ISSN: 2089-4740
DAFTAR ISI Vol. 5, No.2, Juni 2016 OPTIMASI DESAIN SHADING HORIZONTAL BANGUNAN KANTOR TERHADAP KENYAMANAN VISUAL PENERANGAN ALAMI STUDI EVALUASI PASCA HUNI RUMAH SUSUN SEWA DI BANDA ACEH TERHADAP ASPEK ARSITEKTUR BANGUNAN DAN PERILAKU PENGHUNI
Ardian Ariatsyah
1-8
Bustari, Khairul Huda
9-16
Ardian Ariatsyah, Irzaidi
17-23
DAMPAK PENGGUNAAN ELEMEN ARSITEKTURAL PADA KORIDOR JALAN TERHADAP TERJADINYA URBAN HEAT ISLAND
Khairulhuda, Irfandi
24-28
A STUDY on R.F. Chisholm’s WORKS AND HIS INFLUENCED IN MADRAS PRESIDENCY, INDIA
Safwan
29-34
PERUBAHAN FUNGSI RUANG LUAR DALAM ARSITEKTUR MASJID DI INDONESIA
Jurnal Ilmu Arsitektur.5 (2) 2016
9
STUDI EVALUASI PASCA HUNI RUMAH SUSUN SEWA DI BANDA ACEH TERHADAP ASPEK ARSITEKTUR BANGUNAN DAN PERILAKU PENGHUNI ;
Bustari Khairul Huda
1
1
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Email:
[email protected];
[email protected]
ABSTRACT
Keywords: Rumah susun sewa, Evaluasi Pasca Huni, desain Fisik Bangunan, Perilaku Penghuni
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, yang berfungsi dalam mendukung terselenggaranya pendidikan, keluarga, persemaian budaya, peningkatan kualitas generasi yang akan datang dan berjati diri. Peningkatan kebutuhan rumah terjangkau di perkotaan mendorong pemerintah membangun rumah susun sewa (rusunawa), salah satunya Rusunawa Keudah di Kota Banda Aceh. Namun, pembangunan rusunawa bagi masyarakat berpenghasilan rendah tersebut masih kurang memperhatikan aspek penghuninya sebagai bagian dari kearifan lokal, sehingga timbul ketidaksesuaian. Untuk itu, dibutuhkan evaluasi pasca huni terhadap rusunawa untuk mengetahui dampak dari desain fisik bangunan terhadap perilaku penghuninya. Desain fisik bangunan merujuk pada elemen fungsional dan elemen teknis sebagai variabel bebas, sedangkan perilaku penghuni merujuk pada aspek persepsi dan kepuasan penghuni sebagai variabel terikat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kasus dan metode penelitian lapangan. Teknik penentuan sample yang digunakan adalah simple random sampling, teknik pengambilan data menggunakan kuesioner dan wawancara dengan metode pengukuran sikap, dan analisis data menggunakan analisis persepsi dan harapan serta analisis statistik korelasi Spearkan Rank. Hasil evaluasi dapat digunakan sebagai rekomendasi untuk memperbaiki desain rusunawa pada masa yang akan datang.
©2016 JIA JAFT UNSYIAH
1. PENDAHULUAN
Proses urbanisasi yang terjadi di wilayah perkotaan membawa pengaruh terhadap peningkatan jumlah penduduk. Proses urbanisasi ini mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun untuk perumahan. Perumahan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia yang akan terus ada dan berkembang sesuai dengan tahapan atau siklus kehidupan manusia. Selain sebagai pelindung terhadap gangguan alam maupun cuaca serta makhluk lainnya, perumahan atau rumah juga memiliki fungsi sosial sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, nilai kehidupan, penyiapan generasi muda, dan sebagai manifestasi jati diri. Dalam kerangka hubungan ekologis antara manusia dan lingkungan pemukimannya, maka terlihat
bahwa kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang sangat dipengaruhi oleh kualitas perumahan dan pemukiman, termasuk rumah susun, dimana manusia menempatinya. Rumah susun merupakan salah satu alternatif seiring dengan semakin bertambahnya penduduk dan terbatasnya lahan yang tersedia. Usaha pemerintah dalam memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat perkotaan khususnya masyarakat bawah adalah dengan membangun perumahan sederhana secara vertikal atau rumah susun, baik rumah susun milik maupun rumah susn sewa (Komaruddin, 2007). Untuk masyarakat ekonomi menengah ke bawah, pemerintah membangun rumah susun sewa (Rusunawa), dimana masyarakat tersebut diberikan hak sewa
10
Nama/JIA Vol.5 No.2 Juni 2016
pakai karena tidak memiliki kemampuan membeli dan memiliki rumah sendiri. Sedangkan bentuk dan layout bangunan rumah susun telah ditentukan, sehingga terdapat keterbatasan bagi penghuni untuk melakukan perubahan seperti pada landed housing. Pembangunan Rusunawa adalah salah satu solusi dalam penyediaan permukiman layak huni bagi masyarakat berpenghasilan rendah (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, tentang Rumah Susun). Rusunawa seharusnya mampu membantu perkotaan dalam menyediakan hunian yang layak untuk warganya. Perkotaan masih menjadi penanggung beban paling berat terkait penyediaan perumahan. Pada tahun 2012, kekurangan (backlog) rumah secara nasional mencapai 13,6 juta unit (Data Badan Pusat Statistik, 2012) sedangkan berdasarkan perhitungan Indonesia Property Watch (IPW) pada 2012 angka ini sudah bertambah menjadi 21,7 juta. Berdasarkan tren tersebut maka backlog rumah nasional terus akan bertambah pada tahun-tahun kedepan. Menyikapi persoalan-persoalan di atas, Pemerintah Kota Banda Aceh mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk membangun rumah susun di Kota Banda Aceh. Rumah susun yang dibangun pada tahun 2009 berupa rumah susun sewa (rusunawa) yang terdiri dari 4 blok, 392 unit hunian dan mulai dioperasikan sejak februari 2010 yang berada di Kelurahan Keudah Kota Banda Aceh. Luas unit hunian pada rusunawa ini adalah 24 m2, sedangkan Kementerian Perumahan Rakyat mengeluarkan standar untuk luas hunian yang layak adalah sebesar 7,2 m2/orang (Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 22/PERMEN/M/2008). Kelompok sasaran rusunawa ini adalah terutama masyarakat berpenghasilan rendah dan sudah berkeluarga, yaitu orang tua dengan kedua anaknya ataupun orang tua tunggal dengan ketiga anaknya. Dari pengamatan awal pada rusunawa tersebut masih kurang memperhatikan aspek manusia yang penghuninya sebagai bagian dari kearifan lokal,
sehingga timbul ketidaksesuaian pada perancangan fisik arsitektur rusunawa tersebut. Pada perancangan suatu bangunan, termasuk rumah susun banyak permasalahanpermasalahan atau dampak yang dapat kita temui, salah satunya adalah permasalahan bangunan pasca huni. Permasalahan bangunan pasca huni ini di sebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari faktor kesalahan pada saat perancangan hingga faktor kurang di rawatnya bangunan itu sendiri. Terdapat dua sisi kepentingan dan permasalahan, yaitu rumah susun sebagai tempat tinggal yang dihuni dan masyarakat sebagai penghuninya. Disatu sisi rumah susun sebagai tempat tinggal memperlihatkan kualitasnya yang semakin menurun, di sisi lain penghuni yang mempunyai sifat dinamis dan berkembang menuntut kondisi hunian yang layak dan nyaman untuk tinggal sehingga dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Blaang, 2009). Berdasarkan konsep perumahan masyarakat umum (public housing), keberadaan rumah susun yang ditempati oleh golongan masyarakat menengah kebawah yang hidup secara bersama-sama perlu diperhatikan perencanaannya secara utuh, antara lain memperhatikan aspek latar belakang penghuni akan kebutuhan tenggal di dalam lingkungan tersebut, perlu memperhatikan kebutuhan dan kebiasaan fisik, ekonomi serta kebiasaan perilaku penghuninya karena hal tersebut akan mempengaruhi perilaku penghuni dalam menciptakan tingkat kepuasan berhuni (Budihardjo, 2006). Kepuasan penghuni terhadap lingkungan huniannya merupakan salah satu faktor penentu terbentuknya ikatan batin terhadap lingkungan tersebut. Kepuasan berhuni muncul karena persepsi positif penghuni terhadap kualitas lingkungan huniannya. Hubungan antara kepuasan berhuni yang dijembatani oleh persepsi terhadap kualitas lingkungan huniannya merupakan persoalan mendasar dalam bidang ilmu psikologi lingkungan dan hal yang penting untuk mengkaji hubungan antara manusia dengan lingkungan hunian mereka (Hartatik, dkk, 2010).
Nama/JIA Vol.5 No.2 Juni 2016
Kegagalan pembangunan rumah susun seringkali justru disebabkan oleh faktor non teknis karena faktor manusianya sebagai penghuni kurang mendapat perhatian (Subagijo, E., 2004). Seharusnya program pengadaan rumah-rumah tidak hanya ditinjau dari aspek kuantitatif saja namun juga harus dinilai aspek kualitatifnya (Silas, J. 1922). Berdasarkan beberapa hasil penelitian arsitektur di Indonesia menunjukkan bahwa pembangunan rumah untuk masyarakat kelas bawah di Indonesia kurang memperhatikan kenyamanan sebagai faktor penting aspek manusiawi. Untuk itu, dibutuhkan evaluasi pasca huni terhadap rusunawa dengan menitikberatkan pada aspek arsitektur bangunan dan perilaku penghuninya. Penelitian ini mengkaji dampak dari desain fisik arsitektur bangunan Rusunawa Keudah Kota Banda Aceh dalam beberapa periode tahun pembangunannya terhadap penghuninya. Pada penelitian ini mencari hubungan timbal-balik antara lingkungan fisik arsitektur bangunan rusunawa dengan perilaku (behavioral) penghuninya. Lingkungan fisik arsitektur bangunan rusunawa merujuk pada aspek fungsional dan aspek teknis bangunan, sedangkan perilaku penghuni merujuk pada aspek persepsi, kepuasan dan kebetahan penghuni. Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu: (1) identifikasi desain fisik arsitektur bangunan rusunawa, dan karakteristik penghuninya (2) kajian fenomena korelasi (hubungan timbal balik) antara desain fisik bangunan rusunawa dengan perilaku penghuninya, serta (3) rumusan konsep desain rusunawa dari aspek arsitektur dan perilaku penghuni.
2. RUMAH SUSUN SEWA
Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang
11
distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuansatuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama (Pasal 1 ayat 1, UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun). Rusun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing digunakan secara terpisah, status penguasaannya sewa serta dibangun dengan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan fungsi utamanya sebagai hunian (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 18/PERMEN/M/2007). Dilihat dari status penguasaannya rumah susun ada dua macam, yang pertama adalah Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa). Rusunawa dimaksudkan untuk disewakan kepada anggota masyarakat terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang belum mampu membeli rumah meskipun dengan angsuran melalui Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Pembangunan Rusunawa sampai saat ini masih bergantung kepada APBN ataupun APBD. Yang kedua adalah Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami). Rusunami ini dibangun untuk maksud diperjual belikan dalam pasar perumahan (Pasal 45 ayat 1, UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun). Rusunawa merupakan bangunan gedung bertingkat yang dibangun di suatu lingkungan baik dalam arah horisontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang digunakan secara terpisah, status penguasaannya sewa dengan fungsi utamanya sebagai hunian (Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 18/PERMEN/M/2007). 3. KRITERIA RUMAH SUSUN
12
Nama/JIA Vol.5 No.2 Juni 2016 4.
Kriteria rumah susun tercantum dalam Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2011. Tata bangunan yang meliputi persyaratan, peruntukan lokasi, serta intensitas dan arsitektur bangunan, serta keandalan bangunan yang meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Kemudian, dalam Pasal 36 undangundang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2011, tertulis bahwa ketentuan tata bangunan dan keandalan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Namun, karena peraturan menteri yang mengacu pada undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2011 tentang rumah susun belum disahkan dan masih belum dipublikasikan maka perancangan rumah susun dapat berpedoman pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05 Tahun 2007 Tentang Rumah Susun Sederhana dan SNI yang berlaku. Rumah susun sewa juga harus memenuhi syaratsyarat minimum syarat-syarat rumah biasa, yaitu: a. Harus dapat menjadi tempat berlindung, yaitu tempat tinggal dan tempat menetap (bermukim). b. Harus dapat memberikan rasa aman baik secara fisik maupun psikologis, aman dari gangguan, aman jatuh dari atas, serta aman dalam fungsi kegiatan hunian. c. Harus dapat menjadi wadah sosialisasi antara penghuni dengan penghuni lain dalam bangunan yang menjadi tetangganya. d. Harus dapat memberikan suasana harmonis diantara penghuni sehingga mendukung tercapainya kehidupan yang sejahtera di lingkungan rumah susun sewa.
PEMBENTUKAN KARAKTER HUNIAN
Pembentukan hunian seharusnya tidak bisa distandarisasi, karena jika dilihat dari kebutuhan masing-masing penghuni akan memiliki perbedaan, ditambah dengan perbedaan karakter pada setiap manusia. Ada lima aspek yang dapat mempengaruhi pembentukan hunian antara lain (Rapoport (1969): 1. Some basic need, yang merupakan kebutuhan dasar manusia. 2. Family, yaitu adanya gaya hidup yang menganut faham poligami atau monogamy dan adanya perencanaan perluasan rumah karena satu keluarga dengan sanak saudara yang tinggal bersama. 3. Position of women, posisi dan peranan wanita yang membuat adanya persepsi dan interpretasi ruang yang berbeda dalam sistem sosial masyarakat tertentu. 4. The need for privacy, yaitu adanya peranan memiliki harga diri terhadap ruang yang menjadi wilayahnya dan tempat-tempat pribadi yang dapat mempengaruhi sikap seseorang yang mengacu pada pembebasan diri sendiri. 5. Social intercourse, dimana manusia membutuhkan kesempatan untuk bertemu atau berkumpul dengan orang lain. 5.
EVALUASI PASCA HUNI
Evaluasi pasca huni merupakan kegiatan berupa pengkaji (peninjauan) kembali (evaluasi) terhadap bangunan-bangunan dan atau lingkungan binaan yang telah dihuni (Sudibyo, 1989). Lebih lanjut, evaluasi pasca huni merupakan pengujian efektivitas sebuah lingkungan binaan bagi kebutuhan manusia, baik pengujian efektivitas bangunannya sendiri maupun efektivitas programnya terhadap kebutuhan pengguna (Zimring dan Reizenstein, 1981 dalam Laurens, 2004). Manfaat dan keuntungan dilakukannya evaluasi pasca huni dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
Nama/JIA Vol.5 No.2 Juni 2016
keuntungan jangka pendek, keuntungan jangka menengah, dan keuntungan jangka panjang (Danisworo, 1989). Keuntungan jangka pendek adalah keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan langsung temuan suatu proses evaluasi pasca huni, yang meliputi: 1. Identifikasi dan solusi masalah dalam fasilitas yang bersangkutan 2. Pengelolaan fasilitas yang tanggap terhadap nilai pemakai. 3. Peningkatan pemanfaatan ruang. 4. Peningkatan sikap pemakai bangunan melalui partisipasi dalam proses evaluasi. 5. Memberi pengertian akan implikasi perubahan yang dilandasi penghematan biaya terhadap performance. 6. Memberi masukan dan pengertian lebih baik akan kosekuensi suatu rancangan. Keuntungan jangka menengah berkaitan dengan pengambilan keputusan penting dalam pelaksanaan pembangunan, yang meliputi: 1. Memberi kemampuan adaptasi fasilitas terhadap perubahan pertumbuhan organisasi, termasuk pemanfaatan kembali bangunan bagi penggunaan yang berbeda. 2. Kemungkinan penghematan yang signifikan dalam proses pembangunan dan selama life cycle bangunan. Keuntungan jangka panjang meliputi pemanfaatan dan masukan selanjutnya hasil evaluasi pasca hini bagi penggunaan dalam industri secara luas yang meliputi: 1. Peningkatan performance bangunan dalam waktu yang lama 2. Peningkatan kepustakaan perihal database, standar, kriteria dan pedoman perancangan. 3. Peningkatan pengukuran performance bangunan secara kuantitatif. Evaluasi pasca huni memiliki tiga tahapan penting, yaitu (Wolfgang F E Preiser, 1995):
13
1. Tahap pertama adalah pengamatan lapangan, dimana peneliti mencatat data lapangan agar mampu memetakan masalah yang terjadi. 2. Tahap kedua adalah proses evaluasi yang mendalam yang selanjutnya melakukan rekomendasi tindakan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang ada. 3. Tahap ketiga adalah menggunakan rekomendasi pada tahap kedua guna merumuskan konsep dan desain baru. 6.
MENGUKUR KEBERHASILAN BANGUNAN
Salah satu aspek untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu bangunan adalah dengan mengukur tingkat kepuasan pengguna sebagai evaluasi pasca huni. Kepuasan pengguna tersebut berkaitan dengan faktor fisik bangunan dan faktor non fisik yang berfokus pada tiga aspek, yaitu fungsional, teknis dan perilaku (Rabinowitz, dalam Snyder, J.C., dan Catanese, A.J., 1988). a. Aspek Fungsional Aspek fungsional menyangkut segala aspek bangunan atau setting lingkungan binaan yang secara langsung mendukung kegiatan pemakai dengan segala atributnya. Kesalahan dalam perancangan aspek fungsional dapat menimbulkan tidak efisiennya suatu bangunan. Akibat selanjutnya yang paling serius adalah jika pemakai tidak dapat melakukan adaptasi terhadap lingkungan binaan tersebut (Sudibyo, 1989). Perancangan bangunan yang menekankan fungsi, antara lain akan berpedoman pada kesesuaian antara area kegiatan dengan segala kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Jika ini yang terjadi, maka di sanalah permasalahan-permasalahan fungsional akan muncul dan menjadi titik perhatian evaluasi. Beberapa hal yang merupakan bagian kritis aspek fungsional adalah (Sudibyo, 1989):
14
Nama/JIA Vol.5 No.2 Juni 2016
1)
2)
Pengelompokan fungsi, menyangkut konsep pengelompokan/pemisahan fungsifungsi yang berlangsung di dalam bangunan. Hal ini mempengaruhi pergerakan, kelancaran aktivitas, komunikasi dan kesesuaian. Pola kegiatan yang berlangsung pada bangunan/lingkungan binaan yang ditempatinya akan menunjukkan tingkat efisiensi bangunan/lingkungan binaan tersebut. Sirkulasi merupakan faktor penting bagi fungsi bangunan, sehingga kesalahan pengaturan sirkulasi menyebabkan ada area yang terlalu sepi dan area yang terlalu padat. Kesalahan awal perancangannta, misalnya terjadi perubahan organisasi yang mengakibatkan perubahan pola sirkulasi dan komunikasi kerja, dapat mengakibatkan ketidakseimbangan dan ketidaksesuaian dengan lingkungan binaan yang ditempati.
3)
Faktor manusia, terutama menyangkut segi-segi perancangan dan standar, yang dikaitkan dengan kesesuaiannya antara konfigurasi, material dan ukuran terhadap pemakaiannya. Aspek yang sering diangkat sebagai objek evaluasi adalah kondisi spesifik dari fasilitas untuk kelompok pengguna khusus (misalnya penyandnag cacat, orang tua, anak-anak, dll).
4)
Fleksibilitas dan perubahan, banyak bangunan yang mengalami perubahan fungsi mempengaruhi sikap perancang dalam mengambil keputusan desain. Evaluasi terhadap perubahan fungsi (misal organisasi dan kegiatan) memberi masukan yang sangat berguna bagi perancang dalam mengupayakan fleksibilitas pengaturan tata ruang dan prasarana.
b. Aspek Teknis Penghuni bangunan mengharapkan bangunan huniannya aman, nyaman dan berumur panjang. Hal tersebut akan akan berkaitan dengan aspek kondisi fisik bangunan yang meliputi aspek struktur, ventilasi, sanitasi, dan pengaman bangunan serta sistem penyangganya (Sudibyo 1989). c.
Aspek Oerilaku ( behavioral) Aspek perilaku menghubungkan kegiatan pemakai dengan lingkungan fisiknya. Evaluasi perilaku adalah mengenai bagaimana kesejahteraan sosial dan psikologis penghuni bangunan dipengaruhi oleh rancangan bangunan. Beberapa permasalahan perilaku yang perlu diperhatikan adalah proximity dan territoriality, privacy dan interaksi, persepsi, citra dan makna, kognisi dan orientasi (sudibyo, 1989).
7. PERILAKU DA PERSEPSI LINGKUNGAN Pengertian Tingkah Laku menurut sarwono (1992) adalah perbuatan-perbuatan manusia, baik yang terbuka (kasat mata) maupun tertutup (tidak kasat mata). Perbuatan yang terbuka ini dinamakan juga sebagai overt behavior, yang meliputi segala tingkah laku yang dapat langsung ditangkap oleh indera seperti melempar, memukul, menyapu, mengemudi dan lain sebagainya. Sedangkan tingkah laku yang tidak kasat mata atau covert behavior adalah harus diselidiki dengan metode atau instrument khusus karena tidak dapat langsung ditangkap indera, misalnya motivasi, sikap, berfikir, beremosi dan minat. Persepsi merupakan proses yang terintegrasi dari individu terhadap stimulus yang diterimanya, yaitu sebagai proses pengorganisasian maupun penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang
Nama/JIA Vol.5 No.2 Juni 2016
terintegrasi dalam diri individu tersebut (Moskowitz dan Orgel, 1969 dalam Walgito, 2010). Persepsi lingkungan adalah interpretasi tentang suatu setting oleh individu, didasarkan pada latar belakang budaya, nalar, dan pengalaman individu tersebut (Haryadi dan Setiawan, 2010). Menurut Laurens (2004) persepsi bukanlah sekedar pengindraan, persepsi sebagai penafsiran pengalaman (the interpretation of experience). Teritorialitas merupakan pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat atau suatu lokasi geografis (Laurens, 2004). Teritori dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam yaitu (Altman, 1980 dalam Laurens, 2004): 1) Teritori primer: tempat-tempat yang sangat pribadi sifatnya dan hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang sudah sangat akrab atau yang sudah mendapat izin khusus. 2) Teritori sekunder: tempat-tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal dan kendali pada teritori ini tidaklah sepenting teritori primer serta kadang berganti pemakai atau berbagi penggunaan dengan orang asing. 3) Teritori publik: tempat-tempat yang terbuka untuk umum, dimana setiap orang diperkenankan untuk berada di tempat tersebut. Kesesakan (crowding) mengacu pada pengalaman seseorang terhadap jumlah orang di sekitarnya atau persepsi terhadap kepadatan (Laurens, 2004). Determinan kesesakan dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu (Loo, 1977 dalam Hariyadi dan Setiawan 2010): 1) Faktor lingkungan, meliputi faktor fisik (dimensi, tempat, densitas, dan suasana
15
ruang/tempat) dan faktor sosial (norma, kultur, dan adat istiadat). 2) Faktor situasional, meliputi karakteristik hubungan antar individu, lama, serta intensitas kontak. 3) Faktor intrapersonal, meliputi karakteristik dari seseorang seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman, dan sikap. 8. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Budihardjo, Eko. 2006. Sejumlah Masalah Permukiman Kota. Bandung: Alumni. Danisworo, M. 1989. Post Occupancy Evaluation: Pengertian dan Metodologi. Dalam Seminar Pengembangan Metodologi Post Occupanty Evaluation. Jakarta: Trisakti. Hartatik, dkk. 2010. Peningkatan Kualitas Hidup Penghuni di Rusunawa Urip Sumoharjo Pasca-Redevelopment, dalam Seminar Nasional “Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota”. Surabaya: Jurusan Arsitektur ITS. Haryadi, Setiawan, B., 2010, Arsitektur, Lingkungan dan Prilaku, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Komarudin. 1997. Menelusuri Pembangunan Perumahan dan Permukiman. Jakarta: Rakasindo. Laurens, Marcella. Jonce, 2004. Arsitektur dan Perilaku Manusia, Jakarta, Penerbit. P.T. Grasindo Raditya Utama dan L.M.F. Purwanto, 2012. Kajian Pasca Huni Rumah Dome di Ngelepen Ditinjau dari Aspek Fisika Bangunan. Jurna Tesa Arsitektur, ISSN 1410 – 6094, Vol.10 No.2 – Desember 2012. Hal 109 – 118
16
Nama/JIA Vol.5 No.2 Juni 2016
Rapoport, Amos. 1969. House, Form and Culture. Prentice Hall Inc., Englewood Cliffs, New Jerssey, New York, USA. Silas, J. 1922. Beberapa Pemikiran Dasar Tentang Perumahan dan Perkampungan di Indonesia, Makalah dalam Seminar Ilmiah Mahasiswa Arsitektur Indonesia, 29 September 1992, Bandung. Sarwono, W. Sarlito. 1992. Psikologi Lingkungan. Grasindo, Jakarta. Subagijo, E. 2004. Pola Perilaku Kebersamaan di Rumah Susun Hasil Peremajaan Kawasan Kumuh di Perkotaan, Jurnal Arsitektur Mintakat, Volume 5, Maret 2004, Malang. Sudibyo, S. 1989. Aspek Fungsi dan Teknik Post Occupabcy Evaluation dan Beberapa Metodologi Penelitian. Dalam Seminar Pengembangan Metodologi Post Occupancy Evaluation. Jakarta: Trisakti Sujarweni, V.W dan Endrayanto P. 2012. Statistika Untuk Penelitian. Yogyakarta, Graha Ilmu. Snyder, J.C., dan Catanese, A.J., (1988), Pengantar Arsitektur, Penerbit Erlangga, Jakarta. Walgito, Bimo. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi. Wolfgang F E Preiser, 1995. Post Occupancy Evaluation; How to Make Building Work Better. Bradford, Van Nostrand Reinhold Pemerintah Republik Indonesia. 1985. UndangUndang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, Jakarta Pemerintah Republik Indonesia. 2011. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun Kementerian Perumahan Rakyat. 2008. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No. 22/PERMEN/M/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Perumahan
Rakyat Daerah Provinsi Kabupaten/Kota, Jakarta
dan
Daerah
Kementerian Perumahan Rakyat. 2008. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat No. 18/PERMEN/M/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perhitungan Tarif Sewa Rumah Susun Sederhana Yang Dibiayai APBN dan APBD.