktu menunjukkan kapan data diambil. Kurun waktu digunakan untuk analisis perubahan yang terjadi.
Berdasarkan hal
tersebut SIG mempunyai karakteristik sebagai perangkat pengelolaan basis data (Data Base Management System = DBMS), sebagai perangkat analisis keruangan (spatial analysis), sekaligus proses komunikasi dalam pengambilan keputusan. Keunikan SIG dibandingkan sistem pengelolaan basis data lainnya adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi spasial dan non-spasial secara bersama-sama. SIG merupakan sistem informasi yang bersifat terpadu, karena data yang dikelola adalah data spasial. Dalam SIG data grafis diatas peta dapat disajikan dalam dua model data spasial yaitu model raster dan model vektor. Model data vektor menyajikan data grafis berupa titik, garis, dan poligon dalam struktur format vektor. Struktur data vektor adalah suatu cara membandingkan informasi garis dan areal kedalam bentuk satuan data yang mempunyai besaran, arah dan keterkaitan (Dahuri et al 1998). Model data raster menyajikan data berupa hexagos, irreguler triangles, grids. Format raster menyajikan obyek dalam bentuk rangkaian cell atau elemen gambar. Daya tarik utama SIG adalah bersifat terkomputerisasi yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai instansi disebabkan : a) Kemudahan
memperbaharui
menghasilkan produk yang
dan
memperbaiki
data,
b)
Kemampuan
sesuai dengan keperluan, c). Kemampuan
mengintegrasikan berbagai data termasuk data digital dan data penginderaan jauh, d) Potensial untuk pemetaan perubahan melalui program pemantauan dan kemampuannya mengintegrasikan permodelan. Penyajian model data geografis dapat berupa data spasial dan deskriptif. Data spasial dengan formatnya, berupa titik, garis dan poligon untuk dua dimensi, dan permukaan untuk data tiga dimensi, sedangkan data deskriptif merupakan atribut dari data spasial. Data diskriptif dapat disajikan dalam format anotasi, tabel dan uraian hasil pengukuran yang memberi penjelasan pada data simbol dalam peta.
37
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai Oktober 2010, di KKLD G.Sulat-G.Lawang Kabupaten Lombok Timur, seperti Gambar 4 berikut :
Gambar 4. Lokasi Penelitian Pemanfaatan Ruang KKLD G.Sulat-G.Lawang
Metode penelitian menggunakan metode survai dengan penekanan pada eksplorasi dan eksplanasi hubungan antar faktor ekologi dan sosial ekonomi. Dalam kerangka penelitian survai, pemilihan indikator yang relevan dengan tujuan penelitian menjadi sangat penting. Pemilihan indikator bersifat dinamik mencakup indikator references (reference indicators) dan indikator kritis (critical indicators) untuk sistem ekologi dan sosial ekonomi di G.Sulat-G.Lawang.
3.2. Tahapan Penelitian Tahapan penelitian ini meliputi kegiatan inventarisasi data, pengumpulan data, analisis, dan sintesis yang masing-masing dapat diuraikan sebagai berikut: 1.
Tahap
Identifikasi
Kondisi
Eksisting
G.Sulat-G.Lawang,
meliputi
pengumpulan data/informasi menyangkut kondisi potensi sumberdaya dan jasa lingkungan, bentuk pemanfaatan ruang, batas-batas zona serta pemasalahan yang ada.
38
2.
Tahap Evaluasi Zona yaitu penetapan zona berdasarkan kriteria kesesuaian di kawasan konservasi, meliputi zona inti, zona pemanfaatan terbatas dan zona lainnya yang menghasilkan peta batas-batas zona dan sub zona.
3.
Tahap Analisis meliputi analisis kesesuaian lahan dan daya dukung yang menghasilkan peta kesesuaian lahan pemanfaatan kawasan konservasi. Analisis ekonomi menyangkut analisis valuasi ekonomi sumberdaya. Analisis sosial menyangkut jumlah serapan tenaga kerja dalam setiap pemanfaatan.
4.
Tahap Penilaian Optimasi Pemanfaatan Ruang yang menghasilkan peta optimasi pemanfaatan ruang kawasan yang paling optimal.
5.
Tahap Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Konservasi yang menghasilkan atribut-atribut yang berpengaruh dalam pengelolaan kawasan secara berkelanjutan.
6.
Penyusunan Arahan Pemanfaatan Ruang yang menghasilkan rekomendasi model pengelolaan kawasan konservasi secara berkelanjutan. Tahapan-tahapan tersebut membentuk alur kegiatan penelitian yang akan
dilakukan sebagaimana terlihat pada Gambar 5 berikut : Data Spasial
Sumberdaya
Data Pemanfaatan
Zonasi KKLD
Analisis Kesesuaian Ekologis
Analisis Daya Dukung Analisis Optimasi
Analisis Daya Dukung Gambar 5. Tahapan Kegiatan Penelitian
39
3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Sumber Data dan Prosedur Penelitian Data primer meliputi data biofisik dan sosial ekonomi, dilakukan melalui observasi langsung di lapangan. Pengumpulan data ekologi menggunakan pendekatan in-situ dengan metode sampling bio-ekologis untuk parameter kawasan konservasi. Data sosial ekonomi menggunakan teknik cluster random sampling pada tingkat unit rumahtangga dan non probability sampling untuk unit desa. Pendekatan partisipatif juga dilakukan untuk mengeksplorasi harapan masyarakat sekitar kawasan dengan teknik Focus Group Discussion (FGD). 3.3.2. Karakteristik Biofisik dan Sosial Ekonomi Parameter biofisik dan sosial ekonomi yang diamati adalah : Tabel 3. Jenis data biofisik yang diukur No.
Parameter
A.
Fisika-Kimia BOD5 (mg/l) COD (mg/l) Oksigen terlarut (mg/l) Amonia (mg/l) pH o Salinitas ( /oo) o Suhu ( C) Kekeruhan (NTU)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
B.
C.
Biologi/Non-biologi Tutupan terumbu karang (%) 2. Kerapatan dan Luasan mangrove 3. Luasan pantai 2 berpasir (m ) 4. Jenis ikan 1.
1. 2. 3.
Hidrooseanografi Kecerahan (m) Pasang surut (m) Kecepatan arus (cm/det)
Stasiun Baku I.......XIV mutu*)
Alat/Metode
Keterangan
10 >5
Titrasi Titrasi DO meter
Lab Lab Insitu
2 6.5 - 8.5 Alami Alami 5
Spektrofotometer pHmeter Refraktometer Termometer Turbidimeter
Lab In situ In situ Insitu Insitu
-
-
Meteran/Line Intercept Transect Meteran/Transek garis Meteran
In situ /Data sekunder In situ/Data sekunder In situ
-
-
Data Sekunder
>6 -
Secchi disk -
-
-
In situ Data Sekunder In situ
Layang-Layang Arus, kompas dan Stopwach 4. Kedalaman air Tali penduga & In situ (m) meteran *) Keterangan: = Baku Mutu Wisata Bahari (Kepmen Negara LH No. 51 Tahun 2004).
40
Tabel 4. Jenis data sosial ekonomi dan kelembagaan N o
KOMPONEN DATA
1 Karakteristik . sosial dan budaya masyarakat
2 Operasional . usaha wisata bahari
3 Kelembagaan .
4 Profil . Wisatawan
ATRIBUT Pemanfaatan SDA, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wisata bahari, persepsi dan perilaku masyarakat terhadap wisatawan, pengetahuan tentang ekowisata, jumlah dan pertumbuhan penduduk, konflik, etnis, nilai budaya lokal, dan kualitas hidup masyarakat. Profil usaha wisata bahari, modal dan biaya operasional, harga produk wisata, permintaan dan penawaran produk wisata, upah & tenaga kerja, promosi, cottage/hotel, manajemen wisata, dermaga, sarana penunjang, peralatan wisata, keselamatan, jenis dan penanganan limbah. Regulasi Gili sulat-Gili Lawang, aturan formal, pembagian peran stakeholders terkait (pemerintah, swasta dan masyarakat), aturan adat/kelompok, lembaga ekonomi, regulasi usaha wisata, izin tinggal, infrastruktur penunjang, penegakan hukum Karakteristik personal wisatawan, perjalanan turis dan motivasi berkunjung ke G. Sulat-G. Lawang, persepsi dan perilaku wisatawan, penilaian ekonomi terhadap obyek wisata dan biaya yang dikeluarkan, penilaian terhadap pelayanan dan ketersediaan infrastruktur, dan jumlah wisatawan
SUMBER/METODE PENGUMPULAN DATA Data primer dan sekunder Wawancara dan studi literatur
Data primer Wawancara dan pengamatan
Data primer dan sekunder Wawancara dan studi literatur
Data primer sekunder Wawancara
dan
No KOMPONEN DATA SEKUNDER
Cara Analisis
1
Arc. View. 3.3 BTIC/LAPAN
Citra Landsat 7 ETM+ P.106/R.064 (liputan terakhir) 2 Peta Peta Rupa Bumi Peta Topografi Peta Batimetri Peta LPI Peta Wilayah Administratif Peta Pemanfaatan Lahan 3 Buku Laporan RTRW, Propeda, Renstra, Administrasi dan Pemerintahan, Kebijakan Pembangunan Sektoral dan data lainnya yang terkait
SUMBER
Arc. View. 3.3 Bakosurtanal Dishidros TNI-AL, Bappeda Kab Lombok Timur Bappeda, BPS, Instansi Terkait
Sumber data sosial ekonomi diperoleh melalui wawancara langsung dengan responden menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) dan peralatan visual. Kelompok contoh dalam penelitian ini meliputi kelompok nelayan,
41
pengelola wisata, wisatawan asing, masyarakat lokal, dan pegawai instansi yang terkait dengan pengelolaan kawasan konservasi, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata dan instansi terkait lainnya. 3.3.3. Metode Pengambilan Data Primer dan Sekunder Kebutuhan data primer biofisk dan sebaran sumberdaya menggunakan visual survey serta pengukuran langsung dilapangan. 3.3.4. Penentuan Titik Pengamatan Lokasi pengambilan contoh vegetasi mangrove dilakukan dengan menentukan stasiun atau titik pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian.
Gambar 6. Titik Stasiun Pengamatan Lamun
42
Pengambilan data lamun dilakukan dengan transek yang berbeda tergantung panjang garis pantai dengan metode RAS dan Fix Position, dilakukan di sepanjang pantai G.Sulat mulai ujung utara sampai sisi barat, sedangkan di G.Lawang mulai dari sisi barat sampai ke utara pulau.
Gambar 7. Titik Stasiun Pengamatan Terumbu Karang Pengambilan data terumbu karang dilakukan terhadap karang hidup dan karang mati sesuai dengan kategori life form, menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) /garis menyinggung. Penggunaan metode transek garis menyinggung, roll meter yang digunakan sepanjang 50 m dibentangkan sejajar garis pantai pada kedalaman yang telah ditentukan. Koloni karang keras dan tipe substrat lain serta biota yang menyinggung roll meter yang dimasukkan sebagai data. Data yang di ambil adalah pertumbuhan (life form) tipe substrat dasar,
43
genus karang dan tipe substrat di daerah yang diamati. Data yang diambil dari metode ini adalah persen penutupan karang keras (% coverage of hard coral) dan tipe substrat dasar serta jenis dan jumlah genus karang keras (hard coral) yang ditemukan, menggunakan kategori menurut Gomes dan Yap (1998). Pengambilan data mangrove dilakukan dengan menggunakan perhitungan Nilai Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan suatu index untuk mengetahui tingkat kehijauan suatu areal atau menentukan tingkat persentase penutupan lahan (Yin dan William, 1997). NDVI dari citra Landsat dihitung dengan formula ((B4 – B3)/B4 + B3), dimana B4 dan B3 adalah nilai reflectan dari band 4 (near infra red, ) dan band 3 (red). Untuk mengetahui nilai NDVI setiap lokasi mangrove. Hasil penentuan lokasi mangrove tahap sebelumnya dioverlay dengan nilai NDVI.
Gambar 8. Titik Stasiun Pengamatan Mangrove
44
Data sosial ekonomi menggunakan metode survei melalui teknik wawancara,
dibantu
daftar
pertanyaan
terstruktur
(kuesioner).
Metode
pengambilan contoh menggunakan metode acak berlapis/stratifikasi, yaitu pengambilan contoh dari populasi yang telah disekat menjadi beberapa kelompok, dimana pengambilan contoh pada setiap kelompok dilakukan dengan acak sederhana (Bengen, 2000). Kelompok contoh dalam penelitian ini meliputi kelompok perikanan karang, pariwisata, masyarakat nelayan, dan pegawai dari instansi yang terkait menggunakan metode purposive sampling atau dengan cara penunjukan langsung terhadap contoh dengan pertimbangan keterwakilan contoh. Total contoh (n)
ditentukan dengan menggunakan persamaan
(Scheaffer, et.al., 1986; Bengen, 2000) :
n
L
N i2 i2
i 1
wi
L
N 2 D N i i2 i 1
Jumlah responden pada setiap kelompok ditentukan melalui persamaan :
Ni ni n
D =
B2 4N 2
B = t / 2( no ) s _ = 2 X
N Ni ni no
= = = =
N
i
i ci
s no
total populasi (orang) total populasi per lapisan ke-i (orang) jumlah contoh pada setiap lapisan (orang) jumlah contoh pada survei awal (orang) n
2 =
ci
L
i 1
dimana :
i
(x j 1
ij
xi ) 2
ni 1
= simpangan baku contoh pada lapisan ke-i
wi = fraksi pengamatan yang dialokasikan pada lapisan ke-i (ni = nwi). ci = dimisalkan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengamatan satu unit di lapisan ke-i
45
Data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber yang relevan dengan penelitian, dipilih secara terstruktur dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga tingkat pusat dengan beragam institusi yang terkait dengan tujuan penelitian. Data sekunder juga diperoleh melalui penelurusan penelitian yang
bersumber
dari
Instansi
terkait
seperti:
Dinas
Pariwisata
Provinsi/Kabupaten, Dinas Kehutanan Provinsi/Kabupaten, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi/Kabupaten, Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi/Kabupaten, Bappeda Propinsi/Kabupaten, Bakosurtanal, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta Perguruan Tinggi berupa laporan hasil-hasil studi dan penelitian yang sudah ada.
3.4. Analisis Data 3.4.1. Identifikasi Kondisi Ekisting KKLD G.Sulat-G.Lawang Analisis
data
mangrove
dilakukan
dengan
cara
pengelompokan
berdasarkan kepadatan vegetasi mangrove dengan menggunakan kriteria persentase penutupan basal area atau kerapatan pohon persatuan luas. Tabel 5. Kriteria Kerapatan Vegetasi Mangrove Kepadatan Kriteria
Penutupan (%)
Kerapatan
Padat Sedang Jarang
>75 50 – 75 < 50
>1500 1000-1500 <1000
Baik Sedang Rusak
Sumber : KLH, 2000 Analisis data terumbu karang dilakukan dengan pengelompokan berdasarkan lifeform menurut kriteria kondisi yaitu baik, sedang dan rusak (Suharsono, 2001). Tabel 6. Kriteria Penutupan Lifeform Terumbu Karang Kriteria
Penutupan Lifeform (%)
Baik Sedang Rusak
>75 50 – 75 < 50
Sumber : Suharsono, 2001 Estimasi potensi ikan dengan melakukan sensus ikan pada transek sepanjang 50 meter dan mengestimasi total biomas ikan pada transek, kemudian mengalikan dengan luas areal terumbu karang yang disurvei.
46
Kerusakan dan status lamun ditetapkan berdasarkan persentase luas area kerusakan dan luas tutupan lamun yang hidup. Tabel 7. Kriteria Kerusakan Lamun Tingkat Kerusakan
Luas Area Kerusakan
Tinggi Sedang Rendah
≥ 50% 30% - 49,9% < 29,9 %
Sumber : DKP (2009) Tabel 8. Status Lamun Kondisi
Penutupan
Baik
Kaya/sehat
≥ 60%
Rusak
Kurang sehat
30% - 59,9 %
Miskin
< 29,9 %
Sumber : DKP (2009) 3.4.2. Analisis Kesesuaian Zonasi Arahan
pemanfaatan
ruang
G.Sulat-G.Lawang
menurut
RTRW
Kabupaten Lombok Timur tahun 2010 adalah sebagai kawasan pengembangan ekowisata. Oleh karena itu analisis kesesuaian yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu menilai kesesuaian kawasan yang dikaitkan dengan arahan kebijakan Pemerintah Daerah yang tertuang dalam RTRW dengan mempertimbangkan kriteria kesesuaian ekologi, ekonomi dan sosial sehingga dilakukan evaluasi penetapan kawasan beserta sub zona didalamnya dengan mempertimbangkan parameter berdasarkan tingkat kepentingan/bobot yang paling dibutuhkan. Matriks Kesesuaian Kawasan Konservasi Laut (Yulianda, 2006) dapat dilihat pada lampiran 1. dengan kriteria penilaian sebagai berikut : KRITERIA EKOLOGI terdiri dari atribut : 1. Keanekaragaman Hayati 1.1. Ekosistem :1)Terumbu karang; 2) Lamun ;3) Mangrove, dan 4) Laguna Skor 3 : bila terdapat 4 ekosistem Skor 2 : bila terdapat 2-3 ekosistem Skor 1 : bila terdapat 1 ekosistem
47
1.2. Jenis Karang (Life Form) Skor 3 : bila terdapat > 10 life form Skor 2 : bila terdapat 6 – 9 life form Skor 1 : bila terdapat < 5 life form 1.3. Jenis Ikan Karang Skor 3 : bila terdapat > 120 jenis Skor 2 : bila terdapat 61 – 120 jenis Skor 1 : bila terdapat < 61 jenis 1.4. Jenis Lamun Skor 3 : bila terdapat > 5 jenis Skor 2 : bila terdapat 4 – 5 jenis Skor 1 : bila terdapat 1 – 3 jenis 1.5. Jenis Mangrove Skor 3 : bila terdapat > 5 jenis Skor 2 : bila terdapat 4 – 5 jenis Skor 1 : bila terdapat 1 - 3 jenis 2. Kealamian 2.1. Kondisi Terumbu Karang Skor 3 : bila tutupan karang 75 – 100% Skor 2 : bila tutupan karang 51 – 74% Skor 1 : bila tutupan karang < 50% 2.2. Kondisi Pantai Skor 3 : Tidak terdapat abrasi pantai (< 10%) Skor 2 : Abrasi pantai 10 - 50% Skor 1 : Abrasi pantai > 50% 3. Keunikan / kelangkaan jenis (1) Sebagai habitat satwa (burung atau penyu) (2) Memiliki bentuk tubir terumbu karang dengan kemiringan 90 derajat (3) Memiliki rugosity, seperti goa-goa, alur-alur, dll. (4) Memiliki spesies langka atau dilindungi Skor 3 : bila terdapat semua komponen keunikan Skor 2 : bila terdapat 2 - 3 komponen Skor 1 : bila terdapat satu komponen 4. Kerentanan Pulau 4.1. Status pulau Skor 3 : tidak berpenduduk Skor 2 : berpenduduk sementara Skor 1 : berpenduduk
48
4.2. Keterbukaan terhadap Samudera Pasifik Skor 3: terbuka dari semua sisi Skor 2: 50% terbuka Skor 1: 25% terbuka 5. Keterkaitan Pulau Skor 3 : terdapat lebih dari 3 pulau dalam gugusan Skor 2 : terdapat 2 – 3 pulau dalam gugusan Skor 1 : pulau bukan bagian dari gugus pulau KRITERIA EKONOMI terdiri dari atribut : 1. Spesies Penting (1) Terdapat ikan pelagis ekonomis penting (2) Terdapat ikan karang (kelompok target dan hias) (3) Terdapat moluska ekonomis penting (kerang, siput, gurita) (4) Terdapat ekhinodermata (teripang) (5) Terdapat krustase ekonomis penting (lobster & kepiting) (6) Terdapat rumput laut ekonomis penting Skor 3: bila memenuhi 5 - 6 komponen Skor 2: bila memenuhi 3 – 4 komponen Skor 1: bila memenuhi 1 – 2 komponen 2. Kepentingan Perikanan (1) Sebagai daerah penangkapan ikan pelagis (2) Sebagai daerah penangkapan ikan karang (3) Sebagai daerah penangkapan siput dan gurita (4) Sebagai daerah penangkapan lobster (5) Sebagai daerah penangkapan teripang (6) Sebagai daerah perikanan budidaya Skor 3 : bila memenuhi 5 - 6 kriteria Skor 2 : bila memenuhi 3 – 4 kriteria Skor 1 : bila memenuhi 1 – 2 kriteria 3. Bentuk Ancaman (1) Penggunaan bom atau sianida (2) Penggunaan jangkar perahu (3) Penggunaan belo (tongkat pendorong perahu) (4) Penggunaan tuba Skor 3 : bila memenuhi hanya 1 kriteria Skor 2 : bila memenuhi 2 – 3 kriteria Skor 1 : bila memenuhi semua kriteria
49
4. Pariwisata (1) Terdapat wisata bahari (2) Terdapat wisata pantai (3) Terdapat wisata sejarah/budaya Skor 3: bila terdapat semua komponen Skor 2: bila terdapat 2 komponen Skor 1: bila terdapat satu komponen KRITERIA SOSIAL terdiri dari atribut : 1. Tingkat Dukungan Masyarakat : (1) Pemerintah desa (2) Tokoh adat (3) Tokoh agama (4) LSM (5) Masyarakat Skor 3 : bila terdapat dukungan semua komponen Skor 2 : bila terdapat tiga hingga empat dukungan Skor 1 : bila terdapat satu hingga dua dukungan 2. Tempat Rekreasi (1) Terdapat daratan pantai luas (2) Terdapat perairan pantai tenang (3) Tempat lautan yang tenang Skor 3: bila terdapat ketiga komponen Skor 2: bila terdapat dua komponen Skor 1: bila terdapat satu komponen 3. Budaya (1) Memiliki sejarah (2) Memiliki nilai budaya dan seni (3) Memiliki agama Skor 3: bila terdapat semua komponen Skor 2: bila terdapat dua komponen Skor 1: bila terdapat satu komponen 4. Estetika (1) Bentuk pulau (2) Keanekaragaman ekosistem tinggi (3) Keanekaragaman habitat tinggi (4) Keanekaragaman jenis biota (5) Habitat satwa burung
50
Skor 3: bila terdapat semua komponen Skor 2: bila terdapat 3 - 4 komponen Skor 1: bila terdapat 1 – 2 komponen 5. Konflik Kepentingan (1) Perorangan (2) Marga (kelompok) (3) Masyarakat adat Skor 1 : bila lokasi memenuhi semua komponen Skor 2 : bila lokasi memenuhi dua komponen Skor 3 : bila lokasi memenuhi satu komponen 6. Keamanan (1) Aman sepanjang musim (2) Aman pada musim barat atau timur Skor 1: Sepanjang musim Skor 2: Salah satu musim Skor 1: Tidak aman sepanjang musim 7. Aksesibilitas Keterkaitan dengan ketersediaan alat transport laut Skor 3 : Tersedia alat transport umum regular Skor 2 : Tersedia alat transport masyarakat Skor 1 : Menyewa alat transport masyarakat 8. Kepedulian masyarakat (1) Kegiatan penelitian (2) Kegiatan pengawasan (monitoring) (3) Kegiatan pendidikan atau pelatihan Skor 3: Bila memenuhi semua kriteria Skor 2: Bila memenuhi 2 kriteria Skor 1: Bila memenuhi hanya 1 kriteria 9. Penelitian dan Pendidikan (1) Penelitian dan pendidikan oleh pemerintah (2) Penelitian dan pendidikan skala projek (3) Penelitian dan pendidikan oleh perguruan tinggi (4) Penelitian dan pendidikan oleh LSM Skor 3: Bila memenuhi semua kriteria Skor 2: Bila memenuhi 2 – 3 kriteria Skor 1: Bila memenuhi hanya 1 kriteria
51
KRITERIA KELEMBAGAAN terdiri dari atribut : 1. Keberadaan lembaga sosial Skor 3: Terdapat lebih dari 2 lembaga sosial Skor 2 : Terdapat 1 lembaga sosial Skor 1 : Tidak ada lembaga sosial 2. Dukungan infrastruktur sosial Skor 3: Terdapat lebih 1 infrastruktur sosial Skor 2: Terdapat 1 infrastruktur sosial Skor 1: Tidak ada dukungan infrastruktur sosial 3. Dukungan Pemerintah Skor 3: Dukungan pemerintah pusat dan daerah Skor 2: Dukungan pemerintah pusat atau daerah Skor 1: Tidak ada dukungan pemerintah Evaluasi kriteria kesesuaian zona didasarkan pada nilai perhitungan skor dibuat dalam persen dengan cara total skor dari nilai masing-masing atribut dibagi dengan total skor maksimum dikalikan 100%. Dengan menggunakan teknik interval kelas (skor), zonasi KKLD dibagi atas tiga zona, yaitu: Zona Inti Zona inti diperuntukan bagi perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, serta alur migrasi biota laut; perlindungan ekosistem pesisir yang unik dan/ atau rentan terhadap perubahan; perlindungan situs budaya/ adat tradisional; penelitian dan/atau pendidikan. Kategori Zona Inti apabila memenuhi nilai perhitungan atau skor ≥ 80%. Zona Pemanfaatan Terbatas Zona Pemanfaatan terbatas yaitu zona yang diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi sumberdaya ikan dan lingkungannya, untuk kegiatan pariwisata dan rekreasi, penelitian dan pengembangan, dan/atau pendidikan. Kategori Zona Perikanan Berkelanjutan (pemanfaatan langsung) apabila memenuhi nilai atau skor 50% - < 60%, sedangkan pemanfaatan tidak langsung nilai perhitungan 60% - < 79%.
52
Zona Lainnya Zona Lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi, zona perikanan berkelanjutan, dan sebagainya. Kategori Zona Pemanfaatan khusus, apabila nilai perhitungan < 50%.
3.4.3. Analisis Kesesuaian Ekologis Ananlisis
kesesuaian
lahan
kawasan
konservasi
untuk
berbagai
peruntukan seperti pengembangan perikanan karang, wisata selam dan wisata mangrove dilakukan dengan teknik yang dikemukakan oleh Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001) yaitu : Pertama, penetapan persyaratan (parameter dan kriteria), pembobotan dan skoring. Parameter yang menentukan mendapat bobot paling besar, sedangkan kriteria yang sesuai diberi skor tertinggi. Kedua, penilaian peruntukan lahan ditentukan berdasarkan total hasil perkalian bobot (B) dan Skor (S) dibagi dengan total nilai bobot-skor dilkalikan 100. Ketiga, pembagian kelas lahan dan nilainya, dibagi dalam tiga kelas berikut : S1 = Sesuai (Moderately Suitable) dengan nilai 66,67 – 100 %, dimana lahan tidak memiliki pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan atau hanya memiliki pembatas yang secara tidak nyata berpengaruh terhadap kegiatan atau produksi hasil. S2 = Sesuai bersyarat (Marginally Suitable),dengan nilai 33.34 – 66.66%, kelas ini lahan memiliki faktor pembatas yang lebih besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Faktor pembatas akan mengurangi
aktivitas
atau
produksi
dan
keuntungan
atau
lebih
meningkatkan masukan yang diperlukan. S3 = Tidak sesuai (Not Suitable) dengan nilai 0 < 33.33 %, pada kelas ini lahan mempunyai
faktor
pembatas
permanen
yang
mencegah
segala
kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang. Keempat, membandingkan nilai lahan dengan nilai masing-masing kelas lahan, sehingga kelas kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu diperoleh.
Kelima, penentuan kesesuaian pemanfaatan dilakukan dengan bantuan Geographic Information System (GIS) menggunakan Arc Info ver 3.4.2 dan ArcView ver. 3.3.
53
3.4.3.1. Daerah Tangkapan Ikan Karang Kesesuaian lahan untuk daerah tangkapan ikan karang dianalisis menggunakan persyaratan, pembobotan dan skoring disajikan pada tabel berikut : Tabel 9. Matriks Kesesuaian Lahan Untuk Perikanan Karang NO
PARAMETER
BOBOT
SKOR KESESUAIAN SESUAI TIDAK SESUAI (SKOR 2) (SKOR 1)
1
Kecerahan(m)
5
>8
<8
2
Topograpi dasar
5
landaicuram
landai
Perairan 3
Kedalaman Perairan (m)
5
>5
<5
4
Perubahan cuaca
2
jarang
sering
5
KondisiTerumbu Karang
2
baik
buruk
6
Sumber pencemaran
3
Tidak ada
banyak
7
Kelimpahan ikan target (ind/350 m)
5
>150
< 150
Sumber : Modifikasi Soselisa (2006)
3.4.3.2. Lahan Pengembangan Wisata Selam Kesesuaian lahan untuk areal wisata selam dianalisis menggunakan persyaratan, pembobotan dan skoring yang disajikan pada tabel 10. Tabel 10. Matriks Kesesuaian untuk Wisata Selam No
Parameter
Bobot
KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S1 (Skor 3)
S2 (Skor 2)
S3 (Skor 1)
1.
Tutupan karang hidup (%),
3
75-100
50 - <75
< 50
2.
Genus karang
3
> 12
7 – 12
<7
3.
Genus ikan karang
2
> 50
26 – 50
< 26
4.
Kecerahan perairan (%)
2
> 80
50 – 80
<50
5.
Kecepatan arus (m/dt)
2
< 0.1
>0.1 – 0.5
> 0,5
6.
Kedalaman terumbu karang (m)
1
5 – 15
> 15 – 30 &
< 3 & > 30
3-<5
Sumber: a = Davis and Tisdell 1995; b=Davis and Tisdell 1996; c = Hutabarat et al.2009; d = Supriharyono 2007; e = Barnes and Hughes 2004; f = deVantier &Turak 2004
54
3.4.3.3. Lahan Pengembangan Wisata Snorkeling Kesesuaian lahan untuk areal wisata senorkeling dianalisis menggunakan persyaratan, pembobotan dan skoring yang disajikan pada tabel 11. Tabel 11. Matriks Kesesuaian untuk Wisata Snorkeling No
Parameter
Bobot
KELAS KESESUAIAN DAN SKOR S1 (SKOR 3) S2 (SKOR 2)
S3 (SKOR 1)
1.
Tutupan karang hidup (%)
3
> 67
34 – 67
< 34
2.
Genus karang
3
> 10
6 – 10
<6
3.
Kecerahan perairan (%)
2
> 80
50 – 80
< 50
4.
Genus ikan karang
2
> 50
26 – 50
< 26
5.
Kecepatan arus (cm/dt)
2
< 0.1
> 0.1 – 0.5
> 0.5
6.
Kedalaman terumbu karang (m)
1
1–3
>3–5
> 5 & <1
7.
Lebar hamparan datar karang (m)
1
> 100
20-100
< 20
Sumber: a=Davis and Tisdell 1995;;b=Hutabarat et al.2009; c=Supriharyono 2007; d=Barnes and Hughes 2004; e = Marine National Park Division 2001
3.4.3.4. Lahan Pengembangan Wisata Mangrove Kesesuaian lahan untuk areal wisata mangrove dianalisis menggunakan persyaratan, pembobotan dan skoring yang disajikan pada tabel 12. Tabel 12. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Wisata Mangrove KELAS KESESUAIAN DAN SKOR NO
PARAMETER
BOBOT S1 (SKOR 3) S2 (SKOR 2)
S3 (SKOR 1)
1
Ketebalan mangrove(m)
5
> 300
50 - 300
< 50
2
Kerapatan mangrove 2 (100 m )
4
> 10 - 25
5 – 10
< 5 atau > 25
3
Jenis mangrove (sp)
4
>3
1-3
0
4
Jenis biota
3
5
Tinggi Pasut (m)
3
0- <2
2-5
>5
6
Jarak dari kawasan lainnya (m)
2
> 500
300 - 500
< 300
Sumber : Modifikasi Yulianda (2007).
Ikan, Udang, Ikan, Moluska Salah satu biota Kepiting, air Moluska, Reptil, Burung.
55
3.4.4. Analisis Daya Dukung Lingkungan Analisis daya dukung lingkungan ditujukan untuk menganalisis jumlah maksimum
pemanfaatan
dalam
suatu
kawasan
tanpa
mengganggu
keseimbangan ekosistem tersebut. Gangguan keseimbangan akibat kerusakan biofisik secara langsung dan tidak langsung melalui pencemaran. Berdasarkan sumber gangguan ekosistem tersebut, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kawasan yang rentan terhadap kerusakan langsung. 3.4.4.1. Analisis Daya Dukung Kawasan Untuk mengukur daya dukung setiap kegiatan pemanfaatan disesuaikan dengan parameter fisika, kimia dan biologi perairan, maka kegiatan pemanfaatan dilakukan melalui penentuan daya dukung kawasan berikut (Yulianda 2007) :
DDK K
Lp Wt Lt Wp
Dimana : DDK = Daya Dukung Kawasan; K = Potensi ekologis persatuan unit area; Lp = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan; Lt = Unit area untuk kategori tertentu; Wt = waktu yang disediakan oleh kawasan untuk kegiatan 3.4.4.2. Potensi Sumberdaya Ikan Karang Analisis (estimasi) potensi sumberdaya perikanan karang dilakukan melalui beberapa tahapan : Pertama, penghitungan jumlah ikan karang pada tali transek sepanjang (2x 50)m dengan lebar ke kiri – kanan 2,5 m ( English et al. 1994). Kedua, penghitungan kepadatan ikan dengan metode Misra (1978) yaitu :
d
c 10.000 A
(ekor/hektar)
Dimana : d = kepadatan c = jumlah ikan yang terhitung dalam pengamatan A = Luas daerah pengamatan 10.000 = konversi hektar ke meter
56
Ketiga, penghitungan kelimpahan stok digunakan persamaan :
Bo d L Dimana : Bo = kelimpahan stok (ekor); d = kepadatan; L = Luas daerah pengamatan Keempat, penghitungan potensial yield digunakan rumus Gulland (1975) :
Py Bo M c Dimana : Py = potensial yield (ekor/tahun) Bo = kelimpahan stok (ekor) M = koefiisien kematian alami C = konstanta Kelima, penghitungan MSY optimal = (0,5 x Py) x 0,8 dimana 0,8 adalah konstanta precautionary approach dari MSY 3.4.4.3. Daya Dukung Wisata Bahari Estimasi daya dukung wisata bahari mengikuti ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam yakni 10 % dari luas zona pemanfaatan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Hutabarat et al. (2009) membuat suatu formulasi dalam menghitung daya dukung kawasan untuk kegiatan wisata bahari di kawasan konservasi, yakni:
DDW
LpWt 0 .1 K LtWp
Dimana : DDW K Lp Lt Wt Wp
= Daya dukung kawasan untuk ekowisata = Maksimum wisatawan per satuan unit area = Luas area atau panjang area yang dapat dimanfaatkan = Unit area untuk kategori tertentu = Waktu yang disediakan kawasan untuk kegiatan wisata per hari = Waktu yang dihabiskan oleh pengunjung untuk setiap kegiatan tertentu Nilai maksimum wisatawan (K) per satuan unit area (Lt) untuk setiap
kategori wisata bahari disajikan pada Tabel 13.
57
Tabel 13. Potensi maksimum wisatawan per unit area per kategori wisata Jenis Kegiatan
K (orang)
Unit Area (Lt)
Keterangan
Wisata Selam
2
1000 m2
Setiap 2 org dalam 100 m x 10 m
Wisata Snorkling
1
300 m2
Setiap 1 org dalam 100 m x 3 m
Wisata Mangrove
1
100 m2
Dihitung panjang track, setiap 1 org sepanjang 100 m
Sumber: Hutabarat et al.(2009); deVantier and Turak (2004).
Nilai konstanta waktu dalam sehari yang diperlukan oleh setiap wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata bahari, dimana nilai ini merupakan hasil wawancara terhadap seluruh turis per kategori wisata. Tabel 14. Waktu yang digunakan untuk setiap kegiatan wisata No.
Kegiatan
Waktu yang dibutuhkan Wp-(jam)
Total waktu 1 hari Wt-(jam)
1.
Selam
2
8
2.
Snorkeling
3
6
3.
Wisata mangrove
2
8
Sumber : Modifikasi dari deVantier and Turak (2004) dan Hutabarat et al. (2009).
3.4.5. Analisis Nilai Manfaat Sumberdaya Analisis ini merupakan kelanjutan dari hasil identifikasi manfaat dan nilai manfaat pada tahap pengumpulan data kategori ekonomi yang menggunakan kuesioner. Pada tahap ini dilakukan kuantifikasi nilai manfaat sehingga diperoleh total nilai manfaat sumberdaya. Metode valuasi setiap manfaat sumberdaya yang digunakan adalah sebagai berikut : a. Transfer Manfaat (Benefit transfer) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode transfer manfaat pada fungsi hutan mangrove sebagai konservasi, nilai keanekaragaman mangrove dan nilai keanekaragaman terumbu karang.
58
b. Biaya Kompensasi (Compensation cost) Kuantifikasi
nilai
ini
menggunakan
metode
biaya
kompensasi
yang
dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian dan perlindungan sumberdaya dalam kawasan G.Sulat-G.Lawang. c. Biaya pencegahan kerusakan (Damage avoided cost) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode biaya pencegahan kerusakan jika terjadi kehilangan fungsi tersebut. d. Harga pasar (Market price) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode harga pasar dari kayu bakar dan biota sekitar mangrove dan terumbu karang. e. Biaya pengganti (Replacement cost) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode biaya pengganti untuk membangun bangunan penahan abrasi dan perlindungan pantai. f. Pasar pengganti (Surrogate market) Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode pasar pengganti dengan mengungkapkan nilai dari suatu perbaikan nyata dari kualitas lingkungan. g. Penilaian berdasarkan preferensi Kuantifikasi nilai ini dilakukan dengan menduga hubungan antara kesediaan untuk membayar (WTP) atau kesediaan menerima (WTA). Kuantifikasi nilai menggunakan teknik valuasi yang bersifat “partisipatif” berupa penilaian langsung oleh responden yang telah ditetapkan. Estimasi WTP dan WTA menggunakan pendekatan Total Kesediaan Membayar atau Total Kesediaan Menerima dari para konsumen. Analisis total ekonomi dengan metoda Valuasi Ekonomi, dengan formula berikut :
TEV UV NUV Dimana : TEV = Total Economic Value (nilai ekonomi total) UV = Use Value (nilai manfaat) NUV = Non Use Value (bukan nilai manfaat)
59
Nilai
manfaat
pemanfaatan
(use
langsung
value)
merupakan
sumberdaya
alam
nilai dan
yang
diperoleh
lingkungan,
atas
termasuk
pemanfaatan secara komersial atas barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam. Nilai manfaat dapat diformulasikan sebagai berikut :
UV DUV IUV OV Dimana : UV = Use Value (nilai manfaat) DUV = Direct Use Value (nilai manfaat langsung) IUV = Indirect Use Value (nilai manfaat tidak langsung) OV = Option Value (nilai pilihan) Nilai manfaat langsung (direct use value) merujuk langsung pada konsesi sumberdaya alam, sedangkan nilai manfaat tidak langsung (indirect use value) merujuk pada nilai yang dirasakan secara tidak langsung dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Nilai pilihan (option value) merupakan nilai yang menunjukan pilihan seorang individu untuk membayar dalam melestarikan sumberdaya alam bagi pengguna lainnya dimasa mendatang. Komponen bukan nilai manfaat (non use value) adalah nilai yang diberikan kepada sumberdaya alam atas keberadaannya meskipun tidak digunakan secara langsung, sulit diukur karena didasarkan pada preferensi terhadap lingkungan bukan pengamatan langsung, dengan formulasi berikut :
NUV BV EV QOV Dimana : NUV = BV = EV = QOV =
Non Use Value (bukan nilai manfaat) Bequest Value (nilai pewarisan) Existence Value (nilai keberadaan) Quasi Option Value (nilai pilihan untuk menghindari kerusakan yang irreversible)
Nilai keberadaan (existence value) adalah penilaian yang diberikan dengan terpeliharanya sumberdaya alam dan lingkungan, nilai pewarisan (bequest value) diartikan sebagai nilai yang diberikan oleh generasi kini dengan menyediakan atau mewariskan sumberdaya alam dan lingkungan kepada generasi mendatang, nilai pilihan untuk menghindari kerusakan yang irreversible (quasi option value) mengandung makna ketidak-pastian, dimana nilainya merujuk pada nilai barang
60
dan jasa dari sumberdaya alam yang mungkin timbul akibat ketidak-pastian permintaan dimasa mendatang. Untuk pengembangan ekowisata bahari, analisis ekonomi menggunakan pendekatan penawaran dan permintaan. Pendekatan permintaan wisata merupakan
pendekatan
yang
digunakan
untuk
menganalisis
besarnya
permintaan wisata bahari oleh wisatawan yang dibatasi oleh biaya perjalanan wisata, pendapatan wisatawan, perubahan harga dan faktor lain. Pendekatan permintaan ini dianalisis dengan mengukur besarnya kemampuan membayar (Willingness to Pay, WTP) oleh wisatawan dalam melaksanakan kegiatan wisata bahari. Metode yang digunakan untuk mengestimasi WTP didekati dengan menilai total kesediaan membayar atau total kesediaan menerima dari konsumen. Mengacu FAO (2000), nilai setiap konsumen dapat secara langsung diperoleh dari hasil perhitungan nilai tengah mengikuti formula sebagai berikut : 10
MWT ( P / A) 1 / 10 yi i 1
Keterangan :
MWT(P/A) = nilai tengah WTP atau WTA. Jumlah sampel 10 responden dan yi adalah besaran WTP / WTA yang diberikan responden ke-i. Apabila sebaran WTP /WTA terlalu ekstrim, maka disarankan mengganti teknik nilai tengah dari rata-rata menjadi nilai median. Setelah mengetahui tingkat WTP/WTA yang dihasilkan perindividu dari persamaan diatas maka total nilai ekonomi sumberdaya berdasarkan preferensi secara sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan formula
TB WTP / Ai P2010 Keterangan : TB adalah total benefit, WTP/A adalah nilai WTP/WTA perindividu dan P adalah total populasi di lokasi penelitian pada tahun 2010 Maksimum jumlah (daya dukung ekonomi) wisatawan yang berkunjung ke G.Sulat-G.Lawang dan harga maksimum yang dapat dibayarkan diperoleh dengan menyeimbangkan antara fungsi penawaran dengan fungsi permintaan produk ekowisata bahari (Supply = Demand).
61
3.4.6. Analisis Sosial Daya dukung sosial untuk pengembangan perikanan karang dan ekowisata bahari dihitung dengan menilai jumlah penyerapan tenaga kerja per unit usaha, didasarkan pada kebutuhan tenaga kerja dalam satu periode produksi (1 tahun). diformulasikan sebagai berikut : t n
KTK UK/PE t 1
Dimana : KTK = Kebutuhan tenaga kerja (fungsi dari jumlah kunjungan atau unit usaha (∑U) K = rata-rata beban kerja E = waktu kerja efektif setiap tenaga kerja P = selang waktu dalam satu siklus produksi
3.4.7. Analisis Optimasi Pemanfaatan Model yang dibangun dalam kajian pemanfaatan ruang kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang secara optimal adalah sistem dinamik yang memanfaatkan software Stella.9.0. dan Geographycal Information System (GIS). Sistem dinamik dikembangkan sebagai alat analisis dalam pengambilan kebijakan untuk memformulasikan pemanfaatan ruang kawasan konservasi secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial yang disesuaikan dengan kondisi kawasan dan mengacu pada beberapa parameter ilmiah dari hasil penelitian dan referensi terkait. GIS dalam penelitian ini adalah: 1) analisis proximity, yaitu pembuatan buffer/coverage baru berupa zona inti, pemanfaatan terbatas daan zona lainnya dari coverage input (titik, garis, poligon), 2) analisis spasial/overlay, yaitu proses tumpang tindih coverage, dilakukan untuk menganalisis dan mengidentifikasi hubungan spasial (keruangan dan informasinya) yang digunakan untuk mencari wilayah yang diinginkan berdasarkan kriteria yang disetujui. Aplikasi model SIG digunakan dalam beragam sistem pendukung keputusan (Barlett 1999). SIG sebagai dasar pemodelan spasial untuk pengelolaan sumberdaya alam digunakan untuk mengekspresikan unit spasial, interaksinya dan bagaimana besaran serta lokasi unit spasial tersebut berpengaruh dan mempengaruhi kondisi variable state seperti biomassa, populasi dan sebagainya. Pemodelan yang memasukkan aspek wilayah dinamis
62
yang aktif dimana pengembangan setiap wilayah dilakukan secara terpisah dan khusus (isolated) dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan yang ada pada wilayah yang berdekatan (Camara et al. 1976). Model dinamik spasial yang dibangun dengan pendekatan GIS meliputi data biologi dan oceanografi dari literatur yang ada untuk menggambarkan area studi dalam bentuk matrik sel grid 2 dimensi (Pitcher et al. 2002; Pitcher et al. 2007). Selanjutnya dioverlay dengan data kesesuaian lahan dan interaksi spasial wilayah pengamatan yang direpresentasikan sebagai sel grid zona adaptif pemanfaatan kawasan. Dengan memasukan model optimasi ruang yang dikombinasikan dengan GIS serta komponen kebijakan yang mengatur pemanfaatan ruang berbasis kawasan menghasilkan peta kawasan yang adaptif (adaptive zoning). Analisis spasial digunakan untuk mengintegrasikan semua komponen aspek yang diamati berdasarkan distribusi dan pengalokasian lahan sesuai kondisi lapangan. 3.4.8. Analisis Keberlanjutan Análisis keberlanjutan pemanfaatan ruang kawasan konservasi G.SulatG.Lawang dilakukan dengan pendekatan Multidimensional Scaling (MDS) yang disebut RAP-KK yang merupakan pengembangan dari metode RAPFISH yang digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher TJ dan D.Preikshot 2001; Kavanagh, P and Tony J. Pitcher. 2004). Analisis keberlanjutan dinyatakan dalam Indeks Keberlanjutan Perikanan Karang (ikbPK), Indeks Keberlanjutan Wisata Selam (ikb-WS), Indeks Keberlanjutan Wisata Snorkeling (ikb-WSk), Indeks Keberlanjutan Wisata Mangrove (ikb-M). Analisis dilakukan melalui tiga tahapan: A. Penentuan atribut Penentuan atribut perikanan karang dan ekowisata bahari
yang
mencakup empat dimensi pengelolaan, yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Pada setiap dimensi dipilih atribut yang mewakili dimensi yang bersangkutan untuk digunakan sebagai indikator tingkat keberlanjutan dari dimensi tersebut. Atribut pada setiap dimensi dipilih yang secara kuat mewakili dimensi yang bersangkutan dan tidak tumpang tindih dengan atribut lain.
63
B. Pembuatan Skor Pemberian skor atau peringkat dilakukan pada atribut yang teridentifikasi berdasarkan tujuan pengelolaan potensi kawasan. Mengacu pada teknik RAPFISH (Pitcher and Preikshot 2001; Susilo 2003), skor yang diberikan berupa nilai “buruk” yakni mencerminkan kondisi yang paling tidak menguntungkan dalam pengelolaan kawasan dan nilai “baik” yakni mengkondisikan pengelolaan kawasan yang paling menguntungkan. Diantara dua nilai yang ekstrim ini terdapat satu atau lebih nilai antara. Mengacu pada pendekatan yang digunakan oleh Good et al. (1999) dan Heershman et al. (1999), maka jumlah peringkat yang diberikan secara konsisten pada setiap atribut yang dievaluasi sebanyak tiga yakni nilai buruk skor 0, nilai antara skor 1, niilai baik skor 2 seperti terlihat pada Lampiran 2. C. Analisis Keberlanjutan Analisis keberlanjutan pengelolaan kawasan dilakukan untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks efektivitas pengelolaan di wilayah kajian. Peran masing-masing atribut terhadap nilai ikb-KK dianalisis dengan “attribute leveraging”, sehingga terlihat perubahan ordinasi apabila atribut tertentu dihilangkan dari analisis. Pengaruh setiap atribut dalam bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi khususnya pada sumbu-x.
64
4. KONDISI EKSISTING KAWASAN G.SULAT- G.LAWANG 4.1 Aspek Lingkungan (Ekologi) Kawasan G.Sulat-G.Lawang, terletak di sebelah timur bagian utara Pulau Lombok. Secara administratif termasuk wilayah Desa Sambelia, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat. G.SulatG.Lawang berjarak sekitar 1 mil dari Selat Alas menuju Selat Makasar dan Laut Jawa. Obyek wisata kawasan ini adalah berupa pantai pasir putih, ekosistem terumbu karang dan mangrove. Atraksi wisata berenang, snorkeling, selam, berjemur (sun bathing), dayung (boating), dan perahu layar (sailling). G.SulatG.Lawang merupakan pulau kecil terletak di sebelah timur pesisir Mentareng, Lepeloang dan Sugian. Antara G.Sulat-G.Lawang dengan pulau Lombok dipisahkan oleh Selat Sugian dengan batimetri hingga 10 m. Pulau-pulau ini dibentuk oleh endapan aluvial, mempunyai relief rendah dan dibentuk oleh aluvial berlumpur, ditumbuhi oleh mangrove. Di sekitar lepas pantai kedua pulau terdapat hamparan terumbu karang. Pantai barat dari pulau ini relatif lebih landai dibandingkan dengan pantai timur. Kedua pulau ini kemungkinan terbentuk dari endapan Gunung berapi Rinjani. Kawasan
konservasi
Laut
Daerah
G.Sulat-G.Lawang
ditetapkaan
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Lombok Timur nomor 10 tahun 2006 tentang konservasi laut daerah pasal 6 point (1)a. KKLD G.Sulat – G.Lawang meliputi perairan G.Sulat dan G.Lawang di bagian utara Selat Alas dengan luas 1.206 ha, terdiri atas dua zona inti, zona penyangga dan zona pemanfaatan. Zona Inti I di Gili Lawang dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Barat Utara : 08 o.16’.42,0” LS dan 116o41’42,5’’ BT
Sebelah Barat Selatan : 08o17’28,6” LS dan 116o41’15,9” BT
Sebelah Timur Utara : 08o18’27,5” LS dan 116o43’03,1” BT
Sebelah Timur Selatan : 08o18’41,0”LS dan 116o42’34,7” BT
Zona Inti II di G.Sulat dengan batas-batas sebagai berikut :
Sebelah Barat Utara : 08 o.18’.34,2” LS dan 116o43’12,7’’ BT
Sebelah Barat Selatan : 08o18’55,0” LS dan 116o42’39,3” BT
Sebelah Timur Utara : 08o20’25,3” LS dan 116o45’02,7” BT
Sebelah Timur Selatan : 08o20’53,4”LS dan 116o44’50,8” BT
65
Zona penyangga meliputi :
Sebelah Barat Utara : 08 o.16’.28,5” LS dan 116o41’38,8’’ BT
Sebelah Barat Selatan : 08o17’33,6” LS dan 116o41’03,7” BT
Sebelah Timur Utara : 08o20’18,6” LS dan 116o45’14,3” BT
Sebelah Timur Selatan : 08o21’06,9” LS dan 116o44’55,0” BT
4.1.1. Iklim Iklim dipengaruhi oleh musim, umumnya pergantian musim di Kabupaten Lombok Timur berlangsung dua kali yaitu Musim Barat pada bulan OktoberMaret dan Musim Timur pada bulan April-September. Iklim di daerah ini tergolong iklim tropis basah dengan curah hujan rata-rata 71.8 mm/bulan dan jumlah hari hujan berkisar 64 hari pada tahun 2009. Berdasarkan pencatatan Subdin Pengairan Dinas PU Pemukiman dan Prasarana Wilayah Kabupaten Lombok Timur pada tahun 2009, khusus untuk Kabupaten Lombok Timur curah hujan sekitar 770 mm dengan rataan 10.40 mm/bulan, jumlah hari hujan 74 hari dan puncak curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juni. Sedangkan untuk kecamatan Sambelia jumlah curah hujan adalah 414 mm dengan jumlah hari hujan 107. Jumlah hari hujan tertinggi terjadi bulan Februari dan Desember tetapi curah hujan tertinggi terjadi bulan Maret. Rincian jumlah curah hujan di Kabupaten Lombok Timur tahun 2004-2009 memperlihatkan pada tahun 2005 curah hujan relatif lebih rendah dibandingkan curah hujan tahun yang lain. Diantara data curah hujan selama enam tahun, curah hujan tertinggi terjadi pada tahun 2005,
berpuluh kali lipat tingginya
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Curah hujan tertinggi cenderung terjadi pada Januari, Februari dan Desember. Sedangkan curah hujan rendah terjadi pada bulan Agustus, September, Oktober dan November, bahkan pada September tahun 2007, 2008 dan 2009 tidak ada curah hujan sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan berhubungan dengan musim, yang ditunjukkan curah hujan rendah terjadi pada musim timur/kemarau. Jumlah hari hujan setiap bulan juga berpengaruh terhadap kondisi perairan. Rincian hari hujan dalam enam tahun terakhir, jumlah hari hujan tertinggi pada tahun 2007, jauh lebih tinggi dari pada tahun-tahun yang lainnya. Sedangkan frekuensi hari hujan umumnya tinggi pada bulan Januari, Februari dan Desember dan cenderung rendah pada bulan Agustus, September, Oktober dan November. Informasi tentang jumlah curah hujan, jumlah hari hujan dan
66
pergeseran waktu curah hujan tertinggi yang merupakan prediksi dari hasil analisis Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) harus disampaikan pemerintah kepada nelayan agar mereka bisa mengantisipasi kondisi tersebut.
Desember November
2009
Oktober
2008 2007
September
2006
Agustus
2005
Juli
2004
Juni Mei April Maret Februari Januari 0
10
20
30
40
50
60
70
Gambar 9. Jumlah curah hujan bulanan Tahun 2004-2009 di Kabupaten Lombok Timur
4.1.2. Kondisi Oseanografi 4.1.2.1. Gelombang Ketinggian gelombang yang diperoleh dari hasil pengukuran pada Musim Timur berkisar antara 0.05 m sampai 0.45 m. Pengukuran ini dilakukan pada Musim Timur. Sedangkan pada Musim Barat gelombang bisa mencapai ketinggian 1.5-2 meter yang berarti 3-4 kali lebih tinggi dari pada musim Timur. Tingginya gelombang ini disebabkan letak G.Sulat-G.Lawang berhadapan langsung dengan Laut Flores, sehingga gelombang yang berasal dari arah laut dalam (Laut Flores) akan berpengaruh pada kondisi perairan pantai. Kondisi ini menyebabkan ketinggian gelombang meningkat pada Musim Barat. 4.1.2.2. Arus Kecepatan Arus disebabkan oleh kombinasi gerakan dari angin pada permukaan laut dan perbedaan densitas antara bagian-bagian yang berbeda dari laut tersebut. Arus dan gelombang memiliki pengaruh yang besar terhadap
67
aerasi, transportasi nutrien dan pengadukan air. Pengadukan air ini berperan untuk menghindari fluktuasi suhu yang besar (Atmadja dan Sulistijo, 1997). Kecepatan arus yang terjadi di perairan Sambelia pada musim Timur berkisar antara 0.104-0.566 m/detik. Dinamika kecepatan arus berbeda sesuai dengan lokasi titik sampling. Semakin jauh lokasinya ke arah laut semakin tinggi kecepatan arus dan sebaliknya semakin mendekati pantai semakin berkurang kecepatan arus. 4.1.3. Parameter Kualitas Air Kualitas air merupakan salah satu penentu utama dalam menetukan daya dukung perairan terhadap berbagai kegiatan. Kualitas air yang rendah akan menyebabkan daya dukung perairan juga rendah. Hasil pengukuran kualitas perairan dilokasi penelitian ditunjukkan sebagai berikut: 4.1.3.1. Kecerahan Perairan Kecerahan perairan menentukan yang masuk ke perairan.
jumlah
intensitas
sinar
matahari
Kemampuan penetrasi sinar matahari sangat
ditentukan oleh warna perairan, kandungan bahan organik maupun anorganik tersuspensi , kepadatan
plankton, jasad renik dan detritus. Faktor pembatas
proses fotosintesa di perairan adalah kekeruhan karena berpengaruh terhadap penetrasi cahaya matahari, disamping itu kekeruhan merupakan gambaran sifat optik dari suatu air yang ditentukan berdasarkan banyaknya sinar (cahaya) yang dipancarkan dan diserap oleh partikel-partikel yang ada dalam air (Boyd 1988). Salah satu penyebab kekeruhan adalah zat-zat organik yang terurai, jasad-jasad renik, lumpur dan tanah liat atau zat-zat koloid yaitu zat-zat terapung yang mudah mengendap. Selanjutnya
Effendi (2003), peningkatan nilai kekeruhan
pada perairan dangkal dan jernih sebesar 25 Nephelometric Turbidity Unit (NTU) dapat mengurangi 13%-50% produktivitas primer. Kondisi kecerahan daerah penelitian tergolong sangat tinggi, yakni berkisar antara 0.2-2.98 m. Semakin jauh ke arah laut semakin tinggi tingkat kecerahan perairan. Di beberapa titik sampling terdapat kekeruhan terutama pada daerah yang lebih dekat dengan pantai, hal ini dapat terlihat pada kondisi kecerahan yang paling rendah yaitu hanya 0.2 m. Kecerahan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kedalaman penetrasi cahaya di dalam laut, selain absorpsi cahaya itu sendiri oleh air (Nybakken 1988). Tingkat kecerahan di kelompokkan
68
ke dalam tiga kategori, yakni sangat sesuai 0.80-1.00 meter, sesuai bersyarat 0.60-0.80 meter dan tidak sesuai jika kecerahan sudah di bawah 0.60 meter. (Puslitbangkan 1991; Hidayat 1994; Sulistijo 1996; Efendi 2004; FAO 2008). 4.1.3.2. Salinitas. Salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air laut rata-rata di daerah tropis adalah sekitar 35 o/oo, dan binatang karang hidup subur pada kisaran salinitas sekitar 34-36 o/oo (Kinsman, 2004). Namun pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam, seperti run-off, badai, hujan, sehingga kisaran salinitas bisa sampai 17,552,5 o/oo (Vaughan, 1999; Wells, 1994). Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan di atas maksimum tersebut karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai Bandengan, Jepara Jawa Tengah salinitas nol permil (0 o/oo) untuk beberapa jam pada waktu air surut yang menerima limpahan air sungai (Supriharyono, 2000) dan di laguna Turneffe atoll, British Honduras yang salinitasnya mencapai 70 o/oo (Smith, 1993). Daya tahan terhadap salinitas setiap jenis karang tidak sama. Contoh Kinsman (1994) mendapatkan bahwa Acropora dapat bertahan pada salinitas 40 o/oo hanya beberapa jam di West Indies, akan tetapi Porites dapat tahan dengan salinitas sampai 48 o/oo. Hasil pengukuran di lapangan diperoleh data salinitas yang berkisar antara 26.7-30.6 ‰. Salinitas rendah terdapat pada daerah sekitar muara sungai dan semakin ke tengah perairan salinitas semakin tinggi. Salinitas pada wilayah perairan G.Sulat-G.Lawang penting untuk diperhatikan perubahannya karena banyaknya aliran sungai yang bermuara pada perairan tersebut. Sepanjang 21 km garis pantai terdapat 11 muara sungai dan khusus untuk wilayah kajian, pada dua kecamatan tersebut mengalir 10 sungai sehingga pada musim hujan salinitas turun sangat rendah khususnya pada muara sungai dan bagian permukaan perairan. 4.1.3.2. Suhu Suhu perairan berpengaruh terhadap pola kehidupan organisme perairan. Pengaruh suhu yang utama adalah mengontrol penyebaran hewan dan tumbuhan. Suhu mempengaruhi secara langsung aktifitas organisme seperti
69
pertumbuhan dan metabolime bahkan menyebabkan kematian organisme, sedangkan pengaruh tidak langsung adalah meningkatnya daya akumulasi berbagai zat kimia dan menurunkan kadar oksigen dalam air. Suhu perairan G.Sulat-G.Lawang antara 29.5–32.7 °C. Perbedaan suhu diantara titik sampling tidak berbeda jauh, hanya sekitar 2.2 °C, suhu tertinggi terdapat di sekitar pantai. Suhu secara tidak langsung berhubungan dengan kedalaman, makin dangkal perairan maka cenderung semakin cepat terjadi perubahan suhu sebab dengan sumber panas yang sama, perairan dangkal yang memiliki volume air yang lebih kecil akan lebih cepat panas. Fenomena ini juga terjadi di perairan Sambelia dimana perairan di dekat pantai yang lebih dangkal memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan perairan yang lebih dalam. Nontji (1987), menyebutkan bahwa suhu air di perairan nusantara berkisar antara 28–38 °C dan suhu di dekat pantai lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di laut lepas. Suhu perairan merupakan salah satu faktor penting dalam mempelajari gejala fisika perairan karena dapat mempengaruhi kehidupan hewan dan tumbuhan pada perairan (Nontji 2003). 4.1.3.4. Derajat Keasaman (pH) Hasil pengukuran pH di perairan pesisir G.Sulat-G.Lawang, berkisar antara 6.82-8.14. Pada daerah sekitar muara sungai pH perairan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya. Umumnya daerah muara sungai mempunyai pH lebih rendah akibat penguraian bahan organik yang biasanya menumpuk pada dasar muara sungai. Hal ini berarti bahwa pada daerah muara sungai tidak terjadi penumpukan dan penguraian bahan organik yang bersifat asam. Kemungkinan hal ini terjadi karena wilayah kajian adalah perairan terbuka yang mempunyai waktu pembilasan (flushing time) relatif cepat sehingga bahan organik tidak sempat menumpuk pada muara sungai sudah mengalami pembilasan. Data substrat dasar juga menunjang penjelasan ini sebab pada muara sungai di wilayah pesisir Sambelia, substrat dasar umumnya berupa karang, pecahan karang dan pasir lumpur (bahan organic). Setiap organisme membutuhkan kondisi pH tertentu untuk kelangsungan hidupnya. 4.1.3.5. Oksigen terlarut oksigen adalah salah satu gas terlarut yang memegang peranan penting untuk menunjang kehidupan organime dalam proses respirasi dan metabolisme
70
sel. Clark (1977) menyatakan bahwa Dissolved Oxygen (DO) optimum moluska berkisar antara 4,1 – 6,6 ppm dengan batas minimal tolerasi adalah 4 ppm. Tabel 15. Kondisi Oseanografi dan Kualitas Air di G.Sulat-G.Lawang, 2010 DO
pH
Kecera han (m)
Substrat
Suhu (°C)
Kec. Arus (m/det)
Tinggi Gelombng (m)
Kedal aman (m)
27,7
2,8
6,82
0,20
Karang
32,0
0,1667
0,05
1,0
27,4
4,16
7,83
0,23
batu karang
31,5
0,119
0,05
5,0
L-3
27,4
4,56
7,93
0,26
Pecahan Karang
32,7
0,109
0,10
4,5
L-4
26,7
4,9
7,30
0,28
Pasir
32,2
0,177
0,17
6,0
L-5
28,9
3,63
7,38
0,25
Pasir
29,5
0,153
0,03
1,0
L-6
29,6
3,89
7,40
1,31
karang
30,7
0,104
0,10
4,5
L-7
29,3
3,60
7,70
1,35
karang
30,0
0,110
0,03
4,5
S-1
29,1
4,12
8,14
1,31
30,0
0,263
0,02
6,0
S-2
30,2
3,81
7,02
1,41
pasir berlumpur Lumpur
29,8
0,360
0,03
7,5
S-3
30,7
3,71
7,99
1,34
Lumpur
29,9
0,297
0,03
10,5
S-4
30,6
3,42
7,66
2,80
Pecahan Karang
30,9
0,400
0,30
18,0
S-5
30,3
3,69
7,12
2,89
pasir berlumpur
30,4
0,556
0,35
18,0
S-6
30,3
3,88
7,23
2,83
Berlumpur
30,5
0,362
0,37
19,0
S-7
30,4
3,77
7,01
2,90
pecahan karang
30,0
0,416
0,37
19,5
S-8
30,3
3,51
7,09
2.98
karang
29,9
0,320
0,45
21,0
Stasiun
Salini tas (ppt)
L-1 L-2
4.1.3.6. Substrat Dasar Substrat dasar perairan G.Sulat-G.Lawang umumnya terdiri dari karang, pecahan
karang
dan
pasir
sebagian
kecil
berlumpur.
Substrat
dasar
berhubungan dengan kecerahan perairan. Substrat yang berupa lumpur apabila kedalamannya rendah gampang teraduk oleh arus dan gelombang sehingga menyebabkan kekeruhan. Selanjutnya kekeruhan bisa menghambat penetrasi cahaya matahari yang
sangat
dibutuhkan penyelam
dalam
melakukan
aktivitasnya. Karena itu untuk kegiatan selam dilakuakn pada lokasi yang tidak terlalu dalam dengan tingkat kecerahan tinggi, disyaratkan substrat dasarnya berupa karang, pecahan karang, pasir atau campuran ke tiganya.
71
4.1.3.7. Sedimentasi. Sedimentasi merupakan masalah yang umum di daerah tropis, pengembangan di daerah pantai dan aktivitas-aktivitas manusia lainnya, seperti pengerukan, pertambangan, pengeboran minyak, pembukaan hutan, aktivitas pertanian, dapat membebaskan sedimen (terrigenoua sediments) ke perairan pantai atau ke daerah terumbu karang. Akvitas pertanian, pembukaan lahan dan pengolahan tanah di daratan lainnya biasanya membebaskan sedimen melalui larian permukaan (run-off). Sedimen yang dibebaskan oleh aktivitas-aktivitas ini cukup tinggi, yaitu dapat mencapai 1.640 mg/cm/hari, seperti yang tercatat di sebelah 12 timur Florida, Amerika Serikat (Reed, 1981 dalam Supriharyono, 2000). Disamping jenis sedimen tersebut, ada pula sedimen lain, yang dikenal dengan carbonate sedimen, yaitu sedimen yang berasal dari erosi karangkarang, baik secara fisik ataupun biologis (bioerosion). Bioerosi biasanya dilakukan oleh hewan laut seperti bulu babi, ikan, bintang laut, dan sebagainya. 4.1.3.8. Kedalaman. Hasil pengukuran kedalaman perairan G.Sulat-G.Lawang adalah dari 1m hingga 248 meter. Kedalaman tertinggi cenderung berada pada perairan sebelah utara kawasan dan perairan yang dangkal berada pada bagian selatan. Kedalaman berhubungan dengan penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan karang dan aktivitas penyelaman. Pada perairan yang dalam, pertumbuhan karang kurang ideal sebab kurangnya proses fotosintesa bagi pertumbuhan karang.
4.2. Aspek Sosial-Budaya 4.2.1. Penduduk Penduduk merupakan faktor produksi dalam memanfaatkan potensi sumberdaya perairan. Jumlah penduduk Kecamatan Sambelia 33. 694 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 16. 314 jiwa dan perempuan sebanyak 17. 380 jiwa pada tahun 2009. Diantara jumlah penduduk tersebut terdapat penduduk usia kerja sebanyak 22. 331 jiwa yang terdiri dari laki-laki 10. 577 jiwa dan perempuan 11. 754 jiwa. Mata pencaharian penduduk Kecamatan Sambelia sebagian besar nelayan tangkap dan pedagang, tukang batu, buruh bangunan, pegawai negeri sipil dan penjual makanan (BPS Kecamatan Sambelia dalam Angka 2009).
72
4.2.2. Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu penentu kualitas sumberdaya manusia termasuk nelayan. Selain itu pendidikan formal maupun nonformal merupakan modal dasar bagi nelayan untuk dapat mengakses informasi melalui berbagai media sehingga memudahkan mereka menyerap suatu perubahan atau inovasi yang berhubungan dengan perilaku. Kemampuan dan keterampilan untuk berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, sangat ditentukan oleh faktor pendidikan
yang
dimiliki.
Pendidikan
merupakan
proses
pengetahuan,
keterampilan maupun sikap yang dapat dilakukan secara terencana sehingga diperoleh perubahan dalam meningkatkan taraf hidup (Slamet,2003) Kualitas sumberdaya manusia di Kecamatan Sambelia dilihat dari tingkat pendidikan tergolong rendah. Penduduk usia 10 ke atas yang tidak sekolah atau belum pernah sekolah persentasenya cukup tinggi, yakni 19.43%, Sekolah Dasar 8.36 %, Sekolah Menengah Pertama 4.77 %, Sekolah Menengah Atas 3.14%, Perguruan Tinggi 1.19% dan tidak bersekolah lagi 63.10%. Jika diasumsikan bahwa penduduk yang tidak sekolah atau belum pernah sekolah tidak bisa baca tulis latin berarti angka buta huruf di Kecamatan Sambelia cukup tinggi, minimal 19.43%. Lebih dari 50% penduduk yang tidak sekolah adalah perempuan, yakni 5.119 orang dan laki-laki 6. 974 orang. Selain angka yang tidak sekolah cukup tinggi, angka drop out pun sangat tinggi mencapai 63.10%. Namun angka drop out ini tidak dirinci pada tiap jenjang pendidikan, namun drop out perempuan lebih besar dibanding laki-laki. 4.2.3. Kesehatan Kesehatan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat semakin tinggi derajat kesehatannya. Masyarakat yang sejahtera berarti kebutuhan primernya telah terpenuhi, termasuk aspek kesehatan. Kesehatan di Kecamatan Sambelia diarahkan agar pelayanan kesehatan meningkat lebih luas, lebih merata dan lebih terjangkau oleh masyarakat sehingga dapat menghasilkan derajat kesehatan masyarakat yang lebih tinggi, pada akhirnya setiap orang bisa hidup lebih produktif secara sosial maupun secara ekonomis.
73
4.2.4. Kelembagaan Cooley dalam Soemardjan dan Soemardi (1964) mendefinisikan lembaga sebagai suatu norma dan tata cara yang bersifat tetap. Menurut Kartodiharjo et Al. (1999), kelembagaan merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, abstrak, yang mencakup idiologi, hukum adat-istiadat, aturan, kebiasaan yang tidak terlepas dari lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu maupun kelompok. Oleh karena itu kelembagaan adalah instrumen yang mengatur hubungan antara individu. Sesuai dengan rumusan tersebut di atas, kelembagaan yang dimaksud adalah kelembagaan modern berupa Perda maupun kelembagaan tradisional yang berupa aturan adat dan kehidupan sosial masyarakat. Kelembagaan yang berhubungan langsung dengan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi berupa Peraturan Pemerintah dan aturan lokal. Peraturan dalam bentuk Rencana Pengelolaan kawasan konservasi laut daerah adalah aturan dalam hal zonasi Sedangkan aturan lokal yang ada dan disepakati oleh masyarakat sekitar Gili Sulat-Gili Lawang yakni Komunitas Dua Pulau, yang bertugas dalam pengaturan dan pangawasan kedua pulau.
4.3. Kondisi Biologis Perairan 4.3.1. Kondisi Mangrove G.Sulat-G.Lawang. Kawasan G.Sulat-G.Sulat ditetapkan sebagai hutan lindung dengan luas G.Sulat 663,50 ha dan G.Lawang 423,36 ha berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.416/KPTS-II/1999. Hampir keseluruhan G.Sulat ditumbuhi vegetasi mangrove (Setyastuti, 2002). Pada sisi pulau yang berhadapan dengan daratan besar, kerapatan mangrove sangat lebat dengan formasi terdepan jenis Rhizophora mucronata, tipe substrat berpasir dan pecahan karang. Diwilayah ini juga ditemukan tumbuhan asosiasi mangrove seperti Sesuvium portulacastrum dan beberapa jenis lain yang belum teridentifikasi. Sedangkan sisi luar pulau, formasi terluar adalah jenis Sonneratia alba, Bruguiera gymnorhiza dengan kerapatan rendah dan diameter batang rata-rata sekitar 90 cm. Di G.Lawang, sisi dalam pulau dijumpai areal yang tidak ditumbuhi mangrove dengan luas antara 0.25–7,0 hektar, ditumbuhi rumput dan asosiasi mangrove. Pada sisi dalam pulau terdapat kerusakan mangrove yang diakibatkan oleh sambaran petir. Kondisi vegatasi sisi dalam pulau hampir sama
74
dengan G.Sulat, sedang sisi luar pulau formasi terdepan adalah Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorhiza dengan kerapatan sedang diameter batang 90 cm. Luar Gili 4
52.26
Kampir Bele
82.58
Menanga dua Todak
85.12
Penanean
53.86
Tanjak Mukur
56.92
Luar Gili 3
80.22
Luar Gili 2
82.28
Luar Gili
76.54
Pegatan 2
79.16
Pegatan 1
84.06
Landi
88.12 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Gambar 10. Persentase Tutupan Mangrove di KKLD G.Sulat.
Tajuk pohon umumnya menutup rapat sisi dalam pulau, sedang akar Rhizophora tumbuh sangat rapat. Kerapatan tajuk dan akar menghambat peremajaan atau suksesi secara alami pada bagian dalam tegakan mangrove, sehingga semai relatif tidak berkembang di bawah tajuk. Diameter batang komunitas mangrove pada sisi dalam lebih kecil dari pada sisi luar G.Lawang, dimana pada sisi luar proses suksesi ataupun peremajaan secara alami sangat sulit, mengingat arus yang kuat. Sisi luar G.Lawang di dominasi vegetasi mangrove dengan diameter 90 cm . 4.3.1.1. Jenis Mangrove Komunitas mangrove memiliki kerapatan tajuk yang tinggi dan rendah terutama jenis Rhizophora. Hasil pengamatan diperoleh 6 jenis mangrove terdiri dari 2 famili, seperti pada tabel berikut : Tabel 16. Jenis mangrove di kawasan G.Sulat-G.Lawang. No. 1.
Famili Rhizophoraceae
2.
Sonneratiaceae
Jenis 1. Rhizophora mucronata 2. R. apiculata 3. R stylosa 4. Bruguiera gymnorhiza 5. Ceriops decandra 1. Sonneratia alba
75
Famili Rhizophoraceae Rhizophora mucronata, jenis ini mendominasi terutama pada bagian sisi yang berhadapan dengan daratan utama. Tumbuh optimal pada daerah yang lebih terlindung dimana terlihat vegetasinya sangat rapat dan menempati formasi terdepan pulau. Jenis Rhizophora mucronata memiliki perakaran yang berkembang dengan baik. Jenis ini relatif masih muda terutama pada bagian dalam pulau, kulit pohon berwarna kelabu, lentisel pada batang berwarna terang. Rhizophora apiculata, dikenal juga dengan bakau minyak. Umumnya dijumpai dalam jumlah kecil, tumbuh diantara jenis R mucronata. Di G.SulatG.Lawang jenis ini tumbuh dengan ketinggian 7 meter. Tumbuh pada formasi belakang dengan substrat berlumpur.
85
85
80
Foto Gili
Menan ga Kapal
Batu Mandi 2
70
55
45
Batu Mandi 3
Selang
Pekaje
60
Luar Gili
80
Pondok Jaga
90
Pondok Kecil Ujung
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Gambar 11. Persen Penutupan Mangrove di G.Lawang
Rhizophora stylosa, disebut bakau bangko atau tongke besar. Kulit kayu halus, bercelah, berwarna abu-abu hingga hitam. Jenis ini tumbuh di berbagai habitat yaitu substrat berpasir,berlumpur dan berbatu/pecahan karang. Bruguiera gymnorrhiza, (Large-leafed Orange Mangrove), Jenis ini dikenal dengan nama tanjang atau tongke. Ketinggian pohon 7 – 20 meter. Kulit kayu dengan permukaan halus hingga kasar, berwarna abu-abu tua hingga coklat. Memiliki sejumlah akar lutut bahkan ada yang menyerupai papan melebar kesamping dibagian pangkal pohon. Pada sisi dalam pulau banyak dijumpai pada zona setelah Rhizophora. Sedang sisi luar pulau umumnya dijumpai pada formasi terdepan bersama Sonneratia alba. Jenis ini tumbuh pada pada substrat berpasir sedikit lumpur dan daerah terbuka yang mendapat sinar matahari langsung maupun terlindung, memiliki kelopak bunga berwarna kemerahan.
76
Ceriops decandra (Yellow Mangrove), Jenis ini menempati posisi bagian tengah yaitu dengan daerah yang relatif kering dan basah saat pasang. Jenis ini hanya dijumpai di G.Lawang pada sisi bagian dalam pulau. Kategori vegetasi adalah permukaan kulit halus, umumnya berwarna coklat dan menggelembung di bagian pangkal. Daunnya hijau mengkilap dan sering memiliki pinggiran melingkar kedalam. Bentuknya bulat telur dengan ujung membundar. Famili Sonneratiaceae Sonneratia alba (Mangrove apple), Jenis ini dikenal dengan nama pedada atau perepat. Pohonnya selalu hijau, kayu berwarna putih tua hingga coklat dengan celah logitudinal yang halus. Akarnya muncul kepermukaan sebagai akar napas dan berbentuk kerucuk tumpul. Buahnya seperti bola atau buah apel, ujung bertangkai dan bagian dasar terbungkus kelopak bunga. Sonneratia alba dijumpai pada formasi tengah hidup diantara jenis Rhizophora dan Bruguiera, sedang pada sisi luar pulau tumbuh pada formasi depan bersama jenis Bruguiera dengan kategori pohon berdiameter 90 cm dengan ketinggian lebih dari 20 meter, tumbuh pada daerah pasir berlumpur dan pecahan karang. 4.3.1.2. Kerapatan Jenis Vegetasi mangrove pada kedua pulau didominasi jenis Rhizophora mucronata pada formasi terluar, sedang pada bagian luar Gili didominasi Sonneratia alba dan Briguiera gymnorhiza. Secara visual, vegetasi mangrove yang berhadapan dengan daratan terdiri dari pohon-pohon muda di formasi depan, tinggi rata-rata 3-5 meter. Pada bagian lahan kering ditumbuhi jenis asosiasi mangrove berupa Sesuvium portulacastrum.
Kerapatan Pohon 0.08
0.04
I Laandi 0.18
II Pegatan 1
0.12 0.05
0.17
0.05
III Pegatan 2 IV Luar Gili
0.07 0.1
0.09 0.08
V Luar Gili 2 VI Luar Gili 3 VII Tanja Mukur
Gambar 12 . Kondisi Kerapatan Mangrove G.Sulat
77
Kerapatan mangrove di G.Sulat 1000 -1800 pohon /ha, diameter batang relatif kecil dibandingkan dengan komunitas mangrove lainnya. Dengan tingkat kerapatan tersebut tergolong kriteria baik dan sangat padat. Merujuk KepMen Negara Lingkungan Hidup Nomor: 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan mangrove, dimana kerapatan (pohon/ha) kriteria sangat padat (>1500), baik/sedang (> 1000 - < 1500) dan rusak/jarang ( < 1000).
Gambar 13 . Kondisi Ekosistem Mangrove G.Sulat-G.Lawang
Kerapatan jenis tertinggi adalah Rhizpphora mucronata 600 pohon/ha. Estimasi kerapatan kanopi 80 – 100 %, tergolong kriteria tidak rusak. Mengacu pada penetapan kriteria kawasan mangrove yang rusak menurut Dit.Jend. RLPS, Departemen Kehutanan dalam buku Kriteria dan standar teknis Rehabilitasi
78
Wilayah Pantai, dapat ditunjukkan dari kerapatan kanopi (cover density). Kerusakan berat, estimasi kerapatan kanopi < 50 %, Kerusakan sedang, estimasi kerapatan kanopi 50 – 70 % dan kriteria tidak rusak estimasi kerapatan kanopinya > 70 – 100 %. Tabel 17. Kondisi Vegetasi Mangrove di G.Sulat Stasi un
Jenis dominan
I II III IV V VI VII VIII IX X XI
Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Bruguiera gymnorhiza Bruguiera gymnorhiza Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Bruguiera gymnorhiza Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhzophora mucronata
Kerapat an Pohon 0.18 0.17 0.09 0.08 0.10 0.07 0.05 0.05 0.12 0.08 0.04
Jenis INP tertinngi R mucronata R mucronata B gymnorhiza B gymnorhiza R mucronata R mucronata R mucronata R mucronata B gymnorhiza R mucronata R mucronata R mucronata
Tinggi Rataan (m) 5 5 9 7 7 9 7 6 10 15 10 8
Ø Batang (cm) 30 - 70 30-75 50 – 90 40 - 100 40 - 90 30 - 70 30 - 60 30 - 70 70 - 130 40 - 160 40 - 110 70
Tutupan (%) 90 85 77 75 80 78 50 46 87 75 50 72
Kerapatan vegetasi mangrove di G.Lawang 0.03– 0.11/100 m2 (3001100/ha). Berdasarkan kriteria baku kerusakan mangrove, maka komunitas mangrove di kawasan ini tergolong jarang hingga baik atau sedang. Untuk kategori anakan kerapatannya 0.12 – 0.28 / 25 m2. , kategori semai kerapatannya 0– 4 / m2. Kerapatan jenis tertinggi adalah Rhizophora mucronata 600 indvidu/ha. Tabel 18. Kondisi Vegetasi Mangrove di G.Lawang Stasiu n I II III IV V VI VII VIII IX
Jenis dominan Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Bruguiera gymnorhiza Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata Rhizophora mucronata
Kerapatan Pohon 2 (100m ) 0.10 0.05 0.09 0.10 0.11 0.03 0.10 0.05 0.07
INP tertinggi R mucronata R Mucronata B gymnorhiza R mucronata R mucronata R mucronata R mucronata R mucronat R mucronata R mucronata
Tinggi 2 Rata (m) 6 7 10 20 10 10 15 5 17 10
Ø Batang (cm) 30-60 30-90 60-100 90-300 60-100 50-110 40-130 30-60 50-160 90
Tutu pan (%) 90 60 80 85 85 45 80 55 70 72
4.3.2. Kondisi Ekosistem Padang Lamun di G.Sulat-G.Lawang 4.3.2.1. Padang Lamun di G.Sulat Hasil kajian tim peneiti BRKP (2004), dijumpai 7 spesies lamun sesuai urutan dominansinya yaitu Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Cymodocea
79
rotundata, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata, Halodule pinifolia dan Halophila ovalis. Tidak dijumpai areal pantai di kawasan ini karena ekosistem lamun langsung berbatasan dengan mangrove. Vegetasi lamun sangat padat dengan persentase tutupan 80 - 100% dengan luas sekitar 100 hektar . Dua species yang tumbuh dominan yaitu Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Distribusi lamun dari batas mangrove sampai batas terumbu karang dimana lamun sudah tidak ditemukan antara 40 - 50 meter, sedangkan batas antara mangrove sampai batas tubir sekitar 100 meter. Dengan demikian hampir separuh dari rataan terumbu ditumbuhi lamun. Daerah yang berbatasan dengan mangrove didominasi Enhalus acoroides. Arus air dasar sangat keras terutama pada saat pergantian pasang surut sehingga daun lamun Enhalus acoroides,Thalassia hemprichii dan C.rotundata kurus memanjang. Ditemukan jenis Enhalus acoroides dengan kerapatan agak jarang, ukuran daun panjang, saat surut terendah lamun masih terendam air. kedalaman substrat mencapai 50 cm. Enhalus acoroides tumbuh homogen dengan kepadatan 20 - 50 tegakan per meter. Persentase tutupan berkisar 60 - 80 %. Pada sisi barat G.Sulat dikenal dengan Menanga Dua Todak yang artinya muara yang mempunyai 2 jalan masuk untuk perahu. 4.3.2.2. Padang Lamun di G.Lawang Areal selatan G.Lawang kondisi arus yang cukup kuat, jenis lamun yang ditemukan Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium dan Cymodocea rotundata, C. serrulata dan Halophila ovalis. Sedangkan jenis lamun yang dominan adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides dan Cymodocea rotundata. Lamun jenis Enhalus acoroides ukuran daunnya relatif panjang antara 50 - 100 cm, jenis Cymodocea serrulata dan Halophila ovalis sangat jarang ditemukan. H. ovalis tidak dapat tumbuh survive karena tertutup kanopi dari seagrass lainnya sehingga penetrasi cahaya tidak dapat menembus daunnya. Hal ini menunjukkan bahwa saat surut terendah perairan masih cukup dalam. Persentase tutupan antara 70 - 80 %. Di daerah yang berada dekat muara airnya agak keruh kehijauan. Lamun yang tumbuh Enhalus acoroides (tipe vegetasi homogen). Substrat cukup tebal dengan komposisi pasir dan lumpur. Pada saat surut kedalaman air masih tinggi. Tipe vegetasi heterogen,ditemukan 6 species lamun dengan persentase tutupan
80
rata-rata > 90 %.
Jenis lamun yang ditemukan yaitu Thalassia hemprichii,
Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, C. serrulata dan Halophila ovalis. Pada saat surut kedalaman air masih tinggi. Arus di daerah ini sangat kuat sehingga hampir semua lamun dalam posisi rebah, daun umumnya kecil memanjang. Di daerah ini banyak ditemukan ikan dan biota ekhinodermata (jenis teripang dan moluska) seperti kima dan lainnya.
Gambar 14. Kondisi Ekosistem Lamun di Kawasan G.Sulat-G.Lawang
4.3. 3. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang dan Ikan Karang Secara umum keanekaragaman jenis karang yang ditemukan di kawasan G.Sulat-G.Lawang tergolong sangat tinggi mulai dari karang bercabang hingga
81
karang massive, dengan persentase tutupan karang hidup antara 5 - 90 %. Genus karang yang ditemukan di perairan G.Sulat-G.Lawang adalah: Acropora, Stylophora, Montipora, Astreopora, Herpolitha, Sandalolitha, Fungia, Leptoseris, Pavona, Pachyseries, Pseudosiderastrea, Turbinaria, Physogyra, Plerogyra, Cyphastrea, Diploastrea, Echinopora, Favia, Favites, Goniastrea, Montastrea, Oulophyllia, Platygyra, Ctenactis, Fungia, Heliofungia, Podabacia, Seriatopora, Psammacora, Hydnophora, Lobophyllia, Mussa, Symphyllia, Galaxea, Pectinia, Stylophora, Goniopora, dan Porites. 4.3.3.1. Terumbu Karang di G.Sulat Terumbu karang yang terdapat di G.Sulat terletak di sekeliling pulau dengan keragaman dan kondisi yang sangat bervariasi. Kondisi karang yang sangat baik dijumpai di perairan bagian selatan dan kondisi baik dijumpai diperairan bagian utara pulau. Kondisi terumbu karang pada bagian selatan pulau sangat baik karena letaknya berhadapan dengan daratan besar sehingga mudah dipantau dan dijaga oleh masyarakat setempat. Pengeboman dan berbagai aktifitas yang merusak oleh nelayan tidak terjadi di wilayah ini sehingga keberadaan berbagai jenis karang cukup melimpah, didominasi oleh kelompok karang seriatopora histrix dengan tingkat tutupan karang hidup mencapai 90 %. Pada bagian utara pulau kondisi perairan cukup baik dengan tingkat kecerahan perairan mencapai 15 meter. Pada kedalaman tersebut kondisi terumbu karang cukup baik, namun pada perairan yang dangkal sekitar 5 meter terjadi sedikit kerusakan akibat berbagai aktifitas yang tidak ramah lingkungan. Hal seperti ini dapat terjadi karena letaknya yang menghadap keluar dan sulit diawasi oleh masyarakat setempat. Namun demikian karena jenis karang yang dominan di wilayah ini adalah karang massive maka kondisi kerusakannya terlihat sangat sedikit. Jenis karang massive umumnya tahan dan mampu bertahan hidup terhadap beberapa kegiatan yang tidak bertanggungjawab seperti pengeboman, aktifitas jangkar perahu dan berbagai benturan fisik lainnya. Tingkat penutupan karang hidup di wilayah ini terutama pada kedalaman 15 meter mencapai 70 %. Pada bagian barat G.Sulat kondisi terumbu karang termasuk dalam kategori rusak, diindikasikan oleh banyaknya patahan karang yang membentuk gundukan dengan hamparan yang luas serta banyaknya populasi Diadema
82
sitosum yang merupakan salah satu spesies indicator kerusakan karang. Tingkat penutupan karang hidup di wilayah ini hanya mencapai 5 %. Hampir semua patahan karang yang ada telah diselimuti oleh algae yang tebal dan sebagian patahan karang tersebut telah ikut terbenam dalam dasar perairan. Ini menunjukkan bahwa aktifitas pengrusakan karang terjadi dalam bentuk aksi fisik berupa pengeboman dan kegiatan yang tidak bertanggung jawab ini terjadi pada masa lalu. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai penyelamatan lingkungan, kondisi terumbu karang di wilayah ini semakin membaik, kondisi ini juga didukung oleh terbentuknya kawasan konservasi laut daerah sehingga ekosistem terumbu karang akan semakin terjaga. Pada bagian timur pulau kondisi perairan kurang mendukung untuk pertumbuhan karang. Selain karena aktifitas gelombang yang tinggi, juga disebabkan oleh tingkat kecerahan perairan 1 meter dengan tingkat sedimentasi yang cukup tinggi. Akibatnya kondisi terumbu karang di wilayah ini tergolong rusak dengan tingkat tutupan karang hidup hanya mencapai 20 %. Demikian juga hamparan terumbu karang yang terdapat di G.Lawang terletak di sekeliling pulau dengan keragaman dan kondisi yang bervariasi. Kondisi karang
sangat baik
dapat dijumpai di perairan bagian barat dengan tingkat tutupan karang hidup 90%, dan kondisi baik dapat dijumpai diperairan bagian utara pulau. Kondisi terumbu karang dengan kategori sangat baik disebabkan karena kondisi perairan di wilayah ini cukup mendukung pertumbuhan karang diantaranya kecerahan perairan yang mencapai 15 meter serta sirkulasi air yang masih baik. Terumbu karang membutuhkan sinar matahari untuk aktivitas zooxanthellae dan membutuhkan sirkulasi air laut yang lancar untuk mengangkut bahan makanan berupa zooplankton yang dibutuhkan oleh polip karang. Pada bagian utara pulau, kondisi terumbu karang tergolong kategori baik dengan tingkat tutupan karang hidup mencapai 70%. Hamparan terumbu karang di wilayah ini tumbuh membentang luas karena didukung oleh kualitas perairan berupa sirkulasi air laut dan tingkat kecerahan yang cukup baik. Terumbu karang di wilayah ini berhadapan langsung dengan samudra yang luas sehingga suplai nutrien yang diperoleh cukup besar dan terhindar dari polusi akibat aktifitas manusia di daratan. Pada bagian timur pulau kondisi terumbu karang tergolong dalam kategori sedang dengan tingkat tutupan karang hidup hanya 40 %. Kerusakan karang yang terjadi banyak disebabkan oleh aktifitas nelayan yang
83
tidak ramah lingkungan. Selain itu factor kecerahan perairan yang hanya 4 meter ikut menghambat pertumbuhan karang yang hidup di wilayah ini. Lokasi terumbu karang dikawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang dapat dilihat pada Gambar 14.
Gambar 15. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang G.Sulat-G.Lawang Pada bagian selatan pulau, kondisi terumbu karang tergolong dalam kategori baik dengan tingkat tutupan karang hidup mencapai 55 %. Kerusakan karang yang terjadi
lebih disebabkan oleh kecerahan perairan yang hanya
mencapai 5 meter dengan sedimentasi yang tinggi akibat partikel lumpur yang berasal dari komunitas mangrove yang hidup berdampingan dengan ekosistem terumbu karang. Gelombang di wilayah ini tidak terlalu besar tetapi berlangsung cukup lama sehingga mampu mengaduk partikel lumpur.
84
Hamparan terumbu karang yang terdapat di G.Sulat seluas 178,66 hektar dan G.Lawang seluas 181,25 hektar, sehingga luas total rataan terumbu karang di kawasan konservasi adalah 359,91 hektar. Kelompok terumbu karang yang berada di G.Sulat-G.Lawang adalah acropora branching, coral massive, coral branching, coral foliose, soft coral dengan pesentase tutupan mulai dari 0-90 %. Jenis karang
yang umum ditemukan di G.Sulat-G.Lawang adalah: Acropora
tenuis, A. formosa, A. divaricata, A. nasuta, A. hyachintus, Porites lobata, P. lutea, Pocillopora sp, Goniastrea sp, Galaxea sp, Symphyllia sp, Seriatopora histrix, Montipora foliosa, Xenia sp. Kerusakan terumbu karang hampir terjadi disebagian besar perairan G.Sulat-G.Lawang, sehingga berpengaruh terhadap keberadaaan ikan karang konsumsi dan ikan karang hias. Ikan karang konsumsi didominasi oleh jenis ikan karang ekor kuning (seriola lalandi) dan ikan kerapu (Epinephelus polyhekadion). Kelimpahan ikan di perairan G.Lawang-G.Sulat sekitar 300 ekor/100m2. Spesies ikan yang ditemui di lokasi penelitian diantaranya adalah : Kakatua (Leptoscopus vagientis), Kepe-kepe totol (Caetodon citrenellus), Baronang (Siganus argentus), Badut (Amphiprion ocellaris), Ekor kuning (Seriola lalandi), Kerapu (Epinephelus polyphekadion), Bibir manis (Pecthorhincus orientalis), lobster (Enooplometopus daumi), maming (bulbomethopen bicolor), Bulu babi (diadema sitosum), Kima (tridacna gigas), Timun laut (Holothoria leucospilata) dan Buntal (Asthias sp). Tingkat pemanfaatan ikan karang di perairan G.Sulat-G.Lawang cukup tinggi. Alat tangkap yang umum dipergunakan nelayan untuk menangkap jenisjenis ikan karang atau ikan yang berasosiasi dengan karang adalah pancing (line), bubu (trap), muroami dan bagang. Alat tangkap ikan karang yang berkembang di kawasan perairan dangkal G.Sulat-G.Lawang adalah muroami yang dipergunakan untuk menangkap ikan ekor kuning. Selain menggunakan peralatan di atas, pola penangkapan yang dilakukan juga menggunakan bahan peledak dan potas (cyanida), walaupun pada tahun-tahun terakhir sudah mengalami penurunan. Hasil penelitian terhadap kondisi eksisting terumbu karang di beberapa titik pengamatan di perairan G.Sulat-G.Lawang menunjukkan kondisi yang masih cukup baik. Pada kedalaman rendah, kondisi terumbu karang di beberapa titik pengamatan masih cukup baik yang ditandai dengan persentase tutupan karang batu yang masih hidup mencapai 25 – 50% dan persentase tutupan komponen
85
abiotik (AB) yang rendah. Penutupan karang batu hidup di beberapa lokasi pengamatan menunjukkan kondisi terumbu karang yang masih baik, bahkan sampai sangat baik dengan persentase tutupan mencapai lebih dari 50%. 4.3.3.2. Terumbu Karang G.Lawang (Takad Belanting) Di perairan G.Lawang banyak dijumpai kawasan terumbu karang karena banyaknya takad-takad yang ditumbuhi terumbu karang. Takad Belanting adalah salah satu takad yang terbesar di kawasan G.Lawang. Takad Belanting merupakan areal fishing ground serta memiliki panorama indah didukung oleh tumbuhnya karang lunak (soft coral) dalam jumlah yang cukup tinggi dan air yang jernih sehingga merupakan lokasi yang potensial bagi pengembangan wisata. Ditinjau dari persentase penutupan karang hidup tergolong baik dengan persentase tutupan > 50 %. Lokasi takad yang berada pada perairan terbuka menyebabkan arus relatif lebih kuat yang merupakan faktor pendukung bagi kehidupan biota karang. Faktor lain yang mendukung kehidupan terumbu karang menjadi lebih baik adalah sedimentasi rendah yang menyebabkan intensitas penyinaran oleh cahaya matahari berlangsung optimal. Pondok Beji Gili Pekaje Labuan Pekaje Gerisak Pute Labuan Puse Labuan Nyiur Menange Bukal Takat Belanting Serambe Potongili Labuan Kapal Batu Mandi
% Cover karang hidup Dominansi Spesies % non karang
0%
50%
100%
Gambar 16. Persen Tutupan Karang di G.Lawang
Sejak tahun 2003 takad Belanting ditetapkan sebagai kawasan suaka perikanan, namun permasalahan sampai saat ini adalah aktivitas masyarakat dalam melakukan penangkapan ikan pelagis menggunakan pengeboman, sehingga berpengaruh terhadap keberlanjutan terumbu karang di kawasan
86
konservasi. Oleh karena itu perlu dirancang model pemanfaatan atau pengelolaan secara berkelanjutan sehingga tujuan pengembangan wisata sebagai alternatif mata pencaharian masyarakat di lokasi dapat terwujud, akhirnya kegiatan eksploitasi terhadap sumberdaya dapat dikendalikan terutama ikan dan biota lainnya. Daerah-daerah yang telah dikembangkan menjadi kawasan wisata umumnya memiliki kondisi terumbu karang yang lebih baik. Keterlibatan masyarakat lokal dalam menjaga sumberdaya merupakan faktor penentu karena mereka menyadari bahwa nilai keindahan yang dimiliki sumberdaya memiliki nilai jual (ekonomi) yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan jika dieksploitasi secara tradisional, misalnya dengan menangkap ikan atau mengambil batu karang. Selain takad Belanting, kawasan terumbu karang utama berada di sekitar perairan G.Sulat. G.Sulat dengan persentase tutupan karang batu hidup berada dalam kondisi rusak berat sampai sedang (14,33 – 34,66%). Perairan G.Sulat, khususnya di sebelah barat, merupakan lokasi uji coba penempatan terumbu karang buatan yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB tahun 2004. Terumbu karang buatan saat ini telah menunjukkan hasil yang cukup baik. Dari terumbu karang buatan yang berhasil diamati terlihat bahwa terumbu buatan sudah memiliki kondisi yang mirip dengan kondisi substrat yang ada di sekitar, yaitu ditumbuhi berbagai jenis biota karang seperti alga, karang lunak, dan bahkan karang batu. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa terumbu karang buatan ditempatkan secara tidak teratur, tersebar tidak merata dan dengan berbagai macam posisi. Kondisi ini dapat memberikan informasi yang mendasar bagi program pembuatan dan penempatan terumbu karang buatan pada masa yang akan datang. Terumbu karang buatan yang ditempatkan dengan posisi berbeda, memperlihatkan hasil yang berbeda pula. Terumbu karang yang ditempatkan secara telungkup tampak lebih baik jika dibandingkan dengan posisi yang lain, misalnya miring dan tengadah. Beberapa terumbu karang buatan yang ditempatkan secara telungkup dijadikan sebagai habitat persembunyian berbagai jenis ikan karang. Hal ini dimungkinkan karena terumbu karang buatan yang ditempatkan secara telungkup memberikan ruang yang aman sebagai tempat persembunyian ikan dan biota lain yang memerlukan ruang persembunyian.
87
Koko Bele Labuan Belo Penanian Tanjung Ujung
%Cover karang hidup
Tanja Ngukur
Dominansi Spesies
Pegatan 2
non karang
Pegatan 1 Selan 0%
20%
40%
60%
80%
100%
Gambar 17. Persentase Tutupan Karang di Kawasan G.Sulat.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Lombok Timur, kegiatan penambangan karang masih berlangsung di wilayah bagian
utara
Lombok
Timur,
yaitu
Pringgabaya,
Labuhan
Lombok,
Menangabaris, Sambelia dan sekitarnya. Hal ini dapat diindikasikan oleh banyaknya tungku-tungku pembakaran kapur dari karang yang masih aktif sehingg akan berdampak pada keberlajutan ekosistem terumbu karang yang ada di kawasan konservasi. 4.3.3.3. Komposisi Spesies dan Kelimpahan Ikan Karang Ikan karang adalah salah satu komponen utama penyusun ekosistem terumbu karang yang sangat penting sebagai sumber protein hewani bagi kehidupan manusia. Keberadaan beribu-ribu spesies ikan yang ada diterumbu karang menyebabkan ekosistem ini merupakan salah satu ekosistem yang memiliki kekayaan jenis paling tinggi di muka bumi ini (Hutomo, 1987). Keberadaan ikan karang di terumbu karang erat kaitannya dengan kondisi fisik terumbu karang tersebut. Persentase penutupan karang hidup yang berbedabeda akan mempengaruhi densitas ikan karang, terutama yang memiliki keterkaitan kuat dengan karang hidup (Chabanet et al. 1997). Hasil pengamatan terhadap komposisi jenis ikan karang bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain dan antara musim dengan musim. Hal ini disebabkan karena ikan karang merupakan organisme yang aktif bergerak dan keberadaannya pada suatu habitat tergantung pada berbagai faktor, misalnya
88
kondisi habitat dan waktu. Penyebaran spesies ikan di terumbu karang mempunyai kaitan erat dengan beberapa faktor, yaitu kondisi yang kompleks dari substrat, ketersediaan makanan, aliran arus dan kualitas air, kondisi gelombang, ketersediaan tempat persembunyian, penutupan karang hidup (Williams 1991), kompetisi dan predasi (termasuk oleh manusia) (Chabanet et al. 1997). Jka salah satu faktor penting di atas tidak sama maka sebagai organisma yang bersifat mobil, ikan-ikan karang akan bergerak ke tempat lain sehingga kelimpahannya di suatu lokasi juga akan berubah. Tabel 19. Tingkat keanekaragaman ikan karang di perairan G.Sulat-G.Lawang No
Lokasi
1
Takad Belanting Pedamekan
2
Takad Belanting / G. Sulat
Jumlah Famili Spesies dan
19
46
Tingkat Keanekaraga man (H’) 2,31 – 2,42
13
40
2,85 – 2,53
Sumber Karnan et al. 2009 Hasil kajian (2010)
Komposisi jenis ikan yang dijumpai terdiri dari 3 (tiga) kelompok besar yaitu ikan target atau kelompok ikan yang memiliki kontribusi penting dalam kegiatan perikanan yaitu kakatua (Scaridae), baronang (Siganidae), Botana (Acanthuridae), Keling (Labridae), dan kambing-kambing (Mullidae). Dalam penelitian ini, jenis-jenis ikan target yang ditemukan populasinya tidak terlalu menonjol.
Selain itu, satu famili dikenal sebagai ikan indikator
yaitu
Chaetodontidae (ikan kepe-kepe). Ikan ini telah banyak digunakan untuk menggambarkan kondisi terumbu karang. Dalam peneliltian kali ini, ikan yang termasuk dalam kategori ini dijumpai hampir di semua titik pengamatan. Jika dalam suatu kawasan terumbu katang banyak dijumpai ikan indikator ini, maka dapat menjadi indikasi bahwa terumbu karang di lokasi tersebut dalam kondisi yang baik. Di lokasi penelitian juga dijumpai ada kelompok ikan yang belum banyak diketahui peranannya kecuali dalam rantai makanan seperti pemakan plankton, pemakan alga, pemakan ikan, pemakan karang, dan sebagainya, misalnya ikan dari famili Pomacentridae, memiliki populasi yang sangat banyak dan ukuran tubuhnya relatif kecil. Kemunculan berbagai jenis ikan dengan warna yang sangat bervariasi menambah keindahan bawah air, sehingga merupakan aset yang bernilai
89
ekonomis tinggi. Beberapa jenis ikan terumbu karang diakui bahwa secara ekonomis tidak memiliki nilai yang tinggi untuk dikonsumsi, namun secara estetika nilainya sangat tinggi seperti ikan dari kelompok Pomachantidae, Chaetodontidae, dan Pomacentridae. Dari segi ukurannya ketiga kelompok ikan ini berukuran relatif kecil. Namun karena ukurannya yang kecil, warna kulitnya terang dan sangat bervariasi, dan umumnya dijumpai dalam jumlah besar (khususnya Pomacentridae), maka ketiga kelompok ikan terumbu karang ini seringkali menjadi sasaran yang diburu oleh para kolektor ikan hias. Pemburu ikan hias merupakan musuh utama bagi ikan-ikan jenis ini karena sampai saat ini belum ada aturan yang tegas yang mengatur tata cara penangkapan dan perniagaan sumber daya ini. Di samping sebagai penghasil ikan konsumsi, diperkirakan bahwa perairan Indonesia merupakan daerah terkaya akan jenisjenis ikan hias lautnya dibandingkan dengan beberapa negara penghasil ikan hias lainnya seperti Puerto Rico, Hawaii, Singapura, Filipina, Thailand, Srilanka, Kenya dan Ethiopia. Indonesia sendiri memiliki lebih kurang 253 jenis ikan hias laut (Kvalvagnes 1980). Komposisi jenis dan kelimpahan ikan terumbu karang di beberapa titik pengamatan relatif rendah. Upaya tangkap lebih dan penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan telah memicu semakin menurunnya stok sumberdaya. Mengingat sumberdaya terumbu karang merupakan salah satu sumberdaya strategis, maka upaya-upaya pemanfaatan secara berkelanjutan sangat perlu dilakukan. Hal ini dapat dilakuakn melalui pola pengelolaan secara terpadu antara pihak masyarakat sebagai pengguna langsung dengan stakeholders terkait lainnya. 4.3.4. Faktor - faktor penyebab kerusakan terumbu karang Hasil pengamatan kondisi fisik sumberdaya terumbu karang yang ada di Zona
Inti
KKLD
G.Sulat-G.Lawang
menunjukkan
kondisi
yang
sangat
mengkhawatirkan. Ini dapat dilihat pada bagian barat G.Sulat maupun G.Lawang, sedangkan pada bagian antara dua Gili tersebut, utara G.Lawang dan selatan G.Sulat, timur G.Lawang dan G.Sulat secara umum kondisi fisik terumbu karang masih baik. Secara umum kondisi fisik hutan mangrove masih baik, baik di G.Lawang maupun G.Sulat. Kerusakan terumbu karang di beberapa stasiun pengamatan
disebabkan
oleh
berbagai
faktor
diantaranya
sedimentasi,
penangkapan dengan bahan peledak, aliran drainase, penangkapan ikan dengan
90
sianida, pengumpulan dan pengerukan, pencemaran air, pengelolaan tempat rekreasi, dan pemanasan global. Dari faktor-faktor yang disebutkan ini maka faktor penangkapan ikan dengan bahan peledak dan pengumpulan karang untuk dijadikan bahan bangunan merupakan yang paling dominan. Hal ini dapat dilihat pada bagian utara perairan Lombok Timur, khususnya di kecamatan Pringgabaya, Labuhan Lombok dan Sambelia masyarakat masih aktif melakukan penambangan karang karena alasan ekonomi. Penerapan aturan-aturan pelarangan perusakan karang dalam bentuk awig-awig telah dilakukan, namun belum berjalan secara efektif, sehingga pelanggaran terhadap pemanfaatan sumberdaya masih terjadi. 4.5. Pengembangan Pariwisata Menurut Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (2003) bahwa rencana detail tata ruang KKLD G.Sulat-G.Lawang terdapat salah satu yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan rekreasi Areal ini meliputi daerah dataran pesisir
dan laut.
Pengembangan pemanfaatan ini dapat dilakukan didaerah utara G.Lawang dan sekitarnya. Berbagai macam atraksi wisata yang dapat diperkenalkan dan dijual di KKLD ini adalah keindahan alam laut dan sumberdaya hutan mangrove, terumbu karang, aneka jenis satwa di hutan mangrove di G.Sulat. Aktivitas pariwisata di KKLD G.Sulat masih terbatas, bersifat insidental dan terbatas pada kegiatan penelitian. Kunjungan wisatawan mancanegara juga terbatas baik jumlah maupun lama waktu kunjungan ke obyek wisata di kawasan sekitar G.Sulat-G,Lawang. Wisatawan umumnya merupakan paket wisata travel skala internasional, meliputi Pulau Bali - Pulau Lombok (Mataram, Senggigi), - ke G.Matra (G. Air, G.Meno, dan G.Terawangan). Sebelum menuju obyek wisata Pulau Satonda Kabupaten Dompu wisatawan rata-rata tiga jam menikmati indahnya terumbu karang, hutan mangrove dan padang lamun yang berada di KKLD Gi.Sulat-G.Lawang. Secara umum kegiatan wisata di KKLD G.SulatG.Lawang masih terbatas pada pengunjung masyarakat lokal tanpa menginap dan aktivitas wisata lainnya. Rendahnya aktivitas wisata ini di akibatkan oleh masih terbatasnya sarana dan prasarana pendukung pariwisata seperti hotel, transportasi
darat,
transportasi
laut,
dan
lainnya.
Berbagai
rencana
pengembangan aktivitas pariwisata ke depan meliputi pembangunan kolam renang, pengembangan rumah masyarakat sebagai home stay (pondok wisata),
91
perbaikan prasarana jalan, sarana transportasi baik darat maupun laut dan sarana serta prasarana pendukung lainnya telah dituangkan dalam rencana pengelolaan KKLD G.Sulat-G.Lawang. Dari aspek kelembagaan telah terbentuk kelompok kerja pengelola pantai yaitu komunitas dua pulau. Salah satu daya tarik wisatawan di KKLD G.Sulat-G.Lawang adalah adanya terumbu karang yang masih baik dan hutan mangrove yang masih alami dapat
menarik
minat
wisatawan
untuk
menikmati
keindahan
alamnya.
Pengunjung dapat menyelam, menikmati hutan mangrove dan pantai pasir putih serta adanya marga satwa yang dapat dilihat sepanjang pantai G.SulatG.Lawang. Namun demikian keindahan alam KKLD G.Sulat-G.Lawang belum optimal dikunjungi oleh wisatawan baik wisman maupun wisnu. Menurut hasil survey bahwa wisatawan masih jarang berkunjung ke KKLD G.Sulat-G.Lawang mengingat rendahnya promosi, kurangnya sarana dan prasarana tansportasi laut,darat dan terbatasnya penginapan yang layak sebagai penunjang pariwisata. Kondisi transportasi laut yang menghubungkan Pulau Lombok dengan G.Sulat-G.Lawang masih didominasi oleh perahu tradisional, dua perahu untuk pengamanan KKLD G.Sulat-G.Lawang yang keduanya dalam kondisi kurang terawat. Kondisi jalan yang menghubungkan Lombok Barat dan Lombok Timur menuju KKLD G.Sulat-G.Lawang umumnya sudah memadai, akan tetapi fasilitas jalan masuk ke pantai Desa Sugian yang menjadi embrio pelabuhan sandaran perahu yang akan menuju KKLD G.Sulat-G.Lawang dalam kondisi rusak. Hasil survey menunjukkan sebagian besar wisatawan adalah pria (85%) berasal dari berbagai wilayah. Usia antara 20 – 40 tahun (70%), 15-19 tahun (14%) dan >40 tahun (16%). 90% wisatawan berkunjung secara berkelompok dengan tujuan rekreasi(76%), berpertualang (18%) dan penelitian (6%). Sebagian besar wisatawan berkunjung ke lokasi lebih dari satu kali dan menyatakan obyek wisata memiliki bentang alam yang cukup indah (81%). 19% menyatakan baru satu kali. 52% responden bersedia membayar lebih dan 43 % tidak bersedia membayar lebih, sisanya 5% tidak menjawab. Tingkat pendidikan 46% tamat SLTA dan 37% Perguruan Tinggi, dan 17% tamat SLTP dan SD. Mahasiswa (52%), pegawai negeri (32%) dan wiraswasta (10%). 38% memiliki penghasilan kurang dari Rp. 1.000.000, 42% memiliki penghasilan antara Rp 1.000.000–Rp. 2.000.000 per bulan dan sisanya 20% memiliki penghasilan diatas Rp. 2.000.000 per bulan.
92
5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1.Kesesuaian G.Sulat - G.Lawang sebagai KKLD G.Sulat-G.Lawang merupakan pulau sangat kecil memiliki luas 1 299 hektar dengan perairan yang karena kondisi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan dimanfaatkan secara khusus baik secara individu maupun statusnya dalam gugus pulau. Ekosistem di kawasan ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, rentan terhadap gangguan atau perubahan dan hanya dapat mentolerir sangat sedikit aktivitas manusia, sehingga dalam pengelolaannya memerlukan
proses
perencanaan
yang
tepat.
Berdasarkan
potensi
keanekaragaman hayati pulau-pulau kecil, diperlukan kriteria penetapan kawasan konservasi sesuai karakteristik lokal dengan pertimbangan kriteriakriteria tertentu. Langkah awal yang harus dilakukan adalah melakukan penataan ruang dan penyusunan zonasi perairannya. Faktor penentu keberhasilan penzonasian suatu kawasan adalah apabila penyusunan zonasi dilakukan dengan pertimbangan kriteria ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan (Salm et al 2000). Kriteria penetapan zonasi ekosistem dibagi dalam dua kategori yaitu kriteria pendukung dan kriteria pembatas. Kriteria pendukung kawasan konservasi terumbu karang adalah luas tutupan karang (coral cover), keanekaragaman jenis (coral diversity), keunikan hábitat, kealamian, aksesibilitas, kelangkaan jenis dan konektifitas dengan kawasan lain yang berdekatan. Sedangkan kriteria pembatasnya adalah aktifitas manusia, keamanan/keselamatan dan pencemaran. Konservasi mangrove ditetapkan berdasarkan persen tutupan basal atau ketebalan, kerapatan, jenis dan luasan mangrove, sedangkan konservasi lamun, ditetapkan berdasarkan persentase luas area kerusakan dan luas tutupan hidup. Analisis kesesuaian KKLD G.Sulat-G.Lawang dengan mempertimbangkan berbagai aspek, penting dilakukan agar tujuan pembangunan kawasan konservasi secara berkelanjutan dapat terwujud. Pemenuhan parameter ekologi, ekonomi dan sosial bertujuan untuk : (1) Mendesain pengelolaan kawasan dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya; (2) Memelihara fungsi ekologis dengan melindungi habitat hidup, tempat bertelur dan memijah biota laut, dan (3) memelihara fungsi ekonomis kawasan sehingga tercapai kelestarian sumberdaya dan produksi perikanan yang akan meningkatkan pendapatan, baik dari produksi perikanan tangkap maupun ekowisata.
93
Kondisi Ekosistem atau sumberdaya di kawasan konservasi G.SulatG.Lawang dapat dilihat pada Gambar 18, 19 dan 20.
Gambar 18. Sebaran Terumbu Karang di KKLD G.Sulat-G.Lawang.
Berdasarkan kriteria ekologi, stasiun Poto Gili, Pondok Kecil, Pegatan I dan stasiun Pegatan II memiliki nilai 31. Stasiun Luar Gili, Pekaje dan stasiun Luar Gili IV memiliki nilai 20. Berdasarkan kriteria ekonomi hampir semua stasiun memiliki nilai 8 – 9. Sedangkan kriteria sosial semua stasiun memiliki nilai 22, dan kriteria kelembagaan semua stasiun memiliki nilai 9. Secara keseluruhan stasiun Poto Gili, Pondok Kecil, Pegatan I, Landi dan stasiun Tanjak Mukur memiliki nilai total tertinggi yaitu 71 atau 81,60 %. Sedangkan nilai terendah pada
94
stasiun Luar Gili IV memiliki nilai 58 atau 66,66%. Stasiun Luar Gili, stasiun Pekaje dan stasiun Menanga todak memiliki nilai 59 atau 67,81%.
Gambar 19. Sebaran Mangrove di KKLD G.Sulat-G.Lawang.
Hasil analisis kriteria kesesuaian KKLD G.Sulat-G.Lawang terdiri atas kriteria ekologi yaitu : 1. Keanekaragaman hayati, memenuhi persyararatan kriteria kesesuaian karena keberadaan mangrove, terumbu karang, lamun dan laguna. Life form karang di G.Sulat-G.Lawang >70%, spesies ikan karang > 125 spesies, spesies lamun > 5 spesies dan spesies mangrove lebih dari 6 spesies. 2. Kealamian pulau, berkaitan dengan persen tutupan karang 60 – 90%, dibeberapa lokasi dalam kondisi rusak dengan tutupan karang < 30%.
95
3. Keunikan pulau dan kerentanan pulau juga memiliki skor cukup tinggi karena kedua pulau memiliki keunikan tersendiri sebagai pulau yang tak berpenduduk dan seluruh arealnya ditutupi vegetasi mangrove yang cukup padat.
Gambar 20. Kondisi Sumberdaya Lamun di KKLD G.Sulat-G.Lawang.
4. Keterkaitan antar pulau, kedua pulau merupakan gugusan pulau-pulau disekitarnya terdapat G.Lampu, G.Petagan, G.Prama dan lain-lain. Kriteria
ekonomi
meliputi
keberadaan
spesies
penting,
potensi
pengembangan perikanan relatif besar, ancaman hampir tidak ada, sangat berpotensi untuk pengembangan ekowisata dilihat dari kondisi mangrove, terumbu karang dan lamun serta perairan yang masih baik, dukungan
96
masyarakat lokal dan komunitas lainnya, aksesibilitas relatif mudah serta lokasi kawasan merupakan obyek penelitian dan pendidikan. Kriteria kelembagaan yaitu dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah, keberadaan lembaga sosial dalam komunitas sekitar kawasan serta dukungan infrastruktur sosial. Sedangkan kriteria pembatasnya yaitu konflik antar nelayan pemancing dengan nelayan bagang dan pemanah yang melakukan penangkapan dengan cara tidak ramah lingkungan sehingga berdampak pada keberlanjutan ekosistem atau sumberdaya di kawasan konservasi.
5.2. Penataan Zona KKLD G.Sulat - G.Lawang Arahan pengelolaan G.Sulat-G.Lawang sesuai RP-KKLD tahun 2004 membagi zona menjadi zona inti dan zona penyangga seperti Gambar 21. Hampir seluruh kawasan perairan ditetapkan sebagai zona inti, dimana masyarakat sekitar sangat bergantung pada sumberdaya secara turun temurun. Hal ini berimplikasi pada pengelolaan yang kurang efektif karena tidak mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar, sehingga pemanfaatan kawasan dilakukan tanpa memperhatikan batas zona.
Gambar 21. Zona Kawasan KKLD G.Sulat-G.Lawang Tahun 2004
97
Kondisi ini bertentangan dengan tujuan konservasi seperti tertuang dalam Permen 17 tahun 2008 bahwa dalam menetapkan zona kawasan konservasi dilakukan berdasarkan pada : tujuan pembentukan kawasan konservasi, nilai kepentingan konservasi pada level ekosistem, nilai kepentingan konservasi pada level jenis, nilai kepentingan sosial, ekonomi dan budaya serta tingkat luasan kawasan konservasi dalam melindungi plasma nutfah dan interkoneksitas ekologis dari populasi, spesies dan komunitas. Penataan zona KKLD G.Sulat-G.Lawang didasarkan pada kebutuhan pengelolaan kawasan konservasi yang efektif dan dijadikan sebagai bahan revisi Dokumen Rencana Pengelolaan, sehingga kelestarian sumberdaya dapat terjaga dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Penentuan zona KKLD G.Sulat-G.Lawang dilakukan dengan menggunakan persentase total skor kriteria yang diperoleh dengan membandingkan total skor masing-masing kriteria dengan total skor keseluruhan dikali 100 persen. Dengan menggunakan teknik interval skor, zona kawasan konservasi dibagi tiga (3) zona yaitu : a. Zona inti memiliki interval skor ≥ 80% berada pada stasiun Poto Gili, stasiun Pondok Kecil, stasiun Pegatan I, stasiun Landi dan stasiun Tanjak Mukur dengan luas 193,83 hektar atau 44, 02 % dari luas terumbu karang dan lamun yang ada didalam kawasan. b. Zona Pemanfaatan Terbatas memiliki interval skor 68 % - 80% berada pada stasiun Pondok Jaya, Selang, Batu Mandi I, Batu Mandi II, Menanga Kapal, Pegatan II, Luar Gili I, Luar Gili II, Luar Gili III dan Kampir Bier dengan luas 143,33 atau 32,55 % terdiri dari 108 hektar terumbu karang dan 35,43 hektar lamun. c. Zona Lainnya memiliki interval skor < 67% berada pada stasiun Luar Gili, stasiun Pekaje, stasiun Menanga Todak, stasiun Luar Gili IV dan stasiun Panaean dengan luas 1.819,11 terdiri dari zona rehabilitasi terumbu karang 93,11 hektar dan perairan lainnya 1.726 hektar. Untuk
kawasan
mangrove
seluas
1010,65
diarahkan
pada
zona
perlindungan 987,6 hektar dan pemanfaatan terbatas untuk pengembangan wisata seluas 23,05 hektar yang dimanfaatkan sebagai sarana wisata berupa jembatan (walkboad) dalam kawasan mangrove.
98
5.2.1. Kesesuaian Zona Inti
Gambar 22. Lokasi Zona Inti KKLD G.Sulat-G.Lawang Tahun 2010
Berdasarkan
hasil
analisis
kesesuaian
dengan
Sistem
Informasi
Geografis menggunakan software Arc View Ver.3.3, diperoleh luas perairan yang sesuai untuk zona inti adalah 143,33 hektar (32,55 % dari total luas terumbu karang dan lamun) terdiri dari 108 hektar terumbu karang dan 35,43 hektar lamun. Hasil penataan zona inti berdasarkan kriteria kesesuaian, diharapkan keberadaan ekosistem terumbu karang dan lamun beserta biotanya akan terjaga sehingga dapat menjadi lumbung proses terjadinya perkembangbiakan berbagai spesies ikan karang seperti jenis ikan target famili Lutjanidae (kakap), Lethrinidae, Scaridae (kaka tua), Labridae, Serranidae (kerapu) Acanthuridae dan Siganidae.
99
5.2.2. Kesesuaian Zona Pemanfaatan Terbatas Zona pemanfaatan terbatas diperuntukkan bagi perlindungan habitat dan populasi sumberdaya ikan dan lingkungannya, untuk kegiatan ekowisata, kegiatan budidaya laut
dan perikanan tradisonal serta penelitian dan
pengembangan, dan/atau pendidikan.
Gambar 23. Zona Pemanfaatan Terbatas KKLD G.Sulat-G.Lawang
Berdasarkan hasil analisis, luas zona pemanfaatan terbatas adalah 143,33 (32,55%) terdiri dari 108 hektar terumbu karang dan 35,43 hektar lamun. Zona pemanfaatan terbatas memiliki nilai konservasi tertentu, namun dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan yang layak dan diijinkan dalam kawasan konservasi. Oleh karena itu dalam memanfaatkan kawasan harus mempertimbangkan daya
100
dukung lingkungan. Aktivitas yang diijinkan adalah penelitian, pendidikan, rekreasi dan perikanan tradisional, sedangkan yang tidak diboleh dilakukan adalah penggunaan bom dan sianida untuk penangkapan ikan dan penebaran jaring dengan perahu motor di perairan sekitar terumbu karang. 5.2.3. Kesesuaian Zona Lainnya. Zona lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi, zona perikanan berkelanjutan, dan sebagainya.
Gambar 24. Lokasi Zona Rehabilitasi KKLD G.Sulat-G.Lawang
101
Hasil analisis diperoleh bahwa luasan untuk zona lainnya adalah 1.819,11 hektar terdiri dari zona rehabilitasi terumbu karang 93,11 hektar dan perairan lainnya 1.726 hektar.
Gambar 25. Lokasi Zona Perairan Lainnya KKLD G.Sulat-G.Lawang
Zona Lainnya merupakan zona diluar zona inti, zona pemanfaatan terbatas yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu antara lain zona rehabilitasi, zona perikanan berkelanjutan, dan sebagainya. Kategori Zona Pemanfaatan khusus ini memiliki nilai perhitungan < 50%.
102
Kawasan mangrove seluas 1010,65 diarahkan pada zona perlindungan 987,6 hektar dan pemanfaatan terbatas untuk kegiatan wisata mangrove seluas 23,05 hektar untuk lokasi penataan walkboad di dalam kawasan mangrove.
Gambar 26. Lokasi Zona Perlindungan KKLD G.Sulat-G.Lawang
kawasan mangrove di kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang diarahkan untuk zona perlindungan karena kawasan ini merupakan hutan indung yang telah dikukuhkan oleh Menteri Kehutanan. Apabila pengelolaan kawasan mangrove diarahkan untuk pengembangan ekowisata, maka Pemerintah daerah harus mengajukan ijin pemanfaatan kepada Menteri Kehutanan dengan syarat tidak diperbolehkan mrubah bentang alam didalam kawasan mangrove.
103
Hasil penataan zona KKLD G.Sulat-G.Lawang seperti Gambar 27 berikut :
Gambar 27. Hasil Penataan Zona KKLD G.Sulat-G.Lawang Tahun 2010
5.3.Analisis Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan digunakan untuk menilai kesesuaian lahan untuk aktivitas tertentu yang didasarkan pada kriteria hasil studi literatur yang telah disesuaikan dengan karakteristik kondisi alam dan lingkungan di wilayah kajian. Hasil analisis kesesuaian lahan dalam kajian ini merupakan hasil analisis kesesuaian lahan secara eksisting.
104
5.3.1
Kesesuaian Lahan untuk Perikanan Karang Berdasarkan hasil analisis kesesuaian, diperoleh ruang dengan tiga kelas
kesesuaian, yaitu status sesuai seluas 262,83 hektar, sesuai bersyarat 93,11 hektar, dan tidak sesuai 42,71 hektar seperti pada gambar berikut :
PETA KESESUAIAN PERIKANAN KARANG KKLD G.SULAT-G.LAWANG
Gambar 28. Kesesuaian Perikanan Karang di KKLD G.Sulat-G.Lawang
Kerusakan terumbu karang akan berdampak pada berkurangnya jenis life form dan jenis ikan karang, sehingga kelimpahan ikan karang menjadi relatif kecil. Areal ini dapat ditingkatkan menjadi sesuai apabila dilakukan perbaikan habitat berupa rehabilitasi karang. Mengingat wilayah tersebut merupakan
105
kawasan konservasi, alat tangkap untuk ikan karang yang direkomendasikan adalah alat tangkap tradisional seperti pancing dan jaring insang. Ikan karang hidup pada ekosistem terumbu karang, berfungsi sebagai ikan indikator yaitu sebagai penentu kondisi terumbu karang, karena ikan karang erat
hubungannya dengan kesuburan karang (kepe-kepe)
Chaetodontidae
dan
ikan
target
seperti ikan dari Famili yaitu
merupakan
target
penangkapan dikenal dengan ikan ekonomis penting atau ikan konsumsi (Terangi 2004). Kesesuaian lahan untuk perikanan karang dianalisis dengan persyaratan kedalaman perairan,topografi dasar perairan, kecerahan, perubahan cuaca, kondisi terumbu karang, pencemaran dan kelimpahan ikan target. Kecepatan arus di perairan Sambelia pada musim Timur berkisar antara 0.104-0.566 m/detik, sedangkan kecerahan perairan tergolong sangat tinggi, yakni berkisar antara 0.2-2.98 m. Secara
ekologi
perkembangan ikan karang disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain : (1) mobilitas dan ukuran ikan, umumnya tidak berpindah-pindah (sedentary) dan berukuran kecil, (2) aksesibilitas (mudah dicapai) yaitu perairannya relatif dangkal, berada di lingkungan yang hangat dan jernih dibandingkan dengan perairan yang lain, (3) skala pemanfaatan ruang
yaitu ikan karang baik larva
maupun dewasanya hidup di perairan yang dangkal, dekat dengan substrat yang solid dan dekat dengan daratan (Suharti 2005). 5.3.3. Kesesuaian Lahan untuk Wisata Selam dan Snorkeling Kegiatan wisata bahari yang dapat dilakukan di G.Sulat-G.Lawang adalah menyelam dan snorkeling. Wisata selam merupakan bentuk pemanfaatan sumberdaya alam bawah laut dan dinamika air lautnya untuk kepuasan manusia yang dikembangkan dengan pendekatan konservasi laut. Daya tarik kegiatan wisata selam adalah terumbu karang yang masih baik serta keberadaan ikan di sekitar terumbu karang yang beragam jenisnya. Kesesuaian perairan untuk wisata bahari berdasarkan pertimbangan parameter kesesuaian (Bengen, 2002) seperti: kecerahan perairan, jenis terumbu karang (jumlah jenis), jenis ikan karang (jumlah jenis), kecepatan arus, kedalaman perairan, dan substrat dasar. Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa untuk pengembangan wisata selam dan snorkeling diperoleh luas ruang dengan 3 (tiga) kelas kesesuaian
106
meliputi kelas sesuai seluas 262,83 hektar,
sesuai bersyarat seluas 93,11
hektar dan tidak sesuai seluas 42,71 hektar. Ruang dengan kategori sesuai bersyarat dialokasikan untuk zona rehabilitasi disebabkan karena kerusakan karang akibat aktivitas pemanfaatan areal dengan menggunakan bom, sehingga tutupan karang menjadi relatif kecil (<30%). Dari enam parameter kesesuaian, hanya 2 parameter ekologi yang memenuhi persyaratan kesesuaian yakni kecerahan dan kedalaman air, sementara tutupan terumbu karang, genus karang dan jenis life form kurang memenuhi persyaratan. Kategori sesuai bersyarat dapat ditingkatkan kelasnya menjadi sesuai jika dilakukan upaya rehabilitasi sehingga dapat dinaikkan levelnya menjadi sesuai bagi peruntukan wisata selam dan snorkeling.
Gambar 29. Kesesuaian Wisata Selam di KKLD G.Sulat-G.Lawang
107
Lokasi yang sesuai untuk kegiatan selam adalah di utara dan timur G.Lawang dan di utara dan barat G.Sulat dengan kondisi karang masih baik yaitu tutupan karang hidup sekitar 70%, namun lokasi ini direkomendasikan untuk wisata selam khusus karena arus pada stasiun tersebut cukup kuat sehingga tidak seluruh penyelam memiliki minat untuk melakukan penyelaman pada kondisi alam yang demikian. Kondisi ini sesuai apa yang dikemukakan oleh Davis and Tisdell (1995), bahwa salah satu alasan turis untuk melakukan kegiatan wisata selam adalah ketertarikan akan keunikan di bawah laut secara khusus seperti formasi geologi dan kehidupan bawah laut. Terdapat delapan stasiun pengamatan di G.Sulat yang dianalisis kesesuaiannya sebagai lokasi wisata selam. Empat stasiun dengan status sesuai, empat stasiun dengan status sesuai bersyarat. Stasiun dengan status sesuai didominasi oleh kealamiahan terumbu karang, tutupan karang serta kualitas perairan. Kecerahan perairan sangat mendukung untuk kegiatan selam, yaitu mencapai 100%. Jenis ikan yang ditemukan di sekitar terumbu karang terdiri ikan indikator seperti famili Chaetodontidae, jenis ikan target seperti dari famili Siganidae, dan jenis ikan mayor seperti dari famili Pomacentridae. Kecepatan arus 13 - 40 cm/det. Kedalaman perairan pada lokasi berkisar antara 5-20 m walaupun ada beberapa lokasi yang memiliki kedalaman lebih dari 20 m berdasarkan peta bathimetri yang ada. Kondisi perairan yang demikian sangat sesuai untuk pengembangan wisata bahari. Disamping kecerahan perairan, kecepatan arus juga sangat menentukan kegiatan wisata selam maupun untuk ekologi terumbu karang. Menurut Jokiel dan Morrissey (1993), pergerakan arus mempengaruhi struktur komunitas dan distribusi jenis karang suatu daerah. Secara keseluruhan kondisi terumbu karang di daerah yang terbuka persentase tutupan karang relatif rendah. Arus yang kuat berkorelasi dengan meningkatnya perpindahan pecahan-pecahan karang yang dapat mengganggu proses pemulihan karang. Selain itu kecepatan arus merupakan faktor yang berhubungan dengan keselamatan penyelam. Salah satu indikator kesehatan suatu perairan adalah keberadaan terumbu karang dengan persentase tutupan karang relatif tinggi. Kategori untuk mengukur persentase penutupan karang yang sering digunakan adalah mengacu pada konsep Gomes dan Yap (1998) dengan kategori 0 – 24,9 % maka tergolong buruk, 25 – 49,9 % adalah sedang, 50 – 74,9 % adalah baik, dan 75 – 100 % adalah baik sekali.
108
Parameter yang terkait dengan obyek terumbu karang memiliki bobot tertinggi karena faktor-faktor tersebut merupakan daya tarik utama kegiatan wisata selam, sementara persyaratan lainnya berperan dalam menunjang kesehatan ekosistem terumbu karang. Hasil kesesuaian wisata selam sangat berguna untuk menentukan destinasi penyelaman, sehingga para pemandu wisata dan wisatawan dapat melakukan perencanaan berwisata secara tepat. 5.3.4. Kesesuaian Lahan untuk Wisata Mangrove Jenis obyek wisata yang dimanfaatkan dalam kegiatan wisata mangrove yakni vegetasi mangrove, satwa (burung) dan biota menarik lainnya.
Gambar 30. Kesesuaian Wisata Mangrove di KKLD Gili Sulat-Gili Lawang
109
Kondisi mangrove disebagian besar stasiun pengamatan menunjukkan kategori sesuai untuk pengembangan wisata mangrove, kecuali stasiun luar Gili IV, stasiun Panaean dan stasiun Tanjak Mukur termasuk kategori sesuai bersyarat karena kondisi mangrove yang mengalami tekanan terutama di bagian utara sisi luar pulau akibat aktivitas penebangan mangrove karena letak areal yang sulit dikontrol, berbeda dengan kondisi mangrove di sebelah selatan pulau masih baik karena dalam pengawasan masyarakat. Hasil analsis kesesuaian untuk wisata mangrove diperoleh ruang dengan 3 (tiga) kategori kesesuaian yaitu kelas sesuai seluas 966,85 hektar, kelas sesuai bersyarat 54,20 hektar dan tidak sesuai seluas 101,74 hektar. Hasil analisis kesesuaian untuk pengembangan wisata mangrove seperti pada Gambar 30. Hasil pengamatan lapangan menggambarkan bahwa mangrove di stasiun Landi dan stasiun Pegatan 1 memiliki nilai atau potensi paling besar dibanding stasiun lainnya, karena kondisi mangrove dengan kerapatan yang paling tinggi dan ditunjang oleh keberadaan infrastruktur penunjang wisata mangrove berupa jembatan kayu sepanjang 350 meter (dibangun oleh JICA) yang dijadikan sebagai wahana kegiatan tracking di G.Sulat. Akibat pengelolaan yang kurang baik, kondisi jembatan saat ini dalam kondisi rusak. 5.4. Analisis Daya Dukung Lingkungan Daya dukung Lingkungan dalam penelitian ini merupakan jumlah maksimum aktivitas yang dapat ditolelir oleh kawasan dalam waktu tertentu tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya alam. Mengingat G.Sulat-G.Lawang merupakan kawasan konservasi, setiap aktivitas yang dilakukan tidak bersifat mass activity, ruang pemanfaatan terbatas, sehingga penentuan daya dukung kawasan harus mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Konsep inilah yang digunakan dalam menghitung daya dukung kawasan G.Sulat-G.Lawang. Dasar kajian pemanfaatan ruang menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan perikanan dan pariwisata alam di zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam, maka areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10% dari luas zona pemanfaatan. Luas zona pemanfaatan terbatas menggunakan hasil analisis kesesuaian kawasan untuk berbagai pemanfaatan. Beberapa nilai yang dipakai dalam kajian DDK ini disesuaikan dengan kondisi dan persepsi masyarakat serta pelaku wisata di
110
lokasi
penelitian
seperti
jumlah
masyarakat
yang
beraktivitas,
luasan
pengembangan perikanan karang serta rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam dan mangrove. 5.4.1. Daya Dukung Lahan untuk Perikanan Karang Daya dukung terumbu karang adalah kemampuan alami terumbu karang untuk mendukung kehidupan organisme, yaitu berdasarkan nilai biomasa baik tumbuhan maupun hewan dari tingkat terendah (produsen) sampai pada tingkat tertinggi (karnivora) pada satuan luas terumbu karang. Keberadaan ekosistem terumbu karang dapat menunjang berbagai kehidupan komponen organisme, salah satunya adalah komunitas ikan karang yang merupakan organisme target tangkapan nelayan. Penurunan prosentase tutupan karang menyebabkan berkurangnya keanekaragaman ikan karang, baik di area tertutup maupun area terbuka bagi penangkapan ikan. Dengan demikian meningkatnya persentase tutupan
karang
yang
sehat
menjamin
keberadaan
dan
mendukung
keanekaragaman ikan karang. Potensi ikan terumbu karang dapat mencapai 10-30 ton/km²/tahun (Yulianda et al. 2009). Dengan kondisi tutupan karang yang mencapai rata-rata 70 % dengan luas kesesuaian untuk perikanan karang seluas 108 hektar atau 1,08 km², berdasarkan dugaan tersebut, maka ikan karang yang dapat diperoleh berdasarkan daya dukung karang (0,7 x 108 ha = 75,6 hektar) atau 0,756 km² adalah sebesar 15.120 kg/tahun. Apabila nelayan dalam satu bulan menangkap ikan selama 14 hari, maka rata-rata ikan yang boleh ditangkap adalah 90 kg/hari. 5.4.2. Daya Dukung Lahan untuk Ekowisata Bahari Daya dukung ekologi dalam penelitian ini merupakan jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditolelir oleh kawasan untuk waktu tertentu tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya wisata. G.Sulat-G.Lawang merupakan kawasan konservasi, maka kegiatan wisata tidak bersifat mass tourism, ruang pengunjung sangat terbatas sehingga penentuan daya dukung kawasan mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Hasil analisis menunjukkan luasan yang sesuai untuk wisata selam adalah 262,83 ha. Namun dialokasikan untuk zona inti seluas 158,83 ha, maka kawasan yang bisa dilakukan untuk pengembangan wisata selam seluas 108 ha. Jika mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 1994 tentang pengusahaan ekowisata di
111
zona pemanfaatan taman nasional dan taman wisata alam, maka areal yang diizinkan untuk dikelola yakni 10% dari luas zona pemanfaatan, sehingga luas yang dapat dimanfaatkan untuk wisata selam adalah 10,8 hektar. Yulianda (2007) mengemukakan bahwa wisata selam harus mempertimbangkan kondisi komunitas karang, karena persen tutupan karang menggambarkan kondisi dan daya dukung karang. Jika kondisi komunitas karang memiliki tutupan karang 70%, maka luas areal selam yang dapat dimanfaatkan adalah 70 % dari luas hamparan karang. Dengan demikian daya dukung karang untuk wisata selam di G.Sulat-G.Lawang sebesar (0,70 x 10,8 ha =7,5 hektar), sehingga jumlah kunjungan wisatawan penyelam yang dapat ditolerir berdasarkan perhitungan pendekatan daya dukung kawasan adalah 150 orang / hari. Untuk wisata snorkeling, lahan yang sesuai untuk pengembangannya seluas 93,11 (di zona rehabilitasi). Dengan tutupan karang 30%, maka luas areal snorkeling diterumbu karang yang dapat dimanfaatkan adalah seluas 3 ha, sehingga jumlah kunjungan yang dapat didukung oleh terumbu karang sejumlah 120 orang/hari. Sedangkan wisata mangrove, hasil analisis menunjukkan bahwa luas yang sesuai adalah 966,85 ha. Jika mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 1994, maka areal mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk wisata 96,68 ha. Untuk memudahkan kegiatan wisata mangrove dibutuhkan sarana walkboad didalam kawasan berupa jembatan kayu sehingga wisatawan dapat menikmati keindahan ekosistem mangrove di kedua pulau dengan panjang masing-masing di G.Lawang 9,283 km dan di G.Sulat 13,765 km, maka jumlah kunjungan yang dapat ditolerir sejumlah 230 orang/hari dengan perhitungan setiap 1 orang membutuhkan 100 m sarana walkboad. Beberapa nilai yang dipakai dalam kajian DDK
disesuaikan dengan
kondisi dan persepsi pelaku wisata di lokasi penelitian, misalnya rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata selam, snorkeling dan mangrove. Tabel 20. Nilai Daya Dukung Ekowisata di KKLD G. Sulat-G.Lawang No
Jenis Kategori Ekowisata Bahari
Nilai DDK (orang/hari)
Pemanfaatan saat ini (org/hari)
1
Selam
150
10 - 20
Dibawah daya dukung
2
Snorkeling
120
10-20
Dibawah daya dukung
3 Mangrove 230 1-17 Sumber : Data Primer Setelah Diolah 2010.
Keterangan
Dibawah daya dukung
112
Berdasarkan kondisi pemanfaatan saat ini, kegiatan wisata bahari di saat peak season masih berada di bawah daya dukung ekologi yaitu rata-rata jumlah pengunjung 17 orang per hari sehingga masih dapat ditingkatkan kuantitasnya. Davis and Tisdell (1996) menyatakan daya dukung kegiatan wisata selam masih dapat ditingkatkan tergantung dari pengetahuan penyelam dalam berinteraksi dengan terumbu karang. Makin tinggi pengetahuan dan pengalaman menyelam seorang diver semakin rendah tingkat kerusakan terumbu karang dan jika diikuti dengan pengelolaan yang baik dapat meningkatkan daya dukung wisata selam. Zakai and Chadwick-Furman (2002) merekomendasikan upaya pengelolaan wisata selam dalam meminimalisasi kerusakan terumbu karang antara lain : (1) pembatasan jumlah penyelam per lokasi per tahun, (2) diperlukan guide untuk seluruh penyelaman, (3) transfer keterampilan bagi penyelam pemula mulai dari kawasan terumbu karang yang rentan kerusakan sampai kawasan berpasir, (4) mengalihkan tekanan penyelaman dari kawasan terumbu karang alami ke terumbu karang buatan, dan (5) pengembangan pendidikan lingkungan bagi penyelam melalui kursus keterampilan mengenai tatacara dan perintah yang dilakukan bersama selama melakukan kegiatan di bawah air.
5.5. Analisis Pemanfaatan 5.5.1. Analisis Ekonomi Perikanan Karang Pemanfaatan
perikanan
karang
dianalisis
dengan
menghitung
pendapatan dan pengeluaran dalam kegiatan perikanan karang. Pendapatan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan karang selama satu tahun yaitu dari bulan Januari sampai Desember 2009. Biaya penangkapan terdiri dari biaya operasional dan biaya tetap. Biaya operasional (variable cost) adalah biaya yang dikeluarkan nelayan berhubungan langsung dengan hasil tangkapan, dimana besar kecilnya biaya operasional mempengaruhi besar kecilnya hasil tangkap, terdiri dari biaya bensin/solar, minyak tanah, spirtus, oli, tenaga kerja, dan umpan pancing. Biaya Tetap (Fixed Cost) merupakan biaya yang tidak mempengaruhi hasil tangkap atau dengan kata lain tinggi rendahnya biaya tetap tidak berdampak pada hasil tangkap yang diperoleh. Komponen biaya tetap berupa biaya penyusutan alat.
113
Dalam proses penangkapan terjadi fluktuasi biaya tangkap. Penurunan paling rendah terjadi bulan Agustus dan September, sedangkan tertinggi bulan April. Perbedaan biaya penangkapan per bulan tergantung dari trip dan daerah penangkapan. Data menunjukkan biaya penangkapan berkorelasi dengan meningkatnya
trip
penangkapan.
Rata-rata
biaya
tangkap
Rp
781.000/bulan/nelayan. Komponen tertinggi pada biaya bahan bakar 57%-80%. Jenis ikan karang yang ditangkap di G.Sulat-G.Lawang antara lain kerapu dan beberapa jenis ikan karang lainnya, menggunakan alat tangkap pancing dan bubu. Jumlah trip penangkapan rata-rata 20 trip/bulan. Rata-rata hasil tangkap 10-15 kg/trip, dengan demikian hasil tangkap nelayan 250 kg/orang/bulan. Apabila harga rata-rata ikan karang Rp. 10.000/kg, maka nilai hasil tangkap nelayan Rp 2.500.000/bulan, dimana biaya tangkap Rp 781.000/bulan, maka pendapatan bersih yang diterima nelayan sebesar Rp 1.719.000/orang/bulan. Berdasarkan pengamatan di lokasi penelitian, jumlah nelayan yang melakukan tangkapan ikan karang di G.Sulat-G.Lawang adalah 116 orang. Apabila rata-rata hasil tangkap nelayan per orang dalam 1 trip adalah 12,5 kg, maka jumlah ikan yang ditangkap setiap hari sebesar 1.450 kg/hari diseluruh areal terumbu karang G.Sulat-G.Lawang (359,9 ha). Dengan demikian penangkapan ikan karang di kawasan G.SulatG.Lawang telah melampaui ambang batas, mengingat ikan karang yang boleh ditangkap sebesar 90 kg per hari pada areal terumbu karang seluas 108 hektar. Kondisi ini memerlukan penanganan yang serius, mengingat kawasan G.SulatG.Lawang merupakan kawasan konservasi. Jumlah nelayan yang sering melakukan aktivitas di kawasan G.Sulat-G. Lawang berasal dari dusun sekitar dan luar kawasan, seperti Desa Labu Pandan (80 orang), Pulur/Dadap (30 orang), Sugian (30 orang), Tekalok (100 orang), dan Dusun Kokok Pedik/Penjalin (50 orang). Total nelayan 290 orang. Sedangkan nelayan pemanah dari luar desa belum dapat diidentifikasi oleh peneliti. 174 orang (60%) nelayan melakukan aktivitas penangkapan menggunakan jaring dan pancing di daerah yang lebih jauh dengan menangkap jenis ikan seperti ikan cakalang, ekor kuning, kembung, ikan tenggiri dan lain-lain. Hasil tangkapan pada musim gelap bervariasi sekitar 12.000-15.000 kg/bulan gelap. Perikanan tradisional ini perlu dikembangkan menjadi perikanan (nelayan modern) dengan menggunakan alat tangkap yang lebih lengkap dan kapal yang lebih besar sehingga jangkauan wilayah penangkapan lebih luas.
114
5.5.2. Analisis Nilai Manfaat Sumberdaya 5.5.2.1. Terumbu Karang Luas terumbu karang di KKLD G.Sulat-G.Lawang adalah 359,945 ha. Pertumbuhan karang dengan persentase tutupan karang hidup sangat bervariasi, berkisar antara 5 - 90 %. Genus karang
yang ditemukan adalah Acropora,
Stylophora, Montipora, Astreopora, Herpolitha, Sandalolitha, Fungia, Leptoseris, Pavona, Pachyseries, Pseudosiderastrea, Turbinaria, Physogyra, Plerogyra, Cyphastrea, Diploastrea, Echinopora, Favia, Favites, Goniastrea, Montastrea, Oulophyllia, Platygyra, Ctenactis, Fungia, Heliofungia, Podabacia, Seriatopora, Psammacora, Hydnophora, Lobophyllia, Mussa, Symphyllia, Galaxea, Pectinia, Stylophora, Goniopora, dan Porites. Nilai Manfaat Langsung (DUV) Manfaat langsung terumbu karang G.Sulat-G.Lawang meliputi : (1) pemanfaatan untuk perikanan tangkap, (2) pemanfaatan untuk pariwisata, dan (3) pemanfaatan untuk pendidikan dan penelitian. Kuantifikasi nilai pemanfaatan perikanan tangkap batuan karang menggunakan metode harga pasar dari hasil tangkapan ikan (market price), sedangkan kuantifikasi nilai pariwisata dan penelitian/pendidikan menggunakan metode pasar pengganti dengan menilai dari suatu perbaikan kualitas lingkungan (surrogate market price). Produksi perikanan tangkap Kabupaten Lombok Timur sebesar 13.576 ton per tahun pada tahun 2009 . Sedangkan di Kecamatan Sambelia dan sekitar nya 576 ton. Jenis hasil tangkap adalah ikan target dari famili Lutjanidae (kakap), Lethrinidae, Scaridae (kaka tua), Labridae, Serranidae (kerapu) Acanthuridae dan Siganidae (Husni, dkk, 2010). Harga rata-rata ikan pelagis
di G.Sulat-
G.Lawang Rp 10.000/kg, sedangkan ikan demersal Rp 15.000/kg. Dengan demikian harga ikan selama setahun mencapai Rp. 7.200.000.000. Jenis alat tangkap yang digunakan adalah pancing, jala, bubu, dan bagang. Biaya pembuatan 1 unit alat tangkap berbeda-beda, hasil perhitungan biaya alat tangkap Rp 1.278.200.000/tahun. Dengan demikian manfaat terumbu karang untuk perikanan tangkap sebesar Rp 7.200.000.000 – Rp 1.378.200.000 = Rp. 5.821.800.000 / tahun. Kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga baik institusi pemerintah, LSM maupun lembaga lainnya menunjukkan bahwa rata-
115
rata biaya yang dikeluarkan oleh peneliti dalam setahun sebesar Rp. 565.000.000 dengan lama tinggal 3 hari. Kegiatan pariwisata, rata-rata jumlah kunjungan 17 orang/hari atau 782 orang/tahun dengan jumlah anggaran yang dibelanjakan dilokasi penelitian sebesar Rp 110.000 per orang per hari , sehingga total pengeluaran wisatawan di lokasi penelitian adalah Rp. 86.020.000/tahun. Dengan demikian nilai manfaat langsung (DUV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang Rp. 6.472.820.000/tahun. Nilai Manfaat Tidak Langsung (IUV) Manfaat tidak langsung dari terumbu karang adalah sebagai pelindung pantai. Kuantifikasi nilai fungsi pelindung pantai menggunakan metode biaya pengganti untuk membangun bangunan perlindungan pantai (replacement cost). Biaya membangun penahan gelombang dengan ukuran 1 m3 menurut Aprilwati (2001) dalam Rasman (2010) sebesar Rp 4.462.013,81. Dari hasil GIS diketahui panjang/ luas terumbu karang G.Sulat-G.Lawang 359,945 ha, maka nilai fungsi terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebagai pelindung pantai Rp 1.606.424.872,65. Dengan demikian nilai manfaat tidak langsung (IUV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp 1.606.424.872,65/tahun. Nilai Pilihan (OV) Nilai pilihan adalah nilai dari keanekaragaman hayati ekosistem atau sumberdaya yang ada. Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode transfer keuntungan dari nilai keanekaragaman terumbu karang (benefit transfer). Nilai keanekaraman (biodiversity) terumbu karang per km2 per tahun (Cesar et al. 2000) sebesar US $ 10.000 atau US $ 100 per hektar setara dengan Rp 950.000 per hektar (asumsi 1 $ =Rp 9.500). Dengan luas terumbu karang G.Sulat-G.Lawang 359,945 ha, maka nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) terumbu karang sebesar Rp 341.947.750 dengan demikian nilai pilihan (OV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang adalah Rp 341.947.750 /tahun. Nilai Pewarisan (BV) Nilai pewarisan adalah nilai kompensasi untuk menjaga atau melestarikan terumbu karang melalui program dan kegiatan perlindungan dan pengawetan. Kualifikasi nilai ini menggunakan metode biaya kompensasi yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian dan perlindungan wilayah terumbu
116
karang G.Sulat-G.Lawang (Compensation cost). Biaya kegiatan selama 5 tahun yang dilaksanakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Lombok Timur untuk melakukan rehabilitasi terumbu karang dalam bentuk terumbu buatan di kawasan G.Sulat-G.Lawang merupakan nilai kompensasi tersebut. Hasil wawancara dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, bahwa nilai terumbu buatan sebesar Rp 15.000.000/ha. Apabila luas Terumbu karang 359,945 ha, maka nilai pewarisan terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp 1.067.835.000/tahun. Nilai Eksistensi (EV) Nilai eksistensi adalah nilai persepsi akan keberadaan (existence) dari terumbu karang G.Sulat-G.Lawang, terlepas dari apakah terumbu karang tersebut dimanfaatkan atau tidak. Dari hasil wawancara dengan responden, diperoleh nilai total kesediaaan menerima (WTA) berdasarkan nilai median dari responden sebesar Rp 40.000.000. Dengan mengalikan nilai WTA individu engan jumlah populasi G.Sulat-G.Lawang 16. 314 jiwa, maka nilai eksistensi (EV) terumbu karang G.Sulat-G.Lawang Rp 652.560.000.000/tahun Berdasarkan perhitungan total penilaian diatas, maka Total Nilai Manfaat terumbu karang G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp. 665.198.546.372 /tahun. Secara rinci nilai-nilai terumbu karang dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 21. Total Nilai Manfaat Terumbu Karang G.Sulat-G.Lawang No
1
Sumberdaya Terumbu Karang
Direct Use Value
2
Indirect Value
3
Option Value
4
Bequest Value
5
Existence Value
Fungsi dan Manfaat
Perikanan Tangkap Pariwisata Penelitian/ Pendidikan Perlindungan Pantai Keanekaragaman Hayati DKP
Persepsi stakeholder (resp) Total Nilai Maanfaat Terumbu Karang Sumber ; Data Primer 2010, diolah.
Metode
Market Price Surrogate Market Price Surrogate Market Price Replacement Cost Benefit Transfer Compnensation cost WTA
Nilai Manfaat Bersih (Rp/tahun)
5.821.800.000 86.020.000 565.000.000 1.606.424.872 341.947.750 1.067.835.000
652.560.000.000 662.049.027.622
117
5.5.2.1. Mangrove Berdasarkan hasil SIG, diperoleh luasan mangrove di KKLD G.SulatG.Lawang seluas 1.010,65 ha. Laporan hasil identifikasi Departemen Kehutanan (2005), Gili Sulat-Gili Sulat ditetapkan sebagai hutan lindung berdasarkan SK Menhut No.416/KPTS-II/1999. Hampir keseluruhan G.Sulat-G.Lawang ditumbuhi oleh vegetasi mangrove didominasi oleh jenis Rhysophora mucronata, Sonneratia alba dan Bruiguiera gymnoriza. dengan kerapatan rendah-sedang, diameter batang sangat besar berkisar antara 60 – 300 cm dan 90-300 cm, tipe substrat berpasir dan pecahan karang. Kerapatan antara 0.10 – 0.18/100 m2 (1000-1800 pohon/ha). Dengan tingkat kerapatan tersebut maka komunitas mangrove di kawasan ini termasuk kriteria baik dan sangat padat. Merujuk Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku Kerusakan mangrove, dimana kerapatan (pohon/ha) kriteria sangat padat (> 1500 ), baik/sedang (> 1000 - < 1500) dan rusak/jarang ( < 1000). Kerapatan jenis tertinggi adalah Rhizpphora mucronata 600 pohon/ha, memiliki Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi. Estimasi kerapatan kanopi berkisar antara 80 – 100 %. Kondisi ini masuk kriteria tidak mengalami kerusakan. Mengacu pada aturan Penetapan kriteria kawasan mangrove yang rusak menurut Dit.Jend. RLPS, Departemen Kehutanan dalam buku Kriteria dan standar teknis Rehabilitasi Wilayah Pantai, dapat ditunjukkan dari kerapatan kanopi. Estimasi kerapatan kanopi < 50 % (rusak berat), kerapatan kanopi 50 – 70 % (rusak sedang), dan kerapatan kanopinya > 70 – 100 % (tidak rusak). Nilai Manfaat Langsung (DUV) Manfaat langsung mangrove G.Sulat-G.Lawang meliputi : (1) pemanfaatan penangkapan biota, (2) pemanfaatan untuk kayu bakar, dan (3) pemanfaatan untuk pariwisata dan penelitian. Kuantifikasi nilai pemanfaatan biota mangrove menggunakan metode harga pasar dari hasil tangkapan moluska (market price), sedangkan kuantifikasi nilai pariwisata dan penelitian/pendidikan menggunakan metode pasar pengganti dengan menilai dari suatu perbaikan kualitas lingkungan (surrogate market price). Hasil perhitungan dan analisis, bahwa nilai manfaat untuk pemanfaatan mangrove sebagai tempat mengambil biota berupa udang, kepiting, kerangkerangan dan ikan lainnya sebesar Rp 6.687.000/tahun, sedangkan biaya yang
118
dikeluarkan untuk aktivitas penangkapan/pengambilan biota bawah tegakan mangrove sebesar Rp 1.335.000, dengan demikian nilai manfaat langsung yang dietrima dari aktivitas penangkapan di kawasan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah Rp 5.352.000/tahun. Pemanfaatan mangrove untuk kayu bakar, data penelitian menunjukkan bahwa harga kayu bakar mangrove di G.Sulat-G.Lawang Rp 6.000/ikat (dalam 1 ikat kayu terdapat 25 ranting mangrove atau setara dengan 0,005 m3). Produksi kayu bakar pada saat masyarakat masih menebang mangrove diperkirakan sekitar 5 m3/bulan atau 1000 ikat. Dengan demikian nilai kayu mangrove untuk kayu bakar adalah Rp 72.000.000. Biaya yang dikeluarkan untuk pengambilan kayu sebulan 4 kali, setiap kali melakukan penebangan, biaya yang dikeluarkan Rp 200.000/bulan atau Rp 2.400.000/tahun. Dengan demikian manfaat mangrove G.Sulat-G.Lawang untuk kayu bakar Rp 69.600.000/tahun Kegiatan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa lembaga baik institusi pemerintah, LSM maupun lembaga lainnya menunjukkan bahwa ratarata biaya yang dikeluarkan oleh peneliti dalam setahun sebesar Rp. 250.000.000. Untuk kegiatan pariwisata, rata-rata jumlah kunjungan 20 orang/hari atau 920 orang/tahun dengan jumlah anggaran yang dibelanjakan dilokasi penelitian sebesar Rp 110.000 per orang, sehingga total pengeluaran wisatawan di lokasi penelitian adalah Rp. 101.200.000/tahun. Dengan demikian nilai manfaat langsung (DUV) mangrove G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp. 426.152.000 /tahun. Nilai Manfaat Tidak Langsung (IUV) Manfaat tidak langsung dari mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah : (1) sebagai penahan abrasi, dan (2) fungsi mangrove dalam mengurangi emisi dengan menyerap karbon/ melepaskan oksigen. Kuantifikasi nilai fungsi penahan abrasi dengan membangun penahan abrasi menggunakan metode biaya pengganti (replacement cost). Sedangkan nilai fungsi pengurangan emisi karbon menggunakan metode biaya pengganti kerusakan jika terjadi kehilangan fungsi tersebut (damage avoided cost). Biaya membangun penahan abrasi dengan ukuran 1 m3 menurut Aprilwati (2001) dalam Rasman (2010) sebesar Rp 4.462.013,81. Dari hasil GIS
119
diketahui panjang garis pantai yang terlindungi oleh mangrove sepanjang 9,783 km, dengan demikian nilai manfaat tidak langsung (IUV) mangrove
G.Sulat-
G.Lawang sebesar Rp 4.365.188.210/tahun. Jumlah karbon yang dapat disimpan hutan mangrove menurut Brown and Pear (1994) dalam Pearce and Moran (1994) adalah 36 – 220 ton/ha. Dengan nilai karbon perton menurut Frankhauser (1994) sebesar US$ 20 atau Rp. 190.000 (asusmsi % = Rp 9.500) dan asumsi rataan karbon yang dapat disimpan oleh hutan mangrove per hektar sebesar 128 ton (1/2 (220-36)), maka nilai karbon yang daapat disimpan oleh hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang seluas 1.010,65 ha adalah Rp 24.579.008.000/tahun. Dengan demikian nilai manfaat tidak langsung (IUV) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah 4.365.188.210 + Rp 24.579.008.000 = Rp 28.944.196.210 /tahun. Nilai Pilihan (OV) Nilai pilihan dari hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah nilai dari keanekaragaman hayati ekosistem atau sumberdaya yang ada. Kuantifikasi nilai ini menggunakan metode transfer keuntungan dari nilai keanekaragaman terumbu karang (benefit transfer). Nilai keanekaraman (biodiversity) mangrove per kilometer persegi per tahun menurut Ruitenbeek (1991) sebesar US $ 1.500 atau US $ 15 per hektar yang setara dengan Rp 142.500 per hektar (asumsi 1 $ =Rp 9.500). Dengan luas hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang 1.010,65 ha, maka nilai keanekaragaman hayati (biodiversity) mangrove sebesar Rp 144.017.625, dengan demikian nilai pilihan (OV) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah Rp 144.017.625 /tahun. Nilai Pewarisan (BV) Nilai pewarisan mangrove G.Sulat-G.Lawang adalah nilai kompensasi untuk menjaga atau melestarikan mangrove melalui program dan kegiatan perlindungan dan pengawetan. Kualifikasi nilai ini menggunakan metode biaya kompensasi yang dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan pelestarian dan perlindungan hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang (Compensation cost). Biaya kegiatan selama 5 tahun yang dilaksanakan oleh Dinas Kehutanan Kab. Lombok Timur untuk melakukan rehabilitasi mangrove di kawasan G.Sulat-G.Lawang merupakan nilai kompensasi tersebut. Dari hasil wawancara dengan Dinas
120
Kehutanan Kabuapaten Lombok Timur, bahwa nilai mangrove sebesar Rp 5.000.000/ha. Apabila luas mangrove 1.010,65 ha, maka nilai pewarisan (BV) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp 1.010.650.000/tahun Nilai Eksistensi (EV) Nilai eksistensi (EV) adalah nilai persepsi akan keberadaan (existence) hutan mangrove G.Sulat-G.Lawang, terlepas dari apakah mangrove tersebut dimanfaatkan atau tidak. Dari hasil wawancara dengan responden, diperoleh nilai total kesediaaan menerima (WTA)
berdasarkan nilai median dari responden
sebesar Rp 25.000.000. Dengan mengalikan nilai WTA individu dengan jumlah populasi G.Sulat-G.Lawang 16. 314 jiwa, maka nilai eksistensi (EV) mangrove G.Sulat-G.Lawang Rp 407.850.000.000/tahun. Berdasarkan perhitungan total penilaian hutan mangrove diatas, maka Total Nilai Manfaat mangrove G.Sulat-G.Lawang
Rp. 443.065.156.045/tahun.
Secara rinci nilai-nilai mangrove dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 22. Total Nilai Manfaat Hutan Mangrove G.Sulat-G.Lawang No
Sumberdaya Terumbu Karang
1
Direct Use Value
2
Indirect Value
Fungsi dan Manfaat
Option Value
4
Bequest Value
5
Existence Value
Nilai Manfaat Bersih (Rp/tahun)
Pegambilan biota
Market Price
5.352.000
Pemanfaatan bakar Pariwisata
Market Price
69.600.000
kayu
Penelitian/ Pendidikan Penahan abrasi Penyerap karbon
3
Metode
Keanekaragaman Hayati Dishut
Persepsi stakeholder (resp) Total Nilai Manfaat Mangrove Sumber ; Data Primer 2010, diolah.
Surrogate Market Price Surrogate Market Price Replacement Cost Damage avoided cost Benefit Transfer Compnensation cost WTA
426.152.000 250.000.000 4.365.188.210 28.944.196.210 144.017.625 1.010.650.000 407.850.000.000 443.065.156.045
121
5.5.2. Analisis Sosial Kajian daya dukung sosial untuk pengembangan perikanan karang dalam penelitian ini adalah total tenaga kerja (orang) atau HOK/th yang dapat diserap secara aktual dari pengembangan perikanan karang yang dipengaruhi oleh jumlah jam kerja efektif per hari, kebutuhan tenaga kerja aktual per trip, jumlah trip per bulan atau per tahun. Diasumsikan bahwa ada jumlah maksimum tenaga kerja yang terserap dengan adanya kegiatan perikanan karang di kawasan konservasi, sehingga masyarakat nelayan merasakan manfaat ekonomi dalam pengelolaan kawasan konservasi. Dalam pengelolaan kawasan konservasi, dimana salah satu peruntukan pemanfaatannya adalah pengembangan perikanan karang seluas 108 hektar akan menyerap tenaga kerja sejumlah 19.488 HOK per tahun. Dasar perhitungan ini adalah apabila dalam satu bulan, nelayan melakukan aktivitas melaut sejumlah 14 trip per orang. Sedangkan jumlah nelayan sekitar kawasan yang melakukan aktivitas di dalam kawasan sejumlah 116 orang nelayan. Hasil penelitian menunjukkan 88,3% (256 orang) nelayan beranggapan bahwa pengelolaan kawasan konservasi dengan penataan zonasi didalamnya akan berdampak positif pada masa yang akan datang, karena dengan sistem zonasi (adanya alokasi untuk zona inti) akan memberi ruang bagi tempat bertelurnya ikan, sehingga akan berdampak pada hasil tangkap yang lebih besar pada masa datang. Dengan semakin besarnya jumlah hasil tangkap akan berdampak pada semakin besarnya jumlah penyerapan tenaga kerja sehingga kesejahteraan masyarakat akan meningkat. Sedangkan 11,7 % (34 orang) nelayan kurang setuju dengan penetapan zona inti dalam pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang. Mereka beranggapan bahwa dengan ditutupnya sebagian areal tangkapan selama ini berdampak pada berkurangnya hasil tangkap terutama nelayan pemanah, oleh karena itu tugas pemerintah daerah melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat sekitar kawasan konservasi, sehingga konflik antar nelayan maupun konflik nelayan dan pemerintah dapat diatasi. Kajian daya dukung sosial dalam pengembangan ekowisata di kawasan G.Sulat-G.Lawang dianalisis dengan memperhitungkan keberadaan tenaga kerja dan beban kerja. Penduduk yang dimaksud merupakan golongan usia produktif atau disebut sebagai tenaga kerja. Dengan demikian daya dukung sosial dalam
122
pengembangan ekowisata adalah junlah unit usaha dan tenaga kerja yang dapat terlibat dalam pemanfaatan kawasan konsevasi sebagak tujuan wisata. Dengan berkembangnya sektor pariwisata akan berpengaruh positif terhadap peluang dan lapangan kerja masyarakat lokal. Salah satu dampak positif pengembangan pariwisata adalah tidak hanya penyerapan tenaga kerja secara riel, namun dampak pendapatan turunan laiinya dapat dirasakan oleh masyarakat seperti usaha kerajinan, guide, dan sebagainya. Jumlah tenaga kerja dalam pengembangan ekowisata dipengaruhi oleh jumlah kunjungan wisatawan. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk 1 orang wisatawan adalah asumsi 3 orang yaitu untuk yang mendampingi pada saat menyelam, transportasi perahu ke lokasi dan sisanya berupa pemanfaatan jasa tenaga kerja di berbagai aktivitas. Sehingga apabila 1 orang wisatawan dapat memanfaatkan tenaga kerja sejumlah 3 HOK. Dengan kapasitas daya dukung seluas 381 orang wisatawan perhari, maka jumlah tenaga kerja yang dapat terserap sebesar 1.074 HOK dalam satu kali kunjungan. Sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap dalam setahun sebesar 49.404 HOK per tahun. Oleh karena itu alternatif pengembangan ekowisata dapat dijadikan sebagai sumber matapencaharian dan pendapatan secara langsung maupun sebagai sumber lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Daya dukung sosial juga dinilai pada tingkat penerimaan masyarakat lokal terhadap kunjungan wisatawan tanpa mengganggu kenyamanan mereka. Diasumsikan bahwa ada batasan maksimum jumlah wisatawan yang berkunjung
122 pengembangan ekowisata adalah junlah unit usaha dan tenaga kerja yang dapat terlibat dalam pemanfaatan kawasan konsevasi sebagak tujuan wisata. Dengan berkembangnya sektor pariwisata akan berpengaruh positif terhadap peluang dan lapangan kerja masyarakat lokal. Salah satu dampak positif pengembangan pariwisata adalah tidak hanya penyerapan tenaga kerja secara riel, namun dampak pendapatan turunan laiinya dapat dirasakan oleh masyarakat seperti usaha kerajinan, guide, dan sebagainya. Jumlah tenaga kerja dalam pengembangan ekowisata dipengaruhi oleh jumlah kunjungan wisatawan. Tenaga kerja yang dibutuhkan untuk 1 orang wisatawan adalah asumsi 3 orang yaitu untuk yang mendampingi pada saat menyelam, transportasi perahu ke lokasi dan sisanya berupa pemanfaatan jasa tenaga kerja di berbagai aktivitas. Sehingga apabila 1 orang wisatawan dapat memanfaatkan tenaga kerja sejumlah 3 HOK. Dengan kapasitas daya dukung seluas 381 orang wisatawan perhari, maka jumlah tenaga kerja yang dapat terserap sebesar 1.074 HOK dalam satu kali kunjungan. Sehingga jumlah tenaga kerja yang terserap dalam setahun sebesar 49.404 HOK per tahun. Oleh karena itu alternatif pengembangan ekowisata dapat dijadikan sebagai sumber matapencaharian dan pendapatan secara langsung maupun sebagai sumber lapangan kerja bagi masyarakat lokal. Daya dukung sosial juga dinilai pada tingkat penerimaan masyarakat lokal terhadap kunjungan wisatawan tanpa mengganggu kenyamanan mereka. Diasumsikan bahwa ada batasan maksimum jumlah wisatawan yang berkunjung ke
G.Sulat-G.Lawang,
sehingga
masyarakat
tidak
merasa
terganggu.
Saveriades (2000), bahwa ketidaknyamanan seseorang dapat membatasi penerimaannya ketika orang lain masuk untuk berinteraksi (Social Carrying Capacity), walaupun secara ekologi (Biological Carrying Capacity) masih tersedia relung untuk orang tersebut masuk berinteraksi. Hasil penelitian, bahwa 72 % responden memiliki persepsi perilaku masyarakat tidak mengalami perubahan dengan keberadaan wisatawan dan 18 % menyatakan masyarakat mengalami perubahan
perilaku
terutama
yang
terkait
dengan
materi
atau
ada
kecenderungan pergeseran nilai terutama cara berpakaian. 5.6. Optimasi Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang 5.6.1. Konsep Model Sistem dinamik dikembangkan untuk memformulasikan pemanfaatan ruang kawasan konservasi secara berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek
123 ekologi, ekonomi dan sosial yang disesuaikan dengan kondisi perairan G.SulatG.Lawang pada berbagai skala waktu dan intensitas berbagai pemanfaatan sehingga dapat diprediksi konsekuensi atau respon dari sistem akibat intervensi manusia, karena sistem dinamik dapat digunakan untuk pendugaan dan alokasi ruang pada batas maksimum dan minimum kapasitas perairan, resiko kerusakan atau degradasi lingkungan yang lebih luas. Pemanfaatan ruang KK G.SulatG.Lawang diarahkan untuk berbagai pemanfaatan seperti perikanan karang dan ekowisata. Hasil analisis pada sub bab sebelumnya menunjukkan luas KKLD G.Sulat-G.Lawang 3 166,92 ha terdiri dari zona inti 193,83 ha, zona pemanfaatan terbatas 143,33 ha dan zona lainnya 1 819,11 ha (zona rehabilitasi 93,11 ha dan perairan lainnya 1 726 ha). Berdasarkan kesesuaian lahan, zona pemanfaatan terbatas diarahkan untuk pengembangan wisata selam seluas 10,80 ha, wisata mangrove 23,04 ha, perikanan karang 97,20 ha, dan wisata snorkeling seluas 2,4 ha (di zona rehabilitasi). Penilaian kesesuaian pemanfaatan lahan untuk berbagai pemanfaatan didasarkan pada penilaian kriteria ekologis sedangkan optimasi pemanfaatan ruang kawasan menggunakan pendekatan dimensi ekologi, ekonomi dan sosial. Konsep yang dibangun adalah model dinamik yang terdiri dari 2 sub model yaitu : 5.6.1.1. Sub Model Perikanan Karang Merupakan sub model yang terdiri dari komponen daya dukung terumbu karang dan populasi ikan karang. Ikan karang merupakan input, sedangkan komponen lainnya adalah penerimaan bersih dari kegiatan perikanan karang yang menunjukkan hasil atau pendapatan total dari sub model perikanan karang (Gambar 31). 5.6.1.2. Sub Model Ekowisata Merupakan sub model yang mewakili ekologi dan pariwisata terdiri dari komponen yang menjadi input yaitu : daya dukung terumbu karang dan daya dukung mangrove sebagai yang berpengaruh terhadap jumlah wisatawan dalam sub model ekowisata (Gambar 32).
124 MODEL PERIKANAN KARANG Akumulasi Penerimaan Skenario
Lj pertumb ikan karang
Lj Pengurangan PK Harga Prod ikan karang
Pop Ikan Karang Pertambahan ikan karang
Pengurangan ikan karang
LUAS TRB KARAN Hsl Tangkap ikan krng
penerimaan ikan karang
Biaya Perikanan Karang
Biaya Tetap PK
Penyusutan alat perahu Lj tumbuh karang
LUAS TRB KARANG Pertambahan Tutupan Karang
Skenario
Biaya variabel PK
jaring dan pancing
Tambahan Penerimaan
Total Penerimaan Pendapatan Pendapatan Bersih Total Wisata PK Umpan pancing TK ikan karang BBM
Lj Degradasi karang
Pengurangan Luas tutupan karang
Terumbu Karang Luas Karang
Gambar 31. Struktur Sub Model Perikanan Karang
125 SUB MODEL EKOWISATA LUAS TRB KARAN Indirect Value
Luas Mangrove
Direct Value Karang
TEVKarang
Lj Pertumbuhan mangrove Mangrove LUAS MANGROVE
jumlh TK wisata
WTP Wisatawan
Total Pop Wismn Mangrove Pengurangan
Total Pop Wisman
Lj Peningkatan kunj wisatawan
Pop Wisman Mangrove
Upah Transport
Upah akomodasi
Upah Guide
Penerimaan Pendapatan Bersih ekowisata ekowisata Total SDWisata Direct Value Biaya Wisata Pajak Wisata Mangrove TEVMangrove Infrastr Total Pop Fee Konserv Promosi usaha wisata Indirect value Wisman terumbu Mangrove Pop Wisman Terumbu
Penambahan Luas Mangrove
Upah TK Wisata
Lj Pnerimaan Masy
Pendapatan Total Wisata Pendptan Masy Lokal
Penerimaan ekowisata Fraks Jlh Penddk Pop Wisman
Penambahan Wisatawan
Laju pertambahan
Lj Penebangan
Gambar 32. Struktur Sub Model Ekowisata
penambahan penduduk
Jumlh Penduduk
126 Langkah awal pengembangan model pengelolaan KK G.Sulat-G.Lawang adalah: (1) merumuskan model secara matematis; (2) memasukkan nilai-nilai parameter yang diperoleh pada analisis sebelumnya ke dalam model yang dibangun; dan (3) melakukan analisis model. Penyusunan dan analisis skenario optimasi pengelolaan kawasan konservasi didasarkan pada model dasar yang telah dibangun serta memilih skenario yang terbaik untuk diaplikasikan. Nilai-nilai atribut yang digunakan dalam menganalisis keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi yang paling optimal merupakan hasil kajian literatur, hasil analisis karakteristik sumberdaya, kesesuaian lahan dan analisis daya dukung kawasan. Kajian
yang
merupakan
fokus
penelitian
adalah
pengembangan
perikanan karang dan ekowisata dengan variabel : (a) luas lahan maksimun, (b) tingkat kunjungan berdasarkan kemampuan daya dukung lingkungan, (c) kemampuan penyerapan tenaga kerja, dan (d) peningkatan hasil (penerimaan) dari pemanfaatan lahan. Sedangkan nilai-nilai atribut yang digunakan untuk membangun dan menganalisis model pemanfaatan G.Sulat-G.Lawang dapat dilihat pada Lampiran 3. Nilai level (stock), variabel driving, auxiliary dan konstanta yang tercantum pada lampiran 3 dapat dijelaskan sebagai berikut : 5.6.2.1. Atribut Pada Sub Model Ekowisata Atribut yang berfungsi sebagai stok dalam dimensi ekowisata yaitu sumberdaya karang. Nilai awal (initial) level diperoleh dari hasil analisis kesesuaian dan daya dukung terumbu karang 10,8 ha dan mangrove 23,04 ha. Laju pertumbuhan karang (0.03) dan degradasi terumbu karang (0.02) (Karnan, 2009).
Laju degradasi mangrove diperoleh dari data citra satelit (0,05). Fee
konservasi (0,04) diperoleh dari penerimaan per wisatawan. Peningkatan potensi sumberdaya alam sebagai faktor produksi utama di kawasan konservasi harus dibarengi dengan peningkatan kualitas SDM, dimana pendidikan memegang peranan penting karena berkaitan dengan kemampuan masyarakat dalam eksploitasi sumberdaya termasuk kemampuan mempengaruhi pengembangan ekowisata. Kualitas SDM dan tingkat daya dukung lingkungan berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat dari kegiatan ekowisata. Nilai awal (initial) penerimaan masyarakat dari kegiatan ekowisata diperkirakan Rp 186 600 000. Nilai ini diperoleh dari upah tenaga kerja wisata selama setahun dengan upah Rp 800 000 per bulan, penerimaan masyarakat dari hasil perikanan karang Rp 100 616 666,67 per bulan. Kontribusi usaha
127 wisata bagi penerimaan daerah berbentuk pajak usaha (0.75) yang dibayarkan per tahun diperoleh dari 25 % pembayaran biaya akomodasi per wisatawan. Harga produk yang diterima dari wisatawan adalah besarnya penerimaan usaha wisata sebelum dikurangi biaya infrastruktur dan promosi serta pajak usaha yang diperoleh dari kunjungan wisatawan selama menginap di lokasi yaitu rata-rata Rp 18 600 000. Dari total penerimaan per wisatawan 1.55% merupakan bagian dari upah tenaga kerja dan 3.45% penerimaan usaha turunan pendukung ekowisata. Tax 0,15 merupakan persentase pajak usaha yang diberlakukan pemerintah daerah terhadap seluruh usaha perhotelan dan restoran untuk satu orang per kunjungan di wilayah Kabupaten Lombok Timur, dimana 25 % dari penerimaan pajak dialokasikan untuk konservasi sumberdaya, sisanya (75 %) merupakan penerimaan daerah dari sektor pariwisata. 5.6.2.2. Atribut Pada Sub Model Perikanan Karang Atribut yang berfungsi sebagai stok dalam dimensi perikanan karang yaitu hasil tangkap ikan karang. Nilai awal (initial) level diperoleh dari hasil analisis kesesuaian diperoleh daya dukung karang untuk perikanan (97,20 ha). Laju pertambahan produksi (0.10) dan laju pengurangan produksi (0,50). Peningkatan produksi perikanan karang di kawasan konservasi dibarengi dengan peningkatan perlindungan habitat berupa recovery karang dan pengaturan alat tangkap serta penguasaan teknologi memegang peranan sangat penting. Pengusaan teknologi tidak hanya berkaitan dengan kemampuan masyarakat dalam eksploitasi sumberdaya alam namun teknologi juga memegang peranan penting dalam meningkatkan pendapatan dari aktivitas nelayan. 5.6.3. Penyusunan Skenario Pemanfaatan Ruang Kawasan Konservasi Penyusunan skenario dalam model pengelolaan kawasan konservasi ditujukan untuk memilih alternatif rencana kebijakan yang memungkinkan ditempuh dalam menyelesaikan masalah yang dapat terjadi di kemudian hari berdasarkan kondisi saat ini. Prosedur operasional yang dapat dilakukan dalam penyusunan skenario pengelolaan melalui simulasi model yakni berdasarkan kondisi (nilai) aktual yang diperoleh dari analisis basis model pada setiap level (stok), dan nilai koefisien parameter yang dibangun pada setiap dimensi. Beberapa skenario yang dilakukan dalam sistem dinamik adalah :
128 Skenario 1. Model Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang kondisi Eksisting Skenario 2. Model Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang kondisi Optimum Skenario 3. Model Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang kondisi Maksimum Hasil simulasi dari beberapa skenario yang digunakan sebagai berikut : Skenario 1. Pemanfaatan Ruang G.Sulat - G.Lawang berdasarkan Kondisi Eksisting G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi, hampir 10% dari total penduduk menjadikan sumberdaya dalam kawasan sebagai mata pencaharian utama, namun cara memanfaatkan sumberdaya mengundang konflik baik antar nelayan dari dalam dan luar kawasan maupun nelayan dengan pemerintah. Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lombok Timur (2009), jumlah unit alat tangkap ikan di Kecamatan Sambelia adalah 238 unit. Dari jumlah alat tangkap tersebut, jumlah hasil tangkap terbesar dicapai oleh nelayan bagang. Selain menangkap ikan konsumsi, nelayan juga banyak menangkap ikan hias langka karena bernilai ekonomi cukup tinggi, sementara kegiatan pariwisata belum berkembang secara optimal sehingga belum mampu memberikan kontribusi bagi pendapatan daerah dan masyarakat sekitar. Sampai saat ini pemanfaatan kawasan belum efektif, penangkapan ikan karang dilakukan di seluruh areal terumbu karang tanpa memperhatikan zona inti. Jumlah nelayan yang melakukan aktivitas penagkapan ikan karang 116 orang nelayan, dengan jumlah hasil tangkap rata-rata 10 – 15 kg/hari. Berdasarkan hasil wawancara, penangkapan dilakukan 20 trip/bulan dengan rata-rata hasil tangkap 250 kg/bulan. Apabila harga hasil tangkap Rp 10.000/kg, maka pendapatan yang diterima nelayan Rp 2500.000/bulan, sedangkan pengeluaran untuk penangkapan Rp 781.000/bulan, maka penerimaan setiap nelayan Rp 1.719.000/bulan. Dilihat dari potensi perikanan di G.Sulat-G.Lawang sebesar 16.64 ton/tahun atau rata-rata 130 kg/ha/tahun, maka penangkapan ikan karang selama ini telah mengalami tangkap lebih. Kondisi ini merupakan persoalan yang sangat serius dan harus segera diatasi agar sumberdaya di kawasan konservasi dapat berkelanjutan. Mengingat luasan kawasan yang relatif kecil dengan rasio pemanfaatan yang relatif besar maka keberlanjutan sumberdaya terumbu karang mengalami ancaman kerusakan yang serius. Hal ini didukung oleh hasil kajian Karnan 2009, yang mengemukakan bahwa terjadinya kerusakan karang di perairan Lombok
129 Timur akibat pemanfaatan dengan cara tidak ramah lingkungan sehingga luasan dan tutupan karang mengalami pengurangan yang relatif besar yaitu sekitar 93,11 hektar terumbu karang telah mengalami kerusakan dengan kondisi tutupan karang di bawah 30%. Hasil simulasi kondisi saat ini sampai 20 tahun kedepan dapat dilihat pada grafik hasil simulasi berikut : 1: D D KAR AN G 1: 2: 3: 4: 5:
365 0 5e+011, 5550 1900
2: D D MAN G R O VE
3: D D EKO N O MI
4: D D S O S IA L
5 : P o p W is m a n
1 3 2
4
1 1: 2: 3: 4: 5:
3
315 0 2.5e+011 5350 1800
5
1 3
4
5 4
2
5
2 1: 2: 3: 4: 5:
265 0 0 5150 1700
2
4
3
2011.00
1
5
2015.75
2020.50 Y e a rs
Page 1
2025.25 2:52
2030.00 18 Jun 2011
Gambar 33. Kondisi Sumberdaya pada pengelolaan kondisi eksisting
Gambar diatas menunjukkan bahwa pola pemanfaatan saat ini (kondisi eksisting) dari dimensi ekologi menunjukkan 20 tahun kedepan kondisi terumbu karang
mengalami
penurunan
akibat
pemanfaatan
tak
terkendali
oleh
masyarakat walaupun secara ekonomi penerimaan masyarakat meningkat. Hal ini berpengaruh terhadap keberlanjutan kawasan konservasi dan dalam jangka panjang berdampak pada semakin menurunnya jumlah kunjungan wisatawan akibat nilai obyek wisata yang semakin menurun. Oleh karena dari dimensi ekologi terdapat 2 (dua) atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keefektifan pengelolaan kawasan konservasi yakni daya dukung mangrove dan daya dukung terumbu karang untuk kegiatan ekowisata. Kedua atribut ini terkait langsung dengan eksistensi kawasan konservasi, sehingga setiap perubahan luasan berdampak pada perikanan karang dan kualitas obyek wisata. Hasil analisis basis model pengelolaan kawasan konservasi menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terjadi penurunan luasan obyek ekowisata seiring dengan peningkatan kunjungan
wisatawan
dan
tingkat
eksploitasi
masyarakat
yang
tidak
mempertimbangkan kelestarian lingkungan sehingga diperlukan kebijakan untuk meningkatkan kualitas tutupan karang dengan program perbaikan habitat. Hasil analisis basis model dimensi ekonomi, menunjukkan trend peningkatan
kunjungan
wisatawan
menyebabkan
peningkatan
ekonomi
masyarakat dan penyerapan tenaga kerja, namun peningkatan tersebut dalam
130 jangka panjang dapat menurunkan kualitas sumberdaya termasuk obyek ekowisata. Diversifikasi produk ekowisata juga sangat penting mengingat adanya potensi ekowisata alternatif (wisata pantai dan memancing) dan meningkatkan kesesuaian kawasan untuk kegiatan ekowisata bahari (wisata selam dan mangrove). Sedangkan tingkat penyerapan tenaga kerja terjadi pada kegiatan ekowisata karena semakin meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan. Agar pengelolaan G.Sulat-G.Lawang semakin efektif, perlu pelibatan masyarakat lokal sebagai tenaga kerja dalam berbagai aktivitas yang akan dikembangkan seperti guide, transportasi, akomodasi dan usaha turunan lainnya untuk menghindari terjadinya konflik sosial dalam masyarakat.
PETA PEMANFAATAN SUMBERDAYA
S
Gambar 34. Pemanfatan Ruang KK G.Sulat-G.Lawang Pada Kondisi Eksisting
131 Selain untuk perikanan, G.Sulat-G.Lawang juga dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata dengan potensi pengembangan yang relatif besar ditunjang oleh keberadaan sumberdaya mangrove dan terumbu karang. Namun sampai saat ini jumlah kunjungan wisatawan rendah dan bersifat insidental dengan lama tinggal relatif pendek yaitu rata-rata 1–3 hari. Hasil survey menunjukkan pada bulan Juli–September jumlah kunjungan wisatawan rata-rata 17 orang per hari. Pengeluaran per wisatawan Rp. 110.000/hari dengan alokasi untuk akomodasi Rp 60.000 yang dialokasikan bagi pemilik home stay Rp. 54.000,-, kas Desa Sugian Rp. 3.600 dan Rp. 2.400 untuk kelompok yang melakukan konservasi. Sedangkan Rp 50.000 untuk konsumsi dan kebutuhan lainnya. Hasil wawancara dengan masyarakat, manfaat wisata saat ini belum dirasakan oleh masyarakat lokal karena jumlah serapan tenaga kerja untuk kegiatan wisata rendah, usaha turunan wisata belum berkembang, akibatnya masyarakat memiliki persepsi bahwa pariwisata kurang memberi manfaat secara ekonomi. Rendahnya kunjungan wisatawan disebabkan oleh kurangnya promosi dan dukungan infrastruktur penunjang wisata kurang memadai, seperti transportasi menuju lokasi, homestay, dan lain sebagainya. Tabel 23. Pemanfaatan Eksisting KK G.Sulat-G. Lawang No
Jenis Pemanfatan
1 Perikanan Karang 2 Wisata Selam 3 Wisata Snorkeling 3 Wisata Mangrove Total Nilai Produksi
Produksi /thn 194.880 kg 782 orang 920 orang 920 orang
Harga (Rp) 10.000 110.000 110.000 110.000
Nilai Prod (Rp)/th 1.948.800.000 86.020.000 101.200.000 101.200.000 2.237.220.000
Sumbet : Data Primer diolah, 2010
Dengan pola pemanfaatan eksisting, pendapatan masyarakat cenderung rendah, karena itu pemerintah perlu membuat kebijakan pemanfaatan kawasan konservasi yang ramah lingkungan dengan memberikan ruang pemanfatan bagi masyarakat seperti pengembangan perikanan karang secara ramah lingkungan dan pengembangan ekowisata dengan berbagai kategori mengingat potensi relatif besar. Dengan memanfaatkan jasa lingkungan disertai perencanaan dan manajemen yang baik, maka manfaat riel kawasan akan dirasakan masyarakat maupun pemerintah daerah, karena
akan mempegaruhi jumlah penyerapan
tenaga kerja, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
132 Skenario 2. Pemanfaatan Ruang G.Sulat-G.Lawang pada Kondisi Optimum Berdasarkan karakteristik ekologi perairan terkait dengan kondisi ekosistem terumbu karang, mangrove, lamun dan kualitas perairan laut serta karakteristik
sosial
budaya
(ekonomi
masyarakat,
kegiatan
usaha
dan
kelembagaan) menunjukkan kawasan G.Sulat-G.Lawang memiliki potensi besar untuk pengembangan kegiatan perikanan dan ekowisata. Berdasarkan analisis kesesuaian lahan dan perhitungan daya dukung, luas pemanfaatan optimal yang dapat dialokasikan untuk berbagai kegiatan seperti pada Tabel 24. Tabel 24. Luas Pemanfaatan Optimal Kawasan G.Sulat-G.Lawang Kesesuaian Lahan kawasan konservasi laut Zona inti Zona Pemanfaatan Terbatas - Wisata selam - Wisata Snorkeling - Wisata Mangrove - Perikanan Karang Zona Lainnya - Zona Perlindungan - Zona Rehabilitasi - Perairan lain Total Sumber : hasil olah data primer, 2010
Luas Area (ha) 193,83
Persentase (%) 6,20
10,80 9,30 23,40 97,20
0,34 0,02 0,74 2,96
987,60 93,11 1.726 3.166,92
31,57 2,98 55,20 100,00
Hasil analisis terhadap basis model pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang dan simulasi kondisi sampai 20 tahun ke depan disajikan pada Gambar 35 berikut : 1: D D KAR AN G 1: 2: 3: 4: 5:
2 : D D M a n g ro v e
3: D D EKO N O MI
4: D D S O S IA L
5 : P o p W is m a n
29 200 500000 7500 3000 2
4
3
1 1: 2: 3: 4: 5:
1: 2: 3: 4: 5: Page 1
25 150 250000 5500 2000
21 100 0 3500 1000
1
5 1
2
2011.00
3
1
2
3
4
2
3
5
4 5
5
4
2015.75
2020.50 Y e a rs
2025.25 3:00
2030.00 18 J un 2011
Gambar 35 Kondisi Sumberdaya pada pengelolaan kondisi optimum
133 Hasil simulasi skenario 2 memperlihatkan implikasi skenario optimum dari terintegrasi tiga dimensi adalah daya dukung terumbu karang dan mangrove, upaya konservasi sumberdaya dan infrastruktur. Peningkatan kunjungan wisatawan terkait dengan penggunaan dana konservasi, peningkatan upah dan harga produk wisata, kenyamanan masyarakat dan perbaikan infrastruktur penunjang kegiatan ekowisata akan meningkatkan jumlah wisatawan sampai mencapai daya dukung. Secara umum, atribut yang berpengaruh dalam peningkatan
kunjungan
wisatawan
adalah
kenyamanan
berwisata
bagi
wisatawan dan sumber nafkah bagi masyarakat lokal. Selain itu, efektivitas penggunaan dana konservasi dapat meningkatkan luas kawasan obyek wisata secara langsung yang ditunjang oleh diversifikasi kegiatan ekowisata dan kualitas infrastruktur penunjang yang dimiliki.
Gambar 36. Pemanfatan Ruang KK G.Sulat-G.Lawang pada kondisi Optimum
134 Pemanfaatan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang untuk kegiatan perikanan karang dan ekowisata sangat penting dalam menentukan optimasi pemanfaatan kawasan. Pemanfaatan kawasan dengan beberapa dimensi diharapkan dapat menyerap tenaga kerja dan meningkatkan kesejahteraan. Oleh karena itu penentuan alokasi pemanfaatan kawasan harus didasarkan pada kesesuaian lahan, daya dukung lingkungan dan informasi ilmiah sebagai acuan dalam
memformulasi
kebijakan
pengelolaan
kawasan
yang
dapat
dipertanggungjawabkan melalui koordinasi, kerjasama dan komitmen para pemangku kepentingan, menuju kearah penataan ruang kawasan yang optimal (Kooiman et al, 2005 dalam Adrianto 2006). 5.6.2.1. Optimasi Pemanfaatan Perikanan Karang Pengembangan perikanan karang didasarkan pada analisis kondisi terumbu karang dan karakteristik lingkungan perairan, dengan indikator yang dianalisis adalah persyaratan optimum pertumbuhan karang, hal ini akan memberikan gambaran bahwa lokasi tersebut potensial bagi pengembangan perikanan karang. Atas dasar itu pelestarian sumberdaya karang dalam bentuk konservasi terumbu karang sangat penting dilakukan. Alasan ini didukung oleh hasil penelitian Arifin, 2008 bahwa pada kondisi tidak ditetapkan kawasan konservasi laut, nilai produksi optimal sebesar 21.85 ribu ton, effort optimal 2809.29 trip dan rente optimalnya sebesar Rp. 74.28 milyar lebih rendah dibandingkan pada kondisi sebagai kawasan konservasi dengan berbagai luasan. Hal tersebut sejalan dengan laporan White (1996) yang menyatakan bahwa potensi keuntungan bersih per tahun per km2 dari terumbu karang dalam kondisi baik, yaitu produksi antara 10 – 30 ton dengan potensi keuntungan bersih per tahun sekitar US$ 12.000 – US$ 36.000. Alcala dan Russ 1990; Roberts 1995 menyatakan bahwa pembangunan kawasan konservasi laut dalam luasan kecil pada suatu wilayah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti bagi produktivitas perikanan. Alcala (1988), bahwa produksi perikanan bervariasi antara 10.94 – 24 metrik ton (mt)/km2/tahun sebelum dibangun kawasan konservasi laut. White (1989) juga mengungkapkan bahwa hasil produksi sebesar 14-24 mt/km2/tahun sebelum KKL dibangun. Setelah ditetapkan kawasan konservasi laut, hasil tangkapan meningkat menjadi 36 mt/km2/tahun. Lebih lanjut White (1989), menyatakan bahwa kawasan
135 konservasi merupakan area recruitment bagi ikan-ikan karang yang bergerak pada kawasan terumbu karang di dalam dan diluar kawasan. Selain alasan ekonomi diatas tujuan perlindungan terumbu karang adalah memelihara fungsi ekologis dengan melindungi habitat tempat hidup, bertelur, dan memijah biota-biota laut dan memelihara fungsi ekonomis kawasan pesisir bagi masyarakat sekitar sehingga terjadi keberlanjutan dan produksi perikanan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan baik dari produksi perikanan maupun dari sektor pariwisata. Menurut Westmacott et al. 2000, kawasan konservasi memegang peranan penting bagi pelestarian dan pengelolaan dengan cara melindungi daerah terumbu karang yang tidak rusak dan dapat menjadi sumber larva serta sebagai alat untuk membantu pemulihan, melindungi daerah yang bebas dari dampak manusia dan cocok sebagai substrat bagi penempelan karang dan pertumbuhan kembali dan memastikan bahwa terumbu karang tetap menopang kelangsungan kebutuhan masyarakat sekitar yang bergantung padanya. Hasil penelitian Hutomo dan Suharti (1998), melaporkan bahwa terumbu karang dapat memberikan manfaat langsung berupa hasil laut sebanyak 25 ton/ha/tahun. Berdasarkan hal tersebut, maka kawasan konservasi laut dapat meningkatkan hasil tangkap dan pendapatan nelayan. Bila diasumsikan jumlah tersebut konstan per tahun dengan harga rata-rata ikan di daerah studi sebesar Rp.10.000/kg, maka diperoleh manfaat terumbu karang di kawasan G.SulatG.Lawang bagi perikanan sebesar Rp. 250.000.000/ha/tahun. Bila ikan karang yang dapat diperoleh berdasarkan daya dukung karang 75,6 hektar atau 0,756 km² adalah sebesar 15.120 kg/tahun, dengan harga Rp 10.000/kg, maka penerimaan dari hasil tangkap sebesar Rp 151.200.000/tahun. 5.6.2.2. Optimasi Pemanfaatan Wisata Selam Wisata bahari adalah kegiatan rekreasi seperti berenang, berselancar, berjemur, menyelam, berdayung, snorkeling dan menikmati keindahan pesisir (Dahuri, 1993). Kegiatan wisata bahari yang dapat dilakukan di kawasan G.SulatG.Lawang adalah menyelam dan snorkeling. Daya tarik dari kegiatan ini adalah kondisi terumbu karang yang masih relatif baik dan keberadaan ikan karang dengan berbagai jenis pada stasiun-stasiun tertentu. Pada stasiun lainnya menunjukkan mulai terjadinya pemutihan karang. Luas lahan yang sesuai untuk
136 wisata selam sebesar 108 hektar, terdiri dari 54 hektar di perairan G.Lawang pada stasiun Batu Mandi I, Batu Mandi II dan Menanga Kapal. Sedangkan lokasi di perairan G.Sulat seluas 54 hektar pada stasiun Gili Luar I, Gili Luar II dan Gili Luar III. Pembobotan kesesuaian perairan untuk wisata selam dilakukan dengan mempertimbangkan faktor pembatas seperti
kecerahan perairan, kecepatan
arus, kedalaman perairan, dan tutupan karang hidup. Sebagai fungsi konservasi, G.Sulat-G.Lawang merupakan salah satu kawasan yang memiliki tingkat biodiversity tinggi. Di kawasan ini terdapat sekitar sepuluh titik lokasi tujuan wisata selam dan mangrove. Untuk pemanfaatan wisata selam dapat dilakukan pada beberapa spot dengan kategori sesuai bersyarat, hal ini berarti bahwa ada beberapa lokasi terumbu karang yang memerlukan
perlakuan tertentu terhadap
persyaratan kesesuaian
untuk
ditingkatkan levelnya pada kategori sesuai bagi kegiatan wisata selam. Parameter pembatas diberi pembobotan dan skor yang didasarkan pada tingkat kepentingan untuk kegiatan selam. Parameter kecerahan perairan dan kecepatan arus memiliki bobot tertinggi karena faktor kecerahan dan kecepatan arus sangat menentukan kesesuaian bagi kegiatan wisata selam maupun untuk pertumbuhan terumbu karang, sedangkan penutupan karang hidup merupakan daya tarik wisatawan untuk menikmati keindahan bawah laut. Perairan yang jernih mengundang rasa ingin tahu untuk melihat keindahan bawah laut, dan kecepatan arus merupakan faktor yang berhubungan dengan keselamatan penyelam. Kedalaman dasar laut, menempati bobot yang lebih kecil daripada lainnya, karena parameter kedalaman dapat teratasi oleh parameter lainnya. Kondisi terumbu karang di kawasan G.Sulat-G.Lawang digolongkan menjadi 3 kelas yaitu tidak baik, cukup baik dan baik sesuai dengan persen tutupan karang hidup pada masing-masing lokasi. Kecerahan perairan sangat mendukung yaitu hampir mencapai 100%. Adapun jenis ikan yang ditemukan di sekitar lokasi terumbu karang terdiri ikan indikator seperti famili Chaetodontidae, jenis ikan target seperti dari famili Siganidae, dan jenis ikan mayor seperti dari famili Pomacentridae. Arus pada lokasi ini juga bergerak dengan kecepatan 13 cm/det sampai 40 cm/det, dimana kisaran tersebut masih dapat ditoleransi untuk kegiatan wisata bahari. Kedalaman perairan berkisar antara 5-20 m walaupun ada beberapa lokasi yang memiliki kedalaman lebih dari 20 m berdasarkan peta batimetri yang ada.
137 Namun demikian ada juga lokasi dengan kondisi terumbu karang rusak akibat penambangan oleh penduduk seperti yang ada di stasiun Panaean, stasiun Mananga Todak, stasiun Kampar Bear, stasiun Pekaje, stasiun Luar Gili dan stasiun Pondok Jaya. Untuk mengembalikan kondisi terumbu karang pada stasiun tersebut maka diarahkan untuk zona rehabilitasi. Oleh karena itu pemerintah perlu menysun aturan pengelolan kawasan G.Sulat-G.Lawang dengan melibatkan masyarakat untuk berperan aktif dalam menjaga kelestarian sumberdaya dengan tidak melakukan pemboman ikan di daerah terumbu karang. Berdasarkan pengamatan dengan memperhatikan kondisi dan penilaian masing-masing parameter yang menentukan kesesuaian wisata selam dengan menggunakan skoring dan pembobotan, dihasilkan pengelompokan kesesuaian lahan untuk ekowisata bahari sebagai berikut: a. Sesuai (S1) Wilayah yang termasuk kategori sesuai dicirikan dengan tidak ada faktor pembatas yang menghambat perlakuan yang diberikan. Berdasarkan hasil analisis, lokasi yang termasuk sesuai adalah stasiun Selang, Bantu Mandi I , Batu Mandi II, Menanga Kapal (perairan Gili Lawang) dengan persentase skor rata-rata 82,85. Begitupula dengan lokasi pada stasiun Pegatan II, Luar Gili I, Luar Gili II dan Luar Gili III (perairan G.Sulat) termasuk kategori sesuai dengan persentase skor 82,85. Seluruh parameter yang ada membuat wilayah ini sangat sesuai untuk pengembangan ekowisata bahari seperti tingkat kecerahan, penutupan karang hidup dan arus yang tidak kuat. Walaupun parameter kecepatan arus kurang sesuai, namun total nilai keseluruhan memberikan gambaran sesuai. Mengingat kondisi arus yang cukup kuat pada stasiun tesebu, maka jenis wisata yang direkomendasikan adalah wisata selam khusus. Parameter-parameter penilaian kelayakan wisata bahari, dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) pengaruh manusia, dan (2) tidak dipengaruhi oleh manusia. Parameter yang bisa dipengaruhi oleh manusia, meliputi kecerahan perairan, dan persentase penutupan karang, sedangkan yang relatif sulit dipengaruhi oleh manusia seperti kedalaman perairan dan kecepatan arus. b. Sesuai Bersyarat (S2) Wilayah yang termasuk dalam kategori sesuai bersyarat mempunyai faktor pembatas yang agak serius untuk dijadikan kawasan wisata bahari
138 khususnya kegiatan menyelam. Hasil perhitungan menunjukkan pada lokasi stasiun Pondok Jaga, Luar Gili, Selang, Menanga Todak, Luar Gili IV, Pegatan I, Panaean dan Kampir Bear memperoleh persentase skor berkisar 69,72 sehingga semua lokasi tersebut termasuk kategori Sesuai Bersyarat (S2). Daerah yang termasuk dalam kategori sesuai bersyarat mempunyai faktor pembatas serius untuk pengembangan wisata selam, antara lain penutupan karang tidak memenuhi kriteria untuk kesesuaian wisata selam. c. Tidak Sesuai (N) Wilayah yang termasuk dalam kategori ini mempunyai faktor pembatas permanen,
semua
parameter
yang
ada
memiliki
keterbatasan
untuk
dikembangkan menjadi kawasan wisata selam. Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi stasiun Pegatan I termasuk kategori tidak sesuai untuk wisata selam. Kondisi ini dapat difahami karena keberadaan karang di stasiun ini sangat rendah, begitupula dengan tutupan dan jenis karang ada sangat rendah. 5.6.2.3. Optimasi Pemanfaatan Wisata Mangrove Wisata mangrove merupakan aktivitas yang sangat berpotensi untuk dikembangkan di kawasan G.Sulat-G.Lawang. Dilihat dari parameter kesesuaian kawasan untuk pengembangan wisata seperti ketebalan mangrove yang mencapai > 300 per meter, kerapatan mangrove > 10 pohon per 100 meter persegi, jenis mangrove > 3 jenis, jenis biota di bawah tegakan berupa udang, kepiting, moluska serta keberadaan satwa dan reptil di dalam ekosistem mangrove. Disamping parameter ekologis, kesesuaian pengembangan wisata mangrove di G.Sulat-G.Lawang khususnya di stasiun Landi dan Kampir Bier juga didukung oleh keberadaan infrastruktur untuk kegiatan walkboad atau “trecking” dalam
kawasan
berupa
jembatan
kayu
sepanjang
350
meter.
Untuk
mengoptimalkan pemanfaatan wisata mangrove maka penambahan infrastruktur walkboad sepanjang 2.304 km mengelilingi kedua pulau sehingga total kawasan mangrove yang dapat dimanfaatkan untuk wisata 23,04 ha. Infrastruktur jembatan ini juga sekaligus sebagai sarana yang dapat dijadikan sebagai fasilitas bagi penyelam menuju lokasi penyelaman pada stasiun Selang dan Pegatan II. Dilihat dari luasnya, areal pengembangan wisata mangrove relatif kecil yaitu 3,36% dari luas mangrove (1010,65 ha), disebabkan karena status fungsi kawasan sebagai hutan lindung sebagaimana telah ditetapkan oleh Menteri
139 Kehutanan pada tahun 1994 (sebelum terbentuknya kawasan konservasi laut daerah). Untuk membangun fasilitas wisata dalam kawasan mangrove Pemerintah daerah perlu mengajukan ijin pemanfaatan kawasan kepada Menetri Kehutanan mngingat kawasan G.Sulat-G.Lawang merupakan hutan lindung. Agar pemanfaatan kawasan dapat berjalan efektif diperlukan kolborasi antar Dinas Kehutanan dan dinas Kelautan dan Perikanan yang di koordinasikan oleh Bupati Kabupaten Lombok Timur. Kewenangan dua sektor ini diharapkan dapat berjalan secara sinergi dalam satu manajemen. Walaupun kawasan mangrove di kedua pulau merupakan hutan lindung, namun pemanfaatan seluas 23,4 ha sebagai pengembangan wisata mangrove tidak dalam bentuk eksploitasi sumberdaya secara langsung namun dalam bentuk pemanfaatan jasa lingkungan, oleh karena itu diharapkan kedua sektor tersebut berjalan secara sinergis. Berdasarkan
hasil
pengamatan
dengan
memperhatikan
kondisi
dan
penilaian
parameter yang menentukan wisata mangrove menggunakan skoring dan pembobotan, dihasilkan pengelompokan kesesuaian lahan untuk wisata mangrove sebagai berikut : a. Sesuai (S1) Wilayah yang termasuk kategori sesuai dicirikan dengan tidak ada faktor pembatas yang menghambat perlakuan yang diberikan. Berdasarkan hasil analisis, lokasi yang termasuk sesuai adalah stasiun Selang, Bantu Mandi I , Batu Mandi II, Menanga Kapal (G.Lawang) dengan skor rata-rata 82,85. Begitupula dengan stasiun Pegatan II, Luar Gili I, Luar Gili II dan Luar Gili III (G.Sulat) termasuk kategori sesuai dengan skor 82,85. Seluruh parameter menunjukkan wilayah ini sangat sesuai untuk pengembangan ekowisata mangrove. Penilaian diberikan atas parameter yang mendukung seperti ketebalan mangrove, kerapatan, jenis biota, jenis mangrove, tinggi pasut dan jarak dari kawasan lainnya. b. Sesuai Bersyarat (S2) Areal dengan kategori sesuai bersyarat mempunyai faktor pembatas agak serius untuk pengembangan wisata selam. Hasil analisis menunjukkan pada stasiun Batu Mandi, Menanga Kapal, Luar Gili I, Luar Gili II, Luar Gili III dan stasiun Panaean, persentase skor berkisar 66,66% sehingga semua lokasi
140 tersebut termasuk kategori Sesuai Bersyarat (S2). Daerah yang termasuk dalam kategori
sesuai
bersyarat
mempunyai
faktor
pembatas
serius
untuk
pengembangan wisata managrove, antara lain penutupan basal dan kerapatan mangrove kurang memenuhi kriteria untuk kesesuaian wisata mangrove. c. Tidak Sesuai (N) Wilayah yang termasuk dalam kategori ini mempunyai faktor pembatas permanen, semua parameter memiliki keterbatasan untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata mangrove. Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi stasiun Batu Mandi I dan stasiun Luar Gili II termasuk kategori tidak sesuai untuk wisata mangrove karena keberadaan mangrove di stasiun ini hampir tidak ada berupa tanah rawa terbuka, begitupula jenis biota hampir tidak ada. Untuk menjaga keberlanjutan hutan mangrove maka pemanfaatan harus mempertimbangkan keragaman aktivitas yang mungkin menggunakan area yang sama atau dalam periode yang berbeda tanpa menyebabkan kerusakan pada sistem. Selain dengan melihat keragaman aktivitas, pengelolaan kawasan mangrove dapat dilakukan juga dengan membatasi penebangan dan melakukan rehabilitasi. Penanggulangan terhadap penurunan sumberdaya mangrove dilakukan
dengan
meningkatkan
kualitas
sumberdaya
manusia
berupa
penerapan silabus pendidikan lingkungan hidup dalam pendidikan formal dan melakukan penanaman mangrove pada area bekas penebangan. Pada tahun 2010 Pemda Kabupaten Lombok Timur (Dinas Kelautan dan Perikanan) melakukan upaya rehabilitasi seluas 150 ha sehingga diharapkan kedepan keberadaan ekosistem mangrove akan mengembalikan fungsinya secara alami. Hal ini menunjukkan bahwa adanya sinergitas antara dua kewenangan, walaupun kewenangan pengelolaan berada di bawah Departenmen Kehutanan, namun upaya rehabilitasi juga dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan. Tabel 25. Pemanfaatan Kawasan G.Sulat-G.Lawang pada kondisi optimum No
Jenis Pemanfatan
Produksi /thn 15.120 kg
Harga (Rp)
Nilai Prod (Rp)
1
Perikanan Karang
15.000
226.800.000
2
Wisata Selam
6.900 orang
300.000
2.070.000.000
2
Wisata Snorkeling
5.520 orang
200.000
1.104.000.000
3
Wisata Mangrove
10.580 orang
200.000
2.116.000.000
Total Nilai Produksi Sumber : Data Primer diolah, 2010
5.516.800.000
141 Dari dimensi sosial, pemanfaatan kawasan pada kondisi optimum berpotensi menyerap tenaga kerja untuk perikanan karang sebesar 69.600 HOK/tahun, sedangkan untuk ekowisata 49.404 HOK/tahun. Kondisi ini menggambarkan
apabila
semua
jenis
pemanfaatan
diasumsikan
dapat
berkembang secara ideal, maka pengelolaan kawasan konservasi merupakan solusi
dalam
mengurangi
pengangguran
atau
dikatakan
sebagai
mata
pencaharian yang sangat menguntungkan. Hal ini akan menjadi sebuah solusi konkrit dalam mengurangi kemiskinan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Hasil analisis menunjukkan susunan peringkat jenis pemanfaatan di kawasan G.Sulat-G.Lawang dengan menggunakan dinamik spasial adalah prioritas pertama adalah untuk wisata selam dengan luas 10,8 ha, prioritas kedua untuk pengembangan wisata mangrove seluas 23,40 ha, dan prioritas ketiga untuk wisata snorkeling dengan luas 9,3 ha (dilakukan pada zona rehabilitasi). Jumlah kunjungan wisatawan rata-rata yang diperbolehkan dalam satu hari berdasarkan daya dukung kawasan adalah 381 orang/hari atau 17.526 orang/tahun. Apabila pengeluaran yang bersedia dibelanjakan oleh wisatawan (WTP) sebesar Rp. 1 300 000/orang, maka total pengeluaran yang dibelanjakan oleh wisatawan untuk menunju lokasi adalah Rp. 495 300 000/hari. Khusus untuk pengeluaran wisatawan di lokasi wisata adalah Rp 114 300 000/hari. Bila dikaitkan dengan nilai manfaat sumberdaya terumbu karang dan mangrove di G.Sulat-G.Lawang sebesar Rp 2.311.366.407/tahun, maka pengembangan wisata bahari layak untuk dikembangkan. Skenario
3.
Pemanfaatan Maksimum
Ruang
G.Sulat-G.Lawang
pada
Kondisi
Hasil simulasi menunjukkan bahwa pemanfaatan ruang G.Sulat-G.Lawang pada kondisi maksimum untuk kegiatan perikanan karang dan ekowisata, dimana seluruh luas terumbu karang yang ada dimanfaatkan. Dalam kondisi demikian jumlah hasil tangkap dari perikanan karang sebesar 301,85 ton/tahun dengan jumlah serapan tenaga kerja sebesar 112 orang atau 39.424 HOK/ tahun. Penerimaan
masyarakat
45.277.500/tahun.
nelayan
dari
perikanan
karang
sebesar
Rp.
Untuk pemanfaatan wisata selam luasan terumbu karang
yang dimanfaatkan adalah seluas 241,89 ha dengan jumlah kunjungan 3.272.638
orang/tahun. Sedangkan penyerapan tenaga kerja sebesar 7.878
orang atau 63.024 HOK/tahun dengan jumlah penerimaan dari kegiatan selam
142 untuk tenaga kerja sebesar Rp 196.950.000/tahun. Sedangkan luas areal yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata pada kondisi maksimum 1010,65 ha dengan jumlah kunjungan 404.267 orang/tahun. Sedangkan penyerapan tenaga kerja 808.527 HOK/tahun dengan jumlah penerimaan tenaga kerja dari kegiatan wisata mangrove sebesar Rp 1.010.667.510/tahun. Basis model pengelolaan ekowisata merupakan hasil optimal kondisi sumberdaya alam, jumlah kunjungan wisatawan, ekonomi masyarakat lokal dan penyerapan tenaga kerja yang dicapai dari pengelolaan ekowisata berdasarkan kondisi maksimum dari simulasi kondisi saat ini sampai 20 tahun ke depan disajikan pada Gambar 37 berikut ; 1: D D KAR AN G 1: 2: 3: 4: 5:
365 1015 760 300000 300
1: 2: 3: 4: 5:
315 965 735 150000 150
2: D D MAN G R O VE 1
3 : P o p W is m a n
3 2
4
3 5 1 3 4
265 915 710 0 0
5 : P o p I k a n K a ra n g
2
1
1: 2: 3: 4: 5:
4: D D EKO N O MI
3
2
4
5
4
1
2
5 5
2011.00
2015.75
Page 1
2020.50 Y e a rs
2025.25 3:07
2030.00 18 Jun 2011
Gambar 37. Kondisi sumberdaya pada pemanfaatan maksimum
Peningkatan jumlah kunjungan yang melebih daya dukung harus dikelola secara tepat agar tidak terjadi over capacity pada bulan dan hari tertentu dalam pelaksanaan kegiatan ekowisata. Skenario Gabungan Skenario optimum gabungan merupakan simulasi yang dilakukan dengan cara menggabungkan dua atau lebih atribut untuk dianalisis dalam model yang dibangun. Seperti diketahui dalam analisis parsial sebelumnya bahwa kondisi terumbu karang dan mangrove berpengaruh terhadap jumlah kunjungan wisatawan sehingga diperlukan upaya konservasi baik dari pendekatan ekologi secara langsung maupun pendekatan kelembagaan agar terjaga kelestariannya. Posisi keempat level sumberdaya jika terjadi peningkatan atribut penting pada keempat dimensi pengelolaan disajikan pada Tabel berikut :
143 Tabel 26. Perubahan nilai stok pada masing-masing skenario proyeksi 20 tahun No
Dimensi dan Jenis Stok
1.
Luas Trb Karang (ha) - Initial Basis - Skenario Eksisting - Skenario Optimum - Skenario Maksimum 2. Luas mangrove (ha) - Initial Basis - Skenario Eksisting - Skenario Optimum - Skenario Maksimum 3. Tenaga kerja lokal (orang) - Initial Basis - Skenario Eksisting - Skenario Optimum - Skenario Maksimum 4. Populasi wisman (orang) - Initial Basis - Skenario Eksisting - Skenario Optimum - Skenario Maksimum Keterangan untuk simulasi:
- Initial l basis
0
5
Tahun ke10
15
20
23.49 41.38 71.33 169.56
23.73 51.72 106.99 339.12
21.195 21.195 21.195 21.195
21.83 26.49 31.73 42.39
22.15 33.11 47.52 84.78
101.86 101.86 101,86 101.86
117.13 127.32 152.78 203.72
128.84 159.15 255.14 407.44
47 47 47 47
104 131 147 148
137 197 245 253
155 244 346 371
166 282 482 552
972 972 972 972
1006 1010 1020 1030
1042 1050 1071 1091
1079 1092 1124 1156
1117 1135 1180 1225
141.72 155.89 198.93 248.66 382.71 574.05 814.88 1008.86
: nilai stok berdasarkan kondisi eksisting
- Skenario Eksisting: penurunan degradasi sumberdaya, harga dan produktivitas dan penyediaan infrastruktur meningkat 2 kali dari nilai awal, program perbaikan habitat serta kenyamanan sama dengan kondisi basis. - Skenario Optimum: penurunan degradasi sumberdaya, harga dan produktivitas dan penyediaan infrastruktur meningkat 3 kali dari nilai awal, program perbaikan habitat serta kenyamanan sama dengan kondisi basis. - Skenario Maksimum: penurunan degradasi sumberdaya, harga dan produktivitas dan penyediaan infrastruktur meningkat 4 kali dari nilai awal, program perbaikan habitat serta kenyamanan sama dengan kondisi basis.
Skenario 2 pengelolaan kawasan konservasi merupakan hasil yang paling ideal dibandingkan dengan skenario 1 dan 3. Hal ini karena nilai yang diperoleh dari setiap level sumberdaya umumnya (ekonomi masyarakat lokal, tenaga kerja dan jumlah wisatawan) lebih tinggi pada skenario 2 dibanding skenario 1 dan 3 tanpa merusak sumberdaya yang ada. Pemilihan skenario 2 sebagai skenario paling ideal juga didasarkan oleh valuasi terhadap nilai sumberdaya. Kegiatan ekowisata bahari tidak hanya menyangkut kegiatan wisata di perairan laut tetapi juga wisata mangrove.
144 LU A S TR B K A R A N G : 1 - 2 - 3 1:
400 1 1 1
3
1:
200
1:
0
1
3
2
3
2
2 0 1 1 .0 0
3
2
2 0 1 5 .7 5
2
2 0 2 0 .5 0 Y e a rs
P age 3
2 0 2 5 .2 5 1 4 :5 6
2 0 3 0 .0 0 17 J un 2011
T e ru m b u K a ra n g
Gambar 38. Kondisi terumbu karang pada skenario gabungan
Skenario terbaik berdasarkan jumlah kunjungan wisatawan adalah skenario 2, dimana pencapaian maksimum jumlah kunjungan diperoleh pada tahun ke-20. Total penerimaan masyarakat lokal dari berbagai kegiatan di kawasan konservasi mencapai Rp 5.516 milyar per tahun dan penyerapan tenaga kerja mencapai 49.404 HOK pertahun. Total 1:
P e n e r im a a n : 1 - 2 - 3 2.7e+010
1
1:
1
2.6e+010 1
3
3 2
3
1 3
2
2
2
1:
2.5e+010
2011.00
2015.75
2020.50 Y e a rs
Page 9
2025.25 15:24
2030.00 17 Jun 2011
P e n e r im a a n
Gambar 39. Total penerimaan pada skenario gabungan
Peningkatan kunjungan wisatawan, upah dan harga produk, kenyamanan dan partisipasi masyarakat serta perbaikan infrastruktur penunjang akan meningkatkan jumlah wisatawan sampai mencapai optimum. T o t a l P o p W is m a n : 1 - 2 - 3 1:
6500000
1:
3500000
1:
500000
1
Page 11
1
1 2
2 2011.00
2015.75
3
3
3
3
1 2
2 2020.50 Y e a rs
2025.25
2030.00 16:13
P o p u la s i W is m a n
Gambar 40. Jumlah kunjungan wisatawan pada skenario gabungan
17 Jun 2011
145 Atribut yang berpengaruh dalam peningkatan kunjungan wisatawan adalah kualitas sumberdaya sebagai obyek wisata dan kenyamanan dalam berwisata. Implikasi pengembangan ekowisata adalah diversifikasi produk ekowisata, peningkatan kenyamanan di kawasan wisata, upaya konservasi sumberdaya dan ketersediaan prasarana, peningkatan partisipasi masyarakat lokal dan perbaikan habitat sebagai upaya perlindungan sumberdaya. Jika ekowisata dikombinasikan secara efektif dengan kegiatan konservasi dalam kawasan alami secara terencana, akan meminimalisir dampak kerusakan lingkungan (Tisdell 1996). 5.6.4. Validasi Model Model divalidasi dengan membandingkan perfomansi model dari hasil analisis basis model dari beberapa level (stok) sumberdaya dengan hasil analisis data pengamatan dan sekunder melalui pengujian secara statistik. Level sumberdaya yang digunakan untuk validasi model adalah jumlah wisatawan, produksi budidaya laut dan produksi/hasil tangkap perikanan karang dan luasan terumbu karang dan mangrove. Persyaratan statistik yang diuji adalah tanda aljabar (sign), besaran koefisien determinasi (R2), dan rata-rata nilai prediksi dari level (Y). Nilai statistik untuk uji validasi model disajikan pada Tabel 27 berikut. Tabel 27. Hasil analisis statistik berdasarkan persyaratan validasi No.
1.
Jenis persyaratan statistik
Nilai hasil analisis dinamik Tanda
R
2
Luas karang (X) - 0.05 0.98 terhadap kunjungan wisatawan (Y) 2. Kunjungan wisatawan -19.41 0.96 (X) terhadap luas karang (Y) 3. Luas mangrove (X) - 0.06 0.98 terhadap kunjungan wisatawan (Y) 4. Kunjungan wisatawan -0.08 0.79 (X) terhadap luas mangrove (Y) 5. Luas karang (X) - 0.07 0.98 terhadap hasil tangkap (Y) 6. Produksi/hasil tangkap -18.63 0.96 (X) terhadap luas karang (Y) Sumber: Data Sekunder yang Diolah 2010.
Rataan Y predik 7.63
Nilai hasil analisis data lapangan Tanda R Rataan Y predik - 4.61 0.49 7.63
4.93
- 0.05
0.49
8.02
7.42
- 3.91
0.49
7.63
7.63
2.00
0.65
7.67
7.63
- 4.61
0.49
7.63
7.92
- 0.05
0.65
7.64
146
Tabel 27 menunjukkan bahwa baik persyaratan tanda aljabar (sign) maupun rerata nilai prediksi level (jumlah wisatawan dan sumberdaya) umumnya menunjukkan nilai yang relatif sama, kecuali pada nilai koefisien determinasi (R2) kunjungan wisatawan terhadap perubahan luas terumbu karang. Perbedaan ini terkait dengan penggunaan data hasil analisis dinamik terumbu karang yang diperoleh dari analisis kesesuaian kawasan untuk ekowisata bahari yang memiliki nilai relatif kecil dibanding data lapangan yang menggunakan data luas terumbu karang. Nilai R2 yang cukup kecil pada hasil analisis data lapangan menunjukkan bahwa pada kondisi riil lapangan, variasi nilai kunjungan wisatawan dan luasan terumbu karang tidak hanya dipengaruhi oleh salah satu atribut tersebut. 5.7. Keberlanjutan Pengelolaan Kawasan Konservasi Gili Sulat-Gili Lawang Keberlanjutan
pengelolaan
kawasan
konservasi
dilakukan
dengan
pendekatan Multidimensional Scaling (MDS) merupakan pengembangan dari metode Rapfish digunakan untuk menilai status keberlanjutan perikanan tangkap (Pitcher TJ dan D.Preikshot 2001). Analisis keberlanjutan ini mempertimbangkan empat dimensi, yaitu dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya dan dimensi kelembagaan, dinyatakan dalam indeks keberlanjutan kawasan konservasi (ikb-KK), dimana indeks keberlanjutan ini mencerminkan status keberlanjutan kegiatan yang dilakukan pada kawasan konservasi berdasarkan kondisi eksisting. Nilai indeks keberlanjutan pada setiap dimensi keberlanjutan, ditentukan dengan cara memberikan nilai skoring pada masing-masing dimensi yang merupakan hasil pendapat pakar. Nilai skoring indeks berkelanjutan pada setiap dimensi berkisar antara 0-100% dengan kriteria “tidak berkelanjutan” jika nilai indeks terletak antara 0–24.99%, “kurang berkelanjutan” jika nilai indeks terletak antara 25–49.99, “cukup berkelanjutan” jika nilai indeks terletak antara 50–74.99 dan “berkelanjutan” jika nilai indeks terletak antara 75–100%. Dalam setiap dimensi terdiri dari beberapa atribut yang diukur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan selanjutnya diberi bobot menggunakan metode Multidimensional Scalling (MDS). Analisis dilakukan dengan software Rapfish yang dimodifikasi yang selanjutnya disebut Rap-CM (Rapid Assesment Techniques for Conservation Management). Pemberian skor atribut pada masing-masing dimensi disesuaikan dengan kondisi riil pemanfaatan kawasan G.Sulat-G.Lawang. Hasil survey dan pengamatan lapangan terhadap masingmasing atribut pada tiap dimensi disajikan pada Lampiran 5.
147
5.5.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Dimensi ekologi merupakan dimensi kunci karena arahan pembangunan berkelanjutan mensyaratkan kesinambungan pemanfaatan sumberdaya alam dan
jasa
lingkungan
bagi
generasi
mendatang.
Status
atau
kondisi
pembangunan berkelanjutan dapat tercermin dari kondisi dimensi ekologis tersebut. Dimensi ekologi dipilih untuk mencerminkan bagaimana pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut berdampak secara ekologis terhadap keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan serta ekosistem tersebut sehingga kegiatan pemanfaatannya dapat berlangsung secara berkelanjutan pula. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan Rap-CM terhadap sepuluh atribut dimensi ekologi diperoleh nilai indeks keberlanjutan sebesar 62,27 %
dengan status
cukup berkelanjutan, seperti ditunjukkan pada Gambar 41.
Gambar 41. Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi
Hasil analisis menggambarkan bahwa apabila pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi tetap seperti saat ini maka kegiatan perikanan dan ekowisata akan tetap berkelanjutan tanpa adanya kekhawatiran akan terjadi degradasi sumberdaya. Karena itu, atribut-atribut yang mempengaruhi nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi yang berdampak positif tetap harus dijaga atau bahkan ditingkatkan dan atribut yang berdampak negatif ditekan. Atribut ekologi
yang
diperkirakan
berpengaruh
terhadap
tingkat
keberlanjutan
pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang terdiri dari sepuluh atribut, yakni: (1) Kesesuaian Wisata Selam; (2) Daya Dukung Wisata Selam; (3) Kesesuaian Wisata Mangrove; (4) Daya Dukung Wisata Mangrove; (5)
148
Kesesuaian
Perikanan Karang; (6) Daya Dukung Perikanan Karang; (7)
Kesesuaian Wisata Snorkeling; (8) Daya Dukung Wisata Snorkeling; (9) Daya Dukung Perairan dan (10) Luas Pemanfaatan Lahan Fasilitas Penunjang Ekowisata. Atribut-atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dapat diketahui dengan melakukan analisis Leverage. Berdasarkan hasi analisis Leverage diperoleh tiga atribut ekologi yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan yaitu (1) Daya Dukung Perikanan Karang;
(2) Daya Dukung Wisata Selam;
dan (3) Daya Dukung Wisata
Mangrove, ditunjukkan pada Gambar 42.
Gambar 42. Peran Atribut Dimensi Ekologi dengan nilai Root Mean Square
Berdasarkan hasil analisis Leverage yang mengindikasikan bahwa atribut daya Dukung Perikanan Karang merupakan atribut yang paling sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan kawasan. Atribut yang sensitif ini merupakan faktor pengungkit dalam dimensi ekologi, sehingga apabila dilakukan perbaikan pada atribut ini akan mengungkit nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi secara keseluruhan. Hasil analisis menunjukkan bahwa daya dukung perikanan karang dan daya dukung wisata selam termasuk relatif rendah karena sangat terkait dengan besarnya tutupan karang. Oleh karena itu upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan daya dukung karang adalah melalui program penyadaran masyarakat dalam menjaga ekosistem ini serta melalui upaya rehabilitasi terumbu karang dalam bentuk transplantasi karang dan terumbu buatan. Semakin tinggi tutupan karang akan berpengaruh terhadai nilai sumberdaya yang akan dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti perikanan karang dan wisata selam. Secara umum tutupan karang pada lokasi penelitian termasuk kategori
149
rusak sampai baik. Areal dengan kondisi terumbu karang rusak disebabkan oleh masyarakat yang memanfaatkan ekosistem ini dengan menggunakan bom. Atribut ini merupakan parameter utama bagi pengembangan perikanan dan wisata selam. Karena nilai suatu obyek wisata selam sangat ditentukan oleh seberapa besar tutupan karang yang ada. Disamping upaya rehabilitasi terumbu karang, pembatasan kuota penangkapan ikan karang juga menjadi upaya yang sangat penting, karena jumlah ikan karang yang ditangkap setiap hari telah melebihi ambang batas. Begitu pula halnya dengan faktor pengungkit kedua yaitu daya dukung wisata selam perlu ditingkatkan melalui program yang sama dengan peningkatan daya dukung perikanan karang. Karena besaran tutupan karang akan mempengaruhi produktivitas ikan karang. Sedangkan atribut daya dukung mangrove untuk pemanfaatan wisata mangrove relatif tinggi, namun karena arahan pemanfaatan kawasan mangrove yang kewenangan pengelolaannya dibawah Departemen Kehutanan yang telah menetapkan kawasan G.SulatG.Lawang sebagai hutan lindung, maka luasan yang dapat dimanfaatkan untuk wisata mangrove maksimal 10% dari total luas keseluruhan mangrove yang ada. Dalam dimensi ekologi terdapat 2 (dua) atribut sensitif yang mempengaruhi indeks keefektifan pengelolaan kawasan konservasi yakni daya dukung mangrove dan daya dukung terumbu karang untuk kegiatan perikanan karang dan wisata selam. Kedua atribut tersebut terkait langsung dengan eksistensi kawasan konservasi, sehingga setiap perubahan luasan akan berdampak pada kualitas perikanan karang, kualitas obyek wisata dan kualitas perairan yang pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah hasil tangkap perikanan karang dan jumlah kunjungan wisatawan. Upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan daya dukung wisata mangrove adalah melalui koordinasi dan sinkronisasi kebijakan Departemen Kehutanan selaku pemegang otorita pengelolaan kawasan mangrove di G.Sulat dan G.Lawang dengan Dinas Kelautan dan Perikanan selaku pengelola kawasan perairan di kedua pulau tersebut. Atribut selanjutnya yang sensitif untuk mengubah nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi adalah tutupan karang untuk wisata snorkeling . Untuk lebih meningkatkan status keberlanjutan kawasan, upaya perbaikan tidak hanya dilakukan terhadap atribut-atribut yang sensitif memberikan
150
pengaruh terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, tetapi juga diupayakan mempertahankan atau meningkatkan atribut-atribut yang berdampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi kawasan konservasi. 5.5.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Hasil analisis Rap-CM terhadap sepuluh atribut dari dimensi ekonomi memberikan nilai indeks keberlanjutan sebesar 54,84 % dengan status cukup berkelanjutan (Gambar 43). Posisi titik nilai indeks keberlanjutan ekonomi berada pada kwadran negatif, hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan kawasan konservasi yang dilakukan selama ini cenderung kurang optimal. Untuk meningkatkan nilai indeks keberlanjutan tersebut maka atribut-atribut yang berdampak negatif terhadap nilai indeks harus lebih diperbaiki dan atribut-atribut yang berdampak positif tetap dipertahankan. Atribut yang sensitif memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi ekonomi adalah (1) Jumlah kunjungan wisatawan; (2) harga produk wisata; (3) Nilai ekonomi sumberdaya mangrove; (4) Nilai ekonomi sumberdaya terumbu karang; (5) Jumlah hasil tangkap ikan karang; (6) harga ikan karang; (7) Pendapatan masyarakat lokal dari kawasan konservasi; (8) Permintaan pasar; (9) Kontribusi kawasan terhadap PAD; dan (10) Fee konservasi.
Gambar 43. Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi
151
Besarnya nilai indeks keberlanjutan ekonomi dipengaruhi oleh atribut-atribut keberlanjutan seperti telah disebutkan di atas, akan tetapi atribut-atribut tersebut memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap besarnya nilai indeks keberlanjutan. Analisis Leverage dilakukan untuk memperoleh atribut-atribut yang lebih sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan
ekonomi.
Adapun hasil dari analisis Leverage yang dilakukan diperoleh tiga atribut yang paling sensitif mempengaruhi dimensi ekonomi, yaitu (1) Kontribusi kawasan terhadap PAD; (2) Harga produk wisata;
dan (3) Tingkat Pendapatan
Masyarakat lokal . Hasil analisis Leverage seperti pada Gambar 44.
Gambar 44. Peran Atribut Dimensi Ekonomi dalam nilai Root Mean Square
Kontribusi kawasan terhadap PAD merupakan atribut yang paling sensitif. Melihat kondisi di lapangan, hal ini dapat difahami karena sampai saat ini berbagai pemanfaatan di kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang belum dimanfaatkan secara efektif, sehingga kontribusi kawasan terhadap PAD relatif kecil. Minimnya kontribusi terhadap PAD juga disebabkan karena beberapa kegiatan yang diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap PAD seperti pengembangan ekowisata belum dilakukan secara optimal. Untuk meningkatkan PAD, pemerintah harus membuat kebijakan yang mendukung pengembangan ekowisata, sehingga apabila kegiatan ini berkembang maka pendapatan masyarakat lokal dan sumbangan terhadap PAD juga akan meningkat. Karena dengan berkembangnya ekowisata diharapkan sektor perdagangan dan industri
152
kerajinan akan ikut berkembang. Begitupula halnya dengan atribut harga produk wisata perlu dioptimalkan dengan meningkatkan infrastruktur pendukung sebagai parameter utama dalam pengembangan wisata, sehingga dengan infrastruktur yang memadai diharapkan akan meningkatkan kunjungan wisata sekaligus meningkatnya nilai produk wisata. Dengan pola pemanfaatan eksisting saat ini pendapatan masyarakat cenderung rendah, karena itu pemerintah perlu membuat kebijakan pemanfaatan kawasan konservasi yang ramah lingkungan dengan memberikan ruang pemanfatan bagi masyarakat seperti pengembangan perikanan dan ekowisata sehingga kegiatan ini akan berpengaruh pada jumlah penyerapan tenaga kerja yang sekaligus akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat lokal. 5.5.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial dan Budaya Dimensi sosial yang telah dianalisis dengan Rap-CM memberikan nilai indeks keberlanjutan sebesar 58,34 % dengan status cukup berkelanjutan (Gambar 45). Posisi titik nilai indeks yang berada pada sumbu x, merupakan indikasi bahwa pengelolaan yang dilakukan sekarang cenderung ke arah yang kurang baik walaupun masih dalam kategori cukup berkelanjutan. Karena itu perlu upaya-upaya pengelolaan yang lebih baik untuk memperbaiki atribut-atribut yang berpengaruh negatif terhadap nilai indeks tersebut. Sedangkan artribut yang
berpengaruh
positif
terhadap
nilai
indeks
keberlanjutan
dipertahankan atau bahkan lebih ditingkatkan.
Gambar 45. Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial
harus
153
Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan
dimensi
sosial-budaya,
adalah:
(1)
Tingkat
pengetahuan
masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi; (2) Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi; (3) Persepsi masyarakat terhadap pengembangan
perikanan
karang;
(4)
Persepsi
masyarakat
terhadap
pengembangan ekowisata; (5) partisipasi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata; (6) Tingkat penyerapan tenaga kerja dalam pengembangan ekowisata; (7) Potensi konflik pemanfaatan kawasan; dan (8) Tingkat penyerapan tenaga kerja dalam pengembangan perikanan karang dan 9) Tingkat mobilitas ekonomi dan sosial masyarakat. Berdasarkan hasil analisis Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial, yaitu: (1) Tingkat penyerapan tenaga kerja dalam pengembangan ekowisata ; (2) Persepsi masyarakat dalam pengembangan ekowisata; dan (3) Potensi konflik pemanfaatan kawasan. Atribut-atribut tersebut perlu dikelola dengan baik agar nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya ini meningkat pada masa yang akan datang. Pengelolaan atribut dilakukan dengan cara meningkatkan peran setiap atribut yang memberikan dampak positif dan menekan setiap atribut yang berdampak negatif terhadap indeks keberlanjutan dimensi sosial dalam optimasi pemanfaatan ruang di kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang. Hasil analisis Leverage untuk dimensi sosial dapat dilihat pada Gambar 46.
Gambar 46. Peran atribut dimensi Sosial dalam nilai Root Mean Square
154
Persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata
di kawasan
konservasi G.Sulat-G.Lawang sangat terkait dengan manfaat yang mereka peroleh dari pengembangan untuk aktifitas tertentu dalam kawasan. Pada kondisi eksisting saat ini dimana masyarakat cenderung kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari akibat mata pencaharian yang terbatas, sementara pengembangan ekowisata saat ini belum menunjukkan dampak positif yang signifikan karena tingkat serapan tenaga kerja yang rendah menyebabkan persepsi masyarakat terhadap pengembangan ekowisata kurang positif, karena masyarakat belum merasakan manfaat pengembangan ekowisata di daerahnya. Persepsi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam menentukan pola pikir individu, sehingga apabila pemanfaatan suatu kawasan mampu menyerap jumlah tenaga kerja yang relatif besar, maka penerimaan masyarakat terhadap kebijakan pengembangan kawasan konservasi menjadi positif karena akan membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitar. Dengan demikian masyarakat akan merasa memiliki terhadap kawasan sebagai sumber mata pencaharian mereka. Kondisi ini akan berdampak pada kemauan dan kesediaan masyarakat dalam menjaga dan mengawasi berbagai model pemanfaatan dalam kawasan konservasi. Apabila masyarakat memiliki kesadaran dalam menjaga kawasan atau sumberdaya yang ada di dalamnya, maka pengelolaan kawasan konservasi akan dapat dilakukan secara berkelanjutan. Sedangkan atribut lain yang cukup sensitif dalam mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang adalah potensi konflik pemanfaatan kawasan. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa potensi konflik pemanfaatan di kawasan konservasi tersebut cukup tinggi karena tingginya tingkat pemanfaatan kawasan ini. Konflik yang umum terjadi adalah konflik antara nelayan pemancing ikan karang dengan masyarakat yang menangkap menggunakan bagang dan panah. Kedua jenis pemanfaatan terakhir ini relatif sulit dibina oleh masyarakat setempat, karena pelaku aktivitas tersebut berasal dari luar desa/dusun. Oleh karena itu pemerintah sebagai pemegang otorita pengelolaan kawasan perlu melakukan upaya pembinaan dan pengawasan bagi perusak sumberdaya disertai dengan penegakan hukum lingkungan secara efektif. Disamping tugas pemerintah dalam membina
masyarakat
peningkatan
yang
partisipasi
pengembangan
memanfaatkan
masyarakat
ekowisata.
Dengan
kawasan
juga semakin
perlu
konservasi, ditingkatkan
meningkatnya
upaya dalam
partisipasi
155
masyarakat dalam pemanfaatan ekowisata, diharapkan sekaligus masyarakat sebagai pengawas sumberdaya yang ada di kawasan, karena apabila pemanfaatan kawasan dilakukan dengan cara yang tidak ramah lingkungan akan menyebabkan kerusakan sumberdaya sebagai salah astu aset penting dalam pengembangan ekowisata. 5.5.4 Status Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan Dimensi
kelembagaan
dengan
sepuluh
atribut
yang
dianalisis
menggunakan Rap-CM menghasilkan nilai indeks keberlanjutan 34.73% dengan status kurang berkelanjutan (Gambar 47). Walaupun posisi titik nilai indeks keberlanjutan berada pada kwadran positif berarti kecenderungan pengelolaan sekarang ke arah lebih baik, akan tetapi nilai indeks keberlanjutan yang rendah dengan status kurang berkelanjutan. Hal ini mengindikasikan adanya atributatribut yang perlu perbaikan dengan segera. Sebab apabila hal ini tidak dilakukan maka kegiatan pemanfaatan kawasan tidak akan terlaksana dengan maksimal. Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat keberlanjutan dimensi kelembagaan, adalah (1) Keberadaan aturan pengelolaan kawasan konservasi; (2) Dukungan pemerintah dalam pengelolaan kawasan konservasi; (3) Adanya zonasi pada kawasan konservasi; (4) Penegakan hukum lingkungan; (5) Dukungan infrastruktur penunjang dalam pemanfaatan kawasan ; (6) Sinkronisasi kebijakan lintas sektor dalam pengelolaan kawasan konservasi; (7) Keberadaan dan efektivitas fee konservasi; (8) Keberadaan lembaga sosial dalam pengelolaan kawasan konservasi; (9). Keberadaan lembaga adat di sekitar kawasan konservasi, dan (10) Keberadaan aturan-aturan adat.
Gambar 47. Indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan
156
Analisis Leverage dilakukan untuk melihat atribut-atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi kelembagaan. Berdasarkan hasil analisis tersebut diperoleh tiga atribut paling sensitif diantara atribut lainnya, yaitu : (1) Keberadaan aturan adat dalam pengelolaan kawasan; (2) Dukungan infrastruktur penunjang dalam pemanfaatan kawasan; dan (3) Penegakan hukum lingkungan, seperti terlihat pada Gambar 48. Keberadaan aturan-aturan adat memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan kawasan mengingat masyarakat sekitar kawasan G.SulatG.Lawang memiliki hubungan kekerabatan yang tinggi dalam komunitas mereka, sehingga dalam mengelola sumberdaya yang ada dibutuhkan adanya aturanaturan adat yang mudah dipatuhi oleh masyarakat terutama yang
berkaitan
dengan pengelolaan kawasan konservasi. Namun keberadaan aturan adat belum sepenuhnya tersosialisasi terutama kepada masyarakat yang memanfaatkan kawasan dari luar, sehingga masyarakat dari luar komunitas sekitar kawasan belum mentaati aturan-aturan adat yang diberlakukan di kawasan konservasi. Begitu pula dengan kebijakan atau dukungan infrastruktur penunjang kegiatan pengembangan kawasan serta keberadaan pemegang otorita pengelolaan kawasan konservasi. Hal ini dapat dipahami mengingat dalam pengelolaan kawasan konservasi khususnya dibutuhkan peran berbagai pihak atau stakeholders yang berkepentingan dalam pemanfaatan kawasan. Adanya otorita atau pemegang kewenangan dalam pengelolaan konservasi dimaksudkan agar pemegang tanggung jawab dalam pengelolaan kawasan lebih jelas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan dalam mengelola kawasan, kondisi ini akan berdampak positif bagi keberlanjutan pengelolaan kawasan.
Gambar 48. Peran atribut dimensi kelembagaan dalam nilai RMS .
157
Adanya penegakan hukum yang tegas terhadap pelanggar atau perusak sumberdaya dalam positif
pengelolaan kawasan konservasi juga akan berdampak
pada keberlanjutan pengelolaan kawasan,
karena akan mampu
mengeliminir terjadinya eksploitasi secara tak terkendali dalam pemanfaatan kawasan. 5.5.5. Status Keberlanjutan Multidimensi Agar nilai indeks ini dimasa yang akan datang terus meningkat sampai mencapai status berkelanjutan perlu perbaikan-perbaikan terhadap atribut-atribut yang sensitif berpengaruh terutama terhadap nilai indeks dimensi kelembagaan. Sebab nilai indeks keberlanjutan ke dua dimensi tersebut berada pada status kurang
berkelanjutan. Bukan hanya nilai
indeks keberlanjutan dimensi
kelembagaan yang perlu diperbaiki akan tetapi nilai indeks keberlanjutan tiga dimensi yang lain juga masih bisa ditingkatkan sehingga statusnya berubah dari cukup berkelanjutan menjadi berkelanjutan. Adapun nilai indeks lima dimensi keberlanjutan hasil analisis Rap-KK seperti disajikan pada Gambar di bawah ini.
Gambar 49. Diagram Layang-layang Indeks Keberlanjutan Multi Dimensi.
Hasil analisis Rap-KK multidimensi keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang berdasarkan kondisi yang ada, diperoleh nilai 54.11 % yang berarti termasuk kedalam status cukup berkelanjutan. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian 37 atribut dari 4 dimensi yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan. Posisi titik nilai indeks keberlanjutan tersebut berada pada kwadran positif yang berarti pengelolaan berjalan ke arah yang baik. Nilai indeks keberlanjutan tersebut disajikan pada Gambar 50.
158
Nilai indeks keberlanjutan cukup baik namun tetap harus ada upaya untuk memperbaiki atribut yang berdampak negarif terhadap nilai indeks keberlanjutan serta mempertahankan atau meningkatkan atribut yang telah berdampak positif terhadap nilai indeks keberlanjutan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi.
Gambar 50. Indeks Keberlanjutan Multidimensi Pengelolaan
Atribut yang sensitif memberikan kontribusi terhadap nilai indeks keberlanjutan multidimensi berdasarkan hasil analisis Leverage dari keempat dimensi sebanyak 16 atribut (Gambar 51). Untuk meningkatkan status keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi perlu perbaikan pada atributatribut tersebut. Atribut yang berdampak positif terhadap peningkatan nilai indeks keberlanjutan ditingkatkan kapasitasnya dan sebaliknya menekan kapasitas atribut yang berdampak negatif terhadap nilai indeks keberlanjutan. Hasil analisis Monte Carlo pada taraf kepercayaan 95 % menunjukkan nilai indeks keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang tidak banyak berbeda dengan hasil analisis Rap-CM. Hal ini berarti bahwa kesalahan analisis dapat diperkecil dalam hal skoring setiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, dan kesalahan dalam menginput data dan data hilang dapat dihindari. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan antara hasil analisis MDS dan Monte Carlo disajikan pada Tabel 28.
159
Gambar 51. Peran atribut multidimensi dalam bentuk nilai Root Mean Square
Tabel 28. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan analisis MDS dan Monte Carlo Nilai indeks keberlanjutan (%) Dimensi keberlanjutan MDS Monte Carlo perbedaan Ekologi 62.94 60.85 2.09 Ekonomi 58.84 57.83 1.01 Sosial 56.47 56.35 0.12 Kelembagaan 39.62 39.13 0.49 Multi Dimensi 54.11 53.43 0.68
Hasil analisis Rap-CM menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji terhadap status keberlanjutan pengelolaan kawasan konservasi G.SulatG.Lawang cukup akurat. Ini terlihat dari nilai stress yang berkisar antara 12-15 % dan nilai koefisien determinasi (R²) berkisar antara 0.91-0.95.
Hasil analisis
cukup memadai apabila nilai stress lebih kecil dari 0.25 (25 %) dan nilai R² mendekati nilai 1.0 (Fisheries 1999) seperti terlihat pada Tabel 29. Tabel 29. Nilai Stress dan Koefisien Determinasi (R²) Hasil Analisis Rap-KK Parameter Stress R² Iterasi
A 0.14 0.92 3
B 0.14 0.92 3
Dimensi keberlanjutan C E 0.15 0,15 0.91 0.94 3 2
F 0,12 0.95 2
160
5.8. Arahan Pengelolaan Kawasan Konservasi G.Sulat-G.Lawang Upaya
untuk
memenuhi
kebutuhan
dan
kepentingan
diri
dan
lingkungannya dibatasi oleh hak individu lainnya serta daya dukung lingkungan dalam memenuhi tujuan tersebut (Bengen, 2004), karena itu perlu optimasi pemanfaatan ruang kawasan melalui penatakelolaan secara berkelanjutan, agar kebutuhan manusia dapat terpenuhi sekaligus menjaga sumberdaya agar tetap lestari. Upaya untuk mencapai keseimbangan antara ketersediaan sumberdaya dan kebutuhan manusia dilakukan melalui penentuan jenis pemanfaatan, teknologi dan besaran aktivitas dengan daya dukung lingkungan, karena itu setiap aktivitas ekonomi atau pembangunan di suatu kawasan harus didasarkan pada analisis kesesuaian lahan dan daya dukung lingkungan. Penataan lokasi pemanfaatan kawasan konservasi untuk pengembangan perikanan karang dan ekowisata bahari sangat penting dalam menentukan optimasi pemanfaatan kawasan berdasarkan aspek ekologi, ekonomi dan sosial. Pemanfaatan
kawasan
dengan
berbagai
dimensi
diharapkan
dapat
meningkatkan kesejahteraan dan menyerap tenaga kerja yang didasarkan pada daya dukung dan kapasitas kawasan, karena itu penentuan alokasi pemanfaatan kawasan secara optimal harus didasarkan pada : (1) kesesuaian lahan; (2) daya dukung lingkungan dan informasi ilmiah sebagai acuan dalam memformulasi kebijakan penatakeloaan kawasan yang dapat dipertanggungjawabkan. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan implementasi nyata melalui koordinasi, kerjasama
dan
komitmen
para
pemangku
kepentingan,
agar
tercapai
pengelolaan kawasan secara optimal. Interaksi antara sektor publik dan swasta sangat diperlukan untuk memecahkan persoalan masyarakat dan menciptakan kesempatan sosial (Kooiman et al. 2005 dalam Adrianto 2006). Implikasi hasil analisis dalam penelitian ini ditujukan untuk melihat kondisi stok sumberdaya akibat perubahan pemanfaatan dan pengaruhnya terhadap pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang. Atribut ini dinilai dari tingkat kepentingan dan besarnya pengaruh terhadap perubahan seluruh dimensi setelah dilakukan analisis dinamik. Jika persyaratan tersebut terpenuhi, maka atribut yang dianalisis dapat diimplementasikan dalam suatu program yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi berbasis daya dukung. Hasil analisis dalam model dinamik memerlukan tindak lanjut dalam bentuk program secara terintegarsi, dan dapat dilakukan secara simultan bagi seluruh dimensi yang memiliki atribut penting (sensitif) agar tercapai keberlanjutan
161
pengelolaan kawasan konservasi (Orams 1999 dalam Lappo, 2010). Optimasi pengelolaan kawasan konservasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tercapainya tujuan pengelolaan sumberdaya di kawasan konservasi (kelestarian sumberdaya alam, budaya serta peningkatan kualitas hidup masyarakat dan daerah). Hasil analisis dinamik menunjukkan bahwa jika atribut upaya konservasi diefektifkan, kondisi terumbu karang dan mangrove semakin membaik, partisipasi masyarakat lokal meningkat serta infrastruktur pendukung diperbaiki, sehingga kelestarian sumberdaya tercapai dan kesejahteraan masyarakat lokal meningkat. Beberapa pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi secara optimal adalah : 1. Pengelolaan kawasan konservasi memerlukan koordinasi dan sinergitas lintas sektor (antara Dinas Kehutanan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan serta Pemda terkait), karena kedua lembaga memiliki kewenangan/otorita dalam pengelolaan kawasan konservasi, dimana pengelolaannya dapat dilakukan dalam satu manajemen. 2. Pengelolaan kawasan konservasi memerlukan penggabungan atribut penting terkait dengan upaya konservasi, partisipasi masyarakat dan perbaikan infrastruktur serta penguasaan teknologi bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan koordinasi dan komitmen seluruh stakeholder dalam mengimplementasikan program dengan dukungan
anggaran yang
relatif besar dan waktu yang relatif lama. 3. Pengelolaan biaya konservasi yang bersumber dari belanja wisatawan untuk program konservasi. Fee yang dikenakan harus memenuhi prinsip: pengguna dan poluter yang membayar (user and polluter pay), biaya bersama (cost sharing), perasaan, pemilikan dan mengurus bersama, sistem adaptif dan pendekatan ekosistem (Greiner et al. 2000). 4. Jika pengelolaan kawasan konservasi dihadapkan pada permasalahan biaya konservasi sumberdaya, maka penggabungan atribut yang terkait dengan aspek pemanfaatan selain ekowisata yaitu perikanan karang dapat diandalkan untuk mengoptimalkan pengelolaan kawasan konservasi. 5. Pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan kawasan serta berbagai aktivitas yang ada di kawasan, penegakan aturan formal, setiap aktifitas pemanfaatan dalam kawasan konservasi dapat meningkatkan ekonomi masyarakat lokal dan penyerapan tenaga kerja.
162
Atas dasar pertimbangan diatas, implikasi dari hasil penelitian ini dituangkan dalam bentuk kebijakan pemerintah melalui program-program yang terintegrasi dan dilakukan secara simultan guna pencapaian tujuan pengelolaan kawasan konservasi secara optimal di kawasan konservasi laut daerah G.Sulat-G.Lawang. Ini berarti bahwa rencana dan pelaksanaan program aksi pada satu dimensi pembangunan diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas dimensi lainnya. Implikasi kebijakan pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan hasil kajian dapat diperiksa pada matriks berikut : Tabel 30. Implikasi kebijakan pengelolaan kawasan konservasi N o Dimensi dan atribut penting
Tujuan Program
1
Ekologi Kesesuaian wisata selam Kesesuaian wisata mangrove Pemanfaat an untuk Perikanan Karang Daya dukung kualitas perairan
Melakukan konservasi sumberdaya mangrove terumbu karang lamun lingkungan perairan
2
Ekonomi Harga Perikanan Karang Upah tenaga kerja Penerimaan wisata
Ekonomi masyarakat lokal meningkat berkontribusi ke PAD Menggalang dana konservasi
Output yang Diinginkan
Program /kegiatan
Luasan dan kualitas Rehabilitasi sumberdaya sumberdaya (mangrove, terumbu (rehabilitasi karang dan lamun) mangrove, meningkat transplantasi Eksistensi obyek karang dan wisata terjaga terumbu buatan. Kualitas perairan Pengaturan sesuai dan pada jumlah level daya dukung wisatawan sesuai daya dukung kawasan, menyusun paket wisata serta distribusi wisatawan ke obyek wisata lain Pendidikan lingkungan bagi masyarakat lokal, Penelitian dan pengembangan secara berkala. Kesejahteraan Pelatihan masyarakat lokal manajemen bagi meningkat masyarakat Pendapatan usaha lokal, Pelibatan wisata meningkat masyarakat Perekonomian dalam setiap daerah meningkat program pem Diversifikasi usaha berdayaan. meningkat dan Perbaikan menguntungkan infrastruktur penunjang jalan desa, pelabuhan, jadwal transportasi, penambahan prasarana
Stakeholders yang terlibat PEMDA Prov dan Kabupaten KSDA, Masyarakat lokal LSM PT Pelaku wisata (swasta) Pengusaha
PEMDA Prov dan Kabupaten Masyarakat lokal Pelaku wisata (swasta) Pengusaha
163
komunikasi, penyediaan air bersih, prasarana kesehatan, pendidikan dan peribadatan 3
Sosial Penyerapan tenaga kerja Perubahan kualitas hidup masyarakat lokal
4 .
Kelembagaan
Mempertahan Kesejahteraan kan sistem sosial masyarakat lokal (sikap dan meningkat perilaku) dan nilai Pendapatan usaha budaya lokal wisata meningkat Peningkatan partisipasi masyarakat lokal
Kelembagaan Efektivitas fee konservasi sumberdaya Ketersediaan infrastruktur pendukung
Meningkatkan peran lembaga masyarakat dan kelembagaan pengelola KKLD Mengurangi konflik antar pengguna sumberdaya
Pelatihan manajemen bagi masyarakat lokal, Pelibatan masyarakat dalam setiap program pem berdayaan. Perbaikan infrastruktur penunjang (jalan desa, pelabuhan, jadwal transportasi, penambahan prasarana komunikasi, penyediaan air bersih, prasarana kesehatan, pendidikan dan peribadatan
Masyarakat lokal Pemda LSM Usaha wisata Perguruan Tinggi
Pembentukan lembaga promosi wisata Revitalisasi kelompok yang pernah tumbuh dalam komunitas pesisir. Penumbuhan lembaga formal dan non formal dalam komunitas pesisir . Penegakan hukum bagi pelanggaran lingkungan Menumbuhkan nilai-nilai kearifan lokal yang dituangkan dalam bentuk aturan-aturan adat
Masyarakat lokal Pemda LSM Usaha wisata Perguruan Tinggi
164
6. SIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Hasil evaluasi penataan zona di KKLD G.Sulat-G.Lawang tahun 2004 dilakukan hanya mempertimbangkan kriteria kesesuaian ekologis tanpa mempertimbangkan kriteria sosial dan ekonomi. Berdasarkan hasil analisis dalam penelitian tahun 2010, luas KKLD G.Sulat-G.Lawang 3.166,92 ha (2.156,27 ha terumbu karang dan lamun serta 1010,65 ha mangrove) terdiri dari zona inti 193,83 ha atau 44, 02 % dari luas terumbu karang dan lamun. Zona pemanfaatan terbatas 143,33 atau 32,55 % dari luas terumbu karang dan lamun, Zona rehabilitasi seluas 93,11 ha dan zona perairan lainnya seluas 1 726 ha.
2. Analisis daya dukung kawasan menunjukkan luas terumbu karang untuk wisata selam 10,8 ha dengan jumlah kunjungan 6900 orang/tahun atau 150 orang/hari, wisata snorkeling 27,9 ha dengan jumlah kunjungan 5520
orang/tahun atau 120 orang/hari, wisata mangrove 23,4 ha dengan jumlah kunjungan 10 580 orang/tahun atau 230 orang/hari, sedangkan perikanan karang 108 ha dengan produksi 15 120 kg/tahun atau 90 kg/hari. 3. Pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang sampai saat ini belum optimal. Potensi sumberdaya ekowisata belum dimanfaatkan secara efektif. Jumlah kunjungan wisatawan pada kondisi eksisting 782 orang/tahun, sementara daya dukung untuk ekowisata bahari 22.000 orang/tahun, disebabkan oleh terbatasnya infrastruktur penunjang serta kurangnya promosi. Sedangkan kegiatan penangkapan ikan karang telah melebihi daya dukung, dengan rata-rata tangkapan 17,4 ton/tahun sedangkan daya dukung perikanan karang sebesar 16,64 ton/tahun. 4. Hasil analisis optimasi menggambarkan bahwa skenario optimum merupakan pilihan yang paling ideal dalam pengelolaan kawasan konservasi G.Sulat-G.Lawang. Pada kondisi optimum penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat meningkat tanpa menurunkan kualitas ekosistem kawasan. Optimasi pengelolaan kawasan konservasi juga dapat dicapai melalui integrasi lintas sektor dan integrasi berbagai dimensi pengelolaan dalam bentuk program konservasi sumberdaya, pengembangan ekowisata secara optimal disertai dengan pelibatan masyarakat.
165 5.
Atribut penting yang
perlu dioptimalkan dalam pengelolaan kawasan
konservasi G.Sulat-G.Lawang adalah rehabilitasi sumberdaya mangrove, terumbu karang dan lamun serta peningkatan infrastruktur penunjang ekowisata. 6.2. Saran 1. Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Timur perlu menindak lanjuti hasil kajian melalui : memasang tanda batas zona di kawasan konservasi dan melakukan sosialisasi agar masyarakat dapat memahami secara jelas batas-batas zona yang boleh dimanfaatkan. 2. Dukungan secara terus-menerus dari struktur kekuatan politik legislatif dan eksekutif sangat diperlukan agar aturan-aturan pengelolaan bisa dijalankan sekaligus sebagai upaya pencegahan konflik antar pemanfaat. 3. Peningkatan partisipasi masyarakat lokal dan pengaturan fee konservasi diperlukan guna kelestarian sumberdaya. Kegiatan perikanan tangkap dan ekowisata dikombinasikan secara efektif dengan konservasi secara terencana untuk meminimalisir dampak kerusakan lingkungan. 4. Upaya pembatasan jumlah dan tipe wisatawan yang berkunjung serta ketepatan pendidikan wisata perlu dilakukan agar dapat mereduksi kerusakan lingkungan. 5. Peningkatan infrastruktur yang memadai serta pembinaan teknis kepada masyarakat
sebagai
tuan
pengembangan ekowisata.
rumah
dalam
mendukung
kegiatan
166
DAFTAR PUSTAKA Adrianto L 2006. Mewujudkan Tata Kelola Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan : Gelombang Ketiga Tata Kelola Kelautan dan Perikanan. Makalah pada pertemuan Forum Perguruan Tinggi Kelautan dan Perikanan Seluruh Indonesia. Batam, 28-31 Agustus 2006 Adrim dan Hutomo 1989. Species Composition Distribution and Abundance of Chaetodontidae Along Reef Transects in the Flores Sea. Netherlands Journal of Sea Research, 23(2): 85-93. Agardy, TS, 1997 Marine Protected Areas and Ocean Conservation. Academic Presss. Inc. San Diego California. Alcala, A.C 1988. Effects of Marine Reserves on Coral Fish Abudances and Yields of Philippines Coral Reefs. AMBIO, Vol. 17, (3) : 194-199. Alcala, A.C dan Russ 1990. A Direct Test of the Effects of Protective Management of Abudance and Yield of Tropical Marine Resources. J. Cons. int. Explor.Mer., Vol. 46, pp. 40-47. Alder J, TJ Pitcher, D Preikshot, K Kaschner & B. Ferriss 2001. How Good is Good?: A Rapid Appraisal Technique For Evaluation Of The Sustainability Status Of Fisheries Of The North Atlatic. Fisheries Centre. University Of British Columbia. Vancouver, Canada. Arifin, T., D.G. Bengen dan J.I. Pariwono 2002. Evaluasi Kesesuaian Kawasan Pesisir Teluk Palu untuk Pengembangannya Pariwisata Bahari. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol 4 (2). Hal 25 - 35. Balai Konservasi Sumberdaya Alam NTB 2006. Laporan Hasil Inventarisasi Flora Fauna di Kawasan Konservasi Nusa Tenggara Barat. Barbier E 1994. Valuing Environmental Functions :Tropical Wetlands. Land Economics 70 (2) : 155 – 173. Barton DN. 1994. Economic factors and valuation of tropical coastal resources. Norway: University of Bergen. Beller W. 1990. How to sustain a small island, In Beller, et al. Sustainable Development and Environment Management of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5, UNESCO and The Parthenon Publishing Group. Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. PKSPL FPIK-IPB. Bengen DG 2002. Pengembangan Konsep Daya Dukung Dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Kantor Kementrian Lingkungan Hidup RI dan Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor. Bengen, DG 2002. Sinopsis Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya.Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut (PKSPL) IPB Bogor Bengen, DG 2004. Ragam Pemikiran Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan Berbasis Ekososiosistem, P4L Bogor.
167
Berkes F, Mahon R, Patrick P, McConey R, Pollnac, Pomeroy R 2001. Managing Small-Scale Fisheries. Alternative Direction and Methods Canadas International Devolepment Research Centre (IDRC) Budiharsono, S. 2006. Konsep Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan Berkelanjutan. Dalam: Sistem Perencanaan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri, Sekjen DKP Jakarta. Camara, 1996. Exploring Geographyc Systems. University of Washington. Cesar, H 1997. Nilai ekonomi terumbu karang Indonesia, Agriculture Operation Division CDIII. East Asia Pacific Region, Environment Department, The World Bank. Cicin-Sain, B dan Robert W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices, (Washington, DC: Island Press 1998), p. 39. Cicin-Sain B, P Bernal, V. Vandeweerd, S. Belfiore and K. Goldstein 2002. A guide to oceans, coasts and islands at the World Summit on sustainable development. Integrated Management from Hilltops to Oceans. World Summit on Sustainable Development Johannesburg, South Africa August 26-September 4. CIT (Coast Information Team) 2004. Ecosystem Based Management Planning Handbook. Cortex Consultants Inc., 3A–1218 Langley St. Victoria Clark J. 1974. Coastal Ecosystems: Ecological consideration for management of the coastal zone. The Conservation Foundation, Washington, D.C. 178p. Christie, P, D. Makapedua, dan L.T.X. Lalamentik 2003. Bio-Physical Impacts and Links to Integtrated Coastal Management Sustainability in Bunaken National Park, Indonesia. dalam Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. Special Edition, No. 1, hal. 8. Dahuri R, J Rais, S P Ginting dan M.J. Sitepu 1998. Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta. Davison, M.L. dan CL. Skay. 1991. Multidimensional Scaling and Factor Model Of test and Items Respons. Psychologycal Bulletin,1991 Vol. 110 No. 3. 551-556. American Psychological Association.Inc. Departemen Kelautan dan Perikanan RI 2001. Pedoman Umum Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Ditjen Pesisir an Pulau-Pulau Kecil. Jakarta. 21 hal Departemen Kelautan dan Perikanan RI 2002. Pedoman umum perencanaan pengelolaan pesisir. Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta De Santo, R.S. 1978. Concepts of Applied Ecology. Springer-Verlag. New York. Erdmann, M.V. 2001. Banggai Cardinalfish Invade Lembeh Strait. Coral Reefs (20): 252-253. English, S, C. Wilkinson, dan V. Baker, 1994, Survey manual for tropical marine resources, Austtralian Institute of Marine Science, Townsville. Eriyatno 1998. Ilmu Sistem Meningkatkan Mutu dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor.
168
Eriyatno dan F Sofyar 2007. Riset Kebijakan Metode Penelitian untuk Pascasarjana. IPB Press. Bogor. FAO. 2001. Indicators for Sustainable Development of Marine Capture Fisheries. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No. 08 Food and Agriculture Organization (FAO) Rome. Fahrudin, A 2008. The implementation of improvement of coral reefs uses. Istecs Journal, V 14-24 Fahrudin, A and C. Noell 2003. The implementation of improvement of coral reefs uses. Istecs Journal, V 14-24 Falkland A. 1991. Hydrology and water resources of small islands : a practical guide. Paris: IHP-UNESCO. Fauzi, A dan Anna S 2002. Evaluasi Status Keberlanjutan Pembangunan Perikanan. Aplikasi Pendekatan Rapfish (Studi Kasus Perairan Pesisir DKI Jakarta). Jurnal Pesisir dan Lautan. Vol. 4930. Fauzi, A dan Anna S 2002. Penilaian Depresiasi Sumberdaya Perikanan Sebagai Bahan Pertimbangan Penentuan Kebijakan Pembangunan Perikanan. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol 4(2). Hal 36-49. Fisheries. 1999. Rapfish Softwere for Exel. The Fisheries Centre, University of British Columbia, Fisheries Center Research Reports. GESAMP 2001.Planning and Management For Sustainable Coastal Aquaculture Development. IMO/FAO/UNESCO-IOC/WMO/WHO/IAEA/UN/UNEP FAO. Report No. 68. 87 p. Gomez, E.D. dan H. T. Yap. 1988. Monitoring Reef Condition. P:187-195 dalam R.A. Kenchington dan B.E.T. Hudson (eds.), Coral Reef Management Handbook. UNESCO Regional Office for Science and Technology for South East Asia. Jakarta. Good JW, Weber JW, Charland JW. 1999. Protecting estuaries and coastal wetlands through state coastal zone management programs. Coastal Management, 27:139–186. Gulland, J.A. 1983. Fish Stock Assesment: A Manual of Basic Methods. John Wiley & Sons Inc., Chichester. Halim, K.A. 2000. Kajian Peningkatan Status Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Tim Kajian Kabupaten Adminstrasi Kepulauan Seribu. Jakarta. 149. Halpern, B. 2003. The impact of Marine Reserve: do Reserve Work and Does Size Matter? Ecological Application. Hartrisari 2007. Sistem Dinamik Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP (Southeast Asian Regional Center for Tropical Biology). Harjowigeno S., Widiatmaka 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Lahan. Bogor : Jurusan Tanah Faultas Pertanian IPB. Hein PL 1990. Economic Problems and Prospects of Small Islands in Bell. Sustainable Development and Environmental Management of Small Island. UNESCO
169
Heershman, M.J., J.W. Good, T.Bernd-Cohen, R.F. Goodwin, V. Lee and P. Pogue, 1999. The Effectiveness of Coastal Zone Management in the United States. Journal Coastal Management, 27: 113-138. Hickling and M.W Beck 2007. Putting life into ecosystem-based management theory: a planning application using spatial information on marine biodiversity and fisheries. Proceedings of Coastal Zone 07 Portland, Oregon July 22 to 26, 2007 Hocutt,C.H 2001. Fish as Indicators Biological Integrity. Fisheries,Vol.6(6):28-31. Holling, C.S., D.W. Schindler, B.W. Walker, dan J. Roughgarden. 2002. Biodiversity in the Functioning of Ecosystem: an Ecological Synthesis. Dalam Perrings, C., K.G. Maller, C. Folke, C.S. Holling, dan B.O. Jasson (editor): Biodiversity Loss, Economic and Ecological Issues. Cambridge University Press, Cambridge. Pp.: 44-83. Hopley, D., Suharsono. 2000. The Status and Management of Coral Reef in Eastern Indonesia. Report Commisioned by the Australian Institue of Marine Science for the David and Lucile Packard Foundation, USA. March 2000 Hutomo, M 1986, Coral reef fish community. Training course in coral reef research methods and management vol. II, SEAMEO-BIOTROP, Bogor : 54-72. Hutomo M 1986. Coral Reef Fish Resources and Their Relation to Reef Condition : Some Case Studies in Indonesian Water.Biotrop spec.Publication(19):6778. IUCN 2006. The Future of Sustainability: Re-thinking Environment and Development in the Twenty-first Century. Report of the IUCN Renowned Thinkers Meeting, 29-31 January 2006. Downloadable at www.iucn.org 1 Oktober 2007. IUCN UNEP and WWF (Internacional Union fo The Conservation`of Nature, United Nation Environment Programme and World Wide Fund for Nature) 1980.Caring for the earth :a strategy for sustainable living. Gland and Cambridge IUCN (Internacional Union fo The Conservation`of Nature) 1994. United Nation list of national park and protected area. Switzerland : IUCN Gland Karr, J.R 2002. Assessment of Biotic Integrity Using Fish Communities. Fisheries. Vol.6(6): 21-27. Kavanagh, P and Tony J. Pitcher. 2004. Implementing Microsoft Excel Software For Rapfish: A Technique For the Rapid Appraisal of Fisheries Status. The Fisheries Centre, University of British Columbia, 2259 Lower Mall. Fisheries Centre Research Reports 12(2). Kay, R., and J. Alder 2005. Coastal planning and management. E & FN Spon, London and New York. Kementerian Lingkungan Hidup dan FPIK IPB. 2005. Laporan Akhir: Pengembangan Konsep daya Dukung Dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Bogor: Kementerian Lingkungan Hidup kerjsama dengan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
170
Kholil 2005. Rekayasa Model Sistem Dinamik Pengelolaan sampah Terpadu Berbasis Nirlimbah (Zero Waste). Studi Kasus di Jkarta Selatan (Disertasi). Bogor. Program pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Laapo A, Masyahoro A, Nilawati J. 2007. Estimasi potensi ekonomi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Tojo Una-Una. Jurnal Agroland, 14 (2):140-144. Legendre, L. dan P. Legendre. 1983. Numerical Ecology. Develompments in Environmental Modeling, 3. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam. Li, Eric, A. 2000. Optimum Harvesting with Marine Reserves. North American Journal of Fisheries Management 20: 882-896. Maanema, M 2003. Model Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil (Studi Kasus di Gugus Pulau Pari Kepulauan Seribu). Disertasi Doktor Sekolah Pascasarjan Institut Pertanian Bogor, Bogor. McNeely J.A., Thorsell J.W., Ceballos-Lascuráin 1994. Guidelines: Development of national parks and protected areas for tourism. 2nd edition. Published by the Neudecker, S. 1981. Growth and Survival of Scleractinian Corals Exposed to Thermal Effluents at Guam. Prociding 4th International Coral Reef Symposium, Manila, 1: 173-180. MPA News. 2002. MPA Perspective: MPAs Improve General Management, While Marine Reserves Ensure Conservation. Vol. 4, No. 1, p. 5. Muhamadi, Aminullah E, Soesilo B 2001. Analisis Sistem Dinamis. UMJ Press Jakarta Nybakken, J. W 1992. Biologi laut : Suatu pendekatan ekologis (terjemahan : Eidman, M; Koesoebiono, D.G. Bengen; M. Hutomo dan S. Sukardjo), Gramedia, Jakarta. Nontji A. 2003. Tiada Kehidupan di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI. Jakarta. Pacific Consultants International 2001. Study on Fisheries Development Policy Formulation. Volume I. White Paper. Report by Pacific Consultants International under Jakarta Fishing Port / Market Development Project (Phase IV: JBIC Loan No. IP-403). Pastorok, R.A. dan G.A. Bilyard. 1985. Effect of Sewage Pollution on Coral Reef Communities. Marine Ecology. Progress Series. Tetra Tech. Inc. Volume 48 (43): 272-178. Pearce DG, Kirk RM 1986. Carrying Capacities for Coastal Tourism. Ind, Environ. 9(1): 3-7. Pearce D, Moran D 1994 . The Economics value of Biodiversity, IUCN. Pearce D, Turner RK 1980. Economics of Natural Resourcers and The Environment. Harvester Wheatsheaf. Peraturan Menteri No 17 tahun 2008. Tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2007. Tentang Konservasi sumberdaya Ikan. Perrings, C., K-G. Maler, C. Folke, C.S. Holling, dan B-O. Jasson. 2003. Introduction: Framing the Problem of Biodiversity Loss. In Perrings, C., K-
171
G. Maler, C. Folke, C.S. Holling, dan B-O. Jasson (editor): Biodiversity Loss, Economic and Ecological Issues. Cambridge University Press, Cambridge. Pp 1-17. Pitcher TJ, Preikshot D. 2001. RAPFISH: a rapid appraisal technique to evaluate the sustainability status of fisheries. Fisheries Research, 49 (2001): 255270 Pollnac, R. 2003. Factors Influencing the Sustainability of Integrated Coastal Management Projects in Central Java and North Sulawesi. In Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources. Special Edition, No. 1,hal. 33. Pollnac R., R. Pomeroy, dan L. Bunce. 2003. Factors Influencing the Sustainability of Integrated Coastal Management Project in Central Java and North Sulawesi, Indonesia. Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003. Rauf Abd 2007. Pengembangan Terpadu Pemanfaatan Ruang Kepulauan Tanakeke Berbasis Daya dukung. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Roberts C.M. dan J.P. Hawkins. 2000. Fullyprotected Marine Reserves: A guide. WWF in Washington D.C. USA, University of York, York, UK. 131 p. Ruitenbeek H.J. 2001. An Economic Analysis of the Spawning Aggregation Function in Komodo National Park, Indonesia. SPC Live Reef Fish Bulletin 9 pp. Salm, R.V., J.R. Clark and E. Siirila, 1982. Marine and Coastal protected Areas. A Guide for Planner and Managers. Third Edition, IUCN, Gland Switzerland. 370 pp. Sievanen L. Shifting Communities and Sustainability Implications. Indonesian Journal of Coastal and Marine Resources, Special Edition, No. 1, 2003. Salm, Rodney V, J.R. Clark and E. Siirila. 2000. Marine and Coastal Protected Areas: A Guide for Planners and Managers.Third Edition.International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Gland, Switzerland. Sickle,
J.V. 1997. Using Mean Similarity Dendrograms to Evaluate Classifications. Journal of Agricultural, Biological and Environmental Statistics. Dynamac International, Inc.
Stephen B. Olsen ( 2002). Frameworks and indicators for assessing progress in integrated coastal management initiatives. Coastal Resources Center, University of Rhode Island, Narragansett, RI 02882, USA Surat Keputusan Bupati Kabupaten Lombok Timur No. SK 188.45/452/KP/2004 tentang Penetapan KKLD G.Sulat-G.Lawang Kabupaten Lombok Timur. Soekarno. 2001. Comparative Studies on the Status of Indonesian Coral Reefs. Netherlands Journal of Sea Research 23: 215-222. Soselisa, A. 2008. Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak Nomfor, Papua. Disertasi, Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor, 248 p. Sugandhy A. 1999. Penataan Ruang dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
172
Suharsono RK, Pipe, Brown BE. 1990. Cellular and Ultrastructure Changes in the Endoderm of the Temperature Sea Anemone Anemonia viridis as a Result of Increased Temperature. Journal of Marine Biology (116): 311-318. Suharsono dan Yosephine, M.I. 1994. Perbandingan Kondisi Terumbu Karang di Pulau Nyamuk Besar dan Pulau Onrust Tahun 1929, 1985, dan 1993 dan Hubungannya dengan Perubahan Perairan Teluk Jakarta. Prosiding Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. Jakarta, 7 September 1994. Puslitbang Oseanologi – LIPI. Jakarta. Susilo, SB. 2003. Keberlanjutan Pembangunan Pulau-Pulau Kecil: Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari, Kepualauan Seribu, DKI Jakarta. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 598/MenhutII/2009. Tentang Pengukuhan Hutan Lindung Gili Sulat-Gili Lawang. TERANGI. 2004. Pengenalan Ikan Karang Secara Visual Indonesia. Indonesian Coral Reef Foundation. Jakarta Tisdell C. 1996. Ecotourism, economic, and the environment: Observation from China. Journal of Travel Research, 34 (4):11-19. in. Tisdell C. Tourism economics, the environment and development: analysis and policy. Brisbane: Department of Economics University of Queensland. __________ 1998. Measuring the costs to tourism of pollution, especially marine pollution: analysis and concept, in. Tisdell C. Tourism economics, the environment and development: analysis and policy. Brisbane: Department of Economics University of Queensland. _________ 1998a. Ecotourism: aspects of its sustainability and compatibility with conservation, social and other objectivities. Australian Journal of Hospitality Management, 5(2):11-21, in. Tisdell C. Tourism economics, the environment and development: analysis and policy. Brisbane: Department of Economics University of Queensland. Tomboelu N, D G Bengen dan VPH Nikijuluw 2000. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang di Kawasan Bunaken dan Sekitarnya, Sulawesi Utara. Jurnal Pesisir dan Lautan, Vol. 3, No. 1, 2000, hal 51 – 67. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
2007
Tentang
UNESCO., 1991. Hydrology and Water Resources of Small Islands: A Practical Guide. Studies and Report on Hydrology No.49. Prepared by. A.Falkland (ed) and E. Custodio with contribution from A. Diaz Arenas and L. Simler. Paris, France. 435p. Young, F.W. & Hamer, R.M. 1987. Multidimensional Scaling: History, Theory and Applications. Erlbaum, New York. http://forrest.psych.unc.edu/teaching/ p230 / p230.html. [28 Juni 2001]. Yulianda, F. 2006. Pengelolaan Sumberdaya Hayati Pesisir dan Lautan. Materi Kuliah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Bogor. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
173
Yulianda F 2007. Ekowisata Bahari Sebagai Alternatif Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Berbasis Konservasi. Seminar Sains Dept. MSP-FPIK IPB. Bogor. Wiadnya D G R, R Djohani, M.V.Erdmann., A. Halim., M. Knight., Peter J. Mous., Jos Pet., dan L. Pet-Soede. 2005. Kajian kebijakan pengelolaan Perikanan tangkap di Indonesia. Pembentukan Kawasan Perlindungan Laut. Westmacott SKT, Wells S, West J. 2000. The World Conservation Union. www:http://www.iucn.org. White, A.T dan A.C. Trinidad. 1998. The Values of Philippine Coastal Resources: Why Ptotection and Management are Critical. Coastal Resource Management Project, Cebu City, Philippines. Williams D Mc 1991. Patterns and process in the distribution of coral reef fishes, dalam : The ecology of fishes on coral reef, pp. 437-474. In Sale PF (ed) Academic Press. INC. San Diego, USA.
Lampiran 1. Jumlah Curah Hujan setiap Bulan Tahun 2004-2009 di Kabupaten Lombok Timur Tahun
Bulan Januari
2004 29
2005 89
2006 12
2007 267
2008 88
2009 53
Februari
16
224
81
502
197
22
Maret
22
126
58
1.055
74
46
April
10
90
79
499
196
137
Mei
21
160
79
387
160
45
Juni
19
129
103
664
58
328
Juli
14
59
33
769
69
70
Agustus
18
39
-
74
45
41
September
-
22
9
43
-
-
Oktober
7
31
48
311
7
35
November
28
94
35
517
25
-
Desember
30
161
138
498
150
90
Sumber : BPS 2009.
Lampiran 2. Jumlah hari hujan setiap bulan pada Tahun 2004-2009 di Kabupaten Lombok Timur Tahun
Bulan Januari
2004 8
2005 11
2006 9
2007 43
2008 9
2009 5
Februari
7
11
12
44
10
2
Maret
7
6
8
59
5
4
April
7
6
7
35
10
10
Mei
10
9
8
41
10
4
Juni
9
7
5
52
5
20
Juli
3
7
5
47
9
7
Agustus
1
2
-
12
5
1
September
-
2
1
8
-
-
Oktober
1
2
1
10
1
2
November
2
6
3
29
3
-
Desember
7
15
12
46
11
9
Sumber : BPS 2009.
Lampiran 3 Data Oseanografi dan Kualitas Air di Kawasan Gili Sulat-Gili Lawang, 2010
Stasiun
Salinitas
O2
pH
Kecerahan
Substrat
Suhu
Kec. Arus
KL1
27,7
2,8
6,82
0,2
pasir
KL2
27,4
4,16
7,83
0,23
KL3
27,4
4,56
7,93
0,26
Gelombang
Kedalaman
32
0,1667
0,05
1
batu karang
31,5
0,119
0,05
5
Pasir
32,7
0,109
0,1
4,5
KL4
26,7
4,9
7,30
0,28
Pasir
32,2
0,177
0,17
6
KL5
28,9
3,63
7,38
0,25
Pasir
29,5
0,1515
0,03
1
KL6
29,6
3,889
7,40
1,31
lumpur
30,7
0,104
0,1
4,5
KL7
29,3
3,6
7,70
1,35
pasir berlumpur
30
0,11
0,03
4,5
KL8
29,1
4,12
8,14
1,31
pasir berlumpur
30
0,263
0,02
6
KL9
30,2
3,81
7,02
1,41
lumpur
29,8
0,36
0,03
7,5
KL10
30,7
3,71
7,99
1,34
lumpur
29,9
0,297
0,03
10,5
KL11
30,6
3,42
7,66
2,80
Pasir
30,9
0,4
0,3
18
KS1
30,3
3,69
7,12
2,89
pasir berlumpur
30,4
0,556
0,35
18
KS2
30,3
3,88
7,23
2,83
30,5
0,362
0,37
19
KS3
30,4
3,77
7,01
2,90
berlumpur pasir,pecahan karang
30
0,416
0,37
19,5
KS4
30,3
3,51
2,98
lumpur
29,9
0,32
0,45
21
7,09
Skor Kriteria Kesesuaian Kawasan Konservasi Gili Sulat-Gili Lawang No
KRITERIA Tinggi (3)
KATEGORI Sedang (2)
Rendah (1)
Terdapat 4 ekosistem Terdapat > 10 life form Terdapat > 120 jenis Terdapat > 5 jenis Terdapat > 5 jenis
Terdapat 2-3 ekosistem Terdapat 6-9 life form Terdapat 61 – 120 jenis Terdapat 4 – 5 jenis Terdapat 4 – 5 jenis
Terdapat 1 ekosistem Terdapat < 5 life form Terdapat < 61 jenis Terdapat 1 - 3 jenis Terdapat 1 - 3 jenis
Tutupan karang 75 – 100% Tdk terdapat abrasi pantai (< 10%) Terdapat semua komponen
Tutupan karang 51 – 74%
Tutupan karang < 50%
Abrasi pantai 10 - 50%
Abrasi pantai > 50%
Terdapat 2 – 3 komponen
Terdapat komponen
Tidak berpenduduk Terbuka semua sisi Terdapat > 3 pulau dlm gugusan
Berpenduduk sementara 50% terbuka
berpenduduk
Terdapat 2 - 3 pulau dlm gugusan
Bukan bagian gugus pulau
Terdapat 5 – 6 komponen
Terdapat 3 - 4 komponen
Terdapat 1 - 2 komponen
EKOLOGI 1
Keanekaragaman Hayati a. Ekosistem b. Jenis Karang (life form) c. Jenis ikan kaarang d. Jenis Lamun e. Jenis mangrove
2
Kealamian a. Kondisi Terumbu Karang
b. Kondisi pantai
3
Keunikan/kelangkaan jenis
4
Kerentanan Pulau a. Status pulau b. Keterbukaan terhadap samudera
5
Keterkaitan pulau
1
EKONOMI Spesies penting
1
25% terbuka
2
Kepentingan Perikanan
3
Bentuk ancaman
4
Pariwisata
1
SOSIAL Dukungan Masyarakat
2
Lokasi Rekreasi
3
Budaya
4
Estetika
5
Konflik Kepentingan
6
Keamanan
7
Aksesibilitas
8
Kepedulian Masyarakat
9
Penelitian dan Pendidikan
1
KELEMBAGAAN Keberadaan lembaga sosial
2
Dukungan infrastruktur sosial
Memenuhi 5 – 6 kriteria Memenuhi 4 kriteria Terdapat 3 komponen
Memenuhi 3 – 4 kriteria Memenuhi 2- 3 kriteria Terdapat 2 komponen
Memenuhi 1 – 2 kriteria Memenuhi 1 kriteria Terdapat 1 komponen
Terdapat dukungan semua stakeholders Terdapat 3 komponen Terdapat 3 komponen Terdapat semua komponen Memenuhi semua komponen Aman Sepanjang musim Tersedia alat transport reguler Memenuhi tiga kriteria Memenuhi tiga kriteria
Terdapat 3 – 4 dukungan
Terdapat 1 – 2 dukungan
Terdapat 2 komponen Terdapat 2 komponen Terdapat 3 – 4 komponen
Terdapat 1 komponen Terdapat 1 komponen Terdapat 1 – 2 komponen
Memenuhi dua komponen
Memenuhi satu komponen
Aman pada salah satu musim Tersedia transport masyarakat Memenuhi dua kriteria Memenuhi dua kriteria
Tdk aman sepanjang musim Sewa transport masyarakat
Terdapat > 2 lembaga sosial Terdapat > 1 linfrastruktur
Terdapat 1 lembaga sosial
Tidak ada lembaga sosial
Terdapat 1 linfrastruktur
Tidak ada infrastruktur
Memenuhi satu kriteria Memenuhi satu kriteria
3
sosial Dukungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Dukungan pemerintah
sosial Dukungan Pemerintah Pusat atau Daerah
Skor Tercapai Kesesuaian Penetapan Kawasan Konservasi Laut Gili Lawang . KRITERIA PG EKOLOGI 1. Keragaman Hayati Pulau 1.1. Ekosistem 1.2. Life Form Karang 1.3. Spesies Ikan Karang 1.4. Spesies Lamun 1.5. Spesies Mangrove 2. Kealamian Pulau 2.1. Persen Tutupan Karang 2.2. Abrasi Pantai 3. Keunikan Pulau 4. Kerentanan Pulau 4.1. Status (berpenduduk / tidak) 4.2. Tingkat keterbukaan thd laut 5. Keterkaitan Pulau TOTAL NILAI I EKONOMI 1. Spesies Penting 2. Kepentingan Perikanan 3. Bentuk Ancaman 4. Pariwisata
PK
PJ
LG
LOKASI P S
BM I
BM II
MK
2 3 2 3 3
2 3 2 3 3
2 3 1 2 3
2 2 1 2 3
2 2 2 2 3
2 2 2 1 3
2 2 2 1 3
2 2 2 1 3
2 2 2 1 3
3 3 2
3 3 2
1 3 1
1 3 1
1 3 1
2 3 2
2 3 2
2 3 2
2 3 2
3 3 2 29
3 3 2 29
3 2 2 23
3 2 2 20
3 2 2 20
3 2 2 24
3 3 2 25
3 3 2 25
3 3 2 25
3 2 2 2
3 2 2 2
2 2 2 2
2 2 2 2
2 2 2 2
3 2 2 2
3 2 2 2
3 2 2 2
3 2 2 2
sosial Tidak ada dukungan Pemerintah
TOTAL NILAI II SOSIAL 1. Dukungan masyarakat 2. Rekreasi 3. Budaya 4. Estetika 5. Konflik Kepentingan 6. Keamanan 7. Aksesibilitas 8. Kepedulian 9. Penelitian dan Pendidikan TOTAL NILAI III KELEMBAGAAN 1. Keberadaan Lembaga Sosial 2. Dukungan Infrastruktur Sosial 3. Dukungan Pemerintah TOTAL NILAI IV TOTAL NILAI I + II + III + IV Persentase dari Nilai Total (84)
9
9
8
8
8
9
3 2 2 2 2 3 2 3 3 22
3 2 2 2 2 3 2 3 3 22
3 2 2 2 2 3 2 3 3 22
3 2 2 2 2 3 2 3 3 22
3 2 2 2 2 3 2 3 3 22
3 2 2 2 2 3 2 3 3 22
3 3 3 9 69 82,14
3 3 3 9 69 82,14
3 3 3 9 62 73,80
3 3 3 9 59 70,23
3 3 3 9 59 70,23
3 3 3 9 64 76,19
9
9
9
3 2 2 2 3 2 2 3 3 22
3 2 2 2 3 2 2 3 3 22
3 2 2 2 3 2 2 3 3 22
3 3 3 9 65 77,38
3 3 3 9 65 77,38
3 3 3 9 65 77,38
Sumber: modifikasi Yulianda, 2009 Keterangan : PG = Poto Gili ; PK = Pondok Kecil ; PJ = Pondok Jaya ; LG = Luar Gili ; P = Pekaje ; S =Selang ; BM I = batu Mandi I ; BM II = Batu Mandi II
Skor Tercapai Kesesuaian Zonasi di Kawasan Konservasi Gili Sulat KRITERIA PI EKOLOGI 1. Keragaman Hayati Pulau 1.1.Ekosistem 1.2.Life Form Karang 1.3.Spesies Ikan Karang 1.4.Spesies Lamun 1.5.Spesies Mangrove 2.Kealamian Pulau 2.1. Persen Tutupan Karang 2.2. Abrasi Pantai 3.Keunikan Pulau 4.Kerentanan Pulau 4.1. Status (berpenduduk/tidak) 4.2. Tingkat keterbukaan terhadap laut 5. Keterkaitan Pulau TOTAL NILAI I EKONOMI 1. Spesies Penting 2. Kepentingan Perikanan 3. Bentuk Ancaman 4. Pariwisata TOTAL NILAI II
SOSIAL 3.1. Tingkat Dukungan masyarakat 3.2. Rekreasi 3.3. Budaya 3.4. Estetika 3.5. Konflik Kepentingan 3.6. Keamanan 3.7. Aksesibilitas
LOKASI TM P
P II
LG I
LG II
LG III
LG IV
MT
KB
2 2 2 2 3
2 2 2 2 3
2 2 2 1 3
2 2 2 1 3
2 2 2 1 3
2 3 2 3 3
2 3 2
2 3 2
2 3 2
2 3 2
2 3 2
3 2 2 25
3 2 2 25
3 3 2 25
3 3 2 25
3 2 2 2 9
3 2 2 2 9
3 2 2 2 9
3 2 2 2 2 3 2
3 2 2 2 2 3 2
3 2 2 2 2 3 2
L
2 3 1 2 3
2 2 1 2 3
2 2 2 2 3
2 3 1 2 3
2 3 2 3 3
3 3 2
1 3 1
1 3 1
1 3 1
1 3 1
3 3 2
3 3 2 25
3 3 2 29
3 2 2 23
3 2 2 20
3 2 2 20
3 2 2 23
3 3 2 29
3 2 2 2 9
3 2 2 2 9
3 2 2 2 9
2 2 2 2 8
2 2 2 2 8
2 2 2 2 8
3 2 2 2 9
3 2 2 2 9
3 2 2 2 2 3 2
3 2 2 2 2 3 2
3 2 2 2 2 3 2
3 2 2 2 2 3 2
3 2 2 2 2 3 2
3 2 2 2 2 3 2
3 2 2 2 2 3 2
3 2 2 2 2 3 2
3.8. Kepedulian 3.9. Penelitian dan Pendidikan TOTAL NILAI III KELEMBAGAAN 4.1. Keberadaan Lembaga Sosial 4.2. Dukungan Infrastruktur Sosial 4.3. Dukungan Pemerintah TOTAL NILAI IV TOTAL NILAI I + II + III + IV Persentase dari Nilai Total (84)
3 3 22
3 3 22
3 3 22
3 3 22
3 3 22
3 3 22
3 3 22
3 3 22
3 3 22
3 3 22
3 3 22
3 3 3 9 65 77,3 8
3 3 3 9 65 77,3 8
3 3 3 9 65 77,3 8
3 3 3 9 65 77,3 8
3 3 3 9 65 77,3 8
3 3 3 9 69 82,1 4
3 3 3 9 62 73,3 0
3 3 3 9 57 67,3 6
3 3 3 9 57 67,3 6
3 3 3 9 63 75,0 0
3 3 3 9 69 82,1 4
Keterangan : PI = Pegatan I ; P II = Pegatan II ; LG I = Luar Gili I ; LG II = Luar Gili II ; LG III = Luar Gili III TM = Tanjak Mukur ; P = Panaean ; LG IV = Luar Gili IV ; MT = Menanga Todak ; KB = Kampir Biar ; L= Landi
Lampiran 3. Zona Inti kawasan Konservasi Laut Daerah Gili Sulat-Gili Lawang No
Lokasi
1
Stasiun Poto Gili
2
Stasiun Pondok Kecil
3
Stasiun Landi
4
Stasiun Tanjak Mukur
Karakter Ekologi Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairaan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairaan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairan tenang
Posisi Geografis
Luas (Ha)
460 56’ 38’’ LU 9080 43’ 88’’ BT 460 54’ 55’’ LU 9080 37’ 05’’ BT 450 78’ 56’’ LU 9080 06’ 25’’ BT 470 16’ 93’’ LU 9070 75’ 77’’ BT
40,03 45,00 30,72 43,08
TOTAL
158,83
Lampiran 4. Zona Pemanfaatan Terbatas Kawasan Konservasi Laut Daerah Gili Sulat-Gili Lawang No
Lokasi
1 Stasiun Pegatan 1
2 Stasiun Pegatan 2
3 Stasiun Luar Gili 1
4 Stasiun Luar Gili 2
6 Stasiun Luar Gili 3
Karakter Ekologi Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairaan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, arus keras Mangrove, Terumbu Karang, arus kuat Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, arus kuat Mangrove, Terumbu Karang, arus kuat
Posisi Geografis 460 78’ 11’’LU 9080 08’ 83’’BT 460 85’ 16’’LU 9080 13’ 20’’ BT 460 91’ 48’’ LU 9080 11’ 62’’ BT 460 96’ 22’’ LU 9080 06’ 96’’ BT 470 04’ 92’’ LU 9070 95’ 48’’ BT
Luas (Ha) 5,00 4,00
7 Stasiun Penanean
8 Stasiun Menanga 2 todak
9 Stasiun Kampir Blek
10 Stasiun Pekaje
11 Stasiun Selang
12 Stasiun Batu Mandi I
14 Stasiun Batu Mandi II
15 Stasiun Menanga Kapal
16 Stasiun Pondok Jaga
17 Stasiun Luar Gili
18 Stasiun Gili luar 4
TOTAL
Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairaan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairaan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, arus kuat Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, arus kuat Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, arus kuat Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairaan tenang
470 08’ 53’’ LU 9070 80’ 18’’ BT 460 86’ 09’’ LU 9070 92’ 38’’ BT 460 81’ 02’’ LU 9080 15’ 28’’BT 460 73’ 02’’ LU 9080 15’ 52’’ BT 460 75’ 68’’ LU 9080 25’ 22’’ BT 460 82’ 27’’ LU 9080 27’ 35’’ BT 460 80’ 25’ LU 9080 36’ 29’’ BT 460 72’ 06’’ LU 9080 15’ 28’’ BT 460 60’ 64’’ LU 9080 32’ 01’’ BT 460 66’ 17’’ LU 9080 25’ 95’’ BT 460 97’ 10’’ LU 9070 89’ 21’’ BT
1,00
24,00 21,00 30,00 30,00
Lampiran 5. Zona Pemanfaatan Terbatas Kawasan Konservasi Laut Daerah Gili Sulat-Gili Lawang No
Lokasi
1 Stasiun Pegatan 2
2 Stasiun Penanean
3 Stasiun Menanga 2 todak
4 Stasiun Kampir Blek
5 Stasiun Pekaje
6 Stasiun Pondok Jaga
7 Stasiun Luar Gili
8 Stasiun Gili luar 4
Karakter Ekologi Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, arus keras Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairaan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairaan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairan tenang Mangrove, Terumbu Karang, Padang Lamun, perairaan tenang
Posisi Geografis
Luas (Ha) 4,00
460 85’ 16’’LU 9080 13’ 20’’ BT
1,00 0
47 08’ 53’’ LU 9070 80’ 18’’ BT 460 86’ 09’’ LU 9070 92’ 38’’ BT 460 81’ 02’’ LU 9080 15’ 28’’BT
24,00 0
46 73’ 02’’ LU 9080 15’ 52’’ BT 460 60’ 64’’ LU 9080 32’ 01’’ BT 460 66’ 17’’ LU 9080 25’ 95’’ BT 460 97’ 10’’ LU 9070 89’ 21’’ BT
TOTAL
Skor Tercapai Kesesuaian Pemanfaatan Perikanan Karang Laut Gili Lawang . KRITERIA PJ
LG
P
LOKASI S BM I
BM II 3 3 3 2 1 2 14 77,77
MK
Kecerahan perairan (%) 3 2 2 3 3 3 Tutupan komunitas karang (%) 2 2 2 3 3 3 Jenis life-form 2 2 2 2 3 3 Jenis ikan karang 2 2 2 3 2 2 Kecepatan arus (cm/det) 3 3 3 3 1 1 Kedalaman terumbu karang (m) 3 3 3 3 2 2 TOTAL NILAI 15 14 14 17 14 14 Persentase dari Nilai Total (18) 83,33 77,77 77,77 94,44 77,77 77,77 Sumber: modifikasi Yulianda, 2009 Keterangan : PJ = Pondok Jaya ; LG = Luar Gili ; P = Pekaje ; S =Selang ; BM I = batu Mandi I
BM II = Batu Mandi II
Skor Tercapai Kesesuaian Pemanfaatan Perikanan Karang Laut Gili Sulat KRITERIA P ll
LG I
LG II
LOKASI LG P III 3 1 3 1 3 1 2 1 1 3 2 3
LG IV 1 1 1 1 3 3
MT
KB
3 3 3 1 2 Kecerahan perairan (%) 3 3 3 2 2 Tutupan komunitas karang (%) 3 3 3 2 1 Jenis life-form 2 2 2 1 1 Jenis ikan karang 2 1 1 3 3 Kecepatan arus (cm/det) 2 2 2 3 3 Kedalaman terumbu karang (m) TOTAL NILAI 13 14 14 14 10 10 12 12 Persentase dari Nilai Total 72,22 77,77 77,77 77,77 55,55 55,55 66,66 66,66 (18) Keterangan : P II = Pegatan II ; LG I = Luar Gili I ; LG II = Luar Gili II ; LG III = Luar Gili III ; P = Panaean ; LG IV = Luar Gili IV ; MT = Menanga Todak; KB = Kampir Bier
Skor Tercapai Kesesuaian Pemanfaatan Budidaya Moluska Gili Lawang . KRITERIA
Keterlindungan Tinggi Gelombang (m) Kedalaman air (m/mnt) Kecepatan Arus (m/detik) Material Dasar Perairan Salinitas (o/oo) DO (ppm)
PJ 3 3 2 3 3 3 3 20 95,23
LOKASI LG 3 3 2 3 3 3 3 20 95,23
TOTAL NILAI Persentase dari Nilai Total (21) Sumber: modifikasi Yulianda, 2009 Keterangan : PJ = Pondok Jaya ; LG = Luar Gili ; P = Pekaje
P 3 3 2 3 3 3 3 20 95,23
Skor Tercapai Kesesuaian Pemanfaatan Budidaya Moluska Gili Sulat KRITERIA P
LOKASI LG IV MT
KB
Keterlindungan 3 3 3 3 Tinggi Gelombang (m) 3 3 3 3 Kedalaman air (m/mnt) 2 2 2 2 Kecepatan Arus (m/detik) 3 3 3 3 Material Dasar Perairan 3 3 3 3 Salinitas (o/oo) 3 3 3 3 DO (ppm) 3 3 3 3 TOTAL NILAI 20 20 20 20 Persentase dari Nilai Total (21) 95,23 95,23 95,23 95,23 Sumber: modifikasi Yulianda, 2009 Keterangan : P=Panaean; LG IV=Luar Gili IV; MT=Menanga Todak ; KB=Kampir Bier
Skor Tercapai Kesesuaian Pemanfaatan Budidaya Rumput Laut Gili Lawang . KRITERIA Keterlindungan
PJ 3
LOKASI LG 3
P 3
Kedalaman Perairan (Meter)
2
2
2
Material Dasar Perairan
3
3
3
Kecepatan Arus (cm/dt)
3
3
3
Kecerahan (meter)
3
3
3
Salinitas (o/oo)
3
3
3
o
Suhu air ( C)
3
3
3
DO (ppm)
3
3
3
TOTAL NILAI 23 23 Persentase dari Nilai Total (24) 95,83 95,83 Sumber: modifikasi Yulianda, 2009 Keterangan : PJ = Pondok Jaya ; LG = Luar Gili ; P = Pekaje
23 95,83
Skor Tercapai Kesesuaian Pemanfaatan Budidaya Rumput Laut Gili Sulat KRITERIA P
LOKASI LG IV MT
KB
Keterlindungan
3
3
3
3
Kedalaman Perairan (Meter)
2
2
2
2
Material Dasar Perairan
3
3
3
3
Kecepatan Arus (cm/dt)
3
3
3
3
Kecerahan (meter)
3
3
3
3
Salinitas (o/oo)
3
3
3
3
Suhu air (oC)
3
3
3
3
DO (ppm)
3
3
3
3
TOTAL NILAI 23 23 23 23 Persentase dari Nilai Total (24) 95,83 95,83 95,83 95,83 Sumber: modifikasi Yulianda, 2009 Keterangan : P=Panaean ; LG IV=Luar Gili IV; MT=Menanga Todak ; KB=Kampir Bier
Skor Tercapai Kesesuaian Pemanfaatan Ekowisata Selam Gili Lawang . KRITERIA Kecerahan perairan (%) Tutupan komunitas karang (%) Jenis life-form Jenis ikan karang Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman terumbu karang (m) Lebar hamparan datar karang (m) TOTAL NILAI
S
BM I
3 3 3 2 2 3 2 18
3 3 3 2 2 3 2 18
LOKASI BM II
MK
3 3 3 2 2 3 2 18
3 3 3 2 2 3 2 18
Persentase dari Nilai Total (21) 85,71 85,71 85,71 Sumber: modifikasi Yulianda, 2009 Keterangan : S =Selang ; BM I = batu Mandi I ; BM II = Batu Mandi II
85,71
Skor Tercapai Kesesuaian Pemanfaatan Ekowisata Selam Gili Sulat KRITERIA Kecerahan perairan (%) Tutupan komunitas karang (%) Jenis life-form Jenis ikan karang Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman terumbu karang (m) Lebar hamparan datar karang (m) TOTAL NILAI
P II 3 3 3 2 2 3 2 18
LG I 3 3 3 2 2 3 2 18
LOKASI LG II 3 3 3 2 2 3 2 18
LG III 3 3 3 2 2 3 2 18
Persentase dari Nilai Total (21) 85,71 85,71 85,71 85,71 Sumber: modifikasi Yulianda, 2009 Keterangan : P II=Pegatan II ; LG I=Luar Gili I ; LG II=Luar Gili II ; LG III =Luar Gili III
Skor Tercapai Kesesuaian Pemanfaatan Ekowisata Mangrove Gili Lawang . KRITERIA Ketebalan mangrove (m) Kerapatan mangrove (100 m2)
PJ 3 3
LOKASI LG P 3 3 3 3
S 3 3
Jenis mangrove(sp) 3 3 3 Jenis biota 2 2 2 Tinggi Pasut (m) 3 3 3 Jarak dari kawasan lainnya (m) 2 2 2 TOTAL NILAI 15 15 15 Persentase dari Nilai Total (18) 83,33 83,33 83,33 Sumber: modifikasi Yulianda, 2009 Keterangan : PJ = Pondok Jaya ; LG = Luar Gili ; P = Pekaje ; S =Selang
3 2 3 2 15 83,33
Skor Tercapai Kesesuaian Pemanfaatan Ekowisata Mangrove Gili Sulat KRITERIA P
LG IV
LOKASI MT
KB
Ketebalan mangrove (m) 3 3 3 3 Kerapatan mangrove (100 m2) 3 3 3 3 Jenis mangrove(sp) 3 3 3 3 Jenis biota 2 2 2 2 Tinggi Pasut (m) 3 3 3 3 Jarak dari kawasan lainnya (m) 2 2 2 2 TOTAL NILAI 15 15 15 15 Persentase dari Nilai Total (18) 83,33 83,33 83,33 83,33 Sumber: modifikasi Yulianda, 2009 Keterangan : P = Panaean ; LG IV = Luar Gili IV ; MT = Menanga Todak ; KB = Kampir Bier
Lampiran 3. Zona Inti kawasan Konservasi Laut Daerah Gili Sulat-Gili Lawang No
Lokasi
Karakter Ekologi
Posisi Geografis
Luas (Ha)
1
Stasiun Poto Gili
Mangrove Lamun Terumbu Karang
460 56’ 38’’ LU 9080 43’ 88’’ BT
200,50 20,50 35,50
2
Stasiun Pondok Kecil
Mangrove Lamun Terumbu Karang
460 54’ 55’’ LU 9080 37’ 05’’ BT
156,50 15,50 25,03
3
Stasiun Landi
Mangrove Lamun Terumbu Karang
450 78’ 56’’ LU 9080 06’ 25’’ BT
341,00 1,50 50,30
4
Stasiun Tanjak Mukur
Mangrove Lamun Terumbu Karang
470 16’ 93’’ LU 9070 75’ 77’’ BT
278,65 2,50 48,00
TOTAL
1.175,48
Lampiran 4. Zona Pemanfaatan Terbatas KKLD Gili Sulat-Gili Lawang No
1
Lokasi
Stasiun Pegatan 1 2 Stasiun Menanga 2 todak 3 Stasiun Kampir Bier 4 Stasiun Pegatan 2 5 Stasiun Luar Gili 1 6 Stasiun Luar Gili 2 7 Stasiun Luar Gili 3 8 Stasiun Selang 9 Stasiun Batu Mandi I 10 Stasiun Batu Mandi II 11 Stasiun Menanga Kapal 12 Stasiun Gili luar 4 TOTAL
Karakter Ekologi
Terumbu Karang, perairaan tenang Terumbu Karang, perairan tenang Terumbu Karang, perairan tenang Terumbu Karang, arus keras Terumbu Karang, arus kuat Terumbu Karang, arus kuat Terumbu Karang, arus kuat Terumbu Karang, perairan tenang Terumbu Karang, arus kuat Terumbu Karang, arus kuat Terumbu Karang, arus kuat Terumbu Karang, perairaan tenang
Posisi Geografis 460 78’ 11’’LU 9080 08’ 83’’BT
Luas (Ha) 12,00 13,00
460 86’ 09’’ LU 9070 92’ 38’’ BT 13,00 460 81’ 02’’ LU 9080 15’ 28’’BT 460 85’ 16’’LU 9080 13’ 20’’ BT 460 91’ 48’’ LU 9080 11’ 62’’ BT 460 96’ 22’’ LU 9080 06’ 96’’ BT 470 04’ 92’’ LU 9070 95’ 48’’ BT 460 75’ 68’’ LU 9080 25’ 22’’ BT
11,00 12,00 12,00 12,00 13,00 11,00
460 82’ 27’’ LU 9080 27’ 35’’ BT 11,00 460 80’ 25’ LU 9080 36’ 29’’ BT 11,00 460 9080 460 9070
72’ 15’ 97’ 89’
06’’ LU 28’’ BT 10’’ LU 21’’ BT
11,00 142
Lampiran 5. Zona Lainnya KKLD Gili Sulat-Gili Lawang No
Lokasi
Zona Rehabilitasi 1 Stasiun Penanean 2 Stasiun Menanga 2 todak 3 Stasiun Kampir Bier 4 Stasiun Pekaje 5 Stasiun Luar Gili 6 Stasiun Gili luar 4 TOTAL Zona Budidaya Perairan Lainnya TOTAL
Karakter Ekologi
Terumbu Karang, perairaan tenang Terumbu Karang, perairan tenang Terumbu Karang, perairan tenang Terumbu Karang, perairaan tenang Terumbu Karang, perairan tenang Terumbu Karang, perairaan tenang
Posisi Geografis
Luas (Ha)
470 08’ 53’’ LU 9070 80’ 18’’ BT
15,40 15,00
460 86’ 09’’ LU 9070 92’ 38’’ BT 460 81’ 02’’ LU 9080 15’ 28’’BT 460 73’ 02’’ LU 9080 15’ 52’’ BT 460 66’ 17’’ LU 9080 25’ 95’’ BT 460 97’ 10’’ LU 9070 89’ 21’’ BT 460 73’ 02’’ LU 9080 25’ 95’’ BT
15,00 17,00 14,00 16,71 93,11 201 1.726 2.020,11
Lampiran 6a. Matriks Skor Kesesuaian Pemanfaatan Perikanan Karang di Gili Lawang . KRITERIA LOKASI PJ LG P S BM I BM II Kecerahan perairan (%) 3 2 2 3 3 3 Tutupan komunitas karang 2 2 2 3 3 3 (%) Jenis life-form 2 2 2 2 3 3 Jenis ikan karang 2 2 2 3 2 2 Kecepatan arus (cm/det) 3 3 3 3 1 1 Kedalaman terumbu karang 3 3 3 3 2 2 (m) 15 14 14 17 14 14 TOTAL NILAI Persentase dari Nilai Total (18)
83,33
77,77
77,77
94,44
77,77
77,77
MK 3 3 3 2 1 2 14 77,77
Sumber: diolah dari kriteria Yulianda, 2009 Keterangan : PJ = Pondok Jaya ; LG = Luar Gili ; P = Pekaje ; S =Selang ; BM I = batu Mandi I BM II = Batu Mandi II
Lampiran 6b. Skor Kesesuaian Pemanfaatan Perikanan Karang Laut di Gili Sulat KRITERIA LOKASI P ll LG I LG II LG P LG III IV Kecerahan perairan (%) 3 3 3 3 1 1 Tutupan komunitas 3 3 3 3 1 1 karang (%) Jenis life-form 3 3 3 3 1 1 Jenis ikan karang 2 2 2 2 1 1 Kecepatan arus (cm/det) 2 1 1 1 3 3 Kedalaman terumbu 2 2 2 2 3 3 karang (m) TOTAL NILAI 13 14 14 14 10 10
MT
KB
1 2
2 2
2 1 3 3
1 1 3 3
12
12
Persentase dari Nilai Total 72,22 77,77 77,77 77,77 55,55 55,55 66,66 66,66 (18) Keterangan : P II = Pegatan II ; LG I = Luar Gili I ; LG II = Luar Gili II ; LG III = Luar Gili III ; P =
Panaean ; LG IV = Luar Gili IV ; MT = Menanga Todak; KB = Kampir Bier
Lampiran 7a. Matriks Skor Kesesuaian untuk Wisata Selam di Gili Lawang . KRITERIA Kecerahan perairan (%) Tutupan komunitas karang (%) Jenis life-form Jenis ikan karang Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman terumbu karang (m) Lebar hamparan datar karang (m) TOTAL NILAI
LOKASI S BM I 3 3 3 3
PJ 2 2
LG 2 2
P 2 2
1 1 3 3
1 1 3 3
1 1 3 3
3 2 2 3
2
2
2
2
14
Persentase dari Nilai Total (18) 66,66 Sumber: diolah dari kriteria Yulianda, 2009
BM II 3 3
MK 3 3
2 2 2 3
2 2 2 3
2 2 2 3
2
2
2
14
14
18
17
17
17
66,66
66,66
85,71
80,95
80,95
80,95
Keterangan : PJ = Pondok Jaya ; LG = Luar Gili ; P = Pekaje ; S =Selang ; BM I = batu Mandi I BM II = Batu Mandi II
Lampiran 7b. Skor Kesesuaian Pemanfaatan Wisata Selam di Gili Sulat KRITERIA
Kecerahan perairan (%) Tutupan komunitas karang (%) Jenis life-form Jenis ikan karang Kecepatan arus (cm/det) Kedalaman terumbu karang (m) Lebar hamparan datar karang (m) TOTAL NILAI Persentase dari Nilai Total (21)
LOKASI LG P III 3 1 3 1
P ll
LG I
LG II
3 3
3 3
3 3
3 2 2 3
2 2 2 3
2 2 2 3
2 2 2 3
2
2
2
2
LG IV 1 1
MT
KB
1 2
2 2
1 1 3 3
1 1 3 3
2 1 3 3
1 1 3 3
2
2
2
2
18
17
17
17
12
12
14
14
85,71
80,95
80,95
80,95
57,14
57,14
66,66
66,66
Keterangan : P II = Pegatan II ; LG I = Luar Gili I ; LG II = Luar Gili II ; LG III = Luar Gili III ; P = Panaean ; LG IV = Luar Gili IV ; MT = Menanga Todak; KB = Kampir Bier Lampiran 8. Skor Tercapai Kesesuaian Pemanfaatan Ekowisata Mangrove Gili Sulat KRITERIA P 3 3 3 2 3 2 15 83,33
LG IV 3 3 3 2 3 2 15 83,33
LOKASI MT 3 3 3 2 3 2 15 83,33
KB Ketebalan mangrove (m) 3 2 Kerapatan mangrove (100 m ) 3 Jenis mangrove(sp) 3 Jenis biota 2 Tinggi Pasut (m) 3 Jarak dari kawasan lainnya (m) 2 TOTAL NILAI 15 Persentase dari Nilai Total 83,33 (18) Sumber: modifikasi Yulianda, 2009 Keterangan : P = Panaean ; LG IV = Luar Gili IV ; MT = Menanga Todak ; KB = Kampir Bier