Prosiding Simposium Terumbu Karang II
2008 IX. INVENTARISASI BENTHIC LIFE FORM DAN APLIKASI MARXAN DI GILI LAWANG – GILI SULAT, LOMBOK TIMUR 1
Eghbert Elvan Ampou dan Candhika Yusuf
Abstrak Rancangan suatu daerah konservasi laut atau lebih dikenal sebagai Kawasan Konservasi Laut (KKL) haruslah memenuhi tujuan dari KKL itu sendiri. Tujuan dari suatu KKL dapat berbeda satu dengan lainnya akan tetapi secara khusus tetap terfokus pada perlindungan ekosistem yang akan mengarah kepada konservasi keanekaragaman hayati dan perikanan yang berkesinambungan, salah satunya ekosistem terumbu karang. Gili Lawang dan Gili Sulat, Lombok Timur adalah salah satu Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang telah berdiri di Indonesia. Pendekatan dengan menggunakan perangkat lunak MARXAN telah dilakukan dengan tujuan untuk menentukan zonasi baru pada KKLD tersebut. Target sebagai “No Take Zone” adalah sebesar 30% dari total luas studi KKLD. Pendekatan tersebut berdasarkan atas data survey in – situ seperti keanekaragaman benthic life form ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun serta digabung dengan data penginderaan jauh. Inventarisasi benthic life form telah dilakukan pada 4 titik pengamatan pada bulan Juli 2007 dengan metode Point Intersept Transect (PIT). Sebagai hasilnya, distribusi terumbu karang secara umum terdapat 17 jenis kategori benthic life form, dengan variasi terbanyak pada Site I Gili Sulat pada kedalaman 0 – 15 m dan Site IV Gili Lawang pada kedalaman 0 – 20 m. Melalui proses MARXAN didapatkan luasan “No Take Zone” yang meliputi ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun sebesar 473.221 Ha. Penting untuk disadari bahwa hasil dari MARXAN bukanlah suatu keputusan, melainkan lebih kepada rekomendasi guna pengembangan zonasi pada wilayah KKLD tersebut. Kata Kunci : KKLD Gili Sulat Gili Lawang, Benthic Life Form, MARXAN
I.
PENDAHULUAN
Kawasan pesisir dan laut Indonesia memiliki potensi dan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (mega biodiversity) dan termasuk dalam kawasan CTC (Coral Triangle Center, TNC 2008). Tingginya potensi dan keanekaragaman hayati tersebut baik dalam bentuk keanekaragaman genetik, spesies maupun ekosistem merupakan aset yang sangat berharga, untuk menunjang pembangunan ekonomi Indonesia. Tingginya keanekaragaman hayati perairan tersebut dapat memberikan manfaat bagi lingkungan dan kesejahteraan rakyat Indonesia bila dikelola secara optimal dan berkelanjutan dengan memperhatikan karakteristik dan daya dukung (carrying capacity) lingkungan, serta mengacu pada setiap peraturan dan perundang-undangan yang telah ditetapkan (Anonimous 2007). Berdasarkan sifatnya, ekosistem pesisir dapat bersifat alami (natural) atau buatan (man 1
Balai Riset dan Observasi Kelautan – Bali, BRKP – DKP Marine Conservation Team Website : www.brok-dkp.net Email :
[email protected] ;
[email protected]
85
Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II COREMAP II - DKP
Prosiding Simposium Terumbu Karang II
2008 made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove (mangrove forest), padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuaria, laguna, delta, dan eksosistem pulau kecil (Dahuri, 2003). Kawasan Konservasi laut Daerah (KKLD) dan Calon Kawasan Konservasi Laut Daerah (CKKLD) saat ini sebanyak 23 buah dengan luas 28.893.431 Ha, Luas terumbu karang dan sudah mendapatkan legalitas Pemerintah seluas 7,2 juta Ha. Tahun 2010, luas terumbu karang ditargetkan sebesar 10 juta Ha dan mulai meningkat sebesar 20 juta Ha di tahun 2020 tergantung luasnya KKLD dan CKKLD perlu dilakukan penentuan zonasi kawasan konservasi laut sehingga pengelolaan kawasan konservasi laut terlaksana secara sustainable (Anonimous 2007). Di Indonesia sampai saat ini kegiatan monitoring dan tersedianya database terumbu karang masih dirasakan kurang. Demikian juga dengan tersedianya peta zonasi terumbu karang khususnya untuk daerah kabupaten / kota. Tujuan penelitian ini adalah inventarisasi jenis benthic life form terumbu karang sebagai bahan database dalam pemodelan zonasi dengan menggunakan software MARXAN.
II.
MATERI DAN METODE
Lokasi penelitian dilakukan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Pulau Gili Lawang dan Gili Sulat, Kecamatan Sambelia, Desa Sambelia, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat pada tanggal 25 – 28 Juni 2007.
Gambar 9.1
Peta Lokasi Penelitian – Lokasi Point Intersept Transect S1, S2, S3, S4 (Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP, 2002)
Metode survey terumbu karang yang digunakan adalah Point Intersept Transect (English et al., 1994). Transek digelar sepanjang 50 meter dan digelar dimulai dari pesisir kearah pantai (perpendicular) . Setiap 0,5 m diidentifikasi / visual census jenis life form yang ada. 86
Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II COREMAP II - DKP
Prosiding Simposium Terumbu Karang II
2008 Perhitungan persen cover dari tiap biota yang dicatat diketahui dengan menggunakan rumus, Bianchi, et al. (2004) yaitu : r % = P /Ptot X 100 x
x
dimana : r %
:
Percent cover dari x
P
:
Jumlah point transect dimana x yang ditemukan
:
Jumlah total point transect yang dilakukan
x
x
Ptot
Kategori kesehatan terumbu karang berdasarkan tingkat persen penutupan karang keras hidup dapat dilihat berdasarkan kategori yang dikemukakan oleh Sukarno (1994);
Tabel 9.1 Kategori Persentase Penutupan Karang Persentase Penutupan (%)
Kategori
0 – 25
Kritis/Rusak Sekali
26 –50
Rusak
51 – 70
Sehat
71 – 100
Sehat sekali
Pemodelan zonasi digunakan software MARXAN - Marine Reserve Design using Spatially Explicit Annealing ver. 1.8.2 (Ball, 2000). MARXAN adalah sebuah perangkat lunak yang dapat digunakan untuk membantu merancang sebuah kawasan perlindungan laut atau jejaring kawasan perlindungan laut. MARXAN dijalankan dengan bantuan perangkat lunak Arc View 3.3 dan ekstensi CLUZ (The Conservation Land – Use Zoning). Ide yang mendasari pengembangan MARXAN ini adalah permasalahan perencana konservasi dalam menentukan daerah konservasi karena daerah perencanaan potensial yang luas sehingga banyak kemungkinan daerah yang akan dipilih sebagai daerah konservasi sehingga diharapkan adanya suatu sistem untuk memilih daerah konservasi yang memenuhi kriteria ekologis dan sosial – ekonomis (Darmawan and Darmawan, 2007).
87
Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II COREMAP II - DKP
Prosiding Simposium Terumbu Karang II
2008
Gambar 9.2 Proses Perencanaan running MARXAN Sumber : Darmawan and Darmawan (2007)
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian terumbu karang yang dilakukan terdapat dominasi dari coral non – acropora foliose (nfo) pada Site III Gili Lawang (37%) dan coral non – acropora branching (nbr) pada site I Gili Sulat dan Site IV Gili Lawang (34% dan 20% secara berurutan). Pada Site II Gili Sulat didominasi oleh Soft coral (sft) yaitu sebesar 55% (Tabel 9.2).
Tabel 9.2 Percent cover Benthic Life Form dominan di Gili Lawang dan Gili Sulat Site Benthic life form dominan Percent cover (%) I (Gili Sulat)
Nbr (Non Acropora Branching) R (Coral Rubbles) Abr (Acropora branching)
34 13 11
II (Gili Sulat)
Sft (Soft Coral) Abr (Acropora Branching) Nen (Non Acropora Encrusting)
55 20 10
III (Gili Lawang)
Nfo (Non Acropora foliosa) Abr (Acropora Branching) DC (Death Coral)
37 19 14
IV (Gili Lawang)
Nbr (Non Acropora Branching) DC (Death Coral) Abr (Acropora branching)
20 15 14
Dalam membuat peta layout MARXAN didasarkan pada nilai-nilai SPF (Species Penalty Factor)/nilai penalti yang ditentukan dari tingkat kepentingan dan kualitas data. Karena kepentingan dan kondisi fitur konservasi atau fitur cost bervariasi di setiap lokasi maka 88
Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II COREMAP II - DKP
Prosiding Simposium Terumbu Karang II
2008 pembobotan nilai skornya relatif satu dengan yang lainnya (Tabel 2 dan Gambar 3).
Tabel 9.3 Nilai input MARXAN No. Fitur Konservasi 1. Terumbu Karang
SPF 2
No. 1.
Fitur Cost Pemukiman
Skor 1
2
2.
Sebaran Sedimen
2
2.
Mangrove A
3.
Mangrove B
1.5
3.
Bom Ikan
2
4.
Mangrove C
0.75
4.
Jalur Layar
1
5.
Padang Lamun
1.25
5.
Dive Site
1
6.
Macro Benthos
1.5
6.
Shelter
1
Gambar 9.3 Fitur konservasi di KKLD Gili Lawang – Gili Sulat
Penilaian ini didapat dari pengamatan lapangan dan referensi lainnya (Undang-undang no. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Dalam studi ini, nilai penalti ditentukan dengan mempertimbangkan hasil in situ measurement ekosistem terumbu karang, mangrove dan padang lamun serta dinamika oseanografi dan kualitas perairan lokasi studi. Oleh karenanya, nilai konservasi dan nilai cost di kedua lokasi cukup berbeda. Skenario yang dijalankan dengan program MARXAN adalah target luas daerah konservasi sebesar 30 % dari total wilayah kedua KKLD tersebut atau dapat diasumsikan sebagai daerah larang ambil atau No Take Zone. Hasilnya adalah sekitar 473.221 Ha (Gambar 9.3).
89
Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II COREMAP II - DKP
Prosiding Simposium Terumbu Karang II
2008
Gambar 9.4.
Hasil running MARXAN sebagai Rekomendasi “No Take Zone” di KKLD Gili Lawang- Gili Sulat. Sumber : Tim Konservasi BROK 2007
Berdasarkan hasil olahan didapatkan hasil “no take zone” terdapat di hampir sebagian Pulau Gili Lawang, ini disebabkan karena : pada sisi barat Pulau terdapat coral rubble dan karang mati serta terumbu karang yang masih dalam/sementara proses recovery juga adanya fitur Cost ; jalur layar, kampung, sebaran sedimen, bom ikan, dive site, dan shelter sebagai faktor pembatas dalam menentukan kawasan/zona inti dalam hal ini “No take zone”.
IV.
KESIMPULAN
Distribusi terumbu karang secara umum terdapat 17 jenis kategori Benthic life form, dengan variasi terbanyak pada Site I Gili Sulat pada kedalaman 0 – 15 m dan Site IV Gili Lawang pada kedalaman 0 – 20 m. Dari total luas Kawasan Konservasi Laut Daerah pulau Gili Lawang : 669.174 Ha dan Gili Sulat : 908.229 Ha, 30 % wilayah yang termasuk dalam kategori “no take zone” yaitu : 473.221 Ha. Perlu diingat bahwa hasil MARXAN bukanlah sesuatu keputusan yang mutlak, melainkan lebih kepada suatu masukan dalam pengelolaan zonasi pada kawasan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2007. Siaran Pers : Enam Negara Sepakati Kerjasama Kelola dan Konservasi Segitiga Karang. No 90.PDSI/XII/2007 Ball, Ian and Possingham, Hugh. 2000. MARXAN (V1.8.2): Marine Reserve design using Spatially Explicit Annealing. A Manual Prepared for the Great Barrier Reef Marine Park 90
Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II COREMAP II - DKP
Prosiding Simposium Terumbu Karang II
2008 Autority. P 69. Bianchi C.N., Pronzato R., Cattaneo-Vietti R., Cechi L.B., Morri C., Pansini., Chemelo R., Milazzo M., Fraschetti S., Terlizzi A., Peirano A., Salvati E., Benzoni F., Calcinai B., Cerrano C., Bavestrello G. 2004. Hard Bottoms. Biol. Mar. 11 (suppl.1) : 185 – 215. Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut aset pembangunan berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Darmawan, A. and A. Darmawan. 2007. Modul Pelatihan Perangkat Lunak MARXAN untuk Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Perlindungan Laut. Denpasar, Bali, 5 – Juni 2007. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2002. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Konservasi Lombok Timur. Departemen Kelautan dan Perikanan. English, S., Wilkinson, C., Baker, V., 1994. Survey Manual For Tropical Marine Resources. Asean – Australia Marine Science. Townsville. pp : 34 – 117. English S, C.Wilkinson, V. Baker (eds).1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources (2nd Edition). Australian Institute of Marine Science. ASEAN-Australia Marine Project Sukarno. 1994. Ekosistem Terumbu Karang dan Masalah Pengelolaannya. Materi Kursus Pelatihan Metodologi Penelitian Penentuan Kondisi Terumbu Karang. P3O LIPI. Jakarta. The Nature Conservancy. www.coraltrianglecenter.org/. 10 Agustus 2008 Yunanto A., Sidik F., Ampou E.E., Yusuf C., Pancawati Y., Asry A. 2007. Laporan Akhir Pengembangan Coastal Observing System untuk Kawasan Pesisir. Balai Riset da Observasi Kelautan – Departemen Kelautan dan Perikanan
91
Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Tahap II COREMAP II - DKP