OPTIMASI PARAMETER INPUT SELAMA PENYIMPANAN PEPAYA IPB 1 (Carica papaya L.) DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DAN ALGORITMA GENETIK
ISMI MAKHMUDAH EDRIS
DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN OPTIMASI PARAMETER INPUT SELAMA PENYIMPANAN PEPAYA IPB 1 (Carica papaya L.) DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DAN ALGORITMA GENETIK
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: ISMI MAKHMUDAH EDRIS F14104076 Dilahirkan pada tanggal 29 Juni 1986 Di Wonogiri, Jawa Tengah Tanggal Lulus,
Agustus 2008
Menyetujui,
Dr. Ir. Sutrisno, M. Agr Dosen Pembimbing Akademik I
Dr. Ir. Suroso, M. Agr Dosen Pembimbing Akademik II Mengetahui,
Dr. Ir. Wawan Hermawan, M.S. Ketua Departemen Teknik Pertanian
Ismi Makhmudah Edris. F14104076. Optimasi Parameter Input Selama Penyimpanan Pepaya IPB 1 (Carica papaya L.) dengan Jaringan Syaraf Tiruan dan Algoritma Genetik. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sutrisno, M. Agr dan Dr. Ir. Suroso, M. Agr. RINGKASAN Tuntutan pasar terhadap mutu produk buah-buahan akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya gaya hidup dan pendidikan masyarakat selaku konsumen. Konsumen akan semakin cermat dan spesifik dalam memilih suatu produk. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan pasar dan menghasilkan buah segar dengan mutu bagus perlu dilakukan penanganan pasca panen yang tepat, terintegrasi, dan menggunakan teknik komputerisasi yang telah berkembang untuk kegiatan agribisnis. Salah satu komoditas agribisnis yang memiliki nilai ekonomi tinggi adalah pepaya. Hubungan antara parameter input penyimpanan dan parameter mutu bahan merupakan hubungan yang komplek karena seluruh parameter input penyimpanan pada dasarnya berpengaruh terhadap mutu bahan. Tujuan umum penelitian adalah optimasi parameter input selama penyimpanan buah pepaya IPB 1 (Carica papaya L.) menggunakan jaringan syaraf tiruan dan algoritma genetik. Jaringan Syaraf Tiruan (JST) digunakan sebagai teknik pendugaan hubungan parameter input dan parameter mutu pepaya. Berdasarkan keberagaman data maka disusun lima skenario. Optimasi struktur algoritma propagasi balik dilakukan dengan trial error iterasi, jumlah unit lapisan tersembunyi, konstanta momentum dan variasi unit input. Dari kelima skenario yang disusun, skenario dengan kinerja terbaik adalah skenario IV dengan struktur JST 3 lapisan: 3 unit pada lapisan input, 8 unit pada lapisan tersembunyi dan 2 unit pada lapisan output; pada iterasi 50 000; dengan konstanta parameter pembelajaran adalah: laju pembelajaran 0.6, konstanta momentum 0.6 dan konstanta sigmoid 1. Parameter input sebagai unit input adalah tingkat kematangan, suhu simpan dan lama simpan. Sedangkan parameter mutu sebagai unit output adalah TPT dan kekerasan. Skenario IV menunjukkan kinerja JST dengan nilai koefisien determinasi (R2) pelatihan 0.8984, 0.7668 dengan root mean square error 0.00241 dan R2 pengujian 0.3189 dan 0.431. Algoritma Genetik (AG) digunakan sebagai teknik optimasi parameter input untuk mencari pada set point parameter input berapa terjadi Total Padatan Terlarut (TPT) paling kecil, tingkat kekerasan paling besar dan masa simpan terpanjang selama penyimpanan. Dari running program AG diperoleh nilai TPT 8.810 obrix, kekerasan: 3.623 kgf sebagai parameter mutu, masa simpan: 182.503 jam, tingkat kematangan: 0% dan suhu simpan: 5 oC. Hal ini berarti, jika diinginkan terjadi minimisasi TPT, maksimisasi tingkat kekerasan dan masa simpan maka pepaya disimpan pada tingkat kematangan 0% dan suhu simpan 5 oC.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Wonogiri, Jawa Tengah pada tanggal 29 Juni 1986 sebagai anak kedua dari pasangan Edris, B.A dan Tuti Trihatmi. Penulis menamatkan pendidikan dasar di SDN Manjung I pada tahun 1998, SMPN I Wonogiri pada tahun 2001, SMAN I Wonogiri pada tahun 2004 dan pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan memilih Bagian Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian pada tahun 2007. Penulis telah melaksanakan kegiatan Praktek Lapangan di Pusat Pelatihan dan
Kewirausahaan
Sampoerna,
Pandaan,
Jawa
Timur
dengan
judul
“Mempelajari Aspek Keteknikan Pertanian pada Integrated Farming System di Pusat pelatihan Kewirausahaan Sampoerna (Kajian Khusus pada Teknik Pasca Panen Hortikultura)” Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Petanian, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Optimasi Parameter Input Selama Penyimpanan Pepaya IPB 1 (Carica papaya L.) dengan Jaringan Syaraf Tiruan dan Algoritma Genetik”.
Bogor, Agustus 2008 Penulis
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Optimasi Parameter Input Selama Penyimpanan Pepaya IPB 1 (Carica papaya L.) dengan Jaringan Syaraf Tiruan dan Algoritma Genetik” sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian. Tujuan penelitian ini adalah optimasi lingkungan mikro dan tingkat kematangan selama penyimpanan dingin buah pepaya IPB 1 (Carica papaya L.). Penyusunan skripsi tidak terlepas dari bantuan semua pihak yang telah memberikan ilmu, meluangkan waktu dan tenaganya di dalam penelitian ini baik secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Sutrisno, M. Agr dan Dr. Ir. Suroso, M. Agr. sebagai dosen pembimbing atas bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tugas akhir. 2. Sugiyono, STP., Msi, Enrico Saefullah, STP., Msi, dan Dr. Ir. Emmy Darmawati, M.Si sebagai tim proyek dan dosen penguji atas bimbingan dan arahan dalam penyelesaian tugas akhir. 3. Chusnul Arif, S.Tp atas kesediaannya memberikan source code program algoritma genetik. 4. Rekan-rekan satu tim dan satu topik penelitian atas kerjasama, motivasi dan seluruh ilmu dalam penyelesaian tugas akhir. 5. Eko dan Aulia yang telah memberikan petunjuk, motivasi dan bantuan selama satu bimbingan. 6. Sahabat (Vidy, Ananti, Daragantina, Nurul, Uchie dan Viana) yang telah memberi makna dan kehidupan di dalam persahabatan. 7. Ronal dan Udin yang selalu memberikan motivasi, kebijaksanaan dan segala bantuan dalam kondisi apapun. “Kita ingin merasakan sari pati hidup”-Andrea Hirata: Laskar Pelangi8. Keluarga Iswara (Eni, Rina, Lala, Wenny, Nona dan Ratih) yang telah menjadi keluarga selama penulis menyelesaikan tugas akhir.
9. Para pecinta VB (Yudhik dan Abud) atas segala bantuan dan ilmu programnya. 10. Keluarga TEP 41 yang selalu memberikan motivasi, bantuan dan pendewasaan pemikiran selama masa kuliah. 11. Bu Ros dan Bu Mar yang tak henti-hentinya membantu mahasiswa yang buta akan prosedur-prosedur penelitian sampai dengan wisuda kelak. 12. Keluarga besar Departemen Teknik Pertanian dan semua pihak yang telah membantu penulis yang tak mungkin bisa disebutkan satu persatu. Dan akhirnya, saya persembahkan karya tulis ini kepada orangtua, kakak dan adikku, kakak iparku, keluarga besar dan keluarga Subang. Terima kasih atas dorongan, motivasi dan doa yang tidak akan pernah lekang terhapus waktu. Penyusunan skripsi ini mungkin belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan sebagai perbaikan.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ................................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xii I. PENDAHULUAN .............................................................................................1 A. Latar Belakang .............................................................................................1 B. Tujuan ..........................................................................................................5 II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................6 A. Pepaya (Carica papaya L.) ..........................................................................6 B. Fisiologi Pasca Panen ...................................................................................8 C. Penyimpanan ................................................................................................9 D. Parameter Lingkungan Mikro Penyimpanan .............................................10 1. Kelembaban relatif ...............................................................................10 2. Suhu simpan .........................................................................................11 E. Parameter Mutu Buah ................................................................................12 1. Tingkat kematangan .............................................................................12 2. Kekerasan .........................................................................................13 3. Total padatan terlarut ...........................................................................14 4. Susut bobot .........................................................................................15 5. Warna .........................................................................................15 F. Jaringan Syaraf Tiruan ...............................................................................16 G. Algoritma Genetik......................................................................................23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ....................................................................27 B. Tahapan Penelitian .....................................................................................27 1. Persiapan penelitian dan studi pendahuluan ........................................27 2. Pengumpulan dan pemilihan data ........................................................27 3. Penyusunan skenario jaringan syaraf tiruan .........................................28 4. Optimasi arsitektur JST .....................................................................33 5. Modifikasi program algoritma genetik ................................................34 6. Optimasi dengan algoritma genetik .....................................................35 IV. Hasil dan Pembahasan .....................................................................................40 A. Skenario Pendugaan Mutu dengan Jaringan Syaraf Tiruan .......................40 1. Skenario I .............................................................................................41 2. Skenario II ............................................................................................48 3. Skenario III ..........................................................................................51 4. Skenario IV ..........................................................................................55 5. Skenario V............................................................................................58 B. Analisa Skenario ...............................................................................61 C. Algoritma Genetik ...............................................................................63
V. Kesimpulan dan Saran......................................................................................69 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................70 LAMPIRAN ...........................................................................................................74
DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi nutrisi dan vitamin buah dan daun pepaya per 100 gram bahan ......7 2. Rekomendasi suhu, kelembaban relatif dan daya simpan buah tropik .............12 3. Data selang skenario I ......................................................................................29 4. Data selang skenario II .....................................................................................29 5. Data selang skenario III ....................................................................................30 6. Data selang skenario IV....................................................................................31 7. Data selang skenario V .....................................................................................32 8. Parameter inisiasi arsitektur setiap skenario ....................................................36
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Pepaya IPB 1 ......................................................................................................8 2. Model sederhana JST .......................................................................................17 3. Arsitektur propagasi balik ................................................................................21 4. Diagram alir AG ...............................................................................................24 5. Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario I ......................................................28 6. Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario II ....................................................30 7. Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario III ...................................................31 8. Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario IV ...................................................32 9. Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario V ....................................................33 10. Diagram alir tahapan penelitian........................................................................37 11. Grafik hubungan TPT antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I ......................................................................42 12. Grafik hubungan kekerasan antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I ...............................................................43 13. Grafik hubungan derajat kecerahan (L*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I .............................................43 14. Grafik hubungan derajat warna hijau (-a*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I .............................................43 15. Grafik hubungan derajat warna hijau (+b*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I .............................................44 16. Grafik hubungan laju konsumsi CO2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I ................................44 17. Grafik hubungan laju produksi O2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I ................................45 18. Grafik hubungan susut bobot (%) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I .............................................45 19. Grafik hubungan TPT antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I .....................................................................45 20. Grafik hubungan kekerasan antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ..............................................................46 21. Grafik hubungan derajat kecerahan (L*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ...............................46 22. Grafik hubungan derajat warna hijau (-a*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ............................................46
23. Grafik hubungan derajat warna kuning (+b*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ...............................47 24. Grafik hubungan laju konsumsi CO2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ...............................47 25. Grafik hubungan laju produksi O2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ...............................48 26. Grafik hubungan susut bobot (%) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I ............................................48 27. Grafik hubungan laju produki CO2 antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario II............................................50 28. Grafik hubungan laju konsumsi O2 antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario II............................................50 29. Grafik hubungan laju produksi CO2 antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario II ..........................................51 30. Grafik hubungan laju konsumsi O2 antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario II ..........................................51 31. Grafik hubungan laju produksi CO2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario III..............................53 32. Grafik hubungan laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario III..............................53 33. Grafik hubungan susut bobot (%) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario III.............................................................54 34. Grafik hubungan laju produksi CO2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario III.............................54 35. Grafik hubungan laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario III.............................55 36. Grafik hubungan susut bobot (%) antara hasil pengukuran dengan pengujian JST pada proses pengujian skenario III ...........................................................55 37. Grafik hubungan TPT (obrix) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario IV ............................................................57 38. Grafik hubungan kekerasan (kgf) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario IV ............................................................57 39. Grafik hubungan TPT (obrix) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario IV ...........................................................57 40. Grafik hubungan kekerasan (kgf) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario IV ...........................................................58 41. Grafik hubungan derajat kecerahan (L*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario V ...........................................59
42. Grafik hubungan derajat warna hijau (-a*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario V ...........................................60 43. Grafik hubungan derajat warna kuning (+b*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario V ...........................................60 44. Grafik hubungan derajat kecerahan (L*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario V ...........................................60 45. Grafik hubungan derajat warna hijau (-a*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario V ..........................................61 46. Grafik hubungan derajat warna kuning (+b*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario V ..........................................61 47. Tampilan program AG yang telah di- running .................................................66 48. Grafik evolusi Total Padatan Terlarut (TPT) ...................................................67 49. Grafik evolusi kekerasan ..................................................................................67 50. Grafik evolusi tingkat kematangan ...................................................................67 51. Grafik evolusi lama simpan ..............................................................................68 52. Grafik evolusi suhu simpan ..............................................................................68
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Data hasil penelitian Syska (2006)...................................................................74 2. Data hasil penelitian Ariyanti (2007) ...............................................................76 3. Data hasi penelitian Krisna (2007) ...................................................................78 4. Data hasil penelitan Silalahi (2007) .................................................................80 5. Data skenario I .................................................................................................81 6. Data skenario II ................................................................................................83 7. Data skenario III...............................................................................................87 8. Data skenario IV ..............................................................................................88 9. Data skenario V ................................................................................................89 10. Data optimasi backpropagation skenario I ......................................................91 11. Data optimasi backpropagation skenario II .....................................................93 12. Data optimasi backpropagation skenario III ...................................................94 13. Data optimasi backpropagation skenario IV ...................................................95 14. Data optimasi backpropagation skenario V.....................................................96 15. Perhitungan di dalam jaringan syaraf tiruan ....................................................97 16. Data pembobot skenario IV ...........................................................................104 17. Data generasi yang terbentuk selama evolusi ................................................106
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Letak geografis Indonesia yang berada di bawah garis khatulistiwa menyebabkan Indonesia beriklim tropik dengan dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan dengan curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 2000-3500 mm/tahun dengan kelembaban rata-rata yang cukup tinggi yaitu 80%. Kondisi geografis ini memungkinkan bagi Indonesia untuk melakukan pembudidayaan aneka tanaman hortikultura sepanjang tahun dan disebutkan pula bahwa Indonesia sebagai pusat plasma nutfah flora dunia karena letak geografisnya (Ashari, 2006). Dengan dukungan potensi alam dan potensi plasma nutfahnya, maka sangat besar kemungkinan bagi Indonesia untuk mengembangkan buahbuahan tropik Indonesia menjadi komoditas unggulan yang diharapkan dapat bersaing dengan komoditas luar negeri di pasar lokal maupun internasional. Potensi kekayaan dan keberagaman sumber daya hayati atau plasma nutfah memungkinkan bagi para peneliti, plant breeder, untuk menciptakan genotipe unggul seperti pepaya IPB 1 yang telah dikembangkan oleh pemulia tanaman dari Pusat Kajian Buah-buahan Tropika Institut Pertanian Bogor (PKBT IPB). Kebijakan pemerintah dalam upaya untuk eksplorasi sumber daya hayati diantaranya adalah menciptakan prioritas terhadap komoditas-komoditas yang memiliki potensi ekonomi tinggi dan berpeluang pasar tinggi baik di dalam maupun di luar negeri. Termasuk di dalamnya adalah pepaya yang menjadi salah satu prioritas komoditas yang ditingkatkan karena memiliki potensi ekspor. Pena (2002) menyajikan data dari FAO (2000) bahwa selama tahun 1998 lebih dari 5.2 juta ton pepaya diproduksi di 47 negara. Brazil adalah negara produsen pepaya terbesar yang menyumbang 32% dari total produksi dunia (1 700 000 ton). Empat negara produsen terbesar lain adalah Nigeria (751 000 ton), Mexico (498 000 ton), Indonesia (489 948 ton), dan India (450 000 ton). Dari data Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), paling tidak, pepaya memiliki pasar di Timur Tengah, Singapura, Perancis, Malaysia,
dan Jepang. Nilai ekspor pepaya adalah 15 980 dollar AS atau sekitar Rp 143 juta pada tahun 2002 (http://indobic.or.id/berita). Dari data di atas dapat dilihat bahwa pepaya merupakan salah satu produk hortikultura yang memiliki potensi ekonomi yang besar untuk dikembangkan. Selain itu, ditinjau dari aspek pembangunan kesehatan masyarakat, pemerintah telah mencanangkan peningkatan produk hortikultura untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat (Ashari, 2006). Kebijakan ini ditempuh oleh pemerintah mengingat bahwa pemenuhan gizi masyarakat dari bahan hortikultura di Indonesia masih sangat kurang dari standar FAO. Menurut Napitupulu (2003) di dalam Ashari (2006), konsumsi buah masyarakat
Indonesia
(1999-2002)
mengalami
kenaikan
dari
50.7
g/kapita/hari (18.51 kg/kapita/tahun) menjadi 74.4 g/kapita/hari (27.16 kg/kapita/tahun). Namun angka ini masih jauh dari kebutuhan minimal standar FAO yaitu 60 kg/kapita/tahun. Seiring dengan program tersebut maka akan terbentuk pola pikir masyarakat yang akan selalu berusaha untuk memenuhi standar konsumsi buah-buahan sebagai asupan gizi. Tidak diragukan lagi, permintaan terhadap aneka produk hortikultura akan terus meningkat. Selaras dengan pola pikir masyarakat yang terbentuk, pengetahuan terhadap seluruh faktor kualitas atau mutu suatu produk juga akan terbentuk sehingga tuntutan pasar terhadap mutu suatu produk akan semakin meningkat dalam arti bahwa konsumen akan semakin cermat dan spesifik dalam memilih suatu produk. Perubahan mutu hasil hortikultura termasuk warna, kekerasan, aroma dan citarasa merupakan faktor kritis bagi konsumen dalam memutuskan pembelian suatu komoditas (Purwadaria, 1997). Akan tetapi, ada beberapa kendala yang perlu diperhatikan dalam mengatasi masalah produk buah-buahan Indonesia yaitu: mutu standardisasi produk, keamanan pangan, budidaya tanaman yang baik, penanganan pasca panen, promosi dan pengembangan pasar. Ditinjau dari kajian pasca panen, kendala yang terjadi berasal dari sifat fisik dan kimia bahan itu sendiri. Selepas panen, secara fisiologis, produk hortikultura merupakan jaringan yang masih hidup karena proses metabolisme di dalam jaringan bahan masih
berlangsung sehingga bahan akan terus mengalami pematangan sampai terjadi pembusukan.
Menurut
Pantastico
(1986)
salah
satu
upaya
untuk
memperlambat proses metabolisme tersebut adalah dengan penyimpanan dingin sehingga umur simpan dapat diperpanjang. Penelitian penyimpanan pepaya IPB 1 yang dilakukan oleh Syska (2006), Ariyanti (2007), Krisna (2007), Silalahi (2007) dan Hamaisa (2008) belum bisa mengetahui hubungan parameter lingkungan mikro penyimpanan yang signifikan mempengaruhi parameter mutu pepaya IPB 1 yang terjadi selama penyimpanan. Selain itu, tingkat kematangan produk ketika dipanen juga menjadi faktor penting dalam penyimpanan. Setiap produk yang akan disimpan harus dalam keadaan matang optimum, karena jika produk kurang matang (immature) ataupun terlalu matang (overripe) maka akan mengurangi waktu simpannya. Hal ini perlu diketahui karena hubungan parameter lingkungan mikro dan tingkat kematangan sebagai faktor input akan mempengaruhi mutu suatu produk yang selanjutnya akan mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen. Untuk melakukan kontrol terhadap mutu terlebih dahulu harus diketahui parameter-parameter input apa saja yang signifikan mempengaruhi parameter mutunya. Untuk mencari hubungan antara parameter-parameter input dengan parameter
mutu
diperlukan
sebuah
teknik
pencarian
yang
mampu
merepresentasikan permasalahan yang komplek. Nilai yang diperoleh dari teknik pencarian ini merupakan nilai yang merepresentasikan seberapa kuat parameter-parameter input mampu mempengaruhi parameter-parameter outputnya. Teknik pencarian hubungan antara faktor input dan faktor output dapat dilakukan oleh Jaringan Syaraf Tiruan (JST). Hasil akhir dari JST adalah ditemukannya parameter-parameter input yang sangat mempengaruhi parameter outputnya karena di dalam JST terjadi pengolahan bobot dan error antara unit input dan unit output. Pada saat ini Jaringan Syaraf Tiruan (JST) memang telah banyak digunakan sebagai prosesor penghitung untuk beberapa bidang dalam pengenalan pola (tulisan dan suara), klasifikasi, kompresi data, modelling dan pendugaan. JST merupakan model sistem komputasi yang mampu menirukan
cara kerja jaringan syaraf biologis. Penerapan JST untuk bidang pertanian diantaranya adalah untuk pengenalan jenis kayu berbasis citra oleh Gasim (2006), pemutuan buah manggis dilakukan oleh Sandra (2007), prediksi gula kristal putih oleh Silvia (2007), identifikasi mutu, tingkat ketuaan dan kematangan buah manggis oleh Nurhasanah (2005), pendugaan total padatan terlarut belimbing manis oleh Widuri (2004), dan pendugaan kekerasan belimbing manis oleh Bachtiar (2004). Hubungan keterkaitan antara parameter lingkungan mikro penyimpanan dan tingkat kematangan sebagai parameter input dengan parameter mutu sebagai parameter output dapat dilakukan dengan pendugaan mutu menggunakan JST. Hubungan keterkaitan ini ditunjukkan dengan nilai pembobot dari JST. Kajian pendugaan dan optimasi ini dilakukan oleh Arif (2003) untuk optimasi penjadwalan pasokan larutan nutrisi pada sistem hidroponik substrat menggunakan JST dan algoritma genetik. Selanjutnya, untuk menentukan nilai parameter input optimum yang telah diperoleh dari pencarian menggunakan JST masih diperlukan teknik lanjutan yang mampu melakukan optimasi dari sekumpulan nilai solusi. Salah satu teknik optimasi yang banyak digunakan akhir-akhir ini adalah Algoritma Genetik (AG) sebagai salah satu teknik pencarian yang didasarkan atas teori evolusi Darwin yaitu setiap individu akan berevolusi menuju ke keadaan terbaiknya. Penerapan AG telah banyak dilakukan, diantaranya adalah optimasi penjadwalan produksi meubel kayu yang dilakukan oleh Sidharta (2005), optimasi sudut atap dan tinggi dinding pada rumah kaca oleh Sumarni (2007). Dengan AG ini akan diperoleh optimasi parameter input pepaya IPB 1 untuk mengetahui TPT terendah, tingkat kekerasan terbesar dan masa simpan terpanjang selama terjadinya perubahan mutu pada saat penyimpanan.
B. Tujuan Secara umum penelitian bertujuan melakukan optimasi parameter input yang menentukan mutu buah pepaya IPB 1 (Carica papaya L.) selama penyimpanan. Parameter input yang dimaksud adalah parameter-parameter yang telah ditentukan sebelum dilakukan penyimpanan. Di dalam penelitian ini, parameter input yang digunakan adalah tingkat kematangan pepaya saat dipanen dan parameter lingkungan mikro penyimpanan. Secara khusus penelitian bertujuan untuk : 1. Mengetahui parameter input yang signifikan mempengaruhi mutu buah pepaya IPB 1 (C. papaya L.) selama penyimpanan dengan jaringan syaraf tiruan. 2. Mengetahui
nilai
optimum
parameter
input
penyimpanan
untuk
mempertahankan mutu dan memperpanjang masa simpan buah pepaya IPB 1 (C. papaya L.) dengan algoritma genetik.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pepaya (Carica papaya L.) Pepaya merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropik. Pusat penyebaran tanaman berada di daerah sekitar Meksiko bagian selatan dan Nikaragua. Klasifikasi taksonomi tumbuhan pepaya adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub-divisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Klas
: Dicotyledone (biji berkeping dua)
Ordo
: Caricales
Famili
: Caricaceae
Genus
: Carica
Spesies
: papaya L.
Famili caricaceae termasuk famili kecil dari tanaman dikotiledon yang terdiri dari empat genus yaitu : carica, jarilla, jacaratia yang berasal dari Amerika tropik dan cylicomorpha dari daerah Afrika kuatorial. Genus carica adalah genus paling penting dalam famili caricaceae yang terdiri dari 24 spesies, dan salah satunya adalah C. papaya L. Tanaman pepaya dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian 1000 mdpl dan pada umumnya tumbuh di lokasi yang cukup tersedia air, curah hujan 1000–2000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun. Hanya saja, pepaya yang ditanam di dataran tinggi memiliki warna tidak secerah warna pepaya yang ditanam di dataran rendah. Sedangkan suhu optimal pertumbuhan tanaman berkisar antara 22–26 oC, suhu maksimum 43 oC (Kalie, 1999). Pasar buah pepaya meliputi konsumen rumah tangga dan dunia industri. Sebagai buah segar, pepaya relatif digemari oleh semua lapisan masyarakat karena citarasanya yang enak, kaya vitamin A dan C serta memperlancar pencernaan. Buah pepaya mengandung 4-10% gula dan sangat berair (± 90%). Komposisi nutrisi, vitamin buah dan daun pepaya selengkapnya disajikan di Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi nutrisi dan vitamin buah dan daun pepaya per 100 gram bahan Komposisi
Kandungan
Protein
0.5 g
Lemak
-
Karbohidrat
12.2 g
Kalsium
23 g
Fosfor
12 g
Zat Besi
1.7 g
Vitamin A
365 SI
Vitamin B1
0.04 mg
Vitamin C
78 mg
Air
86.7 g
Kalori
46 kal.
Sumber: Rukmana (1995)
Selain kandungan serat, vitamin dan nutrisi, di dalam pepaya juga terkandung beberapa macam enzim antara lain papain yaitu suatu enzim protease yang bermanfaat untuk membantu mempercepat penyembuhan luka dan mencerna protein, kaya akan antioksidan karoten, vitamin C dan flafanoid yang berperan sebagai anti kanker, mengandung karpaina yaitu suatu alkaloid yang dapat berfungsi untuk mengurangi serangan jantung, anti amuba, dan peluruh cacing. Selain itu, pepaya dapat memperlancar pencernaan dan buang air, sehingga sangat baik dikonsumsi oleh penderita jantung dan darah tinggi yang sering mengalami kesulitan buang air. Jus pepaya sangat baik digunakan untuk mengurangi kadar keasaman lambung sehingga dapat mengatasi penyakit maag (PKBT, 2006). PKBT (2008) menyebutkan beberapa genotip unggul pepaya yaitu: pepaya IPB 1 (Arum Bogor), IPB 2 (Prima Bogor), IPB 3, IPB 4, IPB 5, IPB 6c, IPB 8, IPB 9 dan IPB 10 (Walung Bogor) (www.rusnasbuah.or.id). Buah pepaya genotip IPB 1 (Arum Bogor) merupakan hasil pemuliaan tanaman pepaya (C. papaya L.) dengan deskripsi varietas adalah sebagai berikut: 1)
Bentuk buah: lonjong, 2) Ukuran buah: kecil, 3) Panjang buah (cm): 14±1, 4) Diameter buah (cm): 10±1, 5) Bobot per buah (g): 654±146, 6) Warna daging buah: kemerahan/ jingga, 7) Kulit buah: Hijau sedang, 8) Rasa daging buah: Sangat manis (11-12 obrix), 9) Kadar air (%): 88±2, 10) kadar vitamin C/mg/100/g: 122±30, 11) Umur petik: ±140 hari setelah anthesis (bunga mekar), 12) Kekerasan: 0.832 mm/s. Secara visual, contoh buah pepaya IPB 1 disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Pepaya IPB 1 Sjaifullah (1996) di dalam Hamaisa (2008) menyebutkan bahwa setiap jenis buah mempunyai keunikan dan daya tarik tersendiri, seperti rasa lezat, aroma yang khas serta warna dan bentuk yang mengandung nilai-nilai estetis. Pepaya IPB 1 memiliki ciri khas yaitu ukurannya yang kecil dan memang diperuntukkan bagi konsumen yang mengkonsumsi pepaya dalam volume kecil dan untuk sekali makan.
B. Fisiologi Pasca Panen Pantastico
(1986)
menyatakan
bahwa
laju
respirasi
sangat
mempengaruhi metabolisme oksidatif produk hortikultura selepas panen yang sebagian besar memberi dampak terhadap perubahan fisikokimiawi bahan. Respirasi merupakan proses oksidasi glukosa yang menggunakan oksigen (O2) dari udara sehingga dapat menghasilkan karbondioksida (CO2) , air (H2O) dan sejumlah energi. Besar kecilnya energi respirasi dapat diukur dengan menentukan jumlah substrat yang hilang, O2 yang diserap, CO2 yang dikeluarkan, panas yang dihasilkan, dan energi yang timbul. Proses respirasi yang terjadi dapat digambarkan sebagai berikut: C6H12O6 + 6O2
6CO2 + 6H2O + 674 kkal (energi)
Menurut Winarno dan Wirakartakusumah (1981), laju respirasi buah dan sayuran dipengaruhi oleh umur panen, suhu penyimpanan, komposisi udara, adanya luka dan komposisi bahan kimia. Laju respirasi pada buah pepaya setelah panen dapat dihitung dari laju produksi CO2 dan konsumsi O2. Perbedaan laju produksi CO2 selama penyimpanan disebabkan oleh perbedaan suhu penyimpanan. Besarnya perbedaan laju respirasi pada penyimpanan suhu 10 °C dan 15 °C menunjukkan bahwa penyimpanan pada suhu 10 °C dapat menghambat laju respirasi, aktifitas enzim, reaksi-reaksi kimia-biokimia maupun pertumbuhan mikroorganisme pada buah pepaya (Syska, 2006). Dalam kajian pasca panen, secara fisiologis, buah dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok buah klimakterik dan non-klimakterik. Kader et al., (1985) mengklasifikasikan buah yang masuk ke dalam kelompok klimakterik adalah buah apel, alpukat, pisang, blueberry, jambu, kiwi, nangka, mangga, melon, pepaya, pir, plum, tomat dan semangka. Sedangkan buah yang masuk ke dalam kelompok non-klimakterik adalah blackberry, kopi, cherry, mentimun, anggur, lemon, leci, jeruk dan nenas.
C. Penyimpanan Penyimpanan buah-buahan dan sayuran segar memperpanjang daya gunanya dan dalam keadaan tertentu memperbaiki mutunya. Selain itu juga menghindarkan banjirnya produk ke pasar, memberi kesempatan yang luas untuk memilih buah-buahan dan sayuran sepanjang tahun, membantu pemasaran
yang
teratur,
meningkatkan
keuntungan
produsen
dan
mempertahankan mutu produk yang masih hidup. Tujuan utama penyimpanan adalah pengendalian laju transpirasi, respirasi, infeksi penyakit, dan mempertahankan produk dalam bentuk paling berguna bagi konsumen. Penyimpanan buah segar diharapkan dapat memperpanjang umur simpan dan mempertahankan mutu (Pantastico, 1986). Winarno (2002) menyatakan bahwa usaha untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang umur simpan adalah dengan menekan laju respirasi serendah mungkin. Laju respirasi dapat ditekan dengan mengondisikan suhu lingkungan penyimpanan produk serendah mungkin di atas titik beku produk
sehingga terjadi perpindahan panas dari produk ke media pendingin. Terjadinya transfer panas ini mampu menurunkan suhu produk sehingga laju repirasi dapat ditekan dan selanjutnya suhu dipertahankan pada tingkat yang diinginkan. Suhu merupakan faktor terpenting dalam pengendalian laju repirasi selepas panen. Oksidasi glukosa yang terjadi selama proses respirasi menghasilkan energi yang digunakan kembali oleh tanaman untuk pembentukan ATP (Adenosine Triphosphat) hanya sebesar 50%, sedangkan sisa energi yang lain dilepaskan ke lingkungan dalam bentuk panas (vital heat) sehingga suhu produk meningkat. Sesuai dengan Hukum Hoffs bahwa dengan kenaikan suhu produk menyebabkan laju respirasi meningkat dua atau tiga kali setiap peningkatan suhu 10 oC (Winarno, 2002). Penelitian
terhadap
pepaya
IPB
1,
merekomendasikan
bahwa
penyimpanan dingin pepaya IPB 1 sebaiknya dilakukan pada suhu 10 oC dengan umur simpan 10 hari (Krisna, 2007), penyimpanan pada suhu 10 oC menunjukkan laju respirasi buah pepaya IPB 1 yang paling kecil dibandingkan dengan suhu simpan 15 oC dan suhu ruang (Silalahi, 2007). Suhu simpan 10 o
C dan 15 oC hanya memberikan pengaruh besar terhadap susut bobot tetapi
tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap warna, kekerasan dan total padatan terlarut. Sedangkan lama simpan (selanjutnya disebut dengan masa simpan) kurang berpengaruh terhadap mutu buah pepaya (Ariyanti, 2007). Sumber lain menyebutkan bahwa penyimpanan pepaya hijau pada suhu 50 oF, kelembaban nisbi (RH) 85-90% menyebabkan susut bobot 5.8% dengan umur simpan 3–4 minggu dan penyimpanan pepaya menguning pada suhu 47 o
F, RH 85-90 % selama umur simpan 2–3 minggu (Anonim di dalam
Pantastico, 1986).
D. Parameter Lingkungan Mikro Penyimpanan 1.
Kelembaban Relatif Kelembaban udara sistem penyimpanan merupakan salah satu faktor
penting yang menentukan kualitas bahan selama penyimpanan. Jika kadar air bahan rendah sedangkan kelembaban relatif (RH) udara tinggi maka akan terjadi penyerapan uap air dari udara sehingga bahan menjadi lembab atau
kadar airnya meningkat. Jika suhu bahan lebih rendah daripada sekitarnya akan terjadi kondensasi uap air pada permukaan bahan dan dapat merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kapang atau perkembangbiakan bakteri (Ashari, 2006). Menurut Winarno (2002), RH (Relative Humidity) dalam suatu ruang penyimpanan secara langsung berpengaruh terhadap masa simpan produk yang disimpan di dalamnya. Jika RH terlalu rendah, akan terjadi pengeriputan kulit produk dan bila RH terlalu tinggi, akan menciptakan kondisi yang memungkinkan mikroba pembusuk tumbuh dan berkembangbiak. Satuhu (2004) mempertegas kembali bahwa RH yang rendah dapat mempercepat terjadinya transpirasi atau penguapan sehingga dapat menyebabkan susut bobot yang cukup besar selama penyimpanan.
2.
Suhu Simpan Beberapa penelitian dan kajian penyimpanan dingin menyebutkan
terjadinya kerusakan fisik dan kimia bahan pada suhu-suhu tertentu. Nazeeb dan Broughton (1978) dalam Jagtiani et al. (1998) menyatakan buah pepaya sensitif terhadap suhu rendah dan chilling injury terjadi pada suhu di bawah 7 o
C. Menurut Sjaifullah (1996), buah pepaya akan mengalami chilling injury
jika disimpan pada suhu 6 oC dengan gejala buah matang sebagian, kulit berlekuk dan mengeras serta daging buah seperti tersiram air mendidih. Selain itu, Salunkhe (1991) mendeskripsikan bahwa chilling injury merupakan kerusakan pada produk buah dan sayuran yang mengindikasikan terjadinya pembusukan. Hal ini dapat dihindari dengan menyimpan produk pada suhu yang lebih tinggi, direkomendasikan bahwa pepaya dapat disimpan pada suhu terendah 7 oC. Ashari (2006) menyatakan bahwa hal yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan adalah kerusakan hasil panen justru karena suhu terlalu dingin atau suhu beku. Buah yang tidak tahan suhu dingin biasanya mengalami perubahan warna kulit buah menjadi kecoklatan, kisut dan tidak dapat sempurna waktu dilakukan pematangan. Tabel 2 menunjukkan kondisi penyimpanan optimum untuk buah-buahan.
Tabel 2 Rekomendasi suhu, kelembaban relatif dan daya simpan buah tropik Komoditi
Suhu simpan
RH (%)
Masa simpan
Kadar air
(oC)
(%)
Advokat
4-13
85-90
2-4 minggu
65
Jambu biji
7-10
90
2-3 minggu
83
Jeruk Bali
10-16
85-90
4-6 minggu
89
Jeruk keprok
0-9
85-90
3-12 minggu
87
Pepaya
7
85-90
1-3 minggu
91
Sumber: Winarno (2002)
E. Parameter Mutu Buah 1.
Tingkat Kematangan Pantastico et al. (1986) menyatakan bahwa buah-buahan yang belum
masak, jika dipanen akan menghasilkan mutu jelek dan proses pematangan yang salah. Sebaliknya penundaan waktu panen dapat meningkatkan kepekaan buah-buahan itu terhadap pembusukan yang mengakibatkan mutu dan nilai jualnya rendah. Indikator kematangan secara visual dapat dilakukan dengan melihat warna kulit buah. Jika pada ujung buah pepaya terdapat warna kuning atau semburat maka pepaya segera dipanen. Buah pepaya yang dipanen pada tingkat kematangan ini akan masak dalam waktu empat sampai lima hari. Pemanenan buah pepaya pada umumnya dilakukan dengan melihat warna kulit buah. Munculnya garis berwarna kuning pada kulit buah pepaya memberikan indikasi bahwa buah siap dipanen (Villegas, 1997 dalam Hamaisa, 2008). Metode pemanenan yang tepat meliputi penggunaan alat panen, waktu pemanenan yang berkaitan dengan tingkat kemasakan dan waktu dilakukan panen merupakan faktor on farm yang penting dalam menentukan kualitas produk selepas panen. Rukmana (1995) menjelaskan bahwa waktu panen yang tepat ditentukan dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1) Warna buah telah menunjukkan ¾ dari bagian buah berwarna kuning, 2) Getah berwarna bening dan encer, 3) Tangkai buah menguning atau terdapat garis-garis kuning pada ujung buah dan 4) Buah telah mencapai ukuran maksimal.
Penelitian yang mengkaji hubungan antara tingkat kemasakan dengan suhu simpan dan daya simpan buah pepaya IPB 1 dilakukan oleh Purba (2006) di dalam Hamaisa (2008) dengan hasil bahwa pepaya IPB 1 yang dipanen pada umur yang berbeda yaitu 130 Hari Setelah Anthesis (HSA), 135 HSA, 140 HSA dan disimpan pada suhu ruang mempunyai daya simpan masingmasing yaitu 7-9 hari, 6-8 hari, dan 6-7 hari. Sedangkan Priyono (2005) di dalam Hamaisa (2008) menyatakan bahwa buah pepaya IPB 1 yang dipanen pada 120-130 HSA dan disimpan pada suhu dingin (16-20 °C) akan masak pada 9 Hari Setelah Panen (HSP). Hasil ini dipertegas oleh Hamaisa (2008) bahwa buah pepaya IPB 1 dengan tingkat kematangan 0% mempunyai daya simpan yang lebih lama dibanding buah dengan tingkat kematangan 10%. Hal ini disebabkan oleh buah pepaya yang dipanen pada tingkat kematangan 0% mengalami proses pematangan yang lebih lambat dibandingkan buah pepaya yang dipanen pada tingkat kematangan 10%. Semakin tinggi tingkat kematangan buah pepaya pada saat dipanen maka semakin rendah daya simpan buah pepaya tersebut.
2.
Kekerasan Pada berbagai hasil tanaman terkandung pektin yang merupakan
senyawa protopektin. Penggabungan senyawa protopektin menjadi pektin ini disebabkan oleh aktifitas enzim protopektinase, dimana pembentukannya terjadi di bagian luar membran sel pada lamella. Aktifnya enzim-enzim pektimetilasterase dan poligalakturonase pada buah dalam proses pemasakan, ternyata telah melangsungkan pemecahan atau kerusakan pektin menjadi senyawa-senyawa lain. Pemecahan atau kerusakan tersebut menyebabkan berubahnya tekstur buah dari keras menjadi lunak (Kartasapoetra, 1994). Nilai kekerasan buah pepaya selama penyimpanan semakin menurun yang berarti buah menjadi semakin lunak. Keadaan ini disebabkan selama penyimpanan
buah
pepaya
mengalami
proses
pematangan
yang
mengakibatkan tekanan turgor sel selalu berubah. Perubahan turgor pada umumnya disebabkan komposisi dinding sel berubah dan mempengaruhi
kekerasan buah. Biasanya buah menjadi lebih lunak apabila telah matang (Muchtadi, 1992 dalam Hamaisa, 2008). Hamaisa (2008) menyatakan bahwa buah pepaya genotipe IPB 1 yang disimpan pada suhu 10 °C mempunyai penurunan nilai kekerasan yang lebih rendah dibandingkan dengan buah pepaya yang disimpan pada suhu 15 °C. Ariyanti (2007) menyatakan bahwa suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap perubahan nilai kekerasan pada pengukuran hari ke-9, ke-12 dan ke-15. Sedangkan masa simpan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan nilai kekerasan. Silalahi (2007) melakukan penelitian penyimpanan pepaya IPB 1 pada dua suhu berbeda yaitu 10 oC dan 15 oC. Penurunan kekerasan terbesar terjadi pada suhu 15
o
C dengan masa
penyimpanan 14 hari. Matto et al. (1986) dalam Pantastico (1986) menjelaskan bahwa pada suhu tinggi terjadi perubahan kekerasan lebih cepat dibandingkan dengan suhu rendah. Hamaisa (2008) juga memberikan hubungan antara faktor kekerasan, suhu penyimpanan dan tingkat ketuaan. Penurunan nilai kekerasan pada buah pepaya yang disimpan pada suhu ruang cenderung sama. Namun, buah pepaya IPB 1 dengan tingkat kematangan 0% memiliki masa simpan yang lebih lama dibandingkan dengan buah pepaya IPB 1 dengan tingkat kematangan 10%.
3.
Total Padatan Terlarut Sjaifullah (1996) di dalam Hamaisa (2008) menyatakan bahwa
kandungan gula atau total padatan terlarut (TPT) merupakan refleksi dari rasa manis, yang juga menunjukkan derajat ketuaan dan kematangan. Wills et al., (1989) di dalam Hamaisa (2008), menyatakan bahwa perubahan TPT disebabkan oleh proses pematangan yang diawali dengan pemecahan pati menjadi gula sederhana dan adanya penumpukan gula yang digunakan sebagai substrat selama proses respirasi. Total padatan terlarut buah pepaya genotipe IPB 1 selama penyimpanan umumnya mengalami peningkatan.
4.
Susut Bobot Susut bobot sebagian besar dipengaruhi oleh transpirasi dan respirasi
(Pantastico, 1986). Kandungan air buah pada umumnya berkisar antara 7090% dan apabila buah telah dipetik maka kandungan buah ini secara alamiah akan berkurang sehingga menyebabkan terjadinya penyusutan melalui proses transpirasi. Transpirasi merupakan proses penguapan air dari dalam sel, baik melalui stomata, lentisel, maupun retakan kutikula. Selain menyebabkan kehilangan berat, transpirasi juga dapat menyebabkan pengeriputan. Proses respirasi dan transpirasi dapat menyebabkan kehilangan cadangan makanan dan kadar air buah karena digunakan dalam reaksi metabolisme. Kehilangan substrat dan air itu tidak dapat digantikan sehingga kerusakan buah mulai terjadi (Santoso dan Purwoko, 1995 di dalam Hamaisa, 2008). Satuhu (2004) menyatakan bahwa penyusutan bobot menyebabkan buah mengerut dan layu serta dapat mempercepat pertumbuhan jasad renik pembusuk sehingga bahan yang disimpan menjadi cepat rusak. Hamaisa (2008) menyatakan bahwa masa penyimpanan dan suhu penyimpanan berpengaruh nyata terhadap susut bobot buah pepaya selama penyimpanan. Umumnya peningkatan persentase susut bobot buah pepaya IPB 1 yang disimpan pada suhu 15 °C lebih tinggi dibandingkan dengan buah pepaya yang disimpan pada suhu 10 °C.
5.
Warna Warna pada buah-buahan dan sayuran disebabkan oleh pigment yang
dikandungnya yaitu klorofil, anthocianin (flavonoid) dan karotenoid. Klorofil bersifat non polar yang menyebabkan warna hijau pada bahan. Warna merah, biru dan ungu disebabkan oleh pigmen anthocianin (flavonoid) yang bersifat polar. Sedangkan warna jingga umumnya disebabkan oleh pigmen karotenoid yang bersifat non polar dan memiliki peran penting sebagai pro-vitamin A (Winarno, 2002). Warna merupakan indikator pertama yang digunakan konsumen untuk menentukan kematangan buah. Oleh karena itu, perubahan warna dalam pemeraman dan penyimpanan buah menjadi faktor penting yang perlu
mendapatkan perhatian khusus. Perubahan warna kulit buah merupakan perubahan yang paling menonjol (Kays, 1991).
F. Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Network) diadaptasi dari kinerja aliran syaraf otak, dilakukan pertama kali oleh Mc-Culloch dan Pitts (1940-an) yang merancang model perhitungan dasar unit. Setelah penemuan itu mulai berkembang penelitian-penelitian berbasis Jaringan Syaraf Tiruan (JST). Arif (2003) melakukan pendugaan outflow volume untuk penjadwalan pasokan larutan nutrisi sistem hidroponik substrat tanaman mentimun pada fase vegetatif dengan koefisien determinasi pelatihan 0.9895. Soedibyo et al. (2006) melakukan pemutuan edamame dengan JST yang terintegrasi pada program pengolahan citra dengan target Root Mean Square Error (RMSE) 0.28, Sofi’i et al. (2005) juga mengaplikasikan JST yang terintegrasi dengan program pengolahan citra untuk penentuan jenis biji kopi dengan penyusunan dua model JST yang didasarkan pada jumlah parameter inputnya. Perbandingan antara penggunaan JST dan model matematika sebagai teknik pendugaan kekerasan dan total padatan terlarut dilakukan oleh Bachtiar dan Widuri (2004), hasil menunjukkan bahwa teknik pendugaan dengan JST lebih mendekati hasil pengukuran daripada teknik dengan model matematika. JST menurut Puspitaningrum (2006) adalah salah satu cabang ilmu dari bidang ilmu kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan merupakan alat untuk memecahkan masalah terutama di bidang-bidang yang melibatkan pengelompokan dan pengenalan pola (pattern recognition). JST bisa dianalogikan sebagai kumpulan unit-unit (sel syaraf) yang terdapat di jaringan syaraf biologis yang saling terkoneksi membentuk suatu aliran penerimaan, pengolahan dan pengiriman informasi. Setiap unit tersusun atas badan sel (soma), dendrit dan akson. Informasi (sinyal) diterima oleh dendrit melalui celah sinapsis berupa impuls sinyal dari unit lain yang diteruskan ke badan sel untuk diolah. Selanjutnya sinyal yang dibangkitkan dari badan sel diteruskan ke unit lain melalui akson dengan cara mengirimkan impuls melalui sinapsis.
Kekuatan sinapsis bisa menurun atau meningkat tergantung dari besar tingkat propagasi (penyiaran) sinyal yang diterimanya. Seperti halnya dengan jaringan syaraf biologi, Kusumadewi (2003), Puspitaningrum (2006) dan Siang (2007) mendeskripsikan cara kerja JST sebagai berikut: sejumlah sinyal input diterima oleh node (unit) input melalui celah sinapsis kemudian dibangkitkan sejumlah nilai bobot secara acak. Pembobot inilah yang menunjukkan kekuatan hubungan atau sinyal antar node pada JST. Selanjutnya dilakukan penjumlahan bobot (Persamaan 1) dan diaktivasi menggunakan fungsi aktivasi sigmoid (Persamaan 2). Jika nilai hasil aktivasi lebih dari nilai ambang batas (threshold) maka nilai ini dibangkitkan sebagai sinyal output dan dikirim ke lapisan di atasnya. Cara kerja model aliran ini dapat dengan mudah dipahami melalui Gambar 2. vko: bias
v0i
Xo
Fungsi Aktivasi vi
X1
∑
Output
Yk
Summing Function
Threshold
vi
Xn
Sumber: www.dacs.dtic.mil
Gambar 2 Model sederhana JST Keterangan simbol Gambar 2: X
: Set data setiap unit ke-n di lapisan input (sinyal input)
vi
: Nilai pembobot setiap sinyal input
∑
: Summing function (Persamaan 1) Menurut Siang (2007), kemampuan dasar JST adalah mampu
mempelajari contoh input dan output yang diberikan (memorisasi), kemudian belajar beradaptasi dengan lingkungan (generalisasi), sehingga dapat memecahkan masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan dengan metode
komputasi konvensional. Selain itu JST mampu memecahkan permasalahan di mana hubungan antara input dan output tidak diketahui dengan jelas. Kinerja JST ditentukan oleh tiga hal yaitu pola hubungan antar unit (arsitektur jaringan), metode untuk menentukan bobot penghubung (metode learning/ algoritma) dan fungsi aktivasi. Proses
pembelajaran
Puspitaningrum
(2006)
JST
terbagi
menurut menjadi
Kusumadewi dua
metode
(2003) yaitu
dan
metode
pembelajaran terawasi (supervised learning), metode pembelajaran tidak terawasi (unsupervised learning) dan metode pembelajaran hibrida (hybrid). Metode pembelajaran disebut terawasi jika output yang diharapkan telah diketahui sebelumnya. Sedangkan metode pembelajaran disebut tidak terawasi jika tidak memerlukan target output. Metode pembelajaran hibrida merupakan kombinasi dari metode pembelajaran terawasi dan tidak terawasi. Salah satu metode
pembelajaran
terawasi
adalah
algoritma
propagasi
balik
(backpropagation) yang memiliki lapisan tersembunyi di antara lapisan input dan output. Tujuan utama penggunaan propagasi balik adalah mendapatkan keseimbangan antara pengenalan pola pelatihan (data pelatihan) secara benar dan respon yang baik untuk pola lain yang sejenis (data pengujian). Arsitektur jaringan propagasi balik disajikan di Gambar 3. Merujuk pada Kusumadewi (2003), algoritma propagasi balik yang berlangsung selama proses pengolahan sinyal adalah sebagai berikut: 1. Inisialisasi pembobot Mula-mula pembobot dipilih secara acak kemudian setiap sinyal dikirim ke dalam unit pada lapisan input lalu sistem akan mengirim sinyal ke unit pada lapisan di atasnya. 2. Feedforward Tiap unit tersembunyi menerima sinyal dari lapisan input (i = 1, 2, .., n) yang selanjutnya dilakukan penjumlahan dengan Persamaan 1. n
z _ in j = voj + ∑ xi vij i =1
…………………………………………….
(1)
Nilai z_inj yang masuk ke lapisan tersembunyi selanjutnya diaktifasi menggunakan fungsi aktivasi sigmoid (Persamaan 2) untuk menghasilkan sinyal output dari lapisan ini. zj =
1 1 + exp(− ( z _ inj ))
…………………………………………. (2)
Sinyal output teraktifasi dikirim ke semua unit di lapisan atasnya (lapisan output). Di setiap unit lapisan output (Yk (k = 1, 2, 3, …, m)) kembali dilakukan pengolahan sinyal dengan Persamaan 3. p
y _ in k = wok + ∑ z i w jk
………..………………………………(3)
i =1
Nilai y_ink yang masuk ke lapisan output selanjutnya diaktifasi menggunakan fungsi aktivasi sigmoid (Persamaan 4) untuk menghasilkan sinyal output dari lapisan ini.
yk =
1 1 + exp(− ( y _ ink ))
……………………………………….(4)
Sinyal output lapisan terluar teraktifasi ini dikirim kembali ke semua unit di lapisan tersembunyi. 3. Backforward Tiap-tiap unit output (Yk, k = 1, 2, ., m) menerima target pola yang berhubungan dengan pola input pembelajaran, informasi error dihitung dengan Persamaan 5.
δ k = (tk − yk ) f ' ( y _ ink )
………..……………………………………(5)
Informasi error ini selanjutnya digunakan sebagai faktor pengali untuk perhitungan koreksi bobot yang nantinya digunakan memperbaiki nilai wjk. Koreksi pembobot di lapisan tersembunyi dihitung dengan Persamaan 6.
∆w jk = αδ k z j
………………………………………………….(6)
Koreksi bias untuk memperbaiki nilai wok dihitung dengan Persamaan 7. ∆wok = αδ k
…………………………………………………….(7)
Tiap-tiap unit di lapisan tersembunyi (Zj, j = 1, 2, …., p) menerima sinyal input dari lapisan terluar berupa nilai pembobot dengan Persamaan 8.
δ _ in j =
m
∑ δ k w jk
……………………………………………….(8)
k =1
Informasi error dihitung dengan Persamaan 9.
δ j = δ _ in j f ' (z _ in j )
……..…………………………………………(9)
Koreksi pembobot untuk memperbaiki nilai vij (Persamaan 10).
∆vij = αδ j xi …………………………………………………………..(10) Koreksi bias untuk memperbaiki nilai voj (Persamaan 11).
∆voj = αδ j …………………………………………………………….(11) Tiap-tiap unit output (Yk, k = 1, 2, …, m) memperbaiki nilai pembobot (wjk(baru) (j = 0, 1, 2, …, p)) dengan Persamaan 12.
w jk (baru ) = w jk (lama) + ∆w jk
……………………………………(12)
Tiap-tiap unit tersembunyi (Zj, j = 1, 2, .., p) memperbaiki nilai pembobot (vij (baru)) dengan Persamaan 13.
vij (baru ) = vij (lama) + ∆vij …………………………………………..(13) Root Mean Square Error (RMSE) dihitung dengan Persamaan 14: RMSE =
∑ (t k − y k )
……………………………………………(14)
n Keterangan simbol:
z_inj
: sinyal
tiap unit di lapisan tersembunyi
voj
: pembobot
xi
:
sinyal tiap unit di lapisan input
vij
:
pembobot penghubung antara lapisan input dengan lapisan
bias unit di lapisan input
tersembunyi zj
:
sinyal aktivasi z_inj, sebagai output dari lapisan
tersembunyi y_ink
: sinyal tiap unit di lapisan output
wok
: pembobot
bias unit di lapisan tersembunyi
wjk
: pembobot
penghubung antara lapisan tersembunyi dengan
lapisan output yk
: sinyal
δk
: informasi error di lapisan output
tk
: nilai target (nilai aktual pengukuran)
∆wjk
: perubahan pembobot di lapisan output dengan lapisan
aktivasi y_ink, sebagai output dari lapisan output
tersembunyi α
: laju pembelajaran
∆wok
: perubahan pembobot bias di lapisan tersembunyi
δ_inj
: informasi error belum teraktivasi di lapisan tersembunyi
δj
: informasi error di lapisan tersembunyi
∆vjk
: perubahan pembobot bias di lapisan tersembunyi dengan lapisan input
∆voj
: perubahan pembobot bias di lapisan input
µ
: konstanta momentum
n
: jumlah data yang diberikan
Lapisan hidden W11
Z1
Lapisan input
Lapisan output
V11 W12 X1
Y1
V12 V13 W21 Z2 W22 V21
V22 Y2
X2
W31 V32 Z3
W32
Gambar 3 Arsitektur propagasi balik Keterangan Gambar 3: : feedforward : backforward
Kinerja jaringan dinilai berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2). Hasil dari JST yang selanjutnya digunakan sebagai input ke algoritma genetik adalah nilai pembobot yang menghubungkan input dan output. Dalam pengolahan data menggunakan JST belum terdapat prosedur standar untuk optimasi pendugaan variasi arsitektur dalam algoritma backpropagation. Algoritma ini belum bisa memberikan kepastian tentang berapa iterasi yang harus dilalui untuk mencapai kondisi yang diinginkan (Siang, 2002). Soedibyo et al. (2006) melakukan penentuan variasi JST terbaik dengan menentukan karakteristik struktur JST terlebih dahulu yaitu trial error variasi lapisan tersembunyi, trial error variasi normalisasi input, dan penentuan target Root Mean Square Error (RMSE): 0.28, learning rate: 0.2 dan momentum: 0.9. Sofi’i et al. (2005) melakukan pendugaan dengan trial error variasi iterasi 25 000 sampai dengan 40 000. Kinerja JST diketahui dari nilai akurasi validasi. Adrizal et al. (2007) menggunakan trial error variasi unit jumlah lapisan tersembunyi dan variasi iterasi. Kinerja JST hasil pelatihan diketahui melalui Standard Error of Calibration (SEC), sedangkan kinerja hasil validasi diketahui dari Standard Error of Prediction (SEP), Coefficient of Variation (CV) dan rasio antara standar deviasi dan SEP. Arif (2003) menggunakan nilai konstanta laju pembelajaran (learning rate) dan konstanta momentum 0.6. Kinerja JST diketahui dari koefisien determinasi (R2) antara data pengukuran aktual dengan data pendugaan JST. Siang (2002) menunjukkan bahwa jaringan dengan satu layar tersembunyi sudah cukup bagi backpropagation untuk mengenali sembarang hubungan antara input dan output dengan tingkat ketelitian yang telah ditentukan. Tidak ada kepastian mengenai berapa jumlah pola yang digunakan agar jaringan memiliki tingkat akurasi mendekati 100%. Jika nilai RMSE terus menurun maka pelatihan terus dijalankan. Akan tetapi jika RMSE sudah meningkat, pelatihan harus dihentikan karena jaringan sudah mulai mengambil sifat yang dimiliki secara spesifik oleh data pelatihan tetapi tidak dimiliki oleh data pengujian dan sudah mulai kehilangan kemampuan generalisasi.
G. Algoritma Genetik
Algoritma genetik (genetic algorithms) diadaptasi dari mekanisme evolusi biologis, dikembangkan pertama kali oleh John Holland dari Universitas Michigan (1975). John Holland menyatakan bahwa setiap masalah yang berbentuk adaptasi (alami maupun buatan) dapat diformulasikan dalam terminologi genetika. Algoritma genetika adalah simulasi dari proses evolusi Darwin dan operasi genetika kromosom (Kusumadewi, 2003). Setelah penemuan itu mulai berkembang penelitian-penelitian berbasis Algoritma Genetik (AG) sebagai teknik optimasi. Arif (2003) menggunakan AG sebagai teknik optimasi dalam penjadwalan pasokan larutan nutrisi pada sistem hidroponik substrat tanaman mentimun. Sebelum masuk ke program AG, digunakan program jaringan syaraf tiruan dalam pendugaan hubungan antara parameter input dan output. Penelitian lain yang menggunakan AG sebagai teknik optimasi adalah manajemen transponder satelit komunikasi oleh Simanjuntak (2005), perencanaan golongan pemberian air oleh Soehadi et al. (2006), optimasi sudut atap dan tinggi dinding pada rumah kaca di daerah tropika oleh Sumarni (2007). Algoritma genetik (genetic algorithms) adalah algoritma pencarian yang didasarkan atas teori seleksi alam yaitu individu yang lebih kuat akan memiliki tingkat bertahan hidup (survive) dan tingkat reproduksi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan individu yang kurang fit di dalam populasinya “survival of the fittest”. AG di dalam Sumarni (2007) dirumuskan sebagai berikut: populasi terdiri
dari
sekumpulan
individu
(kromosom)
yang
masing-masing
mempresentasikan penyelesaian di dalam wilayah solusi untuk suatu permasalahan. Masing-masing kromosom mempunyai nilai fitness yang bersesuaian dengan kelayakan solusi permasalahan. Beberapa individu dalam populasi dengan nilai fitness lebih baik berpeluang untuk bereproduksi, proses ini disebut sebagai seleksi kromosom. Selanjutnya kromosom yang lolos dari seleksi akan mengalami penyilangan (cross over) dan mutasi untuk menghasilkan individu baru (offspring). Agar jumlah individu (popsize) baru sama dengan individu generasi sebelumnya, maka individu dengan nilai
fitness rendah dibuang. Generasi berikutnya hanya dipilih yang mempunyai nilai fitness terbaik. Proses ini diulang sampai generasi yang diinginkan atau nilai fungsi fitness yang paling tinggi untuk penyelesaian permasalahan. Diagram alir AG disajikan di Gambar 4.
Bangkitkan populasi awal
Ya
Kriteria optimasi tercapai?
Evaluasi fungsi tujuan
Individuindividu tebaik
Tidak Mulai Populasi baru dibangkitkan
Hasil
Seleksi
Rekombinasi
Mutasi
Gambar 4 Diagram alir AG
Di dalam proses optimasi, parameter yang digunakan pada AG adalah sebagai berikut: 1) Fungi fitness yang dimiliki oleh masing-masing individu untuk menentukan tingkat kesesuaian individu tersebut dengan kriteria yang dicapai, 2) Jumlah individu (popsize) yang dilibatkan dalam setiap generasi, 3) Probabilistik terjadinya penyilangan (peluang cross over) pada suatu generasi, 4) Peluang terjadi mutasi pada setiap transfer gen, 5) Jumlah generasi yang akan dibentuk yang menentukan lama dari penerapan AG. Kusumadewi (2003) menyebutkan komponen-komponen utama AG adalah teknik penyandian, prosedur inisiasi, fungsi evaluasi, seleksi, operator genetika dan penentuan parameter. Teknik penyandian meliputi penyandian gen dari kromosom. Gen merupakan bagian dari kromosom yang merupakan perwakilan dari satu variabel atau parameter. Gen dapat direpresentasikan dalam bentuk string bit, pohon, array bilangan real, daftar aturan, elemen permutasi,
elemen
program
atau
representasi
lainnya
yang
dapat
diimplementasikan untuk operator genetika. Ukuran populasi tergantung pada
masalah yang akan dipecahkan dan jenis operator genetika yang akan diimplementasikan. Setelah ukuran populasi ditentukan kemudian harus dilakukan inisiasi terhadap kromosom yang terdapat pada populasi tersebut. Prosedur yang dilakukan dalam melakukan evaluasi adalah evaluasi fungsi objektif (fungsi tujuan) dan konversi fungsi objektif ke dalam fungsi fitness. Seleksi bertujuan memberikan kesempatan reproduksi yang lebih besar bagi anggota populasi yang fit. Seleksi akan menentukan individu-individu mana saja yang akan dipilih untuk dilakukan penyilangan dan bagaimana kromosom anak (offsping) terbentuk dari individu-individu terpilih tersebut. Langkah pertama yang dilakukan dalam seleksi ini adalah pencarian nilai fitness. Nilai fitness inilah yang nantinya akan digunakan pada tahap-tahap seleksi berikutnya. Crossover
(penyilangan)
dilakukan
atas
dua kromosom untuk
menghasilkan kromosom anak. Kromosom anak yang terbentuk akan mewarisi
sebagian
sifat
kromosom
induknya.
Peluang
penyilangan
menunjukkan rasio dari anak yang dihasilkan dalam setiap generasi dengan ukuran populasi. Penyilangan bilangan biner dapat dilakukan dengan pemotongan di satu titik, banyak titik dan seragam dengan posisi penyilangan gen di dalam satu kromosom dilakukan secara acak. Gen ditukar antar kromosom pada titik tersebut untuk menghasilkan anak. Contoh penyilangan satu titik dengan posisi pemotongan di gen ke-dua adalah sebagai berikut: Induk 1:
0 1 1 1 0 1
Anak 1: 0 1 1 1 1 0
Induk 2:
1 0 1 1 1 0
Anak 2: 1 0 1 1 0 1
Setelah mengalami penyilangan, pada kromosom anak dapat dilakukan mutasi. Variabel offspring dimutasi dengan menambahkan angka yang sangat kecil dengan probabilitas yang rendah. Peluang mutasi (pm) didefinisikan sebagai persentasi dari jumlah total gen yang mengalami mutasi. Jika peluang mutasi terlalu kecil, banyak gen yang mungkin berguna tidak pernah dievaluasi. Tetapi jika peluang mutasi terlalu besar, maka akan terlalu banyak gangguan acak sehingga anak akan kehilangan kemiripan dari induknya, dan juga algoritma akan kehilangan kemampuan untuk belajar dari histori
pencarian. Mutasi pada bilangan biner dilakukan dengan inversi gen kromosom yaitu
mengubah gen yang semula bernilai 0 menjadi 1 dan
sebaliknya. Posisi gen yang dimutasi ditentukan secara acak. Sidharta (2005) menyebutkan bahwa fungsi fitness adalah sebuah nilai yang menentukan apakah string dapat bertahan hidup pada populasi atau tidak. Parameter genetik yaitu ukuran populasi, jumlah generasi, peluang penyilangan dan peluang mutasi berguna untuk pengendalian operatoroperator genetika dan tidak ada aturan yang pasti tentang berapa nilai-nilai ini. Ukuran populasi kecil berarti hanya tersedia sedikit pilihan untuk penyilangan dan sebagian kecil saja yang dieksplorasi untuk setiap generasinya. Sedangkan bila terlalu besar, kinerja AG menurun. Ukuran populasi yang disarankan antara 20-30, peluang penyilangan berkisar 80-95% dan peluang mutasi kecil berkisar 0.5-1%. Syska (2005) menggunakan ukuran populasi 20, jumlah generasi 100, peluang penyilangan 80% dan peluang mutasi 1%. Arif (2003) menggunakan ukuran populasi 20, jumlah generasi 400, peluang penyilangan 40% dan peluang mutasi 1%. Hasil penjadwalan penyiraman optimum untuk fase vegetatif tanaman mentimun terjadi pada lama penyiraman 240 detik pada selang 240-600 detik, selang penyiraman 3 jam pada selang 3-8 jam dan menghasilkan outflow volume 10.138 ml pada selang 0-140 ml. Sumarni (2007) menyebutkan karakteristik AG yang membedakan dengan teknik optimasi lainnya adalah: 1) AG bekerja dengan pengkodean himpunan solusi permasalahan berdasarkan parameter yang telah ditetapkan, 2) AG melakukan pencarian pada sebuah populasi dari sejumlah individu yang merupakan solusi permasalahan, bukan hanya dari sebuah individu, 3) AG menggunakan informasi fungsi objektif (fitness) sebagai cara untuk mengevaluasi individu yang mempunyai solusi terbaik, bukan turunan dari suatu fungsi.
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Agustus 2008.
B. Tahapan Penelitian 1. Persiapan Penelitian dan Studi Pendahuluan
Pada tahap persiapan penelitian dilakukan perumusan masalah dan penentuan tujuan penelitian. Studi pendahuluan dilakukan dengan cara penelusuran sumber pengetahuan dan informasi untuk memperoleh pengetahuan dasar tentang hubungan antara tingkat kematangan dan parameter lingkungan mikro penyimpanan dengan parameter mutu produk hortikultura. Diagram alir tahapan penelitian disajikan di Gambar 10.
2. Pengumpulan dan Pemilihan Data
Data penelitian yang digunakan merupakan dokumentasi data sekunder dari penelitian yang telah dilakukan oleh Syska (2006), Ariyanti (2007), Krisna (2007) dan Silalahi (2007). Dari kajian penelitian tersebut diperoleh informasi bahwa parameter output yang diukur selama penyimpanan adalah total padatan terlarut (obrix), kekerasan (kgf), laju respirasi (ml/kg jam), warna dan susut bobot (%). Sedangkan untuk parameter input yaitu parameter yang telah ditentukan kondisinya. Parameter input tersebut adalah suhu simpan (oC), perlakuan pra penyimpanan, tingkat kematangan (%), kelembaban udara (%) dan masa simpan (jam). Dokumentasi data sekunder dapat dilihat di Lampiran 1, 2, 3 dan 4.
3. Penyusunan Skenario Jaringan Syaraf Tiruan
Model Jaringan Syaraf Tiruan (JST) yang digunakan adalah JST lapisan jamak yang terdiri dari tiga lapisan yaitu lapisan input, lapisan tersembunyi, dan lapisan output. Dari keberagaman data sekunder yang digunakan, maka dapat disusun lima skenario JST. Di dalam JST, data yang terkoleksi di setiap unit dibagi menjadi data pelatihan dan data pengujian. Data pelatihan adalah 2/3 dari keseluruhan data, sedangkan data pengujian adalah 1/3 dari keseluruhan data. Data pelatihan merupakan selang terluar dari keseluruhan data. Pengolahan data JST menggunakan program aplikasi yang dibangun oleh Rudiyanto et al. (2005).
3.1 Skenario I
Jumlah data yang digunakan di skenario I adalah 24 set data dengan 16 set data pelatihan dan 8 set data pengujian. Data selang pengukuran kedua parameter penyimpanan seperti tercantum di Tabel 3. Arsitektur JST skenario I disajikan di Gambar 5. Untuk selengkapnya, data skenario I dapat dilihat pada Lampiran 5. Lapisan output
Lapisan input
TPT
Tingkat kematangan Lapisan hidden
Suhu simpan
Kekerasan
L. konsumsi O2 L. Produksi CO2 Warna (L*) Warna hijau (-a*)
Masa simpan
Warna kuning (+b*) Susut bobot
Gambar 5 Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario I
Tabel 3 Data selang skenario I Parameter
Selang
Satuan
Layer input: Tingkat kematangan
0–10
%
Suhu simpan
10–15
o
Masa simpan
72- 432
Jam
Total Padatan Terlarut (TPT)
8.137–10.3
O
Kekerasan
1.396 – 4.871
kgf
Kecerahan (L*)
51.18–56.5
Warna hijau (-a*)
-15.738–(-9.351)
Warna kuning (+b*)
22.22–37.121
Laju konsumsi O2
3.03–18.48
ml/kg jam
Laju produksi CO2
3.63–19.75
ml/kg jam
Susut bobot
0.014–0.838
C
Layer output: brix
3.2 Skenario II
Jumlah data yang digunakan di skenario II adalah 173 set data dengan 115 set data pelatihan dan 58 set data pengujian. Data selang pengukuran kedua parameter penyimpanan seperti tercantum di Tabel 4. Arsitektur JST skenario II disajikan di Gambar 6. Untuk selengkapnya, data skenario II dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 4 Data selang skenario II Parameter
Selang
Satuan
Tingkat kematangan
0–10
%
Suhu simpan
5–29.5
o
Masa simpan
0–480
Jam
Laju konsumsi O2
0.03–64.87
ml/kg jam
Laju produksi CO2
0.56–58.88
ml/kg jam
Layer input: C
Layer output:
Lapisan input
Lapisan hidden
Tingkat kematangan Lapisan output Laju konsumsi O2 Suhu simpan
Laju produksi CO2
Masa simpan
Gambar 6 Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario II
3.3 Skenario III
Jumlah data yang digunakan di skenario III adalah 30 set data dengan 22 set data pelatihan dan 8 set data pengujian. Data selang pengukuran kedua parameter penyimpanan seperti tercantum di Tabel 5. Arsitektur JST skenario I disajikan di Gambar 7. Untuk selengkapnya, data skenario III dapat dilihat pada Lampiran 7. Tabel 5 Data selang skenario III Parameter
Selang
Satuan
Tingkat kematangan
0–10
%
Suhu simpan
10–27.5
o
Masa simpan
0-432
Jam
Laju konsumsi O2
3.03–37.13
ml/kg jam
Laju produksi CO2
3.63–37.4
ml/kg jam
Susut bobot
0.014–0.838
%
Layer input: C
Layer output:
Lapisan input
Lapisan hidden
Lapisan output
Tingkat kematangan
Laju konsumsi O2
Suhu simpan
Laju produksi CO2
Susut bobot
Masa simpan
Gambar 7 Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario III
3.4 Skenario IV
Jumlah data yang digunakan di skenario IV adalah 48 set data dengan 32 set data pelatihan dan 16 set data pengujian. Pengukuran TPT dan kekerasan dilakukan secara bersamaan sehingga setiap data TPT akan selalu berpasangan dengan data kekerasan di dalam satu set waktu pengukuran. Data selang pengukuran kedua parameter penyimpanan seperti tercantum di Tabel 6. Arsitektur JST skenario I disajikan di Gambar 8. Untuk selengkapnya, data skenario IV dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 6 Data selang skenario IV Parameter
Selang
Satuan
Layer input: 0–10
%
Suhu simpan
27-5
o
Masa simpan
0-480
Jam
TPT
8.137–12.7
O
Kekerasan
0.1–5.081
kgf
Tingkat kematangan
C
Layer output: brix
Lapisan input
Lapisan hidden
Tingkat kematangan Lapisan output TPT
Suhu simpan
Kekerasan
Lama simpan
Gambar 8 Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario IV
3.5 Skenario V
Jumlah data yang digunakan di skenario V adalah 67 set data dengan 45 set data pelatihan dan 22 set data pengujian. Data selang pengukuran kedua parameter penyimpanan seperti tercantum di Tabel 7. Arsitektur JST skenario V disajikan di Gambar 9. Untuk selengkapnya, data skenario V dapat dilihat pada Lampiran 9. Tabel 7 Data selang skenario V Parameter
Selang
Satuan
Tingkat kematangan
0–10
%
Suhu simpan
10–28.75
o
Masa simpan
0–432
Jam
Layer input:
Layer output: Kecerahan (L*)
48.78–56.5
Warna hijau (-a*)
-9.271–(-15.738)
Warna kuning (+b*)
21.056–37.121
C
Lapisan input
Lapisan hidden
Lapisan output
Tingkat kematangan
Suhu simpan
Kecerahan
Warna hijau
Warna kuning
Masa simpan
Gambar 9 Arsitektur jaringan syaraf tiruan skenario V
4. Optimasi Arsitektur JST
Tahapan optimasi arsitektur JST yang digunakan di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Inisiasi arsitektur JST Inisiasi arsitektur JST dilakukan terhadap semua skenario yaitu satu lapisan tersembunyi dengan delapan unit. Inisiasi parameter pembelajaran dipilih acak yaitu learning rate: 0.6, momentum: 0.6 dan konstanta sigmoid: 1. Parameter-parameter inisiasi masing-masing skenario dapat dilihat pada Tabel 8. b. Penentuan target Root Mean Square Error (RMSE) Nilai target RMSE ditentukan sebelum dilakukan pengolahan data sehingga trial error untuk variasi parameter tidak berkembang terlalu luas. Target RMSE yang ingin dicapai adalah 0.001. c. Penentuan metode untuk mengukur kinerja JST Kinerja JST ditentukan dengan melakukan pengukuran koefisien determinasi (R2) antara data pengukuran aktual dengan data pendugaan JST dan perhitungan RMSE minimum.
d. Trial error variasi iterasi pelatihan Trial error variasi iterasi pelatihan terus dilakukan sampai RMSE yang diperoleh mendekati RMSE target. Iterasi dihentikan jika RMSE pelatihan yang diperoleh mulai meningkat meskipun RMSE yang diperoleh di trial error sebelumnya masih jauh dari RMSE target. e. Trial error variasi jumlah unit lapisan tersembunyi Dengan menggunakan iterasi yang diperoleh dari tahap keempat, dilakukan trial error variasi jumlah unit lapisan tersembunyi. Trial error dihentikan jika RMSE pelatihan yang diperoleh mulai meningkat meskipun RMSE yang diperoleh di trial error sebelumnya masih jauh dari RMSE target. f. Trial error variasi nilai momentum Dengan menggunakan iterasi dan jumlah unit lapisan tersembunyi yang diperoleh dari tahap kelima selanjutnya dilakukan trial error variasi nilai momentum. Trial error dihentikan jika RMSE pelatihan yang diperoleh mulai meningkat meskipun RMSE yang diperoleh di trial error sebelumnya masih jauh dari RMSE target. g. Trial error variasi unit input Dengan menggunakan iterasi, jumlah unit lapisan tersembunyi dan nilai momentum yang diperoleh dari tahap keenam selanjutnya dilakukan trial error variasi unit input yaitu penggabungan antara tingkat kematangan, masa simpan atau suhu simpan. Hasil akhir dari tahap ini adalah skenario pendugaan parameter mutu dengan arsitektur terbaik sehingga diperoleh susunan parameter input yang signifikan mempengaruhi parameter mutu pepaya IPB 1 selama penyimpanan.
5. Modifikasi Program Algoritma Genetik
Setelah skenario terbaik dari JST diperoleh, selanjutnya dilakukan optimasi terhadap parameter input (suhu simpan, tingkat kematangan dan kelembaban udara) untuk mendapatkan nilai minimum pada TPT, laju respirasi, susut bobot, warna kuning dan nilai maksimum pada kekerasan, derajat kecerahan, warna hijau dan masa simpan. Modifikasi program
Algoritma Genetik (AG) dilakukan dengan menyusun ulang fungsi fitness. Kromosom (individu) yang terbentuk adalah jumlah parameter input yang akan dioptimasi. Masing-masing kromosom disimbolkan dengan enam string bit. Bahasa pemrograman yang digunakan dalam pembangunan program adalah Visual Basic 6.
6. Optimasi dengan Algoritma Genetik
Input AG adalah nilai pembobot (weight) yang menunjukkan hubungan input dan output sebagai hasil JST serta nilai parameter AG. Nilai optimum AG adalah jika nilai setiap parameter yang ditunjukkan dalam generasi telah konvergen pada satu nilai. Parameter AG yang digunakan adalah: a.
Ukuran populasi
b.
Peluang penyilangan
c.
Posisi pemotongan
d.
Peluang mutasi
e.
Jumlah generasi
Nilai setiap parameter diperoleh dengan trial error sampai terbentuk hasil AG yang optimum.
Studi pendahuluan
Pengumpulan data
Penyusunan skenario JST
Pembagian data menjadi data pelatihan dan ji Input data pelatihan
1. Input iterasi 2. Input parameter pembelajaran 3. Input jumlah unit di lapisan tersembunyi
Inisialisasi pembobot
Penjumlahan pembobot di lapisan tersembunyi (z_inj)
Aktivasi z_inj (zj)
Penjumlahan pembobot di lapisan output (y_ink)
Perhitungan error di lapisan output (δk)
Perhitungan error di lapisan tersembunyi (δ_inj)
A
A
A
A
Aktivasi δ_inj (δj)
Perhitungan koreksi pembobot (∆wjk dan ∆wok)
Perhitungan koreksi pembobot (∆vjk dan ∆voj)
1. Pembobot baru di lapisan output (wjk dan wok) 2. Pembobot baru di lapisan tersembunyi (vjk dan voj)
Input data pengujian
1. Root Mean Square Error (RMSE) 2. Nilai pendugaan JST (pelatihan dan pengujian)
Perhitungan koefisien determinasi (R2)
Tidak
Apakah RMSE dan R2 sesuai target?
Ya Data pembobot akhir
B
B
Inisiasi data pembobot dari JST sebagai input ke AG
Inisiasi parameter AG: 1. Jumlah populasi 2. Peluang penyilangan 3. Peluang mutasi 4. Posisi bit terpotong 5. Jumlah generasi
Konversi nilai desimal ke nilai biner
Perhitungan nilai fitness
Seleksi
Penyilangan
Mutasi
Belum
Apakah nilai kromosom anak telah konvergen?
Ya
Generasi baru
Gambar 10 Diagram alir tahapan penelitian
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Skenario Pendugaan Mutu dengan Jaringan Syaraf Tiruan
Di dalam pengolahan data menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan (JST) diperlukan dua kelompok data yaitu data pelatihan dan data pengujian yang masing-masing kelompok terdiri dari sejumlah set data input dan output. Parameter input yang terkoleksi dari data sekunder yaitu data kelembaban udara (RH) dan perlakuan pra penyimpanan tidak bisa digunakan karena pengukuran data RH aktual selama penyimpanan hanya dilakukan oleh Silalahi (2007) sehingga data yang ada sangat sedikit dan tidak memungkinkan untuk digunakan dalam perhitungan JST. Sedangkan perlakuan pra penyimpanan juga tidak digunakan karena kondisi ini tidak memungkinkan untuk dilakukan optimasi menggunakan Algoritma Genetik (AG). Hasil optimasi AG adalah angka yang menyimbolkan suatu nilai bukan simbol dari suatu kondisi. Penyusunan skenario yang dibentuk disesuaikan dengan keberagaman data karena masing-masing hasil penelitian memiliki karakteristik perlakuan penyimpanan yang berbeda yaitu di pengkondisian parameter input dan tidak semua parameter output diukur pada satu waktu selang pengukuran. Hal ini menyebabkan tidak semua parameter input dan parameter output dalam penyimpanan pepaya IPB 1 (Carica papaya L.) dapat diplotkan menjadi satu set data input dan output. Dengan keterbatasan ini, maka sekumpulan set data yang terbentuk disusun menjadi lima skenario dengan unit lapisan output yang berbeda di setiap skenario. Jadi, data yang diperoleh dari parameter input penyimpanan pepaya digunakan sebagai inisiasi sinyal input ke lapisan input JST yaitu suhu simpan (oC), tingkat kematangan (%) dan lama simpan (jam). Sedangkan data yang diperoleh dari parameter output penyimpanan pepaya digunakan sebagai sinyal output dari lapisan output JST yaitu variasi antara total padatan terlarut (obrix), kekerasan (kgf), laju respirasi (ml/kg/jam), warna dengan susut bobot (%).
1. Skenario I
Jumlah set data skenario I adalah yang terkecil jika dibandingkan dengan jumlah set data skenario lain. Hal ini disebabkan oleh data sekunder yang menunjukkan hubungan antara parameter input dan mutu tidak terukur pada satu waktu pengukuran serta besarnya jarak di dalam selang pengukuran yaitu per 72 jam. Inisiasi arsitektur skenario I adalah tiga unit jumlah input yaitu tingkat kematangan, suhu simpan dan lama simpan, satu lapisan tersembunyi dengan delapan unit, jumlah pembobot 88, nilai konstanta laju pembelajaran 0.6, momentum 0.6 dan konstanta sigmoid 1. Pada tahapan awal yaitu trial error variasi iterasi dilakukan pada iterasi 10 000 dengan Root Mean Square Error (RMSE) yang dihasilkan adalah 0.00711. Nilai RMSE ini belum mencapai target yaitu 0.001 sehingga terus dilakukan pelatihan dengan variasi iterasi yang meningkat yaitu 75 000, 200 000 dan 500 000. RMSE yang dihasilkan adalah 0.00711, 0.00608, 0.0053 dan 0.00523. Pada iterasi 500 000 menunjukkan hasil error dan R2 yang tidak signifikan berbeda dengan pelatihan pada iterasi 200 000 sehingga dipilih iterasi terbaik adalah 200 000 karena iterasi yang lebih besar membutuhkan waktu yang lama dalam proses pelatihannya. Dengan iterasi 200 000 selanjutnya dilakukan proses pelatihan dengan variasi jumlah unit lapisan tersembunyi yaitu 6 dan 10 dengan jumlah pembobot 66 dan 110. Lapisan tersembunyi dengan enam unit menunjukkan error yang meningkat, sedangkan dengan 10 unit menunjukkan RMSE turun sebesar 0.0001. Penurunan ini tidak signifikan berbeda jika dibandingkan dengan RMSE dan R2 pada 8 unit lapisan tersembunyi sehingga dipilih arsitektur skenario dengan 8 unit lapisan tersembunyi. Konstanta momentum divariasikan pada nilai 0.4 dan 0.8 yang menghasilkan nilai RMSE dan R2 tidak signifikan berbeda dengan hasil pada momentum 0.6. Dari nilai RMSE dan R2 yang dihasilkan maka penyusunan skenario pendugaan mutu terbaik adalah menggunakan struktur JST 3 lapisan, 8 unit lapisan tersembunyi pada iterasi 200 000, konstanta laju pembelajaran 0.6, konstanta momentum 0.6 dan konstanta sigmoid 1. Selanjutnya struktur JST
ini digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan pendugaan mutu terbaik untuk mengetahui parameter input yang signifikan mempengaruhi seluruh parameter mutu penyimpanan pepaya IPB 1. Skenario dengan dua unit di lapisan input sebagai parameter input yaitu variasi antara tingkat kematangan, suhu simpan atau lama simpan menghasikan error yang lebih besar dan R2 pelatihan yang lebih rendah dibandingkan dengan tiga unit yaitu tingkat kematangan, suhu dan lama simpan. Lampiran 10 menunjukkan hasil RMSE dan R2 selama optimasi propagasi balik skenario I. Hubungan antara nilai pendugaan dan pengukuran parameter mutu pada TPT, kekerasan, warna (L, -a*, +b*), laju konsumsi O2, laju produksi CO2 dan susut bobot menghasilkan nilai R2 pelatihan 0.9561, 0.8629, 0.8398, 0.3328, 0.9609, 0.5827, 0.6046, 0.9953 dengan RMSE 0.0053 dan R2 pengujian 0.1894, 0.3797, 0.5102, 0.0015, 0.7867, 0.1792, 0.3005, 0.5334. Gambar 11 sampai dengan 18 menunjukkan grafik hubungan antara hasil pengukuran dan pendugaan parameter mutu selama pelatihan. Grafik hubungan antara hasil pengukuran dan pendugaan parameter mutu selama pengujian dapat dilihat
TPT (obrix) hasil pendugaan
pada Gambar 19 sampai dengan 26.
12 10
R2 = 0.9561
8 6 4 2 0 0
2
4
6
8
10
12
o
TPT ( brix) hasil pengukuran TPT
Linear (TPT )
Gambar 11 Grafik hubungan TPT antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I
Kekerasan hasil pendugaan
6
R2 = 0.8629
5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
Kekerasan hasil pengukuran Kekerasan
Linear (Kekerasan)
Gambar 12 Grafik hubungan kekerasan antara hasil pengukuran dengan
Derajat kecerahan (L*) hasil pendugaan
pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I
56 55
R2 = 0.8398
54 53 52 51 50 51
52
53
54
55
56
Derajat kecerahan (L*) hasil pengukuran Derajat kecerahan
Linear (Derajat kecerahan)
Gambar 13 Grafik hubungan derajat kecerahan (L*) antara hasil pengukuran
Derajat warna hijau (-a*) hasil pendugaan
dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I
0 -15
-10
-5
-5
0
2
R = 0.3328 -10 -15 -20 Derajat warna hijau (-a*) hasil pengukuran Derajat warna hijau (-a*)
Linear (Derajat warna hijau (-a*))
Gambar 14 Grafik hubungan derajat warna hijau (-a*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I
Derajat warna kuning (+b*) hasil pendugaan
40 35 30 25 20 15 10 5 0
R2 = 0.9609
0
10
20
30
40
Derajat warna kuning (+b*) hasil pengukuran Derajat warna kuning
Linear (Derajat warna kuning)
Gambar 15 Grafik hubungan derajat warna hijau (+b*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan
Laju konsumsi CO2 (ml/kg/jam) hasil pendugaan
skenario I
20
R2 = 0.5827
15 10 5 0 0
5
10
15
20
Laju produksi CO2 (ml/kg/jam) hasil pengukuran Laju konsumsi CO2 (ml/kg/jam) Linear (Laju konsumsi CO2 (ml/kg/jam))
Gambar 16 Grafik hubungan laju konsumsi CO2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I
Laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) hasil pendugaan
25 20
R2 = 0.6046
15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
Laju konsumsi O2 (m/kg/jam) hasil pengukuran Laju konsumsi O2
Linear (Laju konsumsi O2)
Gambar 17 Grafik hubungan laju produksi O2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I
Susut bobot (%) hasil pendugaan
1 R2 = 0.9953
0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
Susut bobot (%) hasil pengukuran Susut bobot
Linear (Susut bobot)
Gambar 18 Grafik hubungan susut bobot (%) antara hasil pengukuran dengan
TPT (obrix) hasil pendugaan
pendugaan JST pada proses pelatihan skenario I
10.4 10.2 10 9.8 9.6 9.4 9.2 9 8.8
R2 = 0.1894
0
2
4
6
8
10
12
o
TPT ( brix) hasil pengukuran TPT
Linear (TPT)
Gambar 19 Grafik hubungan TPT antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I
Kekerasan (kgf) hasil pendugaan
5 R2 = 0.3797
4 3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
Kekerasan (kgf) hasil pengukuran Kekerasan
Linear (Kekerasan)
Gambar 20 Grafik hubungan kekerasan antara hasil pengukuran dengan
Derajat kecerahan (L*) hasil pendugaan
pendugaan JST pada proses pengujian skenario I
57 56
R2 = 0.5102
55 54 53 52 51 51
52
53
54
55
56
Derajat kecerahan (L*) hasil pengukuran Derajat kecerahan
Linear (Derajat kecerahan)
Gambar 21 Grafik hubungan derajat kecerahan (L) antara hasil pengukuran
Derajat warna hijau (-a*) hasil pendugaan
dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I
-20
-15
-10
-5
R2 = 0.0015
0 -2 0 -4 -6 -8 -10 -12 -14 -16
Derajat warna hijau (-a*) hasil pengukuran Derajat warna hijau
Linear (Derajat warna hijau )
Gambar 22 Grafik hubungan derajat warna hijau (-a*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I
Derajat warna kuning (+b*) hasil pendugaan
40 35 30 25 20 15 10 5 0
R2 = 0.7867
0
10
20
30
40
Derajat warna kuning (+b*) hasil pengukuran Derajat warna kuning
Linear (Derajat warna kuning )
Gambar 23 Grafik hubungan derajat warna kuning (+b*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian
Laju produksi CO2 (ml/kg/jam) hasil pendugaan
skenario I
15 R2 = 0.1792 10 5 0 0
5
10
15
20
25
Laju produksi CO2 (ml/kg/jam) hasil pengukuran Laju produksi CO2
Linear (Laju produksi CO2)
Gambar 24 Grafik hubungan laju konsumsi CO2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I
Laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) hasil pendugaan
20 15
R2 = 0.3005
10 5 0 0
5
10
15
20
25
Laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) hasil pengukuran Laju konsumsi O2
Linear (Laju konsumsi O2)
Gambar 25 Grafik hubungan laju produksi O2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian
Susut bobot (%) hasil pendugaan
skenario I
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
R2 = 0.5344
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Susut bobot (%) hasil pengukuran Susut bobot
Linear (Susut bobot)
Gambar 26 Grafik hubungan susut bobot (%) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario I
2. Skenario II
Jumlah set data skenario II adalah yang terbesar jika dibandingkan dengan jumlah set data skenario lain. Hal ini disebabkan oleh data sekunder yang menunjukkan hubungan antara parameter input dan mutu terukur pada selang waktu yang lebih luas dengan jarak di dalam selang lebih pendek yaitu per 2, 6 dan 24 jam dengan beberapa kali ulangan. Inisiasi arsitektur skenario II adalah tiga unit jumlah input yaitu tingkat kematangan, suhu simpan dan lama simpan, satu lapisan tersembunyi dengan delapan unit, jumlah pembobot 40, nilai konstanta laju pembelajaran 0.6,
momentum 0.6 dan konstanta sigmoid 1. Pada tahapan awal yaitu trial error variasi iterasi dilakukan iterasi 10 000 dengan RMSE 0.00792. Nilai RMSE ini belum mencapai target 0.001 sehingga terus dilakukan pelatihan dengan variasi iterasi yang meningkat yaitu 100 000 dan 300 000 yang menghasilkan nilai RMSE yang terus menurun dan koefisien determinasi (R2) yang meningkat. Tetapi hasil pendugaan dari ketiga iterasi terdapat beberapa nilai di luar selang data pengukuran. Dengan menurunkan iterasi menjadi 5 000, RMSE yang dihasilkan adalah 0.011 dengan R2 0.3329, 0.3053 pada pelatihan; 0.4418, 0.3824 pada pengujian. Dengan iterasi 5 000 selanjutnya dilakukan proses pelatihan dengan variasi jumlah unit lapisan tersembunyi yaitu 6 dan 10 dengan jumlah pembobot 30 dan 50. Ketiga variasi jumlah unit lapisan tersembunyi menghasilkan nilai RMSE yang sama tetapi R2 yang berbeda. R2 dengan enam unit menunjukkan R2 yang paling tinggi yaitu 0.3544, 0.327 pada pelatihan dan 0.477, 0.4067 pada pengujian. Konstanta momentum divariasikan pada nilai 0.4 dan 0.8 yang menghasilkan nilai error yang sama tetapi R2 menurun. Dari nilai RMSE dan R2 yang dihasilkan maka penyusunan skenario pendugaan parameter mutu terbaik adalah menggunakan struktur JST 3 lapisan, 6 unit lapisan tersembunyi pada iterasi 5 000 dan konstanta laju pembelajaran 0.6, konstanta momentum 0.6 dan konstanta sigmoid 1. Selanjutnya struktur JST ini digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan pendugaan mutu terbaik untuk mengetahui parameter input yang signifikan mempengaruhi laju respirasi pepaya IPB 1 selama penyimpanan. Skenario dengan dua unit di lapisan input sebagai parameter input yaitu variasi antara tingkat kematangan, suhu simpan atau lama simpan menghasikan RMSE yang lebih besar dan R2 pelatihan yang lebih rendah dibandingkan dengan tiga unit yaitu tingkat kematangan, suhu dan lama simpan. Lampiran 11 menunjukkan hasil RMSE dan R2 selama optimasi propagasi balik skenario II. Hubungan antara pendugaan dan pengukuran laju respirasi menghasilkan nilai R2 pelatihan 0.3544, 0.327 dengan RMSE 0.0053 dan R2 pengujian 0.477, 0.4067. Gambar 27 dan 28 menunjukkan grafik hubungan antara hasil pengukuran dan pendugaan laju respirasi selama pelatihan. Grafik hubungan
antara hasil pengukuran dan pendugaan laju respirasi selama pengujian
Laju produksi CO2 (ml/kg/jam) hasil pendugaan
disajikan di Gambar 29 dan 30.
70 60 50 40 30 20 10 0
R2 = 0.3544
0
5
10
15
20
25
30
35
Laju produksi CO2 (ml/kg/jam) hasil pengukuran Laju produksi CO2
Linear (Laju produksi CO2)
Gambar 27 Grafik hubungan laju produki CO2 antara hasil pengukuran dengan
Laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) hasil pendugaan
pendugaan JST pada proses pelatihan skenario II
70 60 50 40 30 20 10 0
R2 = 0.327
0
5
10
15
20
25
30
Laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) hasil pengukuran Laju konsumsi O2
Linear (Laju konsumsi O2)
Gambar 28 Grafik hubungan laju konsumsi O2 antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario II
Laju produksi CO2 (ml/kg/jam) hasil pendugaan
70 60 50 40 30 20 10 0
R2 = 0.477
0
5
10
15
20
25
30
35
Laju produksi CO2 (ml/kg/jam) hasil pengukuran Laju produksi CO2
Linear (Laju produksi CO2)
Gambar 29 Grafik hubungan laju produksi CO2 antara hasil pengukuran
Laju konsumsi O2 (m/kg/jam) hasil pendugaan
dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario II
60 50
R2 = 0.4067
40 30 20 10 0 0
5
10
15
20
25
30
Laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) hasil pengukuran Laju konsumsi O2
Linear (Laju konsumsi O2)
Gambar 30 Grafik hubungan laju konsumsi O2 antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario II
3. Skenario III
Data laju respirasi sebagai data output di skenario III juga merupakan bagian dari data output di skenario II. Perbedaaan terletak pada data laju respirasi yang digunakan merupakan bagian dari data pengukuran susut bobot yang terukur pada set waktu pengukuran yang bersamaan. Inisiasi arsitektur skenario III adalah tiga unit jumlah input yaitu tingkat kematangan, suhu simpan dan lama simpan, satu lapisan tersembunyi dengan delapan unit, jumlah pembobot 40, nilai konstanta laju pembelajaran 0.6, momentum 0.6 dan konstanta sigmoid 1. Pada tahapan awal yaitu trial error variasi iterasi dilakukan iterasi 10 000 dengan RMSE 0.014. Nilai RMSE ini
belum mencapai target 0.001 sehingga terus dilakukan pelatihan dengan variasi iterasi yang meningkat yaitu 50 000 dan 100 000 dan menghasilkan nilai RMSE yang terus menurun dan R2 yang meningkat. Tetapi hasil pendugaan dari ketiga iterasi terdapat beberapa nilai di luar selang data pengukuran. Dengan menurunkan iterasi menjadi 5 000, RMSE yang dihasilkan adalah 0.0134 dengan R2 0.3818, 0.3537, 0.3469 pada pelatihan; 0.3819, 0.3537, 0.3471 pada pengujian. Dengan iterasi 5 000 selanjutnya dilakukan proses pelatihan dengan variasi jumlah unit lapisan tersembunyi yaitu 6 dan 10 dengan jumlah pembobot 36 dan 44. Kedua variasi jumlah unit lapisan tersembunyi menghasilkan nilai RMSE yang meningkat dan R2 menurun. Konstanta momentum divariasikan pada nilai 0.4 dan 0.8 yang menghasilkan nilai error menurun menjadi 0.012 pada konstanta momentum 0.4 dengan penurunan R2 tetapi tidak signifikan berbeda jika dibandingkan dengan R2 pada konstanta momentum 0.6. Dari nilai RMSE dan R2 yang dihasilkan maka penyusunan skenario pendugaan laju respirasi dan susut bobot terbaik adalah menggunakan arsitektur JST 3 lapisan, 8 unit lapisan tersembunyi pada iterasi 5 000, konstanta laju pembelajaran 0.6, konstanta momentum 0.4 dan gain 1. Selanjutnya arsitektur JST ini digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan pendugaan mutu terbaik untuk mengetahui parameter input yang signifikan mempengaruhi laju respirasi dan susut bobot pepaya IPB 1 selama penyimpanan. Skenario dengan dua unit di lapisan input sebagai parameter input yaitu variasi antara tingkat kematangan, suhu simpan dan lama simpan menghasikan RMSE yang lebih besar dan R2 pelatihan yang lebih rendah dibandingkan dengan tiga unit yaitu tingkat kematangan, suhu dan lama simpan. Lampiran 12 menunjukkan hasil RMSE dan R2 selama optimasi propagasi balik skenario III. Hubungan antara nilai pendugaan dan pengukuran laju respirasi menghasilkan nilai R2 pelatihan 0.3827, 0.3511, 0.5224 dengan RMSE 0.012 dan R2 pengujian 0.4288, 0.3722 dan 0.4752. Gambar 31, 32 dan 33 menunjukkan grafik hubungan antara hasil pengukuran dan pendugaan laju
respirasi dan susut bobot selama pelatihan. Grafik hubungan antara hasil pengukuran dan pendugaan laju respirasi dan susut bobot selama pengujian dapat dilihat pada Gambar 34, 35 dan 36.
Laju produksi CO2 (ml/kg/jam) hasil pengukuran
40 30
R2 = 0.3827
20 10 0 0
5
10
15
20
25
Laju produksi CO2 (ml/kg/jam) hasil pengukuran Laju produksi CO2
Linear (Laju produksi CO2)
Gambar 31 Grafik hubungan laju produksi CO2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan
Laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) hasil pendugaan
skenario III
40 30
R2 = 0.3511
20 10 0 0
5
10
15
20
25
Laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) hasil pengukuran Laju konsumsi O2
Linear (Laju konsumsi O2)
Gambar 32 Grafik hubungan laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario III
Susut bobot (%) hasil pendugaan
1 0.8 0.6 R2 = 0.5224
0.4 0.2 0 -0.2 0
0.1
0.2
0.3
0.4
Susut bobot (%) hasil pengukuran Susut bobot
Linear (Susut bobot)
Gambar 33 Grafik hubungan susut bobot (%) antara hasil pengukuran dengan
Laju produksi CO2 (ml/kg/jam) hasil pendugaan
pendugaan JST pada proses pelatihan skenario III
35 30 25 20 15 10 5 0
R2 = 0.4288
0
5
10
15
20
Laju produksi CO2 (ml/kg/jam) hasil pengukuran Laju produksi CO2
Linear (Laju produksi CO2)
Gambar 34 Grafik hubungan laju produksi CO2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario III
Laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) hasil pendugaan
35 30 25 20 15 10 5 0
R2 = 0.3722
0
5
10
15
20
Laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) hasil pengukuran Laju konsumsi O2
Linear (Laju konsumsi O2)
Gambar 35 Grafik hubungan laju konsumsi O2 (ml/kg/jam) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian
Susut bobot (%) hasil pendugaan
skenario III
0.16 0.14 0.12 0.1 0.08 0.06 0.04 0.02 0
R2 = 0.4752
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Susut bobot (%) hasil pengukuran Susut bobot
Linear (Susut bobot)
Gambar 36 Grafik hubungan susut bobot (%) antara hasil pengukuran dengan pengujian JST pada proses pengujian skenario III
4. Skenario IV
Inisiasi arsitektur skenario IV adalah 3 unit jumlah input yaitu tingkat kematangan, suhu simpan dan lama simpan, 1 lapisan tersembunyi dengan 8 unit memiliki jumlah pembobot 40, nilai konstanta laju pembelajaran 0.6, momentum 0.6 dan konstanta sigmoid 1. Pada tahapan awal yaitu trial error variasi iterasi dilakukan iterasi 10 000 dengan RMSE 0.00326. Nilai RMSE ini belum mencapai target 0.001 sehingga terus dilakukan pelatihan dengan peningkatan variasi iterasi yaitu 25 000, 50 000 dan 75 000. Peningkatan iterasi sampai dengan 50 000 menghasilkan nilai RMSE yang terus menurun
menjadi 0.00241 dan R2 yang terus meningkat. Pada iterasi 75 000 terjadi kenaikan RMSE menjadi 0.00243 dan penurunan R2 jika dibandingkan dengan iterasi 50 000 sehingga trial error variasi iterasi dihentikan. Dengan iterasi 50 000 selanjutnya dilakukan proses pelatihan dengan variasi jumlah unit lapisan tersembunyi yaitu 6 dan 10 dengan jumlah pembobot 30 dan 50. Kedua variasi jumlah unit lapisan tersembunyi menghasilkan nilai RMSE yang meningkat dan R2 menurun. Konstanta momentum divariasikan pada nilai 0.4 dan 0.8 yang menghasilkan nilai RMSE yang meningkat dan R2 menurun. Dari nilai RMSE dan R2 yang dihasilkan maka penyusunan skenario pendugaan TPT dan kekerasan terbaik adalah menggunakan arsitektur JST 3 lapisan, 8 unit pada lapisan tersembunyi pada iterasi 100 000 dan konstanta laju pembelajaran 0.6, konstanta momentum 0.6 dan konstanta sigmoid 1. Selanjutnya arsitektur JST ini digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan parameter mutu terbaik untuk mengetahui parameter input yang signifikan mempengaruhi TPT dan kekerasan pepaya IPB 1 selama penyimpanan. Skenario dengan dua unit di lapisan input sebagai parameter input yaitu variasi antara tingkat kematangan, suhu simpan atau lama simpan menghasilkan RMSE yang lebih besar dan R2 pelatihan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tiga unit yaitu tingkat kematangan, suhu dan lama simpan. Lampiran 13 menunjukkan hasil RMSE dan R2 selama optimasi propagasi balik skenario IV. Hubungan antara nilai pendugaan dan pengukuran TPT dan kekerasan menghasilkan nilai R2 pelatihan 0.8984, 0.7668 dengan RMSE 0.00241 dan R2 pengujian 0.3189 dan 0.431. Gambar 37 dan 38 menunjukkan grafik hubungan antara hasil pengukuran dan pendugaan TPT dan kekerasan selama pelatihan. Grafik hubungan antara hasil pengukuran dan pendugaan TPT dan kekerasan selama pengujian dapat dilihat pada Gambar 39 dan 40.
TPT (obrix) hasil pendugaan
14 12 10 8 6 4 2 0
R2 = 0.8984
0
2
4
6
8
10
12
14
o
TPT ( brix) hasil pengukuran TPT
Linear (TPT)
Gambar 37 Grafik hubungan TPT (obrix) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario IV
Kekerasa (kgf) hasil pendugaan
6
R2 = 0.7668
5 4 3 2 1 0 0
1
2
3
4
5
6
Kekerasan (kgf) hasil pengukuran Kekerasan
Linear (Kekerasan)
Gambar 38 Grafik hubungan kekerasan (kgf) antara hasil pengukuran dengan
TPT (obrix) hasil pendugaan
pendugaan JST pada proses pelatihan skenario IV
14 12 10 8 6 4 2 0
R2 = 0.3189
0
2
4
6
8
10
12
14
o
TPT ( brix) hasil pengukuran TPT
Linear (TPT )
Gambar 39 Grafik hubungan TPT (obrix) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario IV
Kekerasan (kgf) hasil pendugaan
5 4
R2 = 0.4317
3 2 1 0 0
1
2
3
4
Kekerasan (kgf) hasil pengukuran Kekerasan
Linear (Kekerasan)
Gambar 40 Grafik hubungan kekerasan (kgf) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario IV
5. Skenario V
Inisiasi arsitektur skenario V adalah 3 unit jumlah input yaitu tingkat kematangan, suhu simpan dan lama simpan, 1 lapisan tersembunyi dengan 8 unit memiliki jumlah pembobot 48, nilai konstanta laju pembelajaran 0.6, momentum 0.6 dan konstanta sigmoid 1. Pada tahapan awal yaitu trial error variasi iterasi dilakukan pada iterasi 10 000 dengan RMSE 0.00513. Nilai RMSE ini belum mencapai target 0.001 sehingga terus dilakukan pelatihan dengan peningkatan variasi iterasi yaitu pada iterasi 10 000, 25 000, 50 000 sampai dengan 275 000. Selama peningkatan iterasi, RMSE selalu mengalami penurunan. Pada iterasi 250 000 dan 275 000 penurunan RMSE sangat kecil yaitu 0.00005 sehingga iterasi dihentikan. Dengan iterasi 275 000 selanjutnya dilakukan proses pelatihan dengan variasi jumlah unit lapisan tersembunyi yaitu 6 dan 10 dengan jumlah pembobot 36 dan 60. Kedua variasi jumlah unit lapisan tersembunyi menghasilkan nilai RMSE yang meningkat dan R2 menurun meskipun tidak signifikan berbeda. Konstanta momentum divariasikan pada nilai 0.4 dan 0.8 yang menghasilkan kenaikan RMSE dan perubahan R2. Dari nilai RMSE dan R2 yang dihasilkan maka penyusunan skenario pendugaan laju respirasi dan susut bobot terbaik menggunakan arsitektur JST 3 lapisan, 8 unit lapisan tersembunyi pada iterasi 275 000, konstanta laju pembelajaran 0.6, konstanta momentum 0.6 dan konstanta sigmoid 1.
Selanjutnya arsitektur JST ini digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan pendugaan mutu terbaik untuk mengetahui parameter input yang signifikan mempengaruhi warna pepaya IPB 1 selama penyimpanan. Skenario dengan dua unit di lapisan input sebagai parameter input yaitu variasi antara tingkat kematangan, suhu simpan dan lama simpan menghasilkan error yang lebih besar dan R2 pelatihan yang lebih rendah dibandingkan dengan tiga unit yaitu tingkat kematangan, suhu dan lama simpan. Lampiran 14 menunjukkan hasil RMSE dan R2 selama optimasi propagasi balik skenario V. Hubungan antara nilai pendugaan dan pengukuran warna (L*, -a*, +b*) menghasilkan nilai R2 pelatihan 0.7548, 0.2253, 0.8188 dengan RMSE 0.00374 dan R2 pengujian 0.2807, 0.2654 dan 0.7689. Gambar 41, 42 dan 43 menunjukkan grafik hubungan antara hasil pengukuran dan pendugaan warna selama pelatihan. Grafik hubungan antara hasil pengukuran dan pendugaan
Derajat kecerahan (L*) hasil pendugaan
warna selama pengujian disajikan pada Gambar 44, 45 dan 46.
58 56
R2 = 0.7548
54 52 50 48 49
50
51
52
53
54
55
56
Derajat kecerahan (L*) hasil pengukuran Derajat kecerahan
Linear (Derajat kecerahan)
Gambar 41 Grafik hubungan derajat kecerahan (L) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario V
Derajat warna hijau (-a*) hasil pengukuran
0 -14
-12
-10
-8
-6
-4
-2
0 -5
R2 = 0.2253 -10 -15 -20 Derajat warna hijau (-a*) hasil pengukuran Derajat warna hijau
Linear (Derajat warna hijau)
Gambar 42 Grafik hubungan derajat warna hijau (-a*) antara hasil pengukuran
Derajat warna kuning (+b*) hasil pendugaan
dengan pendugaan JST pada proses pelatihan skenario V
40 35 30 25 20 15 10 5 0
R2 = 0.8188
0
10
20
30
40
Derajat warna kuning (+b*) hasil pengukuran Derajat warna kuning
Linear (Derajat warna kuning)
Gambar 43 Grafik hubungan derajat warna kuning (+b*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pelatihan
Derajat kecerahan (L*) hasil pendugaan
skenario V
56 55 R2 = 0.2807
54 53 52 51 50 50.5
51
51.5
52
52.5
53
Derajat kecerahan (L*) hasi pengukuran Derajat kecerahan
Linear (Derajat kecerahan)
Gambar 44 Grafik hubungan derajat kecerahan (L) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario V
Derajat warna hijau (-a*) hasil pengukuran
-12.2
-12
-11.8
-11.6
-11.4
-11.2
-11
R2 = 0.2654
0 -2-10.8 -4 -6 -8 -10 -12 -14 -16
Derajat warna hijau (-a*) hasil pengukuran Derajat warna hijau
Linear (Derajat warna hijau)
Gambar 45 Grafik hubungan derajat warna hijau (-a*) antara hasil pengukuran
Derajat warna kuning (+b*) hasil pendugaan
dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario V
40 35 30 25 20 15 10 5 0
R2 = 0.7689
0
10
20
30
40
Derajat warna kuning (+b*) hasil pengukuran Derajat warna kuning
Linear (Derajat warna kuning)
Gambar 46 Grafik hubungan derajat warna kuning (+b*) antara hasil pengukuran dengan pendugaan JST pada proses pengujian skenario V
B. Analisa Skenario
Selama proses pelatihan dan pengujian, secara keseluruhan, tidak dapat dibentuk pola hubungan antara jumlah iterasi, jumlah unit di lapisan tersembunyi, konstanta parameter pembelajaran dengan nilai error (RMSE) dan akurasi (R2) JST. Sofi’i et al. (2005) menyatakan bahwa jumlah iterasi yang semakin besar tidak dapat menjamin akurasi yang lebih besar. Semakin banyak unit di lapisan tersembunyi akan mengurangi jumlah iterasi yang dibutuhkan untuk mencapai target RMSE, meskipun waktu perhitungan per iterasi lebih lama karena perhitungan yang komplek. Semakin banyak
hubungan unit yang terjadi maka jumlah pembobot yang terlibat di dalam jaringan semakin besar sehingga jaringan lebih cepat mencapai konvergensi (Soedibyo et al., 2006). Data pendugaan yang dihasilkan selama proses pelatihan dan pengujian terdapat beberapa data yang berada di luar selang pengukuran. Hal ini dapat disebabkan oleh iterasi pelatihan yang terlalu besar (overtraining) sehingga JST tidak mampu untuk melakukan memorisasi dan generalisasi terhadap nilai hasil pendugaan selama iterasi berlangsung. Koefisien determinasi (R2) menggambarkan kemantapan data hasil pendugaan terhadap data aktual (pengukuran). Semakin tinggi R2 (nilai R2 mendekati 1) maka data hasil pendugaan JST sangat mendekati data pengukuran sehingga pola hubungan yang terbentuk bisa digunakan untuk merepresentasikan kinerja JST. Secara umum, nilai R2 pengujian di skenario I, II, III, IV dan V sangat kecil (< 0.5). Namun, R2 pelatihan menunjukkan nilai yang besar meskipun terdapat nilai R2 yang kecil di beberapa parameter mutu tertentu. Nilai R2 0% berarti dari skenario tersebut tidak ada angka pendugaan yang sama dengan angka pengukuran (Sofi’i et al., 2005). Hal ini dapat disebabkan oleh jumlah set data skenario I, III, IV dan V yang sangat sedikit yaitu kurang dari 20. Tujuan pelatihan pada skenario JST adalah untuk mendapatkan bobot antar lapisan. Perbaikan bobot dilakukan selama pelatihan dengan cara meminimumkan error antara output JST dengan output pengukuran (parameter output) sebagai target. Proses perbaikan dilakukan berulang-ulang selama iterasi dan akan dihentikan jika nilai error sesuai dengan nilai error target. Proses perbaikan bobot dilakukan terhadap set data pelatihan sehingga pada saat ditemukan total error yang minimum mungkin saja di dalamnya terdapat beberapa output yang secara parsial memiliki error tinggi (akurasi rendah). Bobot-bobot hasil pelatihan digunakan sebagai bobot dalam pendugaan output pada proses pengujian. Hal ini yang menyebabkan hasil pengujian beberapa output tersebut sangat kecil atau bahkan 0%. Dengan semakin banyak data input maka akan semakin banyak kombinasi pasangan data, sehingga output hasil pendugaan akan semakin mendekati angka pengukuran (target). Secara
umum akurasi pendugaan sangat dipengaruhi oleh pola sebaran datanya (Sofi’i et al., 2006). Berdasarkan keberagaman data yang digunakan, R2 pelatihan dan pengujian seluruh parameter mutu di setiap skenario menunjukkan bahwa skenario IV merupakan skenario dengan struktur JST terbaik. Nilai koefisien determinasi menunjukkan tingkat keberhasilan yang tinggi yaitu R2 pelatihan0.8984, 0.7668 dengan RMSE 0.00241 dan R2 pengujian 0.3189 dan 0.431. Nilai R2 yang diperoleh berhasil memberikan bukti berupa angka “kuantitatif” bahwa tingkat kematangan, suhu simpan dan lama simpan sebagai parameter input sangat kuat mempengaruhi TPT dan kekerasan sebagai parameter mutu pepaya IPB 1 (C. papaya L.) selama penyimpanan dingin. Contoh perhitungan JST dapat dilihat pada Lampiran 15.
C. Algoritma Genetik
Output dari JST adalah hubungan dari ketiga parameter input yang signifikan mempengaruhi parameter mutu pepaya IPB 1 (Carica papaya L.) selama penyimpanan dingin tetapi belum dapat menunjukkan nilai optimumnya. Sebagai salah satu tahap kritis dalam pengolahan pasca panen produk hortikultura, tujuan utama penyimpanan adalah memperpanjang umur simpan sehingga sangat penting untuk mengetahui titik input yang tepat dalam menekan perkembangan produk ke arah matang, senescence dan busuk. Dari hasil JST, dapat dilihat bahwa skenario IV merupakan skenario terbaik yang menjelaskan hubungan antara parameter input dan outputnya dengan nilai R2 dan RMSE yang dihasilkan. Sehingga di dalam AG hanya skenario ini yang digunakan untuk dilakukan optimasi. Dari keberagaman data skenario IV, dapat dilihat bahwa kekerasan terbesar dan TPT terendah tidak dapat dilihat pada satu set data sehingga parameter input juga tidak dapat diketahui. Oleh karena itu, diperlukan teknik pencarian untuk mencari pada set point parameter input berapa terjadi TPT paling kecil, tingkat kekerasan paling besar dan lama simpan terpanjang. Karena pada saat pengolahan dengan JST lama simpan digunakan sebagai parameter input, sedangkan tujuan dari penyimpanan adalah memperpanjang
umur simpan maka lama simpan diubah menjadi parameter ouput. Oleh karena itu, dilakukan pengolahan JST kembali untuk mendapatkan data pembobot lama simpan sebagai parameter output. Data pembobot akhir skenario IV yang menunjukkan hubungan input dan output pada proses JST adalah input di dalam AG. Fungsi fitness yang dibentuk adalah sebagai berikut (Persamaan 15): Fitness = (12.7 – x) + (y – 0.1) + (z – 0) / 30) .............................................. (15) Keterangan: x : nilai TPT selama evolusi generasi y : nilai kekerasan selama evolusi generasi z
: nilai lama simpan selama evolusi generasi
Fungsi fitness yang digunakan di dalam program adalah fungsi maksimisasi sehingga kromosom yang fit adalah kromosom dengan nilai penjumlahan fitness terbesar. (12.7 – x) menunjukkan bahwa TPT yang terpilih (optimum) adalah TPT terendah, (y – 0.1) menunjukkan bahwa kekerasan yang terpilih adalah kekerasan terbesar, sedangkan (z – 0) / 30) menunjukkan lama simpan yang terpilih adalah lama simpan terpanjang dari sebaran data yang digunakan. Angka 12.7 menunjukkan selang teratas dari solusi jawaban TPT (8.137 – 12.7), 0.1 menunjukkan selang terbawah dari solusi jawaban kekerasan (0.1 – 5.081), 0 menunjukkan selang terbawah dari solusi jawaban lama simpan (0 – 432) dan 30 sebagai angka konversi agar terjadi keseimbangan nilai fitness untuk semua parameter. Nilai pembobot yang dihasilkan dari JST merupakan kumpulan solusi parameter input dan mutu penyimpanan dingin pepaya IPB 1 yang dapat menyelesaikan permasalahan optimasi. Pembobot terakhir yang dihasilkan disajikan di Lampiran 16. Untuk melakukan optimasi menggunakan AG, dilakukan trial error di dalam penentuan paramater AG. Pada trial error pertama, digunakan ukuran populasi: 30, peluang penyilangan: 40%, posisi pemotongan: di bit ke-2, peluang mutasi: 1% dan jumlah generasi: 20. Selama evolusi, hasil telah menunjukkan nilai yang konvergen sehingga tidak perlu dilakukan trial error kedua.
Inisiasi populasi awal adalah dengan membangkitkan bilangan biner sejumlah enam bit di setiap kromosom sejumlah ukuran populasi. Nilai desimal dari bilangan biner ini harus berada di dalam selang parameter input. Dari nilai parameter input ini selanjutnya dilakukan pencarian nilai parameter output dan dihitung nilai fitnessnya. Nilai peluang yang digunakan dalam penyilangan dan mutasi adalah 40% dan 0.5%. Peluang penyilangan 40% berarti diharapkan ada 40% dari populasi yang akan mengalami penyilangan. Jika ada 30 kromosom dalam satu populasi maka ada 12 kromosom induk yang akan disilangkan dan menghasilkan 12 kromosom anak. Posisi gen di dalam kromosom sebagai titik penyilangan ditentukan pada titik ke-2. Untuk mengetahui kromosom mana yang akan mengalami penyilangan, terlebih dahulu program membangkitkan nilai r pada selang [0 1] sejumlah kromosom. Jika k adalah letak kromosom induk, maka kromosom yang terkena penyilangan adalah jika r(k) < pr. Kromosom induk di dalam populasi lama bergabung dengan kromosom baru hasil penyilangan membentuk populasi baru. Peluang mutasi 0.5% berarti diharapkan ada 0.5% dari jumlah gen dalam satu populasi akan mengalami mutasi. Jumlah gen dalam populasi adalah hasil perkalian antara panjang kromosom dengan jumlah populasi, dalam hal ini jumlah gen adalah 60. Jika peluang mutasi adalah 1% maka 1 gen dalam satu populasi akan mengalami mutasi. Program akan membangkitkan nilai r pada selang [0 1] sejumlah kromosom. Gen induk yang mengalami mutasi adalah gen yang memiliki nilai r kurang dari nilai peluang mutasi (0.01). Jika nilai r lebih kecil dari peluang mutasi maka bit yang bernilai 1 akan diinversi menjadi 0 dan sebaliknya. Gen hasil mutasi merupakan gen baru yang menyusun kromosom induk sehingga terbentuk kromosom-kromosom induk baru di dalam populasinya. Dengan selesainya proses mutasi, maka satu generasi telah terbentuk. Proses di atas dilanjutkan terus menerus sampai jumah generasi (evolusi) yang telah ditentukan. Jika hasil AG telah menunjukkan nilai yang konvergen di setiap kromosom maka hasil inilah yang menjadi solusi optimum permasalahan. Generasi yang terbentuk konvergen mulai pada generasi ke-9.
Tampilan program AG hasil modifikasi dapat dilihat pada Gambar 47. Daftar generasi setiap parameter yang terbentuk dapat dilihat pada Lampiran 17.
Gambar 47 Tampilan program AG yang telah di-running
Dari running program AG diperoleh nilai TPT 8.810 obrix, kekerasan: 3.623 kgf sebagai parameter mutu, lama simpan: 182.503, tingkat kematangan: 0% dan suhu simpan: 5 oC. Hal ini berarti, jika diinginkan terjadi minimisasi perubahan mutu pepaya selama lama simpan yang maksimum maka pepaya disimpan pada tingkat kematangan 0% dan suhu simpan 5 oC. Melihat nilai optimasi yang dihasilkan, memang benar jika suatu produk disimpan pada tingkat kematangan dan suhu yang lebih rendah maka kecepatan perubahan mutu akan berkurang. Perubahan nilai setiap parameter dalam generasinya dapat dilihat pada Gambar 48 sampai dengan 52.
14
TPT (obrix)
12 10 8 6 4 2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Generasi ke-
Gambar 48 Grafik evolusi Total Padatan Terlarut (TPT)
4 Kekerasan (kgf)
3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Generasi ke-
Gambar 49 Grafik evolusi kekerasan
Lama simpan (jam)
200 150 100 50 0 0
5
10
15
20
Generasi ke-
Gambar 50 Grafik evolusi lama simpan
25
Tingkat kematangan (%)
6 5 4 3 2 1 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Generasi ke-
Suhu simpan (oC)
Gambar 51 Grafik evolusi tingkat kematangan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Generasi ke-
Gambar 52 Grafik evolusi suhu simpan
18
20
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
1. Dari keberagaman data sekunder yang digunakan, parameter input yang signifikan mempengaruhi parameter mutu adalah tingkat kematangan, suhu simpan dan lama simpan. Koefisien determinasi (R2) antara nilai pendugaan dan pengukuran TPT dan kekerasan yang dihasilkan adalah 0.8984, 0.7668 pada pelatihan dan 0.3189 dan 0.431 pada pengujian. Root Mean Square Error yang dihasilkan adalah 0.00241. 2. Dari keberagaman data sekunder yang digunakan, jika diinginkan terjadi minimisasi perubahan mutu pepaya selama lama simpan yang maksimum (182.503 jam) maka pepaya disimpan pada tingkat kematangan 0% dan suhu simpan 5 oC.
B. Saran
1. Perlu penelitian lanjutan untuk menguji hasil optimasi algoritma genetik karena berdasarkan beberapa referensi pada suhu simpan 5 oC pepaya akan mengalami chilling injury. 2. Dalam penelitian laboratorium sebaiknya dilakukan pengukuran yang kontinyu untuk mendapatkan suhu dan kelembaban relatif aktual sehingga pendugaan mutu lebih akurat.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 07 Des 2005. Pepaya yang Tak Busuk Saat Distribusi. Kompas. http://indobis.or.id/berita detail.php?id berita=123. [28 Juli 2008]. Anonim. 2008. Artificial Neural Network Technology. https://www.dacs.dtic.mil/techs/neural/neural2.php. [24 Agustus 2008]. Arif C. 2003. Penjadwalan Pasokan Larutan Nutrisi pada sistem Hidroponik Substrat Tanaman Mentimun (Cucumis sativus L.) Menggunakan Artificial Neural Network dan Genetic Algorithms [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ariyanti D. 2007. Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Mutu Pepaya (Carica papaya L.) IPB-1 Setelah Pemeraman [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ashari S. 2006. Meningkatkan Keunggulan Bebuahan Tropis. Yogyakarta: Penerbit Andi. Bachtiar I B. 2004. Pendugaan Kekerasan Belimbing Manis (Averhoa carambola L.) Setelah Hot Water Treatment Selama Penyimpanan dengan Model Matematika dan Jaringan Syaraf Tiruan [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hamaisa A. 2008. Pengaruh Tingkat Ketuaan Terhadap Perubahan Mutu buah Pepaya IPB 1 Selama Proses Penyimpanan dan Pematangan [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Jagtiani J, HT Chan, Jr dan WS Sakai, editor. 1998. Tropical Fruit Processing. San Diego: Academic Press, Inc. Kalie MB. 1999. Bertanam Pepaya. Jakarta: Penebar Swadaya. Kartasapoetra AG. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Kays JS. 1991. Postharvest Physiology of Perishable Plant Product. New York: Van Nostrand Reinhold. Krisna AN. 2007. Pengaruh Konsentrasi Etilen dan Suhu Pemeraman terhadap Mutu Pepaya (Carica papaya L.) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kusumadewi S. 2003. Artificial Inteligence (Teknik dan Aplikasinya). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muchtadi D. 1992. Fisiologi Pasca Panen Sayuran dan Buah-buahan. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Nurhasanah Ana. 2005. Identifikasi Mutu, Tingkat Ketuaan dan Kematangan Buah Manggis Menggunakan Pengolahan Citra dan Jaringan Syaraf Tiruan [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Pantastico ErB. 1986. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan dan Pemanfaatan Buahbuahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Kamariyani, penerjemah; Tjitrosoepomo, editor; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Pena JE, JL Sharp, M Wysoki, editor. 2002. Tropical Fruit Pests and Pollinators. New York: CABI Publishing. Purwadaria Hadi K. 1991. Peranan Teknik Pertanian dalam Penanganan Pasca Panen Hortikultura. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2008. Database Buah-buahan Tropika. http://www.rusnasbuah.or.id/template.php?l=var_menu.php&m=variety/var_h ome.php. [28 Juli 2008]. Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2006. Rusnas Buah-buahan Unggul Indonesia.http://www.rusnasbuah.or.id/template.php?l=var_menu.php&m=var iety/var_home.php. [25 Juli 2008]. Priyono AF. 2005. Pemberian KMn04 dan Pelapisan Lilin untuk Memperpanjang Daya Simpan Pepaya pada Suhu Dingin [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Purba KD. 2006. Kajian Daya Simpan Buah Lima Genotipe Pepaya [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Puspitaningrum D. 2006. Pengantar Jaringan Syaraf Tiruan. Yogyakarta: Penerbit Andi. Rudiyanto, BI Setiawan, Suroso. 2005. Estimation of Soil Hydraulic Properties From Particle Size Distribution Using Artificial Neural Network. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol. 19: 127 - 137. Rukmana R. 1995. Pepaya: Budidaya dan Pasca Panen. Jakarta: Penerbit Kanisius. Satuhu S. 1995. Teknik Pemeraman Buah. Jakarta: Penebar Swadaya.
Salunkhe DK, HR Bolin, NR Reddy, editor. Storage, Processing and Nutritional Quality of Fruit and Vegetables. Edisi kedua. 1991. Florida: CRC Press. Sjaifullah. 1996. Petunjuk Memilih Buah Segar. Jakarta: Penebar Swadaya. Santoso BB, Purwoko BS. 1995. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen Tanaman Hortikultura. Indonesia Australia Eastern Universitas Project. Siang, JJ. Jaringan Syaraf Tiruan dan Pemrogramannya Menggunakan Matlab. Yogyakarta: Penerbit Andi. Sidharta F. 2005. Desain Algoritma Genetik untuk Optimasi Penjadwalan Produksi Meubel Kayu: Studi Kasus pada PT. Sinar Bakti Utama [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Silalahi EN. 2007. Pengaruh Suhu dan Lama Penyimpanan terhadap Mutu Buah Pepaya (Carica papaya L.) IPB 1 Setelah Pemeraman [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Silvia Evalina. 2007. Disain Jaringan Syaraf Tiruan untuk Prediksi Gula Kristal Putih [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Simanjuntak. 2005. Manajemen Transponder Satelit Komunikasi dengan Algoritma Genetika [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Soedibyo DW, I Dewa Made Subrata, Suroso, Usman Ahmad. Penentuan Edamame Menggunakan Pengolahan Citra dan Jaringan Syaraf Tiruan. Jurnal Keteknikan Pertanian [catatan penelitian] Vol. 20: 253 - 264. Sofi’i, I Wayan Astika, Suroso. Penentuan Jenis Cacat Biji Kopi dengan Pengolahan Citra dan Artificial Neural Network. Jurnal Keteknikan Pertanian [catatan penelitian] Vol.19: 99 - 108. Sumarni. 2007. Optimasi Sudut Atap dan Tinggi Dinding pada Rumah Kaca di Daerah Tropika [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syska K. 2006. Kajian Pengaruh Suhu dan Konsentrasi Etilen terhadap Perubahan Fisiologi dan Mutu Buah Pepaya Varietas IPB1 [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Villegas VN. 1997. Carica papaya L. in Verheij EWM dan Coronel RE (ed.) Prosea, Sumber Daya Nabti Asia Tenggara 2, Buah-buahan yang dapat dimakan. PT. Gramedia pustaka Utama, Jakarta. Widuri, CWRE. 2004. Pendugaan Total Padatan Terlarut Belimbing Manis (Averhoa carambola L.) setelah Hot Water Treatment Selama Penyimpanan
dengan Model Matematika dan Jaringan Syaraf Tiruan. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Wills RBH, Widjanarko B. 1995. Changes in physiology, composition and sensory characteristics of Australian papaya during ripening. Australian Journal of Experimental Agriculture 35: 1173-1176. Winarno FG. 2002. Fisiologi Lepas Panen Produk Hortikultura. Bogor : M. Brio Press. Winarno FG, Wirakartakusumah MA. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Jakarta: Sastra Hudaya.